BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hand hygiene merupakan tindakan sederhana dengan mencuci tangan yang terbukti dapat mencegah penyakit. Akan tetapi, tindakan sederhana ini seringkali tidak dihiraukan oleh masyakat. Padahal ketidakpatuhan dalam mencuci tangan berdampak besar pada kesehatan manusia. Hal ini dapat menyebabkan munculnya beberapa penyakit seperti diare, infeksi saluran penapasan, pneumonia, infeksi cacing, infeksi mata, dan infeksi kulit. Umumnya penyakit tersebut terjadi pada anak-anak dan seringkali dianggap remeh oleh masyarakat. Menurut Kemenkes (2014), diare merupakan penyakit kedua penyebab kematian, sedangkan infeksi saluran pernapasan adalah penyebab utama kematian pada anak balita. Penyakit tersebut disebabkan kuman/ bakteri yang menempel pada tangan yang kotor dan terkontaminasi kuman. Tindakan hand hygiene mampu mengurangi kuman/ bakteri yang menempel di tangan sehingga dapat mengurangi prevalensi munculnya penyakit tersebut. Beberapa
penelitian
telah
dilakukan
untuk
mengetahui
hubungan
ketidakpatuhan dengan kejadian penyakit-penyakit fisik seperti diare dan infeksi cacing/ kecacingan. Penelitian yang dilakukan Mutoharoh (2013) menemukan adanya hubungan antara tindak hand hygiene dengan infeksi cacing. Siswa yang tidak patuh dalam tindak hand hygiene atau mencuci tangan lebih mengalami kejadian infeksi cacing atau cacingan daripada siswa yang melakukan cuci tangan. Penelitian lain menyebutkan, ketidakpatuhan dalam mencuci tangan berhubungan dengan kejadian diare yang dialami anak usia 0-5 tahun. Keluarga yang memiliki kebiasaan tidak mencuci tangan dapat meningkatkan risiko balita terkena diare sebesar 7 kali lebih
1
2 besar dibanding keluarga yang memiliki kebiasaan mencuci tangan (Ismail, 2009). Adapun pada usia lebih dari 5 tahun, perilaku mencuci tangan tidak berhubungan dengan kejadian penyakit diare (Utomo, 2013). Selain mengurangi munculnya penyakit-penyakit fisik seperti diare, infeksi cacing, dan infeksi pernapasan, mencuci tangan juga berdampak pada pengurangan bakteri/kuman yang terdapat di telapak tangan. Pentingnya tindak hand hygiene terhadap kesehatan menjadi perhatian di kalangan tenaga medis. Rumah sakit merupakan tempat pelayanan kesehatan yang memberikan perawatan kepada pasien dengan berbagai penyakit. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya bakteri/ mikoorganisme yang menyebar di rumah sakit. Bakteri/ mikroorganisme yang ada di rumah sakit ini menyebabkan infeksi yang disebut sebagai health-care Acquired infections (HAIs). Health-care Acquired infections (HAIs) disebabkan bakteri nosokomial yang didapat selama berada di rumah sakit. Transisi patogen atau penyakit ini dimulai dari satu pasien dan menyebar ke pasien lain yang dapat terjadi melalui tenaga medis. Pada kulit pasien terdapat patogen yang dapat menyebar di permukaan sekitar pasien yang
kemudian
mengkontaminasi
lingkungan.
Akibatnya,
tenaga
medis
terkontaminasi tangannya dengan cara menyentuh lingkungan atau kulit pasien selama melakukan rutinitas memeriksa pasien. Organisme/ bakteri mampu bertahan pada tangan tenaga medis selama beberapa menit setelah kontaminasi terjadi
(dalam
Allegranzi & Pittet, 2009 ). Infeksi nosokomial ini tidak secara langsung berdampak dengan memperparah penyakit pasien. Akan tetapi, infeksi nosokomial ini mengharuskan pasien tinggal lebih lama di rumah sakit sehingga memperbesar biaya yang harus dikeluarkan. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan, infeksi nosokomial ini menyebabkan kematian. Pada tahun 2015, di Skotlandia, seorang bayi
3 lahir prematur dinyatakan meninggal karena infeksi nosokomial atau HAIs (Aitken, 2015). Health.kompas.com juga menyebutkan infeksi nosokomial menyebabkan 1,4 juta kematian di dunia. Di Indonesia, pada tahun 2004, menurut penelitian yang dilakukan 11 rumah sakit di Jakarta menunjukkan 9,8 % pasien rawat inap mendapatkan infeksi nosokomial (Candra, 2013). Fakta ini menunjukkan kasus kematian karena infeksi nosokomial bukanlah merupakan hal yang baru. Dikutip dari health.detik.com, dr Abid Yahya, Mantan Ketua Persatuan Rumah Sakit Indonesia menyebutkan bahwa pada awal tahun 2000, di Amerika Serikat jumlah kematian akibat infeksi yang terjadi di rumah sakit kurang lebih 98.000 orang per tahun (Sulaiman, 2016). Fakta-fakta di atas menunjukkan bahaya yang disebabkan adaya infeksi nosokomial di rumah sakit. Meskipun demikian, infeksi ini bukan berarti tidak dapat dicegah penyebarannya. Infeksi nosokomial ini dapat diatasi dengan cara yang sederhana yaitu mencuci tangan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, patogen yang berada dalam tangan tenaga medis mampu bertahan beberapa menit setelah terkontaminasi. Jadi, jika praktek mencuci tangan tidak dilakukan secara optimal, maka mikroba tersebut akan lebih mudah menyebar atau bertransmisi pada pasien lain ketika kontak langsung terjadi
(dalam Allegranzi & Pittet, 2009). Dikutip dari
lifestyle.bisnis.com, Sutoto, ketua persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, menyebutkan bahwa penelitian terbaru dalam journal of environmental research and public health, menunjukkan cuci tangan dengan menggunakan sabun mampu menghilangkan 92% organisme atau penyebab infeksi di tangan (Nurcaya, 2015). “Clean Care is Safer Care” merupakan program WHO yang diluncurkan pada bulan Mei 2015. Program ini merupakan program yang mengutamakan keselamatan pasien terutama untuk mengurangi infeksi HAIs (health-care associated infection)
4 dunia (WHO, 2009a). Penelitian mengenai pengaruh hand hygiene terhadap pengurangan infeksi nosokomial telah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir. Sejak tahun 1977-2008, telah terdapat 23 penelitian yang dilakukan di lebih dari 20 rumah sakit. Penelitian tersebut dilakukan di berbagai unit yang berbeda di rumah sakit, seperti unit ICU, unit tulang, dan unit neonatal. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa intervensi hand hygiene yang diikuti dengan follow up, secara signifikan dapat mengurangi prevalensi infeksi HAIs sebesar 42 % (dalam Allegranzi dan Pittet, 2009). Banyak penelitian yang membuktikan bahwa tindak hand hygiene dapat mengurangi infeksi HAIs di rumah sakit. Akan tetapi, pentingnya cuci tangan dalam mencegah infeksi nosokomial ini kurang disadari oleh instansi rumah sakit. Gambar 1 menunjukkan hasil survei yang dilakukan peneliti kepada 51 perawat. Berdasarkan hasil survei tersebut menunjukkan bahwa hanya sekitar 33% perawat yang menyatakan bahwa rumah sakit sudah mempraktikkan hand hygiene dengan baik, sedangkan 41% perawat mengungkapkan masih berada pada tingkat sedang, 4% diantaranya mengungkapkan berada pada tingkat dasar dan 22% mengungkapkan berada pada tingkat tidak memadai. Rumah sakit yang berada pada tingkat maju menunjukkan bahwa rumah sakit tersebut telah melakukan praktik hand hygiene dengan optimal. Rumah sakit yang berada pada tingkat sedang, dasar, dan tidak memadai menunjukkan bahwa praktik hand hygiene di rumah sakit tersebut masih belum optimal dan memerlukan perbaikan untuk meningkatkan maupun mempertahankan praktik hand hygiene. Seperti yang terlihat pada gambar 1 menunjukkan apabila dilihat dari praktik hand hygiene berdasarkan keoptimalannya, hanya sekitar 41% perawat yang menyatakan bahwa rumah sakit telah melaksanakan praktik hand hygiene secara optimal, sedangkan 59% perawat menyatakan bahwa rumah sakit masih memerlukan perbaikan untuk
5 meningkatkan praktik hand hygiene. Hal ini menunjukkan minimnya perhatian rumah sakit dalam melaksanakan praktik hand hygine.
Tidak memadai 22% Dasar 4%
Maju 33%
Sedang 41%
Gambar 1 Survei Praktik Hand Hygiene (berdasarkan WHO Self Assessment Framework 2010)
Pentingnya cuci tangan dalam mencegah infeksi nosokomial, selain oleh institusi rumah sakit, juga kurang disadari oleh tenaga medis. Diantara tenaga medis yang ada, dokter dinilai memiliki tingkat kepatuhan yang rendah dibandingkan tenaga medis lainnya seperti perawat. Tribunnews.com menyebutkan berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 dan 2013 di beberapa negara terungkap dokter memiliki angka kepatuhan yang rendah dalam mencuci tangan dibandingkan dengan perawat. Penelitian observasional yang dilakukan secara universal juga menunjukkan bahwa kepatuhan tenaga medis dalam melaksanakan praktik hand hygiene masih rendah (Stevenson, 2011). Karaaslan dkk. (2014), dalam penelitiannya, menemukan bahwa kepatuhan praktik hand hygiene pada tenaga medis masih rendah, yaitu dibawah 50%. Kepatuhan praktik hand hygiene pada perawat sebesar 41,4 %. Adapun angka kepatuhan pada dokter lebih rendah lagi yaitu sebesar 31,9 % (Karaaslan, dkk.,
6 2014). Di Indonesia, angka kepatuhan dokter dalam melakukan praktik cuci tangan hanya sekitar 50-60 %. Penelitian yang dilakukan dr. Delly Chipta Lestari dan rekanrekannya, di RSCM Jakarta, menunjukkan bahwa angka kepatuhan dokter di ruang ICU RSCM Jakarta angka kepatuhan berkisar 41-62% (Wardhani, 2015). Angka kepatuhan yang rendah tersebut tersebut juga diungkapkan oleh perawat Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di salah satu Rumah Sakit Umum Daerah yang juga menjadi tempat penelitian. Berdasarkan hasil wawancara, Perawat PPI menyatakan bahwa angka kepatuhan hand hygiene di rumah sakit tersebut masih rendah. Hal tersebut disampaikan seperti yang disampaikan pada pernyataan berikut : “ ...tapi kalo sebelum yaa..mereka merasa itu tangannya bersih jadi ga perlu cuci tangan, jadi kepatuhannya rendah” W01.I01.120416, 62-63 Rendahnya kepatuhan dalam melaksanakan praktik hand hygiene tersebut diperkuat dengan data evaluasi bulanan yang dilakukan oleh tim PPI dari bulan Oktober sampai Desember 2015. Kepatuhan petugas kesehatan pada bulan Oktober sebesar 37,3 %, November sebesar 32,7 % dan Desember sebesar 36,57%. Berdasarkan standar WHO, petugas kesehatan dikatakan patuh apabila angka kepatuhan lebih dari 50 %. Oleh karena itu, apabila didasarkan pada standar WHO, dapat dikatakan bahwa tingkat kepatuhan hand hygiene di rumah sakit tersebut masih rendah. Gambar 2 dan Gambar 3 berikut ini menunjukkan diagram kepatuhan hand hygiene dari bulan Oktober 2015 hingga bulan Desember 2015 yang diambil dari sumber evaluasi bulan tim PPI. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya kepatuhan melakukan tindak hand hygiene ini. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berasal dari luar individu, sedangkan faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam individu.
7
50 45
40 35 30 25 20 15 10 Oktober
November
Desember
Gambar 2 Angka Kepatuhan Hand Hygiene Tahun 2015 (dalam Persen)
50
45
dalam persen (%)
40 35 dokter 30
perawat petugas lain
25
20 15 10 Oktober
November
Desember
Gambar 3 Angka Kepatuhan Hand Hygiene berdasarkan Profesi Tahun 2015
Faktor eksternal tersebut meliputi kurangnya fasilitas yang memadai untuk melakukan tindak cuci tangan, latar belakang kebudayaan, dan kepercayaan religuisitas. Sedangkan faktor internal yang sering terlihat menentukan kepatuhan rendah dalam mencuci tangan antara lain: i) status pekerjaan (dokter, asisten perawat, fisioterapi dan teknisi), ii) bekerja di area tertentu (ruang perawatan intensif, ruang
8 operasi, ruang anestesi, dan apotek), iii) kekurangan staff atau kelebihan staff, dan iv) penggunaan jas atau sarung tangan. Faktor individu juga menentukan rendahnya kepatuhan dalam mencuci tangan. Faktor individu tersebut meliputi persepsi dan pengetahuan mengenai resiko transmisi dan pengaruh HAIs, tekanan sosial, evaluasi dan intensi (Allegranzi & Pittet, 2009). Institusi atau rumah sakit juga menjadi faktor tinggi rendahnya tingkat kepatuhan karyawan dalam melakukan tindak mencuci tangan. Sistem rumah sakit yang tidak didesain untuk mendukung promosi dan tidak memberikan fasilitas untuk praktek hand hygiene akan menyebabkan tingkat staf/karyawan rendah dalam melakukan hand hygiene (Storr & Sandra, 2004). Persepsi staf/karyawan terhadap sistem keselamatan rumah sakit disebut juga dengan iklim keselamatan. Terdapat beberapa
penelitian
mengenai
kepatuhan
yang
dihubungkan
dengan
iklim
keselamatan. Penelitian Prihatiningsih dan Sugiyanto (2010) mengenai iklim keselamatan, pengalaman personal dan kepatuhan pada pekerja konstruksi menunjukkan bahwa dimensi-dimensi keselamatan berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan. Hubungan iklim keselamatan dan kepatuhan ini juga diteliti pada setting kesehatan. Penelitian DeJoy, Searcy, Murphy, dan Gershon (2000) dengan menggunakan teori PRECEDE model menunjukkan bahwa iklim keselamatan, sebagai faktor penguat di lingkungan pekerjaan, meningkatkan kepatuhan pekerja terhadap kewaspadaan universal (universal precautions). Senada dengan hasil tersebut, penelitian McGovern, Vesley, Kochever, Gershon, Shame, dan Anderson, (2000) menunjukkan bahwa iklim keselamatan, sikap terhadap risiko, masa jabatan pekerjaan, pengetahuan dan pelatihan mampu memprediksi kepatuhan pada prosedur keselamatan.
9 Oleh karena itu, berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti iklim keselamatan yang dihubungkan dengan kepatuhan melakukan praktik hand hygiene pada tenaga kesehatan. Seberapa besar sumbangan efektif yang diberikan oleh iklim keselamatan dalam memunculkan perilaku kepatuhan hand hygiene.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara iklim keselamatan dengan kepatuhan tenaga medis dalam melakukan praktik hand hygiene.
C. Manfaat Penelitian
a. Kegunaan Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi khazanah ilmu pengetahuan terutama di bidang Psikologi Sosial dalam terapannya pada setting organisasi. b. Kegunaan Praktis Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi manajemen rumah sakit untuk meningkatkan kepatuhan hand hygiene dengan meningkatkan iklim keselamatan dalam organisasi.