BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Dewasa ini, kerap bermunculan berbagai jenis penyakit. Diantaranya gangguan kardiovaskular, kanker, penurunan sistem imun dan kerusakan otak (Pervical, 1998). Munculnya penyakit tersebut dikarenakan terjadi kerusakan dan stres oksidatif oleh radikal bebas hasil metabolisme tubuh (Balsano & Alisi, 2009; Jacob & Burri, 1996). Radikal bebas memiliki elektron yang tidak berpasangan sehingga bersifat sangat reaktif dan mudah bereaksi dengan molekul lain (Geckil dkk., 2005; Halliwel & Gutteridge, 1999). Secara alami, tubuh mampu mengendalikan radikal bebas karena memiliki sistem pertahanan oksidatif. Akan tetapi, jika radikal bebas ini jumlahnya berlebihan maka diperlukan senyawa antioksidan untuk mengatasinya (Halliwel, 2001). Antioksidan dapat menurunkan atau menghambat proses oksidasi dengan menghentikan reaksi berantai oksidatif sehingga mampu melindungi tubuh dari kerusakan oksidatif (Zengin dkk., 2010). Penggunaan antioksidan sintetik pada suplemen makanan dan minuman dapat menimbulkan efek samping apabila dikonsumsi terus menerus. Beberapa penelitian menunjukkan pemakaian antioksidan sintetik dapat memicu karsinogenik dan menyebabkan kerusakan hati (Amarowicz dkk., 2000; Osawa & Namiki, 1981). Buah dan sayur merupakan antioksidan alami karena mengandung vitamin C dan E, karotenoid, senyawa fenolik, flavonoid dan polifenol (Sies & Stahl, 1995;
1
2
Luo dkk., 2002; Vinson dkk., 1999; Preethi dkk., 2010). Konsumsi antioksidan alami pada buah dan sayur mampu melindungi tubuh dari kerusakan oksidatif dan mengurangi resiko terjadinya penyakit kronis, seperti kanker (Jacob & Burri, 1996; Ghiselli dkk, 1998). Senyawa fenolik dan flavonoid pada tanaman tersedia dalam bentuk glikosida sedangkan sangat jarang dalam bentuk bebasnya (Annegowda dkk., 2010). Glikosida flavonoid bersifat polar dan dapat diekstraksi dengan pelarut polar. Rendahnya aktivitas antioksidan glikosida flavonoid dapat ditingkatkan dengan hidrolisis. Prosedur hidrolisis dapat membebaskan aglikon flavonoid dari glikonnya. Berdasarkan penelitian Tubesha dkk. (2011) aktivitas antioksidan dari ekstrak metanol biji Nigella sativa meningkat setelah dihidrolisis dalam suasana basa. Sedangkan menurut penelitian Sani dkk. (2012) aktivitas antioksidan ekstrak Germinated Brown Rice (GBR) dengan metode ABTS dan ferri tiosianat meningkat setelah GBR dihidrolisis basa sedangkan GBR terhidrolisis asam memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar dengan metode DPPH. Penelitian yang dilakukan oleh Machwiyah (2012) menunjukkan adanya perbedaan signifikan aktivitas antioksidan antara fraksi air ekstrak etanolik buah mengkudu terhidrolisis 1 jam dan 3 jam. Perbedaan ini disebabkan oleh produk hidrolisis yang dihasilkan. Kecepatan hidrolisis bergantung pada struktur aglikon, derajat hidroksilasi, jenis gula dan posisi penempelan gula (Alaniya, 1977). Buah talok atau Muntingia calabura L. tumbuh dengan baik di Indonesia, tetapi pemanfaataannya belum dilakukan secara optimal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Preethi dkk. (2010), buah talok memiliki aktivitas
3
antioksidan dan ekstrak metanol memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dibandingakan dengan ekstrak petroleum eter, kloroform, etil asetat, dan butanol. Sedangkan aktivitas antioksidan ekstrak air buah talok lebih rendah dibandingkan dengan ekstrak metanol, etanol dan aseton (Kolar dkk., 2011). Menurut Kanistri (2012), fraksi air ekstrak etanolik buah talok memiliki aktivitas antioksidan terendah dibanding fraksi etil asetat dan ekstrak etanolnya. Oleh karena itu, perlu adanya
penelitian
dengan
prosedur
hidrolisis
pada
fraksi
air
untuk
membandingkan aktivitas antioksidannya.
B. RUMUSAN MASALAH 1. Apakah perlakuan hidrolisis pada fraksi air ekstrak etanolik buah talok dapat meningkatkan aktivitas penangkapan radikal DPPH? 2. Bagaimana pengaruh hidrolisis asam dan hidrolisis basa pada fraksi air ekstrak etanol buah talok terhadap aktivitas penangkapan radikal DPPH? 3. Bagaimana pengaruh waktu hidrolisis terhadap aktivitas penangkapan radikal DPPH?
C. TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui pengaruh perlakuan hidrolisis pada fraksi air buah talok terhadap aktivitas penangkapan DPPH. 2. Mengetahui pengaruh penangkapan radikal DPPH pada fraksi air terhidrolisis asam dan fraksi air terhidrolisis basa.
4
3. Mengetahui pengaruh waktu hidrolisis terhadap aktivitas penangkapan radikal DPPH. D. TINJAUAN PUSTAKA 1. Talok (Muntingia calabura L.) a. Taksonomi Muntingia calabura L. memiliki nama daerah, seperti talok (Jawa), cerri, dan kersen. Di berbagai negara lain talok sering disebut dengan calabura (Brazil), kerukup siam dan buah ceri (Malaysia), calbura (Portugis), ratiles (Filipina), takhop farang (Thailand) sedangkan nama yang umum digunakan adalah Jamaican cherrry, Calabura, Jamfruit, Singapore cheery. Klasifikasi ilmiah talok menurut USDA (2014) : Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Dilleniidae
Famili
: Elaeocarpaceae
Genus
: Muntingia L.
Spesies
: Muntingia calabura L.
5
b. Morfologi Talok merupakan tanaman berukuran kecil dengan tinggi 2 sampai 10 meter. Tanaman talok memiliki ranting yang ditutup rapat oleh rambut halus dan rambut kelenjar. Daunnya berseling dengan ujung runcing dengan pinggiran bergerigi, helai daun tidak simetris, berbentuk bulat telur sampai berbentuk lanset, berukuran 4,5-14 cm x 1,5-4 cm dengan tangkai daun pendek. Permukaan daun ditutupi oleh bulu-bulu halus terutama di bagian bawah. Setiap 1 sampai 3 bunga berkelompok menjadi satu pada ketiak daun. Bunga talok berbilangan lima dan berkelamin dua (hermafrodit). Kelopak bunganya runcing seperti benang dengan rambut halus. Daun mahkotanya berwarna putih berbentuk bulat telur terbalik dengan panjang 8-11 mm. Kepala putik berlekuk terdiri dari 5 sampai 6 dan bakal buahnya bertangkai pendek, beruang 5 sampai 6 (van Steenis, 1975). Buah talok berbentuk bulat dengan diameter 1-1,25 cm, berwarna merah terkadang berwarna kuning, kulit buah halus, tipis dan lembut. Buah talok mengandung banyak air, memiliki rasa dan bau manis, biji buah talok sangat kecil dan tersebar (Morton, 1987). c. Kandungan kimia Flavonoid, khalkon, sesquiterpen, dan senyawa fenolik berhasil diidentifikasi pada berbagai tanaman talok (Nshimo dkk., 1993; Su dkk., 2003). Khalkon, flavon dan muntingon (turunan flavonol) merupakan flavonoid pada daun talok (Chen dkk., 2005) sedangkan pada akar dan
6
kulit batang talok dijumpai flavonoid sub kelas flavan dan flavon (Kaneda dkk., 1991; Chen dkk., 2005). Buah talok sendiri mengandung senyawa fenolik volatil dan nonvolatil, sesquiterpen, furanoid, antosianin dan flavonoid (Wong dkk., 1996; Einbond dkk., 2004; Kubola dkk., 2011), sedangkan menurut Morton (1987), tiap 100 gram buah talok mengandung air (77,8 gram), protein (0,384 gram), lemak (1,56 gram), karbohidrat (17,9 gram), serat (4,6 gram), abu (1,14 gram), kalsium (124,6 mg), fosfor (84,0 mg), zat besi (1,18 mg), karoten (0,019 mg), thiamin (0,065 mg), riboflavin (0,037 mg), niacin (0,554 mg) dan vitamin C (80,5 mg). Gomathi dkk. (2013) berhasil mengidentifikasi 25 senyawa pada ekstrak polifenol buah talok menggunakan kromatografi gas. Senyawa yang berhasil diidentifikasi adalah sebagai berikut : 1,3,5-triazine-2,4,6 triimine, isoamyl asetat, 2,3-dihidro-3,5-dihidroksi-6-metil-4H-piran, asam oktanoat, 2,3-dihidro-benzofuran, 1,2,3-propanetriol, monoasetat, asam nnonanoat, 1-desoksi-d-manitol, neophytadiena, (2E)-3,7,11,15-tetrametil2-heksadesen-1-ol, asam n-heksadekanoat, etil heksadekanoat, phytol, asam siklopropanoktanoat, 2-etilsiklopropil metil ester, etil linoleat, etil linolenat, etil stearat, asam oktanoat, 2-dimetilamino etil ester, asam 3siklopentil
propionat,
γ-tokoferol,
α-tokoferol,
kampesterol, stigmasterol dan γ-sitosterol.
β-koles-5-en-3-ol,
7
d. Manfaat Menurut Morton (1987), buah talok yang sudah masak dapat dimakan langsung atau dibuat menjadi selai dan daunnya dijadikan teh. Bunga talok terbukti berkhasiat sebagai antiseptik, antispasmodik, insektisida, pereda flu dan sakit kepala (Siddiqua dkk., 2010; Jensen, 1999; Verheij & Coronel, 1992; Bandeira dkk., 2012), sedangkan daun talok memiliki aktivitas sebagai antinosiseptif, antipiretik, antibakteri dan antiinflamasi (Zakaria dkk., 2006; Zakaria dkk., 2007; Preethi dkk., 2012). Buah talok dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan secara in vitro yang berkorelasi dengan total fenolik dan total flavonoidnya (Preethi dkk., 2010; Kolar dkk., 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Kanistri (2012) ekstrak etanol buah talok dan fraksinya memiliki aktivitas penangkapan radikal DPPH dengan aktivitas terbesar pada fraksi etil asetat. Ekstrak metanol buah talok merupakan agen antiinflamasi yang poten pada tikus jantan galur Wistar dengan penginduksi karagenan (Preethi dkk., 2012). Buah talok juga menunjukkan aktivitas sebagai larvasidal terhadap Plutella xylostella (Bandeira dkk., 2012). 2. Flavonoid Flavonoid pada tanaman dibuat dari asam aromatik fenilalanin dan tirosin dan malonat (Harborne dkk., 1986). Struktur dasar flavonoid adalah inti flavan dengan 15 atom karbon, tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6 (Pieta, 2000). Umumnya flavonid terdapat pada tanaman sebagai derivat glikosilat dan
8
memberikan corak warna biru, merah dan orange pada daun, bunga dan buah (Brouillard & Cheminat, 1988).
Gambar 1. Struktur kimia flavon dan sistem penomorannya (Brown dkk., 1998)
Glikosida flavonoid biasanya terdapat dalam bentuk flavonoid Oglikosida, yaitu gugus hidroksi flavonoid terikat pada satu gula atau lebih dengan ikatan hemiasetal dan bersifat tidak tahan asam. Meskipun demikian ada juga flavonoid C-glikosida, hanya saja bentuk glikosida ini jarang ditemukan. Glikosida ini memiliki ikatan langsung antara gula dengan inti benzena flavonoid, ikatan yang terjadi merupakan ikatan karbon-karbon dan bersifat tahan asam (Markham, 1988).
Gambar 2. Scoparin merupakan salah satu flavonoid C-glikosida (Brito-Arias, 2007)
9
Gambar 3. Luteolin 7-O-glukuronida merupakan salah satu flavonoid O-glikosida (Iwashina & Kokubugata, 2012)
Flavonoid memiliki peran sebagai pelindung dari adanya stress oksidatif pada sel tumbuhan dengan menangkap reactive oxygen species (ROS), menyerap sinar UV, menghambat enzim yang bertanggung jawab dalam pembentukan anion superoksida serta mengkelat logam-logam penting pada metabolisme oksigen (Harborne, 1994; Hanasaki dkk., 1994; Ursini dkk., 1994; Pieta, 2000). Flavanoid juga merupakan agen penangkap radikal, baik secara in vitro maupun in vivo dikarenakan rendahnya potensial redoks dan kemampuan untuk mendonorkan beberapa elektron atau atom hidrogen (Yang dkk., 2008; Lotio & Frei, 2006). Oleh karena itu, flavonoid merupakan sumber antioksidan alami yang potensial bagi tubuh. 3. Radikal bebas Menurut Soematmaji (1998) radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang terdiri dari satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Adanya elektron tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul di sekitarnya sehingga bersifat tidak stabil (Fang dkk., 2002).
10
Secara umum sumber radikal bebas dapat dibedakan menjadi dua, yaitu eksogen dan endogen. Radikal bebas eksogen berasal dari luar sistem tubuh, seperti aktifitas lingkungan, sinar UV, bahan kimia dan lain-lain sedangkan radikal bebas endogen berasal dari dalam tubuh, terbentuk melalui proses autooksidasi,
oksidasi,
enzimatik,
fagositosis,
dan
transfer
elektron
(Rohmatusolihat, 2009). Di dalam tubuh radikal bebas dan senyawa reaktif lainnya dihasilkan secara konstan dalam kondisi fisiologis maupun kondisi patologis ( Evans & Halliwel, 2001; Halliwel, 2001). Radikal bebas merupakan suatu oksidan, yaitu senyawa penerima elektron. Beberapa contoh radikal bebas adalah reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS). ROS adalah senyawa turunan oksigen yang sangat reaktif dibandingkan oksigen dalam bentuk triplet (diradikal). Senyawa oksigen reaktif terdiri dari molekul oksigen tanpa pasangan elektron seperti radikal hidroksil (.OH), radikal superoksida (.O2-), radikal peroksil (.O2R), radikal alkoksil (.OR), radikal hidroperoksil (.OH2), radikal nitrit oksida (.ON), dan radikal nitrogen dioksida (.O2N). ROS dan RNS dapat diubah menjadi senyawa non-radikal tetapi berupa molekul reaktif, seperti hidrogen peroksida (H2O2), asam hipoklorus (HOCl), dan anion peroksinitrit (ONOO-)3 (Fang dkk., 2002; Fachir dkk., 2005). Radikal bebas tersebut dapat mengoksidasi asam nukleat, protein, lemak, bahkan DNA sel dan menginisiasi timbulnya penyakit degeneratif (Leong & Shui, 2002).
11
4. Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan. Antioksidan mampu menetralkan radikal bebas dengan menghambat reaksi oksidasi dan mengikat radikal bebas atau mencegah terbentuknya radikal bebas sehingga tidak terjadi proses oksidasi (Sies, 1996; Percival, 1998). Antioksidan dapat berupa enzim (misalnya superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase), vitamin (misalnya vitamin E, C, A dan βkaroten), dan senyawa lain (misalnya flavonoid, albumin, bilirubin, seruplasmin dan lain-lain) (Winarsi, 2007). Antioksidan dapat didapatkan secara alami maupun sintetik. Antioksidan alami dapat didapatkan dari tumbuhan, seperti buah, sayur dan antioksidan endogen. Antioksidan endogen berupa enzim yang bekerja dengan mencegah produksi radikal. Sedangkan antioksidan alami pada tumbuhan umumnya berupa senyawa fenolik atau polifenol seperti flavonoid, turunan asam sinamat, vitamin, kumarin dan asam-asam organik polifungsional (Pratt & Hudson, 1992). Antioksidan sintetik dihasilkan dari proses sintesis secara kimiawi. Antioksidan sintetik dapat ditemukan di pasaran dengan ijin atau tanpa ijin penggunaan. Antioksidan sintetik seperti butylated hydroxyanisole (BHA), butylated
hydroxytoluene
(BHT),
propyl
gallate
(PG)
dan
ter-
butylhydroquinone (TBHQ) dibolehkan terdapat pada makanan (Shahidi, 2000; Buck & Edwards, 1997). Tetapi ada juga antioksidan alami seperti tokoferol dan askorbat yang dibuat secara sintetik dan diijinkan penggunaannya oleh
12
BPOM.
Penggunaan antioksidan sintetik perlu diperhatikan karena dalam
dosis tinggi dapat menyebabkan hilangnya sifat antioksidan dan bersifat toksik sehingga dapat menimbulkan aktivitas peroksidan dan dapat merusak DNA (Barlow, 1990). 5. Ekstraksi Ekstraksi merupakan proses pemisahan dua zat atau lebih dengan pelarut yang tidak saling campur, baik itu dari zat cair atau zat padat ke cair (Harborne, 1987). Tujuan dari ekstraksi adalah memperoleh senyawa terapeutik dan menghilangkan bahan inert dengan pelarut selektif. Ekstraksi dibagi menjadi dua macam, yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi padat cair. Metode ekstraksi meliputi ekstraksi secara panas, secara dingin serta distilasi dengan uap. Ekstraksi secara panas menggunakan soxhlet, refluks, infundasi sedangkan ekstraksi secara dingin, seperti maserasi dan perkolasi (Anonim, 2000). Maserasi merupakan proses perendaman serbuk kasar dengan pelarut tertentu dan disimpan pada suhu kamar setidaknya tiga hari. Maserasi dilakukan dengan pengadukan teratur sampai bahan dapat terlarut sempurna. Teknik ini cocok untuk senyawa yang tidak tahan panas (Harborne, 1987). Prinsip teknik pemisahan secara maserasi adalah like dissolve like dimana pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar. Oleh karena itu, pemilihan pelarut sangat berpengaruh terhadap hasil ekstraksi. Pemilihan pelarut harus memperhatikan selektivitas, sifat pelarut dan kemampuan mengekstraksi, tidak toksik, mudah
13
diuapkan dan relatif murah (Agoes, 2007). Kemampuan menyari senyawa bioaktif tergantung pada waktu ekstraksi, suhu, rasio sampel dan pelarut (Dai & Mumper, 2010). Keuntungan ekstraksi dengan maserasi adalah proses dan peralatannya sederhana sedangkan kekurangan dari metode ini adalah membutuhkan waktu relatif lama dan dapat mengalami kejenuhan (Anonim, 1995). 6. Hidrolisis Hidrolisis merupakan pemecahan ikatan kimia akibat adanya reaksi oleh air (Cairns, 2004). Hidrolisis glikosida flavonoid dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu hidrolisis asam, hidrolisis basa dan hidrolisis dengan bantuan enzim (Markham, 1988). Ketiga metode hidrolisis tersebut memiliki kegunaan masing-masing. Hidrolisis asam banyak digunakan untuk melepaskan residu gula terikat dan aglikon flavonoid. Hidrolisis enzim digunakan untuk mengidentifikasi gula spesifik dan posisi ikatan, sedangkan hidrolisis basa digunakan untuk menghilangkan asam ester organik pada flavonoid (Tomas-Barberan & Farreres, 2012). Pemilihan metode hidrolisis didasarkan pada bentuk glikosida flavonoid, gula penyusun glikosida dan tempat berikatan gula dengan aglikon (Bohm, 1998). Perbedaan kecepatan hidrolisis glikosida bergantung pada jenis gula dan tempat berikatan gula dengan aglikon (Bohm, 1998). Harborne (1965) mengkategorikan glikosida menjadi 3 kategori yaitu mudah dihidrolisis, lambat dihidrolisis dan tahan asam. Glikosida seperti 3-O-glukosida sangat mudah
14
dihidrolisis, proses hidrolisis hanya membutuhkan waktu 6 menit, kuersetin 3O-glukoronida termasuk glikosida lambat terhidrolisis dengan waktu hidrolisis sampai 1 jam sedangkan kategori tahan asam seperti kuersetin 7-O-glukoronida perlu dihidrolisis selama 3 jam (Bohm, 1998). Litvinenko & Makarov (1969) membedakan glikosida menjadi dua, yaitu stabil dan labil terhadap suasana basa. Glikosida fenolik, glikosida enolat dan glikosida alkohol dengan grup aseptor pada posisi β merupakan glikosida yang sensitif terhadap suasana basa, sedangkan glikosida jenis kedua adalah glikosida dengan struktur karbohidrat sederhana dan mudah dilepaskan. 7. Aktivitas antioksidan dengan metode DPPH Uji aktivitas antioksidan metode DPPH adalah uji penangkapan radikal 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) oleh antioksidan. Prinsip dasar pada uji ini adalah adanya perubahan warna radikal DPPH. Elektron bebas radikal DPPH akan berpasangan dengan hidrogen antioksidan sehingga membentuk senyawa DPPH-H. Radikal DPPH berwarna ungu dan akan berubah menjadi kuning saat tereduksi menjadi non radikal (Molyneux, 2004). Perubahan warna ini ditunjukkan dengan adanya penurunan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm (Brand-Williams dkk., 1995). DPPH merupakan radikal bebas stabil dan sering digunakan untuk penenelitian aktivitas penangkapan radikal pada senyawa fenolik (BrandWilliams dkk., 1995; Blois, 1958).
15
Gambar 4. Reaksi penangkapan radikal DPPH (Behrendorff dkk., 2013)
Metode DPPH mudah, cepat, sederhana, murah dan dapat digunakan untuk mengukur kapasitas antioksidan (Prakash, 2001). Pengukuran aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH memiliki keterbatasan yaitu radikal DPPH berinteraksi dengan radikal lainnya dan kurva respon waktu untuk mencapai kondisi tunak tidak linier dengan rasio antioksidan/DPPH (BrandWilliams dkk., 1995; Sanchez-Moreno dkk., 1998). DPPH hanya dapat larut dalam pelarut organik dan adanya gangguan absorbansi dari senyawa bahan uji dapat menjadi masalah pada analisis kuantitatif (Armao, 2000). Parameter untuk menunjukkan aktivitas antioksidan metode DPPH adalah harga efficient concentration (EC50) atau inhibitory concentration (IC50). EC50 atau IC50 adalah konsentrasi antioksidan yang menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal. Aktivitas antioksidan tinggi ditunjukkan dengan harga EC50 atau IC50 yang rendah (Molyneux, 2004). 8. Spektrofotometri UV-VIS Sebagian besar molekul organik dan gugus fungsional besar bersifat transparan pada spektra elektromagnetik daerah ultraviolet (UV) dan tampak
16
(VIS) dengan panjang gelombang 190 nm sampai 800 nm. Panjang gelombang untuk sinar UV antara 200-400 nm sementara sinar VIS mempunyai panjang gelombang 400-800 nm. Absorbsi pada daerah sinar UV dan sinar VIS pada spektrum elektromagnetik sesuai untuk transisi antar level energi elektronik dan berguna untuk informasi analitik senyawa organik maupun inorganik (Kealey & Haines, 2002). Prinsip kerja spektrofotometer UV-VIS adalah sinar/cahaya dilewatkan pada larutan sampel dan akan menghasilkan spektra (Kealey & Haines, 2002). Apabila cahaya mengenai molekul senyawa dalam sampel maka sebagian dari cahaya tersebut akan diserap oleh molekul. Suatu molekul menyerap sinar UV atau VIS pada panjang gelombang yang berbeda-beda tergantung pada struktur elektronik molekul tersebut (Fessenden & Fessenden, 1985). Hukum LambertBeer digunakan sebagai dasar dalam analisis kuantitatif pada spektrofotometri UV/VIS (Kealey & Haines, 2002). Gugus fungsional molekul organik mampu menyerap radiasi sinar UV maupun sinar tampak disebut dengan kromofor (Kealey & Haines, 2002). Kromofor terdiri dari ikatan rangkap berselang-seling (ikatan rangkap terkonjugasi) dan mempengaruhi panjang gelombang maksimum molekul organik. Semakin panjang ikatan rangkap terkonjugasi maka semakin mudah menyerap cahaya. Selain kromofor, adanya gugus auksokrom pada kromofor akan mempengaruhi panjang gelombang tetapi tidak ikut menyerap energi cahaya (Cairns, 2004).
17
9. Kromatorafi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis (KLT) termasuk dalam kromatografi planar, merupakan kromatografi paling sederhana dan banyak digunakan di antara jenis kromatografi lainnya (Sherma & Fried, 2003). KLT terdiri dari fase diam dan fase gerak (Spangenberg dkk., 2010). Selama proses pengembangan kromatografi, campuran akan dipisahkan berdasarkan interaksi antara fase diam dan fase gerak. Interaksi antara fase diam dan fase gerak dapat berupa adsorbsi maupun partisi (Spangenberg dkk., 2010 ). Komponen akan terpisah sesuai dengan perbedaan tingkat kepolaran, komponen dengan afinitas besar terhadap fase gerak atau afinitasnya lebih kecil terhadap fase diam akan bergerak lebih cepat dibandingkan komponen dengan sifat sebaliknya (Gritter dkk, 1991). Oleh karena itu, pemilihan fase diam dan fase gerak sangat penting untuk dipertimbangkan. Plat silika gel 60 F254 merupakan fase diam yang banyak digunakan untuk KLT. Pemilihan fase gerak perlu memperhatikan polaritas dan kekuatan elusinya karena fase gerak akan mempengaruhi distribusi analit pada fase diam. Pada KLT, pemisahan masing-masing komponen dinyatakan dengan faktor retardasi atau faktor perlambatan (nilai Rf). Nilai Rf merupakan perbandingan antara jarak tempuh analit terhadap jarak tempuh fase gerak (Braithwaite & Smith, 1999). KLT dapat digunakan untuk tujuan preparatif dan kuantitatif tetapi KLT kuantitatif kurang teliti bila dibandingkan dengan sistem kromatografi lainnya (Gritter dkk, 1991). Analisis kualitatif pada KLT menggunakan parameter nilai
18
Rf. Dua senyawa dikatakan identik bila mempunyai nilai Rf sama dalam kondisi pengukuran sama.
E. LANDASAN TEORI Menurut penelitian sebelumnya buah talok (Muntingia calabura L.) terbukti memiliki aktivitas antioksidan (Preethi dkk., 2010). Aktivitas antioksidan buah talok dihubungkan dengan adanya senyawa fenolik dan flavanoid. Aktivitas antioksidan buah talok sangat bervariasi tergantung dari kepolaran penyari yang digunakan. Pada pelarut polar seperti air aktivitas antioksidannya cenderung kecil. Hal ini berhubungan dengan bentuk flavanoid. Aglikon flavonoid bersifat lebih non polar daripada bentuk glikosidanya. Oleh karena itu, aglikon flavonoid dapat tersari pada pelarut non polar atau semi polar sedangkan glikosidanya tersari pada pelarut polar. Mengacu pada beberapa penelitian, perlakuan hidrolisis pada ekstrak tanaman mampu meningkatkan aktivitas antioksidan. Hidrolisis akan memisahkan residu gula dari aglikon flavonoid. Hidrolisis dapat dilakukan dalam kondisi asam, basa maupun dengan bantuan enzim. Perbedaan cara hidrolisis berpengaruh pada aglikon flavonoid terbebaskan. Hidrolisis asam mampu membebaskan aglikon flavonoid dan residu gula sedangkan hidrolisis basa menghilangkan asam ester organik flavonoid. Adanya perbedaan aglikon flavonoid terbebaskan akan berpengaruh terhadap aktivitas antioksidannya. Lamanya
prosedur
hidrolisis
juga
mempengaruhi
aglikon
flavonoid
terbebaskan. Flavonoid mudah terhidrolisis membutuhkan waktu relatif cepat
19
untuk memisahkan gula dengan aglikon flavonoidnya. Ketika dilakukan hidrolisis dalam waktu lebih lama, maka kemungkinan akan terjadi degradasi atau hidrolisis lanjutan, sedangkan untuk flavonoid yang sulit dihidrolisis akan membutuhkan waktu relatif lama untuk memisahkan residu gula dengan aglikon flavonoidnya
F. HIPOTESIS 1.
Perlakuan hidrolisis pada fraksi air akan meningkatkan aktivitas penangkapan radikal DPPH.
2.
Fraksi air terhidrolisis asam dan fraksi air terhidrolisis basa memiliki aktivitas penangkapan radikal DPPH berbeda.
3.
Fraksi air yang dihidrolisis selama 1 jam dan 3 jam memiliki aktivitas penangkapan radikal DPPH berbeda.