BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Keamanan makanan di Indonesia terkait dengan kehalalan, kebersihan, dan kesehatan makanan memperoleh perhatian khusus. Hal tersebut dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam (BPS, 2010). Masalah yang banyak mendapat perhatian saat ini terutama adanya kekhawatiran tercemarnya produk makanan oleh daging yang bersifat haram, salah satunya daging tikus. Hal tersebut dilakukan agar para pedagang mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dari makanan yang dijualnya. Padahal dalam agama Islam, dalam Hadits Riwayat Muslim nomor 1198 dan Bukhari nomor 1829 tertera dengan jelas tentang larangan mengkonsumsi daging tikus dan semua komponen dari tikus. Bakso merupakan salah satu makanan favorit di Indonesia (Rohman dkk., 2014). Komponen utama bakso merupakan daging yang digerus halus yang biasanya disiapkan dari daging sapi, ayam, ikan, atau babi, dan yang paling populer di Indonesia adalah bakso sapi (Purnomo dan Rahardiyan, 2008). Harga daging sapi di pasaran yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan daging lain membuat beberapa pedagang berusaha memutar otak untuk menyiasati harga produksi pembuatan bakso sapi. Pencampuran daging sapi dengan daging lain dalam pembuatan bakso dirasa menjadi solusi yang efektif untuk menurunkan harga produksi pembuatan bakso. Daging tikus menjadi salah satu opsi karena tikus sangat mudah diperoleh. Kenyataan ini mendorong para pedagang nakal
1
2
untuk mencampur daging sapi dengan daging tikus dan melabelkannya dengan “bakso sapi”. Hal ini tentunya akan merugikan konsumen karena konsumen tertipu. Ada ketidakadilan kompetensi harga akibat terjadinya pemalsuan tersebut. Di samping itu terdapat masalah agama tentang hukum kehalalan, karena agama Islam melarang konsumsi daging tikus dalam bentuk olahan apapun. Permasalahan lain adalah banyaknya penyakit yang disebabkan oleh tikus seperti salmonelosis, trichinosis, ataupun leptospirosis yang akan merugikan kesehatan konsumen (Depkes RI, 2008). Berdasarkan hal inilah maka penjaminan keaslian bakso melalui analisis kualitatif ada atau tidaknya daging tikus sangat penting, untuk menjamin bahwa bakso yang diperdagangkan sesuai dengan label yang tertera. Sejauh ini belum banyak pengembangan metode khusus untuk mengidentifikasi adanya cemaran daging tikus dalam makanan. Namun, sudah banyak metode untuk identifikasi daging babi atau lemak babi dalam makanan yang dapat diadopsi untuk mengidentifikasi adanya cemaran daging tikus dalam makanan. Beberapa metode analisis tersebut, antara lain kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) (Rashood dkk., 1996); kromatografi gas (Marikkar dkk., 2005); pembau elektronik (electronic nose) (Che Man dkk., 2005); differential scanning calometry (Marikkar, 2001); serta metode-metode berdasarkan pada DNA (Himawati, 2013). Beberapa metode ini memerlukan waktu yang lama, serta dilakukan dengan cara melakukan analisis komponen tertentu yang terdapat dalam daging babi seperti analisis fragmen DNA tertentu, dibandingkan menganalisisnya sebagai satu kesatuan materi (Rohman dkk., 2010). Karenanya, spektroskopi
3
inframerah Fourier Transform (FTIR) dikembangkan untuk analisis sampel sebagai suatu kesatuan. Saat ini spektroskopi FTIR yang digabungkan dengan “kemometrika” merupakan teknik yang sangat baik untuk analisis suatu komponen dalam campuran. Rohman dkk. (2011) telah melakukan analisis daging babi dalam campuran sederhana dengan daging sapi. Meskipun demikian, adanya daging tikus dalam sediaan bakso dalam campuran biner yang komponen utamanya adalah daging sapi (bakso sapi) belum pernah dilaporkan/dipublikasikan. Oleh karena itu penelitian ini diarahkan untuk mengembangkan metode spektroskopi FTIR digabungkan dengan teknik kemometrika untuk analisis daging tikus dalam bakso sebagai campuran biner dengan daging sapi.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana optimasi spektra FTIR untuk analisis daging tikus dalam bakso sapi dengan menggunakan kalibrasi multivariat partial least square (PLS)?
2.
Apakah penggunaan analisis multivariat principal component analysis (PCA) mampu digunakan untuk klasifikasi lemak sapi dan lemak tikus pada bakso?
C. Pentingnya Penelitian Diusulkan Pemalsuan bahan makanan banyak merugikan berbagai pihak, khususnya konsumen.
Adanya
pengembangan
metode
spektroskopi
FTIR
yang
4
dikombinasikan dengan kemometrika diharapkan mampu untuk menganalisis adanya cemaran daging tikus dalam bakso sapi secara cepat dan reliabel. Hal tersebut dapat digunakan untuk menjamin hak-hak konsumen dan menjamin kehalalan suatu produk. Hasil penelitian ini bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak, seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) ataupun Majelis Ulama Indonesia untuk menganalisis cemaran daging tikus untuk membantu penentuan kehalalan suatu produk makanan (dalam penelitian ini produk makanan terkait dengan bakso sapi). Hasil penelitian juga dapat dimanfaatkan oleh peneliti lain sebagai dasar acuan untuk analisis hal yang sama di masa yang akan datang.
D. Tujuan Penelitian Secara
umum,
penelitian
ini
bertujuan
untuk
menggunakan
spektrofotometri FTIR yang dikombinasikan dengan kemometrika untuk analisis daging tikus dalam bakso sapi. Secara rinci, tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengembangkan
penggunaan
metode
spektrofotometri
FTIR
yang
dikombinasikan dengan kemometrika partial least square (PLS) untuk analisis kuantitatif daging tikus dalam bakso sapi. 2. Mengaplikasikan
penggunaan
metode
spektrofotometri
FTIR
yang
dikombinasikan dengan kemometrika principal component analysis (PCA) untuk mengklasifikasikan lemak sapi dan tikus pada bakso.
5
E. Tinjauan Pustaka 1. Tikus Tikus merupakan salah satu hewan rondensia yang dikenal sebagai hama tanaman pertanian, perusak barang, dan hewan pengganggu di perumahan. Berikut adalah taksonomi hewan tikus : Kerajaan : Animalia Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Famili
: Murdae
Genus
: Rattus
Spesies
: Tikus rumah (Rattus rattus diardi) Tikus sawah (Rattus argentiventer) (Baker dkk., 1976)
Gambar 1. Tikus (Rattus argentiventer) (Anonim, 2010)
Tikus sawah (Rattus argentiventer) (Gambar 1) mempunyai ciri morfologis yaitu tekstur rambut yang agak kasar, bentuk hidung kerucut, bentuk badan
6
silindris, warna badan dorsal coklat kelabu kehitaman, warna badan ventral kelabu pucat atau putih kotor, warna ekor ventral coklat gelap, bobot badan antara 70-300 gram, panjang badan 130-210 mm, panjang ekor diantara 110-160 mm, panjang secara keseluruhan dari kepala sampai dengan ekor 240-370 mm, lebar daun telinga 19-22 mm, panjang telapak kaki 32-39 mm, lebar sepasang gigi seri yang sering digunakan untuk mengerat 3mm, dan formula puting susu 3 + 3 pasang (Priyambodo, 2003). Tikus sawah mudah ditemukan di sebagian besar Asia Tenggara. Tikus sawah biasa hidup di lubang-lubang tanah pada sawah dan ladang (Payne dkk., 1985). Tikus rumah (Rattus rattus) mempunyai tekstur rambut agak kasar, bentuk badan silindris, bentuk hidung kerucut, telinga berukuran besar tidak berambut pada bagian dalam dan dapat menutupi mata jika ditekuk ke depan, warna badan bagian perut dan punggung coklat hitam kelabu, warna ekor coklat hitam, bobot tubuh berkisar antara 60-300 gram, ukuran ekor terhadap kepala, dan badan bervariasi (lebih pendek, sama, atau panjang). Tikus rumah memiliki kemampuan memanjat yang baik. Tikus rumah memiliki kemampuan indera yang sangat menunjang aktivitasnya kecuali penglihatan (Priyambodo, 2003). Tikus rumah lebih sering ditemukan di semak-semak ataupun di atap bangunan (Meehan, 1984). Tikus memiliki siklus reproduksi yang sangat tinggi. Rattus rattus diardi mencapai umur dewasa pada 68 hari dengan masa bunting selama 21-22 hari (Ewer, 1971). Hal ini menyebabkan tikus sangat mudah berkembang biak dalam waktu yang singkat. Populasi tikus yang tidak terkontrol justru akan mengganggu
7
aktivitas manusia, salah satunya dalam hal pertanian (Hadi dkk., 2005). Tikus rumah dan tikus sawah sering kali merugikan manusia. Karakteristik daging tikus berwarna merah dan memiliki serat lebih banyak. Pengolahan daging tikus dalam bentuk olahan makanan seperti bakso, tidak akan dikenali dengan mudah secara kasat mata. Hal ini yang memicu adanya kemungkinan pemalsuan makanan dengan menggunakan daging tikus. Biasanya pemalsuan makanan olahan daging menggunakan tikus rumah ataupun tikus sawah. Beberapa media juga mengabarkan adanya pemalsuan pembuatan bakso sapi dengan daging tikus (Reportase Investigasi, 2012). Hal ini merugikan banyak pihak, baik dari penjual bakso sapi asli maupun konsumen.
2. Sapi Sapi (Gambar 2) adalah hewan ternak anggota suku bovidae dan anak suku bovinae. Sapi dipelihara terutama untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai pangan manusia. Sebagian besar peternakan sapi domestik di Indonesia didominasi oleh Bos taurus atau Bos indicus (zebu), yang keduanya merupakan keturunan dari Bos primigenius (Mohamad dkk., 2012). Sistem taksonomi sapi adalah sebagai berikut : Kerajaan
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Artiodactyla
Famili
: Bovidae
8
Upafamili
: Bovinae
Genus
: Bos
Spesies
: Bos taurus / Bos indicus (Zebu). (Integrated Taxonomic Information System, 2014)
Gambar 2. Bos taurus (ADW, 2002)
Budidaya sapi di Indonesia terbagi menjadi dua yaitu untuk diambil susunya dan untuk dimanfaatkan dagingnya (sapi potong). Daging sapi mengandung air (75%), protein (22,3%), lemak (1,8%), abu (1,2%), dan energi sebesar 116 kilojoule (per 100 gram daging) (FAO, 2014). Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi manusia. Selain mutu protein hewaninya yang tinggi, pada daging sapi terdapat kandungan asam amino esensial yang seimbang. Keunggulan protein daging dibandingkan protein nabati adalah protein hewani lebih mudah dicerna oleh tubuh (Astawan, 2004). Karakteristik daging sapi adalah daging berwarna merah agak pucat,
9
berserabut halus, dan terdapat sedikit lemak. Daging sapi banyak dimanfaatkan masyarakat Indonesia untuk diolah menjadi bahan makanan, salah satunya adalah bakso. Daging sapi (maupun daging lainnya) yang digunakan dalam pembuatan bakso hendaknya masih segar, yaitu dari ternak yang baru dipotong. Tidak dianjurkan menggunakan daging sapi yang telah dilayukan, yaitu daging yang telah mengalami proses penuaan. Bila menggunakan daging yang telah layu, tekstur bakso yang dihasilkan kurang kenyal (Widyaningsih dan Murtini, 2006) Harga daging sapi yang tergolong mahal memicu adanya substitusi daging sapi dengan daging lain pada olahan makanan. Hal inilah yang mendasari perlu adanya analisis makanan untuk menghindari pemalsuan makanan. Hermanto dkk. (2008) berhasil melakukan analisis perbedaan profil dan karakteristik lemak hewani (ayam, sapi, dan babi) secara spektrofotometri inframerah Fourier transform (FTIR). Tabel I menunjukkan komposisi asam lemak yang terkandung pada lemak sapi. Dengan pengembangan dari metode yang sama diharapkan analisis daging tikus yang digunakan untuk memalsukan daging sapi pada olahan makanan bakso dapat dilakukan.
10
Tabel I. Komposisi asam lemak pada lemak sapi (Hermanto dkk., 2008)
Asam lemak Asam Kaprilat C8:0 Asam Kaprat C10:0 Asam Laurat C12:0 Asam Miristat C14:0 Asam Palmitoleat C16:1 Asam Palmitat C16:0 Asam Margarat C17:0 Asam Linoleat C18:2 Asam Oleat C18:1 Asam Stearat C18:0 Asam Arakidonat C20:4 Asam Eikosenat C20:1 Asam Arakat C20:0 *td : tidak terdeteksi
Persentase asam lemak (%) td td 0.34 4.36 1.40 29.40 1.74 1.17 20.53 31.26 td td 0.33
3. Lemak Lemak termasuk dalam golongan lipid, yaitu senyawa organik yang terdapat dalam alam serta tidak larut dalam air, namun larut dalam pelarut organik (misalnya eter, heksan, kloroform, benzen) (Sudarmadji dkk., 1989). Perbedaan lemak dan minyak adalah sumber perolehannya, asam lemak penyusunnya, dan keadaanya pada suhu kamar. Lemak umumnya bersumber dari hewan, sedangkan minyak bersumber dari tumbuhan. Kebanyakan lemak tersusun dari asam lemak jenuh, sedangkan minyak tersusun dari asam lemak tak jenuh. Lemak berwujud padat pada kondisi suhu kamar, sedangkan minyak berada pada wujud cair (Sudjadi dan Rohman, 2004). Lipid terdiri dari berbagai senyawa kimia, termasuk monogliserida, digliserida, trigliserida, fosfatida, serebrosid, sterol, terpen, alkohol lemak, dan asam lemak, namun komponen penyusun terbesarnya adalah trigliserida, yaitu
11
mencapai 95% (Gunstone, 2004; Lobb dan Chow, 2007). Ditinjau dari segi nutrisi, komponen lemak yang penting adalah trigliserida, fosfolipid, kolesterol, dan vitamin yang terlarut dalam lemak (Soeparno, 1989). Trigliserida atau triasilgliserol merupakan gugus triester dari gliserol. Trigliserida terbentuk dari proses kondensasi gliserol dan tiga molekul asam lemak yang nantinya akan membentuk satu molekul trigliserida dan tiga molekul air (Sudarmadji dkk., 1989). Proses kondensasi tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Reaksi Pembentukan Trigliserida (diadaptasi dari CNX Anatomy and Physiology, 2013)
Perbedaan antara lemak satu dengan yang lainnya terdapat pada komponen asam lemak penyusunnya, urutan asam lemak, serta tingkat kejenuhan dari asam lemak (Rohman, 2012). Hal inilah yang mendasari penelitian untuk mendeteksi adanya daging tikus dalam bakso sapi, karena profil spektra FTIR akan bersifat spesifik pada suatu sampel (Guillen dan Cabo, 1997). Asam lemak terdiri dari unsur-unsur, seperti karbon, hidrogen, dan oksigen, yang diatur sebagai rantai karbon kerangka linear dari panjang variabel dengan gugus karboksil di salah satu ujung. Asam lemak yang pada rantai hidrokarbonnya terdapat ikatan rangkap disebut asam lemak tidak jenuh, dan apabila tidak terdapat ikatan rangkap pada rantai hidrokarbonnya disebut dengan asam lemak jenuh (Lobb dan Chow, 2007).
12
Gambar 4 menunjukkan perbedaan struktur asam lemak jenuh dan asam lemak yang tidak jenuh.
Gambar 4. Struktur Asam Lemak Jenuh dan Asam Lemak Tak Jenuh (diadaptasi dari CNX Anatomy and Physiology, 2013)
4. Bakso Definisi bakso menurut SNI 01-3818-1995 adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan. Pembuatan bakso sendiri didominasi oleh daging (Gambar 5), kemudian ditambah dengan berbagai bumbu-bumbuan seperti garam dapur, dan tepung tapioka (Purnomo dan Rahardian, 2008). Terkadang, dalam pembuatan bakso ditambahkan dengan natrium trifosfat dan monosodium glutamat untuk meningkatkan kapasitas pengikatan air. Sebagian besar produsen juga menambahkan cita rasa makanan tertentu, agar bakso semakin lezat (Huda dkk., 2009).
13
Gambar 5. Bakso (Gambar diambil dari Hudaya, 2013)
Berbagai macam daging yang bisa digunakan dalam proses pembuatan bakso adalah daging sapi, babi, ayam dan ikan. Tingkat harga patokan untuk bakso biasanya didasarkan dari jenis daging yang digunakan. Harga bakso sapi lebih mahal jika dibandingkan dengan harga bakso yang lain, karena harga daging sapi tergolong tinggi (Julaikah, 2013). Beberapa pedagang nakal berusaha menyiasati hal ini dengan mencampurkan daging sapi dengan daging yang harganya lebih murah untuk menekan harga produksi. Segelintir pedagang bertindak curang dengan mencampurkan daging tikus ke dalam bakso sapi. Dalam produksi makanan, daging tikus sendiri dilihat dari 3 aspek, yaitu aspek ekonomi, kesehatan dan aspek religi (agama). Dari aspek ekonomi, adanya daging tikus dalam campuran bakso dapat menekan biaya produksi pembuatan dan mendapatkan laba yang lebih banyak. Dari aspek kesehatan, tikus dikaitkan dengan berbagai penyakit tertentu seperti kolera, leptospirosis, salmonelosis, trichinosis, dan masih banyak lagi (Depkes RI, 2008). Sementara itu, dari aspek agama, adanya komponen tikus dalam produk makanan merupakan masalah yang
14
serius karena beberapa agama seperti Islam melarang pemeluknya untuk mengonsumsi produk makanan yang mengandung tikus, seperti hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1829 & 3314, Muslim no. 1198, AtTirmidziy no. 837, An-Nasaa’iy no. 2829, dan yang lainnya.
5. Spektroskopi Inframerah Fourier Transform (FTIR) Spektroskopi
merupakan
kajian
tentang
interaksi
antara
radiasi
eleoktromagnetik dengan materi (sampel). Spektroskopi inframerah merupakan salah satu jenis spektroskopi vibrasional (Rohman, 2012). Spektra IR memungkinkan untuk digunakan dalam deteksi suatu sampel karena spektra tersebut dapat dimanfaatkan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif (Hof, 2003). Saat ini dengan perkembangan transformasi Fourier, spektroskopi FTIR digunakan secara luas dalam bidang farmasi, makanan, lingkungan dan sebagainya (Che Man dkk., 2010). Gambar 6. menjelaskan komponen dasar spektrofotometer inframerah Fourier Transform (FTIR). Komponen dasar spektrofotometer FTIR adalah sumber sinar, interferometer, sampel, detektor, penguat (amplifier), pengubah analog ke digital, dan komputer. Radiasi muncul dari sumber sinar yang dilewatkan melalui interferometer ke sampel yang akan dideteksi sebelum mencapai detektor. Setelah terjadi amplifikasi sinyal, data dikonversi ke dalam bentuk digitalnya, kemudian ditransfer ke komputer untuk transformasi Fourier (Stuart, 2004).
15
Sumber sinar
Interferometer
Sampel Detektor
Penguat (Amplifier)
Pengubah analog ke digital
Komputer Gambar 6. Komponen Dasar Spektrofotometer FTIR (Stuart, 2004)
Sebagaimana jenis absorbsi energi yang lain, pada spektroskopi inframerah, molekul-molekul dieksitasikan ke energi yang lebih tinggi ketika molekulmolekul ini menyerap radiasi inframerah (IR). Absorbsi radiasi IR merupakan suatu proses kuantifikasi, yang berarti bahwa hanya frekuensi (energi) tertentu dari radiasi IR yang dapat diserap oleh suatu molekul. Absorbsi radiasi IR bersesuaian dengan perubahan energi yang berkisar antara 2-10 kkal/mol. Radiasi kisaran energi ini dapat menyebabkan regangan dan uluran suatu ikatan dalam kebanyakan ikatan kovalen molekul (Pavia dkk., 2001). Daerah inframerah dibagi menjadi 3 bagian, yaitu daerah inframerah (IR) jauh (400-50 cm-1), daerah IR tengah (4000-400 cm-1), dan daerah IR dekat (14000-4000 cm-1) (Watson, 1999). Pada daerah IR dekat umumnya digunakan untuk konfirmasi struktur kimia, sedangkan daerah IR tengah biasa digunakan untuk analisis struktur sistem organik. Informasi tersebut banyak dimanfaatkan untuk analisis kualitatif (Reid dkk., 2006). Spektrum IR merupakan spektrum yang bersifat : (1) spesifik terhadap suatu molekul; akan memberikan informasi yang menyatu tentang interaksi dan jenis interaksi molekul yang terlibat; (2) sidik jari; (3) kuantitatif, yang mana
16
intensitas puncak berkorelasi dengan konsentrasi; (4) non destruktif, sehingga masih memungkinkan untuk dilakukan analisis lebih lanjut; (5) bersifat universal dalam pengambilan sampelnya (Rohman, 2014). Secara garis besar, ada 2 cara memperoleh spektrum IR, yaitu dengan teknik transmisi dan teknik pantulan (Sasic dan Ozaki, 2010). Metode pantulan digunakan untuk sampel yang susah dianalisis dengan teknik transmitan. Salah satu pengukurannya menggunakan pantulan internal dengan menggunakan attenuated total reflectance (ATR) yang bersinggungan dengan sampel. ATR (Gambar 7) menggunakan fenomena pemantulan internal total. Berkas radiasi yang memasuki kristal akan mengalami pemantulan internal total ketika sudut datang pada permukaan antara sampel dan kristal lebih besar daripada sudut kritisnya. Sudut kritis merupakan fungsi indeks bias dua permukaan. Berkas sinar akan memasukkan sebagian panjang gelombangnya di luar permukaan yang memantul, dan ketika suatu bahan yang secara selektif mampu menyerap radiasi berada di atas permukaan kristal ATR, maka berkas sinar akan kehilangan energi pada panjang gelombang yang sesuai dengan panjang gelombang yang diserap oleh bahan tersebut. Radiasi yang diperkuat yang dihasilkan diukur
dan
dirajahkan sebagai fungsi panjang gelombang dengan spektrometer IR dan memberikan peningkatan karakteristik spektra serapan sampel (Stuart, 2004).
17
Gambar 7. Skema dari Attenuated Total Reflectance (ATR) (Stuart, 2004)
Selain itu, spektroskopi IR juga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif karena intesitas (absorbansi) dalam spektrum IR berbanding lurus dengan gugus fungsional yang bersesuaian sebagaimana ditunjukkan dalam hukum LambertBeer (Guillen dan Cabo, 1997). Keuntungan
utama
spektofotometer
FTIR
dibandingkan
dengan
spektrofotometer dispersif adalah bahwa spektrofotometer FTIR mampu menawarkan sensitivitas yang tinggi, mampu memberikan energi yang lebih tinggi serta mampu meningkatkan kecepatan pembacaan spektra IR secara drastis (Stuart, 2004). Digabungkan dengan kemajuan komputer dan perangkat lunak “kemometrika”, spektroskopi IR mampu dengan mudah memanipulasi spektrum IR (Rohman, 2012).
6. Kemometrika Kemometrika merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mengaplikasikan ilmu statistika dan matematika untuk mengolah data kimia (dalam spektroskopi, data tersebut adalah spektra) (Otto, 2007). Kemometrika termasuk pada bidang
18
interdislipiner yang melibatkan analisis statistik multivariat, pemodelan matematika, dan kimia analisis. Kemometrika biasa diaplikasikan untuk : (1) kalibrasi, validasi, dan uji signifikansi; (2) optimasi pengukuran kimia dan prosedur eksperimental; dan (3) mengekstraksi informasi kimia dari data analisis (Gemperline, 2006) Saat ini kemometrika memungkinkan untuk menganalisis data multivariat. Data multivariat merupakan suatu data yang memiliki banyak variabel dan dari setiap variabel tersebut dapat saling berkorelasi. Keuntungan dari analisis multivariat adalah informasi yang didapat akan lebih banyak karena analisis multivariat mempertimbangkan banyak variabel secara bersamaan, dibandingkan jika hanya mempertimbangkan masing-masing variabel secara individual. Selain itu, keuntungan lainnya adalah bahwa analisis multivariat dapat mereduksi noise, lebih selektif dalam suatu pengukuran, dan bisa mendeteksi adanya sampel palsu (Bro, 2003). Fungsi kemometrika dalam spektroskopi digunakan untuk meningkatkan kualitas data. Kemometrika memungkinkan adanya pengukuran data multivariat, yang mana beberapa variabel (absorbansi dalam banyak bilangan gelombang) diukur untuk suatu sampel yang dituju (Miller dan Miller, 2000). Ada beberapa jenis kemometrik yang sering digunakan, salah satunya adalah metode kemometrika yang terkait dengan pengelompokan. Ada dua macam pengelompokan dalam kemometrika, yaitu : (1) Pengelompokan yang disupervisi, seperti analisis diskriminan; dan (2) pengelompokan yang tidak
19
disupervisi, seperti analisis komponen utama (principal component analysis, PCA). a) Principal Component Analysis (PCA) Principal component analysis, atau biasa disebut dengan PCA, adalah metode analisis untuk membangun model multivariat linier pada data yang kompleks. Pengembangan metode PCA dilakukan dengan menggunakan vektor basis ortogonal, atau biasa disebut dengan komponen utama (principal component, PC). Tujuan utama dari PCA adalah untuk mengeliminasi komponen utama yang terkait dengan noise, sehingga dapat meminimalkan efek dari kesalahan pengukuran (Thielemans dan Massart, 1985). PCA pada dasarnya adalah teknik reduksi data multivariat, ketika antar variabel terjadi korelasi (Miller dan Miller, 2005). Objek (sampel) dengan komponen utama (principal component, PC) yang hampir sama mempunyai sifat fisika kimia yang hampir sama, sehingga PCA dapat digunakan untuk pengelompokan (Adams, 1995). PCA akan menemukan berbagai macam komponen utama yang merupakan suatu kombinasi linier variabel asal. Komponen utama pertama diharapkan akan memberikan variasi terbesar terhadap data dibandingkan dengan komponen utama selanjutnya (Widyaninggar dkk., 2012). Karenanya, ketika terjadi korelasi yang signifikan, jumlah komponen utama yang digunakan akan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah variabel asli (Miller dan Miller, 2010). Che Man dkk. (2011) membuktikan bahwa dengan menggunakan teknik PCA, dapat dibedakan dan diklasifikasikan antara lemak babi (lard) dengan lemak lain.
20
Penelitian tersebut diharapkan menjadi dasar dalam melakukan klasifikasi lemak tikus dan lemak sapi. b) Partial Least Square (PLS) Partial least square (PLS), atau regresi kuadrat terkecil sebagian, merupakan salah satu cabang dari metode kemometrika yang menggunakan regresi. Metode regresi digunakan untuk kuantifikasi. Konsentrasi analit berada pada variabel respon, dan absorbansi pada bilangan gelombang yang berbeda berada pada variabel prediksi (Miller dan Miller, 2005). Oleh karena itu, PLS termasuk jenis kalibrasi terbalik. Kemometrika PLS pertama kali dikembangkan oleh H. Wold di bidang ekonometri pada akhir tahun 1960. Pada akhir tahun 1970, Wold dan Martens mulai memopulerkan metode ini untuk diaplikasikan pada bidang kimia (Gemperline, 2006). Regresi kuadrat terkecil sebagian (partial least square atau PLS)
menghitung
regresi
dengan
alogaritma
kuadrat
terkecil
yang
menghubungkan antara kedua matriks, data spektra pada matriks X, dan nilai referens pada matrik Y. PLS sering digunakan dalam spektroskopi FTIR untuk mengektrak informasi dari spektra yang kompleks yang mengandung puncakpuncak yang tumpang tindih, adanya pengotor serta adanya noise dari instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data (Syahariza dkk., 2005). Pada metode kemometrika PLS, variabel yang dipilih merupakan variabel yang memiliki korelasi yang baik dengan respon, sehingga variabel tersebut akan memberikan prediksi yang lebih efektif (Adams, 1995). Kombinasi linier dibuat dengan memilih variabel prediksi yang memiliki korelasi tertinggi dengan
21
variabel respon dan juga bisa menjelaskan variasi dari variabel prediksi (Miller dan Miller, 2005). Rohman dan Che Man (2011) membuktikan bahwa kemometrika PLS dapat digunakan untuk kuantifikasi adanya pemalsuan pada virgin coconut oil. Dengan metode yang sama, diharapkan kemometrika PLS juga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif daging tikus pada bakso sapi.
F.
Landasan Teori
Berbagai praktek kecurangan terhadap makanan terkadang dilakukan oleh beberapa pedagang nakal, salah satu contohnya dengan cara mengganti bahan dasar pembuatan bakso dengan sesuatu yang lebih murah. Beberapa diantaranya mencampurkan daging tikus ke dalam campuran daging sapi pada pembuatan bakso. Deteksi cepat adanya daging tikus dalam bakso sapi mutlak dilakukan. Salah satu metode deteksi cepat yang ditawarkan adalah dengan metode spektrofotometri
FTIR
yang
dikombinasikan
dengan
kemometrika.
Spektrofotometri inframerah Fourier Transform (FTIR) merupakan metode cepat yang memiliki sensitivitas tinggi. Adanya campuran daging tikus dalam bakso sapi, daging sapi, dan daging tikus dapat dibedakan pada profil spektra FTIR karena metode spektrofotometri FTIR akan menunjukkan profil spektra yang berbeda dari setiap sampel yang berbeda. Dengan adanya perbedaan yang spesifik antar setiap spektra, FTIR dapat mengidentifikasi adanya campuran daging tikus dalam bakso sapi. Optimasi spektroskopi FTIR dengan digabungkan dalam teknik “kemometrika” tertentu seperti analisis multivariat (partial least square, PLS dan principal component
22
analysis, PCA) dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif daging tikus dalam bakso sapi.
G. Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah dan landasan teori di atas, maka dapat dibuat suatu hipotesis sebagai berikut: 1. Metode spektrofotometri inframerah Fourier transform (FTIR) yang dikombinasikan dengan kemometrika partial least square (PLS) dapat digunakan untuk analisis kuantitatif daging tikus dalam bakso sapi. 2. Metode spektrofotometri FTIR yang dikombinasikan dengan kemometrika principal component analysis (PCA) mampu melakukan klasifikasi lemak sapi dan lemak tikus pada bakso.