1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberian air susu ibu (ASI)
diakui sangat bermanfaat untuk
meningkatkan kelangsungan hidup bayi, memperlebar jarak kehamilan, memberi keuntungan bagi kesehatan ibu dan anak, serta terjalinnya hubungan antara ibu dan anak (Budiarso, 1998). Air susu ibu sebagai makanan alamiah merupakan makanan yang terbaik bagi pertumbuhan dan kesehatan bayi, karena selain mengandung nilai gizi yang cukup tinggi, juga mengandung zat pembentuk kekebalan tubuh terhadap penyakit (Umniyati, 2005). Banyak penelitian yang telah dilakukan dan membuktikan bahwa ASI memang memiliki banyak kebaikan. Kramer
(2003) melakukan sistematik
review terhadap beberapa penelitian yang membandingkan pemberian ASI *eksklusif selama 3 bulan dibandingkan 6 bulan. Hasil sistematik review tersebut membuktikan bahwa tidak ada perbedaan pertumbuhan di antara 2 kelompok, tetapi bayi dengan ASI eksklusif 6 bulan memiliki risiko lebih kecil untuk mengalami infeksi saluran cerna. Penelitian lain yang dilakukan Arifeen (2001) di Dhaka juga membuktikan bahwa ASI eksklusif terbukti menurunkan risiko terjadinya ISPA dan kematian karena diare. Selain melindungi terhadap penyakit infeksi, ASI juga terbukti melindungi anak terhadap obesitas. Sistematik review yang dilakukan Arenz (2001) terhadap penelitian yang meneliti pengaruh ASI terhadap obesitas memperlihatkan adanya hasil yang konsisten bahwa ASI terbukti menurunkan risiko kejadian obesitas.
2
ASI juga terbukti mengurangi kejadian dermatitis atopik. Astuti (2007) melakukan penelitian pada bayi yang memiliki risiko tinggi atopik dan mendapatkan hasil bahwa bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif memiliki risiko 3,72 kali lebih besar untuk mendapatkan dermatitis atopik dibandingkan kelompok bayi yang mendapat ASI eksklusif 6 bulan. Perkembangan kognitif anak yang diberi ASI juga terbukti lebih baik daripada mereka yang
mendapat susu formula atau terlalu dini mendapat
makanan tambahan. Penelitian Howoord (2001) pada anak usia 7-8 tahun membuktikan bahwa kelompok anak yang mendapat ASI minimal 8 bulan memiliki IQ verbal rata-rata 6 point lebih tinggi dibandingkan yang mendapat susu formula. Tahun 2001,
World
Health Organization
(WHO) mengeluarkan
rekomendasi global mengenai pemberian ASI yang harus dilakukan sesegera mungkin yaitu dalam waktu satu jam setelah bayi lahir, dan dianjurkan memberikan ASI secara eksklusif selama enam bulan (Umniyati, 2005).
Di
Indonesia, dukungan pemerintah terhadap penggunaan ASI termasuk ASI eksklusif sebenarnya telah cukup memadai. Hal itu terbukti dengan telah dicanangkannya gerakan nasional peningkatan penggunaan air susu ibu (GNPPASI), serta dijadikannya ASI eksklusif 6 bulan sebagai program nasional melalui SK Menkes tahun 2004 (Merdekawati, 2006). Data yang diperoleh dari sistem surveilens gizi nasional tahun 2002, ternyata hanya 27-40% bayi yang mendapatkan ASI eksklusif. Persentase tersebut menurun dengan meningkatnya usia, yakni 4-8% pada bayi usia 4-5 bulan, dan
3
hanya 1% sampai dengan usia 6 bulan. Hasil survey demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003 menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif sampai dengan usia 2 bulan 64%, menurun 46% pada bayi usia 2-3 bulan, dan 14% pada bayi usia 4-5 bulan. Data lainnya, 13% bayi di bawah usia 2 bulan telah diberi susu formula dan satu dari tiga bayi berusia 2-3 bulan telah diberi makanan tambahan (Merdekawati, 2005). Fakta ini menimbulkan masalah baru dalam bidang kesehatan. Bayi menjadi lebih rentan terhadap infeksi gastrointestinal, infeksi telinga, radang bakteri selaput otak, serta terjadi peningkatan risiko terjadinya kekurangan energi protein (KEP) (Rahayu, 2006). Faktor-faktor penyebab kegagalan pemberian ASI eksklusif di Indonesia disebabkan antara lain oleh: kurangnya promosi kesehatan mengenai pentingnya ASI eksklusif melalui program komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), gencarnya promosi susu formula melalui poster-poster yang dipasang hampir di seluruh fasilitas kesehatan seperti di ruang tunggu, ruang periksa, kamar bayi, ruang rawat, bahkan ruang menyusui bayi, para petugas kesehatan baik di rumah bersalin maupun rumah sakit sudah memberikan susu formula kepada bayi yang baru lahir, perusahaan susu formula sering memberikan sponsor kepada fasilitasfasilitas kesehatan, perusahaan susu formula secara rutin memberikan sampel kepada fasilitas-fasilitas kesehatan (Besar, 2004). Selain itu
ketidakberadaan
fasilitas rawat gabung, pemakaian dot/botol pada bayi baru lahir, kurangnya dukungan suami dan anggota keluarga yang lain juga berperan dalam kegagalan pemberian ASI eksklusif (Zulfayeni, 2005).
4
Siregar (2004) berpendapat bahwa faktor yang berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif antara lain pendidikan ibu, pekerjaan ibu, faktor budaya, dan dukungan petugas kesehatan. Penelitian yang dilakukan Brunken (2006) di Brazil menyebutkan bahwa rendahnya pendidikan ibu merupakan faktor risiko terjadinya pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) dini atau justru terlambat, yakni baru diberikan saat bayi berusia 8 bulan. Permasalahan pemberian MPASI, penyakit
infeksi
termasuk
diare dan pertumbuhan
digambarkan pada gambar 1. STATUS GIZI ANAK
Konsumsi makanan
Ketersediaan dan pola konsumsi rumah tangga
Pola asuh , Pemberian dan penyediaan ASI/MPASI , sanitasi
Penyebab langsung
Status infeksi
Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan
Penyebab tidak langsung
Daya beli, akses pangan, akses informasi, akses pelayanan
Kemiskinan, daya tahan pangan dan gizi, pendidikan
Pembangunan ekonomi, politik, social, budaya
Akar masalah
Gambar 1. Akar Permasalahan Gizi Anak Sumber: UNICEF 1990, disesuaikan dengan kondisi Indonesia
5
B. Perumusan Masalah Manfaat ASI eksklusif 6 bulan telah terbukti nyata, WHO menyarankan ASI eksklusif 6 bulan sejak tahun 2001 dan di Indonesia SK MENKES tahun 2004 menyarankan ASI eksklusif 6 bulan sebagai program nasional. Cakupan ASI eksklusif di Indonesia masih rendah, meski manfaat dan dukungan ASI eksklusif sudah demikian nyata. Cakupan ASI yang rendah atau pemberian MPASI terlalu dini ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain faktor ibu, dukungan keluarga, serta dukungan pelayanan kesehatan (Umniyati, 2005). Penulis ingin meneliti akibat yang ditimbulkan oleh MPASI yang diberikan kurang dari usia 6 bulan. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah apakah ada pengaruh pemberian MPASI sebelum usia 6 bulan terhadap pertumbuhan dan kejadian diare pada bayi? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh pemberian MPASI yang terlalu dini. 2. Tujuan khusus: a. Membandingkan pertumbuhan bayi usia 6-12 bulan yang diberi MPASI sebelum dan saat usia 6 bulan. b. Membandingkan episode kejadian diare dan lama diare bayi usia 6-12 bulan yang diberi MPASI sebelum dan saat usia 6 bulan.
6
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi ilmu pengetahuan berupa tambahan atau masukan ilmu pengetahuan mengenai akibat yang ditimbulkan oleh pemberian MPASI sebelum usia 6 bulan. Manfaat lain adalah bagi pembangunan negara dan bangsa penelitian ini dapat memberi masukan bagi kebijakan pembangunan di bidang kesehatan. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang mirip dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah:
7
Tabel 1. Penelitian tentang MPASI dini Judul
Rancangan
Lokasi
Infant Growth and Kohort Health Outcomes Associated with 3 Compared with 6 Mo of Exclusive Breastfeeding (Kramer, 2009)
Belarus
Jumlah sampel 3483
Exclusive Kohort Breastfeeding Reduces Acute Respiratory Infection and Diarrhea and Deaths Among Infants in Dhaka
Dhaka
1667
Hasil
Perbedaan dengan peneliti
Pada usia 3-6 bulan, bayi dengan ASI Peneliti lebih menekankan pengaruh eksklusif 3 bulan lebih besar MPASI dini terhadap pertumbuhan dan peningkatan berat badan (29 gr/bulan) diare. dan panjang badan (1,1 mm/bln) dibandingkan bayi dengan ASI eksklusif 6 bulan, tetapi pada usia 9-12 bulan, bayi dengan ASI eksklusif 6 bulan lebih besar peningkatan panjang badan (0,9 mm/bulan) dan lingkar kepala (0,19 mm/bl) dibandingkan dengan ASI eksklusif 3 bulan. Kejadian diare menurun 0,35 pada bayi denganASI eksklusif 6 bulan, dan tidak ada perbedaan pada kejadian ISPA dan eksema atopik. Pemberian MPASI yang terlalu cepat Pengaruh MPASI dini terhadap meningkatkan risiko kematian bayi pertumbuhan dan diare, tidak terhadap sebesar 2,23 karena sebab apapun, 2,4 kematian karena ISPA, dan 3,94 karena diare.
8
Slums. 2001)
(Arifeen,
The Effects of Cross Exclusive versus non sectional Exclusive Breastfeeding on Spesific Infant Morbidities in Conakry, Guinea (Fatoumata, 2009).
Conakry
1167
The Effects of Cross Exclusive Breast- sectional feeding on The Linear Growth of Children at The Age of 24-36 Months in Bandung Urban Slum Area (Ismawati, 2008)
Bandung 343
Jumlah ASI eksklusif 6 bulan 15%, ASI eksklusif menurunkan risiko kejadian sakit 0,28, diare 0,38 dan ISPA 0,27. ASI eksklusif tidak terbukti menurunkan kejadian otitis, ISK, dan meningitis.
Metode peneliti kohort, menekankan pengaruh waktu pemberian MPASI terhadap pertumbuhan, bukan terhadap ISPA, otitis, ISK, meningitis
Pemberian ASI eksklusif meningkatkan efek pada batita usia 24-36 bulan untuk mencapai pertumbuhan linier yang normal (OR:2,439) dibandingkan yang tidak mendapat ASI eksklusif.
Metode peneliti kohort, menekankan pengaruh waktu pemberian MPASI terhadap pertumbuhan, bukan pengaruh ASI eksklusif versus non eksklusif
9
Pola MPASI dan Cross Status Gizi Bayi 0- sectional 12 Bulan di Kecamatan Lhonknga Kabupaten Aceh Besar (Ahmad dkk, 2006)
Partial Kohort breastfeeding protects Bedouin infants from infection and morbidity: prospective cohort study (Bilenko, 2003)
Aceh
151
Pola (jenis) MPASI tidak berpengaruh terhadap status gizi, tidak ada pengaruh asupan energi terhadap status gizi bayi 0-6 bulan, tetapi bermakna terhadap bayi 6-12 bulan. Terdapat pengaruh asupan protein terhadap status gizi bayi 0-6 bulan maupun 6-12bulan. Status pemberian ASI tidak berhubungan dengan status gizi bayi 0-6 bulan maupun 6-12 bulan. ASI eksklusif melindungi bayi usia 0-3 bulan dari infeksi
Metode penelitian berbeda, peneliti menekankan pengaruh waktu pemberian MPASI dan bukan pada jenisnya
Peneliti melihat pengaruh pada bayi usia 6-12 bulan