BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu penyakit dengan prevalensi tertinggi di Indonesia. Infeksi saluran napas, diare dan penyakit kulit menempati sepuluh besar penyakit rawat inap dan rawat jalan di Indonesia (Kemenkes RI, 2012). Antibiotik turunan penisilin seperti penisilin G, ampisilin, amoksisilin, dan sebagainya termasuk antibiotik yang paling banyak diresepkan untuk menangani masalah infeksi. Hal ini menyebabkan kebutuhan terhadap antibiotik turunan penisilin sangat tinggi. Besarnya kebutuhan nasional amoksisilin mencapai 900 ton/tahun (Anonim, 2012). Amoksisilin dan antibiotik turunan penisilin lainnya diproduksi secara semisintesis melalui penggabungan senyawa asam 6-aminopenisilinat (6-APA) dengan rantai samping tertentu. Senyawa 6-APA merupakan starting material turunan penisilin yang mengandung inti β-laktam (Souza dkk., 2005). Seiring dengan tingginya kebutuhan antibiotik turunan penisilin, kebutuhan 6-APA juga semakin meningkat. Industri obat di Indonesia dapat memproduksi antibiotik tetapi senyawa 6-APA dan bahan baku antibiotik lainnya masih diimpor dari luar negeri untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Nilai impor bahan baku antibiotik pada tahun 2007 mencapai 59% dari total impor bahan farmasi yang mencapai US$211,7 juta (Anonim, 2009). Impor bahan baku farmasi tahun 2013
1
2
diperkirakan akan mencapai US$1,35 miliar karena pertumbuhan industri farmasi dan meningkatnya konsumsi obat (Anonim, 2013). Ketergantungan terhadap impor bahan baku antibiotik dapat menyebabkan permasalahan bagi industri obat di tanah air seperti ketersediaan pasokan bahan baku yang tidak terjamin, perbedaan standar kualitas bahan dan harga yang tidak stabil. Biaya bahan baku dapat mencapai 70-80% dari total struktur biaya produksi obat sehingga ketersediaan bahan baku juga mempengaruhi harga jual obat. Kemajuan bioteknologi di Indonesia sudah memungkinkan pengembangan bahan baku antibiotik secara mandiri. Senyawa 6-APA sebagai bahan baku antibiotik turunan penisilin dapat diproduksi melalui proses fermentasi, hidrolisis penisilin G secara kimiawi dan hidrolisis penisilin G secara enzimatik. Produksi senyawa 6-APA secara komersial umumnya dilakukan melalui hidrolisis secara enzimatik. Hidrolisis penisilin G secara enzimatik menggunakan penisilin asilase yang dihasilkan oleh bakteri dan jamur tertentu. Penggunaan enzim mempunyai beberapa keuntungan antara lain reaksinya spesifik, efisien, dapat dilakukan pada kondisi lunak, serta lebih ramah lingkungan (Faber, 2000). Hidrolisis enzimatik lebih banyak digunakan daripada hidrolisis kimiawi yang cukup mahal dan menggunakan beberapa bahan kimia berbahaya. Hidrolisis kimiawi menggunakan banyak reagen kimia dan melewati berbagai tahapan yang dilakukan pada suhu rendah, yaitu -40oC (van Santen dkk., 2000). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan produksi 6-APA melalui hidrolisis penisilin G secara enzimatik, antara lain melalui pencarian
3
mikroorganisme baru penghasil penisilin asilase, rekayasa genetik untuk meningkatkan ekspresi gen penghasil penisilin asilase, optimasi kondisi hidrolisis enzimatik, dan optimasi ekstraksi 6-APA dari sistem hidrolisis. Penelitian Supartono dkk. (2008) menunjukkan strain lokal Bacillus subtilis BAC4 dapat memproduksi penisilin asilase secara ekstraseluler. Susanti & Ariani (2004) melakukan kloning gen pengkode penisilin asilase dari Bacillus sp. BAC4 dan ditransfeksi pada sel inang Escherichia coli untuk meningkatkan ekspresi gen tersebut. Mutasi gen tertentu pada Bacillus megaterium, Kluyvera citrophila, Alcaligenes faecalis, dan Proteus rettgeri juga dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas penisilin asilase (Chandel dkk., 2008). Optimasi faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim dalam menghidrolisis penisilin G juga dilakukan untuk meningkatkan produksi 6-APA. Faktor-faktor tersebut antara lain pH, suhu, konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, dan media reaksi. Suhu dan pH optimal untuk aktivitas penisilin asilase dari E. coli telah diteliti oleh Bruggink dkk. (1998), Javadpour dkk. (2002) serta Sukandar & Subagjo (2005). Berdasarkan penelitian tersebut, aktivitas optimal penisilin asilase dari E. coli dicapai pada kisaran pH 7,5-8,0 dan suhu 30-50oC. pH mempengaruhi sebaran muatan pada sisi aktif enzim sedangkan suhu mempengaruhi stabilitas enzim. Kondisi optimal hidrolisis oleh penisilin asilase dapat berbeda tergantung mikroorganisme penghasilnya. Penisilin asilase dari B. megaterium merupakan alternatif yang potensial untuk penisilin asilase E. coli yang selama ini banyak digunakan dalam industri farmasi (Rojviriya dkk., 2011). B. megaterium memproduksi penisilin asilase
4
secara ekstraseluler sehingga pemurnian enzimnya lebih mudah daripada E. coli yang memproduksi penisilin asilase secara intraseluler. Penelitian tentang aktivitas penisilin asilase dari B. megaterium diperlukan sebagai langkah awal sebelum dilakukan aplikasi pada skala industri. Penisilin asilase dari B. megaterium dapat bekerja mengkatalisis hidrolisis penisilin G dengan baik pada kondisi yang optimal untuk aktivitasnya. Reaksi enzimatik secara umum berlangsung pada kisaran pH tertentu yang optimal. Perubahan pH dapat mempengaruhi konformasi enzim dan afinitas enzim dalam mengikat substrat (Dixon & Webb, 1958). Aktivitas penisilin asilase merupakan reaksi kesetimbangan yang dipengaruhi oleh pH. Penisilin asilase menghidrolisis penisilin G menjadi 6-APA dengan baik pada suasana basa, sedangkan pada kondisi asam reaksi cenderung bergeser ke arah sintesis penisilin (Hamilton-Miller, 1966). Konsentrasi substrat dan produk reaksi dapat mempengaruhi jalannya reaksi enzimatik. Semakin tinggi konsentrasi substrat, kecepatan reaksi semakin meningkat hingga mencapai kecepatan maksimum. Setelah mencapai maksimum, penambahan substrat tidak akan meningkatkan kecepatan reaksi karena enzim telah jenuh oleh substrat (Whitaker, 1994). Pada konsentrasi substrat yang tinggi, perbandingan jumlah enzim dan substrat tidak seimbang sehingga substrat berkompetisi untuk berikatan dengan enzim. Dapar yang digunakan sebagai media reaksi juga dapat mempengaruhi jalannya
reaksi
enzimatik.
Komponen-komponen
dalam
dapar
dapat
mempengaruhi aktivitas enzim dengan bertindak sebagai aktivator atau inhibitor.
5
Dapar fosfat menghambat aktivitas enzim urease dan aldolase (Benini dkk., 2001; Jimenez dkk., 1964). Ion-ion dalam dapar dapat mempengaruhi muatan substrat dan gugus-gugus fungsi enzim sehingga mempengaruhi interaksi enzim dengan substrat. Berdasarkan kondisi yang disebutkan sebelumnya, reaksi hidrolisis enzimatik dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pH, konsentrasi substrat dan media reaksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pH, konsentrasi substrat dan jenis dapar yang optimal pada hidrolisis penisilin G terkatalisis penisilin asilase dari B. megaterium untuk mendapatkan produk 6APA yang tinggi.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh pH media terhadap hidrolisis penisilin G terkatalisis penisilin asilase dari Bacillus megaterium? 2. Bagaimana pengaruh konsentrasi substrat terhadap hidrolisis penisilin G terkatalisis penisilin asilase dari Bacillus megaterium? 3. Bagaimana pengaruh jenis dapar terhadap hidrolisis penisilin G terkatalisis penisilin asilase dari Bacillus megaterium? 4. Berapa kadar 6-APA yang dihasilkan dari hidrolisis penisilin G terkatalisis penisilin asilase dari Bacillus megaterium dengan kondisi pH, konsentrasi substrat dan jenis dapar yang optimal?
6
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui pengaruh pH media terhadap hidrolisis penisilin G terkatalisis penisilin asilase dari Bacillus megaterium dan menentukan pH optimal untuk proses hidrolisis. 2. Mengetahui pengaruh konsentrasi substrat terhadap hidrolisis penisilin G terkatalisis penisilin asilase dari Bacillus megaterium dan menentukan konsentrasi substrat optimal untuk proses hidrolisis. 3. Mengetahui pengaruh jenis dapar terhadap hidrolisis penisilin G terkatalisis penisilin asilase dari Bacillus megaterium dan menentukan dapar yang tepat digunakan dalam proses hidrolisis. 4. Mengetahui kadar 6-APA yang dihasilkan dari hidrolisis penisilin G terkatalisis penisilin asilase dari Bacillus megaterium dengan kondisi pH, konsentrasi substrat dan jenis dapar yang optimal.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai pengaruh pH, konsentrasi substrat dan jenis dapar pada hidrolisis penisilin G terkatalisis penisilin asilase dari Bacillus megaterium sehingga dapat menghasilkan produk 6APA yang tinggi. Informasi tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu landasan pengembangan teknologi pembuatan antibiotik menuju produksi obat secara mandiri.
7
E. Tinjauan Pustaka 1.
Penisilin G Penisilin G atau benzilpenisilin adalah salah satu antibiotik golongan β-
laktam dengan potensi antibakteri yang efektif terhadap bakteri gram positif. Mekanisme kerja penisilin adalah menghambat sintesis dinding sel bakteri melalui penghambatan proses cross-linking antara unit-unit peptidoglikan penyusun dinding sel bakteri. Struktur penisilin yang mirip dengan struktur peptida Dalanil-D-alanin pada ujung rantai peptidoglikan menyebabkan antibiotik ini dapat berikatan dengan enzim transpeptidase dan menghambat kerja enzim tersebut pada proses pembentukan dinding sel bakteri (Katzung, 1998).
Gambar 1. Struktur penisilin G
Penisilin bersifat asam dengan pK a sekitar 2,65. Penisilin dalam sediaan farmasi umumnya berupa garam dengan natrium atau kalium yang larut dalam air karena penisilin bebas sukar larut dalam air. Adanya ikatan amida yang tegang pada inti β-laktam membuat penisilin sangat reaktif. Gugus ini mudah diserang oleh serangan nukleofilik. Penisilin mudah terhidrolisis oleh logam berat, asam, basa, enzim asilase, dan β-laktamase (Korolkovas & Burckhalter, 1976). Serangan nukleofilik oleh air atau ion OH- menghasilkan asam penisiloat yang tidak aktif. Pada kondisi asam (pH<3), penisilin terdegradasi menjadi asam penisilenat yang selanjutnya membentuk penisilamina, peniloaldehid dan asam peniloat. Larutan
8
penisilin dalam air dapat bertahan hingga beberapa minggu dengan mengontrol pH pada kisaran 6,0-6,8 dan dengan pendinginan (Beale & Block, 2011). Produksi penisilin G umumnya dilakukan dengan fermentasi jamur Penicillium chrysogenum. Cincin β-laktam dan tiazolidin pada struktur penisilin diturunkan dari asam amino L-sistein dan L-valin (Arnstein & Morris, 1960). Resistensi dan kebutuhan akan antibiotik dengan sifat-sifat yang lebih baik mendorong penemuan berbagai turunan penisilin, seperti amoksisilin, ampisilin, metisilin, dan sebagainya. Turunan tersebut didapatkan dari penggabungan 6-APA hasil hidrolisis penisilin dengan rantai samping yang dapat memberikan sifat-sifat yang diinginkan. Sejak tahun 1960, bioteknologi mulai diaplikasikan pada produksi antibiotik β-laktam melalui metode semisintesis. Inti 6-APA hasil hidrolisis penisilin G secara enzimatik digabungkan dengan rantai samping yang dibuat secara kimiawi. Penggabungan dapat dilakukan secara kimiawi maupun secara enzimatik. Penggabungan secara kimiawi dilakukan dengan aktivasi rantai samping dalam bentuk garam (dane salt) kemudian direaksikan dengan 6-APA pada suhu -30oC (Deaguero, 2011). Penggabungan secara enzimatik dapat dilakukan dengan katalis penisilin asilase pada suhu 35oC dan pH 6,3 (Alemzadeh dkk., 2010).
2.
Hidrolisis penisilin G Hidrolisis penisilin G untuk menghasilkan 6-APA dapat dilakukan secara
kimiawi maupun enzimatik. Hidrolisis kimiawi dilakukan dengan mereaksikan
9
penisilin G dengan klorotrimetilsilan (Me 3 SiCl), fosfor pentaklorida (PCl 5 ), nbutanol (n-BuOH), dan air secara bertahap dalam pelarut diklormetana. Reaksi ini dilakukan pada suhu -40oC (van Santen dkk., 2000). Hidrolisis kimiawi untuk mendapatkan 1 kg 6-APA membutuhkan 0,6 kg klorotrimetilsilan; 1,2 kg fosfor pentaklorida dan 8,4 L n-butanol. Proses ini melibatkan reagen yang berbahaya dan membutuhkan biaya yang cukup mahal. Hidrolisis enzimatik dilakukan dengan penisilin asilase pada suhu 30-50oC. Proses ini lebih efisien dan ramah lingkungan karena tidak membutuhkan reagen kimia berbahaya serta dapat dilakukan pada kondisi reaksi yang lunak.
Gambar 2. Hidrolisis penisilin G untuk menghasilkan 6-APA (van Santen dkk., 2000) Keterangan : a. Hidrolisis enzimatik b. Hidrolisis kimiawi
Beberapa jenis bakteri dan jamur diketahui dapat menghidrolisis penisilin menjadi 6-APA. Reaksi tersebut berlangsung dengan adanya biokatalisator berupa
10
penisilin asilase. Jamur yang dapat menghidrolisis penisilin antara lain genus Alternatia, Aspergillus, Cephalosporium, Cryptococcus, Epicoccum, Fusarium, Mucor, Penicillium, Trichoderma, Trichophyton, dan Trichosporon. Bakteri yang dapat menghidrolisis penisilin antara lain genus Aerobacter, Alcaligenes, Bacillus, Bordetella, Cellulomonas, Corynebacterium, Escherichia, Flavobacterium, Micrococcus, Nocardia, Proteus, Pseudomonas, Sarcina, dan Xanthomonas (Hamilton-Miller, 1966). Hidrolisis penisilin G secara enzimatik menghasilkan 6-APA dan asam fenil asetat (PAA). Reaksi enzimatik tersebut merupakan reaksi kesetimbangan yang dipengaruhi oleh pH media. Hidrolisis berlangsung dengan baik pada suasana basa, sedangkan pada pH asam reaksi cenderung bergeser ke arah sintesis penisilin (Hamilton-Miller, 1966). Bruggink dkk. (1998) menyatakan bahwa hidrolisis dengan penisilin asilase E. coli memberikan hasil terbaik pada rentang pH 7,5-8 dan suhu 30-50oC. Laju reaksi hidrolisis penisilin G secara enzimatik dapat dipengaruhi oleh konsentrasi substrat dan produk reaksinya. Konsentrasi substrat yang tinggi dapat menghambat laju reaksi hidrolisis penisilin G terkatalisis penisilin asilase E. coli ATCC 11105 secara non kompetitif. PAA bersifat inhibitor kompetitif dengan penisilin asilase sedangkan 6-APA bersifat inhibitor non kompetitif dengan penisilin asilase (Erarslan dkk., 1991).
11
3.
Asam 6-aminopenisilinat (6-APA) Senyawa 6-APA merupakan starting material yang penting dalam
pembuatan penisilin semisintetis. Reaksi kopling antara 6-APA dan rantai samping tertentu menghasilkan turunan penisilin dengan aktivitas dan stabilitas yang lebih baik. Salah satu contohnya adalah amoksisilin yang disintesis dari 6APA dan p-hidroksifenilglisin metil ester. Amoksisilin mempunyai aktivitas antibakteri dengan spektrum yang lebih luas daripada penisilin G dan tahan terhadap asam lambung sehingga bioavailabilitasnya lebih baik (Beale & Block, 2011).
Gambar 3. Sintesis amoksisilin (Alemzadeh dkk., 2010)
Senyawa 6-APA dapat dibuat melalui beberapa cara, yaitu fermentasi, hidrolisis penisilin G secara kimiawi dan hidrolisis penisilin G secara enzimatik. Senyawa 6-APA dihasilkan dari fermentasi oleh beberapa strain jamur Penicillium sp., Trichophyton mentagrophytes dan Aspergillus ochraceous yang dikultur pada media yang mengandung corn steep liquor dan laktosa (Cole, 1966). Mekanisme lain untuk memproduksi 6-APA adalah melalui deasilasi rantai samping onitrofenil penisilin dengan borohidrat sehingga menghasilkan anilin tersubstitusi yang tidak stabil. Gugus amido pada senyawa tersebut terhidrolisis secara spontan sehingga menghasilkan 6-APA dan benzoksazin (Johnson dkk., 1966). Produksi 6-APA dengan cara fermentasi dan hidrolisis kimiawi kurang efisien karena hanya menghasilkan sedikit 6-APA, memerlukan kondisi reaksi
12
yang ekstrim dan biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu, secara komersial 6APA banyak diproduksi melalui hidrolisis enzimatik. Hidrolisis penisilin G secara enzimatik dengan katalis penisilin asilase menghasilkan 6-APA dan PAA (Chandel dkk., 2008).
4.
Enzim Enzim merupakan suatu protein yang berperan sebagai katalisator pada
reaksi-reaksi biokimia spesifik. Enzim menurunkan energi aktivasi yang diperlukan untuk melangsungkan suatu reaksi sehingga produk lebih cepat terbentuk. Enzim tidak rusak selama reaksi dan dapat diperoleh kembali di akhir reaksi.
Gambar 4. Diagram tingkat energi aktivasi reaksi dengan enzim dan tanpa enzim (Poedjiadi, 1994)
Menurut International Union of Biochemistry (IUB), enzim digolongkan menjadi enam kelas berdasarkan reaksi-reaksi yang dikatalisis. Kelas-kelas enzim tersebut adalah :
13
a. Oksidoreduktase Enzim-enzim yang termasuk dalam kelas ini mengkatalisis reaksi pemindahan elektron seperti reaksi reduksi-oksidasi. Contoh enzim oksidoreduktase adalah alkohol dehidrogenase yang mengkatalisis oksidasi alkohol menjadi aldehid. b. Transferase Enzim-enzim yang termasuk dalam kelas ini mengkatalisis reaksi pemindahan suatu gugus dari senyawa satu ke senyawa yang lain. Contoh enzim transferase adalah fosfotransferase yang mengkatalisis pemindahan gugus forforil. c. Hidrolase Enzim-enzim yang termasuk dalam kelas ini bekerja mengkatalisis reaksi hidrolisis. Ada tiga jenis hidrolase, yaitu enzim yang memecah ikatan ester, memecah glikosida dan memecah peptida. Contoh enzim hidrolase adalah lipase yang mengkatalisis reaksi hidrolisis asam lemak dan trigliserida. d. Liase Enzim-enzim yang termasuk dalam kelas ini memisahkan suatu gugus dari senyawa melalui penyusunan kembali elektron (reaksi eliminasi) sehingga terbentuk ikatan ganda pada produknya. Contoh enzim liase adalah dekarboksilase dan deaminase. e. Isomerase Enzim-enzim yang termasuk dalam kelas ini mengkatalisis reaksi yang melibatkan penyusunan kembali suatu substrat menjadi bentuk isomernya (isomerisasi). Contoh enzim isomerase adalah rasemase yang mengubah senyawa L-alanin menjadi D-alanin.
14
f. Ligase Enzim-enzim yang termasuk dalam kelas ini mengkatalisis penggabungan dua molekul dengan energi yang diperoleh dari pemecahan ikatan pirofosfat pada ATP atau senyawa trifosfat lain yang sejenis. Contoh enzim ligase adalah piruvat karboksilase dan asetil-KoA sintetase (Armstrong, 1995). Struktur enzim tersusun dari banyak residu asam amino, tetapi hanya sebagian kecil yang berinteraksi dengan substrat. Bagian yang memiliki kontak langsung dengan substrat disebut sisi aktif. Sisi aktif mengandung gugus fungsional spesifik untuk mengikat molekul substrat tertentu. Beberapa teori yang menggambarkan interaksi enzim dan substrat dalam proses katalitik enzim adalah: a. Teori Kunci dan Anak Kunci (Lock and Key) Teori yang dikemukakan oleh E. Fischer pada tahun 1894 ini menyatakan bahwa terdapat kesesuaian bentuk antara enzim dan substrat sehingga memungkinkan untuk berikatan secara spesifik seperti kunci dan anak kunci. Teori ini menjelaskan spesifitas interaksi enzim-substrat, tetapi tidak menjelaskan perubahan dinamik yang mungkin berlangsung selama katalisis. b. Teori Ketepatan Induksi (Induced Fit) Teori yang dikemukakan oleh Daniel Koshland ini menyatakan bahwa enzim memiliki struktur yang fleksibel dan secara spesifik mampu menyesuaikan dengan struktur substrat untuk dapat menjalankan fungsi katalitiknya (Faber, 2000). Enzim memiliki struktur tiga dimensi yang dibentuk oleh berbagai jenis ikatan, terutama ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik, dan ikatan Van der Walls.
15
Konformasi tiga dimensi enzim sangat penting dalam fungsi katalitiknya. Konformasi enzim tersebut dipengaruhi oleh suhu dan pH. Perubahan suhu dan pH dapat mempengaruhi ikatan-ikatan intramolekul enzim sehingga mengubah konformasinya. Perubahan tersebut dapat mempengaruhi fungsi katalitik enzim. Kecepatan reaksi enzimatik juga dipengaruhi oleh konsentrasi substrat dan enzim. Semakin tinggi konsentrasi enzim, kecepatan reaksi semakin tinggi karena semakin banyak enzim yang terikat dengan substrat. Peningkatan konsentrasi substrat akan meningkatkan kecepatan reaksi hingga batas tertentu. Penambahan substrat yang melebihi batas tersebut tidak akan meningkatkan kecepatan reaksi karena enzim telah jenuh (Whitaker, 1994). Masalah yang sering dihadapi dalam penggunaan enzim terutama adalah masalah stabilitas enzim dan pengambilan kembali setelah reaksi. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah amobilisasi enzim. Amobilisasi enzim membuat enzim secara fisik terlokalisasi oleh suatu bahan pendukung yang memungkinkan substrat dapat berinteraksi dan dikonversi menjadi produk (Shanmugam & Sathishkumar, 2009). Efisiensi penggunaan enzim dapat ditingkatkan karena enzim tersebut dapat digunakan berulang-ulang. Proses amobilisasi dapat mengubah sifat-sifat enzim sehingga berbeda dengan enzim bebas yang tidak mengalami amobilisasi. Perubahan sifat-sifat tersebut terutama yang berhubungan dengan faktor afinitas terhadap substrat, suhu dan pH optimal untuk aktivitas enzim, serta kecepatan reaksi yang dikatalisis.
16
5.
Penisilin asilase dari Bacillus megaterium Penisilin asilase (EC 3.5.1.11) ditemukan secara luas pada berbagai
mikroorganisme seperti bakteri, aktinomisetes dan jamur (McLanahan, 2003). Beberapa jenis penisilin asilase yang telah diketahui antara lain penisilin V asilase (tipe 1) yang menghidrolisis penisilin V lebih cepat daripada penisilin G, penisilin G asilase (tipe 2) yang menghidrolisis penisilin G lebih cepat daripada penisilin V dan ampisilin asilase (tipe 3) yang secara spesifik menghidrolisis ampisilin (McVey dkk., 2001). Penisilin V asilase umumnya diproduksi oleh jamur dan Streptomyces sp., sedangkan penisilin G asilase diproduksi oleh bakteri (Chiang & Bennett, 1967). Mikroorganisme yang menghasilkan ampisilin asilase antara lain Pseudomonas melanogenum dan Achromobacter sp. (Kim & Byun, 1990; Sio & Quax, 2004). Penisilin asilase yang dihasilkan oleh B. megaterium merupakan enzim ekstraseluler (Chiang & Bennett, 1967). Hal ini memberikan kemudahan dalam proses pemisahan dan purifikasi enzim. Enzim ini dapat menghidrolisis penisilin G dengan cepat tetapi kecepatan menghidrolisis substrat lain seperti penisilin V dan fenilasetamid jauh lebih lambat. Penisilin asilase mempunyai sifat reversibel, yaitu dapat mengkatalisis reaksi sintesis maupun hidrolisis penisilin tergantung pada pH media. Pada kondisi asam (pH 4-6), penisilin asilase dapat mengkatalisis sintesis penisilin G dari 6-APA dan PAA, sedangkan pada kondisi basa enzim ini mengkatalisis hidrolisis penisilin (Hamilton-Miller, 1966). Hidrolisis penisilin G secara enzimatik terjadi melalui hidrolisis ikatan amida pada rantai samping penisilin G. Mekanisme ini melibatkan serangan
17
nukleofilik dari sisi aktif serin terhadap atom C karbonil ikatan amida atau ester pada substrat. Hidrolisis berlangsung melalui dua tahap, yaitu asilasi sisi aktif serin oleh substrat dan hidrolisis kompleks asil-enzim (Alkema dkk., 2003). Berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas produksi 6APA. Beberapa jenis mikroorganisme seperti B. megaterium, K. citrophila, A. faecalis, dan P. rettgeri telah direkayasa secara genetik sehingga dapat menghasilkan penisilin asilase dalam jumlah yang lebih besar. Teknologi amobilisasi juga dapat diaplikasikan pada enzim maupun mikroorganisme penghasilnya untuk meningkatkan stabilitas enzim dan usia penggunaan enzim.
6.
High Performance Liquid Chromatography High Performance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan salah satu
teknik pemisahan yang banyak digunakan dalam analisis senyawa obat. Pemisahan senyawa-senyawa dilakukan berdasarkan distribusi analit dalam fase diam dan fase gerak. HPLC sering digunakan untuk memisahkan senyawasenyawa non volatil, senyawa-senyawa yang strukturnya hampir sama, senyawasenyawa dalam jumlah sekelumit (trace elements), menetapkan kadar senyawa aktif dalam obat, dan kontrol kualitas dalam proses industri. HPLC mempunyai sensitifitas yang tinggi dan dapat memisahkan senyawa dengan berbagai tingkat keloparan. Senyawa-senyawa yang dianalisis dibawa oleh fase gerak atau eluen yang terdiri atas campuran pelarut melewati kolom berisi fase diam. Daya elusi dan resolusi HPLC dipengaruhi oleh polaritas eluen, polaritas fase diam, dan sifat
18
senyawa-senyawa yang dianalisis. Pada sistem kromatografi ini dikenal fase normal dan fase terbalik. Fase normal merupakan sistem HPLC dimana fase diam lebih polar daripada fase gerak. Fase terbalik merupakan sistem HPLC dimana fase diam kurang polar daripada fase gerak. Fase terbalik lebih sering digunakan dalam pemisahan daripada fase normal. Fase gerak yang paling sering digunakan dalam pemisahan dengan fase terbalik adalah campuran dapar dengan metanol atau campuran air dengan asetonitril. Fase diam untuk HPLC antara lain silika, alumina dan karbon. Silika dapat dimodifikasi secara kimiawi menghasilkan silika fase terikat yang stabil terhadap hidrolisis dan mampu memisahkan berbagai senyawa. Oktadesil silika (ODS atau C 18 ) merupakan fase terikat yang paling banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa dengan tingkat kepolaran rendah hingga tinggi (Gandjar & Rohman, 2007).
F. Landasan Teori Kebutuhan antibiotik turunan penisilin di Indonesia sangat tinggi, tetapi ketersediaan bahan bakunya masih sangat tergantung pada impor dari negara lain. Pembuatan bahan baku antibiotik secara mandiri perlu dikembangkan untuk mengatasi masalah tersebut. Senyawa 6-APA merupakan starting material yang penting dalam produksi turunan penisilin secara semisintesis. Senyawa 6-APA dapat diproduksi melalui proses fermentasi, hidrolisis penisilin secara kimiawi dan hidrolisis penisilin secara enzimatik. Hidrolisis kimiawi cukup sulit
19
diaplikasikan karena mahal dan membutuhkan proses yang rumit. Senyawa 6APA banyak diproduksi secara komersial melalui proses hidrolisis enzimatik. Hidrolisis enzimatik penisilin G menjadi 6-APA dilakukan dengan katalisator penisilin asilase. Enzim ini bekerja dengan memutus ikatan amida yang menghubungkan inti β-laktam dengan rantai samping penisilin G sehingga menghasilkan 6-APA dan PAA. Penisilin asilase dapat bekerja secara reversibel untuk mengkatalisis hidrolisis maupun sintesis penisilin. Hidrolisis penisilin menjadi 6-APA berlangsung dengan baik pada suasana basa, sedangkan pada pH asam sintesis penisilin berlangsung lebih cepat (Hamilton-Miller, 1966). Aktivitas enzim berlangsung dengan baik pada pH optimal. Hasil optimasi yang dilaporkan oleh Bruggink dkk. (1998) menyatakan bahwa hidrolisis dengan penisilin asilase E. coli memberikan hasil terbaik pada rentang pH 7,5-8 dan suhu 30-50oC. Laju reaksi enzimatik dipengaruhi oleh konsentrasi substrat dan produk reaksinya. Peningkatan konsentrasi substrat akan meningkatkan kecepatan reaksi hingga batas tertentu. Penambahan substrat yang melebihi batas tersebut dapat menyebabkan penjenuhan enzim sehingga selanjutnya laju reaksi berjalan konstan. Konsentrasi substrat yang tinggi dapat menghambat laju reaksi hidrolisis penisilin G terkatalisis penisilin asilase E. coli ATCC 11105 secara non kompetitif. PAA bersifat inhibitor kompetitif dengan penisilin asilase sedangkan 6-APA bersifat inhibitor non kompetitif dengan penisilin asilase (Erarslan dkk., 1991). Selain faktor pH, konsentrasi substrat dan produk reaksi, dapar sebagai media reaksi juga dapat mempengaruhi reaksi enzimatik. Komponen-komponen
20
dalam dapar dapat mempengaruhi aktivitas enzim. Dapar fosfat menghambat aktivitas enzim urease dan aldolase (Benini dkk., 2001; Jimenez dkk., 1964). Muatan pada substrat dan gugus-gugus fungsi enzim dapat berubah oleh adanya ion-ion dalam media sehingga mempengaruhi aktivitas enzim. Salah satu pengaruh ini dijumpai pada enzim α-amilase yang mengalami peningkatan aktivitas dengan adanya penambahan ion klorida dan bromida (Dixon & Webb, 1958).
G. Hipotesis 1.
Penisilin asilase dari Bacillus megaterium memiliki aktivitas optimal untuk menghidrolisis penisilin G pada rentang pH 7,0-10,0.
2.
Semakin tinggi konsentrasi substrat penisilin G, kecepatan hidrolisis penisilin G terkatalisis penisilin asilase dari Bacillus megaterium semakin meningkat hingga dicapai konsentrasi optimal dimana kecepatan hidrolisis maksimal.
3.
Jenis dapar yang berbeda berpengaruh terhadap kecepatan hidrolisis penisilin G terkatalisis penisilin asilase dari Bacillus megaterium.