TESIS
KADAR INTERLEUKIN 17 SERUM BERKORELASI POSITIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PSORIASIS VULGARIS
SAYU WIDIAWATI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
KADAR INTERLEUKIN 17 SERUM BERKORELASI POSITIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PSORIASIS VULGARIS
SAYU WIDIAWATI NIM 1014088204
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
KADAR INTERLEUKIN 17 SERUM BERKORELASI POSITIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PSORIASIS VULGARIS
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
SAYU WIDIAWATI NIM 1014088204
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 11 Maret 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK (K), FINSDV, FAADV Dr.dr. L.M. Rusyati, SpKK
NIP. 19520101 198003 1 003
NIP 19590330 198511 2 001
Mengetahui,
Ketua Program Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr.dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS NIP. 19461213 197107 1 001
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 19590215 198510 2 001
Tesis Ini Telah Diuji Tanggal 11 Maret 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana No. 797/UN.14.4/HK/2015 Tanggal 12 Maret 2015
Ketua
: Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK (K), FINSDV,FAADV
Sekretaris
: Dr. dr. L.M. Rusyati, SpKK
Anggota
:
1.
Dr. dr. Made Wardhana, SpKK (K), FINDV
2.
Dr.dr. A.A.G.P. Wiraguna, SpKK (K), FINSDV, FAADV
3.
Dr. dr. IG.A.A. Praharsini, SpKK
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Nama
:
dr. Sayu Widiawati
NIM
:
1014088204
Program Studi
:
Magister Ilmu Biomedik
Judul
:
Kadar IL-17 Serum Berkorelasi Positif dengan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris.
Dengan ini menyatakan bahwa karya Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No.17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 11 Maret 2015 Yang membuat pernyataan,
(dr.Sayu Widiawati)
UCAPAN TERIMA KASIH Om Swastyastu, Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas karunia-Nya, maka tesis ini dapat diselesaikan, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pada kesempatan ini perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK (K), FINSDV, FAADV selaku pembimbing I dan Dr. dr. L.M. Rusyati, SpKK sebagai pembimbing II yang dengan penuh perhatian serta kesabaran telah membimbing, memberikan dorongan, semangat dan saran-saran selama saya menyelesaikan tesis ini sehingga bisa rampung tepat pada waktunya. Kepada dr Wayan Artawan, terima kasih atas bimbingan statistik yang telah diberikan, dan kepada laboratorium Prodia terimakasih atas kerjasamanya dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof.Dr.dr. I Ketut Suastika, SpPD-KEMD, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr.dr. Putu Astawa, SpOT(K), M.Kes, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof.Dr.dr. Raka Sudewi, SpS(K), Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree, Prof.Dr.dr. Wimpie Pamgkahila, Sp.And., FAACS, Direktur Rumah Sakit Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Saraswati, M.Kes, Kepala Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof.dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV, Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Dr.dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV, Seluruh staf dan pegawai Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi peserta PPDS I dan tersedianya fasilitas pendidikan, sehingga saya dapat mengikuti dan menyelesaikan pendidikan. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada pembimbing akademis, Dr.dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV, kepada semua guru/konsulen di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana: Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK (K), FINSDV, FAADV, dr. IGAA Sumedha Pindha, SpKK (K), dr. Made Bratiartha, SpKK (K), dr. IGK. Darmada, SpKK (K), Dr. dr. Made Wardhana, SpKK (K), FINSDV, Dr. dr. AAGP. Wiraguna, SpKK (K), FINSDV, FAADV, Dr. dr. L.M. Rusyati, SpKK, Dr. dr. IGAA. Praharsini, SpKK, dr. IGAA. Dwi Karmila, SpKK, dr. IGAA. Elis Indira, SpKK, dr. Nyoman Suryawati, M.kes, SpKK, dr. IGN. Darmaputra, SpKK, dr. Made Dwi Puspawati, SpKK, dr. NLP. Ratih Vibriyanti Karna, SpKK,
dr. Ketut Kwartantaya, SpKK, dr. Made
Sudarjana, SpKK, dr Ariana, SpKK, yang dengan sabar telah memberikan ilmunya, membekali keterampilan serta memberikan tuntunan. Kepada senior dan semua teman-teman residen terima kasih atas kerjasamanya dalam suka dan duka selama mengikuti pendidikan.
Rasa hormat dan sembah bakti kepada I Gusti Made Arya (alm.) dan I Gusti Nyoman Sutari (Alm.), kedua orang tua yang telah mengasuh, membesarkan, memberikan dukungan moril dan materiil yang tiada henti serta tanpa pamrih. Rasa hormat dan sembah bakti juga saya sampaikan kepada kedua mertua saya Ketut Sedanartha dan Nyoman T. Semadi yang telah memberikan dukungan kepada saya selama mengikuti pendidikan. Kepada dr. Apang Nrartha, SpAn suami tercinta serta Putu Kresna Mahanaya & Made Vania Devyani anakanak tersayang, tanpa dukungan, pengorbanan dan motivasi kalian, akan sulit bagi saya untuk dapat menyelesaikan tesis dan pendidikan ini. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat, dan diharapkan adanya saran dan kritik untuk perbaikannya. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.
Om shanti, shanti, shanti.
ABSTRAK KADAR INTERLEUKIN 17 SERUM BERKORELASI POSITIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PSORIASIS VULGARIS
Interleukin 17 merupakan sitokin proinflamasi yang diekskresikan terutama oleh sel Th 17. Penelitian preklinik menunjukkan IL-17 berperan dalam stimulasi gangguan proliferasi dan diferensiasi keratinosit, meningkatkan produksi faktor proinflamasi seperti antimicrobial peptides (AMPs), dan faktor angiogenik. Penelitian mengenai korelasi kadar IL-17 dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris menunjukkan hasil yang bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi kadar IL-17 dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional analitik observasional. Pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling melibatkan 30 penderita psoriasis vulgaris yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kadar IL-17 diambil dari serum darah vena penderita, kemudian diperiksa dengan enzymelinked immunosorbent assay (ELISA). Pada saat itu juga dilakukan penilaian derajat keparahan psoriasis berdasarkan PASI score. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris, dengan nilai koefisien korelasi (r) = 0,981 dan p < 0,001. Pada penelitian ini juga menunjukkan nilai median kadar IL-17 serum pada kelompok psoriasis vulgaris lebih tinggi dibandingkan bukan psoriasis sebesar 1,2 pg/ml dengan nilai p <0,001. Simpulan pada penelitian ini adalah terdapat korelasi positif yang sangat kuat dan bermakna antara kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris. Penelitian ini juga menyimpulkan kadar IL-17 serum penderita psoriasis vulgaris lebih tinggi secara bermakna dibandingkan bukan psoriasis. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai IL-17 sebagai kandidat biomarker perkembangan derajat keparahan psoriasis vulgaris dan penelitian mengenai pemberian terapi antibodi monoklonal anti IL-17. Kata kunci: serum IL-17, PASI score, psoriasis vulgaris.
ABSTRACT POSITIVE CORRELATION SERUM LEVEL OF INTERLEUKIN 17 WITH PSORIASIS VULGARIS SEVERITY
Interleukin 17 is proinlfamatory cytokine excreted by Th 17 cells. Preclinical study show central role of IL-17 in proliferation and differentiation alteration, increase production of proinflamatory and angiogenic factor. Result of studies about correlation IL-17 serum level and psoriasis vulgaris is vary. In this study we measured IL-17 serum level in correlation with psoriasis vulgaris severity. This is an observational analytical cross sectional study. There is 30 psoriasis vulgaris sample was took by consecutive sampling method and had fulfill inclusion and exclusion criteria. Interleukin 17 was took from vein serum then measured by enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), and we also determine the psoriasis severity based of PASI score. The result of this study are positive correlation between IL-17 serum level and psoriasis severity with correlation coefficient (r) = 0,981 and p <0,001. At this also find median of IL-17 serum level in psoriasis vulgaris 1,2 pg/ml was higher than in not with psoriasis, p <0,001. This study suggest strong positive correlation between IL-17 serum level and psoriasis vulgaris severity and higher IL-17 serum level found psoriasis vulgaris patience compare to not with psoriasis. Need further investigation regarding IL-17 serum level as candidate of biomarker psoriasis vulgaris severity and further investigation about effectiveness of anti IL-17 monoclonal antibody as the therapy of psoriasis vulgaris patient.
Key words: IL-17 serum level, PASI score, psoriasis vulgaris severity.
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM ....................................................................................
i
PRASYARAT GELAR .............................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI .........................................................
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ..........................................
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
....................................................................
vii
ABSTRAK ................................................................................................. .
x
DAFTAR ISI ..............................................................................................
xii
DAFTAR TABEL .....................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xviii
DAFTAR SINGKATAN ...........................................................................
xx
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xxii
BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................
1
1.1 Latar Belakang
...................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................
7
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................
7
1.3.1 Tujuan umum ............................................................
7
1.3.2 Tujuan khusus ..........................................................
7
1.4 Manfaat Penelitian ..............................................................
8
1.4.1 Manfaat teoritis .........................................................
8
1.4.2 Manfaat praktis .........................................................
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ..................................................................
9
2.1 Psoriasis ...............................................................................
9
2.1.1 Definisi .......................................................................
9
2.1.2 Epidemiologi .............................................................
9
.
2.1.3 Faktor predisposisi
...................................................
2.1.3.1 Faktor genetik
.............................................
10 11
2.1.3.2 Faktor lingkungan
.......................................
2.1.4 Mekanisme aktivasi dan diferensiasi sel T
11
...............
13
..........................................
15
....................................................
16
2.1.7 Psoriasis Area and Severity Index (PASI) Score .....
25
2.1.8 Pemeriksaan penunjang
............................................
27
.................................................................
27
2.1.5 Etiologi dan patogenesis 2.1.6 Manifestasi Klinis
2.1.8 Diagnosis
2.1.9 Penyakit penyerta pada psoriasis 2.1.10 Penatalaksanaan
.............................
28
.....................................................
29
2.1.10.1 Pengobatan topikal
...................................
30
2.1.10.2 Sinar ultraviolet B
....................................
34
2.1.10.3 Agen oral sistemik
....................................
34
2.1.10.4 Terapi kombinasi
......................................
37
........................................
37
.............................................................................
41
2.1.10.5 Terapi biologi 2.2 Interleukin 17
2.2.1 Definisi interleukin 17
....................................................
41
2.2.2 Peranan interleukin 17 dalam berbagai penyakit autoimun
42
2.2.3 Peranan interleukin17 dalam patogenesis psoriasis
.......
43
............................
47
.............................................................
47
3.2 Bagan Kerangka Konsep ....................................................
47
3.3 Hipotesis Penelitian
...........................................................
49
.........................................................
50
........................................................
50
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian
4.2 Lokasi dan waktu penelitian 4.3 Penentuan sumber data 4.3.1 Populasi target
.............................................
50
......................................................
51
........................................................
51
4.3.2 Populasi terjangkau
.................................................
51
4.3.3 Sampel penelitian ...................................................
51
4.3.4 Teknik pengambilan sampel
...................................
51
4.3.5 Besar sampel ............................................................
52
4.4 Variabel Penelitian
............................................................
52
4.4.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel .........................
52
4.4.2 Definisi operasional variabel ...................................
53
4.5 Bahan Penelitian
................................................................
4.6 Instrumen Penelitian
56
........................................................
56
4.7 Prosedur Penelitian ..............................................................
57
4.7.1 Protokol penelitian
....................................................
59
4.7.1 Pengambilan data
....................................................
60
4.8 Analisis Data ......................................................................
60
BAB V HASIL PENELITIAN ..................................................................
64
5.1 Karakteristik Sampel ..........................................................
64
5.1.1 Karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin .........
64
5.1.2 Karakteristik sampel berdasarkan kelompok usia
....
66
.........................
67
5.1.3 Karakteristik sampel psoriasis vulgaris berdasarkan derajat keparahan psoriasis vulgaris
5.2 Kadar IL-17 Serum Penderita Psoriasis Vulgaris Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia
.......................................................
68
5.3 Perbedaan Kadar Il-17 Serum Penderita Psoriasis Vulgaris Berdasarkan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris
............
70
5.4 Hubungan Kadar IL-17 Serum Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris ..................
72
5.5 Perbedaan Kadar IL-17 Serum Antara Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Bukan Psoriasis Vulgaris ........................ BAB VI PEMBAHASAN
73
.......................................................................
76
6.1 Karakteristik Penderita Psoriasis Vulgaris ...........................
76
6.2 Kadar IL-17 Serum Penderita Psoriasis Vulgaris Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia
................................
79
6.3 Kadar IL-17 Serum pada Penderita Psoriasis Vulgaris Berdasarkan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris ............
80
6.4 Korelasi Kadar Il-17 Serum dengan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris ...............................................................
82
6.5 Perbedaan Kadar IL-17 serum Antara Penderita Psoriasis Vulgaris dengan bukan Psoriasis
.......................................
85
.....................................................
87
7.1 Simpulan ..............................................................................
87
7.2 Saran
87
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
..............................................................................
89
...........................................................................................
96
DAFTAR TABEL
Halaman
TABEL 5.1 Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis kelamin ..............
65
TABEL 5.2 Karakteristik Penderita Psoriasis Vulgaris dan Bukan Psoriasis Berdasarkan Kelompok Usia ...........
66
TABEL 5.3 Karakteristik Sampel Psoriasis Vulgaris Berdasarkan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris ................................ TABEL 5.4
67
Kadar IL-17 Serum Penderita Psoriasis Vulgaris Berdasarkan Jenis Kelamin dan usia
......................................................
69
TABEL 5.5 Kadar IL-17 Serum Penderita Psoriasis Vulgaris Berdasarkan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris ................................
70
TABEL 5.6 Hubungan Kadar IL-17 Serum Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris
..................
72
TABEL 5.7 Perbedaan Kadar IL-17 Serum Antara Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Bukan Penderita Psoriasis Vulgaris ........
74
DAFTAR GAMBAR
Halaman
GAMBAR 2.1
Peran faktor genetik, lingkungan dan imunologi dalam patogenesis psoriasis .................................................
9
GAMBAR 2.2
Patogenesis psoriasis ................................................
16
GAMBAR 2.3
Lesi klasik psoriasis ..................................................
18
GAMBAR 2.4
Tanda Auspitz ..........................................................
18
GAMBAR 2.5
Fenomena Koebner ...................................................
19
GAMBAR 2.6
Diagnosis dan penatalaksanaan psoriasis .................
29
GAMBAR 2.7
Peran sentral IL-17 dalam patogenesis psoriasis ......
45
GAMBAR 3.1
Bagan kerangka konsep ...........................................
47
GAMBAR 4.1
Bagan rancangan penelitian .....................................
49
GAMBAR 4.2
Bagan protokol penelitian ........................................
58
GAMBAR 4.3
Penilaian intensitas lesi psoriasis
76
GAMBAR 5.1
Diagram Karakteristik Sampel Berdasarkan
............................
Jenis Kelamin ............................................................ GAMBAR 5.2
64
Grafik perubahan kadar IL-17 serum penderita psoriasis vulgaris berdasarkan derajat keparahan psoriasis vulgaris ......................................................
GAMBAR 5.3
Scatter plot hubungan antara kadar IL-17 serum dengan PASI Score ...................................................
GAMBAR 5.4
71
73
Box plot kadar IL-17 serum pada penderita psoriasis vulgaris dan bukan penderita psoriasis .....................
75
DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA
AMPs
:
Antimicrobial peptides
APC
:
Antigen precenting cells
CCL20
:
Chemockine (C-C motif) ligand 20
CICKS
:
Stress-activated protein kinases
CLA
:
Cutaneous lymphocyte antigen
CsA
:
Cyclosporine A
ELISA
:
Enzyme-linked immunosorbent assay
GM-CSF
:
Granluocyte macrophage colony-stimulating factor
GROα
:
Growth-regulated oncogene-alpha
GWAS
:
Genome-Wide Association Scans
HLA
:
Human leucocyte antigen
HLA-C
:
Human Leucocyte Antigen-C
IFN-λ
:
Gamma interferon
IL
:
Interleukin
ILVEN
:
Inflamatory Linear Verrucous Epidermal Nevus
MTX
:
Metotreksat
NB-UV B
:
Narrowband- ultraviolet B
NF-kß
:
Nuclear factor (NF)-kß
NKT
:
Natural killer T
PASI
:
Psoriasis Area and Severity Index
PI3K
:
Phosphatidylinositol 3 kinase
PSORS
:
Psoriasis susceptibility gene
PUVA
:
Psoralen ultraviolet A
REG3A
:
Regenerating islet-derived protein 3-alpha
+
:
T cluster of differentiation 8
:
Tumor growth factor
TCD8 TGF
TGF
:
Tumor growth factor
Th
:
T helper
TNF-α
:
Alpha tumor necrosis factor (TNF-α)
VEGF
:
Vascular endothelial growth factor
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
LAMPIRAN 1
......................................................................................
96
LAMPIRAN 2
......................................................................................
97
LAMPIRAN 3
......................................................................................
98
LAMPIRAN 4
......................................................................................
101
LAMPIRAN 5
......................................................................................
102
LAMPIRAN 6
......................................................................................
110
LAMPIRAN 7
......................................................................................
112
LAMPIRAN 8
......................................................................................
176
LAMPIRAN 9
......................................................................................
177
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan patogenesis yang masih belum dapat dijelaskan secara pasti hingga kini. Psoriasis merupakan penyakit universal yang dapat terjadi di seluruh belahan dunia, dan dapat mengenaisemua kelompok usia.Pada psoriasis terjadi perubahan yang kompleks dalam diferensiasi epidermis, berbagai abnormalitas biokimia, imunologi dan vaskuler, sehingga dapat menimbulkan kelainan pada kulit. Angka prevalensi psoriasis bervariasi pada setiap populasi (Gudjonsson dkk., 2012). Data dari beberapa
rumah sakit di Indonesia tahun 2003-2006
menunjukkan insiden psoriasis rata-rata mencapai 96 kasus atau 0,4% dari 22.070 kunjungan kasus baru (Sugito dkk., 2008).Psoriasis merupakan penyakit kulit papuloskuamosa dengan gambaran morfologi, distribusi, derajat keparahan dan durasi penyakit yang bervariasi(Langley dkk., 2005; Gudjonsson dkk., 2012). Lesi psoriasis lebih terdistribusi secara simetris pada area kulit kepala, siku, lutut, dan area lumbosakral. Psoriasis vulgaris merupakan tipe psoriasis yang klasikdengan lesi berupa plak eritema berbatas tegasdan ditutupi oleh skuama berwarna putih tebal.Di bawah skuama, tampak kulit eritema yang homogen, mengkilap dan tampak bintik-bintik perdarahan akibat pelebaran kapiler (tanda Auspitz). Fenomena Koebner ataurespon isomorfik lebih sering terjadi selama masa perkembangan penyakit(Langley dkk., 2005; Gudjonsson dkk., 2012). 1
Saat ini psoriasis mulai dipertimbangkan bukan hanya penyakit inflamasi pada kulit namun lebih sebagai penyakit sistemik dengan kemungkinan timbulnya penyakit-penyakit penyerta. Psoriasis sering dihubungkan dengan beberapa penyakit sistemik seperti diabetes melitus, obesitas, hipertensi, sindrom metabolik, penyakit kardiovaskuler, Chron’s disease, kolitis ulseratif, penyakit paru, gangguan psikiatri, dan keganasan. Belum diketahui dengan pasti apakah penyakit sistemik tersebut mendahului atau mengikuti psoriasis. Namun akibat penyakit sistemik penyerta tersebut dapat meningkatkan morbiditas bahkan mortalitas pada penderita (Kilic dkk., 2013; Reich dkk., 2012). Psoriasis secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup penderita dan hal ini memberikan konsekuensi baik secara psikologis maupun sosial (Jobling dkk., 2006). Akibat penyakit psoriasis yang diderita, sekitar 35% penderita psoriasis mengalami depresi dan 80% mengalami efek negatif lainnya seperti akibat gejala klinis yang dialaminya, berusaha keras untuk memperbaiki penampilannya (terutama pada onset penyakit kurang dari 30 tahun), adanya rasa marah, cemas, depresi, dan peningkatan penggunaan alkohol (Mease dkk., 2006; Friedewald dkk., 2008).Penelitian terkini menemukan 40% pasien merasakan frustasi dengan terapi psoriasis mereka terdahulu yang tidak efektif, dan 32 % dilaporkan bahwa terapi tersebut tidak cukup agresif(Gudjonsson dkk., 2012). Psoriasis dengan segala konsekuensinya dan terapi yang belum memuaskan mendorong banyak penelitian tentang faktor-faktor yang berperan sentral dalam patogenesis psoriasis. Penelitian dan pengetahuan mengenai patogenesis psoriasis berkembang hingga saat ini (Mitradkk., 2012).
Seperti diketahui sebelumnya, faktor genetik dan lingkungan memegang peranan penting dalam patogenesis psoriasis. Selanjutnya peneliti dari GenomeWide Association Scans (GWAS) mengkonfirmasi penemuan sebelumnya bahwa hubungan genetik yang paling kuat dengan psoriasis berada pada Human Leucocyte Antigen-C (HLA-C). Menariknya ditemukan hubungan yang signifikan pada wilayah gen yang melibatkan jalur inflamasi spesifik yaitu sinyal untuk produksi IL-23, dan sinyal untuk produksi nuclear factor (NF)-kß (Nair dkk., 2009).Dengan adanya penemuan bahwa cyclosporineA (CsA), yaitu suatu obat bersifat imunosupresif spesifik terhadap sel T, yang sangat aktif menekan penyakit, penelitian pada dewasa ini semakin difokuskan pada sistem imun dan sel T (Mitra dkk., 2012; Gudjonsson dkk., 2012). Penelitian mengenai peranan sitokin dalam patogenesis psoriasis sudah mulai berkembang dari tahun 1980, hingga pada tahun 2009 penelitian lebih difokuskan pada peranan sitokin dalam patogenesis psoriasis, seperti IL-12, gamma interferon, alpha tumor necrosis factor (TNF-α), IL-23 dan IL-17. Saat ini mulai dipertimbangkan bahwa dari sitokin-sitokin tersebut, IL-17 memegang peran sentral dalam patogenesis psoriasis
(Mahajan dkk., 2013; Mitra dkk.,
2012). Interleukin 17 merupakan sitokin proinflamasi yang diekskresikan terutama oleh sel Th 17,
dan dapat juga diekresikan oleh sel T cluster of
differentiation 8(T CD8+), sel mast, netrofil dan natural cell killer (Lin dkk., 2009). Hingga saat ini belum ada ketetapan mengenai kadar normal IL-17 dalam darah. Dalam kepustakaan dinyatakan bahwa kadar IL-17 serum pada orang
normal sangat rendah, bahkan dapat tidak terdeteksi (Moseley dkk., 2003, Gaffen dkk., 2011). Peran IL-17 pada patogenesis psoriasis diawali dengan presentasi peptida antigen atau autoantigen oleh APC pada sel T, maka sel T akan teraktivasi dan berdiferensiasi menjadi sel Th1, Th2, Th17, Treg, dan Tfh cells.Dengan adanya aktivasi dari TGF-ß dan IL-6 maka sel T akan berdiferensiasi menjadi sel Th 17. Selanjutnya Th 17 menghasilkan IL-17 atas sensitasi IL-23(Yamada dkk., 2010, Gudjhonsson dkk., 2012). Peran sentral IL-17 dalam patogenesis psoriasis belum diketahui secara pasti, namun Martin dalam penelitiannya menunjukkan peran sentral IL-17 yang menstimulasi gangguanproliferasi dan diferensiasikeratinosit yang berawal dari sel basal epidermis, meningkatkan produksi faktor proinflamasi seperti antimicrobial peptides(AMPs), dan faktor angiogenik (Martin dkk., 2013). Mekanisme stimulasi proliferasi dan diferensiasi keratinosit ini belum diketahui secara pasti, namun pada beberapa penelitian pada binatang menunjukkanbahwa interleukin 17 akan berikatan dengan reseptor IL-17RA yang ada
di
keratinosit.
Selanjutnya
keratinosit
akan
tersensitasi
untuk
mengekspresikan regenerating islet-derived protein 3-alpha (REG3A). Protein REG3A ini memberikan feed back pada keratinosit untuk menghambat terminasi diferensiasi, dan meningkatkan proliferasi sel melalui ikatan dengan exostosin-like 3 (EXTL 3), diikuti aktivasi phosphatidylinositol 3 kinase (PI3K) (Lai dkk., 2013). Peran sentral IL-17 ini menimbulkan kelainan dasar psoriasis yang secara histologis dapat diamati sebagai akantosis, perubahan endotel kapiler dermis, dan
infiltrasi sel radang terutama oleh sel T. Selanjutnya kemokin CCL20 yang dihasilkan keratinosit atas stimulasi IL-17 mampu menarik baik sel Th 17 dan sel dendritik (DCs), sehingga menimbulkan lesi psoriasis yang dapat berlangsung kronis (Martin dkk., 2013).Penelitian secara molekuler pada marmut yang dilakukan oleh Cai dkk., menunjukkan bahwa IL-23 tidak mampu mensensitasi IL-17 secara mandiri dibutuhkan kerjasama yang sinergis dengan IL-1ß. Pada penelitian tersebut juga diketahui reseptor IL-17 memegang peranan yang sangat penting dalam proses inflamasi kulit psoriasis (Cai dkk., 2011). Pemberian terapi biologi pada penyakit-penyakit autoimun secara dramatis telah memperbaiki prognosis penyakit tersebut, namun masih ada penderita yang tidak berespon terhadap terapi ini dan frekuensi penderita yang mengalami drugfree remission masih rendah. Dengan demikian dibutuhkan ditemukannya strategi pengobatan yang bertarget pada molekul atau sel yang berperan sentral pada patogenesis psoriasis (Yamada dkk., 2010). Dengan
semakin
berkembangnya
bukti bahwa IL-17 memegang peranan yang sangat penting dalam patogenesis psoriasis, sehingga saat ini dikembangkan pengobatan psoriasis dengan menggunakan agen biologi bertarget pada IL-17. Agen biologi ini telah berhasil melewati uji klinis fase II (Chiricozzi dkk., 2013; Declerq dkk., 2013). Psoriasis Area and Severity Index (PASI) Score merupakan gold standar pengukuran yang digunakan untuk mengetahui derajat keparahan dan luas lesi psoriasis. Nilai PASI score berkisar 0-72, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan penyakit yang lebih parah (Feldman dkk., 2005). Psoriasis vulgaris
derajat ringan berada pada PASI score< 7, derajat sedang pada PASI score 7-12 dan derajat berat pada PASI score>12 (Schmitt dkk., 2005). Kelemahan penggunaan PASI score dalam uji klinis maupun praktek sehari-hari adalah lemahnya reproduksibilitas dan variabilitas yang masih tinggi antara klinisi. Selanjutnya terdapat penelitian-penelitian untuk menentukan pengukuran derajat keparahan psoriasis secara obyektif menggunakan biomarker. Interleukin 17 merupakan salah satu kandidat biomaker dalam menilai derajat keparahan psoriasis (Molteni dkk., 2012; Cerdeira dkk., 2014). Seiring dengan peran sentral IL-17 pada patogenesis psoriasis, maka pada serum penderita psoriasis akan terjadi peningkatan kadar IL-17 (Krueger dkk., 2009). Penelitian mengenai korelasi kadar IL-17 pada serum dengan derajat keparahan psoriasis belum banyak dilakukan dan menunjukkan hasil yang bervariasi (Martin dkk., 2013). Salah satu dari penelitian tersebut yaitu penelitian oleh Luo dkk., yang mendapatkan korelasi positif kuat antara IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris, namun pada biopsi kulit dengan psoriasis tidak didapatkan peningkatan kadar IL-17 secara signifikan (Luo dkk., 2012). Sedangkan penelitian oleh Hideki mendapatkan hasil yang sebaliknya yaitu tidak didapatkan korelasi yang signifikan antara kadar IL-17 dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris (Hideki dkk., 2011).Penelitian oleh Aician menunjukkan tidak didapatkannya peningkatan kadar IL-17 yang diperiksa dari darah perifer pada penderita psoriasis vulgaris (Arican dkk., 2005). Demikian penelitian oleh Kyriakou di Yunani menunjukkan korelasi yang tidak signifikan
antara kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris (Kyriakou dkk., 2014). Berdasarkan latar belakang tersebut, dilakukan penelitian mengenai korelasi kadar IL-17 dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris. Pada penelitian ini pengukuran kadar IL-17 diambil dari serum darah vena, dengan metode ELISA yang high sensitive sehingga dapat mendeteksi kadar IL-17 serum dengan lebih akurat. Sedangkan derajat keparahan psoriasis vulgaris diukur dengan PASI score. Pada penelitian ini juga mencari apakah terdapat perbedaan kadar IL-17 serum antara penderita psoriasis vulgaris dengan bukan psoriasis. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah terdapat korelasi positif antara kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris? 2. Apakah kadar IL-17 serum pada penderita psoriasis vulgaris lebih tinggi dibandingkan dengan bukan penderita psoriasis? 1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan umum Untuk mengetahui korelasi kadar IL-17 serum dengan psoriasis vulgaris.
1.3.2Tujuan khusus 1 Untuk mengetahui korelasi kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris. 2 Untuk mengetahui adanya perbedaan kadar IL-17 serum antara penderita psoriasis vulgaris dengan bukan penderita psoriasis.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis Menambah wawasan tentang korelasi kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris. 1.4.2 Manfaat praktis 1. Sebagai dasar pertimbangan penelitian selanjutnya dalam pemberian terapi antibodi monoklonal anti IL-17 pada penderita psoriasis vulgaris. 2. Sebagai dasar pertimbangan penelitian selanjutnya mengenai penggunaan IL-17 serum sebagai biomaker monitoring derajat keparahan psoriasis vulgaris.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
1.1
Psoriasis
2.1.1 Definisi Nama psoriasis berasal dari bahasa Yunani ‘psora’ yang berarti gatal (Kuchekar, 2011).Tipe klasik dari psoriasis adalah psoriasis vulgaris. Psoriasis vulgaris merupakan penyakit inflamasi kronis,yang ditandai gangguan diferensiasi dan hiperproliferasi epidermis dengan
lesi psoriasis yang khas
berupa plak
eritema batas tegas dengan skuama putih, dengan tanda Auspitz positif (Griffiths dkk., 2010). 2.1.2 Epidemiologi Psoriasis merupakan penyakit universal yang dapat terjadi di seluruh belahan dunia. Prevalensinya bervariasi pada setiap populasi berkisar antara 0,1% hingga 11,8%. Prevalensi psoriasis tertinggi dilaporkan terjadi di Dernmark mencapai 2,9%. Sedangkan prevalensi psoriasis di Amerika Serikat mencapai 2,2% hingga 2,6% dan prevalensi psoriasis di Asia mencapai 0,4% (Gudjonsson dkk., 2012). Data dari beberapa
rumah sakit di Indonesia tahun 2003-2006
menunjukkan insiden psoriasis rata-ratamencapai 96 kasus (0,4% dari 22.070 kunjungan kasus baru (Sugitodkk.,2008). Sedangkan insiden psoriasis di RSUP Kariadi selama 5 tahun (2003-2007) mencapai 0,97% atau 198 kasus (Budiastuti
9
dkk., 2009). Psoriasis dapat mengenai baik jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Psoriasis dapat terjadi pada semua umur, tetapi jarang terjadi pada umur di bawah 10 tahun. Psoriasis paling sering terjadi pada usia 15 hingga 25 tahun (Kuchekar, 2011). Christoper mengusulkan pembagian psoriasis menjadi psoriasis tipe I yang berhubungan dengan HLA pada onset sebelum umur 40 tahun, dan tipe II yang tidak berhubungan dengan HLA pada onset lebih dari 40 tahun. Tidak ada penelitian yang menunjukkan perbedaan respon terapi pada kedua tipe psoriasis tersebut (Rahman dkk., 2005, Kuchekar dkk., 2011). Pada penelitian epidemiologi didapatkan sekitar 25%
dari penderita
digolongkan ke dalam psoriasis derajat sedang hingga berat. Sekitar sepertiga dari penderita psoriasis memiliki riwayat keluarga dengan psoriasis dan penelitian membuktikan adanya lokus gen yang berhubungan dengan kondisi ini. Penelitian pada kembar monozigot memiliki risiko menderita psoriasis hingga 70% bila saudara kembarnya menderita psoriasis dan hingga 20% pada kembar dizigot. Temuan ini membuktikan adanya peran faktor genetik dan lingkungan pada patogenesis psoriasis (Rahman dkk., 2005, Kuchekar dkk., 2011). 2.1.3 Faktor predisposisi Saat ini mulai dipertimbangkan bahwa psoriasis sebagai penyakit multifaktorial yang dipengaruhi oleh faktor predisposisi genetik, faktor lingkungan dan inflamasi yang dimediasi respon imunologi berpengaruh dalam patogenesis psoriasis (Gambar 2.1). Faktor pencetus psoriasis bersifat individual
yang dapat bervariasi pada setiap orang (Nuzzo dkk., 2014). Peran penting faktor genetik dan lingkungan dalam patogenesis psoriasis dijelaskan lebih lanjut.
Gambar 2.1Peran Faktor Genetik, Lingkungan dan Imunologi dalam Patogenesis Psoriasis(Nuzzo dkk., 2014)
2.1.3.1. Faktor genetik Pada penelitian-penelitian yang mempelajari kaitan faktor genetik, diidentifikasi beberapa lokus gen yang berperan dalam patogenesis psoriasis yaitu 6p (PSORS1), 17q25 (PSORS2), 4q34 (PSORS3), 1q21 (PSORS4), 3q21 (PSORS5), 19p13 (PSORS6), 1p32 (PSORS7), 16q (PSORS8), dan 4q31 (PSORS9) (Mahajandkk., 2013). Diantara lokus gen suseptibel psoriasis tersebut (PSORS 1-9), didapatkan hubungan yang paling kuat terhadap insiden psoriasis yaitu gen PSORS1 (Chandran dkk., 2010). Peran gen PSORS1 berada pada Human leucocyte antigen klas 1 kromosom 6p (HLA-Cw6) dengan tingkat heritabilitas penyakit mencapai 35-50%.Pada PSORS1, HLA-Cw6 merupakan gen yang paling suseptibel yang berperan dalam presentasi antigen terhadap sel T
CD8+, dan dalam hubungannya dengan respon imun adaptif dalam spesific inflamatory pathways, seperti interleukin (IL) 23, dan IL 12B. Pada PSORS1 juga ditemukan korneodesmosin yang mengkode protein yang berperan dalam diferensiasi keratinosit dan dipertimbangkan sebagai faktor risiko genetik psoriasis lainnya(Gudjonsson dkk., 2012; Bergboerdkk., 2013). 2.1.3.2 Faktor lingkungan Faktor lingkungan memegang peranan penting pada terjadinya psoriasis. Beberapa faktor seperti trauma fisik, obat-obatan,stress psikologis dan infeksidapat mencetuskan psoriasis pada individu yang suseptibel secara genetik (Bergboer dkk., 2013; Naldi dkk., 2005). Beberapa obat-obatan diketahui dapat mencetuskan lesi psoriasis pada kulit yang awalnya secara klinis tidak menunjukkan lesi psoriasis. Obat-obatan dapat mencetuskan psoriasis berdasarkan bukti-bukti yang kuat yaitu litium, beta-blockers, anti malaria, nonsteroidal antiinflammatory, dan tetrasiklin. Obat-obatan lainnya yang dicurigai dapat mencetuskan psoriasis seperti angiotensin-converting enzyme inhibitors, calciumchannel blockers, potasium iodida (Basavaraj dkk., 2010). Terdapat dugaan bahwa psoriasis didahului infeksi Streptococcus pyogenes pada tonsil. Hubungan ini dijelaskan bahwa superantigen streptokokus mampu mengaktivasi sel T. Pada salah satu penelitian mendapatkan superantigen streptokokus yang tersiolasi sebanyak 17% dari 111 penderita psoriasis (Blok dkk 2004). Psoriasis merupakan salah satu penyakit kulit dengan peranan fenomena Koebner telah diteliti secara detail. Interval waktu injuri dengan onset psoriasis berkisar antara 2 hari hingga 2 tahun. Faktor yang berkontribusi dalam
koebnerisasi yaitu musim, dan derajat penyakit. Trauma diketahui menyebabkan injuri epidermis dan inflamasi dermis sehingga timbul fenomena Koebner. Onset fenomena Koebner meliputi inflamasi non spesifik yang menimbulkan beberapa mediator inflamasi dan inflamasi spesifik yang melibatkan sel T, sel B, dan autoantibodi pada latar belakang genetik tertentu (Sagi dkk., 2011). 2.1.4Mekanisme aktivasi dan diferensiasi sel T Sel T dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria
yaitu
berdasarkan reseptor yang dimilikinya, molekul asesoris CD4 dan CD8, status aktivasinya (sel T naif, sel T memori, dan sel T afektor), dan berdasarkan perannya dalam respon imun yang sering dihubungkan dengan sitokin yang dilepaskan oleh populasi sel tersebut. Reseptor antigen sel T (TCR) merupakan molekul kompleks yang memuat sebuah ikatan antigen heterodimer (rantai α/ß atau ᵟ/λ). Sebagian besar sel T memiliki reseptor rantai α/ß (α/ß TCR) yang berikatan dengan antigen melalui molekul MHC. Berdasarkan molekul asesoris yang dimiliki sel T, dikenal sel T helper CD4 (Th CD4) yang berperan kritis sel tersebut membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Sel Th CD4 terdiri dari populasi sel dengan fungsi yang berbeda tergantung pada kebutuhan, dan memegang peranan penting dalam respon imun. Selanjutnya dikenal sel T sitotoksik CD8 berfungsi melisiskan sel yang telah terinfeksi oleh patogen (misalnya virus). Dalam fungsi sitotoksik ini, sel T mengenal peptida antigen yang dipresentasikan pada permukaan sel, kemudian dipecah menjadi peptida-pepida kecil oleh protease kompleks yang disebut proteasome (Broere dkk; 2011).
Sel T yang telah mengalami proses maturasi di timus akan menuju sirkulasi melalui pembuluh darah dan sistem limfatik. Sel T matur yang belum teraktivasi atau belum mengenal antigen, disebut sel T naif. Peptida antigenik akan dipresentasikan pada sel T naif oleh sel dendritik yang berperan sebagai APC. Sel dendritik yang berperan sebagai APC membentuk peptida antigen dari agen patogen ataupun self antigene dan mempresentasikannnya pada permukaan sel dalam hubungannya dengan molekul MHC (Broere dkk; 2011). Sel T yang telah teraktivasi akan berproliferasi kemudian bermigrasi menuju jaringan atau tempat antigen dan menjalankan fungsinya sebagai sel T afektor. Sebagian besar sel T afektor akan menghilang setelah antigen target tereliminasi, dan sebagian kecil sel T menetap menjadi sel T memori. Sel T memori dapat bertahan dalam beberapa tahun dalam organ limfoid dan jaringan. Sel T memori akan dengan mudah teraktivasi dan lebih cepat menjalankan fungsinya sebagai sel T afektor pada jaringan atau mengalami aktivasi dan proliferasi di organ limfoid apabila terpapar antigen yang sama (Broere dkk; 2011). Selama respon imun, maka sel T naif berdiferensiasi menjadi beberapa kelompok sel T fungsional yaitu sel Th1, Th2, Th17, natural killer T cell (NKT), sel T regulator (T reg), dan T folicular helper cell (Tfh cells). Sel Th1 melaksanakan fungsinya dengan melepaskan IL-2, IFN-λ, dan TNF. Sel Th1 melalui sitokin yang dilepaskannya mengaktivasi makrofag dan sel T sitotoksik. Sebaliknya sel Th2 melalui sitokin yang dilepaskannya yaitu IL-4, IL-5, IL-6, IL-
13, dan IL-15 berperan membantu respon imun humoral dan menghambat respon imun seluler (Broere dkk; 2011). Tidak semua respon imun atau penyakit dapat dijelaskan secara sederhana dengan paradigma sel Th1 dan Th2. Namun terdapat subpoulasi sel T dengan karakteristik sitokin IL-17 yang dilepaskannya sehingga disebut Th 17. Salah satu fungsi utama Th 17 adalah mengaktivasi proteksi terhadap jamur, protoza, virus dan bakteri ekstraseluler. Saat ini Th 17 juga diketahui berperan besar pada penyakit autoimun dan inflamasi, seperti pada asma, irritble bowel disease, dan pada psoriasis. Sel T regulator berperan dalam mengontrol respon imun, sebelumnya dikenal dengan T suppressor cells. Sel Tfh merupakan subset sel Th yang berbeda, dijumpai dalam jumlah terbatas terutama di kelenjar limfe (Broere dkk; 2011). 2.1.5 Etiologi dan patogenesis Penyebab
utama
psoriasis
masih
belum
diketahui
dengan
pasti.Keberhasilan pengobatan psoriasis dengan siklosforin selama tiga dekade belakangan ini, membawa ilmuwan untuk lebih fokus pada sistem imun yang berperan dalam patogenesis psoriasis (Gudjonsson dkk., 2012; Bergboer dkk., 2013 ). Patogenesis psoriasis diperankan oleh sistem imunitas baik sistem imunitas alami maupun adaptif yang menginduksi sel-sel residen kulit seperti keratinosit, fibroblast dam sel endotelial. Sel T yang telah teraktivasi diketahui berperan penting dalam patogenesis psoriasis (Nograles dkk., 2010). Dengan adanya TGF-ß, dan IL-6 maka sel T naif akan bertransformasi menjadi Th17. Sel
yang telah terakivasi ini akan memasuki sirkulasi dan mengalami ekstravasasi melalui
endotel
menuju
tempat
inflamasi
di
kulit
sehingga
terjadi
ketidakseimbangan Th1-Th2-Th17 (Betteli dkk., 2006). Peranan Th 17 dalam patogenesis psoriasis diteliti lebih lanjut secara intensif dalam beberapa tahun terakhir (Mahajan dkk., 2013). Antigen precenting cells (APC) seperti sel dendritik dan makrofag menghasilkan interleukin 23. Sel dendritikpada lesi psoriasis, memiliki peranan dalam mengawali respon imun spesifik dan induksi self tolerance, namun peranan spesifik dari masing-masing subset masih belum jelas.Interleukin 23 yang dihasikan oleh sel dendritik dan makrofag menyebabkan aktivasi Th 17 untuk menghasilkan IL-17 dan IL-22. Sel Th 17 merupakan afektor sel CD4+ yang berperanan baik dalam imunitas nonspesifik maupun adaptif untuk melawan patogen. Interleukin 17 diperkirakan memegang peranan penting dalam patogenesis psoriasis,dan dalam mempertahankan inflamasi kronis pada psoriasis sebagaimana juga pada kondisi autoimun lainnya. Interleukin 17A merupakan sitokin utama yang dihasilkan oleh sel Th17 (Martin dkk., 2013). Interleukin 17 pada keratinosit menstimulasi produksi ß-defensin, peptida antimikrobial, dan kemokin seperti IL-8, CCL20 dan CCL2 (Reinholz dkk., 2012). Peningkatan kadar IL-17 menyebabkan peningkatan sitokin pro-inflamasi seperti S-100, A7, ß-defensin dan lipokalin. Interleukin 17 juga memicu peningkatan peptida antimikrobial lainnya seperti katelisidin. Peran keratinosit dalam patogenesis psoriasis adalah penghasil utama sitokin proinflamasi, kemokin dan growth factorserta mediator inflamasi lainnya
seperti eikosanoid dan mediator imunitas alami antara lain katelisidin, defensin, dan protein S100. Keratinosit pada psoriasis diaktifkan melalui suatu jalur alternatif diferensiasi keratinosit. Jalur ini diaktivasi sebagai respon terhadap stimulasi imunologi pada psoriasis, akan tetapi mekanisme bagaimana peristiwa ini terjadi saat ini masih belum diketahui.Selanjutnya didapatkan peran faktor angiogenik yang dihasilkan oleh keratinosit menyebabkan proliferasi vaskuler dermis yang abnormal dan angiogenesis. Pada lesi psoriasis tipe plak didapatkan peningkatan kadar vascular endothelial growth factor (VEGF) (Maharajan dkk., 2013).Patogenesis psoriasis secara singkat dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2Patogenesis Psoriasis(Chiricozzi A, dkk., 2013)
2.1.6 Manifestasi klinis 2.1.6.1 Riwayat Usia saat onset penyakit dan adanya riwayat psoriasis dalam keluarga, merupakan hal yang penting diketahui, karena onset penyakit pada usia muda dan adanya riwayat psoriasis dalam keluarga sering dihubungkan dengan penyakit yang lebih berat serta terjadinya rekurensi yang lebih tinggi. Selanjutnya pada penyakit kronis, lesi dapat menetap lama dan tidak berubah dalam hitungan bulan maupun tahun, sedangkan pada penyakit akut perkembangan lesi timbul mendadak dalam waktu singkat. Angka rekurensi penyakit terjadi sangat bervariasi(Gudjonsson dkk., 2012). 2.1.6.2 Lesi kulit Psoriasis vulgaris atau psoriasis dengan lesi plak kronis merupakan presentasi klasik dan yang paling sering terjadi pada psoriasis.Lesi klasik psoriasis berupa plak eritema berbatas tegasdan ditutupi oleh skuama berwarna putih (Gambar 2.3). Ukuran lesi dapat bervariasi mulai dari papul hingga plak yang menutupi sebagian besar permukaan tubuh. Di bawah skuama, tampak kulit eritema yang homogen dan mengkilap dan tampak bintik-bintik perdarahan yang merupakan pelebaran kapiler (tanda Auspitz) (Gambar 2.4).
Lesi psoriasis
cenderung simetris dan hal ini merupakan gambaran penting yang membantu dalam menegakkan diagnosis, walaupun dapat pula terjadi lesi secara asimetris(Gudjonsson dkk., 2012). Fenomena Koebner (juga dikenal sebagai respon isomorfik) adalah fenomena dimana munculnya lesi psoriasis setelah induksi trauma pada kulit yang
awalnya tidak ada lesi; lebih sering terjadi selama masa perkembangan penyakit dan merupakan fenomena all or none (contoh, jika psoriasis timbul pada satu tempat cedera maka akan muncul juga di semua tempat yang terkena cedera) (Gambar2.5). Reaksi Koebner ini biasanya timbul 7 hingga 14 hari setelah cedera dan sekitar 25% pasien memiliki riwayat trauma berhubungan dengan fenomena Koebner sebelumnya (Weiss dkk., 2002). Fenomena Koebner ini tidak spesifik untuk psoriasis namun adanya fenomena ini dapat membantu menegakkan diagnosis bila ditemukan(Gudjonsson dkk., 2012).
Gambar 2.3 A-FLesi Klasik pada Psoriasis(Gudjonsson dkk., 2012)
Gambar2.4 Tanda Auspitz(Gudjonsson dkk., 2012)
Gambar 2.5 Fenomena Koebner (Gudjonsson dkk., 2012) 2.1.6.3 Bentuk klinis lesi psoriasis Bentuk klinis lesi psoriasis antara lain psoriasis vulgaris, psoriasis gutata, psoriasis plak kecil, psoriasis inversa (fleksural), psoriasis eritrodermi, psoriasis pustular, sebopsoriasis, psoriasis popok dan psoriasis linear. 2.1.6.3.1 Psoriasis vulgaris Psoriasis vulgaris merupakan bentuk klinis psoriasis yang paling sering ditemukan mencapai 90% pasien psoriasis. Gambaran klinis tampak sebagai plak eritema berskuama yang terdistribusi simetris pada daerah predileksi seperti pada daerah ekstensor ekstremitas terutama pada siku dan lutut, selain itu juga pada kulit kepala, daerah bawah lumbosakral, gluteal dan genital. Daerah predileksi lainnya adalah umbilikus dan celah intergluteal. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda Auspitz positif. Luasnya daerah yang terlibat bervariasi antara satu pasien dengan lainnya(Gudjonsson dkk., 2012). Lesi psoriasis yang kecil dapat bergabung menjadi satu membentuk plak dengan batas menyerupai peta (psoriasis geografika). Lesi-lesi ini dapat meluas ke samping dan berbentuk bulat akibat gabungan beberapa plak (psoriasis girata). Kadangkala terdapat bagian sentral yang bersih dari lesi secara parsial sehingga bentuk lesi tampak seperti cincin (psoriasis anular). Psoriasis Rupioid merupakan psoriasis dengan lesi berupa cone atau kerucut. Psoriasis ostraseus, merupakan
lesi hiperkeratotik cekung seperti cincin sehingga menyerupai kerang. Terakhir, psoriasis elefantin merupakan bentuk psoriasis yang jarang ditemukan dengan gambaran khas berupa plak yang besar disertai skuama tebal dan biasanya timbul di ekstremitas bawah(Gudjonsson dkk., 2012). 2.1.6.3.2 Psoriasis gutata/eruptif Pada psoriasis gutata timbul erupsi berupa papul kecil dengan ukuran diameter 0,5-1,5 cm pada badan bagian atas dan ekstremitas bagian proksimal, sering dijumpai pada orang dewasa muda. Bentuk psoriasis ini memiliki hubungan yang paling kuat dengan HLA-Cw6 dan adanya infeksi streptokokus pada tenggorokan sering kali mendahului atau bersamaan dengan terjadinya psoriasis gutata.(Gudjonsson dkk., 2012). 2.1.6.3.3 Psoriasis plak kecil Manifestasi klinis psoriasis plak kecil menyerupai psoriasis gutata. Akan tetapi dapat dibedakan dengan melihat onset penyakit yang muncul pada pasien yang lebih tua, lebih bersifat kronis serta dapat dijumpai lesi yang besar dengan diameter 1-2 cm dan lebih tebal, lebih berskuama dibandingkan pada gutata (Lew dkk., 2004; Gudjonsson dkk., 2012). 2.1.4.3.4 Psoriasis fleksural (inversa) Lesi psoriasis dapat muncul pada daerah lipatan kulit seperti aksila, regio genito-krural, serta leher. Skuama yang ada lebih minimal atau tidak ada. Lesi berupa eritema batas tegas dan mengkilap yang selalu terletak pada daerah yang memiliki kontak kulit dengan kulit(Gudjonsson dkk., 2012).
2.1.6.3.5 Psoriasis eritroderma Gambaran klinis psoriasis eritroderma berupa erupsi yang meluas hingga seluruh tubuh termasuk wajah, tangan, kaki, kuku, badan, serta ekstremitas.Lesi psoriasis dapat muncul namun gambaran klinis yang ada didominasi oleh eritema. Skuama yang muncul berbeda denganskuama pada psoriasis plak kronis. Yang tampak hanya skuama superfisial bukan skuama yang putih dan tebal. Pasien dengan psoriasis eritroderma dapat ini kehilangan panas secara berlebihan akibat vasodilatasi menyeluruh sehingga menimbulkan hipotermi. Pasien menggigil sebagai usaha untuk meningkatkan temperatur tubuh(Gudjonsson dkk., 2012). 2.1.6.3.6 Psoriasis pustulosa Dijumpai beberapa variasi klinis psoriasis pustulosa seperti psoriasis pustulosa generalisata (tipe von zumbusch), psoriasis pustulosa anular, impetigo herpetiformis, dan psoriasis pustulosa lokalisata (pustulosa palmarus dan plantaris dan akredermatitis kontinua)(Berreta, 2000; Gudjonsson dkk., 2012). 2.1.6.3.7 Sebopsoriasis Sebopsoriasis ditandai adanya plak eritema dengan skuama yang berminyak di daerah seboroik seperti kepala, glabela, lipatan nasolabial, perioral, dan area presternal serta area intertriginosa. Bila tidak dijumpai lesi psoriasis di tempat lain maka sulit untuk kita membedakannya dengan dermatitis seboroik. Sebopsoriasis digambarkan sebagai modifikasi dermatitis seboroik dengan didasari
oleh
faktor
genetika
pengobatan(Gudjonsson dkk., 2012).
psoriasis
dan
relatif
resisten
terhadap
2.1.6.3.8 Psoriasis popok. Psoriasis popok dapat muncul pada usia 3-6 bulan dan pertama kali muncul di daerah popok berupa area kemerahan yang konfluen dan beberapa hari kemudian diikuti dengan munculnya papul merah kecil pada badan dan ekstremitas.
Papul-papul
ini
memiliki
skuama
putih
psoriasis
yang
tipikal(Gudjonsson dkk., 2012). 2.1.6.3.9 Psoriasis linear. Merupakan bentuk yang jarang, lesi psoriasis muncul berbentuk garis biasanya pada ekstremitas namun dapat juga terbatas pada dermatom di badan. Gambaran klinis dan histologinya mirip dengan Inflamatory Linear Verrucous Epidermal Nevus (ILVEN) (Happle, 2006; Gudjonsson dkk., 2012). 2.1.6.4 Gambaran klinis terkait lainnya 2.1.6.4.1 Kelainan kuku pada psoriasis. Kelainan kuku sering didapatkan pada penderita psoriasis mencapai 40% kasus, namun jarang dijumpai bila tidak ada kelainan kulit di tempat lain. Kelainan kuku ini meningkat seiring dengan umur, sesuai durasi dan beratnya penyakit, dan dengan keberadaan psoriasis artritis. Kelainan kuku dibedakan berdasarkan bagian kuku yang terkena.Bentuk kelainan kuku psoriasis antara lain pitting nailberupa cekungan bervariasi mulai dari 0,5-2,0 mm, dapat tunggal atau multipel (Gudjonsson dkk., 2012). Perubahan lain pada matriks kuku antara lain deformitas lempeng kuku (onikodistrofi) seperti leukonikia, kuku hancur, dan bercak merah pada lunula. Onikodistrofi memiliki hubungan yang kuat dengan psoriasis artritis dibanding
kelainan kuku lainnya. Oil spot dan salmon patch biasanya transparan, dapat dijumpai pula diskolorisasi kuning kemerahan yang meluas ke distal dari hiponikium
akibat
hiperplasia
psoriasiformis,
parakeratosis,
perubahan
mikrovaskular dan terkumpulnya neutrofil pada dasar kuku. Tidak seperti pitting nail yang dapat muncul pada alopesia areata dan kelainan lain, oil spotting lebih spesifik untuk psoriasis. Perdarahan pada dasar kuku dapat muncul akibat perdarahan pembuluh kapiler di bawah lempeng tipis suprapapiler. Hiperkeratosis subungual muncul akibat hiperkeratosis pada dasar kuku dan sering diikuti adanya onikolisis (lepasnya lempeng kuku dari dasarnya), biasanya mengenai daerah distal kuku (Gudjonsson dkk., 2012). 2.1.6.4.2 Geographic tongue. Manifestasi klinis yang terjadi biasanya berupa plak eritematosus dengan tepi serpiginosa menyerupai gambaran peta, tanpa disertai keluhan. Geographic tongue dianggap sebagai variasi bentuk dari psoriasis dengan manifestasi klinis terjadi di oral karena pada lesi yang ditemukan menunjukan kesamaan histologis dengan psoriasis, berupa akantolisis, perubahan bentuk rete ridge menyerupai gada, parakeratosis fokal, dan infiltrasi sel neutrofil. Prevalensi terjadinya geographic tongue meningkat pada pasien psoriasis. Namun, geographic tongue merupakan suatu kelainan yang relatif umum dan sering ditemukan pada individu yang tidak menderita psoriasis, jadi hubungannya dengan psoriasis masih membutuhan klarifikasi lebih lanjut (Daneshpazhooh, 2004; Gudjonsson dkk., 2012).
2.1.6.4.3 Psoriatic arthritis Psoriatic arthritismerupakan radang sendi yang berhubungan dengan psoriasis dan faktor rheumatoid yang negatif. Prevalensi psoriatic arthritis mencapai 40% dari pederita psoriasis. Komponen genetik memiliki pengaruh besar dalam patogenesis psoriatic arthritis. Manifestasi klinis psoriatic arthritis arthritis aksial dan perifer, enthesitis, daktilitis dan tendosinovitis (Dafna dkk., 2012). 2.1.7Psoriasis Area and Severity Index (PASI) Score Psoriasis Area and Severity Index (PASI) score merupakan gold standar pengukuran yang digunakan untuk mengetahui derajat keparahan dan luas lesi psoriasis. Pada uji klinis, perubahan PASI score digunakan untuk menilai kemajuan terapi. Klinisi berpendapat bahwa keberhasilan pengobatan psoriasis ditunjukkan dengan adanya perbaikan PASI score hingga lebih atau sama 75%, walaupun perbaikan PASI score<75% masih menunjukkan adanya perbaikan klinis psoriasis (Feldman dkk., 2005). Pada penilaian PASI, tubuh dibagi menjadi 4 area/regio yaitu A1 (kepala dan leher), A2 (ekstremitas atas), A3 (badan), dan A4 (ekstremitas bawah). Derajat keparahan lesi psoriasis atau intensitas diukur dalam 3 kategori yaitu pertama dari warna lesi, semakin merah lesi psoriasis maka semakin tinggi nilai yang didapat. Kedua dari ketebalan lesi, ketiga dari banyaknya skuama dengan semakin tebal lesi dan banyaknya skuama maka semakin tinggi skor yang didapat. Skor penilaian intensitas lesi berkisar dari nilai 0 hingga 4, yaitu dari tidak dijumpai adanya lesi, lesi yang ringan (mild), sedang (moderate), berat (severe)
dan sangat berat (very severe). Skor intensitas lesi dari warna, tebal, dan banyaknya skuama masing-masing dijumlahkan berdasarkan empat area tubuh yang ditetapkan sebelumnya sehingga didapatkan A1 hingga A4. Nilai intensitas lesi ini kemudian dikalikan masing-masing A1 X 0,1, A2 X 0,2, A3 X 0,3 dan A4 X 0,4, sehingga didapatkan B1 hingga B4(Mikhail dkk., 2005). Untuk pengukuran luas area yang terkena, maka tubuh dinilai dalam 4 area sepertiyang disebutkan sebelumnya, kemudian penentuan persentase luas area terhadap masing-masing area sebelumnya. Selanjutnya masing-masing persentase luas area yang terkena dikalikan dengan nilai intesitas lesi (B1-B4) sehingga mendapatkan C1 hingga C4. Skor PASI dihitung dengan menjumlahkan C1+C2+C3+C4(Mikhail dkk., 2005). Kelemahan PASI score sebagai pengukur derajat psoriasis baik dalam uji klinis maupun praktek sehari-hari adalah rendahnya produksibilitas dan adanya variasi penilaian antara klinisi. Selanjutnya dikembangkan penelitian-penelitian untuk dapat menentukan derajat keparahan psoriasis secara kuantitatif. Biomarker merupakan karakteristik yang secara obyektif mengukur dan mengevaluasi sebagai indikator proses biologi yang normal, proses patogen, atau respon farmakologi terhadap respon terapi (Biomarker definition working group, 2001).Fungsi lain dari biomarker adalah untuk deteksi adanya penyakit penyerta seperti psoriatic arthritis, penyakit kardiovaskuler, dan penyakit metabolik sindrom lainnya. Kandidat biomarker dalam serum yang digunakan untuk menilai derajat keparahan psoriaisis antara lain C-reactive protein, laju endap darah, vascular endothelial growth factor, ß-defensin-2, S100 calcium binding protein,
IL-6, IL-8, IL-17, IL-18, TNF-α, IL-22 dan IFN-λ (Molteni dkk., 2012; Cerdeira dkk., 2014). 2.1.8 Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan histopatologi jarang dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis psoiriasis, kecuali pada kasus yang sulit. Pemeriksaan histoptologi pada lesi awal psoriasis didapatkan gambaran akantosis pada epidermis, sedangkan pada lesi yang kronis didapatkan gambaran hiperplasia psoriasiformis. Tampak migrasi netrofil pada pembuluh darah yang mengalami dilatasi dari dermis hingga epidermis. Agregasi netrofil di bawah stratum korneum dan di atas stratum spinosum membentuk gambaran spongiform pustules of kogoj (Gudjonsson dkk., 2012). Kelainan laboratorium pada psoriasis bersifat nonspesifik, dan mungkin tidak dijumpai pada semua penderita psoriasis. Pada penderita psoriasis dapat terjadi gangguan profil lipid. Selanjutnya konsentrasi apolipoprotein-A1 plasma juga didapatkan lebih tinggi pada penderita psoriasis. Apakah abnormalitas profil lipidpada penderita psoriasis ini meningkatkan insiden penyakit kardiovaskuler hingga kini masih diteliti. Penanda inflamasi sistemik seperti C-reactive protein, α- macroglobuin dan laju endap darah juga dapat meningkat pada penderita psoriasis (Gudjonsson dkk., 2012). 2.1.9Diagnosispsoriasis Diagnosis
psoriasisumumnya
ditegakkan
berdasarkan
manifestasi
klinisnya, demikian dengan psoriasis vulgaris yang merupakan bentuk tipikal psoriasis. Manifestasi klinis psoriasis vulgaris berupa lesi plak eritema berbatas
tegasdan ditutupi oleh skuama berwarna putih tebal.Tampak bintik-bintik perdarahan akibat pelebaran kapiler (tanda Auspitz). Fenomena Koebner atau respon
isomorfik
lebih
sering
terjadi
selama
masa
perkembangan
penyakit(Langley dkk., 2005; Gudjonsson dkk., 2012). Klinisi juga sebaiknya menggali riwayat penyakit pada penderita termasuk riwayat keluarga, faktor modifikasi/lingkungan,
dan
kemungkinan
penyakit
penyerta
lainnya
(Kuchekardkk., 2011;Gudjonsson dkk., 2012). 2.1.10Penyakit penyerta pada psoriasis Psoriasis sering dihubungkan dengan beberapa penyakit sistemik seperti diabetes
mellitus,
obesitas,
hipertensi,
sindrom
metabolik,
penyakit
kardiovaskuler, Chron’s disease, kolitis ulseratif, penyakit paru, gangguan psikiatri, dan keganasan (Kilic dkk., 2013; Reich dkk., 2012). Patogenesis hubungan antara penyakit sistemik tersebut dengan psoriasis belum jelas, namun diperkirakan merupakan hasil interaksi kompleks antara suseptibilitas genetik, lingkungan dan peranan immunologi. Dalam interaksi tersebut, sitokin-sitokin proinflamasi yang terstimulasi seperti TNF-α, IFN-λ, IL-17 dan IL-22 berperanan dalam memperberat dan mempertahankan proses inflamasi (Kilic dkk., 2013; Kim dkk., 2010). Proses inflamasi kulit yang berkelanjutan ini, secara bertahap akan menimbulkan inflamasi sistemik, dengan meginduksi sekresi sitokin lainnya yang berasal dari lemak subkutan (IL-6, TNF-α, leptin, adiponektin), sel endotelium, dan sel lainnya. Sitokin yang disekresikan pada sel-sel tersebut menyebabkan disfungsi endotelium, inflamasi vaskuler berupa ekstravasasi molekul adhesi dan
leukosit, trombosis dan inflamasi sistemik. Inflamasi sistemik ini dapat mencetuskan resistensi insulin, penyakit kardiovaskuler dan penyakit organ dalam lainnya dalam hubungannya dengan psoriasis. Proses yang terjadi ini sering disebut “ Psoriatic march” (Takashi dkk., 2012; Boehncke, 2011). Peran penting sitokin yang dihasilkan oleh Th 17 (IL-17)
dalam
patogenesis penyakit mengarahkan pemikiran tentang peranan sitokin ini dalam patogenesis hubungan psoriasis dengan penyakit kardiovaskuler. Pada psoriasis derajat sedang hingga ringan didapatkan peningkatan kadar IL-17 serum yang signifikan. Peningkatan kadar IL-17 pada penderita psoriasis tampaknya merupakan faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler dan terjadinya komplikasi fatal penyakit kardiovaskuler seperti stroke dan infark miokardial sehingga dapat menyebabkan mortalitas pada penderita (Golden dkk., 2013). Pada lesi aterosklerosis stadium plak didapatkan peningkatan IL-17 yang diduga berasal dari sel T, makrofag, dan netrofil, dan semakin meningkat seiring bertambahnya usia plak pada aterosklerosis tersebut. Interleukin 17 dan IFN-λ ini mampu menstimulasi sekresi IL-6, CXCL8, dan CXCL 10 pada aterosklerosis (Eid dkk., 2009). Selanjutnya pada penderita dengan penyakit jantung koroner akut seperti infark miokardia dan unstable angina menunjukkan peningkatan kadar mediator yang berhubungan dengan Th17 seperti IL-17 seperti RORˠt, IL17 serum, dan IL-23, bersamaan dengan menurunnya kadar sitokin yang berhubungan dengan sel T regulation (Cheng dkk., 20008).
2.1.11 Penatalaksanaan psoriasis Pengobatan psoriasis memiliki spektrum luas, baik itu topikal maupun sistemik, sebagian besar dari agen pengobatan berperan sebagai imunomodulator. Luas lesi dan keparahan dari penyakit, persepsi pasien terhadap penyakitnya merupakan hal-hal yang patut dipertimbangkan dalam pemilihan regimen pengobatan (Gambar 2.6). Psoriasis adalah suatu keadaan kronis, penting untuk mengetahui keamanan dari pengobatan selama penggunaan jangka panjang (Gudjonsson dkk., 2012).
Gambar 2.6 Diagnosis dan Penatalaksanaan Psoriasis(Gudjonsson dkk., 2012)
2.1.11.1 Pengobatan topikal Sebagian besar psoriasis mendapatkan terapi topikal, akan tetapi terapi topikal sering tidak diterima secara kosmetik dan membutuhkan waktu untuk pemakaiannya, ketidakpatuhan sering terjadi pada penderita. Agen pengobatan
psoriasis topikal terdiri dari kortikosteroid topikal,vitamin D atau analognya, tar, takrolimus/pimekrolimus, asam salisilat, dan tazaroten (Gudjonsson dkk., 2012). Kortikosteroid topikal sering sebagai terapi lini pertama pada psoriasis ringan dan sedang. Perbaikan biasanya dicapai dalam waktu 2-4 minggu, dengan terapi pemeliharaan yaitu dengan pemakaiannya yang intermiten (biasanya terbatas pada akhir minggu). Terjadinya takifilaksis pada pengobatan dengan kortikosteroid topikal adalah kejadian yang biasa.
Penggunaan topikal
kortikosteroid jangka panjang bisa menyebabkan atrofi kulit, telangiektasi, striae dan supresi adrenal (Van de Kerkhof, 2003). Vitamin D bekerja dengan berikatan dengan reseptor vitamin D 3 , yang merupakan anggota lain dari superfamili reseptor hormon inti, Vitamin D 3 bekerja dengan
meregulasi pertumbuhan sel, diferensiasi dan fungsi imun, dan juga
metabolisme kalsium dan fosfor. Vitamin D digunakan untuk menghambat proliferasi dari keratinosit pada kultur dan untuk mengatur proses diferensiasi epidermal. Selain itu, vitamin D menghambat produksi berbagai sitokin proinflamasi melalui klon sel T psoriasis termasuk IL-2 dan IFN-γ ( Menter, 2009 ; Gudjonsson dkk., 2012). Analog dari vitamin D yang telah digunakan sebagai terapi penyakit kulit adalah kalsipotrien (juga diketahui sebagai kalsipotriol), takalsitol dan maxakalsitol. Pada studi jangka pendek, ditemukan bahwa kortikosteroid topikal yang potenlebih superior daripada kalsipotrien. Jika dibandingkan dengan penggunaan antralin dalam jangka waktu yang singkat atau coal tar 15%, ternyata kalsipotrien lebih efektif. Efikasi dari kalsipotrien tidak berkurang meskipun
digunakan sebagai terapi jangka panjang. Kalsipotrien digunakan dua kali sehari dan lebih efektif daripada penggunaan sekali sehari. Adanya hiperkalsemia merupakan satu-satunya hal utama yang perlu diperhatikan dalam persiapan penggunaan vitamin D topikal. Jika jumlah yang digunakan tidak melampaui jumlah yang direkomendasikan yaitu 100 g/minggu, pemakaian kalsipotrien relatif aman ( Menter, 2009 ; Gudjonsson dkk., 2012). Dithranol ( 1,8- dihidroksi-9-antron) adalah zat yang terbentuk secara alami yang berasal dari kulit pohon araroba di Amerika Selatan. Dithranol juga bisa disintesis dari antron. Dithranol dibuat dalam bentuk krim, salep, atau pasta. Dithranol diakui sebagai terapi terapi psoriasis plak kronis. Sering digunakan sebagai terapi pada psoriasis. Bisa dikombinasikan dengan fototerapi UVB dengan hasil yang baik (rejimen Ingram). Efek samping yang paling sering adalah dermatitis kontak iritan dan dapat mewarnai baju, kulit, rambut dan kuku. Antralin memiliki
aktivitas anti proliperatif pada keratinosit manusia serta efek anti
inflamasi yang poten. Terapi antralin yang klasik dimulai dengan konsentrasi yang rendah (0,05-0,1%) yang dimasukkan ke dalam petrolatum atau pasta zinc dan diberikan sekali sehari ( Menter, 2009 ; Gudjonsson dkk., 2012). Penggunaan tar untuk terapi penyakit kulit telah ada sejak 2000 tahun yang lalu. Pada tahun 1925, Goeckerman memperkenalkan penggunaan coal tar mentah dan sinar UV sebagai terapi psoriasis. Tar bekerja dengan menekan sintesis DNA dan menurunkan aktivitas mitotik pada lapisan basal epidermis, dan beberapa komponen dari tar memiliki akivitas anti inflamasi. Tar sering dikombinasikan dengan asam salisilat (2%-5%), yang mana memiliki efek
keratolitik dan memudahkan penyerapan dari coal tar( Menter, 2009 ; Gudjonsson dkk., 2012). Tazaroten adalah generasi ketiga retinoid untuk penggunaan topikal yang terutama dapat mengurangi skuama dan plak yang tebal, namun kurang efektif untuk eritema. Diduga cara kerjanya dengan membentuk reseptor asam retinoid, akan tetapi target molekularnya belum diketahui. Tersedia dalam sediaan 0,05 % dan 0,1 % gel, dan formulasi krim telah dikembangkan. Jika obat digunakan sebagai monoterapi, sering terjadi iritasi lokal.
a jika tazaroten ditambahkan
ditengah-tengah penggunaan fototerapi ( Menter, 2009 ; Gudjonsson dkk., 2012). Takrolimus adalah antibiotika makrolida yang berasal dari bakteri Streptomyces tsukubaensis, dengan mengikat imunofilin protein pengikat FK506), membentuk kesatuan dan menghambat kalsineurin, juga dapat memblok baik sinyal transduksi dari limfosit T maupun transkripsi Il-2. Pimekrolimus adalah inhibitor kalsineurin dan bekerja dengan cara yang sama dengan takrolimus dan CsA. Agen ini sebagai terapi psoriasis pada wajah dan psoriasis inversa, memberikan terapi yang efektif ( Martin, 2009 ; Gudjonsson dkk., 2012). Asam salisilat merupakan agen topikal keratolitik, mekanisme kerjanya termasuk mengurangi adesi keratinosit dan menurunkan pH dari stratum korneum. Asam salisilat sering dikombinasikan dengan terapi topikal yang lain seperti kortikosteroid dan coal tar ( Menter, 2009 ; Gudjonsson dkk., 2012). Selama masa pengobatan perawatan kulit dengan emolien seharusnya dilakukan untuk mencegah kulit
kering, emolien dapat mengurangi skuama,
mengurangi nyeri lecet dan membantu mengontrol rasa gatal. Penggunaan terbaik
adalah segera setelah mandi. Penambahan urea (sampai 10 %) berguna untuk meningkatkan hidrasi dari kulit dan melepaskan skuama pada lesi awal. Penggunan emolien lunak
di atas
lapisan
meningkatkan hidrasi dan
mengurangi
terapi topikal yang tipis dapat
biaya pengobatan ( Menter, 2009 ;
Gudjonsson dkk., 2012). 2.1.11.2 Sinar ultraviolet B (290-320 NM) Dosis terapi UVB antara 50-75 % dariminimal eritema dose, diberikan dua atau lima kali setiap minggu. Terapi diberikan sampai remisi total tercapai atau sampai tidak ada perbaikan yang akan didapat jika terapi dilanjutkan.Narrowband (312 nm) UVB (NB-UVB) fototerapi lebih efektif dibandingkan dengan broadband konvensional UVB (290-320 nm) dengan melihat keberhasilannya baik dalam membersihkan maupun dalam hal
waktu remisi. Pancaran
supraeritematogenik yang dimiliki oleh UVB dan PUVA diketahui menghasilkan klirens psoriasis yang lebih cepat, namun ada faktor lain seperti intoleransi dari kulit normal disekitar lesi karena lesi psoriasis sering dapat lebih tahan terhadap paparan UV yang lebih tinggi. Laser eksimer monokromatik 308 nm bisa menghantarkan dosis supraeritematogenik seperti yang dimiliki oleh UVB dan PUVA ( sampai dengan 6 MED, biasanya dalam jarak 2-6 MED) secara terfokus pada lesi kulit. Dosis ditentukan berdasarkan kondisi kulit pasien dan ketebalan dari plak dengan dosis berikutnya berdasarkan respon dari terapi atau perkembangan dari efek samping (Honigsmann, 2001; Gudjonsson dkk., 2012).
2.1.11.3 Agen oral sistemik
Metotreksat memiliki efektivitas yang tinggi sebagai agen terapi psoriasis plak kronis dan juga diindikasikan untuk pemakaian jangka panjang pada psoriasis derajat berat, termasuk eritroderma psoriasis dan psoriasis pustular. Metotreksat diperkirakan bekerja secara langsung menghambat hiperproliferasi epidermal dengan jalan menghambat dihidrofolat reduktase. Waktu paruh MTX yang sangat panjang menyebabkan efikasi pengobatan baru terlihat setelah beberapa minggu pengobatan. Metotreksat diekskresi di ginjal dan seharusnya tidak diberikan pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal, karena efek samping MTX umumnya tergantung dosis.Efek samping lain yang dapat terjadi adalah mielosupresiterutama pansitopenia yang biasanya muncul pada keadaan defisiensi folat. Jika terjadi hepatotoksik, supresi hematopoetik, infeksi aktif, mual dan pneumonitis, maka pengobatan dengan MTX harus dihentikan. Metotreksat bersifat teratogenik dan sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil (Strober, 2006; Gudjonsson dkk., 2012). Mikofenolat mofetil adalah prodrug dari asam mikofenolat, suatu inhibitor dari inosine- 5’monophospate dehydrogenase. Asam mikofenolat ini mengurangi nukleotida guanosin terutama di limfosit sel mengamati terapi psoriasis, tetapi dalam penelitian prospektif terbaru, dicoba pada 23 pasien dengan dosis antara 23 g sehari, pengurangan dari skor PASI didapat dalam waktu 6 minggu , dengan 47 % perbaikan dalam waktu 12 minggu (Strober, 2006; Gudjonsson dkk., 2012). Sulfasalazine adalah agen sistemik yang jarang digunakan sebagai terapi psoriasis. Pada penelitian prospektif double blind untuk menilai efikasi sulfasalazine didapatkan efek yang sedang , dengan hasil 41 % pasien
menunjukkan perbaikan yang jelas, 41 % perbaikan sedang dan 18 % dengan perbaikan minimal setelah 8 minggu terapi. Secara umum, steroid sistemik tidak diberikan secara rutin sebagai terapi psoriasis, karena akan semakin dibutuhkan dosis yang makin tinggi untuk dapat mengontrol penyakit dan penghentian penggunaannya
secara
mendadakdapat
menimbulkan
kekambuhan
dan
eritroderma (Strober, 2006; Gudjonsson dkk., 2012). Asam fumarat pertama kali dilaporkan tahun 1959 berguna untuk pengobatan sistemik pada psoriasis dan diresmikan di Jerman sebagai pengobatan psoriasis. Mekanisme kerja ester asam fumarat (FAEs) pada pengobatan psoriasis belum sepenuhnya dimengerti, tetapi beberapa data penelitian menunjukkan adanya pembelokan respon sel T yang didominasi Th 1 pada psoriasis menjadi pola menyerupai Th2 dan menghambat proliferasi keratinosit. Kontraindikasi pemakaian agen ini adalah penderita dengan penyakit penyerta lainnya yang berat seperti penyakit gastrointestinal kronis, penyakit ginjal kronis atau penyakit sumsum tulang yang menyebabkan leukopenia atau disfungsi leukosit, wanita hamil atau menyusui dan pasien dengan penyakit keganasan. Hidroksiurea adalah antimetabolit yang dapat memberikan hasil yang efektif sebagai monoterapi. Namun dapat terjadi efek samping toksisitas sumsum tulang hingga menjadi leukopenia atau trombositopenia (Strober, 2006; Gudjonsson dkk., 2012). Siklosporin A adalah neutral cyclic undecapeptide yang berasal dari fungus Tolypocladium inflatum gams. Siklosporin A efektif untuk psoriasis kulit dan psoriasis pada kuku. Siklosporin Abekerja menghambat proliferasi sel T dan B dengan demikian akan memicu supresi respon imun seluler dan pembentukan
antibodi. Obat ini biasanya dapat ditoleransi dengan baik dan memiliki beberapa efek samping. Terapi jangka panjang psoriasis dengan menggunakan CsA dosis rendah dapat meningkatkan risiko kanker kulit non melanoma (Strober, 2006; Gudjonsson dkk., 2012). 2.1.11.4Terapi kombinasi Terapi kombinasi diberikan untuk mendapatkan meningkatkan efikasi dan mengurangi efek samping pengobatan sehingga menghasilkan perbaikan yang lebih besar dengan dosis yang sama dengan pengobatan tunggal. Data mengenai kombinasi terapi biologi dengan sistemik yang lain atau agen topikal masih belum banyak tersedia, tapi beberapa kombinasi biasanya digunakan sebagai terapi artritis inflamasi, seperti kombinasi MTX dan agen anti-TNF yang juga bermanfaat sebagai terapi penyakit psoriasis yang rekalsitran (Gudjonsson dkk., 2012). 2.1.11.5Terapi biologi 2.1.11.5.1 Terapi biologi dengan target selain IL-17 Berdasarkan perkembangan penelitian mengenai psoriasis dan adanya kemajuan di bidang biologi molekuler maka ditemukan sebuah agen baru terapi biologi. Agen-agen ini dirancang untuk menghambat molekuler spesifik yang penting dalam patogenesis psoriasis. Akhir-akhir ini dikemukakan tiga tipe agen biologi yang disetujui pemakaiannya pada psoriasis : (1) sitokin manusia rekombinan (2) protein fusi dan (3) antibodi monoklonal, yang dapat berasal dari organisme lain (chimeric) atau dari manusia (van de Kerkhof, 2006; Gudjonsson dkk., 2012).
Secara umum agen ini memiliki efek antipsoriasis yang sebanding dengan MTX dengan risiko hepatotoksisitas yang lebih sedikit. Penggunaan agen biologi ini diperlukan pada psoriasis berat bila tidak responsif dengan pengobatan MTX atau pada pasien-pasien dengan kontraindikasi penggunaan MTX. Agen biologi tersebut antara lain alefacept menyebabkan terganggunya aktivitas sel T, menyebabkan
apoptosis
(anti-CD11)
adalah
Efalizumab
terjadinya
dikembangkan
dan
memodifikasi
antibodi
monoklonal
proses
inflamasi.
manusia
yang
untuk terapi plak psoriasis. Efalizumab bekerja menghambat
aktivasi sel T, pergerakan sel T kutaneus dan adesi sel T ke keratinosit. Terapi ini tidak digunakan lagi dalam klinik setelah adanya penarikan dari pasar pada tahun 2009 setelah adanya laporan peningkatan insiden leukoensefalopati multifokal progresif (van de Kerkhof, 2006; Gudjonsson dkk., 2012). Aplikasi klinis pemakaian antagonis TNF –αuntuk penyakit inflamasi, mengingatkan kita saat kortikosteroid pertama ditemukan. Akhir-akhir ini ada empat sediaan anti -TNF biologis yang tersedia di Amerika Serikat. Infliximab adalah antibodi monokonal chimeric dengan spesifisitas, afinitas, dan aviditas yang tinggi terhadap TNF-α. Etanercept adalah rekombinan manusia, mudah larut,merupakan suatu protein fusi reseptor TNF-α- FcIgG yang mengikat TNF-α dan menetralkan aktivitasnya. Adalimumab dan golimumab adalah rekombinan antibodi monoklonal IgG1 dan bekerja spesifik pada TNF-α. Pada saat ini, hanya golimumab yang disetujui oleh FDA sebagai terapi psoriasis artritis. Percobaaan klinik telah menunjukkan bahwa setiap agen ditoleransi dengan baik dan tampaknya dapat digunakan sebagai terapi jangka panjang pada psoriasis plak
kronis. Walaupun, seperti target terapi biologis, mereka memiliki risiko imunosupresi dan keamanan jangka panjangnya membutuhkan penelitian lebih lanjut (Van de Kerkhof, 2006; Gudjonsson dkk., 2012). Usteki munab adalah antibodi monoklonal manusia yang mengikat subunit p40 yaitu IL-12 dan IL-13 dan mencegah interaksi dengan reseptornya. Studi klinistelah membuktikan bahwa ustekinumab lebih efektif dibandingkan etanercept dalam pengobatan psoriasis. Banyak obat barusaat ini dalam ujiklinis untuk pengobatan psoriasis. Antibodi monoklonal manusia yang secara langsung mengikat reseptor IL-17 tampaknya sangat efektif dalam uji klinis awal(Chiricozzi dkk., 2013; Declerq
dkk., 2013). 2.1.11.5.2 Terapi biologi dengan target IL-17 Berkembangnya pengetahuan dalam patogenesis psoriasis, mendorong penelitian-penelitian yang dilakukan pada sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel T. Dengan semakin berkembangnya bukti bahwa IL-17 memegang peranan yang sangat penting dalam patogenesis psoriasis, sehingga saat ini dikembangkan pengobatan psoriasis dengan menggunakan agen biologi bertarget pada IL-17. Agen biologi ini telah berhasil melewati uji klinis fase II, yang menurut pendapat beberapa ahli agen ini memberikan keberhasilan yang spektakuler. Agen biologi ini terdiri dari 2 jenis yaitu yang berperan menetralkan IL-17 seperti secukinumab dan ixekizumab dan kedua berperan sebagai antagonis reseptor IL-17 seperti brodalumab (Chiricozzi dkk., 2013). a. Secukinumab
Secukinumab merupakan antibodi monoklonal IgG1 terhadap IL-17. Pada penelitian fase II dilakukan untuk meneliti efektivitas dan keamanan penggunaan secukinumab yang diberikan secara subkutan pada psoriasis derajat sedang hingga berat. Setelah 12 minggu, didapatkan hasil perbaikan PASI score 75% pada kelompok intervensi (diberikan secukinumab dosis 150 mg) 81,5% dan 9,1% pada kelompok intervensi. Efek samping yang paling sering terjadi yaitu infeksi saluran nafas (Chiricozzi dkk., 2013; Declerq dkk., 2013). Respon klinis yang didapat berhubungan dengan menurunnya hiperplasia epidermis, penurunan infiltrasi IL-17, dan penurunan ekspresi gen berbagai sitokin dan kemokin. Dengan pemeriksaan RT-PCR didapatkan penurunan yang signifikan dari faktor proliferatif marker (keratin 16), gen yang berperan dalam tangga respon imun (TNF-α, IL-6, dan IL-1ß) dan gen lainnya seperti CCL20 dan IL-26 (Chiricozzi dkk., 2013; Declerq dkk., 2013). b. Brodalumab Brodalumab merupakan antibodi IgG2 monoklonal yang berfungsi sebagai anti reseptor IL-17. Pada penelitian fase I didapatkan efek antagonis oleh brodalumab terbukti efektif dalam perbaikan secara klinis, histologis, dan genomik pada psoriasis hanya dalam 1 minggu pengobatan. Pada penelitian fase II didapatkan perbaikan PASI score hingga 86,3% pada kelompok intervensi yang diberikan dosis 140 mg brodalumab secara subkutan setiap minggu, dibandingkan kelompok plasebo yang mencapai perbaikan hanya 16% dari PASI score. Terdapat 2 kasus dengan efek samping berupa netrofenia ringan (Chiricozzi dkk., 2013; Declerq dkk., 2013).
c. Ixekizumab Ixekizumab merupakan antibodi monokonal IgG4 anti IL-17, yang bekerja memblokade produksi sitokin keratinosit, betadefensin, peptida antimikrobial, kemokindan berbagai molekul lainnya yang meningkat pada lesi psoriasis. Pada pengobatan psoriasis derajat sedang hingga berat dengan ixekizumab didapatkan perbaikan baik secara klinis maupun histopatologi. Pada penelitian fase II didapatkan perbaikan PASI score hingga 90% sebanyak 71,4% dari kelompok intervensi yang mendapatkan ixekizumab 150 mg selama 12 minggu dibandingkan dengan kelompok plasebo hanya 0% (p< 0,0001). Efek samping yang dilaporkan berupa edema pada tempat injeksi dan infeksi saluran pernafasan atas (Chiricozzi dkk., 2013; Declerq dkk., 2013). Saat ini agen terapi biologi tersebut, sedang berada pada uji klinis fase III. Para ahli berpendapat anti IL-17 dapat menjadi agen teraupetik penting di masa mendatang, dan memiliki efek potensial dalam pengobatan penyakit-penyakit penyerta pada penderita psoriasis seperti penyakit jantung dan pembuluh darah serta psoriatic arhritis (Chiricozzi dkk., 2013; Declerq dkk., 2013). 2.2 Interleukin 17 2.2.1 Definisi interleukin 17 Interleukin 17 merupakan sitokin proinflamasi yang diekskresikan terutama oleh sel T yang telah teraktivasi, yaitu T-helper (Th), dan dapat juga dieksresikan oleh sel T CD8+, sel mast, netrofil dan natural cell killer(Lin dkk.,2009). Sel Th 17 dengan aktivasi IL-23, IL-1ß, dan IL-21 memproduksi berbagai mediator inflamasi seperti IL-17, dan IL-22 (Ciric dkk., 2009).
Gen IL-17 merupakan protein yang terdiri dari 150 asam amino dengan berat molekul 15 kDa. Terdapat dua bentuk aktif IL-17 yaitu disulfide-linked homodimers dan IL-17A linked IL17F heterodimers. Interleukin 17 homodimers memiliki aktivitas biologi yang lebih besar dalam menginduksi ekspresi gen, dibandingkan IL-17 linked IL17F heterodimers (Moseley dkk., 2003, Gaffen dkk., 2011). Interleukin 17 berikatan dengan reseptor IL-17RA yang merupakan protein transmembran tunggal dengan berat molekul 130kDa. Aktivasi dari IL17RA
sebagai akibat induksi oleh sitokin proinflamasi lainnya dan NF-ĸB
(Moseley dkk., 2003, Gaffen dkk., 2006). Interleukin 17 bekerja pada berbagai tipe sel termasuk sel endotel, fibroblast, kondrosit, sel sinovial, monosit, dan sel epitelial termasuk keratinosit (Harper dkk., 2009).Kadar normal interleukin 17 serum pada manusia cukup rendah, bahkan dapat tidak terdeteksi. Pemeriksaan kadar IL-17 dapat dilakukan secara kuantitatif dengan metode ELISA (Moseley dkk., 2003, Gaffen dkk., 2011). 2.2.2 Peranan interleukin 17 dalam berbagai penyakit autoimun dan infeksi Hingga saat ini, penyakit autoimun masih digolongkan dalam penyakit yang dimediasi oleh Th1 atau Th2. Selanjutnya paradigma mulai berubah dengan ditemukannya subset sel Th yaitu Th 17 yang memproduksi IL-17. Saat ini mulai diketahui bahwa banyak penyakit autoimun dimediasi oleh Th 17 karena fungsi biologi IL-17 konsisten dengan prosen inflamasi yang berlangsung kronis dan destruktif (Yamada dkk., 2010).
Salah satu peranan IL-17 adalah imobilisasi netrofil pada sel epitel, sel otot polos dan juga fibroblast yang dimediasi oleh kemokin CXC, termasuk IL-8 (CXCL8), dan growth-regulated oncogene-alpha (GROα, CXCL1) dan growth factors seperti granluocyte macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) (de Jong dkk., 2009). Selanjutnya IL-17 berperanan dalam eliminasi patogen dengan menginduksi
peptida
antimikrobial
seperti
ß-defensin
terutama
dalam
hubungannya dengan IL-22 (Liang dkk., 2006). Interleukin 17 memiliki berbagai aktivitas biologi yang potensial menyebabkan kerusakan jaringan dan proses degenerasi selama inflamasi kronis. Interleukin 17 menstimulasi makrofag untuk memproduksi berbagai sitokin inflamasi seperti IL-1ß dan TNF-α. Selanjutnya IL17 bekerja secara sinergis dengan IL-1ß dan TNF-α dan GM-SF yang diproduksi di fibroblas (Yamada, 2010). Dengan peran IL-17 tersebut, dalam beberapa penelitian didapatkan peningkatan kadar IL-17 jaringan atau serum pada penyakit-penyakit seperti inflamatory bowel disease, artritis rematoid, keganasan (multipel sklerosis), dermatitis atopik dan penyakit asma( Iwakura dkk., 2008; Yamada, 2010). Penelitian saat ini menunjukkan peran IL-17 pada penyakit infeksi oleh patogen pada epitel dan barier mukosa. Sitokin ini berperan penting dalam eradikasi bakteri ekstraseluler terutama oleh baktei Staphylococcus aureus, C. Rodentium dan Klebsiella pneumoniae yang menginfeksi kulit, kolon dan paruparu (Jin W., dkk., 2013). 2.2.3. Peranan interleukin 17 dalam patogenesis psoriasis
Terdapat bukti yang substansial tentang peran IL-17 pada psoriasis tipe plak (Harper dkk., 2009; Johansen dkk., 2009). Penelitian-penelitian
genetik
menunjukkan hubungan gen IL-17 dalam patogenesis psoriasis. Beberapa penelitian menggunakan pemeriksaan quantitative real-time PCR untuk menunjukkan adanya peningkatan ligan IL-17 dan IL-23 pada jaringan dengan lesi psoriasis dibandingkan tanpa lesi psoriasis. Didapatkan peningkatan ekspresi IL-17 pada jaringan dengan lesi psoriasis dibandingkan dengan
tanpa lesi
psoriasis (Harper dkk., 2009; Johansen dkk., 2009; Russell dkk., 2011). Pada penelitian genetik juga didapatkan peningkatan beberapa gen proinlamasi yang diatur IL-17 pada keratinosit seperti ß-defensin, kemoatraktan netrofil, dan kemokin CCL20 (Nograles dkk., 2008). Adanya subset Th1 dan Th17 pada psoriasis tampaknya memiliki efek menghambat efek inhibisi antara keduanya. Pada psoriasi Th1 memicu ekspansi sel Th 17. Seperti diketahui sebelumnya sel Th 17 memilki kemampuan berdiferensiasi menjadi IFN-λ penghasil sel Th 1, walaupun hal ini tidak dapat terjadi sebaliknya (Kryczek dkk., 2008; Hirota dkk., 2011). Analisis molekuler dan seluler pada kulit psoriasis telah menambah pengetahuan tentang patogenesis penyakit yang sebelumnya diketahui Th1 berperan penting dalam patogenesis penyakit. Selanjutnya yang menarik hasil dari uji klinis menunjukkan hasil terapi psoriasis yang sukses dengan penghambat baik IL-17 maupun reseptornya, sehingga semakin menguatkan pengetahuan tentang peran penting IL-17 dalam patogenesis psoriasis (Martin dkk., 2013).
Peran sentral IL-17 dalam patogenesis psoriasis belum dipahami sepenuhnya, namun dijelaskan dengan adanya elemen inflamasi pusat yang terdiri dari Th 17 yang memproduksi IL-17 dengan sensitasi dari IL-23. Interleukin 17 bekerja seperti hormon yang dapat mempengaruhi sel lain melalui reseptor pada permukaan sel (parakrin). Interleukin 17 mampu menstimulasi sel basal keratinosit untuk berproliferasi dan berdiferensiasi
lebih cepat. Mekanisme
stimulasi ini belum diketahui secara pasti, namun pada beberapa penelitian dijelaskan sebagai berikut. Interleukin 17 setelah berikatan dengan reseptor IL17RA yang ada di keratinosit, selanjutnya keratinosit akan tersensitasi untuk mengekspresikan regenerating islet-derived protein 3-alpha (REG3A). Protein REG3A ini memberikan feed back pada keratinosit untuk menghambat terminasi diferensiasi, dan meningkatkan proliferasi sel melalui ikatan dengan exostosinlike 3 (EXTL 3), diikuti aktivasi phosphatidylinositol 3 kinase (PI3K) (Lai dkk., 2013).Sedangkan pada penelitian lainnya menemukan peran IL-17 melalui sinyal stress- activated ptotein kinases (CIKS) sehingga menimbukan hiperproliferasi dan gangguan diferensiasi keratinosit (Lin Ha dkk., 2014). Interleukin 17 juga mampu meningkatkan produksi faktor proinflamasi seperti peptida antimikrobial (AMPs), faktor angiogenik, dan kemokin seperti CCL20 yang menarik baik sel Th 17 dan sel dendritik (DCs) (Martin dkk., 2013). Patogenesis tersebut menimbulkan kelainan yang dapat diamati secara histologis sebagai kelainan dasar pada psoriasis yaitu akantosis, perubahan endotel vaskuler dermis seperti angiogenesis dan dilatasi vaskuler, dan infiltrasi sel radang terutama oleh limfosit T. Faktor inflamasi tambahan seperti IL-22, dan
TNF-α yang secara sinergis dengan IL-17 mengaktifkan sel inflamasi seperti sel Th1 dan Th 22. Selanjutnya Th1 dan Th 22 mengamplifikasi respon elemen pusat melalui peran faktor inflamasi,
faktor angiogenikdan kemoatraktan yang
dihasilkan oleh keratinosit.Dengan demikian elemen inflamasi pusat dan elemen infamasi
tambahan
bekerja
secara
sinergis
untuk
membentuk
dan
mempertahankan lingkaran inflamasi sehingga terjadi lesi psoriasis yang berlangsung kronis (Martin dkk., 2013). Pada Gambar 2.7 terlihat elemen inflamasi pusat yang dapat mempertahankan siklus inflamasi secara sinergis bersama elemen proinflamasi tambahan dan selanjutnya menguatkan elemen pusat.
Gambar 2.7. Peran Sentral IL-17 dalam Patogenesis Psoriasis(Martin dkk., 2013)
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir Saat ini mulai diketahui bahwa selain faktor genetikdan lingkungan, terdapat peran penting sistem imun dalam patogenesis psoriasis.Patogenesis psoriasis diawali denganpresentasi peptida antigen oleh APC pada sel T sehingga menyebabkan aktivasi sel T. Sel T teraktivasi akan berdiferensiasi menjadi Th 17 dan akan menghasilkan IL-17. Selanjutnya IL-17 akan menstimulasi gangguan proliferasi dan diferensiasi keratinosit melalui ikatan dengan reseptor IL-17RA, sehingga keratinosit akan tersensitasi untuk mengekspresikan regenerating isletderived protein 3-alpha (REG3A). Protein REG3A ini memberikan feed back untuk menghambat terminasi diferensiasi, dan meningkatkan proliferasi sel melalui ikatan dengan exostosin-like 3(EXTL3). Interleukin 17 juga berperan meningkatkan produksi faktor proinflamasi seperti antimicrobial peptides (AMPs), dan faktor angiogenik.Peran sentral IL-17 ini menimbulkan kelainan dasar psoriasis yaitu akantosis, perubahan endotel vaskuler dermis seperti angiogenesis serta dilatasi vaskuler, dan infiltrasi sel radang terutama oleh limfosit T. Interleukin 17 yang berperan sentral dalam patogenesis psoriasis maka akan didapatkan peningkatan kadar IL-17 dalam darah penderita psoriasis. Bentuk tipikal dari psoriasis adalah psoriasis vulgaris. Interleukin 17 juga didapatkan 47
meningkat pada Inflamatory bowel disease, artritis rematoid, keganasan, dermatitis atopik dan asma. Agen terapi psoriasis baik secara topikal maupun sistemik secara umum bekerja dengan meregulasi sistem imun (imunodulator), dan meregulasi diferensiasi sel sehingga dapat mempengaruhi manifestasi klinis atau derajat keparahan psoriasis vulgaris. 3.2 Bagan Kerangka Konsep
Meningkat pada penyakit : Th 17
• • • • • •
IL- 17
Penghambat: Agen terapi psoriasis topikal, fototerapi, maupun sistemik.
Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris
Keterangan : -----
Inflamatory bowel disease Artritis rematoid keganasan dermatitis atopik asma infeksi
tidak diteliti diteliti
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep
3.3 Hipotesis 1. Terdapat korelasi positif antara kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris. 2. Kadar IL-17 serum pada penderita psoriasis vulgaris lebih tinggi dibandingkan dengan pada bukan penderita psoriasis.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Subjek penelitian diambil dari penderita yang berkunjung ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Denpasar. Populasi Sampel Penderita psoriasis vulgaris IL-17
-------- PASI score
Gambar 4.1Rancangan Penelitian
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilakukan di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Denpasar, mulai bulan November hingga Desember 2014. Penelitian juga akan melibatkan Laboratorium Prodia Denpasar, sebagai laboratorium rujukan pemeriksaan kadar IL-17 serum.
50
4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi Target Seluruh penderita psoriasis vulgaris. 4.3.2 Populasi Terjangkau Penderita psoriasis vulgaris yang berkunjung ke di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Denpasar, mulai bulan November hingga Desember 2014. 4.3.3 Sampel penelitian 4.3.3.1 Kriteria inklusi 1. Semua penderita psoriasis vulgaris baik baru atau lama yang berkunjung ke poliklinik kulit dan kelamin 2. Keadaan umum baik 3. Bersedia untuk ikut serta dalam penelitian, dan menandatangani informed consent 4.3.2.2 Kriteria eksklusi 1. Mendapatkan pengobatan psoriasis baik topikal, fototerapi maupun sistemik minimal dalam 2 minggu sebelumnya 2. Sedang menderita penyakit inflamatory bowel disease, artritis rematoid, keganasan (sklerosis multipel), dermatitis atopik penyakit asma dan penyakit infeksi 4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling dari populasi terjangkau, yaitu di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Denpasar, mulai bulan November hingga Desember 2014, yang memenuhi kriteria inklusi,
dijadikan
subjek
penelitian
sampai
memenuhi
jumlah
sampel
yang
diperlukan(consecuitve sampling). 4.3.5 Besar Sampel Zα + Zβ2 + 3 0,5 ln[ (1+r)/(1-r)]
N =
Dimana : N
: besar sampel.
Zα
: deviat baku alfa.
Zβ
: deviat baku beta.
R
: korelasi
(Dahlan, 2008)
Pada penelitian terdahulu mendapatkan kadar IL-17 serum berkorelasi dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris (PASI score), dengan asumsi ratarata minimal yang dianggap signifikan (r) adalah 0,5 (Almakhazangy dkk., 2009) dengan tingkat kemaknaan sebesar 1,96 dan power penelitian sebesar 80% (0,842). Dengan menggunakan rumus di atas, diperlukan sampel psoriasis vulgaris sebesar 30 orang. 4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel 1. Variabel tergantung : derajat keparahan psoriasis vulgaris yang diukur berdasarkan PASI score (variabel numerik) 2. Variabel bebas : kadar IL-17 serum (variabel numerik) 3. Variabel perancu : penyakit inflamatory bowel disease, arhtritis rheumatoid, keganasan (multipel sklerosis), dermatitis atopik, asma, dan
individu yang menerima terapi antipsoriasis baik sistemik maupun topikal. Variabel perancu ini dikendalikan by design melalui kriteria inklusi dan eksklusi. 4.4.1 Definisi Operasional Variabel 1. Penderita psoriasis vulgaris adalah penderita psoriasis vulgaris yang didiagnosis dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisik. Psoriasis vulgaris ditandai dengan lesi berupa plak eritema, batas tegas, skuama putih tebal dengan tanda Auspitz positif pada area predileksi seperti area kulit kepala, siku, lutut, dan area lumbosakral. 2. Derajat keparahan psoriasis vulgaris merupakan tingkat keparahan psoriasis vulgaris yang diukur menggunakan PASI score. PASI score merupakan skor untuk mengukur derajat keparahan psoriasis vulgaris. Pada penilaian PASI, tubuh dibagi menjadi 4 area/regio yaitu A1 (kepala dan leher), A2 (ekstremitas atas), A3 (badan), dan A4 (ekstremitas bawah). Derajat keparahan lesi psoriasis atau intensitas diukur dalam 3 kategori yaitu pertama dari warna lesi, ketebalan lesi, dan tebalnya skuama. Untuk pengukuran luas area yang terkena, maka tubuh dinilai dalam 4 area seperti yang disebutkan sebelumnya, kemudian dihitung persentasenya berdasarkan luas masing-masing area tersebut. Skor PASI dihitung dengan menjumlahkan C1+C2+C3+C4. Psoriasis vulgaris derajat ringan berada pada PASI score< 7, derajat sedang pada PASI score 7-12 dan derajat berat pada PASI score>12.
3. Interleukin17 serum adalah kadar interleukin dalam serum yang diambil melalui pembuluh darah vena. Kadar interleukin 17 serum diukur secara kuantitatif melalui pemeriksaan high sensitivityELISA dengan satuan pg/ml, dengan sensitivitas hingga 0,01 pg/ml, dengan rentang standar pengukuran 0,23-15 pg/ml. Jika hasil yang didapat berada di luar rentang standar pengukuran maka hasil tersebut merupakan hasil ekstrapolasi. 4. Bukan penderita psoriasis adalah individu yang datang ke poliklinik kulit kelamin RSUP Sanglah, yang tidak memiliki gambaran klinis psoriasis pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. 5. Umur ditentukan dari data yang tercantum pada kartu identitas atau didapatkan melalui wawancara yang mendalam. 6. Jenis kelamin adalah laki-laki/perempuan, ditetapkan berdasarkan data yang tercantum pada Kartu Tanda Penduduk. 7. Trauma fisik adalah jejas atau luka akibat faktor fisik yang mengakibatkan terputusnya kontinuitas normal dari kulit (epidermis dan atau dermis), ditentukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, yang diidentifikasi melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. 8. Stres psikologis merupakan proses adaptif atau proses psikologis akibat dari tindakan, situasi, atau kejadian eksternal yang menyebabkan tuntutan fisik dan atau psikologis terhadap seseorang, yang ditentukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. 9. Infeksi adalah masuk dan berkembangnya agen meliputi bakteri, virus, atau jamur ke dalam tubuh. Infeksi diidentifikasi melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik berupa peningkatan suhu tubuh, pembengkakan kelenjar getah bening, dan didukung adanya kelainan laboratorium (pemeriksaan darah lengkap; peningkatan kadar leukosit, dan laju endap darah, pemeriksaan urin lengkap, dan feses lengkap). 10. Obat-obat yang dapat memicu psoriasis adalah litium, beta-blockers, anti malaria,
nonsteroidal
anti-inflammatory,
tetrasiklin,
angiotensin-
converting enzyme inhibitors, calcium-channel blockers, dan potasium iodida. Adanya penggunaan obat-obatan tersebut diketahui melalui wawancara mendalam atau catatan medis bila diperlukan. 11. Agen anti psoriasis adalah bahan atau cara yang digunakan untuk terapi psoriasis baik topikal, fototerapi, maupun sistemik. Agen topikal yaitu kortikosteroid topikal, analog vitamin D 3 , dithranol, tar, tazaroten, takrolimus, pimekrolimus, dan asam salisilat. Agen sistemik meliputi metotreksat,mikofenolat
mofetil,
sulfasalazin,
asam
fumarat,
dan
siklosporin A. Adanya penggunaan obat-obatan tersebut diketahui melalui wawancara mendalam atau catatan medis bila diperlukan. 12. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronis yang sering kambuhkambuhan terjadi paling sering pada masa bayi awal dan anak-anak. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa gejala lesi kulit pada daerah predileksi (pada anak-anak di daerah ekstensor, pada orang dewasa di daerah fleksor), terasa gatal, dan keluarga dengan riwayat atopik (asma, rinitis alergi, dan dermatitis atopik).
13. Artritis rematoid adalah penyakit autoimun kronis yang menyebabkan inflamasi dan deformitas sendi, biasanya mengenai sendi kecil pada tangan, kaki, dan tulang leher belakang, atau juga pada sendi lebih besar seperti bahu dan lutut. Diagnosis ditegakkanberdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik berupabengkak pada sendi, nyeri dan hangat, dan kekakuan sendi yang membatasi pergerakan. 14. Keganasan adalah kecenderungan kondisi medis (terutama tumor) yang memburuk secara progresif dan berpotensi menyebabkan kematian. Keganasan ditandai dengan adanya anaplasia, invasif, dan metastasis. Adanya keganasan ditentukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang jika dibutuhkan. 15. Penyakit asma merupakan penyakit inflamasi kronis berupa obstruksi saluran nafas dan bronkospasme yang rekuren. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa gejala tipikal berupa sesak nafas, batuk, dan ditandai adanya wheezing. 16. Irritable bowel disease(IBD) merupakan penyakit idiopatik yang disebabkan oleh disregulasi respon imun terhadap mikroflora saluran cerna. Dua jenis IBD adalah kolitis ulseratif, dan Chron disease. Diagnosis IBD ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa adanya gejala seperti diare, konstipasi, gangguan saat buang air besar, nyeri dan kram pada perut, danmual muntah. 4.5 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah vena dari subjek penelitian. 4.6 Instrumen Penelitian Formulir informed consent dan rekam medis disiapkan untuk pencatatan identitas, hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan riwayat penyakit pasien. 4.6.1 Alat-alat 1. Sarung tangan. 2. Torniket 3. Jarum suntik atau spuit. 4. Plester dan kapas alkohol. 5. Centrifuge. 6. Microplate reader. 7. Pipet. 8. Aqua destilata. 9. Automated microplate washer. 10. Tabung reaksi. 4.6.2 Reagen 1. IL-17 microplate. 2. IL-17 conjugate. 3. IL-17 standard. 4. Wash buffer concentrate : larutan buffersurfactant dengan pengawet. 5. Reagen warna A : hidrogen peroksida. 6. Reagen warna B : tetrametilbenzidin.
7. Stop solution : asam sulfur. 8. Plate covers. 4.7 Prosedur Penelitian 4.7.1 Protokol Penelitian 1. Penderita yang datang berobat ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Denpasar dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mengetahui menentukan kriteria inklusi dan eksklusi. 2. Anamnesis meliputi : identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat pengobatan, riwayat penyakit keluarga, dan riwayat sosial. 3. Pemeriksaan fisik, meliputi : tanda-tanda vital, status general, dan status dermatologi. 4. Penderita yang telah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, diminta untuk menandatangani informed consent sebagai persetujuan keikutsertaan dalam penelitian. Sedangkan penderita yang tidak memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dikeluarkan dari subjek penelitian. 5. Penilaian derajat keparahan psoriasis. 6. Pengambilan darah vena subjek penelitian. 7. Pemeriksaan kadar IL-17
4.7.1 Protokol penelitian
Populasi target Penderita psoriasis vulgaris
Populasi terjangkau Penderita psoriasisvulgaris yang berkunjung ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Denpasar dari November hingga Desember 2014
Kriteria inklusi
Kriteria eksklusi
Informed consent Sampel penelitian Anamnesis Pemeriksaan Fisik
Pengukuran PASI score Pengambilan darah vena
A
N
A
L
Nilai PASI score Kadar IL-17 serum
I
S
I
S
D
Gambar 4.2 Protokol Penelitian
A
T
A
4.7.2 Pengambilan Data Prosedur pengukuran kadar IL-17 meliputi pengambilan spesimen penelitian dan pemeriksaan kadar IL-17 yang akan dilakukan di Laboratorium Prodia Denpasar. 4.7.2.1 Pengambilan spesimen Spesimen yang diambil adalah darah yang diambil dari vena lengan subjek penelitian sebanyak 3 cc, dengan prosedur sebagai berikut : 1. Lengan subjek diikat dengan torniket dan subjek diminta menggenggam tangannya untuk memudahkan identifikasi vena. 2. Desinfeksi daerah sekitar vena yang dituju dengan menggunakan swab alkohol. 3. Penusukan vena yang dituju dengan menggunakan spuit yang telah tersedia, hingga tampak darah mengalir dalam spuit. 4. Melepas torniket pada lengan, dan subjek dapat membuka genggaman tangannya. 5. Menutup bekas tusukan dengan menggunakan plester. 6. Darah yang didapat diletakkan pada tabung darah dan dibiarkan membeku pada suhu ruangan. 7. Kemudian dilakukan sentrifuge selama 15 menit 8. Serum yang didapat dipisahkan dan disimpan dalam suhu -20˚C
4.7.2.2 Pemeriksaan kadar IL-17 Pemeriksaan kadar IL-17 dilakukan di Laboratorium Prodia Denpasar dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Persiapan reagen, standar kerja, dan sampel. 1.
Bawa reagen Human interleukin 17 ELISA Assay kit pada suhu ruangan sebelum digunakan.
2.
Bilas tabung microwell dengan 400 mikroliter bufer, diamkan buffer selama 10-15 menit hingga mengendap.
3.
Tambahkan 100 mikroliter sample diluent pada standard wells. Ambil bahan dari standard wells sebanyak 100 mikroliter, kemudian diletakkan pada tabung A1 dan A2, kemudian dicampur hingga homogen. Kemudian masing-masing campuran ini dipindahkan ke dalam tabung B1 dan B2. Buat dua garis kadar IL-17 serum standar dari 0,23 pg/ml hingga 15,00 pg/ml.
4.
Tambahkan 100 mikroliter sample diluent pada tabung kosong, tambahkan 50 mikroliter sample diluent pada tabung sampel, dan tambahkan masing-masing 50 mikroliter sample diluent pada tabung sampel. Kemudian tutup dengan adhesive film dan inkubasi pada suhu ruangan.
5.
Tambahkan 100 mikroliter streptavidin-HRP pada seluruh tabung, termasuk pada tabung yang kosong, kemudian tutup dengan adhesive film selama 1 jam pada suhu ruangan.
6.
Aspirasi dan bilas tiap tabung seperti pada langkah ke-4.
7.
Tambahkan 100 mikroliter larutan substrat (campuran reagen warna A dan B) pada tiap tabung. Inkubasi selama 30 menit pada suhu ruangan, dan terlindung dari sinar matahari.
8.
Tambahkan 50 mikroliter stop solution pada tiap tabung. Tentukan densitas optik menggunakan microplate reader pada 450 nm selama 30 menit.
9.
Pembuatan kurva standar untuk menghitung kadar IL-17 pada kontrol ataupun sampel.
4.8 Analisis Data Data yang telah terkumpul dan tersusun, diolah dan dianalisis secara deskritif, kemudian dianalisis dengan uji statistik yang sesuai, menggunakan analisis statistik program komputer SPSS maupun secara manual dengan nilai p <0,05 dianggap bermakna. 1.Analisis statistik deskritif Analisis ini dilakukan untuk menggambarkan karakteristik sampel yang meliputi distribusi umur, dan jenis kelamin. 2. Uji normalitas data Data berupa variabel numerik seperti umur, kadar IL-17, dan PASI Score diuji
normalitasnya
dengan
Kolmogoronov-Smirnov
untuk
mengetahui
distribusinya. 3. Analisis korelasi dan regresi linier Menguji korelasi antara kadar IL-17 dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris, mengunakan metode Spearman karena data berdistribusi tidak normal.
4. Analisis komparasi Menguji perbandingan kadar IL-17 antara penderita psoriasis vulgaris dengan bukan psoriasis, menggunakan metode Mann-Whitney karena data berdistribusi tidak normal.
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Sampel Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan cara consecutive sampling pada populasi terjangkau, yaitu poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Denpasar periode bulan November hingga Desember 2014. Total jumlah subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah sebanyak 50 orang yang terdiri dari 30 subyek penderita psoriasis dan 20 dari bukan penderita psoriasis. Karakteristik subyek penelitian dibedakan berdasarkan jenis kelamin, golongan umur, kadar IL-17 serum dan PASI score. 5.1.1 Karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin Karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.1 dan Tabel 5.1.
Gambar 5.1 Diagram Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin 64
Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin
Penderita Psoriasis Vulgaris
Bukan
Total
Penderita Psoriasis
Laki-laki
19 (63,3%)
7 (35%)
26 (52%)
Perempuan
11 (36,7%)
13 (65%)
24 (48%)
Total
30
20
50
Pada Gambar 5.1 menggambarkan karakteristik sampel pada penelitian ini bahwa proporsi jenis kelamin laki-laki (52%) dengan hampir sama dengan jenis kelamin perempuan (48%). Sedangkan pada kelompok penderita psoriasis vulgaris didapatkan proporsi penderita dengan jenis kelamin laki-laki (63,3%) lebih banyak daripada jenis kelamin perempuan (36,7%). Pada kelompok bukan penderita psoriasis didapatkan proporsi jenis kelamin perempuan (65%) lebih banyak dibandingkan jenis kelamin laki-laki (35%).
5.1.2 Karakteristik sampel berdasarkan kelompok usia Tabel 5.2 Karakteristik Penderita Psoriasis Vulgaris dan Bukan Psoriasis Berdasarkan Kelompok Usia Kelompok Usia
Psoriasis
Bukan
Total
Vulgaris
Psoriasis
15- 29 tahun
1 (3,3%)
1 (5,0%)
2 (4%)
30-44 tahun
11 (36,7%)
18 (90,0%)
29 (58%)
45-59 tahun
15 (50,0 %)
1 (5,0%0
16 (32%)
≥ 60 tahun
3 (10,0%)
0 (0%)
3 (6%)
Tota
30 (100%)
20 (100%)
50 (100%)
Rerata Usia
46,7 ±10,0
33,5 ± 4,6
Tabel 5.2 menunjukkan pada sampel penderita psoriasis vulgaris dengan kelompok usia terbanyak adalah kelompok usia 45-59 tahun (50,0%). Sampel pada kelompok usia 15-29 tahun sebanyak 1 (3,3%), kelompok usia 30-44 tahun sebanyak 11 (36,7%), dan kelompok usia lebih atau sama dengan 60 tahun sebanyak 3 (10,0%). Sedangkan pada sampel bukan penderita psoriasis didapatkan jumlah sampel terbanyak pada kelompok usia 30-44 tahun (58%).
5.1.3 Karakteristik sampel psoriasis vulgaris berdasarkan derajat keparahan psoriasis vulgaris Berdasarkan derajat keparahan psoriasis vulgaris, didapatkan distribusi jenis kelamin dan usia sampel sebagai berikut:
Tabel. 5.3 Karakteristik Sampel Psoriasis Vulgaris Berdasarkan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris. No
Karakteristik
Psoriasis Vulgaris Ringan
1.
Sedang
Total Berat
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
7(77,8%) 8(57,1%)
4(57,1%) 19(63,3%)
2(22,2%) 6(42,9%)
3(42,9%) 11(36,7%)
Total 9(30%)
14(46,7%) 7(23,3%)
15- 29 tahun
0 (0%)
1(7,1%)
30-44 tahun
30(100%)
Usia (tahun) 2.
0(0%)
1(3,3%)
2(22,2%) 6(42,9%)
4(57,1%)
12(40%)
45-59 tahun
6(66,7%) 5(35,7%)
3(42,9%) 14(46,7%)
≥ 60 tahun
1(11,1%) 2(14,3%)
0(0%)
Total
9(30%)
14(46,7%) 7(23,3%)
3(10%) 30(100%)
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa derajat keparahan psoriasis vulgaris terbanyak adalah psoriasis vulgaris derajat sedang 14 (46,7%)yang terdiri dari jenis kelamin perempuan 8(57,1%) dan jenis kelamin laki-laki 6 (42,9%), dengan kelompok usia terbanyak adalah 30-44 tahun 6(42,9%). Kelompok sampel psoriasis vulgaris dengan derajat ringan sebanyak 9(26,6%) yang terdiri dari jenis kelamin laki-laki 7(77,8%) dan jenis kelamin perempuan 2(22,2%), dengan kelompok usia terbanyak 45-59 tahun 6 (66,7%). Sedangkan pada kelompok psoriasis vulgaris derajat berat sebanyak 7 (26,7%) yang terdiri dari jenis kelamin laki-laki 4(57,1%) dan jenis kelamin perempuan 3 (42,9%), dengan kelompok usia terbanyak adalah 30-44 tahun 4(57,1%). 5.2 Kadar IL-17 Serum Penderita Psoriasis
Vulgaris Berdasarkan Jenis
Kelamin dan Usia Nilai median kadar IL-17 serum penderita psoriasis vulgaris berdasarkan jenis kelamin dan usia disajikan pada Tabel 5.4 berikut ini. Untuk mengtahui perbedaan kadar IL-17 serum berdasarkan jenis kelamin digunakan uji MannWhitney, sedangkan untuk mengetahui perbedaan kadar IL-17 serum berdasarkan kelompok usia digunakan uji Kruskal-Wallis karena data tersebut terdistribusi tidak normal.
Tabel. 5.4 Kadar IL-17 Serum Penderita Psoriasis Vulgaris Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia. No
Karakteristik
Kadar IL-17 Serum (pg/ml) Median
Interquartile
P
Range 1.
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
1,59
0.80
1,29
0,81
1,78
0,0
1,87
1,71
1,25
0,80
1,29
0,0
0,497
Usia (tahun) 2.
•
15-29 tahun
•
30-44 tahun
•
45-59 tahun
•
≥ 60 tahun
0,885
p = significance (p<0,005) Pada Tabel 5.4 terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar IL-17 serum penderita psoriasis vulgaris laki-laki (1,59) dan perempuan (1,29) dengan nilai p= 0,497. Berdasarkan kelompok usia juga tidak didapatkan perbedaan kadar IL-17 yang signifikan antara masing-masing kelompok umur, dengan nilai p = 0,885.
5.3 Perbedaan Kadar IL-17 Serum Penderita Psoriasis Vulgaris Berdasarkan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris Pada Tabel 5.5 berikut dijabarkan hasil analisis kadar IL-17 serum penderita psoriasis vulgaris berdasarkan derajat keparahan psoriasis vulgaris dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis karena data tidak terdistribusi normal. Pada masing-masing kelompok didapatkan adanya perbedaan median kadar IL-17 serum yang signifikan (p < 0,001). Tabel 5.5 Kadar IL-17 Serum Penderita Psoriasis Vulgaris Berdasarkan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris
Derajat Keparahan
Kadar IL-17 Serum (pg/mL) MedianInterquartilep Range
Ringan Sedang
1,07 1,69
Berat p = significance (p<0,005)
0,33
0,63 3,57
3,4
<0,001
Pada Gambar 5.2 menunjukkan kadar IL-17 serum berdasarkan derajat keparahan psoriasis. Gambar tersebut menunjukkan semakin berat derajat keparahan psoriasis vulgaris (semakin ke kanan) maka kadar IL 17 akan semakin tinggi (semakin ke arah atas).
Kadar IL-17 serum (pg/ml)
Derajat keparahan psoriasis vulgaris berdasarkan PASI score Gambar 5.2 Grafik PerubahanKadar IL-17 Serum Penderita Psoriasis Vulgaris Berdasarkan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris
5.4 Korelasi Kadar IL-17 Serum Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris Korelasi kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris yang diukur berdasarkan PASI score dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5.6 Korelasi Kadar IL-17 Serum Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris.
Variabel bebas
Variabel tergantung Derajat keparahan psoriasis vulgaris Koefisien korelasi
Kadar IL-17 serum
p (sig)
0,981<0,001
p = significance (p<0,005)
Korelasi kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman’s rho. Pada Tabel 5.6 dapat dilihat adanya korelasi positif antara kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris yang signifikan, dengan nilai koefisien korelasi (r) = 0,981 dan p< 0,001.
Gambaran Scatter plot hasil korelasi antara kadar IL-17 serum dengan skor PASI disajikan pada Gambar 5.3. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin tinggi kadar IL-17 serum maka akan semakin tinggi nilai PASI score atau semakin berat derajat keparahan psoriasis vulgaris. Dengan nilai koefesien beta sebesar 3,3 yang berarti setiap peningkatan 1 pg/ml IL-17 serum akan diikuti peningkatan PASI score sebesar 3,3.
Derajat keparahan psoriasis vulgaris (PASI Score)
Kadar IL-17 serum (pg/ml) Gambar 5.3 Scatter plot korelasi antara IL-17 serum dengan PASI score
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perubahan IL-17 serum terhadap perubahan PASI score maka dilakukan uji regresi linier dan didapatkan
R2 sebesar 0,921 artinya 92,1% variasi derajat berat psoriasis dipengaruhi oleh kadar IL-17 serum. 5.5 Perbedaan Kadar IL-17 Serum Antara Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Bukan Penderita Psoriasis Vulgaris Setelah dilakukan uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov, didapatkan data tidak terdistribusi normal maka analisis perbedaan kadar IL-17 serum psoriasis vulgaris dengan bukan psoriasis vulgaris menggunakan uji MannWhitney. Tabel 5.7 Perbedaan Kadar IL-17 Serum Antara Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Bukan Penderita Psoriasis Vulgaris
Kadar IL-17 Serum (pg/mL) Median
Interquartile
Range
Perbedaan
p
Median
Psoriasis Vulgaris
1,4
0,9
Bukan Psoriasis Vulgaris
0,2
0,5
1,2
<0,001
p = significance (p<0,005)
Pada Tabel 5.7 terlihatkadar IL-17 serum didapatkan lebih tinggi pada penderita psoriasis vulgaris (1,4 ± 0,9) daripada bukan psoriasis vulgaris (0,2 ± 0,5). Pada analisis tersebut didapatkan adanya perbedaan kadar IL-17 yang signifikan sebesar 1,2 (p <0,001).
Kelompok sampel Gambar 5.4 Box plot kadar IL-17 serum pada penderita psoriasis vulgaris dan bukan penderita psoriasis. Perbedaan kadar ini ditunjukkan Gambar 5.4 tampak bahwa rerata kadar IL-17 serum pada kelompok psoriasis vulgaris (kanan) lebih tinggi daripada bukan psoriasis vulgaris (kiri), dengan kecenderungan kadar IL 17 serum penderita psoriasis vulgaris untuk mencapai nilai yang lebih tinggi.
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Penderita Psoriasis Vulgaris Pada penelitian ini melibatkan 30 sampel penderita psoriasis vulgaris. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive random sampling dan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah. Pada sampel penderita psoriasis vulgaris didapatkan proporsi jenis kelamin laki-laki 19 (63,3%) sedikit lebih tinggi dibandingkan proporsi jenis kelamin perempuan 11 (36,7%) dengan perbandingan 1,73:1. Secara umum diketahui bahwa angka kejadian psoriasis pada jenis kelamin laki-laki dengan perempuan adalah hampir sama. Belum ada bukti
yang
menunjukkan perbedaan secara fenotip psoriasis vulgaris antara kedua jenis kelamin tersebut (Griffiths dkk., 2010; Gudjonsson dkk, 2012). Penelitian oleh Kurd dan Gefland yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan tidak ada perbedaan angka kejadian psoriasis antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan (Kurd dkk., 2009). Akhir-akhir ini beberapa penelitian mendapatkan angka kejadian psoriasis pada jenis kelamin laki-laki sedikit lebih tinggi dibandingkan perempuan. Suatu hospital based study yang dilakukan di Taiwan mendapatkan rasio angka kejadian psoriasis pada jenis kelamin laki-laki dengan perempuan adalah 2,17:1(Tseng dkk., 2013). Sedangkan population-based study di Taiwan yang melibatkan 5864 penderita psoriasis, mendapatkan prevalensi psoriasis secara signifikan lebih 76
tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan pada jenis kelamin perempuan (Chang dkk., 2009). Hasil yang sama didapatkan pada penelitian oleh Setyorini di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo dan di sebuah klinik swasta, yang menunjukkan proporsi psoriasis pada jenis kelamin laki-laki dengan perempuan adalah 1,5:1 (Setyorini dkk., 2012). Variasi hasil yang didapatkan dalam penelitian-penelitian tersebut sangat dipengaruhi oleh teknik dalam pengambilan sampel dan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian, dan seperti diketahui psoriasis merupakan penyakit kompleks, dengan faktor genetik dan lingkungan memegang peranan penting (Griffiths dkk., 2010; Gudjonsson dkk, 2012). Berdasarkan variabel usia, penderita psoriasis vulgaris terbanyak berada pada kelompok umur 45-59 tahun. Rerata usia penderita psoriasis vulgaris pada penelitian ini adalah 46,7 ± 10,0. Usia minimum penderita psoriasis vulgaris adalah 15 tahun dan usia maksimum adalah 62 tahun.Hasil pada penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa psoriasis jarang terjadi pada anak-anak dan cenderung terjadi pada usia dewasa, meskipun dengan angka kejadian dapat bervariasi sesuai dengan area geografis (Parisi dkk., 2013). Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan peningkatan insiden psoriasis seiring dengan peningkatan usia. Insiden psoriasis meningkat pada usia di atas 39 tahun dan insiden psoriasis diperkirakan mengalami penurunan pada usia lanjut (Parisi dkk., 2013). Penelitian oleh Huerta dan Icen menunjukkan angka kejadian psoriasis mencapai puncaknya pada dua titik atau bimodal yaitu pada kelompok usia 30-39
tahun dan titik puncak selanjutnya berada pada kelompok usia 50-59 tahun (Huerta dkk., 2007; Icen dkk., 2009). Diketahui bahwa distribusi insiden puncak psoriasis secara bimodal sesuai dengan dua tipe manifestasi klinis dari psoriasis yaitu psoriasis tipe I dengan onset kurang dari usia 40 tahun atau onset dinidan tipe II dengan onset lebih dari usia 40 tahun atau onset lanjut (Parisi dkk., 2013; Gudjonsson dkk, 2012). Pada penelitian ini, onset penyakit berada pada usia minimum 15 tahun, usia maksimum 69 tahun dan keseluruhannya dengan onset penyakit pada usia lebih dari 10 tahun. Penelitian ini sesuai dengan kepustakaan sebelumnya yang menyatakan psoriasis dapat terjadi pada semua umur, namun jarang dengan onset penyakit
kurang dari 10 tahun,
(Gudjonsson dkk, 2012)
dan umumnya pada usia 25-30 tahun
.
Derajat keparahan psoriasis vulgaris pada penelitian ini dikelompokkan berdasarkan PASI score yaitu psoriasis vulgaris derajat ringan berada pada PASI score< 7, derajat sedang pada PASI score 7-12 dan derajat berat pada PASI score>12. Karakteristik sampel psoriasis vulgaris pada penelitian ini paling banyak pada derajat sedang yaitu 14 penderita (46,7%), dengan 8 (57,7%) jenis kelamin laki-laki dan 6 (42,9%) jenis kelamin perempuan. Psoriasis vulgaris derajat sedang paling banyak dialami oleh penderita pada kelompok umur 30-44 tahun. Kelompok sampel psoriasis vulgaris dengan derajat ringan mencapai 9 (30%) dan derajat berat 7 (23,3%). Nilai rata-rata PASI score adalah 10,72 ± 5,67. Nilai PASI score terendah adalah 2,1 dan nilai PASI score tertinggi adalah 30,8.
Hasil yang didapat pada penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Setyorini di RSCM mendapatkan karakteristik sampel psoriasis vulgaris sebagian besar dengan derajat ringansebanyak 40% dan berturut-turut 37,5%, 22,5% pada psoriasis vulgaris derajat sedang dan berat berdasarkan PASI score (Setyorini dkk., 201).Sedangkan penelitian multisenter yang dilakukan oleh Pujol di Spanyol menunjukkan sebagian besar sampel dengan psoriasis vulgaris derajat sedang yaitu mencapai 40,4% dari 1217 sampel psoriasis. Nilai rata-rata PASI score pada penelitian tersebut adalah 13,24 ±9,50. (Pujol dkk., 2013). Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh di Jepang pada tahun 2006-2008 mendapatkan sampel psoriasis sebagian besar dengan derajat sedang (34,6%), derajat ringan 33,3%, dan derajat berat 32,1% (Takahashi dkk., 2010). 6.2 Kadar IL-17 Serum Penderita Psoriasis Vulgaris Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia Nilai median kadar IL-17 serum penderita psoriasis vulgaris pada laki-laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 5.4. Pada laki-laki didapatkan nilai median 1,59 ±0,80 pg/ml dan pada perempuan didapatkan nilai median 1,29 ± 0,81 dengan nilai p= 0,497. Demikian juga tidak didapatkan perbedaan signifikan pada kadar IL-17 antara masing- masing kelompok umur, dengan nilai p=0,885. Terdapat beberapa penelitian yang membandingkan kadar IL-17 serum berdasarkan jenis kelamin dan usia. Satu review article mengenai perbedaan distribusi penyakit autoimun berdasarkan jenis kelamin dan usia oleh Fairweather menunjukkan tidak didapatkan perbedaan secara signifikan pada peningkatan
kadar IL-17 dalam respon inflamasi akibat infeksi baik pada jenis kelamin perempuan maupun laki-laki (Fairweather dkk., 2008). Pada penelitian oleh Choe dkk., menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan kadar IL-17 serum pada penderita psoriasis berdasarkan jenis kelamin dan usia (Choe dkk., 2012). Selanjutnya penelitian oleh Goetzl yang meneliti perubahan produksi sitokin pada proses penuaan berdasarkan jenis kelamin menunjukkan tidak didapatkan perbedaan yang signifkan dalam produksi sitokin IL-17 oleh sel Th 17 berdasarkan usia (Goetzl dkk., 2010). 6.3 Kadar IL-17 Serum pada Penderita Psoriasis Vulgaris Berdasarkan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris Pada Tabel 5.6 dalam penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan nilai median kadar IL-17 serum berdasarkan derajat keparahan psoriasis vulgaris yang diukur dengan PASI score dengan nilai p<0,001. Pada Tabeltersebut juga terlihat bahwa kadar IL-17 serum semakin meningkat sebanding dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris. Penelitian yang dilakukan oleh Muhsin menunjukkan kadar rata-rata IL-17 serum penderita psoriasis vulgaris meningkat seiring peningkatan derajat keparahan psoriasis vulgaris yang diukur dengan PASI score. Pada psoriasis derajat ringan didapatkan kadar rata-rata IL-17 serum 72,67±26,4 pg/ml, pada derajat sedang didapatkan IL-17 serum 265,39±806,8 pg/ml, dan pada derajat berat didapatkan kadar IL-17 serum 702,2±878,7 pg/ml (Muhsin dkk., 2010). Demikian juga penelitian oleh Almakhzangy menunjukkan peningkatan
kadar IL-17 serum seiring dengan peningkatan derajat keparahan psoriasis yang diukur dengan PASI score (Almakhzangy dkk., 2009). Coimbra meneliti kadar beberapa sitokin proinflamasi sebelum dan sesudah pemberian fototerapi pada penderita psoriasis vulgaris. Salah satunya adalah kadar IL-17 serum, yang didapatkan menurun kadarnya dibandingkan sebelum pemberian fototerapi seiring dengan penurunan derajat keparahan psoriasis vulgaris yang diukur dengan PASI score (Coimbra dkk., 2010). Sedangkan penelitian oleh Elmajd mendapatkan korelasi signifikan antara kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris pada sebelum pemberian terapi imunosupresif topikal berupa betametason dipropionat. Setelah mendapatkan terapi topikal selama 21 hari didapatkan penurunan yang signifikan pada kadar IL-17 serum penderita psoriasis, dari nilai rata-rata 225,2 ± 67,96 pg/ml menjadi 145,9 ± 49,4 pg/ml. Namun tidak didapatkan penurunan kadar PASI yang signifikan setelah pengobatan (Elmajd dkk., 2014). Penelitian oleh Hideki mendapatkan kadar IL-17 yang lebih tinggi pada biopsi kulit dengan psoriasis dibandingkan kontrol namun tidak didapatkan peningkatan kadar IL-17 pada darah perifer penderita psoriasis dibandingkan bukan penderita psoriasis (Hideki dkk., 2011). Sedangkan Luo Quan pada penelitiannya memeriksa kadar IL-17 pada biopsi lesi psoriasis dengan teknik RT-PCR dan kadar IL-17 serum penderita psoriasis vulgaris diperiksa dengan teknik ELISA. Pada penelitian tersebut didapatkan peningkatan secara signifikan kadar IL-17 serum penderita seiring dengan peningkatan PASI score. Selanjutnya kadar m-RNA IL-17 pada lesi
psoriasis didapatkan lebih tinggi dibandingkan pada kelompok bukan psoriasis, namun tidak berkorelasi dengan PASI score (Luo dkk., 2012). Data pada penelitian ini didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya, yang menunjukkan kadar IL-17
pada serum secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan bukan penderita psoriasis. Kadar IL-17 serum yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan derajat keparahan psoriasis semakin meningkatkan pemahaman bahwa IL-17 serum mungkin berperanan penting dalam patogenesis psoriasis. Pada penelitian sebelumnya yang mendapatkan penurunan kadar IL-17 serum secara signifikan namun tidak didapatkan penurunan PASI score secara signifikan setelah pemberian terapi imunosupresif selama 21 hari salah satunya mungkin disebabkan IL-17 serum sebagai indikator perkembangan penyakit yang lebih sensitif dibandingkan dengan PASI score, walaupun penelitian lebih lanjut mengenai peranan IL-17 serum ini sebagai biomarker perkembangan psorisis masih perlu dilakukan. Interleukin 17 serum merupakan salah satu kandidat biomarker dalam serum yang digunakan untuk menilai derajat keparahan psoriasis (Molteni dkk., 2012; Cerdeira dkk., 2014). 6.4
Korelasi Kadar IL-17 Serum dengan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris Seperti disebutkan pada analisa sebelumnya, bahwa pada penelitian ini
didapatkan peningkatan kadar IL-17 berdasarkan peningkatan derajat keparahan psoriasis vulgaris. Selanjutnya pada Tabel 5.6 menunjukkan korelasi yang signifikan antara kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris
yang diukur berdasarkan PASI score, dengan nilai koefesien korelasi (r) =0,981 dan p<0,001. Nilai ini menunjukkan korelasi bermakna yang sangat kuat antara kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris. Pada Gambar 5.4 menunjukkan korelasi kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris berdasarkan PASI score. Pada gambaran scatter plot tersebut menunjukkan semakin tinggi kadar IL-17 serum maka semakin tinggi nilai PASI score atau semakin berat derajat keparahan psoriasis vulgaris. Gambaran ini menunjukkan korelasi yang positif antara kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris. Hasil tersebut menjawab hipotesis penelitian mengenai adanya korelasi positif antara IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vugaris berdasarkan PASI score. Besar pengaruh IL-17 serum terhadap perubahan PASI ditunjukkan dengan nilai R2 = 0,921 yang menunjukkan bahwa nilai PASI score sebanyak 92,1 % dipengaruhi oleh kadar IL-17 serum, selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain. Penelitian oleh Almakhzangy di Mesir menunjukkan korelasi positif antara kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis yang diukur dengan PASI score Pada penelitian tersebut didapatkan korelasi positif kuat antara kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris (Almakhzangy dkk., 2009). Luo Quan yang meneliti korelasi kadar IL-17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris yang diukur dengan PASI score. didapatkan korelasi positif score(Luo dkk., 2012).
Pada penelitin tersebut
kuat antara kadar IL-17 serum dengan PASI
Peran sentral IL-17 dalam patogenesis psoriasis belum dipahami sepenuhnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Martin dkk., menunjukkan peran interleukin 17 mampu menstimulasi sel basal keratinosit untuk berproliferasi dan berdiferensiasi lebih cepat. Bagaimana interleukin 17 mampu meningkatkan proliferasi dan diferensiasi epidermis dapat dijelaskan dalam penelitian oleh Lai dkk., yang menunjukkan setelah berikatan dengan reseptor IL17RA yang ada di keratinosit, selanjutnya keratinosit akan tersensitasi untuk mengekspresikan regenerating islet-derived protein 3-alpha (REG3A). Protein REG3A ini memberikan feed back pada keratinosit untuk menghambat terminasi diferensiasi, dan meningkatkan proliferasi sel melalui ikatan dengan exostosinlike 3 (EXTL 3), diikuti aktivasi phosphatidylinositol 3 kinase (PI3K) (Lai dkk., 2013). Sedangkan pada penelitian lainnya menemukan peran IL-17 melalui sinyal stress- activated ptotein kinases (CIKS) sehingga menimbukan hiperproliferasi dan gangguan diferensiasi keratinosit (Lin Ha dkk., 2014). Interleukin 17 juga mampu meningkatkan produksi faktor proinflamasi seperti peptida antimikrobial (AMPs), faktor angiogenik, dan kemokin seperti CCL20 yang menarik baik sel Th 17 dan sel dendritik (DCs) (Martin dkk., 2013). Patogenesis tersebut menimbulkan kelainan yang dapat diamati secara histologis sebagai kelainan dasar pada psoriasis yaitu akantosis, perubahan endotel vaskuler dermis seperti angiogenesis dan dilatasi vaskuler, dan infiltrasi sel radang terutama oleh limfosit T(Martin dkk., 2013). Penelitian secara molekuler pada marmut yang dilakukan oleh Cai dkk., menunjukkan peran sentral IL-17 dalam proses inflamasi pada kulit dengan
psoriasis. Seperti diketahui sebelumnya IL-23 memegang peranan penting dalam patogenesis psoriasis, yaitu menstimulasi sel Th 17 untuk menghasilkan IL-17 di dermis. Namun pada penelitian itu didapatkan bahwa stimulasi ini tidak dapat dilakukan oleh hanya IL-23 saja namun harus bekerja secara sinergis dengan IL1ß pada dermis. Selanjutnya pada penelitian tersebut didapatkan peran penting reseptor IL-17, yang diekspresikan pada jaringan hematopetik dan pada kulit penderita psoriasis. Pada kulit
marmut dengan defisiensi reseptor IL-17
didapatkan penurunan hiperplasia epidermis dan penurunan infiltrasi netrofil secara jelas walaupun didapatkan peran stimulasi dari IL-23 dan IL-1ß. Penelitian-penelitian tersebut mendukung hipotesa bahwa IL 17 merupakan mediator yang penting dalam patogenesis psoriasis (Cai dkk., 2011). Dengan semakin berkembangnya bukti bahwa IL-17 memegang peranan yang sangat penting dalam patogenesis psoriasis, sehingga saat ini dikembangkan pengobatan psoriasis dengan menggunakan agen biologi bertarget pada IL-17. Agen biologi ini telah berhasil melewati uji klinis fase II (Chiricozzi dkk., 2013; Declerq dkk., 2013). Hasil yang didapat pada penelitian ini didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan peran penting IL-17 serum dalam patogenesis psoriasis. 6.5 Kadar IL-17 Serum pada Penderita Psoriasis Vulgaris dan Bukan Penderita Psoriasis Vulgaris Pada penelitian ini juga membandingkan kadar IL-17 serum pada penderita psoriasis vulgaris dengan bukan penderita psoriasis vulgaris. Pada Tabel 5.7 didapatkan nilai median kadar IL-17 serum penderita psoriasis vulgarislebih
tinggi dibandingkan bukan penderita psoriasis yaitu 1,4±0,9 pg/ml dibandingkan dengan 0,2±0,5 pg/ml. Terdapat perbedaan median kadar IL-17 serum pada kedua kelompok ini sebesar 1,2 pg/ml, yang bermakna secara statistik dengan nilai p<0,001. Hasil penelitian ini menjawab hipotesis bahwa terdapat perbedaan kadar IL-17 serum antara penderita psoriasis vulgaris dengan bukan psoriasis. Penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya seperti penelitian oleh Almakhzangy mendapatkan perbedaan yang signifikan kadar IL-17 serum pada penderita psoriasis vulgaris dengan kadar rata-rata 80,75 pg/ml dibandingkan kadar IL-17 serum bukan penderita psoriasis vulgaris dengan kadar rata-rata 8,16 pg/ml (Almakhzangy dkk., 2009). Penelitian oleh Luo mendapatkan perbedaan yang signifikan pada kadar IL-17 serum penderita psoriasis vulgaris dengan kadar ratarata 210,46 ± 24,57 pg/ml dibandingkan kadar IL-17 serum bukan penderita psoriasis vulgaris dengan kadar rata-rata 48,50 pg/ml (Luo dkk., 2012).Sedangkan penelitian oleh Arican mendapatkan kadar IL-17 serum yang lebih tinggi dibandingkan kontrol namun tidak perbedaan ini tidak signifikan dengan nilai p>0,05 (Arican dkk., 2005).
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ini, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut: 1. Terdapat korelasi positif yang sangat kuat dan bermakna antara kadar IL17 serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris, (r =0,981 dan p<0,001). 2. Kadar IL-17 serum pada subyek dengan psoriasis vulgaris secara bermakna lebih tinggi dibandingkan dengan bukan psoriasis, (p<0,001). 7.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disarankan sebagai berikut: 1. Dengan semakin berkembangnya pengetahuan mengenai peran IL-17 dalam patogenesis psoriasis vulgaris maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas antibodi monoklonal anti IL-17 sebagai pengobatan pada psoriasis vulgaris. 2. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai interleukin 17 sebagai biomarker monitoring derajat keparahan psoriasis vulgaris. 3. Berdasarkan pengetahuan sebelumnya bahwa psoriasis selain dipengaruhi oleh faktor genetik, juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain oleh stres psikologis. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui korelasi IL-17 dengan stress psikologis pada penderita psoriasis vulgaris. 87
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai peranan reseptor IL-17 pada patogenesis psoriasis vulgaris.
DAFTAR PUSTAKA Almakhzangy, I., Gaballa, A. 2009. Serum level of IL-17, IL-22, IFN-λ in patients with psoriasis. Egyptian Dermatology Online Journal; 5(1): 1-10. Arican, O., Aral, M., Sasmaz, S., Ciragil, P. 2005. Serum levels of TNF-α, IFN-γ, IL-6, IL-8, IL-12, IL-17, and IL-18 in patients with active psoriasis and correlation with disease severity. Med Inflamm; 5: 273-9. Barlow, J.L., McKenzie. 2009. IL-25: a key requirement for the regulation of type-2 immunity. Biofactors; 35: 178-82. Basavaraj, K.H., Ashok, N.M., Rashmi, R., Praveen, T.K. 2010. The role of drugs in induction and/or exacerbation of psoriasis. Int J Dermatol; 49: 1351-61. Beretta-Piccol,i B.C. 2000. Synovitis, acne, pustulosis, hyperostosis, osteitis (SAPHO) syndrome in childhood: a report of ten cases and review of the literature. Eur J Pediatr; 159(8):594-601. Bergboer, J.G., Zeeuwen, P.L., Schalkwijk, J. 2012. Genetics of Psoriasis: Evidence for Epistatic Interaction between Skin Barier Abnormalities and Immune Deviation. J Invest Dermatol; 132: 2320-1. Betteli, E., Carrier, Y., Gao, W., Korn T., Strom, T.B., Oukka, M. 2006. Reciprocal development pathways for the generation of pathogenic effector Th17 and regulator cells. Nature; 441:235-8. Biomarkers Definition Working Group. 2001. Biomarkers and surrogate endpoints: prefered definition and conceptual framework. Clin Pharmacol Ther; 69(3): 89-95. Blok, S., Vissers, W.H., Duijnhoven, M. 2004. Aggravation of Psoriasis by Infection: A Constitutional Trait or A Variable Expression?. Eur J Dermatol; 14:259-61. Boehncke W.H. 2011. The ‘psoriatic march’: a concept of how severe psoriasis may drive cardiovascular comorbidity. Exp Dermatol;20(4):303-7. Broere, F., Apasov, S.G., Sitkovsky, M.V., Eden, W.V. 2011. T cell subsets and T cell-mediated immunity. In : Nijkamp, F.P., Parnham, M.J. Eds. Principles of immunopharmacology. 3rdEd. New York: Springer Basel;. p.15-27. Budiastuti, A., Sugianto, R. 2009. Hubungan Umur dan Lama Sakit terhadap Derajat Keparahan Penderita Psoriasis. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. P. Cai, Y., Shen, X., Ding, C., Qi, C., Li, K., Li, X., Jala, V.R., Zhang, H., Wang, T., Zheng, Jie., Yan, J. 2011. Pivotal role of dermal IL-17 producing T Cells in Skin Infammation. Immunity; 35: 1-15. Cerdeira, R.C., Vila, A.M., Blanco, E.S., Blanco, B.S. 2014. Study of inflamation in psoriasis through “OMIC” plaform. The Open Biochemist Journal; 8: 21-34. Chandran, V., Raychaudhuri, S.P. 2010. Geoepidemiology and environmental factors of psoriasis and psoriatic arthritis. J Autoimmun; 34: 314-21. 89
Chang, Y.T., Chen, T.J., Liu, P.C., Chen, Y.C., Chen, Y.J., Huang, Y.L., Jih, J.S. Epidemiological study of psoriasisin the national health insutance database in Taiwan. Acta Dermato-Venereologica; 89(3): 262-266. Cheng, S.E., Luo, S.F., Jou, M.J., Lin, C.C., Kou, Y.R, Lee, I.T. 2009. Cigarrete smoke extract induces cytosolic in phospholipase A2 expression via NADPH oxidase, MAPKs, AP-1, and NF-kappaß in human tracheal smooth muscle cells. Free Radic Biol Med; 46:948-60. Cheng, X., Yu, X., Ding, Y.J., Fu, Q.Q., Xie, J.J., Tang, T.T. 2008. The Th17/Treg imbalance in patients with acute coronary syndrome. Clin Immunol;127:89–97. Chiricozzi, A., Krueger, JA. 2013. IL-17 targeted therapies for psoriasis. Expert Opin. Investig. Drugs; 22(8): 1-13 Choe, Y.B., Hwang, Y.J., Hahn, H.J., Jung, J.W., Jung, H.J., Lee, Y.W., Youn, J.I. 2012. A comparison of serum inflamatory cytokines according to phenotype in patients with psoriasis. Br J of Dermatol; 167: 762-7. Ciric, B. El-Behi, M., Carbrera, R. 2009. IL-23 drives pathogenic IL-17 producing CD8+ T cells. J Immunol; 182: 5296-305. Coimbra, S., Oliveria, H., Reis, F., Belo, L.,Rocha, S., Quintanilha, A., Fuguiredo, A., Castro, E., Pereira, R., Silva S. Interleukin (IL)-22, IL-17, IL-23, IL-8 vascular endothelial growth factor and tumour necrosis factor-α levels in psoralen-ultraviolet A and narrowband ultraviolet B therapy. 2010. BJD; 163: 1282-90 Dafna, D.G., Chandran, V. 2012. Psoriatic arthritis. In : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Eds. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th Ed. New York: McGraw Hill;. p.232-42. Dahlan, M.S. 2008. Langkah-langkah membuat proposal penelitian. 1st Ed. Jakarta: Sagung Seto; 61-86. Daneshpazhooh, M. 2004. Tongue lesions in psoriasis: A controlled study. BMC Dermatol; 4(1):16. De Jong. E., Suddason, T., Lord, G.M. 2009. Translational mini-review series on Th17 cells: Development of mouse and human T helper 17 cells.Clin Exp Immunol;159(2):148–58. Decleerq, S.A., Pouliot, R. 2013. Promising new treatment for psoriasis. The Scientific World Journal; 9: 1-9. Eid, R.E., Rao, D.A., Zhou, J., Lo, S.F. 2009. Ranjbaran H, Gallo A, et al. Interleukin-17 and interferon-gamma are produced concomitantly by human coronary artery- infiltrating T cells and act synergistically on vascular smooth muscle cells. Circulation;119:1424–32.
Elmajd, Y.A., Ibrahim, H., Raafat, N., Mawla, Y.A. 2014. Evaluating the interleukin 17 serum level in psoriatic patients from the Eastern Egyptian population. Egyptian Dermatology Online Journal; 10(2): 1-10. Evers, A.W., Verhoeven, E.W., Kraaimat, F.W., de Jong, E.M., de Browser, S.J., Schalkwijk, J. 2010. How stress get under the skin: Cortisol and stress reactivity in psoriasis. Br J Dermatol; 163:986-91. Fairweather, D., Frisancho, S., Rose, N.R. 2008. Sex difference in autoimmune disease from a pathological perspective. AJP; 173(3): 600-10. Feldman, S.R., Krueger, G.G. 2005. Psoriasis assessment tools in clinical trials. Ann Rheum Dis; 64 (2): 65-8. Friedewald, V.E., Carther, C. 2008. The editor’s rountable: psoriasis, inflammation, and coronary artery disease. Am J Cardiol; 101 (8): 111926. Gaffen , S.L., Kramer, J.M., Yu , J.J., Shen, F. 2006. The IL-17 cytokine family. Vitam Horm ; 74:255-82. Gaffen, S.L. 2011. Recent advances in the IL-17 cytokine family. Curr Opin Immunol; 23(5):613-19. Goetzl, E.J., Huang, M.C., Kon, J., Patel, K., Schwartz, J.B., Fast, K., Ferrucci, L., Madara, K., Dennis., Longo, L. Gender specificity of altered human immune cytokine profil i aging. The FASEB Journal; 24: 3580-89. Golden, J.B., McCormick, T.S., Ward, N.L. 2013. IL-17 in psoriasis: Implication for therapy and cardiovascular co-morbidities. Cytokine ; 62: 195-201. Griffiths, C.E.M., Barker, J.N.W.N. 2010. Psoriasis. In: Burn, T., Stephen, B., Ed. Brithis: Cox, N. Editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th Wiley-Blackwell.p. 20.1-20.60. Gudjonsson, J.E., Elder, J.T. 2012. Psoriasis. In : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Eds. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th Ed. New York: McGraw Hill;. p.197-231. Guttman, Y.E., Lowes, M.A., Fuentes, D.J. 2008. Low expression of the IL23/Th17 pathway in atopic dermatitis compared to psoriasis. J immunol; 181: 7420-7. Happle, R. 2006. Linear psoriasis and ILVEN: Is lumping or splitting appropriate?. Dermatology ; 212(2):101- 102. Harper, E.G., Guo, E.C., Rizzo, H. 2009. Th 17 cytokine stimulate CCL20 expression in keratinocytes in vitro and in vivo: implication for psoriasis patahogenesis. J Invest Dermatol; 129: 2175-83. Hideki, N., Kimiko, N., Masahito, T., Shigetoshi. 2011. Kinetics of circulating Th17 cytokines and adipokines in psoriasis patients. Arch Dermatol Res; 303: 451-55. Hirota, K., Duarte, J.H., Veldhoen, M. 2011. Fate Mapping of IL-17 producing T cells in an inflamatory responses. Nat immunol;179:4135-41.
Honigsmann, H. 2001. Phototherapy for psoriasis. Clin Exp Dermatol;26(4):343350. Huerta, C., Rivero, E., Rodriguez, G. 2007. Incidence and risk factor for psoriasis in general population. Arch Dermatol; 143: 1559-65. Icen, M., Crowson, C.S., McEvoy, M.T. 2009. Trends in incidence of adult onset psoriasis over the three decades: a population-based study. J am Acad Dermatol; 60:394-401. Ivancevich, J.M., DeFrank, R.S. 1998. Stress on the job: an executive update. Academy of Management Executive; 12 (3): 55-66. Iwakura, Y., Nakae, S.N., Saijo, S., Ishigame. 2008. The role of IL-17A in inflammatory immune responses and host defense against pathogen. Immunological Reviews; 226: 57-79. Jin, W., Dong, C. 2013. IL-17 cytokine in immunity and inflammation. Emerging Microbes and Infection; 2: 1-4. Jobbling, R., Naldi, R. 2006. Assessing the imapct of psoriasis and the relevance of qualitative research. J Invest Dermatol; 126(7): 1438-40. Jochen, S., Wozel, G. 2005. The psoriasis area and severity index is the adequate criterion to define severity in chronic plaque-type psoriasis. Dermatology; 210: 194-99. Johansen, C., Usher, P.A., Kjellerup, R.B. 2009. Characteristic of the interleukin 17 isoforms and receptors in lesional psoriatic skin . Br J Dermatol; 160: 319-62. Kilic, A., Cakmak, S. 2013. Psoriasis and comorbidities. EMJ Dermatol; 1:78-85. Kim, N., Thrash, B., Menter, A. 2010. A comorbidities in psoriasis patients. Med Surg; 29:10-5 Kristina, C., Kruger, G. 2009. Genetic variations in cytokine and cytokine receptor associated with psoriasis found by Genome-Wide Association. Journal of Investigative Dermatology; 129:827-33. Kryczek,I., Bruce, A.T., Gudjonsson, E.J. 2008. Induction of IL-17+ T cell trafficking and develpoment by IFN-gamma: mechanism and pathological relevance in psoriasis. J immunol; 181:4733-41. Kuchekar, A.B., Pujari, R.R., Kuchekar, S.B., Dhole, S.N., Payal, M.M. 2011. Psoriasis: A comprehensive review. Int.J.of. Pharm; 2 (26): 857-77. Kurd, S.K., Gelfand, J.M. 2009. The prevalence of previously diagnosed and undiagnosed psoriasis in US adults: result from NHAES 2003-2004. J Am Acad Dermatol; 60:218-24. Kyriakou, A., Patsatsi, A., Vyzantiadis, T., Sotiriads, D. 2014. Serum level of TNF-α, IL-12/2p40, and IL-17 in plaque psoriasis and their correlation with disease severity.
Lai, Y., Li, D., Li, C., Muehleisin, B., Radek, K., Park, H.J., Jiang, et all. 2013. The antimicrobial protein REG3A regulates keratinocyte proliferation and difirentiation after skin injury. Immunity; 37(1): 1-12. Langley, R.G.B., Krueger, G.G., Griffiths, C.M. 2005. Psoriasis: epidemiology, clinical features, and quality of life. Ann Rheum Dis; 64(2): 18-23. Lew, W., Bowcock, A.M., Krueger, J.G. 2004. Psoriasis vulgaris: Cutaneous lymphoid tissue supports T-cell activation and “Type 1” inflammatory gene expression. Trends Immunol; 25(6):295-305. Liang, S.C., Tan, X.Y., Luxenberg, D.P. 2006. Interleukin (IL)-22 and IL-17 are coexpressed by Th17 cells and cooperatively enhance expressionof antimicrobial peptides. J Exp Med; 203(10):2271–9. Lin, A.M., Rubin, C.J., Khandpur, R. 2011. Mast cells and neutrophils release IL17 through extracellular trap formation in psoriasis. J Immunol;187:490500. Luo, Q., Zhang, X., Luo, Y., Zhou, X., Lin, L., Li, L., Li, J., Zhang, S., Liu, Y. Mahajan, R., Handa S. 2013. Pathophysiology of psoriasis. Indian Journal of Dermatology, Venereology and Leprology; 79(1): 51-59. Martin Ezquerra, G. 2006. Topical tacrolimus for the treatment of psoriasis on the face, genitalia, intertriginous areas and topical plaques. J Drugs Dermatol; 5(4): 334-6. Martin, D.A., Towne, J.E., Kricorian, G., Kletkoka, P., Gudjonsson, J.E., Krueger, J.G. 2013. The emerging role of IL-17 in the pathogenesis of psoriasis: Preclinical and clinical findings. J invest Dermatol; 133: 17-26. Mease, P.J., Menter, M.A. 2006. Quality of life issues in psoriasis and psoriatic arthritis: outcome measure and therapies from a dermatological perspective. J Am Acad Dermatol; 54(4): 685-704. Menter, A. 2009. Guidelines of care for the management of psoriasis and psoriatic arthritis. Guidelines of care for the management and treatment of psoriasis with topical therapies. J Am Acad Dermatol ; 60(4):643-659. Mikhail, M., Scheinfeld, N. 2005. Psoriasis severity, scoring, and treatment with phototherapy and systemic medication. Dermatology; 6(1): 40-5. Mitra, A., Fallen, R.S., Lima, H.C. 2012. Cytokine-based therapy in psoriasis. Clinic Rev Alleg Immunol; 44(2): 173-82. Molteni, S., Reali, E. 2012. Biomarkers in the pathogenesis, diagnosis, and treatment of psoriasis. Psoriasis: Targets and Therapy; 2:55-66. Moseley, T.A., Haudenschild, D.R., Rose, L., Reddi, A.H. 2003. Interleukin-17 family and IL-17 receptors. Cytokine & growth factor review; 14: 155-74. Nair, R.P., Duffin, K.C., Helms, C. 2009. Genome-wide scan reveals association of psoriasis with IL-23 and NF-kappaB pathways. Nat Genet; 41:199-204.
Nair, R.P., Stuart, P.E., Niston, I., Hiremagalore, R., Chia, N.V., Jenings, S. 2006. Sequence and haplotype analysis supports HLA-C as psoriasis suscepibility 1 gene. Am J Hum Genet; 78: 827-51. Naldi, L.P., Chatenoud, L., Linder, D., Fortina, A.B., Paserco, A., Rosa, A., Bruni, L. 2005. Cigarrette smoking, body mass index, and stressful life events as risk factor for psoriasis: result from Italian case-control study. The Journal of Investigative Dermatology; 125 (1): 61-7. Nograles, K.E., Davodovici, B., Krueger, J.G. 2010. New insight in the immunologic basis of psoriasis. Semin Cutan Med Surg; 29: 3-9. Nograles, K.E., Zaba, L.C., Guttman, Y.E., Fuentes, D.J., Suarez, F.M., Cardinale, I. 2008. Th 17 cytikones interleukin IL-17 and IL-22 modulate distinct inflamatory and keratinocyte-reponse pathways. Br J Dermatol; 159: 1092-102. Nuzzo, S.D., Feliciani, C., Cortelazzi, C., Fabrizi, G., Pagliarello, C. 2014. Immunopathogenesis of psoriasis: emphasis on the role of Th17 cells. International Trends In Immunity; 2(3): 111-5. Physiol 16(2):69-83. Parisi, R., Deborah, P.M., Christopher, E.M., Ashcroft, D.M. Global epidemiology of psoriasis: A Systematic review of incidence and prevalence. 2013. Journal of Investigative Dermatology; 133: 377-85. Pujol, R.M., Puig, L., Dauden, E., Carazo, S., Toribo, J., Vanaclocha, F., Yebenes, M., Sabater, E., Casado, M.A., Caloto, M.T. 2013. Mental health selfassessment in patient with moderate to severe psoriasis: An observational, multicenter study of 1164 patients in Spain (the VACAP study). 2013. Actas Dermosifiliogr; 100(10); 1-7. Rahman, P., Elder, J.I. 2005. Genetic epidemiology of psoriasis and psoriatic arthritis. Ann Rheum Dis; 64 (2): 37. Ramirez, C.V., Sambandam, A., Luis, E. 2011. IL-17E regulates the innate immunity function of epithelial cells in an autocrine manner. Nat immunol; 12:1159-66. Reich, K. 2012. The concept of psoriasis as a systemic inflammation: implications for disease management. J Eur Acad Dermatol Venereol; 26(2):3-11. Reinholz, M., Ruzicka, T., Schauber, J. 2012. Cathelicidine LL-37: An antimicrobial peptide with role in inflamatory skin disease. Ann Dermatol; 24: 126-35. Robert, L., Miller, L.S., Bangert, C., Stingl, G. Innate and adaptive immunity in the skin. In : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Eds. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th Ed. New York: McGraw Hill; p.105-26. Sagi, L., Trau, H. 2011. The Koebner Phenomenon. Clin Dermatol; 29: 986-91.
Schmitt, J., Wozel, G. The psoriasis area and severity index is the adequate criterion to define severity in chronic plaque-type psoriasis. Dermatology; 210: 194-99. Strober , B.E., Siu, K., Menon, K. 2006. Conventional systemic agents for psoriasis. A systematic review. JRheumatol; 33(7):1442-46. Setyorini, M., Triestianawati, W., Wiryadi, B.E., Jacoeb, T.N. 2012. Proporsi sindrom metabolik pada pasien psoriasis vulgaris berdasarkan kriteria national cholesterol education program adult treatment panel III di RS Dr Cipto Mangunkusumo dan sebuah klinik swasta di Jakarta. MDVI; 39(1): 2-9. Sugito, T.L. 2008. Penyakit papuloeritroskuamosa dan Dermatomikosis Superfisialis pada Bayi dan Anak. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. p. 1-56. Takahashi, H., Iizuka, H. 2012. Psoriasis and metabolic syndrome. J Dermatol; 39(3):212-8. Takahashi, H., Takahashi I., Honma, M., Ishida, Y.A. 2010. Prevalence of metabolic syndrome in Japanese psoriasis patients. J Derm Sci; 57: 13246. Tseng, H.W., Lin, H.S., Lam, H.C. 2013. Co-morbidities in psoriasis: a hospitalbased case control study. J Eur Acad Dermatol Venereol; 27(11): 1411-25. Van de Kerkhof, P.C. 2006. Consistent control of psoriasis by continuous longterm therapy: The promise of biological treatments. J Eur Acad DermatolVenereol; 20(6):639-650. Van de Kerkhof, Vissers, W.H. 2003. The topical treatment of psoriasis. Skin Pharmacol Appl Skin Physiol; 16(2): 69-83. Weiss, G., Shemer, A., Trau, H. 2002. The Koebner phenomenon: review of the literature. J Eur Acad DermatolVenereol; 16(3):241-8. Yamada, H. 2010. Current perspectives on the role of IL-17 in autoimune disease. Journal of Inflamation Research; 3: 33-44.
Lampiran 1 : Ethical Clearance
Lampiran 2 : Surat Ijin
LAMPIRAN 3 PENJELASAN DAN FORM PERSETUJUAN PENELITIAN Judul
: Kadar Interleukin 17 Serum Berkorelasi Positif dengan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris
Peneliti Utama
: dr. Sayu Widiawati
Latar Belakang Penelitian Psoriasis merupakan penyakit dengan peradangan kronis pada kulit yang ditandai adanya pergantian kulit yang lebih cepat dari normal. Gejala kulit dengan psoriasis umumnya berupa bercak merah yang agak menebal disertai skuama berwarna putih. Kelainan kulit tersebut umumnya didapatkan pada area kulit kepala, siku, lutut dan bokong. Saat ini psoriasis dipertimbangkan bukan hanya merupakan penyakit terbatas pada kulit, namun lebih sebagai penyakit sistemik dengan penyakit penyerta seperti penyakit jantung, radang sendi, kelainan metabolik dan lainnya. Akibat manifestasi klinis psoriasis yang kronis, sering mengalami kekambuhan dan akibat penyakit penyertanya, memberikan efek yang negatif pada kualitas hidup penderitanya. Hingga saat ini belum terdapat pengobatan psoriasis yang memuaskan. Penelitian-penelitian terutama untuk mengetahui faktor yang paling berperanan dalam patogenesis psoriasis semakin berkembang hingga saat ini. Diketahui banyak faktor yang berpengaruh dalam patogenesis psoriasis yaitu faktor genetik, lingkungan dan imunologi. Faktor imunologi diketahui memegang peranan yang sangat penting dalam patogenesis psoriasis. Salah satunya yaitu
interleukin 17. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan atau korelasi interleukin 17 dengan psoriasis. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai psoriasis dan menjadi pertimbangan dalam pemberian pengobatan psoriasis yang sedang diteliti yaitu pengobatan dengan antibodi monoklonal IL-17. Manfaat lainnya yaitu peserta penelitian mengetahui kadar IL17 pada serum, yang diduga memegang peranan penting dalam patogenesis psoriasis dari penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian ini akan melibatkan 30 orang penderita psoriasis yang secara sukarela menjadi bagian dari penelitian. Sebagai pembanding akan diteliti 20 orang lainnya yang tidak menderita psoriasis. Pada setiap penderita akan diambil darah dari vena sebanyak 3 cc oleh dokter/tenaga medis terlatih. Pengambilan darah dilakukan di RSUP Sanglah setelah diperiksa oleh dokter yang merawat. Risiko yang mungkin terjadi dalam pengambilan darah tersebut adalah rasa nyeri ringan atau dapat timbul tidak sadar karena faktor psikologis. Untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, telah disiapkan penanganan medis oleh dokter dan paramedis di RSUP Sanglah Denpasar. Peserta penelitian tidak dikenakan biaya dan tidak ada risiko berbahaya pada proses pengambilan sampel darah. Pada penelitian ini tidak ada pemaksaan untuk berpartisipasi dan Bapak/Ibu/Saudara dapat mengundurkan diri kapan saja tanpa syarat atau sanksi apapun. Kami sangat berterimakasih apabila Bapak/Ibu/Saudara berkenan berpartisipasi dalam penelitian ini. Kami menjamin bahwa bahan dan data yang kami peroleh tidak digunakan untuk kepentingan lain dan terjaga kerahasiannya.
Data
ini
mungkin
dipublikasikan
tanpa
mencantumkan
identitas
Bapak/Ibu/Saudara. Apabila masih ada yang perlu ditanyakan, Bapak/Ibu/Saudara dapat menghubungi dr. Sayu Widiawati, Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar, Jalan Pulau Bali, HP no. 087866319642. Bersama ini kamis sertakan formulir persetujuan mengikuti penelitian.
LAMPIRAN 4 FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS
Saya yang bertandatangan di bawah ini : Nama
:
Umur
:
Jenis kelamin
:
Alamat
:
No telepon
:
Setelah mendapatkan penjelasan lengkap dan mengerti tentang penelitian KADAR INTERLEUKIN17 SERUM BERKORELASI POSITIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PSORIASIS VULGARIS menyatakan bersedia ikut serta dalam penelitian ini sebagai peserta yang akan diteliti dan mengikuti prosedur seperti yang telah disampaikan.
Denpasar, .................... 20...
Peserta penelitian,
(.................................)
Saksi,
(.................................)
Peneliti,
(dr.Sayu W.)
LAMPIRAN 5 KUESIONER PENELITIAN Nomor sampel
:
Nomor rekam medis
:
Tanggal pemeriksaan : Kuisioner dijawab oleh: Pasien/Orang tua pasien/Suami/istri pasien/Staf medis.
ANAMNESIS Identitas 1. Nama
:
2. Jenis kelamin
: Laki-laki / Perempuan
3. Tanggal lahir
:
4. Pendidikan
:
5. Pekerjaan
:
6. No telepon
:
7. Alamat
:
8. Nama Ayah/Suku Bangsa
:
9. Nama Ibu/Suku Bangsa
:
Keluhan Utama
: ............................................................
Riwayat Penyakit Sekarang 1.
Bercak merah tebal yang disertai sisik muncul pertama kali sejak: ......Hari/bulan/tahun
2.
Letak bercak tersebut pertama kali: Kulit kepala/siku/lutut/bokong/lainnya:
3.
Keluhan saat bercak atau lesi kulit tersebut mucul: o Ada o Tidak ada
4. Jika ada, a. Keluhan apa: b. Apakah mengganggu aktivitas sehari-hari? 5. Apakah keluhan bercak merah tebal pada kulit muncul lagi? o
Ya
o
Tidak
6. Jika ya; •
Kapan muncul lagi?
•
Muncul di lokasi mana?
•
Apakah lebih parah dari sebelumya?
7. Apakah keluhan ini sudah pernah diobati? o
Ya
o
Tidak
8. Jika sudah: •
Obat topikal
•
Nama obat
•
Dipakai sejak : ..............................
: ..............................
•
Dosis obat
•
Penggunaan obat terakhir:
•
Obat oral/minum
•
Nama obat
•
Diminum sejak : ..............................
•
Dosis obat
•
Penggunaan obat terakhir: .......................
•
Fototerapi
•
Jenis fototerapi : .....................................
•
Digunakan sejak : ...................................
•
Frekuensi penggunaan: ...........................
•
Penggunaan fototerapi terakhir : ............................
: .............................
: ..............................
: .............................
9. Bagaimana hasil pengobatan? Keluhan berkurang/tetap/bertambah berat 10. Apakah saat ini sedang ada keluhan: Nyeri telan (ya/tidak) Sakit gigi (ya/tidak) Nyeri telinga (ya/tidak) Mata merah (ya/tidak) Demam (ya/tidak) 11. Apakah ada riwayat goresan atau luka pada tubuh sebelumnya? o
Ya
o
Tidak
12. Jika Ya: • Kapan luka tersebut terjadi? • Disebabkan oleh apa? •
Apakah di lokasi sekitar luka tersebut timbul lesi kulit baru?
13. Apakah bapak/ibu pernah mengalami stress? o Ya o Tidak 14. Jika Ya, •
Kapan?
•
Apakah hingga mengganggu tidur?
15. Riwayat Penyakit Dahulu
:
•
Riwayat atopi. Jika ya, obat : ............., Sejak: ...............
•
Dermatitis atopi. Jika ya, obat: .........., Sejak: ...............
•
Penyakit darah tinggi. Jika ya, obat : ..........., Sejak: ..........
•
Kencing manis. Jika ya, obat : ..........., Sejak: ..............
•
Penyakit paru (asma). Jika ya, obat : ..........., Sejak: ...........
•
Keluhan di saluran cerna? Jika ya seperti apa? Obat: ...., Sejak: ....
•
Penyakit radang sendi. Jika ya, obat : ........, Sejak: ...............
•
Penyakit keganasan. Jika ya, obat : ............, Sejak: ............
•
Lain-lain : ..............................
16. Apakah sedang mengkonsumsi obat-obatan, seperti: litium, beta-blockers, anti malaria, nonsteroidal anti-inflammatory, tetrasiklin, angiotensin-converting enzyme inhibitors, calcium-channel blockers, dan
potasium iodida. •
Ya
•
Tidak
17. Jika Ya, Kapan digunakan terakhir? 18. Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama? o
Jika ya, siapa?
o
Tidak
PEMERIKSAAN FISIK Status vital Keadaan umum
: Baik/sedang/lemah/buruk
Gizi
: Baik/sedang/buruk/lebih
Berat badan
: ........Kg, Tinggi badan: ...........cm
Temperatur aksila : .......... ˚C Tekanan darah
: ............mmHg
Status dermatologi Lokasi
:
Efloresensi
:
Tanda-tanda klasik psoriasis a. Fenomena bercak lilin : b. Tanda Auspitz : c. Tanda Koebner :
Gambar Lokasi Lesi:
Pemeriksaan Laboratorium Kadar IL-17 serum: Diagnosis
:
Tipe psoriasis
:
PASI score
:
Derajat keparahan psoriasis: Lembar Penilaian PASI Score
Gambar 4.3Penilaian Intensitas Lesi Psoriasis. Skor Lesi Tidak
Ringan
Sedang
Berat
ada
Sangat berat
Eritema (E) Ketebalan (K) Skuama (S) Skor
0
1
2
3
4
Skor Area Area
1-9%
10-29%
30-49%
50-69%
70-89%
90-100%
Skor
Skor Lesi
Kepala (a)
Badan (b)
Ekstremitas
Ekstremitas
Atas (c)
Bawah (d)
X 0,3
X 0,2
X 0,4
B
C
D
Eritema (E) Indurasi (I) Skuama (S) Jml E+I+S %
area
yg
terkena Subtotal: Jml X skor Erea tubuh:
X 0,1
Subtotal PASI (total)
Score A
LAMPIRAN 6 No
Nama
Umur
Skor Jenis Kelamin PASI
Katagori IL-17 Status severitas
1.
Er
36
L
9,2
Sedang
1,59
Psoriasis
2.
Wa
56
L
4
Ringan
0,89
Psoriasis
3.
Su
59
L
2,1
Ringan
0,39
Psoriasis
4.
Mu
49
L
22,7
Berat
6,30
Psoriasis
5.
Pu
62
L
3,8
Ringan
0,69
Psoriasis
6.
Ar
54
L
7,8
Ringan
1,08
Psoriasis
7.
Su
44
L
4,8
Ringan
0,92
Psoriasis
8.
Su
45
L
8,7
Sedang
1,30
Psoriasis
9.
Ok
43
L
7,5
Ringan
1,16
Psoriasis
10.
Ka
48
P
8,1
Sedang
1,25
Psoriasis
11.
Te
48
L
15,9
Berat
3,57
Psoriasis
12.
Su
52
L
17,9
Berat
5,13
Psoriasis
13.
Nu
40
P
11,6
Sedang
1,87
Psoriasis
14.
Wa
42
P
13,4
Berat
2,90
Psoriasis
15.
Mu
46
L
7,06
Ringan
1,07
Psoriasis
16.
Ra
59
L
11,4
Sedang
1,87
Psoriasis
17.
Su
48
P
11,2
Sedang
1,87
Psoriasis
18.
Ru
35
P
12,2
Berat
2,00
Psoriasis
19.
Yu
40
P
14,7
Berat
3,20
Psoriasis
20.
Mu
46
P
7,6
Ringan
1,08
Psoriasis
21.
Su
40
P
8,1
Sedang
1,19
Psoriasis
22.
Sr
40
P
8,7
Sedang
1,22
Psoriasis
23.
Su
50
L
8,2
Sedang
1,07
Psoriasis
24.
Ri
35
P
11,8
Sedang
1,95
Psoriasis
25.
Se
50
L
7,9
Ringan
1,17
Psoriasis
26.
Ub
15
L
10,8
Sedang
1,78
Psoriasis
27.
Ib
51
L
11,2
Sedang
1,79
Psoriasis
28.
Sr
38
P
30,8
Berat
7,46
Psoriasis
29.
Ti
60
P
10,9
Sedang
1,29
Psoriasis
30.
Ar
56
L
11,5
Sedang
1,80
Psoriasis
31.
Ry
30
L
-
-
0,74
32.
Ag
30
P
-
-
0,08
33.
Na
35
P
-
-
0,13
34.
Em
37
P
-
-
0,27
35.
As
48
L
-
-
0,08
36.
Ra
38
L
-
-
0,17
37.
Cr
32
P
-
-
0,77
38.
Aa
28
L
-
-
0,33
39.
Ha
33
L
-
-
0,13
40.
Ut
35
P
-
-
0,51
41.
Na
30
L
-
-
0,17
42.
Le
38
P
-
-
0,06
43.
Ad
30
L
-
-
0,33
44.
Ch
30
P
-
-
0,07
45.
Iv
31
P
-
-
1,5
46.
Yo
35
P
-
-
0,11
47.
Li
30
P
-
-
0,55
48
Lu
33
P
-
-
0,07
49.
Ri
30
P
-
-
0,58
50.
Sa
37
P
-
-
1,09
LAMPIRAN 7 UJI STATISTIK Descriptives Statistic umur
Mean 95% Confidence Interval Lower Bound for Mean Upper Bound
46.73
1.822
43.01 50.46
5% Trimmed Mean
47.31
Median
48.00
Variance
99.582
Std. Deviation
Std. Error
9.979
Minimum
15
Maximum
62
Range
47
Interquartile Range
15
Skewness
-.903
.427
Kurtosis
2.055
.833
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic umur
.087
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
.200*
30
df
Sig.
.934
30
.065
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Frequency Table Kategori umur
Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
15-29th
1
3.3
3.3
3.3
30-44th
11
36.7
36.7
40.0
45-59th
15
50.0
50.0
90.0
>=60th
3
10.0
10.0
100.0
Total
30
100.0
100.0
Jk
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Laki-laki
19
63.3
63.3
63.3
Perempuan
11
36.7
36.7
100.0
Total
30
100.0
100.0
Statistic Pasiskor
Mean 95% Confidence Interval Lower Bound for Mean Upper Bound
10.7187
12.8409 10.2004
Median
10.0000
Variance
32.302 5.68349
Minimum
2.10
Maximum
30.80
Range
28.70
Interquartile Range
1.03766
8.5964
5% Trimmed Mean
Std. Deviation
Std. Error
4.15
Skewness
1.751
.427
Kurtosis
4.740
.833
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic pasiskor
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
.197
30
Statistic
.004
df
.856
Sig. 30
.001
a. Lilliefors Significance Correction Frequencies derajat keparahan psoriasis
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Ringan
9
30.0
30.0
30.0
Sedang
14
46.7
46.7
76.7
Berat
7
23.3
23.3
100.0
Total
30
100.0
100.0
Klp il17
Psoriasis
Statistic Mean 95% Confidence Interval Lower Bound for Mean Upper Bound
2.0340 1.4194 2.6486
5% Trimmed Mean
1.8398
Median
1.4450
Variance
2.709
Std. Deviation
1.64600
Std. Error .30052
Minimum
.39
Maximum
7.46
Range
7.07
Interquartile Range
Tidak Psoriasis
.88
Skewness
2.162
.427
Kurtosis
4.407
.833
Mean
.3870
.08740
95% Confidence Interval Lower Bound for Mean Upper Bound
.2041 .5699
5% Trimmed Mean
.3433
Median
.2200
Variance
.153
Std. Deviation
.39087
Minimum
.06
Maximum
1.50
Range
1.44
Interquartile Range
.48
Skewness
1.572
.512
Kurtosis
2.300
.992
Tests of Normality Klp
Kolmogorov-Smirnova
Shapiro-Wilk
Statistic il17
df
Sig.
Statistic
Sig.
Psoriasis
.308
30
.000
.716
30
.000
Tidak Psoriasis
.211
20
.020
.807
20
.001
a. Lilliefors Significance Correction
NPar Test Mann-Whitney Test Ranks Klp il17
df
N
Mean Rank Sum of Ranks
Psoriasis
30
34.50
1035.00
Tidak Psoriasis
20
12.00
240.00
Total
50
Kategori umur Case Processing Summary Cases Valid Kategori umur il17
N
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
15-29th
1
100.0%
0
.0%
1
100.0%
30-44th
11
100.0%
0
.0%
11
100.0%
45-59th
15
100.0%
0
.0%
15
100.0%
>=60th
3
100.0%
0
.0%
3
100.0%
Tests of Normalityb Kolmogorov-Smirnova Kategori umur il17
Statistic
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
30-44th
.295
11
.008
.689
11
.000
45-59th
.338
15
.000
.741
15
.001
>=60th
.380
3
.
.762
3
.027
NPar Tests Kruskal-Wallis Test Test Statisticsa,b il17 Chi-Square
.021
Df
1
Asymp. Sig.
.885
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Kategori umur
Jk il17
Laki-laki
Statistic Mean 95% Confidence Interval Lower Bound for Mean Upper Bound
1.9705 1.2232 2.7179
5% Trimmed Mean
1.8178
Median
1.5900
Variance
2.404
Std. Deviation
1.55054
Minimum
.39
Maximum
6.30
Range
5.91
Std. Error .35572
Interquartile Range
Perempuan
.80
Skewness
1.859
.524
Kurtosis
3.079
1.014
2.1436
.56477
Mean 95% Confidence Interval Lower Bound for Mean Upper Bound
.8852 3.4020
5% Trimmed Mean
1.9079
Median
1.2900
Variance
3.509
Std. Deviation
1.87314
Minimum
1.07
Maximum
7.46
Range
6.39
Interquartile Range
.81
Skewness
2.715
.661
Kurtosis
7.828
1.279
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Jk il17
Statistic
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Laki-laki
.315
19
.000
.769
19
.000
Perempuan
.349
11
.001
.606
11
.000
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Jk il17
Statistic
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
Sig.
Laki-laki
.315
19
.000
.769
19
.000
Perempuan
.349
11
.001
.606
11
.000
a. Lilliefors Significance Correction
NPar Tests Mann-Whitney Test Ranks Jk il17
df
N
Mean Rank Sum of Ranks
Laki-laki
19
14.63
278.00
Perempuan
11
17.00
187.00
Total
30
Test Statisticsb il17 Mann-Whitney U Wilcoxon W Z
88.000 278.000 -.711
Asymp. Sig. (2-tailed)
.477
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.497a
derajat keparahan psoriasis Case Processing Summary Cases derajat keparaha n psoriasis il17
Valid N
Missing
Percent
N
Ringan
9
100.0%
0
Sedang
14
100.0%
0
7
100.0%
0
Berat
Case Processing Summary Cases derajat keparaha n psoriasis il17
Missing Percent
Total N
Percent
Ringan
.0%
9
100.0%
Sedang
.0%
14
100.0%
Berat
.0%
7
100.0%
derajat keparahan psoriasis il17
Ringan
Statistic Mean
95% Confidence Interval Lower Bound for Mean Upper Bound
.9389 .7419 1.1359
Std. Error .08541
5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation
Sedang
.9565 1.0700 .066 .25624
Minimum
.39
Maximum
1.17
Range
.78
Interquartile Range
.33
Skewness
-1.432
.717
Kurtosis
1.700
1.400
1.5600
.08547
Mean 95% Confidence Interval Lower Bound for Mean Upper Bound
1.3754 1.7446
5% Trimmed Mean
1.5656
Median
1.6850
Variance Std. Deviation
.102 .31978
Minimum
1.07
Maximum
1.95
Range
.88
Interquartile Range
.63
Skewness
-.245
.597
Berat
Kurtosis
-1.873
1.154
Mean
4.3900
.75470
95% Confidence Interval Lower Bound for Mean Upper Bound
4.3522
Median
3.5700
Variance
3.987
il17
Ringan
.251
9
Sedang
.254
14
1.99674
Minimum
2.00
Maximum
7.46
Range
5.46
Interquartile Range
3.40
Skewness
.512
.794
-1.207
1.587
Kurtosis
derajat Kolmogorov-Smirnova keparaha n psoriasis Statistic Df
6.2367
5% Trimmed Mean
Std. Deviation
Tests of Normality
2.5433
Berat
.231
7
a. Lilliefors Significance Correction
Tests of Normality derajat keparaha n psoriasis il17
KolmogorovSmirnova Sig.
Shapiro-Wilk Statistic
Sig.
Ringan
.107
.840
9
.058
Sedang
.015
.850
14
.022
.200*
.935
7
.592
Berat
a. Lilliefors Significance Correction
NPar Tests Kruskal-Wallis Test Ranks derajat keparaha n psoriasis il17
df
N
Mean Rank
Ringan
9
5.50
Sedang
14
16.18
Berat
7
Total
30
Test Statisticsa,b il17 Chi-Square
23.673
Df Asymp. Sig.
2 .000
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: derajat keparahan psoriasis
27.00
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.308
30
.000
.716
30
.000
.197
30
.004
.856
30
.001
a. Lilliefors Significance Correction
Nonparametric Correlations
Correlations pasiskor Spearman's rho
pasiskor
Correlation Coefficient
1.000
.981**
.
.000
30
30
.981**
1.000
.000
.
30
30
Sig. (2-tailed) N il17
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
il17
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable:pasiskor Model Summary Equation Linear
R Square .921
F 324.271
The independent variable is il17.
df1
Parameter Estimates df2
1
Sig. 28
.000
Constant 3.980
b1 3.313
LAMPIRAN 8
FOTO PROSEDUR PENELITIAN
Kit pemeriksaan IL-17
Tambahkan 100 mikroliter streptavidin-HRP
Bilas tabung dengan wash buffer
Penetuan densitas optic dengan microplate reader
Serum sampel penelitian FOTO
DERAJAT
Penentuan kurve standar. KEPARAHAN
PSORIASIS
BERDASARKAN PASI SCORE PADA PENELITIAN
VULGARIS
Derajat Ringan (PASI score < 7)
Derajat Sedang (PASI score 8-12)
Derajat Berat (PASI score >12)