TESIS
DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN KADAR MDA
ROSITA SARI SUTANTO
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
TESIS
DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN KADAR MDA
ROSITA SARI SUTANTO NIM 0914088101
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN KADAR MDA
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik (Combine Degree) Program Pascasarjana Universitas Udayana
ROSITA SARI SUTANTO NIM 0914088101
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN KADAR MDA
Tesis untuk Memperoleh Gelar Spesialis Kulit dan Kelamin Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
ROSITA SARI SUTANTO NIM 0914088101
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR 2013
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL : 4 Juni 2013
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof.dr.Made Swastika A., Sp.KK(K), FINS-DV
dr.Ketut Tangking W., MPH
NIP. 195201011980031003
NIP. 194801201979031001
Mengetahui,
Ketua Program Ilmu Biomedik
Direktur
Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS
Prof. Dr. dr. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 194612131971071001
NIP. 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 30 Mei 2013
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, No : 0735/UN14.4/HK/2013 , Tanggal 29 Mei 2013
Ketua
: Prof.dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINS-DV
Sekretaris
: dr. Ketut Tangking Widarsa, MPH
1. Prof.Dr.dr.N. Adiputra, MOH 2. Prof.dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.BIOK 3. Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And, FAACS
UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka tesis yang berjudul: “Derajat Penyakit Acne Vulgaris Berhubungan Positif dengan Kadar MDA” dapat diselesaikan. Penulis menyadari tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran, dorongan semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak, tugas akhir ini tidak akan terlaksana dengan baik. Oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis sampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : - Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD (KHOM) dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis I di Universitas Udayana. - Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Raka Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Kekhususan Kedokteran Klinik (Combine Degree). - Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (Combine Degree), Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS, yang telah memberikan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Kekhususan Kedokteran Klinik (Combine Degree).
- Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr I Wayan Sutarga, MPHM atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar. - Kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan pembimbing karya akhir penulis,
Prof. dr. Made
Swastika Adiguna, SpKK(K) FINS-DV yang telah memberikan kesempatan mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. - dr. Ketut Tangking Widarsa, MPH., selaku pembimbing kedua yang telah banyak memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran dalam penyusunan karya akhir ini. - Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K) yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan arahan sejak awal sampai pada akhir pendidikan penulis. - Prof. Dr. dr. N. Adiputra, MOH., Prof. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.BIOK, dan Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS., selaku penguji, yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan, penyelesain karya akhir ini.
- Laboratorium Prodia Denpasar, yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menggunakan prasarana dan sarana laboratorium untuk kelancaran penelitian ini serta segala bimbingan, petunjuk dan saran perbaikan sehingga memungkinkan karya akhir ini terwujud. - Semua kepala Divisi dan staf Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas segala bimbingan dan dorongan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan. - Rekan-rekan sejawat PPDS I Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin atas pengertian, bantuan dan kerjasama yang baik selama masa pendidikan ini berlangsung. - Seluruh tenaga paramedis dan non medis di Unit Rawat Jalan yang telah membantu dan memberikan dukungan sehingga memungkinkan penulis menyelesaikan pendidikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada ayah dr. Irwan Sutanto dan ibu dr. Winarni Abadi, yang telah dengan penuh kasih sayang dan cinta membesarkan, mendidik, mendukung dan selalu memberikan semangat kepada penulis hingga pendidikan ini dapat diselesaikan. Terima kasih pula kepada suami tercinta dr. Johannes Hartono serta anakku tersayang Jessica Nathania Hartono atas segala pengertian, kesabaran, dan pengorbanannya selama ini serta semangat yang tiada hentinya selama penulis menjalani program pendidikan ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga, sahabat serta semua pihak yang belum tercantum namanya di sini yang telah membantu menyelesaikan karya akhir ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis akhir ini sangat jauh dari sempurna. Dengan segala kerendahan hati penulis tetap mohon petunjuk kearah perbaikan sehingga hasil yang tertuang dalam karya akhir ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan.
Denpasar, Juni 2013
Rosita Sari Sutanto
ABSTRAK DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN KADAR MDA Acne merupakan salah satu masalah kulit yang sering dijumpai di masyarakat dan bersifat kronis, berulang dan sering menimbulkan scar wajah yang permanen dan masalah psikososial. Hingga saat ini penyebab acne masih belum dapat dipahami sepenuhnya. Akhir–akhir ini, beberapa ahli menyatakan bahwa Reactive Oxygen Species (ROS) dan stres oksidatif berperan dalam perkembangan lesi acne inflamasi. Salah satu biomarker stres oksidatif dalam sel adalah peroksidasi lipid dan produk akhirnya yang dikenal sebagai malondialdehid (MDA). Berdasarkan hal ini, maka peneliti ingin mengetahui hubungan antara derajat penyakit acne vulgaris dengan stres oksidatif, yang akan diukur dengan markernya yaitu MDA. Metode penelitian ini adalah cross sectional, analitik. Jumlah subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah 64 orang. Terhadap semua subjek dilakukan pemeriksaan derajat penyakit acne vulgaris dan pengambilan darah vena sebagai bahan pemeriksaan kadar MDA. Berdasarkan uji korelasi Spearman didapatkan adanya korelasi positif sedang antara derajat acne vulgaris dengan kadar MDA (r = 0,566, p<0,05). Hasil penelitian ini mendukung teori bahwa pada acne vulgaris terdapat stres oksidatif. Semakin berat derajat acne vulgaris maka semakin tinggi kadar MDA, dimana MDA merupakan salah satu indikator dari stres oksidatif. Dari penelitian ini disimpulkan terdapat korelasi positif antara derajat acne vulgaris dengan kadar MDA. Hasil penelitian ini dapat dijadikan penelitian dasar bagi penelitian berikutnya yang meneliti keefektifan antioksidan dalam acne vulgaris dan sebagai landasan pertimbangan pemberian antioksidan dalam tatalaksana acne vulgaris. Kata kunci : MDA, perbedaan kadar MDA, derajat penyakit acne vulgaris, korelasi positif.
ABSTRACT
POSITIVE CORRELATION BETWEEN ACNE VULGARIS SEVERITY AND MDA LEVEL Acne is one of the most common skin problem in the community. It is a chronic, residive skin disorder. Acne can cause permanent facial scar and psychosocial problems. Until now, the exact etiology of acne remains unknown. Recently, some experts found that reactive oxygen species (ROS) and oxidative stress play role in inflammatory skin development. One of oxidative stress biomarker in cells is lipid peroxidation and its end product, known as malondialdehyde (MDA). Based on these, we would like to know the correlation between acne vulgaris severity and oxidative stress. Oxidative stress will be measured from its marker, MDA. This was an analytic, cross sectional study. Subjects who met inclusion and exclusion criterias were 64 persons. We performed examination to find out the acne vulgaris severity and took venous blood as specimens to check the MDA level. Spearman correlation test revealed positive correlation between acne severity and MDA level (r = 0,566, p < 0,05). This study supported the theory that there are oxidative stress in acne vulgaris. The more severe the acne severity, the higher was the MDA level. MDA is an indicator of oxidative stress. The conclusion of this study was there was positive correlation between acne vulgaris severity and MDA level. The result of this study can be used as a basis for the next study to assess the anti oxidant effectivity in acne vulgaris. Keywords : MDA, MDA level difference, acne vulgaris severity, positive correlation.
DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM ……………………………………………………….
i
PRASYARAT GELAR ……………………………………………………
ii
LEMBAR PERSETUJUAN ………………………………………………
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ………………………………………
v
UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………………
vi
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……………………………
x
ABSTRAK ………………………………………………………………..
xi
ABSTRACT ………………………………………………………………
xii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
xvi
DAFTAR TABEL ….……………………………………………………..
xvii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
xviii
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH …………
xx
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
xxi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……………………………………………………….
1
1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………………
3
1.3. Tujuan Penelitian …………………………………………………….
4
1.4. Manfaat Penelitian …………………………………………………..
4
1.4.1. Manfaat teoritis ……………….……………………………….
4
1.4.2. Manfaat praktis …………..……………………………………
4
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Acne Vulgaris ...............................................................................
5
2.1.1. Pendahuluan ..................................................................................
5
2.1.2. Definisi ..........................................................................................
5
2.1.3. Epidemiologi …………………………………………………..
5
2.1.4. Etiopatogenesis ………………………………………………..
6
2.1.4.1. Hiperproliferasi epidermis folikuler …………………
7
2.1.4.2. Produksi sebum berlebih ………………………………
8
2.1.4.3. Bakteri Propionibacterium acnes ………………………
9
2.1.4.4. Inflamasi ………………………………………………
11
2.1.5. Manifestasi klinis ……………………………………………..
12
2.1.6. Klasifikasi acne …………………………………………………
13
2.1.7. Diagnosis ……………………………………………………….
14
2.1.8. Terapi ……………………………………………………………
15
2.1.9. Komplikasi ………………………………………………………
17
2.2. Reactive Oxygen Species (ROS) ……………………………………..
18
2.2.1. Definisi …………………………………………………………
18
2.2.2. Macam ROS ……………………………………………………
18
2.2.3. Mekanisme pembentukan ROS …………………………………
19
2.2.4. Produk oksidasi …………………………………………………
21
2.3. Stres Oksidatif …………………………………………………………
22
2.4. Hubungan Stres Oksidatif dan Acne Vulgaris………………………..
25
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir …………………………………………………….
28
3.2. Konsep …………….………………………………………………….
29
3.3. Hipotesis ………………………………………………………………
29
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian …………………………………………………
30
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………………
30
4.3. Penentuan Sumber Data ……………………………………………..
30
4.3.1. Populasi target …………………………………………………
30
4.3.2. Populasi terjangkau ……………………………………………
30
4.3.2.1. Kriteria inklusi …………………………………………
31
4.3.2.2. Kriteria eksklusi ………………………………………
31
4.3.3. Teknik pengambilan sampel ……………………………………
32
4.3.4. Besar sampel ……………………………………………………
32
4.4. Variabel Penelitian ……………………………………………………..
32
4.4.1. Definisi operasional variabel …………………………..………
33
4.5. Bahan Penelitian ………………………………………………………
36
4.6. Instrumen Penelitian ………………………………………………….
37
4.6.1. Alat-alat …………………………………………………………
37
4.6.2. Reagen …………………………………………………………
37
4.7. Prosedur Penelitian ……………………………………………………
38
4.7.1. Protokol penelitian ………………………………………………
38
4.7.2. Pengambilan data ………………………………………………
39
4.7.2.1. Pengambilan spesimen …………………………………
40
4.7.2.2. Pemeriksaan kadar MDA ………………………………
40
4.8. Analisis Data …………………………………………………………..
41
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1. Karakteristik Subjek …………………………………………………
42
5.2. Frekuensi Derajat Penyakit Acne Vulgaris ………………………….
43
5.3. Kadar MDA pada Acne Vulgaris Derajat Ringan, Sedang, dan Berat
44
5.4. Korelasi Derajat Acne Vulgaris dengan kadar MDA ………………..
45
BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik Subjek …………………………………………………
46
6.2. Frekuensi Derajat Penyakit Acne Vulgaris ………………………….
49
6.3. Kadar MDA pada Acne Vulgaris Derajat Ringan, Sedang, dan Berat
49
6.4. Korelasi Derajat Acne Vulgaris dengan kadar MDA ………………..
50
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN …………………………………….
53
5.1. Simpulan ………………………………………………………………
53
5.2. Saran …………………………………………………………………..
53
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
54
LAMPIRAN – LAMPIRAN ………………………………………………
58
DAFTAR TABEL
Halaman 2.1. Klasifikasi ASEAN Grading Lehmann 2003 ………………………
14
2.2. Biomarker Kerusakan Oksidatif ……………………………………
24
4.1. Definisi Operasional Acne Vulgaris ……………………………..
33
5.1. Karakteristik Subjek penelitian …………………………………….
42
5.2. Frekuensi Derajat Penyakit Acne Vulgaris ………………………...
43
5.3. Kadar MDA Kelompok Acne Vulgaris Derajat Ringan, Sedang, dan Berat………………………………………………………………………... 5.4. Perbandingan Perbedaan Rerata Kadar MDA Kelompok Acne Vulgaris Derajat Ringan, Sedang, dan Berat ………………………………
44 45
DAFTAR GAMBAR Halaman 3.1. Konsep ……………………….…………………………………...
29
4.1. Protokol Penelitian ………………………………………….……
39
5.1. Scatter plot korelasi derajat acne vulgaris dengan kadar MDA….
45
DAFTAR SINGKATAN
Cl-
= Ion Chlor
Cu+
= Ion cuprum
Fe++
= Ion fero
DHT
= Dihidrotestosteron
DNA
= Deoxyribosa Nucleic Acid
H2O2
= Hidrogen peroksida
HOCl
= Asam hipoklorit
IgG
= Imunoglobulin G
IL-1
= Interleukin 1
IL-8
= Interleukin 8
IL-1β
= Interleukin-1β
LDL
= Low Density Lipoprotein
MDA
= Malondialdehid
NADH
= Nikotinamida adenida dinukleotida
NADPH
= Nicotinis adenine dinucleotide phospat hydrogen
O2•-
= Radikal ion superoksida
•OOH
= Radikal peroksil
•OH
= Radikal hidroksil
/O2
= Singlet oksigen
PUFA
= Poly Unsaturated Fatty Acids
ROS
= Reactive oxygen species
SOD
= Superoksid dismutase
TBAR
= Tiobarbiturat Acid
TNFα
= Tumor Necrosis Factor-α
XO
= Xantin oksidase
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1
Informed Consent ……………………………………..…
58
Lampiran 2
Pernyataan Persetujuan Mengikuti Penelitian …………...
60
Lampiran 3
Status Penelitian …………………………………………
61
Lampiran 4
Kriteria Diagnosis Dermatitis Atopik Hanifin Rajka ……
65
Lampiran 5
Ethical Clearance ……………………………………..…
67
Lampiran 6
Surat IjinPenelitian ……………………………………...
68
Lampiran 7
Karakteristik Subjek ……………………………………..
69
Lampiran 8
Hasil SPSS Penelitian ………………………………..….
70
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Acne merupakan salah satu masalah kulit yang sering dijumpai di masyarakat dan bersifat kronis dan berulang. Walaupun bukan merupakan suatu penyakit yang mengancam nyawa, namun acne dapat menyebabkan masalah psikologi yang berbeda-beda, mulai dari perasaan rendah diri hingga stres. Selain itu tidak jarang pula dapat terjadi scar yang permanen pada wajah. Menurut Kligman, tidak ada seorangpun
yang sama sekali tidak pernah
menderita acne. Di Amerika Serikat, tercatat lebih dari 17 juta penduduk yang menderita acne setiap tahunnya, di mana 75 hingga 95% di antaranya adalah usia remaja. Sedangkan pada satu studi prevalensi acne yang dilakukan di kota Palembang,
dari 5204 sampel berusia 14 sampai 21 tahun, didapatkan angka
prevalensi acne vulgaris sebesar 68,2% (Suryadi, 2008). Hingga saat ini penyebab acne masih belum dapat dipahami sepenuhnya. Walaupun patogenenesis acne adalah multifaktorial, namun telah diidentifikasi empat teori berkontribusi sebagai etiologi acne. Keempat etiologi tersebut adalah hiperproliferasi epidermis folikuler, produksi sebum yang berlebih, bakteri Propionibacterium acnes, dan inflamasi. Akhir–akhir ini, beberapa ahli menyatakan bahwa Reactive Oxygen Species (ROS) dan stres oksidatif berperan dalam perkembangan lesi acne inflamasi. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan,
diduga bahwa stres oksidatif berperan dalam patogenesis acne. Namun, hal ini masih merupakan kontroversi, karena ada penelitian yang menyatakan bahwa korelasi antara stres oksidatif dan derajat penyakit acne vulgaris tidak signifikan. Propionibacterium acnes dianggap berperan penting dalam patogenesis acne dengan memproduksi faktor kemotaktik sehingga menyebabkan akumulasi netrofil pada daerah lesi acne. Setelah terjadi fagositosis oleh netrofil, akan dilepas enzim lisosom dan ROS. Dalam rangka perlindungan terhadap serangan ROS, tubuh manusia memiliki suatu sistem antioksidan yang terorganisir, baik antioksidan enzimatik maupun antioksidan non-enzimatik, yang bekerja secara sinergis. Antioksidan melindungi sel tubuh terhadap kerusakan oksidatif dan dapat mencegah produksi dari produk–produk oksidatif. Ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan, di mana produksi ROS melebihi kapasitas antioksidan, berpotensi menyebabkan kerusakan, yang disebut dengan stres oksidatif.
Salah satu biomarker stres oksidatif dalam sel adalah
peroksidasi lipid dan produk akhirnya yang dikenal sebagai malondialdehid (MDA). Terdapat dugaan bahwa pada keadaan stres oksidatif, yang disertai dengan produk oksidatifnya, akan menyebabkan pelepasan mediator proinflamasi seperti sitokin pada tingkat seluler. Hal ini diduga akan menginduksi terjadinya inflamasi. Sebuah penelitian di Jepang menyatakan bahwa penderita acne inflamasi menunjukkan peningkatan kadar hidrogen peroksida yang diproduksi oleh netrofil secara signifikan, jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (Akamatsu dkk.,
2003). Sedang pada penelitian lain yang dilakukan oleh Kurutas dkk. (2005), didapatkan bahwa terdapat penurunan aktivitas antioksidan Superoksid Dismutase (SOD) pada penderita acne. Di Indonesia, dari penelitian yang dilakukan oleh Surlinia (2010), didapatkan kesimpulan bahwa kadar MDA darah pada penderita acne inflamasi lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan individu non acne vulgaris. Dari penelitian–penelitian yang pernah dilakukan, diduga bahwa stres oksidatif berperan dalam patogenesis acne inflamasi. Penelitian yang dilakukan oleh Arican tidak berhasil menunjukkan hubungan yang bermakna (nilai r = 0,20 dan nilai p > 0,05) antara stres oksidatif dengan derajat penyakit acne vulgaris (Arican dkk., 2005). Berdasarkan data – data tersebut, maka disusunlah permasalahan apakah terdapat hubungan antara derajat penyakit acne vulgaris dengan stres oksidatif, yang akan diukur dengan markernya yaitu MDA.
1.2 Rumusan Masalah Apakah terdapat korelasi antara derajat penyakit acne vulgaris dengan kadar MDA ?
1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui korelasi positif derajat penyakit acne vulgaris dengan kadar MDA.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis Menambah wawasan keilmuan dan pemahaman tentang hubungan antara derajat penyakit acne vulgaris dengan kadar MDA. 1.4.2 Manfaat praktis Sebagai dasar pertimbangan tatalaksana acne vulgaris.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Acne Vulgaris 2.1.1 Pendahuluan Acne merupakan salah satu masalah kulit yang sering dijumpai di masyarakat dan bersifat kronis serta kambuh–kambuhan. Walaupun bukan merupakan suatu penyakit yang mengancam nyawa, namun acne dapat menyebabkan masalah psikologi yang berbeda-beda, mulai dari perasaan rendah diri hingga stress. Selain itu tidak jarang pula dapat terjadi scar pada wajah yang permanen. Tidak kurang dari 1530% penderita acne memerlukan perawatan medis karena keparahan dan kondisi klinisnya, 2-7% di antaranya mengalami scar post acne yang bertahan lama (Zouboulis dkk., 2005).
2.1.2 Definisi Acne vulgaris merupakan suatu keradangan kronis dari folikel pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul, kista dan pustul pada daerah-daerah predileksi yaitu muka, bahu, lengan bagian atas, dada, dan punggung (Zaenglein dkk., 2008).
2.1.3 Epidemiologi
Kligman mengatakan bahwa tidak ada seorangpun (artinya 100%) yang sama sekali tidak pernah menderita acne (Wasitaatmadja, 2007). Di Amerika Serikat saja, tercatat lebih dari 17 juta penduduk yang menderita acne setiap tahunnya, di mana 75 hingga 95% di antaranya adalah usia remaja (Baumann dan Keri, 2009). Pada suatu studi prevalensi acne yang dilakukan di kota Palembang, dari 5204 sampel berusia 14-21 tahun, didapatkan bahwa usia terbanyak adalah 15-16 tahun (Suryadi, 2008). Sedangkan berdasarkan sebuah penelitian retrospektif di Taiwan, didapatkan data kejadian acne sebesar 83 % pada laki-laki dan 87 % pada perempuan (Yu dkk., 2008). Acne derajat ringan seringkali dijumpai saat lahir, yang kemungkinan disebabkan karena stimulasi folikuler oleh androgen adrenal, dan dapat berlanjut hingga periode neonatal. Namun, pada mayoritas kasus, acne menjadi masalah yang signifikan sejak usia pubertas. Kasus terbanyak dijumpai pada pertengahan hingga akhir remaja. Setelah itu, insidennya menurun perlahan. Namun, pada wanita, acne dapat menetap hingga dekade ketiga bahkan lebih (Zaenglein dkk., 2008).
2.1.4 Etiopatogenesis Etiologi acne vulgaris belum jelas sepenuhnya. Patogenesis acne adalah multifaktorial, namun telah diidentifikasi empat teori sebagai etiopatogenesis acne. Keempat patogenesis tersebut adalah hiperproliferasi epidermis folikuler, produksi sebum yang berlebih, bakteri Propionibacterium acnes (P. acnes), dan inflamasi (Zaenglein dkk., 2008).
2.1.4.1 Hiperproliferasi epidermis folikuler Mekanisme yang mendasari perubahan infundibulum folikel masih belum jelas. Namun hipotesis yang menonjol adalah defisiensi asam linoleat lokal pada folikel, pengaruh IL-1, dan androgen, sebagai faktor utama yang terlibat dalam hiperkeratinisasi folikel (Jappe, 2003). Sejak tahun 1986, defisiensi asam linoleat merupakan faktor penting dalam etiologi acne (Jappe, 2003). Downing dkk. menyatakan bahwa semakin rendah konsentrasi asam linoleat, yang berkorelasi dengan tingginya sekresi sebum, menyebabkan defisiensi lokalisata asam lemak esensial pada epitel folikuler. Defisiensi ini kemudian bertanggungjawab terhadap penurunan fungsi barrier epitel dan hiperkeratosis folikuler, yang semakin memperparah acne (Bauman dan Keri, 2009). Baru-baru ini, Zouboulis menyatakan bahwa asam linoleat dapat meregulasi sekresi IL-8, dan menyebabkan terjadi reaksi inflamasi (Jappe, 2003). IL-1 juga berperan dalam terjadinya hiperproliferasi keratinosit. Jika ditambahkan IL-1, keratinosit folikuler manusia menunjukkan adanya hiperproliferasi dan pembentukan mikrokomedo (Zaenglein dkk., 2008). Kelenjar
sebasea
adalah
organ
target
androgen,
distimulasi
untuk
memproduksi sebum saat pubertas. Kelenjar sebasea mewakili densitas reseptor androgen yang berbanyak pada kulit manusia. Androgen yang paling penting adalah testosteron, yang diubah menjadi dihidrotestrosteron (DHT) oleh iso-enzim 5α reduktase tipe I (Jappe, 2003). Kulit penderita acne menunjukkan peningkatan
densitas reseptor androgen dan aktivitas 5α reduktase yang lebih tinggi. DHT adalah androgen poten yang berperan pada acne. Androgen menyebabkan peningkatan ukuran kelenjar sebasea, menstimulasi produksi sebum, serta menstimulasi proliferasi keratinosit pada duktus kelenjar sebasea dan acroinfundibulum (Zouboulis dkk., 2005). Hiperproliferasi epidermal folikuler menyebabkan terbentuknya lesi primer acne, yaitu mikrokomedo. Epitel folikel rambut bagian atas, infundibulum, menjadi hiperkeratotik dan disertai peningkatan kohesi keratinosit. Peningkatan sel dan kepekatannya menyebabkan sumbatan pada ostium folikuler. Sumbatan ini menyebabkan terjadinya akumulasi keratin, sebum dan bakteri pada folikel, yang kemudian menyebabkan dilatasi pada folikel rambut bagian atas, dan terjadi mikrokomedo (Zaenglein dkk., 2008). 2.1.4.2. Produksi sebum berlebih Sebum disintesis oleh kelenjar sebasea secara kontinu dan disekresikan ke permukaan kulit melalui pori – pori folikel rambut. Sekresi sebum ini diatur secara hormonal. Kelenjar sebasea terletak pada seluruh permukaan tubuh, namun jumlah kelenjar yang terbanyak didapatkan pada wajah, pungung, dada, dan bahu (Baumann dan Keri, 2009). Fungsi sebum pada manusia tidak diketahui pasti. Diduga bahwa sebum dapat mengurangi kehilangan air dari permukaan kulit dan menjaga kulit tetap lembut dan halus (Nelson dan Thiboutot, 2008).
Kelenjar sebasea mulai terbentuk pada minggu ke-13 hingga 16 kehidupan janin. Kelenjar sebasea mensekresikan lipid melalui sekresi holokrin. Selanjutnya, kelenjar ini menjadi aktif saat pubertas karena adanya peningkatan hormon androgen, khususnya hormon testosteron, yang memicu produksi sebum (Baumann dan Keri, 2009). Hormon androgen menyebabkan peningkatan ukuran kelenjar sebasea, menstimulasi produksi sebum, serta menstimulasi proliferasi keratinosit pada duktus kelenjar sebasea dan acroinfundibulum (Nelson dan Thiboutot, 2008 ; Zouboulis dkk., 2005). Dihidrotestosteron (DHT) adalah androgen poten yang berperan dalam terbentuknya acne. Enzim 17β-hidroksisteroid dehidrogenase dan 5α-reduktase adalah enzim yang berperan mengubah prekursor dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS) menjadi DHT (Zaenglein dkk., 2008). Ketidakseimbangan antara produksi dan kapasitas sekresi sebum akan menyebabkan pembuntuan sebum pada folikel rambut (Baumann dan Keri, 2009). Selain itu, penderita acne memproduksi sebum yang lebih banyak, jika dibandingkan dengan yang tidak menderita acne. Salah satu komponen sebum yaitu trigliserida, berperan penting dalam patogenesis acne. Flora normal unit pilosebasea yaitu P. acnes akan memecah trigliserida menjadi asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini akan menyebabkan terjadinya lebih banyak kolonisasi P. acnes, memicu inflamasi, dan selain itu juga bersifat komedogenik (Zaenglein dkk., 2008). 2.1.4.3 Bakteri Propionibacterium acnes
Acne bukan merupakan penyakit infeksi. Di antara spesies bakteri yang mengkolonisasi kulit normal sebagai flora normal, hanya bakteri yang mampu mengkolonisasi duktus folikuler dan bermultiplikasi lah yang dapat bersifat patogenik terhadap terjadinya acne. Hanya tiga spesies mikroorganisme yang dapat diasosiasikan dengan perkembangan lesi acne, yaitu propionibacteria, staphylococci koagulase negatif, dan jamur Malassezia. Namun, setelah terapi antifungal, penderita acne tidak menunjukkan perbaikan klinis, sehingga jamur dapat dieksklusikan. Staphylococci juga dapat dieksklusikan, mengingat terjadinya resistensi antibiotika pada kebanyakan penderita pada minggu pertama terapi, dan jumlahnya yang meningkat dengan cepat. Sehingga fokus ilmiah diarahkan ke Propionibacteria (Jappe, 2003). Propionibacteria merupakan bakteri gram positif, non motil, sel berbentuk batang yang pleomorfik, yang memfermentasi gula untuk menghasilkan asam propionat sebagai produk akhir pada proses metabolismenya. Propionibacteria acnes merupakan mikroorganisme penghuni predominan pada area kulit orang dewasa yang kaya akan kelenjar sebasea. Pada kulit manusia, Propionibacteria ditemukan sejak manusia lahir hingga meninggal. Analisis bakteriologi dan produksi sebum pada area tubuh multipel menunjukkan hubungan yang erat antara jumlah P. acnes dengan produksi sebum (Jappe, 2003). Patogenisitas Propionibacteria diduga disebabkan karena adanya dua hal, yaitu :
1. Produksi enzim eksoseluler dan produk ekstraseluler bioaktif lainnya, seperti protease, lipase, lecithinase, hyaluronat lipase, neuramidase, phospatase, phospolipase, proteinase, dan RNase. 2. Interaksi mikroorganisme dengan sistem imun manusia.
Pada saat pubertas, jumlah P. acnes pada wajah dan pipi penderita acne meningkat drastis, dan saat dewasa akan menunjukkan jumlah yang konstan. Penelitian tentang DNA P.acnes yang dilakukan oleh Miura dkk., menemukan bahwa pada penderita acne berusia 10-14 tahun didapatkan jumlah P.acnes di hidung dan dahi yang lebih tinggi secara signifikan daripada non acne. Namun pada penderita acne berusia lebih dari 15 tahun, tidak didapatkan perbedaan jumlah P.acnes yang signifikan (Miura dkk., 2010). Berdsarkan observasi yang dilakukan selama ini, diduga P. acnes berperan secara tidak langsung dalam patogenesis acne dengan merangsang komedo dan menghasilkan substansi–substansi yang menyebabkan terjadinya ruptur komedo, sehingga memulai respon inflamasi. 2.1.4.4 Inflamasi Beberapa hipotesis menyatakan peran P.acnes dalam terbentuknya acne. Kerusakan jaringan kulit dapat merupakan akibat dari enzim bakteri yang memiliki sifat degradasi, dan mempengaruhi integritas sel epidermis kulit dan fungsi barier dinding folikuler folikel sebaseus. Hal ini menyebabkan pelepasan sitokin pro
inflamasi dari keratinosit, yang akan berdifusi ke dermis dan memicu inflamasi (Bruggemann, 2005). Terdapat dua macam respon inflamasi yang terjadi, yaitu : 1. Rupturnya epitel komedo. Komedo yang mengandung korneosit, rambut, sebum, dan campuran debris seluler akan memasuki dermis, dan memicu terjadinya reaksi inflamasi. 2. Netrofil berakumulasi di sekeliling komedo yang intak yangmana dinding epitelnya bersifat spongiotik. Hal ini menyebabkan terjadinya kebocoran substansi yang dapat berdifusi dari komedo. Pada saat ini, imunoglobulin seperti IgG, dan komplemen seperti C3, dapat dideteksi pada pembuluh darah di sekitar komedo. Adanya faktor kemotaktik dengan berat molekul yang kecil, memungkinkan terjadinya difusi dari folikel yang intak menuju ke dermis, sehingga akan menarik netrofil. Setelah terjadi fagositosis, netrofil akan melepaskan enzim lisosomal dan Reactive Oxygen Species (ROS), yang akan menyebabkan kerusakan epitel folikuler, yang kemudian lebih lanjut akan mengawali terjadinya inflamasi. Selain itu, diketahui pula bahwa P. acnes merupakan aktivator komplemen jalur klasik dan alternatif yang poten. Aktivasi komplemen akan menyebabkan semakin banyaknya netrofil. Keseluruhan hal ini akan menyebabkan terjadinya inflamasi (Kurutas dkk., 2005).
2.1.5 Manifestasi klinis
Lesi utama acne adalah mikrokomedo, atau mikrokomedone, yaitu pelebaran folikel rambut yang mengandung sebum dan P. acnes. Sedangkan lesi acne lainnya dapat berupa papul, pustul, nodul, dan kista pada daerah predileksi acne yaitu pada wajah, bahu, dada, punggung, dan lengan atas. Komedo yang tetap berada di bawah permukaan kulit tampak sebagai komedo white head, sedangkan komedo yang bagian ujungnya terbuka pada permukaan kulit disebut komedo black head karena secara klinis tampak berwarna hitam pada epidermis (Baumann dan Keri, 2009 ; Sukanto dkk., 2005). Scar dapat merupakan komplikasi dari acne, baik acne non-inflamasi maupun inflamasi. Ada empat tipe scar karena acne, yaitu : scar icepick, rolling, boxcar, dan hipertropik. Scar icepick adalah scar yang dalam dan sempit, dengan bagian terluasnya berada pada permukaan kulit dan semakin meruncing menuju satu titik ke dalam dermis. Scar rolling adalah scar yang dangkal, luas, dan tampak memiliki undulasi. Scar boxcar adalah scar yang luas dan berbatas tegas. Tidak seperti scar icepick, lebar permukaan dan dasar scar boxcar adalah sama. Pada beberapa kejadian yang jarang, terutama pada truncus, scar yang terbentuk dapat berupa scar hipertropik (Zaenglein dkk., 2008).
2.1.6 Klasifikasi acne Selama ini, tidak terdapat standart internasional untuk pengelompokan dan sistem grading acne. Hal ini tidak jarang menimbulkan kesulitan dalam
pengelompokan acne. Saat ini, terdapat lebih dari 20 metode berbeda yang digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan acne. Klasifikasi acne yang paling ‘tua’ adalah klasifikasi oleh Pillsburry pada tahun 1956, yang mengelompokkan acne menjadi 4 skala berdasarkan perkiraan jumlah dan tipe lesi, serta luas keterlibatan kulit (Barratt dkk., 2009). Klasifikasi lainnya oleh Plewig dan Kligman, yang mengelompokkan acne vulgaris menjadi :
1. Acne komedonal a. Grade 1 : Kurang dari 10 komedo pada tiap sisi wajah b. Grade 2 : 10-25 komedo pada tiap sisi wajah c. Grade 3 : 25-50 komedo pada tiap sisi wajah d. Grade 4 : Lebih dari 50 komedo pada tiap sisi wajah 2. Acne papulopustul a. Grade 1 : Kurang dari 10 lesi pada tiap sisi wajah b. Grade 2 : 10-20 lesi pada tiap sisi wajah c. Grade 3 : 20-30 lesi pada tiap sisi wajah d. Grade 4 : Lebih dari 30 lesi pada tiap sisi wajah 3. Acne konglobata Klasifikasi ASEAN grading Lehmann 2003 yang mengelompokkan acne menjadi tiga kategori, yaitu ringan, sedang, dan berat sebagai berikut: Tabel 2.1. Klasifikasi ASEAN grading Lehmann 2003 (Wasitaatmadja, 2010)
Derajat
Komedo
Papul / pustul
Nodul
Ringan Sedang Berat
< 20 20-100 >100
< 15 15-50 > 50
Tidak ada <5 >5
2.1.7 Diagnosis Diagnosis acne vulgaris ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Keluhan penderita dapat berupa gatal atau sakit, tetapi pada umumnya keluhan penderita lebih bersifat kosmetik. Pada pemeriksaan fisik ditemukan komedo, baik komedo terbuka maupun komedo tertutup. Adanya komedo diperlukan untuk menegakkan diagnosis acne vulgaris (Wolff dan Johnson, 2009). Selain itu, dapat pula ditemukan papul, pustul, nodul, dan kista pada daerah – daerah predileksi yang mempunyai banyak kelenjar lemak. Secara umum, pemeriksaan laboratorium bukan merupakan indikasi untuk penderita acne vulgaris, kecuali jika dicurigai adanya hiperandrogenism (Zaenglein dkk., 2008).
2.1.8 Terapi Terapi acne vulgaris terdiri dari beberapa modalitas, antara lain (James dkk., 2006 ; Zaenglein dkk., 2008 ; Ascenso dan Marques, 2009). 1. Terapi topikal. a. Retinoid topikal.
Retinoid topikal akan menormalkan proses keratinasi epitel folikuler, sehingga dapat mengurangi komedo dan menghambat terbentuknya lesi baru. Selain itu, juga memiliki efek anti inflamasi. b. Benzoil Peroksida. Benzoil Peroksida memiliki efek anti bakterial yang poten. Selain itu, dalam penggunaannya tidak akan terjadi resistensi P.acnes. c. Antibakterial topikal. Eritromycin dan Clindamycin merupakan antibaktrial topikal yang paling sering digunakan. Penggunaan antibiotik jenis ini saja akan menyebabkan peningkatan resistensi P.acnes. Penggunaan kombinasi dengan Benzoil Peroksida dapat mengatasai masalah ini. d. Sulfur, sodium sulfacetamide, resorcin, dan asam salisilat. Walaupun kelompok obat ini merupakan obat lama, namun penggunaanya masih sering dijumpai. Produk kombinasi antara sulfur dan sulfacetamida cukup efektif dalam mengatasi acne dan rosacea. 2. Terapi sistemik. a. Antibiotika oral. Antibiotika oral digunakan untuk pengobatan acne vulgaris derajat sedang hingga berat, atau pada kegagalan serta intoleransi terhadap terapi topikal. Pada umumnya memerlukan 6-8 minggu untuk menilai efikasinya. Beberapa antibiotika yang tersedia antara lain : Tetrasiklin,
Doksisiklin, Minosiklin, Eritomycin, Clindamycin, dan TrimetoprimSulfametoxazole. b. Terapi hormonal. Tujuan terapi hormonal adalah untuk ‘melawan’ efek androgen pada kelenjar sebasea. Adapun jenis – jenis yang dapat digunakan adalah : kontrasepsi oral, kortikosteroid, antiandrogen, agonis Gonadotropinreleasing hormone. c. Isotretinoin. Penggunaan isotretinoin oral disetujui untuk kasus acne berat, rekalsitran, dan tipe nodular. Pada terapi ini, perlu diberikan edukasi yang baik kepada penderita karena obat ini memiliki banyak efek samping. Efek samping yang paling serius adalah efek teratogenik. 3. Modalitas lainnya. a. Kortikosteroid intralesi. Kortikosteroid intralesi paling efektif untuk mengurangi inflamasi pada acne vulgaris tipe noduler. Dosis yang direkomendasikan adalah injeksi suspensi Triamsinolon asetat 2,5-10 mg/mL sebanyak 0,050,25 mL per lesi. Kadang memerlukan dosis ulangan dalam interval 2 hingga 3 minggu. b. Fototerapi dan laser. Penggunaan terapi fotodinamik dan berbagai jenis laser masih dalam tahap penyelidikann. Walaupun terapi ini dapat menghancurkan
kelenjar sebasea dan membunuh P.acnes, namun metode ini masih dianggap kurang efektif.
2.1.9 Komplikasi Semua tipe acne berpotensi meninggalkan sekuele. Hampir semua lesi acne akan meninggalkan makula eritema yang bersifat sementara setelah lesi sembuh. Pada warna kulit yang lebih gelap, hiperpigmentasi post inflamasi dapat bertahan berbulanbulan setelah lesi acne sembuh. Acne juga dapat menyebabkan terjadinya scar pada beberapa individu. Selain itu, adanya acne juga menyebabkan dampak psikologis. Dikatakan 30– 50% penderita acne mengalami gangguan psikiatrik karena adanya acne (Zaenglein dkk., 2008).
2.2 Reactive Oxygen Species (ROS) 2.2.1 Definisi ROS adalah molekul yang mengandung oksigen, bersifat sangat reaktif, yang secara alami didapatkan dalam jumlah kecil akibat dari reaksi metabolik tubuh, dan dapat bereaksi serta merusak biomakromolekul seperti lipid, protein, atau DNA (Wu dan Cederbaum, 2003). Istilah ROS digunakan untuk mendeskripsikan beberapa molekul dan radikal bebas yang berasal dari molekul oksigen (Turrens, 2003). Radikal bebas adalah suatu spesies atau senyawa independen yang mengandung satu
atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital atom atau molekul nya (Gabrielli dkk., 2012).
2.2.2 Macam ROS Macam-macam ROS adalah sebagai berikut (Kooter, 2004) : 1. Radikal ion superoksida (O2•-). 2. Radikal Peroksil (•OOH). 3. Hidrogen Peroksida (H2O2). 4. Radikal Hidroksil (•OH). 5. Singlet Oksigen (/O2).
2.2.3 Mekanisme pembentukan ROS ROS akan terbentuk setiap saat dalam berbagai kegiatan, bahkan ketika kita sedang bernapas. Radikal bebas dapat terbentuk melalui 2 cara, yaitu secara endogen (sebagai respons normal proses biokimia intrasel maupun ekstrasel, misalnya rantai respirasi, fagositosis, sintesis prostaglandin, dan sistem sitokrom P450) dan secara eksogen (misalnya merokok, sinar ultraviolet, obat-obatan, pestisida, pelarut industri, polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui kulit) (Kumar, 2011 ; Winarsi, 2007). Pada umumnya, kadar ROS yang rendah penting untuk fungsi fisiologi normal, seperti misalnya ekspresi gen, pertumbuhan sel dan pertahanan terhadap infeksi. Aktivasi makrofag dan netrofil merupakan bentuk mekanisme pertahanan
tubuh terhadap serangan infeksi mikroorganisme. Dalam hal ini enzim oksidase dan oksigenase akan membentuk berbagai senyawa radikal bebas dan ROS, termasuk asam hipoklorit (HOCl), yang akan menyerang dan menghancurkan virus atau bakteri. Namun di sisi lain, terbentuknya senyawa radikal tersebut sangat berbahaya karena juga berpotensi menyerang sel tubuh (Kunwar dan Priyadarsini, 2011 ; Winarsi, 2007). Berikut pembentukan masing – masing ROS : 1. Radikal ion superoksida (O2•-) Pembentukan radikal ion superoksida ini melalui beberapa mekanisme berikut :
a. Reaksi samping dalam reaksi yang melibatkan Fe++ b. Reaksi dalam mitokondria dan granulosit yang dikatalisis oleh NADH/NADPH oksidase. c. Reaksi yang dikatalisis oleh Xantin Oksidase (XO). 2. Radikal Peroksil (•OOH) Radikal peroksil terbentuk melalui reaksi : O2•- + H+ → •OOH Radikal peroksil sangat reaktif, dan akan membentuk radikal baru melalui reaksi : •OOH + XH → •X + H2O2
H2O2 dapat tereduksi melalui reaksi Fenton, dan menghasilkan oksidan yang sangat kuat yaitu radikal hidroksil (•OH) (Urbanski dan Beresewicz, 2000). 3. Hidrogen Peroksida (H2O2) H2O2 terbentuk karena aktivitas enzim oksidase yang mengkatalisis reaksi dalam retikuloendoplasmik (mikrosom) dan peroksisom, melalui reaksi : R H2 + O2 → R + H2O2 4. Radikal Hidroksil (•OH) Radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling reaktif dan berbahaya. Radikal hidroksil bukan merupakan produk primer proses biologis, melainkan berasal dari H2O2 dan O2•-. Keberadaan H2O2 dapat berbahaya bila bersamasama dengan O2•- karena akan membentuk radikal hidroksil melalui reaksi Haber-Weiss berikut : O2•- + H2O2 → O2 + OH- + •OH 5. Singlet Oksigen (O2) Merupakan bentuk oksigen yang memiliki reaktivitas jauh lebih tinggi dibanding oksigen bentuk ground state. Senyawa ini terbentuk melalui reaksi yang dikatalisis oleh beberapa enzim, antara lain : a. Enzim monooksigenase : 2 ROOH → 2 ROH + /O2 b. Enzim prostaglandin endoperoksida sintetase : 2PGG2 → 2PGH2 + /O2 c. Enzim mieloperoksidase H2O2 + Cl-
→ H2O + ClO-
ClO- + H2O2 → H2O + Cl- + O2 /
__________________________ → 2 H2O + /O2 2 H2O2
2.2.4 Produk oksidasi ROS bersifat toksik terhadap sel karena dapat bereaksi dengan makromolekul, seperti lipid, protein, dan DNA (Wu dan Cederbaum, 2003). Reaksi awal akan menghasilkan radikal kedua, yang kemudian dapat bereaksi dengan makromolekul kedua, dan menyebabkan terjadinya reaksi berantai. Senyawa radikal bebas dapat merusak komponen penyusun sel, yaitu (Winarsi, 2007) : 1. Lipid, terutama asam lemak tidak jenuh yang merupakan komponen penting fosfolipid penyusun membran sel. 2. DNA, yang merupakan perangkat genetik sel. 3. Protein, yang berperan sebagai enzim, reseptor, antibodi, dan penyusun matriks serta sitoskeleton. Di antara makromolekul tersebut, target yang paling rentan adalah asam lemak tidak jenuh (Poly Unsaturated Fatty Acids/PUFA). Kerusakan oksidatif pada senyawa lipid terjadi ketika radikal bebas bereaksi dengan senyawa PUFA. Jembatan metilen yang dimiliki PUFA merupakan sasaran utama bagi radikal bebas, yang akan membentuk radikal alkil, peroksil, dan alkoksil. Reaksi berantai yang ditimbulkan oleh peroksidasi lipid bersifat sangat merusak, dan menyebabkan baik efek secara langsung maupun secara tidak langsung. Selama terjadi kerusakan oleh peroksidasi
lipid, akan dilepaskan produk-produk toksik yang dapat merusak pada area yang jauh dari area terbentuknya reaksi peroksidasi lipid, bertindak sebagai second messenger Bentuk radikal asam lemak tersebut adalah diena terkonjugasi, termasuk di dalamnya hidroperoksida, alkohol, aldehid, atupun alkana (Devasagayam, dkk., 2004 ; Winarsi, 2007).
2.3 Stres Oksidatif Dalam rangka perlindungan terhadap serangan ROS, tubuh manusia memiliki suatu mekanisme proteksi untuk mencegah pembentukan ROS atau mendetoksifikasi ROS. Mekanisme tersebut adalah sistem antioksidan yang terorganisir, baik antioksidan enzimatik maupun antioksidan non-enzimatik, yang bekerja secara sinergis. Molekul antioksidan pada kulit berinteraksi dengan ROS atau produknya dengan cara mengeliminasi atau meminimalisasi efeknya yang merugikan (Winarsi, 2007; Bickers dan Athar, 2006). Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu : antioksidan enzimatis
(misalnya
Superoksida
Dismutase/SOD,
katalase,
dan
glutation
peroksidase), dan antioksidan non-enzimatis (misalnya tokoferol, karotenoid, dan asam askorbat). Secara fisiologis terdapat dua sistem pertahanan tubuh, yaitu (Winarsi, 2007) : 1. Sistem pertahanan preventif, yang dilakukan oleh kelompok antioksidan sekunder atau disebut juga dengan antioksidan non-enzimatis. Dalam hal ini,
terbentuknya ROS dihambat dengan cara pengkelatan metal atau dirusak pembentukannya, sehingga tidak akan bereaksi dengan komponen seluler. 2. Sistem pertahanan melalui pemutusan reaksi radikal berantai, yang dilakukan oleh kelompok antioksidan primer atau antioksidan enzimatis. Pada kondisi–kondisi tertentu, terjadi masalah ketika produksi ROS melebihi eliminasinya, yang bisa disebabkan karena produksi berlebihan selama terjadi trauma atau karena kerusakan sistem antioksidan alami. Keadaan di mana terjadi ketidakseimbangan antara ROS dan antioksidan, disebut dengan stres oksidatif (DeHaven, 2007). Sebuah postulat ‘Teori Radikal Bebas’ menyatakan bahwa, dengan terakumulasinya kerusakan akibat radikal bebas dan stres oksidatif, maka sejumlah proses biokimia dan proses seluler mulai berjalan secara ‘tidak normal’ (DeHaven, 2007). Di samping memiliki reaktivitas yang sangat tinggi, radikal bebas juga bersifat tidak stabil dan berumur sangat singkat. Oleh karena itu, maka pengukuran stres oksidatif dilakukan berdasarkan pengukuran biomarker dari kerusakan oksidatif pada makromolekul seperti lipid, protein, dan DNA. Secara tidak langsung, stres oksidatif juga dapat diukur dengan mengestimasi kapasitas pertahanan antioksidan pada serum, plasma, atau cairan tubuh lainnya (Deverts, 2007 ; Winarsi, 2007). Berikut ini tabel yang menunjukkan biomarker daripada kerusakan oksidatif pada makromolekul : Tabel 2.2. Biomarker Kerusakan Oksidatif (Deverts, 2007)
Biomarker
Availabilitas
1. Peroksidasi lipid Malondialdehid (MDA)
Plasma,
serum,
saliva,
urine,
kondensat ekshalasi nafas 2. Oksidasi Protein Karbonil protein
Plasma, serum
3. Oksidasi DNA 8-hidroksi-2-deoksiguanosin
Plasma, serum, urine
Oksidasi lipid merupakan hasil kerja radikal bebas yang diketahui paling awal dan paling mudah pengukurannya. Karena itulah, reaksi ini paling sering dilakukan untuk mempelajari stres oksidatif (Winarsi, 2007). Malondialdehid (MDA) adalah senyawa dialdehida yang merupakan produk akhir peroksidasi lipid dalam tubuh. MDA adalah alat ukur yang paling banyak digunakan sebagai indikator peroksidasi lipid (Fuchs dkk., 2001). Senyawa ini memiliki tiga rantai karbon, dengan rumus molekul C3H4O2. MDA dapat bereaksi dengan komponen nukleofilik atau elektrofilik. Aktivitas non-spesifiknya, MDA dapat berikatan dengan berbagai molekul biologis seperti protein, asam nukleat dan aminofosfolipid secara kovalen (Winarsi, 2007). MDA merupakan produk oksidasi asam lemak tidak jenuh oleh radikal bebas. Di samping itu, MDA juga merupakan metabolit komponen sel yang dihasilkan oleh radikal bebas. Oleh sebab itu, konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya
proses oksidasi dalam membran sel. Status antioksidan yang tinggi biasanya diikuti oleh penurunan kadar MDA (Winarsi, 2007).
2.4 Hubungan Stres Oksidatif dan Acne Vulgaris Propionibacterium acnes dianggap berperan penting dalam patogenesis acne. P. acnes akan melepas faktor-faktor kemotaktik dan mediator pro inflamasi ke arah lesi yang berperan dalam terjadinya respon inflamasi (Thiboutot, 2000). Aktivasi sel–sel ini kemudian akan memproduksi seumlah sitokin seperti TNFα, IL-1β, dan IL-8 (Grange dkk., 2009). Makrofag dan netrofil mengandung sejumlah enzim yang disebut kompleks NADPH oksidase, yang bila diaktivasi akan menghasilkan radikal superoksida dan hidrogen peroksida (Wu dan Cederbaum, 2003). Setelah proses fagositosis, netrofil akan melepas enzim lisosom dan ROS, yang akan menyebabkan kerusakan epitel folikuler, yang kemudian lebih lanjut akan mengawali terjadinya inflamasi (Kurutas dkk., 2005). Beberapa
antioksidan
enzimatis,
seperti
glutathion
peroksidase
dan
superoksida dismutase pada penderita acne dilaporkan dengan kadar yang lebih rendah dibandingkan penderita non acne (Abulnaja, 2009). Peningkatan produksi ROS yang dapat disertai dengan penurunan kadar antioksidan menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Beberapa penelitian mengungkapkan adanya hubungan antara stres oksidatif dengan acne inflamasi. Sebuah penelitian di Jepang bertujuan untuk mengetahui kadar Hidrogen Peroksida (H2O2) yang dihasilkan oleh netrofil pada penderita acne inflamasi, acne
komedonal, yang dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari penelitian ini didapatkan bahwa penderita acne inflamasi menunjukkan peningkatan kadar H2O2 secara signifikan. Sebaliknya, pada penderita acne komedonal yang dibandingkan dengan dengan kelompok kontrol, tidak menunjukkan perbedaan kadar H2O2 yang bermakna (Akamatsu dkk., 2003). Penelitian lain yang dilakukan oleh Kurutas, bertujuan untuk menilai kadar antioksidan pada penderita acne. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa kadar Superoksid Dismutase (SOD) pada penderita acne lebih rendah secara signifikan (p<0,001). Aktivitas SOD yang rendah ini akan menyebabkan peningkatan kadar radikal ion superoksida pada epidermis (Kurutas dkk., 2005). Arican dkk. (2005) melakukan sebuah penelitian kasus kontrol untuk mengetahui akibat dari stres oksidatif pada penderita acne vulgaris. Pada penelitian ini didapatkan bahwa kadar MDA pada penderita acne lebih tinggi secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol ( p < 0,001 ). Penelitian di Indonesia oleh Surlinia (2010) yang bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar MDA pada penderita acne inflamasi dan individu sehat, didapatkan hasil bahwa kadar MDA darah pada penderita acne inflamasi lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan individu sehat. Dari penelitian–penelitian yang pernah dilakukan selama ini, diduga bahwa stres oksidatif berperan dalam patogenesis acne inflamasi. Terdapat dugaan bahwa pada kondisi stres oksidatif akan menyebabkan terjadinya produk–produk oksidasi, yang dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein, mempengaruhi proses
apoptosis, dan menyebabkan pelepasan mediator proinflamasi, seperti sitokin pada tingkat seluler, yang berperan penting dalam induksi penyakit kulit inflamasi (Bickers dan Athar, 2006). Stres oksidatif diduga dapat menginduksi terjadinya reaksi inflamasi. Hal ini dibuktikan dalam penelitian oleh Tochio yang menyatakan bahwa akumulasi daripada peroksidasi lipid berperan dalam terjadinya acne inflamasi. Akumulasi ini akan menyebabkan upregulasi dari IL-1α, yang kemudian berperan dalam perubahan lesi komedo menjadi lesi inflamasi (Tochio dkk., 2010).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Sebum disintesis oleh kelenjar sebacea secara kontinu dan disekresikan ke permukaan kulit melalui pori – pori folikel rambut. Sekresi sebum ini diatur secara hormonal. Penderita acne memproduksi sebum lebih banyak dibandingkan dengan penderita non acne. Kadar sebum dan konsentrasi asam linoleat dalam sebum menunjukkan hubungan yang terbalik. Sehingga dengan adanya peningkatan sebum, akan menyebabkan defisiensi asam linoleat lokal pada epitel folikuler, yang akan menyebabkan penurunan fungsi barier epitel dan hiperkeratosis folikuler. Keratinosit yang menggumpal akan menyumbat pori – pori dan menyebabkan terjadinya komedo. Komedo merupakan sumber nutrisi bagi bakteri, sehingga terjadi kolonisasi Propionibacterium acnes. P. acnes dapat memproduksi faktor kemotaktik, yang menyebabkan akumulasi netrofil pada daerah lesi. Setelah terjadi fagositosis, akan dilepas enzim lisosom dan terjadi peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS). Hal ini akan menyebabkan kerusakan epitel folikuler, dan mengawali terjadinya inflamasi. Peningkatan ROS dan penurunan kadar antioksidan akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Keadaan stres oksidatif, disertai MDA yang merupakan produk oksidasi nya, akan menyebabkan pelepasan mediator proinflamasi seperti sitokin pada level seluler, yang berperan terhadap induksi inflamasi lebih lanjut, dalam hal ini adalah acne vulgaris.
3.2 Konsep
• •
Merokok Konsumsi alkohol
Stres oksidatif Faktor Eksogen •
Faktor Endogen • • • • • • •
Dermatitis Atopik Psoriasis Pioderma Morbus Hansen Kehamilan Penyakit inflamasi sistemik Penderita hiperandrogenisme
Keterangan :
Inflamasi Acne Vulgaris •
Penggunaan obat : anti inflamasi non steroid, androgen, kortikosteroid, Phenytoin, Isoniazid, Epidermal Growth Factor receptor Inhibitor Penggunaan kontrasepsi hormonal
MDA diteliti Tidak diteliti Gambar 3.1. Konsep
3.3 Hipotesis Derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar MDA.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Subjek diambil dari penderita yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Kosmetik RSUP Sanglah Denpasar.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Kosmetik RSUP Sanglah Denpasar, mulai Januari hingga Juni 2011. Penelitian juga melibatkan Laboratorium Prodia Denpasar, sebagai laboratorium rujukan pemeriksaan kadar MDA.
4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi target Penderita acne vulgaris yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Kosmetik RSUP Sanglah, Denpasar.
4.3.2 Populasi terjangkau Penderita acne vulgaris yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Kosmetik RSUP Sanglah, Denpasar pada bulan Januari hingga Juni 2011.
4.3.2.1 Kriteria inklusi 1. Penderita acne vulgaris usia 12-35 tahun yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Kosmetik RSUP Sanglah, Denpasar pada bulan Januari hingga Juni 2011. 2. Belum mendapat terapi acne selama dua minggu sebelumnya, baik terapi topikal maupun terapi sistemik. 3. Bersedia untuk diikutsertakan dalam penelitian. 4.3.2.2 Kriteria eksklusi 1. Merokok. 2. Konsumsi alkohol. 3. Dermatitis atopik. 4. Psoriasis. 5. Pioderma. 6. Morbus Hansen. 7. Hamil. 8. Penyakit inflamasi sistemik. 9. Penderita hiperandrogenisme. 10. Pengguna obat kelompok anti inflamasi non steroid, androgen, kortikosteroid, phenytoin, isoniazid, Epidermal Growth Factor receptor Inhibitor. 11. Pengguna kontrasepsi hormonal.
4.3.3 Teknik pengambilan sampel Pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling, yaitu pengunjung Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Kosmetik RSUP Sanglah Denpasar periode Januari hingga Juni 2011, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dijadikan subjek penelitian sampai memenuhi jumlah sampel yang diperlukan.
4.3.4 Besar Sampel 2
Zα + Z β N = +3 0,5 ln{(1 + r ) /(1 − r )} Dimana : N
: besar sampel.
Zα
: deviat baku alfa.
Zβ
: deviat baku beta.
r
: korelasi. (Machine dkk., 1997) Besar sampel dihitung berdasarkan asumsi koefisien korelasi terkecil (r) yang
dianggap signifikan adalah 0,35, dengan tingkat kepercayaan sebesar 95% dan power penelitian sebesar 80%. Dengan menggunakan rumus di atas, diperlukan sampel sebesar 64 orang.
4.4 Variabel Penelitian
1. Variabel tergantung : acne vulgaris. 2. Variabel bebas : MDA. 3. Variabel kontrol : Merokok, konsumsi alkohol, dermatitis atopik, psoriasis, pioderma, morbus hansen, hamil, pengguna kontrasepsi hormonal, obat kortikosteroid, phenytoin, isoniazid, Epidermal Growth Factor receptor inhibitor, dan anti inflamasi non steroid.
4.4.1 Definisi operasional variabel 1. Acne vulgaris adalah acne dengan manifestasi papul, pustul, atau nodul, yang dinilai dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita. Hasil pemeriksaan fisik acne vulgaris dinyatakan dalam 3 kategori, yaitu : acne derajat ringan, sedang, dan berat, berdasarkan kriteria ASEAN grading Lehmann 2003. Tabel 4.1. Definisi Operasional Acne Vulgaris Kategori
Komedo
Papul / pustul
Nodul
Non acne
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ringan
< 20
< 15
Tidak ada
Sedang
20-100
15-50
<5
Berat
> 100
> 50
>5
2. MDA adalah produk akhir peroksidasi lipid di dalam tubuh, yang merupakan biomarker dari stres oksidatif, dimana kadar MDA ditentukan dengan melakukan pemeriksaan spektrofotometrik dari bahan sampel plasma subjek penelitian, sebanyak 1 kali pengukuran. 3. Merokok adalah kebiasaan menghisap rokok, yang didapatkan melalui teknik wawancara. 4. Konsumsi alkohol adalah kebiasaan minum minuman yang mengandung alkohol, yang didapatkan melalui teknik wawancara. 5. Dermatitis atopik adalah kelainan kulit, yang didiagnosis berdasarkan terpenuhinya minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor dari kriteria diagnosis Hanifin Rajka yang tercantum pada lampiran 4. 6. Psoriasis adalah suatu kondisi kulit yang pada pemeriksaan fisik ditandai dengan adanya bercak eritema yang tertutup skuama tebal dan berlapis, warna keperakan pada daerah ekstensor, serta didapatkan Auspitz sign positif, dapat disertai dengan Koebner phenomena positif, dan dikonfirmasi dengan menggunakan pemeriksaan histopatologi. 7. Pioderma adalah keadaan infeksi bakteri pada kulit superfisial, dapat bermanifestasi senbagai impetigo, ektima, folikulitis, erisipelas, selulitis, atau Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan dikonfrimasi dengan hasil pengecatan gram yaitu ditemukannya bakteri coccus gram positif.
8. Morbus Hansen adalah suatu kondisi klinis, yang didiagnosis berdasarkan ditemukannya minimal satu dari tiga tanda kardinal, yaitu : 1. Bercak kulit yang mati rasa, 2. Penebalan saraf tepi, dan 3. Ditemukannya kuman batang tahan asam dari pemeriksaan hapusan kulit cuping telinga. 9. Hamil adalah keadaan terkandungnya janin dalam tubuh seorang wanita yang ditandai dengan terhentinya menstruasi selama 6 minggu berturut-turur dihitung berdasarkan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT), dan dikonformasi dengan pemeriksaan β-HCG yang positif. 10. Penyakit inflamasi sistemik adalah penyakit dengan gejala inflamasi pada area atau organ yang mengalami kelainan yang ditandai dengan adanya tandatanda inflamasi atau radang, yang diperoleh melalui teknik wawancara, pemeriksaan fisik, dan dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium yang mendukung. 11. Penderita
hiperandrogenisme
adalah
penderita
dengan
gejala-gejala
hiperandrogenisme, yang didapat melalui teknik wawancara, pemeriksaan fisik, dan dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium. 12. Pengguna antiinflamasi non steroid adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi antiinflamasi non steroid yang sering digunakan sebagai obat penahan rasa nyeri atau anti peradangan, dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan empat minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui teknik wawancara.
13. Pengguna obat androgen adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi obat androgen yang sering digunakan sebagai pengobatan hipogonadism, dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan empat minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui teknik wawancara. 14. Pengguna kortikosteroid adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi obat kelompok kortikosteroid dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan empat minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui teknik wawancara. 15. Pengguna phenytoin adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi phenytoin yang sering digunakan sebagai obat anti epilepsi, dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan tiga minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui teknik wawancara. 16. Pengguna isoniazid adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi isoniazid yang sering digunakan sebagai obat anti epilepsi dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan tiga minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui teknik wawancara. 17. Pengguna Epidermal Growth Factor receptor Inhibitor adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi Epidermal Growth Factor receptor Inhibitor yang sering digunakan sebagai obat kanker paru-paru, usus besar, dan payudara, dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan tiga minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui teknik wawancara.
18. Pengguna kontrasepsi hormonal adalah subjek dengan riwayat sedang mengkonsumsi kontrasepsi hormonal, yang diperoleh melalui teknik wawancara.
4.5 Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah vena dari subjek penelitian.
4.6 Instrumen Penelitian 4.6.1 Alat-alat 1. Sarung tangan. 2. Tourniket 3. Spuit. 4. Spektrofotometer. 5. Kuvet spektrofotometer dengan panjang jalur optik 1cm. 6. Water bath atau heat block untuk mengontrol suhu pada 45oC ± 1oC. 7. Tube disposable dan stopper (kaca atau polietilen). 8. Mikro-centrifuge.
4.6.2 Reagen 1. Reagen R1 : N-metil-2-phenylindole dalam acetonitrit. 2. Reagen R2 : asam hidroklorit terkonsentrasi. 3. Standart MDA : 1,1,3,3-tetramethoxypropane (TMOP) dalam tris-HCl.
4. BHT (Butylated Hydroxytoluene) dalam acetonitrit. 5. Probucol dalam methanol. 6. Methanol.
4.7 Prosedur Penelitian 4.7.1 Protokol penelitian 1. Penderita acne vulgaris yang datang berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Kosmetik RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari-Juni 2011 yang telah memenihu kriteria inklusi, eksklusi dan telah menandatangani informed consent, dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. a. Anamnesis meliputi : identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu (dermatitis atopik, psoriasis, pioderma, morbus hansen, epilepsi, tuberkulosis, dan keganasan), riwayat pengobatan, riwayat penyakit keluarga, dan riwayat sosial. b. Pemeriksaan fisik, meliputi : tanda-tanda vital, status general, dan status dermatologi.
2. Berdasarkan
anamnesis
dan
pemeriksaan
fisik,
subjek
penelitian
dikelompokkan berdasarkan derajat penyakit acne vulgaris menjadi derajat ringan, sedang, atau berat. 3. Pengambilan darah vena subjek penelitian. 4. Pemeriksaan kadar MDA 5. Analisis data
Penderita acne vulgaris yang datang berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar
Penderita acne vulgaris yang datang berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari – Juni 2011 Kriteria inklusi Kriteria eksklusi Informed consent Eligible subjects
Anamnesis Pemeriksaan Fisik
Acne vulgaris Derajat ringan, sedang, dan berat
Kadar MDA
A
N
A
L
I
S
I
S
D
A
T
A
Gambar 4.1. Protokol Penelitian
4.7.2 Pengambilan data Prosedur pengukuran kadar MDA meliputi pengambilan spesimen penelitian dan pemeriksaan kadar MDA yang akan dilakukan di laboratorium Prodia Denpasar. 4.7.2.1 Pengambilan spesimen Spesimen yang diambil adalah darah yang diambil dari vena mediana cubiti subjek penelitian, dengan prosedur sebagai berikut : 1. Lengan subjek diikat dengan tourniket dan subjek diminta menggenggam tangannya untuk memudahkan identifikasi vena. 2. Desinfeksi daerah sekitar vena yang dituju dengan menggunakan alkohol swab. 3. Penusukan vena yang dituju dengan menggunakan spuit yang telah tersedia, hingga tampak darah mengalir dalam spuit. 4. Melepas tourniket pada lengan, dan subjek dapat membuka genggaman tangannya.
5. Menutup bekas tusukan dengan menggunakan plester. 4.7.2.2 Pemeriksaan kadar MDA Pemeriksaan kadar MDA dilakukan di Laboratorium Prodia Denpasar, dengan prosedur sebagai berikut : 1. Menambahkan 10 µL probucol pada masing-masing tube assay. 2. Menambahkan 20 µL sampel atau standart pada tube assay tersebut. 3. Menambahkan 640 µL reagen R1 yang telah dilarutkan ke dalam masingmasing tube. 4. Mencampur dengan memusingkan masing-masing tube. 5. Menambahkan 150 µL reagen R2. 6. Stopper masing-masing tube dan mencampur secara merata. 7. Menginkubasikan pada suhu 45oC selama 60 menit. 8. Men-centrifuge sampel yang keruh (misal 10.000 x selama 10 menit) untuk mendapatkan supernatan yang jernih. 9. Memindahkan supernatan ke dalam kuvet. 10. Mengukur absorbance nya pada 586 nm.
4.8 Analisis Data 1. Analisis statistik deskriptif. 2. Analisis normalitas dan homogenitas kadar MDA pada kelompok acne vulgaris dengan menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov.
3. Menguji korelasi antara kadar MDA dengan derajat acne vulgaris, dengan mengunakan metode korelasi Spearman, dengan tingkat kepercayaan α = 0,05.
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Karakteristik subjek penelitian meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan, status pernikahan, dan pendidikan terakhir. Data disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Karakteristik subjek Jumlah (orang)
Persentase (%)
Umur (tahun) 12-19 20-27 28-35
4 28 32
6,3 43,8 50,0
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
22 42
34,4 65,6
Pekerjaan Pelajar/mahasiswa Swasta Profesional Lain-lain
10 38 13 3
15,6 59,4 20,3 4,7
Status pernikahan Belum menikah Menikah
36 28
56,3 43,8
Pendidikan terakhir SD SMP SMA Sarjana Total
1 0 33 30 64
1,6 0,0 51,6 46,9 100,0
Karakteristik subjek
Selama periode bulan Januari sampai Juni 2011, telah dilakukan penelitian cross sectional ‘Kadar MDA berhubungan positif dengan derajat penyakit acne vulgaris’. Penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar. Selama periode tersebut, didapatkan 64 orang sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, terdiri atas 42 orang (65,6 %) perempuan dan 22 orang (34,4 %) laki - laki. Rerata umur subyek adalah 26,97 ± 5,204 tahun dengan umur minimum 15 tahun dan umur maksimum 35 tahun. Kelompok usia acne vulgaris terbanyak adalah 28-35 tahun (32 %).
5.2 Frekuensi Derajat Penyakit Acne Vulgaris Klasifikasi acne vulgaris pada penelitian ini dikelompokkan menjadi derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat penyakit acne vulgaris terbanyak adalah derajat ringan, yaitu sebesar 37,5 %. Data frekuensi masing-masing derajat penyakit acne vulgaris disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Frekuensi derajat penyakit acne vulgaris Derajat penyakit acne
Jumlah
Persentase
vulgaris
(orang)
(%)
Ringan
24
37,5
Sedang
23
35,9
Berat
17
26,6
Total
64
100,0
5.3 Kadar MDA pada Acne Vulgaris Derajat Ringan, Sedang, dan Berat Rerata kadar MDA pada kelompok acne vulgaris derajat ringan adalah 1,123 ± 0,224
μM/L, kelompok acne vulgaris derajat sedang adalah 1,223 ± 0,248 μM/L, dan kelompok acne vulgaris derajat berat adalah 1,912 ± 0,785 μM/L. Dari uji Kruskall Wallis didapatkan nilai p 0,000 (<0,05) yang artinya paling tidak terdapat dua kelompok derajat acne vulgaris yang memiliki perbedaan rerata MDA yang bermakna, seperti yang tertera pada Tabel 5.3. Untuk menentukan kelompok mana yang berbeda secara bermakna, maka dilakukan analisis lanjutan (post hoc) dengan menggunakan analisis Mann-Whitney. Hasil analisis Mann-Whitney menunjukkan bahwa rerata kadar MDA pada kelompok acne vulgaris derajat ringan dan sedang tidak berbeda secara bermakna, dimana nilai p > 0,05. Sebaliknya, rerata kadar MDA antara kelompok acne vulgaris derajat ringan dan sedang berbeda signifikan dengan rerata kadar MDA pada acne vulgaris derajat berat dengan nilai p < 0,05 seperti yang tampak pada Tabel 5.4.
Tabel 5.3. Kadar MDA pada acne vulgaris derajat ringan, sedang, dan berat Derajat penyakit acne vulgaris
Kadar MDA (μM/L) Rerata
SD
Nilai p antara derajat penyakit dan kadar MDA
Ringan
1,123
0,224
Sedang
1,223
0,248
Berat
1,912
0,785
0,000
Tabel 5.4. Perbandingan perbedaan rerata kadar MDA kelompok acne vulgaris derajat ringan, sedang, dan berat Kelompok yang dibandingkan
Perbedaan rerata kadar
Nilai p antara
MDA (μM/L)
kelompok dan kadar MDA
Ringan dan sedang
1,649
0,099
Sedang dan berat
3,926
0,000
Ringan dan berat
4,208
0,000
5.4 Korelasi Derajat Acne Vulgaris dengan Kadar MDA Untuk mengetahui korelasi antara derajat acne vulgaris dengan kadar MDA dilakukan uji korelasi Spearman. Berdasarkan uji korelasi Spearman didapatkan adanya korelasi positif sedang antara derajat acne vulgaris dengan kadar MDA, dengan nilai r = 0,566 dengan nilai p = 0,000 ( p < 0,05) dan scatter plot hubungan antara derajat acne vulgaris dengan kadar MDA disajikan pada gambar di bawah ini (Gambar 5.1).
Gambar 5.1. Scatter plot korelasi antara derajat acne vulgaris dengan kadar MDA.
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subjek Acne vulgaris merupakan suatu keradangan kronis dari folikel pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul, kista dan pustul pada daerah-daerah predileksi yaitu muka, bahu, lengan bagian atas, dada, dan punggung (Zaenglein dkk., 2008). Kligman menyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang sama sekali tidak pernah menderita acne (Wasitaatmadja, 2007). Pada penelitian ini didapatkan frekuensi acne vulgaris yang lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan, yaitu sebesar 65,6 %. Penelitian oleh Khunger dan Kumar (2012) di Malaysia untuk mengetahui prevalensi acne, didapatkan hasil yang sama yaitu prevalensi acne lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan (82,1 %). Birawan (2011) yang melakukan penelitian acne vulgaris di RSUP Sanglah Denpasar juga mendapatkan data yang serupa, yaitu dominasi acne vulgaris pada jenis kelamin perempuan sebesar 70,5 %. Dominasi jenis kelamin perempuan ini kemungkinan disebabkan karena faktor hormonal. Sebum disintesis oleh kelenjar sebasea secara kontinu dan disekresikan ke permukaan kulit melalui pori – pori folikel rambut. Sekresi sebum ini diatur secara hormonal. Hormon akan tetap mempengaruhi aktivitas kelenjar sebasea hingga usia dewasa. Pada perempuan, peningkatan mendadak luteinizing hormone yang mengikuti kejadian ovulasi memicu percepatan aktivitas kelenjar sebasea (Baumann dan Keri, 2009). Sekitar 85 % perempuan
melaporkan perburukan gejala acne pada periode premenstrual (Rivera dan Guerra, 2009). Penyebab terbanyak keadaan ini adalah perubahan respon reseptor androgen kutaneus terhadap perubahan hormonal fisiologi pada siklus menstruasi, yang berkaitan terhadap munculnya lesi inflamasi dan peningkatan sebogenesis (Addor dan Schalka, 2010). Kemungkinan alasan lain adalah faktor stres kronik dan kosmetik. Stres kronik ditengarai merupakan penyebab peningkatan sekresi androgen pada beberapa perempuan, yang menimbulkan terbentuknya acne. Selain itu acne yang diinduksi oleh pemakaian kosmetik disebut sebagai penyebab penting acne ringan hingga sedang pada populasi perempuan (Khunger dan Kumar, 2012). Jenis kelamin perempuan umumnya lebih peduli terhadap penampilan fisik atau kosmetik, sehingga jenis kelamin perempuan lah yang lebih cepat mencari pengobatan bila mengalami keluhan kosmetik. Kelompok usia acne vulgaris terbanyak pada penelitian ini adalah kelompok usia 28-35 tahun (50 %). Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Suryadi (2008) di Palembang yang mendapatkan hasil bahwa kelompok usia acne vulgaris terbanyak adalah 15-16 tahun. Meskipun sebagian besar kasus acne didapatkan pada usia remaja, namun akhir-akhir ini mulai didapatkan peningkatan kasus acne pada usia dewasa, yaitu acne yang muncul setelah usia 25 tahun (Ascenso dan Marques, 2009). Terutama pada jenis kelamin perempuan, acne dapat menetap hingga dekade ketiga atau lebih (Zaenglein dkk., 2008). Acne yang didapatkan pada usia dewasa ini dapat merupakan ane yang persisten atau acne dengan awitan lambat atau late onset (Rivera dan Guerra, 2009). Kelenjar sebasea
mewakili densitas reseptor androgen yang berbanyak pada kulit manusia (Jappe, 2003). Hormon androgen adrenal dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS) adalah regulator aktivitas kelenjar sebasea yang signifikan, di mana kadar DHEAS mulai meningkat saat pubertas dan mulai menurun setelah dewasa (Nelson dan Thiboutot, 2008). Namun selain dipengaruhi oleh hormon androgen, terbentuknya acne vulgaris juga dapat dipengaruhi oleh faktor non hormonal. Terdapat beberapa varian acne yang patogenesis nya tidak dipengaruhi oleh DHEAS, sehingga dapat pula dijumpai acne pada usia dewasa atau setelah pubertas. Propionibacteria acnes merupakan mikroorganisme penghuni predominan pada area kulit orang dewasa yang kaya akan kelenjar sebasea. Analisis bakteriologi dan produksi sebum pada area tubuh multipel menunjukkan hubungan yang erat antara jumlah P. acnes dengan produksi sebum (Jappe, 2003). Pada saat pubertas, jumlah P. acnes pada wajah dan pipi penderita acne meningkat drastis, dan saat dewasa akan menunjukkan jumlah yang konstan. Penelitian Miura dkk. menemukan bahwa pada penderita acne berusia 10-14 tahun didapatkan jumlah P.acnes di hidung dan dahi yang lebih tinggi secara signifikan daripada non acne. Namun pada penderita acne berusia lebih dari 15 tahun, tidak didapatkan perbedaan jumlah P.acnes yang signifikan (Miura dkk., 2010). Faktorfaktor tersebut yang kemungkinan merupakan dasar didapatkannya kelompok usia acne vulgaris terbanyak pada usia 28-35 tahun.
6.2 Frekuensi Derajat Penyakit Acne Vulgaris Pada penelitian ini didapatkan frekuensi derajat penyakit acne vulgaris terbanyak yaitu derajat ringan, sebesar 37,5 %. Hasil ini sesuai dengan yang
didapatkan pada penelitian di Malaysia oleh Hanisah, yang mendapatkan bahwa derajat penyakit acne vulgaris terbanyak dari 409 subjek adalah acne vulgaris derajat ringan, sebesar 90,2 % (Hanisah dkk., 2009). Area predileksi acne vulgaris yaitu pada muka, bahu, lengan bagian atas, dada, dan punggung (Zaenglein dkk., 2008). Karena sebagian besar lesi acne vulgaris timbul di area wajah, maka seringkali menimbulkan masalah kosmetik dan psikologis bagi penderita sehingga cenderung segera mencari pengobatan ketika mengalami penyakit acne vulgaris derajat ringan. Hal ini yang kemungkinan menyebabkan didapatkannya derajat ringan sebagai frekuensi derajat penyakit acne vulgaris yang terbanyak pada penelitian ini.
6.3 Kadar MDA pada Acne Vulgaris Derajat Ringan, Sedang, dan Berat Pada penelitian ini didapatkan perbedaan rerata MDA yang signifikan antara kelompok acne vulgaris derajat ringan, sedang, dan berat, di mana rerata kadar MDA kelompok acne vulgaris derajat berat lebih tinggi daripada derajat ringan dan sedang (p = 0,000). Semakin tinggi derajat penyakit acne vulgaris, maka semakin tinggi rerata kadar MDA. Dari analisis lanjutan didapatkan perbedaan rerata kadar MDA yang signifikan pada kelompok acne derajat sedang dan berat (p = 0,000) dan pada kelompok acne derajat ringan dan berat (p = 0,000). Perbedaan kadar MDA yang bermakna ini menunjukkan bahwa pada acne vulgaris terdapat stres oksidatif yang berperan penting di dalam patogenesis nya (Arican dkk., 2005).
6.4 Korelasi Derajat Acne Vulgaris dengan Kadar MDA
Pada penelitian ini didapatkan korelasi positif sedang antara derajat acne vulgaris dengan kadar MDA, dengan nilai r 0,566 (p<0,05). Hal ini berarti terdapat hubungan yang bermakna antara derajat penyakit acne vulgaris dengan kadar MDA. Semakin berat derajat acne vulgaris, maka semakin tinggi kadar MDA, di mana MDA merupakan salah satu indikator dari stres oksidatif. Hal ini semakin menguatkan bukti peranan stres oksidatif dalam hal timbulnya dan parahnya derajat penyakit acne vulgaris. Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara prooksidan dengan antioksidan karena pembentukan ROS yang melebihi kemampuan sistem pertahanan antioksidan, atau menurun atau menetapnya kemampuan antioksidan. Stres oksidatif menyebabkan terjadi kerusakan oksidatif terhadap penyusun sel seperti DNA, protein, lemak, dan gula (Winarsi, 2007; Hiromichi dkk., 2008). Malondialdehid (MDA) adalah produk akhir dari peroksidasi lipid, dan merupakan salah satu indikator stres oksidatif (Arican dkk., 2005). Malondialdehid memiliki sifat kimia yang stabil sehingga dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan keaktifan radikal bebas di tubuh (Lucky dkk., 2007).Pada keadaan stres oksidatif akan terbentuk produk–produk oksidasi, yang dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein, mempengaruhi proses apoptosis, dan menyebabkan pelepasan mediator proinflamasi, seperti sitokin pada tingkat seluler, yang berperan penting dalam induksi penyakit kulit inflamasi (Bickers dan Athar, 2006). Akumulasi peroksidasi lipid akan menyebabkan upregulasi dari IL-1α, yang kemudian berperan dalam perubahan lesi komedo menjadi lesi inflamasi (Tochio dkk., 2010).
Hasil penelitian ini mendukung teori bahwa pada acne vulgaris terdapat stres oksidatif. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa peroksidasi lipid merupakan penyebab peningkatan progresivitas komedogenesis dan inflamasi pada acne. Dari penelitian yang dilakukan oleh Bowe dan Logan (2010) didapatkan data bahwa pada penderita acne dengan manifestasi minimal berupa mikrokomedo telah didapatkan bukti adanya peroksidasi lipid. Progresi penyakit dengan manifestasi lesi inflamasi menunjukkan peningkatan kadar peroksidasi lipid sebesar 4 kali lipat. Terdapat peningkatan peroksidasi lipid seiring dengan terjadinya peningkatan inflamasi (Bowe dan Logan, 2010). Hubungan yang bermakna antara derajat penyakit acne vulgaris dengan kadar MDA yang didapatkan pada penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Arican yang tidak berhasil menunjukkan hubungan yang bermakna (nilai r = 0,20 dan nilai p > 0,05) antara stres oksidatif dengan derajat penyakit acne vulgaris. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan karakteristik subjek penelitian dan perbedaan klasifikasi acne vulgaris yang digunakan dalam penelitian. Penelitian oleh Arican dilakukan di Turki, dengan menggunakan 43 subjek acne vulgaris berusia 1335 tahun. Klasifikasi acne yang digunakan pada penelitian oleh Arican menggunakan klasifikasi yang berbeda. Pada penelitian tersebut, yang termasuk dalam acne vulgaris derajat ringan meliputi lesi komedonal saja, derajat sedang meliputi lesi papul dan pustul, serta derajat berat meliputi lesi nodulokistik. Hal-hal tersebut yang kemungkinan mendasari terjadinya perbedaan hasil penelitian.
Berdasarkan hal-hal yang didapatkan dari penelitian, maka penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi penelitian selanjutnya yang meneliti tentang keefektifan pemberian antioksidan pada penderita acne vulgaris. Selain itu dapat pula dipertimbangkan pemberian antioksidan pada penderita acne vulgaris untuk memperbaiki keadaan stres oksidatif yang ada. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian cross sectional yang memiliki kelemahan di dalam menentukan hubungan sebab akibat antara peningkatan kadar MDA dan penyakit acne vulgaris. Selain itu, jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini relatif masih kurang, yang dapat berpengaruh terhadap akurasi dan validitas hasil. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan rancangan kohort dengan jumlah sampel yang lebih besar.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Simpulan dari penelitian ini adalah : Terdapat korelasi positif antara derajat penyakit acne vulgaris dengan kadar MDA.
7.2 Saran 1.
Pertimbangan pemberian antioksidan dalam penatalaksanaan acne vulgaris, dengan terlebih dahulu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui keefektifan antioksidan dalam perbaikan status stres oksidatif pada penderita acne vulgaris.
2.
Penelitian lanjutan dengan rancangan kohort dan jumlah sampel yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA Abulnaja, K.O. 2009. Oxidant/Antioxidant Status in Obese Adolescent Females with Acne Vulgaris. Indian J Dermatol 54(1): 36-40. Addor, F.A.S.S., Schalka, S. 2010. Acne in adult women: epidemiological, diagnostic and therapeutic aspects. An Bras Dermatol 85(6):789-95. Akamatsu, H., Horio, T., Hattori, K. 2003. Increased hydrogen peroxide generation by neutrophils from patients with acne inflammation. Int J Dermatol 42(5): 366-9. Arican, O., Kurutas, E.B., Sasmaz, S. 2005. Oxidative Stress in Patients with Acne Vulgaris. Mediators of Inflammation 6: 380-4. Ascenso, A., Marques, H.C. 2009. Acne in the Adult. Bentham Science Publishers Ltd. 9: 1-10. Barratt, H., Hamilton, F., Car, J., Lyons, C., Layton, A., Majeed, A. 2009. Outcome measures in acne vulgaris: systematic review. British Journal of Dermatology, 160:132-6. Baumann L., Keri, J. 2009. Acne (Type 1 sensitive skin). In: Baumann, L. Cosmetic Dermatology. 2nd Ed. New York: McGraw-Hill. p. 121-7. Bickers, D.R., Athar, M. 2006. Oxidative Stress in the Pathogenesis of Skin Disease. Available from: URL: http://www.nature.com/jid/journal/v126/n12/pdf/5700340a.pdf Birawan, I.M. 2011. “Hubungan antara interleukin-8 (IL-8) dengan derajat keparahan acne vulgaris” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Bowe, W.P., Logan, A.C. 2010. Clinical implications of lipid peroxidation in acne vulgaris: old wine in new bottles. Lipids in Health and Disease 9:141:1-11. Bruggemann, H. 2005. Insights in the Pathogenic Potential of Propionibacterium acnes From Its Complete Genome. Semin Cutan Med Surg 24:67-72. DeHaven, C. 2007. Acne. http://www.isclinical.com/whitepapers/acne.pdf
Available
from:
URL:
DeHaven, C. 2007. Oxidative stress and free radical damage. Available from: URL: http://www.isclinical.com/whitepapers/oxidative-stress.pdf
Devasagayam, T.P.A., Tilak, J.C., Bollor, K.K., Sane, K.S., Ghaskadbi, S.S., Lele, R.D. 2004. Free Radicals and Antioxidant in Human Health: Current Status and Future Prospects. JAPI 52:794-804. Deverts, D.J. 2007. Oxidative Stress. http://pmbcii.psy.cmu.edu/core_e/oxidative_stress.pdf
Available
from:URL:
Fuchs, J., Herrling, T., Groth, N. 2001. Detection of Free Radicals in Skin: A Review of the Literature and New Developments. In : Thiele, J., Elsner, P., editors. Oxidants and Antioxidants in Cutaneous Biology. Basel : Karger. p. 1-17. Gabrielli, A., Svegliati, S., Moroncini, G., Amico, D. 2012. New Insights into the Role of Oxidative Stress in Scleroderma Fibrosis. The Open Rheumatology Journal 6(Suppl 1:M4);87-95. Grange, P.A., Chereau, C., Raingeaud, J., Nicco, C., Weill, B., Dupin, N., Batteux, F. 2009. Production of superoxide anions by keratinocytes initiates P.acnes-induced inflammation of the skin. PloS Pathog 5(7): 1-14. Hanisah A., Omar K., Shah S.A. 2009. Prevalence of acne and its impact on the quality of life in schoool-aged adolescents in Malaysia. J Primary Health Care. 1:205. Hiromichi, S., Yuichiro, Y., Berthold, K. 2008. Oxidative Stress and Antioxidants in The Perinatal Period. In : Packer, L., Helmut, S., editors. Oxidative Stress and Inflammatory Mechanism in Obesity, Diabetes, and The Metabolic Syndrome. London : CRC Press Taylor & Francis Group. p. 71-85. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2006. Acne. In : James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M., editors. Andrew’s Diseases of the skin Clinical Dermatology. 10th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. p.231-50. Jappe, U. 2003. Pathological Mechanism of Acne with Special Emphasis on Propionibacterium acnes and Related Therapy. Acta Derm Venereol 83: 241-8. Khunger, N., Kumar, C. 2012. A clinico-epidemiological study of adult acne : is it different from adolescent acne?. Indian J Dermatol Venereol Leprol 78:335-41. Kooter, I.M. 2004. Inventory of Biomarkers for Oxidative Stress. Available from: URL: http://rivm.openrepository.com/rivm/bitstream/10029/9038/1/630111001.pdf Kumar, S. 2011. Free Radicals and Antioxidants: Human and Food System. Advances in Applied Science Research 2(1):129-35.
Kunwar, A., Proyadarsini, K.I. 2011. Free radicals, oxidative stress and importance of antioxidants in human health. J Med Allied Sci 1(2):53-60. Kurutas, E.B., Arican, O., Sasmaz, S. 2005. Superoxide Dismutase and Myeloperoxidase activities in Polymorphonuclear Leucocytes in Acne Vulgaris. Acta Dermatoven APA 14: 39-42. Lucky, A.W., Biro, F.M., Huster, G.A., Leach, A.D., Morrison, J.A., Ratterman, J. 2007. Acne vulgaris in premenarchal girls. An early sign of puberty associated with rising levels of dehydroepiandrosterone. Arch Dermatol,156:22-31. Machine, D., M.J. Campbell, P.M. Fayers, A.P.Y. Pinol. 1997. Sample Size Tables for Clinical Studies. Edisi 2. Blackwell Science. Miura, Y., Ishige, I., Soejima, N., Suzuki, Y., Uchida, K., Kawana, S., Eishi, Y. 2010. Quantitative PCR of Propionibacterium acnes DNA in samples aspirated from sebaceous follicles on the normal skin of subjects with or without acne. J Mes Dent Sci, 57:65-74. Nelson, A.M., Thiboutot, D.M. 2008. Biology of Sebaceous Glands. In : Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell D.J., editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th. Ed. New York: McGraw-Hill. P. 687-90. Rivera R., Guerra A. 2009. Management of Acne in Women Over 25 Years of Age. Actas Dermosifiliogr 100:33-7. Sukanto, H., Martodihardjo, S., Zulkarnain, I. 2005. Akne Vulgaris. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 3. Surabaya: Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo. p.115-8. Surlinia, N. 2010. “Perbandingan nilai aktivitas glutation peroksidase eritrosit dan kadar malondialdehid darah pasien akne inflamasi dengan individu sehat” (tesis). Jakarta: Universitas Indonesia. Suryadi, R.M. 2008. Kejadian dan faktor resiko acne vulgaris. Available from: URL: http://www.mediamedika.net/modules.php?name=Jurnal&file=index&a1=jurnal&a2 =338&sort=&recstart Thiboutot, D. 2000. New Treatments and Therapeutic Strategies for Acne. Arch Fam Med, 9:179-87.
Tochio, T., Tanaka, H., Nakata, S., Ikeno, H. 2010. Accumulation of lipid peroxide in the content of comedones may be involved in the progression of comedogenesis and inflammatory changes in comedones. Journals of Cosmetic Dermatology 8(2): 152-8. Turrens, J.F. 2003. Mitochondrial formation of reactive oxygen species. J Physiol 552(2): 335-44. Urbanski, N.K., Beresewicz, A. 2000. Generation of •OH initiated by interaction of Fe2+ and Cu+ with dioxygen; comparison with the Fenton chemistry. Acta Biochimica Polonica, 47:4:951-62. Wasitaatmadja, S.M. 2010. Acne: Clinical sign, classification and grading. Dalam : Makalah National Symposium and workshop in cosmetoc dermatology: Acne new concepts and challenges. Jakarta. Wasitaatmadja, S.M. 2007. Akne, erupsi akneiformis, rosasea, rinofima. Dalam: Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S., editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 253-63. Winarsi, H. 2007. Antioksidan alami dan radikal bebas. Edisi 1. Jakarta: Penerbit Kanisius. Wolff, K., Johnson, R.A. 2009. Disorders of Sebaceous and Apoccrine Glands. In : Wolff, K., Johnson, R.A., editors. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical dermatology. Sixth Edition. New York: McGraw-Hill. p.2-8. Wu, D., Cederbaum, A.I. 2003. Alcohol, oxidative stress, and free radical damage. Alcohol Research and health 27(4): 277-84. Yu, Y.S., Cheng, Y.W., Chen, W. 2008. Lifetime Course of Acne: A Retrospective Questionnaire Study in School Teachers. Dermatol Sinica 26:10-5. Zaenglein, A.L., Graber, E.M., Thiboutot, D.M., Strauss, J.S. 2008. Acne Vulgaris and Acneiform Eruptions. In : Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell D.J., editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th. Ed. New York: McGraw-Hill. P. 690-702. Zouboulis, C.C., Eady, A., Philpott, M., Goldsmith, L.A., Orfanos, C., Cunlife, W.C., Rosenfield, R. 2005. What is the pathogenesis of acne?. Exp Dermatol 14: 143-52.
LAMPIRAN 1 INFORMED CONSENT KADAR MDA BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS Bapak / Ibu / Saudara / Saudari Yang Terhormat, Acne vulgaris atau jerawat salah satu masalah kulit yang sering dijumpai di masyarakat dan bersifat kronis serta kambuh – kambuhan. Walaupun bukan merupakan suatu penyakit yang mengancam nyawa, namun acne dapat menyebabkan masalah psikologi yang berbeda-beda, mulai dari perasaan rendah diri hingga stress. Selain itu tidak jarang pula dapat terjadi scar pada wajah yang permanen. Menurut Kligman, tidak ada seorangpun (artinya 100%) yang sama sekali tidak pernah menderita acne. Dewasa ini, dunia kedokteran dan kesehatan banyak membahas tentang radikal bebas dan antioksidan. Tanpa disadari, tubuh kita terus-menerus terpapar radikal bebas, baik melalui proses metabolisme, kekurangan gizi, atau akibat respon terhadap pengaruh dari luar tubuh seperti polusi lingkungan, sinar ultraviolet, paparan asam rokok, dan lain-lain. Ketidakseimbangan antara kadar radikal bebas dan antioksidan dalam tubuh akan menimbulkan kondisi stres oksidatif, yang akan menimbulkan beberapa penyakit.
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa pada penderita acne vulgaris terjadi stres oksidatif, dimana hal ini akan menyebabkan terjadinya inflamasi atau peradangan lebih lanjut. Penelitian tentang stres oksidatif pada penderita acne masih jarang dijumpai di Indonesia, dan khususnya belum pernah dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar. Bila Bapak / Ibu / Saudara / Saudari bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini, akan dilakukan pengambilan sampel darah dari pembuluh darah pada lipat lengan, yang akan dilakukan di Laboratorium rujukan. Segala biaya dalam pemeriksaan ini akan menjadi tanggungjawab peneliti. Dengan keikutsertaan di dalam penelitian ini, Bapak / Ibu / Saudara / Saudari ikut berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalm rangka menurunkan angka kesakitan akibat acne vulgaris atau jerawat. Demikian
kami
sampaikan
penjelasan
ini,
dan
atas
kesediaan
keikutsertaannya, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Seandainya ada yang kurang jelas ataupun ada sesuatu yang ingin ditanyakan, sewaktu-waktu Bapak / Ibu / Saudara / Saudari dapat menghubungi langsung melalui telepon 08123533025. Hormat kami,
dr, Rosita Sari Sutanto Peneliti.
LAMPIRAN 2 PERNYATAAN PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN Yang bertandatangan di bawah ini : 1. Nama responden
:
Umur
:
Alamat
:
No telepon
:
2. Nama suami / isteri / wali
:
Alamat
:
No telepon
:
Setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap mengenai maksud, tujuan, dan manfaat dari penelitian : KADAR MDA BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN
DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS. Menyatakan bersedia ikut serta dalam penelitian sebagai pesereta yang akan diteliti dan mengikuti prosedur penelitian seperti yang telah disampaikan. Denpasar, Peserta Penelitian,
(
Suami/istri/wali,
)
(
Peneliti,
)
(dr. Rosita Sari Sutanto)
LAMPIRAN 3 STATUS PENELITIAN Nomor sampel
:
Nomor CM
:
Tanggal pemeriksaan :
ANAMNESIS Identitas. 1. Nama
:
2. Jenis Kelamin
:
3. Tanggal Lahir
:
4. Alamat
:
5. No telepon
:
6. Pekerjaan
:
Laki-laki.
Perempuan.
Pelajar / mahasiswa. Swasta,sebutkan ...................................... Profesional, sebutkan ................................ Lain-lain, sebutkan ...................................
7. Pendidikan
: tidak sekolah / SD / SMP / SMA / Sarjana.
8. Status
:
Belum menikah. Menikah. Jika perempuan : a. status kehamilan saat ini? Ya / tidak. Jika ragu : HPHT tanggal ..................... b. kontrasepsi hormonal ? Ya / tidak. Duda / janda.
Keluhan Utama
:
Riwayat Penyakit Sekarang 1. Keluhan diderita sejak
:
2. Gejala lain yang menyertai
:
3. Kuantitas keluhan
:
Terus menerus. Kumat-kumatan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat atopi. Jika ya, obat ……………… Penyakit darah tinggi. Jika ya, obat ...…… Kencing manis. Jika ya, obat ……………. Epilepsi. Jika ya,obat ………………..........
.
Penyakit paru. Jika ya, obat ………………..
Penyakit keganasan. Jika ya, obat .................. Lain-lain ................................................... Riwayat Pengobatan :
Tidak. Ya. Jenis :
Obat topikal. Nama obat ............................................. Dipakai sejak ....................................... Obat oral/minum. Nama obat ............................................. Diminum sejak .................................
Riwayat Penyakit Keluarga :
Jerawat. Jika ya, sebutkan siapa ..................................... Lain-lain ...........................................................
Riwayat sosial :
Kebiasaan merokok. Kebiasaan minum alkohol. Paparan sinar matahari.
Jika ya, sebutkan rata-rata paparan per hari .......... jam/hari. Lain-lain ................................................................................
PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum : .......................
GCS : E ........ V ....... M .......
Berat Badan : ....................... kg.
Tinggi badan : ................. cm.
Tekanan darah : ................ mm/Hg.
Suhu : ............................ oC.
Nadi : ................................ x/menit.
Respirasi : ....................... x/menit.
Status General :
Status Dermatologi 1.
Lokasi
2.
Efloresensi
: :
Komedo
Papul / pustul
Nodul
Derajat
< 20
< 15
Tidak ada
Ringan
20-100
15-50
<5
Sedang
>100
> 50
>5
Berat
Efloresensi lainnya ………………………………………….. DIAGNOSIS :
LAMPIRAN 4
KRITERIA DIAGNOSIS DERMATITIS ATOPI HANIFIN RAJKA Kriteria mayor 1. Pruritus. 2. Morfologi dan distribusi khas. 3. Dermatitis bersifat kronis dan kumat – kumatan. 4. Riwayat atopi pada diri sendiri atau pada keluarga. Kriteria minor 1. Xerosis. 2. Iktiosis / hiperlinearitas palmar / keratosis pilaris. 3. Peningkatan IgE serum. 4. Onset pada usia muda. 5. Kecenderungan terjadi infeksi kulit / gangguan imunitas seluler. 6. Kecenderungan terjadi dermatitis tangan atau kaki yang non spesifik. 7. Eczema puting susu. 8. Cheilitis. 9. Konjungtivitis rekuren. 10. Lipatan Dennie-Morgan. 11. Keratokonus. 12. Katarak subkapsular anterior. 13. Kehitaman pada area mata. 14. Pucat atau eritema pada wajah. 15. Pityriasis alba. 16. Lipatan leher anterior. 17. Gatal bila berkeringat. 18. Intoleransi terhadap wol atau pelarut lipid.
19. Aksentuasi perifolikular. 20. Intoleransi makanan. 21. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosional. 22. White dermographism / delayed blanch.
(Bos dkk, 1998).
LAMPIRAN 7 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
JENIS KEL P L P L P P L P P L P P P P P P P P L L L P P P P L P L P P P P L L L L P
UMUR 23 28 20 24 25 18 35 32 22 15 17 21 18 33 20 35 33 28 23 31 20 33 25 35 32 31 20 24 29 32 27 29 28 25 23 23 26
DERAJAT ACNE Sedang Ringan Ringan Sedang Ringan Sedang Sedang Ringan Berat Berat Ringan Ringan Berat Sedang Sedang Sedang Ringan Sedang Berat Ringan Berat Sedang Berat Berat Sedang Berat Sedang Sedang Sedang Sedang Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan
MDA μM/L 1.635 0.905 0.867 1.835 0.912 1.208 1.100 0.984 1.259 1.449 1.125 1.145 1.237 1.185 1.044 1.143 1.035 1.080 1.331 0.878 1.471 1.209 1.707 0.368 1.229 2.005 1.115 1.045 1.157 0.949 1.217 1.302 1.394 1.181 1.035 0.922 0.962
PEKERJAAN Swasta Pelajar Pelajar Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta Pelajar Pelajar Swasta Swasta Swasta Swasta Lain-lain Profesional Profesional Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta Lain-lain Profesional Swasta Swasta Profesional Profesional Profesional Profesional Profesional Profesional Pelajar Pelajar Swasta
PENDIDIKAN SMA SMA SMA SMA SMA SD SMA SMA SMA SMA SMA SMA SMA SMA SMA Sarjana Sarjana Sarjana Sarjana SMA SMA SMA SMA SMA Sarjana Sarjana SMA Sarjana Sarjana Sarjana Sarjana Sarjana Sarjana Sarjana Sarjana Sarjana Sarjana
38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64
P P P L P P L P L P P L L P L P L P P L L L P P P P P
26 25 27 25 31 29 30 35 29 28 31 28 26 21 35 21 28 30 23 23 28 35 27 30 35 22 35
Sedang Berat Sedang Sedang Sedang Sedang Ringan Berat Berat Sedang Ringan Ringan Sedang Ringan Ringan Ringan Berat Ringan Berat Ringan Sedang Berat Sedang Berat Berat Ringan Berat
1.093 2.238 1.029 1.150 0.999 1.028 1,087 3,680 1,806 1,517 1,040 0,905 1,084 1,001 1,100 1,219 1,640 1,660 1,930 1,580 1,630 2,970 1,670 2,420 2,040 1,510 2,960
Lain-lain Swasta Swasta Pelajar Swasta Swasta Profesional Swasta Swasta Swasta Swasta Pelajar Swasta Pelajar Swasta Swasta Swasta Profesional Pelajar Swasta Swasta Profesional Swasta Swasta Swasta Profesional Swasta
SMA Sarjana SMA Sarjana Sarjana Sarjana Sarjana SMA Sarjana SMA SMA SMA SMA SMA Sarjana SMA SMA Sarjana Sarjana Sarjana SMA Sarjana Sarjana SMA Sarjana Sarjana SMA
LAMPIRAN 8
Frequencies Statistics derajat klpumur jenis kelamin N
Valid Missing
akne
pekerjaan pendidikan menikah
64
64
64
64
64
64
0
0
0
0
0
0
Frequency Table klpumur Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
12-19 tahun
4
6.3
6.3
6.3
20-27 tahun
28
43.8
43.8
50.0
28-35 tahun
32
50.0
50.0
100.0
Total
64
100.0
100.0
jenis kelamin Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
laki
22
34.4
34.4
34.4
perempuan
42
65.6
65.6
100.0
Total
64
100.0
100.0
derajat akne Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
ringan
24
37.5
37.5
37.5
sedang
23
35.9
35.9
73.4
berat
17
26.6
26.6
100.0
Total
64
100.0
100.0
pekerjaan Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
pelajar
10
15.6
15.6
15.6
swasta
38
59.4
59.4
75.0
profesional
13
20.3
20.3
95.3
3
4.7
4.7
100.0
64
100.0
100.0
lain lain Total
pendidikan Frequency Valid
SD
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
1.6
1.6
1.6
SMA
33
51.6
51.6
53.1
sarjana
30
46.9
46.9
100.0
Total
64
100.0
100.0
menikah Cumulative Frequency Valid
Percent
Percent
belum menikah
36
56.3
56.3
56.3
menikah
28
43.8
43.8
100.0
Total
64
100.0
100.0
umur pasien N
Valid Percent
Valid Missing
Mean Std. Error of Mean
64 0 26.97 .650
Median
27.50
Std. Deviation
5.204
Variance Skewness Std. Error of Skewness Kurtosis Std. Error of Kurtosis
27.078 -.149 .299 -.765 .590
Range
20
Minimum
15
Maximum
35
Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic MDA
df
.150
Shapiro-Wilk
Sig. 64
.001
Statistic
df
.881
64
a. Lilliefors Significance Correction
MDA ringan
N
Valid Missing
24 0
Mean
1.12358
Median
1.06350
Std. Deviation
.224985
Variance Skewness
Sig.
.051 1.055
Std. Error of Skewness
.472
Kurtosis
.370
Std. Error of Kurtosis
.918
Minimum
.867
Maximum
1.660
.000
sedang
N
Valid Missing
0
Mean
1.22322
Median
1.14300
Std. Deviation
.248840
Variance
.062
Skewness
berat
23
1.326
Std. Error of Skewness
.481
Kurtosis
.565
Std. Error of Kurtosis
.935
Minimum
.949
Maximum
1.835
N
Valid Missing
17 0
Mean
1.91241
Median
1.80600
Std. Deviation
.785526
Variance
.617
Skewness
.488
Std. Error of Skewness
.550
Kurtosis
.787
Std. Error of Kurtosis
1.063
Minimum
.368
Maximum
3.680
Kruskal-Wallis Test Ranks derajat akne MDA
N
Mean Rank
ringan
24
22.65
sedang
23
29.63
berat
17
50.29
Total
64
a,b
Test Statistics
MDA Chi-square
22.798
df
2
Asymp. Sig.
.000
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: derajat akne
Mann-Whitney Test Ranks derajat akne MDA
N
Mean Rank
Sum of Ranks
ringan
24
20.77
498.50
sedang
23
27.37
629.50
Total
47
a
Test Statistics
MDA Mann-Whitney U
198.500
Wilcoxon W
498.500
Z
-1.649
Asymp. Sig. (2-tailed)
.099
a. Grouping Variable: derajat akne
Ranks derajat akne MDA
N
Mean Rank
Sum of Ranks
ringan
24
14.38
345.00
berat
17
30.35
516.00
Total
41
a
Test Statistics
MDA Mann-Whitney U Wilcoxon W Z
45.000 345.000 -4.208
Asymp. Sig. (2-tailed)
.000
a. Grouping Variable: derajat akne
Ranks derajat akne MDA
N
Mean Rank
Sum of Ranks
sedang
23
14.26
328.00
berat
17
28.94
492.00
Total
40
b
Test Statistics
MDA Mann-Whitney U
52.000
Wilcoxon W
328.000
Z
-3.926
Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.000 .000
a
a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: derajat akne
Correlations Correlations MDA Spearman's rho
MDA
Correlation Coefficient
derajat akne
1.000
Sig. (2-tailed) N derajat akne
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
.566
**
.
.000
64
64
**
1.000
.000
.
64
64
.566