New Public Management
New Public Management atau Bagaimana Good Governance bisa dicapai?
New Public Management Struktur: 1. Pendahuluan: Mengapa kita memerlukan New Public Management? 2. New Public Management a. Tujuan b. Tuntutan dan Prasyarat i.
Batasan tanggung jawab
ii.
Penyatuan wewenang untuk bidang kerja dan dana
3. Instrumen New Public Management a. Manajemen kontrak b. Penyerahan tanggung jawab di bidang sumber daya c. Orientasi pada hasil kerja (output) d. Pengawasan i.
kalkulasi biaya dan produk kerja
ii.
Laporan
iii.
Penganggaran
e. Orientasi pada warga/pelanggan f. Personalia g. Teknik informasi h. Manajemen kualitas 4. Pengaktifan struktur baru a. Penerapan asas persaingan i.
Benchmarking
ii.
Persaingan melalui perusahaan swasta
5. Realisasi tindakan dan implementasi 6. Daftar bacaan
1. Pendahuluan: Mengapa kita memerlukan New Public Management? Perdebatan tentang kinerja administrasi publik di seluruh dunia selalu ditandai dengan ketidakpuasan. Baik politisi maupun warga, bahkan juga pegawai administrasi sendiri, mengkritisi administrasi dengan kata kunci: ”terlalu lamban, terlalu mahal, terlalu jauh dari kebutuhan manusia, korup, buruk mutu serta pemborosan anggaran dan sumber daya manusia”.
Pada saat yang sama tengah dilakukan pula diskusi yang dipromotori oleh Bank Dunia, OECD dan institusi-institusi besar lainnya tentang “Good Governance” atau pemerintahan yang baik. Istilah ini dalam sebagian besar penggunaannya sering dikaitkan dengan frasa yang diawali dengan negasi seperti “tidak ada korupsi, tidak ada penyalahgunaan uang rakyat, tidak ada KKN, dls”. Padahal, kita bisa mencoba merumuskan tujuan “Good Governance”
dengan kalimat positif, seperti definisi
berikut: Good Governance adalah suatu bentuk pemerintahan dan adminisitrasi publik yang mampu bekerja secara efisien, yakni mampu memenuhi kebutuhan rakyat. Definisi ini sama dengan apa yang diharapkan dapat dihasilkan oleh “New Public Management”.
New Public Management (NPM) merupakan sistem manajemen administrasi publik yang paling aktual di seluruh dunia dan sedang direalisasikan di hampir seluruh negara industri. Sistem ini dikembangkan di wilayah anglo Amerika sejak paruh kedua tahun 80-an dan telah mencapai status sangat tinggi khususnya di Selandia Baru. Perusahaan-perusahaan umum diprivatisasi, pasar tenaga kerja umum dan swasta dideregulasi, dan dilakukan pemisahan yang jelas antara penetapan strategis wewenang negara oleh lembaga-lembaga politik (APA yang dilakukan negara) dan pelaksanaan operasional wewenang oleh administrasi (pemerintah) dan oleh badan penanggungjawab yang independen atau swasta (BAGAIMANA wewenang dilaksanakan). Administrasi dan badan penanggungjawab melaksanakan tugas yang diserahkan oleh negara atas dasar perumusan “order”” secara kuantitatif dan kualitatif, lalu disepakatilah anggaran biaya untuk pelaksanaan order tersebut (order kerja dan anggaran umum).
2. New Public Management New Public Management tidak selalu dipahami sama oleh semua orang. Bagi sementara orang, NPM adalah suatu sistem manajemen desentral dengan perangkat-perangkat manajemen baru seperti controlling, benchmarking dan lean management; bagi yang lain, NPM dipahami sebagai privatisasi sejauh mungkin atas aktivitas pemerintah. Sebagian besar penulis membedakan antara pendekatan manajemen sebagai perangkat baru pengendalian pemerintah dan pendekatan persaingan sebagai deregulasi secara maksimal serta penciptaan persaingan pada penyediaan layanan pemerintah kepada rakyat. Jika disimpulkan, NPM memiliki ciri-ciri berikut: Pengendalian yang berorientasi pada persaingan dengan cara pemisahan wewenang antara pihak yang memberi dana dan pihak pelaksana tugas; pemfokusan pada efektifitas, efisiensi dan mutu pelaksanaan tugas; pemisahan manajemen strategis (APA?) dari manajemen operasional (BAGAIMANA?); Dalam pemberian order dan anggaran umum, pelaksana order swasta dan pemerintah diperlakukan sama. Administrasi lain Benchmarking
Parlemen
administrasi
kontrak
Manajemen kontrak Definisi produk, kualitas jumlah dan harga
Produksi atau penjualan produk
Anggaran departemen Keputusan anggaran
Tanggungjawab total secara desentral
laporan controlling Controlling Pemilu
Warga
manajemen kualitas
Pemilih
Service, Marketing
Klien
Grafik: New Public Management dan pengendaliannya
Penawar Swasta
Adanya upaya meningkatkan inovasi yang terarah (sebagai bagian dari order kerja) karena
adanya
pendelegasian
(bukan
hanya
desentralisasi)
manajemen
operasional. a. Tujuan Tujuan New Public Management adalah untuk merubah administrasi publik sedemikian rupa sehingga, kalaupun belum bisa menjadi perusahaan, ia bisa lebih bersifat seperti perusahaan. Administrasi publik sebagai penyedia jasa bagi warga harus sadar akan tugasnya untuk menghasilkan layanan yang efisien dan efektif. Tapi, di lain pihak ia tidak boleh berorientasi pada laba. Padahal ini wajib bagi sebuah perusahaan kalau ia ingin tetap bertahan dalam pasar yang penuh persaingan.
Tujuan di atas bukanlah satu tujuan yang tak dapat dicapai, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman dari berbagai negara (Swedia, Belanda, Selandia Baru, AS, Britania Raya, dls.) yang beberapa tahun lalu merasa harus melakukan reformasi terhadap kinerja administrasi publik di negara mereka. Reformasi ini juga menjadi semakin penting di negara-negara lain dan juga di Amerika Latin.
Alasan mengapa politik dan administrasi tertarik pada NPM sangat beranekaragam dan cenderung tak jelas: adminsitrasi mengharapkan memperoleh otonomi yang lebih besar dan debirokratisasi, pihak politisi yang mengurus masalah keuangan (parlemen, DPRD) ingin secepat mungkin mereformasi anggaran, sementara pemerintah
dan
juga
parlemen
mengharapkan
memperoleh
kemungkinan
pengendalian yang lebih besar dan baru. Banyak politisi khawatir, dengan anggaran umum (Globalbudget) pihak pemerintah dan administrasi hendak melepaskan diri dari kewajiban justifikasi dan ingin melucuti wewenang parlemen dalam membuat keputusan dengan cara mengajukan anggaran yang tak berarti. Pihak pelaksana order kecewa jika dilakukan pemangkasan anggaran atas dasar perbandingan produksi dan biaya (benchmarking). Indikator produksi dianggap “tak memadai” atau keseluruhannya dilihat sebagai “dampak negatif ekonomi” yang tak pada tempatnya atau sebagai penghinaan terhadap administrasi yang profesional.
Untuk menilai administrasi dalam kasus konkritnya, orang harus terlebih dulu menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Hasil atau tujuan apa saja yang akan dicapai? (outcome) Kerja apa saja yang diperlukan untuk bisa memenuhi tujuan (hasil) ini? (output) Siapa yang harus melaksanakan kerja tersebut? Berapa banyak dana pemerintah yang harus digunakan untuk itu? Semakin monopolistik kondisi umum yang harus dihadapinya maka makin penting pula perbandingan hasil kerja dan biaya dalam administrasi publik. Akibatnya, si “klien” (warga) tidak bisa “memilih” sekolah, jasa pembuangan sampah atau polisi (karena semuanya ditangani pemerintah atau pemkot). Karena seringkali tidak ada dana yang memadai, maka pajakpun atau “harga pasar”
tidak mempengaruhi
sistem, misalnya sistem kepolisian. Selain biaya, outcome, output dan lain-lainnya juga harus dipahami dengan teliti. Ini selalu memunculkan kontroversi besar menyangkut pengukuran dan kualitasnya. Karena itu jaminan kualitas dalam sektor publik masih lebih penting, tapi juga kadang-kadang lebih rumit daripada di perusahaan-perusahaan swasta. Karena, misalnya, harus dilakukan evaluasievaluasi yang menyeluruh dan banyak makan biaya. Artinya, harus ada evaluasi yang menggunakan metode yang dapat merambah seluruh bidang dalam administrasi publik terhadap dampak yang telah dicapai dari upaya-upaya yang dilakukan. b. Tuntutan dan prasyarat Langkah untuk menerapkan New Public Management bisa dilakukan dengan syarat ada cukup jumlah pendukung “yang kritis” yang menghendaki reformasi. Para pendukung ini harus berasal dari administrasi (pemda, pemkot) dan politik; berarti mereka harus seorang birokrat dan politisi. Warga juga akan setuju dengan penerapan NPM ini karena mereka banyak mengkritisi
kelemahan atau kinerja
administrasi yang loyo. Namun demikian, reformasi ini harus didukung bersama agar warga bisa memberikan tekanan yang dibutuhkan terhadap politisi dan pihak administrasi untuk menyelesaikan proses reformasi dengan sukses. Harus jelas bahwa restrukturisasi seperti ini punya harga, tapi harus disadari pula bahwa penghematan yang dihasilkan reformasi ini bisa dengan mudah membiayai kembali investasi. Akan tetapi, sebelum upaya penerapan New Public Management
ini bisa direalisasikan, harus diciptakan dulu prakondisi, yakni pertama, batasan tanggung jawab antara unit perencana dan unit pelaksana (politik dan administrasi) dan perangkat sumber daya yang bersifat desentral. i.
Batasan tanggung jawab Seperti telah diindikasikan di atas, manajemen publik baru merupakan isu menyangkut penetapan “apa” dan “bagaimana”. Di sini unit perencana (tataran politik: parlemen pusat atau daerah) menentukan apa yang harus dihasilkan administrasi (pemerintah daerah atau pemerintah kota). Contohnya, politik hendak menciptakan citra kota yang baik, membuat taman kota dipelihara dan mempertahankan pohon-pohon yang tumbuh di kota. Untuk merealisasikan ini, unit perencana menetapkan cakupan dan kualitas. Kemudian ditentukan berapa sering areal hijau tersebut dibersihkan dan rumputnya dipotong. Sekarang tugas unit pelaksana: pihak administrasi menghitung biaya yang dibutuhkan untuk melakukan kerja yang digambarkan di atas. Ini berarti, pihak administrasi membuat proposal permintaan dana kepada pihak politik (parlemen). Apabila parlemen setuju dengan permintaan dana tersebut, maka akan dibuat kesepakatan. Tapi, kalau pihak pemerintah tidak setuju dan menganggap tawaran tersebut terlalu tinggi, masih ada beberapa kemungkinan lain untuk bisa membuat kesepakatan. Pemerintah atau unit perencana bisa menurunkan tuntutan kualitasnya atau meminta administrasi untuk melakukan outsourcing agar administrasi tidak perlu melakukan sendiri kerja tersebut, tapi bisa menyuruh pihak lain, misalnya pihak swasta. Namun, proses ini juga bisa berakhir dengan keputusan pemerintah untuk menyediakan sumber dana yang lebih besar kepada pihak unit pelaksana atau administrasi dan dengan demikian menerima proposal awal. Pada proses penentuan kesepakatan, pihak pelaksana tetap menjadi pihak yang menentukan pertanyaan, bagaimana pekerjaan harus dilakukan. Hal ini khususnya terletak pada sektor yang disebut alokasi sumber daya, yaitu bidang yang menentukan kebutuhan biaya untuk personal, investasi dan pengeluaran-pengeluaran lainnya.
Dengan adanya pemisahan antara keputusan strategis (perencana) dan keputusan pihak pelaksana, maka tumpang tindih wewenang akan bisa dikurangi–yang pada gilirannya menghasilkan pembagian wewenang yang lebih jelas di antara kedua pihak. Ini hanya bisa dilakukan dengan cara mendelegasikan wewenang kepada administrasi. Tapi di lain pihak, ini juga berarti bahwa pihak perencana (pemerintah) mendapatkan ruang gerak yang lebih leluasa, yang memungkinkannya siap membuat keputusan yang benarbenar penting dan melihat serta menilai efisiensi kerja administrasi.
ii.
Penyatuan tanggung jawab yang mengurus bidang kerja dan dana. Dewasa ini pembagian tugas di kebanyakan administrasi publik ditandai dengan pemisahan antara wewenang yang mengurus bidang kerja dan wewenang yang membidangi dana. Tugas diserahkan pada departemendepartemen, kantor-kantor atau unit-unit administrasi, sementara dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut berada di bawah tanggung jawab bagian lain. Dana diberikan kepada departemen-departemen melalui anggaran yang rinci. Dalam anggaran ini juga telah ditentukan alokasi dana. Sejalan dengan waktu, tugas-tugas yang dilakukan masing-masing departemen, kantor dan sejenisnya menjadi kerja rutin. Keputusan tentang dana yang disediakan tidak lagi dilihat dalam hubungannya dengan tugas yang diserahkan. Artinya, si pemberi dana tidak tahu lagi diapakan saja dana yang telah dialokasikan; ia hanya berorientasi pada ketersediaan dana. Ini berarti tidak lagi keterikatan antara order/tugas dengan dana yang diberikan. Pihak administrasi (pemda/pemkot) merespon ini dengan jawaban bahwa merekalah yang
menetapkan berapa banyak layanan yang hendak
diproduksi dan bagaimana kualitasnya. Fenomena ini merupakan salah satu alasan tergerogotinya hak parlemen dan dewan kota atau DPRD dalam ikut menentukan anggaran. c. Kondisi di Amerika Latin1 Penyusunan administrasi negara yang efisien di negara-negara Amerika Latin merupakan prasyarat bagi peningkatan demokratisasi, pengembangan ekonomi dan
pengalokasian dana secara adil. Dalam kaitan ini reformasi manajemen memiliki peran istimewa guna memperbaiki efisiensi peyelenggaraan pemerintahan. Di banyak negara, reformasi manajemen sedang dipersiapkan atau sudah diterapkan, meski kadang-kadang dengan pengalaman berbeda dan khususnya dengan kesadaran bahwa tidak ada paradigma yang standar. Hal ini ditunjukkan oleh sejumlah studi komparatif.2 Jawatan publik di Amerika Latin sebagian besar tidak memiliki administrasi yang profesional, kalaupun ada, hanya dalam kasus-kasus tertentu saja. Akses terhadap jawatan publik dan juga praktek kenaikan pangkat (promosi) sangat dipolitisasi dan biasanya tidak berdasarkan prestasi kerja dan kualifikasi. Ini terjadi baik pada tingkat pimpinan maupun pada sebagian besar karyawan di dinas pemerintah. Di masa lalu, jabatan dalam pemerintahan selalu menjadi wadah bagi yang berkuasa untuk menciptakan lapangan kerja bagi aktivis partai, dan karena itu, jabatan dalam pemerintahan selalu tak pernah lowong. Oleh karenanya, sangat mungkin setelah dilakukan analisa terhadap kebutuhan akan lapangan kerja untuk layanan-layanan yang dihasilkan selama ini, jumlah lapangan kerja yang dibutuhkan jelas berada di bawah angka riilnya. Jika sudah begini, ada dua pilihan yang tersisa: mengurangi jumlah personal dalam jabatan publik sebagaimana yang benar-benar dibutuhkan yang artinya akan terjadi PHK massal dan secara politis tidak akan bisa berhasil, atau mencoba meningkatkan cakupan layanan secara signifikan dengan jumlah karyawan yang ada. Andai pilihan kedua ini yang diambil, maka sangat mungkin harus dilakukan investasi besar di bidang pendidikan dan peningkatan kualifikasi. Rintangan lain terhadap implementasi New Public Management adalah terlalu banyaknya regulasi yang tak jelas dan diterapkan secara semena-mena. Regulasi ini lebih bersifat mengatur daripada diarahkan untuk memberi layanan kepada masyarakat. Itu artinya, administrasi publik di Amerika Latin cenderung mengatur tata kehidupan warganya, tapi tidak melayani masyarakat. Dilihat dari sisi psikologis, ini bisa menjadi penghalang. Apalagi dengan pendekatan New Public Management, segala bentuk pekerjaan dalam administrasi publik yang tidak melayani masyarakat adalah pemborosan. Selain itu, Amerika Latin juga dikenal dengan Undang-undang administrasinya yang kaku, yang tidak bisa digunakan secara fleksibel, kecuali jika masyarakat menyuap para pegawai administrasinya.
Struktur hirarki dalam administrasi (pemda/pemkot) di Amerika Latin juga sangat nyata dan penting bagi rasa harga diri para pemimpinnya, di tingkat manapun. Pendekatan
New
Public
Management
yang
menghapus
hirarki
ini
akan
menimbulkan masalah. Jadi, dilihat secara keseluruhan, peluang untuk menerapkan New Public Management nampak tidak bagus. Tapi di lain pihak, saat ini sudah ada jutaan warga yang menderita atas ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan. Kalau mengingat rentannya demokrasi di Amerika Latin dan kecenderungan situasi yang ekstrim, yakni jatuhnya kekuasaan kepada politisi yang populis atau mungkin munculnya kekuasaan otoriter, maka penerapan sistem administrasi yang menunjukkan hasil konkrit sangatlah mendesak. 3. Perangkat-perangkat New Public Management a. Manajemen kontrak Penyelenggaraan administrasi publik selama ini ditandai dengan keputusankeputusan yang bersifat hirarkis dan berdasarkan petunjuk-petunjuk khusus. Dengan perangkat manajemen kontrak, praktek ini akan diubah – yakni dengan membuat kesepakatan tentang biaya dan apa yang harus dikerjakan. Yang dimaksud dengan manajemen kontrak adalah penyelenggaraan administrasi melalui kesepakatan-kesepakatan tentang tujuan yang hendak dicapai. Kesepakatan ini mencakup mulai dari tujuan yang hendak diraih hingga pengawasan terhadap proses pencapaian tujuan tersebut. Landasan manajemen kontrak adalah kontrak atau perjanjian antara pihak-pihak yang membuat perjanjian. Siapakah pihak yang membuat perjanjian ini? Pihak pertama adalah pemerintah (politik), dan pihak lainnya adalah pihak yang memberikan layanan atau pihak pelaksana. Dalam prakteknya, pemerintah – tergantung pada masing-masing konstitusinya, terdiri dari parlemen (untuk sistem parlementer) atau presiden bekerjasama dengan parlemen (untuk sistem presidensiil). Di tingkat daerah ada DPRD yang menjadi pemberi order dan di lain pihak ada pemerintah daerah sebagai unit pelaksana. Seperti yang telah diuraikan dalam sub bahasan tentang pembatasan tanggung jawab, petunjukpetunjuk strategis untuk mencapai tujuan ditentukan oleh parlemen (pusat atau daerah) yang nantinya harus bertanggung jawab kepada warga, sementara di lain
pihak unit pelaksana (administrasi: pemda atau pemkot) merupakan pihak pemberi layanan yang profesional – yang bertanggung jawab untuk menghasilkan kerja yang efisien. Asas manajemen kontrak juga bisa diterapkan dalam penyelenggaraan administrasi. Pimpinan masing-masing bagian harus mendelegasikan tugas kerja kepada karyawan yang bertanggung jawab. Karyawan ini membuat kerja tertentu dalam divisinya. Selain mendelegasikan tugas, pimpinan juga berbicara dengan karyawannya tentang hasil kerja, anggaran dan ruang gerak untuk bertindak. Apa yang dimaksud dengan manajemen kontrak di sini bukanlah kontrak atau perjanjian-perjanjian yang mengikat secara hukum seperti halnya dalam dunia bisnis, tapi menyangkut kesepakatan tujuan yang bersifat mengikat tentang jangka waktu yang telah ditetapkan. Kesepakatan ini mengandung tiga unsur penting. Dalam perjanjian ditetapkan produk serta kerja yang harus dilakukan berdasarkan kuantitas dan kualitas (tujuan kerja) serta anggaran yang dibutuhkan (tujuan keuangan). Yang penting dalam kesepakatan ini adalah bahwa si pemberi order menjelaskan produk yang diinginkan, tapi tidak menentukan bagaimana proses kerjanya dilakukan. Ini berarti, bagaimana pihak pelaksana mengerjakan produk yang diinginkan sang pemberi order adalah urusan mereka sendiri, tapi tentu saja untuk bisa menghasilkan produk yang diminta, si pelaksana harus memahami obyek3 yang akan digarap. Instrumen perjanjian memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak. Pertamatama, pemberi order dapat leluasa merancang bagaimana ia merealisasikan tujuan politiknya dalam takaran yang terukur dan memberikan order sesuai dengan dana yang ada. Sementara si pelaksana juga mendapat peluang menciptakan lapangan kerja yang lebih menarik dan terjamin melalui kreativitas dan prakarsa sendiri. Unsur penting lain yang mendukung berfungsinya manajemen kontrak adalah adanya penerapan sistem laporan kerja (lihat sub bahasan controlling) yang memberikan semua informasi mengenai pelaksanaan kepada pihak pemberi order dan dengan demikian mendokumentasikan kemajuan kerja sedemikian rupa sehingga pihak pemberi order setiap saat bisa berunding lagi dengan pihak pelaksana order.
b. Penyerahan tanggung jawab di bidang sumber daya Manajemen kontrak bertujuan mengarahkan perhatian utama dan minat bagianbagian di kantor administrasi pada hasil kerja mereka. Secara teknis ia berfungsi sebagai berikut:
pekerjaan yang harus dihasilkan oleh sebuah bagian atau
departemen (produk) didefinisikan dengan jelas. Agar dapat melakukan pekerjaan ini, departemen tersebut memperoleh anggaran yang disesuaikan dengan produk yang dipesan. Dari anggaran inilah dapartemen harus membiayai semua pekerjaan yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk tersebut. Apabila ada pekerjaan yang dilakukan oleh bagian (departemen) lain–karena misalnya–tidak ada cukup personil dalam departemennya sendiri, maka pekerjaan itu secara prinsip harus dibayar. Anggaran yang telah ditetapkan untuk satu produk tidak bisa ditambah. Apabila di tengah-tengah tahun pelaksanaan anggaran dana yang diperlukan ternyata kurang, pihak pelaksana harus bisa memikirkan jalan keluarnya. Dana tambahan dapat disetujui parlemen hanya apabila terjadi penambahan tugas yang relevan – yang tidak bisa direncanakan sebelumnya, dan apabila pihak departemen yang mengerjakan order telah mencoba semua kemungkinan untuk menutupi biaya yang kurang. Apakah departemen telah bekerja dengan baik atau tidak, hal itu diukur dari tingkat keberhasilan memenuhi kesepakatan kerja yang telah dilakukan sebelumnya. Untuk bisa bekerja dengan baik, departemen membutuhkan ruang gerak yang memadai. Departemen harus diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri bagaimana ia menyelesaikan kerja yang diberikan oleh pihak pemberi order. Oleh karena itu, kepada mereka (departemen) harus diserahkan tanggung jawab untuk mengatur penggunaan sumber daya (dana, posisi, personalia, perangkat penunjang) sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Apabila aturan-aturan telah ditentukan sebelumnya oleh pusat, departemen bisa mengelola sendiri sumber dayanya dan/atau menukarnya satu sama lain. Baru dengan adanya penyerahan tanggung jawab untuk mengurus sumber daya, departemen bisa mengembangkan tanggung jawab terhadap pelanggan dan pasar. Apabila – misalnya – dalam sebuah instansi masyarakat secara rutin harus menunggu lama untuk mendapatkan pelayanan yang memang sudah menjadi hak mereka, maka si kepala instansi dapat mengatur sumber daya yang ada dengan
leluasa. Ini hanya mungkin terjadi manakala ada desentralisasi wewenang. Dengan kata lain si kepala kantor bisa memutuskan sendiri bagaimana ia memaksimalkan sumber daya mereka. Untuk kasus waktu tunggu yang lama itu misalnya, ia bisa mengatur
penempatan
karyawannya
secara
fleksibel
untuk
mengantisipasi
banyaknya jumlah warga yang hendak dilayani. Dengan cara ini si kepala instansi beserta jajarannya benar-benar melihat masyarakat yang menunggu sebagai “pelanggan” dan ia serta karyawannya berperan sebagai pelayan. Jika sudah demikian kondisinya, baru ia mampu menangggung seluruh tanggung jawab untuk mengelola departemen atau instansinya. Untuk bisa menghayati tanggung jawab mengatur sumber daya secara efisien, pada prinsipnya
kepada
departemen
harus
diserahkan
tugas-tugas
manajemen,
pengendalian dan controlling seperti berikut ini: Organisasi dan penempatan personalia Penyediaan informasi dan otomatisasi Perencanaan anggaran dan sumber daya Pengelolaan dana Kalkulasi awal dan pasca layanan (produk) Kalkulasi biaya dan kerja Analisa pembiasan anggaran dengan mengacu pada ekonomi perusahaan Pelaporan Departemen yang mengerjakan order (proyek) harus melaporkan secara rutin tentang pelaksanaan kerja dan menangani sendiri jika terjadi pembiasan anggaran (misalnya di pertengahan tahun anggaran ternyata dana dipastikan kurang). Dalam laporannya, departemen hendaknya menyertakan perhitungan akhir mereka sendiri. c. Orientasi pada hasil kerja (output) Administrasi
hanya
dapat
dikendalikan
secara
efisien
apabila
titik
tolak
penyelenggaraannya berada pada hasil (output) kerja. Tapi sekarang ini tidak demikian adanya. Sampai hari ini pengendalian administrasi publik secara umum masih dilakukan melalui input, artinya melalui penjatahan sumber daya secara sentral. Rancangan anggaran belanja mengatur berapa banyak uang yang boleh dikeluarkan oleh administrasi dan bagaimana mereka harus menggunakan uang itu.
Tapi tidak ada bagian dalam keterangan anggaran itu yang menyatakan dengan pasti kerja (produk) apa saja yang harus ia hasilkan dengan uang tersebut dan apa yang benar-benar bisa diharapkan oleh pemerintah dari anggaran itu. Administrasi yang dikendalikan murni atas dasar penjatahan sumber daya (input) dari pusat ini tidak memiliki keleluasaan dalam merancang berbagai pelayanan kepada masyarakat luas. Dan ini tidak bisa dibenarkan jika ditinjau dari sistem demokrasi. Aparat administrasi (pemda/pemkot)
yang tidak perlu membuktikan
secara rutin apa yang akan ia lakukan secara konkrit dengan dana yang ia minta dari pemerintah, akan terus menerus membuat pengeluaran yang tak terkontrol dan menggunakan dana tanpa perhitungan. Suatu manajemen pemerintahan yang menerima begitu saja – bahwa administrasi merumuskan sendiri tujuan-tujuan dan kerja mereka, berarti tidak menggunakan substansi hak anggaran. Tidak adanya kaitan yang jelas antara pemberian dana (input) dan hasil kerja (output) merupakan kekurangan dalam penataan administrasi dewasa ini – termasuk di negara-negara di mana birokrasi Weberian berjalan dengan baik – karena penyelenggaraan administrasinya tidak ditujukan pada produksi kerja yang efisien. Kekurangan ini tidak bisa ditutupi meskipun dilakukan beberapa perbaikan dalam proses produksi administrasi. Untuk bisa melahirkan hubungan antara input dan output harus ada basisnya, dan basis itu adalah produk kerja. Produk kerja ini merupakan rangkuman dari setiap aktivitas administrasi yang kemudian dibuat dalam sebuah katalog produk kerja berdasarkan jumlah, kualitas dan biaya, serta berdasarkan kelompok sasaran dan permintaan pelanggan (warga). Jumlah produk yang dirangkum tidak boleh terlalu rendah, karena akan membuat kemungkinan pengendalian menjadi hilang, tetapi juga tidak terlalu tinggi karena akan menimbulkan banjir informasi yang pada gilirannya akan menyulitkan keputusan strategis. Setelah produk kerja dirumuskan dan beberapa produk kerja digabungkan menjadi sekumpulan produk kerja, kemudian baru ditentukan unit-unit kerja serta perlengkapan dana dan personilnya. Jadi, jika berangkat dari uraian ini, landasan perencanaannya pun jelas: “pelaksanaan kerja mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan oleh pemberi order (pemda atau pemkot), bukan sebaliknya”. Kalau diterjemahkan, ini berarti, tujuan-tujuan dari pemerintah (politik) tidak lagi mengacu
pada kesediaan dan kemampuan administrasi,
melainkan administrasilah yang
harus bekerja berdasarkan tugas-tugas strategis yang telah ditentukan oleh politik. Pengembangan informasi tentang dana dan produk kerja menjadi pedoman kerja. Dengan bantuan pedoman kerja atau garis-garis besar ini, adminsitrasi bisa dikendalikan dengan lebih baik. Dan ini berarti hubungan antara kalkulasi dana dan hasil kerja (output) telah tercipta. Dengan demikian tercipta pula transparansi biaya yang pada gilirannya bisa dijadikan landasan dasar bagi tanggung jawab terhadap biaya dan pengukuran kinerja di setiap departemen atau divisi. Syarat untuk itu adalah berfungsinya pengawasan (controlling) dan manajemen kontrak yang berorientasi pada hasil kerja (output). Satu masalah khusus pada proses pengendalian tata kerja administrasi yang berdasarkan pada output adalah masalah pengukuran output itu sendiri. Karena selain mengukur jumlah produk kerja yang telah dicapai (kuantitatif), juga harus dilakukan pengukuran kualitas produk kerja (kualitatif). Di negara-negara yang administrasinya tidak berorientasi pada pelayanan masyarakat, unsur kualitatif ini seringkali diabaikan – jika tidak mau dikatakan sama sekali tak ada. Karena itu penerapan upaya-upaya manajemen yang bertujuan meningkatkan mutu pelayanan – dalam kaitannya dengan kepuasan masyarakat – menjadi tantangan besar. d. Controlling Controlling bisa diartikan sebagai satu konsep terpadu guna mengendalikan administrasi secara efisien dan ekonomis – dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh politik. Untuk bisa berfungsi seperti ini, controlling harus menyediakan informasi yang dibutuhkan pada saat yang tepat. Pengadaan informasi disesuaikan dengan tingkat kebutuhan yang dimiliki manajemen politik atau pemerintah sebagai pihak perencana, dan administrasi sebagai pelaksana. Controlling mencakup semua fungsi yang bertujuan memperbaiki pengadaan informasi pada instansi-instansi di tingkat atas. Controlling juga menangani fungsifungsi tertentu , seperti mengenali kebutuhan akan informasi, pengadaan informasi, penyiapan dan penerapan praktis metode-metode analisa dan evaluasi, serta persiapan pengolahan informasi untuk perencanaan dan pengawasan hasil.
Oleh karena itu, Controlling lebih dari sekedar pengawasan. Ia merupakan upaya menyediakan informasi dengan tujuan mengendalikan sebuah proses. Controlling dibedakan atas controlling strategis (politik) dan controlling operasional (pelaksana, dalam hal ini administrasi), tergantung pada perspektif waktu, tingkat pemadatan informasi dan fungsinya bagi daerah. Controlling strategis merujuk pada tujuan dan perencanaan jangka panjang. Contohnya adalah model yang biasanya relatif abstrak, tetapi sangat penting bagi keseluruhan administrasi. Sebaliknya, controlling operasional diarahkan pada aktivitas sehari-hari dalam sebuah departemen atau divisi. Controlling ini sangat detail dan nyata dan juga mengandung tujuan jangka pendek. Memang controlling ini sangat penting bagi kinerja departemen, tapi biasanya tidak memiliki peran sentral dalam pengendalian administrasi secara keseluruhan. i.
Kalkulasi biaya dan produk kerja Controlling sebagai pendukung manajemen sangat tergantung pada kalkulasi biaya dan produk kerja. Dengan kalkulasi ini diharapkan biaya dan produk kerja bisa lebih transparan dan administrasi bisa mencari jalan alternatif yang ekonomis dalam melakukan kerjanya. Sistem kalkulasi dalam administrasi publik yang diterapkan selama ini – kalau benar-benar dilakukan secara serius dan tidak ditujukan untuk menutupi pengeluaran – tidak menciptakan transparansi dalam penyusunan biaya yang diperlukan untuk menghasilkan produk kerja. Paling jauh hanya dibuat kalkulasi pemasukan dan pemakaian uang. Kalau dibandingkan dengan kalkulasi ini, kalkulasi biaya dan produk kerja jelas lebih detail dan ada kejelasan menyangkut waktu (periode) pelaksanaan kerja, pekerjaan yang dilakukan serta hasil yang diraih. Faktor penting dalam penerapan sistem kalkulasi biaya adalah bahwa berbagai layanan kepada masyarakat umum dirumuskan sebagai produk – seperti halnya diuraikan dalam sub bahasan orientasi pada hasil kerja. Karena hanya dengan cara inilah biaya bisa dikalkulasi sesuai produk yang dihasilkan (kalkulasi biaya produk kerja) dan tidak lagi ditampilkan sebagai biaya secara umum. Yang termasuk kalkulasi biaya kerja adalah jenis biaya yang menunjukkan tipe biaya apa saja (biaya
personal, biaya barang, dls.) yang terpakai pada saat memproduksi kerja, kalkulasi biaya tempat, yakni biaya yang digunakan untuk keperluan tempat (bagian/divisi misalnya) dan kalkulasi biaya total, yakni kalkulasi yang menghimpun berbagai biaya untuk suatu produk kerja – dan dengan demikian menjadi dasar kalkulasi bagi harga pekerjaan yang dilakukan. Penerapan kalkulasi biaya kerja ini merupakan beban yang berat dalam administrasi publik karena untuk itu dibutuhkan perombakan cara berpikir dan hanya bisa diraih melalui proses belajar yang memerlukan waktu lama. Padahal instrument ini (kalkulasi biaya kerja) termasuk salah satu persyaratan terpenting dalam rangka meraih efisiensi dan membuat keputusan produksi yang tidak boros biaya. Di sini mungkin kalkulasi biaya administrasi bisa memainkan peran karena ia memberikan data tentang seberapa jauh produksi yang hendak diraih serta membantu secara strategis pada saat membuat keputusan tentang seberapa jauh produksi yang hendak dilakukan dalam adminsitrasi publik dan bidang apa saja yang kiranya bisa diserahkan pada pihak swasta untuk dikerjakan, karena dengan cara ini, biaya menjadi bisa ditekan. ii.
Laporan Unsur dari semua konsep controlling adalah adanya laporan. Keleluasaan yang muncul karena adanya desentralisasi dan delegasi harus dihubungkan dengan
kewajiban
membuat
laporan
bagi
mereka
yang
menerima
keleluasaan tersebut dan yang harus melaporkan kepada si pemberi order apa yang mereka lakukan dengan dana yang telah dipercayakan kepada mereka, dan apakah mereka benar-benar mencapai tujuan dan standar mutu yang telah ditetapkan sebelumnya. Instrumen pelaporan ini bertujuan untuk mengolah informasi yang dibutuhkan manajemen sesuai dengan kebutuhan. Laporan ini umumnya berisi indeks dan sistem indeks. Data-data ini biasanya disuplai melalui sistem kalkulasi biaya kerja. Karena itu diperlukan satu pendukung sistem melalui penghitungan. Itu artinya, bersamaan dengan laporan juga dilakukan kalkulasi biaya kerja dalam administrasi. Dalam instrumen laporan ini, ada tiga tipe laporan yang berbeda:
Pertama, apa yang disebut dengan laporan yang berorientasi pada produk. Tipe laporan ini dikaitkan dengan orientasi pada hasil kerja (output), yakni layanan jasa yang ditawarkan oleh administrasi publik yang dirumuskan sebagai
produk.
Laporan-laporan
yang
berorientasi
pada
produk
mendiskripsikan produk-produk tersebut dan sekaligus berfungsi sebagai landasan dasar bagi kalkulasi biaya produk. Jadi, laporan jenis ini merupakan jawaban
atas
pertanyaan:
“Biaya
apa
saja
yang
diperlukan
untuk
menghasilkan produk yang hendak dicapai tersebut?” Target kualitas dan jumlah apa saja yang telah direncanakan?” Di samping laporan-laporan ini juga dibuat laporan anggaran dengan pemanfaatan sepenuhnya anggaran dan pengembangan setiap jenis biaya. Jenis laporan ketiga adalah laporanlaporan yang berhubungan dengan situasi tertentu – di mana dilaporkan secara rinci tentang perkembangan di bidang-bidang tertentu. iii.
Penganggaran Metode perencanaan anggaran belanja yang diterapkan selama ini umumnya menjadikan angka-angka pada tahun sebelumnya sebagai pertimbangan untuk menentukan laporan dana baru mana yang akan diserahkan kantor atau departemen kepada administrasi keuangan pusat. Ini menyebabkan inovasi dalam pengelolaan dana tidak muncul dan produk yang dihasilkan pun tidak memadai karena tidak adanya fokus dalam penentuan sasaran. Penganggaran dalam konteks New Public Management berangkat dari metode arus balik. Di sini politik – atau pemerintah
dalam hal ini –
menetapkan semacam kerangka acuan bagi administrasi untuk menentukan anggarannya. Patokan anggaran yang ditetapkan secara top-down ini diperbandingkan dengan anggaran departemen yang dibuat secara bottomup, dan akhirnya baru dirundingkan suatu anggaran yang akan ditetapkan. Anggaran ini selanjutnya akan terus dialokasikan dalam sebuah departemen sehingga pada akhirnya setiap unit kerja mendapatkan anggaran untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dengan anggaran ini, unit kerja bisa membuat perencanaan sendiri – bagaimana ia menyelesaikan sebuah pekerjaan. Karena proses ini selalau berjalan dalam koridor persaingan (lihat benchmarking dan persaingan dengan pihak swasta), maka sasaran atau
tujuan unit kerja tersebut adalah membuat alokasi faktor sedemikian rupa sehingga dengan jumlah dana yang diperoleh bisa diraih hasil maksimal, atau dengan sasaran yang telah ditetapkan, dana dan/atau sumber daya yang digunakan hanya sedikit (minimax-system). e. Orientasi pada warga/pelanggan Intisari New Public Management berbunyi: ”Segala sesuatu yang tidak bermanfaat bagi warga adalah pemborosan.” Kalimat ini mengungkapkan bahwa administrasi bukanlah tujuan akhir, dan ia hanya punya satu tugas, yakni memberikan layanan kepada rakyat yang memang berhak mendapatkannya. Di beberapa negara pernah dikembangkan apa yang disebut “citizen charta” (piagam warga) yang merangkum hak-hak apa saja yang dimiliki warga sebagai pembayar pajak kepada negara. Ini artinya, warga tidak lagi dilihat sebagai abdi, melainkan sebagai pelanggan yang karena pajak yang dibayarkannya mempunyai hak atas layanan dalam jumlah tertentu dan kualitas tertentu pula. Jadi, negara dilihat sebagai suatu perusahaan jasa modern yang kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta, tapi di lain pihak, dalam bidang-bidang tertentu memonopoli layanan jasa, namun dengan kewajiban memberikan layanan dan kualitas maksimal sejalan dengan benchmarking dan administrasi-asministrasi publik lainnya. Sayangnya administrasi klasik lebih menganggap dirinya sebagai pembuat aturan yang bertugas mendisiplinkan warga dan layanan yang mereka tawarkan sangat sedikit – dan terutama sekali – mereka tidak diwajibkan untuk menciptakan mutu layanan yang baik. Selain itu, administrasi klasik tidak bersifat terbuka: ia menganggap warga yang ingin mewujudkan haknya sebagai faktor pengganggu. Di sini pendekatan New Public Management menciptakan kriteria yang sama sekali berbeda. Prinsip dalam New Public Management berbunyi: dekat dengan warga atau pelanggan, memiliki mentalitas melayani dan luwes, inovatif dalam memberikan layanan jasa kepada warga. Dengan demikian, tugas administrasi adalah menciptakan transparansi dan tercapainya layanan, memberdayakan personil dalam melayani masyarakat, serta
menciptakan kondisi yang berorientasi pada pelayanan. Tujuan ini harus diraih antara lain dengan langkah-langkah berikut: Memberikan informasi yang komprehensif secara aktif kepada warga tentang layanan jasa yang ditawarkan, sehinga warga bisa menilai layanan tersebut dan bisa memutuskan untuk menolak atau menerimanya. Membuat layanan bisa diraih secara mudah – baik dari segi waktu maupun tempat, yakni membuat tawaran yang desentral dan waktu buka layanan yang fleksibel. Memberikan pelatihan kepada personil (karyawan) administrasi publik sehingga memiliki keterampilan ketika berhadapan dengan pelanggan. Memperbaiki kualitas hubungan dengan warga dan upaya-upaya marketing – misalnya dengan cara melakukan pengecekan terhadap kepuasan pelanggan dan menyesuaikan tawaran layanan pada permintaan warga sebagai pelanggan. Dalam pelaksanaannya, sangat penting dilakukan dialog dengan warga, sehingga tindakan yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk itu langkah yang bisa diambil adalah melakukan semacam angket dan sarana yang secara efisien mengatur keberatan-keberatan masyarakat sebagai pelanggan. Dengan cara ini, selain kualitas layanan dan citra administrasi, juga bisa diketahui keinginan masyarakat atau masukan-masukan dari mereka. Akan tetapi, orientasi kepada pelanggan saja tidaklah cukup. Masyarakat sebagai pelanggan juga harus dibebaskan dari sikap yang terkadang terlalu tinggi harapannya kepada pemerintah, dan harus dijelaskan kepada mereka bahwa setiap layanan ada harga yang harus dibayar. Dan bahkan harga ini harus selalu dibayar: oleh warga secara pribadi (biaya administrasi) atau oleh orang lain (pajak), atau oleh generasi yang akan datang (hutang). Mengingat situasi keuangan yang ada di hampir semua administrasi publik, banyak dari mereka yang harus membuat keputusan untuk menghapus layanan-layanan administrasi dan menyerahkan layanan tersebut dikerjakan oleh pihak ketiga – karena layanan dari pemerintah tidak bisa lagi dibiayai. Hal ini hanya bisa didiskusikan dengan masyarakat – jika administrasi bisa menyebutkan harga layanan dan membuktikan harga ini dengan melampirkan hasil kalkulasi biaya kerja. Administrasi publik yang dekat dengan warga juga berarti mewujudkan transparansi tentang hal yang bisa dilakukan dan yang tak bisa dilakukan. Jika New Public
Management diterapkan, pemerintah harus kembali pada fungsi dasarnya (keamanan dalam dan luar negeri, hubungan luar negeri, jaminan aturan hukum, infrastruktur makro, perlindungan konstitusi, dsb.), dan begitu pula dengan pemda atau pemkot (jaminan penyediaan kebutuhan dasar, pembuangan sampah, pemanfaatan wilayah, perencanaan daerah, dsb.).4 Administrasi publik harus benarbenar kuat dalam bidang-bidang ini, dan harus membuat layanan yang dapat dipercaya. Layanan-layanan lain lebih banyak dikelola oleh pihak swasta – dan tentu saja harus dibayar kepada mereka atau dikelola sendiri oleh rukun warga (RW) atau rukun tetangga (RT). Jelaslah di sini bahwa orientasi kepada warga itu tidak hanya dilihat dalam hubungan antara si pemberi dan pengguna layanan, melainkan warga sendiri memiliki fungsi dalam membuat layanan untuk mereka sendiri. f. Personalia Personalia merupakan faktor kunci bagi suksesnya sebuah proses modernisasi. Modernisasi administrasi publik hanya akan berhasil apabila potensi sumber daya manusia dimanfaatkan secara maksimal, atau – jika ada kekurangan di bidang ini – memperbaiki sumber daya manusianya (human capital). Dalam proses modernisasi penting sekali melibatkan karyawan, karena tanpa itu hanya akan dicapai ketidakpastian dan seringkali sikap penolakan (boikot) yang merintangi pelaksanaan reformasi. Di sini harus ditentukan sedini mungkin tujuan-tujuan yang jelas untuk menyadarkan makna modernisasi kepada karyawan dan juga untuk menunjukkan keuntungan apa saja yang mereka miliki dengan adanya tujuan yang jelas tersebut. Untuk membentuk manajemen personalia yang sukses, harus diambil beberapa langkah berbeda. Langkah yang paling utama adalah upaya ofensif dalam meningkatkan kualifikasi karyawan. Langkah ini berupa pendidikan dan pelatihan – guna meningkatkan pengetahuan di bidang ekonomi perusahaan, manajemen dan komunikasi. Jadi, perlu dilakukan investasi terarah kepada peningkatan kompetensi keahlian dan sosial para karyawan. Langkah-langkah ini terutama sekali perlu dilakukan di negara-negara di mana proses menjadi karyawan dalam kantor publik tidak berdasarkan kualifikasi dan realibitas karyawan, melainkan melalui nepotisme atau cara-cara politis.
Pertanyaan yang sering dilontarkan – yakni apakah New Public Management baru bisa diterapkan apabila ada birokrasi seperti yang dimaksud Weber (birokrasi Weberian), mungkin bisa dijawab seperti ini: memang birokrasi seperti ini memudahkan implementasi New Public Management, tapi kita tidak harus bertitik tolak pada satu prasyarat. Karenaa birokrasi Weberian itu tidak mengenal prinsip efisiensi dan efektivitas dalam jawatan publik; padahal dua hal ini merupakan tujuan utama dari New Public Management. Hal yang penting dalam pendekatan ini adalah penerapan metode-metode dan instrumen-instrumen kerja yang menciptakan iklim di mana prinsip-prinsip New Public Management bisa tumbuh subur. Salah satu metode itu adalah teamwork sebagai ganti dari metode pembagian kerja yang tumpang tindih; organisasi yang bersifat vertikal (sejajar) sebagai ganti model hirarki; manajemen proyek sebagai ganti prinsip pekerja khusus (Sachbearbeiterprinzip), keahlian yang bersifat umum sebagai ganti pengetahuan yang hanya menjurus pada satu bidang tertentu; kerangka acuan sasaran sebagai ganti pengendalian melalui aturan dan hal-hal yang detail, jaringan pengolahan data (EDV) sebagai ganti pencatatan setiap aktivitas dan pembayaran upah berdasarkan prestasi kerja sebagai ganti prinsip penyediaan (Versorgungsprinzip). Prinsip-prinsip manajemen ini di banyak negara berbenturan dengan bentuk kerja praktis – dan terutama sekali dengan undangundang kerja – dan dengan mentalitas para karyawan dalam jawatan publik yang menganggap diri mereka memiliki semua keistimewaan sebagai pegawai negeri. g. Teknik informasi Prinsip-prinsip manajemen yang telah diuraikan di atas beserta seluruh bentuk pengendalian membutuhkan suatu sistem informasi yang sempurna. Penggabungan informasi dan komunikasi yang cepat, pemadatan data untuk pengendalian dan kemungkinan mengakses kumpulan data guna memenuhi keinginan pelanggan. Semua itu membutuhkan jaringan alat pengolahan data sehingga pekerjaan bisa dilakukan dengan cepat, dan, terutama sekali bisa dipercaya. Tanpa teknik informasi dan komunikasi yang menggunakan jaringan struktur klien/server, unit-unit yang bekerja secara desentral tidak bisa dikendalikan, dan tidak mungkin pula membuat pengolahan data klien yang memuaskan. Hanya
dengan teknologi seperti ini varian one-stop-shop5 dalam berhubungan dengan klien (masyarakat) bisa terjamin. Karena bentuk ini memastikan karyawan bisa menggunakan pengetahuan administrasinya, dan melalui buku-buku panduan organisasi digital dimungkinkan melakuan layanan jasa di bidang administrasi tanpa harus tergantung pada waktu dan tempat. h. Manajemen kualitas Setiap produk – termasuk pekerjaan yang mengiringi produk tersebut – memiliki sejumlah ciri yang bisa dibedakan. Pada awalnya kualitas adalah sekumpulan karakter sebuah barang atau jasa yang menunjukkan tingkat keterpakaiannya (“pendekatan kualitas yang berorientasi pada produk”). Tapi kemudian dipastikan bahwa ada produk yang menunjukkan semua karakter yang direncanakan, namun tidak diminati pembeli. Jadi, ternyata, masalahnya bukan terletak pada karakter barang, melainkan bagaimana pelanggan menilai kualitas produk tersebut. Kriteria-kriteria berikut sangat menentukan penilaian (subyektif) pelanggan: Produk harus sesuai dengan tuntutan dan tujuan penggunaan yang direncanakan. Di samping itu kualitasnya harus sangat tinggi sehingga ia menjadi pertimbangan si pelanggan dalam memutuskan untuk membeli produk tersebut atau tidak. (penilaian kualitas secara selektif). Harga dan kapasitas produk harus tidak jauh berbeda dari produk yang dijadikan perbandingan oleh pelanggan (penilaian kualitas secara relatif). Makin dekat produk yang ditawarkan dengan tuntutan-tuntutan ini makin besar pula kemungkinan munculnya permintaan pelanggan akan produk tersebut (“pendekatan kualitas yang berorientasi pada pelanggan”). Sayangnya tuntutan pelanggan akan kualitas produk jarang sekali ditentukan secara jelas. Ini berarti pihak penawar produk harus mengenali harapan-harapan pelanggan – yang sering tak dinyatakan tersebut – dengan cara mengambil tindakan yang sesuai, dan kemudian menarik kesimpulan yang benar serta membuat pengamatan secara terus menerus. Pendekatan kualitas yang ketiga (“pendekatan kualitas yang berorientasi pada nilai”) tampaknya penting bagi administrasi publik, khususnya pada kasus-kasus di mana ia tidak harus bersaing dengan pihak swasta dan bisa menawarkan layanan – yang karena alasan politik tidak dipungut biaya (contohnya pengendalian lalu lintas,
sekolah). Di sini adminsitrasi publik tidak bisa semata-mata mengikuti cara pandang pelanggan. Karena pelayanan yang seperti ini harus melewati proses saringan dalam produksinya, yakni menyangkut biaya pengadaan dan sasaran yang hendak dicapai pemerintah (outcome). Dalam New Public Management, persaingan dan perbandingan layanan berfungsi sebagai asas dasar peningkatan nilai. Sejalan dengan sejarah, filosofi dan organisasi kebijakan perusahaan yang diarahkan pada kepuasan klien secara optimal telah pula berubah. Perkembangan perubahan organisasi yang berlangsung dalam tiga tahap ini bisa dilukiskan sebagai berikut: Konsep “manajemen mutu” lama menekankan pada pengawasan akhir dari produk yang dihasilkan. Pengujian dilakukan oleh bagian tersendiri, yakni bagian “pengawasan mutu”. Apabila terjadi penyimpangan mutu, hal ini diatasi dengan segera (menyortir produk yang tidak sempurna, menambah yang kurang), atau dilayani kemudian, yakni pada pelayanan purnajual (layanan garansi). Sebenarnya produk-produk
perusahaan
Jepanglah
yang
telah
menyebabkan
terjadinya
perubahan orientasi pada pengamatan mutu yang berorientasi pada proses. Tujuannya adalah untuk mengganti proses pengujian yang banyak memakan biaya dengan realisasi level kualitas yang dikehendaki selama proses produksi layanan. Agenda di balik ini adalah bahwa setiap karyawan punya andil dalam menentukan kualitas – dan karenanya ikut memikul tanggung jawab. Konsep-konsep terbaru juga mempertimbangkan seluruh sistem – dan dengan demikian seluruh potensi sebuah organisasi.
Dimensi potensi ini
mencakup syarat-syarat layanan menyangkut
barang, personil dan organisasi dari seorang penawar. Selain itu hasil kerja dari pihak lain juga ikut dipertimbangkan. Faktor lain yang ikut pula diperhatikan adalah meningkatnya pernyataan-pernyataan tentang dampak kerja administrasi (efektifitas, outcome). Jadi fokusnya telah mengalami perubahan, bukan lagi pada upaya menghilangkan kesalahan melainkan menghindari kesalahan. Dalam literatur, fenomena ini dibahas dengan tajuk quality management atau total quality management. Manajemen mutu berarti: administrasi melakukan segala sesuatunya dalam rangka mengorganisasikan proses-proses produksi, standar dan sumber daya bersama para staf manajemen dan karyawannya. Tujuan pengorganisasian ini adalah agar
administrasi merespon kebutuhan-kebutuhan warga/klien yang masih legitim selama proses produksi kerja/layanan. Perkembangan ini belum tertanam dalam pikiran para karyawan. Tampaknya kualitas masih saja diputuskan pada produk, bukan pada kebutuhan pelanggan. - Kriteria dan standar untuk pengukuran kualitas: Kriteria apa saja yang diperlukan untuk mengukur kualitas dalam administrasi publik, dan standar apa saja yang harus dicapai melalui kriteria tersebut? Kriteria:
Tidak kehilangan waktu
Standar:
waktu tunggu maksimal Pemberitahuan antara dalam x hari Waktu tunggu maksimal di telepon Lama proses maksimal dalam hari
Kriteria:
Reliabilitas layanan
Standar:
Kuota kesalahan yang boleh muncul x % Pencapaian andil x % dari kelompok sasaran
Kriteria:
Ketepatan informasi
Standar:
Instruksi di atas kertas Tawaran konsultasi, hearing
Kriteria:
Kemungkinan memilih
Standar:
pilihan antara komunikasi personal, per telepon dan tertulis Sistem penerangan teknis Tawaran bantuan pada saat pemohonan
Kriteria:
Lingkungan yang positif
Standar:
Ruang tunggu dan tempat duduk untuk x % Jarak yang maksimal dari lalu lintas umum Tempat parkir untuk setiap pengunjung dari luar Jarak maksimal (antara tempat tinggal warga dengan kantor terdekat)
Kriteria:
Karyawan yang ramah, suka membantu
Standar:
Setidaknya pernah ditatar cara-cara berinteraksi dengan warga Saling membantu jika dibutuhkan Menyapa klien dengan nama
Kriteria:
Kenyamanan pelayanan
Standar:
Waktu buka Bersedia menelpon kembali Tawaran konsultasi
Kriteria:
Membuat layanan yang kompeten
Standar:
Memiliki karyawan yang cukup Punya akses ke atasan Tawaran pelatihan (pendidikan lanjutan) dan manfaatnya Meminta alasan untuk keputusan yang diambil
4. Pengaktifan struktur baru Reformasi administrasi tidak berhenti pada upaya perubahan struktur atau penciptaaan struktur baru. Struktur yang telah diubah atau struktur baru yang telah diciptakan itu harus diaktifkan, dan untuk itu harus ditemukan motor penggeraknya yang memotivasi karyawan untuk membuktikan produktivitas kerja dan kemampuan inovasi mereka dan untuk bertugas di administrasi publik. Penerapan instrumeninstrumen ekonomi perusahaan dalam administrasi publik tidak cukup untuk menjamin efisiensi dan efektifitas yang lebih tinggi. Tekanan untuk menciptakan efisiensi hanya bisa muncul bila sistem persaingan yang diterapkan berjalan dengan baik. Persaingan ini menghasilkan kemungkinan perbandingan antara yang bertanggung jawab pada produk dan anggaran – yang dampaknya adalah tekanan kepada pihak penawar layanan untuk selalu mengoptimalkan kerjanya. Seringkali masalah yang timbul pada implementasi persaingan di bidang administrasi publik adalah tidak adanya pasar bagi produk yang mereka tawarkan; terlebih
administrasi
publik
seringkali
memonopoli
layanan.
Ditambah
lagi
keberadaan administrasi tidak terancam secara langsung – walaupun ada pasar untuk produk-produknya, kecuali jika politisi yang berkuasa cukup radikal menarik administrasi publiknya sendiri dari pasar jika ia tidak bertahan di sana. Dengan menerapkan model-model persaingan, diharapkan tercipta kondisi yang sedikit banyak
memiliki
karakter
kompetisi,
misalnya
melalui
perbandingan
intra-
administratif menyangkut kinerja dan perbandingan dengan perusahaan swasta.
a. Penerapan asas persaingan i. Benchmarking Benchmarking muncul pertama kali dalam ekonomi industri. Gagasan yang mendasarinya adalah memiliki standar untuk kualitas hasil kerja sendiri. Yang menjadi alat ukur adalah biaya dan kinerja perusahaan atau divisi lain dengan aktivitas serupa. Di samping informasi tentang kualitas pekerjaan sendiri, perbandingan kinerja juga memberikan peluang untuk belajar. Dalam melakukan perbandingan ini penting sekali melakukan analisa terhadap aktivitas penawar yang lain. Apa yang berbeda pada produk mereka? Apa yang dapat kita pelajari dari hal itu? Instrumen benchmarking sudah diterapkan sejak bertahun-tahun dalam perusahaan swasta. Karena itu wajarlah kalau muncul pertanyaan apakah instrumen ini bisa digunakan juga dalam administrasi publik. Pertanyaan ini perlu disambut karena banyak layanan sama yang dihasilkan administrasi. Bahkan
pelaksanaan
benchmarking
dalam
administrasi
publik
ada
keuntungannya karena di satu sisi tidak ada tekanan untuk bersaing dan karenanya pemerintah daerah sampai tingkat terkecilnya (kelurahan) bisa menginformasikan jauh lebih terbuka tentang metode produksi dan biaya mereka. Tapi di sisi lain, tidak adanya kalkulasi biaya di banyak administrasi membuat lebih sulit mendapatkan data-data yang benar-benar komparatif. Pada prinsipnya ada tiga langkah yang harus ditempuh untuk melakukan benchmarking: 1. Definisi layanan dan biaya yang hendak diperbandingkan 2. Pencatatan data-data yang diperbandingkan 3. Perbandingan hasil-hasil dan interpretasinya Kesulitan pertama muncul di saat mendefinisikan layanan dan biaya yang hendak
diperbandingkan.
Tidak
setiap
administrasi
(pemda/pemkot)
menawarkan layanan yang sama meskipun nama produk atau layanannya sama. Pada layanan pembersihan jalan misalnya, kinerja yang hendak diperbandingkan harus dibatasi dengan pasti. Di sini – misalnya – perlu diuji apakah layanan pembersihan juga mencakup pemeliharaan elemen-elemen dekorasi
–
seperti
pohon-pohon
dan
semak-semak,
atau
apakah
pengosongan tong sampah termasuk di dalamnya atau tidak. Selain itu,
indikator-indikator untuk kondisi umum yang penting harus ikut diperhatikan juga. Pembersihan jalan sepanjang satu kilometer di sebuah kampung yang terletak di gunung tidak sama dengan pembersihan jalan di kampung di daerah datar. Biaya
pencatatan
data-data
untuk
perbandingan
tergantung
pada
manajemen administrasi. Apabila administrasi sebelumnya sudah pernah bekerja dengan elemen-elemen kalkulasi biaya, maka keterangan yang diperlukan umumnya sudah ada. Administrasi yang sebelumnya tidak melakukan itu akan membutuhkan biaya tambahan untuk mencari datadata tersebut. Ketika melakukan perbandingan hasil – bagian terpenting dalam benchmarking – bisa dibandingkan nomor indeks. Untuk layanan pembersihan jalan misalnya, indeksnya adalah biaya total pembersihan jalan per kilometer atau biaya total per kilometer dalam seluruh jaringan jalan. Hasilnya kemudian bisa dijadikan patokan untuk memposisikan desa kita dalam perbandingan dengan desa lain. Akan tetapi, perbandingan kinerja bukan bertujuan untuk membuat semacam daftar ranking. Yang lebih penting adalah belajar bagaimana desa lain membuat layanan serupa – yang dapat diproduksi dengan biaya yang
lebih
rendah.
Menurut
berbagai
pengalaman,
hasil-hasil
benchmarking harus didiskusikan secara intensif agar kondisi umum (topografi,
tuntutan
akan
mutu,
alat-alat
mesin
yang
ada)
bisa
dinterpretasikan dengan benar. Perbandingan kinerja antara berbagai administrasi merupakan instrumen yang ideal untuk mengoptimalkan dampak dari aktivitas pemerintah. ii. Persaingan dengan pihak swasta Ilmu
ekonomi
terus
membuktikan
bahwa
persaingan
mendorong
peningkatan kinerja, tapi tidak ada bukti yang menyebutkan bahwa industri swasta lebih produktif dari administrasi publik. Namun, banyak politisi berasumsi bahwa kinerja industri swasta lebih unggul. Lalu seringkali mereka menganggap privatisasi sebagai cara yang teruji khasiatnya dalam rangka mengatasi masalah dalam administrasi publik. Tapi asumsi ini tidak tepat apabila monopoli pemerintah selama ini diubah menjadi monopoli
swasta. Karena itu istilah privatisasi tidak tepat digunakan di sini. Sebenarnya yang harus dibicarakan adalah menciptakan persaingan (pihak pemerintah membuat tender umum untuk suatu layanan, misalnya penyediaan air bersih). Apabila persaingan seperti ini diciptakan, maka tidak penting lagi apakah administrasi menjadi bagian dari persaingan atau tidak, selama tidak ada subsidi untuk mengaktifkan persaingan tersebut. Untuk
menjawab
pertanyaan
apakah
perusahaan
swasta
bisa
menawarkan jasa yang lebih murah, bisa digunakan metode tender untuk aktivitas administrasi publik. Tujuannya adalah untuk mencari penawar yang kompeten – yang bisa menghasilkan layanan jasa yang selama ini dikerjakan administrasi pemerintah dalam bentuk dan waktu yang diinginkan, dengan biaya serendah mungkin. Mitra seperti ini juga bisa berasal dari dalam organisasi pemerintah sendiri, artinya dari satu unit organisasi (divisi). Jadi, masalah yang dijawab di sini adalah masalah “make or buy”. Pemberi jasa publik tidak perlu khawatir terhadap persaingan seperti ini. Di Inggris misalnya, metode tender umum untuk sebagian besar layanan publik merupakan suatu kewajiban yang diatur UU. Di sana 80% dari semua tender dimenangi oleh penawar dari pemerintah. Apabila tender ini berakhir dengan pemberian order kepada pemberi jasa dari luar, maka ini disebut contracting out. Pemberian tender ini dilakukan dalam bentuk perjanjian antara pihak pemerintah dan perusahaan jasa yang di dalamnya mencantumkan kerja yang hendak dicapai dengan ukuran kerja yang jelas. Pihak penawar secara langsung menyuplainya kepada klien (warga). Namun, tanggung jawab secara keseluruhan dan pengawasan mutu tetap berada di tangan administrasi publik atau pemerintah. Dengan dikerjakannya order oleh pihak swasta, berarti beban pemerintah berkurang, tapi di lain pihak muncul pekerjaan tambahan, yakni dalam hal mengendalikan layanan tersebut secara keseluruhan. Bentuk lain dari praktek pemberian pelayanan kepada publik bisa terlihat sebagai berikut: administrasi publik atau pemerintah tetap menjadi pihak
yang memberikan layanan, tetapi beberapa bagian dari pekerjaan untuk layanan yang akan ditawarkan (misalnya penyedian air bersih) ditangani pihak swasta (tanggung jawab untuk perlegkapan); atau melibatkan pihak swasta dalam pengadaan modal dan tempat produksi (Public Private Partnership). Meskipun pelibatan pihak swasta – yang berarti terciptanya persaingan – ada risikonya, tapi pengalaman-pengalaman internasional menunjukkan bahwa perluasan persaingan secara wajar melalui tender terbuka sebagai instrumen pengendalian – mungkin menjadi langkah terpenting dalam rangka meningkatkan orientasi pada warga dan penghematan anggaran. 5. Realisasi tindakan dan implementasi New Public Management tidak memiliki teori yang menyeluruh dan umumnya didasari pada pengalaman-pengalaman empirik hasil eksperimen yang bertujuan membuat administrasi publik menjadi lebih baik dan lebih efisien. Tujuan ini bukan ditunjang pada keyakinan bahwa pemerintah (administrasi publik) akan bekerja lebih baik dan lebih cepat, tetapi karena kekurangan dana: jadi bekerja secara efisien dan lebih baik adalah keniscayaan bagi administrasi publik. Tidak ada buku pedoman untuk penerapan New Public Management yang menjamin kesuksesan jika ia direalisasikan secara konsisten. Berhasil atau tidaknya New Public Management akan sangat tergantung pada kehendak politik dari semua yang terlibat. Itu syarat pertama. Jika syarat ini terpenuhi, harus dibuat analisa khusus terhadap situasi, dan dalam analisa inilah ditaksir kelebihan dan kekurangan serta risiko-risiko yang mungkin timbul – di saat dilakukan perombakan ke arah administrasi publik yang modern, atau risiko-risiko yang memang sudah ada. Ini merupakan situasi klasik yang menjadi titik tolak untuk mengembangkan strategi. Tanpa strategi seperti ini, implementasi biasanya tidak akan berhasil, dan akan mandek di tengah jalan. Lalu, hasilnya pun akan lebih buruk dari kondisi yang pernah ada sebelumnya. Di
lain
pihak,
ketidakpuasan
warga
terhadap
efisiensi
administrasi
atau
penyelenggaraan pemerintahan dan tuntutan dari pihak donatur internasional serta
mitra memaksa penyelenggara pemerintah mengkaji tema “Good Governance” ke satu arah yang mendorong terciptanya peningkatan dan perbaikan kinerja – yang pada gilirannya menghalangi terjadinya penyalahgunaan dana dan mengakhiri pemborosan dana. Dengan penerapan New Public Management, praktek-praktek seperti korupsi dan nepotisme pasti bisa ditemukan dan dihentikan sejak dini. Pada saat yang sama, melalui pembatasan tanggung jawab yang jelas, mereka yang melakukan kesalahan bisa diminta pertanggungjawabannya. Dengan demikian, New Public Management sangat perlu diterapkan – meski itu menuntut pekerjaan yang tak ringan.
Daftar bacaan Aberbach, Joel y Rockman, Bert (1999) “Reinventar el Gobierno:Problemas y Perspectivas” En: Gestión y Análisis de Politicas Públicas, No.15, INAP, Madrid Mayo/Agosto Allen, R. (1999) “New Public Management:’ Pitfalls for Centrals and Eastern Europe.” Public Management Forum 1(4). Aucoin, Peter (1996). “Operational Agencies: From Half-Hearted Efforts to FullFledged Government Reform.” Choices: Institute for Research on Public Policy, 2(4). Batley, R. 1999. The Pole of Government in Adjusting Economies: An Overview of Findings, International Development Department, University of Birmingham, Birmingham, Alabama. Boston, J. 2000. “The Challenge of Evaluating Systemic Change: The Case of Public Management Reform.” Paper prepared for the IPMN Conference “Learning from Experiences with New Public Management,” Macquarie Graduate School of Management, March 4-6, Sydney. Castaneda, T. 1997. “Health Sector Reforms in Chile: Deconcentration of Hospital Services and Decentralization of Primary Health Care.” Paper prepared for HDD, World Bank.
CLAD (1998) “Una Nueva gestión pública para América Latina”, Caracas: CLAD Dunleavy, P., and C. Hood 1994. “From Old Public Administration to New Public Management.” Public Money and Management (July – Sept.): 9-16. Echebarria, Koldo (1994) “La administración pública en la era del management” En: Barcelona Management Review. Barcelona Vol.1 (2000) “Reivindicación de la reforma administrative: significado y modelos conceptuales”. En: Revista de CLAD Reforma y democracia. Cracas No. 18. Flynn, N. and S. Pickard. 1996. Markets and Networks: Contracting In Communitz Health Services. Buckingham, DK: Open University Press. Harding, A. and A. Preker, eds. 1999. Innovations in Health Service Delivery: Corporatization in the Hospital Sector. New York: Oxford University Press. Hood, C. 1991. “ A Public Management for All Seasons?” Public Administration, 69 (Spring): 3-19. James, O. and N. Manning. 1996. “Public Management Reform: A Global Perspecitve.” Politics 16(3): 143-149. Kelly, J. and J. Wanna. 2000. “ Are Wildavsky’s Guardians and Spenders Still Relevant? NPM and Budgetarz Politics.” In: L. Jones, J. Guthrie and P. Steane, eds., Learning from International Public Management Reform. London: Elsevier-Oxford Press. Laufer, Romain y Alain Burlaud (1989).Dirección pública : gestión y legitimidad. Madrid: Instituto Nacional de Administración Pública. Kernaghan, K. 2000. “The Post-Buereaucratic Organization and Public Service Values.” International Review of Administrative Sciences 66(1): 91-104. Manning,N., R. Mukherjee, et al. 2000. “Public Officials and Their Institutional Environment: An Analytical Model for Assessing the Impact of Institutional Change On Public Sector Performance.” Policy Research Working Paper No. 2427. World Bank, Washington, D.C.
Miller, P. 1996. “Dilemmas of Accountability: The Limits of Accounting.” In P.Hirst And S.Khilnani, Eds., Reinventing Democracy. Oxford: Blackwell. Minogue, M. 1998. “Changing the State: Concepts and Practice in the Reform of the Public Sector.” In C.Polidano, M.Minogue and D.Hulme, eds., Beyond the New Public Management: Changing Ideas and Practices in Governance. Cheltenham, UK: Edward Elgar. Mintzberg, Henry (1996) “Managing Government, Governing Management”. In: Havard Business Review. Boston. Peters, B. G. 1998. “Governance without Government: Rethinking Public Adminstration.” Journal of Public Administration Research and Theory, 8(2): 223-243. Peters, B.G. 1996. The Future of Governing: four Emerging Models. Lawrence, KS: University of Kansas Press. Peters, B.G. and D. Savoie. 1994. “Civil Service Reform: Misdiagnosing the Patient.” Public Administration Review, 54(5). Polidano, C. 1999. “The New Public Management in Developing Countries.” Institute For Development Policy and Mangagment, University of Manchester, Manchester. Pollitt, C. 1993. Managerialism and the Public Services. Oxford: Blackwell. Pollitt, C., J. Birchall, et all. 1998. Decentralising Public Service Management. Hampshire, UK: MacMillan. Romzek, B.S. 2000. “Dynamics of Public Sector Accountability in an era of Reform.” International Review of Administrative Sceinces, 66 (1): 21-44. Schick, A. 1996. The Spirit of Reform: Managing the New Zealand State Sector in a Time of Change. Wellington, New Zealand: State Services Commission. Schwartz, Herman (1994) Public Choices Theory and Public Choices. Bureaucrats And State Reorganisation in Australia, Denmark, New Zealand and Sweden in the 1980s”. In: Administration and Society, Newbury Park. Vol. 26, No.1. Scott, Graham and Taylor, Irene. 2000. “Autonomous Public Organisations in Thailand”. Victoria Link mimeo. Wellington, New Zealand.
1
CLAD’s DOCUMENT: A New Puclic Management for Latin America, (1998), Latin American Centre for Development Administration: http://unpan1.un.org/introdoc/groups/public/document/clad/unpan000163.pdf 2
Studi komparatif tentang penerapan New Public Management: Norman Flynn dan Franz Strehl (1996), Public Sector Management in Europe, Prentice Hall, London; Kettl, Donald (1998), A revulacao global: reforma da administracao do sector público”, dalam: Reforma do Estado Administracao Pública Gerencial, Fundacao Getúlio Vargas, Rio de Janeiro; Allen R. (1999) ”New Public Management: Pitfalls for Central ans Eastern Europe.” Public Management Forum 1 (4); Batley, R. (1999) “The Role of Government in Adjusting Economies: An Overview of Findings.” International Development Department, University of Birmingham, Birmingham, Alabama; 3 Lihat juga bab tentang prasyarat untuk implementasi New Public Management dan tuntutan birokrasi anjuran Weber. 4 Tendensi konsentrasi atas wewenang dasar ini dilukiskan sebagai penciptaan Lean State 5 One-Stop-Shop: sarana administrasi yang bertujuan untuk melayani secara menyeluruh warga yang hendak menyelesaikan urusan administrasi dengan satu karyawan dan di satu kantor. Ini artinya, orang yang bersangkutan tidak perlu lagi pergi ke kantor yang berbedabeda untuk menyelesaikan urusannya, misalnya untuk izin kendaraan bermotor, pembayaran biaya tertentu dan tuntutan akan layanan jasa sosial. Semuanya diurus di satu tempat (kantor) oleh seorang karyawan.