REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Vol. 5, No. 2, 2015
PENERAPAN PRINSIP PRINSIP NEW PUBLIC MANAGEMENT DAN GOVERNANCE DALAM REFORMASI ADMINISTRASI Mohammad Akbar Program Doktor Administrasi Publik, Universitas Brawijaya,Jl. Veteran Malang Email:
[email protected]
Abstract: The successful application of New Public Management (NPM) at some developed countries has cleared path for perpetual promotion of NPM doctrines into developing countries. Privatization is a doctrine in which the service delivered by the government shall be shifted to the hands of private agents. Debureaucratization is considered as superior because it promises performance improvement if compared to classical public administration. The government of Indonesia starts to acquaint with Reinventing Government since the end of 1990s. The most obvious implementation is the application of decentralist governmental system based on Law No. 22 of 1999 about Local Government which is then amended into Law No. 32 of 2004. New Public Management (NPM) is an important concept and also a significant issue in the public sector reformation. This concept concerns with the problems found in the management of performance at public sector because performance measurement is one of main principles of NPM. The movement of NPM starts from developed countries in European and it has gone far into a global movement such that many developing countries are inspired by the global distribution of this concept. Research attempts to describe New Public Management (NPM), New Public Service (NPS), and Governance in public administration. What will happen with other paradigms after the emergence of New Public Management is also explained. The application of New Public Management and problems behind this application are elucidated. Few illustrations are also given about the difference between Old Public Administration, New Public Management, and New Public Service. The objective of this research is to explain the development and application of New Public Management in public administration / governmental organizations in order to create good governance in decentralization area or wide local autonomy. Keywords: New Public Management (NPM), New Public Services (NPS), Governance, Public Service Abstrak: Keberhasilan New Public Management (NPM) di negara-negara maju, mengakibatkan terjadinya promosi secara terus-menerus doktrin-doktrin NPM di negara-negara berkembang. Doktrin privatisasi, mengalihkan bentuk pelayanan yang selama ini ditangani oleh pemerintah dipindahkan ke tangan agen-agen swasta. Doktrin debirokratisasi, diyakini memiliki keunggulan karena lebih menjanjikan peningkatan kinerja dibandingkan dengan doktrin administrasi publik www.jurnal.unitri.ac.id 1
REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Vol. 5, No. 2, 2015
klasik. Pemerintah Indonesia mulai mengenal Reinventing Government sejak akhir tahun 1990-an. Implementasi yang paling nyata adalah pemberlakuan sistem pemerintahan yang desentralistis melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Konsep New Public Management (NPM) merupakan isu penting dalam reformasi sektor publik. Konsep NPM juga memiliki keterkaitan dengan permasalahan manajemen kinerja sektor publik karena pengukuran kinerja menjadi salah satu prinsip NPM yang utama. Gerakan NPM pada awalnya terjadi di negara-negara maju di Eropa, akan tetapi pada perkembangannya konsep NPM telah menjadi satu gerakan global, sehingga negara-negara berkembangpun juga terkena pengaruh penyebaran global dari konsep ini. Dalam tulisan ini dibahas bagaimana paradigma New public management (NPM), New Public Service (NPS), dan Governance dalam administrasi publik, khususnya tentang munculnya konsep New Public Management, penerapan, permasalahan dalam penerapannya dan juga sedikit memberikan gambaran secara umum perbedaan antara Old Public Administration, New Public Management dan New Public Service. Adapun yang menjadi tujuannya adalah menjelaskan perkembangan dan bagaimana penerapannya dalam administrasi publik / organisasi pemerintah khususnya dalam rangka menciptakan good gevernance di era desentralisasi atau otonomi daerah yang luas. Kata Kunci : New Public Management (NPM), New Public Services (NPS), Governance, Pelayanan Publik. Pendahuluan Di tengah-tengah semakin berat dan kompleksnya tantangan bangsa Indonesia menghadapi era global saat ini, mengedepankan pembaharuan, pemikiran-pemikiran yang inovatif dan produktif pada lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah merupakan langkah dan sikap yang tepat serta patut mendapatkan dukungan dari semua komponen masyarakat. Dengan kata lain “Reformasi Administrasi” di Indonesia harus sesegera mungkin menjadi pilihan para penyelenggara pemerintahan baik pusat maupun daerah guna mewujudkan good governance, pemerintahan yang bersih, sehat, dan berwibawa. Pemerintahan Daerah, dalam hal ini kepala daerah sangatlah dekat dengan politik dan administrasi publik. Terlebih lagi pada sistem pemilihan kepala daerah secara langsung seperti sekarang, kedekatan kepala daerah pada aspek politik semakin kuat, karena posisinya sebagai penanggung jawab administrasi dan manajemen pemerintahan daerah. Oleh karena itu sangat diperlukan kemampuan teoretis dan praktis sebagai kepala daerah dalam menerapkan pendekatanpendekatan baru dalam administrasi publik. Kepala daerah dituntut dapat memadukan secara serasi demokrasi dan administrasi publik. Hal ini merupakan tantangan yang besar, seperti yang dikatakan oleh Kenneth J. Meier dan Laurence O‟Toole Jr (2006), bahwa ..”one of www.jurnal.unitri.ac.id 2
REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Vol. 5, No. 2, 2015
the most important and persisting challenges of modern government is how to reconcile the demans of democracy with the imperatives of bureaucracy”. Pada tahun 1980-an berbagai pemikiran muncul untuk memperbarui birokrasi dan menyesuaikannya dengan perkembangan teknologi khususnya teknologi informasi dan ekonomi khususnya globalisasi yang sangat mengurangi peran negara dan makin menonjolkan peran dunia usaha, dan menerapkankan sisem kompetisi yang sehat. Kemudian berkembanglah pemikiran-pemikiran yang berpengaruh pada perkembangan konsep administrasi publik, misalnya Reinventing Government (Osborn dan Gaebler 1992) dan New Public Management (Hood 1989). Gagasan New Public Management (NPM) pada dasarnya ingin “membebaskan” para manajer publik dari kekangan aturan-aturan birokratik dan kontrol administrasi sehingga dapat menjalankan tugas dengan leluasa.. Dengan cara demikian maka manajer publik dapat memanfaatkan seluruh potensi dan kompetensi yang dimiliki guna menghasilkan secara maksimal produk, baik barang maupun jasa untuk layanan publik. Perspektif utama dari pandangan NPM ini adalah warga negara atau masyarakat dipandang atau diperlakukan sebagai konsumen yang mempunyai akal, pikiran, kehendak, dan pilihan atau rationalchoice, tidak berbeda dengan pendekatan public-choice pada disiplin ilmu ekonomi. Dan tidak lagi sebagai entitas yang pasif (nerimo saja) Di dalam doktrin NPM, pemerintah dianjurkan untuk meninggalkan paradigma administrasi tradisional yang cenderung mengutamakan prosedur, dan menggantikannya dengan orientasi pada kinerja atau hasil kerja. Pemerintah juga dianjurkan untuk melepaskan diri dari birokrasi klasik dengan mendorong organisasi dan pegawai agar lebih fleksibel, dan menetapkan tujuan serta target organisasi secara lebih jelas sehingga memungkinkan pengukuran hasil. Di samping itu, pemerintah juga diharapkan menerapkan sistem desentralisasi, memberi perhatian pada pasar, melibatkan sektor swasta dan melakukan privatisasi (Hood, 1995). Dalam perkembangannya, NPM dianggap sebagai liberation, yaitu upaya pembebasan manajemen publik dari kungkungan konservativisme administrasi klasik dengan memasukkan prinsip-prinsip sektor privat ke dalam sektor publik (Golembiewski, 2003). Lebih menarik lagi, bahwa NPM dilihat sebagai kumpulan ide-ide dan praktik yang berupaya menggunakan pendekatan sektor swasta dan bisnis ke dalam sektor publik (Denhardt & Denhardt, 2003). David Osborn dan Ted Gaebler (1993) menekankan harus ada upaya untuk mentransformasikan entrepreuneurial spirit, karena ketika sumber daya semakin langka, pemerintah harus berubah dari bureaucratic model ke entrepreuneurial model. Oleh karena itu, pemerintahan yang mengimplementasikan pemikiran NPM ini sangat berorientasi pada jiwa dan semangat kewirausahaan, maka
www.jurnal.unitri.ac.id 3
REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Vol. 5, No. 2, 2015
manajemen publik baru di tubuh pemerintah dapat disebut sebagai manajemen kewirausahaan. Dampak dari pelaksanaan model NPM ini mulai terasa tidak saja di negara maju, tetapi juga di negara-negara sedang berkembang seperti penerapan 5 (lima) prinsip inti, yaitu: (1) sistem desentralisasi, (2) privatisasi, (3) downsizing, (4) debirokratisasi, dan (5) manajerialisme (Vigoda, 2003). Perkembangan Reformasi Administrasi Publik Pelaksanaan reformasi administrasi publik makin nyata di berbagai negara termasuk Indonesia. Reformasi administrasi publik sangat diperlukan karena tantangan terhadap prinsip-prinsip administrasi klasik semakin berat (Caiden, 1991; Lenvine, Peters & Thompson, 1990). Doktrin Administrasi Publik Klasik (the Old Public Administration-OPA) yang sejak awal dimotori oleh Wilson pada tahun 1987 terus dikritik oleh para pakar, dan mulai ditinggalkan (Cooper, 1998; Hughes, 1994) karena tidak dapat mengakomodasi perubahan situasi dan kondisi masyarakat. Keberhasilan NPM di negara-negara maju, mengakibatkan terjadinya promosi secara terus-menerus doktrin-doktrin NPM di negara-negara berkembang. Doktrin privatisasi, mengalihkan bentuk pelayanan yang selama ini ditangani oleh pemerintah dipindahkan ke tangan agen-agen swasta. Alasannya, lebih berorientasi pada kepentingan pelanggan, lebih merangsang perekonomian, dan pertumbuhan kesempatan kerja, meningkatkan efisiensi pelayanan karena lebih fleksibel menyesuaikan diri dengan pasar, meningkatkan efisiensi di departemen-departemen, mengurangi beban administrasi, dan pembiayaan terhadap pemerintah. Doktrin debirokratisasi, diyakini memiliki keunggulan karena lebih menjanjikan peningkatan kinerja dibandingkan dengan doktrin administrasi publik klasik. Menurut Jennings dan Haist (2002), yang ditekankan dalam NPM adalah pengukuran terhadap hasil bukan proses, dan perilaku sehingga sering disebut sebagai results-oriented government. Mulai tahun 1990-an ilmu administrasi publik mengenalkan paradigma baru yang sering disebut New Public Management (NPM) (Hood, 1991). Walaupun juga disebut dengan nama lain misalnya Post-bureaucratic Paradigm (Barzeley, 1992), dan Reinventing Government (Osborne dan Gaebler, 1992), tetapi secara umum disebut NPM karena berangkat dari gagasan Christopher Hood sebagai awal mula paradigma alternatif. Paradigma ini menekankan pada perubahan perilaku pemerintah menjadi lebih efektif dan efisien dengan prinsip The Invisible Hand-nya Adam Smith, yaitu mengurangi peran pemerintah, membuka peran swasta dan pemerintah lebih berfokus pada kepentingan publik yang luas. Tentu saja paradigma baru ini tidak lepas dari kritik, di antaranya kapitalisme dalam sektor publik dan kekhawatiran akan menggerus idealisme pelayanan publik. (http://www.kr.co.id) www.jurnal.unitri.ac.id 4
REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Vol. 5, No. 2, 2015
NPM menurut Kamensky dalam Denhardt & Denhardt didasarkan pada public choice theory, dimana teori tersebut menekankan pada kemampuan individu seseorang dibandingkan dengan kemampuan publik secara bersamasama. Lebih lanjut Kamensky mengutarakan “public choice theories have tended to reject concepts like ‘public spirit,’ ‘public service,’ and so forth.” And these are not ideas we can afford to ignore in a democratic society”. Dengan demikian penerapan NPM sulit untuk diterapkan di Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. (http://rinoan.staff.uns.ac.id) Beberapa pihak berpendapat bahwa NPM tidak tepat diterapkan untuk negara-negara berkembang, karena dalam implementasinya mereka mengalami kesulitan, akibat adanya kecenderungan birokrasi yang masih sulit dihilangkan. Pengadopsian model NPM yang dilakukan oleh negara berkembang ini apakah memang benar-benar menjadikan lebih baik atukah hanya sekadar perubahan luarnya saja. Kita perlu menilik sejauh mana efektifitas penerapan NPM di negara-negara berkembang pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya. Sebagai negara yang juga turut ingin berbenah, Indonesia berusaha menerapkan paradigma NPM tersebut, meski ada sikap pesimis dari berbagai pihak mengenai kesanggupan penerapannya. Salah satu yang menonjol adalah adanya reformasi birokrasi di Departemen Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam reformasinya, kedua instansi ini berfokus pada pilar-pilar yang menjadi pokok perubahan birokrasi, yaitu: kelembagaan/organisasi, proses bisnis, sumber daya manusia, serta prasarana dan sarana. Tidak salah lagi, bahwa upaya ini dilakukan untuk memperbaiki standar pelayanan umum yang diberikan kepada publik. Selain itu, beberapa hal yang menandakan karaktersistik NPM menurut Christopher Hood yang telah diterapkan di Depkeu dan BPK adalah: 1. Manajemen profesional di sektor publik; Secara bertahap, mereka sudah mulai menerapkannya, yaitu mengelola organisasi secara profesional, memberikan batasan tugas pokok dan fungsi serta deskripsi kerja yang jelas, memberikan kejelasan wewenang dan tanggung jawab. 2. Penekanan terhadap pengendalian output dan outcome; Sudah dilakukan dengan penggunaan performance budgeting yang dirancang oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Perubahan atas sistem anggaran yang digunakan ini merupakan yang terpenting yang terkait dengan penekanan ataspengendalian output dan outcome. 3. Pemecahan unit-uit kerja di sektor publik; Menurut saya hal ini sudah sejak lama dilakukan oleh Depkeu juga BPK, yaitu adanya unit-unit kerja tingkat eselon 1. 4. Menciptakan persaingan di sektor publik; Hal ini juga sudah dilakukan, yaitu adanya mekanisme kontrak dan tender kompetitif dalam rangka www.jurnal.unitri.ac.id 5
REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Vol. 5, No. 2, 2015
5.
6.
penghematan biaya dan peningkatan kualitas serta privatisasi, diatur dalam Keppers 80 tahun 2003. Mengadopsi gaya manajemen sektor bisnis ke sktor publik; hampir di seluruh eselon 1 di Depkeu sudah menerapkannya, dengan adanya modernisasi kantor baik di Ditjen Pajak, Ditjen Perbendaharaan, maupun Ditjen Bea Cukai, juga terkait dengan emberian remunerasi sesuai job grade karyawan. Demikian juga di BPK, selain modernisasi kantor dan remunerasi, hubungan antara atasan dan bawahan semakin dinamis, gap senioritas hanya muncul dalam hal-hal profesionalisme saja yang dibutuhkan. Disiplin dan penghematan pengguanann sumber daya; Dalam hal disiplin biaya, saya masih meragukan implementasinya pada kedua instansi ini, karena masih adanya aset-aset yang dibeli melebihi spesifikasi kebutuhan. Sedangkan dalam hal disiplin pegawai, adanya model presensi menggunakan finger print sudah sangat efektif dilakukan.
Terlepas dari apa yang terjadi pada kedua instansi pemerintahan tersebut, dalam ranah yang lebih luas, NPM ini telah dicoba diterapkan juga pada Pemerintahan Daerah, yaitu sejalan dengan penerapan otonomi daerah di Indonesia. Bisa dikatakan, bahwa penerapan NPM ini memberikan dampak positif pada beberapa hal, misalnya peningkatan efisiensi dan produktivitas kinerja pemerintahan daerah, yang pada akhirnya mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik. Hal ini dapat dipahami melalui salah satu karakteristik NPM menurut Christopher Hoods, yaitu menciptakan persaingan di sektor publik. Sehingga apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah berusaha bersaing untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, dan pada gilirannya, publiklah yang diuntungkan atas upaya ini. Namun dalam banyak hal, seringkali pemerintah menerjemahkan NPM secara salah dan kebablasan. Prinsip „Pemerintah Wirausaha‟ atau Enterprising Government sebagai salah satu prinsip NPM yang menyarankan kepada pemerintah untuk berinovasi dalam menciptakan sumber-sumber pendapatan baru diterjemahkan secara salah. Banyak pihak lupa bahwa prinsip-prinsip dalam NPM harus diterapkan secara keseluruhan, tidak bisa memilih-milih, sehingga prinsip „Pemerintah yang Berorientasi pada Publik‟ justru sering terlupakan. Hal ini membawa dampak pada komersialisasi dan privatisasi kebablasan. Lebih lanjut, kesalahan ini tidak menjadikan pemerintah lebih produktif, efisien dan efektif, tetapi menjadikan ladang korupsi baru dan kualitas pelayanan publik justru menurun. Karena itu, inovasi atau kreativitas pemerintah untuk menciptakan sumber-sumber pendanaan baru yang produktif harus memperhatikan juga prinsip pelayanan publik secara maksimal. www.jurnal.unitri.ac.id 6
REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Vol. 5, No. 2, 2015
Promosi doktrin NPM di Indonesia dapat diamati dari kehadiran tentang NPM, misalnya karya-karya tentang administrasi pembangunan, reformasi administrasi atau birokrasi, dan good governance yang ditulis diantaranya oleh Kartasasmita (1997), Tjokroamidjojo (1994), Thoha (1999), Mardiasmo (2002), Dwiyanto (2003), dan lain-lain. Pemerintah Indonesia mulai mengenal Reinventing Government sejak akhir tahun 1990-an. Implementasi yang paling nyata adalah pemberlakuan sistem pemerintahan yang desentralistis melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Menurut Notoatmojo dalam Mangkunegara (2006, :10), pengertian kinerja dalam hubungannya dengan Good Governance sebagai berikut, “Perlunya akuntabilitas kinerja penyelenggaraan negara berlangsung efisien, efektif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungan, transparan, mendorong partisipasi masyarakat sehingga penyelenggaraan pemerintah menjadi credible. Pendapat tersebut di atas sejalan dengan prinsip-prinsip New Public Management (NPM) yaitu pelaksanaan pekerjaan pelayanan atau service kepada pelanggan harus berorientasi pada prinsip efsien, efektif, dan ekonomis. The key elements of the NPM ; 1. An attention to lessons from pivate-sector management 2. The growth both of hands-on management in its own right and not as an offshoot of professionalism and of arms length organizations where policy implementation was organizationally distanced from the policy makers. 3. A. focus upon entrepreneurial leadership within public service organizations 4. An emphasis on inputs and output control and evaluation and upon performance management and audit 5. The disintegration on public service to their most basic units and a focus on their cost management, and 6. Within the Anglo-American and Australia/New Zealand region at least the growth of use of markets, competition and contracts for resource allocation and service delivery within public service.” ( Osborne 2010, h. 3 ) Kinerja pegawai yang baik, dalam organisasi publik, ditunjukkan dengan melakukan pelayanan kepada kepentingan publik yang semakin baik dan memuaskan dan hal tersebut dapat dilakukan melalui peningkatan atau menambah pengetahuan (Knowledge), keterampilan (skill) dan sikap (Attitude) pegawai. Selain itu menurut Mangkunegara (2006: 19) aspek-aspek yang dinilai kinerja mencakup sebagai berikut :(1) Kesetiaan, (2) Hasil kerja,(3) Kejujuran, www.jurnal.unitri.ac.id 7
REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Vol. 5, No. 2, 2015
(4) Kedisiplinan, (5) Kreativitas, (6) Kerjasama,(7) Kepemimpinan,(8) Kepribadian, (9) Prakarsa,(10) Kecakapan dan,(11) Tanggung jawab. Pendekatan Demokratisasi dan Desentralisasi 1. Pendekatan Demokratisasi Demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan akan terlaksana apabila dalam pemerintahan sudah terjadi paradigma ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara negara yang sudah meningkat tinggi akan menghasilkan terjadinya proses demokratis, sehingga memungkinkan terjadinya good governance. Dalam demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan diharapkan akan terjadi proses di mana pejabat yang bersifat politis yang sekaligus sebagai wakil rakyat akan ikut menentukan kebijakan departemen pemerintah yang akan berlangsung selama lima tahun ke depan. Jabatan ini akan ikut menentukan proses pembuatan kebijakan departemen sekaligus juga ikut mengontrol seberapa jauh kebijakan yang dibuat itu dilaksakan oleh penyelenggara pemerintahan. Sebaliknya, setiap pejabat politik itu bisa langsung dikontrol oleh rakyat pemilihnya. Jabatan politis ini juga ikut bertanggung jawab terhadap rakyat atas keberhasilan kebijakan yang dibuatnya. Kontrol kepada penyelenggara pemerintahan dilakukan dari pelbagai jurusan tidak hanya membatasi dari jalur birokrasi sendiri, akan tetapi bisa melalui jalur politik. Akses rakyat kepada kontrol penyelenggara pemerintahan ini dibuka dengan seluas-luasnya. Dengan adanya kontrol terhadap penyelenggara pemerintahan oleh masyarakat, itu akan menuntut para penyelenggara pemerintahan untuk mencapai tujuan yang ideal dalam pelaksanaannya. Hal tersebut akan diperlihatkan dengan tergambarnya struktur organisasi dan pembagian kerja/tugas yang sesuai dengan tugasnya masing-masing. Pemerintah juga sudah seharusnya memberi peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemerintah dalam rangka memberi pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik baiknya. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Paul J. Andrisani, Simon Hakim, dan E. S. Savas (2002, h.14), bahwa : “Governments must become more efficient, effective, equitable, and responsive, and eliminate the practices that result in bad government. They must redefine the role of government and seek a better balance vis a vis the private institutions of society. They should adopt the policies that together constitute “the new public management” and create governments redesigned for the 21 st Century.” Lebih lanjut dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat organisasi pemerintah atau aparatur pemerintahan hendaknya memotivasi dirinya untuk www.jurnal.unitri.ac.id 8
REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Vol. 5, No. 2, 2015
senantiasa mementingkan kepentingan organisasi atau kepentingan umum di atas kepentingan pribadinya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Perry dan Hondeghem (2008) dalam Paarlberg dan Lavigna (2010), bahwa motivasi pelayanan melampaui kepentingan pribadi dan organisasi untuk menggerakkan pegawai berbuat baik kepada orang lain dan berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat. Pendekatan Desentralisasi (Otonomi Daerah) Seringkali masalah pendekatan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip sentralisasi dan desentralisasi berhubungan dengan tingkat perkembangan bangsa dan negara-negara baru merdeka. Pada permulaan kemerdekaan, pembinaan bangsa dalam arti membina kesatuan bangsa dari aspekaspek kedaerahan, kesukuan, penggolongan politik dan lain-lain, terasa lebih penting, sehingga tercermin dalam kebijaksanaan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistis. Dalam tingkat lebih lanjut dimana perkembangan pembinaan bangsa sudah lebih matang, maka keperluan perluasan kegiatan pembangunan seringkali menumbuhkan kebutuhan akan desentralisasi. Konsep desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan terasa semakin sangat dipentingkan di tengah-tengah pembangunan bangsa di negaranegara berkembang. Hal ini bersamaan dengan terlihatnya berbagai kelemahan yang tampak dengan jelas dalam kontrol sentral. Namun demikian pada umumnya bentuk desentralisasi yang diinginkan tetap hendaknya dijaga dalam rangka kesatuan politik, kulturil, ekonomi, dan bahkan administratif suatu negara. Hal ini sejalan dengan pendapat Maryanov (dalam LP3ES, 1994: 81-82), bahwa desentralisasi bertujuan antara lain: (1) mengurangi beban pemerintah pusat, dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil pada tingkat lokal. Demikian pula memberi peluang untuk koordinasi pelaksanaan pada tingkat lokal, (2) meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada tingkat lokal, dapat merasakan keuntungan dari kontribusi kegiatan yang mereka lakukan, (3) penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal sehingga dapat lebih realistis, (4) melatih rakyat untuk bisa mengatur urusannya sendiri (self government), dan (5) pembinaan kesatuan nasional. Ada dua bentuk desentralisasi (Coralie Bryant, 1979: 213-214), yaitu desentralisasi yang bersifat administratif dan desentralisasi yang bersifat politik. Desentralisasi administratif biasanya disebut dekonsentrasi dan berarti delegasi wewenang pelaksanaan kepada tingkat-tingkat lokal. Para pejabat tingkat lokal bekerja dalam batas rencana dan sumber-sumber anggaran, namun mereka memiliki elemen kebijaksanaan dan kekuasaan (diskresi) serta tanggung jawab tertentu dalam hal sifat-hakikat jasa dan pelayanan pada tingkat lokal. Diskresi www.jurnal.unitri.ac.id 9
REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Vol. 5, No. 2, 2015
mereka dapat bervariasi mulai dari peraturan-peraturan proforma sampai keputusan-keputusan yang lebih substansial. Desentralisasi politik atau devolusi berarti bahwa wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumber-sumber daya diberikan pada pejabat-pejabat regional dan lokal. Membangun Birokrasi Pemerintah Menuju Good Governance Saat ini, good governance merupakan isu yang mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik. Good Governance adalah koordinasi bahkan sinergi kepengelolaan yang baik antara governance di sektor publik (pemerintahan) dengan governance di sektor masyarakat, terutama swasta, sehingga dapat dihasilkan transaksional output melalui mekanisme pasar yang paling ekonomis dari kegiatan masyarakat. Oleh karena itu, dalam good governance tidak saja dituntut suatu birokrasi publik yang efisien dan efektif, melainkan juga private sector governance yang efisien dan kompetitif. Carl J. Bellone (1980: 285) menyebutkan bahwa birokrasi adalah: an organizational structure characterized by hierarchical arrangement of office, merit-based selection, impartial application of written rules and regulations, and some centralization of authority. Birokrasi merupakan karakteristik struktur organisasi (pemerintahan) yang memiliki urutan hierarki. Berdasarkan hierarki tersebut di dalamnya terdapat posisi-posisi atau jabatan yang mempunyai kewajiban dan tugas pekerjaannya masing-masing dalam mencapai tujuan. Dalam menjalankan tugas pekerjaannya selalu berpatokan pada nilai-nilai hukum dan peraturan yang berlaku. Dalam birokrasi juga mengatur tentang pembagian kekuasaan (otoritas) dalam menjalankan roda pemerintahan. Pada sisi lain, birokrasi pemerintah sering diartikan sebagai “officialdom” atau kerajaan pejabat (Thoha, 2003: 68); sebuah kerajaan (raja) di dalamnya memiliki yuridiksi yang jelas dan pasti. Dalam yuridiksi tersebut, seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi (official duties) yang memperjelas batas-batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja dalam tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaannya. Dalam aplikasinya penerapan birokrasi tidak berjalan mulus sebagaimana teorinya. Di dalamnya terdapat banyak rintangan-rintangan, sehingga birokrasi hanya sebagai kedok untuk menutupi kepentingan-kepentingan aparatur yang berperilaku menyimpang. Indonesia misalnya, semakin sulit untuk mewujudkan good governance, yang terjadi selama ini governance sektor publik yang intervensinya justru mengeroposkan governance di sektor swasta. Sejak pertengahan tahun 80-an, dengan apa yang disebut “crony capitalism” (Miftah Thoha, 1999: 67) atau transaksi ekonomi KKKN (Kolusi, Korupsi, Kronisme, dan Nepotisme). Administrasi negara di Indonesia pada saat ini lebih tepat dikatakan sebagai alat untuk menegakkan kekuasaan negara bukan kekuasaan rakyat. Itulah www.jurnal.unitri.ac.id 10
REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Vol. 5, No. 2, 2015
sebabnya realitas administrasi negara saat ini lebih banyak sebagai gambaran atau lukisan dari pada realitanya. Sehingga diperlukan pemikiran-pemikiran baru yang dapat meluruskan kembali ke arah pelaksanaan administrasi negara yang ideal menuju good governance. Birokrasi pemerintah yang dipandang perlu untuk dibangun kembali guna menuju pemerintahan yang adil, bersih, berwibawa, dan demokratis (good governance). Sehingga permasalahan-permasalahan yang perlu dikaji kembali sebagai jalan pemecahannya antara lain: 1. Evaluasi diri terhadap kondisi birokrasi pemerintah Indonesia saat ini. 2. Adanya perubahan paradigma birokrasi pemerintah ke arah yang lebih ideal. 3. Repositioning birokrasi pemerintah. 4. Memiliki aparatur pemerintah yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai, sehingga terjadinya demokratisasi birokrasi. 5. Peranan pemerintah dan masyarakat dalam membangun birokrasi. Diharapkan dengan adanya perubahan paradigma pemerintah ke arah birokrasi yang ideal, didukung aparatur pemerintah yang menjunjung tinggi nilainilai dan berperilaku positif, adanya komunikasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat, dan ikut berperan di dalamnya, maka good governance dapat diwujudkan. Adapun kondisi birokrasi pemerintaha saat ini, dan perubahan paradigma birokrasi yang diharapkan terjadi dapat digambarkan sebagai berikut ; 1. Kondisi Birokrasi Pemerintah Saat Ini Kehidupan dan tumbuh kembangnya birokrasi pemerintah di Indonesia sangat ditentukan oleh percaturan politik terlebih lagi ketika sehabis dilaksanakan pemilihan umum. Oleh karena itu birokrasi pemerintah sangat ditentukan oleh kehidupan politik dan pemilunya. Sejalan dengan pendapat Carl J. Bellone (1946: 34-35) bahwa ilmu pengetahuan politis adalah induk dari administrasi pemerintahan. Bahkan di kalangan akademisi beranggapan bahwa administrasi pemerintahan lebih dari sekedar ilmu pengetahuan politis. Kehidupan modern telah mendorong birokrasi menjadi alat yang unggul dalam mengatur proses pemerintahan. Kekuasaan birokratis telah menjadikan lembaga pemerintahan memiliki kapasitas yang luar biasa dan menjadi sentral untuk mengarahkan energi politis. Partai politik didirikan tidak memiliki keinginan lain, kecuali untuk bisa memerintah negara. Upaya untuk memerintah itu menurut paham demokrasi dibatasi oleh waktu tertentu dan harus dilakukan melalui cara pemilihan umum yang dijalankan secara demokratis, jujur, adil, bebas, rahasia, dan konstitusional. Pemerintah partai politik ini akan membawahi dan memerintah birokrasi pemerintah yang eksistensinya tidak memalui pemilihan umum, melainkan melalui jalur karier yang dibinanya dengan cara-cara merit. Agar supaya www.jurnal.unitri.ac.id 11
REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Vol. 5, No. 2, 2015
profesionalisme birokrasi tidak terganggu dengan silih bergantinya partai politik, para birokratnya tidak dibenarkan untuk memihak. Selain itu administrasi negara digambarkan pula sebagai upaya yang lebih concern terhadap “pelaksanaan suatu konstitusi ketimbang membuatnya” (Miftah Thoha, 1999: 46). Ungkapan ini menjelaskan bahwa administrasi negara lebih populer disebut mengutamakan melaksanakan kebijakan ketimbang membuatnya. Proses pembuatan kebijakan publik domain dari wilayah politik. Di wilayah ini partai politik berkiprah menentukan visi politik ke arah mana pemerintahan negara ini dikendalikan. Sedangkan visi politik itu bagaimana mewujudkan diserahkan kepada ahlinya yakni kepada birokrasi pemerintah. Upaya birokrasi melaksanakan kebijakan publik tersebut merupakan wilayah dan domain administrasi negara. 2. Perubahan Paradigma Birokrasi Pemerintah Para pakar administrasi selalu mengamati adanya alur pikir baru yang ditunjang dengan seperangkat teori yang melahirkan paradigma baru dalam dunia ilmu administrasi negara. Paradigma baru yang memandang birokrasi sebagai organisasi pemerintahan tidak lagi semata-mata hanya melakukan tugas-tugas pemerintahan akan barang-barang publik (public goods), tetapi juga melakukan dorongan dan motivator bagi tumbuh kembangnya peran serta masyarakat. Carl J. Bellone (1980: 35) menyebutkan bahwa sejak Thomas Kuhn menerbitkan Struktur Ilmiah, sarjana-sarjana ilmu sosial bergerak cepat untuk menemukan paradigma baru dalam bidang administrasi pemerintahan modern. Ada lima model teori administrasi pemerintahan yang diambil untuk menuju perubahan yang lebih baik berdasarkan pengalaman empiris, yaitu: 1) Model birokratis klasik; 2) Model neo-birokratis ; 3) Model kelembagaan ; 4) Model Hubungan antar manusia, dan 5) Model administrasi pemerintahan baru. Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Weber yang memandang birokrasi rasional atau ideal sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial. Diantara yang lain-lain, proses ini mencakup ketepatan dan kejelasan yang dikembangkan dalam prinsip memimpin organisasi sosial. Menurut Weber dalam (Miftah Thoha, 2002: 16-17), birokrasi ideal yang rasional itu singkatnya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: Pertama, individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya; Kedua, jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan kesamping. Konsekuensinya ada pejabat atasan dan bawahan dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil; www.jurnal.unitri.ac.id 12
REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Vol. 5, No. 2, 2015
Ketiga, tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya; Keempat, setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak; Kelima, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yang idealnya dilakukan melalui ujian kompetitif; Keenam, setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya dapat diakhiri dalam keadaan tertentu; Ketujuh, terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif; Kedelapan, setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources intansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya; Kesembilan, setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin. Sejalan dengan konsep birokrasi ideal di atas, dalam penyelenggaraan birokasi pemerintah Indonesia, perubahan paradigma yang seharusnya adalah, antara lain: a. Perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang serba negara menjadi berorientasi ke pasar (market). Selama ini manajemen pemerintahan mengikuti paradigma yang lebih mengutamakan kepentingan negara. Semuanya bisa ditentukan oleh negara. Kepentingan negara menjadi pertimbangan pertama dan utama dalam mengatasi segala macam persoalan yang timbul. Orientasi manajemen pemerintahan diarahkan kepada pasar. Aspirasi masyarakat menjadi lebih penting artinya untuk menjadi bahan pertimbangan pemerintah. b. Perubahan paradigma dan orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi kepada egalitarian dan demokrasi. Kecenderungan orientasi yang mementingkan aspirasi negara bisa melahirkan sistem yang bersifat otoritarian. Pendekatan kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu orang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Paradigma semacam ini telah banyak ditinggalkan dan diganti dengan paradigma yang mengutamakan peranan dan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi pertimbangan pertama dan utama jika menginginkan tatanan pemerintahan yang demokratis.
www.jurnal.unitri.ac.id 13
REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Vol. 5, No. 2, 2015
c. Perubahan paradigma dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan. Selama ini kekuasaan pemerintahan lebih condong dilakukan secara sentral, seperti yang diuraikan dimuka. Kegiatan mulai dari perumusan kebijaksanaan dilakukan secara terpusat dan dilakukan oleh aparat pemerintah pusat. d. Perubahan manajemen pemerintahan yang hanya menekankan pada batas-batas dan aturan yang berlaku untuk satu negara tertentu, mengalami perubahan ke arah boundaryless organization (Ashkenas et al, 1995). Seringkali dikemukakan bahwa sekarang ini merupakan jamannya tata manajemen pemerintahan yang cenderung dipengaruhi oleh tata aturan global. Keadaan seperti ini akan membawa akibat bahwa tata aturan yang hanya menekankan pada aturan nasional saja kurang menguntungkan dalam percaturan global. e. Perubahan dari paradigma dari tatanan administrasi negara yang berorientasi pada paperwork menjadi tatanan administrasi negara yang paperless (Osborn, 1992). Tata birokrasi pemerintahan seperti ini membutuhkan kompetensi sumber daya aparatur yang memahami dan mengetrapkan information technology (Lucas, 1996). Kompetensi inilah yang seharusnya banyak diwujudkan dalam pendidikan dan pelatihan profesional bagi pegawai-pegawai pemerintah. f. Perubahan paradigma dari a low trust society ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Di dalam masyarakat yang rendah tingkat kepercayaannya tidak bakal terjadi suasana demokrasi. Birokrasi pemerintah yang hidup dalam masyarakat seperti ini, akan melahirkan cara-cara kerja yang tidak demokratis, membatasi ruang gerak, menjauhkan birokrasi dari interaksi dengan masyarakat, dan membelenggu organisasi dengan serangkaian aturan-aturan birokrasi. Sebaliknya paradigma baru yang menekankan terhadap kepercayaan sehingga melahirkan suatu masyarakat yang tinggi tingkat kepercayaannya akan mampu membuat birokrasi lebih demokratis. Birokrasi seperti ini akan menciptakan suasana kerja yang lebih fleksibel dan berbasiskan pada orientasi kelompok kerja dengan lebih memberikan tanggung jawab yang besar pada tataran organisasi yang paling bawah. Birokrasi pemerintah seperti ini akan memperlakukan para pegawainya sebagai orang dewasa yang bisa dipercaya untuk memberikan konstribusi pelayanan kepada masyarakat. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik beberapa pemikiran sebagai kesimpulan tentang administrasi public, antara lain: 1. Pelaksanaan reformasi administrasi publik makin nyata di berbagai negara termasuk Indonesia. Reformasi administrasi publik sangat diperlukan karena tantangan terhadap prinsip-prinsip administrasi klasik semakin berat. www.jurnal.unitri.ac.id 14
REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Vol. 5, No. 2, 2015
2. Keberhasilan NPM di negara-negara maju, mengakibatkan terjadinya promosi secara terus-menerus doktrin-doktrin NPM di negara-negara berkembang. Doktrin privatisasi, mengalihkan bentuk pelayanan yang selama ini ditangani oleh pemerintah dipindahkan ke tangan agen-agen swasta. Doktrin debirokratisasi, diyakini memiliki keunggulan karena lebih menjanjikan peningkatan kinerja dibandingkan dengan doktrin administrasi publik klasik. 3. Pemerintah Indonesia mulai mengenal Reinventing Government sejak akhir tahun 1990-an. Implementasi yang paling nyata adalah pemberlakuan sistem pemerintahan yang desentralistis melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 4. Demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan akan terlaksana apabila dalam pemerintahan sudah terjadi paradigma ke arah high trust society. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara negara yang sudah meningkat tinggi akan menghasilkan terjadinya proses demokratis, sehingga memungkinkan terjadinya good governance. 5. Penyelenggaraan administrasi negara di Indonesia terlihat dari adanya perubahan dengan sistem konstitusi, pemerintahan, ekonomi, dan politik, serta paradigma yang melandasinya, yang membawa dampak tertentu terhadap sistem dan proses penyelenggaraan negara, khususnya dalam hubungan pemerintah dan masyarakat. 6. Diharapkan dengan adanya perubahan paradigma pemerintah ke arah birokrasi yang ideal, didukung aparatur pemerintah yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan berperilaku positif, adanya komunikasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat, dan ikut berperan di dalamnya, maka good governance dapat diwujudkan. DAFTAR PUSTAKA Andrisani, P.J., Hakim, S. And Savas, E.S., 2002. The New Public Management : Lessons From Innovating Governors And Mayors, Kluwer, Massachusetts. Bellone, Carl. K.1980. Organization Theory and The New Public Administrator. Boston: Allyn and Bacou. Bryant, C. dan White, L.G. 1989. Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang. LP3ES. Yogyakarta. Caiden, G.E. 1991. Administrative Reform Comes of Ages. Berlin: Water de Gruyter. www.jurnal.unitri.ac.id 15
REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Vol. 5, No. 2, 2015
Cooper, P.J. 1998. Public Administration for The Twenty-first Century. Orlando, Florida: Harcourt Brace. Fukuyama, Francis. 2004. State Building, Governance and World Order in The Twenty First, Profile Books Limited. Kartiwa, Asep. 2004. Membangun Birokrasi Pemerintah Daerah yang Profesional Menuju Terwujudnya Good Governance. UNPAD. Bandung Levine, C.H., B.G. Peters and F.J. Thompson. 1990. Public Administration: Challenges, Choices, Concequences. Illinois: Scott, Foresman. LP3ES. 1994. Administrasi Pembangunan. PT. Pustaka. Yogyakarta. Mahfud, MD. 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Jakarta: Rineka Cipta. Nogi, S. Hessel. 2000. Analisis Kebijakan Publik Kontemporer. Yogyakarta: Lukman Offset. Mangkunegara, 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia, Remaja Rosdakarya, Bandung N. Dunn, William. Public Policy Analisys: An Introduction. London: PrenticeHall Inc. Notoatmodjo, Soekidjo. 1998. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta. Osborns, D. and T. Gaebler. 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. New York: Addison Wesley. Riggs, Fred W. 1986. Administrasi Pembangunan (Batas-batas, Strategi Pembangunan Kebijakan dan Pembaharuan Administrasi). CV. Rajawali. Jakarta. Salusu. 1998. Pengambilan Keputusan Strategik: Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta: Grasindo.
www.jurnal.unitri.ac.id 16
REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Vol. 5, No. 2, 2015
Syaukani, Affan Gaffar, Ryass Rasyid. 2002. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tead, Ordway. 1954. The Art of Leadership. New York: Mc. Graw Hill Book Company. Thoha, Miftah. 1999. Administrasi Negara, Demokrasi, dan Masyarakat Madani. Lembaga Administrasi Negara. Jakarta.
www.jurnal.unitri.ac.id 17