Pendekatan New Public Management, New Public Service dan Kegagalan dalam Reformasi Birokrasi di Indonesia Oleh : Ira Irawati*)
Abstract. This paper is the result of a literature study aims to explain the failure of bureaucratic reform in Indonesia, where one of the factors that influence the success of the reform measures i s unclear bureaucracy itself. Theory of bureaucracy and bureaucratic assessed to describe the problem in bureaucratic reform agenda in Indonesia today. Approach New Public Management and New Public Service should be emphasized on the importance of changing the mindset in running the government. The Four E concept in this paper can be considered as a measure of the success of bureaucratic reform. Keywords: Effectiveness, Equity and Reform
Kajian mengenai reformasi birokrasi telah menjadi perhatian besar kh ususnya bagi negara-negara berkembang. Reformasi birokrasi dimaknai sebagai suatu perubahan terencana guna menciptakan good governance. Begitupun di Indonesia, isu tentang reformasi birokrasi masih terus diperbincangkan di banyak kesempatan dan oleh berbagai kalangan; baik dalam forum seminar, sidang kabinet sampai rapat -rapat dinas di tingkat pemerintah daerah, bahkan secara terbuka dan meluas di media massa. Namun sampai saat ini nampaknya belum ada suatu formula reformasi birokrasi yang tepat untuk dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi pemerintah kita saat ini. Apabila kita renungkan, rasanya dalam sejarah berdirinya negara ini, baru kali ini ada “f enomena luar biasa” dalam tatanan birokrasi negara kita. Dimana ratusan pejabat publik “digiring” ke penjara. Lalu yang menjadi persoalan, apakah tepat banyaknya jumlah pejabat publik (public administrators) yang masuk penjara ini menjadi ukuran dari
keberhasilan
program
reformasi?
Atau
justru
sebaliknya;
menunjukkan
ketidakpahaman b angsa ini terhadap konsep reformasi birokrasi yang sesungguhnya? Disisi
lain,
reformasi
birokrasi
yang
digulirkan
Presiden
SBY
hingga
periode
pemerintahannya yang kedua ternyata dipandang belum berjalan dengan baik di mata dunia internasional. Selain belum bisa meningkatkan ef isiensi birokrasi, kegagalan Presiden SBY dalam menggulirkan reformasi birokrasi belum berjalan sesuai dengan harapan masyarakat.
Berangkat dari hal tersebut maka tulisan ini akan membahas mengenai sejumlah kendala reformasi birokras i di Indonesia, kemudian melihat best practices reformasi birokrasi di negara lain dan pada bagian akhir dirumuskan konsep The Four E sebagai tolak
ukur
keberhasilan
reformasi
birokrasi
di
Indonesia.
Untuk
memperoleh
pemahaman yang komprehensif, maka kita perlu menjelaskan mulai dari konsep birokrasi dan reformasi birokrasi.
Birokrasi dan Reformasi Birokrasi Istilah birokrasi seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat. Hal ini berawal dari konsep birokrasi pertama kali yang dikemukakan oleh Max Weber atau dikenal dengan Birokrasi Weberian, yang melahirkan konsep tipe ideal birokrasi yang rasional, yaitu adanya suatu pembagian kerja secara hierarkis dan rinci yang didasarkan pada aturan -aturan tertulis yang diterapkan secara impersonal, d ijalankan oleh pejabat yang prof esional yang digaji atas dasar kinerja, dan pejabat tersebut sama sekali tidak turut memegang kepemilikan atas aset pemerintah. Tipe birokrasi weberian masih digunakan hingga saat ini meskipun memiliki beberapa kelemahan yaitu; aspek analisanya yang menitikberatkan pada internal organisasi, dengan memandang bahwa organisasi sebagai suatu sistem yang tertutup, tanpa memperhatikan aspek eksternal yang akan mempengaruhi sistem organisasi. Selain itu, pembagian jabatan secara hi erarkis melahirkan kekuasaan (power) yang berbeda
pada
setiap
jenjangnya.
Semakin
tinggi
hierarki
maka
semakin
besar
kekuasaannya begitupun sebaliknya, dan posisi masyarakat ada pada hierarki yang paling bawah dimana pada posisi ini mereka sama sekali tida k mempunyai kekuasaan. Inilah yang dinamakan cara-cara officialdom,
yang menyebabkan rakyat sangat
bergantung pada para pejabat pemerintah sebagai pusat tempat penyelesaian urusan publik (Thoha, 2003). Birokrasi juga seringkali diidentikkan dengan pelayan an publik yang lamban, inefisiensi organisasi, prosedur yang berbelit -belit, bahkan Karl Marx
memandang
birokrasi memainkan peranan sebagai penindas dari kaum kapitalis, peran birokrasi bukan sebagai katalis, namun sebagai parasitik dan misinya mempertaha nkan status quo hubungan
sosial
yang
eksploitatif
(Moeljarto
dalam
Said,
2007:30).
Birokrasi
Weberianpun sulit dipraktekan sesuai gagasan awal karena dalam pelaksanaannya birokrasi tidak lagi bisa netral, pengangkatan pejabat publik tidak lagi berdasarkan kualif ikasi profesionalitas, namun lebih pada kriteria subjektif yang dipengaruhi oleh
intervensi politik tertentu. Berangkat dari adanya berbagai kelemahan tersebut, para ahli terus meneliti birokrasi sehingga munculah konsep -konsep baru untuk memperbaik i penyelenggaraan birokrasi agar lebih responsif terhadap lingkungan eksternal. Konsep -konsep inilah yang akan digunakan oleh pejabat publik dalam melakukan reformasi birokrasi. “Reform” mengandung makna perbaikan, yang dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi lebih baik. Hal ini dinyatakan oleh Alan Milburn (dalam Flyn, 2007: 1170) yaitu bahwa “..reform is not a process that starts one day and ends the next; it must go on and on and on..”. Reformasi birokrasi pada hakekatnya merupakan upaya perbaikan secara terus menerus, dalam mengatasi berbagai permasalahan seputar pemerintahan yaitu yang menyangkut “size, role of government, performance of public servant and satisf action”.
Di Amerika Serikat, gerakan reformasi birokrasi telah dimulai sejak ta hun 1880 an. Dimulai pada masa Woodrow Wilson;
yang dikenal sebagai The Father of Public
Administration; yang menekankan pentingnya eff iciency; biaya
yaitu dengan cara menekan
yang harus dikeluarkan oleh pemerintah dalam mensukseskan program -program
kerjanya. Selain menekan unit cost, ia juga menekankan eff ectiviness of public service melalui manajemen, pelatihan dan pengukuran kinerja berdasarkan merit sistem. Pada
tahun
mendef inisikan POSDCORB
1940-an
tuga s
(planning,
langkah
(duties
of
organizing,
ini
dilanjutkan
administrator) staff ing,
oleh
yang
directing,
Luther
dikenal
Gulick
dengan
coordinating,
yang
akronim reporting,
budgeting). Selain Luther Gulick, Henry Fayol juga berupaya memperkenalkan privat management ke dalam pemerintahan, yaitu dengan
memperkenalkan dengan 14
principles of management yaitu : division of work, authority, discipline, unity of command, unity of direction, subordination of individual interest, remuneration, centralization (or decentralization), scalar chain (line of authority), order, equity, stability of tenure of personnel, initiative, esprit de corps. Perspektif terhadap reformasi birokrasipun terus mengalami perubahan, mulai tahun 1990 -2000-an J anet and Robert Denhardt mengemukakan konsep New Public Service (selanjutnya disingkat NPS) sebagai respons terhadap dominasi New Public Management (selanjutnya disingkat NPM). Konsep NPS pada dasarnya memfokuskan pada masyarakat sebagai warga negara (citizens). Sedangkan NPM memfokuskan pada masyarakat sebagai pemakai (co nsumers) . Citizens generate demands, and government
is then responsible for producing services to satisf y these demands. Perbedaan utama antara kedua konsep ini terletak pada citizen engagement and community building, karena dalam kerangka demokrasi, kedu a hal ini dianggap sebagai bagian penting dalam setiap tahapan implementasi kebijakan. Melalui konsep NPS, masyarakat sebagai warga negara diharapkan berpartisipasi dalam proses planning and providing public goods and services sehingga tercipta self governing political community. Masyarakat diharapkan turut terlibat di dalam policy making and implementation process (Cooper, 1991:143), dimana citizen come to see themselves as citizen than as consumers, clients and beneficiaries of administrative state (Stivers, 1990 : 96), sehingga warga negara dan administrator berbagi tanggung jawab dan bekerja bersama untuk mengimplementasikan program. Dari perjalanan reformasi birokrasi tadi dapat dikatakan bahwa kegagalan dalam mengimplementasikan kebijakan/ program buk anlah semata mata merupakan tanggung jawab dari para pejabat publik atau penyelenggara negara tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat sebagai warga negara.
Bentuk Reformasi Birokrasi Pada dasarnya, konsep reformasi birokrasi merupakan suatu keg iatan penataan terhadap
sistem
penyelenggaraan
pemerintahan
agar
tercapai
suatu
tata
kelola
pemerintahan yang baik (good governance). Bentuk reformasi birokrasi di negara berkembang yang pada umumnya dilakukan melalui dua strategi; (1) merevitalisasi kedud ukan, peran dan f ungsi kelembagaan yang menjadi motor penggerak reformasi administrasi, (2) menata kembali sistem administrasi negara baik dalam hal struktur, proses, sumber daya manusia serta relasi antara negara dan masyarakat (Prasojo:
2,
2008). Konsep reformasi birokrasi seperti ini juga tengah menjadi agenda dalam pemerintahan di Indonesia walaupun dalam pelaksanaannya menghadapi tantangan yang tidak mudah. Di tingkat pusat, lembaga yang pertama kali mengadopsi konsep reformasi birokrasi adalah kementerian keuangan kemudian disusul dengan lembaga negara lainnya. Di tingkat daerah, reformasi birokrasi ditandai dengan terciptanya hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan dan pemerintahan dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. Menurut Prasojo (2008) menjelaskan bahwa reformasi harus menyentuh sedikitnya
3 (tiga) aspek yaitu; aspek politik, aspek hukum serta aspek administrasi publik sedangkan aspek ekonomi akan dicapai ketika ketiga tersebut telah berhasil dibenahi. Lebih lanjut Prasojo menyatakan bahwa reformasi pada aspek politik, ditekankan pada perlunya political will dan political decision dalam memberikan legitimasi atas suatu rencana dan aransemen reformasi serta diperkuat oleh dukungan rakyat yang memiliki kesadaran politik yang memadai. Hal ini dapat dimanif estasikan melalui kegiatan pemilihan umum. Reformasi hukum, ditekankan bahwa hukum harus ditegakkan serta melindungi hak-hak warga negara untuk memperoleh perlindungan dan kepastian hukum.
Reformasi
administrasi
publik,
yaitu
dengan
menyediakan
landasan
infrastruktur, kompatibilitas sistem, serta daya dukung kelembagaan yang mapan bagi aspek-aspek lainnya yang pada akhirnya akan bermuara pada penguatan ekonomi, sebagai cross cutting issue, yang sangat terkait dengan reformasi politik, hukum dan administrasi publik. Berbicara mengenai reformasi hukum, tidak cukup hanya ditekankan pada penegakan hukum serta perlindungan hak -hak warga negaranya saja, melainkan harus dianalisa terlebih dulu “apakah suatu hukum yang berlaku tidak bertentangan dengan hukum yang berada diatasnya?” dan “apakah hukum tersebut sudah benar atau tidak bertentangan dengan rasa keadilan ataupun hak -hak warganegaranya?”. Oleh karenanya, reformasi hukum harus benar -benar menjadi agenda utama bagi suatu negara dalam melakukan reformasi birokrasi sebagai code of conduct dalam penyelenggaraan pemerintahan. Berbagai pendekatan yang dijadikan acuan dalam mela kukan reformasi birokrasi, pada dasarnya bertujuan dalam rangka mengejawantahkan tujuan negara. Sebagaimana yang diungkapkan Rohdewohld (Mas’ud, 2007) bahwa Birokrasi merupakan suatu sistem dengan elemen penyusunnya terdiri dari bangunan/struktur organisas i, visi dan misi organisasi, personalia pelaksana, f asilitas pendukung dan kepemimpinan yang bertujuan untuk mengejawantahkan tujuan negara (bersif at abstrak) dalam kehidupan masyarakat (bersif at konkret).
Gambar 1. Elemen Penyusun Sistem Birokrasi Tujuan Negara
Tugas besar dan luas dari pemerintahan
Apa yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan tugas besar dan luas itu?
Bangunan Organisasi
Apa yang dibutuhkan agar organisasi itu bisa bekerja secara tepat sasaran dan terfokus pada tugasnya?
Visi dan Misi Organisasi
Apa yang dibutuhkan agar organisasi yang bervisi dan misi itu bisa mengejawantah dalam gerak nyata dan dinamis?
Personalia Pelaksana
Apa yang dibutuhkan agar personalia yang bekerja itu bisa bekerja secara efektif dan efisien?
Fasilitas Pendukung
Apa yang dibutuhkan agar kerja dan kinerja dari keempat unsur di atas itu bisa terkoordinasi secara bagus dan selaras?
Kepemimpinan
(Sumber: Mas’ud, 2007:92)
Kendala dalam Agenda Reformasi Birokrasi Birokrasi sebagai suatu sistem yang dijalankan oleh manusia, akan berkembang sesuai dengan perilaku manusia yang menjalankannya. Dengan demikian wujud birokrasi merupakan cerminan dari para pengelolanya. Sehingga, walaupun upaya reformasi birokrasi dilakukan melalui pendekatan yang sama, namun hasil tidak selalu sama pada setiap negara. Hal ini disebabkan kuatnya pengaruh sosial budaya masyarakat terhadap birokrasi, meskipu n di beberapa negara justru birokrasi dapat mengintervensi perilaku dan kultur individu. Seperti halnya dikemukakan oleh Polidano (Otenyo and Lind, 2006) dalam penelitiannya bahwa keberhasilan reformasi birokrasi menunjukan hasil yang berbeda di setiap negara. Di negara berkembang, usaha reformasi berbasis NPM hanya bersif at retorikal dan belum sampai pada tataran substansi. Hal ini disebabkan oleh f aktor korupsi dan rendahnya kemampuan administrator, namun di beberapa negara maju, reformasi birokrasi berb asis NPM justru menunjukan sejumlah keberhasilan.
Begitupun yang terjadi di Indonesia, pada tahun 2007 pemerintah menetapkan beberapa agenda reformasi birokrasi seperti (1) reformasi sektor kelembagaan yang menghendaki organisasi yang ramping struktur dan kaya f ungsi; (2) sumber daya manusia yang prof esional, netral, sejahtera, berdayaguna, berhasilguna, produktif, transparan, bersih dan bebas KKN; (3) ketatalaksanaan aparatur pemerintah yang disederhanakan; (4) akuntabilitas kinerja aparatur; (5) terbentu knya sistem pengawasan yang mendukung pelaksanaan tindak lanjut; (6) pelayanan publik; budaya kerja produktif ;
(7)
koordinasi
integrasi
dan
sinkronisasi;
(8)
best
practices
dalam
melaksanakan birokrasi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. (Sumber: A genda Strategis Reformasi Birokrasi Menuju Good Governance – Menpan, 2007). Namun, dalam
pelaksanaannya
menghadapi
sejumlah
kendala,
salah
satunya
adalah
ketidakjelasan ukuran keberhasilan reformasi birokrasi itu sendiri. Selain itu, terdapat sejumlah persoalan lain terkait dengan kondisi sosial budaya di masyarakat, seperti adanya budaya patriarkhalisme dalam birokrasi yang mengakibatkan bawahan tidak berani bertindak jika tidak memperoleh restu dan petunjuk dari atasan. Petunjuk dianggap sebagai sikap sop an yang harus diperlihatkan agar tidak melampaui batas kekuasaannya. (Thoha, 2003). Apabila seorang atasan masih menganut budaya ini secara f anatik, dikhawatirkan dapat mematikan kreatif itas dan inisiatif bawahannya, seperti yang menjadi ukuran bagi manajemen rasional (birokrasi weberian) dan NPM dalam upaya meningkatkan pelayanan bagi masyarakat secara luas. Kendala lain adalah bureaupathology yaitu korupsi di dalam tubuh birokrasi yang sulit diberantas. Berbagai lembaga survei melansir tentang tingginya tingkat korupsi Indonesia, salah satunya hasil survei yang dilakukan oleh PERC (Political and Economic Risk Consultancy) yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup se Asia Pasif ik. Sampai saat ini pemerintah terus mengupayakan pemberantasan korupsi , meskipun beberapa pihak menilai pemberantasan korupsi masih setengah hati dan bersif at
tebang
pilih,
terlebih
lagi
saat
ini
kesungguhan
pemerintah
dalam
pemberantasan korupsipun dipertanyakan seiring dengan lemahnya peran KPK dalam mengusut kasus-kasus korupsi. Menurut Tauf iq Eff endi (dalam Prasojo, 7:2008), f aktor yang menyebabkan korupsi di Indonesia sulit diberantas karena ada kekeliruan peradaban (civilization fallacies) yang tidak datang dengan sendirinya, melainkan karena adanya kebiasaan yang perm isif dalam waktu yang lama. Kebiasaan yang permisif inilah yang menjadikan tindakan korupsi lambat laun diterima menjadi budaya disisi lain. Maka, untuk merubahnya diperlukan political will dari pemerintah serta
seluruh komponen bangsa untuk meluruskan kem bali kekeliruan ini.
Melihat Reformasi Birokrasi dari Negara Asia Lainnya Globalisasi adalah realitas yang tidak bisa dihindari oleh setiap negara untuk itu setiap negara harus mampu berperan dalam pasar global, salah satunya dengan meningkatkan kinerja sektor publik. Alasan inilah yang membuat sejumlah negara (khususnya
negara
berkembang)
untuk
melakukan
reformasi
birokrasi.
Menurut
Hardjapamekas (2003:2) keberhasilan reformasi birokrasi ditunjang oleh stabilitas politik dan kerjasama yang baik antara bi rokrasi dengan pemimpin politik, seperti yang terjadi di Singapura dan Malaysia. Reformasi birokrasi di Singapura menekankan pada peningkatan kompetensi civil service agar mereka mampu menjawab tantangan zaman dan lebih kompetitif di dunia internasional. Lebih
lanjut
menurut
Andi
Rachmianto,
reformasi
birokrasi
di
Singapura
menunjukan sejumlah keberhasilan karena; (1) memiliki arah yang cukup jelas dalam hal peningkatan SDM, kelembagaan dan ketatalaksanaan; (2) sistem penggajian antara sektor
pemerintah
da n
swasta
disesuaikan
dengan
kinerja
perseorangan
dan
pertumbuhan ekonomi nasional; (3) mekanisme konsultasi dan partisipasi publik dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan sudah berjalan baik, serta; (5) struktur kelembagaan yang relatif lebih ramping d ibanding Indonesia sehingga pendelegasian tugas dan wewenangnya jelas (www.tempointeraktif.com). Sedangkan di Malaysia lebih diorientasikan ke bisnis untuk menggantikan peran aktif birokrasi dalam pembangunan dan meredef inisi perannya sebagai fasilitator dalam aktivitas sektor swasta. Lain halnya yang terjadi di Thailand dan Filipina. Reformasi birokrasi di Thailand direspon dengan adanya penguatan peran birokrasi publik dalam memf asilitasi kebijakan pro -pasar seperti privatisasi dan berbagai aktivitas ya ng berkaitan dengan sektor swasta seperti business licensing, perdagangan internasional, dan pengawasan f iskal. serta perubahan peran birokrasi yang lebih menempatkan dirinya sebagai katalisator untuk memf asilitasi aktivitas ekonomi yang civil service -nya berperan sebagai pendukung dan bukannya pemimpin. Hal yang sama juga dilakukan Filipina. Hal ini dengan jelas menunjukkan
bahwa
perubahan
birokrasi
itu
menekankan
perlunya
keterbukaan
struktural untuk memungkinkan terjadinya pertukaran gagasan dan perubaha n inovasi. Namun, upaya reformasi birokrasi yang dilakukan di Thailand, dan Filipina dinilai kurang ef ektif dalam mewujudkan perubahan administrasi karena dominannya aparat birokrasi dan adanya konf lik atau kolusi antara birokrasi dan elite politik, hal se perti
ini juga terjadi di Indonesia. Dari pengalaman reformasi birokrasi yang dilakukan oleh negara lain, maka syarat keberhasilan suatu reformasi birokrasi bukanlah sekedar perubahan dalam tataran sistem dan struktur birokrasi saja, namun harus meliputi p erubahan perilaku dan budaya pejabat publik dan masyarakat pada umumnya. Disisi lain, pemerintah harus dapat menciptakan stabilitas politik agar proses reformasi dapat berjalan dengan ef ektif, yaitu dengan menciptakan birokrasi yang prof esional dan netral. Meskipun netralitas seperti gagasan awal Weber dimana birokrasi tidak dipengaruhi ideologi partai politik saat ini dirasa mustahil, tapi paling tidak pemerintah harus memiliki batasan jumlah pejabat politik dalam birokrasi untuk menciptakan stabilitas pol itik.
The Four E sebagai Tolak Ukur Keberhasilan Reformasi Birokrasi di Indonesia Berbicara mengenai reformasi birokrasi maka yang harus ditetapkan adalah ukuran keberhasilannya, hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan reformasi birokrasi memiliki arah dan tujuan yang jelas. Ukuran keberhasilan reformasi birokrasi tidak cukup hanya pada penegakan hukum (law enforcement) semata, pemerintah juga harus memfokuskan pada perubahan mindset dalam melakukan pelayanan publik, yaitu dengan melihat ukuran keberhasilan penyelenggaraan negara dari berbagai sisi; tidak hanya dari Three E yaitu Economy, Efficiency and Effectiveness saja, tetapi perlu ditambahkan another E yaitu Equity. Economy bicara soal biaya yang digunakan sebagai input, Eff iciency bicara soal biaya dalam memproduksi output. Eff ectiveness bicara soal producing resuslt, dan Equity bicara soal equality (persamaan) hak dalam memperoleh keadilan. Persoalan equity, mulai diperbincangkan seiring dengan berkembangnya paradigma NPS, yang memposisikan raky at sebagai owner of government, sehingga pekerjaan pejabat publik tidak lagi mengarahkan tetapi memberikan pelayanan kepada masyarakat (serving not steering). Hal ini dilakukan tidak saja untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik tetapi juga untuk men jalankan nilai -nilai demokrasi Masalah yang cukup krusial dalam Four E
tersebut tersebut adalah persoalan
Eff ectiveness. Konsep ini seringkali dilupakan, terlebih pada tahapan law enforcement, ironisnya justru bukan output atau bahkan outcome yang menja di ukuran keberhasilan, melainkan proses. Prosedur,
aturan, tata cara dijadikan seolah -olah sebagai “Hukum
Tuhan”. Pelanggaran terhadap standar operasional prosedur (SOP) dan tata cara dipermasalahkan, bahkan mengalahkan tujuan. Ratusan pejabat publik yan g melanggar prosedur, pedoman, tata cara dimejahijaukan, padahal apa yang dilakukannya adalah
menjalankan discretion power yang dimilikinya sebagai pejabat publik dalam rangka memenuhi need, interest and desired outcomes. Variasi yang menyangkut Four E da lam implementasi kebijakan tidak ditolelir, satu aturan berlaku untuk semua. Undang -Undang dan Peraturan pemerintah berlaku secara nasional, tanpa melihat karakteristik local culture. Pelanggaran prosedur, SOP, tata cara, juklak/juknis dianggap sebagai pel anggaran pidana yang berujung pada hukuman badan. Inilah sebenarnya bukti kegagalan reformasi birokrasi di negeri ini. Sisi lain kegagalan reformasi birokrasi kita adalah pada tahapan proses, yaitu ketika seluruh kegiatan yang dilakukan pemerintah dianggap sebagai services, bahkan perijinan yang mengandung makna pengendalian pun dianggap sebagai service. Apabila kita memaknai apa yang dikatakan Peter J ackson (dalam Flynn, 2007:133) yang menyatakan bahwa the outcome of services maybe diff erent for diff erent stakeholder, kita akan paham bahwa stakeholders have diff erent interests in performance of public sector departements. Reformasi birokrasi dalam pengurusan perijinan bukan berarti proses pengurusan ijin itu harus dipermudah dan
dipercepat, tetapi justru s eharusnya
diperketat, dan bahkan tidak dijadikan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah sama sekali, karena indikator effectiveness bukan pada proses, tapi output bahkan lebih jauh lagi pada outcome. Apakah ef ektivitas kebijakan itu telah mengarah pada dua kategori outcome;
yaitu change in state and change in behaviour? dua hal itulah yang perlu
mendapat perhatian lebih besar dari pada hanya sekedar berputar pada tataran proses.
DAFTAR PUSTAKA De Bruijn, Hans. 2007. Managing Performance in The Public Sector. London:Routledge Eff endi, Tauf ik.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan). 2007.
Agenda Strategis Reformasi Birokrasi Menuju Good Governance. Sekertariat Negara Republik Indonesia. Flynn, Norman. 2007. Public Sector Management.Fift h Edition. UK: Prentice Hall Galbraiyh, J ay R. 2005. Designing The Coustumer -Centric Organization: A Guide to Strategy,Structure and Process. San Francisco:Josey Bass Hardjapamekas, Erry Riana. 2003. Reformasi Birokrasi sebagai Syarat Penegakan dan Pemberantasan KKN Otenyo, Eric E and Nancy S. Lind. 2006. New Public Management And Reforms. Research In Public Policy Analysis and Management: Comparative Public Administration The Essential Readings, 15: 501 -514. Prasojo, Eko. Teguh Kurniawan. 2008. Reformasi B irokrasi dan Good Governance: Kasus Best Practices dari sejumlah Daerah di Indonesia Said, M. Mas’ud. 2007. Birokrasi Di Negara Birokratis: Makna, Masalah dan Dekonstruksi Birokrasi Indonesia. Malang: UMM Press Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi Politik di Ind onesia. J akarta: PT. Rajagrafindo Persada.