Modul ke:
NEW MEDIA & SOCIETY HYPER REALITAS MASYARAKAT MAYA
Fakultas
ILMU KOMUNIKASI
Program Studi
Penyiaran www.mercubuana.ac.id
ADI SULHARDI.
•
Seorang suami membunuh istrinya sendiri gara-gara sang istri mengubah status dalam facebook-nya yang tadinya “In Relationship” menjadi “Single”, memang suami-istri tersebut sudah lama tidak tinggal serumah namun ternyata si suami gemar mengintai istrinya lewat jejaring sosial dunia maya tersebut sehingga emosinya memuncak ketika dirinya merasa “ditiadakan” dengan mengaku masih single kepada kawan-kawannya di komunitas
,
internet (tempo 6 Februari 2009). •
Di sudut kota yang lain seorang anak kelas 5 SD tidak pulang hingga 3 hari sehingga orangtuanya melapor ke polisi karena khawatir anaknya diculik, ternyata kemudian si anak “ditemukan” masih berseragam sekolah sedang asyik bermain game online di sebuah di game center tidak jauh dari rumahnya hingga lupa pulang.
• Kedua fenomena ekstrem tersebut benar-benar terjadi dan dalam intensitas yang lain banyak terjadi di sekitar kita, bahkan kita sendiri kerap mengalaminya. Dalam hal ini jejaring maya yang dimanifestasikan dalam world wide web (baca : www) menjadi realitas baru bagi sebagian orang.
• Manusia abad kontemporer hidup dalam dunia simulacra (gambar, citra atau penanda suatu peristiwa yang telah menggantikan pengalaman). Manusia postmodern hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi.
• Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu.
• Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat modern ini menjadi berlebihan dalam pola mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya. Kebanyakan dari masyarakat ini mengkonsumsi bukan karena kebutuhan ekonominya melainkan karena pengaruh model-model dari simulasi yang menyebabkan gaya hidup masyarakat menjadi berbeda. Mereka jadi lebih concern dengan gaya hidupnya dan nilai yang mereka junjung tinggi.
• Di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dasyat realitas telah hilang dan manguap. Kini kita hidup di zaman simulasi, di mana realitas tidak hanya diceritakan, direpresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi kini dapat direkayasa, dibuat dan disimulasi.
• Hyper-Reality: Sisi Lain Masyarakat Maya – Kemampuan teknologi media elektronika memungkinkan perancang Agenda Setting media dapat menciptakan realitas dengan menggunakan satu model produksi yang oleh Jean Braudrilard (Pillang, 1998;228) disebutnya dengan simulasi, yaitu penciptaan model-model nyata yang tanpa asal-usul atau realitas awal, hal ini disebutnya (Hyper-Reality). Simulasi adalah territorial (ruang) pengetahuan yang diskontruksikan oleh media informasi melalui pencitraan media, dimana manusia mendiami suatu realitas yang perbedaan antara nyata dan fantasi.
• Kemampuan teknologi digital memungkinkan setiap orang merancang pesan dan membuat agenda setting mereka dan menciptakan model produksi yang disebut oleh jean baudliard sebagai simulakra atau simulasi atau penciptaan model-model “nyata” tanpa asal usul atau realitas awal.
• Istilah “dunia maya” pertama kali muncul dalam novel, Neuromancer, yang ditulis oleh William Gibson pada tahun 1984, di mana istilah tersebut merujuk pada jaringan informasi luas yang oleh para penggunanya disebut console cowboys akan “muncul”, atau koneksi langsung dengan sistem-sistem syaraf mereka (
• Definisi yang lebih formal yang dikembangkan dari konsep Gibson tersebut dikemukakan oleh Benedikt (1991:122-123) yang menyatakan bahwa dunia maya adalah realita yang terhubung secara global, didukung komputer, berakses komputer, multidimensi, artifisial, atau “virtual”. Dalam realita ini, setiap komputer adalah jendela, dimana akan terlihat atau terdengar objek-objek yang bukan bersifat fisik dan bukan representasi objek-objek fisik, namun lebih merupakan gaya, karakter, dan aksi pembuatan data, pembuatan informasi murni.
• Fenomena komunikasi melalui internet sekarang ini bagi sebagian orang tampaknya lebih menarik daripada berkomunikasi secara langsung tatap muka. Gejala inilah yang oleh Walther disebut sebagai komunikasi hiperpersonal, yakni komunikasi dengan perantara internet yang secara sosial lebih menarik daripada komunikasi langsung.
• •
•
•
tiga faktor yang cenderung menjadikan partner komunikasi via komputer lebih menarik: (1) E-mail dan jenis komunikasi lainhya memungkinkan prewentasi diri yang sangat selektif, dengan lebih sedikit penampilan atau perilaku yang tidak diinginkan dibandingkan komunikasi langsung. Dengan kata lain, Anda tidak perlu repot menata perilaku visual ketika berkomunikasi melalui internet. (2) Orang yang terlibat dalam komunikasi via komputer kadang kala mengalami atribusi yang berlebihan yang di dalamnya mereka membangun kesan stereotipe tentang partner mereka. Kesan-kesan ini sering mengabaikan informasi negatif, seperti kesalahan cetak, kesalahan ketik, dan sebagainya. (3) Ikatan intensifikasi bisa terjadi yang di dalamnya pesan-pesan positif dari seorang partner akan membangkitkan pesn-pesan positif dari rekan komunikasinya.
• Sebagaimana halnya komunikasi yang sasarannya personal, komunikasi hiperpersonal pun disinyalir akan mampu menciptakan keakraban, bahkan keintiman di antara partisipannya. Hanya saja keintiman yang terjalin belum tentu bersesuaian antara yang terjadi dalam realitas dunia maya (hiperrealitas) dengan realitas yang sesungguhnya. •
Apabila dalam komunikasi interpersonal keintiman yang terjalin itu benar-benar nyata dan empirik, dalam komunikasi hiperpersonal hal itu lebih bersifat semu dan cenderung dilebih-lebihkan. Sebagai contoh, komunikasi yang terjadi di antara dua orang melalui chatting-room, misalnya melalui facebook atau yahoo massenger dapat memuat pesan-pesan yang dipertukarkan yang sangat intim dan sangat pribadi, tanpa harus saling mengenal lebih dahulu satu sama lainnya.
• Realitas dunia maya yang walaupun dengan kecanggihan sistem komunikasinya telah banyak membantu aktivitas hidup manusia, ternyata juga memiliki ancaman. Dalam masyarakat cyberspace, komunikasi yang terjadi terkadang berupa hiperrealitas. Sebuah dunia yang melampaui realitas yang ada dan akhirnya mengambil alih keseluruhan realitas tersebut.
•
kecanggihan teknologi yang mempermudah komunikasi dan interaksi sosial ini, sebagaimana kemajuan lainnya, selalu memiliki dua jenis dampak sekaligus bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Dengan kata lain, efek yang timbul bisa dikatakan sudah "satu paket" tanpa bisa dipilih salah satunya saja. Artinya, tidak hanya sisi positif seperti yang disinggung di atas saja yang muncul. Sisi negatif pun tak sedikit turut mewarnai fenomena melambungnya teknologi internet, khususnya dalam konteks komunikasi dan interaksi sosial. Sebagai contoh, satu hal yang menarik perhatian adalah seputar terjadinya kesenjangan antara komunikasi dan interaksi yang berlangsung di dunia maya dengan di dunia nyata.
• Hyperreality, bagaimanapun berbeda dengan virtual reality. Hyperreality menciptakan virtual reality menjadi pengalaman dalam realitas fisik, sehingga realitas virtual dan realitas fisik berinteraksi satu sama lain. Virtual reality menyediakan dunia virtual yang tampak lebih “meyakinkan” untuk orang-orang yang mengalaminya. Namun, Hyperreality, menyediakan “HyperWorlds” yang mengaburkan batas antara apa yang “real” dan apa yang “virtual” dan membuatnya tampak “natural”.
Game dan Hyper realitas • game menawarkan sebuah solusi yang tidak wajar kepada manusia. Game memberikan kepada manusia sebuah pengalaman hidup yang sangat direduksi sekaligus dibungkus dengan teknologi terbaru, dan untuk mendapatkan pengalaman ini kita sering kali harus menukarnya dengan waktu kita secara membabi buta. Teknologi yang ada cenderung membuat kita terjebak hanya melihat di dalam “solusi menjawab kemalasan”, “mengisi waktu luang”, dan memperbanyak pengetahuan akan hal yang sebenarnya tidak perlu diketahui.
• Game menawarkan suatu sensasi identitas baru di dalam virtual reality/realitas semu. Identitas yang dicari manusia di dalam kejatuhannya. Di dalam realitas semu seakanakan manusia menemukan kembali identitas diri, jati diri yang seharusnya kita miliki, tetapi justru di dalam realitas semu itulah identitas kita dalam kejatuhan dibuang dan diganti dengan identitas semu juga. Kita sering membayangkan dan bahkan membuat diri kita menjadi seperti apa yang ada di dalam game.
• Virtual reality ini telah menghasilkan dampak yang buruk bagi gaya hidup manusia (khususnya remajapemuda) zaman sekarang. Manusia cenderung mengatakan, “Serius itu tidak baik, santai sedikitlah! Mari kita rileks, mari bermain game, hidup itu harus fun!” Kita sering kali berpendapat bahwa teknologi seperti game itu netral adanya, padahal semua yang ada di dunia ini tidak pernah netral, setiap kehadiran konsol maupun game pasti membawa logika maupun filsafat di balik pencetusannya.
• Lebih jauh lagi, seperti yang diungkapkan oleh filsuf postmodern dari Perancis zaman ini, Jean Baudrillard, media saat ini (tidak terlepas dari game) menawarkan kepada konsumen sebuah realitas yang bukan lagi bersifat virtual, namun sebuah realitas yang sudah dilebih-lebihkan. Ia menggunakan istilah hyper-reality. Manusia tidak lagi tertarik kepada dunia nyata. “Dunia nyata itu kejam! Saya butuh yang di luar ini yang bisa menenangkan hidup saya!” Bagi Baudrillard, hal ini sangat lumrah terjadi karena hiper-realitas memang diciptakan untuk mengakomodir kebutuhan manusia di dalam memuaskan keinginan/selera mereka. Manusia secara liar sering kali mencari hal-hal yang berlebihan supaya diri ini merasa dipenuhi atau dipuaskan.
• Jean Baudrillard menggambarkan dalam tulisannya Simulacra and Simulation bahwa Disneyland adalah contoh tepat yang menggambarkan kondisi hyperreality. Baudrillard juga mengatakan bahwa tempat yang paling hyperreality adalah di gurun pasir dan Amerika.
• Di kedua tempat itu banyak ditemukan khayalan dan fatamorgana, yang artinya ketika kita berada di gurun pasir kita akan melihat khayalan tentang air dan tempat untuk berteduh yang merupakan fatamorgana. Begitu juga ketika seseorang bermain games, menonton acara televisi, menonton film yang memiliki cerita menarik dan lain sebagainya. Mereka kemudian melibatkan emosi dan perasaannya akibat alur cerita dan penokohan yang dibawakan oleh karakter film dan kemudian terbawa dalam kehidupan nyata sehingga dia tidak lagi bisa membedakan antara realitas nyata dan realitas yang dikonstruksikan.
Terima Kasih Adi Sulhardi, S.Sos, MS.i