NAMA-NAMA PROSESI BUAH NAGA DAN PENANAMAN PADI MASYARAKAT MINANGKABAU Eriza Nelfi dan Iman Laili Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Bung Hatta
ABSTRACT Minangkabau society and culture are rich in agricultural terms. Every village in Minangkabau has distinctive agricultural terms that are different from other villages. There are various agricultural terms which are not comprehensively documented yet. We just limit this paper to document them in West Sumatra especially the agricultural terms that are close to extinct. To prove the findings, the older and younger generation in this regency will be investigated. This research will be supported by some theories of ecolinguistics. Qualitative approach and interview technique will be applied. Some aspects of this paper were based on research project financed by Hibah Bersaing (Competitive Grant) coordinated by Dikti (Directorate of Higher Education, Indonesia) in 2013. Keywords: Minangkabau, agricultural terms, extinction 1. Pendahuluan Masyarakat Minangkabau sangat kaya dengan nama-nama prosesi agrikultural. Hampir setiap nagari di Minangkabau memiliki nama-nama prosesi agrikultural yang memiliki kekhasan tersendiri sekalipun berasal dari satu kecamatan atau kabupaten yang sama, minimal dari cara pengucapannya. Nama-nama prosesi agrikultural yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah cara masyarakat Minangkabau memberi nama terhadap suatu aksi tertentu atau menamai suatu objek, peristiwa, atau prosesi. Nama-nama prosesi yang berkaitan dengan prosesi agrikultural belum terdata secara komprehensif. Padahal nama-nama prosesi dimaksud yang penuh dengan nilai-nilai kearifan lokal dan ekologis sudah mulai dipredasi oleh peradaban, media, serta sapaan lain, terutama bahasa Indonesia, bahasa gaul (bahasa alai), bahasa Betawi, Jawa, bahasa Inggris, dan lain-lain. Bila dipakai gradasi tahap kepunahan, nama-nama prosesi agrikultural di Minangkabau terutama di kalangan generasi pelapis, telah memasuki tahap terancam punah (Sawirman, 2012). Kata lasuang ‘alat tempat menumbuk padi secara tradisional’ dan padati ‘alat transportasi Minang yang dibawa oleh kerbau’ misalnya hanyalah dua contoh dari sejumlah kata yang terancam punah yang akan diungkap dalam tulisan ini. Sekalipun dua kata tersebut ada dalam kamus Minang, akan tetapi makna komprehensif kesulitan kedua kata tersebut sulit
Eriza Nelfi dan Iman Laili
dijelaskan kepada pembelajar bahasa. Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan foto-foto objeknya yang juga terancam musnah. Contoh lain juga terjadi pada kata ambuang ‘tempat membawa daun gambir ke kampan ‘rumah pengolahan gambir’. Kata ambuang dalam kamus Minang yang ada berarti ‘melempar ke atas’. Kata-kata yang dicontohkan di atas, sudah terancam punah akibat perkembangan peradaban manusia. Bila kata-kata tersebut tidak diangkat kembali ke permukaan, bukan tidak mungkin kata-kata tersebut dalam beberapa tahun mendatang akan musnah. Secara khusus, tulisan ini akan mendata namanama prosesi agrikultural khususnya pada tanaman padi dan buah naga. Selain wawancara, sejumlah instrumen seperti observasi partisipan, existing information/ document (memanfaatkan informasi/dokumen yang ada) dan wawancara digunakan. Kesahihan data/informasi akan diukur dengan teknik triangulasi, yakni triangulasi nara sumber, triangulasi metode, dan triangulasi teori. 2. Kajian Pustaka dan Teori Berdasarkan penelitian Summer Institute of Linguistics (SIL, 2001) yang dilaporkan dalam Lauder & Multamia (2005), bahasa-bahasa yang berpotensi terancam punah sebanyak 731 bahasa di Indonesia (5 bahasa di antaranya dinyatakan telah punah). Sejumlah bahasa lainnya seperti bahasa Hulung dianggap memasuki tahap sangat terancam punah (seriously endangered language). Beberapa di antaranya telah memasuki tahap sekarat (moribund language). Di Papua, tercatat tinggal satu penutur bahasa Mapia yang dapat dianggap sudah punah (extinct language). Bila dirunut dalam payung linguistik, ensiklopedia yang akan dibuat berada dalam ranah Evolusi Bahasa dan Ekolinguistik yakni seputar nama-nama peralatan dan prosesi agri(kultural) dan makanan tradisi. Selama ini, kamus atau buku yang berwujud atau bernuansa ensiklopedia seakan-akan milik genre bahasa politik. Tarpley (2004) misalnya menulis seputar perkembangan semantis tragedi WTC. Akhir-akhir ini, ranah pencarian makna proto dan perkembangan semantis kata merambah dunia ekologis. Fill dan Penz (2007) dalam buku Sustaining Language: Essays in Applied Ecolinguistics terbitan LIT Verlag Münster tahun 2007 membahas aneka faktor penyebab kepunahan bahasa di era globalisasi dan ekologi. Selain membedah peran bahasa dalam kaitannya dengan pemberdayaan lingkungan, buku ini juga memaparkan bagaimana peran ekolinguis untuk memperkenalkan dan menghidupkan kembali bahasa-bahasa yang sudah hampir punah sembari memperkenalkan cara-cara yang solutif untuk pemberdayaannya kepada pembelajaran bahasa. Fill dan Penz mampu membuktikan bahwa melalui kajian linguistik, ekologi dan perkembangan peradaban manusia dapat diungkap. Seperti halnya pendekatan ekoturisme (ecotourism) di dunia pariwisata, dalam ilmu linguistik juga beredar cabang ilmu yang disebut dengan ekolinguistik. Bila pendekatan ekoturisme di dunia pariwisata menekankan pada penting pelestarian lingkungan hidup sembari melakukan wisata, demikian pula visi yang ada dalam ekolinguistik (Sawirman, 2012; 2013). Para ekolinguis berharap agar
15
Linguistika Kultura, Vol.07, No.01/Juli/2013
kajian-kajian linguistik mampu memberikan sumbangan pada pemberdayaan lingkungan hidup. Mühlhäusler (2004) mengeluarkan buku berjudul Linguistic Ecology: Language Change and Linguistic Imperialism in the Pacific Region. Dalam bukunya, Mühlhäusler mengkaji transformasi bahasa Pasifik akibat pengaruh kolonialisasi, westernisasi, dan modernisasi. Titik kajiannya yang memfokuskan pada perubahan linguistis dan sosio-historis selama 200 tahun memunculkan keraguaannya terhadap rekonstruksi historis dan tipologi bahasa. Proses perubahan bahasa dan linguistik di mata Mühlhäusler bukan berkembang secara natural, tetapi lebih disebabkan oleh perubahan faktor kultural dan historis. Adalah penggunaan metafora language ecology yang digunakannya sebagai basis untuk membedah kompleksitas antara bahasa, kultur, historis, dan praktek sosial. Mühlhäusler melihat potensi ekolinguistik memiliki potensi di masa lalu untuk mempertahankan keberagaman bahasa. Dengan kata lain, perubahan bahasa juga seiring dengan rusaknya ekologi dan ekosistem. Sekalipun contohcontoh yang diteliti Mühlhäusler diambil dari lokasi-lokasi penelitian di Pacific and Australia, simpulan hasil kajiannya ditujukan pada kondisi global. Sebuah buku editorial terbitan Continuum International Publishing Group tahun 2001 berjudul The Ecolinguistics Reader: Language, Ecology, and Environment yang dieditori oleh Alwin Fill dan Peter Mühlhäusler tidak hanya membahas relasi antara bahasa dengan pikiran manusia dan masyarakat multilingual dengan aneka metode dan pendekatan. Buku tersebut tidak hanya memuat artikel para sesepuh linguis dan ekolinguis seperti Edward Sapir, G. Steiner, Einar Haugen, N. Denison, W.F. Mackey, M.A.K. Halliday, dan H. Weinrich, tetapi juga memuat tulisan para ekolinguis brilian seperti A. Fill, P. Finke, A. Goatly, R. Harris, W.A. Liebert, P. Mnhlh Susler, M. Schleppegrell, dan W. Trampe. Buku ini juga memuat aneka topik ekolinguistik kritis dan biolinguistik yang ditulis oleh S. Chawla, B. Schultz, D. Carbaugh, R. Penman, J. Glausiusz, D. Laycock, M. Jung, M. Kahn, M. Howlett, R. Raglon, dan T. Berman (Gambar c). Dua tahun sesudah mengeditori buku The Ecolinguistics Reader: Language, Ecology, and Environment, Peter Mühlhäusler juga menulis buku Language of Environment, Environment of Language: A Course in Ecolinguistics yang diterbitkan oleh Battlebridge tahun 2003. Saripati dari semua kajian tersebut tiada lain berupaya membaca kemampuan linguistik untuk menjamah ranah strategis, seperti membaca silsilah evolusi manusia, ekologi, dan historis sehingga memunculkan cabang baru dalam linguistik yang disebut dengan ecolinguistics. Pernyataan tersebut senada dengan yang disampaikan oleh Kinsela (2009) dalam bukunya berjudul Language Evolution and Syntactic Theory terbitan Cambridge University Press. Teori-teori kebahasaan di mata Kinsela (2009) sudah selayaknya dikembangkan untuk mengungkap fakta-fakta evolusi kebahasaan. Ansaldo (2009) juga mengungkap secara eksplisit perlunya linguis berinteraksi dengan ahli ekologi. Baik Kinsela maupun Ansaldo membawa metode-metode terbaru melalui pemaduan ekologi dengan bahasa. Semua ahli internasional yang disebutkan di atas belum memberdayakan kajian ekolinguistik mereka dengan ranah-ranah linguistik komputasional, misalnya pembuatan film dokumenter, software, dan lain-lain. Adalah beralasan 16
Eriza Nelfi dan Iman Laili
mengapa salah satu produk temuan dalam penelitian ini adalah membuat film dokumenter selain website online dan ensiklopedia cetak sebagai produk-produk unggulan. Dalam kaitan dengan pembuatan website dan ensiklopedia online, beberapa tulisan dalam buku yang dieditori oleh Howard (2010) berjudul The Penguin Dictionary of Electronics cetakan Mori Agency Inc Tokyo dapat dijadikan rujukan model awal. Penelitian ini juga direncanakan akan melibatkan tim ICT yang ahli di bidang pembuatan website dan film documenter. Dalam kaitan dengan pembuatan film dokumenter, tulisan dalam buku buku-buku yang ditulis oleh Howard, D.M. and Murphy (2008), Howard, D.M. 2008. Electrolaryngography/electroglottography, The Larynx. San Diego: Plural Press. Khusus untuk pembuatan website, pengusul akan menjadikan model International Journal of Cultural Studies sebagai model basis pengembangan. 3. Nama-nama Prosesi Buah Naga Nagari Ulakan Tapakis dipilih sebagai lokasi penelitian untuk mendata nama-nama prosesi dan peralatan tradisi khusunya seputar tanaman buah naga. Selain dikenal sebagai produsen buah naga, nagari Ulakan juga dikenal sebagai wilayah penghasil padi, palawija dan berbagai aset wisata religi. Di Nagari yang terletak di Kecamatan Ulakan Tapakis ini terdapat makam Syekh Burhanuddin, seorang ulama besar Sumatera Barat. Berikut beberapa nama-nama prosesinya. marambah
Kegiatan yang dilakukan pada saat akan membuka lahan untuk ditanami dengan menggunakan alat rembeh.
maliliang (duri)
Kegiatan maliliang duri adalah membuang duri sulur yang terdapat pada pinggir-pinggirnya dengan menggunakan sakin (pisau). Sulur yang dibuang durinya ini digunakan untuk makanan sapi. Sulur ini diambil ketika membersihkan batangnaga (diambil sulur yang jelek).
17
Linguistika Kultura, Vol.07, No.01/Juli/2013
manguduang
Kegiatan manguduang adalah kegiatan memotong sulur yang akan dibibitkan atau dibuang.
Sakin
Pisau yang digunakan untuk memotong sulur.
diangin-anginkan sulur batang naga dalam proses pengeringan
Mengeringkan sulur yang sudah dipotong-potong agar air/ getahnya kering sebelum dibibitkan dengan mengeringkannya tidak di bawah matahari.
18
Eriza Nelfi dan Iman Laili
Disamaian pembibitan buah naga
Menanamkan bibit pada tempat tertentu sebelum dipindahkan ke kebun
Maambiak ari
Kegiatan menentukan hari untuk menanamkan (memindahkan) tunas yang sudah panjang ke lubangnya. Kegiatan ini hanya dilakukan oleh petani buah naga di Nagari Ulakan Tapakis.
baloe/tuneh
Tunas yang keluar dari sulur yang sudah dibibitkan/disemai.
babaloe
digabuak
Memiliki tunas/bertunas
Tanah digemburkan untuk memasukkan pupuk kandang. Hal ini dilakukan sebelum bibit ditanam.
19
Linguistika Kultura, Vol.07, No.01/Juli/2013
dimasaman
Mendiamkan tanah gemburan yang sudah diberi pupuk kandang beberapa lama agar pupuknya meresap.
bulan-bulanan
Tanah yang ditinggikan ke pangkal junjungan berbentuk bulat
lambauan
Tanah yang ditinggikan ke pangkal junjungan tetapi berbentuk panjang
manggatia
Memotong buah naga dengan tangan
Batang langkon
Nama kayu yang disilangkan di dalam ban yang digunakan sebagai junjungan. Menurut informan, kayu tersebut tidak mudah lapuk, sehingga tahan oleh hujan dan panas.
Mumuak
Istilah ini digunakan untuk menyebut kayu yang sudah sangat lapuk.
Dicatuak
Kegiatan memotong buah naga dengan menggunakan pisau.
20
Eriza Nelfi dan Iman Laili
Dipiuah
Kegiatan mengambil buah naga dengan cara memutarnya dengan tangan.
Malenseang
Kegiatan membuat eleng (kemiringan tanah) got sekeliling kebun naga.
Eleang
Kemiringan tanah pada got di sekeliling kebun
Mangawinan
Melakukan penyebukan pada bunga yang sedang mekar dilakukan pada malam hari
Balahari
Buah yang merekah di batangnya yang masih dalam proses pematangan
21
Linguistika Kultura, Vol.07, No.01/Juli/2013
malapeh
Buah yang tidak melalui penyebukan (hampa/ gagal panen)
malateh/marimbeh
Membersihkan rumput menggunakan tangkiuik
dengan
tangkiuik Alat yang digunakan untuk menggemburkan dan membersihkan rumput (malateh) serta membuat eleng‘ kemiringan’ pada got kecil sekeliling kebun. Di Nagari Ketaping alat ini disebut dengan tajak.
bakuduang-kuduang
memotong-motongtampang
rembeh/tangkiuik
Alat untuk membuka lahan (marambah)
22
Eriza Nelfi dan Iman Laili
Tambilang
Alat yang digunakan untuk membuat lubang
junjuangan
Tiang untuk menyangga batang naga yang di atasnya terdapat ban bekas
Tajak anggua
Alat untuk menggali lubang (mirip cangkul tapi besinya agak pendek dari cangkul
23
Linguistika Kultura, Vol.07, No.01/Juli/2013
Tokeng
Alat yang digunakan untuk membuka lahan dan digunakan juga untuk menanam padi di sawah. Di Nagari Ketaping alat ini disebut dengan tangkiuik.
Distep
Dipotong batang yang akan dibibitkan.
Dilambuakan
Tanah di sekeliling tonggak penyangga batang naga tersebut digemburkan
Mampasiangan
Kegiatan membersihkan rumput di kebun naga.
Luntur
Proses jatuhnya buah naga dari batangnya. Kegiatan menggali lubang untuk ditanami batang naga.
Mamangkua Mangangkah
Buah yang pecah (merekah) saat di batang.
Dikisai
Memisahkan serbuk dari tampuknya.
Kapaloputiak
Tempat memasukkan serbuk bunga
Marunduak
Bunga yang kuncup setelah diserbuki atau setelah proses pangawinan.
4. Nama-nama Prosesi Mananam Padi Kanagarian Biaro Gadang Kecamatan Ampek Angkek Candung Agam dijadikan sebagai lokasi yang dipilih untuk penelitiam ini. Nagari Biaro Gadang merupakan salah satu nagari yang terdapat dalam Kecamatan IV Angkek, Kabupaten Agam, Propinsi Sumatera Barat. Nagari ini terdiri dari enam wilayah 24
Eriza Nelfi dan Iman Laili
jorong, yaitu Biaro, Tanjung Alam, Tanjung Medan, Lungguk Muto, Pilubang, dan Batang Buo. Pusat pemerintahan nagari berada di di Biaro. Mata pencaharian utama penduduk adalah sector pertanian, terutama sawah dan tanaman palawija. Tanaman sawah adalah menanam padi, sedangkan tanaman palawija adalah jagung, cabe, terung, tomat, singkong, ubi jalar, dan kacang tanah. Di samping bertani, sebagian penduduk juga menjadi PNS/swasta, berdagang, dan usaha kerajinan. Bahan kajian dalam tulisan ini adalah mendata kata-kata yang sudah terancam punah dan kata-kata yang belum ada dalam kamus Minang yang berkaitan dengan agrikultural, yaitu menanam padi. Berdasarkan hasil yang ditemukan bahwa ada kata-kata yang sudah hampir punah atau tidak digunakan lagi dalam masyarakat seperti pada uraian berikut. Malateh
Kegiatan malateh adalah kegiatan membuang tunggul padi sesudah disabit. Dahulu, padi tersebut tinggi, dengan ketinggian bisa mencapai satu meter. Hal tersebut bisa terjadi, karena panen tersebut hanya dilakukan sekali dalam setahun. Pupuk yang diberikan juga pupuk organik. Tidak mengandung pestisida. Cara pemberian pupuk pun berbeda dengan saat ini. Dahulu, pupuk itu diberikan saat menanam padi langsung dimasukkan pada setiap rumpun bibit yang ditanam. Sehingga padi tersebut lebih subur dan menghasilkan buahnya yang lebih banyak. Karena batang padi itu tinggi, sehingga setelah melakukan panen, tunggul padi tersebut harus dipotong dengan menggunakan alat pemotong tunggul yang disebut lateh. Alat tersebut seperti sabit, tetapi mempunyai tangkai yang lebih panjang, lebih kurang satu meter. Cara melakukan kegiatan malateh tersebut hampir mirip dengan gerakan main golf. Kegiatan malateh tersebut saat ini sudah jarang dan bahkan tidak ada lagi, karena selain batang padi saat ini tidak begitu tinggi, sehingga tidak memerlukan malateh, masyarakat pun lebih cenderung menggunakan tracktor yang langsung meratakan semua tunggul padi pada panen sebelumnya.
Manguwie
Kegiatan manguwie adalah mengumpulkan batang padi/tunggul padi yang sudah dilateh. Setelah semuanya terkumpul lalu dibakar. Kegiatan ini juga tidak dilakukan lagi karena tunggul padi itu tidak ada lagi dilateh.
25
Linguistika Kultura, Vol.07, No.01/Juli/2013
Manjaja
Kegiatan manjaja adalah suatu kegiatan membajak dengan menggunakan alat bajak tradisional yang ditarik oleh kerbau. Kerbau yang menarik alat bajak tersebut dikendalikan oleh seorang petani dari belakang. Tujuan manjaja untuk menggemburkan tanah agar mudah ditanami. Kegiatan manjaja saat ini hampir tidak dilakukan lagi, kalau ada yang melakukan itu bagi petani yang mempunyai kerbau saja. Untuk saat ini kegiatan manjaja dilakukan dengan hand tractor yang dikendalikan oleh manusia.
Malunyah
Kegiatan malunyah adalah untuk meratakan tanah yang sudah dibajak atau dicangkul. Meratakan tanah yang sudah dibajak atau dicangkul tersebut dilakukan dengan menginjak-injak bekas bajakan/cangkul tersebut, sehingga tanah bekas bajakan atau yang dicangkul tersebut lebih lunak/rata. Kegiatan malunyah untuk saat ini tidak dilakukan lagi karena sudah digantikan oleh hand tractor.
Mamancau (mamancau)
Kegiatan mamancau sama dengan mambajak. Kegiatan ini dilakukan setelah sawah dilunyah. Kegiatan ini juga tidak dilakukan lagi oleh petani saat ini karena sudah ada hand tractor.
manyikek
Kegiatan manyikek adalah kegiatan yang dilakukan sesudah mamancau, alat yang digunakan seperti sisir yang dipasang di belakang bajak yang ditarik oleh kerbau. Kegiatan manyikek ini bertujuan agar tanah yang dibajak tadi menjadi pecah-pecah atau rata. Kegiatan ini juga tidak dilakukan oleh petani saat ini karena sudah ada hand tractor.
Manyisiak pamatang
Kegiatan manyisiak pamatang adalah suatu kegiatan dengan mencangkul pematang sawah untuk membuangkan rumput-rumput yang tumbuh di pinggir dan di atas pematang sawah. Dahulu masyarakat lebih percaya bahwa pematang sawah yang penuh dengan rumput akan mengakibatkan bersarangnya hama tikus yang 26
Eriza Nelfi dan Iman Laili
dapat merusak tanaman padi mereka. Kegiatan ini dilakukan sebelum manjaja. Manyisiak pamatang juga dapat dilakukan dengan menggunakan sabit. Untuk saat ini manyisiak pamatang dilakukan petani dengan menggunakan mesin potong rumput. Bahkan ada juga petani yang membiarkan saja rumput-rumput yang tumbuh di pematang. Malindih
Kegiatan malindih adalah meratakan tanah yang sudah disikek. Tujuan kegiatan ini adalah agar tanah yang disikek agar lebih rata supaya gampang ditanami. Kegiatan ini juga tidak dilakukan oleh petani saat ini karena sudah ada hand tractor.
Manambak pamatang
Kegiatan manambak pamatang adalah kegiatan menambal pematang sawah agar air bertahan di dalam sawah tersebut. Kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan mamancau. Kegiatan ini juga sudah mulai ditinggalkan orang.
Mamangkua suduik sawah
Kegiatan mamangkua suduik sawah adalah kegiatan dengan menggunakan cangkul. Kegiatan ini dilakukan karena bajak tidak sampai ke sudut sawah. Kegiatan ini ada yang dilakukan lagi oleh petani, tetapi ada juga yang tidak. Kalau petani tidak melakukannnya, sudut sawahnya akan menjadi lebih lebar.
Manabuaan baniah
Kegiatan manabuaan baniah adalah kegiatan menaburkan/menyemaikan padi untuk dijadikan bibit/tampang. Tempat manabua baniah ini ada dua yaitu di gurun dan di sawah. Umur baniah kira-kira 1 bulan. Baniah atau padi yang akan ditabuan direndam dulu selama 2 malam. Setelah padi tadi bakacumbuikan (batuneh) baru disemaikan ke tempat yang telah disediakan. Waktu menyemai ini untuk sebagian petani punya hari baik. Hari baik menurut mereka adalah hari senin. Hari baik ini juga mereka dapatkan dari orang tua mereka secara turun temurun.
Mancabuik baniah/ Kegiatan mancabuik baniah/mambukek baniah mambukek baniah bibit yang sudah berumur kira-kira satu bulan tadi 27
Linguistika Kultura, Vol.07, No.01/Juli/2013
dicabut dan biasanya diikat segumpal. Baniah yang sudah diikat tadi dibawa ke sawah untuk ditanam. Batanam
Kegiatan batanam menanamkan benih ke sawah yang sudah datar tadi. Baniah yang sudah diikat tadi dibagi-bagi. Baniah yang ditanam ini tidak lagi menggunakan pupuk/abu dapur. Kalau dulu pupuk itu dimasukkan langsung ke setiap tunggul bibit yang akan di tanam. Untuk saat ini batanam dilakukan tampa pupuk. Kalau dulu batanam ini hanya dilakukan oleh perempuan saja, tetapi saat ini sudah dilakukan juga oleh laki-laki dengan cara membuat garis di sawah tersebut.
Mangacau
Kegiatan mangacau dilakukan ketika padi sudah mulai tumbuh. Tujuan kegiatan ini untuk membersihkan padi atau membuang rumput yang ada di sekitar tunggul padi. Saat ini, kegiatan mangacau ini juga sudah hampir ditinggalkan orang, Kegiatan maih dilakukan orang. Tujuannya agar sawahnya bersih. Kegiatan ini dilakukan sambil menyisip tunggul padi yang yang tidak tumbuh dengan menggunakan karanok. Tampang baniah yang berlebih dan ditanamkan di antara baniah yang ditanam.
Karanok Mambandaan padi
Manggaro
Manyabik
Kegiatan mambadaan padi dilakukan ketika padi sudah mulai baumbuik (babungo). Tujuan kegiatan ini untuk mengeringkan sawah dan mengalirkan air melalui banda yang dibuat tadi. Kegiatan manggaro adalah suatu kegiatan menghalau burung ketika padi mulai menguning. Burung-burung yang sering hinggap dan memakan padi tersebut adalah burung pipit. Kegiatan manggaro dilakukan dengan menggantungkan kain/tali yang diikatkan pada sepotong kayu dengan ketinggian lebih kurang dua meter yang diletakkan setiap sudut sawah dan di tengah sawah. Selain itu, petani juga menggunakan suara agar burung tersebut tidak hinggap di sawahnya. Kegiatan manggaro untuk saat ini tidak ditemukan lagi di kenagarian Biaro Gadang. Kegiatan manyabik adalah kegiatan memanen padi dengan cara memotong tangkai padi 28
Eriza Nelfi dan Iman Laili
menggunakan sabit. Mambuek lampok
Kegiatan mambuek lampok adalah mengumpulkan padi sebelum diiriak.
Mairiak
Kegiatan mairiak adalah kegiatan memisahkan buah padi dari batang padi yang sudah dipotong. Kegiatan ini dilakukan dengan ”menginjak-injak” padi yang masih melekat pada batangnya. Namun sekarang kegiatan mairiak tersebut sudah jarang dilakukan oleh petani. Masyarakat saat ini ada yang melakukannya dengan mesin. Akan tetapi, untuk nagari Biaro Gadang masyarakat menggunakan palambuik padi. Hal ini dilakukan dengan malambuikan batang padi yang sudah diikat ka palambuik padi. Khusus untuk petani yang sawahnya kecil, kegiatan mairiak ini masih dilakukan.
Malambuik
Kegiatan malambuik hampir sama fungsinya dengan kegiatan mairiak yaitu memisahkan buah padi dari batangnya. Namun caranya agak berbeda. kalau mairiak dilakukan dengan menggunakan kaki, sedangkan malambuik dilakukan dengan menghempaskan batang padi pada sebuah papan yang dibauat seperti tangga. Padi yang sudah terpisah dari tangkainya akan terkumpul di bawah palambuik tersebut.
Mangirai
Kegiatan mangirai adalah memisahkan padi dari jeraminya. Sudah jarang dilakukan orang karena batang/tangkai padi yang sudah dilambuik tadi langsung dibuang.
Maangin
Kegiatan maangin adalah kegiatan membersihkan padi sesudah diiriak. Kegiatan ini dilakukan untuk memisahkan padi yang hampa dan padi yang ada isinya (boneh). Kegiatan maangin sekarang banyak diganti orang dengan menggunakan kipeh menggunakan kipeh.
Mangipeh
Kegiatan 29
mangipeh
adalah
kegiatan
kegiatan
Linguistika Kultura, Vol.07, No.01/Juli/2013
membersihkan padi sesudah dilambuik. Kegiatan ini dilakukan untuk memisahkan padi yang hampa dengan padi yang ada isinya (boneh) dengan menggunakan kipeh. Mambelekan
Kegiatan mambelekan padi adalah menghitung berapa hasil padi tersebut. Orang juga menggunakan sumpik ‘karung’. Satu sumpik adalah tiga belek.
Berikut alat-alat yang digunakan dalam batanam padi di Nagari Katapiang Ulakan. No 1 2
Nama alat sabik ‘sabit’ cangkua ‘cangkul’
3 4
tampian palambuik padi
5
belek
6 7
sumpik palateh
8 9
bajak hand tractor
10
tungkek
11 12
sikek kuwie
Fungsi Alat yang digunakan untuk marimbeh pamatang Alat yang digunakan untuk manambak pamatang dan mancangkua suduik sawah. Alat yang digunakan untuk maangin padi. Alat yang digunakan untuk memisahkan padi dari tangkainya. Alat yang digunakan untuk menghitung jumlah padi. Karung tempat padi Alat yang digunakan untuk malateh atau membuang tunggul padi Alat yang digunakan untuk membajak Alat yang digunakan untuk membajak yang dilakukan dengan mesin Alat yang untuk menjaga keseimbangan ketika mairiak Alat yang digunakan untuk meratakan tanah Alat yang digunakan untuk mengumpulkan batang padi/tunggul padi yang sudah dilate.
5. Penutup Ancaman sejenis tampaknya menggerogoti bahasa Minang tetapi belum pada semua aspek bahasa Minang, tetapi pada beberapa aspek bahasa Minang. Mungkin sudah ribuan kata-kata Minang yang sudah musnah ditelan peradaban dan perubahan perilaku masyarakat yang hingga saat ini belum didata dan diteliti. Masih untung bila kata-kata yang hilang tersebut masih terdokumentasi dalam kamus Bahasa Minang yang ada, bila tidak maka ribuan onggok pula kearifan lokal Minang yang juga hilang seiring musnahnya ribuan kata tersebut dari penuturnya.
30
Eriza Nelfi dan Iman Laili
Referensi Ansaldo, U. 2009. Contact Languages Ecology and Evolution in Asia. Cambridge: Cambridge University Press. Crystal, D. 2000. Language Death. Cambridge: Cambridge University Press. Fill, A. dan Mühlhäusler P. (eds). 2001. The Ecolinguistics Reader: Language, Ecology, and Environment. Continuum International Publishing Group Fill, A. dan Penz, H. 2007. Sustaining Language: Essays in Applied Ecolinguistics. Münster: LIT Verlag. Howard, D.M. 2008. Electrolaryngography/electroglottography, The Larynx. San Diego: Plural Press Howard, D.M. 2009. Modern Methods for Musicology: Prospects, Proposals and Realities: Farnham: Ashgate Publishing Ltd. Howard, D.M., (Ed.). 2010. The Penguin Dictionary of Electronics, 4th ed. Tokyo: Mori Agency Inc. Howard, D.M., and Angus, J.A.S. 2009. Acoustics and psychoacoustics, 4th ed. Oxford: Focal Press. Howard, D.M., and Murphy, D.T. 2008. Voice science acoustics and recording. Dan Diego: Plural Press. Josefino S, dkk. 2010. Pemberdayaan Pekerja Anak di Sumatera Barat. Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional tahun 2010. Josefino S, dkk. 2011. Pemberdayaan Pekerja Anak di Sumatera Barat. Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional tahun 2010. Kinsela, Anna R. 2009. Language Evolution and Syntactic Theory. Cambridge: Cambridge University Press Kinsela, Anna R. 2009. Language Evolution and Syntactic Theory. Cambridge: Cambridge University Press Laili, I. 2005. Kaba Gombang Pantuanan: Tinjauan Sosial Budaya. Laili, I. 2005. Kalimat Majemuk dalam Bahasa Minangkabau. Jurnal Komunika, Desember 2005. Lauder, A.F & Multamia RMT Lauder. 2005. Bahasa Sahabat Manusia: Langkah Awal Memahami Linguistik. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Mühlhäusler, P. 2003. Language of Environment, Environment of Language: A Course in Ecolinguistics. Battlebridge. Mühlhäusler, P. 2004. Linguistic Ecology, Language Change and Linguistic Imperialism in the Pacific Region. London and New York: Routledge. Muswene, S.S. 2004. The Ecology of Language Evolution. Cambridge: University Press. Nelfi, E. 2002. Kajian Struktural Preposisi Bahasa Minangkabau. Jurnal Sastra Bung Hatta. Nelfi, E. 2003. Kajian Semantik Konjungsi Koordinatif Bahasa Minangkabau, Jurnal Sastra Bung Hatta. Nelfi, E. 2006. Kalimat Efektif dan permasalahannya. Jurnal Komunika Nelfi, E. 2006. Elipsis dalam Konstruksi Koordinatif Bahasa Minangkabau. Jurnal Komunika, Desember 2006.
31
Linguistika Kultura, Vol.07, No.01/Juli/2013
Nelfi, E. 2007.Bentuk Mubazir dalam Bahasa Indonesia. Jurnal Komunika, Juni 2007. Sawirman. 2012. From the Language Extinction to Palm Industries Development Obstructive Cases in West Sumatra. Dalam Khairil Anwar dkk. (editor). Proceeding of International Seminar Budaya Membentuk Jati Diri dan Kharakter Bangsa. Padang: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Hal. 108-114. Sawirman. (2013). Mempromosikan Agrolinguistik melalui Filsafat Tranfigurasi e135 (Studi Kasus di Perkebunan Sawit Rakyat di Sumatera Barat). Dalam E.A.A. Nurhayati, dkk. (editor). Proceeding of the 6th Bahasa Ibu VI Seminar. Denpasar: Udayana University. Hal. 473-483.
32