MOTIVASI AWAM MERASUL: STUDI KASUS LIMA ANGGOTA LEGIO MARIA DI PAROKI KELAPA DUA, DEPOK Stefanus Seto H. Hilarius S. Taryanto Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Tulisan ini mengkaji motivasi lima anggota Legio Maria di Paroki Kelapa Dua, Depok. Legio Maria adalah salah satu komunitas awam di Gereja Katolik yang menjalankan misi kerasulan. Kerasulan mencakup segala usaha pembinaan iman umat yang dilakukan dengan berbagai bentuk pelayanan. Kerasulan awam menjadi penting untuk membantu imam dalam melaksanakan karya pastoral. Kenyataannya, banyak umat awam yang tidak berminat untuk terlibat merasul. Di sisi lain, masih ada beberapa umat awam yang tetap tertarik bergabung dengan komunitas awam, seperti Legio Maria. Melihat hal tersebut, tulisan ini mendeskripsikan pengalaman hidup anggota Legio Maria yang memunculkan motivasi merasul. Melalui refleksi terhadap pengalaman hidup, anggota Legio Maria memberikan makna atas keterlibatannya merasul. Deskripsi pengalaman hidup tersebut secara tidak langsung juga memperlihatkan bagaimana lingkungan sosial budaya mempengaruhi kekatolikan anggota Legio Maria. Kata kunci: kerasulan awam; komunitas; motivasi; pengalaman; refleksi
Abstract This paper examines the motivation of five Catholic lay people in the Legion of Mary at Kelapa Dua Parish, Depok. Legion of Mary is one of the lay communitas in the Catholic Church that have apostolic mission. Apostolate include all people of faith formation efforts undertaken by various forms of service. Lay apostolate becomes important to assist the priests in carrying out pastoral works. In the fact, many lay people who are not interested in engaging the lay apostolate communitas. However, there are still some lay people are still interested in joining the lay communitas, such as the Legion of Mary. Based on that reality, this paper describes the life experiences of five members the Legion of Mary that motivate the members to proselytize. Through reflection, members of the Legion of Mary provide meaning of their involvement in the Legion of Mary. The description indirectly shows how social cultural factor influences Catholicism the members. Keywords: communitas; experience, lay-apostolate; motivation; reflection
Pendahuluan Perubahan dunia yang pesat di berbagai bidang kehidupan turut mempengaruhi hidup rohani manusia. Tidak heran, jika manusia pada zaman modern cenderung untuk memilih halhal praktis dalam menjalani hidupnya, sehingga hal-hal yang bersifat rohani diabaikan. Institusi keagamaan, seperti Gereja Katolik pun menghadapi masa krisis untuk membina iman 1 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014
umatnya di zaman ini, misalnya gereja-gereja di Eropa pada setiap Minggu lebih banyak dihadiri umat berusia lanjut dibandingkan orang muda. Hal tersebut tidak lepas dari kenyataan bahwa umat Katolik di Eropa sedang mengalami krisis iman. Gereja Katolik mengalami masa kekeringan karena jumlah imam1 dan biarawan-biarawati2 lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah umat Katolik. Berdasarkan Annuarium Statisticum Ecclesiae3 tahun 2011, umat Katolik di seluruh dunia berjumlah 1.214 miliar dan jumlah imam di seluruh dunia sebanyak 413.418.4 Kondisi tersebut mengakibatkan tugas penggembalaan5 umat oleh imam menjadi terkendala, sehingga tidak semua umat dapat terjangkau dengan pelayanan pastoral. 6 Hirarki7 Gereja Katolik berupaya mencegah kemerosotan iman dengan melakukan pembaharuan dan penyesuaian (aggiornamento) di dalam gereja. Pada tahun 1962-1965, Paus Yohanes XXIII memprakarsai Konsili8 Vatikan II di Roma yang dihadiri oleh uskup9 dari seluruh dunia untuk mengambil sikap dan keputusan terkait ajaran iman Katolik. Salah satu hasil dari konsili tersebut berupa dekrit tentang kerasulan awam (Apostolicam Actuositatem). Inti dari dekrit tersebut mengajak awam10 untuk terlibat dalam kegiatan merasul. Kerasulan merupakan semua usaha anggota gereja untuk mewartakan11 Injil demi menguduskan umat Allah (Apostolicam Actuositatem no. 2 dalam Dokumen Konsili Vatikan II, 1989). Berkaitan dengan hal tersebut, awam ikut mewartakan Injil sebagai tugas perutusan dalam berbagai bentuk pelayanan gerejawi. 1
Imam dalam bahasa Yunani disebut “presbiteros” yang berarti ketua. Imam sering disebut pater, pastor atau romo. Imam ditahbiskan oleh uskup untuk memimpin umat dalam berbagai perayaan keagamaan Katolik (Heuken, 2004:76). 2 Biarawan atau biarawati adalah anggota dari ordo atau serikat religius di dalam Gereja Katolik yang mengucapkan kaul kekal, yaitu kaul kemurnian, ketaatan, dan kemiskinan (Heuken, 2004:198). 3 Buku Tahunan Kepausan yang memuat data statistik terkait Gereja Katolik di seluruh dunia. Data statistik tersebut dihimpun oleh Biro Pusat Statistik Gereja di Vatikan. 4 Lihat NEWS.VA „Presentation of Pontifical Yearbook 2013‟ (13 Mei 2013 di www.news.va/en). 5 Para imam digambarkan seperti seorang gembala yang menggembalakan kawanan domba-domba. Domba menggambarkan seluruh umat Kristiani dan gembala utama adalah Kristus. Berkaitan dengan tugas penggembalaan, imam sebagai wakil Kristus berfungsi sebagai pemimpin umat, pelayan ibadat, dan pewarta sabda Allah (Presbyterorum Ordinis no. 3-6 dalam Dokumen Konsili Vatikan II, 1989b). 6 Pelayanan pastoral (disebut juga reksa pastoral) berhubungan dengan tugas-tugas seorang pastor di gereja. 7 Hirarki yang dimaksud adalah tata pimpinan Gereja Katolik menurut tingkat pentahbisan (dari tingkat tertinggi: paus, uskup, imam) dan batas-batas kekuasaan penggembalaan, yaitu wilayah atau tempat seorang imam berkarya (Heuken, 2004:30). 8 Konsili berasal dari bahasa Latin, “concillium” yang berarti pertemuan sidang. Konsili dihadiri oleh para pejabat gereja, khususnya para uskup untuk membahas masalah yang berhubungan dengan kehidupan menggereja (Heuken, 2005:42). 9 Uskup dalam bahasa Yunani disebut “episkopos” yang berarti pengawas. Uskup bertugas sebagai penggembala umat dalam cakupan wilayah lokal yang terdiri dari beberapa paroki (Heuken, 2006:62). 10 Awam yang dimaksud adalah umat Kristiani yang tidak ditahbiskan dengan status religius yang diakui gereja (Kitab Hukum Kanonik no. 204; Lumen Gentium no. 31). 11 Mewartakan/pewartaan merupakan tindakan “evangelisasi”. Artinya, memberitakan tentang ajaran Kristus yang disampaikan dengan kata-kata dan kesaksian hidup (Lumen Gentium no. 35; Katekismus Gereja Katolik no. 905).
2 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014
Pelayanan dilakukan demi pertumbuhan dan persekutuan gerejani (Katekismus Gereja Katolik no. 910). Terkait dengan hal persekutuan, awam berhak mendirikan komunitas12 awam sebagai wadah untuk melaksanakan pelayanan tertentu.13 Salah satu bentuk komunitas kerasulan awam adalah Legio Maria. Legio Maria didirikan oleh seorang awam bernama Frank Duff di Dublin, Irlandia. Semangat yang mendasari kerasulan Legio Maria mengacu pada teladan Bunda Maria. Bentuk pelayanan yang menjadi ciri khas Legio Maria adalah pelayanan doa dan kunjungan orang sakit. Perlu diketahui, sistem Legio Maria sangat teratur dibandingkan dengan komunitas awam Kristiani lainnya. Sifat yang sangat terorganisasi memaksa anggota-anggotanya untuk patuh pada sistem Legio Maria.14 Terdapat beberapa tulisan skripsi dari ilmu psikologi yang pernah meneliti tentang Legio Maria. Lan (2004) dalam Sikap Anggota Legio Maria di Kuria Mater Dei Terhadap Religiusitas Legioner menggambarkan sikap anggota Legio Maria terhadap kondisi religiusitas anggota-anggotanya sendiri. Nita (2008) dalam Gambaran Psychological WellBeing pada Anggota Legio Maria di Kuria X menjelaskan hubungan religiusitas dengan psychological well-being anggota Legio Maria. Psychological well-being mencakup penerimaan diri, penguasaan lingkungan, otonomi diri, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, dan perkembangan diri. Berdasarkan penjelasan di atas, kegiatan kerasulan awam dapat dikatakan menjadi perpanjangan tangan dari hirarki gereja untuk membina iman umat. Akan tetapi, kondisi umat sekarang, khususnya di perkotaan lebih banyak disibukkan dengan mobilitas kerja yang tinggi (Moeliono dkk, 1996:3). Hal tersebut menjadi salah satu faktor penghambat keterlibatan umat dalam komunitas kerasulan awam. Di sisi lain, masih tetap ada saja umat awam yang mau ikut terlibat dalam komunitas kerasulan awam, seperti Legio Maria. Kenyataan tersebut menjadi pemicu bagi peneliti untuk memahami hal-hal apa yang melatarbelakangi anggota Legio Maria terlibat merasul dan makna menjadi seorang legioner bagi anggota Legio Maria. Penelitian ini dilakukan dengan metode studi kasus pada anggota komunitas Legio Maria di Paroki15 Kelapa Dua, Depok. Menurut data dari Sekretariat Keuskupan Bogor tahun 2012, jumlah umat di Paroki Kelapa Dua sebanyak 7.235 dan terdapat 3 pastor paroki. 12
Menurut Turner (1974:274) “communitas” mencerminkan hubungan antarindividu yang tidak terdiferensiasi ke dalam peran-peran tertentu; masing-masing individu merasa dirinya sama di dalam komunitas, memiliki rasa persahabatan dan persaudaraan mendalam. 13 Lihat Katolisitas.org „Tentang Panggilan dan Misi Kaum Awam‟ (2 Mei 2012 di www.katolisitas.org). 14 Legio Maria mengukur kesempurnaan anggota dari kepatuhannya kepada sistem dan bukan menurut hasil pekerjaan atau sukses yang dicapainya dalam mengerjakan tugas (Buku Pegangan Legio Maria, 1999:76). 15 Paroki adalah bagian wilayah dari suatu keuskupan dengan batas geografis yang ditentukan uskup. Setiap paroki dipimpin oleh seorang pastor paroki (Ensiklopedi Gereja, 2005:97).
3 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014
Kondisi tersebut memperlihatkan kondisi Gereja Katolik pada umumnya, sehingga peneliti menempatkan signifikansi penelitian perihal motivasi merasul ini sebagai sebuah refleksi untuk menggerakkan awam yang merasul. Lebih lanjut, peneliti memilih informan berdasarkan beberapa pertimbangan (purposive sampling). Perlu diketahui, ada dua jenis keanggotaan di Legio Maria, yaitu anggota aktif dan anggota auksilier.16 Jumlah ideal anggota aktif dalam satu presidium17 sekitar lima belas orang. Kondisi sekarang memperlihatkan bahwa Presidium Ratu Surga di Paroki Kelapa Dua mempunyai delapan anggota aktif dan tiga anggota auksilier. Berdasarkan hal tersebut, peneliti mengambil lima informan dengan kriteria perbedaan umur, jenis kelamin, dan jenis keanggotaan.
Jalan-Jalan Kehidupan: Sebuah Refleksi Anggota Legio Maria Masalah yang diteliti dalam tulisan ini menekankan pada faktor pengalaman terkait dengan peristiwa-peristiwa dan situasi hidup yang berpengaruh terhadap diri anggota Legio Maria, sehingga menyebabkan perubahan dalam kehidupannya. Peristiwa-peristiwa penting yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang itu boleh disebut turning points (yang merupakan sebuah titik balik) atau extraordinary experience dalam kehidupan seseorang. Berbagai pengalaman hidup tersebut dilihat dalam bingkai lingkungan sosial budaya anggota Legio Maria yang mempengaruhi kekatolikannya (hidup religius sebagai umat Katolik). Penelitian ini berusaha memahami pengalaman-pengalaman anggota Legio Maria yang berperan dalam memunculkan motivasi untuk merasul sebagai legioner. Manusia sebagai aktor sosial berelasi dengan manusia lainnya di dalam kebudayaan dengan berbagi (share) pengalaman dan melalui cara itu pula setiap manusia memahami pengalaman (Kapferer, 1986:189). Manusia dihadapkan pada kenyataan tentang dirinya sendiri sebagai subyek yang aktif dan kenyataan bahwa dirinya mengalami suatu pengalaman. Manusia menjadi sadar akan kediriannya (selfhood) saat terlibat dalam interaksi dengan manusia lain. Kesadaran tersebut merupakan tindakan reflektif dalam diri manusia untuk menentukan sikap dan perilakunya dari waktu ke waktu (Bruner, 1986:22). Dalam hal ini, anggota Legio Maria pun tidak lepas dari pengaruh situasi dan kondisi lingkungan sosial budayanya yang membentuk sebuah pengalaman. 16
Anggota aktif adalah anggota yang terlibat menghadiri rapat mingguan dan tugas kunjungan, sedangkan anggota auksilier (pasif) adalah anggota yang menyatukan diri dengan Legio Maria melalui pelayanan doa demi kepentingan Legio Maria tanpa terlibat pelayanan aktif (Buku Pegangan Legio Maria, 1999:76,104). 17 Satu unit Legio Maria disebut presidium.
4 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014
Pada kekiniannya, anggota Legio Maria membagi (sharing) pengalamannya dalam bentuk narasi. Bruner (1986:7) menyebut bentuk-bentuk penyampaian atau pengungkapan pengalaman tersebut sebagai ekspresi. Pada kekiniannya anggota Legio Maria kembali “mengalami” pengalamannya yang terjawantahkan melalui narasi pengakuannya. Adapun, semua peristiwa yang dialami seseorang dalam hidupnya merupakan serangkaian pengalaman yang saling terkait (menjadi life history). Abrahams (1986:49,61) melihat bahwa pengalaman mencakup pengalaman biasa (ordinary) dan pengalaman luar biasa (extraordinary). Tidak heran, pemahaman tentang pengalaman menyiratkan sebuah makna yang signifikan bagi seseorang. Bruner (1986:9) menyebut makna itu dengan istilah indigenous meaning. Anggota Legio Maria tentu mempunyai pengalaman yang luar biasa, sehingga memunculkan perubahan jalan hidup bagi dirinya. Pada saat sekarang, makna luar biasa pada pengalaman masa lalunya kembali diteguhkan melalui refleksi yang dilakukan anggota Legio Maria. Informan pertama adalah Ria. Saat menghadapi kenyataan bahwa suaminya meninggal setelah delapan tahun pernikahan, Ria berteguh hati untuk tidak kembali ke rumah orang tuanya karena ia tidak ingin ayah atau ibunya membuat peraturan ketat yang sama seperti masa mudanya. Ia tidak mau lagi dikekang di rumah hanya untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ria pun membiayai ketiga anaknya sekolah sampai tingkat SMA hanya dengan menjahit. Ria tidak ingin merepotkan sanak saudaranya dengan kesulitan ekonomi yang dihadapi, sehingga Ria hanya dapat mengandalkan kerja keras sendiri. Keputusan Ria untuk berjuang menafkahi ketiga anaknya daripada pulang ke pangkuan orang tua tidak terlepas dari situasi hidup Ria pada masa remaja. Ayah Ria adalah seorang pasukan angkatan udara yang bersikap keras, sedangkan ibunya adalah seorang pekerja rumah tangga yang berpandangan bahwa perempuan harus bekerja di dapur dan melayani suami. Ria yang merupakan anak kedua (dan anak perempuan pertama) dari sembilan bersaudara senantiasa dipaksa untuk bekerja di dapur, bahkan Ria dibatasi untuk keluar rumah karena ketakutan ayahnya jika Ria terlibat pergaulan bebas. Di sisi lain, pengaturan kerja rumah tangga yang sedemikian rupa sejak kecil membuat Ria tegar dalam menghadapi situasi hidup, secara khusus saat suaminya meninggal. Ria merasa sadar bahwa dirinya ingin melepaskan diri dari aturan-aturan dan pandangan orang tuanya yang mengekang, sehingga kemandirian dan perjuangan kerja adalah jalan untuk membuktikan kemampuan Ria mengatasi “musibah”. Sekitar sepuluh tahun lamanya Ria banting tulang menafkahi dan menyekolahkan ketiga anak laki-lakinya. Keahlian yang ia punyai hanya menjahit yang dipelajari ketika lulus 5 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014
sekolah menengah. Pada saat menjahit, Ria selalu menyempatkan berdoa Rosario, bahkan setiap pagi Ria mempunyai kebiasaan berdoa Rosario. Ria mengakui banyak pertolongan Tuhan dialami dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti pemberian orang yang tidak dikenal, uang jahitan yang diberikan lebih. Pengalaman yang tidak terduga tersebut semakin meneguhkan Ria bahwa Tuhan senantiasa memberikan pertolongan tepat waktu. Keyakinan yang dimiliki Ria juga tidak lepas dari perjalanan kekatolikannya. Ayah Ria adalah seorang Larantuka yang sangat fanatik dengan Katolik dan ibunya juga seorang Katolik yang rajin berdoa. Pengaruh Larantuka yang kuat dapat terlihat dari altar doa (tori) yang selalu ada di rumah. Selain itu, Ria mengalami didikan dari biarawati selama masa sekolah dasar. Ria begitu terkenang dengan sosok Bunda Maria karena gurunya selalu mengingatkan untuk berdoa di depan patung Bunda Maria. Tidak heran, kekagumannya kepada sosok Bunda Maria mendorongnya untuk bergabung dengan komunitas Legio Maria ketika masa sekolah menengah. Setelah ketiga anaknya bekerja, Ria menyadari bahwa dirinya ingin membalas kebaikan Tuhan selama masa-masa perjuangan menafkahi anaknya. Dalam doanya, Ria berkomitmen untuk meninggalkan kerja menjahit, menjual semua mesin jahitnya dan memutuskan untuk terlibat sepenuhnya pada pelayanan. Ia kembali masuk dalam komunitas Legio Maria mengingat masa terdahulunya dipenuhi perjuangan mencari nafkah. Beberapa minggu setelah ia berkomitmen untuk pelayanan, Ria secara tidak terduga mendapatkan sebuah karunia mengusir setan dan menerawang seseorang. Pengalaman religius tersebut membuat Ria meneguhkan “panggilan” untuk terlibat pelayanan di Legio Maria. Informan kedua adalah Ayu. Setelah lulus SMA, keinginan Ayu yang terbesar adalah bekerja. Akan tetapi, Ayu mengalami masa-masa sulit mencari pekerjaan, sehingga membuatnya berkutat pada penyesalan diri bahwa prestasi yang diusahakannya di sekolah tidak menjadi jaminan untuk dapat bekerja. Dalam pergumulannya, Ayu memaksakan diri untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar. Ia juga memutuskan kuliah sambil bekerja demi mendapatkan gelar sarjana dengan harapan dapat mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Ambisinya untuk dapat bekerja dengan penghasilan besar dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi keluarganya yang lemah. Ayu merasa prihatin dan bertanggung jawab terhadap kedua orang tuanya, khususnya ibu yang sampai sekarang mencari uang dengan berjualan sayur. Ayu menempatkan dirinya sebagai aktor perubahan bagi keluarganya mengingat kedua kakaknya yang bermalas-malasan dan ayahnya yang menganggur.
6 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014
Pada masa-masa pencarian kerja, Ayu mengalami kekosongan dalam menjalani kesehariannya. Ayu menuruti ajakan temannya untuk masuk menjadi anggota Legio Maria sebagai usaha mencari kegiatan. Tidak ada kesadaran bagi Ayu untuk terlibat melayani dan berdoa secara serius. Pertemuan mingguan Legio Maria dilalui sebagai formalitas belaka. Masa pencarian itu mulai mendapat titik terang ketika Ayu mendapat panggilan kerja dari suatu lembaga pemerintahan. Menanggapi proses seleksi tersebut, Ayu menghadapi dilema untuk meninggalkan pekerjaan lamanya di pabrik farmasi karena Ayu sendiri tidak tahu latar belakang lembaga yang menerimanya dan gaji yang akan didapat. Ayu pun berdoa dan misa pagi dengan permohonan untuk menyerahkan proses seleksi kepada kehendak Tuhan karena ia sendiri harus mempertaruhkan pekerjaan sebelumnya, kehidupan ekonomi keluarganya, serta perjuangannya selama kuliah. Tentu, Ayu tidak ingin semua perjuangannya gagal hanya karena salah mememilih. Ayu sangat mengenang peristiwa saat penjurusan di SMA. Ia berdoa dan memaksakan diri masuk jurusan IPA. Akan tetapi, Ayu menjadi rendah diri setelah berhasil masuk kelas IPA karena saingannya berat untuk dapat berprestasi. Ayu berkesimpulan bahwa ia tidak akan pernah meminta permohonan doa yang memaksakan keinginannya lagi, tetapi menyerahkan proses pemilihan jalan hidup pada kehendak Tuhan. Dapat dikatakan, pengalaman memang menjadi guru utama dalam kehidupan Ayu. Selama masa sekolah sampai sekarang, Ayu dan kakaknya terbiasa untuk mengerjakan segala sesuatu secara mandiri karena ibu Ayu pun sibuk mengurus dagangannya. Sejak masa sekolah menengah, Ayu memang sudah berinisiatif mencari uang sendiri, misalnya berjualan kartu nama dan es kacang hijau. Hal lainnya yang turut melibatkan perjuangan diri sendiri adalah ketika Ayu memutuskan memeluk agama Katolik. Perlu diketahui bahwa ayah Ayu dan kedua kakaknya adalah seorang Islam, sedangkan ibu Ayu adalah seorang Katolik. Pada awalnya, dorongan Ayu untuk dibaptis Katolik muncul saat ia mengikuti sekolah minggu atas anjuran bibinya. Sikap orang tuanya yang acuh dan kedua kakaknya yang fanatik dengan Islam memaksa Ayu untuk mencari tahu perihal identitas kekatolikannya, misalnya mengikuti kegiatan muda-mudi gereja. Perkumpulan muda-mudi gereja telah mempertemukannya dengan seorang ibu yang membina kelompok tersebut. Ayu merasa tertolong dan terinspirasi dengan bantuan dana, serta nasehat untuk bekerja keras dari beliau. Tidak heran, jika Ayu terus bekerja keras mendapatkan gaji besar untuk membelikan rumah bagi orang tuanya karena selama 28 tahun Ayu dan orang tuanya mengontrak. Usahanya ternyata tidak sia-sia ketika ia memutuskan untuk menerima panggilan kerja di 7 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014
lembaga pemerintahan tersebut. Ia tidak menduga bahwa posisinya sebagai pegawai administrasi di lembaga tersebut medapatkan gaji besar, sehingga dalam waktu satu tahun bekerja, Ayu dapat membeli rumah baru. Ayu menyadari bahwa pekerjaannya itu adalah suatu pemberian dari Tuhan karena sejak ia bekerja di lembaga tersebut, taraf ekonomi keluarganya dapat dikatakan meningkat. Pada akhirnya, sejak ia dapat membelikan rumah baru, Ayu terdorong untuk lebih serius menekuni pelayananannya di Legio Maria sebagai pembalasan atas kebaikan Tuhan. Informan ketiga adalah Eta. Ia selalu merasa khawatir tentang hidupnya di masa depan, Eta merasa takut jika sewaktu-waktu ia meninggal. Perasaan traumatis tersebut dalam riwayat hidup Eta muncul ketika peristiwa ibunya meninggal karena sakit kanker payudara. Satu tahun setelah ibunya meninggal, ayah Eta menikah lagi. Pertengkarannya dengan ibu tiri selalu terjadi setiap hari, Eta merasa tidak nyaman tinggal di rumah. Kekecewaan ketika ibunya meninggal sampai ayahnya menikah lagi membuat Eta mencari kemapanan hidup dan penghargaan dari orang di sekitarnya. Berkaitan dengan hal itu, Eta berusaha menaikkan taraf ekonomi rumah tangganya saat kesempatan hidup masih ada. Eta tidak ingin nasib hidupnya sama seperti orang tuanya. Eta dan saudara-saudaranya mendapat nafkah hanya dari ayahnya, sedangkan ibunya bertugas mengurus pekerjaan rumah tangga. Eta merasakan hidup berhemat agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Eta pun memahami perjuangan ayahnya untuk dapat membangun rumah permanen dari hasil kerjanya sebagai satpam. Akan tetapi, lingkungan tempat tinggalnya berprasangka melihat peningkatan ekonomi Eta dan keluarganya. Celaan dari tetangga membuat Eta merasa marah dalam hatinya, sehingga pada masa bekerja, Eta sangat menuntut penghargaan dan perubahan taraf ekonomi rumah tangganya. Di sisi lain, kakaknya yang pertama selalu menganjurkan Eta untuk berdoa dalam menghadapi kekecewaan hidup. Akan tetapi, Eta mengakui bahwa keyakinannya dalam doa sering bertentangan dengan perasaan khawatir terhadap masa depan. Pada suatu ketika, Eta dianjurkan oleh suaminya untuk masuk menjadi anggota Legio Maria. Eta hanya berpikir bahwa perkumpulan gereja dapat menjadi sarana untuk menghindari gosip. Eta ternyata mendapatkan kesadaran religius saat mulai terlibat dengan pelayanan Legio Maria. Pada pengalaman terdahulu, Eta menyadari bahwa dirinya masih bergulat dengan usaha mendapatkan penghargaan dari orang-orang di sekitarnya, serta mencari kesenangan materi. Eta melihat kondisi hidup religiusnya terdahulu yang “belum aman” dibandingkan dengan sekarang saat menjadi anggota Legio Maria. Boleh dikatakan, 8 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014
Eta mendapatkan penegasan rohani untuk memperbaiki hidup religiusnya ketika ia menjadi anggota Legio Maria. Di sisi lain, Eta menyadari pengaruh kakaknya yang pertama dalam membentuk kekatolikan Eta. Kakaknya sangat aktif dalam perkumpulan muda-mudi gereja, sehingga inisiatif untuk berdoa bersama di dalam keluarga muncul dari kakaknya tersebut. Di sisi lain, Eta pun mengenang ibunya yang merupakan seorang mantan Islam ketika menikah dengan ayah Eta. Ayah maupun ibu Eta memang tidak pernah mengajarkan berdoa atau halhal terkait kekatolikan kepada Eta dan saudara-saudaranya. Akan tetapi, Eta kagum dengan keyakinan ibunya yang tidak ingin berpindah agama meskipun didesak oleh saudara-saudara ibu, bahkan saat menjelang kematian ibu Eta. Informan keempat adalah Tono. Sepanjang perjalanan hidupnya, Tono memahami kesusahan mencari rejeki. Pada masa mudanya di kampung, Tono sebagai anak pertama harus membantu ayahnya bekerja di sawah. Selain itu, ia selalu ikut orang tuanya berpindah tempat usaha sementara kedelapan adiknya “dititipkan” kepada saudara ayah atau ibu di kampung. Tono semakin mengerti tanggung jawabnya yang besar untuk memimpin dan mendampingi saudara-saudaranya ketika ayahnya menunjuk Tono sebagai wakil orang tua. Pendidikan dan bekerja adalah asas dasar yang ditekankan oleh orang tua Tono. Tidak heran, jika Tono terus melanjutkan pendidikannya sampai sekolah keguruan meskipun kondisi ekonomi keluarga terasa sulit, bahkan orang tua Tono harus merelakan rumah dan sawahnya dijual untuk melunasi hutang usaha tebu ayahnya. Setelah selesai dari sekolah keguruan, secara tidak terduga Tono diajak oleh pamannya untuk bekerja di Departemen Perindustrian, Jakarta. Menanggapi hal tersebut, Tono nekad untuk ikut pamannya. Tono hanya berpikiran bahwa dirinya bertanggung jawab terhadap penghidupannya sendiri dan masa depannya. Setelah lima tahun bekerja, Tono menikah dan tinggal mengontrak di Jakarta. Gajinya sebagai pegawai negeri pada saat itu tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, sehingga Tono bekerja sambilan sebagai guru bimbingan belajar dan penjahit. Boleh dikatakan, Tono sebagai tulang punggung keluarga, sedangkan isteri bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga. Tono kembali menghadapi masa sulit saat ia diusir dari kontrakannya karena bangunan tersebut akan diambil alih oleh perusahaan percetakan. Pada saat seperti itu, Tono berusaha mencari rumah baru untuk menampung isteri dan kelima anaknya. Usahanya pun tidak sia-sia, Tono berhasil membeli rumah petakan tingkat dua dengan cicilan. Tono pensiun setelah tiga puluh tahun bekerja. Saat memulai masa pensiun, Tono diajak oleh isterinya untuk ikut komunitas Legio Maria. Pada awalnya, Tono menolak. Akan 9 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014
tetapi, Tono pun tergerak untuk berkegiatan di masa pensiunnya. Selain itu, Tono juga aktif dalam kepengurusan lingkungan umat gereja. Ia merasa senang dapat berkumpul dan berbincang dengan banyak orang dalam komunitas religius. Pada masa pensiunnya sekarang ketika ia sudah berpindah di Depok atas saran anaknya, Tono menyadari bahwa Tuhan selalu memberikan tuntunan dalam usaha kerja kerasnya selama ini. Tono merasakan kelegaan pada masa pensiunnya ketika melihat kelima anaknya berhasil menempuh jenjang perkuliahan. Selain itu, Tono juga menyadari bahwa isterinya adalah pendoa yang pasrah. Tono baru menyadari bahwa isterinya selama ini mendukung kerja keras Tono dengan doa. Boleh dikatakan, Tono mengalami peneguhan kekatolikannya pada masa pensiun. Pada masa pensiunnya, Tono merasa imannya dikuatkan melalui kegiatan rohani, seperti Legio Maria. Tono pun terkenang pada peristiwa dirinya dibaptis secara Katolik ketika sekolah menengah. Tono menyadari keinginannya tersebut dengan meminta izin kepada orang tuanya yang menganut kepercayaan kejawen. Orang tuanya tidak melarang Tono dan adikadik Tono memeluk keyakinan apapun. Setelah dibaptis, kekatolikan Tono dibentuk melalui pengajaran selama masa sekolah menengah dan sekolah keguruan karena para pengajar di sekolahnya adalah seorang imam Katolik. Tidak heran, pada masa sekarang, Tono tetap aktif berkegiatan di Legio Maria dan banyak membaca bacaan rohani untuk mendapatkan penjelasan perihal kekatolikannya. Informan kelima adalah Adi. Ia mengalami keterpurukan ketika gagal bertunangan. Gagalnya pertunangan disebabkan sikap boros kekasihnya yang membuat hutang kartu kredit Adi membengkak. Adi mengalami proses tarik-ulur untuk mengakhiri hubungan dengan kekasihnya itu. Adi merasa dilema karena harus mempertaruhkan janji pertunangan kepada orang tuanya. Menanggapi kegagalannya bertunangan, Adi tetap berusaha mencari pengganti kekasihnya. Selama satu tahun, ia hanyut dalam pengejaran cinta pada seorang perempuan yang dikenalnya di gereja. Akan tetapi, perempuan yang coba dipinang Adi memutuskan untuk kembali pada mantan kekasihnya. Menghadapi kekecewaanya, Adi merasa kebingungan menentukan status hidupnya mengingat usinya sudah 30 tahun dan memiliki pekerjaan mapan sebagai pagawai kantor. Adi mencurahkan keluh kesahnya kepada bibinya yang merupakan seorang biarawati. Sejak kecil, Adi merasa nyaman untuk bercerita dengan bibinya dibandingkan dengan kedua orang tuanya yang sibuk bekerja sebagai pegawai negeri. Kedekatan Adi dengan bibinya berawal dari kebiasaan bibinya yang selalu memberikan hadiah kepada Adi saat masih kecil. Adi merasa tertantang saat bibinya menyarankan untuk ikut dalam ibadat pagi di gereja 10 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014
karena selama masa mudanya, Adi sangat jarang berdoa dan pergi ke gereja hanya sebagai rutinitas saja. Adi terkenang dunia pergaulannya yang diwarnai pengalaman merokok, minum-minuman keras, narkoba, dan masturbasi. Tidak ada pilihan bagi Adi selain mencoba saran bibinya demi mendapatkan kedamaian di hati. Selain itu, bibinya pun menyarankan agar Adi merenungkan dalam doa perihal status hidupnya, yaitu menjadi selibat atau menikah. Setelah beberapa bulan mengikuti ibadat pagi di gereja, Adi mulai dapat mengampuni kekasihnya dan ia mendapatkan kedamaian di hatinya. Pada saat yang bersamaan Adi terdorong untuk ikut dalam komunitas Legio Maria sebagai peneguhan kekatolikannya. Ia merasa bahwa dirinya “terpanggil” untuk menjadi seorang selibat awam yang melayani. Pada saat memulai kegiatan kunjungan orang sakit dan doa bersama di Legio Maria, Adi lebih mengarahkan dirinya untuk menjadi anggota auksilier yang berdoa di belakang layar. Boleh dikatakan, Adi beralih dari cinta manusiawi kepada cinta ilahi melalui pelayanan doanya. Pada saat sekarang, Adi menyadari bahwa ia mengabaikan kehidupan religiusnya pada masa lalu. Orang tua yang sibuk bekerja dan kebosanan di rumah membuat Adi terjerumus pada pergaulan bebas. Pada masa sekarang, Adi berusaha mendalami cintanya kepada Tuhan. Berdasarkan pengakuan tersebut, kelima informan mengalami proses adaptasi yang memunculkan perubahan cara pandang dalam hidupnya, secara khusus berkaitan dengan hidup religiusnya sebagai seorang Katolik. “Musibah” yang dialami menjadi peristiwa yang tidak terduga, sehingga mereka tidak mempunyai kesiapan untuk menghadapi peristiwa tersebut. Masing-masing informan mengalami pertentangan dalam dirinya ketika berhadapan dengan “musibah”. Informan merasa tidak berdaya dan menghadapi dilema dalam mengatasi “musibah” tersebut. Pada titik ini, mereka berjuang mengembangkan suatu perilaku tertentu sebagai respon penyelesaian masalah. Peristiwa yang dapat dikatakan turning point tersebut menjadi shock bagi informan. Jalan kehidupan seolah terputus, tujuan hidup menjadi tidak jelas, keputusan pasti pun tidak dihasilkan dalam situasi yang menggentarkan tersebut. Masing-masing informan sebagai manusia yang merasa tentu menghendaki hal-hal yang mengancam segera lenyap. Pada saat keterbatasan melingkupi informan, maka perilaku religius muncul secara spontan dalam bentuk doa sebagai seruan naluriah seorang manusia yang berkesusahan kepada yang ilahi (Dister, 1982:92-93). Melalui doa, seseorang menuntut Yang Ilahi untuk campur tangan mengangkatnya dari “musibah” karena dirinya merasa sangat terancam.
11 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014
Informan menempatkan dirinya sebagai obyek dan subyek dari pengalaman religius. Informan menjadi obyek saat Yang Ilahi itu menghampiri dirinya dengan cara dan situasi yang tidak terduga. Informan menjadi subyek sebagaimana dirinya memang mengalami yang ilahi tersebut. Tidak heran, jika pengalaman religius tersebut menjadi sebuah extraordinary experience bagi informan. Informan mengakui adanya kekuasaan Yang Ilahi terhadap kehidupannya dan merasa dirinya tergantung pada suatu misteri suci (mysterium tremendum). Di sisi lain, informan terpesona terhadap pengalaman yang dialami seolah-olah dirinya ditarik oleh Yang Ilahi. Kondisi tersebut memunculkan kesan dalam diri informan bahwa Tuhan itu ada dan Tuhan itu mahabaik. Ketika informan menyadari hal yang tremendum dan fascinans, informan mendapatkan kesadaran religius bahwa dirinya memiliki tanggung jawab terhadap Tuhan yang menyelamatkan.
“Tentara Siap Tempur”: Makna dan Motivasi Legioner Merasul Dister (1985:27) menyatakan bahwa pengalaman religius dapat memunculkan keinsafan atau “panggilan” bagi seseorang yang mengalaminya. Boleh dikatakan, pengalaman religius yang dialami informan saat menghadapi “musibah” telah menjadi pemicu bagi informan untuk melakukan perubahan dalam hidup religiusnya, yaitu bertolak kepada Tuhan—hal inilah yang dimaksud sebagai turning point. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu ditekankan bahwa keputusan untuk bertolak kepada Tuhan tidak terlepas dari refleksi informan sendiri yang merenungkan pengalamannya bersinggungan dengan Yang Ilahi dalam kondisi kehidupannya terdahulu. Bruner (1986:22) memahami refleksi sebagai sebuah usaha kritis dalam diri manusia yang menempatkan dirinya sebagai obyek yang dipelajari sekaligus menjadi subyek yang sadar terhadap dirinya sendiri. Melalui refleksi, informan mengalami pemeriksaan terhadap dirinya sendiri. Informan berusaha menginterpretasi pengalaman extraordinarynya dengan maksud menetapkan langkah dalam menjalani hidup (lihat juga Strauss 1992 dalam Wedenoja dan Sobo 1997:161). Interpretasi yang dimaksud adalah usaha menemukan makna atau signifikansi dari suatu kejadian (Abrahams, 1986:55). Tidak dipungkiri bahwa makna selalu berada dalam kondisi kekinian dan setiap pengalaman hidup selalu ditangkap oleh proses refleksi dalam diri seseorang (Bruner, 1986:8). Dengan kata lain, proses refleksi dalam diri seseorang selalu berlangsung di sepanjang hidupnya dan turut memunculkan makna yang selalu baru. Menanggapi pernyataan tersebut, pengakuan yang diungkapkan informan pada saat sekarang dapat dipahami sebagai 12 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014
sebuah kesatuan makna dari pengalaman terdahulu. Dilthey (1976 dalam Bruner 1986:8) menyatakan bahwa makna tidak berada di luar pengalaman, sehingga masa lalu dan saat sekarang memiliki keterkaitan yang membentuk sebuah makna. Pada saat sekarang, informan pun melakukan refleksi. Informan mengacu pada pengalamannya terdahulu, khususnya pengalaman extraordinary untuk memaknai perubahannya sekarang yang mencerminkan tindakan bertolak kepada Tuhan. Makna extraordinary tersebut diberikan setelah peristiwa “musibah” dilalui informan sebagai sebuah hasil refleksi informan. Tentu, moment kesadaran tersebut tidak dialami secara langsung setelah peristiwa “musibah”. Akan tetapi, informan mengalami proses refleksi dalam dirinya yang memunculkan permenungan panjang perihal hidup religius. Dalam proses refleksinya, secara tidak langsung peneliti melihat pengaruh lingkungan sosial budaya informan dalam perjalanan kekatolikan informan. Adi yang mengalami pemulihan batin ketika ia mulai rutin mengikuti ibadat harian membuatnya tersadar bahwa cinta ilahi jauh lebih besar dan melingkupi hidupnya. Hal itu memunculkan sebuah hasrat untuk berdoa lebih sering. Eta justru mendapatkan kesadaran religiusnya ketika sudah terlibat di Legio Maria. Ia merenungkan kondisi hidupnya yang lalu bahwa pencariannya terhadap kepuasan materi hanya menimbulkan kesia-siaan. Pengalaman mengunjungi orang sakit dan meninggal menyadarkannya bahwa hidup manusia di dunia hanya sementara saja. Ayu pun menyadari kebaikan Tuhan ketika ia berhasil mendapatkan pekerjaan mapan, sehingga gajinya digunakan untuk membeli rumah bagi orang tuanya. Ia tidak lagi memaknai keterlibatannya di Legio Maria sebagai sebuah pelarian dari kejenuhan mencari kerja, tetapi memaknainya sebagai sarana untuk mengolah hidup religius. Ria secara sadar telah berkomitmen ketika ketiga anaknya mulai bekerja bahwa ia akan mengabdi secara khusus kepada Tuhan dengan aktif melayani di Legio Maria, bahkan membantu orang-orang dengan menggunakan karunianya. Perjuangan hidup untuk menafkahi ketiga anaknya telah meneguhkan keyakinannya bahwa Tuhan senantiasa memberi kekuatan hidup, sehingga doa dihayati sebagai nafas dalam kehidupannya. Tono yang melewati berbagai perjuangan untuk dapat bertahan hidup mendapatkan kelegaan pada masa pensiun. Ia semakin menyadari kebesaran Tuhan bahwa dirinya telah dimampukan untuk menghidupi keluarga dengan senantiasa pasrah dalam setiap pekerjaan yang dilakukan. Suseno (2006:169) mengatakan bahwa titik tolak kepada Tuhan adalah kenyataan bahwa manusia tidak dapat melakukan sesuatu maupun mengerti sesuatu jika sesuatu itu tidak bermakna baginya. Rosaldo (1986:97) menambahkan bahwa makna dari sebuah pengalaman membentuk perilaku seseorang. Pengalaman extraordinary yang menjadi shock bagi informan 13 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014
telah memicu munculnya motivasi sebagai sebuah kecenderungan yang mengarah pada tindakan bertolak kepada Tuhan. Dorongan-dorongan yang ada di dalam diri informan tersebut mendapatkan wujudnya ketika informan memutuskan menjadi anggota Legio Maria meskipun pada awalnya, beberapa informan bergabung dengan Legio Maria bukan karena keinginan sendiri, seperti pada kasus Tono, Eta, dan Ayu. Pada masa sekarang, motivasi tersebut dijadikan bermakna dengan mengacu pada tujuan informan merasul di Legio Maria. Keyakinan untuk bertekun dalam hidup religius semakin mendapatkan penegasannya ketika informan merasa tersentuh melakukan tugas kunjungan dan mendoakan orang sakit. Pengalaman kunjungan dan mendoakan orang sakit kembali memunculkan situasi keterbatasan dan perasaan dilema yang sama seperti ketika informan mengalami peristiwa yang tidak tertanggungkan bagi dirinya di masa lalu. Hal itulah yang turut membangkitkan motivasi dalam diri informan untuk merasul pada saat sekarang. Berkaitan dengan hal tersebut, Geertz (1992:12) mendefinisikan motivasi sebagai suatu kecenderungan yang tahan lama, suatu kecondongan yang terus-menerus muncul untuk menampilkan jenis-jenis tindakan tertentu dan mengalami jenis-jenis perasaan tertentu dalam jenis-jenis situasi tertentu. Boleh dikatakan, pertemuan rapat mingguan Legio Maria dan tugas kunjungan memicu keterarahan informan untuk selalu menggantungkan kehidupannya kepada Tuhan. Pengakuan-pengakuan informan di atas dapat dikatakan telah menjadi cultural meaning. Strauss dan Quinn (1997:20) menyatakan bahwa gagasan, perasaan, dan motivasi dapat dilihat dari apa yang dikatakan seseorang dan hal tersebut dapat dipahami bersama. Kelima informan memiliki latar belakang sosial budaya dan situasi hidup yang berbeda. Akan tetapi, mereka tidak dapat lepas dari identitasnya sebagai umat Katolik. Ketika mereka merasa “terpanggil” untuk terlibat dalam kerasulan Legio Maria, masing-masing informan memaknai kehidupan religiusnya dengan mengacu pada pengalaman turning point (yang menjadi titik balik seseorang). Pada titik inilah, anggota Legio Maria memiliki pemahaman yang sama sebagai seorang legioner bahwa dirinya “terpanggil”, membuat komitmen, mewujudkan niatan untuk memperbaiki atau meneguhkan hidup religiusnya. Informan menyatakan keyakinan religiusnya melalui tindakan religius dalam rutinitas sehari-hari. Adi sebagai seorang karyawan selalu menyempatkan diri pada pagi hari untuk mendoakan orang-orang sakit di dalam ibadat harian. Eta juga semakin terlibat sebagai seksi liturgi di lingkungan umat selain bekerja di sekolah. Pada masa pensiunnya, Tono tetap melibatkan diri menjadi prodiakon yang mengantarkan komuni kepada orang sakit. Ayu sebagai seorang pegawai senantiasa menyempatkan diri untuk misa pagi sebelum bekerja dan 14 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014
memaksakan diri untuk datang ke rapat mingguan Legio Maria setelah pulang kantor. Ria dengan pekerjaan khususnya memberikan bantuan doa melalui telepon atau konseling tatap muka. Dalam hal tersebut dapat dilihat bahwa motivasi mempunyai keterarahan pada pelaksanaan tertentu yang diwujudkan dalam bentuk tindakan. De Vos dan Sofue (1984 dalam Schumaker 1997:194) menyatakan bahwa motivasi religius tidak lepas dari pemberian makna terhadap penderitaan dan tindakan religius yang dilakukan sebagai cerminan ketergantungan, serta pengharapan mendapatkan perlindungan diri dari Yang Ilahi. Keterlibatan informan di Legio Maria semakin meneguhkan dirinya bahwa penderitaan yang dialami dalam kehidupan tidak terhindarkan, tetapi penderitaan tersebut tetap dapat ditanggung. Dengan kata lain, mereka telah menjadi tentara Maria (legioner) yang senantiasa bertempur menghadapi penderitaan dunia. Informan sebagai anggota Legio Maria pada kekiniannya mendapatkan kesadaran religius bahwa kenyataan sebuah kehidupan merupakan bagian dari kenyataan yang lebih besar, yaitu kehendak Yang Ilahi. Geertz (1992:32) menyatakan bahwa perspektif religius yang melampaui kenyataan kehidupan sehari-hari ditempatkan sebagai hal yang diterima atau diimani. Pada saat sekarang, kelima anggota Legio Maria tidak lagi mempertanyakan “musibah” atau masalah yang dihadapinya, melainkan menerimanya sebagai jalan untuk menjumpai Yang Ilahi. Pemahaman bahwa Yang Ilahi sebagai yang sungguh nyata membawa anggota Legio Maria kepada doa. Doa menjadi seruan kepasrahan kepada Yang Ilahi. Pernyataan tersebut tidak lepas dari perkataan Bunda Maria yang menjadi teladan Legio Maria, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu.”
Kesimpulan Bertitik tolak pada pengalaman, anggota Legio Maria ditempatkan sebagai manusia yang senantiasa mengalami pengalaman hidup. Pengalaman-pengalaman tersebut terangkum dalam refleksinya sekarang. Dapat dikatakan, keadaannya sekarang merupakan sebuah wujud perubahan yang terjadi dari pengalaman sebelumnya. Sebuah pengalaman juga tidak lepas dari pengaruh latar belakang sosial budaya seseorang. Berkaitan dengan hal tersebut, masingmasing anggota Legio Maria mengalami perjalanan hidup sebagai umat Katolik pada saat sebelum dan sesudah menjadi anggota Legio Maria. Pengalaman turning point dan pengalaman saat melakukan pelayanan Legio Maria merupakan kesatuan yang utuh. Anggota Legio Maria termotivasi oleh pengalaman turning point (disebut juga extraordinary 15 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014
experience) dan dimotivasi pengalaman saat melakukan pelayanan Legio Maria. Peristiwa extraordinary tersebut menjadi tanda dari Yang Ilahi dalam kehidupan duniawi anggota Legio Maria, sehingga dirinya tersentuh pada kesadaran hidup religius yang menggerakkannya pada suatu perubahan, yaitu perbaikan dan peneguhan hidup religius sebagai umat Katolik. Pada kekiniannya, anggota Legio Maria mewujudkan peneguhan hidup religiusnya melalui kerasulan di Legio Maria. Melalui tugas kunjungan dan doa, dirinya kembali dimotivasi untuk semakin menyucikan diri. Di sisi lain, tugas kunjungan dan doa menjadi jalan untuk meneguhkan keyakinan religius anggota Legio Maria bahwa penderitaan di dunia ini tidak terhindarkan, sehingga ketergantungannya kepada Tuhan menjadi sebuah jalan aman untuk menjalani hidup. Pada tahap ini, anggota Legio Maria menemukan makna perihal keterlibatannya di Legio Maria meskipun tidak terlalu menekankan pada tujuan kerasulan yang melayani umat semata. Dapat dikatakan, kelima anggota Legio Maria ini masih menekankan Legio Maria sebagai wadah pembinaan iman bagi para anggotanya. Melalui sharing pengalaman dalam rapat Legio Maria, anggota Legio Maria mendapatkan penegasan terhadap makna dan motivasinya merasul. Kelima anggota Legio Maria merasa harus lebih intim dengan Tuhan melalui pelayanan dengan harapan mendapatkan suatu kelegaan atau ketenangan batin dalam menjalani hidup. Pernyataan tersebut pada akhirnya telah menjadi pemahaman bersama yang senantiasa diteguhkan melalui rutinitas kunjungan dan doa di dalam komunitas Legio Maria sendiri.
Daftar Referensi Buku Abrahams, Roger D. 1986 „Ordinary and Extraordinary Experience,‟ dalam Victor W. Turner dan Edward M. Bruner (peny.) The Anthropology of Experience. Chicago: University of Illionis Press. Hlm. 45-70. Bruner, Edward M. 1986 „Experience and Its Expressions,‟ dalam Victor W. Turner dan Edward M. Bruner (peny.) The Anthropology of Experience. Chicago: University of Illionis Press. Hlm. 3-29. Buku Pegangan Legio Maria 1999 Malang: Dioma.
16 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014
Dister, Nico S. 1982 Pengalaman dan Motivasi Beragama. Jakarta: Leppenas. 1985 Filsafat Agama Kristiani. Yogyakarta: Kanisius. Dokumen Konsili Vatikan II 1989 „Apostolicam Actuositatem,‟ dalam Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia. 1989a „Lumen Gentium,‟ dalam Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia. 1989b „Presbyterorum Ordinis,‟ dalam Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia. Erchak, Gerald M. 1992 The Anthropology of Self and Behavior. New Jersey: Rutgers University Press. Geertz, Clifford 1992 Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. Hlm.1-69. 1992a Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Hlm.3-67 Heuken, Adolf 2004 Ensiklopedi Gereja Jilid I, Jilid II, dan Jilid III. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. 2005 Ensiklopedi Gereja Jilid IV, Jilid V, Jilid VI, dan Jilid VII. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. 2006 Ensiklopedi Gereja Jilid IX. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Kapferer, Bruce 1986 „Performance and the Structuring of Meaning,‟ dalam Victor W. Turner dan Edward M. Bruner (peny.) The Anthropology of Experience. Chicago: University of Illionis Press. Hlm. 189-202. Katekismus Gereja Katolik 2009 Yogyakarta: Kanisius. Kitab Hukum Kanonik 2006 Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia. Moeliono, Laurike., Mardiatmadja, dkk 1996 Kelompok Kategorial di Keuskupan Agung Jakarta. Jakarta: PKPM Universitas Atmajaya Rosaldo, Renato 1986 „Ilongit Hunting as Story and Experience,‟ dalam Victor W. Turner dan Edward M. Bruner (peny.) The Anthropology of Experience. Chicago: University of Illionis Press. Hlm. 97-134. Schwartz, Shalom H. 1997 „Values and Culture,‟ dalam Donald Munro, John F. Schumaker, Stuart C. Carr (peny.) Motivation and Culture. London: Routledge. Hlm. 69-74.
17 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014
Schumaker, John F. 1997 „Religious Motivation Across Cultures,‟ dalam Donald Munro, John F. Schumaker, Stuart C. Carr (peny.) Motivation and Culture. London: Routledge. Hlm. 193-205. Strauss, Claudia dan Naomi Quinn 1997 A Cognitive Theory of Cultural Meaning. Cambridge: Cambridge University Press. Hlm. 3-10. Suseno, Franz M. 2006 Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 150-180. Tondowidjojo, John 1990 Arah dan Dasar Kerasulan Awam. Yogyakarta: Kanisius. Turner, Victor W. 1974 Drama, Fields, and Metaphors. London: Cornell University Press. 1986 „Dewey, Dilthey, and Drama: An Essay in the Anthropology of Experience,‟ dalam Victor W. Turner dan Edward M. Bruner (peny.) The Anthropology of Experience. Chicago: University of Illionis Press. Hlm. 33-43. Wedenoja, William dan Elisa J. Sobo 1997 „Unconcious Motivation and Culture,‟ dalam Donald Munro, John F. Schumaker, Stuart C. Carr (peny.) Motivation and Culture. London: Routledge. Hlm. 159173. Website NEWS.VA 2013 „Presentation of Pontifical Yearbook 2013,‟ 13 Mei (http://www.news.va/en/news/presentation-of-pontifical-yearbook-2013). Tay, Stefanus dan Inggrid T. 2012 „Tentang Panggilan dan Misi Kaum Awam,‟ 2 (http://katolisitas.org/8787/tentang-panggilan-dan-misi-kaum-awam)
Mei
Skripsi Lan, T.H. 2004 Sikap Anggota Legio Maria di Kuria Materdei Terhadap Religiusitas Legioner. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Atmajaya. Nita, Riyanti 2008 Gambaran Psychological Well Being pada Anggota Legio Maria di Kuria X. Skripsi Sarjana tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Atmajaya.
18 Motivasi awam..., Stefanus Seto Herdian, FISIP UI, 2014