Executive Summery Riset Partsipasi Masyarakat
“MONEY POLITIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT KABUPATEN CIREBON PADA PEMILU LEGISLATIF 2014”
1.Sejarah pemilu Legislatif di Indonesia Indonesia menganut sistem demokrasi. Salah satu indikator demokrasi adalah Pemilihan Umum. Pemilihan Umum dilakukan untuk memilih wakil di lembaga legislatif dan lembaga eksekutif atas perwakilan dari berbagai partai politik. UUD 1945 Amandemen pasal 22E ayat 2 berbunyi: “Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Pemilihan Umum sebagai salah satu tonggak demokrasi di Indonesia telah melalui berbagai fase panjang dalam perjalanan sejarahnya. Pasang surut dan dinamika pun mewarnai. Perubahan perundang-undangan pemilu, adalah hal yang tidak bias dihindarkan semuanya bermuara pada tujuan perbaikan terhadap sistem pemilu. Pemilu pertama di Indonesia dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
Tahap
pertama
adalah
Pemilu
untuk
memilih
anggota
DPR.
Tahap
ini
diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Sedangkan Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama diera orde baru, diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
1
Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya. Setelah terjadinya fusi, maka pada Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya. Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR. Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah. Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2009 Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak di hampir seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 9 April 2009,dan ada 38 partai memenuhi kriteria untuk ikut serta dalam pemilu 2009. Partai Demokrat memenangkan suara terbanyak, diikuti dengan Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Pemilihan Umum Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka yang perhitungannya didasarkan pada sejumlah daerah pemilihan, dengan peserta pemilu adalah partai politik. Pemilihan umum ini adalah yang pertama kalinya dilakukan dengan penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut (pemilih memilih calon anggota DPR, bukan partai politik).
2
Pemilu legislatif 2014 adalah proses pemilihan anggota legislatif dan DPD yang baru saja usai disusul dengan terselenggara nya pemilihan presiden dan wakil Presiden yang memenangkan pasangan Ir.H.Djoko Widodo dan HM.Jusuf Kalla. Pilleg ini diijuti oleh 15 partai politik yang terdiri dari 12 partai nasional dan 3 Partai Lokal Aceh.Secara jumlah,Partai peserta pemilu di tahun 2014 mengalami menyusutan cukup signifikan. Pelaksanaan Pemilu Legislatif tahun 2014 ditengarai sarat dengan praktik-praktik money politik (politik uang) yang terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia, tidak terkecuali di Kabupaten Cirebon. Kebebasan (freedom), kesamaan dalam hak dan kewajiban (equality), dan kedaulatan rakyat (people’s sovereghty) sebagai hak asasi yang sedianya dilindungi dan dijamin oleh Undang-undang pun akhirnya ternodai oleh praktik jual beli suara ini. Ironinya, baik caleg maupun masyarakat yang mempraktikannya menganggap money politik sebagai hal yang wajar. Fenomena
ini
tentu
sangat
membahayakan
sekaligus
mengancam
bagi
kelangsungan demokrasi di masa mendatang, baik di tingkat lokal, lebih-lebih pada tingkat nasional. Jangan sampai partisipasi aktif masyarakat dalam pelaksanaan Pemilu (Pileg, Pilpres, dan Pilkada) hanya karena telah terjadi bargaining politik kecil-kecilan (baca; money politik) antara rakyat dengan para calon pemimpin dan wakilnya. Politik
transaksional
hanya
akan
melahirkan
oligarki
kekuasaan
sekaligus
menyuburkan korupsi. Penguasa yang memerintah melalui politik transaksional pada waktunya pasti akan menuntut kembali uang yang telah mereka tebarkan. Pemerintahan oligarki juga hanya akan menghadirkan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi diri dan kelompoknya saja, bukan bagi seluruh rakyat. Padahal, rakyat yang sejahtera bisa meminimalkan politik transaksional. Dalam tabel terlihat pasang surutnya tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan Anggota Legislatif. Sekalipun ditahun 2014 ada peningkatan angka disbanding di tahun 2009, tetapi perlu diketahui bahwa ditingkat Jawa Barat, partisipasi masyarakat kab.Cirebon menduduki urutan terendah kedua setelah Kab. Indramayu. 2. Money politik dan implikasinya terhadap partisipasi masyarakat kabupaten cirebon pada pemilu legislatif 2014 NO
TAHUN
JUMLAH
JUMLAH
JUMLAH
PROSENTASE
PARPOL
KURSI
PEMILIH
PERTISIPASI PEMILIH
01
2004
24 Partai Politik
45 Kursi
1.359.265
82,93 %
02
2009
38 Partai Politik
50 Kursi
1.532.050
61,03 %
03
2014
12 Partai Politik
50 Kursi
1.728.913
64,50 %
3
Dalam tabel terlihat pasang surutnya tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan Anggota Legislatif. Sekalipun ditahun 2014 ada peningkatan angka dibanding di tahun 2009, tetapi perlu diketahui bahwa ditingkat Jawa Barat, partisipasi masyarakat kab.Cirebon menduduki urutan terendah kedua setelah Kab. Indramayu. Partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa (private citizen) dalam menentukan kebijakan pemerintah yang menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya. Dengan istilah “warga negara biasa”, disini yang dimaksudkan adalah warga negara yang bukan merupakan pejabat pemerintah. Sebab kalau seseorang menjadi pejabat pemerintah, dia adalah bagian dari pemerintahan, yang berarti bagian dari penentu kebijakan itu sendiri. Sosialisasi dan partisipasi politik saling memiliki keterkaitan satu sama lain. Sosialisasi dibutuhkan agar menyadarkan masyarakat betapa pentingnya partisipasi politik. Media massa merupakan sarana komunikasi politik. Melalui media massa masyarakat memperoleh pemahaman tentang proses politik yang terjadi dalam sistem politiknya. Setiap hari media massa menginfokan perilaku politik pada pemilihan kepala daerah di berbagai daerah di Indonesia. DESKRIPSI MASALAH Pemilihan umum misalnya, dapat diklasifikasikan sebagai salah satu jenis partisipasi rakyat dalam politik. Dari sejarah politik Indonesia terlihat adanya krisis partisipasi yang pada pokoknya disebabkan oleh (1) logika formal yang menyatakan bahwa suprastruktur politik dibentuk tanpa melibatkan keikutsertaan rakyat, sehingga setiap kebijaksanaan yang diambil oleh suprastruktur politik sedikit banyak dirasakan sebagai kurang ikatan batinnya dengan sebagian rakyat (partai hanya “ramai” menjelang momentum pemilu saja) (2) setiap keputusan politik suprastruktur politik harus mengikat dan dipaksakan ternyata karena adanya pengkotakan dan aliran yang sempit (primodial, kesukuan, dan lainlain) tidak dapat mendapat respons wajar dari rakyat; (3) keacuhan (apathy) yang tumbuh dan sering pula disusul dengan manifestasi ekstrem berupa separatism dan demostrasi; 4) volume tuntutan tidak mendapatkan wadah yang cukup dalam suprastruktur politik, karena dalam proses demokrasi. Partai politik dan sistemnya masih menjadi elit yang tidak tersentuh. 5). Mencari korelasi antara praktek money politik yang semakin marak dengan kondisi ekonomi masyarakat yang masih minim. Adanya praktik politik uang menyebabkan masyarakat diajarkan pragmatisme dalam memilih calon Wakil Rakyat. Padahal, Anggota Dewan yang terpilih karena politik uang tersebut besar kemungkinan ingin mengembalikan uang yang dikeluarkannya saat
4
pemilihan, dan anggota dewan yang terpilih tersebut karena hasil daripraktek money politik secara kompetensi dan kredibilitas kurang memadai. Salah satu pelanggaran yang hampir selalu dilakukan semua calon adalah membeli suara. Ini merata terjadi di seluruh Indonesia dengan cara berbeda. PILIHAN KEBIJAKAN Fungsi-fungsi politik merupakan bentuk tingkah laku menyangkut aspek sosial maupun politik. Tindakan-tindakan dan aktivitas tidak hanya menyangkut apa yang telah dilakukan saja, tetapi juga menyangkut hal-hal apa yang telah mendorong individu berpartisipasi politik. Partisipasi politik seseorang dipengaruhi pula oleh faktor pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka partisipasi politik seseorang akan bertambah, partisipasi ini tidak hanya dalam pemberian suara, kegiatan kampanye, tetapi dapat pula pemberian materi (uang) sebagai penunjang kegiatan politik, selain itu status pekerjaan yang lebih tinggi pada umumnya lebih sering melibatkan keanggotan asosiasi sukarela. Karakteristik sosial seseorang seperti status sosio-ekonomi, kelompok ras atau etnis, usia, seks dan agamanya, baik itu baik hidup di daerah padesaan atau di kota maupun ia termasuk dalam organisasi sukarela tertentu dan sebagainya semua mempengaruhi partisipasi politiknya. Money politic ini jadi seperti sudah menjadi budaya. Apabila pemerintah mau tegakkan, ada ribuan orang yang mungkin akan ditangkap. Yang menerima juga puluhan ribu. Bisa dikatakan bahwa politik uang jadi budaya yang tidak mudah untuk ditegakkan secara hukum. Money Politic sama halnya dengan tindakan korupsi. Tindakan yang sampai sekarang belum bisa dituntaskan olah Negara. Ada beberapa persoalan yang ingin kita gali dari fenomena money politik tersebut : 1. Bagaimana politik uang itu terjadi ? 2. Seperti apa pola dan bentuk money politik? 3. Mengapa disebagian tempat terjadi dan disebagian daerah lain tidak terjadi money politik ? 4. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi money politik 5. Kebijakan apa yang perlu ditempuh untuk mengatasi fenomena money politik Sekian dan terimakasih
5
1
MONEY POLITICS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PARTISIPASI MASYARAKAT KABUPATEN CIREBON PADA PEMILU LEGISLATIF 2014
Ahmad Jamhuri
Abstrak Pelaksanaan Pemilu Legislatif tahun 2014 ditengarai sarat dengan praktik-praktik money politics (politik uang) yang terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia, tidak terkecuali di Kabupaten Cirebon. Kebebasan (freedom), kesamaan dalam hak dan kewajiban (equality), dan kedaulatan rakyat (people’s sovereghty) sebagai hak asasi yang sedianya dilindungi dan dijamin oleh Undang-undang pun akhirnya ternodai oleh praktik jual beli suara ini. Ironinya, baik caleg maupun masyarakat yang mempraktikannya menganggap money politics sebagai hal yang wajar. Fenomena ini tentu sangat membahayakan sekaligus mengancam bagi kelangsungan demokrasi di masa mendatang, baik di tingkat lokal, lebih-lebih pada tingkat nasional. Jangan sampai partisipasi aktif masyarakat dalam pelaksanaan Pemilu (Pileg, Pilpres, dan Pilkada) hanya karena telah terjadi bargaining politik kecil-kecilan (baca; money politics) antara rakyat dengan para calon pemimpin dan wakilnya. Politik transaksional hanya akan melahirkan oligarki kekuasaan sekaligus menyuburkan korupsi. Penguasa yang memerintah melalui politik transaksional pada waktunya pasti akan menuntut kembali uang yang telah mereka tebarkan. Pemerintahan oligarki juga hanya akan menghadirkan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi diri dan kelompoknya saja, bukan bagi seluruh rakyat. Padahal, rakyat yang sejahtera bisa meminimalkan politik transaksional.
Kata kunci; Money Politics, Partisipasi Politik, Pemilu
2
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Instrumen terpenting dalam demokrasi yang menganut sistem perwakilan tidak lain adalah adanya pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu berfungsi sebagai alat penyaring bagi “politikus-politikus” yang akan mewakili dan membawa suara rakyat di dalam lembaga perwakilan, mereka yang terpilih dianggap sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk berbicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar melalui partai politik (parpol). Oleh sebab itu adanya partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis. Hal itu dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberi jalan kompromi bagi pendapat yang berlawanan, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara sah dan damai.1 Pemilihan umum hampir tidak mungkin dilaksanakan tanpa kehadiran partai-partai politik di tengah masyarakat. Keberadaan partai juga merupakan salah satu wujud nyata pelaksanaan asas kedaulatan rakyat. Sebab dengan partai-partai politik itulah segala aspirasi rakyat yang kedaulatan berada di tangan rakyat, maka, kekuasaan harus dibangun dari bawah. Konsekuensinya, kepada rakyat harus diberikan kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik. Pasal 28 UUD 1945 dengan tegas menyatakan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan fikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dalam UU”. Namun dalam pelaksanaan Pemilu seringkali terjadi kecurangan-kecurangan, diantaranya adalah maraknya praktik-praktik money politics. Money politics dianggap sebagai suatu praktik yang menciderai demokrasi, karena dengan adanya praktik ‘money politics’ ini, maka kebebasan yang menjadi ruh dan tujuan utama demokrasi menjadi terancam. Ahkhirnya demokrasi pun berubah sebagai pasar yang riuh dengan transaksi penjual dan pembeli. Elit politik adalah agen yang membeli suara rakyat. Sementara itu, rakyat adalah pihak tak berdaya yang menjual aspirasinya. Harga suara seringkali menjadi topik diskusi paling seksi di setiap tempat kerumunan. Direktur Indonesia Indicator (I2), lembaga riset berbasis piranti lunak Artificial Intelligence (AI) untuk menganalisis indikasi politik, ekonomi, sosial di Indonesia melalui pemberitaan (media mapping), Rustika Herlambang mengungkapkan bahwa bentuk pelanggaran yang paling banyak mendapatkan sorotan media adalah money politicsdengan
1
Moh, Mahfud MD, Hukum Dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm 8
3
1.716 ekspos (52%), disusul pelanggaran-pelanggaran lain seperti, penggelembungan suara (18%), pemilu ulang atau pencoblosan ulang (12%), pelanggaran kode etik (9%), serta penghitungan ulang (9%). Dominannya kasus money politics menjadi catatan besar terkait kualitas Pemilu Legislatif 2014. Lebih lanjut dia mengatakan, terdapat banyak indikasi pelanggaran (electoral fraud) di beberapa wilayah dan aksi money politics, terjadi secara masif di seluruh daerah di Indonesia. (Republika, 11 Mei 2014). Sementara itu, Ketua Bawaslu Jawa Barat, Harminus Koto mengatakan pihaknya mencatat terdapat 22 kasus dugaan pelanggaran money politicsterhitung 16-27 Maret. Kasus tersebut terjadi di 13 kabupaten/kota. Kabupaten Ciamis menjadi daerah paling banyak dengan jumlah 7 kasus. Kemudian diikuti Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung, Kota Bekasi, masing masing 2 kasus. Sedangkan sisanya adalah Kabupaten Karawang, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Cianjur, Kota Sukabumi, dan Kabupaten Cirebon.
B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini, antara lain: 1. Bagaimana bentuk money politics yang terjadi pada pelaksanaan Pileg-2014 di Kabupaten Cirebon? 2. Faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya money politics? 3. Kebijakan apa yang perlu ditempuh untuk mengatasi fenomena money politics?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini secara umum adalah mencari data tentang hal-hal yang berkait paut dengan money politics (politik uang) yang terjadi pada Pemilu Legislatif 2014 di Kabupaten Cirebon. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini lebih pada menemukan akar masalah terjadinya praktik money politics, untuk selanjutnya merekomendasikan kebijakan apa yang perlu dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam kaitannya meningkatkan kwalitas pelaksanaan pemilu mendatang.
4
D. Kerangka Teori Hasil Amandemen ke tiga Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 45) pada pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pada pasal 22E ayat 1 juga dinyatakan bahwa “Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, setiap lima tahun sekali”. Diamanatkannya pelaksanaan Pemilihan umum (Pemilu) 5 tahun sekali tentu bukan tanpa tujuan. Secara umum, tujuan dilaksanakannya Pemilu antara lain; melaksanakan kedaulatan rakyat, perwujudan dari hak asasi politik rakyat, memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR, DPD dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden, melaksanakan suksesi pemerintahan secara damai, aman, dan tertib, dan menjamin kesinambungan pembangunan nasional. Adapun asas-asas dari diselenggarakannya Pemilu sebagaimana disebutkan oleh pasal di atas, yaitu; Pertama, Langsung. Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap pemilih secara langsung memberikan suaranya tanpa perantara dan tingkatan. Kedua, Umum. Artinya bahwa pemilihan itu berlaku menyeluruh bagi semua warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan, tanpa diskriminasi. Ketiga, Bebas. Artinya bahwa warga negara Indonesia yang berhak memilih dapat menggunakan haknya, dan dijamin keamanannya untuk melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan, dan paksaan dari siapa pun dan dengan cara apa pun. Keempat, Rahasia. Artinya bahwa setiap pemilih dijamin tidak akan diketahui oleh siapa pun dan dengan jalan apa pun siapa yang dipilihnya (secret ballot). Disamping empat asas tersebut, dua asas Pemilu berikutnya adalah Jujur dan Adil. Artinya bahwa penyelenggaraan dan pelaksana Pemilu, pemerintah dan partai politik peserta pemilu, pengawas dan pemantau Pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, sekaligus mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan. Pelaksanaan Pemilu baik pileg, pilpres maupun pilkada merupakan bagian dari proses penguatan demokrasi serta untuk mewujudkan tata pemerintahan yang efektif dan efisien. Oleh karenanya tidak terlepas dari peran serta masyarakat yaitu melalui partisipasi politik. Dengan kata lain, sukses tidaknya pelaksanaan pemilu salah satunya ditentukan bagaimana partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya.
5
Gamawan Fauzi yang pada saat pelaksanaan Pileg 2014 menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri pernah mengatakan bahwa semangat pemilu bisa terwujud apabila seluruh komponen bangsa saling bahu-membahu mendukung pelaksanaan pemilu sesuai perundangundangan dan penghormatan hak-hak politik setiap warga negara.2 Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Secara umum dalam masyarakat tradisional yang sifat kepemimpinan politiknya lebih ditentukan oleh segolongan elit penguasa, keterlibatan warga negara dalam ikut serta memengaruhi pengambilan keputusan, dan memengaruhi kehidupan bangsa relatif sangat kecil. Warga negara yang hanya terdiri dari masyarakat sederhana cenderung kurang diperhitungkan dalam proses-proses politik.3 Menurut Ramlan Surbakti yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau memengaruhi hidupnya.4 Partisipasi politik dari masyarakat ini dijamin oleh Negara, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 sebagai berikut; "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan sebagainya ditetapkan dengan undangundang". Selain itu, dalam UU No 12 Tahun 2005 diatur juga mengenai jaminan hak-hak sipil dan politik, di mana poin-poin hak yang harus dilindungi oleh negara yaitu; hak berpendapat, hak berserikat, hak memilih dan dipilih, hak sama di hadapan hukum dan pemerintahan, hak mendapatkan keadilan, dan lain-lain. Menurut Ramlan Surbakti partisipasi politik terbagi menjadi dua yaitu partisipasi aktif dan pasrtisipasi pasif. Partisipasi aktif adalah mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berlainan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintah. Sebaliknya, kegiatan yang termasuk dalam kategori partisipasi pasif berupa kegiatan-kegiatan yang menaati pemerintah, menerima, dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.5 Sedangkan menurut Barber, intensitas partisipasi individu dapat digolongkan ke dalam dua katagori besar, yakni : partisipasi politik yang intensif dan partisipasi politik yang tidak intensif. Partisipasi yang intensif, menurut barber, berkaitan dengan kegiatan individu dalam partai politik, kelompok kepentingan, dan kelompok penekan; sedangkan partisipasi 2
kemendagri.go.id/article/2013/12/17/menyongsong-pemilu-2014. diakses tanggal 03 Juni 2015. Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik. (Semarang: Ikip Semarang Press, 1995). hlm. 56 4 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Indonesia, 2007), hlm. 140. 5 Ibid, hlm. 142. 3
6
yang tidak intensif berkaitan dengan pemilihan umum. Lebih lanjut menurut Barber, intensitas politik akan sangat dipengaruhi oleh resources, knowledge, skill, dan money.6 Berkaca dari pengalaman pemilu di Indonesia pasca reformasi Pemilu 1999 hingga 2014, baik di tingkat lokal maupun nasional, partisipasi politik dari masyarakat cenderung menurun. Di Kabupaten Cirebon khususnya, fenomena ini setidaknya juga tergambar dari pelaksanaaan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada tahun 2013, di mana angka partisipasi politik masyarakat dalam pilkada putaran ke-dua berkisar pada angka 46 persen. Memahami fenomena tersebut, James S. Coleman, seorang tokoh dalam teori pilihan rasional menjelaskan bahwa tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan. Menurut Coleman, dalam teori pilihan rasional ada dua unsur yang terlibat yakni aktor dan sumber daya. Uang menjadi salah satu motivasi bagi seseroang untuk berpartisiapsi dalam politik.7 Di sinilah praktik money politics dalam Pemilu dapat dilihat melalui pandangan teori pilihan rasional. Hubungannya dengan Pemilu, rasionalitas masyarakat muncul ketika mereka berfikir keuntungan apa yang akan mereka dapatkan ketika mereka menggunakan hak pilihnya. Dengan kata lain, seseorang akan memilih calon atau partai apabila calon atau partai tersebut dipandang dapat membantu dia memenuhi kepentingan dasarnya, yaitu kehidupan ekonomi. Masyarakat dan caleg sama-sama memiliki kepentingan terhadap sumber daya yakni uang dan jabatan politik keduanya sehingga dapat saling memengaruhi. Caleg memberikan penawaran keuntungan kepada masyarakat. Disisi lain masyarakat memberikan penawaran berupa dukungan suara untuk memenangkan si calon. Masyarakat dan caleg akhirnya terlibat sebuah hubungan untuk memenuhi kepentingannya masing-masing. Sehingga praktik politik uang pun tidak dapat terhindarkan.
6 7
Leo Agustino, Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm 193. Ramlan Surbakti, hlm, 142.
7
E. Metode Riset 1. Jenis Penelitian Sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian, penelitian ini termasuk pada jenis penelitian yang bersifat deskriptif-kualitatif. Sisi deskriptif dari penelitian ini adalah berupa penjelasan mengenai subjek penelitian secara rinci. Sedangkan sisi kualitatif dari penelitian ini yaitu berupa persepsi mayarakat terhadap subjek penelitian. Dengan mendeskripsikan data secara rinci dalam suatu fenomena sosial tertentu nantinya diharapkan dapat menjelaskan, menerangkan serta menjawab permasalahan yang diajukan dalam suatu penelitian. 2. Sumber data Untuk mendapatkan data yang terjadi pada berbagai fenomena yang ada dalam lapangan, banyak jenis dan sumber data yang dapat digunakan, dan hal ini harus disesuaikan dengan sasaran penelitian. Dalam riset ini, peneliti tidak menggunakan populasi, karena berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan diberlakukan pada populasi, tetapi ditransferkan ke tempat lain pada situasi sosial dalam kasus yang dipelajari. Sampel dalam penelitian kualitatif tidak disebut responden melainkan narasumber, partisipan atau informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian melalui wawancara. Informan adalah seseorang yang benar-benar mengetahui suatu persoalan atau permasalahan tertentu yang darinya dapat diperoleh informasi yang jelas, akurat, dan terpercaya. Informasi tersebut dapat berupa pernyataan, keterangan, atau data-data yang dapat membantu dalam memahami persoalan atau permasalahan yang diteliti. Adapun kriteria informan yang dipilih mencakup, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Panwaslu, Para calon legislative baik yang lolos maupun yang gagal pada Pemilu Legislatif 2014 (sampel), dan para pemilih, tokoh masyarakat, akademisi, dan lain-lain yang berkaitan dengan riset ini. Sumber data tersebut dalam penelitian ini menjadi sumber data primer. Adapun yang dijadikan sumber data sekundernnya, peneliti menggunakan sumber data yang terkait dengan riset ini melalui berbagai buku, artikel-artikel, jurnal-jurnal, dan laporan-laporan penelitian dari lembaga-lembaga penelitian, serta meneliti dokumentasi dan media yang terkait dengan kajian, seperti surat-surat kabar, majalah-majalah, internet, dan lain-lain. 3. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data dalam penelitian, yaitu a. Wawancara
8
Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terpimpin yaitu dilakukan dengan tanya jawab yang terarah untuk mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian. Teknik wawancara ini diberlakukan kepada semua nara sumber yang telah ditetapkan oleh peneliti. b. Dokumentasi Dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk mencari data melalui dokumen-dokumen penting yang terkait dengan masalah penelitian, seperti buku, jurnal dan hasil penelitian yang tersebar di media sosial. 4. Teknik analisa data Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga dapat dipahami. Analisis data dalam penelitian kualitatif ini dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi sampai tahap tertentu hingga diperoleh data yang dianggap kredibel.8 Teknik analisa data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data Model Miles and Huberman, yaitu: c. Data Reduction ( Reduksi Data ) Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Semakin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah data akan semakin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal- hal yang pokok, memfokuskan pada hal- hal yang penting dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencari yang diperlukan. 8
Sugiyono, Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D, Bandung : Alfabeta, 2008, hlm. 9.
9
d. Data Display ( Penyajian Data ) Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Penyajian data dalam penelitian ini adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah difahami tersebut. e. Conclusion Drawing ( Verifikasi ) Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti- bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan yang kredibel. Setelah itu, penelitia melakukan triangulasi sumber untuk menguji data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Data yang telah dianalisis oleh peneliti sehingga menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan dengan 3 sumber data tersebut.9
9
Lexy, Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya, 2005, hlm.31.
10
PEMBAHASAN
A. Money politics dalam Konteks Pemilu Pelaksanaan Pemilu Legislatif tahun 2014 ditengarai sarat dengan praktik-praktik money politics, padahal esensi tujuan dari pesta demokrasi ini, di mana rakyat diberi keleluasaan dalam menyalurkan aspirasinya untuk memilih calon pemimpin dan wakilnya adalah untuk lebih menguatkan legitimasi politik. Hal ini tentunya kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi yang digawangi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Money politics atau Politik Uang secara umum dapat dipahami sebagi suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi, atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan melalui tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai dengan tujuan mempengaruhi suara pemilih (vooters). Dengan kata lain, memberikan uang atau barang kepada seseorang karena ada maksud politik yang tersembunyi dibalik pemberian tersebut. Jadi jika maksud tersebut tidak ada, maka tentu pemberian itu pun tidak akan dilakukan. Praktik money politics jelas sangat tercela dan merupakan suatu kejahatan. Konsekwensi bagi para pelaku, apabila ditemukan bukti-bukti jelas telah terjadi praktek money politics, maka mereka dapat dijerat dengan undang-undang anti suap. Menurut Yusril Ihza Mahendra, definisi money politics sangat jelas, yakni mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Apabila kasus money politics bisa dibuktikan, maka pelakunya dapat dijerat dengan pasal tindak pidana biasa, yakni penyuapan.10 Menurut Hermawan Sulistiyo, awalnya tindakan money politics memang tidak diatur secara eksplisit dalam delik KUHP, namun dalam penyelesaian perkaranya, seringkali pengadilan menggunakan pasal-pasal yang mengatur tindak pidana suap. Fenomena peradilan ini setidaknya menunjukkan adanya kesamaan persepsi antara money politics dengan suap. Konsekuensi logis dari pendefinisian ini akhirnya menempatkan money politics sebagai bagian dari wujud tindak pidana korupsi jenis suap.11 Ada beberapa peraturan dan Undang-undang yang dapat dijadikan dasar untuk menjerat pelaku money politics, diantaranya; 1. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 10
Indra Ismawan, Money politicss - Pengaruh Uang Dalam Pemilu, (Yogyakarta: Media Presindo, 1999). hlm. 4. 11 Hermawan Sulistiyo, Uang & Kekuasaan Dalam Pemilu 1999 (Jakarta: KIPP Indonesia, 2000), hlm 36.
11
Pasal 247 Ayat 1 sampai Ayat 10, Pasal 252, Pasal 253 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 254 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 255 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 256 Ayat 1 dan 2, Pasal 257 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 258 Ayat 1 dan 2, Pasal 259 Ayat 1 sampai Ayat 3. 2. Undang-undang No. 32 Tahun 2008 mengenai Pemberhentian Kepala Daerah (yang sudah dilantik atau yang akan dilantik) Pasal 29 Ayat 1 sampai 4, Pasal 30 Ayat 1 dan 2, Pasal 31 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 32 Ayat 1 sampai Ayat 7, Pasal 33 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 34 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 35 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 36 Ayat 1 sampai Ayat 5. 3. Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 mengatur larangan melakukan money politics terutama pada pasal 86 ayat (1) huruf J. Berbunyi: pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya, kepada peserta kampanye pemilu. Larangan tersebut diikuti dengan ancaman pidana pada pasal 301 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dalam hal penyelenggara Pemilu melakukan tindak pidana Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273, Pasal 275, Pasal 276, Pasal 283, Pasal 286, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 297, Pasal 298, Pasal 301 ayat (3), Pasal 303 ayat (1), Pasal 304 ayat (1), Pasal 308, Pasal 309, Pasal 310, Pasal 311, Pasal 312, Pasal 313, pidana bagi yang bersangkutan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini 5. Peraturan KPU No. 15 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye juga memperkuat peraturan UU tersebut dengan melarang pemberian uang dan barang sebagai iming-iming untuk menarik suara masyarakat selama berkampanye. Meskipun peraturan dan Undang-undang di atas bisa dijadikan dasar untuk menjerat para pelaku money politics, namun pada praktiknya, banyak pihak yang masih bingung membedakan antara money politics dan cost politics (ongkos politik). Bahkan yang lebih memprihatinkan, ada seorang caleg yang meminta agar praktik money politics pada pemilu dilegalkan saja. Belum adanya batasan tegas antara money politics dan ongkos politik ini tentu juga menjadi salah satu faktor rumitnya mengeksekusi kasus-kasus money politics yang terjadi, disamping masih lemahnya peraturan perundang-undangan yang berlaku.
12
B. Bentuk-bentuk Money politics di Kabupaten Cirebon Kabupaten Cirebon merupakan bagian dari wilayah Propinsi Jawa Barat yang terletak dibagian timur dan merupakan batas, sekaligus sebagai pintu gerbang Propinsi Jawa Tengah. Berdasarklan letak geografisnya, Kabupaten Cirebon berda pada posisi 108°40’ – 108°48’ Bujur Timur (BT) dan 6° 30’ – 7° 00’ Lintang Selatan (LS). Secara administrasi luasnya mencapai 990,36 Km2.12 Sedangkan apabila dilihat dari permukaan tanah atau daratannya yang memanjang dari Barat Laut sampai ke Tenggara, maka dapat dibedakan menjadi dua bagian, pertama daerah dataran rendah, umumnya terletak disepanjang Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa, yaitu Kecamatan Gegesik, Kaliwedi, Kapetakan, Arjawinangun, Panguragan, Klangenan, Cirebon Utara, Cirebon Barat, Weru, Astanajapura, Pangenan, Karangsembung, Waled, Ciledug, Losari, Babakan, Gebang, Palimanan, Plumbon, Depok dan Kecamatan Pabedilan. Sedangkan sebagian lagi termasuk pada daerah dataran tinggi.
Gambar 1. Peta Kabupaten Cirebon
Pemilu Legislatif (Pileg) tahun 2014 di Kabupaten Cirebon meninggalkan sejumlah catatan negatif, salah satunya adalah maraknya praktek money politics. Seperti diketahui, Kabupaten Cirebon terdiri dari 40 Kecamatan dan terbagi menjadi 7 daerah pemilihan (dapil) dengan 50 kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang tersebar sesuai
12
http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1049, diakses tanggal 01 Juni 2015.
13
daerah pemilihan.13 Berdasarkan informasi yang peneliti dapatkan di lapangan, dan hasil wawancara dengan beberapa calon legislatif (caleg) yang mempraktikkan money politics untuk menjaring suara, mereka mengatakan bahwa praktik money politics pada pelaksanaan Pileg-2014 hampir dilakukan oleh semua kandidat atau para caleg saat itu. Mantan ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten Cirebon, Nunu Shobari mengatakan14, bahwa selama menjelang masa pemilu legislatif di Kabupaten Cirebon, sebenarnya tidak sedikit dari calon anggota legislatif di Kabupaten Cirebon yang melakukan praktik money politics untuk mempengaruhi simpati masa, dan tidak sedikit pula warga yang melapor kasus tersebut kepada Pengawas Pemilu, baik melalui telepon, SMS maupun langsung datang ke kantor. Tetapi karena tidak adanya bukti atau saksi, akhirnya kasus itu tidak bisa dilanjutkan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Imam (bukan nama sebenarnya), salah seorang caleg dari Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA) dan beberapa orang pemilih yang tersebar di tiga daerah pemilihan (dapil), dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk money politics yang terjadi di Kabupaten Cirebon pada pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014, meliputi;15 1. Pemberian dalam bentuk uang (cash money) atau barang. Pada poin ini, ada beberapa modus money politics yang terjadi dan dilakukan antara para caleg dan masyarakat sebagai konstituennya, diantaranya lewat sarana kampanye. Para caleg memperkenalkan diri masing-masing, menyampaikan visimisinya apabila terpilih menjadi anggota dewan, sekaligus meminta dukungan para peserta, menyebarkan brosur, kartu nama caleg, stiker, kaos dan lain lain. Setelah selesai, para peserta pun diberi pengganti uang transport, besarnya sangat beragam antara 20 ribu sampai dengan 50 ribu, bahkan bisa mencapai 100 ribu untuk kategori “kader”. Cara sosialisasi seperti ini lazim dilakukan oleh para caleg, meski di nilai sudah kurang efektif, sebab ternyata masyarakat pun menerima sosialisasi dari para caleg dari partai lain atau mungkin dari partai yang sama. Sehingga tidak pernah bisa terukur pada hari pelaksanaan pemungutan suara masyarakat akan memilih siapa. Modus selanjutnya melalui bantuan langsung, yaitu pemberian dari caleg untuk komunitas atau kelompok tertentu. Biasanya diikuti suatu kesepakatan antara caleg atau tim sukses-nya dengan komunitas atau kelompok tersebut. Ada juga yang
13
Penetapan jumlah Dapil berdasarkan Surat Keputusan KPU Nomor 104 Tahun 2013. Wawancara pada tanggal 27 Mei 2015. 15 Wawancara tanggal 02, 06, dan 15 Mei 2015. 14
14
mengirimkan proposal tertentu dengan menyebutkan jenis bantuan dan besaran yang diminta dengan kompensasi apabila proposal tersebut dikabulkan, maka calon pemilih akan siap memberikan suaranya. Istilah-istilah seperti “sembako politik”, “kerudung politik”, atau “al-Qur’an politik” termasuk dalam kategori modus ini. Sedangkan modus yang paling marak dilakukan pada Pileg 2014 kemarin di Kabupaten Cirebon dan daerah-daerah lain adalah dengan cara “tembakan langsung”, atau istilah yang sering digunakan adalah “serangan fajar”, yaitu membelokkan pendukung rival politik caleg lain untuk memilih dirinya, dengan membagikan uang kepada masyarakat tepat pada hari pemungutan suara. Cara ini dinilai lebih efektif sekaligus dapat meminimalisir pengeluaran para caleg. Di setiap dapil memang ada saja orang-orang yang bersedia menjadi agen. Nominal cash money yang diberikan juga bervariasi antara Rp. 20 ribu sampai Rp. 50 ribu per-orang. Jadi apabila satu keluarga mempunyai 4 orang pemilih. maka mereka akan mendapatkan 4 dikali nilai nominal cash money tersebut. 2. Pemberian melalui tokoh masyarakat Tim sukses (timses) yang berada di sekeliling calon anggota legislatif tidak selamanya mampu menembus sasaran yang hendak diberikan suplemen gizi penarik simpati. Dalam praktik money politics berbagai cara dilakukan, diantaranya adalah dengan mendekati para tokoh masyarakat suatu daerah yang menjadi sasaran pembagian “hadiah politik”. Cara seperti ini justru lebih sering dilakukan oleh para calon anggota legislatif. 3. Pemberian melalui sarana umum Politik pencitraan dan tebar pesona lazim dilakukan oleh para caleg untuk menarik simpati masyarakat di daerah pemilihannya. Hal ini tidak saja menguntungkan rakyat secara personal, namun fasilitas dan sarana umum juga kebagian “berkah”, seperti Masjid, Mushalla, Madrasah, jalan-jalan kecil (gang-gang), dan sebagainya. Bentuk “jariyah politis” ini tidak selalu menggunakan uang tunai (cash money) sebagai instrument medianya, tetapi pemberian dalam bentuk alat pertukangan dan matrial bangunan seperti semen, pasir, besi, batu koral dan lain sebagainya, yang tujuannya adalah menarik simpati dari masyarakat sekitar. Politik pencitraan dan tebar pesona melalui “jariyah politis” ini tidak hanya dilakukan oleh caleg-caleg yang baru, tetapi juga oleh para caleg yang berniat maju kembali di daerah pemilihannya. Patut diduga mereka memanfaatkan “dana reses” untuk
15
mendapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat agar mereka dapat terpilih kembali sebagai anggota legislative pada Pileg 2014. Menurut Ahmad Khairul Umam, dalam banyak masyarakat, tidak terkecuali masyarakat religius, uang memang diakui sebagai senjata politik ampuh yang sangat strategis untuk menaklukkan kekuasaan. Karena pada dasarnya, uang merupakan saudara kembar kekuasaan.16 Fakta ironi dibalik kultur politik Indonesia saat ini adalah kekuasaan politik justru lebih difungsikan sebagai alat untuk menghasilkan uang, sebagai upaya pengembalian modal politik dan mencari keuntungan dari kekuasaan.
Gambar 2. Bentuk-bentuk money politics
Money Politics Pemberian dalam Bentuk Uang - Kampanye - Bantuan Langsung - Serangan Fajar
Pemberian Melalui Tokoh Masyarakat
Pemberian Melalui Sarana / Fasilitas Umum
16
Ahmad Khoirul Umam, Kiai dan Budaya Korupsi di Indonesia, Semarang: Rasail, 2006, hlm 24.
16
C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Money politicss Setiap peristiwa sosial akan menimbulkan satu atau lebih peristiwa sosial yang lain, saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, sehingga merupakan satu lingkaran sebab akibat (kausalitas), begitu juga dengan persoalan money politics. Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2008 memutuskan perubahan perolehan kursi legislatif berdasarkan hasil suara terbanyak, para caleg yang semula banyak mengandalkan berkah dari nomor urut seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya, akhirnya harus kerja keras. Mereka yang semula tidak terlalu dikenal oleh konstituennya terpaksa harus turun menyapa, memaparkan visi misi, dan program yang akan dilakukan jika terpilih. Dengan kata lain, para caleg harus lebih rajin turun ke daerah pemilihannya (baca; blusukan) untuk bertemu sekaligus meminta dukungan dari konstituennya. Banyak dari kalangan pengamat menjelaskan, bahwa maraknya money politics dalam pemilu legislatif dipicu oleh sistem pemilu proporsional (proportional representation) dengan varian daftar terbuka (open list) ini. Oleh karena caleg yang mendapat suara terbanyaklah yang berhak masuk ke parlemen, hal ini tentu membuat persaingan antar caleg sangat ketat, termasuk persaingan di internal partai. Menurut Rumlan Surbakti, Guru Besar Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, inisiatif calon anggota DPR dianggap salah satu penyebab praktek money politics. Caleg melakukan berbagai cara termasuk money politics, untuk mendapatkan suara lebih banyak dari pada caleg lain dalam satu partai politik. Sebab, dalam sistem pemilihan proposional dengan daftar terbuka, caleg bisa mendapatkan kursi, jika suara yang diraih lebih banyak daripada caleg yang lain yang berasal dari partai politik yang sama.17 Dengan kata lain, sistem ’tarung bebas’ ini membuat caleg cenderung melakukan segalanya untuk dapat suara. Kondisi seperti tersebut di atas juga membuka peluang bagi para pemilih untuk menjual suara kepada para caleg. Para pemilih umumnya juga menganggap bahwa caleg sebagai orang yang memiliki banyak uang. Oleh karena itu, mereka cenderung memanfaatkan momen itu untuk mengajukan proposal atau permintaan uang secara langsung. Bahkan, tidak sedikit warga yang secara terbuka meminta uang sekaligus terang-terangan menunggu ”serangan fajar” dari para caleg. Seperti diungkapkan oleh Wahyu (bukan nama sebenarnya), salah seorang caleg dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), bahwa di daerah pemilihannya banyak caleg yang tidak melakukan kampanye, memaparkan visi-misi dan program kerja 17 Politik Uang Dimulai dari Elit, http://nasional.kompas.com/read/2014/04/16/1508474/ . Diakses tanggal 01 Juni 2015.
17
kepada konstituennya, tetapi mereka lebih memilih melakukan “serangan fajar” untuk mendulang suara pada hari pencoblosan.18 Jadi pada dasarnya, money politics terjadi karena ada transaksi; caleg menawarkan dan rakyat sebagai konstituen juga meminta. Para caleg tidak akan berani membagi-bagikan uang jika ada penolakan dari masyarakat. Di sisi lain, ketidaktegasan penyelenggara pemilu juga sebagai faktor penyebab maraknya praktik money politics dalam pelaksanaan Pileg 2014. Selama ini tidak ada sanksi tegas yang diberikan penyelenggara pemilu kepada pihak-pihak yang melakukan money politics. Seharusnya penyelenggara, baik KPU Dareah maupun Panwas, bertindak tegas terhadap temuan money politics di lapangan. Para caleg yang terbukti melakukan money politics selama kampanye semestinya diberi sanksi pembatalan pencalonan. Begitu pula bagi caleg terpilih yang terbukti melakukan money politics. Faktor lain yang juga mendorong terjadinya money politics, yaitu rendahnya pengetahuan masyarakat tentang politik. Ketidaktahuan mereka bahwa jual beli hak suara melanggar norma moral, hukum, dan agama. Bahkan ada indikasi kuat ketidak pahaman masyarakat di Kabupaten Cirebon baik yang miskin maupun yang berkecukupan tentang dampak dan bahanya status imoralitas dari praktik money politics. Dalam anggapan mereka, money politics menyerupai transaksi jual beli yang biasa setiap hari dilakukan oleh semua orang di warung, pasar, swalayan, dan seterusnya. Seolah-olah di situ tidak ada salah dan tidak ada yang harus disalahkan. Menurut Nurdin (bukan nama sebenarnya), salah seorang caleg dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), ketidaktahuan dan ketidak pahaman masyarakat tentang dampak dan bahayanya money politics adalah akibat dari kegagalan negara dan partai politik dalam memberikan pendidikan politik kepada rakyat. Pendidikan politik yang diberikan selama ini justru semakin memperkuat anggapan bahwa politik itu kotor dengan menghalalkan segala cara. Pendidikan politik yang diberikan tidak lebih dari pembodohan masyarakat yang mengatasnamakan rakyat, bangsa, negara, dan demokrasi untuk melegitimasi langkah para politisi dalam meraih kekuasaan.19 Padahal pendidikan politik bagi masyarakat sangat diperlukan agar mereka dapat menentukan pilihan politiknya secara cerdas dan untuk menjamin kualitas hasil pemilu. Masdar F Mas’udi menjelaskan, bahwa kurangnya pemahaman menyebabkan kurangnya kesadaran dan kepekaan terhadap dimensi kriminalitas pada praktik suap dan money politics. Untuk mengatasi distorsi moralitas yang diakibatkan langkanya pemahaman 18 19
Wawancara tanggal 15 Juni 2015. Wawancara tanggal 15 Juni 2015.
18
ini, perlu diluncurkan suatu gelombang besar kritik budaya yang mampu membongkar wacana etika yang terlalu formalistik. Khususnya di kalangan umat Islam penganut ortodoksi ajaran keagamaan perlu diadakan kritik teologis terhadap dogma bahwa tidak ada hokum moral di luar teks ajaran. Dalam konteks ini perlu didorong pola pemahaman baru yang menempatkan teks-teks ajaran keagamaan lebih sebagai ajaran moral ketimbang sebagai teks hukum dalam pengertian legal-formal.20 Faktor selanjutnya yang tidak kalah penting dapat memunculkan praktik-praktik money politik adalah kemiskinan. Sebagaimana kita ketahui, angka kemiskinan di Indonesia cukup tinggi. Di Kabupaten Cirebon, berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2014-2019 mencatat angka kemiskinan tahun 2012 di Kabupaten Cirebon sebesar 14,94 persen dengan tingkat pertumbuhan 0,47 persen, dengan rincian; 18 kecamatan dengan tingkat kemiskinan yang perlu mendapat penanganan prioritas pertama. Ada 2 kecamatan yang harus mendapat prioritas kedua. Ada 4 kecamatan yang harus mendapat prioritas ketiga dan 16 kecamatan yang harus mendapat prioritas keempat.21
Gambar 3. Daerah Prioritas Berdasarkan Angka Kemiskinan 2012
Prioritas Keempat 40%
Prioritas Pertama 45%
Prioritas Ketiga 10%
Prioritas Kdua 5%
Kemiskinan adalah keadaan di mana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan 20
dasar
seperti
makanan,
pakaian,
tempat
tinggal,
pendidikan,
dan
Masdar Farid, Problematika dan Kebutuhan Membangun Fiqih Anti Korupsi, dalam Burhan A.S, Waidl, Bandi Ismail (edt), Korupsi di Negeri Kaum Beragama, Jakarta:P3M, 2004, hlm 144 21 Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJP) Kabupaten Cirebon tahun 20142019, hlm 29
19
kesehatan.Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjan. Kondisi miskin tersebut seperti memaksa dan menekan sebagian masyarakat untuk segera mendapat uang. Di sinilah money politics pun menjadi ajang bagi rakyat untuk berebut uang. Mereka yang menerima uang terkadang tidak memikirkan konsekuensi yang akan diterima, yang penting mereka mendapat uang dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Terkait dengan factor kemiskinan sebagai salah satu pemicu terjadinya money politics, salah seorang akademisi yang juga berdomisili di wilayah Kabupaten Cirebon, Endang Sutrisno, Kaprodi Hukum pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati (UNSWAGATI) melihat persoalan money politik yang terjadi pada pelaksanaan Pileg 2014 kemarin sebenarnya hanyalah dampak dari suatu sistem yang sebetulnya belum konstruktif, dalam hal ini demokrasi. Menurutnya, sistem demokrasi yang berlaku saat ini ketika dijabarkan di lapangan, maka ia akan berhadapan dengan sistem-sistem yang lain seperti sistem ekonomi misalnya, di mana sub sistem ekonomi diantaranya adalah kemiskinan. Maka di sinilah fondasi demokrasi akhirnya goyah menakala kebutuhan riil masyarakat belum terimplementasikan secara baik. Artinya, banyaknya konsep menuju kesejahteraan masyarkat cuma hebat di atas kertas akan tetapi pada tataran implementasinya terkesan omdo (omong doang), ini yang memungkinkan datang pertanyaan kritis untuk apa demokrasi? Karena itu juga cukup banyak petunjuk adanya kaitan retorika demokrasi, praktek politik, dengan kebutuhan riil masyarakat yang dominan, belumlah menemui titik muara kongkretnya.22 Sebenarnya proses demokrasi pada level akar rumput (grass root), tumbuh suburnya praktik money politics, karena dianggap sebagai suatu kewajaran, masyarakat tidak lagi peka terhadap bahayanya, sehingga membiarkan hal itu terjadi terus menerus dan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah saja. Segalanya berjalan dengan wajar kendati jelas terjadi money politics. Mungkin ini disebabkan fenomena money poltics dalam masyarakat yang sudah membudaya. Hal ini bisa dilihat secara langsung dalam proses pemilihan kepala desa atau lurah sebagai komponen terkecil dari pemerintahan Indonesia. Proses pencalonan kepala desa seringkali tidak lepas dari penggunaan uang sebagai upaya menarik simpati warga. Dalam skala yang lebih luas, praktik money politicss telah melibatkan hampir seluruh elemen sosial seperti pejabat, politisi, akademisi, pendidik, pengusaha, bahkan kalangan agamawan sekalipun.
22
Wawancara tanggal 28 Mei 2015.
20
Gambar 3. Faktor-faktor Penyebab Money Politics
Kemiskin an
Pendidikan Politik
Money Politics
Sistem
21
D. Implikasi Money Politics Terhadap Partisipasi Masyarakat Pada Pemilu Indonesia telah menggelar pesta demokrasi atau pemilu legislatif sebanyak 11 kali. Satu pemilu digelar di masa pemerintahan Orde Lama di bawah Soekarno tahun 1955. Enam pemilu berikutnya; Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 digelar di masa pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto. Sementara empat pemilu sisanya; Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014 digelar di era Reformasi, dengan rincian Pemilu 1999 berlangsung di bawah pemerintahan BJ Habibie, Pemilu 2004 berlangsung di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dan Pemilu 2009 serta 2014 berlangsung di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Secara nasional, partisipasi pemilih pada pemilu pasca reformasi terus mengalami penurunan. Berturut-turut, Pemilu 1999 mencatatkan angka partisipasi pemilih mencapai 92,74 persen dan jumlah golput 7,3 persen. Angka partisipasi yang memprihatinkan terjadi pada Pemilu 2004, yakni turun hingga 84,1 persen dan jumlah golput meningkat hingga 15,9 persen. Pada Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik pemilih semakin menurun yaitu hanya mencapai 70,9 persen dan jumlah golput semakin meningkat yaitu 29,1 persen.23 Kecenderungan partisipasi masyarakat yang terus menurun tentu tidak terlepas dari rasa “muak” dengan praktik demokrasi saat ini yang terbukti tidak dapat menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Fenomena golput yang terus meningkat dalam Pilkada juga membuktikan rasa ketidak percayaan sebagian masyarakat kepada para politisi. Proses-proses perubahan yang terjadi melalui pemilihan langsung, baik legislatif maupun eksekutif, nyatanya tidak mengubah sedikit pun nasib mereka. Mereka sadar bahwa pergantian orang tidak akan mengubah apa-apa, lebih-lebih dengan maraknya praktik money politics. Adapun partisipasi pemilih pada Pemilu Legislatif tahun 2014 kemarin, menurut survei dari CSIS dan lembaga survei Cyrus Network, Tingkat partisipasi pemilih 75,2 persen. Sementara yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 24,8 persen. 24 Bagaimana dengan partisipasi pemilih di Kabupaten Cirebon? Meski sempat dikhawatirkan akan rendah, tingkat partisipasi masyarakat Kabuaten Cirebon dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014 ternyata mampu mencapai 63,54 persen dari total DPT 1,75 juta orang. Angka ini tentu meningkat pesat dibandingkan dengan angka partisipasi pemilih dalam Pemilihan Bupati Cirebon pada 2013 yang turun drastis sampai 46 23
Survei Pemerintah Partisipasi Pemilu Capai 73 Persen, kompas.com/read/2014/02/28/0725229/ diakses tanggal 30 Mei 2015. 24 merdeka.com/politik/ini-tingkat-partisipasi-pemilih-dari-pemilu-1955-2014.html, diakses tanggal 30 Mei 2015.
22
persen pada putaran kedua. Untuk lebih jelasnya peningkatan partisipasi pemilih Kabupaten Cirebon pada pemilu legislatif dapat dilihat pada tabel di bawah ini;
Tabel. 4 Partisipasi Pemilih Kabupaten Cirebon No
Tahun
Jumlah Parpol
Jumlah Kursi
Jumlah Pemilih
Tingkat Partisipasi
1. 2. 3.
2004 2009 2014
24 Partai Politik 38 Partai Politik 12 Partai Politik
45 Kursi 50 Kursi 50 Kursi
1.359.265 1.532.050 1.750.000
82,93 % 61,03 % 64,50 %
Sumber: KPU Kabupaten Cirebon, 2015
Pada tabel di atas terlihat pasang surut tingkat partisipasi masyarakat Kabupaten Cirebon dalam proses pemilihan Anggota Legislatif. Sekalipun ditahun 2014 ada peningkatan angka dibanding di tahun 2009, tetapi perlu diketahui bahwa di tingkat Jawa Barat, partisipasi masyarakat Kabupaten Cirebon menduduki urutan terendah kedua setelah Kabupaten Indramayu. Pertanyaannya selanjutnya, mengapa tingkat partisipasi masyarakat Kabupaten Cirebon
dalam
pelaksanaan
Pemilu
Legislatif
2014
mengalami
peningkatan?
Apakah pentingnya mencoblos demi tegaknya demokrasi telah tumbuh atau mungkin juga keimanan masyarakat khususnya di Kabupaten Cirebon telah meningkat dengan adanya fatwa MUI bahwa golput itu haram?. Atau boleh jadi telah terjadi bargaining politik kecil-kecilan antara masyarakat dengan caleg? Dengan kata lain, telah terjadi jua beli suara atau money politics. Alasan yang sangat memungkinkan penyebab meningkatnya partisipasi pemilih adalah money politics sebagaimana telah dijelaskan di atas. Money politics bukan lagi menjadi rahasia umum, karena itu sangat menentukan tinggi rendahnya angka golput. Berdasarkan norma standar demokrasi dukungan politik yang diberikan oleh the voters kepada yang entah namanya calon legislatif, calon kepala daerah maupun calon presiden sesungguhnya atas dasar persamaan preferensi politik karena setiap warga negara memiliki hak dan nilai suara yang sama. Tetapi akibat pengaruh money politics, maka dukungan politik telah beralih dari hati nurani kepada pertimbangan materi.25 Apatisme politik warga negara tentu bukan tanpa sebab. Beberapa faktor menjadi penyebab rendahnya partisipasi pemilih dalam pemilu, di antaranya adalah perilaku elite 25
Dilema Pemilu Kita, http://www.riaupos.co/1041, diakses tanggal 30 Mei 2015.
23
politik hasil pemilu, baik pemilukada maupun pemilu legislatif yang dirasa mengecewakan publik dengan serentetan kasus korupsi serta kiprahnya yang kurang memuaskan publik. Selain itu, rakyat merasa tidak terkena dampak dari hasil proses politik tersebut. Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak menyalurkan aspirasi politiknya
dalam
pemilihan
umum
(Pilkada
dan
Pileg).
Eep
Saefulloh
Fatah,
mengklasifikasikan golput atas empat golongan;26 a. golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. b. golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). c. golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. d. golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain. Dari klasifikasi golput yang dipaparkan Eep Saefulloh Fatah di atas, dalam konteks pemilu 2014, penulis melihat faktor politis adalah faktor paling signifikan yang menyebabkan kemungkinan munculnya perilaku tidak memilih (non voting behavior) di tengah-tengah masyarakat. Stigma politik yang kotor, jahat, menghalalkan segala cara, hanya soal kekuasaan belaka, tidak bakal membawa perubahan yang berarti, identik dengan korupsi, dan lain sebagainya telah melekat dalam persepsi masyarakat terhadap politik, sehingga mereka menganggap pemilu itu bukan sesuatu yang penting dan bermanfaat, sehingga mereka pun kemudian enggan untuk menggunakan hak pilihnya. Sekiranya mereka yang kecewa itu kemudian ternyata tetap menunaikan hak memilihnya tanpa didasari oleh kesadaran dan alasan logis, maka sangat patut diduga sesungguhnya mereka telah jadi mangsa dari praktik politik pragmatistik, seperti politik uang dan politik transaksional. Jika ini yang terjadi, secara formal tentunya partisipasi politik memang bisa dikatakan sudah ditunaikan, dan secara otomatis pula akan menjadi bagian dari kuantitas statistik tingkat partisipasi politik. Bisa dibayangkan, apa jadinya jika sebagian 26 Acu Nurhidayat, Fenomena Golput di Indonesia Pasca Orde Baru, (skripsi), (Jakarta; UIN Syarief Hidayatullah, 2009), hlm 19.
24
besar dari kuantitas partisipasi politik yang dihasilkan pemilu 2014 adalah hasil dari jual-beli suara dan pilihan yang irrasional ? Dapatkah kemudian nanti legitimasi pemenang pemilu dipertanggung-jawabkan dan bernilai efektif dalam mengartikulasi kekuasaaannya lima tahun ke depan?27 Pada dasarnya, mendatangi TPS dan kemudian menyalurkan hak pilihnya merupakan sebuah hak, bukan kewajiban. Oleh karena itu, ketidakhadiran pemilih juga merupakan hak individu yang juga harus dihormati. Namun alangkah lebih baiknya ketika sebagai warga negara yang baik, ikut andil dan menyalurkan hak politiknya sesuai dengan mekanisme yang ada, terlebih ini merupakan hajat negara. Dibutuhkan kesadaran dari warga negara terhadap sikap politiknya dalam menentukan arah bangsa. Banyaknya pemilih yang menyalurkan hak pilihnya dalam pemilu akan menentukan kualitas dari hasil yang diharapkan. Di samping itu diperlukan keteladanan dari elite politik, terutama bagi mereka yang akan dipilih. Sosialisasi yang masif serta pendidikan politik harus terus dilakukan, baik oleh penyelenggara pemilu, pemerintah, dan peserta pemilu. Upaya untuk memperbaiki kualitas pelaksanaan Pemilu merupakan bagian dari proses penguatan demokrasi serta untuk mewujudkan tata pemerintahan yang efektif dan efisien. Suksesnya Pemilu bukan hanya bersandar pada integritas penyelenggaraan Pemilu dan peserta Pemilu semata, namun harus di dukung oleh seluruh pemangku kepentingan pemilu demi terciptanya sinergitas yang kuat dan saling berkesinambungan. Selanjutnya, untuk meningkatkan partisipasi aktif dari masyarakat juga diperlukan adanya kerja sama dari semua lembaga dan elemen masyarakat, seperti KPU, Partai Politik, lembaga-lembaga sosial masyarakat yang konsen dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat, dan peran serta dari media-media nasional dalam memberikan informasi sekaligus sosialisasi tentang pentingnya partisipasi politik kepada masyarakat. Melalui media nasional sebagai sarana komunikasi politik, diharapkan masyarakat memperoleh pemahaman tentang proses politik yang sedang terjadi. Akhirnya, suatu negara dapat dikatakan berhasil melaksanakan pemilunya dengan baik jika sistem pemilu yang diterapkan sesuai dengan sosio-historis dan konteks kehidupan masyarakat sebagai konstituennya.
27 Pemilu 2014 dan Ancaman Golput, http://demokratisasisme.blogspot.com/2014/03/pemilu-2014-danancaman-golput.html, diakses tanggal 30 Juni 2015.
25
E. Dampak Money Politics dan Kebijakan yang Perlu Ditempuh Dalam suatu pemilihan umum, suara rakyat menjadi hal yang sangat penting, sehingga diincar oleh setiap kontestan Pemilu. Sebab, suara rakyat menentukan output dari sebuah pemilihan. Namun dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Kiai Haji Hasyim Muzadi mengatakan, “Pemilihan umum telah menjadi pembelian umum, dan pilihan masyarakat atas wakil mereka motifnya karena uang".28 Dengan kata lain, money politics bisa dijadikan ajang untuk mencari penghasilan, masyarakat awam tidak lagi memperdulikan nilai-nilai bahkan menghargai arti dari sebuah nilai demokrasi, yang terpenting bagi mereka adalah mereka telah mendapatkan uang atau berbagai bentuk penyuapan lainnya. Bagaimana pun masyarakat merasa punya beban karena telah berhutang budi kepada calon pemimpin yang telah memberi mereka uang. Hal ini otomatis juga akan mempengaruhi kebebasan mereka dalam menentukan pilihan. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28E ayat (2) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Dengan adanya money politics jelas telah terjadi pelanggaran hak asasi dalam menentukan suatu pilihan. Sebagaimana dijelaskan di atas, setelah masyarakat mendapatkan uang suap dari para calon legislatif yang telah membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, mereka juga harus memilih para calon yang nantinya akan mewakili mereka di Parlemen, meskipun pilihan yang sebenarnya tidak sesuai dengan hati nurani mereka sendiri. Akibatnya, mereka tidak lagi memiliki kepercayaan kepada para calon pemimpin yang duduk di pemerintahan, sehingga sikap fanatik mereka akan muncul, dan mereka akan menganggap bahwa para calon pemimpin lainnya sama buruknya dengan calon pemimpin yang sudah memberikan uang suap kepada mereka. Paradigma yang salah akan berpengaruh dalam banyak hal, termasuk bisa menimbulkan pola pikir yang salah. Demokrasi adalah sesuatu yang didasarkan atas kebebasan (freedom), kesamaan dalam hak dan kewajiban (equality), dan kedaulatan rakyat (people’s sovereghty). Karena itu dalam jangka panjang money politics adalah racun masyarakat dan racun demokrasi. Bahwa politik butuh dana memang benar, tetapi menggunakan uang untuk kepentingan politik diluar ketentuan yang berlaku sangat salah baik dari sisi moral, hukum postifi dan hukum agama. Dana politik sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 129 Tahun 2008 bersumber
28
republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/05/11/, diakses tanggal 30 Mei 2015.
26
dari Parpol, Caleg Parpol yang bersangkutan, dan sumbangan pihak lain yang sah menurut hukum. Namum dalam kenyataannya dana pemilu suatu parpol itu berasal dari caleg dan sumbangan pihak lain yang sah menurut hukum. Hal ini mengakibatkan bila caleg sukses maka prioritas utama mengembalikan modal sementara sumbangan dari pihal lain biasanya senantiasa mengharapkan imbalan antara lain berupa proyek. Untuk mencapai sukses inilah biasanya banyak caleg yang menggunakan money politics termasuk bantuan yang berasal dari pihak lain. Berjalannya praktik money politics dapat menimbulkan implikasi-implikasi fatal bagi prospek demokrasi bangsa. Pertama, dominasi pemilik modal dan uang. Kursi-kursi para pembuat kebijakan dan keputusan public yang dihasilkan melalui pemilu akan diduduki oleh orang-orang kaya, atau orang-orang yang dibiayai oleh kelompok-kelompok kaya atau kelompok-kelompok yang menguasai asset ekonomi berskala besar. Kwiek Kian Gie, misalnya, menengarai bahwa sejumlah anggota legislatif dipelihara oleh para konglomerat bermasalah untuk memperjuangkan kepentingan mereka.29 Sementara itu, kepentingan publik lebih luas yang mempresentasikan kehendak dan aspirasi rakyat cenderung diabaikan, karena sebelumnya telah dibeli melalui praktik-praktik politik uang. Kedua, pembodohan politik rakyat, yang pada gilirannya akan menghambat lahirnya rasionalitas dan kesadaran politik publik. Bukankah salah satu fungsi parpol adalah memberikan pendidikan politik kepada rakyat. Fungsi ini agaknya nyaris hilang dari perbedaharaan wacana yang ada di parpol, dan sebaliknya fungsi parpol untuk memperoleh kekuasaan jauh lebih ditonjolkan. Kemenangan adalah segala-galanya, dan untuk itu, perolehan dukungan politik harus dimaksimalkan meski dengan cara-cara yang tidak sehat. Secara garis besar dampak negatif money politicss dapat digolongkan pada dua tingkat yakni; pertama, pada tingkat internal partai politik (mikro); kedua, pada arah sistem politik nasional (makro). Pada tingkat internal partai politik, praktik money politics akan mengakibatkan : pertama, lenyapnya elemen penting dari dibangunnya sebuah partai politik yakni untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Adanya money politics membuat partai menjadi milik beberapa orang saja yang memperoleh sejumlah keistimewaan dalam proses pengambilan keputusan yang bentuknya tentu saja memiliki kesenjangan dengan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Keputusan-keputusan partai yang penting akan mencerminkan kepentingan para penyuplai dana, hal ini sangat rentan terhadap terputusnya keterkaitan antara apa yang dikehendaki oleh rakyat yang menjadi pendukungnya dengan apa yang 29 Sabilal Rosyad. 2009. Praktik Money Politics Dalam Pemilu Legislatif di Kabupaten Pekalongan Tahun 2009 (STUDI SOSIO-LEGAL-NORMATIF), hlm, 35.
27
dikehendaki elit partai yang memakai uang untuk mendesakkan kepentingan kepentingannya. Dalam jangka panjang seiring dengan kesadaran politik konstituen yang semakin cerdas praktik politik uang mendorong mereka untuk meninggalkan partai yang sebelumnya telah didukungnya. Kedua, tubuh partai akan rentan terhadap penyakit konflik internal antar elit akibat persaingan yang tidak sehat diantara pengurus yang sangat mungkin terbagi dalam beberapa faksi jika partai yang demikian adalah partai yang besar. Sedangkan pada tingkat makro politik pemakaian money politics dalam proses politik akan mengakibatkan: pertama, semakin suburnya praktik korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Para penyandang dana politik yang bertujuan jangka pendek memandang bahwa aliran dana yang mereka berikan kepada suatu partai merupakan investasi yang akan dipetik buahnya ketika partai yang mereka dukung menggenggam kekuasaan. Proses balas jasa seperti ini akan mengakibatkan terpuruknya agenda-agenda partai yang berkenaan dengan kepentingan konstituennya dan rakyat pada umumnya. Kedua, hilangnya legitimasi pemerintahan secara berangsur-angsur seiring dengan merajalelanya korupsi yang melibatkan dua aktor yakni pihak pemerintah dan kalangan penyandang dana.30
Tabel 5. Dampak Praktik Money Politics di Kab. Cirebon
Dampak Mikro
Dampak Makro
1. Rapuhnya elemen partai politik
1. Suburnya praktik korupsi dalam
2. Partai dikuasai oleh pengusaha
penyelenggaraan pemerintahan
3. Rentan politik.
konflik
internal
partai
2. Terkikisnya
legitimasi
pemerintahan.
Sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan oleh semua pihak untuk mencegah dan meminimalisir praktik-praktik money politics yang terjadi, sekaligus dalam rangka meningkatkan kwalitas pemilu mendatang, diantaranya adalah : Pertama, Perlu ada evaluasi dari para pembuat kebijakan baik dari eksekutif, legislative, maupun yudikatif terhadap sistem Pemilu yang berlaku saat ini, yaitu sistem proporsional (proportional representation) dengan varian daftar terbuka (open list), karena sistem ini dinilai membuka kran lebar-lebar bagi terjadinya praktik money politics. Pada 30 Mohammad Tohadi dan Zainal Abidin, Orientasi Pemenangan Pemilu Partai Kebangkitan Bangsa (Jakarta; LPP-DPP PKB, 2002), hlm 239.
28
dasarnya, memang semua opsi sistem pemilu memiliki dampak positif dan negatif bagi masyarakat maupun partai politik itu sendiri. Tetapi, dengan adanya evaluasi mengenai sistem pemilu yang saat ini berlaku, diharapkan dapat mencegah atau paling tidak meminimalisir pelanggaran-pelanggaran yang terjadi saat pemilu terutama terkait dengan praktik money politics. Kedua, Perlunya kurikulum pendidikan politik bagi masyarakat melalui partai-partai politik. Partai politik juga dituntut untuk dapat meningkatkan kemampuan para kadernya yang akan maju sebagai wakil-wakil rakyat. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik pada pasal 10 jelas disebutkan bahwa “tujuan khusus partai politik adalah meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan.” Selanjutnya dalam pasal 11 dijelaskan: “partai politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehiudpan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.” Setidaknya ada tiga hal yang mesti dilakukan oleh Partai Politik dalam memberikan pendidikan politik, yaitu; melalui sosialisasi para kader, pendidikan politik, dan melalui optimalisasi organisasi sayap partai. Ketiga, Peningkatan ekonomi masyarakat melalui program-program yang bertujuan betul-betul akan dapat mensejahterakan hidup mereka. Masyarakat mesti disadarkan untuk tidak hanyut oleh praktik money politics yang dilakukan oleh para calon legislatife atau kepala daerah bersama tim suksesnya. Jelaskan kepada masyarakat bahwa masa depan mereka akan suram di bawah pemimpin korup yang lahir dari praktek money politics. Keempat, Diperlukan sanksi tegas dari KPU dan Bawaslu panwaslu sebagai lembaga independen
yang
bertanggung
jawab
penuh
dalam
membentuk
dan
mengawasi
penyelenggaraan pemilu agar berkualitas dan professional. Pelaku politik uang sesungguhnya bisa dipidana sesuai dengan Undang-Undang Pemilu Nomor 8 Tahun 2012. Namun, UndangUndang Pemilu lebih menargetkan individu sebagai pelaku dalam kapasitasnya sebagai pribadi, artinya kecil kemungkinan Parpol dipidana gara-gara politik uang. Kita berharap di masa mendatang Undang-Undang Pemilu membuka ruang bagi Parpol yang terbukti melakukan money politics untuk dipidana demi menghadirkan demokrasi berkualitas.
29
F. Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Money politics yang bertujuan untuk membeli suara pemilih (vote buying) dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 di Kabupaten Cirebon dilakukan melalui caracara, antara lain; Pertama, pemberian uang atau barang secara langsung (cash money), Kedua, pemberian melalui tokoh masyarakat, dan Ketiga, pemberian melalui sarana umum (“sumbangan sosial”). 2. Maraknya praktik money politics di Kabupaten Cirebon pada pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu; Pertama, sistem Pemilu proporsional (proportional representation) dengan varian daftar terbuka (open list), Kedua, rendahnya tingkat pendidikan politik masyarakat sehingga tidak memahami bahaya money politics bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan Ketiga, faktor kemiskinan 3. Hal-hal yang perlu dilakukan oleh para pembuat kebijakan, yaitu; Pertama, Perlunya evaluasi atas sistem Pemilu Legislatif yang berlaku saat ini. Kedua, perlunya peraturan perundang-undangan yang mewajibkan parpol memberikan pendidikan politik secara langsung kepada masyarakat. Ketiga, peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan bagi masyarakat, agar mereka tidak hanya diposisikan sebagai objek dalam pertarungan politik antar peserta Pemilu.
Rekomendasi 1. Perlu peningkatan fungsi dan peran pengawas pemilu, terutama pengawasan di lapangan antara lain dengan menempatkan PPL di setiap TPS, tanpa kecuali. 2. Bawaslu dan Panwaslu perlu diberikan kewenangan lebih untuk mengeksekusi caleg atau paprol yang melakukan pelanggaran Pemilu. Dengan kewenangan tersebut, Bawaslu dan Panwaslu dituntut untuk lebih proaktif dan tegas serta tidak pandang bulu dalam penegakan hukum pemilu. 3. Perlu dibuat mekanisme penyelesaian tindak pidana pemilu dengan proses pembuktian yang tidak dibatasi oleh waktu seperti yang dianut saat ini.
Demikianlah laporan akhir dari penelitian ini. Dengan berbagai kekurangan yang ada, semoga uraian-uraian di atas dapat menjadi informasi berharga dan pembelajaran kita bersama. Kepada para pihak yang telah membantu penelitian ini dari awal sampai akhir, saya sampaikan terimakasih.
30
Referensi Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJP) Kabupaten Cirebon tahun 2014-2019, dikeluarkan oleh Pemda Kabupaten Cirebon, Agustus 2014. Farid, Masdar, Problematika dan Kebutuhan Membangun Fiqih Anti Korupsi, dalam Burhan A.S, Waidl, Bandi Ismail (edt), Korupsi di Negeri Kaum Beragama, (Jakarta:P3M, 2004) Ismawan, Indra, Money politicss - Pengaruh Uang Dalam Pemilu, (Yogyakarta: Media Presindo, 1999) MD, Mahfud, Moh, Hukum Dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999) Moleong, Lexy, Metodelogi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005) Sastroatmodjo, Sudijono, Perilaku Politik. (Semarang: Ikip Semarang Press, 1995) Sugiyono, Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung : Alfabeta, 2008) Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Indonesia, 2007) Sulistiyo, Hermawan, Uang & Kekuasaan Dalam Pemilu 1999 (Jakarta: KIPP Indonesia, 2000) Tohadi, Mohammad, dan Abidin, Zainal, Orientasi Pemenangan Pemilu Partai Kebangkitan Bangsa (Jakarta; LPP-DPP PKB, 2002). Umam, Khoirul, Ahmad, Kiai dan Budaya Korupsi di Indonesia, (Semarang: Rasail, 2006)
Websit; jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1049, diakses tanggal 01 Juni 2015. nasional.kompas.com/read/2014/04/16/1508474/ . Diakses tanggal 01 Juni 2015. republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/05/11/, diakses tanggal 30 Mei 2015. Irwan, 2002 kompas.com/read/2014/02/28/0725229/ diakses tanggal 30 Mei 2015. merdeka.com/politik/ini-tingkat-partisipasi-pemilih-dari-pemilu-1955-2014.html,
diakses
tanggal 30 Mei 2015. riaupos.co/1041, diakses tanggal 30 Mei 2015. kemendagri.go.id/article/2013/12/17/menyongsong-pemilu-2014. diakses tanggal 03 Juni 2015. .
31
Wawancara Wawancara dengan Dr. Hisyam, Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC) Wawancara dengan H. Nunu Shobari, SH, M.H, mantan ketua Panitia Pengawas Pemilu (PANWASLU) Kabupaten Cirebon Wawancara dengan Subhan, S.Ag, Wakil Ketua DPC Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) Wawancara dengan Halim, Caleg Nomor 5 Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA) Dapil 3 Wawancara dengan Suhendi, SE, MM, Caleg Nomor 2 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Dapil 3 Wawancara dengan Nuroji, Caleg Nomor 2 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Dapil 7 Wawancara dengan Wahyono, Caleg Nomor 5 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dapil 4 Wawancara dengan Ahmad Fawaz, ST, anggota DPRD fraksi PKS dari Dapiln 2 Wawancara dengan Junaedi, ST, anggota DPRD fraksi PKS dari Dapil 6 Wawancara dengan Moh. F. Fahrurozi, MA, anggota DPRD fraksi PKB dari Dapil 6 Wawancara dengan Haryono, Caleg Partai Demokrat Dapil 1 Wawancara dengan Didik, Caleg Partai Demokrat, Dapil 5 Wawancara dengan Dr. Sumanta, M.Ag, rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Wawancara dengan Prof. Dr. H. Adang Djumhur S, Guru Besar IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Wawancara dengan Prof. Dr. H. Jamali Saerodi, Guru Besar IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Wawancara dengan Prof. Dedi Jalil, Rektor Universitas Tujuh Belas Agustus (UNTAG) Cirebon. Wawancara dengan Prof. Dr. Chozin Nasuha, Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF). Wawancara dengan Dr. Endang Sutrisno, SH, M.Hum, Kaprodi Hukum Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati (UNSWAGATI) Cirebon. Wawancara dengan Dr. Agus, Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati (UNSWAGATI) Cirebon. Wawancara dengan H. Ahmad Munajim, MM, Kaprodi Ekonomi Sekolah Tinggi Bunga Bangsa Cirebon (BBC) Wawancara dengan Ahmad Kholiq, warga Desa Kejuden Plumbon-Kabupaten Cirebon. Wawancara dengan Syarifuddin, warga Desa Babakan Ciwaringin Kabupaten Cirebon. Wawancara dengan Muhammad Ahsin, warga Desa Kempek Kecamatan Gempol Kabupaten Cirebon. Wawancara dengan Zainal Arifin, warga Desa Setu Kulon Kecamatan Weru Kabupaten Cirebon.
32
Wawancara dengan Supriyanto, warga Desa Banjarwangunan Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon. Wawancara dengan Moh Salman, warga Desa Mertapada kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon.
33
Lampiran
:
Pokok-pokok Pertanyaan Wawancara Perkenalkan nama saya ………
dari KPU Kabupaten Cirebon. Saat ini saya sedang
melakukan pengumpilan data penelitian ttg “Partisipasi Masyarakat Kab Cirebon dalam Pelaksanaan PILEG 2014”. Hasil penelitian ini selanjutnya akan disampaikan kepada KPU Kabupaten Cirebon. Tujuannya tidak lain agar pelaksanaan Pemilu-pemilu mendatang akan lebih baik dan berkwalitas. Terkait dengan penelitian ini, saya mohon informasi dan masukan dari bapak/ ibu dengan menjawab beberapa pertanyaan yang akan saya ajukan. 1. Dalam pandangan bpk/ Ibu, bagaimana partisipasi masyarakat kab Cirebon dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif (PILEG) pada 2014 kemarin? 2. Pada setiap Pemilu seringkali terjadi adanya pelanggaran-pelanggaran, baik sebelum maupun saat pelaksanaannya; salah satu pelanggaran yang menjadi sorotan media baik cetak maupun elektronik yaitu, adanya prakti-praktik money politics yang dilakukan oleh para kontestan (caleg). Menurut bapak/ ibu, faktor2 apa sebenarnya yang menyebabkan fenomena ini bisa terjadi? Polanya seperti apa? 3. Apa dampak dari Praktik Money politics? 4. Apakah Money Politics mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Umum (Pilkada, Pileg, dan Pilpres)? 5. Bagimana mencegah dan melawan terjadinya Money politics pada pemilu tahun-tahun mendatang? 6. Seberapa besar pengaruh money politics dalam menentukan perolehan suara ? 7. Agar pemilu2 yang akan dating lebih berkwalitas, Kebijakan apa yg perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi fenomena money politics ini?