LAPORAN
HASIL PENELITIAN
PEMILU DAN PARTISIPASI POLITIK WARGA KABUPATEN PROBOLINGGO
KERJASAMA KPU KABUPATEN PROBOLINGGO – FISIP UIN SUNAN AMPEL SURABAYA 2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Ilahi Robbi kami panjatkan bersamaan dengan selesainya penulisan laporan penelitian tentang pemilu dan partisipasi pemilih warga di kabupaten Probolinggo. Terimakasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Probolinggo atas kepercayaan dan kerjasamanya dalam pelaksanaan riset partisipasi pemilih ini. FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya merupakan fakultas baru yang lahir mengiringi perubahan IAIN menuju Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. FISIP UIN Sunan Ampel terdiri dari tiga prodi yakni Sosiologi, Ilmu Politik dan Hubungan Internasional. Selain tiga prodi didalamnya juga terdapat laboratorium yang concern mengkaji dan meneliti persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Penelitian ini, bagian dari kiprah laboratorium FISIP UINSA untuk terlibat dalam ikhtiar penyehatan demokrasi dan kepemiluan. Kami mengapresiasi Komisi Pemilihan Umum yang telah menggelar riset demi menjamin keberlangsungan demokrasi. Demokrasi itu bagaikan tanaman yang apabila tidak dirawat perlahan namun pasti menjadi layu dan membeku (Frozen Democracy). Yang perlu disegerakan adalah upaya pendalaman demokrasi, atau meminjam istilah Giddens, demokratisasi atas demokrasi (democratizing democracy). Dan Riset yang telah dilakukan ini merupakan langkah awal bagi pendalaman demokrasi dimaksud. Tak lupa apresiasi saya juga bagi tim peneliti yang telah menyelesaikan riset ini. Akhirnya , kami berharap semoga hasil penelitian ini banyak membawa manfaat. Surabaya, Juli 2015
Dekan, ttd Prof. Akh. Muzakki, Grad. Dipl. SEA., M.Ag, M.Phil., Ph.D
i
DAFTAR ISI Kata Pengantar ...................................................................................... Daftar Isi…………………………………………………………………… BAB I
BAB II
: PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang ............……………………...
1
1.2.
Rumusan Masalah...........................................
3
1.3
Kerangka Teoritik..................………………..
3
1.4
Tujuan Penelitian....…………………………..
7
1.5
Manfaat Penelitian...................……………...
7
1.6
Metode Penelitian...........................................
7
1.7
Rencana Anggaran……………………………
10
1.8
Alokasi waktu..................................................
10
1.9
Sistematika.......................................................
11
: KERANGKA TEORITIS 2.1.
Partisipasi Politik................................
2.1.1
Partisipasi Politik dalam Pandangan Elitisme demokrasi dan Pilihan Rasional.....................
2.2
BAB III
i ii
12 13
Partisipasi Politik dalam Berbagai Sistem Pemerintahan.................................................
15
2.2.1
Partisipasi Politik di Negara Otoriter.............
16
2.2.2
Partisipasi Politik di Negara Berkembang.....
17
2.2.3
Partisipasi Politik di Negara Demokrasi........
19
2.2.4
Partisipasi Politik di Negara Liberal..............
20
: PEMILU DAN PARTISIPASI POLITIK WARGA KABUPATEN PROBOLINGGO 3.1.
Pengetahuan Politik Lokal dan Nasional………
29
3.2.
Motif dan Partisipasi Warga dalam Pemilu.......
38
3.2.1.
Pandangan Warga Di Lima Kecamatan.…........
47
ii
. BAB IV : PENUTUP 4.1
Kesimpulan……………………………………..
58
4.2
Saran…………………………………………….
69
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
iii
1
BAB I PENDAHULUAN I.
Latar Belakang Dalam sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia, tercatat sebanyak 11
(sebelas) kali pemilu telah dilaksanakan dalam tiga rezim pemerintahan yang berbeda.
Pemilu
diselenggarakan
tahun pada
1955
masa
adalah rezim
pemilu
orde
lama,
untuk
pertama
kemudian
kalinya
orde
baru
menyelenggarakan pemilu sebanyak 6 (enam) kali dan di era reformasi telah menyelenggarakan pemilu sebanyak 4 (empat) kali yakni pemilu tahun 1999, 2004, 2009 dan tahun 2014 tahun lalu1. Penyelengaraan pemilu secara berkala mulai orde lama sampai orde baru bertujuan untuk memilih anggota legislatif di berbagai tingkatan pemerintahan. Namun, di era reformasi, pemilu, selain memilih calon angota legislatif juga memilih pejabat publik di lingkungan eksekutif mulai presiden sampai bupati/walikota. Pemilu untuk memilih calon kepala daerah ditingkat provinsi maupun kabupaten lazim disebut pemilu kepala daerah (Pemilukada/Pilkada). Pemilihan umum merupakan sarana legal untuk pergantian kekuasaan. Disamping bertujuan untuk pergantian kekuasaan, pemilu juga bermanfaat sebagai ruang evaluasi atas kepemimpinan lima tahunan oleh masyarakat. Pemilihan umum atau disingkat pemilu dalam tataran praksisnya adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatanjabatan politik tersebut mulai dari presiden, gubernur, bupati/walikota serta wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan. Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh 1 Sejarah Pemilu, Dokumen KPU RI
1
2
penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Penyelenggaraan pemilu dalam tiap periode pemerintahan mengalami dinamika tersendiri yang berbeda satu dengan lainnya. Pada rezim orde lama, untuk pertama kalinya pemilu dilaksanakan pada tahun 1955, sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka. Rencana menggelar pemilu pada tahun 1946 gagal karena sebab utama yakni tidak siapnya perangkat undang-undang pemilu dan kesibukan para pemimpin Negara melakukan konsolidasi akibat ketegangan antar kekuatan politik di Indonesia. Pemilu untuk pertam kalinya ini, berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negaranegara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Rezim orde baru, yang memerintah mulai tahun 1967 melalui sidang MPRS memulai pemilu pada tahun 1971. Pemilihan Umum pada masa orde baru senantiasa menguntungkan penguasa yakni partai Golkar. PNS selaku aparatur pemerintah, secara normatif harus netral, namun dalam praktek ada tekanan untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golkar. Massa pemilih juga tidak bisa leluasa mengekspresikan aspirasi politiknya secara leluasa. Akibatnya, kondisi ini menyebabkan sikap apatisme masyarakat terhadap politik dan pemilu. Di era reformasi merupakan pemilu dimana aspirasi terbuka luas dan leluasa, kesempatan politik bagi seluruh anggota masyarakat terbuka lebar dan untuk siapa saja. Baik sebagai pemilih maupun anggota masyarakat yang ingin tampil sebagai pejabat publik. Pemilu di masa ini senantiasa diwarnai kejutan perubahan-perubahan perilaku politik yang berubah dengan sangat cepat. Pada pemilu tahun 1999, pemilu pertama setelah tumbangnya rezim orde baru, pemilih dapat diidentifikasi sebagai pemilih aktif dan partisipatif. Para pemilih secara sukarela membiayai partai maupun calon yang didukungnya, juga dalam pelaksanaan pemilu senantiasa menyediakan biaya dan waktu jika dibutuhkan. Namun dengan cepat kondisi berubah, massa pemilih yang diliputi suasana
2
3
penuh kesukarelaan tersebut berubah menjadi pemilih berwatak transaksional.2 Pemilih transaksional ini mulai dikenal sejak pemilu tahun 2004 lalu dan terus mengalami perkembangan mengkhawatirkan sampai pemilu tahun 2009 dan 2014 lalu. Partisipasi politik warga yang awalnya di dorong oleh keinginan terdalam untuk terlibat dalam pembenahan pembangunan politik namun dalam perjalanannya banyak terciderai oleh perilaku politik transaksional. Melihat fenomena tersebut, menarik untuk dilihat lebih mendalam tentang partisipasi politik warga terutama berkenaan dengan bagaimana para pemilih memaknai politik lokal serta pemilu. II.
Rumusan Masalah Untuk melihat gambaran melek politik warga dalam pemilu terangkai
dalam pertanyaan penelitian berikut: a. Bagaimana pengetahuan warga tentang politik lokal berkenaan dengan peran Bupati dan DPRD di era Pemilihan Kepala Daerah Langsung? b. Bagaimana Partisipasi Pemilih saat Pelaksanaan Pemilu serta Motif yang Melatarbelakangi? III.
Kerangka Teoritik Partisipasi politik dalam studi analisis modern, awalnya hanya difokuskan
kepada keberperanan partai politik dalam mewarnai pemerintahan, namun dalam perkembangannya juga mempelajari bagaimana kelompok-kelompok masyarakat (NGO, Ormas, OKP, organisasi profesi) terlibat dalam memengaruhi pengambilan kebijakan. Kelompok-kelompok ini muncul sebagai respon atas kekecewaan terhadap kinerja partai politik yang dinilai tidak optimal memperjuangkan aspirasi beragam masyarakat. Partisipasi politik secara umum diartikan sebagai keterlibatan aktif individu ataupun kelompok dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan
2 Kacung Maridjan, Perilaku Pemilih Paska Runtuhnya Orde Baru, Makalah yang disampaikan dalam diskusi dosen di Surabaya, 2008.
3
4
yang berdampak pada kehidupan mereka. Proses aktif bisa berbentuk oposisi maupun loyalis pemerintah. Partisipasi politik dapat dilakukan melalui penggunaan hak pilihnya pada saat pemilihan umum baik itu pemilu presiden, gubernur maupun Bupati/Walikota, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) ataupun lobi-lobi dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai politik ataupun kelompok penekan (pressure group). Dari contoh ini jelas bahwa partisipasi politik bukan sekedar memberikan suaranya pada saat pemilu melainkan secara aktif melakukan gerakan, yang langsung maupun tidak langsung dapat memengaruhi proses pembuatan keputusan. Beberapa ahli memberikan definisi yang berbeda-beda tentang partisipasi politik. Herbert McClosky memberikan pengertian, ”partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”.3 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson4 secara eksplisit memasukkan tindakan ilegal dan kekerasan kedalam pengertian tentang partisipasi politik, “partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir ataupun sporadis, legal atau illegal, secara damai atau dengan kekerasan, efektif atau tidak efektif”. Dari pengertian yang diberikan oleh Huntington jelas memberikan tekanan pada kegiatan untuk memengaruhi proses pengambilan kebijakan, yang dapat ditempuh dengan jalan apa pun. Partisipasi Politik dalam Pandangan Penganjur Elitisme Demokratis dan Pilihan Rasional (Rational Choice). 3 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, Hal 367 4Ibid, hal. 368
4
5
Elitisme Demokratis Penganjur
elitisme
demokratis
berkutat
pada
persoalan
bagaimana
mempertahankan stabilitas politik, demokrasi adalah hal sekunder dalam hal ini. Tokoh penganut Elitisme Demokratis, Schumpeter menyatakan bahwa pemimpin yang berwawasan, yang meraih persetujuan melalui partisipasi minimal massa, adalah cara terbaik untuk memelihara ketertiban.5 Penganjur elitisme demokratis bertolak dari anggapan bahwa massa pada umumnya apatis, bodoh, dan tidak mengerti aturan, sehingga keterlibatannya dalam skala luas di bidang pemerintahan akan mengganggu ketertiban. Kewarganegaraan yang terlalu aktif dalam proses pengambilan kebijakan akan menyebabkan kelambanan dan mendorong kearah pengambilan keputusan yang berjangka pendek dan kurang pertimbangan. Argumen lain yang menguatkan prinsip ini, adalah bahwa massa kebanyakan rentan dimanipulasi oleh para ideolog (dalam istilah rezim Orde Baru sering disebut „ekstrem kiri‟ untuk menyebut gerakan para penganut ajaran komunis dan „ekstrem kanan‟ bagi kaum fundamentalis agama). Dalam lintasan sejarah pemerintahan di Indonesia, teori elitisme demokratis yang menomorduakan demokrasi dan menomorsatukan stabilitas memiliki kedekatan dengan praktik kekuasaan orde baru. Dalam menjalankan roda pemerintahan dimana pembangunan sebagai panglima, rezim orde baru menegakkan trilogi pembangunan yakni stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi. Dengan stabilitas nasional sebagai thesis utamanya, maka gemuruh protes dan ekspresi massa untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan dianggap sebagai tindakan melawan hajat Negara. Partisipasi dalam skala luas, menurut pandangan elitisme demokratis, dianggap akan mengalami kesulitan dalam hal pelembagaannya. Berbeda dengan yang pernah terjadi di Athena, pada masa Yunani Kuno abad ke-4 dan ke-5 SM, dimana 5 Keith, Faulks, Sosiologi Politik, Pengantar Kritis, Bandung: Nusamedia, hal 227-228
5
6
‘warga’6 masyarakat terlibat dalam hal pembuatan keputusan, pemilihan pejabat pemerintahan dilakukan melalui pemungutan suara secara langsung. Saat ini, dimana penduduk secara geografis tersebar, dan jumlahnya yang begitu besar hingga mencapai jutaan dalam satu Negara, maka pelibatan warga masyarakat secara
langsung
sebagaimana
yang
pernah
terjadi
di
Athena
tidak
memungkinkan. Pembuatan keputusan, bagi penganut paham ini, hendaknya diserahkan kepada para intelektual dan pengurus partai politik yang concern mengurus persoalan politik dan menguasai seni dalam hal pemerintahan. Dengan demikian, seluruh tanggung jawab menjalankan pemerintahan dan akibat buruk yang ditimbulkan di pikul kelompok elit ini. Pilihan Rasional Para penganut Pilihan Rasional juga memiliki pandangan minimalis terhadap partisipasi politik warga masyarakat. Berbeda dengan pandangan elitisme demokratis yang menilai massa kebanyakan tidak cakap untuk urusan politik, namun pandangan kaum pilihan rasional berangkat dari asumsi bahwa massa kebanyakan berpartisipasi karena pertimbangan rasionalitas. Pertanyaan yang diajukan oleh individu-individu, apakah keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan memiliki dampak bagi mereka ataukah tidak ber efek sama sekali?. Jawaban sebagian besar individu disimpulkan bahwa mereka merasa tidak memiliki urusan dengan proses pengambilan kebijakan. Pendukung teori ini, Olson7, bahkan pada kesimpulan bahwa individu yang rasional akan bertindak untuk kepentingan diri sendiri dan tidak akan bertindak untuk kepentingan umum. Gerakan politik, dalam pandangan ini, akan dipimpin oleh orang yang secara politik diuntungkan. Para elit, yang menjadi motor gerakan politik akan memeroleh keuntungan berupa prestige dan jabatan kekuasaan. 6Kata warga penulis garis miring karena dalam tradisi demokrasi langsung Athena tidak seluruh warga dilibatkan.Yang tidak memiliki hak suara yakni kaum perempuan dan para pekerja asing yang berada di wilayah Athena. 7Faulks, Kate, op cit, 231.
6
7
Mobilisasi massa, bergantung pada bagaimana kemampuan elit untuk meyakinkan pemilih dan elit mengharapkan keuntungan dari biaya yang telah dikeluarkan. IV.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: -
Memeroleh gambaran pengetahuan masyarakat pemilih tentang pemilu dan perpolitikan di tingkat daerah
-
Memeroleh gambaran partisipasi pemilih saat pelaksanaan pemilu serta motif yang melatarbelakangi.
V.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih bagi: -
Peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilu yang terselenggara setiap lima tahun sekali.
-
Penguatan melek politik warga yang dirancang dalam berbagai program nantinya.
-
Pengembangan keilmuan seputar kepemiluan dan perilaku pemilih di Indonesia.
-
Memberikan dasar kebijakan bagi lembaga penyelenggara pemilu maupun stakeholder pemilu lainnya untuk membuat program peningkatan kualitas pemilu dan demokrasi.
VI.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif jenis survey serta
kualitatif. Pendekatan survey digunakan untuk melihat sejauhmana pengetahuan dan skill masyarakat dalam politik dan kepemiluan, sedangkan kualitatif dengan wawancara dan observasi digunakan untuk menggali tindakan masyarakat dalam politik dan kepemiluan tersebut. Melalui pendekatan logika induktif berusaha memahami perilaku seseorang dengan interaksi secara langsung dan mendalam (in-depth interview). Pendekatan ini juga tidak menafikan keterlibatan unsur
7
8
subyektif (common sense) dalam merumuskan dan mengkonsepsikan pengetahuan seperti keyakinan, ideologi, pengalaman dan nilai yang dianutnya. Metode survey yang dilakukan adalah sistem wawancara menggunakan panduan survey dalam sistem daftar pertanyaan tertutup. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan mengambil sampling beberapa wilayah di Kabupaten Probolinggo yang merepresentasikan pemilih yang tinggal di wilayah perkotaan (wilayah kecamatan Kraksaan dan Paiton), pegunungan (wilayah kecamatan Gading dan Maron) dan masyarakat pesisir (wilayah kecamatan Gending). Pemilihan karakteristik pemilih ini berdasarkan hasil diskusi terfokus (FGD) tim peneliti dengan komisioner serta sekretaris beserta seluruh kasubag dan staf sekretariat KPU Kabupaten Probolinggo. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan baik sumber sekunder berupa dokumentasi, data demografi maupun sumber primer yakni keterangan para para pemilih melalui survey dan wawancara. Penentuan Sampel Penentuan sampel dalam metode survey tidak harus meneliti individu secara keseluruhan, namun dengan syarat dan prosedur yang tepat dapat mewakili keseluruhan populasi dan dapat memberi informasi sebanyak mungkin sesuai kebutuhan8. Melihat data yang tersedia dikantor KPU Kabupaten Probolinggo, maka peneliti mengambil data nama-nama para pemilih dan alamatnya, maka pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik quota sampling. Quota sampling adalah teknik pemilih sampel dengan mengelompokkan sejumlah orang dan kemudian menetapkan dalam tiap kategori.9
8 Masri Singarimbun (ed.), Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1989, 149-152 9 W. Lawrence Nueman, Metodologi Penelitian Sosial, Pendekatan Kulaitatif dan Kuantitatif,
8
9
Penelitian ini, menggunakan metode quota sampling tersebut, memilih sampling perempuan sebanyak 20 orang dan 80 orang laki-laki. Jadi total keseluruhan sampling sebanyak 100 responden yang mewakili para pemilih di kabupaten Probolinggo dengan kategori jenis kelamin (pria-wanita), kelompok umur (terbagi kedalam tiga kategori yakni 17-21 tahun, kelompok usia produktif yakni 22-55 tahun, dan kelompok diatas usia 55 tahun) yang seluruhnya berasal dari pemilih yang tersebar di tiga wilayah tersebut diatas. Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data didapat dari tiga kegiatan yakni survey, observasi dan wawancara. Observasi merupakan metode yang paling pokok dalam penelitian kualitatif. Observasi yang dimaksud adalah deskripsi secara sistematis tentang kejadian dan tingkah laku dalam setting sosial yang akan diteliti10. Untuk melakukan pengamatan, seyogyanya observer dapat diterima dengan baik, memperoleh „ijin masuk‟ baik formal maupun non formal dan tidak menimbulkan kecanggungan dan „mengusik‟ subyek yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, tim peneliti beranggapan mudah untuk memenuhi kriteria tersebut. Hal itu disebabkan, karena kedekatan pemahaman dan keseharian antara subyek penelitian dengan para observer yang terdiri dari dosen sebagai peneliti utama serta surveyor yang berasal dari mahasiswa yang berasal dari kabupaten probolinggo sebagai peneliti lapangan. Wawancara juga merupakan hal pokok dalam penelitian ini untuk pengumpulan data, mengingat data yang akan dikumpulkan berupa penuturan tentang
tindakan
pemilih
menjelang,
saat
pelaksanaan
dan
setelah
penyelenggaraan pemilu. Wawancara ini, peneliti menggunakan interview guide, yang berisikan hal-hal penting yang harus diperdalam dan ditanyakan. Hal ini penting bagi penulis untuk menghindari perbincangan yang tidak terarah dan Jakarta: PT. Indeks, 2013, hal 272-273. 10 Emi Susanti Hendrarso, Penelitian Kualitatif:Sebuah Pengantar, dalam Bagong Suyanto dan Sutinah (ed), Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta: Kencana, 2005, hlm 172
9
10
subyek merasa bosan. Walaupun berpedoman pada interview guide, tetapi digunakan secara luwes dan terkesan alamiah. Pengumpulan data hasil survey per-kecamatan kemudian dipilah berdasarkan jawaban yang diberikan oleh pemilih. Pemilahan juga dilakukan untuk jawaban setiap item pertanyaan pada masing-masing kecamatan (selengkapnya baca di bab tiga laporan penelitiian ini) Analisa Data Analisa yang digunakan dalam pendekatan ini mengikuti alur/proses yang lazim digunakan dalam penelitian kuantitatif yakni mengkode data (koding), pengolahan data dan analisa data. Hasil penyebaran survey yang dilakukan peneliti lapangan dikodifikasi dan ditelaah secara deskriptif. VII.
Rencana Biaya Anggaran Penelitian ini membutuhkan anggaran sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah). Dengan rincian penggunaan sebagai berikut: -
Peneliti Utama
Rp 2.000.000,-
-
Tenaga lapangan
Rp 2.500.000,-
-
ATK
Rp 1.000.000,-
-
Operasional Penelitian
Rp 4.500.000,-
VIII. Alokasi Waktu Penelitian akan dilaksanakan selama dua bulan yakni bulan Juni-Juli dengan rincian sebagai berikut: Juli
Juni No
Kegiatan I
1
Survey Awal dan Proposal
2
Pengorganisasian dan penelitian
3
FGD
II
III
IV
I
II
III
IV
10
11
4
IX.
Pelaporan
Sistematika Sesuai dengan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang ada,
maka penelitian ini akan terdiri dari beberapa bab sebagaimana berikut: Bab I: Pendahuluan : Dalam bab ini akan dibahas beberapa sub pembahasan, yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan. Bab II: Kajian Teori : Bab ini akan membahas teori yang dapat menjadi pintu masuk penelitian ini. Teori yang akan dikupas adalah teori tentang partisipasi politik Bab III: Penyajian dan kajian data yang berkaitan dengan pengetahuan dan sikap warga dalam pemilu di Kabupaten Probolinggo Bab IV: Penutup
11
BAB II PARTISIPASI POLITIK
Pengantar Partisipasi politik dalam studi analisis modern, awalnya hanya difokuskan kepada keberperanan partai politik dalam mewarnai pemerintahan, namun dalam perkembangannya juga mempelajari bagaimana kelompok-kelompok masyarakat (NGO, Ormas, OKP, organisasi profesi) terlibat dalam memengaruhi pengambilan kebijakan. Kelompok-kelompok ini muncul sebagai respon atas kekecewaan terhadap kinerja partai politik yang dinilai tidak optimal memperjuangkan aspirasi beragam masyarakat. A.
Definisi Partisipasi politik secara umum diartikan sebagai keterlibatan aktif
individu ataupun kelompok dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan yang berdampak pada kehidupan mereka. Proses aktif bisa berbentuk oposisi maupun loyalis pemerintah. Partisipasi politik dapat dilakukan melalui penggunaan hak pilihnya pada saat pemilihan umum baik itu pemilu presiden, gubernur maupun Bupati/Walikota, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) ataupun lobi-lobi dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai politik ataupun kelompok penekan (pressure group). Dari contoh ini jelas bahwa partisipasi politik bukan sekedar memberikan suaranya pada saat pemilu melainkan secara aktif melakukan gerakan, yang langsung maupun tidak langsung dapat memengaruhi proses pembuatan keputusan.
Pandangan Ahli tentang Partisipasi Politik 12
Beberapa ahli memberikan definisi yang berbeda-beda tentang partisipasi politik. Herbert McClosky memberikan pengertian, ”partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”.1 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson2 secara eksplisit memasukkan tindakan ilegal dan kekerasan kedalam pengertian tentang partisipasi politik, “partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir ataupun sporadis, legal atau illegal, secara damai atau dengan kekerasan, efektif atau tidak efektif”. Dari pengertian yang diberikan oleh Huntington jelas memberikan tekanan pada kegiatan untuk memengaruhi proses pengambilan kebijakan, yang dapat ditempuh dengan jalan apa pun. B.
Partisipasi Politik dalam Pandangan Penganjur Elitisme Demokratis dan Pilihan Rasional (Rational Choice).
Elitisme Demokratis Penganjur
elitisme
demokratis
berkutat
pada
persoalan
bagaimana
mempertahankan stabilitas politik, demokrasi adalah hal sekunder dalam hal ini. Tokoh penganut Elitisme Demokratis, Schumpeter menyatakan bahwa pemimpin yang berwawasan, yang meraih persetujuan melalui partisipasi minimal massa, adalah cara terbaik untuk memelihara ketertiban.3 Penganjur elitisme demokratis bertolak dari anggapan bahwa massa pada umumnya apatis, bodoh, dan tidak mengerti aturan, sehingga keterlibatannya dalam skala luas di bidang pemerintahan akan mengganggu ketertiban.
1 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, Hal 367 2Ibid, hal. 368 3 Keith, Faulks, Sosiologi Politik, Pengantar Kritis, Bandung: Nusamedia, hal 227-228
13
Kewarganegaraan yang terlalu aktif dalam proses pengambilan kebijakan akan menyebabkan kelambanan dan mendorong kearah pengambilan keputusan yang berjangka pendek dan kurang pertimbangan. Argumen lain yang menguatkan prinsip ini, adalah bahwa massa kebanyakan rentan dimanipulasi oleh para ideolog (dalam istilah rezim Orde Baru sering disebut „ekstrem kiri‟ untuk menyebut gerakan para penganut ajaran komunis dan „ekstrem kanan‟ bagi kaum fundamentalis agama). Dalam lintasan sejarah pemerintahan di Indonesia, teori elitisme demokratis yang menomorduakan demokrasi dan menomorsatukan stabilitas memiliki kedekatan dengan praktik kekuasaan orde baru. Dalam menjalankan roda pemerintahan dimana pembangunan sebagai panglima, rezim orde baru menegakkan trilogi pembangunan yakni stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi. Dengan stabilitas nasional sebagai thesis utamanya, maka gemuruh protes dan ekspresi massa untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan dianggap sebagai tindakan melawan hajat Negara. Partisipasi dalam skala luas, menurut pandangan elitisme demokratis, dianggap akan mengalami kesulitan dalam hal pelembagaannya. Berbeda dengan yang pernah terjadi di Athena, pada masa Yunani Kuno abad ke-4 dan ke-5 SM, dimana ‘warga’4 masyarakat terlibat dalam hal pembuatan keputusan, pemilihan pejabat pemerintahan dilakukan melalui pemungutan suara secara langsung. Saat ini, dimana penduduk secara geografis tersebar, dan jumlahnya yang begitu besar hingga mencapai jutaan dalam satu Negara, maka pelibatan warga masyarakat secara
langsung
sebagaimana
yang
pernah
terjadi
di
Athena
tidak
memungkinkan. Pembuatan keputusan, bagi penganut paham ini, hendaknya diserahkan kepada para intelektual dan pengurus partai politik yang concern mengurus persoalan 4Kata warga penulis garis miring karena dalam tradisi demokrasi langsung Athena tidak seluruh warga dilibatkan.Yang tidak memiliki hak suara yakni kaum perempuan dan para pekerja asing yang berada di wilayah Athena.
14
politik dan menguasai seni dalam hal pemerintahan. Dengan demikian, seluruh tanggung jawab menjalankan pemerintahan dan akibat buruk yang ditimbulkan di pikul kelompok elit ini. Pilihan Rasional Para penganut Pilihan Rasional juga memiliki pandangan minimalis terhadap partisipasi politik warga masyarakat. Berbeda dengan pandangan elitisme demokratis yang menilai massa kebanyakan tidak cakap untuk urusan politik, namun pandangan kaum pilihan rasional berangkat dari asumsi bahwa massa kebanyakan berpartisipasi karena pertimbangan rasionalitas. Pertanyaan yang diajukan oleh individu-individu, apakah keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan memiliki dampak bagi mereka ataukah tidak ber efek sama sekali?. Jawaban sebagian besar individu disimpulkan bahwa mereka merasa tidak memiliki urusan dengan proses pengambilan kebijakan. Pendukung teori ini, Olson5, bahkan pada kesimpulan bahwa individu yang rasional akan bertindak untuk kepentingan diri sendiri dan tidak akan bertindak untuk kepentingan umum. Gerakan politik, dalam pandangan ini, akan dipimpin oleh orang yang secara politik diuntungkan. Para elit, yang menjadi motor gerakan politik akan memeroleh keuntungan berupa prestige dan jabatan kekuasaan. Mobilisasi massa, bergantung pada bagaimana kemampuan elit untuk meyakinkan pemilih dan elit mengharapkan keuntungan dari biaya yang telah dikeluarkan. PARTISIPASI POLITIK DALAM BERAGAM SISTEM PEMERINTAHAN Demokrasi, sebagaimana kita kenal, bermacam-macam. Dalam sejarah demokrasi di Indonesia, terdapat Demokrasi Pancasila, Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Parlementer. Dibelahan dunia lain, ada yang menganut Demokrasi Liberal, Demokrasi Soviet, Demokrasi Rakyat dan sebagainya. Menurut Robert Dahl (2005), dalam praktik demokrasi yang berskala besar diperlukan sejumlah institusi politik, yang sekurang-kurangnya mencakup: 5Faulks, Kate, op cit, 231.
15
1. pejabat-pejabat yang dipilih 2. pemilu yang bebas (free), adil (fair), dan sering dilakukan 3. kebebasan berekspresi 4. sumber-sumber informasi alternatif 5. otonomi asosiasional 6. kewarga(negara)an yang inklusif. Institusi-institusi tersebut saling terkait dan saling melengkapi, dan diperlukan demi partisipasi yang efektif, untuk mengontrol agenda-agenda kebijakan, meningkatkan saling pengertian, serta demi menjamin pengakuan atas hak dan peran-peran kewargaan (inklusi) secara penuh. C.
Partisipasi Politik di Negara Otoriter Partisipasi politik di Negara otoriter, seperti komunis pada masa lampau,
cenderung tinggi. Hal dikarenakan secara formal kekuasaan berada ditangan rakyat dan bertujuan progresif untuk merombak tatanan masyarakat menuju masyarakat modern, produktif, dan berideologi kuat. Mendiang Negara Uni Soviet sebagai contoh dalam hal ini, prosentase kehadiran pemilih dalam pemilu selalu menunjukkan angka tinggi. Dalam pemilihan umum Uni Soviet, kehadiran pemilih menunjukkan angka 99%6. Partisipasi diluar pemilu, bersifat community action, melalui pembinaan yang terkontrol oleh lembaga-lembaga kader yang segmented seperti golongan pemuda, golongan buruh, serta organisasi kebudayaan. Walaupun menunjukkan angka statistic tinggi, bentuk partisipasi bukan tergolong partisipasi yang bersifat sukarela, tetapi terdapat unsur mobilized participation di dalamnya karena intensitas ditentukan oleh partai. Di China dan Mendiang Uni Soviet menghadapi dilema bagaimana memperkuat dan memperluas partisipasi tanpa harus kehilangan kontrol sebagai mekanisme baku untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan. China, melalui gerakan “kampanye seratus bunga” mengendorkan kontrol dan memperbolehkan 6 S.E Finner, Comparative Government, London:Pelican Books, 1978 dalam Miriam Budiardjo, op cit,hal 379
16
masyarakat menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah pada tahun 1956/1957. Akan tetapi pengendoran ini tidak berlangsung lama, karena protes keras semakin bergema dimana-mana dan pemerintah menganggap kritik ini menganggu stabilitas nasional. Puncaknya, peristiwa Tiananment Square tahun 1989, beberapa ratus mahasiswa harus meregang nyawa akibat bentrok dengan aparat keamanan, yang menyebabkan pemerintah kembali mengencangkan kontrol terhadap masyarakat. D.
Partisipasi Politik di Negara Berkembang Partisipasi Politik di Negara berkembang memiliki karakteristik
dibanding Negara maju, yakni partisipasi otonom yang bersumber dari dirinya sendiri masih terbatas. Kondisi ini, dapat memunculkan sifat apatis dan puncaknya, kebuntuan partisipasi menghantarkan pada keadaan anomi dan bahkan revolusi7. Dilema Partisipasi Politik juga dihadapi oleh Negara berkembang yang pembangunannya agak lancar. Di Negara-negara seperti ini, perluasan urbanisasi, perkembangan teknologi informasi dan peningkatan pengetahuan masyarakat akan media komunikasi (media literacy) berimbas pada meningkatnya tuntutan akan peran serta masyarakat dalam wilayah politik. Dalam sebuah studi tentang peningkatan peran serta masyarakat dalam kancah social dan politik akibat penetrasi teknologi informasi (IT) digambarkan oleh Budge8. Bahwa kecanggihan teknologi informasi dapat meringkus hambatan waktu, ukuran, dan ruang dengan memungkinkan seseorang berinteraksi dengan warga lainnya tanpa bertatap muka. Partisipasi interaktif terjalin dan terhubung melalui jejaring social facebook, twitter, email dan faximile, teleconference, dan koneksi kabel lainnya. Implikasi positif IT bagi partisipasi politik dapat diringkas menjadi lima macam9: 7 Miriam Budiardjo, op cit, hal 381 8 Keith, Faulks, Sosiologi Politik, Tinjauan Kritis,hal 245 9 Ibid, 247-249
17
1. IT merupakan peluang baru bagi terciptanya kesadaran akan keputusan pemerintah dan penting untuk melegitimasi keputusan tersebut. Misalnya, sat ini bermunculan website yang menampilkan produk-produk kebijakan pemerintah, lembaga swasta maupun lembaga pendidikan. 2. Informasi juga mengalir cepat dari warga yang menyampaikan keluhan, protes maupun kepuasan kepada pemerintah tanpa harus melalui birokrasi yang panjang. Ini sangat membantu terutama warga negara yang memiliki keterbatasan fisik dan kesibukan yang tinggi. Melalui IT utamanya media massa, warga dapat melihat setiap produk kebijakan dan sepak terjang partai politik, mengalihkan dukungan dengan cepat kepada partai lain. 3. Teknologi baru meningktakan potensi prkumpulan masyarakat sipil secara relatif murah. Rekruitmen anggota dan simpatisan yang mendukung gagasan sehingga mengkristal menjadi kekuatan besar dengan cepat dilakukan. Penyebaran gagasan, ide, opini dan protes atas kesewenang-wenangan dan ketidak adilan pemerintah dengan cepat memeroleh persetujuan melalui beragam jejaring social. 4. Sifat interaktif IT memungkinkan warga negara terlepas dari hubungan yang bersifat pasif. Terjadi interaksi timbal balik antara warga Negara dan pemerintah. 5. Bagi pemerintah, IT membantu untuk merumuskan kebijakan dengan tepat. Tepat sasaran, tepat waktu dan tepat penganggarannya. Identifikasi atas sasaran kebijakan dibantu melalui kecanggihan informasi semisal mengelola statistic, menghimpun jajak pendapat dan memilah kelompok-kelompok sosial baru. Selanjutnya, kelompok-kelompok yang terhimpun dalam satuan satuan organisasi-organisasi
kepemudaan,
koalisi
perempuan,
jaringan
pekerja,
perkumpulan keagamaan dan lain sebagainya tergugah kesadaran sosial dan politiknya sehingga berupaya memengaruhi keputusan pemerintah. Cara-cara yang ditempuh untuk merealisasikan tuntutan berpotensi menyebabkan chaos
18
jika terdapat kesenjangan dengan tujuan yang ingin dicapai. Sebagaimana prediksi Huntington bahwa pembangunan yang cepat, dan ikut sertanya banyak kelompok baru dalam politik dalam waktu yang singkat dapat mengganggu stabilitas10. E.
Partisipasi Politik di Negara Demokrasi Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, partisipasi politik
dapat diklasifikasikan kedalam dua bentuk. Pertama partisipasi politik dalam pemberian suara saat pemilu, kedua partisipasi politik diluar pemberian suara saat pemilu. Partisipasi dalam bentuk pemberian suara saat pemilu, di Negara-negara demokrasi seperti Amerika Serikat dan negara demokrasi lainnya menunjukkan angka yang terus menurun dari tahun ke tahun.Pada tahun 1995, angka kehadiran pemilih saat pemilu kurang dari 50%, sedangkan di Prancis dan Jerman lebih tinggi. Dalam Pemilu 1990 di Prancis tercatat angka sebesar 86%, sedangkan di Jerman pada Pemilu 1992 mencapai 90%. Di Inggris pada Pemilu 1992 juga cukup tinggi tingkat kehadiran pemilihnya yakni sebesar 77%, sedangkan di Belanda sama dengan Perancis yakni 86%. Pada tahun 2000-an, tingkat partisipasi dalam bentuk pemberian suara saat pemilu mengalami penurunan. Di Inggris, pada pemilihan umum 2001, pemilih yang menggunakan hak pilihnya (voter turnout) sebesar 59,2%. Sementara di Jerman, voter turnout pada pemilu 2002 sebanyak 47.980.304 orang, berkurang dibanding pemilu tahun 1998 berjumlah 49.308.512 orang.11 Walaupun partisipasi politik dalam bentuk pemberian suara saat pemilu rendah, namun partisipasi politik dalam bentuk organisasi-organisasi yang aktif membantu pemecahan masalah lingkungan, penyakit AIDS dan advokasi
10 Samuel P. Huntington, Political Order In Changing Societies, New Haven: Yale University Press, 1968, Hal 4, dalam Miriam Budiardjo, op cit, hal 381. 11 Data-data diambil dari Miriam Budiarjo dan sumber lain dengan pengolahan seperlunya
19
kebijakan cukup tinggi. Mengapakah tingkat partisipasi politik cenderung menurun? Perubahan sosial yang berdampak bagi partisipasi politik akan dijelaskan dalam sub bab dibawah ini. F.
Partisipasi Politik dalam Demokrasi Liberal Studi tentang perubahan sosial yang berdampak pada partisipasi politik
dalam sistem demokrasi liberal terangkum dalam beberapa kecenderungan; kewarganegaraan yang semakin berwawasan dan kritis, menurunnya kepecayaan terhadap efektifitas lembaga dan elit politik, menurunnya loyalitas kepada partai politik tradisional, dan anjloknya tingkat keikutsertaan dalam pemilihan umum, dan peningkatan partisipasi politik inkonvensional. Kewarganegaraan Kritis dan Berwawasan Peningkatan daya kritis dan wawasan warga Negara disumbang oleh dua hal. Pertama, tingkat pendidikan yang semakin tinggi, dan kedua, penetrasi media massa. Sebelum tahun 1930, atau sebelum perang dunia kedua, fasilitas pendidikan hanya dinikmati segelintir orang kelompok minoritas. Paska perang dunia kedua, maka kesempatan untuk memeroleh pendidikan semakin terbuka. Berbondong-bondong warga Negara memasuki universitas dan sekolah-sekolah. Tercatat di Amerika Serikat pada tahun 1974, pendaftar dilembaga pendidikan tumbuh sebesar 347%, 472% terjadi di Inggris dan tertinggi dicapai Perancis dengan angka 586%12. Televisi juga memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap kesadaran politik. Dalam sebuah studi, Dalton menemukan fakta bahwa 69% rakyat Amerika Serikat menyebut televisi sebagai sumber informasi penting mengenai politik. Selain televisi, persebaran opini melalui internet, email juga mempercepat saling tukar informasi dan meng up date kondisi perpolitikan mutakhir.
12 Dalton, ……dalam Keith, Faulks
20
Penetrasi media semakin kuat ditengah budaya masyarakat yang semakin individual. Masing-masing individu tidak lagi terikat dalam satuan-satuan perkumpulan keagamaan semisal gereja, ormas islam maupun perkumpulan kepemudaan dalam pembentukan sikap politiknya. Individualisasi ini terkait dengan proses perubahan sosial dalam skala luas. Peningkatan pendapatan per kapita, mengendornya semangat berorganisasi, pergeseran jenis usaha dari manufaktur ke sektor jasa adalah proses perubahan sosial yang turut mempercepat individualisasi. Peningkatan jenjang pendidikan dan jumlah masyarakat melek media (media literacy) tidak berbanding lurus dengan kesadaran mereka untuk berpartisipasi dalam politik. Dalam satu survey di Amerika Serikat terhadap 250.000 mahasiswa Universitas California pada tahun 1998 menunjukkan hanya 27% yang merasa penting untuk mengikuti masalah politik. Di Indonesia, Survey terbaru memperlihatkan sebanyak 60,51 persen pemilih pemula belum memastikan diri akan memilih dalam pemilihan umum (pemilu) 2009 lalu. Sebanyak 18% (persen) menyatakan tidak akan memilih, sedangkan 21,49 persen menyatakan akan menggunakan hak pilihnya. Ini antara lain hasil survei tingkat partisipasi politik pemilih pemula menjelang pemilu 2009 di Kota Solo13. Jumlah responden 400 responden berasal dari siswa kelas 2 dan 3 dari 10 SMA/SMK di Kota Solo yang berusia 17-20 tahun. Menurunnya Kepercayaan Politik Kepercayaan masyarakat akan efektifitas lembaga diukur juga dari kepercayaan mereka pada politisi. Menurunnya tingkat kepercayaan public terhadap politisi dan proses demokrasi yang sedang berjalan di ikuti oleh semakin meningginya pengawasan terhadap lembaga-lembaga politik tersebut. Media dan
13 Kompas.com, kamis 19 Pebruari 2009, “60,51% Pemilih Pemula Belum Pastikan Memilih” Survey oleh Lembaga Peduli Remaja Kriya Mandiri Solo, Diunduh pada tanggal 21 Desember 2011
21
perangkat teknologi informasi lain memainkan peran besar menumbuhkan partisipasi politik. Perilaku
tidak
patut
seperti
perselingkuhan
yang
dilakukan
politisi,
penyalahgunaan kekuasaan melalui tender proyek menjadi cepat tersiar ke hadapan publik. Contoh terkini dalam perpolitikan nasional, seperti kasus wisma atlet yang menyeret sejumlah pengurus DPP Partai Demokrat mempercepat runtuhnya kepercayaan politik masyarakat. Hasil survey Lingkaran Survey Indonesia (LSI)14 menjelaskan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap politisi di Indonesia anjlok total. Kepercayaan tersebut kini hanya tinggal 23,4 persen. Sementara yang tidak percaya sebesar 51,3 persen, dan sisanya tidak tahu. Survei yang dilaksanakan pada 5-10 September 2011 dengan 1200 responden ini menemukan bahwa jumlah tersebut menurun drastis dibanding tahun 2005. Saat itu tingkat kepercayaan publik maupun citra positif DPR masih sebesar 44,2 persen. Politisi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tokoh tokoh yang yang dipilih rakyat melalui mekanisme Pemilu, seperti Presiden, Gubernur, Bupati, Wali Kota, anggota DPR, dan mantan anggota DPR. Hasil survei kepercayaan terhadap politisi di kalangan masyarakat perkotaan lebih buruk dibanding masyarakat pedesaan. Di perkotaan, yang menyatakan politisi bekerja dengan baik sebanyak 19,6 persen. Sedangkan di desa lebih besar lagi, yakni 26,6 persen. Sedangkan di kalangan pendidikan tinggi, mahasiswa, dan lulusan S1, S2, dan S3, yang menyatakan politisi bekerja dengan baik juga lebih sedikit, yakni hanya 18,4 persen. Sedangkan di kalangan responden yang berpendidikan menengah dan rendah (SMU ke bawah) lebih banyak, yakni di atas 24 persen.
14 Berita Pelita Online, “Kepercayaan Publik terhadap Politisi Anjlok”, diunduh pada tanggal 02 Pebruari 2012 melalui http://www.pelitaonline.com/read/politik/nasional/16/8246/kepercayaan-publik-terhadappolitisi-anjlok/
22
Melihat hasil survey LSI diatas, kita memeroleh gambaran bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, kepercayaan dan tingkat kepuasan terhadap kinerja politisi semakin rendah. Sebaliknya, bagi yang berpendidikan menengah dan rendah (SMU kebawah) tingkat kepuasan terdapat kinerja politisi menunjukkan angka lebih tinggi yakni sebesar 24 persen. Begitu juga perbandingan penilaian masyarakat perkotaan dan pedesaan terhadap kinerja politisi juga berbeda. Bagi masyarakat kota yang lebih dekat dengan media, berpendidikan dan berpenghasilan tinggi, tingkat kepercayaan politiknya semakin rendah dibanding masyarakat pedesaan. Menurunnya Loyalitas Kepada Partai Politik Tradisional Partai-partai politik merupakan mediator penting untuk menjembatani kepentingan Negara dan masyarakat sipil. Mengingat posisi strategis yang diperankannya, menarik untuk ditelisik lebih jauh kebelakang sejarah kemunculan partai dan signifikansi peran partai politik dalam sistem politik modern. Dalam pandangan Roy C Macridis, tidak ada sistem politik yang berlangsung tanpa kehadiran partai politik. Walaupun awalnya, skeptisisme juga muncul mengiringi kelahiran partai politik terutama oleh masyarakat dan birokrasi di Eropa Barat, yang menganggap partai politik bagian dari konflik politik. Partai politik menjadi aktor utama dalam menggerakkan partisipasi masyarakat, karena dianggap mewakili aspirasi warga Negara terutama isu seputar agama dan kelas. Namun seiring perubahan sosial dan bergesernya isu-isu politik kontemporer yang lebih kompleks15 dan fragmentasi identitas sosial baru16,
15Isu-isu politik pada tahun 80-an berpusat pada sensitifitas agama diwakili oleh partai persatuan pembangunan (PPP), sedangkan isu-isu perjuangan kelas banyak diusung oleh Partai Demokrasi Perjuangan (PDI), sedangkan isu-isu politik terkini lebih bervariasi seperti isu lingkungan, energy, gender, dan ekonomi. 16Kelas-kelas social baru bermunculan seiring pertumbuhan ekonomi, seperti kalangan kelas konsumen baru atau disebut kelompok menengah, organisasi profesi dll.
23
terjadi penggerusan atas peran partai politik sebagai wadah penjaring aspirasi masyarakat. Para pemilih cenderung mengikuti isu-isu terbaru serta prestasi kinerja partai politik dibanding mengikuti perasaan setia (loyal) terhadap partai politik tertentu. Efek lebih lanjut dari sikap seperti ini adalah para pemilih dengan cepat mencabut dan mengalihkan dukungan dari satu partai politik kepada partai politik lainnya. Hasil survei yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan dukungan masyarakat terhadap partai politik semakin menurun akibat kekecewaan publik yang menilai pemerintah cenderung stagnan. Survei CSIS itu mencatat Partai Demokrat menjadi partai yang mengalami penurunan dukungan public terbesar dengan angka penurunan 8,25%, sehingga hanya memperoleh dukungan 12,6%. Sementara itu Partai Golkar diperkirakan memperoleh dukungan 10,5%, menurun 3,95% dari pemilu 2009 lalu, sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendapat dukungan 7,8%, dengan demikian terjadi penurunan sebesar 6,23%. Menariknya, sebanyak 48,4% masyarakat tidak memiliki pilihan ketika ditanyai dukungan mereka terhadap partai politik. Survey diatas memberitakan pada kita bahwa terjadi penurunan tingkat kepercayaan public terhadap kinerja partai politik. Hal ini terjadi karena pemberitaan yang gencar media massa atas skandal korupsi yang melibatkan partai politik. Mega korupsi Bank Century dan Wisma atlet yang menyeret pentolan partai Demokrat, korupsi dalam kementerian tenaga kerja dan transmigrasi (Kemenakertrans) yang diduga melibatkan fungsionaris PKB, suap pemilihan Gubernur Bank Indonesia yang menimpa fungsionaris PPP, PDI P dan Golkar dengan cepat mengalir ke rumah-rumah warga melalui pemberitaan televisi. Respon masyarakat atas skandal tersebut adalah „menghukum‟ partai
24
politik yang bersangkutan dengan jalan mengalihkan dukungan pada partai lain yang dinilai belum cacat moral. Differensiasi dan fragmentasi isu-isu politik mencerabut hubungan partai politik dan pemilihnya yang berdasarkan komitmen tradisi. Dengan demikian, kontrak yang dijalin warga Negara dengan partai politik adalah dengan melihat arah program, visi, dan perilaku politik pengurusnya. Anjloknya Tingkat Keikutsertaan dalam Pemilihan Umum Kecenderungan yang segera muncul akibat menurunnya kepercayaan politik masyarakat adalah penurunan tingkat partisipasi pada pemilu. Menurut studi tentang tingkat kehadiran pemilih di berbagai Negara mencatat terjadi penurunan secara keseluruhan. Namun, walaupun terjadi penurunan partisipasi politik secara konvensional yakni pada pemberian suara pada pemilihan umum, namun terjadi peningkatan partisipasi politik inkonvensional. Peningkatan Partisipasi Politik Inkonvensional Disaat angka partisipasi politik konvensional berupa pemberian suara saat pemilu menurun, keterlibatan masyarakat dalam tindakan langsung meningkat pesat. Studi di beberapa negara menunjukkan peningkatan tingkat partisipasi melalui boikot, protes, pemogokan tidak resmi atau pendudukan gedung oleh warga masyarakat. Di Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jerman Barat, keterlibatan partisipasi warga dalam aksi-aksi langsung semacam itu mencapai seperempat jumlah penduduk. Keanggotaan dalam organisasi-organisasi lingkungan, koalisi perempuan meningkat pesat melebihi keanggotaan partai politik di banyak Negara. Warga Negara cenderung bergabung dengan organisasi-organisasi diluar partai politik untuk mengambil bagian dalam berbagai macam partisipasi alternatif untuk mengungkapkan opini mereka.
25
Pertukaran Sosial George Caspar Homans Pertukaran sosial karya Homans menarik untuk juga dijadikan sebagai kerangka pikir dalam memahami partisipasi pemilih dalam penelitian ini. Alasan utamanya karena teori ini memandang perilaku sosial sebagai pertukaran aktivitas, ternilai ataupun tidak dan kurang lebih menguntungkan atau mahal bagi dua orang yang saling berinteraksi. Teori pertukaran ini berusaha menjelaskan perilaku sosial dasar berdasarkan imbalan dan biaya. Dalam bangunan teori sosiologi, teori ini masuk dalam rumpun perilaku sosial. Mengembangkan temuan- temuan B.F Skinner, Homans lalu mencetuskan beberapa proposisi yang merupakan inti dari teori pertukaran sosial. Proposisiproposisi tersebut antara lain proposisi sukses, proposisi stimulus, proposisi kekurangan dan kelebihan, proposisi nilai, proposisi agresi-pujian, proposisi rasionalitas. Untuk kepentingan penelitian ini, kami hanya menggunakan tiga proposisi yakni proposisi sukses, stimulus dan rasionalitas. Proposisi Sukses Jika seseorang sering melakukan suatu tindakan dan orang tersebut mendapatkan imbalan dari apa yang ia lakukan, maka makin besar kecenderungan ia akan melakukannya pada waktu yang akan datang. Secara umum perilaku yang selaras dengan proposisi sukses meliputi tiga tahap yaitu Pertama tindakan seseorang, Kedua hasil yang diberikan dan Ketiga pengulangan tindakan asli atau minimal tindakan yang dalam beberapa hal menyerupai tindakan asli. Homans mencatat bahwa ada beberapa hal khusus terkait dengan proposisi sukses. Pertama meskipun secara umum benar bahwa imblan yang semakin sering dilakukan mendorong peningkatan frekuensi tindakan. Situasi timbal balik ini mungkin berlangsung tanpa batas. Dalam beberapa hal individu sama sekali tidak dapat terlalu sering berbuat seperti itu. Kedua semakin pendek interval antara 26
perilaku dan imbalan, semakin besar kecenderungan seseorang melakukan perilaku tersebut. Sebaliknya semakin panjang interval antara perilaku dan imbalan memperkecil kecenderungan melakukan perilaku tersebut. Intinya adalah imbalan tidak teratur yang diberikan kepada seseorang menyebabkan berulangnya perilaku, sedangkan imbalan yang teratur justru membuat masyarakat menjadi bosan dan muak melakukan hal yang sama pada waktu yang akan datang. Proposisi Stimulus Jika pada masa lalu terjadi stimulus tertentu, atau serangkaian stimulus adalah situasi dimana tindakan seseorang diberikan imbalan, maka semakin mirip stimulus saat ini dengan stimulus masa lalu tersebut semakin besar kecenderungan orang tersebut mengulangi tindakan yang sama atau yang serupa. Homans tertarik pada proses Generalisasi yaitu kecenderungan untuk memperbanyak perilaku pada situasi serupa. Namun, beliau juga berpendapat bahwa proses diskriminasi juga penting. Seorang aktor menjadi terlalu sensitif terhadap rangsangan khususnya jika rangsangan itu sangat bernilai baginya. Sebaliknya aktor akan dapat merespon rangsangan yang tidak relevan, paling tidak sampai situasinya dibenahi oleh kegagalan yang berulang. Semua itu dipengaruhi oleh kewaspadaan individu atau perhatian mereka terhadap rangsangan. Proposisi Rasionalitas Ketika seseorang memilih tindakan alternative, seseorang akan memilih tindakan sebagaimana yang dipersepsikannya kala itu jika nilai hasilnya dikalikan dengan probabilitas keberhasilan, maka hasilnya adalah lebih besar. Jika proposisi sebelumnya banyak bersandar dari behaviorisme (perilaku sosial). Proposisi rasionalitas secara gamblang menunjukkan pengaruh teori pilihan rasional pendekatan Homans. Pada dasarnya, orang menelaah melakukan kalkulasi atas berbagai tindakan alternatif yang tersedia baginya. Mereka
27
membandingkan jumlah imbalan yang diasosiasikan dengan setiap tindakan. Mereka pun mengkalkulasikan kecenderungan bahwa mereka benar-benar akan menerima imbalan. Imbalan yang bernilai tinggi akan hilang nilainya jika actor menganggap bahwa itu semua cenderung tidak akan mereka peroleh. Sebaliknya, imbalan yang bernilai rendah akan mengalami pertambahan nilai jika semua itu dipandang sangat mungkin diperoleh. Jadi terjadi interaksi antara nilai imbalan dengan kecenderungan diperolehnya imbalan. Imbalan yang paling diinginkan adalah imbalan yang sangat bernilai dan sangat mungkin tercapai. Imbalan yang paling tidak diinginkan adalah imbalan yang paling tidak bernilai dan cenderung tidak mungkin diperoleh. Beliau juga berargumen bahwa struktur skala besar dapat dipahami jika kita memahami secara baik perilaku sosial dasar. Menurutnya proses pertukaran identik pada level masyarakat terdapat proses kombinasi fundamental yang lebih kompleks17. Dengan demikian teori pertukaran melihat tatanan sosial sebagai hasil yng tidak direncanakan dari tindakan pertukaran antara anggota masyarakat. Teori pertukaran secara eksklusif menunjukkan upaya untuk menjelaskan kehidupan dengan metode pilihan rasional. Teori pertukaran tumbuh dari fakta bahwa pasar lembaga non industry masyarakat biasanya lebih sederhana daripada yang ditemukan dalam ekonomi modern18.
17 George Ritzer. Teori Sosiologi (Bantul : Kreasi Wacana Offset. 2011), Hal 450-457. 18 Khoirul Yahya, dkk. Teori Politik (Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press. 2013), Hal 137-141
28
BAB III PEMILU DAN PARTISIPASI POLITIK WARGA KABUPATEN PROBOLINGGO Partisipasi dalam pengertian konvensional adalah kehadiran pemilih pada saat pemungutan suara untuk memilih wakilnya dalam pemilu. Namun, partisipasi politik secara umum diartikan sebagai keterlibatan aktif individu ataupun kelompok dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan yang berdampak pada kehidupan mereka. Untuk dapat terlibat secara aktif maka dituntut pengetahuan yang memadai mengenai politik maupun soal kepemiluan. Pandangan dan beberapa macam bentuk partisipasi warga diperoleh melalui survey dan wawancara yang dilakukan bulan juli lalu, terhadap 100 orang responden yang mewakili tiga karakteristik wilayah kabupaten Probolinggo. Ketiga wilayah tersebut meliputi wilayah perkotaan, pegunungan dan pesisir yang tersebar di kecamatan kraksaan, paiton, kecamatan Gading dan Maron serta pesisir di Kecamatan Gending. Metode Survey yakni wawancara tatap muka dilakukan untuk mencari pemahaman masyarakat tentang pemilu maupun gambaran tentang “melek” politik warga. “melek” politik yang digali dalam penelitian ini meliputi pengetahuan warga tentang pemilu, politik lokal dan nasional, serta bagaimana bentuk partisipasi yang dilakukan. Pemaparan berikut merupakan perpaduan sajian data sekaligus kajian yang menjadi fokus penelitian. I.
Pengetahuan Politik Lokal dan Nasional Dalam sistem demokrasi keberadaan pemilu berkala merupakan hal yang
penting untuk dilaksanakan. Pemilihan umum merupakan sarana konversi suara rakyat menjadi kursi kekuasaan baik di legislatif maupun eksekutif.
Pemilu, 29
merupakan salah satu dari beberapa macam institusi politik dalam paktik demokrasi. Menurut Robert Dahl (2005), dalam praktik demokrasi yang berskala besar diperlukan sejumlah institusi politik, yang sekurang-kurangnya mencakup: 1. pejabat-pejabat yang dipilih 2. pemilu yang bebas (free), adil (fair), dan sering dilakukan 3. kebebasan berekspresi 4. sumber-sumber informasi alternatif 5. otonomi asosiasional 6. kewarga(negara)an yang inklusif. Institusi-institusi tersebut saling terkait dan saling melengkapi, dan diperlukan demi partisipasi yang efektif, untuk mengontrol agenda-agenda kebijakan, meningkatkan saling pengertian, serta demi menjamin pengakuan atas hak dan peran-peran kewargaan (inklusi) secara penuh. Dalam sejarah keenam institusi tersebut tidak lahir sekaligus, melainkan bertahap. Dua yang disebut terakhir lahir kemudian. Kewarga(Negara)an yang inklusif mengandaikan pemilih yang memiliki pengetahuan memadai tentang siapa yang akan dipilih, apa tugas dan peran anggota dewan, memiliki rekam jejak yang baik keberadaan calon pemimpin baik legislatif maupun eksekutif. Dalam pengumpulan survey yang telah dilakukan, para pemilih umumnya mengenal calon dengan baik yakni sebesar 70 persen.
30
Mengenal Calon Anggota DPRD Tidak 30% Iya 70%
Tingginya angka pemilih yang mengenal calon anggota DPRD tidak lepas dari kedekatan secara geografis calon dan pemilihnya. Saluran-saluran informasi yang menyampaikan atau mengenalkan keberadaan calon tersebut kepada pemilih beragam, mulai dari stakeholder formal pemilu yakni Parpol maupun KPU, juga memanfaatkan saluran institusi keluarga, pertemanan dan aparat desa.
saluran-saluran informasi Keluarga dan teman
22
Aparat Desa
KPU Kab
13
Parpol
Parpol
13
Aparat Desa
KPU Kab
Keluarga dan teman
21 0
5
10
15
20
25
Dari diagram diatas terlihat bahwa institusi keluarga dan relasi pertemanan maupun kelompok teman sebaya (peer group) memiliki andil besar untuk menyebarluaskan rekam jejak calon kepada para pemilih. Dari sana juga tergambar bahwa upaya partai 31
politik dalam menjajakan profil kader partai yang akan mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif sangatlah kecil yakni 19 persen, masih dibawah KPU yang diakui 30 persen responden. Peranan keluarga dalam sosialisasi politik juga menjadi perhatian para ahli. Keluarga merupakan salah satu agensi paling penting dan paling awal dalam sosialisasi politik. Davies menyimpulkan bahwa sebagian besar kepribadian politik individu, kecederungannya untuk berpikir dan bertindak secara politis, ditentukan di rumah, sebelum dia mengambil peran sebagai orang dewasa 1. Peranan keluarga dalam memengaruhi sikap politik anak-anak muda ini juga terlihat dalam studi mengenai pemberian suara saat pemilu. Terdapat kecenderungan kuat pada para pemberi suara untuk memberikan dukungan kepada partai yang sama dengan partai yang dipilih ayah mereka. Di Indonesia, saat orde baru anak-anak yang berada di lingkungan keluarga Pegawai Negeri Sipil (PNS) cenderung menjatuhkan pilihan politiknya pada Golkar dibanding anak-anak di luar komunitas PNS. Namun perkenalan warga dengan calon legislatif sebatas personal, belum menyentuh aspek substansial semisal program kerja dan rencana pengembangan dari partai pengusungnya. Hal ini terlihat dari masih jauhnya pemilih akan program kerja partai politik. Sebanyak 74 persen responden mengatakan tidak tahu program-program kerja partai politik. Minimnya angka keterlibatan dan partisipasi warga dalam setiap tahapan-tahapan pemilihan, menjadi salah satu sebab adanya jarak antara partai politik dengan warga konstituennya. Partai hanya mementingkan mendulang suara saat pemilihan timbang memberikan pendidikan pentingnya politik. Maka bisa dimaklumi, tidak 1
James, C. Davies, “The Family’s Role in Politicial Sosialization”, Annals, 361, 1965. Hal II, dalam Rush, Michael,….hal 61
32
sedikit warga yang menyatakan tidak tahu tentang program-program kerja partai politik. Ini berarti, UUD RI No 2 tahun 2008 Tentang Parpol pada BAB VI Hak dan Kewajiban Pasal 13 butir E dan K tidak dilaksanakan dengan optimal oleh partai politik. Maka iya, hanya 26 persen responden yang mengatakan tahu tentang program kerja partai politik. Berjaraknya informasi program partai politik ternyata berbanding terbalik dengan program individu calon anggota legislatif. Informasi seputar janji caleg lebih nyaring terdengar dibanding program kerja partai politiknya. Gerakan menjaring hati warga secara masif disebar baik melalui media cetak, elektronik hingga online. 74 persen responden mengaku pernah mendengar janji-janji para kandidat. Mulai dari janji bantuan sapi, sembako, perbaikan jalan, irigasi, renovasi Masjid, layanan kesehatan dan pendidikan gratis. Hanya 26 persen responden yang mengaku tidak pernah mendengar janji-janji manis partai politik atau kandidat.
Pernah dengar janji caleg ? Tidak Pernah
Pernah 26%
74% Salah satu indikator untuk menakar kualitas calon pemimpin adalah melihat dan mencermati program kerja individu sebagai janji seorang caleg. Setiap proses pemilu, baik pemilu legislatif atau eksekutif selayaknya mencantumkan prioritas perbaikan maupun program yang akan diusung sang calon sesuai kebutuhan masyarakatnya. Program kerja partai politik di kabupaten Probolinggo nampaknya masih sunyi bahkan nyaris tak terdengar oleh warga. 33
Bagaimana pengetahuan atau melek warga terhadap tugas dan fungsi anggota legislatif maupun peran-peran seorang Bupati? Dalam hal ini pandangan warga yang tersebar di tiga wilayah tersebut memahami bahwa tugas dan peran anggota legislatif maupun seorang Bupati adalah sekedar pemberi santunan dan bantuan. Terlihat dalam diagram berikut jawaban para responden
Persepsi Warga Terhadap Tugas Dewan Memberi Santunan/bantuan 14%
Membuat Perda
lain-lain
49%
37%
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau oleh warga lebih dikenal dengan istilah “dewan” diasumsikan sebagai pejabat yang bertugas memberi santunan maupun bantuan. Masyarakat tidak memusingkan apakah anggota legislatif tersebut memiliki kepekaan dan kemampuan merancang peraturan daerah yang menjadi kebuituhan masyarakat atau tidak. “Seng penting loman” merupakan tolok ukur bagi sebagian responden untuk mengukur integritas anggota dewan. Sementara sebanyak 37 % (tigapuluh tujuh persen) responden telah menilai bahwa tugas anggota dewan daerah adalah merancang peraturan daerah yang bermanfaat bagi kehidupan mereka. Selain kedua persepsi tersebut, sebanyak 14 persen responden menjawab dengan varian jawaban lain yakni menyatakan bahwa tugas anggota dewan mengayomi masyarakat, mensejahterakan rakyat, pro rakyat maupun mengentaskan kemiskinan. Demikian pula dengan pandangan warga atas tugas dan peran Bupati, jawaban yang menyatakan tugas bupati memberi bantuan lebih besar yakni 56 persen. 34
Peran Bupati Memberi Bantuan
membuat Perbup
lain-lain
21%
23%
56%
Banyaknya warga yang menganggap Bupati sebagai pemberi bantuan maupun santunan wajar mengingat dalam era pemilihan umum kepala daerah secara langsung (pilkada), para incumbent banyak membelanjakan uang APBD untuk kegiatan bantuan baik langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat. Akibat panjang dari kegiatan tersebut adalah membentuk cara pandang (mindset) masyarakat yang demikian rupa hingga menganggap bahwa tugas seorang kepala daerah maupun anggota dewan adalah memberi santunan. Mindset atau cara pandang ini bukan terjadi secara serta merta, namun berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Partai politik, sebagaimana amanat UU No. 02 Tahun 2008 memiliki dua fungsi. Menyelenggarakan pendidikan politik masyarakat dan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik. Sementara tugas komisi pemilihan umum adalah memberikan informasi seputar penyelenggaraan pemilu berikut seluruh tahapan penyelenggaraannya. Tabel berikut menyajikan perbedaan peran dan fungsi sosialisasi Partai Politik dan KPU menurut undang-undang. 35
Jenis Kegiatan Sosialisasi
PARTAI POLITIK -
KOMISI PEMILIHAN UMUM
Melakukan pendidikan politik dan
Menyampaikan
menyalurkan
Pemilu Kepada Masyarakat
aspirasi
politik
informasi
anggotanya; -
Menyukseskan
penyelenggaraan
pemilihan umum; (Pasal 13 UU No. 02 Tahun 2008 diperbaharui UU nomor 02 Tahun 2012)
Namun masih terdapat secercah harapan karena sebagian warga sebanyak 23 persen menyatakan bahwa tugas seorang kepala daerah adalah merancang dan menerbitkan Peraturan Bupati (PERBUP). Sementara terdapat 21 persen menyatakan bahwa tugas seorang kepala daerah adalah menyediakan lapangan pekerjaan, mengayomi masyarakat serta mengentas kemiskinan. Membuka lapangan pekerjaan adalah salah satu jenis peran bupati yang diharapkan masyarakat terutama saat ini dimana jumlah warga yang membutuhkan makin banyak tiap tahunnya. Pemahaman tentang politik nasional yang digali dalam survey penelitian ini hanya meliputi peran dan kiprah anggota DPR RI. Terhadap peran dan fungsi anggota legislatif di tingkat pusat sebagian besar masih buta, hal ini tergambar dalam jawaban responden sejumlah 65 persen tidak tahu apa tugas dan fungsi anggota legislatif. Sementara 35 persen lainnya menjawab bahwa tugas anggota legislatif membuat undang-undang dan melakukan kontrol terhadap pemerintah serta memperjuangkan otonomi daerah. Tingginya jumlah warga yang mengenal peran anggota DPR RI jika dibanding pengetahuan warga tentang peran anggota dewan daerah, tidak terlepas dari peran televisi. Televisi juga memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap kesadaran politik. Dalam sebuah studi, Dalton menemukan fakta bahwa 69% rakyat Amerika Serikat menyebut televisi sebagai sumber informasi penting mengenai politik. Selain 36
televisi, persebaran opini melalui internet, email juga mempercepat saling tukar informasi dan meng up date kondisi perpolitikan mutakhir. Penetrasi media semakin kuat ditengah budaya masyarakat yang semakin individual. Masing-masing individu tidak lagi terikat dalam satuan-satuan perkumpulan keagamaan semisal gereja, ormas islam maupun perkumpulan kepemudaan dalam pembentukan sikap politiknya. Individualisasi ini terkait dengan proses perubahan sosial dalam skala luas. Peningkatan pendapatan per kapita, mengendornya semangat berorganisasi, pergeseran jenis usaha dari manufaktur ke sektor jasa adalah proses perubahan sosial yang turut mempercepat individualisasi. Peningkatan jenjang pendidikan dan jumlah masyarakat melek media (media literacy) tidak berbanding lurus dengan kesadaran mereka untuk berpartisipasi dalam politik. Dalam satu survey di Amerika Serikat terhadap 250.000 mahasiswa Universitas California pada tahun 1998 menunjukkan hanya 27% yang merasa penting untuk mengikuti masalah politik. Pemahaman Tentang Pemilu Pemilihan umum yang diselenggarakan secara berkala setiap lima tahun hampir semua tahu, terutama kapan dan untuk apa dilaksanakan. Tatkala digali lebih dalam apa makna serta tujuan partisipasi dalam penyelenggaraan pemilu, maka didapat jawaban sebagaimana dibawah ini. Melalui wawancara dengan model pertanyaan terbuka, para responden menyebut bahwa kenapa mereka berpartisipasi didorong oleh keinginan untuk mensukseskan pemilu serta mewujudkan hak dan kewajiban sebagai warga Negara. Selain bertujuan pembuktian diri sebab kedudukan sebagai warga Negara yang baik, juga dimotivasi oleh ramainya kontestasi caleg dan berharap dapat memilih caleg disertai harapan agar memeroleh bantuan baik material maupun bantuan dalam bentuk barang. 37
Sementara terdapat jawaban yang menegaskan bahwa keterlibatan dalam pemilu sekedar ikut-ikutan dan meramaikan acara, karena pemilu dianggap tak ubahnya semacam pertunjukan atau even kegiatan lainnya. Saran dari aparat desa juga menjadi dasar pemilih untuk berpartisipasi dalam pemilu. Pemilihan Umum atau dikenal luas dengan istilah pemilu merupakan sarana pergantian kekuasaan baik kekuasaan legislatif maupun eksekutif, namun dalam pandangan warga memiliki pemaknaan sendiri setingkat pemahaman mereka terhadap pemilu itu sendiri. Dalam wawancara informan menyebut bahwa bagi mereka pemilu bermanfaat untuk mengganti anggota legislatif baik di DPR maupun DPRD sekaligus juga sebagai ajang evaluasi atas kinerja mereka selama lima tahun berkuasa. Secara umum mereka juga menghendaki adanaya perubahan dan pergantian wajah para legislatif tiap kali pemilu sehingga dapat mensejahteraan rakyat. Bagi informan pemilu sangat besar maknanya utama bagi penentuan nasib rakyat. Pemilu juga sebagai indikator kuat bahwa Indonesia telah menjadi Negara demokrasi. Selain makna optimis dan positif sebagian juga pesimis dengan menyebut pemilu sebagai even yang menghamburkan uang banyak serta bertabur janji para calon legislatif, ajang pencitraan para pemimpin. II.
Motif dan Partisipasi Warga dalam Pemilu Partisipasi dalam bentuk keterlibatan warga dalam kegiatan politik
diharapkan dapat meningkatkan mutu dan kualitas penyelenggaraan pemilu. Pemilu berkualitas
memiliki
dua
indikator.
Pertama,
mekanisme
dan
tahapan
penyelenggaraannya dapat diakses seluas-luasnya oleh masyarakat, kedua walaupun mekanisme terbuka namun pemilu yang baik hasil perolehan suara pemenang tidak bisa diprediksi. 38
Partisipasi warga dalam pelaksanaan pemilu didorong oleh motif atau dorongan diri yang kuat mengapa hal tersebut dilakukan. Ditanya apa yang membuat warga senang terlibat aktif dalam pemilu, rata-rata responden mengaku dilatarbelakangi karena sudah mendapat uang dari salah satu calon. Tentu alasan tersebut memang memprihatinkan. Politik transaksional dan jual beli suara sudah dianggap biasa bagi warga. Dari hasil wawancara, terungkap pendapat dari warga apa alasan yang mendorong mereka untuk terlibat aktif dalam pemilu. Warga pemilih yang senang ikut terlibat aktif dalam pemilu karena ingin mensukseskan calonnya sendiri serta ingin mendorong terealisasinya janji-janji politik calon. Juga ditemui alasan bahwa riuh rendah pemilu mempunyai daya tarik tersendiri. Ramainya perbincangan tentang pemilihan, juga menjadi alasan kebanyakan responden senang ikut terlibat aktif dalam pemilu. Alasan pemilih yang mengatakan bahwa keterlibatannya dalam pemilu hanya untuk mensukseskan calon karena telah mendapat pemberian uang mengingatkan kita pada proposisi sukses Homans. Proposisi itu mengatakan Jika seseorang sering melakukan suatu tindakan dan orang tersebut mendapatkan imbalan dari apa yang ia lakukan, maka makin besar kecenderungan ia akan melakukannya pada waktu yang akan datang Pemilih yang menyatakan demikian bukan terjadi begitu saja (given), namun sebagai bentuk pengulangan akibat
imbalan atau stimulus yang diterima pada pemilu
sebelumnya. Sehingga tidak dikatakan pemilu jika tidak mendapat uang. Pola ini lalu terbangun berulang dan membangun suatu tindakan sosial yang mapan. Selain imbalan material, namun terselip juga harapan akan imbalan tak langsung yakni mendorong caleg merealisasikan gagasan dalam rencana politiknya. Hal inilah sebenarnya yang diharapkan dari penyelenggaraan pemilu, transaksi yang terjalin adalah menukar suara untuk produk kebijakan yang membawa mashlahah bagi masyarakat.
39
Tentu tugas pelaksana pemilihan misal KPU, perlu memperhatikan sebab-sebab menurunnya partisipasi warga. Apa yang membuat warga antusias dan apa sebab sebab warga tidak antusias untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu. Penuturan responden kenapa mereka tidak lagi antusias dalam penyelenggaraan pemilu adalah kesibukan pemilih sendiri semisal kesibukan profesi, mencari nafkah untuk keluarga, bayaran kecil dan atau lokasi jauh dari rumah. Bukan hanya alasan kewajiban dalam rumah tangga dan yang sudah disebut diawal tadi, tapi juga dalam pandangan kebanyakan pemilih, pemilu sudah tidak menarik, tidak ada gunanya, hanya memboroskan anggaran negara. Alasan lain yang dikemukakan kenapa warga sudah tidak lagi sreg membantu pemilu, karena pemilih beralasan bahwa pemilu itu sudah ada panitianya. Hal lain yang jadi sebab warga tidak lagi sreg terhadap pemilu, karena banyaknya calon ingkar janji, ketika jadi lupa kepada pemilihnya. Sebagian warga juga menyatakan pelaksanaan pemilu sudah tidak ada pengaruh. Rata-rata calon pun tidak dikenal oleh warga. Jika kita lihat perhelatan pemilu, maka terlihat tiga stakeholder utama pemilu yakni pemilih, peserta pemilu dan penyelenggara dengan tugas pokok masing-masing. Penyelenggara yang terdiri dari KPU Kabupaten, Panwas, PPK, PPS dan KPPS bertugas untuk menyelngarakan dan menjamin terpenuhinya hak memilih warga. Partai politik sebagai peserta pemilu berkewajiban untuk menciptakan kehidupan politik yang mencerdaskan, merekrut kader yang potensial sehingga dapat mempersembahkan produk kebijakan secara optimal. Seputar Daftar Pemilih Sementara (DPS) Secara teknis, tahapan penyelenggaraan pemilu dirancang oleh KPU sejak kapan waktu penyelenggaraannya, penyusunan daftar pemilih sementara, penetapan
40
dafatar pemilih tetap dan pelaksanaan kampanye sampai selesainya pemungutan suara. Salah satu tahapan krusial dalam penyelenggaraan pemilu adalah penetapan jumlah pemilih yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Permasalahan dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam pemilu kali ini menduduki peringkat nomor satu, baru kemudian disusul oleh persoalan lain-lain seperti logistik, teknik penghitungan suara dan lainnya. Alur kegiatan pemutakhiran sebagaimana diamanatkan UU Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menetapkan Alur Pemutakhiran Data Pemilih sebagai berikut; Pemerintah menyediakan data pemilih
KPU Kab/Kota Mengolah data tersebut dibantu PANTARLIH, PPK dan PPS
KPU Menetapkan Peraturan tentang Tatacara Penyusunan Daftar Pemilih dengan fase-fase sebagai berikut: - Penyusunan Daftar Pemilih yang berasal dari DP 4 - Pemutahiran Data DPS, DPS HP - KPU Kab menetapkan DPT
Dari alur diatas maka domain KPU Kab/Kota adalah pada pengolahan setelah diterimanya Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang disediakan Pemerintah. Semakin bagus kualitas bahan baku (DP 4) semakin cepat pula proses pemutakhiran yang dilakukan dan sebaliknya. Selain disokong bahan mentah berupa kualitas DP 4, pemutakhiran pemilih juga disokong oleh partisipasi aktif masyarakat sejak pengumuman Daftar Pemilih Sementara (DPS). Selama penggalian data dilapangan antusiasme masyarakat demikian rendah, hal ini terlihat dari besarnya jumlah warga yang tidak melihat pengumuman daftar pemilih sementara.
41
Pengumuman DPS Tahu
Tidak tahu 21%
79%
Data hasil wawancara kepada warga menerangkan bahwa hanya 21 persen responden yang menyatakan tahu dan melihat data Daftar Pemilih Sementara (DPS). Responden menjelaskan mereka tahu data DPS tersebut mayoritas dari panitia pemilihan/KPU dan aparat desa. Sedang 79 persen responden menyatakan tidak tahu dan tidak melihat data DPS yang sudah diumumkan. Dalam alam politik demokrasi, partisipasi warga adalah kata kunci. Demokratis tidaknya suatu sistem politik dilihat dari tinggi rendahnya tingkat partisipasi warganya. Salah satu indikator partisipasi ini dilihat dari antusiasme warga dalam menggunakan hak pilihnya. Antusiasme menggunakan hak pilih selalu dimulai dari usaha warga untuk melihat apakah dirinya sudah terdaftar dalam daftar pemilih atau tidak. Daftar Pemilih Sementara (DPS) yang sudah diumumkan oleh panita pemilihan di tempat pengumuman desa/kelurahan bertujuan untuk mendapat masukan dan tanggapan dari warga. Warga yang sudah punya hak pilih namun namanya belum terdaftar dalam DPS maka boleh memberitahu panitia pemilihan untuk dimasukkan ke dalam daftar pemilih. Hal ini penting untuk akurasi data. Menjamin setiap warga bisa mendapatkan haknya memilih dalam pemilu. DPS yang sudah mendapatkan masukan dan tanggapan dari warga kemudian akan diperbaiki oleh panitia pemilihan. DPS hasil perbaikan (DPSHP) akan dikirim oleh panitia pemilihan ditingkat desa/kelurahan ke KPU Kabupaten/kota untuk 42
ditetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT). DPT yang sudah ditetapkan oleh KPU Kabupaten/kota akan dikirim ke panitia pemilihan tingkat desa/kelurahan kemudian diumumkan kembali hingga hari pemungutan suara dilaksanakan. Penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT)
Pengumuman DPT Tahu
Tidak tahu 29%
68%
DPT yang sudah ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota tidak menjamin keakurasian dan validitas data sepenuhnya. Maka perlu, warga sebagai pemilih melihat DPT yang sudah diumumkan oleh panitia. Namun sayang 68 persen responden menjelaskan bahwa dirinya tidak tahu dan tidak melihat DPT yang sudah diumumkan. Dan hanya 29 persen responden yang menyatakan bahwa dirinya tahu dan melihat DPT. Pelaksanaan Kampanye Dalam setiap tahapan pemilihan, yang selalu menarik untuk diperhatikan adalah masa kampanye. Pelaksanaan kampanye sudah diatur dalam Peraturan KPU RI No 01 tahun 2013 tentang pedoman kampanye, dan terakhir diubah oleh Peraturan KPU RI No 15 tahun 2013.
43
Terlibat Kampanye Parpol Terlibat
Tidak terlibat 11%
89%
Kampanye adalah panggung bagi para kandidat untuk memaparkan visi misinya, mengutarakan janji-janji, baik melalui alat-alat peraga di pinggir jalan hingga kampanye terbuka. Tak jarang ditemui ketika ada gelaran kampanye terbuka, jalan akan ramai hingga macet. Walaupun tentu banyaknya euforia pendukung disana sini belum besaran dukungan yang sudah diperoleh kandidat. Dalam UUD RI No 2 tahun 2008 Tentang Parpol pada BAB V Tujuan dan Fungsi Pasal 10 ayat 2 point (a) yang berbunyi; Meningkatkan patisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan politik dan pemerintahan. Namun fakta yang ditemui dilapangan, keterlibatan warga dalam partisipasi politik, semisal kampanye hanya 11% persen. Angka sekecil itu pun karena alasan menjadi tim sukses, diajak keluarga dan dapat kaos dan uang. 89 persen responden menyatakan tidak ikut terlibat dalam kampanye. Variasi alasan karena; sibuk kerja, tidak ada yang ajak dan ada pula yang menyatakan, terlibat dalam kampanye hanya bikin capek. Alasan-alasan tesebut menunjukan bahwa warga mulai tidak lagi tertarik dengan proses euforia pemilu. Pemungutan dan Penghitungan Suara
44
Pemungutan dan pengjitungan suara dilaksanakan pada saat hari libur atau hari yang diliburkan. Pemerintah menetapkan hari libur agar masyarakat terlibat penuh dalam pelaksanaan pemilihan umum tersebut.
Proses Pemungutan dan Penghitungan Suara Iya Sampai Selesai
Tidak, habis nyoblos pulang 13% 87%
Kenyataan pada saat hari pemungutan suara, warga hanya hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), menggunakan hak pilih, selesai, lalu pulang. Sebanyak 87 persen responden mengaku demikian. Mereka tidak peduli apapun hasilnya dan bagaimana prosesnya. Seakan-akan bagi mereka demikianlah berpolitik. Datang mencoblos, selesai, lalu pulang. Kepedulian atas hasil serta perlunya pengawasan atas proses pemungutan suara di TPS hanya dilakukan oleh 13 persen responden. Itu pun, karena menjadi tim sukses salah satu calon, hingga penting untuk mencatat hasil. Juga karena menjadi saksi hingga perlu melihat bagaimana jalannya proses pemungutan dan penghitungan suara. Apakah sesuai dengan prosedur atau tidak? dan atau untuk memastikan tidak ada kecurangan/kejanggalan yang dilakukan oleh pelaksana pemilihan. Dan andai 13 persen responden itu kemudian tidak jadi tim sukses dan saksi, bisa ditebak mereka pun tidak akan menunggu dan mengawasi jalannya pemungutan dan penghitungan suara. Dari gambaran diatas kita memiliki pemahaman bahwa pemahaman warga tentang partisipasi politik masih berkutat pada beberapa hal. Pertama, oleh sebagian besar masyarakat masih dilihat sekedar pemberian suara pada saat pemilu (contreng atau 45
coblos). Cara pandang semacam ini, menyebabkan pemilih hanya berfungsi sebagai kontributor suara saja. Tidak lebih dari itu. Pemilu dianggap dan seringkali disebut “pesta demokrasi” yang dirayakan lima tahun sekali sebagai “muara” dari proses politik. Pasca pemilu, mereka merasa tidak lagi memiliki keterlibatan apa-apa dalam proses politik selanjutnya. Pemahaman ini terbangun melalui fase yang sangat panjang. Pemerintah Orde Baru, melalui proyek de-ideologisasi, de-politisasi memisahkan massa pemilih dengan partai politik dan kegiatan yang bersinggungan dengan politik. Kebijakan yang berlangsung puluhan tahun ini menghantarkan masyarakat menuju kondisi yang emoh politik. Tidak ambil pusing dan merasa tidak punya kaitan apa-apa dengan proses politik (baca; pengambilan keputusan) yang sedang dan akan berlangsung. Partisipasi politik pada masa tersebut, dan berlangsung hingga hari ini, adalah hadir di TPS dan memberikan hak pilihnya. Konsekuensi lanjutan dari sikap ini adalah pemilu dianggap sebagai kebutuhan para calon/kandidat, dan bukan kebutuhan para pemilih (masyarakat). Tak heran jika setiap even pemilihan baik pemilu/kada, sebagian pemilih menunggu “mobilisasi” dari calon atau tim sukses. “Mobilisasi” dimaksud adalah anggaran yang diterima oleh pemilih untuk hadir dalam rapat-rapat kampanye, sosialisasi kandidat sampai hadir di TPS dan memberikan suaranya. Kedua, melihat bahwa demokrasi serta kegiatan politik berada di arena perebutan kekuasaan semata. Tidak hanya pada level pemilihan Presiden, Gubernur atau Bupati/Walikota, bahkan pada saat pemilihan RT/RW pun mereka menyebut dengan istilah berdemokrasi. Oleh karena pemahamannya hanya seputar perebutan kekuasaan, maka, pelaku politik adalah mereka yang tercatat sebagai pengurus partai, kandidat peserta pemilihan, serta tim suksesnya. Pemilih (voters) tidak merasa menjadi bagian penting dari elemen demokrasi. Pemahaman ini, setidaknya disebabkan oleh belum optimalnya partai politik sebagai sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab. 46
Janji Caleg Tidak menepati
Menepati
19%
80%
Salah satu alasan kenapa kemudian pemilih banyak tidak peduli dengan pemilu adalah sikap para kandidat yang ketika jadi, lupa pada janji-janjinya. Masyarakat kemudian menganggap bahwa pemilihan tidak punya arti apa-apa. Tidak ada perubahan setelahnya, tidak ada dampaknya yang terasa oleh warga. Sejumlah 80 persen responden mengatakan bahwa para kandidat ketika sudah terpilih, tidak menepati janjinya. Banyaknya janji yang diingkari, ketika jadi lalu lupa diri, ini tidak kecil pengaruhnya bagi pandangan masyarakat. Maka maklum, perlahan-lahan warga pun menganggap bahwa pemilu adalah waktu untuk mendapatkan uang secara gratis. Bukan waktu untuk benar-benar menyeleksi kandidat. Bukan waktu untuk mencermati dan mengkritisi visi-misi kandidat.
47
Janji Caleg Menepati 6
Maron
19 7
Kraksaan Gending
14
1
Paiton Gading
Tidak menepati
13
0
20 5
15
III. Pandangan Warga di Lima Kecamatan Berikut kami tampilkan pengumpulan data di lima kecamatan dalam survey partisipasi pemilih kabupaten Probolinggo dalam bentuk diagram dibawah ini.
Mengenal Calon Anggota DPRD Tidak Kenal
9
Maron Paiton Kraksaan Gading
Kenal
11
4
16
4
16 6
14
7 Gending 13 Kita lihat diagram batang diatas bahwa untuk calon anggota DPRD, para pemilih rata-rata secara personal telah mengenal baik calon yang diajukan partai politik dalam pemilu legislatif 2014 lalu.
48
Alasan Memilih Diajak seseorang
Maron
Gading
6
3 2 2
Paiton Kraksaan
Tebak-tebakan
4
0 0
Gending
6 3
4
Bagi pemilih yang tidak kenal dengan calon secara langsung, maka yang menjadi dasar untuk menjatuhkan pilihan karena dua hal yakni diajak oleh teman/keluarga sebagai orang terdekat, namun tak jarang karena tidak tersentuh oleh kampanye baik parpol maupun individu calon terdapat pemilih yang asal memilih. Di lima kecamatan tersebut, nampak wilayah kecamatan Gading atau daerah “atas” lebih banyak yang asal memilih.
49
Saluran Informasi Lainya
Maron
Aparat Desa
1
0
Paiton 0
Gading
0
Parpol 7
3 4
3
1
Kraksaan
KPU
6 3
2
8 7 8
4 4
1 Gending 2 6 Bagi yang tahu calon, maka saluran-saluran yang berperan mengenalkan calon
tersebut adalah parpol, KPU, Keluarga dan Aparat Desa. Dari diagram diatas terlihat pemilih kraksaan yang paling besar memanfaatkan institusi KPU sebagai saluran untuk mengenal calon. Hal ini karena kedekatan geografis maupun aktifitas KPU Kabupaten yang terletak di kecamatan kraksaan berpengaruh kuat untuk para pemilih.
Peran Anggota DPRD 3
Maron
5
Paiton
8 8
4
0
Kraksaan
9
1
Gading
2 2
6 4
6
Lainnya
11 11
Gending 0
12
Membuat Peraturan 12
Memberi Santunan
12 8
10
12
50
Pemahaman terhadap tugas dan peran anggota DRPD, lapisan terbesar dari lima kecamatan tersebut menjawab bahwa peran utamanya adalah memberi santunan maupun bantuan. Pemahaman lebih baik terhadap tugas DPRD yakni membuat perda maupun tugas lain terdapat pada pemilih Kraksaan dan Paiton. Namun untuk pemilih di kecamatan kraksaan, saat ditanya dengan pertanyaan yang sama untuk peran seorang Bupati, maka lapisan terebsarnya adalah menjawab membri bantuan dan santunan. Dalam diagram batang dibawah terlihat jawaban pemilih di lima kecamatan
Peran Kepala Daerah Maron Kraksaan
Lainnya Membuat Peraturan
Gending 0
5
10
Memberi santunan 15
20 Pemahaman pemilih terhadap peran anggota DPR RI lebih jauh lagi karena rata-rata mereka tidak tahu apa peran anggota DPR RI
51
Peran DPR RI Tidak tahu
Maron
Tahu
18
2 10 10
Paiton Kraksaan
11
9
Gading
14
6
Gending
12
8
Walaupun tidak memahami peran dan wewenangnya, namun secara personal mengaku tahu dan kenal dengan calon anggota DPR RI dalam pemlihan Umum Legislatif 2014 lalu. Kenal Calon Anggota DPR RI Tidak Kenal
Kenal 10 10
Maron 7
Paiton
13 8
Kraksaan Gading
5
Gending
5
12 15 15
Partisipasi Pemilih dalam Pemilu
52
Salah satu tahapan yang menuntut partispasi warga agar terlibat aktif adalah pengumuman DPS sampai penetapan DPT. Pada tahapan pengumuman DPS, menurut pengakuan warga masih banyak yang tidak tahu kapan dan dimana pengumuman tersebut disampaikan.
Pengumuman DPS Tidak Tahu Maron
Tahu 15
5
Paiton
14
6
Kraksaan
15
5
Gading
19
1
Gending
16
4
Begitu juga dengan pengumuman DPS Hasil Perbaikan untuk ditetapkan menjadi DPT, pemilih juga banyak yang belum tahu. Lapisan terbesar yang mengaku tidak tahu pengumuman DPT ada di wilayah kecamatan Gading.
Pengumuman DPT Tidak Tahu 10 10
Maron Paiton
7
Kraksaan Gading Gending
Tahu
13 19
6
20
0 6
14
53
Kampanye politik adalah wadah untuk mengenalkan program dan visi perjuangan kepada masyarakat luas. Namun saat ini sebagian besar responden menyatakan tidak terlibat dalam penyelnggaraan kampanye parpol tersebut.
Kampanye Partai Politik Tidak Terlibat
Maron
19
1
Paiton Kraksaan Gading
Terlibat
17
3
19
1 18
2
Gending
16
4
Akibat lebih jauh dari keengganan masyarakat terlibat dalam kampanye partai politik, adalah menjauhnya informasi tentang program kerja parpol dari masyarakat.
Program Kerja Parpol Tahu 6
Maron Paiton Kraksaan Gading Gending
Tidak tahu
14
3
17 4
16 6
14 7
13
54
Sepinya infromasi tentang program kerja parpol, rupanya tidak berbanding lurus dengan pengetahuan warga akan rencana caleg. Sebagian besar warga mengetahui rencana kerja maupun janji yang diucapkan seorang calon anggota legislatif.
Rencana Kerja Caleg Pernah Maron
Tidak pernah 15
5 10 10
Paiton Kraks…
13
7
Gading
19
1
Gend…
17
3
Hari Pemungutan dan Penghitungan Suara Saat pemungutan suara, rata-rata warga hanya memberikan suara lalu pulang, tidak mengikuti proses penghitungan sampai selesai. Terdapat warga yang mengaku mengikuti
proses
penghitungan
sampai
selesai,
namun
kecil.
Pemungutan dan Penghitungan Suara Maron
17
3
Paiton
16
4
Kraksaan
0
Gading
0
Gending 5
Habis coblos pulang
20
Iya, sampai selesai
14
6 0
20
10
15
20
55
Komposisi Responden; Usia dan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Responden Perempuan 42%
Laki-laki 58%
Usia Responden Laki-Laki
Perempuan
45 35
9
5
Usia 17-21
4
Usia 22-55
2 Usia >55
56
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan temuan dan analisis yang peneliti kembangkan dari jawaban atas permasalahan penelitian maka diperoleh informasi berikut; -
Perpolitikan tanah air telah bergeser dari penentuan keputusan yang serba pusat menjadi kewenangan daerah sehingga lebih dekat dengan rakyat. Dengan demikian maka pemahaman terhadap politik lokal oleh warga juga senantiasa terus ditingkatkan. Politik lokal dalam penelitian ini meliputi peran dan fungsi anggota DPRD maupun Bupati. Dalam temuan dan kajian data lapangan bahwa pemahaman warga atas peran kedua pilar utama pemerintah daerah belum mapan. Lapisan terbesar warga Probolinggo menjawab bahwa peran dan fungsi keduanya adalah memberi bantuan maupun santunan. Selebihnya menjawab pembuat perda, mengayomi masyaraat miskin serta menciptakan lapangan pekerjaan. Jika kita cermati maka hal ini bukan terjadi secara tiba-tiba, namun berlangsung
dalam
waktu
lama.
Keputusan
untuk
menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung serta penetapan anggota DPRD melalui mekanisme suara terbanyak hadir memperantarai cara pandang tersebut. Telah kita ketahui bersama bahwa untuk meraih simpati pemilih,
58
maka kontestan pemilu melakukan cara-cara pragmatis untuk membujuk para pemilih dengan bantuan material maupun santunan yang dikemas dalam bantuan pemerintah daerah. -
Motif yang melatarbelakangi aktifnya partisipasi warga menjelang pelaksanaan pemilu membentang mulai dari alasan mendapat uang dari para calon, suksesi calon dukungan, mendorong terealisasinya janji-janji politik hingga karena sekedar suka dengan
euforia pemilu
semata.
Sedang
keengganan warga untuk terlibat aktif dalam pelaksanaa pemilu disebabkan selain alasan sudah ada panitia, sibuk kerja, jarak yang tidak dekat, calon yang tidak dikenal warga, janjijanji yang dilupakan oleh calon ketika sudah terpilih, hingga pada adanya anggapan warga bahwa pemilu tidak membawa perubahan
yang
signifikan
bagi
kehidupan
pemilih.
Keengganan pemilih untuk terlibat aktif dalam pemilu bukan karena kurangnya sosialisasi KPU, tapi dipengaruhi hal lain diluar teknis KPU. Faktor-faktor tersebut antara lain, seperti banyaknya praktek koruptif, janji-janji politik yang tidak ditepati hingga praktek politik uang oleh peserta pemilu. Kesimpulan ini mematahkan asumsi selama ini yang mengatakan bahwa rendahnya partisipasi pemilih dalam pemilu disebabkan kurangnya sosialisasi oleh KPU.
59
B. Saran Penelitian ini semoga dapat menjadi acuan bagi perbaikan kehidupan demokrasi dan perpolitikan di tingkat lokal. Hasil penelitian yang tengah dilaporkan ini memiliki sejumlah pertanyaan lanjutan untuk dikembangkan bagi peneliti selanjutnya yang berminat terhadap masalah sejenis yang tidak sempat tereksplorasi dalam kegiatan ini untuk perkembangan ilmu pengetahuan yakni; -
Bagaimanakah usaha-usaha yang dilakukan secara berkelompok maupun profesional dalam membantu penyehatan demokrasi di tingkat lokal/daerah?
Sedangkan bagi kepentingan praktis perpopolitikan daerah, upya yang harus dilakukan adalah; -
Perbaikan rekruitmen politik oleh partai politik, peningkatan kehidupan berdemokrasi melalui pendidikan politik yang menjadi kewajiban partai politik
-
Perlu dicari langkah-langkah menarik dan praktis dari KPU Kabupaten Probolinggo saat pengumuman DPS, DPT agar menarik partisipasi masyarakat.
60
DAFTAR PUSTAKA
Agus Salim, 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Buku Sumber untuk Penelitian Kualitatif, Yogyakarta:Tiara Wacana Bagong Suyanto dan Sutinah (ed) , 2005, Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta: Kencana Keith, Faulks, 2010., Sosiologi Politik, Pengantar Kritis, Bandung: Nusamedia Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia. Margaret M. Poloma, 2000., Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Masri Singarimbun, (ed.), 1989, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES. W. Lawrence Neuman, ,2003., Sosial Research Methods, Qualitative and Quantitative Approaches 5th ed., New York: Pearson Education Inc.