KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN BOYOLALI
LAPORAN AKHIR
Partisipasi dan Partisipasi dan Kesadaran Politik di Kesadaran Politik di Kabupaten Boyolali Kabupaten Boyolali i
DAFTAR ISI BAB I 1. PENDAHULUAN 2. TUJUAN DAN METODE
1 3
BAB II 1. KAJIAN PUSTAKA A. PARTISIPASI DAN PARTISIPASI POLITIK B. PARTISIPASI POLITIK SEBAGAI TINDAKAN SOSIAL
4 4 11
BAB III 1. KABUPATEN BOYOLALI A. SEJARAH B. GEOGRAFIS C. EKONOMI D. DEMOGRAFI
17 17 18 21 23
BAB IV 1. 2. 3. 4.
SKEMA OPTIMALISASI PARTISIPASI DINAMIKA DAN KESADARAN POLITIK PRAKTEK PARTISIPASI DALAM PEMILU TANTANGAN BAGI PARTISIPASI POLITIK
27 32 40 46
BAB V 5. PENUTUP
49
1
PENGANTAR
Partisipasi politik secara fundamental ditentukan oleh kesadaran politik. Dalam pelaksanaan agenda politik maka pelaksanaan Pemilu menjadi salah satu tonggak untuk mengukur partisipasi. Pada beberapa konteks kajian, partisipasi ditentukan oleh kesadaran politik yang terbangun oleh warga dan kesadaran tersebut ditentukan oleh beragam faktor. Kabupaten Boyolali merupakan daerah pedesaan dimana sektor agraris menjadi menetukan pola pola relasi sosial, budaya maupun politik. Untuk itu, mengkaji dinamika partisipasi politik warga dalam Pemilu 2014 sedianya dapat memberi bekal bagi skema pelaksanaan pendidikan politik kedepan bagi warga. Dan hasil riset ini tentu mempunyai beragam keterbatasan namun upaya untuk memulai riset sebagai bagian dari pengembilan kebijakan kedepan, telah dilakukan bersama. Semoga hasil riset ini dapat bermanfaat. Boyolali, Juli 2015 KPU Kabupaten Boyolali
2
ii
BAB I
1. PENDAHULUAN
Praktek demokrasi di Indonesia, mengalami akselerasi pasca Orde Baru. Titik tolak evaluasi atas pengalaman berdemokrasi sebelumnya memberi kesempatan bagi setiap aktor untuk menjadi bagian dari setiap proses yang ada. Kebebasan kemudian menjadi kata kunci yang membingkai praktek bernegara, setidaknya satu dekade terakhir. Dimana sistem dan tatanan kelembagaan negara yang ditata ulang, media diberi ruang untuk mensirkulasikan semua model informasi, daerah dikelola dengan semangat desentralisasi hingga kekebebasan berekspresi membentuk praktek politik yang lebih nyata. Kerangka tersebut menjadi modal bagi proses politik yang jauh lebih maju, sekaligus memberi pondasi bagi pelaksanaan Pemilu 1999, 2004, 2009 dan 2014 yang menjadi penanda bagi konsolidasi demokrasi di era Reformasi. Momentum Pilpres 2004, 2009 dan 2014 juga dapat ditilik sebagai bingkai baru bagi kedewasaan demokrasi di Indonesia. Tentu ada banyak catatan dalam proses yang ada sekaligus melahirkan beragam tantangan kedepan dari semua proses berdemokrasi, setidaktidaknya berdasarkan pelaksanaan Pemilu 2014. Sebab urgensi dari penyelenggaraan Pemilu yang menganut prinsip-prinsip nan demokratis dan berkualitas, sedianya dapat memberikan jaminan keadilan kepada setiap warga negara serta berujung pada kualitas demokrasi yang kian membaik. Sebab pelaksanaan Pemilu yang berlangsung secara jujur, adil, bebas, rahasia, dan damai menjadi penting sebagai indikator bagi berkembangnya demokrasi. Demokrasi yang sudah berjalan, setidak-tidaknya selama satu dekade terakhir pasca Orde Baru.
1
Sisi lain, dari semua proses yang telah berjalan adalah mendalami beberapa point dalam pelaksanaan Pemilu dari sisi yang berbeda, yaitu pengguna hak pilih. Dinamika penggunaan hak pilih juga ditentukan oleh adanya jaminan atas hak-hak setiap warga negara pada seluruh proses penyelenggaraan Pemilu. Kondisi yang ditentukan oleh terwadahinya hak-hak politik pemilih, terjaga atau dipelihara dalam proses penyelenggaraan Pemilu. Mengkaji kesadaran politik dan dinamikanya dalam pelaksanaan Pemilu 2014, sehingga memungkinkan analisis terkait dengan partisipasi warga agar berguna untuk menopang analisa pelaksanaan Pemilu. Kerangka partisipasi dan kesadaran politik dalam konteks demokrasi, setidak-tidaknya ditentukan oleh beberapa hal. Baik dalam konteks partisipasi politik dalam pengertiannya mencakup orientasi orientasi para warga negara terhadap politik. Pengetahuan tentang politik, minat terhadap politik, perasaan-perasaan mengenai kompetisi dan efektivitas politik, persepsi persepsi tentang relevansi politik, yang semua itu seringkali dapat berkaitan erat dengan tindakan politik akan tetapi sering juga tidak. Dan kesadaran tersebut berimplikasi pada kegiatan politik warga negara sipil atau lebih tepat lagi perorangan-perorangan dalam peranan mereka sebagai warga negara sipil. Dalam konteks riset ini maka kerangka Pemiliu menjadi bingkai utamanya. Dan bagian penting yang mesti dipahami, kesadaran dan tindakan
politik
merupakan
kegiatan
yang
dimaksudkan
untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan untuk kepentingan yang luas. Kegiatan yang demikian difokuskan terhadap pejabat pejabat umum, mereka yang pada umumnya diakui memiliki wewewang untuk mengambil keputusan dan yang final mengenai pengalokasian nilai nilai secara otoritatif di dalam masyarakat. Pendek kata, partisipasi politik dapat mengarah untuk membuat keputusan pejabat yang sedang berkuasa berubah, menggantikan atau mempertahankan organisasi sistem politik yang ada dan aturan aturan permainan politiknya, dimana semua kerangka diatas diletakkan dalam konteks pelaksanaan Pemilu.
2
2. TUJUAN DAN METODE
Tujuan dari penyusunan dokumen riset ini adalah : mentradisikan kebijakan berbasis riset atas persoalan yang berkaitan dengan manajemen Pemilu, sekaligus
menyiapkan
bahan
kebijakan
untuk
meningkatkan
dan
memperkuat partisipasi warga dalam pelaksanaan demokrasi. Bagian spesifik dari riset ini adalah mengkaji kesadaran politik dan dinamikanya dalam pelaksanaan Pemilu 2014, sehingga memungkinkan analisis terkait dengan partisipasi warga agar berguna untuk menopang analisa pelaksanaan Pemilu. Berdasarkan kebutuhan tersebut, beberapa agenda dirancang: Review-Data Sekunder: Pada proses ini, basis penelitian ini diletakkan dengan daya dukung KPU Kabupaten Boyolali untuk menyediakan beragam data, akses maupun informasi awal terkait dengan pelaksanaan Pemilu. Interview-Observasi: Berdasarkan skema awal, agenda penelitian dilanjutkan dengan mengakses informan secara langsung untuk menggali beragam informasi. Proses interview dan observasi bertujuan mencatat opini, dan hal lain berkaitan dengan individu yang ada dalam komunitas. Dengan melakukan wawancara, penelitian ini berusaha untuk memperoleh data yang lebih banyak sehingga dapat memahami beragam informasi. Analisis Data-Pelaporan: Bagian akhir dari proses ini, adalah menyusun analisis berdasar dua tahapan riset sebelumnya. Tahapan ini sekaligus merangkum semua kerangka analisis bersamaan dengan penyusunan laporan akhir penelitian.
3
BAB II 1. KAJIAN PUSTAKA
Partisipasi politik dalam Pemilu merupakan perilaku politik yang bisa dikategorikan sebagai tindakan sosial. Beberap konsep dasar partisipasi merupakan tindakan sosial dimana proses aktor terlibat dalam pengambilanpengambilan keputusan subjektif tentang sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dipilih, tindakan tersebut mengenai semua jenis perilaku manusia, yang dengan penuh arti diorientasikan kepada perilaku orang lain, yang telah lewat, yang Ada beragam perspektif dalam kajian akademik untuk melihat praktek kerelawanan dalam konteks yang luas. Dalam dimensi sosiologis terdapat beberapa kajian yang bisa dijadikan rujukan awal untuk memberi bahan awal memahami realitas dari beragam tindakan individu maupun kelompok.
A. Partisipasi dan Partisipasi Politik Partisipasi berasal dari bahasa latin pars yang artinya bagian dan capere, yang artinya mengambil, sehingga diartikan “mengambil bagian”. Dalam bahasa Inggris, participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan. Sehingga partisipasi berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara. Menurut Sambroek dan Eger (1996) partisipasi merupakan suatu proses dimana seluruh pihak terkait-stakeholder secara aktif terlibat dalam rangkaian kegiatan, mulai dari perencanaan sampai pada
pelaksanaan.
Pelibatan semua kelompok tidak selalu berarti secara fisik terlibat, tetapi yang penting adalah prosedur pelibatan menjamin seluruh pihak dapat terwakili kepentingannya.
4
Sedang menurut Cohen dan Uphoff (1997) dalam Sumaryati (1984), partisipasi dalam pembangunan pedesaan adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana caranya, keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program dan keputusan dengan
menyumbangkan beberapa sumber daya atau
bekerjasama dalam organisasi/kegiatan tertentu, bagian manfaat dari program pembangunan, dan/atau keterlibatan masyarakat dalam upaya evaluasi program. Oleh karena itu, pengukuran partisipasi dilakukan dengan melihat
keterlibatan
masyarakat
dalam
proses
perencanaan
dan
pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pemeliharaan/pemanfaatan hasil kegiatan. Sementara itu, Syahyuti menyebut partisipasi sebagai proses tumbuhnya kesadaran terhadap kesalinghubungan di antara stakeholders yang berbeda dalam masyarakat, yaitu antara kelompok- kelompok sosial dan komunitas dengan pengambil
kebijakan dan lembaga-lembaga jasa lain. Secara
sederhana, “partisipasi” dapat dimaknai sebagai “the act of taking part or sharing in something”. Dua kata yang dekat dengan konsep “partisipasi” adalah “engagement” dan “involvement”. Dalam bidang politik dan sosial, partisipasi bermakna sebagai upaya melawan ketersingkiran (opposite of marginality). Jadi, dalam partisipasi, siapapun dapat memainkan peranan secara aktif, memiliki kontrol terhadap kehidupannya sendiri, mengambil peran dalam masyarakat, serta menjadi lebih terlibat dalam pembangunan. Secara umum, sisi positif partisipasi adalah program yang dijalankan akan lebih respon terhadap kebutuhan dasar yang sesungguhnya. Ini merupakan suatu cara penting untuk menjamin keberlanjutan program, akan lebih efisien karena membantu mengindentifikasi strategi dan teknik yang lebih tepat, serta meringankan beban pusat baik dari sisi dana, tenaga maupun material. Namun sisi negatifnya, partisipasi akan melonggarkan kewenangan pihak atas sehingga akuntabilitas pihak atas sulit diukur, proses pembuatan keputusan menjadi lambat demikian pula pelaksanaan, serta bentuk program juga akan berbeda-beda karena masyarakat yang beragam.
5
Konsep “partisipasi” terutama dibicarakan dalam konteks dunia politik. Dalam ilmu politik, “partisipasi” merupakan istilah payung (umbrella term) yang kemudian memiliki banyak pengertian. Namun, intinya adalah bagaimana keterlibatan publik dalam keputusan politik. Partisipasi merupakan materi yang esensial untuk terjadinya demokrasi, karena demokrasi membutuhkan keterbukaan (transparency). Pada akhirnya, tujuan partisipasi adalah untuk meningkatkan keteguhan diri (self-determination,) serta terbangunnya control dan inisiatif masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya untuk pembangunan. Partisipasi politik adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri. Sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa. Sementara itu partisipasi politik dapat pula dipahami sebagai aktivitas atau kegiatan warga sipil (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah aktivitas atau kegiatan warga sipil (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah (Samuel dan Nelson,1990). Beberapa aspek dari definisi dan pengertian inti ini adalah: Pertama, mencakup berbagai kegiatan politik. Partisipasi politik dalam pengertiannya mencakup orientasi orientasi para warga negara terhadap politik. Pengetahuan tentang politik, minat terhadap politik, perasaanperasaan mengenai kompetisi dan efektivitas politik, persepsi persepsi tentang relevansi politik, yang semua itu seringkali dapat berkaitan erat dengan tindakan politik akan tetapi sering juga tidak. Kedua, kegiatan politik warga negara sipil atau lebih tepat lagi peroranganperorangan dalam peranan mereka sebagai warga negara sipil. Dengan demikian ada perbedaan antara partisipasi politik dan orang profesionl di bidang politik. Seorang profesional politik adalah orang yang pekerjaan
6
utamanya berpolitik dalam pemerintahan. Konsep mengenai partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat pejabat pemerintah, pejabat pejabat partai, dan calon politikus, professional yang bertindak di dalam sejumlah peranan tersebut. Ketiga, kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan keputusan pemerintah. Kegiatan yang demikian difokuskan terhadap pejabat pejabat umum, mereka yang pada umumnya diakui memiliki wewewang untuk mengambil keputusan dan yang final mengenai pengalokasian nilai nilai secara otoritatif di dalam masyarakat. Pendek kata, partisipasi politik dapat mengarah untuk membuat kepututsan pejabat yang sedang berkuasa berubah, menggantikan atau mempertahankan organisasi sistem politik yang ada dan aturan aturan permainan politiknya. Keempat, mencakup seluruh aktivitas yang ditujukan agar pemerintah terpengaruh, tanpa mempedulikan hasil kedepannya atau ada tidaknya efek yang dihasilkan. Kevin R. Hardwick dalam Budiarjo (2008) mengatakan bahwa Partisipasi politik memberi perhatian pada cara-cara warga negara berinteraksi dengan pemerintah,
warga
kepentingan
mereka
mewujudkan
negara
berupaya
terhadap
menyampaikan
pejabat-pejabat
kepentingan-kepentingan
tersebut.
publik
kepentinganagar
Indikatornya
mampu adalah
terdapat interaksi antara warga negara dengan pemerintah dan terdapat usaha warga negara untuk mempengaruhi pejabat publik. Masih dalam Budiarjo (2008) Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Science semakin menyempurnakan konsep partisipasi politik sebagai kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat Negara dan/atau tindakan-tindakan yang mereka ambil. Sementara itu menurut Ramlan Surbakti (1999) partisipasi politik dibagi menjadi 2 yaitu partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif yaitu kegiatan warga negara ikut serta dalam menentukan kebijakan dan
7
pemilihan pejabat pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi kepentingan bersama. Bentuk partisipasi aktif antara lain : Mengajukan usulan tentang suatu kebijakan,mengajukan saran dan kritik tentang suatu kebijakan tertentu, dan ikut partai politik. Partisipasi pasif yaitu kegiatan warga negara yang mendukung jalannya pemerintahan Negara dalam rangka menciptakan kehidupan negara yang sesuai tujuannya. Bentuk partisipasi pasif antara lain, menaati peraturan yang berlaku dan melaksanakan kebijakan pemerintah. Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson (1990) membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi: 1. Kegiatan pemilihan yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu. 2. Lobby yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu. 3. Kegiatan organisasi yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. 4. Contacting yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka. 5. Tindakan kekerasan (violence) yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda. Gabriel Almond dalam Budiarjo (2008) memberikan catatan yang sedikit berbeda tentang bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi diberbagai negara dapat dibedakan menjadi kegiatan politik dalam bentuk konvensional
8
dan nonkonvensional. Bentuk konvensional partisipasi konvensional melalui suara (voting), diskusi kelompok, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, komunikasi individual dengan pejabat politik dan pengajuan petisi. Sementara itu bentuk nonkonvensional antara lain berdemonstrasi, konfrontasi, pemogokan, tindakan kekerasan politik terhadap harta benda, perusakan, pemboman dan pembakaran dan tindakan kekerasan politik manusia. Partisipasi politik partispasi warga negara (private citizen) bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif (Huntington dan Nelson, 1990). Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam demokrasi karena keputusan politik yang diambil oleh pemerintah akan menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat. Karena itu masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. Robert Lane dalam Surbakti (1999) menyebut ada beberapa manfaat partisipasi politik antara lain: 1. Sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomi. 2. Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian social. 3. Sebagai sarana mengejar niai-nilai khusus. 4. Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan kebutuhan psikologis tertentu. 5. Memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik yang dibentuknya. 6. Sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan pemerintah. 7. Sebagai
tantangan
terhadap
penguasa
dengan
maksud
menjatuhkannya sehingga diharapkan terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem politik.
9
Faktor-faktor yang mempegaruhi partisipasi politik menurut Ramlan Surbakti (1999) menyebutkan dua variabel penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang. Variabel pertama adalah aspek kesadaran politik seseorang yang meliputi kesadaran terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negara. Misalnya hak politik, hak ekonomi, hak mendapatkan jaminan hukum dan lain–lain.
Variabel kedua adalah
aspek menyangkut bagaimana pernilaian dan apresiasi nya terhadap pemerintah, baik terhadap kebijakan–kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pemerintah. Dan juga luasnya partisipasi politik dipengaruhi oleh tingkat kemajuan bangsa, sistem politik yang dianut, masalah komunikasi, tingkat melek huruf. Menurut Myron Weiner dalam Huntington dan Nelson (1990), paling tidak terdapat lima hal yang dapat menyebabkan timbulnya gerakan ke arah partisipasi yang lebih luas dalam proses politik, yaitu: 1. Modernisasi.
Sejalan
dengan
berkembangnya
industrialisasi,
perbaikan pendidikan dan media komunikasi massa, maka pada sebagian penduduk yang merasakan terjadinya perubahan nasib akan menuntut berperan dalam politik. 2. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Salah satu dampak modernisasi adalah munculnya kelas pekerja baru dan kelas menegah yang semakin meluas, sehingga mereka merasa berkepentingan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik. 3. Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern. Kaum intelektual
melalui ide-idenya kepada masyarakat umum dapat
membangkitkan tuntutan akan partisipasi masa dalam pembuatan keputusan politik. 4. Konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik. Para pemimpin politik bersaing memperebutkan kekuasaan. Sesungguhnya apa yang mereka lakukan adalah dalam rangka mencari dukungan rakyat. Berbagai upaya yang mereka lakukan untuk memperjuangkan
10
ide-ide partisipasi massa dapat menimbulkan gerakan-gerakan yang menuntut agar hak-hak rakyat yang berpartisipasi itu terpenuhi. 5. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial ekonomi dan kebudayaan. Perluasan kegiatan pemerintah dalam berbagai bidang menimbulkan akibat adanya tindakan-tindakan yang semakin menyusup ke segala segi kehidupan rakyat. Ruang lingkup tindakan atau kegiatan atau tindakan pemerintah yang semakin luas mendorong timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.
B. Partisipasi Politik sebagai Tindakan Sosial Partisipasi politik dalam Pemilu merupakan perilaku politik yang bisa dikategorikan sebagai tindakan sosial. Dimana tindakan sosial merupakan proses aktor terlibat dalam pengambilan-pengambilan keputusan subjektif tentang sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dipilih, tindakan tersebut mengenai semua jenis perilaku manusia, yang dengan penuh arti diorientasikan kepada perilaku orang lain, yang telah lewat, yang sekarang dan yang diharapkan diwaktu yang akan datang. Menurut Johnson (1990) bahwa tindakan sosial (social action) adalah tindakan yang memiliki makna subjektif (a subjective meaning) bagi dan dari aktor pelakunya. Tindakan sosial seluruh perilaku manusia yang memiliki arti subjektif dari yang melakukannya. Baik yang terbuka maupun yang tertutup, yang diutarakan secara lahir maupun diam-diam, yang oleh pelakunya diarahkan pada tujuannya. Sehingga tindakan sosial itu bukanlah perilaku yang kebetulan tetapi yang memiliki pola dan struktur tertentu dan makna tertentu. Teori tindakan menurut Weber (Abercrombie, Hill dan Turner, 2010) adalah tindakan subyektif yang dibedakan dari perilaku karena melibatkan maksud atau pamrih. Teori tindakan adalah analisis tindakan yang dimulai dari aktor individual. Analisis dilakukan dalam hak aktor tertentu, pada situasi tertentu dengan mengidentifikasi tujuan, harapan dan nilai si aktor; sarana untuk mencapai tujuan itu; sifat situasi dan pengetahuan
11
aktor terhadap situasi, diantara elemen-elemen lain. Parson menyebut elemen-elemen ini sebagai kerangka acuan tindakan. Ada dua bentuk teori aksi, yaitu teori hermenutik dan positivis yang berkaitan dengan doktrin interaksionisme simbolik. Keduanya mula-mula dicetuskan dalam tulisan Weber. Weber membedakan empat tipe tindakan: tradisional, afektual, zweckrational dan wertrational. Tindakan tradisional adalah tindakan yang dilakukan hanya karena memang telah dilakukan di masa lalu. Tindakan afektual ditampilkan hanya untuk menunjukkan emosi. Namun Weber tidak terlalu tertarik dengan dua bentuk tindakan ini karena lebih tertarik pada tindakan rasional. Zweckrational (tindakan instrumental) adalah tindakan yang mana aktor tidak hanya membandingkan berbagai alat untuk mencapai sebuah tujuan, tetapi juga menaksir kegunaan tujuan itu sendiri. Dalam tindakan wertational (rasionalitas nilai), aktor mengambil tindakan sebagai tujuan akhir itu sendiri dan tidak membandingkan saranasarana yang berbeda untuk meraih tujuan itu. Weber memperjelas bahwa keempat tipe tindakan itu adalah tipe ideal dan secara empiris campuran dari satu atau lebih tipe tindakan itu terjadi. Menurut
Weber,
”keberartian”
dan
tindakan analisis
perlu
didefinisikan
sosiologi
harus
dengan
pengertian
dilakukan
dengan
mengidentifikasikan makna yang dimiliki tindakan itu bagi aktor. Teori tindakan hermeneutik adalah teori tindakan yang menjadikan keberartian ini sebagai prioritas mutlak; tindakan dan niat sangat berkaitan. Schutz (Abercrombie, Hill dan Turner, 2010) menekankan bahwa kunci menuju penafsiran atas tindakan berada pada gagasan tentang aliran pengalaman seiring waktu. Pengalaman kita membentuk aliran pengalaman seiring waktu.
Setiap pengalaman tidak memiliki makna dengan sendirinya, tetapi dapat diberi makna melalui refleksi terhadap pengalaman itu dengan melihatnya ke masa lalu. Namun, tindakan juga dapat direfleksikan terhadap apa yang
12
disebut Schutz sebagai tenses future perfect, yaitu bahwa seseorang dapat merefleksikan tindakan di masa depan seolah-olah tindakan itu pernah terjadi di masa lalu. Menurut Schutz, bentuk refleksi ini krusial karena tindakan merupakan produk dari niat dan refleksi. Dengan kata lain telah ditentukan oleh sebuah proyeksi atau rencana. Lebih lanjut Schutz, membendakan motif tujuan”dalam rangka” dan motif “karena”. Yang pertaman merujuk pada masa depan dan setara dengan tujuan dimana tindakan itu menjadi sarana. Yang kedua merujuk pada masa lalu dan merupakan alasan langsung atas tindakan yang tengah diambil. Tindakan sosial adalah tindakan yang motif dalam rangkanya memuat acuan aliran pengalaman orang lain. Jika tindakan sosial yang didefinisikan seperti ini terjadai pada kedua sisi, maka terjadilah interaksi sosial. Secara umum, semakin serius para teoritisi tindakan hermeneutik menggunakan keberartian sebuah tindakan, semakin sulit bagi mereka untuk menyertakan konsep struktur sosial dalam teori itu. Schutz bersikap ambivalen perihal pertanyaan tentang hubungan aktor individual terhadap struktur sosial. Di sisi lain, teori tindakan positivis, seperti pada teori Talcott Parsons, cenderung tertarik pada struktur sosial dan bagaiman struktur merancang tujuan dan alat yang tersedia bagi aktor. Oleh karena itu, ada kecenderungan pada teori positivis untuk menjadikan konsep tindakan dan interaksi kurang penting daripada analisis sistem sosial secara keseluruhan. Gagasan bahwa struktur sosial hanyalah hasil dari proyeksi dan tindakan aktor sosial itu dikesampingkan untuk mendukung gagasan bahwa aktor manusia bersosialisasi ke dalam budaya yang sama. Tokoh lain dari sosiologi yang berpendapat tentang teori tindakan (Action Theory) adalah Talcott Parson. Menurut Parsons, tindakan adalah perilaku yang ditujuan kepada hal ihwal dan orang-orang oleh makna yang melekat pada aktor. Aktor memiliki tujuan dan memilih saran yang sesuai. Pilihan terhadap tindakan dibatasi oleh situasi dan dibimbing oleh simbol dan nilai. Kategori paling penting adalah interaksi, yaitu tindakan yang diarahkan kepada aktor lain. Ketika sering terjadi interaksi antara dua pihak, muncullah
13
harapan bersama. Keduabelah pihakpun harus menyesuaikan harapan dan perilaku mereka sehingga bersesuaian dengan yang lain. Karena dianggap meramalkan perilaku, harapan menjadi norma yang mengatur interaksi. Mengikuti norma tidak hanya membuat tindakan menjadi lebih efektif tetapi juga memberikan aktor kepuasan intrinsik karena menurut Parsons, aktor membutuhkan persetujuan pihak lain. Norma-norma ini adalah dasar bagi tatanan sosial yang dilembagakan dalam masyarakat dan diinternalisasikan pada individu. Giddens mencoba untuk melampaui keterbatasan pembedaan konvensonal
antara
tindakan
pengetahuan
aktor
dan
keberadaan
sumberdaya pengetahuan itu sendiri. Dalam teori tindakannya, tujuan Weber tak lain adalah memfokuskan perhatian pada individu, pola dan regularitas tindakan, dan bukan pada kolektivitas. Tindakan dalam pengertian orientasi perilaku yang dapat dipahami secara subyektif hanya hadir sebagai perilaku seorang atau beberapa manusia individual. Weber mengakui bahwa untuk beberapa tujuan kita mungkin harus memperlakukan kolektivitas sebagai individu, namun untuk menafsirkan tindakan subyektif dalam karya sosiologi, kolektivitas-kolektivitas ini harus diperlakukan semata-mata sebagai resultan dan mode organisasi dari tindakan individu tertentu, karena semua itu dapat diperlakukan sebagai agen dalam tindakan yang dapat dipahami secara subyektif. Tampaknya bahwa Weber hampir tidak dapat mengelak lagi: sosiologi tindakan pada akhirnya berkutat pada individu, bukan kolektivitas. Weber menggunakan metodologi tipe idealnya untuk menjelaskan makna tindakan dnegan cara mengindetifikasi empat tipe tindakan dasar. Tipologi ini tidak hanya sangat penting untuk memahami apa yang dimaksud Weber dengan tindakan, namun juga menjadi salah satu dasar bagi minat Weber pada struktur tindakan dan institusi sosial yang lebih luas. Yang terpenting adalah pembedaan yang dilakukan Weber terhadap kedua tipe dasar tindakan rasional. Yang pertama adalah rasionalitas sara tujuan, atau tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku obyek dalam
14
lingkungan dan perilaku manusia lain; harapan-harapan ini digunakan sebagai syarat atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan aktor lewat upaya dan perhitungan yang rasional. Yang kedua adalah rasionalitas nilai, atau tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaraqn akan nilai-nialai perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain, yang terlepas dari prospek keberhasilannya. Tindakan afektual ditentukan oleh kondisi emosi aktor. Tindakan tradisional ditentukan oleh cara bertindak aktor yang biasa dan telah lazim dilakukan. Aspek pemikiran Max Weber yang terkenal yang mencerminkan tradisi idealis adalah tekanannya pada verstehen (pemahaman subyektif) sebagai metode untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti subyektif tindakan sosial. Bagi Weber, istilah ini tidak hanya sekedar merupakan instrospeksi. Introspeksi bisa memberikan seseorang pemahaman akan motifnya sendiri atau arti-arti subyektif, tetapi tidak cukup untuk memahami arti-arti subyektif dalam tindakan –tindakan orang lain. Sebaliknya, apa yang diminta adalah empati-kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Proses itu menunjuk
pada
konsep
“mengambil
peran”
yang
terdapat
dalam
interaksionisme simbol. Kalau tindakan sosial itu harus dimengerti dalam hubungannya dengan arti subyektif yang terkandung di dalamnya, orang perlu mengembangkan suatu metode untuk mengetahui arti subyektif ini secara obyektif dan analitis. Dalam keadaan tidak ada metode seperti itu, kritik-kritik terhadap berbagai pendekatan subyektif pasti benar yang mengatakan bahwa aspek-aspek pengalaman individu yang tidak dapat diamati tidak dapat dimasukkan dalam suatu analisa ilmiah mengenai perilaku manusia. Dalam melihat konflik tradisional antara kaum obyektif dan subyektif, analisa obyektif mengenai arti subyektif mungkin kelihatannya merupakan suatu kontradiksi dalam istilah-istilah sendiri. Asumsi yang biasanya mendasari
15
debat ini adalah bahwa pendekatan obyektif hanya berhubungan dengan gejala yang dapat diamati (benda fisik atau perilaku nyata), sedangkan pendekatan subyekitf berusaha untuk memperhatikan juga gejala-gejala yang sukar ditangkap dan tidak dapat diamati seperti perasaan individu, pikirannya dan motif-motifnya. Cara lain untuk melihat perbedaan obyektif dan subyektif adalah dalam hubungannya dengan hal dimana pengalaman subyektif pribadi seseorang dimiliki bersama oleh suatu kelompok sosial. Suatu pengalaman subyektif yang dapat dimengerti karena dialami bersama secara meluas, dapat dilihat sebagai obyektif, sedangkan suatu pengalaman subyektif yang tidak dapat dikomunukasikan atau dimengerti, tetap tidak dapat diungkap sebagai suatu pengamalam pribadi yang benar-benar subyektif, meskipun sangat riik bagi orang yang bersangkutan. Rasionalitas dan peraturan biasa mengenai logika merupakan suatu kerangka acuan bersama secara luas dimana aspek-aspek subyektif perilaku dapat dinilai secara obyektif. Misalnya, apabila seseorang memilih yang kurang mahal dari dua produk yang sama, kita mengerti perilaku itu sebagai rasional karena sesuai dengan kriteria rasionalitas obyektif yang kita terima. Tidak semua perilaku dapat dimengerti sebagai suatu manifestasi dari rasionalitas.
Penderitaan-penderitaan
seperti
kemarahan
atau
cinta,
ketakutan mungkin diungkapkan dalam perilaku nyata dalam bentuk yang sepintas lalu kelihatannya tidak rasional. Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tiep tindakan sosial. Pembedaan pokok yang diberikan adalah antara tindakan rasional dan yang nonrasional. Singkatnya, tindakan rasional berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Di dalam kedua kategori utama mengenai tindakan rasional dan non rasional itu, ada dua bagian yang berbeda satu sama lain.
16
BAB III 1. KABUPATEN BOYOLALI
A. Sejarah Asal mula nama Boyolali menurut cerita serat Babad Pengging Serat Mataram, nama Boyolali tak disebutkan. Demikian juga pada masa Kerajaan Demak Bintoro maupun Kerajaan Pengging, nama Boyolali belum dikenal. Menurut legenda nama Boyolali berhubungan dengan ceritera Ki Ageng Pandan Arang (Bupati Semarang pada abad XVI). Alkisah, Ki Ageng Pandan Arang yang lebih dikenal dengan Tumenggung Notoprojo
diramalkan
oleh
Sunan
Kalijogo
sebagai
Wali
penutup
menggantikan Syeh Siti Jenar. Oleh Sunan Kalijogo, Ki Ageng Pandan Arang diutus untuk menuju ke Gunung Jabalakat di Tembayat (Klaten) untuk syiar agama Islam. Dalam menempuh perjalanan yang jauh ini, Ki Ageng Pandan Arang semakin meninggalkan anak dan istri. Sambil menunggu mereka, Ki Ageng Beristirahat di sebuah Batu Besar yang berada di tengah sungai. Dalam istirahatnya Ki Ageng Berucap “ Bayawis lali wong iki” yang dalam bahasa indonesia artinya “Sudah lupakah orang ini”.Dari kata Baya Wis Lali/ maka jadilah nama Boyolali. Batu besar yang berada di Kali Pepe yang membelah kota Boyolali mungkinkah ini tempat beristirahat Ki Ageng Pandan Arang. Mungkin tak ada yang bisa menjawab dan sampai sekarang pun belum pernah ada meneliti tentang keberadaan batu ini. Demikian juga sebuah batu yang cukup besar yang berada di depan Pasar Sunggingan Boyolali. Konon, menurut masyarakat setempat, batu ini dulu adalah tempat untuk beristirahat Nyi Ageng Pandan Arang.
17
Dalam istirahatnya Nyi Ageng mengetuk-ngetukan tongkatnya di batu ini dan batu ini menjadi berlekuk-lekuk mirip sebuah dakon (mainan anak-anak tempo dulu). Karena batu ini mirip dakon, masyarakat disekitar Pasar Sunggingan menyebutnya mBah Dakon dan hingga sekarang batu ini dikeramatkan oleh penduduk dan merekapun tak ada yang berani mengusiknya. Penetapan Hari Jadi Kabupaten Boyolali tidaklah mudah. Untuk menetapkan hari jadi yang selalu diperingati setiap tanggal 5 Juni itu memakan waktu yang cukup lama dan perlu penelusuran sejarah yang panjang. Penetapan Hari Jadi Kabupaten Boyolali sebelumnya telah dilakukan penelitian oleh Lembaga Penelitian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini didasarkan atas Surat Perjanjian Kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali dengan dengan Lembaga Penelitian UNS pada 11 September 1981. Setelah melakukan penelusuran sejarah, selanjutnya pada 23 Pebruari 1982 di Gedung DPRD Kabupaten Boyolali diselenggarakan seminar tentang Sejarah Hari Jadi Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali. Selanjutnya melalui Rapat Paripurna DPRD pada tanggal 13 Maret1982 telah ditetapkan Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Boyolali Nomor 3 Tahun 1982 tentang Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Boyolali. Perda tersebut telah diundangkan melalui Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali pada tanggal 22 Maret 1982 Nomor 5 Tahun 1982 Seri D Nomor 3. B. Geografis Secara astronomis wilayah Kabupaten Boyolali berada pada posisi antara 110022’-110050’ Bujur Timur (BT) dan antara 707’-7036’ Lintang Selatan (LS). Kemudian, secara geografis, Kabupaten Boyolali mempunyai luas wilayah kurang lebih 101.510,10 hektar. Wilayah itu membentang dari BaratTimur sejauh 48 km dan Utara-Selatan sejauh 54 km,
dengan batas
administrasi wilayah, sebagai berikut: Kabupaten Grobogan dan Kabupaten
18
Semarang di sebelah utara; Kabupaten Karanganyar, Sragen, dan Sukoharjo di sebelah timur; Kabupaten Klaten dan Provinsi D.I. Yogyakarta di sebelah selatan; Kabupaten Magelang dan Kabupaten Semarang di sebelah barat. Pemerintahan Kabupaten Boyolali secara administratif terbagi ke dalam 19 kecamatan, meliputi: Kecamatan Selo, Kecamatan Cepogo, Kecamatan Musuk, Kecamatan Ampel, Kecamatan Boyolali, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Teras, Kecamatan Sawit, Kecamatan Banyudono, Kecamatan Sambi, Kecamatan Simo, Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Nogosari, Kecamatan Klego, Kecamatan Andong, Kecamatan Karanggede, Kecamatan wonosegoro, Kecamatan Kemusu, dan Kecamatan Juwangi. Wilayah Kabupaten Boyolali termasuk kategori iklim tropis dengan rata-rata curah hujan sekitar 2000 milimeter/tahun. Dengan kontur yang didominasi dataran tinggi, Kabupaten Boyolali menyimpan potensi/kekayaan sumber daya air, antara lain: sumber air dangkal/mata air atau masyarakat setempat menyebutnya umbul, terdapat di Tlatar di wilayah Kecamatan Boyolali, Nepen di wilayah Kecamatan Teras, Pengging di wilayah Kecamatan Banyudono, Pantaran di wilayah Kecamatan Ampel, Wonopendut di wilayah Kecamatan Cepogo, Mungup di wlayah Kecamatan Sawit. Struktur tanah wilayah Kabupaten Boyolali pun beragam, seperti: tanah lempung yang bisa ditemukan di bagian timur laut sekitar wilayah Kecamatan Simo dan Kecamatan Karanggede; tanah geluh yang bisa ditemukan di bagian tenggara sekitar wilayah Kecamatan Banyudono dan Kecamatan Sawit; Lalu, di bagian barat laut sekitar wilayah Kecamatan Musuk dan Kecamatan Cepogo struktur tanah pada umumnya berpasir; dan tanah berkapur bisa dijumpai di bagian utara, sepanjang perbatasan dengan wilayah Kabupaten Grobogan yakni sebagian
Kecamatan
Juwangi,
Kecamatan
Kemusu,
dan
Kecamatan
Wonosegoro). Struktur tanah tersebut menyimpan potensi ekonomi di Kabupaten Boyolali khususnya di sektor pertambangan, berupa: bahan galian bentonit terdapat di Kecamatan Wonosegoro, Kecamatan Karanggede, Kecamatan Klego, dan
19
Kecamatan Simo; bahan galian gamping di Kecamatan Juwangi; bahan galian tanah urug terdapat di Kecamatan Nogosari dan Kecamatan Ngemplak; bahan galian trass terdapat di Kecamatan Mojosongo; dan bahan galian pasir dan batu terdapat di Kecamatan Selo, Kecamatan Cepogo, Kecamatan Ampel, Kecamatan Musuk, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Teras, Kecamatan Karanggede, dan Kecamatan Wonosegoro; serta bahan galian tanah liat terdapat di Kecamatan Boyolali, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Teras, dan Kecamatan Banyudono. Selain itu, tanah di wilayah Kabupaten Boyolali dengan didukung iklim dan ketersediaan air, sangat cocok untuk dijadikan pengembangan produksi bahan pangan pokok, hortikultura, buah-buahan, dan perkebunan. Pada kurun waktu yang sama, Kabupaten Boyolali juga menghasilkan tebu sebanyak 29.337,60 ton; tembakau rajangan sebanyak 2.635,35 ton; tembakau asepan sebanyak 626,73 ton; kopi sebanyak 397,52 ton; cengkeh sebanyak 104,64 ton; dan kelapa sebanyak 18,2 juta butir. Hasil-hasil pada sektor pertanian itu menjadi sumbangan tertinggi terhadap PDRB ADHB Kabupaten Boyolali tahun 2013 sebesar Rp3,541 trilyun. Sektor pertanian merupakan sektor dominan di Boyolali. Penggunaan lahan di Kabupaten Boyolali diatur dalam Perda Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali Tahun 2011 – 2031. Ketentuan tersebut telah selaras dengan rencana tata ruang baik di tingkat provinsi maupun nasional. Sebagian besar lahan di Kabupaten Boyolali (sebanyak 70%) merupakan lahan kering baik berupa tegalan, pekarangan, maupun hutan. Sisanya, tanah berupa sawah, waduk/kolam, dan lahan lainnya. Wilayah yang memiliki lahan kritis dan lahan kering meliputi: Kecamatan Sambi, Kecamatan Simo, Kecamatan Nogosari, Kecamatan Andong, Kecamatan Klego, Kecamatan Karanggede, Kecamatan Wonosegoro, Kecamatan Kemusu, dan Kecamatan Juwangi.
20
Sementara itu, wilayah Kecamatan Selo, Kecamatan Cepogo, Kecamatan Ampel, dan Kecamatan Musuk beriklim cukup sejuk mendukung untuk pengembangan budidaya peternakan sapi dan hortikultura. Pengembangan perikanan Kabupaten Boyolali didukung oleh potensi wilayah untuk pengembangan perikanan darat. Ikan yang paling banyak dipelihara adalah lele dumbo, nilai, mas dan tawes. Hal tersebut membuat Kabupaten Boyolali juga dikenal dengan produksi ikannya yang melimpah. C. Ekonomi Perkembangan perekonomian suatu wilayah selama ini diukur melalui perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan hasil penghitungan angka sementara, PDRB Boyolali tahun 2013 Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) mencapai Rp10,861 trilyun. Jumlah itu meningkat dibanding tahun 2012 sebesar Rp9,976 trilyun. Jika dilihat dari PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) pada tahun 2013 mencapai Rp4,973 trilyun. Sedangkan, pada tahun 2012 PDRB ADHK mencapai Rp4,725 trilyun. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Boyolali apabila dilihat dari indikator PDRB, secara agregat PDRB Atas Dasar Harga Berlaku pada tahun 2013 apabila dibadingkan tahun 2013 terjadi kenaikan sebesar 8,87%. Sedangkan PDRB Atas Dasar Harga Konstan pada tahun 2013 tumbuh 5,24 % jika dibandingkan tahun 2012. Sektor pertanian mengkontribusi PDRB ADHK paling tinggi, meskipun terjadi penurunan produksi padi. Hal ini dikarenakan nilai produksi subsektor pertanian palawija, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan mengalami peningkatan nilai produksi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Inflasi adalah besarnya perubahan harga barang dan jasa secara rata-rata yang mencakup ratusan komoditas yang dikonsumsi masyarakat. Indikator ini menunjukkan tingkat stabilitas perekonomian di suatu wilayah pada periode tertentu. Inflasi yang relative rendah danterkendali merupakan
21
prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi secara wajar, karena kegiatan produksi barang dan jasa berlangsung sesuai hokum pasar yang berlaku dan dapat diprediksi sifat dan perilakunya di pasar. Setelah mengalami lonjakan yang tinggi di tahun 2005 akibat kenaika harga bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi pada bulan Maret dan Oktober 2005, lajuinflasi Kabupaten Boyolali mulai stabil dan berangsur turun di periode tahun-tahun setelahnya. Inflasi tahun kalender 2013 di Kabupaten Boyolali sebesar 8,21%, jika dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar 3,35% berarti ada kenaikan sebesar 1,45%. Andil terbesar disumbangkan oleh kelompok bahan makanan sebesar 16,62%. Selain itu, pemerintah secara rutin setiap tahun melaksanakan renovasi dan pemeliharaan/rehab pasar-pasar yang lain. Pasar yang dikelola pemerintah Kabupaten Boyolali saat ini berjumlah 44 pasar yang terdiri dari 39 pasar Umum dan 5 pasar Hewan. Pelaksanaan pembangunan industri difokuskan pada pemberdayaan industri kecil dan menengah dengan meningkatkan daya saing produksi baik dari segi kualitas maupun kuantitas output produksi. Fasilitasi pelatihan dan bantuan alat merupakan solusi yang dipilih disamping pelaksanaan kegiatan yang lain yang mendukung. Saat ini, Kabupaten Boyolali memiliki sebanyak 6.214 industri kecil; 111 industri menengah; dan 16 industri besar. Dalam upaya mendorong tumbuhnya pariwisata di Kabupaten Boyolali, telah dilaksanakan revitalisasi beberapa obyek wisata di Kabupaten Boyolali Tahun 2013, antara lain obyek wisata di Tlatar;
Waduk Bade;
waduk
Cengklik; Pengging; Kapujanggan/ Ngeksipurna; Ampel Pantaran; Selo dan Taman Kridanggo. Sedangkan langkah–langkah yang ditempuh
dalam
peningkatan partisipasi masyarakat dan sadar wisata di Boyolali antara lain: melalui kegiatan Pemberdayaan masyarakat dengan sasaran masyarakat umum; Kegiatan pemasyarakatan sapta pesona dengan sasaran masyarakat sekitar obyek wisata terutama anggota Pokdarwis.
22
Selain itu langkah yang ditempuh dalam upaya peningkatan kompetensi kepariwisataan
di
Boyolali:
Percepatan
pembangunan
infrastruktur;
Peningkatan iklim investasi; Rancang desain pengembangan obyek wisata; dan Peningkatan peran serta masyarakat. Kunjungan wisata pada tahun 2013 domestik maupun mancanegara sebanyak 375.814 orang dibandingkan pada tahun 2012 sebanyak 336.941 orang atau terjadi peningkatan jumlah pengunjung obyek wisata di Kabupaten Boyolali sebesar 10,34 %. Kendati demikian, pemerintah daerah terus berupaya mengembangkan Obyek Tujuan Daerah Wisata di Kabupaten Boyolali melalui perbaikan dan revitalisasi sarana prasarana maupun manajemen pengelolaannya.
D. Demografi Penduduk Kabupaten Boyolali pada tahun 2013 berjumlah 959.732 jiwa dengan komposisi laki-laki sebanyak .471.593 jiwa dan perempuan sebanyak 488.139 jiwa, serta kepadatan penduduk sebesar 949 jiwa/Km2. Sedangkan pada tahun 2012
berjumlah 956.850 jiwa dengan komposisi laki-laki
sebanyak 469.649 jiwa dan perempuan sebanyak 487.201 jiwa, serta kepadatan penduduk sebesar 943 jiwa/Km2. Data tersebut memberikan gambaran bahwa jumlah penduduk Kabupaten Boyolali tahun 2013 terjadi penambahan 2.882 jiwa atau terjadi pertumbuhan sekitar 0,30 %. Dalam kurun waktu yang sama tingkat kelahiran di Kabupaten Boyolali sebesar 12,2 per 1000 penduduk. Dan tingkat kematian mencapai 7,4 per 1000 penduduk. Di wilayah tersebut juga terdapat 17.510 murid taman kanak-kanak (TK) yang bersekolah di 534 TK swasta. Sedangkan di TK milik pemerintah terdapat sebanyak 240 murid yang belajar di 3 sekolah. Jumlah total murid TK baik negeri maupun swasta mencapai 17.750 murid. Mereka setiap hari diajar oleh sebanyak 1.468 guru. Dengan demikian, rasio murid dibanding guru adalah 12.
23
Pada jenjang sekolah dasar (SD), terdapat 4.776 murid yang menempuh pendidikan di 26 sekolah swasta. Jumlah itu masih ditambah dengan 69.328 murid yang belajar di sekolah milik pemerintah. Dengan begitu, jumlah total murid yang menempuh sekolah dasar di Kabupaten Boyolali sebesar 74.104 murid. Sedangkan jumlah guru yang mengajar untuk keseluruhan sekolah sebesar 5.864 guru. Dengan demikian, rasio jumlah murid terhadap jumlah guru adalah 13. Kemudian untuk jenjang sekolah menengah pertama (SMP). Di Kabupaten Boyolali terdapat 39 sekolah swasta. Sekolah itu menampung sebanyak 6.444 murid. Selain sekolah swasta, terdapat pula sekolah milik pemerintah yang berjumlah 52 sekolah. Sekolah milik pemerintah itu total menampung murid sebanyak 27.746 murid. Dengan demikian, jumlah total murid SMP yang bersekolah di Kabupaten Boyolali sebanyak 34.190 murid. Pada kurun waktu yang sama jumlah guru yang terdapat di sana sebanyak 2.506 guru. Sehingga rasio jumlah murid terhadap jumlah guru adalah 14. Terakhir, pada jenjang sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Menurut data tahun 2013, jumlah SMA dan SMK swasta di Kabupaten Boyolali sebanyak 48 sekolah. Sekolah tersebut menjadi tempat belajar bagi 12.193 murid setiap harinya. Sementara, jumlah SMA/SMK negeri di Kabupaten Boyolali berjumlah 26 sekolah. Sekolah-sekolah diisi pelajar berjumlah 8.733 murid. Dengan demikian, julmah murid SMA/SMK di Kabupaten Boyolali secara keseluruhan sebesar 28.246 murid. Jumlah guru SMA/SMK di Kabupaten Boyolali pada kurun waktu yang sama sebanyak 2.457 murid. Dengan demikian, rasio jumlah murid terhadap jumlah guru sebesar 11. Kendati rasio murid terhadap guru relative rendah, angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM) di Kabupaten Boyolali cenderung rendah. Pada tahun 2013, untuk jenjang sekolah dasar (SD) nilai APK untuk sebesar 98,97 dan nilai APM sebesar 83,72. Sementara untuk jenjang sekolah menengah pertama (SMP) nilai APK sebesar 92,08 dan nilai APM sebesar
24
72,05. Nilai APM dan APK semakin kecil pada jenjang sekolah menengah atas. Pada jenjang ini, nilai APK sebesar 69,45 dan nilai APM sebesar 48,57. Berdasarkan kelompok umur penduduk, sebesar 65,57% merupakan penduduk usia produktif, yakni mereka yang berumur antara 15 tahun hingga 64 tahun, sedangkan selebihnya sebesar 34,42% adalah kelompok umur yang secara teoritis menjadi tanggungan kelompok produktif yakni kelompok umur muda (usia 0 hingga 14 tahun) dan kelompok umur tua (usia 65 tahun keatas). Sebaran penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja berdasarkan lapangan pekerjaan di Kabupaten Boyolali tahun 2013, sebagai berikut: Pertanian sebesar 346.422 orang; pertambangan dan penggalian sebesar 4.425 orang; industry pengolahan sebesar 84.192 orang; listrik, gas, dan air sebesar 1.253 orang; konstruksi sebesar 49.864 orang; perdagangan, rumah makan dan akomodasi
sebesar
126.070
orang;
transportasi,
pergudangan
dan
komunikasi sebesar 19.914 orang; keuangan sebesar 5.005 orang; jasa sebesar 88.751 orang; dan laiinya mencapai 3.617 orang. Selanjutnya dari komposisi ini dapat dihitung angka rasio ketergantungan (dependency ratio) yang menyatakan besarnya tanggungan kelompok produktif. Rasio ketergantungan pada tahun 2013 sebesar 52,49% yang berarti bahwa setiap 100 orang usia produktif menanggung sekitar 52 orang yang belum atau sudah tidak produktif lagi. Kondisi ini relatif stabil jika dibandingkan dengan tahun 2012 yang berada pada angka 53,09. Struktur penduduk Kabupaten Boyolali sebagian besar masih bermata pencaharian sebagai petani bahkan cenderung semakin meningkat. Oleh sebab itu kebijakan di sektor pertanian mendapatkan perhatian utama, meskipun tetap mengembangkan sektor lain sebagai ciri kemajuan bangsa yaitu industrialisasi dan jasa, namun industrialisasi tetap bertumpu pada modernisasi dan industrialisasi pertanian.
25
Penyelenggaraan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah muaranya adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara material dan spiritual, dalam upaya tersebut berbagai program dan kegiatan diarahkan dan diintervensikan guna mencapai sasaran tersebut. Hal ini sangat relevan dengan visi Kabupaten Boyolali 2010-2015 “Kabupaten Boyolali yang lebih Sejahtera, berdaya saing dan pro Investasi”. Sehingga keberhasilan pengingkatan kesejahteraan merupakan indikator tercapainya visi misi pembangunan. Kemiskinan tampaknya masih menjadi problem pemerintah daerah. Di Boyolali, garis kemiskinan ditetapkan setiap tahun mengalami peningkatan. Secara detil, jumlah garis kemiskinan dan persentase penduduk miskin diuraikan berikut ini: tahun 2009 garis kemiskinan ditentukan sebesar Rp195.538/kapita/bulan dengan persetase penduduk miskin sebesar 15,96 persen.
Tahun
2010
garis
kemiskinan
ditentukan
sebesar
Rp209.495/kapita/bulan dengan persetase penduduk miskin sebesar 13,72 persen.
Lalu,
tahun
2012
garis
kemiskinan
ditentukan
sebesar
Rp238.986/kapita/bulan dengan persetase penduduk miskin sebesar 13,88 persen.
26
BAB IV 1. SKEMA OPTIMALISASI PARTISIPASI
Menyadarai bahwa proses terkait melek politik masyarakat tidak semudah membalikkan telapak tangan, maka KPU Kabupaten Boyolali berusaha mengajak semua pihak yang terkait dan peduli dengan pelaksanaan Pemilu untuk bersama memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Karena untuk melakukan berbagai macam program, KPU Kabupaten Boyolali juga mempunyai keterbatsan dana. Dan proses yang bisa dilakukan adalah bisa dengan forum diskusi atau melakukan berbagai macam seminar yang berkaitan dengan proses pendidikan politik. “Harus ada skema pendidikan politik yang terus menerus. Mungkin tidak akan memperbaiki 100%, namun semuanya kan by proses bahwa waktu itu akan yang akan menjawab. Kami kan tidak bisa membuat program sendiri, jadi kami masih nunggu dari pusat, tetapi menurut kami itu sangat bagus, sebab strukur kebijakan kami juga terikat dengan anggaran.” Salah satu skema program yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Boyoali adalah melakukan rekruitmen bagi Relawan Demokrasi. Dalam kapasitasnya untuk membantu kerja-kerja sosialisasi dalam rangka promosi penggunaan hak pilih bagi warga. Kondisi tersebut setidak-tidaknya memberi dampak secara tidak langsung bagi upaya untuk meningkatkan tingkat partisipasi dalam Pemilu, mengingat wilayah di Boyolali yang luas dan terdiri dari 19 Kecamatan. Dampak utama yang bisa dirasakan bagi aktivitas para Relawan Demokrasi adalah adanya peningkatan tingkat partisipasi sebagai bagian dari bentuk kesadaran politik warga untuk bersama-sama mewujudkan Pemilu yang demokratis. Strategi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Boyolali beserta stakeholder adalah meningkatkan pemahaman dan pengenalan semua Calon-calon
27
Legislatif kepada masyarakat tidak hanya menjelang pemilu. Dengan pola ini, perlu dicatat juga prestasi apa yang telah dicapai, atau apa saja yang telah dilakukan calon anggota dewan yang bakal disosialisasikan untuk kemudian dipilih oleh warga. Dengan kapasitas Parpol dalam melakukan verifikasi calon dilakukan lebih serius dan diperketat, diharapkan kedepannya bisa meminimalisir lolosnya calon yang tidak berkualitas. Bingkai pendidikan politik, dalam konteks luas tentunya tidak bisa dalam hitungan politik menjelang Pemilu. Oleh karenanya, bisa melibatkan berbagai macam pihak seperti dari kurikulum pendidikan yang memberikan nilai lebih kepada siswa yang sudah memenuhi syarat menggunakan hak pilihnya. Intensitas program-program yang selama ini yang sudah dilakukan yaitu sosialisasi dan pendampingan kedepan mesti harus terus dilakukan. Secara khusus, sebagai contoh adalah program sosialisasi terhadap kelompokkelompok difabel, yang secara spesifik berbeda dengan orang pada umumnya. Idealnya, kalau tahapan yang dilakukan tersebut bisa dilakukan secara berkala. Dengan strategi mengembangkan pembuatan kelas belajar yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Boyolali, untuk teman–teman difabel bisa belajar bersama dan menerima penjelasan. Pada saat bersamaan, KPU Kabupaten Boyolali juga bisa mendengar lebih lanjut apa yang diinginkan serta menjadi kebutuhan teman–teman difabel. Jadi kedepan, pelaksanaan Pemilu bisa lebih baik lagi. “Tetep sosialisasi ya, walaupun masih 5 tahun yang akan datang. Tapi dari sekarang bisa dilaksanakan. Trus KPU kalau bisa membuat kayak semacam kelas antara KPU dan difabel” . Keberadaan Relawan Demokrasi, sejauh ini memberi dampak bagi temanteman difabel untuk bisa lebih melek politik. Banyak diskusi–diskusi yang menghasilkan dinamika untuk bisa lebih jauh mengetahui bahwa kebutuhan difabel antar satu kelompok dengan kelompok yang lain tidaklah sama tetapi seringkali dipukul rata bahwa semua difabel itu sama.
28
Kebijakan yang bisa dilakukan adalah bahwa fasilitas kertas atau surat suara itu perlu ditingkatkan. Hal ini tentu saja bisa dilakukan dengan mengacu pada jumlah data pemilih. Karena tidak semua wilayah ini kan mempunyai pemilih difabel. Dengan data yang akurat, maka diharapkan dari panitia bisa lebih memberikan perhatian khusus bagi kaum difabel. Untuk TPS kedepan, juga disediakan bilik khusus difabel kalau memang di TPS yang bersangkutan terdapat pemilih difabel sehingga kenyamanan kelompok difabel bisa ditingkatkan. Untuk hal ini, memang dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak terutama dari KPU Kabupaten Boyolali dan Dinas Sosial Kabupaten, mengingat karena sekarang dari Dinas Sosial adalah kelompok yang memberi perhatian lebih kepada kaum difabel. Keberadaan Relawan Demokrasi untuk mengkampanyekan kesadaran dalam menggunakan hak pilih dirasa mampu memberi kontribusi. Walaupun kendala secara mendasar tetap ada yaitu kendala waktu. Dimana masalah waktu pembentukan para relawan yang dilakukan masih terasa kurang terutama bagi kelompok difabel. Karena untuk sosialisasi kepada difabel banyak yang harus diperhatikan. Berbeda dengan segmentasi relawan demokrasi bagi stakeholder yang lain, mungkin lebih mudah. Karena mereka bisa menggunakan berbagai macam strategi pendekatan namun kalau untuk kelompok difabel, itu tidak bisa dilakukan, karena memang forumnya harus khusus. Skema program yang lain, yaitu pola sosialisasi yang bisa berjalan dua arah. Sosialisasi dalam frame pendidikan politik, dimana pihak–pihak yang perlu dilibatkan dalam peningkatan proses melek politik adalah semua pihak yang berkepentingan, baik individu atau kelompok. Karena pola tersebut akan secara efektif dengan terbentuknya kelompok-kelompok profesi seperti kelompok tani, kelompok ternak, ibu–ibu PKK, lansia, maupun kelompok– kelompok lain yang bisa dijadikan tempat untuk proses pembelajaran politik bersama bagi masyarakat.
29
Pelaksanaan Pemilu sangat penting karena disitulah masyarakat dilibatkan dalam proses pemilihan wakil rakyat yang diharapkan mampu menyerap aspirasi mereka, atau mau mendengarkan keluhan yang mereka rasakan. Pada level masyarakat umum, menggunakan hak pilihnya dalam setiap kesempatan karena pelaksanaan Pemilu yang dilakukan setiap 5 tahun sekali sangat disayangkan kalau hanya jadi penonton, karena kesadaran bahwa satu suara bisa sangat menentukan perubahan kedepan. Karena dalam setiap pelaksanaan Pemilu yang diharapkan adalah adanya perubahan kearah yang lebih baik dan bisa tercapai kesejahteraan. Kondisi diatas menjadi hasil dari pola sosialisasi yang ada. Namun beberapa program perlu dilakukan, agar berbagai macam kajian lebih lanjut untuk meningkatkan kesadaran politik dan melibatkan banyak pihak. Selain KPU Kabupaten Boyolali, Parpol sendiri harus lebih memperhatikan kualitas kader-kader politiknya. Lewat skema diberikannya pendidikan yang mendalam dan lebih terarah dalam kerangka kebijakan Parpol. Untuk itu, perlu kerjasama yang lebih intens dengan Komisioner selaku penyelenggara Pemilu bisa melakukan program dengan stake holder terkait seperti LSM, maupun tokoh agama, bisa duduk bersama membahas skema terbaik yang bisa dilakukan. Forum ini mungkin tidak bisa satu kali jalan terus selesai tetapi memang harus dilakukan secara intensif, sehingga nanti bisa menularkan ke masyarakat luas. “Dari Partai memberikan sebuah pendidikan politik kepada kader dan konstituennya. Kalau semua Partai melakukannya, maka tanggung jawab KPU bisa terbantu. Bisa juga melibatkan stake holder.” Hal ini diperlukan agar kerja para relawan bisa maksimal dan pada saat bersamaan kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak pilih ditopan bersama oleh Komisioner, Parpol maupun masyarakat yang secara suka rela aktif mempromosikan kepada masyarakat luas untuk menggunakan hak pilihnya.
30
Kerja-kerja nyata para relawan yang diterjunkan oleh KPU Kabupaten Boyolali, yang aktif melakukan sosialisasi dalam agenda perkumpulanperkumpulan warga yang secara rutin dilakukan. Pola tersebut dirasa lebih efektif dibanding dengan sosialisasi melalui media massa, mengingat secara demografis Boyolali lebih didominasi masyarakat pedesaan. Dalam prakteknya di masyarakat pedesaan, materi yang didistribusikan pada ajang perkumpulan bisa lebih menyentuh di benak masyarakat. Hal tersebut, juga lebih hemat biaya dibandingkan dengan kampanye melalui media, pembuatan pamflet, dan sebagainya. Semuanya skema sosialisasi tentunya akan berujung pada upaya untuk meningkatkan partisipasi warag dalam menggunakan hak pilihnya. Dan untuk mendukung proses peningkatan partisipasi politik, satu hal yang seringkali terabaikan adalah keberadaan Tempat Pemungutan Suara. Mengingat kondisi geografis yang luas dan kecenderungan masyarakat yang enggan mengakses TPS bila letaknya terlalu jauh. Pada beberapa kasus, semisal daerah Cepogo yang geografisnya adalah pegunungan dan banyak jurang. Akses warga untuk menggunakan hak pilih menjadi tantangan besar bila harus melihat kondisi lingkungan di sekitar Boyolali maka mesti dikaji lebih jauh agar kesempatan untuk menggunakan hak pilih bisa dilakukan secara maksimal.
31
2. DINAMIKA DAN KESADARAN POLITIK
Catatan atas tingkat partisipasi di Boyolali, menarik karena menunjukkan beberapa informasi. Pertama, partisipasi politik yang paling tinggi adalah dari kawasan-kawasan yang dihuni oleh masyarakat yang beraktivitas keseharian sebagai kaum petani. Disini tingkat partisipasi tinggi disebabkan karena petani biasanya selalu beraktivitas dirumah dan tidak meninggalkan rumah dalam waktu yang lama. Keberadaan dan pola aktivitas ternyata menentukan model informasi yang masuk dan menjadi panduan bagi para petani untuk menggunakan hak pilihnya. Selain kelompok petani, pemilih pemula mempunyai potensi untuk menjadi pemillih yang dominan kesadaran politiknya. Generasi muda mempunyai keuntungan bahwa mereka mudah untuk akses teknologi dan idealisme yang kuat. Para generasi muda ini harus diarahkan, karena para generasi muda bisa menjadi sangat peduli atau bisa sangat apatis. Ketika generasi muda mempunyai kesadaran yang tinggi, maka diharapkan akan mampu menularkan kepada teman–temannya, keluarga, dan juga lingkungan sekitar.
32
“Ketika ada diskusi dengan kelompok pemilih pemula diskusinya itu bisa hidup gitu ya. Kan sekarang tekhnologi sudah semakin maju ya. Televisi, internet, dan sebagainya. Mereka melihat tidak dari indonesia saja ya. Mereka juga lebih ke awarenes.”
33
Sedangkan, untuk kelompok masyarakat lain adalah dari sektor pemilih pinggiran atau kaum marjinal. Keberadaan para pemilih marjinal kedepan harus dimaksimalkan pendidikan politiknya, sebab ada asumsi bahwa tidak ada korelasi antara kehidupan ekonomi keseharian warga disektor marjinal dengan praktek-praktek politik. Dan kondisi tersebut berujung pada keengganan untuk ikut dalam kegiatan Pemilu. Tantangan kedepannya adalah
menempatkan
kelompok
masyarakat
marjinal
untuk
bisa
berpartisipasi dalam pelaksanaan Pemilu, sekaligus membangun kesadaran bersama bahwa menggunakan hak politik bukanlah rutinitas semata dan tidak benar–benar diperlukan. Kesadaran tersebut harus dibangun agar memberi kesempatan yang luas terhadap terbukanya praktek politik terhadap peluang-peluang kehidupan yang lebih baik bagi warga secara kesuluruhan. Secara umum, kesadaran politik di Boyolali masih dalam tahap menengah. Kondisi tersebut dikarenakan banyaknya faktor yang menyebabkan pengguna hak pilih datang ke TPS untuk menggunakan hak-hak politiknya. Ada beragam faktor, antara lain bisa karena kedekatan emosi, kedekatan wilayah, fanatik dengan Partai tertentu, dan yang lebih parah adanya praktek-praktek transaksi politik. Kesadaran bersama yang diharapkan dari pelaksanaan Pemilu bagi masyarakat adalah kesempatan bisa memilih pemimpin yang berkualitas dan mampu membawa perubahan. Kondisi inilah yang sepenuhnya belum bisa dilakukan dalam waktu dekat, yaitu menumbuhkan kesadaran politik bagi masyarakat karena memang butuh proses untuk bisa memberikan pendewasaan politik. Dalam membangun kesadaran politik warga, harus ada rasa kepercayaan dengan tumbuh dan dibangun secara masyarakat. Siklus demokrasi yang menempatkan hasil Pemilu menjadi anggota-anggota DPRD sebagai representasi wakil rakyat di parlemen. Beban politik wakil rakyat adalah memperjuangkan serta mendengarkan aspirasi rakyat, keluhan ditampung, dan ketika ada bantuan untuk masyarakat disalurkan ke masyarakat sesuai kebutuhannya. Kondisi yang ideal atas praktek parlemen akan memberi
34
modal besar bagi proses keterbangunan kesadaran politik bagi masyarakat luas dan setidaknya dapat berimplikasi secara langsung terhadap partisipasi politik di pelaksanaan Pemilu. Tantangan untuk meningkatkan kesadaran wrag terhadap politik juga dimaksimalkan hasilnya oleh keberadaan Panitia Pemilihan Kecamatan. Keberadaan PPK membantu skema sosialisasi program-program KPU Kabupaten Boyolali sampai ke tingkat yang paling bawah yaitu KPPS. Dari Tim PPK ada 5 orang, sedangkan ada sasaran Desa sejumlah 15 di Kecamaan tersebut, yang secara otomatis mendustribusikan tugas 1 orang PPK berkerja di 3 Desa untuk melakukan sosialiasi. Lewat proses sosialisasi yang telah dilaksanakan dalam acara kumpulan warga, terdapat beragam kelompok baik kelompok tani, kelompok ibu–ibu PKK, kumpulan rutin bapak–bapak, hingga kelompok remaja baik Karang Taruna maupun Masjid. Selain sosialisasi PPK juga memberikan bimbingan teknis kepada masyarakat terkait tata cara pemilihan, dengan memberikan contoh surat suara, dan tata cara memilih yang benar. “Kita turun ke lapangan, kita kasih arahan ke mereka, nah, di proses itulah kita bisa memberikan kayak semacam pendidikan kepada penyelenggara dulu ya. Nah, nanti minimal di PPS nanti bisa koordinasi dengan KPPS ya. Nah disinilah ujung tombaknya. Mereka masuk di kumpulan rutin di perkumpulan warga, mengumumkan bahwa tanggal 9 April ada Pemilu. Mereka membawa contoh surat suara, dalam bentuk specimen” Kerja-kerja tersebut secara sistematis menggarap kelompok-kelompok yang dominan yaitu yang tingkat partisipasi politiknya paling tinggi adalah petani kalau dilihat dari segi pekerjaan karena memang mayoritas penduduk di beberapa kawasan Boyolali adalah petani. Para petani, mempunyai keuntungan karena aktivitas sering dirumah dan bisa lebih sering membaca situasi. Selain petani, sasaran target kampanye yang lain berdasarkan usia baik pada warga berusia lanjut maupun kelompok warga yang berusia menengah. Lansia menjadi target khusus mengingat sejauh ini mempunyai
35
kendala terhadap upayanya untuk menggunakan hak pilihnya. Faktor fisik seringkali menjadi sebab sehingga tidak memungkinkan para lansia untuk datang ke TPS. Karena berbagi macam pertimbangan seperti kendala fisik, atau karena kendala lain seperti minimnya akses informasi yang diberikan. Disinilah peran para relawan politik ditingkat basis. Dinamika kesadaran politik juga terbangun oleh kehadiran para relawan politik yang tergabung bersama para pendukung dalam tim sukses. Karena kerja-kerja tim sukses yang fokus pada beragam upaya agar calon yang didukungnya bisa terpilih. Jadi sosialisasi jadi terbantu dengan adanya dukunan dari banyak pihak, salah satunya adanya tim sukses. Kehadiran dan kerja-kerja tim sukses yang hadir dalam bentuk kelompok-kelompok yang mempunyai tingkat kesadaran politik, jejaring yang luas dan kemauan untuk menghasilkan suara sebanyak mungkin. Hal ini dikarenakan tim sukses tidak hanya mengenal calon dari luarnya saja, tetapi sampai bisa menjelaskan visi misi, dan target harus bisa merangkul semua kalangan. Tentu saja syarat untuk menjadi tim sukses juga tidak mudah. Karena sebelum turun di lapangan para tim sukses pasti sudah mendapatkan beragam materi pembekalan yang banyak terkait apa aja yang harus dilakukan. Latar belakang masyarakat desa mayoritas adalah petani. Bagi kebanyakan warga isu penting terkait dengan Pemilu adalah upaya warga desa untuk aktif mengembangkan isu yang bisa didorong menjadi kebijakan pro petani. Karena selama ini yang terjadi adalah petani seringkali menjadi pihak yang dirugikan, ketika akan mulai menanam, harga pupuk bisa melambung tinggi, sedangkan ketika menjelang panen, harga–harga komoditi justru turun. Kondisi tersebut membuat harapan untuk mencapai kesejahteraan seperti jauh dari harapan petani. Dimana para petani biasanya mempunyai kelompok-kelompok tani/Gapoktan yang biasa digunakan untuk forum diskusi. Dan dari sinilah pendidikan akan kesadaran politik bisa ditanamakan.
36
Sedangkan untuk kelompok difabel yang juga mempunyai dinamika tingkat melek yang menarik. Dengan tersedia beragam akses informasi dari berbagai sumber bisa berasal dari internet, koran, dan juga televisi, kelompok difabel antusias dengan pelaksanaan Pemilu karena mereka juga berharap mempunyai pemimpin yang mampu memahami kebutuhan difabel. Mereka ingin hak – haknya sebagai warga negara juga diperhatikan. Oleh karena itu, mereka senantiasa mengikuti perkembangan politik yang ada. Secara khusus, kelompok kaum difabel yang memiliki melek politik paling tinggi adalah kelompok tuna daksa. Karena tuna daksa memiliki kemampuan akses informasi yang lebih baik, karena mereka mempunyai panca indera yang semuanya normal. Lewat kemampuan untuk membaca koran, mendengarkan televisi, dan maupun membaca artikel–artikel di internet, berharap memiliki pemimpin yang benar–benar bisa memahami.
37
“Teman-teman tuna daksa paling tinggi. Mereka kayak punya misi khusus, misale caleg A, dia care sama aku, berarti dia juga bisa care sama temen– temen. Trus dia itu kayak bisa ngajak temen–temene gitu ya supaya bisa suara mereka bisa didengarkan.”
38
Namun secara umum, dinamika kesadaran politik yang terjadi di Boyolali tidak secara merata terjadi disemua golongan. Secara khusus, beberapa pihak yang terlibat langsung dengan partai politik, atau bisa dikatakan adalah aktivis partai politik. Untuk itu tantangan terbesarya adalah meluaskan kesadaran tersebut tidak hanya disatu level tapi juga terjadi pada level masyarakat luas. Karena biasanya kondisi tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran bahwa dalam memilih calon legislatif, tidak berhenti pada saat masa pemilihan. Tetapi setelah itu ada proses lagi yaitu mengawal calon yang telah dipilih agar mereka bekerja itu ada pihak lain yang bisa mengingatkan jika mereka keluar dari jalur. Termasuk para pemilih pemula yang dari sisi jumlah selalu mengalami kenaikan dari setiap Pemilu. Dikarenakan pemilih pemula selama mempunyai kecendrungan mengikuti euforia Pemilu semata, tetapi mereka belum benar–benar memahami apa maksud dan tujuan mereka mengikuti kegiatan Pemilu. Walaupun potensi dari pemilih pemula itu sangat besar, hal ini belum dimanfaatkan dan dimaksimalkan sepenuhnya karena proses pendidikan politik yang diberikan masih terbatas. “Pemilih pemula rata-rata masih labil, euforianya itu masih ikut–ikutan. Dan belum terlalu serius memahami sebuah visi misi atau program. Sekalipun potensinya besar, kecendrungan karena ajakan teman, makanya kesannya hura–hura“. Dinamika masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi atau kesadaran politik yang paling tinggi adalah dari golongan yang sudah bekerja. Hal ini dikarenakan golongan yang sudah bekerja mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang lebih dibanding dengan para pelajar atau mahasiswa. Dengan bekerja, membuat seseorang mempunyai tingkat kematangan yang lebih tinggi, terutama untuk mereka yang bekerja dan mempunyai pengalaman organisasi.
39
3. PRAKTEK PARTISIPASI DALAM PEMILU
Pelaksanaan Pemilu di Boyolali, dalam banyak pendapat telah berjalan dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dari skema nasional yang mempunyai target pada kisaran 75 % dalam penggunaan hak pilih, sedangkan di Boyolali rekapitulasi para pemilih mampu mencapai 80% dari jumlah pemilih yang terdaftar. Dengan sebaran jumlah pemilih di Daerah Pemilihan Kabupaten Boyolali dalam Pemilu kemarin dibagi menjadi lima Dapil yang meliputi : 1. Dapil I terdiri dari Kecamatan Boyolali, Ampel, Teras, Mojosongo. 2. Dapil II terdiri dari Kecamatan Juwangi, Wonosegoro, Kemusu, Karanggede. 3. Dapil III terdiri dari Kecamatan Klego, Simo, Nogosari, Andong 4. Dapil IV terdiri dari Kecamatan Sawit, Banyudno, Ngemplak, Sambi 5. Dapil V terdiri dari Kecamatan Selo, Cepogo, Musuk. Terkait dengan hasil akhir bahwa persebaran tingkat partisipasinya tidak merata. Kondisinya, ada daerah yang mempunyai tingkat partisipasi yang tinggi seperti Kecamatan Selo ada daerah yang tingkat partisipasinya mencapai 90 %. Sedangkan ada juga daerah yang partisipasinya agak kurang seperti Kecamatan Wonosegoro. Dimana partisipasi dihitung dari DPT berbanding dengan tingkat ketidakhadiran disebabkan oleh mobilitas keseharian warga yang tinggi. Ada banyak faktor yang menyebabkan partisipasi politik di Boyolali. Beberapa diantaranya, adalah strategi dari KPU yang mensosialisasikan materi KPU sangat terperinci bahkan hingga ke tingkat RT, melibatkan berbagai macam bidang seperti Relawan Demokrasi yang terdiri dari bidang kelompok pemilih perempuan, pemilih pemula, agama, difabel, dan juga terakhir dari kelompok marginal. Yang tidak kalah penting adalah kehadiran tim sukses yang secara dinamis, menstimulasi beragam kegiatan terkait dengan beragam cara untuk memenangkan calon yang didukungnya.
40
Dalam pelaksanaanya, berjalan dengan sangat baik. hal itu tampak bahwa kesadaran masyarakat makin hari makin tinggi. Mereka sudah menyadari Pemilu sebagai sarana menyalurkan aspirasi. Pelaksanaan Pemilu yang hanya 5 tahun sekali dirasa sebagai momentum yang tidak boleh dilewatkan. Partisipasi pada level masyarakat, dimana penggunaan hak pilih banyak digunakan karena adanya kesempatan yang luas untuk menggunakan hak pilih. Salah satu faktor utama yang mendorong adalah keberadaan calon di daerah yang bisa menjadi magnet untuk mendorong masyarakat mau menggunakan hak pilihnya. Keterikatan dengan basis masyarakatlah yang menjadi alasan kuat bagi partisipasi warga. Namun
kondisi
tersebut
tidak
boleh
mengurangi
upaya
untuk
memaksimalkan pendidikan politik agara kesadaran warga membaik. Pelaksanaan Pemilu yang telah berjalan setidak-tidaknya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari peran banyak pihak. Dengan segmentasi pemilih terbesar adalah dikawasan pedesaan makan tentangan untuk melaksanakan sosialisasi sebagai bentuk dari pendidikan politik harus dimaksimalkan. Dalam pelaksanaan Pemilu, beberapa pemilih mengaku dirinya juga kurang kenal dengan calon yang dipilihnya terutama untuk yang DPR, DPD, dan DPRD I dan DPRD II. Karena selama ini informasi hanya terdistribusi lewat spanduk yang dipasang dan ditempel di pinggir jalan. Berbeda dengan keberadaan Caleg yang di DPRD Kabupaten lebih banyak tahu karena tetangganya banyak yang menjadi Caleg. Sedangkan dalam menggunakan hak pilihnya, beberapa warga mengaku mendasarkan pada pilihan-pilihan kata hati, berdiskusi dengan keluarga maupun dengan anggota kelompoknya. Hal ini dilakukan sebenarnya untuk saling berbagi pengalaman tanpa ada unsur pemaksaan. Sekalipun menjadi bagian dari keluarga, aspek pemaksaan juga tidak boleh terjadi.
41
Dalam konteks, sebagai individu maupun bagian dari kelompok, tentunya ada perbedaan. Sekalipun menjadi mempunyai peran dan menjadi bagian dari kelompok perempuan Rukun Makmur, tentunya tidak bisa memaksakan kepada kelompoknya untuk memilih calon tertentu. Semua hal berkaitan dengan politik hanya dijadikan bahan diskusi saja, dengan kelompoknya. Tema diskusi yang diangkat tentu saja adalah tentang isu yang berkaitan dengan hak dan keterlibatan kaum perempuan.
42
“Walaupun kita ini kaum perempuan, kita tidak boleh hanya asal nurut aja. Sekarang kan sudah jamannya emansipasi. Kalau kita pengen ada perubahan, ya harus mau untuk memberikan suara. Kita memilih sesuai hati nurani, ya walupun kadang memang bisa saling diskusi entah dengan keluarga atau dengan anggota kelompok saya yang lain.”
43
Dinamika yang lain dalam pelaksanaan Pemilu yang sekarang yang dipilih berdasarkan
suara
terbanyak.
Berdasarkan
suara
terbanyak
maka
persaingan antar Caleg di lapangan terasa sangat besar, dimana banyak yang terjadi adalah upaya untuk melakukan mobilisasi untuk memilih calon tertentu. Implikasinya biaya yang dibutuhkan menjadi sangat besar. Walapun, kondisi tersebut tentu saja berdampak dengan jumlah partisipasi masyarakat yang datang ke TPS menjadi lebih banyak. Tetapi yang patut digarisbawahi adalah jumlah partisipasi yang tinggi itu apakah berbanding lurus dengan kesadaran masyarkat kepada wakil rakyat yang dipilihnya atau adanya faktor lain. Masyarakat yang memilih itu apakah memang benarbenar melek politik, atau karena adanya faktor yang lain seperti tekanan dari pihak lain. Sedangkan pada saat yang bersamaan, penentuan hasil dengan menggunakan suara terbanyak maka kesempatan semua calon hampir sama, karena tidak ditentukan lagi oleh nomer urut. Jika ada calon yang masuk maka kesempatannya sama untuk bisa terpilih, tergantung pada bagaimana strategi yang digunakan sekaligus memaksimalkan hasil akhir dari semua proses tersebut. Semua skema pelaksanaan Pemilu tentunya masih memiliki banyak catatan, diluar persoalan bahwa telah terselenggara dengan standart yang telah ditetapak hingga adanya partisipasi dari pengguna hak pilih. Dalam beberapa hal catatan tersebut terkait dengan beberapa persoalan, semisal kertas suara yang untuk kelompok tuna netra yang secara mempunyai kekurangan dalam penglihatan. Dalam pelaksanaan Pemilu kemarin, kertas suara untuk tuna netra masih berbentuk awas, bukan braile. Hal ini tentu saja menyulitkan difabel yang tuna netra yang memang memiliki kekurangan dalam penglihatan. Berbeda dengan materi yang disampaikan ketika sosialisasi, dengan huruf braile sedangkan dalam pelaksanaannya justru dibuat awas. Dari 4 jenis surat suara yaiu DPD, DPR RI, DPRD I, dan juga DPRD II hanya 1 saja yang dibuat khusus untuk tunanetra.
44
Sedangkan terkait dengan kelompok pengguna hak pilih dari kelompok tuna rungu, khususnya di daerah Boyolali terdapat kendala teknis. Dimana dalam pelaksanaan dilapangan, teknis panitia dalam memanggil urutan peserta saat di TPS hanya memakai suara. Hal itu tentu saja menyulitkan tuna rungu karena walaupun mereka juga mempelajari bahasa bibir, tetapi karena suasana yang ramai maka kondisi tersebut menyulitkan dan kebingungan. Harapannya ada upaya lebih dari panitia agar bisa memaksimalkan kondisi dilapangan agar bisa menampilkan urutan nomor berikutnya. Termasuk juga kesigapan panitia untuk mengantisipasi akses bagi kelompok tuna daksa agar bisa mengakes bilik suara yang disediakan. Dimana kondisi dilapangan relative tinggi, sehingga pada beberapa kasus kelompok tuna daksa yang memakai kursi roda atau bertubuh kecil kesulitan ketika akan menggunakan hak pilihnya di TPS.
4. TANTANGAN BAGI PARTISIPASI POLITIK
Lanskap Boyolali dalam pelaksanaan Pemilu setidaknya ditentukan oleh situasi yang telah terbentuk, dalam beberapa hasil Pemilu sebelumnya. Dimana tipikal masyarakat pedesaan menyumbang partisipasi paling tinggi. Tetapi kondisi tersebut harus dipahami lebih kritis untuk melihat kondisi yang sesungguhnya dilapangan. Sebab tingkat partisipasi tinggi tidak mesti berbanding lurus dengan kesadaran politik, karena ada banyak faktor yang secara dinamis menjadi dasar bagi pilihan-pilihan politik, baik karena faktor relasi, kedekatan wilayah maupun pilihan-pilihan karena dasar pragmatisme politik. Dari kondisi diatas, menjadi tantangan bagi pelaksanaan Pemilu maupun praktek demokrasi yang lebih luas. Berbasis upaya untuk membangun kesadaran dalam menggunakan hak politiknya dan setiap pilihan tersebut didasarkan pemahaman atas visi misi yang telah ditetapkan oleh Parpol
45
maupun calon tertentu. Jadi para pemilih diharapkan tidak asal memilih seperti membeli kucing dalam karung dan juga menghindari politik transaksional. Pilihan-pilihan para pemilih yang sadar siapa yang mereka pilih, diharapkan member dampak yang luas bagi masyarakat untuk mau mengawal hasil pelaksanaan Pemilu sampai akan datang Pemilu selanjutnya. Jadi wakil rakyat yang mereka pilih seperti akan mempertanggungjawabkan kepada para pemilihnya. Dari sisi yang berbeda, dinamika politik di Boyolali sendiri, dalam perspektif Parpol juga bisa dijadikan bahan diskusi lebih dalam. Dengan jumlah yang dominan diperolehan suara di parlemen, lebih ditentukan karena keberadaan basis konstituen yang telah mapan selama beberapa waktu sebelumnya. Tetapi kondisi tersebut juga tidak menyurutkan untuk tetap bekerja keras mengembangkan beragam strategi dalam membangun kesadaran politik untuk berdemokrasi bagi masyarakat luas di Boyolali. Bisa dirujuk pada hasil akhir dimana, dari 45 kursi yang diperebutkan, PDIP meraih suara sekitar 55% atau 25 kursi, sedangkan jumlah kursi yang lain dibagi kepada partai yang lain yaitu Golkar 6 kursi, PKS dan Gerindra 4 kursi, PAN 3 kursi, dan juga PKB 2 kursi. Implikasi dari kondisi tersebut tentunya jelas, bahwa skema yang berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar mau memilih yang berkualitas juga harus berimplikasi pada dinamika politik pasca Pemilu. Dominasi Parpol pemenang Pemilu juga harus diikuti oleh setidaknya keseimbangan politik dilevel parlemen dan pengambilan kebijakan bagi dilevel eksekutif secara luas bagi kepentingan masyarakat luas. Upaya mendinamisir dinamika politik warga idealnya dilakukan oleh semua pihak di Boyolali, secara khusus Parpol yang telah diamanati untuk melakukan pendidikan politik. Sehingga kesadaran politik yang terbangun tidak hanya berujung pada pada partisipasi dalam menggunakan hak pilihnya di TPS tetapi berlanjut pada kesadaran politik untuk mengawal hasil Pemilu.
46
Salah satu upaya untuk mengantisipasi kondisi tersebut butuh beragam kreatifitas yang bisa dilakukan, alah satunya lewat istrumen budaya yang menjadi paket budaya yang ada dimasyarakat. Kondisi tersebut berlaku dalam proses sosialisasi Pemilu yang akan berujung pada kesadaran politik warga. Proses kreatif juga diperlukan agar masyarakat tidak jenuh dan mengalami kebosanan dengan memahami dinamika Pemilu bisa lebih baik. Dan tanggung jawab untuk membangun kesadaran dan dinamika politik tidak bisa sepihak dilakukan oleh KPU Kabupaten Boyolali saja, namun juga harus diimbangi proses tersebut oleh stakeholder yang ada di Boyolali. Baik Partai politik, Calon-calon Legislatif, Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali hingga tokoh masyarakat yang menjadi bagian penting dalam keseharian warga Boyolali. Keberadaan media massa yang bisa diakses oleh publik secara luas, dapat menjadi materi
dasar bagi pendidikan politik dan upaya membangun
dinamika politik warga. Media massa lokal dengan materi lokal tentu member konstribusi besar bagi dinamika politik ditingkat lokal. Dimana aktivitas dan semua bagian dari masyarakat Boyolali menjadi fokus yang materi yang didistribusikan. Informasi tersebut menjadi bekal bagi upaya mendinamisir kehidupan demokrasi, sebab informasi harus dishare publik untuk kemudian menjadi dasar bagi keputusan politik untuk kepentingan publik. Selain media, faktor seleksi Parpol atas calon-calon yang akan mewakili di parlemen menjadi daya dorong bagi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Keberadaan aktor politik yang kuat akan mampu memberi garansi politik, daya jual agar masyarakat mau menggunakan hak pilihnya dan juga menentukan calon yang dipilih. Partai politik seharusnya melakukan seleksi terhadap figur-figur yang ada atau member kesempatan untuk figur-figur yang baik agar punya kesempatan secara politik. Dengan basis demografis pedesaan keberadaan aktor politik menjadi strategis, karena pola relasi politik yang didukung dengan kultur patronase masyarakat agraris.
47
Sebab dalam prakteknya, dinamika Parpol dan aktor akan membentuk pola hubungan yang tidak homogeny namun senantiasa dinamis. “Ada kecenderungan, bahwa faktor partai berpengaruh, tetapi ada juga individu. Kadang suka sama individunya, tetapi tidak suka partainya. Atau suka partainya tetapi gak suka sama individunya.“ Bagian akhir dari faktor yang menentukan dinamika politik adalah dinamika masyarakat untuk memahami ideologi Partai. Dalam faktor ideologi, menggunakan hak pilih untuk memilih wakil rakyat menjadi basis dari tindakan yang dilakukan. Dari pilihan ideologislah, Partai dan aktor yang menjadi calon anggota parlemen menentukan strategi, program dan agenda kerja-kerja politik, yang pada akhirnya akan ditawarkan kepada masyarakat. Pilihan-pilihan berdasar faktor tersebut memberi peluang yang luas untuk memaksimalkan partisipasi karena alasan-alasan ideologis. Namun pada saat yang bersamaan, alasan tersebut juga memberi kendala bagi praktek demokrasi yang terbuka untuk kritik dan keseimbangan politik antara kepentingan semua pihak yang ada didalamnya.
48
BAB V 1. PENUTUP
Strategi optimalisasi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Boyolali beserta stakeholder adalah meningkatkan pemahaman dan pengenalan Caleg kepada masyarakat tidak hanya menjelang Pemilu. Dengan pola ini perlu dicatat juga prestasi apa yang telah dicapai, atau apa saja yang telah dilakukan calon anggota dewan yang bakal disosialisasikan untuk kemudian dipilih oleh warga. Dengan kapasitas Parpol dalam melakukan verifikasi calon dilakukan lebih serius dan diperketat, diharapkan kedepannya bisa meminimalisir lolosnya calon yang tidak berkualitas. Bingkai pendidikan politik, dalam konteks luas tentunya tidak bisa dalam hitungan politik menjelang Pemilu. Oleh karenanya, bisa melibatkan berbagai macam pihak seperti dari kurikulum pendidikan yang memberikan nilai lebih kepada siswa yang sudah memenuhi syarat menggunakan hak pilihnya. Intensitas program-program yang selama ini yang sudah dilakukan yaitu sosialisasi dan pendampingan kedepan mesti harus terus dilakukan. Secara khusus, sebagai contoh adalah program sosialisasi terhadap kelompokkelompok difabel, yang secara spesifik berbeda dengan orang pada umumnya. Idealnya, kalau tahapan yang dilakukan tersebut bisa dilakukan secara berkala. Dengan strategi mengembangkan pembuatan kelas belajar yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Boyolali, untuk teman–teman difabel bisa belajar bersama dan menerima penjelasan. Pada saat bersamaan, KPU Kabupaten Boyolali juga bisa mendengar lebih lanjut apa yang diinginkan serta menjadi kebutuhan teman–teman difabel. Jadi kedepan, pelaksanaan Pemilu bisa lebih baik lagi.
49
Kedepan dinamika politik Kabupate Boyolali pasca Pemilu, merupakan dinamika politik ditopang oleh aktivitas stakeholder di Boyolali dalam bentuk : Penguatan dari sisi Parpol. Dimana dominasi Parpol pemenang Pemilu juga harus diikuti oleh setidaknya keseimbangan politik dilevel parlemen dan pengambilan kebijakan bagi dilevel eksekutif secara luas bagi kepentingan masyarakat luas. Upaya mendinamisir dinamika politik warga idealnya dilakukan oleh semua pihak di Boyolali, secara khusus Parpol yang telah diamanati untuk melakukan pendidikan politik. Sehingga kesadaran politik yang terbangun tidak hanya berujung pada pada partisipasi dalam menggunakan hak pilihnya di TPS tetapi berlanjut pada kesadaran politik untuk mengawal hasil Pemilu. Kemudian membangun kesadaran dan partisipasi yang lebih luas, dengan menempatkan keberadaan media massa yang bisa diakses oleh publik secara luas, sebagai materi dasar bagi pendidikan politik dan upaya membangun dinamika politik warga. Media massa lokal dengan materi lokal tentu member konstribusi besar bagi dinamika politik ditingkat lokal. Dimana aktivitas dan semua bagian dari masyarakat Boyolali menjadi fokus yang materi yang didistribusikan. Informasi tersebut menjadi bekal bagi upaya mendinamisir kehidupan demokrasi, sebab informasi harus dishare publik untuk kemudian menjadi dasar bagi keputusan politik untuk kepentingan publik. Dua point diatas, pada level internal yaitu Parpol dan pada level eksternal dikembangkan lewat program pendidikan politik warga berbasis media publik.
50
DAFTAR PUSTAKA
Abercrombie, Nicholas et.al, 2010. Kamus Sosiologi (Terjemahan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta, Gramedia pustaka utama. Surbakti, Ramlan 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta, Grasindo Campbell, T. 1981. Seven Theories of Human Society. Oxford University Press. Johnson, D.P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Gramedia Jakarta Ritzer, G dan Goodman Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media. Ritzer, G. 1975. Sociology: A Multiple Paradigma Science. Boston: Allyn and Bacon.
51