FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUNCULNYA MONEY POLITICS (Studi Masyarakat Kabupaten Bekasi Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014)
Rusham Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Islam 45 Bekasi
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk Membangun tradisi kebijakan yang berbasis data dan riset, untuk menjawab persoalan-persoalan dalam penyelenggaraan pemilu. Dalam menyusun kebijakan, perlu partisipasi warga dalam meningkatkan fungsi pengawasan. Menemukan akar masalah atas persoalan yang terkait dengan terjadinya money politics. Merumuskan Rekomendasi kebijakan atas permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan maraknya praktek money politics. Responden diambil 500 orang secara acak di 5 Kecamatan di Kabupaten Bekasi yaitu Kec. Tambelang, Kec. Cibarusah, Kec. Tambun Selatan, Kec. Cikarang Barat dan Kec. Cikarang Selatan. Dengan jumlah sampel tiap Kec. 100 orang. Responden yang diwawancarai atau yang dijadikan sampel adalah mereka yang telah memiliki hak untuk memilih pada Pemilu legislatif tahun 2014. Dari hasil studi diperoleh masyarakat Kabupaten Bekasi menilai money politics sebagai sesuatu yang wajar karena alasan ekonomis dan sebagian karena ketidaktahuan mereka. Anggapan ini muncul disebabkan pragmatisme politik, yang tidak hanya dipraktekkan oleh elit politik tetapi juga telah menyebar ke dalam kultur masyarakat. Politik uang lebih diterima pada kelompok masyarakat tidak mampu dibanding masyarakat yang mampu secara ekonomi. Politik uang lebih banyak melalui anggota organisasi ketimbang yang bukan anggota organisasi, dan ini catatan penting juga buat Panitia pengawas pemilu pada saat mendatang. Secara hukum positif dan agama juga perlu diberikan pemahaman yang serius oleh KPUD kepada masyarakat Kabupaten Bekasi, bahwa praktek money politics itu menurut hukum agama money politics dapat dihukumi haram, syubhat, bahkan mubah. Perbedaan cara pandang ini didasarkan pada pertimbangan kerusakan dan kemaslahatan yang dihasilkannya. Namun demikian, tidak terdapat ukuran pasti tentang rumusan kemaslahatan dan mafsadat tersebut. Dari hukum positif (negara) money politics merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan mencurangi demokrasi. Pasal 90 ayat 2 UU/2003 membahas mengenai money politics dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, di samping UU lain yang membahas mengenai korupsi dan penyelenggaraan negara. Keyword : Money Politics, Pemilu Legislatif Tahun 2014, Kabupaten Bekasi
PENDAHULUAN Latar Belakang Sistem pemilihan umum legislatif secara langsung tahun 2014 membuka maraknya praktik money politics di Kabupaten Bekasi dengan mengatasnamakan berbagai modus pemberian berupa shadaqah, hadiah, hibbah dan lain sebagainya. Dalam situasi yang serba sulit seperti saat ini, uang merupakan alat kampanye yang cukup ampuh untuk mempengaruhi masyarakat guna memilih calon legislatif tertentu. Kecerdasan intelektual dan kesalehan pribadi tidak menjadi tolok ukur kelayakan bagi calon legislatif, tetapi kekayaan finansial yang menjadi penentu pemenangan dalam pemilu. Pada proses demokrasi level akar rumput (grass root), PARADIGMA Vol: XXI/No, 01 Juli 2015
84
praktik money politics tumbuh subur. Karena dianggap suatu kewajaran, masyarakat tidak lagi peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya, karena tidak merasa bahwa money politics secara normatif harus dijauhi. Segalanya berjalan dengan wajar. Kendati jelas terjadi money politics, dan hal itu diakui oleh kalangan masyarakat, namun tidak ada protes. Budaya money politics merupakan hal lumrah dalam masyarakat Jawa. Fenomena money poltics dalam masyarakat Jawa bisa dilihat secara langsung dalam proses pemilihan kepala desa atau lurah sebagai komponen terkecil dari pemerintahan Indonesia. Proses pencalonan kepala desa seringkali tidak lepas dari penggunaan uang sebagai upaya menarik simpati warga. Dalam skala yang lebih luas, praktik money politics telah melibatkan hampir seluruh elemen sosial seperti pejabat, politisi, akademisi, pendidik, saudagar, bahkan kalangan agamawan sekalipun. Dalam perspektif sosiologi politik, fenomena bantuan politis ini dipahami sebagai wujud sistem pertukaran sosial yang biasa terjadi dalam realitas permainan politik. Karena interaksi politik memang meniscayakan sikap seseorang untuk dipenuhi oleh penggarapan timbal balik (reciprocity). Dengan kata lain, relasi resiprositas merupakan dasar bagi terciptanya sistem pertukaran sosial yang seimbang. Perilaku money politics, dalam konteks politik sekarang, seringkali diatasnamakan sebagai bantuan, infaq, shadaqah dan lain-lain. Pergeseran istilah money politics ke dalam istilahan moral ini secara tidak langsung telah menghasilkan perlindungan secara sosial melalui norma kultural masyarakat yang memang melazimkan tindakan itu terjadi. Tatkala masyarakat telah menganggapnya sebagai tindakan lumrah, maka kekuatan legal formal hukum akan kesulitan untuk menjangkaunya. Karena itu dibutuhkan kerangka 3 kerja tafsir untuk memahami setiap makna yang tersimpan di balik perilaku politik (political behaviour) sehingga dapat memudahkan dalam pemisahan secara analitik antara pemberian yang sarat dengan nuansa suap, dan pemberian dalam arti sesungguhnya sebagai bantuan (Umam, 2006:47). Kesulitan mengambil persepsi yang tegas di kalangan pemimpin masyarakat cukup membingungkan masyarakat. Ketika beberapa agamawan menyatakan bahwa money politics itu haram, penilaian beberapa agamawan yang lain tidak seekstreem itu. Mantan Menteri Agama dan Mantan Rektor Univeristas Muhammadiyah Malang Malik Fadjar, seperti yang dikutip oleh Ismawan dalam money politics Pengaruh Uang dalam Pemilu, tidak mau secara tegas mengatakan hukum praktik money politics haram. Dia mengaku sulit mengatakan hukumnya dengan dalil-dalil yang jelas berkaitan langsung dengan soal ini (Ismawan, 1999:2). Akhirnya, sulit dibedakan antara pemberian yang tergolong risywah (suap) dan pemberian yang tergolong amal jariyah. Ketidakpastian hukum ini menjadi salah satu penyebab maraknya praktik money politics di Kabupaten Bekasi yang masyarakatnya tergolong agamis. Melihat kenyataan bahwa praktik PARADIGMA Vol: XXI/No, 01 Juli 2015
85
money politics telah begitu melekat dalam kehidupan masyarakat, mulai dari tingkat bawah hingga atas, maka persoalan yang pelik ini harus disikapi dengan serius. Persoalan yang terkesan remeh namun memiliki implikasi negatif yang sangat besar bagi perkembangan demokrasi dan penegakan hukum (supremacy) di Indonesia. Money politics membuat proses politik menjadi bias. Akibat penyalahgunaan uang, pemilu sulit menampakkan ciri kejujuran, keadilan serta persaingan yang fair. Pemilu seperti itu akhirnya menciptakan pemerintah yang tidak memikirkan nasib dan kesejahteraan rakyat. Dan untuk mengetahui seberapa besar fenomena politik uang yang terjadi Kabupaten Bekasi, apa yang melatarbelakangi, apa yang menjadi akar masalahnya, bagaimana solusinya, maka KPUD Kabupaten Bekasi melaksanakan riset ini untuk mengetahui faktor-faktor yang dalam hal ini menimbulkan munculnya money politics. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan bahwa studi ini akan menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana Money Politics terjadi dalam Pemilu Legislatif di Kabupaten Bekasi pada tahun 2014. 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya Money Politics. 3. Bagaimana pola terjadinya Money Politcs, dan mengapa bisa begitu marak terjadi di dalam suatu Daerah? 4. Apa dampak dari Praktik Money politics? 5. Kenapa Money Politics masih menjadi ancaman? 6. Apa kebijakan utama yang harus dilakukan oleh penyelenggara pemilu untuk mengatasi dan melawan Praktik Money Politics? Tujuan Riset 1 Membangun tradisi kebijakan yang berbasis data dan riset, untuk menjawab persoalanpersoalan dalam penyelenggaraan pemilu. 2 Dalam menyusun kebijakan, perlu partisipasi warga dalam meningkatkan fungsi pengawasan. 3 Menemukan akar masalah atas persoalan yang terkait dengan terjadinya money politics. 4 Merumuskan Rekomendasi kebijakan atas permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan maraknya praktek money politics.
PARADIGMA Vol: XXI/No, 01 Juli 2015
86
TINJAUAN PUSTAKA Istilah politik uang (money politics) merupakan sebuah istilah yang dekat dengan istilah korupsi politik (political corruption). Sebagai bentuk korupsi, politik uang masih menjadi perdebatan karena praktiknya yang berbeda-beda di lapangan, terutama terkait perbedaan penggunaan antara uang pribadi dan uang negara. Ketidakjelasan definisi money politics ini menjadikan proses hukum terkadang sulit menjangkau. Tidak ada batas-batas jelas antara praktik jual beli suara dan pengeluaran uang dari partai untuk keperluan yang kongkrit. Garis demarkasi antara money politics (politik uang) dan political financing atau pembiayaan kegiatan politik masih sangat kabur (Ismawan, 1999: 4). Meskipun demikian bukan berarti tidak ada yang mencoba mendefinisikan istilah money politic. Salah satunya, money politics biasa diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada pula yang mengartikan money politics sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan. Tindakan itu dapat terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum di suatu negara (Ismawan, 1999:5). Beberapa peraturan yang bersifat yuridis mengenai politik uang (Money Politics) yaitu larangan bagi para calon kandidat pemilihan baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah yang akan mencalonkan diri mereka dalam ajang pesta demokrasi yang berlangsung. Peraturan tersebut antara lain: 1. BAB XX Penyelesaian Pelanggaran Pemilu Dan Perselisihan Hasil Pemilu Undangundang No. 10 Tahun 2008 Pasal 247 Ayat 1 sampai Ayat 10. 2. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PELANGGARAN PIDANA PEMILU Pasal 252, Pasal 253 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 254 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 255 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 256 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 257 Ayat 1 sampai Ayat 3. 3. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PERSELISIHAN PEMILU Pasal 258 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 259 Ayat 1 sampai Ayat 3. 4. Undang-undang No. 32 Tahun 2008 mengenai Pemberhentian Kepala Daerah (yang sudah dilantik atau yang akan dilantik) Pasal 29 Ayat 1 sampai 4, Pasal 30 Ayat 1 smapai 2, Pasal 31 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 32 Ayat 1 sampai Ayat 7, Pasal 33 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 34 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 35 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 36 Ayat 1 sampai Ayat 5. Publik memahami money politics sebagai praktik pemberian uang atau barang atau memberi iming-iming sesuatu, kepada massa (voters) secara berkelompok atau individual,
PARADIGMA Vol: XXI/No, 01 Juli 2015
87
untuk mendapatkan keuntungan politis (political gain). Artinya, tindakan money politics itu dilakukan secara sadar oleh pelaku. Definisi ini nampaknya kurang akurat ketika dipakai untuk menganalisis kasus seperti pembagian sembilan bahan pokok oleh partai atau orang tertentu kepada masyarakat. Kalau motifnya adalah semata-mata untuk membantu masyarakat, tentunya pemberian itu bukan money politics walaupun tetap mendapatkan political gain dari aktivitasnya itu. Leo Agustino (2009:133) menyatakan bahwa Undang-undang No. 32 tahun 2004 yang digunakan sebagai acuan pilkada langsung, mendefinisikan politik uang masih tidak jelas dan bersifat umum (normatif). Hal serupa juga tidak diatur secara jelas dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Kendati Peraturan Pemerintah tersebut telah disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2005 sebagai respon atas putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi tidak juga mengatur persoalan politik uang secara lebih baik karena hampir sama dengan aturan sebelumnya. Ketentuan yang memberikan definisi tentang politik uang secara implisit tercantum dalam pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang No. 32 tahun 2004 yang menyebutkan, pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian pada ayat (2)-nya, pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD. Pelanggaran tentang money politics dalam pemilu legislatif tahun 2014 telah dirumuskan dalam undang-undang pemilu 2008 Nomor 10 pasal 265, menyebutkan bahwa “setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD dalam pemilu sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)” Sementara dasar hukum normatif lain yang dapat digunakan untuk menjerat kasus money politics adalah ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 mengenai pemilu presiden-wakil presiden. Pasal 90 Ayat (2) UU 23/2003 yang menyebutkan, “setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang PARADIGMA Vol: XXI/No, 01 Juli 2015
88
supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara teretentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat dua bulan atau paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1 juta atau paling banyak Rp 10 juta”. Dengan hadirnya berbagai definisi di atas, menunjukkan belum adanya definisi money politics yang bisa dijadikan acuan. Hal inilah yang seringkali membuat bingung untuk mengkategorikan sebuah peristiwa tergolong money politics atau bukan. Implikasinya, beberapa pihak dapat secara leluasa melakukan tindakan yang sebenarnya sudah menjurus pada money politics, tanpa bersedia dikatakan melakukan praktik money politics. METODOLOGI PENELITIAN Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kualitatif, yakni metode yang dipahami sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor). Jenis Dan Sumber Data 1. Data primer, adalah data yang diperolah langsung dari hasil kuesioner dan wawancara pada masyarakat penerima layanan. 2. Data sekunder, adalah data yang diperoleh dari literatur/sumber pustaka, serta media lain yang berhubungan dengan kegiatan ini. Tempat Penelitian Dan Populasi Sample Tempat Penelitian di 5 Kecamatan di Kabupaten Bekasi yaitu Kec. Tambelang, Kec. Cibarusah, Kec. Tambun Selatan, Kec. Cikarang Barat dan Kec. Cikarang Selatan. Dengan jumlah sampel tiap Kec. 100 orang. Langkah Pengambilan Sample
PARADIGMA Vol: XXI/No, 01 Juli 2015
89
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, dimana
peneliti
memberikan pertanyaan kepada responden tentang fakta-fakta disamping opini mereka mengenai per istiwa-peristiwa yang ada, dengan bentuk wawancara yang terfokus dimana responden diwawancarai dalam waktu yang singkat. Teknik Analisis Data Data yang telah dikumpulkan, dilakukan tabulasi, diolah dan dieksplorasi secara mendalam untuk selanjutnya dianalisa untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. PEMBAHASAN Gambaran Umum Responden Pada penelitian ini Responden diambil 500 orang secara acak di 5 Kecamatan di Kabupaten Bekasi yaitu Kec. Tambelang, Kec. Cibarusah, Kec. Tambun Selatan, Kec. Cikarang Barat dan Kec. Cikarang Selatan. Dengan jumlah sampel tiap Kec. 100 orang. Responden yang diwawancarai atau yang dijadikan sampel adalah mereka yang telah memiliki hak untuk memilih pada Pemilu legislatif tahun 2014, dari hasil pengolahan data diperoleh hasil gambaran umum responden adalah paling banyak berjenis kelamin laki-laki sebanyak 55% atau 273 orang dan perempuan sebanyak 45% atau 227 orang. Sedangkan berdasarkan Usia paling banyak berusia 17-30 sebanyak 37% atau 185 orang, Usia 31-40 sebanyak 34% atau 169 orang, Usia 41-50 sebanyak 23% atau 114 orang, Usia di atas 50 sebanyak 6% atau 32 orang. Data responden berdasarkan status diperoleh paling banyak Sudah Menikah yaitu sebanyak 62% atau 308 orang, Belum menikah 33% atau 166 orang dan Pernah Menikah 5% atau 26 orang. Untuk data profil responden berdasarkan Agama diperoleh mayoritas responden bergama Islam yaitu sebanyak 99% atau 493 orang, 3 orang beragama Kristen protestan, 2 orang beragama Kristen Katolik, Hindu 1 orang dan Budha 1 orang. Dari data profil responden berdasarkan pendidikan, latarbelakang pendidikan mayoritas responden adalah tamatan SMU yaitu sebanyak 53% atau 264 orang, SD sebanyak 26% atau 130 orang, SMP sebanyak 15% atau 76 orang, Sarjana S1 3% atau 14 orang, D3 sebanyak 2 orag, dan S3 sebanyak 1 orang. Dari segi pendapatan mayoritas responden berpenghasilan per/bulan Rp. 1.000.000 – 3.000.000 yaitu sebanyak 43% atau 217 orang, 500.000 – 1.000.000 sebanyak PARADIGMA Vol: XXI/No, 01 Juli 2015
90
28% atau 141 orang, dibawah 500.000 sebanyak 23% atau 115 orang, 3.000.000 – 5.000.000 sebanyak 5% 26 orang, dan diatas 5.000.000 sebanyak 1 orang. Pada Profil responden berdasarkan pekerjaan, mayoritas responden adalah 41% atau 206 orang wiraswasta, sedangakan Pelajar/mahasiswa yaitu sebanyak 27% atau 135 orang, Lainnya (IRT/buruh serabutan) sebanyak 17% atau 83 orang, Pegawai swasta 14% atau 71 orang, dan PNS/TNI/POLRI/ sebanyak 1% atau 5 orang. Analisis Hasil Riset Pada analisis hasil riset ini menjelaskan mengenai jawaban dari instrumen-instrumen pertanyaan yang diajukan kepada responden terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi money politics, dimana data dari hasil jawaban responden tersebut diolah dan dianalisa sesuai dengan metode analisis yang telah ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan Pengolahan data dan analisa dari jawaban responden tersebut diperoleh hasil riset sebagai berikut : Pertanyaan No. 1 : Apakah anda telah terdaftar sebagai pemilih pada Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif tahun 2014) yang lalu? Diktetahui 491 orang atau 98,2% telah terdaftar sebagai pemilih, 5 orang atau 1 % belum terdaftar dan 4 orang atau 0,8% Tidak Tahu. Hal ini menunjukkan partisipasi politik masyarakat sangat tinggi. Pertanyaan No. 2 : Dari mana anda tahu bahwa anda telah terdaftar? Diketahui 471 orang atau 94,2% menjawab Tempat Strategis (Kantor Rt/Rw), sedangkan 16 orang atau 3,2% menjawab Ketua KPPS, 9 orang menjawab Ketua PPS, dan 4 orang menjwab dari Website KPU. Hal ini menjukkan bahwa banyak Masyarakat yang tidak memanfaatkan media informasi (Website sidalih KPU), berdasarkan wawancara terbuka dilapangan rata-rata pada masyarakat yang berpendidikan tamatan SMA-Sarjana tidak mengetahui bahwa ada Website Sidalih KPU, sedangkan pada masyarakat Tidak sekolah-SMP mereka tidak bisa cara menggunakan media online/internet. Pertanyaan No. 3 : Apakah anda ikut mimilih pada pemilu th 2014 yang lalu? Mayoritas responden yaitu 486 orang atau 97,2% menjawab Ikut memilih, 8 orang atau 1,6% tidak ikut memilih, dan 6 orang atau 1,2% menjawab tidak tahu. Hal ini menunjukkan bahwa antusiame masyarakat pada pemilu legislatif th 2014 masih sangat tinggi. Pertanyaan No. 4 : Pada jam berapa anda datang ke TPS untuk memilih? Diketahui bahwa mayoritas reponden yaitu 201 orang atau 4 0,2% menjawab jam 09.00-11.00, 179 orang atau 35,8% menjawab jam 07.00-09.00, dan 120 orang atau 24% menjawab jam 11.00-13.00. Hal ini menunjukkan bahwa keinginan masyarakat memilih calon wakil rakyat yang diharapkan begitu tinggi. Pertanyaan No. 5 : apakah anda tahu arti politik uang? Sebanyak 216 orang atau 43,2% menjawab Tidak tahu, 213 orang atau 42,6% menjawab Tahu, dan sisanya 71 orang atau 14,2% menjawab Sangat Tahu. Dari hasil temuan melalui wawancara terbuka, PARADIGMA Vol: XXI/No, 01 Juli 2015
91
mayoritas responden yang menjawab tidak tahu adalah mereka yang berpendidikan Tidak Sekolah-SMP, sedangkan yang menjawab Tahu-Sangat Tahu adalah mereka yang berpendidikan SMA-Sarjana. Pertayaan No. 6 : Apakah anda tahu ada peristiwa politik uang dalam pemiliu legislatif 2014? Sebanyak 186 orang atau 37,2% menjawab Ya, sebanyak 57 orang atau 11,4% menjawab Tidak, dan 257 orang atau 51,4% menjawab Tidak Tahu. Pertanyaan No. 7 : Apakah di daerah anda ada calon legislatif yang menggunakan politik uang dalam melakukan kampanye agar memilih mereka? Sebanyak 241 orang atau 48,2% menjawab Tidak Tahu, 212 orang atau 42,4% menjawab Ya, dan sebanyak 47 orang atau 9,4% menjawab Tidak. Dari 212 responden yang menyatakan bahwa di daerahnya ada calon legislatif yang menggunakan politik uang, hanya 25 orang atau 11,79% yang melaporkan caleg tersebut dan sebanyak 187 orang atau 88,21% tidak melaporkannya. Dari 25 responden yang melaporkan caleg yang menggunakan politik uang, diketahui sebanyak 11 orang melaporkannya kepada Tokoh Masyarakat/Pemantau Pemilu, 9 orang melaporkannya ke PANWASLU, 2 orang melaporkannya ke lainnya (RT/RW/KADUS), 2 orang melaporkan keperangkat Desa, dan 1 orang ke Kepolisian. Sedangkan dari 187 orang yang tidak melaporkan caleg yang menggunakan politik uang, mayoritas responden sebanyak 100 orang atau 53,5% menyatakan karena hal tersebut sudah menjadi hal yang biasa di masyarakat, sebanyak 61 orang atau 32,6% menyatakan Tidak Tahu lapor kemana, dan 26 orang atau 13,9% menyatakan Takut untuk melaporkannya. Pertanyaan No. 8 : apakah anda pernah menerima imbalan uang/hadiah dari beberapa caleg? Sebanyak 223 orang atau 44,6% menjawab Tidak Pernah, sebanyak 166 orang atau 33,2% menjawab Tidak Pernah, dan 111 orang atau 22,2% menjawab Tidak Tahu. Berdasarkan temuan lapangan, pada pertanyaan ini banyak responden yang tidak terbuka dalam memberikan jawaban. Artinya dari responden yang menjawab Tidak Pernah Menerima dan menjawab tidak tahu, bisa saja pernah menerima imbalan uang atau hadiah dari calon anggota legislatif tetapi tidak ingin mengemukakannya. Dari 166 orang yang menyatakan pernah menerima imbalan uang atau hadiah dari caleg, paling banyak pernah menerima uang sejumlah Rp 20.000 s/d 50.000 yaitu sebanyak 106 orang atau 63,9%, sedangkan 49 orang atau 29,5% menerima diatas Rp. 50.000, dan 11 orang atau 6,6% menerima Rp. 10.000 s/d 20.000. Kemudian dari siapakah mereka menerima uang/imbalan tersebut, sebanyak 158 orang atau 95,2% menjawab dari Tim Sukses Calon, 3 orang atau 1,8% menjawab dari Ketua RT/RW, 3 orang atau 1,8% menjawab dari Caleg yang bersangkutan, dan 2 orang atau 1,2% menjawab lainnya. Kemudian apakah selanjutnya mereka memilih caleg tersebut, dari hasil data yang diolah menunjukkan bahwa 108 orang responden atau 65,1% menjawab Memilih caleg tersebut, 39 PARADIGMA Vol: XXI/No, 01 Juli 2015
92
orang atau 23,5% menjawab Tidak Memilih, dan 19 orang atau 11,4% menjawab Tidak tahu. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata politik uang masih menjadi ancaman dalam pemilihan calon anggota legislatif selanjutnya. Pertanyaan No. 9 : Apakah visi dan misi yang diberikan oleh masing-masing calon anggota legislatif mempengaruhi anda untuk memilih? sebanyak 200 orang atau 40% menjawab mempengaruhi, sebanyak 156 orang atau 31,2% menjawab tidak mempengaruhi, dan 144 orang atau 28,8% menjawab Sangat mempengaruhi. hal ini menunjukkan bahwa secara umum visi dan misi caleg dapat mempengaruhi masyarakat untuk memilih. Berdasarkan temuan dilapangan, pada pertanyaan ini responden tidak menjawab secara terbuka. Oleh karena itu jawaban responden pada pertanyaan ini dianggap kurang valid. Pertanyaan No. 10 : Apa alasan anda memilih calon anggota legislatif? sebanyak 378 orang atau 75,6% menjawab karena Jujur dan bersih dari KKN dan ada Buktinyata, sebanyak 88 orang atau 17,6% menjawab Tidak tahu, dan 34 orang atau 6,8% menjawab Karena Uangya. Berdasarkan temuan dilapangan, pada pertanyaan ini reponden tidak menjawab secara terbuka. Pertanyaan No. 11 : Apakah pemberian uang/imbalan dari calon anggota legislatif dapat diterima sebagai hal yang wajar? sebanyak 246 orang atau 49,2% menjawab Tidak Bisa Diterima, 176 oarang atau 35,2 % menjawab Bisa diterima, dan 78 orang atau 15,6% menjawab Tidak Tahu. Pertanyaan No. 12 : Apakah anda tahu praktik politik uang sudah diatur dalam undang-undang, sebanyak 266 orang atau 53,2% menyatakan Tahu, sebanyak 180 orang atau 36% menyatakan Tidak Tahu, dan 54 orang atau 10,8% menyatakan Tidak. Dari hasil temuan dilapangan sebagian besar masyarakat yang menjawab tahu adalah mereka yang berpendidikan Tamatan SMA-Sarjana dengan jenjang usia 20-50 th dan yang menjawab Tidak & Tidak Tahu berpendidikan Tidak sekolah – SMP dengan jenjang usia 40 > 50 th. Pertanyaan No. 13 : Apakah anda setuju dengan gerakan kampanye politik uang? sebanyak 394 orang atau 78,8% menjawab Setuju, 56 orang atau 11,12% menjawab tidak, dan 50 orang atau 10% menjawab tidak tahu. Pertanyaan No. 14 : Apakah anda merasa Anggota Legislatif yang terpilih dalam Pemilu Legislatif 2014
kemarin sudah
memperjuangkan kepentingan anda, sebanyak 323 orang atau 64,6% menjawab Tidak, 96 orang atau 19,2% menjawab Ya, dan 81 orang atau 16,2% menjawab Tidak Tahu. Pertanyaan No. 15: Apakah anda memilik harapan akan perubahan terhadap pemerintah? Mayoritas reponden atau sebanyak 448 orang 89,6% menjawab Memiliki Harapan yang Tinggi, 45 orang atau 9% Memiliki harapan yang rendah, 25 orang menjawab Tidak Perduli. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap harapan-harapan kepada pemerintah dalam hal ini calon anggota legislatif masih sangat tinggi dalam mewujudkan harapan-harapan mereka. Pertanyaan No. 16 : Apakah anda mempercayai dan PARADIGMA Vol: XXI/No, 01 Juli 2015
93
merasa perlu untuk mengikuti Pemilu, sebanyak 466 orang atau 93,8% menjawab Sangat Perlu, 25 orang atau 5% menjawab tidak perduli dan 6 orang atau 1,2% menjawab Tidak perlu. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat partispasi masyarakat dalam pemilu masih sangat tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi Money Politics Pola distribusi money politics di tingkatan elit umumnya dilakukan dengan cara tertutup dan sangat dirahasiakan, mengingat hal ini merupakan tindak pidana. Setidaknya hanya pemainpemain inti dan pemilik kepentingan yang dapat mengetahuinya. Selain itu, pemberian uang tidak pula selalu dilakukan oleh para kandidat, bahkan justru jika dilakukan sendiri oleh kandidat akan menjadi tindak pidana yang akan dikenai sanksi hukum apabila ternyata diketahui oleh tim pemantau pemilu. pemberian uang dapat dilakukan melalui perantara orang lain termasuk teman akrab, keluarga, hubungan bisnis, bahkan tokoh masyarakat sekalipun yang mempunyai banyak akses sosial di masyarakat. Malah justru hal ini menjadi cara yang aman karena bukan termasuk tim sukses kandidat yang didaftar secara resmi kepada KPU. Menurut salah satu anggota KPU Kabupaten Bekasi, bahwa dengan strategi itu panitia pengawas pemilu (PANWASLU)akan kerepotan mengungkap kasus tersebut dengan dalih bahwa pemberian itu atas nama pribadi bukan praktik money politics dari kandidat (hasil FGD di KPUD Bekasi). Hal lain pola dan faktor money politics, bahwa tidak selamanya tim sukses yang berada di sekeliling bakal calon anggota legislatif mampu menembus sasaran yang hendak diberikan suplemen gizi penarik simpati. Dalam praktik politik uang berbagai cara dilakukan, diantaranya adalah dengan mendekati para tokoh masyarakat suatu daerah yang menjadi sasaran pembagian hadiah politik. Cara seperti ini justru lebih sering dilakukan oleh para calon anggota legislatif. Ada juga gerakan Pemberian Berbentuk Fasilitas Sarana Umum, gerakan ini dilakukan melalui Gerakan tebar pesona dan tarik simpati ternyata tidak hanya menguntungkan rakyat secara personal. Dalam musim mencari suara, tak jarang fasilitas-fasilitas umum seperti masjid, mushala, panti asuhan, dan madrasah juga ikut kecipratan berkah. Ironisnya, kadang kondisi ini malah dimanfaatkan masyarakat untuk merampungkan proyek pembangunan masjid atau jalan kampung yang tak kunjung selesai. Cukup dengan proposal sekedarnya, bahkan kadang melalui oral, dana berjuta-juta turun dan pembangunan selesai. Maka berdasarkan hasil pembahasan ini, ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap money politics di Kabupaten Bekasi, antara lain : a. Faktor Ekonomi PARADIGMA Vol: XXI/No, 01 Juli 2015
94
Dari hasil wawancara dengan sebagian masyarakat Kabupaten Bekasi, bahwa diantara faktor pendukung maraknya praktik money politics di Kabupaten Bekasi dalam pemilu legislatif 2014 diantaranya adalah karena persoalan ekonomi. Prayitno, seorang warga Kabupaten Bekasi, ketika penulis wawancarai mengenai praktik money politics, menjawab dengan nada tegas “saya ambil kok uangnya, lha wong saya butuh, yang penting halal, bukan maling kok. Jawaban senada juga disampaikan oleh ibu Fatimah “yah,.. lumayan, buat tambahan beli beras dan lauk”. b. Faktor Tidak Tahu Alasan tidak tahu bahwa jual beli hak suara melanggar norma moral dan agama berkaitan dengan pola budaya suatu masyarakat. Ada indikasi kuat bahwa bagi kebanyakan masyarakat kita, baik yang miskin maupun yang berkecukupan, masih merasa samar tentang status imoralitas (jahatnya) praktik money politics, hal ini berdasarkan 500 angket yang penulis sebarkan di beberapa kalangan masyarakat Kabupaten Bekasi. Ada pertanyaan kecil dalam benak mereka, apa salahnya menerima pemberian; dan sebagai imbalannya, apa salahnya membalas kebaikan hati si pemberi dengan suatu hak suara yang toh kecil nilainya untuk orang miskin; lagi pula antara kedua pihak, tidak ada ancam mengancam ataupun paksa memaksa, ungkap salah satu masyarakat Kabupaten Bekasi dalam dialog kecil dengan penulis di sebuah kedai warung sarimi rebus. Apa yang kita kutuk sebagai money politics, bagi mereka merupakan sekedar ritual saling memberi atau menerima, atau tolong menolong, dan itu merupakan kebiasaan yang mulia. Paling banter, money politics menyerupai transaksi jual beli yang biasa setiap hari dilakukan oleh semua orang di pasar, di kedai, di kantor, dan seterusnya. Disitu tidak ada salah dan tidak ada yang harus disalahkan. Menurut Masdar Farid (2004:144) Kurangnya pemahaman menyebabkan kurangnya kesadaran dan kepekaan terhadap dimensi kriminalitas pada praktik suap dan money politics. Untuk mengatasi distorsi moralitas yang diakibatkan langkanya pemahaman ini, perlu diluncurkan suatu gelombang besar kritik budaya yang mampu membongkar wacana etika yang terlalu formalistik. Khususnya di kalangan umat Islam penganut ortodoksi ajaran keagamaan perlu diadakan kritik teologis terhadap dogma bahwa tidak ada hokum moral di luar teks ajaran. Dalam konteks ini perlu didorong pola pemahaman baru yang menempatkan teks-teks ajaran keagamaan lebih sebagai ajaran moral ketimbang sebagai teks hokum dalam pengertian legal-formal. Sesungguhnya potensi kearah sana cukup memadai, mengingat para ulama fiqih sendiri menyadari keterbatasan teks untuk mencakup seluruh perilaku manusia yang terus tumbuh dinamis dalam sebutan hampir tak terhingga.
PARADIGMA Vol: XXI/No, 01 Juli 2015
95
KESIMPULAN Dari uraian yang telah dipaparkan, dapat ditarik kesimpulan mengenai praktik money politics di pemilihan legislatif di Kabupaten Bekasi sebagai berikut: 1. Masyarakat Kabupaten Bekasi menilai money politics sebagai sesuatu yang wajar karena alasan ekonomis dan sebagian karena ketidaktahuan mereka. Anggapan ini muncul disebabkan pragmatisme politik, yang tidak hanya dipraktekkan oleh elit politik tetapi juga telah menyebar ke dalam kultur masyarakat. 2. Politik uang lebih diterima PADA KELOMPOK MASYARAKAT TIDAK MAMPU dibanding MASYARAKAT YANG MAMPU SECARA EKONOMI. 3. Prolitik uang lebih banyak melalui anggota organisasi ketimbang yang bukan anggota organisasi, dan ini catatan penting juga buat Panitia pengawas pemilu pada saat mendatang. 4. Secara hukum positif dan agama juga perlu diberikan pemahaman yang serius oleh KPUD kepada masyarakat Kabupaten Bekasi, bahwa praktek money politics itu : a. Menurut hukum agama money politics dapat dihukumi haram, syubhat, bahkan mubah. Perbedaan cara pandang ini didasarkan pada pertimbangan kerusakan dan kemaslahatan yang dihasilkannya. Namun demikian, tidak terdapat ukuran pasti tentang rumusan kemaslahtan dan mafsadat tersebut. b. Dari hukum positif (negara) money politics merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan mencurangi demokrasi. Pasal 90 ayat 2 UU/2003 membahas mengenai money politics dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, di samping UU lain yang membahas mengenai korupsi dan penyelenggaraan negara.
SARAN 1. KPUD Kabupaten sebaiknya terus melakukan sosialisasi tentang bahaya politik uang ini, dan disampaikan kepada masyarakat umum dan sepatutnyalah untuk lebih cerdas dalam menanggapi semua iming-iming dan janji-janji yang diberikan oleh para calon Legislatif dalam kampanye-nya. Dan juga lebih selektif dalam memilih apa yang sesuai dengan hati nurani kalian. Serta juga ingat pada para calon kandidat yang akan bertarung dalam ajang pesta demokrasi yang ada di negeri tercinta ini, yaitu ingatlah asas JURDIL dan LUBER dalam melaksanakan acara demokrasi ini, dan juga para calon pemilih juga agar ingat akan PARADIGMA Vol: XXI/No, 01 Juli 2015
96
slogan tersebut. Janganlah sekali-kali kalian khianati hati kalian demi sesuatu yang belum tentu kalian dapatkan. Serta juga slogan tersebut walau sudah tua umurnya akan tetapi, manfaat dan maknanya sangatlah dalam menentukan masa depan bangsa ini. 2. Praktek politik uang marak karena kinerja partai yang buruk sehingga membuat pemilih cenderung membangun hubungan yang bersifat transaksional dengan partai melalui politik uang ini,. Oleh karena demikian, maka perlu ada penguatan partai politik secara kelembagaan dan rekrruitmen anggota partai politik yang masuk dafatr calegpun harus dijauhkan dari praktek uang. Dan ini sebagai awal dari sebuah aktivitas politik uang. 3. Lembaga Pengawas Pemilu juga harus lebih efektif melakukan sosialisasi dan ketika ada pelanggaran seperti politik uang harus dapat ditindak tegas secara hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Agustino, Leo, Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Farid, Masdar, Problematika dan Kebutuhan Membangun Fiqih Anti Korupsi, dalam Burhan A.S, Waidl, Bandi Ismail (edt), Korupsi di Negeri Kaum Beragama, (Jakarta:P3M, 2004) Ismawan, Indra, Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu, Yogyakarta: Media Pressindo, 1999
Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Umam, Ahmad Khoirul, Kiai dan Budaya Korupsi di Indonesia, Semarang: Rasail, 2006
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang pemilu presiden-wakil presiden.
PARADIGMA Vol: XXI/No, 01 Juli 2015
97