BAB I PENGARUH MONEY POLITICS PADA MASYARAKAT URBAN A. LATAR BELAKANG Tulisan ini berisi tentang peranan money politics dalam mengarahkan perilaku memilih pada masyarakat urban pada pemilu legislatif 2014 di Kota Yogyakarta. Melihat apakah money politics dijadikan sebagai cara dalam mengumpulkan atau mencari dukungan oleh para caleg dan seberapa besar pengaruh tersebut. Selain itu melihat siapa saja yang menerima, apa saja bentuk dari money politics, siapa saja actor yang terlibat dan kapan money politics itu disalurkan atau dilaksanakan. Sejauh ini studi mengenai money politics dalam ranah kajian ilmu politik di Indonesia masih terbilang minim. Studi mengenai money politics baru menjadi kajian serius dalam waktu lima tahun terakhir ini seiring dengan marketisasi system politik di Indonesia dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir ini (Abisono 2012: 3) . Pada kesempatan kali ini akan mencoba mengelaborasi lebih jauh money politics di kampung Prawirodirjan khusunya di RW 16 RT 52, 53, 54 kelurahan Prawirodirjan, kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta. Target yang akan diteliti meliputi Tokoh masyarakat, Masyarakat yang terdiri dari : bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda, pemilih pemula, Panwas dan Tim Sukses. Sistem pemilihan umum legislatif secara langsung tahun 2014 membuka maraknya praktik money politics di Kota Yogyakarta dengan mengatasnamakan shadaqah, hadiah, hibbah dan lain sebagainya. Dalam situasi yang serba sulit seperti saat ini, uang merupakan alat kampanye yang cukup ampuh untuk mempengaruhi masyarakat guna memilih calon legislatif tertentu. Kecerdasan intelektual dan kesalehan pribadi tidak menjadi tolak ukur kelayakan bagi calon legislatif, tetapi kekayaan finansial yang menjadi penentu pemenangan dalam pemilu. Pada proses demokrasi praktik money politics tumbuh subur. Karena dianggap suatu kewajaran, masyarakat tidak lagi peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya, karena 18
tidak merasa bahwa money politics secara normatif harus dijauhi. Segalanya berjalan dengan wajar. Kendati jelas terjadi money politics, dan hal itu diakui oleh kalangan masyarakat, namun tidak ada protes. Budaya money politics merupakan hal lumrah dalam masyarakat Jawa. Fenomena money poltics dalam masyarakat Jawa bisa dilihat secara langsung dalam proses pemilihan kepala desa atau lurah sebagai komponen terkecil dari pemerintahan Indonesia. Proses pencalonan kepala desa seringkali tidak lepas dari penggunaan uang sebagai upaya menarik simpati warga. Dalam skala yang lebih luas, praktik money politics telah melibatkan hampir seluruh elemen sosial seperti pejabat, politisi, akademisi, pendidik, saudagar, bahkan kalangan agamawan sekalipun. Dalam perspektif sosiologi politik, fenomena bantuan politis ini dipahami sebagai wujud sistem pertukaran sosial yang biasa terjadi dalam realitas permainan politik. Karena interaksi politik memang meniscayakan sikap seseorang untuk dipenuhi oleh penggarapan timbal balik. Dengan kata lain, relasi resiprositas merupakan dasar bagi terciptanya sistem pertukaran sosial yang seimbang. Perilaku money politics dalam konteks politik sekarang, seringkali diatasnamakan sebagai bantuan, infaq, shadaqah dan lain-lain. Pergeseran istilah money politics ke dalam istilah moral ini secara tidak langsung telah menghasilkan perlindungan secara sosial melalui norma kultural masyarakat yang memang melazimkan tindakan itu terjadi. Tatkala masyarakat telah menganggapnya sebagai tindakan lumrah, maka kekuatan legal formal hukum akan kesulitan untuk menjangkaunya. Melihat kenyataan bahwa praktik money politics telah begitu melekat dalam kehidupan masyarakat, mulai dari tingkat bawah hingga atas, maka persoalan yang pelik ini harus disikapi dengan serius. Persoalan yang terkesan remeh namun memiliki implikasi negatif yang sangat besar bagi perkembangan demokrasi dan penegakan hukum (supremacy) di Indonesia. Money politics membuat proses politik menjadi bias. Akibat penyalahgunaan uang, pemilu sulit menampakkan ciri kejujuran, keadilan serta persaingan yang fair. Pemilu seperti
19
itu akhirnya menciptakan pemerintah yang tidak tidak memikirkan nasib dan kesejahteraan rakyat. Praktik politik uang selama penyelenggaraan Pemilihan Umum 2014 semakin mengkhawatirkan. Dengan melihat fenomena yang ada dan melihat kasus money politics menjadi topic hangat pada tahun 2014 ini maka saya menganggap hal ini menjadi sesuatu yang menarik untuk di teliti. Spanduk bertuliskan 'Warga kami masih terbuka
menerima
serangan
fajar',
terpampang di
Dusun
Mejing
Kidul,
Ambarketawang, Gamping Sleman. Spanduk itu terpajang di dekat pemakaman umum di antara baliho berukuran kecil para caleg. Hal tersebut semakin memperkuat tekat sehingga kasus ini memang perlu di teliti. Secara umum, focus penelitian ini adalah pengaruh money politics pada masyarakat urban. Melihat apakah money politics berpengaruh di dalam menentukan sebuah pilihan dikalangan masyarkat urban dan apakah para caleg menggunakan money politics dalam kampanyenya, serta seberapa besar pengaruh dari money politic itu sendiri. Masyarakat urban itu sendiri biasa dikenal sebagai masyarakat perkotaan yang mana makhluk sosial membutuhkan manusia lain dalam kehidupannya, sekelompok manusia yang saling membutuhkan tersebut akan membentuk suatu kehidupan bersama yang disebut dengan masyarakat. Masyarakat itu sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa
identitas
bersama.
Dalam
hidup
bermasyarakat,
manusia
senantiasa
menyerasikan diri dengan lingkungan sekitarnya dalam usahanya menyesuaikan diri untuk meningkatkan kualitas hidup, karena itu suatu masyarakat sebenarnya merupakan sistem adaptif karena masyarakat merupakan wadah untuk memenuhi berbagai kepentingan dan tentunya untuk dapat bertahan namun disamping itu masyarakat sendiri juga mempunyai berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi agar masyarakat tersebut dapat hidup terus. Dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini, sering dibedakan antara mayarakat urban atau yang sering disebut dengan masyarakat kota dengan 20
masyarakat desa. Perbedaan antara masyarakat kota dengan masyarakat desa pada hakikatnya bersifat gradual, agak sulit memberikan batasan apa yang dimaksud dengan perkotaan karena adanya hubungan antara konsetrasi penduduk dengan gejala-gejala sosial yang dinamakan urbanisme dan tidak semua tempat dengan kepadatan penduduk yang tinggi dapat disebut dengan perkotaan. Pada masyarakat kota ada beberapa ciri-ciri yang menonjol, pada umumnya masyarakat kota dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain; masyarakat kota mempunyai jalan pikiran rasional yang menyebabkan interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi jalan kehidupan yang cepat di kota mengakibatkan pentingnya faktor waktu sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting untuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu dan perubahan-perubahan sosial ta mpak dengan nyata di kota-kota karena kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh luar. Beberapa ciri-ciri masyarakat kota yang selalu berusaha meningkatkan kualitas hidupnya dan terbuka dalam menerima pengaruh luar tersebut menyebabkan teknologi terutama teknologi informasi berkembang dengan pesat dalam masyarakat kota karena bagi masyarakat kota penggunaan teknologi informasi di segala bidang telah sangat signifikan meningkatkan kualitas kehidupan mereka. Lokus dalam tulisan ini selain merupakan masyarakat urban mereka tergolong ke dalam masyarakat marginal karena yang tinggal di dalam lingkungan tersebut adalah hampir sebagian besar pedangang, ada beberapa yang menjadi pemulung, pengangguran, serabutan dan lainnya, sedikit sekali warga atau masyarakat yang memiliki pekerjaan yang tetap dan gaji yang tetap. Lokasi yang akan di teliti adalah di Kecamatan Gondomanan Kelurahan Prawirodirjan Kota Yogyakarta, yang mana lokasi ini di pinggiran Kali Code. Hal yang perlu diketahui bahwa riset atau penelitian ini merupakan bagian dari riset mengenai perilaku memilih masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Research Centre of Politics and Government atau PolGov UGM. Dalam riset tersebut, peneliti merupakan salah satu bagian dan terlibat sebagai asisten peneliti yang bertugas untuk menelaah 21
perilaku memilih dilihat dari maraknya patronase dan klientelisme di kampung Ledok Prawirodirjan. Dikarenakan ulasan tersebut begitu menarik bagi peneliti sehingga peneliti memohon izin untuk mengambilsebagian kecil lokus penelitian riset perilaku memilih ini untuk dijadikan karya berupa skripsi tentang money politics. Jika melihat penjelasan mengenai masyarakat urban itu sendiri yang mana masyarakat urban merupakan masyarakat perkotaan, tetapi di daerah yang akan di teliti ini justru termasuk ke dalam masyarakat miskin. Keberadaan masyarakat miskin kota ini berawal dari adanya masyarakat urban itu sendiri, dimana mereka mendatangi kota dan berharap mendapatkan pekerjaan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sementara untuk tetap menggantungkan hidup di desa, mereka telah jenuh karena telah diketahui bahwa hanya sedikit sekali orang-orang di sebuah desa yang memiliki tanah dan yang lain hanyalah sebagai penggarap. Populasi penduduk juga mempengaruhi, lahan sawah kini banyak berganti peran untuk tempat tinggal. Dilihat dari kacamata politik, kelompok marjinal atau kaum marjinal itu sendiri adalah individu atau kelompok masyarakat yang terhambat atau tidak diberi ruang untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu, maka ia tergolong marginal (secara politik). Begitupun kelompok masyarakat yang tidak bisa mendapatkan kenyamanan dan selalu terancam baik dalam masalah keamanan maupun dari kekerasan ia juga masuk dalam kategori marginal. Dalam konteks ini tentu pemenuhan dan penanganannya pun berbeda. Seperti: partisipasi dalam pemilu, indeks korupsi, status keamanan, kriminal atau kekerasan. Disamping itu juga marginal dalam konteks masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan yang tetap atau dapat dikatakan juga sebagai pengangguran membuat money politics menjadi target utama untuk kalangan ini. Karena dengan tingkat ekonomi yang bisa dikatakan miskin, para caleg menggunakan kesempatan ini untuk kepentingan mereka dengan membagi-bagikan uang, barang dan sebagainya guna mencari dukungan atau mendapatkan suara. Money politics bukanlah menjadi hal tabu di masyarakat. Budaya money politics merupakan hal lumrah dalam masyarakat. Fenomena money poltics dalam masyarakat bisa dilihat secara langsung dalam proses pemilihan. Dibutuhkan 22
kerangka 3 kerja tafsir untuk memahami setiap makna yang tersimpan di balik perilaku politik sehingga dapat memudahkan dalam pemisahan secara analitik antara pemberian yang sarat dengan nuansa suap, dan pemberian dalam arti sesungguhnya sebagai bantuan (Umam, 2006:47). Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa money politics itu adalah berbentuk uang, tetapi sebenarnya bentuk dari money politics itu tidak hanya uang. Menurut Sapardiyono, Kompasiana 2014, bentukbentuk dari money politics. Pertama, menggunakan pintu kampanye pertemuan tatap muka atau pertemuan terbatas. Para caleg memperkenalkan dirinya masing-masing dan sekaligus menyampaikan visi-misinya apabila terpilih menjadi anggota dewan sekaligus menyebarkan brosur, kartu nama caleg, stiker dll. Setelah ada sedikit Tanya jawab pertemuan diakhiri dan para peserta diberi pengganti uang transport, besarnya sangat beragam ada yang 20 ribu, 50 rb, untuk kategori “kader” misalnya bahkan bisa mencapai 100 rb. Uang sebesar tersebut bisa dibayar sendiri oleh caleg tersebut, namun bisa dibayar bersama para Tandem. Tandem adalah istilah kerjasama antar caleg yang berbeda level, misalnya caleg DPRD Kab/Kota bertandem dengan Caleg DPRD Provinsi dan juga bertandem dengan caleg DPR RI. Cara sosialisasi seperti ini sudah banyak dievaluasi kurang efektif, sebab kelompok masyarakat ternyata menerima sosialisasi dari berbagai partai dan bahkan berbagai caleg dari partai yang sama. Setelah caleg tertentu sosialisasi dan ada permintaan sosialisasi dari partai lain maka juga akan diterima, jadi otomatis uang transport yang dapat diterima sekelompok masyarakat juga bisa berkali-kali. Tidak pernah bisa diukur akhirnya masyarakat akan memilih siapa. Kedua, dengan cara bantuan langsung. Bantuan langsung adalah pemberian dari caleg untuk komunitas atau kelompok tertentu, transaksi biasanya dilakukan setelah kegiatan sosialisasi dilakukan. Yaitu ada suatu kesepakatan antara caleg atau bisa saja melalui tim-nya bernegosisasi. Bantuan langsung bisa berupa barang misalnya semen 20 sak untuk pembuatan jalan, atau bisa berupa bantuan tenda untuk pertemuan, Genset atapun wireless. Tapi bisa juga berupa uang tunai untuk kas kelompok. Para caleg biasanya mengkonversi besaran bantuan langsung terhadap 23
komitmen masyarakat untuk memberikan suara sejumlah angka tertentu. Selain melalui sosialisasi masyarakat ada juga yang mengirimkan proposal tertentu melalui seorang kurir diantara mereka sendiri, proposal selain disebutkan jenis bantuan dan besaran yang diminta biasanya juga lengkap dilampiri nama, alamat dan no HP calon pemilih yang siap memberikan suaranya apabila proposal tersebut disetujui. Yang ketiga, adalah dengan cara tembakan langsung. Banyak istilah yang biasa digunakan dalam cara ini, seperti serangan fajar. Namun yang paling popular adalah bitingan. Bitingan adalah berasal dari kata Biting yang berasal dari bahasa jawa yang artinya lidi. Satu biting satu lidi atau satu suara. Dalam pelajaran matematika jika kita ingin menghitung suara satu persatu biasanya dengan Tally Sheet, lidi di tata 4 buah lidi berjejer dan satu lidi disilangkan untuk mempermudah menghitung, menjadi 5 lidi atau biting. Namun demikian istilah bitingan juga sering digunakan masyarakat ketika sedang bermain judi dengan kartu tertentu, angka yang mereka peroleh sering dikonversi menjadi biting. Dalam pemilu 2014 ini istilah bitingan menjadi sangat popular. Hampir 90 persen masyarakat paham istilah ini, yaitu menukar suara 1 biting dengan sejumlah uang tertentu. Riset mengenai money politics menjadi semakin menarik karena akan mengkaji mengenai money politics dengan analisis patronase. Hampir setiap masyarakat ada yang bersedia menjadi agen, jika kita tidak tahu, sebetulnya dapat dipastikan bahwa kita adalah pihak yang sengaja “dilewati” oleh para agen tersebut. Angka bitingan sangat bervariasi tergantung transaksi. Yang paling besar adalah untuk DPRD Kab/Kota. Angka berkisar antara 50 ribu rupiah per biting sampai dengan 75 rb rupiah per biting. Jadi dapat dibayangkan apabila satu keluarga mempunyai 4 pemilih maka mereka akan mendaftarkan 4 orang kali 50 ribu jadi akan menerima 200 ribu rupiah. Sedangkan untuk DPRD Provinsi juga bervariasi tergantung transaksi dengan besaran antara 20 ribu sampai dengan 50 ribu rupiah. Sementara untuk DPR RI transaksi terjadi di angka sekitar 20 ribu rupiah per biting. Kita juga bisa bayangkan apabila bitingan dilakukan dengan cara bertandem, maka setiap pemilih biasa memperoleh 100 ribu dengan rincian suara DPRD kab/kota 50 24
ribu, DPRD Prov 30 ribu dan DPR RI 20 ribu rupiah (Sapardiyono Kompasiana, 2014). Jika kita berbicara mengenai money politics hal yang tidak kalah pentingnya adalah siapa saja yang menerima money politics. Tujuan dari para caleg melakukan money poitics tidak hanya di tujukan untuk individu saja, tetapi bisa juga ke golongan terbatas (club goods), komunitas berdasarkan wilayah ( pork barrel politics) dan seluruh anggota dari suatu kategori sosial. Setelah itu money politics biasanya dilakukan pada dua waktu yaitu
sebelum pemilu dan setelah pemilu. Pertama,
sebelum pemilu yang berupa serangan fajar, pembagian sembako dan pembagian uang kepada masyarakat melalui tim sukses. Kedua, sesudah pemilu yang biasanya berupa imbalan kepada pendukung atau tim sukses dan kepada pemilih (Edward Aspinall 2014). Sebenarnya sudah banyak orang yang meneliti mengenai money politics, contohnya saja tulisan dari Sabilal Rosyad yang berjudul Praktik Money Politics dalam Pemilu Legislatif di Kabupaten Pekalongan Tahun 2009. Dia melihat bahwa masyarakat Pekalongan menilai money politics sebagai sesuatu yang wajar karena alasan ekonomis dan sebagian karena ketidaktahuan mereka. Anggapan ini muncul disebabkan pragmatisme politik, yang tidak hanya dipraktekkan oleh elit politik tetapi juga telah menyebar ke dalam kultur masyarakat. Realitas politik yang diwarnai money politics di Pekalongan bahwa kelompok dominan politik cenderung dikendalikan oleh pemilik modal, dengan jalan money politics atau apapun caranya, menunjukkan bahwa evolusi masyarakat dipengaruhi sejauhmana lorong-lorong finansial mampu memengaruhi pandangan masyarakat dan bagaimana pandangan mereka untuk menciptakan kondisi kemasyarakatannya. Dengan ungkapan yang lebih ekstrim, sebenarnya masyarakat dalam pemilihan umum lebih banyak dikendalikan oleh modal atau uang. Selain tulisan dari Sabil Rosyad ada pula tulisan dari Fitriyah mengenai Money Politics yang berjudul Fenomena Politik Uang dalam Pilkada. Di dalam tulisan ini dia menjelaskan bahwa fenomena politik uang dalam pemilu bukan hal 25
baru, fenomena ini sudah ada di pilkades. Politik uang tumbuh subur didukung oleh kecenderunganan masyarakat yang makin permisif. Pembiaran atas politik uang tidak hanya berimpilkasi melahirkan politisi korup namun juga berakibat tercederainya suatu pemilu yang demokratis. Secara sadar sebenarnya ada keinginan untuk menghapus politik uang dalam pilkada, setidaknya ini menjadi salah satu alasan mengapa mengubah model pilkada, semula oleh anggota DPRD menjadi secara langsung oleh pemilih. Namun regulasi yang mengatur pilkada nyata-nyata belum mampu membentengi agar politik uang dalam pilkada menjadi minimal. Karena itu, bersamaan dengan sedang disusunnya undang-undang pilkada diharapkan para pembuat regulasi pilkada mampu menyempurnakannya menjadi lebih mendekati kaidah pemilu yang demokratis, yakni memberi ruang yang sama bagi semua pihak (prinsip persaingan politik yang setara/political equality) untuk berkompetisi secara fair, bukan memberi wadah istimewa bagi kandidat yang paling punya akses dana. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah terdapat pada focus penelitian dan tempat penelitiannya. Jika yang sebelumnya melihat praktik money politics dan fenomena money politics, pada penelitian yang sekarang akan mencoba melihat pengaruh money politics pada masyarakat urban. Melihat apakah money politics menjadi faktor pemilih dalam menentukan pilihannya dan melihat sejauh mana pengaruh dari money politics. Selain itu penelitian ini juga akan melihat siapa saja yang menerima money politics. Kasus money politics ini penting diteliti karena money politics di kalangan masyarakat sudah menjadi hal yang wajar dan terus menerus dilakukan disetiap pemilihan umum karena sebagian masyarakat juga menunggu hal tersebut dikarenakan faktor ekonomi. Adanya timbal balik antar yang di beri dan di beri dapat dikatakan simbiosis mutualisme, mereka saling membutuhkan. Dengan melihat fenomena tersebut, kasus money politics menjadi tolak ukur demokrasi kita.
26
B. RUMUSAN MASALAH Guna menjawab keingintahuan saya mengenai pengaruh money politics, maka pertanyaannya : Bagaimana peranan money politics dalam mengarahkan perilaku memilih di Kecamatan Gondokusuman, Kelurahan Prawirodirjan, Kota Yogyakarta pada Pemilu Legislatif tahun 2014 ?
C. TUJUAN PENELITIAN
-
Mengidentifikasi pengaruh money politics terhadap masyarakat urban pada pemilu legislatif 2014 di Kota Yogyakarta
-
Mengidentifikasi cara kerja dari money politics
-
Mengidentifikasi dampak dari money politics
D. KERANGKA TEORI Studi ini hendak melihat bagaimana peranan money politics dalam mengarahkan perilaku memilih pada Pemilu Legislatif. Selain itu, misi studi ini adalah mengungkap praktek money politics di dalam pemilu legislatif 2014. Untuk mencapai hal itu, saya memakai dua teori untuk mengkerangkai atau menuntun saya dalam melakukan penelitian ini, yakni teori money politics dan teori perilaku memilih. D.1 MONEY POLITICS Istilah politik uang (money politics) merupakan sebuah istilah yang dekat dengan istilah korupsi politik (political corruption). Sebagai bentuk korupsi, politik uang masih menjadi perdebatan karena praktiknya yang berbeda-beda di lapangan, terutama terkait
perbedaan penggunaan antara uang pribadi dan uang negara.
Ketidakjelasan definisi money politics ini menjadikan proses hukum terkadang sulit
27
menjangkau. Sementara itu secara umum istilah korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau sumberdaya publik untuk kepentingan pribadi, telah tumbuh dan berkembang sebagai problem sosial yang serius dan akut di Indonesia.( Arnold Herdenheimer 1993 dalam Rosyad 2012, h. 4). Karena itulah dari diskursus yang tergelar, belum ada kesimpulan tegas mengenai money politics. Tidak ada batas-batas jelas antara praktik jual beli suara dan pengeluaran uang dari partai untuk keperluan yang kongkrit. Garis demarkasi antara money politics (politik uang) dan political financing atau pembiayaan kegiatan politik masih sangat kabur (Ismawan, 1999: 4). Meskipun demikian bukan berarti tidak ada yang mencoba mendefinisikan istilah money politic. Salah satunya, money politics biasa diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada pula yang mengartikan money politics sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan. Secara umum money politics biasa diartikan sebagai upaya untuk mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan money politic sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan. Pemahaman tentang money politic sebagai tindakan membagi-bagi uang (entah berupa uang milik partai atau pribadi). Publik memahami money politics sebagi praktik pemberian uang atau barang atau iming-iming sesuatu kepada masa (voters) secara berkelompok atau individual, untuk mendapatkan keuntungan politis (political again). Artinya tindakan money politics itu dilakukan secara sadar oleh pelakunya. Money politic seseorang juga biasa menyebutnya dengan politik uang, karena keduanya merupakan pemberian uang demi kepentingan pribadi atau kelompok yang berimplikasikan pada kekuasaan. Adapun pengertian politik uang adalah
pertukaran
uang
dengan
posisi/
kebijakan/keputusan
politik
yang
mengatasnamakan kepentingan rakyat tetapi sesungguhnya demi kepentingan pribadi/kelompok/partai (Herbert E Alexander 1980, h. 2-3) Dalam hal ini Huntington dan Nelson menjelaskan bahwa money politics merupakan bagian dari partisipasi yang dimobilisasi karena tidak didasarkan pada 28
pilihan rasional. Rakyat mencoblos karena ada iming-iming uang bukan karena pilihan sadar tentang pemimpin berdasarkan visi dan misi. Praktik politik uang ini akibat dari mahalnya ongkos demokasi kita. Menurut penulis ada beberapa implikasi dari praktik politik uang. Pertama, sulitnya menciptakan pemilu jujur, keadilan, dan fair. Dengan uang kemenangan dapat dibeli. Dalam kondisi semacam itu, tentu yang akan lahir adalah pemimpin despotik dan tidak pro rakyat. Kedua, Merusak kepercayaan publik. Pemilu tak lagi dipercaya sebagai sistem yang dapat melahirkan pemimpin baik karena pemilu bisa direkayasa dengan uang. Siapapun calonnya, bisa dipastikan yang menang adalah mereka yang mempunyai kecukupan kapital. Edy Suandi Hamid (2009) melihat dari kacamata ekonomi, menilai money politics muncul karena adanya hubungan mutualisme antara pelaku (partai, politisi, atau perantara) dan korban (rakyat). Keduanya saling mendapatkan keuntungan dengan mekanisme money politics. Bagi politisi, money politics merupakan media instan yang dengan cara itu suara konstituen dapat dibeli. Sebaliknya, bagi rakyat, money politic ibarat bonus rutin di masa Pemilu yang lebih riil dibandingan dengan program-program yang dijanjikan. Filosofi manusia modern mempunyai beberapa ciri. Di antaranya, pertama: manusia modern hidup berdasarkan rasionalitas yang tinggi. Kedua, kebutuhan manusia terfokus pada materi kebendaan. Di antara materi kebendaan yang dipandang memiliki nilai tertinggi adalah uang (Sudjito 2009). Menurut Didik Supriyanto (2014), berdasarkan aktor dan wilayah operasinya, politik money politics atau politik uang bisa dibedakan menjadi empat lingkaran sebagai berikut: (1) Lingkaran satu, adalah transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan pasangan calon yang akan menjadi pengambil kebijakan/keputusan politik; (2) Lingkaran dua, adalah transaksi antara pasangan calon dengan partai politik yang mempunyai hak untuk mencalonkan; (3) Lingkaran tiga, adalah transaksi antara pasangan calon dan tim kampanye dengan petugas-petugas yang mempunyai wewenang untuk menghitung perolehan suara; dan (4) Lingkaran empat, adalah transaksi antara calon dan tim kampanye dengan massa pemilih (pembelian suara). politik uang lingkaran empat ini biasa disebut dengan political buying, atau 29
pembelian suara langsung kepada pemilih. Lebih lanjut dikatakannya, ada banyak macam bentuk political buying, yakni pemberian ongkos transportasi kampanye, janji membagi uang/barang, pembagian sembako atau semen untuk membangun tempat ibadah, serangan fajar dan lain-lain. Modus politik uang tersebut berlangsung dari pemilu ke pemilu, tidak terkecuali dalam pileg tetapi juga dalam pilkada sekalipun dan praktik-praktik jual beli suara ini bukan semata-mata didasari oleh kebutuhan ekonomi sebagian besar pemilih, tetapi juga karena hal tersebut sudah lama berlangsung setiap kali ada pemilihan sehingga masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah, meski mereka tahu bahwa hal itu melanggar ketentuan. Namun berbagai kejadian money politics dalam pemilu, seringkali tidak tersentuh oleh penegakan hukum karena sulitnya pembuktian akibat tidak adanya batasan yang jelas mengenai politik uang, disamping sebagian masyarakat menganggap sebagai sesuatu yang lumrah. Bahkan, yang lebih memprihatinkan adalah masyarakat kian permisif dengan praktek money politics dalam pemilu. Menurut Aspinall, ada empat model atau bentuk dari money politics, yaitu (1) uang, menyangkut pemberian uang cash untuk berbagai alasan, (2) barang, seperti sembako, bantuan untuk pembangunan masjid, baju, dan sebagainya, (3) pelayanan, seperti pendidikan gratis dan kesehatan gratis kepada pendukungnya, dan (4) peluang ekonomi,
misalnya
peluang
kerja,
peluang
izin
proyek,
kontrak,
dan
sebagainya. Tetapi di masyarakat money politics dikenal sebagai pembagian uang, kenyataannya money politics bukan hanya sekedar uang, barang, pelayanan, bantuan juga termasuk dalam kategori money politics. Menurut Schaffer (2007, dalam Heroik 2014: 10) pembelian suara yang dilakukan oleh kandidat wakil rakyat paling tidak memiliki tiga criteria diantaranya : 1. Materi yang diberikan oleh politisi untuk ditukar dengan suara pemilih dibagikan beberapa hari atau beberapa jam menjelang pemilihan umum. 2. Target penerima materi yang dipertukarkan untuk memperoleh suara pemilih adalah individu dan atau rumah tangga. 30
3. Materi yang dipergunkaan untuk membeli suara merupakan barang privat atau barang public di “personalisasi” (Scaffer 2007: Hicken 2007, dlaam Sumarto 2014: 30). Stokes (2007 dalam Heroik 2014: 11) menambahkan criteria lain dengan adanya criteria yang digunakan oleh “pembeli” suara untuk memilih “penjual” suara adalah “apakah anda akan memilih saya”. Dalam hal ini sebelum seorang calon anggota legislatif akan memberikan uang kepada pemilih, ia perlu memastikan apakah pemilih tersebut akan memberikan suaranya pada saat hari pemungutan suara. Akan tetapi dalam prakteknya seorang pembeli suara sebetulnya tidak memiliki instrument control yang mampu memastikan sekaligus menjamin, seorang pemilih akan memberikan suaranya pada hari pemungutan suara ketika sudah diberikan uang sebelumnya layaknya transaksi ekonomistik antara penjual dan pembeli dalam perdagangan barang dan jasa. Sehingga pada kondisi seperti ini seorang pembeli suara mengalami ketidakpastian akan suara yang akan diberikan atau tidak akan diberikan oleh penjual suara. Menurut Schaffer dan Schedler (2007) hal ini tidak terlepas dari adanya hambatan obyektif dari praktek money politics. Pada sisi obyektif ketidakpastian atau ketikapatuhan dari seorang penjual suara kepada pembeli suara berkaitan dengan adanya fakta bahwa seklaipun seorang penjual suara kepada pembeli suara berkaitan dengan adanya fakta bahwa sekalipun bekerja pada transaksi komersial, pembeli suara membeli tanpa lisensi yang berada pada pasar gelap dari pada dalam pasar normal yang dilindungi secara legal (Schaffer & Schadler dalam Scahher (ed.) 2007: 19). Maksudnya adalah, jual-beli suara merupakan praktek perdagangan yang bertentangan dengan aturan hukum yang ada atau illegal. Dalam hal ini para pembeli suara berhadapan dengan hukum dan nilai demokrasi yang memposisikan suara bukan lah sebagai komoditas yang dapat diperjual-belikan. Sekalipun sejalan dengan norma-norma masyarakat setempat, vote buying masih tetap illegal dimana hukum dan ancaman sanksi kepada pembeli suara masih ditegakkan (Schaffer & Schadler
31
dalam Schaffer 2007 (ed.): 20). Dengan ini seorang penjual suara tidak berkewajiban dan tidak perlu khawatir untuk memberikan suaranya kepada pembeli, karena hubungan transaksi ini tidak dilindungi oleh aturan hukum yang ada layaknya transaksi komersil barang dan jasa. Sedangkan pada sisi subyektif seorang pemilih atau penjual suara dapat berpikir bahwa uang yang telah diberikan merupakan pemberian uang yang dilakukan oleh penjual suara dilandasi dengan kebaikan hati politisi yaitu kewajiban resiprokal untuk menyumbangkan suara politiknya kepada pembeli suara (Schaffer dan Schedler 2007, dalam Sumarto: 31). Pada sisi lain, Aspinal mengungkapkan strategi yang dilakukan oleh kandidat terkait dengan materi yang diberikan kepada pemilih dan juga waktu yang digunakan biasanya terjadi antara sebelum atau sesudah pemilu (Aspinall: 2013). Ada juga cara yang digunakan oleh kandidat untuk menarik pemilih adalah dengan cara pemilih diminta untuk mengambil foto mereka ketika memilih sehingga bukti tersebut untuk dapat disampaikan kepada pihak kandidat (Fonbuena 2013). Metode lain adalah dengan membagikan kupon kepada para pemilih, dan kupon tersebut dapat di tebus jika kandidat menang (Teo Sue Ann 2013). Di masyarakat, money politics lebih dikenal sebagai bagi-bagi uang atau biasa dikenal dengan serangan fajar mengacu pada distribusi uang tunai atau hadiah lain setelah sholat subuh pada hari pemilu sendiri, atau pada malam atau beberapa hari menuju pemilu. Salah satu cara yang paling banyak digunakan dikalangan gubernur, walikota dan bupati adalah dengan membagikan atau memberikan bantuan sosial berupa dana untuk lembaga keagamaan, LSM dan organisasi masyarakat lainnya. Secara teoritis adalah untuk membedakan pembayaran atau dana dengan memilah pendistribusian untuk pelayanan, pemograman dan bantuan kepada warga atau masyarakat miskin atau kelas bawah terlepas dari koneksi politik mereka (Stokes et al 2013). Dalam menawarkan uang, barang, atau jasa, secara umum ada tiga cara di mana pemberi akan menemukan si penerima untuk memilih atau tidak memilih, calon 32
tertentu. Pertama, pemberi mungkin berharap untuk menghasilkan kepatuhan instrumental. Jika berhasil, penerima akan merubah atau tidaknya pilihan mereka dengan memberikan penawaran yang mana penawaran tersebut mencegah pemilih untuk tidak memilih yang lain. Tawaran tersebut terkadang dapat merubah pemikiran seseoarang. Kedua, pemberi mungkin berharap untuk menghasilkan normative kepatuhan. Jika berhasil, penerima merubah atau tidaknya pilihan mereka dengan meyakinkan si penerima penawaran tentang kebaikan dan kelayakan calon. Biasanya melalui pemberian hadiah untuk menjunjukkan kebaikan si calon. Ketiga,
pemberi
mungkin
berharap
untuk
menghasilkan kepatuhan koersif dengan intimidasi penerima ke mengubah, atau tidak berubah, perilaku memilih mereka. Jika berhasil, penerima takut retribusi jika mereka menolak tawaran tersebut, dan jika mereka tidak memilih seperti yang diarahkan setelah tawaran telah diterima. Setelah itu, cara lainya si pemberi mungkin memantau bagaimana individu memilih baik sebagai syarat untuk pembayaran pasca-voting, atau sebagai awal untuk retribusi jika si penerima tidak melakukan seperti yang diperintahkan(Gish1961, 63). Cara bekerjanya money politics dalam kampanye selalu melibatkan intermediary agent dengan tujuan untuk menghindari jeratan hukum yang ada secara diam-diam. Bagi Wang dan Kurzman (dalam Schaffer (ed.) 2007: 64) dalam prosesnya pelibatan agen penghubung sangat penting dalam setiap pemilihan umum untuk menjaring suara pemilih pada level local. Ketika seorang kandidat memutuskan untuk menggunakan money politics terdapat perbedaan keterampilan yang perlu dimiliki oleh seorang agen penghubung salah satunya ialah pemahaman mengenai daerah setempat. Dari situlah kemudian Wang dan Kurzman (dalam Schaffer (ed.) 2007: 64 menjelaskan dalam proses pembelian suara seorang kandidat perlu menyewa politikus local atau agen penghubung local yang memiliki pengetahuan local secara terperinci dengan criteria : seseorang mengetahui kepada siapa ia akan
33
memberikan uang, seseorang dapat dipercaya, dan bagaimana hubungan ini dapat digunakan untuk mempengaruhi pemilih. Pemahaman mengenai daerah setempat inilah kemudian yang akan memastikan ada atau tidak adanya resiko yang akan ditimbulkan dari praktek pembelian suara yang dilakukan. Hal ini karena jika dalam proses perekrutan agen penghubung tidak mampu memilih yang tepat maka dapat membawa resiko (Wang dan Kurzman dalam Schaffer (ed.) 2007: 65). Sehingga pemanfaatan jaringan pribadi kandidat yang memiliki kedekatan sosial dipercaya oleh kandidat seperti teman satu sekolah, tetangga dalam satu daerah tempat tinggal, kepala desa, jaringan veteran dan petani sering kali dimanfaatkan sebagai agen penghubung (Wang & Kurzman dalam Schaffer (ed.) 2007: 69). Pemanfataan hubungan sosial pribadi yang dilakukan oleh kandidat sebagai agen penghubung bertujuan untuk mempermudah proses pendistribusian uang ke lokasi perumahan, yang sangat beresiko dilakukan oleh kandidat itu sendiri. Untuk itu menurut Wang dan Kurzman (dalam Schaffer 2007:71) dalam proses perekrutan agen penghubung berlandaskan pada tiga kategori hubungan sosial : 1. Keluarga dengan memanfaatkan salah satu pemilih yang berasal dari satu keluarga dengan kandidat bisa keponakan ataupun sepupu untuk menjadi penghubung dalam proses pendistribusian uang kepada keluarganya sendiri ataupun tetangga pemilih. 2. Teman yakni memanfaatkan hubungan pertemanan antara kandidat dengan pemilih untuk mendistribusikan uang kepada saudara-saudara pemilih. 3. Tetangga
yakni
memanfaatkan
tetangga
dimana
ia
tinggal
untuk
mendistribusikan uang dari tetangga ke satu dengan tetangga lainnya.
D.2 PATRONASE
Secara konsep, patronase menurut penjelasan Scott (1972) adalah suatu relasi dua arah antara patron (status social-ekonomi lebih tinggi) dan Klien (status social34
ekonomi lebih rendah) dengan menggunakan pengaruh sumber daya yang dimiliki oleh patron untuk diberikan kepada klien dengan maksud untuk mendapat dukungan dan bantuan (biasanya dalam pemilihan). Edward Aspinall (2013, h. 1) juga menjelaskan bahwa patronase merupakan sumber daya yang berasal dari sumbersumber public dan disalurkan untuk kepentingan partikularistik. Sedangkan menurut Hasrul Hanif (2009, h. 329), patronase merupakan system intensif atau ‘mata uang’ politik untuk membiayai aktivitas dan respon politik. Patronase juga diartikan sebagai penggunkan sumber daya yang sering kali (mesti idak selalu) berasal dari Negara yang digunakan untuk mendapatkan dukungan pemilih, dimana biasanya patron menawarkan kerja-kerja administrative atau sumber daya kepada klien (Tomsa & Ufen 2013, h. 5). Kajian patronase yang spesifik menjelaskan mengenai sesuatu yang menyangkut materi yang diberikan oleh patron kepada klien yang berupa bentukbentuk materi yang digunakan, waktu penyaluran materi dan model patronase yang digunakan (dititik siapa yang menggunakan materi). Untuk memaknai kekaburan makna money politics dapat juga digunakan konsep patronase. Merujuk pada Sheffer, dapat di definisikan bahwa patronase sebagai sebuah pembagian keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau para penggiat kampanye dalam rangka mendapatkan dukungan politik dari mereka (Schefter 1994:283,n.3; lihat juga Hutchcroft 2014: 176-177 yang telah berupaya untuk membedakan kedua konsep tersebut dalam Edward Aspinal dan Mada Sukmajati 2015). Dengan demikian patronase merupakan pemberian barang tunai, barang, jasa dan keuntungan ekonomi lainnya seperti pekerjaan atau kontrak proyek yang didistribusikan oleh politisi, termasuk keuntungan yang ditujukan untuk individu (misalnya lapangan sepak bola baru untuk para pemuda di sebuah kampung). Patronase juga bisa berupa uang tunai atau barang yang didistribusikan kepada pemilih yang berasal dari dana pribadi (misalnya dalam pembelian suara) atau dari dana public (misalnya proyek-proek pork barrel yang dibiayai pemerintah). Patronase juga dapat dibedakan dengan 35
materi-materi yang bersifat programatik (programmatic goods) yaitu materi yang diterima oleh seseorang yang menjadi target dari program-program pemerintah misalnya, program kartu pelayanan kesehatan yang menawarkan perawatan gratis untuk penduduk miskin. Patronase merujuk pada materi atau keuntungan lain yang didistribusikan oleh politisi atau pemilih pendudukung (Edward Aspinal dan Mada Sukmajati 2014; 4). Ada beberapa variasi bentuk dari patronase menurut Aspinal dan Mada Sukmajati: 1. Pembelian Suara (vote buying). Pembelian suara dimaknai sebagai distribusi pembayaran uang tunai/barang dari kandidat kepada pemilih secara sistematis beberapa hari menjelang pemilu yang disertai dengan harapan yang implicit bahwa para penerima akan membalasnya dengan memberikan suara bagi si pemberi. 2. Pemberian barang-barang pribadi (individual gifts). Untuk mendukung upaya pembelian suara yang lebih sistematis, para kandidat seringkali memberikan berbagai bentuk pemberian pribadi kepada pemilih. Biasanya mereka melakukan praktik ini ketika bertemu dengan pemilih baik ketika melakukan kunjungan ke rumah-rumah atau pada saat kampanye. Pemberian seperti ini sering kali dibahasakan sebagai perekat hubungan sosialmisalnya anggapan bahwa barang pemberian sebagai kenang-kenangan. Kadang pemberian tersebut didistribusikan oleh tim kampanye. Dalam kasus semacam ini, praktik tersebut tidak mudah dibedakan dengan pembelian suara secara sistematis. Pemberian yang paling umum bisa dibedakan dalam beberapa kategori. Sebagai contoh, pemberian dalam bentuk benda-benda kecil (missal, kalender dan gantungan kunci) yang disertai dengan nama kandidat dan imej yang dibentuk untuk kandidat. Contoh barang pemberian lain adalah bahan makanan atau sembako se[erti beras, gula, minyak goreng, dan mi instan. Juga bahan kecil lainnya seperti kain atau peeralatan rumah tangga, terutama yang memiliki makna religious (missal jilbab, mukena, sajadah) atau peralatan rumah tanggga minor seperti barang pecah belah atau yang terbuat dari plastic. Catatan khusus juga bisa diberikan untuk 36
pemberian berupa makanan dan minuman gratis, rokok gratis, dan makanan kecil sebagai konsumsi dalam pertemuan yang dihadiri oleh kandidat dan pemilih (mulai dari cemilan sederhana hingga pesta besar). Sekali lagi, perbedaan antara pemberian barang-barang dan pembelian suara terkadang sangat sulit dilakukan. Namun demikian, da;am praktiknya, sebagian besar kandidat secara tegas membedakan keduanya sehingga mereka tidak menganggap bahwa pemberian barang adalah bagian dari ‘politik uang’. Untuk membedakannya dengan pemberian barang-barang para kandidat pada umumntya memaknai pembelian suara sebagai praktik yang dilakukan secara sistematis dengan melibatkan daftar pemilih yang rumit dan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh target suara lebih besar. 3. Pelayanan dan Aktivitas (services and activities). Seperti pemberian uang tunai dan materi lainnya, kandidat seringkali menyediakan atau membiayai beragam aktivitas dan pelayanan untuk pemilih. Bentuk aktivitas sangat umum adalah kampanye pada acara perayaan oleh komunitas tertentu. Tidak sedikit kandidat yang juga membiayai beragam pelayanan untuk masyarakat, misalnya check0up dan pelayanan kesehatan gratis yang dulunya sangat tidak identik dengan aktivitas yang hanya diselenggarakan oleh kader PKS. Penyediaan mobil ambulans gratis juga banyak ditemui. 4. Barang-barang Kelompok (club goods). Club goods didefinisikan sebagai praktik patronase yang diberikan lebih untuk keuntungan bersama bagi kelompok social tertentu ketimbang bagi keuntungan individual. Sebagian besar club goods di Indonesia bisa dibedakan dalam dua hal yakni donasi untuk asosiasi-asosiasi komunitas dan donasi untuk komunitas yang tinggal di lingkungan perkotaan, pedesaan atau lingkungan lain. Jenis barang yang dibagikan adalah perlengkapan ibadah, peralatan olahraga, alat music, sound system, peralatan dapur, tenda, peralatan pertanidan dan sebagainya. Kandidat juga kerap memberikan sumbangan pembangunan atau renovasi infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat di wilayah tertentu misalnya rumah ibadah, jalan, jembatan atau 37
kanal drainase, dan lain-lain. Lagi-lagi hanya sedikit kandidat yang menganggap praktik pemberian club goods sebagai bagian dari “politik uang” karena mereka merasa hanya menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. 5. Proyek-proyek gentong babi (pork barrel projects). Sejauh ini, telah dideskripsikan berbagai strategi para kandidat dalam rangka memenangkan suara yang didanai secara privat (baik oleh kandidat sendiri atau donor swasta, meski telah diketahui bahwa seringkali sebagian besar sumber dana untuk aktivitas tersebut berasal dari korupsi uang Negara). Bentuk patronase meliputi proyekproyek pork barrel yang didefinisikan sebagai proyek-proyek pemerintah yang ditujukan kepada public yang di danai dengan dana public dengan harapan public akan memberikan dukungan politik kepada kandidat tertentu.
D.3 PERILAKU MEMILIH Studi tentang perilaku memilih merupakan studi mengenai alasan dan faktor yang menyebabkan seseorang memilih suatu partai atau kandidat yang ikut dalam kontestasipolitik. Perilaku memilih baik sebagai konstituen maupun masyarakat umum di sini dipahami sebagai bagian dari konsep partisipasi politik rakyat dalam sistem perpolitikan yang cenderung demokratis. Perilaku memilih dalam pemilu merupakan respon psikologis dan emosional yang diwujudkan dalam bentuk tindakan politik untuk mendukung suatu partai atau kandidat. Dalam kehidupan demokrasi, pengetahuan akan preferensi dan aspirasi politik anggota masyarakat menjadi sangat penting. Ini akan menentukan keberlangsungan proses demokrasi di masa datang. Informasi akan preferensi dan aspirasi politik akan sangat berguna, bukan hanya bagi partai-partai politik atau calon-calon pejabat publik, tetapi juga bagi masyarakat luas pada umumnya. Untuk mengerti perilaku memilih, pendekatan yang paling sering dilakukan adalah dengan teori pemasaran. Konsep inti dari pemasaran adalah bagaimana tansaksi diciptakan, difasilitasi dan dinilai. Transaksi adalah pertukaran nilai antara dua pihak. Transaksi juga terjadi saat
38
seseorang menukarkan dukungannya dengan harapan mendapatkan pemerintahan yang lebih baik Teori pemasaran yang digunakan adalah teori-teori mengenai perilaku konsumen. Teori ini digunakan karena pada saat menggunakan hak pilihnya, pemilih melakukan pengambilan keputusan.
Pengambilan keputusan untuk
mempertukarkan hak suaranya dengan pilihan terhadap partai tertentu sama seperti perilaku konsumen mempertukarkan uang untuk membeli barang/jasa tertentu. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah theory of reasoned action. Menurut
teori
ini,
individu
diperkirakan
berperilaku
berdasarkan
keinginannya untuk terikat dengan perilaku tersebut. Penerapan theory of resoned action dapat dilakukan dalam bidang politik. Teori ini mampu mengukur faktor apa saja yang mempengaruhi keinginan untuk memilih partai politik yang dibuat berdasarkan teori dari Ajzen dan Fishbein (1980) ini mampu memprediksi keinginan untuk memilih partai politik, dimana kekuatan prediksinya bertambah dengan penggunaan model ini pada satu partai politik secara spesifik. Penerapan teori ini dalam bidang politik memungkinkan partai politik tahu apa yang secara signifkan mempengaruhi keinginan untuk memilih partai politik dan memasarkan partai politik secara tepat untuk mendapatkan suara. Menurut penerapan theory of reasoned action pada bidang politik, keinginan untuk memilih partai politik. Secara signifikan dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh sikap terhadap partai politik dan norma subjektif interpersonal. Pengaruh sikap terhadap partai politik signifikan karena orang mengidentifikasinya dirinya dengan partai, bukan pemimpinnya. Pengaruh sikap terhadap partai politik secara langsung lebih tinggi dibandingkan pengaruh tidak langsungnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemilih tidak terlalu memperhatikan atribut partai seperti visi/misi/program atau isu. Pemilih lebih menekankan pada perasaan simpati, senang dan bangga terhadap suatu partai politik dalam memilih. Pengaruh norma subjektif interpersonal signifikan karena pada masyarakat Asia, yang menekankan harrmonisasi dan kedekatan antar anggota masyarakat, sosialisasi politik sudah berlangsung sejak individu belum mempunyai hak pilih dan juga terjadi pada saat individu bersama keluarga, teman, di 39
tempat kerja, sampai di kedai kopi. Pengaruh tidak langsung norma subjektif media massa lebih tinggi daripada pengaruh langsungnya karena adanya multiple selves dalam diri setiap individu dalam masyarakat. Dalam rangka menarik suara sebanyakbanyakmya dan memenangkan pemilu, partai politik perlu membangun citra yang baik di mata seluruh segmen dalam masyarakat. Citra yang dibangun harus sama untuk setiap segmen masyarakat, namun cara pengkomunikasi¬annya berbeda tergantung segmen yang dituju. Menurut Dieter Roth (2009) menyebutkan, apabila kita membicarakan teori perilaku memilih, tidak ada teori yang benar, karena tidak ada hanya satu teori mengenai perilaku manusia pada umumnya. Namun menurutnya, secara umum terdapat
pendekatan atau dasar pemikiran yang berusaha menerangkan perilaku
memilih, yaitu pendekatan sosiologis atau sosial structural, model psikologi sosial, dan model pilihan rasional
atau rational choice. Menurut Dieter Roth ketiga
pendekatan itu tidak sepenuhnya berbeda dan dalam beberapa hal ketiganya bahkan saling membangun dan mendasari serta memiliki urutan kronologis yang jelas. Perbedaan antara ketiga pendekatan ini terletak pada titik beratnya satu sama lain. Pertama, pendekatan sosiologis atau sosial structural. Pendekatan ini menekankan
pentingnya
beberapa
hal
yang
berkaitan
dengan
instrument
kemasyarakatan seseorang seperti : a) status sosio-ekonomi (seperti pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan dan kelas), b) agama, c) etnik, d) wilayah tempat tinggal (seperti kota, desa, pesisir, ataupun pedalaman). Beberapa hal ini menurut sarjana yang mengusungnya. Lipset (1960) dan Lazarsfeld (1968) hanya untuk menyebut beberapa nama, mempunyai kaitan kuat dengan perilaku memilih. Penelitian mengenai perilaku ini awalnya diprakarsai sarjana-sarjana ilmu politik dari University of Columbia yang mengkaji perilaku pemilih pada waktu pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 1940. Mereka mendapati pola perilaku pemilih yang menunjukkan adanya kaitan erat antara pemilih dengan aspek-aspek sosial structural yang lebih dominan.
40
Kedua, pendekatan psikologis atau psikologi social. Model ini dikembangkan beberapa sarjana ilmu politic dari Michingan University di bawah The Michigan Survey Research Centre atau sering disebut sebagai Michigan School. Dieter Roth menjelaskan bahwa para peneliti dari Michigan’s School lebih melihat perilaku pemilu dengan mengkaji sang individu itu sendiri sebagai pusat perhatian mereka. Menurut mereka, persepsi dan penilaian pribadi terhadap sang kandidat atau tematema yang diangkat sangat berpengaruh terhadap pilihannya dalam pemilu. Selain itu, “keanggotaan psikologis” dalam sebuah partai dapat di ukur juga dalam bentuk variable identifikasi partai yang juga turut mempengaruhi keputusan atas pilihanya dalam pemilu. Ketiga, pendekatan pilihan rasional atau rational choice. Menurut Dieter Roth, pendekatan ini di populerkan oleh Downs (1957) yang mengasumsikan bahwa pemilih pada dasarnya bertindak secara rasional ketika membuat pilihan dalam tempat pemungutan suara, tanpa mengira agama, jenis kelamin, kelas, latarbelakang, orang tua dan latar lainnya yang bersifat eksternal. Menurut Anthony Downs, dalam konteks pilihan rasional, ketika pemilih tidak mendapatkan faedah dengan memilih partai atau calon yang tengah berkompetisi, ia bahkan tidak akan melakukan pilihan pada pemilu. Mereka menggunakan pertimbangan-pertimbangan cost and benefits itu lebih didasarkan pada gagasan atau program yang bersentuhan dengan dirinya. Pendekatan ini kemudian di kembangkan oleh Morris P Fiorina dalam model keputusan pemilu restopektif. Dalam model ini tampak bahwa teori periaku pemilu yang rasional dan pendekatan sosial psikologis sejatinya dapat dikombinasikan dan di komplementasi-kan satu sama lain. Dalam konteks Indonesia, Saiful Mujani (2009) menyebutkan bahwa tradisi keilmuan tentang perilaku memilih warga Negara yang merupakan komponen pokok dalam pemilu demokratis mulai mendapatkan perhatian yang cukup memadai lewat penelitian tentang perilaku memilih nasional beberapa hari setelah pemilu 1999 (post election-survey). Ini merupakan proyek riset Ohio-State University yang bekerja sama dengan Laboratorium Ilmu Politik Universitas Indonesia. Hasil study ini setelah 41
dikembangkan dengan beberapa studi berikutnya, muncul dalam Comparative Political Studies. Ini merupakan publikasi pertama tentang pemilih Indonesia di jurnal akademik internasional dari ilmuan politik dalam maupun luar negeri yang mendalami politik Indonesia. Dari sinilah kemudian, teori, metodologi, dan analisis tentang pemilu di kembangkan, khususnya oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang berdiri tahun 2003. Menurut Quist dan Crano (2003) dalam Firmanzah (2004:113) penting untuk mempelajari faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa atau bagaimana pemilih menyuarakan pendapatnya. Secara psikologis, Newcomb (1978) dan Byrne (1971) mengungkapkan bahwa untuk menganalisa rasionalitas pemilih dan menentukan pilihannya dapat digunakan model kesamaan (similiarty) dan ketertarikan (attraction). Dasar pengguna model tersebut karena setiap individu lebih tertarik kepada sesuatu hal atau seseorang bila memiliki system nilai dan keyakinan yang sama (Byrne et al., 1996, Byrne et al., 1986). Maksudnya adalah bila dua pihak memiliki karakteristik yang sama (similiarty) maka akan semakin meningkatkan ketertarikan (attraction) satu dengan lainnya. Demikian hanya didalam dunia politik, dikenal dengan model kedekatan (proximity) atau “model” (sparatial) (Downs, 1957). Model ini menjelaskan bahwa pemilih yang memiliki kedekatan dan kesamaan system nilai dan keyakinan dengan suatu partai maka akan mengelompok pada partai tersebut. Pendekatan mengenai perilaku memilih yang diutarakan oleh Kristiadi (1993, h. 76) tersebut juga diamini oleh Muhammad Asfar (2006) dan Ramli (2010). Menurut Muhammad Asfar dan Ramli (2010), perilaku memilih dapat dianalisis dengan tida pendekatan yakni pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis dan pendekatan rasional. Pertama, pendekatan sosiologis menurut Muhammad Asfar ( 2006, h. 137138), pendekatan sosiologis ini menjelaskan bahwa karakteristik social dan pengelompokan social merupakan yang paling mempengaruhi perilaku memilih seseorang. Termasuk di dalamnya, karakteristik social (pekerja, pendidikan) dan latar 42
belakang sosiologis, seperti agama, wilayah, jenis kelamin, umur dan sebagainya. Sedangkan menurut Affan Gaffar (1992, h. 4-5) dan Ramli (2010), pendekatan sosiologis merupakan pendekatan yang melihat masyarakat sebagai status hierarki yang percaya bahwa stratifikasi masyarakat baik berdasarkan grouping, kelas, agama dan karakteristik social lain itu sangat mempengaruhi prefensi politik seseorang. Bahkan, seorang pengemuka pendekatan perilaku memilih sosiologis, yakni Lazarfeld (dalam Gaffar 1992, h. 4-5) telah mengklaim bahwa karakter social dan pengelompokan-pengelompokan social atas dasar pekerjaan, agama, etnis, wilayah, jenis kelamin, ideologis dan umur merupakan factor paling berpengaruh dan menentukan prefensi politik seseorang baik memilih atau tidak memiliuh (dalam Aris Supriyadi 2014, h. 20). Kedua, pendekatan psikologis, pendekatan ini menjelaskan bahwa ada tiga aspek yang paling mempengaruhi perilaku memilih, yakni ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu yang berkembang dan orientasi terhadap kandidat (Asfar 2006, h. 139). Senada dengan keterangan tersebut, menurut Affan Gaffar (1992, h. 6-8), pendekatan psikologis yang mana merupakan respon atas kekurangan dari pendekatan sosiologis, percaya bahwa sikap dan orientasi politik seseorang itu hadir akibat dari adanya proses sosialisasi dan resosialisasi dari suatu sarana atau agen seperti kehadiran akan peran orang tua, teman sepermainan, saudara kandung, media, organisasi politik dan lain-lain. Agen/sarana itulah yang akan selalu menghasilkan produk akhir berupa rasa kepemilikan seseorang kepada suatu partai dari proses sosialisasi atau kandidat berdasarkan isu0isu yang berkembang (dalam Aris supriyadi 2014, h. 20). Ketiga, pendekatan pilihan rasional, menurut Muhammad asfar (2006, h. 139140) dan Antony Down (1957), pendekatan ini percaya bahwa pemilih akan selalu bertindak secara rasional, yakni memberikan suara kepada kandidat yang mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya (ekonomi, individual) dan menekan kerugian. Senada dengan keterangan itu, Dennis Kavanagh (1983) menekankan bahwa pendekatan ini meminjam prinsip dalam ilmu ekonomi yakni 43
adanya perhitungan serius perihal kalkulasi-kalkulasi biaya politik yang akan ditanggungnya, efek pilihan politiknya dan aksi-aksi alternative lainnya (dalam Aris Supriyadi 2014, h. 20). Meningkat seiring dengan perkembangan ilmu politik, pada dasarnya perilaku memilih dibentuk oleh pengaruh jangka pendek maupun jangka panjang. Pengaruh jangka pendek sangat spesifik di dalam pemilu tertentu dan tidak mungkin dilakukan generalisasi didalam seluruh kasus. Pengaruh jangka pendek yang utama biasanya adalah keadaan ekonomi, yang mencerminkan fakta bahwa ada hubungan antara popularitas pemerintahan yang ada dan variable ekonomi seperti pengangguran, inflasi dan pendapatan tidak kena pajak. Oleh karena itu ada kecenderungan bahwa pemerintah sengaja menciptakan perbaikan ekonomi menjelang pemilu dengan harapan meningkatkan peluang mereka untuk terpilih kembali dalam pemilu. Selain itu, pengaruh jangka pendek terhadap perilaku memilih adalah kepribadian dan posisi public dari pemimpin partai. Hal ini sangat penting karen amedia memaparkan potret para pemimpin sebagai citra merek dari partai mereka. Hal ini mendorong partai untuk berusaha memperbaiki dukungan massa dengan menempatkan pemimpin yang dipahami layak ikut pemilu. Faktor lainnya adalah gaya dan efektifitas kampanye pemilu dari partai bersangkutan. Kemudian Chong (2000) tentang perilaku memilih menyatakan bahwa pilihan individu berdasarkan pada disposisi yang ada yang terbentuk dari pengalaman masa lalu, materi yang ada, juga insentif sosial yang di tawarkan. Disposisi diartikan oleh Chong sebagai cirri, pengetahuan, nilai dan identifikasi kelompok yang terbentuk sepanjang rentang kehidupan. Sementara intensif sosial merupakan perhitungan untung dan rugi yang akan diterima seseorang termasuk penerimaan oleh kelompok sosial.
D.4 Patronase dan Perilaku Memilih Pendekatan dalam perilaku memilih dapat ditelisik dari daktor-faktor utama yang mempengaruhi prefensi memilih seseorang. Oleh karena itu, banyak sekali riset 44
perilaku memilih yang menelaah faktpr-faktor untuk itu kemudian menganalisis pendekatan yang dipakai oleh pemilih. Pada bagian ini akan menelaah soal pendekatan-pendekatan perilaku memilih masyarakat memilih berikut factor utama dari suatu pendekatan kemudian mencari kesesuaian dengan model patronase dalam kajian patronase. Sedikit mengulang perihal perilaku memilih dan patronase, bahwa penjelasan mengenai pendekatan perilaku memilih (yang dipahami sebagai mainstream) terbagi menjadi tiga pendekatan yakni pendekatan perilaku memilih sosiologis, psikologis dan rasional (Asfar 2006, h. 137) % Kristiadi (1993, h. 76). Sedangkan model patronase dalam kajian patronase menurut Edward Aspinall (2013,h. 4-8) terbagi menjadi empat again yakni programmatic, vote buying, pork barrel dan club goods. (Aris Supriyadi 2014, h. 21-22). Dalam perilaku memilih sosiologis, menurut Affan Gaffar (1992, h. 4-5), terdapat pula factor penentu pendekatan perilaku memilih sosiologis yang lain, yakni factor grouping (baik group berdasarkan pekerjaan, agama atau factor social lainnya). Hal ini agaknya berkesesuaian dengan model patronase club goods yang mna menurut Edward Aspinall (2013, h. 4) merupakan pemberian kompensasi berupa materi yang tidak ditujukan kepada individual pemilih, melainkan kepada suatu kelompok, komunitas atau semacamnya (biasanya kelompok yang berbasis agama, pekerjaan dan lain-lain). Sehingga derajat jumlah sasaran penerima materi ini bersifat kmunal namun terbatas pada tataran kelompok tertentu saja. Oleh karena itu ada kecenderungan bahwa jika masyarakat pemilih memilih karena model patronase club goods, maka pendekatan dalam perilaku memilih masyarkakat pemilihnya adalah sosiologis meskipun kita ketahui bersama antar pendekatan dalam perilaku memilih pun saling beririsan satu sama lain ( Aris Supriyadi 2014, h. 22). Sedangkan untuk perilaku memilih rasional, terdapat factor berupa logika rasional yang mana menurut Asfar (2006, h. 139-140) diasumsikan bahwa pemilih akan bertindak rasional yakni memberikan suara kepada yang mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya dan menekan kerugian bagi dirinya (pemilih, individu), maka hal berkesesuaian dengan model patronase berupa vote buying yang mana 45
terdapat insentif yang mendatangkan keuntungan ekonomi yang bersifat individual (Schaffer, 2007). Hal ini dikarenakan bentuk vote buying biasanya berbentuk fresh money atau barang. Oleh karena itu, ada kecenderungan bahwa jika masyarakat pemilih memilih karena model patronase vote buying, maka pendekatan dalam perilaku memilih masyarakat pemilihnya adalah pilihan rasional meskipun kita ketahui bersama antar pendekatan dalam perilaku memilih pun saling beririsan satu sama lain (Aris Supriyadi 2014, h. 22-23). Sedangkan pendekatan perilaku memilih psikologis, pendekatan ini dapat dijelaskan tiga aspek yang paling mempengaruhi perilaku memilih yakni ikatan emosional pada satu partai politik, orientasi terhadap kandidat (Asfar 2006, h. 139). Senada dengan keterangan tersebut, menurut Affan Gaffar (1992, h. 6-8), pendekatan sosiologis, yang mana merupakan respon atas kekurangan dari pendekatan sosiologism percaya bahwa sikap dan orientasi politik seseorang itu hadir akibat dari adanya proses sosialisasi dan resosialisasi dari suatu sarana atau agen, seperti kehadiran akan peran orang tua, teman sepermainan, saudara kandung, media, organisasi politik dan lain-lain. Agen/sarana itulah yang melakukan proses sosialisasi dan kemudian menghasilkan produk akhir berupa rasa kepememilikan seseorang kepada suatu partai atau kandidat berdasarkan isu-isu yang berkembang. Oleh karena itu, hal ini sangat berkesesuaian dengan model patronase yang berkaitan dengan isuisu yang berkembang, yakni pork barrel politics dan programmatic dimana kedua model patronase ini selalu berhubungan dengan program dan sosialisasi program (biasanya program pemerintah) berdasarkan pada isu-isu di masyarakat. Oleh karena itu, jika ada kecenderungan bahwa jika masayarakat pemilih memilih karena model patronase pork barrel politics dan programmatrics politics, maka pendekatan dalam perilaku memilih masyarakat pemilihnya adalah psikologis meskipun kita ketahui bersama antar pendekatan dalam perilaku memilih pun saling beririsan satu sama lain (aris Supriyadi 2014, h. 23). Dari keterangan tersebut di atas jelas bahwa dari kacamata patronase dapat kemudian digunakan untuk menilik perilaku memilih masyarakat pemilih. Dengan 46
kata lain, perilaku memilih masyarakat pemilih dipengaruhi oleh patronase. Sehingga dapat kita katakana bahwa kajian perilaku memilih tidak hanya dapat dilihat melalui metode penelitian tertentu saja (baca; Survey), namun juga dapat dilihat dari kajian lain yakni patronse (Aris Supriyadi 2014, h. 23). E. Definisi Konseptual -
Money politics dapat diartikan sebagai upaya untuk mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu.
-
Patronase merupakan materi yang diberikan oleh patron kepada kliennya dengan memakai sumber yang dimiliki oleh patron (caleg) untuk mendapatkan dukungan dari klien (masyarakat pemilih).
-
Vote
buying
merupakan
relasi
transaksional
financial
dimana
politikus/kandidat menawarkan private goods berupa keuntungan financial dengan nominal tertentu dalam bentuk uang, barang atau jasa layanan kepada pemilih (secara individual) untuk dipertukarkan dengan dukungan suara yang berlangsung umumnya pada masa mendekati pemungutan suara. -
Club goods merupakan pemberian kompensasi kepada gologan tertentu (komunal
namun
terbatas
pada
batas0batas
kelompok)
berdasarkan
keanggotaan institusi formal maupun informal (missal anggota dari suatu kelompok pengajian). -
Pork barrel politics merupakan pemberian kompensasi kepada komunitas berdasarkan wilayah geografis/territorial (misalnya penduduk di satu desa, kecamatan, dapil) sehingga jangkauan komunal namun sifatnya msih local districts.
-
Perilaku memilih adalah alasan dan faktor yang menyebabkan seseorang memilih suatu partai atau kandidat yang ikut dalam kontestasi politik dan dipahami sebagai bagian dari konsep partisipasi politik rakyat dalam sistem perpolitikan yang cenderung demokratis.
47
-
Perilaku memilih rasional merupakan orientasi memilih dengan didasarkan pada asumsi bahwa pemilih akan bertindak rasional yakni memberikan suara kepada yang mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan menekan kerugian bagi dirinya (pemilih, individu) sebagaimana prinsip ekonomi.
-
Perilaku memiih sosiologis merupakan perilaku memilih yang didasarkan pada karakteristik sosisal dan pengelompokan social (grouping), termasuk di dalamnya karakteristik social )pekerja, pendidikan) dan latarbelkang sosiologis seperti agama, wilayah, jenis kelamin, umur dan sebagainya.
-
Perilaku memilih psikologis merupakan perilaku memilih seseorang yang hadir akibat dari adanya proses sosialisasi hingga menimbulkan orientasi kepada identifikasi partai politik atau kandiat berdasar pada isu-isu yang berkembang.
E. Definisi Operasional -
Melihat jenis money politics, cara kerja money politics dan peranan money politics dalam mengarahkan perilaku memilih masyarakat.
-
Melihat hasil perolehan suara di TPS 19 dan TPS 20 dari para kandidat/partai yang melakukan strategi patronase
-
Menganalisis
pendekatan
dalam
perilaku
memilih
berdasarkan
kecenderungan dan kesesuaian karakteristik antara patronase (terutama lewat model vote buying, club goods) dengan perilaku memilih (pendekatan perilaku memilih sosiologis, psikologis, dan rasional) dimana berdasarkan kecenderungan dan kesesuaian karakteristik itu didapatkan hubungan : a. Jika masyarakat memilih karena model patronage vote buying, maka berkecenderungan
bahwa
pendekatan
dalam
perilaku
memilih
masyarakat pemilih adalah pilihan rasional. b. Jika masyarakat pemilih memilih Karena model patronase club goods, maka berkecenderungan bahwa pendekatan dalam perilaku memilih masyarakat pemilih adalah sosiologis. 48
c. Jika masyarakat pemilih memilih karena model patronase pork barrel politics dan programmatic politics, maka berkecenderungan bahwa pendekatan dalam perilaku memilih masyarakat pemilih adalah psikologis. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana peranan Money Politics dalam mengarahkan perilaku pemilih di Kelurahan Prawirodirjan Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta. Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif yang dianggap dapat melihat hal yang diteliti dengan lebih mendalam dan mendetil. Salah satu cara dalam penelitian kualitatif adalah dengan studi kasus (case study). Alasan memakai metode ini adalah karena metode ini dianggap dapat melihat lebih dalam mengenai bagaimana pernanan money politics dalam mengarahkan perilaku pemilih. Tipe studi kasus yang akan digunakan adalah tipe deskriptif. Tipe studi kasus yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tipe studi kasus deskriptif. Tipe ini digunakan untuk mendiskripsikan suatu campur tangan atau fenomena dimana terdapat konteks dalam kehidupan nyata (Baxter & Jack 2008, h. 548). Tujuan dari studi kasus deskriptif adalah untuk menggambarkan suatu gejala, fakta atau realita (Raco 2009, h. 50). Dengan demikian penelitian ini ditujukan untuk menggali, menganalisa lalu menjelaskan mengenai pernanan money politics. Sebagai salah satu metode penelitian, studi kasus memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan studi kasus diantaranya adalah bisa memahami kasus yang diteliti secara lebih mendalam dan juga dekat dengan subyek yang diteliti. Sedangkan kekurangannya adalah harus bisa mencari narasumber yang tepat dan yang bisa dipercaya, karena data selama penelitian akan berasal dari narasumber tersebut. Selain itu, kelemahannya harus bisa mendapat kepercayaan narasumber agar penelitian bisa berjalan dengan lancar dan
49
narasumber akan lebih mudah kita explore. Kekurangan lainnya adalah membutuhkan waktu yang relative lama agar bisa mendapat hasil penelitian yang mendalam. Untuk mengatasi berbagai kelemahan atau kekurangan tersebut dapat dilakukan dengan cara mulai menjalin hubungan dengan calon narasumber sebelum tahap pencarian data benar – benar dilakukan, hal ini agar dapat menghasilkan kedekatan dengan narasumber sehingga akan memudahkan untuk menggali data. 2. Unit Analisa Data Penelitian dilakukan kepada pihak – pihak yang memiliki hubungan dengan obyek penelitian yang meliputi Tokoh masyarakat, Masyarakat yang terdiri dari : bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda, pemilih pemula, Panwas dan tim sukses. 3. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini mencangkup data primer dan data sekunder. Data primer akan diperoleh dengan melakukan wawancara dengan para narasumber yang meliputi Tokoh masyarakat, Masyarakat; Bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda, pemilih pemula, panwas dan Tim sukses. Selain melalui data primer, sumber data juga didapat dari sumber sekunder yang terkait dengan tema penelitian. Data sekunder bisa didapat melalui literature, dokumen, internet, maupun data observasi. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data akan dilakukan dengan tiga cara, yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. -
Observasi
Adler & Adler (Denzin & Lincoln 1994, h. 378 dalam Salim 2006, h. 14) menyebutkan dua prinsip pokok yang mencirikan teknik observasi. Pertama, observer kualitatif tidak boleh mencampuri urusan subjek penelitian. Kedua, observer kualitatif harus menjaga sisi alamiah dari subjek penelitian. Observasi dilakukan
50
melalui beberapa tahap, yaitu pemilihan setting, peneliti masuk dalam setting yang sesuai dengan kepentingan penelitiannya (bisa didapat melalui jalur formal maupun informal), lalu pengumpulan data yang dilakukan secara terus menerus hingga mencapai titik jenuh. Di dalam observasi, hasil yang diperoleh periset adalah ‘perasaan melibat’ dalam subjek penelitian. Tetapi, dalam hal ini penulis harus memiliki garis demarkasi yang tegas, yaitu untuk tidak larut dalam peristiwa yang dimiliki subjek yang sedang diteliti (Salim 2006, h. 14). Penelitian juga akan dilakukan dengan melakukan observasi tempat, actor, situasi, objek, dan perasaan. Persoalan lain yang masih mengganjal di seputar observasi adalah menyangkut validitas temuan, karena didalam pemaparan temuan observasi biasanya terdapat bias interpretasi periset. Untuk menguranginya biasanya memperpanjang tempo pengamatan. -
Wawancara Koentjaraningrat (1986:136) membagi wawancara kedalam dua hal golongan
besar yaitu pertama, wawancara berencana atau standardized interview; dan kedua, wawancara tak berencana atau unstandardized interview. Perbedaan terletak pada perlu atau tidaknya peneliti menyusun daftar pertanyaan yang dipergunakan sebagai pedoman untuk mewawancarai informan. Sementara itu, dipandang dari sudut pertanyaannya, wawancara dapat dibedakan antara: (1) wawancara tertutup atau closed interview dan (2) wawancara terbuka atau open interview. Perbedaannya adalah apabila jawaban yang dikehendaki tidak terbatas, maka termasuk wawancara terbuka. Dalam
pelaksanaan
pengumpulan
data
dilapangan,
peneliti
dapat
menggunakan wawancara mendalam. Sesuai pengertiannya, wawancara mendalam bersifat terbuka. Pelaksanaan wawancara tidak hanya sekali atau dua kali, melainkan berulang-ulang dengan intensitas yang tinggi. Wawancara tahap pertama biasanya hanya bertujuan untuk memberikan deskripsi dan orientasi awal perihal masalah dan subjek yang dikaji. Temuan – temuan yang muncul pada tahap ini kemudian 51
diperdalam, dikonfirmasikan pada wawancara berikutnya, demikian seterusnya hingga mencapai titik jenuh (Salim 2006, h. 17). Wawancara akan dilakukan kepada masyarakat, tokoh masyarakat, tim sukses dan juga akan mengkroscek hasil temuan dilapangan dengan panwas atau panitia pengawas selama berjalannya pemilu legislatif 2014.
TABEL WAWANCARA NO 1
NARASUMBER Masyarakat
Ibu-Ibu Bapak-Bapak
KETERANGAN Dalam konteks masyarakat ini akan menggali mengenai : Apa yang paling mempengaruhi pemilih
Pemilih Pemula Pemuda
di dapil tersebut, apakah caleg pernah memberikan uang, barang, pelayanan atau menjanjikan pelayanan serta apa caleg pernah menjanjikan peluang ekonomi. Dari cara tersebut, cara yang mana yang paling lazim di gunakan. Apa strategi tertentu dari caleg menjadi dasar pertimbangan dalam memilih. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan di lihat apakah jawaban-jawaban dari masyarakat tersebut sama atau kah tidak. Mengapa konteks masyarakat di pilah lagi menjadi beberapa sub yakni pemuda, bapak-bapak, ibu-ibu dan pemilih pemula,
52
itu karena akan lebih memperkuat hasil yang akan di dapat karena tidak terpaku dengan beberapa orang saja. Dan tentunya mereka semua sangat berperan dalam pemilihan umum. 2
Tokoh Masyarakat
Ketua RW Ketua RT Sekertaris RT Bendahara RT
Dalam
konteks
Tokoh
masyarakat
nantinya akan hampir sama dengan masyarakat,
tetapi
tokoh
masyarakat
tetapi akan lebih menjelaskan kepada karakter masyarakatnya. Karena mereka merupakan
katakanlah
pemegang
kekuasaan di wilayah mereka sehingga mereka memahami karakter di masyarakat tersebut dan juga akan menggali lebih dalam mengenai siapa saja yang keluar masuk wilayah mereka karena untuk masuk ke wilayah atau kampung tersebut akan melewati Tokoh masyarakat ini. Tokoh masyarakat akan menjadi Fokus. 3
Tim Sukses
Tim sukses akan menjadi Kunci Utama. Karena Tim Sukses adalah kaki tangan caleg dan mereka yang menggerakkan dan mensukseskan mulai dari sosialisasi sampai kampanye caleg. akan dilihat juga mengenai apakah tim sukses merupakan elit sosial (voter getter), pengurus partai ataukah
Profesional
(
Preman
dan
53
lainnya). Melihat apa peranan dari Tim sukses ini ( apakah
mendampingi
mengamankan orang,
kegiatan,
menggalang
penggunaan
dana,
caleg, memobilisasi
dana,
mengurus
mendestribusikan
dana/barang dsb). Dan Melihat apakah tim sukses ini memperoleh imbalan. Menggali sedalam-dalamnya mengenai kativitas caleg, jika memungkin kan akan ke tahap shadowing.
4
Panwas
Untuk panwas sendiri, hanya untuk sebatas meninjau apa yang terjadi di lapangan, apakah ada pelanggaran, jika ada apa saja yang di langgar.
-
Dokumentasi Dokumentasi merupakan data sekunder yang diperlukan untuk memperkuat
data yang didapat dari wawancara dan observasi. Dokumentasi bisa mencangkup dokumentasi yang berhubungan dengan obyek penelitian. Dokumentasi yang di maksudkan dalam penelitian ini adalah segala bentuk alat peraga yang terdapat di lingkungan penelitian dan kegiatan-kegiatan yang terjadi selama pemilu legislative.
54
5. Teknik Analisa Data Penelitian yang kaya akan data tidak akan berarti sama sekali jika data tersebut tidak dirangkai dalam struktur makna yang baik. Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis secara kualitatif. Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data dilapangan secara berkesinambungan. Diawali dengan proses klarifikasi data agar tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan langkah abstraksi-abstaksi teoritis terhadap informasi lapangan, dengan mempertimbangkan menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat memungkinkan dianggap mendasar dan universal. Proses analisis data berlangsung selama dan pasca pengumpulan data. Proses analisis mengalir sebagaimana dinyatakan oleh Milles & Huberman, analisis data kualitatif dikatakan sebagai model air (flow model) meski demikian proses analisis tidak menjadi kaku oleh batasan-batasan kronologis tersebut. Komponenkomponen analisis data secara interaktif saling berhubungan selama dan sesudah pengumpulan data. Proses analisis data kualitatif dapat dijelaskan dalam tiga langkah. Yang pertama, reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, abstraksi dan transformasi data kasar yang diperoleh di lapangan studi. Kedua, penyajian data yaitu deskripsi kumpulan informasi tersusun yang memungkinkan untuk melakukan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif yang lazim digunakan adalah dalam bentuk teks naratif. Ketiga, penarikan kesimpulan dan verifikasi. Dari permulaan pengumpulan data, periset kualitatf mencari makna dari setiap gejala yang diperoleh di lapangan, mencatat keteraturan atau pola penjelasan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur kausalitas dan proposisi (Salim 2006, hh. 22-23). H. Sistematika Bab Studi mengenai
‘‘Money Politics Pada Masyarakat Urban“ akan di tulis
dalam lima bab. Bab pertama berisi tentang pendahuluan, latar belakang, rumusan
55
masalah, tujuan penulisan, kerangka teori dan metode penelitian. Bab kedua berisi tentang keadaan sosial dan politik dari Kampung Ledok Prawirodirjan, selain itu pada bab dua juga membahas mengenai keadaan ekonomi dari masyarakat kampung Ledok Prawirodirjan yang tentunya akan mempengaruhi karakter dari pemilih. Pada baba tiga penulis akan menjelaskan apa saja bentuk dari money politics, siapa saja yang menggunakan money poltics, seperti apa strategi yang digunakan oleh para kandidat untuk memperoleh perhatian masyarakat kampung Ledok Prawirodirjan serta bagaimana metode penyebaran dari money politics itu sendiri. Pada bab empat dari penelitian ini akan melihat apakah peran money politics mengarahkan perilaku memilih masyarakat kapung Ledok Prawirodirjan, seberapa besar pengaruh money politics dalam mempengaruhi perilaku memilih masyarakat kampung Ledok Prawirodirjan ataukah ada faktor lain dalam menentukan pilihan. Sedangkan pada bab lima, peneliti akan menyimpulkan dari penelitian yang telah dilakukan serta memberikan saran yang perlu diperhatikan untuk peneliti yang nantinya akan meneliti mengenai hal yang sama. Pada bab ke lima dari penelitian ini berisi tentang kesimpulan dari keseluruhan penelitian.
56