KERANGKA HUKUM MENGATASI MONEY POLITICS DALAM PILKADA Oleh: Radian Syam, SH. MH Dosen FH Universitas Trisakti
I.
Pendahuluan Seperti menjadi rahasia umum di masyarakat bahwa para oknum agar
mereka terpilih sebagai pejabat baik legislatif maupun eksekutif dengan menggunakan cara yang tidak baik seperti money politic. Hal ini yang kemudian mengakibatkan Situasi dan/atau iklim Politik di Indonesia menjadi tidak stabil karena memang dihuni oleh oknum pejabat yang memang tidak memahami dengan baik apa yang di maksud dengan makna politik secara mendasar. Dimana dalam politik terdapat beberapa macam kegiatan seperti sosialisasi poltik, partisipasi politik, rekrutmen politik, komunikasi politik dan mobilisasi politik. Semua kegiatan tersebut dilaksanakan untuk mendukung berjalan baiknya Politik. Pemerintah baru saja mengundangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi UndangUndang. Salah satu perubahan dalam Undang-Undang tersebut adalah ketentuan yang mengatur politik uang sebagaimana diatur dalam perubahan Pasal 73. Dalam Pasal 73 ayat (1) dinyatakan “Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih.”
Sekalipun demikian apa yang dimaksud dengan politik uang masih belum didefinisikan di dalam Undang-Undang tersebut, dan Komisi II DPR RI
Hal 1 dari 13
menyerahkan kepada Badan Pengawas Pemilu untuk menjelaskan lebih teknis kriteria politik uang tersebut di dalam Peraturan Bawaslu. 1
Berdasarkan
Undang-Undang tersebut, Bawaslu diperluas dan diperkuat kewenangannya. Dengan kewenangan yang baru, Bawaslu bisa memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku politik uang. Dengan pemberian kewenangan baru ini diharapkan penindakan pelanggaran hukum selama pilkada bisa lebih cepat dan tak seperti pilkada sebelumnya yang menunggu lama. Politik dan uang merupakan pasangan yang sangat sulit untuk dipisahkan. Aktivitas politik memerlukan uang (sumber daya) yang tidak sedikit, terlebih dalam kampanye pemilu. Terdapat empat faktor dalam kampanye pemilu, yaitu kandidat, program kerja dan isu kandidat, organisasi kampanye (mesin politik) dan sumber daya (uang). Akan tetapi uang merupakan faktor yang sangat berpengaruh; tanpa uang maka ketiga faktor lainnya menjadi sia-sia. Seorang pakar politik mengatakan: “Money is not sufficient, but it is necessary for successful campaign. Money is necessary because campaigns do have impact on election results and campaign cannot be run without it.”2 (Uang saja tidak cukup, tapi uang sangat berarti bagi keberhasilan kampanye. Uang menjadi penting karena kampanye memiliki pengaruh pada hasil pemilu dan kampanye tidak akan berjalan tanpa ada uang). Uang adalah sumber utama bagi kekuatan politik dalam memenangkan kekuasaan atau tetap mempertahankan kekuasaan. Uang dalam politik merupakan hal yang instrumental dan signifikansinya terletak pada bagaimana ia digunakan untuk memperoleh pengaruh politik dan digunakan untuk mendapatkan kekuasaan. Karena uang tidak terdistribusi dengan merata, akibatnya kekuasaan juga tidak terdistribusi secara merata dalam masyarakat. Karakteristik uang memberikan kemudahan; uang dapat diubah ke berbagai macam sumber daya dan sebaliknya, berbagai macam sumber daya dapat diubah ke dalam uang. Uang juga dapat membeli barang, keahlian dan 1 Lihat Bawaslu Kaji Definisi Politik Uang, www.pemilu.com, diakses 16 Juli 2016. 2 Jacobson seperti yang dikutip oleh Fahmy Bado & Lucky Djani. 2010. Korupsi Politik di Indonesia, Jakarta, Indonesia Corruption Watch.
Hal 2 dari 13
layanan, demikian sebaliknya, barang-barang, layanan, dan keahlian dapat dinilai dengan sejumlah uang. Uang memperkuat pengaruh politik bagi mereka yang
memilikinya
atau
mereka
yang
memiliki
wewenang
untuk
mendistribusikannya. II.
Pengertian Politik Uang (Money Politics) Secara umum politik uang (money politics) biasa diartikan sebagai upaya
untuk mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan. Praktik politik uang dapat disamakan dengan uang sogok alias suap, tapi tidak semua kalangan berani secara tegas menyatakan haram. Menurut Pendapat Rusdjdi Hamka, praktik money politics tidak berbeda dengan suap, karena itu haram hukumnya.3 Akan tetapi, praktik politik uang dalam pemilu, meskipun hal itu adalah pelanggaran, sudah bukan rahasia lagi. Hasil survei bahkan menunjukkan, mayoritas publik mengaku bersedia menerima pemberian uang dari para caleg atau partai politik. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Nasional, Umar S. Bakry, seperti dikutip dari Antara, menyatakan sebanyak 69,1 persen responden mengaku bersedia menerima pemberian uang dari caleg atau parpol dalam Pemilu 2014, dengan alasan berbeda-beda. Padahal pada Pemilu 2009, survei LSN mengenai politik uang menunjukkan masih kurang dari 40 persen publik yang bersedia menerima pemberian uang dari caleg atau parpol. Besarnya persentase responden yang bersedia menerima pemberian uang merupakan indikator nyata bahwa potensi politik uang dalam Pemilu 2014 sangat tinggi. Sikap mayoritas publik merupakan potensi bagi mudahnya terjadi politik uang sebagai instrumen untuk mendulang suara. Memang, sebanyak 41,5 persen responden menyatakan, meskipun bersedia menerima uang, tetapi tidak
3 Indra Ismawan, 1999, Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu, Yogyakarta: Penerbit Media Presindo, hal. 4.
Hal 3 dari 13
akan memengaruhi pilihannya. Dengan sikap seperti ini, sama saja mereka sudah membuka pintu lebar-lebar bagi berkembangnya politik uang.4 Politik uang didefinisikan sebagai biaya yang ditujukan dengan maksud melindungi bisnis atau kepentingan politik tertentu atau untuk membeli dukungan parpol atau membeli suara pemilih dengan imbalan yang bersifat finansial.5 Definisi ini menunjuk kepada praktik dalam kehidupan politik secara umum, baik dalam Pemilu maupun di luar Pemilu. Nampak dalam definisi ini tidak mengaitkan tindakan politik uang dengan norma hukum politik uang dalam peraturan perundang-undangan Pemilu. Definisi dari Johny Lomulus telah menggunakan Pemilu sebagai unit analisisnya. Ia menyatakan bahwa politik uang merupakan kebijaksanaan dan atau tindakan memberikan sejumlah uang kepada pemilih atau pimpinan partai politik agar masuk sebagai calon kepala daerah yang definitif dan atau masyarakat pemilih memberikan suaranya kepada calon tersebut yang memberikan bayaran atau bantuan tersebut.6 Gary Goodpaster dalam studinya mendefinisikan politik uang dalam konteks norma hukum Pemilu. Dalam studinya, Ia mendefinisikan politik uang sebagai bagian dari korupsi yang terjadi dalam proses-proses Pemilu, yang meliputi pemilihan presiden, kepala daerah, dan pemilu legislatif. Gary Goodpaster, kemudian menyimpulkan bahwa politik uang merupakan transaksi suap-menyuap yang dilakukan oleh aktor untuk kepentingan mendapatkan keuntungan suara dalam pemilihan.7 Dari beberapa definisi di atas dapat dirumuskan bahwa politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. 4 Tim Peneliti KPU Bandung Barat, Praktek Politik Uang pada Pemilu Legislatif 2014: Studi Kasus di Kabupaten Bandung Barat (Bandung: KPU Bandung Barat 2014), hal. 4. 5 Teddy Lesmana, Politik Uang elib.pdii.lipi.go.id.katalog/index/.php/searchkatalog/.../9009.pdf
dalam
Pilkada,
6 Johny Lomulus, “Sikap Pemilih terhadap Pasangan Calon Menjelang Pilkada Langsung di Kota Bitung” dalam Demokrasi Mati Suri, Jurnal Peneitian Politik Vp. 4 No. 1 2007, LIPI, h. 35. 7 Gary Goodpaster, Refleksi tentang Korupsi di Indonesia, ( Jakarta: USAID,2001), h. 14
Hal 4 dari 13
Pemberian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye.
Politik uang umumnya dilakukan
simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Cara pendistribusiannya pun bermacam-macam. Mulai dari memanfaatkan peran serta kader atau pengurus partai tertentu hingga melibatkan tokoh-tokoh setempat seperti oknum tokoh pemuda, aparat, dan lain-lain yang memberikan langsung “amunisi” uang maupun barang kepada calon pemilih (konstituen), hingga simpatisan yang berasal dari wilayah pemilihan umum setempat yang memberikan pemberian secara langsung.8
III.
Praktik Politik Uang dalam Pilkada Dalam konteks pemilihan kepala daerah, pemberlakuan mekanisme
pemilihan langsung berdasarkan suara terbanyak (popular vote) sejak era reformasi sejatinya dapat mengurangi praktik politik uang. Namun, dalam kenyataannya perubahan sistem pemilihan umum daerah menjadi pemilihan langsung malah membuat praktik politik uang semakin meluas di kalangan pemilih pada umumnya. Penggunaan uang secara illegal dalam pemilu menjadi ancaman yang serius bagi kelangsungan demokrasi Indonesia. Uang dapat menjadi instrumen pembeli dukungan politik, menegasikan sistem penilaian yang objektif dan rasional serta pada akhirnya melahirkan kebijakan-kebijakan yang korup. Praktik ini membuat banyak figur yang potensial, memiliki kompetensi dan pengalaman untuk memimpin menjadi terganjal maju menjadi kepala daerah karena keterbatasan dukungan dana. Praktik politik uang terjadi dengan pola yang beragam dalam Pilkades, Pilkada, Pemilu legislatif, dan Pemilu Presiden. Hasil Pemantauan Transparancy International Indonesia (TII) dan Indonesian Corruption Watch (ICW) menyimpulkan bahwa modus operandi politik uang dalam Pemilu berlangsung dengan pola-pola tertentu dan beragam. Praktik nya: (1) ada yang dilakukan 8 Tim Peneliti KPU Bandung Barat, op.cit., hal. 9.
Hal 5 dari 13
dengan cara yang sangat halus, sehingga para penerima uang tidak menyadari telah menerima uang sogokan, (2) ada juga dengan cara yang sangat mencolok (terang-terangan) di depan ribuan orang. Kondisi ini menurut laporan pemantauan TII dan ICW, seolah negara ini berdiri tanpa aturan hukum yang harus ditaati oleh setiap warganya.9 Dari segi caranya, menurut Wahyudi Kumorotomo, pola politik uang dalam Pilkada langsung terjadi secara langsung dan secara tidak langsung. Pola langsung meliputi: 1. Pembayaran tunai dari tim sukses calon kepada konstituen potensial; 2. Sumbangan
dari
bakal
calon
kepada
Parpol
yang
telah
mendukungnya; 3. Sumbangan wajib yang disyaratkan oleh parpol kepada kader partai
atau bakal calon yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Politik uang secara tidak langsung bisa berbentuk pembagian hadiah atau doorpize, sumbangan sembako kepada konstituen, pembagian semen di daerah pemilihan.10 Berdasarkan
aktor
dan
wilayah
operasinya,
Didik
Supriyanto
mengemukakan bahwa politik uang dalam Pilkada dapat dibedakan menjadi empat lingkaran, yaitu: 1. Lingkaran satu, transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan
pasangan calon kepala daerah; 2. Lingkaran dua, transaksi antara pasangan calon kepala daerah
dengan partai politik yang mempunyai hak untuk mencalonkan; 3. Lingkaran tiga, transaksi antara pasangan calon dan tim kampanye
dengan petugas-petugas Pilkada yang mempunyai wewenang untuk menghitung perolehan suara, dan;
9 Ahsan Jamet Hamidi et al., Pemilu Tidak Bebas Politik Uang, (Jakarta : Transparancy International Indonesia, 2008), h. 49 Ahsan Jamet Hamidi et al., Pemilu Tidak Bebas Politik Uang, (Jakarta : Transparancy International Indonesia, 2008), h. 49. 10 Wahyudi Kumorotomo, Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi: Tantangan Kebijakan Pubik Setelah Pilkada Langsung, (Makalah) disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara, Surabaya, 15 Mei 2009.
Hal 6 dari 13
4. Lingkaran empat, transaksi antara calon dan tim kampanye dengan
massa pemilih (pembelian suara).
Kempat lingkaran tersebut dilakukan dalam berbagai bentuk, antara lain pemberian ongkos transportasi kampanye, janji membagi uang/barang, pembagian sembako atau semen untuk membangun tempat ibadah, serangan fajar, dan lain-lain. Menurut Didik Supriyanto, politik uang lingkaran empat ini biasa disebut dengan political buying, atau pembelian suara langsung kepada pemilih. Lebih lanjut dikatakannya, ada banyak macam bentuk political buying, yakni pemberian ongkos transportasi kampanye, janji membagi uang/barang, pembagian sembako atau semen untuk membangun tempat ibadah, “serangan fajar‟, dan lain-lain. Modus politik uang tersebut berlangsung dari pemilu ke pemilu, tidak terkecuali dalam pilkada dan praktik-praktik jual beli suara ini bukan semata-mata didasari oleh kebutuhan ekonomi sebagian besar pemilih, tetapi juga karena hal tersebut sudah lama berlangsung setiap kali ada pemilihan (misalnya pilkades) sehingga masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah, meski mereka tahu bahwa hal itu melanggar ketentuan. Namun berbagai kejadian politik uang dalam pilkada langsung seringkali tidak tersentuh oleh penegakan hukum karena sulitnya pembuktian akibat tidak adanya batasan yang jelas mengenai politik uang, disamping sebagian masyarakat menganggap sebagai sesuatu yang lumrah.11 Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz menyebutkan sedikitnya ada lima ruang transaksional yang membuat biaya politik menjadi tinggi sepanjang proses pencalonan kepala daerah hingga pemilu terselenggara, yaitu yang terjadi pada proses prapencalonan, proses penentuan kandidat dan proses pasca pemilihan. Pada proses prapencalonan, ruang yang membuat biaya politik tinggi adalah mahar politik atau suap dari calon kepada partai politik di dalam penentuan kandidat. Selain mahar, ada pula biaya survei untuk mengangkat elektabilitas pasangan calon kepala daerah. Pada tahap penentuan 11 Didik Supriyanto, Transkrip Diskusi Publik (ijrsh.files.wordpress.com/2008/06/politikuang-dalam-pilkada.pdf ( diakses, 6-5-2015).
Terbatas,
Hal 7 dari 13
kandidat, biaya politik yang besar dikeluarkan untuk biaya atribut kampanye dan alat peraga. Meski negara saat ini telah memberikan subsidi kampanye, sejumlah kandidat kepala daerah tetap berkampanye dengan alat peraga yang dibiayai sendiri. Dalam level ini juga suap terhadap pemilih sering terjadi. Pada proses pasca pemilihan, suap kepada penyelenggara pemilu seringkali terjadi secara masif. Selain itu suap juga terjadi kepada pengadil perkara hasil pemilu, misalnya dalam proses sidang perkara hasil pilkada yang terjadi pada masa Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.12 Tak jauh berbeda dengan temuan pola politik uang di tempat lain, pola praktik politik uang dalam Pilkada DKI Tahun 2012 terdiri atas tiga pola, yaitu pembayaran tunai, pascabayar dan melibatkan pemilih sebagai relawan. Ketiga pola ini menggunakan uang atau barang sebagai imbalan untuk pemilih atau masyarakat dari pasangan kandidat atau tim suksesnya. Politik uang secara tunai dilakukan oleh pasangan calon dan tim sukses dengan cara memberikan sejumlah uang atau benda bernilai uang kepada pemilih. Pemberian uang terutama dilakukan dalam bentuk serangan fajar di saat menjelang hari pemilihan. Politik uang cara pascabayar, yaitu pemberian uang dari kandidat kepada sekelompok orang setelah dilaksanakan hari pemungutan suara jika mendapatkan jumlah suara sesuai target. Bila melebihi target, maka dana yang diterima oleh kelompok orang ini bertambah sesuai kelipatannya. Sedangkan pola pelibatan pemilih sebagai relawan tim sukses dan pasangan calon merupakan modus menggerakkan pemilih secara sistematis dengan imbalan sejumlah uang.13 Ramlan Surbakti mencatat bahwa peluang munculnya politik uang dalam pilkada dapat diidentifikasi sejak awal, yakni Pertama, untuk dapat menjadi calon diperlukan "sewa perahu", baik yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya. Jumlah sewa yang harus dibayar diperkirakan cukup besar jauh melampaui batas sumbangan dana kampanye 12 Politik Uang Terjadi dalam Pilkada, Ini Bukti Nyatanya, nasional.kompas.com, 31 Maret 2016, diakses 16 Juli 2016. 13 Laporan Berita Satu. Com, Kamis 10 Mei 2012. http://www.beritasatu.com/megapolitan/47320-tiga-pola-politik-uang-di-pemilu-kadadki.html ( diakses 28-5-2015).
Hal 8 dari 13
yang ditetapkan dalam undang-undang, tetapi tidak diketahui dengan pasti karena berlangsung di balik layar. Kedua, calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent, akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut.14 Penelitian mengenai politik uang di dalam pemilihan umum sudah pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dari berbagai sudut pandang. Salah satu diantaranya penelitian yang dilakukan Ali Sahab (2012) yang berjudul Vote buying dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). (Studi kasus pilkada Surabaya dan pilkada Kabupaten Blitar tahun 2010). Penelitian ini bertujuan menjelaskan fenomena money politics di Kota Surabaya dan Kabupaten Blitar dalam pemilihan kepala daerah Walikota Surabaya dan Bupati Blitar tahun 2010 serta faktor penyebab terjadinya politik uang di masingmasing daerah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif komparatif, dimana peneliti menggambarkan kondisi “money politics” di kedua daerah pemilihan umum kepala daerah. Namun penelitian ini tidak spesifik memunculkan perbedaan politik uang di kedua daerah pemilihan umum kepala daerah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tingkat politik uang di kedua daerah tinggi. Penyebab maraknya politik uang masyarakat Indonesia memang sebagian besar masih mendasarkan pilihannya pada rasionalitas ekonomi. Memilih kandidat yang memberikan keuntungan pada individu maupun kelompok secara langsung tanpa melihat track record atau program yang ditawarkan. Hal ini dilatarbelakangi kondisi status sosial ekonomi yang mayoritas sebagai petani penggarap dan beriringan dengan kekecewaan masyarakat terhadap sikap kandidat yang cenderung tidak memperhatikan konstituennya
ketika
sudah
menjabat
membuat
masyarakat
memilih
berdasarkan pada rasionalitas ekonomi. Pemilih mendasarkan pilihannya pada apa yang diperolehnya. Akhirnya masyarakat akan berusaha mendapatkan
14 Kompas, 2 April 2005.
Hal 9 dari 13
keuntungan yang sebesar-besarnya dari kandidat secara langsung (maximazing benefit minimazing cost).15
Menurut data yang dimiliki Perludem, tercatat 910 kasus politik uang dalam pilkada serentak 9 Desember 2015, tetapi yang diselesaikan hanya 3 kasus. Dari 910 kasus yang dicatat Perludem, lokasinya tersebar di semua daerah yang menggelar pilkada serentak pada 9 Desember 2015. Namun, 846 laporan politik uang dalam pilkada dihentikan prosesnya. Politik uang itu berupa pemberian uang kepada pemilih sebanyak 829 kasus dan 81 kasus karena pembagian barang.16
IV.
Ketentuan Normatif mengatur Politik Uang dalam Pilkada Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menjadi landasan normatif bagi penerapan pilkada secara langsung, diharapkan dapat meminimalkan praktik politik uang karena calon pemimpin politik tidak mungkin “membayar” suara seluruh rakyat maupun kecurangan-kecurangan lain yang menjadi kekurangan dalam pilkadapilkada sebelumnya. Pilkada sebelumnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 selalu menimbulkan gejolak di daerah (Jakarta, Lampung, Jawa Barat, Madura dan daerah lainnya) yang disebabkan oleh penyimpanganpenyimpangan seperti distorsi aspirasi publik, indikasi politik uang dan oligarkhi partai yang nampak dari intervensi DPP partai dalam menentukan calon kepala daerah yang didukung fraksi.17
15 http://alisahab09-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-41933: 16 Budiman Tanuredjo, “Memangkas Politik Uang dalam Pilkada”, otda.kemendagri.go.id, 11 Maret 2016. 17 Dede Mariana, Dinamika Demokrasi dan Perpolitikan Lokal di Indonesia (Bandung: AIPI Bandung-Puslit KP2W, Lembaga Penelitian Unpad, 2007), hal.
Hal 10 dari 13
Namun
pelaksanaan
pilkada
secara
langsung
ternyata
tidak
menyelesaikan persoalan politik uang. Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan pilkada langsung berdampak pada biaya politik tinggi (Kompas, 21 Juli 2010). Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga terdapat kelemahan dalam pengaturan politik uang seperti: 1. Masa kampanye yang sangat singkat mendorong pasangan calon melakukan jalan pintas seperti melakukan politik uang; 2. Tim Kampanye yang didaftarkan tidak mencakup keseluruhan tim kampanye. Kebanyakan kasus pelanggaran kampanye termasuk politik uang tidak dapat dibuktikan karena dilakukan oleh pihakpihak pendukung pasangan calon yang tidak didaftarkan di KPU; 3. Sanksi yang ringan pada pelanggaran kampanye, yaitu hanya sebatas menghentikan melakukan kampanye selama masa kampanye, tidak ada sanksi diskualifikasi dari pencalonan seperti pada UndangUndang Pemilu; 4. Pengenaan sanksi dilakukan jika yang melakukan politik uang adalah pasangan calon atau tim sukses, hal ini menyulitkan penegakan hukum karena yang melakukan praktik politik uang adalah tim bayangan yang tidak didaftarkan di KPU. Proses hukum pada politik uang harus sampai pada putusan final yang bersifat tetap juga menyulitkan penegakan hukum karena akan memakan waktu yang cukup lama.18 Pengenaan sanksi administrasi atas praktik politik uang mulai dikenakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Pasal 47 ayat (5) UU No 1 Tahun 2015 menyatakan, setiap orang atau lembaga yang terbukti memberi imbalan pada proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta 18 Lihat Ibrahim Zuhdhy Fahmi Badoh, Kajian Potensi-Potensi Korupsi Pilkada (Jakarta: ICW, 2010), hal. 5.
Hal 11 dari 13
wali kota dan wakil wali kota, maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota atau wakil wali kota dibatalkan.
Selanjutnya Pasal 73 ayat (1) undang-undang yang sama mengatur bahwa calon dan/atau tim kampanye yang terbukti menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lain untuk memengaruhi pemilih dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Namun, ketentuan tersebut tidak pernah efektif dan berhasil ditegakkan sebab pelaksanaannya baru bisa dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Mekanisme penegakan hukum pelanggaran politik uang adalah sanksi administrasi diputuskan oleh Bawaslu RI berdasar temuan langsung di lapangan atau atas rekomendasi Bawaslu provinsi. Mengapa sanksi administrasi ini hanya bisa diputuskan oleh Bawaslu RI adalah untuk betul-betul memastikan agar sanksi ini dijatuhkan tidak asal-asalan, tidak mudah diintervensi oleh aktor lokal, dan menjaga konsistensi dalam penerapannya di seluruh wilayah. Rekomendasi dibuat berdasar alat bukti yang sangat kuat dan cukup, terang benderang, dan nyata-nyata tidak dapat dibantah bahwa telah terjadi praktik politik uang yang dilakukan calon, partai pengusung, dan/ atau tim kampanye (resmi ataupun tidak resmi) yang bisa dibuktikan terhubung dengan pasangan calon/ partai politik pengusung. Atas rekomendasi Bawaslu ini, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti dan melaksanakan karena sifatnya final dan mengikat.
Hal 12 dari 13
V.
Kesimpulan Fenomena politik uang dalam pemilu bukanlah hal baru. Politik uang
tumbuh subur didukung oleh kecenderungan masyarakat yang semakin permisif. Pembiaran terhadap politik uang tidak hanya berimplikasi melahirkan politisi korup namun juga berakibat tercederainya pemilu yang demokratis. Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan: 1. Penguatan Lembaga Pengawasan Pemilu baik secara infrastruktur maupun sumber daya manusia: 2. Instrumen peraturan yang tegas dan dilaksanakan secara konsisten oleh aparat penegak hokum; 3. Karena politik uang merupakan transaksi illegal yang melibatkan dua pihak, yakni pemberi dan penerima politik uang, maka sanksi hukum semestinya tidak hanya berlaku bagi pemberi politik uang, namun juga dikenakan kepada para penerima manfaat politik uang, yakni kalangan pemilih atau warga biasa. Dengan penegakan hukum yang kuat, warga akan berpikir ulang untuk menerima tawaran politik uang dari kandidat atau tim suksesnya; 4. Ketentuan
yang
mengatur
sanksi
politik
uang
juga
harus
menimbulkan efek jera bagi peserta pemilihan, calon, juga tim kampanye, yaitu melalui pengenaan sanksi administratif yang secara tegas bisa mengeliminasi mereka dari proses kompetisi dan melarang mereka menjadi/mengusung calon di pemilu/pilkada berikutnya. Agar sanksi administratif ini bisa efektif ditegakkan, penjatuhannya
Hal 13 dari 13
tidak perlu menunggu ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Hal 14 dari 13