Selfie sebagai Perangkat Citra Diri Masyarakat Urban Kusrini Jurusan Fotografi, Fakultas Seni Media Rekam, ISI Yogyakarta Jln. Parangtritis Km 6,5 Bantul, Yogyakarta Telp. 085602122742, E-mail:
[email protected] Volume 13 Nomor 1, April 2013: 34-46
ABSTRAK Selfie menjadi salah satu fenomena yang mudah ditemui dalam masyarakat urban. Tercatat beberapa kepala negara dan publik figur ikut larut dalam keramaian berfoto diri. Pembuatan selfie pun kadang tidak mengenal tempat dan suasana sehingga memancing pro dan kontra. Berbagai komentar terlontar, penelitian juga dilakukan untuk mengulik fenomena selfie lebih dalam. Dari sisi fotografi, foto selfie memiliki tema yang sama dengan foto potret, yaitu tentang gambar diri. Hanya saja, dalam foto potret dapat dirasakan karakter personal yang tertangkap kamera. Ekspresi dan komunikasi yang terbangun di dalamnya adalah antara fotografer dengan penikmat foto, sedangkan dalam foto selfie, interaksi cenderung dengan diri sendiri yang tersaji dalam layar kamera. Selain itu, sebuah foto pada dasarnya dapat digunakan untuk konstruksi identitas. Identitas personal dapat dikonstruksi dari atribut-atribut yang diusung oleh subjek foto. Atribut fisik langsung dapat dilihat dari penampilan yang tersaji. Atribut ekspresi merupakan representasi karakter yang biasanya berupa perilaku yang terekam kamera. Hal itu agak berbeda dengan selfie. Pada selfie, konstruksi identitas yang terbentuk mengarah pada upaya pembentukan citra diri. Foto-foto yang diunggah digunakan untuk membentuk kesan positif atau baik. Kata kunci: selfie, foto potret, citra, identitas
ABSTRACT Selfie as a Tool of Urban Society’s Self Image. Selfie is one of the phenomena that is easily found in urban society.It is noted that several heads of state and public figures get involved to take pictures of themselves. Sometimes, making selfie does not pay attention to the time and atmosphere so that it may cause pro and contra. Various comments came out, and the study was also conducted to do the research of selfie. In terms of photography, selfie and portrait of photography have the same theme; they are about self image. However, the personal character of the portraits can be found and is caught on camera. The expression and communication built in it is among the photographers and photo lovers. Meanwhile, the interaction on selfie portraits tends to talk about them presented on the camera screen. In addition, a picture is basically used for constructing identity. Personal identity can be constructed from the attributes carried by the subject. Direct physical attributes can be seen from the appearance presented. While the expression attribute is usually a representation of character behavior caught on camera. It is different from selfie. In selfie, the construction of identity formed is directed to the formation of self-image. The photographs uploaded are used to form a positive or nice impression. Keywords: selfie, portrait of photography, image, identity
34
Journal of Urban Society’s Art | Volume 13 No. 1, April 2013
Pendahuluan Kemajuan teknologi saat ini membuat masyarakat penggunanya termanjakan oleh fasilitas. Telepon selular (ponsel) tidak hanya digunakan untuk telepon atau mengirim pesan melalui sms (short message service), namun dapat pula untuk memotret karena dilengkapi dengan kamera yang sudah dua arah sehingga dapat digunakan dari sisi depan ataupun belakang. Fasilitas lain seperti radio dan televisi sudah masuk pula dalam segenggam ponsel. Selain itu, jaringan internet merupakan fasilitas ponsel yang banyak dicari karena dapat digunakan untuk berbagai aktivitas online, seperti chatting, membuka jejaring sosial, mengunggah foto ke media sosial, hingga searching informasi sesuai dengan kebutuhan. Fasilitas pencarian informasi yang begitu mudah melalui internet dapat dimanfaatkan untuk membantu berbagai aktivitas pengguna, seperti dalam jual beli hingga mencari resep masakan. Masyarakat urban yang memiliki ciri sebagai manusia informasi (homo informationis) tidak dapat dipisahkan dari fasilitas-fasilitas yang dimiliki ponsel karena eksistensi kota (dan manusia kota) sangat menggantungkan diri pada keberadaan informasi (radio, televisi, internet) (Piliang, 2010:234). Salah satu perilaku masyarakat urban yang sedang tren beberapa waktu terakhir adalah memfoto diri sendiri atau selfie. Memotret diri sendiri-baik sendiri maupun bersama orang lain- melalui telepon selular (ponsel) kemudian mengunggahnya ke media sosial, banyak dijumpai pada masyarakat perkotaan karena gadged mudah diperoleh. Handphone (ponsel) dengan fasilitas kamera dan internet membuat selfie dapat dilakukan oleh siapa saja, baik anak muda, orang tua, bahkan anak-anak. Perilaku selfie juga dilakukan oleh orangorang yang dianggap tokoh suatu negara, seperti kepala pemerintahan atau pejabat publik. Dengan demikian, tidak mengherankan jika fenomena tersebut memunculkan sejumlah penelitian atau pengamatan berkaitan dengan selfie. Salah satu survei dilakukan Pew Internet & American Life Project. Survei itu menunjukkan bahwa 54 persen pengguna internet memiliki
kebiasaan mengunggah potret dirinya ke dalam Facebook, Twitter, Instagram, atau jejaring sosial lainnya (http://health.kompas.com/ read/2013/12/18/1151301/Apa.Kata.Psikolog. soal.Foto.Narsis.di.Jejaring.Sosial, 14 Maret 2014; 7:33). Pengguna internet dapat menggunakan alasan apa pun dalam mengunggah foto-foto dirinya. Seperti berbagi informasi tentang aktivitasnya, sebagai bentuk eksistensi diri, atau sekadar kesenangan melihat diri sendiri. Dengan alasan berbagi informasi, biasanya orang cenderung tidak peduli apakah informasi itu penting bagi orang lain. Namun, di sisi lain juga dapat memberikan gambaran tentang relasi sosial orang bersangkutan. Keberadaan seseorang menjadi “ada” atau dapat dianggap “ada” ketika orang-orang yang terhubung dengannya sering mendapati aktivitasnya di jejaring sosial. Ketika foto-foto itu hanya menjadi sekadar kesenangan melihat diri sendiri, terdapat kecenderungan untuk mencintai diri sendiri berlebihan. Selain itu, ada juga yang sengaja mengunggah foto diri sebagai penyemangat untuk menjalankan program-program tertentu, seperti mengurangi berat badan atau upaya membentuk tubuh agar memiliki ukuran lebih ideal. Hal itu dimungkinkan karena biasanya orang akan cenderung menginginkan tampilan yang bagus. Dengan mengunggah foto diri setiap saat, mereka dapat “memantau” perkembangan tubuhnya. Termasuk mendapatkan semangat dari orang lain yang memberi komentar atau membangun semangat dari dalam diri melalui keinginan memiliki tubuh ideal agar dapat mendapat komentar bagus dari orang lain. Terlepas dari alasan-alasan tersebut, foto selfie telah diterima masyarakat secara luas dan terbuka. Orang tidak malu lagi berfoto diri di berbagai tempat dan suasana. Saat bepergian, sebelum acara resmi dengan dandanan rapi atau di sela sebuah acara formal, seseorang biasa mengambil waktu sejenak untuk berpose memotret diri sendiri. Keberadaan selfie di tengah masyarakat pengguna media sosial merupakan hal yang menarik untuk dikaji karena pengaruhnya yang telah meluas. Tidak hanya anak muda, namun juga anakanak dan orang tua. Selfie juga melanda berbagai
35
pihak, dari masyarakat biasa tanpa kedudukan hingga para tokoh dan pemimpin negara. Dari sisi psikologis, selfie dianggap sebagai bagian dari narsisme atau mencintai diri sendiri secara berlebihan. Namun, ada juga yang menolak hal tersebut dan menganggap selfie sebagai hal yang wajar. Dari sudut pandang fotografi, selfie dapat dilihat sebagai bagian dari imaji dwimatra. Namun, apakah selfie memiliki unsur-unsur yang ada pada sebuah foto potret, menjadikan selfie menarik untuk dikaji lebih mendalam. Kajian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu memaparkan situasi atau peristiwa. Metode ini menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (naturalistis setting). Peneliti bertindak sebagai pengamat. Dia hanya membuat kategori perilaku, mengamati gejala, dan mencatat dalam buku observasinya (Rakhmat, 2001:25). Teknik mengambilan sampel yang digunakan adalah rancangan sampling nonprobabilitas dengan kategori sampling kebetulan (accidental sampling), yaitu dengan mengambil siapa saja yang ada atau kebetulan ditemui (Rakhmat, 2001:81). Meskipun dapat mengambil siapa saja, kajian ini mengambil sampel foto yang memiliki subjek tokoh atau publik figur serta selfie yang dianggap menarik perhatian banyak orang. Pembahasan Ketika menelusuri dunia maya melalui mesin pencari dengan menggunakan kata kunci selfie, akan sangat banyak ditemui foto-foto individu
ataupun sekelompok orang yang sedang berfoto diri. Pose yang mereka tampilkan sangat beragam. Tidak hanya menampilkan wajah, namun juga beberapa bagian tubuh yang mereka anggap menarik. Dari sekian foto tersebut terdapat beberapa foto selfie yang mendapat perhatian banyak pengguna media sosial. Seperti selfie Presiden Amerika Serikat, Barack Obama saat kemenangannya di Pemilu Presiden pada 7 November 2013. Foto yang diunggah di laman Twitter @BarackObama tersebut menampilkan Obama sedang memeluk Ibu Negara, Michelle Obama, dengan tulisan Four More Year. Foto lain yang dianggap sebagai selfie terbaik sepanjang 2013 adalah milik Mike Hopkins, seorang astronot dari lembaga antariksa NASA. Foto diunggah ke akun Instagram NASA pada Jumat 27 Desember 2013. Pada foto ini Hopkins mengenakan pakaian astronot dan tengah mengapung di luar angkasa. Saat itu Hopkins sedang mengganti pompa air yang rusak di bagian luar Stasiun Luar Angkasa Internasional, pada 24 Desember 2013 (http://tekno.liputan6.com/ read/2022271/ini-foto-selfie-yang-menggemparkandunia, 14 Maret 2014, 20:04). Foto tidak kalah menghebohkan adalah selfie Presiden Amerika Serikat Barack Obama beserta Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Perdana Menteri Denmark Helle Thorning Schmidt. Foto tersebut berhasil direkam oleh fotografer Roberto Schmidt dan dipublikasikan oleh kantor berita Perancis (AFP). Pengambilan
Gambar 1. Foto ^ĞůĮĞ Astronot.
Gambar 2. Foto ^ĞůĮĞ Presiden Amerika Serikat, Barack Obama.
^ƵŵďĞƌ͗ŚƩƉ͗ͬͬƚĞŬŶŽ͘ůŝƉƵƚĂŶπ͘ĐŽŵͬƌĞĂĚͬμκμμμρλͬŝŶŝͲĨŽƚŽͲ ƐĞůĮĞͲLJĂŶŐͲŵĞŶŐŐĞŵƉĂƌŬĂŶͲĚƵŶŝĂ Diakses: 14 Maret 2014, pukul 20:04.
^ƵŵďĞƌ͗ŚƩƉ͗ͬͬŶĞǁƐĨĞĞĚ͘ƟŵĞ͘ĐŽŵͬμκλνͬλμͬλλͬƚƵƌŶƐͲŽƵƚͲ ŵŝĐŚĞůůĞͲŽďĂŵĂͲůŽǀĞƐͲƐĞůĮĞƐͲƚŽŽ Diakses: 14 Maret 2014, pukul 19:49.
Journal of Urban Society’s Art | Volume 13 No. 1, April 2013
foto dilakukan saat misa kenangan tokoh Afrika, Nelson Mandela. Foto ini menuai pro dan kontra. Ada yang menganggapnya sebagai sesuatu yang manusiawi, namun tidak sedikit pula yang mempertanyakan kapasitas seorang presiden dan perdana menteri yang berpose narsis saat upacara formal atau resmi. Di Indonesia, selfie pemimpin negara yang tidak kalah menarik perhatian publik adalah foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Perdana Menteri Malaysia Mohamad Najib Tun Razak. Foto ini diunggah langsung oleh akun Twitter PM Malaysia @NajibRazak dengan cuit “With President @SBYudhoyono today”. Foto tercatat diunggah Kamis, 19 Desember 2013, ketika hari itu Presiden SBY memang sedang menerima kunjungan resmi dari pemimpin negeri Jiran tersebut. Kedua pemimpin negara berpose di sebuah kendaraan terbuka dengan kostum jas. Ibu Negara Ani Yudhoyono yang mengenakan pakaian warna biru juga tertangkap kamera saat tersenyum melihat keduanya berpose. Masyarakat biasa pun menjadi tidak canggung lagi saat meminta tokoh atau pejabat untuk berfoto selfie bersama mereka. Salah seorang pejabat yang banyak diminta untuk selfie bersama adalah Joko Widodo (Jokowi), gubernur Jakarta saat ini. Saat menelusuri gambar melalui kata “foto selfie Jokowi”,
akan muncul foto-foto Jokowi bersama, baik bersama masyarakat maupun artis. Foto Jokowi tersebut dapat dilihat sebagai selfie jika dilihat dari sisi mereka yang mengajak berfoto bersama. Salah satu foto bahkan dilakukan menggunakan tongsis (tongkat narsis). Selain itu, terdapat pula selfie para anggota dewan perwakilan rakyat Daerah (DPRD) Maros, Makassar. Selfie yang banyak ditemukan dalam media sosial tidak selalu dilakukan bersama-sama. Secara personal, seseorang biasa mengunggah foto-foto dirinya dalam berbagai pose maupun ekspresi. Terutama jika berkaitan dengan moment yang dianggap penting atau dapat dibagi dengan orang lain.
Gambar 4. Foto Bersama Joko Widodo. ^ƵŵďĞƌ͗ŚƩƉ͗ͬͬŶĞǁƐ͘ůŝƉƵƚĂŶπ͘ĐŽŵͬƌĞĂĚͬμκμλμοπͬƐĂĂƚͲũŽŬŽǁŝͲũĂĚŝͲŬŽƌďĂŶͲĨŽƚŽͲƐĞůĮĞ Diakses: 9 Mei 2014, pukul 07:00.
Gambar 3. Foto ^ĞůĮĞ Presiden Susilo Bambang zƵĚŚŽLJŽŶŽĚĂŶWDDĂůĂLJƐŝĂDŽŚĂŵĂĚ Najib Tun Razak.
Gambar 5. ^ĞůĮĞŶŐŐŽƚĂĞǁĂŶ<ŽŵŝƐŝ//ĚĂŶ/// DPRD Maros, 23 April 2014.
^ƵŵďĞƌ͗ŚƩƉ͗ͬͬǁǁǁ͘ƚĞŵƉŽ͘ĐŽͬƌĞĂĚͬ ŶĞǁƐͬμκλνͬλμͬμκͬκρςονςσνμͬWƌĞƐŝĚĞŶͲ^zͲ&ŽƚŽͲ^ĞůĮĞͲ ĂƌĞŶŐͲWDͲDĂůĂLJƐŝĂ͘ŝĂŬƐĞƐ͗λρDĂƌĞƚμκλξ͕ƉƵŬƵůμκ͗μξ͘
^ƵŵďĞƌ͗ŚƩƉ͗ͬͬǁǁǁ͘ƚƌŝďƵŶŶĞǁƐ͘ĐŽŵͬƌĞŐŝŽŶĂůͬμκλξͬκξͬμνͬ ĂŶŐŐŽƚĂͲĚĞǁĂŶͲŶĂƌƐŝƐͲƐĞůĮĞͲũĞůĂŶŐͲƌĂƉĂƚͲƉĂƌŝƉƵƌŶĂ Diakses: 9 Mei 2014, pukul 07:01.
37
Gambar 7. Salah Satu Koleksi ^ĞůĮĞLJĂŶŐŝƐŝŵƉĂŶ oleh RCAHMS, Skotlandia. ^ƵŵďĞƌ͗ŚƩƉ͗ͬͬƚĞŬŶŽ͘ůŝƉƵƚĂŶπ͘ĐŽŵͬƌĞĂĚͬμκμκςκσͬƐĞůĮĞͲ sudah-ada-sejak-tahun-1800-an. Diakses: 14 Maret 2014, pukul 19:43.
Gambar 6. Foto ^ĞůĮĞ Personal. ^ƵŵďĞƌ͗ŚƩƉ͗ͬͬǁǁǁ͘ǁŽŵĞŶƐŚĞĂůƚŚŵĂŐ͘ĐŽŵͬǁĞŝŐŚƚͲůŽƐƐͬ ĮƚŶĞƐƐͲŵŽƟǀĂƟŽŶͲƉŝĐƚƵƌĞƐ͘ŝĂŬƐĞƐ͗λρDĂƌĞƚμκλξ͕ƉƵŬƵů λν͗λρ͘ŽƵƌƚĞƐLJ͗^ŚƵƩĞƌƐƚŽĐŬ͘ĐŽŵ͘
Selfie, Narsisme, dan Citra Diri Ditelusuri dari sejarahnya, selfie atau memotret diri sendiri dengan perangkat elektronik dilakukan kali pertama oleh seorang bernama Robert Cornelius pada 1839. Selain itu, kantor berita BBC melaporkan selfie sudah ada sejak awal abad ke-20 ketika telepon selular dan internet belum ada. Hal ini terungkap setelah ditemukan dua buah foto yang diambil dari Skotlandia sekitar tahun 1900 dan 1950-an. Foto pertama diambil pada 1907 di Naim, Skotlandia, menggambarkan seorang anak laki-laki menggunakan cermin untuk memotret dirinya sendiri. Lalu foto kedua juga menggunakan cermin diambil di sebuah rumah di kawasan Broughty Ferry, Skotlandia. Kedua foto tersebut kini menjadi koleksi komisi pengarsiapn Royal Commission on the Ancient and Historical Monument of Scotland (RCAHMS) (http://tekno. liputan6.com/read/2020809/selfie-sudah-adasejak-tahun-1800-an, 14 Maret 2014, 19:43). Saat ini, selfie semakin tren seiring semakin canggihnya teknologi handphone dan kamera digital. Bahkan istilah selfie masuk dalam Oxford English Dictionary’s Word of The Year 2013 pada November 2013. Istilah ini merujuk pada sebuah foto yang telah diambil dari diri sendiri, biasanya
melalui smartphone atau webcam dan diunggah ke media sosial. “A photograph that one has taken of oneself, typically one taken with a smartphone or webcam and uploaded to a social media website”. Setelah definisi, terdapat penjelasan bahwa selfie masih dapat diterima ketika dilakukan kadangkadang, tapi mem-posting foto diri setiap hari bukanlah hal penting (occasional selfies are acceptable, but posting a new picture of yourself everyday isn’t necessary) (http://www.oxforddictionaries.com/ us/definition/american_english/selfie, 17 Maret 2014, 21:09). Pengertian istilah selfie menunjukkan bagaimana pengambilan foto dilakukan oleh diri sendiri. Artinya, terdapat pemikiran kapan harus menekan shutter atau tombol handphone sehingga paham betul posisi wajah maupun badan yang akan difoto. Pemikiran itu kemudian mengarahkan pandangan mata kepada layar penampil gambar di kamera atau pada hal lain di luar jendela bidik sehingga arah mata subjek foto biasanya tidak terfokus pada sebuah arah tertentu. Dalam foto potret, objek kamera akan diarahkan pada fokus tertentu sehingga konteks pesan yang ingin disampaikan dapat keluar. Ekspresi yang diinginkan fotografer dan objek juga dapat tertangkap kamera secara maksimal. Perbedaan tersebut terletak dalam komunikasi yang terbangun pada imaji yang tersaji. Dalam foto potret terbangun komunikasi antara objek dengan fotografer atau subjek dengan penikmat foto, sedangkan dalam foto selfie, bentuk
Journal of Urban Society’s Art | Volume 13 No. 1, April 2013
komunikasi objek mengarah pada kamera yang merupakan alat perekam ekspresi. Fokus objek yang terpecah saat dilakukan pembekuan moment membuat perhatian objek lebih banyak pada pemikiran bagaimana tampilan foto nanti jadinya. Bukan pada bagaimana berekspresi apa adanya di depan kamera sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Kondisi tersebut dapat dimengerti karena posisi perekam imaji yang juga dipegang oleh objek. Ketika berperan ganda sebagai objek ataupun subjek, komunikasi objek sebatas pada kamera dan imaji yang akan terbentuk di LCD, bukan pada penikmat foto yang seharusnya nanti dapat menangkap ekspresi subjek. Maka hasil yang didapat adalah foto nampang dengan ekspresi yang “terjaga”. Menampilkan diri sendiri pada layar handphone untuk kemudian diambil gambarnya biasanya disertai pemikiran tertentu agar visualitas diri menyenangkan untuk dilihat. Bagaimana keadaan diri sendiri yang akan menjadi subjek foto atau tersaji dalam bentuk imaji dwimatra. Unsur menyenangkan ini tentu yang pertama adalah untuk diri sendiri. Melihat diri sendiri yang terlihat cantik/ tampan, badan bagus, ceria, dipercaya dapat meningkatkan kepercayaan diri. Namun, ketika kepercayaan diri tersebut sampai pada tahap meremehkan atau menganggap orang lain lebih rendah atau lebih jelek, dapat ditengarai sebagai indikator adanya cinta diri sendiri yang berlebihan atau narsis. Apalagi ketika hal itu disertai dengan upload foto diri dalam berbagai pose setiap saat, dapat dikatakan jika kecenderungan narsisme menguat. Fenomena selfie yang mengarah pada narsisme diawali dari mitologi Yunani kuno tentang seorang pemuda tampan bernama Narcissus yang mengagumi pantulan dirinya di sebuah danau. Dia berusaha menjamah dan memiliki pantulan wajah yang dilihatnya. Karena kecintaannya itu, dia tetap menunggu di tepi danau untuk mendapatkan bayangan yang menjadi objek kekagumannya sampai menceburkan diri ke dalam danau dan akhirnya mati. Dari sudut pandang Psikologi, narsisme sebenarnya merupakan perilaku abnormal atau tidak sebagaimana mestinya. Mitologi tersebut digunakan kali pertama oleh Sigmund Freud
untuk menggambarkan individu-individu yang menunjukkan cinta diri yang berlebihan. Freud menamakannya the narsissists dan pelakunya disebut narsistik atau seorang narsisis. Psikolog lain, Erich Fromn berpendapat, narsisme merupakan kondisi seseorang yang dia rasakan sebagai sesuatu yang benar-benar nyata hanyalah tubuhnya, kebutuhannya, perasaannya, pikirannya, serta benda atau orang-orang yang masih ada hubungan dengannya. Sebaliknya, orang atau kelompok lain yang tidak menjadi bagian dirinya senantiasa dianggap tidak nyata, inferior, tidak memiliki arti, dan karenanya tidak perlu dihiraukan. Bahkan bisa jadi dianggap sebagai orang yang berseberangan (http://www.duniapsikologi. com/narsis-pengertian-definisi-dan-asal-mulanya/, 16 Maret 2014, 17:00). Perhatian narsisme adalah seputar diri sendiri atau berpusat pada diri sendiri. Media sosial serta perangkat kamera yang berkembang seiring kemajuan teknologi ikut mendukung fenomena selfie yang mengarah pada narsisme. Ketika seseorang memotret diri sendiri, biasanya akan disertai keinginan untuk mengunggahnya ke media sosial agar dapat dilihat oleh orang lain. Ketika foto selfie pertama mendapat banyak tanggapan, mendapat pujian, akan menimbulkan keinginan untuk mengunggah kembali foto-foto lain yang dianggap tidak kalah menarik dari foto-foto sebelumnya. Kesenangan akan pujian tersebut jika diteruskan dapat mengarah pada keinginan untuk selalu terlihat baik dan menganggap diri sendiri lebih baik dari orang lain. Perilaku ini memiliki kecenderungan menghindari kritik dan mengabaikan kekurangan yang dimiliki. Jika terus berlanjut dapat mengarah pada narsisme. Sementara secara materi, atribut personal yang ditampilkan oleh selfie dapat menjadi pendukung bagaimana kecukupan seseorang secara materi. Atribut ini biasanya melekat pada tubuh sehingga mudah untuk ikut diambil gambarnya, seperti aksesoris pakaian, topi, kacamata, sepatu, tas, dompet, cincin, kalung, hingga jam tangan. Apalagi jika atribut-atribut tersebut memiliki merek tertentu, akan semakin menyenangkan “berbagi” foto barang-barang bermerek yang dimiliki. Dari yang sekadar menunjukkan barang yang baru
39
dimiliki, dapat beranjak pada upaya “pamer” atau menunjukkan sesuatu karena ingin dipuji atau dianggap lebih oleh orang lain. Beberapa tema foto yang diunggah selain diri sendiri, adalah foto kebersamaan dan liburan. Meskipun berfoto bersama orang lain, namun tujuan dari pembuatan foto selfie tersebut adalah eksistensi diri. Kebersamaan yang ditampilkan pada foto selfie narsis memiliki kecenderungan bukan untuk menunjukkan kebersamaan itu sendiri, namun siapa saja yang terlihat pada foto tersebut. Pembentukan kesan akan kedekatan relasi dapat dibangun dari sini. Jika foto bersama dengan orang-orang sukses, dapat diasumsikan orang tersebut juga sukses atau dekat dengan kesuksesan. Ketika selalu berfoto bersama keluarga, orang itu termasuk penyayang keluarga. Begitu pun ketika berfoto bersama bermacam orang, dapat dikatakan memiliki relasi atau teman yang banyak atau dari berbagai kalangan. Asumsi-asumsi tersebut baik disengaja maupun tidak, dapat terbentuk ketika foto-foto yang diunggah sering bertema sama. Sebagai contoh ketika sering mengunggah foto liburan di manamana. Orang dapat berasumsi bahwa dia seorang traveler. Akan tetapi, traveler seperti apa? Jawaban yang muncul akan tergantung dari foto-foto yang diunggahnya ke media sosial. Ketika selfie narsis yang diunggah tidak memperlihatkan dengan jelas lokasi tempat liburan, bagaimana indahnya daerah yang dikunjungi, dapat muncul pertanyaan tentang benar tidaknya foto yang diunggah tersebut. Namun, jika dikembalikan pada pengertian selfie yang mengarah pada narsisme, hal itu bukanlah masalah bagi pemiliknya karena hal terpenting adalah diri sendiri. Begitu pula dari perilaku yang tertangkap pada selfie. Orang yang selalu mengunggah setiap aktivitasnya di mana pun dan kapan pun dapat dilihat dari sisi positif maupun negatif. Dari sisi positif, dapat menyebarkan semangat beraktivitas bagi orang lain. Nilai-nilai positif tersebut akan terjaga jika aktivitas yang dilakukan positif, semisal olahraga. Orang dapat berpikir bahwa selfie tersebut menunjukkan kerasnya usaha yang dilakukan untuk menjaga kebugaran maupun bentuk tubuh. Namun, jika setiap hari selalu diunggah,
termasuk dengan bagian-bagian tubuh yang telah “terbentuk”, maka kesan yang muncul dapat menjadi kontradiktif. Bukan lagi positif, namun akan cenderung memunculkan kesan pamer atau narsis. Dari sisi pose subjek, selfie biasanya berlatar keceriaan atau kesenangan (fun). Wajah yang terpampang pada imaji lebih sering tertawa atau tersenyum (gambar 2, 3, 4, 5). Ekspresi lain seperti orang manyun (bibir maju) atau sedang marah, biasanya bukan ekspresi sesungguhnya namun dibuat seolah-olah sedang kesal atau marah. Hal ini tidak dapat dikatakan sebagai ekspresi karakter seseorang yang sesungguhnya. Tidak dapat dilihat bagaimana kebaikan atau ketulusan yang seharusnya terpancar dari ekspresi seseorang. Memang hal ini tidak dapat “dibaca” secara langsung, namun bagi yang melihat foto dapat merasakan bagaimana seseorang berekspresi, apakah benar-benar senang, sedih, ataukah pura-pura senang. Termasuk ekspresi kehangatan hati ataupun dinginnya hati seseorang. Dengan kata lain, selfie dapat mengarahkan seseorang pada upaya pembentukan citra atau objektifikasi dari pengetahuan diri untuk tujuan komunikatif. Citra atau imaji seseorang dibuat oleh isyarat-isyarat dengan maksud orang lain mengerti mengenai penampilan diri. Dalam kajian budaya saat ini citra terkunci hanya seputar persoalan visual, dimana orang cemas dengan penampilan dan mengabaikan hubungan yang kompleks yang saling memengaruhi antara penglihatan, suara, dan sekuen yang diekploitasi oleh layar media (Hartley, 2010:39-41). Pada pembentukan citra diri, ukuran yang digunakan adalah apa yang dapat ditampilkan atau terlihat secara langsung. Kompleksitas sifat yang melingkupi karakter seseorang diabaikan untuk tujuan tampilan yang diinginkan sehingga menimbulkan kesan-kesan tertentu. Seseorang yang pada foto selfie selalu mengunggah wajah yang selalu tertawa atau tersenyum, dapat dinilai sebagai orang yang selalu senang atau menikmati hidup. Bisa juga menjadi identifikasi orang yang menyenangkan, mudah bergaul, selalu tersenyum sehingga jauh dari kesusahan. Ekspresi wajah yang dibuat-buat sedemikian rupa, biasanya identik dengan ekspresi lucu atau dapat membuat orang lain ikut tersenyum karena kelucuan
Journal of Urban Society’s Art | Volume 13 No. 1, April 2013
wajahnya sehingga terlihat menyenangkan. Mereka menampilkan diri mereka dalam citra kesenangan atau menyenangkan. Kita pun cenderung menyukai orang yang menyenangkan. Namun, yang dilupakan di sini, penilaian menyenangkan hanya dari imaji yang tampak. Dalam dunia nyata, menyenangkan atau tidaknya seseorang baru dapat dirasakan setelah melalui interaksi langsung. Namun, itulah foto selfie. Apa pun yang tersaji diharapkan memuaskan diri sendiri dan mendatangkan imej positif dari siapa pun yang melihatnya. Dalam budaya masyarakat urban, gagasan mengenai penampakan luar adalah penting sebagai situs bagi praktik-praktik gaya hidup karena mengangkat permainan makna-makna dalam setiap negosiasi bentuk-bentuk budaya (Chaney, 2011:170-183). Ketika masyarakat menyukai tontonan dan suka ditonton, apa yang ditampilkan tidak lebih hanya memperhatikan apa yang dapat dilihat atau penampakan diri. Penampilan dari apa yang terlihat menjadi sangat penting karena merupakan sumber utama makna. Masyarakat pun memantau penampilan diri sendiri dan orang lain yang masih dalam kendali kontrolnya. Aspek Batiniah Selfie Tampakan imaji pada selfie yang mengandung tema diri sendiri, menjadikan foto jenis ini dapat dilihat dari sudut pandang foto potret (portrait photography), yaitu representasi potret diri dalam medium tertentu. Pada foto potret terdapat representasi formal wajah atau badan. Di dalamnya juga mengandung iklan individu tanpa henti, statis, dan dalam frame tunggal dari potret umum. Pada awal kemunculan foto potret, foto-foto ini merupakan cermin dari gambar yang difoto. Terdapat realisme mimesis atau peniruan yang kental dari fisik seorang individu. Namun dalam perkembangannya di abad ke-20, representasi mimesis dipertanyakan. Sebuah foto potret yang mewakili realitas individu, seharusnya berkaitan dengan frame lain yang dikodifikasikan secara signifikan, sehingga potret mencapai makna melalui konteks dimana ia terlihat (Clarke dalam Clarke (Edt.), 1992:1).
Pada selfie, realisme fisik seseorang merepresentasikan formal wajah atau badan terlihat laksana cermin. Seperti sifat cermin yang menampilkan bayangan yang tidak nyata, foto pun menampilkan realitas semu. Pada tahap ini konsep mimesis berlaku. Ketika dikaitkan dengan makna melalui konteks foto, perlu dilihat lagi bagaimana foto tersebut dilihat atau “dibaca”. West (2004:21) menyebutkan, selain peduli dengan kemiripan sebagaimana tercantum dalam ciri-ciri fisik seseorang, dalam foto potret seharusnya juga dapat mewakili posisi sosial subjek atau kehidupan batin (inner life) dari individu. Bagaimana karakter atau kebajikan subjek dapat terekspresikan melalui potret dirinya, sehingga terdapat representasi yang kuat dalam imaji potret. Hal yang menonjol pada foto selfie biasanya adalah fisik semata. Baik itu wajah atau badan. Saat pose dilakukan, sudut pengambilan foto difokuskan pada bagian yang ingin ditampilkan (gambar 6). Misalkan wajah dengan mimik yang dibuat secantik/setampan mungkin, dibuat lucu, maupun mimik unik lain. Jika berkenaan dengan badan (body), tampilan yang biasanya muncul adalah body yang ramping, rambut yang bagus, atau bagian tertentu yang dianggap menarik. Tampilan fisik pada imaji foto dibuat sedemikian rupa sehingga memberikan kesan lebih cantik atau tampan dari subjek. Kalau pun ditemui foto selfie dengan muka dibuat marah atau “sangar”, itu pun lebih banyak dibantu make-up atau dibuat-buat seperti sedang marah yang sesungguhnya. Orang biasanya tidak akan berpikir untuk mengambil gambar diri di saat kondisi tidak baik, sedang sedih, susah, atau marah. Apalagi kemudian mengunggahnya ke media sosial. Selain rasionalitas atau emosi yang tidak memungkinkan untuk melakukannya, orang cenderung ingin dilihat dari sisi yang baik. Pada selfie sangat jarang ditemui seseorang terlihat semrawut. Sebisa mungkin, seseorang akan mengunggah foto-fotonya yang dianggap paling baik, paling cantik, tampan, atau paling terlihat “wah”. Ide untuk memotret diri sendiri dan mengunggah ke media sosial, bisa jadi dilakukan spontan dalam suatu kesempatan. Namun, dalam kesempatan yang mungkin sempit itu, otak dapat bekerja secara simultan menghasilkan berbagai 41
pemikiran berkaitan dengan pertimbangan cara pengambilan gambar, pose tubuh, maupun hasil yang diinginkan. Sebisa mungkin hasil nantinya tidak mengecewakan, tentu saja bagi diri sendiri, yang bertindak sebagai objek, subjek, sekaligus fotografer. Hasil jepretan selfie akan terlihat berbeda jika disandingkan dengan foto potret. Foto yang digunakan adalah gambar 3, saat Presiden SBY dan PM Malaysia Mohamad Najib Tun Razak berfoto selfie, serta gambar 2, yaitu selfie Presiden Amerikan Serikat Barack Obama. Contoh foto potret yang digunakan adalah salah satu karya potret yang dimuat oleh majalah The Essential Guide to Portraits (2009:5). Foto tersebut menggambarkan dua perempuan beda usia (gambar 8) yang dipotret 2/3 badan dengan jarak kamera medium close-up. Jarak ini kurang lebih sama jika dibandingkan dengan pengambilan gambar menggunakan tongsis (tongkat narsis). Pada foto selfie Presiden SBY (gambar 3), yang terlihat adalah close-up sehingga bagian atas (wajah) terlihat dengan jelas. Kesamaan pada keduanya adalah fokus pada kebersamaan dua orang yang tertangkap kamera. Meskipun pada gambar 3 terdapat Ibu Negara Ani Yudhoyono, itu bukan masalah karena posisi subjek berada di belakang bagian tengah kedua subjek. Jika dilihat dari pose, terdapat beberapa perbedaan dalam kedua foto tersebut. Subjek dalam foto 3 memiliki arah pandang mata agak
ke bawah menuju kamera handphone. Hal ini menunjukkan konsentrasi terletak pada imaji yang termuat pada layar kamera. Dalam gambar 8, arah pandangan kedua subjek lurus ke depan sehingga seolah-olah terjalin komunikasi dengan penikmat foto yang sedang memandang gambar mereka. Aktivitas subjek menunjukkan kedekatan relasi secara emosional. Fokus subjek pada aktivitas menggendong dan senyum yang lebar menggambarkan bagaimana mereka menikmati relasi yang terjalin di antara keduanya yang seperti ibu dan anak. Dalam gambar 3, kedekatan relasi terlihat berada pada tataran formal. Selain dilihat dari jas yang dikenakan, seulas senyum yang “tertata” atau tertahan menunjukkan bagaimana perilaku keduanya tetap dijaga tanpa lepas ekspresi. Foto lain yang menggambarkan bagaimana selfie sebatas “nampang” adalah selfie Presiden Amerika Serikat Barack Obama (gambar 2). Foto tersebut memperlihatkan ekspresi fun dari ketiga subjek. Dari sudut pengambilan gambar kamera handphone yang dipegang oleh Schmidt (tengah) dapat diketahui jika fokus terletak pada wajah ketiga tokoh tersebut. Latar belakang subjek tidak akan terlihat jelas dengan dekatnya kamera dan objek. Maka bisa jadi yang terlihat adalah selfie full-face. Latar belakang tidak terlihat. Pose sebatas wajah serta tangan pemegang handphone yang terjulur ke depan untuk memotret. Dalam konteks foto potret, keberadaan latar belakang merupakan bagian dari pendukung foto yang ikut menguatkan representasi imaji, tidak terdapat pada foto tersebut. Maka imaji yang tersaji adalah wajah-wajah pemimpin pemerintahan yang sedang “nampang”.
Gambar 8. Contoh Foto Potret
Gambar 9. Potret Relasional
^ƵŵďĞƌ͗dŚĞƐƐĞŶƟĂů'ƵŝĚĞƚŽWŽƌƚƌĂŝƚƐ;μκκσ͗οͿ͘
Sumber: Cleghorn, Mark (2004:34).
Journal of Urban Society’s Art | Volume 13 No. 1, April 2013
Tampilan imaji selfie biasanya telah dirancang sedemikian rupa sesuai keinginan diri pemegang handphone atau kamera. Senyum yang diunggah pun ditata melalui layar ponsel atau kamera yang digunakan sebagai “cermin”. Upaya itu dilakukan untuk membentuk dan menjaga imej, baik imej kesopanan maupun keceriaan. Namun, saat senyum ceria yang lebar ditampilkan, kesan yang muncul pun cenderung bukan suatu ketulusan, namun lebih pada “keramaian” suasana pengambilan gambar. Berfoto selfie bersama dengan tawa lebar bersama tidak selalu menunjukkan kedekatan relasi emosional, namun dapat berarti ramainya suasana saat peristiwa tersebut berlangsung. Kedekatan emosional di antara subjek foto biasanya ditandai dengan pandangan mata yang lebih tenang dan fokus lurus pada satu arah tertentu. Foto potret yang menggambarkan relasional dapat dilihat pada gambar 9. Dalam foto potret, relasi yang muncul tidak sekadar untuk menunjukkan keramaian, namun terdapat ekspresi kebersamaan yang terjalin diantara subjek. Seperti pada gambar 9, potret relasional yang terbentuk tidak semata “nampang”. Ada sebuah pertalian relasi melalui tatapan mata yang lurus pada satu fokus. Jarak subjek bukan hanya wajah, namun pada badan di mana dua subjek di tengah -dapat ditengarai sebagai orangtua- memosisikan tubuh agak serong ke dalam yang dapat digunakan sebagai pusat kebersamaan. Sementara anak-anak saling bersandar satu sama lain. Di sebelah kiri bersandar pada orangtua laki-laki (ayah), sedangkan anakanak sebelah kanan saling bersandar dengan anak laki-laki menghadapkan tubuh pada ibu. Senyum yang diperlihatkan bukanlah senyum lebar, namun cukup untuk menggambarkan keharmonisan keluarga. Setidaknya, ikatan itu yang terbaca pada foto tersebut. Relasi berbeda ditemukan pada selfie anggota DPRD Maros (gambar 5). Foto tersebut juga menyajikan subjek lebih dari dua orang. Namun, relasional yang terjalin tidak seerat subjek pada gambar 9. Dari enam subjek pada gambar 5, terdapat satu subjek paling kiri yang “terpisah” dari kelompok selfie tersebut. Arah kepala yang memandu arah mata tidak ke ponsel di tongsis, namun terarah pada kamera wartawan yang
memotret peristiwa selfie. Kedekatan fisik subjek foto tidak sejalan dengan kedekatan emosional yang terbentuk. Masing-masing terlihat sibuk dengan pose agar dapat terekam dalam layar ponsel sehingga relasi yang muncul sebatas relasi formal sesuai dengan kedudukan subjek foto sebagai anggota dewan. Dilihat dari sisi fotografi, dalam foto potret terdapat beberapa hal penting yang harus ada. Seperti diungkap Francis dalam Peres ((Edt.) dalam Irwandi dan Apriyanto (2012:5)), terdapat beberapa hal penting dalam sebuah foto potret, yaitu (1) penonjolan kepribadian/personality, (2) penggunaan pencahayaan efektif, (3) latar belakang, (4) pose subjek. Penonjolan kepribadian ini untuk menunjukkan karakter pribadi yang unik. Pencahayaan dalam fotografi sebagai pembentuk objek dan karakteristik. Latar belakang dan pose digunakan untuk mendukung karakter subjek foto. Keempat elemen tersebut akan membentuk foto potret yang sesuai keinginan fotografer sebagai pembuat foto. Ketika foto dibuat sendiri, diambil sendiri, ada beberapa bagian yang tidak tercakup di dalamnya. Seperti foto selfie astronot (gambar 1), yang menunjukkan latar belakang bumi serta gambar pantulan mesin di kaca penutup wajahnya. Wajah justru tidak terlihat, hanya kostum dan lokasi yang menguatkan pesan lokasi dan profesi. Pada foto ini wajah justru tidak terlihat sehingga ekspresi mimik muka pun tidak tampak. Personality yang dimunculkan pada gambar ini adalah profesi dan atribut-atribut pendukungnya. Pose dan latar belakang subjek ada untuk mendukung profesi tersebut namun karakteristik personal tidak terlihat dengan jelas. Konstruksi Identitas Foto-foto selfie memiliki kecenderungan tidak memperlihatkan latar belakang foto secara jelas sehingga subjek paling dominan adalah wajah atau anggota tubuh lainnya. Subjek bisa satu orang atau lebih. Pada selfie berombongan, terdapat pengenalan identitas sosial (gambar 2, 3, 4, 5). Status sosial seseorang dapat dilihat dari siapa saja orang yang ada di sekitarnya. Imaji yang tersaji pada foto dapat menceritakan siapa saja yang 43
terhubung dengan mereka. Dengan demikian, tidak mengherankan jika muncul kasus penipuan seseorang yang memanfaatkan selfie saat bertemu orang-orang terkenal untuk membentuk imej sebagai orang sukses. Saat bertemu dengan orang-orang terkenal, seseorang bisa tiba-tiba berpose sendiri di sampingnya atau meminta tokoh tersebut untuk selfie bersama sehingga seolah-olah saling kenal. Hal itu dapat dimengerti karena salah satu sifat foto yang dapat menjadi bukti nyata sebuah peristiwa. Sebagai sebuah bukti, foto dapat berbicara apa adanya, khususnya untuk imaji yang langsung dapat terlihat pada foto. Dari sudut pandang identitas personal, selfie dapat menjadi cara seseorang untuk mengungkapkan identitas personal (identitas diri). Identitas personal disusun oleh atribut-atribut yang lebih spesifik seperti cara-cara berhubungan dengan orang lain, karakteristik psikologis, kemampuan intelektual, selera pribadi, dan lain-lain. Identitas personal menurut Fearon dalam Afif (2012:22), setidaknya disusun oleh dua aspek. Pertama, merupakan kategori yang terdiri dari seperangkat aspek atau atribut-atribut yang melekat pada diri seseorang yang membedakan dirinya dengan orang lain, misalnya atribut-atribut fisikal (warna kulit, bentuk rambut, tinggi badan, dan sebagainya), keyakinan personal yang spesifik, hasrat dan tujuan-tujuan personal, prinsip-prinsip moral, maupun hal-hal yang secara umum mencirikan ekspresiekspresi personal individu. Kedua, identitas personal merupakan aspek-aspek atau atribut seseorang dalam artian dia tidak bisa tidak selalu menyadarinya sebagai bagian dari dirinya. Atribut fisikal dapat langsung dikenali karena terlihat dengan jelas, sedangkan aspek yang tidak selalu disadari akan terlihat dari perilaku, yang disadari atau tidak, menunjukkan identitas dirinya. Seorang Jawa yang berada di Jakarta, meskipun berusaha menyembunyikan identitasnya namun tanpa disadari akan keluar sifat ke-Jawa-annya saat ditawari suguhan waktu bertamu. Sopan santun yang sudah tertanam akan mengeremnya untuk mengambil makanan suguhan secara berlebih. Begitu juga saat dipotret, karakter dalam diri seseorang dapat terlihat keluar bersama atribut yang melekat padanya. Sebagai contoh seorang tentara
akan berpose senjata dan tangan serta kaki siap siaga sebagai simbol seorang tentara yang gagah berani. Dalam keseharian kita akan lebih perhatian terhadap aspek-aspek dari diri kita yang bisa menjamin atau meningkatkan harga diri, sehingga dengan mudah hal-hal itu dikenali sebagai bagian dari identitas personal kita (Afif, 2012:22). Karena itulah, muncul kecenderungan orang untuk menonjolkan sesuatu yang dapat menarik perhatian orang atau membanggakan bagi diri sendiri. Seorang kulit berwarna yang menjadi presiden di negara orang “kulit putih” dapat disebut sebagai bagian dari identitas personal seorang Barack Obama. Selain membanggakan, hal itu juga memungkinkan orang lain untuk mengetahui secara langsung. Menjadi astronot (gambar 1) yang sedang terbang di luar angkasa dengan helm kedap udara serta pakaian “gembung”nya, menjadi pengenal seorang astronot yang sedang bertugas di luar angkasa, sekaligus dapat dibanggakan oleh orang tersebut. Dari aspek identitas personal yang dipaparkan Fearon tersebut, muatan identitas seseorang seharusnya meliputi fisik atau yang tampak serta batiniah yang meliputi keyakinan, prinsip, dan moral. Foto sebagai representasi identitas semestinya mampu mencatat ekspresi atau hasrat tersembunyi dari subjeknya (Svarajati, 2013:94). Hal ini senada dengan pendapat West (2004:21), yang menyebutkan tentang kandungan foto potret seharusnya juga dapat mewakili posisi sosial subjek atau kehidupan batin (inner life) dari individu. Bagaimana karakter atau kebajikan subjek dapat terekspresikan melalui potret dirinya sehingga terdapat representasi yang kuat dalam imaji potret. Maka ketika bicara foto potret, sudah seharusnya ekspresi inner life subjek terepresentasikan secara kuat dalam imaji. Pada foto potret, makna tidak semata tersurat namun juga tersirat, melalui konteks foto tersebut berada. Bagaimana lingkungan foto dibuat menghasilkan imaji yang dapat menceritakan sebuah ruang dan waktu saat foto potret dibuat. Lalu bagaimana dengan foto selfie? Pengambilan gambar pada selfie yang dilakukan oleh diri sendiri kemudian mengunggahnya ke media sosial tidak memungkinkan pengambilan keputusan oleh
Journal of Urban Society’s Art | Volume 13 No. 1, April 2013
orang lain yang bertindak sebagai fotografer. Saat pengambilan gambar, keputusan adalah subjektif oleh objek kamera, baik pemilihan enggel, pemilihan latar belakang, maupun pesan yang ingin disampaikan. Jika pada foto potret, pesan yang disampaikan merupakan hasil kerja sama dua pihak, pada foto selfie semata oleh subjek yang juga berperan sebagai fotografer. Dengan demikian, hasil imaji pun akan seutuhnya sesuai keinginan subjektif diri sendiri. Tampakan imaji yang dihasilkan sebatas pada apa yang terlihat oleh mata subjek foto itu sendiri, yang dibatasi pula oleh panjangnya tangan/tongkat pemegang kamera. Konstruksi identitas personal yang dibentuk oleh selfie mengarah pada pembentukan citra diri. Pembentukan karakter seseorang mengarah pada sesuatu yang dapat dilihat atau terhitung. Sebuah citra (image) memberikan pandangan tentang sesuatu yang dapat ditangkap secara perseptual, tetapi tidak memiliki eksistensi substansial (Piliang, 2010:20). Mereka yang memiliki pergaulan luas dapat dilihat dari jumlah teman di media sosial atau dari jumlah follower, namun belum tentu pertemanan tersebut nyata atau terjadi di dunia nyata. Jumlah teman di media sosial atau follower yang setia mengikuti setiap apa yang diunggah, hanya akan melihat apa yang tertampil di media itu. Ketika yang ditampilkan adalah aktivitas positif, baik, dan menyenangkan atau sebuah prestasi, maka citraan positiflah yang didapat. Sebaliknya, ketika hanya berisi curahan hati (curhat), makian, atau keluh kesah, maka yang muncul adalah citra negatif. Reaksi berbeda lagi akan muncul saat aktivitas positif negatif muncul di media sosial milik seseorang, yang terbentuk cenderung mengarah pada citra diri sebagai manusia labil. Citraan-citraan tersebut terbentuk sesuai “potongan-potongan” realitas yang diunggah. Mereka yang terhubung dalam relasi jejaring sosial melihat dalam kerangka tersaji pada media sosial tersebut. Selain itu, citra diri yang dibentuk oleh selfie juga mengikuti citraan yang dibentuk oleh media melalui iklan-iklan yang gencar dipaparkan. Misal, tubuh yang bagus dan ideal berbentuk langsing dan berkulit putih. Fenomena ini tidak dapat dipungkiri semakin menggejala di tengah masyarakat urban yang
dimanjakan oleh teknologi. Mereka menggunakan selfie sebagai “alat” untuk membentuk citra diri. Disadari atau tidak, selfie ikut berperan dalam membentuk manusia perkotaan menjadi apa yang disebut Piliang (2010:233) sebagai manusia citraan (homo imaginis), yang merupakan salah satu ciriciri manusia kota. Simpulan Foto selfie merupakan fenomena sosial yang menghebohkan masyarakat akhir-akhir ini. Hampir semua lapisan sosial mengenal foto selfie. Tidak sedikit pula yang kecanduan berfoto ria kemudian mengunggahnya ke media sosial. Tercatat beberapa kepala negara maupun pemimpin rakyat ber-selfie ria di akun resmi media sosial mereka. Pengambilan gambar untuk foto selfie pun tidak lagi mengenal tempat dan suasana. Di sela peristiwa formal atau kenegaraan, di tengah-tengah kerumuman orang, di acara seremonial, ataupun di pasar, orang dapat dengan mudah berfoto dan mengunggahnya ke media sosial. Terlalu seringnya memfoto diri dan mengunggah ke media sosial dapat menimbulkan gejala narsis atau terlalu cinta diri sendiri. Narsisme merupakan perilaku abnormal atau mengarah pada penyimpangan perilaku. Hal itu dikarenakan ketika seseorang sudah terjangkit narsisme, pusaran perhatian hanyalah diri sendiri atau segala sesuatu yang ada di sekitar dirinya. Orang-orang yang tidak berkaitan dengannya tidak mendapat tempat dalam perhatiannya. Bahkan dapat dianggap sebagai pengganggu sehingga akan diremehkan dan dianggap rendah. Dilihat dari sisi fotografi, foto selfie berkaitan dengan foto potret karena imaji yang tersaji bertema diri sendiri atau potret diri. Hanya saja, pada foto potret dapat dirasakan ekspresi batiniah individu. Terdapat karakter personal yang tertangkap kamera. Pada foto potret dapat dilihat bagaimana ekspresi dan komunikasi yang terbangun di dalamnya adalah dengan fotografer serta penikmat foto. Sedangkan pada foto selfie, interaksi yang terbentuk cenderung satu arah yaitu dengan diri sendiri yang tersaji pada layar kamera serta dengan kamera/handphone sebagai alat. 45
Selain itu, sebuah foto pada dasarnya dapat digunakan sebagai konstruksi identitas. Sebuah identitas sosial dapat dilihat pada foto relasional bagaimana kebersamaan yang terbentuk. Siapa saja yang terhubung dengan orang bersangkutan, bagaimana status ekonomi orang-orang pada foto tersebut. Sementara identitas personal dapat dikonstruksi dari atribut-atribut yang diusung oleh subjek foto. Atribut fisik langsung dapat dilihat dari penampilan yang tersaji, sedangkan atribut ekspresi merupakan representasi karakter yang biasanya berupa perilaku. Secara keseluruhan, inner life subjek dapat terlihat pada sebuah foto potret. Hal itu agak berbeda dengan foto selfie. Fisikalitas mendominasi tampakan pada foto selfie. Ekspresi yang terlihat pun hanya meninggalkan kesan sesaat, bukan kuatnya karakter subjek foto. Pada akhirnya, selfie mengarah pada pembentukan citra diri. Segala sesuatu diukur dari apa yang dapat dilihat dan dihitung, bukan pada apa yang dirasakan. Keberadaan selfie di tengah masyarakat membantu membentuk citra diri yang diinginkan. Citra diri dapat dikonstruksi melalui foto-foto yang diunggah ke media sosial karena citraan ini dibentuk oleh potongan-potongan realitas yang sudah “diseleksi” untuk ditampilkan pada audiens-teman atau followers. Kepustakaan Afif, Afthonul. 2012. Identitas Tionghoa Muslim Indonesia. Depok: Kepik. Chaney, David. 1996. Lifestyles atau Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif, terjemahan Nuraeni. Yogyakarta: Jalasutra. Clarke, Graham. 1992. The Portrait in Photography, dalam Graham Clarke (Ed.). London: Reaktion Book. Cleghorn, Mark. 2004. Portrait Photography: Secrets of Posing & Lighting. New York: Lark Books. Hartley, John. 2004. Communication, Cultural, and Media Studies: The Key Concepts. terjemahan Kartika Wijayanti. Yogyakarta: Jalasutra. Irwandi & M. Fajar Apriyanto. 2012. Membaca Fotografi Potret. Yogyakarta: Gama Media.
Piliang, Yasraf Amir. 2010. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung: Matahari. Svarajati, Tubagus P. 2013. Photagogos: TerangGelap Fotografi Indonesia. Semarang: Suka Buku. West, Shearer. 2004. Portraiture. Oxford: Oxford University Press. Majalah The Essential Guide to Portraits. 2009. London: MagBook. Pustaka Laman http://www.duniapsikologi.com/narsis-pengertiandefinisi-dan-asal-mulanya/. (Diakses pada 16 Maret 2014, pukul 17:00). http://health.kompas.com/ read/2013/12/18/1151301/Apa.Kata. Psikolog.soal.Foto.Narsis.di.Jejaring.Sosial. (Diakses pada 14 Maret 2014, pukul 07:33). http://news.liputan6.com/read/2021256/saatjokowi-jadi-korban-foto-selfie. (Diakses: 9 Mei 2014, pukul 07:00). http://newsfeed.time.com/2013/12/11/turnsout-michelle-obama-loves-selfies-too/. (Diakses pada 14 Maret 2014, pukul 19:49). http://www.oxforddictionaries.com/us/definition/ american_english/selfie. (Diakses pada 17 Maret 2014, pukul 21:09). http://tekno.liputan6.com/read/2022271/ini-fotoselfie-yang-menggemparkan-dunia. (Diakses pada 14 Maret 2014, pukul 20:04). h t t p : / / w w w. t e m p o. c o m / re a d / news/2013/12/20/078538932/Presiden-SBYFoto-Selfie-Bareng-PM-Malaysia. (Diakses pada 17 Maret 2014, pukul 20:24). http://www.tribunnews.com/regional/2014/04/23/ anggota-dewan-narsis-selfie-jelang-rapatparipurna. (Diakses pada 9 Mei 2014, pukul 07:01). http://www.womenshealthmag.com/weight-loss/ fitness-motivation-pictures. (Diakses pada 17 Maret 2014, pukul 13:17).