MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DALAM KOMPETISI ANTAR SEKTOR DI WILAYAH HILIR DAERAH IRIGASI JATILUHUR: PENDEKATAN OPTIMASI DINAMIK
THEODORA MAULINA KATIANDAGHO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DALAM KOMPETISI ANTAR SEKTOR DI WILAYAH HILIR DAERAH IRIGASI JATILUHUR: PENDEKATAN OPTIMASI DINAMIK merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Mei 2007
Theodora Maulina Katiandagho NIM P01600017
ABSTRAK Theodora Maulina Katiandagho. Model Pengelolaan Sumberdaya Air Dalam Kompetisi Antar Sektor di Wilayah Hilir Daerah Irigasi Jatiluhur: Pendekatan Optimasi Dinamik (Bunasor Sanim sebagai Ketua, Yusman Syaukat dan Effendi Pasandaran sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Pertumbuhan penduduk yang pesat, berkembangnya wilayah perkotaan yang tidak terkendali, dan meningkatnya permintaan terhadap pangan, telah menyebabkan peningkatan air untuk irigasi, domestik dan industri. Namun demikian, ketersediaan sumber daya air makin terbatas baik dalam segi kuantitas, kualitas, kemerataan dan kontinuitas serta efisiensi penggunaannya. Kelangkaan sumber daya air mengakibatkan kompetisi antar sektor pengguna air semakin kuat terutama di wilayah hilir, sehingga dibutuhkan suatu model pengelolaan air yang tepat agar diperoleh solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) membangun model alokasi air di bendung-bendung di Daerah Irigasi Jatiluhur (Model DIJ), khususnya wilayah Tarum Barat dan membandingkannya dengan alokasi aktual yang dilakukan Perum Jasa Tirta II, (2) mengevaluasi dampak perubahan variabel teknis dan ekonomi terhadap dinamika alokasi optimum, dan (3) mengevaluasi dampak alokasi optimum terhadap ketersediaan air di waduk. Sektor yang diteliti adalah sektor pertanian, domestik dan industri. Sektor pertanian dikategorikan dalam 5 golongan sawah, dimana golongan sawah berdasarkan letak sawah dan saluran yang melayaninya. Sektor domestik dan industri dikategorikan berdasarkan volume kebutuhan air per dua mingguan, masing-masing sektor terdiri dari 3 kategori yakni kecil, sedang dan besar. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder, horison waktunya selama setahun dengan periode dua mingguan. Wilayah penelitian meliputi daerah irigasi Curug, Cibeet, Cikarang dan Bekasi. Model Daerah Irigasi Jatiluhur (DIJ) dapat digunakan sebagai model pengambilan keputusan alokasi sumberdaya air dalam kondisi kelangkaan air, dengan mempertimbangkan kelestarian waduk. Dalam mengalokasikan sumberdaya air pengelola sebaiknya mempertimbangkan nilai ekonomi air dan ketersediaan air yang tersimpan dalam waduk, yang cukup untuk menjaga kelestarian waduk. Hal ini didukung dengan hasil optimasi Model DIJ yang menunjukkan bahwa: (1) alokasi air optimum ke sektor pertanian lebih efisien dibandingkan dengan alokasi aktual, mengakibatkan air yang disalurkan dari Bendung Curug ke Tarum Barat lebih rendah, sehingga air yang tersedia di waduk Juanda lebih tinggi dibandingkan stok aktual dan menghasilkan benefit yang lebih tinggi dibandingkan dengan benefit aktual, (2) hasil analisa sensitivitas melalui perubahan nilai variabel ekonomi dan teknik yakni harga air baku dan gabah serta permintaan air baku PDAM dan industri secara bersamaan, merubah pola alokasi air dan benefit keseluruhan sistem, sehingga alokasi air berubah sesuai dengan perubahan nilai variabel, dan (3) nilai user cost air yang tersimpan di Waduk Juanda dari sisi pengelola bernilai lebih tinggi pada musim hujan dibanding pada musim kemarau, implikasinya air sebaiknya disimpan pada musim hujan dan disalurkan pada musim kemarau. Guna meningkatkan benefit dari penyaluran air, pengelola (Perum Jasa Tirta II) disarankan meningkatkan kapasitas distribusi air, menggunakan kembali air limbah dari sawah golongan I dan II ke sawah golongan IV dan V, serta mempertimbangkan nilai user cost dalam penetapan tarif air baku. Kata kunci: kompetisi, kelangkaan, alokasi, air, waduk, bendung, optimasi
ABSTRACT Theodora Maulina Katiandagho. Model of Intersectoral Water Allocation in Jatiluhur Irrigation Area: Dynamic Optimization Approach (Bunasor Sanim as Chairman, Yusman Syaukat and Effendi Pasandaran as Members of the Advisory Committee). Rapid population growth, development of urban sprawl, and increasing food demand, have increased pressure on irrigation, domestic and industrial water demand. As such, the stock of water resources has become limited, not only in terms of quantity and quality, equity and continuity of water distribution, but also efficiency of water use. The scarcity of this resource has intensely increased intersectoral water demand, in downstream area, so that a model is needed to solve this conflicting and competing water demand problem. The objectives of this research are: (1) to conceptualize and develop a water allocation model in Jatiluhur’s dams, especially in Tarum Barat area and compare it with actual allocation which is undertaken by Perum Jasa Tirta II, (2) to evaluate the performance of technical and economic variables toward the dynamic optimum allocation, and (3) to evaluate the effect of its dynamic optimum allocation toward the reservoir’s stock of water. This investigation includes water uses for agricultural, domestic and industrial sectors. The irrigated rice fields in this area are classified into five groups based on the location and sequence of water delivery. The domestic and industrial sectors are classified by the use of water per biweekly. Each sector consists of 3 categories of water demand, namely: small, medium and large. Primary and secondary data are used in this research. The time horizon is a year long with biweekly periods. The study areas include Curug, Cibeet, Cikarang and Bekasi irrigated areas. The Daerah Irigasi Jatiluhur (DIJ) model can be used for allocation decision in water scare situation by taking into account sustainable dimension of reservoir conditions. In order to allocate water resources, the Jatiluhur’s authority should consider the economic value of water, including that stored in the reservoir. These arguments are supported by the results of the DIJ Model optimization: (1) optimal model results in a more efficient allocation of water from Curug Dam to Tarum Barat, thus enable the safe release of the stock of water in Juanda reservoir, (2) the results of the sensitivity analysis indicate that the use of economic and technical variables such as price of raw water and grain, domestic and industrial water demand, have changed the overall pattern of water allocation and benefits in the study area, consequently, rather than a flat rate delivery to these sectors, water allocations have to be changed accordingly in response to the dynamic behavior of the above mentioned variables, and (3) the values of user costs in the Juanda reservoir from the perspective of Jatiluhur’s authority are higher in the rainy season than that in the dry season, thus justifying the need to save water in Jatiluhur reservoir during the rainy season and to release water during the dry season. To increase the benefits from water distribution, the Perum Jasa Tirta II is recommended to enlarge the canal capacity for water distribution, to re-use the excess water from the paddy fields in groups I and II to that of groups IV and V, and to internalize the user cost in water charges.
Key word: competition, scarce, allocation, water, reservoir, dam, optimization
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DALAM KOMPETISI ANTAR SEKTOR DI WILAYAH HILIR DAERAH IRIGASI JATILUHUR: PENDEKATAN OPTIMASI DINAMIK
THEODORA MAULINA KATIANDAGHO
DISERTASI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Disertasi
:
Nama Mahasiswa Nomor Pokok
: :
Model Pengelolaan Sumberdaya Air Dalam Kompetisi Antar Sektor di Wilayah Hilir Daerah Irigasi Jatiluhur: Pendekatan Optimasi Dinamik Theodora Maulina Katiandagho P01600017
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc Ketua
Dr. Ir. Effendi Pasandaran, APU Anggota
Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof.Dr.Ir.Bonar.M. Sinaga,MA
Tanggal Ujian : 19 Februari 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,M.S.
Tanggal Lulus : 21 Mei 2007
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Akhmad Fauzi Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Robertus W. Triweko, Ph.D. 2. Dr. Ir. Harianto,MS.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Boja (Kabupaten Kendal) pada tanggal 1 November 1962 dari ayah bernama Dacius Marulan Pohan (Alm) dan ibu Christuni Elvira Takasenserang (Almh) dan diasuh serta dibesarkan oleh ayah bernama Justus Wilmar Katiandagho (Alm) dan ibu Jacobina Takasenserang. Pada tahun 1981 diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado dan memilih Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian serta lulus pada tahun 1986. Melanjutkan studi di Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi pada tahun 1995 dan memilih Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah / Ekonomi Regional serta lulus tahun 1997. Diterima sebagai mahasiswa program S3 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2000. Selama mengikuti pendidikan S3 penulis aktif dalam berbagai kegiatan peduli sumberdaya air, dan tergabung dalam Kemitraan Air Indonesia (Indonesia Water Partnership). Penulis menjadi staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi sejak tahun 1987 sampai dengan saat ini. Penulis pernah diperbantukan (detasering) di Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu tahun 1990 – 1992 dan Fakultas Pertanian Universitas Jember 1992 - 1994. Penulis menikah dengan Prasetya pada tahun 1988 dan dikaruniai dua orang putra yaitu Renardi Ariowibowo dan Tobias Bayu Nugroho.
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Stasiun Pompa Air dan Kapasitasnya Di Daerah Irigasi Jatiluhur...............................................................................
14
2. Tata Guna Lahan di Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun 2003....................................................................................
15
3. Kondisi Perekonomian di Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun 2000 - 2003........................................................................
17
4. Distribusi Penduduk di Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun 2003....................................................................................
18
5. Pertumbuhan Penduduk DI Jatiluhur 2000-2010................
18
6. Neraca Air Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun 1994-2003........
28
7. Ketersediaan dan Pemanfaatan Air di Wilayah Tarum Utara Tahun 1994 – 2004...................................................
29
8. Ketersediaan dan Pemanfaatan Air di Wilayah Tarum Timur Tahun 1994 – 2004..................................................
31
9. Ketersediaan dan pemanfaatan Air di Wilayah Tarum Barat Tahun 1994 – 2004...................................................
32
10. Tanggung Jawab Institusi pengelola Daerah Aliran Sungai Citarum Tahun 2006...........................................................
33
11. Institusi-institusi Terkait dalam Pengelolan Daerah Aliran Sungai Citarum Tahun 2006...............................................
35
12. Unsur-unsur Tahap Pengembangan Daerah Aliran Sungai
42
13. Keunggulan dan Keterbatasan Pengukuran Kelangkaan Sumberdaya ......................................................................
44
14. Beberapa Fungsi Produksi Pertanian yang Dikembangkan pada Tahun 1972-2002.....................................................
54
15. Notasi Alokasi air Optimum Berdasarkan Klasifikasi Lahan, PDAM dan Industri, Tahap Pertumbuhan dan Wilayah...............................................................................
90
16. Aktivitas Alokasi Sumberdaya Air ke Sektor Pertanian Berdasarkan Golongan dan Tahap Pertumbuhan di DI Jatiluhur Tahun 2003-2004.................................................
114
xv
17. Alokasi Air Aktual dan Optimal per Sektor di Wilayah Tarum Barat........................................................................
124
18. Luas lahan Optimum Berdasarkan Golongan, Musim Tanam dan Wilayah di Tarum Barat...................................
125
19. Produktivitas Optimum Berdasarkan Golongan, Musim Tanam dan Wilayah Tarum Barat.......................................
127
20. Total Produksi Padi Optimum Berdasarkan Golongan, Musim Tanam dan wilayah di Tarum Barat.........................
128
21. Jumlah Perusahaan Berdasarkan Sektor, Golongan dan Wilayah di Tarum Barat Tahun 2004..................................
129
22. Benefit Aktual dan Optimum menurut Sektor dan Sub Wilayah di Tarum Barat.......................................................
130
23. Luas Lahan Optimum Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1, Musim Tanam di Wilayah Tarum Barat............
160
24. Alokasi Lahan Optimum Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 serta Musim Tanam di Wilayah Cikarang B ............................................................
161
25. Alokasi Lahan Optimum Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 serta Musim Tanam di Wilayah Bekasi A................................................................
164
26. Alokasi Air Intertemporal ke Sekor Non Pertanian Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 di Wilayah Tarum Barat...................................................
172
27. Air Masuk ke Waduk Juanda, Bendung Cibeet, Cikarang dan Bekasi Oktober 2003 – September 2004 ....................
178
28. Penyaluran Air dari Bendung Curug ke Tarum Barat Hasil Optimasi Model DIJ dan Skenario 1 sampai dengan 7.......
183
29. Stok Waduk Juanda Aktual dan Hasil Optimasi Model DIJ Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7.............................
189
30. User Cost Penyimpanan Air di Waduk Juanda Hasil Optimasi Model DIJ Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7.............................................................................
192
xvi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Skema Prosedur Operasional Waduk Juanda........................
24
2. Skema Sistem Pengairan Jatiluhur.........................................
26
3. Tahap Pengembangan Daerah Aliran Sungai.........................
40
4. Transisi Mekanisme Alokasi Sumberdaya Air.........................
52
5. Alokasi Optimal Berdasarkan Marginal Cost Pricing...............
56
6. Hubungan Hasil dan Input Air di Berbagai Negara......
67
7. Kerangka Pemodelan Pengelolaan Daerah Irigasi Jatiluhur...
82
8. Diagram Alur Keterkaitan Komponen Optimasi Dinamik pada Wilayah Hilir Daerah Irigasi Jatiluhur.......................................
87
9. Sistem Pengairan Tarum Barat...............................................
111
10. Skema Perhitungan Volume Air..............................................
113
11. Alokasi Air ke Sektor Pertanian di Wilayah Curug...................
133
12. Alokasi Air ke Sektor Domesik di Wilayah Curug....................
134
13. Alokasi Air ke Sektor Industri di Wilayah Curug......................
135
14. Proporsi Alokasi Air Aktual Per Sektor di Wilayah Curug........
136
15. Proporsi Alokasi Air Optimum Per Sektor di Wilayah Curug…
136
16. Alokasi Air ke Sektor Pertanian di Wilayah Cibeet..................
138
17. Alokasi Air ke Sektor Domestik di Wilayah Cibeet..................
139
18. Alokasi Air ke Sektor Industri di Wilayah Cibeet......................
140
19. Proporsi Alokasi Air Aktual Per Sektor di Wilayah Cibeet.......
141
20. Proporsi Alokasi Air Optimum Per Sektor di Wilayah Cibeet...
141
21. Alokasi Air ke Sektor Pertanian di Wilayah Cikarang..............
143
22. Alokasi Air ke Sektor Domestik di Wilayah Cikarang..............
144
23. Alokasi Air ke Sektor Industri di Wilayah Cikarang..................
145
xvii
24. Proporsi Alokasi Air Aktual Per Sektor di Wilayah Cikarang...
145
25. Proporsi Alokasi Air Optimum Per Sektor di Wilayah Cikarang …………………………………………………………..
146
26. Alokasi Air ke Sektor Pertanian di Wilayah Bekasi..................
148
27. Alokasi Air ke Sektor Domestik di Wilayah Bekasi..................
148
28. Alokasi Air ke Sektor Industri di Wilayah Bekasi.....................
149
29. Proporsi Alokasi Aktual di Wilayah Bekasi..............................
150
30. Proporsi Alokasi Optimum di Wilayah Bekasi..........................
151
31. Proporsi Alokasi Air Aktual di Wilayah Tarum Barat................
152
32. Proporsi Alokasi Air Optimum di Wilayah Tarum Barat...........
152
33. Outflow dari Bendung Curug ke Tarum Barat.........................
182
34. Tampungan Efektif dan Tampungan Mati Waduk Juanda......
187
35. Stok Waduk Juanda Aktual dan Optimum...............................
188
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Peta Daerah Irigasi Jatiluhur.....................................................
204
2. Alokasi Air Optimum ke Petak Sawah dan Total Air ke Sektor Pertanian Berdasarkan Golongan Sawah, Tahap Pertumbuhan, Musim Tanam,Periode Waktu dan Model Dasar di Wilayah Curug............................................................
205
3. Alokasi Air Optimum ke Petak Sawah dan Total Air ke Sektor Pertanian Berdasarkan Golongan Sawah, Tahap Pertumbuhan, Musim Tanam,Periode Waktu dan Model Dasar di Wilayah Cibeet A........................................................
206
4. Alokasi Air Optimum ke Petak Sawah dan Total Air ke Sektor Pertanian Berdasarkan Golongan Sawah, Tahap Pertumbuhan, Musim Tanam,Periode Waktu dan Model Dasar di Wilayah Cibeet B........................................................
207
5. Alokasi Air Optimum ke Petak Sawah dan Total Air ke Sektor Pertanian Berdasarkan Golongan Sawah, Tahap Pertumbuhan Musim Tanam,Periode Waktu dan Model Dasar di Wilayah Cikarang A..............................................................
208
6. Alokasi Air Optimum ke Petak Sawah dan Total Air ke Sektor Pertanian Berdasarkan Golongan Sawah, Tahap Pertumbuhan, Musim Tanam,Periode Waktu dan Model Dasar di Wilayah Cikarang B....................................................
209
7. Alokasi Air Optimum ke Petak Sawah dan Total Air ke Sektor Pertanian Berdasarkan Golongan Sawah, Tahap Pertumbuhan, Musim Tanam,Periode Waktu dan Model Dasar di Wilayah Bekasi A........................................................
210
8. Alokasi Air Optimum ke Sektor Domestik di Wilayah Curug Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7
211
9. Alokasi Air Optimum ke Sektor Industri di Wilayah Curug Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7
211
10. Alokasi Air Optimum ke Sektor Industri di Wilayah Cibeet A Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7
212
xx
11. Alokasi Air Optimum ke Sektor Domestik di Wilayah Cibeet B Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 .
212
12. Alokasi Air Optimum ke Sektor Industri di Wilayah Cibeet B Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7..
213
13. Alokasi Air Optimum ke Sektor Domestik di Wilayah Cikarang A Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 .....................................................................
213
14. Alokasi Air Optimum ke Sektor Industri di Wilayah Cikarang A Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 ...............................................................................................
214
15. Alokasi Air Optimum ke Sektor Domestik di Wilayah Cikarang B Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 ..................................................................... ........................
214
16. Alokasi Air Optimum ke Sektor Industri di Wilayah Cikarang B Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7..
215
17. Alokasi Air Optimum ke Sektor Domestik di Wilayah Bekasi A Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 .
215
18. Alokasi Air Optimum ke Sektor Industri di Wilayah Bekasi A Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 .
216
19. Alokasi Air Optimum ke Sektor Domestik di Wilayah Bekasi B Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7..
216
20. Alokasi Air Irigasi Optimum Berdasarkan Musim Tanam dan Model Dasar serta Skenario 1 sampai dengan 7 di Wilayah Curug........................................................................................
217
21. Alokasi Air Irigasi Optimum Berdasarkan Musim Tanam dan Model Dasar serta Skenario 1 sampai dengan 7 di Wilayah Cibeet A....................................................................................
218
22. Alokasi Air Irigasi Optimum Berdasarkan Musim Tanam dan Model Dasar serta Skenario 1 sampai dengan 7 di Wilayah Cibeet B....................................................................................
219
xxi
23. Alokasi Air Irigasi Optimum Berdasarkan Musim Tanam dan Model Dasar serta Skenario 1 sampai dengan 7 di Wilayah Cikarang A................................................................................
220
24. Alokasi Air Irigasi Optimum Berdasarkan Musim Tanam dan Model Dasar serta Skenario 1 sampai dengan 7 di Wilayah Cikarang B................................................................................
221
25. Alokasi Air Irigasi Optimum Berdasarkan Musim Tanam dan Model Dasar serta Skenario 1 sampai dengan 7 di Wilayah Bekasi A....................................................................................
222
26. Benefit Optimum Berdasarkan Sektor, Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7, Musim Tanam di Wilayah Tarum Barat..............................................................................
223
27. Program pemecahan Optimasi Dinamik Aplikasi Perangkat Lunak GAMS.............................................................................
224
xxii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS terbesar di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas 11.44 ribu kilometer persegi. Curah hujan tahunan 3 ribu mm di wilayah pegunungan dan 2.50 ribu mm di wilayah dataran, pada kondisi normal 70 persen curah hujan tejadi pada musim penghujan dan 30 persen pada musim kemarau. Kelembaban relatif 80 persen dan suhu rata-rata harian 25o C di wilayah dataran dan 18o C di pegunungan. Air mengalir dari pegunungan Wayang dengan ketinggian sekitar
2.20
ribu meter diatas permukaan laut (dpl) dan panjang kurang lebih 300 kilometer. Pada ketinggian 26.50 meter dpl sungai Citarum dihubungkan dengan 4 sungai ke barat dan 4 sungai ke timur yang dibuat dengan nama Kanal Tarum Barat dan Kanal Tarum Timur dan Kanal Tarum Utara, yang menggambarkan batas hidrolis Daerah Aliran Sungai Citarum. Sepanjang sungai Citarum terdapat 3 waduk yang dibangun secara seri, dimulai dari hilir Waduk Jatiluhur yang dikenal dengan Waduk Juanda dibangun pada tahun 1968 kemudian di wilayah hulunya Waduk Cirata pada tahun 1988 dan terakhir Waduk Saguling yang berada paling hulu pada tahun 1996. Selain sebagai pengaman Waduk Jatiluhur, kedua waduk yang terletak di bagian hulu bertujuan menyediakan listrik dengan kapasitas masing-masing 1000 MW (8x125 MW) dan 700 MW (4x175 MW). Pembangunan
Waduk
Jatiluhur
pada
awalnya
bertujuan
untuk
meningkatkan kesejahterakan masyarakat dengan penyediaan pangan melalui peningkatan produktivitas lahan dan pemanfaatan sumberdaya air sungai Citarum. Pembangunan Daerah Irigasi Jatiluhur secara khusus bertujuan untuk (1) mengairi wilayah Karawang, Bekasi, Subang dan Indramayu dengan total
2
areal irigasi seluas 240 ribu hektar dan dapat ditanami padi dua kali setahun, (2) PLTA yang menghasilkan tenaga listrik dengan kapasitas terpasang 150 MW, (3) penyedia air untuk domestik, munipical dan industri di wilayah perkotaan termasuk Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, (4) menyediakan tempat dan air bersih untuk usaha perikanan di kawasan waduk Juanda, (5) tersedianya tempat rekreasi dan wisata air di kawasan waduk Juanda, dan (6) penyedia air bersih bagi Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta, 80 persen air baku PAM DKI berasal dari waduk Juanda. Wilayah yang dilayani sistem pangairan Jatiluhur, dengan air yang berasal dari Waduk Jatiluhur (Ir. Juanda), biasa disebut Daerah Irigasi (DI) Jatiluhur. Wilayah ini terbagi dalam 3 wilayah layanan yakni Tarum Timur, Tarum Utara dan Tarum Barat. Guna menampung semua aliran Sungai Citarum dan 4 sungai ke barat dan 4 sungai ke timur yang terintegrasi dengan sistem DI Jatiluhur, Sungai Citarum dihubungkan oleh Kanal Tarum Barat, Kanal Tarum Timur dan Kanal Tarum Utara. DI Jatiluhur merupakan daerah penghasil pangan nasional dengan kontribusi sebesar 6 persen (BPS, 2004). Berkaitan dengan program ketahanan pangan, wilayah tersebut selayaknya mendapat prioritas dalam pengelolaan sumberdaya air, mengingat pemenuhan air untuk peningkatan produktivitas tanaman pangan sangat diperlukan. Hal ini disebabkan berbagai teknologi pertanaman dalam rangka peningkatan produksi membutuhkan air sebagai sumberdaya harus tersedia. Penggunaan air irigasi di Jawa Barat meningkat 26 juta meter kubik per tahun, atau sekitar 43 persen dari potensi yang ada (Affandi, 1996). Antara tahun 2000 dan 2015, diestimasikan bahwa
200 ribu hektar di Jawa Barat akan
dikonversi dari sawah ke pemakaian lainnya. Konversi sawah menjadi wilayah perkotaan, bukan berarti permintaan sumberdaya air menurun. Permintaan air
3
irigasi akan menurun tetapi permintaan air untuk kebutuhan domestik, munipical dan industri justru meningkat (Kurnia et.al., 2000). Letak dan wilayah DI Jatiluhur yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, secara langsung terpengaruh akibat perkembangan wilayah perkotaan dan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Perkembangan wilayah perkotaan dan penduduk menyebabkan peningkatan permintaan air perkotaan (non pertanian). Permintaan air non pertanian yang paling signifikan berasal dari wilayah terhilir DAS Citarum, yakni wilayah DKI Jakarta dan Bekasi. Kebutuhan air di wilayah ini tidak dapat dipenuhi oleh sungai-sungai yang ada tetapi memerlukan transfer air dari DAS yang berdekatan dengan wilayah tersebut. DAS Citarum sebagai sumber utama pemenuhan kebutuhan air di wilayah tersebut melalui Saluran Induk Tarum Barat, ditambah dengan sungai lainnya yang terletak di wilayah Timur dan Barat. Ketersediaan air di wilayah Tarum Barat sangat dipengaruhi ketersediaan air dari sumber setempat dan Waduk Jatiluhur, dimana keduanya sangat bergantung pada musim atau curah hujan. Ketersediaan air dalam jumlah yang cukup ternyata tidak menjamin dapat memenuhi permintaan dari sektor-sektor pengguna air. Ketika musim kering (April – September), dimana permintaan air irigasi meningkat sehubungan dengan berkurangnya ketersediaan air sumber setempat baik yang berasal dari sungai-sungai kecil maupun curah hujan, sedangkan permintaan air non pertanian cenderung tetap dari waktu ke waktu dan ketersediaan air di waduk lebih sedikit berakibat meningkatnya kompetisi antar sektor pengguna air. DI Jatiluhur secara kumulatif memiliki sumberdaya air yang cukup besar, namun kenyataannya sering terjadi kelangkaan air (water scarcity) dan mendorong
kerentanan
(vulnerability)
sistem
produksi
pertanian
seperti
4
kekeringan
dan
kebanjiran.
Penyebabnya
antara
lain
adalah
tingginya
keragaman ketersediaan air dengan sistem pengelolaan dan pemanfaatan yang belum efisien. Pada kondisi kelangkaan air dalam jumlah (quantity), mutu (quality) dan kemerataan (equity) atau kontuinitas (continuity) serta kemampuan dalam meningkatkan efisiensi penggunaan air akan sangat mempengaruhi produksi pertanian tanaman pangan khususnya padi serta ketersediaan air bagi penduduk perkotaan dan industri. Kontribusi air yang demikian tinggi ternyata belum diimbangi dengan pemanfaatan air yang efisien dalam sistem produksi pertanian, sektor pertanian di DI Jatiluhur memanfaatkan air sebanyak 86 persen dari total ketersediaan air. Pengelolaaan sumberdaya air di wilayah hilir DI Jatiluhur menjadi sangat serius untuk dipikirkan ketika pertambahan penduduk, kebutuhan pangan, perluasan wilayah perkotaan, pertumbuhan industri yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Pengelolaan dan penggunaan air yang tidak efisien perlu diupayakan agar penggunaannya bersifat kompetitif dan dapat digunakan secara berurutan (sequential uses), sehingga kapasitas pemanfaatan dari sumberdaya tersebut dapat diterapkan dalam sistem irigasi, bagaimana penggelontoran drainase yang berasal dari seorang petani dapat merupakan ketersediaan air bagi petani lainnya. Molden et.al. (2001) membagi tahapan pengembangan suatu DAS menjadi tiga tahap, yakni (1) Pengembangan, pada tahapan ini air yang tersedia berlimpah sehingga masih memungkinkan dilakukan ekspansi penggunaan air dengan membangun infrastruktur yang baru, (2) Utilisasi, pada tahapan ini infrastruktur telah tersedia, kompetisi antar sektor pengguna air kecil dan lebih memperhatikan perbaikan layanan kepada pengguna, dan (3) Alokasi, air yang tersedia terbatas, sudah tidak memungkinkan melakukan pengembangan guna
5
peningkatan ketersediaan dan kompetisi antar sektor pengguna air tinggi, pengelola memilih memenuhi permintaan air yang valuasinya tinggi. Apabila dihubungkan dengan tahapan pengembangan air Molden et.al. (2001), DI Jatiluhur sudah masuk dalam tahap alokasi, terutama untuk wilayah Tarum Barat, dimana antara air yang digunakan sudah mendekati air yang tersedia,
serta
kecenderungan
pengelola
memprioritaskan
pemenuhan
kebutuhan air dengan valuasi yang tinggi. Dalam menghadapi peningkatan permintaan air dari berbagai sektor dalam kondisi ketersediaan air yang semakin terbatas, diperlukan suatu penelitian bagaimana pengelolaaan sumberdaya air di DI Jatiluhur agar dapat mengalokasikan air dengan efisien serta memenuhi kebutuhan semua sektor dan memberikan benefit sosial yang optimum. 1.2. Perumusan Masalah Permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air di wilayah DI Jatiluhur dilihat dari berbagai gejala yang timbul akibat pertumbuhan penduduk wilayah hilir yang pesat, peningkatan permintaan air non pertanian, konversi lahan pertanian ke non pertanian, valuasi air non pertanian yang lebih tinggi dari valuasi air pertanian, yang mempengaruhi keputusan pengelola dalam mengalokasikan sumberdaya air ke berbagai sektor pengguna serta stok air di Waduk Jatiluhur Pertambahan jumlah penduduk DKI Jakarta sekitar 1 persen per tahun atau sebanyak 38.29 ribu jiwa, membutuhkan tambahan air bersih sebanyak 689.18 meter kubik per tahun atau 57.43 ribu meter kubik per bulan. Begitu juga dengan Kota dan Kabupaten Bekasi sebagai wilayah penyangga DKI, mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan DKI. Pertambahan penduduk Kota Bekasi
dalam 5 tahun terakhir sebesar 3 persen
atau terjadi pertambahan
6
35.70 ribu jiwa, membutuhkan tambahan air bersih sebanyak 642.58 ribu meter kubik per tahun atau 53.55 ribu meter kubik per bulan. Pertambahan penduduk Kabupaten Bekasi dalam 5 tahun terakhir sebesar 2 persen atau sekitar 55.15 ribu jiwa, membutuhkan tambahan air bersih sebanyak 997.52 ribu meter kubik per tahun atau 83.13 ribu meter kubik per bulan. Kebutuhan air bersih per bulan untuk ketiga wilayah tersebut sebanyak 194.11 ribu meter kubik per bulan. Apabila konversi air baku ke air bersih sebesar 75 persen berarti dan kehilangan air baku di saluran Tarum Barat sebesar 5 persen, berarti dibutuhkan 271.75 ribu meter kubik per bulan. Perkembangan
perkotaan
yang
pesat
yang
disertai
dengan
berkembangnya industri juga membutuhkan air untuk proses produksinya. Kebutuhan air industri meningkat setiap tahunnya, di Kota Bekasi
dan
Kabupaten Bekasi dalam 5 tahun terakhir meningkat sebesar 15 persen per tahun, atau sebesar 549.51 ribu meter kubik per tahun atau sebesar 45.80 ribu meter kubik per bulan. Akibat
peningkatan
permintaan
air
untuk
PDAM
dan
industri,
menimbulkan permasalahan dalam alokasi air untuk sektor-sektor pengguna air lainnya terutama sektor pertanian. Walaupun lahan pertanian di wilayah tersebut mengalami penurunan atau konversi tetapi masih merupakan pengguna air terbesar sekitar 70 persen dari air yang tersedia di Tarum Barat (Kurnia et.al., 2000). Penetapan tarif air baku non pertanian menggambarkan valuasi air non pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan air pertanian. Tarif air baku PDAM Kota dan Kabupaten sebesar Rp. 45.00, PAM DKI Rp. 100.00 dan industri Rp. 50.00 per meter kubik, sedangkan air irigasi Rp.0.00 (gratis). Permasalahan ini makin terlihat pada musim kemarau dimana tinggi muka air (TMA) di Waduk Juanda mengalami penurunan akibat rendahnya curah
7
hujan di wilayah hulu waduk, sehingga pasokan air ke wilayah hilir mengalami penurunan. Keadaan ini diperburuk karena sumber-sumber yang berasal dari sungai setempat mengalami kekeringan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan semua sektor pengguna air sangat bergantung pada pasokan air dari Waduk Juanda. Kelangkaan air di musim kemarau menyebabkan kompetisi antar sektor pengguna air, dan makin jelas terlihat di wilayah Bendung Bekasi, bendung yang terletak paling hilir dari saluran Tarum Barat yang berbatasan langsung dengan wilayah DKI Jakarta, dan sebagai sumber air baku untuk PAM DKI. Alokasi sumberdaya air merupakan masalah ekonomi, ketika menentukan besarnya alokasi dalam kondisi kelangkaan. Kelompok pengguna terdiri dari kelompok konsumtif dan non-konsumtif, kelompok konsumtif menggunakan air melalui proses diversi (diversion) baik melalui transformasi, penguapan, penyerapan ke tanah, maupun pendegradasian kualitas air secara langsung (pencemaran), sedangkan kelompok non konsumtif menggunakan air sebagai media seperti medium pertumbuhan ikan, PLTA dan tempat rekreasi (Fauzi, 2004). Alokasi sumberdaya air untuk kelompok konsumtif, harus memenuhi kriteria (1) efisiensi, (2) equity, dan (3) sutainability (keberlanjutan). Efisiensi tujuannya yakni biaya penyediaan air yang rendah
penerimaan sumberdaya
yang tinggi dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Equity tujuannya agar semua masyarakat mempunyai akses terhadap sumberdaya air dan sustainability tujuannya menjaga cadangan air yang cukup untuk memelihara ekosistem dan meminimalkan pencemaran air (Fauzi, 2004). Kelompok pengguna di wilayah DI Jatiluhur merupakan kelompok konsumtif yakni sektor pertanian, domestik (PDAM) dan industri, dimana air yang
8
telah disalurkan ke sektor-sektor tersebut tidak dimanfaatkan kembali dan langsung dibuang ke laut. Selain kriteria alokasi sumberdaya air diatas, Howe et.al. (1986) diacu dalam Fauzi (2004) menambahkan kriteria alokasi air antara lain (1) fleksibilitas dalam penyediaan air sehingga sumberdaya air dapat digunakan pada periode waktu yang berbeda dan dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan perubahan permintaan, (2) keterjaminan (security) bagi pengguna yang haknya sudah terkukuhkan sehingga air dapat dimanfaatkan
seefisien
mungkin,
dan (3) akseptabilitas politik dan publik sehingga tujuan pengelolaan bisa diterima oleh masyarakat. Berkaitan dengan kriteria diatas, terdapat beberapa mekanisme alokasi yang umum digunakan, yakni Queuing System (sistem antrian), water pricing, alokasi publik dan user based allocation serta berbasis pasar (water market). Alokasi yang dilakukan Perum Jasa Tirta II (PJT II) selama ini dengan memenuhi kebutuhan dari ketiga sektor pengguna tanpa memperhitungkan sebagai suatu kegiatan ekonomi, dimana dari aktivitas alokasi air ini menghasilkan benefit baik bagi pengguna maupun pengelola atau yang dikenal dengan benefit sosial. Pengalihan status pengelola merubah pandangan pengelola terhadap sektor pertanian sebagai pengguna air terbesar yang tidak memberikan
kontribusi
dan
membutuhkan
biaya
yang
besar
dalam
penyalurannya (Perum Jasa Tirta II, 2003). Aktivitas alokasi air yang dilakukan PJT II dan aktivitas penggunaan air oleh pengguna merupakan kegiatan ekonomi yang menghasilkan benefit sosial, dengan kendala ketersediaan sumberdaya air di wilayah, dianalisa dengan pemecahan masalah optimasi. Analisis optimasi juga dapat dipergunakan sebagai dasar penilaian dampak eksternalitas alokasi sumberdaya air dari
9
pendekatan biaya kesempatan (opportunity cost), mengingat fungsi air waduk bersifat multiguna. Ketersediaan (stock) air di Waduk Jatiluhur ditentukan oleh inflow Sungai Citarum sebagai sumber utama dan curah hujan yang terjadi baik di wilayah hulu maupun di waduk dan aktivitas alokasi air. Aktivitas alokasi sumberdaya air ditetapkan sebagai variabel keputusan (decision variable) dan stock air di Waduk Jatiluhur ditetapkan sebagai state variable. Alokasi sumberdaya air tidak hanya mempengaruhi pendapatan atau penerimaan pengguna maupun pengelola tetapi juga ketersediaan air di waduk dihubungkan dengan kelestarian waduk. Permasalahan penelitian yang muncul yakni alokasi sumberdaya air manakah yang mampu mendatangkan manfaat sosial bersih maksimum serta menjaga stock air yang mendukung kelestarian waduk? Berdasarkan pertimbangan dimensi waktu, permasalahan yang terkait yakni bagaimana fenomena optimasi intertemporal pada wilayah hilir dan ketersediaan air yang mendukung kelestarian waduk? Keragaman yang terkait dengan alokasi sumberdaya air adalah berbagai kategori pengguna yang berhubungan langsung dengan kuantitas sumberdaya air yang dibutuhkan. Sektor pertanian dikategorikan dalam 5 golongan sawah yang menunjukkan kebutuhan air dihubungkan dengan tahapan pertumbuhan dan jadwal penanaman (musim tanam),
sektor domestik dikategorikan
berdasarkan kapasitas pengolahan air bersihnya dan industri berdasarkan kuantitas air yang dibutuhkan. Kategori pengguna inipun dipertimbangkan dalam mengkaji
dampak
alokasi
sumberdaya
air.
Dalam
perspektif
ekonomi
sumberdaya dan lingkungan, valuasi ekonomi dalam bentuk nilai uang yang terkait dengan pengelolaan, pengembangan, dan konservasi sumberdaya alam maupun lingkungan dimaksudkan untuk mengukur penambahan (gains) dan kehilangan (loss) dari kegunaan lingkungan (Randall, 1981).
10
Dengan demikian maka permasalah penelitian yang terkait dengan aktivitas alokasi sumber daya air di wilayah hilir DI Jatiluhur, berapakah nilai ekonomi dampak eksternal alokasi sumber daya air ke pengguna terhadap ketersediaan air di waduk dan berapakah nilai ekonomi dampak eksternal alokasi sumber daya air optimal terhadap stok waduk? Bertitiktolak dari fenomena hubungan antara keputusan alokasi sumber daya air maka terdapat permasalahan
penelitian: bagaimanakah perilaku
optimalisasi intertemporal berkaitan dengan perubahan
permintaan air baku
(PDAM dan Industri) serta perubahan harga (komoditas dan air baku PDAM) dan ketersediaan air di waduk? Kajian ini diharapkan mampu “membangun kerangka kerja ekonomi antar sub-sistem yang terintegrasi pada sistem DI Jatiluhur, serta menganalisis skenario perubahan variabel ekonomi dan teknis terhadap pengelolaan sumberdaya air di wilayah DI Jatiluhur ”. Implikasi yang diharapkan adalah perbaikan pengelolaan DI Jatiluhur di masa yang akan datang, dimana perencana mengetahui hubungan antara perubahan variabel ekonomi dan teknis yang akan merubah stok waduk, serta faktor-faktor yang mempengaruhi biaya eksternal alokasi sumberdaya air. 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan permasalahan di atas, secara
umum
penelitian
ini
bertujuan
membangun
model
pengelolaan
sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur dengan menyatukan bendungbendung yang ada di wilayah Tarum Barat sebagai satu unit pengambil keputusan, serta menilai benefit yang dihasilkan dari pengelolaan sumberdaya air yang tersedia di wilayah ini. Tujuan khusus penelitian adalah:
11
1. Membangun model alokasi air di bendung-bendung di DI Jatiluhur (Model DIJ), khususnya wilayah Tarum Barat dan membandingkannya dengan alokasi aktual yang dilakukan Perum Jasa Tirta II. 2. Mengevaluasi dampak perubahan variabel teknis dan ekonomi terhadap dinamika alokasi optimum 3. Mengevaluasi dampak alokasi optimum terhadap ketersediaan air dan nilai ekonomi air di waduk. Hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1. Sebagai dasar pertimbangan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya air di DI Jatiluhur dan memelihara keberlanjutan operasional serta kelestarian waduk Juanda. 2. Memperkaya khasanah kajian perspektif ekonomi sumberdaya. 3. Melengkapi kajian pengelolaan DI Jatiluhur yang telah dilakukan oleh oleh berbagai pihak, yang lebih menekankan pendekatan hidrolis dan ekologis. 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mencakup wilayah hilir Daerah Irigasi Jatiluhur, khususnya wilayah Tarum Barat, wilayah yang dialiri saluran induk Tarum Barat, mulai dari Bendung Curug sampai ke Bendung Bekasi. Wilayah yang diamati, wilayah yang berada di utara saluran induk Tarum Barat, yang dilayani Bendung Curug, Cibeet, Cikarang dan Bekasi. Tanaman pangan yang diamati padi karena merupakan komoditi dominan dan mendapat prioritas utama dalam program ketahanan pangan. Sedangkan areal pertanaman hanya areal irigasi teknis dengan klasifikasi lahan yang ditetapkan oleh PJT II. Suplai air yang diperhitungkan berdasarkan pada aliran permukaan yang disuplai dari Bendung Curug sedangkan air tanah tidak termasuk dalam suplai air
12
tersebut, khusus untuk sektor pertanian ditambah dengan curah hujan di wilayah tersebut dan diakumulasikan menjadi sumber setempat. Kebutuhan air meliputi kebutuhan air pertanian, domestik dan industri. Kebutuhan air pertanian khususnya untuk tanaman padi sesuai dengan penetapan kebutuhan air oleh PJT II, berdasarkan periode tanam dan masa tumbuh serta klasifikasi lahan. Kebutuhan air domestik dan industri berdasarkan pada data historis suplai air dari PJT II ke sektor-sektor tersebut dalam 5 tahun sebelumnya, dengan asumsi bahwa semua permintaan dapat dipenuhi oleh PJT II. Sektor industri dan PDAM hanya yang terdaftar dan dilayani oleh PJT II. Perumusan
masalah
optimasi
dalam
penelitian
ini
mempunyai
keterbatasan dalam merangkum fenomena di lapang, beberapa fenomena yang tidak diakomodasikan dalam model analisis, adalah: 1. Benefit sosial air bagi masyarakat di wilayah Tarum Barat pada umumnya. 2. Keragaman kualitas air berdasarkan pada lokasi pengguna (hulu –hilir). 3. Keragaman teknologi usahatani yang diterapkan menurut wilayah dan musim. 4. Keragaman investasi dan teknologi pengolahan air bersih PDAM di setiap wilayah. 5. Keragaman jenis industri, variasi produk, fungsi produksi spesifik menurut setiap perusahaan di semua wilayah.
II. PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DI DAERAH IRIGASI JATILUHUR 2.1. Deskripsi Daerah Irigasi Jatiluhur Daerah aliran sungai Citarum yang terletak di wilayah utara Provinsi Jawa Barat, mencakup sekitar 12 ribu kilometer persegi, terdiri atas 12 sungai dari selatan ke utara yang berakhir di Laut Jawa, yakni Bekasi, Cikarang, Cilemahabang, Cibeet, Citarum, Ciherang, Cilamaya, Cijengkol, Ciasem, Cigadung, Cipunegara dan Cipancuh. Total aliran rata-rata per tahun sekitar 12.95 milyar meter kubik dan 7.65 milyar meter kubik yang telah diatur, melalui bendungan, bendung, pintu air dan kanal dan sekitar 5.30 meter kubik yang terus mengalir ke laut. Waduk Jatiluhur (Ir. Juanda) yang dibangun di Sungai Citarum untuk multi tujuan (multy purpose),
wilayah tangkapan seluas 4.50 ribu kilometer
persegi, luas permukaan 8.20 ribu hektar, tinggi 96 meter, volumenya 2.45 juta meter kubik, volume efektif 1.87 milyar meter kubik kapasitas aliran 8.00 ribu meter kubik per detik. Unit pembangkit listrik H. Juanda terdiri dari 6 turbin, 5 turbin dengan kapasitas terpasang masing-masing turbin 35 MVA x Cos phi 0.92 dan 1 turbin dengan kapasitas 40 MVA x Cos phi 0.62, sedangkan kapasitas terpakai 5 turbin dengan masing-masing 30 MW dan 1 turbin dengan kapasitas terpakai 24 MW. Jaringan irigasinya mengairi 240 ribu hektar, bukan hanya di DAS Citarum tetapi juga DAS Bekasi, Ciasem dan Cipunegara. Penyuplai air domestik dan industri untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya sebesar 16 meter kubik per detik. Sarana penunjang suplai air irigasi dan air bersih Perum Jasa Tirta II dilengkapi dengan stasiun pompa yang terletak di Bendung Curug dan Pengolah
14
Air Bersih (PAB), dimana pompa ini membantu menaikkan air ke kanal agar mencapai tinggi muka air normal. Tabel 1.
Stasiun Pompa Air dan Kapasitasnya di Daerah Irigasi Jatiluhur
Stasiun Pompa
Kapasitas (m3/detik) Terpasang Terpakai 4 x 17.50 4 x 17.50 2 x 10.00 2 x 10.00
Unit
Tarum Timur
Jenis Pompa Listrik
Tarum Barat
Hidrolik
17
17 x 5.50
17 x 4.00
Listrik
4
4 x 2.07
3 x 1.83 1 cadangan
PAB Pejompongan
8
Sumber : Perum Jasa Tirta II (2004)
Pemanfaatan air saat ini untuk irigasi, domestik, munipical dan industri, dan penyimpanan serta transfer air. Permintaan air di wilayah hilir dipengaruhi oleh transfer antar daerah aliran sungai ke wilayah Jabotabek. Suplai air untuk Jabotabek akan diberikan oleh sejumlah DAS yang lokasinya di Timur dan Barat, dengan sistem Citarum sebagai sumber utama. Suplai air di daerah aliran sungai Citarum akan meningkat dengan makin berkembangnya permintaan air di wilayah Jabotabek. 2.2. Tata Guna Lahan Daerah Irigasi Jatiluhur Daerah Irigasi Jatiluhur terdiri dari 3 wilayah sesuai dengan saluran induk yang ada, yakni Tarum Utara, Tarum Timur dan Tarum Barat. Wilayah Tarum Barat meliputi Kabupaten dan Kota Bekasi, berbeda dengan 2 wilayah lainnya, wilayah berkembang mengarah menjadi pusat industri dan pemukiman. Kondisi ini sangat berbeda dengan wilayah Tarum Utara dan Tarum Timur yang merupakan wilayah sentra produksi pangan. Penggunaan lahan di wilayah ini dikategorikan dalam: (1) pemukiman, (2) sawah irigasi teknis, (3) ladang, (4) padang rumput dan lahan kritis, (5) hutan rakyat dan negara, (6) lahan industri/pabrik, (7) rawa, empang dan kolam, dan
15
(8) penggunaan lainnya, yang secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.
Tata Guna Lahan di Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun 2003
Penggunaan Lahan Sawah Irigasi Tehnis Irigasi Semitehnis Irigasi Sederhana Tadah hujan Non PU Lainnya Total Lahan kering Pemukiman Ladang Padang rumput Lahan kritis Hutan Rakyat Hutan Negara Lahan Industri Rawa Bangunan Air Empang Lainnya Total Lahan Kering+Sawah Total Prov Jabar (km2)
Kota Bekasi 228.00 (1.08) 36.00 (0.17) (0.00) 547.00 (2.60) 30.00 (0.14) (0.00) 841.00
Kabupaten Bekasi
Karawang
Luas (hektar) Subang Indramayu
Total DIJ
Jawa Barat
37493.00 (29.43) 6243.00 (4.90) 889.00 (0.70) 8278.00 (6.50) 2411.00 (1.89) 675.00 (0.53) 55989.00
80618.00 (45.36) 5142.00 (2.89) 3888.00 (2.19) 3167.00 (1.78) (0.00) (0.00) 92815.00
60031.00 (29.28) 8367.00 (4.08) 2241.00 (1.09) 7732.00 (3.77) 6339.00 (3.09) (0.00) 84710.00
65752.00 (32.24) 19229.00 (9.43) 2769.00 (1.36) 23258.00 (11.40) 2536.00 (1.24) 1444.00 (0.71) 114988.00
244122.00 (33.21) 39017.00 (5.31) 9787.00 (1.33) 42982.00 (5.85) 11316.00 (1.54) 2119.00 (0.29) 349343.00
376865.00 (10.62) 121964.00 (3.44) 10145.00 (0.29) 167421.00 (4.72) 163432.00 (4.61) 2869.00 (0.08) 934046.00
6724.00 22205.00 (31.97) (17.43) 12712.00 15717.00 (60.45) (12.34) 4.00 (0.00) (0.00) 1264.00 (0.00) (0.99) 2632.00 (0.00) (2.07) (0.00) (0.00) 1013.00 (0.00) (0.80) 8.00 161.00 (0.04) (0.13) 10204.00 (0.00) (8.01) 61.00 782.00 (0.29) (1.10) 683.00 17417.00 (3.25) (24.39) 20188.00 71399.00 21029.00 127388.00 209.55 1065.35
30772.00 (17.31) 7806.00 (4.39) 263.00 (0.15) 421.00 (0.24) 1880.00 (1.06) 12719.00 (7.16) 1809.00 (1.02) 18.00 (0.01) 11020.00 (6.20) 782.00 (0.92) 17417.00 (20.51) 84907.00 177722.00 1533.86
24576.00 (11.98) 27962.00 (13.64) 485.00 (0.24) 380.00 (0.19) 12616.00 (6.15) 15306.00 (7.46) 21580.00 (10.52) 421.00 (0.21) 5010.00 (2.44) 1252.00 (1.04) 10760.00 (8.94) 120348.00 205058.00 1855.01
26480.00 (12.98) 7395.00 (3.63) (0.00) 54.00 (0.03) 5866.00 (2.88) 23577.00 (11.56) 1158.00 (0.57) 330.00 (0.16) 6613.00 (3.24) 636.00 (0.71) 16873.00 (18.96) 88982.00 203970.00 1636.51
110757.00 (15.07) 71592.00 (9.74) 752.00 (0.10) 2119.00 (0.29) 22994.00 (3.13) 51602.00 (7.02) 25560.00 (3.48) 938.00 (0.13) 32847.00 (4.47) 3513.00 (0.91) 63150.00 (16.37) 385824.00 735167.00 6298.28
393298.00 (11.08) 784359.00 (22.10) 31396.00 (0.88) 12270.00 (0.35) 218741.00 (6.16) 572995.00 (16.15) 318293.00 (8.97) 10543.00 (0.30) 36218.00 (1.02) 23111.00 (0.88) 213510.00 (8.17) 2614734.00 3548780.00 28675.82
Sumber : BPS (2003) Keterangan : ( ) nilai persentase; DIJ : Daerah Irigasi Jatiluhur
Tata guna lahan di Daerah Irigasi Jatiluhur didominasi sawah irigasi tehnis, proporsi tertinggi di wilayah Kabupaten Karawang (45.36 persen) diikuti Indramayu (32.24 persen), Bekasi (29.43 persen), Subang (29.28 persen) dan terakhir Kota Bekasi (1.08 persen). Kondisi ini menunjukan sektor yang paling dominan di wilayah tersebut, seperti Kota Bekasi merupakan wilayah yang terus berkembang menjadi wilayah perkotaan, seiring dengan peranannya sebagai
16
wilayah penyangga Jakarta, dan berperan sebagai kota satelit dari Jakarta (Tabel 2). Begitu juga dalam pengaturan dan penyaluran air baku PAM DKI dilakukan di Bendung Bekasi serta penggelontoran Sungai Ciliwung guna pemeliharan saluran. Proporsi terbesar penggunaan lahan di Kota Bekasi didominasi ladang, ada dua kemungkinan penyebab terjadinya pengalihan fungsi lahan menjadi ladang, yakni dari dulunya peruntukannya untuk ladang atau konversi dari sawah irigasi. Kemungkinan kedua yang paling banyak terjadi, dari pengamatan di lapang alih fungsi ini sengaja dilakukan sebagai respons dari pertambahan jumlah penduduk yang pesat serta nilai ekonomi tanah pemukiman yang lebih tinggi dan terus meningkat. Kota Bekasi akan terus berkembang sebagai wilayah pemukiman, dimana proporsi pemukiman mencapai 31.97 persen dan bila lahan kering (ladang) beralih fungsi menjadi pemukiman maka sebagian besar wilayah tersebut menjadi wilayah perkotaan. 2.3. Kondisi Perekonomian Daerah Irigasi Jatiluhur Tingkat pertumbuhan ekonomi DI Jatiluhur sebesar 9.30 persen dengan pertumbuhan tertinggi terjadi di Kabupaten Karawang 19.50 persen,
diikuti
dengan Kabupaten Subang sebesar 13.70 persen, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan provinsi Jawa Barat (11.20 persen). Wilayah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut merupakan wilayah sentra produksi pangan di Daerah Irigasi Jatiluhur atau didominasi sektor pertanian apabila dihubungkan dengan tata guna lahan di wilayah tersebut, sedangkan Kota Bekasi memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dibawah dari kedua wilayah ini. Kabupaten Indramayu tingkat pertumbuhan ekonominya terendah (5.1 persen), kabupaten ini juga merupakan sentra produksi pangan
17
dengan proporsi luas sawah irigasi tehnisnya di urutan ke 3 setelah ke 2 wilayah diatas. Tabel 3.
Kondisi Perekonomian di Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun 2000-2003
Kabupaten dan Kota Kota Bekasi Bekasi Karawang Subang Indramayu Total Jawa Barat
PDRB ( milyar rupiah) 2000 8 875.60 30 267.21 7 532.29 4 002.86 15 558.92 66 236.88 174 915.26
2001 10 080.20 32 427.58 9 620.21 4 562.85 16 452.33 73 143.18 193 296.58
2002 11 032.39 34 730.73 11 346.28 5 226.74 17 525.16 79 861.30 214 302.25
2003 11 914.29 37 674.86 12 867.00 5 892.97 18 048.85 86 397.96 234 450.80
Tkt Pert 2000-2003 (%/thn) (1 )
10.30 7.50 19.50 13.70 5.10 9.30 11.20
Sumber: BPS.(2004b) (1) Keterangan Harga berlaku
Tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tidak menggambarkan besarnya PDRB.
Kabupaten
Bekasi
memiliki
PDRB
tertinggi,
tetapi
tingkat
pertumbuhannya tidak tinggi, dan merupakan wilayah pada urutan ke 4 dalam dominasi sawah irigasinya. Kabupaten Indramayu. dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terendah memiliki PDRB tertinggi dibanding wilayah lainnya. Begitu pula dengan Kota Bekasi tingkat pertumbuhan berada pada urutan ketiga memiliki PDRB lebih besar dibandingkan kedua wilayah diatas. Tabel 4 menggambarkan jumlah penduduk di DI Jatiluhur, dimana total penduduk 8.61 juta jiwa dan tinggal dalam 1.97 juta rumah tangga. dengan ratarata anggota per rumah tangga 4.64 jiwa. Tingkat pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi di wilayah perkotaan seperti Kota dan Kabupaten Bekasi. dimana pada tahun 2000-2005 antara 21.70 persen dan 24.19 persen. diperkirakan tingkat pertumbuhan pada tahun 2005-2010 sebesar 20.22 persen dan 23.48 persen. Tingkat pertumbuhan penduduk ini sangat berbeda dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan penduduk di Provinsi Jawa Barat, yang berkisar antara 13.00 persen dan 10.00 persen.
18
Tabel 4.
Distribusi Penduduk di Daerah Irigasi Jatiluhur pada Tahun 2003
Kabupaten/Kota
Penduduk (jiwa) Perempuan 914 862
Total 1 845 005
Rumah tangga 430 070
Jumlah Anggota RT 4.29
Kota Bekasi
Laki-laki 930 143
Kabupaten Bekasi
945 380
913 545
1 858 925
456 738
4.07
Karawang
971 833
910 192
1 882 025
465 847
4.04
Subang
681 128
689 877
1 371 005
383 731
3.57
Indramayu
854 386
798 760
1 653 146
435 871
3.79
Total 4 382 870 (%) (50.90) Sumber ; BPS (2003).
4 227 836 (49.10)
8 610 106 (100)
2 172 257 (100)
Kabupaten Karawang dengan pertambahan penduduk sebesar 11,17 persen dan diprediksi pada antara tahun 2005 sampai dengan 2010 tingkat pertambahan penduduknya lebih rendah berkisar 9.15 persen. Kabupaten Subang dan Indramayu keduanya di atas 4.00 persen pada tahun 2000 sampai dengan 2005, dan diperkirakan akan menurun diatas 3,00 persen antara tahun 2005-2010 (BPS 2001). Tabel 5.
Pertumbuhan Penduduk Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun 2000-2010
Kota dan Kabupaten Kota Bekasi Bekasi Karawang Subang Indramayu Total Provinsi Jabar
Jumlah Penduduk (ribu jiwa)
2000 1 698.13 1 701.10 1 773.47 1 336.10 1 597.51 8 106.31 36 174.25
2005 2 066.93 2 112.70 1 971.51 1 397.03 1 663.87 9 212.04 39 956.16
Tkt Pertumb (%)
21.71 24.20 11.17 4.56 4.15 13.64 10.45
Jumlah Penduduk (ribu jiwa)
2010
Tkt Pertumb (%)
2 484.91 2 610.13 2 151.84 1 447.05 1 715.00 10 408.93 44 095.04
20.22 23.54 9.15 3.58 3.07 12.99 10.36
Sumber : BPS (2001)
Hasil sensus tahun 2000, menunjukan dalam lima tahun terakhir telah terjadi migrasi penduduk ke Kota dan Kabupaten Bekasi, dengan tingkat migrasi masing-masing 22.29 persen dan 18.53 persen. Kondisi ini sangat berbeda dengan Kabupaten Karawang dengan tingkat migrasinya 8.99 persen dan 3.23
19
persen untuk Kabupaten Subang dan Indramayu. Pola migrasi di DI Jatiluhur khususnya Kota Bekasi, 36.00 persen dari penduduk yang bermigrasi merupakan penduduk baru atau 6.77 persen dari total penduduk. Tata guna lahan, pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk menunjukkan bahwa Kota dan Kabupaten Bekasi merupakan wilayah yang perkembangannya paling pesat, dari wilayah sentra produksi pangan menjadi wilayah perkotaan. Penurunan proporsi sawah irigasi tehnis maupun setengah tehnis, dan peningkatan jumlah penduduk yang tinggi, berarti menurunkan kebutuhan air irigasi. Penurunan kebutuhan air irigasi bukan berarti penurunan kebutuhan air baku untuk sektor lainnya, tetapi justru kebutuhan air non pertanian meningkat secara tajam. Gambaran ini menunjukkan bahwa wilayah Tarum Barat merupakan wilayah dengan persaingan antar sektor pengguna air lebih besar dibandingkan dengan 2 wilayah lainnya, dan dibutuhkan pengelolaan sumberdaya air yang efisien. 2.4. Status dan Perkembangan Pengelolaan Daerah Irigasi Jatiluhur Pada tahun 1956 Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri terakhir Indonesia yang mendeklarasikan tentang Proyek Serbaguna Jatiluhur. Tujuan utama proyek tersebut meningkatkan produktivitas padi untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Proyek pembangunan Waduk Jatiluhur (Proyek Jatiluhur) dimulai tahun 1957, dibagi dalam dua kegiatan, pertama membangun waduk yang membendung Sungai Citarum dengan kapasitas 3 juta meter kubik, dengan pembangkit tenaga listrik berkapasitas 150 MW. Kedua, membangun sistem irigasi yang mencakup 240 ribu hektar sawah irigasi tehnis di wilayah utara Provinsi Jawa Barat yang dihubungkan dengan sistem irigasi Walahar dan Salamdarma, dengan dua kali panen dalam setahun. Proyek ini selesai pada
20
tahun 1967, waduk ini kemudian dinamakan Waduk Ir. Djuanda sedangkan wilayah pelayanannya disebut Daerah Irigasi (DI) Jatiluhur. Pengelola waduk Jatiluhur berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8/1967 tanggal 24 Juli 1967 diubah menjadi Perusahaan Umum Jatiluhur. Pada tahun 1970 dengan Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1970 diubah menjadi Perum Otorita Jatiluhur, sebagai perusahaan yang
bertujuan memperoleh profit.
Pengelolaan air irigasi merupakan pengelolaan sosial bukan komersial sehingga terjadi benturan antara tujuan perusahaan untuk mencapai profit dengan tujuan pembangunan waduk untuk menopang ketersediaan pangan. Pengelolaan waduk secara efisien dan efektif perlu dilakukan sehingga konflik kepentingan tidak terjadi. Berdasarkan alasan diatas pemerintah mengubah status Perum Otorita Jatiluhur dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 1980, Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No.13 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perusahaan Umum, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.94 Tahun 1999 tentang tugas Perum Jasa Tirta II (PJT II) memberikan pelayanan umum dan secara simultan mencari keuntungan sesuai prinsip pengelolaan perusahaan. Adapun visi PJT II mewujudkan kesejahteraan dan perusahaan pengelolaan air dan sumberdaya air yang berkualitas tinggi dalam melayani suplai air secara luas dan berkontribusi pada ketahanan pangan nasional. Sedangkan misi PJT II untuk mewujudkan visi perusahaan melalui (1) suplai air baku bagi kebutuhan air minum, pembangkit tenaga listrik, pertanian, industri, pencucian dan lain-lain, (2) pembangkit tenaga listrik dan suplai tenaga listrik, (3) pengembangan pariwisata dan pemanfaatan lahan, (4) menjaga ketahanan pangan dalam artian mensuplai air pertanian dan mengendalikan
aliran
untuk
kelestarian
lingkungan
melalui
informasi,
21
rekomendasi dan arahan, dan (5) memaksimumkan profit dan membantu memperoleh benefit berdasarkan prinsip bisnis, serta menjamin keberlanjutan aset pemerintah dan keberlanjutan pelayanan publik. 2.5. Sistem Operasi dan Prosedur Operasional Waduk Jatiluhur Perkembangan sosial ekonomi kota Jakarta setelah 50 tahun DI Jatiluhur dibangun menyebabkan perubahan permintaan air, terutama pada wilayah Tarum Barat sebagai penyuplai air wilayah tersebut. Peningkatan permintaan air diiringi dengan peningkatan jumlah sampah yang dihasilkan yang mencemari lahan dan air di wilayah Tarum Barat. Pertumbuhan ekonomi berakibat pada meningkatnya pemakaian lahan untuk pemukiman dan air permukaan sepanjang saluran Tarum Barat. Perluasan wilayah pemukiman yang juga disebabkan peningkatan jumlah penduduk, berakibat pada rusaknya berbagai sarana penyaluran air, dan pengalihan air secara berlebihan dan tidak teratur. Kegiatan ekonomi telah berakibat pada peningkatan
erosi
yang
menyebabkan
pendangkalan
saluran
sehingga
menurunkan debit aliran. Sektor pertanian dalam hal ini kelompok tani atau petani dalam mempersiapkan input usahataninya berdasarkan pada proporsi lahan yang akan ditanami, curah hujan dan air yang akan dialokasikan serta intensitas tanam. Meskipun curah hujan sulit untuk diperkirakan dan hanya sekitar 80 persen air hujan efektif yang dapat digunakan. petani sangat bergantung pada ketersediaan air di saluran irigasi. Banyaknya air yang akan dialokasikan ditetapkan oleh Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA). Perkiran curah hujan berdasarkan pada data historis 4 atau 5 tahun yang lalu, sehingga seringkali curah hujan aktual melebihi angka perkiraan yang berakibat pada kelebihan suplai air atau sebaliknya dibawah angka perkiraan
22
yang berakibat terjadinya kekurangan air. Apabila terjadi kelebihan suplai air dapat dilakukan penyimpanan atau mengurangi jumlah yang dikeluarkan dari waduk tetapi apabila terjadi kekurangan menyebabkan jumlah air yang disuplai lebih besar dari yang direncanakan sehingga mempengaruhi ketersediaan air di waduk. Selama musim kering (bulan Mei sampai dengan September) tahun berjalan, Organisasi Pemakai Air merencanakan areal yang akan ditanami dan intensitas tanam, dimulai pada bulan Oktober dan akan berakhir pada bulan September tahun berikutnya. Komisi Irigasi Tingkat Provinsi mengesahkan rencana yang diajukan Organisasi Pemakai Air. Pemberian air berdasarkan pada evapotranspirasi, faktor tanaman, perkolasi dan tergantung pada hujan efektif (80 persen) dan efisiensi saluran pada masing-masing wilayah Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). PPTPA pada tingkat DAS mendiskusikan rencana dan merekomendasikan kesimpulannya pada Gubernur bersama dengan rencana alokasi air untuk pengguna lainnya seperti PLTA, munipical dan industri termasuk Jakarta. Perubahan alokasi areal yang akan ditanami secara substansial akan merubah jumlah air yang akan dialokasikan. Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang alokasi air tiap tengah bulanan merupakan dasar rekomendasi pada setahun mendatang. Keputusan Gubernur tersebut diteruskan kepada PJT II yang menanggapinya dengan membuat instruksi operasional sistem pengelolaan sumberdaya air, yang disebut Keputusan Direktur PJT II. PJT II menyalurkan air dari Waduk Juanda dan menyalurkan ke Bendung Curug untuk diteruskan melalui Kanal Tarum Utara, Tarum Barat dan Tarum Timur. Keputusan Gubernur menetapkan alokasi air selama 12 bulan menjadi instruksi kepada PJT II untuk pengoperasian waduk, bendung dan saluran induk. PJT II membagi wilayah kerjanya dalam 5 sub wilayah yang disebut divisi, yakni
23
1. Divisi I, yang dialiri oleh Saluran Induk Tarum Barat mencakup Kabupaten dan Kota Bekasi. 2. Divisi II, yang dialiri Saluran Induk Tarum Timur mencakup Kabupaten Subang dan Indramayu. 3. Divisi III, yang dialiri Saluran Induk Tarum Utara mencakup Kabupaten Krawang. 4. Divisi IV, Stasiun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). 5. Divisi V, mencakup wilayah disebelah hulu Waduk Juanda. Divisi membagi wilayahnya menjadi beberapa seksi, yang mencakup suatu wilayah pengamatannya, tugasnya meliputi operasional bendung, pintu air dan banyaknya air yang disalurkan. Total pintu sadap dan pembagi pada saluran primer dan sekunder masing-masing berjumlah 15.10 ribu buah dan 895 buah. sedangkan total pintu sebanyak 1.10 ribu buah. Operasional dan tanggung jawab pada saluran tersier menjadi tanggung jawab dari Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Banyaknya P3A di wilayah Tarum Barat. Timur dan Utara masingmasing sebanyak 570.69 ribu dan 900 buah. P3A cukup menjamin efektifitas operasional. Sistem operasional yang dilakukan PJT II dalam menyalurkan air dari Waduk Juanda, pengendalian ketinggian air dilakukan di Bendung Curug dan menyalurkannya melalui pompa ke saluran induk Tarum Barat dan Tarum Timur maupun melalui pengaturan pintu air ke Tarum Utara. Pengaturan tinggi muka air guna penyaluran air ke Tarum Utara cukup hanya dengan pengaturan pintu air di Bendung Walahar. Pusat operasional PJT II cepat dalam menanggapi kebutuhan air di wilayah hilir dan mengatur sistem penyaluran air setiap hari. Data curah hujan yang terjadi akan mempengaruhi operasional yang dilakukan, yakni dengan mengubah jumlah air yang disalurkan ke hilir. Prosedur penyaluran yang dilakukan PJT II dapat dilihat pada skema diatas (Gambar 1).
24
GUBERNUR
PPTPA
SKEP KOMISI IRIGASI AREAL IRIGASI
PUSAT OPERASI PJT II SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN
STASIUN CURAH
T M
DIVISI OPERASI
S TMA
INSTRUKSI
KANTOR WADUK JUANDA
Gambar 1.
KANTOR BENDUNG CURUG
DIVISI-DIVISI PJT II
PDAM
Skema Prosedur Operasional Waduk Juanda
Air irigasi ditambah dengan curah hujan efektif dapat memenuhi kebutuhan tanaman padi. Berdasarkan data dari PJT II, dalam satu tahun terdapat 120 sampai dengan 130 hari hujan, dengan curah hujan 18 mm sampai dengan 20 mm atau 2.40 ribu mm per tahun. Sebidang sawah yang menerima air hujan, kelebihan airnya akan dialirkan ke sawah lainnya pada hari berikutnya. Air yang diterimanya akan mencukupi kebutuhannya dalam sehari dengan asumsi setiap harinya air yang dibutuhkan sebanyak 5 mm sampai dengan 10 mm per hari. Berdasarkan data dari PJT II, bahwa sejak turun hujan sampai digunakan membutuhkan waktu paling lama 3 hari, hari pertama menerima air hujan, hari kedua mengalirkannya dan hari ketiga mengkonsumsinya.
25
Prosedur pemakaian air hujan dalam hari operasional merupakan kondisi teraman, dalam prakteknya pemakaian air hujan pada hari operasional dengan asumsi tidak turun hujan pada hari yang keempat. Pengoperasiannya membutuhkan waktu pengantaran air ke wilayah permintaan, waktu yang dibutuhkan kurang lebih setengah hari dengan debit 0.6 meter per detik, dengan kata lain air yang disalurkan dari Bendung Curug akan diterima di wilayah permintaan pada hari berikutnya. 2.6. Ketersediaan dan Alokasi Sumberdaya Air. DI Jatiluhur merupakan wilayah yang menerima pelayanan dari jaringan yang dikelola PJT II, dan sistem pengairan seperti yang terlihat pada Gambar 2. Wilayah pelayanan DIJ berdasarkan pada tiga saluran induk yakni Tarum Barat, Tarum Timur dan Tarum Utara. Air keluar dari Waduk Jatiluhur ke Bendung Curug dan disalurkan ke tiga saluran induk yang ada. Saluran induk Tarum Utara menghubungkan daerah irigasi yang dilayani Bendung Walahar yang telah ada sebelum Waduk Jatiluhur dibangun, dan merupakan aliran sungai Citarum. Suplai utamanya berasal dari Bendung Curug, seluruh kebutuhan wilayah ini dipenuhi dari Waduk Jatiluhur. Saluran induk Tarum Timur menghubungkan Bendung Curug dengan Daerah Irigasi Cipunegara, Cimalaya dengan bendung terhilirnya Bendung Salamdarma, serta
bendung-bendung
lainnya dengan kapasitas lebih kecil yang berada di wilayah ini. Saluran induk Tarum Barat dengan bendung terhilirnya Bendung Bekasi, dibuat bersamaan dengan Waduk Jatiluhur. Bendung Bekasi ini sebagai pemasok utama air baku wilayah
Jakarta
serta
mengairi
penggelontoran sungai Ciliwung.
daerah
persawahan
yang
ada
dan
SKEMA SISTEM PENGAIRAN JATILUHUR LAUT JAWA Saluran Tarum Utara Cab Barat
Q maks 1600 m3/det
Q maks 800 m3/det
B..Kedung Gede
CBL
Q max 678 m3/det
Saluran Tarum Utara Cab Timur Saluran Tarum Utara
Q maks 300 3/d t B.Bekasi
B. Walahar
B.Karang
Saluran Tarum Barat
Q maks 350 m3/det
B.Jengkol B. Gadung
Ciherang Cilamay a
Saluran Tarum Timur
B. Lebiah Ciasem
B.Curug B.Beet
K.Bekasi
S Cikarang
S.Cibeet
B. Salamdarma
B.Barugbug
Citarum
Ciliwung
Q maks 1050 m3/det
Waduk Ir. H. Djuanda Volume 2.5 Mm3 (+ 107.00 m )
Cijengkol
Cigadung
Cipunegara
Cilalanang
Waduk Cirata Volume 1.9 Mm3 (+22 000 m) Wadulk Saguling Volume 0.9 M m3 ( + 64 3.00 m 3
Gambar 2.
Skema Sistem Pengairan Jatiluhur 26
27
DI Jatiluhur dirancang sebagai sentra produksi padi untuk menopang ketahanan pangan nasional, namun dalam perkembangannya, bertambahnya jumlah penduduk pada masing-masing wilayah dan meluasnya wilayah pemukiman serta meningkatnya sektor industri menyebabkan kebutuhan air non pertanian terus meningkat dari waktu ke waktu, meskipun sektor pertanian masih merupakan pemakai air terbesar. Sektor pengguna air yang bersumber dari Waduk Jatiluhur ini terdiri dari sektor pertanian, industri dan perusahaan daerah air minum (PDAM). Apabila dilihat pada neraca penggunaan air tahunan di DI Jatiluhur (Tabel 6), total pemakaian air dibandingkan dengan air yang tersedia baik yang berasal dari inflow sungai Citarum maupun sumber yang ada pada masing-masing wilayah dan curah hujan yang terjadi menunjukkan proporsinya antara 43.78 persen sampai dengan 76.43 persen. Setiap tahun selalu terdapat surplus air, yang berarti menambah stok pada Waduk Jatiluhur, baik pada tahun normal maupun ketika El Nino terjadi yakni pada tahun 1997 dan 2003. Anomali iklim ini menurunkan ketersediaan air yakni sekitar 7.88 milyar meter kubik (tahun 1997) dan 7.91 milyar meter kubik (tahun 2003). Penurunan air yang tersedia ini berakibat pada meningkatnya proporsi air yang digunakan yakni sekitar 76.43 persen dan 73.39 persen. Sektor pertanian sebagai pengguna air terbesar yakni sebesar 92.21 persen (tahun 1994), mulai tahun 1999 sampai tahun 2004 proporsi sektor pertanian terus menurun dari 90.76 persen menjadi 87.31 persen dari total air yang digunakan. Komoditi utama yang memanfaatkan sumberdaya air tersebut yakni padi, dengan luas lahan irigasi tehnis berkisar 240 ribu hektar. Pada tahun 2003, dimana merupakan tahun dengan curah hujan lebih sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya memanfatkan sekitar 87.31 persen dari total air yang digunakan.
28
Tabel 6.
TAHUN
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Neraca Air Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun 1994 – 2003
KETERSEDIAAN AIR (juta m3) SUMBER AIR Citarum Setempat Total
Irigasi
7235.31 (58.34) 6544.22 (52.84) 6864.26 (53.10) 4644.24 (58.93) 6661.40 (50.83) 5587.00 (54.35) 4966.60 (47.43) 7122.27 (52.43) 5540.10 (48.50) 4294.46 (54.28)
5418.73 (92.21) 6113.39 (93.25) 6789.63 (93.54) 5472.08 (90.85) 7151.13 (92.30) 5685.31 (90.76) 5978.27 (90.98) 6317.14 (90.44) 5781.56 (88.85) 5069.52 (87.31)
5167.38 (41.66) 5841.19 (47.16) 6062.76 (46.90) 3236.15 (41.07) 6442.58 (49.17) 4692.40 (45.65) 5505.90 (52.57) 6461.90 (47.57) 5882.00 (51.50) 3617.82 (45.72)
12402.69 12385.41 12927.02 7880.39 13103.98 10279.40 10472.50 13584.17 11422.10 7912.28
PEMAKAIAN AIR ( juta m3) Domestik Peternakan Industri Total Perikanan 331.30 (5.64) 295.29 (4.50) 331.27 (4.56) 395.30 (6.56) 447.37 (5.77) 422.85 (6.75) 428.03 (6.51) 471.24 (6.75) 522.21 (8.02) 545.33 (9.39)
72.14 (1.23) 77.75 (1.19) 59.48 (0.82) 63.00 (1.05) 47.68 (0.62) 45.78 (0.73) 46.20 (0.70) 45.71 (0.65) 47.59 (0.73) 40.22 (0.69)
54.65 (0.93) 69.68 (1.06) 78.46 (1.08) 92.89 (1.54) 101.72 (1.31) 110.36 (1.76) 118.54 (1.80) 150.73 (2.16) 156.03 (2.40) 151.44 (2.61)
Surplus/ Defisit
5876.82
6525.87
6556.11
5829.30
7258.84
5668.18
6023.27
1857.12
7747.90
5356.08
6264.30
4015.10
6571.04
3901.46
6984.82
6599.35
6507.39
4914.71
5806.51
2105.77
Sumber : Perum Jasa Tirta II (2004) Keterangan : ( ) nilai persentase
Pemakai air terbesar kedua adalah PDAM. dimana PJT II melayani beberapa PDAM yakni dari Kabupaten Indramayu, Subang, Purwakarta, Krawang, Bekasi dan DKI Jakarta. Proporsi penggunaan air sektor ini terus meningkat sejak tahun 1999 sampai dengan 2003 yakni 6.75 persen dan 9.39 persen. Industri merupakan sektor pemakai air Jatiluhur, dengan total pemakaian air paling kecil dibandingkan kedua sektor lainnya. Industri yang ada di DI Jatiluhur sangat bervariasi jenis, skala serta kebutuhan airnya. Proporsi sektor industri hanya sekitar 0.93 persen pada tahun 1994 dan 2.61 persen pada tahun 2003. Meskipun proporsinya kecil dalam penggunaan air tetapi limbah yang dihasilkan oleh kegiatan sektor ini mempengaruhi kualitas air di wilayah hilirnya. Neraca air di Daerah Irigasi Jatiluhur yang terdapat pada Tabel 6 menggambarkan surplus air selama periode 1994-2003, hal ini bertentangan
29
dengan kenyataan dimana terjadi kelangkaaan air irigasi di wilayah tersebut terutama pada musim kemarau dan pada saat adanya El Nino (1997 dan 2003). Neraca air ini dibuat berdasarkan data tahunan yang merupakan kumulatif dari penyaluran air tengah bulanan, sehingga tidak merefleksikan variasi alokasi air berdasarkan waktu dan musim. Wilayah Tarum Utara merupakan wilayah yang sumber air utamanya berasal dari Waduk Jatiluhur, pada Tabel 7 terlihat behwa terdapat surplus setiap tahunnya, bukan berarti di wilayah tersebut tidak mengalami kelangkaan air. Sama seperti gambaran dari neraca DIJ, neraca air per wilayah berdasarkan layanan saluran induk yang ada merupakan kumulatif tahunan sehingga tidak dapat mengindikasikan terjadinya surplus atau defisit air sepanjang tahun. Tabel 7.
Ketersediaan dan Pemanfaatan Air di Wilayah Tarum Utara Tahun 1994 – 2004
PERIODE
KETERSEDIAAN 3 (juta m )
1994
CURUG 4854.61
1995
4412.42
1996
4620.99
1997
2617.62
1998
4863.85
1999
3674.34
2000
3539.37
2001
4501.91
2002
5101.56
2003
1903.53
2004
2684.51
Sumber: Perum Jasa Tirta II (2004) Keterangan : (
) nilai persentase
PEMANFAATAN 3
(juta m ) IRIGASI 1577.53 (99.52) 1854.02 (99.57) 1920.02 (99.53) 1875.11 (99.50) 2275.83 (99.52) 2058.33 (97.14) 1999.19 (97.91) 2097.22 (97.90) 2129.37 (97.91) 1712.51 (97.82) 1927.53 (98.13)
PDAM 3.57 (0.23) 3.65 (0.20) 3.66 (0.19) 3.62 (0.19) 4.86 (0.21) 5.58 (0.26) 5.83 (0.29) 6.11 (0.29) 6.37 (0.29) 6.10 (0.35) 6.11 (0.31)
INDUSTRI 3.97 (0.25) 4.41 (0.24) 5.39 (0.28) 5.85 (0.31) 6.22 (0.27) 54.97 (2.59) 36.91 (1.81) 38.96 (1.82) 39.13 (1.80) 32.09 (1.83) 30.70 (1.56)
TOTAL 1585.08 1862.08 1929.07 1884.58 2286.90 2118.88 2041.94 2142.29 2174.88 1750.71 1964.34
30
Pemakai air paling dominan di wilayah ini adalah sektor pertanian, yakni sekitar 99.52 persen (tahun 1994) dan 98.13 persen (tahun 2004) sedangkan PDAM dan industri memanfaatkan 0.31 persen dan 1.56 persen pada tahun 2004. Sektor industri meningkat pesat sejak tahun 1999, selain disebabkan bertambahnya industri pemakai air tetapi juga ada beberapa pengalihan pelayanan, pengalihan pelayanan dari Tarum Barat ke Tarum Utara. Proporsi total penggunaan air terbesar terjadi pada tahun 2003 yakni sebesar 91.97 persen dari air yang disalurkan sedangkan pada tahun-tahun normal hanya sekitar 47 persen. Hal ini menandakan bahwa debit sungai Citarum sebagai sumber utama mengalami penurunan yang berarti sehingga air yang disalurkan hanya sebesar yang dibutuhkan, sedangkan pada tahun normal kelebihan air dari sungai Citarum dibuang melalui saluran ini. Wilayah Tarum Timur merupakan wilayah sentra produksi padi, sehingga sektor pertanian mendominasi pemakaian air di wilayah ini, sama dengan wilayah Tarum Utara. Sektor domestik dan industrinya pengguna air dengan proporsi kecil, dan peningkatan penggunaannya relatif kecil. Selain ketiga sektor tersebut, di wilayah ini ada sektor pengguna lainnya yakni sektor agroindustri. Sektor pertanian pada tahun 2004 memanfaatkan sekitar 51 persen dari air
yang
tersedia
(Tabel
8).
PDAM
dan
industri
tidak
terlalu
pesat
perkembangannya, pada tahun 2004 masing-masing hanya menggunakan 0.16 persen dan 0.66 persen. Sektor industri perkembangannya tidak sepesat di Wilayah Tarum Utara. Sektor agroindustri menggunakan air sebesar 3.46 persen (tahun 1994) dan 2.20 persen (tahun 2004). Neraca air wilayah ini menunjukkan bahwa wilayah Tarum Timur merupakan sentra produksi pangan (khususnya padi) dan wilayah dengan perkembangan agroindustri yang tidak terdapat di wilayah lainnya.
31
Tabel 8.
Ketersediaan dan Pemanfaatan Air di Wilayah Tarum Timur Tahun 1994 – 2004 KETERSEDIAAN SBR LAIN
(juta m3) CURUG
3068.29 (72.54) 3411.27 (77.65) 3116.80 (73.33) 1856.45 (62.23) 3842.41 (77.39) 2823.45 (72.49) 3515.97 (74.64) 4392.08 (76.95) 3529.96 (71.64) 2032.90 (61.28) 3211.76 (71.09)
1161.54 (27.46) 981.86 (22.35) 1133.52 (26.67) 1126.82 (37.77) 1122.53 (22.61) 1071.28 (27.51) 1194.72 (25.36) 1315.93 (23.05) 1397.25 (28.36) 1284.27 (38.72) 1306.02 (28.91)
PERIODE 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
PEMANFAATAN TOTAL
IRIGASI
AGROIN
4229.83
2000.84 (96.08) 2153.12 (96.11) 2222.76 (96.97) 2728.75 (97.30) 2575.66 (97.68) 2098.99 (97.39) 2373.60 (97.62) 2626.12 (97.85) 2103.03 (97.04) 2063.07 (96.92) 2311.93 (96.98)
72.05 (3.46) 76.18 (3.40) 59.33 (2.59) 62.31 (2.22) 47.53 (1.80) 45.17 (2.10) 45.79 (1.88) 45.03 (1.68) 47.59 (2.20) 46.00 (2.16) 52.36 (2.20)
4393.13 4250.32 2983.27 4964.94 3894.73 4710.69 5708.01 4927.21 3317.17 4517.78
(juta m3) PDAM INDUSTRI 1.90 (0.09) 1.36 (0.06) 1.29 (0.06) 1.36 (0.05) 1.44 (0.05) 0.97 (0.05) 1.04 (0.04) 1.38 (0.05) 2.32 (0.11) 3.76 (0.18) 3.89 (0.16)
7.75 (0.37) 9.55 (0.43) 8.91 (0.39) 12.07 (0.43) 12.23 (0.46) 10.16 (0.47) 10.94 (0.45) 11.21 (0.42) 14.14 (0.65) 15.70 (0.74) 15.70 (0.66)
TOTAL 2082.54 2240.20 2292.28 2804.48 2636.86 2155.29 2431.37 2683.74 2167.09 2128.53 2383.88
Sumber : Perum Jasa Tirta II (2004) Keterangan : ( ) nilai persentase
Wilayah yang paling cepat perkembangannya sektor non pertaniannya adalah wilayah Tarum Barat, wilayah ini berbatasan langsung dengan Jakarta dan merupakan pemasok air baku untuk PAM DKI. Konversi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman juga meningkat pesat, meskipun sampai saat ini sektor pertanian masih mendominasi pemakaian air sebesar 79.80 persen pada tahun 2004 (Tabel 9).
Sektor domestik (khususnya PAM DKI) merupakan
pengguna air terbesar kedua yakni sebesar 16.82 persen sedangkan PDAM lainnya hanya sebesar 1.17 persen. Sektor industri menggunakan air sebesar 2.21 persen dari total air yang digunakan pada tahun 2004. Proporsi penggunaan air sektor pertanian menurun dari tahun ke tahun, seiring dengan peningkatan penggunaan dari PAM DKI, industri dan PDAM lainnya. Perkembangan yang pesat dari kedua sektor non pertanian merupakan gambaran pertumbuhan penduduk dan perkembangan sektor industri di wilayah
32
ini, juga meningkatnya wilayah perkotaan. Peningkatan wilayah perkotaan terjadi dengan mengkonversi lahan pertanian menjadi pemukiman. yang berakibat pada menurunnya penggunaan air sektor pertanian. Tabel 9.
Ketersediaan dan Pemanfaatan Air di Wilayah Tarum Barat Tahun 1994 – 2004
PERIODE 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
SBR LAIN 2041.41 (64.85) 2401.44 (68.99) 3106.06 (73.70) 1505.29 (59.33) 2714.69 (71.86) 1778.62 (63.91) 1989.36 (60.63) 2069.82 (61.52) 2352.06 (62.69) 1584.97 (54.09) 2250.54 (61.70)
KETERSEDIAAN (juta m3) CURUG 1106.35 (35.15) 1079.29 (31.01) 1108.25 (26.30) 1031.94 (40.67) 1063.29 (28.14) 1004.50 (36.09) 1291.85 (39.37) 1294.45 (38.48) 1400.01 (37.31) 1345.44 (45.91) 1397.17 (38.30)
TOTAL 3147.76 3480.72 4214.31 2537.23 3777.97 2783.12 3281.21 3364.27 3752.07 2930.41 3647.71
PERTANIAN 1840.85 (84.61) 2106.24 (87.40) 2669.88 (88.54) 2010.69 (82.73) 2274.13 (82.60) 2032.41 (82.15) 2204.11 (83.06) 1707.16 (78.51) 2275.00 (82.37) 2030.92 (79.53) 2183.90 (79.80)
PEMANFAATAN (juta m3) INDUSTRI PDAM PAM DKI 9.65 3.30 322.01 (0.44) (0.15) (14.80) 14.09 4.99 284.60 (0.58) (0.21) (11.81) 19.66 5.66 320.22 (0.65) (0.19) (10.62) 33.05 8.34 378.32 (1.36) (0.34) (15.57) 37.88 9.26 431.97 (1.38) (0.34) (15.69) 26.28 15.03 400.42 (1.06) (0.61) (16.18) 29.19 16.43 403.96 (1.10) (0.62) (15.22) 32.53 19.64 415.02 (1.50) (0.90) (19.09) 45.63 23.51 417.64 (1.65) (0.85) (15.12) 55.15 29.76 437.90 (2.16) (1.17) (17.15) 60.49 31.97 460.41 (2.21) (1.17) (16.82)
TOTAL 2175.81 2409.92 3015.42 2430.41 2753.25 2474.13 2653.68 2174.35 2761.78 2553.72 2736.78
Sumber: Perum Jasa Tirta II (2004) Keterangan : ( ) nilai persentase
Wilayah Tarum Barat sebagai wilayah
penyangga DKI Jakarta,
merupakan wilayah dengan pertumbuhan non pertanian lebih pesat dari kedua wilayah lainnya di DIJ. Perkembangan pemakaian air sektor non pertanian seiring dengan pengalihan lahan dari areal pertanian ke pemukiman dan industri, konversi lahan akan menggeser fungsi utama wilayah ini, bukan lagi sebagai sentra produksi pangan tetapi sebagai wilayah perkotaan dan industri. Peralihan dari fungsi wilayah ini, diduga akan meyebabkan persaingan antar sektor pengguna air di wilayah tersebut.
33
2.7. Institusi Terkait dalam Pengelolaan DAS Citarum DI Jatiluhur sebagai bagian dari DAS Citarum, dalam pengelolaannya akan sangat terkait dengan pengelolaan DAS Citarum, termasuk institusi yang terkait. Berbagai institusi yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya air di DAS Citarum,
diantaranya:
(1)
Departemen
Kehutanan,
(2)
Departemen
Pertambangan dan Energi, (3) Kementerian Lingkungan Hidup, (4) Departemen Dalam Negeri, (5) Departemen Pekerjaan Umum, (6) Departemen Pertanian, (7) Departemen Perdagangan dan sebagainya. Berbagai institusi dalam pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur, seperti (1) Perum Jasa Tirta II, (2) PIPWS Citarum, (3) Proyek Andalan Irigasi Jawa Barat, (4) Dinas/Sub Dinas Pengairan
Kabupaten, (5) PT PLN Persero,
(6) Balai
Pengelolaan
Sumberdaya Air Wilayah Sungai, (7) Dinas Pengelolan SDA Provinsi Jawa Barat, (8) Bapedalda, dan (9) Bapeda Provinsi. Situasi tersebut menyebabkan tugas dan tanggung jawab atau mandat yang diberikan pada lembaga atau institusi seperti PJT II sebagai operator DAS Citarum menjadi sulit dan tidak jelas, dimana setiap institusi atau lembaga memiliki rencana dan program pengelolaan sumberdaya air. Di wilayah Citarum Hulu, terdapat berbagai program antara lain : Program Pengendalian Banjir dan Kekeringan, Program Pembangunan Bendungan kecil di Sungai Cikapundung, Program Pembagian Aliran dari Cibutarua ke Cisangkuy, Proyek Pengembangan Penanaman Wilayah Hulu di Citarik. Semua rencana dan program diatas seharusnya dapat dikoordinasikan dalam Rencana Induk Pengelolan Sumberdaya Air Terpadu Citarum (Master Plan of Integrated Citarum Water Resources Management). Ringkasan tugas dan tanggung jawab beberapa lembaga yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya air di Citarum dapat dilihat dengan jelas pada Tabel 10.
34
Tabel 10.
Tanggung Jawab Institusi Pengelola Daerah Aliran Sungai Citarum Tahun 2006
Deskripsi
Wil Tangkapan Air
Kualitas Air
Kuantitas Air
Lingkungan Sungai
Banjir dan Kekeringan
Infrastruktur
Pusat dan Lokal
√
√
√
√
√
⎯
Dep. Pertamben
√
⎯
√
√
√
√
Dep. Kehutanan
√
⎯
√
⎯
√
⎯
Dep. Pertanian
√
⎯
√
⎯
√
√
Dep. PU
√
√
√
√
√
√
Kementrian LH
⎯
√
√
√
√
⎯
Dep Perhub.
⎯
⎯
√
⎯
⎯
⎯
Dep.Industri
⎯
√
√
√
⎯
⎯
Dep. Kesehatan
⎯
√
√
√
⎯
⎯
Bapedalda Bappeda
⎯
√
√
√
√
⎯
√
√
√
√
√
⎯
Sumber : Direktorat SDA Departemen PU (2006) Keterangan : √ : Ya . ⎯ : Tidak
Tabel 11 menggambarkan institusi dan lembaga yang melakukan perencanaan, operasional, pemeliharaan, rehabilitasi dan pembangunan di DAS Citarum. Tanggung jawab satu dengan lainnya menjadi tumpang tindih sehingga wilayah kerja masing-masing institusi tidak jelas. Sebagai contoh dalam mengevaluasi kualitas air, PJT II sebagai “operator” fasilitas pengelolaan berdasarkan pada Peraturan Gubernur No.94 tahun 1999 hanya diijinkan mengambil contoh dan menganalisis sumberdaya air di
badan sungai
(instream), dan tidak berhak terhadap sumberdaya air di daratan (off-stream), meskipun banyak polutan dan limbah terjadi dan berasal dari wilayah tersebut. Koordinasi pengelolaan sumberdaya air melalui batasan kuantitas air ada pada Panitia Provinsi Tata Pengaturan Air (PPTPA) yang dibentuk oleh Gubernur Provinsi
Jawa
Barat
dalam
Keputusan
Gubernur
Jawa
Barat
No:614.05/S.K.835.HUK/97, berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 67/PRT/1993 tentang PPTPA dan Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA). PPTPA
diketuai oleh Kepala Kantor Koordinasi Wilayah Purwakarata, Wakil
35
Presiden Direktur PJT II, sedangkan sebagai Sekretaris Panitia adalah Direktur Opersional PJT II, dan sebagai anggota panitia semua stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya air di DAS Citarum. Tabel 11.
Institusi-institusi Terkait dalam Pengelolaan DAS Citarum Tahun 2006
No
Institusi/Lembaga
1.
Proyek Pengembangan DAS Citarum Proyek Andalan Irrigation Jawa Barat
2.
Operasional
Pemeliharaan
Rehabilitasi
Pengembangan
Pemantauan
Perencanaan
⎯
⎯
√
√
⎯
√
⎯
√
√
⎯
⎯
⎯
3.
Perum Jasa Tirta II
√
√
⎯
⎯
√
⎯
4.
Dinas Pengairan Kabupaten
⎯
⎯
√
√
⎯
⎯
5.
Balai Pengelolaan Wilayah Sungai Citarum Dinas Pengelolaan SDA Prov. Jawa Barat Bapedalda
⎯
⎯
√
√
√
⎯
⎯
⎯
⎯
√
√
√
⎯
⎯
⎯
⎯
√
⎯
⎯
⎯
⎯
⎯
√
√
6.
7. 8.
Bappeda Provinsi Jawa Barat
9.
PT. PLN (Persero)
√
√
√
√
√
√
10
Perhutani
⎯
⎯
√
√
√
⎯
11
PNP
⎯
⎯
⎯
√
√
⎯
Sumber : Direktorat SDA Departemen PU (2006) Keterangan : √ : Ya . ⎯ : Tidak
Panitia menyiapkan program suplai air tahunan untuk berbagai penggunaan di wilayah hilir Citarum serta menyiapkan dan menetapkan operasioal terpadu waduk yang ada di Citarum dengan asumsi kondisi hidrolis. Koordinasi antar institusi ataupun lembaga yang terlibat dalam pengelolan DAS Citarum tidak dilakukan dengan baik sehingga berbagai program menjadi tumpang tindih serta tanggung jawab setiap institusi menjadi tidak jelas. Akibatnya ketika terjadi bencana yang disebabkan pengelolaan yang tidak terkoordinasi, akan sulit mencari penyebab dab penanggung jawabnya.
36
2.7.1. Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Guna menjaga kelestarian daerah tangkapan air. pemerintah daerah merencanakan program koordinasi antar institusi yang terlibat antara lain. Pemerintah Daerah Kabupaten, Perum Perhutani, PN Perkebunan, Bapedalda, Tokoh Masyarakat dan PJT II. Program telah menetapkan Arboretum di Wayang Windu, Air terjun Citarum di Gunung Wayang, Desa Kertasari, Kecamatan Taruma
Jaya,
Kabupaten
Bandung. Arboretum
merupakan
percontohan
penghutanan kembali lahan yang telah dijadikan perkebunan secara tidak sah oleh rakyat setempat. PJT II menyumbang 15.50 ribu pohon yang ditanam langsung di Wayang Windu, dan memagari sekeliling areal. Program resettlement Kampung Pasir Peundey, Desa Mekar Jaya, Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung, di Cisangkuy Citarum,
bagian hulu sungai
pada akhir program PJT II menyumbang 6.72 ribu bibit pohon.
Rencana ini diusulkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Warga Peduli Lingkungan dibawah kordinasi BPLHD Provinsi Jawa Barat. Seiring dengan program diatas Dirjen Bangda, Departemen Dalam Negeri mengusulkan Proyek Penanaman dan Pengembangan Tanah Wilayah Hulu di Citarik (Sub DAS Citarum) dengan pendanaan bersama pemerintah Jepang. Areal yang menjadi target proyek adalah lahan pribadi atau masyarakat yang berbatasan dengan areal hutan, proyek ini diperluas ke Sub DAS Cikeruh dan Cirasea. 2.7.2. Pengelolaan Kualitas Air Institusi kunci dalam pengelolaan kualitas air yakni jasa lingkungan dan BAPPEDALDA pemerintah daerah setempat. Institusi ini memonitor kualitas air di sungai dan drainase, dan bertanggung jawab dalam memelihara kualitas air yang baik.
37
PJT II mengimplementasikan Program Air Bersih di Sungai Citarum dan Bekasi sebagai aktivitas pengelolaan kualitas air, PJT II telah memonitor kualitas air pada 70 stasiun sepanjang kedua sungai tersebut dan menganalisa sampel di laboratorium sebulan sekali. Parameter hasil analisa dilaporkan ke institusi terkait di Provinsi Jawa Barat, lembaga lingkungan hidup provinsi dan kabupaten menindak lanjuti hasil laporan tersebut. Telah terjadi beberapa kasus, dimana pemantauan dan laporan tidak tepat waktu sehingga tindak lanjutnya kurang tepat. 2.7.3. Pengendalian Banjir dan Kekeringan. Kegiatan
pengendalian
banjir
dikoordinasi
oleh
Satkorlak
tingkat
kecamatan sedangkan pegawai pemerintah dan staf PJT II merupakan anggota unit tersebut. Kegiatannya meliputi persiapan antisipasi bencana banjir, penyelamatan dan pemulihan. PJT II memfasilitasi dengan bahan dan fasilitas yang ada di sistem jaringan Jatiluhur untuk mencegah banjir. Dalam pengoperasian waduk-waduk di Citarum secara terpadu, PJT II telah menyiapkan dan menetapkan aturan pelaksanaan harian untuk mengatasi banjir dan kekeringan. PJT II memberi peringatan dini bila terjadi banjir ke wilayah bencana, dan tim pengendali banjir untuk mencegah banjir di wilayah hilir. Analisa pengoperasian waduk dengan berbagai kombinasi kesalahan atau kejadian luar biasa yang mungkin terjadi pada ketiga waduk di sungai Citarum. PJT II juga menetapkan dan merancang air yang tersedia selama kemarau melalui pengenalan cara pemberian air gilir-giring pada saluran sekunder sistem irigasi. Selanjutnya koordinasi dengan BBPT dan agensi lain yang berkompeten dalam mempersiapkan dan melakukan pembibitan untuk melakukan hujan buatan pada beberapa wilayah tertentu.
38
2.7.4. Pengelolaan Infrastruktur Tugas dan tanggung jawab PJT II meliputi operasional dan pemeliharaan infrastruktur sampai ke saluran sekunder sistem irigasi yang ada. PJT II tidak berwenang memperbaiki infrastuktur karena merupakan aset pemerintah pusat, semua biaya operasonal dan pemeliharaan dikeluarkan dari anggaran PJT II. Pembangunan
dan
rehabilitasi
infrastuktur
sumberdaya
air
telah
dilakukan oleh Proyek Pengembangan DAS Citarum, dibawah pengendalian Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan Umum. Proyek bertanggung jawab atas konservasi air, perbaikan sungai dan provisi air baku. Sedangkan rehabilitasi dan perbaikan saluran sekunder telah dimplementasikan melalui Proyek Andalan Irigasi Jawa Barat, dan anggarannya berasal dari Provinsi Jawa Barat. Banyaknya lembaga atau institusi yang terlibat dalam pengelolaan suatu DAS menimbulkan berbagai masalah yang diakibatkan oleh tidak adanya koordinasi serta menyebabkan ketidak jelasan tanggung jawab apabila terjadi suatu resiko. Selain itu, banyaknya institusi atau lembaga yang terlibat menyebabkan
tingginya
biaya
pengelolaan
serta
sulitnya
mengevaluasi
pelaksanaan program tersebut. Pengelolaan suatu DAS sebaiknya dilakukan secara terpadu mulai dari hulu sampai ke hilir karena DAS merupakan suatu kesatuan dimana kegiatan ataupun program yang diberlakukan pada wilayah hulu akan mempengaruhi kondisi sumberdaya air di wilayah hilir.
III. KONSEP KELANGKAAN DAN ALOKASI SUMBERDAYA AIR 3.1. Konsep Kelangkaan Air DAS 3.1.1. Tahap Pengembangan DAS Sebelum melakukan pemodelan pengelolaan sumberdaya air di suatu wilayah, perlu diketahui ketersediaan air di wilayah bukan hanya dari sisi suplai tetapi juga sisi permintaan. Kondisi ketersediaan air di DAS dapat dijadikan pedoman sampai sejauh mana ketersediaan air dapat memenuhi kebutuhan yang ada serta stok air yang tersisa di wilayah tersebut, atau seberapa besar kemungkinan terjadinya kelangkaan air di wilayah tersebut. Revolusi hijau yang bertujuan untuk mencapai ketersediaan pangan yang cukup, menggunakan varitas tanaman dengan produktivitas tinggi memerlukan input pupuk dan air lebih banyak, berakibat peningkatan pemakaian air pada pertanian irigasi, selain itu berkontribusi pada degradasi lingkungan antara lain kualitas air akibat peningkatan pemakaian bahan kimia oleh sektor pertanian. Kendati peningkatan dalam produksi pertanian dan berhasil menghasilkan yang berlimpah, di sisi lain beberapa wilayah mengalami kelangkaan air ekonomi, yakni kelangkaan yang diakibatkan terbatasnya finansial untuk pengembangan sumberdaya air. Selain peningkatan penggunaan bahan kimia oleh sektor pertanian, pertumbuhan kota besar yang pesat, perkembangan industri telah menurunkan mutu air sungai, danau, akuifer, dan ekosistem. Bermacam-macam pemahaman kelangkaan air telah dikembangkan dalam
pengelolaan
suatu
DAS.
Falkenmark
(2000),
dalam
konsepnya
memisahkan air ke dalam ”air hijau” dan ”air biru”. Air biru berperan untuk runoff sungai, sedangkan air hijau akan manguap sebelum mencapai sungai dan akan turun sebagai air hujan, sektor pertanian bergantung pada kedua-duanya.
40
Sumber daya air merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui baik secara alami maupun dengan pengolahan air limbah menjadi air yang layak untuk digunakan kembali. Air yang tersedia dan dapat digunakan setiap waktu sangat tergantung pada infrastruktur yang ada. Pada awalnya, air sungai mengalir dengan bebas ke lautan, dengan meningkatnya aktivitas manusia, infrastruktur mulai dibangun guna memenuhi kebutuhan air untuk minum dan pangan. Setiap penambahan infrastruktur air biru berarti menambah persediaan air yang dapat digunakan, langkah-langkahnya seperti yang terlihat pada Gambar 3. Pengalihan hutan menjadi lahan pertanian membuat sejumlah air hujan menambah air permukaan ("air hijau", jika air ini tidak masuk ke siklus sumber daya air dapat diperbaharui).
Blue Water
RENEWABLE
UTILIZABLE
DEPLETED
Green Water
AVAILABLE
DEVELOPMENT
UTILIZATION
ALLOCATION
TIME
Sumber : Molden et. al. (2001) Gambar 3. Tahap Pengembangan Daerah Aliran Sungai Ketika permintaan meningkat dan air yang tersedia lebih banyak maka makin banyak juga air yang dihabiskan. Semakin banyak lahan pertanian dialihkan, berarti lebih banyak air irigasi dialihkan ke sektor lainnya, peningkatan air untuk sektor industri dan perkotaan (domestik) menyebabkan jumlah air yang
41
digunakan mendekati persediaan air yang tersedia, dan mungkin diperlukan infrastruktur baru baik untuk penyimpanannya maupun penyalurannya. Seringkali terjadi pengambilan air melebihi sumberdaya yang tersedia, yang menyebabkan ketidak seimbangan. Sebagai contoh, di beberapa wilayah di dunia (Postel, 1999), mengalami penurunan tingkat air tanah, sementara di wilayah lain, air digunakan sangat intensif dimana aliran dikurangi sampai pada satu titik di mana garam dan polutan tidak bisa dihilangkan dari DAS tersebut. Gambar 3 menggambarkan tiga tahap penting pengembangan DAS yang implisit dalam diskusi di atas (Molden et.al., 2001), tahapan pengembangan tersebut terdiri dari : 1. Pengembangan, pada tahap ini secara alamiah jumlah air tidak terbatas, dimana peningkatan permintaan mendorong pembangunan infrastruktur baru dan perluasan lahan pertanian. 2. Utilisasi,
pada tahap ini pembangunan infrastruktur telah berlangsung
dengan sasaran utamanya perbaikan sarana penyimpanan dan pengelolaan pengiriman (deliver) air, kompetisi antar sektor masih sangat kecil. Lembaga sangat memperhatikan isu sektoral seperti pengelolaan air irigasi, atau pengelolaan suplai air minum. 3. Alokasi, tahap ini terjadi ketika pengambilan air mendekati jumlah yang tersedia, untuk pengembangan lebih lanjut terbatas, nilai sumber daya air meningkat sehingga air akan direalokasikan dari yang nilainya lebih rendah untuk " nilainya yang lebih tinggi ". Dalam Tabel 12 menunjukkan tahapan pengembangan yang terjadi pada suatu DAS dengan unsur-unsurnya yang diuraikan lebih rinci oleh Molden et.al. (2001). Diawali dengan pembangunan infrastruktur pada tahap pengembangan, perbaikan operasional dan manajemen pada tahap utilisasi dan berpindah ke
42
nilai pemakaian yang tinggi pada tahap alokasi. Pada tahap pengembangan, air yang tersedia melebihi dari yang dibutuhkan, kelangkaan air yang terjadi disebut kelangkaan ekonomi, yakni tidak tersedianya finansial untuk mengembangkan sumberdaya air tersebut. Konflik tidak terjadi dan nilai ekonomi air masih rendah. Tabel 12.
Unsur-unsur Tahap Pengembangan Daerah Aliran Sungai
Pengembangan
Utilisasi
Alokasi
Pembangunan
Perbaikan operasional dan manajemen
Berpindah ke nilai pemakaian yang lebih tinggi
Pengelolaan distribusi suplai
Investasi dan perbaikan operasional dan menajemen
Pengelolaan permintaan
Kelangkaan air ekonomi
Lokalisasi kelangkaan air
Kelangkaan air fisik
Nilai air rendah
Peningkatan nilai air
Nilai air tinggi
Lebih sedikit konflik air
Konflik dalam sistem
Konflik antar sistem
Pemakaian air tanah
Manajemen konjuktif
Pengaturan air tanah
Pelemahan Polusi
Muncul polusi
Pembebasan polusi
Memasukkan / mengeluarkan orang miskin dalam pengembangan fasilitas
Dalam pengambilan keputusan operasional dan manajemen termasuk orang miskin
Orang miskin kehilangan akses ke air
Sumber : Molden et.al. (2001).
Sedangkan tahap utilisasi nilai ekonomi air mulai terbentuk dan konflik telah terjadi, ketersediaan air mendekati yang dibutuhkan, kualitas air mulai menurun. Tahapan alokasi merupakan tahapan akhir dimana ketersediaannya terbatas sehingga air bukan lagi sebagai barang publik melainkan sebagai barang ekonomi, dan akan disalurkan ke pengguna dengan nilai ekonomi yang tinggi. 3.1.2. Kelangkaan Air Selain tahap pengembangan DAS, unsur penting lainnya dalam penelitian sumberdaya air yakni kelangkaan air suatu wilayah. Kelangkaan air ini
43
merupakan ukuran perbandingan antara air yang tersedia dengan yang digunakan. Berbagai perhitungan kelangkaan air telah dilakukan diantaranya berdasarkan indeks yang digunakan PBB (1997) dan diadopsi Vorosmarty et.al. (2000), yakni rasio pengambilan air tahunan W dengan air yang tersedia Q. Menurut Heap et.al. (1998) indeks kelangkaan air (RWS) diturunkan sebagai berikut
RWS = dimana W
S Q
W- S Q = = =
(1)
pengambilan air tahunan parameter desalinisasi air yang tersedia
Secara umum indeks kelangkaan air adalah sebagai berikut
RWS < 0.1
tidak ada kelangkaan air
0.1 < RWS < 0.2
kelangkaan air rendah
0.2 < RWS < 0.4
kelangkaan air moderate
0.4 < RWS
kelangkaan air tinggi
Pengukuran kelangkaan sumberdaya air diatas, menunjukkan indeks kelangkaan untuk air yang ada di saluran, bukan air yang tersisa di waduk. Indeks
kelangkaan
ini
merupakan
mempertimbangkan nilai ekonomi air.
kelangkaan
air
secara
fisik
tanpa
Asumsinya bahwa sumberdaya air
merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui, dan waktu pembaharuan lebih cepat dibandingkan dengan air tanah serta tanpa memperhitungkan kualitas air yang ada. Dalam konteks ekonomi sumberdaya pengukuran kelangkaan bukan hanya sekedar dari segi fisik saja tetapi dengan menghitung sisa umur ekonomisnya. Hal ini dengan menghitung cadangan ekonomis yang tersedia dibagi dengan tingkat ekstraksi. Pengukuran ini hampir sama dengan indeks
44
kelangkaan menurut Heap et.al. (1998), kelemahannya tidak mempertimbangkan aspek ekonomi, seperti harga dan biaya ekstraksi. Hanley
et.al.
(1997)
diacu
dalam
Fauzi
(2004)
menyarankan
menggunakan pengukuran moneter dengan cara menghitung harga riil, unit cost dan rente ekonomi dari sumberdaya. Pengukuran moneter inipun masing-masing mempunyai kelebihan dan keterbatasan, yang dapat dilihat pada Tabel 13. Pengukuran
yang
dianggap
memiliki
keunggulan
dibandingkan
dengan
pengukuran lainnya, yakni pengukuran berdasarkan rent kelangkaan (scarcity rent), Pengukuran ini dianggap lebih sesuai dengan kondisi sumberdaya air saat ini. Tabel 13.
Keunggulan dan Keterbatasan Pengukuran Kelangkaan Sumberdaya
Pengukuran Kelangkaan 1. Harga Riil
2. Unit Cost
3. Rente kelangkaan (scarcity rente)
Keunggulan
Keterbatasan
Tingkat harga sumberdaya mencerminkan tingkat kelangkaan
- Jika ada distorsi pasar, harga tidak mencerminkan kelangkaan - Harga output sumberdaya hanya mencerminkan harga pasar, tetapi tidak mencerminkan biaya oportunitas sosial akibat ekstraksi sumberdaya tersebut - Tidak adanya deflator yang tepat
Unit cost menunjukkan kelangkaan sumberdaya, makin tinggi unit cost nya makinlangka sumberdaya tersebut
-
Kesulitan mengukur kapital akibat perubahan teknologi produksi Substitusi input tidak diperhitungkan Unit cost berdasarkan informasi masa lalu bukan forward looking
- Berdasarkan teori kapital sumberdaya, dimana rate of return manfaat yang diperoleh sama dengan biaya oportunitas dari aset lain - Makin tinggi scarcity rent makin langka sumberdaya
3.2. Kriteria Alokasi Sumberdaya Air Menghadapi masalah kelangkaan air suatu wilayah, alokasi sebagai aktivitas ekonomi menjadi perhatian utama dalam pengelolaan sumberdaya air. Alokasi air yang baik ke semua sektor pemakai air menjadi sangat penting, guna
45
pencapaian kesejahteraan semua pihak. Kriteria kesejahteraan yang dapat dipakai dalam mengalokasikan sumberdaya yang efisien, antara lain (1) kriteria kesejahteraan sosial, (2) kriteria pemerataan, (3) kriteria manfaat (utilitarian criterion), dan (4) kriteria maksimin. Kriteria
kesejahteraan
mengasumsikan
bahwa
selera
maupun
kesejahteraan individu dapat dihitung. Individu memiliki preferensi yang bersaing satu sama lainnya, yang berarti kesejahteraan yang diperoleh salah satu pihak hanya mungkin tercapai atas pengorbanan pihak lainnya. Kondisi kesejahteraan sosial yang optimum dimana alokasi optimum merupakan kondisi Pareto optimum dan disebut alokasi Pareto optimal. Kriteria pemerataan, merupakan suatu kriteria berdasarkan pada tingkat kepuasan individu yang terlibat dan bukan jumlah barang yang diberikan sama jumlahnya. Jumlah barang bukan merupakan ukuran dalam kriteria pemerataan, tetapi tingkat kepuasan yang optimum masing-masing individu menjadi tolok ukur utama. Kriteria manfaat hampir sama dengan kriteria pemerataan dimana alokasi optimum yang dipilih pada saat tingkat utilitas bersamanya mencapai maksimum. Ketiga kriteria ini sulit untuk dikuantifikasikan dan sangat normatif. Kriteria maksimin
dikemukan oleh John Rawls (1971), memandang
masyarakat seperti pada posisi awal, dimana tidak ada yang tahu dimana posisi (dan kepuasannya) akhirnya. Kriteria Rawls pada dasarnya memaksimalkan posisi yang paling lemah, atau dikatakan memaksimalkan mereka yang utilitasnya minimum, karenanya sering disebut kriteria maksimin. Sifat kriteria Rawl yakni: (1) Jika pilihan dilakukan diantara diantara distribusi dengan jumlah konstan, kriteria ini memiliki implikasi egalitarian, semua orang akan menerima jumlah yang sama (distribusi merata).
46
(2) Jika pemilihan dilakukan diantara distribusi yang tidak tetap, kriteria Rawls selalu membela oranng yang terburuk dan mengorbankan keseluruhan; atau dengan kata lain Rawls tidak konsisten dengan kriteria kompensasi ekonomi yang umum. (3) Dalam kondisi yang lebih kompleks dengan barang dan individu yang banyak dimana cita rasa sangat beragam, kriteria ini tidak dapat diterapkan. Dalam
mengalokasikan
sumberdaya
tiga
hal
pokok
yang
perlu
diperhatikan, yakni: (1) Alokasi sumberdaya dikatakan efisien jika semua sumberdaya yang ada telah digunakan dan jika rate of technical substitution (RTS) antara sumberdaya tersebut sama untuk setiap output yang dihasilkan. (2) Agar produksi efisien, sumberdaya harus dialokasikan sedemikian rupa sehingga produktivitas marjinal fisik setiap sumber dalam aktivitas produksi suatu barang tertentu sama, tanpa memperhatikan perusahaan mana yang memproduksinya. (3) Jika dua atau lebih perusahaan menghasilkan output yang sama, mereka harus beroperasi pada titik-titik daerah kemungkinan produksi, pada saat dimana transformasi produk kedua perusahaan sama besarnya satu sama lain. 3.3. Mekanisme Alokasi Sumberdaya Air. Berbagai kriteria diatas membuat pengelolaan sumberdaya air khususnya alokasi menjadi lebih kompleks. Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, berbagai mekanisme alokasi yang umum dilakukan adalah: Queuing System (sistem antrian), water pricing, alokasi publik dan user based allocation serta berbasis pasar (water market) (Fauzi, 2004).
47
3.3.1. Queuing System Queuing System adalah salah satu sistem yang terkait dengan masalah lokasi, sistem ini Queuing System merupakan sistem tertua tetapi masih banyak dilakukan di berbagai negara. Dalam sistem ini ada dua sistem alokasi yakni Riparian Water Right dan Prior Appropriation Water Right. Riparian Water Right, alokasi didasarkan pada jarak lahan dengan sumberdaya air yang ada, lahan yang berada di hulu akan lebih dulu memperoleh air dibandingkan yang berada di hilir. Sistem ini sering menimbulkan eksternalitas, karena tidak adanya hak yang mengikat dan air tidak bisa dialihkan ke tempat lain yang memberikan nilai lebih tinggi. Sistem antrian yang kedua Prior Appropriation Water Right, didasarkan pada prinsip bahwa hak atas kepemilikan air diperoleh melalui penemuan maupun kepemilikan secara turun temurun, kepemilikan bersifat mutlak. Berbeda dengan sistem riparian, jika pemilik tidak menggunakan air untuk kepentingan yang bermanfaat (beneficial user) hak tersebut bisa hilang. Sistem antrian inipun kepemilikannya tidak bisa dialihkan kepada yang lain sama seperti sistem riparian. 3.3.2. Water Pricing Air merupakan barang nilai tambah, salah satu usaha untuk memberikan nilai kepada sumberdaya tersebut melalui water treatment sehingga untuk mencapai kualitas yang dikehendaki dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Penentuan harga yang tepat yang dapat menggambarkan biaya yang sebenarnya dan akan memberikan sinyal kepada user mengenai nilai daripada air melalui water pricing. Model sumberdaya air yang didasarkan pada water pricing adalah marginal cost pricing (MCP).
48
3.3.3. Alokasi Publik Sumberdaya air termasuk salah satu sumberdaya yang pengelolaannya cukup unik, air sulit diperlakukan sebagai barang yang diperdagangkan (marketed goods). Penyediaan sumberdaya air dalam skala besar seperti pembangunan waduk, bendung dan jaringan irigasi tidak mungkin dilakukan secara privat tetapi diperlukan campur tangan pemerintah untuk mendanainya. Alokasinyapun dilakukan berdasarkan keputusan pemerintah, menurut Dinar et.al. (1997) menyatakan bahwa alokasi yang dilakukan publik atau pemerintah dapat menjawab aspek equity, dimana masyarakat miskin dapat mengakses sumberdaya air tersebut. Alokasi ini diringi dengan pemberian subsidi bagi wilayah yang memberikan nilai rendah terhadap sumberdaya air. Subsidi
inilah
yang
mengakibatkan
inefisiensi
terhadap
pemanfaatan
sumberdaya air, karena adanya faktor ”hidden cost” dimana subsidi tidak menggambarkan
opportunity
cost
yang
sebenarnya
dari
pengelolaan
sumberdaya air. 3.3.4. Alokasi Berdasarkan Pengguna Alokasi sumberdaya air berdasarkan pengguna (user-based) seperti subak di Bali.
Sistem alokasi ini menggunakan berbagai variasi pengaturan
seperti berdasarkan rotasi waktu (bergilir), kedalaman air, kedekatan lokasi, dan sistem pembagian lainnya. Salah satu karateristik penting dalam sistem alokasi ini adalah pentingnya peran kelembagaan, karena efisiensinya alokasi ini sangat bergantung padaa berfungsinya kelembagaan di tingkat komunal (Meinzen et.al., 1997). Dinar et.al. (1997), menyatakan bahwa norma sosial akan memberikan insentif untuk konservasi, organisasi yang dilandasi kepercayaan akan menghasilkan tingkat efisiensi yang tinggi serta fleksibilitas terhadap pola perubahan yang terjadi pada
49
kebutuhan lokal, dan lebih feasible secara administratif, lebih berkelanjutan, dan lebih diterima secara politis. Kekurangan sistem ini kurangnya kapasitas kelembagaan lokal dalam menangani kebutuhan intersektoral, seperti kebutuhan rumah tangga (domestik) dan industri. 3.3.5. Alokasi Berbasis Pasar Sistem alokasi berbasis pasar ini masih menjadi pertentangan, berbagai pendapat mengenai sumberdaya air dimana sebagai kebutuhan yang essensial, maka tidak dapat diukur harganya tetapi harus selalu tersedia walaupun tanpa mengeluarkan biaya. Alokasi ini dapat menimbulkan ketidak adilan dimana masyarakat yang berpenghasilan rendah tidak dapat mengaksesnya jika harga ditentukan dengan mekanisme pasar. Water market pada prinsipnya adalah pertukaran hak atas pemanfaatan air (water use right), dimana water market harus mengikuti kaidah ekonomi dalam pengoperasian pasar, yang antara lain mencakup penjual dan pembeli memiliki informasi yang sama, pasar yang bersifat kompetitif yang berimplikasi pada keputusan yang diambil oleh salah satu pihak tidak mempengaruhi keputusan pihak lain, dan pelaku ekonomi memiliki motif untuk memaksimumkan menfaat ekonomi. Kondisi-kondisi tersebut memungkinkan dicapainya keseimbangan penawaran dan permintaan dalam transaksi air. Mekanisme ini memiliki beberapa kelebihan antara lain, memungkinkan dilakukan internalisasi biaya eksternal (akibat pencemaran misalnya) oleh pihak penyuplai (penjual). Kelebihan lainnya sperti yang diungkapkan Rosegrant dan Binswanger (1994), yakni (1) memungkinkan terjadinya pengukuhan atas hak pengelolaan air, (2) memberikan intensif kepada untuk memperhatikan eksternal yang ditimbulkan akibat penggunaan air, sehingga mengurangi tekanan terhadap
50
sumberdaya air, (3) memberikan fleksibilitas bagi pengguna dan berekasi terhadap perubahan permintaan dan penawaran, dan (4) sistem pasar mengaharuskan kedua belah pihak menyetujui perubahan realokasi air, sehingga pengguna air dalam sistem pasar lebih diberdayakan. Pertukaran antar sektor yang dimungkinkan dalam sistem pasar, seperti pertanian dan industri akan menyebabkan masalah lingkungan, seperti pencemaran, tetapi juga rawan terhadap dampak negatif lingkungan yang akan ditimbulkannya. Model sumberdaya air sangat beragam baik dari bentuk fungsi maupun kriteria dan merkanismenya, dari berbagai pendapat dan pemodelan yang dikemukakan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa karena sifat sumberdaya air yang merupakan gabungan antara barang publik dan ekonomi menyebabkan kesulitan dalam pemodelannya. Terutama air permukaan dimana untuk membangun sarana penyimpanannya dibutuhkan biaya yang besar dan biasanya dilakukan oleh pemerintah. Seiring dengan perkembangan perekonomian dan penduduk yang tidak disertai dengan penyediaan air menyebabkan air menjadi langka dan beralih menjadi barang ekonomi. Sementara sektor pertanian yang merupakan pengguna air terbesar masih menganggap air sebagai barang publik sehingga petani sebagai pengelola air di petak sawah dalam penggunaannya tidak memperlakukan sebagai barang ekonomi yang mulai langka. Sedangkan untuk sektor non pertanian memberikan nilai lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian dan telah menganggap sebagai barang ekonomi. Perbedaan pandangan pengguna sumberdaya air inilah yang menyulitkan ketika akan dilakukan valuasi terhadap alokasi sumberdaya tersebut.
51
3.4. Transisi Mekanisme Alokasi Sumberdaya Air Berbagai mekanisme yang telah diungkapkan diatas, menunjukkan bahwa alokasi sumberdaya air tidaklah semudah seperti komoditi atau input lainnya. Alokasi sumberdaya air yang dilakukan di DI Jatiluhur tidak mengikuti salah satu mekanisme diatas tetapi merupakan kombinasi dari beberapa mekanisme alokasi. Hal ini disebabkan sektor pengguna air yang tidak dapat dikategorikan sebagai ”pembeli murni”, begitu juga PJT II yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai pengelola bukanlah ”penjual murni”. Mekanisme alokasi sumberdaya air DI Jatiluhur merupakan kombinasi antara mekanisme berbasis komunal dan publik untuk sektor pertanian, dan berbasis pasar untuk sektor non pertanian. Situasi di DI Jatiluhur hampir mirip dengan situasi pasar air irigasi yang terjadi di Amerika Baratdaya yang dikemukan oleh Randall (1981). Ekonomi sumberdaya termasuk sumberdaya air, seringkali menghadapi situasi pasar tidak sempurna, tanpa keseimbangan harga dan masalah keseimbangan dinamik yang kompleks, yang menyulitkan analisa. Namun banyak juga masalah sumberdaya yang berhasil diselesaikan dengan menggunakan model demand, supply, dan keseimbangan pasar yang sederhana, salah satunya masalah air irigasi di Amerika Baratdaya (Randall, 1987). Suplai air irigasi digambarkan sebagai garis vertikal, dimana suplainya dianggap inelastis sempurna yang tidak berubah karena perubahan harga pada selang waktu tertentu. Garis suplai air irigasi yang vertikal sangat tergantung pada curah hujan, run-off sungai, kapasitas saluran, evaporasi dan perembesan serta kapasitas penampungan air (waduk), dengan asumsi suplai air irigasi yang inelastis ini terjadi pada jangka pendek.
52
Ketika penambahan sarana penyimpanan dibangun, maka kurva suplai air irigasi akan bergeser ke kanan sesuai dengan sarana yang ditambahkan. Pergeseran terjadi hanya pada awal pembangunan waduk sampai dengan selesainya, namun setelah waduk beroperasi kurva suplai air irigasi tidak akan bergeser lagi. Permintaan air di wilayah ini dapat dibagi dalam 2 kategori besar, yakni pertanian dan urban. Permintaan air urban terjadi akibat pertumbuhan dan perkembangan wilayah perkotaan yang pesat, dan wilayah perkotaan ini mengandalkan air dari sistem sungai yang ada sama seperti pertanian. Pemukiman dan industri memberikan valuasi air lebih tinggi dari pada pertanian menyebabkan terjadinya kompetisi dengan pertanian. Harga SK
G
U
D
SO
P0
D
G
A
D
B
A
C
D
E
P1
0
Gambar 4.
U
Q0
U
Q1
A
Q1
A
Q0
Q
Volume (Q)
Transisi Mekanisme Alokasi Sumberdaya Air
Misalkan, DA menggambarkan permintaan air pertanian, DU permintaan air urban serta DG merupakan permintaan agregat keduanya dan air yang tersedia sebanyak Q . Jika mekanisme alokasinya dengan sistem antrian dan petani memiliki hak pemanfaatan lebih dulu (senior right), harga air untuk
53
pertanian sama dengan nol, dengan konsumsi sebesar Q0A . Konsumsi untuk urban merupakan sisa dari sektor pertanian sebayak Q-Q0A atau sebesar 0-QU0 . Ketika perdagangan antar sektor (dalam kelompok urban) diperbolehkan, harga untuk urban ditetapkan sebesar P0. Pada posisi awal, surplus petani sebesar P0 Q0A 0 dan surplus yang diperoleh urban sama dengan GF Qu0 0. Pemilik sumberdaya air memiliki surplus sebesar P0F Qu0 0 dengat net surplus sebesar P0FG.Jika trading antara dua pengguna (pertanian dan urban) diperbolehkan (sistem pasar), harga akan turun dari P0 menjadi P1, yang merupakan keseimbangan antara penawaran agregat dan permintaan agregat. Konsumsi untuk urban sebesar Q1U dan konsumsi untuk pertanian sebesar Q1A . Manfaat bersih yang diperoleh pertanian sebesar CD Q0A , sedangkan yang diperoleh urban sebesar FAB. Dampak akibat adanya trading sebesar FAB+ CD Q0A . Ternyata transisi ke sistem pasar akan memperbaiki kesejahteraan publik.
3.5. Valuasi Penggunaan Air 3.5.1. Valuasi Air Pertanian Dalam menghitung valuasi air yang digunakan sektor pertanian, pendekatan yang dilakukan menggunakan fungsi produksi pertanian dan air sebagai inputnya. Hal yang paling mendasar dalam mengestimasi permintaan air pertanian adalah fungsi produksi yang menghubungkan produksi tanaman dengan air dan input lainnya. Suatu model produksi air-tanaman yang ideal yaitu model yang fleksibel terhadap isu tanaman, lahan maupun daerah aliran sungai. Fungsi produksi yang peka terhadap perubahan kebijakan dan hasilnya mudah ditransfer ke lokasi lainnya, mudah pengoperasiannya, membutuhkan
54
sedikit data, mudah menyesuaikan pada berbagai kondisi pertanian, cukup lengkap sebagai estimasi pengaruh luar, serta interaksi antara kualitas dan kuantitas dan input air serta produksi output seimbang (Dinar dan Letey, 1999). Tabel 14.
Berbagai Fungsi Produksi Pertanian yang Dikembangkan pada Tahun 1977-2002
Model 1. Evapotranspirasi dan Transpirasi
Dikembangkan
Komoditi
Variabel
Doorenbos and Pruitt, 1977
padi, jagung, sorgum, alfalfa, kacang tanah, kacang-kacangan, bawang merah
kelembaban tanah, kondisi klimat, suplai air
Doorenbos and Kassam, 1979
23 komoditi
kelembaban tanah, suplai air dan kondisi klimat
Hanks and Hill,1980
Padi
Tingkat salinitas, kelembaban tanah, strategi irigasi Input air
2. Simulasi
Dinar and Letey,1996
Padi
Air tahunan,
a. PNUTGRO
Boote et al, 1989
Kacang tanah
b. SIMPOTATO
Jones and Kiniry, 1986
Kentang
c. CERES
Jones and Kiniry, 1986
Jagung
salinitas irigasi, koefisien sensivitas dan salinitas, evapotranspirasi.
d. SOYCROS
de Vries et al, 1992
Kedelai
3. Estimasi
Dinar and Letey ,1996 Gollehon dan Negri, 1993
Air sebagai kendala Air yang diberikan,
13 komoditi
Paris dan Knapp, 1989
keseragaman irigasi, salinitas.
Berck dan Helfand,1980 4. Hibrid Calibtrated Productions Equilibrium (CPE) 5. Fungsi respons
Howitt, 1995
Kedalaman tanah, tinggi dan kualitas air
Bouman and Tuong, 2000
Padi
hubungan antara air irigasi sebagai input , input lain fixed
Rodgers and Zaafrano,2002
Padi
hubungan antara air irigasi sebagai input , input lain fixed
Sumber : Berbagai sumber disarikan
Beberapa pendekatan fungsi produksi pertanian, yakni (1) model evapotranspirasi dan
transpirasi, (2)
model
simulasi, (3) model estimasi,
(4) model hibrida yakni kombinasi aspek dari ketiga tipe sebelumnya, serta (5) fungsi respons hasil tanaman terhadap pemberian air.
55
3.5.2. Valuasi Air Non Pertanian Penggunaan air non pertanian termasuk permintaan air untuk rumah tangga, industri, air minum, pembangkit tenaga listrik, pertambangan dan pabrik, rekreasi dan lingkungan. Kesulitan valuasi air non pertanian disebabkan antara lain (1) tidak adanya pasar air yang jelas, (2) tidak adanya saingan dan eksklusifitas dalam mengkonsumsi air, dan (3) mobilitas air yang menyulitkan penentuan harga. Terdapat dua cara penentuan valuasi air non pertanian, berdasarkan pasar dan non pasar.
3.5.2.1. Valuasi Berdasarkan Pasar Air merupakan barang nilai tambah, salah satu usaha untuk memberikan nilai kepada sumberdaya tersebut melalui water treatment sehingga untuk mencapai kualitas yang dikehendaki dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Penentuan harga yang tepat yang dapat menggambarkan biaya yang sebenarnya dan akan memberikan sinyal kepada user mengenai nilai daripada air melalui water pricing. Model sumberdaya air yang didasarkan pada water
pricing adalah marginal cost pricing (MCP). Mekanisme MCP didasarkan pada prinsip ekonomi bahwa alokasi sumberdaya air yang optimal secara sosial alah dimana manfaat sosial marjinal yang diperoleh dari konsumsi air setara dengan biaya sosial marjinal yang dikeluarkannya. Manfaat sosial marjinal dicirikan oleh kurva permintaan terhadap air, sementara biaya sosial marjinal yang menggambarkan kurva suplai air yang menunjukkan biaya yang harus dibayar oleh user untuk memproduksi satu unit tambahan air.
56
Biaya Marjinal dengan biaya lingkungan
(Rp)
PL Biaya Marjinal tanpa biaya lingkungan
P*
Manfaat Marjinal QL
Gambar 5.
Q*
Q (kuantitas)
Alokasi Optimal berdasarkan Marginal Cost Pricing
Biaya marjinal atas sumberdaya air ini termasuk biaya pengguna (user cost) atau biaya korbanan terjadinya deplesi sumberdaya air, biaya eksternal, seperti biaya lingkungan dan sebagainya. Dinar et.al. (1997) menyatakan bahwa mekanisme MCP memiliki beberapa kelebihan, antara lain mekanisme ini secara teoritis paling efisien dan dapat menghindari underpriced (penilaian di bawah harga) dan penggunaan berlebihan (overuse). Selain itu, MCP memiliki beberapa kelemahan antara lain aspek kesetaraan (equity), dimana masyarakat berpenghasilan rendah tidak dapat mengakses sumberdaya air terutama pada musim kemarau ketika air yang tersedia lebih sedikit dan harganya meningkat. Spulber dan Sabbaghi (1994) diacu dalam Fauzi (2004), kelemahan penggunaan MCP, antara lain (1) biaya marjinal bersifat multi dimensi yang menyangkut beberapa input termasuk kuantitas dan kualitas sumberdaya air, (2) biaya marjinal berbeda antara jangka pendek (short run marginal cost) dan jangka panjang (long run marginal cost), dan (3) biaya marjinal juga dipengaruhi oleh perubahan permintaan baik temporal maupun permanen.
57
Hartwick dan Olewiler (1998) melihat bahwa mekanisme MCP sulit diterapkan, karena suplai sumberdaya air terbatas sehingga penyedia air biasanya dilakukan dalam bentuk monopoli dengan struktur pasar monopolistik, sehingga alokasi yang efisien sulit dicapai.
3.5.2.2. Valuasi Berdasarkan Non Pasar Sumberdaya air termasuk salah satu sumberdaya yang pengelolaannya cukup unik, air sulit diperlakukan sebagai barang yang diperdagangkan (marketed goods). Penyediaan sumberdaya air dalam skala besar seperti pembangunan waduk, bendung dan jaringan irigasi tidak mungkin dilakukan secara privat tetapi diperlukan campur tangan pemerintah untuk mendanainya. Alokasinyapun dilakukan berdasarkan keputusan pemerintah, menurut Dinar et.al. (1997) menyatakan bahwa alokasi yang dilakukan publik atau pemerintah dapat menjawab aspek equity, dimana masyarakat miskin dapat mengakses sumberdaya air tersebut. Alokasi ini diringi dengan pemberian subsidi bagi wilayah yang memberikan nilai rendah terhadap sumberdaya air. Subsidi
inilah
yang
mengakibatkan
inefisiensi
terhadap
pemanfaatan
sumberdaya air, karena adanya faktor ”hidden cost” dimana subsidi tidak menggambarkan
opportunity
cost
yang
sebenarnya
dari
pengelolaan
sumberdaya air. Kelima faktor yakni kondisi DAS, indeks kelangkaan air, kriteria alokasi sumberdaya air dan mekanisme alokasi sumberdaya air serta valuasi alokasi sumberdaya air, yang telah diuraikan diatas merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk model pengelolaan sumberdaya air. Kondisi suatu DAS perlu diketahui terlebih dahulu agar dapat mengindentifikasi keadaan sumberdaya air di wilayah tersebut dan menentukan keputusan yang terbaik dalam pengelolaan sumberdaya air di wilayah tersebut.
58
Kondisi DAS aktual menggambarkan tahapan pengembangannya, yang berhubungan
dengan
ketersediaan
sumberdaya
air
dan
finansial yang
dibutuhkan. Tahapan pengembangan menjadi lebih lengkap dengan adanya pengukuran indeks kelangkaan. Indeks kelangkaan ini menunjukkan apakah wilayah tersebut sudah menghadapi permasalahan kelangkaan sumberdaya air dan sampai sejauh mana kelangkaan tersebut berpengaruh pada pengelolaan sumberdaya air yang ada. Bila indeks kelangkaan air menunjukkan telah terjadi kelangkaan air, alokasi bagaimana yang sebaiknya dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya air di wilayah tersebut dengan mempertimbangkan aturan alokasi sumberdaya serta mekanisme yang sesuai dengan kondisi yang ada. Valuasi terhadap sumberdaya air yang telah dikonsumsi baik sebagai input maupun sebagai barang akhir (final goods), berperanan penting dalam menilai sumberdaya air yang telah digunakan, karena sumberdaya air merupakan aset yang mempunyai arti ekonomi. Adanya valuasi terhadap air menandakan bahwa air bukan merupakan barang bebas tetapi sudah menjadi barang ekonomi dan memiliki nilai pasar. Setelah memahami kondisi yang ada di wilayah yang akan diteliti barulah pemodelan pengelolaan sumberdaya air dilakukan dengan mempertimbangan sehingga model yang dihasilkan benar-benar sesuai dan merupakan gambaran wilayah tersebut, baik ketersediaan airnya maupun sektor-sektor yang terlibat di dalamnya. Keputusan yang diambil merupakan keputusan yang dapat memenuhi kriteria yang telah dikemukan diatas.
IV. MODEL ALOKASI SUMBERDAYA AIR Pada bagian sebelumnya telah diuraikan bahwa alokasi sumberdaya air merupakan tindakan ekonomi yang menghasilkan benefit maupun biaya. Pengelolaan sumberdaya air khususnya air permukaan dimana penggunanya beragam dan wilayahnya sangat luas membutuhkan suatu pemodelan yang dapat digunakan dan menghasilkan benefit yang optimum bagi pengguna maupun pengelola. Pengguna yang beragam dengan pandangan yang berbeda dalam memberikan valuasi terhadap sumberdaya air memerlukan pendekatan dari berbagai bidang, agar dapat dibangun suatu model yang terintegrasi dan mencakup semua bidang yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya air. Pengguna sumberdaya air dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yakni yang memperlakukan sumberdaya air sebagai barang publik (sektor pertanian) dan memperlakukan sebagai barang ekonomi (sektor non pertanian atau urban). Pemodelan tingkat DAS merupakan suatu alat pemodelan yang dapat mengintegrasikan kompleksitas pengelolaan sumberdaya air dalam suatu kerangka analisa yang terintegrasi yang dapat memberikan arahan dan keputusan bagi pengelola sumberdaya (Mc Kinney et.al., 1999, Rodgers dan Fiering, 1986). Model-model pengelolaan air telah banyak dihasilkan, baik dengan model simulasi maupun optimasi. Model optimasi inipun ada dua macam yakni optimasi statik dan optimasi dinamik. Model statik biasanya merupakan potret keadaan waktu dilakukan penelitian tersebut tanpa mempertimbangkan sifat sumberdaya air yang selalu berubah dan dipengaruhi keadaan antar waktu. Sedangkan model dinamik mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya antar waktu akibat
60
keputusan yang diambil. Selain itu, ada juga yang menggabungkan keduanya antara model simulasi dan optimasi. Tantangan yang dihadapi pengelolaan air di DAS meliputi perkembangan industri dan kota yang cepat, yang meningkatkan permintaan air keduanya dan berkompetisi langsung dengan sektor pertanian. Selain itu, pencemaran oleh industri dan limbah domestik yang terus meningkat dan dibuang langsung ke badan air tanpa perlakuan terlebih dulu, menimbulkan tekanan dalam mengalokasikan air ke sektor-sektor pengguna. Permasalahan sumberdaya air saat ini adalah alokasinya antar sektor yang diakibatkan perkembangan perkotaan dan industri serta beralihnya lahan pertanian menjadi non pertanian. Model yang sesuai dengan fenomena yang ada yakni optimasi dinamik. Model optimasi statik seperti yang dilakukan Tim Penelitian dari Balitanak Departemen Pertanian yang dikenal dengan Hydrological Management and Optimation Model (Hymop). Model dinamik seperti yang dilakukan Syaukat (2000) tentang pengelolaan air tanah di DKI Jakarta, Ringler et.al. (2000) di DAS Brantas dan Dong Nai, model yang dikembangkan Rosegrant et.al. (2001) di Maipo Basin Chili; Optimasi Laut Aral, yang dipaparkan oleh Cai et.al. (2002 dan 2003). Aktivitas yang dipertimbangkan dalam model optimasi Ringler et al. (2000), meliputi produksi pertanian, luas lahan, alokasi ke sektor-sektor pengguna air serta proses hidrologi. Model akan memilih alokasi air optimal ke sektor-sektor pengguna dan khusus untuk pertanian, luas lahan yang akan diairi serta produktivitas masing-masing lahan. Kompleksitas dalam alokasi air dan penggunaannya juga dihadapi di Dong Nai Basin dan DAS Brantas yang dikemukakan Ringler et.al. (2000), membutuhkan suatu pendekatan holistik pada perencanaan dan pengelolaan
61
sumber daya air untuk mencapai suatu manfaat optimal yang seiring dengan waktu, efisien, dan pemerataan. Keputusan alokasi dan pemakaian air dipengaruhi faktor di luar DAS, yakni
kebijakan
pajak
di
tingkat
nasional
yang
berhubungan
dengan
pengembangan irigasi, pengoperasian, pemeliharaan, kebijakan harga input dan output pertanian, trend pengeluaran irigasi dan sumberdaya air, kegiatan ini dapat memperkuat atau mengurangi efek kebijakan pada tingkat DAS. Kebijakan tingkat nasional merupakan fokus kedua pada kebijakan ini. Tujuannya mengintegrasikan kedua analisis ini untuk menjawab pertanyaan bagaimana kebijakan harga dan pajak pertanian pada tingkat nasional dikombinasikan dengan kebijakan alokasi air yang secara bersama mempengaruhi produktivitas pertanian dan kualitas lingkungan. 4.1. Konsep Benefit dalam Alokasi Sumberdaya Air Benefit yang dihasilkan akibat ekstraksi sumberdaya diukur dengan menggunakan konsep surplus. Surplus merupakan selisih antara manfaat kotor (gross benefit) dan biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mengekstraksi sumberdaya alam. Green (1992) memandang bahwa menggunakan pendekatan surplus untuk mengukur manfaat sumberdaya alam merupakan pengukuran yang tepat karena pemanfaatan sumberdaya dinilai berdasarkan alternatif penggunaan terbaiknya (best alternative use). Aspek intertemporal bagi konsumen menyangkut preferensi waktu (time preference), atau membandingkan manfaat ekonomi dari sumberdaya alam dalam waktu yang berbeda. Salah satu kunci penentuan pengambilan keputusan yang bersifat intertemporal tersebut melalui proses discounting atau discount rate. Proses discounting menunjukkan perilaku masyarakat terhadap ekstraksi sumberdaya dan menilai sumberdaya tersebut (Hanley dan Spash, 1995).
62
Sumberdaya
air
permukaan
merupakan
sumberdaya
yang
dapat
diperbaharui, ditandai dengan masuknya air (inflow) ke waduk setiap saat. Konsep benefit sumberdaya yang dapat terbarukan berbeda dengan yang tidak dapat terbarukan. Jika discount rate pada periode t yang disimbolkan δ, merupakan pure preference time atau yang biasa dikenal sebagai interest rate. Sedangkan discount factor biasanya digunakan untuk menghitung nilai sekarang dari sumberdaya, maka hubungan antara discount factor dan discount rate adalah sebagai berikut
r=
1 (1 + d)
(1)
Jika Yt merupakan tingkat ekstraksi sumberdaya pada periode t, Xt adalah stok sumberdaya maka perubahan stok sumberdaya akibat ekstraksi yang dilakukan
X t + 1 - X t = F (X t )- Yt
(2)
dimana F(Xt) adalah fungsi pertumbuhan sumberdaya atau inflow ke waduk pada sumberdaya air permukaan, dengan asumsi bahwa fungsi pertumbuhan pada periode t ke t+1 lebih besar. Diasumsikan juga bahwa fungsi pertumbuhan kontinyu pada turunan pertama maupun turunan kedua, dan stok awal (X0) diketahui, maka net benefit dari ekstraksi sumberdaya adalah
p t = p (X t , Yt )
(3)
Fungsi net benefit inipun kontinyu baik pada turunan pertama dan kedua. Xt dimasukkan dalam fungsi net benefit karena stok yang lebih besar akan berakibat menambah biaya penyimpanan selama menunggu ekstraksi atau karena nilai yang terkandung dalam sumberdaya tersebut. Ekstraksi terbaik dilakukan pada saat present value net benefit maksimum,
63
T
Maksimumkan
p = å r ¢p (X t , Yt )
(4)
t= 0
X t + 1 - X t = F (X t )- Yt
dengan kendala
(5)
dimana X0 given. Jika λt disebut Lagrange multipliers, atau shadow price yang merupakan nilai marjinal setiap tambahan Xt, persamaan (4.5) dikalikan dengan ρt-1λt+1, fungsi Lagrangian menjadi T
L = å r t {p (X t , Yt )+ r l t + 1 éëX t + F (X t )- Yt - X t + 1 ùû}
(6)
t= 0
Untuk mendapatkan nilai optimal dari ekstraksi (Yt), stok (Xt) dan shadow price, maka dicarilah turunan pertama parsial dari fungsi Lagrangian respek terhadap ketiganya, dan diperoleh
¶L = rt ¶ Yt
{
¶ p (g) ¶ Yt
}
- r l t+ 1 = 0
(7)
maka ¶ p (g) ¶ Yt
dimana
= r l t+ 1
¶ p (g) ¶ Yt
(8)
disebut marjinal net benefit atau tambahan benefit akibat
penambahan ekstraksi pada periode t, atau disebut juga opportunity cost . Sedangkan r l t + 1 disebut juga future cost, biaya yang akan ditanggung pada masa mendatang karena keputusan ekstraksi hari ini atau user cost. Ektraksi optimal terjadi pada saat opportunity cost sama dengan user cost. ¶L ¶ Xt
maka
= rt
{
¶ p (g) ¶ Xt
}
t t - r l t + 1 éë1 + F ¢(g)ù û- r l = 0
(9)
64
lt=
{
¶ p (g) ¶ Xt
}
- r l t + 1 éë1 + F ¢(g)ù û
(10)
Sumberdaya dikelola secara optimal ketika nilai setiap pertambahan unit sumberdaya pada periode t l t , sama dengan marjinal benefit pada periode t ¶ p (g) ¶ Xt
, ditambah dengan marjinal benefit jika tidak melakukan ekstraksi pada
periode berikutnya r l t + 1 ëé1 + F ¢(g)ù û. ¶L = ¶ éëêr l t+ 1 ùûú
r ¢{X t + F (X t )- Yt - X t + 1}= 0
(11)
maka
X t + 1 = X t + F (X t )- Yt
(12)
setelah dilakukan berbagai substitusi aljabar, akhirnya diperoleh
F ¢(X )+
Persamaan
¶ p (g) ¶X ¶ p (g) ¶Y
(13)
=d
merupakan
(13)
persamaan
fundamental
dari
sumberdaya
terbarukan, dimana F’(X) dapat diintepretasikan sebagai marginal net growth rate atau disebut juga marginal stock effect yang mengukur nilai marjinal stok relatif terhadap nilai marjinal ekstraksi. Nilai optimal X dan Y bila internal rate return sama dengan discount rate δ. 4.2. Fungsi Respons Dalam alokasi sumberdaya air dimana pengguna dari sumberdaya air tersebut tidak tunggal, maka untuk memperoleh besarnya benefit sosial dari alokasi sumberdaya dilakukan pendekatan menurut pengguna dari sumber daya tersebut. Sektor pertanian merupakan sektor pengguna air terbesar, untuk melihat seberapa besar benfit yang diperoleh sektor tersebut akibat penggunaan sumberdaya air, perlu dikaji fungsi produksi yang digunakan.
65
Terdapat beberapa cara pendekatan menggambarkan hubungan antara input yang diberikan dengan produksi padi yang dihasilkan, diantaranya fungsi produksi bentuk kuadratik seperti yang dilakukan Ringler (2000), maupun fungsi respons.
Fungsi respons hasil padi terhadap air yang diberikan yang telah
dikembangkan oleh Bouman and Tuong (2000), kemudian disempurnakan oleh Rodgers dan Zaafrano (2002) dalam melihat respons hasil padi terhadap input air. Fungsi respons merupakan pengembangan dari fungsi produksi, yang khusus memperhatikan hubungan antara air irigasi sebagai input dan hasil tanaman tersebut. Terdapat 3 fungsi respons hasil padi terhadap air yang diberikan (Bouman dan Toung, 2000), yakni: (1) Efek penjadwalan, kepastian dan frekuensi kekeringan terhadap hasil padi dengan analisa berdasarkan data kekeringan. Kekeringan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana tidak tersedianya air di zone perakaran dalam kondisi jenuh. Intensitas kekeringan digambarkan melalui air tanah potensial dalam zone perakaran. (2) Hubungan antara penyimpanan air dan pengurangan hasil dengan menggunakan data kuantitatif dari berbagai percobaan yang telah dilakukan. Ketika percobaan percobaan diperluas kondisinya, tingkat hasil dan input air tidak dapat dibandingkan. hasil relatif dan air relatif dihitung dengan normalisasi hasil/input air dalam kekeringan atau penjenuhan air dengan perlakuan berdasarkan acuan (dalam persen). Acuan perlakuan antara lain penggenangan air dengan ketinggian 5 – 10 sentimeter, yang merupakan ketinggian optimum pada pertumbuhan padi (de Datta, 1981 dan Anbumozhi et.al., 1998). (3) Hubungan antara hasil dan input air, sesuai dengan prinsip produksi, prinsip penurunan hasil (the law of diminishing returns) pada kelangkaan input
66
dalam produksi pertanian (De Wit, 1992) : hasil akan menurun dengan penambahan input (dalam kasus ini air) dan peningkatan input lainnya (nutrisi dan radiasi) menjadi terbatas. Bouman and Toung (2000) mengemukakan bahwa air merupakan input penting dalam memproduksi padi, karena bukan saja dibutuhkan langsung oleh tanaman tetapi teknologi dalam usahatani padi mensyaratkan air sebagai perantaranya. Kekurangan air dapat menurunkan produksi padi secara signifikan, karenanya dalam produksi padi input yang harus ada adalah air. Pemahaman ini yang menyebabkan Bouman and Toung (2000) menurunkan fungsi respons hasil padi terhadap air irigasi yang diaplikasikan.
(
(b(water input- c))
yield = a - 1
)
(14)
dimana yield adalah hasil aktual padi, a adalah hasil potensial (yang diperoleh dari CO2, radiasi matahari, temperatur, dan karateristik tanaman (Rabbinge, 1993), dan b efisiensi penggunaan faktor. c menggambarkan jumlah faktor input minimum teoritis yang dibutuhkan untuk hasil keseluruhan. Untuk air, jumlah ini sedikit lebih tinggi dibanding evapotranspirasi (ET) kumulatif dalam tahap pertumbuhan, diperkirakan sekitar 300 mm. Hasil penelitian Bouman dan Toung, air yang dibutuhkan selama masa pertumbuhan padi untuk setiap tahapnya sekitar 300 mm - 700 mm per hektar per dua minggu, namun untuk aplikasinya disesuaikan dengan iklim dan struktur tanah masing-masing wilayah. Hasil disini menunjukkan gabah yang dihasilkan setiap hektarnya. Input air adalah penjumlahan curah hujan efektif dan aplikasi irigasi dari penanaman sampai panen, atau dari penaburan benih sampai panen untuk penanaman langsung.
Tahap
pertumbuhan
didefinisikan
mulai
penaburan
pembungaan, dan tahap reproduksi dari pembungaan sampai panen.
sampai
67
Hasil (ton/ha)
10
8
6
4
2
500
Gambar 6.
1000
1500
2000
2500
3000
Input Air (mm)
Hubungan Hasil dan Input Air di Berbagai Negara.
Gambar 6 menunjukkan hubungan antara hasil dan input air, merupakan data dari percobaan di India (N=99); data dari percobaan di Filipina; x data dari percobaan di Jepang (N=40), dengan mengunakan fungsi respons hasil , nilai a dan b seperti yang diberikan digambar, c = 300. Kemudian Rodgers dan Zaafrano (2002) mengembangkan model diatas, dan menghubungkannya dengan koefisien respons hasil padi seperti yang ditetapkan FAO. Bentuk fungsi responsnya menjadi
æ ö {- b (W - W0 )}÷ YA = YP .çç1 - e ÷ è ø
(15)
dimana :
YA YP e β W W0
= hasil aktual (kg/ha) = hasil potensial tanpa kekurangan air (kg/ha) = bilangan alam = koefisien respons hasil terhadap air (parameter) = air yang diaplikasikan (mm) = batas bawah pemberian air yang tidak menghasilkan (300 mm/ hektar)
68
Produksi potensial (YP) merupakan produksi padi per hektar yang dapat dicapai berdasarkan benih dan input lain yang diberikan termasuk air irigasi. Sedangkan produksi aktual (YA) merupakan produksi yang dicapai petani akibat musim yang berhubungan langsung dengan ketersediaan air. Koefisiens respons (β) merupakan koefisien respons tanaman terhadap ketersediaan air, untuk tanaman padi oleh FAO ditetapkan lebih besar dari 1.15 pada masa pertumbuhan (mulai penanamanan sampai dengan masa awal berbunga). Air yang diaplikasi (W) merupakan banyaknya air yang disuplai dari bendung ke petak sawah, dan W0 merupakan syarat kebutuhan minimum air irigasi padi untuk dapat berproduksi. Fungsi respons ini telah diterapkan tim peneliti IFPRI dalam model integrasi di DAS Brantas. 4.3. Model-model Pengelolaan Sumberdaya Air 4.3.1. Model Dong Nai Basin Pemodelan Dong Nai Basin menetapkan provinsi sebagai unit pemodelan major dalam DAS, sedangkan pada model DAS Brantas sebagai unit pendekatan adalah wilayah sub DAS. Asumsi yang digunakan sama bahwa apabila telah terjadi optimal di unit pemodelan maka keseluruhan wilayah akan optimal. Komponen model terdiri atas (1) komponen hidrolis, termasuk keseimbangan di waduk, sungai, dan areal irigasi, (2) komponen ekonomi termasuk penghitungan benefit pemakaian air tiap sektor, sisi permintaan dan negara, dan (3) aturan institusional dan insentip ekonomi yang merupakan akibat komponen hidrolis dan ekonomi. Fungsi tujuannya, memaksimumkan net profit tahunan akibat pemakaian air irigasi, munipical, industri dan PLTA, yang diformulasikan sebagai berikut
69
Max obj =
∑ VA(agdm) + ∑ VM (muval )
agdm
muval
+ ∑ VI (indm) + indm
(16)
∑ VP( powval ) powval
dimana :
VA VM VI VP agdm muval indm pwval
= net profit irigasi = net benefit dari pemakaian air munipical = net profit dari sektor industri = net profit dari PLTA = indeks wilayah pertanian = indeks wilayah munipical = indeks wilayah industri = indeks wilayah PLTA
Untuk menentukan alokasi air ke sektor pertanian, dengan melihat hubungan antara input-input dan air yang diberikan terhadap hasil pertanian, dipilih fungsi kuadratik
dengan
mempertimbangkan
penurunan
hasil
marjinal
akibat
penambahan atau substitusi input (the law of deminishing return) n
yst (ac) =
å
wn xi + g mn xn xi
(17)
i= 1
dimana :
ω, γ = koefisien input m,n x
=
jenis input
=
input
Selain hubungan antara input dan produksi tanaman, dilihat juga hubungan antara kekurangan air terhadap hasil aktual, yang dikembangkan oleh FAO, dari hasil pemodelan Doorenbos dan Kassam (1979) serta Doorenbos dan Pruitt (1977), yang dianggap sebagai penalti apabila terjadi kekurangan air
ylda = yldst *(1- ky )*
1- ETa ETm
(18)
dimana :
ylda = yldst =
hasil aktual (adanya penekanan air) (mt/ha) hasil maksimum yang diperoleh dari fungsi kuadrat (mt/ha)
70
ETa = ETm = ky =
evaporatranspirasi aktual (mm) evapotranspirasi potensial (mm) koefisien tanaman musiman
Benefit irigasi (VA)
⎡ A ( a, c, tp, t ) * ylda ( a, c, tp, t ) * pc ( a, c, tp, t ) − ⎤ ⎢ ⎥ VA(a ) = ∑ ⎢( lc ( a, c, tp, t ) + mc ( a, c, tp, t ) + fc ( a, c, tp, t ) + pec ( a, c, tp, t ) ) − ⎥ (19) a ,c ,tp ,t ⎢ ⎥ ⎣⎢W ( a, c, tp, t ) * pw ( a, c, tp, t ) ⎦⎥ dimana :
A ylda pc lc fc mc pec W a c t tp
= = = = = = = = = = = =
luas panen hasil panen aktual dari fungsi FAO harga komoditi upah tenaga kerja (US$/MD) harga pupuk (US$/kg) mesin dan hewan (US$/ha) pestisida (US$/ha) biaya suplai air permukaan dan air tanah (US$/m3) wilayah irigasi jenis komoditi/tanaman periode musim tanam
Begitu juga dengan benefit sektor domestik (VM), yang diturunkan dari invers fungsi permintaan air, yang diestimasi dengan fungsi double log
ln (mwd )= a + b ln (I )- e ×ln (Pmwd )
(20)
dimana :
mwd =
α
=
I = Pmwd =
β ε
= =
permintaan air per kapita (m3/kapita) konstan pendapatan per kapita (US$/kapita/bulan) harga air (US$/m3) elastisitas pendapatan elastisitas permintaan
Invers fungsi permintaan diatas diintegrasikan menggantikan nilai mwd0-W untuk mengestimasi surplus konsumen
71
CS = VM (mundm)= e(
a e)
å
×I ( 1- 1 e
(
urban , rural , pd , pop
b e)
)
(1- 1 ) (1- 1 ) × mwd (mundm) e - mwd 0 (mundm) e (21)
{
}
- mwd (mundm)* Pmwd dimana :
CS mwd
= =
surplus konsumen (juta US$) permintaan air per kapita (m3/kapita), dipisahkan antara air tanah dan air permukaan permintaan air normal per kapita (m3/kapita)
mwd0 = Pmwd = harga air di kota dan desa, air tanah dan permukaan (US$/m3) e = bilangan natural
Air dipakai industri sebagai salah satu input untuk menghasilkan suatu produk, di Dong Nai Basin maupun DAS Brantas terdapat bermacam-macam industri sehingga sulit untuk menentukan fungsi produksi masing-masing industri. Pendekatan yang dilakukan sama dengan pada munipical, dengan melihat hubungan antara air yang diminta dengan harga air baku. Net Benefit Industri (VI) merupakan benefit yang dihasilkan karena pemakaian air industri, sama halnya dengan permintaan air domestik, merupakan consumer surplus.
ln (iwd )= m- q ln (Piwd )
(22)
dimana :
iwd
θ Piwd
= permintaan air industri (m3/bulan) = elastisitas permintaan air industri = harga air industri (US$/m3)
⎡⎛ (μ θ ) ⎞ ⎤ ⎢⎜ e ⎟ * ⎛ iwd (1− 1θ ) − iwd (1− 1θ ) ⎞ ⎥ n ⎜ ⎟⎥ θ ⎠ VI ( indm ) = ∑ ⎢ ⎜⎜ 1 − 1 ⎟⎟ ⎝ ⎢ ⎥ θ ⎝ ⎠ indm , pd ⎢ ⎥ ⎣⎢ − ( iwd * Piwd (t ) ) ⎦⎥
(
)
dimana :
VI
μ
= Net Benefit penggunaan air industri = konstanta penggunaan air industri
(23)
72
iwdθ = permintaan normal air industri (m3/bulan) e = bilangan natural Untuk mengestimasi produksi listrik, tahap pertama menentukan efisiensi pembangkit tenaga listrik dengan data penyaluran dan produksi listrik harian. Profit produksi listrik (VP) dihitung dengan fungsi linier, produksi listrik (pow) dikalikan dengan selisih harga listrik (pp) dan biaya produksi per pembangkit listrik (pc)
VP ( pw)= Pow ( pw)×{pp ( pw)- pc ( pw)}
(24)
Suplai air terkendala oleh keseimbangan air dalam sistem, permintaan air ditetapkan endogen dalam model yang didasarkan pada hubungan fungsional antara air dan penggunaan air produktif pada sektor pertanian irigasi, domestik, industri dan PLTA. Penggunaan air sebagai dasar tujuan memaksimisasi benefit ekonomi, yang merupakan akumulasi penggunaan air pada sektor-sektor pemakai air. Selain air disalurkan untuk memenuhi permintaan, lingkungan mensyaratkan aliran minimum yang dipertahankan di seluruh jaringan, guna pemeliharaan saluran dan pengendalian interupsi air laut. Horison waktu yang digunakan selama setahun dengan 12 bulan tahap pengambilan keputusan, dengan periode bulanan sedangkan di DAS Brantas dilakukan juga selama setahun dengan periode 10 harian. Node merupakan infrastruktur air dapat berupa waduk, bendung, pintu sadap dan bagi serta pintu pembagi air. Jaringan node menggambarkan suatu hubungan spatial antar bangunan fisik air yang ada di basin, yang menghubungkan antara sungai (saluran), dengan waduk, bendung dan wilayah permintaan. Inflow ke node mencakup aliran dari sungai-sungai yang ada di basin maupun curah hujan yang terjadi di wilayah tersebut. Keseimbangan aliran (flow) dihitung pada masing-masing node setiap periode sedangkan pemindahan
73
atau transfer aliran dihitung berdasarkan ruang yang terhubung dalam jaringan. Return flow merupakan air sisa pemakaian dari sektor pengguna, dan dimanfaatkan kembali oleh sektor lainnya di wilayah hilirnya, biasanya air yang ada di saluran pembuangan atau drainase. Aktivitas
alokasi
air,
dikendalai
oleh
beberapa
kondisi,
antara
keseimbangan, transfer air dan kapasitas saluran maupun bendung atau waduk. 1. Kendala keseimbangan dan transfer dari sungai
∑ ( rn _ up , rn , pd ) + source ( rn , pd )
( rn _ up , rn )
∈ RVLINK
+
∑
res _ n _ t ( rev , r , pd ) +
( rev − rn ) ∈ RNLINK
+
∑
( sec − rn )
retn _ fl ( sec , pd )+ =
∈ DNLINKs
∑
( rn − rev )
∑
res _ n _ sp ( rev , rn , pd )
( rev − rn ) ∈ RNLINK
∑
( rn _ rn − lo )
(25) flow ( rn , rn _ lo , pd ) +
∈ RVLINK
n _ res ( rn , rev , pd ) +
∈ NRLINK
∑
( rn − agdm )
n _ s ec ( rn , sec , pd ) +
∈ ND LINKs
2. Return Flow dari Sisi Permintaan
retn _ fl ( sec ) = ∑ dp _ stg ( sec , pd ) * drn ( sec ) + crop
⎡ ∑ res _ d ( rev , sec , pd ) + ⎤ ⎢ rev − sec ⎥ ⎢∈RDLINKs ⎥ * loss ( sec ) − (1 − reloss ) ⎢ ∑ n _ d ( rn , sec, pd ) ⎥ ⎢ rn − sec ⎥ ⎣∈ NDLINKs ⎦
(26)
3. Keseimbangan Flow di Resevoir
res _ st ( rev , pd − 1) +
∑
res _ res ( rev _ up , rev , pd ) +
( rev _ up − rev ) ∈RRLINK
∑
n − res ( rev , rn , pd ) = res _ st ( rev , pd )
( rn − rev ) ∈ NRLINK
+
∑
( rev − rev _ lo ) ∈RRLINKL
∑
( rev − rn ) ∈RNLINK
res _ res ( rev , rev _ lo , pd ) +
∑
( rev − sec ) ∈RDLINKs
res _ n ( rev , rn, pd ) + r _ evap ( rev , pd )
(27)
res _ ds ( rev , sec , pd )
74
4.3.2. Brantas Simulation Optimation Model Model DAS Brantas dikembangkan dari model simulasi optimasi Maipo Basin, Chili yang digambarkan Rosegrant et.al. (2000), dan dilakukan dalam waktu yang bersamaan dengan Model Dong Nai Basin Fungsi tujuan dari model integrasi ini adalah sebagai berikut
⎧ Z = 0.001. ⎨∑∑∑ cvalir ,c ,tp + ∑∑ P _ hprhr ,t .24.ndt hr t ⎩ ir c tp indval ⎫ + ∑∑ P _ hpd hp ,t .24.ndt + ∑ muvalmu + ∑ ⎪ hp t mu id 1000 ⎪ ⎬ ⎪ − ∑ penaltyr ⎪⎭ r
(28)
Fungsi tujuan merupakan kombinasi fungsi penerimaan yang diperoleh dari pemakaian air. Net profit basin merupakan penjumlahan dari penerimaan neto pertanian irigasi (cval), pembangkit tenaga listrik (P_hpr, P_hpd), munipical (muval) dan industri (indval), dikurangi dengan penalty dari kelebihan penyaluran dari waduk selama musim kering. Selanjutnya, tujuan kualitas air atau standar juga dimasukkan dalam model secara langsung sebagai kendala aliran minimum. Fungsi tujuan merupakan bentuk umum fungsi profit (digunakan pada pertanian irigasi dan pembangkit tenaga listrik) kontribusi air dihargai sebagai input dalam produksi yang menghasilkan output dengan nilai pasar; dan fungsi benefit (digunakan pada munipical dan industri) yang menggambarkan nilai air yang digunakan untuk konsumsi domestik dimana tidak ada produk bernilai pasar yang dihasilkan; tetapi pemakaian untuk suatu aktivitas yang bernilai ekonomi. Perhitungan benefit sosial maupun benefit/profit sektor pengguna air maupun kendala dalam model ini sama dengan Model Dong Nai Basin, perbedaan pada periodenisasinya 10 harian dan tahapan analisa. Kendala alami maupun kondisi keterbatasan infrastruktur sama dengan kendala pada Dong Nai Basin Model, pada Brantas simulation optimization
75
model menambahkan kendala penalty, untuk mengantisipasi penyimpangan diuraikan operasional resevoir, merupakan variabel positif pen r,t dengan
penr,t = min_volr,t – res_str,t
(29)
penr,t > min_volr,t – res_str,t
(30)
penrt – pen’rt > 0
(31)
penr,t2 < pen’r,t2
(32)
Penalti penyimpanan (min_volrt) didapatkan setiap bulan, tertinggi pada musim kering dan 0 pada musim penghujan, merefleksikan cadangan yang cukup untuk syarat munipical pada penyimpangan peralihan musim hujan ke musim kering. Kendala ini menjamin bahwa volume penalti adalah 0 jika penyimpanan tidak melewati batas penalti, dan selalu positif, hasil finansial penalti diperoleh
penaltir = ∑ rp _ 2. penr ,t
(33)
t
dimana
rp_2
=
harga air munipical dalam rp per m3.
Komponen struktur jaringan model Brantas didasarkan pada konfigurasi model operasional resevoir WRMM (Binnie & Partners, 1999) dan RBAM (Optimal Solutions Ltd, 2000), yang dilakukan Perum Jasa Tirta. Model jaringan aliran terdiri dari sungai, tempat penyimpanan air, kontrol, pembagian dan abstraksi
(bendung, resevoir, pintu air, bendung kecil) dan sisi permintaan
(irigasi, munipical, industri dan PLTA). Tiap elemen dihubungkan dengan pola aliran yang ada, baik dengan saluran alami maupun buatan. Aliran yang masuk ke sistem termasuk curah hujan, dan model dibatasi oleh kondisi kapasitas penyimpanan, saluran, pembuangan (spillway) merupakan kendala model.
76
Waduk berbeda dengan bendung, ketinggian air di waduk bervariasi setiap waktu sedangkan ketinggian air di bendung lebih stabil/konstan. Penyimpanan sekarang ditambah outflow ke hulu sungai dan pembangkit tenaga listrik sama dengan penyimpanan akhir periode sebelumnya ditambah inflow dari hilir sungai, return flow dan sistem inflow. Outflow langsung ke hilir sungai melalui spilway pada keadaan darurat, pembuangan melalui spillway biasanya selama bulan Desember – Februari. Kendala ini juga merupakan state variable dalam model optimasi ini. Horison waktu model ini setahun mulai bulan Oktober sampai dengan September, dengan periode waktunya 10 harian. Periodenisasi ini disesuaikan dengan musim tanam yang ada serta sistem hidrolis yang selalu berubah setiap jam. 4.3.3. Model Alokasi Air untuk Wilayah Jakarta Model alokasi air untuk wilayah Jakarta dikemukakan oleh Syaukat (2000). Fungsi tujuannya menghitung present value net social benefit pada PAM Jaya dan semua pemakai air dari penyediaan dan konsumsi sejumlah air pipa dan air tanah, biaya neto dan privatisasi PAM, dengan kendala aspek hidrolis dan ekonomis dari suplai dan konsumsi serta infrastruktur PAM. Net benefit social adalah perbedaan antara total benefit dari konsumsi air dan total biaya penyediaan sejumlah air. Total benefit yang diterima dan total biaya yang dikeluarkan PAM Jaya dan pemakai air. Present value net social benefit sama dengan penjumlahan total benefit pemakai air dan total benefit PAM Jaya dikurangi total biaya konsumsi pemakaian air pipa dan air tanah untuk semua pemakai air dan total biaya produksi air PAM. Present value net social benefit menggambarkan perbedaan antara total benefit untuk semua pemakai air dan total biaya produksi air pipa dan
77
pengambilan air tanah. Present value net social benefit pada horison waktu digambarkan dalam persamaan
NSB ( yijk ( t ) , gijk ( t ) ,V ( t ) , S ( t ) , K1 ( t ) , K2 ( t ) , I1 ( t ) , I 2 ( t ) , q ) = ⎧ ⎪2 5 2 dijk ⎡ 2⎤ yijk ( t ) ⎥ ⎪∑∑∑12 nijk ( t ) ⎢cijk yijk − 2 ⎣ ⎦ ⎪ i =1 j =1 k =1 ⎪ 2 5 2 d ⎡ ⎤ ⎪+∑∑∑12 nijk ( t ) ⎢cijk yijk − ijk gijk ( t )2 ⎥ ⎪ i=1 j =1 k =1 2 ⎣ ⎦ ⎪ ⎡cijk ( yijk ( t ) + gijk ( t ) ) ⎤ ⎪ 2 5 2 ∞ ⎢ ⎥ t ⎪ β ⎨+∑∑ ∑12 nijk ( t ) ⎢ d ∑ 2⎥ ijk t =0 ⎪ i=1 j =1 k =1 ( yijk (t ) + gijk ( t ) ) ⎥⎦ ⎢− ⎣ 2 ⎪ 2 5 2 ⎪ 2 5 2 ϕijk −ψ ijk ⎪−∑∑∑12 nijk ( t )ηijk S ( t ) gijk ( t ) − ∑∑∑12 nijk ( t ) FCwellijk i =1 j =1 k =1 ⎪ i=1 j =1 k =1 ⎪ −γ −κ θ ⎞ ⎪ ⎜⎛ α K1 ( t ) V ( t ) + tK2 ( t ) ⎟ − { I ( t ) + I ( t )} − FC ( t ) ⎪12 ⎜ 1 2 PAM ω − K2 ( t ) ⎡ ⎤ ζ 1 e V t qV t − + ( ) ⎟⎟⎠ ⎪ ⎜ ⎣ ⎦ ( ) ⎩ ⎝
(
)
⎫ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎬ ⎪ ⎪ ⎪ −⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎭
(34)
dimana :
gijk(t)
= volume pengambilan air tanah bulanan untuk masingmasing kategori pemakai air
yijk(t)
=
volume konsumsi air pipa bulanan untuk masing-masing kategori pemakai air
V(t)
=
volume air baku bulanan yang diproses PAM Jaya
S(t)
=
sisa stok air tanah di akuifer pada beberapa t tahun,
Q
=
harga air baku per meter kubik,
η,ϕ,ψ α,γ,θ
= =
parameter fungsi biaya pemompaan air tanah, parameter fungsi biaya pengolahan air,
ι,κ,ω
= =
parameter fungsi biaya distribusi air, Biaya tetap tahunan PAM Jaya,
=
Biaya tahunan dan pemompaan,
=
parameter fungsi marjinal benefit,
=
biaya investasi fasilitas perlakuan air pada tahun t,
=
biaya investasi fasilitas distribusi air pada tahun t,
=
stok modal fasilitas pengolahan air pada tahun (t),
e
= =
stok modal fasilitas distribusi air pada tahun t, bilangan alam (e = 2.71828)
τ
=
parameter stok modal fasilitas perlakuan air,
FCPAM FCwell cijk, dijk I1(t) I2(t) K1(t) K2(t)
78
ζ β
= =
12
=
konstanta, lebih kecil dari 1, diskon faktor, didefinisikan sebagai [1/(1+r)], dimana r adalah tingkat preferensi waktu, 0 < r < 1, jumlah bulan dalam setahun, untuk mengkonversikan benefit dan biaya dari bulanan menjadi tahunan.
Present value net benefit social menggambarkan penjumlahan dari konsumen surplus dan produser surplus digabungkan dengan konsumsi dan suplai air. Ketika fungsi benefit dan biaya konstan terhadap waktu, konsumen dan produsen surplus dapat dirubah dengan konsumsi air yang disalurkan. Jika surplus konsumen dan produser dianggap sama penting, perencana sosial akan memaksimumkan net benefit melalui pemilihan tingkat optimal konsumsi air pipa yijk(t) dan air tanah gijk(t), volume air baku yang diolah V(t) dan investasi fasilitas pengolahan air dan distribusi, I1(t) dan I2(t), dengan kendala pada sistem suplai dan konsumsi air. Dibawah solusi perencana net benefit sosial dapat dimaksimumkan, sebagai implikasi kondisi Pareto yang efisien. Kendala dalam model optimasi ini sebagai berikut 1. Total Piped Water Consumption 6
15
2
∑∑∑η i =1 j =1 k =1
ijk
(t ) yijk (t ) ≤ z (t )V (t )
(35)
2. Groundwater Stock Equation of Motion 2
6
15
2
S ( t + 1) = S ( t ) + ∑ Rk ( t ) − ∑∑∑ 12 nijk ( t ) g ijk ( t ) i =1
i =1 j =1 k =1
dimana : S(t+1),S(t) Rk(t)
= =
12
=
stok sisa air tanah di akuifer pada tahun t+1 dan t, tingkat recharge tahunan pada akuifer di wilayah k, diasumsikan konstan jumlah bulan dalam setahun, untuk mengkonversi pengambilan air tanah bulanan menjadi tahunan
(36)
79
3. Capital Stock Equation of Motion
K1 ( t + 1) = I1 ( t ) + (1 − δ1 ) K1 ( t )
(37)
K 2 ( t + 1) = I 2 ( t ) + (1 − δ 2 ) K 2 ( t )
(38)
dimana : K1(t) K2(t) I1(t) I2(t) δ2
= = = = =
total stok modal perusahaan pengolahan air pada tahun t, total stok modal fasilitas distribusi air pada tahun t, investasi baru perusahaan pengolahan air pada tahun t. investasi baru dalam fasilitas distribusi air, pada tahun t. tingkat depresiasi modal fasilitas distribusi air, suatu konstanta
δ1
=
tingkat depresiasi modal diasumsikan konstan,
perusahaan
pengolahan
air,
4. Capacity of Water Treatment Facilities
V ( t ) = v0 + v1 K1 ( t )
(39)
dimana : V(t) K1(t) v1, v2
= kapasitas pengolahaan air baku dalam juta meter kubik per bulan, = stok modal fasilitas pengolahan air, = parameter fungsi.
5 a. Efficiency of Water Distribution
z ( t ) = (1 − IPL ( t ) ) (1 − NRW ( t ) )
(40)
b. Efisiensi distribusi air z(t) didefinisikan
(
z ( t ) = ζ 1 − e −τ K 2 ( t )
)
(41)
dimana :
z(t) = koefisien efisiensi distribusi air, K2(t) = stok modal fasilitas distribusi air dalam tahun t, dalam trilyun e τ
= =
rupiah, bilangan alam ( e= 2.71828) koefisien stok modal fasilitas distribusi air, 0 < τ < 1,
ζ
=
konstanta, lebih kecil dari satu
80
Volume air bersih yang dibayar, pada beberapa tahun, W(T) didefenisikan dalam persamaan, W(t) dalam juta meter kubik
(
)
W ( t ) = z ( t ) V ( t ) = ζ 1 − e−τ K2 ( t ) V ( t )
(42)
6. Kendala Lainnya
V ( 0)
= V0 kapasitas awal pengolahan air,
K1 ( 0 ) = K10 stok modal awal perusahaan pengolah air, K 2 ( 0 ) = K 20 stok modal awal jaringan distribusi air, S (0)
= S0 stok awal air tanah di akuifer,
V (T ) =
free fasilitas pengolahan air pada akhir tahun (tahun 2025),
K1 (T ) =
free stok modal fasilitas pengolahan air pada akhir tahun,
K 2 (T ) =
free stok modal jaringan distribusi air pada akhir tahun,
S (T ) =
free stok air tanah pada tahun terakhir.
yijk ( t ) , gijk ( t ) , I1 ( t ) , I 2 ( t ) variabel-variabel positif. Berbagai model pengelolaan sumberdaya air telah diuraikan diatas, untuk disertasi ini akan dipilih model yang sesuai dengan kondisi DI Jatiluhur khususnya Tarum Barat. Konsep yang digunakan berasal dari konsep benefit, dengan konsumen adalah sektor pengguna air di wilayah ini, yakni sektor pertanian, sektor domestik (PDAM) dan sektor industri. Sektor pertanian, fungsi produksi yang dipilih adalah fungsi respons dari Zaafrano dan Rodgers (2002) yang diterapkan di DAS Brantas, dengan koefisiens respons yang ditetapkan oleh FAO, dan penggolongan sawah disesuaikan dengan yang dilakukan PJT II. Sedangkan untuk fungsi benefit PDAM diambil dari Syaukat (2000) dengan berbagai modifikasi disesuaikan dengan kondisi PDAM yang diteliti, baik kapasitas olahannya maupun konsumen yang dilayaninya.
81
Sektor industri akan menggunakan konsep yang digunakan pada model Dong Nai dan Brantas, menggunakan konsep surplus konsumen dimana industri yang ada diasumsikan menggunakan air sebagai produk akhir bukan input. Sedangkan untuk benefit pengelola (PJT II), akan digunakan konsep sebagai surplus produsen sekaligus rent resources, PJT II sebagai pengelola diasumsikan sebagai pemilik sumberdaya air di DI Jatiluhur.
V. MODEL KONSEPTUAL Jatiluhur dibangun dengan tujuan untuk menopang produksi pangan nasional, dimana wilayah irigasi Jatiluhur merupakan salah satu lumbung pangan nasional. Sesuai dengan Undang-undang Sumberdaya Air (UU 7/2004) pasal 26 ayat 2 menyatakan bahwa “Pendayagunaan
sumberdaya
air
ditujukan
untuk
memanfaatkan
sumberdaya air secara berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat secara adil.” Sedangkan prioritas utama penyediaan air seperti yang tercantum dalam UU 7/2004 pasal 29 ayat 3 menyatakan bahwa “Penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama penyediaan sumberdaya air diatas semua kebutuhan.”
Hubungan institusional dan intensip ekonomi
Benefit sosial ekonomi
Pengambilan air dari Waduk Juanda
PEMAKAIAN OFFSTREAM INDUSTRI
DOMESTIK
PEMAKAIAN INSTREAM
PERTANIAN
PLTA
Benefit pemakaian air domestik
Benefit pemakaian air industri
Benefit pemakaian air irigasi
Profit pemakaian air untuk PLTA
Biaya pemakaian air domestik
Biaya pemakaian air industri
Biaya pemakaian air irigasi
Biaya pemakaian air untuk
Keterangan : - - - tidak masuk dalam penelitian
Gambar 7.
Kerangka Pemodelan Pengelolaan Daerah Irigasi Jatiluhur
83
Dalam pengelolaan Daerah Irigasi Jatiluhur terdapat dua komponen penting yakni pengelolaan hidrologis dan benefit sosial ekonomi yang dihasilkan dari pengoperasian tersebut. Pengguna air di wilayah ini terdiri dari dua kelompok besar, pemakai di instream dan off-stream. Pemakaian di in-stream, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dimana pengoperasiannya sangat ditentukan oleh ketersediaan air di waduk yang ditandai dengan elevasi air (tinggi muka air). Air dari waduk disalurkan melalui turbin dan menghasilkan tenaga listrik, air tersebut dialirkan ke Bendung Curug, dari Bendung Curug air dialirkan ke hilir untuk memenuhi kebutuhan irigasi, domestik dan industri. Pengguna air di wilayah hilir Bendung Curug digolongkan sebagai pemakai air di wilayah off-stream. Pemakai air di wilayah in-stream maupun off-stream merupakan produsen, yang menggunakan air sebagai salah satu inputnya. Penggunaan air di kedua wilayah tersebut menghasilkan benefit baik bagi pengelola dalam hal ini Perum Jasa Tirta II maupun pemakai air pada umumnya. Penelitian ini untuk melihat benefit sosial maksimum yang dapat dicapai karena penyaluran air ke sektor pemakai air, dimana benefit sosial merupakan kumulatif benefit pengelola yang diasumsikan sebagai pemilik sumberdaya dan pemakai air. Penelitian ini memfokuskan pemakaian air di wilayah off-stream, untuk daerah irigasi Jatiluhur merupakan wilayah dari Bendung Curug ke bagian hilir. Wilayah ini dilayani oleh tiga saluran induk yakni Tarum Barat, Tarum Utara dan Tarum Timur. Tarum Barat dengan Bendung Bekasi merupakan bendung terhilir, Tarum Utara Bendung Walahar dan Tarum Timur Bendung Salamdarma. Diantara ketiga wilayah ini, wilayah yang dialiri Tarum Barat merupakan wilayah dengan kompetisi antar pemakai air sangat jelas, disebabkan peningkatan permintaan air non pertanian dan proporsi penggunaan air non pertanian di
84
wilayah ini lebih besar dibandingkan dengan kedua wilayah lainnya, yakni sebesar 21.20 persen (Tabel 9). Bila dihubungkan dengan unsur-unsur dalam tahapan pengembangan suatu DAS dari Molden et.al. (2001), kondisi DI Jatiluhur khususnya wilayah Tarum Barat sudah memasuki tahapan alokasi. Tahapan dimana pengambilan air mendekati jumlah yang tersedia (berdasarkan data 2003/2004), untuk pengembangan lebih lanjut terbatas, nilai sumber daya air meningkat sehingga air akan direalokasikan dari yang nilainya lebih rendah ke "nilainya yang lebih tinggi”. Jumlah air yang tersedia dalam penelitian ini adalah jumlah air yang berasal dari sumber setempat, yang diatur oleh bendung-bendung di bagian hilir Bendung Curug. Kondisi di sebagian besar wilayah Tarum Barat, menunjukkan air yang tersedia dari sumber setempat sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan sektor-sektor pengguna yang ada di wilayah tersebut terutama pada musim kemarau. Hal ini dijustifikasi dengan perhitungan indeks kelangkaan air yang dilakukan sebelum pemodelan dibangun, dengan menggunakan data 2003-2004, menunjukkan bahwa telah terjadi kelangkaan air moderat di wilayah ini terutama pada musim kemarau (Lampiran 1). Analisa awal kondisi ketersediaan dan penggunaan air di wilayah Tarum Barat ini, memperkuat bahwa pemodelan pengelolaan sumberdaya air di wilayah Daerah Irigasi Jatiluhur khususnya Tarum Barat perlu dilakukan. Model pengelolaan sumberdaya air di wilayah hilir Daerah Irigasi Jatiluhur (Model DIJ), diharapkan dapat membantu pengelola dalam mengalokasikan sumberdaya air ke sektor-sektor pengguna (user). Pembentukan model DIJ dengan memperhatikan kriteria Pareto optimal, yang merupakan kondisi optimal yang ingin dicapai dari suatu aktivitas dalam hal ini alokasi sumberdaya air. Mekanisme yang dipilih disesuaikan dengan kondisi
85
yang ada di DI Jatiluhur yakni alokasi berdasarkan pengguna (untuk sektor pertanian) dan berdasarkan pasar untuk sektor non pertanian. Apabila ditinjau kondisi pasar air di DI Jatiluhur telah mengalami transisi mekanisme alokasi sumberdaya air (Gambar 4), meskipun secara eksplisit tidak tercantum dalam prosedur operasional Waduk Jatiluhur. Perubahan status pengelola
menjadi
perusahaan
umum,
secara
implisit
telah
membawa
sumberdaya air dari barang publik menjadi komoditi, meskipun tidak semuanya dianggap sebagai komoditi. PJT II tidak menetapkan atau memberikan harga air pertanian (gratis) sedangkan air urban dalam hal ini sektor domestik (PDAM) dan industri ditetapkan harga yang berbeda untuk setiap sektor. Jika PJT II mempunyai otoritas sebagai pengelola sumberdaya pastilah akan merespons permintaan air non pertanian dengan memenuhi permintaannya dan apabila terjadi kekurangan air akan mengurangi sejumlah air pertanian. 5.1. Landasan Teori Model Optimasi Dinamik Penyelesaian masalah optimasi dinamik akan memberikan pola waktu optimal untuk setiap variabel yang dipilih, rincian variabel hari ini, besok dan sampai akhir periode (Chiang, 1997).
Beberapa komponen optimasi dinamik
meliputi: (1) variabel penentu keputusan (state variable), (2) periode keputusan (decision stage), (3) variabel keputusan (decisions variable), (4) penerimaan setiap tahap periode (stage return), (5) fungsi transisi atau fungsi transformasi (transformation function), dan (6) fungsi tujuan (objective function). Penentuan state variable pada DI Jatiluhur didasarkan pada hubungan antara penyaluran air ke sektor-sektor pengguna berdasarkan aktivitas sektor tersebut dengan dikendalai infrastruktur yang tersedia. State variable dari suatu keputusan adalah ketersediaan air di Waduk Jatiluhur. Air yang tersedia di Waduk Jatiluhur merupakan cadangan sumberdaya air yang akan berubah
86
seiring dengan waktu akibat variabel keputusan yang dilakukan. Ringler et.al. (2000),
mengungkapkan
bahwa
pertumbuhan
wilayah
perkotaan
yang
didalamnya mencakup pertambahan penduduk dan industri telah mempengaruhi keputusan pengelola waduk dalam menyalurkan air ke sektor-sektior pemakai air terutama di wilayah hilir. Fauzi (2004), mengemukakan bahwa sektor pertanian, domestik dan industri merupakan sektor-sektor pengguna yang memperlakukan air sebagai sumberdaya tak terbarukan (non renewable resources). Meskipun air yang disalurkan dari waduk merupakan air permukaan, tetapi akibat penggunaan oleh sektor-sektor tersebut, air yang tersisa mengalami degradasi kualitas sehingga tidak dimungkinkan digunakan oleh sektor lainnya di wilayah hilir. Komponen fungsi transisi merupakan kendala dinamis yang dimaksudkan untuk menggambarkan besarnya cadangan sumberdaya air pada tahap ke (t + 1) yang ditentukan oleh besarnya cadangan dan keputusan pada tahap ke-t. Pada penelitian ini, fungsi transisi yang menjadi kendala dinamis problem alokasi air adalah ketersediaan air di Waduk Jatiluhur. Tahapan keputusan (disicion stage) dalam penelitian ini ditetapkan 2 mingguan atau tengah bulanan disesuikan dengan tahapan pertumbuhan tanaman padi yang dilakukan di DI Jatiluhur. Horizon waktu (time horizon) pemecahan problem dinamik ditetapkan dengan sengaja, yakni dari bulan Oktober 2003 sampai dengan September 2004. Bulan Oktober 2003 dipakai sebagai awal periode dihubungkan dengan awal musim tanam di DI Jatiluhur, sekaligus untuk menangkap fenomena anomali iklim El Nino yang terjadi pada tahun tersebut. Dasar pertimbangan penentuan tahun 2003 sebagai awal horizon waktu adalah karena seluruh data aspek ekonomi dan sebagian data fisik yang dipergunakan dalam analisis dikumpulkan pada saat penelitian dilakukan. Alokasi air ke sektor pengguna (user) sebagai variabel keputusan karena
87
alokasi air ke berbagai sektor berperan dalam menghasilkan produk dari sektorsektor tersebut yang akan mendatangkan benefit sosial bagi sektor-sektor yang ada di DI Jatiluhur. Pemecahan masalah optimal didasarkan pada fungsi tujuan (objective function) yang merupakan kumulatif dari masing-masing sektor pengguna, yakni dengan memaksimumkan net benefit sosial di seluruh wilayah DI Jatiluhur dalam satu horison waktu. Perumusan pemecahan model optimasi dinamik didasarkan pada keterkaitan antar komponen yang ada, disajikan secara skematis pada Gambar 8.
Alokasi Penyaluran Air (Decision Variable)
Pertanian
Industri Domestik
Penerimaan Biaya
Penerimaan Biaya
(Stage Return)
(Stage Return)
Penerimaan Biaya (Stage Return)
Kapasitas Waduk (State Variable) K e n d a l a T r a n s i s i
Manfaat bersih selama Time Horizon (Objective Function)
Gambar 8. Diagram Alur Keterkaitan Komponen Optimasi Dinamik pada Wilayah Hilir Daerah Irigasi Jatiluhur
88
5.2. Kategori Pemakai Air Pemakai air dikelompokkan dalam tiga kelompok, yakni pertanian, PDAM dan industri, yang diindikasikan dengan i = 1, 2, 3. Pemakaian air pertanian tergantung pada golongan lahan sawah. Kondisi lahan sawah berlainan dari segi biofisik dan juga ekonomi. Penggolongan lahan sawah dimaksudkan untuk menetapkan perlakuan terhadap masing-masing golongan
dan
kelasnya.
Parameter-parameter
yang
diperhatikan
dalam
menyusun kriteria tersebut adalah : status irigasi, indeks pertanaman (IP) padi, kualitas
sumberdaya
tanah
atau
produktivitasnya,
dan
luas
minimum
(Adimihardja et.al., 2004). Dalam penyusunan kriteria lahan sawah, status irigasi dibedakan dalam tiga kelas yakni sawah beririgasi (teknis dan setengah teknis), sederhana dan tadah hujan. Indeks pertanaman (IP) padi pada lahan sawah bergantung pada suplai air dari sumber pengairannya, IP-padi biasanya dinyatakan dalam 1 kali, 2 kali dan 3 kali setahun. IP dibedakan atas dua kelas, yakni IP > 2 dan IP < 2 tanam per tahun. Dalam penelitian ini lahan yang diamati sawah kelas 1 sampai dengan 5, dengan indeks j = 1,2,3,4 dan 5 berdasarkan kriteria status irigasinya. PDAM dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan volume pengambilan air baku per setengah bulan, yakni dibawah 100.00 ribu meter kubik dikategorikan kelompok kecil, 100.00 ribu sampai dengan 500.00 ribu meter kubik kelompok menengah dan diatas 500.00 ribu meter kubik per tengah bulanan kelompok besar, dengan indeks j = 6, 7 dan 8. Begitu juga dengan industri, diklasifikasikan berdasarkan volume pengambilan air per setengah bulan dengan kriteria sama dengan PDAM, yakni lebih kecil dari 100.00 ribu meter kubik kategori kecil, kategori menengah 100.00 ribu sampai dengan 500.00 ribu meter kubik dan lebih dari 500.00 ribu meter kubik per bulan dikategorikan besar, dengan indikasi j = 9, 10 dan 11.
89
Selain klasifikasi sektor, kelas lahan, jumlah pengambilan air tiap tengah bulanan, khusus untuk sektor pertanian diklasifikasikan menurut aktivitas usahatani (m) yang berhubungan dengan tahap pertumbuhan. Aktivitas usahatani ini berkaitan dengan tahap pertumbuhan yang berhubungan erat dengan kebutuhan air setiap tahapnya, yang akan mempengaruhi produktivitas yang akan dicapai. Terdapat sepuluh tahap pertumbuhan yakni pengolahan tanah I, pengolahan tanah II, penanaman, pertumbuhan I, pertumbuhan II, pertiumbuhan III, pembungaan I, pembungaan II, pematangan I dan pematangan II, untuk musim tanam I. Sedangkan, pada musim tanam II ada sembilan tahap, dimana tahap pertumbuhan hanya ada dua tahapan, sedang untuk tahap lainnya sama dengan musim tanam I. Tahap pertumbuhan disesuaikan dengan syarat agronomis tanaman padi serta merupakan hasil berbagai penelitian yang menghubungkan antara pemberian air pada setiap tahap pertumbuhan dengan produktivitas tanaman. Sektor domestik dan industri diperlakukan juga seperti pada sektor pertanian namun setiap sektor hanya ditandai dengan satu angka sebagai lanjutan dari sektor pertanian. Lokasi pengambilan air dikelompokkan dalam empat wilayah yakni wilayah Bendung Curug (CR), Bendung Cibeet (BT), Bendung Cikarang (CK) serta Bendung Bekasi (BK). Wilayah pelayanannya disesuaikan dengan saluran induk yang ada, yakni Curug, Cibeet A (BTA), Cibeet B (BTB), Cikarang A (CKA), Cikarang B (CKB), Bekasi A (BKA) dan Bekasi B. Sedangkan Bekasi C (BKC) merupakan saluran limpasan yang tidak melayani wilayah manapun. Pemakaian air setiap setengah bulan (dua mingguan) dalam meter kubik per setengah bulan, dengan notasi Xi,j,k(t) dimana t menggambarkan waktu pengambilan yakni 2 mingguan atau setengah bulanan, seperti yang terlihat pada Tabel 15.
90
Tabel 15.
Notasi Alokasi Air Optimum Berdasarkan Sektor, Klasifikasi Lahan, PDAM dan Industri, Tahap Pertumbuhan dan Wilayah Notasi
Sektor i Klasifikasi sektor Tahap Pertumb. Musim Tanam Pertanian 1
Wilayah (k)
j
Cibeet
Curug m n 1
1
Cikarang
Bekasi
A
B
A
B
A
B
C
2
3
4
5
6
7
8
-
-
-
-
-
-
1 1 X11111 X11211 X11311 X11121 X11221 X11321 2 X11131 X11231 X11331 3 X11141 X11241 X11341 4 X11151 X11251 X11351 5 X11161 X11261 X11361 6 X11171 X11271 X11371 7 X11181 X11281 X11381 8 X11191 X11291 X11391 9 X111101 X112101 X113101 10
-
X1151 X11611 X11521 X11621 X11531 X11631 X11541 X11641 X11551 X11651 X11561 X11661 X11571 X11671 X11581 X11681 X11591 X11691 X115101 X116101
2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
-
-
X12311 X12321 X12331 X12341 X12351 X12361 X12371 X12381 X12931 X123101
3
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
-
-
X13311 X13411 X13511 X13616 X13321 X13421 X13521 X13621 X13331 X13431 X13531 X13631 X13341 X13441 X13541 X13641 X13351 X13451 X13551 X13651 X13361 X13461 X13561 X13661 X13371 X13471 X13571 X13671 X13381 X13481 X13581 X13681 X13391 X13491 X13591 X13691 X133101 X134101 X135101 X136101
-
-
-
91
Tabel 15. k
i j m n 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 -
2 -
3 4 5 6 X14311 X14411 X14511 X14161 X14321 X14421 X14521 X14261 X14331 X14431 X14531 X14631 X14341 X14441 X14541 X14641 X14351 X14451 X14551 X14651 X14361 X14461 X14561 X14661 X14371 X14471 X14571 X14671 X14381 X14481 X14581 X14681 X14391 X14491 X14591 X14691 X143101 X144101 X145101 X146101
7 -
8 -
5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
-
-
X15311 X15411 X15321 X15421 X15331 X15431 X15341 X15441 X14351 X15451 X15361 X15461 X15371 X15471 X15381 X15481 X15391 X15491 X153101 X154101
X15611 X15621 X15631 X15641 X15651 X15661 X15671 X15681 X15691 X156101
-
-
1
1 2 X11112 X11212 X11312 X11122 X11222 X11322 2 X11132 X11232 X11332 3 X11142 X11242 X11342 4 X11152 X11252 X11352 5 X11162 X11262 X11362 6 X11172 X11272 X11372 7 X11182 X11282 X11382 8 X11192 X11292 X11392 9 X111102 X112102 X113102 10
X11512 X11612 X11522 X11622 X11532 X11632 X11542 X11642 X11552 X11652 X11562 X11662 X11572 X11672 X11582 X11682 X11592 X11692 X115102 X116102
-
-
2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
-
-
4
1
-
-
X12312 X12322 X12332 X12342 X12352 X12362 X12372 X12382 X12392 X123102
-
-
-
-
92
Tabel 15. k
i j m
Domestik
Industri
2
3
n 3 1 2 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 -
2 -
3 4 5 6 X13312 X13412 X13512 X13612 X13322 X13422 X13522 X13622 X13332 X13432 X13532 X13632 X13342 X13442 X13542 X13642 X13352 X13452 X13552 X13652 X13362 X13462 X13562 X13662 X13372 X13472 X13572 X13672 X13382 X13482 X13582 X13682 X13392 X13492 X13592 X13692 X133102 X134102 X135102 X136102
7 -
8 -
4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
-
-
X14312 X14412 X14512 X14612 X14322 X14422 X14522 X14622 X14332 X14432 X14532 X14632 X14342 X14442 X14542 X14642 X14352 X14452 X14552 X14652 X14362 X14462 X14562 X14662 X14372 X14472 X14572 X14672 X14382 X14482 X14582 X14682 X14392 X14492 X14592 X14692 X143102 X144102 X145102 X146102
-
-
5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
-
-
X15312 X15322 X15332 X15342 X15352 X15362 X15372 X15382 X15392 X153102
X15412 X15442 X15432 X15442 X15452 X15462 X15472 X15482 X15492 X1502
-
X15612 X15622 X15632 X15642 X15652 X15662 X15672 X15682 X15692 X156102
-
-
6 7 8
X261 -
-
-
X264 -
X265 X275 -
X266 X276 -
-
X273 -
X277 X287
-
9 10 11
X391 X3101 X3111
-
-
-
-
X3102 -
X3103 X3113
X3104 X3114
X395 X3105 X3115
-
-
X3106 -
93
5.3. Model Integrasi Ekonomi dan Hidrologi Daerah Irigasi Jatiluhur Model Integrasi Ekonomi dan Hidrologi Daerah Irigasi Jatiluhur (Model DIJ) dibangun dari beberapa model yang telah ada, dengan beberapa perubahan sesuai kondisi yang ada di DI Jatiluhur. Model DIJ merupakan model ekonomi dengan mempertimbangkan
pengaruh hidrologis. Fungsi tujuannya adalah
memaksimumkan net benefit sosial dari alokasi air ke sektor pertanian, domestik dan industri dengan menggunakan pendekatan optimasi dinamik. Pendekatan dinamik yang dipilih sebab kondisi sumberdaya air yang selalu berubah menurut waktu (Conrad 1999). Net benefit sosial merupakan kumulatif net benefit sektor pertanian, net benefit PDAM, net benefit industri dan net benefit PJT II.
max NSB ( X ijk (t ) ) = NBPRT (t ) + NBPDAM (t ) + NBIND (t ) + NBJT (t )
(1)
5.3.1. Fungsi Produksi Pertanian Produktivitas Per Musim Tanam 24
5
10
Y ak( j,k,n ) = Ypot( j,k,n ) å å å 1 - e
- b j,m X t,j,,m - WA t,j,m
(2)
t=1 j=1 m=1
dimana:
Yak(j) = produktivitas aktual pada masing-masing golongan sawah (ton/ha)
Ypot(j) = produktivitas potensial pada masing-masing golongan sawah (ton/ha)
β
= koefisien respons tanaman terhadap air pada masing-masing golongan sawah menurut musim tanam dan tahap pertumbuhan
t
= per dua minggu
j
= golongan sawah (j =1,2, . . ., 5) j = 1 ialah sawah golongan I, j=2 ialah sawah golongan II, dst)
m
= tahap pertumbuhan per golongan (m=1, 2, . . ., 10)
k
= wilayah layanan bendung (k = 1, 2, . . ., 7) k =1 adalah wilayah Curug; k=2 ialah wilayah Cibeet A dst)
94
Produksi potensial (Ypot,j,k) merupakan produksi padi per hektar yang dapat dicapai berdasarkan benih dan input lain yang diberikan termasuk air irigasi. Sedangkan produksi aktual (Yak,j,k,n) merupakan produksi yang dicapai petani akibat musim yang berhubungan langsung dengan ketersediaan air. Koefisiens respons (β) merupakan koefisien respons tanaman terhadap ketersediaan air, untuk tanaman padi oleh FAO ditetapkan lebih besar dari 1.15 pada masa pertumbuhan (mulai penanamanan sampai dengan masa awal berbunga). Air yang diaplikasi (Xt,j,m,n) merupakan banyaknya air yang disuplai dari bendung ke petak sawah per dua minggu, dan W0 merupakan syarat kebutuhan minimum air irigasi padi untuk dapat berproduksi. Fungsi respons ini telah diterapkan tim peneliti IFPRI dalam model integrasi di DAS Brantas. 5.3.2. Net Benefit Pertanian Dalam perhitungan net benefit pertanian (NBPRT), air dianggap sebagai salah satu input karena tanpa adanya air irigasi produktivitas tanaman akan menurun, terutama untuk tanaman padi sawah. Input lainnya tidak akan mempengaruhi produktivitas pertanian tanpa air irigasi. Hasil penelitian dari Bank Dunia menunjukkan bahwa peranan air irigasi sebesar 16 persen dari produksi dan secara bersama mempengaruhi produksi sebesar 75 persen. Net benefit pertanian merupakan selisih total penerimaan dengan biaya total selama satu musim tanam. Total penerimaan sektor pertanian merupakan perkalian antara luas areal panen dikalikan dengan produktivitas padi dan harga gabah kering di tingkat petani. Total biaya pertanian (TBAjkm)
meliputi biaya
untuk pupuk, pestisida dan herbisida, tenaga kerja termasuk hewan dan mesin yang digunakan sedangkan biaya air irigasi di pisahkan dari total biaya input lain.
1
5
10
8
2
⎡{YA jkmn * PPD } - {TBAjkn }⎤ ⎥ ⎢⎣ - { X 1jkmn (t)* PIR } ⎥⎦
NBPRTn = ∑∑∑∑∑ L j kn * ⎢ i=1 j=1 k=1 m=1 n=1
(3)
95
dimana :
= luas areal irigasi pada sawah j wilayah k musim tanam n = produktivitas padi aktual pada sawah j wilayah m musim tanam n PPD = harga padi TBjkn = total biaya pada sawah j wilayah k musim tanam n X1jkmn(t) = banyaknya air irigasi pada sawah j, wilayah k, aktivitas tanam m, musim tanam n (m3 per dua minggu) PIR = harga air irigasi 1 = sektor pertanian j = golongan sawah j = 1,2,...,5. k = wilayah, k = 1,2,...,8; 1 → wilayah Curug, 2 → wilayah Ljkn YAjkn
Cibeet A, 3 → wilayah Cibeet B, 4 → wilayah Cikarang A, 5 → wilayah Cikarang B, 6 → wilayah Bekasi A, 7 → wilayah Bekasi B dan 8 → wilayah Bekasi C. tahap pertumbuhan, m = 1,2,...,10 untuk setiap golongan sawah
m
=
n
= musim tanam, n = 1,2.
Sektor pertanian tidak membayar air irigasi yang diperolehnya kepada Perum Jasa Tirta II. Dalam penelitian ini untuk memperoleh berapa benefit yang diterima sektor pertanian harga air irigasi yang dipakai adalah harga air irigasi yang ditetapkan JICA diacu dalam Ringler (2002), yakni Rp. 5.00 per meter kubik. 5.3.3. Net Benefit Domestik Net Benefit Domestik (NBPDAM), merupakan benefit yang dihasilkan karena pemakaian air baku oleh PDAM. Net benefit yang diterima PDAM merupakan selisih penjualan air bersih dengan air baku yang berasal dari PJT II dengan pengeluaran PDAM dalam mengolah air baku menjadi air bersih, serta investasi yang dikeluarkan untuk fasilitas pengolahan dan distribusi air. Fungsi net benefit PDAM diturunkan dari formula yang dikemukakan Syaukat (2000), dengan beberapa penyesuaian. Total penerimaan PDAM (TRPDAM)
merupakan
pengeluaran
pelanggan
PDAM
untuk
pembayaran
96
pemakaian air bersih yang telah dikonsumsi per setengah bulan adalah sebagai berikut 2
TRPDAM (t ) =
8
8
å å å {cwc j * X 2 jk (t ) * PCW j }
(4)
i= 2 j = 6 k = 1
Total biaya PDAM (TCPDAM) merupakan penjumlahan biaya pengolahan air baku, biaya distribusi per setengah bulanan. Total biaya PDAM adalah sebagai berikut
ïìï (1/ efo )* ktbo * X (t )kfbo + ïü ïï 2 jk j ï ïï 2 8 8 ïï TCPDAM (t ) = å å å ïí (1/ efd j )* ktbd * X 2 jk (t )kfbd + ïý ïï i= 2 j = 6 k = 1ïï ïï ïï ïï (X 2 jk (t ) * PWD j ) ï î þï
( (
) )
(5)
Net Benefit PDAM
é ù ê{cwc j * X 2 jk (t ) * PCW j }ú ê ú êìï 1/ efo * ktbo * X (t ) kfbo + ü ïï ú 2 8 8 j) 2 jk êïï ( ïï úú NBPDAM (t ) = å å å nd jk * êêïï ïú kfbd ï + ïýú i= 2 j = 6 k = 1 êíï (1/ efd j )* ktbd * X 2 jk (t ) ïï ú êï ïï ú êïï êïï (X 2 jk (t ) * PWD j ) ïï ú þû ëî
( (
) )
(6)
dimana :
X2jk
=
volume air bersih yang diambil pelanggan PDAM per golongan per wilayah (m3 per dua minggu)
PCWj PWDj
=
harga air bersih PDAM per meter kubik (Rp/m3)
=
harga air baku per meter kubik per golongan PDAM (Rp/m3)
efoj efdj ktbo ktbd kfbo kfbd cwc
=
efisiensi pengolahan air pada PDAM golongan j
=
efisiensi distribusi air pada pdam golongan j
=
konstanta biaya pengolahan air bersih
=
konstanta biaya distribusi air bersih
=
koefisien biaya pengolahan air baku
=
koefisien biaya distribusi air bersih
=
koefisien konversi air baku menjadi air bersih
97
5.3.4. Net Benefit Industri Net Benefit Industri (NBIN) didekati dengan menggunakan consumer surplus. Pendekatan ini dilakukan karena sulitnya mengelompokkan jenis industri serta kebutuhan air setiap jenisnya, sehingga pendekatan yang dilakukan dengan melihat permintaan air industri dipengaruhi oleh harga air industri. Sedangkan permintaan air industri normal merupakan rata-rata permintaan air industri per tengah bulannya. Permintaan air industri didekati dengan permintaan air industri yang dipengaruhi oleh harga air industri. Meskipun beberapa hasil penelitian sebelumnya mendapatkan bahwa perubahan harga air baku untuk industri relatif kecil, namun untuk penyederhanaan analisa, pendekatan ini yang dipilih.
ln( X 3 jk ) = m - q ln ( PWI )
(7)
dimana :
X3jk μ θ PWI
=
permintaan air industri (m3 per dua minggu)
= =
konstanta permintaan air industri elastisitas permintaan air industri
=
harga air industi (Rp/m3)
Berdasarkan nilai X3, PWI, dan estimasi θ dan konstanta μ dapat dihitung, net benefit dari pemakaian air industri yang didekati dengan consumer surplus
⎡⎧ m ⎤ ⎫ 1- 1 ) ⎫ ⎥ ⎢ ⎪ e( q ) ⎪ ⎧ (1- 1 q ) ( q 11 8 ⎬* ⎨ X 3jk (t) - X 3jk0 ⎬⎥ ⎢⎨ NBIND ( t ) = ∑∑ ni jk * ⎢ ⎪ 1- 1 ⎪ ⎩ ⎭⎥ q ⎭ j=9 k=1 ⎢⎩ ⎥ ⎢ - X (t)* PWI (t) ⎥ } 3jk ⎣ { 3jk ⎦
(
)
(8)
dimana :
NBIND(t) = Net Benefit Pemakaian Air Industri (juta rupiah per dua minggu)
X3jk(t)
= permintaan air industri golongan j wilayah k (m3 per dua minggu)
X3jk0
= permintaan normal air industri golongan j wilayah k (m3 per dua minggu)
98
PWIjk
μ θ e
= = = =
harga air industri golongan j di wilayah k (Rp/m3) konstanta elastisitas permintaan air industri bilangan natural
5.3.5. Net Benefit Jasa Tirta II Net benefit PJT II merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan dari penyaluran air ke sektor pemakai air. Total penerimaan PJT II merupakan total biaya yang harus dikeluarkan oleh sektor pemakai air untuk memperoleh air baku. Sedangkan total biaya yang dikeluarkan oleh PJT II adalah total biaya yang dikeluarkan untuk mendistribusikan air, yang terdiri dari biaya distribusi, pemeliharaan saluran.
éïì 5 7 ïüï ïìï 8 7 ïüï ùú êï êíï å å (X1, j,k (t ))* PIR ýï +íï å å (X 2,j,k (t ))* PDO j ýï +ú êîï j= 1 k= 1 þï îï j= 6 k= 1 þï úú TRJT (t )= ê ê ìï 11 7 ú ü ïï êï ú X t * P t ( ) ( ) í ý ( ) å å IN 3,j,k êï ú ïï êë îï j= 9 k= 1 úû þ
(9)
é ü ö÷bd ù 3 11 8 ïï æ ê ìïï 3 11 8 ç ÷ ú TBJT (t )= êbt * í å å å (X i , j ,k )ý + ççå å å (X i , j ,k )÷ ú ÷ ïï çèi= 1 j= 1 k = 1 ê ïï i= 1 j= 1 k = 1 ú ÷ ø î þ êë ú û
(10)
NBJT (t )= TRJT (t )- TBJT (t )
(11)
dimana :
TRJT (t) TBJT (t) NBJT (t) X1,j,k (t) X2,j,k (t) X3,j,k (t) PIR (t) PDO (t)
=
total penerimaan Jasa Tirta (juta rupiah per dua minggu)
=
total biaya Jasa Tirta (juta rupiah per dua minggu)
=
net benefit Jasa Tirta (juta rupiah per dua minggu)
=
air irigasi yang diambil sektor pertanian (m3 per dua minggu)
=
air baku yang diambil PDAM dan PAM DKI(m3 per dua minggu)
=
air yang digunakan sektor industri(m3 per dua minggu)
=
harga air irigasi (Rp/m3)
=
harga air baku untuk PDAM dan PAM DKI (Rp/m3)
99
PIN (t) bt bd
=
harga air untuk sektor industri (Rp/m3)
=
koefisien biaya operasional
=
korfisien biaya distribusi
5.3.6. Net Benefit Sosial Net sosial benefit merupakan kumulatif dari net benefit Perum Jasa Tirta II dan net benefit dari sektor pemakai air selama satu tahun.Net benefit sosial diformulasikan sebagai berikut
NSB ( X ijk (t ) ) = NBPRT (t ) + NBPDAM (t ) + NBIND (t ) + NBJT (t )
(12)
NSB ( X ijkmn ( t ) ) =
⎡ ⎡ 1 5 8 10 2 ⎤ ⎤ ρ t ⎢ ⎢ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ L j kn * ⎡⎣{YA jkmn * PPD } - {TBA jkn } - { X 1jkmn (t)* PIR }⎤⎦ ⎥ + ⎥ ⎦ ⎢ ⎣ i=1 j=1 k =1 m=1 n=1 ⎥ ⎢⎡ ⎥ ⎤ ⎡{cwc j * X 2jk (t)* PCW j } ⎤ ⎢⎢ ⎥ ⎢ ⎥⎥ ⎢⎢ 2 8 8 ⎥ ⎢ ⎧ ( ( 1/efo j ) * ktbo * X 2jk (t)kfbo ) + ⎫ ⎥ ⎥ ⎢⎢ ⎥ ⎪ ⎪ ∑ ∑ nd jk * ⎢ ⎪ 1/efd * ktbd * X (t)kfbd + ⎪ ⎥ ⎥⎥ + ⎢ ⎢∑ ⎥ i= 2 j=6 k =1 ⎢ ⎨( ( ⎥ ) ) ⎬ j 2jk ⎢⎢ ⎥ ⎥ ⎢⎪ ⎥ ⎪ ⎢⎢ ⎥ X (t)* PWD ⎢⎣ ⎩⎪ ( 2jk j ) ⎭⎪ ⎦⎥ ⎥⎦ ⎢⎣ ⎥ ⎢⎡ ⎡⎧ (m q ) ⎫ ⎤⎤ ⎥ ⎢ ⎢ 11 8 ⎪ ⎧ (1- 1 q ) ⎢⎪ e ⎥⎥ ⎥ (1- 1 q ) ⎫ ⎢ ⎢ ∑ ∑ ni jk * ⎢ ⎨ ⎬ * ⎨ X 3jk (t) - X 3jk0 ⎬ - { X 3jk (t)* PWI 3jk (t)}⎥ ⎥ + ⎥ ⎭ ⎢ ⎢ j= 9 k =1 ⎢ ⎪⎩ 1 - 1 q ⎪⎭ ⎩ ⎥⎥ ⎥ ⎣ ⎦⎦ ⎥ ⎢⎣ ⎢ ⎥ 5 7 8 7 ⎤ ⎫ ⎧ ⎫ ⎢⎡⎧ ⎥ ∑ X 1, j,k ( t ) * PIR ⎬ + ⎨ ∑ ∑ X 2,j,k ( t ) * PDO j ⎬ + ⎥ ⎢ ⎢⎨∑ ⎥ j =1 k =1 j = 6 k =1 ⎩ ⎭ ⎩ ⎭ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎥ 3 11 8 ⎢⎢ ⎥ ⎡ ⎤ ⎧ ⎫ ⎥ ⎢⎢ ⎥ ⎢ bt * ⎨ ∑ ∑ ∑ X i , j , k ⎬ + ⎥ ⎥ ⎢ i =1 j =1 k =1 ⎢ ⎧ 11 7 ⎥ ⎫ ⎩ ⎭ ⎢ ⎥ ⎥ ⎢ ⎢ ⎨ ∑ ∑ X 3,j,k ( t ) * PIN ( t ) ⎬ − ⎢ ⎥ ⎥ bd ⎥ ⎞ ⎭ ⎢ ⎛ 3 11 8 ⎢ ⎢ ⎩ j = 9 k =1 ⎥ ⎥⎥ ⎢ ⎜ ∑ ∑ ∑ X i , j ,k ⎟ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎠ ⎢⎣ ⎢⎣ ⎥⎦ ⎣ ⎝ i =1 j =1 k =1 ⎦ ⎥⎦
)
(
(
)
(
(
)
)
(
(
)
(13)
)
5.4. Keseimbangan 5.4.1. Keseimbangan di Bendung Curug
IFJCR (t )=
{OFCRTB (t )+ OFCRTT (t )+ OFCRTU (t )}
(14)
100
OFCRTB (t )*cv (t )= {WIRCR (t )+ WDOCR (t )+ WINCR (t )}+ OFCRTBL (t )* cv (t )
(15)
dimana :
IFJCR(t)
=
inflow dari Waduk Juanda (m3/detik/dua minggu)
ke
Bendung
Curug
OFCRTB(t) = outflow dari Curug ke Tarum Barat (m3/detik/dua minggu)
OFCRTT(t) = outflow dari Curug ke Tarum Timur (m3/detik/dua OFCRTU(t) =
minggu) outflow dari Curug ke Tarum Utara (m3/detik/dua minggu)
OFCRTBL(t)=
sisa outflow Curug dari Curug ke Tarum Barat hilir pada periode t (m3/detik)
WIRCR(t) WDOCR(t)
=
total air irigasi untuk wilayah Curug (ribu m3/dua minggu)
=
total air sektor domestik (PDAM) wilayah Curug pada periode t (ribu m3/dua minggu)
WINCR(t)
=
total air sektor industri di wilayah Curug pada periode t (ribu m3/dua minggu)
5.4.2. Keseimbangan di Bendung Cibeet
ïì WIRBTA(t )+
ïüï ý+ ïï WDOBTA t WINBTA t + ( ) ( ) îï þ
{IFKBT (t )* cv(t )}= ïíï
(16)
OFBTAL (t )* cv(t ) dimana :
IFKBT(t)
=
inflow sungai Cibeet ke Bendung Cibeet (m3/detik/dua minggu)
WIRBTA(t)
=
total air irigasi untuk wilayah Cibeet A (ribu m3/dua minggu)
WDOBTA(t) = total air sektor domestik (PDAM) wilayah Cibeet A (ribu m3/dua minggu)
WINBTA(t) = total air sektor industri di wilayah Cibeet A (ribu m3/dua minggu)
OFBTAL(t) = total air irigasi untuk wilayah k selain Curug dan Cibeet A pada periode t (ribu m3/dua minggu)
101
5.4.3. Keseimbangan di Pertemuan Saluran Cibeet A dan Tarum Barat
{OFCRL (t )+ OFBTAL (t )}* cv(t ) = ïìï WIRBTB (t )+ WDOBTB (t )+ ïü ï + OFBTBL (t )* cv(t ) í ý ïï WINBTB (t ) ïï î þ
(17)
5.4.4. Keseimbangan di Bendung Cikarang
IFKCK (t )+ OFBTBL (t ) = OFCKA(t )+OFCKB (t )
OFCKA (t )* cv(t ) = (WIRCKA(t )+ WDOCKA(t )+ WINCKA (t ))+ OFCKAL (t )* cv(t )
OFCKB (t )* cv(t ) = (WIRCKB (t )+ WDOCKB (t )+ WINCKB (t ))+ OFCKBL (t )* cv(t )
(18)
(19)
(20)
dimana :
IFKCK(t) OFCKA(t)
=
inflow sungai Cikarang (m3/detik/dua minggu)
=
outflow dari bendung Cikarang ke saluran Cikarang A (m3/detik/dua minggu)
OFCKB(t)
=
outflow dari bendung Cikarang ke saluran Cikarang B (m3/detik/dua minggu)
OFCKAL(t)
=
outflow dari saluran Cikarang A ke hilir (m3/detik/dua minggu)
OFCKBL(t)
=
outflow dari saluran Cikarang B ke hilir (m3/detik/dua minggu)
WIRCKA(t)
=
total air irigasi di wilayah Cikarang (ribu m3/dua minggu)
WDOCKA(t) = total air untuk sektor domestik di wilayah Cikarang (ribu m3/dua minggu)
WINCKA(t)
=
total air untuk sektor industri di wilayah Cikarang (ribu m3/dua minggu)
WIRCKB(t)
=
total air irigasi untuk wilayah Bekasi (ribu m3/dua minggu)
WDOCKB(t) = total air untuk sektor domestik (PDAM) wilayah Bekasi (ribu m3/dua minggu)
WINCKB(t)
=
total air untuk sektor industri di wilayah Bekasi (ribu m3/dua minggu)
102
5.4.5. Keseimbangan di Bendung Bekasi
ïì OFBKA(t )+ OFBKB (t )+ ïü ï ý ïï îï þ
{(IFKBK (t )+ OFCKBL(t ))}= ïíï OFBKC (t )
OFBKA(t )* cv(t ) = WIRBKA(t )+ WDOBKA (t )+ WINBKA(t )+ OFBKAL (t )* cv(t )
OFBKB (t )* cv(t ) = WIRBKB (t )+ WDOBKB (t )+ WINBKB (t )+ OFBKBL (t )* cv(t )
(21)
(22)
(23)
dimana :
IFKBK(t)
=
inflow sungai Bekasi ke Bendung Bekasi (m3/detik/dua minggu)
OFBKA(t)
=
outflow dari bendung Bekasi ke saluran Bekasi A (m3/detik/dua minggu)
OFBKB(t)
=
outflow dari bendung Bekasi ke saluran Bekasi B (m3/detik/dua minggu)
OFBKC(t)
=
outflow dari bendung Bekasi ke saluran Bekasi C (m3/detik/dua minggu)
OFBKAL(t) = outflow dari saluran Bekasi A ke hilir (m3/detik/dua minggu)
OFBKBL(t) = outflow dari saluran Bekasi B ke hilir (m3/detik/dua minggu)
WIRBKA(t) = total air irigasi untuk wilayah Bekasi A (ribu m3/dua minggu)
WDOBKA(t) = total air untuk sektor domestik wilayah Bekasi A (ribu m3/dua minggu)
WINBKA(t) = total air untuk sektor industri wilayah Bekasi A (ribu m3/dua minggu)
WIRBKB(t) = total air irigasi untuk Bekasi B (ribu m3/dua minggu) WDOBKB(t) = total air untuk sektor domestik wilayah Bekasi B (ribu m3/dua minggu)
WINBKB(t) = total air untuk sektor industri wilayah Bekasi B (ribu m3/dua minggu)
103
5. 5. Kendala Kapasitas Bendung Bendung yang ada di Daerah Irigasi Jatiluhur, terutama wilayah Tarum Barat umumnya merupakan bendung gerak. Bendung gerak merupakan bendung yang fungsinya untuk menaikkan permukaaan air dan menyalurkan air ke wilayah pelayanannya, jadi bukan penyimpan air. Sesuai dengan fungsinya sebagai pengatur ketinggian dan debit air, oleh karenanya kapasitas bendung merupakan salah satu kendala dalam mengelola sumberdaya air. Kapasitas disini bukan dalam artian kapasitas sebagaimana waduk tetapi kapasitas dalam menyalurkan air dari hulu, baik untuk dipakai oleh sektor-sektor pemakai air maupun air yang dibuang langsung ke laut sebagai limpasan apabila terjadi kelebihan debit (terutama di musim penghujan). Bendung-bendung ini dibangun untuk menghubungkan sungai yang ada di wilayah tersebut dengan saluran induk dari Waduk Juanda, dimana sepanjang sungai-sungai yang ada tidak terdapat bangun penyimpan air namun hanya bendung gerak dan pintu pengatur air. 5.5.1. Kendala Kapasitas Bendung Curug Bendung Curug merupakan bendung terhulu sesudah Waduk Juanda, yang berfungsi sebagai pembagi air dari Waduk Juanda ke saluran induk Tarum Timur, Tarum Utara dan Tarum Barat. Banyaknya air yang dapat diberikan dari Waduk Djuanda sangat bergantung pada kapasitas Bendung Curug. Begitu juga dengan air yang dapat disalurkan ke Tarum Barat sangat tergantug pada kapasitas bendung ini. Total air yang disalurkan pada ketiga saluran induk ini tidak dapat melebihi kapasitas bendung Curug, yang secara matematis dapat dilihat pada persamaan berikut
KBCR (t )³ OFCRTB (t )+ OFCRTT (t )+ OFCRTU (t )
(24)
104
dimana :
KBCR (t) OFCRTB (t) OFCRTT (t) OFCRTU (t)
=
kapasitas Bendung Curug (m3/detik/dua mingu)
=
outflow dari Curug ke Tarum Barat (m3/detik/dua mingu)
=
outflow dari Curug ke Tarum Timur (m3/detik/dua mingu)
=
outflow dari Curug ke Tarum Utara (m3/detik/dua mingu)
5.5.2. Kendala Kapasitas Bendung Cibeet Bendung Cibeet, bendung yang ada di sungai Cibeet dan merupakan pengatur air sungai Cibeet serta melayani wilayah Cibeet dan wilayah pertemuan antara sungai Cibeet dan saluran induk Tarum Barat. Saluran induk Cibeet terhubung dengan saluran induk Tarum Barat dan sebagai penambah debit. Kapasitas Bendung Beet ini selain berhubungan dengan wilayah pelayanannya tetapi juga sebagai kendala yang membatasi air yang dapat disalurkan dari bendung ini ke saluran induk Tarum Barat.
KBBT (t )³ IFKBTA(t )
(25)
dimana :
KBBT (t) IFKBT (t)
=
kapasitas Bendung Cibeet (m3/detik/dua mingu)
=
inflow sungai Cibeet ke Bendung Beet (m3/detik/dua mingu)
5.5.3. Kendala Kapasitas Bendung Cikarang Bendung Cikarang yang terletak dibangun pada persimpangan sungai Cikarang dengan saluran induk Tarum Barat. Sama seperti Bendung Cibeet, berfungsi mengatur penyaluran air dan tinggi muka air dari kedua sumber tersebut. Sungai Cikarang sebagai pengatur pembuangan ke laut apabila terjadi debit air yang ada melebihi kapasitas Bendung Cikarang dan kebutuhan sektor pemakai air di wilayah Cikarang dan Bekasi. Air yang disalurkan oleh Bendung ini lebih kecil dari kapasitas bendung tersebut, secara matematis dapat dilihat pada pertidaksamaan berikut
KBCK (t )³
(OFBTBL (t )+ IFKCK (t ))
(26)
105
dimana :
KBCK (t) = kapasitas Bendung Cikarang (m3/detik/dua mingu) 5.5.4. Kendala Kapasitas Bendung Bekasi Bendung Bekasi merupakan bendung terhilir yang terletak di saluran induk Tarum Barat, bendung ini dibangun di persimpangan sungai Bekasi dan saluran induk Tarum Barat. Bendung ini berperan penting, selain untuk wilayah layanannya juga merupakan sumber utama PAM DKI. Pada bendung Bekasi terdapat tiga salutran utama yakni saluran Tarum Barat yang menyalurkan air baku PAM DKI, saluran irigasi, dan suplesi ke laut. Saluran sulesi ke laut ini merupakan terusan kali Bekasi yang berfungsi untuk penyaluran air yang berlebih. Saluran ini bermuara di saluran pembuangan gabungan antara kali Cikarang dan Bekasi yang disebut CBL (Cikarang Bekasi Laut). Kendala kapasitas Bendung Bekasi secara matematis dapat dilihat pada pertidaksamaan berikut
KBBK ³ IFKBK (t )+ OFCKBL (t )
(27)
dimana
KBBK (t) =
kapasitas Bendung Bekasi (m3/detik/dua mingu)
5.6. Kendala Kapasitas Saluran Induk Tarum Barat Saluran induk Tarum Barat berperan penting dalam penyaluran air ke wilayah Tarum Barat, saluran ini untuk menyalurkan air dari Bendung Curug, mengatasi kekeurangan air di wilayah Tarum Barat. Air yang disalurkan ke wilayah Tarum barat tidak melebihi kapasitas saluran ini, yang secara matematis dapat dilihat sebagai berikut
KSTB (t )³ OFCRTB (t )
(28)
dimana KSTB (t) = kapasitas saluran induk Tarum Barat (m3/detik/dua mingu)
106
5.7. Kendala Penyimpanan Waduk Penyimpanan waduk selalu berubah setiap waktu, tidak seperti penyimpanan sungai (bendung) yang relatif konstan. Penyimpanan di waduk sangat tergantung pada inflow dari sumber utama dan inflow dari sumber lainnya serta outflow ke wilayah hilirnya sekarang. Selain itu penyimpanan waduk saat ini juga tergantung pada sisa penyimpanan periode akhir sebelumnya. Stok air yang ada di Waduk Juanda pada setiap tahap keputusan. dirumuskan sebagai berikut
STJ ( t + 1) = STJ ( t ) + { IFCTJ ( t ) + IFSLJ ( t ) − OFJCR ( t )} * cv ( t )
(29)
diimana :
STJ (t+1) STJ (t) IFCTJ (t)
=
stok air di Waduk Juanda pada periode t+1 (ribu m3)
=
stok air di Waduk Juanda pada periode t (ribu m3)
=
inflow dari sungai Citarum ke Juanda (m3/detik/dua mingu)
IFSLJ (t)
=
inflow dari sungai lain ke Juanda (m3/detik/dua mingu)
5.8. Kendala Total Luas Lahan Luas lahan optimal setiap golongan sawah, wilayah serta musim tanam lebih kecil atau sama dengan total luas lahan yang tersedia pada setiap wilayah. Luas lahan optimal terjadi pada saat alokasi sumberdaya optimal,yang sangat bergantung pada air yang tersedia.
L jkn £ TL jkn
(30)
dimana :
Ljkn
=
luas lahan optimal per golongan sawah per wilayah per musim tanam (ha)
TLjkn = total luas lahan yang tersedia per golongan sawah per wilayah per musim tanam (ha)
107
5.9. Kendala Efisiensi Efisiensi areal irigasi berkaitan dengan hilangnya air di lahan melalui perkolasi. Sedangkan efisiensi saluran induk (Ec) dan efisiensi saluran distribusi atau saluran sekunder (Ed) berhubungan dengan hilangnya air melalui perembesan. Pada penelitian ini efisiensi saluran tidak dipakai, tetapi menggunakan prsentase hilangnya air di petak sawah (lpt), hilangnya air di saluran sekunder (lss) dan hilangnya air di saluran induk (lsi). Ketiga presentase ini sangat mempengaruhi keputusan berapa volume air yang harus diberikan melalui bendung, sehingga air yang disalurkan dapat memenuhi kebutuhan sektor pemakai air di wilayah hilir. 5.10. Horison Waktu Periode horison waktu ditentukan dengan sengaja, yaitu mulai bulan pertama masa tanam di wilayah tersebut selama setahun. Pemilihan tersebut berdasarkan pada kondisi dimana suplai air untuk sektor non pertanian relatif tetap setiap bulannya sedangkan suplai air pertanian sangat dipengaruhi oleh masa tumbuh tanaman. Horison waktunya setahun dengan 24 tengah bulanan periode waktu (t). Periodenisasi mengikuti penyaluran air dari bendung Curug yang sangat variatif dan berubah dalam jangka waktu yang singkat maka periode 2 mingguan atau setengah bulanan ini yang dipilih. Selain itu memudahkan dalam menghitung kebutuhan air pertanian yang disesuaikan dengan
musim tanam. Periode
horison waktu ini dibagi dalam 24 tahap keputusan (t = 1,2,..., 24). Tahapan keputusan dalam penelitian ini adalah suplai air setiap tengah bulannya ke masing-masing sektor dalam hal ini pertanian, domestik dan industri, yaitu t = 1, minggu I -II bulan Oktober; t = 2, minggu III – IV bulan Oktober; dan seterusnya.
108
5.11. Variabel Keputusan Suplai air sebagai variabel keputusan (the decision variable), karena suplai air ini akan mempengaruhi produksi padi yang akan dihasilkan dari wilayah tersebut. Suplai air ke sektor pertanian dan non pertanian sangat mempengaruhi satu dengan lainnya, karena keduanya memperoleh air dari sumber yang sama. Kelebihan atau kekurangan suplai ke salah sektor akan mempengaruhi sektor lainnya. Hampir seluruh wilayah ini merupakan areal persawahan dimana air merupakan kebutuhan utama sejak pengolahan tanam sampai masa tumbuh tanaman. Hasil yang diharapkan dari setiap tahap (stage return) adalah benefit ataupun profit yang diperoleh akibat suplai air yang dilakukan. Benefit ini ada yang secara langsung dinikmati petani, ada juga yang dinikmati pengelola dalam hal ini Perum Jasa Tirta II.
Hasil ini merupakan penjumlahan benefit yang
diperoleh dari sektor pertanian, domestik dan industri. Asumsi yang mendasari hasil dalam setiap tahapan adalah bahwa 1. Harga padi merupakan harga yang diterima petani di wilayah tersebut 2. Teknologi yang digunakan sama di setiap wilayah yang sama 3. Harga air domestik merupakan harga air yang diberlakukan Perum Jasa Tirta II kepada perusahaan pengelola air minum. 4. Harga air industri merupakan harga air baku yang diberlakukan Perum Jasa Tirta II kepada industri.
VI. METODE PENELITIAN 6.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Daerah Irigasi Jatiluhur yang merupakan wilayah kerja dari Perum Jasa Tirta II, khususnya wilayah yang dilayani oleh Saluran Tarum Barat atau wilayah antara Bendung Curug sampai dengan Bendung Bekasi. Lokasi penelitian ini dipilih dengan sengaja (purposive), berdasarkan kompetisi antar sektor pemakai air, dimana wilayah yang dilayani Saluran Induk Tarum Barat lebih kompetitif dibandingkan dengan wilayah Tarum Utara dan Tarum Barat. Wilayah penelitian ini terdiri dari wilayah Curug, wilayah Cibeet (A dan B), Cikarang (A dan B) serta Bekasi (A,B dan C). Penentuan sub wilayah A, B dan C berdasarkan saluran dari masing-masing bendung. Wilayah Curug merupakan wilayah yang dilayani dari saluran induk Tarum Barat antara Bangunan Tarum Barat (BTB) 1 sampai dengan BTB 22. Selanjutnya sub wilayah Cibeet A merupakan wilayah yang dilayani oleh Bendung Cibeet yang bersumber dari Kali Cibeet atau sebelah selatan saluran induk Tarum Barat. Sub wilayah Cibeet B merupakan wilayah antara pertemuan kali Cibeet dengan dengan saluran induk Tarum Barat dan Bendung Cikarang. Sub wilayah Cikarang A merupakan wilayah yang dilayani oleh saluran Cikarang A atau kali Cikarang sedangkan sub wilayah Cikarang B dilayani oleh saluran induk Tarum Barat, yang terletak antara Bendung Cikarang dan Bendung Bekasi. Wilayah Bekasi terdiri dari sub wilayah Bekasi A merupakan wilayah yang dilayani oleh saluran Bekasi A atau biasa dikenal dengan tempat pengambilan air irigasi (intake irigasi). Sub wilayah Bekasi B merupakan wilayah yang dilayani oleh saluran Bekasi B dalam hal ini saluran khusus untuk PAM DKI (Kali
110
Malang), sedangkan wilayah Bekasi C merupakan wilayah dari saluran Bekasi C atau saluran limpasan dari Bendung Bekasi yang menuju ke laut. Bendung yang diambil sebagai sampel semuanya bendung gerak, yang fungsinya hanya menaikkan tinggi muka air dan mengatur volume air yang keluar, bukan sebagai penyimpan air. Sektor yang diambil adalah sektor pertanian, sektor domestik (PDAM) dan sektor industri, semua sektor ini letaknya sebelah utara dari saluran induk Tarum Barat. Sedangkan sektor-sektor yang mengambil air di hulu atau sebelah selatan bendung tidak diambil kecuali sub wilayah Cibeet A. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Mei 2004, yang diawali dengan penyusunan proposal, pengumpulan data, pengolahan data dan penyusunan disertasi. 6.2. Pengambilan Data Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara kelompok tani yang ada di setiap wilayah layanan bendung. Data yang dikumpulkan terdiri
produktivitas, total biaya
usahatani per musim tanam, dan biaya air irigasi. Responden petani dipilih secara sengaja menurut wilayah layanan bendung dan golongan sawah. Sedangkan data sekunder dengan mengumpulkan dari Perum Jasa Tirta II, PDAM Kota dan Kabupaten Bekasi, PAM DKI serta BPS. 6.3. Sistem Pengairan di Daerah Irigasi Jatiluhur Sebelum melakukan penghitungan benefit optimal, perlu dicermati alur pengaliran mulai dari Waduk Juanda sampai ke hilir. Adapaun alur aliran airnya adalah sebagai berikut 1. Air keluar dari Waduk Juanda melalui turbin atau holojet ke Bendung Curug. 2. Dari Bendung Curug dialirkan ke tiga saluran induk, yakni Saluran Induk (SI)
111
Tarum Barat, Tarum Utara dan Tarum Timur. 3. Di Tarum Barat dialirkan ke hilir sepanjang aliran antara Curug sampai dengan pertemuan dengan SI Beet, air disalurkan ke sektor pemakai yakni pertanian, industri dan PDAM. 4. Bendung Cibeet menerima air dari Kali Cibeet disalurkan ke sektor pemakai air wilayah Cibeet dan sisanya merupakan tambahan bagi sisa air Curug,dialirkan ke pemakai air antara Cibeet dan Cikarang, dan sisanya masuk ke Bendung Cikarang.
LAUT B E K A S I C
J A W A
C BL TAR U M U TAR A B.C BL
BEK AS I A
C IK AR AN G A
C IBE ET B TARU M TIM UR
BEK AS I B B.B EK AS I
C IK AR AN G B
B .C IIKA R AN G
B .C U RU G
TARU M B ARA T C IBE ET A
KETERANGAN WADUK BENDUNG
K. B E K A S I
PDAM INDUSTRI
K. C I K A R A N G
W .JU AND A B .C IBEET
K. C I B E E T
S . C I T A R U M
PERTANIAN
Gambar 9.
Sistem Pengairan Tarum Barat
112
5. Bendung Cikarang menerima air dari Kali Cikarang, dan sisa air pada poin 4, disalurkan ke saluran kali Cikarang (saluran Cikarang A/CKA) dan SI Tarum Barat (saluran Cikarang B/CKB) yang menghubungkan Bendung Cikarang dan Bekasi, untuk memenuhi permintaan sektor pemakai air baik di Saluran CKA maupun CKB. Saluran CKA selain untuk memenuhi kebutuhan di wilayah hilir kali Cikarang juga untuk membuang kelebihan air dari bendung Cikarang ke saluran CBL (Cikarang Bekasi Laut). 6. Bendung Bekasi menerima air dari Kali Bekasi dan sisa air di CKB, air tersebut dialirkan ke Saluran Bekasi A (intake irigasi)
untuk memenuhi
permintaan sektor pertanian, PDAM dan industri kota Bekasi; Bekasi B untuk memenuhi permintaan PAM DKI dan Bekasi C untuk menyalurkan limpasan ke CBL, secara skematis dapat dilihat pada Gambar 5. 6.4.
Perhitungan Volume Air Selain alur aliran air, dalam perhitungan besarnya air yang disalurkan dari
bendung maupun tambahan dari bendung Curug, melalui beberapa langkah yakni 1. Air yang dibutuhkan masing-masing sektor yakni (Xijk). Pada sektor pertanian (X1jkmn) merupakan air yang ada di petak sawah, di petak sawah ini diasumsikan terjadi kehilangan air baik karena perkolasi, perembesan dan penguapan yang disebut kehilangan air di petak tersier dan disimbolkan dengan lpt besarnya adalah 20 persen dari total air yang disalurkan. 2. Air yang dibutuhkan masing-masing sektor tersebut akan disalurkan dari bendung, pada saat penyaluran diasumsikan air mengalami penguapan dan perembesan akibat kerusakan jaringan yang disebut kehilangan air di saluran sekunder yang disimbolkan dengan lss, sebesar 10 persen. 3. Dalam mengatasi kekurangan air dari masing-masing bendung, akan
113
disalurkan dari Bendung Curug dan dalam perjalanannya mengalami penguapan dan perembesan di sepanjang saluran induk Tarum Barat yang disimbolkan dengan lsi, sebesar 5 persen. Air yang disalurkan dari Bendung Curug ke masing-masing bendung dilambangkan WIR1k , WIR2k , WDOk dan
WINk. X11 LPT
X26 WDOK
LSS
L1
LSS WIR01 LSI
X12 LPT
LSS
LSS
WDO
L2
X27
WDOS LSI
WIR02
NI2
LSI
LSI
NI3
WDOB WIR03
L3
LSS
WIR
LSI
X28 LSI
LSS
ND1
LPT
BENDUNG
X13
NI1
LSI
WIR04
LSS
LSI
X39
WINK LPT
LSI
ND2
X14 LSS
WIR05
WIN
LSS
LSI
X310
WINS
L4 LSI
L5 LSS LPT
ND3
WINB LSS
X311
X15
Gambar 10.
Skema Penghitungan Volume Air
6.5. Metode Analisis Pemecahan problem optimasi dinamik telah didasarkan pada kerangka model (Gambar 7) maupun dalam bentuk rumusan metematis pada sub bab 5.4. Decision variable adalah aktivitas alokasi air menurut sektor, golongan, wilayah, dan untuk sektor pertanian ditambah menurut tahap pertumbuhan dan musim tanam. Alokasi sektor pertanian yang memiliki keunikan, dimana penjadwalan awal musim tanam ditentukan oleh golongan sawah, dimana setiap golongan sawah berbeda satu periode (tengah bulan). Golongan sawah I awal musim
114
tanam I pada periode awal penelitian, t=1 yakni Oktober I-II, sedangkan golongan sawah II mulai pada t=2 (Oktober III-IV) dan seterusnya. Air yang dibutuhkan pada setiap tahapan pertumbuhan tidak sama sehingga dalam satu periode, alokasi untuk air untuk sektor pertanian bervariasi menurut golongan dan musim tanam. Jadwal ini berlanjut sampai pada musim tanam II, sehingga akhir musim tanam II pada setiap wilayah disesuaikan dengan golongan yang ada (Tabel 16). Sektor domestik dan industri alokasi sumberdaya airnya dibatasi dalam suatu selang tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas yang tersedia pada masing-masing sektor. Tabel 16.
PERIODE 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Okt-I Okt-II Nov-I Nov-II Des-I Des-II Jan-I Jan-II Feb-I Feb-II Mar-I Mar-II Apr-I Apr-II Mei-I Mei-II Jun-I Jun-II Jul-I Jul-II Ags-I Ags-II Sep-I Sep-II
Alokasi Sumberdaya Air ke Sektor Pertanian Berdasarkan Golongan dan Tahap Pertumbuhan di DI Jatiluhur Tahun 2003-2004
OT1 √ √ √ √ √
√ √ √ √ √
Alokasi Air ke Petak Sawah per Tahap Pertumbuhan per hektar OT2 TN TH1 TH2 TH3 BG1 BG2 MG1 MG2 √ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
⎯ ⎯ ⎯ ⎯ ⎯
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
Keterangan : √ aktivitas - tidak ada aktivitas OT: olah tanah 1,2; TN: transplanting; TH: pertumbuhan vegetatif 1-3; BG : pembungaan 1,2; MG: pematangan 1,2
Periode keputusan tengah bulanan dengan mempertimbangkan tahapan pertumbuhan tanaman padi, horison waktunya satu tahun. Dalam musim tanam I
115
terdapat 10 tahapan pertumbuhan yang berarti 10 periode keputusan untuk setiap golongan sedangkan musim tanam II terdapat 9 tahapan pertumbuhan. State variable dalam penelitian ini adalah stok Waduk Juanda. Fungsi tujuannya memaksimumkan net benefit dari sektor pemakai air dengan kendala kapasitas waduk, total luas lahan, kapasitas saluran sehingga diperoleh alokasi air optimum untuk semua sektor. Stage returnnya tengah bulanan untuk sektor domestik dan industri sedangkan untuk sektor pertanian setiap musim tanam. Sektor pemakai air yang diamati adalah pertanian, industri dan PDAM. Sektor industri dan PDAM hanya yang terdaftar dan dilayani oleh PJT II. Sektor pertanian terdiri dari 5 kelompok lahan yakni golongan sawah I sampai dengan V, dimana penggolongan ini mengikuti penggolongan yang dilakukan oleh PJT II, berdasarkan jarak lahan dengan saluran sekunder. Sektor domestik adalah PDAM yang dikelompokkan dalam 3 kelompok yakni kelompok PDAM kecil (<100.00 ribu m3 per tengah bulanan), kelompok sedang (150.00 ribu m3- 500.00 ribu m3 per tengah bulanan), besar (> 500.00 ribu m3 per tengah bulanan). Begitu juga dengan sektor industri dikelompokkan dalam 3 kelompok yakni industri kelompok kecil (<10.00 ribu m3 per tengah bulanan), sedang (10.00 ribu m3 – 100,00 ribu m3 per tengah bulanan) dan besar (>100.00 ribu m3 per tengah bulanan). Dalam seluruh sub sistem pengairan Tarum Barat terdapat 55 variabel keputusan alokasi air, untuk sektor pertanian dengan 2 musim tanam 34 variabel keputusan, atau menjadi 340 variabel untuk seluruh tahap pertumbuhan, sektor domestik 9 variabel dan sektor industri 12 variabel (Tabel 15). Prosedur analisis dibagi dalam beberapa langkah, yang pertama menaksir kebutuhan air bagi ketiga sektor pemakai air yakni pertanian, PDAM dan industri. Selanjutnya, menentukan produktivitas lahan setiap wilayah dengan menggunakan fungsi respons hasil, produktivitas aktual yang diperoleh
116
mencerminkan berapa besar kontribusi air irigasi yang diberikan terhadap produktivitas (persamaan 2 pada bab V). Selain produktivitas, luas lahan yang diairi juga dihasilkan dari model net benefit pertanian ini. Nilai air untuk sektor pertanian diperoleh dengan mengalikan luas lahan dengan harga gabah di tingkat petani kemudian dikurangi dengan biaya input lain dan biaya air irigasi (persamaan 3 pada bab V). Kemudian menghitung net benefit sektor domestik (PDAM), fungsi produksi PDAM diadopsi dari Syaukat (2000), dengan memodifikasikannya sesuai dengan data dan kondisi masing-masing PDAM, sehingga diperoleh koefisien dan konstanta biaya pengolahan dan distribusi. Net benefit sektor ini diperoleh dengan menghitung selisih antara total revenue yang diperoleh dengan total cost yang dikeluarkan (persamaan 4 – persamaan 6 pada bab V). Sedangkan perhitungan nilai air yang dialokasikan ke sektor industri, sektor industri yang ada beragam outputnya maka nilai air yang digunakan sektor tersebut didekati dengan konsep surplus konsumen. Diawali dengan menghitung koefisien permintaan air industri terhadap harga, menggunakan analisis regresi sederhana (persamaan 7 pada bab V). Selanjutnya dengan koefisien permintaan yang telah diperoleh, dapat ditentukan kurva permintaan sektor tersebut dan dapat diketahui luasnya area dibawah kurva permintaan air baku (persamaan 8 pada bab V ) . Selain menghitung net benefit pemakai air, net benefit pengelola dalam hal ini Perum Jasa Tirta II juga dihitung. Net benefit pengelola (persamaan 11 pada bab V) diperoleh dengan mengurangkan antara penerimaan akibat penyaluran air ke sektor pemakai air (persamaan 9 pada bab V) dengan biaya yang dikeluarkan selama penyaluran tersebut, dimana biaya yang dikeluarkan terdiri dari biaya tetap dan biaya distribusi (persamaan 10 pada bab V). Dalam penelitian ini air irigasi ditentukan harganya sebesar Rp 5.00 per
117
meter kubik, disesuaikan dengan harga air irigasi yang dipakai oleh IFPRI dalam Model DAS Brantas. Net benefit sosial merupakan net benefit kumulatif dari ketiga sektor pengguna air baku dan PJT II sebagai pengelola sekaligus sebagi produsen dan pemilik sumberdaya air (persamaan 12 pada bab V). Optimasi benefit sosial ini dilakukan dengan serentak karena dianggap pengguna dan pengelola mempunyai kepentingan yang sama terhadap air yang disalurkan (persamaan 13 pada bab V). 6.6. Kendala Model Daerah Irigasi Jatiluhur Kondisi yang dibutuhkan dalam mengoptimalkan fungsi tujuan yakni keseimbangan pada masing-masing bendung dimana keseimbangan ini saling berkaitan
satu
dengan
lainnya,
sehingga
keseimbangannya
merupakan
keseimbangan keseluruhan sistem pengairan. Keseimbangan menggambarkan ketersediaan air pada masing-masing node (bendung) dan kebutuhannya dan secara serentak akan dipenuhi dengan penyaluran air dari Bendung Curug (persamaan 14 – 23 pada bab V ). Jika air yang tersedia pada masing-masing wilayah telah mencukupi maka tidak diperlukan tambahan dari Bendung Curug. Banyaknya air yang dapat diberikan dari Waduk Juanda sangat bergantung pada sarana yang ada di Tarum Barat, baik bendung sebagai pengatur tinggi muka air maupun saluran-saluran yang ada. Air yang disalurkan dari Bendung Curug tidak akan melebihi kapasitas saluran dan bendung tersebut, kapasitas bendung dan saluran telah dirancang untuk menyalurkan air sesuai kebutuhan wilayah tersebut (persamaan 24 –28 pada bab V). Setiap bendung berfungsi sebagai pengaturan tinggi muka air agar pada tinggi muka air normal, dilengkapi dengan saluran yang dapat digunakan sebagai limpasan. Kelebihan air dari hulu diantisipasi dengan menyalurkannya pada saluran tersebut. Di bendung Cikarang, saluran Cikarang A (Sungai Cikarang),
118
langsung terhubung dengan bendung CBL (Cikarang Bekasi Laut), sehingga air yang melewati saluran Cikarang A sesuai dengan kebutuhan pada wilayah tersebut, sedangkan sisanya disalurkan ke CBL. Begitu juga dengan Bendung Bekasi, pada saluran Bekasi C (Sungai Bekasi), sebagai saluran pembuangan dan bermuara pada saluran CBL.Saluran-saluran pembuang tersebut dalam analisis akan diatur sehingga selalu menyalurkan kelebihan air dari saluran induk. Selain kendala teknis sistem pengairan, ada juga kendala total luas lahan yang tersedia, sehingga luas lahan optimal yang diperoleh dari hasil optimasi tidak melebihi luas lahan yang tersedia pada masing-masing wilayah (persamaan 30 pada bab V ). Kendala transisi atau stok air di Waduk Juanda merupakan kondisi yang selalu berubah akibat aktivitas yang dilakukan, stok waduk ini dapat dilihat pada persamaan (29 pada bab V). 6.7. Model Perumusan Optimasi Dinamik Memaksimalkan present value (PV) manfaat bersih (persamaan 26 pada bab V) melalui aktivitas alokasi sumberdaya air (Xijk) pada setiap tengah bulanan. Kendala pertama adalah persamaan transisi yang menggambarkan kondisi state variable yang terkait dengan variabel waktu volume air di Waduk Juanda. Berikutnya adalah kendala persamaan kondisi keseimbangan di Waduk Juanda (persamaan 29 pada bab V), ketidaksamaan kondisi ketersediaan lahan (persamaan 30 pada bab V), kondisi awal ketersediaan air di Waduk Juanda, kapasitas bendung dan saluran, serta batas bawah dan atas outflow dari Waduk Juanda ke Bendung Curug (persamaan 28 pada bab V), dan dari Bendung Curug ke Saluran Induk Tarum Barat.
119
6.7.1. Fungsi Lagrange Pemecahan alokasi optimal dari rumusan fungsi tujuan dan kendala transisi didasarkan pada persamaan (29) dan (30) pada bab V, didasarkan pada persamaan PV Langrange sebagai berikut :
ìï éSTJt + R (STJt )- ùü ï ïï úïï L (X ijkt , STJt )= å r í NSB (STJt , Yt )+ r l t + 1 êê ý úï ïï t= 0 êëY (X ijkt )+ STJ t + 1 ú ûþïï îï T
t
(1)
dimana ρ adalah tingkat faktor diskonto (discount factor); NSB(.) adalah manfaat bersih tengah bulanan. 6.7.2. Kondisi Optimal Untuk mendapatkan nilai optimal dari ekstraksi Y(Xijkt), stok (STJt) dan shadow price, maka dicarilah turunan pertama parsial dari fungsi Lagrangian respek terhadap Xijkt, STJt dan r l t + 1 ,
⎧ ∂NSB ( ) ⎫ ∂L = ρt ⎨ − ρλt +1 ⎬ = 0 ∂Yt ⎩ ∂Yt ⎭
(2)
⎧ ∂NSB ( ) ⎫ ∂L = ρt ⎨ + ρλt +1 ⎣⎡1 + R′ ( ) ⎦⎤ ⎬ − ρ t λt = 0 ∂STJ t ⎩ ∂STJ t ⎭
(3)
∂L
∂ ( ρλt )
= ρ t {STJ t + R ( STJ t ) − Yt − STJ t +1} = 0
(4)
maka ¶ NSB(g) ¶ Yt
= r l t+ 1
dimana pada kondisi optimal marginal net benefit opportunity cost . yang juga disebut user cost, r l t + 1 .
(5)
¶ NSB(g) ¶ Yt
sama dengan
120
lt=
{
¶ NSB(g) ¶ STJ t
}
- r l t + 1 éë1 + R ¢(g)ùû
(6)
Persamaan (3) menunjukkan sumberdaya dikelola secara optimal ketika nilai setiap pertambahan unit sumberdaya pada periode t. , l benefit pada periode t ,
¶ NSB(g) ¶ STJ t
t
sama dengan marjinal
ditambah dengan marjinal benefit jika tidak
melakukan ekstraksi pada periode berikutnya r l t + 1 éë1 + R (g)ù û. Operasional optimasi MODEL–DIJ dianalisis dengan perangkat lunak (software) GAMS versi DOS Release 2.25 MINOS 5.
Formulasi pernyataan
bahasa GAMS dikembangkan dari pola dasar perumusan program GAMS pada The Model of Integrated Surface and Ground Water Management in Jakarta Region yang disusun oleh Syaukat (2000), dapat dilihat pada Lampiran 27. Deskripsi keputusan alokasi air optimal didasarkan pada besaran yang terdapat dalam kolom “LEVEL” dari variabel keputusan yang terdapat pada hasil analisis pemecahan dengan program GAMS (output GAMS). User cost air yang tersimpan, dalam kolom “MARGINAL” output GAMS dari persamaan (equation) dari kendala stok waduk. 6.8. Penentuan Besaran Variabel dan Koefisien 6.8.1. Koefisien Fungsi Respons dan Permintaan Air Baku Batas volume air yang dialokasikan ke petak sawah sama dengan yang dilakukan oleh PJT II berdasarkan hasil penelitian BALITPA, yakni total minimum 40.00 ribu meter kubik dalam satu musim tanam per hektar sedangkan total maksimumnya 44.00 ribu meter kubik. Total alokasi air ke petak sawah tidak boleh kurang atau lebih karena akan mengganggu produktivitas atau menyalahi syarat agronomis.
121
Besarnya variabel alokasi sumberdaya air dilihat pada tingkat LEVEL hasil analisis GAMS, begitu juga dengan luas lahan optimal dan outflow dari masing-masing bendung. Parameter atau koefisien b pada fungsi respons diperoleh dari data sekunder berdasarkan ketetapan dari FAO dan dipalai oleh PJT II, yakni sebesar 1.15 pada pada masa pertumbuhan vegetatif sampai dengan pembungaan dan lebih besar 0.80 pada masa pematangan. Koefisien dan intersep pada permintaan air baku domestik dan industri diperoleh melalui analisis regresi sederhana dengan menggunakan data runtut waktu tahun 1994 sampai dengan tahun 2004. 6.8.2. Harga Air untuk Irigasi, Air Baku PDAM dan Industri Harga air irigasi diambil dari hasil penelitian Model Simulasi dan Optimasi DAS Brantas yang dilakukan Ringler et.al. (2002) yakni sebesar Rp. 5.00 per meter kubik. Harga air baku PDAM kabupaten dan kota 45.00
per
meter
kubik,
sesuai
Kepmen
Bekasi sebesar Dep.
Kimpraswil
Rp. No.
201/KPTS/M/2004Tanggal 19 Maret 2004 (Untuk PDAM Kabupaten/Kota). Sedangkan harga air baku PDAM sebesar Rp.100.00 berdasarkan Kepmen Dep. Kimpraswil No. 304/KPTS/M/2003 Tanggal 28 Oktober 2003 dan Kepmen Dep. Kimpraswil No. 306/KPTS/M/2003 Tanggal 4 Agustus 2004. Harga air baku industri sebesar Rp. 50.00 berdasarkan Kepmen Dep. Kimpraswil No. 202/KPTS/M/2003 Tanggal 19 Maret 2004. 6.9. Simulasi Teknis dan Ekonomi Untuk melihat sampai sejauh mana alokasi optimum akan berubah akibat berbagai perubahan teknis dan ekonomi ke dalam model. Berdasarkan data historis sejak tahun 1994 sampai dengan 2004, permintaan air baku sektor
122
domestik dari tahun ke tahun terus meningkat walaupun peningkatan tidak dalam jangka pendek biasanya pada tahun berikutnya. Peningkatan air baku sejak tahun 2000 meningkat sebesar 10 persen, karenanya besarnya peningkatan ini pula yang dipakai sebagai dasar skenario 1. Begitu juga dengan sektor industri walaupun peningkatannya lebih lambat dan nilai perubahannya lebih kecil dibandingkan dengan sektor domestik, hanya berkisar 3 persen. Peningkatan air industri ditentukan sebesar 5 persen lebih besar dari kondisi aktual dengan asumsi bahwa perkembangan industri akan berkembang lebih cepat sehingga kebutuhan air baku industri juga meningkat, ini pula yang dijadikan pertimbangan untuk penentuan skenario 2. Skenario 3 merupakan kombinasi antara skenario 1 dan 2. Sedangkan skenario 4 dari sisi pengelola yakni peningkatan harga air baku PAM DKI sebesar 10 persen, merupakan usulan dari Perum Jasa Tirta II, agar bisa menutupi biaya operasional. Selanjutnya, dari sisi petani, dimana petani sangat bergantung pada harga gabah yang dihasilkan, sebagai dasar pertimbangan adalah peningkatan harga gabah sebesar 25 persen sebagai skenario 5, berdasarkan wawancara langsung pada kelompok tani bahwa jika harga gabah meningkat maka petani dapat memperoleh keuntungan lebih tinggi per musim tanamnya. Skenario 6 dan 7 merupakan skenario kombinasi, yakni skenario 6 merupakan kombinasi skenario 2 dan 3, skenario 7 merupakan kombinasi skenario 2 dan 5.
VII. ALOKASI AIR INTERTEMPORAL 7.1. Alokasi Air Aktual dan Optimal Wilayah Tarum Barat mulai dari Bendung Curug sampai dengan Bendung Bekasi, terdiri dari 4 wilayah yakni wilayah Curug, Cibeet, Cikarang dan Bekasi. Wilayah tersebut dibagi dalam beberapa sub wilayah, dimana sub wilayah ini disesuaikan dengan saluran yang ada pada masing-masing bendung kecuali Curug. Wilayah Cibeet terdiri dari sub wilayah Cibeet A dan B, wilayah Cikarang terdiri dari sub wilayah Cikarang A dan B serta wilayah Bekasi terdiri dari sub wilayah Bekasi A dan B. Aktivitas alokasi air aktual di Wilayah Tarum Barat, mulai dari Bendung Curug sampai ke Bendung Bekasi terdapat 38 aktivitas. Aktivitas sektor pengguna air terdiri dari pertanian 17 aktivitas, domestik (PDAM) 9 aktivitas dan industri 12 aktivitas (Tabel 17). Total luas lahan pertanian yang ada 51.77 ribu hektar, 10 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan 39 industri. Aktivitas alokasi air optimum yang dihasilkan dari optimasi Model DIJ ke sektor pertanian, baik pada musim tanam I maupun pada musim tanam II di wilayah Curug, sub wilayah Cibeet A dan B serta Cikarang A tidak mengalami perubahan. Artinya semua wilayah terairi baik pada musim penghujan maupun musim kering, dengan kata lain tidak mengalami kelangkaan air. Di Sub wilayah Cikarang B dan Bekasi A pada musim tanam II sudah mengalami kekeringan, banyak sawah yang tidak terairi akibat kekurangan air. Sementara itu, aktivitas alokasi air untuk sektor domestik dan industri tidak mengalami gangguan baik pada musim kering maupun musim hujan, hasil optimasi menunjukkan bahwa permintaan kedua sektor tersebut tetap terpenuhi sepanjang tahun. Model DIJ dibangun dengan melibatkan semua pihak yang terlibat dalam alokasi sumberdaya air di wilayah DI Jatiluhur, yakni pengguna dalam hal ini
124
sektor-sektor pengguna air (pertanian, PDAM dan industri) dan PJT II selaku operator
alokasi
sumberdaya
air
di
wilayah
ini.
Model
ini
bertujuan
memaksimumkan benefit semua pihak yang terlibat pada sistem pengairan ini, yakni sektor pengguna air dan pengelola. Tabel 17.
Alokasi Air Aktual dan Optimal per Sektor di Wilayah Tarum Barat
SEKTOR
CURUG
PERTANIAN MT I I II III IV V
A
√
-
√
-
-
INDUSTRI KECIL SEDANG BESAR
√
√
-
DOMESTIK KECIL SEDANG BESAR
B
√
-
MTII I II III IV V
Keterangan :
√
√ √ √
WILAYAH CIKARANG A B
CIBEET
√ √ √ √ √
√
√
-
alokasi air aktual
-
-
-
√ √
-
√ √
√ √ √
√
√
√ −
− √ −
√ √
√ √
√ √ √
√
-
√ √
-
-
-
√ -
B
√ -
√ √ √
√ √ √ √ √
-
BEKASI A
-
√ √ √
√
-
√ √
-
tidak ada aktivitas
alokasi air optimum
Hasil optimasi MODEL DIJ yang menunjukkan bahwa sektor pertanian, merupakan sektor yang dikalahkan ketika terjadi kelangkaan air, hal ini dapat dipahami apabila menilik kontribusi sektor ini terhadap penerimaan PJT II selaku operator. Total benefit yang dihasilkan per meter kubik air yang digunakan sektor
125
pertanian lebih kecil dibandingkan dengan kedua sektor lainnya. Kondisi aktual menunjukkan bahwa air irigasi tidak memberikan kontribusi langsung kepada PJT II, meskipun sektor ini merupakan pengguna air terbesar sekitar 79.80 persen (Tabel 9). MODEL DIJ dibangun dengan menetapkan tarif air irigasi sebesar Rp. 5.00 per meter kubik, tetapi ternyata sektor pertanian tetap dikalahkan (Tabel 19). Bila dibandingkan tarif yang diberlakukan pada dua sektor lainnya, yakni tarif air baku untuk industri sebesar Rp. 50.00, PDAM Kota dan Kabupaten Rp. 45.00 dan PAM DKI Rp. 80.00 (PJT II 2004) maka tarif air irigasi sangatlah kecil. Jika tarif air irigasi ditentukan seperti kondisi aktual Rp. 0.00 per meter kubik, maka diduga sektor ini tidak akan menerima penyaluran air terutama pada saat musim kering. Tabel 18.
Luas Lahan Aktual dan Optimum Berdasarkan Golongan, Musim Tanam dan Wilayah di Tarum Barat LUAS LAHAN (ha)
GOLONGAN
CIBEET
CURUG SAWAH
AKT
OPT
A AKT
CIKARANG B
OPT
AKT
MT I I II III IV V TOTAL
3850.00 3850.00 3850.00 3850.00
485.00 485.00 4032.00 4277.00 5440.00 4762.00 2015.00 485.00 485.00 20526.00
MT II I II III IV V TOTAL
3850.00 3850.00 3850.00 3850.00
485.00 485.00 4032.00 4277.00 5440.00 4762.00 485.00 485.00 18511.00
A OPT
B
AKT
OPT
4032.00 4277.00 5440.00 4762.00 2015.00 20526.00
3772.00 3619.00 2367.00 9758.00
4287.00 4287.00 3772.00 4940.00 4940.00 3619.00 1889.00 1889.00 2367.00 9758.00 11116.00 11116.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
4032.00 4277.00 5440.00 4762.00 2015.00 20526.00
3772.00 1592.36 5364.36
4287.00 3772.00 4940.00 3619.00 831.16 2367.00 9758.00 10058.16
186.00 457.00 4129.00 643.20 5415.20
186.00 4129.00 4315.00
AKT
OPT
BEKASI A OPT AKT
4287.00 2110.19 6397.19
Keterangan: AKT : aktual, OPT : optimum, A,B : sub wilayah
Luas lahan optimum yang diairi di semua wilayah sama dengan luas lahan aktual pada musim tanam I, sedangkan pada musim tanam II terdapat perbedaan luas lahan optimum dengan lahan aktual yang diairi.
Perbedaan
126
tersebut terjadi di sub wilayah Cikarang B sampai dengan Bekasi A (Tabel 18). Kondisi aktual menunjukkan bahwa sawah golongan V di sub wilayah Cibeet B dan Cikarang A tidak diairi, dan di sub wilayah Bekasi A hanya sebagian yang diairi. Hasil optimasi menunjukkan bahwa sawah golongan V di sub wilayah Cibeet B dan Cikarang A diairi, dan di sub wilayah Bekasi A tidak diairi. Perbedaan luas sawah yang diairi pada musim tanam II terutama wilayah Cibeet B dan Cikarang A tersebut, yang mengakibatkan sebagian sawah di sub wilayah Bekasi tidak diairi. Apabila dilihat kembali jadwal penyaluran air pada musim tanam II (Tabel 16) menunjukkan bahwa awal tanam untuk sawah golongan III mulai pada bulan April, hal ini berarti di awal musim kemarau. Alokasi air untuk sektor pertanian tergantung pada ketersediaan air setempat, dalam hal ini sungai yang ada ditambah dengan suplai dari Bendung Curug. Suplai dari Bendung Curug, untuk sub wilayah Cikarang B dan Bekasi A dilayani melalui Bendung Cikarang, lewat saluran induk Tarum Barat dengan kapasitas maksimum saluran induk Tarum Barat (untuk ruas antara Bendung Cikarang dan Bekasi) dalam model ditetapkan sesuai dengan data teknis yakni 24 meter kubik per detik. Saluran induk ruas ini melayani sub wilayah Cikarang B serta Bekasi A dan B, hasil optimasi menunjukkan bahwa air yang disalurkan ke saluran induk tersebut pada kapasitas maksimum. Penyaluran air pada kapasitas maksimum di musim kemarau ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan semua sektor pengguna, yakni sebagian sawah tidak memperoleh air sedangkan alokasi ke sektor domestik baik PAM DKI maupun PDAM Bekasi serta industri memperoleh air namun pada batas bawah kebutuhan sektor tersebut. Alokasi air ke sektor pertanian, akan menghasilkan produktivitas lahan (persamaan 15 pada bab V) yang menunjukkan hubungan antara air yang diberikan dengan produksi yang dihasilkan. Alokasi air pada sektor tersebut
127
menghasilkan produktivitas yang bervariasi antara 5.41 ton per hektar pada sawah golongan I sampai dengan 3.36 ton per hektar pada sawah golongan V (Tabel 19). Produktivitas pada musim tanam I lebih tinggi dibandingkan pada musim tanam II, rendahnya produktivitas pada musim tanam II disebabkan karena air yang diberikan dibawah batas maksimum kebutuhan air tanaman padi. Produktivitas per hektar tersebut akan mempengaruhi total produksi padi per golongan sawah dan wilayah. Tabel 19. Produktivitas Aktual dan Optimum Berdasarkan Golongan, Musim Tanam dan Wilayah di Tarum Barat
AKT
OPT
PRODUKTIVITAS per ha (ton) CIBEET CIKARANG A B A B OPT OPT OPT OPT AKT AKT AKT AKT
MT I I II III IV V MT II
5.40 -
5.41 -
5.40 -
5.41 -
5.40 5.00 4.50 4.30 3.50
5.41 5.01 4.61 4.31 3.61
4.50 4.30 3.50
4.61 4.31 3.61
5.40 4.50 4.30 3.50
5.41 4.61 4.31 3.36
5.40 4.50 4.30 3.50
5.41 4.61 4.31 3.61
I II III IV V
5.00 -
5.13 -
5.00 -
5.13 -
5.00 4.50 4.25 3.80 -
5.00 4.60 4.33 3.92 3.36
4.25 3.80 -
4.33 3.92 3.36
5.00 4.25 3.80 -
5.00 4.33 3.36
5.00 4.25 3.80 3.25
5.00 3.92 -
GOLONGAN CURUG SAWAH
BEKASI A OPT AKT
Keterangan: AKT : aktual, OPT : optimum, A,B : sub wilayah
Total produksi padi yang dihasilkan karena alokasi air optimum di Wilayah Tarum Barat, mengalami penurunan pada musim tanam II. Hal ini disebabkan karena luas lahan optimum pada musim tanam II lebih kecil dibandingkan dengan lahan yang tersedia, selain itu produktivitas pada musim tanam II lebih rendah dibanding dengan pada musim tanam I. Total produksi untuk wilayah Curug sampai dengan sub wilayah Cikarang A pada musim tanam II lebih rendah dibandingkan pada musim tanam I meskipun luas lahan optimum pada kedua musim tanam tersebut sama. Perubahan produktivitas tersebut disebabkan karena penyaluran air yang kurang dari rata-rata kebutuhan air per hektar,
128
kurangnya penyaluran ke wilayah tersebut karena air yang berasal dari sumber setempat tidak dapat memenuhi kebutuhan sektor-sektor di wilayah ini, sehingga kebutuhan air sebagian besar dipenuhi dari Bendung Curug. Perbedaan yang terlihat jelas pada sub wilayah Cibeet B dimana setiap golongan mengalami penurunan lebih dari 1.50 ribu ton sehingga selisih total produksinya antara musim tanam I dan II sekitar 7.00 ton. Total produksi di sub wilayah Cikarang B dan Bekasi A, mengalami penurunan akibat menurunnya produktivitas dan luas lahan optimum yang lebih kecil dibandingkan dengan lahan yang tersedia. Tabel 20. Total Produksi Padi Aktual dan Optimum Berdasarkan Golongan, Musim Tanam dan Wilayah di Tarum Barat TOTAL PRODUKSI (ton)
GOLONGAN
CIBEET
CURUG SAWAH MT I I II III IV V TOTAL MT II I II III IV V TOTAL
AKT
OPT
A AKT
CIKARANG B
OPT
AKT
A OPT
AKT
B OPT
AKT
OPT
BEKASI A OPT AKT
20790.00 20828.50 2619.00 2623.85 21772.80 21813.12 - 23149.80 23192.67 1004.40 - 21385.00 21427.77 - 24480.00 25078.40 16974.00 17388.92 22230.00 22773.40 4113.00 - 20476.60 20524.22 15561.70 15597.89 8122.70 8141.59 17754.70 - 7052.50 7274.15 8284.50 8544.87 0.00 0.00 2814.00 20790.00 20828.50 2619.00 2623.85 95166.90 96117.66 40820.20 41531.68 53502.50 54107.66 25686.10
1006.26 4213.54 17795.99 2902.44 25918.23
19250.00 19750.50 2425.00 2488.05 20160.00 20160.00 - 21435.00 21435.00 930.00 - 19246.50 19674.20 - 23120.00 23555.20 16031.00 16332.76 20995.00 9137.14 1942.25 - 18095.60 18667.04 6050.97 14186.48 3158.41 - 15690.20 - 6770.40 - 7953.12 0.00 2090.40 19250.00 19750.50 2425.00 2488.05 80622.10 88826.84 22081.97 38472.36 45588.41 30572.14 20652.85
930.00 16185.68 17115.68
Keterangan: AKT : aktual, OPT : optimum, A,B : sub wilayah
Air sangat penting bagi produksi tanaman padi, kekurangan air akan sangat mempengaruhi produktivitasnya dan luas lahan yang diairi, selain itu air juga merupakan media bagi input lainnya. Jika air irigasi diberikan secara gratis dan tanpa kompensasi apapun dari pemerintah kepada PJT II selaku operator, sementara tarif kebutuhan air baku sektor domestik khususnya PAM DKI terus meningkat, dikhawatirkan keberlanjutan aktivitas sektor pertanian di Wilayah Tarum Barat akan terganggu.
129
Sektor domestik menggunakan air sebagai bahan baku utama, dan produk yang dihasilkan berupa air bersih. Proses dan waktu yang dibutuhkan lebih singkat dibandingkan dengan produk pertanian, dengan harga jual dan pasar yang pasti meskipun tarif air baku PDAM lebih tinggi dibandingkan air irigasi. Kebutuhan air baku yang relatif lebih stabil atau variasi intertemporal sangat kecil. Alokasi air untuk sektor ini hanya sekitar sepertiga dari total air yang disalurkan ke sektor pertanian, namun benefit yang dihasilkan per meter kubik air baku lebih tinggi dibandingkan air irigasi, hal ini menyebabkan aktivitas sektor tersebut dipilih. Tabel 21.
Jumlah Perusahaan Berdasarkan Sektor,Golongan dan Wilayah di Tarum Barat Tahun 2004
GOLONGAN SEKTOR DOMESTIK Kecil Sedang Besar TOTAL INDUSTRI Kecil Sedang Besar TOTAL
JUMLAH PERUSAHAAN PER SUB WILAYAH Cibeet Cikarang Bekasi Curug TOTAL A B A B A B 1 1
-
1 1
1 1
2 1 3
1 1 2
1 1 2
5 4 1 10
3 8 1 12
1 1
3 3 6
1 1 2
9 6 1 16
2 2
-
12 21 6 39
Sumber : Perum Jasa Tirta II (2004) Keterangan : A,B : sub wilayah
Kondisi yang sama terjadi pada sektor industri, sebagai pengguna air dengan proporsi terkecil, semua aktivitas sektor ini dipilih oleh model. Keragaman jenis industri dan kebutuhan air baku di wilayah Tarum Barat, menyulitkan untuk menentukan fungsi produksi masing-masing perusahaan. Kesulitan
ini
diatasi
dengan
mengasumsikan
bahwa
sektor
industri
mempergunakan air baku bukan sebagai input produksinya tetapi sebagai konsumen air baku, klasifikasi sektor industri berdasarkan pada kebutuhan air per tengah bulannya. Proporsi air yang disalurkan ke sektor ini lebih kecil dibandingkan kedua sektor lainnya, tetapi benefit yang dihasilkan lebih tinggi
130
lebih tinggi dibandingkan dengan kedua sektor lainnya. MODEL DIJ yang bertujuan memaksimumkan benefit sektor pengguna dan pengelola selalu memilih aktivitas sektor yang menghasilkan benefit lebih tinggi. Total
benefit
optimum
sektor
pertanian
dan
industri
lebih
tinggi
dibandingkan dengan total benefit aktual. Total benefit optimum sektor pertanian sebesar 115.62 milyar rupiah, sektor domestik 75.31 milyar rupiah dan sektor industri sebesar 13.62 milyar rupiah. Total benefit aktual masing-masing sektor tersebut yakni sebesar 98.78 milyar rupiah dan 78.55 milyar rupiah serta 9.65 milyar rupiah (Tabel 22). Tabel 22.
WILAYAH
Benefit Aktual dan Optimum berdasarkan pada Sektor dan Sub Wilayah di Tarum Barat SUB WILAYAH
CURUG
CIBEET
A
B
CIKARANG
A
B
BEKASI
A
B
TOTAL BENEFIT
MUSIM TANAM
BENEFIT PER SEKTOR (juta rupiah) PERTANIAN DOMESTIK INDUSTRI AKT OPT AKT OPT AKT OPT
I II Sub Total
4340.90 4340.90 8681.81
5883.70 6117.40 12001.10
I II Sub Total
527.24 546.59 1073.83
I II Sub Total
0.88
1.04
160.26
257.78
21.07
24.92
3846.16
6186.72
741.19 770.64 1511.83
-
-
0.29
1.51
-
-
6.97
36.18
22621.19 18843.58 41464.77
25086.00 25018.00 50104.00
14.91
18.65
84.29
104.54
357.83
447.55
2023.06
2508.96
I II Sub Total
8931.61 4581.88 13513.50
10239.00 10046.00 20285.00
0.14
0.17
41.87
69.27
3.32
4.19
1004.81
1662.58
I II Sub Total
11458.46 11458.46 22916.92
14387.00 6751.30 21138.30
40.66
41.24
48.26
39.79
975.74
989.73
1158.13
954.93
I II Sub Total
5567.07 5567.07 11134.14
6422.70 4160.70 10583.40
30.17
30.76
66.99
94.58
724.08
738.30
1607.83
2269.88
3186.10
3045.83
-
-
76466.35
73099.90
-
-
I II Sub Total MT I MT II
-
-
53446.47 45338.49
62759.59 52864.04
78548.38
75304.59
9646.96
Keterangan : AKT = aktual; OPT = optimal ; cetak miring = benefit per tengah bulanan; Sub Total = total benefit per tahun per sub wilayah; Total = Total benefit seluruh wilayah Tarum Barat
13619.25
131
Hasil optimasi jauh lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi sektor pertanian khususnya pertanian bahan pangan pada PDRB Kabupaten Bekasi tahun 2003 sebesar 542.93 milyar rupiah (BPS, 2004). Hal ini disebabkan komoditi yang diamati hanya padi, begitu juga dengan lahan yang diamati hanya sawah irigasi teknis. Benefit optimum sektor industri lebih kecil dibandingkan yang tercantum dalam PDRB sebesar 31.08 milyar rupiah. Benefit optimum sektor domestik lebih besar dari yang ada pada PDRB yakni sebesar 2.61 milyar rupiah, hal ini disebabkan hasil dari PAM DKI (sektor domestik di sub wilayah Bekasi B) dimasukkan dalam perhitungan total benefit optimum, bila benefit PAM DKI tidak dimasukkan dalam perhitungan maka total benefit sektor domestik sebesar 2.56 milyar rupiah (Tabel 22). MODEL DIJ memperlakukan semua pihak yang terlibat (pengguna dan pengelola) dalam sistem pengairan ini mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh benefit dan sumberdaya air yang dianggap sebagai komoditi ekonomi dimana setiap aktivitas alokasi air akan menghasilkan benefit yang optimum baik pada pengguna maupun pengelola. Hal ini berimplikasi bahwa ketika air yang tersedia dalam jumlah terbatas, maka MODEL DIJ akan memilih aktivitas yang memberikan benefit yang lebih tinggi. Hal ini terjadi di sub wilayah Cikarang B dan Bekasi, ketika air yang disalurkan melalui saluran induk Tarum Barat (ruas Cikarang Bekasi) pada kapasitas maksimum, air tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan semua sektor yang ada di wilayah tersebut, terutama jika air dari Sungai Bekasi sangat terbatas. Jadi bukan hanya jumlah air yang terbatas, kapasitas sarana yang tersedia tidak dapat memenuhi kebutuhan wilayah tersebut, terutama ketika sumber setempat sangat kecil dan hanya tergantung pada suplai air dari saluran induk Tarum Barat. Alokasi sumberdaya air di Wilayah Tarum Barat memerlukan suatu pendekatan yang bukan hanya berdasarkan benefit yang dihasilkan dari alokasi
132
air ke sektor pengguna, tetapi juga mengingat kesejahteraan masyarakat bukan hanya yang berada di wilayah Tarum Barat melainkan seluruh wilayah DI Jatiluhur. Wilayah DI Jatiluhur sebagai salah satu penghasil pangan nasional, memerlukan suatu kebijakan yang tidak saja mengatur alokasi sumberdaya air ke sektor-sektor pengguna tetapi juga perlu dipertimbangkan korbanan yang telah dikeluarkan dalam mengalokasikan sumberdaya air tersebut. Sektor pertanian
membutuhkan
perhatian
khusus,
terutama
dengan
makin
berkurangnya luas lahan yang tersedia akibat konversi lahan serta menurunnya produktivitasnya akibat kekurangan air. 7.2. Alokasi Air Optimum di Wilayah Curug Wilayah Curug, merupakan wilayah paling hulu dari wilayah Tarum Barat, dan wilayah yang dilayani dari Bendung Curug, terletak antara Bendung Curug dan pertemuan saluran induk Tarum Barat dan Cibeet. Wilayah ini terdiri dari sektor pertanian yang meliputi sawah golongan I dengan luas 3.85 ribu hektar, sektor domestik terdiri dari 1 perusahaan PDAM golongan kecil dan sektor industri golongan kecil terdiri dari 3 perusahaan, golongan sedang terdiri dari 8 perusahaan dan golongan besar sebanyak 1 perusahaan. Hasil optimasi MODEL DIJ menunjukkan bahwa semua aktivitas alokasi air yang ada di wilayah ini semuanya terpilih. Alokasi air optimum ke sektor pertanian di wilayah ini menghasilkan produktivitasnya sebesar 5.41 ton per hektar pada musim tanam I dan 5.13 ton pada musim tanam II, dengan total produksi padi yang dihasilkan 20.83 ribu ton pada musim tanam I dan 19.76 ribu ton pada musim tanam II. Benefit optimum sektor pertanian sebesar sebesar 5.88 milyar rupiah pada musim tanam I, sedangkan pada musim tanam II sebesar 6.12 milyar rupiah.
133
Alokasi air optimum ke sektor pertanian lebih rendah dibandingkan dengan alokasi aktual yang dilakukan PJT II, perbedaannya cukup signifikan dimana pola alokasi air hasil optimasi mengikuti tahapan pertumbuhan sedangkan pada alokasi aktual tidak mengikuti pola tersebut (Gambar 11). Pada periode ke 10 (Februari I) dimana memasuki tahap pematangan alokasi yang dilakukan PJT II masih lebih besar dibandingkan dengan hasil optimasi, hal ini menunjukkan
Debit (m3/detik)
ketidak efisienan alokasi yang dilakukan PJT II ke sektor ini. 9.000 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 (1.000) 1 IRAKT
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Periode
IROPT
Keterangan : IRAKT : alokasi aktual, IROPT : alokasi optimal
Gambar 11.
Alokasi Air ke Sektor Pertanian di Wilayah Curug
Perbedaan alokasi ini dapat disebabkan antara lain tidak serentaknya penanaman di wilayah tersebut, sehingga pengelola melakukan penyaluran air tidak sesuai dengan volume yang telah disepakati dan dijadwalkan tetapi menyesuaikan dengan permintaan petani pada waktu tersebut. Kondisi demikian sering terjadi di hampir semua wilayah DI Jatiluhur, yang mengakibatkan penyaluran air yang lebih besar dari pada kebutuhan sebenarnya. Sektor domestik yang yang ada di wilayah ini hanya 1 perusahaan daerah air minum (PDAM) saja, yang dikategorikan sebagai pengguna air domestik golongan kecil, penyaluran air aktual per tengah bulanannya bervariasi antara
134
21.51 ribu meter kubik dan 35.24 ribu meter kubik atau 17.00 liter per detik dan 27.00 liter per detik. Hasil optimasi menunjukkan air yang disalurkan per tengah bulannya sebesar 39.60 ribu meter kubik atau 26.00 liter per detik sampai 30.00 liter per detik (Lampiran 8). Benefit aktual yang dihasilkan setiap stage return 0.88 juta rupiah sedangkan benefit optimum sebesar 1.04 juta rupiah, total benefit aktual sebesar 21.07 juta rupiah dan benefit optimumnya sebesar 24.92 juta rupiah. Alokasi optimum lebih tinggi dibandingkan dengan alokasi aktual yang dilakukan PJT II, perbedaan alokasi ini disebabkan karena MODEL DIJ dengan tujuan memaksimumkan benefit, akan memilih alokasi yang menghasilkan benefit yang lebih tinggi, yakni pada kapasitas maksimum. Bila air yang tersedia cukup untuk memenuhi semua permintaan sektor pengguna, model akan mengalokasikan pada tingkat maksimum, meskipun ditentukan juga batas minimumnya (Gambar 12). Alokasi optimal yang selalu pada tingkat maksimum
Debit (m3/detik)
menyebabkan terjadi perbedaan antara alokasi aktual dan hasil optimasi.
0.033
0.030
0.027
0.024
0.021
0.018
0.015 1 DAKT
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Periode
DOPT
Keterangan : DAKT : alokasi aktual, DOPT : alokasi optimal
Gambar 12.
Alokasi Air ke Sektor Domesik di Wilayah Curug
135
Sektor industri yang ada di wilayah ini sebanyak 13 perusahaan yang terdiri dari
3 perusahaan golongan industri kecil, 8 perusahaan golongan industri
sedang dan 1 perusahaan golongan industri besar. Alokasi air
rata-rata per
perusahaan pada masing-masing golongan per tengah bulanan, masing-masing sebesar 4.30 ribu meter kubik untuk golongan industri kecil, 32.00 ribu meter kubik untuk golongan industri sedang dan 408.00 ribu meter kubik untuk golongan industri besar. Total penyaluran air baku industri pada masing-masing kategori sebesar 12.90 ribu meter kubik untuk kategori industri kecil, 256.00 ribu meter kubik untuk kategori industri sedang dan 408.00 ribu meter kubik untuk industri besar (Lampiran 9).
Debit (m3/detik)
0.700
0.650
0.600
0.550
0.500
0.450
0.400 1 INAKT
2
3
4
INOPT
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Periode
Keterangan : INAKT : alokasi aktual, INOPT : alokasi optimal
Gambar 13.
Alokasi Air ke Sektor Industri di Wilayah Curug
Total air yang disalurkan tersebut merupakan air baku yang diterima perusahaan sedangkan air yang dialirkan dari bendung lebih banyak karena dikalikan dengan koefisien hilangnya air di saluran induk maupun sekunder sehingga air yang disalurkan untuk sektor ini sebanyak 781.82 ribu meter kubik atau dengan debit antara 43.00 liter sampai 61.00 liter per detik (Gambar 13). Benefit sektor industri aktual sebesar 160.26 juta rupiah per tengah bulannya dan total benefitnya sebesar 3.85 milyar rupiah sedangkan benefit
136
optimumnya 257.78 juta rupiah per stage return dan total benefitnya sebesar 6.19 milyar rupiah. Benefit optimum lebih tinggi dibandingkan dengan benefit aktual, hal ini disebabkan alokasi air optimum lebih tinggi dibandingkan dengan alokasi aktual. Model DIJ selalu akan memilih alokasi air yang akan
Debit (m3/detik)
menghasilkan benefit optimum, sedangkan alokasi aktual bervariasi. 10.000 9.000 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000
IRAKT
DAKT
Sep.II
Sep.I
Ags.I
INAKT
Ags.II
Jul.I
Jul.II
Jun.I
Jun.II
Mei.I
Mei.II
Apr.I
Apr.II
Mar.I
Mar.II
Peb.I
Peb.II
Jan.I
Jan.II
Des.I
Des.II
Nop.I
Nop.II
Okt.II
Okt.I
-
Periode
Keterangan : IRAKT : irigasi, DAKT : domestik, INAKT : industri
Gambar 14.
Proporsi Alokasi Air Aktual Per Sektor di Wilayah Curug
Alokasi optimum ke sektor pertanian lebih fluktuatif dibandingkan alokasi
Volume (ribu m3)
aktual, baik pada musim tanam I maupun pada musim tanam II. 7.000
6.000
5.000
4.000
3.000
2.000
1.000
DOPT
INOPT
Sep.II
Sep.I
Ags.II
Jul.II
Ags.I
Jul.I
Jun.I
Jun.II
Mei.II
Mei.I
Apr.I
Apr.II
Mar.I
Mar.II
Peb.I
Peb.II
Jan.I
Jan.II
Des.II
Des.I
Nop.II
Nop.I
Okt.I
IROPT
Okt.II
-
Periode
Keterangan : IROPT : irigasi, DOPT : domestik, INOPT : industri
Gambar 15.
Proporsi Alokasi Air Optimum Per Sektor di Wilayah Curug
137
Ketika tahap pertumbuhan vegetatif air yang dibutuhkan lebih banyak dibandingkan dengan tahap pertumbuhan generatif. Hasil optimasi Model DIJ menunjukkan bahwa kebutuhan air semua sektor dapat dipenuhi, hal ini dapat dipahami karena wilayah ini merupakan wilayah terhulu dari Tarum Barat dimana langsung dilayani oleh Bendung Curug sebagai bendung pembagi di DI Jatiluhur, dengan ketersediaan air yang cukup sepanjang waktu. Ketersediaan air yang cukup menandakan tidak ada kelangkaan air di wilayah tersebut. Selain ketersediaan air yang cukup, proporsi penggunaan air di wilayah ini didominasi oleh sektor pertanian sedangkan sektor domestik dan industri proporsinya sangat kecil. Dominasi penggunaan air oleh salah satu sektor dengan proporsi yang sangat berbeda tidak menyebabkan kompetisi antar sektor di wilayah ini. Hasil optimasi Model DIJ merubah proporsi penggunaan air sektor-sektor tersebut, terutama sektor pertanian dan juga pola alokasi sepanjang horison waktu. Pola alokasi optimal sesuai dengan tahapan pertumbuhan tanam padi sedangkan alokasi aktual tidak mengikuti fluktuasi kebutuhan air tanaman. 7.3. Alokasi Air Optimum di Wilayah Cibeet Wilayah Cibeet terbagi dalam 2 sub wilayah, yakni sub wilayah Cibeet A yang dilayani oleh Bendung Cibeet, berada di sebelah selatan saluran induk Tarum Barat dan sub wilayah Cibeet B yang terletak di sebelah utara saluran induk Tarum Barat antara pertemuan saluran induk Cibeet dan Bendung Cikarang. Di sub wilayah Cibeet A terdapat 2 aktivitas, yakni sektor pertanian terdiri sawah golongan I seluas 485 hektar dan dan sektor industri kelompok sedang dengan 1 perusahaan. Hasil optimasi menunjukkan bahwa semua aktivitas yang ada di wilayah ini terpilih.
138
Produktivitasnya mencapai 5.41 ton per hektar pada musim tanam I dan 5.13 ton pada musim tanam II, produktivitas ini lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas aktual (Tabel 19), sedangkan produksi padi yang dihasilkan sebanyak 2.62 ribu ton pada musim tanam I dan 2.49 ribu ton pada musim tanam II. Benefit optimum yang dihasilkan sebesar 741.19 juta rupiah pada musim tanam, sedangkan pada musim tanam II sebesar 770.64 juta rupiah. Sektor pertanian di sub wilayah Cibeet B, terdiri dari 5 golongan sawah masing-masing luasnya 4.03 ribu hektar, 4.28 ribu hektar, 5.44 ribu hektar, dan 4.76 ribu hektar serta 2.02 ribu hektar. Seluruh areal ini diairi baik pada musim tanam I dan musim tanam II, dengan produktivitasnya sebesar 5.41 ton, 5.01 ton
Debit (m3/detik)
4.61 ton, dan 4.31 ton serta 3.61 ton per hektar. 29.000
24.000
19.000
14.000
9.000
4.000
(1.000) 1 IRAKT
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Periode
IROPT
Keterangan : IRAKT : irigasi aktual, DAKT : domestik aktual, INAKT:industri aktual
Gambar 16.
Alokasi Air Optimum ke Sektor Pertanian di Wilayah Cibeet
Produktivitas pada musim tanam II sebesar 5.00 ton, 4.60 ton, 4.33 ton dan 3.92 ton serta 3.36 ton per hektar, dengan total produksi sebesar 88.84 ribu ton pada musim tanam II. Alokasi optimum pada musim tanam I sama dengan alokasi aktual sedangkan pada musim tanam II alokasi optimum lebih besar dibandingkan alokasi aktual, dimana sawah golongan V diairi sedangkan alokasi aktual yang dilakukan PJT II sawah golongan V tidak terairi. Benefit yang
139
dihasilkan sektor pertanian sebesar 25.09 milyar rupiah pada musim tanam I dan sebesar 25.02 milyar rupiah pada musim tanam II. Sektor domestik di sub wilayah Cibeet B hanya terdiri 1 PDAM kategori sedang dengan alokasi setiap tengah bulannya sebesar 220.00 ribu meter kubik atau 0.18 meter kubik per detik sampai dengan 0.21 meter kubik per detik (Lampiran 11). Sektor domestik hanya ada di sub wilayah Cibeet B sehingga total air yang dialokasikan sebesar yang dialokasikan di sub wilayah tersebut (Gambar 17). Benefit yang dihasilkan dari alokasi air di sektor ini sebesar 18.65 juta rupiah per tengah bulannya, sedangkan total benefit selama setahun sebesar 447.55 juta rupiah.
Debit (m3/detik)
0.230
0.215
0.200
0.185
0.170
0.155
0.140
DAKT
Sep.II
Sep.I
Ags.I
Ags.II
Jul.I
Jul.II
Jun.II
Jun.I
Mei.II
Mei.I
Apr.I
DOPT
Apr.II
Mar.I
Mar.II
Peb.II
Peb.I
Jan.II
Jan.I
Des.I
Des.II
Nop.II
Okt.II
Nop.I
Okt.I
0.125
Periode
Keterangan : DAKT : alokasi aktual, DOPT : alokasi optimal
Gambar 17.
Alokasi Air ke Sektor Domestik di Wilayah Cibeet
Sektor industri di sub wilayah Cibeet A hanya meliputi 1 perusahaan yang masuk dalam kategori industri menengah, dengan alokasi air per tengah bulanan sebesar 37.00 ribu meter kubik (Lampiran 10). Alokasi air optimum ke sektor industri menghasilkan benefit sebesar 1.51 juta rupiah setiap tengah bulannya dan total benefit yang dihasilkan dalam setahun sebesar 36.18 juta rupiah. Sektor industri di sub wilayah Cibeet B terdiri dari 2 kategori yakni sedang dan besar masing-masing kategori terdapat 3 perusahaan, dengan alokasi air
Debit (m3/detik)
140
0.700
0.650
0.600
0.550
0.500
0.450
1 INAKT
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
INOPT
Periode
Keterangan : INAKT : alokasi aktual, INOPT : alokasi optimal
Gambar 18.
Alokasi Air ke Sektor Industri di Wilayah Cibeet
rata-rata per perusahaan sebesar 29.00 ribu meter kubik dan 160.00 ribu meter kubik per tengah bulannya. Total air baku industri yang disalurkan ke sub wilayah Cibeet B sebesar 675.68 ribu meter kubik (Lampiran 12), dan benefit yang dihasilkan sebesar 104.54 juta rupiah setiap tengah bulannya dan total benefit dalam setahun sebesar 2.51 milyar rupiah. Total air baku industri yang disalurkan di wilayah Cibeet sebesar 819.31 ribu meter kubik dengan debit antara 0.54 meter kubik per detik sampai 0.66 meter kubik per detik (Gambar 18). Hasil optimasi Model DIJ menunjukan bahwa kebutuhan semua sektor terpenuhi sepanjang horison waktu, hal ini disebabkan suplai air ke wilayah ini bersumber dari Sungai Cibeet dan tambahan dari Bendung Curug dan suplai air ini mencukupi kebutuhan baik di sub wilayah Cibeet A maupun Cibeet B. Wilayah
Cibeet
memiliki
golongan
sawah
yang
paling
lengkap,
kelengkapan kategori ini justru memperkuat dominasi sektor pertanian. Dominasi salah sektor dengan proporsi yang tidak seimbang, meniadakan kompetisi antar sektor (Gambar 19).
141
Debit (m3/detik)
20.000 18.000 16.000 14.000 12.000 10.000 8.000 6.000 4.000 2.000
IRAKT
DAKT
INAKT
Sep.I
Sep.II
Ags.II
Jul.II
Ags.I
Jul.I
Jun.I
Jun.II
Mei.I
Mei.II
Apr.I
Apr.II
Mar.I
Mar.II
Peb.I
Peb.II
Jan.I
Jan.II
Des.II
Des.I
Nop.I
Nop.II
Okt.II
Okt.I
-
Periode
Keterangan : IRAKT : irigasi; DaKT : domestik; INAKT : industri
Gambar 19.
Proporsi Alokasi Air Aktual di Wilayah Cibeet
Alokasi aktual untuk sektor pertanian pada musim tanam II lebih kecil dibandingkan dengan alokasi aktual, karena luas lahan yang diairi lebih kecil dimana sawah golongan V di wilayah ini tidak diairi. Alokasi optimum ke sektor domestik dan industri pada tingkat permintaan air yang maksimum, sehingga alokasi optimum kedua sektor ini lebih tinggi dibandingkan alokasi aktual
DEBIT (m3/detik)
(Gambar 20).
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
DOPT
Sep.II
Sep.I
Ags.II
Jul.II
Ags.I
Jul.I
Jun.I
Jun.II
Mei.I
Mei.II
Apr.I
INOPT
Apr.II
Mar.I
Mar.II
Peb.I
Peb.II
Jan.II
Jan.I
Des.I
Des.II
Nop.II
Nop.I
Okt.I IROPT
Okt.II
-
PERIODE
Keterangan : IROPT : irigasi: DOPT : domesti; INOPT : industri
Gambar 20.
Proporsi Alokasi Air Optimum Per Sektor di Wilayah Cibeet
142
Pola alokasi aktual dan optimum agak berbeda dimana pola alokasi ke sektor pertanian disesuaikan dengan kebutuhan air berdasarkan pada tahapan pertumbuhan (Gambar 20). Perbedaan alokasi ini terutama untuk sektor pertanian dapat disebabkan dengan bertambahnya sumber air setempat akibat hujan yang terjadi di wilayah tersebut, atau pergeseran jadwal tanam sehingga penyaluran dari Bendung Curug yang seharusnya disesuaikan dengan jadwal penyaluran yang telah dirancang sebelumnya berubah akibat perubahan jadwal tanam. Dominasi sektor pertanian menyebabkan pola alokasi air mengikuti pola alokasi sektor pertanian, alokasi ke sektor domestik dan industri kurang fluktuatif. 7.4. Alokasi Air Optimum di Wilayah Cikarang Wilayah Cikarang terdiri dari dua sub wilayah yakni sub wilayah Cikarang A dan sub wilayah Cikarang B, sub wilayah Cikarang A merupakan wilayah yang dilayani saluran Cikarang A dalam hal ini Sungai Cikarang sedangkan sub wilayah Cikarang B merupakan wilayah sepanjang saluran induk Tarum Barat antara Bendung Cikarang dan Bendung Bekasi. Sub Wilayah Cikarang A melayani sektor pertanian seluas 9.76 ribu hektar dengan klasifikasi sawah golongan III sampai dengan V. Sektor domestik terdiri dari 1 PDAM dengan klasifikasi golongan kecil, sedangkan sektor industri terdapat 2 kategori industri sedang dan besar masing-masing terdiri dari satu perusahaan. Di Sub wilayah Cikarang B, terdapat sektor pertanian dengan total luas lahan yang tersedia 11.12 ribu hektar, dengan kategori lahan golongan I, III dan IV. Sektor domestik yang ada di wilayah terdiri dari dua kategori yakni kecil dan sedang, masing-masing terdiri atas 2 PDAM dan 1 PDAM, sedangkan sektor industri
terdiri
kategori
kecil
sampai besar,
perusahaan, 6 perusahaan dan 1 perusahaan.
masing-masing
meliputi
9
Debit (m3/detik)
143
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
0.000
(5.000) 1 IRAKT
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Periode
IROPT
Keterangan : IRAKT : alokasi aktual, IROPT : alokasi optimal
Gambar 21.
Alokasi Air ke Sektor Pertanian di Wilayah Cikarang
Alokasi air optimum di sub wilayah Cikarang A ke sektor pertanian baik pada musim tanam I dan II memilih semua areal diairi, dengan produktivitas masing-masing sebesar 4.61 ton, 4.31 ton dan 3.61 ton per hektar untuk sawah golongan III, IV dan V. Total produksi pada musim tanam I sebesar 41.52 ribu ton padi dan 38.48 ribu ton pada musim tanam II. Terlihat bahwa pada musim tanam II yang jatuh pada musim kering produktivitas per hektar menurun dibandingkan pada musim tanam I. Total benefit yang dihasilkan dari alokasi air tersebut sebesar 10.24 milyar rupiah pada musim tanam I dan 10.05 milyar rupiah pada musim tanam II. Alokasi air ke sektor pertanian wilayah Cikarang B, menghasilkan produktivitas 3.31 ton sampai dengan 5.41 ton per hektar pada musim tanam I dan 3.36 ton sampai 5.00 ton per hektar pada musim tanam II. Total produksi yang dihasilkan sebesar 54.10 ribu pada musim tanam I dan 30.58 ribu ton pada musim tanam II. Benefit yang dihasilkan sektor ini di wilayah Cikarang B ini sebesar 14.39 milyar rupiah pada musim tanam II dan 9.12 milyar rupiah pada musim tanam II. Total produksi dari kedua wilayah ini pada musim tanam I sebesar 95.62 ribu ton dan 69.06 ribu ton pada musim tanam II.
Debit (m3/detik)
144
0.580 0.570 0.560 0.550 0.540 0.530 0.520 0.510 0.500 0.490 1 DAKT
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Periode
DOPT
Keterangan : DAKT : alokasi aktual, DOPT : alokasi optimal
Gambar 22.
Alokasi Air ke Sektor Domestik di Wilayah Cikarang
Alokasi air baku untuk sektor domestik di sub wilayah Cikarang A sebanyak 5.00 ribu meter kubik atau dengan debit 4.20 liter sampai 4.80 liter per detik, dengan benefit yang dihasilkan sebesar 180.00 ribu rupiah per tengah bulanan. Alokasi air baku ke sektor domestik di sub wilayah Cikarang B sebanyak 681.45 ribu meter kubik per tengah bulannya atau 4.20 liter sampai dengan 4.80 liter per detik, dan benefit yang dihasilkan sektor ini sebesar 0.17 juta rupiah per tengah bulannya dan total benefit setahun sebesar 4.19 juta rupiah. Alokasi air baku industri untuk sub wilayah Cikarang B sebesar 7.50 ribu meter kubik, 34.00 ribu meter kubik dan 195.00 ribu meter kubik per perusahaan untuk kategori kecil sampai dengan besar. Total air yang disalurkan ke sektor ini sebesar 681.45 ribu meter kubik dengan debit berkisar antara 0.39 meter kubik per detik sampai 0.42 meter kubik per detik. Alokasi air optimum ini menghasilkan benefit sebesar 39.79 juta rupiah per tengah bulannya dengan total benefit setahun sebesar 954.58 juta rupiah. Total alokasi air optimum ke
145
sektor industri di wilayah Cikarang sebesar 687.23 ribu meter kubik dengan debit
Debit (m3/detik)
sebesar 0.59 sampai 0.68 meter kubik per detik (Gambar 23). 0.70 0.68 0.66 0.64 0.62 0.60 0.58 0.56 0.54 0.52 1
2
INAKT
3
4
5
6
7
8
9
INOPT
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Periode
Keterangan : INAKT : alokasi aktual, INOPT : alokasi optimal
Gambar 23.
Alokasi Air ke Sektor Industri di Wilayah Cikarang
Wilayah Cikarang merupakan wilayah yang berbatasan dengan Bekasi, untuk sub wilayah Cikarang A, penggunaan airnya didominasi oleh sektor pertanian dengan sawahnya golongan III sampai V, berarti bahwa kebutuhan air pertanian dimulai pada bulan Nov I, dimana diasumsikan hujan mulai turun.
Debit (m3/detik)
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
IRAKT
DAKT
Sep.I
Periode
Keterangan : IRAKT : irigasi; DAKT : domestik; INAKT : industri
Gambar 24.
Sep.II
Ags.I
Ags.II
Jul.I
Jul.II
Jun.II
Jun.I
Mei.I
Mei.II
Apr.I
INAKT
Apr.II
Mar.II
Mar.I
Peb.I
Peb.II
Jan.I
Jan.II
Des.I
Des.II
Nop.I
Nop.II
Okt.II
Okt.I
0.000
Proporsi Alokasi Aktual per Sektor di Wilayah Cikarang
146
Kompetisi antar sektor di sub wilayah ini tidak terlihat, ketersediaan air yang cukup dan dominasi sektor pertanian dengan proporsi yang tidak seimbang meminimalisasi kompetisi. Di sub wilayah Cikarang B proporsi sektor non pertaniannya lebih besar dibandingkan wilayah lainnya, namun masih mendominasi penggunaan air di sub wilayah tersebut. Jika kedua wilayah digabung, maka terlihat proporsi penggunaan airnya sama dengan wilayah lainnya, dimana sektor pertanian mendominasi penggunaan air di wilayah tersebut (Gambar 24). Hasil optimasi di wilayah Cikarang mengindikasikan telah terjadi peningkatan proporsi alokasi air ke sektor pertanian dibandingkan dengan alokasi air aktual (Gambar 25), peningkatan proporsi ini disebabkan alokasi air
Debit (m3/detik)
ke sektor pertanian di sub wilayah Cikarang A lebih tinggi dibandingkan dengan 30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
DOPT
Sep.I
Sep.II
Ags.II
Ags.I
Jul.I
Jul.II
Jun.I
Jun.II
Mei.I
Mei.II
Apr.I
Apr.II
Mar.I
Mar.II
Peb.I
Peb.II
Jan.I
Jan.II
Des.I
Des.II
Nop.I
Nop.II
Okt.I IROPT
Okt.II
-
Periode
INOPT
Keterangan : IROPT : irigasi; DOPT : domestik; INOPT : industri
Gambar 25.
Proporsi Alokasi Optimum per Sektor di Wilayah Cikarang
alokasi aktual, sehingga walaupun terjadi penurunan lahan yang diairi pada musim tanam II di sub wilayah Cikarang B secara total tidak menurunkan proporsi penggunaan air di wilayah ini. Pola alokasi optimum berbeda dengan pola alokasi aktual, dimana pola alokasi optimum untuk sektor pertanian terlihat
147
mengikuti tahapan pertumbuhan dan pergantian musim tanamnya terlihat dengan jelas (Gambar 25). 7.5. Alokasi Air Optimum di Alokasi Wilayah Bekasi Wilayah Bekasi terdiri dari dua sub wilayah yakni Bekasi A dan Bekasi B. Sub wilayah Bekasi A terdiri dari sektor pertanian dengan golongan sawah I, III, IV dan V sedangkan PDAM yang ada golongan kecil dan sedang masing-masing 1 PDAM, sedangkan sektor industri dengan kategori kecil dan sedang meliputi 1 perusahaan dan 2 perusahaan. Sub wilayah Bekasi B (Kalimalang) hanya untuk mengairi sektor domestik kategori sedang 1 PDAM dan kategori besar 1 PDAM yakni PAM DKI. Alokasi sumberdaya air optimum ke sektor pertanian menghasilkan produktivitas sebesar 3.61 ton sampai dengan 5.31 ton per hektar, total produksi yang dihasilkan 25.91 ribu ton pada musim tanam I dan 17.12 ribu ton pada musim tanam II. Benefit yang dihasilkan pada musim tanam I milyar rupiah sedangkan benefit yang dihasilkan pada musim tanam II sebesar 4.16 milyar rupiah. Alokasi optimum ke sektor pertanian di wilayah pada musim tanam I lebih rendah daripada yang dilakukan PJT II (Gambar 26), alokasi optimum pada musim tanam II berada jauh dibawah alokasi aktual yang dilakukan PJT II, hal ini disebabkan lahan optimum pada musim tanam II hanya terdiri dari lahan golongan I dan IV, sedangkan alokasi aktual yang dilakukan PJT II mengairi semua lahan yang tersedia. Perbedaan ini disebabkan pula oleh benefit yang dihasilkan oleh sektor pertanian, yang lebih rendah dibandingkan dengan sektor lainnya sehingga model cenderung memilih alokasi ke sektor domestik dan industri dibandingkan ke sektor pertanian.
Debit (m3/detik)
148
16.000 14.000 12.000 10.000 8.000 6.000 4.000 2.000 0.000 (2.000) 1
2
IRAKT
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Periode
IROPT
Keterangan : IRAKT : alokasi aktual, IROPT : alokasi optimal
Gambar 26.
Alokasi Air ke Sektor Pertanian di Wilayah Bekasi
Alokasi optimum ke sektor domestik di sub wilayah Bekasi A lebih tinggi dibandingkan dengan alokasi aktual yang dilakukan oleh PJT II. Di sub wilayah Bekasi A total air yang dialokasikan ke sektor ini sebesar 446.99 ribu meter kubik dengan debit 0.32 sampai dengan 0.35 meter kubik per detik, dan benefit yang dihasilkan sebesar 30.76 juta per tengah bulannya sedangkan total benefit
Debit(m3/detik)
setahun sebesar 738.30 juta rupiah.
20.000 19.500 19.000 18.500 18.000 17.500 17.000 16.500 16.000 1 DAKT
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Periode
DOPT
Keterangan : DAKT : alokasi aktual, DOPT : alokasi optimal
Gambar 27.
Alokasi Air ke Sektor Domestik di Wilayah Bekasi
Alokasi optimum untuk wilayah Bekasi B sebesar 22.94 juta meter kubik atau dengan debit 16.60 meter kubik per detik sampai dengan 17.70 meter kubik per
149
detik. Benefit yang dihasilkan sektor domestik di sub wilayah ini sebesar 3.05 milyar rupiah
per tengah bulannya dan total benefit setahun sebesar 73.10
milyar rupiah, benefit optimum ini lebih kecil dibandinkan dengan benefit aktual. Total aliran yang disalurkan dari Bendung Bekasi sebanyak 16.91 meter kubik per detik sampai dengan 18.05 meter kubik per detik (Gambar 27). Alokasi air optimum ke sektor industri sama dengan sektor domestik dimana alokasi optimum pada batas maksimum, dan lebih besar dibandingkan
Debit (m3/detik)
dengan alokasi aktual yang dilakukan PJT II.
0.11
0.10
0.09
0.08
0.07
0.06
0.05
0.04 1 INAKT
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Periode
INOPT
Keterangan : INAKT : alokasi aktual, INOPT : alokasi optimal
Gambar 28.
Alokasi Air ke Sektor Industri di Wilayah Bekasi
Total alokasi air ke sektor industri ini sebesar 123.20 ribu meter kubik dengan debit 89 liter sampai dengan 102 liter per detik (Gambar 28). Alokasi optimum ke sektor ini menghasilkan benefit yang sebesar 94.58 juta rupiah setiap tengah bulannya, dengan total benefit setahun sebesar 2.27 milyar rupiah. Alokasi optimum di wilayah Bekasi sama dengan alokasi pada wilayah lainnya, dimana alokasi untuk sektor domestik dan industri dipilih pada kebutuhan maksimum sektor-sektor tersebut. Alokasi air optimum untuk sektor pertanian berbeda dengan yang dialokasikan oleh PJT II, baik besarnya maupun
150
pola alokasinya. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan luas lahan optimal dan aktual, perbedaan lain dapat disebabkan pula oleh perbedaan antara estimasi sumberdaya air aktual dan hasil estimasi pada saat pembuatan rencana pengairan. Apabila dilihat pola alokasi air aktual ke sektor pertanian menunjukkan bahwa pada awal periode air yang dibutuhkan masih sedikit seiring dengan waktu, alokasinya meningkat terus kemudian menurun pada akhir periode, perbedaan pola alokasi ini disebabkan tambahan suplai air yang berasal dari sumber setempat dalam hal ini curah hujan yang terjadi di wilayah tersebut. Debit (m3/detik)
35.000
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
DAKT
Sep.I
Sep.II
Ags.I
Ags.II
Jul.I
Jul.II
Jun.I
Jun.II
Mei.I
Mei.II
Apr.I
Apr.II
Mar.I
Mar.II
Peb.I
Peb.II
Jan.I
Jan.II
Des.I
Des.II
Nop.I
Nop.II
Okt.I
IRAKT
Okt.II
0.000
Periode
INAKT
Keterangan : IRAKT : irigasi; DAKT : domestik; INAKT : industri
Gambar 29.
Proporsi Alokasi Aktual di Wilayah Bekasi
Proporsi penggunaan air antar sektor di Bekasi seimbang antara alokasi sektor pertanian dan non pertanian terutama sektor domestik. Proporsi penggunaan air yang seimbang dalam satu wilayah akan meningkatkan kompetisi antar sektor ketika air yang tersedia terbatas (langka). Sektor domestik merupakan sektor yang mendominasi penggunaan air di Bekasi, selain proporsi penggunaannya yang dominan tarif air baku domestik lebih tinggi dibandingkan air irigasi. Kondisi seperti ini tidak terjadi pada wilayah lainnya, sehingga hasil optimasi Model DIJ berbeda, dimana alokasi optimum ke sektor pertanian lebih
151
rendah dibandingkan dengan alokasi aktual, sedangkan alokasi ke sektor
Debit (m3/detik)
domestik hampir sama dengan alokasi aktual (Gambar 30).
35.000
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
DOPT
Sep.I
Sep.II
Ags.I
Ags.II
Jul.I
Jul.II
Jun.I
Jun.II
Mei.II
Mei.I
Apr.I
Apr.II
Mar.II
Mar.I
Peb.I
Peb.II
Jan.II
Jan.I
Des.I
Des.II
Nop.I
Nop.II
Okt.I IROPT
Okt.II
0.000
Periode
INOPT
Keterangan : IROPT : irigasi optimal; DOPT : domestik optimal, INOPT : industri optimal
Gambar 30.
Proporsi Alokasi Optimum di Wilayah Bekasi
Ketika terjadi kelangkaan air, Model DIJ mentransfer air dari sektor yang memberikan nilai air rendah ke sektor yang memberikan nilai air tinggi. Selain kondisi kelangkaan air, dominasi salah satu sektor menurunkan kompetisi yang terjadi akibat ketidak seimbangan baik dalam proporsi penggunaannya maupun total benefit yang dihasilkan. 7.6. Alokasi Air Optimum di Wilayah Tarum Barat Pada bagian sebelumnya telah diuraikan alokasi hasil optimasi MODEL DIJ dengan alokasi aktual yang dilakukan PJT II, menunjukkan beberapa perbedaan baik pola alokasi maupun besarnya air yang dialokasikan ke sektor-sektor pengguna air, terutama sektor pertanian. Perbedaan besarnya alokasi ke sektor pertanian dapat disebabkan karena bertambahnya sumber setempat baik melalui peningkatan debit sungai yang ada di wilayah tersebut maupun curah hujan yang terjadi.
152
Volume (ribu m3)
120,000.000
100,000.000
80,000.000
60,000.000
40,000.000
20,000.000
TIRAK
TDAK
TINAK
Sep.I
Sep.II
Ags.I
Ags.II
Jul.I
Jul.II
Jun.I
Jun.II
Mei.I
Mei.II
Apr.I
Apr.II
Mar.I
Mar.II
Peb.I
Peb.II
Jan.I
Jan.II
Des.I
Des.II
Nop.I
Nop.II
Okt.I
Okt.II
-
Periode
Keterangan : TIRAKT : total irigasi aktual; TDAKT : total domestik aktual; TINAK : total industri aktual
Gambar 31.
Proporsi Alokasi Air Aktual di Wilayah Tarum Barat
Alokasi optimum ke sektor pertanian, menunjukkan pola yang sesuai dengan tahapan pertumbuhan tanaman padi, yakni alokasi tertinggi pada masa pertumbuhan dan pembungaan, kemudian menurun sampai pada masa pematangan dan panen, dan meningkat kembali pada awal musim tanam II (Gambar 32). Pola alokasi yang dilakukan PJT II tidak sesuai dengan tahapan pertumbuhan, pola alokasinya agak berbeda dengan tahapan pertumbuhan yang digunakan sebagai pedoman PJT II, yang juga digunakan ketika membangun MODEL DIJ (Gambar 33). Volume(ribu m3)
120000.000
100000.000
80000.000
60000.000
40000.000
20000.000
TDOPT
Sep.II
Sep.I
Ags.II
Jul.II
Ags.I
Jul.I
Jun.II
Jun.I
Mei.II
Mei.I
Apr.I
Apr.II
Mar.I
Mar.II
Peb.I
Peb.II
Jan.I
Jan.II
Des.I
Des.II
Nop.I
TINOPT
Nop.II
Okt.I
TIROPT
Okt.II
0.000
Periode
Keterangan : TIROPT : total irigasi aktual; TDOPT : total domestik aktual; TINOPT : total industri aktual
Gambar 32.
Proporsi Alokasi Air Optimum di Wilayah Tarum Barat
153
Perbedaan alokasi antara MODEL DIJ dengan alokasi aktual PJT II, dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain (1) Mekanisme alokasi, mekanisme alokasi yang dilakukan PJT II berdasarkan pada permintaan pengguna serta pengaturan oleh pemerintah terutama untuk sektor pertanian. PJT II sebagai ”operator” pengelolaan sumberdaya air bukan merupakan ”pemilik sumberdaya” yang dapat mengalihkan alokasi air dari sektor yang menghasilkan benefit rendah ke sektor yang memberikan benefit yang lebih tinggi. MODEL DIJ mengkondisikan alokasi air ke sektor pengguna tanpa campur tangan pemerintah atau pihak manapun, sehingga alokasi hasil optimasi hanya berdasarkan pada benefit yang dihasilkan oleh sektor pengguna, dimana benefit yang dihasilkan oleh sektor tersebut menggambarkan nilai air. (2) Ketersediaan air dari sumber setempat, yakni air yang berasal dari sungaisungai yang ada ataupun curah hujan yang terjadi di wilayah tersebut. MODEL DIJ menetapkan bahwa air yang berasal dari sumber setempat sesuai dengan data yang ada, sedangkan PJT II berdasarkan estimasi data historis. Curah hujan sulit diprediksi dengan tepat, sehingga sering terjadi perbedaan antara estimasi dan kondisi aktual. Ketika terdapat perbedaan antara
estimasi dan kondisi aktual baik pada waktu kekurangan maupun
kelebihan air, penyesuaian penyaluran air dari PJT II dalam hal ini Bendung Curug tidak dapat dilakukan dalam waktu yang bersamaan, karena dibutuhkan sekitar 2 hari perjalanan air dari Bendung Curug ke Bendung Bekasi. (3) Perbedaan luas lahan yang akan diairi, luas lahan yang dipakai dalam MODEL DIJ yakni lahan yang tersedia di wilayah tersebut, total luasan tidak berbeda baik pada musim tanam I maupun musim tanam II. Luas lahan yang digunakan PJT II, berbeda
antara musim tanam I dan musim tanam II,
154
dimana pada musim tanam II lahan yang akan diairi lebih sedikit dibandingkan dengan pada musim tanam I. Telah diuraikan sebelumnya bahwa secara teknis, apabila sumber setempat sangat sedikit maka saluran Tarum Barat (ruas Cikarang Bekasi) tidak dapat memenuhi permintaan air dari sektor pertanian. Luas lahan optimal yang dihasilkan dari MODEL DIJ diperoleh dalam kondisi air yang disalurkan berada pada kapasitas maksimum. (4) Prioritas, mekanisme alokasi yang dilakukan PJT II memprioritas sektor pertanian sebagai sektor yang mendapat prioritas utama selanjutnya sektor domestik dan industri. MODEL DIJ menganggap setiap sektor diperlakukan setara sehingga alokasi optimal diperoleh dalam suatu kondisi yang kompetitif. Mekanisme alokasi air yang telah diuraikan diatas merupakan mekanisme yang dipakai sebagi pedoman oleh PJT II, meskipun dalam prakteknya seringkali mekanisme tersebut tidak terlaksana, alokasi air ke sektor pertanian bukan disebabkan karena kendala teknis tetapi besarnya ”return” yang dihasilkan dari alokasi tersebut. Alokasi air hasil optimasi Model DIJ di seluruh wilayah Tarum Barat, lebih tinggi dibandingkan dengan alokasi aktual, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa alokasi optimal di semua wilayah yang ada lebih tinggi dari alokasi aktual. Model DIJ dengan fungsi tujuan memaksimumkan benefit, alokasi optimal yang dipilih akan menghasilkan benefit optimum, yakni alokasi optimal yang sama dengan batas maksimum permintaan sektor tersebut. Kategori
yang
diberikan
dalam
pembentukan
Model
DIJ
tidak
mempengaruhi alokasi optimal untuk sektor domestik, alokasi optimal sesuai dengan air yang tersedia baik untuk PDAM golongan kecil maupun sedang dan
155
besar, dimana pada tingkat permintaan maksimum ketika air yang tersedia berlimpah dan pada tingkat permintaan minimum ketika air langka. Kategori
berdasarkan
volume
permintaan
sektor
domestik,
bukan
merupakan pertimbangan bagi penentuan alokasi optimum. Selain itu, tarif air baku yang sama antara kategori kecil dan sedang lebih memperkecil perbedaan antar kategori. Perbedaan terbesar terjadi pada PDAM golongan besar, dimana kategori ini selain membedakan volume permintaannya juga tarif yang diberlakukan berbeda. Hasil optimasi Model DIJ menunjukkan bahwa PAM DKI terpilih aktivitasnya dibandingkan dengan sektor pertanian, walaupun akibat pemilihan ini benefit sektor pertanian menurun, tetapi penurunan benefit pertanian masih lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan benefit sektor domestik dan pengelola. Alokasi air ke sektor industri yang merupakan hasil optimasi Model DIJ, tidak sama dengan alokasi optimal pada sektor domestik dimana alokasi optimal sama
dengan
permintaan
maksimum
sektor
tersebut.
Kategori
tidak
mempengaruhi alokasi optimal, meskipun terdapat perbedaan parameter permintaan untuk setiap kategori namun tarif air baku industri yang diberlakukan untuk semua kategori tidak berbeda. Hasil optimasi Model DIJ dengan tujuan memaksimumkan benefit selalu menghasilkan optimasi yang sama dengan batas maksimum variabel keputusannya baik ketika air
yang tersedia berlimpah
maupun langka. Model DIJ yang dibangun dengan memaksimumkan benefit yang merupakan
kumulatif
benefit
yang
diperoleh
pengguna
dan
pengelola,
menyebabkan terjadinya kompetisi dalam mengalokasikan sumberdaya air. Kompetisi ini ditimbulkan karena biaya yang dikeluarkan sektor pengguna air untuk biaya air baku merupakan penerimaan bagi pengelola. Model DIJ akan
156
memilih aktivitas yang memberikan benefit optimum baik pada pengguna maupun pengelola. Sektor pertanian sebagai pemakai air terbesar namun kontribusinya paling kecil terhadap penerimaan pengelola (tarif air irigasi yang dimasukkan dalam model Rp 5.00 per meter kubik), merupakan sektor yang dikalahkan dalam pemilihan aktivitas optimum. Model DIJ yang dibangun berdasarkan benefit yang dihasilkan akibat aktivitas alokasi sumberdaya air, biaya selain air baku dianggap konstan dan bukan merupakan fungsi dari volume air yang dialokasikan.Model DIJ tidak mengakumulasi biaya yang diakibatkan oleh aktivitas sektor pengguna air, yang menyebabkan degradasi terhadap sumberdaya air itu sendiri dan lingkungan di sekitarnya. Biaya pengelola untuk menjaga kualitas sumberdaya air atau biaya sosial yang ditimbulkan karena nilai sumberdaya yang rusak akibat pencemaran dari limbah industri tidak termasuk dalam penghitungan benefit ini. Hasil
optimasi
Model
DIJ
memberikan
gambaran
bahwa
dengan
memperlakukan sumberdaya air sebagai sumberdaya yang mempunyai harga, meskipun harganya bukan berdasarkan mekanisme pasar tetapi ditetapkan oleh pemerintah, model akan memilih aktivitas yang memberikan benefit optimum. Secara implisit hasil optimasi Model DIJ dapat mengarahkan pengelolaan sumberdaya air yang baik dan menunjukkan bahwa sumberdaya air mulai langka. Sumberdaya air terutama air permukaan sebagai sumberdaya yang bersifat renewable, bukan berarti dapat memperlakukannya sebagai sumberdaya yang akan selalu tersedia dalam jumlah yang tidak terbatas. Kelangkaan air bukan hanya kuantitasnya saja tetapi juga meliputi kualitas dan tersedia ketika dibutuhkan. Pertumbuhan penduduk tinggi, yang diiringi dengan meningkatnya kebutuhan pangan, kebutuhan air domestik dan kebutuhan akan produk industri berakibat pada peningkatan kebutuhan air terutama air permukaan. Peningkatan
157
permintaan dari berbagai sektor pengguna ini akan meningkatkan kompetisi antar
sektor
pengguna
air
terutama
ketika
ketersediaannya
terbatas.
Peningkatan aktivitas penduduk berakibat pula rusaknya badan sungai karena dijadikan tempat sampah, sehingga volume air yang disalurkan tidak sesuai dengan kapasitas yang ada. Peningkatan aktivitas sektor industri dan pertanian modern dapat pula meningkatkan limbah yang dihasilkan kedua sektor tersebut, jika limbah tersebut dialirkan ke sungai atau saluran tanpa pengolahan terlebih dahulu akan menurunkan kualitas sumberdaya air. Selain menurunkan kualitas sumberdaya air, pencemaran inipun merusak lingkungan dimana limbah tersebut mengalir. Kerusakan lingkungan meliputi degradasi kehidupan sungai yang tercemar berakibat rusaknya ekosistem sungai, juga degradasi lahan akibat pemakaian air tersebut untuk mengairi sawah. Pertambahan
penduduk
dan
peningkatan
pembangunan
perkotaan
(wilayah hilir), merubah pola pengelolaan sumberdaya air dari pengelolaan publik menjadi
pengelolaan
sumberdaya
yang
membutuhkan biaya untuk pengelolaannya.
memiliki
nilai
ekonomi
serta
Transisi dari mekanisme alokasi
publik menjadi mekanisme berdasarkan nilai ekonomi berupa benefit yang dihasilkan membutuhkan model pengelolaan yang unique, yang dapat mencakup berbagai bidang secara terpadu. Model DIJ telah dapat menangkap kondisi transisi tersebut, serta dapat digunakan sebagi pedoman dalam pengaturan kebijakan pengelolaan sumberdaya air, terutama pengelolaan sumberdaya air permukaan dan pengaturan waduk.
VIII. DAMPAK PERUBAHAN NILAI VARIABEL TEKNIS DAN EKONOMI Perubahan yang dilakukan pada Model DIJ terdiri dari dua sisi perubahan yakni perubahan nilai variabel teknis dan perubahan nilai variabel ekonomi, dimana perubahan teknis berupa peningkatan permintaan air baku sektor non pertanian, sedangkan perubahan ekonomi peningkatan harga padi dan harga air baku PDAM. Perubahan permintaan air baku sektor non pertanian terdiri dari tiga skenario yakni perubahan permintaan air baku sektor domestik dan sektor industri. Perubahan permintaan sektor domestik berupa peningkatan sebesar 10 persen, penentuan besaran 10 persen ini didasarkan pada permintaan air baku domestik yang meningkat setiap tahunnya berkisar 10 persen (PJT II 2004). Sama halnya dengan perubahan yang dilakukan pada sektor domestik, perubahan permintaan air baku industri sebesar 5 persen berdasarkan data permintaan air baku industri dari tahun 1994 sampai dengan 2004. Selain kedua perubahan diatas dilakukan juga perubahan nilai kedua varibel. Perubahan permintaan air baku dan industri dikategorikan sebagai perubahan nilai variabel teknis, diasumsikan bahwa pihak pengguna telah meningkatkan kapasitas penampungan ataupun sarana lainnya yang mendukung peningkatan alokasi air baku untuk PDAM dan industri. Perubahan permintaan air baku ini tidak diikuti dengan perubahan sarana penyaluran air, diasumsikan bahwa kapasitas sarana yang dimiliki oleh PJT II sama dengan yang diatur pada Model DIJ dasar. Perubahan nilai variabel ekonomi berupa peningkatan harga padi sebesar 25 persen dan peningkatan harga air baku PAM DKI sebesar 10 persen. Peningkatan harga padi sebesar 25 persen mengikuti penetapan harga padi yang ditentukan oleh pemerintah sedangkan harga air baku PAM DKI merupakan
159
usulan PJT II kepada PAM DKI. Perubahan harga air baku PAM DKI dan harga padi dikategorikan sebagai perubahan nilai variabel ekonomi, disebabkan perubahan harga akan direspons oleh permintaan dan penawaran pada pasar persaingan sempurna, dan dapat merubah benefit yang dihasilkan. Kedua perubahan nilai variabel ekonomi inipun dikombinasikan untuk melihat dinamika alokasi optimum yang disebabkan oleh kedua variabel tersebut. Selanjutnya, kombinasi antara perubahan nilai variabel teknis dan ekonomi secara bersama-sama, diharapkan hasil optimasi dari perubahan keempat nilai variabel (permintaan air baku dan harga) akan merubah alokasi optimum dari Model DIJ dasar. 8.1. Perubahan Nilai Variabel Teknis Perubahan permintaan air baku, terdiri dari perubahan permintaan air baku PDAM sebesar 10 persen dan perubahan permintaan air baku industri sebesar 5 persen. Perubahan permintaan air baku PDAM dilakukan karena peningkatan permintaan aktual yang meningkat sebesar 10 persen rata-rata per tahunnya, yang seiring dengan pertambahan penduduk di wilayah tersebut. Kebutuhan
air
bersih
merupakan
kebutuhan
pokok,
dan
makin
sulit
memperolehnya terutama untuk wilayah Tarum Barat. Kebutuhan air bersih baik untuk minum maupun sanitasi tidak dapat lagi dipenuhi dengan menggunakan air tanah, selain biaya ekstraksi air tanah yang makin meningkat karena kedalaman serta kualitas air tanah yang makin menurun sehingga peningkatan kebutuhan air bersih diatasi dengan meningkatkan permintaan terhadap air permukaan dalam hal ini air dari sistem pengairan Jatiluhur. Hasil optimasi Model DIJ dengan perubahan permintaan air baku PDAM sebesar 10 persen (skenario 1), menghasilkan alokasi air optimum bagi sektor pertanian pada musim tanam I di wilayah Curug, Cibeet, Cikarang dan Bekasi
160
sama dengan hasil optimasi Model DIJ dasar, sedangkan pada musim tanam II terjadi perubahan alokasi air optimum ke sektor ini di wilayah Cikarang B maupun Bekasi A (Tabel 23). Tabel 23.
Luas Lahan Optimum Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 serta Musim Tanam di Wilayah Tarum Barat
GOLONGAN SAWAH TERSEDIA I II III IV V TOTAL DASAR MT I I II III IV V TOTAL MT II I II III IV V TOTAL SKENARIO 1 MT I I II III IV V TOTAL MT II I II III IV V TOTAL
CIBEET
CURUG A
LUAS LAHAN (ha) CIKARANG B A B
BEKASI A
3850.00 3850.00
485.00 485.00
4032.00 4277.00 5440.00 4762.00 2015.00 20526.00
3772.00 3619.00 2367.00 9758.00
4287.00 4940.00 1889.00 11,116.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
3850.00 3850.00
485.00 485.00
4032.00 4277.00 5440.00 4762.00 2015.00 20526.00
3772.00 3619.00 2367.00 9758.00
4287.00 4940.00 1889.00 11116.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
3850.00 3850.00
485.00 485.00
4032.00 4277.00 5440.00 4762.00 2015.00 20526.00
3772.00 3619.00 2367.00 9758.00
4287.00 2110.19 6397.19
186.00 4129.00 4315.00
3850.00 3850.00
485.00 485.00
4032.00 4277.00 5440.00 4762.00 2015.00 20526.00
3772.00 3619.00 2367.00 9758.00
4287.00 4940.00 1889.00 11116.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
3850.00 3850.00
485.00 485.00
4032.00 4277.00 5440.00 4762.00 2015.00 20526.00
3772.00 3619.00 2367.00 9758.00
4287.00 4940.00 958.92 10185.92
186.00 186.00
Hasil optimasi Model DIJ dengan skenario 1, merubah alokasi air optimum di wilayah Cikarang-B dan Bekasi A. Alokasi air optimum di wilayah
161
Cikarang-B lebih besar dibandingkan dengan hasil optimasi Model DIJ dasar. Perubahan alokasi air optimum ini menyebabkan perubahan luas lahan optimum, dimana luas lahan optimum model skenario 1 lebih luas dibandingkan hasil optimasi model dasar. Kondisi ini dapat dipahami karena luas lahan optimum sangat tergantung pada sumberdaya air yang tersedia, makin banyak air yang tersedia bagi sektor pertanian makin luas lahan optimum yang akan terpilih. Di sub wilayah Bekasi-A, alokasi air optimum mengalami penurunan, penurunan alokasi air optimum ini disertai juga dengan penurunan lahan optimum yang dipilih. Pada model skenario 1 ini sawah yang dipilih merupakan sawah golongan I saja sedangkan sawah golongan lainnya tidak dipilih. Pemilihan ini selain didasarkan pada sumberdaya air yang tersedia tetapi juga produktivitas lahan, dimana sawah golongan I diasumsikan produktivitasnya lebih tinggi dari golongan II, III dan seterusnya. Tabel 24. Alokasi Lahan Optimum Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dngan 7 serta Musim Tanam di Wilayah Cikarang B
GOLONGAN SAWAH TERSEDIA I II III IV V TOTAL MT I I II III IV V TOTAL MT II I II III IV V TOTAL
DASAR 1
2
LUAS LAHAN (ha) SKENARIO 3 4
5
6
7
4287.00 4940.00 1889.00 0.00 11116.00
4287.00 4940.00 1889.00 0.00 11116.00
4287.00 4940.00 1889.00 0.00 11116.00
4287.00 4940.00 1889.00 0.00 11116.00
4287.00 4940.00 1889.00 0.00 11116.00
4287.00 4940.00 1889.00 0.00 11116.00
4287.00 4940.00 1889.00 0.00 11116.00
4287.00 4940.00 1889.00 0.00 11116.00
4287.00 4940.00 1889.00 11116.00
4287.00 4940.00 1889.00 11116.00
4287.00 4940.00 1889.00 11116.00
4287.00 4940.00 1889.00 11116.00
4287.00 4940.00 1889.00 11116.00
4287.00 4940.00 1889.00 11116.00
4287.00 4940.00 1889.00 11116.00
4287.00 4940.00 1889.00 11116.00
4287.00 2413.21 6700.21
4287.00 4940.00 958.92 10185.92
4287.00 4940.00 934.44 10161.44
4287.00 4940.00 1558.56 10785.56
4287.00 4940.00 1558.56 10785.56
4287.00 4940.00 1558.56 10785.56
4287.00 4940.00 934.44 10161.44
4287.00 4287.00
Produktivitas dan luas lahan merupakan unsur pembentuk total produksi, dimana total produksi padi berhubungan dengan penerimaan petani, dan
162
penerimaan petani berhubungan dengan benefit sektor pertanian wilayah tersebut. Model DIJ yang dibangun dengan tujuan memaksimumkan benefit, cenderung akan memilih aktivitas yang menghasilkan benefit yang lebih tinggi, oleh sebab itu Model DIJ selalu akan memilih luas dan golongan lahan yang akan memberikan benefit optimum. Perubahan alokasi air optimum, luas lahan optimum dan produktivitas optimum, tidak merubah benefit sektor pertanian di sub wilayah Cikarang B dan Bekasi A, dimana benefit yang dihasilkan melalui peningkatan permintaan air baku PDAM sama dengan hasil optimasi model dasar. Perubahan permintaan air baku PDAM, merubah alokasi optimum air ke sektor domestik di semua wilayah, dimana besarnya perubahan sama dengan besarnya peningkatan permintaan (10 persen). Model memilih alokasi optimum sesuai dengan permintaan dari sektor tersebut. Tidak ada penambahan sarana penyaluran air, jadi kapasitas saluran baik pada model dasar maupun model skenario 1 tetap dengan kapasitas yang terpasang. Kapasitas saluran yang tetap berimplikasi pada total air yang disalurkan tidak dapat melebihi kapasitasnya sehingga kurva suplai sumberdaya air berbentuk garis lurus dan merupakan kurva penawaran yang inelastis. Kondisi suplai air pada kapasitas maksimum dan bersifat inelastis, ketika permintaan air salah satu sektor meningkat tidak disrespons dengan menambah total penyaluran air untuk sub wilayah tersebut, melainkan dengan mangalihkan air yang ada dari sektor yang mennghasilkan benefit lebih rendah ke sektor yang menghasilkan benefit lebih tinggi. Pengalihan alokasi antar sektor terjadi ketika nilai terhadap sumberdaya air berbeda setiap sektornya. Model akan memilih alokasi optimum pada sektor dengan nilai sumberdaya airnya lebih tinggi, sedangkan sektor yang memberi nilai sumberdaya air lebih rendah akan selalu dikorbankan, dalam penelitian ini sektor pertanian yang memberikan nilai
163
sumberdaya air paling rendah dibandingkan kedua sektor lainnya. Pengalihan air dari sektor pertanian ke sektor domestik tidak merubah benefit optimal
dari
sektor pertanian, karena pengalihan air ini juga terjadi di sektor pertanian itu sendiri,
yakni
mengalihkan
air
yang
dialokasikan
pada
lahan
dengan
produktivitas rendah ke lahan dengan produktivitas yang lebih tinggi. Perubahan permintaan air baku sebesar 10 persen telah merubah alokasi air ke sektor domestik sebesar 10 persen juga, dimana air yang dialokasikan berasal dari sektor pertanian. Perubahan alokasi air optimum, telah merubah benefit sektor ini dimana hasil optimasi dengan model skenario 1 telah merubah benefit optimum di semua wilayah, dimana benefit optimumnya lebih tinggi dari hasil optimasi model dasar. Sedangkan untuk sektor industri alokasi optimum yang dihasilkan sama dengan model dasar, dan benefit yang dihasilkan model inipun tidak berubah. Perubahan permintaan air baku PDAM sebesar 10 persen bersama dengan perubahan permintaan air baku industri sebesar 5 persen (model skenario 2), tidak merubah alokasi air ke sektor pertanian di semua wilayah kecuali sub wilayah Bekasi A. Alokasi air optimum ke wilayah ini mengalami penurunan dibandingkan dengan alokasi hasil optimasi model dasar, tetapi sama dengan alokasi optimum hasil model skenario 1. Perubahan alokasi air sektor pertanian ke sub wilayah Bekasi A pada musim tanam II, telah merubah alokasi lahan optimum dimana luas lahan optimum yang dipilih pada musim tanam II hanya sawah golongan I, dimana sawah golongan I merupakan sawah dengan produktivitas tertinggi, produktivitas tertinggi akan menghasilkan benefit yang lebih tinggi dibandingkan dengan sawah golongan lainnya. Perubahan pemintaan air baku PDAM dan industri (skenario 2), tidak merubah luas lahan optimum pada musim tanam I, perubahan terjadi pada musim tanam II dan hanya meliputi dua wilayah diatas yakni sub wilayah
164
Cikarang B dan Bekasi A. Luas lahan optimum kedua wilayah ini agak berbeda dengan hasil optimasi skenario 1, di sub wilayah Cikarang B terjadi perubahan pada luas lahan optimum sawah golongan IV, sedangkan lahan optimum yang dipilih di sub wilayah Bekasi A hanya pada sawah golongan I. Tabel 25.
Alokasi Lahan Optimum Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7, serta Musim Tanam di Wilayah Bekasi A LUAS LAHAN (ha)
GOLONGAN SAWAH TERSEDIA I II III IV V TOTAL MT I I II III IV V TOTAL MT II I II III IV V TOTAL
DASAR 1
2
3
SKENARIO 4
5
6
7
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
186.00 914.00 4129.00 804.00 6033.00
186.00 4129.00 4315.00
186.00 186.00
186.00 186.00
186.00 914.00 1100.00
186.00 186.00
186.00 186.00
186.00 186.00
186.00 743.01 929.01
Alokasi air optimum ke sektor domestik mengalami perubahan sebesar peningkatan permintaannya yakni 10 persen, atau sama dengan hasil optimasi model skenario 1. Alokasi optimum mengalami penurunan di semua wilayah (bukan pada batas maksimum) terjadi pada periode ke 18 (bulan Juni II), sedangkan alokasi ke wilayah Bekasi B dimana mengalami perubahan setiap periodenya (flukuatif) tetapi perubahan inipun sama dengan hasil optimasi model skenario 1. Perubahan alokasi air optimum merubah benefit yang dihasilkan oleh aktivitas tersebut, dengan perubahan dan besaran benefitnya sama dengan hasil optimasi Model DIJ skenario 1. Perubahan alokasi optimum hasil optimasi Model DIJ skenario 2, sebesar peningkatan permintaan sektor industri yakni 5 persen, menghasilkan benefit
165
bagi sektor industri, yang besarannya lebih tinggi dibandingkan dengan benefit yang dihasilkan dari optimasi Model DIJ dasar dan skenario 1. Perubahan permintaan air baku PDAM dan industri ternyata tidak merubah suplai air ke seluruh wilayah Tarum Barat tetapi hanya mengalihkan air dari sektor pertanian ke sektor domestik dan industri. Apabila dilakukan peningkatan terus menerus pada kedua sektor ini akan terjadi pengurangan lahan optimum yang disebabkan kekurangan air. Kekurangan air dalam artian bukan tidak tersedia di waduk tetapi air yang disalurkan sudah pada kapasitas maksimum dan tidak memungkinkan melakukan penambahan air kecuali dengan penambahan sarana penyaluran yang lebih besar. Ketika peningkatan suplai air hanya bisa diatasi dengan penambahan sarana menandakan bahwa untuk menyediakan sejumlah tambahan air dibutuhkan biaya pengadaannya, atau dengan kata lain air telah mengalami kelangkaan secara ekonomi (Molden et al, 2001). Model DIJ tidak mengamodasi perubahan sarana penyaluran maupun penyimpanan, disebabkan horison waktu model ini hanya dalam setahun dan bukan tahunan. Peningkatan permintaan air baku PDAM mengalihkan air dari sektor pertanian (pada model dasar) menjadi air baku PDAM. Kedua wilayah ini merupakan wilayah dengan jumlah PDAM lebih banyak dibandingkan wilayah lainnya serta PDAM yang ada pada kategori sedang sampai besar. Ketika air tersedia terbatas jumlahnya maka Model DIJ akan mengalihkan air dari sektor yang nilai airnya rendah ke sektor dengan nilai air yang lebih tinggi, hal ini sesuai dengan teori alokasi sumberdaya dimana akan dipilih kombinasi alokasi sumberdaya dengan rasio harga yang lebih tinggi. Ketika semua sektor berkompetisi dalam mendapatkan sumberdaya air dimana suplai sumberdaya tersebut inelastis, karena dibatasi oleh sarana yang tersedia. Perubahan permintaan salah satu sektor yang meningkatkan nilai air,
166
tanpa menambah kapasitas saluran induk atau dengan kata lain suplainya tetap maka Model DIJ akan memperlakukan sektor yang memberikan nilai air lebih rendah seolah-olah menjadi sektor yang terkalahkan. Hasil optimasi Model DIJ dengan menggunakan skenario 1 dan 2 hanya mengalihkan air irigasi ke sektor domestik dan industri di kedua wilayah tersebut, hal ini menunjukkan bahwa pada musim kemarau dimana ketersediaan air terbatas, dan penyaluran air berada pada kapasitas maksimum, Model DIJ memilih aktivitas yang nilai airnya lebih tinggi dan memperlakukan sekor yang memberikan nilai air lebih rendah sebagai sektor yang terkalahkan. Artinya secara otomatis Model DIJ memberikan prioritas sesuai dengan harga air baku yang berlaku. Perubahan skenario permintaan air baku (skenario 1 dan 2) tidak merubah produktivitas lahan baik pada musim tanam I dan II di semua wilayah Tarum Barat, sedangkan untuk total produksi padi di wilayah tersebut berubah karena perubahan luas lahan optimum. Begitu juga dengan total alokasi air irigasi pada semua wilayah pada musim tanam I tidak mengalami perubahan, perubahan terjadi pada musim tanam II dan hanya terjadi pada wilayah yang mengalami perubahan luas lahan optimum. Hasil optimasi Model DIJ dengan menggunakan kedua skenario tersebut menunjukkan bahwa apabila alokasi air bergeser dari alokasi berdasarkan kebutuhan pengguna ke alokasi berdasarkan benefit yang dihasilkan maka sektor pertanian akan mengalami kesulitan dalam mengakses air irigasi, pengelola akan memilih alokasi pada sektor yang memberikan benefit lebih tinggi sehingga mendatangkan return yang lebih tinggi bagi pengelola. Hasil optimasi inipun menunjukkan bahwa air di kedua wilayah tersebut telah mengalami kelangkaan, sehingga telah terjadi kompetisi antar sektor pengguna, kondisi ini dapat diatasi salah satunya dengan memberikan nilai air
167
irigasi pada tingkat yang lebih tinggi. Valuasi disini dapat berupa peningkatan harga air irigasi yang sesuai dengan kontribusi air terhadap total produksi, dimana hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa kontribusi air irigasi sendiri sebesar 15 persen dan 75 persen bersama input lainnya dari total output yang dihasilkan dapat dijadikan pedoman penentuan harga air irigasi. Apabila hasil per hektarnya sebesar 5 ton padi berarti bahwa air irigasi dalam satu musim tanam menyumbang sebesar 0.75 ton padi, atau setara dengan 1.28 juta rupiah (jika harga padi dipatok 1.70 ribu rupiah), dan 2.00 juta rupiah (jika harga padi dipatok 2.00 ribu rupiah), dengan harga air irgasi sebesar 31.88 rupiah atau 37.50 rupiah per meter kubik. Harga air irigasi sebesar 5.00 rupiah per meter kubik yang digunakan dalam Model DIJ, ternyata tidak dapat berkompetisi dengan sektor-sektor non pertanian yang memberikan nilai air lebih tinggi yakni 45.00 rupiah untuk PDAM Kota dan Kabupaten, 50.00 rupiah untuk sektor industri dan 100.00 rupiah untuk PAM DKI. Jika total air irigasi yang dialokasikan sebesar 40.00 ribu meter kubik per hektar berarti total biaya untuk air irigasi sebesar 200.00 ribu rupiah, atau sekitar 10 persen dari total pengeluaran usahatani padi per musim tanam. Jika ditinjau dari benefit bagi pengelola, penetapan harga air irigasi sebesar 31.88 rupiah atau 37.50 rupiah, mungkin akan lebih berkompetisi dibandingkan dengan harga yang ditetapkan Model DIJ. Jika dilihat dari sisi benefit sektor pertanian, penetapan harga air irigasi tersebut akan menyebabkan penurunan benefit akibat peningkatan biaya usahatani, dan proporsi biaya air irigasi akan menjadi lebih besar sedangkan benefit yang dihasilkan makin menurun bahkan mungkin sangat kecil. Sektor pertanian sebagai sektor pengguna air terbesar di wilayah ini, sebaiknya mulai mempertimbangkan penggunaan air irigasi seefisien mungkin,
168
dan memperlakukannya sebagai sumberdaya yang langka dan mempunyai nilai ekonomi sama seperti input lainnya. Kondisi seperti yang diskenariokan pada Model DIJ ini akan terjadi di masa mendatang, dimana pertumbuhan perkotaan di wilayah hilir Tarum Barat demikian pesat yang menyebabkan peningkatan permintaan air sektor non pertanian, sementara ketersediaan air dari sungai-sungai yang ada makin terbatas akibat rusaknya wilayah catchment area dan daerah sepanjang sungai, yang diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk dan wilayah pemukiman. Selain itu apabila dilihat dari sisi kualitas, kualitas air di wilayah ini sangat buruk, hal ini dapat dilihat dari pengamatan langsung dimana air yang ada mengandung sedimen (lumpur) yang sangat pekat, warna air yang telah tercemar dengan limbah pabrik yang ada terutama dari wilayah Cikarang dan Bekasi, sehingga air tidak dapat digunakan kembali di wilayah hilir walaupun dalam volume yang sangat banyak (saluran Cikarang Bekasi Laut, CBL). 8.2. Perubahan Nilai Variabel Ekonomi Perubahan nilai variabel ekonomi yang dilakukan meliputi perubahan harga air baku PAM DKI, dan perubahan harga padi masing-masing sebesar 10 persen dan 25 persen. Perubahan nilai variabel ini berdasarkan kondisi aktual dimana harga air baku PDAM meningkat sebesar 10 persen sesuai dengan usulan PJT II begitu juga dengan harga gabah merupakan harga gabah yang berlaku saat ini. Perubahan harga air baku PAM DKI sebesar 10 persen (skenario 3), mempengaruhi alokasi optimum ke sektor tersebut terutama di Sub wilayah Cikarang B dan Bekasi A, karena sektor ini sebagai pengguna air kedua terbesar di wilayah ini.
Perubahan harga air baku PAM DKI, tidak merubah alokasi
optimum ke sektor ini, karena alokasi dibatasi oleh sarana yang ada, dimana
169
alokasi hasil optimasi Model DIJ telah mencapai kapasitas maksimum saluran PAM DKI. Perubahan inipun mempengaruhi alokasi air optimum ke sektor pertanian dimana lahan optimum yang dipilih oleh Model DIJ skenario 3, di sub wilayah Cikarang B berbeda dengan pada model dasar maupun skenario 1 dan 2, luas lahan optimum lebih kecil dibandingkan dengan luas lahan optimum pada model dasar, tetapi pada golongan sawah yang berbeda yakni sawah golongan III, yang memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan sawah golongan IV yang dipilih pada model skenario sebelumnya. Perubahan luas lahan optimum ini menyebabkan perubahan benefit pada sektor pertanian di wilayah Cikarang B, pada musim tanam II. Selain menyebabkan peningkatan benefit sektor pertanian di wilayah Cikarang B, secara umum peningkatan harga air baku PAM DKI menyebabkan penurunan terhadap benefit dari sektor domestik di semua wilayah. Hal ini dipahami sebab peningkatan harga air baku PAM DKI akan menyebabkan peningkatan biaya pada PAM DKI, tetapi merupakan peningkatan penerimaan bagi PJT II. Alokasi air optimum ke sektor-sektor pengguna air yang ada di wilayah Tarum Barat mengalami sedikit perubahan, perubahan nilai variabel ini tidak mempengaruhi penyaluran air pada kedua wilayah tersebut, dan pada sektorsektor pengguna air. Perubahan harga air baku PDAM menyebabkan peningkatan benefit sektor pertanian, dan penurunan benefit sektor domestik serta sektor industri. Perubahan harga yang tidak diikuti dengan penambahan sarana penyaluran atau peningkatan kapasitas penyaluran menyebabkan tidak direspons dengan penambahan suplai air baku. Kondisi ini merupakan kondisi dimana suplai air inelastis, yang berarti perubahan harga tidak dapat menggeser kurva penawaran. Perubahan harga air baku PDAM hanya merubah benefit baik pada sektor pertanian, dan pengelola serta mempengaruhi benefit sosialnya.
170
Perubahan harga padi sebagai output sektor pertanian, ternyata tidak merubah posisi sektor pertanian yang diperlakukan sebagai sektor yang terkalahkan. Perubahan harga padi inipun merubah alokasi air optimum ke sektor pertanian namun tidak mengubah alokasi air optimum ke sektor lainnya. Total air irigasi yang dialokasi ke setiap wilayah sama, baik hasil optimasi Model DIJ dasar, skenario 3, 4 dan 5. Apabila dibandingkan dengan alokasi air hasil optimasi Model DIJ dasar, alokasi air optimum ke sektor pertanian yang dihasilkan oleh ketiga skenario ini lebih banyak terutama pada musim tanam II. Begitu juga dengan luas lahan optimum yang dihasilkan ketiga skenario ini tidak berbeda antara ketiganya tetapi berbeda jika dibandingkan dengan hasil optimasi Model DIJ dasar. Perubahan luas lahan pada musim tanam II di Sub wilayah Cikarang-B dan Bekasi A ini menunjukkan bahwa Model DIJ dapat menangkap perubahan tersebut dengan baik ketika air yang tersedia terbatas. Perubahan harga yang dilakukan tidak mempengaruhi kondisi optimum pada musim tanam I, karena air yang tersedia terutama dari sumber setempat dapat mencukupi kebutuhan semua sektor di wilayah tersebut, sedangkan penyaluran dari Bendung Curug hanya untuk menjaga kelestarian saluran yakni sebesar 5 meter kubik per detik. Perubahan harga air baku PAM DKI telah merubah lahan optimum di Sub wilayah Cikarang B sedangkan pada wilayah Bekasi sama seperti pada skenario 2 dan 3, hanya sawah golongan I saja yang dipilih (Tabel 25). Perubahan harga padi hanya merubah benefit sektor pertanian itu sendiri tetapi tidak merubah benefit sektor lainnya. Perubahan harga air padi inipun tidak merubah penyaluran air baik dari Bendung Curug ke Tarum Barat, maupun dari Bendung Cikarang ke Bendung Bekasi. Perubahan harga air baku PAM DKI dan harga padi tidak mengubah posisi optimum baik pada luas lahan, produktivitas dan alokasi air ke pengguna, tetapi hanya mengubah benefit sektor domestik
171
(skenario 3) dan benefit sektor pertanian (skenario 4). Perubahan benefit kedua sektor ini akan menyebabkan perubahan terhadap benefit sosial karena merupakan kumulatif dari benefit pengguna maupun pengelola. Perubahan harga air baku dan harga padi, tidak dapat merubah penyaluran air optimum ke wilayah-wilayah yang mengalami peningkatan permintaan dari sektor-sektor pengguna air. Model DIJ tidak dapat menangkap fenomena perubahan permintaan air maupun harga air baku dan komoditi tetapi hanya dapat menangkap benefit yang dihasilkan dari setiap aktivitas sektorsektor pengguna air. Suplai air irigasi yang bersifat inelastis tidak akan berubah menjadi elastis ketika harga air baku ditingkatkan, kendala kapasitas lebih menentukan elastisitas suplai air permukaan dalam suatu sistem pengairan. Penentuan harga air baku yang ditentukan oleh pemerintah, tidak mencerminkan biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan air tersebut, tetapi semata-mata didasarkan pada ’keputusan politik’ dan tidak berorientasi pasar. Penentuan harga oleh pemerintah, akan mempengaruhi keputusan pengelola sebagai operator alokasi sumberdaya air di wilayah tersebut. Status pengelola yang merupakan badan usaha akan berorientasi pada benefit yang dihasilkan, meskipun dalam pelaksanaannya telah diatur untuk memprioritaskan sektor pertanian ternyata di musim kemarau banyak sawah yang tidak terairi. Model DIJ menunjukkan bahwa kekeringan yang dialami oleh beberapa wilayah Tarum Barat, bukan hanya disebabkan karena tidak tersedianya air untuk irigasi tetapi sarana yang tersedia tidak memungkinkan untuk menyalurkan air lebih banyak lagi. Kapasitas sarana yang dimasukkan dalam Model DIJ, merupakan data teknis yang diberikan PJT II, kondisi ideal ini tidak terjadi di lapang, dimana banyak sekali sarana yang rusak dan sedimen di saluran induk dan sekunder yang tidak memungkinkan penyaluran air sesuai dengan data
172
teknis yang ada sampai ke wilayah paling hilir terutama di ruas Cikarang Bekasi (sub wilayah Cikarang B). 8.3. Perubahan nilai variabel teknis dan ekonomi. Perubahan nilai variabel teknis dan ekonomi, merupakan kombinasi dari 5 skenario diatas. Kombinasi pertama antara skenario 2 (perubahan permintaan air baku PDAM dan industri) dengan skenario 3 (perubahan harga air baku PAM DKI). Hasil optimasi Model DIJ skenario 6, tidak mempengaruhi alokasi air ke sektor pertanian di semua wilayah pada musim tanam I. Perubahan alokasi air terjadi pada musim tanam II, dan hanya pada wilayah Cikarang B dan Bekasi. Alokasi optimum yang dipilih sama dengan alokasi optimum hasil optimasi Model DIJ skenario 2. Sedangkan luas lahan optimum yang diairi sama dengan hasil optimasi model dasar (Tabel 26), dengan produktivitas yang tidak berubah. Benefit yang dihasilkan oleh sektor pertanian pada musim tanam I dan II di semua wilayah sama besarnya dengan hasil optimasi model dasar. Tabel 26.
Alokasi Air Intertemporal ke Sekor Non Pertanian Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 di Wilayah Tarum Barat
SEKTOR WILAYAH
DASAR
1
2
VOLUME (ribu m3) SKENARIO 3 4
5
6
7
Domestik Curug Cibeet A Cibeet B Cikarang A Cikarang B Bekasi A Bekasi B
41.58 254.10 5.78 681.45 446.99 17.70
45.74 279.51 6.35 749.60 491.68 19.47
45.74 279.51 6.35 749.60 491.68 19.47
41.58 254.10 5.78 681.45 446.99 17.70
41.58 254.10 5.78 681.45 446.99 17.70
41.58 254.10 5.78 681.45 446.99 17.70
38.76 279.51 6.35 732.01 491.68 19.47
45.74 279.51 6.35 749.60 491.68 19.47
Curug Cibeet A Cibeet B Cikarang A Cikarang B Bekasi A Bekasi B
781.82 40.70 675.68 280.50 538.81 123.20 -
781.82 40.70 675.68 280.50 538.81 123.20 -
820.91 42.74 709.46 294.53 565.75 129.36 -
781.82 40.70 675.68 280.50 538.81 123.20 -
781.82 40.70 675.68 280.50 538.81 123.20 -
781.82 40.70 675.68 280.50 538.81 123.20 -
820.91 42.74 709.46 294.53 565.75 129.36 -
820.91 42.74 709.46 294.53 565.75 129.36 -
Industri
Perubahan nilai variabel teknis dan harga air baku PAM DKI (skenario 6), merubah benefit semua sektor non pertanian yang besarannya berbeda dengan
173
hasil optimasi model dasar maupun skenario sebelumnya. Perubahan benefit ini bervariasi, untuk wilayah Curug, perubahan terjadi pada benefit sektor domestik yang mengalami penurunan dan sektor industri yang mengalami peningkatan jauh lebih besar dibandingkan hasil optimasi model dasar. Perubahan yang sama terjadi di Sub wilayah Cibeet A, yang tidak mengalami perubahan benefit pada kedua wilayah ini adalah benefit pertanian dimana besarannya sama dengan hasil optimasi model dasar. Sub wilayah Cibeet B sampai dengan sub wilayah Bekasi B, terjadi perubahan benefit sektor domestik dan industri dimana benefit kedua sektor ini mengalami peningkatan di semua wilayah tersebut. Kombinasi perubahan nilai variabel teknis dan ekonomi (skenario 7), merubah alokasi optimum ke semua sektor pengguna air. Perubahan ini tidak seiring untuk semua sektor di semua wilayah, namun sangat fluktuatif dengan arah perubahan yang berbeda. Alokasi air optimum ke sektor pertanian tidak mengalami perubahan pada musim tanam I di semua wilayah, sama halnya dengan skenario sebelumnya. Alokasi air ke sektor pertanian ini berbeda dengan alokasi pada sektor lainnya yang relatif stabil dari waktu ke waktu. Alokasi air ke sektor
pertanian,
mengikuti
tahap
pertumbuhan
dimana
setiap
tahap
pertumbuhan membutuhkan air yang berbeda, begitu juga dengan musim tanam setiap golongan tidak serentak melainkan bertahap dengan jarak satu periode (tengah bulan). Syarat agronomis dan musim tanam yang berbeda ini menyebabkan sektor pertanian selalu dikalahkan oleh sektor lainnya dimana kebutuhan per tengah bulanannya lebih stabil. Alokasi ke sektor pertanian mengalami perubahan pada musim tanam II, dimana wilayah yang mengalami perubahan adalah sub wilayah Cikarang B dan Bekasi A. Perubahan alokasi sektor pertanian pada musim tanam II, berbeda dengan hasil optimasi model sebelumnya baik model dasar maupun model skenario 1-6. Alokasi air optimum ke Sub wilayah Cikarang B memilih sawah golongan I sebagai lahan optimum,
174
sedangkan lahan lainnya (golongan III dan IV) tidak dipilih. Berbeda alokasi air optimum di sub wilayah Bekasi A, model memilih seluruh sawah golongan I dan sebagian sawah golongan IV yang tersedia di sub wilayah tersebut. Perubahan
alokasi
air
optimum
pada
kedua
wilayah
tersebut
menyebabkan perubahan benefit yang dihasilkan dimana benefit pada musim tanam II untuk sub wilayah Cikarang B lebih rendah dibandingkan dengan benefit pada model dasar, begitu juga dengan benefit yang diterima di Sub wilayah Bekasi A lebih tinggi dibandingkan dengan hasil opimai model dasar dan skenario sebelumnya. Perubahan benefit sektor pertanian selain disebabkan perubahan alokasi air optimum, juga akibat perubahan harga padi. Perubahan benefit hasil optimasi Model DIJ skenario 7, sama dengan hasil optimasi model sebelumnya (skenario 3,4 dan 5). Perbedaan benefit sektor pertanian pada musim tanam II di Sub wilayah Cikarang B dan Bekasi A, terlihat hanya pengalihan air sektor pertanian di kedua wilayah tersebut, sedangkan untuk wilayah Curug sampai dengan sub wilayah Cikarang A tidak mengalami perubahan baik pada musim tanam I dan II. Hasil optimasi Model DIJ dasar sampai dengan skenario 7, menunjukkan bahwa sub wilayah Cikarang B dan Bekasi A yang mengalami perubahan di sektor pertanian sedangkan sektor lainnya tidak berubah. Telah diuraikan sebelumnya bahwa berbagai perubahan nilai variabel yang dilakukan pada Model DIJ hanya merubah alokasi optimum sektor pertanian di Wilayah Cikarang B dan Bekasi A. Sedangkan di wilayah lainnya, perubahan nilai variabel hanya merubah alokasi air optimum pada sektor yang dirubah sedangkan alokasi optimum pada sektor lainnya tidak berubah. Bila dicermati proporsi penggunaan air di wilayah Curug sampai dengan Cikarang A menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang mendominasi penggunaan air di wilayah ini. Sektor domestik dan industri
175
proporsi penggunaan airnya sangat kecil, sehingga perubahan yang dilakukan terhadap sektor domestik maupun sektor industri tidak merubah posisi optimum di wilayah tersebut. Kompetisi antar sektor tidak terlihat meskipun ketika musim kemarau, nilai sumberdaya air juga seolah diabaikan dan tidak mempengaruhi alokasi yang dihasilkan dari optimasi Model DIJ. Kondisi optimum yang tidak menunjukkan dinamika perubahan nilai variabel pada sub wilayah Curug sampai dengan sub wilayah Cikarang A, menunjukkan bahwa bukan hanya variabel ekonomi ataupun teknis dan kombinasi keduanya yang mempengaruhi alokasi air, melainkan dominasi peggunaan air oleh sektor tertentu dengan perbedaan proporsi yang sangat jauh akan mengeliminasi kompetisi antar sektor (Gambar 29). Berbeda dengan sub wilayah Cikarang B dan Bekasi A, sektor pertanian bukan merupakan sektor dominan dalam penggunaan air, sektor domestik yang berada di sub wilayah Cikarang B terdapat 3 perusahaan air terdiri dari 2 PDAM golongan kecil dan 1 golongan sedang, di sub wilayah Bekasi A terdapat 2 perusahaan
terdiri dari golongan PDAM kecil dan sedang masing-masing 1
perusahaan, dan sub wilayah Bekasi B terdapat 2 PDAM dengan kategori PDAM sedang dan besar (Tabel 21). Sedangkan sektor industri terdapat 16 perusahaan di wilayah Cikarang B dan 3 perusahaan di wilayah Bekasi A (Tabel 22). Perubahan yang terjadi di kedua wilayah tersebut menunjukan bahwa kompetisi antar sektor telah terjadi, dimana sektor pertanian dan sektor non pertanian memiliki proporsi penggunaan air yang hampir seimbang (Gambar 26). Kondisi aktual di kedua wilayah tersebut masuk dalam tahapan alokasi pada tahapan pengembangan Molden et.al. (2001), dimana air ditransfer dari pengguna yang memberikan nilai air rendah ke pengguna dengan nilai air yang lebih tinggi, selain itu, telah terjadi juga kelangkaan fisik serta konflik antar sektor pengguna (Tabel 12).
176
Kompetisi antar sektor terjadi biasanya saat musim kemarau dimana ketersediaan air terbatas, curah hujan menurun sehingga air yang berasal sumber setempat berkurang. Ketersediaan air yang cukup apalagi dalam jumlah yang melimpah (biasanya terjadi pada musim penghujan), mengurangi atau meniadakan kompetisi antar sektor pengguna air dan menurunkan nilai sumberdaya air atau dengan kata lain ketika tidak terjadi kelangkaan air sehingga tidak ada kompetisi antar sektor pengguna maka nilai sumberdaya tersebut tidak mempengaruhi kriteria dan mekanisme alokasi (Dinar et.al., 2000). Model DIJ akan efektif digunakan manakala sumberdaya dalam kondisi langka dan memiliki nilai yang berarti, model akan memberikan solusi alokasi optimum yang mendatangkan benefit optimum baik bagi pengguna maupun pengelola. Model DIJ efektif digunakan ketika sumberdaya air sudah menjadi barang ekonomi yang memiliki harga akibat kelangkaannya. Keterbatasan Model DIJ yang hanya dapat menampung faktor ekonomi dengan kendala hidrolgi, tanpa memasukkan faktor lingkungan dapat menimbulkan masalah ketika air dialokasikan pada sektor pengguna yang menghasilkan limbah dan mencemari sumberdaya air itu sendiri. Sektor industri merupakan sektor dengan benefit yang lebih besar dibandingkan kedua sektor lainnya, meskipun proporsi alokasi airnya lebih kecil namun pencemaran yang ditimbulkannya terhadap sumberdaya air di saluran pembuang (khususnya saluran CBL) cukup memprihatinkan, dimana limbah sektor ini dialirkan langsung ke saluran tersebut tanpa pengolahan terlebih dahulu. Pencemaran ini dapat dilihat langsung dimana kekeruhan air yang mengalir di saluran tersebut sangat pekat dengan bau yang menyengat, walaupun total air di saluran pembuangan dalam kuantitas yang lebih dari cukup tetapi karena kualitasnya menyebabkan air tersebut tidak dapat digunakan lagi (reuse). Sementara lahan irigasi di hilir saluran tersebut mengalami kekeringan
177
sedangkan air disaluran pembuangan ini tersedia dalam jumlah yang cukup namun dengan kualitas yang tidak memenuhi syarat untuk dimanfaatkan. Model DIJ akan memberikan solusi masalah alokasi sumberdaya dengan tepat ketika proporsi pengunaan dan nilai sumberdaya air masing-masing sektor berimbang, dan sumberdaya dalam kondisi langka (Molden et.al., 2000). Model DIJ tidak mengakomodasikan pencemaran dan daya rusak air yang ditimbulkan akibat aktivitas dalam alokasi sumberdaya air secara eksplisit, namun secara implisit faktor tersebut diakomodasikan melalui pembobotan yang diberikan masing-masing
sektor
dalam
penghitungan
benefit
sosialnya.
Namun
pembobotan ini belum seefektif bila dilakukan penghitungan biaya eksternalitas pencemaran. Kesulitan dalam penghitungan biaya tersebut, karena beragamnya industri yang ada di wilayah Tarum Barat, serta tidak adanya instansi atau lembaga yang mengontrol kualitas air di wilayah hilir terutama di saluran pembuangan. Jika pengendalian kualitas air di saluran pembuangan ini dilakukan maka air tersebut dapat dimanfaatkan kembali oleh sektor pengguna yang ada di sekitar saluran tersebut, terutama sektor domestik. Penggunaan air dari saluran CBL ini dapat mengatasi kelangkaan air di wilayah Bekasi yang terkendala kapasitas saluran induk Tarum Barat. Perubahan sistem penyaluran air ke sektor domestik dari Bendung Bekasi ke saluran CBL dapat mengatasi kekeringan yang dialami sawah di Sub wilayah Bekasi A dan Cikarang B, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan nilai sumberdaya air tersebut, serta meningkatkan benefit sektor pengguna sekaligus meningkatkan benefit sosial wilayah ini.
IX. KONDISI STOK DAN NILAI EKONOMI AIR DI WADUK JUANDA 9.1. Inflow dan Outflow Waduk Ketersediaan air di waduk tergantung pada air yang masuk dan keluar waduk, dimana apabila air yang masuk lebih besar dari yang disalurkan maka terjadi penambahan stok dan sebaliknya jika air yang keluar lebih besar dari air yang masuk maka terjadi pengurangan stok waduk. Waduk Jatiluhur dibangun sebagai penyimpan air Sungai Citarum dan menyalurkannya ke seluruh sistem pengairan di wilayah DI Jatiluhur. Ketersediaan air dalam sistem pengairan DI Jatiluhur selain tergantung pada ketersediaan air di waduk juga ketersediaan air dalam sub sistem pengairan. Tabel 27. Air Masuk ke Waduk Juanda, Bendung Cibeet, Cikarang dan Bekasi Oktober 2003 – September 2004 NO
PERIODE
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
CITARUM 121.30 169.89 114.99 89.96 235.13 245.43 126.62 161.01 193.75 210.39 206.20 196.51 148.23 228.01 191.02 147.00 102.95 87.61 94.95 145.08 88.24 67.46 98.35 98.25
Sumber : Perum Jasa Tirta (2004)
Air Masuk (m3 per detik) SBR LAIN CIBEET CIKARANG 4.53 22.03 0.41 5.65 22.64 2.86 8.04 17.36 13.65 5.62 12.50 7.95 11.48 30.04 6.54 12.75 16.27 6.18 9.47 38.89 11.47 11.68 47.40 17.57 11.86 40.59 25.78 28.27 40.25 16.30 20.00 51.39 27.10 7.73 22.66 39.78 9.96 49.73 28.39 14.41 29.87 20.15 33.80 58.99 21.75 23.66 48.03 19.84 6.44 9.83 19.92 4.23 6.98 14.51 4.72 8.11 3.45 3.39 3.67 5.81 1.24 0.42 2.26 1.46 0.61 1.95 1.18 6.76 2.04 1.19 3.90 1.22
BEKASI 30.55 38.15 17.91 27.01 25.25 23.43 49.60 38.43 40.22 57.09 39.29 29.88 70.46 57.23 71.05 35.03 10.82 7.27 12.48 6.39 1.48 1.10 1.95 4.93
179
Sumber air utama dari Waduk Jatiluhur adalah Sungai Citarum, ditambah dengan curah hujan yang terjadi di wilayah waduk dan disebut sebagai sumber lainnya. Air yang masuk ke waduk disalurkan ke bendung pembagi dan selanjutnya diteruskan ke bendung-bendung di sub wilayahnya. Pada subsistem pengairan Tarum Barat, terdapat 3 sungai yang menjadi sumber, yakni Sungai Cibeet sebagai sumber utama Bendung Cibeet, Sungai Cikarang sebagai sumber utama Bendung Cikarang dan Sungai Bekasi sebagai sumber utama Bendung Bekasi. Ketersediaan air di subsistem tersebut akan mempengaruhi ketersediaan air di Waduk Juanda, jika ketersediaan air di wilayah subsistem dapat memenuhi kebutuhan sektor-sektor pengguna di wilayah tersebut, maka penyaluran air dari Waduk Juanda tidak diperlukan (biasanya musim hujan). Subsistem Tarum Barat selain memperoleh tambahan dari Waduk Juanda, terdapat sumber penambah suplai air yakni suplesi dari Bendung Cibeet, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sub wilayah Cibeet-B (antara Cibeet dan Cikarang). Subsistem Tarum Barat sebagai satu kesatuan, kondisi keseimbangan di setiap node (bendung) sangat diperlukan untuk melihat surplus atau defisit air pada masing-masing wilayah tersebut. Keseimbangan setiap bendung akan mempengaruhi keseimbangan seluruh sistem pengairan DI Jatiluhur. Telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa bendung yang ada di wilayah hilir merupakan bendung gerak, yang tidak dapat menyimpan air tetapi hanya sebagai pengatur tinggi muka air agar dapat disalurkan di wilayah hilirnya. Kondisi inilah yang menjadi alasan bahwa keseimbangan setiap bendung diperlukan agar dapat diukur kebutuhan air bagi wilayah hilir, dan dapat menentukan outflow dari Bendung Curug. Selain itu Model DIJ sebagai suatu model optimasi, dilakukan pada kondisi keseimbangan.
180
9.2. Keseimbangan Air Wilayah Sistem pengairan DI Jatiluhur dalam mengukur kebutuhan masingmasing sektor di setiap wilayah menggunakan keseimbangan (neraca), semua wilayah yang tercakup dalam sub sistem yang ada. Perhitungan kebutuhan dan ketersediaan (neraca) air yang dilakukan PJT II dimulai dari wilayah terhilir sampai ke Bendung Curug, perhitungan ini menghasilkan tambahan air yang harus disalurkan dari Bendung Curug. Model DIJ menerapkan hal yang sama, perhitungan dimulai dari Bendung terhilir yakni Bendung Bekasi. Kebutuhan Bendung Bekasi dipenuhi dari sungai Bekasi dan tambahan dari Bendung Cikarang melalui saluran induk Tarum Barat, ruas Cikarang Bekasi (Cikarang B). Selanjutnya di Bendung Cikarang, sumber utamanya berasal dari Sungai Cikarang dan sisa air dari Bendung Cibeet, serta tambahan dari Bendung Curug jika diperlukan. Kemudian keseimbangan di Bendung Cibeet dimana sumber utamanya Sungai Cibeet, sisa penggunaan air di Sub wilayah Cibeet A (antara Bendung Cibeet dan saluran induk Tarum Barat) diteruskan ke saluran induk Tarum Barat sebagai penambah air di saluran induk Tarum Barat. Terakhir adalah keseimbangan di Bendung Curug, selain untuk memenuhi kebutuhan sektor pengguna di wilayah Curug, juga sebagai tambahan untuk memenuhi kebutuhan sub wilayah Cibeet B, Cikarang dan Bekasi. Bendung Bekasi sebagai wilayah terhilir, hampir selalu tidak dapat memenuhi permintaan sektor pengguna air di wilayah ini, hal ini disebabkan kebutuhan air baku PAM DKI yang terus meningkat, sedangkan debit Sungai Bekasi makin menurun dari waktu ke waktu. Kebutuhan terbesar wilayah Bendung Cikarang berada di sub wilayah Cikarang B yang mengambil air dari saluran yang sama dengan wilayah Bekasi, yakni saluran induk Tarum Barat ruas antara Bendung Cikarang dan Bendung Bekasi. Berdasarkan neraca inipun
181
dapat dilihat bahwa sub wilayah Cikarang B dan Bekasi merupakan wilayah dengan kompetisi tertinggi akibat kelangkaan air. Kelangkaan air di kedua sub wilayah tersebut bukan hanya karena debit sungai Bekasi yang terus menurun melainkan disebabkan kapasitas saluran yang tidak dapat memenuhi kebutuhan di kedus wilayah tersebut. Peningkatan permintaan air sektor non pertanian tidak diikuti dengan peningkatan kapasitas saluran tersebut, sehingga selalu terjadi kompetisi antar sektor pengguna di kedua sub wilayah tersebut. 9.3. Penyaluran Air dari Waduk Juanda Model DIJ mengasumsikan bahwa outflow ke Tarum Utara maupun Tarum Timur sebagai residual dari outflow Juanda ke Tarum Barat, hanya dengan memberikan batas atas dan batas bawah tanpa memasukkan fungsi permintaan air di wilayah tersebut. Sedangkan outflow ke Tarum Barat merupakan hasil optimasi yang mempertimbangkan permintaan air dari sektorsektor pengguna dan benefit yang dihasilkannya. Outflow minimum dari Bendung Curug ke Tarum Barat hanya untuk memenuhi kebutuhan sektor-sektor pengguna di wilayah Curug dan pemeliharaan saluran induk Tarum Barat (sebesar 5 meter kubik per detik), sedangkan tambahan ke wilayah hilir dilakukan ketika air yang tersedia di wilayah tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Model DIJ meminimalisasi selisih (deviasi) inflow dan outflow dari Waduk Juanda untuk menjaga ketersediaan air di waduk sehingga baik kegiatan di instream (PLTA) maupun aktivitas di offstream dapat dilakukan. Outflow yang disalurkan dari Bendung Curug merupakan outflow minimal dari Waduk Juanda tetapi menghasilkan benefit yang optimum dari alokasi air tersebut. Hasil optimasi model DIJ menunjukkan, outflow dari Bendung Curug ke Tarum Barat lebih rendah dibandingkan dengan outflow aktual, dalam kondisi semua kebutuhan sektor di wilayah hilir terpenuhi dan stok air di waduk lebih
182
tinggi dibandingkan stok aktual. Outflow optimum Model DIJ lebih efisien dari pada outflow aktual, dengan asumsi bahwa ketersedian air di wilayah hilir diketahui sehingga outflow dari Bendung Curug sebagai penambah suplai air untuk wilayah hilir (Gambar 33). Pengurangan penyaluran air dari Bendung Curug ke Tarum Barat berimplikasi pada peningkatan stok air di waduk sehingga dapat digunakan untuk
Debit (m3/detik)
mengantisipasi berbagai anomali iklim yang berakibat pada kelangkaan air.
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
DASAR
Gambar 33.
Sep.I
Sep.II
Ags.I
Ags.II
Jul.I
Jul.II
Jun.I
Jun.II
Mei.I
Mei.II
Apr.I
Apr.II
Mar.I
Mar.II
Peb.I
Peb.II
Jan.I
Jan.II
Des.I
Des.II
Nop.I
Nop.II
Okt.I
AKTUAL
Okt.II
0.00
Periode
Outflow dari Bendung Curug ke Tarum Barat
Penyaluran air yang lebih efisien akan berdampak pada meningkatnya nilai sumberdaya yang tersimpan di dalamnya. Hasil optimasi dengan menggunakan model
skenariopun
menunjukan
bahwa
alokasi
optimum
lebih
efisien
dibandingkan dengan alokasi aktual, perubahan outflow akibat perubahan variabel teknis dan ekonomi menunjukkan terdapat 4 pola outflow, yakni hasil optimasi Model DIJ dasar, skenario 1 dan skenario 3, kemudian skenario 2 dan skenario 6 serta skenario 4 dan 5. Pola penyaluran yang berbeda menunjukkan perubahan alokasi optimum ke sektor pengguna air di wilayah hilir. Perubahan permintaan air sektor domestik (skenario 1), menunjukkan penyaluran ke Tarum
183
Barat lebih banyak dibandingkan dengan model dasar, sedangkan pada perubahan
permintaan
air
sektor
domestik
dan
industri
(skenario
2),
menunjukkan perbedaan yang cukup besar dengan penyaluran air optimum Model DIJ dasar. Perubahan harga air baku sektor domestik mendapat respons dengan penambahan penyaluran air sedangkan perubahan harga gabah justru direspons dengan penyaluran air yang lebih sedikit. Begitu juga dengan perubahan variabel teknis dan ekonomi secara serentak direspons oleh Model DIJ dengan penyaluran air yang lebih sedikit (Tabel 28). Tabel 28.
Penyaluran Air dari Bendung Curug ke Tarum Barat Hasil Optimasi Model DIJ dan Skenario 1 sampai dengan 7
NO PERIODE 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
Outflow dari Bendung Curug ke Tarum Barat (m3 per detik) SKENARIO AKTUAL DASAR 1 2 3 4 5 6 41.61 10.97 10.97 11.00 10.97 8.50 8.50 11.00 39.85 10.79 10.80 10.83 10.79 8.42 8.42 10.83 40.40 11.28 13.01 13.08 11.28 9.39 9.39 13.08 40.65 21.14 22.87 22.94 21.14 19.69 19.69 22.94 40.62 8.25 8.26 8.29 8.25 7.03 7.03 8.29 40.53 8.47 8.47 8.50 8.47 7.16 7.16 8.50 34.12 8.25 8.26 8.29 8.25 7.03 7.03 8.29 30.94 8.16 8.16 8.19 8.16 6.99 6.99 8.19 30.70 7.70 7.71 7.74 7.70 6.77 6.77 7.74 30.21 5.68 5.68 5.71 5.68 5.68 5.68 5.71 29.72 5.59 5.59 5.62 5.59 5.59 5.59 5.62 30.67 5.63 5.63 5.66 5.63 5.63 5.63 5.66 31.17 5.63 5.63 5.66 5.63 5.63 5.63 5.66 30.02 5.63 5.63 5.66 5.63 5.63 5.63 5.66 31.20 5.59 5.59 5.62 5.59 5.59 5.59 5.62 33.22 5.63 5.63 5.66 5.63 5.63 5.63 5.66 37.90 33.92 32.69 32.58 33.92 36.24 36.24 32.58 50.90 39.63 37.94 37.80 39.63 42.33 42.33 37.80 54.86 25.09 23.18 23.02 25.09 27.99 27.99 23.02 55.92 32.62 30.68 30.49 32.62 35.90 35.90 30.49 63.22 26.76 26.68 26.59 26.76 29.48 29.48 26.59 64.42 21.90 23.64 23.73 21.90 21.90 21.90 23.73 60.76 14.46 16.19 16.26 14.46 14.46 14.46 16.26 59.92 15.37 17.24 17.31 15.35 13.91 15.36 17.31
7 6.80 6.80 9.87 20.48 6.21 6.29 6.21 6.22 6.16 5.71 5.62 5.66 5.66 5.66 5.62 5.66 36.51 42.39 27.94 36.07 31.20 23.73 16.26 17.32
Penyaluran air ke saluran induk Tarum Barat mulai meningkat pada periode Juni II, dimana ketersediaan air di sungai-sungai setempat sangat rendah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan sektor-sektor pengguna yang
184
ada di wilayah tersebut. Sementara pada periode yang sama inflow dari Sungai Citarum mengalami penurunan diakibatkan rendahnya curah hujan (musim kemarau), peningkatan outflow pada saat inflow yang rendah akan mengurangi ketersediaan air di waduk. Hal ini dapat dilihat makin menurunnya stok waduk ketika periode tersebut. Apabila musim kemarau pada kurun waktu yang panjang akibatnya akan terjadi penurunan stok waduk sampai mendekati batas minimum operasional, pada kondisi demikian perlu dilakukan prioritas antar sektor maupun wilayah. Penentuan tarif air baku yang diberlakukan PJT II, tanpa memperhitungkan jarak tempuh penyaluran air dimana makin jauh dari waduk maka presentase hilangnya air baik yang diakibatkan rusaknya saluran air ataupun perembesan dan penguapan lebih besar.
Model DIJ dibangun mengasumsikan semua
pengguna sama (tanpa skala prioritas) sehingga mempunyai kesempatan yang sama dalam mengakses sumberdaya air, begitu juga dengan penyaluran air dimana tidak ada pembobotan dalam jarak antara waduk sebagai sumber dengan
lokasi pengguna,
biaya
yang
dimasukkan
dalam
model
tidak
memperhitungkan jarak tersebut. Berbagai perubahan teknis dan ekonomis tidak banyak merubah dinamika outflow dari Bendung Curug ke Tarum Barat, fluktuasinya sangat kecil, outflow yang tidak fluktuatif ini disebabkan optimasi alokasi air di wilayah hilir hanya mentransfer dari sektor yang satu ke sektor lainnya tanpa mengubah total penyaluran air. Pengalihan air dari sektor dengan nilai air yang rendah ke sektor dengan nilai air yang tinggi, ketika air yang tersedia tidak mencukupi semua kebutuhan (langka), menunjukkan efisiensi yang dihasilkan Model DIJ dalam penggunaan air. Selain itu transfer dari pengguna yang satu ke pengguna lainnya disebabkan penyaluran air dari Bendung Cikarang ke Bendung Bekasi
185
telah
mencapai
kapasitas
maksimum
sehingga
tidak
memungkinkan
menyalurkan air lebih dari kapasitas tersebut. Penyaluran air ke Tarum Barat yang lebih rendah dibandingkan dengan penyaluran aktual menunjukkan bahwa Model DIJ, telah dapat mengatasi masalah alokasi yang optimum ketika terjadi kelangkaan air. Penyaluran air aktual ke wilayah hilir seringkali melebihi dari kebutuhannya, hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain ketersediaan air yang sulit diprediksi karena berhubungan dengan curah hujan di wilayah hilir maupun hulu. Pengukuran ketersediaan air yang hanya berdasarkan pada prakiraan curah hujan serta data historis, seringkali jauh dari kondisi aktual. Validasi data curah hujan dan ketersediaan sangat mempengaruhi keputusan penyaluran air. Dalam aktivitas penyaluran air dari waduk tidak dapat diantisipasi dalam waktu seketika, dimana perjalanan air dari Bendung Curug ke Bendung Bekasi membutuhkan waktu. Hasil optimasi Model DIJ menunjukkan suatu kondisi ideal apabila tidak terjadi penyimpangan cuaca yang mempengaruhi ketersediaan air. Curah hujan yang diperhitungkan bukan hanya di wilayah sektor pengguna tetapi juga di wilayah hulu sungai-sungai yang ada. 9.4. Ketersediaan Air Waduk Juanda Ketersediaan air di Waduk Juanda sangat bergantung pada sumber utamanya yakni sungai Citarum dan sumber lainnya berupa curah hujan di waduk dan sekitarnya. Waduk Juanda yang dirancang sebagai waduk tahunan (multi years), dapat menampung air sebanyak 2.45 milyar meter kubik pada tinggi muka air normal (sekitar 107.00 m), dan menyimpan air bertahun-tahun dan menyalurkannya pada saat musim kemarau atau ketika terjadi anomali iklim. Begitu juga dengan bendung-bendung di wilayah hilir sangat bergantung pada ketersediaan air dari sungai setempat, seperti Bendung Cibeet sumber utamanya
186
dari Sungai Cibeet, sedangkan Bendung Cikarang dan Bekasi selain dari sumber setempat (Sungai Cikarang dan Bekasi), tergantung pada tambahan air dari Bendung Curug. Ketersediaan air dari sungai-sungai setempat pada musim hujan (Desember sampai dengan Maret), mencukupi untuk dialokasikan ke sektor pengguna air, sedangkan pada musim kemarau debit sungainya sangat sedikit (Juni sampai dengan September), sehingga air yang ada tidak mencukupi untuk memelihara saluran apalagi untuk memenuhi kebutuhan sektor-sektor yang ada di wilayah tersebut. Pada kondisi menurunnya debit sungai-sungai setempat, pemenuhan kebutuhan air di wilayah hilir ini sangat bergantung pada tambahan air dari Bendung Curug. Air yang tertampung dalam Waduk Juanda selanjutnya dikeluarkan dari Waduk Juanda ke Bendung Curug melewati turbin pembangkit tenaga listrik, bila ketinggiannya memenuhi syarat ketinggian untuk menggerakkan turbin. Tinggi minimum operasional Waduk Juanda adalah 75.00 meter atau setara dengan 578.90 juta meter kubik, ketinggian ini mencerminkan ketinggian minimum yang dapat menggerakan turbin pembangkit tenaga listrik. Bila ketinggian dibawah ketinggian minimum maka turbin tidak dapat digerakkan atau dengan kata lain tidak dapat memproduksi tenaga listrik (Puslitbang Teknologi SDA, 2000). Air dari Bendung Curug disalurkan melalui tiga saluran induk, yakni Tarum Timur, Tarum Utara dan Tarum Barat. Air yang keluar dari Waduk Juanda diasumsikan sama dengan yang diterima Bendung Curug, atau dengan kata lain tidak ada air yang hilang ketika menggerakkan turbin. Ketinggian air di Waduk Juanda pada bulan Oktober 2003, awal periode penelitian ini 77.51 meter atau setara dengan 668.68 juta meter kubik dengan ketinggian pada akhir periode penelitian (September 2004) 94.48 meter atau setara 1.53 milyar meter kubik.
187
Ketersediaan air di Waduk Juanda dapat diukur baik melalui tinggi muka air (TMA) maupun melalui luas permukaan air di waduk. Dalam mengukur ketersedian air di waduk terdapat dua istilah penting yakni tampungan efektif (effective storage) dan tampungan mati (dead storage). Sejumlah air yang ada dalam tampungan efektif disebut volume efektif, dengan tinggi minimum atau elevasi terendah dari suatu waduk dimana waduk tidak dapat beroperasi lagi (Gambar 34). Tinggi minimum Waduk Juanda adalah dasar hollow jet yakni 47.00 meter sedangkan ketinggian normalnya 107.00 meter. Suatu wadah yang berada dibawah elevasi minimum disebut tampungan mati atau dead storage, yang berfungsi sebagai kantong lumpur. Volume tampungan mati dibawah elevasi 47.00 meter adalah 15 juta meter kubik dan pada elevasi normal 107.00 meter adalah 2.45 milyar meter kubik (Puslitbang Teknologi SDA, 2000).
spillway crest 107 m 75 m
tinggi minimum operasional
effective storage 47 m dead storage
Gambar 34.
Tampungan Efektif dan Tampungan Mati Waduk Juanda
Dalam membangun Model DIJ, dimana stok waduk sebagai kendala transmisi, persyaratan operasional waduk ini digunakan dalam penentuan batas atas ketersediaan air di waduk yakni pada elevasi normal, sedangkan batas bawah stok air yang harus tersedia di waduk yakni elevasi minimum untuk
188
pengoperasian turbin atau setinggi 75.00 meter setara dengan 578.90 juta meter kubik. Penentuan batas bawah volume air yang tersisa di waduk ini, selain untuk tujuan operasional turbin juga sekaligus menjaga kelestarian waduk. Penentuan batas bawah yang lebih tinggi dari batas operasional yang digunakan sebagai pedoman operasional PJT II, diasumsikan bahwa sedimen yang ada di waduk Juanda saat penelitian ini dilakukan sudah melebihi ketinggian tersebut. Stok
waduk Juanda
sebagai kendala
transmisi,
akan
mengalami
perubahan akibat aktivitas alokasi air yang dilakukan di wilayah hilir. Hasil optimasi Model DIJ menunjukkan volume air yang tersisa akibat adanya aktivitas penyaluran air ke sektor pengguna dari Bendung Curug ke wilayah hilir.
2500.000
Volume (ribu m3)
2000.000
1500.000
1000.000
500.000
Sep.I
Sep.II
Ags.II
Jul.II
Dasar
Ags.I
Jul.I
Jun.I
Jun.II
Mei.I
Mei.II
Apr.II
Apr.I
Mar.II
Mar.I
Peb.I
Peb.II
Jan.I
Jan.II
Des.II
Des.I
Nop.I
Nop.II
Okt.I
Aktual
Okt.II
0.000
Periode
Gambar 35.
Stok Waduk Juanda Aktual dan Optimum
Telah dibahas sebelumnya apabila Model DIJ ini mencakup seluruh wilayah DI Jatiluhur, maka stok optimum yang tersisa di waduk akan lebih besar dari stok aktual. Hasil optimasi ini menunjukkan bahwa Model DIJ selain dapat menentukan besarnya alokasi optimum ke sektor pengguna air, dapat juga
189
menentukan outflow optimum yang bertujuan menjaga ketinggian muka air agar PLTA dapat beroperasi dan juga menjaga kelestarian waduk, melalui pemeliharaan ketinggian sehingga air tidak mencapai posisi titik terendah untuk beroperasi. Perubahan nilai variabel teknis (skenario 1 dan 2), ternyata hanya mengubah sedikit saja stok Waduk Juanda, perubahan inipun hanya pada satu periode (Desember II). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan nilai variabel teknik dapat dikatakan tidak merubah volume air yang tersedia di waduk, atau dengan kata lain ketersediaan airnya sama dengan hasil optimasi model dasar. Tabel 29.
NO
PERIODE
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
Stok Waduk Juanda Aktual dan Hasil Optimasi Model DIJ Dasar serta Skenario 1 sampai dengan 7
AKTUAL
DASAR
668.68 748.53 805.88 796.75 841.65 1002.37 1096.21 1136.48 1279.07 1454.58 1625.46 1748.16 1865.49 1941.48 2106.68 2180.20 2192.56 2112.53 2020.65 1934.46 1867.06 1730.12 1586.80 1530.12
687.93 744.21 793.69 813.41 823.51 968.19 1094.50 1188.30 1322.00 1439.70 1557.50 1710.40 1834.40 1943.50 2052.50 2164.00 2160.90 2085.20 2009.60 1923.50 1847.80 1728.90 1624.40 1519.80
1 687.93 744.21 793.69 813.41 823.41 973.62 1094.50 1188.30 1319.40 1440.10 1557.30 1710.40 1834.40 1943.50 2052.50 2164.00 2160.90 2085.20 2009.60 1923.50 1847.80 1728.90 1624.40 1519.80
VOLUME (juta m3) SKENARIO 2 3 4 687.93 687.93 687.93 744.21 744.21 744.21 793.69 793.69 793.69 813.41 813.41 813.41 823.30 823.51 823.51 972.97 970.19 975.50 1087.60 1087.50 1087.50 1188.30 1188.30 1188.30 1322.80 1300.00 1322.80 1440.10 1443.00 1440.10 1557.30 1556.70 1557.30 1710.40 1710.40 1710.40 1834.40 1834.40 1834.40 1943.50 1943.50 1943.50 2052.50 2052.50 2052.50 2164.00 2164.00 2164.00 2160.90 2160.90 2160.90 2085.20 2085.20 2085.20 2009.60 2009.60 2009.60 1923.50 1923.50 1923.50 1847.80 1847.80 1847.80 1728.90 1728.90 1728.90 1624.40 1624.40 1624.40 1519.80 1519.80 1519.80
5 687.93 744.21 793.69 813.41 823.51 1026.80 1087.50 1188.30 1328.40 1447.70 1563.50 1710.40 1834.40 1943.50 2052.50 2164.00 2160.90 2085.20 2009.60 1923.50 1847.80 1728.90 1624.40 1519.80
6 687.93 744.21 793.69 813.41 823.32 970.26 1094.50 1188.30 1318.20 1440.20 1557.30 1710.40 1834.40 1943.50 2052.50 2164.00 2160.90 2085.20 2009.60 1923.50 1847.80 1728.90 1624.40 1519.80
7 687.93 744.21 793.69 813.41 810.34 965.81 1094.50 1188.30 1321.90 1444.30 1553.70 1710.40 1834.40 1943.50 2052.50 2164.00 2160.90 2085.20 2009.60 1923.50 1847.80 1728.90 1624.40 1519.80
Berbagai perubahan nilai variabel ekonomi (skenario 3,4 dan 5) yang dilakukan ternyata tidak merubah stok waduk, dimana stok waduk akibat perubahan nilai variabel ekonomi hampir sama dengan hasil optimasi Model DIJ
190
dasar. Perubahan yang terjadi sangat kecil dan hanya pada beberapa periode saja, yakni pada periode ke 6, 7,10 dan 11 (Des II, Jan I, Peb II dan Mar I), dinamika yang ditunjukkan sangat kecil. Perbedaan yang sangat kecil antara stok optimum hasil optimasi Model DIJ dasar dengan perubahan nilai variabel ekonomi maka dapat dikatakan bahwa perubahan nilai variabel ekonomi tersebut dapat dikatakan tidak mempengaruhi stok air yang tersedia di waduk. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Model DIJ dibangun dengan meminimisasi perbedaan inflow dan outflow dan menjaga ketersediaan air di waduk, stok optimal selalu diatas batas operasional minimum yang diterapkan dalam model yakni lebih besar dari 578.90 juta meter kubik. Kondisi stok waduk akibat adanya perubahan nilai variabel teknik dan ekonomi variasinya sangat kecil, berimplikasi pada penyaluran air dari Bendung Curug ke saluran induk Tarum Barat juga tidak mengalami perubahan. Penyaluran air dari Bendung Curug hanya menambah kekurangan air di wilayah hilirnya, penyaluran air (outflow) optimum hasil optimasi Model DIJ dasar telah mencapai kapasitas maksimum sarana yang ada, sehingga perubahan nilai variabel hanya mengalihkan air yang disalurkan ke sektor-sektor yang mengalami perubahan, tanpa menambah penyaluran dari Bendung Curug. 9.5. Nilai Ekonomi Sumberdaya Air Telah dikemukan pada bagian sebelumnya, alokasi sumberdaya air merupakan proses pengambilan keputusan yang bersifat intertemporal. Hal ini disebabkan sumberdaya air merupakan aset atau modal yang pemanfaatannya tidak hanya ditentukan oleh produktivitas saja, namun juga menyangkut ketersediaannya di masa mendatang serta adanya resiko dan ketidak pastian dari alokasi sumberdaya air itu sendiri.
191
Bila ditinjau dari sisi pengelola dan jika pengelola dianggap sebagai pemilik sumberdaya, maka keputusan intertemporal ini juga menyangkut biaya pengguna yang disebut user cost. Biaya ini menggambarkan surplus yang bisa diperoleh di masa mendatang jika pemilik sumberdaya memutuskan untuk ekstraksi kini ditunda sampai ke masa mendatang. Nilai user cost air yang tersimpan di waduk menunjukkan perbedaan antara hasil optimasi Model DIJ dasar dan skenario 1 sampai dengan 7. Nilai user cost tertinggi dicapai ketika dilakukan perubahan harga komoditi (gabah) dan kombinasi perubahan harga air baku PAM DKI dan gabah serta kombinasi seluruh variabel ekonomi dan teknis secara serentak. Hasil optimasi Model DIJ dimana bunga tahunan (r) diasumsikan 13 persen per tahun atau sebesar 0.54 persen per tengah bulanan, nilai user cost sumberdaya air sebesar Rp. 9.41 per seribu meter kubik air yang tersimpan di Waduk Juanda pada periode pertama (Oktober I). User cost yang akan diperoleh pengelola jika menyimpan air sekarang dan akan dipergunakan pada periode mendatang, hasil optimasi Model DIJ skenario 1 sama dengan surplus yang akan diperoleh pengelola hasil Model DIJ dasar sebesar Rp. 9.41 per seribu meter kubik air yang tersimpan atau dengan kata lain perubahan permintaan air baku PDA tidak akan mempengaruhi besarnya surplus yang akan diterima di waktu mendatang. Perubahan permintaan air baku industri sebesar 5 persen dan air baku PDAM sebesar 10 persen (skenario 3), mengakibatkan penurunan nilai user cost. Penurunan nilai user cost ini menunjukkan bahwa sektor industri merupakan sektor yang berpengaruh di wilayah Tarum Barat. Peningkatan permintan air baku sektor industri akan meningkatkan benefit sektor tersebut juga sekaligus meningkatakan benefit sosial. Penurunan user cost tersebut berarti bahwa sebaiknya air dialokasikan ke sektor industri saat ini dibandingkan dengan menyimpannya dalam waduk untuk digunakan pada waktu mendatang.
192
Perubahan nilai variabel ekonomi dalam hal ini peningkatan harga air baku PAM DKI sebesar 10 persen (skenario 3), menghasilkan nilai user cost yang sama dengan hasil optimasi Model DIJ dasar. Tabel 30.
Periode Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
User Cost Penyimpanan Air di Waduk Juanda Hasil Optimasi Model DIJ Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 User Cost dari Total Air yang tersimpan ( Rp/000 meter kubik) SKENARIO DASAR 1 2 3 4 5 6 7 9.41 9.41 9.38 9.41 12.49 12.49 9.38 12.49 5.46 5.46 5.44 5.46 7.09 7.09 5.20 6.99 3.24 3.24 3.23 3.24 4.20 4.20 3.07 4.14 2.81 2.83 2.82 2.81 3.62 3.62 2.62 3.58 3.03 3.08 3.07 3.03 3.88 3.88 2.64 3.84 1.80 1.81 1.81 1.80 2.32 2.32 1.78 2.31 1.29 1.29 1.29 1.29 1.67 1.67 1.39 1.66 1.26 1.26 1.26 1.26 1.63 1.63 1.34 1.62 1.11 1.12 1.11 1.11 1.44 1.44 1.17 1.43 0.96 0.96 0.96 0.96 1.24 1.24 1.01 1.23 0.84 0.85 0.85 0.84 1.10 1.10 0.88 1.09 0.76 0.76 0.76 0.76 0.99 0.99 0.79 0.98 0.67 0.68 0.67 0.67 0.88 0.88 0.70 0.88 0.65 0.65 0.65 0.65 0.85 0.85 0.67 0.85 0.58 0.58 0.58 0.58 0.76 0.76 0.61 0.75 0.53 0.53 0.53 0.53 0.69 0.69 0.55 0.69 0.50 0.50 0.50 0.50 0.66 0.66 0.53 0.66 0.51 0.51 0.51 0.51 0.68 0.68 0.53 0.67 0.54 0.54 0.54 0.54 0.71 0.71 0.54 0.71 0.56 0.56 0.56 0.56 0.74 0.74 0.55 0.73 0.57 0.56 0.56 0.57 0.75 0.75 0.56 0.75 0.60 0.60 0.59 0.60 0.79 0.79 0.59 0.79 0.64 0.64 0.64 0.64 0.85 0.85 0.63 0.85 -
Hal ini berarti perubahan harga air baku PAM DKI, tidak mempengaruhi surplus yang akan diterima pengelola pada waktu mendatang. Peningkatan harga gabah (skenario 4), ternyata mempengaruhi mengubah nilai user cost dari air yang tersimpan, dalam artian bahwa peningkatan tersebut menyebabkan pengelola lebih baik menunda alokasi air dan memutuskan untuk menyimpan karena surplus yang akan diterimanya lebih tinggi dibandingkan apabila mengalokasikan
193
saat ini. Nilai user cost akibat perubahan nilai variabel ekonomi (skenario) sama dengan nilai user cost perubahan harga gabah, dimana pengelola sebaiknya mennda penggunaan air karena surplus yang akan diperolehnya pada waktu mendatang.
Hasil optimasi ini menunjukan bahwa sektor pertanian merupakan
sektor pengguna yang mendominasi seluruh wilayah Tarum Barat sehingga perubahan benefit sektor tersebut yang diakibatkan oleh peningkatan harga gabah mempengaruhi besarnya user cost penyimpanan air di waduk. Selain itu, peningkatan nilai user cost air yang tersimpan menunjukkan rendahnya harga air irigasi sehingga peningkatan harga gabah justru makin menurunkan penerimaan pengelola akibat peningkatan pemintaan air irigasi, dimana harga air irigasi lebih rendah dibandingkan dengan harga air baku kedua sektor lainnya. Dampak perubahan nilai variabel teknik dan ekonomi (skenario 6 dan 7) menunjukkan bahwa nilai user cost air yang tersimpan di waduk mengikuti sektor yang mendominasi perubahan sebelumnya, yakni sektor industri dan pertanian. Peningkatan permintaan air baku sektor industri yang menurunkan nilai user cost yang berimplikasi pada keputusan untuk mengalokasikan air pada saat ini akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan menyimpannya. Hal ini disebabkan nilai air baku untuk sektor industri lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian, sehingga peningkatan permintaan air baku industri akan diikuti dengan mengalokasikan air sesuai permintaan. Tambahan alokasi ini akan menghasilkan benefit yang lebih tinggi dibandingkan bila air tersebut tersimpan di waduk. Kondisi sebaliknya terjadi ketika peningkatan harga gabah menyebabkan peningkatan user cost air yang tersimpan berimplikasi pada penundaan alokasi air pada saat ini dan menyimpannya untuk digunakan pada waktu mendatang (Tabel 30). Peningkatan user cost air yang tersimpan menunjukkan bahwa penyimpanan air akan menambah benefit yang dihasilkan pada masa mendatang.
194
Besarnya user cost ini bervariasi antar stage return, pada musim hujan nilai air yang tersimpan lebih besar dari pada musim kemarau, dimana nilai ini makin menurun sampai pada akhir periode, yang berimplikasi bahwa penyimpanan air sebaiknya dilakukan pada musim hujan sedangkan pada musim kemarau dimana surplus yang diperoleh pengelola akibat penyimpanan air makin menurun sebaiknya air dialokasikan kepada pengguna. Pada musim hujan pengguna telah mendapatkan suplai tambahan dari sumber setempat baik melalui curah hujan dan sungai yang ada di wilayah tersebut, terutama untuk sektor pertanian. Hasil optimasi Model DIJ diatas menunjukkan bahwa ketika sumberdaya mengalami keterbatasan atau langka, pengelola sebaiknya memutuskan untuk mengalokasikannya. Selain user cost yang diterima pengelola lebih kecil, hal ini sesuai dengan tujuan penyimpanan air di waduk untuk digunakan pada saat musim kemarau atau ketika air langka. Kondisi kelangkaan memicu kompetisi antar pengguna menjadi makin nyata dan menyebabkan nilai sumberdaya menjadi lebih tinggi. Peningkatan permintaan sektor non pertanian tanpa diikuti dengan pembangunan sarana dan penyesuaian sarana penyaluran air baku di Daerah Irigasi Jatiluhur, akan menurunkan peran DI Jatiluhur sebagai lumbung pangan nasional, yang berakibat pada produksi pangan nasional. Air
yang
dialokasikan
ke
sektor
pertanian,
penggunaannya
berkesinambungan dalam satu sistem pengairan dan tidak semuanya diserap oleh tanaman dan lahan serta menyisakan sejumlah air yang dialirkan melalui sistem pembuangan (drainase) dapat dipertimbangkan sebagai sumber air yang digunakan kembali oleh pertanian maupun sektor lainnya. Nilai user cost diatas menunjukkan bahwa nilai air irigasi lebih kecil dibandingkan dengan kedua sektor lainnya, untuk meningkatkan nilai air irigasi ini dapat juga dilakukan dengan menggunakan air sisa irigasi yang ada di saluran pembuangan, untuk digunakan
195
kembali terutama bagi sawah golongan IV dan V yang seringkali tidak mendapatkan air pada musim kemarau. Pemanfaatan air sisa dari sektor pertanian ini diikuti dengan penyesuain sarana pengairan yang ada, yang memungkinkan penggunaan air sisa irigasi tersebut. Pemanfaatan sisa air irigasi (reuse) oleh sektor pertanian sendiri maupun sektor lainnya selain meningkatkan efisiensi penggunaan air juga dapat meningkatkan nilai air tersebut, dimana air yang sama telah memberikan manfaat untuk berbagai sektor. Sistem reuse ini telah dilakukan untuk wilayah utara Kabupaten Bekasi,dengan cara memompa air dari sistem drainase ke sektor industri, proporsi penggunaan kembali air irigasi sangat kecil belum dapat dievaluasi benefitnya. Jika tersedia sarana penampungan air sisa air irigasi di wilayah hilir, dapat mengurangi kompetisi antara sektor pertanian dan non pertanian terutama untuk wilayah layanan Bendung Bekasi, dimana kebutuhan air baku PAM DKI diambil dari bendung tersebut. Jika pengelola atau pemerintah kurang tanggap terhadap perubahan fenomena yang terjadi di DI Jatiluhur khususnya wilayah Tarum Barat, maka sektor pertanian yang merupakan andalan dari sistem pengairan ini akan terabaikan dan mendorong terjadinya konversi dari lahan sawah menjadi tempat pemukiman. Konversi lahan ini bukan berati menurunkan kebutuhan air tetapi akan merusak sarana pengairan yang ada, dan akan meningkatkan permintaan sektor non pertanian. Model DIJ dengan berbagai keterbatasannya dapat memberikan gambaran bagaimana model pengelolaan sumberdaya air, khususnya air permukaaan dalam menghadapi kompetisi antar sektor akibat pertumbuhan ekonomi dan wilayah
perkotaan
kuantitasnya.
sehingga
air
menjadi
langka
terutama
dalam
segi
X. SIMPULAN DAN SARAN 10.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa simpulan, yaitu: 1. Model DIJ dapat digunakan untuk mengalokasi air ke sektor pengguna ketika terjadi kompetisi antar sektor dan ketersediaan air terbatas, dimana hasil optimasi menunjukkan bahwa: a. Besarnya alokasi air ke sektor pertanian sesuai dengan tahapan pertumbuhan tanaman dan kebutuhan air tanaman, sehingga air yang digunakan lebih sedikit dibandingkan alokasi yang dilakukan Perum Jasa Tirta II. b. Penyaluran air dari Bendung Curug lebih sedikit dibandingkan penyaluran air aktual, yang berimplikasi pada meningkatnya ketersediaan air di Waduk Juanda sehingga dapat mencukupi kebutuhan berbagai aktivitas baik di offstream maupun instream. c. Benefit yang dihasilkan lebih besar dibandingkan benefit aktual. 2. Perubahan nilai variabel teknis dan ekonomi secara parsial hanya merubah alokasi air dan benefit sektor yang mengalami perubahan, sedangkan perubahan nilai variabel teknis dan ekonomi secara bersamaan merubah alokasi air dan benefit keseluruhan sistem pengairan Tarum Barat sesuai dengan air yang tersedia. Hal ini ditunjukkan oleh dampak perubahan nilai variabel analisis dan ekonomi terhadap alokasi air dan benefit sektor pengguna air, yaitu: a. Peningkatan permintaan air baku PDAM dan industri (variabel teknis), hanya merubah alokasi air dan benefit sektor domestik dan industri.
197
b. Peningkatan harga air baku PAM DKI dan harga gabah (variabel ekonomi), hanya merubah benefit sektor domestik dan pertanian tanpa merubah alokasi air pada kedua sektor tersebut. c. Peningkatan nilai variabel teknis dan ekonomi secara bersamaan, merubah alokasi air dan benefit semua sektor pengguna air di sub sistem pengairan Tarum Barat. 3. Dalam
mengalokasikan
sumberdaya
air
pengelola
sebaiknya
mempertimbangkan nilai ekonomi (user cost) dan ketersediaan air yang tersimpan dalam waduk sehingga kelestarian waduk terjaga. Hal ini didukung oleh hasil optimasi dan perubahan nilai variabel teknis dan ekonomi yang menunjukkan bahwa: a. Nilai user cost air yang tersimpan di Waduk Juanda tertinggi pada awal musim hujan dan terrendah pada pertengahan musim kemarau. b. Perubahan nilai user cost tertinggi dicapai ketika harga gabah ditingkatkan. 10.2. Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil optimasi dan kondisi di lapang, ada beberapa kebijakan yang perlu dipertimbangkan agar dapat tercapai alokasi sumberdaya air
yang
mendatangkan
kesejahteraan
bagi
pengguna,
pengelola
dan
masyarakat. 1. Dalam rangka mempertahankan Daerah Irigasi Jatiluhur sebagai penghasil pangan dan terpenuhinya kebutuhan air baku PDAM dan industri, Perum Jasa Tirta II perlu meningkatkan kapasitas saluran air yang dapat menjamin ketersediaan air bagi semua sektor pengguna air. 2. Guna mengantisipasi kekurangan air dan meningkatkan nilai ekonomi air terutama pada musim kemarau, Perum Jasa Tirta II sebagai pengelola
198
sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur, perlu mengatur kembali penyaluran air irigasi yang memungkinkan penggunaan kembali (reuse) air sisa dari sawah golongan I dan II pada saluran pembuangan, untuk dialirkan ke sawah golongan IV dan V. 3. Dalam rangka mengantisipasi daya rusak air serta menjaga kualitas air, penetapan harga air baku oleh pemerintah atau Perum Jasa Tirta II sebaiknya mempertimbangkan nilai ekonomi (user cost) air yang tersimpan di waduk. 10.3. Saran Penelitian Lanjutan Agar diperoleh suatu model pengelolaan yang dapat menangkap semua fenomena yang ada, Model DIJ dapat dikembangkan lebih lanjut dengan memasukkan beberapa faktor, yaitu: 1. Memperluas wilayah penelitian yang mencakup seluruh Daerah Irigasi Jatiluhur. 2. Benefit sosial penggunaan air oleh masyarakat di Daerah Irigasi Jatiluhur. 3. Keragaman teknologi usahatani yang diterapkan menurut golongan sawah, wilayah dan musim serta musim tanam. 4. Kategori sektor domestik berdasarkan pada besarnya investasi dan teknologi pengolahan air bersih setiap PDAM, sedangkan
kategori sektor industri
berdasarkan jenis industri, variasi produk dan fungsi produksi spesifik setiap perusahaan di semua wilayah.
DAFTAR PUSTAKA Affandi A. 1996. Farmer Water Right. Seminar Proceedings. Centre for Development Dynamics, Padjadjaran University Bandung, Bandung. Amien LI, Sugiharto B, Estiningtyas W, Ariyanto MA. 2000. Analisis Pasokan Kebutuhan Air (Water Demand Supply) Regional (Pulau Utama) Berdasarkan Proyeksi Kebutuhan Pangan dan Kebutuhan Lainnya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Anbumozhi V, Yamaji R, Tabuchi T. 1998. Rice Crop Growth and Yield as Influenced by Change in Ponding Water Depth. Water Regime and Fertigation level. Agriculural Water Management. Soil and Water Sciences Division International Rice Research Institute. Makati City. Philippines. Badan Hidrologi. Puslitbang Teknologi Sumberdaya Air. 2000. Laporan Akhir. Pemeruman Waduk Ir. H, Djuanda. Direktorat Sumberdaya Air. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta. Biro Pusat Statistik. 2001. Jawa Barat Dalam Angka. BPS Jakarta. --------------------------. 2002. Jawa Barat Dalam Angka. BPS Jakarta. --------------------------. 2003. Jawa Barat Dalam Angka. BPS Jakarta. --------------------------. 2004. Jawa Barat Dalam Angka. BPS Jakarta. Bloomquist W. 1992. Dividing the Waters : Governing Groundwater in Southern California. ICS Press, San Fransisco. Bouman BAM, Tuong TP. 2000. Field Water Management and Save Water and Increase Its Productiviy in Irrigated Lowland Rice. Agricultural Water Management 1615. Soil and Water Sciences Division International Rice Research Institute. Makati City. Philippines. Chiang AC. 1992. Elements of Dynamic Optimization. McGraw-Hill, Singapore. Conrad JM. 1999. Cambridge.
Resource
Economics.
Cambridge
University
Press.
Conrad JM, Clark C. 1995. Natural Resources Economics. Note and Problems. Cambridge University Press. Cambridge. Dinar A, Rosegrant M, Meinzen Dick R. 1997. Water Allocation Mechanisms: Principles and Examples. Policy Research Working Paper 1779. World Bank. Washington D.C. Directorate General of Water Resources. 2006. Main Report. Integrated Citarum Water Resources Management Program (ICWRM). Ministry of Public Works. Government of Republic Indonesia. Jakarta.
200
De Datta SK. 1981. Principles and Practices of Rice Production.IRRI. Philippines. Los Banos. De Wit CT. 1992. Resources Use Efficiency in Agriculture. Agriculture System. Dinar A, Subrmanian A. 1997. Water Pricing Experience: An International Perspective. World Bank Technical Paper No. 386. Washington D.C. Doorenbos J, Kassam A H. 1979. Crop Yield vs Water. FAO Irrigation and Drainage Paper No. 33. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. Doorenbos J, Pruitt WO. 1977. Crop Water Requirement. FAO Irrigation and Drainage Paper No. 24. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. Fagi AM, Las I, Hasanuddin H. 1998. Strategi Penelitian dan Pengembangan Lahan Sawah Irigasi. Rapat Kerja Badan Litbang Pertanian 1997, Yogyakarta. Falkenmark M. 2000. Competing fresh water and ecological services in River Basin Perspektif:Water International 25(2). Colombo. Sri Lanka. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gilmore A , Magee T, Fulp T, Strzepek K. 2000. Multiobjective Optimization of the Colorado River. University of Colorado. Boulder. Hanley N, Shogren JF, White B. 1997. Environmental Economics in Theory and Practice. Oxford University Press. UK. Hartwick JM and Olewiler ND. 1998. The Economist of Natural Resources Use. Addison-Wisley Educational Publishers Inc. Massachussets. Howe CW, Schurmeier DR, Shaw WD Jr. 1986. Innovative Approaches to Water Allocation: The Potential for Water Markets. Water Resources Research 22(4): 439-445. Howitt RE. 1995. A Calibration Method for Agriculture Economic Production Models. Journal Agricultural Economics, 46(2):147-159. Irianto G, Kartiwa B. 2000. Analisis Potensi dan Ketersediaan Air Berbasis DAS Berdasarkan Neraca Air DAS. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Irianto G, Amin I, Las I, Rachman R. 2001. Pengelolaan Air Berbasis Pulau untuk Mengantisipasi Kelangkaan Air dan Mencapai Ketahanan Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
201
Kartaatmadja S, Farhan A, Setiobudi D. 2000. Peningkatan Produktivitas Tanaman dan Efisiensi Penggunaan Air melalui Manajemen dan Teknologi Tata Guna Air dan Teknologi Budidaya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Kennedy JOS. 1986. Dynamic Programming Applications to Agriculture and Natural Resources. Elsevier Applied Science Publishers. London. Kurnia G, Avianto TM, Bruns BR. 2000. Farmers, Factories and the Dynamics of Water Allocations in West Java. IFPRI Intermediate Technology Publications, Washington D.C. Las I, Purba S, Sofyan A, Pujilestari N. 2000. Analisis Potensi Peningkatan Indeks Pertanaman (IP) Berdasarkan Berbagai Kondisi Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. McKinney DC, Cai X, Rosegrant MW, Ringler C, Scott CA. 1999. Modelling Water Resources Management at the Basin Level : Review and Future Directions. System-Wide Institute Water Management (SWIM) Paper No.6. International Water Management Institute, Colombo. Molden D, Amarasinghe U, Hussain I. 2001. Water for Rural Development. Background Paper on Water for Rural Development. Prepared for the World Bank. Working Paper 32. International Water Management Institute, Colombo. Molden D, Sakhtivadivel JR, Habib Z. 2001. Basin-Level Use and Productivity of Water. Examples from South Asia. Research Report 49. International Water Management Institute, Colombo. Molden D. 2002. Meeting Water Needs for Food and Environmental Security. Proceedings of the 8th JIRCAS International Symposium. Tsukuba. Musiake K, Oki T, Agata Y, Kanae S. 2002. Global Water Resources Assessment and Future Projections. Proceedings of the 8th JIRCAS International Symposium. Tsukuba. Optimal Solutions Ltd. 2000. Development of Resevoir Operating in Brantas River Basin. Unpublished Report Submitted to Perum Jasa Tirta I, Malang, East Java, Indonesia. 82pp. Perry CJ, Narayanamurthy SG. 1998. Farmer Response to Rationed and Uncertain Irrigations Supplies. Research Report No.24. International Water Management Institute, Colombo. Rabinge R. 1993. The Ecological Bacground in Food Production. In: Crop Protection and Sistainable Agriculture. Ciba Foundation Simposium. Wiley,Chichester. Randall A. 1981. Resources Economics, An Economic Approach to Natural Resources and Environmental Policy. Second Edition.John Willey and Sons. New York.
202
Ringler C, Huy NV, Truong TV, Cong NC, Dung DD, Binh NT, Cai X and Rosegrant M. 2002. Irigation Investment, Fiscal Policy, and Water Resources Allocation in Indonesia and Vietnam. IFPRI Project No. 2635000, RETA 5866. Asian Development Bank, Washington D.C. Rodgers C, Zaafrano R. 2002. Water Allocation dan Pricing Strategies in Brantas River Basin, East Java, Indonesia. Paper for the Conference on Irrigation Water Policies : Micro and Macro Consideration Held in Agadir : Marocco 15-17 June 2002. Rosegrant MW, Ringler C, McKinney DC, Cai X, Keller A, Donoso G. 2000. Integrated Economic-Hydrolic Water Modeling at the Basin Scale : The Maipo River Basin. Agricultural Economics Journal, 24(1) : 33-46. Rosegrant MW, Praisner MS, Meijer S, Witcover J. 2001. Global Food Productions to 2020: Emerging Trends and Alternative Futures. International Food Policy Institute. Washington D.C Rosegrant MW, Cai X, Cline S. 2002. Water and Food to 2025 : Policy Respons to Threat of Scarcity. International Food Policy Research Institute, Washington D.C. Sanim B. 2003. Ekonomi Sumberdaya Air dan Manajemen Pengembangan Sektor Air Bersih Bagi Kesejahteraan Publik. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Seckler D, Amarangsihe U, Molden D, de Solva R, Barker R. 1998. World Water Demand and Supply, 1990 to 2025 : Scenarios and Issues. Research Report 19. IWMI. Colombo. Shiklomanov IA.1999. Electronic Data. Provide to Scenario Development Panel. World Commission on Water for the 21st Century, Mimeo. Spulberg N. Sabbaghi A. 1994. Economist of Water Resources. Kluwer Academic Publishers, Norwell, Massachusetts. Syaukat Y. 2000. Economics of Integrated Surface and Groundwater Use Management in The Jakarta Region, Indonesia. Ph. D. Thesis. Faculty of Graduate Studies, University of Guelph, Guelph. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air Beserta Penjelasannya. Penerbit Citra Umbara Bandung. United Nations. 1997. Comprehensive Assesment of Fresh Water Resources of the World. World Meteorological Organization. New York. Vörösmarty CJ, Green P, Salisbury J, Lammers RB. 2000. Global Water Resources: Vulnerability from Climate Cahnge and Population Growth. Science 289. New York.
Lampiran 1.
204
Keterangan :---------wilayah penelitian
PETA DAERAH IRIGASI
Lampiran 2.
NO
Alokasi Air Optimum ke Petak Sawah dan Total Air ke Sektor Pertanian menurut Golongan Sawah, Tahap Pertumbuhan, Musim Tanam dan Model Dasar di Wilayah Curug
Alokasi Air ke Petak Sawah per Tahap Pertumbuhan per hektar (ribu m3)
PERIODE OT1
Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
1.3940 -
1.3940 -
1.2540 -
1.2540 -
TN
0.9960 -
0.9960 -
TH1
0.7660 -
0.7660 -
TH2
0.6900 -
0.6900 -
TH3
BG1
0.6900 -
-
0.6900 -
0.6900 -
BG2
0.6130 -
0.6130 -
MG1
0.4600 -
0.4600 -
3
MG2
0.0001
0.0001 -
Total per MT(ribu m ) WIRCR1 WIRCR2
8180.03 7361.79 5317.37 4090.01 3680.90 3680.90 3680.90 3272.36 2454.13 0.59 -
5205.37 5205.37 4652.81 4908.25 5205.37 5949.22 6321.14 5577.29 0.53 -
Total 3
(ribu m )
8180.03 7361.79 5317.37 4090.01 3680.90 3680.90 3680.90 3272.36 2454.13 0.59 5205.37 5205.37 4652.81 4908.25 5205.37 5949.22 6321.14 5577.29 0.53 -
205
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
OT2
Lampiran 3.
NO
PERIODE Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
OT1
1.5330 -
0.9750 -
OT2
Alokasi Air ke Petak Sawah per Tahap Pertumbuhan per hektar (ribu m3) TN TH1 TH2 TH3 BG1 BG2 MG1
1.3800 -
0.9750 -
0.9960 -
0.8720 -
0.7660 -
0.9200 -
0.6900 -
0.9750 -
0.6900 -
-
0.6900 -
1.1150 -
0.6130 -
1.1850 -
0.4600 -
1.0450 -
MG2
0.0001 -
0.0001 -
Total per MT(ribu m3) WIRBTA1 WIRBTA2
981.40 883.23 637.95 490.70 441.62 441.62 441.62 392.60 294.43 0.07 -
624.52 624.52 558.22 588.87 624.52 713.76 758.38 669.14 0.06 -
Total (ribu m3)
981.40 883.23 637.95 490.70 441.62 441.62 441.62 392.60 294.43 0.07 624.52 624.52 558.22 588.87 624.52 713.76 758.38 669.14 0.06 -
206
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Alokasi Air Optimum ke Petak Sawah dan Total Air ke Sektor Pertanian menurut Golongan Sawah, Tahap Pertumbuhan, Musim Tanam dan Model Dasar di Wilayah Cibeet A
Lampiran 4.
NO
PERIODE
Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
OT1 1.5330 1.5330 1.3940 1.3940 1.5330
0.9750 0.9750 0.9750 0.9750 -
Alokasi Air ke Petak Sawah per Tahap Pertumbuhan per hektar (ribu m3) OT2 TN TH1 TH2 TH3 BG1 BG2 MG1 1.3800 1.2540 1.2540 1.3800 1.3800
0.9750 0.9750 0.9750 0.9750 -
0.9960 0.9960 0.9960 0.9960 0.9960
0.8360 0.8360 0.8710 0.8540 -
0.7660 0.7660 0.7660 0.7660 0.7660
0.8360 0.8360 0.9200 0.8360 -
0.6900 0.6900 0.6900 0.6900 0.6900
-
0.6900 0.6900 0.6900 0.6900 0.6900
0.9750 0.9750 0.9750 0.9750 -
0.6900 0.6900 0.6900 0.6900 0.6900
1.1150 1.1150 1.1150 1.1150 -
0.6130 0.6130 0.6130 0.6130 0.6130
1.1850 1.1850 1.1850 1.1850 -
0.4600 0.4600 0.4600 0.4600 0.4600
1.0450 1.0450 1.0450 1.0450 -
MG2
0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001
0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 -
Total per MT(ribu m3) WIRBTB1 WIRBTB2 8566.72 16797.07 23511.06 28844.89 29298.82 24153.13 20986.95 19410.71 17885.83 13830.06 9442.33 5451.44 4748.98 11234.13 1285.16 17810.78 0.31 23423.45 23415.64 24583.42 26103.15 27707.76 22486.61 15699.75 6899.21 0.66 -
Total (ribu m3) 8566.72 16797.07 23511.06 28844.89 29298.82 24153.13 20986.95 19410.71 17885.83 13830.06 14893.76 15983.10 19095.94 23423.76 23415.64 24583.42 26103.15 27707.76 22486.61 15699.75 6899.21 0.66 -
207
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Alokasi Air Optimum ke Petak Sawah dan Total Air ke Sektor Pertanian menurut Golongan Sawah, Tahap Pertumbuhan, Musim Tanam dan Model Dasar di Wilayah Cibeet B
Lampiran 5.
NO
PERIODE
Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
OT1 1.3940 1.3940 1.5330
0.9750 0.9750 -
Alokasi Air ke Petak Sawah per Tahap Pertumbuhan per hektar (ribu m3) OT2 TN TH1 TH2 TH3 BG1 BG2 MG1 1.2540 1.3800 1.3800
0.9750 0.9750 -
0.9960 0.9960 0.9960
0.8710 0.8540 -
0.7660 0.7660 0.7660
0.9200 0.8360 -
0.6900 0.6900 0.6900
0.9750 0.9750 -
0.6900 0.6900 0.6900
-
0.6900 0.6900 0.6900
1.1150 1.1150 -
0.6130 0.6130 0.6130
1.1850 1.1850 -
0.4600 0.4600 0.4600
1.0450 1.0450 -
MG2
0.0001 0.0001 0.0001
0.0001 0.0001 -
Total per MT(ribu m3) WIRCKA1 WIRCKA2 7285.73 13547.15 17158.85 13531.55 10720.08 9580.92 9329.40 8929.14 7743.46 4319.32 1509.36 0.36 5099.91 6483.72 5938.54 6019.94 6286.11 7212.50 7774.64 7144.73 1483.21 0.14 -
Total (ribu m3) 7285.73 13547.15 17158.85 13531.55 10720.08 9580.92 9329.40 8929.14 7743.46 4319.32 1509.36 5100.27 6483.72 5938.54 6019.94 6286.11 7212.50 7774.64 7144.73 1483.21 0.14 -
208
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Alokasi Air Optimum ke Petak Sawah dan Total Air ke Sektor Pertanian menurut Golongan Sawah, Tahap Pertumbuhan, Musim Tanam dan Model Dasar di Wilayah Cikarang A
Lampiran 6.
NO
PERIODE
Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
OT1 1.5330 1.5330 1.5330 -
0.9750 0.9750 -
Alokasi Air ke Petak Sawah per Tahap Pertumbuhan per hektar (ribu m3) OT2 TN TH1 TH2 TH3 BG1 BG2 MG1 1.3800 1.3800 1.3800 -
0.9750 0.9750 -
0.9960 0.9960 0.9960 -
0.8720 0.8720 -
0.7660 0.7660 0.7660 -
0.9200 0.9200 -
0.6900 0.6900 0.6900 -
0.9750 0.9750 -
0.6900 0.6900 0.6900 -
-
0.6900 0.6900 0.6900 -
1.1150 1.1150 -
0.6130 0.6130 0.6130 -
1.1850 1.1850 -
0.4600 0.4600 0.4600 -
1.0450 1.0450 -
MG2
0.0001 0.0001 0.0001 -
0.0001 0.0001 -
Total per MT(ribu m3) WIRCKB1 WIRCKB2 9108.51 8197.40 16416.86 18013.82 14533.57 11955.63 10828.48 10172.85 9261.73 6005.51 4754.51 6375.83 1204.87 6375.83 0.29 9554.21 9073.88 9301.17 10129.45 11127.47 10883.49 4965.88 4380.99 0.42 -
Total (ribu m3) 9108.51 8197.40 16416.86 18013.82 14533.57 11955.63 10828.48 10172.85 9261.73 6005.51 11130.34 7580.70 9554.50 9073.88 9301.17 10129.45 11127.47 10883.49 4965.88 4380.99 0.42 -
209
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Alokasi Air Optimum ke Petak Sawah dan Total Air ke Sektor Pertanian menurut Golongan Sawah, Tahap Pertumbuhan, Musim Tanam dan Model Dasar di Wilayah Cikarang B
Lampiran 7.
NO
PERIODE
Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
OT1 1.5330 1.5330 1.5330 1.5330
0.9750 -
Alokasi Air ke Petak Sawah per Tahap Pertumbuhan per hektar (ribu m3) OT2 TN TH1 TH2 TH3 BG1 BG2 MG1 1.3800 1.3800 1.3800 1.3800
0.9750 -
0.9960 0.9960 0.9960 0.9960
0.8360 -
0.7660 0.7660 0.7660 0.7660
0.8360 -
0.6900 0.6900 0.6900 0.6900
0.9750 -
0.6900 0.6900 0.6900 0.6900
-
0.6900 0.6900 0.6900 0.6900
1.1150 -
0.6130 0.6130 0.6130 0.6130
1.1850 -
0.4600 0.4600 0.4600 0.4600
1.0450 -
MG2
0.0001 0.0001 0.0001 0.0001
0.0001 -
Total per MT(ribu m3) WIRBKA1 WIRBKA2 395.19 355.66 2198.85 10718.12 11043.71 8388.89 6548.52 5833.71 5708.74 5493.22 4860.81 251.48 3315.48 251.48 513.13 224.79 0.12 237.13 251.48 287.42 305.39 269.45 0.03 -
Total (ribu m3) 395.19 355.66 2198.85 10718.12 11043.71 8388.89 6548.52 5833.71 5708.74 5493.22 5112.29 3566.96 737.91 237.25 251.48 287.42 305.39 269.45 0.03 -
210
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Alokasi Air Optimum ke Petak Sawah dan Total Air ke Sektor Pertanian menurut Golongan Sawah, Tahap Pertumbuhan, Musim Tanam dan Model Dasar di Wilayah Bekasi A
211
Lampiran 8.
NO PERIODE 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
Lampiran 9.
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
PERIODE Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
Alokasi Air Optimum ke Sektor Domestik di Wilayah Curug Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7
DASAR 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 41.58
1 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76
2 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 45.74
VOLUME (ribu m3) SKENARIO 3 4 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24
5 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24 35.24
6 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76
7 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 38.76 45.74
Alokasi Air Optimum ke Sektor Industri di Wilayah Curug Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 DASAR 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82
1 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82 781.82
TOTAL ALOKASI AIR INDUSTRI (ribu m3) SKENARIO 2 3 4 5 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82
6 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91
7 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91 820.91
212
Lampiran 10.
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Alokasi Air Optimum ke Sektor Industri di Wilayah Cibeet A Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7
PERIODE
40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70
Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
Lampiran 11.
NO PERIODE 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
DASAR
1 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70
2 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74
VOLUME (ribu m3) SKENARIO 3 4 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70
5 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70 40.70
6 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74
7 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74 42.74
Alokasi Air Optimum ke Sektor Domestik di Wilayah Cibeet B Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7
DASAR 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10
1 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51
2 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51
VOLUME (ribu m3) SKENARIO 3 4 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10
5 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10 254.10
6 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 219.54 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 219.54 279.51
7 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51 279.51
213
Lampiran 12.
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Alokasi Air Optimum ke Sektor Industri di Wilayah Cibeet B Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7
PERIODE Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
DASAR 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68
1 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68
2 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46
VOLUME (ribu m3) SKENARIO 3 4 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68
5 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68 675.68
6 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46
7 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46 709.46
Lampiran 13. Alokasi Air Optimum ke Sektor Domestik di Wilayah Cikarang A Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 NO PERIODE 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
DASAR 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78
1 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35
2 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35
VOLUME (ribu m3) SKENARIO 3 4 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78
5 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78 5.78
6 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 4.77 4.77 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 4.77 4.77 4.77 4.77 4.77 4.77 4.77
7 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35 6.35
214
Lampiran 14.
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Alokasi Air Optimum ke Sektor Industri di Wilayah Cikarang A Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7
PERIODE Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
DASAR 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50
1 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50
2 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53
VOLUME (ribu m3) SKENARIO 3 4 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50
5 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50 280.50
6 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53
7 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53 294.53
Lampiran 15. Alokasi Air Optimum ke Sektor Domestik di Wilayah Cikarang B Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 NO PERIODE 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
DASAR 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 642.83 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45
1 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 707.11 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60
2 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 707.11 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60
VOLUME (ribu m3) SKENARIO 3 4 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 642.83 642.83 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45
5 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 642.83 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45 681.45
6 732.01 732.01 732.01 732.01 732.01 732.01 732.01 732.01 732.01 707.11 732.01 707.11 707.11 749.60 732.01 732.01 732.01 707.11 732.01 732.01 732.01 707.11 732.01 732.01
7 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 749.60 707.11 749.60 749.60 749.60 707.11 732.47 749.60
215
Lampiran 16. Alokasi Air Optimum ke Sektor Industri di Wilayah Cikarang B Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 - 7 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
PERIODE Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
DASAR 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81
1 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81
2 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75
VOLUME (ribu m3) SKENARIO 3 4 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81
5 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81 538.81
6 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75
7 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75 565.75
Lampiran 17. Alokasi Air Optimum ke Sektor Domestik di Wilayah Bekasi A Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 NO PERIODE 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
DASAR 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 418.17 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99
1 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 459.99 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68
2 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 459.99 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68
VOLUME (ribu m3) SKENARIO 3 4 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 418.17 418.17 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99
5 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 418.17 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99 446.99
6 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 466.53 466.53 466.53 466.53 459.99 459.99 459.99 491.68 491.68 485.14 459.99 459.99 485.14 459.99 459.99 459.99 485.14
7 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 491.68 459.99 491.68 491.68 491.68 459.99 485.14 491.68
216
Lampiran 18. Alokasi Air Optimum ke Sektor Industri di Wilayah Bekasi A Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
PERIODE Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
DASAR 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20
1 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20
2 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36
VOLUME (ribu m3) SKENARIO 3 4 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20
5 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20 123.20
6 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36
7 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36 129.36
Lampiran 19. Alokasi Air Optimum ke Sektor Domestik di Wilayah Bekasi B Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 NO PERIODE 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
DASAR 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 21169.98 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08
1 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 24192.00 24192.00 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 23286.98 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48
2 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 24192.00 24192.00 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 23286.98 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48
VOLUME (ribu m3) SKENARIO 3 4 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 21169.98 21169.98 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08
5 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 21169.98 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08 22944.08
6 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 24192.00 24192.00 25238.48 25238.48 25227.30 25238.48 25238.48 25238.48 25227.30 23286.98 25227.30 25227.30 25227.30 25227.30 25227.30 25227.30
7 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 24192.00 24192.00 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 25238.48 23286.98 25238.48 25238.48 25238.48 24187.30 25238.48 25238.48
Lampiran 20.
Alokasi Air Irigasi Optimum Berdasarkan Musim Tanam dan Model Dasar serta Skenario 1 sampai dengan 7 di Wilayah Curug
NO PERIODE
DASAR I
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Okt.I Okt.II Nop.I Nop.II Des.I Des.II Jan.I Jan.II Peb.I Peb.II Mar.I Mar.II Apr.I Apr.II Mei.I Mei.II Jun.I Jun.II Jul.I Jul.II Ags.I Ags.II Sep.I Sep.II
8180.03 7361.79 5317.37 4090.01 3680.90 3680.90 3680.90 3272.36 2454.13 0.59
SKENARIO 1
SKENARIO 2
I
I
II
8180.03 7361.79 5317.37 4090.01 3680.90 3680.90 3680.90 3272.36 2454.13 0.59 5205.37 5205.37 4652.81 4908.25 5205.37 5949.22 6321.14 5577.29 0.53
II : Musim Tanam II
II
8180.03 7361.79 5317.37 4090.01 3680.90 3680.90 3680.90 3272.36 2454.13 0.59 5205.37 5205.37 4652.81 4908.25 5205.37 5949.22 6321.14 5577.29 0.53
I
II
8180.03 7361.79 5317.37 4090.01 3680.90 3680.90 3680.90 3272.36 2454.13 0.59 5205.37 5205.37 4652.81 4908.25 5205.37 5949.22 6321.14 5577.29 0.53
I
II
8180.03 7361.79 5317.37 4090.01 3680.90 3680.90 3680.90 3272.36 2454.13 0.59 5205.37 5205.37 4652.81 4908.25 5205.37 5949.22 6321.14 5577.29 0.53
SKENARIO 5
SKENARIO 6
I
I
II
8180.03 7361.79 5317.37 4090.01 3680.90 3680.90 3680.90 3272.36 2454.13 0.59 5205.37 5205.37 4652.81 4908.25 5205.37 5949.22 6321.14 5577.29 0.53
II
8180.03 7361.79 5317.37 4090.01 3680.90 3680.90 3680.90 3272.36 2454.13 0.59 5205.37 5205.37 4652.81 4908.25 5205.37 5949.22 6321.14 5577.29 0.53
SKENARIO 7 I
II
8180.03 7361.79 5317.37 4090.01 3680.90 3680.90 3680.90 3272.36 2454.13 0.59 5205.37 5205.37 4652.81 4908.25 5205.37 5949.22 6321.14 5577.29 0.53
5205.37 5205.37 4652.81 4908.25 5205.37 5949.22 6321.14 5577.29 0.53
217
Keterangan : I : Musim Tanam I
II
Total Alokasi Air Irigasi Optimum (ribu m3) SKENARIO 3 SKENARIO 4
Lampiran 21.
Alokasi Air Irigasi Optimum Berdasarkan Musim Tanam dan Model Dasar serta Skenario 1 sampai dengan 7 di Wilayah Cibeet A
Total Alokasi Air Irigasi Optimum (ribu m3) NO PERIODE 1 Okt.I 2 Okt.II 3 Nop.I 4 Nop.II 5 Des.I 6 Des.II 7 Jan.I 8 Jan.II 9 Peb.I 10 Peb.II 11 Mar.I 12 Mar.II 13 Apr.I 14 Apr.II 15 Mei.I 16 Mei.II 17 Jun.I 18 Jun.II 19 Jul.I 20 Jul.II 21 Ags.I 22 Ags.II 23 Sep.I 24 Sep.II
SKENARIO 1 MT I MT II 981.40 883.23 637.95 490.70 441.62 441.62 441.62 392.60 294.43 0.07 624.52 624.52 558.22 588.87 624.52 713.76 758.38 669.14 0.06
II : Musim Tanam II
SKENARIO 2 MT I MT II 981.40 883.23 637.95 490.70 441.62 441.62 441.62 392.60 294.43 0.07 624.52 624.52 558.22 588.87 624.52 713.76 758.38 669.14 0.06
SKENARIO 3 MT I MT II 981.40 883.23 637.95 490.70 441.62 441.62 441.62 392.60 294.43 0.07 624.52 624.52 558.22 588.87 624.52 713.76 758.38 669.14 0.06
SKENARIO 4 MT I MT II 981.40 883.23 637.95 490.70 441.62 441.62 441.62 392.60 294.43 0.07 624.52 624.52 558.22 588.87 624.52 713.76 758.38 669.14 0.06
SKENARIO 5 MT I MT II 981.40 883.23 637.95 490.70 441.62 441.62 441.62 392.60 294.43 0.07 624.52 624.52 558.22 588.87 624.52 713.76 758.38 669.14 0.06
SKENARIO 6 MT I MT II 981.40 883.23 637.95 490.70 441.62 441.62 441.62 392.60 294.43 0.07 624.52 624.52 558.22 588.87 624.52 713.76 758.38 669.14 0.06
SKENARIO 7 MT I MT II 981.40 883.23 637.95 490.70 441.62 441.62 441.62 392.60 294.43 0.07 624.52 624.52 558.22 588.87 624.52 713.76 758.38 669.14 0.06
218
Keterangan : I : Musim Tanam I
DASAR MT I MT II 981.40 883.23 637.95 490.70 441.62 441.62 441.62 392.60 294.43 0.07 624.52 624.52 558.22 588.87 624.52 713.76 758.38 669.14 0.06
Lampiran 22.
Alokasi Air Irigasi Optimum Berdasarkan Musim Tanam dan Model Dasar serta Skenario 1 sampai dengan 7 di Wilayah Cibeet B
Total Alokasi Air Irigasi Optimum (ribu m3) NO PERIODE 1 Okt.I 2 Okt.II 3 Nop.I 4 Nop.II 5 Des.I 6 Des.II 7 Jan.I 8 Jan.II 9 Peb.I 10 Peb.II 11 Mar.I 12 Mar.II 13 Apr.I 14 Apr.II 15 Mei.I 16 Mei.II 17 Jun.I 18 Jun.II 19 Jul.I 20 Jul.II 21 Ags.I 22 Ags.II 23 Sep.I 24 Sep.II
DASAR MT I MT II 8,566.72 16,797.07 25,305.29 30,710.33 29,298.82 24,153.13 20,986.95 19,410.71 17,885.83 13,830.06 9,442.33 5,451.44 4,748.98 11,234.13 1,285.16 17,810.78 0.31 23,423.45 25,875.98 27,191.83 28,708.03 30,043.09 25,594.53 18,946.77 10,207.55 2,919.68 0.28
II : Musim Tanam II
SKENARIO 2 MT I MT II 8,566.72 16,797.07 25,305.29 30,710.33 29,298.82 24,153.13 20,986.95 19,410.71 17,885.83 13,830.06 9,442.33 5,451.44 4,748.98 11,234.13 1,285.16 17,810.78 0.31 23,423.45 25,875.98 27,191.83 28,708.03 30,043.09 25,594.53 18,946.77 10,207.55 2,919.68 0.28
SKENARIO 3 MT I MT II 8,566.72 16,797.07 25,305.29 30,710.33 29,298.82 24,153.13 20,986.95 19,410.71 17,885.83 13,830.06 9,442.33 5,451.44 4,748.98 11,234.13 1,285.16 17,810.78 0.31 23,423.45 25,875.98 27,191.83 28,708.03 30,043.09 25,594.53 18,946.77 10,207.55 2,919.68 0.28
SKENARIO 4 MT I MT II 8,566.72 16,797.07 25,305.29 30,710.33 29,298.82 24,153.13 20,986.95 19,410.71 17,885.83 13,830.06 9,442.33 5,451.44 4,748.98 11,234.13 1,285.16 17,810.78 0.31 23,423.45 25,875.98 27,191.83 28,708.03 30,176.43 25,594.53 18,813.43 10,207.55 2,919.68 0.28
SKENARIO 5 MT I MT II 8,566.72 16,797.07 25,305.29 30,710.33 29,298.82 24,153.13 20,986.95 19,410.71 17,885.83 13,830.06 9,442.33 5,451.44 4,748.98 11,234.13 1,285.16 17,810.78 0.31 23,423.45 25,875.98 27,191.83 28,708.03 30,043.09 25,594.53 18,946.77 10,207.55 2,919.68 0.28
SKENARIO 6 MT I MT II 8,566.72 16,797.07 25,305.29 30,710.33 29,298.82 24,153.13 20,986.95 19,410.71 17,885.83 13,830.06 9,442.33 5,451.44 4,748.98 11,234.13 1,285.16 17,810.78 0.31 23,423.45 25,875.98 27,191.83 28,438.48 30,312.64 25,594.53 18,946.77 10,207.55 2,919.68 0.28
SKENARIO 7 MT I MT II 8,566.72 16,797.07 25,305.29 30,710.33 29,298.82 24,153.13 20,986.95 19,410.71 17,885.83 13,830.06 9,442.33 5,451.44 4,748.98 11,234.13 1,285.16 17,810.78 0.31 23,423.45 25,875.98 27,191.83 28,438.48 30,312.64 25,594.53 18,946.77 10,207.55 2,919.68 0.28
219
Keterangan : I : Musim Tanam I
SKENARIO 1 MT I MT II 8,566.72 16,797.07 25,305.29 30,710.33 29,298.82 24,153.13 20,986.95 19,410.71 17,885.83 13,830.06 9,442.33 5,451.44 4,748.98 11,234.13 1,285.16 17,810.78 0.31 23,423.45 25,875.98 27,191.83 28,708.03 30,043.09 25,594.53 18,946.77 10,207.55 2,919.68 0.28 .
Lampiran 23.
Alokasi Air Irigasi Optimum Berdasarkan Musim Tanam dan Model Dasar serta Skenario 1 sampai dengan 7 di Wilayah Cikarang A
Total Alokasi Air Irigasi Optimum (ribu m3) NO PERIODE
DASAR MT I
1 Okt.I 2 Okt.II 3 Nop.I 4 Nop.II 5 Des.I 6 Des.II 7 Jan.I 8 Jan.II 9 Peb.I 10 Peb.II 11 Mar.I 12 Mar.II 13 Apr.I 14 Apr.II 15 Mei.I 16 Mei.II 17 Jun.I 18 Jun.II 19 Jul.I 20 Jul.II 21 Ags.I 22 Ags.II 23 Sep.I 24 Sep.II
8,014.30 14,901.87 15,158.85 13,531.55 10,720.08 9,580.92 9,329.40 8,929.14 7,743.46 4,319.32 1,509.36 0.36
5,099.91 9,992.95 12,464.98 11,807.45 12,037.52 14,047.89 15,180.98 15,429.54 9,129.45
SKENARIO 1 MT I MT II
8,014.30 14,901.87 17,158.85 13,531.55 10,720.08 9,580.92 9,329.40 8,929.14 7,743.46 4,319.32 1,509.36 0.36
II : Musim Tanam II
5,099.91 9,992.95 12,464.98 12,203.42 12,037.52 13,651.92 15,390.11 15,220.42 9,129.45 3,429.45 0.33
SKENARIO 2 MT I MT II
8,014.30 14,901.87 17,158.85 13,531.55 10,720.08 9,580.92 9,329.40 8,929.14 7,743.46 4,319.32 1,509.36 0.36
5,099.91 9,992.95 12,464.98 12,203.42 12,037.52 13,651.92 15,390.11 15,220.42 9,129.45 3,429.45 0.33
SKENARIO 3 MT I MT II
8,014.30 14,901.87 17,158.85 13,531.55 10,720.08 9,580.92 9,329.40 8,929.14 7,743.46 4,319.32 1,509.36 0.36
5,099.91 9,992.95 12,464.98 11,807.45 12,037.52 14,047.89 15,390.11 15,220.42 9,129.45 3,429.45 0.33
SKENARIO 4 MT I MT II
8,014.30 14,901.87 17,158.85 13,531.55 10,720.08 9,580.92 9,329.40 8,929.14 7,743.46 4,319.32 1,509.36 0.36
5,099.91 9,992.95 12,464.98 12,203.42 12,224.42 13,465.02 15,390.11 15,220.42 9,129.45 3,429.45 0.33
SKENARIO 5 MT I MT II
8,014.30 14,901.87 17,158.85 13,531.55 10,720.08 9,580.92 9,329.40 8,929.14 7,743.46 4,319.32 1,509.36 0.36
5,099.91 9,992.95 12,464.98 11,766.26 12,078.72 14,047.89 15,390.11 15,220.42 9,129.45 3,429.45 0.33
SKENARIO 6 MT I MT II
8,014.30 14,901.87 17,158.85 13,531.55 10,720.08 9,580.92 9,329.40 8,929.14 7,743.46 4,319.32 1,509.36 0.36
5,099.91 9,992.95 12,464.98 12,203.42 12,037.52 13,651.92 15,390.11 15,220.42 9,129.45 3,429.45 0.33
SKENARIO 7 MT I MT II
8,014.30 14,901.87 17,158.85 13,531.55 10,720.08 9,580.92 9,329.40 8,929.14 7,743.46 4,319.32 1,509.36 0.36
5,099.91 9,992.95 12,464.98 11,766.26 12,037.52 13,589.67 15,390.11 15,220.42 9,129.45 3,429.45 0.33
220
Keterangan : I : Musim Tanam I
MT II
Lampiran 24.
Alokasi Air Irigasi Optimum Berdasarkan Musim Tanam dan Model Dasar serta Skenario 1 sampai dengan 7 di Wilayah Cikarang B
Total Alokasi Air Irigasi Optimum (ribu m3) NO PERIODE 1 Okt.I 2 Okt.II 3 Nop.I 4 Nop.II 5 Des.I 6 Des.II 7 Jan.I 8 Jan.II 9 Peb.I 10 Peb.II 11 Mar.I 12 Mar.II 13 Apr.I 14 Apr.II 15 Mei.I 16 Mei.II 17 Jun.I 18 Jun.II 19 Jul.I 20 Jul.II 21 Ags.I 22 Ags.II 23 Sep.I 24 Sep.II
DASAR MT I MT II 9,108.51 8,197.40 16,416.86 18,013.82 14,533.57 11,955.63 10,828.48 10,172.85 9,261.73 6,005.51 4,754.51 5,796.21 1,204.87 6,375.83 0.29 8,603.75 7,821.59 8,241.87 9,070.15 9,891.71 9,471.13 3,465.23 3,065.03 0.32
II : Musim Tanam II
SKENARIO 2 MT I MT II 9,108.51 8,197.40 16,416.86 18,013.82 14,533.57 11,955.63 10,828.48 10,172.85 9,261.73 6,005.51 4,754.51 5,796.21 1,204.87 6,375.83 0.29 11,647.61 12,911.01 12,784.94 13,432.81 14,800.72 15,107.29 9,555.30 8,690.53 1,489.79 0.14
SKENARIO 3 MT I MT II 9,108.51 8,197.40 16,416.86 18,013.82 14,533.57 11,955.63 10,828.48 10,172.85 9,261.73 6,005.51 4,754.51 6,231.31 1,204.87 6,375.83 0.29 11,684.22 13,754.85 13,628.77 14,156.15 15,524.05 15,951.13 10,519.73 9,715.24 2,484.33 0.24
SKENARIO 4 MT I MT II 9,108.51 8,197.40 16,416.86 18,013.82 14,533.57 11,955.63 10,828.48 10,172.85 9,261.73 6,005.51 4,754.51 6,229.15 1,204.87 6,375.83 0.29 11,686.50 13,754.85 13,628.77 14,156.15 15,524.05 15,951.13 10,519.73 9,715.24 2,484.33 0.24
SKENARIO 5 MT I MT II 9,108.51 8,197.40 16,416.86 18,013.82 14,533.57 11,955.63 10,828.48 10,172.85 9,261.73 6,005.51 4,754.51 6,231.37 1,204.87 6,375.83 0.29 11,684.28 13,754.85 13,628.77 14,156.15 15,524.05 15,951.13 10,519.73 9,715.24 2,484.33 0.24
SKENARIO 6 MT I MT II 9,108.51 8,197.40 16,416.86 18,013.82 14,533.57 11,955.63 10,828.48 10,172.85 9,261.73 6,005.51 4,754.51 5,796.21 1,204.87 6,375.83 0.29 11,647.61 12,911.01 12,784.94 13,432.81 14,800.72 15,107.29 9,555.30 8,690.53 1,489.79 0.14
SKENARIO 7 MT I MT II 9,108.51 8,197.40 16,416.86 18,013.82 14,533.57 11,955.63 10,828.48 10,172.85 9,261.73 6,005.51 4,754.51 5,796.21 1,204.87 6,375.83 0.29 5,465.37 4,968.52 5,796.21 6,624.49 7,038.64 6,210.35 0.59
221
Keterangan : I : Musim Tanam I
SKENARIO 1 MT I MT II 9,108.51 8,197.40 16,416.86 18,013.82 14,533.57 11,955.63 10,828.48 10,172.85 9,261.73 6,005.51 4,754.51 5,796.21 1,204.87 6,375.83 0.29 12,119.33 12,944.11 12,818.04 13,461.18 14,829.09 15,140.39 9,593.13 8,730.72 1,528.80 0.15
Lampiran 25.
Alokasi Air Irigasi Optimum Berdasarkan Musim Tanam dan Model Dasar serta Skenario 1 sampai dengan 7 di Wilayah Bekasi A Total Alokasi Air Irigasi Optimum (ribu m3)
NO PERIODE 1 Okt.I 2 Okt.II 3 Nop.I 4 Nop.II 5 Des.I 6 Des.II 7 Jan.I 8 Jan.II 9 Peb.I 10 Peb.II 11 Mar.I 12 Mar.II 13 Apr.I 14 Apr.II 15 Mei.I 16 Mei.II 17 Jun.I 18 Jun.II 19 Jul.I 20 Jul.II 21 Ags.I 22 Ags.II 23 Sep.I 24 Sep.II
DASAR MT I MT II 395.19 355.66 2,198.85 10,718.12 11,043.71 8,388.89 6,548.52 5,833.71 5,708.74 5,493.22 4,860.81 251.48 3,315.48 251.48 513.13 1,451.34 0.12 1,451.34 1,310.78 1,452.65 1,586.44 1,681.81 1,500.68 1,324.06 0.13
II : Musim Tanam II
SKENARIO 2 MT I MT II 395.19 355.66 2,198.85 10,718.12 11,043.71 8,388.89 6,548.52 5,833.71 5,708.74 5,493.22 4,860.81 251.48 3,315.48 251.48 513.13 224.79 0.12 237.13 251.48 287.42 305.39 269.45 0.03
SKENARIO 3 MT I MT II 395.19 355.66 2,198.85 10,718.12 11,043.71 8,388.89 6,548.52 5,833.71 5,708.74 5,493.22 4,860.81 251.48 3,315.48 251.48 513.13 1,451.34 0.12 1,451.34 1,310.78 1,452.65 1,586.44 1,681.81 1,500.68 1,324.06 0.13
SKENARIO 4 MT I MT II 395.19 355.66 2,198.85 10,718.12 11,043.71 8,388.89 6,548.52 5,833.71 5,708.74 5,493.22 4,860.81 251.48 3,315.48 251.48 513.13 1,451.34 0.12 1,451.34 1,310.78 1,452.65 1,586.44 1,681.81 1,500.68 1,324.06 0.13
SKENARIO 5 MT I MT II 395.19 355.66 2,198.85 10,718.12 11,043.71 8,388.89 6,548.52 5,833.71 5,708.74 5,493.22 4,860.81 251.48 3,315.48 251.48 513.13 1,451.34 0.12 1,451.34 1,310.78 1,374.36 1,664.73 1,681.81 1,500.68 1,324.06 0.13
SKENARIO 6 MT I MT II 395.19 355.66 2,198.85 10,718.12 11,043.71 8,388.89 6,548.52 5,833.71 5,708.74 5,493.22 4,860.81 251.48 3,315.48 251.48 513.13 224.79 0.12 237.13 251.48 287.42 305.39 269.45 0.03
SKENARIO 7 MT I MT II 395.19 355.66 2,198.85 10,718.12 11,043.71 8,388.89 6,548.52 5,833.71 5,708.74 5,493.22 4,860.81 251.480 3,315.48 251.480 513.13 1451.336 0.12 2455.918 2315.363 2235.488 2525.858 2686.390 2666.156 2543.979 1076.486 0.103
222
Keterangan : I : Musim Tanam I
SKENARIO 1 MT I MT II 395.19 355.66 2,198.85 10,718.12 11,043.71 8,388.89 6,548.52 5,833.71 5,708.74 5,493.22 4,860.81 251.48 3,315.48 251.48 513.13 224.79 0.12 237.13 251.48 287.42 305.39 269.45 0.03
Lampiran 26.
Benefit Optimum Berdasarkan Sektor, Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 dan Musim Tanam di Wilayah Tarum Barat
WILAYAH DAN SEKTOR Curug 1. Pertanian pada 2. Pertanian pada 3. PAM Domestik 4. Industri Cibeet A 1. Pertanian pada 2. Pertanian pada 3. PAM Domestik 4. Industri Cibeet B 1. Pertanian pada 2. Pertanian pada 3. PAM Domestik 4. Industri Cikarang A 1. Pertanian pada 2. Pertanian pada 3. PAM Domestik 4. Industri Cikarang B 1. Pertanian pada 2. Pertanian pada 3. PAM Domestik 4. Industri Bekasi A 1. Pertanian pada 2. Pertanian pada 3. PAM Domestik 4. Industri Bekasi B 1. Pertanian pada 2. Pertanian pada 3. PAM Domestik 4. Industri
BASE
SKENARIO 1
SKENARIO 2
BENEFIT (juta rupiah) SKENARIO 3 SKENARIO 4
SKENARIO 5
SKENARIO 6
SKENARIO 7
5883.70 2325.80 1.04 257.78
5883.70 2325.80 0.97 19.09
5929.58 2276.40 1.14 126.51
5883.70 3983.30 0.87 258.16
7727.60 4605.40 0.88 258.16
7727.60 5249.00 0.87 258.16
5883.70 6117.40 0.95 258.16
7727.60 2999.60 0.95 402.92
MT 1 MT 2
741.19 770.64 1.51
741.19 770.64 1.51
741.19 770.64 1.89
741.19 770.64 1.51
973.48 1015.50 1.51
973.48 1015.50 1.89
741.19 770.64 1.89
973.48 1015.50 1.89
MT 1 MT 2
25086.00 25018.00 18.65 104.54
25086.00 25018.00 20.51 104.54
20064.00 25018.00 20.51 137.46
25080.00 23382.00 18.65 104.54
33588.00 31455.00 18.65 104.54
33588.00 31455.00 18.65 104.54
25086.00 25018.00 20.51 137.46
33595.00 33758.00 20.51 137.46
MT 1 MT 2
10239.00 10180.00 0.17 69.27
10239.00 10180.00 0.19 69.27
10235.00 8208.00 0.19 89.97
10235.00 8261.00 0.17 69.27
13911.00 11264.00 0.17 69.27
13911.00 11264.00 0.17 69.27
10239.00 10180.00 0.19 89.97
13915.00 13771.00 0.19 89.97
MT 1 MT 2
14387.00 9122.90 41.24 39.79
14387.00 9122.90 46.25 56.15
14387.00 9122.90 46.25 1703.00
14384.00 9246.10 42.04 56.15
19173.00 13721.00 42.04 56.15
19177.00 12298.00 42.04 56.15
14387.00 13485.00 45.72 77.22
19177.00 8925.30 46.25 77.22
MT 1 MT 2
6422.70 1383.30 34.61 13.64
6422.70 1383.30 34.61 13.64
6421.00 1382.70 34.61 13.64
6421.00 1383.30 31.46 11.44
8715.00 389.45 31.46 359.48
8715.00 1864.50 31.46 11.43
6422.70 295.54 34.61 13.64
8717.20 2917.90 34.61 13.64
MT 1 MT 2
998.66 -
998.66 -
998.66 -
905.62 -
907.88 -
905.62 -
954.93 -
954.93 -
2214.60
2219.00
2219.00
2220.30
2027.40
2220.30
2435.80
2435.80
Perum Jasa Tirta II
223
MT 1 MT 2
Lampiran 27. Program pemecahan Optimasi Dinamik Aplikasi Perangkat Lunak GAMS $TITLE
PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DI WILAYAH HILIR DAERAH IRIGASI JATILUHUR-MODELDIJ
$ONTEXT BASIC-INPUT FILE NAME"DASAR-04" ; OUTPUT SAVED AS "DASAR-04-OUT" -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------FILE1 : MODEL ALOKASI SUMBERDAYA AIR DI WILAYAH HILIR DAERAH IRIGASI JATILUHUR ***MODEL DASAR ** -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------$OFFTEXT SETS T horison waktu /01*24/ MT musim tanam /MT1,MT2/ MT1 musim tanam I /TA1,TB1,TC1,TD1,TE1/ MT2 musim tanam II/TA2,TB2,TC2,TD2,TE2/ AT aktivitas usahatani /OT1, OT2, TN, TH1, TH2, TH3, BG1, BG2, MG1, MG2/ GS golongan sawah /SW1, SW2, SW3, SW4, SW5/ GD golongan PDAM /DK, DS, DB/ GI golongan industri /IK, IS, IB/ W wilayah /Curug, CibeetA, CibeetB, CikarangA, CikarangB, BekasiA, BekasiB, BekasiC/; SCALARS * Bilangan alam BA bilangan alam /2.718281828/ * Harga Gabah di tingkat petani ~ ribu rp per ton PPD Harga gabah /1700/ PWI Harga air baku untuk industri/50/ * Harga air baku tiap sektor pemakai air ~ ribu rp per ribu meter kubik PWA Harga air irigasi /5/ * Presentase hilangnya air dari saluran di wilayah Tarum Barat LSI LSS LPT
hilangnya air di saluran induk Tarum Barat/0.05/ hilangnya air di saluran sekunder di Tarum Barat /0.10/ hilangnya air di saluran tersier di Tarum Barat /0.20/
* Aliran untuk pemeliharaan saluran ~ meter kubik per detik MFE OFTTL OFTTU OFTHL OFTHU OFJ
aliran yang harus ada untuk pemeliharaan saluran/5/ aliran minimum untuk Tarum Timur/22/ aliran maksimum untuk Tarum Timur /90/ aliran minimum untuk Tarum Utara/31/ aliran maksimum untuk Tarum Utara/62.5/ aliran maksimum ke Curug/190.000/
225
* Biaya operasional per seribu m3 air ~ ribu rupiah bo ko
biaya operasional per ribu m3 air yang disalurkan /1.0706/ konstanta biaya ops per ribu m3 air yang disalurkan /2.6227/
PARAMETERS CV(T)
konversi debit ke volume setengah bulanan /01 1382.4, 02 1296.0, 03 1296.0, 04 1296.0, 05 1382.4, 06 1296.0, 07 1382.4, 08 1296.0, 09 1209.6, 10 1209.6, 11 1382.4, 12 1296.0, 13 1296.0, 14 1296.0, 15 1382.4, 16 1296.0, 17 1296.0, 18 1296.0, 19 1382.4, 20 1296.0, 21 1382.4, 22 1296.0, 23 1296.0, 24 1296.0/
YRP(GS) produksi potensial per golongan sawah ~ ton per ha /SW1 = 6.0, SW2 = 5.6, SW3 = 5.2, SW4 = 4.9, SW5 = 4.2/ TBA(GS) total biaya usaha tani per musim tanam ~ ribu rp /SW1 = 1860, SW2 = 2020, SW3 = 2180, SW4 = 2205, SW5 = 2215/ CWC(GD) Koefisien konversi air baku ke air bersih /DK = 0.885, DS = 0.80, DB = 0.75/ PWD(GD) Harga air baku PDAM per golongan /DK = 45, DS = 45, DB = 100/ PCW(GD) Harga air bersih per golongan PDAM ~ ribu rupiah per seribu m3 /DK = 1000, DS = 2600, DB = 5473/ EFO(GD) Efisiensi pengolahan air bersih per golongan PDAM /DK = 0.85, DS = 0.80, DB = 0.75/ EFD(GD) Efisiensi distribusi air bersih per golongan PDAM /DK = 0.75, DS = 0.80, DB = 0.85/ KTBO(GD) Konstanta fungsi biaya pengolahan per golongan PDAM /DK = 0.820, DS = 0.775, DB = 0.725/ KTBD(GD) Konstanta fungsi biaya distribusi per golongan PDAM /DK = 0.675, DS = 0.700, DB = 0.725/ KFBO(GD) Koefisien fungsi biaya pengolahan per golongan PDAM /DK = 0.850, DS = 0.800, DB = 0.750/ KFBD(GD) Koefisien fungsi biaya disribusi per golongan PDAM /DK = 0.850, DS = 0.875, DB = 0.900/ ALPHA(GI) Intersep permintaan air industri /IK = 6.9740, IS = 8.1537, IB = 9.1424/ GAMMA(GI) Koefisien permintaan air industri /IK = 0.3455, IS = 0.7444, IB = 0.8244/ DF(T) discount factor /01 05 09 13 17 21
0.994612, 0.973351, 0.952544, 0.932182, 0.912255, 0.892754,
02 06 10 14 18 22
0.989254, 0.968107, 0.947412, 0.927160, 0.907341, 0.887945,
03 07 11 15 19 23
0.983924, 0.962891, 0.942308, 0.922165, 0.902452, 0.883161,
04 08 12 16 20 24
0.978623, 0.957704, 0.937231, 0.917197, 0.897590, 0.878403/
226
* Inflow pada waktu t ~ meter kubik per detik IFSLJ (T) inflow sumber lain ke waduk Juanda /01 4.53, 02 5.65, 03 8.04, 04 05 11.48, 06 12.75, 07 9.47, 08 09 11.86, 10 28.27, 11 20.00, 12 13 9.96, 14 14.41, 15 33.80, 16 17 6.44, 18 4.23, 19 4.72, 20 21 1.24, 22 1.46, 23 1.18, 24
5.62, 11.68, 7.73, 23.66, 3.39, 1.19/
IFCTJ(T) /01 05 09 13 17 21
inflow Sungai Citarum ke Juanda 121.30, 02 169.89, 03 114.99, 235.13, 06 245.43, 07 126.62, 193.75, 10 210.39, 11 206.20, 148.23, 14 228.01, 15 191.02, 102.95, 18 87.61, 19 94.95, 88.24, 22 67.46, 23 98.35,
IFKBT(T) /01 05 09 13 17 21
inflow dari kali Cibeet 28.55, 02 31.30, 03 22.50, 04 16.20, 38.93, 06 22.49, 07 38.89, 08 47.40, 40.59, 10 40.25, 11 51.39, 12 22.66, 49.73, 14 29.87, 15 58.99, 16 48.03, 9.83, 18 6.98, 19 8.11, 20 3.67, 0.42, 22 0.61, 23 6.76, 24 3.90/
04 08 12 16 20 24
89.96, 161.01, 196.51, 147.00, 145.08, 98.25/
IFKCK(T) inflow dari kali Cikarang /01 05 09 13 17 21
17.69, 14.87, 27.10, 21.75, 3.45, 2.04,
02 06 10 14 18 22
10.99, 24.29, 39.78, 19.84, 5.81, 1.22,
03 8.48, 04 8.01, 07 25.78, 08 16.30, 11 28.39, 12 20.15, 15 19.92, 16 14.51, 19 2.26, 20 1.95, 23 0.45, 24 0.88/
IFKBK(T) inflow dari kali Bekasi /01 05 09 13 17 21
39.59, 32.72, 40.22, 70.46, 10.82, 1.48,
02 52.74, 06 32.39, 10 57.09, 14 57.23, 18 7.27, 22 1.10,
03 07 11 15 19 23
23.21, 49.60, 59.29, 71.05, 12.48, 1.95,
04 08 12 16 20 24
35.00, 38.43, 59.88, 35.03, 6.39, 4.93/
* Air keluar dari Bendung ke Salduk ~ meter kubik per detik OFCRTTL(T) outflow Curug ke Tarum Timur /01 05 09 13 17 21
34.23, 34.55, 28.73, 24.20, 40.38, 55.08,
02 06 10 14 18 22
35.00, 35.00, 18.58, 32.84, 44.98, 54.80,
03 07 11 15 19 23
34.47, 29.95, 37.08, 34.77, 49.99, 48.17,
04 08 12 16 20 24
35.01, 31.39, 21.64, 34.88, 53.95, 53.38/
OFCRTHL(T) outflow Curug ke Tarum Tengah /01 05 09 13 17 21
30.95, 57.71, 62.31, 91.68, 63.54, 68.43,
02 06 10 14 18 22
43.57, 62.59, 112.87, 69.24, 71.70, 65.97,
03 07 11 15 19 23
44.46, 86.05, 95.28, 78.81, 66.97, 62.76,
04 08 12 16 20 24
57.34, 60.89, 65.48, 65.77, 75.76, 93.63/
227
TABLE TL(GS,W) luas lahan per wilayah per golongan ~ hektar Curug SW1 3850 SW2 0 SW3 0 SW4 0 SW5 0 + SW1 SW2 SW3 SW4 SW5
CibeetA 485 0 0 0 0
CibeetB 4032 4277 5440 4762 2015
CikarangA 0 0 3772 3619 2367
CikarangB 4287 0 4940 1889 0
BekasiA BekasiB BekasiC 186 0 0 0 0 0 914 0 0 4129 0 0 804 0 0
TABLE ND(GD,W) jumlah PDAM per wilayah ~ perusahaan
DK DS DB
Curug 1 0 0
CibeetA 0 0 0
CibeetB 0 1 0
+ DK DS DB
BekasiA 1 1 0
BekasiB 0 1 1
BekasiC 0 0 0
CikarangA 1 0 0
CikarangB 2 1 0
TABLE NI(GI,W) jumlah industri per wilayah ~ perusahaan
IK IS IB
Curug 3 8 1
CibeetA 0 1 0
CibeetB 0 3 3
+ IK IS IB
BekasiA 0 2 0
BekasiB 0 0 0
BekasiC 0 0 0
CikarangA 0 1 1
CikarangB 9 6 1
TABLE WD0(GD,W) kebutuhan minimum air untuk PDAM per gol ~ ribu m3
DK DS DB
Curug 30.5100 0.0000 0.0000
CibeetA 0.0000 0.0000 0.0000
+ DK DS DB
BekasiA 21.8500 340.2000 0.0000
BekasiB 0.0000 151.2000 18177.7870
CibeetB 0.0000 172.8000 0.0000
CikarangA 3.7555 0.0000 0.0000
CikarangB 73.0800 410.4000 0.0000
BekasiC 0.0000 0.0000 0.0000
TABLE WDU(GD,W) kebutuhan maksimum air untuk PDAM per gol ~ ribu m3
DK DS DB
Curug 36.0000 0.0001 0.0001
+ DK DS DB
BekasiA 27.0000 360.0000 0.0001
CibeetA CibeetB CikarangA CikarangB 0.0001 0.0000 5.0000 80.0000 0.0001 220.0000 0.0001 430.0000 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 BekasiB 0.0001 160.0000 19705.0000
BekasiC 0.0001 0.0001 0.0001
228
TABLE WI0(GI,W) kebutuhan minimum air untuk industri per gol ~ ribu m3 Curug IK 1.7494 IS 20.0413 IB 325.6956
CibeetA 0.0000 19.0200 0.0000
+ BekasiA IK 0.0000 IS 28.3595 IB 0.0000
BekasiB 0.0000 0.0000 0.0000
CibeetB 0.0000 13.0078 126.9884
CikarangA 0.0000 11.0750 169.4945
CikarangB 2.9195 28.1750 156.6510
BekasiC 0.0000 0.0000 0.0000
TABLE WIU(GI,W) kebutuhan maksimum air untuk industri per gol ~ ribu m3 Curug IK 4.3000 IS 32.0000 IB 408.0000
CibeetA CibeetB CikarangA 0.0001 0.0001 0.0001 37.0000 29.0000 35.0000 0.0001 166.0000 220.0000
+ BekasiA IK 0.0000 IS 56.0000 IB 0.0001
BekasiB BekasiC 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001
CikarangB 7.5000 34.0000 195.0000
TABLE BETA1(T,GS,MT1,AT) koefisien respons yield sawah I MT1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
SW1.TA1.OT1 0.01 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA1.OT2 0 0.01 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA1.TN 0 0 1.15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA1.TH1 0 0 0 1.2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA1.TH2 SW1.TA1.TH3 0 0 0 0 0 0 0 0 1.2 0 0 1.2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
229
+ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
SW1.TA1.BG1 0 0 0 0 0 0 1.2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA1.BG2 0 0 0 0 0 0 0 1.15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA1.MG1 0 0 0 0 0 0 0 0 1.1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA1.MG2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.05 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
TABLE BETA2(T,GS,MT2,AT) koefisien respons yield MT2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
SW1.TA2.OT1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.01 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA2.OT2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.01 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA2.TN 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA2.TH1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA2.TH2 SW1.TA2.TH3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.2 0 0 1.2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
230
+ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
SW1.TA2.BG1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.2 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA2.BG2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.15 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA2.MG1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.1 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA2.MG2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.05 0 0 0 0 0 0
TABLE WA1(T,GS,MT1,AT) kebutuhan air irigasi per ha sawah MT1 ~ ribu m3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
SW1.TA1.OT1 1.3936 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA1.OT2 0 1.2542 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA1.TN 0 0 0.9059 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA1.TH1 0 0 0 0.6968 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
+ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
SW1.TA1.BG1 0 0 0 0 0 0 0.6271 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA1.BG2 0 0 0 0 0 0 0 0.5575 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA1.MG1 0 0 0 0 0 0 0 0 0.4181 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA1.MG2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.0001 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA1.TH2 SW1.TA1.TH3 0 0 0 0 0 0 0 0 0.6271 0 0 0.6271 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
231
TABLE WA2(T,GS,MT2,AT) kebutuhan air irigasi per ha pd MT2 ~ ribu m3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
SW1.TA2.OT1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.9755 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA2.OT2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.9755 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA2.TN 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.8362 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA2.TH1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.8362 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
+ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
SW1.TA2.BG1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.1149 0 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA2.BG2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.1846 0 0 0 0 0 0 0
SW1.TA2.MG1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.0452 0 0 0 0 0 0
SW1.TA2.MG2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.0001 0 0 0 0 0
VARIABLES * Yang ingin dicari L1(GS,W) L2(GS,W) YA11(GS) YA12(GS) YA21(GS)
luas sawah per golongan per wilayah pada MT1 ~ ha luas sawah per golongan per wilayah pada MT2 ~ ha produksi aktual per gol sawah MT1 di Curug ~ ton ha produksi aktual per gol sawah MT2 di Curug ~ ton ha produksi aktual per gol sawah MT1 di CibeetA ~ ton ha
YA22(GS) YA31(GS) YA32(GS) YA41(GS) YA42(GS) YA51(GS) YA52(GS)
produksi aktual produksi aktual produksi aktual produksi aktual produksi aktual produksi aktual produksi aktual
per gol sawah MT2 di CibeetA ~ ton ha per gol sawah MT1 di CibeetB ~ ton ha per gol sawah MT2 di CibeetB ~ ton ha per gol sawah MT1 di CikarangA ~ ton ha per gol sawah MT2 di CikarangA ~ ton ha per gol sawah MT1 di CikarangB ~ ton ha per gol sawah MT2 di CikarangB ~ ton ha
SW1.TA2.TH2 SW1.TA2.TH3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.9755 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
232
YA61(GS) produksi aktual per gol sawah MT1 di BekasiA ~ ton ha YA62(GS) produksi aktual per gol sawah MT2 di BekasiA ~ ton ha X1CR1(T,GS,MT1,AT) X1CR2(T,GS,MT2,AT) X2CR(T,GD) X1BTA1(T,GS,MT1,AT) X1BTA2(T,GS,MT2,AT) X2BTA(T,GD) X1BTB1(T,GS,MT1,AT) X1BTB2(T,GS,MT2,AT) X2BTB(T,GD) X1CKA1(T,GS,MT1,AT) X1CKA2(T,GS,MT2,AT) X2CKA(T,GD) X1CKB1(T,GS,MT1,AT) X1CKB2(T,GS,MT2,AT) X2CKB(T,GD) X1BKA1(T,GS,MT1,AT) X1BKA2(T,GS,MT2,AT) X2BKA(T,GD) X3BKA(T,GI) X2BKB(T,GD)
alokasi air ke sek pert MT1 Curug ~ ribu m3 per ha alokasi air ke sek pery MT2 Curug ~ ribu m3 per ha alokasi air ke PDAM di Curug ~ ribu m3 alokasi air ke sek pert MT1 CibeetA ~ ribu m3 per ha alokasi air ke sek pert MT2 CibeetA ~ ribu m3 per ha alokasi air ke PDAM di CibeetA ~ ribu m3 alokasi air ke sek pert MT1 CibeetB ~ ribu m3 per ha alokasi air ke sek pert MT2 CibeetB ~ ribu m3 per ha alokasi air ke PDAM di CibeetB ~ ribu m3 alokasi air ke sek pert MT1 CikarangA ~ ribu m3 per ha alokasi air ke sek pert MT2 CikarangA ~ ribu m3 per ha alokasi air ke PDAM di CikarangA ~ ribu m3 alokasi air ke sek pert MT1 CikarangB ~ ribu m3 per ha alokasi air ke sek pert MT2 CikarangB ~ ribu m3 per ha alokasi air ke PDAM di CikarangB ~ ribu m3 alokasi air ke sek pert MT1 BekasiA ~ ribu m3 per ha alokasi air ke sek pert MT2 BekasiA ~ ribu m3 per ha alokasi air ke PDAM di BekasiA ~ ribu m3 alokasi air ke sektor industri di BekasiA ~ ribu m3 alokasi air ke PDAM di BekasiB ~ ribu m3
WIRCR1(T) WIRCR2(T) WDOCR(T) WIRBTA1(T) WIRBTA2(T) WDOBTA(T) WIRBTB1(T) WIRBTB2(T) WDOBTB(T) WIRCKA1(T) WIRCKA2(T) WDOCKA(T) WIRCKB1(T) WIRCKB2(T) WDOCKB(T) WIRBKA1(T) WIRBKA2(T) WDOBKA(T) WINBKA(T) WDOBKB(T)
total air irigasi wil Curug MT1 ~ ribu m3 total air irigasi wil Curug MT2 ~ ribu m3 total air ke sek dom wil Curug pd wkt t ~ ribu m3 total air irigasi wil CibeetA MT1 ~ ribu m3 total air irigasi wil CibeetA MT2 ~ ribu m3 total air ke sek dom wil CibeetA pd wkt t ~ ribu m3 total air irigasi wil CibeetB MT1 ~ ribu m3 total air irigasi wil CibeetB MT2 ~ ribu m3 total air ke sek dom wil CibeetB pd wkt t ~ ribu m3 total air irigasi wil CikarangA MT1 ~ ribu m3 total air irigasi wil CikarangA MT2 ~ ribu m3 total air ke sek dom wil CikarangA pd wkt t ~ ribu m3 total air irigasi wil CikarangB MT1 ~ ribu m3 total air irigasi wil CikarangB MT2 ~ ribu m3 total air ke sek dom wil CikarangB pd wkt t ~ ribu m3 total air irigasi wil BekasiA MT1 ~ ribu m3 total air irigasi wil BekasiA MT2 ~ ribu m3 total air ke sek dom wil BekasiA pd wkt t ~ ribu m3 total air ke sek ind di wil BekasiA pd periode t ~ ribu m3 total air ke s ekdom wil BekasiB pd wkt t ~ ribu m3
OFJCR(T) IFJ(T) OFCRTB(T) OFCRTH(T) OFCRTT(T) OFCRL(T) OFBTAL(T) OFBTBL(T) OFCK(T) OFCKA(T) OFCKB(T) OFCKAL(T) OFCKBL(T) OFBK(T) OFBKA(T) OFBKB(T) OFBKC(T) OFBKAL(T) OFBKBL(T)
outflow dari Juanda ke Curug pd wkt t ~ ribu mtr kbk inflow ke Waduk Juanda ~ mtr3 per detik air keluar dari Curug ke Tarum Barat pd wkt t ~ mtr3 per det air keluar dari Curug ke Tarum Utara pd wkt t ~ mtr3 per det air keluar dari Curug ke Tarum Timur pd wkt t ~ mtr3 per det outflow dari Curug ke hilir pd wkt t ~ m3 per det outflow dari CibeetA ke hilir pd wkt t ~ m3 per det outflow dari CibeetB ke hilir pd wkt t ~ m3 per det outflow dari Bendung Cikarang pd wkt t ~ m3 per det outflow dari saluran CikarangA pd wkt t ~ m3 per det outflow dari saluran CikarangB pd wkt t ~ m3 per det outflow dari CikarangA ke hilir pd wkt t ~ m3 per det outflow dari CikarangB ke hilir pd wkt t ~ m3 per det outflow dari Bendung Bekasi pd wkt t ~ m3 per det outflow dari saluran BekasiA pd wkt t ~ m3 per det outflow dari saluran BekasiB pd wkt t ~ m3 per det outflow dari saluran BekasiC pd wkt t ~ m3 per det outflow dari BekasiA ke hilir pd wkt t ~ m3 per det outflow dari BekasiB ke hilir pd wkt t ~ m3 per det
233
OFL(T) TIR(T) TDO(T) TIN(T) STJ(T)
total air irigasi yang disalurkan pd wkt t ~ ribu m3 total air domestik yang disalurkan pd wkt t ~ ribu m3 total air industri yang disalurkan pd wkt t ~ ribu m3 stok air waduk Juanda ~ ribu meter kubik
BBACR1(T) BBACR2(T) BBDCR(T) BBICR(T) BBABTA1(T) BBABTA2(T) BBDBTA(T) BBIBTA(T) BBABTB1(T) BBABTB2(T) BBDBTB(T) BBIBTB(T) BBACKA1(T) BBACKA2(T) BBDCKA(T) BBICKA(T) BBACKB1(T) BBACKB2(T) BBDCKB(T) BBICKB(T) BBABKA1(T) BBABKA2(T) BBDBKA(T) BBIBKA(T) BBDBKB(T)
manfaat bersih sektor pert di Curug pd MT1 ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor pert di Curug pd MT2 ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor domestik di Curug pd wkt t ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor industri di Curug pd wkt t ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor pert di CibeetA pd MT1 ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor pert di CibeetA pd MT2 ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor domestik di CibeetA pd wkt t ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor industri di CibeetA pd wkt t ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor pert di CibeetB pd MT1 ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor pert di CibeetB pd MT2 ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor domestik di CibeetB pd wkt t ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor industri di CibeetB pd wkt t ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor pert di CikarangA pd MT1 ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor pert di CikarangA pd MT2 ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor domestik di CikarangA pd wkt t ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor industri di CikarangA pd wkt t ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor pert di CikarangB pd MT1 ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor pert di CikarangB pd MT2 ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor domestik di CikarangB pd wkt t ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor industri di CikarangB pd wkt t ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor pert di BekasiA pd MT1 ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor pert di BekasiA pd MT2 ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor domestik di BekasiA pd wkt t ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor industri di BekasiA pd wkt t ~ ribu rupiah manfaat bersih sektor domestik di BekasiB pd wkt t ~ ribu rupiah
TBJT(T) RJT(T) BBJT(T)
total biaya operasional PJT II pd wkt t ~ ribu rp total pendapatan PJT II pd wkt t ~ ribu rp manfaat bersih PJT II pd wkt t ~ ribu rp
OBJ1 OBJ2; POSITIVE VARIABLES L1(GS,W), L2(GS,W), YA11(GS), YA12(GS), YA21(GS), YA22(GS), YA31(GS), YA32(GS), YA41(GS), YA42(GS), YA51(GS), YA52(GS), YA61(GS), YA62(GS), X1CR1(T,GS,MT1,AT), X1CR2(T,GS,MT2,AT), WIRCR1(T), WIRCR2(T), X1BTA1(T,GS,MT1,AT), X1BTA2(T,GS,MT2,AT), WIRBTA1(T), WIRBTA2(T), X1BTB1(T,GS,MT1,AT), X1BTB2(T,GS,MT2,AT), WIRBTB1(T), WIRBTB2(T), X1CKA1(T,GS,MT1,AT), X1CKA2(T,GS,MT2,AT), WIRCKA1(T), WIRCKA2(T), X1CKB1(T,GS,MT1,AT), X1CKB2(T,GS,MT2,AT), WIRCKB1(T), WIRCKB2(T), X1BKA1(T,GS,MT1,AT), X1BKA2(T,GS,MT2,AT), WIRBKA1(T), WIRBKA2(T), X2CR(T,GD), X2BTA(T,GD), X2BTB(T,GD), X2CKA(T,GD), X2CKB(T,GD), X2BKA(T,GD), X2BKB(T,GD), TIN(T),
WDOCR(T), WDOBTA(T), WDOBTB(T), WDOCKA(T), WDOCKB(T), WDOBKA(T), WDOBKB(T),
X3CR(T,GI), WINCR(T), X3BTA(T,GI), WINBTA(T), X3BTB(T,GI), WINBTB(T), X3CKA(T,GI), WINCKA(T), X3CKB(T,GI), WINCKB(T), X3BKA(T,GI), WINBKA(T), TIR(T), TDO(T),
OFJCR(T), OFCRTB(T), OFCRTH(T), IFJ(T), OFCRL(T), OFBTAL(T), OFBTBL(T),
STJ(T),
234
OFCKA(T), OFCKB(T), OFCK(T), OFCKAL(T), OFCKBL(T), OFBK(T), OFBKA(T), OFBKB(T), OFBKC(T), OFBKAL(T), OFBKBL(T), BBACR1(T), BBACR2(T), BBDCR(T), BBICR(T), TBJT(T), BBABTA1(T), BBABTA2(T), BBDBTA(T), BBIBTA(T), RJT(T), BBABTB1(T), BBABTB2(T), BBDBTB(T), BBIBTB(T), BBJT(T), BBACKA1(T), BBACKA2(T), BBDCKA(T), BBICKA(T), BBACKB1(T), BBACKB2(T), BBDCKB(T), BBICKB(T), BBABKA1(T), BBABKA2(T), BBDBKA(T), BBIBKA(T), BBDBKB(T); EQUATIONS PYA11(GS) PYA12(GS) PYA21(GS) PYA22(GS) PYA31(GS) PYA32(GS) PYA41(GS) PYA42(GS) PYA51(GS) PYA52(GS) PYA61(GS) PYA62(GS)
pers prod aktual per gol pd MT1 Curug ~ ton per ha pers prod aktual per gol pd MT2 Curug ~ ton per ha pers prod aktual per gol pd MT1 CibeetA ~ ton per ha pers prod aktual per gol pd MT2 CibeetA ~ ton per ha pers prod aktual per gol pd MT1 CibeetB ~ ton per ha pers prod aktual per gol pd MT2 CibeetB ~ ton per ha pers prod aktual per gol pd MT1 CikarangA ~ ton per ha pers prod aktual per gol pd MT2 CikarangA ~ ton per ha pers prod aktual per gol pd MT1 CikarangB ~ ton per ha pers prod aktual per gol pd MT2 CikarangB ~ ton per ha pers prod aktual per gol pd MT1 BekasiA ~ ton per ha pers prod aktual per gol pd MT2 BekasiA ~ ton per ha
TIRCR1(T) TIRCR2(T) TDOCR(T) TINCR(T) TIRBTA1(T) TIRBTA2(T) TDOBTA(T) TINBTA(T) TIRBTB1(T) TIRBTB2(T) TDOBTB(T) TINBTB(T) TIRCKA1(T) TIRCKA2(T) TDOCKA(T) TINCKA(T) TIRCKB1(T) TIRCKB2(T) TDOCKB(T) TINCKB(T) TIRBKA1(T) TIRBKA2(T) TDOBKA(T) TINBKA(T) TDOBKB(T)
pers total air irigasi wil Curug pd wkt t ~ ribu m3 pers total air irigasi wil Curug pd wkt t ~ ribu m3 pers total air ke PDAM wil Curug pd wkt t ~ ribu m3 pers total air ke sek industri wil Curug pd wkt t ~ ribu m3 pers total air irigasi wil CibeetA pd wkt t ~ ribu m3 pers total air irigasi wil CibeetA pd wkt t ~ ribu m3 pers total air ke PDAM wil Curug pd wkt t ~ ribu m3 pers total air ke sek industri wil CibeetA pd wkt t ~ ribu m3 pers total air irigasi wil CibeetB pd wkt t ~ ribu m3 pers total air irigasi wil CibeetB pd wkt t ~ ribu m3 pers total air ke PDAM wil CibeetB pd wkt t ~ ribu m3 pers total air ke sek industri wil CibeetB pd wkt t ~ ribu m3 pers total air irigasi wil CikarangA pd wkt t ~ ribu m3 pers total air irigasi wil CikarangA pd wkt t ~ ribu m3 pers total air ke PDAM wil CikarangA pd wkt t ~ ribu m3 pers total air ke sek industri wil CikarangA pd wkt t ~ ribu m3 pers total air irigasi wil CikarangB pd wkt t ~ ribu m3 pers total air irigasi wil CikarangB pd wkt t ~ ribu m3 pers total air ke PDAM wil CikarangB pd wkt t ~ ribu m3 pers total air ke sek industri wil CikarangB pd wkt t ~ ribu m3 pers total air irigasi wil BekasiA pd wkt t ~ ribu m3 pers total air irigasi wil BekasiA pd wkt t ~ ribu m3 pers total air ke PDAM wil BekasiA pd wkt t ~ ribu m3 pers total air ke industri wil BekasiA pd wkt t ~ ribu m3 pers total air ke PDAM wil BekasiB pd wkt t ~ ribu m3
TX1CR1 TX1CR2 TX1BTA1 TX1BTA2 TX1BTB1 TX1BTB2 TX1CKA1 TX1CKA2 TX1CKB1 TX1CKB2 TX1BKA1 TX1BKA2
pers total air irigasi pd MT I Curug ~ ribu m3 pers total air irigasi pd MT II Curug ~ ribu m3 pers total air irigasi pd MT I CibeetA ~ ribu m3 pers total air irigasi pd MT II CibeetA ~ ribu m3 pers total air irigasi pd MT I CIbeet B ~ ribu m3 pers total air irigasi pd MT II CIbeet B ~ ribu m3 pers total air irigasi pd MT I Cikarang A ~ ribu m3 pers total air irigasi pd MT II Cikarang A ~ ribu m3 pers total air irigasi pd MT I Cikarang B ~ ribu m3 pers total air irigasi pd MT II Cikarang B ~ ribu m3 pers total air irigasi pd MT I Bekasi A ~ ribu m3 pers total air irigasi pd MT II Bekasi A ~ ribu m3
235
PSBCR(T) PSBBT(T) PCRBT(T) PSBCK(T) PSBBK(T) PIWJ(T) PATB(T) PACK(T) PACKA(T) PACKB(T) PMCKB(T) PABK(T) PABKA(T) PABKB(T) PSTJ(T) PTIR(T) PTDO(T) PTIN(T)
pers keseimbangan di Bendung Curug pers keseimbangan di Bendung Cibeet pers keseimbangan di pertemuan Cibeet Tarbar pers keseimbangan di Bendung Cikarang pers keseimbangan di Bendung Bekasi pers air masuk Juanda pers air keluar saluran Tarum Barat pers air keluar dari Bendung Cikarang pers air keluar dari saluran CikarangA pers air keluar dari saluran CikarangB pers air keluar minimum dari saluran CikarangB pers air keluar dari Bendung Bekasi pers air keluar dari saluran BekasiA pers air keluar dari saluran BekasiB pers stok air di Waduk Juanda pada waktu t+1 persamaan total air irigasi yang disalurkan pd wkt t persamaan total air domestik yang disalurkan pd wkt t persamaan total air industri yang disalurkan pd wkt t
MBACR2(T) MBACR1(T) MBDCR(T) MBICR(T) MBABTA1(T) MBABTA2(T) MBDBTA(T) MBIBTA(T) MBABTB1(T) MBABTB2(T) MBDBTB(T) MBIBTB(T) MBACKA1(T) MBACKA2(T) MBDCKA(T) MBICKA(T) MBACKB1(T) MBACKB2(T) MBDCKB(T) MBICKB(T) MBABKA1(T) MBABKA2(T) MBDBKA(T) MBIBKA(T) MBDBKB(T) PTBJ(T) PRJT(T) MBJT(T)
fungsi benefit sektor pert Wilayah Curug MT1 fungsi benefit sektor pert Wilayah Curug MT2 fungsi benefit sektor domestik Wilayah Curug fungsi benefit sektor industri Wilayah Curug fungsi benefit sektor pert Wilayah CibeetA MT1 fungsi benefit sektor pert Wilayah CibeetA MT2 fungsi benefit sektor domestik Wilayah CibeetA fungsi benefit sektor industri Wilayah CibeetA fungsi benefit sektor pert Wilayah CibeetB MT1 fungsi benefit sektor pert Wilayah CibeetB MT2 fungsi benefit sektor domestik Wilayah CibeetB fungsi benefit sektor industri Wilayah CibeetB fungsi benefit sektor pert Wilayah CikarangA MT1 fungsi benefit sektor pert Wilayah CikarangA MT2 fungsi benefit sektor domestik Wilayah CikarangA fungsi benefit sektor industri Wilayah CikarangA fungsi benefit sektor pert Wilayah CikarangB MT1 fungsi benefit sektor pert Wilayah CikarangB MT2 fungsi benefit sektor domestik Wilayah CikarangB fungsi benefit sektor industri Wilayah CikarangB fungsi benefit sektor pert Wilayah BekasiA MT1 fungsi benefit sektor pert Wilayah BekasiA MT2 fungsi benefit sektor domestik Wilayah BekasiA fungsi benefit sektor industri Wilayah BekasiA fungsi benefit sektor domestik Wilayah BekasiB pers total biaya PJT II pers revenue PJT II fungsi benefit PJT II
ZZ1 ZZ2; * OBJECTIVE FUNCTION * Wilayah Curug * Manfaat bersih pemakaian air sektor pertanian di Curug PYA11(GS).. YA11(GS) =E= YRP(GS)*1-BA**SUM((T,MT1,AT), (-BETA1(T,GS,MT1,AT)* (X1CR1(T,GS,MT1,AT)-WA1(T,GS,MT1,AT)))); MBACR1(T).. BBACR1(T) =E= (1/10)*(1/24)*[SUM((GS,MT1,AT),L1(GS,"Curug")* (YA11(GS)*PPD-(TBA(GS)+X1CR1(T,GS,MT1,AT)*PWA)))]; PYA12(GS).. YA12(GS) =E= YRP(GS)*1-BA**SUM((T,MT2,AT), (-BETA2(T,GS,MT2,AT)* (X1CR2(T,GS,MT2,AT)-WA2(T,GS,MT2,AT))));
236
MBACR2(T).. BBACR2(T) =E= (1/9)*(1/24)*[SUM((GS,MT2,AT),L2(GS,"Curug")* (YA12(GS)*PPD- (TBA(GS)+X1CR2(T,GS,MT2,AT)*PWA)))]; * Manfaat bersih sektor domestik Curug MBDCR(T).. BBDCR(T) =E= (1/24)*[SUM(GD, (ND(GD,"CURUG")* CWC(GD)*X2CR(T,"DK")*PCW(GD))- ((KTBO(GD)/EFO(GD))*X2CR(T,"DK")**KFBO(GD))((KTBD(GD)/EFD(GD))*CWC(GD)*X2CR(T,"DK")**KFBD(GD))- (X2CR(T,"DK")*PWD(GD)))]; * Manfaat bersih sektor industri Curug MBICR(T).. BBICR(T) =E= (1/24)*[SUM(GI, NI(GI,"CURUG")* (BA**(ZETHA(GI))/TETHA(GI))* ((X3CR(T,GI)**TETHA(GI)- WI0(GI,"CURUG")**TETHA(GI)))(X3CR(T,GI)*(1+LSI)*(1+LSS)*PWI))]; * Total suplai per sektor pertanian di Curug TIRCR1(T).. WIRCR1(T) =E= (1+LSI)*(1+LPT)*(1+LSS)*SUM((GS,MT1,AT), L1(GS,"Curug")* X1CR1(T,GS,MT1,AT)); TIRCR2(T).. WIRCR2(T) =E= (1+LSI)*(1+LPT)*(1+LSS)*SUM((GS,MT2,AT), L2(GS,"Curug")* X1CR2(T,GS,MT2,AT)); * Total suplai ke sektor domestik per periode di Curug TDOCR(T).. WDOCR(T) =E= (1+LSS)*(1+LSI)*SUM(GD, ND(GD,"CURUG")*X2CR(T,GD)); * Total suplai air ke sektor industri Curug TINCR(T).. WINCR(T) =E= (1+LSI)*(1+LSS)*SUM(GI, NI(GI,"CURUG")*X3CR(T,GI)); * Wilayah Cibeet A * Manfaat bersih pemakaian air sektor pertanian PYA21(GS).. YA21(GS) =E= YRP(GS)*1-BA**SUM((T,MT1,AT),(-BETA1(T,GS,MT1,AT)* (X1BTA1(T,GS,MT1,AT)-WA1(T,GS,MT1,AT)))); MBABTA1(T).. BBABTA1(T) =E= (1/10)*(1/24)*[SUM((GS,MT1,AT), L1(GS,"CibeetA")*(YA21(GS)*PPD-(TBA(GS)+X1BTA1(T,GS,MT1,AT)*PWA)))]; PYA22(GS).. YA22(GS) =E= YRP(GS)*1-BA**SUM((T,MT2,AT), (-BETA2(T,GS,MT2,AT)* (X1BTA2(T,GS,MT2,AT)-WA2(T,GS,MT2,AT)))); MBABTA2(T).. BBABTA2(T) =E= (1/9)*(1/24)*[SUM((GS,MT2,AT),L2(GS,"CibeetA")* (YA22(GS)*PPD-(TBA(GS)+X1BTA2(T,GS,MT2,AT)*PWA)))]; * Manfaat bersih sektor domestik pada waktu t MBDBTA(T).. BBDBTA(T) =E= (1/24)*[SUM(GD, ND(GD,"CibeetA")* ((CWC(GD)*X2BTB(T,GD)*PCW(GD))- ((KTBO(GD)/EFO(GD))*X2BTA(T,GD)**KFBO(GD))((KTBD(GD)/EFD(GD))*CWC(GD)*X2BTA(T,GD)**KFBD(GD))-(X2BTA(T,GD)*PWD(GD))))]; * Manfaat bersih sektor industri di CibeetA MBIBTA(T).. BBIBTA(T) =E= (1/24)*[SUM(GI, NI(GI,"CibeetA")*(BA**(ZETHA(GI))/TETHA(GI))* ((X3BTA(T,GI)**TETHA(GI)- WI0(GI,"CIBEETA")**TETHA(GI)))(X3BTA(T,GI)*PWI))]; * Total suplai per sektor per periode per wilayah * Sektor pertanian TIRBTA1(T).. WIRBTA1(T) =E= (1+LPT)*(1+LSS)*SUM((GS,MT1,AT),L1(GS,"CibeetA")* X1BTA1(T,GS,MT1,AT));
237
TIRBTA2(T).. WIRBTA2(T) =E= (1+LPT)*(1+LSS)*SUM((GS,MT2,AT),L2(GS,"CibeetA")* X1BTA2(T,GS,MT2,AT)); * Total suplai ke sektor domestik per periode per wilayah TDOBTA(T).. WDOBTA(T) =E= (1+LSS)*SUM(GD, ND(GD,"CibeetA")*X2BTA(T,GD)); * Suplai ke sektor industri di Cibeet A TINBTA(T).. WINBTA(T) =E= (1+LSS)*SUM(GI, NI(GI,"CibeetA")*X3BTA(T,GI)); * Wilayah Cibeet B * Manfaat bersih pemakaian air sektor pertanian PYA31(GS).. YA31(GS) =E= YRP(GS)*1-BA**SUM((T,MT1,AT),(-BETA1(T,GS,MT1,AT)* (X1BTB1(T,GS,MT1,AT)-WA1(T,GS,MT1,AT)))); MBABTB1(T).. BBABTB1(T) =E= (1/10)*(1/24)*[SUM((GS,MT1,AT),L1(GS,"CibeetB")* (YA31(GS)*PPD-(TBA(GS)+X1BTB1(T,GS,MT1,AT)*PWA)))]; PYA32(GS).. YA32(GS) =E= YRP(GS)*1-BA**SUM((T,MT2,AT),(-BETA2(T,GS,MT2,AT)* (X1BTB2(T,GS,MT2,AT)-WA2(T,GS,MT2,AT)))); MBABTB2(T).. BBABTB2(T) =E=(1/9)*(1/24)*[SUM((GS,MT2,AT),L2(GS,"CibeetB")* (YA32(GS)*PPD- (TBA(GS)+X1BTB2(T,GS,MT2,AT)*PWA)))]; * Manfaat bersih sektor domestik di CibeetB MBDBTB(T).. BBDBTB(T) =E= (1/24)*[SUM(GD, ND(GD,"CibeetB")* ((CWC(GD)*X2BTB(T,GD)*PCW(GD))- ((KTBO(GD)/EFO(GD))*X2BTB(T,GD)**KFBO(GD))((KTBD(GD)/EFD(GD))*CWC(GD)*X2BTB(T,GD)**KFBD(GD))-(X2BTB(T,GD)*PWD(GD))))]; * Manfaat Bersih sektor industri di CibeetB MBIBTB(T).. BBIBTB(T) =E= (1/24)*[SUM(GI, NI(GI,"CibeetB")*(BA**(ZETHA(GI))/TETHA(GI))* ((X3BTB(T,GI)**TETHA(GI)- WI0(GI,"CibeetB")**TETHA(GI)))- (X3BTB(T,GI)*PWI))]; * Total suplai per sektor per periode di Cibeet B * Sektor pertanian TIRBTB1(T).. WIRBTB1(T) =E= (1+LPT)*(1+LSS)* (1+LSI)*SUM((GS,MT1,AT),L1(GS,"CibeetB")* X1BTB1(T,GS,MT1,AT)); TIRBTB2(T).. WIRBTB2(T) =E= (1+LPT)*(1+LSS)* (1+LSI)*SUM((GS,MT2,AT),L2(GS,"CibeetB")* X1BTB2(T,GS,MT2,AT)); * Total suplai ke sektor domestik per periode di Cibeet B TDOBTB(T).. WDOBTB(T) =E= (1+LSS)*(1+LSI)*SUM(GD, ND(GD,"CibeetB")*X2BTB(T,GD)); * Total suplai ke sektor industri TINBTB(T).. WINBTB(T) =E= (1+LSS)*(1+LSI)*SUM(GI, NI(GI,"CibeetB")*X3BTB(T,GI)); * Wilayah Cikarang A * Manfaat bersih pemakaian air sektor pertanian PYA41(GS).. YA41(GS) =E= YRP(GS)*1-BA**SUM((T,MT1,AT),(-BETA1(T,GS,MT1,AT)* (X1CKA1(T,GS,MT1,AT)-WA1(T,GS,MT1,AT)))); MBACKA1(T).. BBACKA1(T) =E=(1/10)*(1/24)*[SUM((GS,MT1,AT), L1(GS,"CikarangA")*(YA41(GS)*PPD-(TBA(GS)+X1CKA1(T,GS,MT1,AT)*PWA)))]; PYA42(GS).. YA42(GS) =E= YRP(GS)*1-BA**SUM((T,MT2,AT),(-BETA2(T,GS,MT2,AT)* (X1CKA2(T,GS,MT2,AT)-WA2(T,GS,MT2,AT))));
238
MBACKA2(T).. BBACKA2(T) =E=(1/9)*(1/24)*[SUM((GS,MT2,AT), L2(GS,"CikarangA")*(YA42(GS)*PPD-(TBA(GS)+X1CKA2(T,GS,MT2,AT)*PWA)))]; * Manfaat bersih sektor domestik pada waktu t MBDCKA(T).. BBDCKA(T) =E= (1/24)*[SUM(GD, ND(GD,"CikarangA")*((CWC(GD)*X2CKA(T,GD)*PCW(GD))((KTBO(GD)/EFO(GD))*X2CKA(T,GD)**KFBO(GD))((KTBD(GD)/EFD(GD))*CWC(GD)*X2CKA(T,GD)**KFBD(GD))-(X2CKA(T,GD)*PWD(GD))))]; * Manfaat bersih sektor industri di CikarangA MBICKA(T).. BBICKA(T) =E= (1/24)*[SUM(GI, NI(GI,"CikarangA")* (BA**(ZETHA(GI))/TETHA(GI))* ((X3CKA(T,GI)**TETHA(GI)WI0(GI,"CikarangA")**TETHA(GI)))- (X3CKA(T,GI)*PWI))]; * Total suplai per sektor per periode per wilayah * Sektor pertanian TIRCKA1(T).. WIRCKA1(T) =E= (1+LPT)*(1+LSS)*(1+LSI)*SUM((GS,MT1,AT), L1(GS,"CikarangA")*X1CKA1(T,GS,MT1,AT)); TIRCKA2(T).. WIRCKA2(T) =E= (1+LPT)*(1+LSS)*(1+LSI)*SUM((GS,MT2,AT), L2(GS,"CikarangA")*X1CKA2(T,GS,MT2,AT)); * Total suplai ke sektor domestik per periode per wilayah TDOCKA(T).. WDOCKA(T) =E= (1+LSS)*(1+LSI)*SUM(GD, ND(GD,"CikarangA")*X2CKA(T,GD)); * Suplai ke sektor industri di Cikarang A TINCKA(T).. WINCKA(T) =E= (1+LSS)*SUM(GI, NI(GI,"CikarangA")*X3CKA(T,GI)); * Wilayah Cikarang B * Manfaat bersih pemakaian air sektor pertanian PYA51(GS).. YA51(GS) =E= YRP(GS)*1-BA**SUM((T,MT1,AT),(-BETA1(T,GS,MT1,AT)* (X1CKB1(T,GS,MT1,AT)-WA1(T,GS,MT1,AT)))); MBACKB1(T).. BBACKB1(T) =E= (1/10)*(1/24)*[SUM((GS,MT1,AT),L1(GS,"CikarangB")*(YA51(GS)*PPD(TBA(GS)+X1CKB1(T,GS,MT1,AT)*PWA)))]; PYA52(GS).. YA52(GS) =E= YRP(GS)*1-BA**SUM((T,MT2,AT),(-BETA2(T,GS,MT2,AT)* (X1CKA2(T,GS,MT2,AT)-WA2(T,GS,MT2,AT)))); MBACKB2(T).. BBACKB2(T) =E= (1/9)*(1/24)*[SUM((GS,MT2,AT),L2(GS,"CikarangB")*(YA52(GS)*PPD(TBA(GS)+X1CKB2(T,GS,MT2,AT)*PWA)))]; * Manfaat bersih sektor domestik pada waktu t MBDCKB(T).. BBDCKB(T) =E= (1/24)*[SUM(GD, ND(GD,"CikarangB")*((CWC(GD)*X2CKB(T,GD)*PCW(GD))((KTBO(GD)/EFO(GD))*X2CKB(T,GD)**KFBO(GD))((KTBD(GD)/EFD(GD))*CWC(GD)*X2CKB(T,GD)**KFBD(GD))-(X2CKB(T,GD)*PWD(GD))))]; * Manfaat Bersih sektor industri di CikarangB MBICKB(T).. BBICKB(T) =E= (1/24)*[SUM(GI, NI(GI,"CikarangB")*(BA**(ZETHA(GI))/TETHA(GI))* ((X3CKB(T,GI)**TETHA(GI)- WI0(GI,"CikarangB")**TETHA(GI)))-(X3CKB(T,GI)*PWI))];
239
* Total suplai per sektor per periode per wilayah * Sektor pertanian TIRCKB1(T).. WIRCKB1(T) =E= (1+LPT)*(1+LSS)*(1+LSI)*SUM((GS,MT1,AT),L1(GS,"CikarangB")* X1CKB1(T,GS,MT1,AT)); TIRCKB2(T).. WIRCKB2(T) =E= (1+LPT)*(1+LSS)*(1+LSI)*SUM((GS,MT2,AT),L2(GS,"CikarangB")* X1CKB2(T,GS,MT2,AT)); * Total suplai ke sektor domestik per periode per wilayah TDOCKB(T).. WDOCKB(T) =E= (1+LSS)*(1+LSI)*SUM(GD, ND(GD,"CikarangB")*X2CKB(T,GD)); * Total suplai ke sektor industri TINCKB(T).. WINCKB(T) =E= (1+LSS)*(1+LSI)*SUM(GI, NI(GI,"CikarangB")*X3CKB(T,GI)); * Wilayah BekasiA * Manfaat bersih pemakaian air sektor pertanian PYA61(GS).. YA61(GS) =E= YRP(GS)*1-BA**SUM((T,MT1,AT),(-BETA1(T,GS,MT1,AT)* (X1BKA1(T,GS,MT1,AT)-WA1(T,GS,MT1,AT)))); MBABKA1(T).. BBABKA1(T) =E= (1/10)*(1/24)*[SUM((GS,MT1,AT), L1(GS,"BekasiA")* (YA61(GS)*PPD- (TBA(GS)+X1BKA1(T,GS,MT1,AT)*PWA)))]; PYA62(GS).. YA62(GS) =E= YRP(GS)*1-BA**SUM((T,MT2,AT),(-BETA2(T,GS,MT2,AT)* (X1BKA2(T,GS,MT2,AT)-WA2(T,GS,MT2,AT)))); MBABKA2(T).. BBABKA2(T) =E= (1/9)*(1/24)*[SUM((GS,MT2,AT),L2(GS,"BekasiA")* (YA62(GS)*PPD- (TBA(GS)+X1BKA2(T,GS,MT2,AT)*PWA)))]; * Manfaat bersih sektor domestik pada waktu t MBDBKA(T).. BBDBKA(T) =E= (1/24)*[SUM(GD, ND(GD,"BekasiA")* ((CWC(GD)*X2BKA(T,GD)*PCW(GD))- ((KTBO(GD)/EFO(GD))*X2BKA(T,GD)**KFBO(GD))((KTBD(GD)/EFD(GD))*CWC(GD)*X2BKA(T,GD)**KFBD(GD))- (X2BKA(T,GD)*PWD(GD))))]; * Manfaat bersih sektor industri di BekasiA MBIBKA(T).. BBIBKA(T) =E= (1/24)*[SUM(GI, NI(GI,"BekasiA")* (BA**(ZETHA(GI))/TETHA(GI))* ((X3BKA(T,GI)**TETHA(GI)WI0(GI,"BekasiA")**TETHA(GI)))- (X3BKA(T,GI)*PWI))]; * Total suplai per sektor pertanian periode per wilayah TIRBKA1(T).. WIRBKA1(T) =E= (1+LPT)*(1+LSS)*(1+LSI)*SUM((GS,MT1,AT), L1(GS,"BekasiA")*X1BKA1(T,GS,MT1,AT)); TIRBKA2(T).. WIRBKA2(T) =E= (1+LPT)*(1+LSS)*(1+LSI)*SUM((GS,MT2,AT), L2(GS,"BekasiA")*X1BKA2(T,GS,MT2,AT)); * Total suplai ke sektor domestik per periode per wilayah TDOBKA(T).. WDOBKA(T) =E= (1+LSS)*(1+LSI)*SUM(GD, ND(GD,"BekasiA")*X2BKA(T,GD)); * Suplai ke sektor industri di Bekasi A TINBKA(T).. WINBKA(T) =E= (1+LSS)*SUM(GI, NI(GI,"BekasiA")*X3BKA(T,GI));
240
* Wilayah Bekasi B * Manfaat bersih sektor domestik pada waktu t MBDBKB(T).. BBDBKB(T) =E= (0.275)*(1/24)*SUM(GD, ND(GD,"BekasiB")* ((CWC(GD)*X2BKB(T,GD)*PCW(GD))- ((KTBO(GD)/EFO(GD))*X2BKB(T,GD)**KFBO(GD))((KTBD(GD)/EFD(GD))*CWC(GD)*X2BKB(T,GD)**KFBD(GD))-(X2BKB(T,GD)*PWD(GD)))); * Total suplai ke sektor domestik per periode per wilayah TDOBKB(T).. WDOBKB(T) =E= (1+LSS)*(1+LSI)*SUM(GD, ND(GD,"BekasiB")*X2BKB(T,GD)); * Total Air Irigasi tarum Barat PTIR(T).. TIR(T) =E= WIRCR1(T)+WIRCR2(T)+WIRBTA1(T)+WIRBTA2(T)+ WIRBTB1(T)+WIRBTB2(T)+WIRCKA1(T)+WIRCKA2(T)+ WIRCKB1(T)+WIRCKB2(T)+WIRBKA1(T)+WIRBKA2(T); PTDO(T).. TDO(T) =E= WDOCR(T)+WDOBTB(T)+WDOCKA(T)+WDOCKB(T)+ WDOBKA(T) + WDOBKB(T); PTIN(T).. TIN(T) =E= WINCR(T)+WINBTA(T)+WINBTB(T)+WINCKA(T)+ WINCKB(T) + WINBKA(T); * Biaya PJT II PTBJ(T).. TBJT(T) =E= ko*(TIR(T)+TDO(T)+TIN(T))+ (TIR(T)+TDO(T)+TIN(T))**bo; * Revenue PJT II PRJT(T).. RJT(T) =E= (TIR(T)*PWA)+(TIN(T)*PWI)+ ((SUM(GD,ND(GD,"CURUG")*X2CR(T,GD)*PWD(GD)))+ (SUM(GD,ND(GD,"CibeetB")*X2BTB(T,GD)*PWD(GD)))+ (SUM(GD,ND(GD,"CikarangA")*X2CKA(T,GD)*PWD(GD)))+ (SUM(GD,ND(GD,"CikarangB")*X2CKB(T,GD)*PWD(GD)))+ (SUM(GD,ND(GD,"BekasiA")*X2BKA(T,GD)*PWD(GD)))+ (SUM(GD,ND(GD,"BekasiB")*X2BKB(T,GD)*PWD(GD)))); * Benefit PJT II MBJT(T).. BBJT(T) =E= RJT(T)-TBJT(T); * Total inflow ke Waduk Jatiluhur PIWJ(T).. IFJ(T) =E= (IFSLJ(T)+IFCTJ(T)); * minimize obj1 function ZZ1.. OBJ1 =E= SUM(T,power((IFJ(T)-OFJCR(T)),2)); * maximize obj2 function: ZZ2.. OBJ2 =E= SUM(T, DF(T)*(0.275*(BBACR1(T)+BBACR2(T)+BBABTA1(T)+ BBABTA2(T)+BBABTB1(T)+BBABTB2(T)+BBACKA1(T)+BBACKA2(T)+ BBACKB1(T)+BBACKB2(T)+BBABKA1(T)+BBABKA2(T)))+ (0.275*(BBDCR(T)+BBDBTA(T)+BBDBTB(T)+BBDCKA(T)+ BBDCKB(T)+BBDBKA(T)+BBDBKB(T)))+ (0.200*(BBICR(T)+BBIBTA(T)+BBIBTB(T)+BBICKA(T)+ BBICKB(T)+BBIBKA(T)))+ (0.250*BBJT(T)));
241
* CONSTRAINTS TX1CR1.. SUM((T,GS,MT1,AT),X1CR1(T,GS,MT1,AT)) =L= 40.000; TX1CR2.. SUM((T,GS,MT2,AT),X1CR2(T,GS,MT2,AT)) =L= 40.000; TX1BTA1.. SUM((T,GS,MT1,AT),X1BTA1(T,GS,MT1,AT)) =L= 40.000; TX1BTA2.. SUM((T,GS,MT2,AT),X1BTA2(T,GS,MT2,AT)) =L= 40.000; TX1BTB1.. SUM((T,GS,MT1,AT),X1BTB1(T,GS,MT1,AT)) =L= 40.000; TX1BTB2.. SUM((T,GS,MT2,AT),X1BTB2(T,GS,MT2,AT)) =L= 40.000; TX1CKA1.. SUM((T,GS,MT1,AT),X1CKA1(T,GS,MT1,AT)) =L= 40.000; TX1CKA2.. SUM((T,GS,MT2,AT),X1CKA2(T,GS,MT2,AT)) =L= 40.000; TX1CKB1.. SUM((T,GS,MT1,AT),X1CKB1(T,GS,MT1,AT)) =L= 40.000; TX1CKB2.. SUM((T,GS,MT2,AT),X1CKB2(T,GS,MT2,AT)) =L= 40.000; TX1BKA1.. SUM((T,GS,MT1,AT),X1BKA1(T,GS,MT1,AT)) =L= 40.000; TX1BKA2.. SUM((T,GS,MT2,AT),X1BKA2(T,GS,MT2,AT)) =L= 40.000; * Kendala keseimbangan di Bendung Curug PSBCR(T).. OFJCR(T) =E= (OFCRTB(T)+OFCRTT(T)+OFCRTH(T)); PATB(T).. OFCRTB(T)*CV(T) =E= (WIRCR1(T)+WIRCR2(T)+WDOCR(T)+WINCR(T))+ OFCRL(T)*CV(T); * Kendala keseimbangan di Bendung Cibeet PSBBT(T).. (IFKBT(T)*CV(T)) =E= (WIRBTA1(T)+WIRBTA2(T)+WDOBTA(T)+WINBTA(T))+ OFBTAL(T)*CV(T); * Kendala keseimbangan di pertemuan Beet Tarbar PCRBT(T).. ((OFCRL(T)+OFBTAL(T))*CV(T)) =E= (WIRBTB1(T)+WIRBTB2(T)+WDOBTB(T) + WINBTB(T))+OFBTBL(T)*CV(T); * Kendala keseimbangan di Bendung Cikarang PSBCK(T).. OFBTBL(T)+IFKBT(T) =E= OFCK(T); PACK(T).. OFCK(T) =E= OFCKA(T)+OFCKB(T); PACKA(T).. OFCKA(T)*CV(T) =E= (WIRCKA1(T)+WIRCKA2(T)+WDOCKA(T)+WINCKA(T))+ OFCKAL(T)*CV(T); PACKB(T).. OFCKB(T)*CV(T) =E= (WIRCKB1(T)+WIRCKB2(T)+WDOCKB(T)+WINCKB(T))+ OFCKBL(T)*CV(T); PMCKB(T).. OFCKB(T)*CV(T) =G= (WIRCKB1(T)+WIRCKB2(T)+WDOCKB(T)+WINCKB(T)); * Kendala keseimbangan di Bendung Bekasi PSBBK(T).. OFCKBL(T)+IFKBK(T) =E= OFBK(T); PABK(T).. OFBK(T) =E= OFBKA(T)+OFBKB(T)+OFBKC(T); PABKA(T).. (OFBKA(T)-OFBKAL(T))*CV(T) =E= WIRBKA1(T)+WIRBKA2(T)+WDOBKA(T)+ WINBKA(T); PABKB(T).. (OFBKB(T)-OFBKBL(T))*CV(T) =E= WDOBKB(T); * Kendala Stok Air di Waduk Juanda PSTJ(T).. STJ(T+1) =E= (STJ(T)+(IFJ(T))*CV(T))-(OFJCR(T)*CV(T)); PACR(T).. (OFCRTB(T)+IFKBT(T)+IFKCK(T)+IFKBK(T))*CV(T) =E= (WIRCR1(T)+WIRCR2(T)+WDOCR(T)+WIRBTA1(T)+ WIRBTA2(T)+WIRBTB1(T)+WIRBTB2(T)+WDOBTB(T)+ WINBTA(T)+WINBTB(T)+WIRCKA1(T)+WIRCKA2(T)+
242
WDOCKA(T)+WINCKA(T)+WIRCKB1(T)+WIRCKB2(T)+ WDOCKB(T)+WINCKB(T)+WIRBKA1(T)+WIRBKA2(T)+ WDOBKA(T)+WINBKA(T)+WDOBKB(T))+(OFL(T)*CV(T)); * BOUNDS STJ.FX("01") = 673651.798; STJ.LO(T+1) = STJU(T); YA11.UP(GS) = YRP(GS); YA21.UP(GS) = YRP(GS); YA31.UP(GS) = YRP(GS); YA41.UP(GS) = YRP(GS); YA51.UP(GS) = YRP(GS); YA61.UP(GS) = YRP(GS);
YA12.UP(GS) = YRP(GS); YA22.UP(GS) = YRP(GS); YA32.UP(GS) = YRP(GS); YA42.UP(GS) = YRP(GS); YA52.UP(GS) = YRP(GS); YA62.UP(GS) = YRP(GS);
YA11.LO(GS) = 0.8*YRP(GS); YA21.LO(GS) = 0.8*YRP(GS); YA31.LO(GS) = 0.8*YRP(GS); YA41.LO(GS) = 0.8*YRP(GS); YA51.LO(GS) = 0.8*YRP(GS); YA61.LO(GS) = 0.8*YRP(GS);
YA12.LO(GS) = 0.8*YRP(GS); YA22.LO(GS) = 0.8*YRP(GS); YA32.LO(GS) = 0.8*YRP(GS); YA42.LO(GS) = 0.8*YRP(GS); YA52.LO(GS) = 0.8*YRP(GS); YA62.LO(GS) = 0.8*YRP(GS);
L1.UP(GS,W) = TL(GS,W); L2.UP(GS,W) = TL(GS,W); X1CR1.LO(T,GS,MT1,AT) = WA1(T,GS,MT1,AT); X1CR2.LO(T,GS,MT2,AT) = WA2(T,GS,MT2,AT); X1CR1.UP(T,GS,MT1,AT) = 1.1*WA1(T,GS,MT1,AT); X1CR2.UP(T,GS,MT2,AT) = 1.1*WA2(T,GS,MT2,AT); X2CR.LO(T,GD) = WD0(GD,"CURUG"); X2CR.UP(T,GD) = WDU(GD,"CURUG"); X3CR.LO(T,GI) = WI0(GI,"CURUG"); X3CR.UP(T,GI)= WIU(GI,"CURUG"); X1BTA1.LO(T,GS,MT1,AT) = WA1(T,GS,MT1,AT); X1BTA2.LO(T,GS,MT2,AT) = WA2(T,GS,MT2,AT); X1BTA1.UP(T,GS,MT1,AT) = 1.1*WA1(T,GS,MT1,AT); X1BTA2.UP(T,GS,MT2,AT) = 1.1*WA2(T,GS,MT2,AT); X2BTA.LO(T,GD) = WD0(GD,"CibeetA"); X2BTA.UP(T,GD) = WDU(GD,"CibeetA"); X3BTA.LO(T,GI) = WI0(GI,"CibeetA"); X3BTA.UP(T,GI) = WIU(GI,"CibeetA"); X1BTB1.LO(T,GS,MT1,AT) = WA1(T,GS,MT1,AT); X1BTB2.LO(T,GS,MT2,AT) = WA2(T,GS,MT2,AT); X1BTB1.UP(T,GS,MT1,AT) = 1.1*WA1(T,GS,MT1,AT); X1BTB2.UP(T,GS,MT2,AT) = 1.1*WA2(T,GS,MT2,AT); X2BTB.LO(T,GD) = WD0(GD,"CibeetB"); X2BTB.UP(T,GD) = WDU(GD,"CibeetB"); X3BTB.LO(T,GI) = WI0(GI,"CibeetB"); X3BTB.UP(T,GI) = WIU(GI,"CibeetB"); X1CKA1.LO(T,GS,MT1,AT) = WA1(T,GS,MT1,AT); X1CKA2.LO(T,GS,MT2,AT) = WA2(T,GS,MT2,AT); X1CKA1.UP(T,GS,MT1,AT) = 1.1*WA1(T,GS,MT1,AT); X1CKA2.UP(T,GS,MT2,AT) = 1.1*WA2(T,GS,MT2,AT); X2CKA.LO(T,GD) = WD0(GD,"CikarangA"); X2CKA.UP(T,GD) = WDU(GD,"CikarangA"); X3CKA.LO(T,GI) = WI0(GI,"CikarangA"); X3CKA.UP(T,GI) = WIU(GI,"CikarangA"); X1CKB1.LO(T,GS,MT1,AT) = WA1(T,GS,MT1,AT); X1CKB2.LO(T,GS,MT2,AT) = WA2(T,GS,MT2,AT); X1CKB1.UP(T,GS,MT1,AT) = 1.1*WA1(T,GS,MT1,AT); X1CKB2.UP(T,GS,MT2,AT) = 1.1*WA2(T,GS,MT2,AT);
243
X2CKB.LO(T,GD) = WD0(GD,"CikarangB"); X2CKB.UP(T,GD) = WDU(GD,"CikarangB"); X3CKB.LO(T,GI) = WI0(GI,"CikarangB"); X3CKB.UP(T,GI) = WIU(GI,"CikarangB"); X1BKA1.LO(T,GS,MT1,AT) = WA1(T,GS,MT1,AT); X1BKA2.LO(T,GS,MT2,AT) = WA2(T,GS,MT2,AT); X1BKA1.UP(T,GS,MT1,AT) = 1.1*WA1(T,GS,MT1,AT); X1BKA2.UP(T,GS,MT2,AT) = 1.1*WA2(T,GS,MT2,AT); X2BKA.LO(T,GD) = WD0(GD,"BekasiA"); X2BKA.UP(T,GD) = WDU(GD,"BekasiA"); X2BKB.LO(T,GD) = WD0(GD,"BekasiB"); X3BKA.LO(T,GI) = WI0(GI,"BekasiA"); X3BKA.UP(T,GI) = WIU(GI,"BekasiA"); X2BKB.UP(T,GD) = WDU(GD,"BekasiB"); OFCKB.UP(T) = 24.0000; OFBKB.UP(T) = 20.0000; OFCRTB.UP(T) = 65.0000; OFCRTH.LO(T) = OFCRTHL(T); OFCRTT.LO(T) = OFCRTTL(T); OFCRTT.UP(T) = 90.000; OFCRL.LO(T) = 5.0000; OFBKC.LO(T) = 5.0000; OFL.LO(T) = 5.000; * SOLUTION MODEL MODELDIJ /ALL/; OPTION DECIMALS=4; MODELDIJ.ITERLIM=8000; OPTION NLP=MINOS5; MODELDIJ.OPTFILE=1; SOLVE MODELDIJ USING NLP MINIMIZING OBJ1; SOLVE MODELDIJ USING NLP MAXIMIZING OBJ2;