ANALISIS EKONOMI DAN HIDROLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR WADUK JUANDA OLEH PERUSAHAAN UMUM JASA TIRTA II: PENDEKATAN OPTIMASI DINAMIK
DISERTASI
SLAMETTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ANALISIS EKONOMI DAN HIDROLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR WADUK JUANDA OLEH PERUSAHAAN UMUM JASA TIRTA II: PENDEKATAN OPTIMASI DINAMIK
DISERTASI
SLAMETTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: ANALISIS EKONOMI DAN HIDROLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR WADUK JUANDA OLEH PERUSAHAAN UMUM JASA TIRTA II: PENDEKATAN OPTIMASI DINAMIK merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2012
Slametto NIM A.161040304
ABSTRACT Slametto. Economic and Hydrology Analysis of Water Resources Management Juanda Reservoir by Jasa Tirta II State Corporation: Dynamic Optimization Approach (Yusman Syaukat as Chairman, Wilson H. Limbong and Mochammad Amron as Members of the Advisory Committe). Rapid population growth, urban development, and food demand have increased pressure on water demand over time. The stock of water resources has became limited, not only in terms of quantity, but also quality. This scarcity has increased intersectoral water demand in Jatiluhur Irrigation Area. The objectives of this research are (1) to evaluate of the existing and optimal water allocation, (2) to estimate total net social benefit generated from distributing water by Jasa Tirta II State Corporation, and (3) to evaluate raw water tariffs charged to users, namely electricity generator, municipal water utilities (Jakarta, Karawang, Bekasi, Subang and Indramayu), industries. Primary and secondary data are collected for the period of 10 years and used in this research and a dynamic optimization approach is applied. The study area includes the area of Juanda Reservoir and Jatiluhur Irrigation Areas, which include East Tarum, North Tarum, and West Tarum canals. Water resource user sectors, namely the irrigation sector, water companies regency / municipality sector, industry sector, and the Regional Water Company of Jakarta sector. The analytical method used is a dynamic optimization approach. The results showed that (1) optimal allocation of water to the agricultural sector is more efficient than the actual allocation, so more water can be allocated for the other sectors, (2) simulation on the levels of water allocated for irrigation results in more economic water distribution which generates higher social benefits, and (3) optimal water allocation implies optimal values of water that can be used to determine the tariff of water charges to different users. In order to improve the benefits of water, the Ministry of Public Work should allocate sufficient funding for rehabilitate the infrastructure, including to reduce sedimentation in the dam and its irrigation networks, and second the Jasa Tirta II State
Corporation should include user cost of the water in determining the tariff of water. Key words:
competition, scarce, allocation, value of water, reservoir, optimization.
RINGKASAN Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah pada tahun 1957─1967 yang dilengkapi dengan Waduk Juanda dan sistem irigasi yang mampu mengairi daerah pertanian seluas 240 ribu hektar. Tujuan awal pembangunan Daerah Irigasi Jatiluhur adalah pemanfaatan sumberdaya air sungai Citarum untuk meningkatkan penyediaan pangan dan pengendalian banjir. Sesuai dengan perkembangannya, pemanfaatan air Daerah Irigasi Jatiluhur telah menjadi pemasok air baku bagi kepentingan air minum, rumah tangga, municipal, dan industri serta PLTA. Wilayah sekitar Citarum memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, jumlah penduduk yang besar, dan sumber air yang terus berkurang. Hal ini menimbulkan kelangkaan air dan menjadikannya barang ekonomi (economic good). Di lain pihak, sarana dan prasarana saat ini sudah tidak berfungsi dengan baik. Biaya operasional dan pemeliharaan Perum Jasa Tirta II didapat dari penerimaan para pengguna air dengan tarif yang ditetapkan Pemerintah yang kemungkinan terlalu rendah. Sehubungan dengan itu, tujuan penelitian untuk (1)
membangun model pola alokasi optimal sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur, (2) membandingkan pola distribusi air antara kondisi saat ini dengan beberapa pola alternatif yang dapat meningkatkan manfaat sosial bersih dari sumberdaya air, (3) mengestimasi nilai ekonomi dari sumberdaya air untuk setiap sektor pengguna, dan (4) mengestimasi peningkatan nilai manfaat sosial bersih dari berbagai pola alokasi. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan efisiensi ekonomi tentang pengelolaan sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur agar dapat dimanfaatkan secara optimal. Referensi diambil dari berbagai teori dan hasil penelitian dari para akhli. Selain itu, data terkait dari lapangan tentang sumber daya air turut memberikan masukan untuk mendukung penelitian ini dan teori dan penerapannya tentang marginal cost pricing,
alokasi air, manfaat dan biaya marjinal serta biaya
marjinal pengguna (marginal user cost~MUC), optimasi, manfaat sosial bersih (net social benefit~NSB) turut menjadi dasar penelitian. Dalam membuat fungsi net social benefit sebagai fungsi obyektif yang terkait dengan permintaan dihubungkan dengan fungsi manfaat marjinal dan pasokan berupa volume air bagi para penggunanya yang terkait dengan fungsi biaya marjinal dengan dimensi waktu, sektor, dan wilayah di Daerah Irigasi Jatiluhur. Bentuk fungsi obyektif net social benefit agar dapat memenuhi syarat berupa
kendala (constraint) dan
batasan (bound). Dalam mencapai net social benefit optimum, digunakan persamaan Lagrange dan syarat Khun Tucker. Hal ini menjadi model yang digunakan untuk dapat menghasilkan manfaat, alokasi, dan nilai air yang optimum. Periode waktunya selama 16 tahun, tahun 2010─2025 dalam arti untuk rencana selama 16 tahun ke depan. Agar dapat mengambil keputusan terbaik dan memberikan gambaran pilihan, perlu dibuat skenario kebijakan. Skenario itu dilihat dari sisi tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen dan 10 persen. Masing-masing dilihat bila tingkat diskonto: 5 persen, 10 persen dan 15 persen. Kemudian, dibuat skenario dengan penggunaan air untuk irigasi bila dibuat kuota: 85 persen, 80 persen, 70 persen, atau 60 persen. Sebagai landasan atau ’based line’ untuk memperbandingkan dengan skenario kuota, skenario dibuat dengan tidak menggunakan kuota tetapi diserahkan kepada sistem yang dikenal sebagai Social Planner. Tiap-ttiap skenario dibuat per sektor pengguna
air,
yaitu:
listrik,
irigasi,
Perusahaan
Daerah
Air
Minum
Kabupaten/Kota, industri dan Perusahaan Air Minum DKI Jakarta. Dari sisi wilayah pemasok air, dipilih Waduk Juanda, Tarum Timur, Tarum Utara dan Tarum Barat. Untuk software komputer yang terkait digunakan General Algebraic Modeling System (GAMS). Software GAMS mampu menyelesaikan masalah optimasi termasuk mencari optimasi net social benefit. Adapun hasil proses baik net social benefit, dan alokasi air maupun nilai air optimum sesuai dengan skenario. Net social benefit,
alokasi, dan nilai air
optimum yang akan dipakai sebagai patokan atas berbagai skenario adalah hasil dari Social Planner. Net social benefit optimum pada skenario untuk irigasi 70 persen dan 60 persen di atas atau sama dengan net social benefit Perencana Sosial sehingga hasilnya tidak dapat diterapkan. Namun dengan kondisi riil seperti saat dapat didekati dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen, tingkat diskonto 5 persen dan kuota 85 persen atau 80 persen pengelolaan air di DI Jatiluhur dapat diterapkan dengan beberapa perbaikan. Perbaikan, antara lain, manajemen pengelola, yaitu alokasi dan nilai air yang otimum yang akan menghasilkan net social benefit optimum. Hal tersebut dapat dicapai dengan catatan bahwa infrastruktur perlu diperbaiki dan tarif air perlu ditinjau Kementerian Pekerjaan Umum agar pemanfaatan air dapat lebih efisien.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan
hanya
untuk
kepentingan
pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS EKONOMI DAN HIDROLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR WADUK JUANDA OLEH PERUSAHAAN UMUM JASA TIRTA II: PENDEKATAN OPTIMASI DINAMIK
SLAMETTO
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Anggota Luar Ujian Komisi Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor; 2. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Anggota Luar Ujian Komisi Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Roestam Sjarief, MNRM Komisaris Utama Dewan Komisaris PT Nindya Karya (Persero), Kementerian Pekerjaan Umum; 2. Dr. Ir. Sumaryanto, MS Ketua Kelompok Peneliti Ekonomi Pertanian dan Manajemen Agribisnis, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Judul Disertasi
:
Analisis Ekonomi dan Hidrologi Pengelolaan Sumberdaya Air Waduk Juanda oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II: Pendekatan Optimasi Dinamik
Nama Mahasiswa
:
Slametto
Nomor Pokok
:
A.161040304
Menyetujui : 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Ketua
Prof. Dr. Ir. W. H. Limbong, MS Anggota
Dr. Ir. Mochammad Amron, M.Sc Anggota
Mengetahui :
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian,
3. Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 17 Januari 2012
Tanggal Pengesahan :
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat dan kasih-Nya, disertasi ini dapat diselesaikan. Tujuan penelitian adalah menghasilkan bahan guna melakukan efisiensi ekonomi tentang pengelolaan sumberdaya air Waduk Juanda. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah untuk (1) membangun model pola alokasi optimal sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur, (2) membandingkan pola distribusi air antara kondisi saat ini dengan beberapa pola alternatif yang adapt meningkatkan manfaat sosial bersih dari sumberdaya air, (3) mengestimasi nilai ekonomi dari sumberdaya air untuk setiap sektor pengguna, dan (4) mengestimasi peningkatan nilai manfaat sosial bersih dari berbagai pola alokasi. Analisis dilakukan dengan menggunakan data primer dan sekunder dari berbagai sumber, sedangkan metodenya menggunakan pendekatan optimasi dinamik. Pada kesempatan ini penulis bermaksud menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada: 1.
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec sebagai ketua Komisi Pembimbing, yang telah mengarahkan penulis sejak penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian sampai dengan selesainya penyusunan disertasi sekaligus membimbing pemodelan dengan optimasi dinamik menggunakan program GAMS dengan penuh kesabaran;
2.
Prof. Dr. Ir. W. H. Limbong, MS sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan pengarahan permasalahan ekonomi dan penulisan disertasi serta dukungannya dengan tanpa lelah;
3.
Dr. Ir. Mochammad Amron, M.Sc sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing penulis mulai dari permasalahan teknis hidrologi dan penyusunan proposal hingga penyelesaian disertasi;
4.
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA sebagai ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB, serta dosen-dosen di program studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB, yang selalu mendorong penulis untuk segera menyelesaikan studi ini;
5.
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, dan Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS sebagai penguji luar komisi ujian tertutup;
6.
Dr. Ir. Roestam Sjarief, MNRM, dan Dr. Ir. Sumaryanto, MS sebagai penguji luar komisi ujian terbuka;
7.
Rekan-rekan Program Studi S3 EPN Khusus, Angkatan II dan Angkatan Reguler yang selalu memberikan motivasi dan saran dalam kaitannya dengan penyelesaian disertasi dan studi ini;
8.
Rekan-rekan di Sekretariat EPN, yang selalu memberi motivasi dan membantu kelancaran administrasi;
9.
Rekan-rekan Mahasiswa S1, S2, S3, dan Alumni IPB yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu studi kami di S3 Institut Pertanian Bogor;
10. Jajaran direksi, pejabat, dan karyawan Perusahaan Umum Jasa Tirta II atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian; 11. Isteri serta anak-cucu tercinta yang dengan pengertiannya telah dengan sabar menunggu. Kepada semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, selain terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya,
juga doa semoga Tuhan Yang Maha Esa yang membalas. Penulis menyadari bahwa penelitian ini tentu masih belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan masukan dari para pembaca untuk kesempurnaan penelitian sejenis atau terkait di masa datang akan berguna. Penulis berharap agar penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor,
Januari 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Juni1945 di Klaten dan memiliki orang tua
yang
bernama
Moeslam
Sonosuwarno
(Almarhum)
dan
Lasiyem
Sonosuwarno (Almarhumah). Pendidikan Strata 1 diperoleh pada tahun 1973 pada jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada. Pendidikan Strata 2 diperoleh pada tahun 1997 pada program Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung. Dilanjutkan sebagai mahasiswa program Strata 3 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Tahun 2004. Pada tahun 1973 penulis mulai bekerja di Departemen Pekerjaan Umum sebagai Counterpart Konsultan Proyek Irigasi bantuan Internationl Development Agency. Tahun 2004─2010 sebagai Direktur Pengelolaan Perum Jasa Tirta II Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat dan kasih-Nya, disertasi ini dapat diselesaikan. Tujuan penelitian adalah menghasilkan bahan guna melakukan efisiensi ekonomi tentang pengelolaan sumberdaya air Waduk Juanda. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah untuk (1) membangun model pola alokasi optimal sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur, (2) membandingkan pola distribusi air antara kondisi saat ini dengan beberapa pola alternatif yang adapt meningkatkan manfaat sosial bersih dari sumberdaya air, (3) mengestimasi nilai ekonomi dari sumberdaya air untuk setiap sektor pengguna, dan (4) mengestimasi peningkatan nilai manfaat sosial bersih dari berbagai pola alokasi. Analisis dilakukan dengan menggunakan data primer dan sekunder dari berbagai sumber, sedangkan metodenya menggunakan pendekatan optimasi dinamik. Pada kesempatan ini penulis bermaksud menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada: 1.
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec sebagai ketua Komisi Pembimbing, yang telah mengarahkan penulis sejak penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian sampai dengan selesainya penyusunan disertasi sekaligus membimbing pemodelan dengan optimasi dinamik menggunakan program GAMS dengan penuh kesabaran;
2.
Prof. Dr. Ir. W. H. Limbong, MS sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan pengarahan permasalahan ekonomi dan penulisan disertasi serta dukungannya dengan tanpa lelah;
3.
Dr. Ir. Mochammad Amron, M.Sc sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing penulis mulai dari permasalahan teknis hidrologi dan penyusunan proposal hingga penyelesaian disertasi;
4.
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA sebagai ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB, serta dosen-dosen di program studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB, yang selalu mendorong penulis untuk segera menyelesaikan studi ini;
5.
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, dan Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS sebagai penguji luar komisi ujian tertutup;
6.
Dr. Ir. Roestam Sjarief, MNRM, dan Dr. Ir. Sumaryanto, MS sebagai penguji luar komisi ujian terbuka;
7.
Rekan-rekan Program Studi S3 EPN Khusus, Angkatan II dan Angkatan Reguler yang selalu memberikan motivasi dan saran dalam kaitannya dengan penyelesaian disertasi dan studi ini;
8.
Rekan-rekan di Sekretariat EPN, yang selalu memberi motivasi dan membantu kelancaran administrasi;
9.
Rekan-rekan Mahasiswa S1, S2, S3, dan Alumni IPB yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu studi kami di S3 Institut Pertanian Bogor;
10. Jajaran direksi, pejabat, dan karyawan Perusahaan Umum Jasa Tirta II atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian; 11. Isteri serta anak-cucu tercinta yang dengan pengertiannya telah dengan sabar menunggu. Kepada semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, selain terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya,
juga doa semoga Tuhan Yang Maha Esa yang membalas. Penulis menyadari bahwa penelitian ini tentu masih belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan masukan dari para pembaca untuk kesempurnaan penelitian sejenis atau terkait di masa datang akan berguna. Penulis berharap agar penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor,
Januari 2012
8.4
Saran Penelitian Lanjutan Agar diperoleh model yang dapat menangkap semua fenomena yang ada,
model ASDIJ dapat dikembangkan lebih lanjut dengan memasukkan, yaitu: 1.
Memperluas pembuatan model untuk mencari nilai air yang sesungguhnya, dengan menambah variabel faktor investasi, biaya ekstrasi, biaya manajemen dan biaya lingkungan dimasukkan.
2.
Memperluas pembuatan model dengan menambah variabel untuk mencari nilai air yang memberikan keseimbangan antar pengguna baik dari segi jarak maupun besaran penggunaan air.
3.
Mempertajam kendala dengan menambah variabel sumberdaya yang ada di Daerah Irigasi Jatiluhur sehingga dapat memberikan output yang lebih akurat.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................
xx
DAFTAR GAMBAR ........................................................................
xxii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................
xxiii
I. PENDAHULUAN .............................................................................
1
1.1 Latar Belakang .............................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah .....................................................................
6
1.3 Tujuan Penelitian .........................................................................
11
1.4 Kegunaan Penelitian ....................................................................
11
1.5 Ruang Lingkup.............................................................................
12
1.6 Keterbatasan Penelitian ...............................................................
12
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
13
2.1 Kelangkaan Air .............................................................................
13
2.2 Alokasi Sumber Daya Air.............................................................
15
2.2.1 Efisiensi Produksi ................................................................
18
2.2.2 Efisiensi Konsumsi ..............................................................
18
2.2.3 Efisiensi Harga ....................................................................
18
2.3 Penentuan Harga Air: Tanpa dan Dengan Eksternalitas ...............
19
2.4 Permintaan dan Penawaran Air .....................................................
21
2.5 Penentuan Harga Air .....................................................................
25
2.5.1 Penetapan Harga Air Berdasarkan Areal .............................
28
2.5.2 Penetapan Harga Air Berdasarkan Volume .........................
31
2.5.3 Penetapan Harga Air Berdasarkan Blok ..............................
32
2.5.4 Tarif Dua Bagian .................................................................
33
2.5.5 Pasar Air ..............................................................................
35
2.5.6 Metode Cost Recovery ........................................................
37
2.6 Penelitian Terdahulu: Model Pengelolaan Sumberdaya Air ……
41
2.6.1 Pemodelan Pengelolaan Air ................................................
42
xv
2.6.2 Model Dong Nai River Basin ..............................................
44
2.6.3 Model Alokasi Air untuk Wilayah Jakarta .........................
52
2.6.4 Model Pengelolaan Sumber Daya Air di Wilayah Tangkapan Air Bendungan Sutami dan Sengguruh ...........
56
2.6.5 Model Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Kompetisi antar Sektor di Wilayah Hilir Daerah Irigasi Jatiluhur .......
62
2.6.6 Matrik Model Pengelolaan Satuan Wilayah Sungai ...........
68
III. KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................
71
3.1 Kerangka Teoretis .........................................................................
71
3.1.1 Teori Model Optimasi Dinamik ..........................................
71
3.1.2 Konsep Manfaat dalam Alokasi Sumber Daya Air .............
72
3.1.3 Pendekatan Indek Permintaan dan Nilai Air .......................
76
3.1.3.1 Indek Permintaan Air oleh Pengguna .....................
76
3.1.3.2 Efisiensi Produksi Air di Saluran ...........................
76
3.1.3.3 Fungsi Obyektif ......................................................
77
3.1.3.4 Nilai Air Baku .........................................................
78
3.1.3.5 Tarif Berganda ........................................................
79
3.1.3.6 Teori Harga Ramsey ...............................................
80
3.2 Kerangka Pemodelan ....................................................................
83
IV. MODEL KONSEPTUAL ALOKASI SUMBER DAYA AIR DI DAERAH IRIGASI JATILUHUR ............................................
88
4.1 Fungsi Manfaat Marjinal ..............................................................
88
4.2 Penerimaan Total Perusahaan Umum Jasa Tirta II ......................
89
4.3 Manfaat Total Pengguna Air ........................................................
91
4.3.1 Manfaat Total Sektor Pembangkit Listrik Tenaga Air .......
92
4.3.2 Manfaat Total Sektor Irigasi ...............................................
93
4.3.3 Manfaat Total Sektor Perusahaan Daerah Air Minum untuk Kabupaten/Kota ........................................................
93
4.3.4 Manfaat Total Sektor Industri .............................................
94
4.3.5 Manfaat Total Sektor Perusahaan Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta .......................................................
94
4.3.6 Manfaat Total Pengguna Air ...............................................
95
xvi
4.4 Total Biaya Pengguna Air ...........................................................
96
4.4.1 Total Biaya .........................................................................
96
4.4.2 Biaya Produksi Pembangkit Listrik Tenaga Air ................
97
4.4.3 Biaya Distribusi Air untuk Irigasi ......................................
97
4.4.4 Biaya Pasok Air Baku ke Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten/Kota .................................................................
97
4.4.5 Biaya Pasok Air Baku ke Sektor industri ..........................
98
4.4.6 Biaya Pasok Air Baku ke Perusahaan Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta ......................................................
98
4.4.7 Biaya Total Seluruh Pengguna Air ....................................
98
4.5 Fungsi Tujuan ..............................................................................
99
4.5.1 Model Alokasi Sumber Daya Air Jatiluhur .......................
100
4.5.2 Nilai Sekarang Manfaat Sosial Bersih ...............................
101
4.6 Kendala Air dari Waduk .............................................................
101
4.6.1 Kendala Penyimpanan Air di Waduk ................................
102
4.6.2 Kendala Waduk .................................................................
102
4.6.3 Air di Pengguna dan Air Dibuang ke Laut ........................
103
4.7 Batasan ........................................................................................ V. METODE PENELITIAN ................................................................
104 105
5.1 Wilayah Penelitian ......................................................................
105
5.2 Metoda Pengumpulan Data .........................................................
105
5.3 Asumsi-Asumsi Dasar Pemodelan ..............................................
106
5.3.1 Asumsi Sistem Irigasi ........................................................
106
5.3.2 Asumsi Perhitungan Air ....................................................
107
5.3.3 Asumsi Tinggi Muka Air Waduk Juanda ..........................
109
5.3.4 Asumsi Kategori Pengguna Air Waduk Juanda ................
112
5.4 Metoda Analisis ...........................................................................
115
5.4.1 Analisis Model ...................................................................
117
5.4.2 Hubungan Manfaat Marjinal, Biaya Marjinal, dan Biaya Marjinal Pengguna di Sektor-Sektor .......................
121
5.4.2.1 Sektor Listrik ........................................................
121
5.4.2.2 Sektor Irigasi .........................................................
121
xvii
5.4.2.3 Sektor Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten/Kota .....................................................
121
5.4.2.4 Sektor Industri .......................................................
121
5.4.2.5 Sektor Perusahaan Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta ......................................................
122
5.4.3 Estimasi Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal ................
122
5.4.4 Estimasi Aloaksi Air .........................................................
122
5.4.4.1 Kuota Air Untuk Irigasi ........................................
123
5.4.4.2 Alokasi Pengguna Air Non Irigasi ........................
123
5.4.4.3 Proporsi Pengguna Air ..........................................
123
5.4.5 Konsep Analisis Ekonomi .................................................
124
5.4.5.1 Nilai Sekarang Manfaat Bersih Optimal ...............
124
5.4.5.2 Manfaat Bersih Parsial ..........................................
124
5.4.5.3 Perbandingan Manfaat Antara Kondisi Riil dengan Model ........................................................
124
5.4.5.4 Manfaat dan Biaya Marjinal serta Biaya Marjinal Pengguna ...............................................................
125
5.5 Skenario-Skenario Kebijakan ......................................................
125
5.5.1 Skenario Kebutuhan Air untuk Irigasi ...............................
126
5.5.2 Skenario Kondisi Saat Kini atau Status Quo .....................
126
5.5.3 Skenario Sesuai Perencana Sosial .....................................
127
5.5.4 Skenario Kuota Masing-Masing Sektor ............................
127
5.5.5 Pengukuran Model untuk Setiap Skenario ........................
128
VI. GAMBARAN UMUM DAERAH IRIGASI JATILUHUR……..
131
6.1 Perekonomian Wilayah Jawa Barat dan Wilayah Sekitar Daerah Irigasi Jatiluhur ................................................................
131
6.2 Kondisi Sumber Air di Daerah Irigasi Jatiluhur ..........................
135
6.3 Tata Guna Lahan Daerah Irigasi Jatiluhur ...................................
137
6.4 Status dan Perkembangan Pengelolaan Daerah Irigasi Jatiluhur.
139
6.5 Waduk Juanda .............................................................................
140
6.6 Sektor dan Wilayah Daerah Irigasi Jatiluhur ..............................
143
6.7 Perusahaan Umum Jasa Tirta II ..................................................
146
6.7.1 Dasar Hukum .....................................................................
146
xviii
6.7.2 Tugas dan Wewenang Perusahaan Umum Jasa Tirta II ....
147
6.7.3 Penerimaan dan Pembiayaan Perusahaan Umum Jasa Tirta II................................................................................
149
6.7.4 Penetapan Tarif Air ...........................................................
152
6.8 Kehilangan Air di Daerah Irigasi Jatiluhur .................................
153
VII. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................
155
7.1 Net Social Benefit dari Fungsi Obyektif ......................................
155
7.1.1 Nilai Obyektif Setiap Skenario ..........................................
155
7.1.2 Efisiensi Ekonomi ..............................................................
160
7.1.3 Benefit/Cost Ratio............................................................... 7.2 Alokasi Air Optimum ..................................................................
163
7.3 Nilai Air Berdasarkan Manfaat Marjinal .....................................
169
7.3.1 Nilai Air Irigasi ..................................................................
169
7.3.2 Nilai Air Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten /Kota ..................................................................................
169
7.3.3 Nilai Air Industri ...............................................................
170
7.3.4 Nilai Air Perusahaan Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta ................................................................................
172
7.3.5 Nilai Air Pembangkit Listrik Tenaga Air ..........................
172
7.4 Biaya Marjinal .............................................................................
174
7.5 Biaya Marjinal Pengguna ............................................................
174
163
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
173
8.1 Simpulan .....................................................................................
173
8.2 Saran Kebijakan ...........................................................................
173
8.3 Implikasi Kebijakan .....................................................................
174
8.4 Saran Penelitian Lanjutan ............................................................ DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ LAMPIRAN ......................................................................................
xix
176 183 189
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Keuntungan dan Kerugian Perusahaan Umum Jasa Tirta II Menurut Wilayah Tahun 2001─2007 ....................................
3
2. Matrik Perbandingan Model Pengelolaan Air Secara Ekonomi ................................................................................
69
3. Matrik Volume Air ke Sektor Pengguna dari Wilayah Pemasok ................................................................................
91
4. Koefisien Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Kuota Irigasi 60 Persen dan 70 Persen .............................................
129
5. Koefisien Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Kuota Irigasi 80 Persen, 85 Persen, dan Perencana Sosial ..............
139
6. Laju Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Tahun 2003-2007..
131
7. Produk Domestik Regional Bruto Jawa Barat Tahun 2003-2007 ..................................................................
132
8. Kondisi Perekonomian Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun 2001-2007 ..................................................................
133
9. Proyeksi Penduduk di Daerah Irigasi Jatiluhur .....................
134
10. Proyeksi Permintaan Air Baku ..............................................
135
11. Rata-Rata Aliran Sungai Citarum .........................................
137
12. Sawah Irigasi Teknis di Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun 2001-2007 ..................................................................
138
13. Rata-Rata Air Keluar dari Waduk Juanda Tahun 2001-2007
141
14. Rata-Rata Jumlah Air dari Wilayah ke Sektor Tahun 2001-2007 ..................................................................
145
15. Biaya Operasi/Pemeliharaan dan Penerimaan Perusahaan Umum Jasa Tirta II Tahun 2001-2007 ..................................
151
16. Tarif Listrik, Perusahaan Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Perusahaan Air Minum Kabupaten/Kota, Industri, dan Irigasi Tahun 2001-2007 .................................. xx
152
17. Rekapitulasi Asummsi Efisiensi Irigasi dan Saluran Induk.....................................................................................
153
18. Nilai Sekarang Total Manfaat Bersih Fungsi Obyektif ........
156
19. Persentase Perubahan Total Manfaat Bersih Optimum ........
160
20. Jumlah Air Selama 16 Tahun (2010-2025) Per Sektor menurut Skenario pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen ................................
164
21. Alokasi Optimum Per Sektor dan Per Wilayah....................
167
22. Nilai Air Menurut Perencana Sosial pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen ...................................................................................
171
23. Penerimaan Menurut Perencana Sosial dan Perusahaan Umum Jasa Tirta II ..............................................................
173
24. Biaya Marjinal Estimasi Perencana Sosial pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen ................................................................................
175
25. Biaya Marjinal Pengguna Menurut Perencana Sosial pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen .................................................................
177
xxi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Diagram Kotak Edgeworth Pertukaran ..............................
16
2. Marginal Rate of Transformation dan Marginal Rate of Technical Substitution........................................................
19
3. Alokasi Optimal Berdasarkan Marjinal Cost Pricing …...
20
4. Permintaan dan Penawaran Air .........................................
22
5. Sistem Harga Dual Air .......................................................
23
6. Sistem Harga Dual Air Rasionalisasi Pengguna Urban ....
24
7. Komponen Model, Model Integrasi Hidrolis, dan Ekonomi Pada Satuan Wilayah Sungai di Dong Nai Basin ..................................................................................
45
8. Manfaat Marjinal, Biaya Marjinnal dan Biaya Marjinal Pengguna ............................................................................
78
9. Ilustrasi Multipart Tarif Decreasing-Block Tariff .............
80
10. Kerangka Pemodelan Penyaluran Sumber Daya Air di Daerah Irigasi Jatiluhur ......................................................
84
11. Tampungan dan Tinggi Muka Air Waduk Juanda ............
110
12. Perilaku Outflow Waduk Juanda Tahun 1993-2008 ..........
111
13. Skema Sistem Pengairan Jatiluhur .....................................
144
14. Benefit/Cost Ratio Menurut Kuota Air untuk Irigasi 85 Persen, 80 Persen dan Perencana Sosial pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen ................................................................................
165
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Tabel Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Pengguna Per Sektor Per Wilayah dari Status Quo Pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen .....................................................................................
189
2. Tabel Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Pengguna Per Sektor Per Wilayah dari Kuota Air Irigasi 80 Persen Pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen ..................................................................
190
3. Grafik Alokasi Air Optimal Berdasar Status Quo Untuk Tiap Sektor Pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen .............................................
191
4. Grafik Alokasi Air Optimal Berdasar Perencana Sosial Untuk Tiap Sektor Pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen ...................................
192
5. Grafik Alokasi Air Optimal Berdasar Kuota Air Irigasi 80 Persen Untuk Tiap Sektor Pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen ................
193
6.
Peta Daerah Irigasi Jatiluhur ..................................................
194
7. Contoh Listing Program GAMS Untuk Memecahkan Optimasi Dinamik dengan Model (ASDIJ) dari Skenario Perencana Sosial Pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen ...................................
195
xxiii
1
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Daerah Aliran Sungai Citarum Provinsi
Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1957─1967 yang dilengkapi dengan Waduk Juanda dan sistem irigasi yang mampu mengairi daerah pertanian seluas kurang lebih 240 000 hektar. Tujuan awal pembangunan Daerah Irigasi Jatiluhur adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya terkait dengan (1) penyediaan pangan yang dilakukan melalui peningkatan produktivitas lahan dan pemanfaatan sumberdaya air sungai Citarum, dan (2) pengendalian banjir. Sejalan dengan perkembangannya, pemanfaatan Daerah Irigasi Jatiluhur telah berubah dari tujuan awalnya, yaitu sebagai pemasok air bagi kepentingan air minum, rumah tangga, municipal, dan industri (domestic, municipal, and industry-DMI), serta pembangkit listrik tenaga air (PLTA) (Perum Jasa Tirta II, 2007). Seiring dengan perkembangan nasional dan daerah, wilayah Daerah Irigasi Jatiluhur secara perlahan tumbuh menjadi wilayah perkotaan dan industri dengan jumlah penduduk yang meningkat pesat, yang menuntut kebutuhan akan air yang lebih besar bila dibandingkan keadaan sebelumnya. Ketersediaan sumberdaya air di wilayah tersebut menjadi sangat penting untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan sehingga mampu memberikan kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik regional maupun nasional. Pelayanan irigasi Daerah Irigasi Jatiluhur telah memberikan sumbangan terhadap peningkatan
2
produksi pertanian, terutama padi, sebesar 6 persen dari stok pangan nasional (BPS, 2004). Pengelola sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur sampai saat ini dilaksanakan oleh berbagai institusi, dimana pelaksanaannya belum sesuai dengan yang diharapkan seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air yang mengacu pada pengelolaan sumberdaya air secara terpadu dengan mempertimbangkan penggunaan sumberdaya tersebut dalam kaitannya dengan kegiatan dan fungsi sosial dan ekonomi, serta prasarana pengairan yang diperlukan. Hal ini tampak dari sarana pelayanan irigasi dan nonirigasi sudah berumur 50 tahun dan sudah tidak berfungsi dengan baik karena pemeliharaan yang kurang optimal. Dengan unit pembangkit listrik tenaga air juga sudah berumur 50 tahun itu, biaya operasi dan pemeliharaannya semakin tinggi sehingga efisiensi penggunaan pembangkit listrik tenaga air sudah menurun. Pada musim kemarau sumber air telah berkurang yang menyebabkan penurunan kapasitas saluran akibat sedimentasi dan banyaknya air yang hilang sebagai konsekuensi dari rusaknya saluran. Penerimaan Perusahaan Umum Jasa Tirta II bersumber dari air di Waduk Juanda yang menghasilkan listrik dari pembangkit listrik tenaga air, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, dan industri, yang digunakan untuk kegiatan operasi dan pemeliharaan setiap tahunnya ternyata tidak mencukupi. Penerimaan dari pembangkit listrik tenaga air dan Perusahaan Air Minum DKI Jakarta lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan, tetapi penerimaan dari perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan industri lebih kecil dari pada biaya yang dikeluarkan Perusahaan Umum pemeliharaan (Tabel 1).
Jasa Tirta II untuk biaya operasi dan
3
Tarif yang diberlakukan tidak berdasarkan pada tarif seperti yang diharapkan, tetapi merupakan penetapan Pemerintah tanpa mempertimbangkan biaya riil operasi dan pemeliharaan untuk pengelolaan sarana dan prasarana air tersebut. Rendahnya penerimaan Perusahaan Umum Jasa Tirta II disebabkan oleh penentuan tarif listrik, air baku untuk Perusahaan Air Minum DKI Jakarta dan perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, serta industri tarifnya ditetapkan Pemerintah yang diperkirakan terlalu rendah. Tabel 1. Keuntungan dan Kerugian Perum Jasa Tirta II Menurut Wilayah Tahun 2001-2007 Nilai Keuntungan dan Kerugian (Rp miliar) No.
Wilayah 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
1.
PLTA
66.99
77.21
40.18
60.14
87.90
87.43
87.33
2.
Tarum Timur
-1.66
-1.46
-2.64
-1.49
-3.73
-4.30
-4.30
3.
Tarum Utara
-6.44
-5.45
-6.61
-6.90
-8.47
-9.48
-10.27
4.
Tarum Barat
-9.71
-8.98
-9.23
-9.68
-12.82
-7.64
-15.90
5.
Perusahaan Air Minum DKI Jakarta
13.74
18.06
25.04
27.73
35.98
45.92
45.53
6.
Total
62.92
79.38
46.73
69.81
98.86
111.92
102.37
Sumber: Perusahaan
Umum Jasa Tirta II, 2008
Sebagai contoh tarif yang ditetapkan pemerintah, untuk listrik sebesar Rp 137.77/kWh, Perusahaan Air Minum DKI Jakarta sebesar Rp 127.23/m3, sementara itu, tarif perusahaan daerah air minum kabupaten/kota sebesar Rp 45/m3 dan tarif industri sebesar Rp 50/m3. (Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008). Untuk kepentingan irigasi, menurut Undang-undang tidak dikenakan tarif. Akibatnya Perusahaan Umum Jasa Tirta II tidak mampu melaksanakan tugas
4
dalam melakukan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi di Daerah Irigasi Jatiluhur untuk dapat memasok air kepada semua pemangku kepentingan dengan baik. Biaya operasi dan pemeliharaan yang dikeluarkan oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II selama 7 tahun, bukan merupakan biaya operasi dan pemeliharaan yang seharusnya, melainkan biaya yang disesuaikan dengan kondisi keuangan perusahaan terutama biaya pemeliharaan yang bersifat darurat, misalnya mengurangi kebocoran di seluruh jaringan(Perusahaan Umum
Jasa Tirta II,
2008). Kegiatan operasi diutamakan untuk mengatur air agar tidak terjadi konflik kepentingan, melakukan alokasi air agar dapat dilakukan secara efisien, dan melaksanakan pengawasan terhadap masyarakat dalam pemanfaatan air. Pemeliharaan dilakukan terhadap prasarana yang ada agar saluran dapat berfungsi lebih baik. Pemeliharaan yang bersifat permanen dan rehabilitasi infrastruktur di Daerah Irigasi Jatiluhur masih ditangani oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Infrastruktur yang ada ketika penelitian ini dilakukan hanya berfungsi sekitar 60─70 persen dari kondisi ideal (Nippon Koei, 2006). Nippon Koei mengemukakan bahwa biaya untuk pemeliharaan dan rehabilitasi seluruh komponen jaringan irigasi yang menjadi tanggung jawab perusahaan belum dapat dilakukan, sedangkan rehabilitasi saluran induk Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat, serta saluran sekundernya agar dapat berfungsi ke kondisi ideal ternyata memerlukan biaya lebih dari US$200.00 juta yang dilaksanakan selama 5 tahun. Kondisi sarana yang kurang memadai, karena menurunnya debit sungai Citarum dan mengeringnya sungai-sungai lain di Daerah Irigasi Jatiluhur, terutama pada musim kemarau, telah mengakibatkan pelayanan Perusahaan
5
Umum Jasa Tirta II tidak dapat menjangkau seluruh wilayah pelayanan untuk semua sektor, khususnya irigasi. Permintaan akan air baku untuk sektor perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan industri dari tahun ke tahun meningkat terus. Perusahaan Umum Jasa Tirta II telah melakukan perjanjian kerja sama dengan perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan industri. Pasokan air ke pengguna tersebut akan menjadi prioritas dan memberikan penerimaan yang dapat digunakan untuk menutupi biaya operasional perusahaan. Hal ini menimbulkan konflik kepentingan antara perusahaan dan sektor-sektor pengguna air (Katiandagho, 2007).
Kondisi ini membutuhkan pengelolaan
sumberdaya air secara lebih efisien untuk memenuhi seluruh sektor pengguna air, baik pertanian maupun non pertanian. Perum Jasa Tirta II mempunyai peran yang penting dalam mengelola sumberdaya air tersebut. Peningkatan penduduk dan pertumbuhan perkotaan di sekitar Daerah Irigasi Jatiluhur telah menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air. Selain debit dan sarana yang menjadi penyebab layanan kurang maksimal, pertambahan penduduk di wilayah hilir Sungai Citarum menyebabkan peningkatan permintaan air terutama dari sektor non-pertanian. Jumlah penduduk yang terus meningkat dan pertumbuhan di bidang industri menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan air. Sistem jaringan yang semula dirancang untuk penyediaan air irigasi, sebagian dialihkan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan industri. Oleh sebab itu, air di wilayah Sungai Citarum menjadi sumberdaya yang langka (scarce) dan telah menjadi komoditas ekonomi yang mempunyai posisi strategis dan menjadi suatu ‘bisnis yang serius’ (Bloomquist, 1992). Wilayah sekitar Citarum yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
6
jumlah penduduk yang besar, dan kurang memiliki sumber air, menimbulkan peluang bagi air untuk diperlakukan sebagai barang ekonomi (economic good) sebagaimana yang diproklamasikan di dalam konferensi air di Dublin, Irlandia pada tahun 1992. Dengan demikian, wilayah sekitar Citarum dan DKI Jakarta merupakan pasar air (water market) bagi air Sungai Citarum dan air akan mempunyai nilai yang cukup berarti. Permasalahan yang dialami penyediaan air di Waduk Juanda (Jatiluhur) juga terjadi di berbagai negara lainnya, seperti Bendungan Aswan di Sungai Nil, Mesir, peningkatan penduduk, pertumbuhan perkotaanm, dan indusrinya menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air. Sistem jaringan yang dirancang untuk penyediaan air untuk irigasi dialihkan sebagian untuk memenuhi kebutuhan domestik dan industri. Peralihan itu telah menyebabkan kelangkaan air dan air menjadi barang ekonomi. Penetapan besaran nilai air dan alokasinya untuk setiap sektor menjadi permasalahan pengelola (Barder, 2004). Permasalahan yang sama terjadi juga di Daerah Irigasi Kirindi Oya, India, yang sumber airnya berasal dari Waduk Lunuganwehera. Waduk ini mengairi 5 400 hektar dengan kapasitas waduk 227 juta meter kubik dan kapasitas terpakai mencapai 200 juta meter kubik. Perubahan penggunaan air terjadi juga di daerah irigasi ini dan ditanggapi dengan perubahan sistem jaringan dimana jaringan dibagi dua, yaitu untuk memasok kebutuhan domestik, industri dan irigasi .
1.2
Perumusan Masalah Ketika kebutuhan air non-pertanian mengalami peningkatan yang pesat,
pengalokasian air bagi sektor pertanian justru mengalami penurunan meskipun
7
masih menjadi pemakai air terbesar. Proporsi pengalokasian air dari Waduk Juanda selama 7 tahun dari tahun 2001─2007 untuk wilayah Tarum Timur ratarata 28 persen, untuk Tarum Utara rata-rata sebesar 42 persen, dan untuk ke Tarum Barat sebesar 29 persen. Pemanfaaatan air untuk sektor-sektor, rata-rata di Tarum Timur sektor pertanian mencapai 94 persen, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota sebesar 1 persen dan industri sebesar 5 persen. Di Tarum Utara, sektor
pertanian
mencapai
98
persen,
perusahaan
daerah
air
minum
kabupaten/kota sebesar 0.1 persen, dan industri sebesar 1 persen. Di Tarum Barat, sektor pertanian mencapai 59 persen, Perusahaan Air Minum DKI Jakarta sebesar 34 persen, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota sebesar 2 persen, dan industri sebesar 5 persen (Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008). Produksi pembangkit listrik tenaga air tergantung kepada kebutuhan air yang diperlukan untuk irigasi, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan industri di wilayah hilir. Pada waktu air keluar dari waduk terlebih dahulu dilewatkan melalui pembangkit listrik tenaga air sehingga menghasilkan listrik dan memberikan kontribusi nyata terhadap pendapatan Perusahaan Umum Jasa Tirta II, disamping pendapatan dari
industri, perusahaan daerah air minum
kabupaten/kota, dan industri (Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2007). Pasokan air yang dilakukan oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II selama ini untuk memenuhi kebutuhan sektor pengguna belum diperhitungkan sebagai suatu kegiatan ekonomi, dimana dari aktivitas pasokan air ini menghasilkan manfaat bagi pengguna, baik untuk sektor pertanian dan non-pertanian seperti perusahaan daerah air minum kabupaten/kota maupun industri. Penerimaan pengelola berupa biaya jasa pengelolaan sumberdaya air dimaksudkan untuk membiayai operasi dan
8
pemeliharaan, karena diharapkan penerimaan dari air selayaknya harus kembali ke air artinya untuk biaya operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana sistem jaringan di Daerah Irigasi Jatiluhur. Meskipun ketiga sektor pengguna air di Daerah Irigasi Jatiluhur menggunakan air sebagai salah satu input produksinya, yang memberikan nilai ekonomi terhadap input tersebut hanya sektor domestik dan industri, sedangkan sektor pertanian tidak. Penentuan tarif air baku untuk domestik dan industri tersebut berdasarkan pada penetapan dari Menteri atas usulan Gubernur Jawa Barat. Tarif air untuk industri, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota sudah 5 tahun, yaitu tahun 2003─2007 tidak mengalami perbaikan tarif. Tarif air untuk irigasi adalah nol, alias gratis. Hal ini mengakibatkan tugas dan fungsi Perusahaan Umum Jasa Tirta II dalam memberikan pelayanan menjadi kurang optimum. Air untuk sektor pertanian walaupun menurut Undang-Undang, petani tidak dipungut biaya jasa pengelolaan sumberdaya air oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II, seyogyanya Pemerintah dapat mengganti biaya jasa pengelolaan sumberdaya air untuk operasi dan pemeliharaan irigasi karena 80-90 persen air dari waduk Jatiluhur yang dikelola oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II yang digunakan untuk kepentingan sektor pertanian. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air menyatakan bahwa pengguna sumberdaya air di sektor pertanian tidak dapat dipungut biaya jasa pengelolaan sumberdaya air. Tidak dipungutnya biaya jasa pengelolaan sumberdaya air pada sektor pertanian berakibat pada pandangan para petani terhadap sumberdaya air sebagai sumberdaya yang berlimpah dan tidak memiliki nilai ekonomi sehingga berimplikasi pada penggunaan air secara berlebihan (tidak efisien) dan tidak
9
terkendali. Penggunaan air yang tidak terkendali oleh sektor pertanian akan berakibat berkurangnya ketersediaan air di waduk. Salah satu fungsi waduk adalah sebagai penyimpan cadangan air ketika musim kemarau. Berkurangnya ketersediaan air di waduk di musim kemarau, akan menyebabkan kelangkaan air. Selain itu, berkurangnya ketersediaan air di waduk dapat mempengaruhi kelestarian waduk, yang akan menyebabkan kerugian yang lebih besar akibat rusaknya bangunan waduk. Selain itu, tidak adanya pemungutan biaya jasa pengelolaan
sumberdaya air untuk memberikan jasa layanan terhadap sektor
pertanian telah mengakibatkan pemeliharaan terhadap infratruktur irigasi tidak dapat dilakukan dengan baik. Fungsi bendung-bendung, pintu-pintu air, saluran primer, dan sekunder telah menurun karena rusak, bocor dan sedimentasi, sehingga pemanfaatan air tidak optimum. Apabila tidak ditangani dengan baik distribusi air akan berdampak terhadap keberlanjutan sistem pengairan di Daerah Irigasi Jatiluhur. Guna peningkatan pelayanan di Daerah Irigasi Jatiluhur, baik kuantitas maupun kualitasnya, dibutuhkan penerimaan yang dapat menutupi total biaya operasi dan pemeliharaan saluran yang diperlukan. Salah satu sumber dana yang terbesar, yaitu dari sektor pertanian sebagai pengguna air dengan proporsi terbesar. Namun, terdapat dua permasalahan pokok dalam biaya jasa pengelolaan sumberdaya air
terkait dengan iuran (tarif) penyaluran air irigasi, yaitu
mekanisme pemungutan dan besaran biaya jasa pengelolaan sumberdaya air. Mekanisme pemungutan tarif untuk pertanian tidak dapat diterapkan seperti pada sektor domestik dan industri, yang jumlah penggunanya tidak terlalu banyak. Pada sektor pertanian, terdapat 240 000 hektar sawah yang dilayani Perusahaan Umum Jasa Tirta II, banyaknya jumlah petani di setiap wilayah, sulit
10
untuk melakukan pemungutan kepada setiap pengguna. Bila penyaluran air irigasi yang dilakukan Perusahaan Umum Jasa Tirta II merupakan penunjang program pemerintah dalam peningkatan produksi beras terkait ketahanan pangan, pemungutan iuran atau tarif penyaluran air irigasi seharusnya dapat ditanggung oleh pemerintah dalam bentuk public service obligation (PSO). Perusahaan Umum Jasa Tirta II adalah salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mendapat tugas mengemban kewajiban pelayanan umum (public service obligation-PSO), sehingga pemerintah wajib memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II tersebut termasuk margin keuntungan yang diharapkan (Pasal 66 UU Nomor 19/2003 tentang BUMN). Berdasarkan kompleksitas permasalahan di atas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian yang dapat diajukan dalam studi ini sebagai berikut. Berdasarkan kompleksitas permasalahan di atas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian yang dapat diajukan dalam studi ini sebagai berikut. 1) Bagaimanakah pembuatan model tentang perilaku optimal pemanfaatan air optimal berkaitan dengan perubahan permintaan air baku oleh penggunanya serta perubahan nilai air dan manfaat sosial bersihnya? 2) Pola distribusi air optimal yang bagaimana agar lebih baik dari pada kondisi saat ini sehingga dapat meningkatkan manfaat sosial bersih pengelolanya? 3) Bagaimana cara mengestimasi nilai ekonomi sumberdaya air yang optimal untuk setiap sektor pengguna?
11
4) Bagaimana mengestimasi peningkatan nilai manfaat sosial bersih menjadi yang terbaik dari berbagai pilihan? 1.3
Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mengukur dan menganalisis
tingkat efisiensi ekonomi tentang pengelolaan sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur agar dapat dimanfaatkan secara optimal, sedangkan secara spesifik tujuan penelitian ini adalah: 1) Membangun model pola alokasi optimal sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur 2) Membandingkan pola distribusi air antara kondisi saat ini dengan beberapa pola alternatif yang dapat meningkatkan manfaat sosial bersih dari sumberdaya air 3) Mengestimasi nilai ekonomi sumberdaya air untuk setiap sektor pengguna 4) Mengestimasi peningkatan nilai manfaat sosial bersih dari berbagai pola alokasi 1.4
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1) Sebagai bahan pertimbangan dalam menyeimbangkan ketersediaan air dan kebutuhan permintaan air di Daerah Irigasi Jatiluhur. 2) Sebagai bahan pertimbangan secara komprehensif integratif tentang kepentingan dari tiga sektor utama, yaitu pemanfaatan air untuk perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, industri, dan pertanian.
12
3) Sebagai bahan masukan Perusahaan Umum Jasa Tirta II dalam mengelola sumberdaya air secara efisien, karena keberhasilan sektor pertanian sangat ditentukan oleh kebutuhan air yang diperlukan. 4) Sebagai bahan masukan untuk menjaga eksistensi Perum Jasa Tirta II sebagai organisasi perusahaan umum pemerintah agar tetap tampil di depan dalam mengelola sumberdaya air secara berkelanjutan. 1.5
Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian yaitu:
1)
Mencakup biaya untuk operasi dan pemeliharaan Waduk Juanda dan Daerah Irigasi Jatiluhur.
2)
Penerimaan dan biaya Perusahaan Umum Jasa Tirta II dalam rangka operasi dan pemeliharaan (OP) Daerah Irigasi Jatiluhur.
3)
Biaya dibatasi pada biaya operasi dan pemeliharaan serta manajemen.
4)
Sektor pengguna air adalah pembangkit tenaga listrik, irigasi, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, dan industri yang berada di Perusahaan Umum Jasa Tirta II.
5)
Mencakup air permukaan yang bersumber dari Waduk Juanda dan sumber setempat.
1.6
Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini tidak termasuk: 1) Faktor lingkungan, iklim, sosial budaya, dan investasi. 2) Air bawah tanah dan Daerah Irigasi Selatan Jatiluhur yang pada umumnya terdiri dari sawah beririgasi bersumber air bukan dari Waduk Juanda.
13
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kelangkaan Air Kelangkaan sumberdaya air terjadi karena berbagai dimensi baik dari segi
permintaan maupun penawaran. Permintaan sumberdaya air untuk keperluan rumah tangga, industri dan pertanian semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Sementara itu, ketersediaan sumberdaya air terutama pada musim kemarau semakin terbatas baik disebabkan oleh menurunnya debit sungai akibat kerusakan lingkungan, perubahan iklim global maupun penurunan kapasitas atau kerusakan sarana penyimpan dan penyaluran air. Terbatasnya ketersediaan sumberdaya air dapat menjadi salah satu kendala dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Keterbatasan ketersediaan air yang biasa disebut kelangkaan air dapat ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Kelangkaan air untuk sektor pertanian dapat mengganggu produksi pertanian yang sebagian besar merupakan sumber pangan. Selanjutnya, bagi sektor domestik dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesehatan masyarakat akibat tidak tersedianya air bersih untuk minum dan sanitasi serta kebersihan kota. Untuk sektor industri dimana air merupakan salah satu input bagi proses produksinya dapat mengakibatkan terganggunya proses produksi. Menghadapi kelangkaan air dan permintaan air yang semakin meningkat, dibutuhkan pengelolaan air yang efisien, agar dicapai alokasi yang optimal baik secara hidrologi maupun ekonomi. Mekanisme alokasi sumberdaya air merupakan konsep ekonomi untuk mengefisiensikan sumberdaya air dengan cara alokasi. Dinar et al. (1997) mengemukakan bahwa ada empat kerangka mekanisme alokasi
14
ketersediaan air, yaitu melalui marginal cost pricing (MCP), alokasi publik, water markets dan user-based allocation. Untuk mengukur kelangkaan air adalah perbandingan antara air yang tersedia dengan yang digunakan. Berbagai perhitungan kelangkaan air telah dilakukan antara lain dengan menggunakan indeks yang digunakan PBB (1997) dan diadopsi Voromarty el al.(2000) bahwa secara umum indeks kelangkaan air adalah (1) kurang dari 0.1 tidak ada kelangkaan, (2) antara 0.1 dan 0.2 adalah rendah, (3) antara 0.2 dan 0.4 adalah moderat, (4) kurang atau sama dengan 0.4 adalah tinggi Pengukuran kelangkaan sumberdaya air di atas, menunjukkan indeks kelangkaan air yang ada disaluran, bukan air tersisa di waduk. Kelangkaan ini berdasarkan fisik tanpa mempertimbangkan nilai ekonomi air. Perlu diketahui bahwa air adalah sumberdaya yang lebih cepat diperbaharui dan waktu yang digunakan untuk memperbaharui lebih cepat daripada air tanah dan tidak memperhatikan kualitas air yang ada. Dari sisi ekonomi, air tidak dilihat dari sisi fisiknya, tetapi juga dari sisi ekonomi. Hal ini berarti bahwa menghitung cadangan ekonominya dibagi dengan tingkat ekstrasinya. Untuk itu, Fauzi (2004) menyarankan penghitungan dengan menggunakan pengukuran moneter, yaitu dengan salah satu dari cara menghitung harga riil, unit cost, dan rente kelangkaan sumberdaya. Dengan cara rente, kelangkaan dianggap paling baik karena dasarnya menggunakan teori kapital sumberdaya dimana return manfaat yang diperoleh sama dengan biaya oportunitas dari aset yang lain. Makin tinggi rente kelangkaan makin langka sumberdayanya.
15
Kondisi
Daerah
Aliran
Sungai
aktual
menggambarkan
tahapan
pengembangannya yang berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya air dan finansial yang dibutuhkan. Tahapan pengembangan menjadi lebih lengkap dengan adanya pengukuran indeks kelangkaan. Indeks kelangkaan ini menunjukkan apakah wilayah tersebut sudah menghadapi permasalahan kelangkaan sumberdaya air dan sampai sejauh mana kelangkaan tersebut berpengaruh pada pengelolaan sumberdaya air yang ada. Bila indeks pengukuran sumberdaya air kelangkaan air menunjukkan telah terjadi kelangkaan air, alokasi bagaimana yang sebaiknya dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya air di wilayah tersebut dengan mempertimbangkan aturan alokasi sumberdaya serta mekanisme yang sesuai dengan kondisi yang ada. 2.2
Alokasi Sumberdaya Air Alokasi sumberdaya air merupakan tindakan ekonomi yang menghasilkan
baik benefit maupun biaya. Pengelolaan sumberdaya air khususnya air permukaan yang penggunanya beragam dan wilayahnya sangat luas membutuhkan suatu pemodelan yang dapat digunakan dan menghasilkan benefit yang optimum bagi baik pengguna maupun pengelola. Alokasi sebagai aktivitas ekonomi menjadi perhatian utama dalam pengelolaan sumberdaya air, terutama jika diperhadapkan pada masalah kelangkaan air suatu wilayah. Alokasi air yang baik ke semua sektor pengguna air guna
pencapaian
kesejahteraan
semua
pihak,
serta
memenuhi
kriteria
kesejahteraan antara lain: (1) kriteria kesejahteraan kosial, (2) kriteria pemerataan, (3) kriteria manfaat (utilitarian criterion), dan (4) kriteria maksimin.
16
Pertama kriteria kesejahteraan sosial adalah kriteria kesejahteraan yang mengasumsikan bahwa baik selera maupun kesejahteraan individu dapat dihitung. XAN
X
ON
Y
U1 M
U2 M
U1 N
A YA
M
U3 M
B
U2 N
U3 N OM
YAN
XA
Y X
M
Sumber: Pindyck, 2005
Gambar 1. Diagram Kotak Edgeworth Pertukaran Dari Gambar 1. bila X barang berupa air untuk irigasi dan Y barang berupa air untuk non irigasi, sedangkan M adalah pengguna barang sektor irigasi dan N adalah pengguna barang sektor non irigasi, maka kurva sepanjang O M -O N , merupakan kurva kontrak yang menunjukkan tingkat kepuasan yang dapat diperoleh dari barang X dan Y. Semua titik sepanjang kurva tersebut merupakan titik alokasi barang yang efisien yang memberikan kepuasan optimum bagi M dan N. Di sepanjang kurva kontrak, preferensi individu bersaing satu sama lainnya, yang berarti kesejahteraan yang diperoleh salah satu pihak hanya mungkin tercapai atas pengorbanan pihak lainnya.
Kondisi kesejahteraan sosial yang
optimum pada alokasi optimum merupakan kondisi Pareto optimum dan disebut alokasi Pareto optimum. Kedua adalah kriteria pemerataan, yang merupakan suatu kriteria berdasarkan pada tingkat kepuasan individu yang terlibat dan bukan
17
jumlah barang yang diberikan sama jumlahnya. Jika titik A dipilih, X A N > X A M dan Y A N < Y A M jumlah barang tidak
merupakan ukuran dalam kriteria
pemerataan, tetapi tingkat kepuasan yang optimum tiap-tiap individu menjadi tolok ukur utama. Ketiga adalah kriteria manfaat berdasarkan hampir sama dengan kriteria pemerataan dimana alokasi optimum yang dipilih pada saat tingkat utilitas bersamanya mencapai maksimum. Titik di sepanjang kurva kontrak yang dipilih adalah yang memberikan total kepuasan kedua sektor pengguna air yaitu pertanian dan non pertanian (U N + U M ), misalnya titik B, maksimum. Ketiga kriteria ini sulit untuk dikuantifikasikan dan sangat normatif. Keempat adalah kriteria maksimin yang dikemukakan oleh Rawls (1971), memandang masyarakat seperti pada posisi awal tidak ada yang tahu posisi (dan kepuasannya) akhirnya. Kriteria Rawls pada dasarnya memaksimalkan posisi yang paling lemah, atau dikatakan memaksimumkan mereka yang utilitasnya minimum, sehingga sering disebut kriteria maksimin. Sifat kriteria Rawls, yakni: (1) jika pilihan dilakukan di antara distribusi dengan jumlah konstan, kriteria ini memiliki implikasi egalitarian, semua orang akan menerima jumlah yang sama (distribusi merata), (2) jika pemilihan dilakukan di antara distribusi yang tidak tetap, kriteria Rawls selalu membela orang yang terburuk dan mengorbankan keseluruhan; atau dengan kata lain Rawls tidak konsisten dengan kriteria kompensasi ekonomi yang umum, dan (3) dalam kondisi yang lebih kompleks dengan barang dan individu yang mempunyai cita rasa sangat beragam, kriteria ini tidak dapat diterapkan. Dalam mengalokasikan sumberdaya, tiga hal pokok yang perlu diperhatikan, yakni: (1) efisiensi konsumsi, (2) efisiensi produksi, dan (3) efisiensi harga.
18
2.2.1
Efisiensi Produksi Produksi akan efisien jika kenaikan output untuk suatu barang berupa air
untuk non irigasi, Y mengharuskan penurunan output barang berupa air untuk irigasi, X yang dapat diilustrasikan seperi Gambar 1. tetapi untuk efisiensi produksi.
Efisiensi produksi akan terjadi jika MRTS (marginal
rate of
substitution) antara dua input adalah sama yaitu air dari Waduk Juanda, artinya isokuan harus bersinggungan, misalnya di titik A. Jika isokuan-isokuan tidak bersinggungan, misalnya air untuk irigasi di realokasi untuk non irigasi. Himpunan alokasi input produksi di titik-titik produksi yang efisien seperti A dikenal kurva kontrak produksi (production contract curve). 2.2.2
Efisiensi konsumsi Seperti dijelaskan dari 2.2 yang pertama bahwa konsumsi akan efisien
jika kenaikan kepuasan salah satu konsumen memerlukan penurunan kepuasan konsumen lainnya. Misalnya pengguna air untuk non irigasi memerlukan penurunan kepuasan pengguna air untuk irigasi. Efisiensi konsumsi akan terjadi jika MRTS adalah sama untuk semua pengguna yang meminta air dari Waduk Juanda. Hal ini berarti bahwa kurva-kurva indeferens kedua pengguna air dari irigasi dan non irigasi harus bersinggungan. Himpunan alokasi konsumsi yang efisien dikenal kurva kontrak konsumsi (consumtion contract curve) (Ekivalen Gambar 1 tetapi untuk konsumsi). 2.2.3
Efisiensi harga Konsumen harus bersedia untuk mengganti barang yang dikonsumsikan
tersebut pada tingkat rasio yang sama dimana perekonomiaan tersebut dapat mengubah satu barang untuk barang lainnya. Ini berarti bahwa untuk semua
19
konsumen yang membeli kedua barang tersebut, MRS (marginal rate of substitution) barang-barang tersebut harus sama dengan MRT (marginal rate of transformation). Ini berarti bahwa slope kurva-kurva indeferens dari pengguna air untuk irigasi dan non irigasi harus sama dengan slope batas kemungkinan produksi, atau slope di titik F harus sama dengan di titik B. Ini berarti MRT =MRS atau ratio MC
Irigasi /MC Nonirigasi
atau P Irigasi /P Nonirigasi harus sama antara di
titik F dan di titik B. Hal ini pengelola harus membuat alokasi yang baik mendekati persaiangan sempurna antara pengguna dan pengelola (Pindyck, 2005).
Nonirigasi
PIrigasi/PNonirigasi B
N* UB
F UA
PIrigasi/PNonirigasi BKP
A
I*
Irigasi
BKP=Batas Kemungkinan Produksi
Sumber: Arsyad, 1987
Gambar 2. Marginal Rate of Transformation dan Marginal Rate of Technical Substitution 2.3
Penentuan Harga Air: Tanpa dan Dengan Eksternalitas Penentuan harga dapat menggambarkan biaya yang sebenarnya dan akan
memberikan sinyal kepada user mengenai nilai air melalui water pricing. Model sumberdaya air yang didasarkan pada water pricing adalah marginal cost pricing. Mekanisme marginal cost pricing didasarkan pada prinsip ekonomi bahwa alokasi sumberdaya air yang optimal secara sosial, ketika manfaat sosial marjinal
20
yang diperoleh dari konsumsi air setara dengan biaya sosial marjinal yang dikeluarkannya. Manfaat sosial marjinal dicirikan oleh kurva permintaan terhadap air, sementara biaya sosial marjinal tanpa biaya lingkungan yang menggambarkan kurva pasokan air yang menunjukkan biaya yang harus dibayar oleh user sebesar P* untuk memproduksi satu unit tambahan air sebesar Q*.
Biaya Marjinal dengan Biaya Lingkunan
(Rp)
B P Biaya Marjinal tanpa Biaya Lingkungan
L
A
P *
Manfaat Marjina l QL
Q *
Q (kuantitas)
Sumber: Fauzi, 2004 Gambar 3. Alokasi Optimal berdasarkan Marginal Cost Pricing Ketika terjadi eksternalitas misalnya terjadi erosi atau lingkungan sumberdaya air maka biaya marjinal atas sumberdaya air termasuk biaya pengguna (user cost) yang semula A menjadi B. Jadi untuk memproduksi satu unit tambahan air menjadi sebesar Q L maka memerlukan biaya sebesar P L. Dinar et al. (1997) menyatakan bahwa mekanisme marginal cost pricing memiliki beberapa kelebihan, antara lain, mekanisme ini secara teoretis paling efisien dan dapat menghindari underpriced (penilaian di bawah harga) dan penggunaan berlebihan (overuse). Selain itu, marginal cost pricing memiliki beberapa kelemahan, antara
21
lain, aspek kesetaraan (equity), termasuk masyarakat berpenghasilan rendah tidak dapat mengakses sumberdaya air terutama pada musim kemarau ketika air yang tersedia lebih sedikit dan harganya meningkat. 2.4
Permintaan dan Penawaran Air Terbatasnya ketersediaan sumberdaya air dapat menjadi salah satu kendala
dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Keterbatasan ketersediaan air yang biasa disebut kelangkaan air dapat ditinjau dari segi kualitas ataupun kuantitasnya. Kelangkaan air untuk sektor pertanian dapat mengganggu produksi sektor pertanian yang sebagian besar merupakan sumber pangan. Selanjutnya, bagi sektor domestik hal itu dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesehatan masyarakat akibat tidak tersedianya air bersih untuk minum dan sanitasi serta kebersihan kota. Untuk sektor industri, air merupakan salah satu input bagi proses produksinya dapat mengakibatkan terganggunya proses produksi. Dalam menghadapi kelangkaan air dan permintaan air yang semakin meningkat, dibutuhkan pengelolaan air yang efisien agar dicapai alokasi yang optimal baik secara hidrologi maupun ekonomi. Mekanisme alokasi sumberdaya air merupakan konsep ekonomi untuk mengefisienkan sumberdaya air dengan cara alokasi. Dinar et al. (1987) mengemukakan bahwa ada empat kerangka mekanisme alokasi ketersediaan air, yaitu melalui marginal cost pricing, alokasi publik, water markets, dan user-based allocation. Permintaan air di wilayah ini dapat dibagi dalam 2 kategori besar, yaitu sektor pertanian dan urban. Permintaan air urban terjadi akibat pertumbuhan dan perkembangan wilayah perkotaan yang pesat dan wilayah perkotaan ini
22
mengandalkan air dari sistem sungai yang ada sama seperti sektor pertanian. Pemukiman dan industri memberikan valuasi air lebih tinggi dari pada sektor pertanian sehingga menyebabkan terjadinya kompetisi dengan sektor pertanian. Misalkan, Da menggambarkan permintaan air sektor pertanian, Du permintaan air urban serta Dt merupakan total permintaan keduanya. Jika harga air diatur oleh pemerintah sebesar P, dan jumlah yang diminta sebanyak Wt d lebih kecil dari pada yang ditawarkan W s , terdapat kelebihan air yang ditawarkan. Ketika permintaan air urban meningkat menjadi Du’, dan total permintaan menjadi Dt’, terlihat adanya kekurangan air pada saat jumlah yang diminta Wt d ’ lebih besar dari pada yang ditawarkan W s (Gambar 4.). Ketika harga ditetapkan pemerintah sebesar P, harga tidak dapat merasionalisasi air yang tersedia pada berbagai variasi pengguna atau dengan kata lain harga tidak dapat merespons tekanan permintaan dan penawaran. Jika pemerintah meningkatkan harga air irigasi, beberapa metode yang rasional mengungkapkan akan terjadi kompetisi antar pengguna. HARGA AIR
Du
S
Du'
Dt’=Du+Da
P Da 0
Wtd
Ws
Wt’d
Sumber: Randall, 1987 Gambar 4. Permintaan dan Penawaran Air
Dt=Du+Da
JUMLAH AIR, W
23
Permintaan air sektor pertanian sebesar Dt, permintaan urban Du’ dan penawaran dan permintaan agregat keduanya sebesar Dt’, jumlah air yang diminta sebesar W d ’, maka terdapat kelebihan air sebesar Ws-Wt d . HARGA AIR
Du’
S
Du”
Pu
Dt" =Wu" +Da
Pa
Dt'=Wu'+Da Da 0
Wu’
Wu”
Wtd'
Ws
Wtd”
JUMLAH AIR, W
Sumber: Randall, 1987 Gambar 5. Sistem Harga Dual Air Ketika permintaan urban meningkat dari Du ke Du’, permintaan sektor pertanian tetap pada Da, maka permintaan keduanya menjadi Dt’, dan jumlah yang diminta sebesar Wt’ d , dan kekurangan air sebesar Wt d ’ -W s (Gambar 5.). Jika pemerintah menetapkan air yang tersedia untuk urban sebesar Su, pertanian sebesar S-Su = Sa, dengan catatan bahwa kondisi ini
untuk sektor merupakan
keseimbangan. Pada Du dan Su, terdapat kekurangan air untuk pengguna urban sebesar Wt d ” - Wt s ”(Gambar 6.), pada Da dan Sa terdapat kekurangan air untuk sektor pertanian sebesar Wa d (sama dengan (Wa s + Wa d ) ─ Wu s ’ lebih besar dari pada Sa = S-Su. Jika pemerintah tidak mengijinkan Pa untuk naik, maka akan terjadi
24
“black market” air irigasi, dan dapat dihindari dengan diijinkannya pengalihan antar user. Dari uraian di atas dapatlah dilihat bahwa alokasi sumberdaya air sangat kompleks dan rumit untuk dilakukan. HARGA AIR
Su
St
Du"
Pu
Pa
D'”=Wus”+Da Da
0
Wus”
Wud”
Ws
Wus”+Wad”
JUMLAH AIR, W
Sumber: Randall, 1987 Gambar 6. Sistem Harga Dual Air Rasionalisasi Pengguna Urban Keempat faktor yaitu kondisi Daerah Aliran Sungai, indeks kelangkaan air, kriteria alokasi sumberdaya air serta mekanisme alokasi sumberdaya air yang telah diuraikan di atas merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk model pengelolaan sumberdaya air. Kondisi suatu DAS perlu diketahui terlebih dahulu agar dapat mengindentifikasi keadaan sumberdaya air di wilayah tersebut dan menentukan keputusan yang terbaik dalam pengelolaan sumberdaya air di wilayah tersebut. Kondisi
Daerah
Aliran
Sungai
aktual
menggambarkan
tahapan
pengembangannya yang berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya air dan
25
finansial yang dibutuhkan. Tahapan pengembangan menjadi lebih lengkap dengan adanya pengukuran indeks kelangkaan. Indeks kelangkaan ini menunjukkan apakah wilayah tersebut sudah menghadapi permasalahan kelangkaan sumberdaya air dan sampai sejauh mana kelangkaan tersebut berpengaruh pada pengelolaan sumberdaya air yang ada. Bila indeks kelangkaan air menunjukkan bahwa telah terjadi kelangkaan air, alokasi bagaimana yang sebaiknya dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya air di wilayah tersebut dengan mempertimbangkan aturan alokasi sumberdaya serta mekanisme yang sesuai dengan kondisi yang ada. Setelah memahami kondisi yang ada di wilayah yang akan diteliti, konstruksi model pengelolaan sumberdaya air dilakukan berdasarkan faktor-faktor di atas sebagai bahan pertimbangan. Model yang dihasilkan akan benar-benar sesuai dengan gambaran wilayah tersebut, baik ketersediaan airnya maupun sektor-sektor yang terlibat di dalamnya. Keputusan yang diambil merupakan keputusan yang dapat memenuhi kriteria yang telah dikemukakan di atas. 2.5
Penentuan Harga Air Mekanisme pricing dan charging dapat dilakukan melalui volumetric
pricing, output pricing, area pricing, tiered dan two part tariff pricing, serta water markets. Mekanisme pricing dan charging seringkali diistilahkan sebagai valuasi air, yaitu valuasi air dibedakan menurut sektor yaitu sektor pertanian dan nonpertanian. Dalam menghitung valuasi air yang digunakan sektor pertanian, pendekatan yang dilakukan menggunakan fungsi produksi sektor pertanian yaitu air diperlakukan sebagai input-nya. Valuasi untuk sektor nonpertanian meliputi permintaan air untuk rumah tangga, industri, air minum, pembangkit tenaga
26
listrik, pertambangan dan pabrik, serta rekreasi dan lingkungan. Terdapat dua cara penentuan valuasi air sektor nonpertanian, yaitu berdasarkan pasar dan nonpasar. Valuasi berdasarkan pasar karena air merupakan barang nilai tambah, sebagai salah satu usaha untuk memberikan nilai kepada sumberdaya. Valuasi berdasarkan nonpasar karena air termasuk salah satu sumberdaya yang pengelolaannya cukup unik, air sulit diperlakukan sebagai barang yang diperdagangkan. Pada bagian sebelumnya telah diuraikan bahwa penentuan harga air dan alokasinya merupakan dua hal yang sangat berkaitan erat, yaitu untuk memperoleh suatu alokasi air yang optimal dilakukan melalui penentuan harga air. Penentuan harga air dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi pengguna (user) dan sisi penyalur atau pengelola. Pengelola sumberdaya air dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu pengelolaan secara publik yang dilaksanakan oleh pemerintah dan pengelolaan secara komersial oleh suatu badan usaha. Kelompok pengelola ini sangat penting artinya karena mempunyai dampak yang berbeda secara ekonomi terutama terhadap pengguna. Pengelola publik tidak berorientasi pada profit karena investasi dan biaya ditanggung oleh pemerintah dan pengguna tidak dibebani biaya pengambilan air. Pengelola komersial akan memperhitungkan investasi dan semua biaya yang dikeluarkannya dan membebankannya pada pengguna. Perbedaan kelompok pengelola ini akan menghasilkan perbedaan pada penentuan harga air. Selain pengelola, pengguna yang beragam dengan pandangan yang berbeda dalam memberikan valuasi terhadap sumberdaya air, memerlukan pendekatan dari berbagai bidang agar dapat dibangun suatu model yang
27
terintegrasi dan mencakup semua bidang yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya air. Pengguna sumberdaya air dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu yang memperlakukan sumberdaya air sebagai barang publik (sektor pertanian) dan sebagai barang ekonomi (sektor nonpertanian atau urban). Penentuan harga air dari sisi pengguna, yaitu sumberdaya air diperlakukan sebagai input untuk penentuan harga air oleh pengelalola sumberdaya air dianggap sebagai output. Penentuan harga air oleh pengelola yang bersifat badan usaha dan kelompok pengguna sektor nonpertanian jauh lebih mudah dibandingkan dengan apabila penggunanya sektor pertanian. Sektor pertanian, selain jumlah penggunanya yang banyak, luasan lahan serta jarak dengan saluran induk sangat bervariasi merupakan kendala dalam penghitungan harga air. Penetapan harga air bertujuan untuk mengembalikan baik biaya pengelolaan, infrastruktur, maupun penghematan penggunaan air per unit output yang dihasilkan. Kunci utama untuk pencapaian tujuan tersebut, yaitu merancang mekanisme penetapan harga yang efektif yang disesuaikan dengan kondisi setempat, serta membangun strategi agar mendapat tingkat pengumpulan dana setempat, serta membangun strategi agar mendapat tingkat pengumpulan dana yang tinggi. Terdapat empat metode penetapan harga air, yaitu: (1) berdasarkan areal, (2) volume, (3) keseimbangan pasar, dan (4) full cost recovery. Metode pertama dan kedua serta kombinasi keduanya telah banyak digunakan dan dikembangkan di berbagai belahan dunia. Metode penetapan harga air di setiap wilayah akan berbeda, sesuai dengan kondisi wilayah, petani, pengelola, dan kebijakan pemerintah.
28
2.5.1
Penetapan Harga Air Berdasarkan Areal Pembayaraan berdasarkan areal merupakan pembayaran tetap, berdasarkan
pada luas areal yang diairi. Keterbatasan metode ini, biaya operasi dan pemeliharaan biasanya jarang diperhitungkan, dengan membagi total biaya operasi dan pemeliharaan dengan total luas areal yang diairi. Padahal, kedua biaya ini sebaiknya diperhitungkan agar petani lebih hemat dalam menggunakan air. Selain itu, penggunaan areal irigasi bervariasi dari waktu ke waktu dan dari musim ke musim. Luas areal irigasi yang digunakan selama musim basah biasanya lebih besar dibandingkan dengan selama musim kering. Luas pertanaman yang bervariasi ini dapat diatasi dengan memperkirakan luas setiap musim berdasarkan data pada tahun-tahun sebelumnya. Besarnya pembayaran yang tetap tanpa mempertimbangkan musim akan berimplikasi pada konsumsi air oleh petani, karena marginal cost setiap penambahan jumlah air per hektar sama dengan nol. Permintaan air biasanya lebih tinggi dibandingkan jika pembayaran sesuai dengan jumlah air yang digunakan, terutama petani yang berada dekat saluran induk. Keunggulan metode ini, yaitu cara penghitungannya sederhana, petani mudah memahaminya, harga ditetapkan lebih rendah dibandingkan dengan penetapan harga berdasarkan volume. Diasumsikan, bahwa (1) seluruh pengguna memenuhi kewajibannya, (2) besarnya pungutan per hektar, dan (3) didasarkan pada biaya langsung rata-rata, sehingga seluruh biaya langsung terbayar. Metode ini tidak mendorong petani untuk mengurangi penggunaan air per hektar, tetapi karena implementasinya sederhana, metode ini telah banyak
29
diterapkan di berbagai negara. Misalnya, di Haryana (India), air irigasi dihargai US$2.50 per hektar (Cornish and Perry, 2003), di Pakistan, harganya $2 sampai $8 per hektar (Ahmad, 2002). Penetapan harga berdasarkan areal, biasanya diterapkan di wilayah air tidak langka, tanaman tidak bervariasi, dan pemasangan meter sangat sulit atau biayanya tinggi. Metode ini akan jarang digunakan pada masa mendatang, kecuali jika memodifikasinya dengan mempertimbangkan klasifikasi areal berdasarkan jarak dengan saluran irigasi, musim, jenis tanaman, serta teknologi yang digunakan. Sistem penetapan harga berdasarkan areal dan jenis tanaman, yang besar pungutan berdasarkan luas areal dan jenis tanaman yang ditanam. Harga airnya bervariasi antartanaman, yaitu harga setiap jenis tanaman ditetapkan oleh pembuat kebijakan. Jika pemerintah menginginkan peningkatan efisiensi penggunaan air, jenis tanaman yang menggunakan air terbanyak seperti padi, harga per hektarnya lebih tinggi dibandingkan dengan palawija. Metode ini akan mendorong petani mengubah jenis tanaman dengan harga yang menggunakan air lebih sedikit sehingga harga air per hektarnya lebih kecil. Sebaliknya, jika pemerintah menetapkan kebijakan harga pangan murah atau menginginkan produksi tanaman komersial (seperti padi dan tebu), harga air untuk jenis tanaman ini diatur lebih rendah dibandingkan jenis tanaman lainnya. Pada situasi seperti ini, diperlukan subsidi input, antara lain, air irigasi, agar produksi pangan meningkat, di lain pihak menyebabkan penggunaan sumberdaya yang berlebihan.
30
Dalam metode kombinasi antara areal dan metode irigasi, pembayaran air biasanya merefleksikan perbedaan biaya penyaluran di antara metode irigasi yang berbeda. Sebagai contoh, biaya pada sistem irigasi gravitasi lebih rendah dibandingkan dengan biaya irigasi pompa. Keunggulan irigasi pompa jumlah air yang disalurkan terukur dan penyalurannya lebih mudah dibandingkan pada sistem irigasi gravitasi. Jadi, pembayaran pada sistem irigasi pompa lebih tinggi karena biaya irigasi serta pendapatan bersihnya pada umumnya lebih tinggi. Beberapa negara menerapkan metode pembayaran berdasarkan kombinasi areal dengan musim, yaitu harga yang diberlakukan pada musim kering lebih tinggi karena air langka, dan lebih rendah pada musim basah ketika air berlimpah. Jika harga ditetapkan tinggi pada musim kering, petani akan membatasi luas areal pada musim tersebut. Di Perancis, struktur penetapan harga didasarkan pada perbedaan biaya antara tinggi rendahnya air yang digunakan. Pada musim panas, harga air merefleksikan marginal cost jangka panjang air yang dipasok. Biaya marjinal jangka panjang biasanya merupakan biaya ekspansi pada masa mendatang. Dalam kenyataannya, sulit sekali mengestimasi biaya proyek perluasan kapasitas pasokan (McNeill and Tate 1991). Selama musim basah, Perancis hanya memasukkan biaya operasi. Struktur penetapan harga ini dapat membantu pengurangan penggunaan air selama musim panas ketika permintaan lebih tinggi dibandingkan dengan pasokan (Tiwari and Dinar 2003; Johansson, 2000). Penetapan harga yang didasarkan pada kombinasi areal dan teknologi, dengan menyeleksi teknologi irigasi yang digunakan berdasarkan teori yang ide dasarnya mirip dengan penetapan harga berdasarkan kombinasi areal dan jenis
31
tanaman, yaitu petani menggunakan teknologi penyimpanan air agar membayar biaya per hektarnya mejadi lebih rendah. Sebagai contoh irigasi drip dan sprinkler, dimana pengendalian airnya lebih baik dan output yang dihasilkan per unit air yang disalurkan lebih besar dibandingkan irigasi dengan pengendalian aliran. Pembayaran per hektar teknologi pengendalian air yang lebih tinggi akan mendorong petani mengganti dengan teknologi yang pembayaran per hektarnya lebih rendah. Jika pembayaran berdasarkan areal dapat dibuat dengan merefleksikan perbedaan penggunaan air oleh musim, jenis tanaman dan
teknologi irigasi,
penetapan harga berdasarkan areal lebih menguntungkan dibandingkan dengan penetapan harga berdasarkan volume. Jika musim, jenis tanaman dan teknologi irigasi terkendali, maka penggunaan air per hektarnya menjadi sedikit. Masalah yang mungkin timbul, petani yang berada dekat dengan saluran induk cenderung mengairi lahannya lebih banyak ketika pembayaran hanya berdasarkan areal. Jika pengelola dapat menjamin ketepatan jadwal penyaluran dan jumlah air yang dibutuhkan, petani akan mengalami kerugian apabila penggunaannya berlebih dan penggunaannya tidak teratur. 2.5.2
Penetapan Harga Air Berdasarkan Volume Penetapan harga air berdasarkan volume, adalah pembayaran didasarkan
pada jumlah air yang disalurkan. Aturan penetapan harga ekonomi yang optimal jika ditentukan sama dengan biaya marjinal air yang disalurkan memerlukan pengukuran air yang akurat melalui meter. Keunggulan metode ini, mendorong petani membatasi penggunaan airnya, serta lebih mudah dipahami oleh pengguna untuk membayar sejumlah air yang
32
disalurkan ke lahan petani. Keterbatasan metode ini, (1) biaya implementasi lebih tinggi karena dibutuhkan alat ukur serta kejujuran dalam membaca dan melaporkan jumlah air yang digunakan dan (2) penetapan harga, biaya marjinal bukan merupakan pengembalian biaya seluruhnya, yaitu menurunnya biaya ratarata (sebagai contoh sistem kanal yang besar) akibat pembangunan infrastruktur. Dengan demikian biaya marjinal proyek akan lebih rendah dari biaya rata-rata, sehingga penetapan harga berdasarkan biaya marjinal tidak akan menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan.
Sebaliknya,
pada
irigasi
pompa
dengan
menggunakan air tanah, biaya proyek marjinal lebih tinggi dari pada biaya ratarata proyek, kecuali jika biaya marjinal termasuk biaya marjinal pengguna. Pada beberapa proyek air tanah, penetapan harga biaya marjinal mengakibatkan penarikan harga air relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan usahatani. Sebagai contoh, dalam proyek di Gujarat India, proporsi pembayaran air sebesar 37 persen dari pendapatan usaha tani bersih. 2.5.3
Penetapan Harga Air Berdasarkan Blok Penetapan harga air berdasarkan blok akan bervariasi ketika ditetapkan
waktu dan volume penggunaan air (sebagai contoh 5 000 m3 per hektar per musim). Jika yang menjadi pertimbangan pembayaran air yang lebih tinggi, maka pembayaran peningkatan blok dapat digunakan. Pembayaran pada blok pertama lebih rendah dari biaya pemeliharaan dan operasi. Blok kedua dan selanjutnya meningkat lebih tinggi dari biaya pemeliharaan dan operasi yang ditanggung dan merefleksikan biaya marjinal operasi. Menurut Easter et al. (1999), di Israel dan Botswana digunakan metode ini. Jumlah air pada blok pertama seringkali mempertimbangkan jumlah
33
kebutuhan dasar yang mendukung keluarga petani. Metode ini memperhatikan isu keadilan. Petani membayar lebih rendah pada blok pertama dan lebih tinggi jika pemakaian lebih banyak. Di Botawana harga pada blok kedua sama dengan pada blok pertama. Pengoperasian metode ini mirip dengan kuota, yang merupakan suatu kasus ekstrim dari penetapan harga peningkatan blok. Petani tetap bisa mendapatkan tambahan air dari pengelola tetapi dengan harga lebih tinggi. Botswana menetapkan blok pertama sebagai kuota ketika petani mengonsumsi melebihi kuotanya, petani membayar harganya dua kali lipat. Di Israel, kuota mencakup tiga blok dan membayar sesuai dengan kontrak dengan pengelola air. Jika perbedaan harga yang besar antar blok, petani akan mencoba menggunakan air tidak melebihi blok pertama. Keterbatasan penetapan harga berdasarkan blok, tidak mudah memutuskan tingkat harga tiap-tiap blok atau volume tiap-tiap blok (sebagai contoh harga terendah jika penggunaan air kurang dari 5 000 m3 air per musim per hektar atau di atasnya misalnya 6 000 m3). Jika batas maksimum blok pertama terlalu besar, penerimaan tidak dapat menutupi biaya pemeliharaan dan operasi. Metode ini sebaiknya digunakan ketika air langka, pendapatan usaha tani rendah, dan pembayaran air relatif tinggi pada pendapatan bersih usaha tani. 2.5.4
Tarif Dua Bagian Penetapan tarif dua bagian merupakan kombinasi penetapan harga
berdasarkan harga dan biaya administrasi (kadang-kadang didasarkan pada ukuran areal irigasi). Metode penetapan harga blok yang telah digambarkan sebelumnya
34
memiliki dua tujuan, yaitu pengembalian seluruh biaya dan pengurangan penggunaan air. Kedua tujuan ini jarang sekali menimbulkan konflik. Keunggulan metode tarif dua bagian ini adalah dapat meredam konflik. Bagian volume dapat dijadikan dasar biaya marjinal, yang menyebabkan penggunaan air lebih sedikit. Untuk bagian tetap yang dapat memperbaiki beberapa kekurangan, dan menjamin kepastian pendapatan yang akan terbentuk, berapa banyak air yang tersedia dan disalurkan. Ketika biaya pemeliharaan dan pengoperasian merupakan komponen tetap yang tidak tergantung pada jumlah air yang disalurkan, biaya tetap ini tetap dibayarkan meskipun air tidak digunakan untuk satu musim. Keterbatasan metode ini, yaitu perhitungannya relatif lebih rumit sehingga sulit untuk dipahami petani dan biaya administrasi dari metode penetapan harga berdasarkan dua bagian, lebih tinggi dibandingkan dengan pembayaran tunggal. Menurut Easter et al. (1999), di Jaiba Brazil, rancangan penetapan harga direvisi dari pembayaran dua-bagian, yang terdiri dari dua komponen, K1 dan K2. Komponen pertama, K1 merefleksikan biaya modal proyek, dihitung berdasarkan periode 50 tahun pengembalian dan tingkat bunga yang disubsidi. Komponen kedua, K2, diperkirakan untuk menutupi seluruh biaya pemeliharaan dan pengoperasian, diestimasikan sebagai fungsi dari volume air yang digunakan. Komponen kedua dipecah lagi menjadi dua komponen, yaitu biaya tetap (pemeliharaan dan operasi) dan biaya variabel. Jika petani memutuskan tidak menanam selama satu musim, petani tetap harus membayar biaya tetap untuk pemeliharaan dan operasi.
35
2.5.5
Pasar Air Di negara yang memiliki pasar air, baik formal maupun nonformal,
perusahaan atau individu dapat memperdagangkan air pada harga keseimbangan pasar, dan berubah sesuai dengan musim. Efektivitas pengoperasian pasar air membutuhkan seperangkat Undang-Undang sumberdaya air yang benar, aturan perdagangan air yang jelas dan komprehensif, suatu kesatuan pengelolaan penyaluran air, serta badan hukum yang mengatur aktivitas dan penyelesaian perselisihan. Selain itu, dibutuhkan pembangunan sistem saluran yang dapat menyalurkan air ke semua pengguna (Tsur and Dinar, 1998). Jika semua syarat ini terpenuhi, maka harga keseimbangan pasar yang terbentuk dari pertemuan antara pemintaan dan pasokan akan efektif. Menurut Easter et al. (1999), di Chili hasil analisis terhadap dua sungai, menunjukkan pasar air yang menghasilkan penerimaan yang substansial secara ekonomi dari perdagangan. Di Konservasi Air Colorado Utara, pasar air telah dioperasikan sejak akhir tahun 1950-an, dimana distrik tersebut mengumumkan secara luas pembeli potensial dan penawaran penjual (Howe et al. 1986). Di sana terdapat satu pasar dengan regulasi yang tetap, dan penjualan dilakukan secara temporer, untuk penggunaan air musiman. Seiring dengan berjalannya waktu, regulasi permanen ini secara berangsur-angsur hilang dari penggunaan sektor pertanian ke municipal dan sektor industri. Meskipun sektor pertanian merupakan pengguna air terbesar (Kemper et al. 1999). Penetapan pasar telah dikembangkan di sejumlah negara, termasuk pasar irigasi di distrik Siurana-Riudeanyes di Provinsi Tarragone, Spanyol, merupakan contoh klasik dan hal yang sama di Alicante Spanyol (Maass dan Anderson,
36
1978). Sistem Siurna-Riudeanyes melayani petani, munipical, dan pengguna lainnya, serta menyalurkan sekitar 6 juta m3 air per tahunnya. Regulasi penggunaan air, baik jangka panjang maupun temporer, diperdagangkan antaranggota kelompok pemakai air (Water User Association ~ WUA), termasuk petani dan municipal. Pada tahun 1982, pengalihan dari pengaturan oleh petugas ke WUA, secara signifikan mengurangi peningkatan harga air dan menjadi lebih transparan. Suatu sistem bonus dan insentif juga ditetapkan untuk pekerja WUA guna meminimumkan kehilangan air dan mengurangi biaya pemeliharaan dan operasi. Dewan Kota Reus, kota utama di irigasi distrik Siurana-Riudecanyes, berperan penting dalam pasar air dan membangun sistem pengairan. Kota memberikan sebagian besar dana yang dibutuhkan untuk membangun dam dan infrastruktur, dengan pendanaan langsung sebesar 50 persen, dan 4 persen yang merupakan
pinjaman
yang
harus
dikembalikan.
Keuntungan
langsung
menyisihkan 10 persen dari pendanaan konstruksi awal. WUA terfokus pada sistem pengairan, pengguna berpartisipasi aktif, transparansi, dan fleksibilitas dalam menanggapi perubahan air dan kondisi ekonomi (Tarrech et al, 1999). Contoh pasar air lainnya yang dibangun petani di wilayah Cariri negara bagian timur laut Brazil, dimana pasar didasarkan pada ketersediaan air di sungai. Alokasi air ke petani diatur berdasarkan luasnya lahan, yaitu air diperdagangkan sebagai bagian dari tanah dan keinginan petani sendiri. Umumnya, sistem perdagangan
memberikan
jaminan
air
yang
dipasok
dan
fleksibilitas
pengalokasian air. Pasar air dirancang dengan melibatkan pemerintah langsung karena terdiri atas sejumlah petani yang homogen, yang menanam tebu dan lainnya (Kemper et al. 1999).
37
2.5.6
Metode Cost Recovery Metode penentuan harga air sektor pertanian oleh pengelola yang banyak
digunakan dan dianggap memenuhi kriteria ekonomi yaitu full cost recovery yaitu penentuan harga air irigasi berdasarkan pada pengembalian biaya-biaya yang dikeluarkan pengelola untuk penyaluran air irigasi sampai kepada pengguna. Metode cost recovery dapat mengatasi biaya pengelolaan air dan bukan hanya sekedar penetapan harga yang tinggi atau penyimpanan dana yang lebih banyak. Ketika biaya air dapat diatasi dengan mekanisme yang digunakan untuk mengatasinya metode ini mempunyai spesifikasi sesuai dengan kondisi yang ada di wilayah tersebut. Secara umum, biaya penyaluran air irigasi dapat dibagi dalam tiga ketegori, yaitu (1) biaya proyek langsung, (2) biaya lingkungan, dan (3) biaya marjinal pengguna. Biaya proyek langsung merupakan pengukuran termudah dibandingkan kategori lainnya dan banyak proyek menggunakan cara ini. Biaya langsung cenderung digunakan dalam penentuan biaya, mulai dari proses sampai penyaluran air irigasi yang dapat dipisahkan dalam biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap termasuk seluruh investasi sarana irigasi seperti pembangunan waduk dan saluran serta pemasangan meter dan pompa, ditambah depresiasi, dan tingkat bunga investasi. Biaya administrasi dan biaya operasi serta pemeliharaan tidak termasuk dalam biaya penyaluran air, tetapi dimasukkan dalam biaya tetap karena tidak bervariasi sesuai jumlah air yang disalurkan. Biaya variabel terdiri dari biaya operasi dan pemeliharaan dalam penyaluran air, biaya tenaga kerja, dan biaya penyaluran air, termasuk biaya penyaluran, dan biaya pengambilan air tanah, dan
38
biaya hilangnya air. Biaya-biaya ini bervariasi, metode penyaluran air, teknologi irigasi, dan musim (Massarutto, 2002). Biaya lingkungan meliputi erosi tanah dan kerusakan ekosistem selama dan sesudah pembangunan suatu proyek irigasi. Sejauh ini, hanya sebagian kecil proyek irigasi yang memasukkan biaya lingkungan sebagai bagian keseluruhan biaya yang akan dikembalikan. Biaya lingkungan secara substansial akan meningkatkan total biaya pembangunan proyek irigasi. Di Afrika Selatan telah dikembangkan suatu sistem pembayaran yang merefleksikan dan menutupi biaya langsung dan tidak langsung dengan memasukkan biaya pembuangan limbah. Biaya pembuangan limbah ini berhubungan dengan salinitas, nitrase, dan phospor dalam air pembuangan. Suatu pembayaran ekstra akan dibebankan kepada pembuang limbah, jika limbah yang dibuang melebihi batas maksimum yang diijinkan. Dan sebaliknya jika limbah yang dibuang kualitasnya lebih tinggi dibandingkan pada waktu pengambilan akan diberikan insentip berupa pengurangan pembayaran limbah (Republic of South Afrika, 2004). Pemerintah Australia Selatan sepakat membiayai pengelolaan salinitas yang diakibatkan oleh pembangunan irigasi sebelum 1988, petani menyanggupi menanggung biaya pembangunan irigasi sesudah tahun 1988. Struktur biaya dua bagian (two part tariff) dapat dipilih untuk mengakomodasi eksternalitas. Ketika infrastruktur dibangun atau diperbaiki untuk mengurangi hubungan kualitas air dengan eksternalitas, biaya tetap dapat dimasukkan sebagai bagian tetap dari harga dua sisi, untuk kuantitas yang dihubungkan dengan eksternalitas dimasukkan dalam porsi volume (Bueren and MacDonald, 2004). Di Queenslands
39
ketika pemerintah meninjau kembali pembayaran air di tahun 2004, banyak masyarakat yang menolak ide pengenalan biaya eksternalitas. Masyarakat berpendapat bahwa banyak pengguna air telah siap dengan infrastruktur yang mencegah
eksternalitas,
serta
melakukan
beberapa
perbaikan
regulasi
(Queensland Government, 2004). Marginal User Cost didefinisikan sebagai nilai sekarang dari kelangkaan sumberdaya di masa mendatang sebagai implikasi penggunaan sumberdaya saat ini (Howe et al. 1979). Akibatnya, biaya pengadaan pasokan air di masa mendatang lebih tinggi karena pengambilan sumberdaya pada masa sekarang. Kondisi ini sangat relevan untuk sumberdaya air tanah, terutama jika tidak ada pengisian kembali (recharge) atau tingkat rechargenya kecil. Ketika harga air tanah tidak dimasukkan ke marginal user cost, akan mengakibatkan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya tersebut. Proyek sumberdaya air biasanya memiliki multitujuan, yaitu (1) memasok air
irigasi, (2) memasok rumah tangga dan industri, (3) sebagai pengendali
banjir, dan (4) pembangkit listrik tenaga listrik. Sekitar 90 persen waduk yang ada di Asia memiliki multitujuan, pengguna yang berbeda akan memberikan kontribusi biaya yang berbeda, sesuai dengan jasa layanan yang diterimanya. Terdapat tiga metode yang biasa digunakan untuk mengalokasikan kontribusi kepada setiap pengguna, yaitu (1) metode penggunaan fasilitas (use of facilities atau UOF), (2) penyesuaian pengeluaran (alternative justifiable expenditures atau AJE), dan (3) biaya terpisah dan sisa benefit (separate costs, remaining benefits atau SCRB) (Easter, 1999; Young et al., 1982; dan Young, 1985).
40
Pendekatan use of facilities mengalokasikan biaya pada setiap pengguna yang menggunakan fasilitas yang sama sesuai dengan proporsi air yang disalurkan (sebagai contoh irigasi dan domestik). Pendekatan alternative justifiable expenditures mengalokasikan biaya bersama didasarkan sisa benefit setelah dikurangi dengan biaya spesifik, yaitu biaya langsung dari setiap pengguna (sebagai contoh irigasi), tidak memasukkan biaya perubahan rancangan proyek apabila terjadi penambahan tujuan. Pendekatan yang terakhir adalah pendekatan SCRB mirip dengan pendekatan alternative justifiable expenditures, yaitu pendekatan ini menetapkan biaya sebagai tujuan tunggal untuk mencapai manfaat ekonomi, dan biaya perubahan rancangan sehubungan dengan penambahan tujuan dimasukkan dalam total biaya. Sisanya merupakan biaya bersama sesudah dikurangi dengan biaya tiap-tiap pengguna. Biaya bersama ini akan dibebankan pada pengguna dengan proporsi sesuai dengan besarnya biaya untuk tiap-tiap pengguna. Proyek yang menggunakan pendekatan ini terdapat di Anda Pradesh India, dimana proyek dengan multi tujuan dapat mengalokasikan biaya yang berbeda sesuai dengan tipe pengguna. Proyek dengan benefit tidak langsung yang besar, ada beberapa biaya dapat dialokasikan menjadi benefit. Sebagai contoh, negara dengan kebijakan harga pangan rendah, ketika sarana irigasi diperbaiki, perusahaan pengolah makanan dan konsumen lebih diuntungkan bila dibandingkan dengan petani. Dalam berbagai kasus, pemberian subsidi terhadap proyek melalui penerimaan pajak dari konsumen yang menghasilkan benefit, dan pajak yang dibayarkan oleh perusahaan pengolah pangan dapat membantu pendanaan proyek tersebut.
41
Proyek pengelolaan air di Daerah Aliran Sungai Sana’a Yemen, memberikan suatu ide kontribusi biaya oleh pemerintah, dimana program perbaikan irigasi yang bertujuan untuk mengurangi tingkat eksploitasi air tanah, sehingga keberlanjutan akuifer dapat dipertahankan serta memberikan waktu pada pemerintah untuk menemukan solusi jangka panjang. Jika strategi kelestarian yang dipilih, pencapaian benefit secara ekonomi bukan merupakan prioritas utama. Strategi ini juga mendorong pengalihan irigasi dari irigasi air tanah menjadi irigasi dengan menggunakan teknologi lainnya, seperti teknologi drip dan gelembung yang menggunakan pipa sebagai saluran distribusi. Teknolgi drip dan gelembung terbukti dapat meningkatkan efisiensi irigasi dari 35 persen menjadi 60 persen. Biaya ditanggung oleh pemerintah dan petani, dengan kontribusi pemerintah sebesar 75 persen dari biaya investasi dan 90 persen dari biaya instalasi, dan petani menanggung sisanya. Biaya operasi dan pemeliharaan seluruhnya ditanggung oleh petani. Selain untuk
pembiayaan, petani juga
memberikan kontribusi melalui pengurangan jumlah air yang digunakan per hektar (World Bank, 2003a). Ahli pengelolaan air MF. Abu Taleb dari World Bank melaporkan bahwa water user allocation yang termasuk dalam implementasi proyek menanggapinya dengan sangat positif. Hal ini terbukti dengan kesepakatan pengguna untuk membayar dan memasang instalasi konservasi air. 2.6
Penelitian Terdahulu:Model Pengelolaan Sumberdaya Air Perencanaan, pengelolaan, dan rancangan merupakan bagian terpenting
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan (sustainable economic). Proses perencanaan sampai dengan perancangan membutuhkan analisis kritis dengan
42
biaya ekonomi yang sebenarnya, benefit, dan dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Analisis tersebut menggambarkan kualitas rancangan dan seberapa jauh dampaknya terhadap ekonomi, sumberdaya alam, dan lingkungan secara umum (Mc Kinney and Savitsky, 2003). Sistem terdiri dari sekumpulan komponen serta bentuk hubungan antar komponen yang melakukan aktivitas dalam sistem (satuan wilayah sungai) melalui kekuatan eksternal, pengaruh atau input (curah hujan), dan memproduksi pengaruh spesifik atau output (streamflow). Oleh sebab itu suatu sistem merupakan transformasi satu input menjadi satu output, output yang diproduksi tergantung pada properti dari sistem atau parameter (seperti tipe tanah, vegetasi, dan topografi). Transformasi tergantung pada parameter dari sistem dan rancangan kebijakan yang mendukungnya. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan air di Daerah Aliran Sungai meliputi perkembangan sektor industri, perkembangan kota yang semakin cepat, dan kebutuhan langsung air oleh sektor pertanian. Demikian pula pencemaran yang dilakukan oleh sektor industri dan limbah domestik yang cenderung meningkat sehingga menekan pengalokasian air ke sektor-sektor pengguna lainnya. 2.6.1
Pemodelan Pengelolaan Air Permasalahan sumberdaya air saat ini adalah alokasi air antar sektor yang
diakibatkan oleh perkembangan perkotaan dan sektor industria, serta beralihnya lahan sektor pertanian menjadi sektor nonpertanian. Model yang sesuai dengan fenomena tersebut yaitu model optimasi dinamik. Sebagai contoh model dinamik
43
yang terkait dengan air seperti yang dilakukan oleh Syaukat (2000) tentang pengelolaan air tanah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta; Ringler et al. (2004) di Daerah Aliran Sungai Brantas dan Dong Nai; model yang dikembangkan Rosegrant et.al. (2001) di Maipo Basin Chili; Optimasi Laut Aral, yang dipaparkan oleh Cai et.al. (2002 dan 2003); dan Model Sumberdaya Air Dalam Kompetisi Antar Sektor di Wilayah Hilir Daerah Irigasi Jatiluhur (Katiandagho, 2007). Model-model pengelolaan air dilakukan dengan model simulasi ataupun optimasi. Terdapat dua macam model optimasi yaitu optimasi statik dan optimasi dinamik. Model yang sesuai untuk air yang mempunyai feature selalu berubah antarwaktu adalah model dinamik yang mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya air antar waktu. Namun, ada juga yang menggabungkan keduanya yaitu antara model simulasi dan optimasi. Aktivitas yang dipertimbangkan dalam mengkonstruksi model optimasi oleh Ringler et al. (2004) meliputi produksi sektor pertanian, luas lahan, alokasi ke sektor-sektor pengguna air, dan hidrologi. Model akan memilih alokasi air yang optimal ke sektor-sektor pengguna dan secara khusus untuk sektor pertanian, luas lahan yang akan diairi, dan produktivitas tiap-tiap lahan, sedangkan kompleksitas alokasi air dan penggunaannya juga dihadapi di Dong Nai River Basin dan Daerah Aliran Sungaai Brantas yang dilakukan Ringler et al. (2004) yang membutuhkan pendekatan holistik pada tahapan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air guna mencapai manfaat yang optimal seiring dengan waktu, efisien, dan merata.
44
Pengelolaan sumberdaya air, khususnya air permukaan, penggunanya beragam dan wilayahnya sangat luas, membutuhkan suatu pemodelan yang dapat digunakan dan menghasilkan benefit yang optimum baik bagi pengguna maupun pengelola. Pemodelan satuan wilayah sungai (SWS) merupakan alat pemodelan yang dapat mengintegrasikan kompleksitas pengelolaan sumberdaya air dalam suatu kerangka analisis yang terintegrasi yang dapat memberikan arahan dan putusan bagi pengelola sumberdaya (Mc Kinney et al. 1999, Rodgers dan Fiering, 1986). Analisis sistem bertujuan mengindentifikasi situasi yang dengan investasi modal dan energi yang minimum dapat menghasilkan penerimaan yang maksimum dengan kendala alokasi sumberdaya, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa analisis sistem merupakan seni dan ilmu penyederhanaan fenomena yang kompleks menjadi suatu bentuk yang lebih kecil, terisolasi dan mudah dimengerti, interaksi antar sub sistem serta interaksi antara subsistem dengan lingkungan yang lebih luas (Churchman, 1968 dalam McKinney and Savitsky, 2003). Metode yang digunakan dalam analisis sistem sumberdaya air merupakan sistem kondisi fisik dan sosial ekonomi yang dibuat melalui model matematis. 2.6.2
Model Dong Nai River Basin Model Dong Nai River Basin (DNRB) diturunkan dari model yang
dikembangkan sebelumnya oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI) untuk Maipo River Basin di Chile (Rosegrant et al, 2000) yang
45
memfokuskan pada komponen ekonomi.
Model ini mengintegrasikan model
ekonomi dan hidrolis, termasuk komponen ekonomi, hidrolis, dan kelembagaan. Model Dong Nai River Basin merupakan penggabungan model jaringan hidrolis dengan model-model simulasi proses produksi sektor pertanian irigasi, pembangkit listrik tenaga air, municipal (domestik), dan permintaan sektor industri dengan hubungan ekonomi yang dikarateristikkan oleh harga dan nilai air yang digunakan. Hubungan fungsional antarkomponen membentuk suatu sistem optimasi nonlinier dengan skala besar yang menggambarkan suatu model optimasi simulasi satuan wilayah sungai. Konsep dan teknik ini didasarkan pada pemodelan yang dibuat oleh Mc Kinney et al. (1999).
Sumber: International Food Policy Research Institute, 2003 Gambar 7.
Komponen Model, Model Integrasi Hidrolis, dan Ekonomi pada Satuan Wilayah Sungai di Dong Nai Basin
Jaringan pemodelan mencakup (1) komponen hidrolis, termasuk keseimbangan di waduk, sungai, dan areal irigasi, (2) komponen ekonomi termasuk penghitungan benefit pemakaian air tiap sektor, sisi permintaan, dan negara, dan (3) aturan
46
institusional dan insentif ekonomi yang merupakan akibat komponen hidrolis dan ekonomi. Pasokan air dibatasi oleh keseimbangan dalam sistem. Adapun permintaan air ditetapkan secara endogen dalam model yang didasarkan pada hubungan fungsional antara air yang digunakan dalam produksi sektor pertanian, penggunaan domestik dan sektor industri, serta pembangkit listrik tenaga air. Keseimbangan pasokan dan permintaan air didasarkan pada maksimisasi benefit ekonomi akibat penggunaan air. Jaringan node menggambarkan suatu hubungan spatial antar bangunan fisik air yang ada di basin yang menghubungkan sungai (saluran), dengan waduk, bendung, dan wilayah permintaan, node dapat berupa pintu air, bendung, bendungan, wilayah permintaan inflow dalam node terdiri dari air yang masuk, baik dari saluran maupun sungai setempat serta curah hujan. Keseimbangan aliran dihitung pada tiap-tiap node pada setiap periode. Adapun pemindahan atau transfer aliran dihitung berdasarkan ruang yang terhubung dalam jaringan. Model ini juga memperhitungkan return flow yang merupakan air sisa pemakaian dari sektor pengguna, dimanfaatkan kembali oleh sektor lainnya di wilayah hilirnya, dan biasanya air yang ada di saluran pembuangan atau drainase. Persyaratan lingkungan tercakup dalam kendala aliran, kurun waktunya setahun dengan 12 periode (bulanan). Provinsi menjadi unit pemodelan major dalam satu wilayah sungai. Adapun yang dioptimasikan adalah seluruh wilayah sungai Dong Nai tersebut.
Fungsi tujuannya memaksimumkan net profit tahunan akibat
pemakaian air irigasi, municipal, sektor industri dan pembangkit listrik tenaga air, yang diformulasikan sebagai berikut:
47
∑ VA(agdm) + ∑ VM (mundm)
= Max obj
agdm
muval
+ ∑ VI (indm) + indm
(1)
∑ VP( pwst )
powval
dimana: VA
= net profit irigasi
VM
= net benefit dari pemakaian air municipal (domestik)
VI
= net profit dari sektor industri
VP
= net profit dari pembangkit listrik tenaga air
Agdm
= indeks wilayah sektor pertanian
mundm
= indeks wilayah municipal
indm
= indeks wilayah sektor industri
pwst
= indeks turbin pembangkit listrik tenaga air
Dalam rangka konsistensi antara fungsi produksi sektor pertanian dan air yang diaplikasikan per bulan, fungsi penalti ditambahkan ke fungsi tujuan. Fungsi tersebut membantu distribusi air yang disalurkan per bulan dengan produksi sektor pertanian per musim yang dihubungkan dengan produksi sektor pertanian pada saat defisit, yang didefinisikan Food and Agriculture Organization (FAO). Hubungan
antara
produksi
dan
air
diadopsi
dari
model
yang
dikembangkan Food and Agriculture Organization, dan dapat dilihat lebih rinci dalam Dorenboos and Kassam (1979) serta Dorenboos dan Pruitt (1977). Koefisien respon tanaman didasarkan pada asumsi hubungan antara produksi relatif (produksi aktual terhadap produksi maksimum) serta evapotranspirasi relatif (ETa/ETm) bentuknya linier untuk kekurangan air di atas 50 persen, maka (1 - ETa/ETm = 0.50). Respon tanaman terhadap air sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari faktor agronomis tanaman itu sendiri, serta respon tanaman terhadap input lainya seperti pupuk. Perhitungan profit dari sektor pertanian (VA) sebagai berikut:
48
area ( agdm, cp ) * ylda ( agdm, cp ) * price ( crop ) − labor ( crop ) * laborc ( crop ) + fertn ( crop ) * fertnc ( crop ) + fertp ( crop ) * fertpc ( crop ) + fertk ( crop ) * fertkc ( crop ) + − VA(agdm) = ∑ mach(crop ) + pesti ( crop ) a ,c ,tp ,t w _ ca ( agdm ) * pd ( to _ infa ( agdm, pd ) ) − ∑ pd ∑ pumpa ( gw, agdm, crop, pd ) * ppumpa ( crop ) gw, pd
(2)
dimana: area
= luas panen (ha)
ylda
= hasil panen aktual dari fungsi FAO
price
= harga komoditas (Rp ribu/kg)
labor
= tenaga kerja dalam dan luar keluarga (Rp/HOK)
laborc
= upah tenaga kerja (US$/MD)
fertn
= banyaknya pupuk N yang digunakan (kg/ha)
fertnc
= harga pupuk N (US$/kg)
fertp
= banyaknya pupuk P 2 O 5 yang digunakan (kg/ha)
fertpc
= harga pupuk P 2 O 5 (US$/kg)
fertk
= banyaknya pupuk KCl yang digunakan (kg/ha)
fertkc
= harga pupuk KCl (US$/kg)
mach
= mesin dan hewan (US$/ha)
pesti
= pestisida (US$/ha)
w_ca
= biaya pasokan air permukaan (US$/m3)
to_infa
= jumlah air irigasi yang digunakan per bulan (m3)
pumpa
= jumlah air tanah yang dipompa (m3)
ppumpa = biaya pemompaan air tanah (US$/m3) Net benefit penggunaan air oleh rumah tangga yang diturunkan dari invers fungsi permintaan air diestimasi dengan fungsi double log yaitu pendapatan (I) dan harga air (P mwd ) merupakan variabel bebas dan permintaan air oleh rumah tangga (mwd) merupakan variabel tak bebas. Rumah tangga yang berlangganan air minum dengan yang tidak berlangganan diestimasikan secara terpisah.
49
ln (mwd )= a + b ln (I )- e×ln (Pmwd )
(3)
dimana: mwd
=
permintaan air per kapita (m3/kapita)
α
=
konstan
I
=
pendapatan per kapita (US$/kapita/bulan)
P mwd
=
harga air (US$/m3)
β
=
elastisitas pendapatan
ε
=
elastisitas permintaan
Dari invers fungsi permintaan di atas untuk mendapatkan invers demand atau kurva willingness to pay akan diperoleh tingkat konsumsi minimum (mwd 0 ). Nilai ini dapat diperoleh dari survei ataupun dari syarat yang ditetapkan World Health Organization (WHO). Unttuk itu, dalam penelitian ini digunakan permintaan air aktual. Pendekatan consumer surplus (CS) diperoleh dari pengintegrasian fungsi permintaan air dengan fungsi permintaan invers dari mwd dan mwd 0 untuk mengestimasi surplus konsumen dikurangi dengan harga yang dibayar konsumen. Fungsi benefit penggunaan air domestik adalah sebagai berikut:
CS = VM (mundm)= e(
a e)
å urban , rural , pd , pop
×I ( 1- 1
(
b e)
)
e
{
}
(1- 1 ) (1- 1 ) × mwd (mundm) e - mwd 0 (mundm) e
(4)
- mwd (mundm)* Pmwd
dimana: CS
= surplus konsumen (juta US$)
mwd
= permintaan air per kapita (m3/kapita), dipisahkan antara air tanah dan air permukaan
mwd 0
= permintaan air normal per kapita (m3/kapita)
P mwd
= harga air di kota dan desa, air tanah dan permukaan (US$/m3)
e
= bilangan natural (e = 2.71828)
50
Sebagaimana penggunaan air domestik, penggunaan air sektor industri merupakan input bagi sektor industri tersebut dan menghasilkan produk yang dapat dijual di pasar. Dalam mengindentifikasi fungsi produksi setiap sektor industri, dialami hambatan sehingga penggunaan air sektor industri menggunakan pendekatan permintaan air sebagaimana yang digunakan dalam penggunaan air domestik, dengan melihat hubungan antara air yang diminta dengan harga air baku. Net benefit sektor industri (VI) merupakan benefit yang dihasilkan karena pemakaian air sektor industri, sama halnya dengan permintaan air domestik, merupakan consumer surplus. ln (iwd )= m- q ln (Piwd )
(5)
dimana: iwd
= permintaan air sektor industri (m3/bulan)
θ
= elastisitas permintaan air sektor industri
P iwd
= harga air sektor industri (US$/m3)
( µ θ ) e * iwd (1− 1θ ) − iwd (1− 1θ ) n θ VI ( indm ) = ∑ 1 − 1 θ indm , pd − ( iwd * Piwd (t ) )
(
)
(6)
dimana: VI
= net benefit penggunaan air sektor industri
µ
= konstanta penggunaan air sektor industri
iwd θ
= permintaan normal air sektor industri (m3/bulan)
e
= bilangan natural (e = 2.71828)
Produksi listrik diestimasikan dengan menentukan efisiensi pembangkit tenaga listrik dengan data penyaluran dan produksi listrik harian. Profit produksi listrik (VP) dihitung dengan fungsi linier, produksi listrik (pow) dikalikan dengan selisih harga listrik (pp) dan biaya produksi per pembangkit listrik (pc).
51
VP ( pw)= Pow ( pw)×{ pp ( pw)- pc ( pw)}
(7)
Pasokan air terkendala oleh keseimbangan air dalam sistem, permintaan air ditetapkan endogen dalam model yang didasarkan pada hubungan fungsional antara air dan penggunaan air produktif pada sektor pertanian, irigasi, domestik, sektor industri dan pembangkit listrik tenaga air. Penggunaan air sebagai dasar tujuan memaksimisasi benefit ekonomi, yang merupakan akumulasi penggunaan air pada sektor-sektor pemakai air. Selain air disalurkan untuk memenuhi permintaan, lingkungan mensyaratkan aliran minimum yang dipertahankan di seluruh jaringan, guna pemeliharaan saluran dan pengendalian interupsi air laut. Aktivitas alokasi
air
kendalanya
oleh
beberapa
kondisi,
antara
keseimbangan, transfer air dan kapasitas saluran bendung ataupun waduk. Selain menghitung alokasi optimal bagi pengguna, model DNRB juga menghitung daya listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik, dimana pembangkit listrik tersebut ada di beberapa tempat. Daya listrik yang dihasilkan merupakan fungsi dari tinggi air yang disalurkan melewati turbin, dan untuk menghitung daya listrik yang diproduksi, terlebih dahulu dihitung efisiensi pembangkit listrik yang dihitung berdasarkan data harian daya listrik yang diproduksi berdasarkan tinggi muka air yang dialirkan.
pw _ effi ( pwst ) =
power ( pwst ) *1000 Q( pwst ) * ( h( pwst ) − h0 ( pwst ) ) * 24 *9.8
dimana: Q
=
aliran yang melalui turbin (m3)
h
=
tinggi turbin (m)
h0
=
tinggi tail water (m)
(8)
52
2.6.3
Model Alokasi Air untuk Wilayah Jakarta Model alokasi air untuk wilayah Jakarta dikemukakan oleh Syaukat
(2000), dengan fungsi tujuannya menghitung present value net social benefit pada Perusahaan Air Minum (PAM) Jakarta dan semua pemakai air dari penyediaan dan konsumsi sejumlah air pipa dan air tanah, biaya netto, dan privatisasi PAM dengan kendala aspek hidrolis dan ekonomis dari pasokan dan konsumsi serta infrastruktur PAM. Net social benefit adalah perbedaan antara total benefit dari konsumsi air dan total biaya penyediaan sejumlah air, total benefit yang diterima dan total biaya yang dikeluarkan PAM Jakarta dan pemakai air. Present value net social benefit sama dengan penjumlahan total benefit pemakai air dan total benefit PAM Jaya dikurangi total biaya konsumsi pemakaian air pipa dan air tanah untuk semua pemakai air dan total biaya produksi air PAM. Present value net social benefit menggambarkan perbedaan antara total benefit untuk semua pemakai air dan total biaya produksi air pipa dan pengambilan air tanah. Present value net social benefit pada horison waktu digambarkan pada persamaan berikut. NS (Byijk ( t ) , gijk ( t ) ,V ( t ) , S ( t ) , K1 ( t ) , K 2 ( t ) , I1 ( t ) , I 2 ( t ) , q ) = 2 5 3 dijk 2 yijk ( t ) ∑∑∑12 nijk ( t ) cijk yijk (t ) − 2 =i 1 =j 1 =k 1 3 8 3 d + ∑∑∑12 nijk ( t ) cijk yijk (t ) − ijk gijk ( t )2 =i 3=j 6=k 1 2 cijk ( yijk ( t ) + gijk ( t ) ) 6 15 3 ∞ t β + ∑∑∑12 nijk ( t ) d ∑ 2 ijk t =0 =i 4=j 9=k 1 ( yijk (t ) + gijk (t ) ) − 2 6 15 3 6 15 3 ϕijk −ψ ijk −∑∑∑12 nijk ( t )ηijk S ( t ) gijk ( t ) − ∑∑∑12 nijk ( t ) FCwellijk k 1 =i 1 =j 1 = =i 1 =j 1 =k 1 θ −γ −κ α K1 ( t ) V ( t ) + tK 2 ( t ) − {I ( t ) + I ( t )} − FC ( t ) 12 1 2 PAM ω − K (t ) ( ) ζ 1 − e 2 V ( t ) + q Vt
(
)
−
(9)
53
dimana: g ijk (t) y ijk (t)
= volume pengambilan air tanah bulanan untuk masing-masing kategori pemakai air = volume konsumsi air pipa bulanan untuk masing-masing kategori pemakai air
V(t)
= volume air baku bulanan yang diproses PAM Jaya
S(t)
= sisa stok air tanah di akuifer pada setiap tahun t
Q
= harga air baku per meter kubik
η,ϕ,ψ
= parameter fungsi biaya pemompaan air tanah
α,γ,θ
= parameter fungsi biaya pengolahan air
ι,κ,ω
= parameter fungsi biaya distribusi air
FC PAM
= biaya tetap tahunan PAM Jaya
FC well
= biaya tahunan dan pemompaan
c ijk , d ijk
= parameter fungsi marjinal benefit
I 1 (t)
= biaya investasi fasilitas pengolahan air pada tahun t
I 2 (t)
= biaya investasi fasilitas distribusi air pada tahun t
K1 (t)
= stok modal fasilitas pengolahan air pada tahun (t)
K2 (t)
= stok modal fasilitas distribusi air pada tahun t
e
= bilangan natural (e = 2.71828)
τ
= parameter stok modal fasilitas perlakuan air
ζ
= konstanta, lebih kecil dari 1
β
= diskon faktor, didefinisikan sebagai [1 / (1 + r)], dimana r adalah tingkat suku bunga waktu, 0 < r < 1 = jumlah bulan dalam setahun, untuk mengkonversikan benefit dan biaya dari bulanan menjadi tahunan
12
Present value net social benefit menggambarkan penjumlahan dari konsumen surplus dan produser surplus digabungkan dengan konsumsi dan pasokan air. Ketika fungsi benefit dan biaya konstan terhadap waktu, surplus konsumen dan produsen dapat diubah dengan konsumsi air yang disalurkan. Jika surplus konsumen dan produser dianggap sama penting, perencana sosial akan memaksimumkan net benefit melalui pemilihan tingkat optimal konsumsi air pipa y ijk (t) dan air tanah g ijk (t), volume air baku yang diolah V(t) dan investasi fasilitas
54
pengolahan air dan distribusi, I 1 (t) dan I 2 (t), dengan kendala pada sistem pasokan dan konsumsi air. Di bawah solusi perencana net social benefit dapat dimaksimumkan, sebagai implikasi kondisi pareto yang efisien. Kendala dalam model optimasi ini sebagai berikut: 1. Total Piped Water Consumption 6
15
2
∑∑∑η
=i 1 =j 1 = k 1
ijk
(t ) yijk (t ) ≤ z (t )V (t )
(10)
2. Groundwater Stock Equation of Motion 2
6
15
2
S ( t + 1= ) S ( t ) + ∑ Rk ( t ) − ∑∑∑12 nijk ( t ) gijk ( t ) =i 1
(11)
=i 1 =j 1 = k 1
dimana: S(t+1),S(t) = stok sisa air tanah di akuifer pada tahun t + 1 dan t Rk(t)
= tingkat recharge tahunan pada akuifer di wilayah k diasumsikan konstan
12
= jumlah bulan dalam setahun, untuk mengkonversi pengambilan air tanah bulanan menjadi tahunan
3. Capital Stock Equation of Motion K1 ( t + 1= ) I1 ( t ) + (1 − δ1 ) K1 ( t )
(12)
K 2 ( t + 1= ) I 2 ( t ) + (1 − δ 2 ) K 2 ( t )
(13)
dimana: K1 (t)
= total stok modal perusahaan pengolahan air pada tahun t
K2 (t)
= total stok modal fasilitas distribusi air pada tahun t
I 1 (t)
= investasi baru perusahaan pengolahan air pada tahun t
I 2 (t)
= investasi baru dalam fasilitas distribusi air pada tahun t
δ2
= tingkat depresiasi modal fasilitas distribusi air, suatu konstanta = tingkat depresiasi modal perusahaan pengolahan diasumsikan konstan
δ1
air,
4. Capacity of Water Treatment Facilities V ( t= ) v0 + v1K1 ( t )
(14)
55
dimana: V(t)
= kapasitas pengolahaan air baku (juta m3/bulan)
K1 (t)
= stok modal fasilitas pengolahan air
V 0, v 1
= parameter fungsi
5. 1) Efficiency of Water Distribution adalah sebagai berikut: z (t ) = (1 − IPL ( t ) ) (1 − NRW ( t ) )
(15)
2) Efisiensi distribusi air z(t) didefinisikan sebagai berikut ini:
(
z (= t ) ζ 1 − e −τ K2 ( t )
)
(16)
dimana: z(t)
=
koefisien efisiensi distribusi air
K2 (t)
=
stok modal fasilitas distribusi air dalam tahun t (Rp juta)
e
=
bilangan natural (e = 2.71828)
τ
=
koefisien stok modal fasilitas distribusi air 0 < τ < 1
ζ
=
konstanta lebih kecil dari satu
Volume air bersih yang dibayar, pada beberapa tahun, W(t) didefenisikan dalam persamaan, W(t) dalam juta m3 sebagai berikut ini:
(
)
W (= t ) z ( t ) V (= t ) ζ 1 − e −τ K2 ( t ) V ( t )
(17)
6. Kendala lainnya, sebagai berikut ini: V (0)
= V0
kapasitas awal pengolahan air
K1 ( 0 ) = K10
stok modal awal perusahaan pengolah air
K 2 ( 0 ) = K 20
stok modal awal jaringan distribusi air
S (0)
stok awal air tanah di akuifer
= S0
V (T ) =
free fasilitas pengolahan air pada akhir tahun (tahun 2025)
K1 (T ) =
free stok modal fasilitas pengolahan air pada akhir tahun
K 2 (T ) =
free stok modal jaringan distribusi air pada akhir tahun
56
S (T ) =
free stok air tanah pada tahun terakhir
yijk ( t ) , gijk ( t ) , I1 ( t ) , I 2 ( t ) = variabel-variabel positif 2.6.4
Model Pengelolaan Sumberdaya Air di Wilayah Tangkapan Air Bendungan Sutami dan Sengguruh Model pengelolaaan sumberdaya di wilayah tangkapan air bendungan
Sutami dan Sengguruh yang dikembangkan Dwiastuti (2005) bertujuan (1) menganalisis alokasi optimal intertemporal dari lahan budidaya intensif, (2) mengestimasi nilai ekonomi dampak eksternalitas erosi dari pengelolaan lahan budidaya terhadap ketebalan lapisan tanah dan kapasitas tampungan waduk, dan (3) mengevaluasi dampak perubahan harga komoditas, tingkat bunga dan pengurangan konversi lahan hutan menjadi lahan budidaya intensif terhadap variabel keputusan dan nilai ekonomi dampak eksternalitas erosi. Fungsi tujuannya adalah sebagai berikut: Max MSB (Xijk(t), Sik(t), Wol(t), Vkpl(t)) = 6 25 5 SD X ijk (t ) * Pc (t )(ai + b1i )(1 − R jk ) − CFij (t ) + =i 1 =j 1 =k 1
∑∑∑
(18)
2 ∗ PE1 ∗ {1.22 ∗ Wo1 (t )} + 3 ∗ PE2 ∗ {2.46 ∗ Wo2 (t )} +
9.07 ∗ PI ∗ Wo2 (t ) + 0.65 ∗ PM ∗ Wo2 (t ) − CK * Vks1 (t )
dimana: MSB
=
net social benefit (Rp juta/tahun)
X ijk (t)
=
luas areal lahan komoditas/pola tanam ke-i pd kemiringan ke-j, sub sub DAS ke-k pada tahun t (ha)
P C (t)
=
harga komoditas pada tahun t per ton (Rp juta)
S ik (t)
=
ketebalan lapisan olah dari paket pola tanam ke-i pada sub sub DAS ke-k pada tahun t (cm)
CF ij (t)
=
biaya usaha tani per ha dari pola tanam ke-i pada kemiringan ke-j pada tahun t (Rp juta/ha)
Wo 1 (t)
=
debit outflow operasi bulanan waduk Sengguruh tahun t (m3/detik)
57
Wo 2 (t)
=
PE l
=
debit outflow operasi bulanan waduk Sutami tahun t (m3/detik). harga energi listrik (Rp/kWh)
PI
=
nilai air baku untuk pengairan (Rp/m3)
PM
=
harga air baku untuk sektor industri (Rp/m3)
CK
=
biaya pengerukan (Rp/m3)
Vks 1 (t)
=
volume sedimen yang dikeruk pada tahun t (106 m3)
SD
=
kedalaman lapisan tanah (cm)
R
=
estimasi parameter fungsi respon SD
a,b 1
=
koefisien regresi fungsi produksi (ton/ha)
i
=
klasifikasi jenis tanah, 1 = sawah I, 2 = sawah II, 3 = tegal I, 4 = tegal II, 5 = kebon I, dan 6 = kebon II
j
=
paket pola tanam
k
=
wilayah sub sub DAS, 1 = Bango, 2 = sumber Brantas, 3 = Amprong, 4 = Lasti, dan 5 = Metro
l
=
jenis waduk/ pembangkit listrik tenaga air,1 = Sengguruh, dan 2 = Sutami
Vkp l (t)
=
kapasitas waduk ke-l pada tahun t (106 m3)
Manfaat air baku dari waduk yang dipertimbangkan dalam model terdiri atas nilai outflow waduk yang dioperasikan untuk (1) pembangkit listrik tenaga air, (2) irigasi atau pengairan, dan (3) sektor industri. Manfaat air untuk pembangkit listrik tenaga air didasarkan pada pendekatan manfaat langsung (direct benefit) air sebagai input utama, yaitu melalui pengukuran manfaat kotor (gross benefit) dari produsen (Unit Pembangkitan Brantas). Pertimbangan pemilihan pendekatan tersebut pertama, dalam praktek perhitungan manfaat langsung dapat dianggap sama dengan manfaat kotor, biaya alternatif dan manfaat bersih (Perusahaan Umum Jasa Tirta I, 2002). Kedua, harga energi listrik di tingkat produsen mencerminkan beberapa komponen biaya, yaitu mulai dari biaya investasi hingga biaya operasi dan pemeliharaan daerah tangkapan air.
58
Secara teknis, kuantitas produksi daya listrik dari setiap turbin ditentukan berdasarkan rumus berikut: D = g ∗ η ∗ Wo ∗ H ef
(19)
dimana: D
= daya yang dibangkitkan (watt) yang dihasilkan suatu turbin dalam kurun waktu satu detik
Wo
= debit pembangkitan (m3/detik)
H ef
= tinggi jatuh efektif (m)
g
= grafitasi (9.8 m2/detik)
η
= efisiensi turbin dan generator
Dalam pendugaan kuantitas daya yang dibangkitkan oleh setiap turbin, dipergunakan tinggi jatuh efektif (H ef) dan efisiensi (η) pada tingkat tertentu. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa variasi tinggi jatuh efektif (H ef) sangat berperan terhadap kuantitas daya yang dibangkitkan pada periode (decision stage) bulanan selama kurun waktu (time horizon) satu tahun. Periode keputusan dan kurun waktu yang diterapkan pada penelitian ini adalah tahunan dan selama 17 tahun (2003 hingga 2020). Tinggi jatuh efektif (H ef ) pembangkit listrik tenaga air Sengguruh sebesar selisih antara elevasi tertinggi (292.50 m) dan elevasi dasar sungai (264 m); pada pembangkit listrik tenaga air Sutami adalah selisih antara rata-rata tinggi muka air waduk (MAW) selama musim kemarau tahun 2002 sampai dengan musim penghujan tahun 2003 (sebesar 267.31 m) dan menggunakan tail race (TWL) yang diterapkan oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta I. Pola operasi Waduk Sengguruh bersifat harian maka pendugan produksi energi listrik dalam kurun waktu satu hari didasarkan pada perkalian antara daya
59
yang dibangkitkan dan waktu yang dipakai untuk operasi. Pendugaan rata-rata waktu yang dipakai untuk operasi harian didasarkan pada waktu operasi sepuluh harian selama kurun waktu dari bulan Juni 2002 hingga Mei 2003. Adapun ratarata waktu yang dipakai untuk operasi adalah 13.31 jam per hari. Dengan mengaplikasikan persamaan pada efisiensi turbin dan generator (η) sebesar 0.90, maka didapatkan produksi energi listrik setiap turbin pada pembangkit listrik tenaga air Sengguruh selama satu hari sebesar: q 1 = (9.8 ∗ 0.9 ∗ Wo 1 ∗ Hef1 ∗ 13.31)
(kWh)
(20) Pembangkit listrik tenaga air Sengguruh memiliki dua unit turbin serta tinggi jatuh efektif (H ef) pembangkit listrik tenaga air Senguruh adalah 28.50 m, sehingga total produksi energi listrik dari waduk Sengguruh dalam periode satu tahun adalah: TE 1
= (365 ∗ 2 ∗ 3 345.73 ∗ Wo 1 )
(kWh)
(21)
= 2 ∗ (1.22 ∗ Wo 1 )
(gWh)
(22)
Sementara itu, pola operasi waduk Sutami bersifat tahunan sehingga pada pendugaan produksi energi listrik mempertimbangkan fenomena baik debit pada waktu beban puncak (P peak ) maupun beban dasar (P off). Berdasarkan data produksi beban puncak (P peak ) dan beban dasar (P off) pada musim kemarau tahun 2002 dan musim penghujan tahun 2003 dapat diperoleh informasi bahwa: 1.
Rata-rata produksi beban puncak (operasi lima jam per hari) sebesar 84 persen bila dibandingkan dengan beban puncak potensial (105 MW per detik).
60
2.
Rata-rata produksi beban dasar (operasi 19 jam per hari) sebesar 25 persen beban puncak potensial (105 MW per detik).
Persentase tersebut lebih lanjut dipergunakan sebagai dasar perumusan pendugaan produksi energi listrik dari pembangkit listrik tenaga air Sutami yang mempertimbangkan fenomena baik debit pada waktu beban puncak (P peak ) maupun beban dasar (P off). Berdasarkan persamaan di atas dan η = 0.90, maka didapatkan pendugaan total energi dari setiap turbin dalam satu hari sebesar: q 2 = (9.80 ∗ 0.90 ∗ 5 ∗ 0.84 ∗ Wo 2 ∗ H ef2 ) + (9.80 ∗ 0.90 ∗ 19 ∗ 0.25 ∗ Wo 2 ∗ H ef2 ) = (9.80 ∗ 0.90 ∗ 8.95 ∗ Wo 2 ∗ H ef2 ) = (78.94 ∗ Wo 2 ∗ H ef2 )
(kWh)
(23)
Pada pembangkit listrik tenaga air Sutami terdapat tiga unit turbin dan rata-rata tinggi muka air waduk (MAW) selama musim kemarau tahun 2002 sampai dengan musim penghujan tahun 2003 sebesar 267.31 meter. Tinggi jatuh efektif (H ef) pembangkit listrik tenaga air Sutami sebesar 85.41, dengan menggunakan tail race (TWL) setinggi 181.90 m sehingga Nilai Produk Total (TVP = Total Value Product) energi listrik waduk Sutami dalam satu tahun sebesar: TE 2 = 3 ∗37 ∗ (78.94 ∗ Wo 2 ∗ 85.41) = 3 ∗ (2.46 ∗ Wo 2 )
(kWh) (gWh)
(24) Manfaat air baku yang lain dari waduk adalah nilai untuk pengairan dan sektor industri. Karena Iuran Pengelolaan Air Irigasi (IPAIR) yang ditetapkan
61
Pemerintah Daerah Tingkat II kurang mencerminkan harga air baku untuk irigasi, penentuan nilai air baku untuk pengairan dikembangkan dari factor income method (FIM) sebagaimana yang diuraikan oleh Chutubtim (2001). Metode tersebut dipergunakan untuk mengestimasi dampak proyek sebagai input dari produksi sehingga nilai air irigasi didekati dengan tambahan penerimaan (incremental income earned). Dengan demikian, harga air baku untuk pengairan dalam penelitian ini diduga berdasarkan rumus sebagai berikut: hp =
Pk (Ytp / Yp )
(25)
Ap
dimana: hp
= harga air air baku untuk pengairan (Rp/m3)
Pk
= harga komoditas padi (Rp ribu/ton)
Ytp /Yp
= proporsi perbedaan produktivitas antara pengairan dan tanpa pengairan (ton/ha)
Ap
= volume kebutuhan air irigasi tanaman padi (m3/ha)
Nilai satuan air untuk irigasi tersebut dianggap telah mencerminkan manfaat dari investasi sekaligus biaya operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana pengairan. Proporsi perbedaan produktivitas antara padi dengan pengairan dan tanpa pengairan didekati dengan rasio antara produktivitas padi sawah dan padi tegal. Hal tersebut dilakukan karena hasil kajian secara spesifik tentang perbedaan produktivitas dengan pengairan dan tanpa pengairan relatif sulit didapatkan. Manfaat air baku untuk pengairan merupakan hasil kali antara harga air persatuan dan kuantitas air waduk yang dipergunakan untuk pengairan. Volume air untuk pengairan
didekati dengan besarnya sumbangan outflow Sutami
terhadap air baku untuk pengairan.
62
Sementara itu, pendugaan manfaat air baku Waduk Sutami untuk sektor industri sebesar hasil kali antara harga air sektor industri dan sumbangan outflow Waduk Sutami terhadap alokasi air baku untuk sektor industri. Harga air baku yang didistribusikan untuk sektor industri didasarkan pada tarif yang merupakan hasil kesepakan antara pihak otorita dengan pengguna, yaitu sebesar Rp60 per m3 (Perusahaan Umum Jasa Tirta I, 2003). Disadari bahwa tingkat tarif tersebut baru mencerminkan komponen biaya operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana, sehingga belum mempertimbangkan biaya investasi. Namun, karena keterbatasan peneliti dalam pengumpulan data dan kesulitan perhitungan nilai satuan air untuk sektor industri, manfaat air untuk penggunaan sektor industri didasarkan pada tarif tersebut. 2.6.5
Model Pengelolaan Sumberdaya Air Dalam Kompetisi Antar Sektor di Wilayah Hilir Daerah Irigasi Jatiluhur Model Integrasi Ekonomi dan Hidrologi Daerah Irigasi Jatiluhur (Model
DIJ) dibangun dari beberapa model yang telah ada, dengan beberapa perubahan sesuai dengan kondisi yang ada di Daerah Irigasi Jatiluhur. Model DIJ yang dikembangkan oleh Katiandagho (2007) merupakan model ekonomi dengan mempertimbangkan
pengaruh
hidrologis.
Fungsi
tujuannya
adalah
memaksimumkan net social benefit dari alokasi air ke sektor pertanian, domestik dan sektor industri dengan menggunakan pendekatan optimasi dinamik. Pendekatan dinamik yang dipilih sebab kondisi sumberdaya air yang selalu berubah menurut waktu (Conrad 1999). Net social benefit merupakan kumulatif net benefit sektor pertanian, net benefit PDAM, net benefit sektor industri, dan net benefit Perusahaan Umum Tirta II.
63
max NSB ( X ijk (t ) ) = NBPRT (t ) + NBPDAM (t ) + NBIND (t ) + NBJT (t )
(26)
Net benefit sektor pertanian merupakan selisih total penerimaan dengan biaya total selama satu musim tanam. Total penerimaan sektor pertanian merupakan perkalian antara luas areal panen dikalikan dengan produktivitas padi dan harga gabah kering di tingkat petani, total biaya sektor pertanian (TBA jkm ) meliputi biaya untuk pupuk, pestisida dan herbisida, tenaga kerja termasuk hewan dan mesin yang digunakan, adapun biaya air irigasi dipisahkan dari total biaya input lain. 1
5
10
8
2
{YAjkmn * PPD } - {TBAjkn } - { X 1jkmn (t)* PIR }
NBPRTn = ∑∑∑∑∑ L j kn * i=1 j=1 k=1 m=1 n=1
(27)
dimana: L jkn
= luas areal irigasi pada sawah j wilayah k musim tanam n
YA jkn
= produktivitas padi aktual pada sawah j wilayah m musim tanam n
P PD
= harga padi (Rp ribu/ha)
TBA jkn
= total biaya pada sawah j wilayah k musim tanam n
X 1jkmn (t) = banyaknya air irigasi pada sawah j, wilayah k, aktivitas tanam m, musim tanam n (m3/dua minggu) P IR
= harga air irigasi
1
= sektor pertanian
j
= golongan sawah j = 1, 2, ..., 5
k
= wilayah, k = 1,2,...,8; 1 - wilayah Curug, 2 - wilayah Cibeet A, 3 - wilayah Cibeet B, 4 - wilayah Cikarang A, 5 wilayah Cikarang B, 6 - wilayah Bekasi A, 7 - wilayah Bekasi B dan 8 - wilayah Bekasi C
m
= tahap pertumbuhan, m = 1, 2, ..., 10 untuk setiap golongan sawah
n
= musim tanam, n = 1, 2
64
Dalam model ASDIJ, air dianggap sebagai salah satu input karena tanpa adanya air irigasi produktivitas tanaman akan menurun, terutama untuk tanaman padi sawah. Meskipun pada kondisi riil petani tidak diwajibkan membayar air irigasi yang diterimanya kepada Perusahaan Umum Jasa Tirta II, sebagai salah satu input untuk memperolehnya petani dianggap membayar setiap meter kubik air yang diterimanya, harga air irigasi yang dipakai adalah harga air irigasi yang ditetapkan JICA diacu dalam Ringler et al. (2004), yaitu Rp5 per meter kubik. Net benefit domestik (NB PDAM ) merupakan benefit yang dihasilkan dari pemakaian air baku oleh perusahaan daerah air minum.
Fungsi net benefit
perusahaan daerah air minum diturunkan dari formula yang dikemukakan Syaukat (2000) dengan beberapa penyesuaian. Total penerimaan perusahaan daerah air minum (TR PDAM ) merupakan pengeluaran pelanggan perusahaan daerah air minum untuk pembayaran pemakaian air bersih yang telah dikonsumsi per setengah bulan adalah sebagai berikut: 2
TRPDAM (t ) =
8
8
å å å {cwc j * X 2 jk (t ) * PCW j }
(28)
i= 2 j = 6 k = 1
Total biaya perusahaan daerah air minum (TC PDAM ) merupakan penjumlahan biaya pengolahan air baku, biaya distribusi per setengah bulanan. Total biaya perusahaan daerah air minum adalah sebagai berikut: ïìï (1/ efo )* ktbo * X (t ) kfbo + ïü ïï 2 jk j ï ïï 2 8 8 ïï TCPDAM (t ) = å å å ïí (1/ efd j )* ktbd * X 2 jk (t ) kfbd + ïý ïï i= 2 j = 6 k = 1ïï ïï ïï ïï (X 2 jk (t ) * PWD j ) ïï î þ
( (
) )
Net benefit perusahaan daerah air minum sebagai berikut:
(29)
65
é{cwc * X (t ) * PCW } ù j 2 jk j ê ú ê ú kfbo êïì ú + ïïüú 2 8 8 êïï (1/ efo j )* ktbo * X 2 jk (t ) ï ê ú ïï NBPDAM (t ) = å å å nd jk * êïï ú kfbd ï + ïýú i= 2 j = 6 k = 1 êíï (1/ efd j )* ktbd * X 2 jk (t ) ïï ú êï ïï ú êïï êïï (X 2 jk (t ) * PWD j ) ïï ú þû ëî
( (
) )
(30)
dimana: X 2jk
= volume air bersih yang diambil pelanggan perusahaan daerah air minum per golongan per wilayah (m3/dua minggu)
PCW j
= harga air bersih perusahaan daerah air minum per meter kubik (Rp/m3)
PWD j
= harga air baku per meter kubik per golongan PDAM (Rp/m3)
efo j
= efisiensi pengolahan air pada perusahaan daerah air minum golongan j
efd j
= efisiensi distribusi air pada perusahaan daerah air minum golongan j
ktbo
= konstanta biaya pengolahan air bersih
ktbd
= konstanta biaya distribusi air bersih
kfbo
= koefisien biaya pengolahan air baku
kfbd
= koefisien biaya distribusi air bersih
cwc
= koefisien konversi air baku menjadi air bersih
Net benefit sektor industri (NB IN ) didekati dengan menggunakan consumer surplus. Pendekatan ini dilakukan karena sulitnya mengelompokkan jenis sektor industri serta kebutuhan air setiap jenisnya sehingga pendekatan yang dilakukan dengan melihat permintaan air sektor industri dipengaruhi oleh harga air sektor industri. ln( X 3 jk ) = µ - θ ln ( PWI ) dimana: X 3jk
= permintaan air sektor industri (m3/dua minggu)
μ
= konstanta permintaan air sektor industri
θ
= elastisitas permintaan air sektor industri
(31)
66
PWI
= harga air industi (Rp/m3)
Berdasarkan nilai X 3 , PWI, estimasi θ,dan konstanta μ dapat dihitung net benefit dari pemakaian air sektor industri yang didekati dengan consumer surplus sebagai berikut: m 1- 1 ) e( q ) (1- 1 q ) ( q 11 8 * X 3jk (t) - X 3jk0 NBIND ( t ) = ∑∑ ni jk * 1- 1 q j=9 k=1 - X (t)* PWI (t) } 3jk { 3jk
(
)
(32)
dimana: NB IND (t) = net benefit pemakaian air sektor industri (Rp Juta/dua minggu) X 3jk (t)
= permintaan air sektor industri golongan j wilayah k (m3/dua minggu)
X 3jk0
= permintaan normal air sektor industri golongan j wilayah k (m3/dua minggu)
PWI jk
= harga air sektor industri golongan j di wilayah k (Rp/m3)
μ
= konstanta
θ
= elastisitas permintaan air sektor industri
e
= bilangan natural (e = 2.71828)
Net benefit Perusahaan Umum Jasa Tita II merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan dari penyaluran air ke sektor pemakai air. Total penerimaan Perusahaan Umum Jasa Tita II merupakan total biaya yang harus dikeluarkan oleh sektor pemakai air untuk memperoleh air baku. Total biaya yang dikeluarkan oleh Perusahaan Umum Jasa Tita II adalah total biaya yang dikeluarkan untuk mendistribusikan air, yang terdiri dari biaya distribusi dan pemeliharaan saluran.
67
éìï 5 7 ü ü ïï ìïï 8 7 ïï ù êï ú íê å å (X1, j,k (t ))* PIR ý +í å å (X 2,j,k (t ))* PDO j ý +ú ïêï j= 1 k= 1 ïï ïï j= 6 k= 1 ïï ú þ î þ ú TRJT (t )= êî êïì 11 7 ú ïü êï ú ï êíï å å (X 3,j,k (t ))* PIN (t )ýï ú ê ú ï þ ëîï j= 9 k= 1 û
(33)
bd ù é ì 3 11 8 ö 3 11 8 ïïü æ ê ïï ú ÷ ç ÷ TBJT (t )= êbt * í å å å (X i , j ,k )ý + ççå å å (X i , j ,k )÷ ú ÷ ïï çèi= 1 j= 1 k = 1 ê ï ú ÷ ø ú þ ê îï i= 1 j= 1 k = 1 ë û
(34)
NBJT (t )= TRJT (t )- TBJT (t )
(35)
dimana: TR JT (t)
= total penerimaan Jasa Tirta (Rp juta/dua minggu)
TB JT (t)
= total biaya Jasa Tirta (Rp juta/dua minggu)
NB JT (t) = net benefit Jasa Tirta (Rp juta/dua minggu) X 1,j,k (t)
= air irigasi yang diambil sektor pertanian (m3/dua minggu)
X 2,j,k (t)
= air baku yang diambil PDAM dan PAM DKI (m3/dua minggu)
X 3,j,k (t)
= air yang digunakan sektor industri (m3/dua minggu)
P IR (t)
= harga air irigasi (Rp/m3)
P DO (t)
= harga air baku untuk PDAM dan PAM DKI (Rp/m3)
P IN (t)
= harga air untuk sektor industri (Rp/m3)
bt
= koefisien biaya operasi
bd
= koefisien biaya distribusi
Net social benefit merupakan kumulatif dari net benefit Perusahaan Umum Jasa Tirta II dan net benefit dari sektor pemakai air selama satu tahun. Net social benefit diformulasikan sebagai berikut:
68
NSB ( X ijkmn (t ) ) =
1 5 8 10 2 ρ t ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ L j kn * {YA jkmn * PPD } - {TBA jkn } - { X 1jkmn (t)* PIR } + i=1 j=1 k=1 m=1 n=1 {cwc j * X 2jk (t)* PCW j } 2 8 8 ( ( 1/efo j ) * ktbo* X 2jk (t)kfbo ) + ∑ ∑ nd jk * 1/efd * ktbd * X (t)kfbd + + ∑ i=2 j=6 k=1 ( ( ) j ) 2jk X (t)* PWD ( ) 2jk j ( m q ) 11 8 (1- 1 q ) e (1- 1 q ) ∑ ∑ ni jk * * X 3jk (t) - X 3jk0 - { X 3jk (t)* PWI 3jk (t)} + j=9 k=1 1- 1 q 5 7 8 7 X 1, j,k ( t ) * PIR + ∑∑ X 2,j,k ( t ) * PDO j + =∑∑ =j 6 = j 1= k 1 k 1 3 11 8 bt * ∑∑∑ X i , j , k + 11 7 =i 1 =j 1 =k 1 ∑∑ X 3,j,k ( t ) * PIN ( t ) − bd 3 11 8 j=9 k =1 ∑∑∑ X i , j , k = = = i j k 1 1 1
)
(
(
)
(
(
)
)
(
(
)
(36)
)
Pengelolaan air Daerah Irigasi Jatiluhur berbeda dengan pengelolaan di berbagai wilayah seperti yang telah diuraikan sebelumnya, yang pengelolanya merupakan badan usaha milik pemerintah, penggunanya terdiri dari sektor pertanian, domestik, dan sektor industri, serta pembangkit listrik tenaga air (Katiandagho, 2007). Pengguna airnya dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok yang memandang air sebagai barang publik karena tidak dibebankan pembayaran atas air yang diterimanya dan kelompok yang memandang air sebagai barang ekonomi yang membayar sesuai dengan jumlah air yang diterimanya. 2.6.6
Matrik Model Pengelolaan Satuan Wilayah Sungai Model-model yang telah diuraikan di atas pada umumnya memperhatikan
benefit dari sisi pengguna, sedangkan dari sisi pengelola terutama pengelola badan usaha Pemerintah dengan kelompok pengguna yang berbeda belum dilakukan.
69
Penelitian ini akan membangun model pengelolaan sumberdaya air dari sisi pengelola dengan 5 kelompok pengguna yang berbeda. Keempat model di atas dapat dipetakan pada Tabel 2. Dengan dasar model yang telah dikembangkan dari keempat model tersebut, model yang akan dikembangkan adalah Model Alokasi Sumberdaya Air Daerah Irigasi Jatiluhur (Model ASDIJ) yang dikembangkan oleh Katiandagho (2007) dari beberapa model yang telah ada, dengan beberapa perubahan sesuai kondisi dengan yang ada di Daerah Irigasi Jatiluhur. Hal itu, merupakan model ekonomi dengan mempertimbangkan pengaruh hidrologis. Model Katiandagho dibatasi hanya pada subsistem Daerah Irigasi Jatiluhur, yaitu Tarum Barat. Salah satu menyarankan agar peneliti selanjutnya mengembangkan seluruh sistem Daerah Irigasi Jatilihur. Masalah harga air pada penelitian Katiandagho menyangkut masalah memaksimumkan net social benefit dari alokasi air ke sektor pertanian, domestik, dan sektor industri dengan menggunakan pendekatan optimasi dinamik. Tabel 2.
Matrik Perbandingan Model Pengelolaan Air Secara Ekonomi
Lokasi
Dong Nai River Basin Vietnam
Sistem PDAM DKI
Sungai Brantas
Subsistem Daerah Irigasi Jatiluhur
Penulis
International Food Policy Research Institute
Yusman Syaukat
Rini Dwiastuti
Kantiandagho
Tahun Penelitian
Tahun 2000
Tahun 2000
Tahun- 2005
Tahun 2007
Model Lokasi
Model di Dong Nai River, Vietnam
Model Alokasi Air di PAM DKI
Model Pengelolaan Sumberdaya Air di Wilayah Tangkapan Air Bendungan Sutami dan Sengguruh
Model integrasi Ekonomi dan Hidrologi di Daerah Irigasi Jatiluhur Bagian Barat
Pendekatan
Pendekatan Optimasi Dinamik
Pendekatan Optimasi Dinamik
Pendekatan Optimasi Dinamik
Lokasi
Wilayah Sungai Dong Nai
PDAM DKI
Wilayah Sungai Brantas
Pendekatan Optimasi Dinamik Wilayah Tarum Barat, sub sistem Daerah Irigasi Jatiluhur
Air Permukaan
Berkaitan air permukaan
Berkaitan air permukaan dan air bawah tanah Berkaitan air permukaan terintegrasi
Berkaitan air permukaan
70
Model Air
Model integrasi hidrolis dan ekonomi
Model integrasi air tanah dan air permukaan PAM DKI
Model pengelolaan sumberdaya air akibat sedimentasi
Model integrasi hidrolis dan ekonomi
Kepentingan
Kepentingan publik
Kepentingan Private
Kepentingan publik
Kepentingan publiksemi private
Kebutuhan
Sektor pertanian irigasi, pembangkit listrik tenaga air, municipal, sektor industri
Air pipa, air tanah untuk air minum DKI
Air permukaan untuk sektor pertanian irigasi, pembangkit listrik tenaga air, municipal, sektor industri
Air permukaan untuk irigasi sektor pertanian, PDAM, sektor industri
Penggunaan Air
Pengguna air tidak terukur
Pengguna air terukur (water meter)
Pengguna air tidak terukur
Pengguna air terukur (PAM) dan tidak terukur (sektor pertanian)
Harga Air
Harga air ditentukan
Harga air ditentukan
Harga air ditentukan
Harga air dicari dari sisi penawaran
Perhitungan
Menghitung net profit tahunan, akibat pemakaian air irigasi, municipal, sektor industri, pembangkit listrik tenaga air
Menghitung present value NSB antara pemakai air dan biaya produksi dan pengambilan air tanah
Menganalisis alokasi optimal intertemporal dari lahan dan dampaknya akibat eksternalitas
Menghitung NSB dari alokasi air ke sektor pertanian,PAM, dan sektor industri
Harga air bersih dihitung dari sisi pemasok/perusahaan
Harga air baku ditentukan dari sisi pengguna
Harga air baku ditentukan dari sisi pengguna
Harga Air Bersih
-
Dengan pendekatan dinamik seperti itu, harga air dalam penelitian ini diasumsikan tertentu. Tentang harga air telah dilakukan penelitian oleh Syaukat (2000) tetapi hanya menyangkut air minum di Perusahaan Air Minum
DKI
Jakarta. Jadi, yang akan dikembangkan penelitian ini adalah optimasi alokasi dan nilai air yang memberikan manfaa sosial bersih, baik pengguna maupun penglola dari sisi ekonomi dengan mempertimbangkan pengaruh hidrologis untuk seluruh sistem Daerah Irigasi Jatiluhur.
71
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Teoretis
3.1.1
Teori Model Optimasi Dinamik Penyelesaian masalah optimasi dinamik akan memberikan pola waktu
optimal untuk setiap variabel yang dipilih, rincian variabel hari ini, besok, dan sampai akhir periode (Chiang, 1997). Beberapa komponen optimasi dinamik meliputi (1) variabel penentu keputusan (state variable), (2) periode keputusan (decision stage), (3) variabel keputusan (decision variable), (4) penerimaan setiap tahap periode (stage return), (5) fungsi transisi atau fungsi transformasi (transformation function), dan (6) fungsi tujuan (objective function). Penentuan state variable pada Daerah Irigasi Jatiluhur didasarkan pada hubungan antara penyaluran air dari Waduk Juanda ke sektor-sektor pengguna berdasarkan aktivitas sektor tersebut dengan kendala air yang termanfaatkan tersedia. State variable dari suatu keputusan adalah ketersediaan air di Waduk Juanda. Air yang tersedia di Waduk Juanda merupakan cadangan sumberdaya air yang akan berubah seiring dengan waktu akibat variabel keputusan yang dilakukan. Ringler et al, (2000) mengungkapkan bahwa pertumbuhan wilayah perkotaan yang di dalamnya mencakup pertambahan penduduk dan sektor industri telah mempengaruhi keputusan pengelola waduk dalam menyalurkan air ke sektor-sektor pemakai air terutama di wilayah hilir. Komponen fungsi transisi merupakan kendala dinamis yang dimaksudkan untuk menggambarkan besarnya cadangan sumberdaya air pada tahun ke (t + 1) yang ditentukan oleh besarnya cadangan dan keputusan pada tahap ke t. Pada
72
penelitian ini, fungsi transisi yang menjadi kendala dinamis, yaitu alokasi air ke sektor-sektor adalah ketersediaan air di Waduk Juanda. Tahapan keputusan (desicion stage) dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan tahapan kebutuhan air untuk sektor pertanian dan nonpertanian di Daerah Irigasi Jatiluhur. Horizon waktu (time horizon) pemecahan problem dinamik ditetapkan dengan sengaja, yaitu tahunan. Alokasi air ke sektor pengguna (user) sebagai variabel keputusan karena alokasi air ke berbagai sektor berperan dalam menghasilkan produk dari sektor-sektor tersebut yang akan mendatangkan manfaat sosial bagi sektor-sektor yang ada di Daerah Irigasi Jatiluhur. Pemecahan masalah optimal didasarkan pada fungsi tujuan (objective function) yang merupakan kumulatif dari masing-masing sektor pengguna, yaitu dengan memaksimumkan manfaat bersih (net benefit) pengelola di seluruh wilayah Daerah Irigasi Jatiluhur dalam satu horison waktu. 3.1.2
Konsep Manfaat dalam Alokasi Sumberdaya Air Manfaat yang dihasilkan akibat ekstraksi sumberdaya diukur dengan
menggunakan konsep surplus. Surplus merupakan selisih antara manfaat kotor (gross benefit) dan biaya yang dikeluarkan pengelola untuk mengekstraksi sumberdaya alam. Green (1992) memandang bahwa menggunakan pendekatan surplus untuk mengukur manfaat sumberdaya alam merupakan pengukuran yang tepat karena pemanfaatan sumberdaya dinilai berdasarkan alternatif penggunaan terbaiknya (best alternative use). Aspek intertemporal bagi konsumen menyangkut preferensi waktu (time preference), atau membandingkan manfaat ekonomi dari sumberdaya alam dalam waktu yang berbeda. Salah satu kunci penentuan pengambilan keputusan yang
73
bersifat intertemporal tersebut dilakukan melalui proses discounting atau discount rate. Proses discounting menunjukkan perilaku masyarakat terhadap ekstraksi sumberdaya dan menilai sumberdaya tersebut (Hanley et al. 1997). Sumberdaya
air
permukaan
merupakan
sumberdaya
yang
dapat
diperbaharui (renewable), ditandai dengan masuknya air (inflow) ke waduk setiap saat. Konsep manfaat sumberdaya yang dapat terbarukan berbeda dengan yang tidak dapat terbarukan. Discount rate pada periode t yang disimbolkan δ merupakan pure preference time atau yang biasa dikenal sebagai interest rate. Jika discount factor biasanya digunakan untuk menghitung nilai sekarang dari sumberdaya, hubungan antara discount factor dan discount rate adalah sebagai berikut ini:
r=
1 (1 + d)
(37)
Jika Yt merupakan tingkat ekstraksi sumberdaya pada periode t, X t adalah stok sumberdaya, maka perubahan stok sumberdaya akibat ekstraksi yang dilakukan adalah:
X t + 1 - X t = F (X t )- Yt
(38)
dimana F(X t ) adalah fungsi pertumbuhan sumberdaya atau inflow ke waduk pada sumberdaya air permukaan, dengan asumsi bahwa fungsi pertumbuhan pada periode t ke t + 1 lebih besar. Diasumsikan juga bahwa fungsi pertumbuhan kontinyu baik pada turunan pertama maupun turunan kedua, dan stok awal (X 0 ) diketahui, manfaat bersih dari ekstraksi sumberdaya adalah:
pt = p (X t , Yt )
(39)
74
Fungsi manfaat bersih ini kontinyu baik pada turunan pertama maupun kedua. X t dimasukkan dalam fungsi manfaat bersih karena stok yang lebih besar akan berakibat menambah biaya penyimpanan selama menunggu ekstraksi atau karena nilai yang terkandung dalam sumberdaya tersebut. Ekstraksi terbaik dilakukan pada saat present value net benefit maksimum. Maksimumkan
T
p = å r t p (X t , Yt )
(40)
t= 0
dengan kendala
X t + 1 - X t = F (X t )- Yt
(41)
dimana X 0 ditentukan. Jika λ t disebut Lagrange multipliers atau shadow price merupakan nilai marjinal setiap tambahan X t , maka persamaan (41) dikalikan dengan ρt-1λ t+1 , fungsi Lagrangian menjadi: T
L = å r t {p (X t , Yt )+ r l t= 0
t+ 1
éX t + F (X t )- Yt - X t + 1 ù} ë û
(42)
Untuk mendapatkan nilai optimal dari ekstraksi (Y t ), stok (X t ) dan shadow price, maka dicarilah turunan pertama parsial dari fungsi Lagrangian respek terhadap ketiganya dan diperoleh: ¶L = rt ¶ Yt
{ p( ) ¶ ·
¶ Yt
- rl
t+ 1
}= 0
(43)
Maka: ¶ p(· ) ¶ Yt
dimana
= rl
¶ p(· ) ¶ Yt
t+ 1
(44)
disebut marjinal manfaat bersih atau pertambahan manfaat bersih
akibat penambahan ekstraksi pada periode t, atau disebut juga opportunity cost. Sementara itu r l
t + 1 disebut
juga future cost, yaitu biaya yang akan ditanggung
75
pada masa mendatang karena keputusan ekstraksi hari ini atau user cost. Ektraksi optimal terjadi pada saat opportunity cost sama dengan user cost. ¶L ¶X t
= rt
{ p( ) ¶
g
¶X t
- rl
é
1+ t+ 1 ë
}
t t F ¢(g)ù û- r l = 0
(45)
Maka
lt=
{ p( ) ¶
g
¶X t
- rl
é
1+ t+ 1 ë
}
F ¢(g)ù û
(46)
Sumberdaya dikelola secara optimal ketika nilai setiap pertambahan unit sumberdaya pada periode t, l ¶ p(g) ¶X t
t
sama dengan manfaat marjinal pada periode t,
, ditambah dengan manfaat marjinal jika tidak melakukan ekstraksi pada
periode berikutnya r l ¶L = ¶ éëêr l t+ 1 ùûú
é
1+ t+ 1 ë
F ¢(g)ù û.
r ¢{ X t + F (X t )- Yt - X t + 1} = 0
(47)
Maka
X t + 1 = X t + F (X t )- Yt
(48)
Setelah dilakukan berbagai substitusi aljabar, akhirnya diperoleh: F ¢(X )+
¶ p(· ) ¶X ¶ p(· ) ¶Y
=d
(49)
Persamaan (48) merupakan persamaan fundamental dari sumberdaya terbarukan, dimana F’(X) dapat diintepretasikan sebagai marginal net growth rate atau disebut juga marginal stock effect yang mengukur nilai marjinal stok relatif terhadap nilai marjinal ekstraksi. Nilai optimal X dan Y jika internal rate return sama dengan discount rate δ (Conrad, 1999).
76
3.1.3
Pendekatan Indek Permintaan dan Nilai Air
3.1.3.1 Indek Permintaan Air oleh Pengguna Dengan mengacu kepada skenario pertumbuhan penduduk, Syaukat (2000) mengemukakan bahwa fungsi permintaan air untuk setiap pengguna sesuai dengan setiap indek pertumbuhan pengguna dan dibuat skenario (1 + ρ)t yang digunakan untuk menghitung pertumbuhan, misalnya pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Selanjutnya, dirumuskan hal itu sebagai berikut: nij (t )= (1 + ρ )t
nij (0) hij
(50)
dimana: n ij
= indek setiap pengguna tahun t
n ij (0) = jumlah awal pengguna air untuk setiap pengguna. ρ
= indek pertumbuhan ekonomi.
h ij
= rata-rata jumlah keluarga di tempat pengguna.
3.1.3.2 Efisiensi Produksi Air di Saluran Oleh Syaukat (2000) dikemukakan bahwa efisiensi penggunaan air adalah sebagai berikut:
(
n= ( t ) ψ 1 − e −γ V ( t )
)
(51)
dimana: n(t)
= koefisien efisiensi distribusi air
V(t)
= ketersediaan air di saluran induk dalam tahun t, dan juta m3
e
= bilangan natural (e = 2.71828)
γ
= koefisien stok air, 0 < γ < 1
ψ
= konstanta, lebih kecil dari satu
Volume air baku yang disampaikan pada tahun t, W(t) didefinisikan dalam persamaan:
77
Wi ( t ) = ni ( t ) Vi ( t )
(52)
dimana: W(t)
= volume air dalam juta m3 yang disampaikan kepada sektorsektor pada tahun t.
Efisiensi volume air untuk waduk 99 persen dan saluran induk diasumsikan sebesar 95 persen (Nippon Koei, 2006). 3.1.3.3 Fungsi Obyektif Sumberdaya air sebagai input sektor pengguna akan memerlukan biaya, tetapi menjadi
output pengelola yang akan menghasilkan benefit. Dengan
demikian baik pengguna maupun pengelola akan mendapatkan manfaat dari sumberdaya air tersebut yang dikenal dengan manfaat sosial (social benefit). Oleh karena keterbatasan sumberdaya air, perlu dioptimasi sumberdaya tersebut dengan komponen
tujuan atau
fungsi obyektif yang dilengkapi dengan kendala.
Komponen utama model optimasi dinamik: pertama adalah fungsi obyektif yaitu manfaat sosial bersih (net social benefit) dengan cara memaksimumkan aktivitas produksi dan konsumsi air berbagai sektor pengguna. Komponen kedua adalah kendala yaitu keterbatasan sumberdaya air. Fungsi obyektifnya adalah manfaat sosial bersih dengan cara memaksimumkan selisih antara manfaat total dan biaya total. Secara marjinal dapat terlihat seprti pada Gambar 8. Dari Gambar 8. dapat dijelaskan bahwa Q L alokasi air optimum pengguna dan P L adalah nilai air optimum pada saat biaya marjinal ditambah biaya kelestarian infrastruktur. Q* alokasi air optimum pengguna dan P* adalah nilai air optimum pada saat biaya marjinal tanpa ditambah biaya kelestarian infrastruktur. P*P L adalah biaya
78
marjinal yang ditanggung pengguna (marginal user cost) sebagai biaya kelestarian infrastruktur.
Rp/m
Biaya marjinal pengguna
3
Surplus konsumen Surplus produsen Biaya marjinal ditambah biaya kelestarian infrastruktur Biaya marjinal tanpa ditambah biaya kelestarian infrastruktur
PL P*
Manfaat marjinal
0
QL
Q*
Kuantitas
Gambar 8. Manfaat Marjinal, Biaya Marjinal dan Biaya Marjinal Pengguna Memaksimumkan manfaat sosial bersih
berarti memaksimumkan surplus
konsumen ditambah surplus produsen. Dengan demikian alokasi dan nilai air optimum menghasilkan manfaat sosial bersih optimum. Kendala diidentifikasi dengan keterbatasan sumberdaya yaitu ketersediaan air di waduk dan kebutuhan air di sektor pengguna. 3.1.3.4 Nilai Air Baku Perihal pengertian tarif satuan atau tariff biasanya ditetapkan sepihak oleh produsen, harga satuan atau rate atau price adalah pengertian umum yaitu hasil kesepakatan antara permintaan dan penawaran di pasar. Dalam permasalahan publik yang cukup dikenal seperti yang disampaikan oleh Brown (1986) dan Syaukat (2000), ada dua macam tarif yaitu tarif berjenjang turun (decreasingblock rates) dan tarif berjenjang naik (increasing-block rates). Pada kasus
79
pengelolaan barang publik, misalnya tarif air minum di DKI Jakarta yang tarif air per m3 ditetapkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Tarif air baku berjenjang turun tergantung kepada jarak atau radius dan volume air yang diminta pelanggan. Menurut hukum permintaan dan penawaran bahwa bila harga suatu barang naik, kuantitas barang yang diminta akan berkurang dan bila harga barang turun, kuantitas barang akan bertambah. Jadi, bila harga awal tertinggi p 1 dan jumlah awal barang sebanyak x 1 , maka selang waktu tertentu harga turun yaitu p 1 > p 2 > p 3 .... akan dibarengi dengan permintaan barang yang bertambah banyak, yaitu x 1 < x 2 < x 3 .... Total penerimaan perlu diperhitungkan dengan harga awal sebagai harga minimal. Jadi: r(x i (t)) = a+ p i x i (t)
(53)
dimana r(x i (t)) adalah biaya total, a adalah biaya administrasi dan p i x i (t) adalah total biaya air. 3.1.3.5 Tarif Berganda Multipart tariff didefinisikan sebagai suatu harga (price) yang tidak seragam (uniform) setiap waktu untuk n ≥ 2 yang terdiri dari biaya administrasi Ei dan harga satuan (marginal price) pi untuk setiap waktu dapat dirumuskan sebagai berikut: P(Q) = P1, 0≤Q≤Q1, = P2, Q1≤Q≤Q2 = Pn….Qn-1≤Q dengan total biaya pengeluaran sebagai berikut:
(54)
80
R(Q) = E + PQ 1
Q < Q1
1 = E + PQ + P2 .(Q − Q1 ), 1 n −1
= E + ∑ PQ i i + Pn .(Q − Qn −1 ), i =1
Q1 ≤ Q < Q 2 Q ≥ Qn −1 (55)
Ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 12 mengenai Decreasing-block Tariff (Brown and Sibley, 1986). 3.1.3.6 Teori Harga Ramsey Bentuk dasar perilaku teori produsen adalah: Profit = R – C dimana R adalah pendapatan dan C adalah biaya. Selanjutnya persamaan diatas dijabarkan lebih lanjut menjadi: Profit = R –VC – F
(56)
dimana VC adalah variable cost dan F adalah fixed cost. E1+P1Q1 TOTAL BIAYA
E2+P2Q2 E3+P3Q3 M3
E4
M2
E3 M1 E2 E1 Q1 MARGINAL PRICE P1
Q2
Q3
VOLUME AIR
P1
P2
P2 P2
P3
P3 P3
P4 P4 VOLUME AIR
Gambar 9. Ilustrasi Multipart Tarif Decreasing-block Tariff
81
Untuk membuat profit maksimum perusahaan bahwa marginal revenue (MR) adalah revenue per unit meningkat sampai dengan marginal cost (MC). Pada teori Ramsey Pricing dikemukakan bahwa harga seragam (uniform price) yang efisien dinyatakan sebagai berikut: Maksimasi [CS + PS] {P1,P2…,Pm} dengan kendala PS=F
(57)
dimana CS + PS adalah total surplus, CS adalah consumer surplus dan PS adalah production surplus dan F adalah fixed cost perusahaan. Secara umum dinyatakan sebagai berikut: CS adalah consumer surplus dinyatakan ∞ M
CS =
∫ ∑ Q ( P P P ......P .....P i
1, 2, 3,
i,
M
)dP
P i=1
= U (Q1 , Q2 , Q3 ..........QM ()) −
M
∑PQ i
i
i=1
(58)
PS adalah producer surplus yang dinyatakan M
PS(P) =
∑ P Q ( P P P ......P .....P i
i
1, 2, 3,
i,
M
)
i=1
−C (Q1, (), Q2 (), Q3, ()...........QM ())
(59)
dimana fungsi C adalah fungsi seluruh biaya. Jadi total surplus CS+PS dapat dinyatakan sebagai: ∞ M
CS+PS =
∫ ∑ Q ( P P P ......P .....P i
1, 2, 3,
i,
M
) dPi +
P i=1
+
M
∑ P Q ( P P P ......P .....P i
i
1, 2, 3,
i,
M
)
i=1
− C (Q1, (), Q2 (), Q3, ()...........QM ())
(60)
82
Agar menjadi efisien dan maksimum total surplus CS+PS, dengan kendala fungsi harga P =( P1, P2, P3, ......Pi , .....PM ) .
(61)
Ramsey mengemukakan untuk memaksimumkan harga P 1 ,P 2 ,P 3 ,……P m dengan Lagrangian, bentuknya adalah sebagai berikut: ∞ m
L=
m
∫ ∑ Q dP + (λ + 1)∑ P Q i
i
i
P i=1
i=1
i
− VC () − FC .
(62)
Penerapan untuk water pricing dapat dinyatakan sebagai berikut: m m NB = B(x1 , x2 ..xm ) − Pi xi + Pi xi − C ( x1 , x2 ..xm ) x1 , x2 .. xm =i 1 = i 1
∑
Makx
∑
(63)
dengan kendala: m 0 Pi xi − C ( x1 , x2 ..xm ) − FC = i =1
∑
(64)
dimana: B(x1 , x2 ..xm ) =
m
∑ ∫ P x dx adalah fungsi total benefit i i
i =1
Pi
=
f(x 1 ,x 2 ,… x m ) adalah fungsi marginal benefit
xi
= jumlah air terkonsumsi oleh pelanggan
NB
= manfaat bersih (net benefit)
FC
= fixed cost
Untuk mencari maksimum dengan menggunakan fungsi Lagrange dari persamaan di atas adalah: m L =B(x1 , x2 ..xm ) − C ( x1 , x2 ..xm ) + λ Pi xi − C ( x1 , x2 ..xm ) − FC ) i =1
∑
(65)
83
dimana λ adalah koefisien pengganda untuk kendala full cost recovery dan FC adalah fixed cost perusahaan. Simbol λ adalah pengganda Lagrange untuk mengubah harga menjadi lebih baik agar terjadi break event perusahaan. Maksimasi L diderevatifkan ke x i , maka: ∂L ∂B ∂C = − + λ [ MRi − MCi ] = 0 ∂x i ∂x i ∂x i
(66)
dimana: MRi =
∂ m ∂C ∂B dan MCi = Pi ; Pi x i = ∂x i i=1 ∂x i ∂x i
∑
(67)
Jadi ∂Pi − MCi =λ MCi − MRi
(68) Bila P i adalah price output ke pelanggan i, MC i adalah marginal cost dan λ adalah pengganda, maka persamaan diatas dinyatakan sebagai berikut: Pi − MCi λ = ε Pi
(69)
Untuk pasar yang berbeda, dapat dinyatakan: Pi − MCi = λ = εi Pi
3.2
Pj − MC j Pj
ε j ,
i≠ j (70)
Kerangka Pemodelan Kerangka pemodelan dapat dilihat pada Gambar. 8. Penyaluran air dari
Waduk Juanda dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan di hilir bagi penggunanya, tetapi sebelumnya disalurkan melalui pembangkit listrik tenaga air (PLTA) agar menghasilkan listrik baru didistribusikan ke pengguna di Bendung Curug. Beberapa catatan dapat disampaikan di sini bahwa air untuk sektor-sektor secara proporsi tidak diatur berapa persen untuk irigasi, air minum, dan industri seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang
84
Sumberdaya Air. Selanjutnya, sistem prioritas pemanfaatan air dalam UndangUndang tersebut tidak diatur secara jelas antara air untuk air minum dan air untuk irigasi. Hanya tersirat bahwa kata ‘air minum’ ditulis lebih dahulu daripada kata ‘irigasi’, sehingga diintepretasikan bahwa air minum lebih diprioritaskan daripada irigasi. Penyaluran air dari Waduk Juanda
PLTA
IRIGASI
AIR BAKU
AIR BAKU
PLN
PERTANIAN
PAM
INDUSTRI
Profit penyaluran air untuk PLTA
Benefit penyaluran air irigasi
Profit penyaluran air baku domestik
Profit penyaluran air baku industri
Biaya operasional PLTA
Biaya penyaluran air irigasi
Biaya penyaluran air baku domestik
Biaya penyaluran air baku industri
Manfaat Bersih Keterangan :
kelompok konsumtif
kelompok non konsumtif
Catatan: Penyaluran air dari Waduk Juanda disesuaikan dengan kelompok konsumtif
keperluan
Gambar 10. Kerangka Pemodelan Penyaluran Sumberdaya Air di Daerah Irigasi Jatiluhur Perusahaan Umum Jasa Tirta II menghadapi dua peraturan yang kontradiktif, yaitu
peraturan tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
diharapkan menghasilkan profit serta dapat mengatasi pembiayaan yang dibutuhkan selama pengelolaan sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur.
85
Dipihak lain, pengelolaan air irigasi merupakan pengelolaan yang bersifat sosial sebagai layanan publik sehingga Perusahaan Umum Jasa Tirta II tidak mendapatkan return dari pengusahaan air untuk sektor pertanian. Padahal sektor pertanian merupakan pengguna air terbesar sehingga biaya operasional pengelolaan sumberdaya air hanya diatasi dengan penerimaan dari biaya jasa pengelolaan sumberdaya air (BJPSDA) dari perusahaan daerah air minum (PDAM) dan industri, serta penjualan daya listrik. Tarifnya ditetapkan oleh pemerintah. Akibatnya, pemeliharaan saluran tidak dapat dilakukan secara optimal. Kondisi saluran yang bocor dan penuh sedimentasi serta pintu-pintu air yang rusak menyebabkan tidak tercapainya pengelolaan sumberdaya air yang efisien. Dalam pengelolaan air di Daerah Irigasi Jatiluhur terdapat dua komponen penting, yaitu pengelolaan hidrologis dan manfaat sosial ekonomi yang dihasilkan dari pengoperasian sumberdaya air tersebut. Wilayah penyaluran air di Daerah Irigasi Jatiluhur terdiri dari dua kelompok besar, yaitu ke wilayah instream dan off stream. Penyaluran air ke instream diperuntukkan bagi pembangkit listrik tenaga air (PLTA), yang pengoperasiannya sangat ditentukan oleh ketersediaan air di waduk yang ditandai dengan elevasi air dan kebutuhan air di wilayah off stream. Air dari waduk disalurkan berdasarkan kebutuhan wilayah off stream melalui turbin dan menghasilkan tenaga listrik. Air keluar dari pembangkit listrik tenaga air volumenya tetap tidak mengurangi besaran kebutuhan volume air di hilir untuk memenuhi kebutuhan irigasi, perusahaan daerah air minum, dan industri. Pemakaian air di kedua wilayah tersebut menghasilkan manfaat baik bagi pengelola dalam hal ini Perusahaan Umum Jasa Tirta II maupun pengguna seperti
86
sektor pertanian, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, industri, serta Perusahaan Air Minum DKI Jakarta (PAM DKI). Penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui kewajaran tarif air yang ditetapkan pemerintah bagi pengelola dan pengguna sehingga biaya operasi dan pemeliharaan dapat dilaksanakan dengan baik. Kendala yang dihadapi adalah seperti, daya tampung dan ketersediaan air di waduk serta keperluan air di pengguna. Penelitian ini dibatasi pada wilayah kerja Perusahaan Umum Jasa Tirta II yaitu Daerah Irigasi Jatiluhur dari waduk Juanda ke Bendung Curug, kemudian ke bagian hilir yang dilayani oleh tiga wilayah saluran induk yaitu Tarum Timur, Tarum Utara dan Tarum Barat, pengguna airnya untuk sektor pertanian, perusahaan daerah air minum, industri, dan pembangkit listrik tenaga air. Air yang dikelola Perusahaan Umum Jasa Tirta II (diberi simbol X ij ) di Waduk Juanda dikeluarkan dari waduk melalui pembangkit listrik tenaga air yang menghasilkan listrik dan akan didistribusikan melalui Sungai Citarum di Bendung Curug. Selanjutnya, dari Bendung Curug didistribusikan melalui Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat untuk memenuhi kebutuhan di masing-masing sektor, yaitu: irigasi, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, dan industri di tiap-tiap wilayah, seperti DKI Jakarta, Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu. Di sini hubungan air yang keluar dari waduk Juanda dan pengguna di wilayah dinyatakan sebagai berikut: X JUANDA ≥ X TARUM TIMUR +X TARUM UTARA +X TARUM BARAT dimana: X = jumlah air dalam juta m3 .
(71)
87
Air dari waduk yang keluar melalui pembangkit listrik tenaga air kembali ke Sungai Citarum, kemudian di Bendung Curug yang jaraknya kurang lebih 12 km dari Waduk Juanda dibagi ke tiap-tiap saluran induk dan Perusahaan Air Minum DKI Jakarta untuk memenuhi kebutuhan air irigasi, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, dan industri. Untuk air ke Tarum Barat diteruskan oleh saluran Kali Malang untuk menjadi air baku di Perusahaan Air Minum DKI Jakarta. Jadi, hubungan antara air dari pembangkit listrik tenaga air di waduk dan pengguna di tiap-tiap saluran adalah sebagai berikut: X JUANDA (LT) ≥ X TT (IR,AM,IN)+X TU (IR,AM,IN)+X TB (IR,AM,IN,AD) (72)
dimana: LT
= sektor pembangkit listrik tenaga air
IR
= sektor irigasi
AM = sektor air minum perusahaan daerah air minum kabupaten/kota IN
= sektor industri
AD
= sektor air minum Perusahaan Air Minum DKI Jakarta
TT
= wilayah saluran induk Tarum Timur
TU
= wilayah saluran induk Tarum Utara
TB
= wilayah saluran induk Tarum Barat
Rumus diatas menunjukkan hubungan antara pembangkit listrik tenaga air dan pihak pengguna untuk irigasi, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, dan industri, setelah menghasilkan listrik melalui pembangkit listrik tenaga air: X LT ≥ (X IR +X AM +X IN ) TT + (X IR +X AM +X IN ) TU + (X IR +X AM +X IN +X AD ) TB (73)
Untuk air dari sumber setempat diasumsikan semuanya diperuntukkan bagi keperluan membantu irigasi. Inflow waduk diasumsikan sama dengan outflow
88
waduk dan efisiensi untuk pembangkit diasumsikan 99 waduk.
persen dari outflow
IV. MODEL KONSEPTUAL ALOKASI SUMBERDAYA AIR DI DAERAH IRIGASI JATILUHUR
Dalam teori di depan dikemukakan bahwa alokasi mempunyai hubungan erat dengan biaya dan manfaat. Alokasi air terjadi bila di suatu daerah tertentu mengalami kelangkaan air, seperti di Daerah Irigasi Jatiluhur terutama pada musim kemarau.
Konsep nilai air menjadi tarif air yang ditetapkan oleh
Pemerintah dari dimensi waktu dibuat berjenjang karena tidak mengikuti hukum pasar. Dalam pembahasan nilai atau manfaat marjinal air diasumsikan bahwa nilai air terkait dengan penggunaan volume air baik dari sisi permintaan maupun pasokan penggunaan air. Apabila permintaan air semakin banyak, nilai air atau manfaat marjinal semakin turun dan sebaliknya, bila permintaan air berkurang, nilai atau manfaat marjinal air meningkat. Biaya marjinal diasumsikan naik pada saat permintaan naik sebagai fungsi kuadrat terbuka ke atas. 4.1
Fungsi Manfaat Marjinal Bentuk umum fungsi manfaat marjinal atau marginal benefit air menurut
Syaukat (2000) adalah linier, eksponensial, atau logaritma linier sebagai berikut: 1. p i (t) = c i -d i x i (t) linier dengan kemiringan negatif
(74)
2. p i (t) = c i e-dxi(t) eksponensial
(75)
3. p i (t) = c i xi-di(t) linier logaritma
(76)
dimana c i dan d i adalah parameter fungsi manfaat marjinal dan x i adalah input berupa pasokan air pada setiap pengguna. Nilai manfaat marjinal setiap pengguna diasumsikan jumlahnya naik. Setiap pengguna permintaan pasokan diasumsikan
89
naik terus dan manfaat marjinal tidak sama dengan nol. Variabel p i disebut variabel independent dan x i disebut variabel dependent serta konstanta d i adalah elastisitas x i . Selanjutnya dalam penelitian ini fungsi manfaat marjinal diasumsikan sebagai fungsi linier seperti yang pertama. Wilayah pasokan dari waduk dan dialokasikan ke saluran induk Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat yang selanjtnya disalurkan ke sektor pengguna air yaitu sektor-sektor: pembangkit listrik tenaga air, irigasi pertanian, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota (PDAM/K/K), industri, dan Perusahaan Air Minum DKI Jakarta. Jadi, fungsi manfaat marjinal diasumsikan masing-masing sebagai fungsi linier untuk setiap sektor dan setiap wilayah yang dinyatakan sebagai berikut: pij (t= ) cij − dij xij (t )
(i) = (1..5), (j) = (1..4)
(77)
dimana: p ij (t)
= manfaat marjinal air sektor i pada wilayah j pada tahun t
x ij (t)
= volume air sektor i pada wilayah j pada tahun t
c ij
= konstanta fungsi manfaat marjinal (intercept) dari volume air di setiap sektor
d ij
= koefisien variabel x ij (slope) setiap sektor
Untuk manfaat total (BT), persamaan (77) perlu diintegralkan, sehingga: = BT (t ) cij xij (t ) −
dij 2
xij2 (t )
(78)
dimana konstantanya diasumsikan sama dengan nol. 4.2
Penerimaan Total Perusahaan Jasa Tirta II Penerimaan total Perusahaan Jasa Tirta II adalah jumlah dari sektor-
sektor, yang tiap-tiap sektor terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel sesuai
90
dengan tarif yang telah ditetapkan dan jumlah penggunaan air. Jadi penerimaan Perusahaan Jasa Tirta II dirumuskan sebagai berikut: TRPA ( xij ) = TRLT ( xij ) + TRIR ( xij ) + TRAM ( xij ) + TRIN ( xij ) + TRAD ( xij )
(79)
dimana: TR PA
= penerimaan total Perusahaan Jasa Tirta II
TR LT
= penerimaan total pembangkit listrik tenaga air
TR IR
= penerimaan total air irigasi untuk sektor pertanian
TR AM
= penerimaan total air baku untuk perusahaan daerah air minum kabupaten/kota
TR IN
= penerimaan total air baku untuk sektor industri
TR AD
= penerimaan total air baku Perusahaan Air Minum DKI Jakarta
Penerimaan total Perusahaan Jasa Tirta II bersumber dari penerimaan pasokan air ke sektor irigasi pertanian (sementara tidak ditarik iuran), perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, industri, Perusahaan Air Minum DKI Jakarta serta pembangkit listrik tenaga air. = TR
∞
∑∑∑ n (t ) ( f 5
4
=t 0=i 1 =j 1
ij
ij
+ vij xij (t ) )
dimana: TR
= total penerimaan
f ij
= biaya tetap ke pengguna
v ij
= tarif yang berlaku
x ij (t)
= volume air pengguna tahunan
(80)
91
4.3
Manfaat Total Pengguna Air Dalam matrik pada Tabel 3, air dipasok dari waduk untuk memenuhi
kebutuhan sektor nonpertanian dan sektor pertanian melalui saluran irigasi. Semua sumber setempat diasumsikan dipakai untuk memenuhi kebutuhan irigasi, sedangkan sektor yang lain airnya dipasok dari Waduk Juanda. Tabel 3. Matrik Volume Air ke Sektor Pengguna dari Wilayah Pemasok Permintaan Nomor Sektor 1 2 3 4 5
(i) (i=1) (i=2) (i=3) (i=4) (i=5)
Listrik Irigasi PDAM KK Industri PAM DKI
Waduk Juanda (j=1) X11
Wilayah Pasokan Air Tarum Tarum Timur Utara (j=2) (j=3) X22 X32 X42
X23 X33 X43
Tarum Barat (j=4) X24 X34 X44 X54
Sebagai contoh, untuk air dari Waduk Juanda (outflow) dinyatakan dalam bentuk: 1
AirWaduk = ∑ x1 j
(81)
j =1
dimana: x 1j
= air dari wilayah Waduk Juanda untuk pengguna listrik
i
= 1, indeks untuk sektor listrik
j
= 1, wilayah Waduk Juanda
Jadi, jumlah air yang keluar dari waduk akan setara dengan produksi pembangkit listrik tenaga air setiap tahunnya dan air keluar dari Waduk Juanda lebih besar atau sama dengan jumlah air untuk sektor-sektor per wilayah. 1
1
5
4
∑∑ σ i xi, j (t ) ≥ ∑∑ σ i xij (t )
=i 1 =j 1
=i 2=j 2
(82)
92
dimana: i = 1 sektor listrik i = 2 sektor irigasi i = 3 sektor perusahaan daerah air minum kabupaten/kota i = 4 sektor industri i = 5 sektor air minum Perusahaan Air Minum DKI Jakarta. σ i = efisiensi i (i = 1, σ i = 0.99 dan I ≠ 1, σ i = 0.95). 4.3.1
Manfaat Total Sektor Pembangkit Listrik Tenaga Air. Manfaat dari pengguna air Waduk Juanda untuk membangkitkan
pembangkit listrik tenaga air tergantung kepada air yang keluar dari Waduk Juanda. Bila p ij adalah manfaat marjinal air dari waduk dan dimanfaatkan untuk keperluan
pembangkit listrik tenaga air sebanyak x 11 pada tahun ke t maka
manfaat total dari pembangkit listrik tenaga air: 1
= BTLT (t )
∑σ
= BTLT (t )
∑σ
j =1
1
1
j =1
1
d * n1 j x1 j (t ) c1 j − 1 j x1 j (t ) 2 d * n1 j c1 j x1 j (t ) − 1 j x12j (t ) 2
(83)
dimana: n ij =
indeks pertumbuhan listrik
i
= 1 sektor listrik
j
= 1 wilayah Waduk Juanda
σ1
=
efisiensi penyaluran air untuk pembangkit listrik tenaga air
dengan asumsi untuk memproduksi 1 kWh setara dengan 7 m3/detik air.
93
4.3.2
Manfaat Total Sektor Irigasi Manfaat total dari pengguna sektor irigasi untuk pertanian (i = 2) di
wilayah Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat, dapat dirumuskan sebagai berikut: 4
∑σ
= BTIR (t )
j =2
2
d * n2 j c2 j x2 j (t ) − 2 j x22 j (t ) 2
(84)
dimana: BT IR (t) = penerimaan Perusahaan Jasa Tirta II dari Divisi: Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat untuk sektor irigasi pada tahun t x ij (t)
= volume air ke sektor irigasi di wilayah j pada tahun t
i
= 2, untuk sektor irigasi
j
= wilayah (j=2 Tarum Timur, j=3 Tarum Utara, j=4 Tarum Barat)
n ij
= indeks pertumbuhan irigasi
σ2
= efisiensi penyaluran air untuk irigasi
4.3.3 Manfaat Total Kabupaten/Kota
Sektor
Perusahaan
Daerah
Air
Minum
Manfaat total dari pengguna sektor air baku untuk perusahaan daerah air minum kabupaten/kota (i = 3) di wilayah Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat, dapat dirumuskan sebagai berikut: = BTAM (t )
4
∑σ j =2
3
d * n3 j c3 j x3 j (t ) − 3 j x32 j (t ) 2
(85)
dimana: BT AM (t) = penerimaan Perusahaan Jasa Tirta II dari Balai Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat untuk sektor irigasi pada tahun t x ij (t)
= volume air yang dipasok ke sektor perusahaan air minum kabupaten/kota di wilayah j pada tahun t
94
4.3.4
i
= 3, untuk sektor air yang dipasok ke sektor perusahaan air minum kabupaten/kota
j
= wilayah (j = 2 Tarum Timur, j = 3 Tarum Utara, j = 4 Tarum Barat)
n ij
= indeks pertumbuhan kabupaten/kota
σ3
= efisiensi penyaluran air untuk perusahaan daerah air minum kabupaten/kota
perusahaan
daerah
air
minum
Manfaat Total Sektor Industri Manfaat total dari pengguna sektor air baku untuk industri (i = 4), di
wilayah Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat dapat dirumuskan sebagai berikut: = BTIN (t )
4
∑σ j =2
4
d * n4 j c4 j x4 j (t ) − 4 j x42 j (t ) 2
(86)
dimana: BT IN (t) = penerimaan Perusahaan Jasa Tirta II dari Balai Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat untuk sektor industri pada tahun t
4.3.5
x ij (t)
= volume air baku untuk sektor industri di wilayah j pada tahun t
i
= 4, air baku untuk sektor industri
j
= wilayah (2 = Tarum Timur, 3 = Tarum Utara, 4 = Tarum Barat)
n ij
= indeks pertumbuhan industri
σ4
= efisiensi penyaluran air baku untuk industri
Manfaat Total Sektor Perusahaan Air Minum DKI Jakarta Manfaat total dari pengguna sektor air baku untuk Perusahaan Air
Minum DKI Jakarta (i = 5), di wilayah Tarum Barat adalah:
95
4
∑σ
= BTAD (t )
j =4
5
d * n5 j c5 j x5 j (t ) − 5 j x52 j (t ) 2
(87)
dimana: BT AD (t) = penerimaan Perusahaan Jasa Tirta II dari Balai Tarum Barat untuk sektor irigasi pada tahun t
4.3.6
X 5j (t)
= volume air baku untuk sektor Perusahaan Air Minum DKI Jakarta di wilayah j pada tahun t
i
= 5, untuk sektor air baku untuk sektor Perusahaan Air Minum DKI Jakarta
j
= 4, wilayah Tarum Barat
n ij
= indeks pertumbuhan Perusahaan Air Minum DKI Jakarta
σ4
= efisiensi penyaluran air untuk Perusahaan Air Minum DKI Jakarta
Manfaat Total Pengguna Air Manfaat total pengguna sektor listrik (PLTA), irigasi, perusahaan daerah
air minum kabupaten/kota, dan industri serta Perusahaan Air Minum DKI Jakarta dalam horizon waktu tertentu adalah jumlah persamaan nomor (83) sampai dengan (87), yaitu : BTPA (t ) = BTLT (t ) + BTIR (t ) + BTAM (t ) + BTIN (t ) + BTAD (t ) atau Manfaat Total Pengguna Air (BT PA ) pada horizon waktu BTPA (t ) = 1 d1, j 2 4 d2 j 2 ∑ σ 1 * n1 j c1 j x1 j (t ) − x1 j (t ) + ∑ σ 2 * n2 j c2 j x2, j (t ) − x2 j (t ) + 2 2 = j2 j 1= ∞ 4 4 d3 j 2 d 4, j 2 σ σ − + − n c x t x t n c x t * ( ) ( ) * ( ) ∑ 3 3 j 3 j 3 j 2 3 j ∑j 2 4 4 j 4 j 4 j 2 x4 j (t ) + ∑ t = 0 j 2= = 4 σ * n c x (t ) − d5 j x 2 (t ) 5 5j 5j 5j 5j ∑ 2 j =2
(88)
96
4.4
Total Biaya Pengguna Air Biaya pasokan dan konsumsi air dari Waduk Juanda meliputi empat tipe
biaya, yaitu biaya tetap Perusahaan Jasa Tirta II, biaya sektor: listrik, irigasi, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, dan industri serta Perusahaan Air Minum DKI Jakarta. Dengan demikian, biaya yang dikeluarkan oleh pengguna ke Perusahaan Jasa Tirta II diharapkan mampu memberi layanan kepada pengguna dengan cara memasok air dari waduk, yang sekaligus memproduksi listrik dan menyalurkan air kepada pengguna termasuk ke Perusahaan Air Minum DKI Jakarta. Bentuk persamaan biaya marjinal adalah fungsi kuadrat terbuka ke atas, secara umum adalah: mcij = kij (t ) − bij xij (t ) + dimana k ij, b ij
dan
aij 2
xij2 (t )
(89)
a ij adalah koefisien x ij sebagai input pasokan air ke setiap
pengguna dan setiap wilayah. 4.4.1
Total Biaya Bentuk umum fungsi total biaya pengguna air dapat dinyatakan sebagai
berikut: = TCij
∑∑ σ n
i ij
bij 2 aij 3 kij xij (t ) − xij (t ) + xij (t ) 2 3
(90)
dimana: k ij ,b ij ,a ij
= konsta nta biaya
x ij
= volume air dipasok ke sektor i, dari wilayah j tahun t
97
n ij
indeks
= setiap pengguna tahun t
σi 4.4.2
= efisiensi penyaluran air
Biaya Produksi Pembangkit Listrik Tenaga Air Biaya produksi untuk pembangkit listrik tenaga air tergantung kepada
input produksi, yaitu jumlah volume air yang akan diproses sehingga menghasilkan listrik, tenaga kerja/operator pembangkit listrik, bahan-bahan suku cadang, dan pelumas. Dengan biaya pengguna air tahunan TC LT (t) dan total volume air yang diperlukan dalam proses x ij (t), total biaya untuk mengolah air menjadi listrik, biaya total untuk pembangkit listrik tenaga air: = TCLT (t )
1
∑σ j =1
1
b a * n1 j k1, j x1 j (t ) − 1 j x12j (t ) + 1, j x13j (t ) 2 3
(91)
dimana:
4.4.3
n 1j
= indeks untuk pembangkit listrik tenaga air
σ1
= efisiensi penyaluran air untuk pembangkit listrik tenaga air
Biaya Distribusi Air Untuk Irigasi Biaya total distribusi air untuk irigasi (i = 2) di wilayah Tarum Timur,
Tarum Utara, dan Tarum Barat bentuk fungsinya adalah: = TCIR (t )
4
∑σ j =2
2
b a * n2 j k2 j x2 j (t ) − 2 j x22 j (t ) + 2 j x23 j (t ) 2 3
(92)
dimana:
4.4.4
n 2j
= indeks air untuk sektor irigasi
σ2
= efisiensi penyaluran air untuk irigasi
Biaya Pasok Air Baku ke Perusahaan Daerah Air Minum
98
Kabupaten/Kota Biaya total distribusi air agar sampai di perusahaan daerah air minum kabupaten/kota (i = 3) di wilayah Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat maka bentuk fungsinya adalah: = TC AM (t )
4
∑σ j =2
3
b a * n3 j k3 j x3 j (t ) − 3 j x32 j (t ) + 3 j x33 j (t ) 2 3
(93)
dimana:
4.4.5
n 3j
= indeks untuk perusahaan daerah air minum kabupaten/kota
σ3
= efisiensi penyaluran air untuk perusahaan daerah air minum kabupaten/kota
Biaya Pasok Air Baku ke Sektor Industri Biaya total distribusi air baku agar dapat sampai di sektor industri (i = 4)
di Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat maka bentuk fungsinya adalah: = TCIN (t )
4
∑σ j =2
4
b a * n4 j k4 j x4 j (t ) − 4 j x42 j (t ) + 4 j x43 j (t ) 2 3
(94)
dimana:
4.4.6
n 4j
= indeks air untuk sektor industri
σ4
= efisiensi penyaluran air untuk sektor industri
Biaya Pasok Air Baku ke Perusahaan Air Minum DKI Jakarta Biaya total distribusi air agar dapat sampai kepada Perusahaan Air
Minum DKI Jakarta (i = 5) di Tarum Barat maka bentuk fungsinya adalah: = TC AD (t )
4
∑σ j =4
5
b a * n5 j k5 j x5 j (t ) − 5 j x52 j (t ) + 5 j x53 j (t ) 2 3
dimana: n 5j
= indeks untuk Perusahaan Air Minum DKI Jakarta
(95)
99
σ5 4.4.7
= efisiensi penyaluran air untuk Perusahaan Air Minum DKI Jakarta
Biaya Total Seluruh Pengguna Air Setelah ditambah biaya tetap kantor pusat Perusahaan Jasa Tirta
II
(FC PJT), maka biaya total seluruh pengguna air adalah: TCPA = TCLT (t ) + TCIR (t ) + TC AM (t ) + TCIN (t ) + TC AD (t ) + FCPJT atau:
TCPA
b1 j 2 a1 j 3 1 x1 j (t ) + x1 j (t ) + ∑ σ 1 * n1 j k1 j x1 j (t ) − 2 3 j =1 4 b a ∑ σ 2 * n2 j k2 j x2 j (t ) − 2 j x22 j (t ) + 2 j x23 j (t ) + 2 3 j =2 4 σ * n k x (t ) − b3 j x 2 (t ) + a3 j x 3 (t ) + ∑ 3 3j 3j 3j 3j 3j = j =2 2 3 4 b4 j 2 a j x4 j (t ) + 4 x43 j (t ) + ∑ σ 4 * n4 j k4 j x4 j (t ) − 2 3 j =2 4 b a ∑ σ 5 * n5 j k5 j x5 j (t ) − 5 j x52 j (t ) + 5 j x53 j (t ) + j =4 2 3 FC PJT (t )
(96)
dimana: FC PJT
4.5
= biaya tetap yang dikeluarkan Perusahaan Jasa Tirta II tiap tahun
Fungsi Tujuan Manfaat sosial bersih (Net Social Benefit) total pengguna air adalah
selisih antara total manfaat sosial dari pengguna (BT PA ) dengan total biaya pengguna (TC PA ). Jadi: NSBPA ( xij ) =
{BT {TC
} ( x )} − TC
LT
( xij ) + BTIR ( xij ) + BTAM ( xij ) + BTIN ( xij ) + BTAD ( xij ) −
LT
( xij ) + TCIR ( xij ) + TC AM ( xij ) + TCIN ( xij ) + TC AD
ij
(97) PJT
( xij )
100
dimana: NSB
= manfaat sosial bersih
BT
= manfaat total dari pengguna
TC
4.5.1
= total biaya pengguna setiap wilayah pemasok ke sektor pengguna Model Alokasi Sumberdaya Air Jatiluhur Model Alokasi Sumberdaya Air Daerah Irigasi Jatiluhur (ASDIJ)
dibangun dari beberapa model yang telah ada, dengan beberapa perubahan sesuai kondisi yang ada di Jatiluhur. Model ASDIJ merupakan model ekonomi dengan mempertimbangkan pengaruh hidrologis dan ekonomi. Fungsi obyektif dari model adalah memaksimumkan nilai sekarang manfaat sosial bersih (present value net social benefit~NSB) Perusahaan Jasa Tirta II dari semua pengguna dan pengelola dari aspek pasokan dan konsumsi air. NSB adalah nilai sekarang selisih antara manfaat total dari yang dikonsumsi dan biaya total untuk memasok air ke sektor pengguna. Manfaat total pengguna dari persamaan (88) dan biaya total dari pengguna dari persamaan (96). Asumsinya adalah bahwa setiap permintaan pengguna adalah homogin sepanjang horizon waktu (0,∞). Fungsi tujuannya (objective function) ialah memaksimumkan nilai sekarang manfaat sosial bersih (Present Value Net Social Benefit~NSB) yang diperoleh Perusahaan Jasa Tirta II dari sektor pengguna, dari penyaluran dan penggunaan air baku dikurangi biaya yang dikeluarkan oleh Perusahaan Jasa Tirta II.
101
1 d1, j 2 4 d j x1 j (t ) + ∑ σ 2 * n2 j c2 j x2, j (t ) − 2 x22 j (t ) + ∑ σ 1 * n1 j c1 j x1 j (t ) − 2 2 = j 2 j 1= 4 4 d3 j 2 d 4, j 2 ∑ σ * n c x (t ) − x3 j (t ) + ∑ σ 4 * n4 j c4 j x4 j (t ) − x4 j (t ) + − 3 3j 3j 3j 2 2 j 2= = j 2 4 d5 j 2 σ * ( ) ( ) n c x t x t − 5j ∑ 5 5 j 5 j 5 j 2 j =2 NSB (t ) = 1 b1 j 2 a1 j 3 4 b2 j 2 a2 j 3 ∑ σ 1 * n1 j k1 j x1 j (t ) − x1 j (t ) + x1 j (t ) + ∑ σ 2 * n2 j k2 j x2 j (t ) − x2 j (t ) + x2 j (t ) + 2 3 2 3 j 1= = j 2 4 4 σ * n k x (t ) − b3 j x 2 (t ) + a3 j x 3 (t ) + σ * n k x (t ) − b4 j x 2 (t ) + a4 j x 3 (t ) + ∑ 4 4j 4j 4j 4j 3 3j 3j 3j 3j 3j 4j ∑ 3 2 3 2 j =2 j =2 4 b5 j 2 a5 j 3 x5 j (t ) + x5 j (t ) + FC PJT (t ) ∑ σ 5 * n5 j k5 j x5 j (t ) − 2 3 = j 4
(98)
Kendala fungsi tujuan yaitu ketersediaan sumberdaya air di Waduk Jatiluhur dan penggunaan air oleh pengguna di Daerah Irigasi Jatiluhur. Manfaat sosial bersih dapat dinyatakan sebagai berikut: 4.5.2
Nilai Sekarang Manfaat Sosial Bersih Total manfaat sosial bersih Perusahaan Jasa Tirta II dapat dirumuskan
Present Value Net Social Benefit (NSB) dapat dilihat pada persamaan (99). NSB ( xij (t ), t ) = 1 d1, j 2 4 d x1 j (t ) + ∑ σ 2 * n2 j c2 j x2, j (t ) − 2 j x22 j (t ) + ∑ σ 1 * n1 j c1 j x1 j (t ) − 2 2 = j2 j 1= 4 4 d d ∑ σ * n c x (t ) − 3 j x 2 (t ) + ∑ σ * n c x (t ) − 4, j x 2 (t ) + − 3 3j 3j 3j 3j 4 4j 4j 4j 4j j 2= 2 2 = j2 d5 j 2 4 ∑ σ 5 * n5 j c5 j x5 j (t ) − 2 x5 j (t ) ∞ 2 = j βt ∑ 1 b1 j 2 a1 j 3 4 b2 j 2 a2 j 3 t =0 ∑ σ 1 * n1 j k1 j x1 j (t ) − x1 j (t ) + x1 j (t ) + ∑ σ 2 * n2 j k2 j x2 j (t ) − x2 j (t ) + x2 j (t ) + 2 3 2 3 j 1= j2 4 4 b a b a σ * n k x (t ) − 3 j x 2 (t ) + 3 j x3 (t ) + σ * n k x (t ) − 4 j x 2 (t ) + 4 j x3 (t ) + ∑ 4 4j 4j 4j 3 3j 3j 3j 3j 3j 4j 4j ∑ 2 3 2 3 j =2 j =2 4 b5 j 2 a5 j 3 x5 j (t ) + FC PJT (t ) ∑ σ 5 * n5 j k5 j x5 j (t ) − x5 j (t ) + 2 3 j =4
4.6
Kendala Air dari Waduk
(99)
102
Air dari waduk didistribusikan ke pengguna, yaitu: irigasi, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, dan industri melalui saluran Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat. Jadi dalam permasalahan ini jumlah air yang keluar dari waduk lebih besar atau sama dengan jumlah yang didistribusikan ke sektor-sektor di tiap-tiap wilayah sebagai berikut: 1
1
5
4
∑∑ σ i * xi, j (t ) = ∑∑ σ i * xij (t )
=i 1 =j 1
4.6.1
(100)
=i 2=j 2
Kendala Penyimpanan Air di Waduk Stok Waduk Juanda pada setiap tahap keputusan tergantung kepada
besaran daya tampung waduk. Demikian juga ketersediaan air di waduk sangat tergantung kepada inflow dari Sungai Citarum (Waduk Cirata) dan sumber setempat. Air yang keluar waduk (outflow) tergantung kepada keperluan air di hilir baik untuk irigasi, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota maupun industri. Stok Air di waduk pada setiap keputusan ditetapkan sebagai berikut: 1
S (t + 1)= S (t ) + IFW (t ) − ∑ σ 1n1 j x1 j (t )
(101)
j =1
dimana: S(t)
= stok Waduk Juanda pada tahun t
IFW(t) = perkiraan air masuk waduk pada tahun t x ij
4.6.2
= jumlah air keluar waduk (outflow) untuk membangkitkan pembangkit listrik tenaga air pada tahun t
Kendala Waduk Waduk Juanda mempunyai keterbatasan daya tampung air. Waduk
Juanda di musim penghujan difungsikan sebagai penampung air dari sungai
103
Citarum yang di hulunya dikendalikan oleh Waduk Cirata yang berfungsi sebagai pembangkit listrik saja yang dikelola oleh anak perusahaan Perusahaan Listrik Negara. Waduk Juanda secara teknis mempunyai ketinggian maksimum atau tinggi muka air (tma) 107 m dan dapat menampung 2.25 miliar m3 (Perusahaan Jasa Tirta II, 2008). Sumber air dari Waduk Juanda (inflow) berasal dari Sungai Citarum, yaitu air yang keluar dari Waduk Cirata, sedangkan air dari sumber setempat diasumsikan kecil. Daerah tangkapan air Waduk Juanda hanya 380 km2 atau 8 persen dari keseluruhan daerah tangkapan sungai Citarum sebesar 4 500 km2. Pada tinggi muka air 75 m volume waduk 579 juta m3 sudah tidak dapat befungsi untuk membangkitkan listrik lagi, tetapi masih dapat berfungsi untuk memasok air untuk irigasi, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan industri. Di bawah tinggi muka air 47 m, volume waduk sebesar 15 juta m3 disebut sebagai tampungan mati atau dead storage yang berfungsi sebagai kantong lumpur. Ketersediaan air di waduk Juanda penting untuk keberlanjutan pasokan air rata-rata 82 pesen untuk irigasi, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota sebesar 12 persen, dan 5 persen untuk industri (Perusahaan Jasa Tirta II, 2008). Waduk akan berfungsi dengan baik bila air yang masuk (inflow) lebih besar daripada air keluar dari waduk supaya terjadi penambahan air di Waduk Juanda sampai dengan tinggi muka air 107 m. Apabila inflow lebih kecil dari outflow, tinggi muka air waduk turun atau volume waduk akan berkurang dan diharapkan tidak sampai tinggi muka air 75 m. Pada tahun 2003 tinggi muka air 77.51 m setara dengan volume air sebesar 668.68 m3. Sebaliknya, pada bulan April─Mei
104
tahun 2010 tinggi muka air pernah mencapai di atas 107 m sehingga terjadi limpasan. 4.6.3
Air di Pengguna dan Air Dibuang ke Laut Apabila air untuk pengguna sudah mencukupi dan lebih kecil dari pada
air yang keluar dari Waduk Juanda, maka kelebihan air tersebut dibuang ke laut. Besarnya air yang dibuang ke laut diharapkan tidak lebih besar dari 5 persen per tahun. Bentuk persamaannya: 5
4
= xLAUT (t ) xLT (t ) − ∑∑ σ i nij xij (t )
(102)
=i 2=j 2
4.7
Batasan Batasan (bound) awal pada waktu ke t dapat dinyatakan sebagai berikut:
xij (0) ≥ κ ij ,
xij (t ) ≥ 0.0
= S ( 0 ) S= S (T ) S1 0, dimana κ ij = konstanta x ij pada t=0 S 0 = volume waduk awal pada t=0 S 1 = volume waduk pada tahun T
(103)
105
V. METODE PENELITIAN
5.1
Wilayah Penelitian Penelitian dilaksanakan di Daerah Irigasi Jatiluhur yang merupakan
wilayah kerja Perusahaan Umum Jasa Tirta II. Pasokan air untuk irigasi dan nonirigasi ke daerah Subang dengan Saluran Induk Tarum Timur (TT), untuk Daerah Karawang akan dipasok melalui Saluran Induk Tarum Utara (TU) serta ke Bekasi dan Jakarta dipasok melalui Saluran Induk Tarum Barat (TB). Saluransaluran tersebut mendapat pasokan sesuai dengan
keperluan dari air yang
dikeluarkan oleh Waduk Juanda melalui Sungai Citarum. Di Bendung Curug air dibagi baik untuk ke Tarum Timur, ke Tarum Utara maupun ke Tarum Barat. Untuk pasokan air baku ke Perusahaan Air Minum DKI Jakarta, melalui Saluran Induk Tarum Barat di bendung Bekasi dan diteruskan melalui Saluran Kali Malang untuk dikirim ke Perusahaan Air Minum DKI Jakarta dengan cara dipompa di Pompa Air Baku (PAB) di Cawang, Jakarta. Apabila air dari Waduk Jatiluhur ke tiap-tiap sektor dan wilayah sudah terpenuhi maka kelebihannya yang tidak diperlukan dialirkan melalui Sungai Citarum di Bendung Walahar untuk diteruskan ke Laut Jawa. Lokasi dan sektor-sektor di wilayah tersebut menjadi menarik untuk penelitian dalam pengelolaan air secara hidrologi dan ekonomi agar tidak terjadi kompetisi antarsektor dan antarwilayah pemanfaatan air dari Waduk Juanda. 5.2
Metoda Pengumpulan data Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer, data sekunder, dan
studi pustaka. Data primer diperoleh dengan wawancara dengan para pemanfaat
106
air tentang kebutuhan dan tarif air bakunya. Data sekunder berasal dari Perusahaan Umum Jasa Tirta II selaku pengelola, perusahaan daerah air minum dan industri serta keperluan air untuk irigasi. Adapun studi pustaka dari disertasi di pustaka IPB, teori, laporan-laporan dan literatur yang berkaitan dengan Daerah Aliran Sungai Citarum dan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Pengumpulan data hidrologi di Daerah Irigasi Jatiluhur untuk mendukung keperluan pengolahan dengan model yang akan menghasilkan alokasi air, manfaat sosial bersih dan manfaat marjinal serta bentuk-bentuk keluaran yang akan dihasilkan dari model yang dibuat. Data tersebut berkaitan dengan hidrologi dan ekonomi berupa estimasi fungsi permintaan dan fungsi penawaran Daerah Irigasi Jatiluhur. Yang dimaksud fungsi permintaan adalah fungsi manfaat marjinal dan fungsi penawaran adalah fungsi biaya marjinal. Data tersebut diperlukan agar dapat membantu proses pengolahan oleh komputer dengan menggunakan model yang sedang dibangun. Proses dengan model menghasilkan keluaran (output) berupa informasi yang diperlukan agar dapat memberikan kemudahan bagi pengelolannya dalam pengambilan keputusan. 5.3
Asumsi-Asumsi Dasar Pemodelan
5.3.1
Asumsi Sistem Irigasi Penelitian ini dibatasi pada Sistem Irigasi di Daerah Irigasi Jatiluhur yang
dimulai dari Waduk Juanda. Di hulu Waduk Juanda terdapat Waduk Saguling dan Waduk Cirata yang semuanya terletak di Sungai Citarum. Kedua waduk yang terakhir ini khusus untuk kepentingan produksi listrik dan dikelola oleh Perusahaan Listrik Negara. Sedangkan Waduk Juanda digunakan untuk kepentingan multiguna yaitu untuk melayani sektor-sektor irigasi, perusahaan
107
daerah air minum kabupaten/kota, industri dan Perusahaan Air Minum DKI Jakarta di wilayah Tarum Timur, Tarum Utara dan Tarum Barat. Air yang keluar dari waduk Juanda sebelumnya digunakan untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik tenaga air. Apabila ketinggian air di waduk diatas 107 m, air dikeluarkan ke Sungai Citarum melalui pelimpas yang disebut ‘morning glory’. Apabila terjadi kekurangan air di hilir akibat rusaknya beberapa unit pembangkit, air di hilir dapat dikeluarkan dari waduk melalui pintu darurat ‘hollow jet’ sesuai dengan kebutuhan. Aliran air ke hilir Sungai Citarum setelah dari Waduk Juanda di Bendung Curug dibagi ke saluran-saluran induk Tarum Timur, Tarum Utara dan Tarum Barat untuk memasok ke sektor-sektor pengguna di tiap-tiap wilayah. Air dari sumber setempat di sekitar wilayah, diasumsikan untuk kepentingan irigasi karena sektor pengguna perusahaan daerah air minum dan industri pada umumnya tidak mau menerima air dari sumber setempat karena kualitas airnya tidak baik. Hal tersebut berdampak terhadap biaya pengolahan yang menjadi mahal sehingga air baku yang diminta sektor perusahaan daerah air minum dan industri berasal dari Waduk Juanda. 5.3.2
Asumsi Perhitungan Air Semua air yang diperlukan untuk sektor-sektor dalam perjalanannya di
semua saluran induk diasumsikan mengalami kehilangan air baik karena perkolasi, perembesan, penguapan, kebocoran baaik akibat rusaknya pintu-pintu air atau ulah masyarakat maupun penggelontoran kota. Saluran induk diasumsikan mengalami kehilangan air 5 persen, saluran sekunder kehilangan air sebesar 20
108
persen dan efisiensi penggunaan air untuk irigasi sebesar 65 persen (Nippon Koei, 2006). Kebutuhan air untuk air minum, air bakunya diolah sehingga tinggal 80 persennya untuk menjadi air bersih. Kebocoran air bersih diperkirakan 30 persen untuk perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan 40 persen untuk Perusahaan Air Minum DKI Jakarta. Setiap pengguna atau pelanggan yang membutuhkan sambungan, satu keluarga rata-rata 5 orang dan untuk 1 orang membutuhkan air 160─250 liter per hari untuk rumah biasa di Kota Metropolitan dan Kota Sedang. Apabila diasumsikan rata-rata penggunaan air per orang 200 liter per hari, untuk 1 KK atau satu sambungan rumah dibutuhkaan 1 m3 per pelanggan per hari. Kalau dinyatakan dalam 1 tahun (365 hari) sama dengan 365 m3 per pelanggan per tahun. (Departemen Pekerjaan Umum, 1995). Kebutuhan air untuk irigasi menurut Perusahaan Umum Jasa Tirta II berdasarkan pengalamannya setiap hektar sawah per tanam membutuhkan air lebih dari 12 000 m3. Menurut Balai Klimat Sukamandi setiap hektar sawah membutuhkan air 8 000 m3 per tanam, sedangkan menurut Balai Klimat Bogor, untuk tanah di Jawa setiap hektar sawah membutuhkan air 4 500─5 000 m3 per tanam. Perlu diketahui bahwa areal sawah saat ini secara perlahan-lahan mulai berkurang, di wilayah Tarum Timur seluas 83 000 hektar, di wilayah TU seluas 89 000 Hektardan di wilayah Tarum Barat seluas 52 000 hektar. Seluruh areal sawah di Daerah Irigasi Jatiluhur yang semula seluas 242 000 hektar menjadi 224 000 hektar, karena menurut Perusahaan Umum Jasa Tirta II (2008) areal sawahnya semakin berkurang dari tahun ke tahun.
109
Dari segi fisik saluran induk karena sudah berumur mengalami pendangkalan dan kerusakan badan salurannya. Bedasarkan informasi dari pihak Perusahaan Umum Jasa Tirta II bahwa daya tampung pada tiap-tiap saluran induk saat ini maksimum 56 m3/detik. Apabila air yang dialirkan lebih dari daya tampungnya diperkirakan tanggulnya akan jebol yang walaupun saluran induk awal didisain mampu menampung air sebesar 80 m3/detik. Oleh karena itu, menurut Nipon Koei (2006) telah terjadi kebocoran di saluran induk sehingga efisiensinya air di saluran induk diperkirakan 95 persen. Saluran Kali Malang sebagai terusan saluran induk Tarum Barat yang akan memasok air baku ke Perusahaan Air Minum DKI Jakarta hanya mampu menampung air sebesar 17.5─20.0 m3/detik. Kebutuhan air minimum yang harus dipenuhi adalah memasok air baku untuk perusahaan daerah air minum dan industri di masingmasing wilayah karena kedua sektor tersebut sudah terikat dengan suatu perjanjian dengan pihak pengelola. Apabila terjadi kekurangan air untuk irigasi pertanian, digunakan air sumber setempat pada musim penghujan atau dipasok dari Waduk Juanda. Pada musim kering, pengaturan air irigasi dilakukan dengan cara pengaturan tanam gilir giring dari masa pembibitan, masa tanam, masa pertumbuhan tanaman sampai dengan masa panen. 5.3.3
Asumsi Tinggi Muka Air Waduk Juanda Untuk kondisi waduk sendiri diasumsikan bahwa tinggi muka air (tma)
maksimum adalah +107 m dengan luas genangan 8.3 km2, volume tampungan 2.4 miliar m3. Dalam pengaturan air keluar waduk, tinggi muka air waduk tidak kurang dari 75 m (tinggi minimum operasional pembangkit listrik tenaga air) yang mempunyai tampungan air 579 juta m3 (Katiandagho, 2007). Apabila kurang
110
dari ketinggian 75 m, turbin pembangkit listrik tenaga air tidak dapat memproduksi listrik. Pada ketinggian 75 m air waduk masih dapat digunakan untuk kepentingan sektor irigasi, pasokan air baku ke perusahaan daerah air minum dan industri sampai dengan ketinggian 47 m (tampungan efektif waduk), sedangkan di bawah ketinggian 47 m adalah tampungan mati (dead storage) yang harus ada dan digunakan untuk keperluan teknis. Namun demikian, sepanjang sejarah Waduk Juanda dibangun, menurut Perusahaan Umum Jasa Tirta II, belum pernah terjadi mencapai ketinggian waduk sampai di bawah 75 m (Gambar 11).
vol(juta m3) 2450
tma 107
waduk tinggi maksimum operasional
579
75
tinggi minimum operasional PLTA
15
45
dead storage
Gambar 11. Tampungan dan Tinggi Muka Air Waduk Juanda
Pembangkit listrik tenaga air diasumsikan minimal dapat dioperasikan 3 unit pembangkit atau setara dengan 90 m3/detik air dikeluarkan dari waduk. Apabila terjadi kekurangan air yang keluar melalui pembangkit listrik tenaga air, untuk mengatasi kekurangan di sektor-sektor dilakukan dengan cara membuka
111
hollowjet yang ada di Waduk Juanda diatur sesuai dengan keperluan penggunanya apakah sebesar 5 persen, 10 persen, atau 25 persen.
Gambar 12. Perilaku Outflow Waduk Juanda Tahun 1993-2008
Asumsi yang lain, berdasarkan data dari pihak pengelola setiap tahunnya air yang masuk ke Waduk Juanda dari Sungai Citarum (inflow) dan air yang dikeluarkan dari Waduk Juanda (outflow) adalah sama. Rumusannya air di waduk (stok) pada tahun ke t+1 sama dengan stok ditambah dengan inflow dikurangi outflow pada tahun ke t. Perilaku air yang keluar (outflow) dari Waduk Juanda selama 16 tahun dari tahun 1993─2008 dibuat persamaan regresi linier seperti Gambar 12. untuk dipakai mengestimasi atau dipakai sebagai acuan inflow atau outflow waduk mulai tahun 2010. Perilaku outflow air dari waduk Juanda tahun
112
1993─2008 memperlihatkan secara keseluruhan bahwa pertumbuhan volumenya negatif. Limpas dari waduk melalui morning glory akan terjadi apabila tinggi muka air waduk diatas +107 m terjadi pada saat musim penghujan dengan curah hujan tinggi di daerah tangkapan air di Daerah Aliran Sungai Ciratum. Oleh karena itu, dalam penelitian ini diasumsikan tidak ada limpas. Inflow waduk bersumber dari Sungai Citarum hulu atau dari Waduk Saguling. Air sumber setempat dari catchment area (daerah tangkapan) Waduk Juanda hanya 380 km2 atau 8 persen dari seluruh daerah tangkapan air di Aliran Sungai Citarum seluas 4 500 km2 (Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008) sehingga air dari sekitar Waduk Juanda diasumsikan kecil sekali. Data tersebut dapat dipakai untuk dimasukkan sebagai kendala dalam estimasi model. 5.3.4
Asumsi Kategori Pengguna Air Waduk Juanda Pengguna air di Waduk Juanda dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu
kelompok
nonkonsumtif
dan
konsumtif.
Kelompok
nonkonsumtif
yaitu
pembangkit listrik tenaga air, kelompok konsumtif adalah sektor pertanian, Perusahaan Air Minum DKI Jakarta, perusahaan daerah air minum kabupaten/ kota, dan industri. Oleh karena saluran induk sudah tidak berfungsi dengan baik, maka menurut Nippon Koei (2006), saluran induk mempunyai efisiensi sebesar 95 persen, saluran sekunder efisiensinya 80 persen, dan irigasi efisiensi airnya 65 persen. Untuk kelompok nonkonsumtif, kuantitas dan kualitas air yang keluar dari waduk yang diperlukan di sektor-sektor diasumsikan sama. Kelompok konsumtif adalah kelompok yang menggunakan air, baik secara langsung maupun yang dipakai sebagai input sektor industri. Kualitas air
113
yang disalurkan pengelola dengan yang diterima oleh pengguna kualitas airnya sama. Kelompok konsumtif ini dikategorikan dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok sektor pertanian dan nonpertanian (urban). Pemisahan ini dibuat untuk membedakan pengguna konsumtif yang membayar kepada pengelola dan yang tidak membayar. Yang memberikan biaya jasa pengelolaan sumberdaya air kepada Perusahaan Umum Jasa Tirta II pada umumnya mengharapkan agar kualitas air lebih bagus, karena masih harus diolah lebih lanjut. Kalau kualitas airnya kurang bagus, biaya pengolahannya akan menjadi lebih besar. Kelompok nonkonsumtif selain sangat bergantung pada ketinggian air di waduk, juga bergantung pada kuantitas air yang dibutuhkan di wilayah hilir. Semakin banyak permintaan air di wilayah hilir, dan ketinggian waduk memenuhi syarat untuk menggerakkan turbin, semakin banyak juga turbin dapat dioperasikan dengan
asumsi
bahwa
turbin
tidak
mengalami
kerusakan.
Kelompok
nonkonsumtif ini juga tidak membayar jasa penyaluran air karena dianggap hanya melewati turbin, sedangkan volume serta kualitasnya tidak berubah. Air yang dikeluarkan dari waduk melalui turbin merupakan bagian usaha dari pengelola sehingga tidak diperhitungkan sebagai unit usaha yang terpisah, tetapi terintegrasi dengan pengguna konsumtif. Pengelola mendapatkan penerimaan dari output yang dihasilkan, yaitu daya listrik yang dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN). Volume air yang disalurkan melalui satu saluran antara air untuk irigasi dan nonirigasi serta jarak pengguna dengan bendung pembagi tidak menjadi bahan pertimbangan, kecuali untuk Perusahaan Ait Minum DKI Jakarta, yang
114
wilayahnya di provinsi DKI, berbeda dengan sektor lainnya di Provinsi Jawa Barat. Perusahaan Air Minum DKI Jakarta diasumsikan sebagai sektor yang terpisah dari perusahaan daerah air minum kabupaten/kota. Selain berdasarkan sektor, pengguna dikategorikan berdasarkan wilayah penyaluran, yaitu wilayah penyaluran berdasarkan saluran induk yang melayaninya. Wilayah penyaluran terdiri dari tiga saluran induk, yaitu wilayah Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat, dan untuk ke Perusahaan Air Minum DKI Jakarta disalurkan melalui Kali Malang adalah bagian dari saluran Tarum Barat.
Sumber air yang digunakan dibedakan antara air dari Waduk Juanda dan air sumber setempat yang mengalir ke sungai dan saluran yang menjadi sumber setempat, termasuk curah hujan di wilayah tersebut. Air sumber setempat pada musim penghujan diasumsikan semuanya untuk sektor irigasi, sedangkan sektor yang lain diasumsikan menggunakan air dari Waduk Juanda. Pembedaan sumber air tersebut berhubungan dengan musim, yang pada saat sumber setempat berkurang seluruh sektor mengandalkan sumber air dari Waduk Juanda. Pada saat musim penghujan sebagian air untuk kepentingan irigasi menggunakan sumber setempat dibantu air dari waduk.
Perusahaan Umum Jasa Tirta II menghadapi dua peraturan yang kontradiktif, yang diharapkan akan memberikan profit serta dapat mengatasi pembiayaan yang dibutuhkan selama pengelolaan. Di pihak lain pengelolaan air irigasi merupakan pengelolaan yang bersifat sosial sebagai layanan publik sehingga Perusahaan Umum Jasa Tirta II tidak mendapatkan return dari
115
pengusahaan air untuk sektor pertanian. Padahal sektor pertanian merupakan pengguna air terbesar sehingga biaya operasional pengelolaan sumber daya air hanya diatasi dengan penerimaan dari perusahaan daerah air minum dan industri, serta penjualan daya listrik yang tarifnya ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah membantu melalui APBN berwujud pekerjaan fisik yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dengan dana terbatas.. Akibatnya pemeliharaan saluran tidak dapat dilakukan dengan baik.
Kondisi saluran yang bocor dan
sedimentasi serta pintu-pintu air yang rusak menyebabkan tidak tercapainya pengelolaan sumber daya air yang efisien. Dalam pengelolaan air di Daerah Irigasi Jatiluhur terdapat dua komponen penting, yaitu pengelolaan hidrologis dan manfaat sosial ekonomi. Penggunaan air oleh pengguna di wilayah Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat menghasilkan manfaat, baik bagi pengelola dalam hal ini Perusahaan Umum Jasa Tirta II maupun pengguna air pada umumnya. Penelitian ini dilakukan guna mencari nilai air baku untuk setiap pengguna sehingga memberikan manfaat optimum yang dapat dicapai oleh pengelola dalam rangka memberikan pelayanan penyaluran air di ketiga wilayah tersebut.
5.4
Metoda Analisis
Pada Bab IV. sebelumnya telah dibuat model fungsi obyektif dalam horizon waktu tak terhingga. Model harus ditransformasikan ke horizon waktu yang terbatas yaitu fungsi obyektif steady state dalam waktu tertentu misalnya waktu T (Chiang, 1992). Limitasi air dari waduk pada horizon waktu tahun T dapat dinyatakan sebagai berikut
116
1
S (t + 1)= S (t ) + IFW (t ) − ∑ n1 j x1 j (t )
(104)
j =1
dimana: S(t) = stok waduk Juanda pada tahun t x ij
= jumlah air keluar waduk (outflow) untuk membangkitkan pembangkit listrik tenaga air pada tahun t
IFW = inflow waduk Dengan model analisis di Perusahaan Air Minum DKI Jakarta yang dikembangkan oleh Syaukat (2000), manfaat sosial bersih Perusahaan Umum Jasa Tirta II pada horizon waktu tak terbatas dinyatakan persamaannya adalah sebagai berikut: NSB ( xij (t ), t ) =
1 d1, j 2 4 d2 j 2 ∑σ 1 * n1 j c1 j x1 j (t ) − x1 j (t ) + ∑σ 2 * n2 j c2 j x2, j (t ) − x2 j (t ) + 2 2 = j 1= j2 4 4 σ * n c x (t ) − d3 j x 2 (t ) + σ * n c x (t ) − d4, j x 2 (t ) + − ∑ 4 4j 4j 4j ∑ 3 3j 3j 3j 3j 4j 2 2 =j 2= j2 d5 j 2 4 ∑σ 5 * n5 j c5 j x5 j (t ) − 2 x5 j (t ) ∞ j =2 t ∑t =0 β 1 b1 j 2 a1 j 3 4 b2 j 2 a2 j 3 ∑σ * n k x (t ) − x (t ) + x (t ) + ∑σ * n k x (t ) − x (t ) + x (t ) + 1 1j 1j 1j 1j 1j 2 2j 2j 2j 2j 2j j 1= 2 3 2 3 = j2 b3 j 2 a3 j 3 4 b4 j 2 a4 j 3 4 ∑σ 3 * n3 j k3 j x3 j (t ) − 2 x3 j (t ) + 3 x3 j (t ) + ∑σ 4 * n4 j k4 j x4 j (t ) − 2 x4 j (t ) + 3 x4 j (t ) + j =2 j =2 4 b5 j 2 a5 j 3 ∑σ 5 * n5 j k5 j x5 j (t ) − x5 j (t ) + x5 j (t ) + FC PJT (t ) j =4 2 3
(105)
Model ini akan diimplementasikan pada waktu tertentu, misalnya sampai
dengan waktu T, sehingga fungsi obyektifnya diharapkan dapat digunakan untuk waktu [T+1, ∞ ] dengan catatan pengaruh kepada model ini dapat disesuaikan. Andaikan tingkat pertumbuhan ekonomi diasumsikan adalah 5 persen pada tahun
117
ke T, kontribusi pengaruh-pengaruh tersebut dianggap konstan. Jadi, fungsi obyektifnya dapat ditulis secara sederhana sebagai berikut: ∞
∑ β NSB ( • ) t
(106)
T
t= T +1
dimana faktor diskontonya (discount factor) adalah β =
1 , r adalah discount (1 + r )
rate yang berlaku pada tahun t persamaan (106). Bila NSBT ( • ) konstan maka pada horizon waktu tertentu T. ∞
NSBT (•) ∑ β t ,
(107)
βT NSBT ( • ) NSBT ( • ) ∑ β= 1− β t= T +1
(108)
t= T +1
maka: ∞
t
Atau dapat ditulis sebagai: NSB ( ) =
βT
T
∑ β NSB ( ) + (1 − β ) NSB t
t
T
( )
(109)
t =0
dimana: NSB = manfaat sosial bersih pada horizon waktu [0,∞] NSB t = manfaat sosial bersih pada setiap t dalam kurun waktu t=[0,T] NSB T 5.4.1
= manfaat sosial bersih pada tahun ke T
Analisis Model Untuk memaksimumkan persamaan (105) yang dilengkapi dengan
kendala dan batasan tersebut pada persamaan (102) dan (103) maka prinsip memaksimumkan persamaan (109) dapat ditulis sebagai berikut: = NSB ( )
βT
T
∑ β NSB ( ) + (1 − β ) NSB t
t
t =0
T
( )
(110)
118
dengan kendala dan batasan: 1
S (t + 1)= S (t ) + IFW (t ) − ∑ n1 j x1 j (t )
(111)
j =1
5
4
1
IFW (t ) ≥ ∑∑
nij xij (t ) + XLAUT (t )
(112)
xij (t ) ≥ 0, κ ij = konstanta
(113)
σi
=i 2=j 2
xij (0) > κ ij ,
= S ( 0 ) S= S (T ) S1 0,
(114)
Prinsip maksimum adalah Maksxij NSB ( xij (t ), t ) = T
∑ β t NSBt ( xij (t ), t ) + t =0
βT NSBT ( xij (T ), T ) (1 − β )
(115)
Dengan kendala: 1
1
j =1
σ1
(t ) IFW (t ) − ∑ n1 j S (t + 1) − S= 5
4
1
IFW (t ) ≥ ∑∑
σi
=i 2=j 2
x1 j (t )
nij xij (t )
(116)
(117)
dmana i = 1 Waduk Juanda i = 2 irigasi i = 3 perusahaan daerah air minum kabupaten/kota i = 4 industri i = 5 Perusahaan Air Minum DKI Jakarta
xij (0) > κ ij ,
xij (t ) ≥ 0,
(118)
S (0) ≥ 0.1,
S (T ) ≥ S1.
(119)
Maka untuk memaksimumkan fungsi Lagrange:
119
L ( xij (t ), Λ (t ), t ) = NSB ( xij (t ), t ) +
1
5 4 1 xij (t ) + λ2 IFW (t ) − nij xij (t ) 1 σ1 =i 2=j 2 σ i
λ1 IFW (t ) − ∑ =j
(120)
∑∑
1
Untuk setiap t di [0,T], L(●) fungsi Lagrange dan NB(●) adalah nilai sekarang manfaat sosial bersih Perusahaan Umum Jasa Tirta II yang didefinisikan persamaan (105) dan λ(t) adalah pengganda yang berhubungan dengan
Λ (t )
Fungsi Lagrange dengan menggunakan first order condition agar maksimum ≤ dengan men-derivative-kan ke x ij untuk indek (ij), (i=1..5, j=1..4) harus
0.
Untuk penyelesaian persamaan program non linier menurut Kuhn Tucker perlu dilengkapi syarat: ∂xij (t ) ≥ 0;
xij (t ) ≥ 0;
xij (t )
∂L = 0 ∂xij (t )
(121)
First order condition ke x 1j atau pengguna listrik harus ≤ 0:
∂L = ∂x1, j (t ) 1 β n1, j (t ) ( c1 j − d1 j x1 j (t ) ) − ( k1 j − b1 j x1 j (t ) + a x (t ) ) − λ1 j ≤ 0; σ1
(122)
2 1j 1j
t
First order condition ke x ij (i-=2..5,j=2..4) atau pengguna non listrik harus ≤ 0:
∂L = ∂xij (t ) 1 β nij (t ) ( cij − dij xij (t ) ) − ( kij − bij xij (t ) + a x (t ) ) − λij ≤ 0; σi
(123)
2 ij ij
t
Dengan syarat Kuhn Tucker:
xij (t ) ≥ 0; xij (t )
∂L = 0 ∂xij (t )
(124)
120
Persamaan (123) menjadi:
1 β t n1 j (t ) ( c1 j − d1 j x1 j (t ) ) − ( k1 j − b1 j x1 j (t ) + a1 j x12j (t ) ) =λ1 j σ1
(125)
Bila manfaat marjinal
: MB 1j = c 1j -d 1j x 1j (t) dan
biaya marjinal
: MC 1j = k 1j -b 1j x 1j +a 1j x2 1j (t)
untuk pengguna listrik, persamaan (125) menjadi:
β t n1 jσ 1 ( MB1 j − MC1 j ) = λ1 j (t )
(126)
Persamaan (125) menjadi:
(
)
β t nij ( cij − dij xij (t ) ) − ( kij − bij xij (t ) + aij xij2 (t ) ) =λij (t ) σi 1
(127)
Bila manfaat marjinal
: MB ij = c ij -d 1j x 1j (t) dan
biaya marjinal
: MC ij = k ij -b ij x 1j +a ij x2 ij (t),
untuk pengguna air non listrik, maka persamaan (127) menjadi:
β t nijσ i ( MBij − MCij ) = λij (t ) (i=2..5,j=2..4)
(128)
Persamaan tersebut untuk manfaat marjinal dan biaya marjinal dari semua pengguna dimana λ ij (t) nilai bayangan (marginal user cost~MUC) sehingga manfaat marjinal dan biaya marjinal menjadi maksimum untuk semua pengguna. Jadi hubungan antara MB, MC dan MUC bahwa MB agar maksimum bila MC ditambah nilai banyangan (shadow price) λ atau marginal user cost MUC, seperti berikut:
β tσ ij ( cij − dij xij (t ) )= β tσ ij ( kij − bij xij (t ) + aij xij2 (t ) ) + λij (t )
(129)
t β= σ ij MBij β tσ ij MCij + λij (t )
(130)
121
5.4.2
Hubungan Manfaat Marjinal, Biaya Marjinal dan Biaya Marjinal Pengguna di Sektor-Sektor
5.4.2.1 Sektor Listrik Hubungan manfaat marjinal atau marginal benefit (MB), biaya marjinal atau marginal cost (MC) dan biaya marjinal pengguna atau marginal user cost (MUC) di sektor listrik adalah sebagai berikut: t β= σ 1 j MB1ij β tσ 1 j MC1 j + λ1 j (t )
= λ1 j (t ) β tσ 1 j MB1 j − β tσ 1 j MC1 j
(131)
5.4.2.2 Sektor Irigasi Hubungan MB, MC dan MUC di sektor irigasi adalah sebagai berikut: t β= σ 2 j MB2 j β tσ 2 j MC2 j + λ2 j (t )
= λ2 j (t ) β tσ 2 j MB3 j − β tσ 2 j MC2 j
(132)
5.4.2.3 Sektor Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten/Kota Hubungan MB, MC dan MUC di sektor perusahaan daerah air minum kabupaten/kota adalah sebagai berikut: t β= σ 3 j MB3 j β tσ 3 j MC3 j + λ3 j (t )
= λ1 j (t ) β tσ 3 j MB3 j − β tσ 3 j MC3 j
(133)
5.4.2.4 Sektor Industri Hubungan MB, MC dan MUC di sektor industri adalah sebagai berikut: t β= σ 4 j MB4 j β tσ 4 j MC4 j + λ4 j (t )
= λ4 j (t ) β tσ 4 j MB4 j − β tσ 4 j MC4 j
(134)
5.4.2.5 Sektor Perusahaan Air Minum DKI Jakarta Total manfaat berupa penerimaan total dari sektor Perusahaan Air Minum DKI Jakarta adalah:
122
t β= σ 5 j MB5 j β tσ 5 j MC5 j + λ5 j (t )
= λ5 j (t ) β tσ 5 j MB5 j − β tσ 5 j MC5 j
5.4.3
(135)
Estimasi Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Manfaat marjinal diestimasi berdasarkan data survey biaya persatuan
unit air yang ada di Perusahaan Umum Jasa Tirta II dan lapangan untuk mengestimasi manfaat marjinal tentang berapa intersep dan koefisien variabel volume air (x ij ). Telah dibuat estimasi intersep dan koefisien x ij untuk skenarioskenario alokasi air bila dibuat kuota untuk setiap sektor. Untuk
membuat
estimasi fungsi biaya berdasarkan data survei dari pengelola dan pengguna air di Daerah Irigasi Jatiluhur, tabel biaya tetap dan koefisien biaya tidak tetap untuk setiap skenario diasumsikan sama karena tidak menambah sumberdaya manusia, perubahan teknologi, dan penambahan modal/kapital. 5.4.4
Estimasi Alokasi Air Alokasi air setiap sektor pengguna untuk irigasi, perusahaan daerah air
minum kabupaten/kota, industri dan Perusahaan Air Minum DKI Jakarta harus optimum. Hal ini perlu dibuat optimum agar penggunaan air sesuai dengan kebutuhan dan lebih efisien. Alokasi optimum ini dikaitkan dengan ketersediaan minimum dan maksimum air di waduk yang perlu juga mendapatkan perhatian. Dengan alokasi optimum diharapkan tidak terjadi konflik kepentingan antara pengelola dan pengguna. Dari sisi pengelola, alokasi air harus mendapatkan profit yang optimum dan dari sisi pengguna, alokasi air mendapatkan layanan yang lebih baik untuk mendukung kepentingan usahanya.
123
5.4.4.1 Kuota Air Untuk Irigasi Air di Daerah Irigasi Jatiluhur sebagian besar digunakan untuk irigasi pertanian. Oleh karena itu air untuk irigasi pertanian dibuat perencanaan skenario dengan memberikan kuota air untuk irigasi pertanian Daerah Irigasi Jatiluhur. Dengan kuota itu diharapkan model dapat berinteraksi dengan yang non irigasi. 5.4.4.2 Alokasi Pengguna Air Non Irigasi. Setelah air untuk irigasi dibuat kuota, air selebihnya dialokasikan untuk kepentingan nonirigasi, yaitu perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, indstri, dan Perusahaan Air Minum DKI Jakarta serta dibuang ke laut di tiap-tiap wilayah dan Perusahaan Air Minum DKI Jakarta. Dalam hal ini untuk pengguna air nonirigasi sebagai pengguna waduk Juanda juga harus dapat dialokasikan dengan baik agar tidak terjadi kompetisi antara pengguna. 5.4.4.3 Proporsi Pengguna Air Air sebagai barang ekonomi harus direncanakan dengan baik penggunaanya agar benar-benar dapat dimanfaatkan dengan baik untuk kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, penggunaan air harus dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomi dengan jelas sesuai dengan keperluannya, sehingga dapat direncanakan dengan baik pengalokasiannya. 5.4.5
Konsep Analisis Ekonomi
5.4.5.1 Nilai Sekarang Manfaat Sosial Bersih Optimal Pada Daerah Irigasi Jatiluhur pengelolanya tunggal yaitu Perusahaan Umum Jasa Tirta II dan produknya hanya tunggal juga, yaitu air untuk irigasi pertanian dan air baku untuk non pertanian. Maka dalam penelitian ini dibatasi
124
pada manfaat sosial bersih total (total net social benefit) optimum pada horizon waktu 16 tahun untuk pengelola Perusahaan Umum Jasa Tirta II yang merupakan Badan Usaha dibawah Kementerian BUMN dan secara teknis dibawah Kementerian Pekerjaan Umum. Di sini Perusahaan Umum Jasa Tirta II tugas utamanya adalah sebagai operator atau pengelola air di Daerah Irigasi Jatiluhur. Karena pengelola berwujud Perusahaan Umum (Perum), maka pengelola harus dapat memberikan manfaat sosial bersih dari usahanya. Oleh karena itu perlu dibuat perhitungan manfaat sosial bersih total optimum selama horizon waktu tertentu, yaitu tahun 2010 ─ 2025. 5.4.5.2 Manfaat Sosial Bersih Parsial Dalam menghitung manfaat sosial bersih total optimum model juga membuat informasi yang lebih rinci tentang manfaat sosial bersih secara parsial kalau skenario alokasi air dilakukan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pengelola guna membuat kebijakan internal agar perusahaan dapat memberikan manfaat sosial bersih per sektor, dan per skenario per periode tahunan. 5.4.5.3 Perbandingan Manfaat Antara Kondisi Riil dengan Model Manfaat sosial bersih persektor hasil model
akan dipersandingkan
dengan yang tidak menggunakan model agar pengelola dapat mengetahui mana yang lebih baik di antaranya. Demikian juga, pengelola dapat memperbandingkan manfaat total antara dengan model menggunakan manfaat marjinal dan menggunakan biaya marjinal 5.4.5.4 Manfaat dan Biaya Marjinal serta Biaya Marjinal Pengguna Perlu dibuat oleh pengelola fungsi manfaat marjinal dan biaya marjinal untuk mengestimasi biaya produksi air per didistribusikan sampai dengan
125
pengguna per satuan m3. Dalam konteks dinamik, manfaat marjinal akan maksimum pada saat manfaat marjinal sama dengan biaya marjinal ditambah dengan marginal user cost (MUC). Hubungan ketiga variabel tersebut dinyatakan sebagai berikut: βMB(t) = βMC(t) + λµ(t)
(136)
dimana MB adalah manfaat marjinal, MC adalah biaya marjinal dan λ(t) adalah biaya marjinal pengguna (marginal user cost). 5.5
Skenario-Skenario Kebijakan Kebijakan dapat dibuat sesuai dengan kondisi-kondsi bila terjadi,
misalnya skenario air untuk irigasi dialokasikan 85 persen, 80 persen, 70 persen dan 60 persen, berapa alokasi air untuk sektor yang lain. Selanjutnya setiap skenario dilihat bila tingkat pertumbuhan 5 persen dan 10 persen dan setiap tingkat pertumbuhan dilihat tingkat diskontonya misalnya 5 persen, 10 persen dan 15 persen. Skenario ini digunakan untuk melihat dampaknya terhadap manfaat manfaat sosial bersih dan manfaat marjinal dan biaya marjinal pengguna sektorsektor lain. Dari sekian banyak alternatif dirumuskan alternatif mana yang paling dapat disarankan Adapun tiap-tiap skenario dapat dijelaskan sebagai berikut. 5.5.1
Skenario Kebutuhan Air Untuk Irigasi Pertumbuhan perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan industri
ke depan semakin pesat maka keduanya akan membutuhkan air baku dari Waduk Juanda akan meningkat terus. Hal ini diperkirakan bahwa kebutuhan keduanya akan menggeser kepentingan irigasi kalau dilihat dari sisi pengelola. Untuk itu, perlu dilakukan simulasi apabila air untuk irigasi sebesar 85 persen, 80 persen, 70 persen atau 60 persen. Maka, dari sini diharapkan dapat diperoleh gambaran
126
terhadap alokasi air untuk semua pengguna. Sampai saat ini penggunaan air Waduk Juanda untuk irigasi mendekati 85 persen. Air selebihnya digunakan untuk Perusahaan
Air
Minum
DKI
Jakarta,
perusahaan
daerah
air
minum
kabupaten/kota dan industri. Apabila yang dikeluarkan pengelola dari Waduk Juanda lebih dari yang dibutuhkan karena untuk mengejar pendapatan perusahaan, air selebihnya dibuang ke laut melalui Sungai Citarum sebagai saluran pembuang. Stok waduk diperkirakan 25-30 persen per tahunnya atau lebih dari 1000 juta m3. 5.5.2
Skenario Kondisi Saat Kini atau Status Quo Dalam kerangka analisis statik surplus sosial diperoleh secara maksimum
pada saat keseimbangan pasar terjadi pada volume air diperlukan pengguna atau pada saat manfaat marjinal sama dengan biaya marjinal dimana tingkat diskonto sumber daya tidak dihasilkan. Volume ini juga disebut sebagai kondisi keseimbangan pada pasar kompetitif. Kondisi saat kini dapat dinyatakan dari sisi manfaat marjinal (=MB) dan biaya marjinal (=MC). Andaikan MB dan MC nilainya sama, hasil manfaat sosial bersih seluruh system akan membuat salah satu alternatif pilihan keputusan, bila:
β t MB = β t MC
(137)
Manfaat marjinal p dan volume air baku tiap-tiap pengguna bersumber dari p gabungan pengguna (MB ir +MB nonair ) dikaitkan dengan biaya marjinal gabungan (=MC), sehingga diperoleh manfaat marjinal p dan volume air baku dari tiap-tiap pengguna. 5.5.3
Skenario Sesuai Perencana Sosial MB dan MC ditentukan bila sesuai dengan kondisi ketersediaan air. Hal
ini akan sesuai dengan ketentuan alokasi air yang diinginkan.
127
t β= MBTOT (t ) β t MCTOT (t ) + λ (t )
5.5.4
(138)
Skenario Kuota Tiap-Tiap Sektor MB dan MC dilihat per sektor dengan rumus sebagai berikut t β= MBi , j (t ) β t MCi , j (t ) + λi , j (t )
Apabila pemerintah
(139)
membantu biaya pemeliharaan MC kepada
pengelola, hal itu akan berpengaruh kepada MB dan akhirnya manfaat sosial bersih perusahaan akan lebih tinggi tahun ini dari pada tahun sebelumnya. Dalam skenario ini MC air untuk irigasi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air diestimasi bahwa air untuk irigasi tidak dipungut biaya jasa pengelolaan sumberdaya air (BJPSDA). Namun, tanpa melihat undangundang tetapi dari sisi ilmu pengetahuan maka air irigasi memberikan fungsi manfaat marjinal seperti sektor yang lain, sehingga memberi dampak kepada manfaat marjinal total. Sementara itu, biaya untuk keperluan irigasi tetap disediakan untuk operasi dan pemeliharaan Daerah Irigasi Jatiluhur. Dari sini nanti akan didapat berapa nilai atau harga air yang dapat diganti dengan bantuan pemerintah atau yang disumbangkan pengelola kepada pemerintah. Dengan skenario kebijakan 2 tingkat pertumbuhan ekonomi, 3 tingkat diskonto dan 4 skenario alokasi air untuk irigasi serta 5 sektor dan 4 wilayah, maka model akan dapat menggambarkan kepada pengelola sumber daya air di Daerah Irigasi Jatiluhur dalam mengelola sehingga dapat diambil keputusan secara ekonomi dan hidrologi di tiap-tiap sektor dan tiap-tiap wilayah dan secara secara keseluruhan. Analisis yang lain adalah menggunakan
net present value dengan
melihat komponen benefit dan komponen biaya berdasarkan tingkat pertumbuhan
128
ekonomi dan tingkat diskonto yang ditentukan. Analisis dapat dilakukan dengan B/C Ratio, yaitu dengan membandingkan antara present value manfaat dan biaya dengan cara membaginya. Bila nilai B/C ratio lebih besar 1, maka sistem dinyatakan layak secara ekonomis. Selanjutnya analisis dapat dilakukan dengan analisis sensitivitas, yaitu dengan melihat naik turunnya tingkat diskonto, tingkat pertumbuhan ekonomi atau perubahan kebijakan pemerintah untuk melihat dari sisi perencana social. Dengan analisis sensitivitas dimaksudkan untuk analisis bila didalam perjalanan pada kurun waktu tertentu terjadi perubahan yang dibuat perencana social semula. 5.5.5
Pengukuran Model untuk Setiap Skenario Fungsi manfaat marjinal berbentuk fungsi linier untuk mendapatkan total
manfaat konsumsi dengan cara mengintegrasikan fungsi manfaat marjinal. Format umum manfaat marjinal seperti terlihat pada persamaan (77) dan bentuk integrasinya seperti tersebut pada persamaan (78). Tabel 4 adalah alat untuk mengukur estimasi manfaat marjinal yaitu
koefisien c dan d.
Untuk
mendapatkan koefisien manfaat marjinal mula-mula diperkirakan dengan memilih angka yang mendekati, kemudian dimasukkan ke dalam model. Bila hasilnya belum optimal maka dilakukan trial and error sampai dengan mendapatkan jumlah manfaat sosial menjadi optimal solution found. Walaupun demikian belum tentu kebenarannya, tetapi perlu dilihat output manfaat marjinal, biaya marjinal dan biaya marjinal pengguna yang hasilnya harus non negatif dan jumlah volume air harus non negatif dan bila diterapkan di lapangan harus mendekati kebenaran. Misalnya air untuk irigasi di Tarum Barat untuk mengairi sawah seluas 55 000 hektar, maka output minimalnya berupa volume air sebesar 55 ribu Ha x 16 ribu
129
m3/Ha/tahun= 880 juta m3/tahun. Apabila hal tersebut diatas dapat dipenuhi, maka angka trial and error menjadi koefisien manfaat marjinal c dan d, serta biaya marjinal k, b dan a . Tabel 4. Koefisien Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Kuota Irigasi 60 Persen dan 70 Persen pada Skenario Perencana Sosial Koefisien Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Kuota Irigasi 60 persen 2
koef mb=c-dx koef mc=k-bx+ax c d k b a Lisrik Juanda 48.386 0.0000035 5.40 0.000001 0.00000037 Tarum Timur 25.405 0.0000003 0.70 0.0000075 0.000305 Irigasi Tarum Utara 27.433 0.000009 0.80 0.0000065 0.000226 Tarum Barat 35.000 0.000009 1.00 0.000045 0.0001734 Tarum Timur 136.922 0.000004 80.00 0.000628 0.0002451 PAM K/K Tarum Utara 120.320 0.000005 65.60 0.000479 0.0001341 Tarum Barat 137.361 0.000002 87.00 0.000536 0.0002564 Tarum Timur 160.958 0.000007 105.00 0.0009285 0.000427 Industri Tarum Utara 160.454 0.000005 100.00 0.000571 0.0002028 Tarum Barat 161.105 0.000004 92.00 0.000714 0.0002486 PAM DKI Tarum Barat 225.050 0.0005 65.00 0.00018 0.00012 Koefisien Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Kuota Irigasi 70 persen Sektor
Wilayah
Sektor
Wilayah
Lisrik Irigasi
PAM K/K
Industri PAM DKI
Juanda Tarum Timur Tarum Utara Tarum Barat Tarum Timur Tarum Utara Tarum Barat Tarum Timur Tarum Utara Tarum Barat Tarum Barat
koef mb=c-dx c d 48.386 0.0000035 30.405 0.0000003 32.433 0.000009 40.000 0.000009 106.922 0.000004 90.320 0.000005 112.361 0.000002 135.958 0.000007 140.454 0.000005 131.105 0.000004 195.050 0.0005
2
koef mc=k-bx+ax k b a 5.40 0.000001 0.0000004 0.70 0.0000075 0.000305 0.80 0.0000065 0.000226 1.00 0.000045 0.0001734 80.00 0.000628 0.0002451 65.60 0.000479 0.0001341 87.00 0.000536 0.0002564 105.00 0.0009285 0.000427 100.00 0.000571 0.0002028 92.00 0.000714 0.0002486 65.00 0.00018 0.00012
Tabel 5 digunakan untuk mengukur manfaat marjinal dan biaya marjinal pada skenario irigasi 80 persen dan 85 persen serta perencana sosial. Untuk mendapatkan koefisien c,d dan k,b,c dilakukan dengan cara yang sama dengan mencari koefisien c,d dan k,b,c pada Tabel 4.
130
Tabel 5. Koefisien Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Kuota Irigasi 80 Persen, 85 Persen pada Skenario Perencana Sosial Koefisien Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Kuota Irigasi 80 persen 2
koef mb=c-dx koef mc=k-bx+ax c d k b a Lisrik Juanda 48.386 0.0000035 5.40 0.000001 0.00000037 Tarum Timur 35.405 0.0000003 0.70 0.0000075 0.000305 Irigasi Tarum Utara 37.433 0.000009 0.80 0.0000065 0.000226 Tarum Barat 45.000 0.000009 1.00 0.000045 0.0001734 Tarum Timur 96.922 0.000004 80.00 0.000628 0.0002451 PAM K/K Tarum Utara 80.320 0.000005 65.60 0.000479 0.0001341 Tarum Barat 102.361 0.000002 87.00 0.000536 0.0002564 Tarum Timur 125.958 0.000007 105.00 0.0009285 0.000427 Industri Tarum Utara 130.454 0.000005 100.00 0.000571 0.0002028 Tarum Barat 121.105 0.000004 92.00 0.000714 0.0002486 PAM DKI Tarum Barat 185.050 0.0005 65.00 0.00018 0.00012 Koefisien Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Kuota Irigasi 85 persen Sektor
Wilayah
2
koef mb=c-dx koef mc=k-bx+ax c d k b a Lisrik Juanda 48.386 0.0000035 2.40 0.000001 0.00000037 Tarum Timur 20.405 0.0000003 15.30 0.0000075 0.000305 Irigasi Tarum Utara 22.433 0.000009 15.40 0.0000065 0.000226 Tarum Barat 30.000 0.000009 15.50 0.000045 0.0001734 Tarum Timur 141.922 0.000004 20.00 0.000628 0.0002451 PAM K/K Tarum Utara 145.320 0.000005 25.60 0.000479 0.0001341 Tarum Barat 147.361 0.000002 27.00 0.000536 0.0002564 Tarum Timur 170.958 0.000007 35.00 0.0009285 0.000427 Industri Tarum Utara 175.454 0.000005 30.00 0.000571 0.0002028 Tarum Barat 176.105 0.000004 32.00 0.000714 0.0002486 PAM DKI Tarum Barat 205.050 0.0005 65.00 0.00018 0.00012 Koefisien Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Perencana Sosial Sektor
Wilayah
Sektor
Wilayah
Lisrik Irigasi
PAM K/K
Industri PAM DKI
Juanda Tarum Timur Tarum Utara Tarum Barat Tarum Timur Tarum Utara Tarum Barat Tarum Timur Tarum Utara Tarum Barat Tarum Barat
koef mb=c-dx c d 28.386 0.0000035 47.405 0.00011 50.433 0.00017 51.379 0.00015 130.922 0.0326 120.320 0.02001 132.361 0.01326 307.958 0.44 294.454 0.433 299.105 0.4464 205.000 0.002
2
koef mc=k-bx+ax k b a 75.00 0.00018 0.00012 0.70 0.0000075 0.000305 0.80 0.0000065 0.000226 1.00 0.000045 0.0001734 80.00 0.000628 0.0002451 65.60 0.000479 0.0001341 87.00 0.000536 0.0002564 105.00 0.0009285 0.000427 100.00 0.000571 0.0002028 92.00 0.000714 0.0002486 1.55 0.00018 0.00012
131
VI. GAMBARAN UMUM DAERAH IRIGASI JATILUHUR
6.1
Perekonomian Wilayah Jawa Barat dan Wilayah Sekitar Daerah Irigasi Jatiluhur Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Pantai Utara Jawa Barat, dari barat
yaitu DKI Jakarta sampai dengan ke timur Kabupaten Indramayu bagian barat. Sebelah selatan adalah Pegunungan Priangan dan sebelah utara adalah Laut Jawa. Oleh
karena
itu Daerah
Irigasi
Jatlihur sangat
berpengaruh terhadap
perkembangan pertumbuhan ekonomi, penduduk, dan industri serta pertanian di Provinsi Jawa Barat. Gambaran perkembangannya disampaikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat bahwa laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat dari tahun 2003─2007 meningkat terus secara signifikan. Hal ini dapat digambarkan seperti dalam Tabel 6. Tabel 6. Laju Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Tahun 2003─2007 Laju Pertumbuhan Ekonomi(persen) 2003 2004 2005 2006 2007
Uraian Laju pertumbuhan ekonomi
4.39
4.77
5.62
6.01*)
6.41**)
Sumber: BPS Jawa Barat, 2003─2007 *) angka sangat sementara. **) hasil estimasi triwulanan. Kondisi
makro
ekonomi
Jawa
Barat
tahun
2007, mengalami
pertumbuhan yang cukup menggembirakan, dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6.41 persen dibandingkan dengan tahun 2003 sebesar 4.39 persen. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tahun 2007 berdasarkan BPS Jawa Barat
132
(2007) masih didominasi oleh sektor industri manufaktur sebesar 41.21 persen, sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 22.31 persen, dan sektor pertanian sebesar 12.45 persen, sehingga pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pascakrisis tahun 1997 menunjukkan kecenderungan meningkat. Peningkatan terbesar di antaranya bersumber dari sektor industri di samping sektor perdagangan dan sektor pertanian. Tabel 7. Produk Domestik Regional Bruto Jawa Barat Tahun 2003─2007 No .
Uraian
1.
PDRB (Rp. Miliar)
2.
Kontribusi Sektor Manufaktur (Persen) Kontribusi Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (Persen) Kontribusi Sektor Pertanian (Persen)
3. 4.
PDRB Regional Bruto Jawa Barat 2003
2004
2005
2006
2007
234 793
304 458
389 268
473 556
542 270*)
43.60
41.88
44.46
45.24
41.21**)
18.45
18.91
19.08
19.4
22.31**)
13.66
13.49
11.93
11.12
12.45**)
Sumber : BPS Jawa Barat, 2003─2007 *) angka sangat sementara estimasi triwulan III tahun 2007. **) angka sangat sementara estimasi triwulan IV tahun 2007.
Jadi sektor industri merupakan kontributor utama ekonomi di Provinsi Jawa Barat karena di Jawa Barat terdapat kawasan industri yang terbanyak di Indonesia, di antaranya di Bekasi, Karawang, Cikarang, Subang, dan Purwakarta. Jawa Barat sebagai produsen terbesar padi 40 komoditas agribisnis di Indonesia, khususnya komoditas padi, yang memberikan kontribusi terbesar terhadap produksi padi nasional. Periode tahun 2003─2007 produksi padi di Jawa Barat menyumbang rata-rata kurang lebih 5 persen untuk produksi padi nasional. Luas sawah kurang lebih 25 persen sawah irigasi teknis yang ada di Jawa Barat. Sektor industri tumbuh pesat di pantai utara pulau Jawa, seperti Bekasi, Karawang, Cikarang, dan Purwakarta yang semuanya beriringan dengan daerah
133
pertanian dimana Daerah Irigasi Jatiluhur memegang peranan penting karena berkaitan dengan irigasi teknis untuk mengairi sawah sebanyak 242 000 hektar. Berdasarkan Tabel 8 antara tahun 2001 sampai dengan tahun 2007, ratarata tingkat pertumbuhan ekonomi di Daerah Irigasi Jatiluhur sebesar 15.60 persen dengan rata-rata tingkat pertumbuhan tertinggi terjadi di Kabupaten Subang sebesar 18.22 persen, diikuti dengan Bekasi Kota sebesar 17.25 persen. Wilayah Daerah Irigasi Jatiluhur atiluhur dengan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut merupakan wilayah sentra produksi pangan yang didominasi sektor pertanian apabila dihubungkan dengan tata guna lahan di wilayah tersebut, sedangkan Kabupaten Bekasi memiliki rata-rata tingkat pertumbuhan terendah dari Kabupaten/Kota(K/K) di Daerah Irigasi Jatiluhur. Tabel 8. Kondisi Perekonomian Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun 2001-2007 No .
Kabupaten/ Kota
1
LPE dan Inflasi Jawa Barat(persen) 2001
2002
Kota Bekasi
10.08
11.03 11.91 12.95 19.23
22.38 25.42
17.25
2
Bekasi
32.48
34.83 37.79 41.01 48.39
57.18 66.52
12.54
3
Karawang
12.34
14.53 16.70 19.29 24.59
25.65 31.55
16.71
4
Purwakarta
5.23
5.86
6.27
6.77
8.53
9.70 11.27
14.33
5
Subang
4.56
5.23
7.34
9.60 10.70
12.12 13.75
18.22
6
Indramayu
17.53 18.05 23.59 31.90
31.90 34.54
14.60
16.45
2003
2004
2005
2006
2007
Rata-Rata Tingkat Pertumbuhan
Sumber: BPS Jawa Barat, 2008. Tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tidak menggambarkan besarnya PDRB. Kabupaten Bekasi memiliki PDRB tertinggi, tetapi rata-rata tingkat pertumbuhannya tidak tinggi, dan merupakan wilayah pada urutan ke 4 dalam
134
dominasi sawah irigasinya. Kabupaten Indramayu dengan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi rendah memiliki PDRB tertinggi dibanding wilayah lainnya. Begitu pula dengan Kota Bekasi rata-rata tingkat pertumbuhan berada pada urutan ketiga memiliki PDRB lebih besar dibandingkan kedua wilayah di atas. Tabel 9 menggambarkan proyeksi jumlah penduduk di Daerah Irigasi Jatiluhur, di mana total penduduk pada tahun 2000 sebanyak 7.8 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2025 menjadi 11.5 juta jiwa. Tingkat pertumbuhan penduduk diperkirakan sekitar 1─2 persen tiap tahun selama 25 tahun. Jumlah penduduk tertinggi terjadi di wilayah perkotaan seperti Kota dan Kabupaten Bekasi serta Karawang, diperkirakan pada tahun 2025 masing-masing sekitar 23 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan air baku untuk domestik meningkat terus seiring dengan pertumbuhan penduduk (Nippon Koei, 2006).
Tabel 9. No.
Proyeksi Penduduk di Daerah Irigasi Jatiluhur
Kabupaten/Kota
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku(Rp miliar) 2003
2005
2010
2015
2020
2025
1.
Kota Bekasi
1 797
1 990
2 196
2 347
2 496
2 634
2.
Bekasi
1 826
2 022
2 231
2 385
2 536
2 676
3.
Karawang
1 786
1 978
2 183
2 333
2 481
2 618
4.
Purwakarta
707
783
864
924
982
1 037
5.
Subang
1 292
1 430
1 579
1 687
1 794
1 893
6.
Indramayu
431
478
527
563
599
632
7 839
8 681
9 580
10 239
10 888
11 490
Total Sumber: Nippon Koei, 2006
Tabel 10. berikut ini menggambarkan proyeksi permintaan air baku dari Daerah Irigasi Jatiluhur dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2025. Permintaan air baku untuk domestik per hari meningkat terus. Proyeksi pada tahun 2025 permintaan air baku untuk domestik di Karawang mencapai 312 m3/hari atau 3.61 m3/detik, diikuti Kota Bekasi sebesar 252 m3/hari atau 2.92 m3/detik. Pada tahun
135
2025 diperkirakan permintaan air baku untuk domestik di wilayah Daerah Irigasi Jatiluhur diproyeksikan 1 018 juta m3/hari atau 11.78 m3/detik. (Nippon Koei, 2006). Tabel 10. Proyeksi Permintaan Air Baku No.
Kabupaten/Kota
Proyeksi Permintaan Air baku(ribu m3/hari) 2003
2010
2015
2010
2025
1.
Kota Bekasi
84
139
177
211
252
2.
Bekasi
114
148
175
201
234
3.
Karawang
224
253
272
289
312
4.
Purwakarta
11
16
20
24
27
5.
Subang
41
49
55
61
68
6.
Indramayu
58
76
91
106
125
532
681
790
892
1018
Total Sumber: Nippon Koei, 2006
6.2
Kondisi Sumber Air di Daerah Irigasi Jatiluhur Pengembangan tenaga air yang mengalir tergantung pada volume air dan
pada ketinggian yang mungkin tersedia. Tenaga potensial berbanding langsung dengan kedua peubah tersebut. Ilmu yang membahas kedua aspek tersebut antara lain hidrologi. Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan proses yang menyangkut masalah penyusutan dan penambahan sumberdaya air di dam pada permukaan bumi untuk setiap tahapan keberadaannya. Dengan ilmu hidrologi dapat diterapkan peningkatan kesejahteraan rakyat, seperti melalui kegiatan irigasi, pengendalian banjir, pembangkit listrik tenaga air, air baku untuk industri, dan domestic. Hidrologi yang akan dibahas menyangkut peredaran air dari dan ke bumi di permukaan, sedangkan hidrologi air bawah permukaan atau air tanah tidak akan dibahas dalam penelitian ini. Persamaan hidrologis adalah pernyataan secara sederhana dari hukum kekekalan masa yang dapat dinyatakan sebagai total
136
aliran masuk pada waduk harus sama dengan total aliran keluar ditambah dengan perubahan terhadap simpanan. Sumber utama dari aliran masuk adalah curah hujan, yaitu sumber-sumber aliran keluar adalah aliran permukaan, penguapan, pemeluhan, pencegatan, dan sebagainya. Perubahan simpanan adalah pengaruh dari perubahan permintaan, simpanan cekungan, dan simpanan sementara. Hubungan antara curah hujan dan aliran sangat rumit (Dandekar,1991) dan tidak akan dibahas secara rinci dalam penelitian ini. Sungai Citarum terletak di Daerah Irigasi Jatiluhur di tengah-tengah Provinsi Jawa Barat merupakan sungai terpanjang di Jawa Barat yaitu kurang lebih 300 km, yang bersumber di Gunung Wayang Selatan Kota Bandung dan bermuara di Laut Jawa. Sungai ini melintasi kota Bandung, ibukota Jawa Barat yang sering membuat bencana banjir di kota Bandung, tetapi di hilir, air mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi untuk Jawa Barat atau secara nasional. Di hilir sungai Citarum telah dibangun Waduk Juanda oleh Pemerintah (tahun 1957─1967), kemudian Waduk Saguling (1985) dan Waduk Cirata (1988) oleh PT. PLN yang semuanya menghasilkan listrik. Waduk Juanda mempunyai multi fungsi dan diutamakan sebagai pengendali banjir, irigasi, air baku untuk perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan industri, sedangkan produksi listrik oleh pembangkit listrik tenaga air, tergantung kebutuhan air di hilir, yaitu untuk irigasi, air baku untuk perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan industri dapat dilihat pada Lampiran 9. Aliran air sungai Citarum dari tahun 2001─2007, rata-rata 5 miliar m3/tahun, semula di tampung di waduk Saguling kemudian diteruskan ke waduk Cirata, keduanya untuk memproduksi listrik, dan terakhir air melalui Sungai
137
Citarum dialirkan sebagai inflow di Waduk Juanda (Jatiluhur). Air dari Waduk Juanda dikeluarkan sebagai outflow waduk sesuai keperluan di hilir ke sungai Citarum lagi dimana sebelumnya dilewatkan turbin pembangkit listrik tenaga air, yang akan menghasilkan listrik. Selanjutnya dialirkan ke dataran rendah di pantai utara Jawa Barat yang telah berkembang, yaitu daerah industri, daerah pertanian, dan perusahaan daerah air minum. Tabel 11. Rata-Rata Aliran Sungai Citarum Rata-Rata Aliran Sungai Citarum (juta m3)
Tahun Jan
Feb
Mar
April
Mei
Juni
Juli
Agts
Sept
Okt
Nov
Des
Jumlah
2001
690.01
719.01
649.99
1039.00
541.01
464.98
281.02
208.02
203.06
632.18
1301.96
394.39
7124.63
2002
1064.18
751.04
976.22
882.96
306.06
186.03
251.18
98.48
75.04
80.35
203.91
664.73
5540.18
2003
350.09
710.28
730.64
399.17
386.20
98.24
49.71
55.84
149.95
420.88
333.67
609.79
4294.46
2004
612.93
610.79
774.81
641.99
683.98
153.52
126.50
43.58
128.77
104.83
292.20
569.16
4743.06
2005
639.12
973.20
914.62
749.35
369.46
433.62
237.33
145.95
183.51
226.43
313.40
563.11
5749.10
2006
713.61
752.13
360.78
590.06
350.25
134.46
63.16
34.40
25.30
42.01
78.48
641.18
3785.82
2007
269.98
759.56
529.38
921.47
430.45
319.52
126.56
53.92
47.76
219.58
617.02
814.22
5109.42
Rata-Rata
619.99
753.72
705.21
746.29
438.20
255.77
162.21
91.46
116.20
246.61
448.66
608.08
5192.38
Sumber: Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008
Oleh karena itu daerah hilir telah dibangun daerah irigasi teknis dan daerah industri yang membuat pertumbuhan penduduk meningkat yang perlu didukung dengan perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan listrik yang semua kebutuhan airnya bersumber dari Waduk Juanda. Air di Daerah Irigasi Jatiluhur oleh berbagai pihak banyak dibutuhkan dan mempunyai nilai ekonomi tinggi, maka perlu dikelola oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II supaya tidak terjadi konflik kepentingan. 6.3
Tata Guna Lahan Daerah Irigasi Jatiluhur Daerah Irigasi Jatiluhur terdiri dari 3 wilayah saluran induk, yaitu Tarum
Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat. Wilayah Tarum Timur meliputi Kabupaten
138
Subang dan Kabupaten Indramayu bagian barat, Wilayah Tarum Utara meliputi Kabupaten Karawang, dan Wilayah Tarum Barat
meliputi DKI Jakarta,
Kabupaten dan Kota Bekasi. Wilayah Tarum Barat berbeda dengan 2 wilayah lainnya. Wlayah itu berkembang mengarah menjadi pusat industri dan pemukiman. Tabel 12. Sawah Irigasi Teknis di Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun 2001─2007 Sawah Irigasi Teknis di Daerah Irigasi Jatiluhur (ribu Ha) No.
1
2
3
Wilayah 2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tarum Barat
58.196
58.196
58.196
54.935
54.392
53.652
53.652
a. Cikarang
30.671
30.671
30.671
30.781
30.626
30.071
30.071
b. Lemang Abang
27.525
27.525
27.525
24.154
23.766
23.581
23.581
Tarum Utara
87.426
87.426
87.426
87.396
87.396
87.276
87.276
a. Rengas Dengklok
45.996
45.996
45.996
45.996
45.996
45.846
45.846
b. Talagasari
41.430
41.430
41.430
41.430
41.430
41.430
41.430
Tarum Timur
97.297
85.561
83.865
83.863
83.855
83.855
83.855
a. Jatisari
34.957
21.757
21.742
21.740
21.740
21.740
21.740
b. Binong
25.962
25.749
25.728
25.728
25.727
25.727
25.727
c. Patrol
36.378
38.055
36.395
36.395
36.388
36.388
36.388
242.919
231.183
229.487
226.194
225.643
224.783
224.783
Jumlah
2007
Sumber: Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008
Kondisi ini sangat berbeda dengan wilayah Tarum Timur dan Tarum Utara yang merupakan wilayah sentra produksi pangan, tetapi ke depan diperkirakan penduduk dan industri brkembang pesat. Oleh karena itu, kebutuhan air baku dari Waduk Juanda akan meningkat terus. Tata guna lahan di Daerah Irigasi Jatiluhur dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2007 didominasi sawah irigasi teknis. Pada tahun 2007 proporsi tertinggi di Kabupaten Karawang 87.28 ribu hektar (39 persen) diikuti Subang dan Indramayu 85.86 ribu hektar (37 persen), dan Kabupaten/Kota Bekasi 53.65 ribu hektar (24 persen). Berkurangnya luas areal sawah dari tahun ke tahun karena
139
pesatnya pertumbuhan industri dan meningkatnya jumlah penduduk, terutama di Kabupaten Bekasi. Kota Bekasi merupakan wilayah yang terus berkembang menjadi wilayah perkotaan, seiring dengan peranannya sebagai wilayah penyangga Jakarta, dan berperan sebagai kota satelit dari Jakarta. Begitu juga dalam pengaturan dan penyaluran air baku Perusahaan Air Minum DKI Jakarta dilakukan saluran air Kali Malang baku ke arah barat dari di Bendung Bekasi yang diteruskan ke Perusahaan Air Minum DKI Jakarta melalui Pompa Air Baku (PAB) di Cawang. 6.4
Status dan Perkembangan Pengelolaan Daerah Irigasi Jatiluhur Pada tahun 1956, Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri terakhir Indonesia
mendeklarasikan Proyek Serbaguna Jatiluhur. Tujuan utama proyek tersebut meningkatkan produktivitas padi untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Proyek pembangunan Waduk Juanda (Proyek Jatiluhur) dimulai tahun 1957, dibagi dalam dua kegiatan, yaitu pertama membangun waduk yang membendung Sungai Citarum dengan kapasitas kurang lebih 3 juta meter kubik, dengan pembangkit tenaga listrik berkapasitas 150 MW. Kedua, membangun sistem irigasi yang mencakup kurang lebih seluas 240 ribu hektar sawah irigasi teknis di wilayah utara Provinsi Jawa Barat yang dihubungkan dengan sistem irigasi Walahar dan Salamdarma, dengan dua kali panen dalam setahun. Proyek itu selesai pada tahun 1967, dan kemudian dinamakan Waduk Juanda atau Waduk Jatilihur, sedangkan wilayah pelayanannya disebut Daerah Irigasi (DI) Jatiluhur. Selanjutnya yang akan dibahas dalam penelitian ini berkaitan dengan nilai ekonomi, yang sangat bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat, seperti produk keluaran dari pemanfaatan air secara ekonomi untuk irigasi, pembangkit listrik
140
tenaga air, air baku untuk industri, domestik, dan lain sebagainya, dikecualikan pengendalian banjir khususnya hidrologi yang berkaitan dengan sungai Citarum. 6.5
Waduk Juanda Waduk Juanda dibangun dengan multi-tujuan, yaitu memenuhi
kebutuhan sektor air irigasi, domestik, municipal, dan industri. Pengelola sumber daya air di Daerah Irigasi Jatiluhur sejak pembangunan waduk Juanda sampai dengan saat ini telah mengalami beberapa perubahan status pengelola. Pengelola berstatus Perusahaan Umum (Perum) Jatiluhur sejak bulan Juli 1967 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1967 tertanggal 24 Juli 1967, diubah menjadi Perusahaan Otorita Jatiluhur pada tahuna 1970 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1970 sebagai perusahaan yang bertujuan memperoleh profit. Pengelolaan air irigasi merupakan pengelolaan sosial bukan komersial sehingga terjadi benturan antara tujuan perusahaan untuk mencapai profit dengan tujuan pembangunan waduk untuk menopang ketersediaan pangan. Pengelolaan waduk secara efisien dan efektif perlu dilakukan sehingga konflik kepentingan tidak terjadi. Berdasarkan alasan di atas, pemerintah mengubah status Perusahaan Umum Otorita Jatiluhur dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1980, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perusahaan Umum, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 1999 tentang tugas Perusahaan Umum Jasa Tirta II memberikan pelayanan umum dan secara simultan mencari keuntungan sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan.
141
Bendungan mempunyai dua dasar fungsi, yaitu pertama merupakan sebuah waduk/kolam penampung air yang mempunyai kesanggupan untuk menyediakan air, dan yang kedua menaikkan ketinggian permukaan air yang merupakan potensi dari air sungai. Tabel 13. Rata-Rata Air Keluar dari Waduk Juanda Tahun 20012007 Air Keluar Waduk (Juta m3)
TMA Rata-Rata (m) Tahun
Rencana
Realisasi Normal
Kering
Basah
Turbin
HJV
Limpas
Total
Volume Waduk (Juta m3)
Volume Efektif (Juta m3)
Luasan Waduk (Km2)
2001
102.83
99.58
98.00
99.58
5141.80
713.31
99.01
5954.12
2128.10
1549.20
84.59
2002
101.11
101.05
98.53
101.05
5638.34
495.52
247.05
6380.91
2017.65
1438.75
82.29
2003
86.07
96.28
93.99
96.28
3644.50
355.71
0.00
4000.21
1068.56
489.66
62.32
2004
95.76
96.46
90.42
96.46
4234.13
210.21
0.00
4444.34
1637.14
1058.24
74.87
2005
102.16
98.32
94.49
98.32
4519.74
381.15
45.45
4946.34
2084.6
1505.70
83.69
2006
94.05
98.92
97.27
102.09
4441.12
23.74
0.00
4464.86
1536.56
957.66
72.65
2007
93.99
95.86
91.75
98.08
3236.63
769.23
0.00
4005.86
1525.29
946.39
72.51
Sumber: Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008 Waduk Juanda terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta (± 9 km dari pusat Kota Purwakarta), berjarak kurang lebih 100 km tenggara Jakarta dan kurang lebih 60 km barat laut kota Bandung. Waduk Juanda adalah waduk terbesar di Indonesia. dengan panorama danau yang luasnya 8 300 hektar. Bendungan ini mulai dibangun sejak tahun 1957 oleh kontraktor asal Perancis dengan potensi air tersedia sebesar 12.9 milyar m3 per tahun dan merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia. Menara pelimpas berbentuk morning glory, elevasi mercu +107.0 m, dan dapat menampung air dari Sungai Citarum maksimum 2.25 miliar m3. Waduk dilengkapi Hollowjet yang dapat dibuka atau ditutup berdasarkan persentase sesuai dengan kebutuhan air di hilir. Apabila Pembangkit Listrik Tenaga Air, ada
142
beberapa unit turbin tidak dapat berfungsi dengan baik, sehingga air yang dikeluarkan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Air, tidak mencukupi untuk kebutuhan di hilir, maka kekurangan air dapat dikeluarkan dari waduk melalui Hollowjet berdasarkan kebutuhan. Waduk Juanda semula dibangun ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan penyediaan pangan melalui produktivitas lahan irigasi dari pemanfaatan air sungai Citarum. Jadi Waduk Juanda, yang pertama memiliki fungsi penyediaan air irigasi seluas kurang lebih 240 000 hektar sawah pada tahun 1967 dengan dua kali tanam satu tahun di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Indramayu bagian barat. Hampir 80─90 persen air dari Waduk Juanda untuk kepentingan irigasi dilakukan dengan sistem gilir giring dua mingguan dan pola tanam dikelompokkan menjadi 5 golongan tanam dalam setiap musim tanam. Air dari sumber setempat dalam penelitian ini diasumsikan untuk kepentingan irigasi semua. Kedua, adalah untuk memasok air baku untuk air minum di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yaitu kurang lebih 450 juta m3/tahun atau sekitar 80 persen kebutuhan air baku untuk air minum DKI dan perusahaan daerah air minum kabupaten/kota serta industri yang berkembang pesat di wilayah Daerah Irigasi Jatiluhur dan sekitarnya. Selanjutnya, secara teknis operasi waduk tidak akan dibahas pada penelitian ini, tetapi yang dibahas dalam penelitian ini hanya air yang bermanfaat secara ekonomi misalnya pada sektor pertanian, industri, dan air baku untuk air minum serta listrik dari pembangkit listrik tenaga air. Air keluar yang melalui pelimpas dan hollowjet diasumsikan tidak ada, karena cukup kecil. Demikian juga
143
untuk perikanan darat, pengembangan pariwisata, dan olahraga air tidak akan dibahas karena potensi pendapatannya cukup kecil untuk kepentingan Perusahaan Umum Jasa Tirta II. Di Waduk Juanda, dilengkapi dengan 6 unit turbin Pembangkit Listrik Tenaga Air, dengan daya terpasang 187.5 MW atau masing-masing unit mampu membangkitkan daya dengan kapasitas 32.2 MW dengan produksi tenaga listrik mencapai + 1 000 juta kWh/tahun yang tergantung ketersediaan air di waduk. Pembangkit ini dikelola dan dipasarkan oleh PerusahaanUmum Jasa Tirta II. Sebesar 80─90 persen pembelinya adalah PT. PLN dan selebihnya dipakai sendiri. Untuk menghasilkan 1 kWh tiap unit maka Pembangkit Listrik Tenaga Air, membutuhkan air antara 5─7 m3 per detik yang tergantung pada tinggi muka air waduk dan beban pembangkit listrik tenaga air yang digunakan. Air untuk produksi listrik diasumsikan volumenya setara dengan outflow air dari Waduk Juanda untuk kepentingan penggunanya. Menurut Perusahaan Umum Jasa Tirta II (2008) volume air yang masuk Waduk Juanda sama dengan air yang keluar waduk.
6.6
Sektor dan Wilayah Daerah Irigasi Jatiluhur Daerah Irigasi Jatiluhur dibagi dua, yaitu selatan dan utara Jatiluhur.
Daerah Irigasi Selatan Jatiluhur adalah daerah irigasi semi teknis yang sumber airnya menggunakan sumber setempat, sedangkan Daerah Irigasi Jatiluhur adalah daerah irigasi teknis yang sumber airnya disamping menggunakan air dari waduk Juanda, juga menggunakan sumber air setempat. Dalam tulisan di sini dibatasi hanya untuk Daerah Irigasi Utara Jatiluhur, karena untuk Daerah Irigasi Selatan
144
Jatiluhur adalah irigasi non teknis yang luasannya tersebar di selatan Jatiluhur tidak memberikan pendapatan kepada Perusahaan Umum Jasa Tirta II. Setelah air keluar dari waduk Juanda kembali ke sungai Citarum sampai di Bendung Curug yang berjarak 17 km dari Waduk Juanda. Di Curug terdapat Bendung Curug yang berfungsi membagi air ke saluran induk, yang ke Timur disebut Saluran primer (induk) Tarum Timur, yang membawa air ke Wilayah Subang dan Wilayah Indramayu bagian Barat. Ke utara di Bendung Walahar (terusan sungai Citarum) dialirkan ke saluran induk primer Tarum Utara (TU) untuk membawa air ke Wilayah Kabupaten Karawang. Ke bagian Barat disebut Saluran Induk Primer Tarum Barat (TB) yang mengalirkan air ke Wilayah Kabupaten Bekasi dan DKI Jakarta (Lihat Gambar 12).
Sumber: Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008 Gambar 13. Skema Sistem Pengairan Jatiluhur
145
Karena air untuk sektor pertanian, perusahaan daerah air minum, dan industri melalui saluran yang sama, maka diasumsikan bahwa air dari sumber setempat seluruhnya digunakan untuk irigasi sektor pertanian, sedangkan air baku untuk perusahaan daerah air minum dan industri diasumsikan bersumber dari waduk Juanda. Selama 7 tahun dari tahun 2001─2007, rata-rata air dari Waduk Juanda (outflow) untuk menunjang kebutuhan di hilir diperlukan air sebesar 5.193 miliar m3, sedangkan rara-rata air yang dipasok ke Perusahaan Air Minum DKI Jakarta sebesar 0.392 miliar m3. Rata-rata air dipakai untuk kepentingan irigasi, baik di Tarum Timur, Tarum Utara maupun Tarum Barat, ternyata sawah memerlukan air sebesar 8 000 m3 per hektar per musim tanam (Balai Klimat Sukamandi, Jawa Barat). Jumlah air ini sebagian dari Waduk Juanda dan sumber setempat tergantung kepada waktu tanamnya. Tabel 14. Rata-Rata Jumlah Air dari Wilayah ke Sektor Tahun 2001-2007 No.
Sektor
Rata-rata Air ke Sektor (miliar m3) Tarum Tarum Tarum Waduk Timur Utara Barat
Pembangkit Listrik 5.159 Tenaga Air 2. Irigasi Perusahaan Daerah Air 3. Minum Kabupaten/Kota 4. Industri Perusahaan Air Minum 5. DKI Jumlah 5.159 Sumber: Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008 1.
-
-
-
1.908
1.921
1.869
0.003
0.006
0.033
0.060
0.036
0.052
-
-
0.392
1.971
1.963
2.346
146
Menurut Perusahaan Umum Jasa Tirta II, pada musim tanam rendeng, yaitu bulan Oktober-Maret, sebesar 70 persen menggunakan sumber setempat dan selebihnya menggunakan air dari Waduk Juanda. Sementara itu pada musim tanam gadu, yaitu bulan April-September, sebesar 70 persen berasal dari Waduk Juanda. Benefit yang diperoleh dari sub sektor pertanian tanaman padi setiap tahunnya seluas 242 000 hektar dalam 2 kali tanam dan per hektar menghasilkan 5 ton gabah kering giling (GKG), dan jika harga gabah Rp. 3 000 per ton maka akan didapat sebesar Rp. 7 triliun.
6.7
Perusahaan Umum Jasa Tirta II
6.7.1
Dasar Hukum Setelah berlakunya Undang─Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumberdaya Air, dimana pengelolaan diistilahkan dengan pengusahaan sumber daya air, tercantum ketentuan dalam pada Pasal 45 yang menyatakan bahwa: 1. Pengusahaaan sumber daya air diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian lingkungan hidup. 2. Pengusahaan sumber daya air yang meliputi satu wilayah sungai hanya dapat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang sumber daya air atau kerja sama antara badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. 3. Pengusahaan sebagaimana dimaksud dapat berbentuk: (1)
penggunaan air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan dalam perizinan;
(2)
pemanfaatan wadah air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan dalam perizinan; dan/atau
147
(3)
pemanfaatan daya air pada suatu alokasi tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan dalam perizinan. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 1999 tentang
Perusahaan Umum Jasa Tirta II, dinyatakan bahwa maksud pendirian perusahaan adalah menyelenggarakan pemanfaatan umum atas air dan sumber-sumber yang bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak serta melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan oleh pemerintah dalam pengelolaan daerah aliran sungai. Tugas-tugas tersebut antara lain menyediakan air irigasi untuk areal sawah seluas 296 000 hektar yang terdiri dari Daerah Irigasi Utara Jatiluhur atau disebut Daerah Irigasi Jatiluhur yang merupakan daerah irigasi teknis seluas kurang lebih 240 000 hektar dan Daerah Irigasi Selatan Jatilur merupakan daerah irigasi semi teknis seluas 56 000 hektar. Kedua daerah irigasi itu dikelola Perusahaan Umum Jasa Tirta II dalam rangka memenuhi Ketahanan Pangan Nasional. Di samping itu, menyangkut kegiatan penyuluhan lingkungan dan tugastugas lain yang berkaitan dengan perlindungan, pengembangan, dan penggunaan sungai dan atau sumber-sumber air juga diminta melaksanakan pengembangan air dan sumber air dengan memperhatikan berbagai aspek, antara lain, konservasi sumber daya air, kuantitas dan kualitas air, lingkungan sungai, penanggulangan banjir, dan kekeringan, serta pengelolaan infrastruktur prasarana dan sarana pengairan (Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008). 6.7.2
Tugas, Wewenang Perusahaan Umum Jasa Tirta II Daerah Irigasi Jatiluhur dikelola oleh berbagai institusi, antara lain
Pemerintah Pusat, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum yang diwakili oleh Balai
148
Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWS Ciratum), Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Provinsi Jawa Barat dan Dinas Bidang Pekerjaan Umum Kabupaten, dan Perusahaan Umum Jasa Tirta II. Menurut Undang-Undang, Daerah Irigasi yang strategis dan luasnya lebih dari 3 000 hektar seperti Daerah Irigasi Jatiluhur, tanggung jawabnya berada di Pemerintah Pusat. Balai Besar Wilayah Sungai Citarum yang mewakili Pemerintah Pusat mempunyai tugas merehabilitasi, membangun infrastruktur baru atau pengembangan Daerah Irigasi Jatiluhur dan rehabilitasi serta mengerjakan pekerjaan infrastruktur air dimana Dinas Prasana Sumber Daya Air atau Perusahaan Umum Jasa Tirta II tidak mampu menanganinya. Dinas Prasana Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat mempunyai tugas menangani pemeliharaan pada jaringan sekundernya, sedangkan untuk jaringan tersier ditangani oleh Dinas Dinas Bidang Pekerjaan Umum Kabupaten Kabupaten. Pembiayaan yang ditangani Balai Besar Wilayah Sungai Citarum menggunakan dana APBN, yang ditangani oleh Dinas Prasana Sumber Daya Air menggunakan dana APBN/APBD, yang ditangani Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten dengan APBD Kabupaten. Sementara itu seluruh operasi dan pemeliharaan serta pengelolaan air mulai dari waduk, saluran induk (primer) sampai dengan sektor pengguna dilaksanakan oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II. Pembiayaan Perusahaan Umum Jasa Tirta II bukan dari APBN, tetapi dari pendapatan menjual listrik, air baku ke perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan industri. Perusahaan Umum Jasa Tirta II diberi kewenangan untuk menarik iuran biaya jasa pengelolaan sumberdaya air dan menjual listrik yang tarifnya ditetapkan oleh Pemerintah.
149
6.7.3
Penerimaan dan Pembiayaan Perusahaan Umum Jasa Tirta II Penerimaan yang dikelola Perusahaan Umum Jasa Tirta II digunakan
untuk membayar operator pintu dan pemeliharaan kecil-kecilan dan pintu karena banjir pada jaringan primer, sekunder, walaupun bangunannya bersifat darurat atau sementara. Sedangkan bangunan permanennya dilaksanakan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Citarum pada tahun anggaran brikutnya karena dananya kemungkinan belum dianggarkan di APBN yang sedang berjalan. Seperti dijelaskan di atas bahwa biaya yang dikeluarkan dari Perusahaan Umum Jasa Tirta II berasal dari iuran biaya jasa pengelolaan sumberdaya air dan menjual listrik, sedangkan dari Pemerintah melalui APBN tidak ada sumbangan. Bantuannya melalui APBN yang melaksanakan Balai Besar Wilayah Sungai Citarum. Air di Daerah Irigasi Jatiluhur 80─90 persennya untuk kepentingan irigasi, tetapi tidak dapat dipungut biaya jasa pengelolaan sumberdaya air alias gratis. Dari laporan akuntasi Perusahaan Umum Jasa Tirta II, biaya untuk sektor pembangkit listrik tenaga air, Perusahaan Air Minum DKI Jakarta, irigasi, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, dan industri dibagi dua yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Yang termasuk biaya tetap atau biaya usaha adalah biaya yang harus disediakan agar perusahaan tetap dapat beroperasi dan biaya untuk pegawai, biaya umum dan administrasi, biaya ekologi lingkungan serta biaya kantor, serta biaya penyusutan aktiva tetap. Yang termasuk biaya tidak tetap adalah biaya pemeliharaan, biaya bahan dan perlengkapan misalnya biaya bahan bakar/pelumas, biaya bahan kimia, rupa-rupa bahan, bahan sparepart. Biaya riset dan pengembangan yaitu biaya latihan/up grading dan biaya perencanaan dan penelitian (Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008).
150
Setiap tahun Perusahaan Umum Jasa Tirta II membuat Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) yang kemudian disahkan oleh Kementerian BUMN setelah dikonsultasikan oleh kantor Pusat Perusahaan Umum Jasa Tirta II. Hal ini sebelumnya dibahas antara Kantor Pusat Perusahaan Umum Jasa Tirta II dengan Divisi. Selanjutnya dalam pelaksanaannya oleh masing-masing Balai atau Divisi, misalnya Divisi I yang mempunyai wilayah Kabupaten/Kota Bekasi. Biaya-biaya untuk Divisi II (Balai di Karawang) yang mempunyai wilayah Kabupaten Karawang. Biaya-biaya untuk Divisi III (Balai di Subang) yang mempunyai wilayah Kabupaten Subang dan sebagian Indramayu. Biaya-biaya untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air digunakan untuk mengoperasikan dan memelihara Pembangkit Listrik Tenaga Air agar dapat beroperasi sehingga dapat memproduksi listrik yang akan dipasok ke PT PLN dan dipakai sendiri. Volume air untuk pasokan irigasi, Perusahaan Air Minum DKI Jakarta, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan industri dapat diketahui, walaupun menggunakan saluran yang sama, tetapi biaya-biaya di Perusahaan Umum Jasa Tirta II tidak dapat diketahui di mana biaya untuk irigasi, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan industri. Oleh karena itu, dalam pembahasan di sini biaya tiap-tiap sektor diasumsikan proporsional dengan volume air yang digunakan di sektor masing-masing. Jadi biaya-biaya yang dikeluarkan dari Perusahaan Umum Jasa Tirta II digunakan untuk operasi dan pemeliharaan darurat, agar dapat bermanfaat untuk air irigasi, industri, dan perusahaan daerah air minum kabupaten/kota yang barsumber dari Biaya jasa pengelolaan sumberdaya air (BJPSDA) yang diterima dari industri dan perusahaan daerah air minum kabupaten/kota. Air untuk irigasi
151
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, biaya jasa pegelolaan sumberdaya air tidak boleh dipungut, sehingga air untuk irigasi tidak memberikan pendapatan atau benefit untuk Perusahaan Umum Jasa Tirta II. Apabila dilihat secara keseluruhan maka Perusahaan Umum Jasa Tirta II telah mendapatkan pendapatan yang didapat dari menjual listrik ke PLN dan menjual air baku ke Perusahaan Air Minum DKI Jakarta. Keuntungan tersebut yang terpenting untuk kembali untuk dipakai operasi dan pemeliharaan sumberdaya air, jadi prinsip pengusahaan air, hasilnya harus kembali ke air.
Tabel 15. Biaya Operasi/Pemeliharaan dan Penerimaan Perusahaan Umum Jasa Tirta II tahun 2001─2007 Biaya Operasi/Pemeliharaan dan Penerimaan Perusahaan Umum Jasa Tirta II(Rp miliar) Tahun
Pembangkit Listrik Tenaga Air C
R
P
Perusahaan Air Minum DKI Jakarta
Taruma Utara
C
R
P
C
R
P
2001
11.90
78.90
67.00
7.00
20.80
13.70
7.90
1.50
-6.40
2002
15.10
92.30
77.20
7.60
25.60
18.00
7.10
1.60
-5.50
2003
20.00
60.10
40.20
8.30
35.60
27.30
8.30
1.70
-6.60
2004
24.00
84.10
60.10
9.10
36.90
27.70
8.70
1.80
-6.90
2005
28.10
116.00
87.90
10.60
46.60
36.00
10.80
2.30
-8.50
2006
25.50
113.00
87.40
10.80
56.80
45.90
12.10
2.60
-9.50
2007
20.40
107.70
87.30
11.10
56.60
45.50
12.60
2.30
-10.30
Jumlah
145.00
652.10
507.10
64.50
278.90
214.10
67.50
13.80
-53.70
Tahun
Taruma Timur C
R
Taruma Barat P
C
R
Total P
C
R
P
2001
3.10
1.50
-1.70
4.30
1.60
-2.70
34.20
104.30
69.90
2002
3.00
1.50
-1.50
3.30
1.90
-1.30
36.10
122.90
86.90
2003
4.30
1.70
-2.60
3.90
0.70
-3.10
44.80
99.80
55.20
2004
5.30
3.80
-1.50
5.80
5.30
-0.50
52.90
131.90
78.90
2005
7.80
4.10
-3.70
8.10
5.90
-2.20
65.40
174.90
109.50
2006
8.50
4.20
-4.30
3.00
6.20
3.20
59.90
182.80
122.70
2007
8.30
3.90
-4.30
11.20
6.30
-4.80
63.60
176.80
113.40
40.30
20.70
-19.60
39.60
27.90
-11.40
356.90
993.40
636.50
Jumlah
Keterangan: C: Biaya; R: pendapatan, P: Profit = R-C Sumber: Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008
152
6.7.4
Penetapan Tarif Air
Biaya jasa pengelolaan sumberdaya air untuk irigasi menurut UndangUndang Nomor 7 tersebut, tidak boleh dipungut alias gratis dari Biaya jasa pengelolaan sumberdaya air oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II. Berikut contoh pada Tabel 12 untuk tarif listrik, Perusahaan Air Minum DKI Jakarta, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, dan industri dari tahun 2001─2007. Terlihat bahwa tarif untuk listrik dan Perusahaan Air Minum DKI Jakarta meningkat terus, sedangkan tarif untuk perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan indutri selama 5 tahun tidak mengalami kenaikan. Dengan tarif tersebut dapat memberikan pendapatan kepada Perusahaan Umum Jasa Tirta II untuk biaya operasi dan pemeliharaan infrastruktur waduk, saluran, bendung, pembangkit listrik tenaga air, dan lain-lain.
Tabel 16. Tarif Listrik, Perusahaan Air Minum DKI Jakarta, Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten/Kota, Industri, dan Irigasi tahun 2001─2007 No .
Tarif per Satuan Menurut Sektor Pengguna(Rp/satuan) Tarif
Satuan 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
1.
Listrik
Rp/kwh
79.00
86.50
102.76
117.01
124.48
134.74
138.77
2.
Perusahaa n Air Minum DKI Jakarta
Rp/m3
50.00
57.50
72.50
80.00
100.00
122.00
127.23
3.
Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten /Kota
Rp/m3
23.00
23.00
45.00
45.00
45.00
45.00
45.00
4.
Industri
Rp/m3
23.00
23.00
50.00
50.00
50.00
50.00
50.00
5.
Irigasi*)
Rp/m3
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
*)Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air Sumber: Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008
Keterang -an
153
6.8
Kehilangan Air di Daerah Irigasi Jatiluhur Jaringan irigasi Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun pemerintah tahun
1957─1967. Jadi jaringan itu sudah berumur kurang lebih 45 tahun, sudah banyak terjadi kerusakan karena kemungkinan biaya untuk pemeliharaan dirasakan tidak memadai di samping perkembangan jumlah penduduk, dan
perkembangan
industri. Oleh karena itu banyak terjadi kerusakan yang mengakibatkan kebocoran di saluran. Nippon Koei (2006) memperkirakan bahwa efisiensi penggunaan saluran untuk irigasi di Tarum Timur sebesar 65 persen, Tarum Utara sebesar 75 persen, dan Tarum Barat sebesar 65 persen. Sementara itu kehilangan air untuk saluran induk di Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat masing-masing sebesar 5 persen, sedangkan kehilangan air di saluran sekunder di Tarum Timur, Tarum Utara dan Tarum Barat masing-masing sebesar 20 persen (Tabel 17). Tabel 17. Rekapitulasi Asumsi Efisiensi Irigasi dn Saluran Induk
Saluran induk
Efisiensi irigasi (persen) (e irr )
Saluran Tarum Timur Saluran Tarum Utara Saluran Tarum Barat
Kehilangan Kehilangan di di saluran saluran induk sekunder (persen) (persen) (L SC ) (L PC )
Efisiensi bendung Curug (e OVL )
65
20
5
0.516
75
20
5
0.595
65
20
5
0.516
Sumber : Nippon Koei, 2006 Daya tampung normal untuk Tarum Timur, Tarum Utara dan Tarum Barat sebesar 80 m3 per detik. Tetapi, karena sedimentasi, saluran bocor, penyempitan, pintu-pintu rusak, dan perbuatan masyarakat, saluran induk Tarum Timur, Tarum Utara dan Tarum Barat daya tampungnya tinggal 50─60 m3 per detik, sedangkan saluran dari Bekasi ke Pompa Air Baku daya tampungnya
154
16─17 m3 per detik (Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008). Menurut Tenaga Senior Perusahaan Umum Jasa Tirta II, Ir. Azban Basiran (2008), Waduk Juanda diperkirakan sedimentasinya relatif kecil sehingga masih mampu menampung air sebesar 2.25 miliar m3, karena sedimennya sudah ditampung di hulu yaitu Waduk Saguling dan kemudian Waduk Cirata. Dalam kondisi normal Waduk Juanda mampu menampung 2.25 miliar m3.
155
VII.
HASIL DAN PEMBAHASAN
7.1
Net Social Benefit dari Fungsi Obyektif
7.1.1
Nilai Obyektif Setiap Skenario Fungsi obyektif optimal manfaat sosial bersih yang dihitung dengan nilai
sekarang(present value) selama horizon waktu dari tahun 2010–2025 yang dihasilkan oleh GAMS dilihat pada Tabel 23. Secara umum pada skenario untuk kuota irigasi, makin berkurang penggunaan air untuk irigasi atau makin banyak penggunaan air untuk nonirigasi makin tinggi nilai fungsi objektif manfaat sosial bersihnya. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen dan 10 persen pada setiap skenario perencana sosial, air untuk irigasi 85 persen, 80 persen, 70 persen, atau 60 persen, nilai obyektif manfaat sosial bersihnya mengalami peningkatan. Pada tingkat diskonto 5 persen baik untuk tingkat pertumbuan 5 persen maupun 10 persen, nilai obyektif manfaat sosial bersihnya paling baik. Bahkan, pada skenario pertumbuhan ekonomi 10 persen dan tingkat diskonto 5 persen fungsi obyektif manfaat sosial bersihnya lebing tinggi bila dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen dan tingkat diskonto 5 persen. Lebih spesifik, fungsi obyektif manfaat sosial bersih pada tingkat pertumbuhan ekonomi 10 persen dan tingkat diskonto 5 persen
yang dibuat
dengan skenario perencana sosial yaitu sebesar Rp 8.82 triliun dibandingkan fungsi obyektif manfaat sosial bersihnya pada tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen dan tingkat diskonto 5 persen yang dibuat dengan skenario perencana sosial fungsi obyektif manfaat sosial bersihnya sebesar Rp 5.27 triliun. Manfaat sosial bersih dari hasil fungsi obyektif optimal perencana sosial akan dipakai
156
sebagai ceiling atau batas atas karena dianggap sebagai the best solution yang tidak mungkin dapat dicapai (Syaukat, 2000). Skenario status quo atau kuota irigasi 85 persen akan dipakai sebagai dasar pembanding skenario yang lain. Secara persentasi, apabila dilihat dari sisi skenario status quo, pada kuota air untuk irigasi 60 persen, fungsi obyektif manfaat sosial bersih
sebesar 130
persen─148 persen. Fungsi obyektif manfaat sosial bersih skenario kuota air untuk irigasi 70 persen yaitu sebesar 126 persen─138 persen di atas skenario status quo. Fungsi obyektif manfaat sosial bersih skenario kuota air untuk irigasi 80 persen yaitu sebesar 113 persen─134 persen di atas skenario status quo. Fungsi obyektif manfaat sosial bersih skenario perencana sosial di atas skenario lainnya yaitu sebesar 187 persen─212 persen di atas skenario status quo (Tabel 18.). Tabel 18. Nilai Sekarang Total Manfaat Sosial Bersih Fungsi Obyektif Setiap Skenario Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 10% Skenario
*)
*)
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5%
10%
5%
15%*)
10%*)
5%*)
569 740
1 237 400
4 725 700
421 900
813 630
2 637 500
1 168 400
2 423 100
8 827 600
894 650
1 703 000
5 273 800
2) Irigasi 80%
723 360
1 488 100
5 348 100
564 650
1 040 800
3 187 900
3) Irigasi 70%
753 710
1 709 500
6 912 700
539 310
1 021 500
3 466 700
4) Irigasi 60%
832 840
1 720 300
6 138 600
625 090
1 185 700
3 690 900
15%
*)
Total Manfaat Bersih Optimum (Rp juta) 1. Status Quo (Irigasi 85%) 2. Skenario Kuota Air 1) Perencana Sosial
% Total Manfaat Bersih Optimum Terhadap Status Quo (Irigasi 85%) 1. Status Quo (Irigasi 85%)
569 740
1 237 400
4 725 700
421 900
813 630
2 637 500
1) Perencana Sosial
205%
196%
187%
212%
209%
200%
2) Irigasi 80%
127%
120%
113%
134%
128%
121%
3) Irigasi 70%
132%
138%
146%
128%
126%
131%
4) Irigasi 60%
146%
139%
130%
148%
146%
140%
2. Skenario Kuota Air
*) Tingkat Diskonto
157
Hasil dari model ASDIJ diantaranya adalah manfaat sosial bersih (Net Social Benefit) optimal yaitu jumlah dari manfaat sosial bersih sesuai dengan yang direncanakan yaitu selama 16 tahun 2010 ─2025. M anfaat sosial bersih adalah selisih antara total benefit dikurangi dengan total biaya untuk setiap sektor dihitung berdasarkan skenario kuota air untuk irigasi 85 persen, 80 persen, 70 persen, 60 persen dan perencana sosial untuk setiap sektor. Yang dimaksud dengan skenario perencana sosial adalah perhitungannya tidak dengan kuota, tetapi diserahkan kepada sistem dari ASDIJ. Hasil manfaat sosial bersih dari perencana sosial dipakai sebagai ‘ceiling solution’ atau batas atas skenario yang lain dan dianggap sebagai ‘the best solution’. Sedangkan batas bawah (base line) diambil dari manfaat sosial bersih berdasarkan skenario yang dianggap mendekati keadaan sekarang yaitu kuota air untuk irigasi sebesar 85 persen. Hasil (output) dari model ASDIJ adalah sebagai berikut: 1)
Tingkat pertumbuhan ekonomi 10 persen pada tingkat diskonto 5 persen Skenario air untuk irigasi 60 persen, 70 persen, 80 persen, 85 persen dan
perencana sosial, hasil (output) dari model ASDIJ berturut-turut memberikan manfaat sosial bersih sebesar Rp 6.14 triliun, Rp 6.91 triliun, Rp 5.35 triliun, Rp Rp 4.73 triliun, dan Rp 8.83 triliun yang kesemuanya lebih besar dari pada manfaat sosial bersih pada tingkat diskonto 10 persen dan 15 persen. Dari kelima skenario tersebut semua memberikan manfaat sosial bersih yang positif dalam arti bahwa jumlah manfaat bersih lebih besar dari jumlah biaya yang diperlukan untuk memproduksi air sampai dengan dipasok kepada pengguna. Di sini output skenario
perencana sosial, hasil manfaat sosial bersih
paling besar dibandingkan skenario lainnya dan skenario kuota air untuk irigasi 85
158
persen
atau status quo hasilnya paling kecil dibandingkan skenario lainnya.
(Tabel 18.) 2)
Tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen pada tingkat diskonto 5 persen Skenario air untuk irigasi 60 persen, 70 persen, 80 persen, 85 persen dan
perencana sosial, hasil (output) dari model ASDIJ berturut-turut memberikan manfaat sosial bersih sebesar Rp 3.69 triliun, Rp 3.47 triliun, Rp 3.19 triliun, Rp Rp 2.64 triliun, dan Rp 5.27 triliun yang kesemuanya lebih besar dari pada manfaat sosial bersih pada tingkat diskonto 10 persen dan 15 persen. Dari kelima skenario tersebut semua memberikan manfaat sosial bersih yang positif dalam arti bahwa jumlah manfaat bersih lebih besar dari jumlah biaya yang diperlukan untuk memproduksi air sampai dengan dipasok kepada pengguna. Di sini output skenario
perencana sosial, hasil manfaat sosial bersih
paling besar dibandingkan skenario lainnya dan skenario kuota air untuk irigasi 85 persen
atau status quo hasilnya paling kecil dibandingkan skenario lainnya.
(Tabel 18) Manfaat sosial bersih dari 1) tingkat pertumbuhan ekonomi 10 persen pada tingkat diskonto 5 persen lebih besar dari pada 2) tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen pada tingkat diskonto 5 persen untuk semua sknario dan tingkat diskonto. Dan semua tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat diskonto manfaat sosial bersih optimal mengalami pertumbuhan dari setiap skenario. Apabila dilihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen, batas bawah adalah kuota air untuk irigasi 85 persen atau status quo, dan batas atasnya adalah hasil sknario perencana sosial,
159
yang memenuhi syarat sementara ini adalah kuota air untuk irigasi 80 persen, 70 persen, atau 60 persen. 3)
Manfaat sosial bersih dari skenario-skenario dilihat dari sisi Status Quo pada tingkat pertumbuhan ekonomi 10 persen Skenario kuota air untuk irigasi 60 persen, 70 persen, 80 persen, dan
perencana sosial, hasil (output) dari model ASDIJ adalah bahwa pada tingkat diskonto 5 persen, 10 persen, dan 15 persen masing-masing
berturut-turut
mengalami
apabila dilihat dari status quo
kenaikan
menjadi
antara
130
persen─146 persen, 132 persen─146 persen, 113 persen─127 persen,
187
persen─206 persen. 4)
Manfaat sosial bersih dari skenario-skenario dilihat dari sisi status quo pada tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen Skenario kuota air untuk irigasi 60 persen, 70 persen, 80 persen, dan
perencana sosial, hasil (output) dari model ASDIJ adalah bahwa pada tingkat diskonto 5 persen, 10 persen, dan 15 persen masing-masing
berturut-turut
mengalami
persen─148 persen, 126 persen ─131
apabila dilihat dari status quo
kenaikan
menjadi
antara
140
persen, 113 persen─127 persen,
187
persen─206 persen, 121 persen ─ 134 persen, 200 persen─212 persen. Dari keempat skenario tersebut dilihat dari sisi status quo pada tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen dan 10 persen dilihat dari sisi status quo semua memberikan manfaat sosial bersih diatas 100 persen. Disini output skenario perencana sosial, hasil manfaat sosial bersih paling besar persentasenya dibandingkan skenario lainnya, tetapi di atas skenario kuota air untuk irigasi 85 persen atau status quo. Semua skenario manfaat sosial bersih meningkat di atas
160
skenario status quo dan paling atas manfaat sosial bersih scenario perencana sosial (Tabel 18). 7.1.2
Efisiensi Ekonomi Hasil hitungan manfaat sosial bersih status quo digunakan sebagai ‘based
line‘ atau batas bawah, terlihat dari Tabel 19 yang pertama yaitu status quo akan digunakan untuk menganalisis skenario-skenario kuota air untuk irigasi 80 persen, 70 persen, 60 persen, dan perencana sosial. Tabel 19. Persentase Perubahan Total Manfaat Bersih Optimum Skenario
Pertumbuhan Ekonomi 10% *) 15%*) 10%*) 5%
Pertumbuhan Ekonomi 5% *) *) *) 15% 10% 5%
% Perubahan Total Manfaat Bersih Optimum Terhadap Status Quo (Irigasi 85%) 1. Status Quo (Irigasi 85%)
569 740
1 237 400
4 725 700
421 900
813 630
2 637 500
1) Perencana Sosial
105%
96%
87%
112%
109%
100%
2) Irigasi 80%
27%
20%
13%
34%
28%
21%
3) Irigasi 70%
32%
38%
46%
28%
26%
31%
4) Irigasi 60%
46%
39%
30%
48%
46%
40%
2. Skenario Kuota Air
% Perubahan Total Manfaat Bersih Optimum Terhadap Tingkat Diskonto 5% 1. Status Quo (Irigasi 85%)
-88%
-74%
4 725 700
-83%
-69%
2 637 500
1) Perencana Sosial
-75%
-49%
8 827 600
-90%
-35%
5 273 800
2) Irigasi 80%
-85%
-69%
5 348 100
-88%
-61%
3 187 900
3) Irigasi 70%
-84%
-64%
6 912 700
-100%
-61%
3 466 700
4) Irigasi 60%
-82%
-64%
6 138 600
-92%
-55%
3 690 900
2. Skenario Kuota Air
% Perubahan Total Manfaat Bersih Optimum Terhadap Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5% 1. Status Quo (Irigasi 85%)
35%
52%
79%
421 900
813 630
2 637 500
1) Perencana Sosial
31%
198%
235%
894 650
1 703 000
5 273 800
2) Irigasi 80%
28%
83%
103%
564 650
1 040 800
3 187 900
3) Irigasi 70%
40%
110%
162%
539 310
1 021 500
3 466 700
4) Irigasi 60%
33%
111%
133%
625 090
1 185 700
3 690 900
2. Skenario Kuota Air
*) Tingkat Diskonto
161
Dilihat dari sisi efisiensi ekonomi persentase kenaikan manfaat sosial bersih dari skenario-skenario dilihat dari sisi status quo pada tingkat pertumbuhan ekonomi 10 persen. Skenario kuota air untuk irigasi 60 persen, 70 persen, 80 persen, dan perencana sosial, hasil (output) dari model ASDIJ, bahwa pada tingkat diskonto 5 persen, 10 persen, dan 15 persen apabila dilihat dari status quo masing-masing berturut-turut mengalami kenaikan antara 30 persen─46 pe rsen, 32 persen─46 persen, 13 persen─27 persen, 87 persen─105 persen. 1)
Persentase tentang kenaikan manfaat sosial bersih dari skenario-skenario dilihat dari sisi status quo pada tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen. Skenario kuota air untuk irigasi 60 persen, 70 persen, 80 persen, dan
perencana sosial, hasil (output) dari model ASDIJ, bahwa pada tingkat diskonto 5 persen, 10 persen, dan 15 persen apabila dilihat dari status quo masing-masing berturut-turut mengalami ketidakefisienan sebesar antara 40 persen─48 persen, 26 persen─31 persen, 21 persen─34 persen, 100 persen─112 persen apabila dilihat dari sisi staus quo. Persentase kenaikan manfaat sosial bersih yang paling besar adalah skenario perencana sosial yaitu yang menunjukkan tidak efisien antara 100 persen sampai dengan 112 persen. Ini berarti semua skenario yang menggunakan kuota diatas status quo tetapi dibawah perencana sosial. 2)
Persentase kenaikan manfaat sosial bersih dari skenario-skenario dilihat dari sisi Status Quo pada tingkat pertumbuhan ekonomi 10 persen. Skenario kuota air untuk irigasi 60 persen, 70 persen, 80 persen, dan
perencana sosial, hasil (output) dari model ASDIJ, bahwa pada tingkat diskonto 5 persen, 10 persen, dan 15 persen apabila dilihat dari status quo masing-masing
162
berturut-turut mengalami kenaikan antara 30 persen─46 persen , 32 persen─46 persen, 13 persen─27 persen, 87 persen─105 persen. 3)
Persentase manfaat sosial bersih bila dilihat dari manfaat sosial bersih pada tingkat diskonto 5 persen Pertama, apabila dilihat pada tingkat pertumbuhan ekonomi 10 persen.
skenario kuota air untuk irigasi 60 persen, 70 persen, 80 persen, dan perencana sosial, terlihat bahwa pada tingkat diskonto 10 persen dan 15 persen semua skenario manfaat sosial bersih setiap skenario secara persentase mengalami penurunan 49 persen─88 persen. Kedua, apabila dilihat pada tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen. skenario kuota air untuk irigasi 60 persen, 70 persen, 80 persen, dan perencana sosial, terlihat bahwa pada tingkat diskonto 10 persen dan 15 persen semua skenario manfaat sosial bersih setiap skenario secara persentase mengalami penurunan 35 persen─100 persen. Dilihat secara keseluruhan bahwa pada tingkat diskonto 10 persen dan 15 persen manfaat sosial bersihnya lebih rendah dari pada manfaat sosial bersih pada tingkat diskonto 5 persen. Pada tingkat diskonto rendah akan memberikan manfaat sosial bersih lebih tinggi, sebaliknya tingkat diskonto semakin tinggi manfaat sosial bersih makin rendah. 4)
Tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen menjadi 10 persen. Skenario kuota air untuk irigasi 60 persen, 70 persen, 80 persen, dan
perencana sosial, dari hasil (output) dari model ASDIJ, bahwa pada tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen menjadi 10 persen akan memberikan manfaat sosial bersih pada tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen menjadi 10 persen antara 28 persen─235 persen. Kenaikan dari teringgi ke yang terendah adalah pada diskonto 5 persen, 10 persen, dan 15 persen.
163
7.1.3
Benefit/Cost Ratio Metode perhitungan dalam analisis ekonomi diantaranya menggunakan
Net present value(NPV) dan Benefit Cost Ratio(B/C Ratio) dan Net benefit(B-C). Komponnen cost dan komponen benefit dihitung present value nya berdasarkan kepada tingkat pertumbuhan 5 persen dan tingkat diskonto 5 persen. Perbandingan antara benefit dan cost yang dihitung dengan membagi nilai present value komponen benefit dengan present value komponen cost dikatakan
ekonomis
apabila B/C ratio lebih besar dari 1.0 (Sjarief et al, 2003). Menurut perhitungan ASDIJ bahwa pada tingkat petumbuhan ekonomi 5 persen dan tingkat diskonto 5 persen, B/C ratio hasil perhitungan menurut skenario kuota air untuk irigasi 80 persen antara 1.39 ─ 1.61, dan B/C ratio untuk skenario untuk kuota irigasi 85 persen antara 1.62 ─ 4.52 lebih besar daari pada skenario untuk kuota irigasi 80 persen. Untuk skenario air untuk irigasi berdasarkan perencana sosial B/C ratio, 11 tahun pertama stabil di atas 1.0 tetapi tetap dibawah B/C ratio skenario untuk kuota irigasi 85 persen dan 80 persen. Pada 4 tahun terakhir B/C rasio perencana sosial menjadi antara 0.59 ─ 0.20 lebih kecil dari 1.0 sehingga tidak layak digunakan (Gambar 14.). 7.2
Alokasi Air Optimum Jumlah air untuk irigasi selama 16 tahun (2010-2025) bahwa menurut
skenario kuota air untuk irigasi 85 persen (status quo), 80 persen, 70 persen, 60 persen, dan perencana sosial dengan jumlah air berturut-turut sebesar 76.2 miliar m3, 71.79 miliar m3, 62.74 miliar m3, 53.77 miliar m3 dan 63.40 miliar m3 (Tabel 20). Jumlah air untuk irigasi skenario perencana sosial, dengan jumlah air untuk
164
irigasi sebesar 63.40 miliar m3 didekati oleh skenario kuota air untuk irigasi 70 persen dengan jumlah air sebesar 62.74 miliar m3. Sedangkan air untuk irigasi dengan skenario air untuk irigasi 60 persen dengan jumlah air sebesar 53.77 miliar m3 dibawah skenario perencana sosial jumlah air sebesar 63.40 miliar m3 yang dianggap tidak mencukupi penggunan air untuk irigasi guna mempertahankan swasembada pangan. Jadi skenario air untuk irigasi 80 persen di atas skenario status quo atau skenario air untuk irigasi 85 persen yang memenuhi syarat kebijakan yang diusulkan. Tabel 20. Jumlah Air selama 16 tahun (2010-2025) per Sektor Menurut Skenario pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen Sektor (juta m3) Skenario
Listrik
Irigasi
Jumlah
PDAM K/K Industri
PAM DKI Non Listrik
Status Quo (Irigasi 85%)
89 622
76 179
1 450
3 652
8 342
89 622
Perencana Sosial
91 998
63 397
8 552
9 617
10 431
91 998
Irigasi 80%
90 527
71 698
4 805
4 387
8 732
89 622
Irigasi 70%
90 527
62 735
6 572
8 490
11 825
89 622
Irigasi 60%
90 527
53 773
10 766
11 789
13 294
89 622
Jumlah alokai air selama 16 tahun (2010-2025) tiga skenario yaitu status quo, perencana sosial dan skenario untuk kuota irigasi 80 persen pada tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen dan tingkat diskonto 5 persen dapat dilihat pada Tabel 21. Jumlah air untuk pengguna menurut skenario kuota air untuk irigasi 85 persen dibawah kuota air untuk irigasi 80 persen dan perencana sosial. Paling banyak menggunakan volume air adalah skenario perencana sosial. Dari jumlah air selama 16 tahun untuk semua skenario alokasi air untuk irigasi semakin berkurang, karena areal sawah semakin berkurang berubah fungsi menjadi daerah urban dan industri.
165
Gambar 14. B/C Ratio menurut Kuota Air untuk Irigasi 85 Persen, 80 Persen dan Perencana Sosial padTingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen
166
Pada skenario
kuota air untuk irigasi 80 persen volume air untuk irigasi
dialokasikan sebesar 71.7 miliar m3 atau 80 persen, tetapi pada skenario perencana sosial air untuk irigasi dialokasikan hanya sebesar 63.4 miliar m3 atau 69 persennya, selebihnya yaitu 31 persen dialokasikan untuk non irigasi. Sesuai perkembangan penduduk dan pertumbuhan industri di Daerah Irigasi Jatiluhur maka skenario perencana sosial memberi porsi untuk industri dan perusahaan daerah air minum kabupaten/kota (PDAM K/K) diberi alokasi kuota yang paling besar, sehingga alokasi kuota untuk irigasi berkurang. Berdasarkan kuota yang paling layak seperti yang telah diuraikan di 7.1.1 dan mempunyai B/C ratio paling baik adalah kuota untuk irgasi sebesar 80 persen. Dengan kuota air untuk irigasi 80 persen, semua alokasi air untuk setiap sektor dapat terpenuhi, masih menghasilkan nilai air yang dapat menguntungkan pengguna maupun pengelola, dan memberikan manfaat sosial bersih optimal kepada pengelolanya. Menurut perencana sosial, alokasi untuk irigasi pada awalnya alokasi optimum sebesar 4 680 juta m3 yang dapat mengairi sawah seluas 292.5 ribu hektar (asumsi per hektar memerlukaan air 8 000 m3 dan 1 tahun 2 kali tanam), tetapi pada tahun 2025 alokasi air untuk irigasi tinggal 3.2 juta m3 atau hanya mampu mengairi sawah seluas 201.2 ribu hektar sawah. Hal ini diperkirakan bahwa semula untuk irigasi perlahan-lahan air beralih fungsi untuk nonpertanian, karena pertumbuhan urban dan industri yang membutuhkan bahan baku air lebih banyak.
167
Tabel 21.
Tabel Alokasi Air Optimal Berdasar Status Quo, Perencana Sosial dan Kuota Air Irigasi 80 Persen untuk Tiap Sektor pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen
Sektor 2010 2011 1. Status Quo (Irigasi 85 Persen) Listrik 6 529 6 405 Irigasi 5 549 5 444 PDAM K/K 146 138 Industri 285 277 PAM DKI 549 546 Jumlah 6 529 6 405 2. Perencana Sosial Listrik 6 668 6 546 Irigasi 4 680 4 588 PDAM K/K 640 625 Industri 646 639 PAM DKI 702 694 Jumlah 6 668 6 546 3. Irigasi 80 Persen Listrik 6 595 6 470 Irigasi 5 223 5 124 PDAM K/K 486 468 Industri 431 417 PAM DKI 389 396 Jumlah 6 529 6 405 Keterangan: Jumlah untuk non listrik
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025 Jumlah
6 281 5 339 129 270 542 6 281
6 158 5 234 121 263 539 6 158
6 034 5 129 113 256 536 6 034
5 911 5 024 104 249 533 5 910
5 787 4 919 96 242 530 5 787
5 663 4 814 89 234 526 5 663
5 540 4 709 83 226 522 5 540
5 416 4 604 76 218 519 5 416
5 292 4 498 69 209 515 5 292
5 169 4 393 63 201 511 5 169
5 045 4 288 58 192 507 5 045
4 921 4 183 55 181 502 4 921
4 798 4 078 55 173 492 4 798
4 674 89 622 3 973 76 179 55 1 450 173 3 652 473 8 342 4 674 89 622
6 423 4 495 610 632 687 6 423
6 301 4 401 595 625 679 6 301
6 178 4 307 581 619 672 6 178
6 056 4 211 566 613 666 6 056
5 934 4 115 552 607 659 5 934
5 811 4 019 539 601 653 5 811
5 689 3 921 525 596 647 5 689
5 566 3 823 512 591 641 5 566
5 444 3 724 499 586 635 5 444
5 321 3 625 486 581 630 5 321
5 199 3 524 474 577 624 5 199
5 077 3 423 462 572 619 5 077
4 954 3 322 450 568 615 4 954
4 832 3 219 438 565 610 4 832
6 345 5 025 448 402 406 6 281
6 220 4 926 428 386 418 6 158
6 095 4 827 406 368 432 6 034
5 970 4 728 383 350 450 5 910
5 845 4 629 359 329 470 5 787
5 720 4 531 332 307 493 5 663
5 596 4 432 305 283 521 5 540
5 471 4 333 275 257 552 5 416
5 346 4 234 243 228 587 5 292
5 221 4 135 210 198 626 5 169
5 096 4 036 174 165 670 5 045
4 971 3 937 136 129 719 4 921
4 846 3 838 96 91 773 4 798
4 721 90 527 3 739 71 698 55 4 805 47 4 387 832 8 732 4 674 89 622
91 998 63 397 8 552 9 617 10 431 91 998
168
Menurut skenario perencana sosial, pada awalnya alokasi air optimum untuk nonpertanian hanya 1 985 juta m3 atau 29.8 persen, tetapi pada tahun 2025 kebutuhan air untuk non pertanian menjadi 1 613 juta m3 atau 33 persen air dari air tersedia pada tahun 2025 sebesar 4 832 juta m3 (Tabel 21). Para pakar di bidang sumberdaya air mengemukakan bahwa inefisiensi terjadi pada sektor pertanian, karena pasokan air disamping petani tidak memberikan kontribusi ke pengelola demikian juga pemberian air ke sawah tidak dapat diukur dengan baik. Berdasarkan informasi dari Perusahaan Umum Jasa Tirta II sampai saat ini pemanfaatan air sekitar diatas 12 000 m3/hektar/tanam. Menurut Balai Klimat Sukamandi kebutuhan air per hektar sebesar 8 000 m3/hektar/tanam. Jadi di sektor pertanian terjadi inefisiensi penggunaan air cukup besar. Di bidang non pertanian pemakaian air cukup efisien, karena disamping pemakaiannya demikian juga penggunaannya dapat terukur dengan baik, demikian juga pengguna mau membayar dengan tarif air yang ditetapkan pemerintah yang nilainya cukup besar. Dari hasil perencana sosial ini menunjukkan bahwa tidak mungkin alokasi air optimum untuk irigasi dapat diterapkan, karena air untuk irigasi sangat penting untuk ketahanan pangan. Jadi yang dapat diterapkan adalah alokasi air untuk kuota air irigasi 80 persen dimana pada tingkat pertumbuhan 5 persen dan tingkat diskonto 5 persen. Air untuk irigasi pada tahun 2025 tersedia 3 739 juta m3 setara areal sawah 233.7 ribu hektar. Dengan alokasi air untuk irigasi dengan kuota 80 persen telah memberikan manfaat sosial bersih, alokasi dan nilai air optimal bagi pengguna dan pengelolanya untuk perkembangan kebutuhan air dari Waduk Juannda sampai dengan tahun 2025.
169
7.3
Nilai Air Berdasarkan Manfaat Marjinal
7.3.1
Nilai Air Irigasi Model yang digunakan untuk menghitung kewajiban pelayanan umum
menggunakan model Alokasi Sumberdaya Air Daerah Irigasi Jatiluhur (ASDIJ). Dari model ini perencana sosial telah menghitung nilai air optimum untuk irigasi. Rata-rata selama 16 tahun nilai air di Tarum Timur sebesar Rp 42.21/m3, nilai air di Tarum Utara sebesar Rp 43.86/m3 dan nilai air di Tarum Barat Rp 41.27/m3. Secara keseluruhan nilai air untuk irigasi rata-rata sebesar Rp 42.24/m3 (Tabel 22). Menurut Undang-Uundang tentang Sumberdaya Air Tahun 2004, tidak dibayar oleh penggunanya. Sehingga ada kewajiban Pemerintah untuk menggantinya. Bila air untuk irigasi selama tahun 2010─2025 rata-rata sebesar 3.96 miliar m3/tahun, maka nilai air sebesar Rp 167 miliar/tahun harus digantikan oleh pemerintah. Jadi masih ada kekurangan biaya untuk operasi dan pemeliharaan irigasi sebesar Rp 167.4 miliar/tahun. Hal ini menyebabkan
kualitas operasi dan
pemeliharaan untuk saluran irigasi semakin berkurang. Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum telah menganggarkan untuk perbaikan
irigasi
Daerah Irigasi Jatiluhur pada tahun 2010 sebesar Rp 100 miliar..
7.3.2
Nilai Air Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten/Kota Model yang digunakan untuk menghitung nilai air perusahaan daerah air
minum kabupaten/kota, industri dan listrik adalah model alokasi sumberdaya air Daerah Irigasi Jatiluhur (ASDIJ). Dari model ini perencana sosial menghitung nilai air optimum untuk semua pengguna. Nilai air optimum perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, industry dan listrik terlihat pada Tabel 22.
170
Rata-rata nilai air untuk perusahaan daerah air minum kabupaten/kota di Tarum Timur sebesar Rp 154.9/m3, di Tarum Utara sebesar Rp 157.11/m3,
di
Tarum Barat sebesar Rp 220.17/m3. Rata-rata nlai air optimum Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat sebesar Rp 177.36/m3 lebih besar dari tarif air yang ditetapkan pemerintah untuk perusahaan daerah air minum kabupaten/kota mulai tahun 2010 sebesar Rp 45/m3. Selisihnya, sebesar Rp 132.36/m3 harus ditanggung oleh pemerintah agar dapat mencukupi pemeliharaan saluran primer dan dapat memasok air ke perusahaan daerah air minum kabupaten/kota di Tarum Timur, Tarum Utara dan Tarum Barat. Apabila air yang digunakan untuk perusahaan daerah air minum kabupaten/kota rata-rata sebesar 535 juta m3/tahun, maka total penerimaan dari perusahaan daerah air minum kabupaten/kota sebesar Rp 94.8 miliar/tahun, sedangkan penerimaan dengan tarif yang ditetapkan Pemerintah sebesar Rp 24.1 miliar, sehingga masih ada kekurangan sebesar Rp 70.6 miliar yang harus ditanggung pemerintah. 7.3.3
Nilai Air Industri Rata-rata nilai air untuk industri di Tarum Timur sebesar Rp 263.49/m3,
di Tarum Utara sebesar Rp 278.0/m3, di Tarum Barat sebesar Rp 283.4/m3 (Tabel 22). Rata-rata nilai air optimum untuk industri di wilayah Tarum Timur, Tarum Utara dan Tarum Barat sebesar Rp 274.9/m3 lebih besar dari tarif air untuk industri yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 50/m3. Dengan rata-rata nilai air sebesar Rp 274.9/m3 diharapkan pengelola dapat memenuhi kebutuhan air intuk industri dengan baik, mengingat pertumbuhan industri di wilayah ini semakin pesat, sehingga dapat membantu pertumbuhan ekonomi secara nasionl semakin baik.
171
Tabel 22. Nilai Air Menurut Perencana Sosial pada Tingkat Pertumbuhaan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen Tahun (Rp/m3)
Rata-rata
Sektor Wilayah
Rata-Rata
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
Listrik-Juanda
20.60
22.00
23.50
25.09
26.80
28.62
30.57
32.65
34.87
37.24
39.77
42.48
45.37
48.46
51.75
55.27
35.32
Irigasi TT
25.84
27.45
29.15
30.97
32.89
34.93
37.11
39.41
41.86
44.46
47.23
50.16
53.28
56.59
60.11
63.84
42.21
Irigasi TU
27.28
28.92
30.66
32.51
34.47
36.55
38.75
41.08
43.56
46.18
48.96
51.91
55.04
58.35
61.87
65.60
43.86
Irigasi TB
25.92
27.45
29.07
30.79
32.60
34.53
36.57
38.73
41.02
43.44
46.01
48.73
51.60
54.65
57.88
61.30
41.27
PDAM K/K TT
84.89
91.30
98.20 105.61 113.58 122.15 131.36 141.27 151.92 163.37 175.67 188.90 203.12 218.41 234.84 252.50 154.82
PDAM K/K TU
84.92
91.48
98.54 106.15 114.34 123.16 132.66 142.89 153.91 165.77 178.54 192.29 207.10 223.04 240.21 258.69 157.11
PDAM K/K TB
115.62 124.94 135.01 145.89 157.65 170.35 184.08 198.91 214.93 232.23 250.93 271.13 292.95 316.53 342.00 369.51 220.17
Industri TT
140.73 151.93 164.00 176.99 190.96 206.00 222.18 239.59 258.31 278.45 300.10 323.38 348.40 375.30 404.22 435.29 263.49
Industri TU
143.99 156.07 169.10 183.16 198.33 214.69 232.33 251.35 271.85 293.95 317.76 343.42 371.06 400.82 432.88 467.40 278.01
Industri TB
141.54 154.04 167.58 182.25 198.13 215.33 233.95 254.10 275.90 299.48 324.99 352.58 382.41 414.66 449.52 487.20 283.35
PAM DKI
170.25 183.72 198.24 213.92 230.84 249.09 268.78 290.04 312.97 337.71 364.41 393.22 424.31 457.85 494.04 533.1
per sektor
320.16
35.32
42.44
177.36
274.95
320.16
172
Selisihnya, nilai air sebesar Rp 224.9/m3 harus ditanggung oleh pemerintah agar dapat mencukupi pemeliharaan saluran primer dan dapat memasok air baku untuk industri di Tarum Timur, Tarum Utara dan Tarum Barat. Apabila air yang digunakan untuk industri rata-rata sebesar 601 juta m3/tahun maka total penerimaan dari industri sebesar Rp 165.2 miliar/tahun, sedangkan penerimaan pengelola dengan tarif yang ditetapkan Pemerintah sebesar Rp 30.0 miliar/tahun, sehingga masih ada kekurangan sebesar Rp 135.2 miliar/tahun yang harus ditanggung pemerintah. 7.3.4
Nilai Air Perusahaan Air Minum DKI Jakarta Rata-rata nilai air untuk Perusahaan Air Minum DKI Jakarta sebesar Rp
320.16/m3, lebih besar dari tarif air yang ditetapkan Pemerintah sebesar Rp 122/m3 (Tabel 22). Selisihnya, nilai air sebesar Rp 198.1/m3 harus ditanggung oleh Pemerintah agar dapat mencukupi pemeliharaan saluran primer dan dapat memasok air Perusahaan Air Minum DKI Jakarta di Tarum Barat. Apabila air yang digunakan sebesar 632 juta m3/tahun, maka total penerimaan dari PAM DKI sebesar Rp 208.7 miliar/tahun, sedangkan penerimaan pengelola dengan tarif yang ditetapkan Pemerintah sebesar Rp 79.5 miliar/tahun, sehingga masih ada kekurangan sebesar Rp 129.2 miliar/tahun yang harus ditanggung Pemerintah. 7.3.5
Nilai Air Pembangkit Listrik Tenaga Air Rata-rata nilai air untuk listrik pembangkit listrik tenaga air sebesar Rp
35.3/m3, lebih besar dari tariff air yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 28.1/m3 (Tabel 22). Selisihnya, nilai air sebesar Rp 7.2/m3 harus ditanggung oleh Pemerintah agar dapat mencukupi pemeliharaan saluran primer dan dapat
173
memasok listrik ke PLN. Apabila air yang digunakan untuk listrik sebesar 5.75 miliar m3/tahun maka total penerimaan dari listrik sebesar Rp 203.1 miliar/tahun, sedangkan penerimaan pengelola dengan tarif yang ditetapkan Pemerintah sebesar Rp 161.6 miliar/tahun, sehingga masih ada kekurangan sebesar Rp 41.4 miliar/tahun yang harus ditanggung pemerintah. Berdasarkan hasil perhitungan seluruh nilai air di atas maka dapat dikatakan bahwa biaya operasi dan pemeliharaan yang masih harus ditanggung pemerintah rata-rata untuk irigasi seluruhnya sebesar Rp
99.5 miliar/tahun,
perusahaan daerah air minum kabupaten/kota sebesar Rp 85.6 miliar/tahun, industri sebesar Rp 164.8 miliar/tahun, Perusahaan Air Minum DKI Jakarta sebesar Rp 129.2 miliar/tahun dan listrik sebesar Rp 41.5 miliar (Tabel 23.). Total kekurangan semua sektor pengguna sebesar Rp 520.6 miliar/per tahun. Pada tahun 2010 Pemerintah telah mengeluarkan dana APBN
yang disalurkan melalui
Kementerian Pekerjaan Umum untuk perbaikan irigasi Daerah Irigasi Jatiluhur sebesar Rp 100 miliar pada tahun 2011, sehingga masih kekurangan Rp 420.6 miliar/tahun yang harus ditanggung Pemerintah. Kekurangan ini mengakibatkan layanan operasi dan pemeliharaan pasokan air untuk para penggunanya menjadi kurang optimal. Tabel 23. Penerimaan menurut Perencana Sosial dan Perusahaan Umum Jasa Tirta II
Sektor Listrik Irigasi PDAM K/K Industri PAM DKI
Nilai Air (Rp/m3) Rata-rata Tarif Vol Air/Th Perencana th 2010 (juta m3) Sosial 5 750 3 962 535 601 652 Jumlah
35.32 42.24 177.36 274.95 320.16
28.10 0.00 45.00 50.00 122.00
Penerimaan (Rp juta) Selisih Perencana Tarif Nilai air Penerimaan Sosial th 2010 (Rp/m3) (Rp juta) 161 572 7.22 41 485 203 058 0 42.24 167 369 167 369 24 054 132.36 70 750 94 803 30 052 224.95 135 206 165 259 79 540 198.16 129 194 208 734 839 222 295 218 544 004
174
7.4
Biaya Marjinal
Dalam pengelolaan sumber daya air yang bersifat
intertemporal
mengakibatkan pengelola melakukan pengelolaan sampai pada horizon waktu sehingga air sebagai sumber daya alam menjadi berkelanjutan. Pengelola menghadapi kurva penawaran dengan fungsi biaya total (biaya produksi) yang digunakan untuk menyalurkan atau memasok air kepada para penggunanya. Dalam konteks dinamik, nilai air akan maksimum pada saat nilai air sama dengan biaya marjinal ditambah dengan user cost marjinal dan tingkat diskonto sumber daya air tidak nol.
Dalam pembahasan biaya marjinal rata-rata dilihat dari sisi perencana sosial pada tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen dan tingkat diskonto 5 persen (Tabel 24.) adalah sebagai berikut: biaya rata-rata listrik sebesar Rp 21.21/m3; irigasi pertanian biaya rata-rata sebesar Rp 25.14/m3; biaya rata-rata perusahaan daerah air minum kabupaten/kota sebesar Rp 155.63/m3. Biaya rata-rata untuk industri sebesar Rp 253.18/m3, dan biaya rata-rata Perusahaan Air Minum DKI Jakarta sebesar Rp 195.65/m3. 7.5 Biaya Marjinal Pengguna Alokasi sumberdaya air merupakan proses pengambilan keputusan yang bersifat intertemporal. Hal ini karena air bukan saja merupakan modal yang pemanfaatannya tidak hanya ditentukan oleh produktivitas saja, namum juga menyangkut dimasa mendatang serta resiko dan ketidakpastian dan alokasi sumberdaya air itu sendiri, maka keputusan intertemporal juga menyangkut biaya pengguna (user cost). Biaya pengguna menggambarkan surplus yang dapat
175
Tabel 24.
Biaya Marjinal Menurut Perencana Sosial pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen Tahun (Rp/m3)
Sektor Wilayah
Rata-Rata
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
per sektor
Listrik-Juanda
15.86
16.48
17.11
17.77
18.44
19.14
19.85
20.59
21.35
22.13
22.94
23.77
24.62
25.50
26.41
27.34
21.21
Irigasi TT
22.36
22.81
23.25
23.66
24.06
24.43
24.78
25.10
25.39
25.65
25.86
26.04
26.18
26.27
26.31
26.30
24.90
Irigasi TU
22.96
23.43
23.88
24.32
24.73
25.13
25.49
25.83
26.14
26.41
26.64
26.83
26.98
27.09
27.14
27.13
25.63
Irigasi TB
22.60
23.04
23.45
23.85
24.22
24.56
24.88
25.16
25.41
25.62
25.78
25.90
25.97
25.98
25.94
25.84
24.89
PDAM K/K TT
81.90
86.90
92.23
97.92 103.98 110.45 117.36 124.74 132.63 141.05 150.06 159.69 169.99 181.02 192.82 205.47
134.26
PDAM K/K TU
81.82
86.94
92.41
98.26 104.51 111.19 118.34 125.99 134.18 142.96 152.35 162.43 173.22 184.80 197.22 210.55
136.07
PDAM K/K TB
111.55 119.31 127.66 136.63 146.28 156.66 167.83 179.85 192.79 206.72 221.73 237.91 255.34 274.13 294.38 316.23
196.56
Industri TT
135.14 145.22 156.08 167.80 180.43 194.06 208.77 224.64 241.76 260.25 280.21 301.76 325.03 350.16 377.30 406.62
247.20
Industri TU
136.09 146.58 157.93 170.19 183.45 197.78 213.28 230.04 248.17 267.78 288.99 311.95 336.79 363.68 392.77 424.27
254.36
Industri TB
135.76 146.49 158.10 170.68 184.30 199.06 215.05 232.38 251.16 271.51 293.57 317.49 343.42 371.53 402.02 435.09
257.98
PAM DKI
112.05 119.73 127.98 136.85 146.36 156.59 167.58 179.40 192.11 205.78 220.48 236.31 253.35 271.70 291.45 312.74
195.65
Keterangan: TT = Tarum Timur, TU = Tarum Utara, TB = Tarum Barat, K/K = Kabupaten/Kota
Rata-rata
21.21
25.14
155.63
253.18
195.65
176
diperoleh di masa mendatang jika pemilik atau pengelola sumberdaya memutuskan untuk ekstrasi kini ditunda sampai ke masa mendatang. Nilai user cost yang tersimpan di waduk menunjukkan perbedaan antara hasil optimasi dengan model ASDIJ dengan dasar dan skenario kuota. Biaya rata-rata yang ditanggung oleh pengguna listrik sebesar Rp 14.11/m3, biaya rata-rata yang ditanggung oleh pengguna air untuk irigasi Rp 17.30/m3. Biaya rata-rata yang ditanggung oleh pengguna air untuk perusahaan daerah air minum kabupaten/kota sebesar Rp 21.73/m3, biaya rata-rata yang ditanggung oleh pengguna air untuk industri Rp 21.77/m3. biaya rata-rata yang ditanggung oleh pengguna air untuk Perusahaan Air Minum DKI Jakarta Rp 124.50/m3 (Tabel 25). Biaya yang ditanggung pengguna air dari Perusahaan Air Minum DKI Jakarta paling besar yaitu 39 persen dari nilai airnya dan pengguna air untuk industri menanggung biaya pengguna air sebesar 8 persen-nya. Komponen biaya marjinal pengguna yang dibebankan kepada pengguna. Semakin banyak pengguna memerlukan sumberdaya air semakin banyak terjadi eksternalitas yang mempengaruhi kelestarian infrastruktur. Hal ini karena murahnya tarif air yang ditetapkan pemerintah kepada sektor pengguna. Oleh karena itu perlu dilakukan internalisasi pengaruh kepada infrastruktur, sehingga pemanfaatan air dapat ditekan menjadi tidak berlebihan. Pajak
juga
dapat
membantu
mengurangi
dimakasudkan agar dapat mengurangi ekternalitas.
eksternalitas
hal
ini
177
Tabel 25.
Biaya Marjinal Pengguna Menurut Perencana Sosial pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen Tahun (Rp/m3)
Sektor Wilayah
Rata-Rata
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
per sektor
Listrik-Juanda
4.73
5.52
6.38
7.33
8.36
9.49
10.72
12.06
13.52
15.11
16.84
18.71
20.75
22.95
25.34
27.93
14.11
Irigasi TT
3.48
4.64
5.91
7.30
8.83
10.50
12.32
14.31
16.47
18.82
21.36
24.12
27.10
30.32
33.80
37.55
17.30
Irigasi TU
4.32
5.49
6.78
8.19
9.74
11.42
13.25
15.25
17.42
19.77
22.32
25.08
28.06
31.27
34.73
38.47
18.22
Irigasi TB
3.31
4.41
5.62
6.94
8.39
9.97
11.69
13.57
15.61
17.83
20.23
22.83
25.64
28.67
31.94
35.47
16.38
PDAM K/K TT
2.99
4.40
5.96
7.69
9.60
11.69
14.00
16.52
19.29
22.31
25.62
29.21
33.13
37.39
42.02
47.04
20.55
PDAM K/K TU
3.10
4.54
6.13
7.89
9.83
11.97
14.32
16.90
19.72
22.81
26.19
29.87
33.88
38.24
42.98
48.13
21.03
PDAM K/K TB
4.07
5.63
7.35
9.26
11.37
13.70
16.25
19.06
22.14
25.51
29.20
33.22
37.62
42.40
47.61
53.28
23.60
Industri TT
5.58
6.72
7.92
9.19
10.53
11.94
13.42
14.95
16.55
18.19
19.89
21.62
23.37
25.14
26.91
28.67
16.29
Industri TU
7.91
9.48
11.17
12.97
14.88
16.91
19.05
21.31
23.69
26.17
28.77
31.47
34.26
37.15
40.10
43.13
23.65
Industri TB
5.77
7.55
9.48
11.57
13.83
16.27
18.90
21.72
24.74
27.98
31.42
35.10
39.00
43.13
47.50
52.11
25.38
PAM DKI
58.20
63.98
70.26
77.08
84.47
92.50 101.20 110.64 120.86 131.93 143.93 156.91 170.96 186.15 202.59 220.36
124.50
Keterangan: TT = Tarum Timur, TU = Tarum Utara, TB = Tarum Barat, K/K = Kabupaten/Kota
Rata-rata
14.11
17.30
21.73
21.77
124.50
178
VIII.
8.1
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa simpulan: 1.
Dengan telah dapat dibangunnya model ASDIJ sehingga dapat menjawab (1) alokasi air yang optimal untuk setiap sektor pengguna, (2) besaran nilai air persatuan unit yang optimal sehingga dapat memberikan keseimbangan harga air antara pengguna dan pengelola, dan (3) peningkatan manfaat sosial bersih yang optimal bagi pengelolanya.
2.
Dengan model ASDIJ telah dapat menetapkan skenario yang paling baik diantara skenario-skenario untuk membuat alokasi air optimum terbaik yaitu pada kuota air untuk irigasi 80 persen. Dengan kuota ini, air irigasi untuk mengairi sawah seluas 240 ribu hektar dengan 2 kali tanam dalam 1 tahun dapat terjamin pasokan airnya untuk irigasi sehingga dapat menunjang stok pangan nasional dengan baik.
3.
Dari beberapa skenario telah dapat diestimasi besarnya alokasi air untuk sektor irigasi sebesar 80 persen berarti berkurangnya alokasi air untuk irigasi yang semula sebesar 85 persen (status quo), tetapi masih dapat menjamin akan kebutuhan air untuk irigasi. Air yang dialokasikan untuk non irigasi menjadi sebesar 20 persen, akan menunjang kebutuhan air untuk domestik dan industri yang meningkat terus sehingga kebutuhan air untuk irigasi dan non irigasi dapat memberikan keseimbangan dalam alokasi air. Dengan merealokasi air untuk irigasi menjadi non irigasi sebesar 5 persen (85 persen menjadi 80 persen), akan memberikan dampak kepada
179
peningkatan manfaat sosial bersih bagi pengelolanya. Di pihak lain alokasi air untuk non irigasi tetap akan terjamin dalam arti akan memberikan manfaat bagi pengguna dan pengelolanya. 4.
Dengan model ASDIJ, telah dapat ditetapkan besarnya nilai air yang terdiri dari biaya marjinal dan biaya marjinal pengguna (marginal user cost) yang optimal. Hal ini berarti bahwa sektor pengguna menanggung biaya marjinal dan biaya marjinal pengguna yang akan digunakan untuk menjaga kelestarian infrastruktur bangunan air dari kerusakan karena lingkungan.
5.
Dengan estimasi alokasi air untuk irigasi sebesar 80 persen dan non irigassi 20 persen serta nilai air yang lebih besar dari tarif air yang ditetapkan pemerintah maka akan memberikan jumlah manfaat sosial
lebih besar
dibandingkan dengan menggunakan tarif yang ditetapkan pemerintah. 8.2
Saran Kebijakan Berdasarkan hasil optimasi dan kondisi lapangan ada beberapa kebijakan
yang perlu dipertimbangkan agar dapat tercapai alokasi sumberdaya yang mendatangkan kesejahteraan bagi pengguna, pengelola dan masyarakat: 1.
Pemerintah perlu memberikan subsidi berupa kompensasi biaya kewajiban pelayanan umum (public service obligation) untuk menanggulangi kekurangan biaya operasi dan pemeliharaan sebesar selisih antara nilai air dengan tarif air yang berlaku kepada Perusahaan Umum Jasa Tirta II selama ini.
2.
Pemerintah dalam menetapkan tarif air untuk sektor pengguna: Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten/Kota, industri dan listrik sebaiknya merujuk kepada nilai air yang seharusnya diterima oleh pengelola maupun pengguna
180
3.
Perusahaan Umum Jasa Tirta II di dalam mengelola air perlu memperhatikan alokasi air yang optimal pada setiap sektor agar kepentingan pengguna dan pengelola dapat terpenuhi dengan baik dan seimbang.
4.
Perusahaan Umum Jasa Tirta II dalam mengalokasikan air berdasarkan kuota air untuk irigasi 85 persen dan 80 persen pada tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen dan tingkat diskonto 5 persen dapat diterapkan, karena pengelola dan pengguna masih mendapatkan manfaat sosial.
8.3
Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil optimasi dan kondisi di lapangan, ada beberapa kebijakan yang perlu dipertimbangkan agar dapat tercapai alokasi dan nilai sumberdaya air yang mendatangkan kesejahteraan bagi semua pengguna, pengelola dan masyarakat. 1.
Dengan model ASDIJ yang dapat memberikan solusi kepada Perusahaan Umum Jasa Tirta II untuk mengefisienkan penggunaan air melalui alokasi dan nilai air untuk operasi dan pemeliharaan di Daerah Irigasi Jatiluhur. Hal ini akan memberikan manfaat bersih yang optimal pula kepada pengelolanya sehingga dapat berpengaruh kepada kebijakan fiskal yang dapat mengurangi beba anggaran pemerintah dalam menyediakan air bagi para penggunanya, terutama air untuk irigasi sebagai tanggung jawab pemerintah.
2.
Alokasi air untuk irigasi pemanfaatannya masih dominan antara 80 persen sampai dengan 85 persen, sehingga Daerah Irigasi Jatiluhur masih tetap
181
dapat dipertahankan sebagai penghasil pangan untuk ketahanan pangan. Demikian juga Daerah Irigasi Jatiluhur masih tetap dapat memasok air baku dengan baik untuk kebutuhan air baku perusahaan daerah air minum dan industri yang meningkat terus. Oleh karena itu, Perusahaan Umum Jasa Tirta II diharapkan agar meminta pemerintah untuk meningkatkan kapasitas saluran air yang dapat menjamin ketersediaan air bagi semua sektor pengguna air di Daerah Irigasi Jatiluhur. Hal tersebut dimaksudkan agar ketahanan pangan dapat dipertahankan dengan baik dan pertumbuhan eknomi melalui sektor industri di Daerah Irigasi Jatiluhur tidak akan bertumbuh dengan pesat, karena hal ini sangat berpengaruh baik kepada kebijakan fiskal maupun moneter. 3.
Telah dapat dirumuskan besarnya nilai air untuk Daerah Irigasi Jatiluhur. Oleh karena itu, Perusahaan Umum Jasa Tirta II diminta mengusulkan kepada pemerintah agar meninjau kembali tarif air yang terlalu rendah agar dapat disesuaikan dengan kondisi yang wajar sesuai dengan perhitungan model ASDIJ. Dengan kenaikan tarif diharapkan penggunaan air akan menjadi lebih efisien dan sekaligus dapat membantu pemerintah dalam pemanfaatan air bagi para penggunanya, karena masyarakat ikut menanggung akan keberlanjutan infrastruktur yang telah dibangun. Hal ini akan berpengaruh kepada kebijakan fiskal pemeritah yang akan menambah biaya APBN untuk penyediaan air untuk irigasi yang menjadi tanggung jawab pemerintah.
4.
Dapat diestimasi manfaat sosial bersih dengan berbagai pola alokasi. Manfaat sosial bersih yang diterima oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II
182
akan selalu meningkat terus. Pola alokasi terbaik dan dapat diterapkan di Daerah Irigasi Jatiluhur adalah alokasi air untuk irigasi 80 persen sampai dengan 85 persen. Pilihan ini akan tetap memberikan manfaat sosial bersih bagi pengguna dan Perusahaan Umum Jasa Tirta II. Hal ini akan membantu meringankan tanggung jawab pemerintah yaitu dapat mengurangi beban APBN. 8.4
Saran Penelitian Lanjutan Agar diperoleh model yang dapat menangkap semua fenomena yang ada,
model ASDIJ dapat dikembangkan lebih lanjut dengan memasukkan, yaitu: 1.
Memperluas pembuatan model untuk mencari nilai air yang sesungguhnya, dengan menambah variabel faktor investasi, biaya ekstrasi, biaya manajemen dan biaya lingkungan dimasukkan.
2.
Memperluas pembuatan model dengan menambah variabel untuk mencari nilai air yang memberikan keseimbangan antar pengguna baik dari segi jarak maupun besaran penggunaan air.
3.
Mempertajam kendala dengan menambah variabel sumberdaya yang ada di Daerah Irigasi Jatiluhur sehingga dapat memberikan output yang lebih akurat.
185
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, L. 1999. Ekonomi Mikro, Ichtisar Teori & Soal Jawab. BPFE, Yogyakarta. BPS. 2001. Jawa Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat,
Bandung. ──. 2002. Jawa Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Bandung. ──. 2003. Jawa Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Bandung. ──. 2004. Jawa Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Bandung. ──. 2005. Jawa Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Bandung. ──. 2006. Jawa Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Bandung. ──. 2007. Jawa Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Bandung. Barder, E. 2004. Mathematical Programming Models for Optimazing Irrigation Water Management in Agypt. Chrestian Albrechts Universitat, Kien. Brown, S. J., and D. S. Sibley, 1986. The Theory of Public Utility Pricing. Cambridge University Press, London. Chiang, A. C. 1992. Elements of Dynamic Optimization. McGraw-Hill, Singapore. Conrad, J. M. and C.W. Clark. 1995. Natural Resources Economics. Note and Problems. Cambridge University Press, Cambridge. ────. 1999. Resource Economics. Cambridge University Press, Cambridge. Dandekar, M. M. 1991. Pembangkit Listrik Tenaga Air. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Dinar, A. and A. Subrmanian. 1997. Water Pricing Experience: An International Perspective. World Bank Technical Paper No. 386, Washington, D.C. Dinar, A., Rosegrant M., and R. Meinzen Dick 1997. Water Allocation Mechanisms: Principles and Examples. Policy Research Working Paper 1779. World Bank, Washington, D.C.
186
Directorate General of Water Resources. 2006. Main Report. Integrated Citarum Water Resources Management Program (ICWRM). Ministry of Public Works. Government of Republic Indonesia, Jakarta. Doorenbos, J. and A. H. Kassam. 1979. Crop Yield vs Water. FAO Irrigation and Drainage Paper No. 33. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. Doorenbos, J. and W.O. Pruitt. 1977. Crop Water Requirement. FAO Irrigation and Drainage Paper No. 24. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. Dwiastuti, R. 2005. Pengelolaan Sumberdaya di Wilayah Tangkapan Air dalam Rangka Menunjang Kelestarian Bendungan Sutami dan Sengguruh. Disertasi Doktor. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Easter, K. W., M.W. Rosegrant, and A. Dinar, 1999. Formal and Informal Markets for Water: Institutions, Performance, and Constraints. The World Bank Reasearch Observer, 14(1): 99-116. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. ──── . dan Anna Suzy. 2005. Pemodelan Sumber daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Gilmore, A., T. Magee, T. Fulp, and K. Strzepek, 2000. Multiobjective Optimization of the Colorado River. University of Colorado. Boulder. Hanley, N., J. F. Shogren, and B. White. 1997. Environmental Economics in Theory and Practice. Oxford University Press, London. Howe, C. W., D. R. Schurmeier, and W. D. Shaw, W. D. Jr. 1986. Innovative Approaches to Water Allocation: The Potential for Water Markets. Water Resources Research, 22(4): 439-445. Howitt, R.E. 1995. A Calibration Method for Agriculture Economic Production Models. Journal Agricultural Economics, 46(2):147-159. Irianto, G. dan B. Kartiwa 2000. Analisis Potensi dan Ketersediaan Air Berbasis DAS Berdasarkan Neraca Air DAS. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Johansson, R. C. 2000. Pricing Irrigation Water. A Literrature Survey. Policy Reasearch Working Paper 2449. Rural Development Department. World Bank, Washington, D.C. Katiandagho, T. M. 2007. Model Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Kompetisi Antar Sektor di Wilayah Hilir Daerah Irigasi Jatiluhur: Pendekatan Otimasi Dinamik. Disertasi Doktor. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
187
Kemper, K. E. 1999. Institutional Frameworks in Succesful Water Markets. World Bank Technical Paper No. 427, Washington, D.C. Kennedy, J.O.S. 1986. Dynamic Programming Applications to Agriculture and Natural Resources. Elsevier Applied Science Publishers. London. McKinney, D. C., X. Cai, M. W. Rosegrant, C. Ringler, and C. A. Scott. 1999. Modelling Water Resources Management at the Basin Level: Review and Future Directions. System-Wide Institute Water Management (SWIM) Paper No. 6. International Water Management Institute, Colombo. ────, Leon S. Lasdon. 1999. Integrated Water Resources Management Moodel for The Syr Darya Basin. Central Asia Mission US Agency for International Development. Task Order No. 813. USAID. McKinney, D. C., A.G. Savitsky. 2003. Basic Optimization Models for Water and Energy Management. USAID Enviromental Pocies and Institutions for Central Asia Program, Tashkent. Molden, D., U. Amarasinghe, and I. Hussain. 2001. Water for Rural Development. Background Paper on Water for Rural Development. Prepared for the World Bank. Working Paper 32. International Water Management Institute, Colombo. Molden, D., J.R. Sakhtivadivel, and Z. Habib. 2001. Basin-Level Use and Productivity of Water. Examples from South Asia. Research Report 49. International Water Management Institute, Colombo. Nippon Koei. 2006. Integrated Citarum Water Resources Management Project (ICWRMP). Ministry of Public Works. Government of Republic Indonesia, Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi. PT. Mediatama Saptakarya(PT.Medisa) Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum, Jakarta. Perry, C.J. 1996. Alternative to Cost Sharing for Water Service to Agriculture in Egypt. Research Paper, No. 2. International Water Management Institute, Colombo. Randall, A. 1981. Resources Economics, An Economic Approach to Natural Resources and Environmental Policy. Second Edition. John Willey and Sons, New York. Ringler, C., N.V. Huy, T.V. Truong, N.C. Cong, D. D. Dung, N.T. Binh., X. Cai and M. Rosegrant. 2002. Irigation Investment, Fiscal Policy, and Water Resources Allocation in Indonesia and Vietnam. International Food Policy Research Institute Project No. 2635-000, RETA 5866. Asian Development Bank, Washington, D.C.
188
Rosegrant, M.W., C. Ringler, D.C.McKinney, X. Cai, A. Keller, and G. Donoso. 2000. Integrated Economic-Hydrolic Water Modeling at the Basin Scale : The Maipo River Basin. Agricultural Economics Journal, 24(1) : 33-46. Rosegrant, M.W., M.S. Praisner, S. Meijer, and J. Witcover. 2001. Global Food Productions to 2020: Emerging Trends and Alternative Futures. International Food Policy Institute, Washington, D.C. Rosegrant, M.W., X. Cai, and S. Cline, S. 2002. World Water and Food to 2025: Dealing With Scarecity. International Food Policy Research Institute, Washington, D.C. ────. 2002. World Water and Food to 2025: Policy Respons to Threat of Scarcity. International Food Policy Research Institute, Washington, D.C. Rosenthal, R.E. 2008. GAMS-A User’s Guide. GAMS Development Corporation, Washington, D.C. Sampath, R.K., 1992. Issues in Irrigation Pricing in Developing Countries. Water Resources Bulletin, 27:745 - 751. Seckler, D.R., U. Amarangsihe, D. Molden , R. de Solva, and R. Barker. 1998. World Water Demand and Supply, 1990 to 2025: Scenarios and Issues, IWMI, Research Report 19, Colombo. Soenarno dan R.Sjarief. 1994. Tinjauan Kekeringan Berdasarkan Karakteristik Sumber Air di Pulau Jawa. Makalah pada Panel Diskusi Antisipasi dan Penanggulangan Kekeringan Jangka Panjang. PERAGI dan PERHIMPI, Sukamndi 26-27 Agustus 1994. Sosrodarsono, S. dan K. Takeda. 1978. Hidrologi Untuk Pengairan. Pradnya Paramita, Jakarta. Spulberg, N., and A. Sabbaghi. 1994. Economist of Water Resources. Kluwer Academic Publishers, Norwell, Massachusetts. Sumaryanto. 2006. Iuran Irigasi Berbasis Komoditas sebagai Instrumen Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air Irigasi: Pendekatan dan Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasinya. Disertasi Doktor. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sjarief,
R. dkk 2003. Ekonomi Teknik Proyek Sumberdaya Air, Pengantar Praktis. PT. Mediatama Saptakarya dan Masyarakat Hidrologi Indonesia, Jakarta.
Sustainable World Water Forum. 2000. Forum Report on Water and Economics of the Second World Water Forum, The Hague. Syaukat, Y. 2000. Economics of Integrated Surface and Groundwater Use Management in The Jakarta Region, Indonesia. Ph. D. Thesis. Faculty of Graduate Studies, University of Guelph, Guelph.
189
Tiwari, D. and A. Dinar. 2000. Role and Use of Economic Incentieves in Irrigated Agriculture. Paper Presented at the ‘World Bank Workshop on Intitutional Reform in Irrigation and Drainage’. The World Bank, Washington, D.C., December 11, 2000. Tsur, Y., A. Dinar. 1997. The Relative Efficiency and Implementation Costs of Alternative for Pricing Irrigation Water. The World Bank Economic Review, 11(2): 243 - 262. ────. 1995. Efficiency and Equity Considerations in Pricing and Allocating Irrigation Water. The World Bank, Agriculture and Natural Resources Department, Agricultureal Policies Division, Washington, D.C. ────, A. Dinar, R.M. Doukkali, and T.L. Roe. 1997. Paper Efficiency and Equity Implications of Irrigation Water Pricing. Paper. Presented on International Seminar. “Les Politiques D’irrigation Considerations Micro & Macro Economiques” Agadir – Maroc. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. Vörösmarty, C. J., P. Green, J. Salisbury, and R,B. Lammers. 2000. Global Water Resources: Vulnerability from Climate Cahnge and Population Growth. Science 289, New York. Wichelns, D. 1998. “Economic Issues Regarding Tertiary Canal Improvement Programs, with an Example from Egypt”, Irrigation and Drainage Systems, 12: 227 – 251. Wolter, H.W. and C.M. Burt. 1997. Concepts of Mdernization, In: Modernization of Irrigation Schemes: Past Experience and Future Options. Water Report 12, Food and Agriculture Organization, Rome. World Bank. 1982. Indonesia: Policy Options and Strategies for Major Food Crops. World Bank, Washington, D.C. Young, R. A. 2004. Determining the Economic Value of Water Concept and Methods. An RFF Press book, New York. ────. 1996. Measuring Benefits for Water Investment and Policies. World Bank Technical Paper No. 338, World Bank, Washington, D.C.
191
Lampran 1 Tabel Manfaat Marjinal dan Biaya Maarjinal Pengguna Per Sektor Per Wilayah dari Status Quo pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen Sektor Wilayah
2010 1. Manfaat Marjinal (Nilai Air) 33.67 Listrik-Juanda 33.49 Irigasi TT 36.65 Irigasi TU 33.56 Irigasi TB 72.61 PDAM K/K TT 71.20 PDAM K/K TU 93.37 PDAM K/K TB 145.29 Industri TT 145.26 Industri TU 149.10 Industri TB 185.38 PAM DKI
2011
2012
2013
2014
2015
2016
35.96 30.81 33.53 31.04 77.98 76.62 100.84 156.04 156.30 161.03 200.03
38.41 28.35 30.68 28.71 83.75 82.44 108.91 167.58 168.18 173.92 215.83
41.02 26.08 28.08 26.56 89.95 88.70 117.62 179.99 180.96 187.83 232.88
43.81 23.99 25.69 24.57 96.61 95.45 127.03 193.30 194.71 202.86 251.28
46.79 22.07 23.51 22.72 103.76 102.70 137.20 207.61 209.51 219.08 271.13
49.97 20.31 21.51 21.02 111.43 110.51 148.17 222.97 225.43 236.61 292.55
Tahun (Rp/m3) 2017 2018
Rata-rata
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
57.00 17.19 18.01 17.99 128.54 127.94 172.83 257.19 261.00 275.98 340.59
60.87 15.81 16.48 16.64 138.05 137.66 186.66 276.23 280.84 298.06 367.50
65.01 14.55 15.08 15.39 148.26 148.13 201.59 296.67 302.18 321.91 396.53
69.44 13.38 13.79 14.23 159.24 159.38 217.71 318.62 325.15 347.66 427.86
74.16 12.31 12.62 13.17 171.02 171.50 235.13 342.20 349.86 375.47 461.66
79.20 11.33 11.55 12.18 183.68 184.53 253.94 367.52 376.45 405.51 498.13
84.59 10.42 10.57 11.27 197.27 198.56 274.26 394.72 405.06 437.95 537.50
90.34 9.59 9.67 10.42 211.87 213.65 296.20 423.93 435.84 472.99 579.96
57.73 19.27 20.44 19.93 130.86 130.49 176.97 261.83 266.21 282.59 348.40
2. Biaya Marjinal Pengguna 18.53 20.24 22.08 24.08 26.23 28.56 31.07 33.77 36.68 Listrik-Juanda 3.01 2.77 2.55 2.34 2.15 1.98 1.82 1.68 1.54 Irigasi TT 4.68 4.28 3.92 3.59 3.28 3.00 2.75 2.51 2.30 Irigasi TU 1.76 1.63 1.51 1.40 1.29 1.19 1.10 1.02 0.95 Irigasi TB 16.91 18.16 19.50 20.95 22.50 24.16 25.95 27.87 29.93 PDAM K/K TT 13.70 14.74 15.86 17.07 18.37 19.76 21.26 22.88 24.62 PDAM K/K TU 17.96 19.40 20.95 22.62 24.43 26.39 28.50 30.78 33.24 PDAM K/K TB 71.51 76.43 81.69 87.30 93.30 99.70 106.54 113.84 121.64 Industri TT 72.90 77.94 83.31 89.05 95.18 101.71 108.69 116.13 124.07 Industri TU 72.42 77.83 83.65 89.89 96.59 103.78 111.51 119.80 128.71 Industri TB 57.89 62.46 67.40 72.72 78.47 84.67 91.36 98.57 106.36 PAM DKI Keterangan: TT = Tarum Timur, TU = Tarum Utara, TB = Tarum Barat, K/K = Kabupaten/Kota
39.82 1.42 2.10 0.87 32.15 26.49 35.90 129.96 132.54 138.27 114.76
43.21 1.31 1.93 0.81 34.53 28.50 38.77 138.85 141.58 148.53 123.83
46.85 1.20 1.76 0.75 37.08 30.67 41.88 148.33 151.21 159.55 133.61
50.77 1.11 1.61 0.69 39.83 33.00 45.23 158.46 161.49 171.37 144.17
54.98 1.02 1.47 0.64 42.80 35.54 48.88 169.29 172.47 184.09 155.61
59.52 0.94 1.35 0.59 54.02 46.51 61.93 187.89 191.61 206.24 170.19
64.39 0.86 1.23 0.55 65.22 57.47 75.12 207.11 211.42 229.29 183.63
37.55 1.73 2.61 1.05 31.97 26.65 35.75 124.49 126.96 132.60 109.11
53.37 18.68 19.68 19.44 119.68 118.90 160.03 239.47 242.57 255.54 315.66
Rata-rata per sektor 57.73 19.88
146.11
270.21 348.40 37.55 1.80
31.46
128.01 109.11
192
Lampran 2.
Sektor Wilayah
2010
Tabel Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Pengguna Per Sektor Per Wilayah dari Kuota Air Irigasi 80 Persen pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen
2011
2012
2013
2014
2015
2016
Tahun (Rp/m3) 2017 2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
38.98 43.36 46.00 43.84 190.47 187.35 227.13 218.60 229.01 233.70 193.42
39.65 45.57 48.35 46.07 194.82 191.99 233.62 223.60 234.68 240.38 198.76
40.33 47.90 50.81 48.42 199.27 196.74 240.29 228.71 240.49 247.25 204.25
41.02 50.34 53.41 50.89 203.83 201.62 247.16 233.94 246.44 254.31 209.89
41.73 52.91 56.13 53.49 208.49 206.61 254.22 239.28 252.55 261.58 215.68
42.44 55.60 58.99 56.22 213.25 211.72 261.48 244.75 258.80 269.05 221.64
43.17 58.44 62.00 59.09 218.13 216.97 268.95 250.35 265.21 276.74 227.76
Rata-rata per sektor 38.12 38.12 41.31 43.82 42.30 41.77 185.12 181.75 195.48 219.57 212.46 222.16 220.18 225.93 187.14 187.14
25.71 13.68 15.25 13.68 98.90 106.35 113.22 97.91 98.07 97.91 113.81
26.56 15.77 17.43 15.77 101.59 109.45 116.96 99.79 100.13 100.63 117.34
27.42 18.01 19.75 18.02 104.25 112.52 120.69 101.58 102.10 103.27 120.89
28.30 20.40 22.23 20.41 106.87 115.57 124.42 103.31 104.00 105.87 124.45
29.19 22.94 24.87 22.96 109.49 118.62 128.18 104.98 105.83 108.42 128.05
30.08 25.66 27.68 25.68 112.11 121.68 131.97 106.60 107.61 110.94 131.69
30.99 28.55 30.68 28.58 114.73 124.76 135.81 108.17 109.34 113.44 135.38
24.58 12.14 13.64 12.14 93.72 100.63 106.84 93.60 93.33 92.33 108.03
1. Manfaat Marjinal (Nilai Air)
33.45 34.02 34.61 35.20 35.81 36.42 37.04 37.68 38.33 Listrik-Juanda 27.71 29.13 30.61 32.17 33.81 35.54 37.35 39.25 41.26 Irigasi TT 29.40 30.90 32.47 34.13 35.87 37.70 39.62 41.64 43.77 Irigasi TU 28.02 29.45 30.95 32.53 34.18 35.93 37.76 39.69 41.71 Irigasi TB 155.41 158.96 162.60 166.31 170.12 174.00 177.98 182.05 186.21 PDAM K/K TT 150.33 154.05 157.87 161.78 165.78 169.89 174.10 178.41 182.82 PDAM K/K TU 176.26 181.30 186.48 191.81 197.29 202.92 208.72 214.69 220.82 PDAM K/K TB 178.37 182.44 186.61 190.88 195.24 199.71 204.27 208.94 213.72 Industri TT 183.76 188.31 192.97 197.75 202.64 207.66 212.80 218.07 223.47 Industri TU 181.37 186.55 191.88 197.36 203.00 208.80 214.77 220.90 227.21 Industri TB 151.36 155.54 159.83 164.25 168.78 173.45 178.24 183.16 188.22 PAM DKI 2. Biaya Marjinal Pengguna 18.59 19.33 20.09 20.86 21.64 22.43 23.23 24.04 24.87 Listrik-Juanda 0.21 1.30 2.48 3.75 5.12 6.60 8.19 9.89 11.72 Irigasi TT 1.21 2.35 3.58 4.91 6.35 7.89 9.54 11.31 13.22 Irigasi TU 0.18 1.28 2.46 3.73 5.11 6.59 8.18 9.88 11.71 Irigasi TB 69.06 73.26 77.14 80.75 84.14 87.34 90.39 93.32 96.14 PDAM K/K TT 73.03 77.62 81.88 85.87 89.64 93.22 96.66 99.97 103.20 PDAM K/K TU 75.20 80.22 84.94 89.41 93.68 97.79 101.77 105.65 109.46 PDAM K/K TB 74.43 77.95 81.15 84.10 86.81 89.32 91.67 93.87 95.95 Industri TT 72.27 76.13 79.65 82.89 85.87 88.63 91.21 93.63 95.91 Industri TU 66.56 71.04 75.17 79.01 82.59 85.96 89.15 92.19 95.10 Industri TB 79.00 83.46 87.69 91.73 95.62 99.39 103.07 106.69 110.26 PAM DKI Keterangan: TT = Tarum Timur, TU = Tarum Utara, TB = Tarum Barat, K/K = Kabupaten/Kota
Rata-rata
24.58 12.64
100.39
93.09 108.03
193
Lampran 3. Grafik Alokasi Air Optimal Berdasar Status Quo untuk Tiap Sektor pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen
194
Lampran 4.
Grafik Alokasi Air Optimal Berdasar Perencana Sosial untuk Tiap Sektor pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen
195
Lampran 5.
Grafik Alokasi Air Optimal Berdasar Kuota Air Irigasi 80 Persen Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen
untuk Tiap Sektor pada Tingkat
196
Lampiran 6. Peta Daerah Irigasi Jatilihur
197
Lampiran 7.
$TITLE
Contoh Listing Program GAMS Untuk Memecahkan Optimasi Dinamik dengan Model (ASDIJ) dari Skenario Perencana Sosial pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen
PENENTUAN ALOKASI AIR BAKU OPTIMUM DI DAERAH
IRIGASI JATILUHUR $ONTEXT BASIC-INPUT FILE NAME"DASAR" ; OUTPUT SAVED AS "DASAR-OUT" --------------------------------------------------------------------FILE1 : MODEL PENENTUAN HARGA AIR BAKU OPTIMUM di DI JATILUHUR ** MODEL SP NO QUOTA 27NOV2011 ** ** BASIC INPUT-OUTPUT ** STOK G 600 DAN KE LAUT L 0persen ** BENEFIT IR NOL --------------------------------------------------------------------$OFFTEXT SETS T
horison waktu /2010*2025/
TINIT(T) inital period TLAST(T) the last period; TINIT(T) = YES$(ORD(T)EQ 0); TLAST(T) = YES$(ORD(T)EQ CARD(T)); SET W wilayah pemasok TT TU TB /TT,TU,TB/
198
W1 wilayah pemasok juanda
/JU/
W2 wilayah pemasok TB untuk AD /TB/; **************************************** SCALAR RHO tingkat pertumbuhan /0.05/ ROI discount rate
/0.05/
AVF rata-rata famili or
/2./
PARAMETERS BTPJT(T) biaya tetap biaya operasi PJT~juta rp /2010*2025 90000./ *************************************** *KHUSUS LISTRIK DINLT(W1)
intersep demand LT /JU 48.386
/
DSLLT(W1)
slope demand
LT /JU
0.0000035 /
BTLT(W1)
beban tetap
LT /JU
5.40
/
BVLT2(W1)
koef var KP*1 LT /JU
0.000001
/
BVLT1(W1)
koef var KP*2 LT /JU
0.00000037 /
PGLT(W1)
pop growth
LT /JU
0.018
/
POPLT(W1)
initial pop
LT /JU
1.360
/
*KHUSUS PAM DKI DINAD(W2) intersep demand
AD /TB 195.05
/
DSLAD(W2) slope demand
AD /TB 0.0005
/
PGAD(W2)
pop growth
AD /TB 0.029
/
BTAD(W2)
beban tetap
AD /TB 65.0
/
BVAD2(W2) koef var KP*1
AD /TB
0.00018
/
199
BVAD1(W2) koef var KP*2
AD /TB
0.00012
POPAD(W2) initial pop
AD /TB
1.55
/ /
**************************************** *DATA TT TU DAN TB PGIR(W)
pop growth sektor IR /TT 0.001 ,TU 0.001 ,TB 0.001 /
PGAM(W)
pop growth sektor AM /TT 0.024 ,TU 0.026 ,TB 0.030 /
PGIN(W)
pop growth sektor IN /TT 0.031 ,TU 0.033 ,TB 0.035 /
POPIR(W)
init pop sektor IR
/TT 1.56 ,TU 1.71 ,TB 1.35 /
POPAM(W) init pop sektor AM /TT 1.80 ,TU 1.90 ,TB 1.95 / POPIN(W)
init pop sektor IN /TT 1.70 ,TU 1.90 ,TB 2.10 /
DINIR(W)
intersep demand sektor IR /TT 30.405 ,TU 32.433 ,TB 40.0 /
DINAM(W) intersep demand sektor AM /TT 106.9220 ,TU
90.320 ,TB
112.3610 / DININ(W)
intersep demand sektor IN /TT 135.9580 ,TU 140.454 ,TB
131.1050 / DSLIR(W)
koef demand sektor IR /TT 0.0000003 ,TU
0.000009 ,TB
0.000009 / DSLAM(W) koef demand sektor AM /TT 0.000004
,TU
0.000005 ,TB
,TU
0.000005 ,TB
0.000002 / DSLIN(W) koef demand sektor IN /TT 0.000007 0.000004 / *KOEF BIAYA VAR UNTUK TT, TU, DAN TB BVIR1(W) 0.000045 /
koef biaya sektor IR /TT
0.0000075 ,TU
0.0000065 ,TB
200
BVIR2(W)
koef biaya sektor IR /TT
0.000305
,TU
0.000226
,TB
,TU
0.000479
,TB
0.0001734 / BVAM1(W) koef biaya sektor AM /TT
0.000628
0.000536 / BVAM2(W) koef biaya sektor AM /TT
0.0002451 ,TU
0.0001341 ,TB
0.0002564 / BVIN1(W) koef biaya sektor IN /TT 0.0009285 ,TU 0.000571 ,TB 0.000714 / BVIN2(W) koef biaya sektor IN /TT
0.0004270 ,TU
0.0002028 ,TB
0.0002486 / *BIAYA BEBAN TETAP TT, TU, DAN TB BTIR(W)
biaya tetap sektor IR /TT
0.7 ,TU 0.8 ,TB 1.0 /
BTAM(W)
biaya tetap sektor AM /TT 80.00 ,TU 65.60 ,TB 87.0 /
BTIN(W)
biaya tetap sektor IN /TT 105.0 ,TU 100.0 ,TB 92.0 /
*************************************** RINF(T) inflow ke waduk TLAST /2010*2025 7000./; *************************************** PARAMETERS RHOSLT(W1)
var indek pop growth sektor LT wil JU th T
RHOSIR(W)
var indek pop growth sektor IR perwil
RHOSAM(W)
var indek pop growth sektor AM perwil
RHOSIN(W)
var indek pop growth sektor IN perwil
RHOSAD(W2) var indek pop growth sektor AD di TB NEKLT(W1,T) var koefisien ekonomi sektor LT wil JU th T
201
NEKIR(W,T)
var koef ekonomi sektor IR perwil per T
NEKAM(W,T) var koef ekonomi sektor AM perwil per T NEKIN(W,T)
var koef ekonomi sektor IN perwil per T
NEKAD(W2,T) var koef ekonomi sektor AD di TB per T BTPV(T)
var present value biaya tetap PJT ~juta rp
BETA(T)
var faktor diskonto pada tahun T
XIFW(T)
var inflow air ke waduk
RHOSLT(W1)
= RHO + PGLT(W1);
RHOSIR(W)
= RHO + PGIR(W);
RHOSAM(W)
= RHO + PGAM(W);
RHOSIN(W)
= RHO + PGIN(W);
~juta m3;
RHOSAD(W2) = RHO + PGAD(W2); ************************************** NEKLT(W1,T) = (1 + RHOSLT(W1))**ORD(T)*POPLT(W1)/AVF; NEKIR(W,T)
= (1 - RHOSIR(W))**ORD(T)*POPIR(W)/AVF;
NEKAM(W,T) = (1 + RHOSAM(W))**ORD(T)*POPAM(W)/AVF; NEKIN(W,T)
= (1 + RHOSIN(W))**ORD(T)*POPIN(W)/AVF;
NEKAD(W2,T) = (1 + RHOSAD(W2))**ORD(T)*POPAD(W2)/AVF; ************************************** *EQU PRESENT VALUE BEBAN TETAP PJT BTPV(T)
= (1+0.025)**ORD(T)*BTPJT(T);
*EQU PRESENT VALUE BETA(T)
= (1/(1+ROI))**ORD(T);
202
*INFLOW ASUMSI LINIER NEGATIF, DATA 1993-2008 XIFW(T)
= 6652.4 - 123.65*ORD(T);
************************************** DISPLAY RHO,RHOSLT,RHOSIR,RHOSAM,RHOSIN,RHOSAD, NEKLT,NEKIR,NEKAM,NEKIN,NEKAD, BTPV,BETA,XIFW; VARIABLES *VAR ESTIMATE VOL AIR DI WADUK OUTFLOW var outflow waduk
~juta m3
XLAUT(T) var X ke laut
~juta m3
STOK(T)
~juta m3
var stok air di waduk Juanda
XLT(W1,T) var vol air untuk PLTA
~juta m3 tahun t
XIR(W,T)
~juta m3 tahun t
var vol X untuk IR di wil W
XAM(W,T) var vol X untuk AM di wil W
~juta m3 tahun t
XIN(W,T)
~juta m3 tahun t
var vol X untuk IN di wil W
XAD(W2,T) var vol X untuk AD di wil TB ~juta m3 tahun t XIR1(W,T) XAM1(W,T) XIN1(W,T) XAD1(W2,T) TXNIR(T)
var total vol X untuk non IR
~juta m3 tahun t
TXNIR1(T) var total vol X untuk non IR
~juta m3 tahun t
TXLT(T)
~juta m3 tahun t
var total vol X untuk LT
203
TXIR(T)
var total vol X untuk IR
~juta m3 tahun t
TXAM(T)
var total vol X untuk AM
~juta m3 tahun t
TXIN(T)
var total vol X untuk IN
~juta m3 tahun t
TXAD(T)
var total vol X untuk AD
~juta m3 tahun t
TOTX(T)
var total vol air termanfaatkan sektor-sektor
******************************************* *NET BENEFIT NBLT(T)
var NB untuk LT tahun t
~juta rp
NBIR(T)
var NB untuk IR tahun t
~juta rp
NBAM(T)
var NB untuk AM tahun t
~juta rp
NBIN(T)
var NB untuk IN tahun t
~juta rp
NBAD(T)
var NB untuk AD tahun t
~juta rp
******************************************* OBJ
fungsi objektif
~ juta rp
B(T)
benefit pjt2
~ juta rp;
******************************************* POSITIVE VARIABLES XIR(W,T),XAM(W,T),XIN(W,T),XAD(W2,T),XLT(W1,T), NBLT(T),NBAM(T),NBIN(T),NBAD(T),TNB(T); ******************************************* EQUATIONS EOUTFLOW
equ outflow waduk
ETXLT
equ total LT
ETXLT2
equ total LT
204
EWUSER
equ water user
EXIR1(W,T) EXAM1(W,T) EXIN1(W,T) EXAD1(W2,T) EIFW(T) EXNIR1(T)
equ vol X LT di JU
~juta m3 tahun t
ETOTX(T)
equ vol X IR dan NON IR ~juta m3 tahun t
ETXIR(T)
equ total vol X IR
~juta m3 tahun t
ETXAM(T)
equ total vol X AM
~juta m3 tahun t
ETXIN(T)
equ total vol X IN
~juta m3 tahun t
ETXAD(T)
equ vol X untuk AD
~juta m3 tahun t
****************************************** *STOK, INFLOW, LAUT DARI JUANDA ESTOKI(T)
equ stok awal air di waduk Juanda ~juta m3 tahun t
EXLAUT(T) equ air dibuang ke laut
~juta m3 tahun t
EXXINF(T)
~juta m3 tahun t
equ batasan air masuk waduk
****************************************** *PERS BENEFIT DAN FUNGSI OBYEKTIF ENBLT(T)
equ NB untuk LT tahun t
~juta rp
ENBIR(T)
equ NB untuk IR tahun t
ENBAM(T)
equ NB untuk AM tahun t ~juta rp
ENBIN(T)
equ NB untuk IN tahun t
~juta rp
ENBAD(T)
equ NB untuk AD tahun t
~juta rp
~juta rp
205
***************************************** * ETNB(T)
equ NB total tahun t
~juta rp
BB(T)
equ benefit PJT tahun T
~juta rp
ZZ
equ fungsi obyektif
~juta rp;
***************************************** *FUNGSI OJEKTIF ZZ.. OBJ =E= SUM(T,BETA(T)*B(T))+ (BETA("2025")/(1-BETA("2010")))*B("2025"); ***************************************** *ESTIMASI NET BENEFIT BB(T).. B(T) =E= BETA(T)* (SUM{W,0.95* NEKIR(W,T)* [(DINIR(W)*XIR(W,T)- 0.5*DSLIR(W)*XIR(W,T)**2) -(BTIR(W)BVIR2(W)*XIR(W,T)+BVIR1(W)*XIR(W,T)**2)*XIR(W,T)]}+ SUM{W,0.95*NEKAM(W,T)* [(DINAM(W)*XAM(W,T)- 0.5*DSLAM(W)*XAM(W,T)**2) -(BTAM(W)BVAM2(W)*XAM(W,T)+BVAM1(W)*XAM(W,T)**2)*XAM(W,T)]}+ SUM{W,0.95* NEKIN(W,T)* [(DININ(W)*XIN(W,T)- 0.5*DSLIN(W)*XIN(W,T)**2) -(BTIN(W)BVIN2(W)*XIN(W,T)+BVIN1(W)*XIN(W,T)**2)*XIN(W,T)]}+ SUM{W2,0.95* NEKAD(W2,T)*
206
[(DINAD(W2)*XAD(W2,T)- 0.5*DSLAD(W2)*XAD(W2,T)**2) -(BTAD(W2)BVAD2(W2)*XAD(W2,T)+BVAD1(W2)*XAD(W2,T)**2)*XAD(W2,T)]}+ SUM{W1,0.99*NEKLT(W1,T)* [(DINLT(W1)*XLT(W1,T)-0.5*DSLLT(W1)*XLT(W1,T)**2) -(BTLT(W1)BVLT2(W1)*XLT(W1,T)+BVLT1(W1)*XLT(W1,T)**2)*XLT(W1,T)]} -BTPJT(T)); ****************************************** EOUTFLOW(T).. OUTFLOW(T)=E= XIFW(T); ETXLT(T).. OUTFLOW(T) =E=1.01* SUM(W1,XLT(W1,T)); EWUSER(T)..
SUM(W1,XLT(W1,T))
=E=
SUM(W,XIR1(W,T))+
SUM(W,XAM1(W,T))+ SUM(W,XIN1(W,T))+ SUM(W2,XAD1(W2,T)); *ASUMSI IRIGASI TIDAK ADA PERTUMBUHAN EXIR1(W,T).. XIR1(W,T) =E= XIR(W,T); EXAM1(W,T).. XAM1(W,T) =E=NEKAM(W,T)*XAM(W,T); EXIN1(W,T).. XIN1(W,T) =E=NEKIN(W,T)*XIN(W,T); EXAD1(W2,T).. XAD1(W2,T)=E=NEKAD(W2,T)*XAD(W2,T); ETXIR(T).. ETXAM(T).. ETXIN(T).. ETXAD(T)..
TXIR(T)=E= SUM(W,XIR1(W,T)); TXAM(T)=E= SUM(W,XAM1(W,T)); TXIN(T)=E= SUM(W,XIN1(W,T)); TXAD(T)=E= SUM(W2,XAD1(W2,T));
*AIR SELAIN UNTUK NON IRIGASI = JUMLAH AIR UNTUK AM IN AD
207
EXNIR1(T).. TXNIR1(T)=E= TXAM(T)+TXIN(T)+TXAD(T); *SUNGAI CITARUM SEBAGAI SALURAN PEMBUANG KE LAUT EXLAUT(T).. XLAUT(T) =E= TXLT(T)-TXIR(T)-TXNIR1(T); * TOTAL AIR DIGUNAKAN UNTUK IRIGASI+NONIRIGASI ETOTX(T).. TOTX(T) =E= TXIR(T)+TXNIR(T); *KONSTRAIN ESTOKI(T).. STOK(T+1)=L= STOK(T) + XIFW(T)- OUTFLOW(T); EIFW(T).. XIFW(T) =G= TOTX(T); *OUTFLOW WADUK JUANDA G IR+AM+IN+AD+XLAUT +++ ETXLT2(T).. TXLT(T) =G= TOTX(T)+XLAUT(T); ************************************* *BOUND XIR.LO("TT",T)
= 0.01;
XIR.LO("TU",T)
= 0.01;
XIR.LO("TB",T)
= 0.01;
XAM.LO("TT",T)
= 0.01;
XIN.LO("TT",T)
= 0.01;
XIN.LO("TU",T)
= 0.01;
XIN.LO("TB",T)
= 0.01;
XAM.LO("TT",T)
= 0.01;
XAM.LO("TU",T)
= 0.01;
XAM.LO("TB",T)
= 0.01;
XAD.LO("TB",T)
= 0.01;
XLAUT.LO(T)
= 0.01;
208
STOK.LO(T)
= 600.0;
STOK.UP(T)
= 2400.0;
************************************* *NET BENEFIT PER SEKTOR *EQU MANFAAT BERSIH IR = BT - TC UNTUK IRIGASI ENBIR(T).. NBIR(T)=E= SUM{W,0.95*NEKIR(W,T)* [(DINIR(W)*XIR(W,T)- 0.5*DSLIR(W)*XIR(W,T)**2) -(BTIR(W)BVIR2(W)*XIR(W,T)+BVIR1(W)*XIR(W,T)**2)*XIR(W,T)]}; *EQU MANFAAT BERSIH AM = BT - TC UNTUK PAM KK ENBAM(T).. NBAM(T)=E= SUM{W,0.95*NEKAM(W,T)* [(DINAM(W)*XAM(W,T)- 0.5*DSLAM(W)*XAM(W,T)**2) -(BTAM(W)BVAM2(W)*XAM(W,T)+BVAM1(W)*XAM(W,T)**2)*XAM(W,T)]}; *EQU MANFAAT BERSIH IN = BT - TC UNTUK INDUSTRI ENBIN(T).. NBIN(T)=E= SUM{W,0.95*NEKIN(W,T)* [(DININ(W)*XIN(W,T)- 0.5*DSLIN(W)*XIN(W,T)**2) -(BTIN(W)BVIN2(W)*XIN(W,T)+BVIN1(W)*XIN(W,T)**2)*XIN(W,T)]}; *EQU MANFAAT BERSIH AD = BT - TC UNTUK PAM DKI ENBAD(T).. NBAD(T)=E=SUM{W2,0.95*NEKAD(W2,T)* [(DINAD(W2)*XAD(W2,T)- 0.5*DSLAD(W2)*XAD(W2,T)**2) -(BTAD(W2)BVAD2(W2)*XAD(W2,T)+BVAD1(W2)*XAD(W2,T)**2)*XAD(W2,T)]};
209
*EQU MANFAAT BERSIH LT = BT - TC UNTUK LISTRIK ENBLT(T).. NBLT(T)=E=SUM{W1,0.99*NEKLT(W1,T)* [(DINLT(W1)*XLT(W1,T)- 0.5*DSLLT(W1)*XLT(W1,T)**2) -(BTLT(W1)BVLT2(W1)*XLT(W1,T)+BVLT1(W1)*XLT(W1,T)**2)*XLT(W1,T)]}; ****************************************** EXXINF(TLAST).. SUM(W,0.95*XIR(W,TLAST)) +SUM(W,0.95*XAM(W,TLAST)) +SUM(W,0.95*XIN(W,TLAST)) +SUM(W2,0.95*XAD(W2,TLAST)) =L=RINF(TLAST); ************************************** *
MB dan MC
*
************************************** VARIABLE MBLT(W1,T)
var MB untuk LT
MBIR(W,T)
var MB untuk IR
MBAM(W,T)
var MB untuk AM
MBIN(W,T)
var MB untuk IN
MBAD(W2,T)
var MB untuk AD
MCLT(W1,T)
var MC untuk LT
MCIR(W,T)
var MC untuk IR
MCAM(W,T)
var MC untuk AM
MCIN(W,T)
var MC untuk IN
210
MCAD(W2,T)
var MC untuk AD
EQUATION EMBLT(W1,T) equ MB untuk LT EMBIR(W,T)
equ MB untuk IR
EMBAM(W,T) equ MB untuk AM EMBIN(W,T)
equ MB untuk IN
EMBAD(W2,T) equ MB untuk AD EMCLT(W1,T) equ MC untuk LT EMCIR(W,T)
equ MC untuk IR
EMCAM(W,T) equ MC untuk AM EMCIN(W,T)
equ MC untuk IN
EMCAD(W2,T) equ MC untuk AD; EMBLT(W1,T).. MBLT(W1,T)=E=NEKLT(W1,T)*(DINLT(W1)DSLLT(W1)*XLT(W1,T)); EMBIR(W,T).. MBIR(W,T) =E=NEKIR(W,T)*(DINIR(W) - DSLIR(W) *XIR(W,T)); EMBAM(W,T).. MBAM(W,T) =E=NEKAM(W,T)*(DINAM(W) DSLAM(W) *XAM(W,T)); EMBIN(W,T).. MBIN(W,T) =E=NEKAM(W,T)*(DININ(W) - DSLIN(W) *XIN(W,T)); EMBAD(W2,T).. MBAD(W2,T)=E=NEKAD(W2,T)*(DINAD(W2)DSLAD(W2)*XAD(W2,T)); EMCLT(W1,T).. MCLT(W1,T)=E=NEKLT(W1,T)*(BTLT(W1)BVLT2(W1)*XLT(W1,T) + BVLT1(W1)*XLT(W1,T)**2);
211
EMCIR(W,T).. MCIR(W,T) =E=NEKIR(W,T)*(BTIR(W)BVIR2(W)*XIR(W,T)+BVIR1(W)*XIR(W,T)**2); EMCAM(W,T).. MCAM(W,T) =E=NEKAM(W,T)*(BTAM(W)BVAM2(W)*XAM(W,T)+BVAM1(W)*XAM(W,T)**2); EMCIN(W,T).. MCIN(W,T) =E=NEKIN(W,T)*(BTIN(W)BVIN2(W)*XIN(W,T)+BVIN1(W)*XIN(W,T)**2); EMCAD(W2,T).. MCAD(W2,T)=E=NEKAD(W2,T)*(BTAD(W2)BVAD2(W2)*XAD(W2,T)+BVAD1(W2)*XAD(W2,T)**2); ************************************* * SOLUTION MODEL MODELDIJ /ALL/; OPTION DECIMALS=4; MODELDIJ.ITERLIM=8000; OPTION NLP=MINOS5; MODELDIJ.OPTFILE=1; SOLVE MODELDIJ USING NLP MAXIMIZING OBJ; SOLVE MODELDIJ USING NLP MAXIMIZING OBJ; ************************************** *
A. NB REPORT
*
************************************** SET NB/NB1LT,NB1IR,NB1AM,NB1IN,NB1AD,TNB1/; VARIABLE NB1LT(T)
var NB report LT tahun t
~juta rp
NB1IR(T)
var NB report IR tahun t
~juta rp
212
NB1AM(T)
var NB report AM tahun t ~juta rp
NB1IN(T)
var NB report IN tahun t
~juta rp
NB1AD(T)
ar NB report AD tahun t
~juta rp
TNB1(T)
var TNB report tahun t
~juta rp;
NB1LT.L(T)
= NBLT.L(T);
NB1IR.L(T)
= NBIR.L(T);
NB1AM.L(T) = NBAM.L(T); NB1IN.L(T)
= NBIN.L(T);
NB1AD.L(T) = NBAD.L(T); TNB1.L(T)
=
NB1LT.L(T)+NB1IR.L(T)+NB1AM.L(T)+NB1IN.L(T)+NB1AD.L(T); PARAMETER NBREPORT(NB,T); NBREPORT("NB1LT",T) = NB1LT.L(T); NBREPORT("NB1IR",T)
= NB1IR.L(T);
NBREPORT("NB1AM",T) = NB1AM.L(T); NBREPORT("NB1IN",T)
= NB1IN.L(T);
NBREPORT("NB1AD",T)
= NB1AD.L(T);
NBREPORT("TNB1",T)
= TNB1.L(T);
*OPTION report jml des 2:jml baris 1:jml kolom 1 OPTION NBREPORT:2:1:1; DISPLAY NBREPORT *************************************** *
B. BENEFIT TOTAL REPORT
*
***************************************
213
SET BT/BT1LT,BT1IR,BT1AM,BT1IN,BT1AD,TOT1BT/; VARIABLE BT1LT(T)
var BT report LT tahun t ~juta rp
BT1IR(T)
var BT report IR tahun t ~juta rp
BT1AM(T)
var BT report AM tahun t ~juta rp
BT1IN(T)
var BT report IN tahun t ~juta rp
BT1AD(T)
var BT report AD tahun t ~juta rp
TOT1BT(T)
var total BT report tahun t ~juta rp;;
BT1LT.L(T)=BETA(T)* SUM{W1,0.99*NEKLT(W1,T)* (DINLT(W1)*XLT.L(W1,T)- 0.5*DSLLT(W1)*XLT.L(W1,T)**2)}; BT1IR.L(T)=BETA(T)* SUM{W,0.95*NEKIR(W,T)* (DINIR(W)*XIR.L(W,T)- 0.5*DSLIR(W)*XIR.L(W,T)**2)}; BT1AM.L(T)=BETA(T)* SUM{W,0.95*NEKAM(W,T)* (DINAM(W)*XAM.L(W,T)- 0.5*DSLAM(W)*XAM.L(W,T)**2)}; BT1IN.L(T)=BETA(T)* SUM{W,0.95*NEKIN(W,T)* (DININ(W)*XIN.L(W,T)- 0.5*DSLIN(W)*XIN.L(W,T)**2)}; BT1AD.L(T)=BETA(T)* SUM{W2,0.95*NEKAD(W2,T)* (DINAD(W2)*XAD.L(W2,T)- 0.5*DSLAD(W2)*XAD.L(W2,T)**2)}; TOT1BT.L(T) = BT1LT.L(T)+ BT1IR.L(T)+BT1AM.L(T)+ BT1IN.L(T)+ BT1AD.L(T); PARAMETER BTREPORT(BT,T); BTREPORT("BT1LT",T)
= BT1LT.L(T);
BTREPORT("BT1IR",T)
= BT1IR.L(T);
BTREPORT("BT1AM",T) = BT1AM.L(T);
214
BTREPORT("BT1IN",T)
= BT1IN.L(T);
BTREPORT("BT1AD",T) = BT1AD.L(T); BTREPORT("TOT1BT",T) = TOT1BT.L(T); *OPTION report jml des 2:jml baris 1:jml kolom 1 OPTION BTREPORT:2:1:1; DISPLAY BTREPORT *************************************** *
C. TC REPORT
*
*************************************** SET TC/TC1LT,TC1IR,TC1AM,TC1IN,TC1AD,TC1/;
VARIABLE TC1LT(T)
var TC report LT tahun t
~juta rp
TC1IR(T)
var TC report IR tahun t
~juta rp
TC1AM(T)
var TC report AM tahun t ~juta rp
TC1IN(T)
var TC report IN tahun t
~juta rp
TC1AD(T)
var TC report AD tahun t
~juta rp
TC1 (T)
var total TC report tahun t ~juta rp;
TC1LT.L(T)=BETA(T)* SUM{W1,0.99*NEKLT(W1,T)* (BTLT(W1)-BVLT2(W1)*XLT.L(W1,T) +BVLT1(W1)*XLT.L(W1,T)**2)*XLT.L(W1,T)}; TC1IR.L(T)=BETA(T)*SUM{W,0.95*NEKIR(W,T)* (BTIR(W)-BVIR2(W)*XIR.L(W,T) +BVIR1(W)*XIR.L(W,T)**2)*XIR.L(W,T)};
215
TC1AM.L(T)=BETA(T)*SUM{W,0.95*NEKAM(W,T)* (BTAM(W)-BVAM2(W)*XAM.L(W,T) +BVAM1(W)*XAM.L(W,T)**2)*XAM.L(W,T)}; TC1IN.L(T)=BETA(T)* SUM{W,0.95*NEKIN(W,T)* (BTIN(W)-BVIN2(W)*XIN.L(W,T) +BVIN1(W)*XIN.L(W,T)**2)*XIN.L(W,T)}; TC1AD.L(T)=BETA(T)* SUM{W2,0.95*NEKAD(W2,T)* (BTAD(W2)-BVAD2(W2)*XAD.L(W2,T) +BVAD1(W2)*XAD.L(W2,T)**2)*XAD.L(W2,T)}; TC1.L(T) =TC1LT.L(T)+TC1IR.L(T)+TC1AM.L(T)+TC1IN.L(T)+TC1IN.L(T); PARAMETER TCREPORT(TC,T); TCREPORT("TC1LT",T)
= TC1LT.L(T);
TCREPORT("TC1IR",T)
= TC1IR.L(T);
TCREPORT("TC1AM",T)
= TC1AM.L(T);
TCREPORT("TC1IN",T)
= TC1IN.L(T);
TCREPORT("TC1AD",T)
= TC1AD.L(T);
TCREPORT("TC1" ,T)
= TC1.L(T);
*OPTION report jml des 2:jml baris 1:jml kolom 1 OPTION TCREPORT:2:1:1; DISPLAY TCREPORT ************************************** *
D. MB REPORT
*
**************************************
216
SET MB1/MB1LT/; SET MB2/MB1AD/; SET MB /MB1IR,MB1AM,MB1IN,MB1AD/; SET MBT/MBTOT/; VARIABLE MB1LT(W1,T)
var MB untuk LT
MB1IR(W,T)
var MB untuk IR
MB1AM(W,T)
var MB untuk AM
MB1IN(W,T)
var MB untuk IN
MB1AD(W2,T)
var MB untuk AD
MBTOT(T)
var PV MB untuk TOT;
MB1LT.L(W1,T) = MBLT.L(W1,T); MB1IR.L(W,T)
= MBIR.L(W,T);
MB1AM.L(W,T) = MBAM.L(W,T); MB1IN.L(W,T)
= MBIN.L(W,T);
MB1AD.L(W2,T) = MBAD.L(W2,T); MBTOT.L(T)
= SUM(W1,MB1LT.L(W1,T))+
SUM(W, MB1IR.L(W,T)) + SUM(W, MB1AM.L(W,T)) + SUM(W, MB1IN.L(W,T)) + SUM(W2,MB1AD.L(W2,T)); PARAMETER MB1REPORT(MB1,W1,T)
217
MB2REPORT(MB2,W2,T) MBREPORT (MB,W,T) MBTREPORT(MBT,T); MB1REPORT("MB1LT","JU",T) = MB1LT.L("JU",T); MBREPORT("MB1IR","TT",T)
= MB1IR.L("TT",T);
MBREPORT("MB1AM","TT",T) = MB1AM.L("TT",T); MBREPORT("MB1IN","TT",T)
= MB1IN.L("TT",T);
MBREPORT("MB1IR","TU",T)
= MB1IR.L("TU",T);
MBREPORT("MB1AM","TU",T) = MB1AM.L("TU",T); MBREPORT("MB1IN","TU",T)
= MB1IN.L("TU",T);
MBREPORT("MB1IR","TB",T)
= MB1IR.L("TB",T);
MBREPORT("MB1AM","TB",T) = MB1AM.L("TB",T); MBREPORT("MB1IN","TB",T)
= MB1IN.L("TB",T);
MB2REPORT("MB1AD","TB",T) = MB1AD.L("TB",T); MBTREPORT("MBTOT",T)
= MBTOT.L(T);
OPTION MB1REPORT:2; OPTION MB2REPORT:2; OPTION MBREPORT:2; OPTION MBTREPORT:2; DISPLAY MB1REPORT; DISPLAY MB2REPORT; DISPLAY MBREPORT; DISPLAY MBTREPORT; **************************************
218
*
E. MC REPORT
*
************************************** SET MC1/MC1LT/; SET MC2/MC1AD/; SET MC /MC1IR,MC1AM,MC1IN,MC1AD/; SET MCT/MCTOT/; VARIABLE MC1LT(W1,T)
var MC untuk LT
MC1IR(W,T)
var MC untuk IR
MC1AM(W,T)
var MC untuk AM
MC1IN(W,T)
var MC untuk IN
MC1AD(W2,T)
var MC untuk AD
MCTOT(T)
var PV MC untuk TOT;
MC1LT.L(W1,T)
= MCLT.L(W1,T);
MC1IR.L(W,T)
= MCIR.L(W,T);
MC1AM.L(W,T)
= MCAM.L(W,T);
MC1IN.L(W,T)
= MCIN.L(W,T);
MC1AD.L(W2,T)
= MCAD.L(W2,T);
MCTOT.L(T)
= SUM(W1,MC1LT.L(W1,T))+
SUM(W, MC1IR.L(W,T)) + SUM(W, MC1AM.L(W,T)) + SUM(W, MC1IN.L(W,T)) + SUM(W2,MC1AD.L(W2,T)); PARAMETER
219
MC1REPORT(MC1,W1,T) MC2REPORT(MC2,W2,T) MCREPORT (MC,W,T) MCTREPORT(MCT,T); MC1REPORT("MC1LT","JU",T) = MC1LT.L("JU",T); MCREPORT("MC1IR","TT",T)
= MC1IR.L("TT",T);
MCREPORT("MC1AM","TT",T) = MC1AM.L("TT",T); MCREPORT("MC1IN","TT",T)
= MC1IN.L("TT",T);
MCREPORT("MC1IR","TU",T)
= MC1IR.L("TU",T);
MCREPORT("MC1AM","TU",T) = MC1AM.L("TU",T); MCREPORT("MC1IN","TU",T)
= MC1IN.L("TU",T);
MCREPORT("MC1IR","TB",T)
= MC1IR.L("TB",T);
MCREPORT("MC1AM","TB",T) = MC1AM.L("TB",T); MCREPORT("MC1IN","TB",T)
= MC1IN.L("TB",T);
MC2REPORT("MC1AD","TB",T) = MC1AD.L("TB",T); MCTREPORT("MCTOT",T) OPTION MC1REPORT:2; OPTION MC2REPORT:2; OPTION MCREPORT:2; OPTION MCTREPORT:2; DISPLAY MC1REPORT; DISPLAY MC2REPORT; DISPLAY MCREPORT; DISPLAY MCTREPORT;
= MCTOT.L(T);
220
************************************** *
F. MU=MB-MC REPORT
*
************************************** SET MU1/MU1LT/; SET MU /MU1IR,MU1AM,MU1IN,MU1AD/; SET MUT/MUTOT/; VARIABLE MU1LT(W1,T)
var MU untuk LT
MU1IR(W,T)
var MU untuk IR
MU1AM(W,T)
var MU untuk AM
MU1IN(W,T)
var MU untuk IN
MU1AD(W2,T)
var MU untuk AD
MUTOT(T)
var MU untuk TOT;
PARAMETER MU1REPORT(MU1,W1,T) MUREPORT (MU,W,T) MUTREPORT(MUT,T); MU1LT.L(W1,T)
= (MB1LT.L(W1,T)- MC1LT.L(W1,T));
MU1IR.L(W,T)
= (MB1IR.L(W,T) - MC1IR.L(W,T)) ;
MU1AM.L(W,T)
= (MB1AM.L(W,T) - MC1AM.L(W,T)) ;
MU1IN.L(W,T)
= (MB1IN.L(W,T) - MC1IN.L(W,T)) ;
MU1AD.L(W2,T)
= (MB1AD.L(W2,T)- MC1AD.L(W2,T));
MUTOT.L(T)
= SUM(W1,MU1LT.L(W1,T))+
SUM(W, MU1IR.L(W,T)) +
221
SUM(W, MU1AM.L(W,T)) + SUM(W, MU1IN.L(W,T)) + SUM(W2,MU1AD.L(W2,T)); MU1REPORT("MU1LT",W1,T)
= MU1LT.L(W1,T);
MUREPORT ("MU1IR",W,T)
= MU1IR.L(W,T) ;
MUREPORT ("MU1AM",W,T)
= MU1AM.L(W,T) ;
MUREPORT ("MU1IN",W,T)
= MU1IN.L(W,T) ;
MUREPORT ("MU1AD","TB",T) = MU1AD.L("TB",T); MUTREPORT("MUTOT",T)
= MUTOT.L(T);
OPTION MU1REPORT:2; OPTION MUREPORT:2; OPTION MUTREPORT:2; DISPLAY MU1REPORT; DISPLAY MUREPORT; DISPLAY MUTREPORT; ************************************** * G. FEES AND CURRENT TARIFF
*
************************************** PARAMETERS *CURRENT AIR BAKU RATE *BIAYA TETAP per m3 FEELT(W1)
biaya adm sektor LT /JU 0.00/
FEEIR(W)
biaya adm sektor IR /TT 0.00 ,TU 0.00,TB 0.00/
FEEAM(W)
biaya adm sektor AM /TT 0.10 ,TU 0.10,TB 0.35/
222
FEEIN(W)
biaya adm sektor IN /TT 0.15 ,TU 0.10,TB 0.15/
FEEAD(W2)
biaya adm sektor AD /TB 0.50/
*RERATA CRATE PER M3 CRLT(W1)
carrent rate per m3 sektor LT /JU 27.14/
CRIR(W)
carrent rate per m3 sektor IR /TT
0.00,TU
0.00,TB
0.00/ CRAM(W)
carrent rate per m3 sektor AM /TT 65.26,TU 65.26,TB
65.26/ CRIN(W)
arrent rate per m3 sektor IN /TT 106.46,TU 106.46,TB
106.46/ CRAD(W2)
carrent rate per m3 sektor AD /TB 161.02/
***************************************** *
H. BASED ON CURRENT TARIFF
*
***************************************** SET RCR/RCR1LT,RCR1IR,RCR1AM,RCR1IN,RCR1AD,T1RCR/; VARIABLE RCR1LT(T)
var RCR report LT tahun t
~juta rp
RCR1IR(T)
var RCR report IR tahun t
~juta rp
RCR1AM(T)
var RCR report AM tahun t
~juta rp
RCR1IN(T)
var RCR report IN tahun t
~juta rp
RCR1AD(T)
var RCR report AD tahun t
~juta rp
T1RCR(T)
var TRCR sektor report tahun t
~juta rp;
RCR1LT.L(T) = SUM{W1,(FEELT(W1)+0.99*CRLT(W1)*XLT.L(W1,T))}; RCR1IR.L(T) = SUM{W, (FEEIR(W) +0.95*CRIR(W) *XIR1.L(W,T))};
223
RCR1AM.L(T) = SUM{W, (FEEAM(W) +0.95*CRAM(W) *XAM1.L(W,T))}; RCR1IN.L(T) = SUM{W, (FEEIN(W) +0.95*CRIN(W) *XIN1.L(W,T))}; RCR1AD.L(T) = SUM{W2,(FEEAD(W2)+0.95*CRAD(W2)*XAD1.L(W2,T))}; T1RCR.L(T)
=
(RCR1LT.L(T)+RCR1IR.L(T)+RCR1AM.L(T)+RCR1IN.L(T)+RCR1AD.L(T)); PARAMETER RCRREPORT(RCR,T); RCRREPORT("RCR1LT",T)
= RCR1LT.L(T);
RCRREPORT("RCR1IR",T)
= RCR1IR.L(T);
RCRREPORT("RCR1AM",T) = RCR1AM.L(T); RCRREPORT("RCR1IN",T)
= RCR1IN.L(T);
RCRREPORT("RCR1AD",T) = RCR1AD.L(T); RCRREPORT("T1RCR",T)
= T1RCR.L(T);
*OPTION report jml des 2:jml baris 1:jml kolom 1 OPTION RCRREPORT:2:1:1; DISPLAY RCRREPORT *************************************** *
I. BASED ON MB BY MODEL
*
*************************************** SET RMB/RMB1LT,RMB1IR,RMB1AM,RMB1IN,RMB1AD,T1RMB/; VARIABLE RMB1LT(T)
var RMB report LT tahun t
~juta rp
RMB1IR(T)
var RMB report IR tahun t
~juta rp
224
RMB1AM(T)
ar RMB report AM tahun t
~juta rp
RMB1IN(T)
var RMB report IN tahun t
~juta rp
RMB1AD(T)
var RMB report AD tahun t
~juta rp
T1RMB(T)
var total RMB sektor report tahun t ~juta rp;
RMB1LT.L(T)= SUM{W1,(FEELT(W1)+ BT1LT.L(T))}; RMB1IR.L(T)= SUM{W, (FEEIR(W) + BT1IR.L(T))}; RMB1AM.L(T)= SUM{W, (FEEAM(W) + BT1AM.L(T))}; RMB1IN.L(T)= SUM{W, (FEEIN(W) + BT1IN.L(T))}; RMB1AD.L(T)= SUM{W2,(FEEAD(W2)+ BT1AD.L(T))}; T1RMB.L(T) =
(RMB1LT.L(T)+RMB1IR.L(T)+RMB1AM.L(T)+RMB1IN.L(T)+RMB1AD.L(T )); PARAMETER RMBREPORT(RMB,T); RMBREPORT("RMB1LT",T) = RMB1LT.L(T); RMBREPORT("RMB1IR",T) = RMB1IR.L(T); RMBREPORT("RMB1AM",T) = RMB1AM.L(T); RMBREPORT("RMB1IN",T) = RMB1IN.L(T); RMBREPORT("RMB1AD",T) = RMB1AD.L(T); RMBREPORT("T1RMB",T)
= T1RMB.L(T);
*OPTION report jml des 2:jml baris 1:jml kolom 1 OPTION RMBREPORT:2:1:1; DISPLAY RMBREPORT ***************************************
225
*
J. VOL X PER SEKTOR REPORT
*
*************************************** SET XSEKT1/X1LT/; SET XSEKT2/X1AD/; SET XSEKT /X1IR,X1AM,X1IN,X1AD/; VARIABLE X1LT(W1,T)
var vol X untuk LT di wil W
~juta m3 tahun t
X1IR(W,T)
var vol X untuk IR di wil W
~juta m3 tahun t
X1AM(W,T)
var vol X untuk AM di wil W ~juta m3 tahun t
X1IN(W,T)
var vol X untuk IN di wil W
X1AD(W2,T)
var vol X untuk AD di wil TB ~juta m3 tahun t;
X1LT.L(W1,T) = XLT.L("JU",T); X1IR.L("TT",T)
= XIR1.L("TT",T);
X1AM.L("TT",T) = XAM1.L("TT",T); X1IN.L("TT",T)
= XIN1.L("TT",T);
X1IR.L("TU",T)
= XIR1.L("TU",T);
X1AM.L("TU",T) = XAM1.L("TU",T); X1IN.L("TU",T) = XIN1.L("TU",T); X1IR.L("TB",T)
= XIR1.L("TB",T);
X1AM.L("TB",T) = XAM1.L("TB",T); X1IN.L("TB",T)
= XIN1.L("TB",T);
X1AD.L(W2,T)
= XAD1.L("TB",T);
PARAMETER XS1REPORT(XSEKT1,W1,T)
~juta m3 tahun t
226
XS2REPORT(XSEKT2,W2,T) XSREPORT (XSEKT,W,T); XS1REPORT("X1LT","JU",T) = X1LT.L("JU",T); XSREPORT("X1IR","TT",T)
= X1IR.L("TT",T);
XSREPORT("X1AM","TT",T) = X1AM.L("TT",T); XSREPORT("X1IN","TT",T) = X1IN.L("TT",T); XSREPORT("X1IR","TU",T) = X1IR.L("TU",T); XSREPORT("X1AM","TU",T) = X1AM.L("TU",T); XSREPORT("X1IN","TU",T) = X1IN.L("TU",T); XSREPORT("X1IR","TB",T) = X1IR.L("TB",T); XSREPORT("X1AM","TB",T) = X1AM.L("TB",T); XSREPORT("X1IN","TB",T) = X1IN.L("TB",T); XS2REPORT("X1AD","TB",T) = X1AD.L("TB",T); OPTION XS1REPORT:2; OPTION XS2REPORT:2; OPTION XSREPORT:2; DISPLAY XS1REPORT; DISPLAY XS2REPORT; DISPLAY XSREPORT; *************************************** * K. TOTAL TX PER SEKTOR REPORT
*
*************************************** SET RT/TX1LT,TX1IR,TX1AM,TX1IN,TX1AD/; VARIABLE
227
TX1LT(T)
var total vol X untuk LT di wil W
~juta m3 tahun t
TX1IR(T)
var total vol X untuk IR di wil W
~juta m3 tahun t
TX1AM(T) var total vol X untuk AM di wil W
~juta m3 tahun t
TX1IN(T)
~juta m3 tahun t
var total vol X untuk IN di wil W
TX1AD(T) var total vol X untuk AD di wil TB ~juta m3 tahun t; TX1LT.L(T) = (X1LT.L("JU",T)); TX1IR.L(T) = (X1IR.L("TT",T)+X1IR.L("TU",T)+X1IR.L("TB",T)); TX1AM.L(T) = (X1AM.L("TT",T)+X1AM.L("TU",T)+X1AM.L("TB",T)); TX1IN.L(T) = (X1IN.L("TT",T)+X1IN.L("TU",T)+X1IN.L("TB",T)); TX1AD.L(T) = (X1AD.L("TB",T)); PARAMETER TXREPORT(RT,T); TXREPORT("TX1LT",T)
= TX1LT.L(T);
TXREPORT("TX1IR",T)
= TX1IR.L(T);
TXREPORT("TX1AM",T)
= TX1AM.L(T);
TXREPORT("TX1IN",T)
= TX1IN.L(T);
TXREPORT("TX1AD",T)
= TX1AD.L(T);
*OPTION report jml des 2:jml baris 1:jml kolom 1 OPTION TXREPORT:2:1:1; DISPLAY TXREPORT; ************************************ * L.IN OUT STOK WADUK , LAUT
*
************************************ SET XUS /TOTX1/;
228
SET INFL /X1INF/; SET LAUT /X1LAUT/; SET STWDK/ST1OK/; VARIABLE TOTX1
total air termanfaatkan sektor-sektor
~juta m3
X1INF
inflow ke waduk dari citarum hulu
~juta m3
ST1OK
stok air diwaduk
~juta m3
X1LAUT
air buangan melalui s citarum ke laut ~juta m3;
TOTX1.L(T)
= TOTX.L(T) ;
X1INF.L(T)
= XIFW(T);
X1LAUT.L(T) = XLAUT.L(T); ST1OK.L(T)
= STOK.L(T);
PARAMETER XUSREPORT (XUS,T) INFLREPORT (INFL,T) LAUTREPORT (LAUT,T) STWDREPORT (STWDK,T); XUSREPORT ("TOTX1",T) = TOTX1.L(T) ; INFLREPORT("X1INF",T) = X1INF.L(T) ; LAUTREPORT("X1LAUT",T) = X1LAUT.L(T); STWDREPORT("ST1OK",T) = ST1OK.L(T) ; OPTION XUSREPORT:2; DISPLAY XUSREPORT; OPTION INFLREPORT:2;
229
DISPLAY INFLREPORT; OPTION LAUTREPORT:2; DISPLAY LAUTREPORT; OPTION STWDREPORT:2; DISPLAY STWDREPORT; **************