ANALISIS EKONOMI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR PDAM DKI JAKARTA SETELAH ADANYA KONSESI
OLEH RETNO TRIASTUTI H14102035
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ANALISIS EKONOMI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PDAM DKI JAKARTA SETELAH ADANYA KONSESI
Oleh RETNO TRIASTUTI H14102035
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Retno Triastuti
Nomor Registrasi Pokok
: H14102035
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skrisi
: Analisis Pengelolaan Sumber Daya Air PDAM DKI Jakarta Setelah Adanya Konsesi
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc NIP. 131644945
Mengetahui Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131846872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2006
Retno Triastuti H14102035
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Retno Triastuti lahir pada tanggal 20 Februari 1985 di Jakarta. Penulis merupakan anak terakhir dari enam bersaudara dari pasangan Syamsudin Slamet dan U.T. Parwiasih. Penulis mengikuti sekolah dasar di SDN Bojong 1 Ciledug, Tangerang hingga kelas 4 SD dan menamatkan sekolah dasar di SDN 08 Jakarta Selatan, kemudian melanjutkan ke SLTP Putra Satria Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 63 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Merpati Putih (UKM Betako MP) dan meraih penghargaan Juara II untuk kategori Seni Beladiri dalam Kejuaraan Nasional Merpati Putih Antar Perguruan Tinggi di TMII pada tahun 2004 serta menjadi Staf Administrasi dan Keuangan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal di Bogor yang bergerak dalam program Pemberdayaan Anak Jalanan dan Kaum Miskin di Kota Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul dari skripsi ini adalah “Analisis Pengelolaan Sumberdaya Air PDAM DKI Jakarta Setelah Adanya Konsesi”. Air merupakan salah satu sumber kehidupan manusia untuk itu sumberdaya air harus dikelola dengan baik. Pengelolaan sumberdaya air oleh PDAM DKI Jakarta ditujukan agar sumberdaya air terjamin keberlanjutannya dan tercipta pemerataan distribusi air bersih di masyarakat. Saat ini kebutuhan akan air bersih semakin meningkat tanpa diimbangi dengan adanya peningkatan produksi air bersih sehingga menyebabkan air bersih menjadi barang yang langka dan mahal untuk diperoleh, terutama sejak adanya kerjasama antara PAM Jaya dengan dua mitra swasta asing yang seharusnya dapat meningkatkan efisiensi dari PDAM. Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian. Di samping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis ucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, diantaranya: 1. Bapak Arief Daryanto, Ph.D yang dengan penuh kesabaran dan pengertian dalam memberikan bimbingan dan arahan selama proses penyelesaian skripsi ini. Terima kasih bapak telah banyak meluangkan waktu bapak yang sangat berharga untuk kami. 2. Bapak Nunung Nuryartono, Ph.D sebagai dosen penguji utama. 3. Ibu Henny Reinhardt, M.Sc sebagai komisi pendidikan. 4. Kepada Ketua Departemen dan segenap Staf Departemen Ilmu Ekonomi 5. Staf PAM Jaya Bapak Hidayat, Bapak Rio dan Bapak Katino yang telah bersedia memberikan arahan mengenai kondisi PDAM DKI Jakarta.
6. Kepada kedua orang tua penulis yaitu Ibu Parwiasih dan Bapak Syamsudin serta kakak-kakak sekalian, terima kasih banyak atas segala kesabaran, doa, dan kasih sayang yang selama ini telah tercurahkan. 7. Kepada Pakde Dr. H. Rudi Subiyantoro M.Pd beserta keluarga yang telah banyak memberikan dukungan moril maupun materil kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi. 8. Sahabat-sahabat satu perjuangan di bawah bimbingan Bapak Arief Daryanto (Agustina Widi dan Erna Agustiani). 9. Teman-teman Tim ’BCA’ MP IPB yang telah memberikan keceriaan dan pelajaran berharga tentang arti kesetiakawanan. 10. Teman-teman di Gerbong Rakyat yang turut membimbing penulis untuk menjadi orang yang kritis dan peduli. 11. Serta sahabat-sahabat penulis (saudara/i): Febri, Imas, Fitri, Okti, Diana, Hani, Arif, Iqbal, Andros, Rona, Siera, Mely, Vina, Stuti, dan seluruh sahabat yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis yakin bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu kritik dan saran guna perbaikan skripsi ini sangatlah penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, September 2006
Retno Triastuti H14102035
RINGKASAN
RETNO TRIASTUTI, H 14102035, Analisis Pengelolaan Sumberdaya Air PDAM DKI Jakarta Setelah Adanya Konsesi (Dibimbing oleh ARIEF DARYANTO). Air merupakan sumber kehidupan seluruh makhluk hidup, karenanya air digolongkan sebagai sumberdaya milik bersama (common property resources). Air yang diperlukan untuk manusia adalah air bersih yang telah diolah dan disalurkan (didistribusikan) melalui jaringan pipa bawah tanah sampai ke rumahrumah penduduk sehingga dapat langsung dikonsumsi. Air yang merupakan barang publik yang memiliki nilai tinggi di mata masyarakat perlu dikelola dengan baik, untuk itu pemerintah menunjuk suatu badan usaha yang menangani masalah penyediaan air bersih, yakni dalam bentuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Khusus untuk wilayah DKI Jakarta pengelolaan air bersih ditangani oleh PDAM DKI Jakarta (PAM Jaya). Sejak tahun 1998 PAM Jaya telah melakukan kerjasama konsesi dengan dua mitra asing swasta yang membentuk TPJ dan Palyja. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (1) Mengidentifikasi struktur produksi PAM Jaya antara sebelum dan setelah adanya konsesi; (2) Mengestimasi fungsi biaya pengelolaan air bersih untuk melihat variabel-variabel yang berpengaruh terhadap total pengeluaran PDAM DKI Jakarta; serta (3) Menganalisis manfaat dari adanya konsesi bagi PAM Jaya. Pada penelitian ini, metode pendugaan Ordinary Least Square (OLS) digunakan untuk menduga parameter dari peubah-peubah biaya produksi (meliputi biaya ekspansi dan biaya variabel), jumlah air bersih yang diproduksi, tingkat kebocoran dan juga dimasukkan variabel Dummy untuk membedakan laju peningkatan biaya antara sebelum dan setelah adanya konsesi sehingga akan diketahui tingkat efisiensi dari adanya konsesi. Dalam hal ini model disajikan dalam bentuk persamaan regresi berganda. Uji yang dilakukan meliputi uji F, Uji t, Uji R2, uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi. Data yang digunakan adalah data sekunder dari mulai tahun 1992-2004. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan produksi yang dilakukan oleh PDAM DKI Jakarta lebih baik sebelum adanya konsesi dibandingkan setelah adanya konsesi. Hasil analisis model biaya produksi PDAM DKI Jakarta dari tahun 1992 hingga tahun 2004 menunjukkan bahwa variabel yang nyata mempengaruhi biaya total pengelolaan adalah peubah biaya variabel dan dummy konsesi. Biaya variabel berhubungan positif terhadap biaya total, sedangkan dummy konsesi memiliki hubungan negatif dengan Ln-biaya total. Analisis manfaat dan biaya PDAM DKI Jakarta setelah adanya konsesi memberikan hasil yang negatif. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa konsesi yang dilakukan tidak memberi peningkatan efisiensi terhadap pengelolaan PDAM DKI Jakarta. Peran serta mitra swasta asing dalam pengelolaan air bersih untuk wilayah DKI Jakarta belum memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan
efisiensi pengelolaan air bersih PDAM DKI Jakarta. Selain itu, konsesi yang dilakukan PAM Jaya dengan kedua mitra asing masih belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat DKI Jakarta dengan semakin meningkatnya tarif air bersih yang diberlakukan. Kebijakan tarif yang diberlakukan oleh PDAM DKI Jakarta adalah dengan cara diskriminasi harga antar antar golongan masyarakat dan konsep increasing block tariff untuk tiap tingkatan blok pemakaian air bersih. Diskriminasi harga ditujukan agar tercipta subsidi silang (cross subsidies) dari masyarakat berpendapatan tinggi ke masyarakat berpendapatan rendah, sedangkan konsep increasing block tariff bertujuan untuk mengerem konsumsi air bersih oleh pelanggan dikarenakan harga yang semakin tinggi untuk setiap peningkatan konsumsi air bersih. Berdasarkan hasil penelitian maka saran yang dapat diberikan adalah: (1) PAM Jaya mengelola sendiri produksi dan distribusi air bersih untuk wilayah DKI Jakarta, sehingga dapat meminimalkan biaya pengeluaran. (2) Pemerintah sebagai pembuat kebijakan diharapkan memberikan subsidi kepada PAM Jaya sebesar selisih dari pendapatan yang diperoleh dari penjualan air bersih dengan total pengeluaran yang dikeluarkan sehingga dapat menjaga keberlanjutan usaha dari PDAM DKI Jakarta. (3) PAM Jaya harus melakukan berbagai perbaikan dalam sarana infrastruktur agar tingkat kebocoran yang ada dapat dikurangi sehingga akan meningkatkan efisiensi produksi PAM Jaya. (4) Hal terakhir yang dapat disarankan oleh penulis adalah adanya restrukturisasi di dalam perusahaan, restrukturisasi yang dilakukan diharapkan akan meningkatkan kinerja dan efisiensi produksi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat DKI Jakarta.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL.................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................v I.
PENDAHULUAN ........................................................................................1 1.1. Latar Belakang ................................................. ........................... ........1 1.2. Perumusan Masalah ..............................................................................5 1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................................7 1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................7
II.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .......................9 2.1. Pulp dan Kertas ......................................................................................9 2.2. Tinjauan Teoritis ..................................................................................10 2.3.1. Monopoli dan Diskriminasi Harga...........................................14
2.4. Analisis Fungsi Biaya Pengelolaan Air PDAM ...................................19 2.5. Analisis Penerimaan PDAM ................................................................21 2.6. Konsep Privatisasi................................................................................21 2.7. Tinjauan Penelitian Terdahulu .............................................................24 III.
KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................................30 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual..........................................................30 3.2. Alur Kerangka Pemikiran ....................................................................32 3.3. Keterbatasan Penelitian........................................................................32
IV.
METODOLOGI PENELITIAN...................................................................34 4.1. Metode Analisis ...................................................................................34 4.1.1. Analisis Fungsi Biaya ...............................................................35 4.1.2. Analisis Penerimaan PDAM .....................................................37 4.1.3. Analisis Manfaat-Biaya (Rasio B/C) ........................................39 4.2. Pengujian Hipotesis dan Ekonometrika ...............................................39 4.2.1. Analisis Regresi Linear Berganda.............................................39
4.2.2. Uji Kesesuaian Model ...............................................................41 4.2.2.1. Uji Koefisien Determinasi (R2)..................................41 4.2.2.2. Uji Hipotesis ..............................................................41 4.2.2.3. Uji Multikolinearitas ..................................................41 4.2.2.4. Uji Autokorelasi .........................................................42 4.2.2.5. Uji Heteroskedastisitas...............................................42 4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................43 4.4. Jenis dan Sumber Data .........................................................................43 4.5. Definisi Operasional ............................................................................43 V.
GAMBARAN UMUM PDAM DKI JAKARTA.........................................46 5.1. Gambaran Umum Wilayah DKI Jakarta ..............................................46 5.2. Gambaran Umum PDAM DKI Jakarta ................................................47 5.2.1. Sejarah dan Perkembangan PDAM DKI Jakarta ......................47 5.2.2. Sarana Produksi, Kapasitas Produksi dan Distribusi Air Bersih ..................................................................50 5.2.3. Struktur Penerimaan dan Pengelolaan PAM Jaya.....................51 5.2.4. Karakteristik Pelanggan PDAM DKI Jakarta ...........................54 5.2.5. Proses Pengolahan Air ..............................................................56 5.3. Konsesi Pengelolaan PDAM DKI Jakarta ...........................................57
VI.
HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................59 6.1. Analisis Struktur Produksi PDAM DKI Jakarta ..................................59 6.2. Analisis Fungsi Biaya PDAM DKI Jakarta .........................................65 6.2.1. Kebijakan Tarif Air Bersih PDAM DKI Jakarta.......................72 6.2.2. Analisis Penetapan Harga Air PDAM Berdasarkan Marginal Cost Pricing .............................................................73 6.3. Analisis Manfaat-Biaya PDAM Setelah Adanya Konsesi ...................75 6.3.1.Analisis Penerimaan PDAM DKI Jakarta..................................75 6.3.2.Analisis Manfaat-Biaya (Rasio B/C) .........................................77 6.4. Peranserta Mitra Swasta Asing (Palyja dan TPJ)..................................80
VII.
KESIMPULAN DAN SARAN....................................................................82 7.1. Kesimpulan ...........................................................................................82
7.2. Saran .....................................................................................................83 DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................85 LAMPIRAN
.....................................................................................................87
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Peningkatan Jumlah Perusahaan, Jumlah Karyawan dan Jumlah Pelanggan PDAM DKI Jakarta Tahun 1991-2004........................................2 2. Perhitungan Laba/Rugi PAM Jaya Periode 1998-2004 ................................5 3. Instalasi Produksi Air PDAM DKI Jakarta..................................................51 4. Struktur Penerimaan dan Pengelolaan Air PAM Jaya Tahun 1992-2004....52 5. Susunan Tarif Air Minum PDAM DKI Jakarta ...........................................54 6. Uraian Golongan Pelanggan PDAM DKI Jakarta Menurut Kelompok.......55 7. Susunan Penyesuaian Tarif Air Minum PDAM DKI Jakarta Tahun 2006 ..................................................................................................56 8. Struktur Produksi PDAM DKI Jakarta Tahun 1992-2004...........................60 9. Struktur Biaya PDAM DKI Jakarta Tahun 1992-2004................................61 10. Hasil Estimasi Variabel Independen Biaya Total Pengelolaan Air PDAM DKI Jakarta Tahun 1992-2004 ........................................................66 11. Hasil Uji Multikolinearitas...........................................................................68 12. Perbandingan Nilai Marginal Cost dan Average Cost.................................73 13. Perbandingan Jumlah Air yang Diproduksi dengan Jumlah Air Terjual ..........................................................................................................77 14. Struktur Penerimaan PDAM DKI Jakarta Dari Usaha Produksi Air Bersih .....................................................................................................78 15. Perbandingan Penerimaan Usaha dan Penerimaan Total PDAM DKI Jakarta Setelah Adanya Konsesi .........................................................79 16. Realisasi Investasi Palyja dan TPJ Tahun 1998-2006..................................80 17. Biaya Imbalan yang Diterima Palyja dan TPJ dari PAM Jaya ....................81
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Kurva Produksi Total, Produksi Rata-rata dan Produksi Marjinal ..............13 2. Kurva Keseimbangan Harga Pasar Monopoli..............................................15 3. Diskriminasi Harga Tingkat Satu.................................................................16 4. Diskriminasi Harga Tingkat Dua .................................................................17 5. Diskriminasi Harga Tingkat Tiga ................................................................18 6. Hubungan Antara MC dengan AVC dan AC...............................................20 7. Alur Kerangka Pemikiran ............................................................................32 8. Proses Pengolahan Air Bersih PDAM DKI Jakarta.....................................57 9. Perkembangan Struktur Produksi PDAM DKI Jakarta Tahun 1992 hingga semester satu 2006 .................................................................64 10. Perkembangan Struktur Biaya PDAM DKI Jakarta Tahun 1992-2004 .......65 11. Perkembangan Jumlah Pelanggan PDAM DKI Jakarta Tahun 1992-2006 (semester 1)................................................................................65 12. Perbandingan Nilai Marginal Cost dengan Average Cost ...........................74
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data Produksi, Biaya Produksi, Pendapatan dan Jumlah Pelanggan PDAM DKI Jakarta......................................................................................87 2. Data Jumlah Penduduk DKI Jakarta ............................................................88 3. Output Regresi Persamaan Biaya Total PDAM DKI Jakarta ......................89 4. Uji Heteroskedastisitas.................................................................................90 5. Uji Autokorelasi dan Indikasi Multikolinearitas..........................................91 6. Uji Parsial Variabel Independen Biaya Ekspansi Terhadap Biaya Variabel, Jumlah Air yang Diproduksi dan Tingkat Kebocoran..................92 7. Uji Parsial Variabel Independen Biaya Variabel Terhadap Jumlah Air yang Diproduksi dan Tingkat Kebocoran.............................................94 8. Uji Parsial Variabel Independen Jumlah Air yang Diproduksi Terhadap Tingkat Kebocoran.......................................................................95 9. Uji Normalitas..............................................................................................95 10. Grafik Perkembangan Tarif Air Bersih 1998-2005 .....................................96 11. Bagan Distribusi Pelayanan Air Bersih PDAM DKI Jakarta.......................97 12. Peta Wilayah Pelayanan Air Bersih PDAM DKI Jakarta ............................98
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan seluruh makhluk hidup, karenanya air
digolongkan sebagai sumberdaya milik bersama (common property resources). Penggunaan air tidak dapat dibatasi karena tidak adanya kejelasan mengenai hakhak atas pengelolaan dan pemanfaatannya. Manusia menggunakan air hampir di setiap segi kehidupannya, yaitu untuk minum, mandi, mencuci, memasak dan lain sebagainya. Air yang dikonsumsi langsung, yaitu air yang akan masuk ke dalam tubuh manusia, adalah air yang bersih agar terhindar dari segala penyakit yang dapat mengganggu kerja metabolisme tubuh. Air bersih yang dimaksud di sini adalah air yang telah diolah untuk menghilangkan kesadahannya, sehingga aman untuk dikonsumsi oleh tubuh. Air ini disalurkan (didistribusikan) melalui jaringan pipa bawah tanah sampai ke rumah-rumah penduduk. Kebutuhan akan air bersih bagi masyarakat perkotaan dewasa ini semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan. Tetapi penyediaan air bersih tersebut terhalang akibat banyaknya pencemaran dari berbagai jenis limbah dan semakin meluasnya daerah yang terkena intrusi air laut (perembesan air laut yang kemudian bercampur dengan air tanah). Masalah tersebut mengakibatkan air sebagai kebutuhan seharihari semakin memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Air yang merupakan barang publik yang memiliki nilai tinggi di mata masyarakat perlu dikelola dengan baik,
2
untuk itu pemerintah menunjuk suatu badan usaha yang menangani masalah penyediaan air bersih, yakni dalam bentuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, pelayanan dan penyediaan air bersih ditangani oleh PDAM DKI Jakarta atau lebih dikenal dengan sebutan PAM Jaya. PDAM DKI Jakarta didirikan sejak 1918 dengan nama Water Leidengen Bedrift, yang kemudian berganti nama menjadi Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya) pada tahun 1968 (Indocommercial, 1997) hingga saat ini telah melayani lebih dari 700 ribu penduduk yang ada di wilayah pelayanan DKI Jakarta (BPS, 2005). Pada tahun 2004 perusahaan yang bergerak dibidang pelayanan jasa penyedia air bersih ini memiliki 7 perusahaan yang menyerap 5238 karyawan yang berarti bahwa terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar kurang lebih 133 persen dari tahun 1991. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Peningkatan Jumlah Perusahaan, Jumlah Karyawan dan Jumlah Pelanggan PDAM DKI Jakarta tahun 1991-2003 Tahun Jumlah Perusahaan Jumlah Karyawan Jumlah Pelanggan 259.448 2250 1 1991 298.891 2215 1 1992 327.433 2119 1 1993 345.956 2086 1 1994 362.618 2133 1 1995 395.192 2101 1 1996 460.641 2075 1 1997 487.978 2995 4 1998 511.548 2996 4 1999 534.090 2658 4 2000 610.806 2926 5 2001 649.429 5214 6 2002 690.456 5237 7 2003 705.890 5238 7 2004 Sumber : BPS, 2005
3
Sejak tahun 1968 hingga tahun 1997 PDAM DKI Jakarta menangani seluruh proses produksi air bersih di wilayah DKI Jakarta, baik dari segi pengelolaan, penyediaan maupun distribusi. Namun sejak ditandatanganinya kontrak konsesi berjangka waktu 25 tahun pada tahun 1997 dengan 2 mitra asing yaitu perusahaan Thames Water Overseas Ltd dari Inggris dan dengan Ondeo Suez Lyonaise des Eaux dari Perancis membentuk PT Thames PAM Jaya (TPJ) dan PT PAM Lyonaise Jaya (Palyja), maka PAM Jaya hanya berperan sebagai badan pengawas dan pengendali dari pengelolaan dan penyediaan air bersih di DKI Jakarta. Seluruh sistem penyediaan air bersih Jakarta diberikan kepada kedua perusahaan mitra swasta, diantaranya suplai air bersih, treatment plant, sistem distribusi, pencatatan dan penagihan, juga bangunan-bangunan kantor milik PAM Jaya, dengan imbalan kedua perusahaan tersebut setuju untuk membayar utang PAM Jaya sebesar 231 juta USD. Dalam kontrak juga disebutkan bahwa baik Thames maupun Suez harus memperbanyak sambungan saluran air menjadi sebanyak 757.129 sambungan, hampir dua kali lipat jumlah sambungan pada saat pertama mereka ambil alih. Selain itu, dalam kontrak juga disebutkan bahwa mereka harus sudah melayani 70 persen dari keseluruhan populasi di DKI Jakarta, dalam kurun waktu 5 tahun. Tingkat kebocoran juga harus dikurangi sampai 35 persen dalam 5 tahun itu (Kruha, 2005). Kerjasama ini diperkuat dengan dikeluarkannya UU No.7 Tahun 2004 menggantikan UU No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang menandai disahkannya praktek privatisasi Sumber Daya Air (SDA) pada 18 Maret 2004
4
yang lalu. Hal ini dilakukan karena pemerintah beranggapan bahwa dengan turut berperannya sektor swasta dalam penyediaan barang publik akan meningkatkan efisiensi dari perusahaan penyedia barang publik tersebut, sehingga keuntungan yang akan didapat pun semakin besar. Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa motivasi dari perusahaan swasta berbeda dengan motivasi perusahaan publik. Perusahaan swasta akan memproduksi pada tingkat harga dimana akan memberikan pencapaian efisiensi yang optimal sehingga akan mendatangkan keuntungan maksimum. Sedangkan perusahaan publik berproduksi untuk kesejahteraan seluruh masyarakat. Setelah lima tahun konsesi berjalan, yaitu pada tahun 2002 (Ariestis, 2004), perjanjian dalam kontrak tersebut tidak dapat dipenuhi oleh kedua perusahaan mitra. Banyak hal yang tidak tercapai, seperti sistem saluran yang hanya mencapai 610.806 sambungan pipa. Kemudian, data yang mereka keluarkan menunjukkan bahwa dari tahun 1998 sampai Desember 2002, tingkat kebocoran telah dikurangi dari 61 persen menjadi 43,3 persen untuk Palyja, dan dari 57,6 persen menjadi 43,5 persen untuk TPJ (Kruha, 2005). Sedangkan bagi PAM Jaya sendiri setelah adanya konsesi hingga saat ini terus mengalami kerugian akibat adanya peningkatan biaya dan biaya yang harus dibayarkan kepada pihak mitra (water charge) yang nilainya ditentukan berdasarkan jumlah volume air yang diproduksi. Nilai water charge ini lebih tinggi dari harga jual air yang disalurkan. Pada Tabel 2 dapat dilihat perkembangan pendapatan PAM Jaya semenjak adanya konsesi tahun 1998 sampai tahun 2004.
5
Tabel. 2 Penghitungan Laba/Rugi PAM Jaya periode 1998-2004 Tahun Pendapatan Jumlah Biaya Laba/Rugi PDAM (milyar Rp) (milyar Rp) (milyar Rp) -101,97 445,69 343,72 1998 -338,47 739,73 401,26 1999 -449,30 883,10 433,80 2000 -419,99 989,58 569,58 2001 -331,89 989,96 658,06 2002 -228,80 1084,69 855,88 2003 -3,55 1236.65 1233,10 2004 Sumber : PAM Jaya, 2006
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa semenjak berlangsungnya konsesi yaitu pada tahun 1998 PAM Jaya terus mengalami kerugian dikarenakan tidak seimbangnya antara laju peningkatan pendapatan dengan laju peningkatan biaya. Pendapatan terus meningkat diiringi dengan laju peningkatan biaya yang jauh lebih besar. Sedangkan pada akhir tahun 1997 sendiri tidak ada kerugian yang harus ditanggung pihak PAM Jaya. Selain penerimaan PDAM yang tidak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan, kualitas pelayanan juga tidak membaik. Menurut YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), mereka mendapatkan banyak pengaduan mengenai masalah pelayanan air PAM, dan survei yang dilakukan juga mengindikasikan banyak masalah mengenai kualitas air bersih. Masalah tersebut kebanyakan berhubungan dengan kekeruhan dan bau, kemudian masalah kuantitas dan kelancaran, tekanan air, tarif air, penagihan, meteran air, manajemen, masalah teknis, serta masalah administrasi dan informasi (Indocommercial, 1997). 1.2.
Perumusan Masalah Air yang merupakan sumberdaya milik bersama (common property
resources) perlu dikelola dengan baik agar terjamin keberlanjutannya dan dapat
6
didistribusikan secara merata kepada seluruh masyarakat. Air yang merupakan barang publik yang memiliki nilai tinggi di mata masyarakat perlu dikelola dengan baik, untuk itu pemerintah menunjuk suatu badan usaha yang menangani masalah penyediaan air bersih. Khusus untuk wilayah DKI Jakarta penyediaan air bersih dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) DKI Jakarta. PDAM yang merupakan perusahaan publik milik negara dianggap kurang efisien dalam pengelolaan Sumber Daya Air, untuk itu perlu ada campur tangan dari pihak swasta maka dibentuklah kerjasama dengan pihak asing dalam bentuk kontrak konsesi berjangka waktu 25 tahun yang dimulai sejak tahun 1998 dengan dua mitra asing yaitu, Thames Water Overseas Ltd dan Ondeo Suez Lyonaise des Eaux membentuk TPJ dan Palyja. Kerjasama tersebut meliputi tugas menyuplai air bersih, treatment plant, sistem distribusi, pencatatan dan penagihan, dan pembangunan kantor-kantor yang seluruhnya diserahkan kepada pihak swasta. Sejak ditandatanganinya kontrak maka seluruh pengelolaan air bersih dilakukan oleh TPJ dan Palyja. Sedangkan PAM Jaya sendiri berperan sebagai pengawas dan pengendali dari pengelolaan air bersih tersebut. Setelah selama 9 tahun berjalannya konsesi, terdapat banyak perubahan menyangkut produktivitas air bersih. Untuk melihat sebesar apa peningkatan efisiensi oleh PDAM setelah adanya konsesi merupakan suatu kajian yang sangat sulit dikarenakan berbagai kendala pengambilan data di lapangan maka dalam penelitian ini penulis hanya membahas seberapa besar manfaat yang diperoleh PAM Jaya dari adanya konsesi ditinjau dari peningkatan penerimaan yang diperoleh PAM Jaya dengan adanya konsesi dibandingkan biaya yang harus
7
dikeluarkan setelah adanya konsesi. Perbandingan ini dapat dilihat dari beberapa aspek, diantaranya: 1. Bagaimana struktur produksi PAM Jaya antara sebelum dan setelah adanya konsesi? 2. Bagaimana kondisi biaya-biaya produksi yang mempengaruhi PDAM sebagai suatu unit usaha setelah adanya konsesi? 3. Seberapa besar manfaat yang diterima oleh PAM Jaya dengan adanya konsesi dilihat dari sisi penerimaan bersihnya? 1.3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penulis melakukan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi struktur produksi PAM Jaya antara sebelum dan setelah adanya konsesi. 2. Mengestimasi fungsi biaya pengelolaan air bersih untuk melihat variabelvariabel yang berpengaruh terhadap total pengeluaran PDAM DKI Jakarta. 3. Menganalisis manfaat dari adanya konsesi bagi PAM Jaya. 1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi seluruh pihak yang terkait
dengan pengelolaan sumber daya air khususnya bagi PAM Jaya sebagai masukan dan informasi dalam rangka pengembangan penyediaan air bersih dan pengoptimalan alokasinya serta sebagai bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
8
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan suatu wacana dan informasi bagi seluruh kalangan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya air. Selanjutnya, penulis berharap dengan melakukan penelitian ini dapat menambah wawasan penulis dalam bidang pengelolaan air bersih negara dan mengembangkan ilmu yang telah diperoleh selama kuliah di IPB dalam bidang kemasyarakatan. Semoga tulisan ini juga bermanfaat sebagai bahan bagi penelitian selanjutnya. 1.5.
Ruang Lingkup Penelitian ini membahas mengenai manfaat atau keuntungan yang
diperoleh PAM Jaya setelah melakukan konsesi dengan dua mitra asing dalam pengelolaan sumber daya air. Manfaat yang dihitung dilihat dari sisi penerimaan yang didapat PAM Jaya dengan biaya yang harus dibayarkan kepada pihak mitra sebagai imbalan balas jasa atas pengelolaan sumber daya air yang dilakukan.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep dan Definisi Ekonomi Ekonomi merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang khusus
mempelajari tingkah laku manusia atau segolongan masyarakat dalam usahanya memenuhi kebutuhan yang relatif tak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas adanya. Menurut Sukirno (2005), kegiatan ekonomi dapat didefinisikan sebagai kegiatan seseorang atau suatu perusahaan ataupun masyarakat untuk memproduksi barang dan jasa maupun mengkonsumsi (menggunakan) barang dan jasa tersebut. Menurut Prof. P.A. Samuelson, peraih penghargaan Nobel ekonomi pada tahun 1970 (Sukirno, 2005), ilmu ekonomi adalah suatu studi mengenai individuindividu dan masyarakat membuat pilihan, dengan atau tanpa penggunaan uang, dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang terbatas tetapi dapat digunakan dalam berbagai cara untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa dan mendistribusikannya untuk kebutuhan konsumsi, sekarang dan di masa datang, kepada berbagai individu dan golongan masyarakat. Analisis ekonomi dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu : ekonomi deskriptif, teori ekonomi, dan ekonomi terapan. Ekonomi deskriptif adalah analisis ekonomi yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya ada dalam perekonomian.
Teori
ekonomi
adalah
pandangan-pandangan
yang
menggambarkan sifat hubungan yang ada dalam kegiatan ekonomi, dan ramalan tentang peristiwa yang terjadi apabila suatu keadaan yang mempengaruhinya
10
mengalami perubahan. Sedangkan ekonomi terapan lazim disebut teori kebijakan ekonomi, yaitu cabang ilmu ekonomi yang menelaah tentang kebijakan yang perlu dilaksanakan untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam perekonomian adalah: (1) mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat; (2) menciptakan kestabilan hargaharga; (3) mengatasi masalah pengangguran; (4) mewujudkan distribusi pendapatan yang merata. Teori ekonomi biasanya menggunakan empat alat analisis, yaitu: (i) uraian mengenai sifat hubungan diantara dua atau beberapa variabel ekonomi, (ii) data yang berbentuk angka-angka yang menggambarkan sifat hubungan tersebut, (iii) gambaran secara grafik mengenai sifat hubungan tersebut, dan (iv) persamaan matematik yang menjelaskan sifat hubungan diantara berbagai variabel. Seterusnya analisis yang menerangkan peristiwa-peristiwa yang berlaku selalu menggunakan data statistik mengenai berbagai kegiatan ekonomi. 2.2.
Konsep Ekonomi Sumber Daya Air Secara ekonomi sumber daya air tergolong ke dalam sumber daya milik
bersama (common property resources). Sumber daya semacam ini biasanya akan menghadapi masalah apabila eksploitasi melebihi daya regenerasinya. Munculnya berbagai masalah, adalah akibat sulit ditegaskan hak-hak kepemilikan terhadap sumber daya yang bersangkutan. Menurut Tietenberg (1984) syarat sumber daya dapat dikelola secara efisien, yaitu jika sistem kepemilikan terhadap sumber daya itu dibangun atas sistem property right yang efisien, antara lain :
11
1. Universalitas (Universality) bahwa semua sumberdaya adalah dimiliki secara pribadi (privately owned) dan seluruh hak-haknya dirinci dengan lengkap dan jelas 2. Eksklusifitas (Exclusivity) bahwa semua keuntungan dan biaya yang dibutuhkan sebagai akibat dari pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya itu harus dimiliki hanya oleh pemilik tersebut baik secara langsung maupun secara tidak langsung dalam transaksi atau penjualan ke pihak lain. 3. Bisa dipindah-tangankan (Transferability) bahwa seluruh hak pemilikan itu bisa dipindahtangankan dari satu pemilik ke pihak lainnya dengan transaksi yang bebas dan jelas. 4. Bisa dipertahankan (Enforceability) bahwa hak pemilikan tersebut harus aman dari perampasan atau pengambilalihan secara tidak baik dari pihak lain. Menurut Anwar dalam Sudrajat (1997), karena sifat sumberdaya air yang sebagian bersifat milik individu (private good) dan sebagian lainnya menunjuk sifat barang milik bersama (common good) maka campur tangan pemerintah dalam upaya menyediakan air bersih dapat diwujudkan dengan mendirikan atau mengoperasikan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Dengan adanya campur tangan pemerintah melalui perusahaan air minum diharapkan alokasi sumberdaya air menjadi lebih efisien, artinya manfaat-manfaat yang ditimbulkan diharapkan lebih besar dari biaya-biayanya. 2.3.
Konsep Fungsi Produksi PDAM Output perusahaan berupa barang-barang produksi tergantung pada jumlah
input yang digunakan dalam produksi. Fungsi produksi adalah suatu hubungan
12
matematis yang menggambarkan suatu cara dimana jumlah dari hasil produksi tertentu tergantung pada jumlah input tertentu yang digunakan (Bishop dan Toussaint, 1979). Menurut Lipsey, et al. (1995), fungsi produksi merupakan hubungan antara input yang digunakan dalam proses produksi dengan kuantitas output yang dihasilkan. Sedangkan menurut Soekartawi, et al. (1984), fungsi produksi adalah hubungan kuantitatif atau fisik antara masukan dan produksi, dan analisis serta pendugaan hubungan itu disebut analisis fungsi produksi. Secara matematis hubungan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Y = f(X1,X2,X3,.....,Xn) Dimana : Y = Hasil produksi fisik Xi = Faktor-faktor produksi (input) Menurut Sukirno (2005), fungsi produksi adalah hubungan diantara faktorfaktor produksi dan tingkat produksi yang diciptakannya. Faktor-faktor produksi dikenal dengan istilah input dan jumlah produksi juga disebut output. Fungsi produksi dapat ditulis dalam bentuk rumus sebagai berikut : Q = f(K,L,R,T) Dimana : Q = Jumlah produksi yang dihasilkan K = Jumlah stok modal L = Jumlah tenaga kerja R = Kekayaan alam T = Tingkat teknologi yang digunakan
13
Dalam teori produksi dikenal dengan yang namanya Hukum Hasil Lebih yang Semakin Berkurang (The Law of Diminishing Return) yang menyatakan bahwa apabila faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya terus-menerus ditambah sebanyak satu unit, pada mulanya produksi total akan semakin banyak pertumbuhannya, tetapi sesudah mencapai suatu tingkat tertentu, produksi tambahan akan semakin berkurang dan akhirnya mencapai nilai negatif. Hubungan ini dapat dilihat pada Gambar 1. Output (Y)
TP
Tahap I
Tahap II
Tahap III
AP 0
MP
Input (X)
Gambar 1. Kurva Produksi Total, Produksi Rata-rata dan Produksi Marjinal (Sukirno, 2005) Keterangan : Tahap pertama : Produksi total mengalami pertambahan yang semakin cepat Tahap kedua : Produksi total pertambahannya semakin lambat Tahap ketiga : Produksi total semakin lama semakin berkurang MP =
ΔTP TP dan AP = X ΔX
14
Dimana : TP = Total Product (Produksi total) AP = Average Product (Produksi rata-rata) MP = Marginal Product (produksi marjinal, tambahan produksi yang diakibatkan oleh pertambahan satu unit input yang digunakan). X
= Input (faktor produksi)
2.3.1. Monopoli dan Diskriminasi Harga Sumberdaya-sumberdaya milik umum seperti air, gas alam, listrik dan telepon, struktur pasarnya akan mengarah pada sistem monopoli alamiah (Nicholson, 1999). Biasanya pelayanan-pelayanan atas sumberdaya ini disediakan oleh lembaga-lembaga atau perusahaan-perusahaan publik yang mempunyai interest yang kuat terhadap sistem penetapan harga dan pendistribusian
pelayanan-pelayanan tersebut. Untuk perusahaan penyedia barang publik seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), apabila ingin memaksimumkan keuntungan maka jumlah barang yang diproduksi yaitu pada titik marginal revenue sama dengan marginal cost (MR=MC) seperti halnya perusahaan monopoli. Kemudian harga yang
ditetapkan adalah berdasarkan jumlah permintaan dipasar, sehingga perusahaan akan memproduksi jumlah barang yang lebih sedikit dan memberlakukan harga yang jauh lebih tinggi dari harga untuk mendapatkan normal profit. Menurut Nicholson (1999), hal ini dilakukan bertujuan untuk memperoleh keuntungan maksimum. Konsep penetapan harga ini dapat dilihat lebih jelas dari ilustrasi Gambar 2. Pada Gambar 2 terlihat bahwa jumlah barang yang diproduksi
15
adalah sebesar Q*, yaitu pada titik E saat MR=MC, harga ditetapkan berdasarkan jumlah permintaan (dimana D=AR) yaitu pada titik A yang jauh lebih tinggi di atas kurva marginal cost. Jika perusahaan menghasilkan barang dengan jumlah yang lebih kecil dari Q*, maka laba yang akan diperoleh perusahaan kecil, sebab dengan memproduksi output di bawah Q* maka perusahaan akan kehilangan penerimaan marjinalnya lebih besar daripada biaya-biaya yang terselamatkan. Begitu juga bila menghasilkan output lebih besar dari Q* juga tidak menguntungkan, karena biaya tambahan untuk menghasilkan 1 unit output lebih besar daripada penerimaan marjinalnya. Harga MC
P*
A B
C D
E MR D=AR Q* Jumlah Barang Gambar 2. Kurva Keseimbangan Harga Pasar Monopoli (Nicholson, 1999)
Keterangan: MC = Marginal Cost (biaya marjinal) D = Demand (kurva permintaan) AR = Average Cost (biaya rata-rata) MR = Marginal Revenue (penerimaan marjinal) Pada kenyataannya, konsep penetapan harga di atas tidak dapat diterapkan untuk barang publik seperti air bersih. Sebagai barang yang sangat penting bagi
16
kelangsungan hidup manusia, penetapan harga air bersih harus menyesuaikan dengan kondisi ekonomi masyarakat. Hal ini bertujuan agar tercipta keadilan dan pemerataan distribusi air bersih ke semua lapisan masyarakat. Untuk itu PDAM perlu memberlakukan kebijakan diskriminasi harga. Diskriminasi harga adalah tindakan penjual dalam menjual barang yang sama, di bawah pengawasan produksi yang sama, dengan harga yang berbeda kepada pembeli yang berbeda. Diskriminasi harga terjadi karena perusahaan-perusahaan bermaksud untuk menghasilkan lebih banyak uang dengan mengisolasi pembeli dan memungut harga yang berbeda di pasar. Untuk pembeli dengan permintaan yang inelastis dipungut harga yang lebih tinggi, sedangkan untuk pembeli yang permintaannya elastis dipungut harga yang lebih rendah daripada permintaan yang inelastis. Diskriminasi harga dapat digolongkan dalam tiga kelompok sebagai berikut: 1. Diskriminasi harga tingkat pertama (diskriminasi harga sempurna), yaitu jika pelaku mengetahui kurva permintaan konsumen, maka ia akan menawarkan harga yang tertinggi yang konsumen masih mau membayar untuk suatu unit output tertentu. Harga
Keterngan: MC = Marginal Cost MC
MR = Marginal Revenue
P*
D = Demand AR = Average Cost
MR Q*
D=AR Jumlah Barang
Gambar 3. Diskriminasi Harga Tingkat Satu (Nicholson, 1999)
17
2. Diskriminasi harga tingkat kedua (multipart pricing), yaitu perusahaan memberi harga per unit yang sama untuk sekelompok output yang spesifik. Terdapat potongan harga per unit jika pembeli membeli dalam jumlah yang banyak. Tujuannya adalah untuk merangsang pembelian yang lebih banyak oleh konsumen.
Harga
P1 P2
P3
Q1 Q2
Q3
Jumlah Barang
Gambar 4. Diskriminasi Harga Tingkat Dua (Nicholson, 1999) 3. Diskriminasi harga tingkat tiga, yaitu perusahaan memberlakukan harga yang berbeda untuk konsumen yang berbeda. Hal ini dapat dilakukan apabila terdapat tiga kondisi, yaitu: (i) pembeli-pembeli mempunyai elastisitas permintaan yang berbeda-beda secara tajam; (ii) para penjual mengetahui perbedaan ini dan dapat menggolongkan pembeli dalam kelompok-kelompok berdasarkan elastisitas yang berbeda-beda; (iii) para penjual dapat mencegah pembeli untuk menjual kembali barang-barang yang dibeli.
18
Harga PA
DA
PB
DB
EA
EB
MC MRB
QA MRA
QB
Jumlah Barang
Gambar 5. Diskriminasi Harga Tingkat Tiga (Nicholson, 1999) Keterangan: D
= Demand (permintaan)
MC = Marginal Cost MR = Marginal Revenue Selain diskriminasi harga seperti di atas, perusahaan juga menggunakan struktur tarif untuk penetapan harga air. Struktur tarif adalah sesusun aturan cara mengenai syarat pelayanan tagihan bulanan kepada pemakai air dalam berbagai kategori atau kelas (Boland, 1999). Terdapat beberapa struktur tarif yang dapat diterapkan, diantaranya adalah Increasing Block Tariffs, Two Part Tariffs, dan Decreasing Block Tariffs. Untuk Increasing Block Tariffs, disediakan dua atau
lebih harga untuk tiap pemakai yang berada di blok-blok yang berbeda. Harga dalam struktur tarif ini meningkat seiring dengan perpindahan blok (Boland, 1999). Two Part Tariffs terdiri atas tagihan tetap dan tagihan berdasarkan volume pemakaian air. Sedangkan Decreasing Block Tariffs dilakukan dengan blok
19
(kelompok) awal pemakaian berharga lebih tinggi dan akan semakin murah untuk blok-blok selanjutnya (Munasinghe, 1990). 2.4.
Analisis Fungsi Biaya Pengelolaan Air PDAM Sukirno (2005) mendefinisikan biaya produksi sebagai semua pengeluaran
yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksikan perusahaan tersebut. Menganalisis biaya produksi perlu dibedakan jangka waktu, yaitu: (i) jangka pendek, yaitu jangka waktu dimana sebagian faktor produksi tetap atau tidak dapat ditambah jumlahnya, dan (ii) jangka panjang, yaitu jangka waktu dimana semua faktor produksi dapat mengalami perubahan. Biaya produksi jangka pendek adalah keseluruhan jumlah biaya yang dikeluarkan produsen yang terdiri dari biaya variabel (biaya yang selalu berubah) dan biaya tetap. Hal ini dapat dirumuskan : TC = TFC + TVC Dimana : TC
= Total cost (biaya total)
TFC
= Total fixed cost (biaya tetap total)
TVC = Total variable cost (biaya variabel total) Sedangkan dalam produksi jangka panjang seluruh biaya yang digunakan merupakan biaya yang dapat berubah (variable cost). Analisis mengenai biaya produksi akan memperhatikan juga tentang: (1) biaya produksi rata-rata yang meliputi biaya produksi total rata-rata, biaya produksi tetap rata-rata, dan biaya
20
produksi variabel rata-rata, dan (2) biaya produksi marjinal, yaitu tambahan biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk menambah satu unit produksi. AC = AFC + AVC Untuk, AC =
TC ; Q
AFC =
TFC ; Q
AVC =
TVC ; Q
MC =
Dimana : AC
= Average Cost (total biaya rata-rata)
AFC
= Average Fixed Cost (biaya tetap rata-rata)
AVC = Average Variable Cost (biaya variabel rata-rata) MC
= Marginal Cost (biaya marjinal)
Biaya Produksi MC AC AVC
0
Jumlah Produksi
Gambar 6. Hubungan antara MC dengan AVC dan AC (Sukirno, 2005) Dari Gambar 6 terlihat beberapa kondisi, bahwa:
ΔTC ΔQ
21
1. Apabila MC < AVC, maka nilai AVC menurun (berarti jika kurva MC di bawah kurva AVC, maka kurva AVC sedang menurun). 2. Apabila MC > AVC, maka nilai AVC akan semakin besar (berarti jika kurva MC di atas AVC, maka kurva AVC sedang menaik). 2.5.
Analisis Penerimaan PDAM Tujuan dari suatu perusahaan untuk berproduksi adalah agar mendapatkan
keuntungan dari hasil produksinya dengan memperhitungkan besar biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk dengan pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan produk tersebut. Agar perusahaan dapat terus beroperasi maka jumlah penerimaan yang diperoleh harus lebih besar dari biaya yang dikeluarkan, atau paling tidak seimbang agar tidak mengalami kerugian. Penerimaan bersih perusahaan dapat dilihat dari selisih antara hasil penjualan air dengan total biaya yang dikeluarkan. Penerimaan bersih atau keuntungan perusahaan secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :
π = TR – TC Dimana :
π = Keuntungan (Rp) TR = Total Revenue (total penerimaan) (Rp) TC = Total Cost (total biaya) (Rp) 2.6.
Konsep Privatisasi Barang publik (common goods) yang menyangkut kepentingan masyarakat
banyak dikelola oleh pemerintah, termasuk diantaranya sumber daya air. Hal ini bertujuan agar barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak tersebut tidak
22
dikuasai oleh satu pihak tertentu saja (monopoli). Namun, dewasa ini kepemilikan sumber daya air sudah diswastakan dengan alasan banyaknya terjadi kebocoran yang menyebabkan ketidakefisienan berupa berkurangnya pemasukan uang, yang berarti pengurangan laba, atau bahkan mengakibatkan kerugian. Atas dasar pertimbangan tersebut pemerintah akhirnya mengeluarkan suatu kebijakan tentang privatisasi sumber daya air. Privatisasi merupakan kebijakan publik yang didasarkan atas asumsi bahwa penyerahan pengelolaan pelayanan publik kepada sektor swasta ini akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya (Bastian, 2000). Menurut Institut for Good Corporate Governance Studies (IGCGS, 2003), privatisasi adalah penyerahan kontrol efektif sebuah perseroan kepada manajer dan pemilik swasta yang biasanya terjadi apabila mayoritas saham perusahaan dialihkan kepemilikannya kepada swasta. Privatisasi dapat membantu pembiayaan defisit anggaran yang diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan dunia terhadap stabilitas perekonomian nasional. Pelaksanaan privatisasi memberikan dampak terhadap negara, konsumen, maupun terhadap para pegawai unit bisnis yang diprivatisasi. Bagi negara, dengan adanya privatisasi, maka negara akan mendapat sejumlah dana dari hasil penjualan saham dan juga pinjaman dari IMF untuk memperbaiki infrastruktur PDAM DKI Jakarta dengan pengajuan persyaratan pemerintah Indonesia harus melakukan privatisasi di bidang sumber daya air. IMF mengemukakan alasan bahwa dengan adanya privatisasi maka akan membuat bergairahnya pasar modal dan dunia usaha dalam negeri. Bagi konsumen, privatisasi diharapkan dapat menjadikan pengelolaan semakin
23
profesional, efektif dan transparan, sehingga dapat memberikan pelayanan lebih maksimal. Sedangkan bagi para pegawai unit implikasi negatif privatisasi adalah pengurangan pegawai (PHK). Tetapi hal ini dapat dihindari dengan adanya perjanjian penjualan perusahaan kepada pihak swasta yang menjamin tidak adanya pengurangan pegawai dan melindungi kepentingan para pegawai (IGCGS, 2003). Tidak semua PDAM di Indonesia mengalami privatisasi, hanya beberapa PDAM besar yang melakukan privatisasi, diantaranya adalah PDAM DKI Jakarta (PAM Jaya) yang melakukan kontrak kerjasama dalam bentuk konsesi (yaitu penyerahan wewenang pengelolaan dan penyediaan air bersih untuk warga DKI Jakarta menggunakan seluruh aset yang dimiliki oleh PAM Jaya dalam jangka waktu 25 tahun yang kepemilikan aset masih berada ditangan PAM Jaya) dengan Perusahaan Thames, yang sebelumnya merupakan perusahaan milik Inggris tetapi kini menjadi RWE di bawah kepemilikan Jerman, membentuk Thames PAM Jaya (TPJ). Kemudian dengan Perusahaan Suez Lyonnaise des Eaux (yang sekarang bernama ONDEO-Suez) dari Perancis membentuk PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) yang dilaksanakan semenjak tahun 1998. Umumnya, istilah privatisasi menjadi perdebatan karena orang berasumsi tentang kepemilikan. Jika sudah terjadi divestasi atau penjualan aset negara secara penuh, baru dikatakan sebagai privatisasi (Kruha, 2005). Padahal, walaupun aset tersebut masih milik negara dan yang dialihkan hanya tugas-tugasnya atau pengelolaannya, tetap merupakan bentuk privatisasi. Bank Dunia lebih suka menggunakan istilah lain jika suatu aset/ perusahaan, status kepemilikannya masih
24
milik negara. Istilah tersebut adalah Private Sector Participation (PSP-Partisipasi Sektor Swasta) atau Public Private Partnership (PPP-Kemitraan Publik dan Swasta). 2.7.
Tinjauan Penelitian Terdahulu Ristiani (2005) dalam skripsinya membahas tentang Analisis Harga Pokok
Air Bersih PDAM dan Respon Konsumen Terhadap Kebijakan Tarif Air Minum (Studi Kasus di PDAM Kabupaten Bogor). Permasalahan yang dibahas, yaitu : (1) Bagaimana cara penghitungan harga pokok produksi di PDAM dan berapa harga pokok air minum yang dikelola oleh PDAM?; (2) Bagaimana kebijakan tarif yang diberlakukan oleh PDAM?; (3) Bagaimana respon pelanggan terhadap kebijakan tarif yang diberlakukan oleh PDAM?; serta (4) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi permintaan (konsumsi) air PDAM oleh golongan rumah tangga? Metode yang digunakan untuk memperoleh data primer adalah dengan melakukan wawancara para pelanggan dan pengisian kuesioner, dengan kelompok responden hanyalah golongan rumah tangga di Kabupaten Bogor. Pengambilan contoh secara stratified proportional random sampling yaitu pengambilan contoh secara proporsional menurut golongan tarif pelanggan rumah tangga PDAM Kabupaten Bogor. Analisis biaya produksi dilakukan untuk menghitung harga pokok dengan metode pembagian, yaitu membagi seluruh biaya produksi dengan banyaknya air PDAM yang dijual. Hasilnya yaitu besarnya harga pokok air PDAM pada tahun 1999 adalah Rp1034,16 sedangkan pada tahun 2003 mencapai Rp1914,55, yang
25
hal ini berarti bahwa harga pokok air PDAM terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dan mencapai dua kali lipat pada lima tahun terakhir. Sedangkan respon pelanggan rumah tangga sebagai konsumen air PDAM menunjukkan bahwa air PDAM memiliki nilai yang tinggi di mata konsumen atau disebut overestimate. PDAM Kabupaten Bogor melakukan diskriminasi harga terhadap konsumen dengan menerapkan konsep increasing block tariff. Pendugaan terhadap permintaan air menggunakan analisis regresi yang menunjukkan bahwa konsumsi air PDAM oleh pelanggan golongan rumah tangga di Kabupaten Bogor dipengaruhi oleh harga riil air PDAM, jumlah anggota keluarga, pendapatan rumah tangga, lama berlangganan air PDAM, penilaian terhadap kualitas air PDAM, golongan pelanggan, dan kepemilikan sumber air lain sebagai alternatif. Hasil regresi menunjukkan bahwa variabel harga riil air PDAM, jumlah anggota keluarga, dan lama berlangganan air PDAM mempunyai pengaruh yang positif terhadap konsumsi air PDAM oleh golongan rumah tangga di Kabupaten Bogor. Sudrajat (1997) dalam tesisnya membahas tentang Analisis Ekonomi Pengelolaan Air PDAM di Kotamadya Pontianak (Suatu Kajian Pengembangan Kebijaksanaan Ekonomi dalam Pengelolaan Sumberdaya Air). Tujuan dari penelitiannya adalah : (1) Mengetahui kondisi biaya-biaya produksi yang mempengaruhi PDAM sebagai suatu unit usaha; (2) Mengetahui kebijaksanaan tarif air yang dapat membantu kearah pemerataan distribusi air pada berbagai wilayah dan dapat mencerminkan keadilan, serta bagaimanakah respon konsumen pada masing-masing wilayah terhadap tarif air yang diberlakukan saat itu (apakah
26
underestimate atau overestimate); (3) Mengetahui fungsi konsumsi (permintaan)
air PDAM dan peranan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada masing-masing wilayah kecamatan Kotamadya Pontianak; dan (4) Mengetahui dampak keterbatasan sumberdaya air terhadap peluang pemilihan sumber air oleh rumah tangga di Kotamadya Pontianak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin meningkat produksi perusahaan, biaya variabel rata-rata dan biaya marjinal semakin menurun dengan biaya marjinal selalu di bawah biaya variabel rata-rata. Hasil regresi konsumsi menunjukkan bahwa koefisien penduga peubah harga riil air nyata untuk seluruh kecamatan yang ada di Kotamadya Pontianak. Setiap kenaikan konsumsi akan menaikkan beban pembayaran bagi konsumen. Yang berarti bahwa PDAM melakukan diskriminasi harga dengan konsep increasing block rate structure. Hasil analisis respon terhadap konsumen terhadap tarif air (menggunakan konsep willingness to pay dan ability to pay) menunjukkan dua hasil, yaitu : (1) air PDAM memiliki nilai yang tinggi di mata konsumen (overestimate); dan (2) surplus konsumen terkecil adalah kecamatan Pontianak Barat dan Kecamatan Pontianak Utara (yang memiliki jarak yang jauh dari PDAM) dan surplus konsumen terbesar diperoleh Kecamatan Pontianak Selatan dan Kecamatan Pontianak Timur (yang jaraknya dekat dengan PDAM). Sudrajat menyimpulkan, karena supply air tidak merata maka supaya terdapat keadilan dalam pembayaran, kebijaksanaan diskriminasi tarif air yang diterapkan saat itu selain harus memasukkan unsur cross subsidies, increasing block rate (marginal cost pricing), juga harus memasukkan lancar tidaknya
27
supply air yang diberikan. Seharusnya lokasi-lokasi yang supply airnya tidak lancar struktur tarifnya lebih rendah dibandingkan dengan lokasi-lokasi yang supply airnya lancar. Ariestis (2004) dalam skripsinya membahas tentang Analisis Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Kerangka Kebijakan Pra dan Pasca Privatisasi: Studi Kasus Pengelolaan Air oleh PAM Jaya, Jakarta. Tujuan dari penelitiannya yaitu: (1) Mengidentifikasi struktur produksi dan biaya pengelolaan air dalam kerangka kebijakan sebelum dan sesudah privatisasi; (2) Mengestimasi fungsi biaya pengelolan air bersih untuk melihat variabel-variabel yang mempengaruhinya secara ekonomi; dan (3) Mengetahui penetapan harga air PDAM untuk wilayah DKI Jakarta agar tidak memberatkan masyarakat pelanggan serta tidak merugikan PDAM sendiri. Analisis dilakukan dengan menggunakan model persamaan regresi linear, dilakukan analisis fungsi biaya pengelolaan air berdasarkan fungsi Cobb-Douglas yang ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma linear. Analisis penetapan harga air berdasarkan marginal cost pricing dilakukan melalui penurunan fungsi biaya pengelolaan air. Evaluasi finansial dilakukan melalui perhitungan tarif air berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 8 Tahun 1998 mengenai Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Penetapan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum yang digunakan oleh PDAM. Data primer dilakukan melalui wawancara dengan pihak terkait serta data sekuder diperoleh dari dokumen tertulis yang ada di PAM Jaya dan instansi-instansi terkait lainnya.
28
Hasil pendugaan fungsi biaya pengelolaan air PDAM DKI Jakarta menunjukkan bahwa biaya ekspansi, biaya variabel dan jumlah air yang diproduksi signifikan atau berpengaruh nyata dengan arah yang positif terhadap pembentukan total biaya pengelolaan air. Dampak penetapan harga air berdasarkan marginal cost pricing akan mengakibatkan kerugian bagi PDAM baik sebelum maupun setelah privatisasi. Hal ini disebabkan oleh harga air yang terbentuk berdasarkan analisis ini terlalu rendah disamping masih tingginya tingkat kebocoran air (lebih dari 50%). Evaluasi finansial terhadap susunan tarif air PDAM DKI Jakarta menunjukkan bahwa susunan tarif yang berlaku pada beberapa kelompok pelanggan jauh lebih rendah dari pada perhitungan tarif berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 8 Tahun 1998 mengenai Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Penetapan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum yang digunakan PDAM. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah daerah dalam menetapkan susunan tarif air yang berlaku dengan tujuan untuk meringankan beban kelompok pelanggan yang tidak mampu. Berdasarkan nilai perkembangan relatif produksi air, investasi yang ditanamkan oleh Palyja (PAM Lyonnaise Jaya) dan TPJ (Thames PAM Jaya) tidak seiring dengan peningkatan pengelolaan PDAM, dan juga bahwa investasi mitra swasta untuk meningkatkan pengelolaan air PDAM belum memberikan pengaruh yang besar dalam menanggulangi tingkat kebocoran dalam distribusi air kepada pelanggan.
29
Dilihat dari hasil analisisnya, penetapan harga air baik secara ekonomi maupun secara finansial, belum dapat memberikan susunan tarif yang sesuai dengan kondisi masyarakat DKI Jakarta dan belum menutupi seluruh biaya pengelolaan air (full cost recovery) tersebut tetapi hanya untuk menutupi biaya variabel yang dikeluarkan. Nilai marginal cost yang digunakan diperoleh dari perhitungan perubahan nilai biaya total variabel dibandingkan dengan perubahan atau penambahan dari jumlah air bersih yang diproduksi. Oleh karena itu, nilai marginal cost tidak dapat menutupi seluruh biaya pengelolaan yang dikeluarkan karena tidak memasukkan biaya tetap dan biaya ekspansi yang juga dikeluarkan dalam pengelolaan air bersih. Di dalam penetapan harga air PDAM di wilayah DKI Jakarta masih diperlukan adanya campur tangan pemerintah, terutama dalam mempertahankan penggolongan harga air yang berbeda-beda bagi masyarakat pelanggan. Hal ini ditujukan agar tarif air yang berlaku tidak terlalu memberatkan bagi masyarakat ekonomi lemah.
30
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Kerangka Pemikiran Konseptual Struktur produksi dibangun atas komponen input yang digunakan untuk
menghasilkan output. Perusahaan Daerah Air Minum yang hanya memproduksi satu jenis barang yaitu air bersih sebagai output. Sedangkan komponen input dapat dilihat berdasarkan tingkat biaya yang dikeluarkan, karena untuk memperoleh air baku PDAM harus membelinya dari pengelola waduk, begitu pula untuk komponen input lainnya PDAM harus membeli dari pemasok, karena itu input dalam hal ini dapat juga didefinisikan besar biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi air bersih serta jumlah air baku yang digunakan. Biaya produksi merupakan biaya yang dikeluarkan selama melaksanakan proses produksi. Biaya input yang didefinisikan dalam buku Statistik Air Bersih yang dikeluarkan BPS adalah pengeluaran yang digunakan untuk pembelian bahan-bahan kimia, tenaga listrik, bahan bakar, alat-alat tulis dan kantor, onderdil, ongkos pemeliharaan dan perbaikan kecil prasarana produksi, sewa gedung dan mesin serta jasa-jasa lainnya. Menurut Hopkinsons dalam Suparmoko (1995) biaya produksi air bervariasi dalam tiga dimensi, yaitu jumlah pelanggan, kapasitas untuk menyediakan dalam arti kapasitas yang berbeda-beda untuk melayani daerah yang berbeda-beda dan jarak pengiriman atau penyerahan air ke tempat pemakai. Besar kecilnya biaya produksi yang dikeluarkan sangat mempengaruhi harga pokok yang akan ditetapkan oleh suatu perusahaan. Untuk perusahaan yang memproduksi satu jenis barang seperti PDAM, penetapan harga
31
pokok air PDAM dapat dilakukan dengan metode pembagian, yaitu membagi seluruh biaya produksi dengan jumlah satuan air yang diproduksi pada periode tertentu. Setelah harga pokok didapatkan baru dapat dilakukan penetapan tarif. Penetapan tarif yang diberlakukan oleh PDAM adalah dengan diskriminasi harga antar golongan pelanggan berdasarkan tingkat pemakaian air dan pendapatan masyarakat sehingga akan menciptakan subsidi silang antar kelompok masyarakat. Tarif yang ditetapkan oleh PDAM juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Nilai output adalah nilai dari air bersih yang disalurkan. Output yang dihasilkan tergantung dari kapasitas produksi perusahaan dan jumlah air baku yang digunakan untuk menghasilkan air bersih. Total penerimaan PDAM dapat dihitung dari hasil jumlah produksi yang dihasilkan dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan serta penerimaan lainnya dari jasa non industri. Semakin tinggi tambahan jumlah produksi yang dihasilkan dengan tambahan biaya yang semakin kecil maka penerimaan perusahaan akan meningkat semakin besar. Semakin besarnya penerimaan mengindikasikan bahwa manfaat yang diperoleh PDAM akan semakin besar serta tingkat keberhasilan yang memuaskan. Setelah diketahui tingkat penerimaan PDAM antara sebelum dan setelah adanya konsesi dapat diukur seberapa besar laju peningkatan penerimaan yang diterima PDAM setelah 9 tahun konsesi berjalan dibandingkan dengan peningkatan laju penerimaan sebelum adanya konsesi. Gambar alur kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 7.
32
3.2.
Alur Kerangka Pemikiran
Konsep Ekonomi Sumber Daya Air
Produksi Pengelolaan SDA oleh PDAM
Penerimaan PDAM Analisis Manfaat-Biaya sebelum dan setelah konsesi.
Biaya
Produksi Konsesi PDAM : a. TPJ b. Palyja
Penerimaan PDAM Biaya
Gambar 7. Alur Kerangka Pemikiran Keterangan : PDAM = Perusahaan Daerah Air Minum SDA = Sumber Daya Air TPJ
= Thames PAM Jaya
Palyja = PAM Lyonaise Jaya 3.3.
Keterbatasan Penelitian Pada penelitian ini penulis memiliki beberapa keterbatasan diantaranya
adalah keterbatasan perolehan data baik dari segi periode waktu maupun dalam
33
hal perincian data, sehingga analisis yang lebih mendalam tidak dapat dilakukan. Adapun keterbatasan tersebut meliputi: 1. Tidak adanya perincian biaya variabel sehingga tidak dapat diketuhui biaya apa saya yang paling berpengaruh dalam peningkatan biaya variabel terutama apabila ada faktor ekonomi di luar perusahaan yang turut andil dalam peningkatan biaya variabel, misalnya tingkat inflasi, nilai tukar dan kenaikan BBM akibat adanya krisis ekonomi. 2. Data jumlah pelanggan, jumlah air yang terjual dan penerimaan PAM Jaya merupakan data keseluruhan dari hasil produksi air bersih, tidak dirincikan menurut kelompok pelanggan sehingga analisis hanya dapat dilakukan secara menyeluruh untuk semua lapisan kelompok. Jika dibedakan untuk setiap kelompok maka dapat dihitung nilai Marginal Revenue (MR) dari tiap-tiap kelompok pelanggan PAM Jaya. 3. Tidak adanya data mengenai asal dana yang diperoleh PAM Jaya untuk menutupi seluruh kerugian sehingga penulis dalam hal ini mengasumsikan bahwa pemerintah memberikan jaminan untuk kebrelanjutan PAM Jaya. Keterbatasan-keterbatasan ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran untuk penelitian-penelitian selanjutnya agar dapat menciptakan suatu karya ilmiah yang sempurna dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
34
IV. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian (research) merupakan rangkaian kegiatan ilmiah dalam rangka pemecahan suatu permasalahan. Menurut hasil akhirnya, penelitian dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu: penelitian dasar (basic research) yang hasilnya dapat bersifat abstrak dan umum; atau penelitian terapan (applied research) yang hasilnya berupa jawaban yang sangat konkret dan spesifik. Penelitian dapat diklasifikasikan dari berbagai cara dan sudut pandang. Dilihat dari pendekatan analisisnya, penelitian dibagi atas dua macam, yaitu: penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika. Sedangkan penelitian dengan pendekatan kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada analisis terhadap dinamika hubungan antarfenomena yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah. 4.1.
Metode Analisis Metode pendugaan Ordinary Least Square (OLS) digunakan untuk
menduga parameter dari peubah-peubah biaya produksi (meliputi biaya ekspansi dan biaya variabel), jumlah air bersih yang diproduksi dan tingkat kebocoran yang dilihat dari besar jumlah air yang hilang. Langkah selanjutnya adalah pembuatan model ekonometrika. Model ekonometrika dibuat berdasarkan metode kuantitatif. Model merupakan penyederhanaan suatu realita yang menggambarkan pola hubungan dari faktor-
35
faktor atau variabel-variabel yang berperan dalam pembentukan model. Dalam hal ini model disajikan dalam bentuk persamaan regresi. Suatu model yang baik harus memenuhi kriteria ekonomi, statistika, dan ekonometrika.
Dalam kriteria
ekonomi, suatu model dikatakan baik apabila dapat memperlihatkan pengaruh positif atau negatif dari variabel-variabel independen terhadap variabel dependennya. Uji statistika dapat dilakukan secara individu variabel-variabel independen dengan uji statistik t
atau secara serentak variabel-variabel
independen dengan uji statistik F. Hasil dari uji statistik t dan uji statistik F dapat dilihat dari P-value yang memperlihatkan besar pengaruh nyata variabel-variabel independen terhadap variabel dependen. Sedangkan uji ekonometrika dapat dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya asumsi yang dilanggar yaitu dengan menguji heteroskedastisitas, uji autokorelasi dan uji multikolinearitas. Jika salah satu asumsi di atas dilanggar maka model tidak efisien untuk digunakan. 4.1.1. Analisis Fungsi Biaya Ariestis (2004) menjelaskan bahwa analisis fungsi biaya pengelolaan adalah analisis mengenai hubungan antara jumlah biaya pengelolaan air dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan biaya pengelolaan tersebut. Faktor-faktor yang digunakan untuk menganalisis fungsi biaya pengelolaan ini adalah jumlah air bersih yang diproduksi, biaya ekspansi dan biaya variabel. Pada penelitian ini juga akan ditambahkan satu faktor yang diduga turut mempengaruhi biaya pengelolaan air, yaitu faktor tingkat kebocoran. Kemudian akan ditambahkan variabel Dummy untuk membedakan laju peningkatan biaya antara sebelum dan setelah adanya konsesi, sehingga akan diketahui tingkat efisiensi dari
36
adanya konsesi. Model fungsi biaya pengelolaan air berdasarkan fungsi CobbDouglass adalah: TC = a0 ECta1 VCta2 Qta3LVta4Da5
(4.1)
Model tersebut kemudian ditransformasikan dalam bentuk logaritma natural menjadi persamaan linear sebagai berikut: Ln TC = ln a0 + a1 ln ECt + a2 ln VCt + a3 ln Qt + a4 ln LVt + a5 Dm (4.2) Dimana: TC
= biaya total pengelolaan air PDAM (Rp)
ECt
= biaya ekspansi (juta Rp)
VCt
= biaya variabel (juta Rp)
Qt
= jumlah air bersih yang diproduksi PDAM (ribu m3)
LVt
= tingkat kebocoran (loss water) (ribu m3)
Dm
= ”Dummy” konsesi
D = 1, setelah adanya konsesi
D = 0, sebelum adanya konsesi
t
= tahun ke-t
ai
= koefisien parameter dugaan (i=0,..,3); a1,a2,a3,a4>0 dan a5<0
Hipotesa-hipotesa : Biaya ekspansi berpengaruh positif terhadap biaya total pengelolaan, artinya jika biaya ekpansi mengalami peningkatan maka biaya total juga akan mengalami peningkatan, ceteris paribus.
37
Biaya variabel berpengaruh positif terhadap biaya total pengelolaan, artinya jika biaya variabel meningkat maka biaya total juga akan meningkat, ceteris paribus.
Jumlah air yang diproduksi berpengaruh positif terhadap biaya total pengelolaan, artinya semakin banyak jumlah air yang diproduksi akan semakin meningkatkan biaya total pengelolaan, ceteris paribus. Tingkat kebocoran juga berpengaruh positif terhadap biaya total pengelolaan, artinya semakin tinggi tingkat kebocoran maka akan menambah biaya total pengelolaan, ceteris paribus. 4.1.2. Analisis Penerimaan PDAM Penerimaan PDAM didapat dari perkalian antara jumlah air yang disalurkan dengan harga pokok air bersih ditambah dengan penerimaan dari jasa non industri. Setelah penerimaan total didapat maka dapat dicari besar keuntungan yang diperoleh PDAM yaitu sebesar selisih dari jumlah penerimaan yang diperoleh dengan total biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi air bersih. TR = Pt.Qt + Rn Dimana: TR
= Total penerimaan PDAM (Rp)
Pt
= Harga pokok air bersih (Rp)
Qt
= Jumlah air bersih yang diproduksi (m3)
Rn
= Penerimaan lain dari jasa non industri
38
PAM Jaya hanya memproduksi satu jenis barang yaitu jumlah air bersih yang disalurkan kepada pelanggan, sehingga diasumsikan bahwa tidak ada penerimaan lain dari jasa non industri maka fungsi penerimaannya menjadi : TR = Pt.Qt
(4.3)
Harga air disini harga pokok yang diterima pelanggan yang diperoleh berdasarkan Marginal Cost Pricing. Dari
hasil
penurunan
fungsi
biaya
pengelolaan air sebelumnya, maka diperoleh persamaan MC sebagai berikut: MC =
∂TC ∂Qt
= a0 ECta1 VCa2 a3 Qta3-1LVta4Da5 Menurut teori ekonomi, agar tercipta efisiensi optimal maka harga air yang berlaku berdasarkan MC Pricing adalah pada saat P=MC. Sedangkan persamaan MC sendiri diperoleh dari penurunan fungsi biaya pengelolaan air. Penetapan harga air dilakukan dengan cara diskriminasi harga (price discrimination). Diskriminasi harga tingkat tiga dilakukan kepada konsumen yang
berbeda dengan memperhitungkan perbedaan elastisitas permintaan dari tiap-tiap konsumen. Diskriminasi ini dilakukan dengan tujuan agar tercipta subsidi silang (cross subsidies) antara konsumen yang dapat membayar lebih mahal dikarenakan memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi dengan konsumen yang memiliki pendapatan dibawah rata-rata. Diskriminasi harga juga dapat diterapkan dengan menggunakan konsep increasing block tariff, dimana perbedaan harga air dapat dipengaruhi dari tingkat pemakaian, jarak konsumen terhadap instalasi air, dan biaya pengelolaan air yang dikeluarkan PDAM.
39
Setelah didapat total penerimaan kemudian dihitung keuntungan yang diperoleh
π = TR – TC
(4.4)
Dimana:
π
= Keuntungan perusahaan (Rp)
TR
= Total penerimaan PDAM (Rp)
TC
= Total biaya yang dikeluarkan PDAM (Rp)
4.1.3. Analisis Manfaat-Biaya (Rasio B/C) Rasio penerimaan dan biaya ini menunjukkan besarnya penerimaan yang diperoleh dari setiap biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan produksi. Analisis rasio ini dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keuntungan relatif kegiatan pengelolaan air. Rasio B/C dapat dituliskan secara matematis sebagai berikut : Rasio B/C =
P.Q TC
TR TC
(4.5)
Apabila B/C > 1, maka penerimaan yang diperoleh lebih besar dari tiap unit biaya yang dikeluarkan, hal ini berarti kegiatan produksi menguntungkan. Apabila B/C < 1, maka penerimaan yang diperoleh lebih kecil dari tiap unit biaya yang dikeluarkan yang berarti perusahaan mengalami kerugian. 4.2.
Pengujian Hipotesis dan Ekonometrika
4.2.1. Analisis Regresi Linear Berganda
Dalam regresi linear berganda terdapat lebih dari satu variabel yang menjelaskan. Oleh karena itu analisis mengenai ketergantungan satu variabel pada lebih dari satu variabel yang menjelaskan dikenal sebagai analisis regresi
40
berganda (multiple regression analysis). Model regresi populasi k-variabel meliputi variabel tak bebas Y dan k-1 variabel yang menjelaskan X2, X3,...., Xk. Tujuan analisis ini adalah menaksir parameter regresi berganda untuk persamaan yang diduga dan menarik kesimpulan mengenai parameter tersebut dari data yang dimiliki. Untuk maksud penaksiran, maka dapat digunakan metode kuadrat terkecil (OLS) yang dikemukakan oleh Carl Friedrich Gauss, seorang ahli Matematika Jerman. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam metode OLS adalah: 1. Asumsi bahwa nilai yang diharapkan bersyarat (conditional expected value) dari ui, tergantung pada Xi tertentu adalah nol (E(ui|Xi) = 0). 2. Asumsi bahwa gangguan ui dan uj tidak berkorelasi, yang dikenal sebagai asumsi tidak adanya korelasi berurutan atau tidak ada autokorelasi (cov(ui.uj) = 0,i≠j). 3. Asumsi homoskedastisitas (var(ui⎢Xi) = σ2, dimana var berarti varians). 4. Asumsi bahwa gangguan u dan variabel yang menjelaskan X tidak berkorelasi (cov(ui,Xi) = 0). 5. Asumsi bahwa tidak terdapat bias dalam spesifikasi model. Model yang diuji secara tepat telah dispesifikasikan atau diformulasikan. 6. Asumsi bahwa tidak terdapat collinearity antar variabel-variabel bebas. Variabel-variabel bebas tidak mengandung hubungan linear tertentu antara sesamanya. Setelah mendapatkan parameter estimasi, langkah selanjutnya adalah melakukan berbagai macam pengujian terhadap parameter estimasi tersebut, seperti pengujian statistik (uji R2, uji F, dan uji t); pengujian ekonometrik (uji
41
multikolinearitas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas) dan pengujian ekonomi (untuk menguji kesesuaian tanda masing-masing koefisien regresi yang diperoleh dengan menggunakan perangkat teori ekonomi). 4.2.2. Uji Kesesuaian Model 4.2.2.1. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Uji kesesuaian model menggunakan ukuran koefisien determinasi (R2) yang bertujuan untuk mengukur kemampuan dari peubah penjelas (variabel independen) dapat menerangkan keragaman atau variasi dari variabel dependen pada masing-masing persamaan. R2 = jumlah kuadrat regresi/ jumlah kuadrat total = ∑(Ŷt-Ϋ)/ ∑(Yt-Y) Jika nilai R2 dalam suatu persamaan semakin besar maka semakin layak persamaan tersebut digunakan sebagai alat peramalan (forecasting). 4.2.2.2. Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis menggunakan uji statistik t dan uji statistik F. Uji statistik t digunakan untuk melihat pengaruh dari tiap-tiap variabel independen terhadap variabel dependennya. Sedangkan uji statistik F adalah uji secara serentak variabel-variabel independen terhadap variabel dependen. Tujuan dari uji statistik adalah mengetahui seberapa besar variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara nyata dalam suatu sistem persamaan. 4.2.2.3. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas digunakan untuk melihat apakah dalam persamaan yang diduga terdapat hubungan linier antar peubah bebasnya (variabel independen).
42
4.2.2.4. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui apakah error pada suatu persamaan bersifat dependent atau independent. Artinya, apakah error mempunyai pengaruh
yang
signifikan
terhadap
variabel-variabel
independen
dan
dependennya. Pengujian autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Durbin-Watson, dengan kriteria : H0 : du < Dw < (4-du), dimana ρ = 0 H1 : Dw < du atau Dw > (4-du), dimana ρ ≠ 0 Jika hasilnya terima H0, maka pada persamaan yang diuji tidak terjadi autokorelasi. Sebaliknya jika hasilnya tolak H0 maka persamaan yang diuji masih mengalami masalah autokorelasi. 4.2.2.5 Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas muncul apabila kesalahan atau residual dari model yang diamati tidak memiliki varians yang konstan dari satu observasi ke observasi lainnya (Hanke&Reitsch, 1998 dalam Ronadiba, 2004). Artinya, setiap observasi mempunyai reliabilitas yang berbeda akibat perubahan dalam kondisi yang melatarbelakangi tidak terangkum dalam spesifikasi model. Asumsi yang melandasi homoskedastisitas adalah: 1. Residual adalah homoskedastisitas dan merupakan variabel independent; 2. Spesifikasi linear atas model sudah benar. Pada Eview’s, uji heteroskedastisitas melalui White-Heteroskedasticity Test dapat diketahui dengan melihat nilai probability obs*R-squared. Apabila nilai probability obs*R-squared lebih besar dari derajat kepercayaan yang
43
digunakan maka menunjukkan bahwa tidak ada masalah heteroskedastisitas. Artinya, kedua asumsi di atas dipenuhi sehingga tidak terdapat nilai statistik t yang tidak signifikan. Demikian sebaliknya. 4.3.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan dengan mengambil tempat di Jakarta, studi kasus pada Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta (PAM Jaya) dengan alasan bahwa PAM Jaya telah mengadakan konsesi dengan 2 mitra asing sejak tahun 1998. Pengambilan data yang berhubungan dengan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2006. 4.4.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak-pihak terkait. Sedangkan data sekunder diperoleh dari studi literatur dari PDAM DKI Jakarta, LembagaLembaga terkait, internet dan Badan Pusat Statistik. 4.5.
Definisi Operasional
Dalam rangka memperjelas dan mempersempit ruang lingkup penelitian ini, digunakan definisi operasional sebagai berikut : 1. Pokok bahasan dalam penelitian ini adalah analisis pendapatan PDAM antara sebelum dengan setelah adanya konsesi dilihat dari peningkatan penerimaan dan biaya yang dikeluarkan. 2. Air bersih adalah air dengan karakteristik bersih, jernih, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa tertentu (tawar) (UU RI No. 11 Tahun 1974).
44
3. Air bersih PDAM adalah air yang telah diproses menjadi air jernih sebelum dialirkan kepada konsumen melalui instalasi berupa saluran air. 4. Air baku adalah air yang digunakan sebagai bahan baku pengolahan air PDAM, diperoleh dari air permukaan maupun air sungai. 5. Air produksi PDAM adalah air yang telah diproses menjadi air bersih dan siap untuk didistribusikan kepada pelanggan. 6. Air bersih terjual adalah air bersih yang didistribusikan kepada pelanggan dan termasuk ke dalam rekening air yang dibayarkan. 7. Perusahaan air minum adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengadaan, pengolahan, distribusi (penjualan) air bersih untuk kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat. 8. Kapasitas produksi air minum adalah keluaran maksimum, kemampuan berproduksi suatu perusahaan air minum dalam waktu tertentu. 9. Biaya pengolahan air PDAM DKI Jakarta terdiri dari biaya tetap (fixed cost), biaya ekspansi (expansion cost) dan biaya variabel (variable cost). 10. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya-biaya yang dikeluarkan dalam pengolahan air PDAM yang tidak berubah-ubah dalam waktu pendek terlepas dari volume air yang disalurkan. Biaya-biaya yang termasuk dalam biaya tetap antara lain adalah biaya gaji pegawai yang tidak berhubungan dengan proses produksi air, biaya penyusutan peralatan, biaya beban kantor, biaya perjalanan dinas dan lain-lain.
45
11. Biaya ekspansi adalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka pengembangan kapasitas pelayanan PDAM kepada masyarakat pelanggan, contohnya yaitu biaya pengadaan atau pemasangan sambungan baru. 12. Biaya variabel adalah biaya-biaya yang berubah-ubah atau bervariasi sesuai dengan jumlah (volume) air yang disalurkan kepada pelanggan dan yang terbuang dalam waktu yang pendek. Contoh biaya variabel adalah biaya produksi dan distribusi air, biaya imbalan (water charge) kepada pihak mitra swasta, gaji pegawai bagian produksi, biaya pemeliharaan alat-alat, biaya penelitian dan pengembangan, serta lainnya. 13. Tarif air adalah harga air yang ditetapkan oleh pihak PDAM bersama pemerintah daerah yang bersangkutan dengan jumlah dan tingkatan yang berbeda-beda untuk setiap golongan pelanggan. 14. Privatisasi adalah suatu kebijakan publik yang mengarahkan bahwa tidak ada alternatif lain selain pasar yang dapat mengendalikan ekonomi secara efisien, serta menyadari bahwa sebagian besar kegiatan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan selama ini seharusnya diserahkan kepada sektor swasta. Tujuan adalah agar peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya dapat dicapai. 15. Konsesi adalah bentuk kontrak kerjasama berjangka waktu 25 sampai 30 tahun antara kedua belah pihak dimana pihak pertama menyerahkan tanggungjawab pengelolaan air beserta seluruh faktor produksi untuk digunakan pihak kedua memproduksi air bersih dan disalurkan kepada para pelanggan, hak kepemilikan faktor produksi masih ditangan pihak pertama.
46
V. GAMBARAN UMUM PDAM DKI JAKARTA
5.1.
Gambaran Umum Wilayah DKI Jakarta
Propinsi DKI Jakarta terletak pada 6o12’ lintang selatan dan 106o48’ bujur timur dengan luas wilayah kurang lebih 661,26 km2. Jumlah penduduk menurut Badan Pusat Statistik pada Jakarta Dalam Angka tahun 2005 menunjukkan penduduk yang tinggal di wilayah DKI Jakarta sebanyak 7.521.520 jiwa dari 1.868.838 kepala keluarga yang terdiri dari 3.839.539 jiwa penduduk laki-laki dan 3.681.981 jiwa penduduk perempuan. Kepadatan penduduk yang terjadi adalah sebesar 11.345,95 jiwa/km2 (BPS, 2005). Topografi wilayah DKI Jakarta dikategorikan sebagai dataran rendah dengan ketinggian tanah dari pantai sampai ke Banjir Kanal berkisar antara 5-50 m di atas permukaan laut. Kondisi topografi seperti inilah yang menyebabkan sulit untuk memperoleh air bersih karena adanya kandungan garam terutama di wilayah Jakarta bagian utara. Wilayah propinsi DKI Jakarta dilintasi oleh sekitar 13 buah sungai dan anak sungai, baik sungai alami maupun saluran buatan yang umumnya mengalir dari selatan ke utara. Namun karena sebagian air sungai telah tercemar maka masyarakat tidak dapat menggunakan air sungai sebagai sarana air bersih. DKI Jakarta berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara dan dengan Kabupaten Bogor serta Kotamadya Depok di sebelah selatan. Di sebelah timur DKI Jakarta berbatasan dengan Kotamadya dan Kabupaten Bekasi dan sebelah barat dengan propinsi Banten. Kabupaten-Kabupaten dan Kotamadya-Kotamadya yang merupakan bagian dari propinsi Jawa Barat dan Banten ini merupakan
47
daerah penyangga kebutuhan air bersih untuk wilayah DKI Jakarta. Hal ini disebabkan sebagian pasokan air PDAM juga didistribusikan dari wilayahwilayah tersebut. DKI Jakarta secara umum beriklim panas dengan suhu rata-rata berkisar 28,0 derajat pada siang hari (maksimum) dan curah hujan sepanjang tahun mencapai 2288,9 mm. Keadaan alam di daerah sebelah selatan Jakarta mempunyai iklim yang relatif sejuk dan sebagian area ini digunakan sebagai daerah resapan air. 5.2.
Gambaran Umum PDAM DKI Jakarta.
5.2.1. Sejarah dan Perkembangan PDAM DKI Jakarta
PDAM DKI Jakarta awal berdiri pada tahun 1918 dengan nama Waterleidingen Bedriff, sebuah perusahaan milik pemerintah Hindia Belanda yang memberikan pelayanan terhadap penyediaan air minum bagi warga Batavia. Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi Perusahaan Daerah Air Minum (PAM Jaya) pada tahun 1968. Pada tanggal 22 Desember 1922 untuk pertama kalinya dialirkan air minum dari sumbernya di Ciburial, Bogor ke Batavia menggunakan pipa berdiameter 500 mm sepanjang 53,231 km (berkapasitas 500 liter per detik) dengan sistem gravitasi. Selanjutnya setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai hari jadi PAM Jaya. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Waterleidingen Bedriff dikelola oleh bangsa Indonesia. Pelayanan air minum kemudian dilaksanakan oleh Dinas Saluran Air Minum Kota Praja di bawah Kesatuan Pekerjaan Umum Kota Praja. Pada tahun 1968 PDAM DKI
48
Jakarta dipisahkan dari Dinas Pekerjaan Umum melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1b/3/22/1968 tanggal 10 Desember 1968. Selanjutnya untuk bisa memenuhi kebutuhan air minum warga DKI Jakarta yang kian hari meningkat, pemerintah membangun beberapa instalasi produksi dan miniplant. Dengan dibangunnya instalasi produksi dan miniplant tersebut, produksi air bersih PAM Jaya pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini diikuti juga oleh peningkatan jumlah pelanggan dan mencapai puncaknya pada tahun 1996 karena adanya layanan prima. Layanan prima ini memungkinkan pelanggan melakukan pemasangan baru langsung sehari setelah mendaftar dan untuk biaya penyambungan dapat diangsur sampai 12 bulan tanpa bunga. Pada bulan Februari 1998, PAM Jaya melaksanakan kontrak kerjasama dalam bentuk kontrak konsesi modifikasi yang berjangka waktu 25 tahun dengan dua perusahaan pengelola air minum asing, yaitu Thames Water Overseas Ltd dari Inggris yang selanjutnya membentuk PT. Thames PAM Jaya (TPJ) dan dengan Ondeo Suez Lyonaise des Eaux dari Perancis membentuk PT. PAM Lyonaise Jaya (Palyja). Dasar hukum kerjasama modifikasi tersebut adalah Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 13 tahun 1992 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Permendagri Nomor 4 tahun 1990 tentang Tatacara Kerjasama Antara Perusahaan Daerah Dengan Pihak Ketiga serta Permendagri 9 tahun 1995, dan Inmendagri Nomor 21 tahun 1996 tanggal 22 Juli 1996 tentang Petunjuk Kerjasama Antara Perusahaan Air Minum Dengan Pihak Swasta.
49
Setelah kontrak konsesi disepakati, Palyja melakukan pelayanan air bersih untuk masyarakat di wilayah DKI Jakarta bagian barat (zone 1, 4 dan 5) dengan kapasitas 9.075 liter per detik dan jumlah pelanggan sebanyak 371.440 pelanggan, sedangkan TPJ melayani wilayah bagian timur (zone 2, 3 dan 6) dengan kapasitas 9.185 liter per detik dan melayani 347.354 pelanggan, seperti terlihat pada Lampiran 12. Dalam kontrak juga disebutkan bahwa seluruh sistem pelayanan air Jakarta diberikan kepada kedua perusahaan, yaitu suplai air bersih, treatment plant, sistem distribusi, pencatatan dan penagihan, juga bangunan-bangunan kantor milik PAM Jaya, dengan imbalan, kedua perusahaan tersebut setuju untuk membayar utang PAM Jaya sebesar 231 juta USD. Dalam kontrak juga disebutkan bahwa baik Thames maupun Suez harus memperbanyak sambungan saluran air menjadi sebanyak 757.129 sambungan, hampir dua kali lipat jumlah sambungan pada saat pertama mereka ambil alih. Selain itu, dalam kontrak juga dinyatakan bahwa mereka harus sudah melayani 70 persen dari keseluruhan populasi di Jakarta dalam kurun waktu 5 tahun. Tingkat kebocoran juga harus dikurangi sampai 35 persen dalam 5 tahun itu. Sedangkan peran PAM Jaya adalah sebagai pengawas atau pengontrol kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Palyja dan TPJ. Namun PAM Jaya tetap memiliki hak untuk mengajukan usulan susunan tarif air kepada pemerintah. Dengan adanya kerjasama ini maka terjadi perpindahan sebagian pegawai PAM Jaya ke Palyja maupun TPJ. Begitu juga dengan pendapatan yang diterima dari rekening pembayaran oleh pelanggan, terdapat sistem pembagian untuk masingmasing pihak yang telah disetujui bersama.
50
Semenjak adanya kerjasama ini terjadi perubahan baik dari segi produksi maupun segi biaya yang harus dikeluarkan PAM Jaya serta tingkat kebocoran yang semakin menurun. Jumlah produksi air bersih menurun dari sebanyak 466,40 juta m3 sebelum adanya konsesi (1997) menjadi sebanyak 396,41 juta m3. Biaya pengelolaan mengalami peningkatan dari sebesar Rp 313,30 milyar sebelum adanya konsesi (1997) menjadi sebesar Rp 434,04 miyar setelah konsesi (1998). Sedangkan tingkat kebocoran dapat dikurangi dengan laju pertumbuhan yang negatif setelah adanya konsesi. Jumlah pelanggan pun terus mengalami peningkatan hingga mencapai 718.794 pelanggan pada semester pertama 2006.
5.2.2. Sarana Produksi, Kapasitas Produksi dan Distribusi Air Bersih
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan sehat bagi masyarakat DKI Jakarta, PAM Jaya telah meningkatkan jumlah produksinya. Total kapasitas air bersih terpasang hingga tahun 2006 adalah 18.260 liter per detik. Kapasitas ini diperoleh dari beberapa instalasi yang dimiliki PAM Jaya diantaranya dari empat buah instalasi produksi besar (IPA Pejompongan I dan II, IPA Buaran serta IPA Pulo Gadung) dengan total produksi 14.600 liter per detik, dan dari beberapa instalasi sedang/kecil dengan total produksi 3.400 liter per detik. Jumlah ini masih ditambah dengan pembelian air bersih dari Ciburial, Bogor sebesar 185 liter per detik, dan dari perumahan Cengkareng sebanyak 75 liter per detik. Selengkapnya data ini dapat dilihat pada Table 3.
51
Tabel 3. Instalasi Produksi Air PDAM DKI Jakarta
No.
Instalasi Produksi
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pejompongan I Pejompongan II Buaran Pulo Gadung Taman Kota Cilandak Cisadane Ciburial Cengkareng
Kapasitas Produksi (liter/detik) 2.000 3.600 5.000 4.000 200 400 2.800 185 75
Sumber Air Baku
Air Kanal (S. Ciliwung dan Jatiluhur) Kali Krukut Kanal Tarum Barat (Jatiluhur) Kali Pesanggrahan Saluran Bekasi Tengah Kali Ciliwung
Sumber: PAM Jaya, 2006
Distribusi air dari instalasi produksi ke wilayah-wilayah pemakai dilakukan dengan pemompaan, kecuali air dari Gudang Air, Kampung Rambutan yang airnya berasal dari Ciburial, Bogor. Pendistribusian air asal Ciburial ini dilakukan dengan sistem gravitasi. Untuk menaikkan kembali tekanan air dibangun instalasi pompa tekan (booster pump). Sampai saat ini beberapa booster pump digunakan untuk menaikkan tekanan di jaringan perpipaan. Berdasarkan diameter pipa, jaringan pipa distribusi PAM Jaya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu pipa primer, pipa sekunder dan pipa tersier. Berdasarkan bahan pipa, jaringan pipa PAM Jaya menggunakan pipa DCIP, steel pipe, GIP, PVC, fiber glass, HDPE dan CIP. Distribusi pelayanan air bersih PAM Jaya lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran 11. 5.2.3. Struktur Penerimaan dan Pengelolaan PAM Jaya
Karena PAM Jaya merupakan perusahaan yang hanya berproduksi satu jenis barang yaitu air bersih maka penerimaan PAM Jaya berasal dari pembayaran rekening air oleh para pelanggan. Tabel 4 berikut menyajikan struktur penerimaan
52
PAM Jaya dan pengelolaan air bersih dilihat dari jumlah produksi air bersih dan jumlah air yang terbayarkan oleh pelanggan. Tabel 4. Struktur Penerimaan dan Pengelolaan Air PAM Jaya Tahun 19922004 Produksi Air PDAM Air yang Efisiensi Penerimaan Air PDAM Terjual Hilang Produksi Laba/Rugi Tahun PAM Jaya (Juta m3) (juta m3) (juta m3) Air (milyar Rp) 1992 312,12 143,74 168,38 0,46 9,69 1993 339,18 159,94 179,24 0,47 6,95 1994 344,23 168,31 175,92 0,49 14,72 1995 347,14 166,38 180,77 0,48 27,63 1996 409,43 176,44 232,98 0,43 2,15 1997 466,40 201,57 264,83 0,43 11,14 1998 497,60 181,13 316,47 0,36 -101,97 1999 475,70 207,63 268,07 0,44 -338,47 2000 381,71 228,35 222,72 0,51 -449,30 2001 399,75 237,19 235,61 0,50 -419,99 2002 407,05 255,16 228,72 0,53 -331,89 2003 416,40 274,10 142,30 0,66 -228,81 2004 432,50 270,91 161,59 0,63 -13,46 Sumber: PAM Jaya, 2006
Pada masa sebelum adanya konsesi tahun 1992 hingga tahun 1997, PAM Jaya selalu mendapat penerimaan yang positif setiap tahunnya, artinya PAM Jaya memperoleh laba usaha. Namun setelah adanya konsesi sejak tahun 1998, PAM Jaya selalu mengalami kerugian yang jumlahnya terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh adanya kewajiban membayar (mengganti) biaya pengelolaan air bersih dalam bentuk imbalan (water charge) kepada dua mitra asing sesuai dengan persentase bagian yang telah disepakati bersama. Tingginya biaya pengelolaan dan sedikitnya air bersih yang terjual menimbulkan kerugian bagi PAM Jaya karena PAM Jaya tetap harus mengganti keseluruhan biaya-biaya pengelolaan yang dikeluarkan oleh Palyja dan TPJ dalam proses produksi dan distribusi air kepada pelanggan, termasuk untuk membayar
53
gaji pegawai pada mitra swasta asing tersebut. Selain itu, dalam penetapan tarif air terdapat sejumlah subsidi yang diberikan oleh PAM Jaya dan Pemda DKI Jakarta dalam rangka menekan tarif air agar lebih terjangkau oleh golongan pelanggan yang kurang mampu. Subsidi ini termasuk ke dalam biaya penggantian untuk proses produksi dan distribusi yang diberikan oleh PAM Jaya kepada Palyja dan TPJ. Dengan demikian, penerimaan PAM Jaya menjadi lebih kecil jika dibandingkan sebelum adanya konsesi, sehingga mengakibatkan kerugian bagi PAM Jaya. Hal ini kemudian ditanggulangi dengan adanya kebijakan PTO (Penyesuaian Tarif Otomatis) yang memperbolehkan pihak mitra asing untuk menaikkan tarif setiap enam bulan sekali dimulai sejak tahun 2003 hingga tahun 2007. Kenaikkan tarif air bersih ini diharpkan juga diimbangi dengan peningkatan pelayanan air bersih yang dilakukan oleh pihak mitra asing. Kerugian yang dialami oleh PAM Jaya ini juga sangat dipengaruhi oleh jumlah kebocoran air yang didistribusikan. Seperti terlihat pada Tabel 4, tingkat kebocoran air semakin meningkat setiap tahunnya dan cenderung lebih besar daripada jumlah air yang terjual kepada pelanggan. Tingkat kebocoran ini juga dapat dilihat dari efisiensi produksi yang tidak pernah mencapai 50 persen hingga tahun 1999. Hal ini sangat mempengaruhi jumlah penerimaan PAM Jaya dari rekening air yang sudah pasti berkurang atau lebih kecil daripada biaya-biaya pengelolaan air bersih, sehingga penerimaan tersebut tidak dapat menutupi pengeluaran biaya pengelolaan air. Sedangkan di sisi lain, PAM Jaya masih tetap harus membayar penggantian biaya operasional pengelolaan air kepada mitra swasta asing.
54
5.2.4. Karakteristik Pelanggan PDAM DKI Jakarta
Pelanggan PAM Jaya diklasifikasikan berdasarkan jenis tarif air, yaitu Kelompok I, Kelompok II, Kelompok IIIA, Kelompok IIIB, Kelompok IVA, Kelompok IVB dan Kelompok V/Khusus. Klasifikasi pelanggan PAM Jaya tersebut dijelaskan lebih rinci pada Tabel 5. Tabel 5. Susunan Tarif Air Minum PDAM DKI Jakarta
No. 1 2 3 4 5 6 7
Kelompok Pelanggan Kelompok I Kelompok II Kelompok IIIA Kelompok IIIB Kelompok IVA Kelompok IVB Kelompok V/ Khusus
Blok Pemakaian dan Tarif Air Minum per M3 0 - 10 11 - 20 > 20 Rp Rp Rp 950 950 950 950 950 1.425 3.260 4.280 4.990 4.465 5.475 6.775 6.200 7.400 8.850 11.325 11.325 11.325 13.200 13.200 13.200
Sumber: PAM Jaya, 2006
Tabel 5 menunjukkan bahwa PDAM DKI Jakarta memberlakukan tarif yang berrbeda-beda untuk tiap kelompok pengguna air bersih dan berdasarkan tingkat pemakaian air bersih. Pengelompokkan pelanggan ini didasarkan pada tingkat pendapatan dan tingkatan masyarakat yang ada di wilayah DKI Jakarta. Perincian lebih lengkapnya mengenai kelompok-kelompok pelanggan PDAM DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 6, dimana akan diuraikankan golongan pelanggan PDAM menurut kelompok pemakaian air bersih.
55
Tabel 6. Uraian Golongan Pelanggan PDAM DKI Jakarta Menurut Kelompok Kelompok I : Kelompok II : • Tempat ibadah • Rumah Sakit Pemerintah • Hidran dan Ledeng Umum • Rumah Tangga Sangat Sederhana • Asrama Badan Sosial • Dan Sejenisnya • Rumah Yatim Piatu • Dan Sejenisnya Kelompok IIIA : Kelompok IIIB : • Rumah Tangga Sederhana • Rumah Tangga Menengah • Rumah Susun Sederhana • Rumah Susun Menengah • Stasiun Air dan Mobil Tangki • Kios/Warung • Dan Sejenisnya • Bengkel Kecil • Usaha Kecil Dalam Rumah Tangga • Lembaga Swasta non Komersial • Usaha Kecil • Dan Sejenisnya Kelompok IVA : Kelompok IVB : • Rumah Tangga di atas Menengah • Hotel Berbintang 1, 2, 3, Mewah/ Cottage • Kedutaan/Konsulat • Steambath/ Salon Kecantikan • Kantor Instansi Pemerintah • Night Club/ Kafe • Kantor Perwakilan Asing • Service Station/ Bengkel Besar • Lembaga Swasta Komersial • Perusahaan • Institusi Pendidikan/ Kursus Perdagangan/Niaga/Ruko/Rukan • Instansi TNI • Hotel Berbintang 4 dan 5 • Usaha Menengah Bertingkat Tinggi, • Usaha Menengah Dalam Rumah • Gedung Apartemen/ Kondominium Tangga • Pabrik Es • Tempat Pangkas Rambut • Pabrik Makanan/ Minuman • Penjahit • Pabrik Kimia/ Obat/ Kosmetik • Rumah Makan/ Restoran • Rumah Sakit Swasta/ Poliklinik/ • Pabrik/ Gudang Perindustrian • Pabrik Tekstil Laboratorium • Pergudangan/ Industri Lainnya • Praktik Dokter • Tongkang Air • Kantor Pengacara • PT Jaya Ancol • Hotel Melati/ non Bintang • Dan Sejenisnya • Industri Kecil • Rumah Susun di Atas Menengah • Bengkel Menengah • Dan Sejenisnya Kelompok V/ Khusus : • BPP Tanjung Priok • Dan Sejenisnya Sumber: PAM Jaya, 2006
56
Tarif air minum yang diberlakukan di wilayah DKI Jakarta ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Tarif yang diberlakukan saat ini berdasarkan SK Gubernur DKI Nomor 17/2006 tanggal 13 Februari 2006. Tabel 7. Susunan Penyesuaian Tarif Air Minum PDAM DKI Jakarta Tahun 2006 Kelompok SK Gub 17/2006 (per M3) Penyesuaian Kenaikan Tarif Pelanggan 0 - 10 11 - 20 > 20 0 - 10 11 - 20 >20 Rp Rp Rp % % % Kelompok I 950 950 950 0.95 0.95 0.95 Kelompok II 950 950 1.425 0.95 0.95 0.95 Kelompok IIIA 3.260 4.280 4.990 0.92 0.91 0.91 Kelompok IIIB 4.465 5.475 6.775 0.92 0.91 0.92 Kelompok IVA 6.200 7.400 8.850 0.92 0.92 0.92 Kelompok IVB 11.325 11.325 11.325 0.92 0.92 0.92 Kelompok V/ 13.200 13.200 13.200 0.92 0.92 0.92 Khusus Sumber: PAM Jaya, 2006
Tarif yang diberlakukan oleh PDAM DKI Jakarta terus mengalami peningkatan terutama sejak diadakannya konsesi dengan dua mitra asing. Perkembangan kenaikan tarif air bersih PDAM DKI Jakarta selengkapnya dari tahun 1998 hingga tahun 2006 dapat dilihat pada Lampiran 10. 5.2.5. Proses Pengolahan Air
Dalam menghasilkan air bersih dan sehat, PAM Jaya melakukan proses produksi yang panjang. Mula-mula air baku yang berupa air permukaan dan/atau air sungai disaring dengan menggunakan saringan kasar, kemudian disaring lagi dengan saringan yang lebih halus sampai air tersebut terbebas dari sampah. Selanjutnya, air diendapkan di bak pra sedimentasi. Di bak ini, dilarutkan alumunium sulfat yang berfungsi sebagai coagulant aid yang dapat mengikat kotoran/lumpur-lumpur halus (koloid) yang sulit mengendap.
57
Proses selanjutnya adalah proses pencampuran dan pengadukan dengan bahan kimia. Setelah itu air dialirkan ke bak sedimentasi. Air yang telah bersih kemudian disaring di bak pasir cepat, selanjutnya air dialirkan ke reservoir dengan terlebih dahulu didisinfeksi untuk membunuh kuman atau bakteri. Sebagai proses yang terakhir adalah air bersih tersebut didistribusikan melalui pipa jaringan distribusi kepada konsumen atau pelanggan.
g
a
b
c
h
d
e
f
i
Gambar 8. Proses Pengolahan Air Bersih PDAM DKI Jakarta
Keterangan: a. air baku b.saringan kasar c. saringan halus d.bak pra sedimentasi e. bak sedimentasi
5.3.
f. bak pasir cepat g. pemberian desinfektan h. reservoir i. pelanggan
Konsesi Pengelolaan PDAM DKI Jakarta
Sejak tahun 1998 pengelolaan air bersih PDAM DKI Jakarta berada dalam kerangka kerjasama konsesi, dimana sebagai pihak pengelola adalah mitra swasta asing yaitu Palyja dan TPJ sedangkan PAM Jaya sendiri berperan sebagai badan pengawas dan pengendali jalannya pengelolaan air bersih untuk wilayah DKI Jakarta. Kerjasama konsesi yang dilakukan oleh PAM Jaya bersama kedua mitra
58
swasta asing adalah dalam bentuk konsesi modifikasi, yaitu bentuk kerjasama konsesi yang berjangka waktu 25 tahun dimulai sejak tahun 1998, dimana PAM Jaya berperan sebagai badan pengawas dan pengendali jalannya pengelolaan air bersih oleh pihak mitra swasta asing, sistem pengelolaan air bersih berada di tangan pihak mitra swasta asing dengan
mempergunakan sumberdaya-
sumberdaya dan seluruh aset yang ada untuk mengelola, menyediakan dan mendistribusikan air bersih kepada masyarakat. Hak kepemilikan dari aset-aset tersebut masih ditangan PAM Jaya. Kerjasama konsesi yang dimulai sejak 1 Februari 1998 hingga tahun 2006 ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi kinerja PAM Jaya dalam pengelolaan air bersih. Hal ini sesuai dengan kebijakan PAM Jaya yaitu melaksanakan pelayanan air minum untuk wilayah DKI Jakarta dengan bekerjasama dengan Mitra Swasta. Manajemen pada PAM Jaya setelah mengalami konsesi juga berbeda yaitu mengawasi, memonitor, memeriksa, mengevaluasi mitra swasta dalam pengelolaan air minum.
59
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1.
Analisis Struktur Produksi PDAM DKI Jakarta
Struktur produksi PDAM DKI Jakarta terdiri atas output dan input perusahaaan. Output PDAM sendiri merupakan jumlah produksi air bersih PDAM yang dihasilkan. Sedangkan inputnya merupakan kumpulan dari komponen biayabiaya untuk menghasilkan output. Komponen biaya PDAM DKI Jakarta dibangun atas komponen biaya ekspansi, biaya tetap dan biaya variabel yang kesemuanya terangkum dalam biaya total. Jumlah biaya pengelolaan air PDAM DKI Jakarta berubah setiap waktu, tergantung pada jumlah air bersih yang diproduksi. Apabila perusahaan ingin meningkatkan produksi, maka total biaya yang dikeluarkan pun akan lebih banyak. Namun apabila jumlah produksi diturunkan, belum tentu total biaya akan menurun, bisa jadi tetap atau bahkan terjadi peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 8. Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa sejak tahun 1992 hingga tahun 2004 jumlah air yang diproduksi PDAM DKI Jakarta cenderung mengalami fluktuasi. Misalnya, dari tahun 1992 hingga tahun 1997 produksi air bersih yang dihasilkan cenderung meningkat, lalu turun pada tahun 1998 dan kembali berfluktuasi hingga tahun 2001. Fluktuasi pada produksi air bersih ini dikarenakan adanya masa peralihan antara sebelum dengan setelah adanya konsesi yang dimulai sejak tahun 1998.
60
Tabel 8. Struktur Produksi PDAM DKI Jakarta Tahun 1992-2004 Produksi Biaya Total Jumlah Tk. Kebocoran Air PDAM Tahun (Juta m3) (milyar Rp) Pelanggan (juta m3)
1992
312,12
133,65
298.891
168,38
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
339,18 344,23 347,14 409,43 466,40 396,41 406,91 381,71 399,75 407,05 416,40 432,50 389,17
150,99 189,82 231,96 286,58 313,30 434,04 745,91 886,01 955,76 981,69 1084,68 1236,66 587,00
327.433 345.956 362.618 395.192 460.641 487.978 511.548 534.090 610.806 649.429 690.456 705.890 490.841
179,24 175,92 180,77 232,98 264,83 316,47 268,07 222,72 235,61 228,72 142,30 161,59 213,66
3,08%
21,50%
7,50%
1,32%
8,57%
18,75%
9,11%
9,98%
1,53%
20,95%
6,41%
-8,93%
Rata2 Laju Pertmbhn Pra konsesi Pasca konsesi
Sumber: PAM Jaya, 2006 (Diolah)
Rata-rata jumlah air bersih yang diproduksi PDAM DKI Jakarta dalam kurun waktu ini adalah sebesar 389,17 juta m3 per tahun dengan laju pertumbuhan sebesar 3,08 persen per tahun. Masa sebelum adanya konsesi yaitu rentang waktu tahun 1992 hingga tahun 1997 memiliki laju pertumbuhan sebesar 8,57 persen per tahun. Nilai ini jauh sekali berbeda dengan laju pertumbuhan produksi air bersih setelah adanya konsesi yang hanya mencapai 1,53 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat peningkatan produksi air bersih PDAM DKI Jakarta setelah adanya konsesi lebih kecil atau lebih lambat dari tingkat peningkatan produksi air bersih yang dihasilkan sebelum adanya konsesi.
61
Biaya total pengelolaan PDAM DKI Jakarta terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan laju pertumbuhan sebesar 21,50 persen per tahun. Pada masa sebelum adanya konsesi laju pertumbuhan biaya total yang terjadi adalah sebesar 18,75 persen per tahun yang berarti lebih kecil daripada laju pertumbuhan biaya total setelah adanya konsesi yaitu sebesar 20,95 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa setelah adanya konsesi pengeluaran total untuk pengelolaan air lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran total pada masa sebelum konsesi. Selain dari jumlah air yang diproduksi, perubahan dalam biaya total juga dipengaruhi oleh besarnya biaya ekspansi, biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan perusahaan. Tabel 9. Struktur Biaya PDAM DKI Jakarta Tahun 1992-2004 Biaya Biaya Biaya Tetap Biaya Total Variabel Ekspansi Tahun (milyar Rp) (milyar Rp) (milyar Rp) (milyar Rp) 1992 133,65 8,63 62,06 62,96 1993 150,99 7,99 69,73 73,27 1994 189,82 10,04 86,47 93,31 1995 231,96 9,46 10,45 118,03 1996 286,58 13,53 135,60 137,45 1997 313,30 15,85 143,80 153,65 1998 434,04 7,97 140,86 285,21 1999 745,91 6,15 177,94 561,82 2000 886,01 5,37 144,99 735,65 2001 955,76 9,67 133,69 812,40 2002 981,69 10,15 135,27 836,27 2003 1084,68 16,79 116,41 951,48 2004 1236,66 16,54 105,47 1114,65 Rata2 587,00 10,63 112,52 456,63 Laju Pertmbhn 21,50% 11,36% 93,99% 29,69% Pra konsesi 18,75% 14,53% 230,42% 19,69% Pasca konsesi 20,95% 18,91% -3,69% 28,70% Sumber: PAM Jaya, 2006 (Diolah)
62
Biaya ekspansi besarnya bervariasi, dipengaruhi oleh jumlah air yang ditawarkan dan penambahan sambungan pipa air baru akibat adanya penambahan jumlah pelanggan baru. Laju pertumbuhan biaya ekspansi sejak tahun 1992 hingga tahun 2004 adalah sebesar 11,36 persen per tahun, dengan rata-rata pengeluaran per tahun sebesar Rp 10,63 milyar. Laju pertumbuhan biaya ekspansi selama masa sebelum konsesi adalah sebesar 14,53 persen per tahun, lebih rendah dibandingkan laju pertumbuhan pada masa setelah adanya konsesi yaitu sebesar 18,91 persen per tahun. Kondisi ini membuktikan bahwa dengan adanya konsesi pertumbuhan biaya ekspansi semakin besar. Artinya, biaya ekspansi yang dikeluarkan setelah adanya konsesi semakin besar. Biaya tetap adalah biaya yang umumnya dikeluarkan secara tetap pada setiap tahun, namun kenyataan yang terjadi di PDAM DKI Jakarta tidak demikian adanya. Jumlah biaya tetap yang dikeluarkan perusahaan menunjukkan nilai yang berfluktuasi. Kondisi ini terjadi sebagai akibat adanya pengaruh faktor ekonomi di luar perusahaan seperti nilai tukar (Exchange Rate) rupiah dan tingkat inflasi yang cenderung tidak stabil pada saat terjadinya krisis ekonomi. Fluktuasi nilai tukar rupiah menyebabkan anggaran biaya tetap menjadi tidak tetap. Laju pertumbuhan biaya tetap PDAM DKI Jakarta secara keseluruhan adalah sebesar 93,99 persen per tahun dengan rata-rata pengeluaran per tahunnya adalah sebesar Rp 112,52 milyar. Laju pertumbuhan biaya tetap sebelum adanya konsesi cukup tinggi yaitu sebesar 230,42 persen per tahun dan setelah adanya konsesi mengalami penurunan sebesar 3,69 persen per tahun. Penurunan biaya tetap setelah adanya konsesi adalah sebagai akibat dari adanya perpindahan sebagian besar pegawai PDAM
63
DKI Jakarta bagian produksi ke Palyja dan TPJ, sehingga terjadi pengurangan beban biaya gaji pegawai. Biaya variabel relatif meningkat setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan pada biaya variabel terdapat pengeluaran untuk pembelian input untuk pengolahan air bersih yang tidak bisa diperoleh di dalam negeri, sehingga biaya variabel itu sendiri dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah dan tingkat inflasi. Seperti telah diketahui bahwa nilai tukar rupiah terus mengalami fluktuasi dan tingkat inflasi yang cenderung terus meningkat terutama pada saat terjadinya krisis ekonomi. Biaya variabel juga memasukkan sejumlah imbalan (water charge) yang harus dibayar PDAM DKI Jakarta terhadap dua mitra asing yang mengelola air bersih untuk wilayah DKI Jakarta. Besarnya water charge cenderung meningkat setiap tahunnya, walupun jumlah air yang diproduksi tidak meningkat. Pada masa sebelum adanya konsesi laju pertumbuhan biaya variabel hanya sebesar 19,69 persen per tahun yang terus meningkat setelah adanya konsesi mencapai 28,70 persen per tahun. Artinya, tingkat peningkatan biaya variabel setelah adanya konsesi jauh lebih besar daripada sebelum adanya konsesi yang juga berarti bahwa pengeluaran setelah adanya konsesi lebih besar dibandingkan sebelum adanya konsesi. Sedangkan laju pertumbuhan biaya variabel secara keseluruhan adalah sebesar 29,69 persen per tahun dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 456,63 milyar. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa selama kurun waktu 1992 hingga 2004, total biaya yang terus meningkat tanpa diiringi dengan peningkatan jumlah produksi air bersih yang dihasilkan. Setelah adanya konsesi
64
yaitu sejak tahun 1998 hingga tahun 2004 dapat dikatakan bahwa PAM Jaya tidak mengalami peningkatan efisiensi yang signifikan. Hal ini terlihat dari laju pertumbuhan produksi yang lebih kecil daripada laju pertumbuhan produksi sebelum adanya konsesi, laju peningkatan biaya total yang lebih besar daripada laju pertumbuhan biaya total sebelum adanya konsesi, tingkat penambahan jumlah pelanggan yang lebih rendah setelah adanya konsesi, yang artinya bahwa akses keterjangkauan masyarakat terhadap air bersih yang dikelola PAM Jaya menurun dibandingkan sebelum adanya konsesi. Dampak positif dari adanya konsesi bagi PAM Jaya hanya terlihat dari menurunnya tingkat kebocoran air bersih yang ada, dimana masih terjadi tingkat kehilangan air yang besar pada saat sebelum adanya konsesi dan terus menurun hingga mencapai nilai laju pertumbuhan yang negatif setelah adanya konsesi. Perkembangan produksi, biaya pengelolaan dan jumlah pelanggan PDAM DKI Jakarta lebih jelasnya dapat dilihat dari grafik dibawah ini. Str uk tur Pr oduk s i PDAM DKI Jak ar ta
450,00 400,00 350,00
Produksi Air PDAM
300,00 250,00
Tk. Kebocoran
200,00
Air PDAM Terjual
150,00 100,00 50,00
20 04
20 02
20 00
19 98
19 96
19 94
0,00
19 92
Jum lah (jutam 3)
500,00
Tahun
Gambar 9. Perkembangan Struktur Produksi PDAM DKI Jakarta Tahun 1992 hingga Tahun 2004
65
Struktur Biaya PDAM DKI Jakarta
Biaya (milyar Rp)
1400,00 1200,00 Biaya Total
1000,00 800,00
Biaya Ekspansi
600,00
Biaya Tetap
400,00
Biaya Variabel
200,00
03
02
04 20
20
00
01
20
20
99
20
98
19
96
95
94
97
19
19
19
19
93
19
19
19
92
0,00
Tahun
Gambar 10. Perkembangan Struktur Biaya PDAM DKI Jakarta Tahun 1992-2004 Perkembangan Jumlah Pelanggan PDAM DKI Jakarta
Jumlah
800.000 600.000
Jumlah Pelanggan
400.000 200.000
20 02 20 04
19 94 19 96 19 98 20 00
19 92
-
Tahun
Gambar 11. Perkembangan Jumlah Pelanggan PDAM DKI Jakarta Tahun 1992-2006 6.2.
Analisis Fungsi Biaya PDAM DKI Jakarta
Model persamaan biaya total (total cost, TC) pengelolaan air PDAM DKI Jakarta dibangun oleh beberapa variabel, yaitu biaya ekspansi, biaya variabel, jumlah air yang diproduksi, tingkat kebocoran dan variabel Dummy adanya konsesi. Dalam mengestimasi model yang dipakai, penelitian ini menggunakan
66
Metode Kuadrat Terkecil Biasa (ordinary least square, OLS). Perangkat komputer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Eview’s 4.1. Hasil estimasi model ditunjukkan melalui tabel berikut: Tabel 10. Hasil Estimasi Variabel Independent Biaya Total Pengelolaan Air PDAM DKI Jakarta 1992-2003 Variabel Koefisien Standard Error t-hitung Probabilitas -1.312497 0.2307 C -1.466545 1.117371 Ln ECt -0.002249 0.041789 -0.053811 0.9589 0.030278 26.33395 0.0000 Ln VCt 0.797347 1.578538 0.1585 Ln Qt 0.312106 0.197719 0.2778 0.079816 0.067836 1.176600 Ln LVt -3.059951 0.0183 -0.158523 0.051806 Dm R-squared 0.999579 F-statistic 3323.672 Adjusted R-squared 0.999278 Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 2.207837 Sumber: Lampiran 3
Keterangan : ECt
= biaya ekspansi (juta Rp)
VCt
= biaya variabel (juta Rp)
Qt
= jumlah air bersih yang diproduksi PDAM (ribu m3)
LVt
= tingkat kebocoran (loss water) (ribu m3)
Dm
= ”Dummy” konsesi
t
D = 1, setelah adanya konsesi (1998-2003)
D = 0, sebelum adanya konsesi (1992-1997)
= tahun ke-t
Dari hasil estimasi di atas dapat disusun persamaan regresi biaya total PDAM DKI Jakarta sebagai berikut: Ln TC = -1.466545 – 0.002249 ln ECt + 0.797347 ln VCt + 0.312106 ln Qt + 0.079816 ln LVt – 0.158523 Dm
(6.1)
67
Dimana: TC
= biaya total pengelolaan air PDAM (Rp)
ECt
= biaya ekspansi (juta Rp)
VCt
= biaya variabel (juta Rp)
Qt
= jumlah air bersih yang diproduksi PDAM (ribu m3)
LVt
= tingkat kebocoran (loss water) (ribu m3)
Dm
= ”Dummy” konsesi
t
D = 1, setelah adanya konsesi
D = 0, sebelum adanya konsesi
= tahun ke-t
Setelah mendapatkan parameter-parameter estimasi, langkah selanjutnya adalah melakukan berbagai macam pengujian terhadap parameter estimasi tersebut. Estimasi parameter regresi dengan menggunakan ordinary least square (OLS) haruslah memenuhi enam asumsi dasar yang telah disebutkan pada bab empat. Untuk melihat apakah keenam asumsi tersebut terpenuhi, perlu diadakan pengujian setelah perhitungan dan uji hipotesis dilakukan. Pengujian ini dimaksudkan untuk mendeteksi ada tidaknya pelanggaran terhadap asumsi dasar. Bila terjadi pelanggaran maka akan diperoleh hasil estimasi yang tidak valid. Pengujian asumsi dasar tersebut meliputi uji multikolinearitas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas.
68
Tabel 11. Hasil Uji Multikolinearitas Regresi Variabel Independen x1 = x2 x1 = x3 x1 = x4 x2 = x3 x2 = x4 x3 = x4
r2 0.008 0.231 0.159 0.401 0.007 0.158
Sumber: Lampiran 6, Lampiran 7 dan Lampiran 8
Pengujian multikolinearitas dilakukan melalui uji Klein. Menurut Klein, terdapat mutikolinearitas apabila: r2xi,xj
≥
R2y.x1,x2,…,xk
(6.2)
Berdasarkan hasil regresi variable-variabel independent (x1, x2, x3, x4) terhadap variabel dependent (y) menghasilkan R-squared sebesar 99.96 persen (Tabel 10). Dari hasil regresi antar masing-masing variabel independent ditemukan bahwa tidak ada nilai r2 yang lebih besar daripada R2 (Tabel 11). Oleh karena itu, pada model persamaan regresi tidak terdapat multikolinearitas. Pengujian autokorelasi pada Eview’s 4.1 dapat diketahui melalui serial correlation LM test, dimana nilai probability obs*R-squared harus lebih besar dari derajat kepercayaan (α) terbesar yang digunakan. Nilai probability obs*Rsquared pada model persamaan adalah 0.297 yang artinya bernilai lebih besar dari α sama dengan lima persen (α = 5%). Oleh karena itu, model persamaan yang
digunakan dalam penelitian ini tidak memiliki masalah autokorelasi. Pengujian heteroskedastisitas bertujuan untuk melihat apakah variabel pengganggu memiliki varians yang sama (homoskedastisitas). Hal ini dapat diketahui melalui white heteroskedasticity, dimana nilai probability obs*Rsquared yang diharapkan adalah lebih besar dari derajat kepercayaan (α). Nilai
69
probability obs*R-squared pada model persamaan adalah 0.215 yang artinya bernilai lebih besar dari α sama dengan lima persen (α = 5 %). Oleh karena itu, model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini tidak memiliki masalah heteroskedastisitas. Pengujian normalitas digunakan untuk melihat apakah data yang digunakan sudah tersebar normal. Pengujian ini dapat dilihat dari histogramnormality test, apabila nilai probability yang dihasilkan lebih besar dari α, maka dapat dikatakan bahwa data tersebar normal. Nilai probability yang dihasilkan dari uji normalitas adalah 0.911 yang artinya bernilai lebih besar dari (α = 5 %). Model persamaan dalam penelitian ini memiliki data yang tersebar normal. Uji koefisien determinasi dengan nilai R-squared sebesar 99.96 persen menunjukkan bahwa keragaman dari variabel dependent sebesar 99.96 persen dapat dijelaskan oleh hubungan linearnya dengan variabel-variabel independent di dalam model sedangkan sisanya (0.04 persen) dapat dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Uji-F menunjukkan bahwa seluruh variabel independent secara bersamasama mampu menjelaskan atau mempengaruhi variabel dependent pada tingkat signifikan lima persen. Hal ini dapat dilihat dari angka probabilitas F sebesar 0.000000 yang nilainya lebih kecil dari α = 5 persen. Uji-t menunjukkan bahwa terdapat dua variabel yang berpengaruh secara signifikan pada derajat kepercayaan lima persen (α = 5%) dan tiga variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan pada derajat kepercayaan tersebut. variabel yang berpengaruh secara signifikan adalah Biaya Variabel dan Dummy adanya
70
konsesi. Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap biaya total adalah Biaya Ekspansi, Jumlah air yang diproduksi, dan Tingkat kebocoran. A.
Biaya Ekspansi
Biaya ekspansi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh PAM Jaya untuk penambahan pipa sambungan baru dikarenakan adanya penambahan jumlah air yang ditawarkan atau adanya pelanggan baru. Koefisen parameter pada variabel perubahan biaya ekspansi sebesar -0.002249, artinya kenaikan satu persen biaya ekspansi menyebabkan penurunan biaya total sebesar 0.002249 persen. Hal ini tentu diluar kewajaran, dimana seharusnya kenaikan salah satu faktor biaya akan juga menaikkan biaya total produksi secara keseluruhan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini biaya ekspansi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap biaya total. Sehingga perubahan dalam biaya ekspansi tidak mempengaruhi perubahan dalam biaya total PDAM DKI Jakarta. B.
Biaya Variabel
Biaya variabel adalah biaya-biaya yang berubah-ubah atau bervariasi sesuai dengan jumlah (volume) air yang disalurkan kepada pelanggan. Koefisien parameter untuk variabel biaya variabel adalah 0.797347, artinya kenaikan satu persen biaya variabel menyebabkan peningkatan biaya total sebesar 0.797347 persen. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi, dimana peningkatan salah satu variabel biaya akan meningkatkan biaya total secara keseluruhan, sehingga perubahan biaya variabel berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan biaya total.
71
C.
Jumlah Air yang Diproduksi
Jumlah air yang diproduksi merupakan keseluruhan jumlah air bersih yang dihasilkan dalam proses produksi PDAM DKI Jakarta, baik jumlah air yang tersalurkan kepada pelanggan maupun jumlah air yang hilang. Koefisien parameter untuk variabel jumlah air yang diproduksi adalah 0.312106, artinya kenaikan satu persen jumlah air yang diproduksi akan menyebabkan peningkatan 0.312106 biaya total. Pada penelitian ini, jumlah air yang diproduksi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap biaya total, sehingga besarnya perubahan pada jumlah air yang diproduksi tidak mempengaruhi perubahan pada biaya total. D.
Tingkat Kebocoran
Tingkat kebocoran mengindikasikan besarnya jumlah air bersih yang hilang dari hasil produksi. Diasumsikan apabila semakin besar tingkat kebocoran maka akan memperbesar jumlah biaya total yang dikeluarkan untuk memperbaiki kebocoran air. Koefisien parameter untuk variabel tingkat kebocoran adalah 0.079816, artinya kenaikan satu persen tingkat kebocoran akan meningkatkan biaya total sebesar 0.079816 persen. Hasil tanda yang didapat sesuai dengan asumsi tetapi dalam penelitian ini tingkat kebocoran tidak berpengaruh secara signifikan terhadap biaya total, sehingga perubahan dalam tingkat kebocoran tidak mempengaruhi perubahan pada biaya total. E.
Dummy Konsesi
Angka koefisien parameter pada variabel dummy konsesi menunjukkan nilai -0.158523, artinya setelah adanya konsesi maka nilai Logaritma Natural total biaya menjadi 0.158523 lebih kecil dibandingkan sebelum adanya konsesi.
72
Namun untuk nilai hubungan antara dummy konsesi dengan nilai riil biaya total adalah positif. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan adanya konsesi biaya total semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan yang kenyataan, dimana dengan adanya konsesi perusahaan terus mengalami peningkatan biaya total setiap tahunnya. 6.2.1. Kebijakan Tarif Air Bersih PDAM DKI Jakarta
Tarif air minum yang diberlakukan di wilayah DKI Jakarta ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota DKI Jakarta. Tarif yang diberlakukan saat ini berdasarkan SK Gubernur DKI Nomor 17/2006 tanggal 13 Februari 2006. Dari tabel 6 dan 7 dapat dilihat bahwa besarnya tarif air bersih PDAM DKI Jakarta (Rp/m3) berbeda berdasarkan golongan pelanggan dan banyaknya pemakaian air. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan air bersih didasarkan pada kombinasi antara konsep diskriminasi harga (price discrimination) yaitu diskriminasi harga pada tingkat tiga dan konsep struktur tarif increasing block tariff. Diskriminasi harga dapat dilihat dari penggolongan pelanggan per kelompok pemakai air bersih yaitu Kelompok I, II, IIIA, IIIB, IVA, IVB, dan V/Khusus, tujuan dari diskriminasi harga ini adalah agar mendorong terjadinya subsidi silang (cross subsidies) dari golongan masyarakat berpendapatan tinggi ke masyarkat berpendapatan rendah. Sedangkan konsep increasing block tariff dapat dilihat dari pengenaan tarif yang berbeda tiap tingkatan blok pemakaian air. Konsep increasing block tariff bertujuan agar konsumsi pelanggan atas air bersih dapat ditekan karena dengan semakin tinggi konsumsi air PDAM maka secara
73
progresif semakin besar tarif air bersih per m3 yang dibayarkan sehingga konsumen diharapkan akan mengurangi konsumsinya terhadap air bersih. 6.2.2. Analisis Penetapan Harga Air PDAM Berdasarkan Marginal Cost Pricing
Berdasarkan teori-teori ekonomi baku, penetapan harga air PDAM berdasarkan nilai marginal cost (MC) akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan pengelola air apabila nilai MC lebih besar dibandingkan nilai average cost (AC) dan akan menimbulkan masalah defisit apabila nilai MC lebih kecil daripada AC. Tabel 12. Perbandingan Marginal Cost dan Average Cost Tahun 1992-2004 Jumlah Air yang Biaya Total Marginal Cost Average Cost Diproduksi (TC) (MC) (AC) (Q) Tahun (Milyar (Rp/m3) (Rp/m3) (Juta m3) Rp) 1992 312,12 133,65 258,33 1148,49 1993 339,18 150,99 383,86 1230,31 1994 344,23 189,82 459,82 1473,79 1995 347,14 231,96 552,61 1771,18 1996 409,43 286,58 567,98 1820,45 1997 466,40 313,30 573,17 1837,10 1998 497,60 434,04 911,64 2921,93 1999 475,70 745,91 1593,66 5107,87 2000 381,71 886,01 2265,45 7261,04 2001 399,75 955,76 2383,14 7638,27 2002 407,05 981,69 2402,66 7700,84 2003 416,40 1084,68 2521,48 8081,68 2004 432,50 1236,66 2815,37 9023,62 Sumber: PAM Jaya, 2006 (Diolah) MC = ∂TC/∂Q dan AC TC/Q
Dari Tabel 12 didapat hasil biaya rata-rata (Average Cost, AC) yang terus meningkat sangat tinggi. Hal ini disebabkan biaya total yang terus meningkat walaupun jumlah air yang diproduksi tidak mengalami peningkatan. Sedangkan
74
marginal cost sendiri juga meningkat tetapi masih dibawah nilai Average Cost. Sejak tahun 1992 hingga tahun 1997 nilai biaya marjinal terus meningkat tetapi masih berbeda tipis dengan nilai biaya rata-rata. Artinya, perusahaan defisit perusahaan tidak terlalu besar. Sedangkan pada tahun 1998 hingga tahun 2004 nilai biaya marjinal jauh di bawah nilai biaya rata-rata, sehingga perusahaan mengalami defisit yang cukup besar. Nilai biaya marjinal dan biaya rata-rata sangat dipengaruhi oleh peningkatan biaya total. Perkembangan nilai marginal cost dan average cost dapat dilihat lebih jelas pada grafik di bawah ini.
10000 8000 6000 4000 2000 0
MC
20 04
20 01
19 98
AC
19 95
19 92
Rp/m3
Perbandingan MC dengan AC
Tahun
Gambar 12. Perbandingan Nilai Marginal Cost dan Average Cost
Sukirno (2005), menyebutkan apabila pertambahan produksi menyebabkan biaya produksi rata-rata menjadi semakin tinggi maka perusahaan mencapai skala tidak ekonomi (diseconomies of scale). Tabel 12 menunjukkan nilai biaya ratarata yang terus meningkat, pertambahan produksi menyebabkan biaya produksi rata-rata terus mengalami peningkatan sehingga dapat dikatakan bahwa kegiatan produksi yang dilakukan PDAM DKI Jakarta mencapai skala tidak ekonomi (diseconomies of scale). Hal ini dapat disebabkan karena kegiatan produksi yang menurun efisiensinya.
75
Kelemahan dalam perhitungan MC ini adalah tidak adanya pemisahan antara kelompok pelanggan data yang digunakan adalah secara keseluruhan jumlah pelanggan dan total biaya pengelolaan air bersih PAM Jaya sehingga tidak dapat memprediksi seberapa besar tambahan biaya yang harus ditanggung oleh tiap-tiap kelompok pemakai air bersih. Karena apabila dikenakan tambahan biaya yang sama untuk semua kelompok maka akan terjadi ketidakadilan dimana kemampuan ekonomi dari masing-masing kelompok juga memiliki perbedaan. Agar mendapatkan nilai MC yang menggambarkan kemampuan tiap-tiap kelompok maka diperlukan pemisahan data mengenai total pemakaian antar tiap kelompok dan jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk setiap kelompok. Karena keterbatasan data ini juga maka tidak dapat dianalisis besar nilai penerimaan tambahan (MR) yang diperoleh PAM Jaya akibat dari adanya pemisahan-pemisahan kelompok pemakai air bersih tersebut. jika dihitung menggunakan nilai MC yang telah didapat di atas hasilnya tidak akan valid karena tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya di lapangan, oleh karena perhitungan nilai MR tidak dapat dilakukan lebih lanjut. 6.3.
Analisis Manfaat-Biaya PDAM DKI Jakarta Setelah Adanya Konsesi
6.3.1. Analisis Penerimaan PDAM DKI Jakarta
Sejak tahun 1992 hingga tahun 1997, yaitu periode sebelum adanya konsesi penerimaan PDAM DKI Jakarta memiliki nilai bertanda positif, artinya PDAM DKI Jakarta menerima laba dari usaha produksi air bersih yang dikelola sendiri. Namun setelah adanya konsesi penerimaan PDAM terus menurun dengan tanda negatif semakin besar, artinya PDAM terus mengalami kerugian yang
76
jumlahnya meningkat setiap tahun. Hal ini disebabkan tingginya angka kenaikkan biaya total yang tidak seimbang dengan peningkatan produksi air bersih sehingga pendapatan PDAM juga menjadi turun. Peningkatan biaya total yang terjadi sebagian besar karena adanya peningkatan biaya imbalan (water charge) yang harus dibayarkan oleh pihak PAM Jaya kepada Palyja dan TPJ setiap tahunnya. Laju pertumbuhan penerimaan PDAM DKI Jakarta secara keseluruhan dari periode sebelum dan setelah adanya konsesi yaitu sejak tahun 1992 hingga tahun 2004 memiliki tanda yang negatif yaitu -33,85 persen per tahun dengan rata-rata penurunan keseluruhan Rp139,35 milyar. Sebelum adanya konsesi laju pertumbuhan penerimaan PDAM sangat besar yaitu mencapai 99,43 persen per tahun yang artinya peningkatan penerimaan PDAM hampir dua kali lipat penerimaan dari tahun sebelumnya. Namun laju pertumbuhan ini menjadi turun hingga 18,67 persen per tahun setelah adanya konsesi dan PDAM masih mengalami kerugian. Selain memberi dampak kerugian bagi PDAM dengan menurunnya penerimaan sedangkan biaya total terus meningkat, konsesi juga mempengaruhi kinerja dari PDAM karena menurunnya penerimaan dan utang yang semakin menumpuk akibat adanya kerugian, yang akhirnya menurunkan efisiensi dari perusahaan. Besarnya nilai kerugian yang dinyatakan sebagai utang PAM Jaya kepada pihak mitra swasta ini terus meningkat dan dapat diperkirakan nilainya akan melampaui dari nilai aset PAM Jaya pada awal kerjasama, sehingga dapat diindikasi bahwa pada saat jatuh tempo kerjasama, PAM Jaya tidak dapat membayar keseluruhan utang kepada pihak asing. Kemungkinan yang terjadi
77
untuk mengatasinya adalah PAM Jaya akan meminta subsidi dari pemerintah untuk menyelesaikan utang-utangnya atau dengan pengalihan hak milik dan pengelolaan PAM Jaya kepada pihak mitra swasta asing, sehingga pengelolaan air bersih untuk wilayah DKI Jakarta akan menjadi hak secara penuh pihak asing. Hal ini membenarkan isu-isu dan kekhawatiran pengamat politik dan ekonom bahwa privatisasi sumber daya air akan sepenuhnya terlaksana di Indonesia. Tabel 13. Perbandingan Jumlah Air yang Diproduksi dengan Jumlah Air Terjual Produksi Air PDAM Penerimaan Tahun Biaya Total Air PDAM Terjual Laba/Rugi PAM Jaya (Juta m3) (juta m3) (milyar Rp) (milyar Rp) 1992 312,12 143,74 133,65 9,69 1993 339,18 159,94 150,99 6,95 1994 344,23 168,31 189,82 14,72 1995 347,14 166,38 231,96 27,63 1996 409,43 176,44 286,58 2,15 1997 466,40 201,57 313,30 11,14 1998 396,41 181,13 434,04 -101,97 1999 406,91 207,63 745,91 -338,47 2000 381,71 228,35 886,01 -449,30 2001 399,75 237,19 955,76 -419,99 2002 407,05 255,16 981,69 -331,89 2003 416,40 274,10 1084,68 -228,81 2004 432,50 270,91 1236,66 -13,46 Rata2
389,17
205,45
Laju 3,08% 5,65% Pertmbhn Pra 8,57% 7,13% konsesi Pasca 1,53% 7,05% konsesi Sumber: PAM Jaya, 2006 (Diolah)
587,00
-139,35
21,50%
-33,85%
18,75%
99,43%
20,95%
18,67%
6.3.2. Analisis Manfaat- Biaya (Rasio B/C)
Pendapatan PDAM DKI Jakarta terdiri atas pendapatan usaha dan pendapatan total, termasuk pendapatan lain-lain. Pendapatan usaha diperoleh dari
78
penerimaan air PDAM yang terjual dikurangi dengan beban usaha. Sedangkan pendapatan total merupakan penjumlahan dari pendapatan hasil usaha dikurangi dengan total pengeluaran PDAM. Total Pengeluaran PDAM merupakan penjumlahan dari biaya usaha, biaya umum dan biaya lain-lain. Tabel 14. Struktur Penerimaan PDAM DKI Jakarta Dari Usaha Produksi Air Bersih Produksi Biaya Pendapatan L/R Usaha Air PDAM Biaya Usaha Umum Usaha Tahun Terjual (Juta m3) (milyar Rp) (milyar Rp) (milyar Rp) (milyar Rp) 1998 181,13 398,17 47,52 343,72 -54,45 1999 207,63 674,73 65,00 401,26 -273,47 2000 228,35 766,10 117,00 433,80 -332,30 2001 237,19 842,16 147,42 569,58 -272,57 2002 255,16 880,96 109,00 658,07 -222,89 2003 274,10 977,61 107,07 855,88 -121,73 2004 270,91 1065,10 136,95 1188,58 -13,47 Sumber: PAM Jaya, 2006 (Diolah)
Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat pendapatan rata-rata usaha PDAM DKI Jakarta setelah adanya konsesi tahun 1998 hingga tahun 2004 adalah Rp 635,84 milyar per tahun dan rata-rata pendapatan total sebesar Rp 663,91 milyar per tahun. Total biaya usaha yang dikeluarkan rata-rata sebesar Rp 800,69 milyar per tahun dan biaya total Rp 926,55 milyar per tahun. Imbangan penerimaan atas biaya atau rasio B/C adalah jumlah penerimaan untuk satu rupiah yang dikeluarkan. Dengan analisis ini dapat diketahui apakah konsesi yang dilakukan PDAM DKI Jakarta efisien atau memberikan manfaat atau tidak. Apabila nilai rasio B/C lebih besar atau sama dengan satu, maka konsesi yang dilakukan tersebut efisien. Demikian sebaliknya, apabila nilai rasio B/C kurang dari satu, maka konsesi tidak efisien.
79
Tabel 15. Perbandingan Penerimaan Usaha dan Penerimaan Total PDAM DKI Jakarta Setelah Adanya Konsesi Pendapatan Biaya Pendapatan Biaya Total L/R PDAM Usaha Usaha Total Tahun (milyar Rp) (milyar Rp) (milyar Rp) (milyar Rp) (milyar Rp) 1998 343,72 398,17 365,31 450,41 -85,10 1999 401,26 674,729 427,75 739,77 -312,02 2000 433,8 766,10 455,39 895,69 -439,64 2001 569,58 842,16 599,89 990,17 -390,28 2002 658,06 880,96 688,63 1010,88 -322,24 2003 855,88 977,61 877,27 1092,31 -215,04 2004 1188,58 1065,10 1233,10 1236,65 -3,79 Rata2 635,84 800,69 663,91 926,55 -252,59 Rasio B/C Usaha 0,79411 Rasio B/C Total 0,71654 Sumber: PAM Jaya, 2006 (Diolah)
Dari rata-rata pendapatan usaha dibagi dengan rata-rata biaya usaha yang dikeluarkan didapat nilai rasio B/C usaha PDAM DKI Jakarta setelah adanya konsesi. Rasio B/C usaha adalah 0,794 yang berarti untuk satu milyar rupiah biaya usaha yang dikeluarkan akan memberikan penerimaan sebesar Rp 0,794 milyar. Artinya pengeluaran biaya usaha lebih besar Rp0,206 dari pada penerimaannya, sehingga PDAM menanggung kerugian sebesar Rp 0,206 milyar. Sedangkan rasio B/C total yaitu rata-rata pendapatan total PDAM dibagi dengan biaya total pengelolaan adalah sebesar 0,716 yang berarti untuk satu milyar rupiah biaya total yang dikeluarkan akan hanya memberikan penerimaan sebesar Rp 0,716 milyar. Artinya, pengeluaran total lebih besar Rp 0,284 milyar dari pada penerimaannya, sehingga PDAM mengalami kerugian sebesar Rp 0,284 milyar. Dari hasil rasio B/C usaha dan rasio B/C total diperoleh hasil yang lebih kecil dari 1 sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya konsesi yang dilakukan PDAM DKI Jakarta tidak memberikan dampak efisiensi pengelolaan karena penerimaan yang diperoleh tidak dapat menutupi biaya yang dikeluarkan.
80
6.4.
Peranserta Mitra Swasta Asing (Palyja dan TPJ) dalam Pengelolaan Air Bersih Wilayah DKI Jakarta
Kerjasama yang dilakukan oleh PAM Jaya dengan Palyja dan TPJ bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan dan penyediaan air bersih bagi masyarakat DKI Jakarta. Adapun bentuk kerjasama tersebut dapat dillihat dari investasi yang ditanamkan Palyja dan TPJ demi kelangsungan dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Tabel 16. Realisasi Investasi Palyja dan TPJ Tahun 1998-2006 Investasi Palyja Pelayanan Investasi TPJ Pelayanan Tahun Wilayah Barat (milyar Rp) Wilayah Timur (milyar Rp) 1998 162.530 31.912 1999 216.559 69.880 2000 106.360 84.027 2001 61.060 68.072 2002 60.760 134.942 2003 62.999 148.907 2004 80.330 58.031 2005 123.847 54.648 2006* 36.300 12.450 Sumber: PAM Jaya, 2006 Ket: *) semester 1 2006
Investasi Palyja dalam bentuk rehabilitasi fasilitas produksi, sistem transmisi, pengembangan jaringan, kebocoran air dan pembangunan sarana pendukung. Sedangkan investasi TPJ dalam bentuk bangunan, mesin dan jaringan, kendaraan, dan peralatan kantor. Untuk pembangunan instalasi produksi baru dari kedua mitra asing belum ada. Kerugian yang dialami oleh PAM Jaya juga disebabkan oleh semenjak adanya konsesi, hasil pembayaran air oleh pelanggan tidak seluruhnya diterima PAM Jaya, tetapi dibagi dengan dua mitra asing yaitu Palyja dan TPJ dengan persentase yang telah disepakati sebelumnya. Pembagian ini bertujuan untuk
81
menutupi seluruh biaya operasional dari proses produksi dan distribusi air yang dikeluarkan oleh kedua mitra asing tersebut. Namun hasil yang diterima dari pembayaran air oleh pelanggan ini tidak dapat mengganti seluruh biaya pengelolaaan air, karena air yang terjual masih dibawah dari jumlah air yang diproduksi keseluruhan. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah pendapatan usaha yang diperoleh dibandingkan biaya pengganti yang harus dibayarkan kepada pihak mitra swasta menyebabkan terjadinya defisit penerimaan PAM Jaya. Tabel 17. Biaya Imbalan yang Diterima Palyja dan TPJ dari PAM Jaya Biaya Imbalan yang Diterima Palyja Pendapatan Usaha Tahun dan TPJ (milyar Rp) (milyar Rp) 1998 269,238 343,722 1999 522,572 401,216 2000 647,414 433,798 2001 673,935 569,582 2002 726,135 658,065 2003 869,495 855,882 2004 970,329 1188,576 Sumber: PAM Jaya, 2006
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kerjasama konsesi antara PAM Jaya dengan Palyja dan TPJ belum memberikan perubahan yang lebih baik dalam memberikan pelayanan air bersih kepada masyarakat DKI Jakarta. Walaupun sudah dilakukan beberapa perbaikan pada pipa yang mengalami kebocoran, kerugian dalam distribusi air bersih masih belum dapat tertanggulangi secara keseluruhan. Selain itu, investasi yang ada harus digunakan secara lebih efisien agar dapat memberikan perbaikan dalam pengembangan pengelolaan air maupun memperbaiki pelayanan kepada pelanggan. Pengeluaran dalam pengelolaan air bersih juga harus lebih diefisienkan agar tidak terjadi defisit dalam penerimaan PDAM.
82
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari analisis struktur produksi PDAM DKI Jakarta diperoleh hasil produksi yang lebih baik sebelum adanya konsesi dibandingkan setelah adanya konsesi. Hal ini terlihat dari laju pertumbuhan produksi air bersih yang lebih besar sebelum adanya konsesi dibandingkan setelah adanya konsesi, dan tingkat biaya yang lebih rendah peningkatannya pada masa sebelum konsesi dari pada setelah adanya konsesi. 2. Hasil analisis model biaya produksi PDAM DKI Jakarta dari tahun 1992 hingga tahun 2003 menunjukkan bahwa variabel yang nyata mempengaruhi biaya total pengelolaan adalah peubah biaya variabel dan dummy konsesi. Biaya variabel berhubungan positif terhadap biaya total, sedangkan dummy konsesi memiliki hubungan negatif dengan biaya total. 3. Kebijakan tarif yang diberlakukan oleh PDAM DKI Jakarta adalah dengan cara diskriminasi harga tingkat tiga antar golongan masyarakat dan konsep increasing block tariff untuk tiap tingkatan blok pemakaian air bersih. Diskriminasi harga ditujukan agar tercipta subsidi silang (cross subsidies) dari masyarakat berpendapatan tinggi ke masyarakat berpendapatan rendah, sedangkan konsep increasing block tariff bertujuan untuk mengerem konsumsi
83
air bersih oleh pelanggan dikarenakan harga yang semakin tinggi untuk setiap peningkatan konsumsi air bersih. 4. Analisis manfaat dan biaya PDAM DKI Jakarta setelah adanya konsesi memberikan hasil yang negatif. Artinya, manfaat yang diperoleh PDAM DKI Jakarta setelah adanya konsesi lebih kecil dari pada biaya yang harus ditanggung selama konsesi berlangsung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsesi yang dilakukan tidak memberi peningkatan efisiensi terhadap pengelolaan PDAM DKI Jakarta yang akhirnya hanya menambah kerugian PDAM DKI Jakarta. 5. Peran serta mitra swasta asing dalam pengelolaan air bersih untuk wilayah DKI Jakarta belum memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan efisiensi pengelolaan air bersih PDAM DKI Jakarta, terlihat dari angka kerugian yang harus ditanggung PAM Jaya akibat tingginya biaya imbalan kepada mitra swasta yang tidak tertutupi oleh pendapatan yang diperoleh dari penjualan air bersih ke masyarakat serta masih tingginya tingkat kebocoran yang terjadi. Selain itu, konsesi yang dilakukan PAM Jaya dengan kedua mitra asing masih belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat DKI Jakarta dengan semakin meningkat tarif air bersih yang diberlakukan. 7.2.
Saran
Adapun saran yang dapat diberikan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Melihat hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa konsesi yang dilakukan tidak memberi manfaat yang besar bagi PAM Jaya, kecuali
84
pengurangan pada tingkat kebocoran maka penulis menyarankan agar PAM Jaya mengelola sendiri (deregulasi kesepakatan) produksi dan distribusi air bersih untuk wilayah DKI Jakarta, sehingga dapat meminimalkan biaya pengeluaran dari harus membayar imbalan kepada pihak mitra swasta yang membuat PAM Jaya semakin rugi. 2. Melihat dari semakin meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan PAM Jaya setiap tahun akibat meningkatnya nilai tukar dan inflasi serta tarif listrik dan BBM semakin tinggi sedangkan tarif air bersih PAM Jaya tidak dapat serta merta naik karena harus memperhatikan tingkat kemampuan masyarakat maka pemerintah, yang dalam hal ini berperan sebagai pembuat kebijakan, harus memberikan subsidi kepada PAM Jaya sebesar selisih dari pendapatan yang diperoleh dari penjualan air bersih dengan total pengeluaran yang dikeluarkan sehingga dapat menjaga keberlanjutan usaha dari PDAM DKI Jakarta. 3. PAM Jaya harus melakukan berbagai perbaikan dalam sarana infrastruktur agar tingkat kebocoran yang ada dapat dikurangi sehingga akan meningkatkan efisiensi produksi PAM Jaya. 4. Selain perbaikan infrastruktur, PAM Jaya juga harus melakukan perbaikan dalam bidang manajerial untuk meningkatkan kinerja dari PDAM DKI Jakarta. 5. Hal terakhir yang dapat disarankan oleh penulis adalah adanya restrukturisasi di dalam perusahaan, restrukturisasi yang dilakukan diharapkan akan meningkatkan efisiensi produksi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat DKI Jakarta.
85
DAFTAR PUSTAKA
Arianti, Neti. 1999. Analisis Pilihan Sumber Air Bersih dan Kesediaan Membayar bagi Perbaikan Kualitas dan Kuantitas Air PDAM di Kodya Bengkulu [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Arianti, Vidia. November 2004. ”Privatisasi Air di Indonesia: Saran Pelaksanaan dengan Berkaca dari Pengalaman Negara Lain”. GLOBAL Vol. 7 No. : 18. CSIS. Jakarta. Ariestis. 2004. Analisis Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Kerangka Kebijakan Pra dan Pasca Privatisasi: Studi Kasus Pengelolaan Air Oleh PAM Jaya, Jakarta [skripsi]. Fakultas Pertaniaan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bastian, Indra. 2002. Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi. Salemba Empat, Jakarta. Boland, John. 1999. “The Political Economy of Increasing Block Tariffs in Developing Countries”. www.idrc.org.sg. Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Perusahaan Air Bersih. BPS. Jakarta Haneman, Michael. 1998. Dalam Baumann, D, J. Boland and W. Hanemann [editor]. Price and Rate Structures, Chapter 5. Iftauddin. 2005. Kajian Kemitraan dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Usahatani dan Efisiensi Penggunaan Input [skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. -------------. 26 November 1997. “Laporan Khusus: Perkembangan dan Prospek Industri Air Bersih di Indonesia”. Indocommercial: 3 Institut for Good Corporate Governance Studies (IGCGS). 2003. “Apa dan Bagaimana Privatisasi BUMN”. IGCGS. Jakarta. Kruha. 2005. Kemelut Sumber Daya Air: Menggugat Privatisasi Air di Indonesia. LAPERA Pustaka Utama Bekerjasama dengan KruHa. Yogyakarta. Mangkoesoebroto, Guritno. 1998. Ekonomi Publik Ed. Ketiga. BPFE. Yogyakarta. Munasinghe, Mohan. 1990. The Pricing of Water Service in Developing Countries. Butterworth-Heinemann Ltd.
86
Nicholson, W. 1999. Teori Ekonomi Mikro Prinsip Dasar dan Pengembangannya. Ed. Kelima. PT Raja Grafindo Perkasa. Jakarta Ristiani, Mira. 2005. Analisis Harga Pokok Air Bersih PDAM dan Respon Konsumen Terhadap Kebijakan Tarif Air Minum: Studi Kasus di PDAM Kabupaten Bogor [skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ronadiba, Friska. 2004. Faktor-Faktor Penentu Tingkat Bunga Pasca Krisis Juli 1997 Di Indonesi. [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rosmery, Evi. 2000. Analisis Harga Pokok Air Bersih PDAM dan Respon Konsumen Terhadap Kebijakan Tarif Air Minum: Studi Kasus di Kota Bogor [skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siregar, Raja. 2003. ”Privatisasi Air”. http://www.walhi.or.id. [13 Juli 2006]. Siregar, Raja. 2003. ”Kampanye Menolak Privatisasi dan Komersialisasi Sumberdaya Air”. http://www.walhi.or.id. [13 Juli 2006]. Sudrajat, Jajat. 1997. Analisis Ekonomi Pengelolaan air PDAM di Kotamadya Pontianak: Suatu Kajian Pengembangan Kebijaksanaan Ekonomi dalam Pengelolaan Sumberdaya Air [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suparmoko. 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis). BPFE. Yogyakarta. Sukirno, Sadono. 2005. Mikro Ekonomi Teori Pengantar Ed. Ketiga. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Tietenberg, T. 1984. Environmental and Natural Resource Economics. Scott Foresman and Company. United State Amerika.
87
Lampiran 1. Data Produksi, Biaya Produksi, Pendapatan dan Jumlah Pelanggan PDAM DKI Jakarta
Tahun
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006*)
Produksi Air PDAM
Air PDAM Terjual
(Juta m3)
(juta m3)
312,12 339,18 344,23 347,14 409,43 466,40 497,60 475,70 381,71 399,75 407,05 416,40 432,50 450,11 227,67
143,74 159,94 168,31 166,38 176,44 201,57 181,13 207,63 228,35 237,19 255,16 274,10 270,91 267,08 130,40
133,65 150,99 189,82 231,96 286,58 313,30 434,04 745,91 886,01 955,76 981,69 1084,68 1236,66
298.891 327.433 345.956 362.618 395.192 460.641 487.978 511.548 534.090 610.806 649.429 690.456 705.890 708.919 718.794
Biaya Total
Biaya Ekspansi
Biaya Tetap
Biaya Variabel (milyar Rp) 62,96 73,27 93,31 118,03 137,45 153,65 285,21 561,82 735,65 812,40 836,27 951,48 1114,65
Tahun
Biaya Total
(milyar Rp) Pelanggan
(milyar Rp) (milyar Rp) (milyar Rp)
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
133,65 150,99 189,82 231,96 286,58 313,30 434,04 745,91 886,01 955,76 981,69 1084,68 1236,66
Sumber: PAM Jaya, 2006
8,63 7,99 10,04 9,46 13,53 15,85 7,97 6,15 5,37 9,67 10,15 16,79 16,54
Jumlah
62,06 69,73 86,47 10,45 135,60 143,80 140,86 177,94 144,99 133,69 135,27 116,41 105,47
Penerimaan Laba/Rugi PAM Jaya (milyar Rp) 9,69 6,95 14,72 27,63 2,15 11,14 -101,97 -338,47 -449,30 -419,99 -331,89 -228,81 -13,47
88
Lampiran 2. Data Jumlah Penduduk DKI Jakarta Tahun Penduduk Tahun Penduduk Tahun Penduduk Tahun Penduduk 1941 534.823 1963 3.154.405 1985 7.756.200 2007*) 8.814.000 1942 563.009 1964 3.301.870 1986 7.977.500 2008*) 8.872.900 1943 621.236 1965 3.462.945 1987 8.203.400 2009*) 8.929.200 1944 644.236 1966 3.639.465 1988 8.438.000 2010*) 8.981.200 1945 623.343 1967 3.806.866 1989 8.682.100 2011*) 9.022.100 1946 601.964 1968 3.981.768 1990 8.227.746 2012*) 9.063.000 1947 599.821 1969 4.273.863 1991 8.206.520 2013*) 9.101.200 1948 823.356 1970 4.473.135 1992 8.219.850 2014*) 9.136.800 1949 1.340.625 1971 4.576.018 1993 8.232.801 2015*) 9.168.500 1950 1.432.085 1972 4.755.279 1994 8.243.974 2016*) 9.193.500 1951 1.661.125 1973 4.973.210 1995 8.259.165 2017*) 9.216.400 1952 1.781.723 1974 5.182.597 1996 8.272.382 2018*) 9.236.500 1953 1.795.831 1975 5.403.957 1997 8.285.618 2019*) 9.252.200 1954 1.823.918 1976 5.701.469 1998 8.298.875 2020*) 9.262.600 1955 1.884.700 1977 5.925.417 1999 8.312.153 2021*) 9.269.300 1956 1.889.618 1978 6.081.963 2000 8.385.639 2022*) 9.273.100 1957 1.945.883 1979 6.239.293 2001*) 8.429.500 2023*) 9.272.900 1958 2.025.959 1980 6.480.654 2002*) 8.497.000 2024*) 9.268.600 1959 2.811.835 1981 6.555.954 2003*) 8.566.300 2025*) 9.259.900 1960 2.910.858 1982 6.715.273 2004*) 8.636.100 1961 2.906.533 1983 7.250.100 2005*) 8.699.600 1962 3.022.107 1984 7.500.100 2006*) 8.755.700 Ket: *) Perkiraan
Sumber: BPS Jakarta, 2006
89
Lampiran 3. Output Regresi Persamaan Biaya Total PDAM DKI Jakarta
Dependent Variable: LNTC Method: Least Squares Date: 09/19/06 Time: 04:51 Sample: 1992 2004 Included observations: 13 Variable
Coefficien t
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNEC LNVC LNQ LNLV DM C
-0.002249 0.797347 0.312106 0.079816 -0.158523 -1.466545
0.041789 -0.053811 0.030278 26.33395 0.197719 1.578538 0.067836 1.176600 0.051806 -3.059951 1.117371 -1.312497
0.9586 0.0000 0.1585 0.2778 0.0183 0.2307
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression
0.999579 0.999278 0.021760
Sum squared resid
0.003315
Log likelihood Durbin-Watson stat
35.33714 2.207837
Mean dependent var 10.70869 S.D. dependent var 0.809959 Akaike info criterion 4.513406 Schwarz criterion 4.252661 F-statistic 3323.672 Prob(F-statistic) 0.000000
Estimation Command: ===================== LS LNTC LNEC LNVC LNQ LNLV DM C Estimation Equation: ===================== LNTC = C(1)*LNEC + C(2)*LNVC + C(3)*LNQ + C(4)*LNLV + C(5)*DM + C(6) Substituted Coefficients: ===================== LNTC = -0.002248697469*LNEC + 0.7973473711*LNVC + 0.3121063133*LNQ + 0.0798158499*LNLV - 0.1585227943*DM - 1.466545451
90
Lampiran 4. Uji Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
3.858420 11.96622
Probability Probability
0.146968 0.215220
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 09/19/06 Time: 04:55 Sample: 1992 2004 Included observations: 13 Variable
Coefficien t
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNEC LNEC^2 LNVC LNVC^2 LNQ LNQ^2 LNLV LNLV^2 DM
-3.611332 0.007374 -0.000682 -0.044690 0.002370 1.163753 -0.055206 -0.474828 0.024202 -0.009842
0.826892 0.014461 0.001107 0.014482 0.000797 0.297583 0.014214 0.217094 0.011046 0.004310
-4.367355 0.509886 -0.615904 -3.085899 2.974377 3.910685 -3.883843 -2.187199 2.190986 -2.283527
0.0222 0.6453 0.5815 0.0539 0.0589 0.0297 0.0302 0.1166 0.1161 0.1066
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression
0.920479 0.681915 0.000179
Sum squared resid
9.62E-08
Log likelihood Durbin-Watson stat
103.2472 2.288530
Mean dependent var 0.000255 S.D. dependent var 0.000317 Akaike info criterion 14.34572 Schwarz criterion 13.91114 F-statistic 3.858420 Prob(F-statistic) 0.146968
91
Lampiran 5. Uji Autokorelasi dan Indikasi Multikolineritas
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.574823 2.430285
Probability Probability
0.596073 0.296668
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 09/19/06 Time: 04:55 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficien t
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNEC LNVC LNQ LNLV DM C RESID(-1) RESID(-2)
0.008269 -0.003366 -0.006485 0.035411 0.004964 -0.309106 -0.248881 -0.611399
0.052763 0.034167 0.234190 0.083443 0.065674 1.424892 0.585016 0.610752
0.156716 -0.098520 -0.027689 0.424372 0.075581 -0.216933 -0.425426 -1.001060
0.8816 0.9253 0.9790 0.6889 0.9427 0.8368 0.6882 0.3628
R-squared 0.186945 Adjusted R-squared -0.951332 S.E. of regression 0.023216 Sum squared resid
0.002695
Log likelihood Durbin-Watson stat
36.68236 2.687382
Mean dependent var 5.80E-16 S.D. dependent var 0.016620 Akaike info criterion 4.412671 Schwarz criterion 4.065010 F-statistic 0.164235 Prob(F-statistic) 0.982671
Correlation Matrix
LNEC LNVC LNQ LNLV
LNEC
LNVC
LNQ
LNLV
1.000000 0.091907 0.480611 -0.398692
0.091907 1.000000 0.633689 0.087990
0.480611 0.633689 1.000000 0.397976
-0.398692 0.087990 0.397976 1.000000
92
Lampiran 6. Uji Parsial Variabel Independen Biaya Ekspansi Terhadap Biaya Variabel, Jumlah Air yang Diproduksi dan Tingkat Kebocoran
Dependent Variable: LNEC Method: Least Squares Date: 09/19/06 Time: 05:01 Sample: 1992 2004 Included observations: 13 Variable
Coefficien t
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNVC C
0.031424 6.577499
0.102653 1.059195
0.306118 6.209904
0.7652 0.0001
R-squared 0.008447 Adjusted R-squared -0.081694 S.E. of regression 0.383965 Sum squared resid 1.621717 Log likelihood -4.916686 Durbin-Watson stat 0.935007
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
6.900095 0.369181 1.064106 1.151021 0.093708 0.765231
Dependent Variable: LNEC Method: Least Squares Date: 09/19/06 Time: 05:03 Sample: 1992 2004 Included observations: 13 Variable
Coefficien t
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNQ C
1.577398 -9.762623
0.867796 1.817706 9.167373 -1.064931
0.0964 0.3097
R-squared 0.230987 Adjusted R-squared 0.161077 S.E. of regression 0.338143 Sum squared resid 1.257745 Log likelihood -3.264614 Durbin-Watson stat 0.732279
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
6.900095 0.369181 0.809941 0.896856 3.304056 0.096421
93
Lanjutan Lampiran 6
Dependent Variable: LNEC Method: Least Squares Date: 09/19/06 Time: 05:04 Sample: 1992 2004 Included observations: 13 Variable
Coefficien t
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNLV C
-0.626049 13.12550
0.434194 -1.441864 4.318723 3.039208
0.1772 0.0113
R-squared 0.158955 Adjusted R-squared 0.082497 S.E. of regression 0.353625 Sum squared resid 1.375556 Log likelihood -3.846607 Durbin-Watson stat 1.021981
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
6.900095 0.369181 0.899478 0.986393 2.078971 0.177200
94
Lampiran 7. Uji Parsial Variabel Independen Biaya Variabel Terhadap Jumlah Air yang Diproduksi dan Tingkat Kebocoran
Dependent Variable: LNVC Method: Least Squares Date: 09/19/06 Time: 05:05 Sample: 1992 2004 Included observations: 13 Variable
Coefficien t
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNQ C
6.082943 -53.99073
2.238983 2.716832 23.65255 -2.282660
0.0200 0.0433
R-squared 0.401562 Adjusted R-squared 0.347158 S.E. of regression 0.872435 Sum squared resid 8.372573 Log likelihood -15.58628 Durbin-Watson stat 0.561757
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
10.26593 1.079765 2.705581 2.792496 7.381179 0.020045
Dependent Variable: LNVC Method: Least Squares Date: 09/19/06 Time: 05:05 Sample: 1992 2004 Included observations: 13 Variable
Coefficien t
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNLV C
0.404106 6.247511
1.379357 13.71982
0.292967 0.455364
0.7750 0.6577
R-squared 0.007742 Adjusted R-squared -0.082463 S.E. of regression 1.123403 Sum squared resid 13.88238 Log likelihood -18.87306 Durbin-Watson stat 0.088509
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
10.26593 1.079765 3.211241 3.298156 0.085830 0.775000
95
Lampiran 8. Uji Parsial Variabel Indenpenden Jumlah Air yang Diproduksi Terhadap Tingkat Kebocoran
Dependent Variable: LNQ Method: Least Squares Date: 09/19/06 Time: 05:06 Sample: 1992 2004 Included observations: 13 Variable
Coefficien t
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNLV C
0.190406 8.670031
0.132338 1.316301
1.438785 6.586661
0.1781 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression
0.158385 0.081874 0.107781
Sum squared resid
0.127785
Log likelihood Durbin-Watson stat
11.59913 0.687234
Mean dependent var 10.56342 S.D. dependent var 0.112484 Akaike info criterion 1.476790 Schwarz criterion 1.389875 F-statistic 2.070102 Prob(F-statistic) 0.178052
Lampiran 9. Uji Normalitas
5 Series: Residuals Sample 1992 2004 Observations 13
4
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
3
2
5.80E-16 0.004158 0.031291 -0.029400 0.016620 -0.072332 2.431030
1 Jarque-Bera Probability
0 -0.02
0.00
0.02
0.04
0.186688 0.910880
96
Lampiran 10. Grafik Perkembangan Tarif Air Bersih 1998-2005
PERKEMBANGAN TARIF 1998 - 2005
Rp
14.000 12.000
Kel I
10.000
Kel II Kel III A
8.000
Kel III B
6.000
Kel IV A
4.000
Kel V / Khs
2.000
Feb-06
1998 Mar01
Apr-
Des
Jan-
Jul-
Feb-
03
2003
05
05
06
Kelompok Pelanggan
1998
Mar-01
Apr-03
Kel I
375
375
375
500
550
Kel II
850
850
850
900
Kel III A
1.275
1.560
2.500
Kel III B
1.600
2.100
Kel IV A
2.475
Kel IV B Kel V / Khs
Des 2003
Jan-05
Jul-05 Feb-06 900
950
1.000
1.350
1.425
3.500
4.000
4.550
4.990
3.300
5.000
5.600
6.200
6.775
3.500
5.200
6.750
7.500
8.150
8.850
3.650
5.200
7.000
9.100
9.750
10.400 11.325
5.200
7.000
8.800
11.000
11.500
12.150 13.200