DAMPAK PEMBANGUNAN WILAYAH DKI JAKARTA TERHADAP DISPARITAS DKI JAKARTA DAN LUAR DKI JAKARTA SEBELUM DAN SETELAH OTONOMI DAERAH
OLEH SURYO AJI HI4080112
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ABSTRACT IMPACT OF DEVELOPMENT IN DKI JAKARTA TO DISPARITIES IN DKI JAKARTA AND OUTSIDE DKI JAKARTA AFTER AND BEFORE REGIONAL AUTONOMY In the new order development policy is more centralized. The goal of that development strategy is referred to as the trickle-down effects. However, these strategies proved less successful wealth creation and distribution as expected. Besides economic development is more concentrated in Java, especially Jakarta thus providing a role for economic growth imbalances between Jakarta and outside Jakarta. After the enactment of Act 22 of 1999 on Regional Autonomy has changed fundamentally in the Indonesian state ordinances. Many problems such as increasingly sharp inequalities and corruption are almost evenly distributed throughout the region, of course, can not be directly concluded that regional autonomy for the benefit and progress of the nation. The purpose of this study are (1) to analyze the pattern of economic growth based approach Klassen Typology before and after decentralization, (2) the trend of inequality in Jakarta and the outside Jakarta and (3) the relationship between inequality Williamson index with GDP per capita growth rate both before and after decentralization. The results of the analysis of the pattern of economic growth shows, the number of regions including the fast forward and fast-growing before more autonomy than before decentralization. Conversely the number of areas including the relatively lagging before decentralization is less than after decentralization. Inequality index Williamson in Jakarta is relatively large with an average of 0.7539 before and 0.7112 after the regional autonomy. While outside Jakarta relatively small limp levels by an average of 0.1518 before and 0.1765 after the regional autonomy. These results indicate that a relatively advanced and ready to face regional autonomy, more capable of improving social welfare, seen from the decrease in the level of inequality is seen from Williamson's inequality index. While the Kuznets hypothesis describing the relationship between inequality indices Williamson with GDP per capita growth rates before and after decentralization (1993-2010), a Ushaped upside as any indication, do not apply in Jakarta and outside Jakarta. Key Words : Klassen Typology, Williamson Index, and Regional Autonomy
RINGKASAN SURYO AJI. Dampak Pembangunan Wilayah DKI Jakarta terhadap Disparitas DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah (dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI) Pada masa orde baru kebijakan pembangunan lebih bersifat sentralistik. Strategi pembangunan tersebut diharapkan akan menghasilkan apa yang dimaksud dengan trickle down effects. Akan tetapi strategi tersebut ternyata kurang berhasil menciptakan kesejahteraan dan pemerataan seperti yang diharapkan. Selain itu pembangunan ekonomi yang lebih terpusat di Jawa, khususnya DKI Jakarta sehingga memberikan peran terhadap ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta. Setelah diberlakukannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah telah mengubah secara fundamental tata cara bernegara di Indonesia. Banyaknya masalah seperti kian tajamnya kesenjangan dan praktek korupsi yang hampir merata di seluruh daerah, tentunya tidak dapat langsung disimpulkan bahwa otonomi daerah tidak memberi manfaat dan kemajuan bagi bangsa. Tujuan penelitian ini adalah, (1) menganalisis pola pertumbuhan ekonomi berdasarkan pendekatan Klassen Typology sebelum dan setelah otonomi daerah,(2) trend ketimpangan di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta dan (3) hubungan antara tingkat ketimpangan Indeks Williamson dengan laju pertumbuhan PDRB per kapita baik sebelum dan setelah otonomi daerah. Hasil analisis pola pertumbuhan ekonomi menunjukkan, jumlah daerah yang termasuk daerah cepat maju dan cepat tumbuh sebelum otonomi daerah lebih banyak dibanding sebelum otonomi daerah. Sebaliknya jumlah daerah yang termasuk daerah yang relatif tertinggal sebelum otonomi daerah lebih sedikit dibanding setelah otonomi daerah. Indeks ketimpangan Williamson di DKI Jakarta relatif besar dengan rata-rata 0,7539 sebelum otonomi daerah dan 0,7112 setelah otonomi daerah. Sedangkan diluar DKI Jakarta tingkat ketimpangannya relatif kecil dengan rata-rata 0,1518 sebelum otonomi daerah dan 0,1765 setelah otonomi daerah. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa daerah yang relatif maju dan siap dalam menghadapi otonomi daerah, lebih mampu meningkatkan kesejahteraan sosial, dilihat dari penurunan tingkat ketimpangan yang dilihat dari indeks ketimpangan Williamson. Sedangkan Hipotesis Kuznets yang menggambarkan hubungan antara tingkat ketimpangan indeks Williamson dengan laju pertumbuhan PDRB per kapita sebelum dan setelah otonomi daerah (1993-2010), yang berbentuk U-Terbalik sebagai indikasi, tidak berlaku di DKI Jakarta maupun luar DKI Jakarta.
DAMPAK PEMBANGUNAN WILAYAH DKI JAKARTA TERHADAP DISPARITAS DKI JAKARTA DAN LUAR DKI JAKARTA SEBELUM DAN SETELAH OTONOMI DAERAH
Oleh SURYO AJI H14080112
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul Skripsi
: Dampak Pembangunan Wilayah DKI Jakarta terhadap Disparitas DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah.
Nama
: Suryo Aji
NIM
: H14080112
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, SE. MS. DEA NIP. 19520408 1984031001. 03
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2012
Suryo Aji H14080112
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 7 September 1988 dan merupakan anak kesembilan dari sepuluh bersaudara dari pasangan Siswo Harjono dan Sukinem. Penulis mengawali pendidikannya pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2001 di SD Muhammadiyah 1 Senggotan. Selanjutnya meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 2001 sampai tahun 2004 di SMP Negeri 16 Yogyakarta. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Muhammadiyah 6 Yogyakarta dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2008, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN kemudian terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Ekonomi dan Manajemen (FEM)
pada Departemen Ilmu Ekonomi dengan
Program Studi Ekonomi dan Studi Pembangunan. Selain menekuni dunia pendidikan, berbagai kejuaraan olahraga mahasiswa diikuti antaranya meraih Juara 3 Kejuaraan Softball Tingkat Nasional (2009), Juara 1 Kejuaraan Softball Tingkat Kota Bogor (2010), Juara 3 Futsal SPORTAKULER FEM IPB 2010, Juara 2 Futsal SPORTAKULER FEM IPB 2011, Juara 2 Voli Putra SPORTAKULER FEM IPB 2011, dan Juara 1 Futsal Mahasiswa Pencinta Alam se-Bogor (MAPALA se-Bogor) 2011. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi. Pada tingkat pertama penulis aktif di UKM Soof IPB, UKM Taekwondo IPB. Tingkat dua dan tingkat tiga penulis aktif di organisas Badan Pengawas HIPOTESA (BPHipotesa), dan Keluarga Ekonomi dan Manajemen Pencinta Alam (KAREMATA FEM IPB).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW dan kita semua sebagai pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi yang berjudul “Dampak Pembangunan Wilayah DKI Jakarta terhadap Disparitas DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah” ini merupakan hasil karya penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini terdapat banyak kekurangan yang dikarenakan oleh keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Namun pada akhirnya, karya ini berhasil penulis selesaikan atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ungkapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya.
2.
Ayah dan Ibu tercinta yang selalui memberikan doa, dukungan, dan dorongan bagi penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Kakak dan adik yang memberikan semangat dan dukungan moral tanpa henti.
3.
Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, sebagai dosen pembimbing atas masukan dan bimbingan dalam proses penyelesaian skripsi ini.
4. Dr. Sri Mulatsih, sebagai penguji utama dan Salahuddin el Syyubi, MA, sebagai penguji komisi pendidikan atas kritik dan masukan yang positif dalam penyempurnaan penulisan. 5.
Seluruh dosen khususnya staf dosen Ilmu Ekonomi yang tanpa pamrih memberikan ilmu serta pengalamannya dalam empat tahun penulis belajar di Institut Pertanian Bogor.
6.
Kepala Tata Usaha beserta staf pelaksana Departemen Ilmu Ekonomi yang telah membantu dan bekerja sama dalam menyelesaikan skripsi ini.
7.
Seluruh rekan-rekan di Ilmu Ekonomi 45, keluarga besar KAREMATA FEM IPB.
8. Beasiswa BUMN yang sangat membantu saya secara financial semasa kuliah hingga peneliaan selesai. 9. Semua pihak yang telah membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Akhir kata, penulis mengharapkan masukan-masukan positif dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Amin ya Robbal’ alamin.
Bogor, September 2012
Suryo Aji H14080112
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ...............................................................................................
i
DAFTAR TABEL .......................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
vi
I. PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .........................................................................
17
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................
19
1.4. Manfaat Penelitian ...........................................................................
19
II.TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .................
21
2.1. Pembangunan Ekonomi ...................................................................
21
2.2. Pertumbuhan Ekonomi ....................................................................
28
2.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) .....................................
34
2.4. Ketimpangan Distribusi Pendapatan ...............................................
36
2.5. Indeks Williamson ........................................................................
40
2.6. Otonomi Daerah dan Desentralisasi ................................................
41
2.7. Penelitian Terdahulu........................................................................
44
2.8. Kerangka Pemikiran ........................................................................
48
III.METODOLOGI PENELITIAN .............................................................
51
3.1. Pengertian Metodologi Penelitian ...................................................
51
3.2. Jenis dan Sumber Data ....................................................................
51
3.3. Metode Analisis ...............................................................................
52
3.3.1. Klassen Typology ..................................................................
52
3.3.2. Indeks Williamson .................................................................
54
3.3.2. Analisi Trend Ketimpangan ..................................................
55
IV. GAMBARAN UMUM .........................................................................
57
4.1. Letak Geografis dan Wilayah Administrasi DKI Jakarta .............
57
4.2. Demografi .....................................................................................
58
ii
4.3. Perekonomian DKI Jakarta ...........................................................
60
4.3.1. Pertumbuhan ekonomi .........................................................
60
4.3.2. Struktur Ekonomi Menurut Lapangan Usaha ......................
61
4.3.3. Struktur Ekonomi Menurut Komponen Pengeluaran ..........
63
4.3.4. Perkembangan PDRB Per Kapita ........................................
64
4.3.5. Inflasi/Deflasi ......................................................................
65
4.4. Kondisi Perekonomian dan Pembangunan di Indonesia ...............
66
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
72
5.1. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Parsial DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Sebelum Otonomi Daerah Berdasarkan Pendekatan Tipologi Klassen .......................................................
72
5.2. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Parsial DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Setelah Otonomi Daerah Berdasarkan Pendekatan Tipologi Klassen .......................................................
75
5.3. Analisis Ketimpangan Wilayah di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta ..................................................................................
80
5.3.1. Indeks Williamson DKI Jakarta Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah ................................................................
80
5.3.2. Indeks Williamson Luar DKI Jakarta Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah ..................................................................
83
5.4. Analisis Trend Ketimpangan di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta ....................................................................................
85
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................
89
6.1. Kesimpulan ...................................................................................
89
6.2. Saran .............................................................................................
90
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
92
LAMPIRAN ...............................................................................................
94
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Distribusi Pembangian Pengeluaran per Kapita dan Indeks Gini, 2006-2010 ...........................................................................................
4
1.2. PDRB, PDRB Per Kapita, Laju PertumbuhanEkonomi, dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi di Indonesia .....
6
1.3. Jumlah Dana Simpanan Masyarakat per Provinsi (Rp 000), tahun 2008 ..........................................................................................
7
1.4. Ekspor dan Impor Non-Migas per Provinsi (dalam juta US$) ..........
9
1.5. Perkembangan Sekilas Infrastruktur Daerah Pasca-Otonomi Daerah (dalam Persen) ....................................................................................
12
2.1. Beberapa Indeks Ketimpangan Regional Dalam PDRB Per Kapita Menurut Kabupaten/Kota ..................................................................
45
2.2. Indeks Ketimpangan Williamson Antar Wilayah Di Indonesia .........
46
2.3. Indeks Ketimpangan Pendapatan di Indonesia tahun 1996-2006 ......
50
3.1. Klasifikasi Tipologi Klassen Pendekatan Daerah ..............................
54
4.1. Luas Daerah dan Pembagian Daerah Administrasi Menurut Kabupaten/Kota Administrasi ...........................................................
57
4.2. Peduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota Administrasi Hasil Sensus Penduduk 2000 dan 2010 .......................
58
4.3. Peranan Sektor Ekonomi dalam PDRB atas Dasar Harga Berlaku 2005-2009 ............................................................................
62
4.4. Distribusi Persentase PDRB menurut Pengeluaran 2005-2009 .........
63
4.5. PDRB Per Kapita Provinsi DKI Jakarta 2006-2010 ..........................
64
4.6. Indikator Inflasi Indeks Harga Implisit PDRB DKI Jakarta Menurut Lapangan Usaha 2005-2009 ..............................................................
65
4.7. PDB Indonesia Atas Harga Berlaku dan Konstan 1993 di Tahun
iv
1993-200 dan Konstan 2000 di tahun 2001-2010 .............................
67
4.8. Indeks Pembangunan Manusia tiap Provinsi di Indonesia .................
69
4.9. Persentase Penduduk Miskin tiap Provinsi di Indonesia....................
70
5.1. Indeks Williamson Berdasarkan PDRB Per Kapita Tanpa Migas ADHK DKI Jakarta Tahun 1993-2010 ..............................................
81
5.2. Indeks Williamson Berdasarkan PDRB Per Kapita Tanpa Migas ADHK Luar DKI Jakarta Tahun 1993-2010 .....................................
83
v
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1. Distribusi Regional Simpanan Masyarakat di Perbankan ..................
14
1.2. Distribusi Regional Penyaluran Kredit Perbankan ............................
15
2.1. Teori Harrod-Domar dalam Grafik ....................................................
33
2.2. Kurva Lorenz untuk Memperkirakan Koefisien Gini ........................
37
2.4. Kerangka Pemikiran ...........................................................................
50
4.1. Penduduk Berusia 15 Tahun Keatas Yang Bekerja dan Mencari Pekerjaa, 2005-2010 ..........................................................................
59
4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta Tahun 2006-2010 ............
60
4.3. Peranan Sektor Andalan dalam PDRB atas Harga Berlaku Tahun 2000-2009 ...............................................................................
61
5.1. Klassen Typology Indonesia Tahun 1995-1999 ................................
74
5.2. Klassen Typology Indonesia Tahun 2006-2010 ................................
77
5.3. Trend Ketimpangan di Jakarta dan Luar DKI Jakarta ......................
88
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1.
Halaman
Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1993 .................................................
99
Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1994 .................................................
99
Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1995 .................................................
100
Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1996 .................................................
100
Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1997 .................................................
101
Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1998 .................................................
101
Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1999 .................................................
102
Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2000 .................................................
102
Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2001 .................................................
103
10. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002 .................................................
103
11. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003 .................................................
104
12. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2004 .................................................
104
13. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2005 .................................................
105
14. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2006 .................................................
105
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
vii
15. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2007 .................................................
106
16. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2008 .................................................
106
17. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009 .................................................
107
18. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 .................................................
107
19. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1993 ........................................
108
20. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1994 ........................................
109
21. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1995 ........................................
110
22. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1996 ........................................
111
23. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1997 ........................................
112
24. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1998 ........................................
113
25. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1999 ........................................
114
26. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2000 ........................................
115
27. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2001 ........................................
116
28. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2002 ........................................
117
29. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2003 ........................................
118
30. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2004 ........................................
120
viii
31. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2005 ........................................
121
32. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2006 ........................................
123
33. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2007 ........................................
124
34. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2008 ........................................
126
35. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2009 ........................................
127
36. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2010 ........................................
129
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional, disamping penanganan ketimpangan pendapatan dan pengentasan kemiskinan dengan tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi memiliki berbagai acuan, salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkelanjutan merupakan kondisi utama dan suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi.1 Kuznets mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan kapasitas dalam jangka panjang suatu negara yang bersangkutan untuk menyediakan barang-barang ekonomi kepada penduduknya.2 Pada awal pemerintahan orde baru para pembuat kebijakan dan perencana pembangunan ekonomi di Indonesia lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pembangunan ekonomi yang awalnya terpusat di Jawa, khususnya DKI Jakarta, diharapkan strategi pembangunan tersebut akan menghasilkan apa yang dimaksud dengan trickle down effects atau efek menetes ke bawah. Yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menimbulkan tetesan ke 1
Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia:Beberapa masalah penting (Jakarta:Ghalia Indonesia,2001), h. 39. 2 Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga (Jakarta: Erlangga,2006), h. 99.
2
bawah bagi masyarakat secara menyeluruh. Kesejahteraan dan pemerataan akan tercapai dengan sendirinya serta berjalan beriringan mengikuti pertumbuhan ekonomi yang ada. Pembangunan pada saat itu juga hanya terpusatkan pada wilayah dan sektorsektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan
besar untuk
menghasilkan nilai tambah tinggi. Adanya strategi tersebut diharapkan menghasilkan pembangunan yang mampu “menetes” ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya. Akan tetapi strategi tersebut ternyata kurang berhasil menciptakan kesejahteraan dan pemerataan seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, sejak Pelita III strategi pembangunan mulai berubah agar tidak lagi hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi pada peningkatan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Sampai terjadinya krisis ekonomi Tahun 1997, sudah banyak dilasanakan program-program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi jumlah orang miskin dan ketimpangan pendapatan antar kelompok miskin dan kaya di tanah air.3 Berkaitan dengan masalah di atas, terdapat pertanyaan besar yang selama pemerintahan orde baru hingga masa reformasi saat ini, walaupun pembangunan ekonomi berjalan dengan baik dan Indonesia memiliki laju pertumbuhan yang relatif tinggi, mengapa kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan kemiskinan tetap ada. Apakah Hipotesis Kuznets mengenai evolusi atau perubahan kesenjangan pendapatan, dimana pada awal proses pembangunan, ketimpangan pendapatan bertambah besar sebagai akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi, namun setelah itu pada tingkat pembangunan yang lebih tinggi
3
Tulus Tambunan, op. cit., h. 82-83.
3
atau akhir dari proses pembangunan ketimpangan menurun, tidak berlaku untuk kasus di Indonesia. Salah satu cara untuk menganalisa tentang ketimpangan pendapatan adalah indeks Gini. Indeks Gini merupakan salah satu ukuran yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan yang didasarkan pada kurva Lorenz. Nilai indeks Gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila nilainya 0 maka menunjukkan kemerataan yang sempurna dan jika nilainya 1 maka menunjukkan ketidakmerataan yang sempurna. Artinya, satu orang (atau satu kelompok pendapatan) di suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut.4 Berdakan Tabel 1.1, nilai indeks Gini di Indonesia dalam lima tahun terahir relatif cukup stabil. Pada tahun 2006 nilai indeks Gini adalah sebesar 0,36, tahun 2007 mengalami kenaikan menjadi 0,38, Tahun 2008 turun menjadi 0,37, dan di Tahun 2009 dan 2010 masing-masing nilainya adalah 0,37 dan 0,38. Pada saat yang sama Indonesia mencatat angka pertumbuhan yang mengesankan, kurang lebih rata-rata 6 persen. Dari data di atas menunjukkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia belum berkurang walaupun pertumbuhan ekonomi relatif tinggi. Berdasarkan Tabel 1.1, pada Tahun 2006, 40 persen masyarakat berpengeluaran rendah memperoleh sebesar 21,42 persen dari total distribusi pengeluaran nasional. Menurut ukuran yang digunakan Bank Dunia angka tersebut menunjukkan kondisi relatif merata. Pada tahun 2007 menjadi 18,74 persen, tahun 2008 menjadi 18,72 persen, dan di tahun 2009 dan 2010 masing-
4
Ibid., h. 95
4
masing distribusinya sebesar 18,96 dan 18,05 persen yang cenderung menunjukkan makin kurang merata. Tabel 1.1. Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita dan Indeks Gini, 2006-2010 Daerah
Tahun
Kota
2006
Desa
Desa+ Kota
40% 40% 20% Berpengeluar- Berpengeluar- Berpengeluaran Rendah an Sedang an Tinggi 19,79 36,90 43,33
Indeks Gini 0,35
2007
19,08
37,13
43,80
0,37
2008
18,55
37,00
44,45
0,37
2009
18,49
36,58
44,93
0,37
1010
17,57
36,99
45,44
0,38
2006
23,42
39,04
37,53
0,28
2007
22,00
37,94
40,05
0,30
2008
22,06
38,58
39,36
0,30
2009
22,45
38,45
39,10
0,29
1010
20,98
38,78
40,24
0,32
2006
21,42
37,65
41,26
0,36
2007
18,74
36,51
44,75
0,38
2008
18,72
36,43
44,86
0,37
2009
18,96
36,13
44,91
0,37
1010
18,05
36,48
45,47
0,38
Sumber: Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia 2008.BPS. Hal 478 Statistik Indonesia: Staistical Yearbook of Indonesia 2011.BPS. Hal 469
Sedangkan 20 persen masyarakat berpengeluaran tinggi di Tahun 2006, memperoleh 41,26 persen dari total distribusi pengeluaran nasional. Pada Tahun 2007 meningkat menjadi 44,75 persen, tahun 2008 kembali mengalami peningkatan menjadi 44,86 persen, dan di tahun 2009 dan 2010 masing-masing distribusinya sebesar 44,91 persen dan 45,47 persen. Jika dilihat dari data tersebut
5
distribusi untuk 20 persen masyarakat berpengeluaran tinggi cenderung mengalami peningkatan. Walaupun bukan merupakan indikator yang bagus, kesejahteraan di suatu wilayah dapat juga dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB per kapita,5 laju pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan. Suatu wilayah yang memiliki angka kemiskinan yang tinggi namun juga memiliki PDRB per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula menunjukkan gejala bahwa wilayah tersebut memiliki indeks ketimpangan yang cenderung tinggi. Tingkat kemiskinan di suatu wilayah dapat dilihat dari jumlah persentase penduduk miskin di wilayah tersebut. Dengan beragamnya karakteristik dan potensi yang dimiliki oleh setiap provinsi di Indonesia maka nilai PDRB, PDRB per kapita, dan angka kemiskinan cukup bervariatif antar provinsi seperti ditunjukkan oleh Tabel 1.2. Provinsi yang memiliki nilai PDRB terbesar adalah DKI Jakarta yang merupakan ibu kota negara sekaligus sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan Indonesia, sehingga nampak bahwa perekonomian cenderung terpusat di wilayah ini. Hal tersebut menandakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di wilayah ini cukup tinggi, karena PDRB per kapita merupakan besaran yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah, tanpa melihat pendapatan antar golongan dalam masyarakat.
5
Maksudnya, indikator tersebut kurang dapat menunjukkan kondisi kesejahteraan yang sebenarnya. Bisa saja tingkat pendapatan di suatu wilayah tinggi namun sebagian besar(misalnya 50%) dari pendapatan total dinikmati hanya sebagian kecil (misal 20%) dari penduduknya. Dengan kata lain, selain indikator ini harus dilihat bagaimana distribusi pendapatan di wilayah tersebut. Lihat Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia: Beberapa masalah penting, Jakarat:Ghalia Indonesia,2001, h.39.
6
Tabel 1.2. PDRB , PDRB Per Kapita, Laju Pertumbuhan Ekonomi, dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi di Indonesia, 2010 Provinsi 1 2 3 4 NAD 7.358,3 33.071,1 2,64 21,0 Sumatera Utara 9.138,7 118.640,9 6,35 11,3 Sumatera Barat 8.017,5 38.860,1 5,93 9,5 Riau 17.640,9 97.701,6 4,17 8,7 Jambi 5.648,0 17.465,2 7,33 8,3 Sumatera Selatan 8.554,7 63.735,9 5,43 15,5 Bengkulu 4.855,9 8.330,3 5,14 18,3 Lampung 5.034,6 38.305,2 5,75 18,9 Kep. Bangbel 8.883,2 10.866,8 5,85 6,5 Kep. Riau 24.466,5 41.083,2 7,21 8,1 DKI Jakarta 41.181,6 395.664,4 6,51 3,5 Jawa Barat 7.476,1 321.875,8 6,09 11,3 Jawa Tengah 5.774,6 186.995,4 5,84 16,6 DIY 6.086,5 21.042,2 4,87 16,8 Jawa Timur 9.133,1 342.280,7 6,68 15,3 Banten 7.177,0 88.393,7 5,94 7,2 Bali 28.880,6 7.133,9 5,83 4,9 Kalimantan Barat 6.890,9 30.292,3 5,35 9,0 Kalimantan Tengah 8.493,8 18.788,9 6,47 6,8 Kalimantan Selatan 8.458,1 30.674,1 5,58 5,2 Kalimantan Timur 110.57,8 31.121,7 4,95 7,7 Sulawesi Utara 8.090,9 18.371,2 7,12 9,1 Sulawesi Tengah 6.486,1 17.437,1 7,79 18,1 Sulawesi Selatan 6.371,9 51.197,0 8,18 11,6 Sulawesi Tenggara 5.218,2 12.226,3 8,19 17,1 Gorontalo 2.804,8 2.917,4 7,62 23,2 Sulawesi Barat 4.094,7 4.744,3 11,91 13,6 NTB 4.456,9 20.056,7 6,29 21,6 NTT 2.675,5 12.531,6 5,13 23,0 Maluku 2.772,3 4.251,3 6,47 17,7 Maluku Utara 2.768,1 3.035,1 7,96 9,4 Papua Barat 9.307,7 8.685,6 26,82 34,9 Papua 8.600,9 22.620,2 (2,65) 36,8 Indonesia 9.723,4 6,10 2.310.689,8 13,3 Sumber: Statistik Indonesia: Staistical Yearbook of Indonesia 2011.BPS.Hal 172, 558, 562, dan hal 564. Keterangan: 1: PDRB ADHK 2000 (miliar rupiah) 2: PDRB Per Kapita (ribu rupiah)
3: Laju Pertumbuhan Ekonomi 4: Persentase Kemiskinan
7
Tabel 1.3. Jumlah Dana Simpanan Masyarakat per Provinsi (Rp 000), tahun 2008. Provinsi Giro Tabungan Deposito Subtotal NAD 7.259.531 6.036.217 5.000.677 18.296.425 Sumatera Utara 14.172.780 28.556.509 34.398.209 77.127.498 Sumatera Barat 3.823.352 6.270.497 4.040.365 14.134.214 Riau 11.111.516 12.870.351 7.738.126 31.719.993 Jambi 2.444.936 4.719.675 3.088.946 10.253.557 Sumatera Selat 5.311.963 11.156.291 10.073.584 26.541.838 Bengkulu 1.628.706 2.048.665 635.694 4.313.065 Lampung 2.143.227 6.498.216 5.027.459 13.668.902 Kep. Bangbel 2.361.119 3.384.293 1.790.783 7.536.195 Kep. Riau 5.583.102 5.546.692 3.556.590 14.686.384 DKI Jakarta 167.355.042 125.569.193 434.862.205 727.786.440 Jawa Barat 23.461.739 49.612.782 56.182.719 129.257.240 Jawa Tengah 10.602.944 36.419.377 32.808.822 79.831.143 DIY 2.515.570 8.293.985 6.073.816 16.883.371 Jawa Timur 28.336.825 57.121.604 70.309.728 155.768.157 Banten 6.534.400 13.153.274 13.025.309 32.712.983 Bali 5.783.679 12.425.928 9.107.437 27.317.044 Kal. Barat 3.673.965 8.044.610 4.833.105 16.551.680 Kal. Tengah 3.209.144 3.194.966 1.141.977 7.546.087 Kal. Selatan 4.304.509 7.578.511 3.354.327 15.237.347 Kal. Timur 11.664.486 14.598.200 11.360.109 37.622.795 Sulawesi Utara 1.272.577 3.854.309 2.853.617 7.980.503 Sulawesi Tengah 1.430.170 2.774.504 1.049.741 5.254.415 Sulawesi Selatan 4.486.995 13.343.965 8.135.207 25.966.167 Sulawesi Tengg 1.289.042 2.380.913 727.915 4.397.870 Gorontalo 203.067 923.567 576.570 1.703.204 Sulawesi Barat 485.616 801.744 67.789 1.355.149 NTB 1.337.029 3.504.828 1.179.148 6.021.005 NTT 2.407.249 3.576.483 1.724.908 7.708.640 Maluku 1.228.372 1.961.493 1.299.098 4.488.963 Maluku Utara 863.944 1.244.241 483.644 2.591.827 Papua Barat 1.802.344 1.797.330 847.044 4.446.718 Papua 6.021.707 4.965.088 3.940.950 14.927.745 Indonesia 346.110.647 464.228.301 741.295.618 1.551.634.566 Sumber: Bank Indonesia (2008) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia.2009. Hal 529
Selanjutnya indikator yang dapat menggambarkan proses pembangunan ekonomi yang terpusat di Jawa, khususnya DKI Jakarta adalah kepemilikan dana dan investasi.
Semakin banyak perputaran uang di suatu wilayah dapat
menggambarkan potensi pembangunan di daerah tersebut. Dalam Tabel 1.3
8
menunjukkan jumlah dana simpanan masyarakat di semua provinsi di Indonesia. Dari total Rp 1.551.634.566.000 dana simpanan masyarakat di perbankan Indonesia di bulan September 2008, penguasaan semua provinsi di Pulau Jawa sebesar 73,6 persen, sedangkan penguasaan di DKI Jakarta hampir setengah dari total semua yaitu 46,9 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan adanya ketimpangan distribusi simpanan masyarakat antara DKI Jakarta dengan wilayahwilayah lain di Indonesia. Perdagangan luar negeri merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian setiap negara. Dewasa ini tidak ada satu negara pun dimuka bumi yang tidak melakukan hubungan dengan pihak luar. Begitu juga dengan Indonesia. Perdagangan luar negeri menjadi semakin penting, bukan saja dalam kaitan dengan haluan pembangunan yang berorientasi ke luar, yakni membidik masyarakat di negara-negara lain sebagai pasar hasil-hasil produksi dalam negeri, tapi juga berkaitan dengan pengadaan barang-barang modal untuk memacu industri dalam negeri.6 Data ekspor dan impor selama ini masih menunjukkan dominasi DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional. Seperti yang terlihat pada nilai ekspor dan impor non-migas per provinsi pada Tabel 1.4. Dimana pada tahun 2006 dan 2007 nilai ekpor non-migas DKI menempati urutan pertama yaitu sebesar 29.034,40 dan 31.280,90 atau 36,48 dan 33,92 persen dari nilai total ekspor nasional. Begitu juga dengan nilai impor non-migas DKI Jakarta pada tahun yang sama senilai 25.442,90 dan 33.019,00 atau 60,43 dan 62,84 persen dari nilai total impor non-migas nasional. Angka ekspor dan impor yang sedemikian
6
Dumairy. Perekonomian Indonesia (Jakarta: Erlangga,1996), h. 178.
9
tinggi di DKI Jakarta tidak menunjukkan kepemilikan. Sehingga terjadinya ketimpangan data ekspor dan impor karena lokasi pelaksanaan ekspor dan impornya saja. Namun hal tersebut mengidikasikan bahwa infrastuktur untuk mendukung kegiatan ekspor dan impor tersedia hanya di wilayah-wilayah tertentu saja. Tabel 1.4. Ekspor dan Impor Non-Migas per Provinsi ( dalam juta US$) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Provinsi DKI jakarta Riau Jawa Timur Sumatera Utara Kalimantan Timur Papua Jawa Tengah Sulawesi Selatan Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Lampung Sumatera Barat NTB Bangka Belitung Kalimantan Barat Jambi Sulawesi Utara Maluku Utara Sulawesi Tenggara Banten Jawa barat Bali Sulawesi Tengah Kalimantan Teng Bengkulu NAD Maluku Gorontalo NTT DI Yogyakarta Non-Migas
Ekspor 2006 2007 29.034,40 31.280,90 10.242,40 13.259,20 9.301,90 11.617,90 5.523,90 7.082,90 4.657,30 4.856,80 3.826,90 3.495,10 2.899,30 3.122,50 1.874,00 2.771,30 2.361,20 2.749,50 1.883,00 2.293,90 1.525,70 1.540,60 1.074,10 1.512,80 1.219,50 1.068,00 900,70 1.013,80 620,70 728,80 574,50 694,40 191,10 514,60 197,40 493,30 350,70 413,90 528,50 388,70 240,70 324,00 289,60 287,70 202,00 207,20 179,20 165,00 80,30 85,00 11,00 63,60 49,50 25,90 14,70 21,20 3,80 3,30 4,40 2,50 79.589,10 92.012,30
Impor 2006 2007 25.422,90 33.019,00 1.158,30 1.470,00 6.864,30 9.003,10 1.331,20 1.829,30 1.195,20 835,40 664,00 632,20 1.033,00 1.504,80 322,80 356,80 812,90 227,20 282,60 162,90 331,50 419,30 36,80 95,90 278,50 225,50 21,50 18,00 72,50 81,60 162,40 178,00 45,90 19,90 1,70 4,10 45,90 0,00 1.873,30 2.148,70 68,80 156,90 27,80 81,60 9,30 0,00 27,10 42,70 0,70 3,00 29,10 29,60 14,00 7,40 0,00 5,10 12,00 20,10 1,40 0,10 42.102,60 52.540,60
Sumber: Departemen Perdagangan (2008) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia.2009. Hal 525-526
10
Permasalahan seperti pertumbuhan ekonomi regional yang tidak merata, terpusatnya segala aktivitas ekonomi, bertambahnya rumah tangga miskin, dan pengangguran yang semakin meningkat merupakan tantangan yang harus dihadapi pemerintah Indonesia maupun masyarakat itu sendiri sebagai pelaku ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang kian membaik masih meninggalkan permasalahan yang harus dihadapi. Salah satu realitas pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pembangunan adalah terciptanya disparitas/ketimpangan pembangunan DKI Jakarta dengan luar DKI Jakarta. Berbagai penelitian dan kajian yang berdimensi regional, terutama mengenai kualitas pembangunan regional dan distribusi sumber daya spasial, akan selalu menjadi bahasan penting dan menarik di negara besar seperti Indonesia. Terlebih setelah dipertegasnya pengakuan dan pelaksanaan pelimpahan otonomi daerah dengan diberlakukannya Undang-Undang RI No. 22 dan 25 tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undang-Undang RI No. 33 tahun 2000 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang mengunakan prinsip dasar yaitu fungsi pokok pelayanan publik dilaksanakan di daerah, dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber penerimaan kepada daerah. Undang-Undang No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang No. 25/1999 tentang hubungan fiskal antar pemerintah menjadi kerangka hukum untuk pengenalan desentralisasi fiskal di Indonesia sedangkan Undang-Undang No. 32/2004 tentang pemerintah daerah serta Undang-Undang No.33/2004 tentang desentralisasi fiskal kemudian mengubah dan memperkuat desentralisasi fiskal.
11
Secara konsep, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukanlah hal baru di Indonesia. Kedua hal tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang RI No.5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Namun selama pemerintahan orde baru kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal belum dilaksanakan
secara
konsisten.
Pemerintah
pusat
kurang
serius
dalam
mendelegasikan wewenang ke daerah. Bahkan pemerintah daerah merupakan hasil dari sistem yang sentralistik dari pemerintah pusat. Sehingga kebijakan otonomi pada pemerintahan orde baru kurang berperan dalam mengurangi kesenjangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.7 Dengan adanya otonomi daerah dan desentralisasi diharapkan dapat mempermudah pemerintah untuk mengetahui dan memahami kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, dalam pelaksanaan pembangunan (ekonomi) untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kesenjangan menjadi tujuan utama, dapat lebih cepat tercapai. Bagi daerah, otonomi daerah dan desentralisasi ini dimaksudkan untuk menentukan berapa uang yang digunakan pemerintah daerah dalam pemberian pelayanan kepada mayarakat sehingga memberi kewenangan yang lebih kepada daerah tersebut dalam pengelolaan dan pembangunan wilayahnya. Belum memadainya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah hanya salah satu dari sekian banyak masalah dari otonomi daerah. Sejauh ini pelaksanaan otonomi daerah masih menyisakan banyak persoalan yang harus diatasi. Setidaknya ada beberapa masalah besar dan saling berkaitan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Antara lain semakin melebarnya ketimpangan 7
M. Ryaas Rasyid. Desentralisasi Fiskal dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Syamsuddin Haris, editor.(LIPI Press,2005), h. 4-5.
12
tingkat kemajuan pembangunan, kesejahteraan, dan kemampuan keuangan antar daerah. Selain itu masih minimnya kemampuan daerah dalam mengelola diri sendiri juga merupakan masalah yang dihadapi beberapa daerah di Indonesia. Politisasi (otonomi daerah), terutama dalam kasus pemekaran wilayah yang cenderung berlebihan hanya menyebabkan pemborosan uang negara. Demikian pula maraknya korupsi di daerah, memunculkan fenomena “desentralisasi korupsi”.8 Selain beberapa permasalahan tersebut, otonomi daerah juga memberikan beberapa tanda-tanda adanya pemerataan pembangunan. Saat ini mulai muncul tanda-tanda bahwa berbagai daerah yang pada masa lalu sangat pasif saat ini mulai aktif. Bahkan tanda-tanda peningkatan infrastuktur daerah sudah mulai terlihat pada gelombang pertama otonomi daerah. Tabel 1.5.Perkembangan Sekilas Infrastruktur Daerah Pasca-Otonomi Daerah (dalam persen) Pulau
1996 PLN¹
1999
SD² Aspal³ PLN¹
2002
SD² Aspal³ PLN¹
SD² Aspal³
Sumatera
38,69 85,54
53,83 48,93 86,37
53,31 53,41 87,53
58,58
Jawa & Bali
64,42 99,34
77,06 78,98 99,40
74,85 77,73 99,32
72,55
Kalimantan
44,80 90,41
29,91 52,08 93,75
30,60 56,57 92,24
32,40
Sulawesi
39,38 96,86
54,79 49,98 93,70
54,41 51,71 95,59
59,20
Maluku, 29,25 91,53 Papua, dan Nusa Tenggara
43,81 37,08 89,86
41,21 36,63 88,34
41,33
Sumber: Usman (2007) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia.2009. Hal 523 Keterangan: 1) Jumlah rumah tangga pelanggan PLN dibagi jumlah rumah tangga; 8
Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia: Kajian dan Renungan Terhadap Masalah-masalah Struktural, Transformasi Baru, dan Prospek Perekonomian Indonesi (Jakarta:Pernada Media Grup, 2009), h. 484.
13
2) Jumlah SD dibagi jumlah desa; dan 3) Jumlah desa beraspal dibagi jumlah desa.
Pada Tabel 1.5 memperlihatkan, untuk infrastuktur trasportasi (jalan raya beraspal) di Sumatera misalnya, pada tahun 1999 sekitar 53,31 persen jalan-jalan di desa sudah beraspal. Angka ini lebih rendah daripada data di tahun 1996 yang sudah mencapai 53,83 persen. Namun di tahun 2002 persentasenya meningkat menjadi 58,58 persen. Peningkatan persentase jalan beraspal di pelosok perdesaan pada periode 1999-2001 juga terjadi di Kalimantan, dari 30,6 menjadi 32,4 persen, Sulawesi dari 54,41 menjadi 59,20 persen. Adapun di Jawa dan Bali, pada periode yang sama justru terjadi penurunan persentase jalan beraspal di perdesaan, yakni dari 74,85 menjadi 72,55 persen. Penurunan infrastruktur listrik (persentase rumah tanggga pelanggan PLN) juga terjadi penurunan di Jawa dan Bali selama periode 1999-2002 (78,98 menjadi 77,73 persen). Hal serupa juga dialami oleh Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara, dari 37,08 menjadi 36,63 persen. Adapun daerah-daerah lainya (meliputi mayoritas daerah) di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi mengalami kenaikan persentase rumah tangga pelanggan PLN sehingga kondisi infrastruktur listrik di daerah ini mengalami perbaikan. Peningkatan yang paling signifikan terjadi di Sumatera (48,93 menjadi 53,41 persen), di susul Kalimantan (52,08 sampai 56,57 persen), lalu Sulawesi (49,98 menjadi 51,71 persen). Selain perbaikan infrastuktur di daerah, pembangunan daerah juga ditopang oleh lebih meratanya kepemilikan dan peredaran uang di seluruh Indonesia. Pada Gambar 1.1, menunjukkan di tahun 1997, 86,6 persen dari seluruh simpanan (deposito) milik masyarakat di Indonesia ada di Pulau Jawa. Namun di Jawa pun sebenarnya tidaklah merata karena sebagian besar terpusat di DKI Jakarta, yaitu
14
sebesar 67,3 persen dan sisanya dibagi ke semua provinsi yang ada di Pulau Jawa. Sumatera hanya sebesar 7,3 persen, dan yang paling menyedihkan seluruh Indonesia bagian Timur hanya sebesar 6,2 persen. Kemudian tahun 2007, data masyarakat di perbankan di Pulau Jawa turun menjadi 75,3 persen, walaupun DKI Jakarta masih menguasai hampir setengah deposito masyarakat Indonesia. 80% 70% 60% 50% 1997
40%
2007
30% 20% 10% 0% Indonesia Timur
Jatim
Jateng & DIY
Jabar & Banten
Jakarta
Sumatera
Sumber: Bank Indonesia (2008) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia.2009. Hal 528
Gambar 1.1. Distribusi Regional Simpanan Masyarakat di Perbankan. Perubahan yang lebih signifikan terjadi pada penyaluran simpanan masyarakat itu oleh perbankan sebagai kredit. Pada Gambar 1.2, menunjukkan bahwa penyaluran kredit ke Sumatera dan Kawasan Indonesia Timur selama periode 1999-2007 masing-masing naik lebih dari dua kali lipat. Dalam kurun waktu yang sama, DKI Jakarta yang semula menguasai dua pertiga (68,2 persen) alokasi kredit perbankan nasional turun proporsinya menjadi sekitar sepertiganya (36,2 persen) dari kredit perbankan nasional, meskipun angka ini masih menunjukkan dominasi DKI Jakarta.
15
Lonjakan kredit tertinggi terjadi di Jawa Barat dan Banten yang mencapai hampir tiga kali lipat. Namun provinsi lain di Jawa tengah, Jawa Timur, dan DIY mengalami kenaikan kredit yang paling kecil. Secara keseluruhan pada tahun 2007, provinsi yang ada di Jawa masih menguasai 71,5 persen dari total kredit perbankan nasional. Proporsi ini sebenarnya sudah berkurang dibanding pada tahun 1997, sebelum otonomi daerah, ketika seluruh provinsi di Pulau Jawa menunjukkan angka 86,6 persen dari total kredit perbankan nasional.
80% 70% 60% 50% 40%
1997
30%
2007
20% 10% 0% Indonesia Timur
Jatim
Jateng & DIY
Jabar & Banten
Jakarta
Sumatra
Sumber: Bank Indonesia (2008) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia.2009. Hal 528
Gambar 1.2. Distribusi Regional Penyaluran Kredit Perbankan Pelaksanaan otonomi daerah sejauh ini memang banyak menimbulkan akses negatif. Para pengusaha mengeluh karena banyak pungutan yang tidak memiliki landasan yang kuat. Praktik korupsi yang hampir merata di seluruh daerah. Sementara itu pelayanan publik justru cenderung memburuk dan pembangunan infrastruktur dikesampingkan.
16
Meskipun demikian, banyaknya masalah dalam pelaksanaan otonomi daerah tidak dapat digunakan sebagai pembenaran untuk menyimpulkan bahwa otonomi harus diakhiri. Dari segi gagasannya, otonomi daerah tetap lebih baik dari pada sentralisme
dan
karenanya
tetap
layak
diteruskan
dan
diperjuangkan.
Bagaimanapun, secara ideal otonomi daerah dapat berfungsi sebagai jangkar pengaman untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yang efektif untuk meningkatkan kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Efektifitas pemerintahan antara lain diukur dari kemampuannya memenuhi pelayanan masyarakat dan mendorong pendayagunaan seluruh potensi sumber daya secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat.9 Selain beberapa keterbatasan pada pelaksanaannya, otonomi daerah telah menunjukkan hasil dan kemajuan yang cukup mengembirakan. Bahwa manfaat selama ini masih kurang jika dibanding dengan mudaratnya, kembali lagi bahwa otonomi daerah merupakan proses pembelajaran. Demi memperoleh pemahaman yang fair dan berimbang, perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut untuk melihat apa saja kemajuan dan manfaat yang selama ini sudah di capai dari otonomi daerah. Dalam hal ini masalah ketimpangan menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini, mengingat salah satu indikator bahwa otonomi daerah memberikan manfaat atau tidak, dapat diamati dari tingkat ketimpangan antar wilayah. Mengingat ketimpangan antar wilayah membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah.
9
Faisal Basri, op. cit., h. 519-534.
17
1.2 Perumusan Masalah Salah satu penyebab ketimpangan antar wilayah adalah pola pengembangan yang dilaksanakan pemerintah orde baru yang bersifat sentralistik. Sifat pemerintahan yang sentralistik yang terjadi selama ini disamping telah menyebabkan
terpuruknya
perekonomian
nasional
juga
menimbulkan
ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta. Ketimpangan tersebut mengakibatkan semakin melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin, ketimpangan antar wilayah dan ketimpangan antar sektor ekonomi. Belum optimalnya pemanfaatan sumber daya alam, rendahnya akses pasar baik pasar regional, nasional maupun internasional, kapasitas sumberdaya manusia, kelembagaan yang belum mendukung, infrastruktur yang kurang memadai, dan pembangunan ekonomi yang terfokus di kota-kota besar juga menyebahkan gap antar wilayah tersebut. Sedangkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus dimbangi oleh pemerataan pendapatan antar daerah. Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi ketimpangan yang dapat mengakibatkan masalah-masalah sosial, meskipun hal itu bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga faktor-faktor lainnya yang tidak dapat dipisahkan seperti kehidupan sosial, politik, kebudayaan dan sejarah. Contoh yang dapat di lihat di Indonesia, dimana ketimpangan pendapatan menyebabkan pula munculnya manifestasi ketidakpuasan rakyat, yang akhirnya dapat menimbulkan konflik horizontal. Serta ketidakpuasan daerah, yang memunculkan konflik vertikal.10
10
Tadjoeddin et al. Aspirasi Terhadap Ketidakmerataan: Disparitas Regional dan konflik Vertikal di Indonesia (UNSFIR,2001), h. 7-8.
18
Setelah diberlakukannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah telah mengubah secara fundamental tata cara bernegara di Indonesia. Kewenangan penuh pemerintah pusat hanya tersisa pada lima bidang saja, yakni: pertahanan-keamanan, politik luar negeri, keuangan, agama, dan kehakiman. Sisanya menjadi kewenangan penuh pemerintah daerah.
Saat ini
salah satu masalah utama otonomi daerah adalah kian tajamnya kesenjangan antara daerah-daerah itu sendiri. Belum lagi praktek korupsi yang hampir merata di seluruh daerah. Meskipun demikian, banyaknya masalah tentunya tidak seharusnya kita berkesimpulan bahwa otonomi daerah tidak memberi manfaat dan kemajuan bagi bangsa kita. Berkaitan dengan masalah di atas muncul pertanyaan mengenai pola pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta yang merupakan pusat perekonomian di Indonesia, serta daerah-daerah lain di luar DKI Jakarta di masa otonomi daerah maupun sebelum otonomi daerah. Apakah di masa otonomi daerah sekarang ini ketimpangan di DKI Jakarta maupun luar DKI Jakarta sudah berkurang dan apakah ada hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan berlaku. Pada masa otonomi daerah ini seharusnya pemerintah daerah berlomba meningkatkan perekonomian daerah dan mengurangi ketimpangan. Sehingga pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat diimbangi oleh pemerataan pendapatan antar daerah. Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
19
1. Bagaimana klasifikasi pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta berdasarkan Klassen Typology sebelum dan setelah otonomi daerah? 2. Bagaimana ketimpangan pendapatan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta sebelum dan setelah otonomi daerah? 3. Bagaimanakah trend ketimpangan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta sebelum dan setelah otonomi daerah?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis klasifikasi pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta berdasarkan Klassen Typology sebelum dan setelah otonomi daerah. 2. Menganalisis ketimpangan pendapatan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta sebelum dan setelah otonomi daerah. 3. Menganalisis trend ketimpangan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta sebelum dan setelah otonomi daerah.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi para akademisi, sebagai proses
pembelajaran
bagi
mahasiswa
dalam
meneliti
20
disparitas/ketimpangan antara DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta dan referensi bagi penelitian lebih lanjut dan mendalam. 2. Berguna untuk mengevaluasi kegiatan pembangunan dan sebagai rekomendasi kebijakan bagi pemerintah dalam mengatasi masalah disparitas/ketimpangan di Indonesia.
21
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Pembangunan Ekonomi Dalam kebanyakan literatur mengenai pembangunan ekonomi sebelum tahun 1970-an, pada umumnya pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai: Suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu negara meningkat berketerusan dalam jangka panjang.11 Dengan meningkatnya pertumbuhan tersebut diyakini akan menciptakan lapangan pekerjaan dan berbagai peluang ekonomi lain sehingga distribusi dari hasil-hasil pertumbuhan ekonomi akan menjadi lebih merata dan kesejahteraan masyarakat akan tercapai. Itulah yang secara luas secara luas dikenal sebagai prinsip “efek menetes ke bawah”.12 Dengan kata lain, tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan unsur yang lebih diutamakan dibanding dengan masalah kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan distribusi pendapatan. Namun, selama dekade 1970-an keberhasilan untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara berkembang gagal untuk memperbaiki taraf hidup sebagian besar penduduknya. Hal tersebut menunjukkan ada yang salah dengan mendefinisikan pembangunan itu sendiri. Para ekonom dan perumus kebijakan mulai beranggapan bahwa tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang tinggi bukanlah suatu indikator tunggal atas terciptanya kemakmuran dan kriteria kinerja pembangunan. Sejak itu mulai
11
Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan: Proses, masalah, dan Dasar Kebijakan (Jakarta: Kencana,2007), h. 11. 12 Efek “menetes ke bawah” merupakan salah satu topik penting dalam literatur mengenai pembangunan ekonomi pada tahun 1950-an sampai 1960-an. Dikembangkan pertama kali oleh Arthur Lewis (1954), dan diperluas oleh Ranis dan Fei (1968) dan lainya. Lihat Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia: Beberapa masalah penting, Jakarta:Ghalia Indonesia,2001, h.82.
22
mempertimbangkan untuk mengubah strategi guna mengatasi berbagai masalah mendesak seperti tingkat kemiskinan yang semakin parah, ketimpangan distribusi yang semakin tinggi, dan tingkat pengangguran yang semakin besar. Secara sederhana Sukirno mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai: pertumbuhan
ekonomi
ditambah
dengan
perubahan13.
Artinya,
suatu
pembangunan ekonomi dalam suatu negara tidak saja dilihat dari pertumbuhan PDB, tetapi juga perlu diukur dari perubahan lain yang berlaku dalam beberapa aspek kegiatan ekonomi seperti perkembangan pendidikan, perkembangan teknologi, peningkatan dalam kesehatan, peningkatan dalam infrastruktur yang tersedia,
penurunan
ketimpangan,
peningkatan
dalam
pendapatan
dan
kemakmuran masyarakat. Sedangkan Todaro dalam mendefinisikan pembangunan menjelaskan sebagai berikut: Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikapsikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.14 Dengan demikian, pembangunan harus mencakup perubahan secara keseluruhan, tanpa mengabaikan kebutuhan masyarakat yang beragam, untuk bergerak maju untuk mecapai kondisi kehidupan yang lebih baik, secara material maupun spiritual. Mengacu pada definisi pembangunan diatas, maka para ekonom memutuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan, Dudleey Seer dalam Todaro merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan bukan lagi 13 14
Sadono Sukirno, op cit, h. 11. Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, op. cit., h. 18-25.
23
menciptakan tingkat pertumbuhan PDB setinggi-tingginya, melainkan dalam pembangunan harus ada penanggulangan
ketimpangan pendapatan atau ada
pemerataan dalam distribusi pendapatan, penghapusan atau setidaknya terdapat penurunan tingkat
kemiskinan disuatu negara, dan yang terahir harus ada
penurunan tingkat pengangguran dalam konteks perekonomian yang terus berkembang.15 Walaupun memahami kekurangan-kekurangan dari data PDB maupun data pendapatan per kapita (pendapatan rata-rata penduduk) sebagai alat untuk mengukur tingkat kelajuan pembangunan ekonomi dan taraf kemakmuran masyarakat, hingga saat ini data pendapatan per kapita selalu digunakan untuk memberikan gambaran mengenai pembangunan ekonomi. Salah satu teori pembangunan ekonomi yang populer adalah teori yang dikemukakan oleh Walt Withman Rostow. Menurut Rostow, pembangunan ekonomi atau proses transformasi suatu masyarakat tradisional masyarakat
moderen
merupakan
suatu
proses
yang
menjadi
multidimensional.
Pembangunan ekonomi juga bukan hanya berarti perubahan struktur ekonomi suatu negara yang ditunjukkan oleh menurunnya peran sektor pertanian dan meningkatnya sektor industri saja. Dalam pembangunan ekonomi Rostow ada lima tahapan masyarakat dalam pembangunan ekonomi.16 Pertama, masyarakat tradisional (traditional society) yaitu masyarakat yang memiliki tingkat produksi per kapita dan produktivitas per pekerja masih sangat terbatas. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar sumber daya masyarakat digunakan untuk kegiatan dalam sektor pertanian. Terkadang dalam tahap 15
Ibid., Hal 19 Didin S. Damanhuri. Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang (Bogor: IPB Press,2010), h. 31. 16
24
masyarakat tradisional terdapat sentralisasi dalam pemerintahan dan kekuasaan politik masih di daerah yaitu oleh tuan-tuan tanah. Kedua, prasyarat tinggal landas (preconditions for take-off) atau biasa disebut masa transisi dimana masyarakat mempersiapkan dirinya untuk mencapai pertumbuhan dari kemampuannya sendiri. Rostow mengartikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang menyebabkan perubahan ciri-ciri penting dalam suatu masyarakat; yaitu perubahan dalam sistem politiknya, struktur sosialnya, nilai-nilai masyarakatnya, dan struktur kegiatan ekonominya. Proses pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan berlaku, jika perubahan-perubahan tersebut muncul. Suatu masyarakat yang telah mencapai taraf pertumbuhan ekonomi yang sering terjadi, sudah dapat dikatakan berada dalam tahap prasyarat tinggal landas.17 Ketiga, tahapan tinggal landas (the take-off), dalam tahap ini ditandai oleh terjadinya perubahan yang besar dalam masyarakat seperti revolusi politik, adanya inovasi-inovasi yang besar dalam terciptanya kemajuan, dan pasar semakin luas. Oleh karena itu ciri utama pada tahapan ini adalah adanya pertumbuhan ekonomi yang selalu terjadi. Keempat, tahapan menuju kedewasaaan (drive to maturity) ditandai adanya penggunaan teknologi moderen dalam pengelolaan sumber daya sehingga terjadi efektifitas yang tinggi. Kelima, tahap konsumsi massa yang tinggi
(high
mass-consumption)
merupakan
tahap
terahir
dalam
teori
pembangunan ekonomi menurut Rostow, pada tahap ini perhatian utama bukan lagi kepada produksi, melainkan pada masalah konsumsi dan kesejahteraan masyarakat.18
17 18
Ibid, h.32-34. Ibid, h.34-37.
25
Dalam membedakan proses pembangunan ekonomi menjadi kelima tahap seperti yang dijelaskan diatas, Rostow membuat penggolongannya berdasarkan kepada ciri-ciri perubahan keadaan ekonomi, politik, dan sosial yang terjadi. Menurut Rostow pembangunan ekonomi atau transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi suatu masyarakat moderen merupakan suatu proses yang memiliki banyak dimensi. Pembangunan ekonomi bukan saja berarti perubahan dalam struktur ekonomi suatu negara yang menyebabkan peranan sektor pertanian menurun dan peranan kegiatan industri meningkat. Akan tetapi pembangunan ekonomi antara lain adalah proses yang menyebabkan: 1. Perubahan orientasi organisasi ekonomi, politik, dan sosial yang pada mulanya mengarah ke dalam menjadi berorientasi ke luar. 2. Perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah anak dalam keluarga, yaitu dari menginginkan banyak anak menjadi membatasi jumlah keluarga. 3. Perubahan dalam kegiatan penanaman modal masyarakat dari melakukan penanaman modal yang tidak produktif menjadi penanam modal yang produktif. 4. Perubahan sikap masyarakat dalam menentukan kedudukan seseorang dalam masyarakat dari ditentukan oleh kedudukan keluarga atau suku bangsanya menjadi ditentukan oleh kesanggupan melaksanakan pekerjaan. 5. Perubahan dalam pandangan masyarakat yang pada mulanya berkeyakinan bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh keadaan alam sekitaranya dan selanjutnya berpandangan bahwa manusia harus memanipulasi keadaan alam sekitarnya untuk menciptakan kemajuan.19
19
Sadono Sukirno, op cit., h. 168.
26
Menurut Rostow perubahan-perubahan ini, dan banyak lagi perubahan yang bercorak sosial, politik, dan kebudayaan, merupakan perubahan yang selalu mengikuti tingkat perkembangan kegiatan ekonomi suatu masyarakat. Dengan melihat perkembangan ekonomi dan perubahan-perubahan dalam struktur ekonomi yang terjadi di Indonesia, muncul pertanyaan pada tahapan manakah Indonesia saat ini? Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut haruslah ada pengkajian yang lebih dalam sehingga dapat diterima oleh berbagai kalangan. Teori selanjutnya adalah teori perubahan struktural. Teori ini fokus terhadap mekanisme yang membuat negara-negara berkembang dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi
dengan
cara
mentransformasikan
struktur
perekonomiannya dari yang semula sektor pertanian yang bersifat tradisional menjadi dominan ke sektor industri manufaktur yang lebih moderen dan sektor jasa-jasa. Teori ini dirumuskan oleh W. Arthur Lewis. Menurut Lewis, proses pembangunan di negara berkembang mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja yang dikenal dengan model dua-sektor Lewis (Lewis two-sector model). Model pembangunan ini menjelaskan bahwa perekonomian yang terbelakang terdiri dari dua sektor. Pertama yaitu sektor tradisional, yaitu sektor perdesaan subsistem yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan 0. Kondisi ini yang melatarbelakangi Lewis untuk mendefinisikan suplus tenaga kerja (surplus labor).20 Kedua, sektor industri
perkotaan dengan tingkat produktivitas tinggi
sehingga dapat menampung tenaga kerja dari sektor subsistem. Perhatian utama model ini terletak pada proses pengalihan tenaga kerja, pertumbuhan output, dan
20
Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, op. cit., h. 133-134.
27
peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor moderen. Sedangkan percepatan terjadinya pertumbuhan output ditentukan oleh tingkat investasi di industri dan akumulasi modal di sektor moderen. Dalam teori ini, Lewis menyimpulkan bahwa trasformasi struktural perekonomian dengan sendirinya akan terjadi dan suatu perekonomian pada akhirnya akan beralih dari perekonomiaan pertanian tradisional yang berpusat di daerah pedesaan menjadi sebuah perekonomian industri moderen yang beroriantasi pada pola kehidupan perkotaan. 21 Selanjutnya Lewis menunjukkan pula pentingnya pembangunan seimbang di sektor produksi yang menghasilkan barang-barang kebutuhan dalam negeri dan barang-barang untuk diekspor. Peranan sektor ekspor dalam pembangunan dapat ditunjukkan dengan merujuk pada implikasi dari timbulnya perkembangan yang tidak seimbang antara sektor dalam negeri dan sektor luar negeri. Untuk menjelaskan hal tersebut perekonomian perlu dibedakan menjadi tiga sektor, yaitu sektor pertanian, sektor industri, dan sektor ekspor. Apabila sektor industri berkembang, permintaan di sektor pertaniaan akan meningkat. Apabila kenaikan produksi sektor industri merupakan penggantian terhadap barang-barang impor, maka devisa yang dihemat dapat digunakan untuk mengimpor barang sektor pertanaian. Akan tetapi jika sektor pertanian tidak berkembang, maka akan harga pada sektor pertanian akan naik dan impor akan naik, sehingga meninbulkan defisit neraca pembayaran. Tetapi jika sektor ekspor berkembang, defisit neraca pembayaran dapat diatasi. Dengan demikian perkembangan sektor industri tanpa diikuti oleh sektor pertanian dapat terus berlangsung hanya apabila sektor ekspor
21
Ibid.
28
juga mengalami perkembangan. Dengan pendekatan yang sama dapat ditunjukkan bahwa perkembangan sektor pertanian tanpa diikuti perkembangan sektor industri, akan terus berlangsung hanya jika sektor ekspor berkembang. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan Lewis salah satu fungsi penting dari sektor ekspor adalah untuk menjamin kelangsungan pembangunan apabila tidak terdapat pembangunan yang seimbang di antara sektor-sektor dalam negeri, yaitu sektor industri dan sektor pertanian.22
2.2. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang sering diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan riil per kapita. Tujuan pembangunan ekonomi disamping untuk menaikan pendapatan nasional riil juga untuk meningkatkan produktivitas. Jadi dalam ekonomi pembangunan tidak hanya menggambarkan jalannya pengembangan ekonomi saja, tetapi juga menganalisis hubungan sebab akibat dari faktor-faktor perkembangan tersebut. Kenaikan output per kapita dalam jangka panjang juga dapat diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi. Jadi persentase pertambahan output itu haruslah lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk dan ada kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut. 23
Schumpeter (1934), dalam Boediono menjelaskan makna pertumbuhan ekonomi sebagai berikut:
22 23
Sadono Sukirno, Op cit, h. 280. Ibid., h. 100.
29
Pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan output masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi masyarakat tanpa adanya perubahan “teknologi” dalam produksi itu sendiri. Sebagai contoh adalah kenaikan Growth Domestic Product (GDP) yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk atau oleh pertumbuhan stok kapital (dengan teknologi lama).24 Pertumbuhan digunakan sebagai ungkapan umum yang menggambarkan tingkat perkembangan suatu negara yang diukur melalui persentase pertambahan pendapatan nasional riil. Pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi. Para ahli ekonomi mempunyai keterkaitan terhadap masalah perkembangan pendapatan nasional riil, juga kepada moderenisasi kegiatan ekonomi, misal: usaha merombak sektor pertaniaan yang tradisional, masalah percepatan pertumbuhan ekonomi dan masalah pemerataan pendapatan per kapita secara terus-menerus. Sedangkan pertumbuhan ekonomi belum tentu diikuti kenaikan pendapatan per kapita. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi terjadi ketika terdapat lebih banyak output dan dapat meliputi penggunaan input lebih banyak dan lebih efisien. Pembangunan ekonomi terjadi saat lebih banyak output juga perubahanperubahan dalam kelembagaan dan pengetahuan teknik dalam
menghasilkan
output yang lebih banyak. Pembangunan ekonomi menunjukkan perubahanperubahan dalam struktur output
dan alokasi input pada berbagai sektor
perekonomian di samping kenaikan output. Pada umumnya pembangunan selalu disertai dengan pertumbuhan, tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan pembangunan.25
24
Boediono.1982. Teori Pertumbuhan Ekonomi: Seri Sinopsis pengantar Ilmu Ekonomi No.4 (Yogyakarta: Balaksumur,1982), h. 55. 25 Sadono Sukirno. Pengantar Teori Makroekonomi (Jakarta: FE-UI, 2004), h. 414.
30
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan dan pembangunan ekonomi adalah istilah yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi lebih mengacu pada proses peningkatan produksi barang dan jasa. Sedangkan pembangunan ekonomi memiliki arti yang lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara keseluruhan.26 Menurut Todaro ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa. Ketiga faktor tersebut adalah : 1.
Akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia. Akumulasi modal terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabung dan diinvestasikan kembali dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan di kemudian hari.
2.
Pertumbuhan penduduk yang pada akhirnya akan memperbanyak jumlah angkatan kerja. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja (yang terjadi beberapa tahun setelah pertumbuhan penduduk) secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah jumlah tenaga produktif, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti meningkatkan ukuran pasar domestik.
3.
Kemajuan teknologi yang terjadi karena ditemukannya cara baru atau perbaikan atas cara-cara lama dalam menangani pekerjaan-pekerjaan tradisional. Dalam hal ini dikenal ada tiga klasifikasi kemajuan teknologi, yaitu :
26
Didin S. Damanhuri, op.cit., h. 31-37.
31
Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi apabila teknologi tersebut memungkinkan kita mencapai tingkat produksi yang lebih tinggi dengan menggunakan jumlah dan kombinasi faktor input yang sama. Inovasi yang sederhana, seperti pembagian tenaga kerja yang lebih spesifik yang dapat meningkatkan output, adalah contohnya. Kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja, terjadi apabila kemajuan teknologi dapat menghemat pemakaian modal atau tenaga kerja. Dengan kata lain penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita memperoleh output yang lebih tinggi dari jumlah input tenaga kerja atau modal yang sama. Terakhir adalah kemajuan teknologi yang hemat modal, merupakan fenomena yang cukup langka di negara yang relatif maju. Hal tersebut dikarenakan dalam penelitian di dunia pengetahuan dan teknologi di negara-negara maju yang merupakan tujuan utama adalah menghemat pekerja, bukan menghemat modal. Tetapi di negara berkembang kemajuan teknologi yang hemat modal sangat diperlukan. Kemajuan yang ini akan menghasilkan metode produksi padat karya yang lebih efisien.27 Salah satu teori yang memberikan perhatian khusus pada peranan kapital yang dapat diprensentasikan dengan kegiatan investasi yang ditanamkan pada suatu daerah untuk menarik kapital ke dalam daerahnya adalah teori pertumbuhan Harrod-Domar. Hal ini jelas akan berpengaruh pada kemampuan daerah untuk tumbuh sekaligus menciptakan perbedaan dalam kemampuan menghasilkan pendapatan. Investasi akan lebih menguntungkan apabila dialokasikan pada
27
Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, op. cit., h. 92-98.
32
daerah-daerah yang dinilai mampu menghasilkan return (pengembalian) yang besar dalam jangka waktu yang relatif cepat. Mekanisme pasar justru akan menyebabkan ketidakmerataan dimana daerah-daerah yang relatif maju akan tumbuh
semakin
cepat
sementara
daerah
yang
kurang
maju
tingkat
pertumbuhannya relatif lambat. Jadi, dalam model ini tingkat pertumbuhan daerah berbeda-beda, maka ketidakmerataan ini akan cenderung semakin melebar jika tidak ada faktor yang menyeimbangkan, misalnya pembangunan infrastruktur dan mobilitas tenaga kerja. Sehingga dalam teori ini, pertumbuhan ekonomi memerlukan investasi baru ditambah stok kapital yang telah ada dengan asumsi perekonomian dalam keadaan full employment.28 Untuk memperjelas pendapat Harrod-Domar bahwa dalam penanaman modal akan mempercepat proses pertumbuhan ekonomi dapat diterangkan dengan menggunakan pertolongan gambar. Dalam Gambar 2.1, fungsi S adalah fungsi tabungan. Karena teori ini memisalkan tingkat tabungan masyarakat adalah proposional dengan pendapatan nasional, maka fungsi tersebut dimulai dari titik O. Kemudian dimisalkan pula bahwa pada permulaannya perekonomian telah mencapai tingkat pengunaan sepenuhnya barang-barang modal yang tersedia. Tingkat tersebut adalah pada titik Ys₀=Y₀, dimana Ys₀ adalah jumlah keseluruhan kapasitas barang-barang modal pada tahun permulaan dan Y₀ adalah pendapatan pada waktu tersebut. Karena pemisahan ini, maka pada tahun tersebut penanaman modal haruslah mencapai sebesar tabungan pada tingkat kapasitas penuh dari barang-barang modal. Maka haruslah I = S₀.29
28 29
Ibid., h. 129. Sadono Sukirno, op cit., h. 261
33
Penanaman modal tersebut akan menaikkan kapasitas barang-barang modal pada masa berikutnya. Menurut teori Harrod-Domar penanaman modal sebesar I menyebabkan pada masa berikutnya kapasitas barang-barang modal sebesar ΔYs₀=ΔI. Pada gambar kenaikan tersebut berarti kenaikan kapasitas barangbarang modal dari Ys₀ menjadi Ys₁. Agar kapasitas barang-barang modal yang telah menjadi Ys₁ tersebut sepenuhnya digunakan, penanaman modal dalam tahun tersebut haruslah mencapai I + ΔI. 30
S,I S
I+ ΔI ΔI I S₀ Y Ys₀= Y₀
Ys₁
Sumber: Sukirno, Sadono. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. 2006. Hal 261.
Gambar 2.1 Teori Harrod-Domar dalam Grafik Dalam analisis teori-teori pertumbuhan mengenai proses pembangunan menekankan kepada peramalan akhir dari proses pembangunan ekonomi. Teoriteori pertumbuhan sebelum Neo-Klasik memberikan pandangan yang sangat pesimis mengenai keadaan proses pembangunan dalam jangka panjang. Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi Klasik, kelebihan penduduk akan menyebabkan masyarakat mengalami kemunduran kembali dalam pembangunannya. Sedangkan 30
Sadono Sukirno, op cit., h. 161.
34
menurut pandangan Schumpeter, pada tingkat pembangunan yang sangat tinggi akan menyebabkan masalah stagnasi atau ketiadaan perkembangan ekonomi. Sedangkan teori Harrod-Domar berpendapat babwa kekurangan dalam penanaman modal akan menimbulkan proses pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan masalah resesi yang lebih serius dari sebelum-sebelumnya.31
2.3.Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Untuk menghitung angka PDRB ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu: 1. Pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). 2. Pendekatan pengeluaran, PDRB adalah semua komponen permintaan akhir seperti: (a) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga nirlaba, (b) konsumsi pemerintah, (c) pembentukan modal tetap domestik bruto, (d) perubahan stok, dan (e) ekspor neto, dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). 3. Pendekatan pendapatan, PDRB meupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. PDRB Atas Dasar Harga berlaku (ADHB) digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi. PDRB ADHB menunjukkan pendapatan yang
31
Sukirna, Sadono. Op cit. Hal 269
35
yang memungkinkan dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah serta menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun. PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun, untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan/setiap sektor dari tahun ke tahun. Data PDRB ADHK lebih menggambarkan perkembangan produksi riil barang dan jasa yang dihasilkan oleh kegiatan ekonomi daerah tersebut. PDRB ADHB menurut sektor menunjukkan peranan sektor ekonomi dalam suatu daerah, sektor-sektor yang mempunyai peranan besar menunjukkan basis perekonomian suatu daerah. Dengan demikian PDRB secara agregatif menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan/balas jasa terhadap faktor produksi yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi di daerah tesebut. Sedangkan PDRB per kapita adalah besaran kasar yang menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk di suatu wilayah pada suatu waktu tertentu. PDRB per kapita didapat dengan membagi PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun di wilayah tersebut.32 Fungsi lain PDRB per kapita dalam analisis pembangunan ekonomi adalah menggambarkan tingkat kesejahteraan di antara wilayah. Semakin tinggi nilai pendapatan tersebut, semakin tinggi daya beli penduduk, dan daya beli yang bertambah ini meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
32
BPS, Pendapatan Regional DKI Jakarta:Regional income of DKI Jakarta 2005-2009 (Jakarta: BPS, 2009), h.18.
36
Walaupun memahami kekurangan-kekurangan dari data pendapatan perkapita (PDRB per kapita) sebagai alat untuk mengukur tingkat kelajuan pembangunan ekonomi dan taraf kesejahteraan masyarakat, hingga saat ini data pendapatan per kapita selalu digunakan untuk digunakan untuk memberikan gambaran mengenai pembangunan ekonomi.33
2.4.Ketimpangan Distribusi Pendapatan Kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, yang biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi pendapatan tersebut. Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya digunakan untuk berbagai keperluan kajian kuantitatif dan kualitatif. Kedua ukuran tersebut adalah distribusi ukuran dan distribusi fungsional. Distribusi ukuran (size distribution) mengukur besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang, sementara distribusi fungsional menekankan pada kepemilikan faktor-faktor produksi. Salah satu cara untuk mengukur ketimpangan menurut perspektif distribusi ukuran antara lain mengunakan Kurva Lorenz. Metode ini lazim digunakan para ekonom
untuk
menganalisis
statistik
pendapatan
perorangan
yang
memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerimaan pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar diterima dalam kurun waktu tertentu. Dalam kurva ini dapat dilihat tingkat ketimpangan atau tidak merata distribusi pendapatan dari seberapa jauh jarak Kurva Lorenz dari
33
Sadono Sukirno. op cit., h. 10-11.
37
garis diagonal. Semakin jauh jarak Kurva Lorenz dengan garis diagonal yang merupakan
garis
pemerataan
sempurna
maka
semakin
tinggi
tingkat
ketimpangannya.34 D Koefisien gini =
Persentase Pendapatan Garis pendapatan
A Kurva Lorenz
B
C Persentase Populasi
Sumber: Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. 2003. Hal 226.
Gambar 2.2 Kurva Lorenz untuk Memperkirakan Koefisien Gini Koefisien Gini digunakan untuk mengukur ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol hingga satu, dimana semakin mendekati nol semakin rendah tingkat ketimpangannya dan semakin mendekati satu semakin tinggi tingkat ketimpangannya. Koefisien gini dapat dihitung dengan cara membagi bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dengan luas setengah segi empat pada kurva Lorenz tersebut. Sedangkan contoh indikator distribusi fungsional misalnya bagian pendapatan nasional yang diterima oleh pemilik faktor produksi tenaga kerja. 34
Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, op. cit., h. 223.
38
Ukuran distribusi fungsional ini pada dasarnya membahas persentase penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai faktor produksi yang terpisah dan membandingkanya dengan persentase pendapatan total dalam bentuk sewa,bunga, dan laba. Dengan semakin berkembangnya konsep distribusi fungsional, konsep ini mampu menjelaskan besar atau kecilnya pendapatan dari suatu faktor produksi dengan memperhitungkan kontribusi faktor tersebut dalam seluruh kegiatan produksi. Kurva permintaan dan penawaran diasumsikan sebagai faktor yang dapat menentukan harga per unit dari masing-masing faktor produksi. Jika harga per unit produksi dikalikan dengan jumlah faktor produksi yang digunakan secara efisien, maka dapat dihitung total pendapatan yang diterima oleh setiap faktor produksi tersebut.35 Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Kebijakan pembangunan wilayah haruslah dapat mengatasi masalah ketimpangan. Karena jika ketimpangan pendapatan tinggi akan menyebabkan berbagai masalah dalam proses pembangunan wilayah seperti berikut: 1. Ketimpangan pendapatan yang tinggi akan menyebabkan inefisiensi ekonomi dan mempersulit masyarakat yang berpendapatan rendah untuk menyediakan pendidikan maupun dalam pengembangan bisnis mereka. 2. Dengan tingkat ketimpangan yang tinggi dapat melemahkan stabilitas dan solidaritas. Lebih lagi, ketimpangan yang tinggi dapat memperkuat
35
Ibid., h. 228.
39
kekuatan politis golongan kaya yang digunakan untuk mengarahkan berbagai hasil pembangunan untuk kepentingan mereka sendiri. 3. Selanjutnya tingkat ketimpangan yang tinggi dipandang tidak sesuai dengan prinsip keadilan.36 Dalam perencanaan pembangunan, diabaikanya dimensi spasial membuat kegiatan pembangunan daerah lebih ditentukan oleh mekanisme pasar. Akibatnya modal dan orang cenderung memilih daerah yang menawarkan pengembalian yang tinggi, sehingga daerah yang maju semakin maju dan daerah yang tertinggal semakin tertinggal. Hal tersebut yang mendasari analisis disparitas regional, yaitu indikator
yang
menggambarkan
bagaimana
pendapatan
suatu
wilayah
terdistribusikan ke sub-sub wilayah tersebut. Hal ini konsisten dengan pemikiran Kuznets yang dituangkan dalam bentuk kurva U terbalik, yaitu sewaktu pendapatan perkapita naik, ketidakmerataan mulai muncul dan mencapai maksimum pada saat pendapatan pada tingkat menengah dan kemudian menurun sewaktu telah dicapai tingkat pendapatan yang sama dengan karakteristik negara industri. Peningkatan pertumbuhan dimungkinkan dengan berkembangnya sektor pemimpin (leading sector). Kondisi ini akan memunculkan efek merembes ke bawah bagi golongan miskin dengan meningkatnya upah buruh melalui sektor lain.37
36 37
Ibid., h. 235. Ibid., Hal 240
40
2.5 Indeks Williamson Ukuran ketimpangan pembangunan yang mula-mula ditemukan adalah Indeks Williamson. Secara Ilmu Statistik, indeks ini sebenarnya adalah coefficient of variatition yang lazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan. Istilah Indeks Williamson muncul sebagai penghargaan kepada Jeffrey G. Williamson yang mula-mula mengunakan teknik ini untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah dalam studinya pada tahun 1966. Jaffrey G. Williamson dalam studinya ingin menguji kebenaran hipotesis Neo-klasik yang berpendapat bahwa pada permulaan pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan mencapai titik puncak. Setelah itu, jika proses pembangunan berlanjut, maka secara berangsur-angsur ketimpangan akan menurun. Dengan kata lain, Williamson ingin menguji kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah di negara berkembang adalah berbentuk U-terbalik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Hipotesis Neo-klasik yang diformulasika secara teoritis ternyata terbukti benar secara empirik. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembangunan suatu negara tidak secara otomatis dapat menurunkan ketimpangan pembangunan antar wilayah, tetapi pada tahap permulaan justru terjadi hal yang sebaliknya.38 Berbeda dengan koefisien gini yang lazim digunakan dalam mengukur distribusi pendapatan, Indeks Williamson mengunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita sebagai data dasar. Alasanya karena yang dibandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah dan bukan tingkat
38
Sjafrizal, op cit., h.104-108.
41
kemakmuran antar kelompok. Walaupun indeks ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu antara lain sensitif terhadap definisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan, namun demikian indeks ini cukup lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.39
2.6 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah). Daerah otonom, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah). Pengertian otonom secara bahasa adalah berdiri sendiri atau dengan pemerintahan sendiri, sedangkan daerah adalah suatu wilayah atau lingkungan pemerintah. Menurut istilah otonomi daerah adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan idiologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
39
Ibid.
42
Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu seperti politik luar negri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidangbidang tersebut menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman. Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab (akan fungsi-fungsi publik) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah disebut desentralisasi. Semakin besar suatu negara (dilihat dari penduduk dan luas wilayah) maka semakin kompleks dan “heterogen” pemerintahannya, hal ini bisa dilihat dari tingakatan pemerintah daerah. Desentralisasi dan sentralisasi adalah cara untuk melakukan penyesuaian tata kelola pemerintahan dengan pendistribusian fungsi pengambilan keputusan dan kontrol. Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan dilain pihak terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Oleh karena itu, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai kebijakan pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perekonomian daerah. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu. Akan tetapi dengan adanya otonomi daerah, setiap wilayah memiliki kewenangan sendiri untuk mengatur daerahnya masing-masing. Daerah yang memiliki potensi yang besar dan kelembagaan yang solid dan bebas korupsi yang akan lebih cepat berkembang dibanding daerah lainnya. Masing-masing daerah
43
akan bersaing untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah
ketimpangan antar daerah
meningkat. Hal ini karena perbedaan sumber daya daerah dan kesiapan dari masing-masing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Diharapkan pada tahun-tahun selanjutnya, setiap daerah mulai dapat mengembangkan daerah masing-masing dalam rangka mendorong proses pembangunan ekonomi di era otonomi daerah. Selanjutnya tingkat ketimpangan pada tahun-tahun berikutnya setelah awal pemberlakuan otonomi daerah berangsur-angsur turun. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tentu tidak lepas dari berbagai masalah maupun kendala. Karena otonomi daerah dilandaskan atas nilainilai kebebasan, kemungkinan terjadi dampak positif dan dampak negatif mempunyai peluang yang sama besar. Kebebasan yang tidak mampu dikendalikan oleh pihak yang menjalankan kebebasan itu sendiri dan lemahnya law enforcement akan lebih besar kemungkinannya untuk menghasilkan dampak negatif dibanding dampak positif.40 Perkembangan seperti ini telah menimbulkan banyak polemik di dalam masyarakat mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Karena otonomi daerah cukup kondusif bagi terjadinya konflik. Kebebasan yang menyertai otonomi seringkali ditafsirkan sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri dengan mengelola sumber daya manusia menurut kepentingan sendiri yang merupakan sumber konflik yang amat potensial dimasa-masa saat ini. Otonomi daerah hanyalah dapat berjalan dengan baik bila ada pemahaman yang baik terhadap kebebasan dan
40
Maswadi Rauf. Desentralisasi Fiskal dan Otonomi Dearah: Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Syamsuddin Haris, editor.(LIPI Press,2005), h. 162.
44
kewenangan daerah, disamping adanya kemampuan mengendalikan diri dalam menjalankan kebebasan.41
2.7. Penelitian Terdahulu Sejak tahun 1970-an hingga saat ini sudah banyak penelitian dan pengkajian mengenai pembangunan ekonomi regional di Indonesia yang memfokuskan pada ketimpangan antar pulau, ketimpangan antar provinsi, maupun ketimpangan antar kabupaten di provinsi tertentu. Penelitian terdahulu yang digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini dapat dikategorikan berdasarkan persamaan topik maupun metode yang digunakan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah dalam menganalisis ketimpangan antar wilayah di Indonesia dengan metode indeks Williamson. Tadjoeddin melakukan penelitian untuk menganalisis ketimpangan regional dengan memakai data kabupaten/kota tahun 1996. Dalam penelitian ini menemukan bahwa dari jumlah kabupaten/kota yang ada pada tahun itu, ada sejumlah kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi yang menjadikan daerah-daerah tersebut menjadi daerah kantong (enclave regions). Daerah-daerah ini adalah daerah yang memiliki kekhususan dalam hal karakteristik perekonomiannya, dimana daerah tersebut berkembang dengan pesat karena merupakan pusat perekonomian, perdagangan, industri maupun karena penghasil tambang maupun SDA lainnya. Hasil perhitungan Tadjoeddin
41
Ibid, h. 168.
45
menunjukkan jika daerah kantong tersebut tidak dimasukkan ke dalam analisis, ketimpangan PDRB per kapita antarprovinsi menjadi sangat rendah.42 Tabel 2.1. Beberapa Indeks Ketimpangan Regional Dalam PDRB Per Kapita Menurut Kabupaten/Kota (Atas Harga Konstan 1993) 1993 1994 1995 1996 1997 1998 Gini Tanpa Migas
0,363
0,366
0,371
0,378
0,381
0,363
Tanpa Migas dan Daerah 0,248 Kantong Theil
0,251
0,256
0,267
0,271
0,257
Tanpa Migas
0,263
0,268
0,275
0,282
0,288
0,266
Tanpa Migas dan Daerah 0,102 Kantong L – Indeks
0,104
0,108
0,119
0,122
0,109
Tanpa Migas
0,213
0,217
0,222
0,230
0,234
0,212
Tanpa Migas dan Daerah 0,096 Kantong CV Williamson
0,098
0,102
0,110
0,114
0,103
Tanpa Migas
0,923
0,938
0,962
0,966
0,982
0,965
Tanpa Migas dan Daerah 0,483 Kantong
0,489
0,511
0,526
0,534
0,501
Keterangan: Daerah kantong adalah 13 daerah kaya yang merupakan pusat pembangunan industri, perdagangan dan jasa ( Kota Batam, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timut, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Kudus, Kota Surabaya, Kota Kediri, Badung, Kutai, Benau, Kota Samarinda). Sumber: Tdjoeddin. 2001. Disparitas Regional dan Konflik Vertikal di Indonesia. UNSFIR. Hal 24
Seperti yang terlihat pada Tabel 2.1, tahun 1993-1999 nilai koefisien gini sekitar 0,36-0,38 dan tambah tinggi lagi menjadi 0,41 jika migas juga di masukkan, tetapi jika tidak memasukkan daerah kantong dan tanpa migas, nilai Gini dari distribusi PDB nasional per kapita turun hingga berkisar antara 0,24 dan 0,27. Selain itu, penelitian ini juga melakukan analisis dekomposisis ketimpangan pendapatan regional ke dalam dua komponen, yakni ketimpangan pendapatan 42
Tadjoeddin et al, op cit., h. 23.
46
antar individu di dalam provinsi dan ketimpangan pendapatan pendapatan antar provinsi, dengan mengunakan indeks Theil dan indeks L. Hasilnya juga menunjukkan kecenderungan yang sama, adanya migas dan daerah kantong memperparah ketimpangan regional di Indonesia.43
Tabel 2.2. Indeks Ketimpangan Williamson Antar Provinsi Di Indonesia 1995-2003 Tahun Indonesia Indonesia (Termasuk DKI Jakarta) (Tanpa DKI Jakarta) 1993 0,560 0,440 1994 0,590 0,460 1995 0,630 0,480 1996 0,670 0,490 1997 0,690 0,510 1998 0,660 0,520 1999 0,670 0,530 2000 0,660 0,520 2001 0,650 0,510 2002 0,650 0,510 2003 0,640 0,500 Sumber : Sjafrizal. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. 2003, h. 114
Sjafrizal menganalisis ketimpangan pembangunan antar wilayah
di
Indonesia periode 1993-2003. Disamping mengukur tingkat ketimpangan dan tendensinya, studi ini juga mencoba melihat pengaruh DKI Jakarta terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengaruh DKI Jakarta terhadap ketimpangan antar wilayah di Indonesia cukup besar karena struktur ekonominya yang cukup berbeda dengan provinsiprovinsi lain. namun demikian, hasil perhitungan dengan mengeluarkan DKI
43
Ibid.
47
Jakarta ternyata indeks ketimpangan masih cukup tinggi yaitu sekitar 0,50 pada tahun 2003.44 Tabel 2.3. Indeks Ketimpangan Williamson Antar Pulau di Indonesia tahun 1996-2006 No. Tahun CVw 1.
1996
0,225
2.
1997
0,224
3.
1998
0,250
4.
1999
0,247
5.
2000
0,261
6.
2001
0,240
7.
2002
0,234
8.
2003
0,233
9.
2004
0,229
10.
2005
0,216
11.
2006
0,210
Sumber : Refa,2009.Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Bogor. Hal 45.
Refa melakukan penelitian untuk menganalisis tingkat ketimpangan pendapatan antar pulau di Indonesia dengan mengunakan formulasi Williamson. Dalam penelitian ini menganalisis pengaruh pertumbuhan PDRB terhadap ketimpangan pendapatan antar pulau di Indonesia. Kesimpulannya, ketimpangan pendapatan antar pulau yang terjadi di Indonesia terbagi dalam enam pulau tergolong rendah. Selain itu, Refa menyimpulkan bahwa hubungan pertumbuhan PDRB dengan indeks ketimpangan pendapatan lemah dan besarnya kontribusi pertumbuhan PDRB terhadap perubahan ketimpangan pendapatan kecil. Sedangkan
perbedaan
sebelumnya, yaitu: 44
Sjafrizal, Op cit, h.113-114.
penelitian
ini
dengan
penelitian-penelitian
48
1. Dalam penelitian ini lebih menitikberatkan kepada pembangunan di DKI Jakarta, serta menganalisis pola pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta, pada saat pemerintah melaksanakan kebijakan pembangunan yang lebih mengarah ke sentralistik yaitu sebelum otonomi daerah dan setelah otonomi daerah diberlakukan. 2. Dalam penelitian ini akan menganalisis trend ketimpangan pendapatan DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta. Baik
sebelum maupun setelah
otonomi daerah dengan mengunakan metode analisi diskriptif, Klassen Typology, Indeks Williamson, dan Analisis Trend Ketimpangan. Data yang akan digunakan mulai dari tahun 1993-2011. 3. Selanjutnya yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini akan menganalisis hubungan antara peningkatan PDRB per kapita DKI Jakarta dengan Ketimpangan DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta dalam periode tahun 1993-2011.
2.8. Kerangka Pemikiran Pembangunan ekonomi di Indonesia masih meninggalkan masalah yang sama dihadapi oleh beberapa negara berkembang lainnya. Masalah yang timbul adalah ketimpangan antar daerah. Hal ini disebabkan karena perbedaan kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan. Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi terhadap kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan Pemerintah Pusat.
49
Analisis yang pertama dilakukan adalah analisis diskriptif. Analisis diskriptif ini memberikan gambaran umum kondisi pembangunan wilayah DKI Jakarta
dan
Luar
DKI
Jakarta.
Analisis
selanjutnya
adalah
dengan
mengklasifikasikan sektor-sektor ekonomi per wilayah, laju pertumbuhan ekonomi, dan PDRB per kapita di wilayah DKI Jakarta maupun luar DKI Jakarta. Kemudian dibagi berdasarkan empat kategori berdasarkan analisis Klassen Typology sektoral. Langkah berikutnya adalah analisis ketimpangan/disparitas ekonomi di wilayah DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta yang dapat dilihat dari berfariasinya nilai PDRB per kapita dan jumlah penduduk di setiap wilayah tersebut. Selanjutnya akan dianalisis dan dihitung tingkat keparahan ketimpangan di setiap wilayah amatan dengan mengunakan rumus ketimpangan antar wilayah, yaitu
formulasi
Williamson,
kemudian
didapatkan
indeks
ketimpangan
Williamson dan dilihat trend ketimpangan sebelum dan setelah diberlakukannya kebijakan otonomi daerah dengan menggunakan grafik. Hasil akhir dari penelitian ini adalah implikasi kebijakan bagi pemerintahan pusat maupun daerah untuk mengatasi masalah ketimpangan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta, yaitu dengan memperhatikan sektor yang ditengarai menjadi penyebab ketimpangan karena hanya terpusat di daerah tertentu namun memiliki share yang lebih tinggi bagi PDRB di wilayah Jakarta dan luar DKI Jakarta. Ketimpangan juga dihubungkan dengan sektor-sektor unggulan di masing-masing wilayah dan dilihat posisi relatif masing-masing wilayah. Dengan melihat potensi dari masing-masing wilayah, dapat dilihat dari besarnya kontribusi masingmasing sektor bagi nilai PDRB wilayahnya. Dengan demikian, dapat pula sektor-
50
sektor yang ditenggarai menjadi penyebab naik atau turunya indeks ketimpangan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta.
Berikut adalalah gambar kerangka pemikiran dalam Gambar 2.4:
Kebijakan Pembangunan Nasional
Pertumbuhan Ekonomi di DKI Jakarta
Sebelum Otonomi Daerah 1990-1999
Setelah Otonomi Daerah 2000-2010
Ketimpangan Wilayah
Ketimpangan Wilayah
Klasifikasi Wilayah ( Klassen Typology)
Ketimpangan Antar Wilayah (Indeks Williamson)
Pola kesenjangan Wilayah Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah Seiring Pertumbuhan Ekonomi Jakarta
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran
51
III. METODELOGI PENELITIAN
3.1.Pengertian Metodelogi Penelitian Secara umum, metodologi penelitian dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu atau studi mengenai sistem atau tata cara untuk melaksanakan penelitian. Jadi yang dibahas adalah metode-metode ilmiah untuk melaksanakan kegiatan penelitian. Dengan demikian, untuk bidang tertentu, misalnya penelitian ekonomi dapat didefinisikan sebagai suatu proses penyelidikan untuk menemukan sesuatu yang baru, menerapkan, mengembangkan, dan menguji kebenaran sesuatu pengetahuan yang telah ada yang berkaitan dengan ekonomi dengan menggunakan metode-metode ilmiah tertentu sebagai dasar untuk mewujudkan tujuan dan menemukan jawaban dari persoalan yang dihadapi.45 Sementara M. Hassan Su’ud mendefinisikan metodelogi penelitiaan sebagai berikut: Metodelogi penelitian adalah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan yang berkaitan dengan prosedur atau cara mengetahui sesuatu dengan menggunakan langkah-langkah yang sistematis, berencana dan memenuhi cara-cara ilmiah terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan.46
3.2. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini mengunakan data sekunder yang diperoleh dari beberapa sumber antara lain: Badan Pusat Statistik Pusat, publikasi beberapa penelitian terdahulu, jurnal, artikel, dan internet. Data yang digunakan adalah data PDB
45 46
Bambang Juanda. Metodelogi Penelitian Ekonomi dan Bisnis (Bogor:IPB-Press,2009), h. 1. M. Hassan Su’ud. Metodelogi Penelitian Aplikasi Dalam Menyusun Usul Penelitian (2002), h. 5
52
Negara Indonesia, PDRB provinsi-provinsi di Indonesia, jumlah penduduk Indonesia, jumlah penduduk per-provinsi di Indonesia, serta beberapa data sekunder lainnya.
3.3. Metode Analisis Teknis analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Klassen Typology, Indeks Ketimpangan Williamson, dan Analisis Trend Ketimpangan.
3.3.1. Klassen Typology Klassen Typology membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita. Sumbu vertikal adalah rata-rata pertumbuhan ekonomi dan rata-rata PDRB per kapita sebagai sumbu horisontal. Pendekatan ini daerah-daerah pengamatan dibagi dalam empat kuadran,yaitu: 1. Daerah yang maju dan tumbuh dengan pesat (Kuadran I). Kuadran ini merupakan kuadran daerah dengan laju pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (g) dan memiliki pertumbuhan PDRB per kapita (gki) yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (gk). Klasifikasi ini biasa dilambangkan dengan gi>g dan gki>gk. 2. Daerah maju tapi tertekan (Kuadran II). Daerah yang berada pada kuadran ini memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (g), tetapi memiliki pertumbuhan PDRB per kapita (gki) yang
53
lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (gk). Klasifikasi ini biasa dilambangkan dengan gi
gk. 3. Daerah yang masih dapat berkembang dengan pesat (Kuadran III). Kuadran ini merupakan kuadran untuk daerah yang memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (g), tetapi pertumbuhan PDRB per kapita daerah tersebut (gki) lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB per kapita daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (gk). Klasifikasi ini biasa dilambangkan dengan gi>g dan gki
47
H. Setopo. Modul 4 Klassen typology Sektoral dan Parsial. Htt://www.scribd.com/doc/2908449Modul-4-Tipologi-Klassen.htm, h. 4.
54
Tabel 3.1. Klasifikasi Tipologi Klassen Pendekatan Daerah Kuadran I
Kuadran II
Daerah maju da tumbuh dengan pesat
Daerah maju tapi tertekan
gi>g, gki>gk
gigk
Kuadran III
Kuadran IV
Daerah yang masih dapat
Daerah relatif tertinggi
berkembang dengan pesat
gi
gi>g, gki
3.3.2 Indeks Williamson. Williamson (1965) meneliti hubungan ketimpangan antar wilayah dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi yang sudah maju dan ekonomi yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih matang dari pertumbuhan ekonomi tampak adanya keseimbangan antar daerah dan ketimpangan berkurang secara signifikan.48 Untuk mengetahui ketimpangan pembangunan antar provinsi yang ada di Indonesia, sebelum dan setelah otonomi daerah dapat dianalisis dengan menggunakan indeks ketimpangan regional (regional in equality) yang dinamakan Indeks Ketimpangan Williamson.
48
Tulus Tambunan, op. cit., h. 146.
55
√∑(
IW=
)
........................................................................................(1)
Di mana: Yi= PDRB per kapita di provinsi i Y = PDB per kapita Indonesia fi = jumlah penduduk di provinsi i n = jumlah penduduk Indonesia Indeks Ketimpangan Williamson (IW) yang diperoleh terletak antara 0 (nol) sampai 1 (satu). Jika IW mendekati 0 maka ketimpangan distribusi pendapatan antar provinsi di Indonesia adalah rendah atau pertumbuhan ekonomi ekonomi antar daerah merata. Jika IW mendekati 1 maka ketimpangan distribusi pendapatan antar provinsi di Indonesia adalah tinggi atau pertumbuhan ekonomi antar daerah tidak merata.49 Oshima dalam Matolla menetapkan sebuah kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah ketimpangan ada pada taraf rendah, sedang, atau tinggi. Untuk itu ditentukan kriteria sebagai berikut: a. Ketimpangan taraf rendah, bila indeks ketimpangan kurang dari 0,35. b. Ketimpangan taraf sedang, bila indeks ketimpangan antara 0,35-0,5. c. Ketimpangan taraf tinggi, bila indeks ketimpangan lebih dari 0,5.
3.3.3. Analisis Trend Ketimpangan Trend ketimpangan Indonesia dapat diamati dengan mengukur variance indeks terhadap 1. Untuk melihat seberapa jauh nilai indeks masing-masing 49
Ibid. Hal 146
56
region tersebut di sekitar 1 (karena 1 adalah indeks untuk tingkat Indonesia dan berarti merata sempurna). Jika variance-nya semakin besar maka semakin timpang, dengan rumus: Vx=
∑(
)
..............................................................................(2)
Di mana: Xi = angka indeks provinsi X = angka indeks Indonesia n = jumlah provinsi Vx = variance ( terhadap 1) Trend ketimpangan juga dapat diamati dari perkembangan nilai indeks ketimpangan pendapatan yang diperoleh dari perhitungan Indeks Ketimpangan Williamson yang kemudian digambarkan dalam sebuah grafik. Dalam penelitian ini trend ketimpangan hanya dilihat dari grafik, sehingga dapat dilihat naik atau turunya ketimpangan antar provinsi di Indonesia sebelum dan setelah otonomi daerah. Dengan trend ketimpangan dalam bentuk grafis tersebut, dapat diketahui periode yang mengalami peningkatan atau penurunan tajam.
57
IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara 6˚12’ Lintang Selatan dan 106˚ Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur Nomor 171 tahun 2007, adalah berupa daratan seluas 662,33 km² dan berupa lautan seluas 6.977,5 km². Wilayah administrasi provinsi ini terbagi menjadi 5 wilayah kota administrasi dan satu kabupaten administrasi, yaitu kota administratif Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara, masing-masing dengan luas daratan seluas 141,27 km², 188,03 km², 48,13 km², 129,54 km², dan 146 km² serta kabupaten administratif Kepulauan Seribu (8,70).50 Tabel 4.1. Luas Daerah dan Pembagian Daerah Administrasi Menurut Kabupaten/Kota Administrasi 2010 Kabupaten/Kota Adm.
Luas (km²)
Kecamatan
Kelurahan
8,70
2
6
Jakarta Selatan
141,27
10
65
Jakarta Timur
188,03
10
65
Jakarta Pusat
48,13
8
44
Jakarta Barat
48,13
8
56
Jakarta Utara
146,66
6
31
DKI Jakarta
662,33
44
267
Kep. Seribu
Sumber: Jakarta Dalam Angka: Jakarta in Figures 2011. BPS. Hal 12
50
BPS, Jakarta Dalam Angka: Jakarta in Figures (Jakarta:BPS,2011), h. 5.
58
Berdasarkan posisi geografisnya, Provinsi DKI Jakarta memiliki batasbatas: di sebelah utara membentang pantai dari barat ke timur sepanjang kuranglebih 35 km yang berbatasan dengan Laut Jawa, sementara disebelah selatan dan timur berbatasan dengan wilayah Provinsi Jawa Barat, sebelah barat dengan Provinsi Banten.
4.2. Demografi Jumlah penduduk DKI Jakarta tahun 2010, berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 oleh BPS penduduk DKI Jakarta sebanyak 9.609.091 jiwa. Dengan luas wilayah 662,33 km² berarti kepadatan penduduknya mencapai 14.508/km², sehingga menjadikan provinsi ini sebagai wilayah terpadat penduduknya di Indonesia. Tabel 4.2. Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota Administrasi Hasil Sensus Penduduk 2000 dan 2010. Kabupaten/Kota Penduduk Laju Pertumbuhan Adm. Penduduk per Tahun 2000 2010 1990-2010 2000-2010 Kepulauan Seribu
17 245
21082
1,78
2,03
Jakarta Selatan
1784044
2062232
0,40
1,46
Jakarta Timur
2347917
2693896
1,34
1,38
Jakarta Pusat
874595
902973
-0,87
1,32
Jakarta Barat
1904191
2281945
1,14
1,83
Jakarta Utara
1419091
1645659
1,00
1,49
Jumlah
8347083
9607787
0,78
1,42
Sumber : Jakarta Dalam Angka: Jakarta in Figures 2011.BPS. Hal 80
Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 4.2, maka dapat dilihat bahwa di tahun 2010 Jakarta Timur memiliki jumlah penduduk paling tinggi, yaitu 2.693.896 jiwa dan Kepulauan Seribu memiliki jumlah penduduk paling rendah,
59
yaitu 21.082 jiwa. Akan tetapi Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki laju pertumbuhan penduduk paling tinggi, yaitu 1,78 di tahun 1990-2010 dan 2,03 di tahun 2000-2010. Sedangkan Jakarta Pusat memiliki laju pertumbuhan penduduk paling rendah, yaitu -0,87 di tahun 1990-2010 dan 0,32 di tahun 2000-2010. 5000 4500 4000 3500 3000 Bekerja
2500
Mencari Kerja
2000 1500 1000 500 0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: Jakarta Dalam Angka: Jakarta in Figures 2011.BPS. hal 77
Gambar 4.1.
Penduduk Berusia 15 Tahun Keatas Yang Bekerja dan Mencari Pekerjaan, 2005-2010.
Tahun 2010 jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja yang terdaftar di Dinas Tenaga Kerja sebanyak 583 ribu orang. Jumlah tersebut lebih tinggi dibanding tahun 2009, yaitu sebesar
569 ribu orang. Nilai tersebut
cenderung tidak sebanding dengan jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas yang mencari pekerjaan yang pada tahun 2009 dan 2010 berjumlah 4.118.000 dan 4.690.000 orang.
60
4.3. Perkonomian DKI Jakarta 4.3.1. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta tahun 2010 mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Meskipun puncak krisis keuangan global yang melanda Amerika dan Eropa terjadi pada akhir tahun 2008 hingga awal 2009, namun efeknya dirasakan hingga akhir 2009. Perekonomian DKI Jakarta tumbuh 6,23 persen pada tahun 2008, pada tahun 2009 melambat menjadi 5,02 persen, dan tahun 2010 mengalami peningkatan kembali menjadi 6,51 persen. Pertumbuhan ekonomi tersebut lebih tinggi dibanding pertumbuhan nasional pada tahun 2008 sebesar 6,06 persen, tahun 2009 sebesar 4,5 persen, dan tahun 2010 sebesar 6,10 persen.
7 6 5 4 DKI Jakarta Indonesia
3 2 1 0 2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia 2011.BPS. hal 562
Gambar 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta Tahun 2006-2010
61
4.3.2. Struktur Ekonomi Menurut Lapangan Usaha Secara struktural, dari sisi penyediaan (supply), penciptaan nilai tambah di DKI Jakarta selama lima tahun terakhir masih didominasi oleh sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan, sektor perdagangan, hotel, dan restauran, dan sektor industri pengolahan. Ketiga sektor tersebut memberi kontribusi rata-rata sebesar 64,45 persen dari total PDRB per tahun.
2009
2008 Lainnya 2007 Keuangan, Perdagangan, dan Industri 2006
2005 0%
20%
40%
60%
80%
100%
Sumber : Pendapatan Regional DKI Jakarta: Regional Income of DKI Jakarta 2005-2009.BPS. hal 14.
Gambar 4.3. Peranan Sektor Andalan dalam PDRB atas Harga Berlaku Tahun 2000-2009 Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Indonesia menjadi pusat perputaran keuangan karena disini terdapat Bank Indonesia, kantor pusat bank-bank komersial, dan lembaga keuangan lainya. Hal ini membuat penciptaan nilai tambah sektor keuangan memberikan kontribusi terbesar dalam perekonomian DKI Jakarta, meskipun dengan kecenderungan menurun. Pada tahun 2005 kontribusi yang diberikan oleh sektor ini adalah 30,71 persen, kemudian turun menjadi 28,65 persen pada tahun 2007, dan 28,18 persen pada tahun 2009.
62
Berbeda dengan sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan, kontribusi yang diberikan oleh sektor perdagangan, hotel, lebih berfluktuatif dengan kecenderungan meningkat. Pada tahun 2005 sektor ini memberikan kontribusi 20,21 persen, kemudian di tahun 2007 dan 2009 meningkat menjadi 20,36 dan 20,62 persen. Sementara itu, kontribusi yang diberikan industri pengolahan dapat dikatakan stabil. Tabel 4.3. Peranan Sektor Ekonomi dalam PDRB atas Dasar Harga Berlaku 2005-2009 Lapangan Usaha 2005 2006 2007 2008 2009 Pertanian
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
Pertambangan dan penggalian
0,45
0,48
0,47
0,48
0,41
15,97
15,94
15,97
15,73
15,65
1,11
1,06
1,06
1,12
1,11
kontruksi
10,50
11,17
11,20
11,29
11,45
Perdagangan, Hotel & Restoran
20,21
20,04
20,36
20,68
20,62
8,18
8,81
9,32
9,35
9,86
30,71
29,81
28,65
28,56
28,18
12,77
12,59
12,87
12,69
12,62
Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih
Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Real estate & Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB PDRB Tanpa Migas
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 99,55
99,52
99,53
99,52
99,59
Sumber: Pendapatan Regional DKI Jakarta: Regional Income of DKI Jakarta 2005-2009.BPS. Hal 16
Pada tahun 2005 kontribusi sektor ini adalah 15,97 persen dan di tahun 2007 dan 2009 masing-masing kontribusinya adalah 15,97 persen dan 15,65 persen. Kondisi tata ruang di daerah ibukota sudah tidak memungkinkan bagi perusahaan
63
baru untuk berkembang, sehingga investor cenderung memilih untuk mendirikan perusahaan diluar wilayah DKI Jakarta.51 Sektor-sektor lain yang memberikan kontribusi di atas 9 persen adalah sektor jasa-jasa, sektor kontruksi, dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Dalam kurun waktu 2005-2009 rata-rata kontribusi sektor-sektor tersebut adalah sebesar 12,71 persen dari sektor jasa-jasa, 11,12 persen dari sektor konstruksi, dan 9,10 persen dari sektor pengangkutan dan komunikasi.
4.3.3. Struktur Ekonomi Menurut Komponen Pengeluaran Tinjauan struktur PDRB menurut pengeluaran menunjukkan alokasi penggunaan PDRB yang tercipta di suatu daerah pada satu kurun waktu tertentu. Tabel 4.4. Distribusi Persentase PDRB menurut Pengeluaran 2005-2009 Jenis Pengeluaran
2005
2006
2007
2008
2009
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Pengeluaran Konsumsi Lembaga Swadaya Nirlaba Pengeluaran konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto Perubahan Stok
51,95
52,66
54,63
54,35
55,37
0,98
1,00
1,21
1,28
1,48
5,36
5,28
6,19
7,07
8,19
36,90
35,74
37,49
35,79
34,80
-4,86
-4,26
-2,48
2,20
1,29
Ekspor Barang dan Jasa
62,08
57,95
55,93
54,33
53,79
Dikurangi Impor Barang dan Jasa
52,41
48,37
52,96
55,03
54,92
100,00 100,00
100,00
PDRB
100,00 100,00
Sumber : BPS: Regional Income of DKI Jakarta. 2005-2009.BPS. hal 17
Selama tahun 2005 hingga 2009, rata-rata sekitar 53,79 persen dari PDRB Jakarta Dari
sisi permintaan, konsumsi rumah tangga dan Pembentukan Modal Tetap Bruto 51
BPS,Pendapatan Regional DKI Jakarta:Regional income of DKI Jakarta 20052009,(Jakarta:BPS,2010), h. 15.
64
(PMTB) masih menjadi faktor utama penggerak perekonomian DKI Jakarta setiap tahunnya digunakan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga, sementara yang digunakan untuk pembentukan modal tetap bruto dan konsumsi pemerintah sekitar 36,14 persen dan 6,42 persen.
4.3.4. Perkembangan PDRB Per Kapita PDRB per kapita adalah besaran kasar yang menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk di suatu wilayah pada suatu waktu tertentu. PDRB per kapita didapat dengan membagi PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun diwilayah tersebut. PDRB per kapita DKI Jakarta atas harga berlaku pada tahun 2006-2010 cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 mencapai 89,73 juta rupiah, mengalami peningkatan jika dibanding tahun 2009, yaitu sebesar 79,84 juta rupiah. Begitu juga nilai PDRB per kapita atas harga konstan dimana dalam kurun waktu 2006-2010 cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 mencapai nilai 41,18 juta rupiah, mengalami peningkatan jika dibanding dengan tahun 2009, yaitu sebesar 39,14 juta rupiah. Tabel 4.5. PDRB Per Kapita Provinsi DKI Jakarta 2006-2010
2006
Harga Berlaku (Ribu rupiah) 55.879,1
Harga Konstan (Ribu rupiah) 34.837,5
2007
61.335,6
36.054,4
2008
72.317,6
37.782,5
2009
79.842,6
39.143,8
2010
89.735,4
41.181,6
Tahun
Sumber: Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia 2011.BPS. Hal 563-564
65
4.3.5. Inflasi/Deflasi Inflasi/Deflasi memberikan gambaran terjadinya perubahan harga. Fluktuasi harga tersebut akan berpengaruh terhadap daya beli konsumen akibat adanya ketidakseimbangan dengan pendapatan. Indeks harga ini dapat diturunkan juga dari PDRB yang disebut PDRB deflator atau dikenal dengan indeks implisit. Indeks ini merupakan perbandingan antara PDRB atas harga berlaku dengan atas harga konstan. Berbeda dengan indeks harga konsumen, indeks implisit menggambarkan perubahan harga ditingkat produsen. Indeks implisit PDRB yang dihasilkan akan menggambarkan perkembangan perubahan harga. Pertumbuhan indeks implisit inilah yang disebut sebagai indikator inflasi indeks harga implisit PDRB. Tabel 4.6. Indikator Inflasi Indeks Harga Implisit PDRB DKI Jakarta Menurut Lapangan Usaha 2005-2009 No Lapangan Usaha 2005 2006 2007 2008 2009 1.
Pertanian
7,88
10,56
14,55
2.
19,45 10,55
Pertambangan dan Penggalian
55,18
21,13
8,54
21,81
3.
Industri Pengolahan
10,09
9,97
8,09
13,41 11,05
4.
Listrik, Gas dan Air Bersih
6,10
5,22
7,87
18,57
6,14
5.
Kontruksi
12,94
14,87
4,96
11,98
6,65
6.
Perdagangan, Hotel & Restoran
7,80
7,73
7,30
13,88
7,14
7.
Pengangkutan & Komunikasi
10,58
8,88
3,68
4,52
1,92
8.
Keuangan, Real estate & Jasa
7,03
8,13
3,87
14,38
6,07
9,27
8,02
8,78
11,19
4,32
8,97
9,16
6,06
12,58
6,43
0,10
Perusahaan 9.
Jasa-jasa DKI Jakarta
Sumber: Pendapatan Regional DKI Jakarta: Regional Income of DKI Jakarta 2005-2009.BPS. Hal 19
66
4.4. Kondisi Perekonomian dan Pembangunan di Indonesia Perkembangan Perekonomian Indonesia dapat dilihat antara lain dari aspek pertumbuhan ekonomi. Mulai tahun 1994 sampai dengan 1996 laju pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi dan stabil yaitu sekitar 6 persen. Namun mulai tahun 1997 pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan bahkan mencapai nilai yang negatif di tahun 1998 yaitu -13,13 persen. Pertumbuhan ekonomi yang rendah pada saat itu disebabkan ketidakmampuan Indonesia dalam menghadapi krisis yang melanda Asia pada pertengahan 1997 silam. Setelah mengalami kontraksi yang besar pada tahun 1998, perekonomian Indonesia perlahan mulai bangkit lagi. Pada tahun 1999 perekonomian tumbuh sekitar 0,79 persen; tahun 2000 sebesar 4,92 persen; tahun 2001 sebesar 3,4 persen; tahun 2002 3,66 persen; tahun 2003 4,78 persen; tahun 2004 5,03 persen; tahun 2005 5,58 persen; dan di tahun 2006 sebesar 5,50. Pada tahun-tahun berikutnya pertumbuhan ekonomi menunjukkan peningkatan trend yang cukup positif, di tahun 2007 sebesar 6,28; tahun 2008 6,06; dan di tahun 2009 mengalami penurunan menjadi 4,58 persen yang tidak lain disebabkan efek krisis keuangan yang terjadi di Amerika dan di Eropa, dan di tahun 2010 kembali meningkat menjadi 6,10 persen. Kemampuan Indonesia untuk meningkatkan kembali pertumbuhan pasca krisis ini tidak lain disebabkan oleh tingginya tingkat konsumsi masyarakat. Bahkan sampai tahun 2011 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih didominasi oleh tingkat konsumsi masyarakat dan bukan investasi. Selanjutnya, perekonomian Indonesia dapat dilihat dari nilai PDB-nya. Dalam hal ini dapat dilihat dari nilai PDB berdasarkan harga berlaku dan nilai
67
PDB berdasarkan harga konstan 1993 maupun harga konstan 2000, seperti dapat dibaca pada Tabel 4.7 berikut ini. Tabel 4.7. PDB Indonesia Atas Dasar Harga Berlaku dan Konstan 1993 di Tahun 1993-2000 dan konstan 2000 di Tahun 2001-2010 (dalam miliar rupiah) Tahun Harga Berlaku Harga Konsatan 1993 dan 2000 1993
329.775,8
296.861,4
1994
382.219,9
320.652,5
1995
454.514,2
350.290,2
1996
532.567,5
378.871,2
1997
627.695,9
398.675,7
1998
955.753,9
341.992,6
1999
1.099.731,8
345.419,2
2000
1.264.918,7
363.758,8
2001
1.467.655,5
1.442.984,6
2002
1.821.833,4
1.506.124,4
2003
2.013.674,6
1.577.171,3
2004
2.295.826,2
1.656.516,8
2005
2.784.960,4
1.750.656,1
2006
3.339.216,8
1.847.126,7
2007
3.949.321,4
1.963.091,8
2008
4.948.688,4
2.082.456,1
2009
5.603.871,2
2.177.741,7
2010
6.422.918,2
2.310.689,8
Sumber
: Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia 2000,2004,2007,2009,2011.BPS. Hal 538-539, 542-544, 545-547, 564-566, 550-551
Pada Tabel 4.7 terlihat adanya perbedaan nilai PDB atas harga berlaku dengan konstan 1993 maupun 2000 yang cukup tinggi.
Berdasarkan harga
berlaku, nilai PDB tiap tahunnya terus mengalami peningkatan bahkan pada masa krisis melanda (1998) nilai PDB terus mengalami peningkatan. Untuk PDB atas
68
dasar harga konstan 1993, terlihat pada tahun 1993 hingga tahun 1997 nilai PDB mengalami peningkatan, namun pada saat krisis 1998 melanda nilai PDB mengalami penurunan sebanyak 57 triliun lebih walaupun di tahun-tahun selanjutnya kembali mengalami peningkatan. Keberhasilan dari pembangunan yang dilakukan oleh sebuah negara tidak hanya dilihat dari angka pertumbuhan ekonominya yang tinggi maupun besarnya PDB yang diperolehnya. Keberhasilan yang sebenarnya dari pembangunan sebuah negara dan yang merupakan tujuan akhir dari bernegara yaitu kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu indikator yang paling dekat dalam merepresentasikan tingkat kesejahteraan ini yaitu dapat dilihat dari pembangunan manusianya, dalam hal ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada Tabel 4.8 dapat dilihat sebanyak 5 provinsi di tahun 1996 IPM-nya sama dengan IPM Indonesia secara keseluruhan, bahkan 11 provinsi memiliki IPM yang lebih tinggi dari IPM Indonesia dan DKI Jakarta menduduki peringkat pertama. Setelah satu tahun Indonesia dilanda krisis keuangan (1999) IPM Indonesia mengalami penurunan dan ini tentu saja diikuti oleh penurunan IPM masing-masing provinsi. Penurunan IPM provinsi ini tidak terlalu buruk, terbukti dengan adanya peningkatan jumlah provinsi yang nilai IPM-nya di atas IPM Indonesia yakni menjadi 15 provinsi. Setelah empat tahun krisis melanda Indonesia (2002), IPM Indonesia kembali mengalami peningkatan dan DKI Jakarta masih memiliki nilai IPM yang paling tinggi. Di tahun 2009 nilai IPM Indonesia kembali mengalami peningkatan di angka 71,1 dan sekali lagi DKI Jakarta menempati nilai tertinggi di angka 77,3.
69
Tabel 4.8. Indeks Pembangunan Manusia tiap Provinsi di Indonesia Provinsi NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Kal. Barat Kal. Tengah Kal. Selatatan Kal. Timur Sul. Utara Sul. Tengah Sul. Selatan Sul. Tenggara Bali NTB NTT Maluku Papua Indonesia
1996 69 71 69 71 69 68 68 68 76 68 67 72 66 64 71 66 71 72 66 66 66 70 57 61 68 60 68
Indeks Pembangunan Manusia 1999 2002 2005 65,3 66,0 69,0 66,6 68,8 72,0 65,8 67,5 71,2 67,3 69,1 73,6 65,4 67,1 70,9 63,9 66,0 70,2 64,8 66,2 71,0 63,0 65,8 68,8 72,5 75,6 76,0 64,6 65,8 69,9 64,6 66,3 69,7 68,7 70,8 73,5 61,8 64,1 68,4 60,6 62,9 66,2 66,7 69,1 73,2 62,2 64,3 67,4 67,8 69,9 72,9 67,1 71,3 74,2 62,8 64,4 68,4 63,6 65,3 68,0 62,9 64,1 67,5 65,7 67,5 697 54,2 57,8 62,4 60,4 60,3 63,5 67,2 66,5 69,2 58,8 60,1 63,4 64,3 65,8 69,5
2009 71,3 73,8 73,4 75,6 72,4 72,6 72,5 70,9 77,3 71,6 72,1 75,2 71,0 68,7 74,3 69,3 75,1 75,6 70,0 70,2 69,0 70,9 64,1 66,1 70,3 65,8 71,1
Sumber: Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia 2011.BPS. Hal 177
Untuk melihat indikasi lain dari taraf jumlah
kesejahteraan dapat dilihat dari
penduduk miskin (Tabel 4.9). Sampai dengan tahun 2010, jumlah
penduduk miskin per provinsi yang memiliki persentase tertinggi pada tahun 2007 terdapat di Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Gorontola, Nusa Tenggara Timur, dan NAD, yakni rata-rata di atas 30 persen.
70
Tabel 4.9. Persentase Penduduk Miskin tiap Provinsi di Indonesia Provinsi NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatara Selelatan Bengkulu Lampung Kep. Bangbel Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua INDONESIA
2007 26,65 13,90 11,90 11,20 10,27 19,15 22,13 22,19 9,54 10,30 4,61 13,55 20,43 18,99 19,98 9,07 6,63 24,99 27,51 12,91 9,38 7,01 11,04 11,42 22,42 14,11 21,33 27,35 19,03 31,14 11,97 39,31 40,78 16,58
Persentase penduduk miskin 2008 2009 23,53 21,80 12,55 11,51 10,67 9,54 10,63 9,48 9,32 8,77 17,73 18,28 20,64 18,59 20,98 20,22 8,58 7,46 9,18 8,27 4,29 3,62 13,01 11,96 19,23 17,72 18,32 17,23 18,51 16,68 8,15 7,64 6,17 5,13 23,81 22,78 25,65 23,31 11,07 9,30 8,71 7,02 6,48 5,12 9,51 7,73 10,10 9,79 20,75 18,98 13,34 12,31 19,53 18,93 24,88 25,01 16,73 15,29 29,66 28,23 11,28 10,36 35,12 35,71 37,08 37,53 15,42 14,15
2010 21,0 11,3 9,5 8,7 8,3 14,2 17,5 16,9 5,8 7,4 3,5 11,3 15,8 16,1 14,2 6,3 4,2 19,7 21,2 8,6 6,6 5,3 6,8 8,5 15,8 10,3 14,6 18,8 13,9 23,0 9,2 31,9 32,0 12,5
Sumber: Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia 2008,2009,2011. BPS.Hal 585,182,172
Dibanding pada tahun 2007, persentase penduduk miskin pada tahun 2008 di semua provinsi relatif mengalami penurunan. Pada tahun 2008 ini terdapat empat provinsi yang masih dapat digolongkan sebagai provinsi dengan persentase
71
penduduk miskin relatif besar, yaitu lebih dari 25 persen. Keempat provinsi tersebut yaitu: Papua, Papua Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2009 provinsi dengan persentase penduduk miskin relatif besar menurun menjadi tiga provinsi yaitu: Papua, Papua Barat, dan Maluku. Pada pada tahun 2010 hanya Provinsi Papua dan Papua Barat yang memiliki persentase penduduk miskin relatif besar. Sedangkan provinsi dengan jumlah persentase penduduk miskin paling sedikit dari tahun 2007-2010 adalah DKI Jakarta. Penurunan jumlah provinsi dengan jumlah persentase penduduk miskin relatif besar juga diikuti dengan penurunan jumlah persentase penduduk miskin di Indonesia. Pada tahun 2007 persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 16,58, pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 15,42, pada tahun 2009 kembali mengalami penurunan menjadi 14,15, dan di tahun 2010 kembali mengalami penurunan menjadi 12,5.
72
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Parsial DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Sebelum Otonomi Deaerah Berdasarkan Pendekatan Klassen Typology Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisis mengenai klasifikasi pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia sebelum otonomi daerah. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan
alat analisis Klassen Typology
pendekatan parsial yang akan menentukan provinsi yang termasuk ke dalam kategori daerah yang maju dan tumbuh pesat (Kuadran I), daerah yang masih dapat berkembang dengan pesat (Kuadran II), daerah yang maju tetapi tertekan (Kuadran III), dan daerah yang relatif tertinggal (Kuadran IV). Berdasarkan Gambar 5.1 dapat dilihat bahwa sebelum otonomi daerah (1995-1999), daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh (Kuadran I) adalah Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Irian Jaya. Kondisi ini menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan PDRB ke empat provinsi tersebut lebih tinggi dari pada rata-rata laju pertumbuhan nasional, sedangkan rata-rata besarnya PDRB per kapita kedelapan provinsi tersebut juga lebih tinggi dari besaran angka PDB per kapita nasional pada periode amatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadinya krisis keuangan pada tahun 1998 relatif tidak berpengaruh secara besar bagi empat provinsi tersebut, sehingga laju pertumbuhan maupun PDRB per kapita delapan provinsi tersebut masih lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan dan PDRB per kapita nasional. Kuadran kedua merupakan daerah maju tapi tertekan, provinsi yang di kuadran ini adalah DKI Jakarta dan Jawa Timur. Hal ini menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta dan Jawa Timur lebih rendah dari pada laju
73
pertumbuhan ekonomi nasional, namun PDRB perkapita kedua purovinsi tersebut lebih tinggi dibanding PDB per kapita nasional. Faktor yang menyebabkan rendahnya laju pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta, terjadi karena krisis keuangan yang terjadi di tahun 1997. Hal tersebut karena struktur ekonomi di DKI Jakarta yang didominasi oleh sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan. Dimana pada periode amatan perputaran uang di DKI Jakarta merupakan yang terbesar di seluruh Indonesia. Sehingga krisis ekonomi pada tahun tersebut membuat DKI Jakarta menjadi daerah yang memiliki laju pertumbuhan sebesar 17,49, yang merupakan terkecil ke dua setelah Jawa Barat. Selain itu, proses pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan resesi yang serius di DKI Jakarta pada tahun tersebut, salah satunya disebabkan oleh penurunan penanaman modal yang diakibatkan krisis keuangan 1997. Hal ini sangat berpengaruh terhadap lambatnya laju pertumbuhan ekonomi dan kemampuan DKI Jakarta untuk menghasilkan pendapatan. Hal tersebut sesuai dengan teori Harrod-Domar dimana peranan investasi atau penanaman modal sangatlah penting dalam pertumbuhan ekonomi.52 Sementara itu 15 provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, DIY, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, NTB, dan NTT berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat (Kuadran III). Kondisi ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi di 15 provinsi tersebut lebih tinggi daripada laju pertumbuhan ekonomi nasional, sedangkan PDRB per kapita masing-masing provinsi lebih rendah daripada PDB
52
Sadono Sukirno, op cit, h. 256-257.
74
per kapita nasional. Sisanya, sebanyak tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Maluku menempati posisi sebagai daerah relatif tertinggal. Kondisi ini menunjukkan tidak ada satupun provinsi, apabila di lihat dari kedua sisi yaitu laju pertumbuhan dan besaran PDRB per kapita, yang lebih tinggi dari nasional. Tipologi Klassen Indonesia 12
Keterangan: Kuadran Kuadra III n III
10
Kuadran I
Pertumbuhan Ekonomi
8
6
4
2
0 0
5
10
15
20
25
30
-2
-4
-6
Kuadran Kuadra n IV IV
Kuadran II PDRB per Kapita
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung D.K.I. Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah NTB NTT Maluku Irian Jaya
Gambar 5.1. Klassen Typology Indonesia Tahun 1995-1999 Pada periode sebelum otonomi daerah (1995-1999), Jawa Barat dan Jawa Tengah merupakan daerah yang termasuk ke dalam daerah yang relatif tertinggal, hal tersebut dikarenakan laju pertumbuhan kedua provinsi tersebut pada tahun 1998 sangat kecil dan laju pertumbuhan ekonomi di tiga provinsi tersebut merupakan yang terkecil jika dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Sehingga
75
rata-rata laju pertumbuhan di ketiga provinsi tersebut masih jauh di bawah laju pertumbuhan Indonesia. Sedangkan nilai PDRB per kapita di kedua provinsi ini masih dibawah PDB per kapita nasional. Walaupun nilai PDRB di kedua provinsi ini relatif besar akan tetapi karena jumlah penduduk di ketiga provinsi ini juga relatif sangat banyak jika dibanding daerah lain, menyebabkan nilai PDRB per kapita di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih dibawah PDB per kapita nasional. Sedangkan di Provinsi Maluku, walaupun di tahun 1998 laju pertumbuhan ekonomi relatif besar, akan tetapi di tahun 1999 laju pertumbuhan Maluku merupakan yang terendah jika dibanding daerah-daerah lain di Indonesia yaitu 27,02. Sehingga rata-rata laju pertumbuhan pada periode amatan di provinsi Maluku masih jauh di bawah laju pertumbuhan Indonesia. Sedangkan nilai PDRB per kapita di daearah ini juga relatif rendah sehingga masih berada di bawah PDB per kapita Indonesia.
5.2. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Parsial di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Setelah Otonomi Daerah Berdasarkan Pendekatan Klassen Typology Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisis mengenai klasifikasi pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia setelah otonomi daerah. Pada pembahasan ini terdapat tujuh provinsi baru yang merupakan salah satu produk dari otonomi daerah. Ke tujuh provinsi tersebut antara lain, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Irian Jaya yang menjadi dua Provinsi yaitu Papua dan Papua Barat. Oleh karena itu secara tidak langsung salah satu faktor dalam perubahan
76
klasifikasi daerah pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah adalah hal tersebut. Klasifikasi provinsi pada pariode setelah otonomi daerah (2006-2010) dapat dilihat pada Gambar 5.2. Terdapat dua provinsi yang termasuk sebagai daerah cepat maju dan daerah cepat tumbuh (Kuadran I) yaitu Provinsi Kepulauan Riau dan DKI Jakarta. Sedangkan Provinsi Kalimantan Tengah yang sebelum otonomi daerah masuk ke klasifikasi cepat maju dan cepat tumbuh ( Kuadran I), namun setelah otonomi daerah provinsi tersebut masuk kuadran ketiga yang merupakan daerah yang berkembang cepat. Sedangkan Provinsi Kalimantan Barat dan Riau yang sebelum otonomi daerah masuk dalam kuadran pertama, namun setelah otonomi daerah masuk dalam kuaran empat yang merupakan daerah yang relatif tertinggal. Perubahan klafisikasi pada kuadran satu sebelum otonomi daerah kemungkinan terjadi karena pada saat krisis 1998 banyak daerah maju dengan tingkat konsentrasi industri yang tinggi, seperti di Jawa dan khususnya DKI Jakarta mengalami kemunduran ekonomi yang sangat tajam. Sedangkan provinsi yang relatif kurang maju pada umumnya adalah daerah-dearah pertanian, misalnya Kalimantan, dan sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan merupakan satu-satunya yang cukup mendapatkan keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Hal ini yang membuat perekonomian provinsi-provinsi tersebut tidak terlalu terpukul oleh krisis ekonomi.53 Sedangkan daerah yang sebelum otonomi daerah (1995-1999), termasuk ke dalam klasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh pada periode setelah otonomi daerah (2006-
53
Tulus Tambunan, op cit, h. 147.
77
2010) menjadi masuk ke kuadran dua maupun kuadran yang lain, kemungkinan terjadi karena dampak dari membaiknya perekonomian dan nilai tukar rupiah yang relatif sudah stabil.
Tipologi Klassen Indonesia 12
Kuadran III
Kuadran I
Kuadran IV
Kuadran II
10
Pertumbuhan Ekonomi
8
6
4
2
0 0
10
20
-2
-4
PDRB per Kapita
30
40
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
Gambar 5.2. Klassen Typology Indonesia Tahun 2006-2010 Sementara Provinsi yang berada pada klasifikasi daerah maju tapi tertekan (Kuadran II) adalah Kalimantan Timur dan Kepulauan Bangka Belitung yang sebelum otonomi daerah termasuk ke dalam porovinsi Sumatera Selatan.
78
Sedangkan provinsi yang berada dalam klasifikasi daerah berkembang cepat (Kuadran III) adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Papua Barat. Sementara provinsi yang mengalami peningkatan kuadran yaitu, Provinsi Jawa Barat yang sebelum otonomi daerah termasuk daerah relatif tertinggal (Kuadran IV), setelah otonomi daerah bergeser ke kelompok daerah berkembang cepat (Kuadran III). Sisanya adalah Provinsi yang berada dalam klasifikasi daerah yang relatif tertinggal, setelah otonomi daerah jumlahnya mengalami peningkatan dari hanya tiga menjadi sepuluh provinsi. Daerah yang termasuk dalam kuadran ke empat antara lain, Provinsi NAD, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, DIY, Jawa Tengah, NTT, Kalimantan Barat, Maluku, dan Papua. Kondisi ini menunjukkan bahwa di sepuluh provinsi tersebut posisi laju pertumbuhan PDRB dan besarnya angka PDRB per kapita lebih kecil dari laju pertumbuhan dan besarnya angka PDB per kapita Indonesia. Berdasarkan Gambar 5.1 maupun 5.2 menunjukkan bahwa perbandingan laju pertumbuhan ekonomi maupun PDRB per kapita baik sebelum otonomi daerah maupun setelah otonomi daerah dari pembentukan PDRB masing-masing provinsi terhadap laju pertumbuhan ekonomi maupun PDB per kapita Indonesia memiliki sebaran dan distribusi yang tidak merata. Sebelum otonomi daerah, provinsi lebih banyak mengelompok atau berada di klasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh (Kuadran I) dan daerah berkembang cepat (Kuadran III),
79
sedangkan setelah otonomi daerah, provinsi lebih banyak berada di klasifikasi daerah berkembang cepat (Kuadran III) dan daerah relatif tertinggal (Kuadran IV). Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa setelah otonomi daerah, ketimpangan dalam laju pertumbumbuhan dan PDRB per kapita antar provinsi cenderung mengalami penurunan. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah daerah yang termasuk daerah cepat maju dan cepat tumbuh sebelum otonomi daerah lebih banyak dibanding sebelum otonomi daerah. Sebaliknya jumlah daerah yang termasuk daerah yang relatif tertinggal sebelum otonomi daerah lebih sedikit dibanding setelah otonomi daerah. Hal tersebut seharusnya mendapat perhatian yang lebih. Karena, seperti yang telah diungkapkan oleh Rauf dimana otonomi daerah memungkinkan terjadi dampak positif maupun negatif yang memiliki peluang sama besar. Karena otonomi daerah yang dilandaskan terhadap nilai-nilai kebebasan, sehingga aspirasi terhadap ketidak merataan dalam kebijakan pembangunan dapat memicu terjadinya konflik.54 Aspirasi ini menginginkan kesempatan bagi daerah kaya untuk memanfaatkan kekayaannya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Hal ini didukung juga pernyataan Tadjoeddin dimana ketimpangan pendapatan menyebabkan pula munculnya manifestasi ketidakpuasan rakyat, yang menimbulkan konflik horizontal. Serta ketidakpuasan daerah, yang memunculkan konflik vertikal.55 Dari kedua pernyataan tersebut pada prinsipnya berupa penjaminan dalam pemenuhan kebutuhan dasar minimum bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa menghambat potensi pertumbuhan masing-masing daerah.
54 55
Maswadi Rauf, op cit, h. 162. Tadjoeddin et al, op cit, h. 7-8.
80
5.3. Analisis Ketimpangan Wilayah di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta. 5.3.1 Indeks Williamson di DKI Jakarta Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah. Ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah dapat dianalisis dengan menggunakan Indeks Williamson. Nilai Indeks Williamson atau CVw yang kecil menggambarkan tingkat ketimpangan yang rendah atau pemerataan yang baik, dan sebaliknya jika nilai CVw besar menggambarkan tingkat ketimpangan yang tinggi atau pemerataan yang lebih buruk. Adanya sejumlah kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi, yang antara lain disebabkan oleh keberadaan pusat bisnis, industri, dan perputaran uang yang tinggi di daerah tersebut menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi di antar kabupaten/kota di DKI Jakarta. Berdasarkan kriteria yang ada, ketimpangan antar daerah berada pada taraf rendah bila nilai Indeks Williamson < 0,35, ketimpangan taraf sedang bila nilai Indeks Williamson antara 0,35-0,50 dan ketimpangan taraf tinggi bila nilai Indeks Williamson >0,50. Setelah dilakukan perhitungan, sebelum otonomi daerah di tahun 1993-1999 nilai Indeks Williamson di Provinsi DKI Jakarta berada pada taraf tinggi. Adapun hasil perhitungan Indeks Williamson tanpa migas selama tahun 1993-2010 di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 5.1.
81
Tabel 5.1 Indeks Ketimpangan Williamson berdasarkan PDRB per kapita Tanpa Migas ADHK 2000 Provinsi DKI Jakarta Tahun 1993-2010 Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi Daerah Tahun
IW
Tahun
IW
1993
0,547
2000
0,623
1994
0,558
2001
0,672
1995
0,564
2002
0,697
1996
0,559
2003
0,766
1997
0,578
2004
0,756
1998
0,624
2005
0,777
1999
0,633
2006
0,780
2007
0,804
2008
0,815
2009
0,830
2010
0,834
Rata-rata
0,759
Rata-rata
0,580
Sumber: BPS, diolah
Berdasarkan Tabel 5.1, terlihat bahwa ketimpangan antar kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta pada periode sebelum otonomi daerah yaitu tahun 19931999 berada pada taraf tinggi dengan rata-rata sebesar 0,580. Pada tahun 1998 merupakan tahun dengan ketimpangan tertinggi pada periode sebelum otonomi daerah yaitu 0,633. Hal ini terjadi karena strategi kebijakan pembangunan pada saat itu masih terfokus di DKI Jakarta dan terlalu mengejar peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam periode waktu yang singkat. Membuat DKI Jakarta menjadi pusat aktivitas perekonomian dan pusat perputaran uang terbesar di Indonesia. Sehingga krisis keuangan pada tahun tersebut memberikan dampak buruk bagi perekonomian dan peningkatan ketimpangan di DKI Jakarta. Sedangkan pada periode setelah otonomi daerah, kecenderungan indeks Williamson tiap tahunnya menunjukkan ketimpangan yang relatif meningkat
82
setiap tahunnya mulai tahun 2000 sebesar 0,623 menjadi 0,672 pada tahun 2001. Kemudian terjadi peningkatan kembali sebesar 0,697 tahun 2002 menjadi 0,766 tahun 2003. Kemudian di tahun 2004 turun menjadi 0,756 dan di tahun-tahun selanjutnya kembali hingga mencapai nilai tertinggi pada tahun 2010 sebesar 0,834. Dengan melihat nilai rata-rata ketimpangan baik sebelum maupun setelah otonomi daerah mengindikasikan adanya ketimpangan yang tinggi antar kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta. Seperti diketahui dengan terpusatnya segala aktivitas ekonomi dan bisnis di DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap PDRB di wilayah tersebut maupun Provinsi DKI Jakarta secara keseluruhan. Dimana PDRB per kapita yang dimiliki oleh DKI Jakarta jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan provinsi lain. Hal ini yang mengindikasikan menjadi penyebab tingginya tingkat ketimpangan antar wilayah di DKI Jakarta yang dicerminkan dengan tingginya nilai indeks williamson yang dihasilkan. Selain itu, dengan adanya otonomi daerah, setiap wilayah memiliki kewenangan sendiri untuk mengatur daerahnya masing-masing. Daerah yang memiliki potensi yang besar, kelembagaan yang solid dan bebas korupsi yang akan lebih cepat berkembang dibanding daerah lainnya. Masing-masing daerah akan bersaing untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah
ketimpangan antar daerah
meningkat, hal ini disebabkan karena perbedaan kesiapan dari masing-masing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Pada tahun-tahun selanjutnya, setiap daerah mulai dapat mengembangkan daerah masing-masing dalam rangka mendorong proses pembangunan ekonomi di era otonomi daerah. Tingkat
83
ketimpangan pada tahun-tahun berikutnya setelah awal pemberlakuan otonomi daerah berangsur-angsur turun. 5.3.2 Indeks Williamson di Luar DKI Jakarta Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah. Ketimpangan pembangunan di luar DKI Jakarta pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah di analisis menggunakan pendekatan yang sama dengan pendekatan di DKI Jakarta, yaitu menggunakan indeks Williamson. Akan tetapi perhitungan indeks Williamson di luar DKI Jakarta bukan menggunakan data kabupaten/kota akan tetapi mengunakan data provinsi. Hal tersebut dikarenakan perhitungan ini untuk menganalisis ketimpangan antar provinsi di Indonesia tanpa DKI Jakarta. Adapun hasil perhitungan indeks Williamson tanpa migas selama tahun 1993-2010 di luar DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Indeks Ketimpangan Williamson Provinsi di Indonesia berdasarkan PDRB per kapita Tanpa Migas ADHK 2000 Luar DKI Jakarta Tahun 1993-2010 Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi Daerah Tahun
IW
Tahun
IW
1993
0,309
2000
0,324
1994
0,305
2001
0,308
1995
0,307
2002
0,333
1996
0,303
2003
0,361
1997
0,307
2004
0,350
1998
0,342
2005
0,350
1999
0,336
2006
0,351
2007
0,339
2008
0,335
2009
0,327
2010
0,336
Rata-rata
0,337
Rata-rata Sumber: BPS, diolah
0,315
84
Berdasarkan Tabel 5.2, terlihat bahwa sebelum otonomi daerah 1993-1999 indeks ketimpangan antar provinsi di Indonesia di luar DKI Jakarta berkisar antara 0,303 sampai 0,342, dangan rata-rata sebesar 0,315. Pada periode ini ketimpangan terbesar terjadi pada tahun 1998 yaitu sebesar 0,342, kemungkinan kenaikan tersebut disebabkan oleh dampak krisis moneter pada tahun 1997. Hal tesebut menandakan bahwa ketimpangan antar provinsi di luar DKI Jakarta tergolong rendah. Dengan melihat rendahnya nilai ketimpangan antar wilayah di luar DKI Jakarta, mengindikasikan bahwa pembangunan di DKI Jakarta sebelum otonomi daerah memberikan peran yang cukup besar terhadap ketimpangan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan penelitian Sjafrizal yang dalam studinya ingin menganalisis pengaruh DKI Jakarta terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah. Dalam studi ini disimpulkan bahwa pengaruh DKI Jakarta terhadap ketimpangan antar wilayah di Indonesia ternyata cukup besar, karena struktur ekonomi DKI Jakarta yang sangat berbeda dengan provinsi lain. Dimana terdapat konsetrasi kegiatan ekonomi yang yang tinggi di wilayah tersebut. Sehingga mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah.56 Pada awal otonomi daerah diberlakukan, yaitu pada tahun 2000 indeks ketimpangan antar provinsi di Indonesia di luar DKI Jakarta berada di angka 0,324 dan mengalami penurunan di tahun 2001 menjadi 0,308. Tahun 2002 indeks ketimpangan
mengalami
peningkatan
sebesar
0,025
yang
menandakan
ketimpangan pendapatan antar daerah semakin meningkat. Tahun 2003, nilai indeks ketimpangan kembali menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 0,361 yang menandakan ketimpangan pendapatan kembali meningkat. Sedangkan di
56
Sjafrizal, op cit, h. 113.
85
tahun 2004 hingga 2006 relatif stabil di angka 0,350 yang menandakan mulai tahun 2003 hingga 2006 ketimpangan antar wilayah di luar DKI Jakarta berada di taraf sedang. Tahun 2007 nilai indeks Williamson kembali turun menjadi 0,339, 0,335 dan 0,327 di tahun 2008 dan 2009. Sedangkan di tahun 2010 kembali mengalami kenaikan menjadi 0,336 pada Tahun 2010. Pada Tabel 5.2, menunjukkan bahwa di luar DKI Jakarta nilai rata-rata indeks Williamson, setelah otonomi daerah lebih tinggi dibanding sebelum otonomi daerah. Sebelum otonomi daerah sebesar 0,315 dan setelah otonomi daerah sebesar 0,337. Walaupun demikian nilai tersebut lebih rendah jika dibandingkan nilai rata-rata indeks Williamson DKI Jakarta yaitu 0,580 sebelum otonomi daerah dan 0,759 setelah otonomi daerah. Perlu dingat disini bahwa sebagaimana diungkapkan dalam studi Williamson bahwa indeks ini sensitif terhadap ukuran wilayah yang digunakan.57 Ini berarti bahwa bila ukuran wilayah yang digunakan berbeda, maka hal ini akan berpengaruh pada hasil perhitungan indeks ketimpangan. Dengan demikian, analisa perlu dilakukan secara hati-hati bila pembahasan menyangkut dengan perbandingan indeks ketimpangan antar wilayah dimana ukuran wilayahnya berbeda satu sama lainnya.
5.4 Analisis Trend Ketimpangan Pendapatan di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta. Trend ketimpangan dalam suatu wilayah dapat dilihat dalam bentuk grafis. Hasil perhitungan nilai indeks Williamson sebelum dan setelah otonomi daerah di DKI Jakarata berada pada rentang 0,547-0,834. Berdasarkan Gambar 5.1 pada tahun 1993-1997, trend ketimpangan DKI Jakarta mengalami kenaikan yang 57
Ibid, h. 108.
86
relatif kecil. Selanjutnya peningkatan trend yang relatif besar terjadi pada Tahun 1998 hingga mencapai 0,624. Pada Tahun 1999 indeks Williamson DKI Jakarta kembali mengalami peningkatan menjadi 0,633 yang merupakan angka terbesar dalam periode sebelum otonomi daerah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada akhrir tahun 1997, dengan cepat menggangu stabilitas ekonomi di DKI Jakarta. Berdasarkan analisis pada Tahun 2000 walaupun berada pada ketimpangan taraf tinggi, trend ketimpangan di DKI Jakarta mengalami penurunan. Akan tetapi di tahun-tahun berikuntnya trend ketimpangan antar wilayah di DKI Jakarta kembali mengalami peningkatan. Pada Tahun 2001,2002, dan 2003 kembali mengalami peningkatan masing-masing menjadi 0,672, 0,697, dan 0,766. Pada tahun 2004 kembali mengalami penurunan yang relatif kecil yaitu sebesar 0,010 dan mulai Tahun 2005 tiap tahunnya mengalami peningkatan hingga Tahun 2010. Trend ketimpangan pada periode analisis tertinggi terjadi di Tahun 2010 yaitu sebesar 0,834. Naik turunnya ketimpangan di suatu wilayah disebabkan oleh PDRB dan jumlah penduduk di masing-masing wilayah. Kenaikan atau penurunan yang tidak merata dari kedua faktor tersebut di masing-masing wilayah akan menimbulkan ketimpangan yang semakin tinggi antar wilayah. Selanjutnya, trend ketimpangan anatr provinsi di Indonesia di luar DKI Jakarta sebelum dan setelah otonomi daerah berada pada rentang 0,303-0,361. Pada tahun 1993 hingga 1997 trend ketimpangan antar provinsi di luar DKI Jakarta mengalami peningkatan dan penurunan kecil, yaitu pada rentang 0,303 sampai 0,309. Selanjutnya pada Tahun 1998, trend ketimpangan antar wilayah di luar DKI Jakarta mengalami peningkatan yang relatif tinggi menjadi 0,342 yang
87
merupakan angka tertinggi pada periode sebelum otonomi daerah. Pada tahun 1999 mengalami penurunan yang relatif kecil menjadi 0,336. Pada tahun 2000 dan 2001 kembali mengalami penurunan menjadi 0,324 dan 0,308. Selanjutnya peningkatan trend kembali merangkak ke tingkat yang lebih tinggi. Pada tahun 2002 trend ketimpangan kembali mengalami peningkatan dan berlanjut pada Tahun 2003 yang merupakan ketimpangan tertinggi pada periode analisis, yaitu sebesar 0,361. Sedangkan di tahun 2004 trend ketimpangan di luar DKI Jakarta kembali mengalami penurunan dan tidak berubah di angka 0,350 di Tahun 2005. Pada tahun 2006 kembali mengalami kenaikan relatif kecil yaitu 0,351 dan di tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan hingga tahun 2009, sebelum kemudian mengalami peningkatan di Tahun 2010 menjadi 0,336. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena adanya peningkatan maupun penurunan pada nilai PDRB dan jumlah penduduk di masing-masing provinsi di Indonesia di luar DKI Jakarta. Kenaikan atau penurunan yang merata dari kedua faktor tersebut di masing-masing wilayah akan menimbulkan pemerataan antar wilayah.
Trend Ketimpangan DKI Jakarta 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
Trend Ketimpangan Luar DKI Jakarta 0,38 0,36 0,34 0,32 0,3 0,28
Indeks Williamson
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
0,26 Indeks Williamson
Sumber: BPS, diolah
Gambar 5.3 Trend Ketimpangan di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta.
88
Dari gambar 5.1 dapat dilihat perbandingan antara trend ketimpangan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta, dapat diambil kesimpulan bahwa ketimpangan antar wilayah sebelum dan setelah otonomi daerah, DKI Jakarta lebih besar dibanding di luar DKI Jakarta. Trend ketimpangan di DKI Jakarta sebelum maupun setelah otonomi daerah cenderung mengalami kenaikan di setiap tahunnya. Sedangkan Trend ketimpangan antar wilayah di Luar DKI Jakarta lebih berfluktuatif jika disbanding di DKI Jakarta. Selanjutnya rata-rata ketimpangan antar wilayah di DKI Jakarta berada di taraf tinggi, sedangkan rata-rata ketimpangan antar wilayah di luar DKI Jakarta berada pada taraf rendah.
89
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. a. Sebelum otonomi daerah, jumlah provinsi lebih banyak berada di klasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh (Kuadran I) dan daerah berkembang cepat (Kuadran III). Sedangkan DKI Jakarta berada di klasifikasi daerah maju tapi tertekan (Kuadran II). b. Setelah otonomi daerah, jumlah provinsi lebih banyak berada di klasifikasi daerah berkembang cepat (Kuadran III) dan daerah relatif tertinggal (Kuadran IV). Sedangkan DKI Jakarta berada di klasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh (Kuadran I). Hal tersebut mengindikasikan bahwa dampak krisis 1998 terhadap DKI Jakarta relatif lebih besar dibanding luar DKI Jakarta. 2. a. Ketimpangan di DKI Jakarta sebelum dan setelah otonomi daerah (19932010) berada di taraf yang tinggi. Pada periode setelah otonomi daerah ketimpangan di DKI Jakarta relatif naik. b. Ketimpangan di Luar DKI Jakarta sebelum dan setelah otonomi daerah (1993-2010) berada di taraf yang rendah. Pada periode setelah otonomi daerah ketimpangan di Luar DKI Jakarta relatif mengalami kenaikan. Hal tesebut mengindikasikan bahwa daerah yang relatif maju dan siap dalam menghadapi otonomi daerah seperti DKI Jakarta, lebih mampu
90
meningkatkan kesejahteraan sosial, dilihat dari penurunan tingkat ketimpangan, dibanding daerah di luar DKI Jakarta.
3. a. Trend ketimpangan di DKI Jakarta relatif mengalami kenaikan setiap tahunnya. Indeks ketimpangan Williamson tertinggi terjadi di tahun 2010 dan terendah pada tahun 1993. b. Trend ketimpangan di luar DKI Jakarta relatif lebih berfluktuatif dibanding DKI Jakarta dan indeks ketimpangan Wiliamson tertinggi terjadi di tahun 2003 dan terendah di tahun 1996.
6.2. Saran Adapun saran yang direkomendasikan dalam penelitian ini adalah: 1.
Hendaknya kebijakan pemerintah daerah DKI Jakarta tidak hanya berorientasi terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi pada pemerataan pendapatan
dan
kesejahteraan
masyarakat.
Dengan
demikian
ketimpangan yang tinggi di DKI Jakarta dapat berkurang dan dengan demikian kemiskinan juga akan berkurang. 2.
Hendaknya pengembangan sektoral sesuai dengan potensi yang dimiliki tiap-tiap daerah di Indonesia, seperti sektor pertanian (dalam arti luas), hal ini terbukti karena merupakan sektor yang tahan krisis dan berpotensi besar untuk dikembangkan di Indonesia.
3.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, hendaknya setiap daerah memiliki kelembagaan yang solid dan bebas korupsi sehingga daerahdaerah akan lebih cepat untuk berkembang dan menciptakan
91
kesejahteraan sosial. Dengan adanya pemerataan atau pembangunan antar daerah akan lebih baik dalam perspektif keadilan sosial, dibanding dengan pembangunan yang sentralistik seperti yang terjadi di masa lalu yang tidak dapat mengatasi masalah ketimpangan di Indonesia 4.
Hendaknya ada kebijakan dari pemerintah pusat yang bertujuan mengatasi masalah pembangunan yang sentralistik dan mengurangi ketimpangan pembangunan di Indonesia, seperti misalnya pemindahan Ibukota dari DKI Jakarta ke daerah di luar Jawa sehingga diharapkan pembangunan akan lebih berimbang. Dengan demikian ketimpangan dan kemiskinan akan dapat berkurang.
92
DAFTAR PUSTAKA
Abid, 2010. Analisis Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Wilayah Provinsi Jawa Barat Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah [Skripsi]. Fakultas Ekonomi da Manajemen, IPB. Bogor. Arsyad, L.1999. Pengantar Perencanaan Daerah.BPFE. Yogyakarta
dan
Pembangunan
Ekonomi
Badan Pusat Statistik (BPS). 1990-2010.Berbagai tahun terbitan. Pendapatan nasional, PDRB, Laju Pertumbuhan Ekonomi, Persentase Penduduk Miskin. BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS). 2009. Regional Income of DKI Jakarta 2005-2009. BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS). 1996-2011. Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia 1996.BPS, Jakarta Badruddin, S. 2009. Teori dan Indikator Pembangunan. http://profsyamsiah .wordpress.com/2009/03/19/pengertian-pembangunan/ Buediono, 1985. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Seri Sinopsis. Pengantar Ilmu Ekonomi. No.4.BPFE. Yogyakarta. Basri, F. 2009. Lanskap Ekonomi Indonesia: Kajian dan Renungan Terhadap Masalah-masalah Struktural, Trasformasi Baru, dan Prospek Perekonomian Indonesia. Prenada Media Group. Jakarta. Damanhuri, D. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan (Teori, Kritik, dan Solusi Bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang). IPB Press. Bogor. Dumairy, 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Faisal, S. 2008. Format-format Penelitian Sosial. Rajawali Perss. Jakarta Haris, S. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi,Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. LIPI Press. Jakarta. Juanda, B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press.Bogor. Kuncoro, M. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Erlangga. Jakarta. Refa, 2009. Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Bogor.
93
Rustiadi, E. 2007. Perncanaan dan Pengembangan Wilayah Bogor. [Tesis]. IPB. Bogor. Setopo, H. Modul 4 Klassen typology Sektoral dan Spasial. http://www.scribd.com/doc/2908449-Modul-4-Tipologi-Klassen.htm Sjafrizal. 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Indonesia Bagian Barat. Prisma LP3ES, Jakarta.
Regional Wilayah
Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Baduose Media, Sumatra Barat.. Sukirno, S. 2004. Pengantar Teori Makroekonomi. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta. Sukirno, S. 2007. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Kencan. Jakarta Su’ud, M . 2002. Metodologi penelitian Aplikasi Dalam Menyusun Usul Penelitian. Tadjoedin, M.Z. 1996. Disparitas Pendapatan Reginal Indonesia Dalam Kaitan dengan Pola Pertumbuhan dan Investasi. [Skripsi]. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian IPB. Bogor Tadjoedin, M.Z, et al. Aspirasi terhadap Ketidakmerataan: Disparitas Regional dan Konflik Vertikal di Indonesia.UNSFIR. Jakarta. Tambunan, T. 2001. Perekonomian Indonesia: Beberapa Masalah Penting. PT. Ghalia Indonesia, Jakarta. Todaro M.P. 2006. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Edisi ketujuh. Erlangga, Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1993 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta CVw = 0,549
PDRB per Kapita (Rp) 22118797 16382969 44910236 17590767 48574595 24393729
Jumlah Penduduk (jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)^2 (Yi-Y)^2.fi/n 1830794 0.250471345 -2274932 5.17532E+12 1.29627E+12 1827446 0.250013305 -8010759 6.41723E+13 1.60439E+13 1130863 0.154713625 20516508 4.20927E+14 6.51232E+13 1436128 0.196477 -6802961 4.692803E+13 9.09301E+12 1084164 0.148324725 24180866 5.84714E+14 8.67276E+13 7309395 1.78284E+14
Lampiran 2. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1994 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta CVw =0,558
PDRB per Kapita (Rp) 23493272 16956751 49341426 18593776 50654085 25767157
Jumlah Penduduk (jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)^2 (Yi-Y)^2.fi/n 1887364 0.251133208 -2273885 5.17055E+12 1.2985E+12 1913274 0.2545808 -8810406 7.76233E+13 1.97614E+13 1119893 0.149013291 23574269 5.55746E+14 8.28136E+13 1470973 0.195728099 -7173381 5.14574E+13 1.00717E+13 1123886 0.149544601 24886927 6.19359E+14 9.26218E+13 7515390 2.06567E+14
94
Lampiran 3. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1995 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta CVw = 0,564
PDRB per Kapita (Rp) 25713748 18255957 53824390 20163171 55696022 28036048
Jumlah Penduduk (jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)^2 (Yi-Y)^2.fi/n 1903014 0.252146843 -2322300 5.39308E+12 1.35985E+12 1934874 0.256368251 -9780091 9.56502E+13 2.45217E+13 1117747 0.148100002 25788342 6.65039E+14 9.84922E+13 1473050 0.195177181 -7872878 6.19822E+13 1.20975E+13 1118560 0.148207723 27659974 7.65074E+14 1.1339E+14 7547245 2.49861E+14
Lampiran 4. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1996 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta CVw = 0,559
PDRB per Kapita (Rp) 28215056 19474819 58284002 21946119 59446313 30322118
Jumlah Penduduk (jiwa) fi/n Yi-Y 1909563 0.250691759 -2107062 1973511 0.259086997 -10847299 1119180 0.146928487 27961884 1472753 0.193346352 -8375999 1142168 0.149946404 29124195 7617175
(Yi-Y)^2 (Yi-Y)^2.fi/n 4.43971E+12 1.113E+12 1.17664E+14 3.04852E+13 7.81867E+14 1.14879E+14 7.01574E+13 1.35647E+13 8.48219E+14 1.27187E+14 2.87229E+14
95
Lampiran 5. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1997 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta CVw = 0,578
PDRB per Kapita (Rp) 29645587 19698554 61144407 22733044 64362377 31816687
Jumlah Penduduk (jiwa) fi/n Yi-Y 1910399 0.250518044 -2171100 1980278 0.259681549 -12118133 1113579 0.146027941 29327719 1491181 0.195544359 -9083643 1130357 0.148228106 32545690 7625794
(Yi-Y)^2 (Yi-Y)^2.fi/n 4.71367E+12 1.18086E+12 1.46849E+14 3.8134E+13 8.60115E+14 1.25601E+14 8.25126E+13 1.61349E+13 1.05922E+15 1.57006E+14 3.38057E+14
Lampiran 6. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1998 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta CVw = 0,624
PDRB per Kapita (Rp) 22848993 16052320 54718719 17754809 51290022 25604754
Jumlah Penduduk (jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)^2 (Yi-Y)^2.fi/n 1983443 0.253683407 -2755761 7.59422E+12 1.92653E+12 2052834 0.262558553 -9552434 9.1249E+13 2.39582E+13 1108029 0.141717494 29113964 8.47623E+14 1.20123E+14 1520658 0.194492961 -7849946 6.16216E+13 1.1985E+13 1153612 0.147547584 25685268 6.59733E+14 9.7342E+13 7818576 2.55335E+14
96
Lampiran 7. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1999 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta CVw = 0,633
PDRB per Kapita (Rp) 23389534 15792980 54777747 17467537 51420109 25448297
Jumlah Penduduk (jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)^2 (Yi-Y)^2.fi/n 1966411 0.250690338 -2058763 4.2385E+12 1.06255E+12 2070307 0.263935648 -9655317 9.32251E+13 2.46054E+13 1107606 0.141204521 29329450 8.60217E+14 1.21466E+14 1541004 0.196456801 -7980760 6.36925E+13 1.25128E+13 1158656 0.147712693 25971812 6.74535E+14 9.96374E+13 7843984 2.59285E+14
Lampiran 8. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2000 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta CVw = 0,623
PDRB per Kapita (Rp) 27488638 16533483 59972729 17987254 52226841 27480383
Jumlah Penduduk (jiwa) fi/n Yi-Y 1733397 0.228719539 8254.9677 2051222 0.270656145 -10946900 1056088 0.139349474 32492346 1558238 0.205607531 -9493128 1179756 0.15566731 24746458 7578701
(Yi-Y)^2 (Yi-Y)^2.fi/n 68144492.3 15585976.87 1.19835E+14 3.2434E+13 1.05575E+15 1.47119E+14 9.01195E+13 1.85292E+13 6.12387E+14 9.53287E+13 2.9341E+14
97
Lampiran 9. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2001 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta CVw = 0,672
PDRB per Kapita (Rp) 29467275 16908982 70849140 18371191 53368728 28965160
Jumlah Penduduk (jiwa) fi/n Yi-Y 1674780 0.224749137 502115.26 2070307 0.277827363 -12056178 929259 0.124703041 41883980 1585420 0.212757363 -10593969 1192009 0.159963096 24403568 7451775
(Yi-Y)^2 (Yi-Y)^2.fi/n 2.5212E+11 56663691616 1.45351E+14 4.03826E+13 1.75427E+15 2.18763E+14 1.12232E+14 2.38782E+13 5.95534E+14 9.52635E+13 3.78344E+14
Lampiran 10. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kep. Seribu DKI Jakarta CVw = 0,697
PDRB per Kapita (Rp) 30428907 17319000 68984000 18319720 32969000 6503325 23334571
Jumlah Penduduk (jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)^2 (Yi-Y)^2.fi/n 1833000 0.209866 7094336 5.03296E+13 1.05625E+13 2468875 0.282669 -6015571 3.61871E+13 1.0229E+13 931145 0.10661 45649429 2.08387E+15 2.22161E+14 2048184 0.234503 -5014851 2.51487E+13 5.89746E+12 1435285 0.16433 9634429 9.28222E+13 1.52535E+13 17653 0.002021 6503325 4.22932E+13 85480920288 8734142 2.64189E+14
98
Lampiran 11. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kep. Seribu DKI Jakarta CVw = 0,756
PDRB per Kapita (Rp) 31653808 18909000 75316000 19847327 34504651 6624193 23732391
Jumlah Penduduk (jiwa) 1860000 2381488 897000 1990000 1443168 18581 8590237
fi/n Yi-Y 0.216525 7921417 0.277232 -4823391 0.104421 51583609 0.231658 -3885064 0.168001 10772260 0.002163 -17108198
(Yi-Y)^2 6.27488E+13 2.32651E+13 2.66087E+15 1.50937E+13 1.16042E+14 2.9269E+14
(Yi-Y)^2.fi/n 1.35867E+13 6.44983E+12 2.7785E+14 3.49659E+12 1.94951E+13 6.331E+11 3.21512E+14
Lampiran 12. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2004 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kep. Seribu DKI Jakarta CVw = 0,756
PDRB per Kapita (Rp) 32928834 19902000 80172000 20642801 35967529 6695287 24758053
Jumlah Penduduk (jiwa) 1888000 2392778 893195 2018100 1464079 18912 8984312
fi/n Yi-Y 0.210144 8170781 0.266328 -4856053 0.099417 55413947 0.224625 -4115252 0.16296 11209476 0.002105 -18062766
(Yi-Y)^2 6.67617E+13 2.35813E+13 3.07071E+15 1.69353E+13 1.25652E+14 3.26264E+14
(Yi-Y)^2.fi/n 1.40296E+13 6.28036E+12 3.05281E+14 3.80409E+12 2.04762E+13 6.86786E+11 3.50558E+14
99
Lampiran 13. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2005 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kep. Seribu DKI Jakarta CVw = 0,771
PDRB per Kapita (Rp) 33052271 20003000 84778000 21003845 37591086 6811994 25800600
Jumlah Penduduk (jiwa) 1924739 2523629 891298 2092050 1533457 19139 8984312
fi/n Yi-Y 0.214233 7251671 0.280893 -5797600 0.099206 58977400 0.232856 -4796755 0.170682 11790486 0.00213 -18988606
(Yi-Y)^2 5.25867E+13 3.36122E+13 3.47833E+15 2.30089E+13 1.39016E+14 3.60567E+14
(Yi-Y)^2.fi/n 1.12658E+13 9.44142E+12 3.45072E+14 5.35775E+12 2.37274E+13 7.68105E+11 3.95632E+14
Lampiran 14. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2006 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kep. Seribu DKI Jakarta CVw = 0,780
PDRB per Kapita (Rp) 35802000 20911000 89837000 21974000 39341352 7123003 27086300
Jumlah Penduduk (jiwa) 1952333 2557877 893840 2129776 1555953 19523 9109302
fi/n Yi-Y 0.214323 8715700 0.280798 -6175300 0.098124 62750700 0.233802 -5112300 0.170809 12255052 0.002143 -19963297
(Yi-Y)^2 7.59634E+13 3.81343E+13 3.93765E+15 2.61356E+13 1.50186E+14 3.98533E+14
(Yi-Y)^2.fi/n 1.62807E+13 1.07081E+13 3.86378E+14 6.11057E+12 2.56532E+13 8.54134E+11 4.45984E+14
100
Lampiran 15. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2007 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kep. Seribu DKI Jakarta CVw = 0,804
PDRB per Kapita (Rp) 37562000 21944000 95612000 22954000 39834000 7251288 27947900
Jumlah Penduduk (jiwa) 1980121 2592328 896298 2167961 1578618 19913 9235239
fi/n Yi-Y 0.214409 9614100 0.2807 -6003900 0.097052 67664100 0.234749 -4993900 0.170934 11886100 0.002156 -20696612
(Yi-Y)^2 9.24309E+13 3.60468E+13 4.57843E+15 2.4939E+13 1.41279E+14 4.2835E+14
(Yi-Y)^2.fi/n 1.9818E+13 1.01183E+13 4.44346E+14 5.85441E+12 2.41495E+13 9.23607E+11 5.05209E+14
Lampiran 16. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2008 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kep. Seribu DKI Jakarta CVw = 0,815
PDRB per Kapita (Rp) 39339000 22887000 101620000 23899000 41547000 7448350 29284900
Jumlah Penduduk (jiwa) 2008098 2626974 898670 2206604 1601450 20308 9362104
fi/n Yi-Y 0.214492 10054100 0.280597 -6397900 0.09599 72335100 0.235695 -5385900 0.171057 12262100 0.002169 -21836550
(Yi-Y)^2 1.01085E+14 4.09331E+13 5.23237E+15 2.90079E+13 1.50359E+14 4.76835E+14
(Yi-Y)^2.fi/n 2.16819E+13 1.14857E+13 5.02256E+14 6.83703E+12 2.57199E+13 1.03434E+12 5.69015E+14
101
Lampiran 17. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kep. Seribu DKI Jakarta CVw = 0,830
PDRB per Kapita (Rp) 40868000 23632000 107398000 24652000 42610000 7720525 30360700
Jumlah Penduduk (jiwa) 2036259 2661808 900956 2245704 1624443 20709 9489879
fi/n Yi-Y 0.214572 10507300 0.280489 -6728700 0.094939 77037300 0.236642 -5708700 0.171176 12249300 0.002182 -22640175
(Yi-Y)^2 1.10403E+14 4.52754E+13 5.93475E+15 3.25893E+13 1.50045E+14 5.12578E+14
(Yi-Y)^2.fi/n 2.36894E+13 1.26993E+13 5.63437E+14 7.71199E+12 2.56842E+13 1.11856E+12 6.3434E+14
Lampiran 18. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 Kabupaten/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kep. Seribu DKI Jakarta CVw = 0,834
PDRB per Kapita (Rp) 43005000 24781000 113912000 25733000 44591000 7996165 31953300
Jumlah Penduduk (jiwa) 2062232 2693896 902973 2281945 1645659 21082 9607787
fi/n Yi-Y 0.214642 11051700 0.280387 -7172300 0.093983 81958700 0.23751 -6220300 0.171284 12637700 0.002194 -23957135
(Yi-Y)^2 1.2214E+14 5.14419E+13 6.71723E+15 3.86921E+13 1.59711E+14 5.73944E+14
(Yi-Y)^2.fi/n 2.62164E+13 1.44236E+13 6.31308E+14 9.18977E+12 2.7356E+13 1.25938E+12 7.09753E+14
102
Lampiran 19. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1993 Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawsi Tenggara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Indonesia non DKI Jakarta
PDRB per Kapita (Rp) 4136605 4740285 4204604 7558897 2999156 3751205 2997018 2748105 4381836 3122635 3768757 5285491 4599653 3994419 5429211 2985002 9910885 3060425 3481777 3140858 3002515 1985580 1617990 2677785 7171432 5092214
Jumlah Penduduk (Jiwa) 3689200 10813400 4203000 3667700 2237300 6875100 1320400 6426700 37791200 29272500 2918300 33380400 2856000 3490800 1542300 2781500 2144200 2584300 1898800 7462300 1497600 3547600 3464000 2001200 1828700 180339000
fi/n 0.0204570 0.0599615 0.0233061 0.0203378 0.0124061 0.0381232 0.0073218 0.0356368 0.2095564 0.1623193 0.0161823 0.1850981 0.0158368 0.0193569 0.0085522 0.0154237 0.0118898 0.0143302 0.0105291 0.0413793 0.0083044 0.0196718 0.0192083 0.0110969 0.0101403
Yi-Y -955609 -351929 -887610 2466682 -2093058 -1341010 -2095196 -2344110 -710378 -1969580 -1323457 193276 -492562 -1097796 336996 -2107212 4818671 -2031790 -1610438 -1951357 -2089700 -3106634 -3474224 -2414429 2079218
(Yi-Y)2 9.13189E+11 1.23854E+11 7.87852E+11 6.08452E+12 4.38089E+12 1.79831E+12 4.38985E+12 5.49485E+12 5.04637E+11 3.87925E+12 1.75154E+12 37355682891 2.42617E+11 1.20516E+12 1.13566E+11 4.44034E+12 2.32196E+13 4.12817E+12 2.59351E+12 3.80779E+12 4.36685E+12 9.65118E+12 1.20702E+13 5.82947E+12 4.32315E+12
(Yi-Y)2*fi/n 18681136694 7426480822 18361761613 1.23746E+11 54349715200 68557239117 32141432178 1.95819E+11 1.0575E+11 6.29676E+11 28343937625 6914464631 3842291121 23328041923 971246061.3 68486663258 2.76077E+11 59157637615 27307218089 1.57564E+11 36263855022 1.89856E+11 2.31848E+11 64688902750 43838211761 2.473E+12
CVw = 0,309 103
Lampiran 20. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1994 Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawsi Tenggara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Indonesia non DKI Jakarta
PDRB per Kapita (Rp) 4473201.461 5138148.603 4449156.799 7979055.623 3138347.391 3999060.573 3092251.821 2886351.552 4644819.528 3333293.065 4074278.914 5625131.234 4904134.15 4197535.937 5684024.324 3183848.505 10202665.06 3247647.543 3656450.459 3328758.355 3094418.175 2097565.699 1726100.964 2786780.44 7371092.728 5378136
Jumlah Penduduk (Jiwa) 3774700 10981100 4265900 3794700 2309700 7053500 1367100 6553900 38561700 29485300 2918000 33638200 2879500 3571300 1589500 2840900 2236000 2618400 1898800 7462300 1545400 3601400 3523700 2047800 1892200 183237000
fi/n 0.0206001 0.0599284 0.0232808 0.0207092 0.0126050 0.0384939 0.0074608 0.0357673 0.2104471 0.1609135 0.0159247 0.1835776 0.0157146 0.0194901 0.0086746 0.0155040 0.0122028 0.0142897 0.0103625 0.0407249 0.0084339 0.0196543 0.0192303 0.0111757 0.0103265
Yi-Y -904934 -239987 -928979 2600920 -2239788 -1379075 -2285884 -2491784 -733316 -2044843 -1303857 246996 -474001 -1180600 305889 -2194287 4824529 -2130488 -1721685 -2049377 -2283717 -3280570 -3652035 -2591355 1992957
(Yi-Y)2 8.18906E+11 57593767186 8.63002E+11 6.76478E+12 5.01665E+12 1.90185E+12 5.22526E+12 6.20899E+12 5.37752E+11 4.18138E+12 1.70004E+12 61006834095 2.24677E+11 1.39382E+12 93567900711 4.8149E+12 2.32761E+13 4.53898E+12 2.9642E+12 4.19995E+12 5.21537E+12 1.07621E+13 1.33374E+13 6.71512E+12 3.97188E+12
(Yi-Y)2*fi/n 16869539621 3451502245 20091350123 1.40094E+11 63234824385 73209475848 38984808840 2.22079E+11 1.13168E+11 6.72841E+11 27072717022 11199485293 3530720044 27165548851 811660189.7 74649977168 2.84033E+11 64860610919 30716626847 1.71042E+11 43985797763 2.11523E+11 2.56481E+11 75046121321 41015666214 2.68716E+12
CVw = 0,305 104
Lampiran 21. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1995 Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawsi Tenggara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Indonesia non DKI Jakarta
PDRB per Kapita (Rp) 4659239.602 5505926.939 4777183.328 8442355.686 3305491.027 4278826.753 3234040.222 3128126.171 4951864.644 3559787.56 4405018.083 6039281.62 5250791.857 4493990.961 6014778.904 3403300.328 10854831.39 3475295.506 3850065.568 3543661.067 3220521.98 2232552.165 1842957.48 2899965.136 8837714.832 5717995
Jumlah Penduduk (Jiwa) 3860000 11145300 4328200 3924600 2383400 7232700 1415000 6680300 39336500 29688100 2916700 33885900 2902200 3651800 1637300 2900400 2331000 2652300 1947500 7577800 1594000 3654800 3582800 2094700 1956300 186123000
fi/n 0.0207390 0.0598814 0.0232545 0.0210861 0.0128055 0.0388598 0.0076025 0.0358919 0.2113468 0.1595080 0.0156708 0.1820619 0.0155929 0.0196204 0.0087969 0.0155832 0.0125240 0.0142503 0.0104635 0.0407139 0.0085642 0.0196365 0.0192496 0.0112544 0.0105108
Yi-Y -1058755 -212068 -940812 2724361 -2412504 -1439168 -2483955 -2589869 -766130 -2158207 -1312977 321287 -467203 -1224004 296784 -2314695 5136836 -2242700 -1867929 -2174334 -2497473 -3485443 -3875038 -2818030 3119720
(Yi-Y)2 1.12096E+12 44972880443 8.85127E+11 7.42214E+12 5.82018E+12 2.07121E+12 6.17003E+12 6.70742E+12 5.86956E+11 4.65786E+12 1.72391E+12 1.03225E+11 2.18279E+11 1.49819E+12 88080660437 5.35781E+12 2.63871E+13 5.0297E+12 3.48916E+12 4.72773E+12 6.23737E+12 1.21483E+13 1.50159E+13 7.94129E+12 9.73265E+12
(Yi-Y)2*fi/n 23247623892 2693037639 20583191245 1.56504E+11 74530319117 80486597884 46907661302 2.40742E+11 1.24051E+11 7.42966E+11 27015059475 18793347558 3403602905 29394946409 774834197.5 83492082266 3.30471E+11 71674519135 36508868420 1.92484E+11 53418279803 2.3855E+11 2.89051E+11 89374368103 1.02298E+11 3.07942E+12
CVw = 0,307 105
Lampiran 22. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1996 Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawsi Tenggara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Indonesia non DKI Jakarta
PDRB per Kapita (Rp) 5119033.35 6108531.782 5375046.721 8692056.427 3778705.278 4705509.202 3635729.783 3521246.252 5231361.009 3811887.365 4571195.274 6560045.721 5516371.254 5107248.322 6712037.321 3830128.667 12404474.06 3741641.496 4204702.151 3885316.825 3388358.275 2418259.954 1952533.15 3362597.384 10172944.52 5430940
Jumlah Penduduk (Jiwa) 3945100 11306300 4390000 4057200 2458700 7413000 1464200 6806200 40117500 29881400 2914600 34124300 2924400 3732300 1685900 2960300 2429400 2686300 1997000 7693100 1643400 3707700 3640900 2141700 2020900 189001000
fi/n 0.0208734 0.0598214 0.0232274 0.0214666 0.0130089 0.0392220 0.0077470 0.0360114 0.2122608 0.1581018 0.0154211 0.1805509 0.0154729 0.0197475 0.0089201 0.0156629 0.0128539 0.0142132 0.0105661 0.0407040 0.0086952 0.0196174 0.0192639 0.0113317 0.0106925
Yi-Y -311907 677591 -55894 3261116 -1652235 -725431 -1795211 -1909694 -199579 -1619053 -859745 1129105 85431 -323692 1281097 -1600812 6973534 -1689299 -1226238 -1545624 -2042582 -3012680 -3478407 -2068343 4742004
(Yi-Y)2 97285972970 4.5913E+11 3124097061 1.06349E+13 2.72988E+12 5.2625E+11 3.22278E+12 3.64693E+12 39831910955 2.62133E+12 7.39162E+11 1.27488E+12 7298440362 1.04777E+11 1.64121E+12 2.5626E+12 4.86302E+13 2.85373E+12 1.50366E+12 2.38895E+12 4.17214E+12 9.07624E+12 1.20993E+13 4.27804E+12 2.24866E+13
(Yi-Y)2*fi/n 2030692388 27465798024 72564621.87 2.28294E+11 35512815868 20640598618 24967041850 1.31331E+11 8454752556 4.14437E+11 11398671738 2.30181E+11 112928286.1 2069075953 14639684643 40137665580 6.25087E+11 40560507647 15887795462 97239946351 36277571848 1.78052E+11 2.3308E+11 48477435745 2.40439E+11 2.70685E+12
CVw = 0,303 106
Lampiran 23. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1997 Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawsi Tenggara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Indonesia non DKI Jakarta
PDRB per Kapita (Rp) 5300665.845 6453555 5619285.02 9128336.903 3838988.576 4895463.99 3679973.867 3629366.312 5379194.677 3899740.068 4700382.47 6787154.567 5766386.08 5409146.252 6948849.931 3947780.87 12847948.48 3890421.062 4317686.893 4006572.516 3469344.574 2512451.217 2023322.684 3460128.278 10669091.92 5627750
Jumlah Penduduk (Jiwa) 4004600 11551600 4466400 4106000 2485500 7486300 1485800 6882200 40828400 30364300 2984300 34524600 2975900 3797700 1736800 3002700 2453500 2729800 2036400 7833500 1671000 3786000 3719000 2160800 2058400 191980000
fi/n 0.0208595 0.0601709 0.0232649 0.0213876 0.0129467 0.0389952 0.0077393 0.0358485 0.2126701 0.1581639 0.0155448 0.1798344 0.0155011 0.0197817 0.0090468 0.0156407 0.0127800 0.0142192 0.0106074 0.0408037 0.0087040 0.0197208 0.0193718 0.0112553 0.0107220
Yi-Y -327084 825805 -8465 3500587 -1788761 -732286 -1947776 -1998383 -248555 -1728010 -927367 1159405 138636 -218604 1321100 -1679969 7220199 -1737329 -1310063 -1621177 -2158405 -3115299 -3604427 -2167621 5041342
(Yi-Y)2 1.06984E+11 6.81954E+11 71651873.08 1.22541E+13 3.19967E+12 5.36242E+11 3.79383E+12 3.99354E+12 61779630621 2.98602E+12 8.6001E+11 1.34422E+12 19220028504 47787494883 1.74531E+12 2.8223E+12 5.21313E+13 3.01831E+12 1.71626E+12 2.62822E+12 4.65871E+12 9.70509E+12 1.29919E+13 4.69858E+12 2.54151E+13
(Yi-Y)2*fi/n 2231626647 41033770066 1666975.341 2.62087E+11 41424998939 20910885895 29361777321 1.43162E+11 13138678356 4.7228E+11 13368726570 2.41737E+11 297931465.9 945320186 15789388791 44142653598 6.66236E+11 42917936292 18205029061 1.07241E+11 40549585141 1.91392E+11 2.51677E+11 52884143851 2.725E+11 2.98552E+12
CVw = 0,307 107
Lampiran 24. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1998 Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawsi Tenggara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Indonesia non DKI Jakarta
PDRB per Kapita (Rp) 4910278.016 5678097.294 5224583.498 8635938.824 3433851.215 4370725.244 3387086.639 3342200.982 4278384.017 3328379.921 4141906.456 5650408.857 5466502.553 5076456.945 6299608.57 3639397.182 12157398.95 3747779.996 4066631.439 3733149.177 3177996.448 2388086.96 1931016.502 3233008.197 11732505.09 4799999
Jumlah Penduduk (Jiwa) 4144500 11955400 4594800 4290600 2589800 7734200 1557000 7080800 41578300 30703300 3018200 34842100 3014200 3870700 1736800 3052500 2516100 2767200 2082500 7961700 1708200 3853100 3784500 2192300 2111500 194903000
fi/n 0.0212644 0.0613403 0.0235748 0.0220140 0.0132876 0.0396823 0.0079886 0.0363299 0.2133282 0.1575312 0.0154857 0.1787664 0.0154651 0.0198596 0.0089111 0.0156616 0.0129095 0.0141978 0.0106848 0.0408496 0.0087644 0.0197693 0.0194174 0.0112482 0.0108336
Yi-Y 110279 878099 424585 3835940 -1366148 -429274 -1412912 -1457798 -521615 -1471619 -658092 850410 666504 276458 1499610 -1160602 7357400 -1052219 -733367 -1066850 -1622002 -2411912 -2868982 -1566991 6932506
(Yi-Y)2 12161515654 7.71057E+11 1.80272E+11 1.47144E+13 1.86636E+12 1.84276E+11 1.99632E+12 2.12517E+12 2.72082E+11 2.16566E+12 4.33085E+11 7.23197E+11 4.44227E+11 76429131024 2.24883E+12 1.347E+12 5.41313E+13 1.10716E+12 5.37828E+11 1.13817E+12 2.63089E+12 5.81732E+12 8.23106E+12 2.45546E+12 4.80596E+13
(Yi-Y)2*fi/n 258607623.4 47296836856 4249881868 3.23924E+11 24799499195 7312486104 15947785547 77207300505 58042740635 3.41159E+11 6706610859 1.29283E+11 6870032627 1517853689 20039544010 21096162278 6.98808E+11 15719332645 5746581715 46493652411 23058079289 1.15004E+11 1.59825E+11 27619398654 5.20659E+11 2.69865E+12
CVw = 0,342 108
Lampiran 25. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1999 Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawsi Tenggara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Indonesia non DKI Jakarta
PDRB per Kapita (Rp) 4718981.523 5761561.402 5264321.363 8669397.025 3463519.19 4343848.809 3379768.51 3394659.653 4330850.912 3431937.595 4249911.602 5644322.775 5436704.562 5135648.89 6125831.791 3645609.828 12214714.03 3908217.955 4099620.214 3800796.511 3168267.106 2415494.781 1946558.512 2344321.312 11121198.84 4813093
Jumlah Penduduk (Jiwa) 4144500 11955400 4594800 4290600 2589800 7734200 1557000 7080800 42332200 31043700 3052100 35160100 3052700 3943200 1771000 3102500 2579400 2804400 2129000 8090100 1744900 3921300 3850100 2223000 2165300 196910000
fi/n 0.0210477 0.0607150 0.0233345 0.0217897 0.0131522 0.0392778 0.0079072 0.0359596 0.2149825 0.1576543 0.0155000 0.1785592 0.0155030 0.0200254 0.0089940 0.0157559 0.0130994 0.0142420 0.0108120 0.0410853 0.0088614 0.0199142 0.0195526 0.0112894 0.0109964
Yi-Y -94111 948469 451228 3856304 -1349574 -469244 -1433324 -1418433 -482242 -1381155 -563181 831230 623612 322556 1312739 -1167483 7401621 -904875 -713473 -1012296 -1644826 -2397598 -2866534 -2468772 6308106
(Yi-Y)2 8856944719 8.99593E+11 2.03607E+11 1.48711E+13 1.82135E+12 2.2019E+11 2.05442E+12 2.01195E+12 2.32557E+11 1.90759E+12 3.17173E+11 6.90943E+11 3.88892E+11 1.04042E+11 1.72328E+12 1.36302E+12 5.4784E+13 8.18799E+11 5.09043E+11 1.02474E+12 2.70545E+12 5.74848E+12 8.21702E+12 6.09483E+12 3.97922E+13
(Yi-Y)2*fi/n 186418198.1 54618805306 4751074926 3.24036E+11 23954750457 8648587568 16244629173 72348967710 49995745215 3.0074E+11 4916175541 1.23374E+11 6028994094 2083489655 15499136934 21475593596 7.17637E+11 11661362060 5503798811 42101877533 23974114099 1.14476E+11 1.60664E+11 68807138927 4.37571E+11 2.6113E+12
CVw = 0,336 109
Lampiran 26. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2000 PDRB per Kapita (Rp) 4795604.546 5872959.676 5389159.832 8811950.195 3500540.13 4072142.778 6424283.328 3116670.733 3411025.517 4880263.589 5527904.71 3487599.952 4357014.29 5831006.732 5489768.942 2992519.719 2046042.209 4848807.973 5931257.302 3849863.7 12306181.11 5054485.258 1769347.138 3971174.249 3810438.214 3153611.298 2407711.077 2567869.74 10511396.43
Jumlah Penduduk (Jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)2 (Yi-Y)2*fi/n 3929000 0.0198955 -269217 72477751484 1441979956 11642000 0.0589522 808138 6.53087E+11 38500942216 4249000 0.0215159 324338 1.05195E+11 2263371566 4948000 0.0250554 3747129 1.4041E+13 3.51803E+11 2704000 0.0136924 -1564281 2.44698E+12 33504944210 6899000 0.0349348 -992679 9.85411E+11 34425164698 9000000 0.0455738 1359462 1.84814E+12 84226556979 1564000 0.0079197 -1948151 3.79529E+12 30057603116 6731000 0.0340841 -1653796 2.73504E+12 93221464758 35724000 0.1808975 -184558 34061610830 6161660229 8098000 0.0410063 463083 2.14446E+11 8793633966 31223000 0.1581055 -1577222 2.48763E+12 3.93308E+11 3121000 0.0158040 -707807 5.00991E+11 7917647784 34766000 0.1760464 766185 5.8704E+11 1.03346E+11 3150000 0.0159508 424947 1.8058E+11 2880404892 4009000 0.0203006 -2072302 4.29443E+12 87179530688 3823000 0.0193587 -3018779 9.11303E+12 1.76417E+11 4016000 0.0203360 -216013 46661830412 948916412.3 1855000 0.0093933 866436 7.50711E+11 7051624978 2984000 0.0151102 -1214958 1.47612E+12 22304560333 2452000 0.0124163 7241360 5.24373E+13 6.51078E+11 2001000 0.0101326 -10336 106837250.7 1082535.819 833000 0.0042181 -3295474 1.08602E+13 45809267877 2176000 0.0110187 -1093647 1.19606E+12 13179103854 8051000 0.0407683 -1254383 1.57348E+12 64147953481 1820000 0.0092160 -1911210 3.65272E+12 33663616202 1163000 0.0058891 -2657110 7.06024E+12 41578746642 732000 0.0037067 -2496952 6.23477E+12 23110208161 2214000 0.0112111 5446575 2.96652E+13 3.32581E+11
110
Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua
Indonesia non DKI Jakarta CVw = 0, 324
5064821
197482000
2.6909E+12
Lampiran 27. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2001 PDRB per Kapita (Rp) 4802247 6024302 5552514 8883281 3560347 4079467 6719383 3150143 3494558 5058462 5620701 3565971 4473418 5996064 5604864 3204720 2116792 4831154 5918570 3942649 12865728
Jumlah Penduduk (Jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)2 (Yi-Y)2*fi/n 4142000 0.020594 -384645.2 1.47952E+11 3046869955 11587000 0.057610 837409.8 7.01255E+11 40398962478 4243000 0.021096 365621.8 1.33679E+11 2820072658 4884000 0.024283 3696388.8 1.36633E+13 3.31783E+11 2436000 0.012112 -1626545.2 2.64565E+12 32042966315 7335000 0.036469 -1107425.2 1.22639E+12 44725178568 920000 0.004574 1532490.8 2.34853E+12 10742533458 1425000 0.007085 -2036749.2 4.14835E+12 29390916412 672000 0.003341 -1692334.2 2.864E+12 9568958947 36328000 0.180619 -128430.2 16494321143 2979196035 8209000 0.040814 433808.8 1.8819E+11 7680864069 31063000 0.154442 -1620921.2 2.62739E+12 4.0578E+11 3128000 0.015552 -713474.2 5.09045E+11 7916741423 34703000 0.172540 809171.8 6.54759E+11 1.12972E+11 3156000 0.015691 417971.8 1.747E+11 2741284210 3862000 0.019202 -1982172.2 3.92901E+12 75442867286 3991000 0.019843 -3070100.2 9.42552E+12 1.87029E+11 3788000 0.018834 -355738.2 1.2655E+11 2383384823 1838000 0.009138 731677.8 5.35352E+11 4892247132 2999000 0.014911 -1244243.2 1.54814E+12 23083952780 2489000 0.012375 7678835.8 5.89645E+13 7.29691E+11
111
Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur
Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Indonesia non DKI Jakarta CVw = 0,308
5202558 1836151 4074672 3942649 3230986 2366382 2597641 10031880 5186892
2030000 840000 2097000 7855000 1815000 1201000 741000 2155000 201130000
0.010093 0.004176 0.010426 0.039054 0.009024 0.005971 0.003684 0.010714
15665.8 -3350741.2 -1112220.2 -1244243.2 -1955906.2 -2820510.2 -2589251.2 4844987.8
245416695.5 1.12275E+13 1.23703E+12 1.54814E+12 3.82557E+12 7.95528E+12 6.70422E+12 2.34739E+13
2476984.497 46890429284 12897429081 60461636908 34521990674 47503051520 24699589367 2.5151E+11 2.5456E+12
Lampiran 28. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2002 Jumlah Penduduk (Jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)2 (Yi-Y)2*fi/n 4041000 0.019846 -165511.0 27393905648 543651061.2 11942000 0.058648 838010.0 7.02261E+11 41186307497 4298000 0.021108 393760.0 1.55047E+11 3272705611 5383000 0.026436 3817373.0 1.45723E+13 3.8524E+11 2494000 0.012248 -1671501.0 2.79392E+12 34220565928 7226000 0.035487 -1222574.0 1.49469E+12 53042713559 917000 0.004503 2146563.0 4.60773E+12 20750761095 1656000 0.008133 -2180143.0 4.75302E+12 38655184061 6889000 0.033832 -1804021.0 3.25449E+12 1.10107E+11 37157000 0.182481 34875.0 1216262564 221945025.8 8619000 0.042329 351522.0 1.23568E+11 5230452077 31786000 0.156104 -1743989.0 3.0415E+12 4.74789E+11 3163000 0.015534 -742857.0 5.51837E+11 8572097803
112
Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta
PDRB per Kapita (Rp) 5220473 6223994 5779744 9203357 3714483 4163410 7532547 3205841 3581963 5420859 5737506 3641995 4643127
Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Indonesia non DKI Jakarta CVw = 0,333
6185384 5703390 3262467 2185443 4940860 6054866 5894413 13424984 5492875 1926115 4198068 4052371 3342934 2432307 2649604 12315403 5385984
35225000 3230000 4152000 3945000 4198000 1966000 3068000 2589000 2052000 859000 2287000 8284000 1935000 1165000 739000 2356000 203621000
0.172993 0.015863 0.020391 0.019374 0.020617 0.009655 0.015067 0.012715 0.010078 0.004219 0.011232 0.040683 0.009503 0.005721 0.003629 0.011571
799400.0 317406.0 -2123517.0 -3200541.0 -445124.0 668882.0 508429.0 8039000.0 106891.0 -3459869.0 -1187916.0 -1333613.0 -2043050.0 -2953677.0 -2736380.0 6929419.0
6.3904E+11 1.00747E+11 4.50932E+12 1.02435E+13 1.98135E+11 4.47403E+11 2.585E+11 6.46255E+13 11425676499 1.19707E+13 1.41114E+12 1.77852E+12 4.17405E+12 8.72421E+12 7.48778E+12 4.80168E+13
1.10549E+11 1598122627 91948845587 1.98459E+11 4084905142 4319762883 3894873370 8.217E+11 115142780.8 50499830444 15849482784 72356440405 39665817805 49914804528 27175322168 5.5558E+11 3.22354E+12
Lampiran 29. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2003 Jumlah Penduduk (Jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)2 (Yi-Y)2*fi/n 4240000 0.020494 -453504.4 2.05666E+11 4214839280 11923000 0.057629 928442.6 8.62006E+11 49676128566 4476000 0.021634 228026.6 51996118805 1124897908 4212000 0.020358 783849.6 6.1442E+11 12508519805 1101000 0.005322 15645685.6 2.44787E+14 1.30265E+12
113
Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau
PDRB per Kapita (Rp) 5159392 6541339 5840923 6396746 21258582
Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Indonesia non DKI Jakarta CVw = 0,361
3785926 4877753 7342496 3668460 3743622 5552153 5773483 3769093 4783049 6294521 5674054 3496606 2202471 5385884 6795957 5953275 13450818 4466315 1998814 4591602 4281462 3686468 2414998 2368799 12013143 5612896
2583000 6522000 988000 1525000 6963000 38138000 8999000 32175000 3211000 36270000 3363000 4025000 4094000 3969000 1838000 3188000 2720000 2136000 885000 2221000 8253000 1887000 1224000 858000 2366000 206894000
0.012485 0.031523 0.004775 0.007371 0.033655 0.184336 0.043496 0.155514 0.015520 0.175307 0.016255 0.019454 0.019788 0.019184 0.008884 0.015409 0.013147 0.010324 0.004278 0.010735 0.039890 0.009121 0.005916 0.004147 0.011436
-1826970.4 -735143.4 1729599.6 -1944436.4 -1869274.4 -60743.4 160586.6 -1843803.4 -829847.4 681624.6 61157.6 -2116290.4 -3410425.4 -227012.4 1183060.6 340378.6 7837921.6 -1146581.4 -3614082.4 -1021294.4 -1331434.4 -1926428.4 -3197898.4 -3244097.4 6400246.6
3.33782E+12 5.40436E+11 2.99151E+12 3.78083E+12 3.49419E+12 3689763708 25788047999 3.39961E+12 6.88647E+11 4.64612E+11 3740248953 4.47869E+12 1.1631E+13 51534641205 1.39963E+12 1.15858E+11 6.1433E+13 1.31465E+12 1.30616E+13 1.04304E+12 1.77272E+12 3.71113E+12 1.02266E+13 1.05242E+13 4.09632E+13
41671539407 17036369593 14285656002 27868233699 1.17597E+11 680156062 1121669280 5.28689E+11 10687814589 81449821891 60796626.43 87130162231 2.30153E+11 988626982.6 12434020372 1785232759 8.07649E+11 13572603307 55871647907 11197023379 70713691984 33847746494 60501041643 43644263408 4.68447E+11 4.10926E+12 114
Lampiran 30. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2004 PDRB per Kapita (Rp) 5443932 6819499 6080565 6832403 22374260 3965939 5124766 7390769 3806128 3902639 5784637 6011802 3909069 5008951 6623250 5876262 3661649 2273118 5554151 7047421 6189954 14212702 6182155 2108284 4850069
Jumlah Penduduk (Jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)2 (Yi-Y)2*fi/n 4018000 0.019214 -432093.8 1.86705E+11 3587426297 12294000 0.058791 943473.2 8.90142E+11 52332224095 4372000 0.020907 204539.2 41836265050 874681517.3 4390900 0.020998 956377.2 9.14657E+11 19205641690 1170100 0.005596 16498234.2 2.72192E+14 1.52305E+12 2607000 0.012467 -1910086.8 3.64843E+12 45484575915 6647000 0.031786 -751259.8 5.64391E+11 17940020066 957000 0.004576 1514743.2 2.29445E+12 10500423721 1586000 0.007584 -2069897.8 4.28448E+12 32495101604 7180000 0.034335 -1973386.8 3.89426E+12 1.33711E+11 38383000 0.183551 -91388.8 8351921383 1533000174 9055000 0.043302 135776.2 18435163684 798274659.6 31760000 0.151879 -1966956.8 3.86892E+12 5.87607E+11 3249000 0.015537 -867074.8 7.51819E+11 11680993384 35396000 0.169267 747224.2 5.58344E+11 94508937275 3334000 0.015943 236.2 55768.17065 889.1374129 4286000 0.020496 -2214376.8 4.90346E+12 1.00501E+11 4068000 0.019454 -3602907.8 1.29809E+13 2.52525E+11 4318000 0.020649 -321874.8 1.03603E+11 2139309446 2080000 0.009947 1171395.2 1.37217E+12 13648567464 3188000 0.015245 313928.2 98550885155 1502435140 2737000 0.013089 8336676.2 6.95002E+13 9.09657E+11 2114000 0.010109 306129.2 93715058227 947395359 865000 0.004136 -3767741.8 1.41959E+13 58721247798 2358000 0.011276 -1025956.8 1.05259E+12 11869129816
115
Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Indonesia non DKI Jakarta CVw = 0,350
4446344 3890489 2482017 2438344 8689755 5876026
8423000 2032000 1244000 878000 2458000 209114000
0.040279 0.009717 0.005949 0.004199 0.011754
-1429681.8 -1985536.8 -3394008.8 -3437681.8 2813729.2
2.04399E+12 3.94236E+12 1.15193E+13 1.18177E+13 7.91707E+12
82330830649 38308618997 68527235344 49618401405 93060064609 4.21867E+12
Lampiran 31. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2005 PDRB per Kapita (Rp) 5517800 7025300 6384500 6930800 22331500 4173800 5328400 7799600 3983800 4068800 5977200 6405700 4190900 5024800 7010200 6187900
Jumlah Penduduk (Jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)2 (Yi-Y)2*fi/n 4032000 0.019199 -724347.7 5.2468E+11 10073416906 12451000 0.059288 783152.3 6.13327E+11 36362920984 4566000 0.021742 142352.3 20264172339 440582122.2 4579000 0.021804 688652.3 4.74242E+11 10340290003 1275000 0.006071 16089352.3 2.58867E+14 1.57163E+12 2636000 0.012552 -2068347.7 4.27806E+12 53697566157 6782000 0.032294 -913747.7 8.34935E+11 26963265537 1043000 0.004966 1557452.3 2.42566E+12 12046916511 1547000 0.007366 -2258347.7 5.10013E+12 37569380060 7116000 0.033884 -2173347.7 4.72344E+12 1.6005E+11 38965000 0.185540 -264947.7 70197292997 13024382391 9029000 0.042993 163552.3 26749349118 1150045347 31978000 0.152270 -2051247.7 4.20762E+12 6.40692E+11 3344000 0.015923 -1217347.7 1.48194E+12 23597046773 36294000 0.172821 768052.3 5.89904E+11 1.01948E+11 3384000 0.016114 -54247.7 2942814852 47419327.07
116
Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali
Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Indonesia non DKI Jakarta CVw = 0,350
3659500 2305700 5830400 7125200 6928700 14713000 5936000 2165700 5065300 4851600 3151800 4126500 2565100 2447000 11479400 5690100 6242148
4184000 4260000 4052000 1915000 3282000 2849000 2129000 922000 2295000 7510000 969000 1963000 1252000 884000 1875000 643000 210009000
0.019923 0.020285 0.019294 0.009119 0.015628 0.013566 0.010138 0.004390 0.010928 0.035760 0.004614 0.009347 0.005962 0.004209 0.008928 0.003062
-2582647.7 -3936447.7 -411747.7 883052.3 686552.3 8470852.3 -306147.7 -4076447.7 -1176847.7 -1390547.7 -3090347.7 -2115647.7 -3677047.7 -3795147.7 5237252.3 -552047.7
6.67007E+12 1.54956E+13 1.69536E+11 7.79781E+11 4.71354E+11 7.17553E+13 93726424917 1.66174E+13 1.38497E+12 1.93362E+12 9.55025E+12 4.47597E+12 1.35207E+13 1.44031E+13 2.74288E+13 3.04757E+11
1.32887E+11 3.14326E+11 3271100824 7110558376 7366274532 9.73439E+11 950166700.7 72955286516 15135100936 69147076501 44065689068 41837825113 80605551455 60627788517 2.4489E+11 933095947.2 4.76918E+12
117
Lampiran 32. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2006 PDRB per Kapita (Rp) 5842600 7341400 6681000 7352600 22943700 4445400 5633400 8054300 4154000 4224500 6260200 6634300 4378700 5157400 7374200 6443800 3696900 2376000 6029600 7430600 7170100 16187000 6211100 2294400 5334100
Jumlah Penduduk (Jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)2 (Yi-Y)2*fi/n 4073000 0.019102 -683382.4 4.67011E+11 8920633815 12643000 0.059293 815417.6 6.64906E+11 39424304064 4632000 0.021723 155017.6 24030458010 522016618.3 4763000 0.022337 826617.6 6.83297E+11 15263130337 1338000 0.006275 16417717.6 2.69541E+14 1.69136E+12 2683000 0.012583 -2080582.4 4.32882E+12 54468352702 6900000 0.032360 -892582.4 7.96703E+11 25780981873 1075000 0.005042 1528317.6 2.33575E+12 11775773023 1568000 0.007354 -2371982.4 5.6263E+12 41373542775 7212000 0.033823 -2301482.4 5.29682E+12 1.79153E+11 39649000 0.185946 -265782.4 70640281234 13135251353 9224000 0.043259 108317.6 11732703658 507540993.7 32179000 0.150913 -2147282.4 4.61082E+12 6.95832E+11 3389000 0.015894 -1368582.4 1.87302E+12 29769202240 36592000 0.171609 848217.6 7.19473E+11 1.23468E+11 3432000 0.016095 -82182.4 6753945968 108707270.4 4257000 0.019964 -2829082.4 8.00371E+12 1.5979E+11 4355000 0.020424 -4149982.4 1.72224E+13 3.5175E+11 4118000 0.019313 -496382.4 2.46395E+11 4758529999 1938000 0.009089 904617.6 8.18333E+11 7437681448 3346000 0.015692 644117.6 4.14887E+11 6510434981 2936000 0.013769 9661017.6 9.33353E+13 1.28516E+12 2161000 0.010135 -314882.4 99150922375 1004859298 941000 0.004413 -4231582.4 1.79063E+13 79022170893 2349000 0.011016 -1191882.4 1.42058E+12 15649611338
118
Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Indonesia non DKI Jakarta CVw = 0,351
5106200 3317100 4347300 2668700 2539600 9318000 5987800 6525982
7630000 992000 2002000 1271000 919000 1974000 688000 213229000
0.035783 0.004652 0.009389 0.005961 0.004310 0.009258 0.003227
-1419782.4 -3208882.4 -2178682.4 -3857282.4 -3986382.4 2792017.6 -538182.4
2.01578E+12 1.02969E+13 4.74666E+12 1.48786E+13 1.58912E+13 7.79536E+12 2.8964E+11
72130981360 47904135048 44566204720 88687446434 68489997998 72166755923 934546986.4 5.23682E+12
Lampiran 33. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2007 PDRB per Kapita (Rp) 6167200 7870400 7049500 7876100 22552300 4441200 5954300 8271200 4299700 4386000 6514200 6619100 4647200 5444900
Jumlah Penduduk (Jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)2 (Yi-Y)2*fi/n 4223800 0.019502 -711263.2 5.05895E+11 9866194417 12834400 0.059260 991936.8 9.83939E+11 58308148137 4697800 0.021691 171036.8 29253591581 634540546.7 5071000 0.023414 997636.8 9.95279E+11 23303663726 1392900 0.006431 15673836.8 2.45669E+14 1.58E+12 2742200 0.012661 -2437263.2 5.94025E+12 75212434301 7020000 0.032413 -924163.2 8.54078E+11 27683443002 1106700 0.005110 1392736.8 1.93972E+12 9911826275 1616700 0.007465 -2578763.2 6.65002E+12 49640714393 7389800 0.034121 -2492463.2 6.21237E+12 2.11971E+11 40329100 0.186211 -364263.2 1.32688E+11 24707838620 9423400 0.043510 -259363.2 67269262498 2926913944 32380300 0.149509 -2231263.2 4.97854E+12 7.44334E+11 3434500 0.015858 -1433563.2 2.0551E+12 32589887525
119
Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta
Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Indonesia non DKI Jakarta CVw = 0,339
7816300 6417700 3758300 2467600 6126400 7490000 7423100 16531400 6536600 2397100 5399700 5303200 3321500 4432500 2556300 2583600 7886300 6669500 6878463
36895600 3479800 4292500 4448900 4178500 2028300 3396700 3024800 2186800 960300 2396200 7700300 1016700 2031500 1302000 944300 2015600 716000 216578000
0.170357 0.016067 0.019820 0.020542 0.019293 0.009365 0.015683 0.013966 0.010097 0.004434 0.011064 0.035554 0.004694 0.009380 0.006012 0.004360 0.009307 0.003306
937836.8 -460763.2 -3120163.2 -4410863.2 -752063.2 611536.8 544636.8 9652936.8 -341863.2 -4481363.2 -1478763.2 -1575263.2 -3556963.2 -2445963.2 -4322163.2 -4294863.2 1007836.8 -208963.2
8.79538E+11 2.12303E+11 9.73542E+12 1.94557E+13 5.65599E+11 3.73977E+11 2.96629E+11 9.31792E+13 1.1687E+11 2.00826E+13 2.18674E+12 2.48145E+12 1.2652E+13 5.98274E+12 1.86811E+13 1.84458E+13 1.01574E+12 43665613301
1.49836E+11 3411108165 1.92953E+11 3.99655E+11 10912260589 3502378383 4652183522 1.30137E+12 1180047255 89045684019 24193905816 88226602229 59393268451 56118017529 1.12305E+11 80425601664 9453017167 144357132.9 5.43787E+12
120
Lampiran 34. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2008 PDRB per Kapita (Rp) 6150800 8286100 7437600 8219600 23043800 4651300 6217300 8417400 4475300 4568700 6801900 6814300 4886200 5662400 8235100 6660200 3821100 2535500 6345600 7815200 7757700 16940100 7157300 2526900 5692400
Jumlah Penduduk (Jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)2 (Yi-Y)2*fi/n 4293900 0.019573 -1082640.6 1.17211E+12 22941903955 13042300 0.059452 1052659.4 1.10809E+12 65877761379 4763100 0.021712 204159.4 41681057828 904976577 5189200 0.023654 986159.4 9.7251E+11 23004010001 1453100 0.006624 15810359.4 2.49967E+14 1.65572E+12 2788300 0.012710 -2582140.6 6.66745E+12 84743848038 7121800 0.032464 -1016140.6 1.03254E+12 33520176284 1122500 0.005117 1183959.4 1.40176E+12 7172472163 1641900 0.007484 -2758140.6 7.60734E+12 56936191582 7391100 0.033691 -2664740.6 7.10084E+12 2.39237E+11 40918300 0.186520 -431540.6 1.86227E+11 34735201677 9602400 0.043771 -419140.6 1.75679E+11 7689678374 32626400 0.148723 -2347240.6 5.50954E+12 8.19395E+11 3468500 0.015811 -1571040.6 2.46817E+12 39023428839 37094800 0.169092 1001659.4 1.00332E+12 1.69653E+11 3516000 0.016027 -573240.6 3.28605E+11 5266616160 4363800 0.019892 -3412340.6 1.16441E+13 2.31621E+11 4534300 0.020669 -4697940.6 2.20706E+13 4.56178E+11 4249100 0.019369 -887840.6 7.88261E+11 15267779090 2057300 0.009378 581759.4 3.38444E+11 3173900746 3446600 0.015711 524259.4 2.74848E+11 4318095385 3094700 0.014107 9706659.4 9.42192E+13 1.32913E+12 2208000 0.010065 -76140.6 5797392005 58349970.82 972200 0.004432 -4706540.6 2.21515E+13 98167593243 2438400 0.011115 -1541040.6 2.37481E+12 26396237165
121
Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Indonesia non DKI Jakarta CVw = 0,335
5652400 3626800 4659800 2592800 2673500 7381400 7028200 7233441
7805000 1032300 2075000 1320700 959600 2056500 730200 219377000
0.035578 0.004706 0.009459 0.006020 0.004374 0.009374 0.003329
-1581040.6 -3606640.6 -2573640.6 -4640640.6 -4559940.6 147959.4 -205240.6
2.49969E+12 1.30079E+13 6.62363E+12 2.15355E+13 2.07931E+13 21891982033 42123706683
88934007530 61209745008 62650249999 1.29649E+11 90953102562 205221427.3 140209459.6 5.86388E+12
Lampiran 35. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2009 PDRB per Kapita (Rp) 6258200 8620800 7657300 8460200 22772200 4854500 6416200 8486900 4686900 4759200 6951700 6944000 5146400 5855400
Jumlah Penduduk (Jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)2 (Yi-Y)2*fi/n 4363500 0.019642 -1238495.4 1.53387E+12 30129039722 13248400 0.059638 1124104.6 1.26361E+12 75359563037 4828000 0.021733 160604.6 25793832232 560589081.1 5306500 0.023887 963504.6 9.28341E+11 22175695055 1515300 0.006821 15275504.6 2.33341E+14 1.59166E+12 2834200 0.012758 -2642195.4 6.9812E+12 89068033896 7222600 0.032513 -1080495.4 1.16747E+12 37957790439 1138100 0.005123 990204.6 9.80505E+11 5023330935 1666900 0.007504 -2809795.4 7.89495E+12 59240736391 7491900 0.033725 -2737495.4 7.49388E+12 2.52732E+11 41501500 0.186821 -544995.4 2.9702E+11 55489523545 9782800 0.044038 -552695.4 3.05472E+11 13452295641 32864600 0.147941 -2350295.4 5.52389E+12 8.17212E+11 3501900 0.015764 -1641295.4 2.69385E+12 42465745822
122
Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta
Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Indonesia non DKI Jakarta CVw = 0,327
8581200 6870600 4235900 2592000 6592600 8104300 8019500 17402200 7623300 2658600 6021800 5937600 3746800 4912800 2660600 2768100 8600900 7300600 7496695
37286200 3551000 4434000 4619700 4319100 2085800 3496100 3164800 2228900 984000 2480300 7908500 1047700 2118300 1339500 975000 2097500 743900 222146000
0.167845 0.015985 0.019960 0.020796 0.019443 0.009389 0.015738 0.014246 0.010033 0.004430 0.011165 0.035600 0.004716 0.009536 0.006030 0.004389 0.009442 0.003349
1084504.6 -626095.4 -3260795.4 -4904695.4 -904095.4 607604.6 522804.6 9905504.6 126604.6 -4838095.4 -1474895.4 -1559095.4 -3749895.4 -2583895.4 -4836095.4 -4728595.4 1104204.6 -196095.4
1.17615E+12 3.91995E+11 1.06328E+13 2.4056E+13 8.17389E+11 3.69183E+11 2.73325E+11 9.8119E+13 16028720556 2.34072E+13 2.17532E+12 2.43078E+12 1.40617E+13 6.67652E+12 2.33878E+13 2.23596E+13 1.21927E+12 38453412383
1.97411E+11 6266040874 2.12229E+11 5.00264E+11 15892173463 3466380621 4301541543 1.39785E+12 160824031.3 1.03682E+11 24287799417 86536835722 66318814972 63664719750 1.41024E+11 98136469925 11512312313 128768888.4 6.02567E+12
123
Lampiran 36. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2010 PDRB per Kapita (Rp) 6461900 9081700 8017500 8782700 23438600 5068100 6750600 8737900 4855900 4985300 7266300 7177000 5440800 6086500 9088700 7133900 4456900 2675500 6890900 8493800 8328600 18639000 8076100 2804800 6378300
Jumlah Penduduk (Jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)2 (Yi-Y)2*fi/n 4486600 0.019675 -1321266.1 1.74574E+12 34347753367 12985100 0.056944 1298533.9 1.68619E+12 96017915302 4846000 0.021251 234333.9 54912373498 1166954761 5543000 0.024308 999533.9 9.99068E+11 24285123903 1685700 0.007392 15655433.9 2.45093E+14 1.8118E+12 3088600 0.013544 -2715066.1 7.37158E+12 99844208461 7446400 0.032655 -1032566.1 1.06619E+12 34816289697 1223000 0.005363 954733.9 9.11517E+11 4888679121 1713400 0.007514 -2927266.1 8.56889E+12 64384831850 7596100 0.033311 -2797866.1 7.82805E+12 2.60762E+11 43021800 0.188664 -516866.1 2.67151E+11 50401687881 10644000 0.046677 -606166.1 3.67437E+11 17150964958 32380700 0.141999 -2342366.1 5.48668E+12 7.79105E+11 3452400 0.015140 -1696666.1 2.87868E+12 43582713986 37476000 0.164344 1305533.9 1.70442E+12 2.80111E+11 3891400 0.017065 -649266.1 4.21546E+11 7193690249 4496900 0.019720 -3326266.1 1.1064E+13 2.18186E+11 4679300 0.020520 -5107666.1 2.60883E+13 5.35336E+11 4393200 0.019266 -892266.1 7.96139E+11 15338050465 2202600 0.009659 710633.9 5.05001E+11 4877843513 3626100 0.015902 545433.9 2.97498E+11 4730689177 3550600 0.015570 10855833.9 1.17849E+14 1.83497E+12 2265900 0.009937 292933.9 85810265780 852668817.9 1038600 0.004555 -4978366.1 2.47841E+13 1.12881E+11 2633400 0.011548 -1404866.1 1.97365E+12 22792244543
124
Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Indonesia non DKI Jakarta CVw = 0,336
6358400 4094700 5218200 2763400 2923800 7983500 7546600 7783166
8032600 1158300 2230600 1531400 1035500 2852000 760900 228034000
0.035225 0.005080 0.009782 0.006716 0.004541 0.012507 0.003337
-1424766.1 -3688466.1 -2564966.1 -5019766.1 -4859366.1 200333.9 -236566.1
2.02996E+12 1.36048E+13 6.57905E+12 2.51981E+13 2.36134E+13 40133668761 55963522891
71506197842 69105568673 64355453347 1.69222E+11 1.07228E+11 501948057.3 186738138 6.84193E+12
125