PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI EKONOMI
DISERTASI
Oleh: RINI DWIASTUTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul
PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI EKONOMI merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2006
Rini Dwiastuti NIM. 995183
ABSTRAK Rini Dwiastuti. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air di Daerah Tangkapan Air Bendungan Sutami dan Sengguruh: Suatu Pendekatan Optimasi Ekonomi. (Bunasor Sanim sebagai Ketua, Yusman Syaukat, Bonar M. Sinaga dan Hermanto, sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Aktivitas pertanian di daerah tangkapan air (DTA) menimbulkan erosi yang mengakibatkan degradasi lahan dan sedimentasi waduk. Eksternalitas negatif tersebut seringkali tidak disadari oleh masyarakat yang mengelola lahan di DTA. Informasi biaya eksternalitas erosi belum tersedia, padahal informasi tersebut sangat diperlukan untuk menyusun kebijakan pembangunan daerah aliran sungai (DAS) yang berorientasi hulu-hilir. Dalam kerangka kerja pendekatan sistem dan optimasi dinamik, penelitian ini bertujuan membangun model optimasi dengan menyatukan sub-sistem hulu waduk dan sub-sistem ekologi bendungan-waduk sebagai satu kesatuan unit pengambil keputusan; serta mengestimasi nilai ekonomi lapisan tanah dan air waduk. Pemecahan problem optimasi didasarkan pada: (1) perumusan diskrit dengan periode perencanaan jangka waktu tertentu, (2) fungsi tujuan aditif, yaitu memaksimumkan nilai sekarang manfaat sosial bersih dari kedua sub-sistem, (3) paket pola tanam sebagai variabel keputusan, (4) ketebalan lapisan tanah dan kapasitas tampungan waduk sebagai kendala transisi. Harga bayangan ketebalan lapisan tanah mencerminkan biaya lapisan tanah yang hilang. Hasil pendugaan nilai ekonomi lapisan tanah menunjukkan kecenderungan yang semakin kecil antar waktu. Kondisi tersebut sejalan dengan hasil kajian Van Kooten et al. (1989) pada solum tebal. Nilai ekonomi lapisan tanah yang hilang di DTA bervariasi menurut: (1) pola tanam, (2) klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan, dan (3) wilayah sub-sub DAS. Harga bayangan kapasitas tampungan waduk mencerminkan biaya kesempatan setiap satu meter kubik air yang tersimpan. Nilai air waduk atau biaya kesempatan air yang tersimpan berbeda antar waduk. Variasi tersebut karena adanya perbedaan harga per unit produksi listrik antar PLTA, dan perbedaan koefisien parameter teknis yang terkait dengan sub-sistem ekologi bendunganwaduk. Disamping itu, nilai air waduk relatif lebih tinggi daripada biaya pengerukan per unit satuan volume. Berdasarkan hasil pendugaan nilai ekonomi lapisan tanah dan air waduk, maka pengaturan pola tanam merupakan metode yang efektif untuk menangani sedimentasi. Metode tersebut telah lama diterapkan dengan berbagai bentuk program dan proyek, namun sedimentasi masih relatif tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan kelembagaan yang mampu menangani sedimentasi secara komprehensif yang dilengkapi dengan kelembagaan pengelola dana yang mampu menjembatani pihak penyedia air waduk di daerah tangkapan air dan pihak pemangku kepentingan di hilir. Penanganan sedimentasi dalam jangka panjang dapat dilakukan melalui penertiban penggunaan lahan sesuai dengan fungsi kawasan. Penertiban tersebut perlu dituangkan dalam Peraturan Daerah Tingkat Propinsi yang dilengkapi dengan sanksi yang tegas dan insentif yang proporsional.
Kata Kunci: pola tanam, eksternalitas, nilai ekonomi lapisan tanah dan air waduk, optimasi dinamik
ABSTRACT Rini Dwiastuti. Land and Water Resources Management in The Catchment Area of Sutami and Sengguruh Dams: An Economic Optimization Approach. (Bunasor Sanim as Chairman, Yusman Syaukat, Bonar M. Sinaga and Hermanto, as members of the Advisory Committee) Agricultural activities in the catchment area caused erosion which is resulting land degradation and reservoirs sedimentation. This negative externalities was unrealized for society by whom cactchment area managed. Information of erosion externality cost is not yet available, which usefull to conceived policy in the basin system development process with upstreamdownstream paradigm. In the system approach and dynamic optimization framework, the aims of this study is to develop optimization model with unifying the reservoir upstream sub-system and the dam-reservoir ecological sub-system as a unity decision maker, also estimate economics value of soil depth and reservoir water. Optimation problem solving is based on: (1) the discrete-time formulation with finite horizon problem, (2) additive objective function, which is maximizing the present value of net social benefit from both sub-system, (3) cropping pattern as decision variable, (4) both of soil depth and reservoir storage capacity as state variable. The shadow price of soil depth reflects the cost of soil loss. Estimation result of the solum economic value tend to decrease over time. That condition in accordance with the study result of Van Kooten et al. (1989) on thick solum. The economic value of the soil loss in catchment area is varied by: (1) cropping pattern, (2) function and land slope classification, and (3) sub-sub water basin region. The shadow price of reservoir storage capacity also reflects opportunity cost every one cubic meter water storage. Reservoir water value or opportunity cost of water storage is differ among the reservoir. That variation caused by the different of price per unit electricity product among hydropower station, and the different of technical parameter coefficient which is connected with the damreservoir ecological sub-system. Beside that, water reservoir value relatively higher than dredging cost per unit volume. Based on economic value of soil depth and reservoir water estimation result, cropping pattern arrangement is an effective method handling sedimentation. This method was used with varying form of program and project, but sedimentation still relatively high. Because of that, institutional arragement is needed to handle sedimentation comprehensively completed with fund management institution which also capable to bridging water reservoir supplier in the catchment area and stakeholder at downstream part. Sedimentation handling in the long run can be done by land tenure control as appropriate with land use system. This control need to be written in Province Ordinance completed with assertive sanction and proportionally insentive. Key words: cropping pattern, externality, soil depth and reservoir water economic values, dynamic optimazation
© Hak cipta miliki Rini Dwiastuti, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruuhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI EKONOMI
Oleh: RINI DWIASTUTI
DISERTASI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Disertasi
: PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI EKONOMI
Nama NIM
: Rini Dwiastuti : 995-183
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. Anggota
Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, M.Sc. Ketua
Dr.Ir. Hermanto, M.S. Anggota
Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, M.A.
Tanggal Ujian: 1 Desember 2005
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bojonegoro Jawa Timur pada tanggal 3 Oktober 1959 dari ayah Moehkiman Pringgoatmodjo (Alm) dan ibu Soepinah (Almh). Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Pertengahan tahun 1979 penulis lulus dari SMPP (Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan) Negeri Nganjuk Jawa Timur dan pada bulan Agustus tahun yang sama diterima di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya melalui penyaringan ujian masuk perguruan tinggi Perintis I. Pada semester III penulis memilih Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dan mendapat gelar Sarjana Pertanian pada tahun 1984.
Dua tahun kemudian, penulis melanjutkan ke
jenjang pendidikan S2 pada Program Pascasarjana KPK Universitas Gajah Mada Yogyakarta - Universitas Brawijaya Malang dan lulus tahun 1990. Sejak tahun 1986 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Pada tahun ajaran 1999/2000, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan Program Doktor (S3) di Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.
PRAKATA Rasa syukur dan terimakasih kepada Allah SWT atas ridla dan karunia yang telah diberikan kepada penulis sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema dipilih didasarkan pada perilaku masyarakat di daerah hulu Brantas yang penulis tangkap pada saat melaksanakan Kuliah Kerja Nyata pada tahun 1983, yaitu sikap yang tidak mau tahu terhadap pendangkalan waduk karena menurut mereka yang menikmati listrik adalah orang kota di wilayah hilir. Beberapa konsep dasar yang diaplikasikan dalam karya ilmiah ini meliputi: (1) pendekatan sistem,
(2) problem optimasi dinamik,
(3)
perumusan problem
diskrit, dan (4) optimasi sumberdaya exhaustible. Penulis menyadari bahwa untuk menghasilkan karya ini banyak pihak yang berperan.
Oleh karena itu, ucapan terima kasih pertama-tama penulis
sampaikan kepada Komisi Pembimbing: 1. Bapak Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan pencerahan dalam kegiatan mulai dari penyusunan proposal hingga laporan disertasi. 2. Bapak Dr.Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan wawasan perspektif ekonomi sumberdaya dan perangkat lunak GAMS. Pengalaman mengaplikasikan kedua hal tersebut penulis rasakan sebagai suatu nilai tambah yang sangat berharga. 3. Bapak Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bekal pada saat perkuliahan untuk diaplikasikan pada saat penyusunan proposal hingga laporan disertasi. 4. Bapak Dr.Ir. Hermanto, M.S. sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi arahan dalam mengeksplorasi manfaat praktis dari kajian disertasi ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada: 1. Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk menempuh program Doktor di IPB melalui dana BPPS TA 2000/2001. 2. Pengurus Yayasan Sumberdaya Manusia dan Program SEARCA yang telah memberi dana penelitian dan tambahan biaya hidup selama di Bogor. 3. Pimpinan di Universitas Brawijaya dan Fakultas Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan diri dengan mencari bekal ilmu ke IPB; serta telah memberikan bantuan dana sebelum mendapat dan setelah tidak mendapat dana BPPS. 4. Bapak Dr.Ir. Kliwon Hidayat, M.S baik sebagai Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya maupun selaku pribadi, yang telah banyak memberikan dorongan moril maupun bantuan materiil. 5. Bapak Prof. Dr.Ir. M. Yunus Rasyid, M.Sc. yang telah mencarikan donatur dan memberikan semangat terutama pada saat penulis merasa putus asa karena masa studi yang berkepanjangan. 6. Bapak Dr.Ir. Nuhfil Hanani, M.S baik sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya maupun selaku pribadi, yang telah memberikan bantuan materiil dan tempat bertanya pada saat penulis mengikuti perkuliahan di semester satu hingga tiga. 7. Ketua Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya yang telah memberi ijin penulis untuk mengakses fasilitas laboratorium. 8. Direksi PERUM Jasa Tirta I Malang, Kepala Balai Pengelolaan DAS Brantas, Manajer Operasional Brantas PJB (Pembangkitan Jawa Bali), Kepala Dinas Perkebunan serta Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Tanah Daerah Tingkat II Kabupaten Malang
yang telah memberikan ijin penulis untuk
menggali data pada instansi yang dipimpinnya.
Kepada berbagai pihak yang telah membantu kelancaran kegiatan pengumpulan data penulis ucapkan banyak terima kasih, diantaranya: 1. Bapak Ir. Widyo Parwanto, M.E. selaku Kepala Biro Manajemen Mutu pada PERUM Jasa Tirta I Malang yang telah menyediakan waktu untuk berdiskusi dan telah banyak meminjami buku laporan yang sangat bermanfaat untuk menyusun model. 2. Sdr Ir. Raymond Valiant Ruritan yang telah membantu mengumpulkan data sekunder di lingkungan PERUM Jasa Tirta I Malang. 3. Bapak Suliadi dan Ibu Siti Nurayah yang telah membantu mengumpulkan data sekunder pada Balai Pengelolaan DAS Brantas yang berlokasi di Malang. 4. Bapak Hery Suprayitno yang telah membantu mengumpulkan data sekunder di lingkungan PJB unit Brantas. 5. Sdr Dwi Ningsih, SP, Rustam Haryoko, SP, Titik, Suhardi, Asti dan Ida yang telah membantu mengumpulkan dan entry data primer. Kurniawan, SP yang telah membantu
Serta Syahrul
entry dan analisis data erosi di
Laboratorium Fisika Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Sdr Dr.Ir. Didik Soeprayogo, M.Sc dan Dr.Ir. Soedarto, M.S yang telah menyediakan waktu untuk memberikan masukan dalam rencana penentuan lokasi pengambilan data primer. Serta kepada Sdr Yundi Hafizrianda, SE, M.S. yang telah banyak meluangkan waktu untuk mengajari pengoperasian perangkat lunak GAMS dan membantu menyusun program pemecahan optimasi dinamik dalam bahasa GAMS. Terima kasih juga disampaikan untuk ibu Ir. Farida Hanum, Msi yang telah membantu kegiatan editing perumusan model. Kepada Bapak Dr.Ir. Djoko Koestiono, M.S yang telah
membantu mengurus ”kelengkapan administrasi” di kantor selama penulis berada di Bogor. Ucapan terima kasih secara khusus penulis tujukan kepada Ibu Sri Wahyuningsih, S.H., M.S., mbak Ummu Hilmy, S.H., M.S., mbak Dr.Ir. Retno Dyah Puspitarini, M.S. dan dik Ir. Theodora Maulina, M.S.; bagaikan saudara dan yang telah bersedia menjadi “tempat berbagi suka dan duka”.
Serta untuk
keluarga besar Bapak Moehkiman Pringoatmodjo (Alm) dan Bapak Abu Soedjak (Alm). Hanya berkat do'a dan restu semua saudara kandung dan ipar, serta ibu Maskayah (ibu mertua) telah mengantar penulis meraih keberhasilan. Ucapan terima kasih penulis ucapkan untuk suami Wahjudi, dan anak-anak: Rachmad Sustyo Wibowo serta Ima Noor Puspitasari yang dengan ikhlas memberikan kesempatan penulis pergi ke IPB untuk bereksplorasi memperdalam pemahaman ilmu pengetahuan sebagai bekal menunaikan tugas sebagai tenaga pengajar. Khusus untuk adik Peni Sapta Utami penulis sampaikan terima kasih yang mendalam karena telah banyak membantu mengawasi dan membimbing anak-anak sewaktu mereka masih dibangku SLTP dan SMU pada saat awal penulis menunaikan kuliah di Bogor. Semoga amal dari semua yang berperan tersebut mendapatkan balasan dari Allah SWT yang Maha Bijaksana, Maha Pemurah dan Penyayang. Amin.
Bogor, Januari 2006
Rini Dwiastuti
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...............................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
ix
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ..........................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................
5
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...............................................
11
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ............................
13
II. PENGELOLAAN SUMBERDAYA DI DAERAH TANGKAPAN AIR WADUK SUTAMI – SENGGURUH 2.1. Letak dan Kondisi Fisik ..............................................................
15
2.2. Tataguna Lahan, Erosi dan Hidrologi ........................................
16
2.3. Sumberdaya Air .........................................................................
23
2.3.1.
Pola operasi waduk .....................................................
23
2.3.2.
Fluktuasi debit dan produksi listrik ...............................
24
2.4. Erosi DAS Hulu dan Pendangkalan Waduk ..............................
27
2.5. Penanganan Sedimen ...............................................................
32
2.5.1.
Jangka pendek ............................................................
32
2.5.2.
Jangka menengah .....................................................
33
2.5.3.
Jangka panjang ...........................................................
35
2.5.4.
Sumber dana ...............................................................
35
2.6. Struktur Kelembagaan Pengelolaan DAS Kali Brantas .............
37
III. MODEL SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR 3.1. Alokasi Sumberdaya Lahan .......................................................
41
3.2. Alokasi Sumberdaya Air ............................................................
53
IV. APLIKASI EKONOMI DAMPAK EROSI 4.1. Hubungan Produktivitas dan Karakteristik Tanah .....................
60
4.2. Konsep Biaya On-Site dan Off-Site (On-Site and Off-Site Cost)
65
4.3. Aplikasi Pendugaan Biaya On-site Erosi Tanah .........................
69
4.3.1.
Metode fungsi kerugian erosi ......................................
69
Halaman 4.3.2.
Model optimasi dinamik problem diskrit .......................
71
4.3.3.
Model optimasi dinamik problem kontinyu ...................
82
4.4. Aplikasi Pendugaan Biaya Off-Site Erosi Tanah .......................
90
4.5. Aplikasi Model ...........................................................................
91
V. MODEL KONSEPTUAL 5.1. Landasan Teori Model Optimasi Dinamik .................................
93
5.1.1.
Komponen optimasi dinamik .......................................
93
5.1.2.
Fungsi penerimaan lahan ...........................................
95
5.1.3.
Manfaat air waduk .......................................................
97
5.2. Perumusan Kerangka Model Analisis Optimasi Dinamik ............
102
5.2.1.
Manfaat sosial bersih pengelolaan lahan ....................
102
5.2.2.
Nilai outflow waduk untuk operasi PLTA .....................
103
5.2.3.
Nilai air baku untuk pengairan dan industri .................
104
5.2.4.
Struktur biaya sosial ...................................................
105
5.2.5.
Manfaat bersih tahunan ...............................................
106
5.2.6.
Fungsi tujuan ...............................................................
107
5.2.7.
Kendala .......................................................................
109
5.2.7.1. Ketebalan lapisan atas tanah ........................
109
5.2.7.2. Kapasitas tampungan Waduk Sengguruh ......
110
5.2.7.3. Kapasitas tampungan Waduk Sutami ............
113
5.2.7.4. Kendala total luas areal berbagai fungsi lahan
116
Batas awal periode, batas atas dan bawah .................
117
5.2.8.1. Ketebalan lapisan tanah awal .........................
117
5.2.8.2. Kondisi kapasitas tampungan waduk ............
117
5.2.8.3. Kondisi awal periode dari stok air dan sedimen serta batas atas stok sedimen ..
118
5.2.8.4. Batas debit operasi PLTA ...............................
119
Perubahan parameter ..................................................
120
5.2.8.
5.2.9.
VI. METODE PENELITIAN 6.1. Daerah Penelitian ......................................................................
121
6.2. Metode Pengumpulan Data .......................................................
123
6.3. Teknik Pengambilan Contoh .....................................................
124
Halaman 6.4. Metode Analisis .........................................................................
125
6.4.1.
Model perumusan optimasi dinamik ............................
126
6.4.2.
Fungsi Lagrange ..........................................................
130
6.4.3.
Present value dari fungsi Hamilton ..............................
131
6.4.4.
Kondisi optimal ............................................................
131
6.5. Penentuan Besaran Variabel dan Koefisien ..............................
137
6.5.1.
Koefisien fungsi respon produksi-soil depth ................
137
6.5.2.
Harga air untuk irigasi ..................................................
137
6.5.3.
Sumbangan outflow Waduk Sutami terhadap pengairan dan industri ..................................................................
138
6.5.4.
Biaya pengerukan per unit ...........................................
138
6.5.5.
Pendugaan tingkat erosi ..............................................
139
6.5.6.
Pendugaan sumbangan lahan terhadap inflow air ......
139
6.5.7.
Koefisien penyesuaian massa sedimen ......................
139
6.5.8.
Koefisien pengali volume sedimen ..............................
140
6.5.9.
Kendala lahan yang tersedia .......................................
140
6.5.10.
Ketebalan lapisan tanah pada kondisi awal ................
141
6.6. Penentuan Perubahan Parameter .............................................
141
VII. ALOKASI INTERTEMPORAL 7.1. Pola Tanam Riil dan Hasil Optimasi ..........................................
143
7.2. Alokasi Optimal pada Sub-sistem Hulu Waduk .........................
149
7.3. Alokasi Optimal pada Sub-sistem Ekologi Bendungan-Waduk .
160
7.4. Ikhtisar .......................................................................................
163
VIII. NILAI EKONOMI EROSI
IX.
8.1. Cadangan dan Ekstrasi Sumberdaya ........................................
167
8.2. Pendugaan Biaya On-Site Erosi ...............................................
175
8.3. Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah ..............................
176
8.4. Pendugaan Biaya Off-Site Erosi ...............................................
186
8.5. Ikhtisar .......................................................................................
194
DAMPAK PERUBAHAN VARIABEL EKONOMI DAN TEKNIS 9.1. Perubahan Harga Komoditas ....................................................
200
9.2. Perubahan Tingkat Bunga .........................................................
214
Halaman 9.3. Perubahan Luas Lahan Hutan Produksi ....................................
218
9.4. Ikhtisar
221
....................................................................................
X. KESIMPULAN DAN SARAN 10.1. Kesimpulan ..............................................................................
226
10.2. Implikasi Kebijakan ..................................................................
228
10.3. Saran .......................................................................................
229
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................
231
LAMPIRAN
238
....................................................................................
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1.
Estimasi Pengaruh Kedalaman Lapisan Atas Tanah Terhadap Produksi Gandum di Wilayah Palouse (Walker, 1982) ....................
62
Fungsi Respon Produksi Gandum dan Ketebalan Lapisan Tanah di Wilayah Palouse (Papendick et al.,1985) ....................................
65
3. Pendekatan Perbaikan Metode Pengukuran Biaya On-Site Erosi Tanah (Barbier, 1995) .....................................................................
67
4.
Pendugaan Biaya Off-Site dari Pendangkalan Waduk (Barbier, 1995)
68
5.
User Cost Ketika Soil Depth Tidak Mempengaruhi Produksi (Mcconnell, 1983) ............................................................................
85
2.
6. Diagram Alur Keterkaitan Antar Komponen Optimasi Dinamik pada Sistem Tangkapan Air (Catchment Area) Suatu Waduk ................. 96 7.
Lokasi Daerah Tangkapan Air Waduk Sutami dan Sengguruh .......
122
8.
Dinamika Cadangan dan Ekstrasi Ketebalan Lapisan Tanah Lahan Tegal Kemiringan I (0– 5%) pada Pola Tanam Pd-Pd-Sy di Wilayah Sub-Sub DAS Metro ......................................................
170
9. Pendugaan Volume Tampungan Efektif dan Tampungan Mati Waduk Sutami pada Tahun 2003 dan 2020 ....................................
173
10. Dinamika Cadangan dan Ekstrasi Tampungan Mati Waduk Sutami .................................................................................
174
11.
Kurva Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah dari Pola Tanam Pd-Pd-Sy pada Lahan Sawah Kemiringan I (0–15%) Sub-Sub DAS Bango ...................................................................................... 184
12. Kurva Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah dari Pola Tanam Kentang-Wortel pada Lahan Tegal I (0–15%) Sub-Sub DAS Bango 185 13.
Kurva Biaya Off-Site Erosi ..............................................................
194
14.
Pengaruh Perubahan Tingkat Bunga terhadap Nilai Nominal Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah dari Pola Tanam Pd-Pd-Sy pada Lahan Sawah Kemiringan II Wilayah Sub-Sub DAS Sumber Brantas ...................................................................... 217
15. Pengaruh Perubahan Tingkat Bunga Terhadap Biaya Off-Site Erosi pada Waduk Sengguruh dan Sutami .............................................. 219
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1.
Halaman
Tingkat Erosi, Luas Areal dan Jumlah Satuan Pengelolaan Lahan (SPL) Di Wilayah Sub-Sub DAS Bango ...........................................
239
2 . Tingkat Erosi, Luas Areal dan Jumlah Satuan Pengelolaan Lahan (SPL) di Wilayah Sub-Sub DAS Sumber Brantas ...........................
240
3.
Tingkat Erosi, Luas Areal dan Jumlah Satuan Pengelolaan Lahan (SPL) di Wilayah Sub-Sub DAS Amprong ......................................
242
Tingkat Erosi, Luas Areal dan Jumlah Satuan Pengelolaan Lahan (SPL) di Wilayah Sub-Sub DAS Lesti .............................................
243
Tingkat Erosi, Luas Areal dan Jumlah Satuan Pengelolaan Lahan (SPL) di Wilayah Sub-Sub DAS Metro ............................................
245
6.
Pola Operasi Waduk Sengguruh dan Sutami (Pola Normal Bawah)
247
7.
Hasil Pendugaan Nilai Air, Sumbangan Outflow Sutami Terhadap Penggunaan Air Waduk, Sumbangan Lahan Terhadap Inflow dan Koefisien Penyesuaian Sedimen ....................................................
248
Konsep Penentuan Keseimbangan Waduk Sebagai Kendala Transisi ..............................................................................
250
4. 5.
8. 9. 10.
Sketsa Mekamisme Arus Masuk, Keluar dan Stok Air serta Sedimen 251 Lokasi Pengumpulan Data Primer dan Jumlah Responden ..........
252
11. Rincian Rumusan Fungsi Tujuan dan Kendala pada Perumusan Program Optimasi Dinamik DTA Sengguruh-Sutami ...................... 253 12.
Program Pemecahan Optimasi Dinamik Aplikasi Perangkat Lunak GAMS ....................................................................................
258
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas mencapai 11 800 km2 dengan curah hujan berkisar antara 1 370 hingga 2 960 mm per tahun (Nippon Koei, 1998).
Secara makro, DAS Kali Brantas sebagai sumber air sejumlah
agromelasi wilayah perkotaan beberapa Daerah Tingkat II di wilayah Propinsi Jawa Timur yang mengandalkan sektor pertanian, industri dan jasa (PERUM Jasa Tirta, 1998a). Pada wilayah DAS Kali Brantas terdapat 310 000 hektar lahan pengairan yang terdiri atas 50% tanaman padi, 38% tanaman palawija dan 9% tanaman tebu (Ringler et al., 2003). Di samping itu, sebagian besar (60%) air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan industri berasal dari DAS Kali Brantas. Sebagaimana telah dicanangkan pada rencana pola induk (master plan) dari DAS Kali Brantas, penekanan pembangunan sumberdaya air adalah ditujukan untuk pembangkit tenaga listrik, pengendalian banjir dan pemasok air. Prinsip Dasar yang terealisasi sejalan dengan rencana tersebut adalah pembuatan dam di beberapa lokasi baik yang hanya mempunyai satu fungsi maupun banyak (multi) fungsi. Diantara beberapa dam (bendungan dan waduk) yang mempunyai multi fungsi adalah Bendungan Sutami dan Sengguruh (Nippon Koei, 1998). Keberadaan fisik bendungan dan waduk Sutami-Sengguruh didukung oleh daerah tangkapan air (catchment area) bagian hulu DAS Kali Brantas. Kondisi agroekologi di wilayah tersebut merupakan salah satu pusat produksi tanaman hortikultura (terutama kentang, kubis, wortel, bawang merah, bawang putih, kacang merah, apel) dan tanaman perkebunan (seperti tebu lahan kering), namun sebagian besar wilayahnya mempunyai indeks bahaya erosi yang sangat
tinggi (Tim PSLH UNIBRAW, 1995). Sementara itu, proses degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup di bagian hulu DAS Kali Brantas juga menunjukkan kencenderungan yang terus meningkat, yaitu yang ditunjukkan laju sedimentasi yang semakin tinggi. Dari awal operasi bendungan (tahun 1972) hingga tahun 1998 penyusutan tampungan direncanakan hanya sebesar 26%; namun sedimentasi yang terjadi pada Waduk Sutami sebesar 42%. Kondisi tersebut terjadi karena laju sedimentasi pada Waduk Sutami sebesar 200% lebih cepat dari yang seharusnya. Pada Waduk Sengguruh (yang beroperasi sejak tahun 1988) telah mengalami penyusutan tampungan sebesar 46,8% pada tahun 1997 (PERUM Jasa Tirta, 1998a). Untuk mengatasi degradasi lingkungan telah dilakukan berbagai metode pengelolaan sumberdaya di bagian hulu DAS Kali Brantas, yakni melalui berbagai macam proyek fisik maupun metode peningkatan sumberdaya manusia. Disamping itu, telah banyak dilakukan kajian tentang pengelolaan wilayah tersebut, baik dari aspek biofisik, sosial maupun ekonomi sebagaimana yang telah dirangkum oleh Tim PSLH Universitas Brawijaya (1995). Sumber sedimentasi yang terjadi di DAS Kali Brantas berasal dari produk vulkanis dan erosi lahan (PERUM Jasa Tirta, 1998a). Produk vulkanis sebagian besar terdapat pada DAS Kali Brantas bagian tengah (Waduk Wlingi dan Lodoyo), dan sumber sedimentasi dari erosi lahan sebagian besar pada DAS Kali Brantas bagian hulu (sedimentasi terbesar terjadi pada Waduk Sengguruh dan Sutami). Penyebab sedimentasi dari erosi lahan adalah terdapatnya lahan kritis pada bagian hulu dan tengah DAS Kali Brantas. Pada wilayah bagian hulu DAS Kali Brantas terdapat lahan kritis seluas 10% dari total lahan yang teridentifikasi tahun 1997 seluas 383.35 hektar (PERUM Jasa Tirta, 1998a).
Pengembangan DAS dengan metode bendungan tidak hanya memerlukan dana yang sangat tinggi akan tetapi seringkali juga memerlukan pengorbanan fasilitas kehidupan yang lain dari penduduk yang daerahnya tergenang (misalnya fasilitas pendidikan, rumah penduduk, jalan dan masih ditambah lagi lahan produktif). Disamping itu, juga diperlukan pengorbanan yang tidak mudah dinilai dengan uang, yaitu rusaknya kelestarian ekosistem lokal. Dana pembuatan Waduk Wonogiri yang diresmikan tahun 1981 menghabiskan sebesar Rp 69.52 milyar; Waduk Wonorejo sebanyak ¥ 18,80 milyar dari ADB dan OECF serta Rp 21.90 milyar dari APBN; sedangkan pembuatan Waduk Mrican menyerap dana sebanyak 356 juta $ Amerika Serikat (Kompas, 2000). Besarnya dana tunai tersebut belum termasuk biaya penanggulangan permasalahan teknis seperti yang telah diuraikan di atas. Dengan mempertimbangkan besarnya fungsi waduk dalam kehidupan sehari-hari serta mengingat dana untuk pembuatan dan perawatan sangat besar, maka fungsi waduk perlu dipertahankan. Salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah mempertahankan kapasitas waduk sampai pada akhir horizon waktu. Mengingat sebagian besar penduduk yang bertempat tinggal di daerah tangkapan air menggantungkan hidupnya dari hasil lahan pertanian, maka selayaknya bila kajian dampak erosi terhadap produktivitas lahan dipertimbangkan. Di samping itu, secara makro dan jangka panjang, dampak degradasi lahan dan deplesi sumberdaya tanah mempunyai implikasi ekonomi yang mendalam untuk negara-negara berpendapatan rendah, yaitu dapat mengancam prospek pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di waktu yang akan datang (Barbier, 1995). Anderson dan Thampapillai (1990) mengemukakan bahwa pengkajian masalah degradasi lahan dari perspektif ekonomi dapat dikelompokkan menjadi: (1)
konservasi lahan dipandang sebagai input produksi, (2) topsoil dapat
dipandang sebagai suatu sumberdaya alam, (3) pengaruh degradasi lahan pada sumberdaya pemilikan bersama (commom property) dan eksternalitas. Berkaitan dengan berbagai kelompok kajian tersebut, Barbier (1995) berpendapat pentingnya pengukuran dampak erosi terhadap menurunkan produktivitas (biaya on-site) dan kerugian eksternal (biaya off-site); mengingat penggunaan lahan pertanian di negara-negara Asia Tenggara seringkali menghasilkan degradasi tanah. Lebih lanjut diuraikan, pentingnya pengukuran eksternalitas erosi (off-site cost) karena: (1) penelitian empiris terhadap biaya erosi dari degradasi lahan sebagian besar di negara berkembang terbatas pada dampak on-site cost yang paling sering dikaji,
(2) adanya perbedaan perilaku pengambilan keputusan
antara tingkat petani (hanya memperhatikan on-site cost) dan tingkat sosial atau komunitas (yang juga memperhatikan biaya eksternal atau off-site cost), dan (3) eksternalitas ekonomi dari sumberdaya merupakan bagian integral dari dampak ekonomi dari degradasi lahan.
Oleh karena itu, maka substansi kajian dari
disertasi ini adalah pengukuran nilai ekonomi dampak internal maupun eksternal dari erosi yang dihasilkan lahan budidaya intensif di daerah tangkapan air. Ekosistem DAS dapat dibagi menjadi tiga sub-sistem, yaitu sub-sistem hulu waduk, sub-sistem ekologi bendungan-waduk, dan sub-sistem hilir (downstream). Pendekatan sistem diperlukan karena dalam wilayah Daerah Aliran Sungai (watershead)
tidak saja menyangkut karakteristik hidrologi dan proses fisik,
namun juga menyangkut kebijakan pengelolaan yang dibentuk oleh perilaku manusia (McKinney et al., 1999). Karena sub-sistem ekologi bendungan-waduk dan subsistem hulu waduk merupakan satu kesatuan dalam satu sistem tangkapan air, maka penelitian ini mencoba mendeskripsikan analisis ekonomi pada sub-sistem daerah hulu waduk yang secara simultan mempengaruhi aktivitas sub-sistem ekologi bendungan-waduk.
Mengingat fenomena dampak degradasi lahan terkait dengan lingkungan sosial ekonomi dan pengaturan kebijakan (Héerink, 2001) yang cenderung berubah, maka dalam kajian menggunakan kerangka kerja dinamik. Pemecahan problem dinamik perlu dilakukan mengingat pemodelan jangka panjang mengupayakan keuntungan sosial serta mempertimbangkan eksternalitas spasial dan temporal. Disamping itu, bisa mendeskripsikan dengan lebih baik dari efek akumulatif dan ketidakpastian yang akan datang (McKinney et al., 1999). 1.2. Perumusan Masalah Potensi permasalahan ekonomi di daerah tangkapan air (DTA) digali dari fenomena hubungan proses fisik dan perilaku manusia dalam sistem. Keputusan pola tanam merupakan salah satu bentuk implikasi dari hubungan proses fisik dan perilaku manusia di DTA. Pada sub-sistem hulu waduk terdapat aktivitas pengelolaan lahan budidaya intensif yang menyebabkan erosi. Dampak erosi terhadap
sedimentasi
waduk
merupakan
eksternalitas
negatif
(external
diseconomies). Proses erosi mempunyai dampak berkurangnya ketebalan lapisan tanah (soil depth atau SD) di wilayah sub-sistem hulu waduk. Pada wilayah sub-sistem ekologi bendungan-waduk, erosi menyebabkan sedimentasi sehingga terjadi pengurangan kapasitas tampunan waduk. Dengan demikian berkurangnya SD dan kapasitas tampungan waduk ditetapkan sebagai sumberdaya yang terkuras. Deplesi
atau
pengurasan
sumberdaya
yang
disebabkan
oleh
erosi
mengakibatkan biaya on-site erosi dan biaya off-site erosi (Barbier, 1995). Biaya operasi dan pemeliharaan prasarana pengairan di wilayah DAS Kali Brantas berasal dari retribusi air baku dan subsidi pemerintah (PJT I et al., 2003). Dalam
rangka
pelaksanaan
pembangunan
yang
berkelanjutan
dengan
mempertimbangkan kelestarian lingkungan wilayah DAS telah dilakukan kajian tentang retribusi air baku menurut penggunanya. Dari kondisi yang ada tersebut
terkesan bahwa yang bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan wilayah DAS Kali Brantas adalah pemanfaat air yang berada di wilayah hilir dan pemerintah. Hal tersebut dirasa kurang tepat mengingat pemanfaat lahan di DTA sebetulnya mempunyai peran untuk menjaga kelestarian prasarana pengairan, khususnya yang terkait dengan fasilitas bendungan dan waduk serta sumber air. Oleh karena itu, penelitian disertasi ini mencoba mengeksplorasi kemungkinan berbagi tanggungjawab kelestarian DAS Kali Brantas dengan melibatkan masyarakat pengguna sumberdaya yang berada di wilayah hulu waduk; yakni melalui aplikasi biaya eksternal dampak erosi. Pada kondisi yang ada, alokasi air di wilayah DAS Kali Brantas didasarkan pada perhitungan kuantitas permintaan dan air yang tersedia (PJT I et al., 2003). Permintaan air meliputi untuk irigasi, pembangkit listrik, industri, air minum, perikanan dan penggelontoran sungai; sedangkan ketersediaan air didasarkan pada curah hujan, inflow dan perkiraan air yang tersimpan dalam waduk. Sementara itu, alokasi penggunaan lahan di DTA didasarkan pada keputusan individu rumah tangga petani.
Alokasi kedua sumberdaya tersebut (air dan
lahan) terjadi pada unit keputusan yang terpisah atau parsial. Sebagai produsen, pada umumnya petani tidak mempertimbangkan eksternalitas dari erosi yang ditimbulkan dari pengelolaan lahan.
Sedangkan dari perspektif kepentingan
publik mempertimbangkan eksternalitas lingkungan, yakni eksternalitas erosi terhadap sedimen waduk.
Berdasarkan pendekatan sistem, maka perlu
mengkaji perilaku keputusan pengelolaan lahan dengan menyatukan fungsi DTA sebagai penyedia air dan sekaligus sebagai penghasil sedimen yang mengurangi kapasitas simpan waduk. Untuk menangkap fenomena secara normatif tentang kondisi aktivitas yang dapat menghasilkan manfaat sosial maksimal dengan kendala ketersediaan sumberdaya di wilayah sistem, maka diaplikasikan analisis pemecahan problem optimasi.
Analisis optimasi juga dapat dipergunakan
sebagai dasar penilaian dampak eksternalitas erosi dari pendekatan biaya kesempatan (opportunity cost); mengingat fungsi air waduk bersifat multiguna. Karena pengaruh erosi terhadap produktivitas tanah dan volume waduk bersifat akumulasi, maka problem optimasi yang diterapkan adalah pemodelan jangka panjang atau optimasi dinamik.
Bertitik tolak dari akar permasalahan
bahwa pendangkalan waduk berasal dari degradasi lahan di wilayah hulu DAS Kali Brantas, maka paket pola tanam ditetapkan sebagai variabel kontrol (decision/control variable). Ketebalan lapisan tanah lahan budidaya intensif di wilayah sub-sistem hulu waduk dan kapasitas tampungan waduk ditetapkan sebagai state variable. Erosi sebagai akibat pengelolaan lahan budidaya intensif tidak saja mempengaruhi
pendapatan
pada
sub-sistem
mempengaruhi kelestarian fungsi waduk.
hulu
waduk,
namun
juga
Dengan demikian permasalahan
penelitian yang
muncul adalah: paket pola tanaman manakah yang mampu
mendatangkan
manfaat
sosial
bersih
konsekwensi sedimen yang minimum.
maksimum
serta
menimbulkan
Dengan mempertimbangkan dimensi
waktu, permasalahan yang terkait adalah: bagaimana fenomena optimasi intertemporal pada wilayah sub-sistem hulu waduk dan ekologi bendunganwaduk? Dalam satu Sub-sub DAS mempunyai keragaman unsur kondisi lingkungan fisik diantaranya adalah: topografi/lereng, keadaan fisik tanah, dan iklim (curah hujan dan elevasi). Keragaman yang terkait dengan perilaku manusia adalah berbagai bentuk pengaturan pola tanam. Sehingga dalam mengkaji dampak erosi mempertimbangkan keragaman kemiringan lahan maupun pola tanam, baik yang dibentuk dari tanaman tahunan maupun tanaman semusim. Dalam rangka eksplorasi penetapan pungutan atau retribusi terhadap kerusakan DTA, maka diperlukan valuasi ekonomi terhadap dampak eksternal
erosi.
Dari perspektif ekonomi sumberdaya dan lingkungan, valuasi ekonomi
dalam bentuk nilai uang yang terkait dengan pengelolaan, pengembangan, dan konservasi sumberdaya alam maupun lingkungan dimaksudkan untuk mengukur penambahan (gains) dan kehilangan (loss) dari kegunaan lingkungan (Randall, 1981; Pearce and Turner, 1990). Sementara itu, Chutubtim (2001) menguraikan bahwa untuk mereflesikan nilai ekonomi dampak suatu proyek secara akurat diperlukan teknik valuasi ekonomi yang cocok. Hal itu karena apabila terjadi pada pasar yang terdistorsi, harga pasar tidak mencerminkan secara akurat dari biaya dan manfaat marjinal; serta menimbulkan alokasi sumberdaya yang tidak efisien. Oleh karena itu, untuk mendapatkan estimasi nilai ekonomi yang relatif lebih akurat pada penggunaan sumberdaya alam tanpa kehadiran pasar digunakan harga bayangan (shadow price). Karena sumberdaya ketebalan lapisan tanah dan kapasitas tampungan waduk secara langsung tidak mempunyai pasar, maka dampak erosi lahan pada daerah tangkapan air diukur berdasarkan harga bayangan. Dalam kerangka kerja optimasi intertemporal, konsep user cost & costate merupakan suatu pendekatan untuk mengukur nilai ekonomi yang terkait dengan state variable (Chiang, 1990; Pearce dan Turner, 1990; Conrad, 1999; Peace (1975) dalam Anderson & Thampapillai (1990). Dengan demikian, maka permasalahan penelitian yang terkait dengan eksternalitas erosi dari aktivitas pengelolaan lahan budidaya intensif di wilayah sistem DTA adalah:
berapakah
nilai ekonomi dampak eksternal erosi dari pengelolaan paket pola tanam tertentu terhadap ketebalan lapisan tanah; dan berapakah nilai ekonomi dampak eksternal erosi dari keseluruhan pola tanam optimal terhadap kapasitas tampungan suatu waduk?
Dalam menangkap fenomena yang berkaitan degradasi tanah karena erosi, Héerink (2001) menggunakan kerangka kerja analitik yang didasarkan pada empat tingkatan, yaitu: 1. Tingkat makro (tempat pengambilan keputusan ekonomi). 2. Lingkungan sosial-ekonomi rumah tangga petani (tempat munculnya dampak kebijakan). 3. Tingkat rumah tangga petani (tempat dibuatnya pilihan produksi pertanian dan keputusan investasi). 4. Tingkat lapangan atau plot (tempat terjadinya proses degradasi tanah). Dari skema kerangka kerja tersebut terdapat alur hubungan antara variabel harga produk maupun faktor produksi sebagai dampak kebijakan tingkat makro yang mempengaruhi keputusan tingkat rumah tangga dalam pemilihan produksi pertanian dan menyebabkan degradasi lahan pada tingkat lapangan (landscape). Fenomena yang sama juga dideskripsikan oleh Pakpahan (1991), program pembangunan pertanian dan kebijakan pemerintah akan membawa konsekwensi peningkatan erosi tanah. Program pembangunan yang dimaksud meliputi intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi. Beberapa kebijakan diantaranya adalah kebijakan harga, investasi, perdagangan dan regulasi. Lebih spesifik diuraikan bahwa, kebijakan swasembada beras telah menggeser beberapa komoditas non-padi ke daerah hulu yang bersifat ekspansi di lahan marginal yang peruntukannya kurang sesuai untuk tanaman pangan, sehingga menyebabkan semakin luasnya lahan kritis dan erosi meningkat. Disamping itu, ekspansi komoditas non-padi ke daerah hulu juga dipengaruhi oleh perkembangan harga yang terus meningkat. Dari sisi kebijakan sektoral, di wilayah kajian telah diterapkan program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Pada pelaksanaan program tersebut mendorong terjadinya konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian tanaman
pangan.
Secara teknis tingkat erosi yang ditimbulkannya relatif lebih tinggi,
sehingga akan mempercepat sedimentasi waduk. Keputusan pengembangan sumberdaya alam untuk kegunaan produktif dan memelihara produktivitas, menurut Randall (1981) sesuai dengan logika teori keputusan penanaman modal. Kondisi yang efisiensi untuk penanaman modal sektor publik secara strategis adalah penamanan modal publik secara optimal, yakni jika menghasilkan perubahan kesejahteraan positif. Hal itu adalah, nilai sekarang kekayaan atau nilai sekarang aliran penerimaan yang ditentukan oleh tambahan discounting penerimaan pada keseluruhan periode. Dengan demikian tingkat bunga riil (r) merupakan variabel penting terhadap hasil prosedur discounting dalam menentukan nilai sekarang dari aliran penerimaan. Sementara itu, diskon faktor yang tinggi pada periode yang akan datang, akan mendorong lebih cepatnya eksploitasi sumberdaya alam (Pearce dan Turner, 1990).
Hubungan tersebut melalui transmisi perubahan harga dan
tingkat internal rate of return (IRR). Kebijakan harga output maupun input dapat mendorong usahatani yang dapat menghasilkan IRR yang lebih besar. Apabila IRR lebih besar dari tingkat bunga umum (interest rate), maka akan terjadi eksploitasi yang terus menerus terhadap lapisan tanah karena meningkatannya intensitas penanaman dan ekstensifikasi. Dalam konteks ekonomi makro, variabel ekonomi umum yang relevan dengan sektor pertanian diantaranya adalah tingkat bunga (Deybe, 2001 dalam Herrink et al., 2001). Bertitik tolak dari fenomena hubungan antara keputusan di tingkat rumahtangga dan perkembangan kondisi di tingkat makro tersebut, maka terdapat permasalahan penelitian: bagaimanakah perilaku
optimalisasi intertemporal
berkaitan dengan perubahan harga komoditas, tingkat bunga dan pelestarian lahan kawasan penyangga?
Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka
dalam kajian ini dilakukan analisis post optimal dengan pemecahan parametric
programming, yakni dengan merubah tingkat harga, tingkat bunga serta pengurangan areal konversi lahan hutan menjadi lahan budidaya intensif. Kajian ini diharapkan mampu “membangun kerangka kerja ekonomi terintegrasi antar sub-sistem pada sistem DTA untuk menganalisis skenario perubahan variabel ekonomi dan teknis terhadap pengelolaan lahan dan air di wilayah DAS”. Implikasi yang diharapkan adalah dalam rangka menyusun rencana perbaikan pengelolaan DAS dimasa yang akan datang, perencana harus mengetahui hubungan antara perubahan variabel ekonomi dan fisik dengan
perubahan
kapasitas tampungan
waduk.
Disamping
itu,
dapat
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi biaya eksternal erosi. 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan permasalahan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk menguji model sistem DTA (ModelDTA) dengan menyatukan sub-sistem hulu waduk dan sub-sistem ekologi bendungan-waduk sebagai satu unit pengambil keputusan; serta menilai eksternalitas erosi yang berasal dari pengelolaan pola tanam dengan memperhatikan beberapa periode. Tujuan khusus penelitian meliputi: 1. Menyusun model integrasi antar sub-sistem di DTA bagian hulu DAS Kali Brantas. 2. Menentukan pola tanam optimal dari lahan budidaya intensif yang dapat mengurangi sedimentasi waduk. 3. Mengestimasi nilai ekonomi dampak eksternalitas erosi dari pengelolaan lahan budidaya terhadap ketebalan lapisan tanah dan kapasitas tampungan waduk. 4. Mengevaluasi dampak perubahan harga komoditas, tingkat bunga dan pengurangan konversi lahan hutan menjadi lahan budidaya intensif terhadap variabel keputusan dan nilai ekononi dampak eksternalitas erosi.
Hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat: 1. Sebagai dasar pertimbangan dalam penyusunan kebijakan pengaturan beban tanggung jawab antar beberapa pihak (stakeholder) dalam rangka memelihara kelestarian DTA. 2. Sebagai salah satu substansi dasar dalam rangka sosialisasi penyadaran kelestarian lingkungan. 3. Mendapatkan metode valuasi eksternalitas erosi dari kegiatan pengelolaan sumberdaya di DTA melalui konsep on-site dan off-site cost. 4. Memperkaya khasanah kajian perspektif ekonomi sumberdaya. 5. Dapat melengkapi kajian pengelolaan DAS Brantas yang telah dilakukan oleh IFPRI (International Food Policy Research Institute), yang lebih menekankan pada pengaturan air dari sisi permintaan (demand side) pada kondisi pasokan (supply) air tingkat tertentu (given). 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Wilayah DAS Kali Brantas terdiri atas: bagian hulu, tengah dan hilir. Wilayah kajian adalah daerah tangkapan air bagian hulu DAS Kali Brantas. Sistem daerah tangkapan air Hulu Brantas terdiri atas: (1) sub-sistem hulu waduk, dan (2) sub-sistem ekologi bendungan-waduk. Model program dinamik yang dipergunakan adalah bersifat deterministik, yakni tidak memperhatikan probabilitas yang terkait dengan variabel keputusan (decision variable). Untuk memaksimumkan kumulatif penerimaan bersih dari satu waktu (periode waktu t) ke waktu yang lain (periode waktu t+1) pada DTA didasarkan pada asumsi bahwa sub-sistem hulu waduk dan ekologi bendunganwaduk sebagai satu unit pengambil keputusan. Alokasi sumberdaya air ditentukan dari kuantitas penawaran air (water supply) yang dihasilkan oleh model optimasi dan permintaan air dengan kuantitas
tertentu (given).
Kuantitas penawaran air tergantung pada pengaturan pola
tanam hasil pemecahan problem optimasi;
sedangkan kuantitas permintaan
diasumsikan konstan sepanjang horizon waktu (time horizon). Perumusan masalah optimasi dalam penelitian ini mempunyai keterbatasan dalam menangkap fenomena di lapang.
Beberapa kompleksitas fenomena
yang tidak diakomodasikan dalam model analisis ialah: 1. Manfaat fungsi ekologi dari lahan non-budidaya intensif (hutan dan semakbelukar). 2. Sumber sedimen selain dari erosi lahan. 3. Produktivitas lahan yang dipengaruhi oleh sarana produksi. 4. Keterbatasan ketersediaan tenaga kerja dan kuantitas permintaan pasar pada setiap komoditas. 5. Keragaman biaya produksi per satuan luas menurut wilayah Sub-sub DAS dan periode (tahun). 6. Perubahan karakteristik hidrologi karena perubahan vegetasi dan curah hujan. 7. Keragaman sumbangan lahan per hektar terhadap volume inflow air waduk. 8. Proses erosi yang diawali dari proses pelepasan, pengangkutan hingga proses pengendapan antar wilayah yang terjadi secara bertahap. 9. Keragaman teknologi yang diterapkan petani menurut dimensi ruang dan waktu.
II. PENGELOLAAN SUMBERDAYA DI DAERAH TANGKAPAN AIR WADUK SUTAMI-SENGGURUH 2. 1. Letak dan Kondisi Fisik Daerah tangkapan air (DTA) Waduk Sutami dan Sengguruh merupakan bagian hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas.
Daerah tersebut
terbentang antara 07o 44’ 20” hingga 08o 17’ 45” Lintang Selatan dan antara 112 o 27’ 30” sampai dengan 112
o
57’ 55” Bujur Timur (SubBRLKT, 1996). Secara
geografis terdiri atas Sub-sub DAS: Bango, Sumber Brantas, Amprong, Lesti, dan Metro.
Batas administratif sebelah Timur berbatasan dengan wilayah
Kabupaten Lumajang dan Kecamatan Ampelgading (Kabupaten Malang);
di
sebelah Selatan adalah Kecamatan Ampelgading dan Donomulyo; di sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Blitar dan Kecamatan Kalipare (Kabupaten Malang); di sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Pasuruan dan Mojokerto.
Sedangkan secara geografis, DTA Waduk Sutami-
Sengguruh dikelilingi gugusan gunung. Sebelah timur terbentang pegunungan Tengger (dengan Puncaknya Gunung Bromo) dan pegunungan Semeru (dengan puncaknya Gunung Mahameru); wilayah selatan terdapat gugusan Pegunungan Kendeng Selatan; di bagian Barat terbentang gugusan Gunung Kawi dan Butak; serta di wilayah Utara terdapat gugusan Gunung Arjuno dan Anjasmoro. Konfigurasi lapangan DTA Waduk Sutami dan Sengguruh sangat bervariasi dari datar hingga bergunung dengan kelas kelerengan antara 0% hingga lebih dari 40%. Di lereng kompleks pegunungan Tengger dan Semeru terdiri atas topografi: (1) berombak pada ketinggian 850 meter di atas permukaan laut (m dpl) sampai dengan 1 050 m dpl, (2) berbukit pada ketinggian 1 050 meter – 1 250 m dpl, dan (3) bergunung pada ketinggian lebih dari 1 250 m dpl. Pada lereng Gunung Kawi terdiri atas konfigurasi bentuk lapangan: (1) berombak pada ketinggian 750 – 1 050 m dpl, (2) bergelombang pada ketinggian 1 050 –
1 250 m dpl,
(3) berbukit pada ketinggian 1 250 – 1 650 m dpl, dan (4)
bergunung-gunung pada ketinggian lebih dari 1 650 m dpl. Di lereng kompleks Gunung Arjuno terbagi atas bentuk lapangan: (1) berombak pada ketinggian 750 – 1 250 m dpl, (2) bergelombang pada ketinggian 1 250 – 1 650 m dpl, dan (3) bergunung-gunung pada ketinggian lebih dari 1 650 m dpl. Waduk Sengguruh terletak di sebelah hulu Waduk Sutami, yaitu yang membendung Kali Lesti dan Kali Brantas. Hubungan seri dari letak kedua waduk tersebut dimaksudkan agar Waduk Sengguruh berfungsi melindungi Waduk Sutami dari sedimentasi. Penurunan tingkat sedimen kurang lebih sebesar 26%, yaitu dari 6.93 juta m3/th menjadi 1.79 juta m3/th (Socheh, 2002). Apabila Waduk Sengguruh dalam keadaan tidak beroperasi (penuh sedimen), kenaikan tingkat sedimen Waduk Sutami meningkat menjadi tiga kali lipat, yakni dari 1.79 juta m3/th menjadi 5.38 juta m3/th. 2.2. Tataguna Lahan, Erosi dan Hidrologi
Faktor paling utama yang mempengaruhi terjadinya pengalihan tataguna lahan pada suatu DTA adalah jumlah penduduk (Sandy, 1973). Perkembangan jumlah penduduk akan membutuhkan lahan yang semakin meningkat guna untuk memenuhi pemukiman maupun kebutuhan pangan. Hal tersebut selaras dengan uraian McKinney et al. (1999) bahwa dalam sistem DAS tidak saja menyangkut karakteristik hidrologi dan proses fisik, namun juga
menyangkut kebijakan pengelolaan yang dibentuk oleh perilaku manusia. Berdasarkan hasil kajian BRLKT (1996a), luas DTA Waduk SutamiSengguruh adalah
177 030 ha yang tersebar di
1 897 unit SPL (Satuan
Pengelolaan Lahan). Secara umum, luas lahan budidaya intensif (58%) relatif seimbang dengan lahan non-budidaya intensif (42%). Jenis penggunaan lahan yang tergolong dalam non-budidaya intensif adalah pekarangan, kebun, semak dan hutan. Pada lahan budidaya intensif dijumpai berbagai tanaman tahunan dan semusim.
Pada lahan budidaya intensif terdapat lima (5) jenis tanaman
tahunan (tebu, kopi, coklat, apel dan jeruk), serta terdapat 12 pola tanam yang terdiri dari kombinasi antar tanaman pangan dan atau tanaman sayuran (Lampiran 1 hingga 5).
Sebagian besar (48.55%) lahan mempunyai kemiringan < 8% dan terdapat 17.58% dengan kemiringan ≥ 45% (Tabel 1). Khusus untuk lahan non-budidaya intensif, luas lahan dengan klasifikasi kemiringan V sedikit lebih luas bila dibandingkan dengan lahan kemiringan I. Tabel 1. Luas Jenis Penggunaan Lahan di Daerah Tangkapan Air Waduk Sutami-Sengguruh Menurut Kemiringan dan Sebaran Sub-Sub DAS Klasifikasi
Non-budidaya intensif Budidaya intensif Luas (ha) SPL (unit) Luas (ha) SPL (unit)
Total Luas (ha)
%
Kemiringan: I
( < 8%)
24 553
474
61 397
598
85 950
48.55
II (8 – < 16%)
4 633
122
24 396
275
29 029
16.40
III (16 – < 30%)
7 209
118
14 010
140
21 219
11.99
7 111
74
2 597
34
9 708
5.48
30 620
57
504
5
31 124
17.58
IV (30 – < 45%) V ( > 45%)
Total
74 126
845
102 904
1 052
177 030
100
Sub-sub DAS: Bango
6 719
104
11 764
113
18 483
10.44
Sumber Brantas
18 132
262
26 533
259
44 665
25.23
Amprong
14 990
35
16 082
203
31 072
17.55
Lesti
23 679
280
36 675
325
60 354
34.09
Metro 10 606 164 11 850 Sumber: olahan data sekunder Keterangan: SPL = Satuan Pengelolaan Lahan
152
22 456
12.68
Disamping itu, pada lahan budidaya intensif sebagian besar (59.66%) merupakan lahan dengan klasifikasi kemiringan I; serta semakin besar kemiringan luas lahan semakin berkurang. Perbedaan yang relatif besar antara luas lahan budidaya intensif dan nonbudidaya intensif terjadi pada Sub-sub DAS Bango, Sumber Brantas dan Lesti. Disamping itu, Sub-sub DAS Lesti merupakan wilayah yang mempunyai areal lahan budidaya yang relatif paling luas (34%). Dalam kaitannya dengan tataguna lahan, perilaku manusia tercermin pada berbagai macam pemanfaatan lahan dan bentuk pola tanam yang disesuaikan dengan karakteristik geofisik. Bila ditinjau dari kemampuan tanaman menghasilkan erosi, berbagai tanaman yang ada di DTA Waduk Sutami-Sengguruh dapat dipilah menjadi 3 (tiga) kelompok; yaitu: rendah, sedang dan tinggi. Tanaman yang menghasilkan erosi relatif rendah yaitu tanaman tahunan perkebunan dan buah. Tanaman perkebunan yang relatif dominan di wilayah kajian adalah tebu dan kopi; sedangkan tanaman buah adalah apel dan jeruk. Tanaman tebu dan kopi dipilih sebagai aktvitas produksi dalam perumusan model optimasi karena mempunyai sebaran lahan relatif merata baik menurut kemiringan maupun Subsub DAS. Walaupun apel dan jeruk relatif kurang menyebar, namun komoditas spesifik lokasi tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan pada sub-sub DAS lain yang mempunyai kondisi agroekologi yang sama. Tanaman semusim
yang terdiri atas tanaman pangan dan sayuran tergolong mempunyai kemampuan menghasilkan erosi sedang hingga tinggi. Dalam perumusan model optimasi tidak memasukan keseluruhan variasi pola tanam riil (Lampiran 1 sampai 5), karena beberapa pola tanam mempunyai sebaran lahan yang tidak merata ditinjau dari klasifikasi kemiringan lahan maupun Sub-sub DAS. Dengan demikian untuk mendapatkan luas lahan yang tersedia dilakukan penggabungan luas areal dari beberapa pola tanam yang dipertimbangkan. Dasar penggabungan pola tanam adalah potensi kemampuan menghasilkan erosi. Tanaman pangan yang menghasilkan erosi sedang adalah padi dan jagung;
sedangkan tanaman kacang tanah diklasifikasikan sebagai
penghasil erosi tinggi.
Kentang dan wortel sebagai wakil tanaman sayuran
penghasil erosi tinggi.
Dari berbagai klasifikasi kemiringan lahan seperti yang tertera dalam Lampiran 1 hingga Lampiran 5 selanjutnya dikelompokan menjadi dua kelas; yaitu klasifikasi I dengan kemiringan lahan ≤ 15%, sedangkan untuk yang lain adalah kemiringan > 15%. Hal tersebut didasarkan pada informasi kualitatif dan hasil olahan data primer, bahwasanya perbedaan produktivitas tanaman semusim mulai terlihat pada kemiringan antara ≤ 15% dan > 15%. Sebaran luas lahan yang terdapat pada Tabel 1 selanjutnya
dipergunakan sebagai dasar penentuan batas ketersediaan lahan pada perumusan model optimasi. Dari fungsi kawasan, terdapat indikasi terjadi perubahan fungsi lahan. Hal itu terjadi pada tanaman apel dan tebu.
Pada daerah-daerah tertentu lahan
dengan kemiringan diatas 30% seharusnya masuk dalam kategori fungsi hutan, namun dalam realita di lapangan lahan tersebut dijadikan kebun apel atau tebu. Berdasarkan data yang dikumpulkan BRLKT (1996b) telah terjadi perubahan fungsi lahan untuk tanaman apel yang terjadi pada 9 unit SPL dan tamanan tebu pada 3 unit SPL. Perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan apel terjadi di beberapa Sub-sub DAS; yaitu Amprong (3 unit SPL seluas 214 ha); Bango (1 unit SPL dengan luas 57 ha); dan Sumber Brantas (5 unit SPL seluas 290 ha). Sedangkan untuk tanaman tebu terjadi di Sub-sub DAS Amprong (2 unit SPL dengan luas 45 ha) dan Sub-sub DAS Bango (1 unit SPL seluas 73 ha). Hasil cek lapangan dari kajian yang dilakukan Tim Peneliti ITS (2002) didapatkan indikasi bahwa jenis lahan yang berfungsi sebagai hutan mengalami perubahan (Tabel 2). Pada beberapa kawasan, pengelolaan lahan hutan diusahakan pola pergiliran tanaman, yaitu yang terdiri atas tanaman pangan dan sayuran. Pada beberapa kawasan yang lain diusahakan menjadi kebun hortikultura (apel, sayuran) ataupun kebun tebu. Tabel 2. Perubahan Fungsi Hutan di Wilayah DAS Brantas Hulu Sub-DAS Amprong
Kecamatan Jabung Poncokusumo
Tumpang
Pola Tanam Aktual di Lahan Hutan Cabe, bawang, sayuran lain - jagung jagung/cabai, bawang, sayuran lain Tebu Cabe, bawang, sayuran lain - cabai, bawang, sayuran lain - jagung/cabai, bawang, sayuran lain (Desa Belung) Cabe, bawang, sayuran lain - jagung jagung/cabai, bawang, sayuran lain (Ds. Belung) Apel (Gubug Klakah) Tebu (Desa Tulus Besar)
Pohon reboisasi, tahun 1 (tanaman jagung) Tebu Pohon reboisasi, tahun 1 (tanaman jagung, sayuran) Lesti Poncokusumo Pohon reboisasi, tahun 1 (tanaman jagung) Sumbermanjing Wetan Tanah kosong tak diolah Wajak Pohon reboisasi, tahun 1 (tanaman jagung) Metro Dau Kacang tanah - jagung – jagung Wagir Kebun campuran, ubikayu + kedele (Desa Petungsewu) Sumber Batu Pohon reboisasi, tahun 1 (tanaman jagung, Brantas sayuran) Bumiaji: Apel dan Kentang - wortel Sumber: data primer (cek lapangan) dari hasil interpretasi Citra Satelit Landsat 7 ETM tahun 2001 (interpretasi dari Lab. Fisika Tanah) Bango
Jabung Karangploso
Sementara itu, beberapa perubahan tataguna lahan di wilayah lokasi kajian dari hasil wawancara disajikan pada Tabel 3. Informasi lain yang diperoleh adalah terjadinya penjarahan hutan secara besa-besaran di seluruh Sub-sub DAS sejak digulirkannya reformasi, yakni sejak 1997 hingga tahun 2001. Berdasarkan wawancara dengan key-informan dari seluruh lokasi kajian dapat diinformasikan bahwa penjarahan hutan secara besar-besaran terjadi antara tahun 1999 hingga 2001; yakni sejak Presiden Abdul Rachman Wahid menyatakan dalam pidatonya bahwa “hutan dan perkebunan adalah milik rakyat”. Pernyataan politik tersebut secara meluas mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat dalam pilihan penggunaan lahan. Kondisi tersebut sejalan dengan hasil kajian Tim Peneliti ITS (2002), bahwa lahan kritis di wilayah DAS Kali Brantas semakin meningkat yang dipicu oleh era reformasi dan krisi keuangan yang melanda negara Indonesia. Tabel 3. Kondisi Perubahan Tataguna Lahan di Lokasi Kajian
Sub-DAS Amprong
Kecamatan (Desa)
Perubahan tataguna lahan
Jabung (Kemantren)
a. Konversi lahan tegal menjadi perumahan seluas ± 157 ha terjadi tahun 1982 b. Lahan sawah menjadi dominan komoditas tebu sejak tahun 1992 (pola tanam lama: padi-padijagung) Tumpang Pada tahun 1990 dibangun dam penahan di (Pulungdowo) pedukuhan nJambu terjadi perubahan peruntukan tegal menjadi sawah, namun secara formal masih tercatat luas baku tegal Lesti Poncokusumo Pada tahun 2000 – 2001 terdapat penjarahan hutan (Sumberjo) Negara di Desa Sumberjo ± 50 ha. Lahan tersebut ditanami jagung dan ketela pohon, namun produksinya kurang berhasil. Metro Dau (Petungsewu) a. Lahan sawah menjadi kebun jeruk ( 40% dari total sawah desa) sejak tahun 1997, total lahan sawah desa: 33.18 ha. b. Hutan produksi menjadi lahan tegal sejak 1985; di bawah wilayah kerja KPH Selorejo terdapat program hutan sosial (lahan tetelan) seluas 225 ha yang tersebar di desa Petungsewu, Selorejo dan desa Kucur. Setiap kepala keluarga diberi hak kelola seluas 25 x 75 m2 = 0.19 ha Sumber Bumiaji a. Lahan tegal tanaman sayuran menjadi kebun apel Brantas (Tulungrejo) b. Hutan pelindung alam (yang berada dekat lahan tegal ) berubah menjadi lahan tanaman sayuran Sumber: Data Primer
Berkaitan dengan erosi, Arsyad (1989) menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi erosi yang terdiri atas: iklim (i), topografi (r), tumbuh-tumbuhan (vegetasi = v) dan manusia (m). Dari perbagai faktor tersebut lebih lanjut dapat diklasifikasikan menjadi: (1)
faktor yang dapat diubah oleh manusia (seperti
vegetasi, kapasitas infiltrasi dan kesuburan tanah), serta (2) faktor yang tidak dapat diubah manusia (iklim, tipe tanah dan kecuraman lereng).
Sementara itu, merujuk hasil kajian Talkurputra (1979) dan Wastra (1990) dapat diperoleh gambaran bahwa tataguna lahan dan vegetasi penutup lahan dapat mempengaruhi kondisi hidrologis wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS). Unsur hidrologis meliputi: (1) fluktuasi debit,
(2) rata-rata debit tahunan, serta (c) rasio antara rata-rata debit tahunan dan luas DAS, (4) koefisien aliran, dan (5) hidrograf satuan. Lahan hutan lebat mempunyai pengaruh positif terhadap fluktuasi debit, artinya semakin besar proporsi lahan hutan lebat dari suatu wilayah DAS akan menjadikan semakin kecilnya fluktuasi debit sungai. Dan semakin besar proporsi lahan kebun dari suatu wilayah DAS akan mempengaruhi semakin besarnya rata-rata debit tahunan. Perubahan penutup vegetasi yang lebih terbuka menyebabkan nilai fluktuasi debit dan koefisien aliran semakin besar. Disamping itu, perubahan tersebut juga mengakibatkan debit puncak semakin besar dan waktu mencapai debit puncak semakin cepat. Kondisi tersebut menggambarkan kontinyuitas aliran menjadi lebih buruk. Produksi air yang dihasilkan wilayah DAS secara empiris dipengaruhi oleh vegetasi hutan, perkebunan, dan tanaman pertanian. Komponen ekosistem tersebut dapat direkayasa dan berperan dalam mempengaruhi
ketersediaan air permukaan (Bruijnzeel, 1982 dan Sutterland , 1982 dalam Supriadi, 1997). Pengukuran laju limpasan permukaan di DTA Waduk Sutami-Sengguruh telah dilakukan oleh
Tim Peneliti PSLH
Unibraw (1984).
Kajian tersebut
dilakukan pada berbagai tanaman tunggal maupun tumpangsari dengan tanaman kacang tanah, jagung, ketela pohon, ketela rambat dan kentang. Laju limpasan sangat bervariasi menurut jenis tanaman, pola tanam dan pengelolaan lahan maupun menurut Sub-sub DAS.
Pengelolaan lahan yang dipertimbangkan
adalah teras. Bila aliran permukaan dipergunakan untuk mendekati (proksi) sumbangan lahan terhadap debit air sungai, maka kendala yang dihadapi pada perumusan model optimasi adalah menentukan tingkat sumbangan lahan terhadap debit inflow air waduk karena: 1. Pengukuran laju limpasan pada umumnya pada skala plot. 2. Pola tanam yang dipertimbangkan dalam model cukup bervariasi bila ditinjau dari jenis tanaman (Tabel 2). Sehingga sumbangan lahan terhadap debit inflow air dalam perumusan model optimasi diasumsikan sama untuk semua pola tanam; dan keragaman variabel tersebut terjadi menurut Sub-sub DAS. 2.3. Sumberdaya Air
2.3.1. Pola operasi waduk Pola operasi waduk dan alokasi air di DAS Kali Brantas dimaksudkan sebagai pedoman pengaturan air pengoperasian waduk untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan pengendali banjir (PERUM Jasa Tirta I, 2002b). Pedoman tersebut disusun berdasarkan kesepakatan antara pemanfaat dan pengelola melalui Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA).
Berdasarkan surat
keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur nomor 59/1994, PTPA berfungsi sebagai pelaksana koordinasi tata pengaturan air di Jawa Timur. Adapun ketua PTPA adalah Wakil Gubernur dengan aggota yang terdiri atas: Pemerintah dan Bappeda Propinsi Jawa Timur, tujuh dinas di wilayah propinsi, PLN dan PERUM Jasa Tirta I (pengelola air waduk).
Alternatif pola operasi
waduk didasarkan pada permintaan yang diajukan oleh pengguna dan prakiraan ketersediaan air dengan kriteria pola basah (keandalan < 35%); pola normal (keandalan antara 35% - 65%); serta pola basah (keandalan > 65%).
Bila ditinjau dari saat pengisian dan pengosongan terdapat dua jenis pola, yaitu pola tahunan dan pola harian. Pola tahunan terjadi bila saat periode pengisian dan pengosongan terjadi dalam kurun waktu satu tahun; saat pengisian waduk terjadi antara bulan Desember sampai Mei (musim penghujan) dan saat pengosongan terjadi antara bulan Juni hingga Nopember (musim kemarau). Pada pola harian, saat pengisian dan pengosongan terjadi dalam kurun waktu satu hari. Waduk Sutami bersifat pola tahunan sedangkan Waduk Sengguruh adalah pola harian (PJT I, 2002a). 2.3.2. Fluktuasi debit & produksi listrik Berdasarkan pola normal dengan keandalan 65%, telah tersusun pola operasi Waduk Sutami dan Sengguruh sebagaimana tertera pada lampiran 6.
Rata-rata debit inflow bulanan dari Waduk Sengguruh dipergunakan untuk menduga debit sungai yang berada di wilayah hulu, yakni Kali Bango, Brantas Hulu, Amprong dan Kali Lesti. Bersama variabel luas wilayah, debit sungai dipergunakan untuk menduga sumbangan lahan terhadap inflow air waduk (Lampiran 7). Data debit outflow diperlukan sebagai dasar evaluasi alokasi optimum hasil pemecahan model optimasi. Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) Sutami dan Sengguruh merupakan dua diantara sebelas unit kegiatan usaha inti dari Unit Pembangkitan (UP) Brantas. UP Brantas secara keseluruhan mempunyai 25 unit pembangkit (turbin) dengan daya total sebesar 274.88 MW yang dapat menyediakan energi listrik 1 200 GWh per tahun. PLTA yang dikelola UP Brantas tersebar di tujuh daerah tingkat II wilayah Propinsi Jawa Timur. Dari susunan organisasi, UP Brantas dibawah PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB). UP Brantas berperan sebagai pengoperasi pembangkit untuk menghasilkan energi listrik, sedangkan harga daya listrik ditetapkan oleh PT PJB (informasi dari hasil wawancara). PT PJB selain mengelola PLTA juga mengelola Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU). Produksi daya listrik yang dikelola oleh PT PJB untuk memenuhi permintaan konsumen akhir di setengah wilayah Pulau Jawa dan keseluruhan wilayah Propinsi Bali.
Ditinjau dari penguasaan sumberdaya untuk menghasilkan
output (daya listrik) dan sebaran wilayah konsumen akhir, PT PJB diduga mempunyai kekuatan monopoli. Implementasi kekuatan monopoli tersebut adalah kemampuan untuk melakukan eksploitasi pasar dalam rangka memaksimalkan keuntungan melalui pengaturan harga dan kuantitas output-nya.
Tabel 4. Data Teknis dan Batasan Fasilitas Operasi Waduk Sutami dan Sengguruh Fisik
Waduk Sutami 1972 2003
Waduk Sengguruh 1988 2003
Data teknis: Elevasi air banjir/ tertinggi
+ 277.00 m
+ 292.50 m
Elevasi air normal
+ 272.50 m
+ 291.40 m
Elevasi air terendah
+ 246.00 m 3
175.61 x 10 m
6
3
81.91 x 10 m
6
3
Kap. pengisian maksimal
343 x 10 m
Kapasitas pengisian efektif
253 x 10 m
Kapasitas tampungan mati
-
6
90 x 10 m
6
3
6
3
2.70 x 106 m3
1.36 x 106 m3
6
3
-
-
29.49 x 10 m
6
3
24.10 x 10 m
6
2.32 x 10 m
3
Batasan fasilitas operasi: Elevasi operasi maksimal Elevasi operasi minimal Elevasi operasi rata-rata Daya andalan Debit maksimal turbin
+ 272.50
m
+ 292.50
m
+ 260.00
m
+ 291.40
m
3 x 35
MW 3
3 x 51.39 m /det
Lama beban puncak Batas daya minimal ijin
5
+ 292.00 2 x 14.50
MW 3
2 x 91.50 m /det 5
jam -
m
60 % x 14.50
jam MW
b
Sumber: PERUM Jasa Tirta (1998 dan 2003)
Pada PLTA Sengguruh terdapat 2 unit pembangkit atau turbin; dengan kapasitas terpasang setiap turbin adalah 14 500 kW. Dengan demikian PLTA Sengguruh mempunyai daya terpasang 2 x 14 500 kW yang direncanakan beroperasi pada beban puncak selama 5 jam setiap hari. Daya listrik yang dibangkitkan adalah sebesar 91.02 juta kWh/th. Adapun pada PLTA Sutami mempunyai 3 turbin; sehingga daya terpasang sebesar 3 x 35 MW yang direncanakan dapat memproduksi daya listrik sebesar 488 juta kWh/th. Rencana besarnya produksi daya listrik pada setiap PLTA didasarkan pada data teknis waduk dan batasan fasilitas operasi seperti yang disajikan pada Tabel 4. Beberapa data yang disajikan pada tabel tersebut selanjutnya dipergunakan untuk menentukan kendala
kondisi awal periode dari stok air, dan batas atas maupun bawah debit operasi PLTA. Besaran daya listrik yang dibangkitkan setiap turbin dalam kurun waktu satu jam (kWh) ditentukan oleh: debit pembangkitan (m3/det), tinggi jatuh efektif (m),
gravitasi serta
efisiensi turbin dan generator. Tinggi jatuh efektif (Hef)
tergantung pada ketinggian muka air waduk (MAW), ketinggian tail race dan kehilangan tinggi tekan (HL). Besaran MAW dipengaruhi oleh volume air yang tertampung (storage), sedangkan ketinggian tail race dan HL dipengaruhi oleh debit yang yang dialirkan melalui waduk.
Efisiensi turbin dan generator
dipengaruhi oleh output. Dalam Nippon Koei Co, LTD. (1978) disajikan rumus untuk menduga ketinggian tail race (TWL) dan HL sebagai berikut:
TWL = 0.018 Q + 178.88 (2.1) HL
= 0.02875 (Q/10) + 0.12 (Q/10)2 + 0.00125 (Q/10)3
(2.2) Variasi atau keragaman TWL, HL dan efisiensi turbin maupun generator telah diaplikasikan oleh PJT I et al. (2003) pada pendugaan produksi daya dari PLTA dengan pasokan air yang berasal dari tampungan waduk (storage reservoir hydropower plant). Pada PLTA dengan pasokan air yang berasal dari aliran sungai (run-off-river hydropower plant), ketinggian muka air dan efisiensi dianggap konstan. Dalam rangka penyusunan rencana operasi waduk, pihak PERUM Jasa Tirta I mengunakan efisiensi turbin-generator pada tingkat tertentu (given) baik pada PLTA di Sengguruh maupun Sutami; yakni sebesar 0.90 (hasil wawancara bebas dengan key-informan).
Disamping itu, rencana operasi waduk juga
didasarkan tail race (TWL) dengan pengoperasian tiga unit turbin (181.90 m). Pada penentuan debit pembangkitan didasarkan pada debit inflow yang tersedia (natural inflow) dan debit maksimal turbin maupun lama beban puncak. Batas debit maksimal turbin maupun lama beban puncak pada masing-masing PLTA sebagaimana telah disajikan pada Tabel 4 di atas. 2.4. Erosi DAS Hulu dan Pendangkalan Waduk Sedimentasi merupakan sebuah proses pengangkutan sedimen hasil erosi oleh gerakan air permukaan. Proses sedimentasi terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap produksi, transportasi dan pengendapan. Bogen at al. (1992) menjelaskan bahwa sedimentasi dapat berasal dari dua sumber utama, ialah erosi permukaan yang disebabkan oleh fenomena alam (adanya pengolahan tanah untuk pertanian, permukiman) dan erosi sungai yang dapat disebabkan oleh adanya aliran air yang sangat deras.
Menurut Ward and Elliot (1995), sedimentasi
merupakan fungsi dari erosi yang terjadi di wilayah hulu,
dengan demikian
besarnya sedimentasi yang terjadi pada sebuah waduk ditentukan oleh besarnya erosi pada DTA. Erosi pada daerah itu sendiri sangat ditentukan oleh vegetasi yang merupakan pengaturan pola penggunaan lahan. Ilyas (1987) telah menguraikan beberapa metode pemantauan kerusakan DAS secara empiris, yaitu metode: (1) pemantauan langsung dari angkutan sedimen pada suatu Pos Duga Air secara kontinyu dan berkala, (2) perkiranaan besarnya erosi permukaan dengan menggunakan formula Universal Soil Loss Equation (USLE), dan (3) model kombinasi erosi dan transpor sedimen. Secara empiris, metode yang ketiga dirasakan relatif mudah dilaksanakan karena dapat mengatasi keterbatasan atau ketidaktersediaan data tentang debit dan konsentrasi sedimen. Disamping itu, model erosi-sedimen mampu memberikan penafsiran dari berbagai faktor yang menyebabkan kerusakan suatu DAS. Data yang diperlukan untuk menyusun model adalah karakteristik DAS (basin) yang
terdiri atas peta topografi, tataguna tanah, kemampuan tanah dan besarnya hujan. Model tersebut juga mempunyai kelebihan lain, yaitu dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengklasifikasi kondisi suatu DAS menjadi beberapa kriteria, yaitu DAS yang mengalami kerusakan lebih cepat dan kerusakan DAS berjalan lambat. Metode erosi-sedimen yang dikembangkan oleh Fleming dan Alkadhimi (1981) dalam Ilyas (1987) merupakan hubungan antara indeks erosi dan hasil sedimen.
Beberapa karakteristik fisik dari DAS yang dipertimbangkan dalam
model adalah: kemiringan lahan, faktor hujan terhadap erosi, kepekaan tanah terhadap erosi, jenis tanaman dan gangguan lahan.
Dengan memodifikasi
variable tersebut, Ilyas (1987) telah menerapkan untuk mendapatkan model erosi-sedimen Pulau Jawa. Dua model yang dihasilkan, yaitu besarnya erosi diperkirakan dengan formula USLE dan model yang lain dengan menggunakan modifikasi formula USLE. Sayangnya tidak diuraikan lebih lanjut kelebihan dan kekurangan dari kedua model yang dihasilkan tersebut. Secara umum, volume waduk multiguna dibagi atas tiga bagian tampungan; yakni: (1) kapasitas tampungan pengendalian banjir (flood control storage),
(2) kapasitas berguna (conservation storage), dan
(3) kapasitas
tampungan mati atau dead storage (Qomariah, 1992). Pendugaan kapasitas waduk dapat dilakukan melalui model simulasioptimasi (model Reser) dan pengurangan kapasitas waduk (Qomariah, 1992) dan Budihardja, 1992). Metode Reser dikembangkan oleh Simonovic (dalam Qomariah, 1992) untuk menghitung kapasitas waduk (conservation storage) yang optimal guna memenuhi volume total permintaan tertentu dengan tingkat reliabilitas yang diinginkan.
Pengukuran pengurangan kapasitas tampung
dilakukan dengan menggunakan perkiraan distribusi endapan sedimen di dalam waduk yang dikenal dengan Empirical Area Reduction Methode. Distribusi
endapan sedimen bergantung pada: bentuk waduk, cara pengoperasian waduk, tekstur dan ukuran partikel sedimen, serta volume sedimen. Adapun metode penentuan jumlah sedimen yang tertahan dalam waduk secara empiris dapat didekati dengan besarnya trap efficiency; yaitu perbandingan antara jumlah sedimen yang mengendap di dalam waduk dibagi total angkutan sedimen yang masuk dalam waduk.
Besaran tersebut selanjutnya dipergunakan untuk
menentukan luas dan volume sedimen pada setiap interval kedalaman waduk yang mencerminkan pengurangan kapasitas tampung waduk untuk setiap interval kedalaman.
Bila pengurangan kapasitas waduk diketahui, maka
kapasitas tampung waduk dapat ditentukan. Perhitungan pendangkalan waduk yang disebabkan oleh erosi telah dilakukan oleh Yuningsih dan Soewarno (1995). Metode yang diterapkan terdiri atas: (1) inflow-outflow, (2) pendekatan rumus empiris, dan (3) pemetaan topografi waduk. Metode inflow-outflow adalah menghitung laju sedimentasi dengan cara pengukuran debit dan sedimen yang masuk dan keluar waduk secara langsung di lapangan.
Hasil perhitungan debit dan angkutan sedimen dipergunakan
sebagai dasar penghitungan volume sedimen yang mengendap di waduk. Volume sedimen yang masuk dan keluar didekati dengan hasil pembagian antara hasil perhitungan total angkutan sedimen dan berat jenis material dari masingmasing sungai. Prinsip dasar dari metode pendekatan rumus empiris adalah memperkirakan volume sedimen yang terendap di dalam waduk.
Metode ini mengandalkan
hasil pengukuran volume sedimen dan debit inflow yang masuk ke waduk. Hasil perkiraan volume sedimen yang akan mengendap di dalam waduk didasarkan pada hubungan antara efisiensi tangkapan sedimen dengan angka perbandingan
kapasitas waduk dan aliran total tahunan. Parameter dari hubungan tersebut disebut dengan koefisien efisiensi tangkapan sedimen (trap efficiency). Pemetaan topografi waduk pada prinsipnya adalah melakukan penggukuran secara langsung volume sedimen yang
mengendap dalam waduk; yakni
dengan menerapkan metode echo-sounding. Pengukuran volume sedimen yang terendap didekati dengan hasil perhitungan kapasitas waduk yang didasarkan pada data pengukuran kedalam dan luas genangan waduk per elevasi. Pengukuran kedalaman
waduk menggunakan alat duga kedalaman (Echo-
Sounder) dan luas genangan waduk dengan alat pengukur luas (planimeter) Metode pendekatan pengurangan kapasitas waduk dengan perkiraan distribusi endapan sedimen secara empiris telah diterapkan oleh Priatminto (1986) untuk menduga umur bendungan Sutami dan Sengguruh. Waduk Sutami terdiri atas 54.08% pasir;
Sedimen di
5.33% lumpur dan 12.15% lempung,
maka berat jenis sedimen adalah 0.94639.
Berdasarkan: (1) inflow sedimen
yang berasal dari tujuh sub-sub DAS sebesar 1 351 061.28 ton/ha , (2) inflow waduk tahunan 2 170.63 juta m3,
(3) trap efficiency,
dan (4) waktu yang
diperlukan untuk pengisian tampungan mati (5 juta m3) adalah 4.10 tahun, maka dapat diduga usia guna waduk Sutami tinggal 41.90 tahun.
Apabila Waduk
Sengguruh mampu menghambat inflow sedimen yang masuk ke Waduk Sutami sebesar 24.07%, maka usia guna Waduk Sutami tinggal 51.40 tahun. Berdasarkan data perkembangan sedimen dari tahun 1973 hingga 2003, didapatkan rata-rata tingkat sedimen 3 964 428 m3/th (Tabel 5). Sedimen dapat terjadi pada tampungan efektif maupun tampungan mati. Tabel 5. Perkembangan Volume Sedimen Waduk Sutami Tahun 1973-1974 1974-1975
Volume sedimen (m3) 9 662 026 11 593 700
Rata-2/tahun (m3) 9 662 026 11 593 700
1975-1976 1976-1977 1977-1982 1982-1983 1983-1984 1984-1985 1985-1987 1987-1994 1994-1995 1995-1997 1997-2002 2002-2003
12 621 850 4 663 830 10 255 000 1 426 232 1 727 000 1 387 000 4 871 320 16 313 850 2 563 035 4 781 476 13 665 154 571 628 Rata-rata
12 621 850 4 663 830 2 045 000 1 426 232 1 727 000 1 387 000 2 435 660 2 330 550 256 035 2 390 738 2 390 738 571 628 3 964 428
Sumber: PERUM Jasa Tirta I (2003)
Hasil kajian Tim Peneliti Jurusan Teknik Pengairan (2003a) menunjukan bahwa pengendapan sedimen di Waduk Sutami tidak saja terjadi pada tampungan mati (elevasi < 246 m), namun terjadi pada tampungan efektif (elevasi ≥ 246 m). Dari Tabel 5.2 dalam laporan tim tersebut dapat diperoleh informasi bahwa volume sedimen yang terjadi selama kurun waktu tahun 2002 hingga 2003 terdistribusi pada tampungan efektif waduk sebesar 7.23% dan sisanya tertahan pada tampungan mati.
Pada laporan Tim Peneliti Jurusan
Teknik Pengairan (2003b) dideskripsikan secara kuantitatif adanya perbedaan nilai antara perhitungan pendugaan dan hasil pengukuran sedimentasi pada tiga (3) titik pemantauan. Dari data yang disajikan pada Tabel 5.1 dalam laporan tersebut dapat diperoleh informasi bahwa sedimentasi hasil pengukuran (analisis transportasi sedimen) relatif lebih kecil daripada hasil perhitungan sedimen potensial (analisis erosi lahan).
Rata-rata rasio antara pengukuran dan
perhitungan sedimen sebesar 0.78. Disamping itu, juga diinformasikan bahwa dalam perhitungan sedimen potensial Waduk Sengguruh digunakan efisiensi tangkapan sebesar 40%. Besaran sedimen yang terdistribusi pada tampungan efektif yang merupakan rasio antara hasil pengukuran dan perhitungan sedimen, serta efisiensi tangkapan tersebut selanjutnya akan dipergunakan sebagai dasar
perumusan penyesuaian perhitungan volume sedimen serta kendala transisi kapasitas volume waduk dalam model analisis. 2.5. Penanganan Sedimen
Penanganan sedimen di wilayah DAS Brantas dirumuskan dalam tiga kelompok menurut dimensi waktu, yakni tindakan yang bersifat jangka pendek, menengah dan jangka panjang (PERUM Jasa Tirta I, 1998). Selanjutnya akan diuraikan deskripsi dari masing-masing tindakan. 2.5.1. Jangka Pendek
Penanganan jangka pendek ditekankan pada pengambilan langkah korektif di lapangan yang hasilnya segera terlihat dalam waktu singkat. Terdapat dua bentuk tindakan jangka pendek, yaitu: (1) pengerukan langsung endapan sedimen di waduk, dan (2) penggelontoran sedimen di waduk. Pengerukan sedimen hanya dilakukan pada endapan forest bed yang terletak di pertemuan sungai dan badan air waduk.
Tindakan pengerukan
langsung telah dilakukan di Waduk Sengguruh. Tujuan pengerukan di waduk tersebut adalah untuk menambah kapasitas tampungan harian yang ada dan mengurangi jumlah sedimen yang terbawa ke dalam penstock PLTA.
Volume
pengerukan yang direncanakan sebesar 35 000 m3 dalam setiap 4 bulan sekali, sehingga total volume pengerukan dalam satu tahun sebanyak 105 000 m3.
Tindakan penggelontoran sedimen di waduk terdapat dua metode; yaitu penggelontoran lewat outlet (sluicing) dan lewat pelimpahan (flushing). Metode pertama telah dilakukan pada Waduk Sengguruh beberapa kali. tersebut dipakai dalam keadaan darurat, yakni karena intake PLTA
Tindakan tertutup
sedimen. Pelaksanaannya adalah melewatkan debit besar di sand flushing gate (pintu pasir) agar endapan sekitar pintu terbawa keluar.
2.5.2. Jangka menengah Penanganan jangka menengah dimaksudkan untuk melakukan langkah korektif sekaligus preventif.
Kegiatan yang termasuk dalam tindakan jangka
menengah adalah pembuatan bangunan fisik penahan sedimen dan pembangunan saluran by-pass.
Bangunan fisik penahan sedimen terdiri atas: Sabo
Dam, Check Dam dan Kantong Pasir. Tujuan pembangunan sabo dam adalah untuk mengurangi laju sedimen setiap tahun. Beberapa unit sabo dam telah dibangun di daerah tangkapan air Waduk Sutami; yaitu yang tersebar di remaining basin Sub-sub DAS Metro dan Waduk Sengguruh.
Lebih khusus fasilitas Sabo yang dibuat di DTA Waduk
Sutami bertujuan agar usia guna waduk sesuai dengan yang direncanakan. Realisasi pembangunan Sabo dilakukan secara bertahap sejak tahun 1979. Check dam merupakan bendung kecil yang berfungsi untuk memperbaiki kemiringan alami sungai. Perbaikan bertujuan untuk mengendalikan morfologi sungai agar angkutan sedimen dapat diatur jumlahnya. Sejumlah check dam telah dibangun di hulu Waduk Sengguruh. Bangunan kantong pasir mempunyai fungsi yang sama dengan sabo dam, namun ukuran dan konstruksinya lebih sederhana. Kemampuan bangunan kantong pasir dalam menahan material juga terbatas, baik dari segi volume maupun ukuran agregat.
Pembangunan saluran by-pass bertujuan untuk mengalihkan beban sedimen yang terendap pada suatu bagian sungai ke bagian lain. Tindakan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi sedimen yang dihasilkan letusan gunung. Dalam rangka penanganan pengaturan sedimen di Waduk Sengguruh dan Sutami, Nippon Koei (1998) telah mengajukan usulan pembuatan bangunan fisik 17 unit sabo dam di wilayah hulu. Pada Tabel 6 menyajikan tiga alternatif yang kajian penanganan sedimen dari aspek fisik maupun finansial. Tabel 6. Beberapa Unsur yang Dipertimbangkan dalam Usulan Bangunan Fisik Penanganan Sedimen Aspek A. Fisik 1. Tujuan
2. Bentuk kegiatan
Alternatif I
Alternatif II
Alternatif III
Mempertahankan kapasitas tampung yang ada di waduk Sengguruh dan Sutami.
1. Mempertahankan kapasitas tampung yang ada di Waduk Sengguruh dan Sutami. 2. Mempertahankan tk sedimen yg ada dlm Waduk Sutami. Endapan sedimen dlm waduk Sengguruh akan dipindahkan dg material kerukan disalurkan ke lautan Indonesia melalui terowongan.
1. Mengamankan aktivitas generator bendungan Sengguruh. 2. Membatasi debit operasional turbin bendungan Sengguruh sbgmn life run-off nya. Pengerukan sedimen dilakukan pada sekitar intake turbin.
135.30 juta m3
113 juta m3
Endapan sedimen dlm waduk akan dikeruk setiap tahun & material kerukan akan disalurkan ke lautan Indonesia melalui terowongan.
3. Estimasi tampungan 146 juta m3 Waduk Sutami tahun 2020 B. Aspek finansial (juta Rp) 1. Biaya konstruksi 1 328 602 2. Manfaat 1 043 113 3. Manfaat bersih - 285 489
Sumber : Nippon Koei (1998)
851 816 920 975 69 159
143 979 612 053 468 074
2.5.3. Jangka panjang Penanganan jangka panjang dilakukan dengan mengambil langkah preventif yang bertujuan mencegah erosi dan sedimentasi dikemudian hari. Tindakan ini meliputi aktivitas penghutanan kembali dan pengendalian erosi. Penghutanan kembali bertujuan menahan terlepasnya partikel tanah serta menerapkan metode penghijauan yang bersifat melindungi tanah.
Langkah
pembuatan terasering yang meliputi sipil teknis dan vegetasi untuk mencegah perpindahan tanah akibat kemiringan lahan yang bersifat ekstrim. Sementara itu, dalam rangka pengendalian erosi di DAS Kali Brantas tidak saja dilakukan dengan cara vegetatif dan sipil teknis, namun juga dapat dilakukan dengan pendekatan sosial (Tim Jurusan Teknik Pengairan, 2003b). Secara eksplisit diuraikan bahwa dalam rangka memberdayakan peran aktif masyarakat di sekitar bagian hulu DAS Kali Brantas dapat dilakukan oleh beberapa pihak, diantaranya dinas terkait dan pemerintahan tingkat yang paling rendah (kelurahan dan kecamatan). disarankan adalah: (1)
Adapun bentuk kegiatan sosial yang
penyuluhan atau sosialisasi tataguna lahan,
(2)
pencegahan penebangan hutan secara liar, dan (3) sosialisasi penanggulangan pembuangan sampai ke sungai.
2.5.4. Sumber dana Penanganan sedimen jangka panjang pada DTA Waduk Sutami dan Sengguruh telah lama dilakukan.
Menurut hasil wawancara dengan petugas
Stasiun Balai Pengelolaan DAS Brantas (nama baru dari kantor Sub-BRLKT), kegiatan tersebut diawali dengan proyek Rehabilitasi Land Use Daerah Hulu Kali Brantas dan Kali Konto yang dilaksanakan dari tahun 1970 hingga tahun 1973. Kegiatan terus dilaksanakan hingga tahun 2002 walaupun dengan menggunakan nama proyek yang berbeda. Sumber dana berasal baik dari APBN dan APBD
serta bantuan yayasan luar negeri misal USAID dan IFAD. Beberapa nama proyek yang berhasil digali diantaranya ialah: 1. Rehabilitasi Land Use Daerah Hulu Kali Brantas dan Konto (1970 – 1973). 2. Reboisasi dan Penghijauan DAS Brantas (1974 – 1976). 3. P3RP DAS: Proyek Perencanaan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan DAS Brantas (1976 – 1984). 4. P2RP: Proyek Penyusunan Rancangan Kegiatan Penghijauan dan Reboisasi (1984/1985 – 1993). 5. UACP dana dari USAID (1987 – 1992). 6. Proyek Kali Konto ( 1972 – 1993). 7. P2LK: Proyek Pengembangan Lahan Kering dana dari IFAD (1974 – 1995). 8. PEP: Proyek Evaluasi dan Perencanaan DAS (pengganti P3RP DAS) yang dilaksanakan dari tahun 1994 hingga saat ini. 9. Inpres Penghijauan dengan Dana Reboisasi pada Departemen melalui Surat Keputusan Otorisasi Rutin yang berasal dari APBN (1973 hingga saat ini). 10. HCP: Hutan Cadangan Pangan (1997 – 2002). 11. Proyek Penghijauan melalui dana APBD Tingkat I dan II yang dilakukan sesuai dengan kondisi lapangan. Dana realisasi penanganan jangka menengah sebagian besar berasal dari pemerintahan Jepang, khususnya untuk bangunan fisik yang relatif besar (sabo dam dan saluran by-pass). Pembangunan fisik kontruksi yang lebih sederhana (check dam: dam penahan dan dam pengendali) pada umumnya menggunakan dana APBN atau APBD. Pendanaan penanganan sedimentasi juga melalui proyek-proyek dari Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dibawah Departemen Kehutanan serta dana yang berasal dari PERUM Jasa Tirta I.
2.6. Struktur Kelembagaan Pengelolaan DAS Kali Brantas Dalam rangka menyusun rekomendasi kebijakan pengelolaan sumberdaya air di wilayah DAS Kali Brantas, kajian PJT I et al. (2003) telah menganalisis keberadaan: (1) hubungan antar lembaga yang terkait di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, (2) ijin penggunaan air, dan (3) pungutan iuran penggunaan air irigasi. Beberapa lembaga yang berperan pada tingkat propinsi adalah Dinas Pengairan Propinsi Jawa Timur, Balai Pengelolaan Sumberdaya Air (Balai PSDA), Perum Jasa Tirta I, Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA) , Panitia Irrigasi, dan Himpunan Petani Pemakai Air.
Organisasi dan tanggung jawab Dinas
Pengairan diatur dalam Peraturan Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur (PERDA Tk I) Nomor 23 tahun 2003. Tugas utama Balai PSDA adalah melaksanakan bagian gugus tugas Dinas Pengairan dalam pengelolaan air permukaan di wilayah DAS. Keberadaan dan fungsi Balai PSDA diatur dalam PERDA Tk I Nomor 59 tahun 1994.
Organisasi maupun tugas PTPA dan Panitia Irrigasi
dikuatkan dalam Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur Nomor 59 tahun 1994 dan Nomor 180 tahun 1992. melaksanakan
tugasnya,
PTPA
didukung
oleh
Panitia
Dalam
Pelaksana
Tata
Pengaturan Air (PPTPA) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur Nomor 131 tahun 1997. Diantara beberapa fungsi yang telah dirumuskan, terdapat dua fungsi PPTPA yang tekait dengan pemeliharaan dan kelestarian DTA; yaitu melaksanakan: 1. Program yang mengintegrasikan sumberdaya air dan konservasi tanah. 2. Peningkatan
kesadaran
publik
dan
partisipasi
masyarakat
terhadap
perlindungan sumberdaya air, pengembangan dan pengunaan serta kontrol sumberdaya air.
Lembaga yang terlibat pada tingkat kabupaten/kota meliputi: Dinas Pengairan Kabupaten/Kota dan Panitia Irigasi Kabupaten/Kota yang didukung oleh Panitia Irigasi Kecamatan. Adapun sistem kelembagaan yang diusulkan berdasarkan hasil kajian PJT I et al. (2003) adalah membentuk Dewan Sumberdaya Air Nasional (Dewan SDA Nasional), tingkat propinsi, wilayah DAS dan tingkat Kabupaten/Kota. Dewan SDA Nasional bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Program Dewan SDA Nasional disusun dari program departemen/sektoral dan stakeholder nasional.
Otoritas Dewan SDA Nasional adalah: (1) Penetapkan perencanaan
pengelolaan sumberdaya air,
dan (2) melaksanakan program tahunan yang
telah disepakati dengan keseluruhan stakeholder yang telah ditetapkan dalam Master Plan.
Ketua Dewan SDA Nasional adalah Menteri Koordinator
Perekonomian, dengan wakil ketua Menteri Pekerjaan Umum.
Adapun yang
menjadi anggota adalah berbagai departemen terkait, Bappenas, organisasi profesional, LSM dan perguruan tinggi. Pada tingkat wilayah propinsi disebut dengan Dewan SDA Propinsi. Apabila dalam wilayah propinsi terdapat beberapa DAS, maka dibentuk Dewan SDA wilayah sungai. Usulan yang terkait dengan sistem tarif air yang diuraikan oleh PJT I et al. (2003) hanya sebatas metode untuk mendapatkan pungutan iuran (retribusi) yang cocok. Dalam kaitannya dengan sistem tarif air, hasil kajian PJT I et al. (2003) belum merekomendasikan model kelembagaan pengelola dana konservasi DAS yang efektif dan berkelanjutan. Retribusi air dari pengguna masih dikelola oleh PJT I (PERUM Jasa Tirta I);
dan belum ada usulan
pengaturan kelembagaan yang secara khusus mengelola dana konservasi wilayah hulu hingga hilir. Sementara itu,
Witoelar (2005) mengemukakan bahwa perlindungan
fungsi lingkungan dapat dicapai melalui Tujuan Pembangunan Milenium
(Millennium Development Goals). Menurutnya, strategi yang bisa diaplikasikan adalah kemitraan nasional secara holistik dalam sistem perencanaan dan pendanaan, serta koordinasi dan harmonisasi kebijakan. Oleh karena itu, dalam upaya konservasi DTA bagian hulu DAS Kali Brantas pada khususnya dan keseluruhan wilayah DAS Kali Brantas pada umumnya perlu disusun rancangan struktur kelembagaan yang mampu mengintegrasikan sistem perencanaan dan pendanaan serta mensinergikan kebijakan tingkat nasional dan regional.
Arah kebijakan yang ditempuh
didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, khususnya pada Bab III pasal 21 ayat 2 tentang Perlindungan dan Pelestarian Sumber Air. Pada pasal dan ayat tersebut secara eksplisit terdapat beberapa aktivitas yang berkaitan dengan konservasi daerah tangkapan air. Regulasi kebijakan dan struktur kelembagaan yang diusulkan adalah replikasi dan atau modifikasi pengalaman pemerintah Costa Rica dalam menangani deforestasi yang sangat parah menuju pembangunan hutan lestari. Dari uraian Rahardian (2005) mencerminkan bahwa pengembalian fungsi lingkungan di Costa Rica telah menerapkan strategi penanganan sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Witoelar (2005).
Kebijakan penting yang telah
dilakukan oleh Costa Rica adalah: (1) kebijakan membuat aturan tentang tata ruang dan penggunaan lahan, dan (2) membuat undang-undang tentang struktur dan fungsi kelembagaan (Rahardian 2005). Struktur kelembagaan meliputi: (1) lembaga yang mengelola trust fund,
(2)
assosiasi pemangku kepentingan
(stakeholder), masyarakat dan LSM, serta (3) organisasi pengawas lapangan. Berdasarkan deskripsi hasil kajian PJT I et al. (2003) dan pengalaman pemerintah Costa Rica tersebut, maka dalam rangka mewujudkan perlindungan dan pelestarian sumber air di wilayah DAS Kali Brantas perlu penelitian aksi
tentang revitalisasi struktur kelembagaan pengeloaan DAS Kali Brantas dengan pendekatan hulu-hilir.
III. MODEL SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR Sebagaimana telah diuraikan di bagian sebelumnya bahwa sub-sistem bendungan-waduk merupakan satu kesatuan dengan sub-sistem hulu waduk. Aktivitas yang terjadi pada sub-sistem hulu waduk yang secara simultan mempengaruhi aktivitas sub-sistem ekologi bendungan dan waduk. rangka pengembangan pengelolaan kedua sub-sistem
Dalam
tersebut telah banyak
dilakukan kajian yang terkait dengan sumberdaya lahan maupun sumberdaya air waduk. Pada pengelolaan lahan termasuk didalamnya adalah fungsi lahan dan pengaturan pola tanam. Deskripsi beberapa kajian optimasi sumberdaya lahan maupun sumberdaya air yang disajikan pada bab ini khusus yang diaplikasikan pada unit analisis tingkat wilayah (landscape).
3.1. Alokasi Sumberdaya Lahan Dengan mempertimbangkan dimensi waktu, model optimasi pengunaan lahan di sub-sistem hulu waduk, dapat dirumuskan dengan sistem pendekatan statik ataupun dinamik. Model statik seperti telah dilakukan oleh Wade & Heady (1977), Hermanto (1983), Soemarno (1991) dan Tjoneng (1999);
sedangkan
model dinamik telah diterapkan oleh Fleming (1981) dan Barbier (2001). Aktivitas yang dipertimbangkan dalam perumusan model optimasi meliputi produksi pertanian, teknik konservasi, kegiatan reboisasi dan pemukiman kembali, serta proses hidrologi. Model akan memilih luas areal optimal; yang menjadi variabel keputusan adalah luas penggunaan lahan. Teknik pemecahan (solution) problem optimasi yang digunakan terdiri atas program linier (Linear Programming), Goal Programming dan model dinamik yang dilengkapi dengan post optimal. Pada beberapa kajian, variabel erosi dipergunakan sebagai
penentu kesesuaian agroteknologi maupun pola tanam. Pada kajian yang lain, variabel erosi dan sedimentasi dipertimbangkan sebagai kendala. Kajian Wade dan Heady (1977) didasarkan pada fenomena perkembangan permintaan komoditas pertanian yang menimbulkan beban sedimen dari lahan budidaya (cropland). Pemenuhan permintaan yang terus berkembang memaksa perubahan struktur pertanian yang mengarah pada perubahan kualitas lingkungan, yakni melalui transmisi perubahan tataguna lahan yang menyebabkan soil loss dan sedimentasi. Penyesuaian perubahan sistem produksi pertanian di satu daerah dari suatu negara bagian diimbangi oleh penyesuaian teknologi produksi daerah lain dalam menyediakan produk pertanian.
Dengan demikian proses
yang dipandang sebagai suatu masalah lokal mempunyai banyak implikasi nasional dan antar daerah secara serentak. Berdasarkan latar belakang tersebut Wade dan Heady (1977) mengevalusi pengaturan perubahan tataguna lahan, penerapan teknologi pada lahan serta pengaturan jenis tanaman yang diproduksi di atasnya. Alternatif penggunaan lahan optimal didasarkan pada analisis skenario melalui perubahan kendala sedimen; yakni tanpa kendala sedimen (sebagai model dasar), sedimen minimal, T-limit, PA-limit dan DAS-limit. Perumusan model optimasi mempertimbangkan proses sedimentasi antar lokasi lahan. Proses sedimentasi meliputi sistem pelepasan, pengangkutan dan pengendapan yang terjadi antar lahan budidaya dan antar daerah. Sistem pelepasan dan pengangkutan sedimen untuk wilayah produksi ke-i diungkapkan dengan persamaan (3.1) sampai (3.3). Pelepasan sedimen dari daerah produksi ke-i adalah:
Di [∑ j
∑S k
ijk
X ijk + si* + ∑ SAij XAij = XDi ' j
(3.1)
dimana Xijk adalah luas aktivitas produksi ke-k pada kualitas lahan klas ke-j (acre); Sijk adalah berat kotor kehilangan lapisan tanah (soil loss atau SL) dari aktivitas ke-k pada kualitas lahan klas ke-j per unit lahan (ton/acre); s*j adalah berat kotor SL untuk total lahan (ton). XAij adalah luas lahan budidaya (cropland) pada kualitas lahan klas ke-j (acre); SAij adalah berat SL per acre lahan lahan non-budidaya (non-cropland) pada kualitas lahan klas ke-j (ton/acre); Di adalah proporsi gros SL yang menjangkau sungai, dan XDi ialah berat suspensi sedimen yang dilepaskan (ton).
Sedimen yang diangkut pada areal/wilayah produksi ke-i yang mempunyai aliran sedimen: Ti [∑ XDl + ∑ Xtl ] = XTi ' l →i
l →i
(3.2) dimana XDl adalah sedimen yang dilepas dari daerah produksi hulu sungai ke-i; XTk ialah sedimen yang diangkut melalui daerah hulu ke-k dengan aktivitas ke-i; Ti adalah proporsi perpindahan sedimen pada batas daerah produksi ke-i’, yaitu yang diangkut melalui daerah produksi ke-j; dan Xti ialah sedimen yang diangkut. Muatan sedimen total (XSi’) pada outflow masing-masing daerah sungai adalah: XSi’ = XT i’ +XD i’ (3.3) dimana XSi’ adalah penjumlahan dari sedimen yang dilepas dari sedimen yang diangkut sampai daerah produksi terakhir (atau ke-i) suatu DAS. Fleming (1981) dalam Hufschmidt (1990) telah menerapkan model dinamik dalam mengkaji alokasi penggunaan lahan optimal di DTA Phewa Tal Nepal. Fungsi tujuan yang dirumuskan adalah maksimasi nilai sekarang dari
penerimaan bersih (present value net revenue) wilayah dengan memperhatikan adanya perubahan produktivitas lahan berteras. Tabel 7. Aktivitas, Variabel Keputusan dan Teknik Analisis Optimasi Beberapa Kajian Daerah Tangkapan Air (DTA) Kajian
Lokasi
Wade & Heady (1977)
Beberapa negara bagian USA
Fleming (1981 dlm. Hufschmidt et al. 1996)
Daerah Tangkapan Air Phewa Tal Nepal
Hermanto (1984)
DAS Way Rarem Lampung
Soemarno (1991)
DAS Konto Kab. Malang Jawa Timur Daerah Tangkapan Air Datara (Bili-bili Sulawesi Sel. Sub-DAS di Honduras
Tjoneng (1999)
Barbier (2001)
Aktivitas Permintaan & produksi pertanian & peternakan, praktek pengolahan tanah, teknik konservasi Produksi pertanian & manajemen teras Produksi pert, kegiatan reboisasi & pemukiman kembali Pergiliran tanaman, teknik konservasi rotasi tanaman dan proses hidrologi Produksi pertanian, ternak dan hasil hutan
Variabel Keputusan
Model Analisis Optimasi
luas penggunaan lahan
Program Linier
alokasi lahan menurut penerapan manajemen teras luas penggunaan lahan perkebunan luas penggunaan lahan luas penggunaan lahan dan unsur hidrologi alokasi lahan & alokasi uang tunai
Model Dinamik
Program Linier
Goal Programming Program Linier
Model dinamik
Sumber: (diolah dari berbagai sumber) Untuk menangkap fenomena adanya perbedaan alokasi pemanfaatan lahan antara adanya program dan tidak ada program pertanian, sepertinya Fleming melakukan analisis post optimal. Kondisi tanpa program pertanian didasarkan pada asumsi bahwa lahan teras, tanah ternak dan belukar meningkat sebesar pertumbuhan penduduk. Pada Tabel 8 tampak bahwa luas areal hutan dalam jangka waktu lima tahun akan habis terkonversi menjadi jenis pemanfaatan yang lain jika tidak ada program; jika ada program konservasi, maka areal hutan dapat dilestarikan. Di samping itu, hasil kajian menggambaran bahwa total presen value of benefit dari
alokasi pemanfaatan lahan di DTA Phewa Tal Nepal tanpa program relatif lebih kecil daripada dengan program peningkatan produktivitas lahan pertanian. Tabel 8. Pemanfaatan Lahan yang Diproyeksikan Tanpa dan Dengan Program Manajemen dengan Selang 5 Tahun di DTA Phewa Tal, Nepal, 1980 Uraian A. Tanpa Program Manajemen: Tanah teras Tanah ternak Tanah rumput Tanah belukar Hutan B. Dengan Program Manajemen: Teras Lahan peternakan (tdk dikelola) Lahan rumput (dikelola) Belukar (tdk dikelola) Hutan Pemerintah (tdk dikelola) Hutan Pemerintah (dikelola) Hutan kebun (dikelola)
1978
1983
1988
1993
1998
5 238 1 180 71 924 2 666
5 770 1 300 71 1 018 1 921
6 354 1 431 71 1 121 1 102
6 999 1 576 71 1 234 200
7 707 1 736 71 565 0
5 238 1 180 71 924 2 616 -
5 238 229 1 022 241 1 743 873 633
5 238 0 1 251 341 1 243 784 1 222
5 238 0 1 251 341 743 1 000 1 506
5 238 0 1 251 341 363 1 380 1 506
Sumber: Hufschmidt, et al. (1990)
Fungsi tujuan yang dirumuskan oleh Hermanto (1983) pada persamaan (3.4) adalah memaksimalkan keuntungan agregat usaha tani dari berbagai kemampuan lahan dengan memasukan biaya sosial yang diakibatkan oleh erosi dan manfaat air yang disumbangkan oleh areal lahan ke inflow waduk. Rumusan tersebut dilengkapi dengan kendala pada persamaan (3.5) yang bersifat obyektif (jumlah lahan pertanian, jumlah tenaga kerja dan faktor produksi) serta kendala yang bersifat normatif. Kendala yang bersifat normatif meliputi: (1) Kebijakan untuk menurunkan tingkat erosi sampai pada tingkat tertentu, (2) Pengaturan besarnya aliran air permukaan, (3) Pengurangan kepadatan penduduk, dan (4) Program reboisasi. Aktivitas produksi pertanian yang dimasukan dalam model analisis sebanyak 54, yaitu kombinasi antara 14 pola tanam (monokultur maupun tumpangsari) dan lima klasifikasi kelas kemampuan lahan.
Maks Z =
∑∑ Y j
k
jk
. A jk .H j −∑∑ C jk . A jk − ∑ f k .Fk −∑ rk .Rk − ∑∑ e jk .E jk . A jk j
k
k
j
k
+ ∑∑ W jk .W . A jk j
k
(3.4)
Rumusan fungsi tujuan adalah memaksimalkan Z yang terdiri dari komponen: total nilai produksi, total biaya produksi, total biaya reboisasi, total biaya pemukiman kembali, total biaya erosi dan total nilai air irigasi. Adapun formulasi beberapa kendala adalah: 1. Produksi pertanian:
Q = ∑ ∑ Y jk .A jk = Qd (persamaan identitas)
(3.5a)
j k
2. Modal kerja: M ≥ ∑ ∑ ∑ C jkl .A jk − K
(3.5b)
j k l
3. Tenaga kerja: L ≥ ∑ ∑ l jk .A jk − l s + l r
(3.5c)
j k
4. Resettlement:
Sr ≥ ∑ rk .Rk
(3.5d)
k
5. Reboisasi: Sf ≥ ∑ fk .Fk
(3.5e)
k
6. Debit air:
Cw ≥ ∑ ∑ W jk .A jk
(3.5f)
j k
7. Erosi Tanah: Te ≥ ∑ ∑ e jk .A jk
(3.5g)
j k
dimana: Z
Qjk
= fungsi tujuan, memaksimalkan keuntungan wilayah DTAS Way Rarem (Rp/tahun)
= Jumlah produksi komoditi j, pada kelas kemampuan lahan k (ton/tahun) h(Qjk) = harga merupakan fungsi dari jumlah produksi komoditas j, pada kelas kemampuan lahan k (Rp/ha/tahun) = biaya tidak tetap untuk memproduksi satu hektar komoditas j, Cjk pada kelas kemampuan lahan k (Rp/ha/tahun)
Ajk fk Fk rk Rk ejk Ejk wjk W Ÿjk Hj M K ljk ls lr L Sr Sf Ċw Te
= jumlah luas lahan pertanian untuk tanaman j pada kelas kemampuan lahan k (ha) = biaya reboisasi per hektar pada kelas kemampuan lahan k (Rp/ha) = areal yang dihutankan pada kelas kemampuan lahan k (ha) = biaya pemukiman kembali untuk satu Kepala Keluarga = jumlah KK yang dimukimkan kembali = laju erosi pada areal yang ditanam tanaman j kelas kemampuan lahan k (ton/ha/tahun) = nilai eksternalitas erosi (Rp/ton/ha) = dugaan terhadap aliran air permukaan pada areal yang ditanami tanaman j pada kelas kemampuan lahan k (m3/ha/tahun) = nilai air yang disubsidikan ke areal irigasi Waduk Way Rarem (Rp/m3) = produksi rata-rata komoditas j pada kelas kemampuan lahan k (ton/ha/tahun) = harga bayangan komoditas j (Rp/ton) = modal komulatif masyarakat yang tersedia untuk usaha pertanian (Rp/tahun) = jumlah kredit untuk usaha pertanian (Rp/tahun) = jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk produksi tanaman j pada kelas kemampuan lahan k (HOK/ha/tahun) = jumlah tenaga kerja sewa dari luas DTAS Way Rarem (HOK) = jumlah tenaga kerja yang dimukimkan kembali = jumlah tenaga kerja yang tersedia di DTAS Way Rarem (HOK/tahun) = jumlah dana subsidi pemerintah yang tersedia untuk kegiatan pemukiman kembali (Rp/tahun) = jumlah dana subsidi pemerintah yang tersedia untuk kegiatan reboisasi (Rp/tahun) = dugaan rata-rata debit sungai Way Rarem (m3/tahun) = jumlah erosi yang dapat ditoleransi oleh Waduk Way Rarem (ton/tahun)
Hasil kajian yang didasarkan pada empat skenario adalah: (1) apabila kendala erosi dilonggarkan, maka luas areal yang direboisasi akan menurun dan akan terjadi kenaikan pada luas areal komoditas komersial (khususnya kopi), debit air dan erosi, (2) jika pembatas erosi diperketat akan terjadi kondisi yang sebaliknya dengan besaran (magnitude) yang relatif lebih besar pada luas areal, erosi
dan debit (selain reboisasi), (3) apabila harga output dinaikan sebesar 15% tidak berpengaruh terhadap keputusan alokasi, dan (4) apabila harga output dinaikan sebesar 30% akan terjadi penurunan areal kopi monokultur dan kenaikan pola tumpangsari (dengan padi); serta tidak berpengaruh pada areal reboisasi. Di samping itu, kajian juga menghitung nilai eksternalitas tanah yang tererosi baik di areal tanaman maupun di waduk, hanya saja nilai tersebut diperlakukan sebagai variable eksogen (didapatkan di luar sistem persamaan). Fungsi tujuan yang dirumuskan oleh Soemarno (1991) adalah meminimumkan total beberapa kendala sasaran yang memperhatikan kepentingan berbagai pihak (multi party).
Hasil pemecahan fungsi tujuan selanjutnya
dipergunakan untuk menentukan alokasi luas penggunaan lahan optimal pada masing-masing Sub-sub DAS dengan mempertimbangkan: (1) pola tanam yang aman erosi, (2) pemenuhan kebutuhan hidup, (3) penyediaan kesempatan kerja, dan (4) pemenuhan debit air sungai pada kondisi maksimal ataupun minimal. Di samping itu, juga dicari beberapa alternatif lain dari alokasi luas penggunaan lahan optimal dengan menerapkan analisis post optimal; yakni dengan skenario perubahan luas kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi konversi, kebun campuran, kebun kopi, tegalan, sawah dan pemukiman atau pekarangan. Fungsi tujuan yang dirumuskan oleh Tjoneng (1999) adalah maksimisasi keuntungan. Luas areal pola tanam optimal dari berbagai skenario selanjutnya
dipergunakan untuk menganalisis perubahan hidrologi di DAS Dataran Sulawesi Selatan.
Dengan menerapkan metode program tujuan ganda (goal programming), hasil kajian Soemarno (1991) menunjukkan bahwa simpangan yang cukup besar pada kendala erosi, debit air sungai, kesempatan kerja dan penerimaan. Hal tersebut mengindikasikan adanya perilaku orientasi ekonomi dalam jangka pendek dan tidak memperhatikan aspek-aspek ekologi. Dalam jangka panjang, alokasi lahan optimal yang didasarkan pada pola tanam rumusan lebih mampu mencapai sasaran kendala erosi daripada pola tanam yang telah ada (diterapkan oleh masyarakat). Model pemrograman problem non-linier multi-periode telah dibuat oleh Barbier (2001), yaitu untuk mengkaji bagian hulu suatu DAS.
Pada aktivitas
pertanian memasukan pengaruh erosi tanah pada produksi tanaman. Fungsi tujuan yang dirumuskan adalah memaksimalkam kegunaan agregat dari seluruh wilayah dengan horizon waktu (time horizon) multi-tahun. Utilitas didefinisikan sebagai nilai diskonto pendapatan bersih yang akan datang + nilai ternak + nilai stok kayu di hutan + biaya kesempatan (opportunity cost) waktu luang. Tingkat diskonto yang ditetapkan ialah tingkat bunga riil di wilayah. Variabel keputusan luas areal meliputi 2 unit klasifikasi. Klasifikasi unit dilakukan dalam dua tahap. Pertama, didasarkan pada kombinasi antara
ketinggian
tempat
dan
luas
penguasaan
lahan
disebut
dengan
Land
Management Unit (LMU). Dalam model Honduras dibedakan 3 klas ketinggian tempat dan 2 kelompok usaha tani. Klas ketinggian tempat adalah di atas 1 100 m, di bawah 800 m dan diantaranya. Dua kelompok usaha tani dicirikan dari ukurannya: < 10 ha dan > 10 ha. Tiga klas ketinggian tempat dan dua kelompok usaha tani menghasilkan 6 LMU. Masing-masing LMU dapat diperhatikan satu usaha tani besar (large farm); dan dicirikan oleh suatu stok awal dari sifat sosialekonomi, seperti jumlah orang, sapi dan mules, mesin dan modal. Sifat yang melekat dari masing-masing LMU berubah secara eksogenous secara lintas waktu. Masing-masing LMU dicirikan oleh jarak spesifik dari jalan utama, yang berperan penting membedakan waktu perjalanan antar LMU. Tahap kedua, dari unit LMU diklasifikasikan menurut kelerengan lahan yang sebut dengan Land Production Units (LPU); mengingat fungsi produksi tanaman dispesifikasikan oleh kemiringan lahan. Pembagian klas slope terdiri atas: (1) < 10%, (2) > 25%, dan (3) 10 – 25%. Dengan demikian terdapat 18 LPU (kombinasi dari 3 klas ketinggian tempat, 2 kelompok petani dan 3 klas slope). Pada masing-masing LPU dapat mempunyai perbedaan kombinasi dari tataguna lahan seperti hutan, padang gembala, pakan ternak, tanaman dan struktur konservasi lahan. Kendala yang dipertimbangkan dalam struktur model tersebut meliputi kendala kebutuhan air, tenaga kerja, modal uang tunai dan jumlah produksi yang bisa dipasarkan.
Air yang diperlukan untuk kegunaan domestik, irigasi dan
usaha ternak. Model merinci spesifikasi kebutuhan air menurut kelompok usaha tani maupun ketinggian tempat;
serta mempertimbangkan ketersediaan air
menurut musim dan prioritas pembagiannya. Air yang tidak digunakan dari satu sektor dialirkan ke sektor berikutnya yang berada di lokasi ketinggian tempat
yang lebih rendah. Hal itu mengikuti analisis dari pengaruh kenaikan penggunaan air oleh satu sektor terhadap sektor lain di wilayah hilir. Pada kendala ketersediaan tenaga kerja diasumsikan terjadi mobilitas antar lokasi atau LMU dalam wilayah DAS. Tingkat kelahiran dan kematian diperlakukan sebagai exogenous pada model. Kepadatan penduduk ditetapkan sebagai endogenous dalam model, karena arus migrasi dapat mempengaruhi ukuran penduduk. Migrasi permanen atau sementara merupakan variabel yang membatasi populasi tahunan. Dalam kendala uang tunai memperhatikan keseimbangan aliran uang tunai, karena beberapa uang tunai tidak diinvestasikan kembali atau dikonsumsikan pada akhir musim namun disimpan untuk musim selanjutnya. Pendapatan bersih keuangan pada akhir tahun juga menentukan konsumsi keuangan keluarga di tahun berikutnya. Kendala pasar diperlukan mengingat petani yang memproduksi sayuran mempunyai ikatan dengan sedikit pedagang. Jika kendala tersebut tidak dimasukkan, dari model terdapat solusi memproduksi tanaman tertentu tanpa pasar.
Estimasi produksi tanaman tidak hanya mempertimbangkan tingkat produksi pada masing-masing Land Production Units (LPU), namun juga memperhatikan pengaruh pupuk dan erosi terhadap produksi serta kecukupan ketebalan lapisan tanah (soil depth). Penerapan fungsi produksi untuk masing-masing tipe tanaman dan masing-masing horizon waktu. Seluruh
variable endogenous dipertimbangkan dalam model dirumuskan dengan persamaan (3.6) berikut: D
TPRODc,t = yieldc,d,t * CROPc,t + ∑ effnpkd,c * FERTc,d,t d =1
(3.6) E
F
e =1
f =1
- ∑ efferose,c * EROSIONc,d,t - ∑ effdefc,f * SOILDEFc,d,t
Dimana TPRODc,t adalah total produksi untuk tanaman C dalam periode t; yieldc,d,t dan CROPc,t berturut-turut ialah hasil potensial dan areal tanam; FERTc,d,t dan EROSIONc,d,t masing-masing adalah pengaruh pemupukan dan pengaruh erosi; SIOLDEFc,d,t pengaruh ketidakcukupan kedalamam tanah. Tanda d, e dan f mengindikasikan batas segmen pada x-axis. Kendala transisi penggunaan lahan budidaya yang meliputi perluasan (NEWCROPc,t) atau pengurangan (CUTCROPc,t) dari areal budidaya awal (CROPc,t-1). Persamaan (3.7) adalah formulasi keseimbangan lahan budidaya. CROPc,t = CROPc,t-1+ NEWCROPc,t - CUTCROPc,t (3.7) Adapun persamaan (3.8) adalah kendala transisi lahan non-budidaya (LANDt). LANDt = LANDt-1+ NEWLANDt - CUTLANDt (3.8)
Variabel LAND, mewakili areal non-budidaya seperti hutan dan padang gembala. NEWLAND dan CUTLAND masing-
masing adalah perluasan dan pengurangan lahan nonbudidaya. Erosi pada masing-masing LPU digambarkan sebagai tingkat erosi dasar, dikurangi pengaruh dari struktur konservasi dan pemupukan. Persamaan (3.9) merupakan rumusan total erosi. E
∑ EROSIONc.d = eros * CROPc.t – effconsc * CONSERc,t
e =1
–
D
∑
d =1
effertd,c * FERTc,d,t (3.9)
Dimana EROSIONc.d ialah tingkat erosi potensial; erosc adalah rata-rata volume tanah yang tererosi per hektar pada lahan tanpa struktur konservasi maupun pemupukan; CROPc,t ialah luas areal lahan budidaya; effconsc adalah koefisien volume pengurangan erosi per unit lahan konservasi; CONSERt ialah luas areal lahan konservasi; effertd.c adalah koefisien volume tanah yang tidak tererosi sebagai hasil penerapan satu ton pupuk; dan FERTc.d.t ialah kuantitas pupuk dalam ton. Perumusan keseimbangan
volume erosi lahan budaya disajikan pada persamaan (3.10a). C
E
VOLCROPt = VOLCROPt-1 – ∑ ∑ EROSIONc,e,t c =1e =1
C
– (VOLCROPt-1/ΣcCROPc-1) * ∑
c =1
CUTCROPc,t
+ (VOLAND t-1/LANDt-1) NEWCROPc,t)
(3.10a)
Dimana VOLCROPt dan VOLCROPt-1 masing-masing adalah volume topsoil di areal lahan budidaya pada tahun ke-t dan periode sebelumnya; VOLANDc,t ialah volume topsoil dari lahan non-budidaya (hutan dan lahan rumput). Variabel yang lain sebagaimana telah didefinisikan pada persamaan sebelumnya. Persamaan (3.10b) merupakan perumusan keseimbangan erosi lahan non-budidaya mengakomodasi volume erosi dari areal baru dan pengurangan areal. VOLANDt = VOLANDt-1 – (VOLANDt-1/LANDt-1) * CUTLANDt + (VOLCROPt-1/ΣcCROPc-1) * NEWLANDt
(3.10b)
Penjelasan variabel mengikuti didefinisikan pada persamaan sebelumnya.
Dari beberapa persamaan erosi yang disajikan di atas, nampak bahwa perumusan model optimasi telah mempertimbangkan proses sistem sedimentasi, khususnya adalah transfer atau pengangkutan volume erosi antar lahan budidaya maupun antara lahan budidaya dan nonbudidaya.
3.2. Alokasi Sumberdaya Air Kajian yang berkaitan dengan pengaturan pola tanam yang dikombinasikan dengan berbagai alternatif strategi irigasi telah dilakukan oleh Evers at al. (1998). Adapun tujuan kajian adalah membangun metode yang inovatif dan menyatu (integrated) untuk mengoptimalkan alokasi air waduk (reservoir) dalam situasi defisit pengairan/irigasi. Deskripsi umum arah kajian adalah model dibangun dan diterapkan untuk situasi pengelolaan irigasi secara hipotetis. Karakteristik fisik dan parameter digabungkan dengan situasi yang didasarkan pada wilayah irigasi aktual untuk memunculkan suatu sekenario yang realistik. Fungsi tujuan dirumuskan untuk memaksimalkan net revenue dalam horizon waktu yang direncanakan dengan kendala kondisi fisik tertentu. Asumsi yang mendasari permodelan Evers at al. (1998) adalah: 1. Kegunaan tunggal dari waduk (reservoir) untuk irigasi dengan ukuran daerah tangkapan air untuk pasokan (supply) irigasi dari air limpasan. 2. Permintaan dan pasokan air bervariasi menurut lintas waktu (intra- and interseasonally). 3. Secara potensial cukup untuk kebutuhan air pada musim kemarau hingga disimpan dalam waduk hingga lebih dari satu tahun (carry-over storage). 4. Asumsi kunci meliputi: a. Lahan yang sesuai untuk irigasi. b. Areal lahan pengairan dapat dibagi kedalam sejumlah ukuran unit homogen secara layak. c. Pembuat keputusan adalah tunggal. Dalam kerangka permodelan, Evers at al. (1998) mengintegrasikan atau mempadukan empat komponen model analisis secara menyeluruh.
Keempat
model analisis yaitu: (1) Model hidrologi (Precipition Runoff Modeling System
atau PRMS), (2) Model simulasi pertumbuhan tanaman (Erosion Productivity Impact Calculator atau EPIC), (3) program linier,
dan (4) model program
dinamik. Dengan kata lain, hasil analisis masing-masing ketiga model tersebut dijadikan masukan (input) untuk menyusun kerangka analisis program dinamik. Dari model komponen hidrologi (PRMS) akan diperoleh hasil informasi besarnya aliran permukaan (run-off) secara berurutan (time series); yaitu yang dipergunakan untuk menjelaskan inflow waduk selama horizon waktu.
EPIC
untuk menentukan besarnya hasil (yield) tanaman dan kebutuhan air secara historis sepanjang horizon waktu menurut
jenis tanah dan strategi irigasi.
Analisis dilakukan pada 40 kombinasi, yakni kombinasi antara dari 4 jenis tanah, 2 jenis tanaman dan 5 strategi irigasi. Hasil analisis EPIC beserta informasi penerimaan bersih dari masing-masing kombinasi dan ketersediaan air dalam waduk selanjutnya dianalisis dengan program linier. Hasil dari program linier adalah alternatif rencana usaha tani (farm plan), yakni mulai dari rencana usaha tani yang menggambarkan pola tanam tanpa irigasi (tadah hujan) yang merefleksikan
penerimaan
bersih
terendah
hingga
pola
tanam
yang
menghasilkan penerimaan bersih tertinggi namun menggunakan air terbanyak (hampir menguras cadangan air waduk). Analisis program dinamik (Dynamic Proramming atau DP) didasarkan pada hasil PRMS dan berbagai alternatif rencana usaha tani. Penerapan model DP untuk mencari serangkaian seluruh alternatif irigasi potensial yang akan menghasilkan nilai saat ini dari penerimaan bersih (present value of net revenue) yang maksimal dengan memperhatikan horizon waktu.
Dari rumusan DP,
tersirat bahwa Evers at al. (1998) menetapkan kapasitas waduk sebagai state variable dan alternatif rencana usaha tani sebagai variabel keputusan (decision variable). Variasi lain yang dilakukan dalam analisis adalah simulasi dengan dua pendekatan.
Pendekatan pertama didasarkan pada asumsi pengetahuan
sempurna terhadap iklim waktu yang akan datang sepanjang horizon waktu. Dengan demikian pada pendekatan pertama pemilihan rencana usaha tani didasarkan pada alternatif yang optimal pada awal horizon waktu. Pendekatan kedua didasarkan pada asumsi adanya ketidakpastian iklim atau informasi iklim tidak diketahui sebelumnya; sehingga rencana usaha tani yang dipilih bisa jadi tidak optimal pada tahun pertama. Hasil kajian untuk panjang horizon waktu yang sama adalah
semakin
sedikitnya cadangan air pada saat awal akan menyebabkan: (1) semakin rendahnya permintaan air dari rencana usaha tani optimal,
(2) penerimaan
bersih semakin kecil, dan (3) keragaman kurva probabilitas-penerimaan dari berbagai rencana usaha tani optimal semakin menurun. Hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa keputusan rencana usaha tani pada kondisi cadangan air waduk penuh cenderung mempunyai akibat ekonomi yang lebih besar daripada pada kondisi cadangan air waduk dikosongkan secara parsial.
Dengan membandingkan panjangnya horizon waktu, yakni antara periode tiga tahun dan 20 tahun, diperoleh hasil: (1) perbedaan panjang horizon waktu cenderung kurang membedakan variasi akumulasi penerimaan bersih dari rencana usaha tani optimal, (2) horizon waktu yang lebih panjang mempunyai fleksibilitas untuk mengimbangi keputusan yang tidak diinginkan pada periode awal, (3) dari fakta studi kasus diperoleh kesan bahwa horizon waktu yang diperlukan tidak lebih dari 10 tahun.
Program kompromi dinamik (Dynamic Compromise Programming) telah dilakukan oleh Opricović (1993) untuk merumuskan optimasi multiguna air waduk.
Formulasi didasarkan pada multikriteria dari sistem dinamik dengan
memadukan tiga tujuan, yaitu: (1) meminimalkan defisit pasokan air,
(3)
memaksimalkan manfaat irigasi, dan (2) memaksimalkan manfaat pembangkit listrik. Pemecahan permasalahan optimasi dirumuskan dalam bentuk diskrit. Komponen yang membangun problem multi-kriteria dinamik terdiri atas (Opricović, 1993): (1) persamaan transformasi dari vektor state variable, vektor kriteria,
(2)
(3) fungsi tujuan multi-kriteria dan individu, (4) rumusan vektor
kendala transisi, serta (5) parameter terpenuhinya tujuan kelompok (multikriteria). Komponen model matematis dari cadangan air waduk secara diskrit meliputi: 1. Persamaan (3.11) adalah keseimbangan sumberdaya yang terkuras (state equation); yakni keseimbangan air waduk. L
Vt = Vt −1 + qt − ∑ w lt ; l =1
t = 1, . . . ,T
(3.11) Dimana Vt dan Vt-1 adalah volume air waduk pada awal dan akhir dari interval waktu ke-t (dalam bulan); qt ialah inflow waduk pada bulan ke-t; wlt adalah volume air yang didistribusikan pada pengguna ke-l pada bulan ke-t. T total jumlah bulan dalam horizon waktu, dan L adalah jumlah kriteria pengguna langsung. 2. Kendala pada the state dan the control variable pada persamaan (3.12). Vmin ≤ Vt ≤ Vmaks;
t= 1, . . . ,T
(3.12a) 0 ≤ wlt ≤ Uit; (3.12b)
t= 1, . . . , T; i= 1, . . . , I
Dimana Vmin. adalah tampungan mati (dead storage) waduk; Vmaks. adalah kapasitas waduk; dan Ult ialah permintaan air dari pengguna ke-i pada bulan ke-t. 3. Fungsi kriteria dari masing-masing pengguna (pemanfaatan), terdiri atas: (1) pasokan (distribusi) air baku untuk wilayah perkotaan (w1), (2) irigasi wilayah hulu bendungan (w2), dan (3) untuk pembangkit tenaga hidro (w3). Volume air penggunaan w3 sebagian atau seluruhnya juga untuk irigasi wilayah hilir bendungan. Secara matematis fungsi distribusi dirumuskan pada persamaan (3.13). Fungsi kriteria untuk pasokan air wilayah perkotaan T
f1(w1) = ∑ (U1t − w1t )2 t =1
(3.13a) Dimana U1t adalah permintaan pasokan air wilayah perkotaan. Fungsi kriteria untuk irigasi hulu bendungan: T
f2 (w 2 ) = ∑ w 2t t =1
(3.13b) Fungsi kriteria untuk irigasi wilayah hilir: T
f3 (w 3 ) = ∑ w 3t t =1
(3.13c)
Fungsi kriteria untuk pembangkit listrik tenaga air:
T
ft (w t ) = ∑ bt Ht t =1
(3.13d) Dimana Ht adalah dayalistrik yang dihasilkan pada bulan ke-t; bt manfaat (benefit) energi per unit yang dihasilkan pada bulan ke-t.
Nilai bt adalah
gabungan dari nilai bp, yaitu manfaat per unit energi pada masa puncak (peak) dan nilai bd, ialah manfaat per unit energi setelah masa puncak. Nilai-nilai tersebut ditentukan berdasarkan sistem tarif listrik nasional. Persamaan (3.14) adalah bentuk umum rumusan permasalahan dinamik multikriteria. maks R (Vo ,V1,...,VT ,w1,..., wT ) −
{wT }∈W
(3.14) Dengan menghadirkan parameter p dan vector kontrol kompromi, maka rumusan meminimalkan fungsi V(F,p) menjadi persamaan (3.15). I
R(F , p ) = ∑ {[fi* − fi (V ,w )] p }1 / p i =1
(3.15) dengan kendala persamaan (3.9) hingga persamaan (3.12); dimana p = 1 menjelaskan terpenuhinya utilitas kelompok; dan p = ∞ menjelaskan tercapainya kriteria individu (tunggal), maka besarnya fi* diduga dengan persamaan (3.16).
⎧T ⎫ fi* = maks ⎨ ∑ [Bit (Vt −1,Vt ,w t ⎬ ; i= 1, . . . ,I − ⎩t =1 ⎭ w ∈W i
(3.16) Beberapa kesimpulan dari kajian tersebut adalah: (1) optimasi tujuan ganda dapat dirumuskan dalam aspek teknis maupun nilai penerimaan, (2) dari program dinamik dengan algoritma optimasi kriteria tunggal didapatkan
pemecahan optimal air baku untuk penggunaan irigasi (daerah hulu dan hilir bendungan) serta untuk pembangkit listrik tenaga air, (3) algoritma program kompromi dinamik untuk mendapatkan: (a) nilai total permintaan air dengan ketentuan permintaan minimal berbagai kriteria penggunaan,
dan (b)
memaksimalkan permintaan penggunaan irigasi wilayah hilir dengan memenuhi volume permintaan pembangkit daya listrik tenaga air, (4) dengan menghadirkan variabel dummy memungkinkan salah satu tujuan tidak tercapai, yakni memaksimalkan utilitas total atau meminimalkan maupun memaksimalkan utilitas secara individu,
(5) keputusan akhir tergantung pada pendapat dan atau
kekuatan posisi tawar dari pembuat kebijakan, dan (6) optimisasi kriteria ganda memungkinkan pelaksanaan analisis fungsi kriteria yang tidak terukur, misalnya manfaat pengendalian banjir.
IV. APLIKASI EKONOMI DAMPAK EROSI 4.1. Hubungan Produktivitas dan Karakteristik Tanah Dampak erosi terhadap produktivitas melalui sifat fisik tanah, diantaranya adalah ketebalan lapisan tanah (soil depth atau SD) yang terkait dengan zona perakaran dan kandungan bahan organik. Untuk menangkap fenomena tersebut telah dilakukan pengujian beberapa bentuk regresi dari kedua variabel tersebut. Dari Brodahl et al. (1984); Papendick et al. (1985); dan Christensen and McElyea (1985) dapat diidentifikasi formulasi regresi secara umum sebagai berikut: 1. Linier: Y = A + B X
(4.1a)
2. Non linier: Y = A + B1 (1– Exp (– B2X))
(4.1b)
3. Non-linier fungsi Mitscherlich-Spillman (M-S): Y = A + B (1- RX)
(4.1b)
4. Non-linier bentuk sigmoid: Y = A + B (1- R f(X))
(4.1c)
Dimana Y dan X masing-msing adalah produktivitas dan SD; A ialah intersep atau produktivitas pada saat SD sama dengan nol; B adalah tambahan maksimal produktivitas dari ketebalan lapisan tanah; dan R ialah rasio konstan tertentu yang mencerminkan keterkaitan (selalu antara nol dan satu). Adapun f merupakan faktor keterbatasan yang terkait dengan kandungan hara dan zona perakaran. Untuk menangkap perubahan SD antar periode (tahun), Christensen dan McElyea (1984) menggunakan rumusan berikut:
SDt+1 = SDt – 0.007 et (4.2) Dimana SDt dan SDt+1 merupakan ketebalan lapisan tanah pada tahun berjalan dan satu tahun berikutnya. Sedangkan besaran (magnitude) 0.007 merupakan koefisien konversi dari massa erosi menjadi ketebalan lapisan tanah. Pengujian fungsi respon produksi telah dilakukan pada berbagai wilayah dan berbagai komoditas. Dalam Brodahl et al. (1984) dicontohkan bentuk regresi yang mendeskripsikan fenomena hubungan antara produksi gandum (YIELD) dan ketebalan nallic epipedon (MOLLDEP) maupun argallic horizon (DEPBT). Fungsi regresi diterapkan untuk wilayah Palause dan Naff (Tabel 9) dengan data tahun 1982 dan 1983. Tabel 9. Beberapa Fungsi Respon Produksi Gandum di Wilayah Palouse Dan Naff Wilayah Palouse Naff
Tahun
Formulasi persamaan
1982
YIELD = 3 438.5** + 37.7** MOLLDEP; R2 = 0.43
1983
YIELD = 6 751.7 + 2 757.0 (1-EXP(-.031MOLLDEP)); R2 = 0.32
1982
YIELD = 3 632.8 + 2 241.0 (1-EXP(-.041MOLLDEP)); R2 = 0.21
1983
YIELD = 5 874.4+ 2 740.0 (1-EXP(-.076 MOLLDEP)); R2 = 0.41
1982
YIELD = 2 772.6**+ 48.4**DEPBT; R2 = 0.50
1983 YIELD = 5 831.9 + 4 442.0(1-EXP(-.020 DEPBT)); R2 = 0.55 Sumber: Brodahl et al. (1984) Keterangan: YIELD dalam kg/ha; MOLLDEP & DEPBT dalam cm **) koefisien berbeda nyata dengan nol pada taraf 0.01
Fungsi respon produksi dipergunakan sebagai dasar mengevalusi nilai ekonomi akibat erosi. Nilai ekonomi dari perbedaan produksi akibat hilangnya ketebalan lapisan tanah (soil loss atau SL) digali dengan model kerugian erosi (erosion damage model). Fungsi YIELD-TOPSOIL dalam rangka analisis ekonomi diestimasi dari data dua wilayah tersebut, yakni dengan bentuk persamaan sebagai berikut: YIELD = 4 105 + 5 128(1-EXP(-0.016 DEPBT))
(4.3a)
YIELD = 5 050 + 3 473 (1-EXP(-0.019 MOLLDEP))
(4.3b)
Sementara itu, di dalam Carter (1984) disajikan fungsi respon produksi dalam bentuk linier pada berbagai komoditas (Tabel 10). Variasi formulasi persamaan dibedakan berdasarkan tingkat SD; yakni ≤ 0.38 m dan > 0.38 m. Fungsi produksi non-linier berbentuk sigmoid untuk komoditas kedele di wilayah Georgia yang diformulasikan oleh Hoag dan Young (1983) dalam Christensen dan McElyea (1984) adalah: Ys = 9.40 + 29.30 (1-e-7.28(NCC - 0.5) x/12) (27.50)*
(10.70)* R2 = 0.45
(4.4) * = nilai t signifikan pada taraf .0001
Dimana Ys adalah produksi kedele dalam bushel, NCC ialah kandungan nonclay dari topsoil, x adalah SD (inchi); dan 12 merupakan kedalaman zona perakaran kedele (inchi). Sedangkan bentuk fungsi M-S faktor tunggal yang dikembangkan oleh Hoag dan Young (1983) dalam Christensen & McElyea (1984) diterapkan untuk mengestimasi produksi gandum pada wilayah Palouse. Berdasarkan data deret waktu selama 4 tahun diperoleh persamaan berikut: Yw = 38.90 + 40.50 (1- e-0.105X) (8.46)*
R2 =0.452
(4.5) * = nilai t signifikan pada taraf .05
Dimana Yw ialah produksi gandum (bushel/acre); sedangkan x merupakan SD (inchi). Pendugaan fungsi produksi dari komoditas dan wilayah yang sama telah
dilakukan oleh Walker (1982) dengan menggunakan data 5 tahun. Bentuk fungsi produksi non-linier pada persamaan (4.6) dan secara grafik pada Gambar 1. Y = 36.44 + 47.01(1-e-0.09864X)
(4.6)
Produksi gandum (bushel/acre)
Dimana Y adalah produksi gandum (bushel/acre) dan X ialah SD inchi).
Kedalaman lapisan tanah (inchi)
Gambar 1. Estimasi Pengaruh Kedalaman Lapisan Tanah Terhadap Produksi Gandum di Wilayah Palouse (Walker, 1982) Fungsi respon produksi bentuk linier telah diterapkan pada berbagai komoditas yang dikelola pada lahan irigasi dan non-irigasi di wilayah Idaho, Oregon dan Washington sebagaimana disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Komoditas Gandum Jagung manis
Dry beans Barley Alfalfa Sugarbeets
Fungsi Respon Produksi pada Berbagai Komoditas SD ≤ 0.38 m > 0.38 m ≤ 0.38 m > 0.38 m ≤ 0.38 m > 0.38 m ≤ 0.38 m > 0.38 m ≤ 0.38 m > 0.38 m ≤ 0.38 m > 0.38 m
Formulasi persamaan Ŷ = 25.95 + 155.31 x, r = 0.60** Ŷ = 84.14 + 12.04 x, r = 0.17 Ŷ = 31.24 + 135.69 x, r = 0.63** Ŷ = 95.16 - 10.97 x, r = -0.12 Ŷ = 22.55 + 148.75 x, r = 0.67** Ŷ = 62.24 + 50.17 x, r = 0.45** Ŷ = 58.10 + 66.54 x, r = 0.52** Ŷ = 88.51 + 0.12 x, r = 0.26 Ŷ = 56.32 + 69.06 x, r = 0.43** Ŷ = 79.90 + 6.11 x, r = 0.03 Ŷ = 64.23 + 73.79 x, r = 0.74** Ŷ = 92.89 - 2.57 x, r = -0.03
Sumber: Carter (1984) Keterangan: SD = ketebalan lapisan tanah (soil depth) Y dalam persentase terhadap produktivitas maksimal **) signifikan pada taraf 0.01; *) signifikan pada taraf 0.05
Persamaan estimasi produksi gandum yang mempertimbangkan dua variabel bebas telah dilakukan oleh Pawson et al. (1961) dalam Burt (1981). Bentuk persamaan adalah: Y = a + 35.10(1 - 0.90x)(1 - 0.60y)
(4.7)
Dimana Y ialah produksi gandum, x dan y masing-masing adalah SD dan persentase kandungan bahan organik dalam SD 6 inchi. Sementara itu, a adalah konstanta yang mewakili produksi yang diperoleh pada subsoil. Dalam mengestimasi biaya erosi tanah di Saskatchewan, Van Kooten et al. (1989) menggunakan pendugaan fungsi produksi bentuk M-S berikut: Y = 84.02 + 2808.00(1 - 0.634SD) (1 - 0.926SM),
(0.27)
(7.67)
R2 = 0.21
(2.16)
(4.8)
(28.3)
Dimana Y adalah produksi gandum musim semi diukur dalam kilogram; SD dan SM masing-masing ialah kedalaman solum dan kelembaban tanah diukur dalam cm dari kelembaban yang tersedia pada waktu tanam musim panas. Sementara itu, untuk mengestimasi user cost dari erosi didasarkan pada fungsi produksi-ketebalan solum (the yield-solum depth function) dalam bentuk fungsi M-S sebagai berikut: Y = 1,698.64 – 1,614.62 (0.634)SD (4.9)
Dalam mengestimasi fungsi Mitscherlich-Spillman (M-S) tersebut didasarkan pada asumsi bahwa SD di wilayah penelitian mengikuti sebaran Gamma. Adapun sebaran Gamma dari SD di wilayah Saskatchewan adalah: f(SD) = 0.0022 SD–1.06 e–SD/18.55 (4.10) Fungsi tersebut berdasarkan nilai rata-rata tengah sebesar 38.27 cm dan simpangan baku sebesar 26.65 cm. Berdasarkan acuan persamaan umum fungsi M-S pada persamaan (4.1c), dapat dikatakan bahwa besaran R pada persamaan (4.7), (4.8) dan (4.9) masing-masing adalah 0.9 dan 0.634. Fungsi respon produksi-SD di wilayah Palouse yang mempertimbangkan variabel waktu digambarkan dalam dua horizon waktu (time horizon) yang berbeda. Papendick et al. (1985) telah mampu menyajikan dengan jelas perbedaan bentuk kurva dari kedua horizon waktu tersebut (Gambar 3). Horizon waktu dari tahun 1952 hingga 1953 diambil dari kajian Pawson (1961) dan horizon waktu dari
tahun 1970 sampai 1975 dari kajian Wetter (1977). Kedua kurva tersebut selanjutnya disebut dengan fungsi Mitscherlich-Spillman.
Produksi gandum (Kg/Ha)
1970 – 1975
1952 – 1953
10 20 30 40 50 60 70 Ketebalan lapisan tanah (Cm)
Gambar 2. Fungsi Respon Produksi Gandum dan Ketebalan Lapisan Tanah di Wilayah Palouse (Papendick et al.,1985) Perbedaan kedua kurva dikarenakan adanya dampak perbedaan teknologi antar dua horizon waktu. Selama selang waktu dua puluh tahun, teknologi mampu meningkatkan produktivitas 970 kg/ha untuk kedalaman
nol; peningkatan produktivitas pada kedalaman 50 cm adalah sebanyak 1 500 kg/ha; serta terjadi peningkatan produksi sebesar 55% pada kedalaman > 50 cm. 4.2. Konsep Biaya On-Site dan Off-Site (On-Site and Off-Site Cost)
Dalam rangka mengkaji implikasi ekonomi dampak erosi lahan pertanian di wilayah hulu, Barbier (1995) menekankan perlunya memperhatikan biaya eksternal yang terkait dengan kesejahteraan sosial. Hal itu karena keputusan yang terkait dengan tingkat erosi tanah pribadi berbeda dengan tingkat sosial. Salah satu penyebabnya adalah dalam keputusan berusahatani, petani seringkali secara individu hanya memperhatikan biaya on-site dan manfaat erosi tanah; sedangkan masyarakat harus juga memperhatikan biaya off-site (off-site cost of erosion atau OFCE) atau biaya eksternal. Oleh karena itu pada suatu wilayah, biaya erosi tanah tingkat pribadi berbeda dari tingkat sosial. Barbier (1995) menjelaskan bahwa tujuan utama dari pengukuran on-site cost adalah untuk mengestimasi nilai sekarang (present value atau PV) dari kehilangan pendapatan bersih yang akan datang sebagai akibat dari erosi tanah yang berlebihan saat ini (current). Beberapa pendekatan pengukuran biaya onsite (on-site cost) erosi tanah yang pernah ada ialah: 1. Pengukuran perbedaan PV penerimaan bersih antara dengan erosi dan tanpa erosi (with-without erosion approach). 2. Pendekatan nilai perubahan produktivitas (change productivity approach). 3. Pendekatan biaya pengganti (replacement cost approach).
Dari beberapa pendekatan pengukuran tersebut, menurut Barbier (1995) banyak kelemahan dan hasil pendugaan
kurang mencerminkan biaya ekonomi yang sebenarnya. Perbaikan metode pendugaan biaya on-site erosi tanah didasarkan pada terminologi dari perspektif individu petani. Diuraikan bahwa secara esensial konservasi lahan berimplikasi penggunaan sumberdaya SD dapat dialokasikan pada waktu yang akan datang; sedangkan deplesi atau pengurasan sumberdaya SD berimplikasi penggunaan dialokasikan pada saat ini dan sebelumnya. Dengan kata lain nilai ekonomi dampak erosi tidak lain adalah biaya kesempatan (opportunity cost) yang ditetapkan sebagai nilai alternatif yang terkait dengan variabel waktu. Secara konkrit pendugaan biaya on-site erosi tanah adalah perbedaan antara PV penerimaan bersih dari sistem usahatani dengan konservasi tanah dan PV penerimaan bersih dengan erosi sebagaimana dijelaskan pada Gambar 3.
PV Dengan konservasi
B A
Tanpa konservasi
T
Waktu
Gambar 3. Pendekatan Perbaikan Metode Pengukuran Biaya On-site Erosi Tanah (Barbier, 1995) Penyusunan kurva didasarkan pada PV penerimaan bersih per hektar dari satu plot lahan. Pada periode sebelum T (awal), PV penerimaan bersih dari sistem usahatani dengan konservasi lebih rendah daripada tanpa konservasi karena biaya penerapan konservasi relatif lebih tinggi.
Periode selanjutnya
(setelah T), konservasi mencegah SD dari erosi secara cepat yang berarti pada beberapa waktu yang akan datang akan menjadikan PV penerimaan bersih dari sistem usahatani dengan konservasi akan melebihi dari penerimaan tanpa konservasi. Kondisi tersebut diharapkan selalu seperti itu untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Sehingga secara sederhana biaya on-site erosi tanah dapat diukur dengan perbedaan antara dua kurva, yaitu sebesar penjumlahan luasan A dan B. Oleh karena pada grafik tersebut luasan A adalah negatif, maka biaya on-site erosi tanah diterjemahkan dalam B – A. Sementara itu, dari perspektif petani, biaya on-site dari erosi mencakup investasi dalam bentuk sarana produksi, peralatan, tenaga kerja serta nilai hilangnya produksi (Thao, 2001). Tujuan utama dalam pengukuran biaya off-site adalah mengestimasi PV dari beberapa biaya eksternal yang muncul karena sedimentasi dan dampak lain di daerah hilir (Barbier, 1995). Terminologi yang dipergunakan untuk pendugaan
OFCE tanah adalah PV dari beberapa kehilangan kesempatan aktivitas ekonomi di daerah hilir. Salah satu dampak off-site dari erosi tanah yang menghasilkan air aliran permukaan adalah sedimentasi waduk.
Sedimentasi dari waduk
sebagai akibat dari degradasi lahan dan erosi di daerah aliran sungai wilayah hulu. Dalam pendugaan OFCE secara nyata mempertimbangkan biaya potensial yang terkait dengan kehilangan produksi daya listrik tenaga air, aliran irigasi, penurunan kontrol banjir dan dampak yang terjadi pada pasokan air serta air minum. Metode pendugaan OFCE dideskripsikan pada Gambar 4 berikut: $
S1 = MC1
So = MCo
D P1 Po A
Q1 Qo
D
Q
Gambar 4. Pendugaan Biaya Off-site Erosi dari Pendangkalan Waduk (Barbier, 1995) Diasumsikan bahwa kegunaan waduk adalah untuk pemasok air irigasi. Kurva DD menjelaskan permintaan air irigasi dari waduk. Sebelum terjadi pendangkalan, waduk dapat memasok air sebanyak Qo dengan harga Po, yakni sebanyak jumlah yang diminta. Namun, sedimentasi dari waduk menurunkan kapasitas tampungan dan berdampak pada berkurangnya umur teknis dari yang direncanakan pada saat proyek waduk dibangun. Keseluruhan dampak tersebut akan meningkatkan biaya marjinal secara efektif dari air irigasi yang disalurkan waduk. Dengan kata lain, pasokan air irigasi dapat memenuhi dengan kuantitas yang sama seperti yang direncanakan sebelum terjadi sedimentasi waduk, namun diikuti dengan adanya biaya pengerukan atau investasi dalam kolam sedimen yang mendatangkan biaya. Hal tersebut menyebabkan kenaikan biaya
marjinal dari penyaluran air, yaitu dari S = MCo ke S = MC1. Kehilangan surplus konsumen dan produsen sama dengan luasan A. Pendekatan tersebut dapat diperluas untuk mengestimasi OFCE dari sedimentasi waduk dalam kaitannya dengan penggunaan yang lain, seperti pembangkit listrik tenaga air, kontrol banjir dan pasokan air domestik maupun industri. 4.3. Aplikasi Pendugaan Biaya On-site Erosi Tanah
Dari berbagai kajian sebelumnya, estimasi biaya on-site erosi dapat diterapkan melalui tiga metode. Penilaian dampak on-site dengan fungsi kerusakan (damage function) erosi
telah dilakukan Walker (1982).
Estimasi
biaya on-site dengan penerapan model optimasi dinamik problem diskrit telah dilaksanakan oleh Burt (1981), Sagara dan Taylor (1987) maupun Syaukat (1992). Untuk menangkap esensi problem dinamik produksi pertanian dan deplesi tanah pada tingkat usahatani dengan perumusan problem kontinyu telah dilakukan oleh McConnell (1983), Saliba (1985) dan Barbier (1990). Selanjutnya bagian berikut menyajikan diskripsi dari masing-masing metode. 4.3.1. Metode fungsi kerugian erosi (on-site erosion damage function) Dalam membangun fungsi kerugian erosi on-site, perumusan dinamik Walker (1982) menggunakan fungsi produksi non-linier. Metode pendugaan biaya tersebut telah diterapkan pada tanaman gandum di wilayah Palouse Idaho dan Saskatchewan (Walker 1982 dan Van Kooten et al. 1989). Fungsi kerugian erosi dimaksudkan untuk mengekspresikan nilai bersih dari fenomena perubahan pengelolaan lahan, yakni dari pengelolaan konvensional ke praktek konservasi. Bentuk rumusan fungsi kerugian erosi untuk kondisi tanaman seragam dan beberapa tanaman berbeda pada pola rotasi disajikan pada persamaan berikut:
a. Tanaman seragam (monocrop). δ t = P ⋅ [Ye (t, Dt −1 ) − Yc (t, Dt −1 )] − [Ce (t, Dt −1 ) − Cc (t, Dt −1 )] T −1 P ⋅ [Y (t + i, D ) − Y (t + i, D )] ⎧ c t −1 c t ⎫ i − ∑⎨ ⎬ /(1 + r) i −1 ⎩+ [Cc (t + i, Dt ) − Cc (t + i, Dt −1 )]⎭
(4.11a)
b. Pola rotasi.
δ t = Pj ⋅ [Yej (t,Dt −1 ) − Ycj (t,Dt −1 )] − [Cej (t,Dt −1 ) − Ccj (t,Dt −1 )] h
−∑ j =1
⎧⎪Pj ⋅ [Ycj (t + i,Dt +i −1,t −1 ) − Ycj (t + i,Dt +i −1,t )]⎫⎪ i ⎬ /(1+ r ) ⎨ ∑ i −1 + [C (t + i ,D ) − Cc (t + i,Dt +i −1,t −1 )] ⎪⎭ ⎪⎩ c t +i −1,t T −1
(4.11b)
Dimana δt merupakan nilai perbedaaan antara keuntungan pengelolaan konvensional yang erosif dan praktek konservasi; P adalah harga komoditas; Ye ialah produksi dengan pengelolaan erosif sebagai suatu fungsi SD dan waktu (t); Yc yaitu produksi tanaman dengan praktek konservasi; Dt adalah kedalaman topsoil pada akhir tahun ke-t; Ce dan Cc berturut-turut ialah biaya variabel input dari tanaman yang diproduksi dengan pengelolaan erosif dan yang diproduksi dengan praktek konservasi; T adalah jumlah tahun dalam horizon waktu; dan r ialah tingkat bunga.
Manfaat bersih pada persamaan (4.11) terdapat dua kelompok, yakni manfaat bersih tahun berjalan (current income) dan nilai sekarang dalam jangka panjang. Besarnya PV manfaat bersih menggambarkan biaya penggunaan marginal (marginal user cost) yang meliputi biaya tambahan pupuk untuk memperbaiki kesuburan karena erosi dan hilangnya penerimaan yang akan datang
dari penurunan produksi. Cc(t+I,Dt) adalah biaya praktek konservasi pada tahun yang akan datang jika pengelolaan erosif dilakukan pada tahun berjalan; dan Cc(t+I,Dt-1) ialah biaya pengolahan konservasi pada tahun yang akan datang jika praktek konservasi diterapkan pada tahun berjalan. Pendugaan biaya on-site erosi tanah dari metode fungsi kerusakan erosi lebih lanjut Van Kooten et al. (1989) menyebut sebagai User Cost of Soil Erosion (UCSE). Dari penerapan metode tersebut dapat diperoleh deskripsi fenomena hubungan antara variabel SD, tingkat diskonto dan variabel waktu (t) dengan besarnya UCSE (Walker 1982 dan Van Kooten et al. 1989). Fenomena tersebut ialah: 1. Semakin tebal SD, besarnya UCSE tahun berjalan semakin menurun. 2. Semakin tinggi tingkat diskonto, PV UCSE per hektar semakin kecil. 3. Pada SD 12 inchi, UCSE semakin menurun antar waktu.
4.3.2. Model optimasi dinamik problem diskrit Pendugaan biaya on-site erosi tanah yang diturunkan dari model optimasi dinamik problem diskrit yang didasarkan pada keputusan di tingkat petani dengan fungsi tujuan memaksimalkan PV penerimaan bersih dari aktivitas rotasi tanaman
telah dilakukan oleh Burt (1981),
Seggara dan Taylor (1987) dan
Syaukat (1992). Dengan mempertimbangkan waktu secara eksplisit sebagai variabel, maka perumusan optimasi dapat dikelompokan menjadi model discrete-time dan countinuous-time (Conrad dan Clark, 1995 serta Chiang, 1997). Sementara itu, berdasarkan alternatif besarnya nilai stok cadangan pada akhir horizon waktu (terminal horizon atau T) pemecahan optimasi dapat dirumuskan menurut finite horizon (dengan batas akhir periode T+1) dan infinite horizon (dengan TÆ ∞). Bohi dan Toman (1984) menguraikan bahwa perilaku untuk memaksimalkan nilai sekarang PV penerimaan bersih sepanjang horizon waktu dipengaruhi oleh komulatif aktivitas yang akan datang . Model dasar optimasi dinamik problem discrete-periode pada horizon waktu terbatas (finite horizon) mempertimbangkan besarnya nilai stok pada akhir horizon waktu.
Persamaan (4.12) adalah perumusan model diskrit dengan
horizon waktu terbatas. T −1
maksimasi
∑ ρ V (x , y ) + ρ t
t =0
t
t
T
F ( xT )
(4.12)
dengan syarat: ct+1 – ct = f (ct, y t) c0 = a tertentu
Dimana Vt = V (ct, yt) adalah fungsi tujuan; ρ =1/(1+r), ρ adalah faktor diskonto (discount factor) dan r merupakan tingkat bunga periodik (the periodic discount rate); ct mewakili the state variable stok sumberdaya dalam periode t; yt adalah
mewakili the decision variable ekstrasi sumberdaya dalam periode t; dan F (xt) ialah nilai stok pada akhir horizon waktu. Bentuk perumusan optimasi dinamik model diskrit problem infinite horizon (tanpa mempertimbangkan alternatif nilai sumberdaya pada akhir horizon waktu karena T →∞) adalah: ∞
maksimasi
∑ ρ V (x , y ) t
t
t =0
dengan syarat:
t
(4.13)
ct+1 – ct = f (ct, y t) c0 = a tertentu
Pemecahan alokasi optimal dinamik dan intertemporal dapat diterapkan metode pendekatan optimal control theory dengan menerapkan formula Lagrange dan Hamiltonian (Kennedy, 1986; Pearce, 1976 dalam Anderson dan Thampapillai, 1990; serta Conrad dan Clark (1995). Formula Lagrange dari model discrete-time persamaan (4.12) adalah: L=
T −1
∑ ρ {V (⋅) + ρλ [x t =0
t
t +1
t
+ f (⋅) − x t +1 ]} + ρ T F (⋅)
(4.14a)
Pengali faktor diskonto ρ pada state variable diperlukan untuk menyetarakan perbedaan dimensi periode waktu antara fungsi tujuan dan state variable. Fungsi tujuan mempunyai perspektif periode t, sedangkan pada state variable pada perspektif periode t+1. Pengganda λt+1 dapat diinterpretasikan sebagai nilai dari satu unit tambahan state variable (xt+1) dari perspektif periode t+1.
Menurut
Conrad (1999), λt+1 merefleksikan nilai unit tambahan (marginal unit) dari sisa cadangan sumberdaya pada periode t+1. Adapun formula nilai sekarang (current value) Hamiltonian adalah: ~ H ( x t , y t , λ t +1 ) = V (⋅) + ρλ t +1f (⋅)
(4.14b)
Keputusan alokasi optimal didasarkan pada kondisi turunan pertama dari Hamiltonian yang berkenaan dengan variabel kontrol, state variable dan syarat tranversalitas (Conrad dan Clark, 1995 serta Chiang, 1992). ~ ∂L ∂ H (⋅ ) = = 0 ∂y t ∂y t ~ ∂L ∂ H (⋅ ) = + ρλ ∂x t ∂x t ∂L ∂ρλt +1
t +1
− λ
t
= 0 ⇒ ρλ
t +1
− λ
t
=
~ ∂ H (⋅ ) ∂x t
~ ~ ∂H (⋅) ∂H (⋅) = + x t − x t +1 = 0 ⇒ x t +1 − x t = ∂ρλt +1 ∂ρλt +1
(4.14c)
∂L = −λT + F ' (⋅) = 0 ⇒ λT = F ' (⋅) ∂xT
Menurut Chiang (1992), selain variabel waktu (t), variabel kontrol dan state variable terdapat tipe variabel lain yang muncul dari proses pemecahan problem optimasi dinamik, yaitu disebut dengan costate variable atau auxiliary variable. Variabel tersebut sama dengan pengganda Lagrange, yang mengukur harga bayangan dari state variable yang terkait. Keragaman lokasi, aktivitas, jenis tanaman, variabel keputusan (decision variable), state variable dan horizon waktu dari beberapa kajian secara rinci disajikan pada Tabel 12. Tabel 11. Lokasi dan Komponen Model Optimasi Dinamik pada Beberapa Kajian Biaya On-Site Erosi Tanah Uraian Lokasi
Burt (1981) Wilayah Palouse
Seggara & Taylor (1987) Wilayah Piedmont Virginia
Syaukat (1992). New South Wales bagian Utara
Aktivitas
Rotasi tanaman
Rotasi tanaman (28 alternatif)
Rotasi (5 tanaman), tiga sistem pengolahan tanah & dua teknik konservasi
Jenis tanaman
Gandum,
Tembakau, barley,
Gandum, barley,
alfalfa, kacang polong
gandum, jagung, kedele, sorghum, silage, alfalfa, fescue
chickpeas, sorghum, bunga matahari
% luas areal gandum
% luas areal rotasi tanaman thdp. Total lahan budidaya
luas areal kombinasi dari rotasi tanaman dan sistem pengolahan lahan
1. topsoil depth,
1. topsoil depth,
Kumulatif soil loss
2. % kandungan bahan organik
2. stok modal konservasi tanah, 3. stok modal pemilikan lahan produktif
Planning
Infinite (TÆ ∞)
Finite (T = 50 tahun)
Finite (T = 20 tahun)
Metode
Kontrol Optimal
Kontrol Optimal
Pemrograman Dinamik
Decision
State
Sumber: (diolah/disarikan)
Perumuskan model Burt didasarkan pada hasil estimasi berbagai fungsi hasil kajian Pawson et al. (1961) dalam Burt (1981). Formulasi secara umum dari fungsi
tujuan disajikan pada persamaan (4.15b), dan kendala transisi pada persamaan (4.15b) ∞
Memaksimalkan Z =
∑
G(ut, xt, yt)/(1+r)t
(4.15a)
t =1
Kendala xt+1 = xt – φ(ut, xt, yt),
(4.15b)
yt+1 = yt – h(ut, xt, yt), Dimana x dan y berturut-turut adalah SD (inchi) dan persentase bahan organik kedalaman di atas 6 inchi; u merupakan persentase areal lahan gandum; r adalah tingkat bunga; φ(u,x,y) ialah fungsi soil loss tahunan (inchi); h(u,x,y) adalah fungsi kehilangan bahan organik tahunan (%); dan G(u,x,y) adalah fungsi penerimaan bersih tahunan (dollar/acre).
Penerimaan bersih tahunan didasarkan pada fungsi produksi rumusan persamaan (4. 15a). Dari enam rotasi terseleksi yang efisien didapatkan fungsi penerimaan bersih tahunan, yaitu dalam bentuk fungsi kuadratik. Persamaan empiris pendugaan fungsi penerimaan bersih adalah: G(u, x, y) = bo + b1u + b2u2 + cu (1-0.9x)(1-0.6y)
(4.15c)
Pada persamaan tersebut tercermin bahwa penerimaan tahunan dipengaruhi oleh kedua state variable. Sementara itu, untuk mengestimasi fungsi soil loss dan fungsi kehilangan bahan organik tahunan didasarkan pada postulat dari perubahan bahan organik tanah pada kedalaman enam inchi. Berdasarkan pada
tingkat kehilangan bahan organik sebesar 3.3%, maka secara empiris bentuk kedua fungsi tersebut adalah: φ(u, x, y) = 0.0025 + 0.000261u + 0.1286(10)-5u2
(4.15d)
h(u, x, y) = -0.0452 + 0.857 (10)-4u + 0.478(10)-6u2 + 0.01y
(4.15e)
Berdasarkan model yang dirumuskan, Burt (1981) mengeksplorasi hubungan perubahan harga dengan decision variabel, yakni persentase lahan gandum.
Pada harga rendah ($ 3.20/bushel), diperoleh keputusan optimal
bahwa gandum dikelola pada lahan dengan solum dangkal (< 6 inchi) dan kandungan organik kurang dari 1.5%.
Pada harga tinggi ($ 4.25/bushel);
keputusan opimal adalah gandum ditanam pada 85.70% dari lahan pada kondisi fisik yang berlawanan dengan lahan hasil keputusan pada saat harga rendah.
Pendugaan biaya on-site erosi tanah yang dilakukan oleh Segarra dan Taylor (1987) didasarkan pada unit analisa representative farm’s land. Pada tingkat representative farm’s land perumusan model hanya memasukan kendala transisi SD. Skenario yang dipertimbangkan meliputi tiga alternatif perubahan tingkat bunga sebagai proksi perubahan teknologi dan empat macam bentuk pengolahan lahan. Alternatif perubahan tingkat bunga tersebut ialah: 1. Tingkat bunga 0% untuk perubahan yang mengarah ke pesimistis.
2. Tingkat bunga 1.5% untuk perubahan yang bersifat moderat. 3. Tingkat bunga 3% untuk perubahan yang mengarah ke optimistis. Adapun 4 macam sistem pengolahan lahan meliputi: tegak lurus terhadap kemiringan, sesuai dengan kontur, tanaman strip dan terasering. Fungsi tujuan dari problem optimasi dinamik model diskrit dengan tiga state variable dari Segarra dan Taylor (1987) dirumuskan pada persamaan (4.16), dan formulasi kendala pada persamaan (4.17). Memaksimalkan Z =
⎧T −t −(T =1) ⎫ ⎨∑ NRt (1 + r ) + RV (SDT +1, SPT +1,CK T +1 )(1 + r ) ⎬ ⎩ t =0 ⎭ dimana NR t = PYtYt −
n
∑P i =1
Xit
X it − PPt PI t − Pct PLt
(4.16a)
(4.16b)
1. Kendala transisi soil depth: SDt+1 = SDt + SFt– SLt
(4.17a)
dimana: SLt = gt(X1t, X2t, . . . ,Xnt, SDt, SLt, SPt, CKt, Wt, Tt) SFt = l t(X1t, X2t, . . . ,Xnt, SDt, SLt, SPt, CKt, Wt, Tt)
2. Kendala transisi stok modal konservasi tanah: CKt+1 = CKt (1-δ) + CIt
(4.17b)
3. Kendala transisi stok modal lahan produktif SPt+1 = SPt + PIt - PLt
(4.17c)
dimana: PLt = h t(X1t, X2t, . . . ,Xnt, SDt, SLt, SPt, CKt, Wt, Tt) 4. Kendala kondisi awal SD(0) = SD0 ,
CK(0) = CK0 , SP(0) = SP0
(4.17d)
5. Kendala nilai positif X1t, X2t, . . . ,Xnt ≥ 0, SDt ≥ 0, SLt ≥ 0, SFt ≥ 0, CKt ≥ 0, CIt ≥ 0, SPt ≥ 0, PIt ≥ 0, PLt ≥ 0, Dan untuk t ≥ T +1, SDT+1 ≥ 0, SPT+1 ≥ 0, CKT+1 ≥ 0 Dimana: PYt = harga komoditas pada tahun ke-t Yt = produksi rotasi tanaman tunggal pada tahun ke-t PXit = harga sarana produksi pada tahun ke-t X1t, X2t, . . . ,Xnt = sarana produksi (input variabel) pada tahun ke-t PPt = harga per unit investasi pada lahan produktif pada tahun ke-t PIt = indeks stok investasi untuk lahan produktif pada tahun ke-t Pct = harga per unit investasi dari modal konservasi tanah pd tahun ke-t PLt = indeks kehilangan produksi dari lahan produktif pada tahun ke-t SDt+1 = ketebalan lapisan atas pada tahun ke t+1 SDt = ketebalan lapisan atas pada tahun t SFt = lapisan atas yang terbentuk pada tahun t SLt = lapisan tanah yang hilang pada tahun t CKt+1 = indeks cadangan investasi dari modal konservasi pd th ke t+1 CKt = indeks cadangan (stock) investasi dari modal konservasi pd th ke-t Wt = indeks lingkungan dalam waktu t δ = tingkat depresiasi CIt = indeks investasi dari modal konservasi tanah pada tahun ke-t SPt+1 = indeks pemilikan lahan produktif pada tahun ke t+1 SPt = indeks pemilikan lahan produktif pada tahun ke t Dari perumusan umum yang tertera pada persamaan (4.16) dan (4.17), dapat disusun bentuk PV Hamilton pada persamaan (4.18);
yakni dengan
maksud untuk menduga biaya penggunaan sumberdaya yang terkuras (user cost dari state variable). H = NRt + λt+1[SFt – SLt] + μt+1(- δCKt + CIt] + ηt+1 [PIt – PLt]
(4.18)
Dimana λt+1, µt+1, dan ηt+1 masing-masing adalah user cost dari sumberdaya SD; stok modal konservasi tanah dan stok persyaratan lahan produktif. Model empiris spesifik dimaksudkan untuk menangkap fenomena pada tingkat usahatani diantara hamparan lahan budidaya seluas 174 acre. Dalam model spesifik mempertimbangkan kuota produksi tembakau sebanyak 37,800 pounds yang diasumsikan berasal dari wilayah tersebut. Fungsi tujuan pada persamaan (4.16) adalah memaksimalkan nilai diskonto dari penerimaan bersih lahan, biaya eksploitasi maupun biaya tambahan, resiko dan pengelolaan untuk satu acre areal dari suatu usahatani di wilayah Piedmont Bright dari tahun ke-t = 0 hingga t = 50. Besaran biaya implisit erosi pada model Segarra dan Taylor (1987) diukur dengan nilai marjinal (marginal unit value) dari SL; yakni sama dengan keuntungan yang tidak jadi diberikan oleh lahan karena erosi. Kehilangan
keuntungan dicerminkan oleh user cost dari SD sebesar (λt+1); cadangan modal dari konservai tanah (μt+1); serta user cost dari cadangan sifat produktif tanah (ηt+1). Kondisi tersebut didasarkan pada turunan pertama dari PV Hamiltonian yang berkenaan dengan SL (persamaan 4. 19). ⎛ ∂f ∂H = 0 ⇒ Py t ⎜⎜ t ∂SL t ⎝ ∂SLt
⎞ ⎛ ∂g t ⎟ = λ t +1 ⎜ ⎟ ⎜ ∂SL t ⎠ ⎝
⎞ ⎛ ∂l ⎟ − λ t +1 ⎜ t ⎟ ⎜ ∂SL t ⎠ ⎝
⎞ ⎛ ∂ht ⎟ + η t +1 ⎜ ⎟ ⎜ ∂SL t ⎠ ⎝
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
(4.19a) Dimana Pyt adalah harga output komoditas; ∂gt/∂SLt merupakan perubahan SL terhadap fungsi soil loss g pada periode t; ∂lt/∂SLt ialah perubahan SL terhadap fungsi SD bentukan baru l pada periode t; dan ∂ht/∂SLt adalah perubahan SL terhadap fungsi penurunan produktivitas lahan h pada periode t.
Sementara itu, pada kondisi maksimal dengan syarat turunan parsial terhadap SD pada waktu t, dapat diperoleh tingkat perkembangan atau pertumbuhan user cost sebagai berikut: ⎡
⎛ ∂f t ⎝ ∂SD t
λ t +1 − λ t = rλ t − ⎢ py t ⎜⎜ ⎢⎣
⎛ ∂l t ⎞ ∂g t ⎟ + λ t +1 ⎜ ⎜ ∂SD − ∂SD ⎟ t t ⎝ ⎠
⎛ ∂ht ⎞ ⎟ − η t +1 ⎜ ⎜ ∂SD ⎟ t ⎝ ⎠
⎞⎤ ⎟⎥ ⎟ ⎠⎥⎦
(4.19b)
Persamaan (4.19b) mengindikasikan bahwa pertumbuhan biaya implisit SD sebesar (λt+1-λt), dipengaruhi oleh tingkat bunga (r),
dikurangi kontribusi SD
terhadap keuntungan pada periode t dan ditambah dampak perubahannya pada periode
sesudahnya
(t+1);
serta
pengaruh
SD
terhadap
pengurangan
produktivitas lahan pada periode (t+1).
Perumusan model dinamik problem diskrit juga telah dilakukan oleh Syaukat et al. (1992); yakni untuk mengkaji pengaruh on-site erosi tanah di tingkat petani. Fungsi tujuan yang dirumuskan adalah memaksimalkan PV dari surplus tunai tahunan ditambah dengan PV perubahan lahan pertanian pada akhir horizon waktu T di formulasikan pada persamaan 4.20. Maksimasi Z = ∑∑∑ [PiYijt m
n
T
i =1 j =1 t =0
− C ij ]Aijt (1 + r ) t + LNDVALt (1 + r ) t
(4.20) Dengan kendala perubahan ketebalan lapisan tanah dan ketersediaan lahan pada persamaan (4.21).
Eij Aijt – SLt = 0, t = 1, 2, . . . , T-1 (4.21a) m
n
∑∑ Aijt ≤ L, t = 1, 2, . . . , T-1 i =1 j =1
(4.21b) SLt ≥ 0, t = 1, 2, . . . , T-1 (4.21c) BSLo = a (4.21d) BCSLt+1 = BCSLt + SLt, t = 1, 2, . . . , T-1 (4.21e) Dimana Pi adalah harga komoditas; Yijt ialah produksi aktual dari komoditas ke-i dengan pengolahan tanah ke-j pada tahun ke-t; Eij adalah koefisien tingkat erosi dari komoditas ke-i dengan pengolahan tanah ke-j pada tahun ke-t; Aijt merupakan luas lahan optimal dari komoditas ke-i dengan pengolahan tanah ke-j pada tahun ke-t; LNDVALT ialah nilai lahan pada akhir horizon waktu T dengan mempertimbangkan perubahan akibat erosi; SLt adalah kehilangan tanah (soil loss) pada tahun ke-t hasil dari
aktivitas tanaman tertentu; BSLo dan BCSLt berturut-turut ialah kondisi SD pada tahun ke-0 dan kehilangan lapisan tanah kumulatif (cummulative soil loss atau CSL) pada tahun ke-t; r adalah tingkat bunga; m dan n masing-masing ialah jumlah jenis tanaman dan jumlah metode pengolahan tanah. Fungsi produksi Yijt merupakan fungsi dari CSL dengan formula sebagai berikut: Yijt = Yoij (α – β CSLt) (4.22) dimana α dan β berturut-turut ialah intersep dan kelerengan (slope) fungsi produksi-kerusakan (yield-damage function); dan CSLt adalah kehilangan tanah kumulatif pada tahun ke-t. Perubahan nilai lahan pada akhir periode horizon (LNDVALT) diestimasi dengan rumusan berikut: LNDVALT = CSLt * h (4.23) dimana h adalah denda kehilangan tanah, yakni merupakan merubahan nilai lahan setiap milimeter SL.
Perumusan dasar tersebut di atas dioperasionalkan pada tiga aktivitas yang ditetapkan menurut pilihan pergiliran tanaman (rotasi tanaman) dan sistem pengolahan lahan. Kombinasi antara pilihan jenis tanaman dan metode pengolahan tanah terdiri atas: 1. Pergiliran tanaman maupun pengolahan lahan bebas; bentuk pergiliran tanaman dan sistem pengolahan lahan yang optimal dipilih oleh model. 2. Pergiliran tanaman tetap dan pengolahan lahan bebas; artinya rotasi tanaman ditetapkan pada periode tertentu sedangkan model memilih sistem pengolah-an lahan pada masing-masing tahap untuk memaksimalkan fungsi tujuan. 3. Pergiliran tanaman maupun pengolahan lahan tetap; rotasi dan sistem pengolahan lahan ditetapkan pada masing-masing tahap. Sistem pengolahan lahan yang dipertimbangkan terdiri atas: pengolahan tanah konvensional, pengolahan lahan minimal dan tanpa pengolahan tanah. Dari pemecahan dasar dan berbagai skenario yang dilakukan oleh Syaukat et al. (1992) tercermin bahwa pendugaan biaya on-site erosi tanah didekati dengan biaya kesempatan (opportunity cost atau OP) dan rata-rata biaya
penggunaan sumberdaya (average user cost atau AUC). Biaya kesempatan mendeskripsikan biaya per milimeter kehilangan tanah kumulatif CSL. Nilai pendugaan OP didapatkan dari pembagian antara PV mafaat bersih dan selisih besarnya CSL antar aktivitas optimal terpilih dari pemecahan dasar (basic solution). Sedangkan pendugaan AUC diperoleh dari pembagian antara total biaya penggunaan sumberdaya (total user cost atau TUC) dan CSL yang ditimbulkan dari aktivitas antara skenario. Total biaya penggunaan sumberdaya mengindikasikan perubahan nilai fungsi tujuan berkaitan dengan SL; yaitu didekati dengan perbedaan nilai total PV antar aktivitas berdasarkan skenario. Rumusan skenario meliputi: (1) bila produktivitas tidak dipengaruhi oleh SL atau SL = 0, (2) perubahan besarnya denda (penalty) SL, (3) perubahan produksitivitas 5% pada sistem konservasi, dan (4) perubahan tingkat bunga.
4.3.3. Model optimasi dinamik problem kontinyu Seperti halnya pada model diskrit, model optimasi kontinyu (continuoustime) dengan problem horizon waktu terbatas (finite) dan tidak terbatas (infinite). Bentuk perumusan kontinyu dengan problem terbatas adalah: T
∫
Memaksimalkan V ( x(t ), y (t )e −δt dt + F ( x (T ))e −δt
(4.24)
0
dengan kendala: x = f (x(t),y(t)); dan x(t) = “a” tertentu
Sementara itu, rumusan permasalahan dari infinite horizon dalam model dasar continous-time dengan problem horizon tidak terbatas adalah: ∞
− δt
Memaksimalkan ∫ V (⋅)e dt 0
(4.25)
⋅
dengan kendala: x = f (⋅) dan x(0)=a tertentu Dari persamaan fungsi tujuan dan kendala yang terdapat pada (4.24) dapat disusun formula Hamiltonian, Η (⋅) , dan nilai sedang berjalan (current-value) ~ Hamiltonian, Η , sebagai berikut:
Η (⋅) = V (⋅)e −δt + λ (t )f (⋅)
(4.26a)
~ Η = Η (⋅)r δt = V (⋅) + μ (t )f (⋅)
(4.26b)
dimana e-δt merupakan faktor diskonto kontinyu (countinous discount factor) dan r adalah tingkat bunga. Prinsip memaksimalkan dari rumusan persamaan (4.24) harus memenuhi kondisi turunan pertama (first order condition atau FOC) dalam formula current-value Hamiltonian sebagaimana seperti yang dirumuskan pada persamaan (4.26c)
~ ∂Η (⋅) =0 ∂yt
μ& − δμ (t ) = − x& =
~ ∂Η (⋅) ∂μ (T )
~ ∂Η (⋅) ∂xt (4.26c)
μ (t ) = F ' (⋅) Dimana μ& adalah pertumbuhan PV dari variabel costate perumusan model optimasi kontinu (Conrad dan Clark, 1995). Pengukuran biaya on-site pada Tabel 12 merupakan pendekatan model optimasi dinamik problem kontinyu yang dilakukan oleh McConnell (1983), Saliba (1985) dan Barbier (1990) menggunakan teknik pemecahan kontrol optimal dengan unit analisis tingkat usaha tani (farm level). Tabel 12. Keragaman Elemen Optimasi Dinamik dari Beberapa Model Elemen
Model
Aktivitas
Decision
State variable Planning
Elemen fs.
McConnell (1983) Tanaman Tunggal Proporsi lahan gandum pada pergiliran tanaman
Saliba (1985) Pergiliran tanaman Areal konservasi (Z), intensitas pengelolaan (m) dan persentase intensitas tanaman (u)
Barbier (1990) Tanaman tunggal Pengunaan input produksi (z1) dan yg terkait dg pencegahan deplesi tanah (z2)
Terbatas (finite)
Soil depth Terbatas (finite)
Soil depth Tidak terbatas (infinite)
Soil loss, soil depth, var input & teknologi
Soil depth, atribut tanah, intensitas pengelolaan
Soil depth & variabel input
Soil depth
Sumber: (diolah/disarikan)
Rumusan fungsi tujuan pada model McConnell didasarkan pada asumsi bahwa petani bekerja di lahannya untuk memaksimalkan PV dari aliran keuntungan ditambah dengan nilai usaha tani pada akhir horizon waktu. Persamaan fungsi tujuan dan kendala model McConnell adalah:
MemaksimalkanT e −Z= rt [pg (t )f (s, x, z ) − cz ]dt − R[x(T )]e −rt
∫
t
(4.27) dengan kendala: ⋅
x ( t ) = k − s (t )
dan
X (0) = Xo
Dimana r ialah tingkat bunga, p dan c masing-masing adalah harga per unit produk (output) dan faktor produksi ⋅
(input); g (t) ialah perubahan teknologi yang bersifat x (t ) netral pada tahun ke-t; s (t) dan x (t) berturut-turut ialah SL dan SD pada tahun ke-t; z (t) adalah indeks variabel input pada tahun ke-t;
merupakan perubahan SD pada tahun ke-t; dan k ialah SD bentukan baru.
Alokasi sumberdaya mencapai optimal terjadi pada kondisi: (1) input Z akan digunakan hingga nilai produk marjinal (pgfz) sama dengan biayanya; dan (2) SL akan berlangsung hingga nilai penerimaan yang diperoleh dari tambahan SL (pgfs) sama dengan biaya implisit penggunaan tanah. Rumusan Hamiltonian dari model tersebut adalah: H = [pgf(s, x, z) – cz] + λ (k – s)
(4.28)
Dimana λ merupakan biaya implisit SL. Penduga besaran biaya on-site dari erosi secara spesifik dapat ditentukan dengan persamaan (4.29d). Secara umum prinsip
maksimal untuk memperoleh alokasi optimal per periode (optimal path) dari s, x, z dan λ adalah: 1. ∂H(s, x, z, λ)/∂s = pgfs (s, x, z,) – λ = 0
(4.29a)
2. ∂H(s, x, z, λ)/∂z = pgfz (s, x, z,) – c = 0
(4.29b)
3. λ& = r λ - ∂H/∂x = r λ – pgfx (s, x, z,)
(4.29c)
⋅
x ( t ) = k − s (t )
(4.29d)
5. X (0) = Xo, dan
(4.29e)
6. λ (T) =∂ R[x(T)]/∂x(T)
(4.29f)
4.
Dari persamaan (14.29a), tampak bahwa biaya implisit erosi (λ) sebesar nilai penerimaan yang diperoleh dari bertambahnya SL, yaitu (pgfs). Biaya SL merupakan keuntungan yang akan datang yang tidak jadi diperoleh sebagai akibat dari perubahan produktivitas dan nilai jual lahan pertanian karena berkurangnya SD. Perubahan biaya implisit SL ( λ& ) digambarkan pada persamaan (4.29c). Tingkat perubahan tersebut meningkat seiring dengan perkembangan tingkat bunga (r) dikurangi dengan kontribusi tanah terhadap penerimaan tahun yang berjalan; pgfx adalah tambahan sumbangan SD pada keuntungan tahun berjalan. Apabila SD tidak mempengaruhi produksi tanaman, serta harga output, biaya dan teknologi konstan, maka biaya SL per periode (tahun) menjadi: λ (t) = e-r(T-t) ∂R[x(T)]/∂x(T)
(4.30)
Sebaran biaya implisit SL per priode (tahun) dalam bentuk grafik disajikan pada gambar berikut:
λ(T)= ∂R/∂x(T)
λ(t)
λ(0)= e-rt∂R/∂x(T)
λ (t)=λ(0)e
t
-rt
T
Gambar 5. User Cost Ketika Soil Depth Tidak Mempengaruhi Produksi (McConnell, 1983) Grafik tersebut menggambarkan hubungan antara variabel costate (λt) dan variabel waktu. Dari pola hubungan tersebut tampak bahwa tingkat bunga petani (individu) menentukan harga bayangan SD antar waktu (over time).
Model optimasi dinamik yang dibangun oleh Saliba (1985) didasarkan pada postulat: keterkaitan antara pengelolaan usaha tani, erosi tanah dan produktivitas lahan. Fungsi tujuan yang dibangun adalah memaksimalkan pendapatan usaha tani (persamaan 4.31); dengan kendala transisi dan kondisi awal ketebalan lapisan tanah sebagaimana yang diformulasikan pada persamaan (4.32). Memaksimalkan (u, m, z) T
∫
0
e − rt {up1f1[h(s ), m1 ] + (1 − u )p2f2 [h(s ), m2 ] − c [um1 + (1 − u )m2 ] − wz}dt + e −rT R{h[s(T )]}
(4.31)
Dengan kendala: 1. Persamaan kehilangan tanah:
s&(t ) = g [u(t ), z(t )]
(4.32a)
2 . Kondisi awal kedalaman tanah (soil depth): s(t=o) = So
(4.32b)
3. Batas atas dan bawah intensitas tanaman: 0 ≤ u (t) ≤ 1.0
(4.32c)
4. Batas atas dan bawah intensitas pengelolaan usaha tani 0 ≤ m (t) ≤ m max.
(4.32d)
Dimana: u p h(s) m
= proporsi luas rotasi tanaman komoditas 1 (tanaman baris) = harga (1= tanaman baris, 2 = tanaman makanan ternak) = produktivitas lahan = penggunaan sarana produksi menurut intensitas pengelolaan (1= tanaman baris, 2 = tanaman hijauan pakan ternak) c = biaya produksi per satuan luas menurut jenis tanaman w = biaya per unit upaya konservasi tanah z = luas real penerapan konservasi lahan T = horizon waktu ρ = faktor diskonto dengan tingkat bunga tertentu r = tingkat bunga R{h[s(t)]} = nilai akhir kedalaman tanah (dept soil) pada tahun ke-t
Dari model dinamik pada persamaan (4.31) dan (4.32) mencerminkan: 1. Hubungan fungsional, yakni menangkap dampak pilihan pengelolaan. 2. State variable, yaitu yang merefleksikan perubahan SD dan sifat tanah yang lain terhadap produktivitas. 3. Keterkaitan erosi dan produktivitas, yakni hubungan perubahan sifat tanah dengan produksi tanaman.
4. Fungsi
produksi
produktivitas
tanaman,
tanaman
dan
mempertimbangkan variabel
intensitas
pengelolaan. Adapun persamaan Hamiltonian dari model dinamika dari persamaan (4.31) dan (4.32) adalah: H(m, u, z, s, λ) = up1f1[h(s), m1] + (1–u) p2f2[h(s), m2] – c [um1 + (1–u)m2] – wz + λg[u,z]
(4.33)
Variabel costate λ(t) merupakan nilai marjinal yang diperoleh petani dari tambahan satu unit SD pada tahun ke-t. Pendugaan besaran (magnitude) biaya on-site dari erosi diukur dengan nilai marjinal (marginal value) dari erosi yang ditimbulkan oleh aktivitas rotasi tanaman (ui); yakni sebesar manfaat (benefit) dari aktivitas. Besaran manfaat didekati dari selisih pendapatan antara aktivitas rotasi yang menghasilkan erosi relatif tinggi (p1f1-c.m1) dan aktivitas rotasi yang menghasilkan erosi relatif rendah (p2f2- c.m2) pada persamaan (4.34a). Secara matematis hal tersebut ditunjukkan dengan prinsip memaksimalkan fungsi Hamiltonian pada kondisi turunan pertama terhadap variabel kontrol aktivitas rotasi tanaman, yaitu persentase rotasi tanaman. ∂H/∂u = 0 ⇒ [p1f1 – cm1] – [p2f2 – cm2] = – λ ∂g/∂u
(4.34a)
Dimana p1 dan p2 adalah harga aktivitas rotasi tanaman yang menghasilkan erosi relatif tinggi dan rendah; f1 dan f
2
merupakan perubahan produktivitas karena
perubahan persentase aktivitas rotasi tanaman; mi ialah intensitas input produksi; dan c merupakan harga per unit input.
Persamaan costate yang menjelaskan tingkat perubahan variabel costate atau nilai marjinal dari SD ditetapkan melalui persamaan (4.34b). Persamaan tersebut adalah turunan pertama dari Hamiltonian terhadap kendala transisi (motion equation) soil depth, yakni kendala pada persamaan (4.32a).
λ& = r λ – ∂H/∂s Æ λ& = r λ – [up1∂f1/∂h(s)/∂s+ (1–u) p2∂f2/∂h(s)/∂s]
(4.34b)
Secara tidak langsung tingkat perubahan nilai marjinal SD ( λ& ) tergantung pada tingkat bunga (r), nilai variabel costate tahun berlaku λ(t), harga komoditas (p1 & p2), dan pengaruh produktivitas tanah terhadap produksi tanaman [∂f/∂h(s)], serta pengaruh SD terhadap produktivitas [∂h(s)/∂s]. Lebih lanjut diuraikan jika SD tidak berpengaruh terhadap produktivitas tanah, [∂h(s)/∂s = 0], sehingga laju pertumbuhan atau perkembangan nilai marjinal SD sama dengan tingkat bunga [ λ& /λ = r]. Artinya persentase perubahan λ(t) tidak dipengaruhi oleh SD, secara praktis akan dipengaruhi oleh faktor ekonomi, yaitu tingkat bunga. Model optimasi dinamik untuk daerah lahan kering di Pulau Jawa yang telah dirumuskan oleh Barbier (1990) didasarkan pada fungsi produksi yang dipengaruhi oleh
dua elemen; yakni variabel SD dan input paket konservasi. Fungsi produksi yang diaplikasikan oleh Barbier (1990) adalah: q(t) = f(zi(t), x(t)) (4.35) Dimana q(t) adalah produksi (output); x(t) ialah ketebalan lapisan tanah (soil depth), dan zi(t) merupakan vektor paket input dari pengelolaan konvensional maupun konservasi.
Horizon waktu yang ditetapkan adalah tidak terbatas
(infinite); formulasi fungsi tujuan dan kendala disajikan pada persamaan berikut: Fungsi tujuan: Memaksimalkan z1,z2
T →∞
∫0
e − rt [pf ( z1 , x ) − c 1 z1 − c 2 z 2 ]dt
(4.36)
Dengan kendala: 1. Kendala transisi soil depth: x& = h(z1,z2)
(4.27a)
2. Kendala kondisi awal soil depth: x(0) = xo
(4.27b)
Dimana r ialah tingkat bunga petani (individu); p adalah harga output tanaman; f(zi,x) merupakan fungsi produksi; z1 dan z2 berturut-turut ialah vektor input produktif dan vektor input untuk mencegah deplesi tanah; h adalah perubahan SD; dan ci ialah biaya input ke-i. Perumusan fungsi tujuan dikembangkan dari postulat: bahwa rumah tangga petani di daerah lahan kering akan memaksimalkan PV keuntungan
bersih melalui pilihan z1 dan z2 dengan kendala perubahan SD sebesar h dan kondisi awal ketebalan lapisan tanah Xo.
Pendugaan biaya on-site erosi diperoleh dari fungsi kontinyu, yaitu dari turunan pertama formula Hamiltonian yang berkenaan dengan penggunaan input produktif konvensional (z1). Besaran pendugaan biaya on-site erosi dicerminkan oleh λh1 pada persamaan (4.38a). ∂H/∂z1 = pf1 – c1 + λ h1 = 0 (4.38a) Persamaan (4.38a) mengindikasikan bahwa nilai produk marjinal dari input produktif (pf1) harus sama dengan biaya total; dalam hal ini meliputi biaya persatuan input itu sendiri (c1) dan biaya dalam bentuk kerugian dari erosi tanah (λh1). Apabila dipandang dari sisi input pengendalian erosi (rehabilitasi tanah), didapatkan fenomena bahwa biaya rehabilitasi harus sama dengan nilai marjinal dari rehabilitasi tanah (persamaan (4.38b). ∂H/∂z1 = – c2 + λ h2 = 0 (4.38b)
Dimana c2 ialah biaya marjinal penerapan input rehabilitasi z2; dan λh2 adalah tambahan nilai yang ditimbulkan oleh pengendalian erosi tanah. Variabel costate λ(t) dapat diinterpretasikan sebagai harga bayangan (shadow price) dari erosi tanah. Pada persamaan (4.38b) menunjukkan bahwa biaya paket konservasi tanah harus sama dengan tambahan nilai yang ditimbulkan oleh pengontrolan erosi tanah.
4.4. Aplikasi Pendugaan Biaya Off-Site Erosi Pendugaan besarnya biaya off-site erosi tanah terhadap pendangkalan waduk di Jawa telah dilakukan oleh Magrath dan Arens (1989) dalam Barbier (1995).
Analisis didasarkan pada pendekatan arus manfaat (benefit) yang
dikaitkan dengan volume yang tinggal di tampungan waduk. Dari Tabel 3 pada penyajian Barbier (1995) dapat diperoleh informasi hasil pendugaan biaya off-site yang telah dilakukan oleh Magrath dan Arens. Dari sembilan waduk yang dikaji, didapatkan rata-rata volume sedimentasi tahunan berkisar 24.8 juta m3. Volume tersebut dapat menurunkan kapasitas total berkisar 0.5% dan kapasitas tampungan mati 2.3%.
Pendugaan output
daya listrik tenaga air yang hilang sebesar antara 13.7 hingga 63 gigawatt jam (GWh); serta mengurangi areal pengairan sebanyak 1.3 sampai 6.4 ribu ha. Dengan asumsi rata-rata harga listrik sekitar Rp 70/KWh, maka kehilangan daya listrik tenaga air bernilai antara Rp 958.40 juta hingga Rp 4,408.80 juta (US$ 0.58 - 2.67 juta). Penilaian penurunan areal pengairan didasarkan pada perbedaan penerimaan bersih lahan dengan dan tanpa irigasi.
Asumsi yang mendasari
adalah bahwa dulu areal irigasi dan sekarang tanpa irigasi.
Perbedaan
penerimaan bersih sebesar Rp 1.20 juta/ha. Dengan demikian penurunan air untuk irigasi tahunan bernilai sekitar Rp 1.73 juta hingga Rp 7.94 juta (US$ 1.05 4.81 juta). Dengan demikian, estimasi nilai total kapital kombinasi kehilangan
daya listrik tenaga air dan irigasi tahunan adalah antara Rp 26.90 juta sampai Rp 123.50 juta (US$16.2-74.8 juta). Walaupun telah didapatkan deskripsi pendugaan biaya off-site, namun hasil tersebut tidak dapat dipergunakan untuk menentukan hubungan yang tepat antara kapasitas tampungan aktif (tampungan efektif), tampungan mati dan kapasitas total waduk, serta dampak peningkatan sedimen pada hubungan tersebut (Barbier 1995). 4.5. Aplikasi Model
Fungsi produksi yang dipertimbangkan dalam perumusan model analisis optimasi dinamik pada penelitian disertasi ini adalah fungsi respon produktivitas (yield)-SD dalam bentuk regresi nonlinier fungsi Mitscherlich-Spillman (M-S). Bentuk fungsi tersebut dipilih karena secara agronomis lebih cocok (BrambleBrodahl et al. 1984) dan telah diterapkan untuk menduga biaya kerusakan erosi yang dilakukan oleh Walker (1982), Hoag dan Young (1983) dalam Christenan dan McElyes (1984). Model dasar yang dipergunakan dalam perumusan fungsi tujuan adalah Optimasi Model Discrete-Time dengan finite horizon problem sebagaimana yang diformulasikan oleh Conrad and Clark (1995). Pemilihan model diskrit didasarkan pada pertimbangan bahwa perubahan manfaat bersih dari sistem DTA yang berasal dari paket pola tanam
terjadi pada akhir periode (tahun).
Dengan
demikian variabel waktu dipertimbangkan sebagai variabel diskrit (Chiang 1992). Penyesuaian (justification) antara volume sedimen potensial dan aktual dilakukan untuk mengakomodasi fenomena dinamika volume sedimen antar wilayah sebagaimana yang telah diformulasikan oleh Wade and Heady (1977) pada persamaan (3.1) hingga persamaan (3.3). Kendala ketersediaan lahan yang dirumuskan dalam Model-DTA belum mengakses fenomena perubahan
luasan ketersediaan lahan budidaya intensif maupun non-intensif sebagaimana yang telah diterapkan oleh Barbier (2001) seperti yang terdapat pada persamaan (3.7) dan (3.8). Belum dipertimbangkannya kendala transisi ketersediaan lahan dalam perumusan Model DTA dimaksudkan agar secara teknis penyusunan program lebih sederhana mengingat paket pola tanam yang dipertimbangkan dalam model relatif banyak.
V. MODEL KONSEPTUAL 5.1. Landasan Teori Model Optimasi Dinamik 5.1.1. Komponen optimasi dinamik
Dalam analisis dinamik tidak saja dimaksudkan untuk mencari nilai-nilai variabel endogen yang memenuhi beberapa kondisi yang
keseimbangan
terjadi
pada
(ekuilibrium)
analisis
statik;
sebagaimana namun
juga
mencakup penggam-baran lintas waktu dari beberapa variable atas dasar pola perubahan yang telah dikehendaki (Chiang, 1997). Di samping itu, variabel keputusan pada kasus problem optimasi dinamik adalah fungsi dari waktu t dan kendala (constraint) mencakup sistem dinamik atau fungsi transformasi (Bohi and Toman, 1984; Conrad and Clark, 1995 dan Chiang, 1997). Beberapa komponen optimasi dinamik meliputi:
(1)
variabel
penentu
keputusan
(state
variable), (2) periode keputusan (decision stage), (3) variabel
keputusan
(decisions
variable),
(4)
penerimaan setiap tahap periode (stage return), (5) fungsi
transisi
(transformation
atau
function),
fungsi dan
(6)
transformasi fungsi
tujuan
(objective function). Penentuan state variable pada sistem daerah tangkapan air (DTA) didasarkan pada hubungan antara karakteristik fisik
dan perilaku manusia
sebagaimana yang diuraikan dalam perumusan masalah di depan. Dari kedua sub-sistem dapat diidentifikasi state variable dari suatu keputusan, yakni terdiri atas: (1) ketebalan lapisan atas tanah (soil depth atau SD), dan (2) kapasitas tampungan waduk. Dengan kata lain, kedua variabel tersebut dijadikan sebagai variable cadangan (reserve) sumberdaya dalam problem pola tanam. Hal tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa keputusan aktivitas pengelolaan lahan yang cenderung menghasilkan erosi akan menyebabkan adanya kecenderungan penipisan (deplesi) lapisan atas tanah. Sebagaimana telah diuraikan oleh Anderson dan Thampapillai
(1990), bahwa dalam kajian
degradasi lahan dari praktek tataguna lahan di negara berkembang dengan mengukur perubahan SD merupakan suatu sumberdaya nonrenewable nampak konsisten. Untuk menangkap esensi problem dinamik produksi pertanian dan deplesi tanah pada tingkat usaha tani telah dilakukan kajian berpespektif ekonomi sumberdaya oleh: Burt (1980), McConnell (1983), Saliba (1985), Sagara & Taylor (1987), Barbier (1990) dan Syaukat (1992). Penetapan kapasitas tampungan efektif sebagai state variable didasarkan pada asumsi bahwa kapasitas waduk merupakan suatu sumberdaya. Hal itu karena, dalam mewujudkan fasilitas fisik tersebut diperlukan investasi kombinasi antara sumberdaya alam (natural capital), sumberdaya manusia (human capital), serta sumberdaya buatan manusia (man made capital). Komponen fungsi transisi merupakan kendala dinamis yang dimaksudkan untuk menggambarkan besarnya cadangan sumberdaya pada tahap ke (t + 1) yang ditentukan oleh besarnya cadangan dan keputusan pada tahap ke-t. Pada penelitian ini, fungsi transisi yang menjadi kendala dinamis problem pola tanam terdiri atas: (1) ketebalan lapisan tanah dari masing-masing Sub-sub DAS, dan (2) kapasitas tampungan Waduk Sengguruh dan Sutami.
Horizon waktu (time horizon) pemecahan problem dinamik ditetapkan dengan sengaja, yakni dari tahun 2003 hingga 2020.
Dasar pertimbangan
penentuan tahun 2003 sebagai awal horizon waktu adalah karena seluruh data aspek ekonomi dan sebagian data fisik yang dipergunakan dalam analisis dikumpulkan pada saat penelitian dilakukan. Tahun 2020 ditetapkan sebagai tahun akhir horizon wktu dari pemecahan problem dinamik karena
tahun
tersebut merupakan dasar evaluasi usulan proyek fisik pembangunan sabo dam. Untuk mengendalikan masuknya sedimen ke Waduk Sutami dan Sengguruh telah diusulkan pembuatan pembangunan sabo dam sebanyak 17 unit di daerah hulu waduk dengan tiga alternatif penanganan yang mempertimbangkan kapasitas tampungan dengan estimasi volume tampungan efektif pada tahun 2020 (Nippon Koei Co, 1998). Paket pola tanam dijadikan sebagai variabel keputusan karena paket pola tanam yang terdiri dari beberapa komoditas berperan dalam menentukan manfaat sosial bersih, tingkat erosi dan sedimentasi waduk. Pemecahan problem optimal didasarkan pada fungsi tujuan aditif, yaitu penjumlahan dari hasil setiap tahap periode (tahun).
Fungsi tujuan yang
dimaksud dalam kajian ini adalah memaksimalkan nilai sekarang (present value atau PV) penerimaan bersih yang berasal dari sub-sistem wilayah hulu waduk dan sub-sistem ekologi bendungan-waduk. Penerimaan bersih dari sub-sistem wilayah hulu adalah penerimaan bersih dari pengelolaan lahan pertanian budidaya intensif; dan penerimaan yang berasal dari sub-sistem ekologi bendungan-waduk ialah nilai manfaat dari air baku yang dipergunakan untuk listrik, pengairan dan industri. Perumusan model pemecahan optimasi dinamik pada sistem DTA Waduk Sutami dan Sengguruh didasarkan pada keterkaitan komponen tersebut di atas.
Gambar 6 menyajikan skema rangkaian keterkaitan antar enam komponen optimasi dinamik sebagaimana yang telah diuraikan di atas. 5.1.2. Fungsi penerimaan lahan
Penerimaan dari lahan budidaya intensif didasarkan pada fungsi produksi dari masing-masing komoditas yang membentuk paket pola tanam. Rumusan umum fungsi produksi dari masing-masing komoditas (persamaan 5.1) disusun berdasarkan pada bentuk umum fungsi M-S pada persamaan (4.1c), serta bentuk aplikasinya pada persamaan (4.7), dan (4.8).
Keputusan Pola tanam Lahan budidaya intensif
(decision variable) Usaha tani: Penerimaan Biaya
Limpasan permukaan (inflow waduk)
erosi
Ketebalan lapisan tanah (soil depth) State variable
Degradasi lahan pertanian
Produktivitas lahan
Sedimentasi waduk
Pendangkalan Umur ekonomis bendungan
Opportunity cost (on-site cost)
Opportunity cost (off-site cost)
User cost (Costate)
Manfaat bersih Return of stage Syarat maksimasi Æ FOC
(First Order Condition)
Maksimasi PV. Manfaat Sosial Bersih 2003-2020
(Fungsi tujuan)
Kapasitas tampungan efektif Kapasitas tampungan mati
State
Outflow : PLTA Pengairan Industri
Manfaat Biaya pengerukan sedimen Return of stage
Keterangan: PV. = Present Value Decision stage: tahunan dari tahun 2003 sampai dengan 2020
Gambar 6. Diagram Alur Keterkaitan Antar Komponen Optimasi Dinamik pada Sistem Tangkapan Air (Catchment Area) Suatu Waduk
(5.1)
y = a + b1 (1 − R SD )
Dimana y adalah produksi per hektar; a, b1 dan R merupakan estimasi statistik dari parameter fungsi respon produksi-soil depth; SD ialah ketebalan lapisan tanah. Besaran parameter a dan b ≥ 0; serta 0< R< 1. Penerimaan bersih komoditas dan paket pola tanam per hektar dalam satu tahun didasarkan pada formulasi berikut:
[(PC (t )(a i
ij
+ b1ij (1 − R
SDij
)) − CF (t )] ij
(5.2)
dimana PCi adalah harga komoditas dari masing-masing tanaman yang membentuk paket pola tanam dalam satu tahun menurut klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i; dan CFij adalah biaya usaha tani per hektar per tahun pada suatu paket pola tanam ke-j pada klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i. 5.1.3. Manfaat air waduk
Manfaat air baku dari waduk yang dipertimbangkan dalam model terdiri atas nilai dari outflow waduk yang dioraperasikan untuk: (1) PLTA, (2) irigasi atau pengairan, dan (3) industri.
Manfaat air untuk PLTA didasarkan pada
pendekatan manfaat langsung (direct benefit) air sebagai input utama, yakni melalui pengukuran manfaat kotor (gross benefit) dari produsen (Unit Pembangkitan Brantas). Pertimbangan pemilihan pendekatan tersebut pertama, dalam praktek perhitungan manfaat langsung dapat dianggap sama dengan manfaat kotor, biaya alternatif dan manfaat bersih (PERUM Jasa Tirta I, 2002e). Kedua, harga daya listrik di tingkat produsen mencerminkan beberapa komponen biaya, yaitu mulai dari biaya investasi hingga biaya operasi dan pemeliharaan daerah tangkapan air. Dalam Lampiran G pada Amandemen II Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik antara PT Pembangkitan Jawa Bali dan PT PLN
(Persero) dimuat bahwa struktur pembayaran meliputi nilai komponen A hingga komponen F. Komponen A merupakan pembayaran atas biaya investasi pembangunan Unit Pembangkit (UP) yang terdiri dari biaya penyusutan, pembayaran pokok pinjaman ditambah bunga. Komponen B adalah pembayaran atas biaya yang dikeluarkan untuk mengoperasikan dan pemeliharaan untuk menjamin ketersediaan daya listrik yang dihasilkan UP. Komponen C-EP merupakan pembayaran atas beban retribusi pemakaian air untuk PLTA dan pemeliharaan DAS yang hak pengelolaannya dipegang oleh suatu organisasi usaha. Komponen C-Non EP merupakan pembayaran atas beban retribusi pemakaian air untuk PLTA yang hak pengelolaannya tidak dipegang oleh suatu organisasi usaha. Secara teknis kuantitas produksi daya listrik dari setiap turbin ditentukan berdasarkan rumus berikut: D = g ∗ η ∗ Wo ∗ Hef
(5.3a)
Dimana D merupakan daya yang dihasilkan suatu turbin dalam kurun waktu satu detik (Watt); Wo adalah debit pembangkitan (m3/det); Hef ialah tinggi jatuh efektif (m); g adalah gravitasi (9,8 m2/det); dan η ialah efisiensi turbin dan generator. Dalam pendugaan kuantitas daya yang dibangkitkan oleh setiap turbin dipergunakan tinggi jatuh efektif (Hef) dan efisiensi (η) pada tingkat tertentu (given). Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa variasi tinggi jatuh efektif sangat berperan terhadap kuantitas daya yang dihasilkan pada setiap periode selama horizon waktu; sedangkan horizon waktu yang diterapkan pada penelitian ini adalah selama 17 tahun (2003 hingga 2020). Tinggi jatuh efektif PLTA Sengguruh sebesar selisih antara elevasi tertinggi (292.5 m) dan elevasi dasar sungai (264 m); sedangkan pada PLTA Sutami adalah selisih antara rata-
rata tinggi muka air waduk (MAW) selama musim kemarau tahun 2002 sampai dengan musim penghujan tahun 2003 (sebesar 267.305 m) dan menggunakan tail race (TWL) yang diterapkan oleh PERUM Jasa Tirta I sebagaimana telah diuraikan pada anak Sub-bab 2.3.1. Pola operasi Waduk Sengguruh bersifat harian (lihat pada anak sub-bab 2.3.1), maka pendugaan produksi daya listrik dalam kurun waktu satu hari didasarkan pada perkalian antara daya yang dibangkitkan (persamaan 5.3a) dan waktu yang dipakai untuk operasi. Pendugaan rata-rata waktu yang dipakai untuk operasi harian didasarkan pada waktu operasi sepuluhharian selama kurun waktu dari bulan Juni 2002 hingga Mei 2003 (Lampiran 6). Adapun rata-rata waktu yang dipakai untuk operasi adalah 13.31 jam per hari (jam/hr). Dengan mengaplikasikan persamaan (5.3a) pada efisiensi turbin dan generator sebesar 0.9, maka didapatkan produksi daya listrik setiap turbin pada PLTA Sengguruh selama satu hari sebesar:
q1 = (9.80∗ 0.90∗ Wo1 ∗ Hef1 ∗ 13.31)
(KWh)
(5.3b)
Pada PLTA Sengguruh terdapat 2 unit turbin serta tinggi jatuh efektif PLTA Senguruh adalah 28.50 m, sehingga total produksi daya listrik dari Waduk Sengguruh dalam periode satu tahun adalah: TE1 = (365 ∗ 2 ∗ 3,345.73 ∗ Wo1) = 2 ∗ (1.22 ∗ Wo1)
(KWh) (GWh)
(5.3c)
Sementara itu, pola operasi Waduk Sutami bersifat tahunan (lihat pada anak sub-bab 2.3.1). Oleh karena itu, pada pendugaan produksi daya listrik mempertimbangkan fenomena debit pada waktu beban puncak (Ppeak) maupun beban dasar (Poff). Berdasarkan data produksi beban puncak dan beban dasar pada musim kemarau (MK) tahun 2002 dan musim penghujan (MP) tahun 2003 dapat diperoleh informasi bahwa: 1. Rata-rata produksi beban puncak (operasi 5 jam/hr) sebesar 84% bila dibandingkan dengan beban puncak potensial (105 MW/det). 2. Rata-rata produksi beban dasar (operasi 19 jam/hr) sebesar 25% beban puncak potensial (105 MW /det).
Persentase tersebut lebih lanjut dipergunakan sebagai dasar perumusan pendugaan produksi daya listrik dari PLTA Sutami yang mempertimbangkan fenomena debit pada waktu beban puncak maupun beban dasar. Berdasarkan persamaan (5.3a) dan η = 0.9, maka didapatkan pendugaan total daya dari setiap turbin dalam satu hari sebesar: q2 = (9.80 ∗ 0.90 ∗ 5 ∗ 0.84 ∗ Wo2 ∗ Hef2) + (9.8 ∗ 0.9 ∗ 19 ∗ 0.25 ∗ Wo2 ∗ Hef2) = (9.80 ∗ 0.90 ∗ 8.95 ∗ Wo2 ∗ Hef2) = (78.94 ∗ Wo2 ∗ Hef2)
(KWh)
(5.3d)
Pada PLTA Sutami terdapat tiga (3) unit turbin. Rata-rata MAW selama musim kemarau tahun 2002 sampai dengan musim penghujan tahun 2003 sebesar 267.31 m. Dengan menggunakan tail race (TWL) setinggi 181.90 m, maka tinggi jatuh efektif PLTA Sutami sebesar 85.41 m. Dengan demikian Produk Nilai Total (Total Value Product atau TVP) daya listrik Waduk Sutami dalam satu tahun sebesar: TE2 = 3 ∗365 ∗ (78.94 ∗ Wo2 ∗ 85.41) = 3 ∗ (2.46 ∗ Wo2)
(KWh) (GWh)
(5.3e)
Manfaat air baku yang lain dari waduk adalah nilai untuk pengairan dan industri. Oleh karena Iuran Pengelolaan Air Irigasi (IPAIR) yang ditetapkan pemerintah Daerah Tingkat II kurang mencerminkan harga air baku untuk irigasi, maka penentuan nilai air baku untuk pengairan dikembangkan dari factor income method (FIM) sebagaimana yang diuraikan oleh Chutubtim (2001).
Metode
tersebut dipergunakan untuk mengestimasi dampak proyek sebagai input dari produksi, sehingga nilai air irigasi didekati dengan tambahan penerimaan
(incremental income earned). Dengan demikian harga air baku untuk pengairan dalam penelitian ini diduga berdasarkan rumus sebagai berikut:
PI =
Pk (Ytp / Yp )
(5.4)
Ap
Dimana PI adalah harga air air baku untuk pengairan (Rp/m3); Pk ialah harga komoditas padi (ribu Rp/ton); Ytp/Yp merupakan proporsi perbedaan produk-tivitas antara pengairan dan tanpa pengairan (ton/ha); dan Ap adalah volume kebutuhan air irigasi tanaman padi (m3/ha). Nilai satuan air untuk irigasi tersebut dianggap telah mencerminkan manfaat dari investasi sekaligus biaya operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana pengairan. Proporsi perbedaan produktivitas antara padi dengan pengairan dan tanpa pengairan didekati dengan rasio antara produktivitas padi sawah dan padi tegal. Hal tersebut dilakukan karena hasil kajian secara spesifik tentang perbedaan produktivitas dengan pengairan dan tanpa pengairan relatif sulit didapatkan. Manfaat air baku untuk pengairan merupakan hasil kali antara harga air persatuan dan kuantitas air waduk yang dipergunakan untuk pengairan. Volume air untuk pengairan didekati besarnya sumbangan outflow Sutami terhadap air baku untuk pengairan. Hasil pendugaan sumbangan outflow Waduk Sutami terhadap alokasi air baku untuk pengairan maupun industri secara rinci disajikan pada Lampiran 7 (baris kedua). Sementara itu, pendugaan manfaat air baku Waduk Sutami untuk industri sebesar hasil kali antara harga air industri dan sumbangan outflow Waduk Sutami terhadap alokasi air baku untuk industri. Harga air baku yang didistribusikan untuk industri didasarkan pada tarif yang merupakan hasil kesepakan antara pihak otorita dengan pengguna, yakni sebesar Rp 60/m3 (PERUM Jasa Tirta I, 2003). Disadari bahwa tingkat tarif tersebut baru mencerminkan komponen biaya operasional dan pemeliraharaan sarana dan prasarana,
sehingga belum
mempertimbangkan biaya investasi. Namum oleh karena keterbatasan peneliti dalam pengumpulan data dan kesulitan
perhitungan nilai satuan air untuk
industri, maka manfaat air untuk penggunaan industri didasarkan pada tarif tersebut.
5.2. Perumusan Kerangka Model Analisis Optimasi Dinamik 5.2.1. Manfaat sosial bersih pengelolaan lahan Manfaat bersih lahan pertanian yang dipertimbangkan dalam fungsi tujuan adalah total pendapatan usaha tani dari areal lahan budidaya intensif yang berada di seluruh wilayah Sub-sub DAS. Pendapatan usaha tani merupakan selisih antara total nilai produksi dan total biaya produksi. Formulasi manfaat bersih pengelolaan lahan di DTA pada persamaan (5.5) memperhatikan klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan, keragaman paket pola tanam dan Sub-sub DAS.
[
]
⎧ 6 25 5 ⎫ SDjk − CFij (t )⎬ BL (Xijk(t)) = ⎨∑ ∑ ∑ X ijk (t ) * PC (t )(a i + b1i (1 − R ⎩ i =1 j =1 k =1 ⎭
(5.5)
Dimana BL adalah besarnya total manfaat bersih yang dapat diperoleh dari berbagai paket pola tanam menurut klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan sepanjang horizon waktu T (juta Rp/ton); Xijkt adalah luas areal dari klasifikasi jenis lahan i dengan paket pola tanam j dan Sub-sub DAS k pada tahun t (Ha). Sedangkan PC (t) adalah harga masing-masing komoditas yang membentuk paket pola tanam ke-j (juta Rp/ton); dan a, b1 ialah koefisien regresi fungsi produksi (ton/ha); dan R merupakan estimasi parameter fungsi respon SD terhadap produksi. SD ialah kedalaman lapisan tanah (cm). CFij adalah biaya usaha tani per hektar per tahun pada suatu paket pola tanam menurut klasifikasi kemiringan lahan (juta Rp/ha).
5.2.2. Nilai outflow waduk untuk operasi PLTA
Berdasarkan besarnya total produksi daya listrik PLTA Sengguruh dan Sutami dari persamaan (5.3c) dan (5.3e), maka total nilai air baku untuk listrik periode tahunan adalah: NML (Wol(t)) = PE1 ∗ 2 ∗ {1.22 ∗ Wo1(t)} + PE2 ∗ 3 ∗ {2.46 ∗ Wo2 (t)}
(5.6)
Dimana NML ialah nilai manfaat air baku yang digunakan untuk pembangkit listrik pada tahun ke-t (juta Rp); PE1 dan PE2 masing-masing merupakan harga daya listrik dari unit PLTA Sengguruh dan Sutami (Rp/kWh); Wol(t) adalah debit operasi (outflow) per detik pada tahun ke-t (m3/det). Harga daya listrik setiap unit PLTA tersebut didekati dengan rata-rata dari harga bulanan selama tahun 2003 dari setiap entitas pembangkit. Hal itu karena data
tingkat pembayaran per kWh
pembangkit.
bervariasi menurut bulan dan entitas
Perbedaan tersebut dikarenakan kuantitas produksi daya listrik
selama kurun waktu satu bulan dari setiap turbin berbeda. Sebagaimana telah diuraikan di depan bahwa unit PLTA Sengguruh terdapat 2 turbin dan Sutami terdapat 3 turbin. 5.2.3. Nilai air baku untuk pengairan dan industri
Pendugaan besarnya nilai air baku untuk pengairan dan industri dalam kurun satu hari adalah: NMP = PI ∗ Vp = PI ∗ 1/106(Dp ∗ cv1) = PI ∗ 1/106(shp ∗ Wo2 ∗ cv1) = 0.02484 ∗ PI ∗ Wo2 NMI = PM ∗Vm = PM ∗ 1/106(Dm ∗ cv1) = PM ∗ 1/106 ∗ (shm ∗ Wo2 ∗ cv1)
(5.7a)
= 0.00177984 ∗ PM ∗ Wo2
(5.7b)
Dimana NMP dan NPI masing-masing adalah nilai manfaat air baku bulanan untuk pengairan dan industri yang berasal dari outflow Waduk Sutami dalam (juta Rp/hr); Vp dan Vm ialah volume air baku untuk pengairan dan industri (juta m3/bl); Dp dan Dm adalah debit air baku untuk pengairan dan industri (m3/dt); shp dan shm adalah sumbangan debit outflow Waduk Sutami terhadap pengairan; Wo2 merupakan debit outflow Waduk Sutami (m3/det). PI dan PM yaitu nilai air baku untuk pengairan dan iuran air baku untuk industri (Rp/m3). Besarnya PI ditentukan dengan rumus pada persamaan (5. 4); dan besarnya PM didasarkan pada tarif air baku untuk industri yang dibayarkan kepada PERUM Jasa Tirta I. Besaran cv1 merupakan faktor konversi satuan debit (m3/det) disetarakan dengan satuan volume harian sebesar 86 400 m3/det. Konversi dimaksudkan untuk menyamakan satuan antara debit (m3/det) dan dalam satuan volume harian (m3/det).
Angka pembagi 106 dimaksudkan untuk menyetarakan volume air
dalam juta meter kubik.
Koefisien 0.02484 pada persamaan (5.8a) dan
0.00177984 pada persamaan (5.8b) masing-masing merupakan hasil perkalian antara shp maupun shm (pada Lampiran 7 baris kedua) dengan faktor konversi debit cv1. Dari persamaan (5.7a dan 5.7b) dapat dirumuskan manfaat tahunan dari air baku untuk pengairan dan industri sebagai berikut: NMPt
= 365 ∗ (0.02484 ∗ PI ∗ Wo2) = 9.07 ∗ PI ∗ Wo2
NMI
(5.8a)
= 365 ∗ (0.00177984 ∗ PM ∗ Wo2) = 0.65 ∗ PM ∗ Wo2
(5.8b)
Besaran harga air untuk kegiatan pertanian berdasarkan factor income method (FIM) sebagaimana telah dirumuskan pada persamaan (5.4). pendugaan harga air pengairan dapat dilihat pada Lampiran 7 (baris ke-1).
Hasil
5.2.4. Struktur biaya sosial
Biaya pada sub-sistem ekologi bendungan-waduk meliputi investasi fisik bendungan per tahun, investasi baru untuk kelestarian bendungan/waduk dan biaya pengerukan. Secara eksplisit dalam model perumusan biaya sosial hanya mempertimbangkan biaya pengerukan; secara implisit biaya sedimentasi dihasilkan dalam model. Untuk mempertahankan daya tampung kapasitas Waduk Sengguruh telah dilakukan pengerukan terhadap sedimen. Berdasarkan data yang dikumpulkan, kegiatan pengerukan pada Waduk Sutami tidak dilakukan.
Besarnya biaya
pengerukan (persamaan 5.9) merupakan perkalian antara volume sedimen yang dikeruk dan biaya per unit. Biaya pengerukan sedimen (CK) per satuan didasarkan pada perhitungan yang telah dilaksanakan oleh pihak otorita. Dalam penentuannya, biaya tersebut terdiri atas komponen: (1) nilai satuan kehilangan daya listrik per m3 sedimen dan (2) harga satuan pengerukan. Satuan biaya pengerukan yang dimasukan dalam model adalah nilai riil (terdeflasi) hasil penentuan tahun 1998. BS = CK * Vks1(t )
(5.9)
Dimana VSk(t) ialah volume sedimen yang dikeruk dari Waduk Sengguruh pada tahun ke-t (juta m3). Volume optimal sedimen yang dikeruk ditentukan dalam model optimasi.
Biaya pengerukan dalam satuan Rp/m3.
Besarnya biaya
pengerukan sedimen per unit yang dipertimbangkan dalam model didasarkan pada hasil kajian Perum Jasa Tirta I yang telah dilakukan tahun 1998. Hal itu karena data tahun terakhir (waktu pelaksanaan penelitian) tidak diperoleh. 5.2.5. Manfaat bersih tahunan
Manfaat sosial bersih (MSB) tahunan pada persamaan (5.10) merupakan selisih antara manfaat sosial (social benefit) dan biaya sosial (social cost).
Manfaat sosial dari sistem DTA pada persamaan (5.10) merupakan penjumlahan dari manfaat sosial bersih dari pengelolaan lahan dan nilai outflow Waduk Sengguruh
dan
Sutami.
Kegunaan
air
baku
Waduk
Sengguruh
yang
dipertimbangkan hanyalah untuk operasi PLTA, karena pola waduk tersebut bersifat harian serta seluruh outflow masuk ke Waduk Sutami. Adapun manfaat air baku Waduk Sutami yang dipertimbangkan dalam fungsi tujuan meliputi kegunaan untuk operasi PLTA, pengairan dan untuk industri. MSB (Xijk(t), Sik(t), Wol(t), Vkpl(t)) =
[
]
⎧ 6 25 5 ⎫ SD − CFij (t )⎬ + ⎨∑ ∑ ∑ X ijk (t ) * Pc (t )(a i + b1i (1 − R ⎩ i =1 j =1 k =1 ⎭ jk
2 ∗ PE1 ∗ {1.22 ∗ Wo1 (t )} + 3 ∗ PE 2 ∗ {2.46 ∗ Wo 2 (t )} + 9.07 ∗ PI ∗ Wo 2 (t ) + 0.65 ∗ PM ∗ Wo 2 (t ) − CK * Vks1(t )
(5.10)
Dimana: MSB Xijk(t) PC(t) Sik(t) CFij(t) Wo1(t) Wo2(t) PEl PI PM CK Vks1(t) a,b1,R i j k
= manfaat sosial bersih (juta Rp/th) = luas areal lahan komoditas/pola tanam ke-i pd kemiringan ke-j Sub-sub DAS ke-k pada tahun t (ha) = harga komoditas pada tahun t (juta Rp/ton) = ketebalan lapisan olah dari paket pola tanam ke-i pada Sub-sub DAS ke-k pada tahun t (cm) = biaya usaha tani per ha dari pola tanam ke-i pd kemiringan ke-j pada tahun t (juta Rp/ha) = debit outflow Waduk Sengguruh pada tahun t (m3/det) = debit outflow Waduk Sutami pada tahun t (m3/det) = harga daya listrik (Rp/kWh) = nilai air baku untuk pengairan (Rp/m3) = harga air baku untuk industri (Rp/m3) = biaya pengerukan (Rp/m3) = volume sedimen yang dikeruk pada tahun t (juta m3) = koefisien regresi fungsi produksi masing-masing komoditas yang membentuk paket pola tanam ke-j pada klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i = klasifikasi fungsi lahan, 1 = Sawah I, 2 = Sawah II, 3 = Tegal I, 4 = TegalI, 5 = Kebun I, 6 = Kebun II, I = kemiringan (0 – 15%), II = kemiringan (>15%) = paket pola tanam, =
Sub-sub DAS, 1 = Bango, 2 = Sumber Brantas, 3 = Amprong, 4 = Lesti, 5 = Metro,
l = jenis waduk/PLTA, 1 = Sengguruh, 2 = Sutami, Vkpl(t) = kapasitas waduk ke-l pada tahun t (106m3) 5.2.6. Fungsi tujuan
Fungsi tujuan sistem DTA (persamaan 5.11) adalah memaksimalkan PV manfaat bersih tahunan dan PV nilai air yang tersimpan dalam waduk pada akhir horizon waktu. Perumusan fungsi tujuan didasarkan pada bentuk umum model discrete-time dengan finite horizon problem pada persamaan (4.12) dan model aplikasi pada persamaan (4.14d), (4.17a) dan persmaan 4.20). T −1
Max. PVMSB
=
{Xijk(t), Sik(t), Wol(t), Vkpl(t) }
∑ ρ N( X t
t =1
ijk
(t ), Sik (t ), Wol (t ),Vkpl (t ))
+ ρ T F (Vsal (T )) T −1
=
∑ρ t =1
t
MSBt{Xijk(t), Sik(t), Wol(t), Vsal(t), Vssl(t)}
+ ρ f(Vsa2(T)) T
. . . . . . (5.11)
Dimana ρ adalah diskon faktor, X (t) ialah luas areal paket pola-tanam (ha), S(t) adalah ketebalan lapisan tanah (cm), W(t) ialah outflow waduk (m3/detik), Vsal(t) adalah volume air yang tersimpan dalam waduk ke-l (juta m3), dan Vssl(t) ialah volume sedimen yang tertahan (juta m3); serta t adalah setiap periode keputusan (tahun).
Adapun F(Vsa2(T)) ialah nilai cadangan air yang tersimpan dalam
Waduk Sutami pada akhir horizon waktu.
Nilai akhir sumberdaya yang
dipertimbangkan dalam model adalah nilai akhir yang tersimpan dalam waduk. Pada akhir horizon waktu belum mempertimbangkan PV dari nilai lahan. Mengingat data ataupun informasi dari harga jual lahan setelah terjadi erosi atau deplesi SD relatif sulit didapatkan. Fungsi tujuan optimasi dinamik yang disusun oleh McConnell (1983), Segarra dan Taylor (1987) dan Syaukat et al. (1992) telah mempertimbangkan PV harga jual lahan pada akhir periode perencanaan. Nilai volume air yang masih tersimpan dalam Waduk Sutami pada akhir horizon waktu (T) didasarkan pada harga air yang digunakan untuk listrik, irigasi dan industri.
Nilai stok air dalam waduk pada T dari persamaan (5.12)
didasarkan pada kuantitas produksi daya listrik per hari pada persamaan (5.3d) serta nilai air baku per hari untuk pengairan dan industri pada persamaan (5.7a) serta persamaan (5.7b).
⎛
NA(T) = PE2 ⎜⎜ 78.94
⎞ V (T ) Vsa 2 (T ) (shpPI + shmPM ) Hef 2 ⎟⎟ + sa 2 cv 2 cv 2 ⎠
(5.12)
⎝ ⎛ Vsa2 (T ) ⎞ Vsa2 (T ) ⎟+ (0.02875PI + 0.0206PM ) = PE 2 ⎜⎜ 6741.87 cv 2 ⎟⎠ cv 2 ⎝
Dimana NA(T) ialah nilai stok air pada akhir periode (juta Rp); Vsa2(T) adalah volume stok air pada akhir horizon waktu yang ditentukan dalam model (juta m3); dan variabel yang lain seperti yang telah dijelaskan pada persamaan 5.7.
5.2.7. Kendala
Rumusan kendala yang menyertai fungsi tujuan di atas terdiri atas kendala persamaan transisi (motion equation) dan kendala dengan kuantitas tertentu (given). Kendala persamaan transisi terkait dengan sumberdaya yang terkuras, yaitu kendala yang mencerminkan perubahan stok sumberdaya. Persamaan transisi/transformasi terdiri atas: (1) keseimbangan ketebalan lapisan tanah serta (2) keseimbangan kapasitas tampungan Waduk Sengguruh dan Waduk Sutami. Kendala pada kuantitas tertentu meliputi: (1)
kondisi awal ketebalan lapisan
tanah, (2) kondisi awal kapasitas tampungan, (3) kondisi awal stok air dan sedimen,
(4)
kondisi awal kapasitas tampungan Waduk Sutami yang
dipertahankan pada setiap periode, (5) batas atas dan bawah debit
outflow
waduk dan (6) total luas areal berbagai klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan pada masing-masing Sub-sub DAS. 5.2.7.1. Ketebalan lapisan tanah
Perumusan kendala yang mencerminkann ketebalan lapisan tanah (SD) dalam kajian ini didasarkan pada perumusan yang dipakai oleh Papendick et al. (1985) seperti yang telah dirumuskan pada persaman (4.10). Dalam penelitian disertasi ini tidak mempertimbangkan ketebalan lapisan bentukan baru (regenerasi) karena dalam kurun waktu satu tahun lapisan baru tersebut relatif sangat kecil, sehingga dalam kasus khusus lapisan atas yang terbentuk pada tahun ke-t dapat dianggap sama dengan nol (Segara dan Taylor, 1987). Dengan demikian rumusan persamaan transisi dari SD untuk masing-masing pola tanam ke-i, pada Sub-sub DAS ke-k adalah: Sijk(t+1) = Sijk(t) – Zijk (t)
(5.13a)
= Sijko
(5.13b)
Sijk(0)
Dimana Sijk(t+1) dan Sijk(t) masing-masing adalah ketebalan lapisan atas tanah pada tahun ke-(t +1) dan tahun ke-t, dan Zijk(t) lapisan atas tanah yang hilang pada tahun ke-t dari klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i dengan paket pola tanam ke-j di wilayah sub-sub DAS ke-k (cm); Sijk(0) adalah ketebalan lapisan atas tanah pada awal periode. Satuan masing-masing variabel adalah cm. Pada persamaan (5.12c) merupakan bentuk konversi Zijk(t) dari tingkat erosi pada setiap aktivitas. Zijk(t) =
eijk BD * 103
(t)
(5.13c)
Dimana eijk adalah tingkat erosi dari komoditas/pola tanam ke-i dengan klasifikasi fungsi dan kemiringan ke-j pada sub-sub DAS ke-k (ton/ha); sedangkan BD*103 merupakan berat jenis tanah (1.50) dikalikan konversi dari satuan massa (ton) menjadi satuan luas (ha).
5.2.7.2. Kapasitas tampungan Waduk Sengguruh Kendala transisi kapasitas tampungan waduk didasarkan pada pendekatan konsep arus (flow) dan stok (reserve) sebagaimana yang disajikan pada Lampiran 8.
Sementara itu, persamaan keseimbangan kapasitas tampungan
waduk didasarkan pada mekamisme perilaku masing-masing waduk seperti yang terdapat pada Lampiran 9. Waduk Sengguruh merupakan waduk harian, maka arus air keluar sama dengan arus air masuk.
Kapasitas waduk yang
dipertahankan adalah pada elevasi 292.50 meter, sehingga aliran air ke luar dari waduk diupayakan pada volume tampungan di atas elevasi tersebut. Dalam rangka menanggulangi pendangkalan pada Waduk Sengguruh, pihak otorita telah melakukan aktivitas pengerukan sedimen. Oleh karena itu, maka pada perumusan keseimbangan waduk dimasukan variabel volume sedimen yang dikeruk (Vks1). Sebagaimana telah diuraikan pada sub-bab 2.4, bahwa efisiensi penangkapan Waduk Sengguruh sebesar 40% dari total volume sedimen yang
berasal dari wilayah hulu waduk. Berdasarkan berbagai kondisi tersebut dapat dirumuskan kendala transisi keseimbangan Waduk Sengguruh sebagai berikut: Vkp1(t+1) ≤ Vsa1 (t) + Vma1 (t) – 31.53 ∗ Wo1(t) + Vss1(t) + 0.4 ∗ Vms(t) – Vks1(t)
(5.14a)
Vss1(t+1) = Vss1 (t) + 0.4 ∗ Vms(t) – Vks1(t)
(5.14b)
Vsa1(t)
(5.14c)
= Vkp1(t) – Vss1(t)
Dimana Vkp1(t+1) adalah kapasitas Waduk Sengguruh (juta m3); Vsa1(t) ialah volume air tersimpan pada tahun ke-t (juta m3); Vma1 (t) adalah volume air masuk (inflow) pada tahun ke-t (juta m3);
Wo(t) adalah debit outflow (m3/detik);
Vss1(t) ialah volume sedimen tersimpan pada tahun ke-t (juta m3); Vms(t) adalah volume sedimen baru yg berasal dari wilayah hulu Waduk Sengguruh pada tahun ke-t (juta m3); dan Vks1(t) merupakan volume sedimen yang dikeruk pada tahun ke-t dalam satuan juta m3. Angka pengali 31.53 merupakan faktor konversi dari volume outflow tahunan dalam satuan juta m3 menjadi satuan debit (m3/det). Total volume inflow Waduk Sengguruh (Vma1) pada persamaan (5.14d) berasal dari debit sungai yang berada di wilayah hulu, yakni yang meliputi Subsub DAS Bango, Sumber Brantas, Amprong dan Lesti.
Hamparan lahan
(budidaya maupun non-budidaya intensif) mempunyai peran terhadap debit sungai.
Secara eksplisit volume inflow Waduk Sengguruh dalam kurun waktu
satu tahun dipengaruhi oleh luas areal dan debit sungai.
⎧6 Vma1(t ) = ⎨∑ ⎩ i =1
25
4
4
2
4
⎫
∑ ∑ d sk ∗ X ijk (t ) + ∑ ∑ ∑ d sk ∗ Lijk (t )⎬ j =1 k =1
i =1 j =1 k =1
⎭
(5.14d)
Dimana Vma1(t) adalah volume inflow pada tahun ke-t (juta m3); dsk adalah sumbangan per hektar lahan terhadap volume inflow pada Sub-sub DAS ke-k (juta m3/ha);
Xijk ialah luas lahan budidaya intensif (yang ditentukan dalam
model) klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i dengan paket pola tanam ke-j
pada wilayah Sub-sub DAS ke-k pada tahun ke-t (ha); sedangkan Lijk adalah luas lahan non-budidaya intensif menurut fungsi ke-i dengan klasifikasi kemiringan kej dari wilayah Sub-sub DAS ke-k pada tahun ke-t (ha). Pendugaan sumbangan per hektar lahan terhadap volume inflow (dsk) didekati dengan hasil perkalian antara total volume inflow satu tahun dan rasio luas Sub-sub DAS ke-k terhadap luas wilayah hulu Sengguruh. Berdasarkan asumsi bahwa setiap hektar lahan mempunyai tingkat inflow yang sama, dalam pengertian tingkat inflow tidak berbeda menurut jenis tanaman, fungsi dan kemiringan lahan. Total volume inflow merupakan hasil kali antara luas areal optimal (Xijk) dan tingkat inflow (dsk).
Rata-rata volume inflow setiap periode
diasumsikan konstan sepanjang horizon waktu; serta belum mempertimbangkan variasi atau perubahan karakteristik hidrologi pada periode yang akan datang. Asumsi tersebut merupakan penyederhanaan dari fenomena hidrologi yang bervariasi setiap tahun karena perubahan curah hujan dan kerapatan maupun jenis vegetasi. Besarnya volume sedimen yang berasal dari wilayah hulu Waduk Sengguruh (Vms) berasal dari massa sedimen yang dihasilkan dari lahan budidaya intensif (VmsP) maupun lahan non-budidaya intensif (VmsN) yang tersebar di empat wilayah Sub-sub DAS (Persamaan 5.14e).
Wilayah hulu
Waduk Sengguruh meliputi Sub-sub DAS Bango, Sumber Brantas, Amprong, dan Lesti.
Vms(t)
= Vms P(t) + Vms N(t) = 1/106 ∗ kp ∗ (1/ kk) ∗ {MmsP(t) + MmsN(t)}
(5.14e)
= 1/106 ∗ kp ∗ (1/ kk) ∗ 6 25 4
4
2
4
{( ∑ ∑ ∑ SDRk * Xijk(t) * eijk ) + ( ∑∑∑ SDRk * Lijk * Eijk)} i =1 j =1 k =1
i =1 j =1 k =1
Dimana Vms (t) adalah volume sedimen yang berasal dari bagian hulu Waduk Sengguruh pada tahun ke-t (juta m3); kp merupakan koefisien penyesuaian massa sedimen antara hasil pengukuran dan perhitungan, yakni sebesar 0.78 (Lampiran 7 baris ke-5). Besaran kk ialah koefisien konversi sedimen dari massa ke volume sedimen atau berat spesifik kering sedimen, yakni sebesar 0.95 ton/m3 (Priatminto, 1986); SDRk adalah rasio tranportasi sedimen (Sediment Delivery Ratio) dari Sub-sub DAS ke-k; Xijk(t) ialah luas areal menurut paket pola tanam pada lahan budidaya intensif (ha); Lijk adalah luas areal menurut jenis lahan nonbudidaya intensif (Ha); eijk dan Eijk merupakan tingkat erosi pada lahan budidaya intensif menurut aktivitas paket pola tanam dan tingkat erosi pada lahan non-budidaya intensif menurut jenis fungsi lahan pada berbagai kemiringan dan Sub-sub DAS (ton/ha).
5.2.7.3. Kapasitas tampungan Waduk Sutami Perumusan kendala keseimbangan kapasitas tampungan Waduk Sutami (persamaan 5.15), mempertimbangkan hubungan seri antara Waduk Sengguruh dan Sutami, sehingga outflow Sengguruh merupakan inflow dari Waduk Sutami. Volume inflow Waduk Sutami tidak hanya berasal dari Waduk Sengguruh, namun juga berasal dari remaining basin Sub-sub DAS Metro. Dengan demikian, volume sedimen yang masuk ke Waduk Sutami yang berasal dari pengelolaan lahan bagian hulu Waduk Sengguruh dan dari Sub-sub DAS Metro.
Pola Waduk
Sutami bersifat tahunan, sehingga outflow berkisar pada posisi antara elevasi 246.00 hingga 272.50 m (Lampiran 9).
Beberapa kondisi lain yang menyertasi
dalam perumusan keseimbangan Waduk Sutami adalah kapasitas: (1)
tampungan efektif (antara elevasi 246.00 hingga 272.50 m), dan (2) tampungan mati (elevasi kurang dari 246.00 m). Pada saat kapasitas tampungan mati belum penuh, maka volume stok air terdiri atas air yang tertampung pada: (1) antara elevasi 246.00 hingga 272.50 meter (Vsa2a(t)), dan (2) kapasitas tampungan mati yang belum terisi (Vsa2b(t)). Perilaku tersebut didasarkan mekanisme stok air dan sedimen yang terdapat pada Lampiran 9. Vkp2(t+1) = Vsa2 (t) + 31.53 ∗Wo1 (t) + VmaM (t) – 31.53 ∗ Wo2(t) + Vss2(t) + (0.60 ∗ 0.93) ∗ Vms(t) + 0.93 ∗ VmsM(t) Vsa2 (t)
(5.15a)
= Vsa2a(t) + Vsa2b(t)
(5.15b)
Vss2(t+1) = Vss2(t) + (0.60 ∗ 0.93) ∗Vms(t) + 0.93 ∗ VmsM(t)
(5.15c)
Dimana Vkp2(t+1) merupakan kapasitas Waduk Sutami (juta m3); Vsa2(t) adalah volume air tersimpan pada tahun ke-t (juta m3); VmaM(t) ialah volume inflow Waduk Sutami dari remaining basin Sub-sub DAS Metro pada tahun ke-t (juta m3); Wo1 (t) dan Wo2 (t) masing-masing adalah debit outflow Waduk Sengguruh dan Sutami pada tahun ke-t (m3/det); koefisien 0.60 merupakan efisiensi trap efficiency sedimen yang berasal dari wilayah hulu Waduk Sengguruh; Vms (t) dan VmsM (t) ialah volume sedimen baru yg berasal dari wilayah hulu Sengguruh dan Sub-sub DAS Metro pada tahu ke-t (juta m3).
Sedimen yang masuk
diasumsikan hanya tertahan pada tampungan mati; yakni dengan efisiensi penangkapan sebesar 0.93. Telah diuraikan pada sub-bab 2.4 bahwa sedimen terdistribusi pada tampungan mati sebesar 0.07. Volume inflow air dari wilayah Sub-Sub DAS Metro pada persaman (5.15d) berasal dari lahan budidaya intensif maupun non- budidaya intensif.
⎧6 VmaM (t ) = ⎨∑ ⎩ i =1
25
4
2
⎫
j =1
i =1
j =1
⎭
∑ d s 5 ∗ X ij 5 (t ) + ∑ ∑ d s 5 ∗ Lij 5 (t )⎬
(5.15d)
Dimana VmaM (t) ialah volume inflow dari wilayah Sub-sub DAS Metro pada tahun ke-t (juta m3); ds5 adalah sumbangan per hektar lahan terhadap volume inflow pada Sub-sub DAS Metro (106m3/ha);
Xij5 ialah luas lahan budidaya
intensif (yang ditentukan dalam model) pada klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i dengan paket pola tanam ke-j dari wilayah Sub-sub DAS Metro pada tahun ke-t (ha); sedangkan Lij5 adalah luas lahan non-budidaya intensif menurut fungsi ke-i dengan klasifikasi kemiringan ke-j dari wilayah Sub-sub DAS Metro pada tahun ke-t (ha). Persamaan (6.15e) menjelaskan besarnya volume sedimen yang berasal dari wilayah Sub-sub DAS Metro yang meliputi massa sedimen yang dihasilkan dari lahan budidaya intensif (MMP) dan lahan non-budidaya intensif (MMN). VmsM (t) = VmsMP (t) + VmsMN (t)
(5.15e)
= 1/106 ∗ kp ∗ (1/kk) ∗ (MMP + MMN ) = 1/106 ∗ kp ∗ (1/kk) ∗ 6
{( ∑ i =1
25
∑ j =1
6
SDR5 ∗ Xij5 ∗ eij5) + ( ∑ i =1
25
∑
SDR5 * Lij5 * Eij5)}
j =1
Dimana VmsM (t) adalah volume sedimen baru yang berasal dari Sub-sub DAS Metro pada tahun ke-t (juta m3); VmsMP dan VmsMN masing-masing adalah volume sedimen yang berasal dari lahan budidaya intensif dan non-budidaya intensif. Koefisien kp dan kk seperti penjelasan pada persamaan (5.14e). Koefisien penyesuaian volume sedimen (kp) pada persaman (5.14e) dan (5.14e) dimaksudkan untuk mengoreksi hasil pendugaan volume sedimen potensial (perhitungan) yang didasarkan pada tingkat erosi yang dihitung dengan metode USLE. Mengingat metode tersebut sebetulnya untuk mendeskripsikan
kerusakan fisik setempat (skala plot), sehingga kurang tepat bila dipergunakan untuk menghitung tingkat erosi skala hamparan (landscape). Besaran koefisien kp didasarkan hasil kajian yang dilaksanakan oleh Tim Peneliti Jurusan Teknik Pengairan (2003b).
5.2.7.4. Kendala total luas areal berbagai fungsi lahan Kendala total luas areal dari masing-masing Sub-sub DAS terdiri atas: lahan sawah, tegal dan kebun menurut klasifikasi kemiringan, yakni kemiringan I (≤15%) dan klasifikasi II (>15%). Pada persamaan (5.16) adalah total luas areal aktivitas pola tanam optimal pada setiap Sub-sub DAS sama dengan total luas lahan yang tersedia pada setiap Sub-sub DAS. 4
∑
j =1
X1jk(t) ≤ TL1k (t)
(5.16a)
X2jk(t) ≤ TL2k (t)
(5.16b)
X3jk(t) ≤ TL3k (t)
(5.16c)
X4jk(t) ≤ TL4k (t)
(5.16d)
X5jk(t) ≤ TL5k (t)
(5.16e)
X6jk(t) ≤ TL6k (t)
(5.16f)
8
∑ j =5 12
∑ j =9
17
∑
j =13 21
∑
j =18 25
∑
j = 22
Dimana Xij(t) adalah luas areal pola tanam optimal menurut klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i dengan paket pola tanam ke-j pada tahun ke-t; TL1k(t) dan TL2k(t) merupakan luas lahan yang tersedia pada Sub-sub DAS ke-k untuk jenis lahan sawah dengan klasifikasi kemiringan I dan II; TL3k(t) dan TL4k(t) adalah lahan tegal dengan klasifikasi kemiringan I dan II yang tersedia pada Sub-sub
DAS ke-k; TL5k(t) dan TL6k(t) masing-masing adalah total luas lahan kebun yang tersedia pada Sub-sub DAS ke-k untuk klasifikasi kemiringan I dan II. 5.2.8. Batas awal periode, batas atas dan bawah setiap periode
5.2.8.1. Ketebalan lapisan tanah awal Kendala ketebalan lapisan diklasifikasikan menurut fungsi dan kemiringan lahan, yakni terdiri atas: lahan sawah, tegal serta lahan kebun dengan klasifikasi kemiringan I dan II (persamaan 5.17).
Ketebalan lapisan tanah pada awal
periode dari suatu wilayah Sub-sub DPS diasumsikan tidak bervariasi menurut klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan. Hal tersebut dikarenakan data sekunder ketebalan lapisan tanah yang didapat dalam bentuk angka kisaran. Sik(0)
= Soik
i = 1,2, …, 6 dan k = 1,2, …, 5
(5.17)
Dimana Sik (0) ialah ketebalan lapisan tanah pada awal tahun periode dari lahan sawah, tegal dan kebun dengan klasifikasi kemiringan lahan I (≤15%) dan II (>15%) pada Sub-sub DPS ke-k. Sedangkan Soik adalah konstanta ketebalan lapisan tanah. 5.2.8.2. Kondisi kapasitas tampungan waduk Dalam
rangka
menunjang
kelestarian
kapasitas waduk diperta-hankan sepanjang horizon waktu.
waduk, Kapasitas
waduk merupakan penjumlahan antara volume stok air dan sedimen dalam waduk. Kapasitas waduk yang dipertahankan adalah volume pada kondisi tahun pelaksanaan penelitian, yakni tahun 2003.
Selama horizon waktu
(2003 hingga 2020), kapasitas waduk yang dipertahankan setiap tahun sebesar:
Vkp1(t) =
2.64 x 106 m3
Vkp2(t) = 236.12 x 106 m3
(5.18)
Dimana Vkp1(t) dan Vkp2(t) masing-masing adalah kapasitas Waduk Sengguruh dan Sutami. Volume kapasitas yang dipertahankan dalam Waduk Sengguruh tersebut merupakan penjumlahan antara stok air pada elevasi 292.50 m sebanyak 2.32 juta m3 dan stok sedimen sebesar 0.32 juta m3 (Lampiran 9). Sedangkan pada Waduk Sutami, merupakan penjumlahan antara stok air pada tahun 2003 sebesar 175.61 juta m3 dan sedimen yang telah mengisi tampungan mati sebesar 60.51 juta m3.
5.2.8.3. Kondisi awal periode dari stok air dan sedimen serta batas atas stok sedimen Pada persamaan (5.18a) hingga (5.18e) mendiskripsikan rumusan kendala kondisi awal periode horizon stok air dan sedimen dari masing-masing waduk yang didasarkan pada Lampiran 9. Sedimen Waduk Sengguruh akan dikeruk apabila volume stok sedimen melebihi elevasi 2391.50 m ( 1.36 juta m3). Khusus pada Waduk Sutami, stok air dipilah menjadi dua bagian, yakni air yang tersimpan dalam tampungan efektif (Vsa2a) dan yang terdapat pada tampungan mati (Vsa2b). Pemilahan tersebut dimaksudkan untuk menangkap perilaku stok air pada saat tampungan mati belum terisi penuh oleh sedimen. Vsa1(0) = Vsa1(“2003”) =
2.00 x 106 m3
(5.18a)
Vss1(0) = Vss1(“2003”) =
0.32 x 106 m3
(5.18b)
Vsa2 (0) = Vsa2 (“2003”) = 175.61 x 106 m3
(5.18c)
Vsa2b(0) = Vsa2b(“2003”) =
29.49 x 106 m3
(5.18d)
Vss2(0) = Vss2(“2003”) =
60.51 x 106 m3
(5.18e)
Dimana Vsa1(0) dan Vss1(0) ialah volume stok air dan sedimen dalam Waduk Sengguruh pada awal time horizon; Vsa2(0) dan Vss2(0) ialah volume stok air dan sedimen dalam Waduk Sengguruh pada tahun 2003. Berdasarkan rancangan konstruksi, kapasitas tampungan mati Waduk Sutami sebesar 90.0 juta m3. Dengan demikian batas atas stok sedimen setiap periode dapat diformulasikan sebagai berikut: Vss2.UP(t)
=
90.00 x 106 m3
(5.18f)
Vsa2a.FIX(t)
= 146.12 x 106 m3
(5.18g)
Dimana Vss2.UP(t) merupakan batas maksimal stok sedimen setiap periode tahun ke-t. Volume tampungan efektif (Vsa2a) yang dipertahankan selama horizon waktu. 5.2.8.4. Batas debit operasi PLTA
Penentuan batas atas debit operasi PLTA Sengguruh maupun Sutami didasarkan pada debit maksimum turbin sebagaimana yang terdapat pada batasan fasilitas operasi dalam Tabel 4. Batas bawah debit operasi PLTA Sengguruh didasarkan pada inflow terkecil yang terjadi pada tahun 2003. Dengan demikian batas atas dan bawah dari debit operasi adalah: (5.19a) Wo1.UP(t) = 91.50 m3/det (5.19b) Wo1.LO(t) = 19.90 m3/det (5.19c) Wo2.UP(t) = 51.39 m3/det Dimana Wo1.UP(t) dan Wo2.UP(t) merupakan batas atas (maksimum) debit Waduk Sengguruh dan Sutami setiap periode tahun ke-t; Wo1.LO(t) ialah batas bawah debit Waduk Sengguruh setiap periode tahun ke-t. Batas bawah debit tidak diaplikasikan pada Waduk Sutami karena sebagaian besar inflow berasal dari outflow Waduk Sengguruh. 5.2.9. Perubahan parameter Perubahan parameter dimaksudkan untuk memfasilitasi pencapaian tujuan keempat sebagaimana yang telah diuraikan pada sub-bab 1.3.
Skenario
perubahan tingkat harga komoditas dalam model perumusan optimasi dinamik dimaksudkan untuk menangkap kondisi riil dinamika perubahan aktivitas pola tanam optimal yang dipengaruhi oleh perubahan harga komoditas. Hal tersebut didasarkan pada fenomena pengambilan keputusan tingkat mikro (petani) sebagaimana yang diungkapkan oleh Barbier (1995), bahwa ketidakmenentuan
harga output maupun input dapat mempengaruhi pilihan petani pada jenis tanaman praktek budidaya. Perubahan harga komoditas skenario dipilih pada sebagian komoditas tertentu.
untuk kepentingan Pertimbangan yang
menyertai hal tersebut adalah pendapat Burt (1991), bahwa kenaikan yang proporsional seluruh harga komoditas dan biaya akan tidak berdampak pada alokasi optimal intertemporal dari sumberdaya lahan . Skenario atau analisis post optimal terhadap perubahan tingkat bunga dipergunakan untuk mengakses fenomena pengaruh tingkat bunga terhadap total PV dari manfaat bersih dalam keseluruhan horizon waktu maupun tambahan nilai sekarang dari manfaat bersih setiap periode tahun.
Hal tersebut didasarkan
pada pandangan Randall (1981) bahwa hubungan antara perubahan tingkat bunga dan perubahan nilai sekarang manfaat bersih akan mempengaruhi keputusan pemilihan aktivitas alokasi sumberdaya lintas waktu. Pengurangan luas lahan hutan produktif dan menambah hutan penyangga dimaksudkan untuk menangkap perilaku kecepatan pendangkalan waduk dari dimensi waktu.
VI. METODE PENELITIAN
6.1. Daerah Penelitian Lokasi kajian ditentukan secara sengaja (purposive) di bagian hulu Bendungan Sutami dan Sengguruh yang berada di Wilayah Propinsi Jawa Timur, dengan dasar pertimbangan: 1. Waduk Sutami merupakan waduk utama dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas. 2. Waduk Sengguruh (yang dibangun tahun 1988 dan terletak di sebelah hulu Waduk Sutami) dimaksudkan sebagai penangkapan sedimen dari bagian hulu DAS Kali Brantas, sehingga kedua waduk tersebut merupakan satu kesatuan. 3. Kedua waduk tersebut memenuhi kriteria multiguna, yakni berfungsi sebagai penyedia air untuk pembangkit tenaga listrik, suplai air baku untuk domestik dan industri, serta untuk usaha pertanian dalam arti luas. Daerah tangkapan air Waduk Sutami dan Sengguruh meliputi wilayah Sub-sub DAS Bango, Sumber Brantas, Amprong, Lesti, dan Metro. Wilayah DAS Brantas Hulu terdiri atas zona: dataran vulkan serta terdapat beragam kelerengan (lereng atas, lereng tengah dan lereng bawah). Setiap sub-sub DAS meliputi beberapa wilayah administrasi kecamatan, maka dalam rangka pengumpulan data tingkat petani akan ditentukan wilayah kecamatan secara sengaja (purposive). Dengan demikian, maka kecamatan dan desa dipilih secara sengaja pada wilayah yang memiliki keragaman zona dan spesifik biofisik. Lokasi bendungan dapat diikuti pada Gambar 7.
Gambar 7. Lokasi Daerah Tangkapan Air Waduk Sutami dan Sengguruh
6.2. Metode Pengumpulan Data Menurut jenis ketersediaannya, data yang dikumpulkan terdiri atas data sekunder dan data primer. Data sekunder dikumpulkan dari lembaga/instansi yang terkait mulai dari tingkat desa sampai dengan tingkat propinsi; serta digali pada pusat-pusat penelitian yang terkait dan dalam bentuk laporan-laporan penelitian atau kajian.
Instansi sumber data sekunder dari Daerah Tingkat I
Propinsi Jawa Timur ialah: Balai Pengelola DAS Brantas.
Beberapa instansi
yang berada di Wilayah Daerah Tingkat II Kota Madya dan Kabupaten Malang ialah Dinas Kehutanan dan Konservasi Lahan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Kantor Statistik. Adapun lembaga lain yang terkait diantaranya: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya, Laboratorium Fisika Tanah pada Jurusan Tanah dan Pemupukan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Jurusan Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Perum Jasa Tirta I, Unit Pembangkitan (UP) Brantas; serta Kantor Unit Pelaksana Fungsional = UPTF (nama baru dari BPP = Balai Penyuluhan Pertanian) di kecamatan contoh. Data luas lahan, karakteristik hidrologi dan geografi dikumpulkan dari Balai Pengelola DAS Brantas. Sedangkan jenis tanaman dan pola tanam diperoleh dari interpretasi Citra Satelit Landsat 7 ETM tahun 2001 pada Laboratorium Fisika Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Data sedimentasi, pola operasi waduk dan investasi bangunan fisik bendungan dan waduk dikumpulkan dari Kantor Perum Jasa Tirta I. Data harga dan produksi listrik diperoleh dari Kantor Unit Pembangkitan (UP) Brantas. Sementara itu, data primer yang bersifat kualitatif digali dengan menerapkan metode: diskusi kelompok sasaran (Focus Group Discussion atau FGD); survei kepada responden contoh dengan wawancara terstruktur, dan
wawancara bebas kepada key informan. Data primer yang terkait dengan pola tanam dikumpulkan dari survei dengan teknik wawancara terstruktur kepada responden contoh rumah tangga petani.
6.3. Teknik Pengambilan Contoh Informasi biaya dan penerimaan dari pengelolaan lahan budidaya intensif dikumpulkan dari rumah tangga petani. Penentuan rumah tangga petani contoh ditentukan berdasarkan teknik pengumpulan contoh secara berlapis/berjenjang (Cluster Sampling Method). Pengambilan rumah tangga petani contoh diawali dengan penentuan kecamatan contoh.
Dari setiap Sub-sub DAS dipilih secara sengaja beberapa
kecamatan dengan kriteria memiliki wilayah yang paling luas dan mempunyai keragaman zona agroekologi.
Aspek teknis yang diperhatikan adalah bahan
induk batuan, topografi dan kelerengan. Klasifikasi kemiringan lahan adalah: (1) kurang dari 8%, (2) 8 – 16%, (3) 16 – 30%, (4) lebih besar dari 30%. Pemilihan kecamatan contoh tersebut didasarkan hasil diskusi dengan key person dari laboratorium Fisika Tanah pada Jurusan Ilmu Tanah dan Pemupukan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Jumlah kecamatan contoh ditentukan secara sengaja
dengan
pertimbangan
heterogenitas
pola
tanam
dan
zona
agroekosistem. Jumlah dan lokasi kecamatan contoh disajikan pada lampiran 10. Tahap selanjutnya, ditentukan desa contoh secara sengaja; yakni desa yang mempunyai lahan terluas dengan pola tanam dan kemiringan yang paling beragam. Setiap desa dipilih lima hingga sepuluh rumah tangga responden berdasarkan pola tanam dominan yang mewakili kemiringan lahan.
Apabila
suatu rumah tangga memiliki lebih dari satu jenis lahan, maka dari satu rumah tangga contoh digali beberapa pola tanam menurut jenis penggunaan lahannya. Dengan demikian satu rumah tangga dapat mewakili lebih dari satu pola tanam.
Pemilihan desa dan rumah tangga petani contoh didasarkan FGD dari petugas BPP dan Perangkat Desa. Dengan demikian responden diharapkan dapat mewakili komonitas desa menurut zona agroekosistem yang terdapat pada masing-masing sub-DAS. Jumlah responden rumah tangga menurut wilayah Sub-sub DAS dapat dilihat pada Lampiran 10.
6.4. Metode Analisis Perumusan operasional pemecahan problem optimisi program dinamik didasarkan pada kerangka model konseptual baik yang disajikan dalam bentuk skema (Gambar 6) maupun dalam bentuk rumusan matematik sebagaimana yang telah diuraikan pada sub-bab 5.2. Variabel keputusan adalah aktivitas pola tanam menurut fungsi dan kemiringan lahan (ha). Aktivitas produksi merupakan paket pola tanam dengan pola pergiliran tanaman semusim dan tanaman tunggal tanaman tahunan. Paket pola tanam yang dipertimbangkan dalam perumusan problem optimasi dinamik dipilih secara sengaja dengan kriteria: (1) mempunyai sebaran relatif merata di seluruh wilayah Sub-sub DAS, serta (2) komoditas spesifik
agroekologi yang mempunyai potensi dikembangkan, yaitu apel dan
jeruk. Dari empat tanaman tahunan serta tiga tanaman pangan maupun tanaman sayuran yang ditetapkan, secara lengkap didapatkan 25 alternatif paket pola tanam sebagaimana yang disajikan pada Tabel 13. Secara operasional notasi variabel keputusan yang terkait dengan lahan budidaya intensif adalah Xijk. Pada keseluruhan Sub-sub DAS tersebar alternatif variabel keputusan paket pola tanam sebanyak 73 unit (Tabel 13). Pada Sub-sub DAS Sumber Brantas terdapat paket pola tanam dengan jumlah paling banyak (19) dan paling sedikit pada Sub-sub DAS Amprong dengan jumlah 11 paket pola tanam.
Tabel 13.
Notasi Luas Areal Optimal Lahan Budidaya Intensif Menurut Sub-Sub DAS, Komoditas/Pola Tanam, Klasifikasi Fungsi dan Kemiringan Lahan
Fs. Lahan, Klasifikasi kelerengan Pola tanam Sawah I (0 – 15%) − Pd-Pd-Pd − Pd-Pd-Jg − Pd-Pd-Sy − Tebu Sawah II (> 15%) − Pd-Pd-Jg − Pd-Pd-Sy − Tebu − Jeruk Tegal I (0 – 15%) − Jg-Jg-Sy − Pd-Jg-Kacang Tnh − Kentang-Wortel − Tebu Tegal II (> 15%) − Jg-Jg-Sy − Pd-Jg-Kacang Tnh − Kentang-Wortel − Tebu − Apel Kebun I (0 – 15%) − Tebu − Apel − Jeruk − Kopi Kebun II ( > 15%) − Tebu − Apel − Jeruk − Kopi Keterangan: *) B = Bango, L = Lesti,
Sub-Daerah Aliran Sungai/DAS (k)*) Notasi (i) (j) B S A L M 1 X1j1 X1j2 X1j3 X1j4 X1j5 1 X111 X112 X113 X11$ X115 2 X121 X122 X123 X124 X125 3 X131 X132 X134 X135 4 X141 X142 X143 X144 X145 2 X2j2 X2j5 5 X252 X255 6 X262 7 X272 X275 8 X282 X285 3 X3j1 X3j2 X3j3 X3j4 X3j5 9 X391 X392 X393 X394 X395 10 X3101 X3102 X3103 X3104 X3105 11 X3111 X3112 12 X3121 X3122 X3123 X3124 X3125 4 X4j1 X4j2 X4j4 X4j5 X4134 X4135 13 X4132 X4142 X4144 14 X4141 15 X4152 X4164 X4165 16 X4161 17 X4172 5 X5j1 X5j2 X5j3 X5j4 X5j5 X5182 X5183 X5184 X5185 18 X5181 X5192 19 X5191 20 X4205 X5214 21 X5213 6 X6j1 X6j2 X6j3 X6j4 X6j5 22 X6221 X6223 X6224 X6225 23 X6231 X6232 X6233 24 X6242 X6245 25 X6253 X6254 S = Sumber Brantas, A = Amprong, M = Metro,
6.4.1. Model perumusan optimasi dinamik Memaksimalkan PV manfaat bersih sosial (persamaan 5.11) melalui pemilihan aktivitas pola tanam (Xijk(t)) dan pengaturan debit outflow dari waduk yang masuk ke turbin (Wol (t)) pada setiap periode (tahun) dengan kendala yang disajikan pada Tabel 14. Kendala pertama adalah persamaan transisi yang mengambarkan perubahan state variable yang terkait dengan variabel waktu;
Fungsi Tujuan DTA Waduk Sutami-Sengguruh:
Maksimasi
( X ijk ( t ),Sik ( t ),Wol ( t ),Vl ( t ))
MSB (Xijk(t), Sik(t), Wol(t), Vkpl(t)) =
(
)
⎧⎡ 6 25 5 ⎫ ⎤ S X ijk (t ) ∗ Pc (t ) ∗ (ai + b1i (1 − R ijk ) − CFij ⎥ + 2 ∗ PE 1 ∗ {1.22 ∗ Wo1 (t )} + 3 ∗ PE 2 ∗ {2.46 ∗ Wo 2 (t )} + ⎪ t ⎪ ⎢ ∑∑∑ ρ ⎨⎣ i =1 j =1 k =1 ⎦ ⎬ ∑ t =1 ⎪9.07 ∗ PI ∗ Wo (t ) + 0.65 ∗ PM ∗ Wo (t ) − CK ∗Vks (t ) ⎪ 2 2 1 ⎩ ⎭ T −1
⎧⎪⎡ ⎛ ⎤ ⎫⎪ V (T ) ⎞⎤ ⎡Vsa 2 (T ) ⎟⎟⎥ + ⎢ + ρ T ⎨⎢PE 2 ∗ ⎜⎜ 6741.87 ∗ sa 2 ∗ (0.2875 ∗ PI + 0.0206 ∗ PM )⎥ ⎬ cv 2 ⎠⎦ ⎣ cv 2 ⎪⎩⎣ ⎝ ⎦ ⎪⎭ (6.1) Terkendala : 1. Ketebalan lapisan atas tanah (soil depth) Sijk(t+1) – Sijk(t) = −
eijk 150
(t ) ,
(6.2)
2. Keseimbangan Waduk Sengguruh a. Kapasitas tampungan
Vkp1(t+1) ≤
4 2 4 ⎧ 6 25 4 ⎫ Vsa1 (t ) + ⎨∑ ∑ ∑ d sk ∗ X ijk (t ) + ∑ ∑ ∑ d sk ∗ Lijk (t )⎬ − 31.53 ∗ Wo1 (t ) + Vss1 (t ) + i =1 j =1 k =1 ⎩ i =1 j =1 k =1 ⎭
⎧⎡ 6 25 4 ⎤ ⎡4 2 4 ⎤⎫ 0.4 ∗ KVS ∗ ⎨⎢∑∑∑ (SDR k ∗ X ijk (t ) ∗ eijk )⎥ + ⎢∑ ∑ ∑ (SDR k ∗ Lijk (t ) ∗ E ijk )⎥ ⎬ − Vks1 (t ) ⎦ ⎣ i =1 j =1 k =1 ⎦⎭ ⎩⎣ i =1 j =1 k =1
(6.3a)
b. Volume stok sedimen
⎧⎡
6
25
⎤ ⎦
4
6
25
⎫
4
Vss1(t+1) = Vss1(t) + 0.4 ∗ KVS ∗ ⎨⎢∑∑∑ SDR k ∗ X ijk (t ) ∗ eijk ⎥ + ∑∑∑ SDR k ∗ Lijk (t ) ∗ E ijk ⎬ – Vks1(t)
⎩⎣ i =1
j =1 k =1
⎭
i =1 j =1 k =1
(6.3b)
c. Volume stok air Vsa1(t) = Vkp1(t) – Vss1(t)
(6.3c)
3. Keseimbangan Waduk Sutami a. K apasitas tampungan
⎛ 6 25 ⎞ Vsa2 (t ) + (31.53 ∗ Wo1(t )) + ⎜ ∑ ∑ d s 5 ∗ X ij 5 ⎟ − (31.53 ∗ Wo2 (t )) + Vss2 (t ) − ⎝ i =1 j =1 ⎠ ⎧⎡
6
25
⎤ ⎦
4
⎡4 ⎣ i =1
2
⎤⎫ ⎦⎭
4
Vkp2(t+1) = 0.58 ∗ KVS ∗ ⎨⎢∑ ∑ ∑ SDRk * X ijk (t ) ∗ eijk ⎥ + ⎢∑ ∑ ∑ SDRk * Lijk (t ) ∗ Eijk ⎥ ⎬ −
⎩ ⎣ i =1
j =1 k =1
j =1 k =1
(6.4a)
⎧⎡ 6 29 ⎫ ⎤ 4 2 0.93 ∗ KVS ∗ ⎨⎢∑ ∑ SDR5 ∗ X ij 5 (t ) ∗ eij 5 ⎥ + ∑ ∑ SDR5 ∗ Lij 5 (t ) ∗ Eij 5 ⎬ ⎦ i =1 j =1 ⎩ ⎣ i =1 j =1 ⎭ b. Volume stok sedimen
⎧⎡
6
25
4
⎤ ⎦
6
25
4
⎫
Vss2(t+1) = Vss2(t) + 0.58 ∗ KVS ∗ ⎨⎢∑∑∑ SDR k ∗ X ijk (t ) ∗ eijk ⎥ + ∑ ∑ ∑ SDR k ∗ Lijk (t ) ∗ E ijk ⎬ +
⎩⎣ i =1
j =1 k =1
i =1 j =1 k =1
⎧⎡ 6 25 ⎫ ⎤ 6 25 0.93 ∗ KVS ∗ ⎨⎢∑∑ SDR 5 ∗ X ij 5 (t ) ∗ eij 5 ⎥ + ∑ ∑ SDR 5 ∗ Lij 5 (t ) ∗ E ij 5 ⎬ ⎦ i =1 j =1 ⎩⎣ i =1 j =1 ⎭
⎭
(6.4b)
c. Volume stok air Vsa2(t) = Vsa2a(t) + Vsa2b(t)
(6.4c)
4. Ketersediaan lahan 8
4
∑
j =1
∑
X1jk(t) ≤ TL1k (t),
j =5
17
12
∑ j =9
X3jk(t) ≤ TL3k (t),
∑
X5jk(t) ≤ TL5k (t),
∑
j =13
21
∑
j =18
X2jk(t) ≤ TL2k (t), X4jk(t) ≤ TL4k (t),
(6.5)
25
j = 22
X6jk(t) ≤ TL6k (t),
5. Persamaan a. Kondisi awal periode Sik(0) = Siko, Vsa1(0) = 2.00 x 106 m3 , Vss1(0) = 0.32 x 106 m3, 6
3
6
3
(6.6a) 6
3
Vsa2a(0) = 175.61 x 10 m , Vsa2b(0) = 29.49 x 10 m , Vss2(0) = 60.51 x 10 m b. Kondisi yang dipertahankan Vkp1(t) =
2.64 x 106 m3, Vkp2(t) = 236.12 x 106 m3
(6.6b)
c. Batas bawah dan atas Wo1.LO(t) = 19.90 m3/det , Wo1.UP(t) = 91.50 m3/det, 3
6
(6.6c) 3
Wo2.UP(t) = 51.39 m /det, Vss2.UP(t) = 90.00 x 10 m
yakni ketebalan lapisan atas tanah (persamaan 6.2). Kendala kedua dan ketiga ialah keseimbangan Waduk Sengguruh dan Sutami (persamaan 6.3 dan 6.4); yang meliputi: (1) persamaan transisi kapasitas waduk, (2) persamaan transisi stok sedimen, dan (3) persamaan kondisi stok air. Berikutnya adalah kendala ketidaksamaan ketersediaan luas areal (persamaan 6.5), kondisi awal dan kondisi yang dipertahankan sampai akhir horizon waktu (persamaan 6.6), serta batas bawah dan atas variabel keputusan outflow dan stok sedimen.
6.4.2. Fungsi Lagrange Pemecahan alokasi optimal dari rumusan fungsi tujuan dan kendala transisi pada persamaan (6.1) hingga (6.6), didasarkan pada persamaan PV Langrange sebagai berikut: L(Xijk(t), Sik(t), Wol(t), Vl(t), K(t), Λ(t), M(t),t)) = T −1
∑
MSB(t) (⋅) + ρλ1ijk(t+1)[Sik(t) – z(⋅) – Sik(t+1)] + ρλ2(t+1) [Vkp1(t) + f(⋅) – Vkp1(t+1)]
t =1
+ ρλ3(t+1) [Vss1(t) + g(⋅) – Vss1(t+1)] + ρλ4(t+1) [Vkp2(t) + h(⋅) – Vkp2(t+1)] + ρλ5(t+1) [Vss2(t) + p(⋅) – Vss2(t+1)] + ρμ1 {TL1k(t) –
4
∑
X1jk(t)} + ρμ2 {TL2k(t) –
j =1
+ ρμ3 {TL3k(t) –
12
∑ 21
∑
j =17
+ ρT Vsa2(⋅) (6.7)
X2jk(t)}
j =5
X3jk(t) } + ρμ4 {TL4k(t) –
j =9
+ ρμ5 {TL5k(t) –
8
∑ 17
∑
X4k(t)}
j =13
X5jk(t) } + ρμ6 {TL6k(t) –
25
∑
j = 22
X6k(t)}
Dimana ρ adalah tingkat faktor diskonto (discount factor); MSB (⋅) merupakan manfaat bersih tahunan; Λ(t) adalah vektor pengganda yang terkait dengan state variable [λ1(t) . . . λ5(t)]; M(t) adalah vektor pengganda Lagrange yang terkait dengan kendala konstanta luas lahan, yaitu μ1 hingga μ6. Sedangkan f(⋅) dan h(⋅) adalah persamaan perubahan kapasitas tampungan Waduk Sengguruh dan Sutami; serta g(⋅) dan p(⋅) merupakan persamaan kendala konstanta perubahan stok sedimen dalam Waduk Sengguruh dan Sutami. Dalam f(⋅) dan h(⋅) terdapat variabel kontrol Xijk(t), eik(t) dan Wol(t); sedangkan pada
g(⋅) dan p(⋅) hanya
terdapat variabel Xijk(t) dan eik(t). Adapun Vsa2(⋅) adalah nilai air yang tertahan dalam Waduk
Sutami pada akhir horizon waktu.
6.4.3. Present value dari fungsi Hamilton ~ Η (Xijk(t), Sik(t), Wol(t),Vl(t), K(t), Λ(t),t) = MSBt(⋅) – ρλ1ijk(t+1) z(⋅) + ρλ2(t+1) f(⋅) + ρλ3(t+1) g(⋅) + ρλ4(t+1) h(⋅) + ρλ5(t+1) p(⋅)
(6.8)
Dimana λ1(t+1), λ2(t+1) dan λ4(t+1) merupakan user cost yang terkait dengan state variabel kedalaman tanah (soil depth = SD), kapasitas tampung Waduk Sengguruh dan Sutami. Sementara itu, λ3(t+1) dan λ5(t+1) merupakan pengganda Lagrange yang terkait dengan kendala transisi stok sedimen dalam Waduk Sengguruh dan Sutami.
6.4.4. Kondisi optimal Alokasi optimal dinamik dan intertemporal didasarkan pada kondisi turunan pertama (first order condition = FOC) dari formula umum yang telah disajikan pada persamaan (6.1) yang berkaitan dengan variabel kontrol (decision variable) dan state variable. Kondisi turunan pertama untuk mencapai manfaat sosial bersih maksimal daerah tangkapan air (DTA) selanjutnya dipergunakan
sebagai dasar untuk menentukan biaya on-site maupun off-site erosi.
Dari
perumusan pemecahan optimasi dinamik pada persamaan (6.1) didapatkan kondisi FOC dari masing-masing variabel kontrol dan state variable sebagai berikut: A. Variabel Kontrol a. luas lahan sawah klasifikasi kemiringan I: X1jk (t)
∂L = ρ ∂X 1 jk (t )
C
∑ PC c =1
y (⋅) + ρ λ2(t+1)
c
+ ρ λ4(t+1)
∂f (⋅) ∂g (⋅) + ρ λ3(t+1) ∂X 1 jk (t ) ∂X 1 jk (t )
∂h(⋅) ∂X 1 jk (t )
+ ρ λ5(t+1)
∂p(⋅) ∂X 1 jk (t )
–ρ
μ1k(t) = 0 ⇔ρ μ1k(t) = ρ
C
∑ PC c =1
c
y (⋅) + ρ λ2(t+1)
+ ρ λ4(t+1) ⇒ μ1k(t) =
C
∑ PC c =1
c
∂h(⋅) ∂X 1 jk (t )
y (⋅) + λ2(t+1)
+ λ4(t+1)
∂h(⋅) ∂X 1 jk (t )
∂f (⋅) ∂g (⋅) + ρ λ3(t+1) ∂X 1 jk (t ) ∂X 1 jk (t )
+ ρ λ5(t+1)
∂p(⋅) ∂X 1 jk (t )
∂f (⋅) ∂g (⋅) + λ3(t+1) ∂X 1 jk (t ) ∂X 1 jk (t )
+ λ5(t+1)
∂p(⋅) ∂X 1 jk (t )
(6.9) Dimana μ1k(t) adalah harga bayangan (shadow price) per hektar lahan sawah klasifikasi kemiringan I (0-15%) di wilayah Sub-sub DAS ke-k pada periode ke-t; PCc y1jk (⋅) merupakan tambahan manfaat bersih (marginal net benefit) DTA dari setiap hektar lahan sawah I dengan pola tanam ke-j di wilayah Sub-sub DAS kek; λ2(t+1) dan λ4(t+1) masing-masing ialah harga bayangan atau opportunity cost dari kapasitas tampungan Waduk Sengguruh (SG) dan Sutami (ST) pada periode (t+1) karena perubahan satu meter kubik kapasitas tampungan waduk pada periode t; ∂f/∂X1jk(t) dan ∂h/∂X1jk(t) merupakan perubahan kapasitas tampungan Waduk SG dan ST karena perubahan satu hektar lahan sawah klasifikasi
kemiringan I dengan pola tanam ke-j di wilayah Sub-sub DAS ke-k aktivitas periode t; λ3(t+1) dan λ5(t+1) masing-masing adalah harga bayangan dari stok sedimen pada Waduk SG dan ST pada periode (t+1) karena perubahan satu m3 stok sedimen dalam Waduk SG dan ST pada periode t; ∂g/∂X1jk(t) dan ∂p/∂X1jk(t) masing-masing ialah perubahan volume sedimen yang tertahan dalam Waduk SG dan ST karena perubahan satu hektar lahan sawah klasifikasi kemiringan I dengan pola tanam ke-j di wilayah Sub-sub DAS ke-k aktivitas periode t.
Dari
persamaan fungsi tujuan dan kendala transisi pada persamaan (6.1) hingga (6.6) didapatkan besaran pengaruh perubahan setiap unit lahan sawah I terhadap perubahan kapasitas tampungan waduk dan volume sedimen sebagai berikut: ∂f/∂X1jk(t)
= dsk – 0.4∗KVS∗SDRk∗e1jk
(6.10a)
∂h/∂X1jk(t) = dsk – 0.58 ∗KVS∗SDRk∗e1jk + ds5 – 0.93 ∗KVS∗SDR5∗e1j5
(6.10b)
∂g/∂X1jk(t) = 0.4∗KVS∗SDRk∗e1jk
(6.10c)
∂p/∂X1jk(t) = 0.58 ∗KVS∗SDRk∗e1jk + 0.93 ∗KVS∗SDR5∗e1j5
(6.10d)
Dimana dsk merupakan sumbangan per hektar lahan dari wilayah Sub-sub DAS ke-k terhadap volume inflow waduk; KVS adalah konversi dari massa sedimen potensial menjadi volume sedimen riil; SDR ialah rasio tranportasi sedimen dari wilayah Sub-sub DAS ke-k; dan e1jk merupakan tingkat erosi lahan sawah klasifikasi kemiringan I dengan paket pola tanam ke-j di wilayah Sub-sub DAS ke-k. Dengan cara yang sama dapat ditentukan harga bayangan untuk klasifikasi fungsi lahan yang lain.
Sub-sub DAS Metro ditunjukan oleh subscript 5,
sedangkan k menunjukan empat sub-sub DAS yang lain.
Persamaan (6.10)
mencerminkan perubahan kapasitas tampungan karena perubahan setiap unit luas areal paket pola tanam, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
b. Volume operasi PLTA
∂L = (1.22) 2 ρ PE1 – (31.53) ρ λ2 (t+1) + (31.53)ρ λ4(t+1) = 0 ∂Wo1 (t ) ⇒ λ2 (t+1) – λ4(t+1) = 2.44/31.53 PE1
(6.11a)
∂L = ρ {(2.46) 3 PE2 + 9.07 PI + 0.65 PM} – (31.53)ρ λ4(t+1) = 0 ∂Wo 2 (t ) ⇒ λ4(t+1) = 1/31.53 {7.38 PE2 + 9.07 PI + 0.65 PM}
(6.11b)
Dengan mensubstitusikan persamaan (6.5b) ke persamaan (6.11a), maka didapatkan : λ2 (t+1) = 1/31.53 {2.44 PE1+7.38 PE2 + 9.07 PI + 0.65 PM}
(6.11c)
Dimana Wo1(t) dan Wo2(t) masing-masing adalah debit operasional PLTA Sengguruh dan Sutami; PE1 dan PE2 ialah harga daya listrik; adapun PI dan PM merupakan harga air waduk untuk pengairan dan industri; sedangkan λ2 (t+1) dan λ4 (t+1) seperti yang dijelaskan pada persamaan (6.10).
c. Sedimen yang dikeruk ∂L ∂g (⋅) = – CK + λ3 (t+1) =0 ∂Vks1 (t ) ∂Vks1 (t ) ⇒ λ3 (t+1)
∂g (⋅) = CK ∂Vks1 (t )
(6.11d)
Dimana λ3 (t+1) merupakan harga bayangan dari sedimen yang tertahan dalam Waduk Sengguruh dan CK adalah biaya pengerukan sedimen stiap m3. Dari persamaan kendala transisi kapasitas Waduk Sengguruh pada persamaan (6.3a), didapatkan ∂g/∂Vks1 (t) = – 1; sehingga diperoleh besaran – λ3(t+1) = CK.
Kondisi tersebut dapat diinterpretasikan bahwa biaya per unit volume
sedimen yang tertahan dalam Waduk Sengguruh sebesar biaya pengerukannya.
B. State Variable a. Ketebalan lapisan tanah (soil depth) C ∂y (⋅) ∂z(⋅) ∂L +ρ λ1ijk(t+1){1 – } –ρ λ1ijk(t) = 0 = ρ Xijk(t) ∑ PC c (t ) ∂S ijk (t ) ∂S ijk (t ) ∂S ijk (t ) c =1
⇒ λ1ijk(t+1) –λ1ijk (t) = λ1ijk(t+1)
∂z(⋅) – Xijk(t) ∂S ijk (t )
C
∑ PC c =1
c
(t )
∂y (⋅) ∂S ijk (t )
(6.12a)
Dimana persamaan di sebelah kiri tanda sama dengan pada persamaan (6.12a) merupakan perubahan harga bayangan (incremental of shadow price) dari SD antara periode (t+1) dan periode t dari setiap pola tanam ke-j pada klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i di wilayah Sub-sub DAS ke-k; λ1jk(t+1) merupakan harga bayangan dari SD pada periode (t+1) karena SL dari klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i akibat aktivitas paket pola tanam ke-j di wilayah Sub-sub DAS ke-k pada periode t.
Besaran ∂z(⋅)/∂Sijk(t) adalah perubahan SD
yang terjadi pada periode t; dan ∂y(⋅)/∂Sijk(t) ialah produk fisik marjinal (marginal physical product) dari setiap komoditas yang menyusun paket pola tanam ke-j pada klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i di wilayah Sub-sub DAS ke-k pada periode t. Adapun Xijk(t) ialah luas lahan aktivitas pola tanam optimal pada periode ke-t; dan PC adalah harga komoditas. b. Kapasitas tampungan waduk
∂L ∂f (⋅) = ρ λ2(t+1) [1 + ] – ρ λ2(t) – ρμ7(t) = 0 ∂Vkp1 (t ) ∂Vkp1(t ) ⇒ λ2(t+1) – λ2(t) = – λ2(t+1)
∂f (⋅) ∂Vkp1 (t )
(6.12b)
∂L ∂h(⋅) = ρ λ4(t+1) [1 + ] – ρ λ4(t) = 0 ∂Vkp2 (t ) ∂Vkp2 (t ) ⇒ λ4(t+1) – λ4(t) = – λ4(t+1)
∂h(⋅) + ρμ8(t) ∂Vkp 2 (t )
(6.12c)
Dimana formula di sebelah kiri tanda sama dengan persamaan (6.12b) dan (6.12c) adalah merupakan perubahan harga bayangan dari kapasitas Waduk SG maupun ST antara periode (t+1) dan periode t.
Besaran ∂f(⋅)/∂Vkps1(t) dan
∂h(⋅)/∂Vkps2(t) masing-masing adalah perubahan kapasitas tampungan Waduk SG dan ST yang terjadi pada periode t; adapun ρμ7(t) dan ρμ8(t) ialah harga bayangan air yang tersimpan dalam Waduk SG dan ST pada periode t . Operasional optimasi MODEL–DTA dianalisis dengan perangkat lunak (software) GAMS MINOS versi DOS Release 2.25.
Formulasi pernyataan
bahasa GAMS dikembangkan dari pola dasar perumusan program GAMS pada The Model of Integrated Surface and Ground Water Management in Jakarta Region yang disusun oleh Syaukat (2000). Program optimasi dinamik MODEL– DTA disajikan pada Lampiran 12 yang dibangun dari rumusan rinci dari
persamaan (6.1) hingga (6.6) sebagaimana yang disajikan pada Lampiran 11. Deskripsi keputusan paket pola tanam optimal didasarkan pada besaran yang terdapat dalam kolom “LEVEL” dari variabel keputusan yang terdapat pada hasil analisis pemecahan dengan program GAMS (output GAMS).
Harga
bayangan ketebalan lapisan tanah atau UCSE didasarkan pada nominal yang terdapat dalam kolom “MARGINAL” output GAMS dari persamaan (equation) ketebalan lapisan tanah, khususnya pada paket pola tanam optimal. Valuasi ekonomi erosi off-site didasarkan pada kolom “MARGINAL” dari persamaan kapasitas waduk. Hasil pendugaan yang terdapat pada “MARGINAL” output GAMS dari persamaan ketebalan lapisan tanah merupakan harga bayangan dari total lahan optimal, sehingga untuk mendapatkan valuasi ekonomi setiap unit ketebalan lapisan tanah yang hilang (USCE) per hektar (Rp/cm/ha) adalah dengan membagi antara besaran yang berada pada kolom “MARGINAL” output GAMS dengan total lahan optimal.
6.5. Penentuan Besaran Variabel dan Koefisien 6.5.1. Koefisien fungsi respon produksi-soil depth Pendugaan parameter a dan b1 pada fungsi produksi komoditas diperoleh dari hasil analisis regresi sederhana. Variabel tidak bebas (explanatory variable) adalah tingkat erosi setiap paket pola tanam yang menjadi variabel keputusan; sedangkan tingkat produksi merupakan variabel tidak bebas (dependent variable). Data tingkat produksi merupakan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara (sub-bab 6.2); data tingkat erosi merupakan hasil perhitungan (persamaan 6.13) dari data sekunder. Besaran parameter respon SD terhadap produksi, R, ditentukan secara sengaja yang didasarkan pada pengalaman peneliti lain seperti yang terdapat pada persamaan (4.7) sampai dengan persamaan (4.9). Besaran (magnitude) R dari komoditas dengan erosi tinggi (tanaman sayuran) adalah 0.99;
untuk
komoditas dengan erosi sedang (tanaman pangan) berkisar antara 0.95 hingga 0.96. Pada tanaman dengan erosi rendah (tanaman tahunan) sebesar 0.95. Upaya-upaya tersebut terpaksa dilakukan karena untuk mendapatkan besaran parameter fungsi respon produksi-soil depth dari hasil kajian aspek teknis relatif sulit, bahkan tidak tersedia. 6.5.2. Harga air untuk irigasi
Pendugaan harga air untuk pengairan (PI) didasarkan pada rata-rata produksi selama tahun 1998 hingga 2002; rata-rata produksi padi sawah dan tegal adalah sebesar 58.94 ton/ha dan 35.01 ton/ha. Rata-rata kebutuhan air irigasi padi sawah di wilayah hilir bendung Mrican sebesar 15 000 m3/ha (hasil perhitungan juru pengairan). Dengan mengaplikasikan persamaan (5.4), hasil pendugaan dapat dilihat pada Lampiran 7 baris kesatu.
6.5.3. Sumbangan outflow Waduk Sutami terhadap pengairan dan industri Perhitungan besarnya sumbangan outflow Waduk Sutami terhadap debit irigasi maupun industri didasarkan pada debit penggunaan outflow bendung Mrican. Dasar pertimbangan yang menyertai adalah: (1) jumlah intake irigasi maupun debit irigasi terbesar terjadi pada bendung Mrican, (2) kebutuhan air irigasi untuk wilayah Wlingi Blitar dapat dipenuhi dari remaining basin, yang dicerminkan dari kondisi debit untuk pengairan lebih kecil daripada inflow remaining basin-nya, dan (3) kebutuhan air irigasi untuk wilayah Tulungagung dipenuhi dari daerah tangkapan air setempat dan outflow dari Waduk Wonorejo. Berdasarkan kuantitas total air irigasi di wilayah DAS kali Brantas dan total debit outflow Waduk Sutami tahun 2002, maka besarnya sumbangan outflow Sutami terhadap air baku untuk pengairan sebanyak 28.75%.
Besarnya
persentase sumbangan outflow Waduk Sutami terhadap debit irigasi maupun industri diperoleh dengan cara mengalikan antara persentase debit irigasi maupun industri terhadap debit inflow bendung Mrican dengan persentase outflow Sutami terhadap inflow bendung Mrican (Lampiran 7 baris ke-2). 6.5.4. Biaya pengerukan per unit
Biaya pengerukan per m3 sedimen didekati dengan nilai riil (terdeflasi) hasil perhitungan PERUM Jasa Tirta I (1998) yang dilakukan pada tahun 1998. Besarnya biaya pengerukan pada tahun 1998 sebesar Rp 4 500/m3. Dengan menggunakan indeks harga konsumen tahun dasar 2003, besarnya biaya pengerukan menjadi Rp 7 517.23/m3.
6.5.5. Pendugaan tingkat erosi
Besarnya tingkat erosi setiap pola tanam (Eijk atau eijk) diestimasi dengan metode USLE (The Universal Soil Loss Equation) sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) dalam Ward and Elliot (1995). Eijk = R K LS Cijk Pijk Dimana
(6.13)
Eijk adalah tingkat erosi setiap tahun (ton/th) dari fungsi lahan non
budidaya intensif pada klasifikasi kemiringan ke-j dan lokasi Sub-sub DAS ke-k; eijk merupakan tingkat erosi setiap tahun (ton/th) dari aktivitas komoditas atau pola tanam ke-i dengan klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-j pada Subsub DAS ke-k; R dan K adalah indeks erosivitas hujan dan faktor erodibilitas tanah; LS merupakan faktor kemiringan dan panjang lereng; Cijk ialah faktor pengelolaan penutup (vegetasi) pada paket pola tanam menurut jenis penggunaan dan kemiringan lahan; dan Pijk adalah faktor penerapan konservasi pada paket pola tanam menurut jenis penggunaan dan kemiringan lahan.
6.5.6. Pendugaan sumbangan lahan terhadap inflow air Sumbangan per hektar lahan terhadap inflow dari air masing-masing Subsub DAS didekati dengan proporsi lahan terhadap rata-rata debit inflow bulanan yang masuk dalam tahun 2002/2003. Rumusan dan hasil pendugaan
dapat
diikuti pada Lampiran 7 baris ke-3 dan ke-4. 6.5.7. Koefisien penyesuaian massa sedimen Besaran pendugaan koefisien kp diperoleh dari rata-rata rasio antara massa sedimen hasil analisis pengukuran transportasi sedimen dan hasil perhitungan erosi yang terjadi pada tiga titik pengamatan. Rumusan dan hasil pendugaan dapat diikuti pada Lampiran 7 baris kelima.
6.5.8. Koefisien pengali volume sedimen Besaran koefisien 0.93 pada persamaan (5.15c) merupakan proporsi volume sedimen yang terdistribusi dalam elevasi ≤ 246.00 m pada Waduk Sutami.
Koefisien tersebut adalah rasio antara total
volume sedimen yang
terdistribusi dalam elevasi ≤ 246.00 m dan total sedimen yang terjadi pada tahun 2003. Dari Tabel 5.2 kolom ke-8 dari hasil kajian Tim Peneliti Jurusan Teknik Pengairan (2003a), diperoleh total volume sedimen yang tertahan pada elevasi 230.00 m hingga 272.50 m sebesar 0.83 juta m3; sedangkan volume sedimen yang terdistribusi pada elevasi ≤ 246.00 m sebanyak 0.77 juta m3.
6.5.9. Kendala lahan yang tersedia Lahan budidaya intensif yang tersedia merupakan hasil penjumlahan luas areal dari berbagai pola tanam pada suatu jenis fungsi lahan yang terdapat pada satu fungsi kawasan yang sama. Sebagai contoh, kendala luas sawah dengan klasifikasi kemiringan 0–15% merupakan penjumlahan dari luas areal dari perbagai pola tanam pada lahan sawah dengan lereng 0–8% dan 8–15% dengan fungsi kawasan D (tanaman semusim) seperti yang terdapat pada Lampiran 1-5. Untuk mendapatkan besaran ketersediaan lahan non-budidaya intensif (pekarangan, semak-belukar, dan hutan) dilakukan penyesuaian.
Hal itu
dilakukan atas dasar adanya perbedaan antara fungsi kawasan potensial (yang seharusnya) dengan kondisi riil di lapangan. Sebagai contoh, pada Lampiran 1 terdapat pola tanam apel (9.90 ha) pada fungsi lahan kebun dengan lereng 2545% dan fungsi kawasan penyangga (B). Luas lahan apel tersebut selanjutnya diklasifikasikan dalam lahan hutan.
6.5.10. Ketebalan lapisan tanah (soil depth) pada kondisi awal Besaran soil depth pada kondisi periode awal dari setiap Sub-sub DAS ditetapkan dengan rata-rata tertimbang dengan formula berikut : N
SD0 =
∑s
n
∗ an
n
N
∑a
(6.14)
n
n
Dimana SD0 merupakan ketebalan lapisan tanah rata-rata tertimbang pada suatu Sub-sub DAS dalam cm; s dan a masing-masing adalah solum tanah dan luas areal dari Satuan Pengelolaan Lahan (SPL); n ialah Satuan Pengelolaan Lahan pada setiap Sub-sub DAS .
6.6. Penentuan Perubahan Parameter Perubahan tingkat harga diaplikasikan hanya pada beberapa komiditas tanaman semusim. Hal tersebut didasarkan pada kondisi di lapangan bahwa keputusan merubah paket pola tanam relatif mudah terjadi pada pola tanam yang terdiri atas komoditas tanaman semusim. Jenis komoditas yang dipertimbangkan mengalami perubahan harga ditentukan secara sengaja dengan ketentuan: (1) komoditas yang menyusun paket pola tanam dengan erosi tinggi, dan (2) pada model dasar merupakan komoditas dari paket pola tanam yang terpilih sebagai keputusan optimal. Tingkat perubahan harga didasarkan pada rumus polinomial dari data primer yang dikumpulkan dari responden dan key informan. Data yang diakses adalah harga selama kurun waktu tiga tahun, yakni dari tahun 2000 hingga 2003. Disamping itu, dalam skenario perubahan harga komoditas didasarkan pada perubahan secara hipotetis. Harga kacang tanah diasumsikan pengalami penurunan sebesar 5%; sayuran sebesar 10% setiap tahun.
sedangkan untuk tanaman
Suku bunga yang dipertimbangkan dalam perumusan model dasar ditentukan secara sengaja, yaitu sebesar 10%.
Besaran tersebut relatif lebih
kecil dari rata-rata suku bunga kredit untuk investasi pada Bank Persero dari tahun 1999 hingga 2003, yaitu sebesar 17.5%. Tingkat bunga yang diaplikasikan pada perumusan model post optimal adalah 5%. Hal tersebut didasarkan pada postulat dari perspektif ekonomi sumberdaya bahwa tingkat bunga yang lebih tinggi mendorong terjadinya eksplorasi sumberdaya alam lebih cepat (Pearce dan Turner, 1990; serta Soeparmoko, 1997); sedangkan orientasi kajian dalam disertasi ini adalah kelestarian sumberdaya. Perubahan lahan hutan diwujudkan dalam bentuk menjumlahkan luas areal lahan hutan produktif yang ditanami sayuran pada luas areal hutan penyangga. Dengan demikian, massa sedimen yang berasal dari lahan hutan penyangga pada rumusan post optimal merupakan hasil perkalian luas hutan penyangga gabungan dengan tingkat erosi yang terjadi pada lahan hutan penyangga. Sebagai data penunjang pembahasan, fenomena dinamika pengelolaan lahan pada berbagai pola tanam didekati dengan tingkat perubahan luas tanam dari komoditas yang membentuk pola tanam. Tingkat perubahan didasarkan pada rumus polinomial dari data luas panen tingkat kecamatan yang terdapat dalam satu wilayah sub-sub DAS (data BPS Dati II).
VII. ALOKASI INTERTEMPORAL 7.1. Pola Tanam Riil dan Hasil Optimasi
Dari 73 aktivitas alternatif (Tabel 13) yang dimasukan dalam perumusan optimasi dinamik model daerah tangkapan air (Model-DTA), dihasilkan 26 paket pola tanam sebagai aktivitas optimal. Dari setiap jenis klasifikasi fungsi lahan hanya terdapat satu paket pola tanam optimal (Tabel 14). Luas alokasi lahan pola tanam optimal tidak menunjukkan variasi menurut periode (tahun), serta sama dengan luas lahan yang tersedia. Nilai sekarang (present value atau PV) manfaat bersih DTA selama horizon waktu sebesar Rp 52.20 milyar; dengan rata-rata manfaat sosial bersih tahunan sebesar Rp 2.95 milyar. PV manfaat sosial bersih yang diperoleh dari aktivitas awal horizon waktu adalah Rp 5.70 milyar dan pada akhir horizon waktu sebesar Rp 1.23 milyar. Manfaat sosial bersih tersebut terdiri atas: (1) pendapatan total lahan budidaya intensif dari subsistem hulu waduk sebesar 69.12%, (2) nilai air baku (outflow) dari sub-sistem ekologi bendungan-waduk sebesar 30.69%, dan (3) nilai air yang masih tertampung pada waduk pada akhir horizon waktu sebesar 0.29%. Manfaat bersih dari sub-sistem hulu waduk diperoleh dari lahan budidaya intensif seluas 102 904 ha yang tersebar pada lima Sub-sub DAS (Tabel 14). Adapun manfaat bersih dari sub-sistem ekologi bendungan-waduk berasal dari debit outflow optimal dari Waduk Sengguruh sebesar 26.74 m3/det dan Sutami sebesar 36.94 m3/det (Tabel 21); serta dari nilai volume air baku yang tertahan dalam waduk pada tahun 2020 sebesar 146 juta m3 (kolom 8 Tabel 24). Kondisi optimal tersebut dipandang mampu menghasilkan manfaat sosial bersih yang lebih tinggi daripada kondisi yang ada (existing condition).
Hal itu
karena secara normatif: (1) paket pola tanam yang terpilih sebagai aktivitas optimal mempunyai pendapatan yang paling tinggi daripada pola tanam yang
diterapkan oleh masyarakat pada umumnya (Tabel 15),
dan (2) lahan yang
tersedia secara keseluruhan dialokasikan untuk pola tanam optimal. Sedangkan pada kondisi riil lahan yang tersedia dipergunakan untuk berbagai pola tanam (Tabel 14). Disadari bahwa pada penelitian ini belum menganalisis manfaat sosial bersih dari pola tanam yang diterapkan oleh masyarakat secara riil; sehingga pada kesempatan ini belum bisa mendeskripsikan dengan baik perbedaan tingkat kesejahteraan antara kondisi optimal dan riil. Paket pola pergiliran tanaman padi dan kubis (Pd-Pd-Sy) dipilih sebagai pola tanam optimal pada lahan sawah dengan klasifikasi kemiringan I (0–15%) hampir di seluruh Sub-sub DAS. Pola tanam optimal tersebut secara riil diusahakan di seluruh Sub-sub DAS, hanya saja persentase luas arealnya relatif beragam. Dari sebaran luas areal berbagai pola tanam yang disajikan pada Lampiran 1 hingga Lampiran 5 dapat deskripsi bahwa pola tanam Pd-Pd-Sy pada Sub-sub DAS: 1. Bango merupakan pola tanam dominan (32.69%) pada lahan sawah I diantara pola tanam yang lain. 2. Sumber Brantas hanya mempunyai sebaran 16.11%, pola tanam dominan adalah Pd-Pd-Pd (63.08%). 3. Amprong dan Lesti hanya terdapat sekitar 3 hingga 4% dan lahan sawah klasifikasi I didominasi oleh pola tanam Pd-Pd-Pd (76 hingga 89%). 4. Metro merupakan pola tanam urutan ketiga (18.23%) setelah pola tanam PdPd-Jg (37.39%); dan pola tanam dominan adalah Pd-Pd-Pd (42.57%). Paket pola tanam Pd-Pd-Sy juga merupakan pilihan optimal untuk lahan sawah dengan klasifikasi kemiringan II (>15%); khususnya pada Sub-sub DAS Sumber Brantas. Sedangkan pola tanam optimal dari Sub-sub DAS Metro adalah paket tanaman tunggal Jeruk, karena di wilayah tersebut tidak terdapat pola
tanam Pd-Pd-Sy atau pola tanam optimal tersebut dipilih karena mempunyai pendapatan (net benefit) relatif paling besar. Tabel 14. Paket Pola Tanam Optimal dan Luas Lahan Menurut Sub-sub DAS (ha) Fs. Lahan, Sub-sub Daerah Aliran Sungai/DAS (k)*) Klasifikasi kelerengan Notasi Pola tanam (i) (j) B S A L M Sawah I (0 – 15%) 1 (3 689) (16 095) (4 267) (14 548) (5 368) 1 − Pd-Pd-Pd 2 − Pd-Pd-Jg √ 3 − Pd-Pd-Sy √ √ √ √ 4 − Tebu Sawah II (> 15%) 2 (72) (94) 5 − Pd-Pd-Jg 6 − Pd-Pd-Sy √ 7 − Tebu 8 − Jeruk √ Tegal I (0 – 15%) 3 (7 174) (4 939) (6 952) (7 992) (3 442) 9 − Jg-Jg-Sy √ √ √ 10 − Pd-Jg-Kacang Tnh 11 − Kentang-Wortel √ √ 12 − Tebu Tegal II (> 15%) 4 (211) (628) (835) (434) 13 − Jg-Jg-Sy √ √ 14 − Pd-Jg-Kacang Tnh √ 15 − Kentang-Wortel 16 − Tebu 17 − Apel √ Kebun I (0 – 15%) 5 (646) (1 856) (674) (6 050) (2 101) 18 − Tebu √ √ 19 − Apel √ √ 20 − Jeruk √ 21 − Kopi Kebun II ( > 15%) 6 (44) (3 015) (4 189) (7 250) (411) 22 − Tebu √ 23 − Apel √ √ √ 24 − Jeruk √ 25 − Kopi Keterangan: *) B = Bango, S = Sumber Brantas, A = Amprong, L = Lesti, M = Metro, ( √ ): pola tanam sebagai aktivitas optimal
Paket pola pergiliran tanaman Kentang dan Wortel merupakan pola tanam optimal pada lahan tegal dengan klasifikasi kemiringan I (0–15%). Paket pola tanam Jg-Jg-Sy dipilih sebagai pola tanam optimal pada wilayah yang tidak terdapat pola tanam Kentang-Wortel. Pada lahan tegal kemiringan II (>15%) terjadi tendensi yang sama seperti lahan tegal I, yakni pola tanam Jg-Jg-Sy
dipilih sebagai pola tanam optimal pada wilayah yang tidak terdapat pola tanam Kentang-Wortel.
Apabila suatu wilayah tidak terdapat pola tanam Kentang-
Wortel dan Jg-Jg-Sy; yang menjadi pola tanam optimal adalah pola pergiliran komoditas padi, jagung dan kacang tanah (Pd-Jg-Kacang Tanah). Sementara itu, paket pola tanam optimal pada jenis lahan kebun didominasi oleh apel dan diikuti oleh tebu. Pada Sub-sub DAS Metro, tanaman jeruk lebih dipilih daripada tanaman tebu. Adapun pada Sub-sub DAS Sumber Brantas tanaman apel lebih dipilih daripada tanaman jeruk. Dari persamaan fungsi tujuan nampak bahwa penetapan atau pemilihan aktivitas optimal ditentukan oleh manfaat bersih atau tingkat pendapatan setiap aktivitas paket pola tanam; dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh: (1) tingkat eros, (2) harga komoditas, dan (3) biaya dari setiap aktivitas pola tanam. Peran beberapa variabel tersebut dalam penentuan pola tanam optimal dapat dicermati dalam Tabel 15 dan 16. Merujuk dalam satu klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan yang terdapat pada Tabel 15 dan 16, tampak bahwa pemilihan paket pola tanam optimal tidak selalu didasarkan pada tingkat pendapatan paling besar dengan tingkat erosi rendah, namun juga bisa terjadi pada tingkat pendapatan paling besar dengan tingkat erosi relatif paling tinggi.
Hal tersebut dapat dilihat pada pola tanam
optimal Pd-Pd-Sy pada lahan sawah kemiringan I (0–15%) dan Pd-Jg-Kacang Tanah pada lahan tegal kemiringan II (>15%) di wilayah Sub-sub DAS Bango. Hal yang sama juga terjadi pada Sub-sub DAS Lesti; yakni pola tanam Jg-Jg-Sy pada lahan tegal klasifikasi kemiringan I dan aktivitas pola tanam Tebu pada lahan kebun klasifikasi kemiringan II. Pola pergiliran tanaman jagung dan kubis (Jg-Jg-Sy) pada lahan tegal kemiringan I (0–15%) di wilayah Sub-sub DAS Lesti terpilih sebagai aktivitas optimal walaupun mempunyai tingkat relatif paling tinggi diantara aktivitas yang terdapat dalam klasifikasi lahan tersebut .
Tabel 15. Tingkat Pendapatan, Erosi dan Biaya Berbagai Paket Pola Tanam di Sub-Sub DAS Bango dan Sumber Brantas pada Awal Horizon Waktu Fs. Lahan, Klas kelerengan , Pola tanam Sawah I (0– 5%) − Pd-Pd-Pd − Pd-Pd-Jg − Pd-Pd-Sy − Tebu Sawah II (>15%) − Pd-Pd-Jg − Pd-Pd-Sy − Tebu − Jeruk Tegal I (0–15%) − Jg-Jg-Sy − Pd-Jg-Kc. Tnh − Kentang-Wortl − Tebu Tegal II (>15%) − Jg-Jg-Sy − Pd-Jg-Kc Tnh − Kentang-Wortl − Tebu − Apel Kebun I (0–15%) − Tebu − Apel − Jeruk − Kopi Kebun II ( >15%) − Tebu − Apel − Jeruk − Kopi Sumber: Olahan data
Biaya
Sub-sub DAS Bango Penrm Pendpt Erosi
. . . . (ribu Rp/ha) . . . .
(ton/ha)
9 996 9 996 11 416 9 679
29 895 16 976 51 554 7 754
19 901 16 976 51 554 7 754
8 144 13 763 6 380 29 646
-
-
17 028 5 484 43 800 7 051
44 099 14 288 13 410
27 070 8 803 69 053 6 358
45.80 46.20 46.06 7.07
17 326 5 187 33 751 6 511 20 623
12 303 12 563 -
7 116 6 052 -
7 051 36 465 19 263 1 390
13 410 95 139 -
6 511 20 623 13 386 1 120
12 563 99 070 -
112 854
Sub-sub DAS Sb. Brantas Penrm Pendpt Erosi (ribu Rp/ha)
(ton/ha)
0.50 0.50 0.60 6.10
29 830 25 333 61 399 16 962
19 834 18 939 49 983 7 282
0.50 0.40 0.50 6.20
-
21 664 55 469 13 499 24 314
13 519 41 706 7 118 3 668
0.60 0.80 5.04 2.52
43 757 14 245 13 396
26 728 8 760 68 004 6 344
10.35 28.80 19.70 34.00
81.7 16.15 -
33 683 12 374 95 642 84 749
16 356 7 187 61 890 64 126
50.40 37.10 29.35 13.30
6 358 58 673 -
5.33 2.65 -
13 396 95 073 -
6 344 58 608 -
3.80 2.98 -
6 052 78 447 -
19.85 9.90 -
83 822 65 824 -
63 199 52 438 -
6.20 6.20 -
111 805
Pada Tabel 15 dan 16 juga terdapat tendensi bahwa jenis paket pola tanam optimal dari satu klasifikasi lahan yang sama cenderung tidak bervariasi antar wilayah.
Hal tersebut diduga karena biaya aktivitas per hektar tidak
berbeda antar Sub-sub DAS. Tabel 16. Tingkat Pendapatan, Erosi dan Biaya Berbagai Paket Pola Tanam di Sub-Sub DAS Lesti dan Metro pada Awal Horizon Waktu Fs. Lahan, Klas kelerengan ,
Biaya
Sub-sub DAS Lesti Penrm Pendpt Erosi
Sub-sub DAS Metro Penrm Pendpt Erosi
Pola tanam Sawah I (0–15%) − Pd-Pd-Pd − Pd-Pd-Jg − Pd-Pd-Sy − Tebu Sawah II (>15%) − Pd-Pd-Jg − Pd-Pd-Sy − Tebu − Jeruk Tegal I (0–15%) − Jg-Jg-Sy − Pd-Jg-Kc. Tnh − Kentang-Wortl − Tebu Tegal II (>15%) − Jg-Jg-Sy − Pd-Jg-Kc Tnh − Kentang-Wortl − Tebu − Apel Kebun I (0–15%) − Tebu − Apel − Jeruk − Kopi Kebun II (>15%) − Tebu − Apel − Jeruk − Kopi Sumber: Olahan data
. . . . (ribu Rp/ha) . . . .
(ton/ha)
9 996 9 996 11 416 9 679
29 815 23 307 62 500 17 414
19 818 16 914 51 083 7 734
8 144 13 763 6 380 29 646
-
-
17 028 5 484 43 800 7 051
43 680 14 235 89 281
26 651 8 750 6 340
20.00 17.20 8.27
17 326 5 187 33 751 6 511 20 623
46 242 12 259 12 546 -
28 916 7 072 6 034 -
7 051 36 465 19 263 1 390
13 392 7 648
6 511 20 623 13 386 1 120
12 546 6 743
(ribu Rpha)
(ton/ha)
0.50 0.50 0.60 4.30
29 769 24 096 61 068 16 947
19 773 17 702 49 651 7 267
0.50 0.50 0.50 6.30
-
21 623 13 499 69 717
13 478 7 104 49 071
0.20 17.16 7.40
43 461 14 205 -
26 432 8 720 -
186 456
179 404
48.80 25.65 26.20
9.60 130.20 37.20 -
33 386 12 536 -
16 060 6 024 -
29.00 36.30 -
6 340 6 258
3.80 1.80
13 382 70 509 -
6 330 51 245 -
13.80 7.07 -
6 034 5 622
28.08 14.04
12 536 65 765 -
6 024 52 379 -
17.16 9.16 -
Besarnya biaya usahatani yang terdapat pada kedua tabel tersebut di atas diberlakukan untuk keseluruhan Sub-sub DAS. Asumsi biaya usahatani tidak bervariasi menurut Sub-sub DAS dimaksudkan untuk menyederhanakan penyusunan program analisis, mengingat aktivitas yang dipertimbangkan dalam struktur model relatif banyak. Hasil data primer menunjukkan bahwa
biaya
usahatani bervariasi berdasarkan lokasi wilayah Sub-sub DAS, terutama untuk pengelolaan komoditas tanaman semusim. Biaya produksi yang beragam bisa disebabkan oleh tingkat harga dan perbedaan penerapan aplikasi input produksi per hektar karena perbedaan agroekologi. Biaya usahatani aktivitas tanaman tunggal relatif tidak bervariasi menurut Sub-sub DAS karena sebagian besar
responden sebagai peserta program intensifikasi tebu rakyat; dan pada tanaman apel dikarenakan pihak produsen sarana produksi pestisida menjual langsung pada petani dengan membuat demontrasi percontohan di lokasi. Pada aktivitas dan biaya usahatani yang sama dapat diperoleh manfaat bersih (pendapatan) per hektar yang beragam menurut Sub-sub DAS. Hal itu karena adanya perbedaan tingkat ketebalan lapisan tanah (soil depth atau SD) dan tingkat erosi. SD secara langsung mempengaruhi tingkat produksi, dan tingkat erosi akan mengurangi SD sehingga menyebabkan tingkat produksi tahun berikutnya menurun. Keragaman tingkat produksi akan menjadikan tingkat pendapatan per hektar bervariasi antar Sub-sub DAS.
7.2. Alokasi Optimal pada Sub-sistem Hulu Waduk Berdasarkan
hasil
pemecahan
optimasi
dinamik
dapat
diperoleh
gambaran bahwa alokasi lahan di daerah tangkapan air Waduk SutamiSengguruh relatif tetap sepanjang horizon waktu (Tabel 17). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa keputusan pola tanam optimal pada awal horizon waktu tetap dipertahankan hingga akhir. Hal tersebut terjadi karena pola tanam yang terpilih sebagai aktivitas optimal mempunyai pendapatan per hektar relatif paling besar (dominan) mulai dari awal hingga sepanjang horizon waktu. Dengan kata lain, selama horizon waktu tidak ada pola tanam lain yang dapat menghasilkan pendapatan per hektar lebih besar daripada yang dihasilkan paket pola tanam yang terpilih sebagai aktivitas optimal pada awal horizon waktu. Pendapatan per hektar yang dominan selama periode horizon waktu tidak saja ditunjukkan dalam bentuk nominal, namun juga dalam bentuk nilai saat ini seperti yang terdapat pada Tabel 19 dan 20. Tabel 17. Luas Lahan Optimal (ha) Selama Horizon Waktu pada Sub-Sub DAS Bango dan Sumber Brantas pada Tingkat Bunga 10% dengan Tingkat Harga Komoditas dan Biaya Konstan
Sub-sub DAS Bango
Sub-sub DAS Sumber Brantas
Kebun I Sawah I Sawah II Tegal I Tegal II Kebun I Tahun Sawah I Tegal I Tegal II Pd-Pd-Sy Kn-Wrl Pd-Jg-KcTnh Apel Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Kn-Wrl Apel Apel 2003 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2004 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2005 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2006 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2007 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2008 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2009 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2010 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2011 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2012 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2013 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2014 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2015 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2016 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2017 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2018 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2019 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2020 . . . . . . . . .
Sumber: Olahan data
Alokasi lahan optimal yang terdapat pada Tabel 17 didasarkan pada tingkat bunga sebesar 10% serta harga komoditas dan biaya konstan sepanjang horizon waktu. Aktivitas optimal pada lahan sawah dan tegal kemiringan I antara Subsub DAS Bango dan Sumber Brantas tidak terjadi perbedaan.
Perbedaan
keputusan optimal terjadi pada lahan tegal kemiringan II (≥ 25%); di wilayah Bango adalah paket pola tanam Pd-Jg-Kacang Tanah dan pada wilayah Sumber Brantas adalah tanaman tunggal apel. Pengusahaan tanaman apel pada lahan tegal kemiringan II di wilayah Sub-sub DAS Bango secara riil tidak dijumpai (Tabel 15). Pendugaan alokasi lahan optimal yang konstan selama beberapa tahun tersebut terjadi pada keseluruhan Sub-sub DAS. Keadaan tersebut berlawanan dengan kondisi riil yang terjadi di lapangan. Berdasarkan data luas panen yang dikumpulkan dari BPS Daerah Tingkat II Kabupaten Malang selama kurun waktu 1998 hingga 2002, terdapat tendensi bahwa luas areal berfluktuasi (Tabel 18).
Dari Tabel 18 dapat dikatakan bahwa secara riil luas areal komoditas padi, jagung dan tebu cenderung menurun; sedangkan tanaman kacang tanah terjadi yang sebaliknya. Berdasarkan sumber data yang sama juga diperoleh pendugaan pertumbuhan komoditas kentang dan wortel masing-masing sebesar 6.71% dan 1.78%. Tabel 18. Perubahan Luas Areal Berbagai Komoditas Dominan Menurut Sub-Sub DAS Berdasarkan Rumus Polinomial Sub-sub DAS
Padi Amprong - 3.93 Bango 0.49 Lesti - 5.02 Metro - 0.15 Sumber Brantas - 1.23 Sumber: Olahan data sekunder
Perubahan areal (%) Jagung Kacang Tanah - 12.50 - 14.22 - 6.01 3.02 - 3.97 - 3.98 - 6.90 1.96 - 17.39 3.95
Tebu 10.71 - 0.69 - 2.17 6.92 - 4.27
Sementara itu, dari hasil wawancara bebas dengan informan kunci didapatkan deskripsi bahwa luas areal pengelolaan tanaman sayuran secara riil berfluktuasi.
Pada wilayah Sub-sub DAS Bango dan Lesti terdapat tendensi
bahwa perkembangan luas areal tanaman sayuran (kubis, cabe, bawang prei) menggantikan tebu di lahan sawah maupun tegal dengan kemiringan ≤ 16%. Khususnya di Desa Dawuhan (salah satu desa di wilayah Sub-sub DAS Lesti) didapatkan informasi bahwa perkembangan komoditas sayuran sejak tahun 1998 beriringan dengan adanya program Inpres Desa Tertinggal (IDT); ada beberapa masyarakat memanfaatkan bantuan IDT untuk modal usaha sayuran. Luas areal sayuran mengalami puncaknya pada tahun 2000. Komoditas lombok diusahakan masyarakat setempat sejak tahun 1995/96; dan komoditas kubis sejak tahun 1999.
Sedangkan petani Desa Ngadas (wilayah Sub-sub DAS Amprong)
memulai pengusahakan tanaman kentang sejak tahun 1980 dan perkembangan areal kentang semakin meluas, namun tata tanam yang searah dengan lereng bukit menyebabkan erosi alur dan parit yang cukup serius (KEPPAS, 1988).
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pada saat penelitian, luas areal tanam apel pada lahan budidaya intensif fungsi kawasan C (budidaya tahunan) relatif tetap dan pada fungsi kawasan D (tanaman semusim) terjadi kenaikan. Perkembangan luas lahan apel yang terjadi di Desa Tulungrejo dan Sumber Gondo (desa-desa di wilayah Sub-sub DAS Sumber Brantas) karena adanya konversi lahan tegal dari tanaman sayuran menjadi kebun apel. Disamping itu, lahan dengan pohon pelindung alam (sebagai penyangga) telah dikonversi menjadi lahan tanaman sayuran (Tabel 4). Proses konversi fungsi lahan di desa tersebut telah terjadi sejak tahun 1935 (KEPPAS,
1988).
Menurut informasi dari Pamong Desa Gubug Klakah (pusat produksi apel di wilayah Sub-sub DAS Amprong), perkembangan tanaman apel saat ini relatif kecil (0.50%) bahkan cenderung tetap.
Secara historis, tanaman apel mulai
dikenal masyarakat desa tersebut sejak tahun 1969/1970. Pada awalnya, tanaman apel ditanam di lahan pekarangan dan selanjutnya diusahakan di lahan tegal. Pada tahun 1985 areal tanaman apel telah mencapai 75% dari total lahan pertanian; dan sejak tahun 1990 hingga kajian ini dilakukan telah mencapai 90%. Sisa dari total lahanyang tersedia tetap dipergunakan untuk tanaman palawija karena: (1) ketidaksesuaian lahan untuk apel, (2) keterbatasan biaya, dan (3) beberapa masyarakat masih mempertahankan pemikiran atau tradisi lama. Sebelum tanaman apel mendominasi lahan pertanian, pada awalnya didominasi oleh jagung dan sayuran.
Walaupun pada saat ini luas areal tanam apel relatif
tetap, namun tingkat erosi yang terjadi perlu diwaspadai karena pada umumnya apel ditanam pada lahan dengan kemiringan ≥ 30%. Tingginya tingkat erosi yang terjadi diperparah dengan perilaku petani dalam pengaturan sebagian akar tanaman apel yang menggantung di bibir teras.
Menurut
informan kunci
pengaturan tersebut dimaksudkan untuk mengupayakan air hujan di permukaan tanah cepat “tuntas” sehingga mengurangi frekuensi serangan hama. Pengaruh fluktuasi permintaan dan tingkat harga komoditas terhadap keputusan petani (tingkat mikro) dalam pemilihan jenis tanaman tercermin dari informasi yang diberikan oleh responden dari Desa Petung Sewu kecamatan Dau (wilayah Sub-sub DAS Metro). Pada awalnya, pola tanam lahan sawah didesa tersebut adalah padi–jagung–kacang tanah. Pada tahun 1985 petani setempat banyak yang mengelola tanaman jeruk. Oleh karena harga jeruk pada saat itu relatif murah (Rp 200/kg) dan belum ada pasar (tengkulak/pedagang pengepul belum ada), maka pada tahun 1989 tanaman jeruk di desa tersebut banyak yang dibongkar. Sejak tahun 1990 komoditas tersebut mulai laku (ada pasar) dan harga relatif tinggi, maka tanaman jeruk di desa tersebut terus berkembang sehingga terjadi perubahan penggunaan lahan. Sejak tahun 1997 luas lahan sawah yang menjadi kebun jeruk mencapai 40% dari total sawah desa atau seluas 33.18 ha. Secara riil, luas areal tebu cenderung mengalami peningkatan.
Hal itu
karena lahan sawah yang semula ditanami padi mengalami pergeseran menjadi tebu, mengingat padi memerlukan sarana produksi dan tenaga kerja yang lebih intensif sementara subsidi pupuk mengalami penurunan dan harga gabah tidak terjamin. Menurut petani setempat, menanam tebu relatif lebih menguntungkan karena lebih hemat tenaga kerja dan sebagian besar petani mengikuti program intensifikasi tebu yang dikelola langsung oleh pabrik gula. Lahan sawah di wilayah Sub-sub DAS Amprong menjadi dominan tebu sejak tahun 1992 (Tabel 4). Hasil optimasi dinamik pada wilayah Sub-sub DAS Amprong menunjukkan bahwa komoditas tebu sebagai aktivitas optimal pada lahan tegal klasifikasi kemiringan I (0–15%), namun luas areal optimal konstan. Kondisi tersebut
berbeda dengan keadaan di lapangan. Secara riil, perubahan luas lahan tebu wilayah Sub-sub DAS Amprong cenderung naik. Luas areal tanaman sayuran dan palawija di lahan sawah di Desa Ngadireso Kecamatan Poncokusumo semakin sempit, banyak digantikan dengan tanaman tebu. Lahan sawah di Desa Kemantren Kecamatan Jabung menjadi dominan komoditas tebu sejak tahun 1992 ; yakni menggantikan pola tanam lama yaitu padi-padi-jagung. Luas areal tebu pada Kecamatan Dau (salah satu wilayah Sub-sub DAS Metro) secara riil terjadi fluktuasi. Dari hasil wawancara pada responden perangkat desa maupun petani biasa, dapat disimpulkan bahwa keputusan pemilihan pola tanam di tingkat mikro pada daerah tersebut dipengaruhi oleh ketersediaan tenaga kerja. Pada lahan “ganjaran” dengan kemiringan 80% yang semula untuk tanaman pangan pada waktu yang akan datang akan ditanami sengon, mengingat tenaga kerja untuk pengawasan tidak mencukupi. Beberapa petani tetap menanam tebu karena tanaman tersebut relatif hemat biaya dan tenaga kerja serta dapat mendatangkan uang tunai. Berdasarkan uraian tersebut di atas dan deskripsi perubahan tataguna lahan (sub-bab 2.2), dapat diperoleh beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan antara hasil alokasi lahan optimal yang bersifat normatif dengan kondisi riil di lapangan.
Beberapa faktor tersebut terdiri atas: (1) perbedaan
orientasi pencapaian fungsi tujuan,
(2) keputusan rumah tangga petani, (3)
kebijakan makro, dan (4) wacana politik. Pada perumusan optimasi dinamik secara normatif didasarkan pada asumsi bahwa semua komponen masyarakat dalam mengelola sumberdaya pada daerah tangkapan air untuk menghasilkan keuntungan maksimal. Sedangkan pada kondisi riil, tidak semua pengelola lahan budidaya intensif berorientasi memaksimalkan keuntungan.
Disamping itu, pengaturan debit
outflow hanya didasarkan pada aspek kuantitas permintaan dan ketersediaan air.
Pada skala mikro, pemilihan aktivitas riil dipengaruhi oleh keputusan rumah tangga petani. Keputusan tersebut didasarkan pada: (1) kondisi pasar (fluktuasi permintaan dan tingkat harga setempat), tenaga kerja dan lahan),
(2) kendala sumberdaya (modal,
(3) sifat pengusahaan (subsisten atau komersial).
Pada skala makro karena kebijakan sektoral dan kebijakan harga. Beberapa kebijakan sektoral yang mempengaruhi perubahan luas lahan riil komoditas tebu adalah program intensifikasi tebu di lahan kering yang telah diintroduksikan sejak tahun tujuh puluhan.
Disamping itu, dari Departemen
Kehutanan terdapat program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) sejak tahun 1985. Pada program PHBM, masyarakat diberi hak kelola pada lahan hutan produksi dengan menanam tanaman pangan. Namun dalam perkembangannya, lahan tersebut diusahakan tanaman sayuran. Penerapan program tersebut telah diterapkan pada seluruh wilayah sub-sub DAS yang berada di DTA Bendungan Sengguruh maupun Sutami. Disadari bahwa salah satu keterbatasan Model-DTA ini adalah belum dipertimbangkannya aspek permintaan pasar dari komoditas yang membentuk paket pola tanam. Asumsi yang menyertai model adalah keseluruhan kuantitas produksi yang dihasilkan dari aktivitas dan lahan optimal dapat diserap oleh pasar.
Hal tersebut dapat menimbulkan
kekhawatiran bahwa model akan
menghasilkan aktivitas yang memproduksi tanaman spesifik tanpa pasar (tidak ada permintaan), apalagi aktivitas produksi pertanian dalam skala wilayah Daerah Aliran Sungai (Barbier, 2001). Beberapa kendala lain yang dipertimbangkan dalam struktur pemodelan yang dirumuskan oleh Barbier (2001) adalah ketersediaan lahan, air, tenaga kerja, dan kendala uang tunai. Penyebab alokasi intertemporal konstan pada Tabel 17 dapat dijelaskan secara matematik melalui transmisi fungsi tujuan pada persamaan (6.1) dan rumusan kendala pada persamaan (6.2). Perubahan kuantitas produksi suatu
komoditas dipengaruhi oleh perubahan SD yang diestimasi dengan fungsi respon produksi-soil depth.
Perubahan SD tergantung pada SL pada satu periode
(tahun) yang ditentukan oleh tingkat erosi per hektar per tahun. Apabila tingkat erosi per tahun relatif kecil dan SD relatif tebal, maka perubahan produksi juga relatif kecil. Pada kondisi harga komoditas dan biaya produksi yang konstan, maka perubahan pendapatan setiap periode dari suatu pola tanam relatif kecil (Tabel 19 dan 20).
Secara singkat dapat dikatakan
bahwa alokasi lahan optimal yang konstan disebabkan oleh perubahan produksi setiap periode yang relatif kecil karena tingkat erosi per tahun yang kecil dan SD relatif tebal Pada Tabel 19 tampak bahwa paket pola tanam Pd-Pd-Sy mempunyai pendapatan yang paling dominan diantara pola tanam yang lain pada lahan sawah kemiringan I (0-15%) di Sub-sub DAS Bango.
Pendapatan nominal
maupun nilai sekarang yang dominan tidak saja terjadi pada awal periode (tahun 2003), namun juga terjadi sepanjang time horizon. Keadaan yang sama juga terjadi pada paket pola tanam Kentang-Wortel pada lahan tegal kemiringan I. Pola tanam pada lahan sawah kemiringan II (≥ 15%) yang menghasilkan manfaat bersih tahunan yang dominan terdapat di wilayah Sub-sub DAS Sumber Brantas (Tabel 20); yaitu pola tanam Pd-Pd-Sy. Tingkat pendapatan tahunan tertinggi pada lahan tegal I adalah paket pola tanam Kentang-Wortel; dan pada lahan tegal II ialah tanaman tunggal apel. Tanaman apel tidak saja mendominasi pada lahan tegal, namun juga pada lahan kebun I maupun II. Tabel 19. Pendapatan (ribu Rp/ha) pada Berbagai Paket Pola Tanam Lahan Sawah dan Tegal di Wilayah Sub-Sub DAS Bango pada Harga dan Biaya Konstan dengan Tingkat Bunga ( r ) 10%
Sawah I (kemiringan 0 – 15%) Tahun
2003 2004
Pd-Pd-Pd Nominal
19 900 19 899
PV
19 900 18 090
Pd-Pd-Jg Nominal
16 976 16 976
PV
16 976 15 432
Pd-Pd-Sy Nominal
51 554 51 554
PV
51 554 46 867
Tebu Nominal
7 754 7 753
PV
7 754 7 049
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
19 899 19 899 19 899 19 899 19 899 19 899 19 899 19 899 19 899 19 899 19 899 19 898 19 898 19 898 19 898 .
16 446 14 951 13 591 12 356 11 233 10 211 9 283 8 439 7 672 6 974 6 340 5 764 5 240 4 764 4 330 .
16 976 16 976 16 976 16 975 16 975 16 975 16 975 16 975 16 975 16 975 16 975 16 975 16 975 16 975 16 975 .
14 029 12 754 11 595 10 540 9 582 8 711 7 919 7 199 6 545 5 950 5 409 4 917 4 470 4 064 3 694 .
51 553 51 553 51 552 51 552 51 551 51 550 51 550 51 549 51 549 51 548 51 547 51 547 51 546 51 546 51 545 .
42 606 38 732 35 211 32 009 29 099 26 453 24 048 21 862 19 874 18 067 16 425 14 931 13 574 12 340 11 218 .
7 753 7 753 7 753 7 752 7 752 7 752 7 752 7 752 7 751 7 751 7 751 7 751 7 750 7 750 7 750 .
6 408 5 825 5 295 4 814 4 376 3 978 3 616 3 287 2 988 2 717 2 470 2 245 2 041 1 855 1 687 .
Tegal I (kemiringan 0 - 15%) Tahun
Jg-Jg-Sy Pd-Jg-Kc. Tnh Nominal
PV
Kentang-Wortel
Nominal PV Nominal PV . . . . . . . . . . (Rp 1,000/ha) . . . . . . . . . . .
2003 27 070 27 070 8 803 2004 27 030 24 609 8 798 2005 26 991 22 339 8 793 2006 26 951 20 278 8 788 2007 26 911 18 408 8 783 2008 26 871 16 710 8 778 2009 26 831 15 168 8 773 2010 26 791 13 769 8 768 2011 26 750 12 498 8 762 2012 26 710 11 345 8 757 2013 26 669 10 298 8 752 2014 26 628 9 347 8 746 2015 26 587 8 485 8 741 2016 26 546 7 701 8 735 2017 26 505 6 990 8 730 2018 26 463 6 345 8 724 2019 26 422 5 759 8 718 Sumber: hasil olahan data Keterangan: PV = Present Value
8 803 7 998 7 267 6 603 5 999 5 450 4 952 4 499 4 088 3 714 3 374 3 065 2 785 2 530 2 299 2 088 1 897
69 053 68 931 68 809 68 686 68 563 68 439 68 316 68 191 68 067 67 942 67 816 67 690 67 564 67 437 67 310 67 183 67 055
69 053 62 665 56 867 51 605 46 829 42 496 38 562 34 993 31 754 28 814 26 146 23 725 21 528 19 534 17 725 16 083 14 593
Tebu Nominal
6 358 6 358 6 357 6 357 6 357 6 357 6 356 6 356 6 356 6 356 6 355 6 355 6 355 6 355 6 354 6 354 6 354
PV
6 358 5 780 5 254 4 776 4 342 3 947 3 588 3 262 2 965 2 695 2 450 2 227 2 025 1 841 1 673 1 521 1 383
Dari Tabel 19 dan 20 tampak bahwa pendapatan per hektar lahan semakin menurun seiring dengan bertambahnya waktu karena menurunnya produktivitas lahan akibat dari lapisan tanah yang hilang.
Perubahan pendapatan antar
periode tampak relatif kecil. Hal tersebut karena perubahan produktivitas lahan setiap periode tidak signifikan pada lahan dengan SD yang relatif tebal; sehingga pada tingkat harga komoditas dan biaya yang konstan sepanjang horizon waktu menjadikan keputusan alokasi lahan dinamik adalah konstan. Tabel 20. Pendapatan (ribu Rp/ha) pada Berbagai Paket Pola Tanam Lahan Sawah dan Tegal dari Wilayah Sub-Sub DAS Sumber Brantas pada Harga dan Biaya Konstan dengan Tingkat Bunga (r) 10%
Sawah II (kemiringan >15%) Tahun
Pd-Pd-Jg Nominal
PV
Pd-Pd-Sy Nominal
2003 13 519 13 519 41 706 2004 13 519 12 290 41 705 2005 13 519 11 173 41 705 2006 13 519 10 157 41 704 2007 13 518 9 233 41 703 2008 13 518 8 394 41 702 2009 13 518 7 631 41 701 2010 13 518 6 937 41 701 2011 13 518 6 306 41 700 2012 13 518 5 733 41 699 2013 13 518 5 212 41 698 2014 13 518 4 738 41 697 2015 13 518 4 307 41 697 2016 13 518 3 916 41 696 2017 13 518 3 560 41 695 2018 13 518 3 236 41 694 2019 13 518 2 942 41 693 Sumber: hasil olahan data Keterangan: PV = Present Value
PV
41 706 37 914 34 467 31 333 28 484 25 894 23 539 21 399 19 453 17 684 16 076 14 615 13 286 12 078 10 980 9 981 9 074
Tebu Nominal
7 118 7 118 7 118 7 118 7 117 7 117 7 117 7 117 7 117 7 116 7 116 7 116 7 116 7 116 7 116 7 115 7 115
Jeruk PV
7 118 6 471 5 883 5 348 4 861 4 419 4 017 3 652 3 320 3 018 2 744 2 494 2 267 2 061 1 874 1 703 1 548
Nominal
3 668 3 668 3 668 3 668 3 668 3 668 3 668 3 668 3 668 3 668 3 668 3 668 3 668 3 668 3 668 3 667 3 667
PV
3 668 3 335 3 031 2 756 2 505 2 277 2 070 1 882 1 711 1 555 1 414 1 285 1 169 1 062 966 878 798
Tabel 20. Lanjutan
Tegal I (kemiringan 0 - 15%) Tahun
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Jg-Jg-Sy Pd-Jg-Kc. Tnh Nominal
26 728 26 719 26 710 26 701 26 691 26 682 26 673 26 664 26 654 26 645 26 636 26 627 26 618 26 608 26 599 26 590 26 580
PV
26 728 24 298 22 082 20 067 18 237 16 573 15 061 13 687 12 439 11 304 10 273 9 336 8 484 7 710 7 007 6 368 5 787
Nominal
8 760 8 756 8 753 8 750 8 746 8 743 8 740 8 736 8 733 8 729 8 726 8 722 8 718 8 715 8 711 8 707 8 704
PV
8 760 7 960 7 234 6 574 5 974 5 429 4 933 4 483 4 074 3 702 3 364 3 057 2 778 2 524 2 294 2 085 1 894
Kentang-Wortel Nominal
68 004 67 951 67 897 67 843 67 790 67 736 67 682 67 628 67 574 67 520 67 466 67 412 67 357 67 303 67 248 67 194 67 139
PV
68 004 61 773 56 113 50 972 46 301 42 059 38 205 34 704 31 524 28 635 26 011 23 627 21 462 19 495 17 709 16 086 14 611
Tebu Nominal
PV
6 344 6 342 6 341 6 340 6 338 6 337 6 336 6 334 6 333 6 331 6 330 6 328 6 327 6 325 6 324 6 322 6 321
6 344 5 766 5 241 4 763 4 329 3 935 3 576 3 250 2 954 2 685 2 440 2 218 2 016 1 832 1 665 1 513 1 376
Tegal II (kemiringan >15%) Tahun
Jg-Jg-Sy Nominal
PV
Pd-Jg-Kc. Tnh Nominal
2003 16 356 16 356 7 187 2004 16 311 14 869 7 152 2005 16 266 13 481 7 149 2006 16 221 12 221 7 146 2007 16 176 11 079 7 143 2008 16 130 10 044 7 140 2009 16 085 9 105 7 137 2010 16 039 8 254 7 134 2011 15 993 7 482 7 131 2012 15 947 6 782 7 127 2013 15 900 6 148 7 124 2014 15 853 5 573 7 121 2015 15 807 5 051 7 118 2016 15 760 4 579 7 114 2017 15 713 4 150 7 111 2018 15 665 3 761 7 108 2019 15 618 3 409 7 104 Sumber: hasil olahan data Keterangan: PV = Present Value
PV
7 187 6 502 5 908 5 369 4 879 4 433 4 029 3 661 3 326 3 023 2 747 2 496 2 268 2 061 1 873 1 702 1 546
Kentang-Wol Nominal
61 890 61 811 61 731 61 651 61 570 61 490 61 410 61 329 61 248 61 167 61 086 61 004 60 923 60 841 60. 59 60 677 60 595
PV
61 890 56 192 51 017 46 319 42 053 38 181 34 664 31 471 28 573 25 941 23 551 21 382 19 412 17 624 16 000 14 526 13 187
Apel Nominal
64 126 64 123 64 121 64 119 64 116 64 114 64 111 64 109 64 106 64 104 64 102 64 099 64 097 64 094 64 092 64 089 64 087
PV
64 126 58 294 52 993 48 173 43 792 39 810 36 189 32 898 29 906 27 186 24 714 22 466 20 423 18 566 16 877 15 342 13 947
Sementara itu, hasil kajian Van Kooten et al. (1989) menunjukkan bahwa kehilangan produksi marjinal (marginal yield loss) akan semakin kecil pada SD yang semakin tebal. Disamping itu, kehilangan produksi marjinal pada SD lebih dari 35 sentimeter adalah nol. Menurut Barbier (1990), penurunan produktivitas jangka panjang tidak tampak berarti dikarenakan SD tebal. Dicontohkan bahwa
produktivitas di tingkat petani sayuran komersial (kentang, bawang bakung, bawang putih dan kubis) Desa Ngadas Jawa Timur tidak terlihat mengalami penurunan meskipun rata-rata tingkat erosi tahunan antara 150 hingga 200 ton/ha dan kehilangan lapisan tanah setebal 2 cm/th. Lebih lanjut diuraikan bahwa pada kondisi tersebut petani sayur tidak berminat berinvestasi pada konservasi tanah.
Disamping itu, juga dikemukakan bahwa sepanjang tahun
1976 – 1986 merupakan masa berkembangnya petani sayuran di Jawa yang berorientasi pasar dengan harga yang relatif lebih tinggi daripada tanaman lain. Sementara itu, dari data sekunder didapatkan bahwa SD di wilayah penelitian berkisar antara 65 hingga lebih dari 100 cm. Dari berbagai deskripsi yang telah diuraikan tersebut dapat dikatakan bahwa aktivitas optimal secara langsung ditentukan oleh tingkat pendapatan per hektar lahan. Tingkat erosi, SD dan biaya usahatani merupakan variabel tidak langsung. Pengaruh tidak langsung tersebut melalui transmisi sebagai berikut : 1. Tingkat erosi akan mengurangi ketebalan lapisan tanah sehingga menyebabkan penurunan kuantitas produksi komoditas. 2. Tingkat produksi akan mempengaruhi penerimaan, dan pada biaya usahatani yang konstan menjadikan pendapatan aktivitas pola tanam menurun.
7.3. Alokasi Optimal pada Sub-Sistem Ekologi Bendungan-Waduk
Berkaitan dengan paket pola tanam optimal dari lahan budidaya intensif yang dikelola pada sub-sistem hulu, pendugaan debit outflow Waduk Sengguruh relatif lebih kecil daripada debit rata-rata debit outflow tahunan selama tahun 2002/2003. Dari hasil olahan data sekunder (Lampiran 6), rata-rata debit outflow Waduk Sengguruh sebesar 41.93 m3/det dan Sutami sebesar 57.05 m3/det. Namun debit outflow optimal tersebut masih relatif lebih besar daripada batas bawah debit; yakni 19.90 m3/det (lihat anak sub-bab 5.2.8.4). Dengan demikian,
antara hasil pendugaan debit outflow dan data dilapangan terdapat perbedaan sekitar 64%. Hasil pendugaan debit operasi atau outflow tahunan dari masing-masing waduk cenderung relatif tetap (Tabel 21), karena luas lahan optimal (Tabel 15 dan 16) serta debit inflow air waduk setiap periode diasumsikan konstan. Sebagaimana telah diuraikan pada penjelasan persamaan (5.14d) bahwa debit inflow hanya didasarkan pada karakteristik hidrologi pada tahun2003 sebagai awal horizon waktu; dan belum mempertimbangkan karakteristik hidrologi pada waktu yang akan datang.
Untuk menangkap fenomena variasi karakteristik
hidrologi karena perubahan curah hujan, maka dalam penyusunan program model optimasi dinamik dapat dikembangkan dengan memasukan persentase perubahan debit inflow karena perubahan curah hujan. Dengan kata lain variabel sumbangan lahan terhadap volume inflow (dsk) tidak deterministik namun bersifat stokastik. Apabila hasil optimasi dinamik yang terdapat pada Tabel 21 dibandingkan dengan rata-rata debit musim kemarau dapat dikatakan bahwa besaran pendugaan outflow Sengguruh relatif lebih besar; sedangkan pada Sutami terjadi kondisi yang sebaliknya. Selama musim kemarau antara Juni hingga Nopember tahun 2002, rata-rata debit outflow Waduk Sengguruh sebesar 14.81 m3/det dan Waduk Sutami adalah 42.46 m3/det (Lampiran 6). Sementara itu, rata-rata debit outflow Waduk Sengguruh dan Sutami selama musim penghujan (antara Desember 2002 hingga Mei 2003) masing-masing adalah 59.05 m3/det dan 62.19 m3/det.
Besaran debit outflow yang dihasilkan oleh model perumusan
optimasi dinamik tidak bisa menangkap fluktuasi musim kemarau dan penghujan.
Tabel 21. Perkembangan Pendugaan Debit Outflow dan Produksi Daya Listrik Sengguruh Debit (Wo Energi Tahun 1) (m3/det) ( GWh) 2003 26.74 65.25 2004 26.74 65.25 2005 26.74 65.25 2006 26.74 65.25 2007 26.73 65.23 2008 26.73 65.21 2009 26.73 65.21 2010 26.73 65.21 2011 26.73 65.21 2012 26.73 65.21 2013 26.73 65.21 2014 26.73 65.21 2015 26.73 65.21 2016 26.73 65.21 2017 26.73 65.21 2018 26.73 65.21 2019 26.73 65.21 2020 19.90 48.56 Sumber: Hasil olahan
Sutami Debit (Wo2) Energi (m3/det) ( GWh) 36.95 272.67 36.95 272.67 36.95 272.67 36.95 272.67 36.94 272.61 36.93 272.57 36.93 272.57 36.93 272.57 36.93 272.57 36.93 272.57 36.93 272.57 36.93 272.57 36.93 272.57 36.93 272.57 36.93 272.57 36.93 272.57 36.93 272.57 . .
Besaran pendugaan produksi daya listrik yang terdapat pada Tabel 21 didasarkan rumusan produksi listrik pada persamaan (5.3c) dan (5.3d). Selama periode bulan Juni 2002 hingga Mei 2003, total produksi daya listrik secara riil sebesar 78.03 GWh untuk PLTA Sengguruh dan Sutami sebesar 338.61 GWh (Lampiran 6). Total produksi daya listrik secara riil tersebut relatif lebih besar bila dibandingkan dari hasil pendugaan (Tabel 21). Pendugaan produksi daya listrik dari PLTA Sengguruh sebesar 83.57% dari produksi riil; sedangkan dari PLTA Sutami sebesar 70.14%. Hal tersebut terjadi karena volume stok air (Vsa2) yang dipertahankan sepanjang horizon waktu relatif tinggi; yakni 146.00 juta m3. Berdasarkan hasil optimasi pendugaan debit outflow selama horizon waktu serta kondisi volume yang tersimpan dalam waduk pada akhir horizon waktu, dapat dikatakan bahwa sub-sistem ekologi bendungan-waduk mempunyai kontribusi terhadap total manfaat sosial bersih dari sistem DTA sebesar 30.98%.
Sebagaimana telah diuraikan pada anak sub-bab 5.1.3., bahwa produksi energi listrik PLTA Sutami didasarkan pada tail race 181.90 m, sehingga tinggi jatuh efektif 85.41 m. Pada kondisi tersebut setara dengan elevasi muka air waduk sama dengan 267.31 m.
Berdasarkan hasil pengukuran tahun 2003,
volume air waduk pada elevasi 267.31 m sebanyak 107.99 juta m3; yakni relatif lebih kecil daripada Vsa. Dengan demikian apabila Vsa diperkecil atau diturunkan akan menjadikan meningkatnya debit outflow (Wo1 dan Wo2); yakni melalui transmisi persamaan fungsi produksi yang terdapat dalam persamaan (6.1) dan kendala transisi kapasitas tampungan waduk pada persamaan (6.3) dan (6.4). Berdasarkan persamaan tersebut juga dapat diperoleh gambaran besaran pendugaan debit outflow optimal ditentukan oleh: (1) luas lahan optimal (Xijk), (2) besarnya sumbangan lahan terhadap inflow (ds), dan (3) volume stok air yang dipertahankan sepanjang horizon waktu (Vsa).
7.4. Ikhtisar
Selama periode tahun 2003 hingga 2020 diperoleh total nilai sekarang manfaat sosial bersih dari sistem daerah tangkapan air sebesar Rp 52.20 trilyun; dengan rata-rata manfaat sosial bersih Rp 2.95 milyar per tahun. Dari berbagai aktivitas optimal dan alokasi luas lahan yang dihasilkan pada tataran normatif tersebut, besarnya PVMSB dari DTA terdiri atas: (1) pendapatan total lahan budidaya intensif dari sub-sistem hulu waduk sebesar 69.12%, (2) nilai air baku dari sub-sistem ekologi bendungan-waduk sebesar 30.69% dan (3) nilai air yang masih tertampung pada waduk pada akhir horizon waktu sebesar 0.29%. Berdasarkan hasil optimasi intertemporal di sub-sistem hulu waduk dapat diperoleh fenomena sebagai berikut: 1. Dari setiap klasifikasi fungsi lahan hanya terdapat satu paket pola tanam optimal.
2. Keseluruhan total luas areal yang tersedia dioptimalkan hanya untuk satu paket pola tanam. 3. Jenis paket pola tanam optimal pada klasifikasi fungsi lahan yang sama relatif tidak beragam menurut wilayah Sub-sub DAS. Keadaan tersebut mencerminkan luas alokasi lahan dan pola tanam optimal tidak bervariasi; sedangkan kondisi riil relatif beragam. Diantara berbagai alternatif terdapat pada satu jenis fungsi lahan yang sama hanya terdapat satu aktivitas pola tanam optimal. Pola tanam tersebut mempunyai pendapatan per hektar per tahun paling tinggi sejak awal hingga akhir horizon waktu. Kondisi pendapatan yang tetap dominan sepanjang horizon waktu karena berkurangnya ketebalan lapisan tanah setiap periode tidak siknifikan dalam mempengaruhi perubahan produktivitas, serta karena asumsi harga komoditas maupun biaya konstan sepanjang horizon waktu.
Dengan
demikian menjadikan keputusan alokasi lahan intertemporal adalah konstan. Tendensi kurang beragamnya jenis paket pola tanam optimal menurut wilayah Sub-sub DAS dikarenakan besaran biaya produksi dari pola tanam yang dipertimbangkan dalam model diasumsikan berlaku sama di seluruh Sub-sub DAS. Sementara itu, secara riil biaya usahatani bervariasi berdasarkan lokasi Sub-sub DAS, terutama untuk pengelolaan komoditas tanaman semusim. Biaya produksi yang beragam bisa disebabkan oleh tingkat harga maupun penggunaan kuantitas input produksi yang berbeda karena perbedaan agroekologi. Paket pola tanam optimal tidak selalu dicirikan dengan pendapatan tertinggi dan potensi tingkat erosi rendah, namun juga bisa terjadi pada pola tanam dengan potensi erosi tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat pendapatan per hektar lahan mempunyai pengaruh langsung terhadap keputusan optimal; sedangkan tingkat erosi mempunyai pengaruh tidak langsung. Pengaruh tidak langsung tersebut melalui transmisi: (1) tingkat erosi
mengurangi ketebalan lapisan tanah yang mempengaruhi produksi komoditas, (2) tingkat produksi akan mempengaruhi penerimaan yang selanjutnya bersama biaya usahatani menentukan besarnya pendapatan aktivitas pola tanam dan (3) pendapatan dari aktivitas pola tanan
optimal menentukan besarnya manfaat
sosial bersih (net social benefit) dari fungsi tujuan sistem daerah tangkapan air. Perubahan pendapatan antar periode yang tidak siknifikan sejalan dengan hasil kajian Van Kooten et al. (1989) dan Barbier (1990) pada solum yang tebal. Dari data sekunder diperoleh rata-rata tertimbang ketebalan lapisan tanah di DTA Waduk Sutami-Sengguruh berkisar antara 84.84 cm hingga 89.65 cm. Hasil pendugaan debit outflow optimal intertemporal dari masing-masing waduk cenderung relatif tetap, karena luas lahan optimal setiap periode relatif konstan. Pada kondisi riil, besaran debit outflow sangat berfluktuasi tergantung musim. Debit outflow optimal didasarkan pada asumsi volume inflow air adalah konstan sepanjang horizon waktu; serta belum mempertimbangkan karakteristik hidrologi periode yang akan datang. Pendugaan debit outflow optimal periode yang akan datang hanya didasarkan pada karakteristik hidrologi pada tahun 2003 sebagai awal horizon waktu. Oleh karena itu perlu dikembangkan pendekatan stokastik pada variabel dsk (sumbangan lahan terhadap volume inflowI air) mengingat fenomena curah hujan adalah berfluktuasi. Debit outflow optimal Waduk Sengguruh relatif lebih kecil daripada debit rata-rata debit outflow tahunan selama tahun 2002/2003, namun masih relatif lebih besar daripada batas bawah debit operasi PLTA. Debit outflow yang relatif lebih kecil daripada debit rata-rata menjadikan produksi daya listrik yang dihasilkan juga relatif lebih rendah daripada kondisi riil.
Khusus pada PLTA
Sutami, relatif rendahnya outflow optimal karena volume stok air yang dipertahankan sepanjang horizon waktu relatif tinggi; yakni 146.00 juta m3. Apabila kendala batas atas volume air yang tersimpan diperkecil, maka debit
outflow bisa menjadi lebih besar; yakni melalui transmisi fungsi tujuan dan kendala kapasitas tampungan waduk. Beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan antara hasil alokasi (lahan dan debit outflow) optimal dengan kondisi riil di lapangan adalah: (1) perbedaan orientasi pencapaian fungsi tujuan,
(2) keputusan rumah tangga petani, (3)
kebijakan makro, dan (4) wacana politik. Fungsi tujuan optimasi dinamik didasarkan pada asumsi bahwa semua komponen masyarakat dalam mengelola sumberdaya pada daerah tangkapan air untuk menghasilkan keuntungan maksimal. Sedangkan pada kondisi riil, tidak semua
pengelola
lahan
budidaya
intensif
berorientasi
memaksimalkan
keuntungan; dan pengaturan debit outflow hanya didasarkan pada aspek kuantitas permintaan dan ketersediaan air. Pada skala mikro, pemilihan aktivitas riil dipengaruhi oleh keputusan rumah tangga petani. Keputusan tersebut didasarkan pada: (1) kondisi pasar (fluktuasi permintaan dan tingkat harga setempat), (2) kendala sumberdaya (modal, tenaga kerja dan lahan), (3) sifat pengusahaan (subsisten atau komersial).
Pada skala makro meliputi: (1)
kebijakan sektoral (intensifikasi tebu rakyat, program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat), dan (2) kebijakan harga. Besaran pendugaan debit outflow optimal ditentukan oleh: (1) luas lahan optimal (Xijk), (2) Besarnya sumbangan lahan terhadap inflow (ds), dan (3) volume stok air yang dipertahankan sepanjang horizon waktu.
VIII. NILAI EKONOMI EROSI Pada bab ini akan dibahas tentang pengukuran nilai ekonomi dampak erosi lahan budidaya intensif terhadap on-farm di sub-sistem hulu waduk serta eksternalitas yang terjadi pada sub-sistem ekologi bendungan-waduk. Pengukuran nilai ekonomi didekati dengan konsep biaya on-site maupun off-site erosi serta harga bayangan ketebalan lapisan tanah melalui konsep user cost. Pembahasan nilai ekonomi erosi diawali dengan deskripsi dinamika cadangan atau stok dan ekstrasi sumberdaya ketebalan lapisan tanah (soil depth atau SD) dan kapasitas tampungan waduk. 8.1. Cadangan dan Ekstrasi Sumberdaya
Dinamika stok ketebalan lapisan tanah ditunjukkan dalam kolom SD; dan tingkat ekstrasinya diwakili oleh variabel kehilangan lapisan tanah kumulatif (CSL) pada setiap periode (Tabel 22 dan 23). Dinamika stok kapasitas waduk diwakili oleh volume tampungan mati yang belum terisi (Vsa2b) dan ekstrasi setiap periode digambarkan oleh volume sedimen baru yang masuk ke dalam waduk setiap tahun (Vms) sebagaimana seperti yang terdapat pada Tabel 24. Berdasarkan dinamika kondisi fisik ketebalan lapisan tanah pada Tabel 22 dapat diperoleh gambaran bahwa ekstrasi SD setiap periode di wilayah Subsub DAS Sumber Brantas paling tinggi terjadi pada lahan tegal, kemudian secara berurutan diikuti oleh lahan kebun dan sawah. Pada akhir horizon waktu (2020), CSL yang dihasilkan paket pola tanam apel pada lahan tegal relatif lebih besar daripada lahan kebun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada wilayah Sub-sub DAS yang sama dapat terjadi CSL yang bervariasi menurut klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan dan pola tanam.
Tabel 22. Ketebalan Lapisan Tanah dan Kumulatif Kehilangan Tanah Setiap Periode dari Aktivitas Optimal Sub-Sub DAS Sumber Brantas Menurut Klasifikasi Fungsi dan Kemiringan Lahan
Sawah I Tahun
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Pd-Pd-Sy SD CSL (cm) (mm) 87.04 87.04 0.03 87.03 0.07 87.03 0.10 87.03 0.13 87.02 0.17 87.02 0.20 87.02 0.23 87.01 0.27 87.01 0.30 87.01 0.33 87.00 0.37 87.00 0.40 87.00 0.43 86.99 0.47 86.99 0.50 86.99 0.53 86.98 0.57
Sawah II
Tegal I
Tegal II
Pd-Pd-Sy Kentang-Wortel SD CSL SD CSL (cm) (mm) (cm) (mm) 87.04 87.04 87.03 0.05 86.91 1.31 87.03 0.11 86.78 2.63 87.02 0.16 86.65 3.94 87.02 0.21 86.51 5.25 87.01 0.27 86.38 6.57 87.01 0.32 86.25 7.88 87.00 0.37 86.12 9.19 87.00 0.43 85.99 10.51 86.99 0.48 85.86 11.82 86.99 0.53 85.73 13.13 86.98 0.59 85.60 14.45 86.98 0.64 85.46 15.76 86.97 0.69 85.33 17.07 86.97 0.75 85.20 18.39 86.96 0.80 85.07 19.70 86.95 0.85 84.94 21.01 86.95 0.91 84.81 22.33
Apel SD CSL (cm) (mm) 87.04 86.95 0.89 86.86 1.77 86.77 2.66 86.69 3.55 86.60 4.43 86.51 5.32 86.42 6.21 86.33 7.09 86.24 7.98 86.15 8.87 86.06 9.75 85.98 10.64 85.89 11.53 85.80 12.41 85.71 13.30 85.62 14.19 85.53 15.07
Kebun I Apel SD CSL (cm) (mm) 87.04 87.00 0.41 86.96 0.83 86.92 1.24 86.87 1.65 86.83 2.07 86.79 2.48 86.75 2.89 86.71 3.31 86.67 3.72 86.63 4.13 86.59 4.55 86.54 4.96 86.50 5.37 86.46 5.79 86.42 6.20 86.38 6.61 86.34 7.03
Sumber: Olahan data
Ekstrasi SD setiap periode pada paket pola tanam kentang-wortel yang terjadi di wilayah Sub-sub DAS Bango relatif jauh lebih tinggi daripada di wilayah Sumber Brantas (Tabel 23); yakni 0.31 cm/th untuk Sub-sub DAS Bango dan 0.13 cm/th untuk Sumber Brantas.
Kehilangan ketebalan lapisan tanah (Soil
Loss atau SL) setiap periode maupun kumulatifnya (CSL) pada paket pola tanam Jg-Jg-Sy yang terjadi di wilayah Sub-sub DAS Metro menunjukkan angka yang paling tinggi; urutan berikutnya ditempati wilayah Lesti dan Amprong.
Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa pola tanam yang sama pada lahan tegal kemiringan I (0–15%) akan terjadi keragaman CSL menurut Sub-sub DAS. Keragaman tersebut tidak hanya terjadi pada lahan tegal kemiringan I, namun juga pada klasifikasi fungsi lahan yang lain.
Hal itu terjadi karena adanya
keragaman tingkat erosi menurut wilayah. Dari kondisi tersebut selanjutnya perlu digali deskripsi hubungan antara tingkat erosi dan biaya erosi; yakni deskripsi
yang mencerminkan apakah suatu paket pola tanam yang menghasilkan tingkat erosi tinggi akan mempunyai biaya erosi yang tinggi. Untuk itu dapat ditinjau dari harga bayangan ketebalan lapisan tanah yang diuraikan pada sub-bab 8.3. Tabel 23. Ketebalan Lapisan Tanah dan Kumulatif Kehilangan Tanah Setiap Periode dari Aktivitas Optimal pada Lahan Tegal Kemiringan I Menurut Sub-Sub DAS (cm)
Bango Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Sb Brantas
Kentang-Wortel Kentang-Wortel SD CSL SD CSL 89.65 0 87.04 0 89.34 0.31 86.91 0.13 89.04 0.61 86.78 0.26 88.73 0.92 86.65 0.39 88.42 1.23 86.51 0.53 88.11 1.54 86.38 0.66 87.81 1.84 86.25 0.79 87.50 2.15 86.12 0.92 87.19 2.46 85.99 1.05 86.89 2.76 85.86 1.18 86.58 3.07 85.73 1.31 86.27 3.38 85.60 1.44 85.97 3.68 85.46 1.58 85.66 3.99 85.33 1.71 85.35 4.30 85.20 1.84 85.04 4.61 85.07 1.97 84.74 4.91 84.94 2.10 84.43 5.22 84.81 2.23
Amprong Jg-Jg-Sy SD CSL 89.25 0 89.15 0.10 89.05 0.20 88.95 0.30 88.85 0.40 88.75 0.51 88.64 0.61 88.54 0.71 88.44 0.81 88.34 0.91 88.24 1.01 88.14 1.11 88.04 1.21 87.94 1.31 87.84 1.41 87.74 1.52 87.63 1.62 87.53 1.72
Lesti Jg-Jg-Sy SD CSL 86.46 0 86.33 0.13 86.19 0.27 86.06 0.40 85.93 0.53 85.79 0.67 85.66 0.80 85.53 0.93 85.39 1.07 85.26 1.20 85.13 1.33 84.99 1.47 84.86 1.60 84.73 1.73 84.59 1.87 84.46 2.00 84.33 2.13 84.19 2.27
Metro Jg-Jg-Sy SD CSL 84.84 0 84.51 0.33 84.19 0.65 83.86 0.98 83.54 1.30 83.21 1.63 82.89 1.95 82.56 2.28 82.24 2.60 81.91 2.93 81.59 3.25 81.26 3.58 80.94 3.90 80.61 4.23 80.29 4.55 79.96 4.88 79.63 5.21 79.31 5.53
Sumber: Olahan data
Apabila dinamika perubahan SD dan CSL setiap periode tersebut (Tabel 22 dan 23) disajikan dalam bentuk grafik, maka dapat diperoleh kecenderungan hubungan antara stok dan ekstrasi ketebalan lapisan tanah. Dalam hal ini CSL dianalogikan sebagai tingkat ekstrasi SD selama horizon waktu. Dalam bentuk grafik dinamika SD dan CSL pada lahan tegal kemiringan I dengan pola tanam Jg-Jg-Sy di wilayah Sub-sub DAS Metro disajikan pada Gambar 8. Kurve CSL berbentuk linier mencerminkan perubahan ekstrasi intertemporal yang konstan, sehingga menjadikan bentuk kurva SD juga linier, karena proporsi menurunnya SD ditentukan oleh kendala transisi pada persamaan (6.2). SL adalah konstan
karena besaran SL merupakan hasil bagi antara tingkat erosi dan berat jenis tanah; sementara tingkat erosi setiap hektar lahan tetap pada setiap periode.
Soil Depth & Soil Loss (cm)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2000
2005
2010
2015
2020
2025
Periode (Tahun)
Gambar 8. Dinamika Cadangan dan Ekstrasi Ketebalan Lapisan Tanah Lahan Tegal Kemiringan I (0– 5%) pada Pola Tanam Pd-Pd-Sy di Wilayah Sub-Sub DAS Metro Volume stok air (Vsa1) dari Waduk Sengguruh setiap tahun mengalami penurunan sebesar 0.45 juta m3 (Tabel 24) karena digantikan oleh sedimen yang masuk kedalam waduk; yakni sebesar bertambahnya volume stok sedimen (Vss1). Sementara itu, agar manfaat bersih sosial menjadi maksimal, pengerukan sedimen yang dilakukan tahun 2007 adalah 0.24 juta m3. Pada kondisi riil di lapangan, pengerukan telah dilakukan setiap tahun sejak beberapa tahun sebelum 2003 (PJT I, 1998). Volume sedimen yang masuk Waduk Sengguruh pada tahun 2004 sampai 2006 menggantikan volume stok air sebesar 0.45 juta m3. Khusus pada tahun 2007, volume sedimen yang masuk Waduk Sengguruh sebagian menggantikan volume stok air (Vsa1) sebesar 0.21 juta m3 dan sebagian yang lain (0.24 juta m3) dikeruk. Volume stok air (Vsa1) berkurang dan volume stok sedimen bertambah (Vss1), yakni sebesar volume sedimen baru yang masuk. Pengerukan sedimen
setiap periode dari tahun 2008 hingga 2020 sebesar volume sedimen baru yang masuk waduk (Tabel 24), yaitu sebesar 0.45 juta m3. Tabel 24. Pendugaan Volume Stok Air dan Volume Sedimen pada Waduk Sengguruh dan Sutami Sengguruh Vsa1
Tahun
Vss1
Vks1 3
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
. . . . . . . . . . . .
. . . (juta m ) . . . 2.00 0.32 . 1.55 0.77 . 1.10 1.22 . 0.66 1.67 . 0.21 2.11 0.24 2.32 0.45 2.32 0.45 2.32 0.45 2.32 0.45 2.32 0.45 2.32 0.45 2.32 0.45 2.32 0.45 2.32 0.45 2.32 0.45 2.32 0.45 2.32 0.45 2.32 .
Sutami Wo1 3 (m /det) 26.74 26.74 26.74 26.74 26.73 26.73 26.73 26.73 26.73 26.73 26.73 26.73 26.73 26.73 26.73 26.73 26.73 19.90
Vsa2 175.12 174.37 173.62 172.87 172.12 171.37 170.62 169.87 169.12 168.36 167.61 166.86 166.11 165.36 164.61 163.86 163.11 162.36
Vss2 . . . (juta m 61.00 61.75 62.50 63.25 64.00 64.75 65.50 66.26 67.01 67.76 68.51 69.26 70.01 70.76 71.51 72.26 73.01 73.76
Vsa2a 3
)... 146.12 146.12 146.12 146.12 146.12 146.12 146.12 146.12 146.12 146.12 146.12 146.12 146.12 146.12 146.12 146.12 146.12 146.12
Vsa2b
Wo2 (m /det) 3
29.00 28.25 27.50 26.75 26.00 25.25 24.50 23.75 23.00 22.24 21.49 20.74 19.99 19.24 18.49 17.74 16.99 16.24 .
36.95 36.95 36.95 36.95 36.94 36.93 36.93 36.93 36.93 36.93 36.93 36.93 36.93 36.93 36.93 36.93 36.93
Sumber: Olahan data
Batas fasilitas operasi minimal Waduk Sengguruh adalah elevasi operasi 291.40 m, yakni dengan volume sebesar 1.36 juta m3 (Tabel 4). Secara teknis, volume stok sedimen (Vss1) lebih besar dari 1.36 juta m3 akan dilakukan pengerukan sedimen. Pengerukan dilakukan agar turbin pada PLTA Sengguruh tetap berfungsi. Pada tabel 24 tampak bahwa Vss1 pada tahun 2006 sebesar 1.67 juta m3 volume tersebut lebih besar daripada volume stok sedimen yang diperbolehkan.
Agar turbin pada PLTA Sengguruh masih tetap berfungsi,
semestinya pada tahun 2006 ada aktivitas pengerukan sedimen sebanyak 0.31 juta m3. Hasil pendugaan volume sedimen yang dikeruk (VKS1) yang terdapat dalam Tabel 24 didasarkan pada rumusan kendala pada persamaan (6.3b). Hal tersebut belum mencerminkan batas fasilitas operasi minimal Waduk Sengguruh
pada elevasi 291.40 m. Oleh karena itu, maka dalam perumusan optimasi dinamik perlu ditambahkan persamaan batas atas dari variabel Vss1 sebesar 1.36 juta m3. Dari Tabel 24 juga dapat diinformasikan bahwa: (1) pendugaan volume air yang tersimpan pada tampungan efektif Waduk Sutami selama horizon waktu sebesar volume yang dipertahankan (146.12 juta m3), (2) kapasitas tampungan mati Waduk Sutami pada setiap periode (Vsa2b(t) – Vsa2b (t+1)) semakin berkurang sebesar 0.75 juta m3, yakni sebesar perubahan volume stok sedimen dalam waduk (Vss2(t)–Vss2 (t+1)), dan (3) kapasitas tampung mati Waduk Sutami yang belum terisi hingga akhir horizon waktu sebesar 16.24 juta m3. Hasil pendugaan volume sedimen yang tertahan dalam Waduk Sutami yang terjadi setiap periode (0.75 juta m3) tersebut jauh lebih kecil dari kondisi riil di lapangan. Rata-rata yang diperoleh dari data sekunder menunjukan bahwa sedimen yang terjadi tiap tahun sebesar 3.96 juta m3 (Tabel 5). Hal tersebut terjadi karena tingkat erosi setiap paket pola tanam yang dipergunakan sebagai dasar pendugaan relatif kecil bila dibandingkan dengan keadaan riil. Perubahan volume kapasitas tampungan mati Waduk Sutami selama horizon waktu disajikan pada Gambar 9. Dengan membandingkan dua periode dapat diinterpretasikan bahwa volume tampungan mati Waduk Sutami (Vsa2b) selama periode perencanaan terjadi perubahan sebesar 5%. Volume air yang tersimpan dalam tampungan efektif (Vsa2a) adalah konstan sepanjang periode perencanaan,
yakni
146.12
juta
m3
yang
merupakan
asumsi
untuk
mempertahankan kapasitas tampung Waduk Sutami sepanjang horizon waktu.
Vsa2b = 7%
Vsa2b =12% Vss2 = 26%
Vss2 = 31%
Vsa2a = 62% Vsa2a = 62%
a. Kondisi tahun 2003
b. Kondisi tahun 2020
Gambar 9. Pendugaan Volume Tampungan Efektif dan Tampungan Mati Waduk Sutami pada Tahun 2003 dan 2020 Deskripsi hubungan antara stok dan ekstrasi sumberdaya di DTA Waduk Sutami-Sengguruh disajikan pada Gambar 10.
Sebaran stok sumberdaya
selama horizon waktu membentuk kurva linier dengan kelerengan (slope) negatif, sedangkan ekstraksi sumberdaya mempunyai slope positif. Massa sedimen yang konstan pada setiap periode menghasilkan perubahan volume sedimen yang tertahan dalam Waduk Sutami (Vss2) menjadi konstan, yakni sebesar 0.75 juta m3. Kapasitas tampungan mati yang belum terisi dianalogikan sebagai stok sumber-daya, sedangkan kumulatif volume sedimen baru yang tertahan dalam Waduk Sutami pada setiap periode (kumulatif perubahan Vss2) dianalogikan sebagai ekstrasi stok sumberdaya. Dengan volume stok sedimen Waduk Sutami yang konstan pada setiap periode, menjadikan pengurangan kapasitas tampungan mati juga konstan (Tabel 24). Kurva cadangan dan ekstrasi tampungan mati Waduk Sutami pada Gambar 10 mendeskripsikan hubungan antara kapasitas tampungan mati yang
belum terisi (Vsa2b) dan kumulatif sedimen yang masuk (kumulatif perubahan Vss2) setiap
periode. Stok sumberdaya yang cenderung semakin kecil antar
waktu; dan ekstrasi stok sumberdaya tampak semakin besar. Deskripsi yang terjadi tersebut diharapkan mampu menggambarkan dinamika stok dan ekstrasi sumberdaya pada sub-sistem ekologi bendungan-waduk.
TM yg belum terisi & Ekstrasi TM kumulatif (juta m3)
30.00 25.00
Tampungan mati yg blm terisi (VSA2B)
20.00 15.00 10.00 Kumulatif perubahan (VSS2)
5.00 0.00 2000
2005
2010
2015
2020
2025
Periode (tahun)
Gambar 10. Dinamika Cadangan dan Ekstrasi Tampungan Mati Waduk Sutami Pengaruh perubahan aktivitas pola tanam terhadap perubahan kapasitas tampungan waduk secara matematis dapat dilihat melalui persamaan (6.10a) untuk Waduk Sengguruh dan persamaan (6.10b) untuk Waduk Sutami.
Dari
persamaan tersebut dapat mendeskripsikan fenomena arah perubahan yang terjadi serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan. Apabila terjadi peningkatan aktivitas pola tanam seluas satu hektar (Xijk) akan menyebabkan: (1) inflow air meningkat sebesar ds, dan (2) kapasitas tampungan waduk menurun sebesar volume sedimen baru yang tertahan. Besarnya (magnitude) perubahan kapasitas tampungan waduk dipengaruhi oleh berat jenis sedimen (KVS), rasio transportasi sedimen (SDR) setiap Sub-sub DAS, dan tingkat erosi per hektar dari paket pola tanam yang dikelola (eijk).
8.2. Pendugaan Biaya On-Site Erosi
Sebagaimana telah dijelaskan di depan, bahwa besarnya biaya on-site erosi didekati dengan nilai sekarang (present value atau PV) dari pendapatan bersih yang akan datang sebagai akibat dari erosi tanah yang terjadi pada saat ini. Pendapatan bersih tersebut secara matematis ditunjukan oleh unsur kedua sebelah kanan tanda sama dengan (right hand side) pada persamaan (6.12a). Dari perubahan PV pendapatan per hektar pola tanam apel (aktivitas pola tanam optimal pada lahan tegal II) dari Sub-sub DAS Sumber Brantas (tabel 20) dan besaran SL setiap tahun pada Tabel 23, maka dapat diperoleh pendugaan besaran biaya on-site erosi yang disajikan pada Tabel 25. Dari Tabel 25 terdapat tendensi bahwa biaya on-site erosi semakin kecil antar periode.
Pendapatan bersih yang diperoleh pada tahun 2004 seiring
dengan terjadinya SL akibat aktivitas pertanian selama tahun 2003, yakni sebesar Rp 6.55 juta/mm/ha. Tabel 25. Pendugaan Biaya On-Site Erosi pada Pola Tanam Apel Lahan Tegal Kemiringan II di Wilayah Sub-Sub DAS Sumber Brantas Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Pendapatan (juta Rp/ha) SL Biaya on-site erosi Delta (mm) (ribu Rp/mm/ha) (juta Rp/mm/ha) PV 64 126 58 294 5 832 0.89 6 552.81 6.55 52 993 5 301 0.89 5 956.18 5.96 48 173 4 820 0.89 5 415.73 5.42 43 792 4 381 0.89 4 922.47 4.92 39 810 3 982 0.89 4 474.16 4.47 36 189 3 621 0.89 4 068.54 4.07 32 898 3 291 0.89 3 697.75 3.70 29 906 2 992 0.89 3 361.80 3.36 27 186 2 720 0.89 3 056.18 3.06 24 714 2 472 0.89 2 777.53 2.78 22 466 2 248 0.89 2 525.84 2.53 20 423 2 043 0.89 2 295.51 2.30 18 566 1 857 0.89 2 086.52 2.09 16 877 1 689 0.89 1 897.75 1.90 15 342 1 535 0.89 1 724.72 1.72 13 947 1 395 0.89 1 567.42 1.57 Sumber: olahan data
Dengan membandingkan antara besaran PV pendapatan per hektar dan biaya on-site erosi, tampak bahwa biaya on-site erosi pada periode t+1 hampir sama dengan PV pendapatan per hektar pada periode t. Hal tersebut karena pengukuran biaya on-site erosi hanya didasarkan pada pendekatan nilai perubahan produktivitas, serta tanpa mempertimbangkan investasi dalam bentuk biaya pembuatan dan perawatan bangunan teras.
8.3. Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah Nilai ekonomi dampak erosi dapat didasarkan pada konsep user cost, yaitu melalui harga bayangan atau biaya kesempatan (opportunity cost) pada periode yang akan datang (t+1) yang diakibatkan dari keputusan ekstrasi SD pada periode saat ini (t). Hasil pendugaan besaran biaya disajikan dalam bentuk present value (ρλ1ijk(t+1)) maupun dalam bentuk nominal (λ1ijk(t+1)). Valuasi ekonomi dampak erosi terhadap kehilangan ketebalan lapisan tanah (soil loss) per hektar didekati dengan harga bayangan (shadow price) yang ditunjukan oleh angka pengganda Lagrange yang terkait dengan kendala transisi (motion equation) ketebalan lapisan tanah. Dari perspektif ekonomi sumberdaya, pengganda Lagrange dari kendala transisi disebut dengan user cost, yakni yang mencerminkan harga bayangan dari state variable. Besarnya harga bayangan dari perumusan optimasi dinamik problem diskrit adalah λ(t+1) (Conrad, 1999; Sagarra dan Taylor, 1987). Berdasarkan formula Lagrange pada persamaan (6.7), besarnya dampak erosi terhadap SD adalah λ1ijk(t+1). Besaran tersebut mencerminkan perubahan PV manfaat sosial bersih dari perubahan satu cm SD dari klasiikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i dengan pola tanam optimal ke-j pada Sub-sub DAS ke-k.
Tabel 26.
Pendugaan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah pada Beberapa Aktivitas Pola Tanam Optimal pada Beberapa Klasifikasi Lahan Wilayah Sub-Sub DAS Sumber Brantas (ribu Rp/cm/ha) Pd-Pd-Sy Sawah I
Tahun
λ113(t+1)
PV (ρλt) 2004 1 804.18 2005 1 594.58 2006 1 404.04 2007 1 230.81 2008 1 073.32 2009 930.14 2010 799.97 2011 681.63 2012 574.05 2013 476.24 2014 387.32 2015 306.48 2016 232.99 2017 166.17 2018 105.43 2019 50.21 Sumber: Olahan data
Nominal (λt) 1 984.60 1 929.45 1 868.77 1 802.02 1 728.59 1 647.80 1 558.92 1 461.14 1 353.58 1 235.24 1 105.07 961.87 804.33 631.04 440.40 230.69
Sawah II
λ122(t+1) PV (ρλt) 1 804.46 1 594.86 1 404.31 1 231.07 1 073.56 930.36 800.18 681.82 574.21 476.39 387.44 306.58 233.07 166.24 105.47 50.22
Nominal (λt) 1 984.90 1 929.78 1 869.13 1 802.41 1 728.97 1 648.19 1 559.33 1 461.54 1 353.95 1 235.63 1 105.42 962.19 804.62 631.28 440.58 230.77
Tegal II
λ1417(t+1) PV (ρλt) 177.72 157.59 139.21 122.42 107.08 93.08 80.29 68.61 57.95 48.21 39.31 31.19 23.77 17.00 10.81 5.16
Nominal (λt) 195.50 190.68 185.28 179.23 172.46 164.89 156.47 147.07 136.64 125.04 112.16 97.89 82.06 64.55 45.16 23.71
Apel Kebun I
λ1519(t+1) PV (ρλt) 173.63 153.57 135.31 118.70 103.58 89.82 77.30 65.91 55.54 46.11 37.52 29.71 22.59 16.12 10.23 4.88
Nominal (λt) 190.99 185.82 180.10 173.79 166.82 159.13 150.64 141.28 130.96 119.58 107.05 93.23 78.00 61.23 42.75 22.41
Kebun II
λ1623(t+1) PV (ρλt) 174.89 154.81 136.51 119.84 104.66 90.82 78.22 66.74 56.28 46.75 38.07 30.16 22.96 16.39 10.41 4.96
Nominal (λt) 192.38 187.32 181.70 175.46 168.55 160.90 152.43 143.06 132.71 121.26 108.62 94.66 79.25 62.24 43.49 22.81
Pada Tabel 26 hingga Tabel 29 tampak bahwa harga bayangan ketebalan lapisan tanah (user cost of soil erosion atau UCSE) selama horizon waktu cenderung menurun, baik dalam nilai nominal maupun nilai sekarang. Deskripsi kecenderungan UCSE yang semakin menurun antar periode mirip dengan hasil kajian Walker (1982) dan Van Kooten et al. (1989). Diuraikan bahwa semakin dalam SD, besarnya UCSE tahun berjalan (current) semakin menurun; serta pada SD 12 inchi UCSE semakin kecil antar waktu. Besaran yang terdapat pada Tabel 26 hingga 29 tersebut dapat diinterpretasikan bahwa setiap kenaikan satu cm SL akibat dari akivitas pola tanam ke-j pada lahan ke-i di wilayah ke-k pada periode t akan menyebabkan UCSE periode t+1 sebesar λ1ijk(t+1). Secara umum dapat dideskripsikan bahwa UCSE terkecil terjadi pada pola tanam tebu pada lahan kebun kemiringan I (0–15%); sedangkan tertinggi dari paket pola tanam Kentang-Wortel pada lahan tegal kemiringan I.
Secara
spesifik, dari wilayah Sub-sub DAS Sumber Brantas (Tabel 30) terdapat tendensi bahwa harga bayangan ketebalan lapisan tanah dari paket pola tanam Pd-Pd-Sy pada lahan sawah kemiringan I relatif sama dengan lahan sawah kemiringan II. UCSE dari aktivitas optimal tanaman apel pada lahan kebun kemiringan II (≥ 15%) relatif sama dengan kemiringan I; dan pada lahan tegal klasifikasi kemiringan II sedikit lebih tinggi. Hasil UCSE lahan tegal klasifikasi kemiringan I dengan pola tanam Kentang-Wortel di Sub-sub DAS Sumber Brantas relatif lebih tinggi daripada Bango (Tabel 27). Rata-rata selisih nilai nominal selama horizon waktu sebesar Rp 18 000. UCSE pola tanam Jg-Jg-Sy tertinggi terjadi di wilayah Sub-sub DAS Metro; yang diikuti oleh Lesti dan Amrong. Dari hasil pendugaan harga bayangan ketebalan lapisan tanah di wilayah Sub-sub DAS Metro (Tabel 28) dapat diperoleh kecenderungan bahwa UCSE
Tabel 27. Pendugaan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah (dari Beberapa Aktivitas Pola Tanam Optimal pada Lahan Tegal Kemiringan I (0–15%) di Beberapa Wilayah Sub-Sub DAS (ribu Rp/cm/ha) Paket Pola Tanam dan Sub-sub DAS
Tahun
Kentang-Wortel λ1311k(t+1)
Bango PV Nominal (ρλt) (λt) 2004 2 617.64 2 879.40 2005 2 318.67 2 805.59 2006 2 046.04 2 723.27 2007 1 797.42 2 631.61 2008 1 570.71 2 529.65 2009 1 363.98 2 416.37 2010 1 175.45 2 290.63 2011 1 003.54 2 151.18 2012 846.77 1 996.64 2013 703.81 1 825.51 2014 573.45 1 636.12 2015 454.57 1 426.64 2016 346.17 1 195.06 2017 247.31 939.17 2018 157.17 656.52 2019 74.96 344.45 Sumber: Olahan data
Sb. Brantas PV Nominal (ρλt) (λt) 2 656.11 2 921.72 2 349.73 2 843.18 2 070.84 2 756.29 1 816.97 2 660.23 1 585.88 2 554.07 1 375.51 2 436.80 1 184.02 2 307.31 1 009.70 2 164.38 851.02 2 006.67 706.58 1 832.69 575.10 1 640.82 455.41 1 429.26 346.45 1 196.05 247.27 939.02 156.99 655.80 74.81 343.75
Jg-Jg-Sy λ139k(t+1) Amprong PV Nominal (ρλt) (λt) 1 647.82 1 812.60 1 457.50 1 763.58 1 284.30 1 709.41 1 126.67 1 649.56 983.22 1 583.49 852.66 1 510.55 733.85 1 430.06 625.72 1 341.28 527.31 1 243.36 437.75 1 135.40 356.24 1 016.39 282.06 885.22 214.55 740.69 153.11 581.44 97.20 406.02 46.31 212.80
Lesti PV Nominal (ρλt) (λt) 1 702.27 1 872.50 1 506.06 1 822.33 1 327.43 1 766.80 1 164.80 1 705.38 1 016.74 1 637.47 881.95 1 562.42 759.23 1 479.52 647.51 1 387.99 545.79 1 286.95 453.19 1 175.47 368.89 1 052.48 292.14 916.85 222.26 767.31 158.65 602.46 100.73 420.78 48.00 220.58
Metro PV Nominal (ρλt) (λt) 1 756.71 1 932.39 1 556.60 1 883.49 1 374.03 1 828.84 1 207.47 1 767.86 1 055.52 1 699.92 916.88 1 624.32 790.40 1 540.28 675.01 1 446.95 569.74 1 343.41 473.69 1 228.64 386.07 1 101.49 306.12 960.74 233.18 805.01 166.64 632.81 105.93 442.48 50.54 232.21
Tabel 28. Pendugaan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah (λ1ij5(t+1)) Beberapa Aktivitas Pola Tanam Optimal pada Beberapa Klasifikasi Lahan di Sub-Sub DAS Metro (ribu Rp/cm/ha) Jg-Jg-Sy (λ1ij5(T+1))
Tahun
Tegal I
PV (ρλt) 2004 1 756.71 2005 1 556.60 2006 1 374.03 2007 1 207.47 2008 1 055.52 2009 916.88 2010 790.40 2011 675.01 2012 569.74 2013 473.69 2014 386.07 2015 306.12 2016 233.18 2017 166.64 2018 105.93 2019 50.54 Sumber: Olahan data
Nominal (λt) 1 932.39 1 883.49 1 828.84 1 767.86 1 699.92 1 624.32 1 540.28 1 446.95 1 343.41 1 228.64 1 101.49 960.74 805.01 632.81 442.48 232.21
Jeruk (λ1ij5(T+1))
Tegal II PV (ρλt) 1 740.03 1 540.21 1 358.17 1 192.32 1 041.24 903.60 778.21 663.98 559.91 465.11 378.74 300.05 228.37 163.07 103.58 49.38
Nominal (λt) 1 914.04 1 863.65 1 807.72 1 745.68 1 676.93 1 600.78 1 516.51 1 423.30 1 320.24 1 206.37 1 080.58 941.69 788.40 619.25 432.66 226.88
Sawah II PV (ρλt) 249.22 220.67 194.65 170.93 149.31 129.62 111.66 95.30 80.38 66.79 54.39 43.11 32.82 23.44 14.89 7.10
Nominal (λt) 274.15 267.01 259.08 250.25 240.46 229.62 217.59 204.28 189.54 173.23 155.19 135.29 113.30 89.00 62.21 32.60
Kebun I PV (ρλt) 186.47 165.10 145.62 127.86 111.68 96.94 83.50 71.26 60.10 49.94 40.67 32.23 24.53 17.52 11.13 5.31
Nominal (λt) 205.12 199.77 193.81 187.20 179.87 171.74 162.73 152.75 141.72 129.52 116.04 101.14 84.69 66.53 46.49 24.38
Kebun II PV (ρλt) 187.36 165.96 146.45 128.66 112.44 97.64 84.15 71.84 60.62 50.39 41.06 32.55 24.79 17.71 11.25 5.37
Nominal (λt) 206.09 200.82 194.93 188.37 181.08 172.98 163.98 154.00 142.95 130.70 117.14 102.15 85.57 67.25 47.01 24.66
pada pola tanam Jg-Jg-Sy jauh lebih tinggi daripada pola tanam tunggal jeruk. UCSE lahan sawah II dengan pola tanam jeruk relatif lebih tinggi daripada lahan kebun; dan UCSE antara lahan kebun klasifikasi kemiringan I relatif sama dengan kemiringan II. Harga bayangan ketebalan lapisan tanah pola tanam Pd-Pd-Sy lahan sawah kemiringan I yang tertinggi terjadi pada wilayah Sub-sub DAS Metro kemudian diikuti oleh Lesti, Sumber Brantas dan Bango (Tabel 33). Dari tabel tersebut juga tercermin bahwa harga bayangan ketebalan lapisan tanah beragam menurut wilayah Sub-sub DAS. Tabel 29. Pendugaan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah (λ113(t+1)) Pola Tanam Pd-Pd-Sy pada Lahan Sawah Kemiringan I (0–15%) Menurut Sub-Sub DAS (ribu Rp/cm/ha) Sub-sub DAS Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Bango ρλ1131t λ1131t
6 451.87 5 702.38 5 020.99 4 401.52 3 838.34 3 326.33 2 860.84 2 437.66 2 052.92 1 703.15 1 385.15 1 096.06 833.23 594.28 377.05 179.55
7 097.05 6 899.88 6 682.94 6 444.26 6 181.68 5 892.79 5 574.97 5 225.33 4 840.68 4 417.52 3 952.00 3 439.89 2 876.52 2 256.77 1 575.01 825.03
Sb Brantas ρλ1132t λ1132t
29 038.25 25 664.84 22 597.99 19 809.83 17 275.03 14 970.58 12 875.54 10 970.89 9 239.31 7 665.09 6 233.92 4 932.80 3 749.92 2 674.54 1 696.87 808.05
31 942.07 31 054.46 30 077.92 29 003.56 27 821.61 26 521.30 25 090.79 23 517.07 21 785.81 19 881.26 17 786.09 15 481.25 12 945.75 10 156.55 7 088.26 3712.97
Lesti
ρλ1134t
26 432.21 23 361.68 20 570.17 18 032.30 15 725.04 13 627.43 11 720.42 9 986.69 8 410.50 6 977.53 5 674.76 4 490.37 3 413.60 2 434.68 1 544.70 735.59
λ1134t
29 075.43 28 267.64 27 378.89 26 401.09 25 325.34 24 141.83 22 839.78 21 407.36 19 831.51 18 097.91 16 190.76 14 092.71 11 784.69 9 245.68 6 452.59 3380.01
Metro λ1135t
ρλ1135t
9 945.91 10940.50 8 790.54 10636.55 7 740.15 10302.13 6 785.20 9934.21 5 917.02 9529.43 5 127.74 9084.10 4 410.17 8594.17 3 757.80 8055.18 3 164.71 7462.22 2 625.51 6809.89 2 135.30 6092.27 1 689.64 5302.82 1 284.47 4434.35 916.12 3478.98 581.24 2427.99 276.79 1271.83
Sumber: Olahan data
Dari Tabel 26 hingga 29 tersebut, tampak adanya kecenderungan bahwa UCSE di DTA Waduk Sengguruh-Sutami bervariasi menurut: (1) paket pola tanam, (2) klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan, dan (3) wilayah Sub-sub DAS. Dengan asumsi bahwa penerapanan teknologi di seluruh DTA, harga komoditi dan biaya per hektar yang sama; maka keragaman UCSE bisa jadi disebabkan
oleh perbedaan nilai produk marjinal dari setiap komoditas (persamaan 6.12a). Karena tingkat erosi yang berbeda mengakibatkan tingkat respon terhadap produk fisik marjinal juga berbeda.
Dengan memperhatikan sebaran hasil
pendugaan UCSE (Tabel 26 hingga 29) dan tingkat erosi (Tabel 15 dan 16), tidak didapatkan adanya kecenderungan hubungan langsung antara tingkat erosi yang tinggi akan diikuti dengan UCSE yang tinggi. Pendugaan besaran biaya implisit erosi atau harga bayangan ketebalan lapisan tanah (λ1t+1) juga ditentukan oleh besaran user cost kendala transformasi kapasitas tampungan Waduk Sengguruh (λ2t+1) dan Sutami (λ4t+1). Berdasarkan persamaan (6.7) tercermin bahwa marjinal manfaat sosial bersih pada periode ke-t sama dengan harga bayangan atau biaya kesempatan dari ketebalan lapisan tanah dan kapasitas tampungan waduk. Dari hasil kajian Walker (1982), McConnell (1983), Segarra dan Taylor (1987), Van Kooten et al. (1989), serta Barbier (1990) dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor yang mempunyai sumbangan terhadap besaran pendugaan user cost atau
harga bayangan ketebalan lapisan tanah adalah:
lapisan tanah,
(1) ketebalan
(2) harga komoditas, (3) produk marjinal fisik dari kehilangan
lapisan tanah, (4) harga input, (5) nilai produk marjinal dari input produktif (pf1), dan (6) tingkat bunga. User cost pada kajian McConnell (1983) dan Barbier (1990) ditunjukkan oleh besaran λ(t);
karena perumusan optimasi dinamik
didasarkan pada problem kontinyu. Dari nilai nominal biaya implisit erosi yang terjadi pada pola tanam Pd-Pd-Sy lahan tegal kemiringan I di Wilayah Bango dari Tabel 29 didapatkan kurva user cost intertemporal seperti yang terdapat pada Gambar 11. Kurva biaya implisit erosi mempunyai kelerengan atau
slope negatif.
Kodisi tersebut mencerminkan biaya
kesempatan semakin kecil antar periode. Hal itu dapat diinterpretasikan bahwa biaya kesempatan setiap periode yang akan datang semakin kecil karena ketersediaan lapisan tanah (sebagai sumberdaya) di daerah penelitian relatif tebal. Sementara itu, apabila pergerakan user cost yang semakin meningkat selama periode perencanaan (time horizon) mencerminkan sumberdaya yang tersedia
Nominal harga bayangan (user cost) Soil Depth ( ribu Rp /cm/ha)
semakin sedikit.
2500
2000
1500
1000
500
0 2002
2004
2006
2008
2010
2012
2014
2016
2018
2020
Periode (Tahun)
Gambar 11. Kurva Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah dari Pola Tanam Pd-Pd-Sy pada Lahan Sawah Kemiringan I (0–15%) Sub-Sub DAS Bango Pada Gambar 12 menjelaskan hubungan antara UCSE dan SD; yakni antara hasil pendugaan λ1ijk(t+1)
yang terdapat pada Tabel 23 dan perubahan SD yang terdapat pada Tabel 27. Kurva tersebut menunjukan hubungan yang positif; yang menggambarkan penurunan ketebalan lapisan tanah (SD) akan diikuti dengan UCSE yang semakin kecil seiring dengan bertambahnya periode waktu. Perubahan biaya implisit erosi didasarkan pada kerangka
logika
turunan
parsial
fungsi
Lagrange
persamaan yang berkenaan dengan perubahan state variable ketebalan lapisan tanah sebagaimana seperti yang terdapat pada persamaan (6.12a). Dalam tataran teoritis, salah satu syarat dalam pemecahan optimasi dinamik adalah kondisi orde pertama yang berkenaan dengan perubahan state variable sama dengan nol (Conrad, 1999 dan Chiang, 1992). Pengganda Lagrange antar waktu; yakni (λt+1–λt) mencerminkan tambahan nilai marjinal manfaat bersih dari fungsi tujuan karena tambahan satu unit sumberdaya. Disamping itu dari beberapa peneliti (McConnell, 1983; Saliba, 1985; dan Segarra dan Taylor, 1987) telah mengapli-kasikannya untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan biaya implisit erosi.
Harga bayangan (user cost) Soil Depth (ribu Rp/cm/ha)
3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Gambar 12. Kurva Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah dari Pola Tanam Kentang-Wortel pada Lahan Tegal I (0–15%) SubSub DAS Bango Selama periode harizon waktu, pendugaan UCSE yang terjadi di DTA Waduk Sutami dan Sengguruh menunjukan perubahan yang semakin meningkat (Tabel 30). Besaran UCSE yang terdapat pada tabel tersebut mencerminkan bahwa aktivitas optimal akan mendatang kerugian sebesar λt+1 apabila pada periode t sumberdaya ketebalan lapisan tanah dipertahankan tidak dieksploitasi. Perubahan UCSE ( λ&1ijk ) meningkat antar waktu.
Tabel 30 Perubahan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah (λ1t+1 –λt) dari Beberapa Aktivitas Optimal Menurut Sub-Sub DAS Selama Horizon Waktu (ribu Rp/cm/ha) Bango Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Sumber Brantas Tegal I Sawah I
Sawah I
Tegal I
Pd-Pd-Sy (λ131) λt λt+1-λt
Kn-Wrl (λ3111) λt λt+1-λt
Pd-Pd-Sy (λ132) λ (t) λ(t+1)-λ(t)
20656.81 20127.28 -529.54 19536.77 -590.51 18879.16 -657.61 18147.72 -731.44 17335.04 -812.68 16432.97 -902.07 15432.55 -1000.42 14323.91 -1108.64 13096.22 -1227.70
31942.07 31054.46 30077.92 29003.56 27821.61 26521.30 25090.79 23517.07 21785.81 19881.26
7097.05 6899.88 6682.94 6444.26 6181.68 5892.79 5574.97 5225.33 4840.68 4417.52
-197.18 -216.94 -238.67 -262.59 -288.89 -317.82 -349.64 -384.65 -423.16
-887.61 -976.54 -1074.36 -1181.95 -1300.31 -1430.51 -1573.72 -1731.26 -1904.55
Kn-Wrl (λ3112) λt λt+1-λt 14430.37 14042.45 13613.33 13138.87 12614.55 12035.36 11395.82 10689.90 9910.94 9051.65
-387.91 -429.12 -474.46 -524.33 -579.19 -639.54 -705.93 -778.96 -859.29
2014 2015 2016 2017 2018 2019
3952.00 3439.89 2876.52 2256.77 1575.01 825.03
-465.52 -512.11 -563.37 -619.75 -681.76 -749.98
11737.53 10234.73 8573.37 6737.58 4709.88 2471.07
-1358.69 -1502.80 -1661.36 -1835.79 -2027.69 -2238.81
17786.09 15481.25 12945.75 10156.55 7088.26 3712.97
-2095.17 -2304.84 -2535.49 -2789.20 -3068.29 -3375.29
8103.99 7059.11 5907.29 4637.84 3238.98 1697.78
-947.66 -1044.88 -1151.82 -1269.45 -1398.86 -1541.20
Sumber: Olahan data
Perubahan UCSE antar waktu sebesar λ1ijk(t+1) – λ1ijk(t) atau λ&i1ijk yang bertanda negatif pada Tabel 30 dapat diinterpretasikan bahwa aktivitas optimal pada periode t akan mendatang kerugian sebesar λ(t+1) bila pada periode t tidak terjadi pengurangan ketebalan lapisan tanah. Dengan demikian hasil pendugaan UCSE bisa dipergunakan sebagai dasar pijakan logika untuk mendeteksi eksploitasi ketebalan lapisan tanah. Dari kajian Segarra dan Taylor (1987) menunjukkan bahwa pertumbuhan atau perubahan UCSE, dipengaruhi oleh tingkat bunga (r), dikurangi kontribusi soil depth terhadap keuntungan pada periode saat ini dan ditambah dampak perubahannya pada periode sesudahnya (t+1). Disamping itu, ditentukan oleh pengaruh SD terhadap pengurangan produktivitas lahan pada periode (t+1). Kondisi tersebut dapat disimak pada persamaan (4.19b). Penelitian yang dilakukan oleh McConnell (1983) menjelaskan bahwa tingkat perubahan UCSE ( λ& ) meningkat seiring dengan perkembangan tingkat bunga (r)
dan mempunyai hubungan negatif dengan besarnya tambahan
sumbangan SD terhadap keuntungan tahun berjalan (persamaan 4.29d). Saliba (1985) mengungkapkan bahwa secara tidak langsung tingkat perubahan nilai marjinal SD (λ& ) tergantung pada tingkat bunga (r), nilai costate variable tahun berlaku λ(t), harga komoditas (p1 & p2), dan pengaruh produktivitas tanah terhadap produksi tanaman [∂f/∂h(s)], serta pengaruh SD terhadap produktivitas [∂h(s)/∂s]. Perilaku tersebut didasarkan pada keterkaitan antar variabel yang terdapat pada persamaan (4.24b). Kajian Barbier (1990) mendapatkan bahwa
λ&
fenomena perubahan UCSE ( ) selama horizon waktu dipengaruhi oleh tingkat bunga (r) dan kontribusi lahan terhadap keuntungan periode berjalan, pf2. Melalui turunan parsial dari persamaan (6.12a) yang berkenaan dengan state variable SD; tingkat perubahan UCSE yang terjadi di DTA Waduk SutamiSengguruh (λ1t+1-λt) dipengaruhi oleh: (1) UCSE periode t+1 atau λ1ijk(t+1), (2) kontribusi perubahan SD terhadap fungsi tujuan (manfaat bersih) pada periode (t+1) karena erosi atau (∂z(⋅)/∂Sijk(t)), (3) harga komoditas (PCi) dan luas lahan optimal (Xijk(t)), dan (4) produk marjinal SD pada periode t atau (∂Y(⋅)/∂Sijk(t)). Sementara itu, kontribusi variabel SD terhadap fungsi tujuan pada periode t+1 sangat bervariasi. Keragaman tersebut dipengaruhi oleh perubahan SL karena variasi tingkat erosi, mengingat dalam (∂z(⋅)) terkandung variabel tingkat erosi.
8.4. Pendugaan Biaya Off-Site
Pendugaan besaran biaya off-site erosi (off-site cost of erosion atau OFCE) didekati dengan harga bayangan (shadow price) yang ditunjukan oleh angka pengganda Langrange yang terkait dengan kendala transisi kapasitas tampungan waduk. PV dari OFCE per periode cenderung menurun; sedangkan nilai nominalnya konstan sepanjang horizon waktu (Tabel 31). OFCE tersebut dapat diinterpretasikan bahwa biaya kesempatan setiap satu m3 air yang tersimpan pada tahun ke-t sebesar λt+1. Sebagai contoh, OFCE pada Waduk Sengguruh (λ2t+1) tahun 2004 sebesar 97.43; yang bisa diartikan bahwa setiap satu m3 yang tersimpan sejak akhir tahun 2003 mempunyai biaya kesempatan sebesar Rp 97.43. Besaran OFCE gabungan pada Tabel 31 dimaksudkan untuk memberikan valuasi dampak erosi terhadap sedimentasi waduk menjadi satu nilai. Penentuan nilai gabungan dengan pertimbangan perbedaan proporsi sedimen yang tertahan pada masing-masing waduk.
OFCE yang terjadi di
Waduk Sengguruh relatif lebih besar daripada Waduk Sutami. Hal itu karena
harga bayangan dari kapasitas tampungan Waduk Sengguruh dipengaruhi oleh harga per unit produksi listrik PLTA Sengguruh (PE1) dan harga per unit produksi listrik PLTA Sutami (PE2); sedangkan pada Waduk Sutami hanya dipengaruhi oleh PE2. Besaran OFCE disamping ditentukan oleh PE juga dipengaruhi oleh harga air untuk pengairan (PI) serta industri (PM). Pada Tabel 31 tampak bahwa nominal OFCE setiap periode adalah konstan sepanjang horizon waktu. Hal tersebut bisa terjadi karena PE1 , PE2, PI dan PM diasumsikan tetap sepanjang horizon waktu. Secara manual, hasil pendugaan OFCE yang terdapat pada Tabel 31 dapat dihitung berdasarkan persamaan (6.11c) untuk Waduk Sengguruh dan persamaan (6.11b) untuk Sutami. Disamping itu, dari kedua persamaan tersebut dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mem-pengaruhi harga bayangan dari kapasitas tampungan waduk.
Tabel 31. Pendugaan Biaya Off-Site Erosi (Rp/m3) Selama Horizon Waktu Tahun
Sengguruh Nominal PV
(ρλ2t+1)
(λ2t+1)
PV
Sutami Nominal
(ρλ4t+1)
2004 97.43 107.17 89.00 2005 88.57 107.17 80.91 2006 80.52 107.17 73.55 2007 73.20 107.17 66.87 2008 66.55 107.17 60.79 2009 60.50 107.17 55.26 2010 55.00 107.17 50.24 2011 50.00 107.17 45.67 2012 45.45 107.17 41.52 2013 41.32 107.17 37.74 2014 37.56 107.17 34.31 2015 34.15 107.17 31.19 2016 31.04 107.17 28.36 2017 28.22 107.17 25.78 2018 25.66 107.17 23.44 2019 23.32 107.17 21.31 2020 21.20 107.17 19.37 Sumber: Olahan data Keterangan: *) 0.4 Sengguruh + 0.6 Sutami
(λ4t+1) 97.90 97.90 97.90 97.90 97.90 97.90 97.90 97.90 97.90 97.90 97.90 97.90 97.90 97.90 97.90 97.90 97.90
Gabungan*) PV Nominal
(ρλt+1)
(λt+1)
110.17 100.15 91.05 82.77 75.25 68.41 62.19 56.53 51.39 46.72 42.48 38.61 35.10 31.91 29.01 26.37 23.98
101.61 101.61 101.61 101.61 101.61 101.61 101.61 101.61 101.61 101.61 101.61 101.61 101.61 101.61 101.61 101.61 101.61
Dari perspektif ekonomi, apabila biaya pengerukan sedimen lebih besar daripada biaya kesempatan air yang tertahan dalam Waduk Sengguruh, maka untuk mengatasi sedimentasi relatif lebih murah dengan mengatur pola tanam di DTA daripada melakukan aktivitas pengerukan sedimen.
Secara riil biaya
sedimen sebesar Rp 7,507/m3, sedangkan OFCE yang mencerminkan biaya kesempatan air yang tertahan dalam Waduk Sengguruh adalah Rp 107/m3. Dari aspek teknis, kegiatan pengerukan (Vks1) dilakukan apabila stok sedimen melebihi batas volume pada elevasi 291.50 m yang mengganggu operasi turbin. Pengaturan pola tanam di DTA merupakan salah satu metode penanganan sedimen dalam jangka panjang. Metode tersebut telah diterapkan dalam rangka pengendalian erosi di daerah DAS Kali Brantas melalui berbagai bentuk program maupun proyek dengan dana dari berbagai sumber (sub-bab 2.5.3 dan 2.5.4). Bahkan pada tahun 2002 telah dilakukan “gerakan penanaman sejuta pohon” di
DTA Sutami yang diprakarsai oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Malang. Namun demikian, pada kenyataannya tingkat sedimentasi waduk masih tetap tinggi (Tabel 5). Berdasarkan efektifitas penggunaan dana proyek (yang telah dilakukan sejak tahun tujuh puluhan) dan dana hasil retribusi terhadap keberhasilan penanganan erosi tersebut belum mencerminkan penanganan yang didasarkan konsep hulu-hilir yang holistik dan komprehensif. Oleh karena itu diperlukan model kelembagaan yang mampu menangani sedimentasi secara komprehensif yang didasarkan pada aplikasi unsur-unsur manajemen secara lengkap (POAC = planning, organizing, actuating dan controlling). Biaya off-site erosi diusulkan sebagai dasar untuk menetapkan pungutan iuran (retribusi) dari masyarakat dalam rangka menggalang dana untuk kelestarian dan konservasi DTA. Penetapan pungutan iuran didasarkan pada prinsip pengguna air waduk yang membayar dan prinsip penghasil eksternalitas erosi yang membayar. Penetapan pungutan dengan prinsip pengguna air waduk yang membayar dapat dihitung berdasarkan persamaan (6. 11c) dan (6. 11b). Dari persamaan tersebut dapat ditetapkan besarnya retribusi yang seharusnya dibayar oleh: 1. Pengguna air waduk untuk produksi listrik PLTA Sengguruh adalah 7.74% PE1 dan PLTA Sutami sebesar 23.40% PE2. 2. Pengguna air waduk untuk pengairan adalah 28.77% PI. 3. Pengguna air waduk untuk industri adalah 2.06% PM. Retribusi yang seharusnya dibayar oleh pengguna air waduk untuk industri sangat kecil karena kontribusi outflow Sutami terhadap volume air untuk industri di daerah hilir sangat kecil, yakni 2.06% (Lampiran 7 baris ke-2).
Dalam
penetapan nominal retribusi tersebut, yang harus diperhatikan adalah harga air per unit menurut penggunaannya.
Oleh karena harga air bervariasi menurut
dimensi waktu, maka nominal retribusi yang dibebankan pada pengguna air waduk juga harus berubah menurut dimensi waktu. Berdasarkan persamaan (5.3a), (5.3c) dan (5.3e), dapat dikatakan bahwa persentase sumbangan PE terhadap OFCE dipengaruhi oleh: (1) efisiensi turbin dan generator dan (2) tinggi jatuh efektif. Sementara itu, di daerah DAS Kali Brantas terdapat empat bendungan lain yang dilengkapi dengan PLTA; yaitu bendungan Wlingi, Lodoyo, Tulung Agung dan Selorejo.
Setiap bendungan
tersebut mempunyai spesifiksi waduk secara fisik yang berbeda, sehingga efisiensi turbin dan generator dan tinggi jatuh efektif juga berbeda. Oleh karena itu, dalam penetapan retribusi air untuk listrik di seluruh DAS Kali Brantas harus berbeda atau bervariasi menurut dimensi ruang. Dengan demikian persentase sumbangan PE terhadap biaya kesempatan kapasitas tampungan suatu waduk tidak berlaku umum, namun spesifik menurut lokasi keberadaan waduk. Hal yang sama juga berlaku untuk persentase sumbangan harga air untuk pengairan dan industri, mengingat kontribusi outflow setiap waduk terhadap pemenuhan air pengairan dan industri yang cenderung berbeda. Berdasarkan rata-rata harga produksi listrik tahun 2002 dan 2003, secara normatif retribusi yang harus dibayar oleh produsen listrik PLTA Sengguruh adalah Rp 31.11/kWh dan PLTA Sutami sebesar Rp 30.84/kWh.
Dari data
sekunder tahun 2003, retribusi yang dipungut dari produsen listrik sebesar Rp 15.50 /kWh. Retribusi riil tersebut telah diberlakukan secara umum untuk seluruh PLTA yang ada di wilayah DAS Kali Brantas.
Perbedaan besarnya retribusi
antara kondisi riil dan perhitungan normatif tersebut perlu diinformasikan kepada pihak otorita dan didiskusikan bagaimana kemungkinan diaplikasikannya metode penetapan retribusi secara normatif tersebut.
Aplikasi persamaan (6.11b) dan (6.11c) adalah untuk menduga sumbangan (share) masing-masing per unit harga air waduk menurut penggunaannya terhadap biaya kesempatan per m3 kapasitas tampungan waduk. Penentuan sumbangan tersebut dirasa penting dilakukan, khususnya untuk listrik, mengingat dalam penentuan harga per unit daya listrik
telah memasukan unsur biaya
pemeliharaan DTA, yakni unsur biaya C-EP (pada sub-sub bab 5.1.3). Rumusan penentuan sumbangan harga produk daya listrik terhadap biaya kesempatan air waduk diharapkan dapat menanggulangi perbedaan pendapat antara pihak otoritas pengelola waduk dan produsen tentang besaran retribusi air untuk PLTA. Penetapan pungutan dengan prinsip penghasil eksternalitas erosi yang membayar dapat diturunkan dari persamaan (6.10c) dan (6.10d). Penetapan biaya eksternal erosi yang ditimbulkan oleh setiap hektar lahan yang berada di daerah Sub-sub DAS Metro didasarkan pada persamaan : 0.58 ∗KVS ∗ SDR5 ∗ eij5 ∗ λ4(t+1)
(8.1)
Sedangkan untuk daerah Sub-sub DAS selain Metro didasarkan pada persamaan berikut : {0.40 ∗ KVS ∗ SDRk ∗ eijk ∗ λ2(t+1)} + {0.58 ∗ KVS ∗ SDRk ∗ eijk ∗ λ4(t+1)},
k = 1, 2, ..., 3
(8.2)
Dimana koefisien 0.40 dan 0.58 merupakan efisiensi tangkapan sedimen pada Waduk Sengguruh dan Sutami; KVS merupakan berat jenis sedimen; SDR ialah rasio transportasi sedimen; eijk adalah tingkat erosi lahan budidaya intensif pada klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i dengan pola tanam ke-j di daerah Sub-sub DAS ke-k; serta λ2(t+1) dan λ4(t+1) masing-masing adalah OFCE (Tabel 31). Dasar penetapan tersebut juga untuk menduga biaya eksternal erosi dari
lahan non-budidaya intensif; yakni dengan notasi tingkat erosi Eijk dan luas lahan Lijk. Dimana i adalah pekarangan, semak dan hutan. Dengan mencermati persamaan (6.10) dan (6.11) dapat dikatakan bahwa besaran biaya eksternal erosi per hektar lahan ditentukan oleh variabel teknis (ET, KVS, SDR, eijk atau Eijk) dan harga air baku menurut penggunaannya (PE1, PE2, PI dan PM). Oleh karena eijk suatu pola tanam berbeda menurut lokasi dan cenderung terjadi perubahan harga air untuk berbagai kegunaan, maka besarnya retribusi yang dibebankan kepada penghasil eksternalitas erosi harus bervariasi menurut lokasi dan dinamik menurut dimensi waktu. Bertitik tolak dari sumber sedimentasi waduk yang berasal dari sampah rumah tangga, maka persamaan (8.1) dan (8.2) memungkinkan dikembangkan untuk menghitung pungutan iuran penyebab sedimentasi waduk pada umumnya. DTA Bendungan Sutami-Sengguruh meliputi daerah perkotaan yang termasuk pada wilayah administrasi Pemerintah Daerah Kota Batu dan Kota Madya Malang, maka dana untuk kelestarian dan konservasi DTA bisa berasal dari pengelola pusat perbelanjaan maupun pasar tradisional sebagai penghasil sampah tingkat primer. Apabila pungutan diambil langsung pada tingkat rumah tangga akan dihadapkan pada kesulitan operasional karena jumlah penduduk yang sangat besar.
Untuk menetapkan besarannya pungutan tersebut perlu
dikembangkan penelitian lanjutan. Berkaitan dengan pungutan jasa lingkungan dan biaya eksternalitas erosi tersebut perlu dikaji bagaimana mekanisme penerapannya dan siapa yang bertanggung jawab.
Dalam hal ini diperlukan panitia khusus yang mampu
mengelola dana dari dan untuk masyarakat di daerah hulu maupun hilir. Retribusi dengan prinsip penghasil eksternalitas erosi yang membayar, dewasa ini belum diterapkan. Oleh karena itu konsep tersebut perlu
disosialisasikan dan dikaji lebih mendalam bagaimana kemungkinannya bisa diterapkan di lapangan. Bentuk kurva biaya off-site erosi (OFCE) pada Gambar 13 agak berbeda bila dibandingkan dengan harga bayangan ketebalan lapisan tanah (UCSE) pada Gambar 11, namun mempunyai arah kelerengan (slope) yang sama.
Kurva
OFCE menunjukkan perubahan yang semakin menurun antar periode. Sengguruh
Sutami
Gabungan
120.00
3
Biaya off-site erosi (Rp/m )
100.00 80.00 60.00 40.00 20.00
0.00 2002
2004
2006
2008
2010
2012
2014
2016
2018
2020
2022
Periode (tahun)
Gambar 13. Kurva Biaya Off-Site Erosi Pendugaan besaran biaya off-site erosi yang terdapat pada Tabel 32 pada kondisi harga listrik, harga air baku untuk pengairan dan industri tahun 2003. Besaran biaya tersebut akan mengalami perubahan bila terjadi perubahan pada harga listrik, harga air baku untuk pengairan dan industri maupun harga komoditas pertanian yang dikelola pada daerah sub-sistem hulu waduk. Berdasarkan nilai pada kolom “MARGINAL” output GAMS dari persamaan kapasitas waduk, keseimbangan air tersimpan dan sedimen yang tertahan dalam waduk, didapatkan fenomena bahwa : 1. Harga bayangan dari air yang masuk ke Waduk Sengguruh (Vma1)sama dengan harga bayangan kapasitas tampungan waduk (Vkp1) maupun air yang tersimpan dalam Waduk Sengguruh (Vsa1).
Tabel 32. Perubahan Biaya Off-Site Erosi (Rp/m3) pada Waduk Senguruh (λ2 (t+1) – λ2 (t)) dan Waduk Sutami (λ4 (t+1) – λ4 (t)) Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Sengguruh Sutami ρλ2(t) ρλ2 (t+1)-ρλ2 (t) ρλ4 (t) 97.43 88.57 80.52 73.20 66.55 60.50 55.00 50.00 45.45 41.32 37.56 34.15 31.04 28.22 25.66 23.32 21.20
-8.86 -8.05 -7.32 -6.65 -6.05 -5.50 -5.00 -4.55 -4.13 -3.76 -3.42 -3.10 -2.82 -2.57 -2.33 -2.12
ρλ4 (t+1)-ρλ4 (t)
89.00 80.91 73.55 66.87 60.79 55.26 50.24 45.67 41.52 37.74 34.31 31.19 28.36 25.78 23.44 21.31 19.37
-8.09 -7.36 -6.69 -6.08 -5.53 -5.02 -4.57 -4.15 -3.77 -3.43 -3.12 -2.84 -2.58 -2.34 -2.13 -1.94
Sumber: Olahan data
2. Harga bayangan air yang masuk dari daerah sub-sub DAS Metro ke WadukSutami (VmaM) sama dengan harga bayangan kapasitas tampungan waduk (Vkp1) maupun air yang tersimpan dalam WadukSutami (Vsa2). 3. Harga bayangan sedimen yang masuk ke Waduk Sengguruh (Vms) sama dengan harga bayangan kapasitas tampungan WadukSutami (Vkp2). Dengan demikian, maka untuk menduga OFCE bisa didasarkan pada harga bayangan kapasitas waduk atau air yang tersimpan dalam waduk. 8.5. Ikhtisar
Ketersediaan sumberdaya ketebalan lapisan tanah (soil depth atau SD) intertemporal membentuk kurva yang mempunyai kelerengan (slope) negatif, sedangkan pada ekstrasinya (soil loss atau SL) mempunyai slope positif. Bentuk kedua
kurva tersebut adalah
linier;
yakni dengan
perubahan ekstrasi
intertemporal SL yang konstan. Pengurangan SD ditentukan oleh SL yang merupakan hasil bagi antara tingkat erosi yang terjadi dan berat jenis tanah.
Perubahan SL yang konstan menyebabkan perubahan volume sedimen yang tertahan dalam waduk yang konstan pada setiap periode. Dengan demikian pengurangan kapasitas tampungan mati mempunyai perubahan yang konstan. Biaya on-site erosi
didekati dengan PV dari pendapatan bersih yang
diperoleh pada periode t+1 yang sejalan dengan terjadinya SL karena aktivitas pola tanam selama periode t. Pendapatan pengelolaan komoditas apel lahan tegal II di daerah Sub-sub DAS Sumber Brantas pada tahun 2004 sebesar Rp 6.55 juta per mm SL. Besaran pendugaan biaya on-site erosi tersebut belum mempertimbangkan investasi konservasi tanah. Dari hasil analisis menunjukkan tendensi bahwa biaya on-site erosi semakin menurun antar periode. Dari pemecahan optimasi intertemporal dari model daerah tangkapan air (Model-DTA) dapat diperoleh gambaran fenomena biaya implisit erosi atau harga bayangan ketebalan lapisan tanah atau user cost of soil erosion (UCSE) sebagai berikut: 1. Pendugaan nilai nominal maupun nilai sekarang semakin menurun dengan semakin bertambahnya periode dengan perubahan yang semakin besar. 2. Bervariasi menurut paket pola tanam, klasifikasi fungsi lahan dan daerah Sub-sub DAS. 3. Tingkat erosi yang tinggi tidak selalu diikuti dengan UCSE yang tinggi. Kecenderungan semakin menurunnya UCSE selama horizon waktu ditunjukkan oleh kurva dengan kelerengan negatif. Kodisi tersebut mencerminkan biaya kesempatan SD semakin menurun antar periode, dan perubahan UCSE semakin besar. Tendensi UCSE yang semakin menurun antar waktu karena SD yang terdapat pada lokasi penelitian relatif tebal. Hal tersebut sejalan dengan hasil
kajian peneliti sebelumnya bahwa semakin tebal SD (12 inchi), besarnya UCSE tahun berjalan semakin menurun. Dari pengganda Lagrange rumusan optimasi dinamik problem diskrit dapat diinterpretasikan bahwa setiap perubahan satu cm SL akibat akivitas pola tanam ke-j pada lahan ke-i di daerah ke-k pada periode t akan menyebabkan perubahan manfaat sosial bersih (marginal of social net benefit) DTA Bendungan SutamiSengguruh UCSE pada periode t+1, yaitu sebesar λ1ijk(t+1). Keragaman UCSE yang terjadi di DTA Bendungan Sengguruh-Sutami disebabkan oleh perbedaan nilai produk marjinal di setiap komoditas yang membentuk paket pola tanam menurut lokasi. Hal tersebut karena tingkat erosi setiap komoditas berbeda antar daerah menyebabkan produk fisik marjinal bervariasi, meskipun diasumsikan bahwa tingkat teknologi sama di seluruh wilayah Sub-sub DAS. Dengan demikian, walaupun tingkat harga diasumsikan sama akan didapatkan nilai produk marjinal beragam. Pada skala tingkat usahatani, hasil kajian peneliti sebelumnya dapat diiventarisasi beberapa faktor yang mempunyai sumbangan terhadap besaran UCSE. Faktor-faktor tersebut adalah: (1) ketebalan solum, (2) harga komoditas, (3) produk marjinal fisik dari kehilangan lapisan tanah, (4) harga input, (5) nilai produk marjinal dari input produktif (pf1), dan (6) tingkat bunga. Pada skala DTA Bendungan Sutami-Sengguruh diperoleh hasil bahwa besaran UCSE juga ditentukan oleh besaran user cost kendala transformasi kapasitas tampungan Waduk Sengguruh dan Sutami; yakni λ2(t+1) dan λ4(t+1). Berdasarkan hasil kajian peneliti sebelumnya, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat perubahan UCSE ( λ&1ijk ), yaitu: (1) tingkat bunga (berpengaruh positif),
(2) kontribusi SD terhadap pendapatan per ha pada
periode t (berpengaruh positif), (3) kontribusi SD terhadap pendapatan per ha
pada periode t+1 (berpengaruh negatif), dan (4) nilai marjinal SD terhadap penurunan produktivitas pada periode t+1. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan UCSE, (λ1ijk(t+1) - λ1ijk(t)) di DTA Bendungan SutamiSengguruh adalah: (1)
UCSE periode t+1 atau λ1ijk(t+1),
(2) perubahan
kontribusi SD terhadap pendapatan per ha pada periode (t+1) karena erosi SL atau (∂z(⋅)/∂Sijk(t)), (3) harga komoditas (PCi) dan luas lahan optimal (Xijkt), dan (4) produk marginal SD pada periode t atau (∂Y(⋅)/∂Sijk(t)). Alokasi lahan intertemporal di daerah sub-sistem hulu waduk dapat menghasilkan sedimen yang tertahan dalam Waduk Sutami sebesar 0.75 juta m3; volume tersebut jauh lebih kecil daripada sedimen yang terjadi setiap tahun (3.96 juta m3). Selama periode horizon waktu terjadi pengurangan tampungan mati sebesar 5%. Dari pemecahan optimasi menjadikan volume stok air (Vsa1) dari Waduk Sengguruh setiap tahun mengalami penurunan sebesar 0.45 juta m3, karena digantikan oleh sedimen yang masuk kedalam waduk; yakni sebesar bertambahnya volume stok sedimen (Vss1). Untuk mendapatkan manfaat sosial bersih maksimal, aktivitas pengerukan sedimen dilakukan sejak tahun 2007 sebesar 0.24 juta m3; serta dari tahun 2008 hingga 2019 dilakukan pengerukan sedimen sebesar volume sedimen baru yang masuk. Massa sedimen yang konstan setiap periode menyebabkan perubahan volume sedimen yang tertahan dalam waduk menjadi konstan.
Deskripsi
hubungan antara stok dan tingkat ekstrasi sumberdaya pada sub-sistem ekologi bendungan-Waduk Sutami, dicerminkan dari kapasitas tampungan mati yang dianalogikan sebagai stok sumberdaya dan kumulatif volume sedimen baru yang dianalogikan sebagai ekstrasi sumberdaya. Volume sedimen baru yang tertahan dalam waduk setiap periode yang konstan menjadikan pengurangan kapasitas tampungan mati adalah konstan.
Biaya off-site erosi (Off-site Cost of Erosion atau OFCE) mencerminkan biaya kesempatan setiap m3 air yang tersimpan pada tahun ke-t; yakni sebesar λ2(t+1) untuk Waduk Sengguruh dan λ4(t+1) untuk Waduk Sutami.
Sebagai
contoh, OFCE Waduk Sengguruh tahun 2004 atau λ2(t+1) sebesar 97.43; yang bisa diartikan bahwa setiap satu meter kubik air yang tersimpan pada akhir periode tahun 2003 mempunyai biaya kesempatan sebesar Rp 97.43. Biaya kesempatan air yang tersimpan dalam waduk mengekspresikan nilai ekonomi air waduk. Terjadi fenomena bahwa PV dari OFCE semakin menurun antar waktu. Hasil pendugaan OFCE dapat dipergunakan sebagai dasar perhitungan pungutan iuran (retibusi) dari masyarakat untuk menjaga kelestarian dan konservasi DTA. Penetapan retribusi menggunakan prinsip: (1) pengguna air waduk yang membayar, dan (2) penghasil eksternalitas erosi yang membayar. Perhitungan besarnya pungutan kepada pengguna air waduk didasarkan pada persamaan (6.11b) dan (5.11c); sedangkan untuk penghasil eksternalitas erosi dari persamaan (8.1) dan (8.2). Secara normatif retribusi yang harus dibayar oleh produsen listrik PLTA Sengguruh adalah 7.74% PE1 dan PLTA Sutami sebesar 23.40% PE2; sedangkan dari pengairan dan industri masing-masing adalah 28.77% PI dan 2.06% PM.
Pada DAS Kali Brantas terdapat beberapa bendungan yang
tersebar di bagian hulu, tengah dan hilir, maka besarnya persentase tersebut tidak berlaku umum di seluruh daerah DAS Kali Brantas. Hal itu karena pada setiap bendungan mempunyai karakteristik fisik waduk yang berbeda, sehingga besarnya persentase bersifat spesifik lokasi.
Dengan demikian besarnya
pungutan iuran nominal akan bervariasi menurut dimensi ruang dan waktu; karena karga air baku untuk berbagai penggunaan akan selalu berubah menurut waktu.
Berdasarkan data rata-rata harga listrik di tingkat produsen tahun 2002 dan 2003 didapatkan fenomena bahwa besarnya retribusi dari produsen listrik secara normatif lebih besar daripada retribusi riil yang telah dipungut oleh pihak otorita pada tahun 2003.
Oleh karena itu metode penetapan pungutan (retribusi)
tersebut perlu disosialisasikan kepada pengambil keputusan dan dikaji lebih mendalam kemungkinan diaplikasikannya metode penetapan retribusi tersebut. Penetapan biaya eksternal erosi per hektar lahan yang berada di daerah Sub-sub DAS Metro didasarkan pada persamaan : 0.58 KVS ∗ SDR5 ∗ eij5 ∗ λ4(t+1).
Penetapan biaya eksternal erosi untuk daerah Sub-sub DAS selain
Metro didasarkan pada persamaan : {0.40 KVS ∗ SDRk ∗ eijk ∗ λ2(t+1)} + {0.58 KVS ∗ SDRk ∗ eijk ∗ λ4(t+1)}. Dasar penetapan tersebut berlaku juga untuk menduga biaya eksternal erosi dari lahan non-budidaya intensif; yakni dengan notasi tingkat erosi Eijk dan luas lahan Lijk. Dimana i adalah lahan pekarangan, semak dan hutan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa besaran biaya
eksternal erosi per hektar lahan ditentukan oleh variabel teknis (ET, KVS, SDR, eijk atau Eijk) dan harga air baku menurut penggunaannya (PE1, PE2, PI dan PM). Pungutan iuran dengan prinsip penghasil eksternalitas yang membayar tidak saja dibebankan pada pengelola lahan budidaya intensif, namun juga pada lahan non-budidaya intensif. Oleh karena sumber sedimentasi Waduk Sengguruh juga berasal dari sampah rumah tangga, maka metode penetapan pungutan tersebut dapat dikembangkan untuk diterapkan pada penghasil sampah utama. Untuk itu perlu penelitian lanjutan yang terkait dengan sumber sedimentasi waduk selain yang berasal dari erosi lahan.
IX. DAMPAK PERUBAHAN VARIABEL EKONOMI DAN TEKNIS 9.1. Perubahan Harga Komoditas
Diskripsi pengaruh perubahan harga didasarkan pada dua skenario; yaitu yang didasarkan pada rata-rata pendugaan perubahan yang terjadi di lapang selama kurun waktu tahun 2000 hingga 2003 serta didasarkan angka hipotetis. Rata-rata perubahan harga data primer untuk komoditas kacang tanah sebesar 8%, komoditas kubis dan wortel sebesar 10% serta kentang 12%. Perubahan harga hipotetis yang diaplikasikan adalah harga komoditas kacang tanah sebesar 5% dan tiga tanaman yang lain masing-masing 10%. Perubahan harga mempengaruhi perubahan keputusan aktivitas optimal di wilayah sub-sistem hulu waduk maupun sub-sistem ekologi bendungan-waduk, dan mempengaruhi besaran harga bayangan ketebalan lapisan tanah (UCSE). Perubahan paket pola tanam optimal tidak terjadi pada fungsi lahan kebun, karena komoditas yang ditetapkan mengalami perubahan harga adalah tanaman yang membentuk paket pola tanam untuk lahan sawah dan tegal. Apabila hasil pemecahan problem optimasi dinamik Model-DTA dasar (Tabel 14) dibandingkan dengan hasil skenario (Tabel 33 hingga 35) dapat diperoleh gambaran bahwa dari satu klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan yang sama terjadi pergeseran paket pola tanam optimal. Luas lahan yang dioptimalkan tidak menunjukkan variasi menurut periode (tahun), dan sama dengan luas lahan yang tersedia.
Walaupun harga kubis mengalami penurunan sebesar 10%,
namun tidak merubah keputusan aktivitas optimal pada lahan sawah; sedangkan pada fungsi lahan tegal terjadi keadaan yang sebaliknya. Pergeseran keputusan pola tanam optimal lahan tegal II pada skenario 1a terjadi pada periode waktu yang lebih cepat daripada skenario 1b.
Tabel 33.
Perubahan Aktivitas Optimal (ha) di Wilayah Sub-Sub DAS Bango Karena Perubahan Harga Komoditas Tanaman Kacang Tanah Dan Sayuran
Skenario 1a Tahun
Sawah I Pd-Pd-Sy
Skenario 1b Tegal I
Jg-Jg-Sy
Tegal II Tebu
Pd-Jg-Kc Tnh
Sawah I Tebu
2003 3 689 7 174 . 211 . 2004 3 689 7 174 . 211 . 2005 3 689 7 174 . 211 . 2006 3 689 7 174 . . 211 2007 3 689 7 174 . . 211 2008 3 689 7 174 . . 211 2009 3 689 7 174 . . 211 2010 3 689 7 174 . . 211 2011 3 689 7 174 . . 211 2012 3 689 7 174 . . 211 2013 3 689 7 174 . . 211 2014 3 689 7 174 . . 211 2015 3 689 7 174 . . 211 2016 3 689 7 174 . . 211 2017 3 689 . 7 174 . 211 2018 3 689 . 7 174 . 211 2019 3 689 . 7 174 . 211 Sumber: Olahan data Keterangan: Skenario 1a: didasarkan perubahan harga data primer Skenario 1b: didasarkan perubahan harga angka hipotetis
Pd-Pd-Sy
3 689 . 3 689 3 689 3 689 3 689 3 689 3 689 3 689 3 689 3 689 3 689 3 689 3 689 3 689 3 689 . 3 689 . 3 689 .
Tegal I Jg-Jg-Sy
7 174 7 174 7 174 7 174 7 174 7 174 7 174 7 174 7 174 7 174 7 174 7 174 7 174
Ken-Wort
. . . . . . . . . . . . . . . .
7 174 . . . . . . . . . . . . . .
Tegal II Tebu
Pd-Jg-Kc.Tnh
Tebu
211 . 211 . 211 . 211 . 211 . 211 . . . . . . . . . 7 174 . 7 174 . 7 174 .
211 211 211 211 211 211 211 211 211 211 211
Paket pola tanam Pd–Pd–Sy tetap merupakan aktivitas optimal pada lahan sawah kemiringan I (0–15%) meskipun harga kubis menurun (Tabl 33 hingga 35). Kondisi yang sama juga terjadi pada lahan sawah kemiringan II (≥15%) di Sub-sub DAS Sumber Brantas (Tabel 38). Perubahan harga komoditas kubis, kentang dan wortel menyebabkan pergeseran keputusan aktivitas optimal pada lahan tegal kemiringan I. Keputusan aktivitas optimal pada model dasar dari tegal kemiringan I adalah Kentang-Wortel; sedangkan pada skenario 1a adalah paket Jg-Jg-Sy dan tebu. Pada lahan tegal kemiringan I dengan skenario 1a terjadi pergeseran paket pola tanam optimal pada tahun 2017; sedangkan pada skenario 1b terjadi pergeseran dua kali yaitu pada tahun 2004 dan 2017.
Dari
keseluruhan Sub-sub DAS terdapat fenomena bahwa pergeseran yang terjadi pada lahan tegal kemiringan I adalah dari pola tanam dengan potensi erosi tinggi ke rendah, kecuali Sub-sub DAS Sumber Brantas. Sementara itu, pergeseran aktivitas optimal yang terjadi pada lahan tegal kemiringan II (≥15%) relatif bervariasi menurut Sub-sub DAS. Perubahan harga kacang tanah menyebabkan pergeseran aktivitas optimal pada Sub-sub DAS Bango; yakni dari Pd-Jg-Kacang tanah menjadi tebu (Tabel 33). Pada lahan tegal kemiringan II dengan skenario 1a terjadi pergeseran pola tanam optimal mulai tahun 2006, sedangkan pada skenario 1b terjadi lebih lambat, yakni tahun 2009. Potensi erosi pola tanam Pd-Jg-Kacang tanah (81.70 ton/ha/th) relatif lebih besar daripada tebu (16.10 ton/ha/th). Pergeseran aktivitas optimal pada lahan tegal kemiringan II yang dikarenakan perubahan harga kubis terjadi pada Sub-sub DAS Lesti dan Metro; yaitu dari paket Jg-Jg-Sy menjadi tebu (Tabel 35). Apabila ditinjau dari potensi erosi, pergeseran aktivitas optimal yang terjadi pada lahan tegal kemiringan II di wilayah Lesti dan Metro tersebut mempunyai
Tabel 34.
Perubahan Aktivitas Optimal (ha) di Wilayah Sub-Sub DAS Sumber Brantas Karena Perubahan Harga Komoditas Tanaman Kacang Tanah Dan Sayuran
Skenario 1a Tahun
Skenario 1b
Sawah I Sawah II Tegal I Tegal II Sawah I Sawah II Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Jg-Jg-Sy Tebu Apel Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Jg-Jg-Sy 2003 16 095 72 4 939 . 628 16 095 72 . 2004 16 095 72 4 939 . 628 16 095 72 4 939 2005 16 095 72 4 939 . 628 16 095 72 4 939 2006 16 095 72 4 939 . 628 16 095 72 4 939 2007 16 095 72 4 939 . 628 16 095 72 4 939 2008 16 095 72 4 939 . 628 16 095 72 4 939 2009 16 095 72 4 939 . 628 16 095 72 4 939 2010 16 095 72 4 939 . 628 16 095 72 4 939 2011 16 095 72 4 939 . 628 16 095 72 4 939 2012 16 095 72 4 939 . 628 16 095 72 4 939 2013 16 095 72 4 939 . 628 16 095 72 4 939 2014 16 095 72 4 939 . 628 16 095 72 4 939 2015 16 095 72 4 939 . 628 16 095 72 4 939 2016 16 095 72 4 939 . 628 16 095 72 4 939 2017 16 095 72 . 4 939 628 16 095 72 . 2018 16 095 72 . 4 939 628 16 095 72 . 2019 16 095 72 . 4 939 628 16 095 72 . Sumber: Olahan data a Keterangan: Skenario 1 : didasarkan perubahan harga data primer Skenario 1b: didasarkan perubahan harga angka hipotetis
Tegal I Tegal II Ken-Wort Tebu Apel 4 939 . 628 . . 628 . . 628 . . 628 . . 628 . . 628 . . 628 . . 628 . . 628 . . 628 . . 628 . . 628 . . 628 . . 628 . 4 939 628 . 4 939 628 . 4 939 628
kecenderungan yang berlawanan dengan kondisi yang terjadi pada lahan tegal kemiringan I. Pada lahan tegal kemiringan I terjadi pergeseran pola tanam optimal dari Padi–Jg–Kacang Tanah menjadi tebu, yaitu menunjukkan adanya pergeseran yang mengarah pada pola tanam erosi rendah.
Pada tegal
kemiringan II terjadi pergeseran dari pola tanam Jg-Jg-Sy menjadi tebu yang mencerminkan terjadi pergeseran yang menuju pada pola tanam dengan erosi tinggi.
Potensi erosi paket pola tanam Jg-Jg-Sy di wilayah Lesti dan Metro
masing-masing adalah 9.60 dan 29.00 ton/ha/th; sedangkan pada tanaman tebu sebesar 37.20 dan 36.30 ton/ha/th. Dari fenomena variasi potensi erosi pola tanam yang menjadi aktivitas optimal tersebut, maka perlu dicermati beberapa variabel yang menjadi dasar keputusan pergeseran aktivitas optimal selama horizon waktu. Dengan merujuk fungsi tujuan DTA pada persamaan (6.1); keputusan pergeseran aktivitas optimal didasarkan pada manfaat bersih atau pendapatan setiap periode dari aktivitas paket pola tanam. Melalui transmisi penerimaan (manfaat kotor), perubahan harga komoditas akan mempengaruhi pendapatan. Pada harga komoditas yang konstan selama horizon waktu, dinamika penerimaan setiap periode hanya dipengaruhi oleh ketebalan lapisan tanah (soil depth atau SD). Apabila harga berubah dan biaya konstan, maka dinamika pendapatan dipengaruhi oleh SD dan perubahan harga komoditas. Penurunan pendapatan setiap periode dari paket pola tanam tanpa komoditas kacang tanah, kubis, kentang dan wortel hanya disebabkan oleh ekstrasi ketebalan lapisan tanah atau kumulatif tanah yang hilang (cummulative soil loss atau CSL). Dinamika pendapatan dalam bentuk nominal dikarenakan semakin menipisnya SD; sedangkan PV pendapatan ditentukan oleh perubahan SD dan tingkat bunga.
Tabel 35.
Perubahan Aktivitas Optimal (ha) di Wilayah Sub-Sub DAS Metro Karena Perubahan Harga Komoditas Tanaman Kacang Tanah dan Sayuran
Skenario 1a Tahun
Sawah I Sawah II Pd-Pd-Sy Jeruk
Skenario 1b Tegal I Jg-Jg-Sy Tebu
Tegal II Jg-Jg-Sy Tebu
Sawah I Sawah II Pd-Pd-Sy Jeruk
Tegal I Jg-Jg-Sy Tebu
Tegal II Jg-Jg-Sy Tebu
. . . . . . . . . . (Ha) . . . . . . . . 2003 5 368 94 3 442 . 434 . 2004 5 368 94 3 442 . 434 . 2005 5 368 94 3 442 . 434 . 2006 5 368 94 3 442 . 434 . 2007 5 368 94 3 442 . 434 . 2008 5 368 94 3 442 . 434 . 2009 5 368 94 3 442 . 434 . 2010 5 368 94 3 442 . 434 . 2011 5 368 94 3 442 . 434 . 2012 5 368 94 3 442 . 434 . 2013 5 368 94 3 442 . 434 . 2014 5 368 94 3 442 . 434 . 2015 5 368 94 3 442 . 434 . 2016 5 368 94 3 442 . . 434 2017 5 368 94 . 3 442 . 434 2018 5 368 94 . 3 442 . 434 2019 5 368 94 . 3 442 . 434 Sumber: Olahan data Keterangan: Skenario 1a: didasarkan perubahan harga data primer Skenario 1b: didasarkan perubahan harga angka hipotetis
5 368 5 368 5 368 5 368 5 368 5 368 5 368 5 368 5 368 5 368 5 368 5 368 5 368 5 368 5 368 5 368 5 368
94 94 94 94 94 94 94 94 94 94 94 94 94 94 94 . 94 . 94 .
3 442 3 442 3 442 3 442 3 442 3 442 3 442 3 442 3 442 3 442 3 442 3 442 3 442 3 442
. . . . . . . . . . . . . . 3 442 3 442 . 3 442 .
434 . 434 . 434 . 434 . 434 . 434 . 434 . 434 . 434 . 434 . 434 . 434 . 434 . 434 . 434 . 434 434
Paket pola tanam Pd-Pd-Sy tetap dipertahankan sebagai aktivitas pola tanam optimal pada lahan sawah kemiringan I (1–15%) karena mempunyai pendapatan per hektar setiap periode yang relatif paling dominan diantara pola tanam yang lain (Tabel 36). Walaupun nilai nominal maupun PV pendapatan pola tanam Pd-Pd-Sy pada tahun 2017 (Rp 19 276 380/ha) relatif lebih kecil daripada paket Pd-Pd-Pd (Rp 19 898 400/ha), namun keputusan optimal tidak berubah karena pendapatan pada awal periode jauh lebih besar. Antara tahun 2017 hingga 2019 terdapat perbedaan pendapatan dari kedua paket pola tanam tersebut adalah Rp 622 014/ha hingga Rp 2 440 900/ha. Tabel 36. Pendapatan (ribu Rp/ha) Berbagai Paket Pola Tanam Lahan Sawah Kemiringan I Wilayah Sub-Sub DAS Bango pada Harga Skenario 1a dan Biaya Konstan dengan Tingkat Bunga (r) 10% Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Pd-Pd-Pd Nominal PV 19 899.52 19 899.52 19 899.45 18 090.47 19 899.35 16 445.83 19 899.28 14 950.68 19 899.21 13 591.48 19 899.12 12 355.84 19 899.04 11 232.53 19 898.97 10 211.36 19 898.88 9 283.02 19 898.80 8 439.07 19 898.73 7 671.85 19 898.64 6 974.38 19 898.57 6 340.32 19 898.49 5 763.91 19 898.40 5 239.90 19 898.33 4 763.52 19 898.25 4 330.46
Pd-Pd-Jg Nominal PV 16 975.75 16 975.75 16 975.70 15 432.45 16 975.63 14 029.44 16 975.57 12 754.00 16 975.52 11 594.51 16 975.45 10 540.42 16 975.39 9 582.17 16 975.34 8 711.03 16 975.26 7 919.09 16 975.21 7 199.15 16 975.15 6 544.66 16 975.08 5 949.66 16 975.03 5 408.77 16 974.97 4 917.04 16 974.90 4 470.02 16 974.84 4 063.64 16 974.79 3 694.21
Pd-Pd-Sy Tebu Nominal Nominal PV PV 51 554.41 51 554.41 7753.63 7 753.63 47 368.96 43 062.69 7753.39 7 048.54 43 602.10 36 034.79 7753.16 6 407.57 40 211.96 30 211.84 7752.93 5 824.89 37 160.86 25 381.37 7752.69 5 295.19 34 414.90 21 368.95 7752.46 4 813.67 31 943.56 18 031.31 7752.22 4 375.93 29 719.37 15 250.74 7751.99 3 977.99 27 717.62 12 930.48 7751.75 3 616.25 25 916.06 10 990.94 7751.51 3 287.40 24 294.67 9 366.65 7751.28 2 988.45 22 835.43 8 003.68 7751.04 2 716.69 21 522.12 6 857.61 7750.80 2 469.64 20 340.15 5 891.82 7750.56 2 245.06 19 276.38 5 076.07 7750.33 2 040.90 18 319.00 4 385.42 7750.08 1 855.31 17 457.35 3 799.23 7749.84 1 686.59
Sumber: Olahan data Keterangan: PV = Present Value
Pergeseran aktivitas optimal pada lahan tegal kemiringan II (≥ 15%) dari pola tanam Pd-Jg-Kacang Tanah menjadi paket tebu, karena (Tabel 37): (1) pada tahun 2005 hingga 2008 pendapatan tebu relatif sama dengan paket PdJg-Kacang Tanah, (2) setelah tahun 2008 pendapatan tebu relatif lebih besar dan
konstan pada setiap periode dan (3) penurunan pendapatan antar periode dari pola tanam pengganti relatif lebih kecil. Penurunan pendapatan pola tanam PdJg-Kacang Tanah dari tahun 2006 hingga 2007 sebesar Rp 258 870/ha; sedangkan pola tanam tebu sebesar Rp 550/ha. Adapun penurunan pendapatan dari tahun 2018 ke 2019 pada masing-masing pola tanam tersebut sebesar Rp 164 750/ha dan Rp 590/ha. Disparitas atau perbedaan perubahan pendapatan antar tahun dari kedua paket pola tanam tersebut relatif besar. Tabel 37. Pendapatan (ribu Rp/ha) Berbagai Paket Pola Tanam Lahan Tegal Kemiringan II Wilayah Sub-Sub DAS Bango pada Harga Skenario 1a dan Biaya Konstan dengan Tingkat Bunga (r) 10% Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Pd-Jg-Kc. Tnh Nominal PV 7 115.98 7 115.98 6 754.68 6 140.62 6 451.51 5 331.83 6 171.71 4 636.90 5 912.84 4 038.55 5 672.59 3 522.23 5 448.80 3 075.70 5 239.39 2 688.64 5 042.42 2 352.33 4 855.97 2 059.40 4 678.19 1 803.64 4 507.25 1 579.77 4 341.35 1 383.29 4 178.63 1 210.40 4 017.21 1 057.86 3 855.16 922.89 3 690.41 803.14
Tebu Nominal 6 051.52 6 050.97 6 050.42 6 049.86 6 049.31 6 048.74 6 048.18 6 047.61 6 047.04 6 046.47 6 045.89 6 045.31 6 044.73 6 044.14 6 043.55 6 042.96 6 042.37
PV 6 051.52 5 500.88 5 000.35 4 545.35 4 131.76 3 755.79 3 414.04 3 103.38 2 820.99 2 564.29 2 330.95 2 118.85 1 926.04 1 750.77 1 591.46 1 446.64 1 314.99
Sumber: Olahan data Keterangan: PV = Present Value
Sebagaimana terdapat pada Tabel 14 bahwa aktivitas optimal lahan tegal kemiringan I (0–15%) pada skenario dasar adalah pola tanam Kentang-Wortel. Namun setelah terjadi penurunan harga komoditas kentang, wortel serta kubis, maka terjadi perubahan keputusan aktivitas optimal (Tabel 33 - 35). Paket pola tanam Kentang-Wortel dipilih sebagai aktivitas optimal pada skenario dasar karena mempunyai pendapatan yang paling dominan sepanjang horizon waktu.
Pada saat harga kentang dan wortel turun, pendapatan Kentang-Wortel masih tetap dominan pada beberapa periode awal horizon waktu, namun relatif lebih cepat mendatangkan pendapatan negatif (Tabel 38); sehingga terjadi pergeseran aktivitas pola tanam optimal. Tabel 38. Pendapatan (ribu Rp/ha) Berbagai Paket Pola Tanam Lahan Tegal Kemiringan I Wilayah Sub-Sub DAS Bango pada Harga Skenario 1a dan Biaya Konstan dengan Tingkat Bunga (r) 10% Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Jg-Jg-Sy Nominal PV 27 069.62 27 069.62 23 370.30 24 608.75 20 043.89 19 314.30 17 052.99 15 059.27 14 363.65 11 647.42 11 945.37 8 918.70 9 770.97 6 742.85 7 815.77 5 014.06 6 057.59 3 646.12 4 476.67 2 569.01 3 055.07 1 725.95 1 776.67 1 070.78 627.10 566.10 - 406.67 181.65 -1336.38 - 107.09 -2172.45 - 319.92 -2924.37 - 472.79
Pd-Jg-Kc. Tnh Nominal PV 8 802.87 8 802.87 8 386.06 7 623.69 8 005.30 6 615.95 7 657.45 5 753.15 7 339.63 5 013.07 7 049.24 4 377.02 6 783.87 3 829.32 6 541.33 3 356.74 6 319.65 2 948.16 6 116.99 2 594.20 5 931.70 2 286.93 5 762.25 2 019.63 5 607.27 1 786.65 5 465.49 1 583.16 5 335.75 1 405.07 5 217.01 1 248.91 5 108.29 1 111.71
Kentang-Wortel Nominal PV 69 053.24 69 053.24 55 923.14 50 839.22 44 333.06 36 638.89 34 101.03 25 620.61 25 066.73 17 120.92 15 745.71 9 776.85 10 043.07 5 669.05 3 819.49 1 960.00 -1 678.54 - 783.05 -6 536.27 -2 772.02 -10 828.88 -4 175.00 -14 622.64 -5 125.15 -17 976.00 -5 727.71 -20 940.51 -6 065.72 -23 561.63 -6 204.51 -25 879.47 -6 195.34 -27 929.44 -6 078.26
Tebu Nominal PV 6 357.90 6 357.90 6 357.66 5 779.69 6 357.42 5 254.06 6 357.18 4 776.24 6 356.94 4 341.87 6 356.69 3 947.01 6 356.45 3 588.05 6 356.21 3 261.74 6 355.96 2 965.10 6 355.72 2 695.45 6 355.47 2 450.31 6 355.23 2 227.47 6 354.98 2 024.89 6 354.74 1 840.74 6 354.49 1 673.34 6 354.24 1 521.15 6 353.99 1 382.81
Sumber: Olahan data Keterangan: PV = Present Value
Pada Tabel 38 tampak bahwa pendapatan negatif paket Kentang-Wortel terjadi enam periode relatif lebih cepat daripada paket Jg-Jg-Sy. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa meskipun manfaat bersih pola tanam Jg-Jg-Sy pada awal periode relatif jauh lebih kecil daripada paket pola tanam Kentang-Wortel, namun dalam jangka panjang relatif lebih menjanjikan karena perubahan pendapatan tidak terlalu drastis. Pendapatan negatif terjadi karena penerimaan menurun, sementara biaya pada setiap periode adalah konstan. Tingkat erosi pola tanam Kentang-Wortel dan Jg-Jg-Sy relatif seimbang (Tabel 15), namun penurunan harga kentang dan wortel menyebabkan penurunan penerimaan pada paket pola tanam yang digantikan (Kentang-Wortel) relatif lebih besar daripada paket pola
tanam pengganti (Jg-Jg-Sy). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penurunan penerimaan lebih dominan dikarenakan pengaruh penurunan harga, dan SL tidak siknifikan dalam mempengaruhi perubahan produktivitas. Pergeseran aktivitas optimal dari pola tanam Jg-Jg-Sy menjadi tebu terjadi pada saat PV pendapatan paket pola tanam yang digantikan adalah negatif.
Paket monokultur tebu dipilih sebagai pola tanam pengganti karena
manfaat bersih yang dihasilkan pada akhir horizon waktu yang relatif paling besar.
Walaupun pendapatan pola tanam Pd-Jg-Kacang Tanah pada awal
horizon waktu relatif lebih besar daripada paket tebu, namun pada akhir horizon waktu terjadi kondisi yang sebaliknya. Kecenderungan
meninggalkan
pola
tanam
yang
menghasilkan
pendapatan negatif tersebut di atas selaras dengan hasil kajian Carson (1987) dalam Barbier (1990) tentang pengambilan keputusan di tingkat skala mikro atau rumah tangga produsen di daerah lahan kering Wilayah Malang Selatan. Disebutkan bahwa petani akan membuat keputusan rasional untuk meninggalkan usahatani jika keuntungan atau pendapatan pola tanam jagung dan ketela pohon jatuh sangat rendah. Mereka menuju ke daerah perkotaan sebagai tenaga kerja buruh. Dari berbagai kecenderungan yang terdapat pada Tabel 36 hingga 38 tersebut, dapat disarikan bahwa penentuan perubahan aktivitas optimal didasarkan pada: 1. Tingkat pendapatan per unit lahan pada awal dan setiap periode. 2. Jumlah periode (tahun) saat kondisi tingkat pendapatan bernilai negatif. 3. Pergeseran terjadi setelah manfaat bersih negatif. 4. Perubahan tingkat pendapatan per ha antar periode yang relatif kecil.
Pada kesempatan ini perlu disampaikan pengalaman dalam merumuskan skenario perubahan harga komoditas. Pada awalnya, skenario perubahan harga dilakukan pada keseluruhan komoditas yang membentuk paket pola tanam yang dipertimbangkan dalam model optimasi.
Namun hasil yang diperoleh adalah
bahwa skenario perubahan harga komoditas tidak mengubah keputusan aktivitas optimal.
Kondisi tersebut seperti penjelasan Burt (1981), bahwa kenaikan yang
proporsional seluruh harga dan biaya akan tidak berdampak pada alokasi optimal intertemporal dari sumberdaya lahan. Perubahan harga komoditas mempunyai pengaruh terhadap besaran harga bayangan ketebalan lapisan tanah atau UCSE (Tabel 39). Penurunan harga kubis (skenario 1) menyebabkan UCSE dari pola tanam Pd-Pd-Sy pada lahan sawah kemiringan I semakin kecil. Perbedaan proporsi perubahan harga komoditas tidak menyebabkan perbedaan UCSE pada lahan tegal kemiringan I, namun pada lahan tegal kemiringan II menyebabkan UCSE mempunyai nilai beragam. Besarnya UCSE pola tanam Jg-Jg-Sy lahan tegal kemiringan I pada skenario 1a sama dengan skenario 1b; demikian juga pada pola tanam optimal tebu.
Hasil pendugaan UCSE pola tanam Pd-Jg-KcTanah lahan tegal
kemiringan II dari skenario 1b tampak lebih besar daripada skenario 1a; namun pada pola tanam tebu tidak terjadi perbedaan.
Tabel 39.
Sawah I Tahun
Dasar Pd-Pd-Sy
Pendugaan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah Berbagai Pola Tanam Optimal Sub-Sub DAS Bango Menurut Fungsi Lahan dan Skenario Perubahan Harga Komoditas Terpilih (ribu Rp/cm/ha)
Tegal I
Skenario 1a Skenario 1 b Dasar Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Kn-Wrl
Skenario 1 a Jg-Jg-Sy Tebu
2004 1 923.84 1 012.67 1 012.67 2 879.40 891.71 2005 1 870.39 912.07 912.07 2 805.59 793.72 2006 1 811.59 820.13 820.13 2 723.27 703.53 2007 1 746.89 735.86 735.86 2 631.61 620.21 2008 1 675.71 658.33 658.33 2 529.65 542.88 2009 1 597.40 586.71 586.71 2 416.37 470.76 2010 1 511.24 520.22 520.22 2 290.63 403.09 2011 1 416.46 458.14 458.14 2 151.18 339.18 2012 1 312.19 399.81 399.81 1 996.64 278.38 2013 1 197.48 344.61 344.61 1 825.51 220.05 2014 1 071.29 291.95 291.95 1 636.12 163.61 2015 932.47 241.29 241.29 1 426.64 108.49 2016 779.76 192.09 192.09 1 195.06 54.13 2017 611.76 143.85 143.85 939.17 11.91 2018 426.95 96.07 96.07 656.52 8.32 2019 223.65 48.28 48.28 344.45 4.37 Sumber: Olahan data Keterangan: Skenario 1 a: didasarkan perubahan harga data primer Skenario 1b: didasarkan perubahan harga angka hipotetis
b
Skenario 1 Jg-Jg-Sy Tebu
891.71 793.72 703.53 620.21 542.88 470.76 403.09 339.18 278.38 220.05 163.61 108.49 54.13 11.91 8.32 4.37
Tegal II Dasar Pg-Jg-Kc Tnh
105.00 103.54 101.69 99.41 96.65 93.36 89.47 84.93 79.67 73.58 66.62 58.66 49.61 39.36 27.76 14.70
Skenario 1 a Pg-Jg-Kc Tnh Tebu
19.33 10.07 35.58 34.44 33.16 31.73 30.13 28.33 26.34 24.12 21.65 18.90 15.85 12.47 8.73 4.59
b
Skenario 1 Pg-Jg-Kc Tnh Tebu
43.82 36.70 28.84 20.16 10.59 31.73 30.13 28.33 26.34 24.12 21.65 18.90 15.85 12.47 8.73 4.59
Perubahan harga komoditas juga menyebabkan perbedaan perubahan UCSE (
λ&1ijk ). Perubahan UCSE pada skenario 1 cenderung lebih besar daripada model dasar. Hal itu karena perubahan manfaaat bersih pada skenario 1 dipengaruhi oleh pengurangan SD dan harga komoditas, sedangkan pada model dasar hanya dipengaruhi oleh pengurangan SD. Sementara itu, perubahan harga komoditas tidak menyebabkan perubahan besaran biaya off-site erosi (Off-site Cost of Erosin atau OFCE) maupun volume outflow waduk (Wol). Pada persamaan (6.11b) dan (6.11c) tampak jelas bahwa besarnya pendugaan OFCE tidak dipengaruhi oleh harga komoditas, namun dipengaruhi oleh harga air waduk untuk berbagai kegunaan. Perubahan harga komoditas di wilayah sub-sistem hulu waduk tidak mengubah debit outflow optimal, namun hanya mempengaruhi perubahan volume stok air dan sedimen. Hal tersebut karena besarnya debit outflow hanya dipengaruhi
aspek fisik
sebagaimana telah diuraikan pada sub-bab 7.3. Dampak perubahan harga komoditas terhadap volume stok air dan sedimen dalam waduk melalui perubahan volume erosi potensial karena perubahan aktivitas pola tanam. Tabel 40. Perubahan Volume Optimal Waduk Sengguruh (juta m3) Karena Perubahan Harga Komoditas Tanaman Kc Tanah dan Sayuran
Skenario 1a
Base Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
. . . . . . . . . .
Vsa1 Vss1 2.00 0.32 1.55 0.77 1.10 1.22 0.66 1.67 0.21 2.11 2.32 2.32 2.32 2.32 2.32 2.32 2.32 2.32 2.32 2.32
Vks1 . . . . 0.24 0.45 . 0.45 . 0.45 . 0.45 . 0.45 . 0.45 . 0.45 . 0.45 . 0.45 . 0.45 .
Vsa1 2.00 1.56 1.11 0.67 0.23
Skenario 1b
Vss1 Vks1 Vsa1 0.32 . 2.00 0.76 . 1.55 1.21 . 1.11 1.65 . 0.66 2.10 0.22 0.22 2.32 0.44 . 2.32 0.44 . 2.32 0.44 . 2.32 0.44 . 2.32 0.44 . 2.32 0.44 . 2.32 0.44 . 2.32 0.44 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 .
Vss1 Vks1 0.32 . 0.77 . 1.21 . 1.66 . 2.10 0.22 2.32 0.44 2.32 0.44 2.32 0.44 2.32 0.44 2.32 0.44 2.32 0.44 2.32 0.44 2.32 0.44 2.32 0.45 2.32 0.43
2018 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 . 2.32 2019 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 . 2.32 2020 2.32 . 2.32 . . 2.32 . Sumber: Olahan data Keterangan: Vsa1 = volume stok air Waduk Sengguruh Vss1 = volume stok sedimen Waduk Sengguruh Vks1 = volume sedimen yang dikeruk Waduk Sengguruh
0.43 0.43
Volume sedimen yang dikeruk dari Waduk Sengguruh (Vks1) pada skenario 1 relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan model dasar (Tabel 40); yakni berkisar antara 10 hingga 20 ribu m3. Pada biaya pengerukan sedimen sebesar Rp 7 517.23/m3, maka penurunan volume tersebut dapat menghemat biaya pengerukan antara Rp 7 517 230 sampai dengan Rp 15 034 460. Apabila didasarkan pada biaya kesempatan (OFCE) Waduk Sengguruh sebesar Rp 107.17/m3 (Tabel 30),
maka biaya sosial yang dapat dihemat pada setiap
periode adalah berkisar antara Rp 107 170 000 hingga Rp 214 340 000. Perubahan pola tanam optimal di wilayah sub-sistem hulu dari skenario 1 juga berdampak pada pengisian tampungan mati Waduk Sutami (Vss2) relatif lebih lambat. Pada akhir horizon waktu (tahun 2020) volume tampungan mati yang belum terisi (Sa2b) pada skenario 1 relatif lebih kecil daripada model dasar (Tabel 41). Perbedaan volume yang terjadi berkisar antara 0.22 hingga 0.23 juta m3; atau setara dengan Rp 21.50 juta hingga Rp 22.50 juta bila OFCE Waduk Sutami sebesar Rp 97.90/m3 (Tabel 31). Tabel 41. Perubahan Volume Optimal (juta m3) Waduk Sutami Karena Perubahan Harga Komoditas Tanaman Kc Tanah dan Sayuran Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Base Vsa2 Vss2 Ss2b 175.12 61.00 29.00 174.37 61.75 28.25 173.62 62.50 27.50 172.87 63.25 26.75 172.12 64.00 26.00 171.37 64.75 25.25 170.62 65.50 24.50 169.87 66.26 23.75 169.12 67.01 23.00
Skenario 1a Vsa2 175.12 174.38 173.63 172.89 172.14 171.40 170.66 169.91 169.17
Vss2 Vsa2b 61.00 29.00 61.74 28.26 62.49 27.51 63.23 26.77 63.98 26.02 64.72 25.28 65.46 24.54 66.21 23.79 66.95 23.05
Skenario 1b Vsa2 175.12 174.37 173.63 172.88 172.14 171.39 170.65 169.90 169.16
Vss2 Vsa2b 61.00 29.00 61.75 28.25 62.50 27.51 63.24 26.76 63.98 26.02 64.73 25.27 65.47 24.53 66.22 23.78 66.96 23.04
2012 168.36 67.76 22.24 168.43 67.69 22.31 168.42 2013 167.61 68.51 21.49 167.68 68.44 21.56 167.67 2014 166.86 69.26 20.74 166.94 69.18 20.82 166.93 2015 166.11 70.01 19.99 166.20 69.92 20.08 166.19 2016 165.36 70.76 19.24 165.45 70.67 19.33 165.44 2017 164.61 71.51 18.49 164.71 71.41 18.59 164.70 2018 163.86 72.26 17.74 164.00 72.12 17.88 163.99 2019 163.11 73.01 16.99 163.30 72.83 17.18 163.29 2020 162.36 73.76 16.24 162.59 73.53 16.47 162.58 Sumber: Olahan data Keterangan: Vsa1 = volume stok air Waduk Sengguruh Vss1 = volume stok sedimen Waduk Sengguruh Vks1 = volume sedimen yang dikeruk Waduk Sengguruh
67.70 68.45 69.19 69.93 70.68 71.42 72.13 72.84 73.54
22.30 21.55 20.81 20.07 19.32 18.58 17.87 17.17 16.46
9.2. Perubahan Tingkat Bunga Penurunan tingkat bunga dari 10% menjadi 5% tidak mempengaruhi perubahan keputusan aktivitas optimal baik pada sub-sistem hulu waduk maupun sub-sistem ekologi bendungan-waduk.
Dari perspektif ekonomi sumberdaya
secara umum, tingkat bunga mempengaruhi kuantitas ekstrasi.
Keputusan
ekstrasi sumberdaya alam tergolong keputusan suatu transfer penggunaan dari periode waktu berikutnya ke periode sekarang yang mecerminkan karakteristik keputusan investasi, dimana tingkat bunga sangat berperan (Randall, 1981). Secara eksplisit Pearce dan Turner (1990) menjelaskan bahwa salah satu dari beberapa
parameter
yang
mempengaruhi
harga
dan kuantitas
optimal
intertemporal adalah tingkat bunga. Perubahan tingkat bunga tidak merubah aktivitas optimal paket pola tanam dan debit outflow waduk. Perubahan tingkat bunga hanya berpengaruh pada besarnya UCSE dan OFCE sebagaimana terdapat pada Tabel 42 dan Tabel 43. Penurunan tingkat bunga dari 10% menjadi 5% menyebabkan UCSE dari skenario 2 relatif lebih besar daripada UCSE pada model dasar.
Fenomena
tersebut sejalan dengan hasil kajian Walker (1982) dan Van Kooten et al. (1989); diuraikan bahwa hubungan antara tingkat diskonto dan variabel waktu (t) dengan
besarnya UCSE menunjukkan semakin tinggi tingkat diskonto, PV UCSE per hektar semakin kecil. Pada Tabel 42 tampak bahwa besarnya UCSE pola tanam Pd-Pd-Sy pada lahan sawah kemiringan I hampir sama dengan sawah kemiringan II. Disamping itu, UCSE tertinggi terjadi pada pola tanam Kentang-Wortel lahan tegal kemiringan I dan terendah pada pola tanam apel lahan tegal kemiringan II.
Tabel 42.
Pendugaan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah Berbagai Pola Tanam Optimal Sub-Sub DAS Sumber Brantas Menurut Fungsi Lahan dan Skenario Perubahan Tingkat Bunga dan Pengurangan Lahan Hutan Produksi (ribu/Rp/cm/ha) Sawah I
Tahun
Dasar Pd-Pd-Sy
Skenario 2 Pd-Pd-Sy
Sawah II Skenario 3 Dasar Skenario 2 Skenario 3 Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy
Tegal I Dasar Kn-Wrl
Tegal II
Skenario 2 Skenario 3 Kn-Wrl Kn-Wrl
2004 1 984.60 2 880.17 1 984.60 1 984.90 2 880.69 1 984.90 2 921.72 4 245.21 2005 1 929.45 2 758.50 1 929.45 1 929.78 2 759.04 1 929.78 2 843.18 4 069.11 2006 1 868.77 2 630.73 1 868.77 1 869.13 2 631.28 1 869.13 2 756.29 3 883.68 2007 1 802.02 2 496.56 1 802.02 1 802.41 2 497.12 1 802.41 2 660.23 3 688.48 2008 1 728.59 2 355.67 1 728.59 1 728.97 2 356.23 1 728.97 2 554.07 3 482.99 2009 1 647.80 2 207.73 1 647.80 1 648.19 2 208.29 1 648.19 2 436.80 3 266.72 2010 1 558.92 2 052.38 1 558.92 1 559.33 2 052.92 1 559.33 2 307.31 3 039.12 2011 1 461.14 1 889.25 1 461.14 1 461.54 1 889.77 1 461.54 2 164.38 2 799.62 2012 1 353.58 1 717.95 1 353.58 1 353.95 1 718.46 1 353.95 2 006.67 2 547.63 2013 1 235.24 1 538.08 1 235.24 1 235.63 1 538.56 1 235.63 1 832.69 2 282.53 2014 1 105.07 1 349.20 1 105.07 1 105.42 1 349.62 1 105.42 1 640.82 2 003.65 2015 961.87 1 150.87 961.87 962.19 1 151.24 962.19 1 429.26 1 710.30 2016 804.33 942.61 804.33 804.62 942.93 804.62 1 196.05 1 401.77 2017 631.04 723.93 631.04 631.28 724.19 631.28 939.02 1 077.30 2018 440.40 494.30 440.40 440.58 494.50 440.58 655.80 736.07 2019 230.69 253.18 230.69 230.77 253.27 230.77 343.75 377.27 Sumber: Olahan data Keterangan: Skenario 2: perubahan tingkat bunga (dari 10% menjadi 5%); Skenario 3: perubahan luas areal lahan hutan produksi menjadi hutan penyangga)
2 921.72 2 843.18 2 756.29 2 660.23 2 554.07 2 436.80 2 307.31 2 164.38 2 006.67 1 832.69 1 640.82 1 429.26 1 196.05 939.02 655.80 343.75
Dasar Apel
195.50 190.68 185.28 179.23 172.46 164.89 156.47 147.07 136.64 125.04 112.16 97.89 82.06 64.55 45.16 23.71
Skenario 2 Skenario 3 Apel Apel
284.90 273.63 261.67 249.01 235.59 221.38 206.34 190.43 173.61 155.82 137.02 117.17 96.20 74.06 50.69 26.02
195.50 190.68 185.28 179.23 172.46 164.89 156.47 147.07 136.64 125.04 112.16 97.89 82.06 64.55 45.16 23.71
Pengaruh perubahan tingkat bunga terhadap UCSE menurut periode tampak lebih jelas disajikan secara grafik sebagaimana yang terdapat pada Gambar 14. Pada awal horizon waktu, disparitas UCSE antara skenario 2 dan model dasar relatif tinggi; selanjutnya kedua kurva hampir berhimpit pada akhir horizon waktu. Penurunan tingkat bunga menyebabkan disparitas UCSE antar skenario semakin menurun.
3000 2500 Skenario 2 (r =5%) (ribu Rp cm/ha)
Harga bayangan Soil Depth (UCSE)
3500
2000 1500 Dasar (r =10%)
1000 500 0 2000
2005
2010
2015
2020
Periode (Tahun)
Gambar 14. Pengaruh Perubahan Tingkat Bunga terhadap Nilai Nominal Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah dari Pola Tanam Pd-Pd-Sy pada Lahan Sawah Kemiringan II Wilayah Sub-Sub DAS Sumber Brantas
Sementara itu, penurunan tingkat bunga juga menyebabkan peningkatan nilai nominal maupun PV dari OFCE. Yang menarik pada Tabel 43 adalah nilai nominal OFCE pada model dasar konstan, namun pada skenario 2 nilai tersebut bervariasi.
Pendugaan PV OFCE dari skenario 2 tampak semakin menurun
antar waktu, dan terjadi fenomena yang berlawanan pada nilai nominalnya. Disadari bahwa peneliti belum bisa memberikan alasan mengapa hal tersebut terjadi.
Dengan memetakan hasil pendugaan yang terdapat pada Tabel 43
didapatkan kurva biaya kesempatan air yang tertahan dalam waduk (OFCE) seperti yang terdapat pada Gambar 15. Tabel 43. Perubahan Biaya Off-Site Erosi (Rp/m3) Karena Perubahan Tingkat Bunga Sengguruh Dasar Skenario 2 PV Nominal PV Nominal 2004 97.43 107.17 106.93 117.62 2005 88.57 107.17 101.84 123.22 2006 80.52 107.17 96.99 129.09 2007 73.20 107.17 92.37 135.24 2008 66.55 107.17 87.97 141.68 2009 60.50 107.17 83.78 148.42 2010 55.00 107.17 79.79 155.49 2011 50.00 107.17 75.99 162.89 2012 45.45 107.17 72.37 170.65 2013 41.32 107.17 68.93 178.78 2014 37.56 107.17 65.64 187.29 2015 34.15 107.17 62.52 196.21 2016 31.04 107.17 59.54 205.55 2017 28.22 107.17 56.71 215.34 2018 25.66 107.17 54.01 225.60 2019 23.32 107.17 51.43 236.34 2020 21.20 107.17 48.99 247.59 Sumber: Olahan data Keterangan: Dasar : tingkat bunga 10% Skenario 2 : tingkat bunga 5% PV : present value Tahun
Sutami Dasar Skenario 2 PV Nominal PV Nominal 89.00 97.90 97.68 107.44 80.91 97.90 93.03 112.56 73.55 97.90 88.60 117.92 66.87 97.90 84.38 123.53 60.79 97.90 80.36 129.42 55.26 97.90 76.53 135.58 50.24 97.90 72.89 142.04 45.67 97.90 69.42 148.80 41.52 97.90 66.11 155.89 37.74 97.90 62.96 163.31 34.31 97.90 59.97 171.09 31.19 97.90 57.11 179.23 28.36 97.90 54.39 187.77 25.78 97.90 51.80 196.71 23.44 97.90 49.33 206.08 21.31 97.90 46.98 215.89 19.37 97.90 44.75 226.17
Penurunan tingkat bunga menyebabkan disparitas OFCE antara skenario 2 dan model dasar semakin meningkat antar waktu (Gambar 15). Disparitas pada awal horizon waktu relatif lebih kecil daripada akhir, baik pada nilai nominal maupun nilai sekarang. Dari skenario 2 juga didapatkan fenomena bahwa perubahan tingkat bunga tidak merubah volume air yang tersimpan (Vsa) maupun volume sedimen yang tertahan (Vss) baik dalam Waduk Sengguruh (Tabel 44) maupun Waduk Sutami (Tabel 45). Disamping itu, volume sedimen yang dikeruk (Vks1) juga tidak mengalami perubahan. Perubahan tingkat bunga
tidak berpengaruh
pada
perubahan keputusan aktivitas optimal, dalam pengertian tidak terjadi perubahan
luas lahan dan pola tanam optimal, sehingga volume sedimen potensial yang terangkut masuk ke waduk tidak berubah. 120
Biaya off-site erosi (Rp/m3)
100
80 SG Dasar (r = 10%) SG Skenario 2 (r = 5%) ST Dasar (r = 10%) ST Skenario 2 (r = 5%)
60
40
20
0 2000
2005
2010
2015
2020
2025
Periode (Tahun)
Gambar 15. Pengaruh Perubahan Tingkat Bunga Terhadap Biaya Off-Site Erosi pada Waduk Sengguruh dan Sutami 9.3. Perubahan Luas Lahan Hutan Produksi
Skenario aspek teknis ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran pengaruh pengembalian hutan dengan kemiringan ≥ 25% dari lahan untuk produksi menjadi fungsi kawasan penyangga. Pada skenario ini, lahan hutan produksi pada kemiringan I (0–15%) dan kemiringan 15–25% tetap dipertahankan sebagai lahan produksi dengan pola tanam tumpangsari tanaman pangan dan kayu-kayuan. Adapun luas areal yang dikembalikan sesuai fungsi kawasan pada Sub-sub DAS Bango seluas 1 231 hektar; yaitu pada kemiringan 25-40%. Pada Sub-sub DAS Sumber Brantas dan Amprong terdapat pengembalian fungsi
lahan pada dua klasifikasi kemiringan, yakni kemiringan 25-40% dan ≥ 40%. Total luas pengembalian alih fungsi kawasan di Sumber Brantas dan Amprong masing-masing adalah 1 153 ha dan 4 230 ha; sedangkan pada Lesti dan Metro seluas 1 514 ha dan 165 ha. Pengembalian fungsi kawasan tersebut pada prinsipnya tidak mengubah total ketersediaan luas lahan non-budidaya intensif, namun yang berubah adalah potensi erosi yang dihasilkan. Oleh karena itu, skenario 3
secara langsung
berpengaruh pada volume sedimen yang masuk ke dalam waduk. Tingkat erosi lahan hutan dengan fungsi kawasan penyangga relatif lebih kecil daripada hutan produksi, sehingga volume sedimen yang yang dikeruk dari Waduk Sengguruh (Vks1) pada skenario 3 lebih kecil daripada model dasar (Tabel 44). Dengan demikian, pengembalian fungsi kawasan penyangga mampu menghemat biaya pengerukan setiap periode sebesar Rp 15 034 460 sebagaimana yang terjadi pada skenario 1. Tabel 44. Perubahan Volume Optimal (juta m3) Waduk Sengguruh Karena Perubahan Tingkat Bunga dan Pengurangan Lahan Hutan Produksi Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Base Vsa1 Vss1 2.00 0.32 1.55 0.77 1.10 1.22 0.66 1.67 0.21 2.11 . 2.32 . 2.32 . 2.32 . 2.32 . 2.32 . 2.32 . 2.32 . 2.32 . 2.32 . 2.32 . 2.32 . 2.32 2.32
Skenario 2 Skenario 3 Vsa1 Vss1 Vks1 Vsa1 Vss1 Vks1 2.00 0.32 . 2.00 0.32 . 1.55 0.77 . 1.57 0.75 . 1.10 1.22 . 1.14 1.18 . 0.66 1.67 . 0.72 1.60 . 0.24 0.21 2.11 0.24 0.29 2.03 0.14 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 . 2.32 . . 2.32 .
Vks1 . . . .
.
Sumber: Olahan data Keterangan: VSA1 = volume stok air Waduk Sengguruh VSS1 = volume stok sedimen Waduk Sengguruh VKS1 = volume sedimen yang dikeruk Waduk Sengguruh
Volume air yang tersimpan pada Waduk Sengguruh pada periode 2004
hingga 2007 mengalami peningkatan sebanyak 200 hingga 700 ribu m3. Volume tersebut secara nominal sebesar Rp 21 juta hingga Rp 75 juta pada saat OFCE Waduk Sengguruh sebesar Rp 107.17/m3. Dengan pengembalian fungsi kawasan penyangga dengan kemiringan ≥ 25% (skenario 3) dapat menambah volume air yang tertahan dalam Waduk Sengguruh sebesar 7 hingga 35 % (olahan dari Tabel 44). Tabel 45. Perubahan Volume Optimal (juta m3) Waduk Sutami Karena Perubahan Tingkat Bunga dan Pengurangan Lahan Hutan Produksi Base Skenario 2 Skenario 3 Tahun VSS2 VSA2 SA2B VSS2 VSA2 VSA2B VSS2 VSA2 SA2B 2003 61.00 175.12 29.00 61.00 175.12 29.00 61.00 175.12 29.00 2004 61.75 174.37 28.25 61.75 174.37 28.25 61.72 174.40 28.28 2005 62.50 173.62 27.50 62.50 173.62 27.50 62.44 173.68 27.56 2006 63.25 172.87 26.75 63.25 172.87 26.75 63.17 172.96 26.84 2007 64.00 172.12 26.00 64.00 172.12 26.00 63.89 172.23 26.11 2008 64.75 171.37 25.25 64.75 171.37 25.25 64.61 171.51 25.39 2009 65.50 170.62 24.50 65.50 170.62 24.50 65.33 170.79 24.67 2010 66.26 169.87 23.75 66.26 169.87 23.75 66.05 170.07 23.95 2011 67.01 169.12 23.00 67.01 169.12 23.00 66.77 169.35 23.23 2012 67.76 168.36 22.24 67.76 168.36 22.24 67.49 168.63 22.51 2013 68.51 167.61 21.49 68.51 167.61 21.49 68.22 167.90 21.78 2014 69.26 166.86 20.74 69.26 166.86 20.74 68.94 167.18 21.06 2015 70.01 166.11 19.99 70.01 166.11 19.99 69.66 166.46 20.34 2016 70.76 165.36 19.24 70.76 165.36 19.24 70.38 165.74 19.62 2017 71.51 164.61 18.49 71.51 164.61 18.49 71.10 165.02 18.90 2018 72.26 163.86 17.74 72.26 163.86 17.74 71.82 164.30 18.18 2019 73.01 163.11 16.99 73.01 163.11 16.99 72.55 163.58 17.46 2020 73.76 162.36 16.24 73.76 162.36 16.24 73.27 162.85 16.73 Sumber: Olahan data Keterangan: VSA2 = volume stok air Waduk Sutami VSS2 = volume tampungan mati yang telah terisi Waduk Sutami SA2B = volume tampungan mati yang belum terisi Waduk Sutami
Dari hasil pemecahan optimasi dari skenario 3 tidak terdapat perubahan keputusan debit outflow optimal pada sub-sistem ekologi bendungan-waduk bila dibandingkan dengan model dasar. Hal itu karena luas areal dan debit inflow
tidak mengalami perubahan.
Pada skenario 3 menjadikan volume air yang
tersimpan dalam Waduk Sutami (Vsa2) mengalami peningkatan dan volume sedimen yang tertahan (Vss2) menjadi lebih kecil (Tabel 45). Rata-rata tambahan volume air yang tersimpan dalam Waduk Sutami sebesar 260 ribu m3 setiap tahun; atau setara dengan nilai nominal sebesar Rp 25 454 000 pada saat OFCE Waduk Sutami sebesar Rp 97.90/m3 (Tabel 31). Dengan mengurangkan antara volume air tersimpan (Vsa2) optimasi dinamik skenario 3 dan model dasar didapatkan angka tambahan volume air tersimpan dengan kisaran 29 hingga 490 ribu m3 pada setiap periode (tahun). 9.4. Ikhtisar
Perubahan harga komoditas tertentu (kacang tanah dan sayuran) mempengaruhi perubahan keputusan aktivitas pola tanam optimal pada subsistem hulu waduk, namun tidak menyebabkan perubahan kuantitas debit outflow optimal pada sub-sistem ekologi bendungan-waduk. Beberapa kondisi lain yang terjadi pada skenario perubahan harga bila dibandingkan dengan model dasar adalah: 1. Terjadi pergeseran (switching) paket pola tanam optimal pada lahan tegal. 2. Luas lahan yang tersedia dioptimalkan secara keseluruhan baik pada paket pola tanam yang digantikan maupun pengganti. 3. Terjadi perubahan besaran harga bayangan ketebalan lapisan tanah (UCSE), namun pada biaya off-site erosi (OFCE) tidak terjadi perubahan. 4. Terjadi perubahan volume stok air, sedimen tertahan dan sedimen yang dikeruk. Pergeseran hanya terjadi pada paket pola tanam yang dibentuk oleh komoditas yang mengalami perubahan harga dengan potensi erosi yang relatif lebih besar. Penurunan harga kubis tidak mengubah keputusan aktivitas optimal
pada lahan sawah; sedangkan pada fungsi lahan tegal terjadi keadaan yang sebaliknya. komoditas
Melalui transmisi penerimaan (manfaat kotor), perubahan harga dan
berkurangnya
SD secara
bersama-sama
mempengaruhi
perubahan pendapatan. Pada kondisi harga berubah dan biaya konstan, maka dinamika pendapatan setiap periode lebih dominan dipengaruhi oleh perubahan harga komoditas. Perubahan SD relatif kecil sehingga tidak siknifikan dalam mempengaruhi perubahan produktivitas. Beberapa kondisi yang melatarbelakangi perubahan maupun pergeseran aktivitas pola tanam optimal adalah: (1) tingkat pendapatan per unit lahan pada awal dan setiap periode, (2) jumlah periode (tahun) dengan kondisi tingkat pendapatan per unit lahan bernilai negatif, (3) pergeseran terjadi pada periode setelah tingkat pendapatan per unit lahan bernilai negatif, dan (4) perubahan tingkat pendapatan antar periode relatif kecil. Frekuensi terjadinya pergeseran paket pola tanam selama horizon waktu bervariasi menurut proporsi perubahan harga komoditas. Hasil analisis menunjukkan bahwa luas lahan optimal bergeser secara langsung atau tidak bertahap. Luas lahan pola tanam optimal pengganti pada periode (t+1) sama dengan luas keseluruhan lahan pola tanam optimal yang digantikan pada periode t.
Dengan kata lain bahwa model perumusan optimasi dinamik Model-DTA
belum bisa mengakomodasi fenomena perubahan luas lahan optimal secara bertahap sebagaimana kondisi riil di lapangan. Antara perubahan harga komoditas dan UCSE terdapat hubungan negatif. Perubahan UCSE antar periode pada skenario 1 (penurunan harga komoditas tertentu) relatif lebih besar daripada model dasar.
Perbedaan terjadi karena
perbedaan variabel yang mempengaruhi perubahan tingkat pendapatan per unit lahan. Perubahan tingkat pendapatan per unit lahan pada skenario 1 dipengaruhi oleh perubahan SD dan harga komoditas, sedangkan pada model dasar hanya dikarenakan oleh perubahan SD.
Keragaman perubahan besaran UCSE juga disebabkan oleh proporsi perubahan
harga
komoditas.
Perbedaan
proporsi
perubahan
harga
menyebabkan perbedaan perubahan penerimaan, (Pc ∂y(⋅)/∂Sjk(t)), sehingga menimbulkan perbedaan terjadinya periode pergeseran (switching) pola tanam optimal. Kedua perbedaan perubahan tersebut, selanjutnya berpengaruh pada perbedaan besaran UCSE, λ1ijk(t+1). Perubahan harga komoditas di wilayah sub-sistem hulu waduk tidak mempengaruhi debit outflow optimal maupun besaran OFCE. Perubahan harga komoditas hanya berpengaruh terhadap perubahan volume sedimen yang tertahan dan air yang tersimpan dala waduk; yakni melalui variabel tingkat erosi karena perubahan paket pola tanam. Pendugaan nilai kerugian yang ditimbulkan oleh peningkatan volume sedimen karena dampak tidak langsung dari perubahan harga komoditas dapat didekati dari biaya pengerukan sedimen dan biaya kesempatan air yang tersimpan dalam waduk. Perubahan tingkat bunga tidak mempengaruhi perubahan keputusan aktivitas optimal pada sub-sistem hulu maupun debit outflow. Kondisi tersebut berlawanan dengan fenomena secara umum; yakni tingkat bunga mempengaruhi kuantitas ekstrasi. Dalam perspektif ekonomi sumberdaya, keputusan ekstrasi sumberdaya alam tergolong keputusan suatu transfer penggunaan dari periode berikutnya ke periode sekarang yang mecerminkan karakteristik keputusan investasi, dimana tingkat bunga sangat berperan. Pada tataran teori,
tingkat
bunga mempengaruhi perubahan harga dan kuantitas optimal intertemporal. Disamping itu, dari hasil kajian peneliti sebelumnya diperoleh hasil bahwa semakin tinggi tingkat diskonto, PV dari UCSE per hektar semakin kecil.
Perbedaan fenomena dampak tersebut karena: (1) perubahan tingkat bunga pada hasil optimasi Model-DTA hanya akan merubah PV manfaat sosial bersih secara proporsional selama horizon waktu, dan (2) keputusan aktivitas optimal ditentukan oleh pendapatan setiap periode.
Pada kondisi tersebut
menjadikan perubahan tingkat bunga hanya berpengaruh pada perubahan UCSE (λ1ijk(t+1)) maupun OFCE (λ2(t+1) dan λ4(t+1)); serta tidak mengubah aktivitas optimal. Perubahan
UCSE terjadi pada semua jenis fungsi lahan dengan
persentase yang beragam. Disparitas UCSE antara model dasar dengan skenario 2 (perubahan tingkat bunga) cenderung semakin menurun antar waktu; dan pada OFCE terjadi keadaan yang sebaliknya. Oleh karena perubahan tingkat bunga tidak berpengaruh terhadap perubahan keputusan paket pola tanam optimal, maka volume air yang tersimpan dan sedimen yang tertahan dalam waduk maupun sedimen yang dikeruk juga tidak mengalami perubahan. Pengembalian fungsi hutan klasifikasi kemiringan ≥ 25% dari lahan untuk produksi menjadi fungsi kawasan penyangga hanya bersifat fisik; sehingga dari skenario 3 hanya menyebabkan perubahan potensi erosi yang dihasilkan oleh total ketersediaan luas lahan non-budidaya yang tetap.
Hal tersebut dapat
dikatakan bahwa pengembalian fungsi kawasan penyangga secara langsung berpengaruh pada volume sedimen yang masuk ke dalam waduk.
Dalam
perumusan Model-DTA perubahan fisik tersebut terjadi pada kendala transisi kapasitas waduk.
Keputusan kuantitas debit outflow optimal tidak berubah
karena besarnya debit outflow hanya dipengaruhi oleh luas lahan optimal (Xijk), sumbangan lahan terhadap inflow air waduk dan volume stok air dalam waduk (sub-bab 7.3).
Skenario perubahan variabel fisik tersebut tidak mengubah biaya off-site erosi, sehingga untuk valuasi dampak erosi terhadap sedimentasi waduk akibat dari perambahan hutan penyangga dapat didekati
dari biaya pengerukan
sedimen dan biaya kesempatan stok air yang tersimpan. Besarnya total biaya dihitung berdasarkan hasil pemecahan optimasi; yakni dengan mengalikan antara OFCE (Rp/m3) dan disparitas volume sedimen yang dikeruk serta volume air tersimpan dalam waduk antara model dasar dan skenario 3 (pengembalian fungsi kawasan penyangga).
X. KESIMPULAN DAN SARAN 10.1. Kesimpulan
1. Model Daerah Tangkapan Air (Model-DTA) mampu: (1) menangkap fenomena dinamika volume stok air waduk yang digantikan oleh sedimen sebagai akibat dari ekstrasi ketebalan lapisan tanah yang terjadi pada sub-sistem hulu waduk, (2) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi harga bayangan ketebalan lapisan tanah di DTA Sutami-Sengguruh, (3) menduga besaran biaya off-site erosi, dan (4) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi biaya kesempatan setiap satu meter kubik air yang tersimpan dalam waduk. 2. Keterbatasan
Model-DTA
adalah
belum:
(1)
mengakses
fenomena
keterbatasan kuantitas permintaan pasar serta ketersediaan tenaga kerja, (2) mengakomodasikan keragaman biaya produksi menurut dimensi waktu dan ruang, (3) bisa menangkap fluktuasi luas lahan dan debit inflow air menurut periode (tahun), (4) perubahan karakteristik hidrologi menurut dimensi waktu, dan (5) mempertimbangkan proses sedimentasi antar lokasi Sub-sub DAS. 3. Penetapan aktivitas optimal dipengaruhi oleh pendapatan per hektar lahan, dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh tingkat erosi, harga komoditas dan biaya per hektar dari setiap paket pola tanam. Aktivitas pola tanam optimal relatif tidak berubah sepanjang horizon waktu karena fungsi kerugian dari erosi tidak signifikan dalam mempengaruhi perubahan pendapatan. 4. Biaya on-site erosi
mencerminkan nilai sekarang dari kehilangan lapisan
tanah sebagai akibat dari erosi tanah yang terjadi pada periode t. Biaya onsite erosi semakin menurun antar waktu. 5. Harga bayangan ketebalan lapisan tanah (UCSE) pada daerah tangkapan air bervariasi menurut paket pola tanam, klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan, serta menurut Sub-sub DAS. Nilai sekarang biaya kesempatan per sentimeter
ketebalan lapisan tanah per hektar cenderung menurun antar waktu. Kondisi tersebut sejalan dengan hasil kajian Van Kooten et al. (1989) pada solum tebal.
Besaran UCSE yang semakin kecil antar waktu mengindikasikan
lapisan tanah relatif tebal, sehingga tingkat erosi yang relatif kecil tidak signifikan dalam mempengaruhi penurunan produktivitas. 6. Biaya off-site erosi mencerminkan biaya kesempatan setiap satu meter kubik air yang tersimpan dalam waduk (nilai ekonomi air waduk). Nilai sekarang dari nilai ekonomi air waduk menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun antar waktu. Besaran nilai ekonomi air yang tersimpan berbeda antar waduk. Perbedaan nilai ekonomi air waduk antara Waduk Sengguruh dan Sutami terjadi karena perbedaan harga per unit produk daya listrik antar PLTA dan perbedaan koefisien parameter aspek teknis yang terkait pada masing-masing sub-sistem ekologi bendungan-waduk. Harga per unit produk daya listrik PLTA Sengguruh hanya mempengaruhi harga air Waduk Sengguruh; sedangkan harga per unit produk daya listrik PLTA Sutami mempunyai sumbangan terhadap besarnya nilai air Waduk Sengguruh dan Sutami. 7. Perubahan volume air tersimpan dan volume stok sedimen dipengaruhi oleh konversi fungsi lahan, dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh variabel harga komoditas pertanian. Pengaruh perubahan harga komoditas terhadap volume air tersimpan dan stok sedimen melalui transmisi perubahan aktivitas paket pola tanam dengan tingkat erosi yang bervariasi. Perubahan tingkat bunga tidak mengubah keputusan aktivitas optimal, namun mempengaruhi besaran UCSE dan biaya off-site erosi. 8. Perubahan harga komoditas menyebabkan terjadinya perubahan dan pergeseran aktivitas pola tanam optimal. Variabel yang mempengaruhi pengambilan keputusan adalah: (1) tingkat pendapatan per unit lahan pada awal periode dan antar waktu (periode), dan (2) jumlah periode (tahun) pada
saat tingkat pendapatan per unit lahan bernilai negatif. Pergeseran terjadi pada periode setelah tingkat pendapatan per unit lahan bernilai negatif, dan perubahan tingkat pendapatan antar periode relatif kecil. 10.2. Implikasi Kebijakan
Dalam rangka menggalang dana dari masyarakat di wilayah hulu dan hilir guna menjaga kelestarian dan konservasi daerah tangakapan air diperlukan pengaturan kembali besarnya retribusi air waduk yang selama ini telah diterapkan.
Alternatif pengaturan retribusi didasarkan pada kosep biaya off-site
erosi yang dibedakan menjadi retribusi dengan prinsip: (1) pengguna air waduk yang membayar, dan (2) penghasil eksternal erosi yang membayar. Berdasarkan paradigma pembangunan
wilayah DAS yang berorientasi
hulu-hilir, maka perlu kebijakan tentang pengaturan struktur kelembagaan yang mampu menangani sedimentasi secara komprehensif yang dilengkapi dengan kelembagaan pengelola dana yang mampu menjembatani pihak penyedia air waduk di daerah tangkapan air dan pihak pemangku kepentingan di hilir. Dari hasil analisis dampak perubahan variabel ekonomi dan teknis terhadap perubahan volume kapasitas tampungan, volume stok sedimen, volume stok air, dan volume sedimen yang dikeruk, maka penanganan sedimentasi yang berasal dari erosi lahan dapat dibedakan menurut waktunya. 1.
Dalam jangka menengah, dilakukan melalui penetapan skala prioritas lokasi pembuatan chek dam yang berfungsi sebagai penahan dan pengendali sedimen. Lokasi yang mendapat prioritas adalah wilayah hamparan dengan pola tanam dominan yang terdiri dari komoditas yang mempunyai harga produk yang tinggi dan potensi tingkat erosi tinggi.
2.
Dalam jangka panjang, dilakukan melalui penertiban penggunaan lahan sesuai dengan fungsi kawasan. Langkah awal yang perlu ditempuh adalah
identifikasi status penguasaan dan penggunaan lahan. Tahap berikutnya perlu dibuat Peraturan Daerah tingkat propinsi mengingat wilayah DAS Kali Brantas terbentang di wilayah administrasi beberapa kabupaten. Peraturan formal tersebut perlu dilengkapi sanksi yang tegas dan insentif yang proporsional. 10.3. Saran Berdasarkan kesimpulan dan keterbatasan penelitian, maka beberapa penelitian yang bisa disarankan adalah: 1. Penelitian pendukung dari aspek teknis; yaitu kajian untuk mendapatkan: parameter fungsi respon produktivitas-soil depth; dan proporsi sedimentasi waduk yang disebabkan oleh sumber sedimen selain dari erosi lahan. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang mempertimbangkan: a. Kendala kuantitas permintaan pasar dari produksi berbagai komoditas alternatif yang dipertimbangkan dalam model. b. Kendala ketersediaan tenaga kerja dari masing-masing Sub-sub DAS. c. Variasi biaya produksi usahatani menurut dimensi ruang dan waktu. d. Inflow air dibedakan menurut pola tanam, lokasi dan periode waktu. e. Memasukan faktor variasi karakteristik hidrologi ke dalam model. f. Proses sedimentasi yang meliputi proses pelepasan, pengangkutan dan pengendapan yang terjadi antar hamparan lahan dan antar wilayah Sub-sub DAS secara bertahap.
3. Perlu dilakukan analisis manfaat sosial bersih pada kondisi yang ada dan membandingkannya dengan hasil analisis pada kondisi optimal. 4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang integrasi kelembagaan pada tingkat nasional dan regional yang dilengkapi dengan kelembagaan pengelola dana yang mampu menjembatani pihak penyedia air waduk di daerah tangkapan air dan pihak pemangku kepentingan di wilayah hilir.
DAFTAR PUSTAKA Anderson, J.R. and J. Thampapillai. 1990. Soil Conservation in Development Countries: Project and Policy Intervention. Working Paper Policy and Research Series No: 8. World Bank, Washington, D.C. Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. 1996a. Rencana Teknik Lapangan: Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Tangkapan Bendungan Ir. Sutami di Sub DAS Brantas Hulu. Buku I Laporan Akhir. Proyek DAS Brantas. Kanwil Departemen Kehutanan Propinsi Jawa Timur, Surabaya. -----------------------------------------------------------------------. 1996b. Rencana Teknik Lapangan: Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Tangkapan Bendungan Ir. Sutami di Sub DAS Brantas Hulu. Buku II Lampiran Data. Proyek DAS Brantas. Kanwil Departemen Kehutanan Propinsi Jawa Timur, Surabaya. Barbier, E.B. 1990. The Farm-Level Economics of Soil Conservation: The Uplands of Java. Land Economics, 66 (2): 199-211. -----------------. 1995. The Economics of Soil Erosion: Theory, Methodology and Example. Paper on A Presentation to the Fifth Biannual Workshop on Economy and Environment in Southeast Asia, November 28-30, 1995. Economy and Environment in Southeast Asia, Singapore. -----------------. 2001. Agricultural Production and Erosion in A Small Waterhed in Honduras: A Non-Linear Programming Approach. In: N. Heerink, H. van Keulen and M. Kuiper (Eds), 2001. Economics Policy and Sustainable Land Use: Recent Advance in Quantitative Analysis for Development Countries. Physica-Verlag Heidelberg, New York. Bogen, J,W. and T.J. Day. 1992. Erosion and Sediment Transport Monitoring Program in River Basin. International Assosiation of Hidrological Engineering, Delft. Bramble-Brodahl, M.A. Fosberg, D.J. Walker and A.L. Falen. 1984. Change in Soil Productivity Related to Changing Topsoil. Proceeding of National Symposium on Erosion and Soil Productivity, December 10 – 11, 1984. ASAE Publication 8-85. American Society of Agricultural Engineers St. Joseph, New Orleans. Bohi, D.R. and M.A. Toman. 1984. Analyzing Nonrenewable Resource Supply. Resources for the Future, Inc. The John Hopkins University Press, Washington D.C. Budihardja, D. 1992. Pengurangan Kapasitas Tampung Waduk Karena Endapan Sedimen. Jurnal PENGAIRAN, (25): 65 – 72. Burt, O.R. 1981. Farm Level Economics of Soil Conservasion in the Palouse Area of Nortwest. American Journal of Agricultural Economics, (63): 83-92.
Carson, B. 1987. A Comprarison of Soil Conservasion Strategies in Four Agroecological Zone in the Upland of East Java. KEPAS. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Chiang, A.C. 1992. Elements of Dynamic Optimization. McGraw-Hill, Singapore. Christensen, L.E. dan D.E. McElyea. 1984. Economic Implications of Soil Characteristics and Productivity in the Southern Piedmont, with Comparisons to the Pasific Northwest. In: Erosion and Soil Productivity. Proceedings of National Symposium on Erosion an Soil Productivity, December 10 – 11, 1984. ASAE Publication 8-85. American Society of Agricultural Engineers, New Orleans. Conrad, J.M. and C.W. Clark. 1995. Natural Resource Economics: Note and problem. Cambridge University Press, New York. Conrad, J.M. 1999. Resource Economics. Cambridge University Press, New York. Chutubtin, P. 2001. Guidelines for Conducting Extended Cost-Benefit Analysis of Dam Project in Thailand Research Report No. 2001-RR16. Economy and Environment for Southeast Asia (EEPSEA), Singapore. Deybe, 2001. Effects of Economic Policies on Farmers, Consumers and Soil Degradation: A Recursively Dynamic Sector Model with An Application for Burkina Faso. In: N. Herrink, H. van Keulen and M. Kuiper (Eds). Economics Policy and Sustainable Land Use. Physica-Verlag, Wageningen.
Djaenudin, D, H. Marwan, H. Subagyo, A. Mulyani dan N. Suharta. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Evers, A.J.M., R.L. Elliott and E.W. Steven. 1998. Integrated Decision Making for Reservoir, Irrigation, and Crop Management. Agricultural System, 58 (4): 529-554. Elliott, W.J. and A.D. Ward. 1995. Soil Erosion and Control Practices. In: A.D. Ward and W.J. Elliott (Eds). Environmental Hydrology. CRC Lewis Publishers, Boca Raton. Fleming, W.M. 1981. Phewa Tal Catchment Management Program: Benefit and Cost of Forestry and Soil Conservation in Nepal. East-West Environment and Policy Institute, Honolulu. Herrink, N., A. Kuyvenhoven and M.S. van Wijk. 2001. Economic Policy Reforms and Sustainable Land Use in Developing Countries: Issues and Approach. In: N. Herrink, H. van Keulen and M . Kuiper (Eds). Economics Policy and Sustainable Land Use. Physica-Verlag, Wageningen.
Hoag, D.L. and D.L. Young. 1983. Yield-top Soil Depth Respons Functions: Linear versus Mitscherlich-Spilman. STEEP Agricultural Economics
Working Paper 82-2. Departement of Agricultural Economics, Washington State University, Washington D.C. Hufschmidt, M.M., D.E. James, A.D. Meister, B.T. Bower and J.A. Dixon. 1990. Enviromental, Natural System, and Development: An Economic Valuation Guide. The Johns Hopkins University Press, London. Ilyas M.A., 1987. Pemantauan Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Berdasarkan Indikator Erosi/Sedimen. Jurnal PENGAIRAN, (5): 28 – 38. Kennedy, J.O.S. 1986. Dynamic Programming: Application Agriculture and Natural Resource. Elsevier Applied Science Publishers, London. KEPAS. 1988. Pendekatan Agro-ekosistem pada Pola Pertanian Lahan Kering: Hasil Penelitian di Empat Zone Agro-ekosistem Jawa Timur. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Kompas. 2000. Selesai sudah, Proyek Waduk Wonorejo, Erna Witoelar: Terimakasih kepada Rakyat. [serial online]. http://www.kompas.com [10 Juni 2002] Kooten, G.C., W.P. Weisensel and E. de Jong. 1989. Estimating the Cost of Soil Reply. Canadian Journal of Agricultural Economics, (37): 555-562 McConnell, K.E. 1983. An Economics Model of Soil Conservasion. American Journal of Agricultural Economics, 65 (1): 83-89. McKinney, D.C., Ximing Cai, M. W. Rosegrant, C. Ringler and C. A. Scott. 1999. Modeling Water Resources Management at the Basin Level: Review and Future Directions. SWIM Paper No: 6. International Water Management Institute, Colombo. Nippon Koei Co, LTD. 1978. Karangkates Project Study Report for Operation of Karangkates-Lahor Reservoir. Joint: Ministry of Public Work and Electric Power Government of The Republic of Indonesia with Nippon Koei Co, LTD. Consulting Enginers, Tokyo. Nippon Koei Co, LTD and Nikken Consultants, Inc. 1998. The Study on Comprehensive Management Plan for the Water Resources of the Brantas River Basin in The Republic of Indonesia. Joint of Japan International Cooperation Agency with Directorate General of Water Resource Development Ministry of Republic of Indonesia, Jakarta. Pakpahan, A., N. Syafaat, A. Purwoto, H.P. Saliem dan G.S. Hardono. 1991. Kelembagaan Lahan dan Konservasi Tanah dan Air. Monograph Series No. 5. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Papendick, R.I., D.L. Young, D.K. McCool and H.A. Krauss. 1985. Regional Effects of Soil Erosion on Crop Productivity: The Palouse Area of the Pacific Northwest. In: R.F. Follet and B.A. Stewart (Eds). Soil Erosion and Crop Productivity. American Society of Agronomy, Inc., Crop Science
Society of America, Inc., Soil Science Society of America, Publishers Madison, Wisconsin. Pawson, W.W., O.L. Brough, Jr., J.P. Swamson and G.M. Horner. 1961. Economics of Cropping Systems and Soil Conservation in Palause-Idaho, Oregano, and Washington. Agricultural Experiment Station Bulletin Montana State University, (2): 64 - 73. Pearce, D.W. 1976. Environmental Economics. Longman, London. Pearce, D.W. and R.K. Turner. 1990. Economics of Natural Resources and the Environment. Harvester Wheatsheaf, London. PERUM Jasa Tirta. 1998a. Studi Pendahuluan Sedimentasi di Waduk-Waduk DPS Kali Brantas. Biro Penelitian dan Pengembangan, PERUM Jasa Tirta, Malang. -------------------------. 1998b. Manual Operasi dan Pemeliharaan Bendungan Sengguruh. Unit Manajemen Mutu, PERUM Jasa Tirta, Malang. PERUM Jasa Tirta I. 2002a. Pola Operasi Waduk di DPS Kali Brantas Musim Kemarau 2002. Bahan Rapat PTPA pada Juli 2002. Biro Perencanaan dan Pengendalian, PERUM Jasa Tirta I, Malang. ---------------------------. 2002b. Pola Operasi Waduk dan Alokasi Air di DPS Kali Brantas Musim Hujan 2002/2003. Biro Perencanaan dan Pengendalian, PERUM Jasa Tirta I, Malang. ---------------------------. 2002c. Pekerjaan Pengukuran Echo Sounding Waduk Sutami Tahun 2002. Divisi Jasa Air dan Sumber Air, PERUM Jasa Tirta I, Malang. ---------------------------. 2002d. Usulan Komprehensif Pembiayaan Pengelolaan Sumberdaya Air di Wilayah Sungai (WS) Kali Brantas. Tim Evaluasi Tarip Dasar Iuran Pembiayaan Eksploitasi dan Pemeliharaan Prasarana Pengairan, PERUM Jasa Tirta I, Malang. ---------------------------. 2002e. Pedoman Perhitungan Iuran Penggunaan Air (IPA) Tahun 2002. Sekretariat POKJA RKSP, PERUM Jasa Tirta I, Malang. ---------------------------. 2003. Pekerjaan Pengukuran Echo Sounding Waduk Sutami Tahun 2003. Divisi Jasa Air dan Sumber Air, PERUM Jasa Tirta I, Malang. PERUM Jasa Tirta I (PJT I), Directorate-Genderal for Water Resources Development Ministry of Settlement and Regional Infrastructure, Center for Agro-socioeconomic Research Ministry of Agriculture and International Food Policy Research Institute. 2003. Irrigation Investment, Fiscal Policy, and Water Resource Allocation in Indonesia and Vietnam. Country Report Indonesia. IFPRI Poject No. 2635-000. ADB-RETA 5866. International Food Policy Research Institute, Washington DC.
Priatminto, R.R. 1986. Studi Pengendalian Sedimen di Brantas Hulu Dalam Kaitannya dengan Umur Bendungan Sutami. Skripsi Sarjana. Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Malang. Qomariyah, S. 1992. Analisa Perhitungan Kapasitas Waduk Menggunakan Model Simulasi-Optimasi. Jurnal PENGAIRAN, (25): 61 – 64. Rahardian. 2005. Membangun Hutan untuk Kesejahteraan: Catatan Perjalanan dari Costa Rica. LP3ES. BULLETIN Jasa Lingkungan, (2): 14 – 16. Randall, A. 1981. Resource Economics: An Economic Approach to Natural Resource and Enviromental Policy. Grid Publishing, Ohio. Ringler, A., C. Rodgers and M.W. Rosegrant. 2003. Irrigation Investment, Fiscal Policy, and Water Resource Allocation in Indonesia and Vietnam. Summary Synthesis Report. IFPRI Poject No. 2635-000. ADB-RETA 5866. International Food Policy Research Institute, Washington D.C.
Rodgers, C., M. Siregar, Sumaryanto, Wahida, B. Hendradjaja, S. Suprapto and R. Zaafrano. 2001. Integrated Economic-Hydrologic of Brantas Basin, East Java, Indonesia: Issues an Challenges. In: B. Bruns, D.J. Bandaragoda and M. Samad (Eds). Proceedings of the Regional Workshop Institutional Strategies for Improving the Productivity of Agricultural Water Management, January 15 – 19, 2001. International Water Management Institute, Malang. Saliba, B.C. 1985. Soil Productivity and Farmer’s Erosions Control Incentive – A Dynamic Modeling Approach. Western Journal of Agricultural Economics, 10 (2): 354-364. Sandy, L.M. 1973. Pola Penggunaan Tanah sebagai Indikator Tingkatan Pencemaran Lingkungan Hidup. Publikasi No: 33. Direktorat Jenderal Tataguna Tanah, Departemen Dalam Negeri, Jakarta. Segara, R and D.B. Taylor. 1987. Farm Level Dynamic Analysis of Soil Conservation: An Application to the Redmont Area of Firginia. Western Journal of Agricultural Economics, (12): 61-73 Simonovic, S.P. 1992. Reservoir System Analysis: Closing the Gap Between Theory and Practice. Journal of Water Resources Planning and Management, 11 (3): 262 – 280. Socheh 2002. Tinjauan Terhadap Sedimentasi di Waduk-waduk Utama di Daerah Pengaliran Sungai (DPS) Kali Brantas. Prosiding Simposium Nasional Pencegahan Bencana Sedimen, 12-13 Maret 2002. Integrate Sediment-related Disaster Management Project (ISDM Project), Yogyakarta. Soemarno. 1991. Studi Perencanaan Pengelolaan Lahan di Daerah Aliran Sungai Konto Kabupaten Malang, Jawa Timur. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sub-Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. 1996. Perencanaan Proyek Sub Daerah Aliran Sungai Brantas Hulu Kabupaten Daerah Tingkat II
Malang. Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Jawa Timur, Malang. Suparmako. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. BPFE, Yogyakarta. Supriadi, D. 1997. Peranan Hidrologi Hutan Lindung Dalam Perekonomian Wilayah: Kasus DAS Citarum Hulu Jawa Barat. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syaukat, Y., S. Pandey and J.A. Sinden. 1992. An Economic Evaluation of Conservation Tillage in Northern New South Wales: Dynamic Programming Approach. Institut Pertanian Bogor. Mimbar Sosek, (6): 52-73. Syaukat, Y. 2000. Economics of Integrated Surface and Ground Water Use Management in the Jakarta Region, Indonesia. Ph.D. Thesis. The University of Guelph, Guelp. Thao, T.D. 2001. On-site Cost and Benefits of Soil Conservation in the Mountainous Regions of Northern Vietnam. Research Report No. 2001RR13. Economy and Environment for Southeast Asia (EEPSEA), Singapore. Tim PSLH UNIBRAW, 1995. IPTEK yang Menunjang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di DAS Brantas Hulu dan Pantai di Jawa Timur. Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Brawijaya, Malang. Tim Jurusan Teknik Pengairan. 2003a. Kajian Sedimen yang Masuk ke Waduk Sengguruh dan Karangkates. Laporan Penunjang. Kerjasama PERUM Jasa Tirta I dengan Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang. ------------------------------------------. 2003b. Kajian Sedimen yang Masuk ke Waduk Sengguruh dan Karangkates. Ringkasan Eksekutif. Kerjasama PERUM Jasa Tirta I dengan Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang. Tim Peneliti ITS. 2002. Studi Pengendalian Banjir Jawa Timur. Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Propinsi Jawa Timur dan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Wade, J.C. and E.O. Heady. 1977. Controlling Nonpoint Sediment Source with Cropland Management: A National Economic Assessment. American Journal Agriculture Economics, 59 (1): 13-24. Walker, D.J. 1982. A Damage Function to Evaluate Erosion Control Economics. American Journal Agriculture Economics, 64 (4): 690-698. Wastra, S.S. 1990. Pengaruh Penutupan Vegetasi terhadap Respon Hidrologi, Erosi dan Aliran Permukaan di Sub-DAS Manting DAS Konto Jawa Timur. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Universitas Brawijaya, Malang.
Ward, A.D. and W.J. Elliot. 1995. Environment Hydrology. CRC Press, Boca Raton. Wetter, F. 1977. The Influence of Topsoil Depth on Yield. Tech. Note 10. USDASCS, Washington D.C. Wischmeier, W.J. and D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses, A Guide to Conservation Planning. Agriculture Handbook No: 537, USDAScience and Education Administration, Washington D.C. Witoelar, E. 2005. Perlindungan Fungsi Lingkungan Hidup Melalui Tujuan Pembangunan Milenium. Makalah Disampaikan pada Diskusi Insentif Perpajakan Bagi Sektor Swasta dalam Rangka Mendukung Pembangunan Lingkungan untuk Penanggulangan Kemiskinan, 18 Agustus 2005. LP3ES, Jakarta. Yuningsih, S.M. dan Soewarno. 1995. Pengaruh Erosi DPS Serayu Hulu Terhadap Pendangkalan Waduk PLTA PB Sudirman. Jurnal PENGAIRAN, (34): 28 – 40.
LAMPIRAN
Fungsi Lahan Sawah
Tegal
Tingkat Erosi, Luas Areal dan Jumlah Satuan Pengelolaan Lahan (SPL) di Wilayah Sub-Sub DAS Bango Lereng
I (0 – 8 %)
Lampiran 1.
Fungsi Kawasan
Pola Tanam
Tanaman Semusim (D)
Tumpsari Sayuran Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Jg Pd-Pd-Pd Tebu Jg-Jg-Sy Pd-Jg-Jg Pd-Jg-Kc. Tnh Tebu Tebu Coklat "kerapatan tinggi" "Pekarangan" "Pekarangan" Pd-Pd-Sy Jg-Sy Pd-Jg-Kc. Tnh Wortel-Kentang Ubikayu+Jg Pd-Pd-Jg Jg-Jg-Sy Pd-Jg-Kc. Tnh Tebu Apel "kerapatan tinggi" "pekarangan" "pekarangan" "tdk. Terganggu" Tumpsari Sayuran Jg-Jg-Sy Pd-Jg-Kc. Tnh "terganggu" "hutan produksi" Jg-Jg-Sy Pd-Jg-Jg Jg-Kc. Tnh Apel "kerapatan tinggi" "tdk. Terganggu" Tebu "hutan produksi" "terganggu" "tdk. Terganggu" "tdk. Terganggu"
Tanaman Semusim (D)
Kebun I
Tan. Semusim (D)
Pekarangan
Penyangga (B) Tan. Semusim (D) Tan. Semusim (D) Budidaya Tahunan (C)
Semak Hutan Tegal
Kebun Hutan
Semak Hutan
III (15 % – 25%)
Pekarangan Hutan Tegal
IV (25 – 40 %)
Kebun
II (8 – 15 %)
Sawah Tegal
Tan. Semusim (D)
Budidaya Thn. (C) Budidaya Thn. (C) Tan. Semusim (D) Penyangga (B) Penyangga (B) Budidaya Thn. (C) Penyangga (B) Penyangga (B) Budidaya Thn. (C)
Penyangga (B) Penyangga (B) Penyangga (B)
Penyangga (B) V (> 40) Lindung (A) Penyangga (B)
Total Sumber : Olahan data sekunder (Anonimous, 1996) Lampiran 2.
Tk Erosi (ton/ha/th) 45.3 0.4 0.5 0.5 6.1 18.7 16.9 19.5 4.9 2.8 0.5 1.7 49.7 53.3 0.05 45.9 41.8 8.75 10.5 46.3 72.9 51 13.5 2.65 3.1 213.7 220 1.2 69.8 61.35 81.7 4.5 27.3 74.6 40.6 20 9.9 17.5 2.2 103.9 120.2 10.2 13.3 22.2
Luas SPL (ha) (unit) 146 1 1 178 13 958 16 1 290 15 89 1 2 021 12 2 234 13 23 1 1 049 6 37 2 113 2 30 1 18 1 2 850 78 28 2 38 1 67 2 91 1 5 1 545 2 13 1 1 173 5 116 1 102 2 15 1 39 2 31 1 123 1 31 1 113 2 8 2 318 2 537 5 163 3 75 1 9 1 44 1 28 1 789 5 73 1 369 1 318 3 1 049 2 142 1 18 488 217
Tingkat Erosi, Luas Areal dan Jumlah Satuan Pengelolaan Lahan (SPL) di Wilayah Sub-Sub DAS Sumber Brantas
Fungsi Lahan Sawah
Lereng
I (0 – 8 %)
Tegal
Fungsi Kawasan
Pola Tanam
Tanaman Semusim (D)
Apel Tumpangsari Sy Jg-Sy Tebu Kentang-Wortel Pd-Pd-Pd Pd-Pd-Jg Pd-Pd-Sy Kentang-Wortel Kentang-Wortel Apel Tumpangsari Sy Jg-Sy Jg-Jg-Sy Tebu Apel "kerapatan tinggi" Apel "pekarangan" "tdk terganggu" Apel "tdk terganggu" "hutan produksi" Apel Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Jg Kentang-Wortel Kentang-Wortel Jg-Sy Jg-Jg-Sy Tumpangsari Sy Jg-Sy Jg-Jg-Kc.Tnh Jg-Ket.Phn Tebu "pekarangan" Apel Apel "kerapatan sedang" "pekarangan" "pekarangan" "tdk terganggu" Apel Kentang-Wortel
Lindung (A) Budidaya Thn. (C) Tanaman Semusim (D)
Kebun
Tan. Semusim (D)
Pekarangan
Tan. Semusim (D)
Belukar
Budidaya Thn. (C)
Hutan
Penyangga (B) Tan. Semusim (D) Budidaya Thn. (C) Tan. Semusim (D)
Sawah
Kebun
Budidaya Thn. (C)
II (8 – 15 %)
Tegal
Tanaman Semusim (D)
Budidaya Thn. (C) Tanaman Semusim (D)
Pekarangan
Budidaya Thn. (C)
Belukar
Penyangga (B) Tan. Semusim (D) Penyangga (B)
Hutan Sub Total Sumber : Olahan data sekunder (Anonimous, 1996)
Tk Erosi Luas SPL (ton/ha/th) (ha) (unit) 2.2 250 5 6.3 130 5 4.9 439 4 6.2 572 3 3.5 182 3 0.5 10 153 67 0.4 1 473 22 0.5 2 293 12 1.4 19 1 1.4 123 1 2.6 261 1 4.3 9 1 5.6 1 267 9 8.4 864 17 3.8 286 5 2 20 1 1.1 269 5 1.9 18 1 29.8 8 245 187 0.4 346 4 0.5 23 1 0.2 105 1 2.3 312 3 7.5 29 1 0.1 300 5 0.4 226 5 10.4 77 2 10 350 4 15.6 186 4 12.3 277 2 11.6 48 2 17.5 921 11 28.8 633 6 19.7 346 3 34 161 4 134.7 25 1 1.8 154 3 1.9 92 3 3.1 50 2 143.9 107.9 1.1 3.1 9.1
137 213 44 44 66 32 038
4 8 1 1 1 432
Lampiran 2. Lanjutan Fungsi Lahan Sawah
Lereng
Kebun Pekarangan Belukar Hutan
III (15 – 25 %)
Tegal
Kebun
Belukar
IV (25 – 40 %)
Tegal
Hutan
Hutan
V (> 40 %)
Tegal Belukar
Fungsi Kawasan
Pola Tanam
Tk Erosi (ton/ha/th) Budidaya Thn. (C) Apel 6.2 Tan. Semusim (D) Pd-Pd-Jg 0.1 Penyangga (B) Kentang-Wortel 27.6 Jg-Jg-Kc.Tnh 64.8 Budidaya Thn. (C) Tumpangsari Sy 49.3 Jg-Jg-Sy 50.4 Jg-Jg-Kc.Tnh 28.1 Tan. Semusim (D) Jg-Jg-Kc.Tnh 37.1 Budidaya Thn. (C) "kerapatan sedang" 3.7 Budidaya Thn. (C) "pekarangan" 429.5 Tan. Semusim (D) "pekarangan" 246.3 Tan. Semusim (D) "tdk terganggu" 3 Lindung (A) Kentang-Wortel 21.6 Penyangga (B) Apel 4.8 "hutan produksi" 22.2 Budidaya Thn. (C) "hutan produksi" 24.5 Tan. Semusim (D) "hutan produksi" 8.5 Penyangga (B) Kentang-Wortel 21.4 Budidaya Thn. (C) Jg-Jg-Kc.Tnh 88.9 Tan. Semusim (D) Apel 13.3 Kentang-Wortel 19.1 "pekarangan" 513.5 Penyangga (B) "kerapatan sedang" 9.6 Budidaya Thn. (C) Apel 10.3 "kerapatan sedang" 9 Budidaya Thn. (C) Apel 8.9 Tan. Semusim (D) "terganggu" 11.5 Lindung (A) Kentang-Wortel 44.4 Penyangga (B) Apel 6.8 "hutan produksi" 82.2 Penyangga (B) Kentang-Wortel 69.2 Penyangga (B) Apel 17.1 "terganggu" 20.1 Budidaya Thn. (C) "tdk terganggu" 13.1 Lindung (A) "tdk terganggu" 9.8 Penyangga (B) Apel 62.3 "tdk terganggu" 36.8 "hutan produksi" 163.2
Total Sumber : Olahan data sekunder (Anonimous, 1996)
Lampiran 3.
Luas SPL (ha) (unit) 95 1 72 1 28 1 304 2 259 3 293 4 851 6 274 2 90 2 38 2 171 5 29 1 233 4 55 1 330 4 251 2 42 1 136 2 71 1 30 1 283 1 12 1 51 2 75 2 305 4 60 1 29 1 16 1 184 1 960 6 75 1 93 1 813 2 504 5 4 940 7 28 2 324 4 29 1 44 471 521
Tingkat Erosi, Luas Areal dan Jumlah Satuan Pengelolaan Lahan (SPL) di Wilayah Sub-Sub DAS Amprong
Fungsi Kawasan
Pola Tanam
Tk Erosi Luas SPL (ton/ha/th) (ha) (unit) Sawah Tanaman Tumpangsari Sy 6.6 166 1 Semusim (D) Pd-Pd-Pd 0.5 3 765 35 Pd-Pd-Jg 0.6 166 2 Tebu 5.6 131 2 Tegal Tanaman Tumpangsari Sy 4.3 38 1 Semusim (D) Jg-Sy 5.2 160 3 Jg-Jg-Sy 10.5 620 15 Pd-Jg-Kc.Tnh 5.2 335 2 Tebu 4.6 284 2 Kebun Tan. Semusim (D) Tebu 2.8 204 3 Pekarangan Tan. Semusim (D) "pekarangan" 47.7 2 147 68 Budidaya Thn. (C) Pd-Pd-Pd 1.7 39 1 Sawah Tegal Budidaya Thn. (C) Jg-Jg-Sy 48.5 418 5 Tebu 16.7 203 2 Tan. Semusim (D) Jg-Sy 32.6 1 187 12 Jg-Jg-Sy 19.8 932 8 Jg-Jg-Ket.Phn 37.3 466 1 Tebu 17.4 579 7 Kebun Penyangga (B) Kopi 3.2 53 1 Pekarangan Budidaya Thn. (C) "pekarangan" 209.3 33 1 Tan. Semusim (D) "pekarangan" 172.1 145 6 Budidaya Thn. (C) Jg-Sy 51.1 1 784 5 Tegal Jg-Jg-Sy 49.9 847 10 Tebu 13.2 55 1 Kebun Budidaya Thn. (C) Kopi 6.4 169 2 Tebu 11.1 171 2 Pekarangan Budidaya Thn. (C) "pekarangan" 432.5 31 2 Hutan Penyangga (B) Apel 4.8 14 1 Budidaya Thn. (C) Apel 5.2 54 1 Tebu 34.9 25 1 "hutan produksi" 75.4 161 2 "keraptn sedang" 14.5 13 1 Tegal Penyangga (B) Tebu 23.6 114 1 Apel 53.6 82 1 "pekarangan" 41.5 78 1 Budidaya Thn. (C) Jg-Jg-Sy 134.5 199 3 Hutan Lindung (A) Apel 64 146 1 "hutan produksi" 245.8 19 1 Penyangga (B) Jg-Jg-Sy 88.75 33 2 Tebu 90.5 20 1 Budidaya Thn. (C) Jg-Jg-Sy 49.3 304 1 "hutan produksi" 99.6 252 2 "keraptn sedang" 38 155 1 Lindung (A) Apel 19 74 1 Hutan Jg-Jg-Sy 125.2 385 3 "tdk terganggu" 2.8 9 860 7 Penyangga (B) Jg-Jg-Sy 184.6 137 2 "hutan produksi" 52.2 3 819 4 Lampiran 4. Tingkat Erosi, Luas Areal dan Jumlah Satuan Pengelolaan Lahan (SPL) di Wilayah Sub-Sub DAS Lesti Fungsi Kawasan
Pola Tanam
V (> 40 %)
IV (25 – 40 %)
III (15 – 25 %)
II (8 – 15 %)
I (0 – 8 %)
Fungsi Lhn Lereng
Fungsi
Lereng
Tk Erosi
Luas
SPL
Lahan Sawah
Kebun
I (0 – 8 %)
Tegal
Tanaman Semusim (D)
Tanaman Semusim (D) Tanaman Semusim (D)
Tan. Semusim (D) Tan. Semusim (D) Budidaya Thn. (C) Tanaman Semusim (D)
Tegal
Budidaya Thn. (C) Tanaman Semusim (D)
Kebun
II (8 – 15 %)
Pekarangan Belukar Hutan Sawah
Pekarangan
Budidaya Thn. (C) Tan. Semusim (D) Budidaya Thn. (C) Tan. Semusim (D) Penyangga (B) Budidaya Thn. (C) Penyangga (B) Budidaya Thn. (C) Penyangga (B)
Belukar Tanah Ksng Hutan Tegal
III (15 – 25 %)
Budidaya Thn. (C)
Pekarangan
Tan. Semusim (D) Penyangga (B) Budidaya Thn. (C) Tan. Semusim (D)
Pd-Pd-Pd Pd-Pd-Jg Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Kc. Tnh Tebu Jg-Jg-Kc.Tnh Tebu "kerapatan tinggi" Coklat Kopi Tebu "pekarangan" "tdk. terganggu" "hutan produksi" Pd-Pd-Jg Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Kc. Tnh Jg-Jg-Kc.Tnh Jg-Sy Jg-Jg-Sy Jg-Jg-Kc.Tnh Tebu "kerapatan tinggi" Kopi "kerapatan tinggi" Kopi "pekarangan" "pekarangan" "tdk. terganggu" "tanah kosong" "hutan produksi" "hutan produksi" Jg-Jg-Sy Jg-Jg-Kc.Tnh Tumpangsari Sy x2 Jg-Jg-Sy Jg-Jg-Kc.Tnh Jg-Kc.Tnh-Sy Tebu Jg-Jg-Kc.Tnh Jg-Kc.Tnh-Sy "pekarangan" "pekarangan" "pekarangan"
Sub Total Sumber : Olahan data sekunder (Anonimous, 1996)
(ton/ha/th) 0.5 0.5 0.5 3.0 4.3 15.7 7.3 0.8 0.6 1.8 3.8 37.6 0.5 8.3 0.1 0.1 0.1 35.5 17.2 20.0 52.9 16.5 3.4 1.6 4.5 1.6 121.7 142.3 1.6 174.2 33.7 3 78.1 15.4 51.1 66.4 24.6 35.7 32.9 9.6 144.8 414.1 401.3 377.4
(ha) (unit) 11 048 56 749 11 238 3 838 10 957 4 3 374 37 502 2 1 483 15 251 6 636 10 192 2 10 858 144 432 9 145 3 175 4 202 5 341 4 1 247 13 1 534 6 968 5 776 12 173 4 335 5 1 232 15 487 3 178 4 260 5 831 28 106 3 105 2 132 1 759 9 188 4 86 3 174 2 586 5 1 418 16 2 381 10 131 1 514 4 98 1 76 3 709 19 142 4 48 047 512
Lampiran 4. Lanjutan
Semak
Tanah Ksng Hutan
III (15 – 25 %)
Fungsi Lereng Lahan Kebun Cmp Kebun
Kebun Pekarangan Belukar Hutan
Hutan
IV (25 – 40 %)
Tegal
Fungsi Kawasan Budidaya Thn. (C) Budidaya Thn. (C) Penyangga (B) Penyangga (B) Budidaya Thn. (C) Tan. Semusim (D) Tan. Semusim (D) Lindung (A) Penyangga (B) Budidaya Thn. (C) Tan. Semusim (D) Penyangga (B)
Penyangga (B) Penyangga (B) Penyangga (B) Lindung (A) Penyangga (B) Budidaya Thn. (C) Lindung (A) V Penyangga (B) (>40%) Budidaya Thn. (C)
Pola Tanam
Tk Erosi (ton/ha/th) "kerapatan sedang" 8.1 Kopi 4.3 5.5 Coklat 4.3 "terganggu" 2.2 "terganggu" 4.2 "terganggu" 3.5 "tanah kosong" 358.0 "hutan produksi" 5.7 "hutan produksi" 8.3 "hutan produksi" 9.1 "hutan produksi" 8.5 Jg-Jg-Sy 139.5 Jg-Jg-Kc.Tnh 76.6 Kopi 12.8 "pekarangan" 687.6 "terganggu" 6.9 "hutan produksi" 58.6 "hutan produksi" 59.9 "hutan produksi" 23.2 "tdk. terganggu" 2.1 "hutan produksi" 21.7 "hutan produksi" 6.5
Total Sumber : Olahan data sekunder (Anonimous, 1996)
Luas SPL (ha) (unit) 315 5 906 13 393 6 105 2 112 2 121 2 133 4 32 1 206 1 1 008 7 870 10 58 1 168 3 68 2 228 5 12 1 258 2 570 3 1 514 11 165 2 4 457 4 470 5 138 1 60 354 605
Fungsi Lahan Sawah
Tegal
Tingkat Erosi, Luas Areal dan Jumlah Satuan Pengelolaan Lahan (SPL) di Wilayah Sub-Sub DAS Metro Lereng Fungsi Kawasan Tanaman Semusim (D) I (0 – 8 %)
Lampiran 5.
Pekarangan Hutan Sawah
Tanaman Semusim (D) II (8 – 15 %)
Tegal
Tanaman Semusim (D) Budidaya Thn. (C) Tan. Semusim (D) Tan. Semusim (D) Budidaya Tahunan (C)
Kebun
Budidaya Tahunan (C)
Belukar Sawah Tegal
Budidaya Tahunan (C) Tan. Semusim (D) Budidaya Thn. (C) Tan. Semusim (D) Penyangga (B) Budidaya Thn. (C) Budidaya Thn. (C)
Kebun
Tan. Semusim (D) Penyangga (B)
Pekarangan
III (15 – 25 %)
Pekarangan
Budidaya Tahunan (C)
Pola Tanam Tumpangsari Sy Pd-Pd-Jg Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Pd Tebu Jg-Jg-Sy Pd-Jg-Kc.Tnh "pekarangan" "pekarangan" "hutan produksi" Jeruk Pd-Jg-Jg Pd-Pd-Sy Jg-Jg-Sy Jg-Jg-Kc. Tnh Pd-Jg-Kc.Tnh Jg-Kc. Tnh Tebu Jeruk Pd-Jg-Jg Tebu "kerapatan tinggi" " kerapatan tinggi" "kerapatan tinggi" "pekarangan" "pekarangan" "tdk terganggu" Pd-Pd-Jg Tumpangsari Sy Jeruk Jg-Jg-Kc. Tnh Tebu Jg-Kc. Tnh "tan. tahunan+semusim" "kerapatan tinggi" "tan. tahunan+semusim" "kerapatan tinggi" "pekarangan" "pekarangan"
Tan. Semusim (D) Penyangga (B) Budidaya Tahunan (C) Tanaman "pekarangan" Semusim (D) Penyangga (B) "tdk terganggu"
Belukar Sub Total Sumber : Olahan data sekunder (Anonimous, 1996)
Tk Erosi (ton/ha/th) 45.3 0.5 0.5 0.5 6.3 2.8 13.5 33.7 24.5 1 7.4 0.05 0.1 48.8 29.3 37.8 46.4 13.1 7.0 0.7 14.7 1.8 1.5 1.5 114.6 143.2 1.1 0.2 34.1 9.5 29 13.8 35.2 6.9
Luas SPL (ha) (unit) 43 1 1 582 19 260 5 2 285 23 393 3 12 1 75 3 24 1 1 558 43 145 3 69 1 19 1 717 16 154 5 230 1 1 701 25 690 6 580 6 230 3 325 3 181 3 444 5 1 365 6 714 15 224 8 715 26 30 1 94 3 32 1 91 2 74 1 55 1 394 7 286 4
3.8 6.6
403 807
10 5
3.4 544.2 362.5
40 105 278
2 3 5
144.8
49
2
3.9
153 17 626
7 286
Lampiran 5. Fungsi Lahan Tegal
Lanjutan
Lereng
IV (25 – 40 %)
Kebun Belukar Hutan
Fungsi Kawasan Budidaya Tahunan (C) Penyangga (B) Budidaya Thn. (C) Penyangga (B) Lindung (A) Penyangga (B)
Hutan
Lindung (A) (> 40%) Penyangga (B)
V
Pola Tanam
Tk Erosi (ton/ha/th) Tumpangsari Sy x2 69.5 Jg-Kc. Tnh 80.1 "kerapatan sedang" 22.5 "kerapatan tinggi" 8.7 "tdk terganggu" 7.8 "hutan produksi" 3.1 " kerapatan sedang 14 " Jg-Jg-Kc. Tnh 28.1 "hutan produksi" 146.8 "tdk terganggu" 1.29 "tdk terganggu" 4.87
Total Sumber : Olahan data sekunder (Anonimous, 1996)
Luas 61 98 165 53 226 128 243
SPL (unit) 2 2 3 2 4 3 3
45 24 3 699 88 22 456
1 1 6 3 316
Lampiran 6. Pola Operasi Waduk Sengguruh dan Sutami (Pola Normal Bawah)*) Bulan & Dekade Juni
Juli
Agt
Sep
Okt
Nop
Des
Jan
Feb
Mart
Apr
Mei
Rata2 Total
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Sengguruh Inflow Outflow Energi Operasi 3 3 (m /dt) (m /dt) (mWh) (jam/hr) 39.46 39.46 1636.06 7 34.46 34.46 1494.89 5 28.64 28.64 1349.29 5 29.29 29.29 1412.45 5 28.43 28.43 1418.59 5 27.82 27.82 1575.27 5 25.47 25.47 1398.93 5 22.58 22.58 1348.77 5 19.83 19.83 1415.90 5 18.71 18.71 1264.99 5 17.05 17.05 1216.33 5 16.53 16.53 1237.11 5 16.51 16.51 1236.46 5 17.67 17.67 1288.78 5 18.41 18.41 1453.67 5 19.9 19.9 1254.12 5 25.86 25.86 1677.45 5 39.98 39.98 2082.40 15 46.01 46.01 2420.00 20 39.54 39.54 2060.00 15 55.14 55.14 3278.00 24 60.69 60.69 3338.00 24 59.45 59.45 3258.00 24 62.91 62.91 3830.00 24 76.73 76.73 4188.00 24 70.22 70.22 3574.00 24 67.69 67.69 2679.00 24 74.08 74.08 3606.00 24 71.31 71.31 3322.00 24 65.02 65.02 3208.00 24 59.69 59.69 2613.00 24 61.15 61.15 2638.00 24 60.8 60.8 2569.00 23 50.14 50.14 2063.00 15 40.7 40.7 1714.00 9 41.7 41.7 1909.00 9 41.93 41.93 - 13.31 - 78028.46 48.58
Sutami Inflow Outflow Energi Operasi 3 3 (m /dt) (m /dt) (mWh) (jam/hr) 53.78 53.78 9352.34 24 48.34 48.34 8406.33 24 41.68 45.31 7866.44 24 42.44 50.39 8669.90 24 41.43 47.79 8195.77 24 40.71 49.79 9320.91 24 37.88 47.15 7944.26 24 34.27 41.28 6890.25 24 30.7 35.34 6442.67 24 29.2 35.66 5862.80 24 26.9 35.88 5830.05 24 26.16 34.41 5518.14 24 26.14 39.48 6225.33 24 27.77 35.08 5433.81 24 28.79 33.19 5592.34 24 29.69 35.43 5352.47 24 38.35 39.01 5833.84 24 54.34 56.9 8476.30 24 60.38 54.93 7981.00 24 51.89 49.98 7337.00 24 72.37 56.11 9284.00 24 79.65 64.85 10105.00 24 78.02 74.26 11170.00 24 82.57 78.81 13831.00 24 100.74 84.95 13771.00 24 92.16 85.01 14032.00 24 88.84 85.78 11400.00 24 97.23 87.43 14632.00 24 93.59 86.96 14693.00 24 85.34 81.67 15263.00 24 78.34 74.88 12767.00 24 80.25 75.63 12944.00 24 79.80 74.61 12827.00 24 65.80 61.76 10664.00 24 53.41 51.68 8947.00 24 54.73 51.06 9749.00 24 57.05 56.79 24 - 338610.95 -
Sumber : PERUM Jasa Tirta I (2002a dan 2002b) Keterangan : *) keandalan debit 65 %
Lampiran 7. Hasil Pendugaan Nilai Air, Sumbangan Outflow Sutami Terhadap Penggunaan Air Waduk, Sumbangan Lahan Terhadap Inflow dan Koefisien Penyesuaian Sedimen Pendugaan 1. Harga air untuk : a. Pengairan (HI)
Variabel 1 HKp
: harga komoditas padi (Rp 1 085 000 /ha) Ytp/Yp : rasio produktivitas padi dg pengairan & tanpa pengairan (diproksi dg. Rasio
Variabel 2 AI : kebutuhan air/Ha (15 000 m3/ha) (kebutuhan 110 hari @ 136 m3)
produktivitas padi sawah & tegal : 35 005/58 9365 = 0.59 = 59%)
2. Sumbangan outflow Sutami terhadap : a. Pengairan (Shp) b. Industri (Shm)
RPMb : rasio debit outflow bulanan untuk pengairan/irigasi terhadap debit inflow bulanan bendung Mrican RIMb : rasio debit outflow bulanan untuk industri terhadap debit inflow bulanan bendung Mrican
Nilai HI = Rp 42.96/m3 HKP * (Ytp / Yp ) AI
RSMb : rasio debit outflow bulanan bendungan Sutami terhadap debit inflow bulanan bendung Mrican
12 RPM b Shp = 1 ∗ ∑ 12 b =1 RSM b
= 0,2875 = 28.75% 12 RIM b Shm = 1 ∗ ∑ 12 b =1 RSM
b
= 0,0206 = 2.06% 3. Debit inflow dari sungai
a. b. c. d. e.
Bango (VIA 1) Sumber Brantas (VIA 2) Amprong (VIA3) Lesti (VIA 4) Metro (VIA M)
DI : rata-rata debit inflow bulanan waduk Sengguruh tahun 2002/2003 (41.93 m3/det)
DM : rata-rata debit inflow bulanan dari Metro tahun 2002/2003 (15.11 m3/det)
LWS : luas wilayah catchment Sengguruh (228 551 ha) LWS1 : luas wilayah Sub-sub DAS Bango (25 234 ha) LWS2 : luas wilayah Sub-sub DAS Sumber Brantas (66 509 ha) LWS3 : luas wilayah Sub-Sub DAS Amprong (49 322 ha) LWS4 : luas wilayah Sub-sub DAS Lesti (87 486 ha) LWM : luas wilayah catchment Sub-sub DAS Metro (33 338 ha)
VIAk = DIk *
LWSk LWS
VIA1 : 4.63 m3/det VIA2 : 12.20 m3/det VIA 3 : 9.05 m3/det VIA 4 : 16.05 m3/det
VIAM = DM 3
VIA M : 15.11 m /det
Lampiran 7. Lanjutan Pendugaan 4. Sumbangan lahan thd. volume inflow dari SubSub DAS :
a. b. c. d. e.
Bango (ds1) Sumber Brantas (ds 2) Amprong (ds 3) Lesti (ds 4) Metro (ds 5) 5. koefisien penyesuaian volume sedimen (kp)
Variabel 1
fp : faktor pengali konversi debit (m3/det) menjadi volume m3 = 31 104 000 det (31.10 juta detik per tahun)
Variabel 2
DSk(m3/det )/LWSk(ha)
Nilai
dsk = fp (det)∗ VIAk(m3/det )/LWSk(ha) ds1 = 0.00570668 ∗ 106 m3/ha/th 6 3 ds2 = 0.00570668 ∗ 10 m /ha/th 6 ds3 = 0.00570668 ∗ 10 m3/ha/th ds4 = 0.00570668 ∗ 106 m3/ha/th ds5 = fp (det)∗ VIAM(m3/det )/LWSM(ha) ds5 = 0.014296 ∗ 106 m3/ha/th
Massa sedimen dari hasil analisa erosi lahan (ton/th) *) pada titik pemantauan : 1. Jembatan Pendem (78 337.70) 2. Gadang (551 673.61) 3. Tawang rejeni (268 542.82)
Keterangan : *) Tabel 5.1 dalam Tim Peneliti Jurusan Pengairan (2003b)
Dari hasil analisa transportasi sedimen (ton/th) *) pada titik pemantauan : 1. Jembatan Pendem (82 831.65) 2. Gadang (472 154.83) 3. Tawang rejeni (116 513.78)
Rasio 1 = 82 831.65/78,337.70 = 1.06 Rasio 2 = 472 154.83/551 673.61 = 0.86 Rasio 3 = 116 513.78/268 542.82 = 0.43 kp = Rata-rata rasio = 0.78
Lampiran 8. Konsep Penentuan Keseimbangan Waduk Sebagai Kendala Transisi
Sub-sub DAS Sumber Brantas
Bango dsk eijk Xijk
Amprong Lesti
Vma1 SG
PLTA
Arus
Vkp1 Vsa1 Vss1 Vks1
Stok
Wo1 Arus
Metro ds5, eij5, Xij5
VmaM ST
PLTA
Vkp2 Vsa2 Vss2
Stok
Wo2 Air Irigasi Arus Air Industri
Lampiran 9. Sketsa Mekamisme Arus Masuk, Arus Keluar dan Stok Air serta Sedimen
Waduk Sengguruh
V
m
Vmsedm Vkair
air
Elevasi 292.50 m ≈ 2.32 juta m3 VSair
Elevasi 291.50 m ≈ 1.36 juta m3
Vkap VSsedm
Elevasi 286 m ≈ 0.32 juta m
3
Waduk Sutami
Vmsedm Vm air Elevasi 272.50 m ≈ 175.61 juta m3 Vkair
VSair
Vkap 3
29.49 jt m
Elevasi 246.00 m ≈ 90 juta m3
VSsedm
Keterangan : Vkap Vmair Vmsedm VSair VSsedm Vmair
: kapasitas waduk : volume air masuk : volume sedimen masuk : volume stok air : volume stok sedimen : volume air keluar = 31.53 ∗ Wol
60.51 juta m3
Lampiran 10.
Lokasi Pengumpulan Data Primer dan Jumlah Responden
Sub-DPS 1. Sumber Brantas
Kecamatan 1. Bumiaji
Desa 1. Tulungrejo 2. Sumbergondo
2. Metro
2. Junrejo
3. Mojorejo
3. Dau
4. Tegal Weru 5. Petungsewu 6. Selorejo
Jumlah Responden 25 10
32
7. Karangwidoro 4. Bango
4. Karangploso
8. Ngenep
5. Amprong
5. Jabung
9. Slamparejo 10. Kemiri 11. Gubugklakah
7
7. Tumpang
12. Pulungdowo
5
8. Pakis
13. Pakir Kembar
Poncokusumo
15. Ngadireso 16. Wonorejo
7. Genteng
8
6. Poncokusumo
14. Pakis Jajar 6. Lesti
10
9. Dampit Total Responden
17. Bumirejo
20 7 9 133
Lampiran 11.
1. Pendapatan usahatani
Komponen A. Fungsi Tujuan :
2. Manfaat air untuk listrik
3. Manfaat air untuk Pengairan +Industri 4. Nilai stok air akhir time horizon 5. Biaya pengerukan
Rincian Rumusan Fungsi Tujuan dan Kendala pada Perumusan Program Optimasi Dinamik DTA Sengguruh-Sutami Rumus Sawah kemiringan I (4 paket polatanam) : X11k(t)∗[3∗PPd∗ [a01+b101{1-R01∗∗Sd11k(t)}] – B11] + X12k(t)∗[2∗PPd∗ [a01+b101{1-R01∗∗Sd12k(t)}] + PJg∗ [a05+b105{1-R05∗∗ Sd12k(t)}] – B12] + X13k(t)∗[2∗PPd∗ [a01+b101{1-R01∗∗Sd13k(t)}] + PKb∗ [a11+b111{1-R11∗∗ Sd13k(t)}] – B13] + X14k(t)∗[PTb∗ [a19+b119{1-R19∗∗ Sd14k(t)}] – B14] Sawah kemiringan II (4 paket polatanam) : X25k(t)∗[2∗PPd∗ [a02+b102{1-R02∗∗Sd25k(t)}] + PJg∗ [a06+b106{1-R06∗∗ Sd25k(t)}] – B25]+ X26k(t)∗[2∗PPd∗ [a02+b102{1-R02∗∗Sd26k(t)}] + PKb∗ [a12+b112{1-R12∗∗ Sd26k(t)}] – B26] + X27k(t)∗[PTb∗ [a20+b120{1-R20∗∗ Sd27k(t)}] – B27 ]+ X28k(t)∗[PJr∗ [a27+b127{1-R27∗ ∗Sd28k(t)}] – B28] + Tegal kemiringan I (4 paket polatanam) : X39k(t)∗[2∗PJg∗ [a07+b107{1-R07∗∗ Sd39k(t)}] + PKb∗ [a13+b113{1-R13∗∗ Sd39k(t)}] – B39] + X310k(t)∗[PPd∗ [a03+b103{1-R03∗∗Sd310k(t)}] + PJg∗ [a07+b107{1-R07∗∗ Sd310k(t)}] + PKc∗ [a09+b109{1-R09∗ ∗Sd3101k(t)}] – B310] + X311k(t)∗[PKn∗ [a15+b115{1-R15∗∗ Sd311k(t)}] + PWr∗ [a17+b117{1-R17∗∗ Sd311k(t)}] – B311] + X312k(t)∗[PTb∗ [a21+b121{1-R21∗∗ Sd312k(t)}] – B312] + Tegal kemiringan II (5 paket polatanam) : X413k(t)∗[2∗PJg∗ [a08+b108{1-R08∗∗ Sd413k(t)}] + PKb∗ [a14+b114{1-R14∗∗ Sd413k(t)}] – B413] + X414k(t)∗[PPd∗ [a04+b104{1-R04∗∗Sd414k(t)}] + PJg∗ [a08+b108{1-R08∗∗ Sd414k(t)}] + Pkc∗ [a10+b110{1-R10∗ ∗Sd414k(t)}] – B414] + X415k(t)∗[PKn∗ [a16+b116{1-R16∗∗ Sd415k(t)}] + PWr∗ [a18+b118{1-R18∗ ∗Sd415k(t)}] – B415] + X416k(t)∗[PTb∗ [a22+b122{1-R22∗∗ Sd416k(t)}] – B416] + X417k(t)∗[PJr∗ [a27+b127{1-R27∗ ∗Sd416k(t)}] – B417] + Kebun kemiringan I (4 paket polatanam) : X518k(t)∗[PTb∗ [a28+b128{1-R28∗∗Sd518k(t)}] – B518] + X519k(t)∗[PAp∗ [a30+b130{1-R30∗∗Sd519k(t)}] – B519] + X520k(t)∗[PJr∗ [a32+b132{1-R32∗∗ Sd520k(t)}] – B520] + X521k(t)∗[PKp∗ [a34+b134{1-R34∗∗ Sd521k(t)}] – B521] + Kebun kemiringan II (4 paket polatanam) : X622k(t)∗[PTb∗ [a29+b129{1-R29∗∗ Sd622k(t)}] – B518] + X623k(t)∗[PAp∗ [a31+b131{1-R31∗∗ Sd623k(t)}] – B519] + X624k(t)∗[PJr∗ [a33+b133{1-R33∗∗ Sd624k(t)}] – B520] + X625k(t)∗[PKp∗ [a35+b135{1-R35∗∗ Sd625k(t)}] – B521] + PLTA Sengguruh (2 Turbin) 2∗PE1∗{1.22∗Wo1(t)} PLTA Sutami (3 Turbin) 3∗PE2∗{2.46∗Wo2(t)} PI∗9.07∗Wo2(t) PM∗0.65∗Wo2(t) [PE2∗6741.87∗{Vsa2(“2020”)/cv2}] + [{Vsa2 (“2020”)/cv2}∗(0.2875∗ PI + 0.0206∗ PM] Ck ∗ Vks1(t)
Variabel Sd1jk(t) + X11k(t); X12k(t); X13k(t); X14k(t); Sd2jk(t) + X25k(t); X26k(t); X27k(t); X28k(t); Sd3jk(t) + X39k(t); X310k(t);
X311k(t); X312k(t); Sd4jk(t) + X413k(t); X414k(t);
X415k(t); X416k(t); X417k(t); Sd5jk(t) + X519k(t); X520k(t); X522k(t); X521k(t); Sd6jk(t) + X622k(t); X623k(t); X624k(t); X625k(t); Wol(t)}
Wo2(t) Vsa(“2020”) Vks(t)
Lampiran 11. Lanjutan Komponen B. Kendala : 1. Ketebalan tanah
2. Air masuk :
Vma1(t)
Rumus
Variabel
Sawah kemiringan I (4 paket polatanam) : Sd11k(t+1) = Sd11k(t) – e11/150 Sd12k(t+1) = Sd12k(t) – e12/150 Sd13k(t+1) = Sd13k(t) – e13/150 Sd14k(t+1) = Sd14k(t) – e14/150 Sawah kemiringan II (4 paket polatanam) : Sd25k(t+1) = Sd25k(t) – e25/150 Sd26k(t+1) = Sd26k(t) – e26 /150 Sd27k(t+1) = Sd27k(t) – e27/150 Sd28k(t+1) = Sd28k(t) – e28/150 Tegal kemiringan I (4 paket polatanam) : Sd39k(t+1) = Sd39k(t) – e39/150 Sd310k(t+1) = Sd310k(t) – e310/150 Sd311k(t+1) = Sd311k(t) – e311/150 Sd312k(t+1) = Sd312k(t) – e312/150 Tegal kemiringan II (5 paket polatanam) : Sd413k(t+1) = Sd413k(t) – e413/150 Sd414k(t+1) = Sd414k(t) – e414/150 Sd415k(t+1) = Sd415k(t) – e415/150 Sd416k(t+1) = Sd416k(t) – e416/150 Sd417k(t+1) = Sd417k(t) – e417/150 Kebun kemiringan I (4 paket polatanam) : Sd518k(t+1) = Sd518k(t) – e518/150 Sd519k(t+1) = Sd519k(t) – e519/150 Sd520k(t+1) = Sd520k(t) – e520/150 Sd521k(t+1) = Sd521k(t) – e521/150 Kebun kemiringan II (4 paket polatanam) : Sd622k(t+1) = Sd622k(t) – e622/150 Sd623k(t+1) = Sd623k(t) – e623/150 Sd624k(t+1) = Sd624k(t) – e624/150 Sd625k(t+1) = Sd625k(t) – e625/150
Sd11k(t); e11 Sd12k(t); e12 Sd13k(t); e13 Sd14k(t); e14 Sd25k(t); e25 Sd26k(t); e26 Sd27k(t); e27 Sd28k(t); e28 Sd39k(t); e39 Sd310k(t); e310 Sd311k(t); e311 Sd312k(t); e312 Sd413k(t); e413 Sd414k(t); e414 Sd415k(t); e415 Sd416k(t); e416 Sd417k(t); e417 Sd518k(t); e518 Sd519k(t); e519 Sd520k(t); e520 Sd521k(t); e521 Sd622k(t); e622 Sd623k(t); e623 Sd624k(t); e624 Sd625k(t); e625
Dari wilayah hulu Sengguruh Lahan non-budidaya intensif ds1∗ {L11(t) + L21(t) + L31(t) + L41(t)} + ds2∗ {L12(t) + L22(t) + L32(t) + L42(t)} + ds3∗ {L13(t) + L23(t) + L33(t) + L43(t)} + ds4∗ {L14(t) + L24(t) + L34(t) + L44(t)} +
dsk; L1k(t) (dsk: share lahan thdp inflow pada sub-sub DPS kek)
Keterangan : k (Sub-Sub DPS) = 1 (Bango); 2 (Sb. Brantas); 3 (Amprong); 4 (Lesti); dan 5 (Metro)
Lampiran 11. Lanjutan Komponen Rumus B. Kendala (lanjutan) : 2. Air masuk : Dari wilayah hulu Sengguruh
Variabel
Lahan budidaya intensif
Vma1(t) (lanjutan)
VmaM(t)
ds1∗ {X111(t) + X121(t) + X131(t) + X141(t) + X251(t) + X261(t) + X271(t) + X281(t) + X391(t) + X3101(t) + X3111(t) + X3121(t) + X4131(t) + X4141(t) + X4151(t) + X4161(t) + X4171(t) + X5181(t) + X5191(t) + X5201(t) + X5211(t) + X6221(t) + X6231(t) + X6241(t) + X6251(t)} + ds2∗ {X112(t) + X122(t) + X132(t) + X142(t) + X252(t) + X262(t) + X272(t) + X282(t) + X392(t) + X3102(t) + X3112(t) + X3122(t) + X4132(t) + X4142(t) + X4152(t) + X4162(t) + X4172(t) + X5182(t) + X5192(t) + X5202(t) + X5212(t) + X6222(t) + X6232(t) + X6242(t) + X6252(t)} + ds3∗ {X113(t) + X123(t) + X133(t) + X143(t) + X253(t) + X263(t) + X273(t) + X283(t) + X393(t) + X3103(t) + X3113(t) + X3123(t) + X4133(t) + X4143(t) + X4153(t) + X4163(t) + X4173(t) + X5183(t) + X5193(t) + X5203(t) + X5213(t) + X6223(t) + X6232(t) + X6243(t) + X6253(t)} + ds4∗ {X114(t) + X124(t) + X134(t) + X144(t) + X254(t) + X264(t) + X274(t) + X284(t) + X394(t) + X3104(t) + X3114(t) + X3124(t) + X4134(t) + X4144(t) + X4154(t) + X4164(t) + X4174(t) + X5184(t) + X5194(t) + X5204(t) + X5214(t) + X6224(t) + X6234(t) + X6244(t) + X6254(t)} +
Dari wilayah Sub-sub DPS Metro ds5∗ {L15(t) + L25(t) + L35(t) + L45(t) + ds5∗ {X115(t) + X125(t) + X135(t) + X145(t) + X255(t) + X265(t) + X275(t) + X285(t) + X395(t) + X3105(t) + X3115(t) + X3125(t) + X4135(t) + X4145(t) + X4155(t) + X4165(t) + X4175(t) + X5185(t) + X5195(t) + X5205(t) + X5215(t) + X6225(t) + X6235(t) + X6245(t) + X6255(t)}
3. Sedimen masuk
dsk; L1k(t); X1k(t) k = 1, 2
ds5; L15(t); X15(t)
Dari wilayah hulu Sengguruh Lahan non-budidaya intensif
Vms(t)
VKS ∗ [SDR1∗ {L11(t) ∗E11+ L21(t) ∗E21 + L31(t) ∗E31 + L41(t) ∗E 41} + SDR 2∗ {L12(t) ∗E12 + L22(t) ∗E22 + L32(t) ∗E 32+ L42(t) ∗E42 } + SDR 3∗ {L13(t) ∗E13 + L23(t) ∗E23 + L33(t∗E33 + L43(t) ∗E43 } + SDR 4∗ {L14(t) ∗E14 + L24(t) ∗E24 + L34(t) ∗E34 + L44(t) ∗E44 }] +
SDRk; L1k(t); Eij VKS : konversi massa sedimen menjadi volume 3 dalam juta m
Keterangan : k (Sub-Sub DPS) = 1 (Bango); 2 (Sb. Brantas); 3 (Amprong); 4 (Lesti); dan 5 (Metro)
Lampiran 11. Lanjutan Komponen Rumus B. Kendala (lanjutan) : 3. Sedimen Lahan budidaya intensif masuk VKS ∗[ SDR 1∗ {X111(t) ∗e111 + X121(t) ∗e121 + X131(t) ∗e131 + X141(t) ∗e141 + X251(t) ∗e251 + X261(t) ∗e261 + X271(t) ∗e271 + X281(t) ∗e281 + X391(t) ∗e 391+ X3101(t) ∗e3101 + X3111(t) ∗e3111 + X3121(t) ∗e3121 + X4131(t) ∗e4131 + X4141(t) ∗e4141 + X4151(t) ∗e4151 + X4161(t) ∗e4161 + X4171(t) ∗e4171 + X5181(t) ∗e5181 + X5191(t) ∗e5191 + X5201(t) ∗e5201 + X5211(t) ∗e 5211+ X6221 (t) ∗e6221 + X6231(t) ∗e6231 + X6241(t) ∗e6241 + X6251(t) ∗e 6251} + SDR2∗ {X112(t) ∗e112 + X122(t) ∗e122 + X132(t) ∗e132 + X142(t) ∗e142 + X252(t) ∗e252 + X262(t) ∗e262 + X272(t) ∗e272 + X282(t) ∗e282 + X392(t)∗e392 + X3102(t)∗e3102 + X3112(t) ∗e3112 + X3122(t) ∗e3122 + X4132(t) ∗e4132 + X4142(t) ∗e4142 + X4152(t) ∗e4152 + X4162(t) ∗e4162 + X4172(t) ∗e4172 + X5182(t)∗e5182 + X5192(t) ∗e5192 + X5202(t) ∗e5202 + X5212(t) ∗e5212 + X6222(t) ∗e6222 + X6232(t) ∗e6232 + X6242(t) ∗e6242 + Vms(t) X6252(t) ∗e6252 } + SDR 3∗ {X113(t) ∗e113 + X123(t) ∗e123 + X133(t) ∗e133 + X143(t) ∗e143 + X253(t) ∗e253 + X263(t) ∗e263 + X273(t) ∗e273 + X283(t) ∗e283 + X393(t) ∗e393 + X3103(t) ∗e3103 + X3113(t) ∗e3113 + X3123(t) ∗e3123 + X4133(t) ∗e4133 + X4143(t) ∗e4143 + X4153(t) ∗e4153 + X4163(t) ∗e4163 + X4173(t) ∗e 4173+ X5183(t) ∗e5183 + X5193(t) ∗e5193 + X5203(t) ∗e5203 + X5213(t) ∗e5213 + X6223(t) ∗e6223 + X6232(t) ∗e6233 + X6243(t) ∗e6243 + X6253(t) ∗e6253 } + SDR 4∗ {X114(t) ∗e114 + X124(t) ∗e124 + X134(t) ∗e134 + X144(t) ∗e144 + X254(t) ∗e254 + X264(t) ∗e264 + X274(t) ∗e274 + X284(t) ∗e284 + X394(t) ∗e394 + X3104(t) ∗e3104 + X3114(t) ∗e3114 + X3124(t) ∗e3124 + X4134(t) ∗e4134 + X4144(t) ∗e4144 + X4154(t) ∗e4154 + X4164(t) ∗e4164 + X4174(t) ∗e4174 + X5184(t) ∗e5184 + X5194(t) ∗e5194 + X5204(t) ∗e5204 + X5214(t) ∗e5214 + X6224(t) ∗e6224 + X6234(t) ∗e6234 + X6244(t) ∗e6244 + X6254(t) ∗e6254 }]+
Variabel
SDR k; L1k(t); X1k(t); eijk i = 1, 2, 3, 4, 5, 6 j = 1, 2, 3, . . . 25 k =1, 2, 3, 4 VKS : koefisien konversi massa sedimen menjadi volume SDR : Sediment Delivery Ratio
Keterangan : k (Sub-Sub DPS) = 1 (Bango); 2 (Sb. Brantas); 3 (Amprong); 4 (Lesti); dan 5 (Metro)
Lampiran 11. Lanjutan Komponen Rumus B. Kendala (lanjutan) : 3. Sedimen Lahan budidaya intensif masuk
Variabel
Dari wilayah Sub-sub DPS Metro
VmsM(t)
4. Kapasitas Waduk
VKS ∗ [ SDR5∗{L15(t) ∗E15 + L25(t) ∗E25 + L35(t) ∗E35 + L45(t) ∗E45 + SDR5∗ {X115(t) ∗e115 + X125(t) ∗e125 + X135(t) ∗e135 + X145(t) ∗e145 + X255(t) ∗e255 + X265(t) ∗e265 + X275(t) ∗e275 + X285(t) ∗e285 + X395(t) ∗e295 + X3105(t) ∗e3105 + X3115(t) ∗e3115 + X3125(t) ∗e3125 + X4135(t) ∗e3135 + X4145(t) ∗e3145 + X4155(t) ∗e3155 + X4165(t) ∗e3165 + X4175(t) ∗e3175 + X5185(t) ∗e5185 + X5195(t) ∗e5195 + X5205(t) ∗e5205 + X5215(t) ∗e5215 + X6225(t) ∗e6225 + X6235(t) ∗e6235 + X6245(t) ∗e6245 + X6255(t) ∗e6255 }]
SDR5; L15(t); X15(t); eik5
Waduk Sengguruh Outflow terjadi di atas elevasi 292.50 meter Vkp1(t+1) ≤ Vsa1 (t) + Vma1 (t) – 31.53 ∗ Wo1(t) + Vss1(t) + 0.4 ∗ Vms(t) – Vks1(t)
Terjadi pengerukan sedimen bila stok sedimen > 1.36 jt m3 1.36 ≥ Vss1(t) + 0.4 ∗ Vms(t) – Vks1(t)
Vkp1(t); Vsa1 (t); Vma1 (t); Wo1(t); Vss1(t); Vms(t); Vks1(t) Vss1(t); Vms(t); Vks1(t) : volume Sedimen dikeruk
Waduk Sutami Vkp2(t+1) = Vsa2 (t) + 31.53 ∗ Wo1(t) + VmaM (t) – 31.53 ∗ Wo2(t) + Vss2(t) + 0.6 ∗ 0.92 ∗ Vms(t) + 0.92 ∗ VmsM(t)
Vkp2(t); Vsa2 (t); Wo 1 (t); VmaM (t); Wo2(t); Vss2(t); Vms(t); VmsM(t) Vss2(t) ; Vms(t)
90 ≥ Vss2(t) + 0.6 ∗ 0.92 ∗ Vms(t) Outflow terjadi antara elevasi 246 – 227.50 meter 90 ≤Vkp2(t) ≤ 175.61 5. Lahan Xijk(t); TLik Sawah kemiringan I (4 paket polatanam) : tersedia i = 1, 2, 3, 4, 5, 6 X11k(t) + X12k(t) + X13k(t) + X14k(t) = TL1k j = 1, 2, 3, . . . 25 Sawah kemiringan II (4 paket polatanam) : k =1, 2, 3, 4,5 X251(t) + X261(t) + X271(t) + X281(t) = TL2k Tegal kemiringan I (4 paket polatanam) : X391(t) + X3101(t) + X3111(t) + X3121(t) Tegal kemiringan II (5 paket polatanam) : = TL3k X4131(t) + X4141(t) + X4151(t) + X4161(t)+ X4171(t) = TL4k Kebun kemiringan I (4 paket polatanam) : X5181(t) + X5191(t) + X5201(t) + X5211(t) = TL5k Kebun kemiringan II (4 paket polatanam) : X6221 (t) + X6231(t) + X6241(t) + X6251(t) = TL5k Keterangan : k (Sub-Sub DPS) = 1 (Bango); 2 (Sb. Brantas); 3 (Amprong); 4 (Lesti) dan 5 (Metro)
Lampiran 12. Program Pemecahan Optimasi Dinamik Aplikasi Perangkat Lunak GAMS (General Algebraic Modeling System) $TITLE MANAJEMEN LAHAN DAS WADUK SUTAMI SENGGURUH JAWA TIMURMODELDTA $ONTEXT -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------MODEL DINAMIK EKONOMI DAS BRANTAS HULU UNTUK SUMBERDAYA LAHAN *** TINGKAT BUNGA 10 % & HARGA KONSTAN *** -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------$OFFTEXT SETS T horizon waktu / 2003*2020/ * Kategori aktivitas komoditas/polatanam pd lahan budidaya intensif A Aktivitas lhn sawah kemiringan I /1*4/ B Aktivitas lhn sawah kemiringan II /5*8/ C Aktivitas lhn tegal kemiringan I /9*12/ D Aktivitas lhn tegal kemiringan II /13*17/ E Aktivitas lhn kebun kemiringan I /18*21/ F Aktivitas lhn kebun kemiringan II /22*25/ SCALARS * Koefisien Tingkat Bunga BGA Tingkat Bunga /0.10/ * Koefisien regresi fs produksi PADI sawah kemiringan I (ton per ha) a01 intersep /2.42/ b101 parameter slop1 /7.075476019/ R01 koefisien soil depth /0.96/ * Koefisien regresi fs produksi PADI sawah kemiringan II (ton per ha) a02 intersep /1.83/ b102 parameter slop1 /7.075476019/ R02 koefisien soil depth /0.96/ * Koefisien regresi fs produksi PADI tegal kemiringan I (ton per ha) a03 intersep /2.42/ b103 parameter slop1 /2.588826/ R03 koefisien soil depth /0.96/ * Koefisien regresi fs produksi PADI tegal kemiringan II (ton per ha) a04 intersep /0.86/ b104 parameter slop1 /4.381857143/ R04 parameter slop2 /0.96/ * Koefisien regresi fs produksi JAGUNG sawah kemiringan I (ton per ha) a05 intersep /1.53/ b105 parameter slop1 /2.5797/ R05 parameter slop2 /0.96/ * Koefisien regresi fs produksi JAGUNG sawah kemiringan II (ton per ha) a06 intersep /1.07/ b106 parameter slop1 /2.5797/ R06 parameter slop2 /0.96/
Lampiran 12. Lanjutan
* Koefisien regresi fs produksi JAGUNG tegal kemiringan I (ton per ha) a07 intersep /1.18/ b107 parameter slop1 /3.293998571/ R07 parameter slop2 /0.96/ * Koefisien regresi fs produksi JAGUNG tegal kemiringan II (ton per ha) a08 intersep /0.56/ b108 parameter slop1 /3.293998571/ R08 parameter slop2 /0.96/ * Koefisien regresi fs produksi Kac Tnh tegal kemiringan I (ton per ha) a09 intersep /1.05/ b109 parameter slop1 /2.262714286/ R09 parameter slop2 /0.97/ * Koefisien regresi fs produksi Kac Tnh tegal kemiringan II (ton per ha) a10 intersep /0.83/ b110 parameter slop1 /1.68744/ R10 parameter slop2 /0.97/ * Koefisien regresi fs produksi KUBIS sawah kemiringan I (ton per ha) a11 intersep /24.31/ b111 parameter slop1 /32.47142857/ R11 parameter slop2 /0.99/ * Koefisien regresi fs produksi KUBIS sawah kemiringan II (ton per ha) a12 intersep /19.45/ b112 parameter slop1 /32.47142857/ R12 parameter slop2 /0.99/ * Koefisien regresi fs produksi KUBIS tegal kemiringan I (ton per ha) a13 intersep /19.52/ b113 parameter slop1 /31.39542857/ R13 parameter slop2 /0.99/ * Koefisien regresi fs produksi KUBIS tegal kemiringan II (ton per ha) a14 intersep /11.34/ b114 parameter slop1 /31.39542857/ R14 parameter slop2 /0.99/ * Koefisien regresi fs produksi KENTANG tegal kemiringan I (ton per ha) a15 intersep /20.65/ b115 parameter slop1 /31.39542857/ R15 parameter slop2 /0.99/ * Koefisien regresi fs produksi KENTANG tegal kemiringan II (ton per ha) a16 intersep /15.4/ b116 parameter slop1 /31.39542857/ R16 parameter slop2 /0.99/ * Koefisien regresi fs produksi WORTEL tegal kemiringan I (ton per ha) a17 intersep /14.56/ b117 parameter slop1 /34.84714286/ R17 parameter slop2 /0.99/
Lampiran 12. Lanjutan * Koefisien regresi fs produksi WORTEL tegal kemiringan II (ton per ha) a18 intersep /8.82/
b118 parameter slop1 R18 parameter slop2
/34.84714286/ /0.99/
* Koefisien regresi fs produksi TEBU sawah kemiringan I (ton per ha) a19 intersep /43.16/ b119 parameter slop1 /73.80228571/ R19 parameter slop2 /0.95/ * Koefisien regresi fs produksi TEBU sawah kemiringan II (ton per ha) a20 intersep /20.08/ b120 parameter slop1 /70.72937/ R20 parameter slop2 /0.95/ * Koefisien regresi fs produksi TEBU tegal kemiringan I (ton per ha) a21 intersep /24.45/ b121 parameter slop1 /65.60997/ R21 parameter slop2 /0.95/ * Koefisien regresi fs produksi TEBU tegal kemiringan II (ton per ha) a22 intersep /18.81/ b122 parameter slop1 /65.60997/ R22 parameter slop2 /0.95/ * Koefisien regresi fs produksi APEL tegal kemiringan II (ton per ha) a23 intersep /19.18/ b123 parameter slop1 /21.61850857/ R23 parameter slop2 /0.95/ * Koefisien regresi fs produksi JERUK sawah kemiringan II (ton per ha) a24 intersep /8.92/ b124 parameter slop1 /21.89301/ R24 parameter slop2 /0.95/ * KOEFISIEN Sediment Delevery Ratio (nisbah pelepasan sedimen): SDR1 Sediment Deliv Rt Bango /0.184609/ SDR2 Sediment Deliv Rt Sub-DAS Sumber Brantas /0.281699/ SDR3 Sediment Deliv Rt Sub-DAS Amrong /0.269819/ SDR4 Sediment Deliv Rt Lesti /0.264748/ SDR5 Sediment Deliv Rt Metro /0.291963/ * Sumbangan lahan terhadap volume inflow 3 DS1 sumbangan lahan wil Bango thdp inflow SG ~ juta m per ha per th /0.0057/ DS2 sumbangan lahan wil Sb Brantas thdp inflow SG ~ juta m3 per ha per th /0.0057/ DS3 sumbangan lahan wil Amprong thdp inflow SG ~ juta m3 per ha per th /0.0057/ DS4 sumbangan lahan wil Lesti thdp inflow SG ~ juta m3 per ha per th /0.0057/ DS5 sumbangan lahan wil Metro thdp inflow SG ~ juta m3 per ha per th /0.014296/
Lampiran 12. Lanjutan * Biaya sosial waduk BYPK biaya pengerukan sedimen Sengguruh ~ Rp per m3 * Harga komoditas ~ juta Rp per ton
/7517.233/
HPd HJg HKc HKu HKn HWr HTb HAp HJr HKo
harga padi GKP /1.07/ harga jagung Pipilan /0.85/ harga kacang glondong kering/1.50/ harga kubis /0.96/ harga kentang /1.93/ harga wortel /1.05/ harga tebu /0.15/ harga apel /2.09/ harga jeruk /2.62/ harga kopi Ose /4.31/
* Tingkat pertumbuhan harga komoditas RHKc tingkat perubahan harga kacang tanah/0.0868/ RHKu tingkat perubahan harga kubis /0.0625/ RHKn tingkat perubahan harga kentang /0.1229/ RHWr tingkat perubahan harga wortel /0.10/ * Harga energi listrik dan air baku PE1 harga listrik di PLTA Sengguruh ~ Rp per kWh PE2 harga listrik di PLTA Sutami ~ Rp per kWh PI nilai air baku untuk pengairan ~ Rp per m3 PM nilai air baku untuk industri ~ Rp per m3
/402/ /131.8/ /42.96/ /60/
* Faktor konversi tk erosi menjadi lapisan tanah yg hilang FKL faktor konversi ketebalan lapisan tanah /150/ * Variabel konversi volume sedimen KK koefisien konversi dr massa ke volume sedimen ~ ton per m3 CV1 faktor konversi dari volume harian ke debit CV2 faktor konversi dari volume tahunan ke debit KP koef penyesuaian vol sedimen potensial ke aktual
/0.9463924973/ /8640/ /31536000/ /0.78/
PARAMETERS * Harga komoditas lahan kebun ~ juta Rp HK(E) kebun kemiringan I /18 0.15, 19 2.09, 20 2.62, 21 4.31/ HC(F) kebun kemiringan II /22 0.15, 23 2.09, 24 2.62, 25 4.31/ * Koefisien regresi fs produksi komoditas lahan kebun kemiringan I ~ ton per ha a25(E) intersep /18 24.45, 19 24.12, 20 9.92, 21 0.53/ b125(E) parameter slop1 /18 65.60997, 19 21.61851, 20 16.39301, 21 1.25952/ R25(E) parameter slop2 /18*21 0.95/ * Koefisien regresi fs produksi komoditas lahan kebun kemiringan II (ton per ha) a26(F) intersep /22 18.81, 23 26.01, 24 10.73, 25 0.32/
Lampiran 12. Lanjutan b126(F) parameter slop1 /22 65.60997, 23 21.61851, 24 16.39301, 25 1.25952/ R26(F) parameter slop2 /22*25 0.95/ * TINGKAT EROSI lahan budidaya intensif
* Sub-sub DAS Bango eA1(A) tk erosi lahan sawah kemiringan I ~ ton per ha /1 0.5, 2 0.5, 3 0.6, 4 6.1/ eB1(B) tk erosi lahan sawah kemiringan II ~ ton per ha /5 100, 6 100, 7 100, 8 100/ eC1(C) tk erosi lahan tegal kemiringan I ~ ton per ha /9 45.8, 10 46.2, 11 46.06, 12 7.07/ eD1(D) tk erosi lahan tegal kemiringan II ~ ton per ha /13 100, 14 81.7, 15 100, 16 16.15, 17 100/ eE1(E) tk erosi lahan kebun kemiringan I ~ ton per ha /18 5.33, 19 2.65, 20 100, 21 100/ eF1(F) tk erosi lahan kebun kemiringan II ~ ton per ha /22 19.85, 23 9.9, 24 100, 25 100/ * Sub-sub DAS Sumber Brantas eA2(A) tk erosi lahan sawah kemiringan I ~ ton per ha /1 0.5, 2 0.4, 3 0.5, 4 6.2/ eB2(B) tk erosi lahan sawah kemiringan II ~ ton per ha /5 0.6, 6 0.8, 7 5.04, 8 100/ eC2(C) tk erosi lahan tegal kemiringan I ~ ton per ha /9 10.35, 10 28.8, 11 19.7, 12 34.0/ eD2(D) tk erosi lahan tegal kemiringan II ~ ton per ha /13 50.4, 14 37.1, 15 29.35, 16 100, 17 13.3/ eE2(E) tk erosi lahan kebun kemiringan I ~ ton per ha /18 3.8, 19 2.98, 20 100, 21 100/ eF2(F) tk erosi lahan kebun kemiringan II ~ ton per ha /22 100, 23 6.2, 24 6.2, 25 100/ * Sub-sub DAS Amprong eA3(A) tk erosi lahan sawah kemiringan I ~ ton per ha /1 0.5, 2 0.6, 3 100, 4 5.6/ eB3(B) tk erosi lahan sawah kemiringan II ~ ton per ha /5 500, 6 100, 7 100, 8 500/ eC3(C) tk erosi lahan tegal kemiringan I ~ ton per ha /9 15.15, 10 5.2, 11 100, 12 8.27/ eD3(D) tk erosi lahan tegal kemiringan II ~ ton per ha /13 100, 14 100, 15 100, 16 100, 17 100/ eE3(E) tk erosi lahan kebun kemiringan I ~ ton per ha /18 4.75, 19 100, 20 100, 21 3.2/ eF3(F) tk erosi lahan kebun kemiringan II ~ ton per ha /22 17.35, 23 5.63, 24 100, 25 6.4/ * Sub-sub DAS Lesti eA4(A) tk erosi lahan sawah kemiringan I ~ ton per ha /1 0.5, 2 0.5, 3 0.6, 4 4.3/
Lampiran 12. Lanjutan eB4(B) tk erosi lahan sawah kemiringan I ~ ton per ha /5 500, 6 100, 7 100, 8 100/ eC4(C) tk erosi lahan tegal kemiringan I ~ ton per ha /9 20.0, 10 17.2, 11 100, 12 11.9/ eD4(D) tk erosi lahan tegal kemiringan II ~ ton per ha /13 9.6, 14 130.2, 15 100, 16 37.2, 17 100/
eE4(E) tk erosi lahan kebun kemiringan I ~ ton per ha /18 3.8, 19 100, 20 100, 21 1.8/ eF4(F) tk erosi lahan kebun kemiringan II ~ ton per ha /22 28.08, 23 100, 24 100, 25 14.04/ * Sub-sub DAS Metro eA5(A) tk erosi lahan sawah kemiringan I ~ ton per ha /1 0.5, 2 0.5, 3 0.6, 4 6.3/ eB5(B) tk erosi lahan sawah kemiringan II ~ ton per ha /5 0.2, 6 100, 7 17.16, 8 7.4/ eC5(C) tk erosi lahan tegal kemiringan I ~ ton per ha /9 48.8, 10 25.65, 11 500, 12 26.2/ eD5(D) tk erosi lahan tegal kemiringan II ~ ton per ha /13 29.0, 14 500, 15 500, 16 36.3, 17 500/ eE5(E) tk erosi lahan kebun kemiringan I ~ ton per ha /18 13.8, 19 100, 20 7.07, 21 100/ eF5(F) tk erosi lahan kebun kemiringan II ~ ton per ha /22 17.16, 23 100, 24 9.16, 25 100/ * BIAYA PRODUKSI * Sub-sub DAS Bango BA1(A) biaya produksi lahan sawah kemiringan I ~ juta Rp per ha /1 9.996333, 2 6.393629, 3 11.416720, 4 9.679722/ BB1(B) biaya produksi lahan sawah kemiringan II ~ ton per ha /5 500, 6 500, 7 500, 8 500/ BC1(C) biaya produksi lahan tegal kemiringan I ~ ton per ha /9 17.028963, 10 5.484968, 11 43.8004, 12 7.051823/ BD1(D) biaya produksi lahan tegal kemiringan II ~ ton per ha /13 700, 14 5.187143, 15 500, 16 6.511901, 17 500/ BE1(E) biaya produksi lahan kebun kemiringan I ~ ton per ha /18 7.051823, 19 36.465433, 20 500, 21 500/ BF1(F) biaya produksi lahan kebun kemiringan II ~ ton per ha /22 6.511901, 23 20.623081, 24 500, 25 500/ * Sub-sub DAS Sumber Brantas BA2(A) biaya produksi lahan sawah kemiringan I ~ juta Rp per ha /1 9.996333, 2 6.393629, 3 11.416720, 4 9.679722/ BB2(B) biaya produksi lahan sawah kemiringan II ~ ton per ha /5 8.144792, 6 13.763189, 7 6.380982, 8 500/ BC2(C) biaya produksi lahan tegal kemiringan I ~ ton per ha /9 17.028963, 10 5.484968, 11 43.8004, 12 7.051823/ BD2(D) biaya produksi lahan tegal kemiringan II ~ ton per ha /13 17.326500, 14 5.187143, 15 33.751907, 16 500, 17 20.623081/
Lampiran 12. Lanjutan BE2(E) biaya produksi lahan kebun kemiringan I ~ ton per ha /18 7.051823, 19 36.465433, 20 500, 21 500/ BF2(F) biaya produksi lahan kebun kemiringan I ~ ton per ha /22 500, 23 20.623081, 24 13.38655, 25 500/ * Sub-sub DAS Amprong BA3(A) biaya produksi lahan sawah kemiringan I ~ juta Rp per ha /1 9.996333, 2 6.393629, 3 500, 4 9.679722/
BB3(B) biaya produksi lahan sawah kemiringan II ~ ton per ha /5 500, 6 500, 7 500, 8 500/ BC3(C) biaya produksi lahan tegal kemiringan I ~ ton per ha /9 17.028963, 10 5.484968, 11 500, 12 7.051823/ BD3(D) biaya produksi lahan tegal kemiringan II ~ ton per ha /13 500, 14 500, 15 500, 16 500, 17 500/ BE3(E) biaya produksi lahan kebun kemiringan I ~ ton per ha /18 7.051823, 19 500, 20 500, 21 1.390263/ BF3(F) biaya produksi lahan kebun kemiringan II ~ ton per ha /22 6.511901, 23 20.623081, 24 500, 25 1.120898/ * Sub-sub DAS Lesti BA4(A) biaya produksi lahan sawah kemiringan I ~ juta Rp per ha /1 9.996333, 2 6.393629, 3 11.41672, 4 9.679722/ BB4(B) biaya produksi lahan sawah kemiringan II ~ ton per ha /5 500, 6 500, 7 500, 8 500/ BC4(C) biaya produksi lahan tegal kemiringan I ~ ton per ha /9 17.028963, 10 5.484968, 11 500, 12 7.051823/ BD4(D) biaya produksi lahan tegal kemiringan II ~ ton per ha /13 17.326500, 14 5.187143, 15 500, 16 6.511901, 17 500/ BE4(E) biaya produksi lahan kebun kemiringan I ~ ton per ha /18 7.051823, 19 500, 20 500, 21 1.390263/ BF4(F) biaya produksi lahan kebun kemiringan II ~ ton per ha /22 6.511901, 23 500, 24 500, 25 1.120898/ * Sub-sub DAS Metro BA5(A) biaya produksi lahan sawah kemiringan I ~ juta Rp per ha /1 9.996333, 2 6.393629, 3 11.416720, 4 9.679722/ BB5(B) biaya produksi lahan sawah kemiringan II ~ ton per ha /5 8.144792, 6 500, 7 6.380982, 8 20.646284/ BC5(C) biaya produksi lahan tegal kemiringan I ~ ton per ha /9 17.028963, 10 5.484968, 11 500, 12 7.051823/ BD5(D) biaya produksi lahan tegal kemiringan II ~ ton per ha /13 17.326500, 14 500, 15 500, 16 6.511901, 17 500/ BE5(E) biaya produksi lahan kebun kemiringan I ~ ton per ha /18 7.051823, 19 500, 20 19.26378, 21 500/ BF5(F) biaya produksi lahan kebun kemiringan II ~ ton per ha /22 6.511901, 23 500, 24 13.386556, 25 500/
Lampiran 12. Lanjutan * Lahan budidaya yang tersedia * Sub-sub DAS Bango TL1B(T) total lahan sawah kemiringan I ~ ha /2003*2020 3689/ TL2B(T) total lahan sawah kemiringan II ~ ha /2003*2020 1/ TL3B(T) total lahan tegal kemiringan I ~ ha /2003*2020 7174/ TL4B(T) total lahan tegal kemiringan II ~ ha
/2003*2020 211/ TL5B(T) total lahan kebun kemiringan I ~ ha /2003*2020 646/ TL6B(T) total lahan kebun kemiringan II ~ ha /2003*2020 44/ * Sub-sub DAS Sumber Brantas TL1S(T) total lahan sawah kemiringan I ~ ha /2003*2020 16095/ TL2S(T) total lahan sawah kemiringan II ~ ha /2003*2020 72/ TL3S(T) total lahan tegal kemiringan I ~ ha /2003*2020 4939/ TL4S(T) total lahan tegal kemiringan II ~ ha /2003*2020 628/ TL5S(T) total lahan kebun kemiringan I ~ ha /2003*2020 1856/ TL6S(T) total lahan kebun kemiringan II ~ ha /2003*2020 3015/ * Sub-sub DAS Amprong TL1A(T) total lahan sawah kemiringan I ~ ha /2003*2020 4267/ TL2A(T) total lahan sawah kemiringan II ~ ha /2003*2020 1/ TL3A(T) total lahan tegal kemiringan I ~ ha /2003*2020 6952/ TL4A(T) total lahan tegal kemiringan II ~ ha /2003*2020 1/ TL5A(T) total lahan kebun kemiringan I ~ ha /2003*2020 674/ TL6A(T) total lahan kebun kemiringan II ~ ha /2003*2020 4189/ * Sub-sub DAS Lesti TL1L(T) total lahan sawah kemiringan I ~ ha /2003*2020 14548/ TL2L(T) total lahan sawah kemiringan II ~ ha /2003*2020 1/ TL3L(T) total lahan tegal kemiringan I ~ ha /2003*2020 7992/ TL4L(T) total lahan tegal kemiringan II ~ ha /2003*2020 835/ TL5L(T) total lahan kebun kemiringan I ~ ha /2003*2020 6050/
Lampiran 12. Lanjutan TL6L(T) total lahan kebun kemiringan II ~ ha /2003*2020 7250/ * Sub-sub DAS Metro TL1M(T) total lahan sawah kemiringan I ~ ha /2003*2020 5368/ TL2M(T) total lahan sawah kemiringan II ~ ha /2003*2020 94/ TL3M(T) total lahan tegal kemiringan I ~ ha /2003*2020 3442/
TL4M(T) total lahan tegal kemiringan II ~ ha /2003*2020 434/ TL5M(T) total lahan kebun kemiringan I ~ ha /2003*2020 2101/ TL6M(T) total lahan kebun kemiringan II ~ ha /2003*2020 411/ * Luas lahan non-budidaya intensif LB(T) lahan non-budidaya intensif wil Bango ~ hektar /2003*2020 6719/ LS(T) lahan non-budidaya intensif wil Sb Brantas ~ hektar /2003*2020 18117/ LA(T) lahan non-budidaya intensif wil Amprong ~ hektar /2003*2020 14990/ LL(T) lahan non-budidaya intensif wil Lesti ~ hektar /2003*2020 2367/ LM(T) lahan non-budidaya intensif wil Metro ~ hektar /2003*2020 10606/ * Volume sedimen dari lahan non-budidaya intensif menurut Sub-Sub DAS M11n(T) massa sedimen lhn non-budidaya intensif wil Bango ~ ton /2003*2020 82607.39352/ M12n(T) massa sedimen lhn non-budidaya intensif wil SB Brantas ~ ton /2003*2020 460107.4108/ M13n(T) massa sedimen lhn non-budidaya intensif wil Amprong ~ ton /2003*2020 79276.17549/ M14n(T) massa sedimen lhn non-budidaya intensif wil Lesti ~ ton /2003*2020 440675.9344/ M2n(T) massa sedimen lhn non-budidaya intensif wil Metro ~ ton /2003*2020 90060.54708/ * Kapasitas bendungan Vkp1(T) volume kapasitas waduk Sengguruh ~ juta m3 /2003*2020 2.32/ Vkp2(T) volume kapasitas waduk Sutami ~ juta m3 /2003*2020 236.12/ * Total massa sedimen, konversi volume sdimen & tk diskonto M1n(T) massa sedimen lhn non-budidaya intensif wil hulu Sengguruh ~ ton KVS konversi volume sedimen dari massa ~ juta m3 ROI(T) tingkat diskonto pada tahun t; M1n(T) = M11n(T) + M12n(T) + M13n(T) + M14n(T); KVS = (1/(10**6))*KP*(1/KK); ROI(T) = 1/((1+BGA)**ORD(T));
Lampiran 12. Lanjutan VARIABLES * YANG INGIN DICARI X1B(A,T) luas areal aktivitas pd lahan sawah kemiringan I ~ ha X2B(B,T) luas areal aktivitas pd lahan sawah kemiringan II ~ ha X3B(C,T) luas areal aktivitas pd lahan tegal kemiringan I ~ ha X4B(D,T) luas areal aktivitas pd lahan tegal kemiringan II ~ ha X5B(E,T) luas areal aktivitas pd lahan kebun kemiringan I ~ ha X6B(F,T) luas areal aktivitas pd lahan kebun kemiringan II ~ ha X1S(A,T) luas areal aktivitas pd lahan sawah kemiringan I ~ ha
X2S(B,T) X3S(C,T) X4S(D,T) X5S(E,T) X6S(F,T)
luas areal aktivitas pd lahan sawah kemiringan II ~ ha luas areal aktivitas pd lahan tegal kemiringan I ~ ha luas areal aktivitas pd lahan tegal kemiringan II ~ ha luas areal aktivitas pd lahan kebun kemiringan I ~ ha luas areal aktivitas pd lahan kebun kemiringan II ~ ha
X1A(A,T) X2A(B,T) X3A(C,T) X4A(D,T) X5A(E,T) X6A(F,T)
luas areal aktivitas pd lahan sawah kemiringan I ~ ha luas areal aktivitas pd lahan sawah kemiringan II ~ ha luas areal aktivitas pd lahan tegal kemiringan I ~ ha luas areal aktivitas pd lahan tegal kemiringan II ~ ha luas areal aktivitas pd lahan kebun kemiringan I ~ ha luas areal aktivitas pd lahan kebun kemiringan II ~ ha
X1L(A,T) X2L(B,T) X3L(C,T) X4L(D,T) X5L(E,T) X6L(F,T)
luas areal aktivitas pd lahan sawah kemiringan I ~ ha luas areal aktivitas pd lahan sawah kemiringan II ~ ha luas areal aktivitas pd lahan tegal kemiringan I ~ ha luas areal aktivitas pd lahan tegal kemiringan II ~ ha luas areal aktivitas pd lahan kebun kemiringan I ~ ha luas areal aktivitas pd lahan kebun kemiringan II ~ ha
X1M(A,T) X2M(B,T) X3M(C,T) X4M(D,T) X5M(E,T) X6M(F,T)
luas areal aktivitas pd lahan sawah kemiringan I ~ ha luas areal aktivitas pd lahan sawah kemiringan II ~ ha luas areal aktivitas pd lahan tegal kemiringan I ~ ha luas areal aktivitas pd lahan tegal kemiringan II ~ ha luas areal aktivitas pd lahan kebun kemiringan I ~ ha luas areal aktivitas pd lahan kebun kemiringan II ~ ha
S1B(A,T) S2B(B,T) S3B(C,T) S4B(D,T) S5B(E,T) S6B(F,T)
ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan I ~ cm ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan II ~ cm ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan I ~ cm ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan II ~ cm ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan I ~ cm ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan II ~ cm
S1S(A,T) S2S(B,T) S3S(C,T) S4S(D,T) S5S(E,T) S6S(F,T)
ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan I ~ cm ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan II ~ cm ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan I ~ cm ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan II ~ cm ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan I ~ cm ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan II ~ cm
S1A(A,T) ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan I ~ cm S2A(B,T) ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan II ~ cm
Lampiran 12. Lanjutan S3A(C,T) S4A(D,T) S5A(E,T) S6A(F,T)
ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan I ~ cm ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan II ~ cm ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan I ~ cm ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan II ~ cm
S1L(A,T) S2L(B,T) S3L(C,T) S4L(D,T) S5L(E,T) S6L(F,T)
ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan I ~ cm ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan II ~ cm ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan I ~ cm ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan II ~ cm ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan I ~ cm ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan II ~ cm
S1M(A,T) ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan I ~ cm
S2M(B,T) S3M(C,T) S4M(D,T) S5M(E,T) S6M(F,T)
ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan II ~ cm ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan I ~ cm ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan II ~ cm ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan I ~ cm ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan II ~ cm
Vas(T)
volume sedimen yg berasal dari Hulu Sengguruh pd th t ~ juta m3
Vms1(T) Vms12(T) VmsM(T) Vss1(T) Vss2(T)
volume sedimen masuk Waduk Sengguruh pd th t ~ juta m3 volume sedimen masuk dr Sengguruh ke Sutami pd th t ~ juta m3 volume sedimen masuk dr Metro pd th t ~ juta m3 volume sedimen tersimpan dlm waduk Sengguruh pd th t ~ juta m3 volume sedimen tersimpan dlm waduk Sutami pd th t ~ juta m3
Vma1(T) VmaM(T) Vsa1(T) Vsa2(T) Vsa2a(T) Vsa2b(T)
volume air masuk ke waduk Sengguruh pd th t ~ juta m3 volume air masuk dr Metro pd th t ~ juta m3 3 volume air tersimpan dlm waduk Sengguruh pd th t ~ juta m 3 volume air tersimpan dlm waduk Sutami pd th t ~ juta m volume air tersimpan dlm ST elv 246-272 m pd th t ~ juta m3 3 volume air tersimpan dlm ST elv Vss2-246 m pd th t ~ juta m
Vks1(T)
volume sedimen yg dikeruk Sengguruh pd th t ~ juta m
Wo1(T)
debit operasi PLTA Sengguruh pd th t ~ m per detik
Wo2(T)
debit operasi PLTA Sutami pd th t ~ m per detik
MB(T) OBJ
manfaat bersih DAS ~ juta Rp fungsi tujuan ~ juta Rp;
3
3
POSITIVE VARIABLES X1B(A,T), X2B(B,T), X1S(A,T), X2S(B,T), X1A(A,T), X2A(B,T), X1L(A,T), X2L(B,T), X1M(A,T), X2M(B,T), S1B(A,T), S1S(A,T), S1A(A,T), S1L(A,T), S1M(A,T),
3
S2B(B,T), S2S(B,T), S2A(B,T), S2L(B,T), S2M(B,T),
X3B(C,T), X3S(C,T), X3A(C,T), X3L(C,T), X3M(C,T),
X4B(D,T), X4S(D,T), X4A(D,T), X4L(D,T), X4M(D,T),
X5B(E,T), X5S(E,T), X5A(E,T), X5L(E,T), X5M(E,T),
X6B(F,T), X6S(F,T), X6A(F,T), X6L(F,T), X6M(F,T),
S3B(C,T), S3S(C,T), S3A(C,T), S3L(C,T), S3M(C,T),
S4B(D,T), S4S(D,T), S4A(D,T), S4L(D,T), S4M(D,T),
S5B(E,T), S5S(E,T), S5A(E,T), S5L(E,T), S5M(E,T),
S6B(F,T), S6S(F,T), S6A(F,T), S6L(F,T), S6M(F,T),
Vss1(T), Vsa2a(T),
Vss2(T) Vsa2b(T),
Lampiran 12. Lanjutan Vas(T), Vma1(T),
Vms1(T), VmaM(T),
Vms12(T), Vsa1(T),
VmsM(T), Vsa2(T),
Vks1(T),
Vks1(T),
Wo1(T),
Wo2(T);
EQUATIONS KS1B(A,T) KS2B(B,T) KS3B(C,T) KS4B(D,T) KS5B(E,T) KS6B(F,T)
kendala ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan I ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan II ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan I ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan II ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan I ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan II ~ cm
KS1S(A,T) KS2S(B,T) KS3S(C,T) KS4S(D,T) KS5S(E,T) KS6S(F,T)
kendala ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan I ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan II ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan I ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan II ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan I ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan II ~ cm
KS1A(A,T) KS2A(B,T) KS3A(C,T) KS4A(D,T) KS5A(E,T) KS6A(F,T)
kendala ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan I ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan II ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan I ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan II ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan I ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan II ~ cm
KS1L(A,T) KS2L(B,T) KS3L(C,T) KS4L(D,T) KS5L(E,T) KS6L(F,T)
kendala ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan I ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan II ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan I ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan II ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan I ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan II ~ cm
KS1M(A,T) KS2M(B,T) KS3M(C,T) KS4M(D,T) KS5M(E,T) KS6M(F,T)
kendala ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan I ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah sawah kemiringan II ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan I ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah tegal kemiringan II ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan I ~ cm kendala ketebalan lapisan tanah kebun kemiringan II ~ cm
KTL1B(T) KTL2B(T) KTL3B(T) KTL4B(T) KTL5B(T) KTL6B(T)
kendala total lahan sawah kemiringan I ~ ha kendala total lahan sawah kemiringan II ~ ha kendala total lahan tegal kemiringan I ~ ha kendala total lahan tegal kemiringan II ~ ha kendala total lahan kebun kemiringan I ~ ha kendala total lahan kebun kemiringan II ~ ha
KTL1S(T) KTL2S(T) KTL3S(T) KTL4S(T) KTL5S(T) KTL6S(T)
kendala total lahan sawah kemiringan I ~ ha kendala total lahan sawah kemiringan II ~ ha kendala total lahan tegal kemiringan I ~ ha kendala total lahan tegal kemiringan II ~ ha kendala total lahan kebun kemiringan I ~ ha kendala total lahan kebun kemiringan II ~ ha
Lampiran 12. Lanjutan KTL1A(T) KTL2A(T) KTL3A(T) KTL4A(T) KTL5A(T) KTL6A(T)
kendala total lahan sawah kemiringan I ~ ha kendala total lahan sawah kemiringan II ~ ha kendala total lahan tegal kemiringan I ~ ha kendala total lahan tegal kemiringan II ~ ha kendala total lahan kebun kemiringan I ~ ha kendala total lahan kebun kemiringan II ~ ha
KTL1L(T) KTL2L(T) KTL3L(T) KTL4L(T) KTL5L(T) KTL6L(T)
kendala total lahan sawah kemiringan I ~ ha kendala total lahan sawah kemiringan II ~ ha kendala total lahan tegal kemiringan I ~ ha kendala total lahan tegal kemiringan II ~ ha kendala total lahan kebun kemiringan I ~ ha kendala total lahan kebun kemiringan II ~ ha
KTL1M(T)
kendala total lahan sawah kemiringan I ~ ha
KTL2M(T) KTL3M(T) KTL4M(T) KTL5M(T) KTL6M(T)
kendala total lahan sawah kemiringan II ~ ha kendala total lahan tegal kemiringan I ~ ha kendala total lahan tegal kemiringan II ~ ha kendala total lahan kebun kemiringan I ~ ha kendala total lahan kebun kemiringan II ~ ha
PVas(T) PVkp1(T) KVkp2(T)
pers sed yg berasal dari Hulu Sengguruh pd th t ~ juta m3 pers kapasitas Waduk Sengguruh pd th t ~ juta m3 keseimbangan kapasitas Waduk Sutami pd th t ~ juta m3
PVms1(T) PVms12(T) PVmsM(T) KVss1(T) KVss2(T)
pers sedimen masuk Waduk Sengguruh pd th t ~ juta m3 pers sedimen masuk dr Sengguruh ke Sutami pd th t ~ juta m3 pers sedimen masuk dr Metro pd th t ~ juta m3 keseimbangan sed tersimpan dlm waduk Sengguruh pd th t ~ juta m3 keseimbangan sed tersimpan dlm waduk Sutami pd th t ~ juta m3
PVma1(T) PVmaM(T) KVsa1(T) KVsa2(T) PVsa2b(T)
pers air masuk ke waduk Sengguruh pd th t ~ juta m3 pers air masuk dr Metro pd th t ~ juta m3 kes air tersimpan dlm waduk Sengguruh pd th t ~ juta m3 keseimbangan air tersimpan dlm waduk Sutami pd th t ~ juta m3 pers air tersimpan dlm ST elv Vss2-246 m pd th t ~ juta m3
MMB(T) ZZ
persamaan manfaat bersih tahunan persamaan fungsi tujuan ;
* estimasi manfaat sosial bersih tahunan (Juta Rp) MMB(T).. MB(T) =E= * Manfaat Bersih Lahan Sub-sub DAS Bango (Juta Rp) (3*HPd*(a01+b101*(1-R01**S1B("1",T)))-BA1("1"))*X1B("1",T)+ (2*(HPd*(a01+b101*(1-R01**S1B("2",T)))+ HJg*(a05+b105*(1-R05**S1B("2",T))))-BA1("2"))*X1B("2",T)+ (2*(HPd*(a01+b101*(1-R01**S1B("3",T)))+ HKu*(a11+b111*(1-R11**S1B("3",T))))-BA1("3"))*X1B("3",T)+
Lampiran 12. Lanjutan (HTb*(a19+b119*(1-R19**S1B("4",T)))-BA1("4"))*X1B("4",T)+ (2*(HPd*(a02+b102*(1-R02**S2B("5",T)))+ HJg*(a06+b106*(1-R06**S2B("5",T))))-BB1("5"))*X2B("5",T)+ (2*(HPd*(a02+b102*(1-R02**S2B("6",T)))+ HKu*(a12+b112*(1-R12**S2B("6",T))))-BB1("6"))*X2B("6",T)+ (HTb*(a20+b120*(1-R20**S2B("7",T)))-BB1("7"))*X2B("7",T)+ (HJr*(a24+b124*(1-R24**S2B("8",T)))-BB1("8"))*X2B("8",T)+ (2*(HJg*(a07+b107*(1-R07**S3B("9",T)))+ HKu*(a13+b113*(1-R13**S3B("9",T))))-BC1("9"))*X3B("9",T)+ ((HPd*(a03+b103*(1-R03**S3B("10",T)))+HJg*(a07+b107*(1-R07**S3B("10",T)))+ HKc*(a09+b109*(1-R09**S3B("10",T))))-BC1("10"))*X3B("10",T)+
((HKn*(a15+b115*(1-R15**S3B("11",T)))+ HWr*(a17+b117*(1-R17**S3B("11",T))))-BC1("11"))*X3B("11",T)+ (HTb*(a21+b121*(1-R21**S3B("12",T)))-BC1("12"))*X3B("12",T)+ (2*(HJg*(a08+b108*(1-R08**S4B("13",T)))+ HKu*(a13+b113*(1-R13**S4B("13",T))))-BD1("13"))*X4B("13",T)+ ((HPd*(a04+b104*(1-R04**S4B("14",T)))+ HJg*(a08+b108*(1-R08**S4B("14",T)))+ HKc*(a10+b110*(1-R10**S4B("14",T))))-BD1("14"))*X4B("14",T)+ ((HKn*(a16+b116*(1-R16**S4B("15",T))) + HWr*(a18+b118*(1-R18**S4B("15",T))))-BD1("15"))*X4B("15",T)+ (HTb*(a22+b122*(1-R22**S4B("16",T)))-BD1("16"))*X4B("16",T)+ (HAp*(a23+b123*(1-R23**S4B("17",T)))-BD1("17"))*X4B("17",T)+ SUM(E, (HK(E)*(a25(E)+b125(E)*(1-R25(E)**S5B(E,T))) - BE1(E))*X5B(E,T))+ SUM(F, (HC(F)*(a26(F)+b126(F)*(1-R26(F)**S6B(F,T))) - BF1(F))*X6B(F,T))+ * Manfaat Bersih Lahan Sub-sub DAS Sumber Brantas (Juta Rp) (3*HPd*(a01+b101*(1-R01**S1S("1",T)))-BA2("1"))*X1S("1",T)+ (2*(HPd*(a01+b101*(1-R01**S1S("2",T)))+ HJg*(a05+b105*(1-R05**S1S("2",T))))-BA2("2"))*X1S("2",T)+ (2*(HPd*(a01+b101*(1-R01**S1S("3",T)))+ HKu*(a11+b111*(1-R11**S1S("3",T))))-BA2("3"))*X1S("3",T)+ (HTb*(a19+b119*(1-R19**S1S("4",T)))-BA2("4"))*X1S("4",T)+ (2*(HPd*(a02+b102*(1-R02**S2S("5",T)))+ HJg*(a06+b106*(1-R06**S2S("5",T))))-BB2("5"))*X2S("5",T)+
Lampiran 12. Lanjutan (2*(HPd*(a02+b102*(1-R02**S2S("6",T)))+ HKu*(a12+b112*(1-R12**S2S("6",T))))-BB2("6"))*X2S("6",T)+ (HTb*(a20+b120*(1-R20**S2S("7",T)))-BB2("7"))*X2S("7",T)+ (HJr*(a24+b124*(1-R24**S2S("8",T)))-BB2("8"))*X2S("8",T)+ (2*(HJg*(a07+b107*(1-R07**S3S("9",T)))+ HKu*(a13+b113*(1-R13**S3S("9",T))))-BC2("9"))*X3S("9",T)+ ((HPd*(a03+b103*(1-R03**S3S("10",T)))+ HJg*(a07+b107*(1-R07**S3S("10",T)))+ HKc*(a09+b109*(1-R09**S3S("10",T))))-BC2("10"))*X3S("10",T)+ ((HKn*(a15+b115*(1-R15**S3S("11",T))) + HWr*(a17+b117*(1-R17**S3S("11",T))))-BC2("11"))*X3S("11",T)+ (HTb*(a21+b121*(1-R21**S3S("12",T)))-BC2("12"))*X3S("12",T)+
(2*(HJg*(a08+b108*(1-R08**S4S("13",T)))+ HKu*(a13+b113*(1-R13**S4S("13",T))))-BD2("13"))*X4S("13",T)+ ((HPd*(a04+b104*(1-R04**S4S("14",T)))+HJg*(a08+b108*(1-R08**S4S("14",T)))+ HKc*(a10+b110*(1-R10**S4S("14",T))))-BD2("14"))*X4S("14",T)+ ((HKn*(a16+b116*(1-R16**S4S("15",T))) + HWr*(a18+b118*(1-R18**S4S("15",T))))-BD2("15"))*X4S("15",T)+ (HTb*(a22+b122*(1-R22**S4S("16",T)))-BD2("16"))*X4S("16",T)+ (HAp*(a23+b123*(1-R23**S4S("17",T)))-BD2("17"))*X4S("17",T)+ SUM(E, (HK(E)*(a25(E)+b125(E)*(1-R25(E)**S5S(E,T))) - BE2(E))*X5S(E,T))+ SUM(F, (HC(F)*(a26(F)+b126(F)*(1-R26(F)**S6s(F,T)))- BF2(F))*X6S(F,T))+ * Manfaat Bersih Lahan Sub-sub DAS Amprong (Juta Rp) (3*HPd*(a01+b101*(1-R01**S1A("1",T)))-BA3("1"))*X1A("1",T)+ (2*(HPd*(a01+b101*(1-R01**S1A("2",T)))+ HJg*(a05+b105*(1-R05**S1A("2",T))))-BA3("2"))*X1A("2",T)+ (2*(HPd*(a01+b101*(1-R01**S1A("3",T)))+ HKu*(a11+b111*(1-R11**S1A("3",T))))-BA3("3"))*X1A("3",T)+ (HTb*(a19+b119*(1-R19**S1A("4",T)))-BA3("4"))*X1A("4",T)+ (2*(HPd*(a02+b102*(1-R02**S2A("5",T)))+ HJg*(a06+b106*(1-R06**S2A("5",T))))-BB3("5"))*X2A("5",T)+ (2*(HPd*(a02+b102*(1-R02**S2A("6",T)))+ HKu*(a12+b112*(1-R12**S2A("6",T))))-BB3("6"))*X2A("6",T)+ (HTb*(a20+b120*(1-R20**S2A("7",T)))-BB3("7"))*X2A("7",T)+
Lampiran 12. Lanjutan (HJr*(a24+b124*(1-R24**S2A("8",T)))-BB3("8"))*X2A("8",T)+ (2*(HJg*(a07+b107*(1-R07**S3A("9",T)))+ HKu*(a13+b113*(1-R13**S3A("9",T))))-BC3("9"))*X3A("9",T)+ ((HPd*(a03+b103*(1-R03**S3A("10",T)))+ HJg*(a07+b107*(1-R07**S3A("10",T)))+ HKc*(a09+b109*(1-R09**S3A("10",T))))-BC3("10"))*X3A("10",T)+ ((HKn*(a15+b115*(1-R15**S3A("11",T))) + HWr*(a17+b117*(1-R17**S3A("11",T))))-BC3("11"))*X3A("11",T)+ (HTb*(a21+b121*(1-R21**S3A("12",T)))-BC3("12"))*X3A("12",T)+ (2*(HJg*(a08+b108*(1-R08**S4A("13",T)))+ HKu*(a13+b113*(1-R13**S4A("13",T))))-BD3("13"))*X4A("13",T)+ ((HPd*(a04+b104*(1-R04**S4A("14",T)))+HJg*(a08+b108*(1-R08**S4A("14",T)))+ HKc*(a09+b109*(1-R09**S4A("14",T))))-BD3("14"))*X4A("14",T)+
((HKn*(a16+b116*(1-R16**S4A("15",T))) + HWr*(a18+b118*(1-R18**S4A("15",T))))-BD3("15"))*X4A("15",T)+ (HTb*(a22+b122*(1-R22**S4A("16",T)))-BD3("16"))*X4A("16",T)+ (HAp*(a23+b123*(1-R23**S4A("17",T)))-BD3("17"))*X4A("17",T)+ SUM(E, (HK(E)*(a25(E)+b125(E)*(1-R25(E)**S5A(E,T))) - BE3(E))*X5A(E,T))+ SUM(F, (HC(F)*(a26(F)+b126(F)*(1-R26(F)**S6A(F,T))) - BF3(F))*X6A(F,T))+ * Manfaat Bersih Lahan Sub-sub DAS Lesti (Juta Rp) (3*HPd*(a01+b101*(1-R01**S1L("1",T)))-BA4("1"))*X1L("1",T)+ (2*(HPd*(a01+b101*(1-R01**S1L("2",T)))+ HJg*(a05+b105*(1-R05**S1L("2",T))))-BA4("2"))*X1L("2",T)+ (2*(HPd*(a01+b101*(1-R01**S1L("3",T)))+ HKu*(a11+b111*(1-R11**S1L("3",T))))-BA4("3"))*X1L("3",T)+ (HTb*(a19+b119*(1-R19**S1L("4",T)))-BA4("4"))*X1L("4",T)+ (2*(HPd*(a02+b102*(1-R02**S2L("5",T)))+ HJg*(a06+b106*(1-R06**S2L("5",T))))-BB4("5"))*X2L("5",T)+ (2*(HPd*(a02+b102*(1-R02**S2L("6",T)))+ HKu*(a12+b112*(1-R12**S2L("6",T))))-BB4("6"))*X2L("6",T)+ (HTb*(a20+b120*(1-R20**S2L("7",T)))-BB4("7"))*X2L("7",T)+ (HJr*(a24+b124*(1-R24**S2L("8",T)))-BB4("8"))*X2L("8",T)+ (2*(HJg*(a07+b107*(1-R07**S3L("9",T)))+ HKu*(a13+b113*(1-R13**S3L("9",T))))-BC4("9"))*X3L("9",T)+
Lampiran 12. Lanjutan ((HPd*(a03+b103*(1-R03**S3L("10",T)))+HJg*(a07+b107*(1-R07**S3L("10",T)))+ HKc*(a09+b109*(1-R09**S3L("10",T))))-BC4("10"))*X3L("10",T)+ ((HKn*(a15+b115*(1-R15**S3L("11",T))) + HWr*(a17+b117*(1-R17**S3L("11",T))))-BC4("11"))*X3L("11",T)+ (HTb*(a21+b121*(1-R21**S3L("12",T)))-BC4("12"))*X3L("12",T)+ (2*(HJg*(a08+b108*(1-R08**S4L("13",T)))+ HKu*(a13+b113*(1-R13**S4L("13",T))))-BD4("13"))*X4L("13",T)+ ((HPd*(a04+b104*(1-R04**S4L("14",T)))+ HJg*(a08+b108*(1-R08**S4L("14",T)))+ HKc*(a10+b110*(1-R10**S4L("14",T))))-BD4("14"))*X4L("14",T)+ ((HKn*(a16+b116*(1-R16**S4L("15",T))) + HWr*(a18+b118*(1-R18**S4L("15",T))))-BD4("15"))*X4L("15",T)+ (HTb*(a22+b122*(1-R22**S4L("16",T)))-BD4("16"))*X4L("16",T)+ (HAp*(a23+b123*(1-R23**S4L("17",T)))-BD4("17"))*X4L("17",T)+
SUM(E, (HK(E)*(a25(E)+b125(E)*(1-R25(E)**S5L(E,T)))BE4(E))*X5L(E,T))+ SUM(F, (HC(F)*(a26(F)+b126(F)*(1-R26(F)**S6L(F,T)))BF4(F))*X6L(F,T))+ * Manfaat Bersih Lahan Sub-sub DAS Metro (Juta Rp) (3*HPd*(a01+b101*(1-R01**S1M("1",T)))-BA5("1"))*X1M("1",T)+ (2*(HPd*(a01+b101*(1-R01**S1M("2",T)))+ HJg*(a05+b105*(1-R05**S1M("2",T))))-BA5("2"))*X1M("2",T)+ (2*(HPd*(a01+b101*(1-R01**S1M("3",T)))+ HKu*(a11+b111*(1-R11**S1M("3",T))))-BA5("3"))*X1M("3",T)+ (HTb*(a19+b119*(1-R19**S1M("4",T)))-BA5("4"))*X1M("4",T)+ (2*(HPd*(a02+b102*(1-R02**S2M("5",T)))+ HJg*(a06+b106*(1-R06**S2M("5",T))))-BB5("5"))*X2M("5",T)+ (2*(HPd*(a02+b102*(1-R02**S2M("6",T)))+ HKu*(a12+b112*(1-R12**S2M("6",T))))-BB5("6"))*X2M("6",T)+ (HTb*(a20+b120*(1-R20**S2M("7",T)))-BB5("7"))*X2M("7",T)+ (HJr*(a24+b124*(1-R24**S2M("8",T)))-BB5("8"))*X2M("8",T)+ (2*(HJg*(a07+b107*(1-R07**S3M("9",T)))+ HKu*(a13+b113*(1-R13**S3M("9",T))))-BC5("9"))*X3M("9",T)+ ((HPd*(a03+b103*(1-R03**S3M("10",T)))+HJg*(a07+b107*(1-R07**S3M("10",T)))+ HKc*(a09+b109*(1-R09**S3M("10",T))))-BC5("10"))*X3M("10",T)+
Lampiran 12. Lanjutan ((HKn*(a15+b115*(1-R15**S3M("11",T))) + HWr*(a17+b117*(1-R17**S3M("11",T))))-BC5("11"))*X3M("11",T)+ (HTb*(a21+b121*(1-R21**S3M("12",T)))-BC5("12"))*X3M("12",T)+ (2*(HJg*(a08+b108*(1-R08**S4M("13",T)))+ HKu*(a13+b113*(1-R13**S4M("13",T))))-BD5("13"))*X4M("13",T)+ ((HPd*(a04+b104*(1-R04**S4M("14",T)))+HJg*(a08+b108*(1-R08**S4M("14",T)))+ HKc*(a10+b110*(1-R10**S4M("14",T))))-BD5("14"))*X4M("14",T)+ ((HKn*(a16+b116*(1-R16**S4M("15",T))) + HWr*(a18+b118*(1-R18**S4M("15",T))))-BD5("15"))*X4M("15",T)+ (HTb*(a22+b122*(1-R22**S4M("16",T)))-BD5("16"))*X4M("16",T)+ (HAp*(a23+b123*(1-R23**S4M("17",T)))-BD5("17"))*X4M("17",T)+ SUM(E, (HK(E)*(a25(E)+b125(E)*(1-R25(E)**S5M(E,T))) - BE5(E))*X5M(E,T))+ SUM(F, (HC(F)*(a26(F)+b126(F)*(1-R26(F)**S6M(F,T))) - BF5(F))*X6M(F,T))+
* Manfaat Air Waduk Untuk Listrik (Juta Rp) 2*PE1*(1.22*Wo1(T))+ 3*PE2*(2.46*Wo2(T))+ * Manfaat Air Waduk Untuk Pengairan dan Industri (Juta Rp) 9.07*PI*Wo2(T)+ 0.65*PM*Wo2(T)* Biaya Sosial Pengerukan Sedimen Waduk Sengguruh (Juta Rp) BYPK*Vks1(T); * Maksimisasi fungsi tujuan (Juta Rp): ZZ..
OBJ =E= SUM(T, ROI(T)*MB(T-1))+ ROI("2020")*(PE2*0.0067*(Vsa2("2020")/CV2)+ ((Vsa2("2020")/CV2)*(0.2875*PI+0.0206*PM)));
* Kendala transisi ketebalan lapisan tanah pada wilayah (cm): * Sub-sub DAS Bango KS1B(A,T+1).. S1B(A,T+1) =E= S1B(A,T) – eA1(A)/FKL; KS2B(B,T+1).. S2B(B,T+1) =E= S2B(B,T) – eB1(B)/FKL; KS3B(C,T+1).. S3B(C,T+1) =E= S3B(C,T) – eC1(C)/FKL; KS4B(D,T+1).. S4B(D,T+1) =E= S4B(D,T) – eD1(D)/FKL; KS5B(E,T+1).. S5B(E,T+1) =E= S5B(E,T) – eE1(E)/FKL; KS6B(F,T+1).. S6B(F,T+1) =E= S6B(F,T) – eF1(F)/FKL; * Sub-sub DAS Sumber Brantas KS1S(A,T+1).. S1S(A,T+1) =E=S1S(A,T) – eA2(A)/FKL; KS2S(B,T+1).. S2S(B,T+1) =E=S2S(B,T) – eB2(B)/FKL;
Lampiran 12. Lanjutan KS3S(C,T+1).. KS4S(D,T+1).. KS5S(E,T+1).. KS6S(F,T+1)..
S3S(C,T+1) S4S(D,T+1) S5S(E,T+1) S6s(F,T+1)
=E=S3S(C,T) – eC2(C)/FKL; =E=S4S(D,T) – eD2(D)/FKL; =E= S5S(E,T) – eE2(E)/FKL; =E= S6S(F,T) – eF2(F)/FKL;
* Sub-sub DAS Amprong KS1A(A,T+1).. S1A(A,T+1) KS2A(B,T+1).. S2A(B,T+1) KS3A(C,T+1).. S3A(C,T+1) KS4A(D,T+1).. S4A(D,T+1) KS5A(E,T+1).. S5A(E,T+1) KS6A(F,T+1).. S6A(F,T+1)
=E=S1A(A,T) =E=S2A(B,T) =E=S3A(C,T) =E=S4A(D,T) =E=S5A(E,T) =E=S6A(F,T)
* Sub-sub DAS Lesti KS1L(A,T+1).. S1L(A,T+1) KS2L(B,T+1).. S2L(B,T+1) KS3L(C,T+1).. S3L(C,T+1) KS4L(D,T+1).. S4L(D,T+1) KS5L(E,T+1).. S5L(E,T+1) KS6L(F,T+1).. S6L(F,T+1)
=E= S1L(A,T) – eA4(A)/FKL; =E= S2L(B,T) – eB4(B)/FKL; =E= S3L(C,T) – eC4(C)/FKL; =E= S4L(D,T) – eD4(D)/FKL; =E= S5L(E,T) – eE4(E)/FKL; =E= S6L(F,T) – eF4(F)/FKL;
– eA3(A)/FKL; – eB3(B)/FKL; – eC3(C)/FKL; – eD3(D)/FKL; – eE3(E)/FKL; – eF3(F)/FKL;
* Sub-sub DAS Metro KS1M(A,T+1).. S1M(A,T+1) =E= S1M(A,T) – eA5(A)/FKL;
KS2M(B,T+1).. KS3M(C,T+1).. KS4M(D,T+1).. KS5M(E,T+1).. KS6M(F,T+1)..
S2M(B,T+1) =E= S2M(B,T) S3M(C,T+1) =E= S3M(C,T) S4M(D,T+1) =E= S4M(D,T) S5M(E,T+1) =E= S5M(E,T) S6M(F,T+1) =E= S6M(F,T)
– eB5(B)/FKL; – eC5(C)/FKL; – eD5(D)/FKL; – eE5(E)/FKL; – eF5(F)/FKL;
* Kendala keseimbangan air waduk tahunan * Volume sedimen dr wilayah Hulu Sengguruh PVas(T).. Vas(T) =E= KVS* (SUM(A,X1B(A,T)*SDR1*eA1(A))+ SUM(B,X2B(B,T)*SDR1*eB1(B))+ SUM(C,X3B(C,T)*SDR1*eC1(C))+ SUM(D,X4B(D,T)*SDR1*eD1(D))+ SUM(E,X5B(E,T)*SDR1*eE1(E))+ SUM(F,X6B(F,T)*SDR1*eF1(F))+ SUM(A,X1S(A,T)*SDR2*eA2(A))+ SUM(B,X2S(B,T)*SDR2*eB2(B))+ SUM(C,X3S(C,T)*SDR2*eC2(C))+ SUM(D,X4S(D,T)*SDR2*eD2(D))+ SUM(E,X5S(E,T)*SDR2*eE2(E))+ SUM(F,X6S(F,T)*SDR2*eF2(F))+ SUM(A,X1A(A,T)*SDR3*eA3(A))+ SUM(B,X2L(B,T)*SDR3*eB3(B))+ SUM(C,X3A(C,T)*SDR3*eC3(C))+ SUM(D,X4L(D,T)*SDR3*eD3(D))+ SUM(E,X5A(E,T)*SDR3*eE3(E))+ SUM(F,X6L(F,T)*SDR3*eF3(F))+ SUM(A,X1L(A,T)*SDR4*eA4(A))+ SUM(B,X2L(B,T)*SDR4*eB4(B))+ SUM(C,X3L(C,T)*SDR4*eC4(C))+ SUM(D,X4L(D,T)*SDR4*eD4(D))+ SUM(E,X5L(E,T)*SDR4*eE4(E))+ SUM(F,X6L(F,T)*SDR4*eF4(F)) + M1n(T));
Lampiran 12. Lanjutan
* Volume sedimen dr wilayah Sub-Sub DAS Metro PVmsM(T).. VmsM(T) =E= KVS* (SUM(A,X1M(A,T)*SDR5*eA5(A)) + SUM(B,X2M(B,T)*SDR5*eB5(B))+ SUM(C,X3M(C,T)*SDR5*eC5(C)) + SUM(D,X4M(D,T)*SDR5*eD5(D))+ SUM(E,X5M(E,T)*SDR5*eE5(E)) + SUM(F,X6M(F,T)*SDR5*eF5(F))+ M2n(T)); * Volume air masuk (inlow) ke Waduk Sengguruh PVma1(T).. Vma1(T) =E= DS1*(LS(T)+ SUM(A,X1B(A,T))+ SUM(B,X2B(B,T))+ SUM(C,X3B(C,T))+ SUM(D,X4B(D,T))+ SUM(E,X5B(E,T))+SUM(F,X6B(F,T)))+ DS2*(LS(T)+ SUM(A,X1S(A,T))+SUM(B,X2S(B,T))+ SUM(C,X3S(C,T))+ SUM(D,X4S(D,T))+ SUM(E,X5S(E,T))+SUM(F,X6S(F,T)))+ DS3*(LS(T)+ SUM(A,X1A(A,T))+SUM(B,X2A(B,T))+ SUM(C,X3A(C,T))+ SUM(D,X4A(D,T))+ SUM(E,X5A(E,T))+SUM(F,X6A(F,T)))+ DS4*(LL(T)+ SUM(A,X1L(A,T))+ SUM(B,X2L(B,T))+ SUM(C,X3L(C,T))+ SUM(D,X4L(D,T))+SUM(E,X5L(E,T))+ SUM(F,X6L(F,T)));
* Volume air dari Sub-Sub DAS Metro PVmaM(T)..
VmaM(T) =E= DS5*(LM(T) + SUM(A,X1M(A,T)) + SUM(B,X2M(B,T)) + SUM(C,X3M(C,T)) + SUM(D,X4M(D,T)) + SUM(E,X5M(E,T)) + SUM(F,X6M(F,T)));
* Keseimbangan waduk Sengguruh PVkp1(T+1).. Vkp1(T+1) =L= Vma1(T)-31.53*Wo1(T)+Vsa1(T)+ Vms1(T)-Vks1(T)+Vss1(T); PVms1(T)..
Vms1(T)
=E= 0.4*Vas(T);
KVss1(T+1).. Vss1(T+1) =E= Vss1(T)+Vms1(T)-Vks1(T); KVsa1(T)..
Vsa1(T)
=E= Vkp1(T)-Vss1(T);
* Keseimbangan waduk Sutami KVkp2(T+1).. Vkp2(T+1) =E= 31.53*Wo1(T)+VmaM(T)-31.53*Wo2(T)+ Vsa2(T)+Vms12(T)+0.98*VmsM(T)+Vss2(T); KVss2(T+1).. Vss2(T+1) =E= Vss2(T)+Vms12(T)+VmsM(T); PVms12(T)..
Vms12(T) =E= 0.56*Vas(T);
KVsa2(T)..
Vsa2(T)
PVsa2b(T)..
Vsa2b(T) =E= 90-Vss2(T);
=E= Vsa2a(T)+Vsa2b(T);
Lampiran 12. Lanjutan * Kendala luas lahan (Ha) pada: * Sub-sub DAS Bango KTL1B(T).. SUM(A,X1B(A,T)) KTL2B(T).. SUM(B,X2B(B,T)) KTL3B(T).. SUM(C,X3B(C,T)) KTL4B(T).. SUM(D,X4B(D,T)) KTL5B(T).. SUM(E,X5B(E,T)) KTL6B(T).. SUM(F,X6B(F,T))
=L= =L= =L= =L= =L= =L=
TL1B(T); TL2B(T); TL3B(T); TL4B(T); TL5B(T); TL6B(T);
* Sub-sub DAS Sumber Brantas KTL1S(T).. SUM(A,X1S(A,T)) KTL2S(T).. SUM(B,X2S(B,T)) KTL3S(T).. SUM(C,X3S(C,T)) KTL4S(T).. SUM(D,X4S(D,T)) KTL5S(T).. SUM(E,X5S(E,T)) KTL6S(T).. SUM(F,X6S(F,T))
=L= =L= =L= =L= =L= =L=
TL1S(T); TL2S(T); TL3S(T); TL4S(T); TL5S(T); TL6S(T);
* Sub-sub DAS Amprong KTL1A(T).. SUM(A,X1A(A,T)) KTL2A(T).. SUM(B,X2A(B,T)) KTL3A(T).. SUM(C,X3A(C,T)) KTL4A(T).. SUM(D,X4A(D,T)) KTL5A(T).. SUM(E,X5A(E,T)) KTL6A(T).. SUM(F,X6A(F,T))
=L= =L= =L= =L= =L= =L=
TL1A(T); TL2A(T); TL3A(T); TL4A(T); TL5A(T); TL6A(T);
* Sub-sub DAS Lesti
KTL1L(T).. KTL2L(T).. KTL3L(T).. KTL4L(T).. KTL5L(T).. KTL6L(T)..
SUM(A,X1L(A,T)) SUM(B,X2L(B,T)) SUM(C,X3L(C,T)) SUM(D,X4L(D,T)) SUM(E,X5L(E,T)) SUM(F,X6L(F,T))
=L= =L= =L= =L= =L= =L=
TL1L(T); TL2L(T); TL3L(T); TL4L(T); TL5L(T); TL6L(T);
* Sub-sub DAS Metro KTL1M(T).. SUM(A,X1M(A,T)) =L= KTL2M(T).. SUM(B,X2M(B,T)) =L= KTL3M(T).. SUM(C,X3M(C,T)) =L= KTL4M(T).. SUM(D,X4M(D,T)) =L= KTL5M(T).. SUM(E,X5M(E,T)) =L= KTL6M(T).. SUM(F,X6M(F,T)) =L=
TL1M(T); TL2M(T); TL3M(T); TL4M(T); TL5M(T); TL6M(T);
* Kendala ketebalan lapisan awal (cm) pada: * Sub-sub DAS Bango S1B.FX(A,"2003") = 89.65; S2B.FX(B,"2003") S3B.FX(C,"2003") = 89.65; S4B.FX(D,"2003") S5B.FX(E,"2003") = 89.65; S6B.FX(F,"2003")
= 89.65; = 89.65; = 89.65;
* Sub-sub DAS Sumber Brantas S1S.FX(A,"2003") = 87.04; S3S.FX(C,"2003") = 87.04; S5S.FX(E,"2003") = 87.04;
S2S.FX(B,"2003") S4S.FX(D,"2003") S6s.FX(F,"2003")
= 87.04; = 87.04; = 87.04;
S2A.FX(B,"2003") S4A.FX(D,"2003") S6A.FX(F,"2003")
= 89.25; = 89.25; = 89.25;
S2L.FX(B,"2003") S4L.FX(D,"2003") S6L.FX(F,"2003")
= 86.46; = 86.46; = 86.46;
Lampiran 12. Lanjutan * Sub-sub DAS Amprong S1A.FX(A,"2003") = 89.25; S3A.FX(C,"2003") = 89.25; S5A.FX(E,"2003") = 89.25; * Sub-sub DAS Lesti S1L.FX(A,"2003") = 86.46; S3L.FX(C,"2003") = 86.46; S5L.FX(E,"2003") = 86.46; * Sub-sub DAS Metro S1M.FX(A,"2003") = 84.84; S3M.FX(C,"2003") = 84.84; S5M.FX(E,"2003") = 84.84;
S2M.FX(B,"2003") = 84.84; S4M.FX(D,"2003") = 84.84; S6M.FX(F,"2003") = 84.84;
* Batas terbawah & teratas volume air & sedimen tersimpan (juta m3) Wo1.LO(T) = 19.90; Wo1.UP(T) = 91.50; Wo2.UP(T) = 51.39; Vss1.FX("2003") = 0.32; Vsa1.FX("2003") Vss2.FX("2003") Vss2.UP(T) Vsa2a.FX(T) Vsa2b.FX("2003")
= 2.00; = 60.51; = 90.00; = 146.12; = 29.00;
* SOLUTION MODEL MODELAKHIR /ALL/;
OPTION DECIMALS=4; MODELAKHIR.ITERLIM=8000; OPTION NLP = MINOS5; MODELAKHIR.OPTFILE=1; SOLVE MODELAKHIR USING NLP MAXIMIZING OBJ;