PERENCANAAN GOLONGAN PEMBERIAN AIR UNTUK OPTIMISASI PENYALURAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI JATILUHUR MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIK
GANI SOEHADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
ABSTRACT GANI SOEHADI. The Planning of Block System for Optimizing the Distribution of Irrigation Water in Jatiluhur Irrigation Area by using Genetic Algorithm. Supervised by BAMBANG PRAMUDYA, SETYO PERTIWI dan ERIZAL. The first objective of this research is to obtain a model for optimizing block irrigation as a part of irrigation management. The result is SIMPERA model which can be used in the planning of block irrigation system for irrigating paddy and non-paddy fields. The determination of block irrigation system is influenced by several type of inputs, namely spatial parameters (positions, distances and areas) of tertiary fields from water resources, environment parameters (rain, water availability and soil physics), production cost (machinery, seeds and fertilizer) and labours. Fields areas of each block in planting season were predicted based on historical data of paddy fields areas. The result was then used for allocating tertiary fields on each block as a base for optimizing block areas by utilizing Genetic Algorithm to obtain maximum profit for the irrigation area. Calculation of irrigation water requirement (I) showed that four simulation scenarios (S1, S2, S3 and S4) can save irrigation water compared to scenario based on existing planting pattern (S0). S1 gave about 45% saving, S2 is about 17%, S3 is about 43% and S4 gave about 35% saving on water irrigation requirement compared to S0. Optimization results showed that S1, S2, S3 and S4 are more profitable than S0. S0’s profit was Rp. 2.700.000 per ha per year on average. S1 gave the largest additional profit which was Rp.1.300.000 per ha per year, while S2 gave the least one which was Rp.100.000 per ha per year. This research used Genetic Algorithm’s operators namely elitist selection, uniform crossover and reciprocal exchange mutation. Crossover probability was 0,5 and mutation probability was 0,05. Optimization stopped when the maximum profit unchanged for the last five consecutive iterations. The second objective of this research is to obtain rotation irrigation model to substitute block irrigation system when water availability is less than water irrigation requirement. Durations of rotational irrigation and irrigation intervals are then calculated. Result showed that the area and distance of tertiary fields to water resources give influences on water losses along canals during distribution of water and in turn causes changes in the duration of existing rotation irrigation. On average, the durations of rotation irrigation in upland lowland fields on Jun1 were 47,2 hours and 61,2 hours respectively for each tertiary field. While in Agt2, the duration of rotation irrigation in upland and lowland fields were 59,7 and 79,1 hours respectively for each tertiary fields. The growth stage of plants influences the duration of interval irrigation, because the larger water irrigation requirement, the faster interval irrigation is. The duration of interval irrigation in upland fields on Jun1 and Agt2 were 190,4 and 166,8 hours respectively for each tertiary fields.
ABSTRAK GANI SOEHADI. Perencanaan Golongan Pemberian Air Untuk Optimisasi Penyaluran Air Irigasi di Daerah Irigasi Jatiluhur Dengan Menggunakan Algoritma Genetik. Dibimbing oleh BAMBANG PRAMUDYA, SETYO PERTIWI dan ERIZAL. Tujuan pertama dari penelitian adalah untuk mendapatkan rekayasa model optimisasi golongan pemberian air sebagai bagian dari manajemen irigasi. Untuk itu disusun model SIMPERA, yang dapat digunakan dalam perencanaan pokok sistem irigasi golongan untuk tanaman padi dan palawija. Penentuan golongan pemberian air dipengaruhi oleh beberapa jenis masukan, yaitu spasial (posisi, jarak dan luas) petak tersier terhadap sumber air, lingkungan (curah hujan, debit dan fisika tanah), biaya produksi (mesin dan sarana produksi pertanian) dan tenaga kerja. Berdasarkan data luas tanam terdahulu dilakukan pendugaan luas tanam setiap golongan pada setiap musim tanam. Dari hasil pendugaan luas tanam dan masukan lainnya, ditentukan alokasi petak tersier pada setiap golongan sebagai dasar optimisasi luas golongan menggunakan Algoritma Genetik untuk mendapatkan keuntungan wilayah yang maksimum. Hasil perhitungan kebutuhan air irigasi (I) menunjukkan ke empat skenario simulasi (S1, S2, S3 dan S4) dapat menghemat pemberian air irigasi dibandingkan dengan skenario didasarkan pada pola umum musim tanam yang berlaku saat ini (S0). S1 memberikan penghematan sebesar 45%, S2 sebesar 17%, S3 sebesar 43% dan S4 sebesar 35% bila dibandingkan dengan S0. Hasil optimisasi menunjukkan keuntungan dari S1, S2, S3 dan S4 lebih besar dari keuntungan dengan pola tanam S0. Rata-rata keuntungan S0 adalah Rp 2 700 000 per ha per tahun. S1 memberikan selisih keuntungan terbesar terhadap S0 yaitu Rp 1 300 000 per ha per tahun, sedangkan S2 memberikan selisih keuntungan terkecil yaitu Rp 100 000 per ha per tahun. Operator Algoritma Genetik yang dipergunakan meliputi seleksi elitist, reproduksi (crossover) teknik uniform, dan mutasi reciprocal exchange untuk operator mutasi. Nilai probabilitas crossover sebesar 0,5 dan mutasi sebesar 0,05. Optimisasi dihentikan bila nilai keuntungan maksimum tidak mengalami perubahan dalam lima generasi berturut-turut. Tujuan kedua dari penelitian adalah mendapatkan rekayasa model sistem irigasi rotasi untuk menggantikan sistem irigasi golongan bila ketersediaan air kurang dari kebutuhan irigasi. Hasil penelitian menunjukkan, luas dan jarak petak tersier ke sumber air berpengaruh terhadap kehilangan air selama penyaluran dan pada gilirannya menyebabkan perubahan standar waktu irigasi rotasi. Durasi rata-rata irigasi rotasi di bagian hulu dan hilir pada periode Jun1 adalah 47,2 jam dan 61,2 jam per petak tersier. Durasi rata-rata irigasi rotasi di bagian hulu dan hilir pada periode Agt2 adalah 59,7 jam dan 79,1 jam per petak tersier. Umur tanaman berpengaruh terhadap durasi antar irigasi, karena semakin besar kebutuhan air irigasi, semakin cepat pula durasi antar irigasinya. Durasi antar irigasi di bagian hulu pada periode Jun1 adalah 190,4 jam per petak tersier, sedangkan untuk bagian hulu pada periode Agt2 adalah 166,8 jam per petak tersier.
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perencanaan Golongan Pemberian Air Untuk Optimisasi Penyaluran Air Irigasi Di Daerah Irigasi Jatiluhur Menggunakan Algoritma Genetik adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Oktober 2005
Gani Soehadi NIM 995105
PERENCANAAN GOLONGAN PEMBERIAN AIR UNTUK OPTIMISASI PENYALURAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI JATILUHUR MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIK
GANI SOEHADI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Keteknikan Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Disertasi : Perencanaan
Golongan Pemberian Air Untuk Optimisasi
Penyaluran Air Irigasi Di Daerah Irigasi Jatiluhur Dengan Menggunakan Algoritma Genetik Nama
: Gani Soehad i
NIM
: 995105
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng. Ketua
Dr. Ir. Erizal, M.Agr. Anggota
Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M.Agr. Anggota
Diketahui
Ketua Departemen Keteknikan Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 23 September 1966 dari ayah Soehadi dan ibu Endang Tyastoeti sebagai putra pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknologi Industri ITS, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1996, penulis diterima di program Master of Information Science pada Department of Computer and Software Engineering UNSW Sydney dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian IPB diperoleh pada tahun 1999. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Penulis bekerja sebagai peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sejak tahun 1994 dan ditempatkan di Jakarta. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti ialah pengkajian kebijakan difusi teknologi.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak September 2003 ini ialah irigasi, dengan judul Perencanaan Golo ngan Pemberian Air Untuk Optimisasi Penyaluran Air Irigasi Di Daerah Irigasi Jatiluhur Menggunakan Algoritma Genetik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya M.Eng, Ibu Dr. Ir. Setyo Pertiwi M.Agr, dan Bapak Dr. Ir. Erizal M.Agr selaku komisi pembimbing. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. I Wayan Astika M.Agr dan Bapak Dr. Ir. Darmadi SU selaku penguji luar komisi. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pimpinan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi atas bantuan yang diberikan selama pendidikan, serta Bapak Endang Kamil dan Bapak Muradih dari Perum Jasa Tirta II Seksi Lemahabang yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada isteri penulis Diah Handayani, bapak, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2005
Gani Soehadi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………...
ix
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………..
xi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………..
xiv
PENDAHULUAN ………………………………………………………..
1
TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Sistem ……………………………………………….. Kebutuhan Air Tanaman …………………………………………. Pemenuhan Kebutuhan Air Tanaman ……………………………. Sistem Irigasi …………………………………………………….. Curah Hujan ………………………………………………………. Efisiensi Irigasi …………………………………………………… Kebutuhan Air Irigasi …………………………………………….. Sistem Irigasi Rotasi ……………………………………………… Budidaya Padi dan Palawija ……………………………………… Optimisasi …………………………………………………………
10 12 19 19 24 34 37 37 44 46
ALGORITMA GENETIK Kromosom ………………………………………………………... Representasi ………………………………………………………. Operator …………………………………………………………... Parameter Operator ………………………………………………. Tahapan Algoritma Genetik ……………………………………… Pembentukan Populasi B aru ……………………………………… Pengujian Teknik Operator ………………………………………..
53 53 55 63 65 66 67
METODE Pendekatan Sistem ………………………………………………... Analisis Kebutuhan ………………………………………………. Formulasi Masalah ……………………………………………….. Identifikasi Sistem ……………………………………………….. Pengambilan Data ………………………………………………… Model Optimisasi Pemberian Air Irigasi …………………………. Skenario Analisis ………………………………………………….
68 70 72 73 78 80 100
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian ………………………………. Hasil Pengujian Teknik Operator ………………………………… Hasil Optimisasi ………………………………………………….. Perhitungan Kebutuhan Air Irigasi ………………………………..
101 115 121 123
vii
Halaman Analisis Hasil Simulasi Golongan ………………………………... Alternatif Sistem Irigasi Rotasi …………………………………... Sistem Pendukung Keputusan ……………………………………. Pertimbangan Pada Perencanaan SIMPERA ……………………... Rancang Bangun Model ………………………………………….. Operasionalisasi Program SIMPERA …………………………….. Tampilan Program SIMPERA …………………………………….
135 142 158 162 163 174 178
SIMPULAN ……………………………………………………………….
194
SARAN ……………………………………………………………………
195
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
196
LAMPIRAN ………………………………………………………………
203
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Golongan petak tersier (rendeng) sebelum dioptimisasi…………………
203
2 Hasil optimisasi Skenario 1 untuk musim rendeng………………………
207
3 Spesifikasi irigasi rotasi bagian hulu periode Jun1 …………………….
211
4 Spesifikasi irigasi rotasi bagian hilir periode Jun1 ……………………..
212
5 Spesifikasi irigasi rotasi bagian hulu periode Agt1 ……………………..
213
6 Spesifikasi irigasi rotasi bagian hilir periode Agt2 ……………………...
214
7 Alokasi waktu pola tanam untuk setiap skenario ………………………..
215
8 Grafik faktor tanaman (Kc) terhadap usia tanaman ……………………..
218
9 Kode sumber SIMPERA ………………………………………………...
219
DAFTAR TABEL Halaman 1 Indikasi kebutuhan air oleh tanaman d alam berbagai kondisi iklim ……..
13
2 Nilai Kc untuk tanaman padi …………………………………………….
16
3 Nilai Kc untuk tanaman palawija ………………………………………...
16
4 Koefisien tanaman palawija ……………………………………………...
17
5 Hubungan tekstur, kemiringan dan perkolasi ……………………………
19
6 Kelas fisiografik lahan …………………………………………………...
19
7 Pengaruh iklim terhadap kebutuhan air tanaman ………………………...
25
8 Hujan efektif (RE) ………………………………………………………..
33
9 Nilai indikasi efisiensi penyaluran dengan tingkat pemeliharaan baik …..
35
10 Nilai indikasi dari efisiensi pemberian air (Ea) …………………………
36
11 Harga efisiensi untuk tanaman palawija ………………………………...
36
12 Peningkatan keb utuhan tenaga kerja pada produksi beras ………………
45
13 Kebutuhan tenaga kerja pada produksi palawija ………………………..
45
14 Kelas jarak pintu air tersier ke sumber beserta nilainya ………………...
88
15 Penilaian waktu panen untuk petak tersier ………………………………
89
16 P enilaian tingkat ketersediaan saprodi untuk p etak tersier ……………...
90
17 Penilaian tingkat ketersediaan tenaga kerja di daerah irigasi …………...
91
18 Penilaian ketersediaan layanan jasa traktor di daerah irigasi ……………
92
19 Skenario pengujian model optimisasi …………………………………...
99
20 Daerah irigasi yang termasuk wilayah otoritas PJT II …………………..
101
21 Nilai perkolasi pada setiap tahap pertumbuhan tanaman padi …………..
102
22 Nilai pengujian probabilitas mutasi ……………………………………..
117
23 Pengujian teknik crossover ……………………………………………...
118
24 Pengujian teknik seleksi …………………………………………………
119
25 Pengujian teknik mutasi …………………………………………………
120
26 Data luas golongan ………………………………………………………
121
27 Peluang kejadian relatif dan peluang kumulatif dari luas golongan …….
122
28 Nilai awal luas golongan dari hasil inisialisasi ………………………….
123
29 Nilai ETo di wilayah Pengamat Irigasi Cikarang ……………………….
124
ix
Halaman 30 Debit air tersedia di Bendung Cibeet ……………………………………
124
31 Kebutuhan air irigasi menggunakan Skenario 0 ………………………...
125
32 Kebutuhan air irigasi menggunakan S kenario 1 ………………………...
127
33 Kebutuhan air irigasi menggunakan S kenario 2 ………………………...
128
34 Kebutuhan air irigasi menggunakan S kenario 3 ………………………...
130
35 Kebutuhan air irigasi menggunakan Skenario 4 ………………………...
131
36 Hasil simulasi o ptimisasi dan perhitungan keuntungan tiap skenario …..
141
37 Detil jenis masukan proses perencanaan irigasi rotasi …………………..
144
38 Detil proses perencanaan irigasi rotasi ………………………………….
144
39 Pembagian daerah irigasi ………………………………………………..
145
40 File-file yang digunakan dalam Basisdata Irigasi ……………………….
164
41 Spesifikasi perangkat keras dan perangkat lunak ……………………….
177
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Jarak dari inlet tersier ……………………………………………………
20
2 Plot distribusi normal dengan berbagai macam variasi σ ………….……
28
3 Plot distribusi log-normal dengan beberapa nilai standar deviasi ………
29
4 Plot kurva d ata pengamatan ……………………………………………..
31
5 Simpanan genangan air pada padi sawah ………………………………..
43
6 Penentuan durasi antar irigasi untuk tanaman padi ……………………..
44
7 Ruang pencarian …………………………………………………………
46
8 Pengkodean kromosom ………………………………………………….
56
9 Diagram alir seleksi roulette-wheel ……………………………………..
59
10 Ilustrasi crossover 1-point untuk bilangan biner ……………………….
60
11 Kromosom parent untuk ilustrasi crossover 1 -point …………………..
61
12 Kromosom child yang dihasilkan dari crossover 1-point ………………
61
13 Ilustrasi teknik crossover modifikasi …………………………………...
62
14 Ilustrasi metode crossover 1-point menghasilkan kromosom child …….
62
15 Kromosom parent untuk ilustrasi crossover uniform …………………..
63
16 Kromosom child yang dihasilkan dari crossover uniform ……………...
63
17 Ilustrasi proses mutasi …………………………………………………..
64
18 Ilustrasi mutasi reciprocal exchange …………………………………...
64
19 Ilustrasi mutasi creep …………………………………………………...
65
20 Ilustrasi mutasi acak …………………………………………………….
65
21 Tahapan kerja dalam pendekatan sistem ………………………………..
71
22 Diagram sebab akibat optimisasi pemberian air irigasi ………………...
76
23 Diagram masukan keluaran optimisasi pemberian air irigasi …………..
77
24 Wilayah Pengamat Irigasi Cikarang Perum Jasa Tirta II ……………….
79
25 Struktur model optimisasi pemberian air irigasi …………………….….
80
26 Tahapan Algoritma Genetik untuk optimisasi golongan ……………….
81
27 Contoh representasi kromosom P&P …………………………………...
85
28 Prosedur algoritma greedy untuk penentuan golongan …………………
88
29 Struktur organisasi Perum Jasa Tirta II ………………………………… 106
xi
Halaman 30 Manajemen Sistem Irigasi ………………………………………………
107
31 Parameter Temporal-Spasial pada perencanaan strategi pelayanan irigasi ……………………………………………………………………
109
32 Sistem dan mekanisme penentuan kebutuhan air irigasi di Jatiluhur …..
112
33 Struktur organisasi formal kelembagaan irigasi ………………………..
113
34 Perbandingan ETc + P terhadap RE untuk Skenario 1 di Golongan II ...
133
35 Perbandingan kebutuhan air irigasi untuk setiap skenario ……………..
133
36 Konfigurasi petak tersier berdasarkan Skenario 0 ……………………..
136
37 Konfigurasi petak tersier berdasarkan Skenario 1 ……………………..
136
38 Hasil keuntungan dengan menggunakan Skenario 1 …………………..
138
39 Hasil keuntungan dengan menggunakan Skenario 2 …………………..
138
40 Hasil keuntungan dengan menggunakan Skenario 3 …………………..
139
41 Hasil keuntungan dengan menggunakan Skenario 4 …………………..
140
42 Struktur proses perencanaan irigasi rotasi ……………………………...
143
43 Durasi konvensional dan durasi irigasi SS Sukatani ……………………
148
44 Durasi konvensional dan durasi irigasi SS Rengasbendung…………….
149
45 Durasi konvensional dan durasi irigasi SS Rawakuda …………………
150
46 Durasi konvensional dan durasi irigasi SS Gelonggong ……………….
152
47 Durasi konvensional dan duras i irigasi SS Kahuripan …………………
153
48 Durasi konvensional dan durasi irigasi SS Kb Lompong ………………
153
49 Durasi konvensional dan durasi irigasi SS Kendayakan ……………….
155
50 Durasi konvensional dan durasi irigasi SS Kalenderwak ………………
156
51 Durasi konvensional dan durasi irigasi SS Lemahabang ……………….
157
52 Konfigurasi model SIMPERA ………………………………………….
161
53 Struktur menu SIMPERA ………………………………………………
170
54 Rencana operasional SPK SIMPERA …………………………………..
173
55 Arsitektur jaringan komputer SPK SIMPERA …………………………
175
56 Diagram alir model SIMPERA …………………………………………
176
57 Tampilan judul SIMPERA ……………………………………………..
178
58 Tampilan menu utama SIMPERA ……………………………………...
179
59 Memilih submenu Pilih Database ………………………………………
179
xii
Halaman 60 Pesan konfirmasi pemilihan basisdata IRIGASI ……………………….
180
61 Pemilihan submenu Isi Musim Tanam …………………………………
180
62 Pengisian Tahun Musim Tanam ………………………………………..
181
63 Pemilihan submenu Isi Data Lahan …………………………………….
181
64 Pemilihan informasi wilayah …………………………………………...
182
65 Tampilan untuk memasukkan data rencana tanam …………………….
182
66 Tampilan rencana tanam ……………………………………………….
183
67 Pemasukkan atau menampilkan data tanah dan iklim ………………….
183
68 Pemasukan atau menampilkan data pemilik lahan ……………………..
184
69 Pemasukan atau menampilkan data Perkolasi/Efisiensi ………………..
184
70 Pemasukan atau melihat data iklim dan curah hujan …………………...
185
71 Tampilan untuk memilih submenu Isi Data Tanaman………………….
185
72 Pemasukan atau melihat data tanaman …………………………………
186
73 Tampilan untuk memilih submenu Penen tuan Golongan ………………
186
74 Hasil simulasi proses optimisasi penentuan golongan ………………….
187
75 Tampilan hasil proses optimisasi penentuan golongan …………………
187
76 Tampilan hasil penentuan golongan menggunakan SIG ……………….
188
77 Pilihan untuk menampilkan kebutuhan air irigasi ……………………...
188
78 Tampilan Kebutuhan Air Irigasi untuk setiap petak tersier ……………
189
79 Pilihan submenu Estimasi Produksi ……………………………………
189
80 Tampilan Estimasi Produksi untuk setiap periode per petak tersier ……
190
81 Pilihan submenu Irigasi Rotasi …………………………………………
190
82 Proses perhitungan irigasi rotasi ………………………………………..
191
83 Pemilihan submenu Irigasi Rotasi dari menu Display ………………….
191
84 Pilihan untuk menampilkan hasil perhitungan irigasi rotasi ……………
192
85 Tampilan hasil perhitungan irigasi rotasi ………………………………
193
86 Mengakhiri program SIMPERA ……………………………………….
194
xiii
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Pada tahun 1960, Indonesia mengimpor beras sebanyak 0,6 juta ton. Impor beras mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya dan mencapai puncaknya pada tahun 1980 yang mencapai 2 juta ton. Setelah itu impor beras mulai menurun pada tahun 1981 sampai dengan 1984. Usaha untuk menuju swasembada beras telah lama dilakukan. Pemerintah mencanangkan program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) antara lain di bidang pertanian untuk mendukung program pangan nasional. Sejak Pelita I (1969/1970), produksi beras mengalami peningkatan. Saat Pelita I dimulai, produksi beras Indonesia baru mencapai 11,67 juta ton dengan produktivitas 1,45 ton ha -1. Dengan usaha keras, swasembada pangan tercapai pada tahun 1984, dimana kebutuhan beras dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri yang mencapai 25,84 juta ton dan produktivitasnya hampir dua kali lipat produktivitas tahun 1969, yaitu 2,68 ton beras ha -1. Produksi beras nasional meningkat terus dan pada tahun 1990 mencapai 45,18 juta ton gabah kering giling atau setara dengan 29 juta ton beras Salah satu daerah penghasil beras di Indonesia adalah di sepanjang pantai utara propinsi Jawa Barat, terutama di daerah irigasi Jatiluhur. Pada tahun 2002, produktivitas gabah kering giling di daerah tersebut mencapai 4,5 sampai 5 juta ton ha -1 dengan luas tanam padi mencapai sekitar 230.000 hektar. Produktivitas tersebut dicapai melalui penerapan dan inovasi teknologi yang dikembangkan pemerintah, misalnya penggunaan benih unggul, pengendalian organisme pengganggu, dan pengolahan tanah Selain itu, saluran irigasi teknis yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II juga merupakan faktor penting dalam peningkatan produktivitas beras di daerah irigasi Jatiluhur. Untuk mengelola jaringan irigasi, Perum Jasa Tirta dibagi menjadi 3 divisi, yaitu Barat, Utara dan Timur. Divisi Barat berkantor di Bekasi yang terbagi menjadi beberapa seksi, salah satunya adalah Seksi Lemahabang. Masing-masing Seksi dibagi lagi menjadi beberapa Pengamat Irigasi. Salah satu Pengamat Irigasi di bawah Seksi Lemahabang, yaitu Pengamat Irigasi Cikarang merupakan suatu unit
2
kerja yang cukup besar, mempunyai bendung sendiri dan mengelola jaringan irigasi untuk lahan persawahan seluas ± 10 000 hektar. Dalam penyediaan dan penyaluran air serta pemeliharaan sistem irigasi di daerah irigasi Jatiluhur terdapat permasalahan teknis maupun non teknis. Permasalahan teknis yang timbul dalam penyediaan irigasi adalah air sebagai sumberdaya yang vital semakin langka dan semakin terbatas ketersediaannya, sementara kebutuhan air untuk sektor pertanian dan non-pertanian semakin meningkat. Apalagi pada musim kemarau, persediaan air berkurang mengakibatkan suplai air irigasi ke areal pertanaman juga berkurang. Permasalahan teknis lainnya adalah timbulnya kerusakan-kerusakan di daerah aliran sungai, pencemaran yang terjadi
pencemaran-
pada sumber irigasi dan menciutnya areal sawah
beririgasi. Hal tersebut disebabkan perubahan fungsi lahan yang semula adalah lahan pertanian menjadi lahan industri. Pawitan (1997) menyatakan makin berkurangnya penyediaan air untuk sektor pertanian disebabkan pemakaian air untuk sektor industri yang makin bertambah. Hingga tahun 2020, diperkirakan kebutuhan air untuk industri akan meningkat tiga kali lipat dari kebutuhan tahun 1990, atau meningkat menjadi 43-56 m3/detik (Rachman 1999). Selain
permasalahan
teknis
pada
jaringan
irigasi,
terdapat
juga
permasalahan non teknis yaitu tanggung jawab pengelolaan jaringan irigasi terutama pada saluran tersier. Menurut Sinotech (1978), peranan kelompok petani pemakai air irigasi dalam pemeliharaan saluran irigasi masih lemah. Selain itu, berkurangnya minat pemuda untuk bekerja sebagai petani juga berpengaruh pada penyediaan tenaga kerja dalam proses produksi padi (Prasetyo 2002) Pada tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 210.000.000 jiwa lebih (Prasetyo 2002). Dengan tingkat laju pertambahan penduduk seperti sekarang, diperkirakan jumlah populasi penduduk akan makin bertambah besar sehingga diproyeksikan lahan pertanian akan semakin menyempit. Dengan makin bertambahnya jumlah penduduk, diperkirakan juga tingkat permintaan terhadap produk pertanian baik beras maupun palawija akan bertambah. Permasalahan ini menuntut manajemen irigasi yang baik dan terpadu dalam mengintensifkan budidaya padi dan palawija agar produktivitas lahan meningkat.
3
Salah satu usaha pra panen yang dapat dilakukan untuk pengaturan alokasi air adalah dengan melakukan pergiliran pembagian air. Lahan persawahan di DI Jatiluhur dibagi menjadi beberapa golongan dimana seluruh petak pertanaman dalam satu golongan mendapatkan jatah air yang sama sesuai dengan kegiatan produksi. Pembagian tersebut diputuskan dalam rapat panitia irigasi yang terdiri dari Perum Jasa Tirta II, Dinas Pertanian, Dinas Pengairan dan wakil petani. Sebelum tahun 1996, panitia irigasi telah mencoba beberapa konfigurasi pembagian air, yaitu 3 golongan, 4 golongan, 5 golongan, 6 golongan dan 7 golongan. Saat konfigurasi 3 golongan ditetapkan, ternyata banyak petani yang tidak dapat mengikuti jadwal penanaman tersebut. Pada penggunaan konfigurasi 5 golongan, 6 golongan atau 7 golongan terjadi banyak pemborosan air irigasi. Setelah melalui berbagai pendekatan kepada petani, sejak tahun 1996, panitia irigasi membagi daerah irigasi Jatiluhur menjadi 4 golongan. Hal tersebut didasarkan pada kesiapan petani untuk memulai musim tanam dan ketersediaan air irigasi dimana konfigurasi 4 golongan cukup sesuai dengan situasi yang ada di lapangan. Dengan diberlakukannya sistem tersebut, semua petak pertanaman dalam satu golongan harus melakukan kegiatan produksi yang sama. Saat ini proses penyusunan rencana tanam di daerah irigasi Jatiluhur dilakukan pada pertemuan para stakeholder yang tergabung dalam Panitia Irigasi tingkat desa. Para stakeholder tersebut adalah pihak petani diwakili oleh P3A, Dinas Pertanian dari Kantor Kecamatan terkait dan Ulu-ulu. Pada pertemuan ini, pengurus P3A menyampaikan kesiapan petani yang menjadi anggotanya untuk memulai musim tanam. Materi yang disampaikan adalah jenis tanaman yang akan dibudidayakan, luas lahan budidaya, waktu mulai tanam, jumlah sarana produksi pertanian dan tenaga kerja yang dibutuhkan serta permintaan mengenai pengaliran air irigasi di petak persawahannya. Pihak Dinas Pertanian dalam hal ini penyuluh pertanian menyampaikan saran mengenai jenis tanaman yang sebaiknya dibudidayakan dan cara-cara melakukan budidaya yang benar. Sementara itu ulu-ulu akan melakukan perhitungan mengenai berapa banyak air irigasi yang dibutuhkan untuk mengairi daerah persawahan di desa tersebut dan melakukan penetapan sementara mengenai jadwal pembagian air dari masing-masing petak tersier.
4
Pada rapat panitia irigasi, setelah semua data yang dibutuhkan terkumpul akan dilakukan rekapitulasi rencana musim tanam untuk desa tersebut. Berdasarkan rekapitulasi tersebut kemudian laporan rencana musim tanam dibuat dan dikirimkan ke kecamatan. Pada tingkat kecamatan, laporan rencana tanam dari seluruh desa di kecamatan tersebut akan dievaluasi oleh panitia irigasi tingkat kecamatan yang terdiri dari Camat sebagai ketua panitia, Kepala Cabang Dinas Pertanian, Koordinator Penyuluh Pertanian dan Pengamat Irigasi dari Perum Jasa Tirta II sebagai sekretaris. Panitia irigasi tingkat kecamatan akan
mengkoordinasikan
mengenai kesiapan musim tanam dari masing-masing desa dan mengkonfirmasikan luas lahan yang akan ditanami pada masing-masing petak tersier dari setiap desa. Pada panitia irigasi tingkat kecamatan inilah akan dicapai keputusan menyangkut luas lahan dari masing-masing petak tersier dan golongan dari petak tersier tersebut. Setelah itu kemudian dibuat laporan rekapitulasi musim tanam dari seluruh kecamatan dan dikirimkan ke seksi pengairan dari Perum Jasa Tirta II. Seksi pengairan akan merekapitulasi seluruh laporan rencana musim tanam dari seluruh kecamatan dan melaporkannya ke panitia irigasi tingkat kabupaten yang terdiri dari bupati sebagai ketua, kepala divisi dari Perum Jasa Tirta II, Dinas Pertanian dan Dinas Pengairan. Kemudian laporan dari masing-masing kabupaten akan dikirimkan ke tingkat propinsi untuk disahkan oleh Gubernur Jawa Barat serta direktur utama Perum Jasa Tirta II. Pada beberapa tahun terakhir, terutama setelah krisis moneter tahun 19971998, banyak pihak terkena dampak yang ditimbulkan krisis tersebut dan tidak terkecuali petani. Kenaikan harga sarana produksi pertanian, terjadinya fenomena El-Nino, cuaca/iklim yang makin sulit diramal dengan tepat, kebutuhan air untuk industri yang main meningkat dan semakin banyak tenaga kerja sektor pertanian yang lari ke sektor industri berpengaruh terhadap kemampuan petani untuk bercocok tanam (Prasetyo 2002). Permasalahan yang timbul adalah (1) petani mengalami keterlambatan untuk memulai musim tanam dan (2) sistem irigasi menjadi kurang efektif karena kekurangan tenaga kerja. Keterlambatan musim tanam telah menjadi masalah klasik di daerah irigasi Jatiluhur yang antara lain disebabkan masalah teknis pertanian misalnya ketersediaan faktor produksi yang tidak cukup ataupun masalah sosial dari pihak petani sendiri (Erizal 1988).
5
Keterlambatan memulai musim tanam menyebabkan pemberian air yang siasia. Selain itu, keterlambatan memulai musim tanam menyebabkan terjadinya penambahan golongan yang tidak sesuai dengan ketetapan semula sehingga banyaknya golongan yang seharusnya 4 menjadi 7 atau 8 golongan. Terlepas dari permasalahan keterlambatan musim tanam, kegiatan pergiliran pembagian air irigasi ini bertujuan untuk mengurangi beban puncak penggunaan air irigasi bila kegiatan musim tanam dilakukan serentak di seluruh lahan pertanian. Akan tetapi karena adanya permasalahan tersebut, penerapan golongan pemberian air menjadi tidak efektif. Ada beberapa kelemahan dari perencanaan irigasi golongan yang saat ini sedang dijalankan. Kelemahan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis. Jenis yang pertama adalah kurangnya penggunaan metode ilmiah dalam perencanaan golongan. Sedangkan jenis yang kedua adalah pada bidang administrasi perencanaan. Kedua jenis kelemahan dibahas pada alinea berikut. Kurangnya penggunaan metode ilmiah saat rapat panitia irigasi untuk penentuan golongan pemberian air adalah tidak adanya proses optimisasi. Oleh sebab itu tidak diketahui apakah hasil penggolongan dapat menghasilkan keuntungan yang maksimum untuk wilayah tersebut. Kelemahan di bidang administrasi antara lain disebabkan karena hirarki pelaporan yang berjenjang dan dilakukan secara manual di setiap tingkat membutuhkan waktu yang cukup lama pada saat evaluasi laporan. Belum lagi bila terdapat kesalahan yang disebabkan oleh informasi dari petani yang tidak tepat atau kesalahan yang disebabkan oleh manusia (human-error). Selain itu, perencanaan sistem irigasi golongan pada umumnya mengikuti perencanaan golongan musim tanam sebelumnya atau penetapan golongan yang dilakukan pada saat rapat P3A kurang memperhatikan ketersediaan sumber daya misalkan modal, air irigasi atau sarana produksi pertanian. Oleh karena itu, apabila musim tanam sudah akan dimulai dan petani tersebut mengalami kekurangan modal akan dapat membuat petani yang bersangkutan menunda musim tanamnya. Hal tersebut berakibat pada data yang sudah terlanjur di rekapitulasi akan menjadi tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
6
Kelemahan administrasi yang terakhir adalah adanya ketidakseragaman dalam format laporan rekapitulasi rencana musim tanam. Hal ini dapat menyulitkan dalam pembacaan dan pengambilan keputusan di kepanitian irigasi. Dalam pengoperasiannya, selain memperbaiki administrasi perencanaan musim tanam, Perum Jasa Tirta II bersama anggota panitia irigasi lainnya harus lebih efisien dengan mengefektifkan penggunaan infrastruktur irigasi yang ada, memberikan pelayanan yang terbaik untuk petani, dan meminimisasi kehilangan air. Adanya pembagian golongan dan perbedaan kegiatan produksi, menuntut adanya penjadwalan pemberian irigasi yang terpadu dan optimal dengan memperhitungkan ketersediaan air, kendala kapasitas jaringan irigasi, efisiensi operasi dan kepuasan pelanggan. Agar lebih efisien dalam pengoperasian sistem irigasi dibutuhkan optimisasi penjadwalan pemberian air melalui saluran irigasi primer, sekunder maupun tersier untuk membantu panitia irigasi dalam menyeimbangkan tuntutan-tuntutan di atas. Dengan cara ini diharapkan dapat dihasilkan suatu pola pemberian air irigasi yang efisien dan merata berdasarkan kendala di daerah tersebut. Kebutuhan air dan letak dari tiap-tiap golongan di daerah irigasi berpengaruh terhadap penentuan penjadwalan pemberian air melalui saluran irigasi karena penjadwalan yang tepat dengan mempertimbangkan adanya ketersediaan dan kebutuhan air, efisiensi irigasi akan dapat ditingkatkan. Akan tetapi untuk menjaga keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air, selain pemberian air irigasi yang tepat waktu, juga terdapat adanya pergeseran waktu pemberian air irigasi baik yang dipercepat maupun diperlambat Parameter-parameter yang diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan dalam proses optimisasi pemberian air irigasi dikategorikan menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah parameter yang tidak mempunyai acuan lokasi (non-spatial) dan bagian kedua adalah yang mempunyai acuan lokasi (spatial). Sebagai contoh parameter non-spatial adalah jumlah ketersediaan air, jumlah ketersediaan faktor produksi seperti jumlah buruh, jumlah benih, jumlah alat mesin pertanian dan lain-lain. Data-data tersebut tidak menunjuk pada suatu lokasi tertentu, akan tetapi hanya bersifat kuantitatif. Sedangkan contoh parameter spatial adalah lokasi pintu air irigasi (intake) yang dalam penelitian ini disebut dengan unit
7
irigasi. Data lokasi unit irigasi harus secara jelas menyebutkan posisi unit tersebut berdasarkan pada acuan lokasi tertentu, yang dalam hal ini dapat berupa peta dengan acuannya masing-masing. Dalam penyusunan rencana irigasi, setiap tahun panitia irigasi selalu dihadapkan pada permasalahan yang kompleks karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan. Pekerjaan tersebut adalah mencatat data kesiapan petani untuk memulai musim tanam, menghitung kebutuhan air irigasi, menghitung ketersediaan air irigasi, menentukan golongan pemberian air irigasi, dan menyalurkan air irigasi untuk ke seluruh lahan pertanian. Dari daftar pekerjaan
tersebut, penelitian ini
bermaksud untuk mengoptimumkan penentuan golongan pemberian air irigasi menggunakan proses simulasi. Selain itu penelitian ini juga memperlihatkan perbandingan keuntungan antara hasil simulasi dan hasil penentuan golongan yang ditetapkan oleh panitia irigasi. Dengan optimisasi penentuan golongan, diharapkan keuntungan dari hasil pertanian setempat meningkat sehingga dapat mendukung program pangan nasional dan program revitalisasi pertanian. Ketersediaan air yang terbatas dapat mengakibatkan penurunan produksi pertanian. Walaupun kekurangan ini dapat dipenuhi dengan memanfaatkan air tanah maupun air permukaan namun pada daerah-daerah yang berdekatan dengan kotakota besar kerapkali air belum mencukupi kebutuhan (Kasryno et al. 1997). Prinsip penjadwalan irigasi adalah menyeimbangkan ketersediaan dan kebutuhan air dengan memperhitungkan waktu pemberian air, besarnya debit yang diminta dan kapasitas saluran irigasi. Akan tetapi proses penjadwalan irigasi yang berlaku saat ini tidak selalu efektif dikarenakan banyak faktor di lapangan yang mempengaruhi tingkat kebutuhan air seperti kondisi cuaca/iklim yang makin sulit diramal dengan tepat, misalnya mundurnya musim hujan, dan musim kemarau yang semakin panjang sehingga terjadi bencana kekeringan. Pengaturan pemberian air irigasi di lapangan kebanyakan dilakukan hanya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan dari manajemen pengelola daerah irigasi.
Tujuan Penelitian
8
1. Membangun model perencanaan sistem irigasi golongan untuk optimisasi penyaluran air irigasi di wilayah Pengamat Irigasi Cikarang, Divisi I, Perum Jasa Tirta II. 2. Membangun model sistem irigasi rotasi sebagai alternatif sistem irigasi golongan yang dapat digunakan pada saat kebutuhan air irigasi lebih besar daripada ketersediaannya. 3. Membangun sistem pendukung keputusan dengan aplikasi model perencanaan sistem irigasi golongan dan sistem irigasi rotasi.
Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini akan dihasilkan suatu model optimisasi pemberian air bagi daerah irigasi dengan jenis tanaman padi dan palawija, dan model untuk memprediksi kebutuhan air irigasi saat pelaksanaan musim tanam. Model-model tersebut akan berguna bagi: 1. Panitia irigasi dalam menetapkan golongan pemberian air yang optimum berdasarkan kondisi jaringan irigasi yang ada pada daerah irigasi tersebut. Dengan optimisasi golongan ini efisiensi pemberian air yang berkenaan dengan keterlambatan musim tanam dapat ditingkatkan, sehingga pemberian air menjadi efektif. 2. Panitia irigasi dalam mengantisipasi musim kemarau panjang, karena dengan pola tanam yang lebih baik, ketersediaan air yang terbatas dapat dijadwalkan pemberiannya berdasarkan luas lahan maksimum yang dapat ditanami. Dengan pola pemberian air secara rotasi, penggunaan air akan sesuai dengan kebutuhan air tanaman dan ketersediaannya sehingga pemborosan air yang tidak perlu akan dapat dihindari dan menghemat biaya produksi. 3. Panitia irigasi pada saat pelaksanaan irigasi dimana juru harus mengevaluasi kondisi tanaman untuk memprediksi kebutuhan air tanaman. Dengan memperhitungkan faktor lainnya yang mempengaruhi kebutuhan air seperti cuaca dan suhu maka model ini akan dapat memprediksi kebutuhan air secara lebih akurat. 4. Sebagai bahan informasi bagi peneliti dalam melaksanakan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan sistem pengelolaan dan pelayanan irigasi.
TINJAUAN PUSTAKA
Pendekatan Sistem Analisis sistem merupakan kajian mengenai sistem, organisasi dan prosedur dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmiah. Kajian tersebut akan menghasilkan suatu abstraksi dan model atau representasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam membuat keputusan, mengelola pekerjaan, mengadakan pemeliharaan dan perubahan terhadap struktur serta operasional sistem tersebut. Menurut Manetsch dan Park (1976), sistem adalah himpunan dari elemenelemen atau komponen-komponen yang saling terhubung satu dengan lainnya dan saling bekerjasama untuk mencapai satu atau beberapa tujuan. Model adalah penggambaran sederhana atau abstraksi semua hal-hal penting dari suatu sistem yang sesungguhnya.
Model menyimbolkan suatu obyek atau
kegiatan dan digunakan untuk memudahkan telaah terhadap suatu sistem. Dalam kegiatan analisis sistem, model memegang peranan penting karena analis sistem akan menggunakan model untuk mendapatkan gambaran mengenai cara kerja sistem dan bila perlu dapat menghasilkan model baru untuk menggantikan model yang lama. Selain itu, model juga berperan dalam proses simulasi. Simulasi sistem atau simulasi merupakan bagian kegiatan dalam analisis sistem. Definisi simulasi adalah kegiatan atau aktivitas dengan menggunakan model. Proses simulasi berjalan pada lingkungan yang dikendalikan oleh skenario tertentu. Tujuan simulasi adalah memperkirakan pengaruh atau akibat yang terjadi karena adanya proses pengambilan keputusan. Menurut Eriyatno (1998), simulasi adalah suatu aktivitas dimana pengkaji dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem, melalui penelaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab-akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem yang sebenarnya. Proses simulasi dalam analisis sistem secara garis besar meliputi tiga kegiatan yaitu : ( a). menyusun model yang merepresentasikan sistem, organisasi dan prosedur yang terjadi didalamnya
11 ( b). melakukan eksperimentasi dengan cara memberi masukan sesuai dengan skenario yang diinginkan ( c). melakukan pemecahan masalah dengan menggunakan model dan data yang sesungguhnya Dengan melakukan penelitian berdasarkan pendekatan sistem, persoalan yang kompleks akan dapat dipecahkan secara lebih komprehensif, karena adanya fenomena sistem yang bersifat holistik. Fenomena tersebut terdapat di dalam model yang mewakili keberadaan suatu sistem. McLeod (1995) menyatakan bahwa keuntungan penggunaan model dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan sistem adalah : ( a).
memudahkan pengertian, hal ini dikarenakan penggambaran model yang sederhana sehingga spesifikasi elemen dan hubungan antar elemen dalam sistem menjadi mudah untuk dicerna. Apabila model sederhana tersebut telah dimengerti, langkah berikutnya adalah meningkatkan kompleksitas model sehingga
akan
lebih
akurat
dalam
merepresentasikan
sistem
yang
sesungguhnya. ( b)
dapat memfasilitasi komunikasi antar stakeholder, misalkan saat kegiatan analisis sistem. Dalam hal ini analis sistem perlu untuk berkomunikasi dengan pengguna sistem atau dengan pembuat program. Contoh lain, seorang manajer harus mengkomunikasikan modelnya dengan anggota tim lain dalam proses analisis sistem.
( c)
dapat digunakan untuk menduga/meramal situasi yang mungkin akan terjadi di masa depan, tetapi peramalan tersebut belum tentu 100% akurat. Tidak ada model yang sempurna dikarenakan adanya asumsi-asumsi yang harus dibuat mengenai masukan dari model. Untuk itu pengguna model harus menggunakan pemahaman dan intuisinya untuk mengevaluasi keluaran dari model. Untuk
mendapatkan
hasil
simulasi
yang
akurat
dan
dapat
dipertanggungjawabkan, sistem analis harus mendapatkan kepastian bahwa model yang dipelajari dan yang akan dibuatnya merupakan representasi akurat, realistik dan informatif dari sistem sesungguhnya. Apabila kondisi di atas tersebut tidak
12 dapat dipenuhi, maka keluaran dari simulasi menjadi menyimpang dan tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi. Di dalam analisis sistem, model yang digunakan adalah model matematis. Model tersebut menggunakan formula atau persamaan matematika, sehingga keluaran yang didapat bersifat kuantitatif. Keuntungan dari model matematis adalah sifat presisinya yang dapat menjelaskan hubungan antar elemen baik untuk persamaan berdimensi tunggal maupun lebih. Sebelum digunakan, model matematis harus diuji terlebih dahulu agar benar-benar mewakili spesifikasi dan tingkahlaku dari sistem yang sebenarnya. Permasalahan dalam pemberian air irigasi merupakan suatu sistem yang sangat kompleks karena banyaknya faktor yang terkait, sehingga penggunaan model untuk memecahkan permasalahan akan sangat membantu. Dalam hubungannya dengan perencanaan pemberian air irigasi menggunakan pendekatan sistem, kedudukan model adalah sebagai referensi yang sangat prinsipil untuk menetapkan keputusan penggolongan setiap unit irigasi.
Kebutuhan Air Tanaman Jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman selama masa pertumbuhannya disebut dengan kebutuhan air tanaman. Air tersebut dipergunakan untuk evapotranspirasi, perkolasi, dan penyiapan lahan. Khusus untuk tanaman padi, diperlukan pula sejumlah air untuk pergantian lapisan air atau penggenangan .
Evapotranspirasi Evapotranspirasi merupakan gabungan kehilangan air yang terjadi dari tanah (evaporasi) dan dari tumbuhan (transpirasi). Faktor iklim yang mempengaruhi kebutuhan air akan tanaman adalah (Tabel 1): -
lama penyinaran oleh matahari
-
kecepatan angin
-
kelembaban udara relatif
-
suhu
Tabel 1. Indikasi kebutuhan air oleh tanaman dalam berbagai kondisi iklim
13 Faktor Iklim
Kebutuhan air tanaman Tinggi Rendah Suhu Panas Dingin Kelembaban relatif Rendah (kering) Tinggi (basah) Kecepatan angin Berangin Sedikit berangin Lama penyinaran Terang (tidak berawan) Gelap (berawan) Sumber: Brouwer dan Heibloem (1986) Nilai kebutuhan air oleh tanaman yang tinggi akan ditemukan pada daerah yang suhunya tinggi, kelembaban udaranya rendah, berangin dan kondisi langit tidak berawan. Untuk nilai kebutuhan air oleh tanaman yang rendah akan ditemukan pada daerah bersuhu rendah, kelembaban relatifnya tinggi, sedikit berangin dan kondisi langitnya berawan. Pengaruh iklim terhadap tanaman dinyatakan dengan evapotranspirasi acuan (ETo) dan diekspresikan dalam milimeter per satuan waktu misalnya mm hari -1, mm bulan-1 atau mm musim-1. Allen et al. (1998) menyatakan rumput hipotetis sebagai evapotranspirasi acuan bukan tanaman rumput hidup. Kesulitan dalam menetapkan ETo dengan menggunakan tanaman rumput hidup dikarenakan bervariasinya jenis rumput dan morfologinya sehingga mengakibatkan perbedaan dalam penghitungan ETo. Definisi untuk permukaan acuan tersebut adalah : tanaman rumput hipotetis dengan asumsi tinggi 0,12 m, mempunyai resistansi permukaan yang tetap sebesar 70 dtk m-1 dan albedo sebesar 0,23. Permukaan acuan ini mendekati gambaran sebidang rumput dengan ketinggian yang sama, tumbuh subur, menutupi permukaan tanah secara penuh dengan ketersediaan air yang cukup. Adanya kebutuhan akan permukaan rumput yang ekstensif dan seragam berdasarkan asumsi bahwa uap air bergerak ke atas dalam satu dimensi. Metode Penman-Monteith dari FAO dipilih untuk menentukan ETo dari permukaan acuan dan berlaku untuk seluruh daerah dan iklim di bumi. Formulanya adalah sebagai berikut:
ETo =
0,408 ? ( R n − G ) + 900γ /(T + 273 )u 2 ( e s − e a ) ? + γ (1 + 0,34u 2 )
dimana: ETo
= evapotranspirasi acuan (mm hari -1)
/1/
14 Rn
= net radiasi pada permukaan tanaman (MJ m-2 hari-1)
G
= kepadatan flux panas tanah (MJ m-2 hari-1)
T
= suhu udara pada ketinggian 2 meter ( oC)
u2
= kecepatan angin pada ketinggian 2 m(m dtk-1)
es
= tekanan uap jenuh (kPa)
ea
= tekanan uap aktual (kPa)
(es-ea) = defisit tekanan uap jenuh (kPa) ?
= gradien dari kurva tekanan uap (kPa oC-1)
?
= konstanta psikrometrik (kPa oC-1)
Untuk menjamin keakuratan perhitungan ETo, pengukuran data cuaca harus dilakukan pada ketinggian 2 meter (atau dikonversikan ke ketinggian tersebut) di atas permukaan rumput yang ekstensif, menutupi permukaan tanah dan tidak kekurangan air. Sebagai catatan pada saat ini tidak ada persamaan yang dapat menghitung evapotranspirasi secara tepat dalam setiap kondisi iklim sehubungan dengan banyaknya asumsi dalam formulasi rumus dan kesalahan dari pengukuran data. Ada kemungkinan juga bahwa alat pengukuran akan menunjukan rumus FAO Penman-Monteith juga menghasilkan deviasi dari nilai sesungguhnya. Akan tetapi FAO telah menyetujui definisi permukaan acuan hipotetis dari persamaan FAO Penman-Monteith sebagai definisi untuk ETo dari permukaan rumput saat akan menghitung koefisien tanaman.
Koefisien Tanaman (Kc) Koefisien tanaman merupakan besaran yang menyatakan hubungan antara evapotranspirasi dari permukaan rumput hipotetis sebagai evapotranspirasi acuan dengan evapotranspirasi tanaman yang dibudidayakan (Brouwer & Heibloem 1986). Laporan Brouwer dan Heibloem tersebut menyatakan, melalui pendekatan koefisien tanaman, perbedaan permukaan tanaman dan resistansi aerodinamis relatif terhadap permukaan acuan hipotetis diperhitungkan dalam nilai Kc. Untuk itu faktor Kc berperan sebagai agregasi dalam perbedaan fisik dan fisiologis antara tanaman dan permukaan acuan hipotetis.
15 Doorenbos dan Pruitt (1977) menyatakan, kebutuhan air tanaman atau evapotranspirasi
tanaman
(ETc)
dirumuskan
sebagai
perkalian
antara
evapotranspirasi acuan (ETo) dengan koefisien tanaman (Kc) yang besarnya tergantung dari jenis dan umur tanaman, atau:
ETc = KcETo
/2/
dimana: ETc
= evapotranspirasi tanaman (mm hari-1)
ETo
= evapotranspirasi acuan (mm hari -1)
Kc
= koefisien tanaman
Koefisien tanaman, Kc, secara umum tergantung kepada: •
Jenis tanaman Tanaman yang telah matang dengan daunnya yang lebar akan mampu melakukan transpirasi lebih besar daripada rumput acuan sehingga koefisiennya, Kc, akan lebih besar daripada 1. Sedangkan tanaman yang lebih sedikit menggunakan air akan mempunyai Kc kurang daripada 1.
•
Periode pertumbuhan tanaman Beberapa tanaman tertentu akan menggunakan air lebih banyak pada saat tanaman tersebut telah mencapai usia matang dibandingkan saat awal penanaman.
•
Iklim Iklim mempengaruhi lama pertumbuhan total dan periode pertumbuhan. Pada iklim subtropis (dingin), beberapa tanaman tertentu akan tumbuh lebih lambat dibandingkan kalau ditanam di daerah tropis. Oleh karena itu, untuk menentukan Kc, perlu mengetahui lama waktu musim tanam dan lama waktu setiap tahap pertumbuhan dari tanaman. Penentuan nilai Kc untuk setiap tahap pertumbuhan meliputi : a. penentuan lama pertumbuhan total untuk setiap tanaman b. penentuan tahap pertumbuhan untuk setiap tanaman c. penentuan nilai Kc untuk setiap tanaman pada tiap tahap pertumbuhan
16 Penelitian ini menggunakan nilai Kc dalam penentuan evapotranspirasi untuk tanaman padi dan palawija dikarenakan kedua jenis tanaman tersebut banyak dibudidayakan di daerah irigasi Jatiluhur. Tabel 2 menyajikan nilai Kc untuk tanaman padi sedangkan Tabel 3 menyajikan nilai Kc untuk tanaman palawija.
Tabel 2. Nilai Kc untuk tanaman padi No 1 2 3 4 5 6 7
Tingkat Umur Tanaman Rendeng Gadu Tanam/Tandur Tanam/Tandur (0 – 15 hari) (0 – 15 hari) Pertumbuhan I Pertumbuhan I (16 – 30 hari) (16 – 30 hari) Pertumbuhan II Pertumbuhan I (31 – 60 hari) (31 – 45 hari) Pembungaan I Pembungaan I (61 – 75 hari) (46 – 60 hari) Pembungaan II Pembungaan II (76 – 90 hari) (61 – 75 hari) Pematangan I Pematangan I (91 – 105 hari) (76 – 90 hari) Pematangan II Pematangan II (105 – 120 hari) (91 – 105 hari)
Kc 1,02 1,02 1,02 1,32 1,40 1,35 1,24
Sumber : PJT II (2001) Tabel 3. Nilai Kc untuk tanaman palawija Tanaman
Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Pematangan Bibit vegetatif vegetatif Kacang hijau 0,35 0,70 1,10 0,90 Kubis/wortel 0,45 0,75 1,05 0,90 Mentimun 0,45 0,70 0,90 0,75 Tomat 0,45 0,75 1,15 0,80 Melon 0,45 0,75 1,00 0,75 Bawang 0,50 0,70 1,00 1,00 Kacang tanah 0,45 0,75 1,05 0,70 Kentang 0,45 0,75 1,15 0,85 Kacang kedelai 0,35 0,75 1,10 0,60 Tembakau 0,35 0,75 1,10 0,90 Sumber: Brouwer dan Heibloem (1986) Menurut Doorenbos dan Pruitt (1977), nilai koefisien tanaman untuk palawija rata-rata setiap setengah bulanannya adalah 0,5; 0,7; 0,95; 1,0; 0,95 dan 0,90.
17 Perum Jasa Tirta II (2001) menetapkan nilai koefisien tanaman palawija yang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Koefisien tanaman palawija Tingkat Umur Tanaman
Koefisien Tanaman
Pertumbuhan bibit (0 – 15 hari)
0,40
Pertumbuhan vegetatif I (16 – 45 hari)
0,55
Pertumbuhan vegetatif II (31 – 60 hari)
0,70
Pematangan (61 – 75 hari)
0,30
Sumber : PJT II (2001)
Air Untuk Penyiapan Lahan Kebutuhan air untuk penyiapan lahan yang tanahnya bertekstur berat tanpa retak-retak adalah setebal 200 mm termasuk untuk penjenuhan dan pengolahan tanah. Di awal proses transplantasi tidak ada lapisan air yang tersisa di sawah. Setelah proses transplantasi berakhir, akan ada penambahan lapisan air di sawah sebesar 50 mm, sehingga total akan setebal 250 mm. Setelah berjalan 2 bulan atau lebih, ketebalan air yang diperlukan untuk penyiapan adalah 300 mm termasuk 50 mm untuk penggenangan setelah transplantasi (DPU 1986). Metode van de Goor dan Ziljstra dalam DPU (1986) dipakai untuk perhitungan kebutuhan irigasi pada saat penyiapan lahan. Perhitungan berdasarkan laju air konstan dalam l.dtk-1 selama waktu penyiapan lahan dan dirumuskan sebagai berikut: IR = Me k /( e k − 1)
/3/
dimana: IR
= kebutuhan air irigasi ditingkat persawahan (mm hari -1)
M
= kebutuhan air untuk mengganti / mengkompensasi kehilangan air akibat evaporasi dan perkolasi di sawah yang sudah dijenuhkan (mm hari-1) = Eo + P, dimana P = perkolasi
18 k
= MT/S
T
= jangka waktu penyiapan lahan (hari)
S
= kebutuhan air, untuk penjenuhan ditambah dengan lapisan air 50 mm, yakni 200 mm + 50 mm = 250 mm
Sedangkan untuk tanaman palawija, kebutuhan air untuk penyiapan lahannya bervariasi mulai dari 50 mm hingga 100 mm. Bila penyiapan lahan untuk palawija dilakukan segera setelah panen padi, pemberian air pada saat awal adalah setebal 50 mm (DPU 1986).
Perkolasi Adanya pergerakan vertikal air yang berasal dari sawah ke sistem air tanah menyebabkan kehilangan air bagi tanaman. Hal ini disebut dengan perkolasi. Sedangkan kehilangan air yang disebabkan oleh adanya lubang-lubang hewan pengerat atau retakan-retakan alami disebut dengan seepage atau rembesan (PLPDH 1991). Sifat tanah yang berbeda menyebabkan laju perkolasi berbeda antara satu tempat dengan lainnya. Laju perkolasi dapat mencapai 1 sampai 3 mm/hari untuk tanah lempung berat dengan karakteristik pengolahan yang baik. Makin ringan tanahnya, makin tinggi laju perkolasinya (DPU 1986). Besarnya kehilangan air akibat proses perkolasi dan rembesan yang tergantung pada tekstur tanah dan kemiringan lahan disajikan pada Tabel 5. Kelas kemiringan 1 adalah untuk kelas fisiografik 1 dan 2 pada Tabel 6. Kelas kemiringan 2 adalah untuk kelas fisiografik 3, 4, dan 5. Berdasarkan SK Direksi Perum Jasa Tirta II No:1/401/KPTS/2001, nilai perkolasi per periode (mm/hari) untuk musim tanam padi rendeng adalah 3,5; 3,0; 3,0; 3,0; 2,5; 2,0; 1,5; 1,5, dan untuk musim tanam padi gadu adalah 3,5; 3,0; 3,0; 2,5; 2,0; 1,5; 1,5. Tabel 5. Hubungan tekstur, kemiringan dan perkolasi Tekstur Fine
Kelas Tekstur
Kelas Kemiringan (%)
Kehilangan (mm hari -1)
3
1
1,5 - 2,0
19
Medium
2
Coarse
2
2,5 – 3,0
1
3,0
2
4,0
1
5,0
Sumber : PLPDH (1991)
Tabel 6. Kelas fisiografik lahan Kelas fisiografik
Penjelasan
1
Datar
2
Berombak
3
Berombak – bergelombang
4
Bergelombang / bergelombang berbukit
5
Berbukit / berbukit pegunungan
Sumber : PLPDH (1991) Pemenuhan Kebutuhan Air Tanaman Pemenuhan kebutuhan air tanaman secara umum berasal dari berbagai sumber. Air hujan merupakan sumber utama untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Dengan jumlah air hujan yang sesuai dengan jumlah kebutuhan air tanaman, tidak diperlukan tambahan air dari sumber lainnya. Akan tetapi, apabila jumlah air hujan tidak dapat memenuhi kebutuhan air tanaman, diperlukan sumber air lainnya seperti dari sungai atau dari dalam tanah (Brouwer & Heibloem 1986). Air yang berasal dari sumber selain air hujan memerlukan saluran irigasi baik tertutup atau terbuka agar dapat disalurkan menuju lahan tempat tanaman dibudidayakan.
Sistem Irigasi Sistem irigasi merupakan gabungan dari komponen-komponen yang saling berhubungan yaitu sumber air, bangunan penyuplai berupa bendungan atau pompa air yang digunakan sebagai pengganti bangunan penyuplai, saluran pembawa yang terdiri dari saluran induk (conveyance system) dan saluran sekunder (distribution system), bangunan pembagi aliran air, saluran pembagi (field application system ) yang terdiri dari saluran tersier dan saluran kuarter serta saluran pembuang
20 (drainase). Keseluruhan komponen tersebut berfungsi untuk menyalurkan air dari sumbernya ke lahan budidaya tanaman yang dilayani oleh saluran irigasi.
Irigasi Permukaan Irigasi permukaan adalah pemberian air terhadap permukaan sawah dan ladang dengan menggunakan arus air permukaan bebas dan gaya gravitasi bumi. Ada 2 macam irigasi permukaan yaitu irigasi alur dan irigasi basin. Irigasi permukaan yang terjadi pada lahan persawahan terdiri dari 4 tahapan seperti tertera pada Gambar 1.
Gambar 1. Tahap perjalanan air menurut durasi pada irigasi permukaan
Berdasarkan Gambar 1, Walker (1989) menyatakan saat tahap pengisian, air akan mengalir melalui seluruh saluran irigasi yang ditentukan. Setelah itu, air akan menggenang di permukaan yang disebut dengan tahap penggenangan. Durasi antara akhir tahap pengisian dan saat suplai air dihentikan disebut dengan tahap penggenangan. Volume air di permukaan mulai berkurang setelah pemberian air dihentikan. Hal tersebut dikarenakan adanya infiltrasi air ke dalam tanah. Selain itu, pembuangan air ke saluran drainase juga menyebabkan berkurangnya air di petakan sawah. Saat berkurangnya air karena adanya pembuangan air ke saluran drainase disebut dengan tahap pengeringan.
21 Irigasi Basin Irigasi basin merupakan salah satu bentuk irigasi permukaan (Brouwer & Heibloem 1986). Basin merupakan bidang tanah yang datar dan dibatasi oleh gundukan tanah panjang disebut dengan tanggul. Fungsi dari tanggul ini untuk mencegah air mengalir ke ladang di sekitarnya. Irigasi basin umumnya digunakan untuk menanam padi pada tanah datar atau pada teras-teras di lereng perbukitan. Secara umum, metode irigasi basin cocok untuk tanaman yang tidak terpengaruh oleh adanya genangan air untuk jangka waktu yang lama. Penggenangan air pada irigasi basin dimaksudkan untuk : •
mencukupi kebutuhan air oleh tanaman padi
•
menjenuhkan tanah sehingga tanaman pengganggu tidak dapat hidup. Tidak banyak tanaman ataupun tanah yang cocok untuk irigasi basin.
Brouwer et al. (1990) menyatakan metode irigasi tersebut umumnya cocok untuk tanah dengan kecepatan infiltrasi sedang sampai dengan lambat dan tanaman berakar dalam dengan jarak tanam yang dekat. Apabila terlampau banyak air pada permukaan, sistem drainase harus efektif. Untuk pembentukan sawah, tinggi permukaan tanah harus seragam sehingga pemakaian air efisien. Selain itu tanggul harus dipelihara dengan baik untuk menghindari kebocoran dan hama. Padi merupakan tanaman yang cocok dengan metode irigasi basin. Selain padi, tanaman lain yang cocok misalnya pisang dan tembakau. Tanah datar merupakan topografi yang cocok untuk menggunakan irigasi basin. Tetapi dimungkinkan juga irigasi tersebut dilakukan pada topografi yang miring seperti lereng bukit dengan membuat terasering. Tanah yang cocok untuk irigasi basin tergantung pada tanamannya. Padi sangat cocok ditanam di tanah liat karena jenis tanah ini permeabilitasnya rendah sehingga nilai perkolasinya juga rendah. Padi juga dapat ditanam di tanah berpasir akan tetapi nilai perkolasinya tinggi kecuali jika muka air tanahnya cukup tinggi. Kondisi ini dapat terjadi pada tanah yang terletak di dasar suatu lembah. Tanah berpasir tidak direkomendasikan untuk mendapat irigasi basin berhubung tingginya tingkat infiltrasi air sehingga kehilangan akibat perkolasi menjadi tinggi. Metoda yang digunakan dalam irigasi basin ada 2 macam yaitu (i) metoda langsung dan (ii) metoda kaskade. Metoda langsung mengalirkan air secara langsung
22 dari kanal (saluran tersier) ke petak sawah melalui siphon , spile atau inlet di pematang sawah. Siphon merupakan pipa penyalur air melewati pematang sawah, sedangkan spile adalah pipa penyalur air yang ditanam di bawah pematang sawah. Metoda ini dapat digunakan untuk kebanyakan tanaman dan cocok untuk hampir semua jenis tanah. Metoda kaskade dipergunakan pada tanah yang terletak pada lereng bukit sehingga diperlukan penggunaan teras-teras sawah. Pemberian air dilakukan pada teras yang tertinggi untuk kemudian dialirkan menuju teras di bawahnya dan seterusnya. Metoda ini baik untuk tanaman padi yang ditanam pada tanah liat dimana tingkat perkolasi dan rembesannya rendah. Akan tetapi untuk tanaman lain yang ditanam pada tanah berpasir, kehilangan air akibat perkolasi menjadi tinggi pada saat air mengalir dari teras yang lebih tinggi ke teras yang lebih rendah. Dengan menggunakan metoda kaskade, air dialirkan secara terus-menerus (continuous) ke teras-teras dengan debit rendah. Kebutuhan air dalam metode kaskade dimonitor berdasarkan air buangan pada drainasenya. Bila tidak terdapat air drainase maka ada kemungkinan air dibutuhkan pada teras-teras sawah tersebut. Bila terdapat air drainase, maka ada kemungkinan untuk mengurangi jumlah pemberian air.
Irigasi Alur Irigasi alur merupakan bentuk lain dari irigasi permukaan. Alur merupakan kanal kecil yang mengalirkan air secara gravitasi diantara barisan tanaman. Air akan masuk ke dalam tanah secara vertikal dan horizontal pada saat air mengalir melalui
alur
tersebut. Tanaman ditanam pada bagian puncak diantara kanal.
Metode ini cocok untuk hortikultura dan tanaman yang tidak perlu digenangi oleh air selama pertumbuhannya. Dengan memakai irigasi alur pengeluaran air dapat dihemat. Permukaan tanah tergenang yang tidak seberapa luas dapat mengurangi evaporasi. Akan tetapi terdapat juga kelemahannya yaitu salinitas yang terakumulasi diantara alur, kesulitan untuk menggunakan mesin pertanian (traktor), waktu dan biaya yang lebih besar untuk pembuatan alur.
23 Pemberian air irigasi dilakukan dari saluran tersier ke dalam alur melewati inlet dari pematang atau dengan menggunakan siphon atau spiles.
Irigasi Teknis, Semi Teknis dan Non-Teknis (Sederhana) Jenis irigasi dibagi menjadi 3 yaitu irigasi teknis, semi teknis dan nonteknis. Irigasi teknis merupakan irigasi yang telah mempunyai alat pembagi (pengatur) air atau box bagi, alat pengukur debit air dan konstruksi saluran permanen. Irigasi semi teknis adalah irigasi yang hanya mempunyai alat pembagi air saja dan konstruksi saluran semi permanen, sedangkan irigasi non teknis adalah irigasi yang tidak mempunyai alat pengukur debit air maupun alat pengatur (pembagi) air dengan konstruksi saluran semi permanen (PPPTP 1993).
Saluran Saluran air yang langsung mendapat air dari waduk disebut dengan saluran primer. Saluran primer menyalurkan air dari bangunan penyuplai ke saluran sekunder. Saluran primer dan sekunder merupakan kanal-kanal ke seluruh sistem irigasi. Struktur kanal ini diperlukan untuk pengaturan (pembagian) dan pengukuran debit air. Bentuk kanal bermacam-macam antara lain trapezoidal, segi empat, segi tiga maupun bentukan alam. Bentuk yang paling umum adalah trapezoidal. Sistem distribusi membagi air dari saluran sekunder ke sistem pemberian air (saluran tersier). Saluran tersier akan menyalurkan air ke masing-masing petak sawah atau ladang. Sistem drainase akan membuang kelebihan air (dari hujan dan atau irigasi) dari sawah atau ladang.
Sistem Drainase Saluran drainase dapat berupa drainase alamiah atau drainase buatan. Banyak tempat memiliki sistem drainase alamiah yang berarti kelebihan air akan mengalir dari petak-petak ladang atau sawah menuju rawa-rawa, danau dan sungai. Akan tetapi sistem drainase alamiah sering tidak mencukupi dan oleh karena itu drainase buatan manusia dibutuhkan. Irigasi permukaan menggunakan drainase permukaan untuk membuang kelebihan air dari permukaan tanah. Sistem ini menggunakan selokan kecil yang terbuka. Selokan kecil ini akan membuang airnya
24 ke selokan yang lebih besar sampai ke pembuangan air (sungai, rawa). Untuk menjamin agar air drainase dapat mengalir maka struktur drainase dibuat secara menurun. Apabila tempat pembuangan bukan berupa sungai ataupun rawa, maka harus dibuat suatu bak penampungan pada tempat yang lebih rendah. Sedangkan selokan yang digunakan untuk mengalirkan air dalamnya dibuat ± 20 cm atau sampai pada lapisan keras dan bentuknya dibuat seperti huruf V. Hal ini mudah dikerjakan dan mudah dalam pemeliharaannya. Hanya karena permukaan yang sering ditumbuhi rumput-rumputan maka biaya pemeliharaan bisa menjadi mahal. Bila tidak dibersihkan akan menyebabkan endapan yang menghambat aliran air (Suhardi 1983).
Curah Hujan Tanaman membutuhkan air untuk tumbuh dan berproduksi. Tanaman tertentu membutuhkan air dengan jumlah lebih banyak untuk pertumbuhannya dibandingkan dengan tanaman lainnya. Sumber utama air untuk pertumbuhan tanaman adalah hujan. Saat musim kemarau, diperlukan penambahan air irigasi untuk menjamin produksi yang baik. Bila curah hujan mencukupi kebutuhan tanaman akan air, irigasi tidak diperlukan. Salah satu permasalahan petani adalah bagaimana mengetahui berapa banyak air yang dibutuhkan oleh tanamannya. Inilah yang disebut kebutuhan air irigasi. Terlalu banyak air yang diberikan berarti dapat terjadi pemborosan air, kenaikan muka air tanah dan daerah perakaran menjadi jenuh (saturated). Apabila terlampau sedikit air yang diberikan akan berakibat tanaman menjadi layu dan produksi tanaman berkurang. Selain hujan, tanaman juga membutuhan faktor-faktor iklim seperti sinar matahari, suhu, angin, dan kelembaban sebagai syarat pertumbuhannya. Tanaman membutuhkan air lebih banyak saat kelembaban udara rendah dan saat udara berangin. Pengaruh iklim ter hadap kebutuhan air tanaman ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Pengaruh Iklim terhadap kebutuhan air tanaman Kebutuhan air tanaman
25 Faktor Iklim
Tinggi
Rendah
Sinar Matahari
Cerah (tidak berawan)
Berawan
Suhu
Panas
Dingin
Kelembaban
Kering (rendah)
Lembab (Tinggi)
Angin
Banyak angin
Sedikit angin
Sumber: Brouwer dan Heibloem (1986)
Bila dilakukan pengamatan pada musim kemarau, kadang-kadang terlihat tanaman ada yang kering dan layu. Keringnya tanaman disebabkan oleh suhu yang tinggi, sedangkan tanaman yang layu disebabkan oleh kekurangan air. Sebaliknya pada musim hujan, sering terdapat tanaman yang kerdil dan berbuah sedikit atau tidak berbuah sama sekali. Hal ini disebabkan zat humus tidak dapat diserap karena larut oleh air hujan. Kadang-kadang tanaman bisa tumbang yang disebabkan oleh angin dan curah hujan yang terlampau besar (Suhardi 1983).
Analisis Frekuensi Analisis frekuensi dipergunakan untuk memperkirakan besarnya curah hujan yang akan terjadi berdasarkan frekuensi terjadinya hujan pada waktu sebelumnya. Data yang dibutuhkan adalah frekuensi dan besarnya kejadian hujan di daerah tersebut minimal selama 10 tahun. Dalam
analisis
frekuensi
dikenal
istilah
probabilitas
terandalkan
(exceedence probability) dan masa ulang (return period atau recurrence interval). Pengertian masing-masing istilah dijelaskan sebagai berikut
(Critchley et al.
1991): •
Probabilitas terandalkan (Exceedence Probability) Probabilitas terjadinya suatu event yang sama atau lebih besar (kualitas atau kuantitas) dalam suatu periode waktu tertentu. Dengan menggunakan probabilitas terandalkan ini, besarnya kemungkinan frekuensi kejadian hujan atau event lainnya dengan jumlah yang sama atau lebih besar dalam periode tertentu dapat diketahui.
•
Masa ulang (return period, recurrence interval)
26 Frekuensi suatu kejadian juga dapat diekspresikan dengan istilah masa ulang, return period atau recurrence interval yang didefinisikan sebagai lama waktu rata-rata antara dua kejadian dengan magnitude yang sama atau lebih besar. Rumus masa ulang adalah Masa Ulang = 1 / Probabilitas terandalkan
/4/
Contoh : bila probabilitas terandalkan suatu debit air irigasi dengan magnitude 20 m3 dtk-1 adalah sebesar 80%, maka lama waktu yang dibutuhkan untuk kembali mendapatkan debit air irigasi sebesar 20 m3/dtk-1 adalah 1 / 0,8 = 1,25 tahun Untuk mendapatkan besaran probabilitas terandalkan dibutuhkan data kejadian dalam waktu tertentu misalnya data hujan untuk bulan Maret dan dalam rentang waktu jumlah tahun tertentu. Sifat data tersebut juga harus disesuaikan dengan rencana disain sistem yang diinginkan. Sebagai contoh : panitia irigasi akan menetapkan jadwal irigasi di daerah irigasi Jatiluhur. Untuk itu panitia irigasi harus memperhitungkan ketersediaan air untuk tanaman dalam jumlah minimum dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu diperlukan data mengenai ketersediaan air dalam jumlah yang minimum pada waktu tertentu. Dari data tersebut dapat diketahui jumlah ketersediaan air pada jangka waktu tertentu. Data kemudian diolah dengan menggunakan analisis frekuensi untuk mengetahui probabilitas kejadiannya. Metoda yang dipakai antara lain adalah metoda distribusi normal, distribusi log normal, distribusi Gumbell dan distribusi Log Pearson Type III.
Tahapan Analisis Frekuensi Tahapan yang perlu dilakukan dalam melakukan analisis frekuensi dengan menggunakan kasus curah hujan tahunan di suatu daerah irigasi adalah sebagai berikut. Langkah pertama adalah mendapatkan data total curah hujan tahunan untuk musim tanam dari daerah yang bersangkutan. Data dengan periode yang panjang merupakan hal yang direkomendasikan untuk mendapatkan selang kepercayaan yang besar. Data dalam jumlah yang sedikit mungkin hanya mewakili periode basah atau periode kering yang pendek.
27 Langkah berikutnya adalah mengurutkan data curah hujan mulai dari curah hujan yang terbesar sampai dengan curah hujan terkecil. Kemudian dilakukan penghitungan probabilitas (P dalam %) kejadian dari tiap data dengan rumus (Critchley et al. 1991)
P=
m − 0,375 N + 0,25
/5/
dimana: P = probabilitas dari data dengan urutan m m = urutan data N = total data yang diamati Menurut Reining dalam Brouwer et al. (1992), persamaan untuk menghitung P di atas direkomendasikan untuk N = 10 sampai 100. Selain itu, beberapa rumus lain untuk menghitung P juga dapat digunakan antara lain :
P=
Rumus Weibull :
Rumus Gringorten :
P=
m N +1
m − 0,44 N + 0,12
/6/
/7/
Plot Distribusi Langkah berikutnya adalah menggambarkan data pengamatan yang telah diurutkan terhadap probabilitasnya. Proses penggambaran (plotting) menggunakan distribusi tertentu berdasarkan jenis kejadiannya. Bentuk distribusi yang umum digunakan adalah distribusi normal, log-normal, Log Pearson Type III dan Gumbell.
Distribusi Normal Jenis distribusi ini sering terjadi, dan oleh karena itu sifatnya sangat umum. Banyak kejadian (event) yang sebarannya mengikuti sifat-sifat distribusi normal.
28 Pada bidang hidrologi, volume debit bulanan dan tahunan limpasan
banyak
mengikuti sebaran normal ini (Critchley et al. 1991). Deviasi yang berada pada bagian pusat kurva merupakan ciri khas dari distribusi normal dan merupakan pendekatan dari banyak kejadian eksperimental. Lebar distribusi normal tergantung pada standar deviasi (s). Gambar 2 menyajikan plot distribusi normal dengan berbagai standar deviasi (Law & Kelton 1991).
Gambar 2. Plot distribusi normal dengan berbagai macam variasi s Distribusi log-normal Data yang ditemukan pada bidang meteorologi biasanya bersifat nonnormal, karena data tersebut lebih banyak mempunyai nilai ekstrem dibandingkan distribusi normal. Akan tetapi distribusi yang mempunyai normal pada parameter logaritmanya akan lebih sesuai dengan hasil pengamatan. Keuntungan lain dari distribusi log-normal adalah selalu bersifat positif, sehingga berguna untuk mewakili kuantitas yang tidak mempunyai nilai negatif. Aplikasi dari distribusi ini antara lain adalah jumlah hujan, distribusi partikel aerosol. Bentuk umum dari distribusi adalah: Plot distribusi log-normal pada kertas grafik logaritma akan mempunyai bentuk seperti distribusi normal. Gambar 3 merupakan plotting fungsi distribusi untuk beberapa nilai standar deviasi geometrik yang berbeda dan diplotkan pada
29 skala linier (Law & Kelton 1991). Bentuk plot berbeda dibandingkan pada kertas grafik logaritma karena perbedaan standar deviasi dan normalisasi.
Gambar 3. Plot distribusi log-normal dengan beberapa nilai standar deviasi
Distribusi Log-Pearson Type III Prosedur yang dipakai pada distribusi ini adalah merubah data-data menjadi logaritma, kemudian proses penghitungannya adalah (Linsley & Kohler 1982): Rata-rata :
log X =
∑ log X N
/8/
(∑(log X − log X ) ) 2
Standar deviasi : σ log X =
Koefisien Skew :
(n − 1)
(
)
/9/
3
n∑ X − X G= ( n − 1)( n − 2)(σ log X ) 3
/10/
30 Nilai X untuk tingkat probabilitas sembarang dihitung sebagai berikut :
log X = log X + Kσ log X
/11/
dimana : K = koefisien dari tabel distribusi log-Pearson type III
Penggunaan distribusi tipe ini dikarenakan distribusi data-data hidrologi sesuai dengan distribusi skew, dimana apabila nilai skew sama dengan 0 maka akan sesuai dengan distribusi log-normal dan distribusi frekuensi kumulatifnya akan diplot sebagai garis lurus.
Distribusi Gumbel Distribusi Gumbel menggunakan nilai ekstrem dalam memperkirakan terjadinya suatu event. Hal ini dikarenakan untuk setiap tahun terdapat data dengan n=365 dan event tahunan tersebut merupakan event yang mempunyai nilai maksimum dari data. Rumus yang digunakan adalah (Linsley & Kohler 1982):
X = X + (0,7797y − 0,45)s
dimana :
X = rata-rata s x = standar deviasi
Proses Penggambaran
x
/12/
31 Apabila menggunakan distribusi normal, dibutuhkan kertas grafik distribusi normal. Kemudian dibuat garis kurva yang dapat menjangkau sedekat mungkin titiktitik plotting pada kertas grafik tersebut. Kurva tersebut dapat berupa garis lurus. Plot titik-titik pengamatan yang telah diurutkan berdasarkan probabilitasnya disajikan pada Gambar 4 (Critchley et al. 1991):
Gambar 4 Plot kurva data pengamatan
Dari Gambar 4 dimungkinkan untuk mendapatkan probabilitas terandalkan dari nilai curah hujan tertentu. Kebalikannya, dimungkinkan pula untuk mendapatkan nilai curah hujan berdasarkan nilai probabilitas tertentu. Dari Gambar 4, curah hujan tahunan dengan probabilitas terandalkan 70% adalah sekitar 350 mm. Untuk probabilitas terandalkan 50%, curah hujan tahunan yang mungkin terjadi adalah sekitar 485 mm. Masa ulang atau return period (T dalam tahun) dapat diketahui setelah probabilitas terandalkan (P) didapat dengan menggunakan rumus :
T=
100 P
Dari contoh di atas return period untuk probabilitas 67% dan 33% adalah :
/13/
32 T67% = 100 / 67 = 1,5 tahun Jadi untuk curah hujan rata-rata sebesar 371 mm atau lebih besar dapat terjadi pada setiap 2 tahun. Sedangkan T33% = 100 / 33 = 3 tahun yang berarti curah hujan rata-rata sebesar 531 mm atau lebih besar dapat terjadi setiap 3 tahun. Untuk penggunaan metode distribusi lainnya seperti log-normal, Gumbell dan Log-Pearson Type III, juga melalui tahapan yang sama dengan satu perbedaan yaitu masing-masing menggunakan kertas grafik sesuai dengan metode yang dipakai. Curah Hujan Efektif Curah hujan efektif merupakan bagian dari besarnya curah hujan yang terjadi dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan air tanaman. Namun dengan bervariasinya besar curah hujan sepanjang tahun, apalagi dengan datangnya El Nino yang menyebabkan kekeringan, maka dibutuhkan adanya pengairan yang efektif dari jaringan irigasi. Dengan adanya curah hujan, maka sebagian dari keperluan air tanaman baik untuk pengolahan tanah, pengganti genangan, perkolasi dan untuk kebutuhan konsumtif tanaman diharapkan dapat tercukupi. Akan tetapi tidak semua curah hujan akan dapat dimanfaatkan, karena sebagian akan mengalir menjadi air limpasan permukaan, maka hanya curah hujan efektif saja yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya. Saat hujan turun dan jatuh di permukaan tanah, sejumlah air akan berinfiltrasi masuk ke dalam tanah, sejumlah lainnya menetap pada permukaan tanah, sedangkan sisanya akan mengalir pada permukaan tanah sebagai limpasan. Saat hujan berhenti, air yang menetap pada permukaan tanah mengalami evaporasi ke atmosfir, sementara sisanya akan masuk ke dalam tanah secara perlahan. Dari seluruh air yang masuk ke dalam tanah, sejumlah air mengalami perkolasi di bawah daerah perakaran, sementara sisanya akan tinggal di daerah perakaran. Oleh karena itu, hujan efektif merupakan total air hujan dikurangi limpasan dikurangi evaporasi dan dikurangi perkolasi. Hanya air yang tertinggal pada daerah perakaran dapat digunakan oleh tanaman dan disebut bagian efektif dari air hujan. Istilah hujan efektif digunakan untuk mendefinisikan fraksi dari jumlah total air hujan yang sesuai dengan kebutuhan air tanaman. Curah hujan efektif untuk pertumbuhan tanah
33 tergantung pada curah hujan, topografi, sistem penanaman dan fase pertumbuhan (Oldeman & Syarifudin, 1977). Nilai curah hujan andalan (CHA) 80% dihitung menggunakan analisis frekuensi dan plotting position Gringorten. Nilai curah hujan andalan 80% selanjutnya digunakan untuk perhitungan curah hujan efektif (RE) dengan menggunakan formula hujan efektif sebagai berikut (Brouwer, et al. 1989): RE = (0,8CHA – 25) jika CHA > 75 (mm hari -1)
/14/
RE = (0,6CHA – 10) jika CHA ≤ 75 (mm hari -1)
/15/
Tabel 8 menyajikan nilai hujan efektif (RE) berdasarkan Surat Keputusan Direksi Perum Jasa Tirta II No : 1/401/KPTS/2001 untuk wilayah pengamat Cikarang yang masuk dalam divisi Barat.
Tabel 8. Hujan efektif (RE) Periode Okt1 Okt2 Nop1 Nop2 Des1 Des2 Jan1 Jan2 Peb1 Peb2 Mar1 Mar2
RE (mm hari-1) 1,30 2,01 2,25 2,60 2,76 3,00 3,20 3,35 3,45 3,50 3,45 3,20
Periode Apr1 Apr2 Mei1 Mei2 Jun1 Jun2 Jul1 Jul2 Agt1 Agt2 Sep1 Sep2
RE (mm hari-1) 2,90 2,50 2,10 1,80 1,50 1,36 1,28 1,28 1,30 1,40 1,50 1,65
Sumber : PJT II (2001) Besarnya curah hujan efektif per periode bervariasi pada jangka waktu setahun dan memiliki kecenderungan meningkat pada permulaan tahun yang merupakan bagian dari musim tanam rendeng. Curah hujan yang cukup besar (minimal 3 mm hari-1) terjadi dalam jangka waktu sekitar 7 bulan yaitu pada periode Des2 sampai dengan Mar2. Curah hujan maksimum terjadi pada periode Peb2 sebesar 3,50 mm hari-1. Berdasarkan sistem irigasi golongan, pada periode tersebut merupakan saat menjelang panen dan saat panen untuk musim tanam
34 rendeng, dan dimulainya musim tanam gadu. Sedangkan curah hujan minimum terjadi pada periode Jul 1 dan Jul2 sebesar 1,28 mm hari -1.
Efisiensi Irigasi Untuk menyatakan besarnya prosentase air irigasi yang dapat digunakan secara efisien dan besarnya prosentase kehilangan air dipergunakan istilah efisiensi irigasi. Efisiensi irigasi (E dalam %) merupakan bagian dari air yang dipompa atau disalurkan melalui inlet saluran air (kanal) yang dapat dipergunakan secara efektif oleh tanaman. Efisiensi irigasi dibagi menjadi dua yaitu : -
efisiensi penyaluran (Ec) yang menyatakan efisiensi penyaluran air di saluran air, dan
-
efisiensi pemberian air (Ea) yang menyatakan efisiensi pemberian air di sawah/ladang Efisiensi penyaluran (Ec) umumnya tergantung kepada panjang saluran air,
jenis tanah atau permeabilitas dari pinggiran kanal dan kondisi dari kanal tersebut. Pada daerah irigasi yang luas akan lebih banyak kehilangan air dibandingkan daerah irigasi yang lebih kecil, dikarenakan sistem saluran air yang lebih panjang. Untuk kanal dengan tanah berpasir kenilangan air akan lebih banyak dibandingkan dengan tanah liat. Bila tepian kanal dilapisi semen cor, plastik atau batuan, kehilangan air tidak akan terlampau banyak. Jika pemeliharaan kanal tidak secara baik, pinggiran kanal pecah dan banyak lubang hewan, akan terjadi banyak kehilangan air. Tabel 9 menggambarkan nilai indikasi dari efisiensi penyaluran dengan mempertimbangkan panjang kanal dan jenis tanah dimana saluran air tersebut dibuat. Tingkat pemeliharaan tidak diperhitungkan dalam tabel ini akan tetapi pemeliharaan yang buruk akan menurunkan nilai efisiensi sebesar ±50%.
Tabel 9. Nilai indikasi efisiensi penyaluran dengan tingkat pemeliharaan baik Tipe Tanah Kanal dilapisi semen, plastik Panjang saluran Pasir Loam Liat atau bebatuan Panjang (> 2000m) Sedang (200-2000m) Pendek (< 200m)
60% 70% 80%
70% 75% 85%
80% 85% 90%
95% 95% 95%
35 Sumber: Brouwer et al. (1990) Efisiensi pemberian air (Ea) umumnya tergantung pada metode irigasi dan tingkat kedisiplinan petani. Tabel 10 menyajikan efisiensi pemberian air ratarata (Ea). Tingkat kedisiplinan yang rendah akan menurunkan nilai pada tabel tersebut. Tabel 10. Nilai indikasi dari efisiensi pemberian air (Ea) Metode irigasi Irigasi permukaan Irigasi sprinkler Irigasi tetes
Efisiensi pemberian air 60% 75% 90%
Sumber: Brouwer et al. (1990) Bila efisiensi penyaluran dan pemberian air telah ditentukan maka efisiensi total (E) dapat diperhitungkan dengan menggunakan rumus berikut :
E = (EcEa) / 100
/16/
dimana E
= efisiensi total (%)
Ec
= efisiensi penyaluran air (%)
Ea
= efisiensi pemberian air (%)
Efisiensi total sebesar 50 – 60 % berarti baik; 40% adalah cukup, sedangkan efisiensi total sebesar 20-30% adalah buruk (Brouwer et al. 1990). Menurut Schwab et al. (1981), efisiensi irigasi dapat diperhitungkan sebagai berikut:
(a) Efisiensi penyaluran air Ec
= Wf / Wr
dimana: Ec
= efisiensi penyaluran air
/17/
36 Wf
= jumlah air yang sampai di areal pertanian
Wr
= jumlah air yang tersedia
(b) Efisiensi pemberian air Ea
= Ws / Wf
/18/
dimana: Ea
= efisiensi pemberian air
Ws
= jumlah air yang tersimpan dalam zone perakaran selama pemberian air
Wr
= jumlah air yang sampai di areal pertanian
Standar efisiensi irigasi tanaman padi menurut DPU (1986) adalah 65%, yang dapat digunakan untuk seluruh tipe lahan yaitu untuk kalibrasi model, untuk kasus dasar dan pengembangan sistem irigasi yang lebih besar (PLPDH 1991). Untuk tanaman palawija menurut DPU (1986), efisiensinya adalah sebesar 60%, dengan penjelasannya pada Tabel 11.
Tabel 11. Harga efisiensi untuk tanaman palawija Lokasi
Awal
Jaringan irigasi utama Petak tersier Keseluruhan Sumber : DPU (1986)
0,75 0,65 0,50
Peningkatan yang dapat dicapai 0,80 0,75 0,60
Kebutuhan Air Irigasi Penentuan kebutuhan air irigasi untuk tanaman dapat dirumuskan sebagai berikut (DPU 1986): Untuk tanaman padi sawah: I
= (ETc + P + IR + WLR – RE) / E
/19/
Untuk tanaman palawija: I
= (ETc – Re) / E
dimana: I
= kebutuhan air irigasi (mm hari -1)
/20/
37 ETc
= evapotranspirasi tanaman (mm hari-1)
P
= perkolasi (mm hari -1)
IR
= kebutuhan air selama penyiapan lahan (mm hari -1)
WLR = air untuk penggantian lapisan air (mm hari -1) Re
= curah hujan efektif (mm hari -1)
E
= efisiensi total
Sistem Irigasi Rotasi Tujuan utama dari irigasi adalah peningkatan produktivitas lahan persawahan dengan cara mengalirkan air ke petak tersier pada saat curah hujan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Bila persediaan air irigasi dapat memenuhi kebutuhan air tanaman, proses budidaya tanaman padi dan palawija dapat berlangsung. Permasalahan akan timbul bila jumlah kebutuhan air tanaman lebih besar daripada persediaan air irigasi, sehingga akan timbul kekurangan air. Untuk mengatasi hal tersebut digunakan sistem irigasi rotasi. Chow dalam Kan et al. (1997) melakukan penelitian mengenai irigasi rotasi dan menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan mengenai produktivitas lahan antara irigasi rotasi dan irigasi terus-menerus (kontinyu). Selain itu hasil pengujian menunjukkan irigasi rotasi dapat menghemat pemakaian air sebanyak 16% sampai 39% dengan rata-rata 26%. Hasil tersebut merekomendasikan penggunaan sistem irigasi rotasi pada saat kebutuhan air melebihi ketersediaan air dimana di daerah irigasi Jatiluhur divisi Barat, lahan pertanian harus berkompetisi dengan kebutuhan industri dan domestik yang makin bertambah banyak. Metode irigasi rotasi menentukan pembagian atau pendistribusian air irigasi yang secara cepat dan akurat dapat merespon terhadap kondisi ketersediaan air yang jumlahnya tidak mencukupi untuk melakukan irigasi secara normal. Dengan metode irigasi ini, penyaluran air irigasi dapat dilakukan secara proporsional terhadap daerah persawahan untuk menjamin keadilan secara sosial maupun untuk produktivitas tanaman (Khepar et al. 2000). Pengertian proporsional adalah durasi penyaluran air untuk setiap petak tersier didasarkan pada luas lahan tanaman di daerah tersebut. Untuk itu dibutuhkan parameter sebagai kriteria untuk membuat
38 skenario pembagian air pada saat ketersediaannya tidak dapat memenuhi kebutuhan yang ada. Kriteria tersebut adalah : -
Besarnya kehilangan air karena adanya rembesan yang terjadi selama penyaluran air dari sumber ke petak tersier karena hal tersebut berpengaruh terhadap perhitungan neraca air. Laju kehilangan air meningkat seiring dengan bertambahnya jarak saluran air dari sumber ke bangunan bagi petak tersier (Khepar et al. 2000). Dengan menggunakan sistem yang dilakukan saat ini, petak tersier yang berada di bagian hulu jaringan irigasi akan mendapatkan jumlah air lebih banyak dibandingkan dengan petak tersier yang terletak di bagian hilir jaringan irigasi. Oleh karena itu, petak tersier di bagian hilir harus mendapat kompensasi atas kehilangan air tersebut.
-
Perhitungan kebutuhan air tanaman dari setiap petak tersier pada setiap tahap pertumbuhan
-
Besarnya debit air yang masuk ke saluran tersier dari saluran sekunder
-
Sistem pendistribusian untuk merespon ketersediaan air yang fluktuatif secara cepat dan akurat Metode irigasi rotasi dalam penelitian ini mengasumsikan karakteristik
saluran yang homogen dan kehilangan air diakibatkan oleh evaporasi diabaikan. Besarnya debit yang masuk ke saluran sekunder dibandingkan dengan besar debit yang masuk saluran tersier disebut faktor rembesan dan nilainya selalu lebih besar dari satu.
Koefisien Kehilangan Air Berdasarkan sistem irigasi yang ada di daerah irigasi Jatiluhur, luas dari masing-masing petak tersier bervariasi mulai dari beberapa hektar sampai pada ratusan hektar. Oleh karena itu penggunaan koefisien kehilangan air yang seragam untuk seluruh petak tersier adalah tidak memungkinkan. Satu pendekatan yang mungkin adalah memperhitungkan besarnya koefisien kehilangan air berdasarkan luas petak tersier dan jarak dari sumber air misalnya dari BTb29 ke bangunan bagi petak tersier misalnya BRs3ka (Kan et al.1997). Oleh karena itu, koefisien kehilangan air perlu dibedakan menjadi 2 jenis. Kategori pertama adalah koefisien
39 kehilangan air untuk petak tersier ke-i dengan memperhitungkan faktor pembobot (F) dari luas petak tersier tersebut.
CLfi = SiF
/21/
dimana i merupakan indeks dari petak tersier; CLfi adalah koefisien kehilangan air berdasarkan luas petak tersier ke-i; Si adalah kehilangan air di petak tersier ke-i, dan berbanding lurus dengan ukuran luas petak tersier, dan diformulasikan sebagai berikut:
Si = AiSo
/22/
dimana Ai merupakan luas dari petak tersier ke-i, dan So adalah persentase kehilangan air per hektar di daerah irigasi. Menurut penelitian Purba (1980), ratarata efisiensi pemakaian air di petakan tersier saat musim hujan adalah sekitar 50,9% atau persentase kehilangan airnya adalah 100%-50,9%=49,1%. Sedangkan rata-rata efisiensi pemakaian air di petakan tersier saat musim kemarau adalah sekitar 91,4% atau persentase kehilangan airnya adalah 100%-91,4%=8,6%. Faktor pembobot (F) dari luas petak tersier dengan n merupakan banyaknya petak tersier di daerah Pengamat Irigasi Cikarang diformulasikan sebagai berikut :
F=
n ∑ Si / n i =1
n n ∑ AiSi / ∑ Ai i =1 i =1
/23/
. Kategori koefisien kehilangan air yang kedua adalah untuk saluran air irigasi sekunder yang menghubungkan sumber air ke bangunan bagi dari petak tersier berdasarkan faktor pembobot (G) untuk panjang saluran tersebut.
CLci = CiG
/24/
40 dimana CLci merupakan koefisien kehilangan air dari saluran sekunder yang menghubungkan sumber ke bangunan bagi petak tersier ke-i; Ci adalah kehilangan air pada saluran tersebut ke petak tersier ke-i dan tergantung pada panjang saluran yang diformulasikan sebagai berikut :
Ci = LiCo
/25/
dimana Li adalah panjang saluran sekunder yang menuju bangunan bagi dari petak tersier ke-i dan Co adalah persentase kehilangan air di saluran sekunder. Perum Jasa Tirta (2001) menyatakan kehilangan air di saluran induk (primer) sebesar 5%, pada saluran sekunder sebesar 10% dan saluran tersier sebesar 20%. Faktor pembobot (G) diformulasikan sebagai berikut : n G = 1 / ∑ Li / n i =1
/26/
Debit Saluran Irigasi Perhitungan debit air yang masuk ke saluran sekunder (misalnya BSt) dari saluran primer (induk) mengikuti formula sebagai berikut :
Ds = Dp – (DpHp)
/27/
dimana : Ds = debit air di saluran sekunder (l dtk-1) Dp = debit air di saluran primer (l dtk-1) Hp = kehilangan air di saluran primer
Perhitungan debit air yang masuk saluran tersier menggunakan koefisien kehilangan air berdasarkan jarak (CLci) dari dimulainya saluran sekunder sampai ke bangunan bagi untuk setiap petak tersier.
41 Dt = Ds – (DsCLci)
/28/
dimana : Dt = besar debit air di saluran tersier Ds = besar debit air di saluran sekunder CLci= koefisien kehilangan air berdasarkan jarak saluran
Durasi Irigasi Rotasi Optimal Durasi irigasi rotasi optimal ke petak tersier tertentu untuk mendapatkan jatah air irigasi bergantung pada luas petak tersier tersebut. Durasi irigasi rotasi optimal terdiri dari 2 bagian yaitu durasi untuk mengisi petak tersier dengan air irigasi (filling time) sampai pada ketinggian 60-80 mm (Kalsim 2000) dan durasi untuk penggenangan di petak tersier tersebut. Durasi pengisian suatu daerah petak tersier akan tergantung pada luas petak tersebut, ketinggian penggenangan air dan besar debit air yang masuk ke saluran tersier.
WP = VG / Dt
/29/
dimana : WP = durasi pengisian petak tersier (dtk) VG = volume penggenangan yang tergantung pada luas petak tersier (m2) dan tinggi genangan (m) Dt = besar debit air di saluran tersier (m3 dtk-1)
Sebelum dilakukan penentuan durasi pemberian air irigasi terhadap petak tersier tertentu, terlebih dahulu harus dihitung durasi yang dibutuhkan untuk menyalurkan air ke setiap hektar di daerah irigasi tersebut. Untuk itu diperlukan total durasi pengisian yang tergantung pada luas daerah irigasi, tinggi genangan dan debit air yang masuk ke saluran sekunder. Sedangkan rumus untuk menghitung durasi penyaluran air dalam jam per ha (Ta) untuk keseluruhan daerah irigasi diberikan oleh Khepar et al. (2000) sebagai berikut :
42
Ta =
(Ir − TISI ) n
∑ AiSi
/30/
i =1
dimana Ai merupakan luas petak tersier ke-i, Si menyatakan faktor rembesan dari petak tersier ke-i, TISI menyatakan total durasi pengisian seluruh petak tersier dan Ir merupakan durasi dalam jam yang disediakan untuk melakukan irigasi rotasi. Pada saat irigasi rotasi diberlakukan, otoritas irigasi membagi daerah irigasi menjadi 2 bagian yaitu bagian hulu dan bagian hilir dengan durasi pemberian air irigasi yang sama yaitu Ir jam. Akan tetapi penggunaan durasi tersebut mengakibatkan terjadinya pemborosan air dan juga adanya penyaluran air yang tidak proporsional dengan luas petak tersier. Oleh karena itu, Latif dan Sarwar (1994) menyarankan rumus untuk menghitung durasi penyaluran air optimal yang dibutuhkan oleh petak tersier (Ti) dari masing-masing bagian yaitu :
Ti = (AiTa) + WPi
/31/
dimana WPi menyatakan durasi isi petak tersier ke-i.
Durasi Antar Irigasi Rotasi Durasi antar irigasi rotasi adalah durasi saat pemberian air irigasi ke petak tersier dihentikan sementara sampai dengan petak tersier tersebut mendapatkan penyaluran air irigasi kembali. Durasi antar irigasi rotasi diperlukan karena sistem irigasi rotasi mengairi petak tersier secara berselang (intermittent). Penghentian tersebut dilakukan karena durasi irigasi rotasi optimal sudah terpenuhi. Durasi antar irigasi rotasi harus diperhitungkan agar tanaman padi tidak mengalami kekurangan air. Untuk itu, pada sistem irigasi rotasi diperlukan suatu kriteria tinggi genangan maksimum dan miminum yang masih diijinkan. Perbedaan tinggi genangan maksimum dan minimum (d) merupakan besarnya simpanan air yang tersedia. Untuk tanaman padi, perbedaan antara batas maksimum dan batas minimum adalah 50 mm. Gambar 5 menyajikan gambaran simpanan genangan air pada padi sawah
43 dan Gambar 6 menyajikan penentuan durasi antar irigasi rotasi untuk tanaman padi sawah (Kalsim 2000).
maksimum d minimum
Gambar 5. Simpanan genangan air pada padi sawah
Durasi antar irigasi dihitung menggunakan rumus :
w=d/I
/32/
dimana : w = Durasi antar irigasi (hari) d = Perbedaan tinggi genangan maksimum dan minimum (mm) I = Kebutuhan air irigasi (mm hari -1)
Genangan (mm)
I = ETc + P - RE
maksimum d
minimum
td
w
td
w
44
Gambar 6. Penentuan durasi antar irigasi untuk tanaman padi
Budidaya Padi Dan Palawija Proses produksi padi yang membutuhkan tenaga kerja dimulai dari penyemaian benih, pengolahan tanah, menanam, menyiang, pemakaian sarana produksi seperti pupuk, obat-obatan, perawatan tanaman, pengaturan air, pemanenan, dan prosesing hasil sampai dengan pengangkutan terakhir dalam rangka pemasaran / menjual hasil tersebut. Tabel 12 menyajikan kebutuhan tenaga kerja pada produksi beras per hektar sawah.
Tabel 12. Peningkatan kebutuhan tenaga kerja pada produksi beras. Komponen kegiatan
Tingkat teknologi Non
Intensifikasi Umum
SUPRA
Intensifikasi
(INMUM)
INSUS
Kebutuhan Tenaga Kerja (Hari Orang Kerja, HOK) Pembibitan
-
3
3,0
Pengolahan lahan
20
48
54,3
Tanam
16
23
27,7
Perawatan tanaman
35
34
45,4
Panen
25
15
44,3
Jumlah
96
123
174,7
Sumber : SDBUT (1990)
45 Dengan perubahan tingkat teknologi, maka kebutuhan tenaga kerja untuk memproduksi padi akan ikut berubah, dimana semakin tinggi tingkat teknologinya, maka akan semakin sedikit jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan pada setiap periodenya. Jumlah tenaga kerja per ha yang dibutuhkan pada produksi tanaman palawija jagung, kacang tanah dan kedelai disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Kebutuhan tenaga kerja pada produksi palawija Komponen Kegiatan
Jenis Palawija Jagung
Kedelai
Kacang Tanah
Kebutuhan tenaga kerja (Hari Orang Kerja, HOK) Persemaian
-
-
-
Pengolahan tanah
22
31
29
Penanaman
13
12
21
Pemeliharaan
32
59
36
Panen
10
13
48
Pasca panen
6
16
-
Sumber : SDBUT (1990) Optimisasi Optimisasi adalah suatu pendekatan normatif untuk mengidentifikasi penyelesaian terbaik dalam pengambilan keputusan dari suatu permasalahan. Penyelesaian permasalahan dalam optimisasi diarahkan untuk mendapatkan titik maksimum atau titik minimum dari fungsi yang dioptimumkan. Jika permasalahan diformulasikan secara tepat, maka nilai peubah keputusan yang diperoleh akan optimum. Setelah pemecahan optimisasi diperoleh, permasalahan sering dievaluasi kembali pada kondisi yang berbeda untuk memperoleh penyelesaian baru. Komponen penting dari optimisasi adalah fungsi tujuan yang dalam beberapa hal sangat tergantung pada peubah. Dalam penelitian operasional (Operation Research), optimisasi sering diartikan sebagai maksimisasi atau minimisasi pemecahan suatu masalah. Proses optimisasi juga melibatkan ketersediaan sumber daya yang terbatas dan adanya persaingan untuk menggunakan sumber daya dalam pencapaian fungsi tujuan tersebut.
46
Ruang Pencarian (Search Space) Dalam proses pemecahan masalah biasanya akan dicari penyelesaian yang terbaik dari kemungkinan penyelesaian lainnya. Search space merupakan tempat berkumpulnya semua penyelesaian yang mungkin (termasuk penyelesaian terbaik) dari permasalahan yang dipecahkan. Setiap titik di dalam search space mewakili satu penyelesaian, dimana setiap penyelesaian
ditandai dengan
nilai fitness
tertentu. Proses optimisasi bertujuan untuk mencari nilai fitness yang dapat berupa nilai maksimum atau minimum dari fungsi tujuan. Gambar 7 menyajikan contoh suatu searchspace Gambar 7. Contoh ruang pencarian
Permasalahannya adalah proses optimisasi dapat menjadi sangat kompleks, yaitu dimana harus mencari penyelesaian atau dimana harus memulai pencarian. Oleh karena itu diperlukan prosedur-prosedur tertentu untuk mendapatkan fitness yang diinginkan. Penggunaan prosedur tertentu dalam proses optimisasi disebut dengan teknik optimisasi. Pada paragraf berikut akan dibahas beberapa teknik optimisasi.
Pemrograman Linier Salah satu teknik optimisasi yang banyak digunakan pada perencanaan tata guna lahan (land-use planning) dan penjadwalan pemberian air irigasi adalah Pemrograman Linier. Teknik ini merupakan metode optimisasi yang sudah cukup dikenal dan telah digunakan dalam banyak penelitian terdahulu. Chuvieco (1993) dan Arthur (1997) menggunakan pemrograman linier untuk perencanaan tata guna lahan dengan kendala-kendala sumberdaya pada daerah tersebut. Selain itu,
47 Aprianti (1993) telah menerapkan pemrograman linier dalam proses optimisasi pola tanam dengan sistem golongan dan kaitannya dengan ketersediaan tenaga kerja. Contoh mengenai fungsi tujuan dalam pemrograman linier adalah sebagai berikut : Maksimumkan O{1,5P + 1,1H},
/33/
dimana O merupakan fungsi tujuan yang akan dimaksimumkan, biasanya berupa nilai keuntungan, sedangkan P dan H merupakan variabel keputusan, atau alternatif, yang dalam kasus ini adalah luas daerah pertanian dan daerah hutan. Koefisien untuk variabel keputusan merupakan nilai ekonomi pada satu daerah tertentu. Selain fungsi tujuan, terdapat juga beberapa kendala yang didefinisikan di dalam fungsi tujuan yang dioptimisasikan. Sebagai contoh, apabila luas daerah total yang tersedia untuk dialokasikan sebagai daerah pertanian dan daerah hutan adalah 200 hektar, maka kendala yang digunakan adalah P + H ≤ 200. Semua persamaan dan pertidaksamaan dalam fungsi kendala dinamakan fungsi sisi kanan (Right Hand Side function). Baik fungsi tujuan dan fungsi kendala harus didefinisikan sebagai fungsi linier dan nilai koefisien dari kedua jenis fungsi tersebut diketahui Prosedur pemrograman linier menghasilkan nilai variabel keputusan yang optimum untuk fungsi tujuan beserta nilai surplus (slack) dari fungsi sisi kanan yang mengindikasikan derajat dari fungsi kendala tertentu yang dapat mempengaruhi proses optimisasi.. Pemrograman linier juga menghasilkan dual-prices untuk variabel keputusan dan fungsi sisi kanan. Nilai dual-prices mengindikasikan perubahan yang terjadi pada nilai fungsi tujuan dikarenakan adanya perubahan pada variabel keputusan atau fungsi kendala dengan asumsi bahwa perubahan tersebut tidak akan merubah struktur dari fungsi tujuan. Karena frekuensi penggunaan metode pemrograman linier yang cukup tinggi dalam penelitian, metode tersebut seakan-akan menjadi suatu acuan (benchmark) terhadap metode lain yang juga dapat digunakan dalam perencanaan tata-guna lahan. Salah satu kekurangan pada pemrograman linier adalah metode tersebut terbatas hanya dapat menghasilkan satu solusi untuk satu kali eksekusi. Padahal, para pengambil keputusan akan lebih menyukai apabila penyelesaian yang didapat terdiri
48 dari beberapa alternatif, sehingga mereka dapat membandingkan dan memilih alternatif-alternatif tersebut. Akan tetapi, dengan menggunakan teknik manipulasi terhadap fungsi kendala dan koefisien, secara bertahap pemrograman linier dapat digunakan untuk menyelidiki sejumlah alternatif skenario penyelesaian. Selain itu, informasi sensitivitas yang dihasilkan dari dual-prices juga dapat digunakan pada investigasi terhadap sejumlah alternatif skenario penyelesaian. Kelemahan pemrograman linier yang seringkali dikritik adalah sifat linier dari fungsi tujuan dan fungsi kendala. Hal tersebut disebabkan karena seringkali sifat linier tersebut tidak mencerminkan kenyataan yang sebenarnya. Kelemahan yang cukup mendasar adalah apabila pemrograman linier diaplikasikan kepada permasalahan perencanaan lahan dengan menggunakan parameter spasial pada fungsi tujuan atau pada fungsi kendala. Hal ini berarti solusi optimum yang ditemukan pada pemrograman linier mengindikasikan luas lahan yang harus dialokasikan untuk penggunaan fungsi tertentu akan tetapi informasi mengenai letak atau posisi lahan tersebut tidak didapatkan. Selain itu, konstanta yang digunakan dalam model pemrograman linier sebenarnya mempunyai karakteristik spasial. Contohnya adalah ketersediaan air irigasi dari suatu daerah persawahan tertentu (misalnya di kecamatan A) dapat bervariasi dari satu desa dengan desa lainnya walaupun jarak antar desa itu sebenarnya tidak terlalu jauh.
Simulated Annealing Teknik optimisasi simulated annealing didasarkan pada analogi dari pemanasan benda padat dan diikuti dengan proses pendinginan sampai benda tersebut mengkristal sempurna. Simulated annealing merupakan kombinasi teknik pencarian (searching) dan fungsi penerimaan tertentu dimana pengoperasiannya dikendalikan oleh kondisi suhu yang disimulasikan (Tarp & Helles 1997). Kondisi pada tiap-tiap suhu menentukan probabilitas dalam menerima satu penyelesaian tertentu. Dengan menerima penyelesaian secara bertahap dan terstruktur tersebut, permasalahan dalam melakukan pencarian dalam search space yang terpusat pada hanya pada nilai fitness tertentu saja akan dapat dihindari. Tarp dan Helles (1997) menggunakan simulated annealing dalam perencanaan tata guna lahan dan mengkombinasikannya dengan pemrograman linier.
49 Perencanaan pada level strategis didefinisikan menggunakan pemrograman linier, sedangkan
simulated-annealing
digunakan
dalam
perencanaan
signifikansi
perbatasan antara dua daerah yang bersebelahan. Kemudian dilakukan perbandingan pada kedua jenis perencanaan tersebut, dimana biaya-biaya ekonomi yang dihasilkan oleh pemrograman linier dan resiko terhadap lingkungan yang dihasilkan oleh simulated-annealing akan diproses dan dihasilkan suatu kompromi yang menguntungkan kedua skenario tersebut. Kombinasi antara pemrograman linier dan simulated annealing dapat menghasilkan suatu sistem pendukung keputusan yang mengandung parameter spasial. Akan tetapi sistem tersebut tidak efisien dalam kecepatan dan ketepatan pencarian fitness karena adanya penggunaan dua metode yang berbeda sehingga komunikasi antara kedua metode tersebut dapat menjadi kendala yang cukup signifikan. Algoritma Genetik Algoritma Genetik adalah metode pencarian yang menggunakan prinsipprinsip ilmu genetik dari teori Darwin untuk mendapatkan tujuan tertentu. Ide dasarnya adalah organisme yang berevolusi dari generasi ke generasi untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Algoritma Genetik diketemukan dan dikembangkan oleh John Holland pada tahun 1975. Peneliti lainnya, John Koza menggunakan Algoritma Genetik dalam pemrograman LISP sehingga metodenya disebut Pemrograman Genetik. Penelitian mengenai penjadwalan pemberian air telah banyak dilakukan, terutama dari aspek penjadwalan on-farm yang berdasarkan pada kebutuhan air oleh tanaman (Budikusuma dalam Nixon et al. 2001). Metode Algoritma Genetik telah diaplikasikan pada penjadwalan ujian (Fang dalam Nixon et al. 2001) dan penjadwalan pekerjaan (Fang et al. 1993; Bierwirth & Mattfeld 1999; Norman & Bean 1999). Selain itu juga digunakan dalam alokasi sumber daya untuk manajemen proyek (Hegazy 1999), optimisasi desain sistem distribusi air (Simpson et al. 1994) dan optimisasi pemberian air dalam proyek sumberdaya air (Dandy & Connarty 1995). Penelitian terdahulu menyatakan bahwa Algoritma Genetik lebih efektif bila dibandingkan dengan metode optimisasi konvensional lain yang menggunakan variabel keputusan diskrit. Simpson et al. (1994) melakukan perbandingan kinerja
50 optimisasi sistem distribusi air dengan menggunakan bermacam-macam teknik termasuk optimisasi tradisional dan Algoritma Genetik. Untuk permasalahan sederhana, kemampuan kedua jenis teknik tersebut tidak jauh berbeda. Akan tetapi untuk permasalahan yang besar seperti perencanaan jaringan pipa air minum untuk sebuah kota menunjukkan bahwa Algoritma Genetik mampu menemukan penyelesaian yang lebih ekonomis daripada metode konvensional lainnya (Dandy et al. 1996). Selain itu Dandy dan Connarty (1995) juga menggunakan Algoritma Genetik untuk menemukan ukuran dan besaran aliran air yang optimal dalam proyek sumberdaya air di Queensland, Australia. Mereka menemukan bahwa metode Algoritma Genetik membutuhkan waktu komputasi yang lebih pendek daripada metode pemrograman linier dan juga memberikan hasil yang lebih baik. Selain itu dengan menggunakan Algoritma Genetik, suatu proyek dapat dimulai pada setiap waktu, dibandingkan dengan teknik pemrograman linier yang membutuhkan waktu tertentu sehingga mereka berkesimpulan bahwa Algoritma Genetik secara umum lebih efektif daripada teknik optimisasi konvensional dan juga lebih mudah implementasinya. Pemecahan permasalahan yang mengandung karakteristik spasial telah banyak menggunakan metode Algoritma Genetik. Contoh klasik dari penerapan Algoritma Genetik meliputi antara lain masalah travelling salesman (Goldberg, 1989) dan location-allocation (Haupt RL & Haupt SE 1998). Algoritma Genetik juga telah digunakan dalam Sistem Pendukung Keputusan untuk membangkitkan alternatif penyelesaian dalam masalah perencanaan (Dibble & Densham, 1997). Di bidang geografi, van Dijk, Thierens dan de Berg (1999) menggunakan Algoritma Genetik dalam permasalahan labelisasi untuk mengoptimisasi letak obyek pada peta, terutama untuk mengidentifikasi posisi fitur point contohnya kota. Selain itu, Feng dan Lin (1999) juga menggunakan Algoritma Genetik dalam perencanaan tata kota di Taiwan. Algoritma Genetik digunakan untuk membuat layout tatakota yang dapat memaksimalkan efisiensi yang diukur berdasarkan perbandingan antara cost dan benefit.
Proses tersebut mengoptimalkan
perbandingan sektor investasi publik dan keharmonisannya terhadap lingkungan berdasarkan posisi daerah yang saling berdekatan. Layout tatakota yang dihasilkan dinilai lebih baik daripada yang dihasilkan dengan menggunakan metode
51 konvensional dan dapat memberikan beberapa alternatif penyelesaian kepada pembuat keputusan. Dari contoh-contoh aplikasi baik untuk domain yang umum maupun untuk domain perencanaan tata-guna lahan yang dalam penelitian ini adalah untuk penentuan golongan pemberian air, metode Algoritma Genetik mempunyai potensi yang signifikan dalam pemecahan masalah optimisasi dibandingkan dengan pendekatan konvensional yang dirasa tidak memadai. Integrasi antara Algoritma Genetik dengan metode yang sudah ada menunjukkan hasil yang menjanjikan, baik dengan menggunakan Algoritma Genetik sebagai pengendali untuk algoritma yang kedua maupun dengan mengawinkan algoritma kedua di dalam Algoritma Genetik sebagai algoritma utama. Algoritma Genetik telah terbukti cukup fleksibel dalam menggunakan beberapa macam representasi yang berbeda dan dapat diaplikasi dengan berbagai macam himpunan operator. Metode tersebut juga cukup tangguh dan terpercaya dalam pemecahan masalah yang nyata. Penelitian yang dilakukan dalam disertasi ini merupakan yang pertama kali untuk menentukan golongan pemberian air dengan menggunakan metode Algoritma Genetik. Penelitian ini membahas pembagian golongan pemberian air irigasi. Penentuan golongan berdasarkan sumberdaya yang dimiliki oleh setiap lahan persawahan dan mengandung parameter spasial yang terkait dengan letak daerah persawahan pada jaringan irigasi. Untuk itu prinsip-prinsip penentuan tataguna lahan berlaku dalam pendekatan untuk penentuan golongan pemberian air. Dalam hal ini, metode Algoritma Genetik menjadi pilihan sebagai tool untuk menyelesaikan permasalahan perencanaan golongan pemberian air.
METODE Pendekatan Sistem Pemberian air irigasi meliputi pekerjaan manajemen untuk memperkirakan jumlah air yang dibutuhkan serta pekerjaan pelaksanaannya. Berdasarkan wilayahnya, manajemen pemberian air di DI Jatiluhur terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama meliputi fasilitas-fasilitas mulai dari sumber air di Bendung Curug sampai saluran sekunder (off-farm) dimana fasilitas tersebut dikelola oleh Perum Jasa Tirta II. Pemberian air dilakukan secara bertahap dan berdasarkan atas golongan yang telah ditentukan sebelumnya. Bagian kedua adalah dimulai dari saluran tersier sampai dengan kuarter (on-farm) yang dikelola oleh kelompok tani (P3A/Mitra Cai). Berdasarkan data di atas, DI Jatiluhur merupakan suatu kumpulan komponen -komponen yang saling berinteraksi satu sama lain yaitu komponen manusia, komponen teknologi dan komponen organisasi atau prosedural. Komponen manusia meliputi pengelola jaringan irigasi dan petani sebagai pengguna. Komponen teknologi adalah infrastruktur jaringan irigasi. Komponen organisasi atau prosedural meliputi kelembagaan yang terkait dalam kepanitiaan irigasi Pendekatan sistem adalah teknik penyelesaian masalah yang dimulai dari identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan -kebutuhan untuk dapat menghasilkan operasi dari sistem yang efektif. Dengan menggunakan pendekatan sistem, permasalahan yang membutuhkan kompetensi multidisiplin akan dapat dipecahkan secara terstruktur, matematis, mengandung unsur pemikiran nonkuantitatif, memakai teknik optimisasi dan simulasi serta dapat diterapkan dengan menggunakan komputer. Manetsch dan Park (1976) menyatakan bahwa model merupakan suatu perwakilan atau penyederhanaan dari sistem atau obyek aktual. Pada model terdapat komponen-komponen yang saling berhubungan baik langsung maupun tidak langsung serta mempunyai hubungan sebab akibat. Karena model merupakan suatu perwakilan, maka karakteristiknya adalah model mempunyai tingkat kompleksitas yang lebih rendah bila dibandingkan dengan obyek aktualnya. Oleh sebab itu, pemecahan masalah dengan menggunakan model dapat
69
dilakukan secara menyeluruh dan lintas disiplin tanpa mengganggu sistem atau obyek yang sesungguhnya. Dengan menggunakan model, perbaikan pada sistem dapat dilakukan secara cermat dan sistematis. Dalam menggunakan pendekatan sistem, tahapan-tahapan yang perlu diperhatikan adalah seperti yang disajikan pada Gambar 21 berikut.
Mulai
Analisis Kebutuhan
Formulasi Masalah
Identifikasi Sistem : 1. Diagram Lingkar Sebab Akibat 2. Diagram Input Output 3. Diagram Alir
Permodelan : Program
Validasi Model
Tidak
Layak ?
Ya Implementasi
Evaluasi Periodik Gambar 21. Tahapan kerja dalam pendekatan sistem
70
Analisis Kebutuhan Pendekatan sistem mensyaratkan analisis terhadap aspek-aspek yang berhubungan dengan sistem yang dikaji. Penentuan jumlah air irigasi dan waktu pemberian yang optimal akan didapat bila pembagian go longan pemberian air di daerah irigasi dilakukan dengan cermat. Untuk itu perlu dilakukan analisis kebutuhan dari semua pihak yang berkepentingan dalam proses pemberian air irigasi ini. Dalam penentuan jumlah air irigasi ini, pihak yang terlibat dan terkait langsung adalah Perum Jasa Tirta II selaku pengelola jaringan irigasi di DI Jatiluhur, petani yang mengelola proses pembibitan sampai dengan pemanenan tanaman padi dan palawija serta tenaga kerja yang melaksanakan proses pembibitan sampai dengan pemanenan tanaman padi dan palawija.
Perum Jasa Tirta II Perum Jasa Tirta II bertanggung jawab dalam pembangunan dan pemeliharaan jaringan irigasi di DI Jatiluhur yang bertujuan untuk menyediakan air untuk persawahan, menyediakan air baku untuk Perusahaan Air Minum DKI Jakarta dan sumber energi listrik untuk Jawa dan Bali,
serta mengendalikan
banjir. Untuk itu, PJT II harus mengetahui kebutuhan air untuk masing-masing keperluan di atas, dan juga ketersediaan air yang ada di sumbernya agar pemberian air sesuai dengan kebutuhan yang ada. Kebutuhan air untuk padi dan palawija diketahui dari pembagian golongan pemberian air dan jumlah areal penanaman padi / palawija untuk masing-masing golongan. Pemberian air yang tidak sesuai dengan golongannya berakibat pada pemboro san air irigasi. Penggolongan ini juga dimaksudkan untuk menghindari kebutuhan puncak apabila penanaman padi dan palawija dilakukan secara bersamaan. Penggolongan pemberian air dilakukan sebelum musim tanam dengan cara melakukan musyawarah yang melibatkan unsur-unsur petani (P3A), aparat pemerintah, produsen saprodi dan PJT II yang berlangsung mulai dari tingkat desa sampai dengan tingkat propinsi. Dalam musyawarah ini dibahas mengenai kesiapan petani memulai musim tanam, kesiapan produsen dalam menyediakan sarana produksi dan ketersediaan air yang dikelola oleh PJT II. Dengan adanya penggolongan pemberian air ini dapat diketahui lokasi areal persawahan yang
71
membutuhkan air irigasi sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan terlebih dahulu sehingga dapat memberikan hasil dengan (1) memanfaatkan ketersediaan air secara maksimal sesuai dengan kebutuhan, dan (2) meminimumkam pemborosan air.
Perkumpulan Petani Pemakai Air Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) merupakan pengelompokan petani yang bertujuan mewakili kepentingan individu petani dalam usahanya untuk mendapatkan dan menggunakan air irigasi bagi areal persawahannya. Dalam menyambut musim tanam, musyawarah yang dilakukan harus melibatkan unsur P3A agar pemberian air irigasi mempunyai jadwal yang sesuai dengan waktu penanaman padi / palawija. Pengurus P3A bertanggung jawab agar setiap anggotanya mendapatkan jumlah air sesuai dengan kebutuhan dan tepat waktu. Untuk dapat memperoleh hasil yang optimal, kondisi yang diharapkan oleh P3A adalah : (1) ketersediaan air irigasi yang optimal sesuai dengan kebutuhan air tanaman, (2) ketersediaan sarana produksi pertanian yang memadai dan (3) informasi golongan pemberian air yang tepat waktu.
Tenaga Kerja Di DI Jatiluhur, tenaga kerja manusia masih memegang peranan utama dalam proses pembibitan sampai dengan pemanenan. Penggunaan mesin pertanian dapat dikatakan masih jarang karena biaya pemakaian yang cukup tinggi serta kepemilikan lahan pertanian dengan rata-rata luasan 1,02 ha (Sinotech 1978), sehingga pemakaian mesin pertanian dianggap tidak ekonomis. Traktor dan mesin pertanian lainnya baru digunakan apabila kelompok P3A di daerah tersebut cukup aktif, yang pada kenyataannya aktifitas kebanyakan organisasi P3A di DI Jatiluhur tidaklah begitu menonjol. Dikarenakan hal-hal tersebut di atas, penggunaan tenaga kerja manusia di DI Jatiluhur masih cukup intensif. Hal-hal yang diharapkan oleh tenaga kerja adalah : (1) kesinambungan pekerjaan, (2) intensitas pekerjaan yang memadai, dan (3) tingkat upah yang layak.
72
Formulasi Masalah Beranjak dari hasil analisis kebutuhan terhadap berbagai pihak yang terlibat didalam proses pemberian air irigasi, dapat diketahui masalah yang dihadapi oleh masing–masing pihak tersebut. Dalam disertasi ini, akan dicari penggolongan pemberian air yang optimal sehingga dapat menghasilkan keuntungan maksimum untuk wilayah pertanian dimaksud Masalah tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut : (1)
Luas areal pertanian mengalami perubahan tanpa dapat dikendalikan dan lokasi petak pertanian dari saluran air tidak diperhitungkan dalam distribusi air
(2)
Pemborosan pemberian air dikarenakan petani terlambat memulai musim tanam, waktu penyaluran yang tidak sesuai dengan jadwal yang diminta oleh petani, dan debit air yang tidak sesuai dengan kebutuhan irigasi.
(3)
Pembagian air yang tidak merata antara sawah yang letaknya dekat saluran air dengan sawah yang letaknya jauh dari saluran air serta permintaan petani untuk menggenangi sawah secara terus menerus
(4)
Jumlah kebutuhan air hanya didasarkan pada tahapan pertumbuhan tanaman, dan penentuan total kebutuhan air pada saat pelaksanaan irigasi membutuhkan waktu lama yang berakibat tertundanya pemberian debit tambahan bila petani menunda musim tanam.
(5)
Saat musim kemarau panjang, pemberian air irigasi bagian hulu dan hilir tidak sesuai dengan luas tanam, terjadi kehilangan air yang disebabkan oleh rembesan (seepage) dan evaporasi,
(6)
Upaya untuk dapat menentukan golongan pemberian air yang optimum, yang harus diselaraskan dengan kesiapan petani untuk memulai musim tanam dan ketersediaan air irigasi yang memadai
(7)
Keterbatasan jumlah air irigasi yang tersedia dimana pemakaian air tidak hanya di bidang pertanian akan tetapi juga ada penggunaan di bidang lain seperti air minum dan pengendalian banjir
(8)
Keterbatasan jumlah tenaga kerja, dimana pada saat ini jumlah tenaga kerja semakin berkurang dikarenakan ketidaktertarikan generasi muda untuk terjun di bidang pertanian
73
(9)
Keterbatasan penggunaan mesin -mesin pertanian yang dikarenakan biaya pemakaian yang cukup tinggi serta kepemilikan lahan pertanian yang tidak terlampau luas yaitu rata-rata di bawah 1 hektar
(10)
Ketersediaan sarana produksi pertanian yang terbatas, dikarenakan faktor distribusi saprodi yang kurang berjalan dengan baik.
Identifikasi Sistem Optimisasi pemberian air irigasi merupakan suatu sistem yang mempunyai komponen masukan (input) dan berinteraksi dengan lingkungannya. Hasil pemrosesan sistem tersebut adalah merupakan keluaran (output), baik yang diharapkan maupun tidak diharapkan. Interaksi antara komponen yang saling mempengaruhi dapat digambarkan dalam sebuah diagram lingkar sebab akibat. Dilain pihak hubungan antara masukan dan keluaran (input-output) disajikan dalam sebuah diagram masukan dan keluaran
Diagram Sebab Akibat Hubungan sebab -akibat antara komponen sistem yang mempunyai pengaruh terhadap optimisasi pemberian air irigasi disajikan pada Gambar 22. Diagram sebab akibat optimisasi pemberian air irigasi menyatakan keterkaitan antara optimisasi pemberian air irigasi dengan ketersediaan air panjang jaringan irigasi, dimensi jaringan irigasi, besar debit air, luas areal persawahan, jarak lahan persawahan dengan jaringan irigasi, keterlambatan panenan, ketersediaan saprodi, biaya irigasi, biaya penggunaan mesin pertanian, biaya pengadaan saprodi, produktivitas aktual padi, produktivitas maksimum, kapasitas kerja mesin, jumlah tenaga kerja dan lama waktu bekerja.
74
+ Luas Lahan
+
Luas Target
+
Ketersedia -an Air
Curah Hujan
_ + _ Kebutuhan Air
+ Biaya Total
Kesempatan Mendapat Air
+
Harga Jual Komodi
Panen Berkualitas & Tepat Waktu
+
+ Pemanfa -atan Air
+
+
_
+ Keuntungan Wilayah
_
Penambahan Golongan
Pemanfaatan Saprodi, Buruh, Alsin
_
Waktu & Jumlah Pemberian Air
+ +
+
Ketepatan Realisasi Musim Tanam
Ketersediaan Saprodi, Buruh, Alsin
+
Kesiapan Petani
+
Gambar 22. Diagram sebab akibat optimisasi pemberian air irigasi
_
77
Diagram Masukan Keluaran Optimisasi pemberian air dilakukan dengan mengatur masukan terkontrol agar keluaran yang tak diinginkan menjadi minimal. Pengaturan tersebut meliputi pengelolaan jenis komoditi yang ditanam dan waktu mulainya penanaman. Jenis komoditi yang ditanam dibagi menjadi dua jenis yaitu padi dan palawija, sedangkan waktu mulainya penanaman dibagi menjadi 4 golongan. Pemberian air irigasi selalu diusahakan agar dapat merata sesuai dengan luas lahan yang ditanami. Pemanfaatan air secara maksimum dapat ditentukan berdasarkan ketersediaan air, dimensi jaringan, kecepatan air, jenis komoditi dan luas penanaman. Ketersediaan air dapat berubah karena hal tersebut tergantung pada iklim, sehingga akan mempengaruhi jumlah luas lahan yang dapat diairi. Diagram masukan-keluaran proses optimisasi disajikan pada Gambar 23.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
MASUKAN TAK TERKONTROL Ketersediaan Air Ketersediaan Saprodi Ketersediaan Buruh Kecepatan Air Produktivitas Luas Panen Waktu tersedia
MASUKAN LINGKUNGAN 1.Iklim 2.Peraturan Pemerintah 3.Harga-harga input
KELUARAN YANG DIINGINKAN 1. Pemanfaatan Air Maks. 2. Pemborosan Air Min. 3. Produksi Panen Tinggi. 4. Keuntungan Wilayah Maks.
SISTEM PEMBERIAN AIR IRIGASI
1. 2. 3. 4. 5. 6.
KELUARAN YANG TAK DIINGINKAN 1. Golongan Pemberian Air Tidak Optimal 2. Waktu Pemberian Air Tidak Tepat 3. Jumlah Pemberian Air Tidak Sesuai 4. Rusaknya Jaringan Irigasi
MASUKAN TERKONTROL Jenis Komoditas Musim Tanam Kap. Mesin Waktu Kerja Harian Informasi tepat waktu Dimensi Jaringan KONTROL / MANAJEMEN
Gambar 23. Diagram masukan keluaran optimisasi pemberian air irigasi
78
Oleh karena itu, setiap tahun sebelum musim tanam dimulai, ketersediaan air harus selalu dievaluasi oleh PJT II, sehingga dalam musyawarah dengan pihak petani akan dapat ditentukan berapa luas lahan yang dapat ditanami, jenis komoditi apa yang dapat ditanam dan kapan komoditi tersebut bisa ditanam. Dalam program optimisasi pemberian air irigasi, penggolongan waktu pemberian air akan dicari dengan menggunakan Algoritma Genetik dan dari hasilnya diharapkan keuntungan wilayah akan menjadi maksimum.
Pengambilan Data Tempat Dalam rangka penyusunan model optimisasi penjadwalan pada penyaluran air irigasi, pengambilan data primer dilakukan di Perum Jasa Tirta II, Purwakarta. Sedangkan data sekunder selain didapat dari tempat yang sama, juga diperoleh dari instansi lain yang berhubungan dengan pertanian dan irigasi, antara lain Dinas Pertanian dan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di wilayah Pengamat Irigasi Cikarang. Lokasi wilayah pengamat Cikarang Perum Jasa Tirta II disajikan pada Gambar 24.
Waktu Pelaksanaan pengambilan data di lapang disesuaikan dengan jadwal musim tanam di daerah Pengamat Irigasi Cikarang, yaitu dari bulan Agustus 2002 sampai dengan Oktober 2002, Agustus 2003 sampai dengan September 2003 serta pada bulan September 2004.
Data Data yang diambil berupa data spasial, lingkungan, biaya dan tenaga kerja. Data spasial berupa posisi pintu air dan petak tersier pada jaringan irigasi serta jarak antar pintu air. Data primer mengenai pengoperasian jaringan irigasi, golongan pemberian air, dan hasil panen yang diperoleh (luas persawahan dan banyaknya hasil panen) didapat dari hasil wawancara (in-depth interview ) terhadap anggota panitia irigasi. Data sekunder yang diambil adalah harga jual
79
komoditas, komponen biaya dari mesin, sarana produksi pertanian dan tenaga kerja, serta curah hujan selama 10 tahun.
Jawa Barat
Gambar 24. Wilayah Pengamat Irigasi Cikarang Perum Jasa Tirta II
80
Model Optimisasi Pemberian Air Irigasi
Model optimisasi pemberian air irigasi mempunyai empat macam masukan, yaitu (1) data spasial, (2) faktor lingkungan, (3) faktor biaya, dan (4) faktor tenaga kerja. Keempat jenis masukan tersebut memberikan data untuk rangkaian proses optimisasi berdasarkan karakteristik dan situasi yang terjadi pada setiap unit petak tersier di wilayah pengamat Cikarang. Seluruh rangkaian proses optimisasi menggunakan metode Algoritma Genetik untuk menghasilkan keluaran rencana irigasi golongan yang ditampilkan melalui Sistem Informasi Geografis. Gambar 25 menyajikan struktur model optimisasi pemberian air irigasi dan Gambar 26 menyajikan tahapan proses optimisasi menggunakan Algoritma Genetik.
PROSES PENENTUAN GOLONGAN
MANAJEMEN PJT II
- Jaringan
PROSES
irigasi
INISIA-
- Lingkungan - Biaya - Tenaga kerja
PANITIA
LISASI
PROSES HITUNG KEUNTUNGAN
LUASAN SISTEM PROSES OPTIMISASI GOLONGAN
IRIGASI
INFORMASI GEOGRAFIS
Informasi Rencana Golongan
Gambar 25. Struktur model optimisasi pemberian air irigasi
81
Inisialisasi Inisialisasi AG dan Populasi Evaluasi Antarmuka Model Periksa keuntungan tiap kromosom
Kontrol eksekusi Cek konvergensi
Ya
Penentuan Golongan Pengecekan Kendala Alokasi Petak Tersier
Solusi Optimum
Tidak Seleksi Pemilihan kromosom parent
Reproduksi (Crossover) Pemilihan operator Penggunaan operator
Mutasi Pemilihan operator Penggunaan operator
Pergantian Memasukkan kromosom baru Membuang kromosom lama yang tidak menguntungkan Gambar 26. Tahapan Algoritma Genetik untuk optimisasi golongan Data jaringan irigasi yang dibutuhkan oleh proses optimisasi pemberian air irigasi adalah letak masing-masing petak ters ier, posisi jaringan irigasi baik primer, sekunder dan tersier, letak pintu air (intake) dan jarak antar pintu air. Letak petak tersier berpengaruh terhadap penentuan golongan pemberian air, yaitu semakin dekat letak petak tersier ke saluran primer, maka petak tersebut akan
82
mendapat air terlebih dahulu daripada petak tersier yang letaknya jauh dari saluran primer. Beberapa tahun lalu, Perum Jasa Tirta II memberlakukan peraturan yang mendahulukan pemberian air irigasi untuk petak tersier yang letaknya terjauh dari saluran primer dan diikuti oleh petak tersier yang lebih dekat. Akan tetapi karena banyaknya aksi pencurian air irigasi di sepanjang saluran sekunder yang merugikan PJT II, maka perusahaan kemudian merubah peraturan tersebut sampai sekarang. Berdasarkan waktu pemberian air irigasi inilah petani dapat memulai proses budidaya tanaman baik padi ataupun palawija. Proses budidaya dilakukan pada petak tersier yang mendapat air irigasi dari saluran tersier dan saluran tersier mendapat air irigasi dari saluran sekunder. Letak pintu air berpengaruh terhadap lama waktu suatu petak tersier mendapat air irigasi, karena pintu air ini juga termasuk dalam penentuan golongan, sehingga pintu air akan dibuka apabila petak tersier dalam golongan tersebut sudah harus dib eri air. Selain itu jarak antar pintu air juga mempunyai pengaruh terhadap proses penentuan golongan karena untuk setiap saluran sekunder akan ditetapkan jarak masing-masing golongan ke saluran primer. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses op timisasi pemberian air irigasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu cuaca dan sifat fisik tanah. Untuk cuaca, lebih spesifik adalah curah hujan, merupakan faktor yang mempunyai pengaruh terhadap kuantitas air irigasi yang dibutuhkan oleh tanaman. Dalam sistem irigasi, air irigasi dari PJT II sebenarnya merupakan pelengkap bila dibandingkan air irigasi yang tersedia dari sumber-sumber sekitar misalnya sungai atau curah hujan. Dengan demikian, PJT II hanya akan mengalirkan air dari bendung Curug bilamana terdapat kekurangan air di lapangan. Faktor lingkungan yang kedua adalah sifat fisik tanah dan ini berpengaruh terhadap kemampuan tanah dalam menyimpan air untuk mencukupi kebutuhan air tanaman. Berhubung di daerah irigasi Jatiluhur mayoritas tanamannya adalah padi, maka nilai perkolasi tanah merupakan parameter utama dalam mengatur pemberian air irigasi di daerah tersebut. Faktor lingkungan berkontribusi terhadap perhitungan kebutuhan air tanaman dan berperan sebagai salah satu komponen dalam model penentuan golongan pemberian air irigasi.
83
Faktor biaya merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam proses optimisasi pemberian air irigasi karena faktor ini dapat menjadi penentu dalam keputusan petani untuk melakukan proses budidaya padi dan palawija. Faktor biaya terdiri dari tiga komponen yaitu (1)biaya irigasi, (2)biaya alat mesin pertanian (alsintan), dan (3)biaya pengadaan sarana produksi (saprodi) pertanian. Komponen biaya irigasi merupakan iuran (kewajiban) yang dibayar oleh petani kepada Perkump ulan Petani Pemakai Air (P3A) di setiap desa dimana petani menjadi anggotanya. Besaran iuran tersebut ditetapkan berdasarkan luas lahan garapan pada setiap musim tanam dan kebutuhan air tanaman per hektarnya. Komponen biaya alsintan adalah harga yang harus dibayar oleh petani untuk mendapatkan jasa penggunaan alsintan tersebut misalnya traktor. Perhitungan biaya alsintan meliputi kapasitas kerja alsintan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan per hari. Komponen ketiga adalah biaya pengadaan saprodi pertanian yang meliputi benih, pupuk dan obat-obatan. Perhitungan biaya pengadaan saprodi berdasarkan jumlah saprodi yang diperlukan dalam proses budidaya dengan luas lahan garapan yang telah ditentukan. Ketiga komponen biaya ini berperan pada model perhitungan keuntungan untuk menghitung keuntungan bersih yang didapat oleh daerah budidaya tertentu. Biaya tenaga kerja merupakan masukan terakhir dari proses optimisasi pemberian air irigasi. Ketersediaan tenaga kerja dibutuhkan mulai dari tahap awal proses budidaya (tanam benih) sampai dengan pemanenan. Besaran biaya tenaga kerja dihitung berdasarkan luas lahan garapan, tahapan proses budidaya yang sedang berlangsung dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tahapan tersebut. Biaya tenaga kerja berperan dalam model perhitungan keuntungan untuk menghitung keuntungan bersih yang didapat oleh daerah budidaya tertentu. Ketersediaan tenaga kerja merupakan faktor yang sampai saat ini belum tergantikan oleh alsintan dikarenakan luas kepemilikan lahan pertanian oleh petani di daerah irigasi Jatiluhur tidak cukup ekonomis bila diproses dengan menggunakan alsintan. Proses optimisasi pemberian air irigasi disusun berdasarkan keadaan dan data lapang di tempat pengambilan data (daerah irigasi Jatiluhur). Perbedaan sistem irigasi di daerah ini dengan sistem irigasi di daerah lain antara lain pada
84
cara penentuan golongan pemberian air. Di daerah irigasi Jatiluhur, petak tersier yang mendapat air terlebih dahulu adalah petak yang terdekat dengan saluran primer baru kemud ian diikuti oleh petak-petak yang lebih jauh. Selain itu, petani di DI Jatiluhur mempunyai kesempatan untuk melakukan tiga kali musim tanam dalam jangka waktu setahun yaitu Oktober sampai dengan September tahun berikutnya. Perbedaan lainnya terletak pada struktur kepanitiaan irigasi dan prosedur kerjanya, misalnya keterlibatan pejabat pemerintah daerah pada struktur kepanitiaan irigasi, proses pengumpulan data dan informasi mengenai kesiapan petani dalam menghadapi musim tanam, sistem pemeliharaan dan perbaikan jaringan irigasi dan sebagainya.
Proses Inisialisasi Luasan Proses inisialisasi luasan merupakan bagian awal dari optimisasi menggunakan Algoritma Genetik. Proses inisialisasi luasan bertujuan untuk mencari nilai awal dari luas setiap golongan. Proses ini menggunakan struktur kromosom berdasarkan prioritas dan luasan lahan untuk memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh panitia irigasi. Luasan lahan dinyatakan sebagai prosentase dari luas lahan secara keseluruhan sehingga kromosom (genotype) yang digunakan dalam Algoritma Genetik disebut dengan Prosentase dan Prioritas (P&P). Dalam hal ini, luas setiap golongan ditentukan secara acak dengan menggunakan metode probabilitas relatif dan kumulatif dari data luas tiap golongan selama
10 tahun terakhir. Tujuan dari penggunaan data luas lahan
terdahulu adalah agar nilai awal luas golongan yang dibangkitkan oleh proses inisialisasi merupakan nilai dengan pendekatan terbaik terhadap peluang tertinggi dari nilai luas lahan terdahulu. Kemudian nilai luasan tersebut dikonversikan ke prosentase dari luasan total sebagai nilai tiap gen dalam kromosom yang akan dipergunakan pada proses optimisasi. Dengan menggunakan pembangkit acak, nilai yang didapat pada setiap kali proses ini dimulai akan selalu berbeda walaupun variabel yang digunakan adalah sama. Untuk mendapatkan nilai awal luas golongan yang mewakili peluang dari nilai awal luas golongan terdahulu, pada setiap optimis asi dilakukan sepuluh kali proses inisialisasi. Nilai luas golongan yang diambil adalah nilai dengan peluang tertinggi.
85
Inisialisasi populasi P&P menghasilkan sejumlah gen per kromosom yang disesuaikan dengan jumlah golongan pemberian air. Dalam hal ini masing-masing kromosom berisi 4 gen yang merepresentasikan jumlah golongan pemberian air yaitu sebanyak 4 golongan, sedangkan angka prosentase yang terdapat pada masing-masing gen merepresentasikan prosentase target untuk setiap golongan. Pada penelitian ini jumlah gen dalam satu kromosom adalah tetap, karena pihak panitia irigasi di DI Jatiluhur telah menetapkan jumlah golongan pemberian air yaitu sebanyak 4 golongan, akan tetapi dengan status setiap unit irigasi dapat mengalami perubahan pada setiap musim tanam. Sebagai contoh adalah Golongan I sebesar 40%, Golongan II sebesar 30%, Golongan III sebesar 20% dan sisanya adalah Golongan IV. Besar prosentase tiap golongan mengikuti
tingkat peluang berdasarkan data yang
diambil dalam kurun waktu 8 tahun terakhir. Sedangkan rincian unit irigasi-unit irigasi yang termasuk sebagai anggota pada tiap-tiap golongan tidak dinyatakan secara eksplisit pada struktur kromosom, melainkan akan ditampilkan berdasarkan keluaran dari model penentuan golongan dan divisualisasikan melalui sistem informasi geografis. Untuk proses optimisasi, setiap gen dalam kromosom (genotype) menyatakan skala prioritas terhadap prosentase target lahan yang harus dipenuhi. Skala prioritas tersebut dapat diterapkan berdasarkan suatu peraturan atau kebijakan yang telah ditetapkan dalam permasalahan yang sedang dibahas. Komposisi struktur kromosom prioritas dan prosentase adalah sebagai berikut: setiap gen dalam kromosom mempunyai tiga komponen dengan arti yang berbeda-beda yaitu pembagian golongan, prioritas dan prosentase target seperti disajikan pada Gambar 27. Kromosom P&P 40 30 20 10
Prioritas
Interpretasi
1 2 3 4
Pembagian
Golongan I Golongan II Golongan III Golongan IV
Target %
40 30 20 10
Gambar 27. Contoh representasi kromosom P&P
Algoritma Greedy
86
Pembagian golongan dikodekan dalam struktur gen. Prosentase target dikodekan dalam struktur gen pada kisaran tertentu. Sedangkan prioritas setiap gen ditentukan oleh posisi pada kromosom tersebut. Dengan demikian interpretasi gen tergantung pada posisinya. Dalam hal ini, urutan dari gen-gen tersebut telah ditetapkan sesuai dengan urutan golongan secara menaik (ascendin g) dengan cara pembacaan dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah. Jumlah kromosom yang dibangkitkan pada tahap inisialisasi ini sebanyak 20 kromosom yang merupakan populasi awal. Jumlah 20 kromosom ini berarti terdapat 20 kemungkinan penyelesaian dari Algoritma Genetik dimana setiap penyelesaian mengandung informasi target luasan untuk setiap golongan yang direpresentasikan oleh nilai prosentase dari setiap gen. Implementasi struktur kromosom ke bahasa pemrograman direpresentasikan dalam bentuk array.
Proses Penentuan Golongan Proses penentuan golongan bertujuan mencari golongan irigasi atau mengalokasikan setiap petak tersier ke golongan tertentu berdasarkan kebutuhan faktor produksi untuk memulai musim tanam.
Kebutuhan faktor produksi
merupakan variabel keputusan dalam proses penentuan golongan. Di lain pihak, ketersediaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan faktor produksi merupakan kendala pada proses penentuan golongan. Untuk setiap petak tersier, variabel keputusan yang diuji meliputi : -
jarak ke sumber air irigasi,
-
waktu panen dari musim tanam sebelumnya
-
kebutuhan sarana produksi pertanian
-
kebutuhan tenaga kerja
-
kebutuhan alat mesin pertanian
-
kebutuhan air irigasi
Kendala yang membatasi penggunaan sumberdaya dari setiap petak tersier untuk memenuhi kebutuhan faktor produksinya meliputi : -
jarak minimum dan maksimum suatu golongan terhadap sumber air
-
pola tanam saat ini dan pola tanam anjuran
-
waktu panen terakhir
87
-
ketersediaan sarana produksi pertanian
-
ketersediaan tenaga kerja
-
ketersediaan alat mesin pertanian
-
ketersediaan air irigasi Proses penentuan golongan bekerja terhadap populasi kromosom yang
dihasilkan oleh proses inisialisasi atau populasi kromosom generasi berikutnya yang dihasilkan oleh tahap reproduksi. Perhitungan jarak dari unit irigasi ke sumber air dilakukan dengan menganalisis peta jaringan irigasi, mengidentifikasi letak sumber air dan unit irigasi yang mendapat air dari sumber yang bersangkutan untuk kemudian menghitung jaraknya. Pada peta jaringan irigasi informasi jarak yang dihitung meliputi : -
jarak antar unit irigasi secara langsung, dimana penentuan jaraknya langsung didapatkan dari peta jaringan
-
jarak antar unit irigasi tidak langsung yang dipisahkan oleh adanya jembatan, talang, gorong-gorong, syphon , terjunan, pelimpah dan tangga cuci, dimana penentuan jaraknya dilakukan dengan menjumlahkan jarak dari unit irigasi ke bangunan teknis dan dari bangunan teknis ke unit irigasi selanjutnya. Perhitungan waktu panen dilakukan dengan mengamati kegiatan budidaya
tanaman baik padi maupun palawija di setiap petak tersier untuk kemudian diperkirakan waktu panennya berdasarkan umur tanaman tersebut. Informasi waktu panen menjadi dasar penentuan dimulainya musim tanam untuk golongan pemberian air yang sedang diuji. Perhitungan ketersediaan faktor-faktor produksi pertanian seperti benih, pupuk dan obat-obatan, tenaga kerja serta alat mesin pertanian dilakukan dengan mendata faktor-faktor produksi tersebut pada dinas pertanian dari tiap-tiap kecamatan. Data tersebut akan dibandingkan dengan standar kebutuhan produksi terhadap luas lahan target yang akan ditanami. Perhitungan kebutuhan air tanaman untuk setiap golongan menggunakan metode Penmann-Monteith (FAO 1999). Data-data yang digunakan berasal dari stasiun
pengamat
cuaca
Cikarang.
Tahap
pertama
adalah
menghitung
88
evapotranspirasi acuan (ETo) dan tahap berikutnya adalah menghitung evapotranspirasi tanaman (ETc). Setelah komposisi kromosom P&P ditetapkan, langkah berikutnya adalah penentuan golongan dengan menggunakan algoritma greedy (Matthews 2001). Gambaran dari proses penentuan golongan disajikan pada Gambar 28.
UNTUK SETIAP GEN DALAM KROMOSOM P&P
INTERPRETASI GEN- PRIORITAS DAN PROSENTASE SERTA BERIKAN PENILAIAN BERDASARKAN SUMBERDAYA TERSEDIA (JARAK, AIR, MESIN, TENAGA KERJA DAN SARANA PRODUKSI) URUTKAN PETAK TERSIER BERDASARKAN NILAI SUMBER DAYA TERSEDIA DAN TEMPATKAN PADA DAFTAR PETAK TERSIER ULANG SAMPAI ALOKASI LAHAN PROSENTASE TARGET
Tidak
>
KRITERIA PETAK TERSIER SESUAI GOLONGAN YG DIUJI ?
Ya ALOKASIKAN PETAK TERSIER PERTAMA DARI DAFTAR KE DALAM GOLONGAN YG DIUJI TAMBAHKAN LUAS LAHAN GOLONGAN I DGN LUAS LAHAN PETAK TERSIER PERTAMA HAPUS PETAK TERSIER PERTAMA DARI DAFTAR
Tidak PETAK TERSIER TERAKHIR ?
Ya
HASIL ALOKASI LAHAN
Gambar 28. Prosedur algoritma greedy untuk penentuan golongan
89
Penggunaan algoritma greedy dalam proses penentuan atau alokasi lahan dijelaskan sebagai berikut : a. Berdasarkan genotype pembagian golongan (contoh di atas), dimulai dengan gen yang pertama (Gol I) dari kromosom yang pertama, untuk setiap unit irigasi (pintu air tersier) dilakukan penghitungan jarak dari unit tersebut ke pintu air saluran primer yang menjadi sumber air. Untuk wilayah pengamat Cikarang, salah satu sumbernya adalah pintu air bendung Tarum Barat nomor 30a (BTb30a). BTB30a menjadi sumber untuk saluran sekunder (SS) Rawa Sentul, SS. Sukatani, SS. Gelonggong, SS. LemahAbang, SS. Kalenderwak, SS. Kahuripan dan SS. Kb Lompong. Sumber air lainnya adalah Bendung Kd.Gede nomor 4 (BKg4). Dari sumber tersebut, air irigasi dialirkan ke SS Rengas Bendung, SS. Pulo Besar, dan SS.Rawa Kuda. Pintu air tersier terjauh yang dilayani oleh BTb30a berjarak 16 km, sedangkan pintu air tersier terjauh yang dilayani oleh BKg4 berjarak 22 km. Data rencana pokok penyediaan air irigasi di pengamat Cikarang dari MT 1996 sampai MT 2004 menyatakan, pintu air tersier yang jaraknya berdekatan dengan sumber akan menjadi Golongan I. Setelah Golongan I, pintu air berikutnya masuk menjadi Golongan II, dan seterusnya pada jarak yang lebih jauh lagi pintu air berikutnya akan menjadi Golongan III. Pintu-pintu air yang letaknya lebih jauh dari Golongan III akan menjadi Golongan IV sekaligus sebagai golongan pemberian air dengan jarak yang terjauh. Berdasarkan ukuran jarak tersebut dis usun klasifikasi jarak dengan interval tertentu sebanyak 4 kelas yang disesuaikan dengan jumlah golongan. Untuk menguji apakah suatu pintu air tersier mempunyai kriteria jarak yang sesuai dengan gen pertama (Gol I), setiap kelas diberi nilai tertentu. Nilai tertinggi yaitu 10,0 diberikan kepada kelas 1 yang mempunyai rentang jarak terdekat ke sumber BTb30a (jarak≤2,5 km). Nilai yang sama juga diberikan pada kelas 1 dengan rentang jarak terdekat ke sumber BKg04 (jarak≤5,0). Di lain pihak, untuk kelas 4 dengan rentang jarak yang terjauh ke sumber BTb30a (jarak>15), diberi nilai 2,5. Nilai yang sama juga diberikan pada kelas 4 yang mempunyai rentang jarak terjauh ke sumber BKg4 (jarak > 18,5). Sedangkan dua kelas sisanya yaitu kelas 2 dan kelas 3 diberi nilai 7,5 dan 5,0 yang
90
disesuaikan dengan jarak setiap kelas ke sumbernya masing-masing. Data mengenai jarak dan nilai yang diberikan ke setiap kelas selengkapnya disajikan pada Tabel 14 sebagai berikut:
Tabel 14. Kelas jarak pintu air tersier ke sumber beserta nilainya Sumber Air BTb30a
BKg4
Kelas
Jarak (km)
Nilai
1 2 3 4 1 2 3 4
X ≤ 2,5 2,5 < X ≤ 5,0 5,0 < X ≤ 15,0 X >15,0 X ≤ 5,0 5,0 < X ≤ 8,3 8,3 < X ≤ 18,5 X > 18,5
10,0 7,5 5,0 2,5 10,0 7,5 5,0 2,5
b. Mendapatkan data mengenai keterlambatan panen dari Musim Tanam sebelumnya (musim tanam gadu) untuk setiap unit irigasi atau petak tersier. Data ini berasal dari Dinas Pertanian, Juru Air atau P3A. Dari data tersebut, kemudian disusun 4 kelas berdasark an waktu panen yang terjadi. Perum Jasa Tirta menetapkan bahwa musim tanam untuk Golongan I dimulai pada tanggal 1 Oktober dan masa pemeliharaan jaringan dilakukan sebulan sebelumnya yaitu bulan September. Oleh karena itu, masa panen untuk Golongan I paling lambat adalah sebelum bulan September. Karena tahapan ini adalah untuk menguji petak tersier mana saja yang dapat dimasukkan ke dalam Golongan I, maka bagi petak tersier yang telah memasuki masa panen sebelum bulan September akan diberi nilai yang tertin ggi yaitu 10,0. Selain dari pada itu, nilai yang lebih rendah akan diberikan pada petak tersier dengan masa panen pada bulan September atau sesudahnya. Contohnya, petak tersier dengan masa panen pada bulan September akan mengalami keterlambatan untuk memulai musim tanam pada 1 Oktober (Golongan I), karena harus menunggu masa pemeliharaan jaringan irigasi dan pengolahan tanah di petak tersier tersebut. Oleh karena itu, nilai yang diberikan pada petak tersier tersebut adalah 7,5. Begitu juga petak tersier yang baru panen pada bulan berikutnya, nilai yang diberikan juga semakin rendah. Pemberian nilai untuk waktu panen yang
91
sesuai dengan pengujian untuk Golongan I disajikan selengkapnya pada Tabel 15. Tabel 15. Penilaian waktu panen untuk petak tersier Waktu Panen
Nilai
Sebelum bulan September
10,0
Bulan September
7,5
Bulan Oktober
5,0
Nopember dan sesudahnya
2,5
c. Mendapatkan data mengenai kebutuhan dan ketersediaan sarana produksi pertanian (benih, pupuk dan obat) pada setiap petak tersier
agar dapat
memulai musim tanam Golongan I yaitu pada 1 Oktober. Data ini dapat berasal dari Dinas Pertanian atau P3A. Pemberian nilai kepada petak tersier didasarkan pada rata-rata prosentase jumlah ketersediaan saprodi yang dibutuhkan petak tersier tersebut. Men urut Prasetyo (2002), kebutuhan benih untuk 1 hektar sawah adalah antara 30 kg – 40 kg, sedangkan kebutuhan pupuk untuk 1 hektar sawah adalah : Urea : 100 kg – 250 kg;
ZA : 0 kg – 200 kg
SP 36 : 50 kg – 200 kg;
KCL : 0 kg – 100 kg
Kebutuhan obat (herbisid a) adalah 4 liter per hektar. Berdasarkan spesifikasi tersebut, untuk pengujian Golongan I, angka tertinggi yaitu 10,0 diberikan kepada petak tersier yang mempunyai ketersediaan saprodi di atas 90% dari kebutuhan total di petak tersier tersebut. Bagi petak tersier yang mempunyai ketersediaan saprodi sebanyak 90% atau kurang dari yang dibutuhkan akan sulit untuk memulai musim tanam Golongan I secara tepat waktu. Oleh karena itu nilai yang diberikan juga akan lebih rendah. Contohnya, untuk petak tersier dengan ketersediaan saprodi di atas 70% sampai dengan 90% dari kebutuhannya diberi nilai 7,5. Begitu juga bagi petak-petak tersier lain yang ketersediaan saprodinya sebesar 70% atau kurang diberikan nilai yang lebih kecil dari 7,5. Pemberian nilai secara lengkap untuk prosentase tingkat ketersediaan saprodi dari suatu petak tersier agar dapat memulai musim tanam Golongan I disajikan pada Tabel 16.
92
Tabel 16. Penilaian tingkat ketersediaan saprodi untuk petak tersier Tingkat ketersediaan (%)
Nilai
90 < X ≤ 100
10,0
70 < X ≤ 90
7,5
40 < X ≤ 70
5,0
0 < X ≤ 40
2,5
d. Mendapatkan data mengenai kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja (buruh) untuk setiap petak tersier agar dapat memulai musim tanam Golongan I yaitu pada 1 Oktober. Data kebutuhan tenaga kerja diambil berdasarkan pendekatan dari SDBUT (1990). Bagi petak tersier dengan tingkat ketersediaan tenaga kerja lebih dari 90% dari yang dibutuhkan akan mendapat nilai tertinggi yaitu 10,0. Bagi petak tersier lain dengan tingkat ketersediaan tenaga kerja sebesar 90% atau kurang akan kesulitan untuk memulai musim tanam Golongan I, sehingga nilai yang diberikan akan lebih rendah. Contohnya, petak tersier dengan tingkat ketersediaan tenaga kerja lebih dari 70% sampai dengan 90% diberi nilai 7,5. Begitu pula dengan petak-petak tersier yang mempunyai tingkat ketersediaan tenaga kerjanya kurang dari 70% diberi nilai yang lebih kecil dari 7,5. Pemberian nilai secara lengkap mengenai prosentase tingkat ketersediaan tenaga kerja pada suatu petak tersier agar dapat memulai musim tanam pada Golongan I disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Penilaian tingkat ketersediaan tenaga kerja di daerah irigasi Tingkat ketersediaan (%)
Nilai
90 < X ≤ 100
10,0
70 < X ≤ 90
7,5
40 < X ≤ 70
5,0
0 < X ≤ 40
2.5
e. Mendapatkan data mengenai kebutuhan dan ketersediaan alat mesin pertanian yaitu traktor untuk keperluan pengolahan tanah di setiap petak tersier agar dapat memulai musim tanam Golongan I pada 1 Oktober. Cara
93
menghitungnya berdasarkan atas luas lahan dari petak tersier yang akan ditanami, jumlah dan kapasitas kerja traktor serta jumlah hari yang tersedia untuk melakukan pengolahan tanah. Hasil penelitian Siregar dan Nasution dalam Kasryno (1983) menunjukkan penggunaan traktor memerlukan waktu 22 jam kerja ha-1. Data dari panitia irigasi menyatakan waktu kerja traktor tangan adalah antara 10 sampai 12 jam per hari. Bila diasumsikan durasi kerja traktor adalah 11 jam per hari dan banyaknya waktu untuk memberikan layanan jasa penggunaan traktor diketahui, maka dapat dihitung tingkat ketersediaan traktor untuk petak tersier tersebut. Bagi petak tersier dengan tingkat ketersediaan layanan jasa traktor lebih dari 90% dari yang dibutuhkan mendapat nilai tertinggi yaitu 10,0. Bagi petak tersier lain dengan tingkat ketersediaan layanan jasa traktor sebesar 90% atau kurang akan mengalami kesulitan untuk memulai musim tanam Golongan I, sehingga nilai yang diberikan lebih rendah. Contohnya, petak tersier dengan tingkat ketersediaan layanan jasa traktor lebih dari 70% sampai dengan 90% diberi nilai 7,5. Begitu pula dengan petak-petak tersier yang mempunyai tingkat ketersediaan layanan jasa traktor kurang dari 70% diberi nilai yang lebih kecil dari 7,5. Pemberian nilai secara lengkap mengenai prosentase tingkat ketersediaan layanan jasa traktor pada suatu petak tersier agar dapat memulai musim tanam pada Golongan I disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Penilaian ketersediaan layanan jasa traktor di daerah irigasi Tingkat ketersediaan (%)
Nilai
90 < X ≤ 100
10,0
70 < X ≤ 90
7,5
40 < X ≤ 70
5,0
0 < X ≤ 40
2,5
f. Menentukan kebutuhan air irigasi untuk petak tersier
yang masuk ke
golongan I. Untuk itu harus ditentukan terlebih dahulu petak tersier mana saja yang masuk dalam Golongan I. Interval jarak petak tersier ke sumber BTb30a untuk Golongan I adalah dalam radius 0 sampai dengan 2,5 km dan jarak
94
petak tersier ke sumber BKg4 untuk Golongan I adalah dalam radius 0 sampai dengan 5 km, sehingga semua unit irigasi yang memenuhi persyaratan tersebut masuk ke Golongan I. Langkah berikut adalah menentukan kebutuhan air irigasi untuk setiap petak tersier yang terpilih dan menjumlahkan seluruh kebutuhan air irigasi dari golongan I tersebut g. Mendapatkan ketersediaan air untuk Golongan I. Data mengenai ketersediaan air diperoleh dari PJT II h. Memberlakukan prinsip algoritma greedy untuk Golongan I dengan kondisi sebagai berikut : 1. Bila kebutuhan air irigasi melebihi ketersediaan air, maka jumlah petak tersier harus dikurangi sampai dengan kebutuhan air sama dengan ketersediaan air. Pengurangan tersebut diberlakukan untuk petak tersier mulai dari radius yang terjauh dari sumber irigasi (BTb30a atau BKg4). Pada situasi ini, algoritma akan mengurangi/membuang sebanyak mungkin (“greedy”) petak tersier agar kebutuhan air menjadi sama dengan ketersediaannya. 2. Bila kebutuhan air kurang dari ketersediaan air, maka jumlah petak tersier untuk golongan I dapat ditambah dengan petak tersier yang mempunyai jarak ke sumbernya (BTb30a atau BKg4) lebih dari 5 Km sampai jumlah kebutuhan air sama dengan ketersediaan air. Pada situasi ini, algoritma akan menambah sebanyak mungkin (“ greedy”) petak tersier lainnya agar kebutuhan air menjadi sama dengan ketersediaannya. 3. Bila kebutuhan air irigasi sama dengan ketersediaan air berarti daerah unit irigasi yang terpilih sudah sesuai untuk masuk dalam Golongan I. i. Petak tersier terpilih di langkah h dianggap telah memenuhi syarat berdasarkan kebutuhan air irigasinya untuk masuk ke Golongan I sehingga diberikan nilai tertinggi yaitu 10,0. Bagi petak tersier yang tidak terpilih di langkah h, dianggap belum memenuhi syarat berdasarkan kebutuhan air irigasinya untuk masuk ke Golongan I, sehingga diberikan nilai yang lebih rendah yaitu 5,0. j. Menjumlahkan seluruh angka yang dihasilkan dari setiap petak tersier. k. Mengurutkan petak tersier mulai dari petak dengan jumlah nilai tertinggi (descending ) sampai dengan yang terendah dalam suatu daftar petak tersier.
95
l. Alokasikan petak tersier dari daftar tersebut mulai dari jumlah angka yang tertinggi masuk ke Golongan I sampai luas lahan semua petak tersier yang dialokasikan sama dengan prosentase target yang tercantum pada gen Golongan I atau sudah tidak ada petak tersier yang cocok untuk Golongan I atau seluruh petak sudah teralokasikan. Pada situasi ini algoritma akan menambah petak tersier sebanyak-banyaknya (greedy) sampai luas lahan total sama dengan prosentase target. m.Ulangi prosedur di atas untuk gen berikutnya (golongan II) sampai dengan seluruh petak sudah dialokasikan atau gen dalam kromosom P&P sudah habis. n. Bila semua gen dari kromosom P&P yang pertama sudah diberi alokasi petak tersier, ulangi prosedur di atas untuk kromosom berikutnya sampai dengan seluruh populasi kromosom diproses. Keluaran dari model ini adalah daftar petak tersier yang masuk dalam tiap golongan dari Golongan I sampai dengan golongan yang telah direncanakan. Sesuai dengan perencanaan PJT II, golongan terakhir yang mendapat pemberian air dalam jangka waktu 10 tahun terakhir adalah golongan IV. Berdasarkan
prosedur
tersebut,
operasi
pengurutan
data
sangat
berpengaruh pada proses alokasi petak tersier ke dalam golongan pemberian air. Penggunaan faktor produksi (saprodi, tenaga kerja, alsintan) maupun data spasial (posisi dan jarak unit irigasi) sebagai parameter penentuan kriteria adalah cukup efektif sebagai alat seleksi petak tersier masuk pada golongan tertentu. Bagi petani dari petak tersier yang sudah dialokasikan dalam golongan tertentu diharapkan dapat memulai musim tanam sesuai dengan jadwal pemberian air irigasi yang sudah ditentukan oleh panitia irigasi.
Proses Perhitungan Keuntungan Proses perhitungan keuntungan bertujuan untuk menghitung keuntungan bersih yang didapat dari setiap individu atau kromosom. Proses ini merupakan perwujudan fungsi evaluasi (fitness evaluation) yang merupakan fungsi tujuan dari proses optimisasi menggunakan Algoritma Genetik. Fungsi tujuan untuk menghitung keuntungan bersih sebelum pajak didasarkan pada hasil optimisasi penentuan golongan yang berlaku selama musim
96
tanam untuk jangka waktu satu tahun, berlaku untuk seluruh lahan yang ditanami baik padi maupun palawija. Akhand (1995) mengusulkan suatu model perhitungan keuntungan dimana keuntungan sebelum (NB) pajak merupakan selisih dari pendapatan total dikurangi biaya total. Perhitungan keuntungan didasarkan atas besarnya kebutuhan faktor produksi yang merupakan variabel keputusan terhadap ketersediaan sumber daya yang merupakan kendala di wilayah penelitian. Fungsi tujuan diformulasikan sebagai berikut :
Maksimumkan
NB
/34/
dimana : m
NB = ∑ i =1
∑ (X n
j =1
ij
Py j Yij − 10 Pxi X ijWij − X ij / Cij Pm − M ij PlX ij Dr − Ps X ij S ij ) m
dengan kendala-kendala :
n
∑ ∑W i =1 j =1 m
i =1 j =1
/36/
ij
/ Cij ≤ CtHt
/37/
ij
M ij ≤ Mt
/38/
ij
S ij ≤ St
/39/
n
∑∑ X i =1 j =1 m
≤ Wt
n
∑∑ X m
ij
n
∑∑ X i =1 j =1
dimana: NB
= keuntungan bersih (Rp)
Xij
= luas lahan untuk petak tersier i pola tanam j (ha)
Pyj
= harga jual komoditas j (Rp kg-1)
Yij
= jumlah hasil panen komoditas j di petak tersier i (kg ha-1 )
Pxi
= biaya irigasi untuk petak tersier i (Rp m-3)
Wij
= jumlah air irigasi yang dibutuhkan petak tersier i pola tanam j (mm)
10
= faktor konversi dari ha-mm ke m3
Pm
= biaya penggunaan mesin pertanian (Rp hari-1)
Cij
= kapasitas kerja alsin dibutuhkan di petak tersier i pola tanam j (ha hari-1 )
Pl
= biaya tenaga kerja (Rp orang -1)
97
Mij
= jumlah tenaga kerja dibutuhkan di petak i pola tanam j (orang ha-1 hari-1)
Dr
= lama waktu bekerja (hari)
Ps
= biaya pengadaan saprodi (Rp kg-1)
S ij
= kebutuhan saprodi di petak tersier i pola tanam j (kg ha-1 )
Wt
= jumlah air irigasi tersedia saat periode t (mm)
Ct
= kapasitas alsin tersedia saat olah tanah (ha hari-1 )
Ht
= durasi saat olah tanah (hari)
Mt
= jumlah tenaga kerja tersedia pada periode t (orang hari-1)
St
= jumlah saprodi tersedia saat periode t (kg)
Untuk memprediksi jumlah hasil panen (crop yield), formula yang digunakan adalah fungsi respon tanaman terhadap jumlah air irigasi yang diberikan (Doorenbos & Kassam 1979). Model ini digunakan untuk menghitung pengaruh pemberian air irigasi baik secara maksimal (full irrigation) maupun minimal (under irrigation) terhadap hasil panen secara kumulatif selama periode musim tanam.
X IE Yi = Ymi 1 − ky i 1 − ijk i ETmi
/36/
dimana : Ymi
= hasil panen maksimum dari petak tersier i (kg ha-1 )
kyi
= faktor respons hasil panen untuk petak tersier i
ETmi = evapotranspirasi maksimum dari petak tersier i (mm) IE i
= efisiensi irigasi dari petak tersier i
Pramudya dan Pertiwi (1998) telah menggunakan fungsi respons tanaman untuk meneliti dampak cengkaman air pada tanaman tebu. Selain itu penelitian mengenai produksi padi dengan menggunakan fungsi renspons tanaman dalam pengelolaan air irigasi dilakukan oleh Mehta (1990) serta Agudelo dan Hoekstra (2001). Akhand et al. (1995) menggunakan fungsi yang sama untuk memperhitungkan keuntungan dalam pengelolaan irigasi untuk tanaman gandum, kapas dan anggur.
98
Proses perhitungan keuntungan dilakukan setelah tahap inisialisasi dan setelah tahap optimisasi dengan cara menghitung fungsi tujuan dari setiap kromosom. Mekanisme evaluasinya adalah untuk setiap petak tersier pada golongan tertentu dihitung pendapatan total yang didapat kemudian dikurangi dengan biaya produksi total untuk mendapatkan keuntungan pada petak tersebut. Proses berikutnya adalah menjumlahkan keuntungan semua petak tersier pada golongan tersebut dan dilanjutkan dengan golongan lainnya untuk mendapatkan keuntungan
total.
Kromosom
yang
menghasilkan
keuntungan
tertinggi
dipertahankan dan selanjutnya mengalami proses evolusi untuk mendapatkan solusi yang lebih baik lagi.
Proses Optimisasi Golongan Proses optimisasi golongan dilakukan dengan menggunakan operator Algoritma Genetik dengan tujuan untuk mengoptimumkan nilai gen dari kromosom agar mendapatkan keuntungan wilayah maksimum. Gen dalam kromosom menunjukkan konfigurasi golongan pemberian air berdasarkan prosentase luas lahan setiap golongan. Kondisi optimum dicapai berdasarkan kriteria berhenti (stopping criteria) yang ditetapkan yaitu bila nilai keuntungan maksimum tidak berubah selama 5 generasi berturut-turut. Apabila kondisi optimum belum dicapai, maka akan dilakukan pemrosesan untuk generasi berikutnya. Operator Algoritma Genetik yang terlibat dalam proses optimisasi meliputi seleksi, reproduksi, mutasi dan pergantian. Seleksi.
Proses ini memilih materi genetik yang akan melakukan
reproduksi untuk menghasilkan generasi berikutnya. Semakin tinggi nilai evaluasi suatu kromosom, akan semakin tinggi pula kesempatannya terpilih untuk melakukan reproduksi. Pada penelitian ini terdapat tiga teknik seleksi yang akan diuji yaitu roulette-wheel (disebut juga “probability of survive”), turnamen dan elitist (Michalewicz 1996). Teknik yang memberikan hasil terbaik dalam pengujian akan digunakan dalam proses simulasi optimisasi pemberian air irigasi. Reproduksi. Setelah proses seleksi berakhir kemudian dilakukan proses reproduksi (crossover) dua kromosom (kromoso m parent) untuk mendapatkan N
99
kromosom-kromosom baru (kromosom child). Pada penelitian ini terdapat tiga teknik reproduksi yang akan diuji yaitu crossover 1-point, crossover modifikasi, dan crossover uniform. Teknik yang memberikan hasil terbaik dalam pengujian akan digunakan dalam proses simulasi optimisasi pemberian air irigasi. Mutasi. Mutasi
merupakan salah satu ciri khas metode Algoritma
Genetik. Proses mutasi diterapkan berdasarkan probabilitas mutasi pada kromosom dari populasi yang dihasilkan oleh proses reproduksi (crossover) dan menghasilkan variasi genetika baru dalam populasi kromosom. Mutasi akan menyebabkan terjadinya perubahan kromosom tertentu dengan merubah nilai dari satu atau beberapa gen yang ada di kromosom tersebut dengan pemikiran untuk menghasilkan kromosom yang baru. Pada penelitian ini terdapat tiga teknik mutasi yang akan diuji yaitu mutasi reciprocal exchange, mutasi creep dan mutasi acak (Beasley 1993). Teknik yang memberikan hasil terbaik dalam pengujian akan digunakan dalam proses simulasi optimisasi pemberian air irigasi.
Sistem Informasi Geografis Penggunaan sistem informasi geografis di dalam optimisasi pemberian air irigasi bertujuan untuk menjelaskan dampak adanya perubahan spasial. Hal yang berkaitan langsung adalah adanya perubahan luas golongan dari tahun ke tahun yang dapat diamati dengan menggunakan peta daerah irigasi pengamat Cikarang. Perubahan luas golongan ditandai dengan perubahan status golongan dari pintu air atau unit irigasi (intake). Dari peta daerah irigas i dapat diketahui jumlah luas lahan yang diairi oleh setiap unit irigasi, sehingga dengan berubahnya status golongan unit irigasi, maka akan berubah pula luas dari setiap golongan. Penelitian ini menggunakan piranti lunak sistem informasi geografis yang telah tersedia di pasar. Piranti lunak tersebut berfungsi untuk menampilkan perubahan status unit irigasi yang dapat diakses setiap kali selesai melakukan optimisasi. Dari peta keluaran sistem informasi geografis terdapat 4 kategori unit irigasi yang disesuaikan dengan jumlah golongan pemberian air. Berdasarkan informasi dari hasil optimisasi dan dibantu secara visual oleh peta tersebut, panitia irigasi kemudian menetapkan golongan dari daerah-petak tersier dan luas lahan yang didapat untuk setiap golongan. Hal ini akan membantu proses komunikasi
100
antar kelembagaan yang mempunyai peranan dalam pengoperasian jaringan irigasi.
Skenario Analisis Data masukan yang diberikan berupa beberapa alternatif yang dapat diaplikasikan ke daerah penelitian. Setiap alternatif akan memberikan hasil yang kemungkinan berbeda satu dengan lainnya. Proses optimisasi menggunakan dua jenis data masukan, yaitu : (1). Jumlah golongan, yang dalam penelitian ini menggunakan tetapan kebijakan panitia irigasi yaitu 4 golongan. (2). Pola tanam, dalam penelitian ini menggunakan pola tanam yang cukup sering dijumpai di lapangan, tetapi dalam optimisasi digunakan juga pola tanam anjuran dari Dinas Pertanian. Tabel 19 menyajikan kelima skenario yang akan disimulasikan sedangkan Lampiran 7 menyajikan alokasi waktu pola tanam untuk setiap skenario dengan OT menyimbolkan saat olah tanah dan BR menyimbolkan saat bera. Tabel 19 Skenario optimisasi Skenario 0
Golongan I II III IV 1 I II III IV 2 I II III IV 3 I II III IV 4 I II III IV Pi : Padi, Pa : Palawija
Pola Tanam Pi–Pi–Pi Pi–Pi–Pi Pi–Pi–Pa Pi–Pi–Pa Pi–Pi–Pa Pi–Pi–Pa Pi–Pa–Pa Pi–Pa–Pa Pi–Pi–Pi Pi–Pi–Pa Pi–Pi–Pa Pi–Pa–Pa Pi–Pi–Pi Pi–Pi–Pa Pi–Pa–Pa Pi–Pa–Pa Pi–Pi–Pi Pi–Pi–Pi Pi–Pa–Pa Pi–Pa–Pa
Justifikasi Pola tanam yang umum dilakukan oleh petani (Golongan I s/d Golongan IV) wilayah Pengamat Irigasi Cikarang. Salah satu pola tanam yang ditentukan oleh Dinas Pertanian karena dapat menjaga kesuburan tanah dan menghasikan keuntungan yang tinggi Variasi pola tanam yang sebaiknya dilakukan oleh petani karena penanaman padi tidak membutuhkan pemeliharaan yang rutin Salah satu pola tanam yang ditentukan oleh Dinas Pertanian. Penanaman padi dilakukan karena faktor cuaca dan menjaga ketersediaan beras Salah satu pola tanam anjuran dari Dinas Pertanian. Penanaman padi dilakukan karena faktor cuaca dan menjaga ketersediaan beras.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Sistem irigasi Jatiluhur berlokasi pada 6° - 6°40’ LS dan 106°8’ - 107°0’ BT yang berjarak sekitar 140 km dari Jakarta di bagian Barat sampai dengan Sungai Cilalanang di bagian Timur, dan dibatasi oleh Laut Jawa di Utara serta lembah sungai di bagian Selatan. Sistem irigasi Jatiluhur dikelola oleh Perum Jasa Tirta II yang berkantor pusat di Purwakarta. Berdasarkan sumber air yang tersedia, DI Jatiluhur dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian utara yang mendapat air dari Waduk Jatiluhur dan bagian selatan yang mendapat air dari sungai-sungai setempat. Total daerah irigasi adalah 238.133 ha untuk musim rendeng (hujan) 2002 mulai dari bulan Oktober sampai dengan bulan April dan 229 689 ha untuk musim gadu (kemarau) 2002 mulai dari bulan Mei sampai dengan bulan September. Curah hujan tahunan berdasarkan data selama 20 tahun terakhir berkisar antara 1 000 sampai dengan 1 500 mm. Ada tiga saluran induk (primer) yang mengalirkan air dari waduk yaitu Saluran Tarum Timur sepanjang 67 km untuk daerah Subang dan sekitarnya; Saluran Tarum Utara untuk daerah Karawang melalui bendung Walahar dan Saluran Tarum Barat sepanjang 70 km untuk daerah Bekasi dan suplai Perusahaan Air Minum DKI Jakarta. Ketiga saluran induk tersebut mendapat air dari Bendung Curug yang diperlengkapi dengan pompa dan pintu air. Untuk menyalurkan air ke tiga saluran primer, telah dibangun 16 bangunan utama yang terdiri dari bendung dan pintu-pintu air, yaitu : -
untuk saluran Tarum Timur : Rejag, Kalong, Sungapan, Telar, Jengkol, Karangtaman, Rewelutan, Gadung dan Salamdarma
-
untuk saluran Tarum Utara : Walahar dan Ranggon
-
untuk saluran Tarum Barat : Bekasi, Beet, Cikarang, Sunter, dan Buaran
Selain itu terdapat 14 bangunan utama untuk menyalurkan air ke jaringan irigasi lokal di daerah irigasi bagian selatan, yaitu : Cikeas, Cisomang, Pondoksalam, Pundong, Cinangka, Curugagung, Barugbug, Surupan, Cileuleuy, Macan, Leuwinangka, Pedati, Cilalanang, dan Pangsor.
102
Selain itu terdapat sekitar 1.300 bangunan pendukung diperlengkapi dengan pintu air dan stop logs untuk menyuplai air ke petak irigasi yang berasal dari saluran sekunder ataupun dari sumber setempat. Periode penyaluran air direncanakan dengan jumlah sesuai dengan kebutuhan dari tiap golongan selama 15 hari kemudian untuk periode 15 hari 3
berikutnya jumlah air akan dikurangi sampai mencapai jumlah 0 (m dtk -1) pada saat mendekati panenan.
Daerah Irigasi Daerah irigasi Jatiluhur tersebar pada lima kabupaten sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 20 berikut :
Tabel 20. Daerah irigasi yang termasuk wilayah otoritas PJT II Kabupaten
Daerah Utara (ha) Bekasi 62 319 Karawang 94 732 Subang 59 746 Indramayu 23 201 Purwakarta 0 Total 240 000 Sumber : Sinotech (1978)
Daerah Selatan (ha) 4 971 11 246 13 954 15 890 18 663 64 724
Total (ha) 64 290 105 972 73 702 39 091 18 663 301 724
Sungai-sungai di daerah Jatiluhur umumnya mengalir dari selatan ke utara dan bermuara di laut Jawa. Sungai-sungai utama adalah Cikeas, Cikarang, Cibeet, Citarum, Ciherang, Cilamaya, Ciasem, Cipunegara, dan Cilalanang. Musim hujan di daerah Jatiluhur umumnya berlangsung dari bulan Nopember sampai dengan Mei, sedangkan musim kemarau berlangsung dari bulan Juni sampai dengan Oktober. Data curah hujan selama 20 tahun terakhir : curah hujan tahunan adalah 1.000 – 1.500 mm. Di daerah Wanayasa dekat Subang, curah hujan mencapai 4.000 mm. Secara umum, curah hujan tertinggi terjadi di bulan Januari dan curah hujan terendah berlangsung selama bulan Agustus. Jenis tanah di DI Jatiluhur diklasifikasikan menjadi tiga yaitu : -
aluvial muda,
-
aluvial tua, dan
103
-
aluvial humus
Lahan pertanian di DI Jatiluhur dibagi menjadi dua kategori yaitu lahan pertanian untuk padi sawah dan lahan kering yang digunakan untuk ladang dan perkebunan misalnya teh dan karet. Pada saat penanaman padi, Perum Jasa Tirta II harus memperhitungkan besarnya perkolasi agar penentuan kebutuhan air irigasi dapat dihitung secara akurat. Tabel 21 menyajikan nilai perkolasi untuk setiap tahap pertumbuhan tanaman padi.
Tabel 21. Nilai perkolasi pada setiap tahap pertumbuhan tanaman padi Tingkat Umur Tanaman No Rendeng Gadu Tanam/Tandur Tanam/Tandur (0 – 15 hari) (0 – 15 hari) 2 Pertumbuhan I Pertumbuhan I (16 – 30 hari) (16 – 30 hari) 3 Pertumbuhan II Pertumbuhan II (31 – 60 hari) (31 – 45 hari) 4 Pembungaan I Pembungaan I (61 – 75 hari) (46 – 60 hari) 5 Pembungaan II Pembungaan II (76 – 90 hari) (61 – 75 hari) 6 Pematangan I Pematangan I (91-105 hari) (76 – 90 hari) 7 Pemtangan II Pematangan II (106 – 120 hari) (91 – 105 hari) Sumber : Perum Jasa Tirta II (2001) 1
Perkolasi (mm/hari) 3,50 3,00 3,00 2,50 2,00 1,50 1,50
Populasi di daerah ini berjumlah sekitar 5 juta jiwa dimana 70% terlibat di dalam kegiatan pertanian. Rata-rata kepemilikan tanah menurut Ketua HKTI, Agusdin Pulungan (2005) adalah 0,3 ha walaupun ada pemilik tanah yang mempunyai lahan seluas 5 – 7,5 ha. Sistem sewa tanah berlaku di daerah ini dimana jumlah pemilik dan penggarap sawah seimbang dengan jumlah penyewa. Umumnya, pola tanam yang dijalankan pada lahan beririgasi teknis dan semi teknis adalah padi-padi-palawija (Oktober/Januari – Pebruari/Mei – Juni/September). Sedangkan pola tanam untuk lahan tadah hujan adalah padipalawija (Maret/Juni – Juli/Oktober).
104
Produktivitas padi untuk daerah ini adalah berkisar antara 5,8 ton ha-1, kacang tanah 0,8 ton ha-1, kedelai 1,3 ton ha-1, dan jagung 3,7 ton ha-1 (Basuki 1990). Tanaman padi yang dibudidayakan meliputi jenis IR64 dan IR24 yang dapat dipanen pada usia 120 hari untuk musim rendeng dan jenis IR1561 yang dapat dipanen pada usia 100 sampai dengan 105 hari untuk musim gadu (Sugeng 2001).
Operasional dan Pemeliharaan Aktivitas operasional dan pemeliharaan jaringan irigasi pada bagian onfarm atau jaringan tersier dan kuarter dilakukan oleh petani dan bagian off-farm atau jaringan primer, sekunder dan tersier dilakukan oleh petugas Perum Jasa Tirta II. Jaringan primer dan sekunder meliputi bendung, sekat ukur, saluran primer, saluran sekunder, dan saluran tersier (dalam jarak 50 meter dari pintu offtake). Rencana operasional dan pemeliharaan disusun oleh bagian operasional dan pemeliharaan, Direktorat Irigasi untuk kemudian dilaksanakan oleh Pengamat, Seksi dan Divisi dari Perum Jasa Tirta II. Pengoperasian jaringan on-farm dilakukan oleh petani atau P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air), akan tetapi secara umum masih belum efektif. Konsep awalnya adalah aktivitas P3A dilakukan sepenuhnya oleh petani serta diawasi dan dibantu oleh Perum Jasa Tirta II, Dinas Pertanian, dan aparat kecamatan setempat.
Manajemen irigasi Perum Jasa Tirta II mengelola daerah irigasi Jatiluhur dengan membawahi tiga divisi yaitu Divisi Usaha I (Bekasi, Cikarang dan LemahAbang), Divisi Usaha II (Rengasdengklok, Telagasari dan Purwakarta), serta Divisi Usaha III (Jatisari, Binong, Patrol dan Subang). Masing-masing divisi membawahi beberapa seksi dan masing-masing seksi membawahi beberapa pengamat. Pengamat Irigasi Cikarang (PI Cikarang), tempat penelitian ini dilakukan, terletak di Desa Kr. Sari Kecamatan Cikarang Timur Kabupaten Bekasi yang
105
berbatasan dengan Kabupaten Karawang dan dipisahkan oleh sungai Citarum. PI Cikarang berada di bawah Seksi LemahAbang dan Divisi Barat. Manajemen sistem irigasi terdiri dari PJT II yang mempunyai kewenangan mengelola jaringan irigasi mulai dari sumber air sampai dengan pintu offtake saluran tersier (off-farm system). Kemudian mulai dari pintu intake saluran tersier sampai dengan petakan sawah dikelola oleh P3A/Mitra Cai setempat. Otoritas irigasi yang bertanggung jawab dalam pen gelolaan jaringan irigasi adalah biro eksploitasi dan biro pemeliharaan untuk segi perencanaan dan divisi untuk segi implementasi dari eksploitasi dan pemeliharaan.
Biro eksploitasi berkewajiban dalam : 1. mempersiapkan perencanaan irigasi untuk setiap saluran utama 2. mengumpulkan data curah hujan dan debit dari sungai dan saluran di daerah irigasi 3. supervisi kegiatan irigasi
Biro pemeliharaan berkewajiban dalam: 1. mempersiapkan kegiatan pemeliharaan sarana di daerah irigasi 2. mempersiapkan dan mengelola anggaran pemeliharaan jaringan irigasi 3. supervisi kegiatan pemeliharaan 4. inspeksi jaringan irigasi 5. mencatat dan menganalisa data pemeliharaan jaringan irigasi
Struktur organisasi Perum Jasa Tirta II disajikan pada Gambar 29, sedangkan manajemen sistem irigasi disajikan pada Gambar 30. Divisi berkewajiban untuk mengawasi kegiatan unit dibawahnya yaitu seksi, pengamat dan juru dalam kegiatan pemompaan air irigasi, penyaluran dan pendistribusiannya. Divisi dan seksi mengelola sumber air dan saluran primer, sedangkan saluran sekunder dan pintu off-take dikelola oleh pengamat dan juru.
Komite Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi Jawa Barat Direktur Utama
Direktur Administrasi Bagian Umum Administrasi Operasi Pemeliharaan Administrasi Operasi Pemeliharaan
Direktur Irigasi
Produksi Pertanian
Direktur Pembangkitan Tenaga Listrik
Operasi & Pemeliharaan
Konstruksi
Divisi
Biro Administrasi
Biro Pemeliharaan
Biro Operasi
Seksi
Personalia
Perencanaan
Perencanaan
Pengamat
Keuangan
Inspeksi
Inspeksi
Juru
Material
Gambar 29. Struktur organisasi Perum Jasa Tirta II (Sinotech 1978)
106
Penjaga
Pengadaan
107
Penanggung Jawab
Sistem Irigasi
Sumber Air Kantor Divisi
Saluran Primer
Sistem Penyaluran
Kantor Seksi Pintu Pembagi
Pengamat Saluran Sekunder Juru Turn Out
P3A / Mitra Cai
Pintu Ke Saluran Tersier
Kotak Pembagi Gambar 2. Manajemen Sistem Irigasi Kelompok Tani
Petani
Pintu Ke Petak Sawah Sawah
Gambar 30. Manajemen Sistem Irigasi (Sinotech 1978)
Sistem Distribusi
108
P3A/Mitra Cai berkewajiban untuk mengoperasikan sistem distribusi air di jaringan tersier. Saat ini manajemen pengoperasian jaringan tersier oleh petani masih belum efektif dikarenakan ketiadaan atau kurang berfungsinya P3A/Mitra Cai. PJT II telah berusaha untuk mensosialisasikan berdirinya P3A/Mitra Cai dan meningkatkan kinerja P3A/Mitra Cai yang ada. Akan tetapi masih banyak yang harus dikerjakan dalam usaha tersebut karena beberapa faktor sebagai berikut: (1) Tingkat pendidikan yang rendah dari masyarakat petani (2) Kurangnya dukungan dari pemerintah daerah dan petani (3) Kurangnya teknisi ahli untuk mengelola manajemen irigasi (4) Struktur organisasi yang tidak memadai (5) Lemahnya pengawasan dalam pengoperasian sistem irigasi (6) Manajemen keuangan yang tidak efisien Perencanaan strategi pelayanan irigasi merupakan topik penelitian. Gambar 31 menunjukkan perbandingan topik penelitian ini dengan perencanaan penggunaan lahan lain yang juga mempunyai parameter temporal dan spasial. Parameter spasial meliputi letak jaringan dan petak tersier secara individu sampai dengan keseluruhan sistem irigasi secara nasional. Parameter temporal meliputi jangka waktu mulai dari satuan jam sampai dengan satuan dekade. Perencanaan strategi pelayanan irigasi menitikberatkan pada optimisasi pola penentuan penggunaan lahan secara spasial untuk lahan pertanian, sedangkan parameter temporalnya mempunyai jangka perencanaan tahunan. Dalam perencanaan tahunan, terdapat hal-hal yang harus diperhitungkan misalnya ketersediaan air irigasi, saprodi, tenaga kerja dan aspek komersial dari hasil produksi. Untuk melaksanakan pengelolaan jaringan irigasi dan memberikan pelayanan kepada pelanggan, otoritas irigasi dalam perencanaannya memerlukan data iklim, curah hujan, kapasitas kanal, lahan yang ditanami dan kebutuhan air irigasi. Dari data-data tersebut di atas, manajemen akan melakukan perkiraan kebutuhan air dengan mempertimbangkan tahap pertumbuhan tanaman, faktor iklim dan kondisi tanah pada tingkat Seksi. Kebutuhan air meliputi pengolahan
109
tanah, evapotranspirasi, perkolasi, hujan efektif, dan faktor kehilangan air pada saluran.
Spasial Nasional Rencana Kebijakan Pertanian Propinsi Rencana Strategi Pelayanan Irigasi Perkebunan/ Persawahan Pertanian Presisi Individu
Jam
Hari
Minggu
Bulan
Tahun
Dekade
Temporal
Gambar 31. Parameter Temporal – Spasial pada perencanaan strategi pelayanan irigasi
Sistem Irigasi Golongan Pemberian air irigasi di DI Jatiluhur dibagi menjadi 4 golongan . Penggolongan tersebut juga berarti bahwa petani mulai menanam padi sesuai dengan golongan sawahnya. Golongan I mendapat air mulai tanggal 1 Oktober; Golongan II mendapat air mulai tanggal 16 Oktober, sedangkan Golongan III dan Golongan IV berturut-turut mendapatkan air mulai tanggal 1 Nopember dan 16 Nopember. Penggolongan pemberian air bertujuan untuk mengurangi puncak kebutuhan air irigasi yang dapat terjadi apabila petani mulai menanam padi secara bersamaan. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam proses penentuan golongan adalah: -
letak daerah persawahan terhadap sumber air, dimana sawah -sawah yang terletak dekat dengan sumber air akan dikelompokkan menjadi satu, begitu juga sawah -sawah yang berjarak sedang dan berjarak jauh dari sumber air akan dikelompokkan tersendiri
110
-
kebutuhan air irigasi harus lebih kecil atau sama dengan ketersediaan sumber air dengan ketentuan pemberian air pada suatu golongan akan terlebih dahulu dipenuhi dari sumber air setempat (sungai, danau dan lainnya), dan apabila ketersediaan sumber setempat lebih kecil dari permintaan, pihak otoritas irigasi akan menambah kekurangannya.
-
kebutuhan irigasi harus memperhitungkan kondisi cuaca, keadaan tanah dan tahap pertumbuhan tanaman
-
kapasitas saluran air harus mencukupi dalam pemberian air ke tiap-tiap golongan
-
ketersediaan tenaga kerja dan alat mesin pertanian yang mencukupi untuk setiap tahap pertumbuhan tanaman
-
keterlambatan panen dari musim tanam sebelumnya Apabila keseluruhan tahapan di atas telah dilalui, manajemen akan
memperhitungkan kebutuhan irigasi di seluruh daerah irigasi Jatiluhur. Pada saat musim tanam yang dimulai setiap tanggal 1 Oktober, panitia irigasi akan memberikan layanan pengairan dengan perbedaan indeks kebutuhan air sesuai dengan rencana penyediaan dan penggunaan air irigasi tahunan. Menurut rencana pokok penyediaan dan penggunaan air 2001/2002, musim tanam padi rendeng adalah 4,5 bulan, tanam padi gadu 4 bulan dan tanam palawija adalah 2 bulan. Pembagian golongan untuk pelaksanaan musim tanam di wilayah pengamat Cikarang sebelum dioptimisasi yang terdiri dari petak tersier Golongan I, petak tersier Golongan II, petak tersier Golongan III dan petak tersier Golongan IV dengan distribusi frekuensi pada luas golongan disajikan pada Lampiran 1. Dalam pelaksanaan irig asi, ada kemungkinan bahwa jadwal tersebut di atas tidak dapat diikuti sepenuhnya. Dari pihak petani, persiapan dalam mengelola tanah dan memulai musim tanam dapat mundur dari jadwal dikarenakan keterbatasan sarana produksi, tenaga kerja ataupun alat mesin pertanian. Contoh keterlambatan terjadi misalnya, dari 2 000 hektar sawah golongan satu yang seharusnya mulai bertanam padi pada tanggal 1 Oktober, ternyata ada 1 000 hektar yang baru mulai pada tanggal 16 Oktober. Sedangkan pihak otoritas irigasi harus tetap memberikan air irigasi sesuai jadwal dengan jumlah sesuai dengan rencana semula. Kemudian pada periode kedua (16 Oktober sampai dengan 31
111
Oktober), jumlah air yang harus diberikan menjadi bertambah karena sawah golongan 2 mulai bertanam padi ditambah dengan sisa sawah golongan 1 yang terlambat. Dari pihak otoritas irigasi, bila terdapat kebocoran saluran atau tingkat ketersediaan air berkurang, maka dapat terjadi keterlambatan jadwal pemberian air.
Evaluasi Kebutuhan Air Irigasi Petugas irigasi (juru) akan mengevaluasi tingkat pertumbuhan tanaman setiap 15 hari sekali untuk kemudian menentukan jumlah kebutuhan air 15 hari mendatang. Jumlah ini akan dapat sama atau berbeda dengan rencana pemberian air tergantung dari kondisi pertumbuhan tanaman. Dari laporan setiap juru yang mengawasi lahan seluas 700 sampai 1.000 hektar, akan dibuat rekapitulasinya untuk disampaikan kepada divisi di atasnya beserta tembusan ke seksi yang mengelola saluran primer. Berdasarkan laporan yang diterima dan keters ediaan air yang ada, jumlah air yang telah disesuaikan akan diberikan pada periode 15 hari berikutnya. Gambar 32 menyajikan mekanisme penentuan kebutuhan air irigasi yang dilakukan oleh panitia irigasi, sedangkan Gambar 33 menyajikan struktur formal kelembagaan panitia irigasi. Proses mekanisme penentuan kebutuhan air irigasi dimulai dari turunnya memorandum dari tingkat Gubernur Jawa Barat kepada para Bupati yang wilayahnya termasuk daerah irigasi Jatiluhur. Memorandum tersebut berisi instruksi untuk menyusun rencana pokok penyediaan dan penggunaan air untuk irigasi.yang akan dilaksanakan pada musim tanam mendatang. Tahap berikutnya para Bupati menginstruksikan para Camat di bawahnya untuk mengkoordinasi pertemuan panitia irigasi tingkat kecamatan untuk membahas rencana pokok dan penggunaan air irigasi di wilayahnya masing-masing. Hasil dari pertemuan tersebut kemudian dilaporkan secara berjenjang ke Bupati dan sampai akhirnya ke tingkat propinsi untuk disahkan bersama-sama antara Gubernur Jawa Barat dan Direktur Perum Jasa Tirta II.
113
112
Gambar 32. Sistem dan mekanisme penentuan kebutuhan air irigasi di Jatiluhur (PJT II 2001)
113
KELEMBAGAAN PU PENGAIRAN (BEKASI)
DINAS PU PENGAIRAN TK. I
DINAS PU PENGAIRAN TK II
CABANG DINAS PU
KELEMBAGAAN PJT II (BEKASI)
Panitia Irigasi Tingkat Propinsi
PJT II
Panitia Irigasi Tingkat Kabupaten
DIVISI
Panitia Irigasi Tingkat Kecamatan
SEKSI
PENGAIRAN
PENGAMAT PENGAIRAN
Daerah Irigasi
PENGAMAT PENGAIRAN
JURU PENGAIRAN
JURU PENGAIRAN
PENJAGA PINTU
PENJAGA PINTU
BENDUNG (PPB)
BENDUNG (PPB)
PENJAGA PINTU AIR (PPA)
PENJAGA PINTU AIR (PPA)
Tersier P3A
P3A
Gambar 33. Struktur organisasi formal kelembagaan irigasi (Rachman 1999)
Sistem Irigasi Rotasi (Gilir-giring) Pada saat musim hujan, sebagian besar kebutuhan air irigasi biasanya dipasok dari sumber setempat (misalnya sungai) dan dari curah hujan efektif yang
114
cukup tinggi. Jumlah pasokan air dari sumber setempat sekitar 70 persen. Sedangkan sisanya sekitar 30 persen dipasok dari waduk Jatiluhur sendiri. Tetapi pada saat musim kemarau, ketersediaan air irigasi menjadi berkurang karena jumlah curah hujan efektif dan sumber air setempat yang semakin mengecil. Untuk itu diperlukan tambahan dengan jumlah yang cukup besar dari waduk Jatiluhur, yaitu sekitar 90 persen. Akan tetapi apabila musim kemaraunya cukup panjang, permukaan waduk juga akan turun sehingga air yang tersedia tidak mencukupi untuk melakukan irigasi secara penuh. Oleh karena itu, panitia irigasi akan memberlakukan sistem irigasi rotasi (gilir giring). Pada pertengahan tahun 1997 dan tahun 1998 sistem irigasi rotasi diberlakukan di wilayah Pengamat Irigasi Cikarang karena adanya fenomena El Nino yang menyebabkan musim kemarau berkepanjangan dan ketersediaan air menjadi lebih kecil daripada kebutuhan untuk irigasi. Sistem irigasi rotasi (gilir giring) dilakukan dengan cara membagi daerah irigasi menjadi dua bagian, yaitu bagian hulu (depan) yang dekat dengan sumber air irigasi dan bagian hilir (belakang) yang letaknya jauh dari sumber air irigasi. Agar setiap bagian mendapatkan jumlah air yang mencukupi, diperlukan penjadwalan pemberian air yang ketat. Saat irigasi rotasi diberlakukan, bagian hulu mendapat waktu pemberian air standar selama 3 hari 3 malam yang biasanya dimulai pada pukul 07.00 pada hari yang pertama. Kemudian bagian hilir mendapat waktu pemberian air standar selama 4 hari 4 malam berikutnya yang dimulai pada pukul 07.00 pada hari ke empat. Penentuan jangka waktu standar 4 hari 4 malam untuk daerah hilir disebabkan air irigasi membutuhkan waktu 1 hari 1 malam (24 jam) untuk mencapai dae rah hilir. Sehingga waktu pemberian air irigasi untuk bagian hilir adalah sama dengan bagian hulu yaitu 3 hari 3 malam (72 jam). Batas antara bagian hulu dan bagian hilir berupa bangunan bagi sadap. Jadwal gilir giring ditentukan oleh panitia irigasi dan diberitahukan oleh pihak kecamatan ke masing-masing desa. Prosedur pemberian air adalah pada 3 hari 3 malam pertama, pintu air (intake) di bagian hilir ditutup dan pintu air di bagian hulu dibuka. Pada 4 hari 4 malam berikutnya prosedur yang berlaku adalah sebaliknya yaitu pintu air hulu ditutup dan pintu air hilir dibuka. Salah satu jaringan irigasi yang pernah mengalami sistem gilir giring adalah saluran
115
sekunder Rawa Bendung dimana pintu air Rbd1 sampai Rbd7 menjadi bagian hulu dan pintu air Rbd9 sampai Rbd26 menjadi bagian hilir. Sistem ini menyisakan air setinggi kurang lebih 5 cm untuk bagian yang sedang tidak mendapat air. Irigasi rotasi (gilir giring) dilakukan pada saat penanaman (tandur) dan bukan saat pengolahan tanah. Waktu irigasi rotasi (gilir giring) biasanya terjadi sekitar bulan Juni sampai Agustus. Kelemahan sistem irigasi gilir giring antara lain : 1. Jarang dilakukan perhitungan mengenai berapa luas bagian hulu (depan) dan bagian hilir (belakang), sehingga pemberian air irigasi menjadi tidak merata. Contoh: bagian yang mengalami proses tanam dengan luas tanam lebih besar mendapatkan air yang lebih sedikit daripada seharusnya. 2. Kebutuhan air pada petakan sawah belum diperhitungkan secara menyeluruh, dimana pada saat ini perhitungan hanya dilakukan berdasarkan faktor tanaman saja. Faktor lain yang berpengaruh adalah kehilangan air selama penyaluran disebabkan seepage dan evaporasi. 3. Belum ada perhitungan atau prosedur untuk menghitung pemasukan air pada intake ke petakan sawah serta waktu yang dibutuhkan untuk penggenangan petakan 4. Di dalam satu bagian yang sama (hulu atau hilir) sering terjadi pemberian air yang tidak merata, karena aliran air irigasi dari sumbernya hanya dibatasi oleh bangunan bagi sadap yang menjadi batas antara bagian hulu dengan bagian hilir. Oleh karena itu, petakan sawah yang terdepan mendapat waktu pemberian air yang lebih lama dibandingkan dengan petakan sawah yang di belakang, walaupun kedua petakan tersebut terletak di bagian yang sama.
Hasil Pengujian Teknik Operator Sebelum menggunakan metode Algoritma Genetik dalam proses optimisasi golongan pemberian air, terlebih dahulu harus dilakukan pengujian teknik pemrosesan di dalam Algoritma Genetik itu sendiri. Metode Algoritma
116
Genetik mempunyai banyak parameter yang dapat mempengaruhi kinerja proses optimisasi, sebab apabila tidak dilakukan pengujian maka kinerja Algoritma Genetik akan menjadi seburuk kinerja pencarian secara acak (random search). Pemrosesan dalam Algoritma Genetik meliputi seleksi, reproduksi dan mutasi, dengan masing-masing proses mempunyai teknik-teknik pilihan tersendiri. Dengan melakukan pengujian secara hati-hati, diharapkan Algoritma Genetik akan mampu melakukan proses optimisasi golongan dengan baik. Menurut Sorensen (2002), Algoritma Genetik yang menggunakan representasi
bilangan
desimal
(real)
mempunyai
kecenderungan
untuk
menghasilkan kinerja lebih baik pada angka probabilitas mutasi mendekati 1 bila dibandingkan dengan Algoritma Genetik dengan representasi bilangan biner. Akan tetapi untuk mengidentifikasi angka probabilitas mutasi yang optimal masih menjadi perdebatan dan cenderung tergantung pada permasahan yang dihadapi. Studi parameter yang pertama adalah membandingkan kinerja dari Algoritma Genetik berdasarkan angka probabilitas mutasi yang bervariasi. Angka probabilitas yang diuji adalah 0,05; 0,10; 0,25; 0,50; 0,75 dan 0,95. Untuk setiap variasi probabilitas mutasi, tiga proses pengujian Algoritma Genetik dijalankan, dimana pembangkit bilangan acak untuk setiap eksekusinya didasarkan pada angka sumber (seed) yang berbeda. Jumlah populasi dalam pengujian sebanyak 20 kromosom dengan menggunakan penggantian steady-state dan Algoritma Genetik dieksekusi selama 10 generasi. Proses seleksi menggunakan teknik roulette-wheel dengan besaran slot berdasarkan pada nilai fitness. Proses reproduksi menggunakan teknik crossover uniform dengan probabilitas yang seimbang antar parent chromosome, sedangkan probabilitas crossover dipilih sebesar 0,5 (Matthews 2001). Teknik mutasi yang digunakan adalah random dengan setiap gen mempunyai peluang yang sama untuk mengalami proses mutasi dengan angka probabilitas mutasi bervariasi. Proses pengujian menggunakan Skenario 1. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 22.
117
Tabel 22. Pengujian Probabilitas Mutasi pm
Test Ke 1 (juta Rp) Terbaik Rerata
Test Ke 2 (juta Rp) Terbaik Rerata
Test Ke 3 (juta Rp) Terbaik Rerata
Rerata Total (juta Rp)
0,05
36 597
33 992
35 184
34 396
33 113
32 145
33 511
0,10
35 248
32 880
33 770
32 170
35 246
33 463
32 838
0,25
33 961
33 304
35 823
33 196
38 207
36 953
34 485
0,50
35 489
34 490
37 386
35 442
37 670
33 730
34 554
0,75
38 161
35 435
37 239
35 142
38 206
34 116
34 898
0,95
36 611
35 026
35 700
33 827
36 632
33 164
34 006
Probabilitas mutasi yang menghasilkan nilai fitness tertinggi didapatkan dari angka 0,75 dan angka probabilitas mutasi 0,10 menghasilkan nilai fitness terendah. Dari tabel di atas tidak terdapat kecenderungan (trend) yang pasti dari pengujian yang telah dilakukan terlihat dari nilai fitness yang didapat dari angka probabilitas mutasi 0,05 ternyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai fitness yang didapat dari angka probabilitas mutasi 0,10. Oleh karena itu, nilai tetapan probabilitas mutasi yang optimal belum dapat didefinisikan secara formal. Michalewicz (1995) menggunakan probabilitas mutasi sebesar 0,01 akan tetapi Gen dan Cheng (1997) menyatakan probabilitas mutasi yang terlampau rendah berakibat pada kurangnya kesempatan gen-gen yang menguntungkan
untuk
masuk dalam kromosom. Sedangkan bila probabilitas mutasi terlampau tinggi menyebabkan perubahan acak yang semakin banyak dan hal tersebut berakibat pada kromosom child yang semakin tidak memiliki kemiripan dengan kromosom parent. Berdasarkan pertimbangan di atas, angka 0,05 digunakan sebagai probabilitas mutasi terpilih untuk studi berikutnya. Berikutnya dilakukan pengujian terhadap beberapa tipe dari teknik crossover. Tiga mekanisme crossover diputuskan untuk diuji, yaitu
uniform
crossover dengan probab ilitas yang seimbang antar parent chromosome, 1-point crossover yang mengkombinasikan 2 kromosom pada satu titik perpotongan dan mengabaikan panjang kromosom, serta modification crossover dengan teknik perpotongan yang mirip dengan 1-point crossover tetapi dengan perolehan gen parent dari posisi yang berbeda. Ketiga mekanisme tersebut telah dijelaskan pada bab Algoritma Genetik. Untuk setiap tipe crossover, tiga proses pengujian
118
Algoritma Genetik dijalankan, dimana pembangkit bilangan acak untuk setiap eksekusinya didasarkan pada angka sumber (seed) yang berbeda. Jumlah populasi dalam pengujian sebanyak 20 kromosom
dengan menggunakan penggantian
steady-state dan Algoritma Genetik dieksekusi selama 10 generasi. Proses seleksi menggunakan teknik roulette-wheel dengan besaran slot berdasarkan pada nilai fitness. Probabilitas crossover dipilih sebesar 0,5. Teknik mutasi yang digunakan adalah random dengan probabilitas mutasi sebesar 0,75 yang didasarkan pada uji nilai probabilitas mutasi sebelumnya. Proses pengujian menggunakan Skenario 1. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Pengujian Teknik Crossover
Crossover
Test Ke 1
Test Ke 2
Test Ke 3
Rerata
(juta Rp)
(juta Rp)
(juta Rp)
Total
Terbaik
Rerata
Terbaik
Rerata
Terbaik
Rerata
(juta Rp)
Uniform
37 258
36 031
36 506
34 015
38 351
36 014
35 353
1 – point
36 518
34 844
37 426
34 815
37 417
35 831
35 163
Modifikasi
34 603
33 166
35 204
34 112
33 164
32 222
33 167
Studi menunjukkan bahwa crossover uniform memberikan hasil rerata total yang terbaik dan crossover 1-point mempunyai kinerja yang terburuk dian tara ke tiga teknik yang diuji. Hal ini dikarenakan crossover uniform mempertukarkan gen secara individual antar kromosom parent dibandingkan pertukaran gen secara segmental yang terjadi pada crossover 1-point maupun modifikasi, sehingga karakteristik kromosom child menjadi lebih bervariasi sebagai hasil kombinasi dari kromosom parent. Variasi ini akan memperbesar peluang crossover uniform untuk mengeksplorasi searchspace. Studi mengenai operator Algoritma Genetik berikutnya adalah untuk memilih teknik seleksi. Ada 3 teknik yang akan diuji. Pertama adalah metode turnamen dimana metode ini memilih 2 individu dari populasi dengan seluruh individu mempunyai peluang yang sama untuk dipilih dan kemudian individu dengan nilai fitness (keuntungan) lebih tinggi akan terpilih untuk menjadi kromosom parent. Metode berikutnya yang diuji adalah metode roulette-wheel dimana metode ini menggunakan peluang yang proporsional terhadap nilai fitness
119
(keuntungan) dari setiap kromosom yang nantinya akan dipilih untuk menjadi kromosom parent. Sedangkan teknik terakhir yang diuji adalah metode elitist yang mempertahankan kromosom terbaik untuk menjadi anggota pada populasi berikutnya. Untuk setiap teknik seleksi, tiga proses pengujian Algoritma Genetik dijalankan, dimana pembangkit bilangan acak untuk setiap eksekusinya didasarkan pada angka sumber (seed) yang berbeda. Jumlah populasi dalam pengujian sebanyak 20 kromosom dengan menggunakan penggantian steadystate dan Algoritma Genetik dieksekusi selama 10 generasi. Proses reproduksi menggunakan teknik crossover uniform dengan probabilitas yang seimbang antar parent chromosome, sedangkan probabilitas crossover dipilih sebesar 0,5. Teknik mutasi yang digunakan adalah random dengan probabilitas mutasi sebesar 0,75 yang didasarkan pada uji nilai probabilitas mutasi sebelumnya. Proses pengujian menggunakan Skenario 1. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 24.
Tabel 24. Pengujian Teknik Seleksi Test Ke 1 (juta Rp)
T est Ke 2 (juta Rp)
Test Ke 3 (juta Rp)
Rerata Total
Seleksi
Terbaik
Rerata
Terbaik
Rerata
Terbaik
Rerata
(juta Rp)
Turnamen
32 533
31 619
32 532
31 954
32 532
31 648
31 741
Roulette-wheel
32 532
31 642
32 532
32 259
32 532
32 318
32 073
Elitist
32 533
32 474
32 532
32 197
32 533
32 258
32 310
Dari tiga test yang dilakukan untuk setiap kasus seleksi, metode elitist memberikan nilai fitness tertinggi dan metode turnamen memberikan nilai fitness yang terendah di antara ketiga teknik tersebut. Metode elitist mengungguli metode roulette-wheel karena konsistensi nilai fitness yang dihasilkannya. Dengan mempertahankan kromosom terbaik pada generasi berikutnya, metode elitist sekaligus memberikan nilai terbaik yang stabil selama tiga kali pengujian. Studi operator Algoritma Genetik yang terakhir adalah membandingkan 3 mekanisme mutasi yang berbeda. Mekanisme yang pertama adalah mutasi reciprocal-exchange yang diekspresikan sebagai penentuan 2 gen secara acak pada kromosom yang akan mengalami mutasi untuk kemudian nilai kedua gen tersebut dipertukarkan. Mekanisme yang kedua adalah mutasi acak, dimana setiap gen pada kromosom yang akan mengalami mutasi mempunyai peluang yang sama
120
untuk digantikan nilainya dengan nilai lain yang diambil secara acak dari searchspace. Sedangkan mutasi ketiga adalah mutasi creep dimana nilai gen yang ditentukan secara acak pada kromosom yang akan mengalami mutasi akan ditambah atau dikurangi dengan bilangan kecil yang dibangkitkan secara acak. Untuk setiap teknik mutasi tiga proses pengujian Algoritma Genetik dijalankan, dimana pembangkit bilangan acak untuk setiap eksekusinya didasarkan pada angka sumber (seed) yang berbeda. Jumlah populasi dalam pengujian sebanyak 20 kromosom dengan menggunakan penggantian steady-state dan Algoritma Genetik dieksekusi selama 10 generasi. Proses reproduksi menggunakan teknik crossover uniform dengan probabilitas yang seimbang antar parent chromosome, sedangkan probabilitas crossover dipilih sebesar 0,5. Pengujian ketiga teknik tersebut menggunakan probabilitas mutasi sebesar 0,75 yang didasarkan pada uji nilai probabilitas mutasi sebelumnya. Proses pengujian menggunakan Skenario 1. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25. Pengujian Teknik Mutasi Mutasi
Rerata Total
Test Ke 1(juta Rp)
Test Ke 2 (juta Rp)
Test Ke 3 (juta Rp)
Terbaik
Rerata
Terbaik
Rerata
Terbaik
Rerata
(juta Rp)
R-Exchg
34 603
32 508
33 961
32 634
35 728
34 271
33 138
Acak
32 532
32 136
32 532
32 082
32 532
32 178
32 132
Creep
35 146
32 444
33 585
32 465
33 165
32 625
32 511
Dari hasil pengujian metode reciprocal exchange memberikan hasil yang tertinggi baik untuk nilai maksimum maupun nilai rata-rata, kecuali pada test ke 1 dimana metode creep memberikan hasil yang lebih baik untuk nilai maksimum. Sedangkan metode acak menghasilkan nilai terburuk untuk nilai tertinggi maupun nilai rata-rata. Hal ini mengindikasikan bahwa kromosom hasil crossover telah cukup baik dalam merepresentasikan prosentase golongan yang diinginkan. Sedangkan perubahan nilai gen yang berasal dari searchspace tidak cukup mampu untuk meningkatkan nilai keuntungan yang telah dicapai, terbukti dari hasil mutasi acak yang mencatat hasil terendah dibandingkan kedua metode lainnya.
121
Dengan menggunakan hasil studi yang telah dicapai, langkah selanjutnya adalah menerapkan teknik -teknik tersebut untuk proses optimisasi golongan pemberian air.
Hasil Optimisasi Analisis Inisialisasi Luas Golongan Proses Inisialisasi Luas Golongan berfungsi untuk mencari harga awal dari luas masing-masing golongan pemberian air. Pemberian harga awal bertujuan agar dalam simulasi optimisasi golongan, proses pencarian luas golongan terfokus pada nilai-nilai yang mungkin (feasible) dan berada di searchspace. Proses inisialisasi dilakukan dengan cara menghitung peluang kejadian dari nilai luas golongan berdasarkan data-data terdahulu. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan pendekatan terhadap nilai awal luas golongan. Data luas golongan yang berhasil dikumpulkan mempunyai rentang waktu 8 tahun mulai dari musim tanam 1996 sampai dengan musim tanam 2004. Tabel 28 menyajikan data luas golongan yang menjadi dasar dalam proses inisialisasi dimana R menyatakan musim tanam rendeng dan G menyatakan musim tanam gadu. Dari data luas golongan kemudian ditentukan peluang kejadian relatif dari masing-masing luas golongan terhadap total seluruh kejadian. Setelah nilai peluang relatif diketemukan kemudian dilakukan perhitungan peluang kumulatif masing-masing kejadian. Nilai peluang kejadian relatif dan kumulatif disajikan di Tabel 26. Proses selanjutnya adalah menentukan luas golongan sebagai harga inisialisasi dengan menggunakan bilangan acak. Tabel 26. Data luas golongan Golongan I Golongan II Tahun (ha) (ha) R G R G 1996-1997 744 744 1 772 1 772 1997-1998 744 744 1 772 1 772 1998-1999 744 744 1 772 1 858 1999-2000 744 744 1 947 1 947 2000-2001 705 705 1 908 1 908 2001-2002 744 744 1 772 1 772 2002-2003 723 723 1 949 1 939 2003-2004 805 805 2 052 2 023 Sumber : Pengamat Irigasi Cikarang
Golongan III (ha) R G 5 457 5 457 5 426 5 426 5 625 5 539 5 322 5 322 5 486 5 486 5 497 5 497 5 701 5 701 4 711 4 191
Golongan IV (ha) R G 2 116 2 116 2 116 2 116 2 116 2 116 2 116 2 116 2 086 2 086 2 116 2 116 1 874 1 874 2 615 2 164
122
Dari perhitungan peluang kejadian relatif pada Tabel 27, terlihat bah wa luas lahan target pada Golongan II dan Golongan III mempunyai tingkat keragaman yang cukup tinggi. Hal tersebut disebabkan karena lahan pada Golongan II dan III terletak lebih dekat dengan sumber air di BTb30a dan BKg4 sehingga proses budidaya padi dan palawija di daerah tersebut lebih tinggi dan bervariasi. Lahan di Golongan I telah banyak mengalami konversi dari daerah persawahan menjadi daerah industri, sedangkan lahan di Golongan IV termasuk sulit untuk mendapat air karena letaknya yang jauh dari sumber air dan kondisi jaringan irigasi yang sudah tidak baik lagi. Setiap kali optimisasi dilakukan, model inisialisasi golongan dijalankan untuk menghasilkan nilai golongan awal yang dipergunakan untuk masukan dari model penentuan golongan. Contoh nilai awal luas golongan hasil dari proses inisialisasi disajikan pada Tabel 28.
Tabel 27. Peluang kejadian relatif dan peluang kumulatif dari luas golongan Golongan I
II
III
IV
Luas (ha) 705 723 744 805 1 772 1 908 1 947 1 949 2 052
Rendeng Peluang Relatif 0,125 0,125 0,625 0,125 0,500 0,125 0,125 0,125 0,125
Peluang Kumulatif 0,125 0,250 0,875 1,000 0,500 0,625 0,750 0,875 1,000
4 711 5 322 5 426 5 457 5 486 5 497 5 625 5 701 1 874 2 086 2 116 2 615
0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,625 0,125
0,125 0,250 0,375 0,500 0,625 0,750 0,875 1,000 0,125 0,250 0,875 1,000
Luas (ha) 705 723 744 805 1 772 1 858 1 908 1 939 1 947 2 023 4 191 5 322 5 426 5 457 5 486 5 497 5 539 5 701 1 874 2 086 2 116 2 164
Gadu Peluang Relatif 0,125 0,125 0,625 0,125 0,375 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,625 0,125
Peluang Kumulatif 0,125 0,250 0,875 1,000 0,375 0,500 0,625 0,750 0,875 1,000 0,125 0,250 0,375 0,500 0,625 0,750 0,875 1,000 0,125 0,250 0,875 1,000
123
Tabel 28. Nilai awal luas golongan dari hasil inisialisasi Musim Tanam
Luas Lahan (ha) Golongan I
Golongan II
Golongan III
Golongan IV
Rendeng
744
1 947
5 457
2 116
Gadu
744
1 908
5 426
2 116
Perhitungan Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan air irigasi diartikan sebagai jumlah air yang diperlukan untuk melaksanakan budidaya tanaman padi dan palawija ditambah dengan kehilangan air akibat perkolasi dan dikurangi dengan hujan efektif. Kebutuhan air irigasi pada Pengamat
Irigasi
Cikarang
dihitung
berdasarkan
jenis
tanaman
yang
dibudidayakan dan luas lahan yang ditanami. Perhitungan kebutuhan air irigasi dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah menentukan evapotranspirasi acuan dan evapotranspirasi tanaman, sedangkan tahap kedua adalah menentukan kebutuhan air irigasi berdasarkan evapotranspirasi tanaman, perkolasi dan hujan efektif.
Evapotranspirasi Besarnya kebutuhan air tanaman (ETc) dipengaruhi oleh jenis tanaman yang dibudidayakan yaitu padi dan palawija, tingkat pertumbuhan dan umur tanaman, serta kondisi iklim. Faktor iklim yang mempengaruhi adalah lama penyinaran matahari, suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin. Nilai ETc dihitung menggunakan data evapotranspirasi acuan setiap periode. Evapotranspirasi acuan (ETo) dihitung menggunakan metode PenmannMonteith dengan perangkat lunak CROPWAT menghasilkan nilai 4,06 – 5,47 mm hari-1. Nilai ETo terendah terjadi pada bulan Desember sebesar 4,06 mm hari-1 dan tertinggi pada bulan September sebesar 5,47 mm hari-1. Tabel 29 menyajikan nilai ETo di wilayah Pengamat Irigasi Cikarang. Data ketinggian menunjukkan 46 o
meter di atas permukaan laut dengan posisi 6,14 Lintang Selatan dan 106,39
o
Bujur Timur. Nilai evapotranspirasi tanaman (ETc) selanjutnya dihitung untuk setiap bulan tanam dengan menggunakan koefisien tanaman (Kc).
124
Tabel 29. Nilai ETo di wilayah Pengamat Irigasi Cikarang Sinar Suhu Suhu Kelembaban Kecepatan Bulan Maksimum Minimum Udara Angin Matahari ETo ( oC ) ( oC ) (%) (m dtk-1) (jam) (mm hari-1 ) Januari 32,9 24,2 79 0,8 7,3 4,09 Pebruari 33,2 23,8 81 0,8 7,6 4,41 Maret 33,4 23,9 80 0,8 8,2 4,79 April 33,6 24,5 79 0,8 8,9 5,02 Mei 34,0 23,8 81 0,8 8,6 4,76 Juni 33,0 24,1 80 0,8 8,9 4,64 Juli 32,9 23,7 78 0,8 9,7 4,86 Agustus 33,1 24,0 78 0,8 10,5 5,27 September 33,7 24,1 77 0,8 10,7 5,47 Oktober 33,8 24,2 78 0,8 9,7 5,07 Nopember 34,6 24,2 76 0,8 8,7 4,62 Desember 33,6 23,9 78 0,8 7,4 4,06 Debit Tersedia Data debit air masuk ke saluran sekunder melalui pintu air BTb30a dan BKg4
yang disuplai dari Bendung Cibeet. Tabel 30 menyajikan data debit
tersedia di Bendung Cibeet. Tabel 30. Debit air tersedia di Bendung Cibeet Periode Debit (m3 dtk -1 ) Okt1 24,75 Okt2 28,65 Nop1 31,69 Nop2 45,91 Des1 38,24 Des2 26,21 Jan1 16,77 Jan2 19,86 Peb1 17,78 Peb2 18,83 Mar1 14,31 Mar2 14,27 Sumber : PJT II (2001)
Periode Apr1 Apr2 Mei1 Mei2 Jun1 Jun2 Jul1 Jul2 Agt1 Agt2 Sep1 Sep2
Debit (m3 dtk-1) 20,43 31,30 32,24 35,88 46,80 51,05 53,55 40,99 32,94 12,39 12,77 12,11
Kebutuhan Air Tanaman dan Irigasi Untuk Setiap Skenario Kebutuhan air tanaman (ETc) dihitung berdasarkan pola tanam terpilih. Kebutuhan air irigasi (I) dipengaruhi oleh ETc, perkolasi dan hujan efektif. Tabel 31 menyajikan I dengan menggunakan p ola tanam pada Skenario 0.
126
Kebutuhan air irigasi (I) untuk tanaman padi dipengaruhi oleh besarnya kebutuhan air tanaman (ETc), perkolasi (P) dan hujan efektif (RE). Kebutuhan air 3
irigasi menggunakan satuan m dtk-1 setelah diperhitungkan dengan luas areal yang menjadi target penanaman. Dari Tabel 31 terlihat bahwa nilai I meningkat 3
sejak dimulainya musim tanam pada periode Okt1 dan mencapai 6,9 m dtk-1 pada periode Nop1. Hal tersebut disebabkan adanya kebutuhan air irigasi untuk mulai tanam di Golongan III dan pengolahan tanah di Golongan IV, dimana luas lahan untuk MT rendeng dari kedua golongan mencapai lebih dari 7.300 ha atau sekitar 70% dari luas wilayah Pengamat Irigasi Cikarang sehingga berpengaruh terhadap tingginya kebutuhan air irigasi. Nilai perkolasi saat pengolahan yaitu 8,3 mm hari1
juga berpengaruh pada besarnya kebutuhan air irigasi pada periode tersebut.
Kebutuhan air irigasi minimum terjadi pada bulan September dikarenakan hujan efektif yang mencukupi untuk mengairi tanaman palawija di Golongan I dan untuk olah tanah di Golongan I serta terjadinya bera terjadi di lahan Golongan II, III dan IV. Kegiatan pembersihan saluran air dapat dilakukan di Golongan II, III dan IV. Nilai kebutuhan irigasi rata-rata selama 1 tahun musim tanam adalah 5,1 3
m dtk -1. Besarnya kebutuhan air irigasi dengan menggunakan pola tanam Skenario 1 yang direkomendasikan oleh Dinas Pertanian setempat disajikan pada Tabel 32. 3
Nilai I mencapai maksimum pada periode Nop1 sebesar 6,9 m dtk-1. Hal tersebut disebabkan mulai tanam di Golongan III dan pengolahan tanah di Golongan IV. Nilai perkolasi yang cukup tinggi yaitu 8,3 mm hari-1 berpengaruh pada besarnya kebutuhan air irigasi pada periode tersebut. Kebutuhan air irigasi minimum terjadi pada periode Sep1 yang disebabkan bera di seluruh golongan . Kegiatan pembersihan saluran air dapat dilakukan pada bulan Agustus dan September. Nilai 3
kebutuhan irigasi rata-rata selama 1 tahun musim tanam adalah 2,8 m dtk-1, sehingga penggunaan Skenario 1 dapat menghemat pemakaian air sekitar 45% bila dibandingkan Skenario 0. Tabel 33 menyajikan kebutuhan air irigasi menggunakan variasi pola tanam pada Skenario 2. Nilai I mencapai maksimum pada periode Nop1 sebesar 3
6,9 m dtk-1. Hal tersebut disebabkan mulai tanam di Golongan III dan pengolahan
129
tanah di Golongan IV. Nilai perkolasi yang cukup tinggi yaitu 8,3 mm hari-1 berpengaruh pada besarnya kebutuhan air irigasi pada periode tersebut. 3
Kebutuhan air irigasi minimum terjadi pada Sep1 sebesar 0,6 m dtk -1 yang disebabkan penanaman palawija di Golongan III dan terjadinya bera di Golongan II dan IV. Kegiatan pembersihan saluran air dapat dilakukan pada bulan September dan Oktober untuk Golongan II, III dan IV. Nilai kebutuhan irigasi 3
rata-rata selama 1 tahun musim tanam adalah 4,2 m dtk -1, sehingga penggunaan Skenario 2 dapat menghemat pemakaian air sekitar 17% bila dibandingkan Skenario 0. Kebutuhan air irigasi menggunakan pola tanam pada Skenario 3 yang direkomendasikan oleh Dinas Pertanian setempat disajikan pada Tabel 34. Nilai I 3
mencapai maksimum pada periode Nop1 sebesar 6,9 m dtk -1. Hal tersebut disebabkan mulai tanam di Golongan III dan pengolahan tanah di Golongan IV. Nilai perkolasi yang cukup tinggi yaitu 8,3 mm hari-1 berpengaruh pada besarnya kebutuhan air irigasi pada periode tersebut. Kebutuhan air irigasi minimum terjadi 3
pada bulan September sebesar 0,6 m dtk-1 yang disebabkan terjadinya bera di Golongan II, III dan IV. Kegiatan pembersihan saluran air dapat dilakukan pada bulan Agustus, September dan Oktober untuk Golongan II, III dan IV. Nilai 3
kebutuhan irigasi rata-rata selama 1 tahun musim tanam adalah 2,9 m dtk-1, sehingga penggunaan Skenario 3 dapat menghemat pemakaian air sekitar 43% bila dibandingkan Skenario 0. Kebutuhan air irigasi menggunakan pola tanam pada Skenario 4 yang juga direkomendasikan oleh Dinas Pertanian setempat disajikan pada Tabel 35. Nilai I 3
mencapai maksimum pada periode Nop1 sebesar 6,9 m dtk -1. Hal tersebut disebabkan mulai tanam di Golongan III dan pengolahan tanah di Golongan IV. Nilai perkolasi yang cukup tinggi yaitu 8,3 mm hari-1 berpengaruh pada besarnya kebutuhan air irigasi pada periode tersebut. Kebutuhan air irigasi minimum terjadi 3
pada periode Sep2 sebesar 1,1 m dtk-1 yang disebabkan terjadinya bera di Golongan III dan
IV. Kegiatan pembersihan saluran air dapat dilakukan di
seluruh golongan pada bulan Agustus, September dan Oktober di Golongan III dan IV. Nilai kebutuhan irigasi rata-rata selama 1 tahun musim tanam adalah 3,3
132
3
m dtk -1, sehingga penggunaan Skenario 4 dapat menghemat pemakaian air sekitar 35% bila dibandingkan Skenario 0. Berdasarkan hasil yang dicapai dalam perhitungan sebelumnya, dilakukan perbandingan besarnya ETc + P terhadap RE untuk skenario 1 pada Golongan II yang disajikan pada Gambar 34 dan perbandingan besarnya I untuk setiap skenario yang disajikan pada Gambar 35. Dari Gambar 33 terlihat bahwa kecuali di bulan September, nilai ETc + P selalu lebih besar daripada RE yang berarti nilai I selalu positif sehingga PJT II harus memberikan suplai air irigasi selama sebelas bulan penuh. Nilai ETc + P berfluktuasi sejak periode Okt1 sampai dengan Jun2 dikarenakan penanaman padi untuk musim tanam rendeng dan gadu. Pengolahan tanah dilakukan pada periode Okt1. Musim tanam dimulai pada Okt2. Bera terjadi selama bulan September. Nilai RE yang rendah dan nilai P yang tinggi berpengaruh terhadap besarnya nilai I. Seiring dengan meningkatnya nilai RE, nilai I menjadi berkurang terutama pada saat musim hujan pada bulan Pebruari. Setelah bulan Pebruari, nilai I bertambah seiring dengan berkurangnya RE sampai dengan periode Jun2 dengan nilai I mencapai 7,0 mm hari-1 karena keperluan untuk pengolahan tanah . Periode Jul1 sampai dengan Agt2 didominasi penanaman palawija. Situasi tersebut membuat nilai ETc + P menjadi rendah.
133
mm hari -1
10,00
Pi
OT
9,00
OT
Pi
Pa
OT
BR
8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 Okt1 Nop1 Des1 Jan1 Peb1 Mar1 Apr1 Mei1 Jun1 Jul1 Agt1 Sep1 RE
Periode
ETc+P
Gambar 34 Perbandingan ETc + P terhadap RE untuk Skenario 1 di Golongan II 8,0
I (m3 dtk-1 )
7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 Okt1 Nop1 Des1 Jan1 Peb1 Mar1 Apr1 Mei1 S0
S1
S2
S3
S4
S3 Jun1
Jul1
Agt1
S0 Sep1
Periode
Gambar 35 Perbandingan kebutuhan air irigasi untuk setiap skenario
134
Berdasarkan kesamaan nilai ETc untuk tanaman padi, perkolasi (P) dan hujan efektif (RE), maka besarnya kebutuhan air irigasi (I) adalah sama untuk setiap skenario dari periode Okt1 sampai dengan Peb2 dan mencapai puncak 3
kebutuhan air irigasi pada periode Nop1 sebesar 6,9 m dtk-1. Setelah periode Peb2, nilai I bervariasi untuk setiap skenario, dimana secara rata-rata Skenario 0 merupakan pola tanam yang terbanyak membutuhkan air irigasi. Hal tersebut dikarenakan frekuensi penanaman padi pada Skenario 0 yang cukup tinggi untuk setiap golongan sehingga membutuhkan air irigasi yang banyak pula. Besar nilai I pada Skenario 2 hampir sama dengan Skenario 0 dikarenakan kemiripan pola tanam dengan pengurangan penanaman padi. Frekuensi penanaman padi dan palawija hampir berimbang pada Skenario 1, 3 dan 4 terutama untuk Golongan III dan Golongan IV. Hal tersebut mempengaruhi besarnya kebutuhan air irigasi seperti terlihat pada kurva Skenario 1, 3 dan 4 yang terletak di bawah kurva Skenario 0. Secara umum, Skenario 0 dan Skenario 2 memberikan hasil yang lebih berfluktuasi dibandingkan tiga skenario lainnya. Setelah periode Peb2, nilai I pada Skenario 0 dan Skenario 2 bertambah hingga masing-masing mencapai puncaknya kembali di bulan Mei tapi masih lebih rendah dibandingkan periode Nop1. Nilai I 3
3
yang dicapai masing-masing adalah adalah yaitu 7,9 m dtk -1 dan 6,2 m dtk -1. Hal tersebut dikarenakan frekuensi penanaman padi yang intensif pada kedua skenario. Setelah periode Jun1, nilai I berkurang mulai berkurang dan mencapai minimum pada bulan September yang disebabkan adanya penanaman palawija dan bera di Golongan III dan IV. Di lain pihak, secara umum nilai I pada Skenario 1, 3 dan 4 sejak Nop1 terus mengalami penurunan sampai akhir musim tanam dengan sedikit berfluktuasi pada bulan April, Mei dan Juni. Hal tersebut dikarenakan frekuensi penanaman padi dan palawija yang berimbang pada Skenario 1, 3 dan 4. Tanaman padi membutuhkan pemberian air irigasi dalam jumlah cukup besar. Kebutuhan total air irigasi bertambah banyak bila petani terus menerus menanam padi di sepanjang tahun. Dengan memberikan selang tanaman palawija, kebutuhan air irigasi akan dapat dikurangi.
135
Analisis Hasil Optimisasi Golongan Optimisasi golongan pemberian air irigasi dilakukan dengan cara pemrograman. Tahapan optimisasi meliputi memilih skenario yang akan diuji, menentukan jumlah kromosom dalam populasi dan jumlah generasi yang menyatakan banyaknya operasi pengulangan dalam Algoritma Genetik. Data lain seperti parameter spasial, lingkungan, tenaga kerja dan biaya telah diinputkan terlebih dahulu dan disim pan ke database IRIGASI. Gambaran spasial mengenai konfigurasi petak tersier berdasarkan Skenario 0 disajikan pada Gambar 36, sedangkan konfigurasi petak tersier berdasarkan hasil optimisasi memakai Skenario 1 disajikan pada Gambar 37. Lampiran 1 menyajikan konfigurasi petak tersier beserta hasil produksi potensial sebelum dilakukan optimisasi (Skenario 0). Setelah dilakukan optimisasi, keluaran yang dihasilkan berupa konfigurasi petak tersier, kebutuhan air irigasi dan nilai keuntungan sebelum pajak. Lampiran 2 menyajikan konfigurasi petak tersier menggunakan Skenario 1 beserta hasil produksi potensial berdasarkan ketersediaan sumberdaya (sarana produksi, alat mesin dan tenaga kerja) yang mencukupi (diasumsikan 100%), akan tetapi terdapat keterlambatan panen yang terjadi pada periode Sep1 dan Sep2. Dari hasil optimisasi didapat adanya perubahan golongan untuk beberapa petak tersier. Petak tersier dengan sumber dari BTb30a yang mengalami perubahan golongan dari Golongan III ke Golongan IV adalah BSt17 sampai dengan BSt23, seluruh petak tersier BKh dan BKl. Hal tersebut disebabkan pertimbangan lokasi cukup jauh dimana petak tersier BSt17 yang paling dekat dengan sumber BTb30a berjarak sekitar 15 km. Adanya faktor kehilangan air di sepanjang saluran minimal sebesar 0,136 (Lampiran 4), dan terjadinya keterlambatan panen di petak-petak tersier tersebut ikut berkontribusi terhadap perubahan golongan. Selain itu, adanya percabangan di BSt16 dengan penggunaan bangunan bagi sadap akan lebih memudahkan pengaturan pembagian air irigasi. Petak tersier dengan sumber dari BKg4 yang mengalami perubahan golongan berupa percepatan mulainya musim tanam adalah BRk11 sampai BRk14 dari Golongan IV ke Golongan III, BRbd09 sampai BRbd11 dari Golongan III ke Golongan II, BPbe01 dan BPbe03 dari Golongan III ke Golongan II, dan BKn03 sampai BKn05 dari Golongan IV ke Golongan III.
136
Gambar 36 Konfigurasi petak tersier berdasarkan Skenario 0
Gambar 37 Konfigurasi petak tersier berdasarkan Skenario 1
137
Percepatan untuk BRk11 sampai BRk14 disebabkan jarak petak tersier tersebut yang masuk Kelas 3 pada Tabel 19 yaitu jarak antara 8,3 km sampai dengan 18,5 km serta tidak adanya percabangan pada saluran sekunder tersebut. Perubahan pada petak tersier BRbd09 sampai BRbd11 dan BPbe01 sampai Bpbe03 disebabkan faktor jarak yang masuk pada Kelas 2 dari Tabel 19 yaitu jarak antara 5,0 km sampai dengan 8,3 km.
Sedangkan petak tersier yang mengalami
pemunduran musim tanam adalah BRk02 sampai BRk05 dari Golongan II ke Golongan III yang disebabkan karena (1) faktor jarak ke sumber BKg4 yang masuk Kelas 3 dari Tabel 19, (2) adanya bangunan bagi sadap di BRbd4 dan (3) pertimbangan faktor kehilangan air sepanjang saluran BRk dimulai dari BRk02 minimal sebesar 0,063 (Lampiran 3).
Hasil Optimisasi Menggunakan Skenario 1 Gambar 38 menyajikan perbandingan keuntungan Skenario 1 terhadap Skenario 0. Dari hasil optimisasi menggunakan Skenario 1 didapatkan keuntungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan hasil Skenario 0 yang did apat sejak dari Musim Tanam 2000/2001 sampai dengan Musim Tanam 2004/2005. Hasil ini sesuai dengan prediksi tingkat keuntungan wilayah yang didapat bila anjuran dari Dinas Pertanian diikuti secara penuh oleh petani, yaitu dengan menanam palawija di akhir musim gadu untuk golongan I dan II maupun pada musim gadu untuk golongan III dan IV. Selisih keuntungan yang sangat signifikan antara keuntungan Skenario 0 dan keuntungan Skenario 1 disebabkan penanaman palawija yang sangat intensif pada Skenario 1 dan bertambahnya luas tanam golongan III sebagai hasil optimisasi. Rata-rata keuntungan Skenario 1 adalah Rp 40,06 milyar per tahun, sedangkan rata-rata keuntungan Skenario 0 adalah Rp 27,56 milyar per tahun. Selisih keuntungan terbesar antara kedua hasil terjadi pada musim tanam 2003/2004 sebesar Rp 12,50 milyar, sedangkan keuntungan yang terkecil terjadi pada musim tanam 2000/2001 sebesar Rp 12,25 milyar. Dengan luas target tanam di wilayah pengamat Cikarang rata-rata 10.000 ha per musim tanam, maka keuntungan yang didapat dengan Skenario 1 adalah Rp 4.006.000 per ha. Penambahan keuntungan pada Skenario 1 dibandingkan dengan Skenario 0 adalah sekitar Rp 1.300.000 per ha.
Keuntungan (juta Rp)
138
45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 00/01 S0
01/02
02/03
S1
03/04
04/05
Musim Tanam
Gambar 38 Hasil keuntungan dengan menggunakan Skenario 1 Hasil Optimisasi Menggunakan Skenario 2 Dari perbandingan hasil optimisasi menggunakan Skenario 2 berupa variasi pola tanam terhadap Skenario 0 pada Gambar 39 terlihat bahwa selisih keuntungan hasil tidak begitu signifikan bila dibandingkan Skenario 1. Selisih keuntungan diakibatkan petani di golongan I dan III lebih banyak menanam padi daripada palawija. Rata-rata keuntungan Skenario 2 dari musim tanam 2000/2001 sampai dengan musim tanam 2004/2005 adalah Rp 28,90 milyar per tahun. Dengan luas target tanam rata-rata 10.000 ha per musim tanam, maka keuntungan yang didapat pada Skenario 2 adalah sekitar Rp 2.890.000 per ha. Penambahan keuntungan pada Skenario 2 dibandingkan dengan Skenario 0 adalah sekitar Rp 100.000 per ha.
Hasil Optimisasi Menggunakan Skenario 3 Pada Gambar 40, hasil optimisasi menggunakan Skenario 3 yang berupa pola tanam anjuran Dinas Pertanian tetap memberikan keuntungan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan keuntungan dari Skenario 0. Hal ini sesuai dengan perkiraan bahwa bila petani lebih memilih menanam palawija (dalam hal ini di golongan III dan IV), maka kemungkinan besar pendapatan akan lebih besar dibandingkan bila petani menanam padi terus menerus. Rata-rata keuntungan hasil optimisasi dari musim tanam 2000/2001 sampai dengan musim tanam 2004/2005 adalah Rp 39,97 milyar per tahun. Selisih keuntungan terbesar antara kedua hasil
139
terjadi pada musim tanam 2003/2004 sebesar Rp 12,43 milyar, sedangkan keuntungan yang terkecil terjadi pada musim tanam 2000/2001 sebesar Rp 12,18 milyar. Dengan luas target tanam di wilayah pengamat Cikarang rata-rata 10 000 ha per musim tanam, maka keuntungan yang didapat pada Skenario 3 adalah sekitar Rp. 3 997 000 per ha. Penambahan keuntungan yang didapat Skenario 3 dibandingkan dengan Skenario 0 adalah sekitar Rp 1 200 000 per ha.
35000 30000 Keuntungan (juta Rp)
25000 20000 15000 10000 5000 0 00/01 S0
01/02
02/03
S2
03/04
04/05
Musim Tanam
Keuntungan (juta Rp)
Gambar 39 Hasil Keuntungan dengan menggunakan Skenario 2
45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 00/01 S0
01/02 S3
02/03
03/04
04/05 Musim Tanam
Gambar 40 Hasil keuntungan dengan menggunakan Skenario 3
140
Hasil Optimisasi Menggunakan Skenario 4 Dari hasil optimisasi pada Gambar 41 terlihat bahwa selisih antara keuntungan Skenario 4 dengan keuntungan Skenario 0 lebih besar bila dibandingkan dengan Gambar 39 (Skenario 2). Dalam hal ini pola tanam padipalawija-palawija
yang
dilakukan
di
Golongan
III
dan
IV
banyak
menyumbangkan keuntungan bagi wilayah tersebut karena waktu tanam yang lebih lama dan ketersediaan lahan yang lebih luas bagi kedua golongan tersebut. Rata-rata keuntungan hasil optimisasi dari musim tanam 2000/2001 sampai dengan musim tanam 2004/2005
adalah Rp 39,82 milyar per tahun. Selisih
keuntungan terbesar antara kedua hasil terjadi pada musim tanam 2002/2003 sebesar Rp 12,41 milyar, sedangkan keuntungan yang terkecil terjadi pada musim tanam 2000/2001 sebesar Rp 11,92 milyar. Dengan luas target tanam di wilayah pengamat Cikarang rata-rata 10 000 ha per musim tanam, maka keuntungan yang didapat pada Skenario 4 adalah sekitar Rp 3.982.000 per ha. Penambahan keuntungan yang didapat Skenario 4 dibandingkan dengan Skenario 0 adalah sekitar Rp 1.200.000 per ha. Gambar 41 menyajikan perbandingan keuntungan menggunakan Skenario 4 terhadap Skenario 0 sedangkan hasil optimisasi optimisasi beserta perhitungan keuntungan untuk tiap skenario disajikan pada Tabel 36.
45000 Keuntungan (juta Rp)
40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 00/01 S0
01/02 S4
02/03
03/04
04/05
Musim Tanam
Gambar 41 Hasil keuntungan dengan menggunakan Skenario 4
141
Tabel 36 Hasil optimisasi dan perhitungan keuntungan tiap skenario MT (Thn)
2004-2005
2003-2004
2002-2003
2001-2002
0 (R) * 0 (G) 1 (R) 1 (G) 2 (R) 2 (G) 3 (R) 3 (G) 4 (R) 4 (G) 0 (R) 0 (G) 1 (R) 1 (G) 2 (R) 2 (G) 3 (R) 3 (G) 4 (R) 4 (G) 0 (R) 0 (G) 1 (R) 1 (G) 2 (R) 2 (G) 3 (R) 3 (G) 4 (R) 4 (G) 0 (R) 0 (G) 1 (R) 1 (G) 2 (R) 2 (G) 3 (R) 3 (G) 4 (R) 4 (G)
Keuntungan
Luas golongan (ha)
Skenario I
II
III
IV
1 169 1 699 1 740 1 699 771 675 771 712 1 733 712 805 805 1 725 1 690 767 708 689 663 708 505 723 733 1 701 1 685 676 650 693 598 1 701 1 552 731 729 1 699 1 680 690 655 705 604 1 710 1 548
2 231 675 771 702 5 060 4 017 1 740 1 699 771 1 781 2 052 2 023 767 708 5 848 5 175 1 690 1 585 1 690 1 550 1 949 1 939 713 690 5 236 5 125 1 701 1 625 713 685 1 950 1 941 715 685 5 233 5 124 1 705 1 623 714 680
5 854 4 027 6 023 5 466 1 910 1 968 6 023 5 101 6 023 5 466 4 711 4 191 5 992 5 203 1 900 1 771 5 437 5 105 5 364 5 105 5 701 5 701 5 207 5 106 1 968 1 773 5 471 5 116 5 398 5 065 5 698 5 695 5 210 6 112 1 965 1 780 5 472 5 114 5 401 5 060
982 1 999 1 292 2 027 2 054 2 027 1 776 1 796 1 292 2 027 2 615 3 164 2 017 2 017 2 043 2 017 2 017 1 895 2 017 2 000 1 874 1 874 2 001 1 980 2 029 1 996 2 029 1 885 2 510 2 125 1 873 1 868 2 011 1 975 2 027 1 994 2 030 1 879 2 512 2 121
Hasil keuntungan Musim Tanam 2004-2005 belum dapat dihitung. * R : Rendeng, G : Gadu.
(juta rupiah)
40 473 27 961 40 407 40 189 27 585 40 084 33 117 40 018 39 785 27 749 40 181 28 000 40 117 40 160 27 698 40 187 27 988 40 140 40 155
142
Alternatif Sistem Irigasi Rotasi
Dasar Pertimbangan Pada saat ketersediaan air kurang daripada kebutuhan untuk irigasi, maka untuk menjamin kelangsungan pemeliharaan tanaman terutama padi dapat diberlakukan sistem irigasi rotasi atau gilir-giring. Berdasarkan data dari Seksi Lemahabang dimana Pengamat Irigasi Cikarang masuk di wilayah seksi tersebut, pada tahun 1997 dan 1998 di bulan Juni, Juli dan Agustus, debit rata-rata di BTb30a hanya berkisar 1,5 – 3,5 m3 dtk -1. Kondisi kekurangan air tersebut disebabkan oleh timbulnya fenomena El-Nino yang menyebabkan kekeringan yang meluas dan berkepanjangan. Akibat kecilnya debit air, maka areal persawahan yang terletak jauh dari sumber air yaitu sebagian dari Golongan III serta Golongan IV menjadi kekurangan air sehingga petani di daerah tersebut tidak dapat melakukan proses budidaya tanaman padi. Agar supaya petani tetap dapat melakukan proses tanam padi, sistem irigasi rotasi diberlakukan pada waktu tersebut.
Mekanisme Perhitungan Sistem Irigasi Rotasi Kan et al. (1997) menyatakan perhitungan sistem irigasi rotasi harus didasarkan pada kebutuhan air tanaman, perkolasi, luas tanam dan debit air di saluran sekunder dan tersier. Tujuan perhitungan sistem irigasi rotasi adalah untuk menentukan durasi penyaluran air optimal dan durasi penghentian penyaluran air agar pemberian air dapat dilakukan secara proporsional ke setiap petak tersier. Untuk menghitung besarnya debit di saluran sekunder dibutuhkan besar debit dan koefisien kehilangan air dari saluran induk (primer) ke saluran sekunder. Untuk menghitung debit di saluran tersier dibutuhkan prosentase kehilangan air karena adanya rembesan pada jaringan saluran sekunder serta jarak dari sumber air (BTb30a dan BKg4) melewati saluran sekunder ke petak tersier. Prosentase kehilangan air dan parameter jarak menentukan besarnya koefisien kehilangan air (CLci) dari saluran sekunder ke saluran tersier (Kan et al. 1997). Setelah besar debit yang masuk ke setiap saluran diketahui, tahap berikutnya adalah menghitung durasi penyaluran air ke setiap petak tersier.
143
Khepar (2000) menyatakan durasi penyaluran air ke petak tersier tergantung pada ketinggian genangan air di petak tersier dan durasi yang dibutuhkan untuk melakukan penggenangan sampai pada ketinggian tertentu. Kalsim (2000) menyarankan tinggi genangan air sesudah tanam (tandur) padi adalah 80 mm.
Proses Perencanaan Irigasi Rotasi Proses perencanaan irigasi rotasi mempunyai empat macam masukan, yaitu (1) data spasial, (2) faktor lingkungan, (3) spesifikasi petak tersier, dan (4) parameter manajemen. Keempat jenis masukan tersebut memberikan data untuk rangkaian proses perencanaan irigasi rotasi berdasarkan karakteristik dan situasi yang terjadi pada setiap unit petak tersier di wilayah pengamat Cikarang. Gambar 42 menyajikan struktur proses perencanaan irigasi rotasi. Proses perencanaan tersebut meliputi beberapa tahap, yaitu perhitungan kehilangan air pada saluran dan petak tersier, perhitungan besarnya debit dan penentuan durasi irigasi rotasi. Di lapangan, petani lebih suka menanam padi karena pemeliharaannya lebih mudah bila dibandingkan dengan palawija. Tabel 37 menyajikan detil setiap jenis masukan yang dibutuhkan oleh proses perencanaan irigasi rotasi dan Tabel 38 menyajikan detil dari setiap proses.
-
PJT II
-
Data Jaringan Irigasi Faktor Lingkungan Data Petak Tersier Parameter manajemen
PROSES PERHITUNGAN KEHILANGAN AIR
DAN PROSES PERHITUNGAN DEBIT
PANITIA
IRIGASI Rencana Irigasi Rotasi
PROSES PENENTUAN DURASI IRIGASI
Gambar 42. Struktur proses perencanaan irigasi rotasi
144
Tabel 37. Detil jenis masukan proses perencanaan irigasi rotasi Masukan
Uraian
Data Spasial
Jarak petak tersier ke sumber
Parameter Lingkungan
Efisiensi pada saluran dan petakan Debit pada saluran Kehilangan air di saluran dan petakan
Spesifikasi Petak Tersier
Luas petak tersier
Faktor Manajemen
Pembagian hulu dan hilir Durasi irigasi rotasi konvensional Tinggi genangan yang dibutuhkan
Tabel 38. Detil proses perencanaan irigasi rotasi No 1
2
3
Proses
Subproses
Perhitungan Kehilangan Air
•
Faktor luas petak tersier
•
Faktor panjang saluran
•
Debit air masuk saluran sekunder
•
Debit air masuk petak tersier
•
Durasi pengisian per ha
•
Durasi pengisian per petak tersier
•
Durasi penyaluran per ha
•
Durasi penyaluran per petak tersier
•
Durasi antar irigasi per petak tersier
Perhitungan Debit
Penentuan Durasi Irigasi
Saat irigasi rotasi digunakan, wilayah Pengamat Irigasi Cikarang yang menjadi tempat penelitian dibagi menjadi 2 bagian yaitu bagian hulu dan bagian hilir. Bagian hulu dan hilir dibatasi oleh bangunan bagi sadap yang
145
memungkinkan penyaluran air dapat dialokasikan sesuai dengan jadwal bagian yang telah disepakati. Berdasarkan letak bangunan bagi sadap, pembagian daerah hulu dan daerah hilir untuk sistem irigasi rotasi disajikan pada Tabel 39.
Tabel 39. Pembagian daerah irigasi rotasi BAGIAN
SUMBER
BANGUNAN BAGI
Hulu
BTb30a
BSt01 – BSt16 BGn01 – BGn08 BLa01 – BLa06 BKw01 – BKw07
BKg4
BRBd01 – BRBd08 BRk01 – BRk20
Hilir
BTb30a
BSt17 – BSt23 BKh01 – BKh04 BKl01 – BKl04
BKg4
BRBd09 – BRBd26 BPbe01 – BPbe08 BKn01 – BKn13
Lampiran 3 dan Lampiran 4 menyajikan spesifikasi irigasi rotasi untuk bagian hulu dan bagian hilir pada periode Jun1. Lampiran 5 dan Lampiran 6 menyajikan spesifikasi irigasi rotasi untuk bagian hulu dan bagian hilir pada periode Agt2. Kedua periode tersebut dipilih karena durasi irig asi minimum umumnya terjadi pada periode Jun1, sedangkan durasi irigasi rotasi maksimum umumnya terjadi pada periode Agt2. Lampiran 3 sampai dengan Lampiran 6 meliputi data luas petak tersier, jarak sumber air (BTb30a dan BKg4) ke petak tersier, debit yang masuk di saluran tersier, perhitungan kehilangan air, durasi pengisian, durasi penyaluran irigasi optimal dan durasi antar irigasi. Dari setiap bangunan bagi, air irigasi dialirkan melalui intake menuju petak tersier. Berdasarkan nilai persentase kehilang an air pada petak tersier (Purba 1980) dan luas tanam rata-rata 10.000 ha di wilayah Pengamat Irigasi Cikarang, maka So
146
untuk musim tanam rendeng ditetapkan sebesar 0,0491% dan untuk musim gadu ditetapkan sebesar 0,0086%. Selanjutnya, kehilangan air pada petak tersier ke-i (Si) dihitung dengan menggunakan Persamaan /22/. Faktor pembobot untuk luas lahan (F = 0,73) dihitung menggunakan Persamaan /23/. Kemudian koefisien kehilangan air selama penyaluran dari setiap luas petak tersier (CLfi) dihitung dengan menggunakan Persamaan /21/. Hasil dari CLfi untuk periode Jun1 dengan debit air di saluran primer sebesar 3896,4 l dtk-1 ditunjukkan pada Lampiran 3. Sebagai contoh, petak tersier Gn01ki yang berada di bagian hulu dan luas target tanamnya 64 ha mempunyai nilai CLfi sebesar 0,00050. Sedangkan petak tersier Kh01ka yang berada di bagian hilir dan luas target tanamnya 46 ha (Lampiran 4) mempunyai nilai CLfi sebesar 0,00036. Semakin besar luas petak tersier, semakin besar nilai CLfi. Dengan menggunakan Co = 0,1 sebagai prosentase kehilangan air di saluran sekunder yang ditetapkan oleh Perum Jasa Tirta II, besarnya kehilangan air di saluran menuju petak tersier ke-i (Ci) dihitung dengan menggunakan Persamaan /25/. Faktor pembobot (G) saluran sekunder berdasarkan jarak sumber air ke petak tersier dihitung dengan menggunakan Persamaan /26/ dan didapatkan -5
G=1/11327,9=8,8x10 . Koefisien kehilangan air pada saluran ke petak tersier (CLci) dihitung dengan menggunakan Persamaan /24/. Hasil perhitungan CLci disajikan pada Lampiran 3 dan Lampiran 4. Sebagai contoh petak tersier Gn01ki yang berada di bagian hulu dan berjarak 5,5 km dari BTb30a mempunyai nilai CLci sebesar 0,049. Sedangkan petak tersier Kh01ka yang berada di bagian hilir dan berjarak 16,4 km dari sumber BTb30a mempunyai nilai CLci sebesar 0,145. Semakin jauh jarak petak tersier dari sumber air, nilai CLci semakin membesar. Debit air yang masuk ke petak tersier dihitung berdasarkan debit air yang masuk ke saluran sekunder melalui pintu air BTb30a dan BKg04, debit air yang masuk ke saluran tersier dan faktor kehilangan air. Perhitungan besarnya debit yang masuk ke saluran sekunder melalui pintu air menggunakan faktor kehilangan air sesuai Surat Keputusan Direktur Perum Jasa Tirta II tahun 2001 yaitu sebesar 5%. Sedangkan perhitungan besarnya debit yang masuk ke saluran tersier menggunakan faktor kehilangan air berdasarkan jarak pintu air saluran sekunder
147
ke pintu air saluran tersier (CLci). Sebagai contoh, pada bagian hulu (Lampiran 3), debit yang masuk ke saluran sekunder BGn adalah 3896,4 – (3896,4 x 0,05) = 3701,6 l dtk -1 dibulatkan menjadi 3.702 l dtk -1. Kemudian debit yang masuk ke saluran tersier untuk petak BGn01ki adalah 3701,6 – (3701,6 x 0,04855) = 3521,9 l dtk -1 dibulatkan menjadi 3.522 l dtk -1. Pada bagian hilir, debit yang masuk ke saluran tersier untuk petak BKh01ka adalah 3701,6 – (3701,6 x 0,0145) = 3164,5 l dtk-1 dibulatkan menjadi 3.165 l dtk-1. Faktor rembesan yang merupakan besarnya kehilangan air dihitung berdasarkan perbandingan antara debit yang masuk ke saluran sekunder dan debit yang keluar ke saluran tersier. Faktor rembesan untuk setiap petak tersier untuk periode Jun1 dengan debit masuk ke saluran sekunder sebesar 3896,4 l dtk -1 disajikan juga pada Lampiran 3 dan Lampiran 4. Sebagai contoh, faktor rembesan untuk petak tersier Gn01ki adalah sebesar 1,051. Semakin jauh jarak petak tersier dari sumber air, maka faktor rembesannya makin membesar. Hal ini dikarenakan debit yang masuk ke saluran tersier makin mengecil seiring dengan bertambahnya jarak dari sumber ke petak tersier. Durasi pengisian merupakan durasi yang dibutuhkan untuk menggenangi petak tersier sampai setinggi 60-80 mm (Kalsim, 2000). Untuk bagian hulu (Lampiran 3), petak tersier Rbd02ka dengan luas 313 ha mempunyai durasi pengisian terlama yaitu 14,2 jam. Sedangkan petak tersier Rk02ki dengan luas target tanam 4 ha mempunyai durasi pengisian tercepat yaitu 0,2 jam. Durasi pengisian rata-rata untuk bagian hulu adalah 3,2 jam. Untuk bagian hilir (Tabel 51), petak tersier Rbd18ki dengan luas target tanam 221 ha mempunyai durasi pengisian terlama yaitu 11,2 jam. Sedangkan petak tersier Kl03ki dengan luas target tanam 22 ha mempunyai durasi pengisian tercepat yaitu 1,2 jam. Durasi pengisian rata-rata untuk bagian hilir adalah 3,3 jam. Nilai durasi pengisian tersebut didapat dengan cara memperhitungkan debit air pada periode Jun1 yang sebesar 3896,4 l dtk-1. Perbedaan besaran debit pada setiap periode akan berpengaruh terhadap durasi pengisian.
148
Penentuan durasi irigasi rotasi optima l Penentuan durasi irigasi rotasi optimal untuk setiap petak tersier tergantung pada durasi pengisian per ha dari petak tersier, luas target tanam dan besarnya rembesan yang menuju ke petak tersier tersebut. Data durasi irigasi rotasi yang berlaku saat ini (konvensional) yaitu 72 jam dan hasil penentuan durasi irigasi rotasi optimal untuk setiap petak tersier baik yang terletak di bagian hulu dan bagian hilir periode Jun1 disajikan pada Lampiran 3 dan Lampiran 4. Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigasi rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang saluran sekunder (SS) Sukatani disajikan pada Gambar 43.
200
Durasi (jam)
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
2
5
Konvensional
8
11
14ka
Irigasi Optimal
15ki
17
Antar Irigasi
20
22ki Petak Tersier
Gambar 43. Durasi konvensional dan durasi irigasi optimal di SS Sukatani
Dari Gambar 43 terlihat bahwa petak tersier yang terletak di bagian hulu dengan jarak kurang dari 14 km dari sumber BTb30a mendapat durasi irigasi rotasi optimal yang lebih cepat dibandingkan durasi irigasi rotasi konvensional. Sedangkan petak tersier yang terletak di bagian hulu dengan jarak lebih dari 14 km mendapat durasi irigasi rotasi optimal yang lebih lama dibandingkan dengan
149
durasi irigasi rotasi konvensional. Titik-titik yang menjadi puncak dari kurva menyatakan durasi irigasi rotasi optimal untuk petak tersier dengan luas target tanam yang lebih besar daripada rata-rata. Durasi irigasi rotasi rotasi yang terlama yaitu 225,3 jam terjadi pada periode Agt2 di petak tersier St20ki di bagian hilir dengan luas tanam 114 ha, berjarak 16,7 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi yang tercepat yaitu 4,7 jam pada periode Jun1 terjadi di petak tersier St03ka di bagian hulu dengan luas tanam 6 ha, berjarak 6,5 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinyanya selama 8 hari. Tidak terdapat perbedaan durasi irigasi rotasi optimal yang signifikan antar periode. Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigasi rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang SS Rengasbendung disajikan pada Gambar 44.
Durasi (jam) 200
150
100
50
0
01ka 04ka 05ki 07ki 10ki 13ka 15ka 17ki 19ka
21
Konvensional
Petak Tersier
Irigasi Optimal
Antar Irigasi
24
Gambar 44. Durasi konvensional dan durasi irigasi optimal di SS Rengasbendung
Gambar 44 memperlihatkan petak irigasi dengan durasi irigasi rotasi optimal yang tidak mengalami fluktuasi nilainya mendekati nilai durasi irigasi rotasi konvensional. Untuk SS Rengasbendung, secara umum, petak tersier yang terletak di bagian hulu mempunyai durasi irigasi rotasi optimal relatif sama
150
dengan durasi irigasi rotasi optimal dari petak tersier di bagian hilir, terkecuali pada petak tersier yang nilai durasi irigasi optimalnya menjadi titik puncak kurva. Kesamaan tersebut disebabkan oleh luas target tanam di bagian hilir maksimal sama dengan luas target tanam di bagian hulu. Durasi irigasi rotasi optimal yang terlama yaitu 245,5 jam terjadi pada periode Agt2 di petak tersier RBd02ka di bagian hulu dengan luas tanam 313 ha, berjarak 1,2 km dari sumber BKg04 dan durasi antar irigasi rotasinya selama 6 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi optimal yang tercepat yaitu 6,2 jam terjadi pada periode Jun1 di petak tersier Rbd04ka di bagian hulu dengan luas tanam 10 ha, berjarak 3,8 km dari sumber BKg04 dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Bangunan bagi sadap yang ada di BRbd08 dengan jarak 6,2 km dari BKg04 tidak mempunyai lahan untuk budidaya tanaman sehingga durasi irigasinya 0. Tidak terdapat perbedaan durasi irigasi rotasi optimal yang signifikan antar periode. Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigas i rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang SS Rawakuda disajikan pada Gambar 45.
Durasi (jam) 200
150
100
50
0
01ka
02ki
Konvensional
04ki02
06ki
Irigasi Optimal
09ka
13ka
Antar Irigasi
17ka Petak Tersier
Gambar 45. Durasi konvensional dan durasi irigasi optimal di SS Rawakuda
151
Dari Gambar 45 terlihat bahwa secara umum durasi irigasi rotasi optimal mempunyai lama waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan durasi irigasi rotasi konvensional terkecuali pada beberapa petak tersier yang menjadi titik puncak. Pada SS Rawakuda, kesemua petak tersier yang berjumlah 30 petakan masuk pada
bagian hulu dikarenakan tidak adanya bangunan bagi sadap
sepanjang saluran tersebut. Secara umum, petak tersier di SS Rawakuda mempunyai durasi irigasi rotasi optimal yang relatif sama. Terdapat 2 petak tersier yaitu Rk02ka02 dan Rk20ka yang menjadi titik puncak di awal dan di akhir saluran tersebut. Durasi irigasi rotasi optimal yang terlama yaitu 181,2 jam terjadi pada periode Agt2 di petak tersier Rk20ka di bagian hulu dengan luas tanam 185 ha, berjarak 23,5 km dari sumber BKg04 dan d urasi antar irigasinya selama 7 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi optimal yang tercepat yaitu 2,6 jam terjadi pada periode Jun1 di petak tersier Rk02ki di bagian hulu dengan luas target tanam 4 ha, berjarak 7,1 km dari sumber BKg04 dan durasi antar irigasinya selama 8 hari. Tidak terdapat perbedaan durasi irigasi rotasi optimal yang signifikan antar periode. Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigasi rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang SS Gelonggong disajikan pada Gambar 46. Dari Gambar 46 terlihat bahwa secara keseluruhan durasi irigasi rotasi optimal lebih cepat dibandingkan dengan durasi irigasi rotasi konvensional. Sampai jarak 6,4 km dari sumber BTb30a, nilai durasi irigasi rotasi optimal cenderung konstan untuk setiap periode yang menunjukkan luas target tanam tidak berselisih banyak. Perbedaan durasi irigasi rotasi optimal antar periode menghasilkan nilai yang cukup signifikan di bagian awal SS Gelonggong. Kemudian durasi irigasi rotasi optimal mengecil sampai dengan jarak 6,9 km dari sumber dan kembali membesar sampai dengan jarak 7,5 km dari sumber. Pada SS Gelonggong, semua petak tersier yang berjumlah 8 petakan masuk di bagian hulu. Durasi irigasi rotasi optimal yang terlama yaitu 63,1 jam terjadi pada periode Agt2 di petak tersier Gn02ki dengan luas target tanam 66 ha, berjarak 5,7 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi optimal yang tercepat yaitu 11,8 jam terjadi
152
pada periode Jun1 di petak tersier Gn06ka dengan luas target tanam 15 ha, berjarak 6,9 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari.
200
Durasi (jam)
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
01ki
02ki
Konvensional
03ki
04ki
Irigasi Optimal
05ka
06ka
Antar Irigasi
07ka
08ka
Petak Tersier
Gambar 46. Durasi konvensional dan durasi irigasi optimal di SS Gelonggong
Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigasi rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang SS Kahuripan disajikan pada Gambar 47. Dari Gambar 47 terlihat bahwa keseluruhan durasi irigasi rotasi optimal adalah lebih lama bila dibandingkan dengan durasi irigasi rotasi konvensional. Keseluruhan petak tersier di SS Kahuripan yang berjumlah 4 petakan masuk pada bagian hilir dan mendapat aliran air dari bangunan bagi sadap BSt16. Dari petak tersier yang terletak di bagian awal saluran, nilai durasi irigasi rotasi terus membesar sampai dengan petak tersier yang terletak ujung saluran. Hal tersebut menunjukkan peningkatan luas lahan budidaya tanaman. Perbedaan nilai durasi irigasi rotasi optimal antar periode pada petak tersier di awal saluran kurang signifikan dibandingkan dengan nilai durasi irigasi rotasi optimal antar periode pada petak tersier di ujung saluran. Durasi irigasi rotasi yang terlama yaitu 272,4 jam terjadi pada periode Agt2 di
153
petak tersier Kh04ka dengan luas tanam 135 ha, berjarak 18,6 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi yang tercepat yaitu 76,2 jam terjadi pada periode Jun1 di petak tersier Kh01ka dengan luas tanam 46 ha, berjarak 16,4 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari.
Durasi (jam) 200
150
100
50
0
01ka Konvensional
02ka Irigasi Optimal
03ka Antar irigasi
04ka Petak Tersier
Gambar 47. Durasi konvensional dan durasi irigasi optimal di SS Kahuripan
Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigasi rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang SS Kb Lompong disajikan pada Gambar 48. Dari Gambar 48 terlihat adanya variasi durasi irigasi rotasi optimal yang berfluktuasi dibandingkan durasi irigasi rotasi konvensional. Keseluruhan petak tersier di SS Kb Lompong yang berjumlah 7 petakan masuk pada bagian hilir dan mendapat aliran air dari bangunan bagi sadap BSt17. Di awal saluran sampai dengan jarak 15,7 km dari sumber BTb30a, nilai durasi irigasi rotasi optimal adalah sama dengan nilai durasi irigasi rotasi konvensional. Setelah itu, nilai durasi irigasi rotasi optimal berfluktuasi sampai dengan jarak 17,3 km di ujung saluran. Perbedaan nilai durasi irigasi rotasi optimal antar periode pada petak tersier di SS Kb Lompong tidak signifikan. Durasi irigasi rotasi optimal yang terlama yaitu 145 jam terjadi pada periode Agt2
154
di petak tersier Kl02ki dengan luas tanam 74 ha, berjarak 15,8 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi optimal yang tercepat yaitu 36,5 jam terjadi pada periode Jun1 di petak tersier Kl03ki dengan luas tanam 22 ha, berjarak 16,6 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari.
180
Durasi (jam)
160 140 120 100 80 60 40 20 0
01ka Konvensional
01ki
02ka
Irigasi Optimal
02ki
03ka
Antar Irigasi
03ki
04ka
Petak Tersier
Gambar 48. Durasi konvensional dan durasi irigasi optimal di SS Kb Lompong
Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigasi rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang SS Kendayakan disajikan pada Gambar 49. Dari Gambar 49 terlihat bahwa secara mayoritas durasi irigasi rotasi optimal adalah lebih cepat dibandingkan durasi irigasi rotasi konvensional terkecuali di daerah hilir saluran tersebut. Keseluruhan petak tersier di SS Kendayakan yang berjumlah 22 petakan masuk pada bagian hilir dan mendapat aliran air dari bangunan bagi sadap BRbd20. Dari petak tersier yang terletak pada awal saluran, nilai durasi irigasi rotasi berfluktuasi sampai dengan jarak 15,9 km dari sumber. Hal tersebut disebabkan oleh adanya variasi luas target penanaman. Setelah itu nilai durasi irigasi rotasi meningkat secara stabil sampai dengan jarak 19 km dari sumber. Hal tersebut menandakan
155
penambahan luas lahan budidaya tanaman yang terjadi secara kontinyu pada setiap petak tersiernya. Kemudian nilai durasi irigasi rotasi optimal kembali berfluktuasi sampai melebihi durasi irigasi rotasi konvensional. Perbedaan nilai durasi revisi irigasi rotasi optimal antar periode petak tersier dari awal saluran sampai ujung saluran adalah cukup signifikan. Durasi irigasi rotasi rotasi yang terlama yaitu 92 jam terjadi pada periode Agt2 di petak tersier Kn11ka dengan luas tanam 86 ha, berjarak 21,5 km dari sumber BKg04 dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi optimal yang tercepat yaitu 30 jam terjadi pada periode Jun1 di petak tersier Kn03ka dengan luas tanam 41 ha, berjarak 15,9 km dari sumber BKg04 dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari.
200
Durasi (jam)
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
01ka 02ka 03ka 04ka 05ka 06ka 07ka 08ka 09ka 10ka 12ka Konvensional
Irigasi Optimal
Antar Irigasi
Petak Tersier
Gambar 49. Durasi konvensional dan duras i irigasi optimal SS Kendayakan
Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigasi rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang SS Kalenderwak disajikan pada Gambar 50. Dari Gambar 50 terlihat bahwa secara mayoritas durasi irigasi rotasi optimal adalah lebih cepat dibandingkan dengan durasi irigasi rotasi konvensional terkecuali pada petak tersier yang
156
terletak di ujung saluran tersebut. Keseluruhan petak tersier di SS Kalenderwak yang berjumlah 7 petakan masuk pada bagian hulu dan mendapat aliran air dari sumber air BTb30a. Dari petak tersier yang terletak pada awal saluran, nilai durasi irigasi rotasi sedikit berfluktuasi sampai dengan jarak 7,7 km dari sumber untuk kemudian cenderung konstan sampai dengan jarak 9,5 km. Hal tersebut disebabkan luas target penanaman yang hampir sama sampai pada jarak 9,5 km. Nilai durasi irigasi rotasi optimal yang terlama yaitu 80,8 jam yang terjadi pada periode Agt2 di petak tersier yang terakhir (Kw07ka) dengan luas tanam 81 ha, berjarak 10,1 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi rotasi yang tercepat yaitu 22,4 jam terjadi pada periode Jun1 di petak tersier Kw05ka dengan luas tanam 28 ha, berjarak 9 km dari sumber BKg04 dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Perbedaan nilai durasi irigasi rotasi optimal antar periode pada petak tersier dari awal saluran sampai ujung saluran adalah cukup signifikan.
200
Durasi (jam)
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
01ki
02ka
Konvensional
03ka Irigasi Optimal
04ka
05ka Antar Irigasi
06ka
07ka
Petak Tersier
Gambar 50. Durasi konvensional dan durasi revisi irigasi rotasi SS Kalenderwak
Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigasi rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang
157
SS Lemahabang disajikan pada Gambar 51. Dari Gambar 51 terlihat bahwa secara umum durasi irigasi rotasi optimal adalah lebih cepat bila dibandingkan dengan durasi irigasi rotasi konvensional terkecuali di daerah awal saluran tersebut. Keseluruhan petak tersier di SS Lemahabang yang berjumlah 6 petakan masuk pada bagian hulu dan mendapat aliran air dari sumber BTb30a. Dari petak tersier yang terletak pada awal saluran, nilai durasi irigasi rotasi optimal berkurang sampai dengan jarak 8,1 km dari sumber. Hal tersebut disebabkan oleh berkurangnya luas target penanaman. Perbedaan nilai durasi irigasi rotasi optimal antar periode petak tersier dari awal saluran sampai dengan jarak 8,1 km adalah cukup signifikan. Setelah itu nilai durasi irigasi rotasi optimal meningkat secara stabil sampai dengan jarak 9,5 km. Hal tersebut menandakan penambahan luas tanaman terjadi secara kontinyu pada setiap petak tersiernya. Durasi irigasi rotasi optimal yang terlama yaitu 81,6 jam terjadi pada periode Agt2 di petak tersier La01ka dengan luas tanam 85 ha, berjarak 6,1 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi optimal yang tercepat yaitu 20,6 jam terjadi pada periode Jun1 di petak tersier La04ka dengan luas tanam 26 ha, berjarak 8,1 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari.
200
Durasi (jam)
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
01ka Konvensional
02ka
03ka
Irigasi Optimal
04ka Antar Irigasi
05ka
06ka Petak Tersier
Gambar 51. Durasi konvensional dan durasi revisi irigasi rotasi SS Lemahabang
158
Sistem Pendukung Keputusan Sistem pendukung keputusan adalah salah satu sistem informasi berbasis komputer yang ditujukan untuk mendukung manajemen dalam menangani masalah semi terstruktur yang memerlukan penilaian (judgement) dari pengambil keputusan. Jika sistem informasi manajemen lebih berorientasi pada dukungan tidak langsung misalnya melalui laporan maka sistem pendukung keputusan memberikan dukungan lebih langsung pada permasalahan dengan menyediakan alternatif pilihan. Sistem pendukung keputusan lebih menekankan pada efektivitas pengambilan keputusan dalam upaya untuk menghasilkan keputusan yang lebih baik. Pada sistem ini yang memegang peranan terpenting adalah pengambil keputusan karena sistem hanya menyediakan alternatif keputusan, sedangkan keputusan akhir tetap ditentukan oleh pengambil keputusan (Daihani 2001). Sebagaimana dijelaskan di bagian latar belakang, panitia irigasi membutuhkan alat bantu agar dapat menghasilkan rencana musim tanam yang optimum dan dapat merespon dinamika di lapangan secara cepat dan akurat. Sistem perhitungan yang selama ini dilaksanakan masih dilakukan secara manual, sehingga setiap kali timbul perubahan dari pihak petani, misalkan penundaan proses budidaya di saat-saat mulainya musim tanam, panitia irigasi mengalami kesulitan untuk melakukan perubahan dikarenakan laporan sudah direkapitulasi dan dikirim ke level struktural di atasnya. Oleh karena adanya dinamika tersebut, pada saat musim tanam sudah dimulai, petugas harus menyesuaikan air irigasi yang dialirkan ke petak sekunder dan tersier dengan kebutuhan air irigasi aktual sebab bila tidak lahan persawahan dapat mengalami kekurangan atau kelebihan air. Permasalahan lain juga timbul apabila terdapat perbedaan data antara Perum Jasa Tirta II dan Dinas Pertanian mengenai luas lahan (bebaku) yang harus diberi air
irigasi. Perbedaan tersebut harus diselesaikan secara berkoordinasi antara
kedua instansi karena bila tidak terselesaikan akan berakibat pada kurang akuratnya jadwal dan jumlah pemberian air irigasi. Selain faktor kesiapan petani untuk memulai musim tanam, kesiapan dari berbagai pihak juga diperlukan misalnya Dinas Pertanian dalam menentukan pola tanam, Perum Jasa Tirta II yang bertanggung jawab dalam pemberian air irigasi, dan produsen benih dan pupuk untuk menyediakan berbagai jenis sarana produksi
159
pertanian yang cukup dan tersedia di lapangan. Hal tersebut harus terlihat nyata di lapangan, agar musim tanam dapat dimulai serempak sesuai dengan golongan yang sudah ditentukan. Pemilihan kombinasi dan alternatif dari faktor-faktor tersebut menyebabkan prosedur penentuan sistem golongan irigasi menjadi proses yang tidak berulang. Berdasarkan berbagai alasan seperti dikemukakan di atas, maka sistem yang paling tepat untuk menangani permasalahan di panitia irigasi adalah sistem pendukung keputusan.
Sistem Usulan Sistem yang diusulkan adalah Sistem Pendukung Keputusan yang digunakan untuk membantu proses pengambilan keputusan pada saat perencanaan sistem irigasi golongan di tingkat kecamatan. Sistem pendukung keputusan tersebut merupakan kerangkakerja (framework) yang memberikan penilaian terhadap alternatif-alternatif penyelesaian yang diajukan. Sistem yang diusulkan merupakan perbaikan terhadap kelemahan-kelemahan yang ada pada sistem lama. Perbaikan -perbaikan yang dilakukan pada sistem usulan adalah : •
Pencatatan rekapitulasi data dilakukan secara otomatis dengan meng ambil masukan di tingkat kecamatan.
•
Nilai inisialisasi luas golongan menggunakan peluang distribusi kumulatif berdasarkan data luas golongan mulai tahun 1996 sampai dengan tahun 2004. Dengan demikian diharapkan nilai awal yang didapat merupakan pendekatan terhadap nilai yang sesungguhnya.
•
Proses penentuan golongan dilakukan dengan menggunakan parameter dan kendala yang sama dengan kondisi aktual untuk mencari kombinasi golongan pemberian air yang dapat memberikan keuntungan maksimum bagi daerah penelitian
•
Kemudahan dalam melakukan ujicoba skenario pola tanam yang paling menguntungkan untuk daerah pertanian
•
Petani dapat memberikan masukan kepada panitia irigasi setiap saat sebelum musim tanam dimulai sehingga data yang diberikan akan selalu sesuai dengan fakta mengenai kesiapan petani di lapangan
160
•
Format laporan rekapitulasi rencana musim tanam diseragamkan dengan menggunakan proses otomatis untuk memproduksi laporan sehingga mudah untuk dipahami oleh panitia irigasi. Pemahaman mengenai permasalahan yang terjadi akan mempermudah pengambilan keputusan. Agar perbaikan -perbaikan dari sistem usulan dapat tercapai, dilakukan
proses optimisasi
optimisasi pemberian air irigasi. Untuk itu disusun sebuah
sistem pendukung keputusan yang disebut dengan Model SIMPERA (S istem optIMisasi PEmberian aiR irigAsi). SIMPERA merupakan paket program komputer yang dapat dipergunakan oleh panitia irigasi untuk mendukung proses pengambilan keputusan dalam perencanaan sistem irigasi golongan. Konfigurasi model sistem pendukung keputu san SIMPERA disajikan pada Gambar 52. Sebagai suatu sistem pendukung keputusan, paket program SIMPERA disusun oleh tiga komponen utama yaitu Sistem Manajemen Basis Data, Sistem Manajemen Basis Model dan Sistem Manajemen Dialog. Sistem Manajemen Basis Data mengorganisasikan data dalam bentuk filefile yang tergabung dalam satu basis data IRIGASI. Pada prinsipnya data yang dibutuhkan untuk optimisasi sistem irigasi golongan adalah data spasial, data lingkungan, data tenaga kerja dan alat mesin pertanian, data biaya dan parameter optimisasi Tujuan dari Sistem Manajemen Basis Data adalah menerima masukan sebagai data, mengelola data meliputi perubahan dan penghapusan data serta menghasilkan keluaran sebagai informasi untuk mendukung kinerja sistem secara keseluruhan. Sistem Manajemen Basis Model terdiri dari empat model yaitu model penentuan golongan, model optimisasi golongan, model evaluasi keuntungan dan sistem informasi geografis. Sistem Manajemen Basis Model berfungsi melakukan perhitungan terhadap data yang ada dengan menggunakan rumusan tertentu agar memperoleh hasil yang digunakan untuk mendukung proses pengambilan keputusan.
161
PENGGUNA
SISTEM MANAJEMEN DIALOG
PROGRAM UTAMA
ALTERNATIF POLA TANAM
SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA
SISTEM MANAJEMEN BASIS MODEL
DATA SPASIAL
ANALISIS INISIALISASI GOLONGAN
DATA LINGKUNGAN
ANALISIS PENENTUAN GOLONGAN
DATA BIAYA
ANALISIS PERENCANAAN GOLONGAN
DATA TENAGA KERJA DAN ALAT MESIN PERTANIAN
ANALISIS KEUNTUNGAN WILAYAH
PARAMETER OPTIMISASI
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
Gambar 52. Konfigurasi Model SIMPERA
Sistem Manajemen Dialog berfungsi sebagai pengelola interaksi antara sistem dengan pengguna dalam proses pemberian alternatif pola tanam pada sistem irigasi golongan. Alternatif pola tanam yang dimaksud meliputi jenis
162
tanaman, pola tanam, jadwal musim tanam, golongan petak tersier, kebutuhan air irigasi, kebutuhan sarana produksi pertanian, harga jual komoditi, keuntungan tiap skenario pola tanam dan pengaturan jadwal sistem irigasi gilir -giring. Sistem ini menerima masukan dari pengguna dan memberikan keluaran sesuai dengan yang diinginkan pengguna.
Pertimbanga n Pada Perencanaan Simpera Permasalahan yang terjadi pada Daerah Irigasi Jatiluhur adalah adanya kemungkinan bahwa petani tidak dapat memulai musim tanam tepat waktu karena berbagai alasan. Faktor penyebab petani untuk menunda musim tanamnya adalah ketersediaan sarana produksi pertanian, tenaga kerja dan alat mesin pertanian. Apabila petani yang telah menunda proses budidaya itu kemudian memulai musim tanamnya, akan menyebabkan timbulnya golongan-golongan baru. Kemudian akibat lebih lanjut adalah pemborosan air irigasi karena Perum Jasa Tirta II tetap harus mengalirkan air irigasi tersebut ke sawah -sawah petani, yang seharusnya dapat disimpan untuk dipergunakan pada musim kemarau. Untuk itu harus disusun suatu rencana tanam yang benar-benar mempertimbangkan ketersediaan air irigasi dan faktor penyebab petani untuk menunda musim tanamnya. Kriteria paling sensitif yang dapat dijadikan sebagai faktor kunci bagi petani adalah faktor keuntungan. Berdasarkan sejumlah alternatif skenario pola tanam dengan masukan yang sama akan tetapi menghasilkan keuntungan yang berbeda, petani dapat menjatuhkan pilihannya pada alternatif dengan keuntungan tertinggi. Disamping itu, Dinas Pertanian juga memberikan rekomendasi pola tanam tertentu dengan pertimbangan untuk menjaga ketersediaan stok pangan nasional. Rekomendasi tersebut diharapkan tetap memperhatikan kesanggupan petani untuk melakukan proses budidaya. Faktor kritis lainnya adalah kemampuan sistem pada waktu menerima masukan. Semakin sedikit waktu yang dibutuhkan dari saat menerima masukan dan menghasilkan rencana tanam yang optimum (hampir real-time), maka timbulnya
golongan-golongan baru akan dapat diminimalisasi sehingga
pemborosan air irigasi juga dapat dikurangi.
163
Untuk mengatasi faktor kritis yang pertama yaitu faktor keuntungan, hasil optimisasi terhadap suatu pola tanam tertentu akan menghasilkan sejumlah alternatif penggolongan petak tersier. Hal ini didukung asumsi bahwa semakin banyak kombinasi yang dihasilkan maka peluang munculnya kombinasi yang menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi akan lebih besar. Dari segi waktu pemrosesan, sistem yang baru akan dapat menerima masukan berdasarkan situasi lapangan yang lebih terkini (up-to-date) sehingga perencanaan sistem irigasi golongan dapat dilaksanakan secara tepat pada saat musim tanam dimulai.
Rancang Bangun Model Sistem Manajemen Basis Data Basis data merupakan salah satu komponen terpenting dalam sistem. Sistem Manajemen Basis Data menggunakan menu untuk melakukan pengelolaan terhadap basis data, antara lain melalui proses pembuatan, perbaikan dan penghapusan data. Sistem Manajemen Basis Data dalam paket program SIMPERA mengelola satu basis data IRIGASI yang terdiri dari 13 file atau tabel. •
Data spasial, yang mencakup tata letak jaringan irigasi, tata letak petak tersier dan jarak antar bangunan (intake)
•
Data lingkungan, yang mencakup sifat fisik tanah, iklim, curah hujan, perkolasi, debit, ketersediaan sarana produksi pertanian, alat mesin pertanian, target luas tanam, periode musim tanam, pola tanam, jumlah golongan
•
Data tenaga kerja, yang mencakup jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dan yang dibutuhkan pada periode musim tanam tertentu
•
Data biaya, yang mencakup biaya pengadaan sarana produksi pertanian, biaya tenaga kerja, biaya alat mesin pertanian
•
Parameter Algoritma Genetik, yang mencakup jumlah kromosom dalam satu populasi, kriteria berhenti, probabilitas crossover dan mutasi
Dari kelima kelompok data di atas, kemudian disusun 13 file (tabel basis data) yang disajikan pada Tabel 40.
164
Tabel 40. File-file yang digunakan dalam Basis Data Irigasi NAMA FILE
PENYIMPANAN DATA
Bangunan
Intake, lokasi, luas golongan, fisik tanah
Buruh
Periode, jumlah buruh tersedia, biaya
ButuhAirIrigasi
Intake, periode, kebutuhan air irigasi, biaya
Chujan
Periode, curah hujan pada tahun pengamatan
Debit
Periode, debit pada tahun pengamatan
HargaKmdti
Jenis tanaman, harga jual
Iklim
Periode,
suhu,
kelembaban,
angin,
lama
penyinaran Jarak
Intake, jarak antar intake
Kromosom
Generasi, kromosom, nilai gen, keuntungan
Mesin
Jenis, biaya operasional
NilaiGol
Intake, golongan hasil algoritma greedy
Tanaman
Jenis tanaman, periode, lama periode, Kc, Ky
PolaTnm
Petak tersier, jenis tanaman, mulai tanam, perkiraan panen, luas tanam, luas lahan
Sarana
Jenis tanaman, jenis sarana produksi, kebutuhan, satuan
Sistem Manajemen Basis Model Model dalam sistem ini dirumuskan sebagai fungsi yang menggambarkan hubungan antara obyek -obyek yang berperan dalam penentuan golongan pemberian air irigasi. Untuk setiap masukan, model ini dapat menghasilkan keluaran yang berupa spesifikasi sistem irigasi golongan yang optimum beserta keuntungan wilayah yang didapat. Tinjauan dari masing-masing model disajikan sebagai berikut : •
Model inisialisasi luas golongan yang berfungsi menyediakan nilai awal untuk masing-masing golongan berdasarkan data luas tiap golongan dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2004
165
Data masukan Tabel Bangunan : golongan, luas golongan, musim tanam
Proses -
Hitung peluang kejadian luas tiap golongan
-
Hitung fitness (F) untuk setiap luas tiap golongan (A) dengan rumus : m
F = ∑ An
/37/
n =1
-
Hitung probabilitas relatif (pi) untuk luas tiap golongan dengan rumus :
pi = A / F -
/38/
Hitung probabilitas kumulatif (qi) untuk luas tiap golongan dengan rumus m
qi = ∑ An
/39/
n =1
-
Tentukan satu bilangan acak, kemudian temukan luas golongan untuk proses optimisasi berdasarkan besaran bilangan acak tersebut.
Informasi keluaran Tabel Kromosom : luas awal masing-masing golongan •
Model penentuan luas golongan yang berfungsi untuk perencanaan sistem irigasi golongan. Model tersebut akan mengkaji kecocokan parameter spasial dari setiap petak tersier terhadap kriteria golongan yang sedang diuji. Selain parameter spasial, ikut dikaji pula ketersediaan air, sarana produksi pertanian, perkiraan panen, tenaga kerja dan alat mesin pertanian terhadap kriteria yang sama. Semua hasil pengujian akan diberikan penilaian sesuai dengan tingkat ketepatan parameter dan data terhadap kriteria yang diuji. Prosedur yang digunakan pada penentuan golongan adalah algoritma greedy
Data masukan Tabel Bangunan : Intake, sifat fisik tanah Tabel Buruh : jumlah buruh tersedia Tabel Debit : jumlah debit tersedia
166
Tabel Jarak : jarak antar intake Tabel Mesin : jumlah mesin pertanian tersedia Tabel PolaTnm : perkiraan panen Tabel Sarana : jenis dan ketersediaan sarana produksi pertanian
Proses -
Buat tabel penilaian untuk masing-masing parameter dan data
-
Jumlah penilaian (V) dari setiap kriteria sumberdaya untuk mendapat total penilaian (tot) dari setiap petak tersier dengan rumus : m
tot = ∑ Vn
/40/
n =1
Informasi keluaran Tabel NilaiGol : Intake, golongan hasil algoritma greedy •
Model perencanaan sistem irigasi golongan yang didasarkan pada metode Algoritma Genetik merupakan inti dari sistem optimisasi dan proses analisisnya berlangsung secara iteratif. Pengguna sistem pendukung keputusan ini yaitu panitia irigasi menetapkan skenario pola tanam, parameter spasial, lingkungan, biaya tenaga kerja dan alat mesin pertanian. Berdasarkan spesifikasi masukan data, model perencanaan sistem irigasi golongan memproses data-data tersebut dengan cara mencari alokasi golongan untuk mendapatkan keuntungan tertinggi. Alokasi yang terjadi sebelum men capai kondisi berhenti akan menjadi input untuk iterasi berikutnya.
Data Masukan Tabel Kromosom : Generasi, kromosom, nilai gen menyatakan luas golongan
Proses -
Interpretasi kromosom ke dalam bentuk prosentase dan prioritas (P&P)
-
Penggunaan prosedur dala m Algoritma Genetik yang meliputi operator : seleksi, crossover, mutasi
167
-
Masing-masing operator menggunakan teknik tertentu, yaitu seleksi menggunakan teknik elitist, crossover menggunakan teknik uniform, mutasi menggunakan teknik reciprocal exchange
Informasi Keluaran Tabel Kromosom : Generasi, kromosom, nilai gen menyatakan luas golongan •
Model perhitungan keuntungan yang berfungsi menyatukan seluruh informasi yang berasal dari model perencanaan sistem irigasi golongan dan menyediakan fasilitas analisis alokasi golongan yang dihasilkan oleh model perencanaan. Terdapat 3 dimensi yang dihasilkan oleh sistem pendukung keputusan yaitu penentuan harga jual komoditas, rekomendasi pemilihan pola tanam yang tepat dan perhitungan keuntungan. Tahap pertama adalah menghitung produksi yang dihasilkan. Setelah jumlah produksi didapat, kemudian dilakukan perhitungan keuntungan dari setiap petak tersier berdasarkan hasil penjualan dan perhitungan biaya. Hasil yang diperoleh merupakan keuntungan kotor (gross margin ) untuk wilayah dari petak tersier tersebut. Kecocokan, jumlah produksi dan analisis keuntungan yang dilakukan pada setiap petak tersier merupakan basis data yang digunakan untuk menilai alokasi lahan tersebut pada golongan yang diuji.
Data Masukan -
Tabel Kromosom : Kromosom, nilai gen yang menyatakan luas golongan
-
Tabel Buruh : periode, biaya
-
Tabel ButuhAirIrigasi : periode, kebutuhan air irigasi, biaya
-
Tabel HargaKmdti : jenis tanaman, harga jual
-
Tabel Mesin : jenis, biaya operasional
-
Tabel Sarana : jenis sarana produksi, kebutuhan, satuan
Proses -
hitung jumlah hasil panen di wilayah tersebut menggunakan rumus Doorenbos-Kassam (Akhand, 1995) dari persamaan /36/
168
-
hitung jumlah keuntungan wilayah (NB) berdasarkan selisih pendapatan dengan biaya yang harus dikeluarkan menggunakan persamaan /35/
Informasi Keluaran Tabel Kromosom : kromosom, keuntungan •
Model sistem informasi geografis menyediakan seluruh informasi mengenai parameter spasial terhadap sistem pendukung keputusan. Parameter spasial meliputi posisi jaringan irigasi, letak petak tersier serta jarak bangunan bagi untuk petak tersier dari sumber air. Sistem informasi geografis juga menyediakan fasilitas visualisasi mengenai rencana pembagian golongan dari petak tersier dalam bentuk peta. Selain itu, sistem informasi geografis juga membantu dalam proses interpretasi keluaran (output) sebagai bagian dari fasilitas visualisasi tersebut. Hasil akhir optimisasi diberikan ke sistem pendukung keputusan untuk divisualisasikan dalam komponen sistem informasi geografis dan dilakukan analisis untuk mendapatkan penentuan harga jual komoditas, rekomendasi pola tanam terpilih serta perhitungan keuntungannya.
Data Input Tabel NilaiGol : Intake, golongan Tabel Jarak : Intake, jarak antar intake
Proses -
Transform format basis data tekstual ke basis data spasial
-
Pilih informasi yang akan ditampilkan menggunakan Structured Query Language (SQL) sebagai berikut : SELECT Intake, Golongan FROM NilaiGol N, Jarak J WHERE N.Intake = J.Intake
169
Informasi Keluaran Tampilan tiap intak e dengan label golongan masing-masing untuk setiap musim tanam
Sistem Manajemen Dialog Sistem Manajemen Dialog merupakan salah satu komponen dari paket program SIMPERA yang menyediakan sarana komunikasi antara pengguna dengan sistem. Komponen ini akan mempermudah pengguna untuk berinteraksi dengan sistem dimana masukan dibutuhkan berupa data dan parameter. Sedangkan keluaran sistem berupa teks, tabel dan gambar yang relevan dengan kebutuhan pengguna serta mudah dipahami. Untuk memudahkan penggunaan sistem, disusun daftar pilihan (menu) sedemikian rupa sehingga pengguna yang tidak terbiasa dengan sistem komputerpun dapat menjalankan sistem ini. Gambar 53 menyajikan susunan struktur daftar pilihan (menu) SIMPERA.
Submenu File Subsubmenu Pilih Database menyediakan fasilitas untuk mencari dan memilih database Irigasi. Untuk memudahkan penggunaan saat penelitian ini dilakukan, database Irigasi sudah tersimpan secara default pada direktori C:\My Documents\S3\Disertasi-Asli\Program Subsubmenu Isi Musim Tanam menyediakan fasilitas untuk memasukkan waktu musim tanam yang akan dioptimisasi Subsubmenu Isi Data Lahan mempunyai beberapa tab untuk memasukkan dan merubah data yang berkaitan dengan lahan tempat budidaya. Tab Detil menyediakan fasilitas pemasukan data pemilik lahan dan sifat fisika tanah. Selain itu informasi mengenai hasil perhitungan kebutuhan air tanaman, hujan efektif, kebutuhan untuk pengolahan tanah dan besar debit dari setiap sumber air juga disajikan pada tab Detil. Tab Budidaya menyediakan fasilitas untuk memasukkan data mengenai pola tanam, golongan, tanggal mulai menanam, jenis padi atau palawija yang ditanam serta sarana produksi pertanian yang dibutuhkan. Tab Perkolasi/Efisiensi menyediakan fasilitas untuk memasukkan data perkolasi pada
170
setiap tahap pertumbuhan tanaman, besarnya kehilangan air di jaringan irigasi serta memberikan informasi mengenai besarnya efisiensi pada saluran air. Tab Lingkungan menyediakan fasilitas untuk memasukkan data iklim untuk perhitungan evapotranspirasi acuan (ETo).
Menu Utama
Run
File
Display
Pilih Database
Penentuan Golongan
Kebutuhan Air Irigasi
Isi Musim Tanam
Irigasi Rotasi
Rencana Tanam
Isi Data Lahan
Estimasi Produksi
Isi Data Tanaman
Irigasi Rotasi
Keluar
Hapus Pola Tanam Gambar 53. Struktur menu SIMPERA
Subsubmenu Isi Data Tanaman mempunyai 2 tab untuk memasukkan dan merubah data yang berkaitan dengan spesifikasi tanaman yang dibudidayakan. Tab Detil menyediakan fasilitas untuk memasukkan detil tanaman padi dan palawija yang dibudidayakan meliputi tahap perkembangan menurut umur, faktor tanaman (Kc) dan faktor response tanaman terhadap kondisi air (ky). Tab Sarana menyediakan fasilitas untuk memasukkan standar jumlah sarana produksi pertanian yang dibutuhkan untuk melakukan proses budidaya, harga beli sarana produksi serta harga jual komoditi padi dan palawija.
171
Subsubmenu Hapus Pola Tanam menyediakan fasilitas untuk menghapus data pola tanam dari musim tanam terdahulu yang sudah tidak diperlukan lagi.
Submenu Run Subsubmenu Penentuan Golongan menyediakan fasilitas untuk melakukan optimisasi penentuan golongan pemberian air dengan metode Algoritma Genetik. Informasi yang dihasilkan meliputi pendapatan, biaya-biaya, keuntungan, dan konfigurasi golongan pemberian air yang ditampilkan dalam bentuk tabel ataupun menggunakan Sistem Informasi Geografis. Subsubmenu Irigasi Rotasi menyediakan fasilitas untuk menghitung besar debit air, kehilangan air pada saluran irigasi, waktu pengisian dan waktu penggenangan petak tersier serta waktu penghentian penyaluran air ke petak tersier pada sistem irigasi rotasi.
Submenu Display Subsubmenu
Kebutuhan
Air
Irigasi
menyediakan
fasilitas
untuk
menampilkan kebutuhan air irigasi dari setiap petak tersier berdasarkan skenario pola tanam yang dipilih. Menu ini hanya dapat dijalankan bila proses penentuan golongan sudah dilakukan. Subsubmenu Rencana Tanam menyediakan fasilitas untuk menampilkan rencana tanam dari setiap petak tersier meliputi musim tanam rendeng dan musim tanam gadu serta luas target tanam berdasarkan hasil optimisasi. Menu ini hanya dapat dijalankan bila proses penentuan golongan sudah dilakukan. Subsubmenu Estimasi Produksi menyediakan fasilitas untuk menampilkan perkiraan hasil produksi padi atau palawija dari setiap petak tersier. Metode perhitungan menggunakan faktor respons tanaman terhadap kondisi ketersediaan air (Doorenbos & Kassam 1997). Menu ini hanya dapat dijalankan bila proses penentuan golongan sudah dilakukan. Subsubmenu Irigasi Rotasi menyediakan fasilitas untuk menampilkan hasil perhitungan waktu penyaluran air dan waktu penghentian penyaluran air ke petak tersier.
172
Submenu Keluar Pilihan ini merupakan fasilitas untuk mengakhiri pelaksanaan program dan kembali ke window
Operasionalisasi Pro gram SIMPERA Paket program SIMPERA diimplementasikan dalam bentuk program komputer dengan menggunakan bahasa pemrograman berorientasi Object Oriented yang telah tersedia di pasar. Paket program ini dapat dijalankan dengan komputer pribadi IBM Pentium I atau yang setara, memory sebesar 32 MB dan sistem operasi Windows. Program terdiri dari beberapa model yaitu model inisialisasi, model penentuan luas golongan, model perencanaan sistem irigasi golongan dan model perhitungan keuntungan. Penerapan program SIMPERA di lapangan
akan
berbentuk
sistem
jaringan
komputer
terdistribusi
yang
menghubungkan panitia irigasi di tingkat kecamatan, Pemerintah Daerah Tingkat II (kabupaten) dan Pemerintah Daerah Tingkat I (propinsi). Pemasangan (instalasi) program SIMPERA dilakukan di setiap kantor kecamatan yang telah mempunyai peralatan komputer. Bagi kecamatan yang belum mempunyai peralatan komputer, pengoperasian SIMPERA dapat dilakukan di kecamatan terdekat yang telah mempunyai peralatan tersebut. Selain itu, paket program yang sama juga perlu dipasang di kantor kabupaten dan propinsi. Alasan pemilihan kantor kabupaten dan propinsi sebagai tempat pemasangan SIMPERA adalah untuk memudahkan koordinasi antar instansi-instansi yang tergabung dalam kepanitiaan irigasi. Penggunaan jaringan komputer secara on-line bertujuan agar dinamika rencana pemberian air irigasi dapat diikuti sampai pada saat-saat terakhir sebelum rencana tersebut dimulai. Basisdata IRIGASI akan disimpan pada tingkat kecamatan dan kabupaten secara berjenjang untuk meminimalisasi lalulintas data dan mempertahankan kinerja sistem secara menyeluruh. Administrator Basisdata diperlukan untuk mengelola basisdata IRIGASI di tingkat propinsi dan kabupaten. Pada tingkat kecamatan cukup menggunakan tenaga operator komputer yang telah diberi otoritas untuk memasukkan data yang diperlukan. Secara berjenjang, otoritas tersebut akan menjadi semakin tinggi pada pengguna di tingkat kabupaten
173
maupun pada pengguna di tingkat propinsi. Gambar 54 menyajikan diagram alir rencana operasional SPK SIMPERA.
1
MULAI
Rapat P3A dan Panitia Irigasi Desa
Data Panen, Saprodi, buruh dari petani
Rekapitulasi Rencana Tanam Tk Desa. Penyampaian Rekap ke Rapat Panitia Irigasi Kecamatan
Ketersediaan Saprodi/Alsin dari Dinas Pertanian
Ketersediaan air/jaringan irigasi dari PJT II
1
Rekapitulasi Rencana Tanam Tk. Kecamatan. Pemasukan Rekap ke SIMPERA Optimisasi Rencana Tanam Tk. Kecamatan
YA
Rubah Data ? TIDAK
Penyampaian Rencana Tanam Kecamatan Ke Rapat Panitia Irigasi Kabupaten. Rekapitulasi Rencana Tanam Kabupaten
Penyampaian Rencana Tanam Kabupaten Ke Rapat Panitia Irigasi Propinsi. Rekapitulasi Rencana Tanam Propinsi
Pengesahan Rencana Tanam Propinsi oleh Gubernur. Pengesahan pemberian air irigasi oleh PJT II
SELESAI
Gambar 54. Rencana operasional SPK SIMPERA
174
Untuk memakai sistem pendukung keputusan SIMPERA, pengguna harus menyiapkan data-data pendukung yang meliputi data jaringan irigasi, tanaman dan lahan. Tahap pertama adalah memasukkan data mengenai jaringan irigasi dan tanaman. Untuk memasukkan data jaringan irigasi diperlukan peta jaringan irigasi secara lengkap yang menyebutkan bangunan irigasi mana saja yang terdapat pada saluran primer, sekunder maupun primer yang ada di wilayah pengamat Cikarang. Data mengenai jarak antar bangunan irigasi juga harus dimasukkan karena data tersebut akan berpengaruh terhadap proses penentuan golongan dari masingmasing petak tersier. Tahap penyiapan data dilakukan pada saat pertemuan panitia irigasi dimulai dari tingkat yang terendah yaitu desa. Untuk itu seluruh stakeholder yang terkait yaitu petani diwakili P3A, Ulu -ulu dan aparat desa harus duduk bersama membicarakan rencana tanam untuk desa tersebut. Secara umum, wilayah pertanian untuk tingkat desa meliputi satu atau beberapa unit petak tersier dimana satu petak tersier tidak terbagi untuk dua atau lebih desa. Hal ini untuk mempermudah koordinasi dan konflik yang terjadi saat pelaksanaan musim tanam. Hasil rapat di tingkat desa harus dilaporkan ke tingkat kecamatan untuk direkapitulasi bersama dengan laporan dari desa lainnya yang masih berada dalam satu wilayah kecamatan. Laporan-laporan tersebut kemudian diinputkan ke SIMPERA. Menu pemasukan data yang digunakan adalah untuk mengisi basisdata Lahan. Proses pemasukan data dapat berlangsung secara rutin yang artinya berlangsung sesuai dengan jadwal pemasukan data yang telah ditetapkan sebelumnya, misalkan sepanjang bulan Agustus-September untuk musim tanam rendeng dan bulan Pebruari-Maret untuk musim tanam gadu. Selain itu, proses pemasukan data juga dilakukan apabila terdapat perubahan -perubahan data yang dapat mempengaruhi penentuan golongan yang sudah ditetapkan. Akan tetapi perubahan-perubahan tersebut sedapat mungkin dilakukan paling lambat 1 (satu) hari sebelum musim tanam golongan yang bersangkutan dimulai. Proses optimisasi dilakukan setelah data-data yang dibutuhkan telah dimasukkan ke basisdata IRIGASI di setiap kecamatan. Gambar 55 menyajikan arsitektur jaringan komputer SPK SIMPERA yang saling menghubungkan beberapa panitia
175
irigasi dengan tingkat yang berbeda-beda, sedangkan Gambar 56 menyajikan diagram alir model SIMPERA yang dijalankan pada saat proses optimisasi di tingkat kecamatan.
I N Kecamatan 1
T E R
I
N Kecamatan 2
N
E T
T Kabupaten A
E R
I
N N E Kecamatan 3
T T
E
Propinsi
R N
Kabupaten B
E Kecamatan 4
T Gambar 55. Arsitektur jaringan komputer SPK SIMPERA
176
Mulai
Data Spasial, Parameter Lingkungan, Biaya, Buruh
Inisialisasi Luas Golongan (Peluang Kejadian)
Parameter Algoritma Genetik
Penentuan Luas Golongan (Algoritma Greedy) Perencanaan Irigasi Golongan (Algoritma Genetik)
Perhitungan Keuntungan
Tidak
Konvergen ? Ya
Solusi Optimum
Selesai Gambar 56. Diagram alir model SIMPERA
Dengan menggunakan program komputer yang sama untuk setiap kecamatan, maka format pemasukan data akan menjadi seragam. Nilai domain dari spesifikasi pengkodean setiap bangunan irigasi serta petak tersier harus ditentukan terlebih dahulu agar saat pemasukan data tidak dipersalahkan oleh
177
program komputernya. Hal ini akan meningkatkan konsistensi penulisan kodekode tersebut pada saat pelaporan. Tabel 41 menyajikan informasi mengenai spesifikasi perangkat keras dan perangkat lunak berupa sistem operasi komputer yang dibutuhkan untuk proses optimisasi dan pembuatan laporan rekapitulasi rencana tanam.
Tabel 41. Spesifik asi perangkat keras dan perangkat lunak KANTOR
KOMPUTER
INSTANSI Propinsi
Server IBM
MEMORY
MEMORY
SISTEM
PRIMER
SEKUNDER
OPERASI
Min. 512 MB
Min. 40 GB
Windows
(atau setara) Kabupaten
Server IBM
NT Min. 256 MB
Min. 20 GB
(atau setara) Kecamatan
Client IBM
Windows NT
Min. 128 MB
Min. 10 GB
(atau setara)
Windows Client
Komputer pada setiap kantor instansi diperlengkapi perangkat komunikasi yang terdiri dari kartu Local Area Network, modem 56 KB dan jalur komunikasi melalui saluran telepon biasa atau melalui dedicated line. Paket program SIMPERA dapat memberikan informasi kepada pengguna tentang budi daya tanaman menyangkut kebutuhan air irigasi, curah hujan, debit air tersedia, kebutuhan sarana produksi pertanian, jumlah produksi, harga komoditi dan pendapatan wilayah; sistem irigasi golongan meliputi tataletak jaringan irigasi, jadwal musim tanam dan pemberian air irigasi, golongan dan luas petak tersier serta jumlah pemberian air irigasi untuk setiap golongan; faktor penunjang meliputi jumlah tenaga kerja dan alat mesin pertanian. Informasi tersebut diperoleh dengan memproses data yang terdapat dalam sistem manajemen basis data menggunakan rumusan yang terdapat dalam sistem manajemen basis model. Sistem Pendukung Keputusan akan mengirim informasi kembali ke Algoritma Genetik yang terdiri dari informasi nilai kondisi kromosom dan informasi lainnya seperti prosentase luasan lahan yang dialokasikan untuk setiap
178
golongan. Informasi ini digunakan untuk menentukan apakah kromosom anak mempunyai fungsi yang identik dengan kromosom yang sudah ada. Kromosom dengan fungsi identik berarti mempunyai alokasi lahan yang sama dengan kromosom lainnya walaupun secara genetik mereka berbeda. Hal ini akan mengurangi keragaman genetik dari populasi tersebut. Untuk itu bila suatu kromosom anak diidentifikasi mempunyai fungsi yang identik, kromosom tersebut akan dihapus.
Tampilan Program SIMPERA Setelah dipasang (install) pada masing-masing komputer pengguna, program SIMPERA dapat dijalankan dengan melakukan clicking icon SIMPERA yang terdapat pada dekstop atau menu Start Run. Tampilan judul SIMPERA disajikan pada Gambar 57.
Gambar 57. Tampilan judul SIMPERA
179
Langkah berikutnya adalah menampilkan menu utama dengan memilih (click) perintah LANJUT. Gambar 58 menyajikan tampilan menu utama SIMPERA.
Gambar 58. Tampilan menu utama SIMPERA
Pada menu utama, pengguna memilih basisdata IRIGASI pada folder yang ditentukan dengan cara melakukan clicking pada menu File dan memilih submenu Pilih Database seperti disajikan pada Gambar 59.
Gambar 59. Memilih submenu Pilih Database
Bila basisdata IRIGASI sudah terpilih, SIMPERA akan mengeluarkan pesan konfirmasi seperti disajikan pada Gambar 60.
180
Gambar 60. Pesan konfirmasi pemilihan basisdata IRIGASI
Langkah berikutnya adalah menentukan musim tanam sebagai masukan untuk pola tanam dengan cara memilih menu Isi Musim Tanam seperti disajikan pada Gambar 61.
Gambar 61. Pemilihan submenu Isi Musim Tanam
Pada form Isi Tahun Musim Tanam, masukkan data tahun Musim Tanam seperti disajikan pada Gambar 62.
181
Gambar 62. Pengisian Tahun Musim Tanam
Langkah berikutnya adalah memasukkan data lahan dan rencana tanam dengan memilih submenu Isi Data Lahan seperti disajikan pada Gambar 63.
Gambar 63. Pemilihan submenu Isi Data Lahan
Untuk memasukkan data rencana tanam, informasi mengenai wilayah harus dimasukkan terlebih dahulu seperti disajikan pada Gambar 64.
182
Gambar 64. Pemilihan informasi wilayah
Pemasukan data rencana tanam dilakukan setelah pemilihan wilayah. Gambar 65 menyajik an tampilan untuk memasukkan data rencana tanam dengan cara memilih tab Periode.
Gambar 65. Tampilan untuk memasukkan data rencana tanam
183
Untuk melihat data rencana tanam yang telah dimasukkan dilakukan dengan cara memilih (click) perintah Lihat Pola Tanam seperti disajikan pada Gambar 66.
Gambar 66. Tampilan rencana tanam
Untuk memasukkan data pemilik lahan, data fisika tanah, data mengenai evapotranspirasi, hujan efaktif, kebutuhan air untuk olah tanah serta data debit air untuk masing-masing sumber dilakukan dengan memilih tab Detail seperti disajikan pada Gambar 67.
Gambar 67. Pemasukan atau menampilkan data tanah dan iklim
184
Untuk memasukkan atau melihat data pemilik lahan dilakukan dengan cara memilih perintah Lihat Data Pemilik seperti disajikan pada Gambar 68.
Gambar 68. Pemasukan atau menampilkan data pemilik lahan
Untuk memasukkan atau menampilkan data perkolasi dan efisiensi dilakukan dengan cara memilih tab Perkolasi/Efisiensi seperti disajikan pada Gambar 69.
Gambar 69. Pemasukan atau menampilkan data Perkolasi/Efisiensi
185
Untuk memasukkan atau melihat data iklim dan curah hujan dilakukan dengan cara memilih tab Lingkungan seperti disajikan pada Gambar 70.
Gambar 70. Pemasukan atau melihat data iklim dan curah hujan
Untuk memasukkan data tanaman terlebih dahulu submenu Isi Data Tanaman harus dipilih melalui menu File seperti disajikan pada Gambar 71.
Gambar 71. Tampilan untuk memilih submenu Isi Data Tanam
186
Untuk memasukkan atau melihat detil tanaman meliputi umur tanaman, faktor tanaman, dan faktor respons tanaman dilakukan dengan cara memilih tab Detil seperti disajikan pada Gambar 72.
Gambar 72. Pemasukan atau melihat data tanaman
Setelah data tanaman dan data lahan dimasukkan ke basisdata IRIGASI, langkah berikutnya adalah melakukan proses optimisasi untuk menentukan golongan dengan memilih submenu Penentuan Golongan melalui menu Run yang disajikan pada Gambar 73.
Gambar 73. Tampilan untuk memilih submenu Penentuan Golongan
187
Proses optimisasi dilakukan dengan memasukkan data jumlah kromosom dan generasi dan memilih skenario optimisasi. Proses optimisasi dimulai dengan memilih (click) perintah Inisialisasi seperti diperlihatkan pada Gambar 74.
Gambar 74. Hasil proses optimisasi penentuan golongan
Detil mengenai hasil penentuan golongan dilakukan dengan cara memilih (click) perintah Golongan disajikan dalam Gambar 75. Sedangkan untuk melihat melalui sistem informasi geografis (SIG) dilakukan dengan memilih Lihat Peta seperti terlihat pada Gambar 76.
Gambar 75. Tampilan hasil proses optimisasi penentuan golongan
188
Gambar 76. Tampilan hasil penentuan golongan menggunakan SIG
Untuk melihat jumlah kebutuhan air irigasi pada petak tersier, pengguna memilih submenu Kebutuhan Air Irigasi pada menu Display seperti disajikan pada Gambar 77.
Gambar 77. Pilihan untuk menampilkan kebutuhan air irigasi
189
Hasil dari pilihan submenu Kebutuhan Air Irigasi disajikan seperti pada Gambar 78.
Gambar 78. Tampilan Kebutuhan Air Irigasi untuk setiap petak tersier
Untuk melihat estimasi hasil produksi dari perhitungan rumus Doorenbos dan Kassam (1979), pengguna memilih submenu Estimasi Produksi dari menu Display seperti disajikan pada Gambar 79.
Gambar 79. Pilihan submenu Estimasi Produksi
190
Hasil dari pilihan submenu Estimasi Produksi untuk setiap periode per petak tersier disajikan seperti pada Gambar 80.
Gambar 80. Tampilan Estimasi Produksi untuk setiap periode per petak tersier
Apabila ketersediaan air kurang dari kebutuhan irigasi, panitia irigasi memberlakukan sistem irigasi rotasi. Perhitungan untuk irigasi rotasi dilakukan dengan memilih submenu Irigasi Rotasi dari menu Run seperti disajikan pada Gambar 81.
Gambar 81. Pilihan submenu Irigasi Rotasi
Setelah form Proses Irigasi Irigasi ditampilkan, pengguna menekan tombol perintah PROSES untuk melakukan perhitungan irigasi rotasi. Setelah perhitungan, ditampilkan pesan perhitungan selesai seperti disajikan pada Gambar 82.
191
Gambar 74. Form untuk memproses Irigasi Rotasi
Gambar 82. Proses perhitungan irigasi rotasi
Untuk melihat hasil perhitungan irigasi rotasi pengguna memilih submenu Irigasi Rotasi dari menu Display seperti disajikan pada Gambar 83.
Gambar 83. Pemilihan submenu Irigasi Rotasi dari menu Display
Untuk melihat hasil dari perhitungan irigasi rotasi pengguna memilih periode yang akan ditampilkan dari combo-box Pilih Periode Yang Akan Dilihat seperti disajikan pada Gambar 84.
192
Gambar 84. Pilihan untuk menampilkan hasil perhitungan irigasi rotasi Bila ingin melihat hasil perhitungan irigasi rotasi untuk bagian hulu atau hilir, pengguna memilih tombol Display Hulu atau Display Hilir. Hasil perhitungan ditampilkan sesuai dengan pilihan pengguna seperti disajikan pada Gambar 85.
Gambar 85.Tampilan hasil perhitungan irigasi rotasi
193
Untuk mengakhiri SIMPERA, pengguna memilih menu Keluar untuk menghentikan eksekusi SIMPERA dan menekan tombol Yes seperti disajikan pada Gambar 86.
Gambar 86. Mengakhiri program SIMPERA
SIMPULAN 1. Algoritma genetik secara efektif dapat digunakan untuk optimisasi penyaluran air irigasi. Penerapan algoritma genetik dengan beberapa skenario perencanaan memberikan hasil sebagai berikut : Skenario 1, 3 dan 4 menghasilkan keuntungan yang terbesar dimana rata-rata hasil keuntungan diatas Rp 3 000 000 per ha per tahun) karena adanya intensitas penanaman palawija yang tinggi pada skenario-skenario tersebut. Harga jual palawija yang tinggi memberikan keuntungan cukup signifikan dibandingkan dengan hasil Skenario 0. 2. Optimisasi berpengaruh pada perubahan luas golongan dan berdampak positif terhadap hasil keuntungan. Perubahan luas golongan memberikan peluang mengoptimalkan luas penanaman yang terlihat pada Skenario 1, 3 dan 4. 3. Hasil analisis korelasi memperlihatkan hubungan yang hampir positif dan negatif sempurna didapat dari Skenario 1, 2, 3 dan 4 bila dibandingkan Skenario 0. Tingkat signifikansi 1-tailed dari Skenario 1, 2 , 3 dan 4 juga memperlihatkan hubungan yang signifikan dari luas golongan sebagai variabel bebas dan keuntungan sebagai variabel terikat. Dengan demikian, Skenario 1, 2, 3, dan 4 cukup dapat diandalkan untuk optimisasi irigasi golongan. 4. Hasil analisis model regresi memperlihatkan nilai uji F untuk Skenario 1, 2, 3, dan 4 adalah lebih besar daripada nilai F tabel. Sedangkan nilai signifikansi model regresi adalah lebih kecil daripada 0,05 sehingga menunjukkan tingkat signifikansi tinggi dari model regresi. Dengan demikian, Skenario 1, 2, 3 dan 4 ckup dapat diandalkan untuk optimisasi irigasi golongan. 5. Sistem irigasi rotasi yang digunakan saat ini lebih banyak menguntungkan lahan petak tersier di bagian hulu karena letaknya yang lebih dekat ke sumber air. Semakin jauh dari sumber, debit air akan semakin berkurang untuk mengairi lahan petak tersier di bagian hilir. Hal tersebut disebabkan oleh alokasi waktu yang sama antara bagian hulu dan bagian hilir yaitu masing-masing 3 hari. 6. Durasi irigasi optimal dapat menyeimbangkan pemakaian air irigasi untuk seluruh petak tersier yang didasarkan pada kebutuhan air irigasi, luas dan jarak petak tersier dari sumbernya, serta kehilangan air yang terjadi selama penyaluran dari sumber ke petak tersier.
195
SARAN 1.
Metode Algoritma Genetik dapat digunakan pada saat optimisasi yang berlangsung di tingkat Kecamatan. Proses optimisasi sebaiknya dilakukan sampai keseluruhan golongan selesai dioptimisasi. Apabila ada data yang baru, pemasukan data dan proses optimisasi berikutnya harus menunggu sampai proses optimisasi sebelumnya selesai.
2.
Dilihat dari jumlah keuntungan dari setiap skenario, disarankan agar pada saat memutuskan pola tanam yang berlaku, sebaiknya memilih pola tanam yang tidak hanya untuk budidaya padi saja, tetapi sebaiknya juga diselingi dengan budidaya palawija Tujuannya adalah untuk menjaga tingkat kesuburan tanah dan meningkatkan keuntungan wilayah.
3.
Untuk menggairahkan petani agar mau menanam palawija, dibutuhkan penyuluhan atau pelatihan terhadap perkumpulan petani pemakai air (P3A) mengenai cara penanaman palawija yang menguntungkan
Penyuluhan atau
pelatihan meliputi teori dan praktek lapangan yang dikerjakan pada lahan percontohan. Hal tersebut bertujuan agar petani dapat melihat dan membuktikan secara langsung manfaat yang didapat dari usaha budidaya palawija. Pelatihan terhadap perkumpulan petani pemakai air (P3A) merupakan sarana yang tepat untuk memberikan wawasan tentang cara produksi palawija dengan benar. 4.
Pemerintah perlu memberikan insentif berupa penyediaan sarana produksi pertanian yang berkualitas, ramah lingkungan dan terjangkau oleh petani baik distribusi dan harganya. Misalnya penyediaan pupuk kompos dari bahan organik. Untuk itu, petani dapat dilibatkan dalam pembuatan pupuk kompos tersebut. Selain itu, karena mayoritas petani setempat belum terbiasa menanam palawija, pemerintah sebaiknya membuat skema perlindungan untuk petani apabila produksi palawija mengalami kegagalan.
DAFTAR PUSTAKA
196
Agudelo JI, Hoekstra AY. 2001. Valuing water for agriculture:Aapplication to the Zambezi basin countries. Di dalam: Proceedings of the AWRA/IWLRIUniversity of Dundee International Specialty Conference; Dundee. Akhand NA, Larson DL, Slack DC. 1995. Canal irrigation allocation planning model. Trans. of The ASAE 38(2):545-550. Allen RG, Pereira LS, Raes D, Smith M. 1998. Crop Evapotranspiration Guidelines for Computing Crop Water Requirements, FAO Irrigation and Drainage Paper 56. Rome : Food and Agriculture Organization of The United Nations. Antonisse J. 1989. A new interpretation of schema notation that overturns the Binary encoding constraint. Di dalam: Schaffer J, editor. Proceedings of the Third International Conference on Genetic Algorithms; San Mateo. California: Morgan Kaufmann. hlm 86-91. Apriati DA. 1993. Optimasi pola tanam dengan sistem golongan dan kaitannya dengan ketersediaan tenaga kerja di Daerah Irigasi Curug Agung Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Arthur JL. 1997. Clarification on The Use of Linear Programming and GIS for Land-Use Modelling. Inter J of Geographical Information Sc 11(4). Baker JE. 1989. Reducing bias and ineffiency in the selection algorithm. Di dalam: Schaffer J, editor. Proceedings of the Third International Conference on Genetic Algorithms; San Mateo. California: Morgan Kaufmann. hlm 14-21. Back T, Fogel DB, Whitley D,
Angeline PJ. 2000. Mutation Operators,
Evolutionary Computation 1: Basic Algorithms and Operators. Bristol: Institute of Physics Publishing. Basuki KI. 1990. Optimasi lahan pertanian berdasarkan ketersediaan air di wilayah irigasi tarum utara cabang barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Beasley D. 1993. An overview of Genetic Algorithms: Part 2 Research Topics. Cardiff: Cardiff University of Wales College. Bierwirth C, Mattfeld DC. 1999. Production scheduling and rescheduling with Genetic Algorithms. Evol. Comput 7(1): 1-17
197
Booker LJ. 1974. Surface Irrigation. Land and Water Development Division. Rome: Food and Agricultural Organization of The United Nations. Brouwer C, Goffeau A, Heibloem M. 1985. Irrigation Water Management, Training Manual no. 1:Introduction to Irrigation. Rome:
Food
and
Agriculture Organization of The United Nations. Brouwer C, Heibloem M. 1986. Irrigation Water Management,Training Manual no. 3:Irrigation Water Needs. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nations. Brouwer C, Prins K, Heibloem M. 1989. Irrigation Water Management,Training Manual no. 4 : Irrigation Scheduling. Rome: Food
and Agriculture
Organization of The United Nations. Brouwer C, Prins K, Kay M, Heibloem M. 1990. Irrigation Water Management,Training Manual no. 5 : Irrigation Methods. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nations. Brouwer C, Hoevenaars JPM, van Bosch BE, Hatcho M, Heibloem M. 1992. Irrigation Water Management,Training Manual no. 6 : Scheme Irrigation Water Needs and Supply. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nations. Chuvieco E. 1993. Integration of linear programming and GIS for land-use modelling. Inter J of Geographical Information Syst 7(1):71-83. Critchley W, Siegert K, Chapman C. 1991
A Manual for the Design and
Construction of Water Harvesting Schemes for Plant Production. Rome: Food and Agricultural Organization of The United Nations. Daihani DU. 2001. Komputerisasi Pengambilan Keputusan. Jakarta: Elex Media Komputindo. Dandy GC, Connarty M. 1995. Use of Genetic Algorithms for project sequencing. Di dalam: Proc. 22nd Annual Conf. Water Resources Planning and Management Division. Cambridge. Massachusetts: American Society of Civil Engineers. hlm. 540-543. Dandy GC, Simpson AR, Murphy LJ. 1996. An improved Genetic Algorithm for pipe network optimisation. Wat Resource Res. 32(2): 449-458.
198
Davis L. 1991. Handbook of Genetic Algorithms. New York: VNR Computer Library, Von Nostrad Reinhold. [DPU] Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Pengairan. 1986. Standar Perencanaan Irigasi. Bandung: C.V. Galang Persada. Dibble C, Densham PJ. 1997. Generating interesting alternatives in GIS and SDSS using Genetic Algorithms. Di dalam: Proceeding of The GIS/LIS `93 Annual Conference and Exposition;. Minneapolis. Minnesota. Doorenbos J, Kassam AH. 1979. Yield response to Water. Irrigation and Drainage Paper 33. Rome: Food and Agricultural Organization of The United Nations. Doorenbos
J, Pruitt WO. 1977. Guidelines for Predicting Crop Water
Requirement, Irrigation and Drainage Paper. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nations Organization. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem. Bogor: IPB Press. Erizal. 1988. Intensifikasi irigasi pada tingkat usaha tani di wilayah kerja balai penyuluh pertanian Cikarang. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Eshelman L, Caruana R, Schaffer J. 1989. Biases in the crossover landscape. Di dalam: Schaffer J, editor. Proceedings of the Third International Conference on Genetic Algorithms; San Mateo. California: Morgan Kaufmann. hlm. 10-19. Fang HL, Ross P, Corne D. 1993. A promising Genetic Algorithm approach to job-shop scheduling, rescheduling and open-shop scheduling problems. Di dalam: Forrest S, editor. Proceedings of The 5th Int. Conference on Genetic Algorithms and Their Applications; San Mateo. California: Morgan Kauffmann. hlm 375-382. Feng C, Lin J. 1999. Using a Genetic Algorithm to generate alternative sketch maps for urban planning. Comp Env and Urban Syst. 23: 91-108. Gen M, Cheng R. 1997. Genetic Algorithms and Engineering Design. New York. John Wiley & Sons Inc. Goldberg DE. 1989. Genetic Algorithms in Search, Optimization and Machine Learning. Massachusets: Addison-Wesley.
199
Goldberg DE, Deb K, Kargupta H, Harik G. 1993. Rapid, accurate optimisation of difficult problems using fast messy Genetic Algorithms. Di dalam : Forrest S, editor. Proceedings of the Fifth International Conference on Genetic Algorithms; San Mateo. California: Morgan Kaufmann. hlm 56-64. Haupt RL, Haupt SE. 1998. Practical Genetic Algorithms. New York: WileyInterscience John-Wiley and Sons. Hegazy T. 1999. Optimization of resource allocation and levelling using Genetic Algorithms. J. Construct.Eng.Mgmt. 125(3):167-175. Kalsim DK., 2000, Sistem Irigasi dan Drainase Untuk Petani Kecil. Bogor: Bagian Teknik Tanah dan Air
Fakultas Teknologi Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Kan CE, Chen KY, Shih SF. 1997. A procedure for rotation irrigation in lowland rice. Agricultural Water Management 35 (1997):109-121. Kasryno F, Nataatmadja H, Rachman B. 1999. Agricultural development in Indonesia entering the 21 st century. A joint research project on Indonesia’s Agricultural
Production,
Trade
and
the
Environment.
CASER/CSIS/CIES/ANU Krisnawinata. 2000. Perencanaan operasi pompa air pada jaringan tanaman cabai merah besar hibrida di proyek cabai Resinda-Karawang [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Khepar SD, Gulati HS, Yadav AK, Brar TPS. 2000. A model for equitable distribution of canal water. Irr Sci 2000(19):191-197. Linsley RK, Kohler MA. 1982. Hydrology for Engineers. Tokyo: McGraw Hill. Latif M, Sarwar S. 1994. Proposal for equitable water allocation for rotational irrigation in Pakistan. Irr and Drain Syst 8:35-48. Law AM, Kelton WD. 1991. Simulation Modelling and Analysis 2 nd .Ed. Singapore: McGraw-ill International Editions. Manetsch TJ, Park GL. 1976. System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social Systems. Michigan: Department of Electrical Engineering and System Science Michigan State University. Matthews KB. 1999. Implementation of a spatial decision support system for rural land use planning. Comp and Elect in Agr 23:9-26.
200
Matthews KB. 2001. Applying Genetic Algorithms to multi-objective land-use planning [dissertation]. Aberdeen: The Robert Gordon University. McLeod R. 1995. Management Information System 6th Edition.Englewood Cliffs: Prentice Hall. Mehta NK. 1990 Irrigation Water Management for Bhadra Reservoir Project. New Delhi: National Informatics Centre. Michalewicz
Z. 1996. Genetic Algorithms + Data Structures = Evolution
Programs. New York: Springer-Verlag. Nixon JB, Dandy GC, Simpson AR. 2001. A Genetic Algorithm for optimizing offfarm irrigation scheduling. IWA Publishing. Norman BA, Bean JC. 1999. A Genetic Algorithm methodology for complex scheduling problems. Naval Res. Logist 46:199-211. Oldeman LR, Syarifudin. 1977. An Agroclimatics Map of Sulawesi. Bogor: Bogor Institute of Agriculture [PJT II] Perum Jasa Tirta II. 2001. Rencana Pokok Penyediaan dan Penggunaan Air Untuk Tanam Padi Rendeng MT. 2001/2002, Tanam Padi Gadu MT. 2002 dan Tanam Palawija MT. 2002 di Daerah Irigasi Jatiluhur. Purwakarta: PJT II. Pawitan H, April 1997. Seminar pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan melalui permasyarakatan gerakan hemat air. Suara Pembaharuan. Pramudya B, Pertiwi S. 1998. Sugar-cane cropping and operation scheduler for selective mechanized plantation. Agricultural Information Technology in Asia and Oceania: The Asian Federation for Information Technology in Agriculture Prasetyo YT. 2002. Budidaya Padi Sawah. Yogyakarta: Kanisius. [PLPDH] Pusat Litbang Pengairan dan Delft Hydraulics. 1988. Cisadane Cimanuk Integrated Water Resources Development (BTA155). Bandung: PLPDH. [PLPDH] Pusat Litbang Pengairan dan Delft Hydraulics. 1991. Integrated River Basin Water Resources Development Planning. Bandung: PLPDH. [PPPTP] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 1993. Data Penting Tanaman Pangan. Jakarta:PPPTP.
201
Pulungan
A.
2005.
HKTI
pesimis
Presiden
Yudhoyono.
WWW.Tempointeraktif.com [9 Juni 2005] Purba WF. 1980. Pembangunan tersier dengan pemanfaatannya. Seminar Perum Otorita Jatiluhur. Curug. Rachman B. 1999. Analisis kelembagaan jaringan tata air dalam meningkatkan efisiensi dan optimasi alokasi penyaluran air irigasi [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Riduwan. 2004. Statistika Untuk Lembaga dan Instansi Pemerintah/Swasta. Bandung: Alfabeta. Simpson AR, Dandy GC, Murphy LJ. 1994. Genetic Algorithms compared to other techniques for pipe optimization, J Wat Resource Plan Mgmt 120(4): 423443. Siregar M, Nasution A. 1983. Perkembangan teknologi dan mekanisasi di Jawa. Di dalam : Kasryno F. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. 1984. Yayasan Obor Indonesia. Schwab GO, Frevert RK, Daywin FY, Edmister TM, Barnes KK. 1981. Soil and Water Conservation Engineering. USA : John Wiley and Son Inc. Shaffer J. 1985 Multiple objective optimisation with vector evaluated Genetic Algorithms. Di dalam: Grefenstette J, editor. Proceedings of the First International Conference on Genetic Algorithms; Hillsdale. New Jersey: Lawrence Earlbaum. hlm 93-100. Sinotech. 1978. Agriculture Extention and Water Management Services. Purwakarta: Jatiluhur Authority. Sorensen I. 2002. Design and analysis of radiometric instruments using high-level numerical models and Genetic Algorithms [disertasi]. Virginia: Virginia Polytechnic Institute and State University. Spears W, de Jong K. 1999. Dining with GAs: Operator lunch theorems. Di dalam: Banzahf W, Reeves C, editors. Foundations of Genetic Algorithms; International Society for Genetic Algorithms. hlm 316. [SDBUT] Sub Dinas Bina Usaha Tani. 1990. Perhitungan Biaya Produksi dan Pendapatan Petani di Propinsi Sumatera Utara Tahun 1989/1990. Medan: SDBUT.
202
Sugeng. 2001. Bercocok Tanam Padi. Semarang: Aneka Ilmu. Suhardi. 1983. Dasar-dasar Bercocok Tanam. Yogyakarta: Kanisius. Syswerda G. 1989. Uniform crossover in Genetic Algorithms. Di dalam: Schaffer J, editor. Proceedings of the Third International Conference on Genetic Algorithms; San Mateo. California; Morgan Kaufmann. hlm 2-9. Tarp P, Helles F. 1997. Spatial optimization by simulated annealing and linear programming. Scan J of Forest Res 12: 390- 402. van Dijk S, Thierens D, de Berg M. 1999. On The Design of Genetic Algorithms for Geographical Applications. Di dalam: Banzhaf W, editor. Proceedings of The Genetic and Evolutionary Computation Conference (GECCO'99); San Francisco. hlm. 188-195. Walker WR. 1989. Guidelines for Designing and Evaluating Surface Irrigation Systems, FAO Irrigation and Drainage Paper 45. Rome: Food
and
Agriculture Organization of The United Nations. Whitley D. 1988. GENITOR: A different Genetic Algorithm. Di dalam: Proceedings of the Rocky Mountain Conference of Artificial Intelligence; Denver. Colorado: A Publisher. hlm 118-130.
Lampiran 1 Golongan petak tersier (rendeng) sebelum dioptimisasi Petak Waktu Waktu Tersier Golongan Luas Tanam Panen Brbd01 I 185 Okt1 Peb1 Brbd01b I 81 Okt1 Peb1 Brbd02 I 313 Okt1 Peb1 Brbd03 I 144 Okt1 Peb1 Brbd04 I 61 Okt1 Peb1 Bpbe02 II 68 Okt2 Peb2 Brbd05 II 166 Okt2 Peb2 Brbd06 II 144 Okt2 Peb2 Brbd07 II 160 Okt2 Peb2 Brk01 II 272 Okt2 Peb2 Brk01f II 32 Okt2 Peb2 Brk02 II 228 Okt2 Peb2
ETo Panen 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41
ETm 5,47 5,47 5,47 5,47 5,47 5,47 5,47 5,47 5,47 5,47 5,47 5,47
ETa 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 1,82 2,00 1,82 1,82 2,00 2,00 1,82
Ya 4,1 4,1 4,1 4,1 4,1 4,0 4,1 4,0 4,0 4,1 4,1 4,0
Total Produksi 752,9 329,6 1273,8 586,0 248,3 271,6 675,6 575,2 639,2 1107,0 130,2 910,8
203
Brk03 II 217 Okt2 Peb2 4,41 5,47 1,82 4,0 Brk04 II 164 Okt2 Peb2 4,41 5,47 1,82 4,0 Brk05 II 92 Okt2 Peb2 4,41 5,47 1,82 4,0 Brs03 II 170 Okt2 Peb2 4,41 5,47 1,82 4,0 Brs04 II 46 Okt2 Peb2 4,41 5,47 1,82 4,0 Btr01 II 177 Okt2 Peb2 4,41 5,47 1,82 4,0 Bgn01 III 64 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bgn02 III 66 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bgn03 III 57 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bgn04 III 57 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bgn05 III 18 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bgn06 III 15 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bgn07 III 33 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bgn08 III 57 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkh01 III 46 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkh02 III 63 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkl01 III 83 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkl02 III 104 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkl03 III 76 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkl04 III 60 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn01 III 123 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn02 III 119 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkw01 III 36 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkw02 III 40 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkw03 III 30 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkw04 III 30 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkw05 III 28 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Satuan ETo, ETm : mm hari-1; Luas : ha; Ya : ton ha -1; Total Produksi : ton
866,9 655,1 367,5 679,1 183,8 707,1 251,9 259,7 224,3 224,3 70,8 59,0 129,9 224,3 181,0 247,9 326,6 409,3 299,1 236,1 484,0 468,3 141,7 157,4 118,1 118,1 110,2
Lampiran 1 Golongan petak tersier (rendeng) sebelum dioptimisasi (lanjutan) Petak Waktu Waktu Tersier Golongan Luas Tanam Panen Bkw06 III 30 Nop1 Mar1 Bkw07 III 50 Nop1 Mar1 Bla01 III 85 Nop1 Mar1 Bla02 III 60 Nop1 Mar1 Bla03 III 53 Nop1 Mar1 Bla04 III 26 Nop1 Mar1 Bla05 III 33 Nop1 Mar1 Bla06 III 40 Nop1 Mar1 Bpbe01 III 65 Nop1 Mar1 Bpbe03 III 71 Nop1 Mar1 Bpbe04 III 51 Nop1 Mar1
ETo Panen 4,79 4,79 4,79 4,79 4,79 4,79 4,79 4,79 4,79 4,79 4,79
ETm 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94
ETa 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82 2,00 1,82 1,82
Ya 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 4,0 3,9 3,9
Total Produksi 118,1 196,8 334,5 236,1 208,6 102,3 129,9 157,4 260,3 279,4 200,7
204
Bpbe05 III 64 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bpbe06 III 69 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bpbe07 III 109 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bpbe08 III 60 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd09 III 55 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd10 III 56 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd11 III 50 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd12 III 84 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd13 III 40 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd14 III 93 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd15 III 60 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd16 III 83 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd17 III 183 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd18 III 282 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd19 III 158 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd20 III 41 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd21 III 32 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd22 III 32 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd23 III 43 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd24 III 40 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd25 III 37 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd26 III 65 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk06 III 99 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk07 III 108 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk08 III 58 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk09 III 83 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk10 III 59 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst02 III 29 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 -1 -1 Satuan ETo, ETm : mm hari ; Luas : ha; Ya : ton ha ; Total Produksi : ton
251,9 271,5 428,9 236,1 216,4 220,4 196,8 330,6 157,4 366,0 236,1 326,6 720,2 1109,7 621,8 161,3 125,9 125,9 169,2 157,4 145,6 255,8 389,6 425,0 228,2 326,6 232,2 114,1
Lampiran 1 Golongan petak tersier (rendeng) sebelum dioptimisasi (lanjutan) Petak Waktu Waktu Tersier Golongan Luas Tanam Panen Bst03 Bst04 Bst05 Bst06 Bst07 Bst08 Bst09 Bst10 Bst11 Bst12
III III III III III III III III III III
6 30 33 33 15 55 130 64 60 80
Nop1 Nop1 Nop1 Nop1 Nop1 Nop1 Nop1 Nop1 Nop1 Nop1
Mar1 Mar1 Mar1 Mar1 Mar1 Mar1 Mar1 Mar1 Mar1 Mar1
ETo Panen
ETm
ETa
Ya
4,79 4,79 4,79 4,79 4,79 4,79 4,79 4,79 4,79 4,79
5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94
1,82 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82
3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9
Total Produksi 23,6 118,1 129,9 129,9 59,0 216,4 511,6 251,9 236,1 314,8
205
Bst13 III 40 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst14 III 246 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst15 III 177 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst16 III 224 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst17 III 47 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst18 III 52 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst19 III 94 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst20 III 114 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn03 IV 91 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn04 IV 101 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn05 IV 111 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn06 IV 112 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn07 IV 110 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn08 IV 148 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn09 IV 127 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn10 IV 81 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn11 IV 86 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn12 IV 68 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn13 IV 78 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk11 IV 50 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk12 IV 56 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk13 IV 68 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk14 IV 79 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk15 IV 88 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk16 IV 55 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk17 IV 52 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk18 IV 54 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk19 IV 74 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk20 IV 185 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 -1 -1 Satuan ETo, ETm : mm hari ; Luas : ha; Ya : ton ha ; Total Produksi : ton
157,4 968,1 696,5 881,5 185,0 204,6 369,9 448,6 358,1 397,5 436,8 440,8 432,9 582,4 499,8 318,8 338,4 267,6 307,0 196,8 220,4 267,6 310,9 346,3 216,4 204,6 212,5 291,2 728,0
Lampiran 1 Golongan petak tersier (rendeng) sebelum dioptimisasi (lanjutan) Petak Waktu Waktu Tersier Golongan Luas Tanam Panen Bst21 IV 52 Nop2 Mar2 Bst22 IV 95 Nop2 Mar2 Bst23 IV 65 Nop2 Mar2
ETo Panen 4,79 4,79 4,79
ETm 5,94 5,94 5,94
ETa 1,82 1,82 1,82
Ya 3,9 3,9 3,9
Satuan ETo, ETm : mm hari-1; Luas : ha; Ya : ton ha -1; Total Produksi : ton
Total Produksi 204,6 373,9 255,8
206
Lampiran 2 Hasil optimisasi Skenario 1 untuk musim rendeng Petak Tersier
Golongan
Brbd01 Brbd01b Brbd02 Brbd03 Brbd04 Bpbe01 Bpbe02 Bpbe03 Brbd05 Brbd06
I I I I I II II II II II
Waktu Waktu ETo Luas Tanam Panen Panen 185 81 313 144 61 65 68 71 166 144
Okt1 Okt1 Okt1 Okt1 Okt1 Okt2 Okt2 Okt2 Okt2 Okt2
Peb1 Peb1 Peb1 Peb1 Peb1 Peb2 Peb2 Peb2 Peb2 Peb2
4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41
ETm
ETa
Ya
Total Produksi
5,47 5,47 5,47 5,47 5,47 5,47 5,47 5,47 5,47 5,47
2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 1,82 2,00 1,82
4,1 4,1 4,1 4,1 4,1 4,1 4,1 4,0 4,1 4,0
752,9 329,6 1273,8 586,0 248,3 264,5 276,7 283,6 675,6 575,2
207
Brbd07 II 160 Okt2 Peb2 4,41 5,47 1,82 4,0 Brbd09 II 55 Okt2 Peb2 4,41 5,47 1,82 4,0 Brbd10 II 56 Okt2 Peb2 4,41 5,47 1,82 4,0 Brbd11 II 50 Okt2 Peb2 4,41 5,47 1,82 4,0 Brk01 II 272 Okt2 Peb2 4,41 5,47 2,00 4,1 Brk01f II 32 Okt2 Peb2 4,41 5,47 2,00 4,1 Brs03 II 170 Okt2 Peb2 4,41 5,47 1,82 4,0 Brs04 II 46 Okt2 Peb2 4,41 5,47 1,82 4,0 Btr01 II 177 Okt2 Peb2 4,41 5,47 1,82 4,0 Bgn01 III 64 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bgn02 III 66 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bgn03 III 57 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bgn04 III 57 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bgn05 III 18 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bgn06 III 15 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bgn07 III 33 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bgn08 III 57 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn01 III 123 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn02 III 119 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn03 III 91 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn04 III 101 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn05 III 111 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn06 III 112 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkw01 III 36 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkw02 III 40 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkw03 III 30 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkw04 III 30 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkw05 III 28 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkw06 III 30 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Satuan ETo, ETm : mm hari-1; Luas : ha; Ya : ton ha -1; Total Produksi : ton
639,2 219,7 223,7 199,7 1107,0 130,2 679,1 183,8 707,1 251,9 259,7 224,3 224,3 70,8 59,0 129,9 224,3 484,0 468,3 358,1 397,5 436,8 440,8 141,7 157,4 118,1 118,1 110,2 118,1
Lampiran 2 Hasil optimisasi Skenario 1 untuk musim rendeng (lanjutan) Petak Tersier Bkw07 Bla01 Bla02 Bla03 Bla04 Bla05 Bla06 Bpbe04 Bpbe05
Golongan III III III III III III III III III
Luas 50 85 60 53 26 33 40 51 64
Waktu Tanam Nop1 Nop1 Nop1 Nop1 Nop1 Nop1 Nop1 Nop1 Nop1
Waktu ETo Panen Panen Mar1 4,79 Mar1 4,79 Mar1 4,79 Mar1 4,79 Mar1 4,79 Mar1 4,79 Mar1 4,79 Mar1 4,79 Mar1 4,79
ETm 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94
ETa 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82
Ya 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9
Total Produksi 196,8 334,5 236,1 208,6 102,3 129,9 157,4 200,7 251,9
208
Bpbe06 III 69 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bpbe07 III 109 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bpbe08 III 60 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd12 III 84 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd13 III 40 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd14 III 93 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd15 III 60 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd16 III 83 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd17 III 183 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd18 III 282 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd19 III 158 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd20 III 41 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd21 III 32 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd22 III 32 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd23 III 43 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd24 III 40 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd25 III 37 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brbd26 III 65 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk02 III 228 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk03 III 217 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk04 III 164 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk05 III 92 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk06 III 99 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk07 III 108 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk08 III 58 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk09 III 83 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk10 III 59 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk11 III 50 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk12 III 56 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk13 III 68 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Satuan ETo, ETm : mm hari-1; Luas : ha; Ya : ton ha -1; Total Produksi : ton
271,5 428,9 236,1 330,6 157,4 366,0 236,1 326,6 720,2 1109,7 621,8 161,3 125,9 125,9 169,2 157,4 145,6 255,8 897,2 854,0 645,4 362,0 389,6 425,0 228,2 326,6 232,2 196,8 220,4 267,6
Lampiran 2 Hasil optimisasi Skenario 1 untuk musim rendeng (lanjutan) Petak Tersier Brk14 Bst02 Bst03 Bst04 Bst05 Bst06 Bst07 Bst08
Golongan III III III III III III III III
Waktu Waktu ETo Luas Tanam Panen Panen 79 29 6 30 33 33 15 55
Nop1 Nop1 Nop1 Nop1 Nop1 Nop1 Nop1 Nop1
Mar1 Mar1 Mar1 Mar1 Mar1 Mar1 Mar1 Mar1
4,79 4,79 4,79 4,79 4,79 4,79 4,79 4,79
ETm
ETa
Ya
5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94 5,94
1,82 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82
3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9
Total Produksi 310,9 114,1 23,6 118,1 129,9 129,9 59,0 216,4
209
Bst09 III 130 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst10 III 64 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst11 III 60 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst12 III 80 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst13 III 40 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst14 III 246 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst15 III 177 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst16 III 224 Nop1 Mar1 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkh01 IV 46 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkh02 IV 63 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkl01 IV 83 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkl02 IV 104 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkl03 IV 76 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkl04 IV 60 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn07 IV 110 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn08 IV 148 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn09 IV 127 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn10 IV 81 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn11 IV 86 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn12 IV 68 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bkn13 IV 78 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk15 IV 88 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk16 IV 55 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk17 IV 52 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk18 IV 54 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk19 IV 74 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Brk20 IV 185 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst17 IV 47 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst18 IV 52 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst19 IV 94 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Bst20 IV 114 Nop2 Mar2 4,79 5,94 1,82 3,9 Satuan ETo, ETm : mm hari-1; Luas : ha; Ya : ton ha -1; Total Produksi : ton
511,6 251,9 236,1 314,8 157,4 968,1 696,5 881,5 181,0 247,9 326,6 409,3 299,1 236,1 432,9 582,4 499,8 318,8 338,4 267,6 307,0 346,3 216,4 204,6 212,5 291,2 728,0 185,0 204,6 369,9 448,6
Lampiran 2 Hasil optimisasi Skenario 1 untuk musim rendeng (lanjutan) Petak Tersier Bst21 Bst22 Bst23
Golongan IV IV IV
Luas 52 95 65
Waktu Tanam Nop2 Nop2 Nop2
Waktu ETo Panen Panen Mar2 4,79 Mar2 4,79 Mar2 4,79
ETm 5,94 5,94 5,94
ETa 1,82 1,82 1,82
Ya 3,9 3,9 3,9
Satuan ETo, ETm : mm hari-1; Luas : ha; Ya : ton ha -1; Total Produksi : ton
Total Produksi 204,6 373,9 255,8
210
Lampiran 3. Spesifikasi irigasi rotasi bagian hulu periode Jun1 Petak Tersier
Gn01ki Gn02ki Gn03ki Gn04ki Gn05ka Gn06ka Gn07ka Gn08ka
Golongan
III III III III III III III III
Jarak
Debit
(km)
(l dtk-1 )
5,5 5,7 6,0 6,4 6,6 6,9 7,3 7,5
3521,9 3515,3 3505,5 3492,4 3485,9 3476,1 3463,0 3456,5
Tahapan Tanaman
I
Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I
6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3
Durasi Irigasi CLci Luas Optima l (ha) (jam) 0,049 0,050 0,053 0,056 0,058 0,061 0,064 0,066
64 66 57 57 18 15 33 46
48 48 48 48 12 12 24 36
Durasi Antar Irigasi (jam) 192 192 192 192 192 192 192 192
211
Kw01ki Kw02ka Kw03ka Kw0 4ka Kw05ka Kw06ka Kw07ka La01ka La02ka La03ka La04ka La05ka La06ka Rbd01ka Rbd01ki01 Rbd01ki02
Rbd02ka Rbd03ki Rbd04ka Rbd04ki Rbd05ka Rbd05ki Rbd06ka Rbd06ki Rbd07ki Rbd08 Rk01ka Rk01kaf Rk01ki01 Rk01ki02 Rk02ka01 Rk02ka02 Rk02ki Rk03ka Rk03ki Rk04ki01 Rk04ki02 Rk05ka
III III III III III III III III III III III III III I I I I I I I II II II II II II II II II II III III III III III III III III
5,5 7,0 7,7 8,4 9,0 9,5 10,1 6,1 6,9 7,5 8,1 8,7 9,5 0,1 0,1 0,1 1,2 3,2 3,8 3,8 4,7 4,7 5,1 5,1 6,1 6,2 4,7 4,9 4,7 4,7 7,1 7,1 7,1 7,7 7,7 8,2 8,2 9,1
3521,9 3471,5 3449,9 3428,2 3408,5 3391,3 3370,9 3500,9 3475,6 3458,0 3438,2 3417,1 3391,8 3696,9 3697,3 3697,3 3662,1 3596,8 3578,1 3578,1 3546,5 3546,5 3535,1 3535,1 3500,7 3497,5 3547,5 3540,5 3547,5 3547,5 3469,6 3469,6 3469,6 3448,4 3448,4 3433,2 3433,2 3405,1
Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Olah Tanah Olah Tanah Olah Tanah Olah Tanah Olah Tanah Olah Tanah Olah Tanah Matang II Matang II Matang II Matang II Matang II Matang II Matang II Matang II Matang II Matang II Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I
6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 5,8 5,8 5,8 5,8 5,8 5,8 5,8 5,8 5,8 5,8 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3
0,049 0,062 0,068 0,074 0,079 0,084 0,089 0,054 0,061 0,066 0,071 0,077 0,084 0,001 0,001 0,001 0,011 0,028 0,033 0,033 0,042 0,042 0,045 0,045 0,054 0,055 0,042 0,044 0,042 0,042 0,063 0,063 0,063 0,068 0,068 0,072 0,072 0,080
36 40 30 30 28 30 81 85 60 53 26 33 40 81 111 95 313 144 10 51 68 98 119 144 90 0 124 32 98 50 47 177 4 68 85 83 81 44
24 36 24 24 24 24 60 72 48 48 24 24 36 48 72 60 180 84 12 36 48 60 72 96 60 0 72 24 60 36 36 108 12 48 60 48 48 24
192 192 192 192 192 192 192 192 192 192 192 192 192 168 168 168 168 168 168 168 204 204 204 204 204 204 204 204 204 204 192 192 192 192 192 192 192 192
Lampiran 4. Spesifikasi irigasi rotasi bagian hilir periode Jun1 Petak Tersier
Kh01ka Kh02ka Kh03ka Kh04ka Kl01ka Kl01ki
Golongan Jarak
IV IV IV IV IV IV
Debit
Umur
(km)
(l/dtk)
Tanaman
16,4 17,3 17,8 18,6 15,7 15,7
3164,5 3134,7 3118,7 3092,3 3189,6 3189,6
Bunga II Bunga II Bunga II Bunga II Bunga II Bunga II
I
7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0
Durasi Irigasi CLci Luas Optima l (ha) (jam) 0,145 46 0,153 63 0,157 130 0,165 135 0,138 41 0,138 42
72 108 216 228 72 72
Durasi Antar Irigasi (jam) 168 168 168 168 168 168
212
Kl02ka Kl02ki Kl03ka Kl03ki Kl04ka Kn01ka Kn01ki Kn02ka Kn02ki Kn03ka Kn03ki Kn04ka Kn04ki Kn05ka Kn05ki Kn06ka Kn06ki Kn07ka Kn07ki Kn08ka Kn08ki Kn09ka Kn09ki Kn10ka Kn11ka Kn12ka Kn13ka Pbe01ka Pbe02ki Pbe03ki Pbe04ki Pbe05ki Pbe06ki Pbe07ka Pbe07ki Pbe08ki Rbd09ki Rbd10ki Rbd11ki Rbd12ki
IV IV IV IV IV III III III III III III III III III III III III IV IV IV IV IV IV IV IV IV IV II II II III III III III III III II II II III
15,8 15,8 16,6 16,6 17,3 14,6 14,6 15,3 15,3 15,9 15,9 16,6 16,6 17,1 17,1 18,1 18,1 18,8 18,8 19,3 19,3 19,9 19,9 20,9 21,5 22,2 23,0 6,4 7,0 8,1 8,9 10,1 11,2 12,0 12,0 12,6 7,0 7,6 7,8 8,5
3184,4 3184,4 3159,9 3159,9 3135,2 3223,8 3223,8 3201,1 3201,1 3183,5 3183,5 3157,7 3157,7 3141,4 3141,4 3110,4 3110,4 3087,5 3087,5 3070,3 3070,3 3051,5 3051,5 3018,8 2999,2 2974,7 2949,7 3492,6 3472,0 3437,7 3411,5 3372,5 3335,9 3309,8 3309,8 3291,5 3471,5 3452,1 3447,9 3424,9
Bunga II Bunga II Bunga II Bunga II Bunga II Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Bunga II Bunga II Bunga II Bunga II Bunga II Bunga II Bunga II Bunga II Bunga II Bunga II Matang II Matang II Matang II Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang I Matang II Matang II Matang II Matang I
7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 5,8 5,8 5,8 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 5,8 5,8 5,8 6,3
0,140 30 0,140 74 0,146 54 0,146 22 0,153 60 0,129 53 0,129 70 0,135 47 0,135 72 0,140 41 0,140 50 0,147 51 0,147 50 0,151 53 0,151 58 0,160 54 0,160 58 0,166 54 0,166 56 0,171 81 0,171 67 0,176 79 0,176 48 0,184 81 0,190 86 0,196 68 0,203 78 0,056 65 0,062 68 0,071 71 0,078 51 0,089 64 0,099 69 0,106 41 0,106 68 0,111 122 0,062 55 0,067 56 0,069 50 0,075 64
48 120 84 36 96 36 48 36 48 36 36 36 36 36 48 36 48 36 48 60 48 60 36 60 72 48 60 48 48 48 36 48 48 24 48 84 36 36 36 48
168 168 168 168 168 192 192 192 192 192 192 192 192 192 192 192 192 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 204 204 204 192 192 192 192 192 192 204 204 204 192
Lampiran 5. Spesifikasi irigasi rotasi bagian hulu periode Agt2 Petak Tersier Gn01ki Gn02ki Gn03ki Gn04ki Gn05ka
Umur Golongan Jarak Debit Tanaman (km) (l dtk-1 ) III III III III III
5,5 5,7 6,0 6,4 6,6
1536,4 1533,6 1529,3 1523,6 1520,7
Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II
Durasi Durasi Irigasi Antar Rembesan Luas Rotasi Irigasi I (mm hari -1) (ha) (jam) (jam) 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0
1,051 1,053 1,056 1,060 1,062
64 66 57 57 18
60 60 60 60 12
168 168 168 168 168
213
Gn06ka Gn07ka Gn08ka Kw01ki Kw02ka Kw03ka Kw04ka Kw05ka Kw06ka Kw07ka La01ka La02ka La03ka La04ka La05ka La06ka Rbd01ka Rbd01ki01 Rbd01ki02
Rbd02ka Rbd03ki Rbd04ka Rbd04ki Rbd05ka Rbd05ki Rbd06ka Rbd06ki Rbd07ki Rbd08 Rk01ka Rk01kaf Rk01ki01 Rk01ki02 Rk02ka01 Rk02ka02 Rk02ki Rk03ka Rk03ki Rk04ki01 Rk04ki02
III III III III III III III III III III III III III III III III I I I I I I I II II II II II II II II II II III III III III III III III
6,9 7,3 7,5 5,5 7,0 7,7 8,4 9,0 9,5 10,1 6,1 6,9 7,5 8,1 8,7 9,5 0,1 0,1 0,1 1,2 3,2 3,8 3,8 4,7 4,7 5,1 5,1 6,1 6,2 4,7 4,9 4,7 4,7 7,1 7,1 7,1 7,7 7,7 8,2 8,2
1516,4 1510,7 1507,9 1536,4 1514,4 1505,0 1495,6 1486,9 1479,5 1470,5 1527,3 1516,2 1508,5 1499,9 1490,7 1479,7 1612,8 1613,0 1613,0 1597,6 1569,1 1560,9 1560,9 1547,2 1547,2 1542,2 1542,2 1527,2 1525,8 1547,6 1544,5 1547,6 1547,6 1513,6 1513,6 1513,6 1504,4 1504,4 1497,7 1497,7
Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Bunga II Bunga II Bunga II Bunga II Bunga II Bunga II Bunga II Bunga I Bunga I Bunga I Bunga I Bunga I Bunga I Bunga I Bunga I Bunga I Bunga I Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II
7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 7,6 7,6 7,6 7,6 7,6 7,6 7,6 7,6 7,6 7,6 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0
1,065 1,069 1,071 1,051 1,066 1,073 1,080 1,086 1,091 1,098 1,057 1,065 1,070 1,077 1,083 1,091 1,001 1,001 1,001 1,011 1,029 1,035 1,035 1,044 1,044 1,047 1,047 1,057 1,058 1,043 1,046 1,043 1,043 1,067 1,067 1,067 1,073 1,073 1,078 1,078
15 33 46 36 40 30 30 28 30 81 85 60 53 26 33 40 81 111 95 313 144 10 51 68 98 119 144 90 0 124 32 98 50 47 177 4 68 85 83 81
12 36 48 36 36 24 24 24 24 84 84 60 48 24 36 36 60 84 72 240 120 12 36 60 84 96 120 72 0 96 24 84 36 36 144 12 60 72 72 72
168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 156 156 156 156 156 156 156 156 156 156 156 156 156 156 156 156 156 168 168 168 168 168 168 168
Lampiran 6. Spesifikasi irigasi rotasi bagian hilir periode Agt2 Petak Tersier Kh01ka Kh02ka Kh03ka Kh04ka Kl01ka
Golongan Jarak (km) IV 16,4 IV 17,3 IV 17,8 IV 18,6 IV 15,7
Debit Umur Tnm 1380,5 1367,5 1360,5 1349,0 1391,5
Tumbuh I Tumbuh I Tumbuh I Tumbuh I Tumbuh I
I 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0
Seepage 1,170 1,181 1,187 1,197 1,161
Durasi Irigasi Luas Optimal (ha) (jam) 46 96 63 120 130 264 135 276 41 84
Durasi Antar Irigasi (jam) 168 168 168 168 168
214
Kl01ki Kl02ka Kl02ki Kl03ka Kl03ki Kl04ka Kn01ka Kn01ki Kn02ka Kn02ki Kn03ka Kn03ki Kn04ka Kn04ki Kn05ka Kn05ki Kn06ka Kn06ki Kn07ka Kn07ki Kn08ka Kn08ki Kn09ka Kn09ki Kn10ka Kn11ka Kn12ka Kn13ka Pbe01ka Pbe02ki Pbe03ki Pbe04ki Pbe05ki Pbe06ki Pbe07ka Pbe07ki Pbe08ki Rbd09ki Rbd10ki Rbd11ki
IV IV IV IV IV IV III III III III III III III III III III III III IV IV IV IV IV IV IV IV IV IV II II II III III III III III III II II II
15,7 15,8 15,8 16,6 16,6 17,3 14,6 14,6 15,3 15,3 15,9 15,9 16,6 16,6 17,1 17,1 18,1 18,1 18,8 18,8 19,3 19,3 19,9 19,9 20,9 21,5 22,2 23,0 6,4 7,0 8,1 8,9 10,1 11,2 12,0 12,0 12,6 7,0 7,6 7,8
1391,5 1389,2 1389,2 1378,5 1378,5 1367,7 1406,4 1406,4 1396,5 1396,5 1388,8 1388,8 1377,5 1377,5 1370,4 1370,4 1356,9 1356,9 1346,9 1346,9 1339,4 1339,4 1331,2 1331,2 1317,0 1308,4 1297,7 1286,8 1523,6 1514,7 1499,7 1488,3 1471,2 1455,3 1443,9 1443,9 1435,9 1514,4 1506,0 1504,2
Tumbuh I Tumbuh I Tumbuh I Tumbuh I Tumbuh I Tumbuh I Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh I Tumbuh I Tumbuh I Tumbuh I Tumbuh I Tumbuh I Tumbuh I Tumbuh I Tumbuh I Tumbuh I Bunga I Bunga I Bunga I Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Tumbuh II Bunga I Bunga I Bunga I
7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,6 7,6 7,6 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,6 7,6 7,6
1,161 1,162 1,162 1,171 1,171 1,181 1,148 1,148 1,156 1,156 1,163 1,163 1,172 1,172 1,178 1,178 1,190 1,190 1,199 1,199 1,206 1,206 1,213 1,213 1,226 1,234 1,244 1,255 1,060 1,066 1,077 1,085 1,098 1,110 1,118 1,118 1,125 1,066 1,072 1,074
42 30 74 54 22 60 53 70 47 72 41 50 51 50 53 58 54 58 54 56 81 67 79 48 81 86 68 78 65 68 71 51 64 69 41 68 122 55 56 50
84 60 144 108 48 120 48 72 48 72 36 48 48 48 60 60 60 60 60 60 84 72 84 48 84 96 72 84 60 60 72 48 60 72 36 60 120 48 48 48
168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 168 156 156 156 168 168 168 168 168 168 168 168 168
Lampiran 7 Alokasi waktu pola tanam untuk setiap skenario Skenario 0
Skenario 1
Skenario 2
Skenario 3
Skenario 4
Golongan Okt 1
Nop
Des
Jan
Padi
2
OT
3
BR
OT
4
BR
BR
Peb OT
Padi
Golongan Okt 1
OT
Jan
Padi
3
BR
OT
4
BR
BR
Golongan Okt 1
Padi Des
Jan
OT
Padi
3
BR
OT
4
BR
BR
Golongan Okt 1
Jan
3
BR
OT
4
BR
BR
Peb OT
Padi
Golongan Okt 1
Jan
Padi
3
BR
OT
4
BR
BR
Peb OT
Mar
Jun OT
Jul
Mei
Palawija OT
Palawija
Palawija
Jun OT
Jul
BR
BR
BR
Sep OT BR
BR
BR
BR BR
BR
BR
Sep OT BR
BR
BR
BR
BR
BR
BR
BR
Agt Padi
OT
Sep OT Padi
Palawija OT
BR
Palawija
OT
OT
BR
Agt Padi
Palawija
Padi OT
Padi
Palawija Apr Padi
OT Padi
OT
OT
BR
Palawija
Palawija
OT
BR
Palawija
OT
Palawija
BR
Agt Padi
OT
Padi
Padi Des
Jul
OT
Mei
OT
Palawija
BR
BR
BR
BR
BR
BR
BR
215
OT
Apr Padi
OT
Padi
Jun OT OT
Palawija
OT
OT Nop
2
Mar
Padi
Palawija
Padi OT
BR
OT
BR
Sep BR
BR
Palawija
Palawija
Padi
Padi Des
Mei
OT
Padi
OT
Apr Padi
OT
Palawija
Jul Agt Palawija OT
OT
Sep
Palawija OT
Jun OT
Palawija
OT
OT Nop
2
Mar
Padi
Mei
Palawija OT
Peb OT
OT
Padi OT
Padi
2
Apr Padi
Agt Padi Padi
Padi
OT
OT Nop
Padi
Mar
Padi
Jul
OT
OT Peb OT
Jun OT
Padi
Padi Des
Mei
OT
Padi
OT
Apr Padi
OT Padi
Nop
2
Mar
216
Lampiran 8 Grafik faktor tanaman (Kc) terhadap usia tanaman
Tanaman Padi Rendeng Kc 1,40 1,30 1,20 1,10 1,00 0,90 0,80 0,70
Tanam
Tumbuh1
Tumbuh2
Tumbuh2
Bunga1
60
75
Bunga2
Matang1
Matang2
0,60 15
30
45
90
105
120
Umur Tanaman (hari)
Tanaman Padi Gadu Kc K c 1,40 1,30 1,20
Tanaman Palawija
1,10 1,00 0,90 0,80 0,70
Tanam
Tumbuh1
Tumbuh2
30
45
Bunga1
Bunga2
Matang1
Matang2
90
105
0,60 15
60
75
Umur Tanaman (hari)
Tanaman Palawija Kc 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30
Bibit
Vegetatif 1
15
30
0,20
Vegetatif 2 45
Matang 60
Umur Tanaman (hari)
Lampiran 9 Hasil pengujian statistik
218
196
Hasil Analisis Korelasi Skenario Keuntungan Golongan I Golongan II Golongan III Golongan IV 0
1,000
-0,402
-0,443
-0,403
-0,416
1
1,000
0,400
0,128
0,122
-0,944
2
1,000
0,754
0,947
-0,820
0,268
3
1,000
0,943
-0,158
0,918
-0,874
4
1,000
0,965
-0,958
0,461
0,226
Hasil Analisis Model Regresi Skenario
F Tabel
F Hitung
Signifikansi
0
9,12
2,359
0,213
1
8,39
13,994
0,013
2
8,39
27,991
0,003
3
8,39
16,953
0,009
4
8,39
25,874
0,002
F Tabel Skenario 0 : pembilang 4, penyebut 3 F Tabel Skenario 1, 2, 3, 4 : pembilang 4, penyebut 4