EFISIENSI SISTEM IRIGASI PIPA UNTUK MENGIDENTIFIKASI TINGKAT KELAYAKAN PEMBERIAN AIR DALAM PENGELOLAAN AIR IRIGASI
AFRI FAJAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efisiensi Sistem Irigasi Pipa untuk Mengidentifikasi Tingkat Kelayakan Pemberian Air Dalam Pengelolaan Air Irigasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Afri Fajar NRP A155140021
RINGKASAN AFRI FAJAR. Efisiensi Sistem Irigasi Pipa Untuk Mengidentifikasi Tingkat Kelayakan Pemberian Air dalam Pengelolaan Air Irigasi. Dibimbing oleh Moh Yanuar J Purwanto dan Suria Darma Tarigan. Sumber kehilangan air irigasi yang umum terjadi pada suatu areal pertanian selama pemberian air adalah aliran permukaan dan perkolasi yang keluar dari daerah perakaran. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menemukan teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air untuk menghindari kehilangan air yang tidak perlu dan mengurangi jumlah air yang harus disediakan untuk sektor pertanian. Irigasi pipa yang memiliki efisiensi mencapai 98% karena dapat mengontrol pemakaian air sesuai kebutuhan dan tidak ada terjadi rembesan selama penyaluran air. Jarak inlet petak sawah juga harus diperhatikan selain faktor teknologi irigasi. Jarak inlet petak sawah berpengaruh terhadap penyebaran air dalam suatu petakan sawah karena terkait dengan efisiensi aplikasi (Ea) dan efisiensi distribusi air (Ed). Irigasi pipa dan jarak inlet petak sawah dapat dijadikan solusi dalam peningkatan efisiensi irigasi karena penggunaan pipa sebagai media penyalur air irigasi dapat dikontrol dan pada akhirnya akan berdampak pada produksi pangan yang meningkat. Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan IPB Desa Cikarawang Kabupaten Bogor, Laboratorium Fisika Tanah IPB dan Laboratorium Sumberdaya Tanah Terpadu BBLSLP Bogor. Tujuan dari penelitian ini yaitu 1) Mengkaji aplikasi irigasi perpipaan pada petak sawah berdasarkan efisiensi aplikasi (Ea) dan efisiensi distribusi (Ed); 2) Menganalisis indeks kelayakan pemberian air berdasarkan nilai efisiensi aplikasi (Ea) dengan teknologi irigasi pipa; serta 3) Menganalisis tingkat kelayakan pemberian air berdasarkan jarak inlet petak sawah dalam pengelolaan sumberdaya air. Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode deskriptif yang mengumpulkan data primer dan data sekunder. Selanjutnya pembuatan petak percoban yang telah dipasang irigasi pipa. Pemberian air pada petak System Rice of Intensification (SRI) dan petak konvensional air diberikan setinggi 2 cm secara terus menerus hingga fase vegetatif sampai fase pematangan. Pengambilan sampel tanah secara diagonal dari pematang sawah, kemudian dihitung tingkat efisiensi (Ea) dan efisiensi distribusi (Ed) pada masing-masing petak percobaan, selanjutnya perhitungan tingkat kelayakan pemberian air serta jarak inlet yang ideal pada petak sawah. Penelitian ini menunjukkan nilai Ed di atas 90% pada perlakuan pemberian air konvensional dan SRI. Hal ini menjelaskan distribusi air pada teknologi irigasi pipa merata keseluruh areal tanam. Nilai Ea yang diperoleh pada petak percobaan berkisar antara 76% – 98%. Perlakuan pemberian air konvensional nilai Ea lebih rendah dibandingkan dengan SRI. Hal ini dikarenakan air pada sawah konvensional terjadi perkolasi dalam sehingga air keluar dari zona perakaran dan terjadinya aliran permukaan yang menyebabkan penurunan efisiensi. Hasil simulasi jarak inlet petak sawah menunjukkan bahwa Ea yang baik (≥ 90%) didapat pada jarak 30 m dengan sistem pemberian air secara SRI. Jarak inlet petak sawah dengan panjang 100 m tidak disarankan karena membutuhkan air yang lebih banyak yaitu 133.33 l d-1. Penggunaan air akan lebih hemat 10.25%
untuk mencapai jarak 100 m jika jarak inlet dibagi tiga dengan masing-masing jarak 30 m dan air yang dibutuhkan hanya 108.53 l d-1. Tingkat kelayakan pemberian air berdasarkan nilai Ea diperoleh dari tingkat pola pemberian air irigasi pada sawah konvensional fase vegetatif kritis pada jarak 170 m, sedang fase generatif pada jarak 75 m menjadi kritis dan pada jarak 178 m menjadi sangat kritis Petak sawah SRI menunjukkan nilai kelayakan pemberian air fase vegetatif mendekati kritis pada jarak 170 m, sedangkan fase generatif telah kritis pada jarak 150 m. Kata kunci: Irigasi Pipa, Efisiensi Aplikasi, Efisiensi Distribusi, SRI, Jarak Inlet Petak Sawah, dan Tingkat Kelayakan Pemberian Air
SUMMARY AFRI FAJAR. Efficiency of Pipe Irrigation System to Identify the Feasibility of Water Suply in Water Irrigation Management. Supervised By MOH YANUAR J PURWANTO and SURIA DARMA TARIGAN. Source of irrigation water loss that commonly occurs in an agricultural area for the water supply is runoff and percolation out of the root zone. Various studies have been conducted to find technologies that can improve the efficiency of water use to avoid unnecessary water loss and reduce the amount of water that must be provided to agriculture. Pipe irrigation which have reached 98% efficiency because it can control the use of water as needed and there is no seepage for water supply. Paddy fields inlet distance should also be considered factors other than irrigation technology. Paddy fields inlet distance affect the spread of water in a mapped fields as they relate to application efficiency (Ea) and distribution efficiency (Ed). Pipe irrigation and paddy fields inlet distances can be used as a solution to increase the efficiency of irrigation because Pipe irrigation can control the water and food production increases. This research was conducted at the Cikarawang Bogor, IPB Soil Physics Laboratory and Integrated Land Resource Laboratory BBLSLP Bogor. The purpose of this research are 1) Studying the application of pipe irrigation in paddy fields based on application efficiency (Ea) and distribution efficiency (Ed); 2) To analyze the feasibility of providing an index based on the value of water application efficiency (Ea) with pipe irrigation technology; and 3) To analyze the feasibility of providing the level of water based on the paddy fields distance inlet in water resources management. The method used in this research is descriptive method that collect primary data and secondary data. Furthermore, the experiment plots Manufacturer pipe irrigation have been installed. Water supply in plots using the System of Rice Intensification (SRI) conventional where plot is given water as high as 2 cm continuously vegetative phase to maturation phase. Soil sampling diagonally from the paddy fields, and then calculated the level of application efficiency (Ea) and distribution efficiency (Ed) in each experimental plot, and then calculating the level of the water as well as the feasibility of providing the ideal distance to the inlet fields. This study shows the value Ed is above 90% in the conventional system and SRI. This explains the distribution of water in pipe irrigation technology evenly throughout the planting area. Ea value obtained in experimental plots ranged between 76% - 98%. Ea value in the conventional lower than the SRI. This is because in the conventional plots percolation occurs and the water comes out of the root zone and runoff causes a decrease in efficiency. The simulation results within the inlet paddy fields showed that Ea was good (≥ 90%) obtained at a distance of 30 m with a water supply system in SRI. Rice fields inlet distance with a length of 100 m is not recommended because it requires more water is 133.33 l s-1. Water use will be more efficient 10.25% to reach a distance of 100 m if the distance inlets divided by three with each distance of 30 m and the water needed only 108.53 l d-1.
The feasibility of the water supply based on value obtained from the level Ea feeding patterns of irrigation water in the conventional paddy critical vegetative stage at a distance of 170 m, while the generative phase, at a distance of 75 m becomes critical and at a distance of 178 m to be very critical. SRI paddy fields indicates the value of the vegetative phase feasibility of providing water approaching at a distance of 170 m critical, while the generative phase has been critical at a distance of 150 m. Keywords: Pipe Irrigation, Application Efficiency, Distribution Efficiency, SRI, Paddy Field Inlet, and Water Level Suply
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyususnan laporan, penuliasan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFISIENSI SISTEM IRIGASI PIPA UNTUK MENGIDENTIFIKASI TINGKAT KELAYAKAN PEMBERIAN AIR DALAM PENGELOLAAN AIR IRIGASI
AFRI FAJAR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Thesis: Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc
PRAKATA Puji dan syukur penulit panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang diangkat pada penelitian ini ialah efisiensi air dan kehilangan air dengan judul Efisiensi Irigasi Pipa untuk Mengidentifikasi Tingkat Kelayakan Pemberian Air dalam Pengelolaan Air Irigasi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Moh Yanuar J Purwanto, MS dan Bapak Dr Ir Suria Darma Tarigan, M.Sc selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu serta masukan dalam penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh civitas akademika Fakultas Pertanian khususnya Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS yang telah membantu penulis dalam penyusunan tulisan ini dan tak lupa pula penulis ucapkan kepada Kementrian Keuangan RI (LPDP) yang telah membiayai penelitian ini. Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ibunda Cut Farida Hamun dan Akhyar Ibrahim yang telah Penghormatan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ibunda Cut Farida Hanum, Amd dan ayahanda Ir. Akhyar Ibrahim, ME yang telah mencurahkan doa dan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan studi. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada abangabang dan kakak penulis Afri Yordan, MM, Alm. Afri Syafrizal, Afri Fitrayansyah, ST, MT, Afri Rizki, S.S, Zeka Janardiani, SE dan kepada seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan. Kepada sahabat-sahabat terbaik penulis Muhammad Nazar, Ali Akbar, Arief Fadillah, Hakiki Muliadi, Isra Febriyanti, Rama Fitri Ayu, Lupita Keumalasari, Raisa Laura, Nuraida, Mariana Lussia Resubun, Najla Anwar Fuadi Muthmainna Marassabesi, Novia Mustika, Sri Malahayati Yusuf, Rini Fitri, Indri Febriani, Hermawan Kurnia, Mirza Azmi Husin, Defri Satya Zuma, Khabibi Nurrofi’ P, Sarif Robo, Haki Yusdinar, Bos Ariadi, Purwana Satriyo dan teman-teman di Forum DAS lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu terima kasih atas motivasi, bantuan dan persahabatan yang tulus saat ini. Terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran studi ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan ikhlas untuk perbaikan di masa yang akan mendatang. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, September 2016 Afri Fajar
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Kerangka Pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA Efisiensi Irigasi Efisiensi Aplikasi Efisiensi Distribusi Teknologi Irigasi Pipa 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Analisis Data Pembuatan Petak Percobaan Pengambilan Sampel Tanah Pengukuran Kadar Air Sistem Pemberian Air Irigasi Perancangan Irigasi Pipa Pengukuran Debit Air Perhitungan Tingkat Efisiensi Perhitungan Jarak Inlet Pada Petak Sawah Perhitungan Kelayakan Pemberian Air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Tanah Efisiensi Aplikasi dan Efisiensi Distribusi Jarak Inlet Petak Sawah Perhitungan Tingkat Kelayakan Pemberian Air Irigasi 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
iii iii 1 1 2 2 3 3 4 4 4 6 6 6 7 7 7 7 8 9 9 9 10 10 11 11 13 17 18 20 20 20 21 24 30
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Klasifikasi pemberian air irigasi Nilai sifat fisika tanah pada sawah konvensional dan SRI Nilai perhitungan rata-rata Ea pada sawah konvensional dan SRI Nilai perhitungan rata-rata Ed pada sawah konvensional dan SRI Hasil ekstrapolasi nilai Ea Hasil ekstrapolasi nilai Ed Hasil simulasi Ea dengan beberapa jarak inlet petak sawah Perhitungan KA fase vegetatif pada sawah Konvensional Perhitungan KA fase vegetatif pada sawah SRI Perhitungan KA fase generatif pada sawah Konvensional Perhitungan KA fase generatif pada sawah SRI Perhitungan Ed fase vegetatif pada sawah Konvensional Perhitungan Ed fase vegetatif pada sawah SRI Perhitungan Ed fase generatif pada sawah Konvensional Perhitungan Ed fase generatif pada sawah SRI Perhitungan Ea fase vegetatif pada sawah Konvensional Perhitungan Ea fase vegetatif pada sawah SRI Perhitungan Ea fase generatif pada sawah Konvensional Perhitungan Ea fase generatif pada sawah SRI Data Curah Hujan Tahun 2015 Stasiun BMKG Dramaga Data Curah Hujan Tahun 2016 Stasiun BMKG Dramaga
10 11 13 14 15 15 17 24 24 24 25 25 25 26 26 26 27 27 27 28 29
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Diagram alir kerangka pemikiran Lokasi Penelitian Petak percobaan penelitian Sistem pemberian air konvensional Sistem pemberian air SRI Hubungan Efisiensi aplikasi (Ea) dan Efisiensi distribusi (Ed) Kadar air tanah sawah konvensional Kadar air tanah sawah SRI Grafik perbandingan Ea, Ed pada sawah konvensional dan SRI Korelasi antara jarak dan Ea Korelasi antara jarak dan Ed Kelayakan pemberian air pada petak sawah konvensional dan SRI
2 6 7 8 8 9 12 12 14 16 16 19
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kelangkaan air merupakan permasalah sumberdaya air yang banyak terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Menurut Isni et al. (2012), gejala kelangkaan air disebabkan oleh degradasi sumberdaya air, konflik akibat persaingan antara pengguna air, kurang jelasnya ketentuan hak penguasaan air dan lemahnya koordinasi antar instansi dalam menangani sumberdaya air. Air dimuka bumi ini pada dasarnya terdapat dalam jumlah yang tetap akan tetapi air yang ada berpindah tempat atau berubah wujud, oleh karena itu penting sekali bagi kita untuk mengatur pemanfaatan air secara efisien agar air dapat memenuhi kebutuhan. Kehilangan air dapat diukur dari tingkat kelayakan pemberian air yaitu rasio pemberian air yang dapat menentukan tingkat kelayakan pemberian air. Kelayakan pemberian air dapat dinilai berdasarkan nilai kriteria pemberian air irigasi. Kehilangan air dapat diturunkan dengan meningkatkan efisiensi pemanfaatan air melalui jaringan irigasi yang baik serta dengan teknik budidaya yang hemat air. Peningkatan efisiensi air irigasi untuk lahan produksi pangan, berbagai metode dan teknologi telah dikembangkan, seperti introduksi metode pertanian hemat air dan metode irigasi terputus-putus (Ali et al. 2013). Sumber kehilangan air irigasi yang umum terjadi pada suatu areal pertanian selama pemberian air adalah aliran permukaan dan perkolasi yang keluar dari daerah perakaran (Hansen et al. 1979; Doorenbos dan Pruitt 1977; Huda 2012; Sapei 2000, 2012). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menemukan teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air untuk menghindari kehilangan air yang tidak perlu dan mengurangi jumlah air yang harus disediakan untuk sektor pertanian. Penerapan teknologi irigasi di beberapa negara telah banyak dilakukan dengan adanya pengelolaan air irigasi menggunakan input teknologi irigasi pipa yang dapat meningkatkan efisiensi irigasi sekitar 85% - 95% (Romero et al. 2012; Prastowo 2007; Departemen PU 1994). Irigasi pipa yang memiliki efisiensi mencapai 98% karena dapat mengontrol pemakaian air sesuai kebutuhan dan tidak ada terjadi rembesan selama penyaluran air (Saptomo et al. 2012). Irigasi pipa dapat dijadikan solusi dalam peningkatan efisiensi irigasi karena penggunaan pipa sebagai media penyalur air irigasi dapat dikontrol dan pada akhirnya akan berdampak pada produksi pangan yang meningkat. Jarak inlet pada petak sawah juga harus diperhatikan selain faktor teknologi irigasi. Jarak inlet berpengaruh terhadap penyebaran air dalam suatu petakan sawah. Masood et al. (2012) menyatakan bahwa Jarak inlet harus diperhatikan karena terkait dengan efisiensi aplikasi dan efisiensi distribusi air. Yoshino et al. (1997) menyatakan manajemen pengairan pada petak sawah juga lebih mudah untuk dikontrol dengan mengetahui panjang jarak inlet petak sawah optimum dan jumlah air yang diberikan akan merata. Melihat pentingnya nilai efisiensi air irigasi dalam mengurangi kehilangan air maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efisiensi pemanfaatan air irigasi dan indeks kelayakan pemberian air dengan input teknologi irigasi pipa
2 agar air yang tersedia dapat dimanfaatkan secara baik dan efisien. Diketahuinya tingkat kelayakan pemberian air pada suatu wilayah maka kita dapat mengatur pemanfaatan air secara baik dan efisien sehingga menjadi salah satu langkah dalam pengelolaan sumberdaya air. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengkaji aplikasi irigasi perpipaan pada petak sawah berdasarkan efisiensi aplikasi (Ea) dan efisiensi distribusi (Ed), menganalisis tingkat kelayakan pemberian air berdasarkan jarak inlet petak sawah irigasi dan menganalisis indeks kelayakan pemberian air berdasarkan nilai efisiensi aplikasi (Ea) dalam pengelolaan air. Kerangka Pemikiran Kehilangan air merupakan masalah krusial yang banyak terjadi saat ini. Kehilangan air secara berlebihan perlu dicegah dengan cara memasukkan teknologi irigasi dan teknik budidaya yang hemat air. Salah satu teknologi tersebut adalah dengan penerapan sistem irigasi pipa yang dapat mengatur debit air sehingga air dapat dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan produksi pertanian khususnya di areal persawahan. Kehilangan air yang relatif kecil akan meningkatkan efisiensi jaringan irigasi, karena efisiensi merupakan salah satu tolok ukur suksesnya pertanian dalam semua jaringan irigasi. Diagram alir kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Diagram alir kerangka pemikiran
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Efisiensi Irigasi Air yang dialirkan melalui saluran primer, sekunder dan tersier hingga akhir sampai ke sawah selama perjalanannya akan mengalami kehilangan yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu evaporasi, rembesan ke dalam tanah, pengambilan ilegal oleh petani dan pengambilan oleh penduduk sepanjang saluran (Ditjen Pengairan 1986a). Menurut Triatmodjo (2013b) perbandingan antara jumlah air yang benar-benar sampai ke petak sawah dengan jumlah air yang disadap disebut dengai efisiensi irgasi. Pemberian air irigasi kepetak sawah dapat dilakukan dengan lima cara (Hansen et al. 1992) yaitu 1). Penggenangan (flooding); 2). Menggunakan alur besar atau kecil; 3). Menggunakan air permukaan tanah melalui sub irigasi; 4). Penyiraman (sprinkling); 5). Menggunakan sistem cucuran (trickle). Umumnya untuk tanaman padi pemberian air baik dengan pengenangan (flooding) maupun alur (furrows) dilakukan dengan cara mengalirkan terus menerus (stagnant constant head) atau dengan berselang (intermittent flow) (Huda et al. 2012). Sistem genangan terus menerus (stagnant constant head) merupakan pemberian air irigasi secara terus menerus selama satu musim tanam sesuai dengan kebutuhan air untuk tanaman pada periode pengolahan tanah, pertumbuhan tanaman dari tanam sampai dengan panen. Pada sistem intermittent flow adalah salah satu cara pemberian ke petak sawah yang didasarkan pada interval waktu tertentu. Metode irigasi ini disertai metode pengelolaan tanaman padi hingga 30-100% bila dibandingkan dengan metode konvensional (genangan terus menerus). Umumnya efisiensi irigasi pada saluran primer yaitu sebesar 90%, saluran sekunder sebesar 90% dan saluran tersier sebesar 80%. Angka tersebut berarti bahwa setelah air mengalir melewati saluran primer air yang tersisa adalah 90% dari air yang disadap, yang kemudian air ini mengalir ke saluran sekunder. Setelah melewati saluran sekunder air tersisa 90% dari air yang berasal dari saluran primer atau tinggal 90% dari air yang disadap yaitu 80% dari air yang disadap. Kemudian setelah melewati saluran tersier air yang tersisa 80% dari air yang berasal dari saluran sekunder atau 80% dari 90% dari 90% air yang disadap yaitu 65% dari air yang disadap. Hal ini menunjukkan bahwa air yang sampai ke petak tersier hanya 65% dari air yang disadap dan angka ini umumnya dipakai sebagai nilai efisiensi pada perencanaan irigasi (Sri 2000). Efisiensi pada irigasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (Ditjen Pengairan 1986a) : ef = ef1 x ef2 x ef3
(1)
dimana ef adalah efisiensi irigasi (%); ef1adalah efisiensi pada saluran primer (%); ef2 adalah efisiensi pada saluran sekunder (%); ef3 adalah efisiensi pada saluran primer (%).
4 Efisiensi Aplikasi Efisiensi pemakaian air adalah perbandingan antara jumlah air sebenarnya yang dibutuhkan tanaman untuk evapotranspirasi dengan jumlah air sampai pada suatu intlet jalur. Untuk mendapatkan gambaran efesiensi irigasai secara menyeluruh diperlukan gambaran secara menyeluruh dari gabungan saluran irigasi dan drainase mulai dari bendung yaitu saluran irigasi primer, sekunder, tersier dan kuarter (Siregar 2011; Ali et al. 2013). Efisiensi aplikasi didefinisikan sebagi jumlah air yang dipakai secara menguntungkan oleh tanaman dibagi dengan jumlah air yang diaplikasikan (James 1988). Efisiensi aplikasi adalah perbandingan antara air yang langsung tersedia bagi tanaman dan air yang diterima di lahan (zona perakaran) (Doorenbos dan Pruitt 1977; Hansen et al. 1979; Purwanto dan Badrudin 1999). Efisiensi aplikasi dapat dihitung berdasarkan persamaan Hansen (1979), yaitu : Ws
Ea = 100 Wf
(2)
Wf = Ws + Rf + Df
(3)
Ws = SJenuh – SKapasitas Lapang
(4)
dimana Ea adalah efisiensi aplikasi (%); Ws adalah jumlah air yang tersimpan dalam zona perakaran (mm); Wf adalah total air yang diaplikasikan (mm); Df adalah kedalaman zona perakaran (mm); Rf adalah air yang hilang melalui aliran permukaan. Efisiensi Distribusi Efisiensi distribusi air berguna untuk menunjukan keseragaman penyebaran air di daerah perakaran untuk irigasi bukan genangan selama waktu irigasi, dan dapat dinyatakan dengan persamaan : Ed = 100 x 1 -
Y d
(5)
dimana Ed adalah efisiensi distribusi air (%); Y adalah rata-rata kedalaman air; d adalah rata-rata kedalaman air yang tersimpan di daerah perakaran. Teknologi Irigasi Pipa Pemberian air irigasi menurut Hansen et al. (1979) terbagi menjadi empat metode, yaitu irigasi permukaan, irigasi bawah permukaan, irigasi curah dan irigasi tetes. Metode pemberian air irigasi di Indonesia yang telah diterapkan diantaranya irigasi permukaan, irigasi bawah permukaan, irigasi tetes, irigasi curah dan irigasi kendi. Irigasi otomatis adalah bagian dari sistem pengelolaan air yang meliputi irigasi dan drainase. Salah satu contoh dari sistem yang dikembangkan dalam studi pengembangan sistem pengendalian air di lahan basah (Setiawan et al. 2002;
5 Saptomo et al. 2004) yang menggunakan pompa untuk mengalirkan air ke dalam atau keluar dari lahan pertanian. Solusi dalam meningkatkan efisiensi irigasi adalah dengan menggunakan prasarana irigasi yang memadai seperti teknologi irigasi pipa. Efisiensi penggunaan irigasi pipa mencapai 90%. Manfaat dari irigasi pipa antara lain meminimalisir kehilangan air di saluran dan tampungan di lahan kering sehingga terbuka peluan ketersediaan air berlebih yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai tambah produk misalnya dengan pengembangan prasarana usahatani yang dapat menghasilkan produk hilir pertanian (Prastowo 2007).
6
3 METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Tahap penelitian yang dilakukan yaitu pengumpulan data primer, data skunder dan pengolahan data. Data primer merupakan data hasil pengukuran di lapangan meliputi data debit aliran pada petakan percobaan (input dan output), bulk density, kadar air tanah serta fraksi pasir, debu dan liat. Data sekunder meliputi data iklim, dan data debit aliran. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kebun percobaan IPB Desa Cikarawang yang terletak di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor (Gambar 3.1). Desa Cikarawang memiliki luas 226.56 Ha dan terletak pada koordinat 106º43’45.56” BT dan 6º33’0.20” LS. Desa Cikarawang secara umum berupa dataran yang 128.11 ha atau 56.55% dari total luas desanya merupakan persawahan. Batas secara administratif Desa Cikarwang sebelah utara berbatasan denga Sungai Cisadane, sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Ciapus, sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Situ Gede dan disebelah barat berbatasan dengan Sungai Ciapus dan Sungai Cisadane. Penelitian ini dilakukan pada Mei 2015 sampai Mei 2016 dan Analisis fisika tanah dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Sumberdaya Tanah Terpadu BBLSLP Bogor, sedangkan untuk kalibrasi segitiga Thompson dilakukan di Laboratorium Hidrologi dan Hidromekanika Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Gambar 3.1 Lokasi Penelitian
7 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sistem irigasi pipa, ring sample, cawan, timbangan analitik, oven, hand tractor, cangkul dan segitiga Thompson. Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu benih padi IPB 3S, pupuk organik, dan pestisida. Prosedur Analisis Data Pembuatan Petak Percobaan Petak percobaan memiliki panjang 20 meter dan panjang 20 meter. Sebelum petak percobaan dibuat dilakukan pengolahan lahan dengan menggunakan traktor tangan. Tanah diolah dengan bajak singkal satu kali kemudian dilanjutkan dengan pembuatan dua petak percobaan. Petak percobaan pertama mengaplikasikan teknologi budidaya SRI (System of Rice Intensification), sedangkan untuk petak percobaan kedua mengaplikasikan teknologi budidaya konvensional. Pengambilan Sampel Tanah Pengambilan sampel tanah diambil dengan menggunakan ring sample dengan tiga titik sampel secara diagonal dari pematang sawah (Gambar 3.2). Kedalaman pengambilan sampel pada setiap titik pengamatan yaitu 5 cm dan 15 cm, untuk setiap titiknya diambil sebanyak tiga kali ulangan. 20 m
Petak Konvensional
Petak SRI
20 m
20 m
SUMBER AIR
IRIGASI PIPA
Ket : Titik Sampel
Gambar 3.2 Petak percobaan penelitian Pengukuran Kadar Air Teknik pengukuran kadar air tanah diklasifikasikan ke dalam dua acara, yaitu langsung dan tidak langsung. Pengukuran kadar air pada penelitian ini menggunakan metode langsung (gravimetrik) pada prinsipnya mencakup pengukuran kehilangan air dengan menimbang contoh tanah sebelum dan sesudah dikeringkan pada suhu 105°C dalam oven selama 24 jam. Pengambilan sampel untuk kadar air juga dilakukan sama seperti pengambilan sampel tanah,
8 kedalaman pengambilan sampel setiap titik pengamatan yaitu 5 cm dan 15 cm dan setiap titiknya diambil sebanyak tiga kali ulangan. Pengambilan sampel untuk kadar air dilakukan setiap hari pada pukul 07.00 WIB. Sistem Pemberian Air Irigasi Petak percobaan yang dibandingkan dalam penelitian ini adalah dengan sistem pemberian air irigasi yang dilakukan dengan metode konvensional (Gambar 3.3) dan SRI (Gambar 3.4). Kedua metode pemberian air ini untuk melihat efisiensi aplikasi (Ea) dan efisiensi distribusi (Ed) dikombinasikan dengan menggunakan sistem irigasi pipa. Petak percobaan yang akan dibandingkan adalah sistem pemberian air irigasi yang dilakukan dengan sistem konvensional (Gambar 3.3) dan SRI (Gambar 3.4) dengan aplikasi teknologi irigasi pipa. Pada pemberian air dengan metode konvensional, pemberian air pada petakan sawah akan selalu digenangi setinggi 2 cm di atas permukaan tanah dari fase vegetatif sampai masa persiapan panen. Sedangkan untuk metode SRI pemberian air dilakukan secara terputusputus (intermitten) yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan air tanaman pada setiap fase tanaman. Untuk satu siklus pemberian air irigasi yaitu lima hari atau sampai kondisi tanah di petak sawah telah terjadi retak rambut, barulah air diberikan lagi ke petak sawah. 45 HST
Kedalaman
0 HST
75 HST
85 HST
Panen
3 cm 2 cm
Kadar Air
1 cm 0 cm 80%
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
60%
Masa Pertumbuhan Anakan (Vegetatif)
Masa Perkembangbiakan (Generatif)
Pengisian & Pematangan
Gambar 3.3 Sistem pemberian air konvensional (Ibrahim 2008)
Gambar 3.4 Sistem pemberian air SRI (Ibrahim 2008)
9 Perancangan Irigasi Pipa Sistem irigasi yang digunakan pada penelitian ini adalah irigasi pipa dengan saluran tertutup. Terdapat reservoir sebagai kolam penampungan air yang selanjutnya akan dialirkan ke irigasi pipa. Pada saluran tertutup ini terdapat pipa utama dengan diameter 6 inci yang panjangnya 52 meter. Air dialirkan ke petakan sawah dengan pipa 2.5 inci dan irigasi pipa ini menggandalkan gaya gravitasi dengan kemiringan 2 cm. Terdapat bola pelampung didalam pipa yang berfungsi untuk menutup masuknya air jika sawah dalam keadaan cukup air. Pengukuran Debit Air Debit air diukur setelah instalasi irigasi pipa di petakan sawah. Perhitungan debit air yang masuk ke dalam petakan sawah melalui inlet diukur bedasarkan besar bukaan stopkran pada inlet. Hasil pengukuran pada inlet menunjukkan bahwa debit air yang masuk ke petak sawah sebesar 0.3 l d-1. Perhitungan debit air yang keluar dari petak sawah dilakukan dengan menggunakan segitiga Thompson yang telah dikalibrasi. Pengamatan debit air dilihat dari berapa tinggi muka air yang terjun melalui segitiga Thompson dan kemudian disesuaikan dengan hasil perhitungan kalibrasi segitiga Thompson yang telah dilakukan di laboratorium. Perhitungan Tingkat Efisiensi Selanjutnya dengan adanya data jumlah air yang dibutuhkan tanaman padi dan total jumlah air yang diaplikasikan, maka simulasi efisiensi aplikasi (Ea) dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan 2. Nilai perhitungan Ea yang dihitung di lapangan yaitu sebanyak tiga titik dengan jarak antar titik 9.4 m. Perhitungan efisiensi distribusi (Ed) di petak sawah dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 5. Diketahuinya tingkat efisiensi pemanfaatan air dengan sistem irigasi pipa maka dapat di kuantifikasikan jumlah kebutuhan air tanaman yang harus diberikan sehingga air yang diberikan sesuai dengan kebutuhan (Gambar 3.5) dan dapat mengelola ketersediaan air.
Tanaman
Kedalaman air yang diperlukan
Kedalaman air yang diaplikasikan
Saluran air
Pertumbuhan tanaman yang dipengaruhi oleh ketersediaan air
Air yang masuk kedalam tanah
Zona perakaran
Gambar 3.5 Hubungan Efisiensi aplikasi (Ea) dan Efisiensi distribusi (Ed) terhadap pertumbuhan tanaman (sumber Hansen et al. 1979)
10 Perhitungan Jarak Inlet Pada Petak Sawah Perhitungan jarak inlet pada petak sawah dilakukan setelah mendapatkan nilai Ea. Selanjutnya dari nilai Ea tersebut diekstrapolasi hingga jarak 180 m dengan regresi linier. Perhitungan Kelayakan Pemberian Air Perhitungan kelayakan pemberian air dapat dilakukan setelah mendapatkan nilai efisiensi aplikasi (Ea). Penentuan kelayakan pemberian air dapat dilakukan berdasarkan kriteria sistem pemberian air irigasi. Kriteria pemberian air irigasi disajikan dalam Tabel 3.1. Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan nilai kelayakan pemberian air yaitu sebagai berikut: KPA = (1-Ea) x 100 (6) dimana KPA merupakan kelayakan pemberian air (%), Ea merupakan efisiensi aplikasi dalam %. Penentuan tingkat kelayakan pemberian air ditentukan berdasarkan kriteria pemberian air irigasi. Bila semakin besar nilai kelayakan air maka semakin besar nilai efisiensinya, begitu pula sebaliknya. Tabel 3.1 Klasifikasi pemberian air irigasi KPA
Sistem Pemberian Air
Kategori
> 65%
Kontinyu
Belum Kritis
65%
Rotasi Sub Tersier
Mendekati Kritis
65% > Q max > 35%
2 Golongan dibuka, 1 golongan ditutup
Kritis
1 Golongan dibuka, 2 golongan ditutup
Sangat Kritis
< 35% Sumber : Afandi, 2013
11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Tanah Hasil uji tanah dilaboratorium diketahui bahwa tanah sawah dilahan percobaan memilki tekstut liat. Tanah dengan tekstur liat memiliki kapasitas menahan air yang relatif tinggi karena adanya ruang pori yang halus dan banyak. Analisis tanah dilakukan pada sifat fisik tanah yaitu bulk density, ruang pori, air tanah dan pF. Rata-rata nilai bulk density, ruang pori, air tanah dan pF dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Nilai sifat fisika tanah pada sawah konvensional dan SRIa Ruang pF pF Kedalaman Bulk Sawah Pori 2.54 4.2 (cm) density (%) (%) (%)
Air Tersedia (%)
0-10
1.06
54.2
41.9
30.2
11.7
11-20
0.9
60.7
36.7
26.5
10.2
0-10
1.09
54.9
43.1
30.8
12.3
11-20
1
57.5
40.1
29.2
10.9
Konvensional
SRI a
Sumber : Hasil analisis laboratorium
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa rata-rata bulk density tanah pada kedalaman 0-10 cm cenderung lebih tinggi yaitu 1.06 untuk sawah konvensional dan 1.09 untuk sawah SRI, dibandingkan dengan lapisan 11-20 cm yaitu 0.9 untuk sawah konvensional dan 1 untuk sawah SRI. Hasil analisis tanah terhadap pF 2.54 dan pF 4.2 menunjukkan bahwa nilai pF yang diperoleh pada sawah konvensional dan sawah SRI relatif sama yaitu berkisar antar 26.5 hingga 30.8. Gambar 4.2 dan Gambar 4.3 menunjukkan kondisi kadar air tanah pada kedalaman 5 cm dan 15 cm baik pada petak sawah konvensional maupun sawah SRI pada fase vegetatif dan fase generatif. Kadar air jenuh merupakan kondisiair dilapangan cukup tersedia dan tidak mengalami kekurangan air. Pada sawah konvensional terdapat kadar air di atas kadar air jenuh. Hal ini dikarenakan pemberian air pada sawah konvensional dilakukan secara kontinu, sedangkan pada sawah SRI dapat dilihat pada fase vegetatif 26 sampai 28 HST terjadi penurunan kadar air yang diakibatkan sistem pemberian air secara intermitent (terputus-putus). Kadar air akan naik apa bila air pada irigasi diberikan lagi ke sawah atau terjadinya hujan. Pada fase generatif terjadi penurunan kadar air mulai pada 73 sampai 76 HST, hal ini terjadi karena tidak diberikannya air pada petak sawah dan tidak terjadinya hujan selama hari tersebut. Pemberian air dilakukan kembali ke petak sawah saat petak sawah telah ditandai dengan terjadinya retak rambut.
12 70 65
KA (%)
60 55 50 45 40 23
24
25
26
27
28
29
30
72 73 HST
74
75
Titik 1 ( 5 cm)
Titik 2 (5 cm)
Titik 3 (5 cm)
Titik 2 (15 cm)
Titik 3 (15 cm)
KA JENUH
76
77
78
79
80
Titik 1 (15 cm)
Gambar 4.2 Kadar air tanah sawah konvensional 70
KA (%)
65 60 55 50 45 40 23
24
25
26
27
28
29
30
72 73 HST
74
75
Titik 1 ( 5 cm)
Titik 2 (5 cm)
Titik 3 (5 cm)
Titik 2 (15 cm)
Titik 3 (15 cm)
KA JENUH
76
77
78
79
80
Titik 1 (15 cm)
Gambar 4.3 Kadar air tanah sawah SRI Air tanah tersedia merupakan selisih kadar air tanah dalam persen volume atau berat antara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Rata-rata air tanah pada kondisi kapasitas lapang pada kedalaman 0-10 cm 41.9% untuk sawah konvensional dan 43.155 untuk sawah SRI sedangkan pada kedalaman 11-20 cm masing-masing sawah yaitu 36.7% dan 40.1%. Kondisi sawah SRI pada kadar air tersebut tanaman masih belum terjadi stres air karena masih jauh dengan titik layu permanen. Selanjutnya titik layu permanen pada kedalaman 0-10 cm didapat 30.2% untuk sawah konvensional dan 30.8% untuk sawah SRI, sedangkan pada kedalaman 11-20 cm yaitu 26.5% untuk tanah sawah konvensional dan 29.2% untuk sawah SRI.
13 Pemberian air irigasi diharapkan mampu mengisi air tanah pada kondisi retensi lengas tanah yaitu antara pF 2 sampai dengan 2.54 (kapasitas lapang). Kondisi kapasitas lapang merupakan keadaan tanah cukup lembab yang menunjukkan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik gravitasi. Air yang dapat ditahan oleh tanah tersebut terus menerus diserap oleh akar-akar tanaman atau menguap sehingga tanah semakin lama semakin kering. Kondisi saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air yaitu pada kondisi pF 4.2 menyebabkan tanaman menjadi layu dan kondisi ini disebut titik layu permanen (Sirait et al. 2015). Efisiensi Aplikasi dan Efisiensi Distribusi Penelitian ini menggunakan irigasi pipa dalam pemberian air ke petak sawah. Pemberian air diberikan sesuai dengan skema pemberian air yang telah ditetapkan. Petak sawah konvensional digenangi air secara terus menerus dan pada petak sawah SRI air diberikan secara terputus-putus. Air yang diberikan pada petak sawah konvensional setinggi 2 cm dari awal penanaman sampai 85 HST. Petak SRI air diberikan secara terputus-putus (intermittent) dari awal penanaman sampai 85 HST, sedangkan penggenangan sawah setinggi 2 cm dilakukan hanya saat dilakukan penyiangan. Pengeringan sawah konvensional dan SRI hanya dilakukan saat pemupukan dan pada masa persiapan panen (86 - 100 HST). Perhitungan efisiensi aplikasi dan efisiensi distribusi disajikan pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa efisiensi aplikasi yang tinggi ditunjukkan pada petak sawah SRI yaitu 98.95 % pada fase vegetatif dan 93.15 % pada fase generatif, hal ini karena ketersedian air pada zona perakaran tersimpan dengan baik dan air diaplikasikan kembali jika tanah sudah retak rambut (Huda et al. 2012). Jadi karena hal itulah air tidak terbuang secara percuma, serta dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air pada petak persawahan (Rianto 2006; Allen et al. 2006; Sumaryanto 2006). Pola pemberian air irigasi pada sistem SRI diatur agar lahan cukup kering namun tetap mencukupi kebutuhan air tanaman. Intermittent flow adalah salah satu cara pemberian air ke petas sawah yang didasarkan pada interval waktu tertentu dengan debit dan luas area yang sudah ditetapkan terlebih dahulu sehingga diperoleh hasil yang optimal (Hansen et al. 1979; Purba 2011; Huda et al. 2012). Tabel 4.2 Nilai perhitungan rata-rata Ea pada sawah konvensional dan SRIa Titik 1
Titik 2
Titik 3
Titik 1
Titik 2
Titik 3
Teknologi Ea (%) Vegetatif
a
Ea (%) Generatif
Konvensional
83.91
82.92
81.35
81.82
78.36
76.12
SRI
98.95
97.13
94.59
93.15
91.38
88.77
Sumber : Hasil perhitungan
14 Tabel 4.3 Nilai perhitungan rata-rata Ed pada satu fase irigasi sawah Konvensional dan SRIa Titik 1
Titik 2
Titik 3
Titik 1
Titik 2
Titik 3
Teknologi Ed (%) Vegetatif
Ed (%) Generatif
Konvensional
99.03
99.00
98.98
99.03
98.98
98.95
SRI
98.84
98.80
98.72
98.95
98.91
98.88
a
Sumber : Hasil perhitungan
Sistem konvensional air yang diaplikasikan sebesar 2 cm di atas permukaan tanah digenangi secara terus menerus dari tanam sampai pengisian bulir. Sawah hanya dikeringkan pada saat pemupukan. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai Ea tertinggi sebesar 83.91 % pada fase vegetatif dan 81.82 % pada fase generatif, sedangkan nilai Ea terendah sebesar 81.35% untuk fase vegetatif dan 76.12% untuk generatif. Hal ini terjadi karena air yang diaplikasikan pada sawah konvensional terjadi perkolasi dan ada yang terbuang ke drainase karena air yang diaplikasikan telah jenuh sebesar 2 cm. Rendahnya nilai efisiensi aplikasi (Ea) disebabkan oleh tingginya perkolasi atau aliran permukaan. Menurut Hasen et al. (1980); Sapei (2012) sumber kehilangan air irigasi yang umum dari suatu areal pertanian selama pemberian air adalah aliran permukaan dan perkolasi dalam keluar dari daerah perakaran. Keseragaman distribusi menjelaskan meratanya distribusi air suatu sistem irigasi ke seluruh areal tanaman. Keseragaman distribusi air yang tinggi memungkinkan pertumbuhan tanaman seragam dan lebih baik. Menurut Heermann et al. (1992), untuk memperoleh pertumbuhan tanaman yang seragam diperlukan pendistribuasian air secara seragam keseluruh areal. 100 95 90 85 80 75 70 65 60 Titik 1
Titik 2
Titik 3
Titik 1
Vegetatif Ea (%) Konvensional
Titik 2
Titik 3
Generatif Ed (%) Konvensional
Ea (%) SRI
Ed (%) SRI
Gambar 4.4 Grafik perbandingan Ea, Ed pada sawah Konvensional dan SRI Gambar 4.4 menunjukkan bahwa sawah konvensional titik 3 pada fase vegetatif memiliki nilai Ea yang rendah sebesar 81.35 % sementara nilai Ed
15 sebesar 98.98 %, sedangkan pada fase generatif nilai Ea terendah juga terdapat pada titik 3 sebesar 76.11 % dan Ed 98.95 %. Menurut Idrus (1998), nilai kinerja Ea pada irigasi di atas ≥ 70 % sudah menunjukkan bahwa kinerja irigasi itu tergolong baik atau tinggi, apabila nilai Ea ≤ 70 % maka nilai kinerja irigasi tergolong rendah. Petakan sawah SRI diperoleh hasil Ea fase vegetatif pada titik 3 sebesar 94.58 % sementara nilai Ed sebesar 98.96 %, sedangkan pada fase generatif Ea yang paling rendah pada titik 3 dengan nilai 88.77 % dan Ed sebesar 98.95 %. Dari hasil yang diperoleh dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa kinerja irigasi tergolong baik atau tinggi. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh tekstur tanah di petak penelitian yang tergolong liat, jadi air akan sulit menembus lapisan tapak bajak karena kedap air, serta kandungan bahan organik yang dapat menahan air di dalam tanah (Purba 2011; Sapei 2000, 2012; Ali et al. 2013; Ahn & Kang 2014). Pada lokasi penelitian Ed yang diperoleh cenderung sama antara petak sawah konvensional dan SRI ini juga dikarenakan pada penelitian curah hujan yang tinggi. Setelah diperoleh nilai Ea dan Ed dilapangan kemudian dilakukan ektrapolasi pada jarak yang lebih jauh yaitu jarak 10 m sampai 180 m. Hasil ektrapolasi jarak rata-rata dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan Tabel 4.5. Tabel 4.4 Hasil ekstrapolasi nilai Eaa Ea (%)
a
Jarak (m) 10-30
40-60
70-90
100-120
130-150
160-180
Vegetatif Kon
82.73
78.79
74.95
71.11
67.26
63.42
Generatif Kon
78.76
70.41
61.85
53.29
44.73
36.17
Vegetatif SRI
96.89
90.23
83.68
77.14
70.60
64.06
Generatif SRI 91.10 Sumber: Hasil Perhitungan
84.40
77.83
71.27
64.70
58.14
Tabel 4.5 Hasil ekstrapolasi nilai Eda Ed (%)
a
Jarak (m) 10-30
40-60
70-90
100-120
130-150
160-180
Vegetatif Kon
99.00
98.95
98.91
98.87
98.82
98.78
Generatif Kon
98.99
98.87
98.76
98.64
98.53
98.41
Vegetatif SRI
98.99
98.92
98.84
98.77
98.70
98.63
Generatif SRI 98.99 Sumber: Hasil Perhitungan
98.91
98.83
98.75
98.68
98.60
Tabel 4.4 dan Tabel 4.5 memperlihatkan hasil ekstrapolasi Ea dan Ed pada jarak 10 m sampai 180 m. Nilai Ea dengan jarak kelipatan 10 m pada sawah konvensional memiliki penurunan angka sebesar 1.28% pada fase vegetatif dan 2.85% pada fase generatif. Sedangkan pada sawah SRI penurunan nilai masingmasing pada fase vegetatif dan generatif yaitu 2.18% dan 2.19%. Nilai Ed dengan jarak kelipatan 10 m pada sawah konvensional pada masing-masing fase vegetatif dan generatif yaitu 0.014% dan 0.03%, sedangkan pada sawah SRI penurunan pada masing-masing fase vegetatif dan generatif yaitu 0.024% dan 0.025%. Hasil
16 perhitungan Ea dan Ed menunjukkan bahwa dengan menggunakan irigasi pipa pada sawah dengan pemberian air secara SRI nilai efisiensi irigasi lebih tinggi dibandingkan dengan sawah dengan sistem pemberian air secara konvensional pada masing-masing jarak. Korelasi antara jarak dengan nilai Ea dan korelasi antara jarak dengan nilai Ed pada masing-masing sawah dapat dilihat pada Gambar 4.5 dan Gambar 4.6. y = -1.2851x + 85.252 R² = 0.9999
100 90
Ea (%)
80 70 60 50 40 30
Jarak (m) Vegetatif Kon
Vegetatif SRI
Generatif Kon
Generatif SRI
Gambar 4.5 Korelasi antara jarak dan efiensi aplikasi (Ea) y = -0.015x + 99.031 R² = 0.9977
99.05 98.95
Ed (%)
98.85 98.75 98.65 98.55 98.45 98.35 98.25 Jarak (m) Vegetatif Kon
Generatif Kon
Vegetatif SRI
Generatif SRI
Gambar 4.6 Korelasi antar jarak dan efisiensi distribusi (Ed) Jarak 180 m nilai efisiensi aplikasi sawah konvensional diperoleh nilai Ea 37.86% pada fase vegetatif dan 66.68% pada fase generatif, untuk sawah SRI yaitu 38.12% pada fase vegetatif dan 44.05% pada fase generatif. Kriteria irigasi pipa yang baik memiliki nilai efisiensi diatas 90%. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai Ea yang berada diatas 90% yaitu hanya pada sawah SRI
17 pada jarak 10 m sampai 50 m pada fase vegetatif, sedangkan pada fase generatif Ea di atas 90% pada jarak 10 m sampai 30 m. Akan tetapi untuk pengairan sawah dengan menggunakan irigasi pipa efisiensinya harus ≥ 90% (Sirait 2015). Pada sawah konvensional efisiensi aplikasi tidak mencapai 90% karena air yang diberikan selalu tergenang yang menyebabkan air keluar dari zona perakaran. Efisiensi distribusi pada jarak 180 m fase vegetatif dan generatif pada sawah konvensional yaitu 98.76% dan 98.77% sedangkan sawah SRI 98.60% dan 98.57%. Hal ini menunjukkan bahwa pada sawah konvensional dan SRI nilai Ed pada jarak 180 m masih tergolong baik karena nilai Ed berada diatas 90%. Hansen et al. (1979) menyatakan bahwa hubungan efisiensi aplikasi dan efisiensi distribusi pada irigasi konvensional terhadap pertumbuhan tanaman yang baik memiliki nilai Ea yang dapat ditolerir yaitu 70% dan nilai Ed minimum yaitu 80%. Hasil ekstrapolasi menunjukkan pada jarak 10 m sampai 30 m untuk sawah SRI Ea tergolong sangat baik pada fase vegetatif maupun generatif, namun pada sawah konvensional terjadi penurunan Ea yang signifikan pada fase generatif pada jarak 50 m sebesar 70.41%. Jarak Inlet Petak Sawah Penelitian ini menggunakan input teknologi irigasi pipa sehingga penggunaan air lebih efisien dan dapat terkontrol. Keuntungan penggunaan irigasi pipa mampu mengurangi kehilangan air yang disebabkan oleh rembesan, evaporasi selama transportasi air dari saluran ke petak sawah serta irigasi pipa memiliki efisiensi irigasi mencapai 90 % (Sapei 2000; Saptomo et al. 2004; Saptomo et al. 2012; Siebert & Doll 2010; Purwanto et al. 2012). Tabel 4.6 Hasil simulasi Ea dengan beberapa jarak inlet petak sawaha Jarak Inlet Efisiensi Aplikasi Kebutuhan air Petak Sawah Petakan (m) (%) Tersier (l d-1) 100 62.95 158.85 70 69.54 100.66 45 75.06 59.95 Konvensional 30 78.37 38.27 15 81.54 18.39 100 75 133.33 70 81.97 85.39 SRI 45 87.42 51.47 30 91.19 32.89 15 95.95 15.63 a
Sumber: Hasil Perhitungan
Perencanaan luas tanam padi yang baik dapat dilakukan dengan adanya kombinasi sistem irigasi pipa dengan sistem pemberian air secara SRI. Pada penelitian ini didapatkan produktivitas air pada sawah konvensional yaitu 0.82 kg m-3 SRI yaitu 1.12 kg m-3. Kombinasi keduanya mampu memperoleh nilai Ea di atas 90%, produktivitas tinggi dan efisien dalam penggunaan air dengan asumsi panjang jarak inlet petak sawah tidak lebih dari 30 m. Sistem konvensional memberikan Ea yang lebih rendah jika dibandingkan dengan SRI yang keduanya dikombinasikan dengan irigasi pipa. Nilai Ea pada sawah konvensional di bawah
18 90%. Hal ini terjadi karena sistem pemberian air secara konvensional menyebabkan air terbuang karena penggenangan yang dilakukan. Menurut Siebert & Doll (2010) bahwa rata-rata hasil produksi tanaman biji-bijian dengan sistem irigasi adalah 4.4 ton ha-1, sedangkan dengan sistem tadah hujan sebesar 2.7 ton ha-1. Sebesar 42% dari produksi tanaman biji-bijian pada umumnya berasal dari lahan irigasi dan tanpa irigasi hasil produksi akan menurun sebesar 20%. Tabel 4.6 menunjukkan hasil simulasi perhitungan nilai Ea dan kebutuhan air petak tersier pada panjang 15 m, 35 m, 45 m, 70 m dan 100 m. hasil simulasi menujukkan bahwa Ea yang baik (≥ 90%) didapatkan pada pajang jarak inlet petak sawah 15 m dan 30 m dengan sistem pemberian air secara SRI. Jarak inlet petak sawah yang efisien dengan menggunakan panjang irigasi pipa sebaiknya menggunakan panjang jarak 30 m, selain akan memudahkan saat pengolahaan tanah juga lebih efisien dalam instalasi pemasangan irigasi pipa. Selain itu air yang dialirkan dari saluran dapat menyebar dengan merata dibandingkan dengan disain petak yang 15 m yang jaraknya lebih kecil dan perbedaan efisiensi antara keduanya hanya 4.76%. Hal ini sejalan dengan penelitian Yoshino (1997); Masood et al. (2012) bahwa panjang inlet air yang terbaik untuk petakan sawah yaitu 24-30 m. Jarak inlet petak sawah dengan panjang 100 m tidak disarankan karena membutuhkan air yang lebih banyak yaitu 133.33 l d-1. Penggunaan air lebih hemat 10.25% untuk mencapai jarak 100 m jika inlet dibagi tiga dengan masing-masing jarak 30 m dan air yang dibutuhkan hanya 108.53 l d-1. Perhitungan Tingkat Kelayakan Pemberian Air Irigasi Analisis tingkat kelayakan pemberian air dilakukan agar dapat mengetahui berapa besar pemanfaatan air secara efisien. Penentuan tingkat kelayakan pemberian air berdasarkan dari nilai pemberian air irigasi dilakukan setelah diketahui nilai Ea. Nilai Ea yang digunakan adalah nilai antara fase vegetatif dan generatif setiap titik pengamatan yang dilakukan pada sawah konvensional dan sawah SRI. Hasil Perhitungan kelayakan pemberian air pada sawah dengan metode pemberian air secara konvensional dan SRI dapat dilihat pada Gambar 4.5. Gambar 4.5 menunjukkan tingkat kelayakan pembarian air yang dihitung pada penelitian ini dengan jarak yang telah diekstrapolasi hingga 180 m. Nilai pemberian air irigasi pada petak sawah konvensional menunjukkan pada fase vegetatif kriterianya kritis pada jarak 170 m, sedangkan pada fase generatif pada jarak setelah 75 m kelayakan pemberian air telah kritis dan pada jarak 178 m menjadi sangat kritis. Petak sawah SRI menunjukkan nilai kelayakan pemberian air fase vegetatif mendekati kritis pada jarak 170 m, sedangkan fase generatif telah kritis pada jarak 150 m. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai Ea maka tingkat kelayakan pemberian air pada areal irigasi yang semakin baik. Pola pembagian air irigasi dapat dibagi menjadi empat kriteria, yaitu > 65% (belum kritis) air dapat dialirkan secara kontinyu, 65% (mendekati kritis) rotasi subtersier, 65% > Q max > 35% (kritis) dua golongan dibuka satu golongan ditutup dan < 35% (sangat kritis) satu golongan dibuka dua golongan ditutup. Efektivitas pemberian air irigasi di suatu petak tersier dapat dilihat dari baik atau tidaknya pelayanan irigasi di petak tersier. Baik atau tidaknya pelayanan irigasi antara lain dapat dari cara pemberian air irigasi ke petak-petak sawah, diharapkan dengan input teknologi irigasi pipa pelayanan dapat meningkat sehingga dapat
19 mengairi areal persawahan yang lebih luas dan menekan kehilangan air selama pendistribusian air dari bendung samai ke petak-petak sawah.
Gambar 4.5 Kelayakan pemberaian air pada petak sawah Konvensional dan SRI pada fase vegetatif dan generatif Tingkat kelayakan pemberian air yang ditentukan berdasarkan pemberian air irigasi diharapkan mampu memanfaatkan sumberdaya air secara efisien. Maka dengan semakin tingginya nilai kelayakan pemberian air maka akan meningkatkan efisiensi pemakaian air, sehingga dapat dilakukan penghematan sumberdaya air sehingga secara tidak langsung telah melakukan pengelolaan sumberdaya air yang ada. Penggunaan sistem irigasi pipa mampu menghemat air dengan memanfaatkan air yang ada sesuai dengan yang dibutuhkan dilahan. Menurut Rejikiningrum (2014) pengelolaan sumberdaya air yang cermat hemat dan bijak dituntut dengan adanya indikasi kekritisan air. Selain itu perlu adanya pengelolaan DAS secara terpadu dan optimalisasi penggunaan air dengan budaya hemat air dan juga penggunaan air di jaringan irigasi yang efisien.
20
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini menunjukkan nilai Ed di atas 90% pada perlakuan pemberian air konvensional dan SRI. Hal ini menjelaskan distribusi air pada sistem irigasi pipa merata keseluruh areal tanam. Nilai Ea yang diperoleh pada petak percobaan berkisar antara 76%–98%. Perlakuan pemberian air konvensional nilai Ea lebih rendah dibandingkan dengan SRI. Hal ini dikareankan air pada sawah konvensional terjadi perkolasi dalam sehingga air keluar dari zona perakaran dan terjadinya aliran permukaan yang menyebabkan penurunan efisiensi. Hasil simulasi jarak inlet petak sawah menunjukkan bahwa Ea yang baik (≥ 90%) didapat pada jarak 30 m dengan sistem pemberian air secara SRI. Jarak inlet petak sawah dengan rancangan irigasi pipa yang efisien menggunakan jarak 30 m. Jarak inlet petak sawah dengan panjang 100 m tidak disarankan karena membutuhkan air lebih banyak yaitu 133.33 l d-1. Penggunaan air akan lebih hemat 10.25% untuk mencapai jarak 100 m jika jarak inlet petak dibagi tiga dengan masing-masing jarak 30 m dan air yang dibutuhkan hanya 108.53 l d-1. Tingkat indek kelayakan pemberian air berdasarkan nilai Ea diperoleh tingkat kekritisan air pada sawah konvensional fase vegetatif nilai kelayakan pemberian air kritis pada jarak 170 m, sedang fase generatif pada jarak 75 m mendekati kritis dan pada jarak 178 telah sangat kritis. Petak sawah SRI menunjukkan nilai kelayakan pemberian air pada fase vegetative dengan jarak 170 m telah kritis dan fase generatif pada jarak 150 m telah kritis. Saran Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai efisiensi pemakaian air pada jarak yang lebih luas terhadap perhitungan tingkat kelayakan pemberian air di suatu DAS, karena dengan mengetahui tingkat kelayakan pemberian air kita dapat menentukan perencanaan terhadap pemanfaatan air sesuai dengan ketersediaan dan kebutuhan air pada suatu DAS.
21
DAFTAR PUSTAKA Adams H D, Luce CH, Breshears D.D, Allen C.D,Weiler M,Hale V.C, Smith A.M.S, Huxman T.E. 2011. Ecohydrological consequences of drought and infestationtriggered tree die-off: insights and hypotheses. Ecohydrol 5: 145159. Doi:10.1002/eco.233. Ahn J, Kang D. 2014. Optimal planning of water supply system for long-term sustainability. Journal of Hydro-environment Research. 8: 410-420. Allen R G, Pereira L S, Raes D, Smith M. 2006. Crop Evapotranspiration (guidelines for computing crop water requirements). Rome (IT): FAO No. 56. Ali MH, Abustan I, Puteh AB. 2013. Irrigation management strategies for winter wheat using aquacrop model. J Natur Resourc and Develom. 3:106113.doi:10.5027/jnrd.v3i0.10. [Departemen PU] Departemen Pekerjaan Umum. 1994. Prospek Penerapan Irigasi Sprinkel dan Drip di Indonesia [laporan studi]. Jakarta (ID): Departemen PU. [Ditjen Pengairan] Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum. 1986a. Standar Perencanaan Irigasi KP-01. Bandung (ID): Galang Persada. [Ditjen Pengairan] Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum. 1986b. Standar Perencanaan Irigasi, Kriteria Perencanaan Bagian Saluran KP-03. Bandung (ID): Galang Persada. Doorenbos J, Pruitt WO. Guideline for Predicting Crop Water Requirements. Rome (IT): FAO. Hansen VE, Israelen WO, Stringham GE. 1979. Irrigation Principles and Practices. New York (US): John Wiley and Sons. Hansen VE, Israelen WO, Stringham GE.1992. Dasar-dasar dan Praktek Irigasi. Jakarta (ID): Erlangga. Heermann DF, Wllander WW, Bos MG. 1992. Irrigation Efficiency And Uniformity In Design And Management of Farm Irrigation System. New York (US): American Society of Agricultural Engineers. Huda MN, Harisuseno D, Priyantoro D. 2012. Kajian pemberian air irigasi sebagai dasar penyusunan jadwal rotasi pada daerah irigasi Tumpang Kabupaten Malang. Jurnal Teknik Pengairan. 3(2): 221-229. Ibrahim A. 2008. Prinsip-prinsip Tanaman Padi Metode SRI (System of Rice Intensification) Organik. Banda Aceh (ID): Youth Service Foundation. Idrus M. 1998. Kajian kinerja irigasi alur dengan pendekatan model simulasi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Isni M, Basri H, Romano. 2012. Nilai ekonomi ketersediaan hasil air dari sub das Krueng Jreu Kabuaten Aceh Besar. J Manajemen Sumberdaya Lahan. 1(2):184-193. James LG. 1988. Farm Irrigation System Design. New York (US): John Wiley and Sons. Masood MA, Raza I, Yaseen M. 2012. Estimation of optimum field plot size and shape in paddy yield trial. J Agric Res. 25(4): 280-287. Purba JH. 2011. Kebutuhan dan cara pemberian air irigasi untuk tanaman padi (oryza sativa L.). J Widyatc Sains Teknol. 10(3): 145-155.
22 Purwanto MYJ, Erizal, Anika N. 2012. Development of pipe irrigation system in tertiary level for increasing irrigation efficiency and food production. J Irigasi. 7(2):99-109. Purwanto MYJ, Badrudin U. 1999. Fluktuasi kelembaban tanah pada budidaya gogorancah. Buletin Keteknikan Pertanian. 13(1):1-7 Prastowo. 2007. Pengembangan model rancangan irigasi tetes pada sistem irigasi airtanah dangkal yang berkelanjutan di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rejekiningrum P. 2014. Idenfikasi kekritiasan Air untuk perencanaan penggunaan air agar tercapai ketehanan air di DAS Bengawan Solo. Penerapan Sains dan teknologi Dalam Pemberdayaan Masyarakat; 2014 September 23; Tanggerang Selatan, Indonesia. Tanggerang (ID): Pustaka UT FMIPA. hlm 170-184. Rianto S. 2006. Efisiensi Irigasi Tanaman Padi (Oryza sativa.) dengan Metode SRI (System of Rice Intensification) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Romero R, Muriel JL, Garcia I, Munoz de la Pena D. 2012. Research on aoutomatic irrigation control: State of the art and recent result. J Agricultural Water Management. 114:59-66. doi:10.1016/j.agwat.2012.06.026. Sapei A. 2000. Kajian penurunan laju perkolasi lahan sawah baru dengan lapisan kedap buatan (artificial impervious layer). Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian; 2000 Juli 11-13: Bogor, Indonesia. Bogor (ID): hlm 1-39. Sapei A. 2012. Lapisan kedap buatan untuk memperkecil perkolasi lahan sawah tadah hujan dalam mendukung irigasi hemat air. J Irigasi. 7 (1):52-58. Saptomo SK, Chaidirin Y, Setiawan BI, Sofiyuddin HA. 2012. Peningkatan efisiensi irigasi dengan introduksi sistem otomatisasi pada sistem irigasi di lahan produksi pangan. Bandung (ID): Pertemuan Ilmiah Tahunan 29 Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia. 19-12 Oktober 2012:407-417. Saptomo SK, Setiawan BI, Nakano. 2004. Water regulation in tidal agriculture using wetland water level control Simulator. J Scientif Resear and Developm. 3(1). Setiawan BI, Sato Y, Saptomo SK, Saleh E. 2002. Water regulation in tidal agriculture using wetland water level control simulator. Reikirchen. 3(5):259-266. Sirait S, Saptomo SK, Purwanto MYJ. 2015. Rancang bangun sistem otomatisasi irigasi pipa lahan sawah berbasis tenaga surya. J Irigasi. 10 (1):21-32. Siebert dan Doll. 2010. Quantifying blue and greenvirtual water contents in global crop production losses without irrigation. J of Hydrology. 384(3-4):198-217. Siregar N. 2011.Efektifitas dan efisiensi saluran terbuka [tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatra Utara. Sri HB. 2000. Hidrologi, Teori, Masalah dan Penyelesaian. Yogyakarta (ID): Beta Offset. Sumaryanto. 2006. Peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi melalui penerapan iuran irigasi berbasis nilai ekonomi air irigasi. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 24 (2): 77-91. Triatmodjo B. 2013a. Hidraulika 1.Yogyakarta (ID): Beta Offset. Triatmodjo B. 2013b. Hidrologi Teknik.Yogyakarta (ID): Beta Offset.
23 Yoshino H, Usuki N, Chaiwat P, Eriguchi H dan Yamamoto H. 2013. Study on optimal gate operation method in a long open channel. J Japan Agr Research Quarterly. 31(1): 21-28.
24 LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan Kadar Air pada fase vegetatif pada sawah Konvensional Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm No Tanggal Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3 1 13/01/2016 65.56 63.80 62.46 67.90 66.19 64.43 2 14/01/2016 63.12 62.26 61.52 64.19 63.75 62.30 3 15/01/2016 59.81 59.63 58.26 61.12 60.10 60.10 4 16/01/2016 60.51 60.18 59.31 62.90 61.43 60.68 5 17/01/2016 59.17 59.12 58.39 62.76 62.03 59.81 6 18/01/2016 60.78 59.95 59.40 61.02 60.93 60.83 7 19/01/2016 61.53 61.63 58.97 62.76 62.68 60.91 8 20/01/2016 62.30 60.49 59.38 64.19 63.75 62.30 Lampiran 2. Perhitungan Kadar Air pada fase vegetatif pada sawah SRI Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm No Tanggal Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3 1 13/01/2016 65.53 64.85 63.99 67.44 65.37 64.35 2 14/01/2016 64.75 64.06 62.57 66.40 65.72 63.28 3 15/01/2016 62.19 61.09 59.63 63.89 62.13 60.27 4 16/01/2016 59.80 58.10 57.92 60.33 59.63 58.23 5 17/01/2016 56.29 54.78 53.42 58.90 57.08 55.34 6 18/01/2016 49.20 49.12 46.06 52.07 50.31 47.26 7 19/01/2016 61.28 61.03 60.85 62.27 62.00 61.54 8 20/01/2016 62.84 61.33 60.61 63.44 63.42 62.67
Lampiran 3. Perhitungan Kadar Air pada fase generatif pada sawah Konvensional Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm No Tanggal Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3 1 02/03/2016 60.66 56.42 54.97 63.13 58.94 56.69 2 03/03/2016 66.11 65.15 65.65 67.41 67.16 66.43 3 04/03/2016 63.16 62.92 59.07 63.83 63.72 59.68 4 05/03/2016 63.07 62.14 58.41 65.12 63.96 61.02 5 06/03/2016 61.55 60.50 59.89 62.53 61.78 60.69 6 07/03/2016 60.95 56.60 51.79 61.42 58.47 52.57 7 08/03/2016 61.84 57.67 56.00 62.32 59.13 57.09 8 09/03/2016 60.66 57.21 59.43 63.13 58.61 60.07 9 10/03/2016 60.66 56.38 55.29 63.13 58.94 58.79 10 11/03/2016 40.11 40.96 40.57 45.73 40.86 41.64
25 Lampiran 4. Perhitungan Kadar Air pada fase generatif pada sawah SRI Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm No Tanggal Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 1 02/03/2016 61.62 61.32 57.63 66.25 65.75 2 03/03/2016 63.36 63.13 61.28 64.37 63.76 3 04/03/2016 53.65 52.13 52.86 55.25 52.87 4 05/03/2016 52.68 51.72 51.60 53.61 52.68 5 06/03/2016 50.73 47.04 46.06 51.36 49.07 6 07/03/2016 60.15 60.42 60.21 61.82 61.43 7 08/03/2016 63.15 61.27 60.60 63.74 62.62 8 09/03/2016 53.63 51.51 51.30 54.09 52.06 9 10/03/2016 61.11 61.28 60.01 63.04 63.10 10 11/03/2016 46.38 42.93 41.87 48.64 47.78
Titik 3 59.58 62.44 54.05 52.29 47.80 61.29 61.17 51.06 61.24 43.91
Lampiran 5. Perhitungan Ed pada fase vegetatif pada sawah Konvensional Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm No Tanggal Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3 Ed (%) Konvensional Vegetatif 1 13/01/2016 99.07 99.05 99.03 99.00 99.06 99.03 2 14/01/2016 99.04 99.02 99.01 98.98 99.02 99.00 3 15/01/2016 98.98 98.98 98.96 98.93 98.96 98.96 4 16/01/2016 99.00 98.99 98.98 98.95 98.98 98.97 5 17/01/2016 98.97 98.97 98.96 98.93 98.99 98.96 6 18/01/2016 99.00 98.99 98.98 98.95 98.97 98.97 7 19/01/2016 99.01 99.01 98.97 98.94 99.00 98.97 8 20/01/2016 99.03 99.00 98.98 98.95 99.02 99.00 Lampiran 6. Perhitungan Ed pada fase vegetatif pada sawah SRI Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm No Tanggal Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Ed (%) SRI Vegetatif 1 13/01/2016 99.10 99.09 99.07 99.10 99.07 2 14/01/2016 99.09 99.08 99.05 99.09 99.08 3 15/01/2016 99.05 99.03 99.01 99.05 99.03 4 16/01/2016 99.01 98.98 98.98 99.00 98.98 5 17/01/2016 98.95 98.92 98.89 98.97 98.94 6 18/01/2016 98.80 98.79 98.71 98.84 98.80 7 19/01/2016 99.03 99.03 99.03 99.03 99.02 8 20/01/2016 99.06 99.03 99.02 99.05 99.05
Titik 3 99.06 99.04 99.00 98.96 98.91 98.72 99.02 99.03
26 Lampiran 7. Perhitungan Ed pada fase generatif pada sawah Konvensional Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm No Tanggal Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3 Ed (%) Konvensional Generatif 1 02/03/2016 99.05 98.97 98.95 99.06 98.99 98.95 2 03/03/2016 99.12 99.11 99.12 99.12 99.11 99.10 3 04/03/2016 99.08 99.08 99.02 99.07 99.07 99.00 4 05/03/2016 99.08 99.07 99.01 99.09 99.07 99.03 5 06/03/2016 99.06 99.04 99.03 99.05 99.04 99.02 6 07/03/2016 99.05 98.98 98.88 99.03 98.98 98.87 7 08/03/2016 99.06 99.00 98.97 99.05 98.99 98.96 8 09/03/2016 99.05 98.99 99.03 99.06 98.99 99.01 9 10/03/2016 99.05 98.97 98.95 99.06 98.99 98.99 10 11/03/2016 98.56 98.59 98.57 98.70 98.54 98.57 Lampiran 8. Perhitungan Ed pada fase generatif pada sawah SRI Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm No Tanggal Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Ed (%) SRI Generatif 1 02/03/2016 99.10 99.10 99.10 99.14 99.13 2 03/03/2016 99.13 99.12 99.12 99.12 99.11 3 04/03/2016 98.97 98.94 98.94 98.97 98.92 4 05/03/2016 98.95 98.93 98.93 98.94 98.92 5 06/03/2016 98.91 98.82 98.82 98.89 98.84 6 07/03/2016 99.08 99.08 99.08 99.08 99.07 7 08/03/2016 99.12 99.10 99.10 99.11 99.09 8 09/03/2016 98.97 98.92 98.92 98.95 98.91 9 10/03/2016 99.09 99.10 99.10 99.10 99.10 10 11/03/2016 98.80 98.71 98.71 98.83 98.81
Titik 3 99.04 99.09 98.95 98.91 98.81 99.07 99.07 98.88 99.07 98.70
Lampiran 9. Perhitungan Ea pada fase vegetatif pada sawah Konvensional Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm Tanggal Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3 Ea (%) Vegetatif Konvensional 02/03/2016 80.34 74.73 72.81 83.62 78.07 75.09 03/03/2016 87.56 86.29 86.96 89.28 88.95 87.98 04/03/2016 83.65 83.33 78.24 84.54 84.40 79.05 05/03/2016 83.54 82.31 77.37 86.25 84.71 80.83 06/03/2016 81.52 80.13 79.33 82.82 81.83 80.38 07/03/2016 80.73 74.96 68.59 81.36 77.45 69.63 08/03/2016 81.91 76.38 74.17 82.54 78.32 75.61 09/03/2016 80.34 75.77 78.71 83.62 77.63 79.56 10/03/2016 80.34 74.67 73.23 83.62 78.07 77.87 11/03/2016 53.13 54.25 53.74 60.56 54.12 55.15
27 Lampiran 10. Perhitungan Ea pada fase vegetatif pada sawah SRI Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm Tanggal Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3 Ea (%) Vegetatif SRI 02/03/2016 98.58 98.11 92.21 106.00 105.20 95.33 03/03/2016 101.38 101.00 98.05 102.99 102.01 99.91 04/03/2016 85.84 83.41 84.58 88.40 84.59 86.48 05/03/2016 84.28 82.75 82.56 85.78 84.29 83.67 06/03/2016 81.17 75.26 73.69 82.18 78.51 76.49 07/03/2016 96.25 96.67 96.33 98.92 98.29 98.06 08/03/2016 101.04 98.04 96.96 101.99 100.19 97.87 09/03/2016 85.81 82.42 82.08 86.55 83.29 81.69 10/03/2016 97.78 98.04 96.01 100.86 100.96 97.98 11/03/2016 74.20 68.70 67.00 77.83 76.45 70.25 Lampiran 11. Perhitungan Ea pada fase generatif pada sawah Konvensional Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm Tanggal Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3 Ea (%) Generatif Konvensional 13/01/2016 86.83 84.50 82.73 89.94 87.67 85.34 14/01/2016 83.60 82.47 81.49 85.02 84.43 82.52 15/01/2016 79.22 78.98 77.17 80.95 79.61 79.60 16/01/2016 80.15 79.71 78.56 83.31 81.37 80.37 17/01/2016 78.37 78.31 77.34 83.13 82.15 79.22 18/01/2016 80.50 79.40 78.67 80.81 80.70 80.56 19/01/2016 81.50 81.63 78.10 83.12 83.02 80.68 20/01/2016 82.52 80.12 78.65 85.02 84.43 82.52 Lampiran 12. Perhitungan Ea pada fase generatif pada sawah SRI Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm Tanggal Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3 Ea (%) Generatif Konvensional 13/01/2016 104.84 103.76 102.38 107.91 104.59 102.95 14/01/2016 103.60 102.50 100.11 106.24 105.14 101.25 15/01/2016 99.50 97.75 95.41 102.22 99.41 96.42 16/01/2016 95.68 92.96 92.66 96.53 95.41 93.17 17/01/2016 90.06 87.65 85.47 94.25 91.33 88.54 18/01/2016 78.72 78.59 73.70 83.31 80.49 75.62 19/01/2016 98.05 97.65 97.36 99.63 99.20 98.47 20/01/2016 100.55 98.13 96.97 101.50 101.48 100.27
28 Lampiran 13. Data Curah Hujan Tahun 2015 Stasiun BMKG Dramaga Tanggal
Jumlah Curah Hujan (mm) JAN
PEB
MAR
APR
MEI
JUN
JUL
AGS
SEP
OKT
NOP
DES
1
20.8
17.8
3.2
48.0
-
-
0.0
94.6
-
-
11.8
67.8
2
5.1
47.7
-
0.2
-
0.2
-
16.7
-
-
24.6
4.5
3
1.8
3.8
0.4
19.5
0.3
63.1
-
-
-
-
24.2
-
4
23.7
-
2.6
0.2
26.4
8.2
-
-
-
-
5.5
14.5
5
21.1
43.2
0.0
1.4
0.3
-
-
-
-
-
16.8
22.6
6
0.4
21.0
-
9.2
1.0
-
0.0
-
-
-
1.3
20.3
7
0.9
27.8
2.4
10.6
11.0
0.0
-
-
-
-
-
81.5
8
-
1.7
0.0
23.6
0.3
-
-
0.0
-
30.5
40.0
9.5
9
-
16.9
2.6
3.4
-
0.0
0.2
-
3.2
1.4
155.8
3.2
10
-
88.8
6.7
13.7
5.6
8.4
-
-
-
4.0
21.2
70.8
11
-
-
-
-
-
4.8
0.0
-
0.0
-
-
15.9
12
0.0
0.0
23.4
-
-
-
-
-
-
-
47.2
69.7
13
10.1
-
5.8
-
-
2.1
-
0.1
-
-
47.4
7.8
14
10.3
14.1
-
0.0
51.4
-
-
-
-
5.9
51.2
0.8
15
0.4
-
32.7
1.5
14.2
3.0
-
-
-
5.2
-
0.1
16
7.5
1.1
14.6
2.8
1.8
-
-
-
-
-
50.5
4.7
17
7.8
1.4
8.4
16.3
49.4
-
-
-
-
-
62.4
12.4
18
3.8
1.0
-
-
0.2
-
-
-
-
-
0.0
4.9
19
0.4
39.5
-
0.4
-
-
-
-
-
-
3.9
5.7
20
23.6
1.1
23.2
5.3
4.6
-
-
1.0
-
-
-
12.2
21
6.7
0.0
68.0
0.0
-
-
-
-
-
-
3.4
28.1
22
13.8
-
62.6
0.4
-
-
-
-
16.0
-
37.6
6.1
23
15.3
-
21.4
-
-
-
-
-
-
-
36.7
-
24
1.1
-
26.5
3.7
-
0.4
-
-
-
-
-
6.3
25
4.0
-
19.0
36.6
-
-
-
-
-
-
72.6
-
26
28.6
-
0.2
4.8
-
-
-
-
2.4
-
89.4
-
27
1.0
-
1.6
-
35.4
-
0.8
-
-
-
9.6
7.0
28
0.3
18.7
42.0
4.5
-
-
-
-
4.2
-
-
48.0
29
9.6
0.0
-
-
-
0.6
-
53.5
-
26.4
21.6
30
24.5
-
-
0.0
-
-
-
-
0.1
15.4
33.0
31
8.0
7.0
-
-
JUMLAH
251
346
374
206
202
90
2
112
79
111
855
580
HH
27
18
24
23
15
10
6
5
6
7
24
27
-
63.5
0.7
29 Lampiran 14. Data Curah Hujan Tahun 2016 Stasiun BMKG Dramaga Jumlah Curah Hujan (mm) Tanggal JAN
PEB
MAR
APR
1
33.4
30.7
29.1
3.2
2
103.8
2.9
7.9
20.3
3
6.5
33.5
1.6
62.4
4
0.9
14.6
0.0
15.8
5
0.2
3.6
4.1
8.3
6
0.1
14.7
1.3
3.4
7
-
1.9
24.4
62.4
8
-
1.1
-
9
41.8
47.7
64.1
1.9
10
-
8.1
9.0
2.9
11
-
18.7
36.5
12
-
2.4
21.9
13
20.5
12.4
3.2
14
4.5
0.7
73.3
15
4.5
39.0
52.1
16
-
19.1
10.3
17
-
26.0
-
18
7.5
4.4
1.0
19
56.0
71.8
-
20
35.5
-
0.0
21
6.9
-
60.0
22
0.0
-
0.8
23
2.6
0.2
156.0
24
2.4
6.1
4.5
25
16.2
12.2
12.7
26
2.8
15.7
43.2
27
-
14.0
-
28
0.0
105.7
0.3
29
48.0
102.6
26.4
30
18.0
0.7
31
2.6
0.0
MEI
JUN
JUL
AGS
SEP
OKT
NOP
DES
-
JUMLAH
415
610
644
0
0
0
0
0
0
0
0
HH
23
26
27
0
0
0
0
0
0
0
0
30
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak ketiga dari Bapak Akhyar Ibrahim dan Ibu Cut Farida Hanum. Penulis lahir di Banda Aceh pada tanggal 7 Januari 1993. Pendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah atas penulis tempuh di Banda Aceh. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan strata satu di Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. Tahun 2014 penulis melanjutkan pendidikan strata dua di Program Studi Pengelolaan DAS Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.