15
3.
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei – Agustus 2011 di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat.
Danau Lido terletak pada koordinat posisi 106°48’26”-
106°48’50” BT dan 6°44’30”-6°44’58” LS. Penelitian dibagi ke dalam dua tahap, yaitu kegiatan di lapangan dan kegiatan di laboratorium. Kegiatan di lapangan meliputi penelitian pendahuluan dan penelitian utama, berupa pengambilan contoh air. Kegiatan di laboratorium berupa analisis contoh air. Analisis contoh air dilakukan di Laboratorium Fisika-Kimia Perairan, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2. Pelaksanaan Penelitian 3.2.1. Penentuan stasiun Penelitian dilakukan di bagian barat Danau Lido pada lokasi KJA (Keramba Jaring Apung). Hal ini disebabkan karena pada lokasi ini mengalami tekanan lebih besar dibanding lokasi lainnya dalam hal masukan bahan organik allochtonous berupa pelet (pakan ikan). Tingginya masukan bahan organik menyebabkan lokasi ini terancam mengalami kondisi anoksik pada hipolimnion sehingga terjadi akumulasi amonia. Berdasarkan hasil penelitian Amalia (2010), konsentrasi amonia di lokasi KJA Danau Lido lebih besar dibanding lokasi non KJA. Terdapat 14 KJA aktif milik petani dan satu KJA aktif milik Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP). Penelitian ini hanya dilakukan di satu unit KJA, yaitu KJA aktif milik Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP).
Lokasi
penelitian di Danau Lido terletak pada koordinat 106°48’42,6” BT dan 6°44’30,3” LS dan dapat dilihat pada Gambar 3.
16
Kartografer: Ayu Ervinia (C24070001) Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor 2011
Sumber Peta: BAKOSURTANAL
(Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional) Tahun 1996 dan 2003
Gambar 3. Peta lokasi penelitian di KJA Danau Lido 3.2.2. Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan kedalaman perairan yang akan diaerasi, yaitu lapisan hipolimnion. disajikan pada Lampiran 7.
Data hasil penelitian pendahuluan
Lapisan hipolimnion ditentukan dengan melihat
distribusi suhu perairan secara vertikal pada kedalaman 0-7 m, pada waktu pagi, siang, dan sore hari. Distribusi suhu secara vertikal hasil penelitian pendahuluan disajikan pada Gambar 4. Berdasarkan pada Gambar 4, dapat disimpulkan bahwa lapisan hipolimnion Danau Lido dimulai dari kedalaman 4-7 m. Perbedaan suhu pada kedalaman tersebut relatif kecil, yaitu 0,1 °C pada pagi hari dan 0,4 °C pada
17 siang hari. Hal ini sesuai dengan Birge (1897) in Cole (1983), yang menyatakan bahwa lapisan hipolimnion merupakan lapisan di bawah metalimnion, lebih dingin, dengan perbedaan suhu secara vertikal yang relatif kecil.
Gambar 4. Distribusi vertikal suhu di lokasi KJA Danau Lido Selain suhu, penentuan kedalaman aerasi juga mempertimbangkan lokasi dan waktu kritis dengan nilai konsentrasi oksigen terlarut di perairan sangat rendah. Untuk mendapatkan lokasi dan waktu kritis, dilakukan pengamatan konsentrasi oksigen terlarut selama 24 jam pada kedalaman 0-4,25 m.
Distribusi vertikal
oksigen terlarut disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Distribusi vertikal oksigen terlarut di lokasi KJA Danau Lido Berdasarkan pada Gambar 5, didapatkan informasi bahwa konsentrasi oksigen terlarut terendah pada kedalaman 4,25 m, yaitu sebesar 0,65-1,57 mg/l. Berbeda dengan lapisan di atasnya (0-1,6 m), memiliki kisaran konsentrasi oksigen terlarut
18 lebih besar, yaitu sebesar 3,84-7,67 mg/l.
Lapisan oksik perairan (konsentrasi
oksigen terlarut 3 mg/l) hanya sampai kedalaman kurang dari 3 m.
Hal ini
mengindikasikan pengaruh fotosintesis pada kedalaman lebih dari 3 m sangatlah kecil sehingga konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah. Meskipun berdasarkan hasil penelitian pendahuluan konsentrasi oksigen terlarut di kedalaman 3 m sudah kurang dari 3 mg/l, namun aerasi tidak memungkingkan dilakukan di kedalaman tersebut.
Hal ini disebabkan karena
pemasangan jaring KJA dilakukan hingga kedalaman 3 m. Oleh karena itu, aerasi akan dilakukan pada kedalaman lebih dari 3 m agar proses aerasi yang dilakukan tidak mengganggu ikan budidaya serta memudahkan dalam proses pengambilan contoh air.
Kedalaman yang dipilih adalah 4 m yang merupakan kedalaman
hipolimnion dengan konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah.
Selain itu,
berdasarkan hasil uji F diketahui bahwa konsentrasi oksigen terlarut di kedalaman 4 m tidak berbeda nyata pada berbagai waktu pengamatan (p >0,05).
Hal ini
menunjukkan pada kedalaman 4 m pengaruh fotosintesis pada waktu siang hari sangat kecil bahkan tidak ada. 3.2.3. Penelitian utama Penelitian utama dilakukan dengan menerapkan aerasi hipolimnion pada kedalaman 4 m. Keberadaan amonia akan diamati pada 5 titik yang menyebar secara horizontal dari titik outlet aerasi, yaitu pada jarak 0 m, 1,5 m, 3 m, 4,5 m, dan 8 m dari titik outlet aerasi yang searah dengan arah arus danau (Gambar 6). Penentuan titik pengamatan secara horizontal didasarkan pada hasil penelitian Nursandi (2011), yang menunjukkan bahwa sebaran oksigen terlarut pengaruh aerasi pada kedalaman 4 m berkurang pada jarak 8 m dari titik outlet aerasi. Untuk memudahkan dalam proses pengambilan contoh air, maka dipilih jarak pengamatan dengan selang 1,5 m. Sementara pengamatan pada jarak 8 m dilakukan untuk melihat keberadaan amonia yang tidak mendapat pengaruh areasi. Respon keberadaan amonia terhadap proses aerasi, tidak hanya dilihat dalam kaitannya dengan sebaran jarak horizontal. Akan tetapi, juga dilihat dari segi waktu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan tiga sistem pengamatan, yaitu pengamatan sebelum dilakukan aerasi, pengamatan ketika alat aerasi beroperasi, dan pengamatan pascaaerasi hipolimnion (Tabel 2).
19
150
Permukaan Perairan (0 m)
KJA (3 m)
Aerasi (4 m) 0m
1,5 m
3m
8m
4,5 m
Dasar Perairan
Gambar 6. Skema titik-titik pengamatan secara horizontal Tabel 2. Waktu pengamatan pada jarak horizontal Waktu Pengamatan Pra aerasi Mulai aerasi 5 jam aerasi 10 jam aerasi 5 jam pascaaerasi 10 jam pascaaerasi 15 jam pascaaerasi
Pukul 08.00 wib 09.00 wib 14.00 wib 19.00 wib 00.00 wib 05.00 wib 10.00 wib
3.2.4. Pengambilan contoh air Prinsip aerasi hipolimnion yang dikembangkan oleh Nursandi (2011) adalah pemindahan massa air dari lapisan tertentu yang memiliki oksigen rendah ke permukaan perairan dan memaparkan massa air di ruang terbuka.
Pemaparan
dimaksudkan agar terjadi penambahan oksigen dalam massa air yang terangkat melalui proses difusi udara dari atmosfer. Air yang telah mengalami kontak dengan udara dikembalikan ke lapisan hipolimnion. Proses aerasi hipolimnion disajikan pada Lampiran 3. Efektivitas dari proses aerasi hipolimnion sangat tergantung pada laju aliran (flow rate) dan volume air yang diaerasi. Semakin banyak air yang diaerasi, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya peningkatan konsentrasi oksigen terlarut di lapisan hipolimnion. Dalam penelitian ini, volume air yang
20 dialirkan ke talang aerasi adalah 120 liter selama 5 menit, sehingga didapatkan laju aliran (flow rate) air yang diaerasi sebesar 24 liter/menit. Nilai flow rate sangat tergantung pada ukuran talang dan kekuatan pompa.
Spesifikasi alat aerasi
hipolimnion disajikan pada Lampiran 4, dan perhitungan flow rate air yang diaerasi disajikan pada Lampiran 5. Pengambilan
contoh
air
pada
titik
pengamatan
dilakukan
dengan
menggunakan Van Dorn Water Sampler. Air contoh yang telah diambil selanjutnya dimasukkan ke dalam botol air contoh. Selanjutnya contoh air akan dianalisis di laboratorium.
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian disajikan pada
Lampiran 1. 3.2.5. Analisis contoh air Parameter utama yang diukur dalam penelitian ini adalah amonia (NH3-N), nitrit (NO2-N), nitrat (NO3-N), serta oksigen (O2). Parameter pendukung yang berpengaruh terhadap parameter utama juga turut diamati, yaitu suhu, pH, dan COD (Chemical Oxygen Demand). Analisis parameter penelitian dilakukan secara in situ dan ex situ sesuai dengan sifat parameter. Alat dan metode yang digunakan dalam analisis contoh air disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Alat dan metode yang digunakan dalam analisis contoh air parameter penelitian Parameter
Penanganan contoh
Satuan
Alat/Metode
°C
Termometer Hg/Pemuaian
In situ
pH meter/Potensiometrik Titrasi/modifikasi metode Winkler Titrasi/Potassium dikromat Spektrofotometer/Brucine Spektrofotometer/ Sulfanilamide Spektrofotometer/Phenate
In situ In situ*
Fisika Suhu Kimia pH DO
mg/l
COD Nitrat (NO3-N) Nitrit (NO2-N)
mg/l mg/l mg/l
Amonia (NH3-N)
mg/l
Sumber: *APHA (1989); APHA (2005)
Keterangan
Pendinginan Pendinginan Pendinginan
Ex situ Ex situ* Ex situ
Pendinginan
Ex situ
21 3.3. Analisis Data 3.3.1. Uji t Uji t berpasangan dilakukan untuk mengetahui perbedaan konsentrasi parameter akibat aerasi hipolimnion. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Walpole 1993): t= dengan:
t d d0 sd n
Hipotesis
d − d0 sd / n
= nilai t hitung, = rata-rata selisih nilai parameter (sebelum dan sesudah aerasi), = selisih nilai yang tidak diharapkan = 0, = simpangan baku selisih nilai parameter, dan = jumlah pasangan anggota sampel.
H0: µD = d0 (nilai parameter sebelum dan sesudah aerasi sama). H1: µD ≠ d0 (nilai parameter sebelum dan sesudah aerasi berbeda). Hipotesis nol akan ditolak pada taraf nyata α bila t > tα/2 (n-1) atau t < tα/2(n-1).
Nilai t hitung dan t tabel dapat diperoleh dengan menggunakan MS. Excel 2007 (Data Analysis t test paired two samples for means). 3.3.2. Persentase perubahan nilai parameter kualitas air Persentase perubahan konsentrasi parameter kualitas air dihitung untuk mengetahui besarnya perubahan yang terjadi pada saat awal (sebelum dilakukan aerasi hipolimnion) dan saat sesudah dilakukan aerasi hipolimnion, dengan rumus sebagai berikut: %Penurunan = dengan:
a−b a
× 100% dan %Peningkatan =
b−a b
× 100%
a = nilai parameter kualitas air sebelum dilakukan aerasi hipolimnion, b = nilai parameter kualitas air setelah dilakukan aerasi hipolimnion.
3.3.3. Rancangan acak kelompok (RAK) Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK). RAK digunakan untuk menganalisis pengaruh perlakuan dan kelompok terhadap parameter penelitian. Pada penelitian ini waktu pengamatan menjadi perlakuan dan jarak horizontal dari titik outlet aerasi menjadi kelompok.
22 Rumus umum rancangan acak kelompok adalah sebagai berikut (Mattjik & Sumertajaya 2000): Yij = μ + αi + βj + εij dengan: Yij = Nilai respon pada faktor perlakuan waktu pengamatan taraf ke-i, faktor kelompok jarak horizontal taraf ke-j, µ = Rataan umum populasi, αi = Pengaruh perlakuan waktu pengamatan taraf ke-i, βj = Pengaruh kelompok jarak horizontal taraf ke-j, dan εij = Pengaruh acak pada faktor perlakuan waktu pengamatan taraf ke-i, faktor kelompok jarak horizontal taraf ke-j. Analisis data menggunakan RAK umumnya disajikan dalam bentuk tabel sidik ragam (Tabel 4).
Pengaruh perlakuan lamanya aerasi terhadap perubahan
konsentrasi parameter penelitian yang terukur dapat diketahui dengan uji hipotesis antara lain: Pengaruh perlakuan H0: α1= α2= ...= αi=0 (perlakuan waktu pengamatan tidak berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter kualitas air), dan H1: paling sedikit ada satu i dengan αi≠0 (perlakuan waktu pengamatan berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter kualitas air). Pengaruh kelompok H0: β1= β2= ...= βi=0 (kelompok jarak horizontal tidak berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter kualitas air), dan H1: paling sedikit ada satu i dengan βi≠0 (kelompok jarak horizontal berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter kualitas air). Tabel 4. Tabel sidik ragam bagi RAK Derajat Bebas (dB) i-1
Jumlah Kuadrat (JK) JKP
Kuadrat Tengah (KT) KTP
Fhitung
F tabel
KTP/KTS
F (0,05;dBP;dBS)
Kelompok (jarak horizontal)
j-1
JKK
KTK
KTK/KTS
F (0,05;dBK;dBS)
Sisa
(i-1)(j-1)
JKS
KTS
Total
ij-1
JKT
Sumber Keragaman Perlakuan (waktu pengamatan)
23 Kesimpulan yang dapat diambil dari tabel sidik ragam di atas adalah sebagai berikut: (1)
Jika F hitung < F tabel maka gagal tolak H0, berarti perlakuan atau kelompok tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter pada selang kepercayaan 95%.
(2)
Jika F hitung > F tabel maka Tolak H0, berarti minimal ada satu perlakuan atau kelompok yang memberikan pengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter pada selang kepercayaan 95%. Untuk melihat perlakuan dan kelompok yang memberikan pengaruh berbeda
nyata, maka dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil). 3.3.4. Uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) Meskipun perbedaan dapat terlihat melalui hasil uji F, akan tetapi hal itu tidak dapat melihat perlakuan mana yang memberikan pengaruh terhadap parameter sehingga parameter memiliki karakteristik paling berbeda.
Perlu dilakukan uji
lanjutan untuk mengetahui hal tersebut, yaitu dengan uji beda rerata pengaruh perlakuan (Boer 2001). Uji BNT hanya dapat digunakan jika nilai F yang diperoleh berdasarkan tabel sidik ragam nyata. Nilai BNT dinyatakan dengan rumus:
BNTα = t α/2(dbS ) dengan:
BNT tα/2 KTS dBS n
2 KTS n
= beda nyata terkecil, = nilai t tabel pada taraf nyata α/2 (α = 0,05), = kuadrat tengah sisa, = derajat bebas sisa, dan = jumlah ulangan.
Kriterium uji BNT adalah 𝑑 = 𝑦𝑖. − 𝑦𝑗 . dengan:
𝑦𝑖. 𝑦𝑗 .
= rataan perlakuan ke-i, dan = rataan perlakuan ke-j.
Kriteria pengambilan keputusannya adalah jika beda absolut dari dua perlakuan (d) lebih besar dari nilai BNT. Maka dapat disimpulkan bahwa kedua perlakuan tersebut berbeda nyata pada taraf nyata α (tolak H0).
24 3.3.5. Regresi linear sederhana Regresi adalah hubungan dan pola hubungan antara dua macam peubah (acak) yaitu x sebagai peubah bebas (independent variable) dan y sebagai peubah tak bebas (dependent variable).
Pada penelitian ini akan dilakukan pendugaan terhadap
hubungan antara keberadaan amonia dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen, keberadaan amonia dipengaruhi oleh keberadaan bahan organik (COD), penurunan konsentrasi amonia dipengaruhi oleh lamanya waktu aerasi, serta peningkatan konsentrasi oksigen dipengaruhi oleh lamanya waktu aerasi. Model dugaan regresi (Walpole 1993) dapat dinyatakan sebagai berikut: y = a + bx dengan:
𝑦= Nilai dugaan yang dihasilkan garis regresi, a= intersep atau perpotongan dengan sumbu tegak, dan b= Kemiringan/gradien.
Dalam regresi linear sederhana dikenal istilah koefisien korelasi Pearson (r) yang digunakan untuk mengukur derajat hubungan dari dua variabel. Kisaran nilai r yang menyatakan kekuatan hubungan antar variabel disajikan pada Tabel 5. Koefisien korelasi Pearson dirumuskan sebagai berikut: n
r= [n dengan:
r X Y n
XY − ( X)( Y) 2
X 2 – ( X) ][n
2
Y 2 − ( Y) ]
= koefisien korelasi Pearson, = variabel bebas, = variabel terikat, dan = jumlah pasangan data.
Tabel 5. Interval nilai koefisien korelasi (r) dan kekuatan hubungan Interval Nilai Kekuatan Hubungan r = 0,0 Tidak ada 0,0 < r ≤ 0,2 Sangat rendah atau lemah sekali 0,2 < r ≤ 0,4 Rendah atau lemah tapi pasti 0,4 < r ≤ 0,7 Cukup berarti atau sedang 0,7 < r ≤ 0,9 Tinggi atau kuat 0,9 < r ≤ 1,0 Sangat tinggi atau kuat, dapat diandalkan r =1,0 Sempurna Sumber: Hasan (2004)