edisi I tahun 2014
Menyusun Babak Baru Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan: RPJMN 2015-2019 Koordinasi Pembangunan: Menciptakan Kebijakan Penataan Ruang dan Pertanahan yang Komprehensif Dr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi Staf Khusus Menteri/Sekretaris Tim Analisa Kebijakan Kementerian PPN/Bappenas
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai Rencana Induk Pembangunan: Lesson Learned dari Pelaksanaan RPJMN 2010-2014 Dr. Ir. Edi Effendi Tedjakusuma, MA
Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan
Mewujudkan Sinergitas Perencanaan Pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Prof. Dr. Ir. Hj. Winarni Monoarfa, MS Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Provinsi Gorontalo
ii
buletin tata ruang & pertanahan
dari redaksi Pelindung Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Penanggung Jawab Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Uke M. Hussein Nana Apriyana Rinella Tambunan Editor Gina Puspitasari Redaksi Hernydawati Aswicaksana Raffli Noor Astri Yulianti Idham Khalik Cindie Ranotra Riani Nurjanah Octavia Rahma Mahdi Chandrawulan Padmasari Gita Nurrahmi Dea Chintantya Desain & Tata Letak Dodi Rahadian Indra Ade Saputra Distribusi & Administrasi Sylvia Krisnawati Redha Sofiya Alamat Redaksi Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/ Bappenas Jl. Taman Suropati No. 2 Gedung Madiun Lt. 3 Jakarta 10310 telp: 021 - 392 66 01 email:
[email protected] website: http://www.trp.or.id Redaksi menerima kiriman tulisan/artikel dari luar, Isi berkaitan dengan penataan ruang dan pertanahan dan belum pernah dipublikasikan. Panjang naskah tidak dibatasi. Sertakan identitas diri, Redaksi berhak mengeditnya. Silakan kirim ke alamat di atas
Tahun 2014 akan menjadi tahun bersejarah bagi bangsa Indonesia. Tepatnya 9 Juli 2014 pesta demokrasi akan berlangsung untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2014-2019. Arah pembangunan Indonesia 5 tahun ke depan akan bergantung pada visi misi yang diusung Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Bagaimana visi misinya? dan siapa Presiden dan Wakil Presiden terpilih? Itu masih menjadi misteri. Namun yang pasti RPJMN 20152019 perlu dipersiapkan. Bersamaan dengan pelaksanaan pesta demokrasi, Kementerian PPN/Bappenas sebagai institusi yang diamanatkan untuk menyusun rencana pembangunan tengah menyusun Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RT RPJMN) 2015-2019. Arah pembangunan Indonesia 2015-2019 sudah diamanatkan RPJPN 2005-2025 (UU 17/2007) yakni memantapkan pembangunan secara menyeluruh melalui pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA, SDM, dan IPTEK. Akan menjadi tantangan tersendiri melakukan sinkronisasi antara RT RPJMN 2015-2019 dengan visi misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Karena masih hangatnya proses penyusunan rencana pembangunan nasional, Buletin Tata Ruang dan Pertanahan edisi kali ini mengangkat tema Menyusun Babak Baru Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan: RPJMN 2015-2019. Untuk mengingat kembali pentingnya koordinasi antarsektor dalam proses penyusunan rencana pembangunan, rubrik wawancara kali ini menghadirkan Dr. Dedi M Masykur Riyadi (Staf Khusus Menteri/Sekretaris Tim Analisa Kebijakan, Kementerian PPN/Bappenas). Wawancara ini menarik untuk disimak karena koordinasi menjadi hal yang sepertinya mudah tetapi tidak pada pelaksanaannya. Topik penting lainnya adalah hasil evaluasi RPJMN 2010-2014 yang menjadi input dalam perumusan RPJMN 2015-2019. Materi ini diulas oleh Dr. Edi Effendi Tedjakusuma (Deputi Evaluasi Perencanaan Pembangunan, Kementerian PPN/Bappenas). Seperti halnya pada edisi-edisi sebelumnya, pembahasan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan disajikan secara seimbang. Topik tata ruang mengupas sinergitas rencana pembangunan dengan rencana tata ruang yang menjadi upaya perwujudan pemerataan pembangunan yang berkeadilan. Topik ini dikupas tuntas oleh Prof. Dr. Winarni Monoarfa (Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Provinsi Gorontalo). Begitu pula topik pertanahan, mengetengahkan diskusi mendalam bersama Prof. Maria Sumardjono dan Dr. Budi Prayitno dalam pemilihan alternatif kebijakan pengelolaan pertanahan. Untuk edisi kali ini, Rubrik Ringkas Buku, Koordinasi dan Kajian diisi dengan materi Politik Hukum Agraria, Rancangan Kebijakan Pertanahan dalam Kerangka Regulasi, dan Tinjauan Kebencanaan Perencanaan Tata Ruang Kawasan Strategi Nasional (KSN) Jabodetabekpunjur. Tidak lupa sosialisasi peraturan bidang tata ruang dan pertanahan, serta berbagai kegiatan penting yang telah dilakukan sejak awal Tahun 2014 sampai dengan pertengahan Tahun 2014 tetap kami hadirkan. Selamat Membaca!
edisi I tahun 2014
daftar isi 2
Menyusun Babak Baru Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan: RPJMN 2015-2019 Koordinasi Pembangunan: Menciptakan Kebijakan Penataan Ruang dan Pertanahan yang Komprehensif Dr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi Staf Khusus Menteri/Sekretaris Tim Analisa Kebijakan Kementerian PPN/Bappenas
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai Rencana Induk Pembangunan: Lesson Learned dari Pelaksanaan RPJMN 2010-2014
4
Dr. Ir. Edi Effendi Tedjakusuma, MA Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan
Mewujudkan Sinergitas Perencanaan Pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
7
Prof. Dr. Ir. Hj. Winarni Monoarfa, MS Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Provinsi Gorontalo
9
Kebijakan Baru Dalam Pengelolaan Pertanahan Nasional 2015-2019 Prof. Dr. Maria S. W. Sumardjono, SH, MCL, MPA Guru Besar Universitas Gajah mada Dr. Budi Prayitno Dosen Universitas Gajah mada
11 Tinjauan Kebencanaan: Perencanaan Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (KSN) Jabodetabekpunjur
1
daftar isi
16
sosialisasi peraturan
19
koordinasi trp
21
ringkas buku
24
melihat dari dekat
27
dalam berita
buletin tata ruang & pertanahan
1
wawancara
Koordinasi Pembangunan:
Menciptakan Kebijakan Penataan Ruang dan Pertanahan yang Komprehensif
Dr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi Staf Khusus Menteri/Sekretaris Tim Analisa Kebijakan Kementerian PPN/Bappenas
K
ebijakan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan merupakan kebijakan dasar yang bersifat lintas sektor, sehingga tidaklah mudah untuk mengintegrasikan seluruh kebijakan sektor, dari mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pengendaliannya. Proses koordinasi menjadi sangat penting untuk menghasilkan kebijakan tata ruang dan pertanahan yang padu. Untuk mendalami esensi koordinasi dalam penyusunan kebijakan penataan ruang dan pertanahan. Redaksi mewawancarai Dr.Ir. Dedi M. Masykur R, Staf Khusus Menteri PPN yang diberi tugas menjadi Sekretaris Tim Analisa Kebijakan Kementerian PPN/Bappenas. Setelah tahun 1976-1979 menjadi peneliti muda di bidang kehutanan, beliau berkarya di Bappenas sejak tahun 1979; pernah menjabat Kepala Biro (Karo) Penyiapan dan Analisis Proyek Pembangunan; Karo Pembangunan Dati I dan Transmigrasi; dan Karo Kewilayahan dalam periode 1993-2001; kemudian menjabat Deputi Bidang Pembangunan Regional dan Sumber Daya Alam (2001-2002); Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (2002-2005); Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan (20052007); Staf Ahli Menteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Ekonomi dan Pembiayaan Pembangunan; dan Staf Ahli Menteri Bidang Revitalisasi Pertanian, Perdesaan dan Agroindustri (2007-2010). Sempat bertugas sebagai Plt Deputi Menteri PPN Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan (2009-2010). Dari pengalamannya berkiprah di Bappenas, banyak pembelajaran berharga yang beliau bagikan. Berikut ulasan pokok-pokok pemikiran, pengalaman, dan pembelajaran yang beliau tuturkan. Saat ini, Kementerian PPN/Bappenas tengah menyusun RPJMN kerja dalam menyusun Rancangan Teknokratik RPJMN 2015-2019. 2015-2019, termasuk Bidang Tata Ruang dan Pertanahan. Menurut Nantinya, proses koordinasi ini akan berpengaruh pada kualitas Bapak, bagaimana peran koordinasi dalam proses penyusunan kebijakan yang diformulasikan. Hal mendasar yang diperlukan Kebijakan Tata Ruang dan Pertanahan? untuk menciptakan keberhasilan koordinasi adalah kesadaran akan Koordinasi memiliki peran strategis dalam tata kelola pembangunan, termasuk dalam bidang tata ruang dan pertanahan. Dalam berbagai kegiatan yang umumnya sensitif terhadap ruang, proses pengaturan ruang membutuhkan koordinasi yang baik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, serta masyarakat sehingga pembagian peran dan kewenangan harus jelas, sejak tahap perencanaan dan terutama pada tahap implementasi. Selain itu, koordinasi harus mampu memberikan ruang untuk mencapai kesepahaman dan kesepakatan sehingga membuahkan solusi atau keputusan bersama.
Dengan peran koordinasi yang demikian strategis, bagaimana seharusnya proses koordinasi tersebut berjalan, baik di tataran internal maupun eksternal dengan seluruh mitra kerja? Dalam bidang perencanaan pembangunan, sudah menjadi tugas pokok dan fungsi Kementerian PPN/Bappenas untuk mengoordinasikan dan merumuskan kebijakan. Tahun ini, secara rutin dan intens, Kementerian PPN/Bappenas melakukan koordinasi baik di tataran internal maupun eksternal dengan seluruh mitra
kebutuhan berkomunikasi dan hubungan kerjasama yang saling menguntungkan. Kebijakan merupakan hasil komunikasi dan koordinasi pihakpihak terkait untuk mencapai suatu tujuan bersama. Inisiatif berkomunikasi dimulai dari proses koordinasi di lingkungan internal. Kementerian PPN/Bappenas memiliki mitra kerja K/L di seluruh direktorat-direktoratnya, dan sudah sepatutnya proses koordinasi mulai dibangun antardirektorat. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan sebagai leading player penyusunan kebijakan tata ruang dan pertanahan, mengonsultasikan dan mensinkronkan rancangan kebijakan yang tengah disusun dengan direktorat sektor terkait untuk mendapatkan masukan sehingga menghasilkan kebijakan yang padu.
Berkenaan dengan penyusunan rancangan teknokratik RPJMN, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan banyak melalui konsultasi dengan direktorat terkait di Bappenas. Bagaimana pandangan Bapak mengenai hal ini? Apa yang telah dijalankan Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan tersebut merupakan langkah yang tepat. Proses koordinasi ini membuka peluang penyempurnaan terhadap rancangan kebijakan sehingga lebih komprehensif, dapat diterima oleh sektor-sektor terkait, serta lebih implementatif. Proses yang berlaku dua arah dan bersifat iteratif akan menghasilkan kebijakan bersama yang mengakomodasi dan diakomodasi oleh seluruh sektor terkait. Dengan sikap terbuka dan mau mendengar pendapat pihak-pihak yang berkepentingan, akan lebih mudah mencapai konsensus. Memang akan ada dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan yang dihasilkan. Namun kebijakan yang telah dipilih ini merupakan kebijakan yang terbaik secara sosial,yang telah mempertimbangkan segala resikonya.
Bagaimana koordinasi internal berpengaruh terhadap koordinasi eksternal? sumber: dokumentasi Direktorat TRP
2
buletin tata ruang & pertanahan
Koordinasi internal yang telah dibangun dengan baik, akan memudahkan proses koordinasi eksternal. Koordinasi eksternal
dilakukan Kementerian PPN/Bappenas secara horizontal dan vertikal, baik dengan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, serta unsur perwakilan masyarakat. Di bidang tata ruang, penyusunan kebijakan sepatutnya melalui pertemuan koordinasi dengan berbagai K/L terkait. Koordinasi dilakukan agar kebijakan tata ruang yang dihasilkan lebih komprehensif dan implementatif, mengingat ruang diisi oleh berbagai sektor dan terikat oleh berbagai peraturan. Dengan kondisi saat ini, yang masih terdapat tumpang tindih, kerancuan atau bahkan pertentangan dalam peraturan, maka melalui proses koordinasi perlu disusun daftar kriteria atas prinsip dasar tata ruang yang harus diikuti oleh semua pihak. Secara vertikal, kebijakan tata ruang yang telah disusun di tingkat pusat harus dapat diimplementasikan di daerah. Untuk itu, kebijakan ini harus lebih fleksibel ketika sudah diturunkan ke daerah, dengan syarat adanya ketentuan fleksibilitas yang masih dapat diterima. Mengingat posisinya, Kementerian PPN/ Bappenas berperan pada level kebijakan, yang nantinya akan menjadi acuan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Koordinasi dilakukan dalam rangka menentukan prinsip dasar, tujuan, serta kriteria penentuan kebijakan. Untuk mengimplementasikannya, Kementerian PPN/Bappenas juga perlu mengenali pembagian peran dan kewenangan di tingkat lokal, memberikan solusi kebijakan terhadap permasalahan sensitif dan strategis dalam pembangunan, serta memastikan bahwa pelaksanaan kebijakan pusat terkoordinasi dan berjalan baik di daerah. Sebagaimana halnya dalam penentuan alokasi ruang, perlu diidentifikasi terlebih dahulu kebijakan dan penggunaan ruang di tingkat nasional yang juga telah mempertimbangkan kebutuhan provinsi, kabupaten, dan kota. Penggunaan ruang di tingkat makro akan menjadi dasar penentuan penggunaan ruang di tingkat mikro, dengan ketentuan bahwa kapasitas dan perangkat di tingkat mikro harus dipenuhi. Sistem koordinasi yang telah dibentuk dengan baik, harus pula didukung dengan sumber daya manusia yang baik. Pekerjaan dilakukan oleh setiap individu dengan penuh tanggung jawab di setiap tingkatnya. Misal, dalam menyusun lampiran pidato (Lampid) Presiden yang merupakan bentuk pertanggungjawaban pemerintah, harus dikerjakan dengan serius, detail, dan diperiksa berulang kali untuk memastikan tidak ada kesalahan.
Sebenarnya apa kendala yang turut menghambat proses koordinasi? Tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa kendala yang menghambat proses koordinasi. Kecerdasan dan kepintaran tidak serta merta menjamin koordinasi dapat terlaksana dengan baik. Padatnya pekerjaan masing-masing bidang kerap membuat waktu berkomunikasi dan berkoordinasi dengan bidang lain semakin sempit. Kondisi seperti ini tentu menghambat pelaksanaan koordinasi, apalagi jika ditambah dengan tingkat kemauan berkoordinasi dan berkomunikasi yang rendah.
komunikasi yang tampaknya sepele tetapi memperlancar jalannya koordinasi.
Dewasa ini, permasalahan cenderung kian kompleks dan berbagai kepentingan turut memengaruhi proses penyusunan kebijakan. Dalam kondisi demikian, bagaimana tantangan koordinasi perencanaan pembangunan di masa mendatang dan apa pesanpesan Bapak untuk menghadapi tantangan tersebut? Semakin besar tantangan ke depan, kesadaran berkomunikasi harus ditingkatkan agar proses koordinasi lebih efektif. Upaya koordinasi harus menjadi peluang untuk mengisi ketidakmampuan yang ada, juga memperdalam keilmuan dan kemampuan tentang berbagai sektor sehingga alternatif kebijakan lebih variatif. Agar rencana tata ruang menjadi alat efektif bagi seluruh sektor untuk melangsungkan pembangunan secara berkelanjutan, kebijakan dan program tata ruang harus dapat diimplementasikan hingga ke tingkat mikro (zoning). Untuk menghasilkan formulasi kebijakan yang berkualitas, penyusun kebijakan harus yakin bahwa apa yang dipikirkan benar dan terbaik yang mungkin dilakukan karena sudah melalui koordinasi dan pengujian (peer review), dan juga yakin adanya kemungkinan perbaikan dengan mendengar dan mengakomodasi gagasan pihak lain. Dengan terjalinnya konsensus akan memudahkan proses koordinasi. Untuk itu, penting membuka peluang atas gagasan mitra. Di sisi lain, dengan kemajuan teknologi penulisan, sudah sewajarnya narasi kebijakan dapat disajikan lebih ringkas untuk memudahkan pemahaman mitra. Dalam konteks internal, berkurangnya kewenangan Kementerian PPN/Bappenas menjadi tantangan tersendiri. Namun, harusnya tidak menjadi kendala karena keberhasilan kebijakan tergantung pada kemampuan sumber daya manusia di dalamnya untuk mengembangkan ide dan gagasan. Ide dan gagasan dapat ditawarkan, dimatangkan dan diakomodasi dalam RPJMN sebagai suatu alat yang baik untuk mencapai keberlanjutan pembangunan. Selain itu, Kementerian PPN/Bappenas masih memiliki kemewahan dengan keberadaan seluruh mitra kerja K/L. Ini harus dikelola dengan baik melalui koordinasi yang efektif dan memastikan bahwa anggaran sudah dialokasikan secara benar pada rencana yang telah disusun. Ini juga yang merupakan intisari pentingnya kesatuan antara perencanaan dan penganggaran. Pada penghujung wawancara, Dedi Masykur berpesan bahwa dalam proses perumusan kebijakan tata ruang dan pertanahan perlu digarisbawahi bahwa koordinasi yang dibutuhkan tidak hanya sebatas dengan Kementerian/Lembaga mitra kerja yang menjadi pengguna program-program yang dikawal oleh Direktorat TRP tetapi juga antara Kementerian PPN/Bappenas dengan seluruh sektor dan pihak terkait [rt/gp/ay].
Bagaimana kiat mengatasi kendala dalam koordinasi? Menyikapi kendala dalam koordinasi, para penyusun kebijakan seharusnya mampu menentukan prioritas pekerjaannya secara tepat agar tetap dapat meluangkan waktu untuk berkoordinasi dalam pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya mendesak dan strategis. Selain itu, dibutuhkan kesiapan mental dalam membangun komunikasi sehingga koordinasi yang dibangun akan berkelanjutan dan proses pengambilan keputusan dan pencapaian konsensus dapat berjalan lebih cepat. Caranya tidak selalu harus formal, tapi melalui pembicaraan ringan. Kuncinya adalah komunikasi. Terlebih dahulu menghubungi pihak-pihak yang akan diundang dalam rapat, sebelum pengiriman undangan secara formal, merupakan langkah
Bersama Tim Pewawancara sumber: dokumentasi Direktorat TRP
buletin tata ruang & pertanahan
3
artikel
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai Rencana Induk Pembangunan: Lesson Learned dari Pelaksanaan RPJMN 2010-2014 Dr. Ir. Edi Effendi Tedjakusuma, MA Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan
M
erujuk pada tahapan pembangunan RPJPN 2005 - 2025 yang ditetapkan dengan UU Nomor 17 Tahun 2007, saat ini Rencana Pembangunan Nasional telah memasuki tahap kedua, yakni pelaksanaan RPJMN 2010 - 2014. Untuk mencapai visi pembangunan Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur, RPJMN pada tahap kedua ini berada pada tahapan memantapkan penataan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), membangun kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dan memperkuat daya saing perekonomian. Pada tahun 2012 dan menjelang akhir tahun 2014 ini, Kementerian PPN/Bappenas melakukan evaluasi pelaksanaan RPJMN 2010-2014 untuk mengetahui pencapaian berbagai sasaran pembangunan yang telah ditetapkan, permasalahan dan kendala yang dihadapi, serta alternatif tindak lanjut yang diperlukan dalam perencanaan pembangunan periode berikutnya. Hasil evaluasi ini akan menjadi bahan masukan RPJMN 2015 – 2019 yang juga sedang disusun pada tahun ini. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) merupakan penjabaran visi, misi, dan program Presiden dan Wakil Presiden yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 dan menjadi arah pembangunan Indonesia selama lima tahun. RPJMN memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga (K/L) dan lintas K/L, kewilayahan, dan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RPJMN 2010-2014 ini selanjutnya menjadi pedoman bagi K/L dalam menyusun Rencana Strategis K/L (Renstra-KL) dan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menyusun/ menyesuaikan rencana pembangunan daerahnya masing-masing dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan nasional. RPJMN kemudian dijabarkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang akan menjadi pedoman bagi penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) setiap tahunnya. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Peran RPJMN dalam Membangun Indonesia RPJMN merupakan rencana pembangunan selama lima tahun.
Sesuai dengan amanat UU No. 17 Tahun 2007, tahapan pelaksanaan merupakan arahan dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang terdiri atas empat tahapan, yakni: (i) RPJMN 2005 – 2009; (ii) RPJMN 2010 – 2014; (iii) RPJMN 2015 – 2019; (iv) RPJMN 2020 – 2025. Masing-masing tahapan mempunyai skala prioritas dan strategi pembangunan yang berkesinambungan dengan skala prioritas dan strategi pembangunan pada periode sebelumnya. Perencanaan yang disusun dalam RPJMN menjadi arahan untuk menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahunnya. RKP adalah dokumen perencanaan Nasional untuk periode 1 (satu) tahun, dan merupakan penjabaran dari RPJMN. RPJMN yang telah disusun memiliki targettarget tertentu sesuai dengan skala prioritas yang telah ditentukan. Target yang hendak dicapai harus dimasukkan ke dalam RKP. Jika ada target-target yang belum tercapai dapat dilanjutkan ke RPJM berikutnya atau masuk ke dalam RKP berikutnya pula. Kaitan RPJMN, RPJMD, dan Renstra RPJMN disusun sebagai arahan pembangunan 5 tahun ke depan, dan menjadi acuan penyusunan Renstra K/L, RKP, dan Rencana Kerja (Renja) K/L di tingkat nasional, serta RPJMD di tingkat lokal. Seluruh rencana tersebut harus sinkron satu sama lain agar tujuan perencanaan pembangunan tercapai dan agar dalam pelaksanaannya antara wilayah dengan sektor tidak mendapat kendala yang berarti. Dalam proses sinkronisasi, yang harus menjadi perhatian adalah kebijakan dan sasaran yang ditetapkan Prioritas Nasional (PN) Pada periode RPJMN 2010 – 2014, PN dibagi ke dalam 11 prioritas nasional dan 3 (tiga) prioritas lainnya. Sebelas prioritas nasional, meliputi (1) reformasi birokrasi dan tata kelola; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) penanggulangan kemiskinan; (5) ketahanan pangan; (6) infrastruktur; (7) iklim investasi dan iklim usaha; (8) energi; (9) lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; (10) daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pasca konflik; serta (11) kebudayaan, kreativitas dan inovasi teknologi. Sementara 3 (tiga) prioritas lainnya meliputi: bidang politik, hukum, dan keamanan; bidang perekonomian; dan bidang kesejahteraan rakyat. Kebijakan bidang tata ruang termasuk dalam PN (6), sementara bidang pertanahan termasuk dalam PN (4), (5), (6), (7), (8), dan (10).
sumber: dokumentasi Direktorat TRP
4
buletin tata ruang & pertanahan
Sumber: Buku Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014 oleh Kementerian PPN/ Bappenas
sebuah forum yang membahas dan mensosialisasikan RPJMN ke daerah, sehingga Pemerintah Daerah dapat mendiskusikan RPJMDnya, serta mensinkronkan dengan RPJMN.
Pelaksanaan Penataan Ruang dalam UU No. 26 Tahun 2007 Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, pembahasan mengenai sinkronisasi antara rencana tata ruang dengan rencana pembangunan tertuang pada Bab VI mengenai “Pelaksanaan Penataan Ruang”, baik mengenai RTRWN, RTRW Provinsi, Kab/Kota. Di dalam pasal-pasalnya, disebutkan bahwa: 1. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), baik itu di tingkat Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota. 2. Rencana Tata Ruang Wilayah kemudian menjadi pedoman untuk penyusunan RPJP serta RPJM, baik itu di tingkat Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota, serta dalam mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar sektor.
Rencana Pembangunan dan RTRW Dalam penyusunan RPJMN, integrasi rencana pembangunan dengan rencana tata ruang dapat dituangkan ke dalam Buku I RPJMN. Dalam buku tersebut terdapat lima poin utama yang menjadi pembahasan, di antaranya: (i) pertumbuhan; (ii) kemiskinan; (iii) kesenjangan; (iv) pemerataan; dan (v) keberlanjutan. Jika dikaitkan dengan Bidang Tata Ruang, maka pertumbuhan dan keberlanjutan menjadi hal krusial yang harus diperhatikan. Untuk pertumbuhan, sektor pertanian, pertambangan, infrastruktur, dan pemukiman adalah empat hal yang terkait dengan penggunaan ruang. RTRW juga wajib mencantumkan alokasi ruang dan peruntukannya, sehingga tidak terjadi tumpang tindih di lapangan, dan dapat mengurangi konflik antar ruang. Untuk itu, dalam pelaksanaan di lapangan, Bidang Tata Ruang wajib memberikan arahan dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang di dalam RPJMN. Untuk mendukung hal tersebut, RTRW setiap propinsi maupun Kabupaten/Kota harus tersusun dengan baik. Di masa mendatang, diharapkan seluruh propinsi maupun Kabupaten/Kota di Indonesia telah memiliki RTRW dan perda yang menaunginya.
sektor terhadap RPJMN yang berdimensi kewilayahan sehingga arahan pembangunan wilayah dan sektor sinkron. Kebijakan dan program ini dibahas dalam forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) yang dilaksanakan setiap tahun. Apabila RPJMD yang disusun tidak mengacu pada RPJMN, dikhawatirkan program yang disusun nantinya akan mengalami kendala dan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, dan tujuan perencanaan pembangunan nasional tidak tercapai. Pada forum tersebut diharapkan baik RPJMN, RPJMD, dan Renstra K/L sudah saling berkesinambungan.
Tata Ruang juga diharapkan dapat memberikan feedback kepada sektor, misalnya terkait dengan permasalahan perumahan. Tata Ruang dapat memberikan inisiatif penggunaan ruang vertikal untuk perumahan, sehingga perumahan kumuh dapat dikurangi. Walaupun pada tahun 90-an dirasa tidak fleksibel, ide ini dapat ditawarkan pada kondisi saat ini. Terlebih penggunaan ruang di beberapa lokasi di Indonesia terbatas. Namun demikian, program tersebut harus didukung dengan penyusunan RPJMN dalam Bidang Tata Ruang yang jelas dan tegas. Dengan arahan yang jelas, jika terjadi konflik di daerah, maka penegakan hukum di pemerintah daerah harus lebih tegas.
Tidak menutup kemungkinan, RKP dengan Renja K/L tidak sinkron (terdapat deviasi), seperti yang terjadi pada tahun 2013, diketahui adanya deviasi antara RKP dengan Rencana Kerja K/L sebesar 28,9%. Hal ini sangat dimungkinkan, misalnya karena saat pembahasan mengenai Renja K/L di DPR, Kementerian PPN/ Bappenas tidak ikut serta, sehingga dapat terjadi perubahan pada target, sasaran, program dan kepastian alokasi anggaran Renja K/L, tapi RKP tetap. Mengenai kondisi ini, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan keputusan yang membahas proses mekanismenya sehingga deviasi dapat diatasi. Untuk tahun ini, akan dibentuk juga
Tabel 1. Rekapitulasi Notifikasi Prioritas Nasional PN
Prioritas Nasional
Jumlah Indikator
Jumlah Notifikasi Merah
Kuning
Hijau
1
Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola
10
4
4
2
2
Pendidikan
6
0
0
6
3
Kesehatan
11
7
2
2
4
Penanggulangan Kemiskinan
5
0
1
4
5
Ketahanan Pangan
6
2
5
1
6
Infrastruktur
14
2
3
9
7
Iklim Investasi dan Iklim Usaha
9
1
3
5
8
Energi
7
2
0
5
9
Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana
10
0
1
9
10
Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan Pasca Konflik
4
0
4
0
11
Kebudayaan, Kreativitas dan Inovasi Teknologi
7
0
0
7
12
Politik, Hukum, dan Keamanan
12
2
0
10
13
Perekonomian
15
0
6
9
14
Kesejahteraan Rakyat
Jumlah Total
15
0
1
14
133
20
30
83
Keterangan: Sudah tercapai Perlu kerja keras Sangat sulit tercapai
Sumber: Evaluasi implementasi RPJMN 2010-2014 oleh Direktur Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah, Kementerian PPN/ Bappenas
buletin tata ruang & pertanahan
5
Capaian Pelaksanaan RPJMN 2010-2014 Selama dua setengah tahun pelaksanaan RPJMN, indikator pembangunan saat ini lebih sejahtera dan demokratis dibandingkan kondisi awal pelaksanaan RPJMN 2010-2014. Namun, terdapat indikasi kesenjangan yang sedikit melebar, dan penegakan hukum juga pemberantasan korupsi masih menghadapi kendala. Pada RPJMN periode II, belum dilakukan evaluasi secara menyeluruh, detail, dan komprehensif. Namun dari hasil diskusi yang telah dilakukan, terdapat beberapa program yang sejalan dengan RPJMN dan berjalan dengan baik, ada pula yang berjalan kurang baik karena terkendala beberapa faktor. Namun demikian, sebagian besar RPJMD telah sinkron dengan RPJMN. Secara umum, pencapaian sasaran PN menunjukkan hasil yang cukup baik. Sebagian besar pencapaian PN diperkirakan mencapai target tahun 2014 yang ditetapkan. Dari 14 PN, 10 PN diperkirakan mencapai target yang ditetapkan, sementara 4 PN lainnya masih memerlukan kerja keras untuk mencapai target tahun 2014. Bidang kesehatan menjadi PN yang sulit mencapai target, salah satunya disebabkan rendahnya akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan yang berdampak pada masih tingginya jumlah kematian ibu dan anak (lihat Tabel 1). Harapan untuk RPJMN 2015-2019 Saat ini, Kementerian PPN/Bappenas dalam proses penyempurnaan rencana teknokratis RPJMN 2015-2019 yang nantinya akan disinkronkan dengan visi misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Sesuai dengan kerangka RPJPN 2005-2025, RPJMN 20152019 berada pada tahap memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan Capaian Pelaksanaan RPJMN 2010 – 2014 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan merupakan bagian dari prioritas nasional infrastruktur, dengan indikator inventarisasi pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T) untuk bidang pertanahan; dan jumlah rencana tata ruang yang telah disinkronkan program pembangunannya untuk bidang tata ruang. Capaian penting dalam pelaksanaan pembangunan Bidang Tata Ruang antara lain: (1) telah ditetapkan empat Perpres Rencana Tata Ruang (RTR) Pulau yaitu RTR Pulau Sumatera, RTR Pulau Jawa-Bali, RTR Pulau Kalimantan, dan RTR Pulau Sulawesi; (2) telah ditetapkan lima Perpres RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN) yaitu RTR Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur), RTR Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (Sarbagita), RTR Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar (Mamminasata), RTR Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang dan Karo (Mebidangro), dan RTR Kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK); dan (3) telah ditetapkan 25 Perda RTRW Provinsi, 291 Perda RTRW Kabupaten dan 75 Perda RTRW Kota yang disusun dengan merujuk pada UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan, seluruh rencana tata ruang yang telah dihasilkan tersebut telah disinkronkan dengan program pembangunan melalui proses persetujuan substansi yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN). Di Bidang Pertanahan, target infrastruktur didukung oleh kegiatan inventarisasi P4T. Kegiatan ini adalah upaya awal dalam
6
buletin tata ruang & pertanahan
kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan IPTEK. Oleh karena itu, di masa mendatang, diharapkan peran Kementerian PPN/Bappenas dapat diperkuat, tidak hanya sebagai badan perencanaan, tapi juga berperan dalam perencanaan alokasi dana dan evaluasi seluruh perencanaan yang dilakukan oleh K/L. Dapat juga dibentuk badan khusus yang dapat melakukan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan kerja, sehingga antara rencana dengan implementasinya sesuai dan berjalan dengan efektif dan efisien. Hal ini penting dilakukan sehingga antara RPJMN, Renstra K/L, serta dokumen perencanaan lainnya dapat sinkron satu sama lain. Selain itu, diharapkan Tata Ruang dapat memberikan feedback kepada sektor. Dengan semakin terbatasnya ruang, Tata Ruang harus dapat menciptakan ide dan gagasan kebijakan yang dapat ditawarkan pada kondisi saat ini. Seperti yang diusung salah satu calon Presiden 2014 adalah program pelarangan konversi lahan. Program tersebut harus didukung dalam RPJMN Bidang Tata Ruang secara jelas dan tegas sehingga tidak terjadi konflik dan penegakan hukum lebih tegas, baik di pusat maupun daerah.
sumber: dokumentasi Direktorat TRP
melakukan penataan di bidang pertanahan, melalui pendataan bidang-bidang tanah dan pemilik tanah yang dilakukan secara sistematis dengan basis wilayah desa. Keluaran kegiatan ini adalah basis data bidang-bidang tanah pada wilayah yang bersangkutan sehingga dapat diperoleh informasi pertanahan menyeluruh yang dapat mendukung proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Pada Tahun 2013, Badan Pertanahan Nasional menargetkan kegiatan inventarisasi P4T sebanyak 198.000 bidang yang tersebar di seluruh wilayah provinsi dan telah terealisasi sebanyak 118.417 bidang. Kegiatan ini akan sulit mencapai target sebagaimana telah ditetapkan RPJMN 2010-2014. Untuk tahun 2014, BPN menargetkan inventarisasi P4T sebanyak 142.400 bidang. Selain itu, pengadaan tanah untuk pembangunan akan sulit tercapai pada tahun 2014. Hambatan dalam proses pengadaan tanah ini terutama terjadi dalam upaya kesepakatan harga ganti rugi atau pembelian tanah antara pemerintah atau badan usaha swasta dengan masyarakat pemilik tanah. Untuk itu, pada Tahun 2012 Pemerintah bersama DPR telah menyusun UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Kemudian peraturan turunan yang menjadi amanat UU No. 2 Tahun 2012 tersebut juga telah disusun pada tahun yang sama yaitu Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah. Sebagai kelanjutannya pada Tahun 2013 dilakukan sosialisasi peraturan perundangan tersebut baik ditingkat pusat maupun daerah [na/gp/ay]. Sumber: Lampiran Pidato Presiden (LAMPID) 2014 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan
artikel
Mewujudkan Sinergitas Perencanaan Pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Prof. Dr. Ir. Hj. Winarni Monoarfa, MS Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Provinsi Gorontalo
M
ewujudkan pembangunan yang merata dan berkeadilan, meningkatkan kemajuan dalam bidang ekonomi, meningkatkan kualitas hidup masyarakat dalam aspek sosial budaya, serta mempertahankan keseimbangan ekologi dan kelestarian lingkungan hidup merupakan gambaran dari tujuan pembangunan yang sebenarnya cukup sederhana namun nyatanya membutuhkan waktu dan upaya yang cukup besar untuk mewujudkannya. Hal tersebut merupakan definisi yang selama ini didengung-dengungkan sebagai pembangunan berkelanjutan untuk mencapai tujuan pembangunan yang bukan hanya untuk generasi saat ini tapi juga yang akan datang, dengan dimensi yang bukan hanya untuk wilayah tertentu secara spasial tapi juga yang memiliki konektivitas dan ketergantungan satu sama lain. Sejalan dengan pendapat Mitlin dan Satterhwaite dalam Yunus (2005) yang mengemukakan bahwa ada 4 (empat) dimensi yang harus dipenuhi untuk menentukan keberlanjutan suatu pola pembangunan, yaitu: intrageneration dimension, intergeneration dimension, intrafrontier dimension dan interfrontier dimension. Birokrasi pemerintahan, baik yang berada di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan hingga ke tingkat desa/kelurahan, merupakan komponen yang memegang peranan penting untuk mewujudkan hal ini. Masyarakat hanya dapat menyampaikan aspirasi dan keinginannya, tapi yang dapat menuangkan dalam bentuk rencana, merealisasikan dalam bentuk program dan kegiatan serta melakukan pengawasan dan pengendalian adalah pemerintah. Pemerintahlah yang harus mampu mengatur ritme dan pola pelaksanaan pembangunan sehingga kita mengenal mekanisme perencanaan pembangunan yang bersifat bottom up dan top down. Perencanaan pembangunan yang benar-benar lahir dari aspirasi dan keinginan masyarakat maupun perencanaan yang lahir dari kemampuan teknis aparatur pemerintah untuk mengisi celah kekosongan yang tidak diusulkan melalui arus perencanaan bawah. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya mekanisme perencanaan pembangunan yang dimulai dari musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, regional pulau hingga musrenbang di tingkat nasional. Terlepas dari mekanisme perencanaan pembangunan yang dilakukan setiap tahun, hal mendasar yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan bentuk kolektivitas pengalokasian program dan kegiatan yang berkesinambungan dari tahun ke tahun adalah menyusun rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) 20 tahun dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) untuk 5 tahun. RPJP sangat penting karena merupakan bentuk perencanaan program pembangunan yang akan menjaga agar kolektivitas program secara makro dapat berkesinambungan, tidak putus oleh terjadinya proses pergantian pimpinan pemerintahan dalam waktu lima tahunan. Kolektivitas perencanaan jangka panjang ini akan menjaga dan memberikan antisipasi agar pemanfaatan anggaran dapat dialokasikan lebih fokus pada skema makro sehingga akan lebih efektif untuk mencapai tujuan secara bertahap. Namun demikian untuk memberikan ruang gerak bagi pimpinan pemerintahan yang terpilih setiap lima tahun, dibuatlah mekanisme penyusunan dokumen RPJM. Sebenarnya RPJM merupakan dokumen penjabaran yang lebih rinci dari dokumen RPJP, karena sudah menuangkan bentuk program dan kegiatan lebih rinci yang merupakan manifestasi dari visi dan misi pimpinan pemerintahan terpilih. RPJM menjadi dokumen rujukan untuk mengukur target dan capaian pemerintahan dalam waktu 5 (lima) tahunan yang dirinci kembali setiap tahunnya dalam dokumen Rencana Kerja
Pemerintah (RKP). Dalam menyusun RPJM, pimpinan pemerintahan terpilih dimintakan merujuk dokumen RPJP untuk selanjutnya membuat inovasi dan kiat tertentu melalui program tahunan agar target 5 (lima) tahunan tersebut dapat tercapai. Dengan demikian RPJP yang berlaku selama 20 tahun tersebut, akan memiliki metode dan cara pendekatan yang mungkin berbeda dalam setiap 5 (lima) tahun sesuai visi dan misi pimpinan pemerintahan terpilih namun masih dalam kerangka makro yang sudah diatur dalam RPJP. Dokumen RPJP yang dijabarkan lagi dalam bentuk dokumen RPJM sudah tentu memiliki acuan maupun target yang jelas dan terukur secara lengkap untuk dicapai dalam periode waktu yang ditentukan. Namun demikian masih terdapat beberapa aspek yang belum bisa tercakup dalam perencanaan pembangunan tersebut. Keterpaduan berbagai aspek dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan seringkali belum optimal dilakukan sehingga belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Terkadang produk perencanaan yang baik, tidak selalu menghasilkan penataan ruang yang baik. Seringkali suatu daerah maju secara ekonomi, tapi ternyata menimbulkan dampak negatif yang cukup tinggi dari aspek sosial budaya bahkan dampak negatif yang berlebihan terhadap kondisi lingkungan hidup. Hal inilah yang seringkali tidak dapat dikenali wujud pengendalian pembangunannya, karena program hanya berorientasi kepada pencapaian kinerja dari sisi teknis dan pencapaian target realisasi keuangan suatu program tanpa melihat dari matra spasial/keruangan. Padahal hampir secara keseluruhan program kegiatan yang berwujud fisik bahkan beberapa yang non fisik itu, akan sangat terkait dengan aspek kewilayahan dan penataan ruang. Aspek ruang merupakan aspek yang lebih penting diperhatikan oleh perencana ruang atau wilayah. Eksistensi ruang bukan hanya menumbuhkan nuansa fisik terhadap warga kota, tetapi juga dapat menumbuhkan aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, perubahan fungsi bangunan sebagai bagian dari proses perkembangan kota memiliki urgensi yang sangat mendasar dalam penataan kota. Untuk menjaga keseimbangan perencanaan makro pembangunan yang sudah dituangkan dalam RPJP dan RPJM, sangat dibutuhkan peranan yang sangat strategis dari Dokumen Perencanaan Penataan Ruang baik dalam bentuk Rencana Umum Tata Ruang maupun Rencana Rinci Tata Ruang. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya aspek pengendalian yang paling utama dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan, akan sangat terkait dengan aspek pengendalian pemanfaatan ruang.
buletin tata ruang & pertanahan
7
Dalam hal ini, Budiharjo (1997) menjelaskan bahwa salah satu kendala penataan ruang adalah lemahnya mekanisme pengendalian ruang. Jika disandingkan dengan dokumen RPJP dan RPJM, maka jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) akan sebanding dan setara dengan jangka waktu dokumen RPJP. Namun demikian, untuk mengakomodir dalam batas-batas tertentu akan dinamisnya perubahan perencanaan, maka dimungkinkan dokumen rencana tata ruang untuk direvisi setiap 5 (lima) tahun. Dalam tataran implementasinya di Provinsi Gorontalo, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2007 – 2027 sudah dijabarkan dalam RPJMD untuk 5 (lima) tahun pertama 2007-2012. Saat ini sudah berproses untuk RPJMD tahap 5 (lima) tahun kedua 2012 – 2017. Ini merupakan kunci kesinambungan program jangka menengah 5 (lima) tahunan yang dijabarkan dari dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang, yang diatur sedemikian rupa bersamaan dengan jangka waktu suksesi (pergantian kepemimpinan) Kepala Daerah setiap lima tahun juga. Hal ini sangat bermanfaat untuk menghindari terjadinya perubahan perencanaan jangka menengah pada pertengahan periode 5 (lima) tahun jika terjadi pergantian kepala daerah, karena dapat dipastikan setiap pergantian pimpinan daerah paling tidak terdapat pembeda dengan visi dan misi sebelumnya. Dengan terdapatnya mekanisme penyusunan RPJMD diawal masa pemerintahan baru, maka visi dan misi RPJMD juga dapat segera disesuaikan dengan program unggulan yang diusung oleh pasangan pimpinan pemerintahan baru dimaksud. Dokumen RTRW sebenarnya bukan hanya menuangkan program dan kegiatan dalam matra spasial pada peta dengan skala tertentu, tapi juga dilengkapi dengan lampiran Indikasi Program Lima Tahunan yang menuangkan secara makro perencanaan program dan kegiatan pembangunan seperti halnya dalam dokumen RPJP dan RPJM. Aspek perencanaan spasial maupun perencanaan dalam indikator program lima tahunan RTRW inilah yang harus selalu bersinergi dengan program perencanaan pembangunan dalam RPJP dan RPJM. Kesesuaian antara matriks program pembangunan dalam RPJPD, RPJMD dan RTRW harus memiliki keterhubungan satu sama lain. Dalam tataran implementasinya di Provinsi Gorontalo, untuk mewujudkan hal tersebut maka dapat dicermati dalam matriks RPJPD dan RPJMD jika disandingkan dengan matriks Indikasi Program Lima Tahunan pada RTRW Provinsi Gorontalo tahun 2010 – 2027. Pada dasarnya RTRW Provinsi Gorontalo baru bisa ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) pada tahun 2011, namun prinsip utama perencanaan spasial RTRW dimaksud sebenarnya sudah dirancang dan disusun sejak tahun 2007 bersamaan dengan penyusunan RPJPD sehingga garis besar program dan kegiatan sudah memiliki keterkaitan sejak awal. Oleh karena itu, sejak awal penyusunan Tim Penyusun RPJPD dan Tim Penyusun RTRWP maupun Tim Penyusun RPJMD, selalu melakukan konsolidasi untuk mencermati kesesuaian antara dokumen-dokumen perencanaan dimaksud. Keberadaan dari Sekretaris Daerah (Sekda) yang berfungsi sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang juga berperan sebagai Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) memiliki peran dan fungsi strategis terhadap sinergitas Bappeda, Dinas PU dan Dinas Keuangan Daerah serta SKPD lainnya sehingga ketiga dokumen tersebut memiliki garis kebijakan yang saling bersesuaian dan mendukung satu sama lain. Dalam implementasi program RPJPD dan RPJMD, pada dasarnya yang akan selalu menjadi permasalahan adalah ketidaksesuaian program dengan penyelenggaraan penataan ruang daerah.
8
buletin tata ruang & pertanahan
Sering timbul permasalahan antara lain adanya persepsi yang berbeda dalam pemanfaatan ruang/kawasan yang tidak sesuai peruntukan ruang sebagaimana yang telah diatur dalam Perda No. 4 Tahun 2011 tentang RTRW Provinsi Gorontalo sehingga untuk meningkatkan kualitas dan efektifitas penyelenggaraan penataan ruang di daerah perlu dilakukan upaya sinkronisasi dan harmonisasi perda RTRW kepada unsur pemerintah kabupaten/ kota dan masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya. Dalam upaya tersebut melalui BKPRD telah dilakukan serangkaian langkah kebijakan antara lain : 1. Koordinasi penyelenggaran penataan ruang secara rutin melalui kunjungan langsung ke kabupaten/kota untuk mengakomodir dan mengantisipasi dampak dinamika perubahan wilayah yang begitu cepat, sehingga segera dapat diantisipasi sedini mungkin alternatif langkah penyelesaiannya; 2. Meningkatkan pemahaman dan kualitas SDM di bidang Perencanaan Pembangunan dan Penataan Ruang, baik melalui sosialisasi maupun diseminasi perda dan perundang-undangan terkait perencanaan pembangunan dan penataan ruang; 3. Mendorong lahirnya peraturan penjabaran yang lebih rinci, baik Peraturan Daerah (Perda), maupun Peraturan Kepala Daerah (Perkada), melalui bimbingan teknis, supervisi dan fasilitasi percepatan Perda, misalnya tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan RTR Kawasan Strategis Provinsi dan Kab/Kota. Hal inilah yang akan menjadi barometer dalam pengendalian perencanaan pembangunan secara spasial di daerah; 4. Melakukan asistensi dan pengawasan secara terpadu terhadap kebijakan dan regulasi, misalnya Gubernur dapat menunda rekomendasi RTRW maupun Rencana Rinci/ RDTR kabupaten/ kota jika belum diintegrasikan dengan dokumen RPJMD dan RPJPD maupun dokumen RTRW Provinsi; 5. Provinsi Gorontalo juga menjadi pilot project Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk kegiatan institutional building for the integration of nasional region yang merupakan wujud kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)-Bappenas dan World Bank yang diikuti oleh peserta dari Bappeda Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo dari aspek kesesuaian integrasi program perencanaan pembangunan. Salah satu keunggulan dari dokumen perencanaan jangka panjang dan menengah yang bersinergi dengan dokumen rencana tata ruang, adalah lahirnya program dan kegiatan yang memiliki sinergitas dan interkoneksi wilayah perencanaan sehingga akan terhindar dari disparitas wilayah. Keunggulan lainnya adalah terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam, sehingga pemanfaatannya bukan hanya untuk generasi saat ini tapi juga menyiapkan cadangan pemanfaatan untuk generasi yang akan datang. Jika hal tersebut sudah dapat dilakukan, maka siapapun pimpinan pemerintahan yang terpilih akan selalu memiliki acuan dan arahan yang lebih fokus, bukan hanya dari segi arahan makro program pembangunan tapi juga arahan secara spasial/keruangan untuk perencanaan, pelaksanaan maupun pengendalian program pembangunan. Daftar Pustaka - Yunus, Hadi Sabari, 2005A. Manajemen Kota, Pustaka Pelajar, Yogyakarta - Budiharjo, Eko. 2005. Tata Ruang Perkotaan, PT. Alumni, Bandung
Prof. Dr. Maria S. W. Sumardjono, SH, MCL, MPA Guru Besar Universitas Gajah Mada
artikel
Kebijakan Baru Dalam Pengelolaan Pertanahan Nasional 2015-2019 Dr. Budi Prayitno Dosen Universitas Gajah Mada
B
erbagai kasus pertanahan yang terjadi selama ini menunjukan bahwa sistem pengelolaan pertanahan nasional saat ini masih perlu penyempurnaan. Selama ini, Pemerintah telah menjalankan beberapa kegiatan strategis di bidang pertanahan, tapi target pencapaian kegiatan tersebut belum terpenuhi sesuai rencana. Untuk itu, Kementerian PPN/Bappenas melalui Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional (RAN) mengusulkan beberapa kebijakan baru pengelolaan pertanahan untuk masuk dalam Rancangan Teknoraktik RPJMN 2015-2019, diantaranya (i) pembentukan kamar khusus pertanahan di Pengadilan Negeri; (ii) pembentukan bank tanah; dan (iii) reforma agraria (diskresi kasus tanah transmigrasi). Dalam rangka pematangan usulan kebijakan tersebut, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan (TRP) melakukan diskusi mendalam dengan pakar di bidang pertanahan, yaitu Prof. Maria Sumardjono (MS) dan Dr. Budi Prayitno (BP). Pembentukan Kamar Khusus Pertanahan di Pengadilan Negeri Dalam beberapa tahun ini banyak muncul pemberitaan mengenai kasus pertanahan, baik itu konflik antarindividu, antara individu dengan instansi, maupun antarinstansi. Upaya penyelesaian kasus tersebut telah dilakukan melalui mediasi maupun lembaga peradilan. Namun, seringkali putusan yang dihasilkan tidak dapat dieksekusi karena satu kasus pertanahan dapat diselesaikan di peradilan umum baik pidana dan perdata maupun di Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga memiliki beberapa putusan yang berbeda. Terkait dengan persoalan tersebut, maka dalam draf RPJMN 2015-2019 diusulkan pembentukan Kamar Khusus Pertanahan di Pengadilan Negeri untuk membatasi yurisdiksi kasus pertanahan yang terjadi sehingga penyelesaian kasus pertanahan tidak berlarut-larut. Mengenai hal tersebut, Prof. Maria Sumardjono berpendapat bahwa kasus pertanahan bersifat multi dimensi, lintas sektor dan aspeknya sangat luas sehingga penyelesaiannya tidak dapat dikategorikan ke dalam satu kategori khusus, baik itu pidana, perdata, maupun tata usaha negara. Praktek di lapangan yang seringkali satu kasus pertanahan memiliki beberapa putusan yang berbeda dikarenakan pengajuan penyelesaian kasus tersebut tidak dalam waktu yang bersamaan sehingga memungkinkan kasus tersebut diputus secara pidana, perdata, dan tata usaha negara. Pada saat ini, proses pengambilan keputusan oleh Hakim hanya didasarkan pada materi yang diajukan sehingga satu kasus hanya diputus berdasarkan pidana, perdata, atau tata usaha negara sesuai yang diminta pemohon. Kemudian untuk pengajuan kembali kasus yang sama (banding) idealnya dilakukan pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi bukan pengadilan yang sama sehingga satu kasus tidak mempunyai beberapa keputusan yang berbeda.
sumber: dokumentasi Direktorat TRP
Kemudian Prof. Maria Sumardjono menyampaikan bahwa pada dasarnya, dibawah pengadilan umum dapat dibentuk kekhususan yang sifatnya dilihat dari kompetensinya, seperti pada pengadilan lalu lintas yang di bawahnya dibentuk pengadilan tindak pidana ringan. Untuk membentuk pengadilan khusus atau kamar khusus (special chambers) pertanahan kewenangan ada di Mahkamah Agung, dan yang menjadi dasar pembentukannya adalah halhal yang sifatnya strategis/khusus, penting, dan memiliki unsur pelanggaran HAM sehingga bila ingin membentuk pengadilan khusus, maka harus jelas kekhususannya misalnya, pengadilan anak, pengadilan HAM, pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor), dan pengadilan pajak. Contoh kasus pengadilan khusus pertanahan adalah pengadilan khusus pertanahan di Afrika Selatan yang pembentukannya khusus dikarenakan adanya kasus apartheid yang tidak dapat diputuskan oleh Komisi Penyelesaian Kasus. Oleh karena itu, beliau berpendapat untuk penyelesaian kasus pertanahan di Indonesia sebaiknya melalui pembentukan komisi penyelesaian kasus terlebih dahulu karena pembentukan pengadilan khusus/kamar khusus pertanahan di Pengadilan Negeri belum tentu efektif menyelesaikan kasus pertanahan yang ada. Pembentukan Bank Tanah Latar belakang usulan pembentukan bank tanah adalah berlarut-larutnya upaya pembebasan tanah untuk pembangunan kepentingan umum sehingga tidak ada kepastian waktu penyelesaiannya. Dengan diterbitkannya Undang-Undang (UU) No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum serta Peraturan Presiden (Perpres) No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum serta perangkat hukum turunannya, permasalahan kepastian dari sisi waktu pengadaan sebenarnya telah teratasi karena peraturan tersebut telah mengatur kerangka waktu pengadaan tanah maksimal. Namun demikian, peraturan tersebut belum dapat mengantisipasi permasalahan kepastian dari sisi perencanaan pengadaan tanah secara umum karena dalam peraturan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing instansi pemerintah yang membutuhkan tanah. Sehingga untuk melengkapi peraturan tersebut diusulkan pembentukan bank tanah yang dapat bertindak mewakili negara untuk melakukan praktik pencadangan tanah. Prof. Maria Sumardjono berpendapat bank tanah yang akan dibentuk harus bertujuan untuk mengendalikan harga tanah dan sifatnya lebih pada bank tanah umum yang pengadaan tanahnya dapat dimanfaatkan oleh seluruh sektor pembangunan yang
buletin tata ruang & pertanahan
9
memerlukan. Selain itu, bank tanah tersebut harus jelas bentuknya, lembaganya, sumber daya manusianya, mekanisme operasionalnya dan sebaiknya tidak disangkutkan di BPN tetapi lembaga nasional sendiri (national board) dan sifatnya berjenjang/bertingkat (nasional, provinsi, kab/kota). Kemudian SDM yang mengelola lembaga bank tanah juga sebaiknya berasal dari lintas K/L. Secara operasional, bank tanah nasional diperlukan untuk pengadaan tanah yang sifatnya lintas wilayah, sedangkan bank tanah yang sifatnya tidak lintas wilayah dapat dilakukan oleh daerah itu sendiri. Dr. Budi Prayitno menilai lembaga bank tanah yang akan dibentuk harus mempertimbangkan dua hal yaitu kepentingan rakyat (welfare) dan kepentingan pembangunan berdaya saing (market) sehingga bank tanah harus menampung dua kepentingan tersebut. Hal ini dikarenakan di beberapa tempat tidak mungkin melakukan freeze harga lahan di lahan komersial. Secara umum model bank tanah dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu : 1) bank tanah khusus (skala kecil dan berorientasi pasar); dan 2) bank tanah umum (skala umum dan tidak berorientasi profit). Praktik bank tanah yang ada yaitu di United States of America (USA) memakai konsep bank tanah khusus, yang cenderung pro kapitalis, sedangkan beberapa negara di Eropa memakai konsep bank tanah umum. Pada dasarnya, untuk menaungi pembentukan bank tanah diperlukan adanya pergeseran administratif pertanahan ke arah government based approach, dan menggunakan skema pengembangan wilayah. Pada praktiknya, pembentukan bank tanah ini dapat mencontoh model bank perumahan yang berada dibawah naungan Bank BTN. Sependapat dengan Prof. Maria Sumardjono, Dr. Budi Prayitno berpendapat usulan pembentukan lembaga bank tanah juga sebaiknya dalam bentuk badan nasional (national board) dan berada di luar wilayah kewenangan kerja BPN (tidak dibawah BPN). Namun, beliau menilai sebaiknya lembaga bank tanah hanya ada di level nasional jangan di level provinsi/kab/kota. Secara regulasi, dalam Rancangan UU Pertanahan, Bank Tanah akan dibentuk dalam Peraturan Pemerintah. Namun sebaiknya dibentuk dalam wadah UU agar lebih kuat (BP). Regulasi juga harus diperketat untuk mengatur mengenai kelembagaan bank tanah, yang juga mempertimbangkan UU Otonomi Daerah. Salah satu contoh praktik untuk Bank Tanah dapat dipelajari dari Philipina. Berdasarkan hasil diskusi dengan kedua pakar tersebut maka dapat diambil beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan bank tanah, meliputi: (i) luas tanah yang dapat dibeli, (ii) mekanisme pengambilan tanah (seluruh atau sebagian), (iii) cara perolehan asal tanah (dari mekanisme jual-beli atau tanah terlantar), (iv) mekanisme
pendanaan (usulan mekanisme masuk kas keluar kas); dan (v) apakah tanah yang telah dibeli akan dijual kembali atau hanya disewakan. Selain itu, sebaiknya isu reklamasi juga dapat masuk ke dalam bagian pengaturan bank tanah karena belum ada payung hukum yang mengaturnya hingga saat ini.
sumber: dokumentasi Direktorat TRP
Diskresi Kasus Tanah Transmigrasi Konsep Reforma Agraria merupakan restrukturisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T). Pelaksanaan transmigrasi bukan merupakan bagian dari Reforma Agraria karena institusi BPN sifatnya hanya memberikan legalisasi aset. Terdapat perbedaan paradigma mengenai transmigrasi saat ini dan dahulu. Saat ini, arah transmigrasi adalah pada pendekatan pembangunan wilayah sedangkan pada masa lalu sifatnya memindahkan penduduk dari tempat padat ke tempat yang masih jarang penduduknya. Saat ini, masih terdapat ± 300.000 bidang tanah transmigran yang belum disertipikatkan karena tanahnya masih bermasalah. Permasalahan sertipikat tanah transmigrasi terjadi dikarenakan tanahnya berada dalam kawasan hutan. Oleh karena itu, Kementerian PPN/Bappenas perlu mendorong kejelasan kawasan hutan melalui kegiatan tata batas kawasan hutan, terutama setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012 tentang Pengukuhan Hutan Adat. Kasus diskresi tanah transmigran tujuannya sangat baik dan sebaiknya diselesaikan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB). Namun, penyelesaian kasus tanah transmigran melalui diskresi ini harus hati-hati dan terlebih dahulu perlu dilakukan identifikasi ulang dan survei lapangan [rn/uk]. Jumlah Bidang Tanah Bersetipikat Tahun 2001-2013 Berdasarkan hasil rekapitulasi laporan kantor pertanahan, jumlah bidang tanah bersertipikat meningkat setiap tahunnya. Peningkatan signifikan terjadi pada 2005-2007, yakni sebesar 5.723.588 bidang tanah. Peningkatan ini didorong dengan adanya program sertipikasi tanah, antara lain: 1) Larasita; dan 2) Sertifikasi Tanah Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona); Petani; Nelayan; UKM; Transmigrasi; dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Sumber: www.bpn.go.id.
10
buletin tata ruang & pertanahan
I
ndonesia merupakan negara dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi. Erupsi Gunung Sinabung, ibu kota tergenang air, dan kabut asap di wilayah Riau adalah sebagian kecil bencana yang terjadi di negara ini yang tidak hanya menimbulkan kerugian harta benda namun juga menimbulkan korban jiwa. Perspektif mitigasi bencana dalam konsep pembangunan menjadi keharusan, salah satunya melalui Rencana Tata Ruang (RTR). Kajian berikut menyediakan perspektif mitigasi bencana pada KSN Jabodetabekpunjur dengan menggambarkan tingkat risiko bencana ke dalam Rencana Tata Ruang (RTR). 2) tsunami; 3) banjir; 4) tanah longsor; 5) letusan gunung api; 6) Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang gelombang ekstrim dan abrasi; 7) cuaca ekstrim; 8) kekeringan; Penanggulangan Bencana mengamanatkan penataan ruang 9) kebakaran hutan dan lahan; 10) kebakaran gedung dan dalam konteks penanggulangan bencana. Tujuan utamanya adalah permukiman; 11) epidemi dan wabah penyakit; 12) gagal teknologi; untuk mengurangi risiko bencana dengan menyerap hasil kajian dan 13) konflik sosial. Peta ini menjadi peta utama yang digunakan risiko bencana ke dalam RTR, penetapan standar keselamatan, dalam kajian. dan penerapan sanksi terhadap pelanggar. Demikian pula, UU KSN Jabodetabekpunjur yang ditetapkan melalui Peraturan No.26/2007 tentang Penataan Ruang yang mengamanatkan Presiden (Perpres) No. 54/2008 menjadi studi kasus yang dipilih penataan ruang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya dengan pertimbangan saat ini sedang ditinjau-ulang oleh Badan meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), dan keberadaan penghidupan. Provinsi DKI Jakarta sebagai bagian wilayah Jabodetabekpunjur Kajian risiko adalah identifikasi dan pengenalan terhadap sumber yang merupakan pusat pemerintahan negara, pusat bisnis dan bahaya dan potensi risiko bencana sebagai informasi geospasial, perekonomian, pusat pelayanan jasa, daya dukung dan daya yang bermanfaat bagi penyusunan RTR. Nantinya, RTR ini tampungnya telah terlampaui. digunakan sebagai dokumen kebijakan spasial yang menggunakan pendekatan manajemen risiko bencana. Pada Tahun 2012, BNPB telah menyelesaikan kajian dan peta risiko bencana untuk 33 provinsi di Indonesia. Peta tersebut memiliki skala yang sama dengan skala peta yang ditetapkan untuk menyajikan pola dan struktur ruang pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yaitu skala 1:250.000. Jenis bencana yang diidentifikasi mencapai 13 jenis, meliputi: 1) gempa bumi;
Profil Kerawanan, Kerentanan, dan Risiko Bencana di Kawasan Jabodetabekpunjur Secara umum, tingkat kerawanan bencana relatif tinggi pada hampir seluruh kabupaten/kota di kawasan Jabodetabekpunjur, dengan tingkat kerawanan tertinggi pada kabupaten Bogor. Berikut profil kerawanan bencana Kab/Kota di Kawasan Jabodetabekpunjur (Tabel 1).
Tabel 1 Profil Kerawanan Bencana Kabupaten/Kota di Kawasan Jabodetabekpunjur No. I 1 2 3 II 1 2 3 4 5 6 III 1 2 3 4 5 6
Kabupaten/Kota Wilayah Hulu Kabupaten Bogor Kabupaten Cianjur Kota Bogor Wilayah Tengah Kabupaten Tangerang Kabupaten Bekasi Kota Tangerang Kota Depok Kota Bekasi Kota Tangerang Selatan Wilayah Hilir Kota Jakarta Timur Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Utara Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Pusat Kepulauan Seribu
Nilai / Skor
Tingkat Kerawanan
Peringkat Nasional
Peringkat Jabodetabekpunjur
129 118 61
Tinggi Tinggi Tinggi
5 11 202
1 2 11
87 81 65 46 41 15
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang
63 78 173 321 357 441
4 6 10 12 14 15
90 84 80 79 77 42
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
48 70 84 92 104 352
3 5 7 8 9 13
Sumber: Indeks Rawan Bencana Indonesia (IRBI) BNPB, 2011
buletin tata ruang & pertanahan
11
kajian
Tinjauan Kebencanaan: Perencanaan Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (KSN) Jabodetabekpunjur
Gambar 1 Potensi Kerugian Fisik dan Ekonomi Provinsi (Triyun Rp)
Sumber: Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, 2012-2016
Indikasi kerawanan bencana ini dapat digunakan dan diolah untuk mempersiapkan kemampuan kawasan di masa mendatang dalam menghadapi bencana dan dapat membantu fokus perencanaan tata ruang wilayah dalam mitigasi bencana, terutama untuk menyelamatkan pusat-pusat kegiatan nasional maupun sub-sub pusat kegiatan agar tetap tumbuh sebagaimana direncanakan. Kerentanan adalah suatu kondisi dari masyarakat yang mengarah pada ketidakmampuan menghadapi ancaman bahaya, yang ditentukan oleh faktor bahaya dan kondisi yang rentan. Kondisi ini termasuk kehidupan sosial manusia, ekonomi wilayah, struktur fisik, dan lingkungan. Potensi kerugian akibat bencana banjir sangat tinggi di Provinsi Banten. Sementara di Provinsi DKI Jakarta, potensi kerugian fisik dan ekonomi hampir merata untuk 6 jenis bencana mencapai 1.148 trilyun Rupiah per bencana. Di Provinsi Jawa Barat, potensi kerugian fisik dan ekonomi hampir merata untuk 6 jenis bencana dengan rata-rata mencapai 734 trilyun rupiah per bencana. Selengkapnya pada Gambar 1. Tabel 2 Urutan Jenis Bencana Risiko Tinggi di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten No. 1 2 3 4 5 6
Jenis Bencana Gempabumi Tsunami Banjir Tanah Longsor Letusan Gunung Api Gelombang Ekstrim dan Abrasi Cuaca Ekstrim Kekeringan
7 8 9 10 11 12 13
Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran Gedung dan Permukiman Epidemi dan Wabah Penyakit Gagal Teknologi Konflik Sosial
DKI Jakarta 5 9 3 8 1
Jawa Barat 3 4 1 2 11 7
Banten
2 -
6 10 8
2 8 6
-
-
-
4
9
4
6 7
5 12
7 9
5 12 3 10 11 1
Sumber: Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, 2012-2016
12
buletin tata ruang & pertanahan
Berdasarkan hasil kajian tingkat risiko bencana di masingmasing provinsi, dapat diketahui urutan jenis bencana tertinggi risikonya hingga terendah (lihat Tabel 2). Banjir menjadi bencana berisiko tinggi pada Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Sementara, Provinsi DKI dan Banten mempunyai tingkat risiko bencana yang tinggi untuk gelombang ekstrim dan abrasi. Selain itu, berdasarkan analisis kecenderungan kejadian bencana dalam Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), maka bencana yang kecenderungannya naik setiap tahun di setiap provinsi adalah banjir. Potensi dampak berbagai jenis bencana tersebut akan menimbulkan kerugian dan dampak yang tidak kecil bagi perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat Jabodetabekpunjur dalam kurun waktu 5 tahun. Dengan diketahuinya kemungkinan dan besaran kerugian, maka fokus dalam perencanaan tata ruang wilayah provinsi maupun kabupaten/kota menjadi lebih efektif. Upaya mitigasi bencana dapat tepat sesuai dengan masing-masing bencana dan kebutuhan biaya bagi upaya pengurangan risiko bencana tersebut. Analisis RTR KSN Jabodetabekpunjur dari Perspektif Risiko Bencana Ketinggian lokasi di atas permukaan air laut menjadi faktor penentu dalam menggolongkan kawasan menjadi hulu, tengah dan hilir. Bencana berisiko tinggi untuk Jabodetabekpunjur terbagi menurut karakteristik wilayah tersebut, yaitu: • Hulu: gempa bumi, tanah longsor, letusan gunung api, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, kebakaran gedung dan permukiman, epidemi dan wabah penyakit, serta kegagalan teknologi; • Tengah: gempa bumi, banjir, cuaca ekstrim, kekeringan, kebakaran gedung dan permukiman, epidemi dan wabah penyakit, serta kegagalan teknologi; • Hilir: banjir, gelombang ekstrim dan abrasi, epidemi dan wabah penyakit, konflik sosial, serta kegagalan teknologi. Metode yang digunakan dalam analisis potensi risiko bencana ini adalah melalui tumpangsusun peta ancaman, kerentanan, dan risiko bencana dengan peta struktur dan pola ruang KSN Jabodetabekpunjur. Kemudian diperoleh zona-zona yang signifikan terkena dampak bencana pada KSN Jabodetabekpunjur, seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Bencana Risiko Tinggi di Kawasan Jabodetabekpunjur Berdasarkan Ketinggian Wilayah
Sumber: Hasil Kajian “Perencanaan Tata Ruang KSN: Tinjauan Kebencanaan, Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, Direktorat TRP, Kementerian PPN/Bappenas
Berdasarkan analisis risiko bencana terhadap peta struktur dan pola ruang Jabodetabekpunjur, diketahui bahwa bencana banjir berisiko tinggi terjadi pada bagian utara, yang meliputi zona Budidaya (B1,B6, B7) dan Non budidaya (N1). Termasuk pada 3 titik Pusat Perkotaan (Jakarta Pusat, kota Tangerang, kota Bekasi) (lihat gambar 3). 1. Kawasan Barat Tingkat risiko kawasan ini sedang cenderung rendah akibat kepadatan infrastruktur yang masih rendah, terutama untuk mendukung area sekitar bandara (B2 dan B5). Risiko cenderung meningkat apabila ada pembangunan infrastruktur strategis (misalnya pembangunan jalan tol dan rel kereta api ke arah Serpong atau Kalideres) atau konversi dari perumahan hunian sedang, perdagangan dan jasa, industri padat tenaga kerja (B2), maupun pertanian lahan basah beririgasi teknis (B5) ke perumahan hunian padat, perdagangan dan jasa, industri ringan non-polutan dan berorientasi pasar (B1). Hal tersebut juga berpotensi meningkatkan risiko dan frekuensi bencana banjir yang merugikan serta mengancam kehidupan manusia. Perlu dikembangkan pengelolaan lingkungan yang tepat untuk melindungi kawasan bandara dari bencana banjir, dan perlu studi lebih lanjut untuk melakukan realokasi arahan penggunaan lahan menjadi kawasan lindung berupa situ, hutan bakau atau hutan kota. 2. Kawasan Timur Tingkat risiko kawasan ini sedang cenderung tinggi akibat perkembangan kawasan industri, pergudangan dan pusat transportasi di Pulo Gadung dan pertumbuhan permukiman. Banjir menyebabkan kerugian di kawasan industri Pulo Gadung Tahun 2012 yang lalu. Sebagian kawasan dengan tingkat risiko sedang menurut rencana dalam Perpres No. 54 /2008 adalah zona pertanian lahan basah beririgasi teknis (B5). Perlu dipertimbangkan alternatif peruntukan ruang yang lebih optimal di kawasan tersebut. Alternatifnya yaitu: konversi dari sawah ke biofarming (tambak), atau menjadi situ dan hutan kota untuk meningkatkan daya dukung dan kualitas lingkungan sekaligus tempat wisata.
3. Kawasan Tengah Kawasan ini merupakan wilayah DKI Jakarta dengan tingkat risiko cenderung tinggi karena kondisinya yang sudah terlampau padat. Menurut Perpres, kawasan ini direncanakan sebagai perumahan hunian padat, perdagangan dan jasa, industri ringan non-polutan dan berorientasi pasar (B1), juga perumahan hunian rendah dengan koefisien zona terbangun (KZB) maksimal 50 persen (B6), perumahan hunian rendah dengan KZB maksimal 40 persen (B7) dan kawasan hutan lindung, resapan air, kawasan pantai berhutan bakau (N1) di kawasan pantai utara Jakarta. Secara umum, upaya mitigasi bencana banjir dengan risiko bencana yang tinggi, sebagai berikut: • Membangun infrastruktur kesiapsiagaan agar masyarakat dapat lebih tangguh menghadapi bahaya seperti penyusunan rencana kontijensi melalui koordinasi antar K/L, dan pelatihan untuk meningkatkan kesiagaan masyarakat maupun pemerintah di tingkat Kecamatan/Kelurahan dalam menghadapi bencana banjir; • Dipertimbangkan pergeseran paradigma menuju penggunaan lahan intensif (diperlukan arahan tentang intensitas ruang, pengaturan kawasan budidaya dengan instrumen KZB, koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien luas bangunan (KLB)).Misalnya pembangunan hunian vertikal (KDB ditekan sedang, KLB besar atau sangat besar, KZB ditekan sekecil mungkin), pelarangan/ pengurangan hunian satu tingkat, transportasi masal, penataan bantaran sungai Ciliwung melalui penertiban bangunan illegal, penerapan sistem polder, normalisasi kali Ciliwung; • Perkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana; • Dipertimbangkan pembangunan dan pemulihan kapasitas polder dan pemompaan di polder (terutama di wilayah Istana Merdeka); • Menyusun RDTR berbasis mitigasi bencana banjir di Kota Jakarta Utara dan Kota Jakarta Pusat. Secara khusus, upaya mitigasi telah disusun untuk setiap jenis bencana pada wilayah hulu, tengah, dan hilir, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.
buletin tata ruang & pertanahan
13
Kesimpulan Dari hasil kajian ini, disimpulkan bahwa: • Aspek kebencanaan yang diulas dalam RTRWP DKI Jakarta, Jawa Barat, maupun Banten belum lengkap sehingga diperlukan langkah untuk melengkapinya kelak apabila RTRWP akan dievaluasi. • Berdasarkan kajian pada kasus kota Jakarta Timur, ditemui bahwa peta multi risiko yang dibuat di skala 1:50.000 masih terlalu umum dan informasi di dalamnya tidak dapat digunakan. Kondisi ini akan menyulitkan pembuatan jalur evakuasi dan identifikasi kerusakan terparah. Dengan demikian, untuk melakukan analisis pada kota Jakarta Timur, diperlukan peta dengan kedalaman informasi pada skala 1:25.000. • Pendekatan Kajian Risiko Bencana (KRB) BNPB tingkat dasar yang tersedia saat ini dan data spasial BNPB yang meliputi ancaman, kerentanan dan risiko bencana pada skala 1:250.000, dapat dimanfaatkan pada perencanaan KSN dan RTRWP pada skala peta 1:250.000 dan tidak dapat dimanfaatkan untuk perencanaan tata ruang tingkat kabupaten/kota. • Pendekatan KRB dapat dimanfaatkan untuk melengkapi substansi tinjauan ulang RTR KSN (kasus studi RTR KSN Jabodetabekpunjur), RTRW Provinsi DKI Jakarta, RTRW Provinsi Jawa Barat dan RTRW Provinsi Banten dengan substansi kajian risiko bencana. • Dari kasus KRB Jakarta Timur terlihat bahwa untuk perencanaan tata ruang skala kabupaten/kota masih membutuhkan data spasial yang meliputi ancaman, kerentanan dan risiko bencana pada skala 1:25.000 dan lebih detil dengan kualitas data yang lebih baik. Rekomendasi Untuk meningkatkan kualitas perencanaan ke depan, rekomendasi yang diusulkan sebagai berikut:
• Info kerawanan bencana pada wilayah hulu, tengah dan hilir dapat digunakan untuk melengkapi muatan teknis RTRWP DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. • Berdasarkan hasil tumpangsusun peta risiko bencana ditemukan penggunaan lahan lain dengan potensi tingkat risiko bencana yang tinggi yang tidak sesuai dengan Perpres No. 54/2008; sehingga alternatif rekomendasinya adalah: (i) dilakukan perubahan pola pemanfaatan ruang; dan (ii) dilakukan upaya pengendalian pemanfaatan ruang. Diperlukan studi lebih lanjut untuk mengkaji secara lebih detail terhadap hal ini melalui RDTR. • Dalam kaitan dengan upaya mitigasi bencana, maka pembangunan infrastruktur kesiapsiagaan dianjurkan untuk dilakukan pada wilayah yang sudah padat dan sudah tidak bisa diubah peruntukannya. Diperlukan studi lebih lanjut untuk mengkaji secara lebih detail terhadap hal ini melalui RDTR. • Dalam kaitan dengan arahan susunan pusat-pusat kegiatan di Jabodetabekpunjur, diperlukan studi lebih lanjut untuk mereview terhadap sub-sub pusat perkotaan tersebut mana yang akan lebih dominan sehingga dapat direkomendasikan untuk digabung menjadi satu pusat perkotaan. Rekomendasi khusus untuk wilayah hulu, tengah, dan hilir adalah: 1) melengkapi aspek kebencanaan pada kegiatan evaluasi RTRWP untuk masing-masing jenis bencana; dan 2) kedalaman materi aspek kebencanaan yang telah ada sebaiknya disesuaikan dengan hasil Kajian Risiko Bencana (KRB) masing-masing provinsi. Rekomendasi khusus juga diberikan untuk instansi terkait, diantaranya: • Badan Informasi Geospasial (BIG) mengusahakan dan mempersiapkan dukungan untuk penyusunan RDTR berbasis mitigasi bencana pada skala 1:5.000 dan 1:10.000 khususnya pada KSN Jabodetabekpunjur untuk: kota Bogor, kabupaten Bogor, kota Depok, kota Tangerang, kabupaten Tangerang, kota Bekasi, kabupaten Bekasi, kota Jakarta Utara, kota Jakarta Pusat,
Gambar 3 Peta Risiko Bencana
Sumber: Hasil Kajian “Perencanaan Tata Ruang KSN: Tinjauan Kebencanaan, Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, Direktorat TRP, Kementerian PPN/Bappenas
14
buletin tata ruang & pertanahan
kota Jakarta Barat, dan kota Jakarta Selatan. • Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengintegrasikan sistemnya dengan infrastruktur data spasial nasional yang sedang dikerjakan BIG sehingga tujuan UU No. 4 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan Informasi Geospatial Dasar (IGD) dan Informasi Geospasial Tematik (IGT) dalam One-Map Policy dapat terwujud. Selain itu, untuk peta ancaman, kerentanan dan risiko bencana diharapkan tidak berhenti pada tingkat provinsi (skala 1:250.000) tetapi bisa dikembangkan sampai kedetilan skala kabupaten yakni 1:50.000 dan untuk kota yakni 1:25.000 atau lebih detail. BNPB
juga perlu menginformasikan secara visual kegiatan analisis spasial dari data peta ancaman, kerentanan dan risiko dengan memperhatikan aspek-aspek kebencanaan pada struktur dan pola ruang. • Kementerian Pekerjaan Umum (PU) melengkapi pedoman penyusunan RTR KSN dan RTRWP dengan analisis risiko bencana dalam penyusunan rencana tata ruang. (Disarikan dari Hasil Kajian “Perencanaan Tata Ruang KSN: Tinjauan Kebencanaan, Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, Direktorat TRP, Kementerian PPN/Bappenas)
Tabel 3 Upaya Mitigasi Bencana di Wilayah Hulu, Tengah, Hilir
Sumber: Hasil Kajian “Perencanaan Tata Ruang KSN: Tinjauan Kebencanaan, Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, Direktorat TRP, Kementerian PPN/Bappenas buletin tata ruang & pertanahan
15
Sosialisasi
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP-3-K)
U
ndang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP-3-K) mengatur pengelolaan ruang dalam lingkup wilayah pesisir hingga sejauh 12 mil laut dari garis pantai. Undang-Undang ini ditetapkan dengan tujuan melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulaupulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan. Pengelolaan WP-3-K meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berasaskan pada keberlanjutan, kepastian hukum, peran serta masyarakat, desentralisasi, akuntabilitas, dan keadilan. Perencanaan Perencanaan pengelolaan WP-3-K terdiri atas Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K), Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K), dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-3-K). Empat rencana tersebut wajib disusun oleh Pemerintah Daerah yang memiliki WP-3-K sebagai acuan pengelolaan sumber daya. RSWP-3-K merupakan bagian dari RPJPD yang wajib mempertimbangkan kepentingan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Rencana ini berlaku 20 Tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali. RZWP-3-K merupakan arahan pemanfaatan sumber daya di WP-3-K yang diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan RTRW. Sama dengan RSWP-3-K, RZWP-3-K berlaku 20 tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. RZWP-3-K ini ditetapkan dengan Peraturan Daerah, dan dalam proses perencanaannya harus mempertimbangkan: a) Keserasian dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan; b) Keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan; dan c) Kewajiban alokasi ruang dan akses Masyarakat dalam pemanfaatan WP-3-K yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. RPWP-3-K memberikan arahan kebijakan pengaturan serta prosedur administrasi penggunaan sumber daya yang diizinkan dan yang dilarang. Selain itu, rencana ini berisi skala prioritas pemanfaatan sumber daya, jaminan terakomodasinya pertimbangan hasil konsultasi publik, mekanisme pelaporan, dan ketersediaan SDM terlatih dalam pengelolaan WP-3-K. Rencana ini berlaku 5 tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 1 (satu) kali. RAPWP-3-K disusun untuk mengarahkan Rencana Pengelolaan dan Rencana Zonasi sebagai upaya mewujudkan rencana strategis. Rencana ini berlaku 1 (satu) sampai 3 (tiga) tahun.
16
buletin tata ruang & pertanahan
Mekanisme Penyusunan Dokumen Rencana Dokumen rencana (RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, RRPWP3-K) disusun oleh pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dengan melibatkan Masyarakat. Usulan penyusunan rencana dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan dunia usaha. Dalam prosesnya, Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan konsep rencana untuk mendapatkan masukan, tanggapan, dan saran perbaikan. Bupati/walikota menyampaikan dokumen final perencanaan pengelolaan WP-3-K kab/kota pada gubernur dan Menteri untuk diketahui, begitu juga gubernur menyampaikan dokumen final perencanaan pengelolaan WP-3-K provinsi pada Menteri dan bupati/walikota di wilayah bersangkutan. Kemudian gubernur atau Menteri memberikan tanggapan dan/atau saran terhadap usulan dokumen final dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja. Pemerintah daerah wajib melakukan perbaikan serta memublikasikan dokumen final berdasarkan masukan, tanggapan, dan saran perbaikan yang diterima dari pihak penanggap. Jika dokumen tersebut tidak mendapat tanggapan, maka dokumen final diberlakukan secara definitif. Pemanfaatan Pemanfaatan ruang secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi, yang nantinya menjadi dasar pemberian Izin Pengelolaan. Izin lokasi dan izin pengelolaan diberikan kepada: a) orang perseorangan warga negara Indonesia; b) korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau 3) koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat. Izin lokasi diberikan berdasarkan RZWP-3-K, yang wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing. Izin lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum. Sanksi administratif berupa pecabutan izin lokasi dapat dikenakan kepada pemegang izin lokasi jika pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin lokasi yang diberikan dan jika tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak izin diterbitkan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian, pencabutan, dan berakhirnya izin lokasi dan izin pengelolaan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah. Izin pengelolaan wajib dimiliki setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulaupulau kecil untuk kegiatan: a) produksi garam; b) biofarmakologi laut; c) bioteknologi laut; d) pemanfaatan air laut selain energi; e) wisata bahari; f) pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan g) pengangkatan benda muatan kapal tenggelam.
Kawasan pesisir DKI Jakarta (sumber:www.shnews.co)
Dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pemantauan, pengamatan lapangan, dan/atau evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaannya, dan masyarakat dapat berperan serta. Dalam pelaksanaan pengendalian, Pemerintah wajib menyelenggarakan Akreditasi terhadap program pengelolaan WP3-K. Pemerintah dapat melimpahkan wewenang penyelenggaraan akreditasi kepada Pemerintah Daerah. Standar dan pedoman akreditasi mencakup: a) Relevansi isu prioritas; b) Proses konsultasi publik; c) Dampak positif terhadap pelestarian lingkungan; d) Dampak terhadap peningkatan kesejahteraan Masyarakat; e) Kemampuan implementasi yang memadai; dan f) Dukungan kebijakan dan program Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Nantinya, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan insentif kepada pengelola program yang telah mendapat akreditasi berupa bantuan program dan/atau bantuan teknis [gp].
tahukah anda
Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya, dengan kepentingan yang diprioritaskan diantaranya: a) Konservasi; b) Pendidikan dan pelatihan; c) Penelitian dan pengembangan; d) Budidaya laut; e) Pariwisata; f) Usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari; g) Pertanian organik; h) Peternakan; dan/atau i) Pertanahan dan kemananan negara. Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya wajib: a) memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan; b) memerhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat; dan c) menggunakan teknologi yang ramah lingkungan. Untuk wilayah Masyarakat Hukum Adat, pemanfaatan ruang dan sumber daya di wilayah tersebut menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat. Kewajiban memiliki izin lokasi dan izin pengelolaannya dikecualikan bagi Masyarakat Hukum Adat, dan pengakuannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan dan Pengendalian Pengawasan dan pengendalian dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) di bidang pengelolaan WP-3-K terhadap pelaksanaan ketentuan pengelolaan WP-3-K untuk menjamin terselenggarannya pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan. PPNS ini berwenang untuk: 1) Mengadakan patroli/perondaan di WP-3-K atau wilayah hukumnya; serta 2) Menerima laporan yang menyangkut perusakan Ekosistem Pesisir, Kawasan Konservasi, Kawasan Pemanfaatan Umum, dan Kawasan Strategis Tertentu.
Indonesia memiliki garis pantai dengan panjang mencapai lebih dari 95.181 kilometer (km), ini berdasarkan pengumuman PBB pada tahun 2008. Dengan demikian Indonesia berada di posisi keempat sebagai negara dengan garis pantai terpanjang setelah Rusia. Sedangkan negara pemilik garis pantai terpanjang diduduki Amerika Serikat (AS) dan diikuti Kanada. Sebelumnya Kanada menduduki urutan pertama dengan panjang garis pantai 243.792 km. Sebagai negara kepulauan terbesar dengan luas lautan tiga per empat dari luas daratan, Indonesia sekarang ini memiliki lebih dari 17.500 pulau. Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
buletin tata ruang & pertanahan
17
Sosialisasi
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah
P
eraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pedoman pertimbangan teknis ini memuat ketentuan dan syarat penggunaan, serta pemanfaatan tanah yang menjadi persyaratan dalam penerbitan izin lokasi, penetapan lokasi, atau izin perubahan penggunaan tanah. Ketiganya dapat dibedakan berdasarkan definisinya. Penerbitan izin lokasi diterbitkan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk penanaman modal, dan berlaku pula sebagai izin pemindahan hak dan digunakan untuk keperluan usaha penanaman modalnya. Berbeda dengan izin lokasi, penetapan lokasi merupakan dasar pemberian keputusan penetapan lokasi tanah yang akan digunakan untuk pembangunan bagi kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Sedangkan izin perubahan penggunaan tanah merupakan dasar pemberian izin kepada pemohon untuk melakukan perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanahnya. Pertimbangan teknis ini harus terselenggara dengan ketentuan, meliputi: ( i ) tidak boleh mengorbankan kepentingan umum; ( ii ) tidak boleh saling mengganggu penggunaan tanah sekitarnya; ( iii ) memenuhi azas keberlanjutan; ( iv ) memperhatikan azas keadilan; ( v ) memenuhi ketentuan peraturan perundangan. Pertimbangan teknis pertanahan menghasilkan 2 (dua) keluaran, meliputi: 1) risalah pertimbangan teknis pertanahan; dan 2) peta-peta pertimbangan teknis pertanahan seperti terlihat pada Gambar 1. Risalah pertimbangan teknis pertanahan terdiri dari 2 (dua), pertama persetujuan atau penolakan terhadap seluruh atau sebagian tanah yang digunakan untuk jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah tertentu yang diajukan pemohon melalui izin lokasi, penetapan lokasi atau izin perubahan penggunaan tanah. Kedua, ketentuan dan syarat-syarat dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi seluruh atau sebagian tanah yang akan digunakan untuk jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah tertentu yang disetujui. Sementara, peta-peta pertimbangan teknis pertanahan, terdiri dari: 1) petunjuk letak lokasi; 2) penggunaan tanah; 3) gambaran umum pengguasaan tanah; 4) kemampuan tanah; 5) kesesuaian
penggunaan tanah; 6) ketersediaan tanah; dan 7) pertimbangan teknis pertanahan. Pertimbangan teknis pertanahan dilaksanakan oleh Tim Pertimbangan Teknis Pertanahan dibantu oleh petugas sekretariat dan petugas lapangan yang jumlah dan kualifikasinya disesuaikan dengan luas dan jenis kegiatan yang dimohon. Penggunaan dan pemanfaatan tanah harus memenuhi ketentuan perundangan, antara lain: 1. Sesuai dengan fungsi kawasan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah; 2. Jika RTRW belum tersedia, dapat berpedoman pada matriks kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagai rujukan awal; 3. Rencana dan pengembangan lokasi harus memperhatikan ketentuan dan syarat penggunaan dan pemanfaatan tanah pada kawasan tertentu, seperti kawasan hutan; kawasan otorita; 4. Harus disertai persyaratan dokumen lingkungan seperti AMDAL/ KLHS sesuai ketentuan peraturan perundangan. Pembinaan dan pemantauan dilakukan terhadap izin lokasi yang telah dikeluarkan. Penyelenggaraan pembinaan dan pemantauan dilaksanakan dengan memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu: 1) risalah pertimbangan teknis pertanahan; dan 2) ketentuan pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi. Hasil pembinaan dan pemantauan menjadi bahan pertimbangan dalam pembatalan izin lokasi. Pembatalan izin lokasi dilaksanakan oleh Kepala BPN RI atas usulan: ( i ) Pemerintah Provinsi dengan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional; dan ( ii ) Pemerintah Kabupaten/Kota dengan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan [rz].
Gambar 1. Keluaran Pertimbangan Teknis Pertanahan
18
buletin tata ruang & pertanahan
koordinasi
Rancangan Kebijakan Bidang Pertanahan dalam Kerangka Regulasi
D
alam rangka penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 - 2019, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan (TRP) bersama dengan Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan dan Direktorat Hukum dan HAM-Kementerian PPN/Bappenas menyelenggarakan diskusi terhadap isu strategis Bidang Pertanahan pada Jumat, 10 Januari 2014. Pembahasan dalam diskusi tersebut difokuskan pada Rencana Pembentukan Pengadilan Khusus Pertanahan. penyelesaian melalui mediator, kembali dimasukan ke pengadilan formal. Pembentukan Kamar Khusus (Special Chamber) Mengingat peradilan formal yang ada saat ini belum dapat menyelesaikan kasus pertanahan dengan asas murah, mudah, dan cepat, maka diusulkan pembentukan pengadilan khusus pertanahan. Namun pembentukan pengadilan khusus pertanahan akan sulit dilaksanakan karena terkendala beberapa hal, yakni: a) pembentukan pengadilan khusus memerlukan UU khusus yang mengatur hukum acara peradilan; b) kebutuhan SDM yang cukup banyak, khususnya hakim dengan kualifikasi tertentu dan jenjang karir yang pasti; dan c) kebutuhan anggaran yang cukup besar. Berdasarkan pengalaman, beberapa pengadilan khusus yang ada saat ini tidak terlalu efektif dalam menyelesaikan suatu kasus. Dengan demikian, yang paling memungkinkan adalah membentuk kamar khusus (special chambers) pertanahan pada pengadilan umum. Untuk itu, jumlah SDM dan anggaran yang dibutuhkan tidak terlalu besar. Pada prosesnya, pembentukan kamar khusus pertanahan pada pengadilan negeri masih memerlukan assessment termasuk regulasi yang diperlukan. Selain itu, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut terkait tipe kasus dan mekanisme penyelenggaraan kasus. Kasus yang masuk dipastikan hanya tentang pertanahan dan tidak bisa masuk ke pengadilan lain. Untuk itu, diperlukan konsep-konsep yang disusun oleh pakar hukum, hakim, dan pakar bidang pertanahan yang menjelaskan kebutuhan kamar khusus pertanahan, termasuk di dalamnya substansi keputusan final dalam kerangka waktu tertentu dan identifikasi tipe kasus pertanahan [ih/ ay].
tahukah anda
Berdasarkan hasil background study RPJMN 2015-2019 Bidang Pertanahan terdapat beberapa isu strategis, yaitu: 1) perubahan sistem pendaftaran tanah stelsel negatif menjadi stelsel positif; 2) pembentukan pengadilan khusus pertanahan; 3) pembentukan bank tanah; 4) redistribusi tanah dan reforma akses; dan 5) peningkatan jumlah proporsi Sumber Daya Manusia (SDM) bidang pertanahan khusus juru ukur. Saat ini, kondisi peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia sudah mencapai kondisi kelebihan regulasi atau dikenal dengan hyper regulation, sehingga semakin menimbulkan ketidakpastian hukum dan biaya tinggi. Untuk itu, kerangka regulasi ke depan harus diubah agar asas hukum yang berlaku menjadi mudah, murah, dan cepat. Sebagai contoh, penyelesaian kasus pertanahan di Jepang lebih banyak pada pengadilan tingkat pertama dan sedikit yang diangkat pada tingkat kasasi, sehingga penyelesaian kasus lebih murah dan tidak berlarut-larut. Kondisi ini berimplikasi pada kebutuhan SDM di bidang hukum (hakim, jaksa) yang berkualitas dalam jumlah banyak pada pengadilan tingkat pertama. Di Indonesia, sistem hukum pertanahan yang berlaku saat ini meliputi hukum formal (positif) dan hukum non formal (hukum adat). Fakta di lapangan mencatat bahwa penanganan kasus pertanahan dapat masuk ke beberapa lingkungan peradilan. Keputusan yang dihasilkan pun dapat berbeda satu dengan lainnya sehingga keputusan peradilan tersebut tidak dapat dilaksanakan, bahkan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum hak atas tanah dan menjadi sumber konflik antarmasyarakat. Selain itu, penyelesaian kasus pertanahan seringkali tidak dapat diselesaikan pada pengadilan tingkat pertama melainkan harus diselesaikan pada tingkat Mahkamah Agung (MA). Kondisi ini mendorong timbulnya pemikiran perlunya pembentukan Pengadilan Khusus yang menangani kasus-kasus pertanahan. Keputusan yang diambil pada pengadilan khusus pertanahan tersebut harus bersifat final dan mengikat sehingga penyelesaian kasus pertanahan diharapkan lebih murah, mudah, dan cepat. Secara umum penyelesaian kasus pertanahan dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu secara formal melalui pengadilan (atau dikenal dengan litigasi) maupun informal melalui pendekatan penyelesaian oleh masyarakat sendiri (atau yang dikenal dengan pendekatan community based). Alternatif lain penyelesaian kasus pertanahan adalah melalui mediator atau dikenal dengan alternative dispute resolution (ADR) yang tidak perlu dilaksanakan di pengadilan. Berbagai pendekatan tersebut telah dilaksanakan namun masih memiliki kelemahan, misalnya pendekatan community based dan mediator sering kali tidak ditaati oleh pihak yang bersengketa sehingga keputusan tidak dapat dilaksanakan. Bahkan pada beberapa kasus, setelah dilakukan
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan: a) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; b) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antarDaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; c) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; d) mengoptimalkan partisipasi masyarakat; e) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Sumber: Undang-Undang No. 25 Tahun 2004
buletin tata ruang & pertanahan
19
Koordinasi
Pertemuan Perdana Kegiatan Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional (RAN)
T
im Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional (RAN) yang berada di bawah naungan Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan (TRP), menyelenggarakan pertemuan perdana Kegiatan Koordinasi Strategis RAN pada 10 Maret 2014 di Ruang SG-5 Kementerian PPN/ Bappenas. Tujuan dari pertemuan ini adalah penyepakatan rencana kerja Tim Koordinasi Strategis RAN Tahun 2014. Kegiatan dibuka oleh Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Dr. Ir. Oswar Mungkasa, MURP, selaku ketua tim pelaksana, dan didampingi Plt. Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri BPN, Sunrizal, SE, MM. Dihadiri pula oleh seluruh anggota Tim Koordinasi Strategis RAN dari Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Kementerian Perumahan Rakyat, beserta direktorat mitra K/L di Kementerian PPN/Bappenas. Dalam pertemuan ini Kasubdit Pertanahan - Kementerian PPN/Bappenas selaku sekretaris Tim Koordinasi Strategis RAN, Uke Mohammad Hussein, S.Si., MPP, menjelaskan rencana kerja Tim Koordinasi Strategis RAN. Reforma Agraria menjadi komitmen pemerintah Indonesia sebagaimana tertuang dalam TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), yang menetapkan prinsip-prinsip dan arah kebijakan pembaruan agraria dan pemanfaatan SDA secara berkeadilan dan berkelanjutan. Secara umum, tujuan dari kegiatan koordinasi strategis RAN adalah memperbaiki sistem pengelolaan pertanahan nasional, yang diuraikan secara luas, mencakup: (1) pengkajian, perumusan, dan pengembangan kebijakan pertanahan nasional yang mendukung pelaksanaan reforma agraria; (2) koordinasi penyusunan rencana, program, dan kebijakan (RPK) RAN serta pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan RPK tersebut; dan (3) diseminasi kebijakan pertanahan, membangun konsensus dan mendapatkan dukungan dari institusi dan pelaku terkait pelaksanaan RAN.
sumber: dokumentasi Direktorat TRP, Bappenas
Gambar 1 Pertemuan Perdana Tim Koordinasi Strategis RAN
Reforma Agraria Pengertian reforma agraria dapat dibedakan menjadi 2 (dua), dalam arti sempit, reforma agraria adalah redistribusi tanah (land reform), misalnya pembagian tanah untuk petani yang tidak memiliki tanah (landless farmer); dan dalam arti luas, reforma agraria adalah perombakan sistem dan pengelolaan pertanahan nasional. Untuk perbaikan sistem pengelolaan pertanahan nasional, Kementerian PPN/Bappenas telah menyusun White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional yang memuat arahan kebijakan bidang pertanahan, meliputi: (a) sistem publikasi pendaftaran stelsel positif; (b) redistribusi tanah dan reforma akses; (c) pembentukan kamar khusus pertanahan pada pengadilan negeri; (d) pencadangan tanah melalui pembentukan bank tanah; dan (e) penambahan SDM bidang pertanahan terutama juru ukur [gn/ay].
Pentingnya Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara Nasional Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan Pengelolaan Ruang Udara Nasional (PRUN) pada pasal 6 ayat 5 yang berbunyi “Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri.” Saat ini, UU PRUN belum tersusun, sehingga dirasa perlu melakukan kajian mendalam terkait peraturan yang sudah ada, kewenangan lembaga dan dampaknya. Hal tersebut dibahas dalam pertemuan “Perumusan peran dan pentingnya UU Pengelolaan Ruang Udara Nasional dalam Sistem Perencanaan Nasional,” yang diadakan oleh Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, pada 5 Mei 2014 di Jakarta. Pada pertemuan yang dipimpin oleh Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas, Ir. Oswar Mungkasa,
20
buletin tata ruang & pertanahan
MURP, turut hadir pula dua narasumber, yaitu Sekretaris Dinas Hukum TNI Angkatan Udara dan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, DR. Wicipto Setiadi, SH, MH. Pengaturan pengelolaan ruang udara nasional dirasa perlu karena saat ini belum ada pengaturan/penentuan batas wilayah udara nasional. Hal ini menimbulkan kebutuhan akan kejelasan kewenangan dan pengaturan penegakan hukum, termasuk pemberlakuan sanksi. Dengan adanya pengaturan ini, diharapkan pengelolaan ruang udara yang mencakup berbagai aspek diantaranya pertahanan/keamanan, perhubungan, lingkungan hidup, mitigasi bencana, dirgantara dapat terwakili [zh/ay].
Ringkas Buku
ringkas buku:
Politik Hukum Agraria Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H.
B
uku Politik Hukum Agraria karya Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H., memuat gagasan-gagasan beliau yang disampaikan dalam berbagai forum ilmiah mengenai pasang surut politik agraria di Indonesia. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang ini, mengungkapkan berbagai permasalahan pertanahan yang selama ini belum mendapat pemecahan dan penyelesaian dari segi ketentuan yuridisnya. Oleh karena itu, ke depan, dalam rangka reformasi agraria hal tersebut harus menjadi prioritas utama untuk diatasi. Penulis juga melontarkan gagasan mengenai konsep-konsep kebijakan yang melatarbelakangi ketimpangan struktur penguasaan tanah dan melahirkan sengketa tanah serta sumber daya alam lainnya. Menurutnya, konsep kebijakan tersebut harus diubah sehingga mengarah pada konsep kebijakan yang berorientasi kerakyatan, mengedepankan keadilan, bersifat integratif, berkelanjutan, dan lestari dalam pengelolaannya. Lima belas bab dalam buku ini mengemukakan berbagai hal mengenai kegamangan penyelesaian sengketa perkebunan manakala memilih antara menegakkan hukum secara tegas atau mengikuti kemauan masyarakat yang itu berarti penyimpangan hukum. Secara mendalam menguraikan mengenai kebijakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) sebagai karya revolusioner bangsa Indonesia dengan gagasan yang ideal seperti anti penjajahan dan penindasan, populis, menampilkan identitas asli bangsa Indonesia dalam hukum adat, jiwa persatuan dan kesatuan, hak menguasai negara dan sifat lain yang menguntungkan keadilan bagi petani. Berikut ini ringkasan 10 dari 15 bab dalam Buku Politik Hukum Agraria. Bab I Reformasi Hukum dan Kebijakan Pertanahan Nasional untuk Menjamin Hak dan Akses Masyarakat atas Tanah. Landasan yuridis untuk memecahkan permasalahan pertanahan di Indonesia yakni UUD 1945 dan TAP MPR IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, serta UUPA. Amandemen beberapa pasal UUD 1945 memberikan perlindungan setiap warga negara termasuk kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, hak asasi manusia, dan sebagainya. Prof. Achmad Sodiki menggambarkan betapa rumitnya pengaturan tanah dan sumber daya agraria lainnya karena adanya perbedaan dua rezim hukum yakni hukum perdata Barat dan hukum adat. Hukum adat dianggap bertentangan dengan asas-asas kepatutan dan keadilan. Dalam bab ini disampaikan pula gagasan mengenai pentingnya pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan yang memuat basis data tanah-tanah aset negara/ pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Informasi tersebut akan dikembangkan untuk aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan pendaftaran tanah. Menurut pandangan penulis, kelemahan perundang-undangan agraria selama ini kurang memperhatikan aspek kepastian hukum, perlindungan hukum, keadilan, dan kemakmuran masyarakat tempat sumber daya agrarian dan sumber daya alam itu sendiri. Pada kenyataannya, sumber daya alam tersebut banyak dieksploitasi. Bab II Masalah Konflik Peraturan-Undangan dan Konflik di Lapangan Agraria dan Usulan Penanganannya: Mencari Format Penanganan Konflik Agraria. Pada bagian ini Prof. Sodiki menyampaikan gagasan mengenai format kedudukan hukum adat dan masyarakat adat dengan hukum negara (hukum agraria nasional) yang meliputi: (i) hukum agraria sebagai bingkai pemersatu dari semua persoalan agraria di wilayah Republik Indonesia; (ii) hak masyarakat hukum adat yang seharusnya
mendapat perlakuan khusus; (iii) konflik antar peraturan hukum tertulis dapat diselesaikan lewat asas-asas yang lazim misalnya hukum yang derajatnya lebih tinggi membatalkan hukum yang derajatnya lebih rendah (lex superior derogat legi inferior), hukum khusus membatalkan hukum umum (lex specialis derogat legi generali), dan hukum yang kemudian membatalkan hukum yang terdahulu (lex posterior derogat legi prior). Dalam hal penerapan asas-asas umum tersebut diperlukan kajian yang bersifat formal dan substansial. Kajian formal sifatnya prosedural yaitu apakah secara formal suatu hukum sudah dianggap sah. Sementara kajian substansial mementingkan isinya, apakah sudah mengandung rasa keadilan, kepastian ataukah kemanfaatan. Bab III Konflik Perkebunan: Kontestasi Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Bagian ini menjelaskan sejarah konflik perkebunan yang dimulai sejak zaman Hindia Belanda sampai sekarang, termasuk di dalamnya mencerminkan kepentingan bisnis dan kepentingan rakyat jelata. Sebagian besar masyarakat Indonesia bertumpu pada bidang pertanian untuk mendapatkan penghasilan, sehingga masalah tanah yang merupakan sumber kehidupan menjadi sumber konflik. Permasalahan utamanya adalah kelangkaan tanah. Terlebih lagi program land reform tidak dijalankan secara sungguhsungguh karena tidak adanya political will dari pemerintah. Di sisi lain perluasan sektor pertanian lebih banyak didominasi perluasan perkebunan yang dimiliki oleh swasta, sehingga banyak keluhan munculnya gugatan terhadap pelanggaran pemilikan atau penguasaan tanah terhadap pihak swasta. Bab IV Kebijakan Pertanahan dalam Penataan Hak Guna Usaha untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat. Pembukaan tanah perkebunan besar pada masa Hindia Belanda selalu menimbulkan sengketa antara pengusaha/onderneming dengan rakyat. Hal ini disebabkan tanah perkebunan baru berada dalam kawasan tanah yang dikuasai oleh rakyat dengan hak-hak adat. Beberapa penyebab timbulnya sengketa yaitu: (i) kebijaksanaan negara masa lalu, misalnya pada zaman Belanda adanya pengakuan eksistensi hukum adat namun tetap saja tidak melindungi hak-hak adat seperti hak ulayat, sehingga timbul sengketa batas antara wilayah hukum adat dengan wilayah konsesi perkebunan; (ii) masalah kesenjangan sosial, pengambilalihan dan pengelolaan kebun seringkali diikuti pula dengan budaya kebun yang dibangun oleh pemilik kebun lama yang semata-mata mementingkan pengusaha dengan mencari keuntungan sebanyakbanyaknya tetapi kurang memperhatikan masyarakat sekelilingnya; (iii) lemahnya penegakan hukum, selama Hindia Belanda maupun pada masa Orde Baru (sebelum tahun 1997) sangat kecil
buletin tata ruang & pertanahan
21
pendudukan tanah oleh rakyat secara besar-besaran. Namun menjelang dan setelah pergantian rezim terjadi pengambilalihan tanah-tanah perkebunan; (iv) karena tanah terlantar, banyaknya tanah perkebunan HGU (Hak Guna Usaha) yang terlantar secara fisik tetapi belum jelas status hukumnya, dikuasai oleh masyarakat sekitar; (v) reclaiming sebagai tanah adat, pembukaan areal baru HGU seringkali memunculkan masalah reclaiming yakni tuntutan kembali hak adat kepada pemegang HGU. Di sisi lain batas tanah ulayat dan tanah negara bebas tidak jelas. Dilihat dari segi hukum, hukum yang menyatakan “bahwa seseorang tidak boleh
mendapatkan suatu keuntungan dari suatu keuntungan dari suatu kesalahan yang ia perbuat” harus tetap diperhatikan untuk tidak
menghalalkan segala cara guna mencapai suatu tujuan. Beberapa usulan disampaikan Prof. Sodiki sebagai usaha preventif dan penyelesaian sengketa, yaitu: (i) terhadap tanah HGU yang masih dikelola dengan baik perlu dijaga kelestariannya, sebab menurut UUPA setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya, diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dan mencegah cara-cara pemerasan; (ii) terhadap HGU yang bermasalah hendaknya diselesaikan lewat jalur hukum yang berlaku; dan (iii) jika memang terdapat cukup fakta terdapat HGU terlantar, maka hendaknya instansi yang terkait melakukan tindak peringatan dan upaya lain sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bab V Konsep-Konsep Kebijakan yang Melatarbelakangi Masalah dalam Ketimpangan Struktur dan Sengketa Penguasaan Tanah serta Pengelolaan Sumber Daya Alam Lainnya. Prof. Sodiki menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai konsep-konsep kebijakan tersebut harus diubah mengarah pada konsep yang berorientasi kerakyatan, mengedepankan keadilan, bersifat integratif, berkelanjutan, dan lestari dalam pengelolaannya. Konflik agraria sesungguhnya banyak dilatarbelakangi oleh penerapan konsep ekonomi liberal yang menggejala secara global. Sentralisasi pemerintahan dengan sistem komando menempatkan hukum adat menjadi hukum yang kedua dalam sistem hukum nasional sepanjang hal itu menyangkut kepentingan pemodal atau negara. Hal ini terjadi karena hukum adat dianggap tidak bisa menjamin kepastian hukum karena sifatnya tidak tertulis. Penulis menilai bahwa sesungguhnya tidak perlu mempertentangkan antara hukum agraria nasional dengan hukum adat. Kebutuhan unifikasi hukum agraria sejak awal kemerdekaan sangat diidam-idamkan, sekalipun proses ke arah unifikasi itu tidak perlu sekaligus terjadi, tetapi hendaknya terjadi secara gradual dan alamiah. Penulis menambahkan bahwa proses dialogis diperlukan agar tidak terjadi “cultural shock”, sehingga orang tidak kehilangan pegangan dalam hidup dan tata kehidupan. Bab VI Eksistensi Hukum Adat: Konseptualisasi, Politik Hukum, dan Pengembangan Pikiran Hukum sebagai Upaya Perlindungan Hak Masyarakat Adat. Pilihan haluan politik pembangunan ekonomi yang mengejar pertumbuhan, memerlukan hukum yang mendorong akselerasi pembangunan, seperti hukum ekonomi dan cabang-cabang hukum yang berkaitan dengan hukum ekonomi tersebut. Sebaliknya, hukum adat justru sangat kurang mendapat perhatian. Dominasi hukum negara sebagai bagian dari perkembangan proses politik atas segala segi kehidupan masyarakat nasional sudah menjadi kenyataan. Pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat justru diperintahkan untuk diatur dalam undang-undang, sehingga kekuatan hukumnya lebih kuat dari peraturan pemerintah atau keputusan presiden. Undang-undang pemerintahan daerah memberikan wewenang
22
buletin tata ruang & pertanahan
kepada daerah (otonomi) yang lebih luas dari pada masa lalu, memberikan peluang yang lebih baik untuk memberdayakan masyarakat hukum adat. Namun demikian, konflik yang timbul karena perebutan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria tidak lepas dari konflik ekonomi. Pada bab ini, penulis menyampaikan bahwa penyelesaian masalah kedudukan masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya tidak bisa diselesaikan tanpa terlebih dahulu memberikan jaminan nyata atas berlangsungnya hak-hak ekonomi dan hak-hak lainnya. Masyarakat adat diharapkan untuk dapat beradaptasi, sehingga sejajar dan mampu mengejar ketertinggalan mereka dalam proses pembangunan. Bab VII Reformasi Hukum Agraria: Penyimpangan ataukah Penegakan Hukum? Aset negara maupun swasta yaitu perkebunan, saat ini dalam keadaan mengkhawatirkan karena penjarahan dan pendudukan disertai perusakan oleh rakyat, yang mengakibatkan kerugian baik materi maupun non materi, serta ancaman ketidakpastian hukum yang semakin meningkat. Sengketa tanah perkebunan diarahkan untuk diselesaikan melalui musyawarah antara para pihak perkebunan dengan rakyat, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan penyelesaian lewat pengadilan. Undang-undang menentukan bahwa sengketa tanah perkebunan dan kehutanan diselesaikan oleh menteri yang berwenang. Namun demikian, pemerintah daerah dapat memberikan alternatif atau usulan terbaik jika aktif mempertemukan para pihak yang bersengketa sesuai dengan wewenang yang melekat pada mereka. Dalam hal ini, pemilik perkebunan harus memahami dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang juga membutuhkan ketenangan dalam usaha. Oleh karena itu, prinsip fungsi sosial hak atas tanah memberikan jalan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Bab VIII Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat: Implementasi Reformasi Agraria. Bagian ini menjelaskan bagaimana implementasi reformasi agraria untuk dapat menciptakan tanah bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Sebagai negara agraris, petani menjadi tulang punggung, sehingga founding fathers bangsa Indonesia menempatkan peningkatan kesejahteraan petani menjadi prioritas utama dan dipilihlah landreform sebagai upaya mensejahterakan kehidupan petani tersebut. Hal ini berimplikasi pada UUPA yang mengandung jiwa landreform yang menghendaki adanya suatu perubahan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah, dan mencerminkan rasa keadilan bagi bagian terbesar rakyat Indonesia yakni petani. Program landreform gagal dilaksanakan dan diganti dengan program revolusi hijau, dengan harapan dapat memberikan perubahan pada kehidupan petani. Namun pada kenyataannya, petani masih tetap pada lapisan masyarakat miskin, sementara sumber daya agraria yakni tanah dan sumber daya alam lainnya semakin lama semakin mudah menjadi milik lapisan orang-orang kaya yang tidak pernah “netes” ke bawah. Hal ini dijelaskan oleh teori pertumbuhan ekonomi “trickle down effect”. Ke depan, kebijakan Indonesia harus menempatkan pertanian sebagai fokus utama dan bukan sekedar memproduksi komoditas, tetapi juga harus dilengkapi dengan penciptaan nilai tambah. Maka dari itu, jenis industri yang diciptakan harus terkait dengan kepentingan petani yang jumlahnya merupakan mayoritas di Indonesia. Bab IX Empat Puluh Tahun Masalah Dasar Hukum Agraria. Perubahan di bidang hukum agraria ditandai dengan berbagai masalah dasar yang muncul, antara lain: (i) keadilan sosial, hal ini sangat terkait dengan kepemilikan dan penguasaan pada sumber daya alam, yaitu tanah yang selama ini menjadi sumber
penghidupan bagi sebagian besar rakyat; (ii) hubungan negara dengan individu berkaitan dengan tanah, interaksi antara hak individu dengan hak negara akan tercermin pada tegangan antara kebutuhan melindungi hak individual dengan kepentingan umum; (iii) petani dan pengaruh global, saat ini, petani banyak berhadapan dengan modal besar dalam industri serta orang-orang kaya kota yang memborong tanah di daerah pinggiran kota maupun di perdesaan; (iv) masalah unifikasi hukum agraria kaitannya dengan persatuan dan kesatuan nasional, pemberlakuan hukum (tanah) nasional jika berhadapan dengan hukum adat hendaknya tetap menjamin sumber penghidupan, kepercayaan, harkat, dan martabat mereka sesuai dengan hak asasi mereka. Fungsi hukum agraria di samping menjadi sarana perubahan serta perlindungan normatif, baik pada segmen masyarakat yang telah maju maupun yang masih terbelakang, tetapi juga sekaligus menjaga integritas bangsa dan negara. Bab X Ide dan Konsepsi Undang-Undang Pokok Agraria 1960. Secara ideologis, UUPA merupakan pencerminan tekad dan kemauan bangsa yang sepenuhnya ingin melepaskan belenggu penindasan, anti penjajahan dalam segala bentuknya, dan anti modal asing; pemihakan yang kuat kepada kepentingan rakyat petani; menampilkan identitas asli bangsa yang tercermin dari penetapan hukum adat sebagai hukum agraria nasional; jiwa kesatuan dan persatuan ukuran-ukuran yang dipakai tidak mencerminkan sifat kedaerahan ataupun kesukuan, tetapi persamaan derajat antara pria dan wanita dalam memperoleh hak, mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi walaupun tanpa menghilangkan akar dan nilai tradisional; penonjolan kekuasaan negara atas nama kepentingan umum atau kepentingan masyarakat dalam mengatasi kepentingan perseorangan. Bab XI Undang-undang Pokok Agraria 1960 Ditinjau dari Politik Hukum. Warisan nilai-nilai yang terkandung dalam UUPA yang sampai saat ini masih relevan antara lain: (i) anti penjajahan dan eksploitasi kekayaan Indonesia yang tidak untuk kemakmuran bangsa; (ii) pemihakan yang kuat kepada kepentingan rakyat petani; (iii) kuatnya hasrat menampilkan identitas hukum asli; (iv) egaliter serta persamaan di muka hukum; dan (v) kedudukan negara kuat, sehingga negara dapat menjamin terpenuhinya kepentingan umum. Bab XII Politik Hukum Agraria: Unifikasi atau Pluralisme Hukum. Timbulnya unifikasi hukum sejalan dengan upaya persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh sebab itu, UUPA mencerminkan kehendak yang sejalan dengan persoalan besar bangsa, yaitu menciptakan suatu undang-undang agraria yang sederhana dan menjamin kepastian hukum. Pemberlakuan hukum nasional jika berhadapan dengan hukum adat hendaknya tetap menjamin sumber penghidupan, kepercayaan, harkat, dan martabat mereka sesuai dengan hak asasi manusia. Masyarakat adat dengan hukum adatnya harus dilihat sebagai bagian dari penglihatan nasional yang tidak dapat terpisahkan. Dengan demikian, mengharuskan adanya harmonisasi hukum antara perlindungan kepentingan daerah, termasuk kepentingan masyarakat adat, dengan kepentingan nasional. Hal tersebut dapat diatur lebih lanjut dalam suatu perundang-undangan otonomi daerah. Bab XIII Undang-undang Pokok Agraria: Antara Harapan dan Kenyataan. Salah satu tujuan yang diinginkan UUPA ialah terciptanya keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani. Perjalanan pelaksanaan UUPA masih menimbulkan berbagai persoalan terutama keadilan sosial, seperti terjadinya pertikaian atau sengketa antara pihak-pihak tertentu. Masalah agraria tidak hanya terjadi pada sisi implementasinya, tetapi juga munculnya
kembali persoalan-persoalan lama yang terpendam, dan persoalanpersoalan baru yang diakibatkan oleh perkembangan kebutuhan atas tanah. Persoalan lama yang terjadi misalnya, pemakaian tanah tanpa izin pemilik atau kuasanya dan pengerjaan tanahtanah perkebunan oleh rakyat yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Sementara persoalan baru yang terjadi yakni, masalah pembebasan hak atas tanah, pemalsuan sertipikat, sertipikat asli tapi palsu, persoalan waris dan transaksi tanah. Penyelesaian permasalahan pertanahan seharusnya bukan hanya persoalan yuridis belaka, tetapi juga memasukan alasan kemanusiaan sebagai pertimbangan yang penting. Bab XIV Perkembangan Hukum Agraria dalam Putusan MK Mengenai Hak Menguasai Tanah oleh Negara dan Eksistensi Tanah Adat. Konsideran UUPA yang mencerminkan politik hukum tanah nasional, menimbang perlu adanya hukum agraria nasional yang didasarkan pada hukum adat tentang tanah yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Mengenai hak menguasai negara (HMN) adalah hak tingkatan tertinggi yang dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, yaitu: (1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya; (2) menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air, dan ruang angkasa; (3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Pelaksanaan HMN ini dapat dikuasakan kepada daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, jika diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Hal ini berkenaan dengan asas otonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Namun hal-hal yang berkenaan dengan hak menguasai dari negara yang sangat penting dan menduduki posisi sentral, sebagaimana kedudukan hak milik dalam sistem hukum perdata, tidak diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Perlu segera dilakukan identifikasi eksistensi masyarakat hukum dengan hak ulayatnya atas dasar penelitian dan kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. HMN yang dikuasakan kepada masyarakat adat hendaknya diberikan semacam hak penguasaan kepada masyarakat hukum tersebut. Apabila hak penguasaan tersebut diberikan kepada masyarakat hukum adat untuk bisa bekerjasama dengan pihak ketiga, maka bentuknya adalah hak pengelolaan. Sementara jika hanya digunakan sendiri hendaknya dalam bentuk hak pakai. Perkembangan masyarakat hukum adat hendaknya diarahkan pada tujuan masa depan yang lebih maju, mandiri, dan terbuka agar dapat menyatukan dirinya dengan masyarakat lain. Bab XV Putusan MK yang Berkenaan dengan Sumber Agraria. Eksploitasi hutan, mineral, dan laut oleh perusahaan bermodal besar yang juga berkelindan dengan kepentingan rakyat semakin banyak, baik yang telah muncul di permukaan (konflik terbuka) maupun yang potensial akan muncul. Perkara yang diajukan ke MK merupakan permohonan pengujian undang-undang atau sengketa kewenangan lembaga negara. Beberapa contoh perkara yang telah diputuskan antara lain: (i) Putusan mengenai Privatisasi Minyak dan Gas Bumi; (ii) Putusan mengenai Penanaman Modal; (iii) Putusan mengenai Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral; (iv) dan Putusan mengenai Perkebunan [ih].
buletin tata ruang & pertanahan
23
melihat dari dekat
Sumatera Barat
Akselerasi Penyelesaian Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) dan Integrasinya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
P
ada Tahun 2014, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) memiliki program kerja akselerasi penyelesaian penetapan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Untuk mendukung program tersebut, Kementerian PPN/Bappenas, sebagai anggota Pokja 3 Bidang Koordinasi Perencanaan dan Program Penataan Ruang, melaksanakan kajian best practice penyusunan dan pelaksanaan Perda RZWP-3-K, salah satu lokasinya adalah Provinsi Sumatera Barat. Sumatera Barat telah menyelesaikan RZWP-3-K, dan telah menetapkan RZWP-3-K dan Rencana Tata Ruang Wilayahnya (RTRW) dalam 1 (satu) Perda, yaitu Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012-2032. Secara geografis, Provinsi Sumatera Barat terletak di pesisir barat bagian tengah Pulau Sumatera dengan garis pantai sepanjang 2.420.357 km dengan luas perairan laut 185.850 km2. Kondisi ini menjadikan Sumatera Barat memiliki wilayah pesisir di sebagian besar wilayahnya. Provinsi Sumatera Barat memiliki 7 kabupaten/kota yang memiliki wilayah pesisir, namun belum ada kabupaten/kota yang telah menetapkan Perda RZWP3-K. Kabupaten yang sudah masuk ke dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) adalah kabupaten Agam, kabupaten Padang Pariaman, kabupaten Pasaman Barat; sedangkan yang masih dalam proses review materi teknis adalah kabupaten Pesisir Selatan; dan yang belum proses perda adalah kota Padang, kota Pariaman, dan kabupaten Kepulauan Mentawai. Proses dan prosedur penyusunan RZWP-3-K dan RTRW RZWP-3-K adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. RZWP-3-K ini mencakup wilayah perencanaan daratan dari kecamatan pesisir sampai wilayah perairan paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. RZWP-3-K berlaku hingga 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Penyusunan RTRW Provinsi Sumatera Barat diinisiasi pada tahun 2007 dan ditargetkan selesai pada tahun 2009. Namun karena belum mendapatkan persetujuan substansi kehutanan, RTRW ini baru dilegalkan pada tahun 2012. RTRW ini telah mengintegrasikan muatan perencanaan wilayah pesisir, yang muatan RZWP3-K nya masuk di dalam dokumen naskah akademis RTRW. Tahap penyusunan RZWP-3-K sama dengan RTRW, yakni melalui proses pengumpulan data, penyusunan naskah akademis, proses persetujuan substansi, dan proses legalisasi. Untuk jangka waktu, idealnya proses penyusunan RZWP3-K ini dapat diselesaikan dalam waktu 2-3 tahun. Dengan rincian, tahun pertama untuk membentuk pokja dan mengumpulkan data, tahun kedua untuk menyusun dokumen materi teknis dan Raperda, dan tahun ketiga untuk legalisasi perda. Proses inisiasi penyusunan RZWP3-K di Sumatera Barat sudah dimulai sejak Tahun 2001 – 2004 melalui bantuan program MCRP (Marine and Coastal Resources Management Project). Dalam program ini dipilih juga tiga kabupaten/kota yang menjadi
24
buletin tata ruang & pertanahan
percontohan penyusunan dokumen perencanaan pesisir melalui kegiatan survei dan pemetaan dasar, yaitu kabupaten Padang Pariaman, kabupaten Pesisir Selatan, dan kota Padang. Hasilnya menjadi cikal bakal diterbitkannya Perda No. 2 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K) Provinsi Sumatera Barat. Pihak yang menginisiasi penyusunan regulasi dan naskah akademik Perda PWP3-K Sumatera Barat ini adalah Bappeda Provinsi Sumatera Barat yang kemudian dilanjutkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat. Dalam pengumpulan data, Provinsi Sumatera Barat menggunakan data-data yang sudah tersedia sejak tahun 2004 yang dimutakhirkan kembali. Penyediaan data ini juga merupakan hasil dari program MCRP di tahun 2004. Untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dibutuhkan 12 set peta untuk menyusun dokumen RZPWP3-K, diantaranya: a) Peta Dasar berupa: peta terestrial (peta tanah, topografi, dan kelerengan) serta bathimetri; b) Peta Tematik: peta geologi, peta geomorfologi, peta geografi (peta arus, gelombang, data fisika dan kimia perairan), peta penggunaan lahan, status lahan, dan rencana tata ruang wilayah, peta pemanfaatan wilayah laut, peta sumberdaya air, peta ekosistem pesisir dan sumberdaya ikan, peta infrastruktur, peta demografi dan sosial, serta peta ekonomi wilayah.
sumber: dokumentasi Direktorat TRP, Bappenas
Penyusunan RTRW melibatkan seluruh anggota BKPRD, ditetapkan melalui SK Gubernur Sumatera Barat No. 050395-2013. BKPRD Provinsi Sumatera Barat cukup aktif dan melibatkan banyak SKPD terkait, sehingga tidak ada pembentukan pokja secara khusus untuk menyusun RZWP3-K. Penyusunan RTRW dilakukan melalui diskusi reguler, dan hasilnya telah melalui proses konsultasi publik, proses pembahasan oleh DPRD, serta persetujuan substansi (persub) dari Kementerian Pekerjaan Umum (untuk ruang darat) dan proses pemberian tanggapan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (untuk ruang laut). Untuk menjaga kesinambungan penyusunan antara matra darat dan matra laut, penyusunan RTRW yang sudah terintegrasi ini dilakukan oleh tim yang sama, yakni anggota pokja yang menyusun RTRW sekaligus menyusun RZWP3-K. Kendala Selama proses pengintegrasian, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mengalami kesulitan yang disebabkan beberapa kendala. Pertama, perbedaan nomenklatur yang digunakan UU 26/2007 dan UU 27/2007, misal untuk nomeklatur zona. Kondisi ini menimbulkan kebingungan, termasuk saat pembahasan dengan DPRD. Untuk mengatasinya, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mengusulkan agar pembahasan dan penyusunan naskah akademis antara ruang laut dan ruang darat terpisah. Misal pola dan struktur ruang darat dibahas tersendiri, demikian pula pola dan struktur ruang laut, kemudian dilanjutkan proses harmonisasi, sehingga penyusunan rencana tata ruang yang mengintegrasikan keduan`ya dapat dilakukan.
Sumber: dokumentasi Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Kendala selanjutnya adalah RTRW yang sifatnya masih arahan umum, termasuk muatan RZWP-3-K. Hal ini menyebabkan belum dapat digunakannya dokumen ini sebagai pedoman perizinan, sehingga dibutuhkan rencana rinci untuk mendetailkan zona-zona pemanfaatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Meskipun RZWP-3-K sudah berbicara zonasi, tapi perlu diperhatikan mengenai kedetailan peta yang dihasilkan. Perbedaan terjadi bukan saja pada nomenklatur, tapi juga dalam penggunaan peta. Peta yang digunakan dalam penyusunan RTRW adalah peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), sedangkan dalam penyusunan RZWP3-K adalah peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI). Perbedaannya adalah dalam menentukan batas wilayah pesisir; peta RBI menggunakan acuan penetapan garis pantai berupa 100 m dari muka rata-rata air laut, sedangkan peta LPI menggunakan acuan penetapan garis sempadan pantai yaitu 100 m dari titik air pasang laut tertinggi. Kondisi ini menyebabkan kesenjangan ruang di lapangan yang berbeda jaraknya untuk setiap daerah. Dalam penyusunan RTRW, Provinsi Sumatera Barat menggunakan peta LPI. Banyak pembelajaran yang diperoleh dari Provinsi Sumatera Barat. Selain dapat meminimalkan biaya yang harus dikeluarkan, pengintegrasian RTRW dan RZWP-3-K dapat mencegah terjadinya tumpang tindih penataan ruang darat dan ruang laut dan mengantisipasi konflik pemanfaatan ruang, terutama di kecamatan pesisir. Akselerasi penyusunan dan penetapan Perda RZWP3-K juga banyak diharapkan oleh berbagai pihak, salah satunya lokasi yang dikunjungi, yaitu lokasi Konservasi Penyu di desa Ampar, kota Pariaman, Sumatera Barat, karena akan memiliki kekuatan hukum mengikat dalam perizinan pemanfaatan ruang di kawasan tersebut yang merupakan zona konservasi [rt/zh/gp].
sumber: dokumentasi Direktorat TRP, Bappenas
buletin tata ruang & pertanahan
25
dalam berita
Lokakarya Pengelolaan Pengetahuan (Knowledge Management-KM)
D
irektorat Tata Ruang dan Pertanahan (TRP), Kementerian PPN/Bappenas, menyelenggarakan Lokakarya Pengelolaan Pengetahuan di Hotel Akmani, Jakarta. Selain untuk sosialisasi, lokakarya ini dijadikan media belajar dan berbagi dalam mengupas konsep pengelolaan pengetahuan, serta proses penerapannya secara menyeluruh di Kementerian PPN/Bappenas, khususnya di Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan. Lokakarya ini dibuka oleh Direktur Tata Ruang dan Pertanahan dan dihadiri oleh seluruh Kasubdit dan staf Direktorat TRP. Dalam lokakarya dihadirkan pakar Knowledge Management dan Industrial Management and Engineering, Ir. Haitan Rachman, MT, sebagai narasumber. Lokakarya dibagi ke dalam dua sesi, dengan sesi pertama adalah penjelasan materi pengelolaan pengetahuan; dan sesi kedua adalah pemetaan pengetahuan/Knowledge Mapping (K-Map) TRP melalui diskusi kelompok. Pembahasan materi meliputi: 1) konsep pengelolaan pengetahuan; 2) penyusunan K-Map; 3) pembentukan portal pengetahuan; dan 4) penerapan pengelolaan pengetahuan. Dalam diskusi kelompok para peserta diminta untuk memetakan unit data, informasi, dan pengetahuan di masing-masing subbidang. Pemetaan ini dilakukan dengan menggunakan aplikasi X-Mind untuk memudahkan penyusunan K-Map.
sumber: dokumentasi Direktorat TRP, Bappenas
Setelah melalui diskusi panjang, pada lokakarya ini dihasilkan K-Map TRP yang disusun berdasarkan unit pekerjaan (tugas pokok dan fungsi). Penyusunan K-Map ini menjadi langkah awal untuk penyelenggaraan pengelolaan pengetahuan tahap selanjutnya. Dengan penerapan pengelolaan pengetahuan diharapkan dapat mengoptimalkan pendistribusian informasi secara menyeluruh, serta mengefektifkan dan meningkatkan kualitas kebijakan Tata Ruang dan Pertanahan. Diperlukan upaya dan komitmen yang berkelanjutan untuk mencapai hasil maksimal dari penerapan pengelolaan pengetahuan ini [ay].
Agenda Juli • Penyusunan laporan semester II BKPRN Tahun 2014; • Forum masukan PK RTRWN dan Perpres No. 54 Tahun 2008; • Rapat teknis pelaksanaan penyelarasan implementasi LP2B; • Pelaksanaan pilot project tata batas kawasan hutan; • Pelaksanaan reforma akses; • Penerbitan buletin TRP edisi I Tahun 2014; • Finalisasi laporan materi teknis revisi pedoman penyusunan RTR (kajian SCDRR); • Diskusi dengan pakar kegiatan pengelolaan pengetahuan; • Penyusunan profil pertanahan dan tata ruang; Agustus • Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan reforma agraria; • Pengumpulan dan pengolahan bahan, data dan informasi portal trp; • Monitoring implementasi mekanisme holding zone; • Fasilitasi integrasi kawasan hutan dalam pola RTRW Prov/Kab/ Kota; • Penyusunan agenda dan bahan sidang BKPRN; • Pengumpulan dan pengolahan bahan, data dan informasi BKPRN dan pengembangan e-BKPRN; • Penyusunan pedoman pilot project tata batas hutan dan reforma agraria akses;
26
buletin tata ruang & pertanahan
September • Penyusunan draf naskah RPJMN; • Pertemuan kajian hukum percepatan percepatan penyelesaian penetapan Perda RTRW; • Penyusunan laporan kegiatan sekretariat BKPRN kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas; • Verifikasi data dan informasi spasial cakupan peta dasar pertanahan dan cakupan wilayah bersertifikat; • Penyusunan profil pertanahan dan tata ruang; Oktober • Peluncuran profil tata ruang dan pertanahan; • Sosialisasi penetapan tanah ulayat pada dokumen RTR; November • Penyusunan laporan kegiatan TRP Tahun 2014; • Penyusunan laporan kegiatan RAN Tahun 2014; • Penyusunan laporan kegiatan pengelolaan pengetahuan Tahun 2014; Desember • Penerbitan buletin TRP edisi II Tahun 2014; • Finalisasi laporan kegiatan sekretariat BKPRN kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas; • Penyusunan dan penyampaian laporan tentang pelaksanaan tugas sekretariat BKPRN; • Finalisasi laporan kegiatan pengelolaan pengetahuan [sy].
KLIPING BERITA
T
ahun 2014 ini, negeri kita tercinta mengadakan pesta demokrasi lima tahunan untuk memilih siapa saja calon wakil rakyat yang akan duduk di badan legislatif dan juga memilih presiden sebagai pimpinan tertinggi badan eksekutif. Dengan adanya kemungkinan pergantian kabinet dan kemunculan presiden baru, secara tidak langsung memberikan warna baru terhadap kebijakan-kebijakan baru, termasuk di dalamnya kebijakan mengenai penataan ruang dan pertanahan. Di awal tahun 2014, berbagai berita di media cetak seputar tata ruang dan pertanahan diwarnai dengan permasalahan penyelenggaraan penataan ruang dan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadikan pembangunan kampung deret sebagai salah satu penataan kampung kumuh di Ibukota. Selain itu, Reforma Agraria Nasional (RAN) menjadi kebutuhan mendesak yang menjadi trending topic selama beberapa bulan terakhir. Berikut ringkasan beberapa berita tentang tata ruang dan pertanahan. JANUARI Kawasan terbuka hijau dan lingkungan hidup merupakan isu tata ruang yang hampir selalu dibahas di Januari. Fokus yang ditekankan adalah perlunya penambahan lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang kemudian disesuaikan dengan pelaksanaan Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi. Namun ruang terbuka hijau ini terkendala beberapa faktor, di antaranya: tingkat kepadatan penduduk yang semakin tinggi, harga lahan yang mahal, kesulitan untuk melakukan pembebasan lahan, hingga kebutuhan untuk normalisasi waduk yang berimbas pada daerah resapan yang akan dibangun di ruang terbuka hijau. Berkenaan dengan lingkungan hidup, banjir mendominasi pemberitaan selama beberapa bulan ke belakang. Berdasarkan penelusuran di media online, pemberitaan mengenai banjir Jakarta pada Januari 2014, hingga 26 Januari lalu tercatat sebanyak 6.687 berita. Jumlah ini naik drastis dari bulan yang sama tahun lalu, sekitar 2.211 berita. (Kerjasama Berita tagar dan Indonesia Indicators, Januari 2014). RUU Pertanahan diharapkan sudah selesai disusun sebelum September 2014. Salah satu poin krusial dari RUU Pertanahan ialah terkait tata kelola lahan tanah. RUU Pertanahan merupakan implementasi TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam atau Reformasi Agraria. RUU Pertanahan secara formil akan menggantikan UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, RUU ini diharapkan mengurangi tumpang tindih aturan tanah yang mulai memunculkan sengketa. (Beritasatu, 27 Januari 2014) FEBRUARI Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan DKI Jakarta, Yonathan Pasodung mengatakan, pihaknya dalam tahun ini akan membangun 70 kampung deret baru di lima wilayah di Jakarta. Namun, Yonathan tidak menjelaskan secara rinci lokasi-lokasi baru yang disebutkannya. Yang jelas, pada awal bulan Maret tahun 2014 pihaknya mulai membangun kampung deret tersebut. Yonathan pun mengatakan pembangunan kampung deret yang telah diproyeksikan sejak tahun 2013 sebanyak 26 titik di jakarta kini pembangunannya tengah berlangsung. (Tribun News, 08 Februari 2014) Kekhawatiran sejumlah pihak bahwa penerapan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) bakal menyasar masyarakat sekitar hutan mulai tampak. Jika terus dilakukan, sekitar 30.000 desa di sekitar hutan bisa konflik. UU P3H dinilai lemah dari sisi proses penyusunan yang eksklusif
Sumber: http://www.thejakartapost.com
hingga kelemahan substansi. Organisasi AMAN memperkirakan, konflik disertai kekerasan berupa perampasan tanah, wilayah, dan sumber daya alam di wilayah adat akan meningkat tahun ini. Untuk itu, AMAN mendesak pemerintah serius menerapkan dan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. (Kompas, 11 Februari 2014) Dari 128 daerah aliran sungai di Jawa Tengah, 35 berada dalam kondisi kritis dengan enam di antaranya dalam kondisi sangat kritis dan mendesak untuk ditangani. Hampir semua daerah aliran sungai yang kritis memiliki permasalahan sama, yaitu perubahan tata kelola lahan di hulu hingga daerah-daerah di sepanjang aliran sungai. Untuk itu, perlu dilakukan konservasi sumber daya air. Selain membenahi kawasan tangkapan air, PSDA juga membuat cekdam di kawasan hulu untuk menahan air dari hulu agar tidak melimpas menjadi banjir. (Kompas, 13 Februari 2014) MARET Kementerian Pekerjaan Umum menemukan indikasi pelanggaran tata ruang di 788 titik di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan kawasan Puncak serta Cianjur. Semua pelanggaran tersebut akan diteliti dan dianalisis dengan melibatkan 12 pakar hukum. Tidak hanya di Jabodetabek, Puncak, dan Cianjur, pelanggaran tata ruang juga terindikasi terjadi di banyak daerah, antara lain di Makassar dan kawasan situs Trowulan di Jawa Timur. Di Makassar, pelanggaran terjadi karena ada pembangunan apartemen di lahan
buletin tata ruang & pertanahan
27
yang tidak sesuai peruntukan. Di situs Trowulan, dinyatakan ada pelanggaran karena di situs bersejarah tersebut belum ditetapkan zonasi. Selain itu, pelanggaran tata ruang juga terjadi di kawasan lereng Gunung Merapi. (Kompas, 17 Maret 2014) Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengaku saat ini kemampuan membuat sertifikat tanah per tahun hanya 2 juta hektar. Untuk 41 juta hektar tanah yang belum disertifikasi di Indonesia, butuh 21 tahun lebih untuk merampungkannya. Luas tanah daratan di Indonesia mencapai 180 juta hektar. Dari total luas daratan tersebut, seluas 41,3 juta hektar belum ada sertifikat tanahnya. (Detik Finance, 21 Maret 2014) Penataan Waduk Pluit, Jakarta Utara, setahun terakhir menjadi tonggak untuk menata Jakarta. Keruwetan masalah yang bertumpuk sejak puluhan tahun silam diselesaikan melalui pendekatan manusiawi. Kawasan ini menjadi cermin kompleksnya persoalan Jakarta, dari tata ruang, perumahan, tata kelola air, hingga sosial-ekonomi. Setelah banjir Januari 2013, Pemerintah DKI Jakarta merelokasi penghuni bantaran Waduk Pluit ke rumah susun. Kini, sekitar 10 hektar lahan di sisi barat waduk telah berubah menjadi taman kota. (Kompas, 27 Maret 2014) APRIL Saat ini, pemerintah diminta membenahi sistem dan agenda reformasi agraria untuk membangun rasa keadilan dan memperkuat daya tahan masyarakat. Di Indonesia, rasio gini tanah adalah 0,72, konsesi hutan seluas 35,7 hektar dikuasai pengusaha. Dari sisi usaha, perusahaan bermodal besar menguasai 11 juta hektar kelapa sawit dan 28,27 juta hektar pertambangan. Di sisi lain, jumlah petani gurem menurun dan pertambahan jumlah petani berlahan lebih dari tiga hektar. (Kompas, 09 April 2014) Draf RPP Gambut mengakui aspek legal penguasaan yang eksis di lahan gambut. Artinya, perusahaan yang belum atau sudah beroperasi akan diizinkan memanfaatkan lahan gambut hingga masa izin berlakunya habis. Pilihan itu berisiko pembiaran terjadinya kerusakan lingkungan. Isi regulasi turunan dari UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup itu oleh sejumlah pihak dinilai konservatif, meski belum rinci mengatur pemulihan ekosistem gambut yang rusak. RPP Gambut juga mengamanatkan minimal 30 persen dari ekosistem gambut menjadi daerah lindung. (Kompas, 14 April 2014) MEI Bupati Bogor, Rachmat Yasin dan Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Muhammad Zairin, terjaring OTT tim KPK pada Rabu (7/5/2014). Mereka diduga menerima suap Rp1,5 miliar dari petinggi PT Bukit Jonggol Asri (PT BJA), Francis Xaverius Yoseph Yap. KPK menduga kuat ada sejumlah penyelenggara negara dan pihak swasta yang terlibat suap dalam rekomendasi
lahan gambut (dok / antara)
28
buletin tata ruang & pertanahan
izin alih fungsi lahan hutan lindung di kawasan Bojong-PuncakCianjur (Bopunjur) seluas 2.754 hektar. KPK akan mengembangkan dan mengungkap pihak-pihak yang berperan turut membantu pemulusan rekomendasi izin alih fungsi hutan lindung di Bogor itu. (Tribun News, 09 Mei 2014) Komnas HAM membentuk inkuiri nasional tentang hak masyarakat hukum adat atas wilayahnya di kawasan hutan. Hak masyarakat hukum adat adalah salah satu prioritas Komnas HAM. Berdasarkan catatan Komnas HAM, sengketa lahan banyak menimpa masyarakat hukum adat. Dari tahun ke tahun pelanggaran terhadap hak masyarakat adat dan sengketa lahan cenderung meningkat. Pada 2013 lebih dari 1.400 pengaduan ke Komnas HAM berkaitan dengan konflik agraria. Sengketa lahan atau konflik agraria menempati posisi kedua tertinggi setelah kekerasan oleh aparat. Penyelesaian sengketa lahan cenderung lebih rumit karena kewenangan yang dimiliki Komnas HAM terbatas. (Kompas, 20 Mei 2014) JUNI
lahan MRT (sumber: www.jawapos.com)
Pembangunan mega proyek mass rapid transit terhambat belum bebasnya lahan di sejumlah titik penting. Apabila dalam 1-2 bulan ke depan pembebasan lahan belum selesai, pengoperasian MRT terancam molor dari target awal tahun 2018. Klaim waktu dan biaya dari kontraktor pun semakin bertambah. Pembebasan lahan Perum Polri menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dan Kementerian Keuangan. PT MRT Jakarta menargetkan lahan ini sudah bebas pada April 2014, tetapi sampai Juni belum juga bebas. (Kompas, 04 Juni 2014) Bertepatan dengan HUT Bogor, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bogor membagi 1.075 sertpikat tanah kepada warga tak mampu. Sampai tahun ini, BPN menargetkan sertifikasi aset dalam Program Nasional Agraria (Prona) hingga 2.000 bidang. Dalam pembuatan sertifikat tanah gratis ini, masyarakat tidak dibebani biaya. Mereka hanya diminta mempersiapkan surat atas hak tanah beserta bukti penyelesaian pajak (BBHTB/PPH), materai, dan pemasangan tanda batas tanah, sedangkan biaya lainnya seperti pengukuran, pemeriksaan tanah dan penerbitan SK Hak dan Penerbitan Sertifikat ditanggung APBN dan APBD. (Poskotanews, 05 Juni 2014)[ay]. Untuk membaca lebih lengkap seluruh berita-berita tersebut, silakan mengunjungi website kami di www.tataruangpertanahan. com dan bergabung di milis Tata Ruang dan Pertanahan http://groups.google.com/group/tata-ruang-dan-pertanahan.
K
ementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyelenggarakan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Tahun 2014 dengan tema “Melanjutkan Reformasi bagi Percepatan Pembangunan Ekonomi yang Berkeadilan.” Acara Musrenbangnas 2014 dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan didampingi oleh Wakil Presiden Boediono dan para menteri yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Hadir pula para pimpinan lembaga negara, unsur legislatif (DPR dan DPD), Sekjen dan Sestama Kementerian/Lembaga serta Gubernur, Walikota/Bupati, dan Kepala Bappeda Provinsi dan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia. Tujuan penyelenggaraan rangkaian Musrenbangnas Tahun 2014 adalah: (1) melakukan penyempurnaan rancangan awal RKP 2015 menjadi rancangan akhir RKP 2015; (2) melakukan penyerasian dan penyempurnaan rancangan Rencana Kerja Kementerian/ Lembaga (Renja K/L) 2015; (3) melakukan penyerasian program, kegiatan, indikator serta lokasi kegiatan dan pagu anggaran yang disusun oleh K/L dan pemerintah provinsi sesuai dengan tema dan prioritas pembangunan Tahun 2015; (4) memperkuat koordinasi dan sinergi pembangunan baik melalui kerangka regulasi (peraturan perundang-undangan) maupun kerangka anggaran agar terwujud penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan; serta (5) menyediakan arahan bagi penyempurnaan rancangan akhir Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2015. Penyelenggaraan Musrenbangnas merupakan amanat UndangUndang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU-SPPN) sebagai salah satu tahap yang harus dilalui dalam proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan. “Kegiatan ini dianggap sangat penting karena akan menentukan arah pembangunan, baik nasional maupun daerah,” ujar Dr. Ir. Imron Bulkin, MRP, Deputi Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Musrenbangnas adalah wahana untuk mempertemukan hasil perencanaan teknokratis-partisipatif yang dilakukan K/L dengan pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan lainnya dalam rangka menyerasikan perencanaan nasional dan daerah. Pelaksanaan Musrenbangnas telah dilaksanakan sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan. Keluaran yang dihasilkan melalui pelaksanaan Musrenbangnas Tahun 2014 adalah: (1) masukan bahan penyempurnaan Rancangan Akhir RKP 2015; (2) masukan bahan penyempurnaan Renja K/L 2015; serta (3) masukan bahan penyempurnaan RKPD 2015. Pameran Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2014 Pameran Perencanaan Pembangunan Nasional 2014 merupakan salah satu bagian dari rangkaian acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2014. Pameran ini
sumber: dokumen Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
dibuka oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas, Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, dan ditinjau oleh Presiden Republik Indonesia. Tujuan penyelenggaraan pameran adalah untuk mensosialisasikan hasil pelaksanaan pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I dan II, serta berbagi informasi mengenai keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang dilakukan secara inovatif oleh para pemangku kepentingan di Indonesia. Tema pameran pada tahun ini adalah “Melanjutkan Reformasi bagi Percepatan Pembangunan Ekonomi yang Berkeadilan”, yang terbagi menjadi empat subtema, yakni: (1) penyiapan landasan pembangunan yang kokoh; (2) pembangunan ekonomi yang berkeadilan; (3) peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan; dan (4) pemerataan pembangunan wilayah. Seiring dengan pelaksanaan pameran, diselenggarakan pula Diskusi Interaktif yang menggali kisah sukses, inspiratif, dan inovatif dalam pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan percepatan pembangunan ekonomi yang berkeadilan. Diskusi ini menghadirkan berbagai narasumber dari Pemerintah, LSM, universitas, mitra pembangunan, dan masyarakat. Topik yang diangkat meliputi: (1) Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN): pelaksanaan dan implikasi; (2) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS); (3) kemajuan industri dan infrastruktur indonesia; (4) penyediaan infrastruktur dengan skema kerjasama pemerintah dan swasta (KPS); (5) inovasi pelayanan publik; (6) percepatan dan perluasan pengurangan kemiskinan di Indonesia; (7) langkah-langkah strategis mengatasi kesenjangan wilayah; dan (8) pembangunan daerah tertinggal dan perbatasan. Melalui pameran ini juga diharapkan dapat menumbuhkan pemahaman yang sama tentang proses perencanaan dan pengendalian pembangunan bagi para pemangku kepentingan [ay/ gp].
buletin tata ruang & pertanahan
29
dalam berita
Pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Tahun 2014
Status Penyelesaian Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi
Gambar 1 Status Peraturan Daerah tentang RTRW Provinsi di Indonesia Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) berperan penting dalam pembangunan, terutama di daerah. Beberapa fungsinya antara lain sebagai pedoman untuk: 1) penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), 2) pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; 3) mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah, serta keserasian antarsektor; dan 4) penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 mengamanatkan pada setiap provinsi, kabupaten, dan kota untuk menyusun RTRWnya. Hingga Juni 2014, 25 dari 33 provinsi di Indonesia sudah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) RTRW-nya. Pada Gambar 1 dapat dilihat provinsi-provinsi yang sudah dan belum menetapkan Perda RTRW-nya. Terdapat 8 provinsi yang belum menyelesaikan Perda RTRWnya. Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Riau statusnya masih menunggu Persetujuan Substansi dari Menteri Kehutanan, sedangkan 6 provinsi lainnya masih menunggu proses penyelesaian Raperda RTRW-nya di DPRD dan evaluasi di Kementerian Dalam Negeri. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1 berikut [gp/zh].
No.
Provinsi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Kep. Riau Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur JUMLAH
A B
buletin tata ruang & pertanahan
8
8
8
8
6
0
Proses Revisi Proses Persetujuan Substansi B1 : Proses Persetujuan Substansi Teknis PU B2 : Proses Persetujuan Substansi Kehutanan Memperoleh Persetujuan Substansi
C C1 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri PU
D
30
Status Penyelesaian RTRWP yang Belum Perda B C A D B1 B2 C1 C2
C2 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri Kehutanan Penetapan Perda RTRW
Konferensi Indonesian Regional Science Association (IRSA) ke-12
“Political Economy of Regional Development in Indonesia”
D
Gambar 1 Uke Muhammad Husein, S.Si, MPP, Kasubdit Pertanahan, presentasi rancangan kebijakan bidang pertanahan 2015-2019 dalam konferensi IRSA
kebutuhan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Pembentukan bank tanah ini juga dilakukan sebagai upaya pengendalian agar tanah dapat digunakan sesuai dengan peruntukan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sementara itu, Aswicaksana mengemukakan 3 (tiga) isu utama bidang tata ruang yaitu: (i) belum efektifnya pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang; (ii) belum dijadikannya RTRW sebagai acuan pembangunan berbagai sektor; dan (iii) belum efektifnya kelembagaan penyelenggaraan penataan ruang. Ketiga hal tersebut merupakan identifikasi yang didasarkan pada arahan RPJPN dalam bidang tata ruang, hasil evaluasi RPJMN 2010-2014, dan tantangan ke depan. Aswicaksana juga menyampaikan mengenai kebijakan bidang tata ruang tahun 2015-2019, diantaranya: (i) meningkatkan ketersediaan dan efektifitas regulasi tata ruang melalui pengembangan dan harmonisasi regulasi; (ii) meningkatkan kapasitas SDM dan penguatan kelembagaan penataan ruang; (iii) mengembangkan rencana tata ruang yang berkualitas dan tepat waktu; (iv) meningkatkan kualitas pelaksanaan pembangunan melalui internalisasi RTR dalam rencana pembangunan sektoral; (v) menegakkan aturan zonasi, insentif, disinsentif dan pemberian sanksi secara konsisten; dan (vi) melaksanakan evaluasi penyelenggaraan penataan ruang [uk/ih/as/ay].
tahukah anda
alam rangka berbagi hasil penelitian dan mendiskusikan topik terkini tentang aspek regional dari berbagai isu, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mengikuti konferensi Indonesian Regional Science Association (IRSA) ke-12 yang mengangkat tema “Political Economy of Regional Development in Indonesia,” pada tanggal 2-3 Juni 2014 di Hotel Aryaduta, Makasar. Konferensi ini merupakan kegiatan reguler IRSA yang menjadi tempat bagi para ilmuwan dan peneliti lokal dan internasional dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda untuk berbagi hasil kajiannya, terutama di bidang keilmuan kewilayahan. Pada konferensi IRSA ke-12 ini turut serta pula Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Sekretaris Kabinet, dan beberapa perguruan tinggi negeri, seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Universitas Sebelas Maret, dan Universitas Hasanuddin Makasar. Pada hari ke-2, secara paralel Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas, mempresentasikan dua makalah, yaitu: (i) Background Study of The National Medium Term Development Plan 2015-2019 oleh Uke Mohammad Hussein, SSi., MPP, Kasubdit Pertanahan, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas; dan (ii) Spatial Planning Policy: Third National Medium Term Development Plan’s Background Study oleh Aswicaksana ST, MT, MSc, staf fungsional perencana Bappenas. Dalam pemaparannya, Uke Mohammad Hussein menyampaikan bahwa kasus pertanahan masih marak terjadi di Indonesia, bahkan beberapa kasus menjadi isu nasional. Kebijakan bidang pertanahan saat ini masih perlu penyempurnaan. Mengingat Tahun 2014 merupakan tahun penyusunan RPJMN 2015-2019, di Bidang Pertanahan, diusulkan beberapa kebijakan, yaitu (i) perubahan sistem pendaftaran tanah negatif menjadi positif; (ii) redistribusi tanah dan reforma akses; (iii) kamar khusus pertanahan di pengadilan negeri; (iv) pembentukan Bank Tanah; dan (v) peningkatan jumlah proporsi Sumber Daya Manusia (SDM) bidang pertanahan khusus juru ukur. Dalam diskusi, pembahasan tentang Bank Tanah cukup menarik perhatian peserta konferensi. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa bank tanah ini merupakan upaya pemerintah dalam mencadangkan
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.
Gambar 2 Aswicaksana ST, MT, MSc presentasi rancangan kebijakan bidang tata ruang 2015-2019 dalam konferensi IRSA
Sumber: : Undang-Undang No. 25 Tahun 2004
buletin tata ruang & pertanahan
31
Pelaksanaan Pemantauan Penataan Ruang di Kota Malang
www.tataruangpertanahan.com
Kota Malang telah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang Tahun 2010-2030. Penyusunan RTRW Kota Malang mengacu kepada arahan RTRW Provinsi Jawa Timur dan diintegrasikan dengan RPJMD Kota Malang. Pada proses penyusunannya, RTRW Kota Malang belum mengakomodir Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dikarenakan RTRW Kota Malang direncanakan tidak terdapat sawah (berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Provinsi Jawa Timur yang menargetkan 0 ha sawah untuk kota Malang dan kota Surabaya), meskipun dalam kondisi eksisitingnya masih terdapat sekitar 700 ha sawah di Kota Malang. Informasi ini didapat dari hasil telaah dan pemantauan dalam penyelenggaraan penataan ruang di kota Malang yang dilakukan oleh Sekretariat Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), pada Jumat, 23 Mei 2014. “Implementasi RTRW Kota Malang belum cukup efektif, terutama dalam hal perizinan dikarenakan belum adanya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR),” ungkap Kabid Tata Kota Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Malang Diah A. Kusumadewi. Saat ini, RDTR Kota Malang sedang dalam tahap Persetujuan Substansi (Persub) ke Provinsi, namun masih terkendala penyediaan peta dikarenakan peta yang disajikan belum informatif dan masih terdapat beberapa kesalahan teknis. Pada Tahun 2003, Kota Malang mendapat bantuan dari Kementerian Pekerjaan Umum untuk penyediaan peta udara dengan skala 1:1.000. Peta ini kemudian dijadikan dasar dalam penyusunan peta untuk RDTR. Pada tahun yang sama, Pemerintah Kota Malang menggunakan citra satelit untuk pemutakhiran peta yang sudah ada dengan menggunakan teknik quick bird.
32
buletin tata ruang & pertanahan
sumber: dokumen Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Beberapa permasalahan pun kerap dialami dalam penyelenggaran penataan ruang tersebut, salah satunya termasuk perizinan. Belum kuatnya perizinan berdampak pada sulitnya Pemerintah Kota Malang dalam mengendalian pemanfaatan ruang, terutama jika menyangkut penindakan pelanggaran penataan bangunan. Selama ini, Bappeda Kota Malang hanya dapat memberikan rekomendasi pelanggaran, namun untuk penindakan pelanggaran hanya dapat dilakukan oleh Satpol PP setelah mendapat arahan dari Walikota Malang. Penindakan yang dilakukan oleh Walikota Malang pun sebatas pada tindak pindana ringan berdasarkan putusan pengadilan. Demi memperkuat pengendalian pemanfaatan ruang, saat ini sedang disusun Rancangan Peraturan Walikota Malang mengenai Insentif dan Disinsentif Penataan Ruang Kota Malang. Mengingat bahwa Perda RTRW Kota Malang ditetapkan pada tahun 2011, maka Pemkot Malang merencanakan untuk mempersiapkan peninjauan kembali (PK) RTRW pada tahun 2015, untuk kemudian melakukan PK pada tahun 2016 [oc/cw].
Lokakarya Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana (PRB) penyempurnaan. Ridwan dari BNPB, dan Tavip dari Ditjen Bina Bangda Kementerian Dalam Negeri, yang menjelaskan penguatan kelembagaan. Rekomendasi yang dihasilkan pada lokakarya ini diusulkan untuk BNPB dan BKPRN. Dalam mendukung pengarusutamaan PRB dalam RTR, BNPB diharapkan berkoordinasi dengan BKPRN dalam menetapkan daerah yang perlu diprioritaskan pembuatan peta dasarnya berdasarkan kelas risiko suatu daerah, mendorong agar Pemerintah Daerah memrioritaskan pembentukan dan penguatan BPBD baik itu sumber daya manusia maupun anggaran, mendorong percepatan penyusunan RPB di kabupaten/kota; dan merumuskan kelas risiko yang lebih rinci (tidak hanya tinggi, sedang, rendah). Secara umum, baik K/L maupun pemerintah daerah mendukung pengarusutamaan PRB ke dalam RTR, namun harus dimuat ke dalam 1 (satu) pedoman saja. Mengingat selain kajian ini, Kementerian Pekerjaan Umum sudah membuat legal drafting penyusunan RTR di kawasan rawan bencana, dan Kementerian Dalam Negeri bekerjasama dengan Badan Geologi sedang menyusun pedoman serupa untuk penerapannya ke daerah [gp/ay].
sumber: dokumen Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
landspatial bappenas on
Melanjutkan rangkaian kegiatan dari Focus Group Discussion yang telah dilakukan sebelumnya di Jakarta pada 10 Juni 2014, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas menyelenggarakan Lokakarya dengan tema “Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana”. Lokakarya yang dilakukan pada tanggal 30 Juni 2014 di Hotel Akmani ini bertujuan untuk mendiseminasi materi teknis revisi pedoman penyusunan RTR berdasarkan perspektif PRB dan membangun komitmen perlunya pengarusutamaan PRB ke dalam RTR dan perumusan rencana tindak lanjut hasil kajian dan lokakarya. Pada sambutannya, Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, MSi, menjelaskan proyek Safer Communities through Disaster Risk Reduction (SCDRR) di Kementerian PPN/Bappenas telah dimulai sejak tahun 2003. Proyek ini merupakan kerjasama antara UNDP, BNPB, dan Kementerian PPN/Bappenas. Aryawan memaparkan pula bahwa proyek SC-DRR ini dilakukan oleh dua Direktorat di Kementerian PPN/Bappenas, yakni Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal dan Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan. Pada lokakarya ini, Gita Chandrika selaku tenaga ahli kajian dari SC-DRR, menyampaikan Materi teknis yang meliputi: 1) kedudukan materi teknis; 2) integrasi dokumen/proses dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTRW Provinsi dan RTR KSN; 3) koordinasi kelembagaan; 4) keterkaitan KLHS dan kajian risiko bencana dalam rencana tata ruang; dan 5) penyepakatan rencana tindak lanjut. Hadir pula Eka Aurihan, Kasubdit Pengaturan Dit. Binda II Kementerian PU, yang menjelaskan standar Perencanaan Tata Ruang di Kawasan Rawan Bencana yang tengah dalam proses
buletin tata ruang & pertanahan
33
Menyusun Babak Baru Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan: RPJMN 2015-2019
buletin tata ruang & pertanahan
i