Menuju Studi Kompleksitas Musik Indonesia Hokky Situngkir [
[email protected]] Dept. Computational Sociology – Bandung Fe Institute Research Fellow Surya Research International th
August 8 2007
Abstract We see some complex properties from Indonesian music discography by means of music as perceived by Indonesian people. This covers the folk songs, national anthems, popular songs by Indonesian modern artists and performers and also from western popular and classical music as reference. The self‐similarity is drawn by using the model of gyration and the internal dynamics of the pitches and durations used in songs is observed by using the logarithmic spiral model. The employed entropy model is also discussed as well as introduction to the calculated dynamic complexity of melodic structure. Some generalization on the flow of music respect to the dynamic complexity is also shown. We discover that at least there are two phases in the played song: the shorter introductory phase that ends in the peak of complexity of the song and the attenuating phase of complexity in which the multiple equilibria of the song is measured. The paper draws some interesting aspects regarding to those parameters and variables on Indonesian melodic corpora. Keywords: music, self‐similarity, spiraling effect in music, melodic entropy, complexity.
1
wrote a song for everyone, wrote a song for truth, wrote a song for everyone, and I couldn’t even talk to you John Fogerty ‐ Creedence Clearwater Revival
1. Prolog Indonesia merupakan tempat tumbuhnya beragam etnik dan aspek kultural. Artifak budaya yang sangat menarik dalam kultur modern adalah musik. Dalam kultur modern Indonesia, setidaknya terdapat empat tipe musik yang populer di kalangan masyarakat : lagu daerah, lagu (wajib) nasional, lagu‐lagu pop Indonesia dan beberapa lagu pop internasional yang secara industrial didominasi oleh produsen musik barat. Dalam makalah sebelumnya [10], telah dibahas kemungkinan observasi melodi sebagai “bahasa” dengan menggunakan pendekatan statistik yang mengikuti hukum Zipf‐ Mandelbrot. Musik merupakan artifak yang kompleks yang tersusun dari berbagai macam komponen seperti tone, pitch, ritme, tempo, kontur, timbre, volume, lokasi spasial, dan reveberasi/gaung [12]. Walaupun begitu, untuk menyederhanakan pendekatan, kita hanya menggunakan melodi sebagai elemen yang paling penting dari musik, yang terdiri dari pitch serta durasi dalam sebuah lagu [7]. Makalah ini memaparkan observasi mengenai kompleksitas korpora musik Indonesia yang tentu bersamaan dengan beberapa diskografi musik klasik barat sebagai referensinya. Apa yang kita maksudkan disini mengenai observasi statistik adalah diskusi mengenai pengungkapan bentuk kompleksitas dari beberapa melodi Indonesia. Kompleksitas dapat dilihat secara instan dengan membaca kontur musik yang unik dari melodi, kesamaan terhadap diri‐sendiri (self‐similarities) dari beberapa lagu dengan beberapa kemungkinan model analitik untuk melihat masing‐masing fraktal geometrinya, dinamika entropi melodi serta pengukuran kompleksitas yang melekat di dalamnya. Motivasi dari paper ini adalah untuk melihat tipe/genre yang unik dari melodi yang digambarkan melalui model kuantitatif yang spesifik. Tentunya terdapat banyak arahan penelitian yang menarik yang dapat diambil dalam penyusunan makalah ini dengan tujuan untuk mengungkap struktur melodik dari musikalitas Indonesia. Terdapat beberapa hasil penelitian yang terkait dengan penelitian ini yang juga memperkuat observasi yang ditampilkan disini. Penelitian mengenai aspek kognitif musikal lintas budaya yang dibahas oleh Toivianen dan Eerola [13], analisis matematis dari beberapa lagu Turki [4] merupakan dua di antaranya. Perhatian terhadap musikologi banyak dilakukan dan tentunya bahkan lebih luas 2
dari itu. Dalam antropologi, beberapa penelitian tertarik akan khazanah klasifikasi dan kategorisasi musik berdasarkan kebudayaannya, sementara beberapa penelitian lain terlibat dalam penciptaan sebuah musik generatif dengan pola tertentu [1], [3]. Makalah ini berharap bahwa bentuk kuantitatif spesifik yang diungkapkan dalam penelitian dapat dijadikan masukan dan arahan yang baik serta dapat bermanfaat untuk tujuan‐tujuan tertentu. Dalam studi sosiologi dan komunikasi, proses akulturasi dalam masyarakat dapat mempengaruhi produksi artifak yang baru. Dalam hal musik, melodi sebagai elemen terpenting dari musik, tidak dapat dipungkiri merupakan entitas dari hal tersebut. Sebagai contoh, presentasi dan produksi dari musik tradisional sekarang ini tidak sepenuhnya menggunakan artifak kebudayaan asli. Lagu daerah Jawa misalnya, campur sari, merupakan satu dari banyak interaksi musikal di antara beberapa kebudayaan/kultur. Dugaan mengenai hal ini dapat dilihat dengan adanya hasil penelitian yang menunjukkan aspek yang sangat beragam mengenai pencarian terhadap musik di bagian lain di dunia yang dilakukan oleh beberapa pioner yang melakukan observasi dengan menggunakan pendekatan statistik yang serupa.
SONGS (sometimes polyphonic) SONGS (sometimes polyphonic) LAGU (terkadang polifonik)
Melodi monofonis
pitches
durasi (dalam deti)
Representasi biner
Representasi biner
REPRESENTASI DESIMAL
ANALISIS
Gambar 1. Persiapan data untuk analisis
3
Sttruktur dari m makalah ini dapat digambarkan sebagaai berikut. Kitta memperkeenalkan konseep dasar yang berhubungan dengan struktur data yang digunakan d dalam penelitian ini daan mengingaatkan kemballi beberapa aspek a dari peersiapan data yang telah didiskusikan n secara detaail dalam maakalah sebelumnya [11]. Bagian ini diiku uti dengan diskusi mengen nai beberapa aspek melod dik yang berh hubungan deengan kesamaaan diri (selff‐similiarity) dan d gambaran radial dari melodi dalam suatu korpus musikal tertentu. Bagian B selanjjutnya mend diskusikan mengenai beb berapa konseep entropi yang y kita gabungkan dallam analisis dan ekstrakksi informasi dari diskoggrafi yang kitta observasi. Beberapa diskusi umum m mengenaii kompleksitaas dalam mu usik khususn nya musikolo ogi Indonesiaa sebagai hassil dari observasi yang kita k lakukan dibahas dibaagian selanjutnya dan jugga beberapa kemungkinan arahan yan ng akan datan ng juga turut d digambarkan. Gambar 2. G Gambaran notassi ke 16‐35 dari lagu Bubuy Bula an (lagu daerah U USnda) dalam peenggambaran ko ontur melodi yan ng standar (atas) dan transformasi yang digunakan daalam makalah ini (bawah)
4
2. Melodi dalam Lagu‐lagu Indonesia Ketika kita membicarakan mengenai lagu‐lagu Indonesia, sebenarnya kita sedang berhadapan dengan sesuatu yang lebih rumit daripada apa yang secara intuitif dapat dibayangkan mengenai musik nasional. Ada banyak tipe dan genre musik yang dinikmati oleh masyarakat Indonesia, mulai dari musik etnis, lagu nasional, lagu‐lagu populer dan tentu saja lagu pop barat yang terkenal se‐seantero dunia. Pendekatan statistik dari musik tidak akan pernah cukup dengan produksi musik yang selalu bergerak cepat dan penuh dengan ide inovatif dan artistik dari musisi atau artis yang senantiasa hidup dan dinamis. Dari sini perkembangan metode komputasional yang juga bergerak dengan cepat seiring kemajuan komputasi diharapkan mampu untuk mengeksploitasi kebutuhan analisis di masa yang akan datang. Dalam makalah ini, kita menggunakan notasi monofonik dalam menganalisis lagu‐lagu yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia. Dalam proses kerjanya, kita perlu “membersihkan” lagu sebelum kita dapat menganalisanya dan metode “pembersihan” tersebut dilakukan dengan menghilangkan beberapa aspek polifonik agar sesuai dengan kebutuhan pemodelan matematis yang ingin dilakukan. Prosedur yang kita lakukan sebelum analisis ditunjukkan pada gambar 1. Diskusi yang lebih terperinci mengenai persiapan data dapat kita lihat di [10]. Inti representasi data ini adalah untuk mendapatkan representasi tunggal dari pitch dan durasinya. Jantung dari analisis yang kita tawarkan dalam analisis ini adalah perbedaan elemen pitch dan durasi dalam korpus musikal. Jadi, kita akan mendapatkan kumpulan angka desimal θ d ↔ θb yang masing‐masing tersusun atas pitch dan durasi dalam bentuk biner pra‐analisis. Argumentasi untuk mendapatkan model dalam lagu didasarkan pada bahwa pada kenyataanya akan lebih nyaman untuk memperbincangkan notasi secara langsung dengan durasi yang bersangkutan dalam menganalisis lagu. [10]. Gambar 2 menunjukkan bahwa dengan representasi yang kita gunakan, hasil dari rangkaian kontur notasi dalam lagu tidak terlalu berbeda dengan yang diperlihatkan oleh representasi kontur melodik “standar” (penulisan notasi yang digambarkan dengan angka desimal dalam urutannya dan irama waktu dalam sumbu horizontal). Kita menggunakan representasi θ d (yang dinormalisasikan dengan nilai maksimumnya dalam setiap rangkaian sehingga θ d = [0,1] ) untuk menganalisa lebih dari seratus diskografi Indonesia yang didefinisikan sebagai lagu yang dikenal secara umum oleh masyarakat Indonesia dengan klasifikasi sebagai berikut, •
Lagu‐lagu Daerah Indonesia, lagu yang biasanya disertai dengan lirik dan melodi yang memiliki pola yang sensitif terhadap kultur termasuk bahasa daerah tertentu. Walaupun begitu, beberapa lagu etnis dan tradisional memiliki tema yang bersifat nasional sementara yang biasanya mengenai kehidupan dinamis masyarakat lokal yang dirasakan oleh artis dan
5
masyarakat tradisional tersebut. Lagu‐lagu di kategori ini diberi nama sesuai dengan masing‐ masing kebudayaan mereka, sebagai contoh, lagu daerah Jawa (Suwe Ora Jamu), lagu daerah Minang (Ayam den Lapeh), lagu daerah Sunda (Bubuy Bulan), lagu daerah Maluku (Hela Rotan) dan lain sebagainya. •
Lagu‐lagu Nasional, lagu‐lagu dengan tema patriotik yang mengekspresikan hidup sebagai warga Indonesia, pada umumnya menggunakan lirik dalam bahasa Indonesia dan dinyanyikan di berbagai tempat dan acara di Indonesia. Beberapa lagu dalam kategori ini antara lain Gugur Bunga, Indonesia Pusaka, Satu Nusa Satu Bangsa. Beberapa lagu dalam kategori ini memiliki pola Musik Kerocong, yaitu musik yang populer diantara penduduk di kawasan Jawa, contohnya dalam lagu Sepasang Mata Bola.
•
Lagu‐lagu Populer Indonesia, lagu‐lagu populer modern yang disiarkan di media massa dan menjadi bagian dari kebanyakan kultur populer diantara anak muda. Walaupun begitu, seperti halnya beberapa musik dan lagu pop barat, terdapat sensitifitas waktu dalam kategori lagu ini. Beberapa lagu dalam kategori diskografi kita ini antara lain: Kugadaikan Cintaku (dinyanyikan oleh Gomloh), Bunda (dinyanyikan oleh Potret), Juwita Malam (lagu populer klasik yang belakangan kerap dirilis kembali oleh beberapa artis), Dibalas dengan Dusta (dinyanyikan oleh Audi).
•
Lagu Internasional, kategori ini digunakan dengan tujuan sebagai referensi bagi lagu‐lagu populer Indonesia. Beberapa lagu dalam kategori ini antara lain: I Want to Break Free (Queen), Morning Has Broken (Cat Stevens), Now and Forever (Richard Marx), It Must Have Been Love (Roxette).
•
Melodi dari Korpus Klasik, bentuk original dari kategori ini adalah dalam bentuk simfoni, opera dan lain‐lain. Kita menggunakan beberapa lagu yang terbatas sebagai referensi kategori sebelumnya.
3. Persamaan Diri Melodis (Melodic Self‐similarity) Gambar 2 menunjukkan naik turunnya notasi sesuai dengan durasinya. Secara mendasar kita juga dapat menampilkan kontur melodik dalam gambar diagram fasa transisional dari satu notasi ke notasi lainnya, θ d (τ ) vs θ d (τ + 1) [10]. Gündüz & Gündüz [4] memperlihatkan bahwa kita dapat melihat struktur internal dari sebuah lagu dengan memulai observasi kita dari sini. Penelitian sebelumnya dalam hal pengenalan pola untuk data deret waktu (time series data) juga telah menggunakan metode ini [9]. 6
Gambar 3. Garis tren norm malisasi dalam fase ruang θ d (τ ) vs θ d (τ
+ 1) dari lagu populeer Indonesia, “KKaulah Segalanyaa”
y yang dipopulerka an oleh Ruth Sah hanaya.
G Gambar 4. Visua lisasi gerakan raadial dari dua laggu populer, “Kau ulah Segalanya” dinyanyikan oleeh Ruth Sahanayya dan “It Must Have Been n Love” oleh Roxxette. Lingkaran di dalam merup pakan nilai dari Rg dan garis tittik‐titik merah merupakan graadien dari garis tren.
Beberapa lagu u memperlihaatkan garis tren yang diillustrasikan dalam gambarr 3. Garis treen dapat meemperlihatkan n secara aktu ual struktur dari pitch daan durasi yan ng munculkan melodi yan ng kemudian n kita nikmatti. Kita juga dapat d melihat garis tren sebagai s semaacam ‘sumbu u rotasi' dalam dinamika lagu. Garis tersebut t merrupakan benttuk persamaaan linear standar dari y = mx + c , kitta bisa mend dapatkan sum mbu rotasi dengan Rg dalaam bentuk 7
Gambar 5. Skala Pergerakan Radial (Scaled Radial Movement) dalam kategori lagu daerah (atas) dan lagu nasional (bawah) 8
n
Rg =
∑ ⎡⎣( ni +1 − yi +1 ) cos α ⎤⎦
2
i =1
(n − 1)
(1)
dimana α = tan −1 m . Jadi, secara sederhana dapat kita katakan bahwa konsep radius perputaran,
Rg , terbentuk dari jarak vertikal antara posisi θ d relatif terhadap garis tren. Variabel ini menunjukkan bagaimana susunan struktur melodik dari sebuah lagu. Nilai terkecil dari Rg menunjukkan penyebaran sepanjang sumbu diagonal dari garis tren : semakin kecil nilainya, semakin padat struktur melodiknya. Tabel 1 menunjukkan beberapa hasil berdasarkan kategorinya.
Diskusi mengenai abstraksi “perputaran” (gyration) yang dinamis dalam pergerakan melodi
telah membawa kita kepada suatu visualisasi dari melodi dalam lagu menjadi visualisasi radial. Visualisasi tersebut cukup sederhana dengan mentransformasikan alur θ d (τ ) → θ d (φ ) di mana
ϕ = [0, 2π ] . Contoh dari hasil ini dapat dilihat pada gambar 4 di mana kita membandingkan dua lagu populer : Indonesia Kaulah Segalanya dan lagu internasional It Must Have Been Love. Gambar 5 menunjukkan visualisasi salah satu lagu daerah Indonesia dan Lagu Nasional Indonesia – kedua kelompok tersebut digambarkan dalam diagram skala radial, sehingga kita hanya perlu memperhatikan bentuk visualisasi θ d (φ ) saja. Menariknya, kita dapat melihat pola kesamaan diri (self‐similiarity) dalam suatu lagu dan dalam kasus lain kemiriipan di antara lagu‐lagu dalam grup yang sama. Dari yang terlukis dari gambar 4 dan 5, kita dapat melihat pola persamaan diri (self similar pattern) dari lagu‐lagu Indonesia dan dengan tujuan untuk melihat lebih jauh sifat dari suatu lagu, kita dapat memvisualisasikan distibusi radial dari notasi dan pitch dari setiap lagu. Kita melakukannya dengan menggunakan θ d dan menggambarkan urutan notasi dan pitch dalam sebuah lagu. Menariknya, pola dari spiral logaritma muncul seperti yang dapat kita lihat dari contoh di gambar 7. Spiral logaritma dapat ditulis secara matematis sebagai [6,14]
ρ = a exp(bφ )
(2)
dimana a dan b konstan dan seperti yang terlihat di gambar 6, kita dapat menuliskan
cot α =
dr rdφ
(3)
9
d
Jadi,
dr = ab exp(bφ ) = br dφ
(4)
(5)
Dan kita dapatkan
b = cot α
sehingga kita mendapatkan parameter lain yang mengindikasikan efek spiral dari suatu lagu [4],
α = cot −1 b
(6)
Jika α
Gambar 6. Ilustrasi spiral logaritmik dengan menggunakan syarat α .
= 0 maka akan memutar keluar menjadi lingkaran dan jika α = π / 4 akan memutar keluar menjadi spiral yang sederhana (Archimedian).
Semakin besar nilai dari α , maka notasi dalam lagu akan cenderung bergerak keluar dari efek spiral. Dalam visualisasi di gambar 7, dapat dilihat dengan jelas bahwa lagu Kaulah Segalanya relatif lebih bergerak keluar dibandingkan dengan lagu It Must Have Been Love dengan menyadari bahwa penyanyi dari lagu sebelumnya dikenal dengan kemampuannya untuk mengatasi notasi dengan perbedaan amplitudo yang sangat tinggi. 10
Gamb bar 7. Perbandingan dari dua laggu popular berdaasarkan distribusi radial θ d .
Teentunya man nfaat dari peendugaan meengenai 'efekk spiral' disin ni harus dibeedakan dengaan penggunaaan kata tersebut dalam praktik seni musik pada umumnya aggar kita terhindar dari efeek polisemi. Meskipun deemikian, efekk spiral berhubungan denggan efek peno olakan (repellling effect) daari perputaraannya ketika ssuatu untaian n notasi mem mbentuk sebuaah lagu. Seemakin kuat koefisien spiiral ( α ) makka semakin be esar kecendeerungan pengggunaan notaasi yang lebih banyak dengan d perb bedaan nilai yang lebih tinggi dari θ d , yang secara s prakttis mengakib batkan frekueensi pitch meenjadi lebih tinggi. Kebanyyakan lagu nasional tidakk memiliki efeek spiral yang terlalu tinggi, hal ini sangat berbeda dengan bebeerapa lagu daeerah dan lagu u‐lagu populeer. Ini tentu masuk akal mengingat laagu nasional memang tid dak seharusn nya bersifat terlalu t dinam mis dalam variasi pitch daan durasi. Meeskipun begittu, beberapa lagu populer juga dapat menjadi tidaak terlalu sp piral sesuai de engan tema dan genre yaang diangkattnya. Dalam ttabel 1, kita dapat melihat secara nyyata, lagu po opuler sepertti Bunda yan ng dinyanyikan oleh band musik Indonesia Potreet, memiliki eefek spiral yaang paling ren ndah dibandingkan dengan lagu populer yang lainn nya. Di sisi lain, meskipun n dengan perbedaan genrre yang cukup p jauh, lagu I Want to Brreak Free yan ng dinyanyikaan oleh Quee en juga memiliki koefisien yang kecil.
11
Tabel 11 Perputaran radius dan koefisien spiral dalam beberapa lagu dalam diskografi kita
Rg
Koefisien Spiral
Ode To Joy (dari Simfoni Beethoven ke 9)
0.1974
2.7751
3.1989
0.4996
Biola Pertama Simfoni Mozart #40
0.1895
1.9222
6.0026
0.4404
0.1546
1.6187
3.8193
0.4470
0.1707
1.6258
4.0859
0.4563
0.0901
1.4742
2.6424
0.5544
0.1273
1.4719
3.0481
0.4957
0.1316
1.7011
3.5608
0.4739
0.1151
1.567
4.1278
0.4235
0.1112
1.5873
3.8517
0.4726
0.164
1.6164
4.2437
0.4371
0.116
1.4251
4.8442
0.3901
0.2298 0.1891 0.1862 0.0916 0.1601
3.3066 2.1041 2.0966 1.0616 1.2636
3.8640 3.9634 3.1411 4.0104 5.2837
0.5087 0.5076 0.5428 0.4163 0.3427
0.2366
2.8833
1.9253
0.6639
0.195
2.0399
3.3494
0.4970
0.2086
1.7246
4.5985
0.3604
0.1318
1.441
5.0253
0.3810
0.086
1.0431
3.5493
0.4448
0.1742
1.5598
3.9498
0.4251
0.2237
3.4344
3.7477
0.5083
0.1389
1.7504
3.2032
0.5124
KoefisienPutaran Lagu
Lagu Wajib Nasional
Classical
Musik Pop Barat
Syukur (H. Mutahar) Gugur Bunga (Ismail Marzuki) Halo‐halo Bandung (Ismail Marzuki) Dari Sabang sampai Merauke (R Suhardjo) Hari Merdeka (H. Mutahar) Satu Nusa Satu Bangsa (Liberty Manik) Indonesia Pusaka (Ismail Marzuki) Now and Forever (Richard Marx) I want to Break Free (Queen)
Lagu Pop Indonesia
Kugadaikan Cintaku (Gombloh) Kaulah Segalanya (Ruth Sahanaya) Kemesraan (Iwan Fals) DIbalas dengan Dusta (Audi)
Lagu Daerah Indonesia
Bunda (Potret) Suwe Ora Jamu (Jawa) Bubuy Bulan (Sunda) Serma Dengan‐dengan (Simalungun) Ayam den Lapeh (Minang) Dago Inang Sarge (Batak Toba) Tanduk Majeng (Madura) Hela Rotan (Maluku) O Ina Ni Keke (Minahasa)
α
Koefisien Negentropi Kompleksitas Lagu Lagu
1
Hanya beberapa lagu saja dari diskografi kita yang ditampilkan di sini karena keterbatasan tempat. 12
5. Entropii dan Komple eksitas Strukttur Melodi Ekksploitasi kon nsep entropi tterhadap anaalisis musikal dan analisis llagu senantiaasa menjadi hal yang men narik. Beberap pa penelitian sebelumnya telah membaahas mengenai komplesitaas musik dalam kaitannyaa dengan enttropi distribusi kelas pitch h dan entrop pi distribusi interval [12] dan kemudiaan didiskusikkan mengenaai analisis musikal lintas budaya dalaam [12]. Entropi dari strruktur melod dik biasanya mengukur ju umlah notasi [11] sebagaai jumlah baagian yang kecil mungkin n (microstatees) dalam sattu untaian melodi m [7]. Pe engukuran yaang kita lakukan akan leb bih menyerup pai konseptual entropi musikal m yang ditawarkan dalam d [4] dengan inovasi bahwa kita menggunakaan variable θ d sebagai basis pengukuran dan bukaan notasi nadaa semata. Gagasan dasarn nya adalah agar melalui sattu variabel kita mampu menangkap tingkat kem mungkinan rentetan micro‐states dalam kaitannyya dengan ju umlah notasi yyang “dikendalikan” oleh n notasi lain. Gambar 8. Kalkulasi dinamik eentropi (bagian pertama dari Ta anduk Majeng, laagu daerah Mad dura)
mlah notasi yang mungkkin Dalam rangkaian melodi, jika kita meenyatakan ki sebagai jum otasi spesifik aθ d bi dan, e entropi dari seetiap pitch daan durasi adallah setelah no
paθd b =
k N
(7 7)
di mana N =
∑k
i
, m maka entropi d dari semua sttruktur melod di dapat dituliiskan sebagai,
i
S ( paθd b ) = −∑ paθd b log 2 paθd b i i i
(8 8)
i
Dari sini kita memah hami struktur entropis m melodi berhu ubungan den ngan notasi pada urutaan sebelumn nya [4]. Lebih h lanjut, entro opi maksimum dari semua struktur melodi dapat diperhitungka d an sebagai,
S = log 2 N
(9 9) 13
Disini, kompleksitas dari sebuah lagu dapat diperhitungkan sebagai [cf. 12],
H=
S ( paθd b ) song
Smax
=
−∑ paθd b i
song
log 2 paθd b song
log 2 N
(10)
Hal yang juga cukup berharga untuk didiskusikan adalah mengenai negentropi [4], seperti parameter yang menampilkan tingkat organisasi tertentu, atau secara sederhana tingkat keteraturan dari sebuah lagu.
Neg = S max − S ( paθd b )
(11)
song
Bagian yang menarik yang ditawarkan dari persamaan 8, 9, 10 dan 11 adalah kemungkinan untuk melihat time order yang sesungguhnya dan tingkat ketakteraturan yang dinyatakan per satuan waktu, per pertambahan θ d , seperti salah satu yang dicontohkan di gambar 8. Jadi, kita dapat melihat beberapa pola entropi, negentropi dan juga tingkat kompleksitas dalam sebuah lagu. Dari observasi sepintas kita terhadap diskografi secara keseluruhan, kebanyakan lagu tampaknya memiliki entropi yang tinggi dalam notasi pertama, kemudian selanjutnya entropi berfluktuasi dalam nilai tertentu yang menunjukkan pola ekuilibria (beberapa titik ekuilibrium). Fase teratur dan tak‐teratur yang ditunjukkan di sini adalah waktu dimana sebuah lagu dimainkan. Nilai entropi maksimum senantiasa bertambah terus dengan memahami bahwa dalam dinamikanya, pada tiap waktu penambahan notasi maka peluang microstates juga akan bertambah. Meskipun begitu, perbedaan antar lagu ditunjukkan dengan bagaimana lagu diakhiri dengan tingkat pengorganisasian atau keteraturan yang akhirnya muncul ( Neg > S ) atau justru sebaliknya.
Dalam gambar 9, kita dapat melihat beberapa hasil yang didapatkan dari obeservasi
dilakukan terhadap karya W. A. Mozart dan beberapa komposer klasik Indonesia dalam lagu‐lagu nasional. Pola dinamik memperlihatkan entropi yang sama namun perbedaan tumbuh sejalan dengan perkembangan kompleksitas dalam sebuah lagu. Karya Mozart sepertinya tidak mengalami penurunan secara drastis pada rentetan melodi yang panjang dari simfoninya, sementara perbedaan lainnya dapat dilihat dari tiga gambar tersebut. 14
Gambar 9. Kontur Melodik, Entropi dan Kompleksitas dari beberapa lagu Mozart dan lagu‐lagu Nasional Indonesia.
Pola yang menarik muncul seperti yang dapat kita lihat dari korpora lagu daerah (gambar 10) di mana dapat kita temukan bahwa sebagian besar di antaranya diakhiri dengan negentropi yang relatif lebih tinggi dari entropi dinamiknya. Hal ini menunjukkan sepertinya suatu lagu membentuk suatu pola pengaturan diri sendiri di sepanjang lagu. Lagu daerah terlihat lebih lambat dalam kasus ini, sedikit berbeda dengan kategori lagu yang lainnya. Meskipun begitu, terdapat juga beberapa lagu yang diakhiri dengan entropi yang lebih besar dibandingkan dengan negentropinya (Suwe Ora Jamu dan Ayam den Lapeh). Hal ini merupakan fakta yang cukup menarik, bahwa kita dapat melihat secara nyata dinamika lagu‐lagu daerah. Pola yang lebih beragam terjadi ketika lagu‐lagu populer dimainkan. Hal ini dapat dilihat pada gambar 11 yang menunjukkan entropi dan kompleksitas lagu‐lagu populer Indonesia. Seperti yang diperlihatkan pada gambar 8, lagu‐lagu dalam kategori populer didominasi dengan bagian akhir yang memiliki indeks organisasi yang lebih rendah (negentropi) yang relatif terhadap entropinya masing‐masing.
15
Gambar 10. Kontur Melodik, Entropi dan Kompleksitas dari beberapa lagu daerah Indonesia.
Gambar 11. Kontur Melodik, Entropi dan Kompleksitas dari beberapa lagu popr Indonesia..
16
Dalam tabel 1, kita dapat melihat nilai negentropi dari beberapa lagu dan keseluruhan kompleksitas yang diperhitungkan di bagian akhir sebuah lagu. Ketika suatu lagu menggunakan variasi pitch dan durasi yang semakin beragam maka lagu tersebut akan semakin kompleks, di samping itu semakin sering rangkaian pitch dan durasi yang digunakan maka semakin banyak struktur organisasi dari lagu yang terungkap (seperti yang digambarkan oleh negentropi). Tentu saja jika negentropi dalam sebuah lagu sangat tinggi maka lagu akan terdengar menjadi lebih membosankan dan menjadi kurang menarik yang berakibat semakin sulit lagu tersebut untuk dapat dinikmati. Meskipun begitu, tidak selalu negentropi yang besar akan secara linear berhubungan dengan perhitungan kompleksitas. Contoh yang menarik adalah lagu yang cukup panjang dari Mozart yaitu #40th Symphony yang terdiri dari 1500 notasi memiliki kompleksitas yang relatif rendah tetapi memiliki indeks pengorganisasian yang cukup tinggi. Untuk mendapatkan lagu yang menarik dan mudah untuk dinikmati kemungkinan besar dipengaruhi oleh dua konstrain tersebut, sementara di sisi lain inti dinamika sebuah lagu dilukiskan oleh dua parameter sebelumnya yaitu gerakan perputaran dan indeks spiral. 6. Diskusi Persamaan diri (self‐similiarity) dari sebuah lagu dapat digambarkan dalam diagram radial lagu yang dapat dilihat di gambar 5. Observasi selanjutnya membawa kita pada pembahasan dinamika spiral yang dapat dimodelkan dengan menggunakan spiral logaritmik. Struktur melodik yang membosankan dapat dihasilkan dari struktur yang memiliki koefisien sangat rendah, namun efek spiral yang terlalu besar membuat suatu lagu semakin sulit untuk dinikmati. Meskipun begitu, terdapat hal yang cukup menarik ketika kita mencoba membuat suatu generaliasasi dalam observasi beberapa korpora lagu. Hal tersebut terdapat dalam kompleksitas dinamik sebuah lagu dari notasi awal lagu tersebut dimainkan sampai notasi terakhir dimainkan. Generalisasi yang sederhana digambarkan pada gambar 12. Kebanyakan lagu sepertinya mengikuti naik‐turun indeks kompleksitas seperti yang dapat diperlihatkan gambar. Notasi pertama menghasilkan kompleksitas ( τ 1 ) atau dapat kita katakan fase untuk memperkenalkan pola seluruh lagu sampai dengan kompleksitas maksimun dari sebuah lagu terakumulasi. Langkah selanjutnya adalah fase penyederhanaan kompleksitas dari pengurangan kompleksitas sampai dengan bagian akhir lagu ( τ 2 ). Secara formal kita dapat menuliskan bahwa fase kedua selalu membutuhkan waktu lebih yang lebih lama dibandingkan dengan fase sebelumnya.
τ 1 < τ 2
(12)
17
Namun terdapat beberapa puncak dari fase penurunan kompleksitas, di mana puncak kedua cenderung lebih rendah daripada puncak sebelumnya, atau sebaliknya, dapat juga puncak yang lebih kecil muncul sebelum puncak umum kompleksitas sepanjang lagu. Dalam dinamika entropi sebuah lagu kita dapat melihat fase penurunan merupakan kondisi ekuilbria dari lagu yang dinikmati oleh pendengarnya. Selanjutnya, pertidaksamaan formula 12 dapat menjadi sesuatu yang harus dihubungkan dengan sistem kognitif manusia sejak fase yang lebih panjang dari τ 1 dapat membuat pendengarnya menjadi lebih mampu menikmati keindahan dari sebuah lagu. Pola umum yang menarik ini ditemukan dalam obeservasi terhadap diskografi yang kita miliki. Namun begitu, hasil yang lebih empiris mendorong generalisasi yang mungkin dihasilkan dalam analisis dinamika lagu.
Complexity (H)
τ1
τ 2
time steps
peak of complexity
song begins
song ends Gambar 12. Alur kompleksitas dalam lagu
6. Catatan Kesimpulan Kita telah melihat beberapa sifat kompleks dari musik yang dinikmati oleh mayarakat Indonesia : lagu daerah, lagu nasional, dan lagu‐lagu populer serta beberapa referensi seni klasik dan musik pop barat. Kita memperlihatkan kesamaan diri (self‐similiarity) yang ditunjukkan oleh kebanyakan lagu, dan juga beberapa pola diri yang sama (self‐similar pattern) dalam kategori musik yang juga sama. Cara penggunaan pitch dan durasi ditampilkan dengan perputaran koefisien yang menggambarkan dinamika sebuah lagu dan koefisien (logaritma) spiral yang mencerminkan tendensi dari setiap lagu untuk menunjukkan spiral efek yang mendefinisikan jumlah variasi dan pergerakan notasi di dalamnya.
18
Dari obeservasi yang telah dilakukan, kita menemukan bahwa struktur melodis dari lagu‐lagu Indonesia cukup beragam baik itu dalam hal perputaran maupun koefisien spiralnya. Meskipun begitu, beberapa dugaan terungkap bahwa lagu Indonesia yang cenderung memiliki efek spiral yang lebih kecil adalah terutama lagu daerah dan lagu‐lagu populer dengan melodi klasik barat yang kita gunakan sebagai referensinya. Kemudian, dari observasi dengan menggunakan konsep entropi, kita menemukan persamaan yang cukup besar antara lagu‐lagu Indonesia dengan struktur melodi klasik barat yang memberi gambaran terhadap kita proses kreatif dari pembuatan lagu dalam suatu kategori. Penemuan lain yang cukup menarik adalah lagu daerah Indonesia cenderung diakhiri dengan struktur organisasi negentropi yang lebih besar dengan entropi sebagai indeks regular untuk masing‐ masing lagu. Hal ini cukup kontras dengan apa yang dapat kita observasi dalam lagu‐lagu populer dan lagu ‐lagu nasional. Kita juga mengungkapkan suatu perkiraan untuk generalisasi yang akan datang bagi kepentingan penelitian lebih lanjut mengenai lagu. Alur dari kebanyakan lagu cenderung menggerakan kompleksitas secara cepat sepanjang fase pengenalan melodi sampai dengan pergerakan notasi menemukan kompleksitas maksimum. Fase ini kemudian diikuti dengan fase penyederhanaan kompleksitas seperti yang digambarkan dengan reaksi penurunan kompleksitas. Arahan bagi penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan memasukkan beberapa aspek berkaitan dengan perluasan korpora serta tidak hanya menfokuskan terhadap musik Indonesia tetapi juga terhadap sumber kultur dan musik yang lebih beragam. Pengakuan Penulis berterima kasih pada Santi Rahmayuliani untuk bantuan alih bahasa ke Bahasa Indonesia dan kepada Surya Research International untuk dukungannya. Karya yang disebutkan [1]
Cope, D. (1998). “Signatures and earmarks: Computer recognition of patterns in music”. In W. B. Hewlett & E. Selfridge‐Field (Eds.). Melodic similarity: Concepts, procedures, and applications (pp. 129–138). MIT Press.
[2]
Fiske, J. (1990). Cultural and Communication Studies 2nd edition. Routledge.
[3]
Freeman, L. C. and Merriam, A. P. (1956). “Statistical classification in anthropology: An application to ethnomusicology”. American Anthropologist 58: 464‐472.
19
[4]
Gündüuz, G. & Gündüz, U. (2005). “The Mathematical Analysis of the Structure of Some Songs”. Physica A 357: 565‐92.
[5]
Peitgen, H‐O., Jürgens, H., & Saupe, D. (2004). Chaos and Fractals: New Frontiers of Science 2 edition. Springer.
[6]
Planes, A. & VIves, E. (2002). “Entropic Formulation of Statistical Mechanics”. Journal of Statistical Physics 106: 827‐50.
[7]
Selfridge‐Field, E. (1998). "Conceptual and representational issues in melodic comparison". In Hewlett,W.B. & Selfridge‐Field, E. (eds.), Melodic Similarity: Concepts, Procedures, and Applications. MIT Press.
[8]
Lambiotte, R. & Ausloos, M. (2006). “On the Genre‐Fication of Music: a Percolation Approach”. The European Physical Journal B 50: 183‐8.
[9]
Situngkir, H. & Surya, Y. (2003). “Neural Network Revisited: Perception on Modified Poincare Map of Financial Time‐Series Data”. Physica A 344: 100‐3. Situngkir, H. (2007). "An Alternative Postulate to See Melody as 'Language'". BFI Working Paper Series WPK2007.
nd
[10] [11]
Snyder, J. L. (1990). "Entropy as a Measure of Musical Style: The Influence of a priori Assumptions". Music Theory Spectrum 12: 121‐60.
[12]
Steedman, M. (1996). “The Blues and the Abstract Truth: Music and Mental Models”. In A. Garnham and J. Oakhill, (eds.), Mental Models In Cognitive Science pp.305‐18. Erlbaum.
[13]
Toivianen, P. & Eerola, T. (2001). "A Method for Comparative Analysis of Folk Music Based on Musical Feature Extraction and Neural Networks". Proceedings of the VII International Symposium on Systematic and Comparative Musicology and III International Conference on Cognitive Musicology. ICSCM.
[14]
Tricott, C. (1995). Curves and Fractal Dimension. Springer‐Verlag.
20