KRITIK MUSIK Apresiasi Jalan Menuju Kritik Musik Proses Apresiasi meliputi: • persepsi • pengetahuan • pengertian • analisis • penilaian/pemahaman/pemaknaan • keterlibatan • refleksi (reaksi/respon) • penghargaan Proses Apresiasi memacu : » Kreativitas » Kecerdasan » Kearifan • •
Pada tingkatan yg lebih formal apresiasi yg serius dapat menjadi kritik. Secara ideologis, seniman bergerak secara subjektif dan independen.
•
Sementara kritik dituntut objektif, meskipun tidak ada kritik yg sungguh2 objektif. Sebab, kritik merupakan sebuah tanggapan dalam bentuk pendapat pribadi (acuan pengalaman seseorang bersifat pribadi atau tidak netral).
•
Keadaan Objektif akan terjadi jika mengerahkan: – pandangan seniman – pendapat kritikus – persepsi masyarakat/publik Harapan adanya kritik adalah adanya pencerahan terhapa objek kritiknya.
•
Kerangka Teoretis dan Metodologi Kajian Hermeneutik Untuk Kritik Musik Hermeneutik merupakan studi tentang “pemaknaan” yang biasa dioperasikan untuk menemukan nilai sebuah ekspresi estetik seni pertunjukan. Ia menjadi titik tolak untuk menelaah nilai-nilai yang ada di dalamnya. Di mana, keseluruhan ekspresi baik yang tampak dalam penampilan maupun yang tersembunyi (beyond) di dalam seni pertunjukan tersebut, dipandang sebagai teks yang bukannya kosong tanpa makna, melainkan merupakan fenomena simbolis yang bermakna. Hermeneutik, secara sederhana, bisa dipahami sebagai: ”membuat yang tidak jelas menjadi jelas”. Dalam artian, mengungkapkan makna teks yang sedang dikaji. Dalam pandangan Dilthey, untuk memahami suatu teks—di samping pengamatan secara lebih mendalam akan bentuk ekspresi dan makna teks itu sendiri—menjadi bagian yang tak terpisahkan adalah memahami juga maksud si pengarang, sehingga pemahaman mengenai suatu teks dan pembuatnya merupakan satu hal yang saling terintegrasi. Dengan kata lain, nilai, selain akan dilihat dari ide-ide penciptaya juga apresiasi pada ekspresi keseluruhan yang melengkapi keseluruhan bangunan kultural pendukungnya: hal-hal teknis pertunjukan hingga ekspresi masyarakat pendukungnya. Hal ini penting dilakukan lantaran, dalam hermeneutik, fenomena sosial budaya seperti ini dipandang sebagai fenomena simbolis sebagaimana disebutkan oleh Geertz bahwa manusia adalah ”animal symbolicum”: manusia adalah makhluk simbol, dan perilaku-perilakunya pun merupakan perilaku simbolik, yang mana interaksi sosial di sini bisa terjadi karena kemampuan mereka untuk memahami simbol yang disampaikan oleh pihak lain, baik melalui katakata, gerak, ataupun tulisan. Dengan demikian, pendekatan hermeneutik di sini adalah merupakan ikhtiar untuk melakukan interpretasi terhadap sajian seni pertunjukan sebagai sebuah teks untuk kemudian menggabungkannya dengan pengetahuan mengenai makna atau motif yang ada di balik ekspresi kesenian tersebut. Artinya pula, tugas hermeneutik dalam penulisan adalah menafsirkan seni dengan membaca symbol-simbol dan memahami makna-makna yang ada ataupun yang „tersembunyi‟ di balik symbol-simbol tersebut. Untuk mengoperasikan hermeneuitik, menurut Dithey, terdapat dua metode, yaitu: interpretasi data, dan riset sejarah.
1. Interpretasi data Data yang diperoleh dari lapangan, terutama yang diperoleh dari pengamatan mendalam terhadap subyek seni pertunjukan, baik yang dilalakukan dengan cara melihat, mengamati pertunjukannya (secara langsung maupun melalui rekaman audio-visualnya), mendengarkan secara langsung maupun melalui rekaman audio, mengaati secara detail gambar-gambar (foto, sketsa, poster atau spanduk jika ada, dan lainnya) yang berkaitan dengan kesenian tersebut, serta pengamatan secara partisipatif terhadap kehidupan para pelakunya, juga terhadap komunitas pendukungnya. Data-data tersebut dirangkai sebagai satu kesatuan pemahaman yang utuh dari unsur-unsur yang berserakan dan tak terbentuk. Dari pemahaman yang utuh inilah kemudian menghantarkan studi ini kepada dasar untuk menghadirkan interpretasiinterpretasi baru. 2. Riset Sejarah Secara prinsip, riset sejarah pada hermeneutik adalah bertugas ”menyusun balik” kerangka yang dibuat oleh sejarawan dengan maksud agar peristiwa-peristiwa dapat dilihat kemballi seperti kejadian yang sebenarnya. Dilthey menyusun tiga proses sejarah yang kemudian digunakan dalam studi ini, yaitu: a. Memahami sudut pandang/gagasan para pelaku asli. b. Memhami arti/makna kegiatan-kegiatan mereka pada halhal yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah. c. Menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarawan itu hidup. Riset sejarah ini penting dalam kajian hermeneutik lantaran pemahaman seseorang pada suatu peristiwa berkhir pada suatu tradisi dan sejarah tertentu. Begitupun pada fenomena yang sedang dialami juga berakar pada tradisi dan sejarah. Dan untuk menggali tema-tema historis tersebut, studi tafsiriah ini menggunakan teknik wawancara mendalam (deep interview) kepada para pelaku, pengamat/masyarakat penonton, juga dengan komunitas pendukungnya. Secara garis besar, kepada para nara sumber, fokus pertanyaan berkisar pada: a. Bagaimana seni pertunjukan itu hadir dan memberi makna pada keseluruhan ekspresinya. b. Bagaimana relasi yang dibangun oleh pelaku seni pertunjukan itu dengan komunitas pendukungnya.
Dari wawancara tersebut peneliti tidak hanya mendapatkan data kunci, tetapi juga berbagai data akurat yang akan mendukung hasil studi thick description yang berbobot. Tentu saja, di samping menggunakan teknik wawancara, metodologi ini juga diperkuat dengan studi pustaka yang akan menghantarkan studi ini pada pembulatan pemahaman atau pemaknaan tentang seni pertunjukan. Keseluruhan data yang diperoleh baik di lapangan maupun pustaka itulah yang selanjutya akan dipakai untuk menentukan analisis akhir dari kerja hermeneutik. Yang mana, analisis akhir yang berupa interpretasi-interpretasi tersebut akan menuju pada makna baru dari subyek seni pertunjukan. Sehingga dengan demikian, hermeneutik ini akan mencapai ”dialog historis” antara kerangka interpretasi tertentu dengan kerangka interpretasi lain, yang hasil akhirnya didapat kerangka interpretasi baru.
Contoh-contoh Kritik Musik Sengatan “Lebah” Peni Candra Rini Komposisi untuk vokal itu dibawakan sendiri oleh komponisnya: seorang perempuan muda, mungil, dengan suara memukau. Bangunan kompositorisnya rumit dan berlapis. Semula, nada-nada yang dinyanyikan itu terangkai dalam struktur balungan gending (melodi pokok) yang jernih, tunggal. Namun, dengan perangkat efek suara yang memproduksi bunyi susul-menyusul (delay), komposisi itu segera kelihatan berlapis, harmoni kordial, bahkan tampak perkusif. Berlapis? Ya, pasalnya sang komponis menimpali narasi balungan gending itu dengan pecahan melodi yang menumbuhkan harmoni, kadang juga berupa hentakan suara yang sahut-menyahut dengan efek delay yang telah tumbuh sebelumnya. Peni Candra Rini, pesinden yang telah menjelajahi proses bermusik dengan banyak musisi kelas wahid itu, ditahbis sebagai komponis. Pentahbisannya dilakukan dengan menggelar konser “Bramara” di Garasi Seni Benawan, Surakarta, 10 Juli 2008. Ini merupakan puncak selebrasi akhir kuliahnya di Program Pasca Sarjana Penciptaan Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. An Nahl, komposisi untuk vokal yang dibawakannya dengan aduhai tadi, adalah bagian pertama dari karya tematis “Bramara”. Empat bagian yang lain— yang terangkai dalam kisah filsafati lebah (Arab: An Nahl) berturut-turut: Sekar, Madusari, Entup, dan Tilar. Falsafah Lebah “Misteri besar semesta terbaca pada kehidupan yang sederhana dan terpinggirkan, lepas dari pandang. Kesederhanaan makhluk sederhana sesederhana lebah, telah menjawab. Bukan dengan kata, namun dengan hidupnya.” Untaian kalimat ini mendasari An Nahl. Maka, meluncurlah tatanan harmoni Arabian yang liris. Dengan dibantu permainan Record Line 6 dan Digital Delay 3, karya ini diniatkan untuk mengaplikasikan teknik recording secara langsung dalam sebuah pertunjukan—dua perangkat canggih tersebut digunakan merekam melodi utama untuk kemudian ditindih dengan variasi dan improvisasi vokal yang menghasilkan harmoni (acord). Buahnya adalah jalinan vokal yang bertumbuh dan berlapis tadi. Ini mengingatkan teknik bermusik pre record yang kerap dilakukan oleh solis kampiun. Teknik pre record untuk solis vokal yang mendasarkan musik tradisional sebagai basis penciptaannya barangkali langka. Dan Peni tak hanya menghadirkan vokal. Ia juga menggarap ensambel yang terdiri 3 buah gong bumbung (yang berlainan nada), gender barung, slenthem, dan satu pompang untuk karya bagian berikutnya: Mbrengengeng. Karya
yang diilhami cara berkomunikasi lebah—lewat dengungannya (buzzing)—itu tak hanya elok, tapi juga unik: Ia sungguh bergairah mengeksplorasi dengung lebah, yang tidak beraturan menjadi olahan dialogis antarmusisi pendukungnya. Kepekaan merasakan tekanan bunyi instrumen, bahasa tubuh, serta dialog rasa antar pendukungnya itulah yang menjadi sandaran utama komposisi ini. Usai Mbrengengeng, kecerdasan membangun komposisi untuk vokal rupanya kian teruji lewat bagian berikutnya: Sekar. Dimaksudkan untuk menggambarkan hubungan romantik-mutualistik lebah dengan bunga, komposisi yang memadukan nada-nada pelog dan slendro ini lebih tampak terstruktur dan teknis. Berbeda dengan An Nahl yang improvisatif, Sekar menampilkan jalinan vokal yang saling tindih yang dilakukan oleh 5 vokalis laki-laki dan Peni sendiri. Dialog dan saling tindih adalah bangunan komposisi, namun keteraturan melodi yang ketat, serta harmoni yang megah, adalah kompleksitas yang tak boleh diabaikan oleh para pemainnya. Ini lebih dari sekadar acapella, apalagi boy band yang mendayu-dayu itu. Sungguhpun kompleksitas harmoninya terdapat beberap bolong di beberapa frase, terutama frase-frase yang dibawakan secara koor. Walhasil, komposisi ini menjadi terkesan biasa, meski teknik koor itu dilakukan dengan keketatan teknik tuty-tuty yang rigid. Dan selebrasi yang paling meriah tentu pada bagian Madusari. Ini semacam keterpesonaan—kalau bukan penghormatan yang teramat tinggi— sang komposer pada lebah. Peni agaknya mengumpamakan dirinya sebagai seekor lebah, yang menyerap “sari bunga” dari berbagai kebudayaan musik untuk keperluan karyanya. Tampil duet dengan seorang gitaris, karya ini menjadi mozaik world music yang mengecap unsur dan atau material musik Nusantara, mulai dari nuansa MelayuDayak lewat sayup-sayup nada sape, gemuruh cak Bali yang magis, gaya melodius-romantik ala Sunda, hingga gaya pesinden Banyuwangi yang menggetarkan itu. Beruntung virtuositas sang gitaris mampu meladeni pesinden yang juga tercatat sebagai anggota Sonoseni Ensemble itu. “Karya ini manjadi semanis madu yang bukan hanya enak dinikmati, namun juga bermanfaat!” Namun Madusari yang manis bukanlah puncak dari “Bramara”. Peni tak berhenti pada kelegitan nada-nada yang terangkai melodis dan harmonis. Tiba saatnya ia harus menunjukkan buah dari pergaulannya dengan para pemusik ala Stockhousen. Maka meluncurlah Entup (bagian ke-5) dengan adonan komposisi yang disonan, matematis, dan dengan teknik permainan „tak wajar‟. Adakah bagian ini dimaksudkan untuk ngentup (menyengat) audiens dengan sajian yang khaotik? Yang pasti, komposisi yang menggunakan bibab, mandolin, freatless bass akustik, dan vokal ini memendarkan aroma ekletik; kadang membersitkan warna free jazz, kadang juga memekikan suara-suara purbawi.
Dan tibalah saatnya untuk menep, kontemplasi, merenungkan hidup. Peni mengakhiri falsafah “Bramara” ini dengan sajian kontemplatif bertajuk Tilar—diambil dari bahasa Jawa yang berarti pergi, dan dalam konsep transenden berarti “meninggal dunia”. Untuk mempertahankan „kehormatannya‟ lebah rela mati dengan melepas sengatnya ke tubuh penyerang. “Ia pergi dengan kebanggaan,” kata sang komponis. Dus, ia pun menafsirkannya dalam jalinan komposisi yang jauh dari aura tangis. Sebuah lagu ratapan kematian dari Kerinci ia sisipkan, namun pelebaran dan pengembangan melodi pokoknya justru paradoks dengan konsep kematian. Di mana Rasa Heran? Sampai keseluruh komposisi itu usai, di sini Peni telah mendedahkan untaian kompositoris yang aduhai. Aduhai lewat kecakapannya menyusun melodi, harmoni, percampuran antar budaya musik, hingga menyentuh bentuk-bentuk kurang wajar, sebutlah “konseptual art”. Hanya saja, kegemilangan itu baru sampai pada penghadiran daya pukau, atau rasa takjub. Selebihnya, ia belum mampu memunculkan rasa “heran” di benak audiens. Pendekatan garap, juga konsep-konsep yang dipakainya, masih merupakan caracara lawas yang kerap dipakai oleh para komponis dalam berolah komposisi. Teknik pre record pada repertoar An Nahl, misalnya, jauh hari pernah dan banyak dilakukan oleh para pemusik. Sebutlah di Indonesia, Ubiet bersama komposer Tony Prabowo dalam albumnya “Music for Solo performance” (2006) memakai teknik ini untuk mewujudkan album vokalnya yang gemilang. Ubiet memulainya dengan terlebih dahulu merekam bagian-bagian nyanyiannya, untuk kemudian ditimpali dengan lapisan-lapisan (track) suara vokal berikutnya. Dan harus dicatat, keseluruhan suara vokal tersebut semua dimainkan oleh Ubiet seorang. Ini menjadikan repertoarnya terkesan agung oleh banyaknya lapisan suara yang membuat “tebal” sekaligus terpecah serasa musik choral yang utuh. Pendekatan pre record telah populer sejak lebih setengah abad lalu, saat komponis Pierre Scaeffer melansir gerakan musique concrète Atau pada pendekatan konseptualnya yang disonan dan matematis dalam reprtoar Entup. Di sini, pengaruh I Wayan Sadra—guru sekaligus koleganya dalam kelompok Sono Seni Ensamble—tampak kuat sekali. Pendekatan garap ala sang maestro dekonstruksi ini bahkan memenjara Peni untuk mengeksplorasi capaian kompositoris yang lebih kaya. Pendekatan seperti ini memang tidak bisa dicapai secara instan. Ia membutuhkan proses dan pencarian yang lebih intens, di samping mensyaratkan keluasan pengetahuan dan kekayaan referensi bagi komponisnya.
Sementara upaya-upayanya dalam menyinkretiskan beragam budaya musik etnik, sebenarnya sudah bukan menjadi barang baru dalam dunia komposisi musik. Malah, tanpa disertai dengan kecerdasan dan kepiawian dalam meramu, justru menghasilkan mozaik yang tidak memberi nilai apa-apa kecuali membuat manggut-manggut audiensya itu sendiri. Peni belum mampu “keluar dari kotak” (out of the box) adagium penciptaan komposisi yang telah dilakukan oleh para pendahulu. Karenanya, sungguhpun komposisi-komposisinya menakjubkan, namun belum menunjukkan karakter kediriannya sebagai komponis. Hakekat penciptaan adalah menemukan (invention). Sebab itu, dunia penciptaan musik berharap besar pada komponis untuk bisa menghadirakn karya baru yang lebih genuine, kompleks, yang tak sekadar membuat takjub, tapi juga “heran”. Mula-mula manggut-manggut, dan kemudian gelenggeleng kepala. Di sinilah perasaan takjub itu bermuara pada keheranan. Namun demikian, sebagaimana pesan dalam komposisi Tilar: lebah pergi dengan kebanggaan! Dan Peni, dalam hal ini, pantas meraih kebanggan ketika memulai laku komponis yang kelak akan diperhitungkan oleh para kritikus. Konser “Bramara” telah mengantarkannya mengarungi jagad penciptaan musik yang membentang luas di hadapannya. Sejurus dengannnya: ia mengisi lowongnya komponis wanita di Indonesia!***
Digitalisasi Gamelan Gamelan telah bermetamorfosis. Tak semata menjadi alat musik yang mampu dilihat dan diraba secara fisik (tangible). Gamelan telah bersekutu dengan teknologi. Menemukan bentuknya yang baru menjadi lebih ringkas dan efisien. Ya, beberapa kalangan akademisi telah membuat perangkat gamelan elektronik yang baisa disebut dengan “EGamelan”. Salah satu kampus yang begitu berambisi menghadirkan gamelan dalam wujudnya yang baru itu adalah Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang. Karya e-gamelan dari teman-teman Udinus tersebut telah memenangi Lomba Muhibah Seni Ditjen Dikti 2010, serta pernah dimainkan di Chung Yuan Christian University Taiwan, Universitas Kebangsaan Malaysia, dan Pekan Indonesia di Orchard Road Singapura. Bahkan berita terbaru, e-gamelan akan dimainkan pada Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Harteknas) tanggal 29 Agustus 2013 di Jakarta, di hadapan Presiden SBY. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana e-gamelan yang intagible itu mampu menggantikan kehadiran gamelan secara fisik? Lalu, bagaimana kita harus menyikapinya? Unikum Sebelumnya perlu diketahui bahwa gamelan berbeda dengan alat musik lain, terutama alat musik barat. Gamelan sebagai bagian dari musik tradisi nusantara, memiliki keluwesan dalam pemilihan nadanadanya. Dengan demikian, sangat dimungkinkan antara satu gamelan dengan gamelan yang lain memiliki perbedaan dalam ambitus (tinggirendah) nada yang dimiliki, walaupun dalam laras yang sama (selendro, pelog). Gamelan selendro di Surabaya misalnya cenderung memiliki nada yang lebih tinggi di banding dengan gamelan selendro di Solo. Bahkan di Solo sendiri banyak terjadi perbedaan interval antar satu gamelan dengan gamelan yang lain. Sementara di musik barat, nadanada yang ada telah terbakukan (absolut). Otomatis, nada do di manapun itu pasti memiliki ukuran yang sama. Akibatnya, apabila mendengar nada yang tak sesuai alias berbeda, dengan segera akan disebut falsh atau sumbang. Gamelan memiliki apa yang disebut dengan embat yakni kesan suara yang dmunculkan dalam larasnya. Sri Hastanto lewat tulisannya yang berjudul Konsep Embat dalam Karawitan Jawa (2010) menjelaskan bahwa setiap gamelan miliki pembawaan warna bunyi yang berbeda, bisa larasati (maskulin) dan sundari (feninin). Gamelan selendro Keraton Kasunan Solo misalnya memiliki kesan larasati dibanding gamelan di Pura Mangkunegaran yang sundari, atau sebaliknya. Kesan ini mampu ditangkap dengan mudah oleh orang-orang yang memiliki bekal tinggi dalam memainkan gamelan, terutama para empu. Di sisi lain, banyak yang tidak mengetahui persoalan ini.
Memainkan gamelan memiliki keunikan tersendiri. Masyarakat karawitan Jawa biasa menyebutnya dengan mad sinamadan yakni tidak saling menonjol, mampu mengerti, mengontrol, memahami, menghargai kualitas bunyi antara satu instrumen dengan yang lain, setara. Pemain instrumen bonang misalnya, walupaun posisi duduknya paling depan, namun tak boleh memiliki volume paling keras dari yang lain, begitupun sebaliknya. Pemain gender, harus mendengarkan permainan rebab, karena akan memberi kode (ater-ater) untuk memasuki ormamentasi musikal lain yang lebih kompleks, begitupun sebaliknya. Tak mengherankan kemudian jika banyak warga asing yang menangis ketika nabuh gamelan. Mereka yang sebelumnya cenderung individual kemudian harus luruh dalam ruang kebersamaan, menghargai dan memahami satu sama lain. Bermain gamelan mengandalkan kedalaman rasa, bukan sebatas logika. Karenanya dalam sejarah tradisi gamelan tak begitu mengenal partitur (pembacaan notasi) selayaknya musik barat. Ratusan gending (karya musikal) gamelan dapat dihafal di luar kepala. Konsentrasi pemain sepenuhnya hanya pada pencapaian kualitas rasa musikal tertinggi. Tidak lagi disibukkan dengan urusan membaca yang berakibat tak mampu merasakan keberadaan permainan instrumen yang lain. Dengan kata lain, seorang empu penggender wayang mampu menghasilkan permainan yang memukau walaupun sambil terkantukkantuk, dibanding dengan sarjana karawitan yang sangat sibuk berkonsentrasi membaca notasi. Kritik Masih banyak lagi „harta‟ yang belum terkuak dalam permainan gamelan. Persoalannya, mampukah teknologi mengakomodasi semua harta tersebut. Oleh kerena itu, membicarakan gamelan, tak selesai dengan hanya memindah nada dan laras semata. Bahkan, perdebatan sengit pernah terjadi kala gamelan dianggap sebagai musik yang mampu mempresentasikan semangat nasionalisme. Ki Hajar Dewantara di tahun 50-an memandang lagu Indonesia Raya tak selayaknya dibawakan dalam dominasi nada-nada diatonis musik barat, namun gamelan. Ia menghimbau pada para empu gamelan mentransformasikan nada-nada diatonis Indonesia Raya menjadi pentatonis dalam gamelan. Di satu sisi, pada rentang tahun yang sama, sikap dalam memainkan gamelan dianggap terlalu kolot. Revolusi besar-besaran terjadi, pemain gamelan tak lagi memakai baju kejawen (beskap dan blangkon) namun memakai jas berdasi, sepatu kulit dan disediakan music stand atau tempat menaruh partitur layaknya dalam musik klasik. Sementara di sisi lain, ada usaha untuk membakukan nadanada gamelan dalam ukuran interval serta pitch yang sama di setiap tempat. Endingnya, semua usaha itu gagal. Gamelan tak mampu dicabut dari akar kulturnya. Hingga kini, setiap wilayah memiliki
gamelan dengan gaya khas, unik, dan merupakan kekuatan yang tak dimiliki wilayah lain. Gamelan mampu mempresentasikan wajah kebudayaan. Dengan munculnya e-gamelan merupakan salah satu usaha dalam menduniakan gamelan yang patut untuk kita berikan apresiasi tinggi. Namun di sisi lain bukannya tak menyisahkan persoalan. Ada beberapa hal yang pantas untuk dicermati. Pertama, ramainya egamelan membuat masyarakat dan kaum muda menganggap gamelan yang didengarkan dan dimainkannya lewat perangkat elektronik itu sebagai satu kebenaran tunggal. Karena ukuran nada, pitch telah menjadi sama, baku, seragam dan terukur. Di luar itu dianggap falsh dan sumbang. Sementara dalam gamelan ada yang disebut dengan nada minir, yakni nada yang berada di antara dua nada pokok, antara nada ji (1) dan ro (2) misalnya. Kata “antara” tidak dengan pasti menyebut setengah, namun bisa seperempat, seperdelapan, seperenambelas, sepertujuh dan seterusnya. Kedua, tidak semua perangkat gamelan mampu di e-gamelankan. Gender misalnya, yang memiliki tingkat kesulitan tinggi. Cara memainkannya dengan dua tangan, terdapat konsep penjarian (pithetan) agar suara yang keluar tak saling tumpang tindih. Bagaimana pula dengan rebab? Alat gesek yang dalam permainnya seringkali berada dalam kisaran nada-nada minir. Belum lagi persoalan rasa dan lain sebagainya. Kiranya, hal tersebut harus menjadi catatan tersendiri terkait perkembangan e-gamelan yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan, baik di kalangan masyarakat, pengrawit, pelaku teknologi dan budayawan. Namun, sekali lagi harus jujur diakui, bagaimanapun juga egamelan adalah terobosan baru yang memudahkan generasi masa kini untuk lebih dekat dengan dunia gamelan. Kemunculan e-gamelan juga harus disikapi dengan bijak agar tak menjadi penemuan baru yang seolah mampu meniadakan kehadiran gamelan secara fisik. Kemunculan e-gamelan mendapat penghargaan sebagai sebuah prestasi tersendiri. Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan para pembuat gamelan di banyak besalen yang selama ini menghasilkan gamelan dengan kualitas tinggi? Yang mampu membawa harum kebudayaan Indonesia di mata dunia. Bukankah mereka selama ini masih hidup di bawah cukup. Sementara setiap hari harus bertaruh nyawa, bertarung dengan panasnya api demi menyajikan gamelan yang mungkin saat ini anda lihat, main dan dengarkan.