BAB II PENGERTIAN MUSIK MELAYU, MUSIK ASLI, MUSIK TRADISIONAL, DAN MUSIK MODERN
2.1
Pengertian Musik Melayu, Musik Asli, Musik Tradisional, dan Musik Modern Musik Melayu merupakan karya seni yang dipahami secara tumpang tindih. Oleh
karena itu pengertian yang takabur ini harus diluruskan karena musik Melayu, musik asli, musik tradisional, dan musik modern memiliki batasan dan jenis-jenisnya dapat dilihat perbedaannya. Mengingat arah penulisan karya ilmiah ini lebih fokus pada orkes musik El Suraya. A. Pengertian Musik Melayu Seni musik adalah cetusan ekspresi perasaan atau pikiran yang dikeluarkan secara teratur dalam bentuk bunyi. Bisa dikatakan, bunyi (suara) adalah elemen musik paling dasar. Suara musik yang baik adalah hasil interaksi dari tiga elemen, yaitu irama, melodi, dan harmoni. Irama dalah pengaturan suara dalam suatu waktu, panjang, pendek dan temponya, dan ini memberikan karakter tersendiri pada setiap musik. Kombinasi beberapa tinggi nada dan irama akan menghasilkan melodi tertentu selanjutnya, kombinasi yang baik antara irama dan melodi melahirkan suatu bunyi yang harmoni. Musik termasuk seni manusia paling tua. Bahkan bias dikatakan, tidak ada sejarah peradaban manusia dilalui tanpa musik, termasuk sejarah peradaban Melayu. Dalam masyarakat Melayu, seni musik ini terbagi menjadi musik vokal, instrument dan gabungan antara keduanya. Dalam musik gabungan, suara alat musik berfungsi sebagai
Universitas Sumatera Utara
pengiring suara vokal atau tarian. Alat musik yang berkembang di kalangan masyarakat Melayu diantaranya adalah canang, tetawak, nobat, nafiri, lengkara, kompang, gambus, marwas, gendang, rebana, serunai, rebab, beduk, gong, seruling, kecapi, biola dan akordeon. Alat-alat musik di atas menghasilkan irama dan melodi tersendiri yang berbeda dengan alat musik lainnya. B. Musik Asli Musik asli adalah nyanyian dan tetabuhan yang dilakukan oleh dukun atau pawang ataupun lagu-lagu tertentu didalam musik nobat diraja, dan nyanyian kematian yang bersifat sakral atau magis (Gaib). Dalam kelompok ini dimasukkan musik dan tari yang dilakukan oleh shaman (pawang, dukun). Banyak macam pawang pada orang Melayu. Ada pawang lebah, pawang buaya, dan harimau dan lain-lain. Paawang dari kesemuanya itu memiliki ilmu gaib yang sangat tinggi, dan melakukan tugasnya menyanyikan mantera-mantera dengan iringan alat tetabuhan, sehingga ia berada dalam keadaan seluk (kesurupan jin). Sedang musik Nobat Diraja adalah musik yang dimainkan ketika seorang raja ditabalkan, masyarakat Melayu menganggap seorang raja tidak syah bila tidak dinobatkan dengan musik nobat diraja, karena alat musik nobat tersebut ada melekat “Super Natural Power” (kekuatan gaib) yang dijaga oleh Jin kerajaan dan jika musik tersebut dibunyikan maka rakyat haruslah berhenti bekerja, seolah-olah raja berada dihadapan mereka. C. Musik Tradisional Musik tradisional adalah musik yang dimainkan untuk mengiringi teater Makyong, Menora, Rodat, Silat< dan Zapin. Musik tradisional Melayu bisa saja dikatakan apabila memakai alat-alat musik yang belum mendapat pengaruh dari Barat
Universitas Sumatera Utara
seperti Biola, Bas, Gitar, Piano, Akordeon dan lain-lain, akan tetapi masih memakai alat musik seperti Gong, Rebab, Serunai, Gendang, Rebana, Suling dan lain-lain. Musik tradisional Melayu tidak dapat diwariskan secara informal. Jadi tergabung di dalam “oral tradition”. Disamping itu musik tradisional ada juga yang berfungsi untuk mempertahankan suatu struktur sosial tertentu dari masyarakat dan dimana alat musiknya menjadi bagian dari alat-alat kebesaran kerajaan, seperti Angkatan Nobat Diraja. D. Musik Modern Musik modern adalah musik yang memakai alat-alat musik Barat, meskipun lagunya “Melayu Asli”. Dan musik yang dibawakan banyak menghasilkan variasi-variasi musik dari alat-alat musik yang dimainkan secara bersamaan.
2.2
Adopsi Musik Melayu Dari Berbagai Budaya
A. Adopsi dengan budaya India Hubungan kebudayaan dari India kenegeri-negeri di Nusantara ini sejak masa Hindu, kemudian Budha, dan kemudian Islam sejak abad ke 13 M. Pengaruh-pengaruh itu banyak sekali terdapat dalam kisah yang diuraikan didalam “Sejarah Melayu”. Berbagai “jiwa dan raga” musik India juga berpengaruh dalam lagu-lagu senandung Melayu. Kebudayaan India yang Menjamur pada kebudayaan Melayu adalah Boria dan Calti Pop Melayu Dangdut. Berikut penjelasannya : * Boria Asalnya satu kumpulan orang yang berpakaian aneka ragam berbaris dan mengunjungi rumah-rumah orang terkemuka sambil bernyanyi dan biasanya dengan
Universitas Sumatera Utara
iringan tambur. 9 Perkataan “boria” berasal dari bahasa Hindustan berarti “tikar” (disini tikar untuk sembahyang) dan dapat ditelusuri asal usulnya dari Persia. Sejarah Boria ini mula-mula dibawa oleh serdadu Hindustan ke Penang dari Resimen ke 21 yang tiba dari Madras tahun 1845. Kedatangan mereka ke Penang karena didalam bulan Muharram mereka diberi cuti 10 hari untuk memperingati kematian Saidina Hasan dan Saidina Husin (cucu-cucu Nabi Muhammad Saw), yaitu putera dari Saidina Ali, yang terbunuh di padang Karbela. Setelah berbaris mereka mendatangi rumah orang-orang terkemuka dengan berbaris dan bernyanyi diiringi musik yang memakai alat-alat gendering, simbal dan terompet. 10 Setelah pimpinannya menyanyi kemudian diikuti bersama-sama oleh orang banyak. Pimpinan lalu menunjukkan tangannya yang merah berwarna darah dengan disertai nyanyian yang memuja Saidina Hasan dan Husin itu. 11 “Tabuik” (tabut) di Sumatera Barat dan Di Bengkulu juga berasal dari Hindustan, ketika Inggris berkuasa di pantai barat Sumatera pada abad ke 19. Jadi di sini kita dapati sesuatu bersifat ritual keagamaan yang mempunyai pengaruh sekte Syiah. Ketika rombongan Bangsawan “Indian Ratu” kepunyaan Sultan Serdang kembali dari tournya di Perbaungan maka mulai turun Dari kereta api itu menuju istana Sultan di kota Galuh ( biasanya 1 Muharram) dengan bernyanyi dan berpakaian aneka ragam . Tetapi sekarang jenis kesenian ini sudah tidak ada lagi di Sumatera Timur. Boria di
9
Tengku Luckman Sinar, SH, Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu, Medan: Perwira, 1990, hal 72. 10 Tengku Luckman Sinar dan Wan Syaifudin, Kebudayaan Sumatera Timur, Medan: Usu Press, 2002, hal 343. 11 Tengku Luckman Sinar, SH, Loc. Cit, hlm 72.
Universitas Sumatera Utara
Malaysia telah menjadi drama, tarian, nyanyian oleh tukang karang dan tawak pada tahun 1950-an. 12
* Chalti dan Pop Melayu Dangdut Irama Melayu Deli boleh dikatakan sebagai induk dari musik dangdut. Musik Melayu sendiri sebetulnya merupakan jenis irama dalam musik Indonesia dengan sentuhan semenanjung Melayu, musik gaya lama sebelum kejayaan Melayu-Hindustan (dangdut). 13 Lagu Melayu asli adalah Melayu Deli yang masih mempergunakan gendang tradisional Melayu yang memungkinkan membawa sentuhan dendang dan joget tradisional, seperti contoh : Mainang Sayang, Serampang Dua Belas, Lenggang patah Sembilan, Selayang Pandang, Lancang Kuning, Babendi Bendi, Seringgit Dua Kupang dan sebagainya. 14 Pada saat ini musik tersebut masih tetap hidup dan berkembang di masyarakatnya, walaupun mereka berada ditengah-tengah persaingan berbagai macam aliran musik. Seperti Musik Rock, Dangdut, dan lain-lain. Semangat ke-Melayu-an saat ini bisa kita rasakan ataupun mungkin sengaja dimunculkan kembali, seperti lagu cindai yang dibawakan artis cantik dari negeri jiran Malaysia Siti Nurhaliza atau Laila Canggung dan Laksamana Raja di Laut yang dibawakan Iyeth Bustami. Ketika irama Melayu memasuki dunia musik hiburan yang lebih luas sesungguhnya ia telah masuk dalam kategori musik pop. Kategori musik pop ataupun musik populer adalah musik ringan yang menyenangkan dan disukai banyak peminat
12 13 14
Ibid, hlm 78 M. Soeharto, Kamus Musik, Jakarta : Gramedia Widiasarana, hlm 270. Ibid, hlm 241
Universitas Sumatera Utara
dengan menekankannya pada sifat hiburan. 15
Mempunyai sifat mudah didengar,
dicerna, mudah dikenal dan dihafal masyarakat tetapi mudah pula redupnya. Jembatan menuju Melayu Pop Modern Indonesia adalah pengembangan berbentuk orkes Melayu yang membawakan lagu-lagu Melayu asli yang dikembangkan secara orchestral. Pengembangan lebih jauh ke Melayu Pop Modern dilakukan Soneta Group (Rhoma Irama). Orkes Melayu Tarantula (Reynold Pangabean) dan lain-lain. Maka mulailah dikenal dengan istilah pop dangdut. 16
B. Adopsi dengan budaya Timur Tengah atau Arab Kedatangan agama Islam ke Nusantara membawa Seni dan Kebudayaan Arab, yang menarik hati masyarakat Islam khususnya pada keindahan lagu-lagu Arab yang didengar dan diterima melalui bacaan Al-Quran dan alunan lagu Qasidah Tawasyih, Ibtihal dan nasyid serta sholawat dari nuzum syair marhaban dalam memuji dan mengucapkan sholawat kepada Nabi Muhammad Saw. Lagu Arab tersebut dibawa secara langsung oleh pendakwah Arab yang datang ke Nusantara untuk mengembangkan Islam. Masyarakat Islam di tanah Melayu telah menjadikan nasyid Tawasyih , Qasidah Majrur dan bacaan Rawi berzanji dan Marhaban sebagai satu kesenian dalam setiap Majelis Perkawinan, Majelis Khatam Al-Qur’an, Majelis Berkhatan, Majelis Menyambut kelahiran bayi dan Majelis menyambut Maulid Nabi Muhammad Saw. Musik Gambus dalam artian sempit adalah jenis alat musik tradisional Arab yang penggunaannya dengan cara dipetik dan banyak dikenal di Indonesia. Dalam arti yang lebih luas dapat diartikan sebagai satuan musik yang berinti alat musik gambus
15 16
Ibid, hlm 341 Ibid, hlm 241
Universitas Sumatera Utara
khususnya yang memainkan lagu-lagu Arab dan qasidah, pasangan perlengkapannya adalah harmonium, biola, gendang, dan suling. 17 Qasidah adalah lagu yang bernapaskan Islam, yang berakar pada lagu Timur Tengah. Di Indonesia secara umum diartikan sebagai lagu dakwah Islam. Akan tetapi masyarakat kita sudah terlanjur salah kaprah, jika ada lagu Arab lantas disebut lagu Islami. Qasidah itu intinya sama saja dengan syair, hanya saja qasidah diambil dari kata Maqshuud (keinginan). Jadi orang yang bermaksud kemudian memiliki ilusi dan ingin dicetuskan ke dalam bait-bait syair. Demikian juga dengan musik gambus, masyarakat juga menganggap musik gambus sebagai lagu yang Islami. Padahal bisa jadi isinya mengenai percintaan dan lain sebagainya. Di Indonesia qasidah rebana mulai berkembang di sekitar Pulau Jawa khususnya di Jakarta dan sekitarnya selepas tumbangnnya Parti Komunis Indonesia sekitar tahun 1966/1967, dikatakan hampir seluruh lingkungan wilayah dan kampung mempunyai kumpulan qasidah rebana. Pada kebiasaanya qasidah rebana hanya diiringi dengan alat rebana dan tamborin. Awal tahun 1970-an qasidah gambus mulai berkembang seiring dengan qasidah rebana. Qasidah gambus diiringi dengan alat musik yang biasanya terdiri dari gambus, biola, seruling, gendang, tabla dan sebagainya. Biasanya mereka membawakan lagu-lagu dakwah atau lagu yang bertemakan keagamaan, dengan melodi dan irama ala Timur Tengah. Pada masa yang sama juga wujud orkes gambus yang biasanya membawakan lagu-lagu asli Timur Tengah. Sekitar tahun 70-an wujudnya kumpulan Qasidah Pop, namun ia hanya diminati oleh golongan elit. Sementara pada pertengahan tahun 80-an perkembangan Qasidah Indonesia turut menyaksikan qasidah dangdut yang telah 17
Ibid, hlm 158
Universitas Sumatera Utara
diperkenalkan oleh kumpulan Nasidaria dari Samarang dan pada tahun 1990 qasidah rebana plus turut menyajikan lagu-lagu nasyid dengan diiringi alat muzik seperti gitar, piano dan sebagainya.
C. Adopsi dengan budaya Barat Pada abad ke-16 M, kolonial Eropa (Inggris, Spanyol, Portugis, Perancis dan Belanda) masuk ke kawasan Melayu. Dalam perkembangannya, hampir seluruh kawasan ini tunduk pada kekuatan kolonial tersebut, bahkan banyak yang runtuh, seperti Malaka di Malaysia. Singkat kata, Kerajaan Melayu memang telah runtuh, namun kebudayaannya tidak akan musnah (sebagaimana dikatakan Hang Tuah, Tak kan Melayu hilang di dunia). Kebudayaan Melayu selalu ada dan ruhnya akan bangkit kembali, terutama di daerah asalnya ataupun di kawasan lain. Dalam seni musik Melayu ini unsur-unsur budaya barat dapat dilihat dari alat-alat musiknya seperti perangkat drum, keyboard, sound sistem dan lighting system. Juga dalam pembagian seperti interlude, reff, coda, not balok dalam lagu, dan lain-lain.
2.3 Musik Melayu Sebelum Adanya Keyboard Suatu pertunjukan hiburan sebenarnya mempunyai sejarah yang amat panjang, terlebih lagi pagelaran musik. Bila dilihat dari sejarah pertunjukan musik di nusantara sudah berlangsung sejak sebelum Negara Indonesia terbentuk. Kapan dimulainya belum diketahui secara pasti, namun kebiasaan-kebiasaan raja-raja di pulau Jawa sudah menjadikan sebuah tradisi setiap ada pesta tentu ada musik guna untuk menghibur para tamu yang datang. Pada masa kolonial Belanda sendiri kebiasaan itu terus berlangsung.
Universitas Sumatera Utara
Hiburan sebelum adanya pertunjukan keyboard amatlah beragam, biasanya ketika seseorang ingin memanggil sebuah hiburan maka biasanya disesuaikan latar Belakang kehidupannya seperti suku dan budayanya. Maka untuk itu perlu diuraikan pertunjukan sebelum adanya keyboard yaitu : A. Pertunjukan Musik Gambus Gambus sebenarnya adalah pertunjukan musik yang berasal dari budaya Arab, yang tidak banyak berubah dalam proses pertunjukannya di masayarakat. Baik instrument maupun musiknya konon berasal dari Mesir dan diperkenalkan di Indonesia oleh saudagar Arab. Gambus adalah sebuah instrument yang telah memberikan nama pada orkes yang menggunakannya dan dilengkapi dengan tarian dan nyanyian. Biasanya orkes gambus dimainkan pada acara-acara Islam yaitu sebelum dan sesudah Ramadhan, Maulid, Isra’ Mi’raj, maupun tahun baru Islam, selain itu juga sebagai pelengkap acara perkawinan. Orang yang menganggap pertunjukan gambus sebagai hiburan ketika resepsi pernikahan biasanya berlatar belakang agama yang kuat. Kemudian bila dilihat dari jumlah orang yang memanggil pertunjukan gambus tersebut, hanya sedikit sekali orang yang memanggilnya sebagai hiburan baik ketika pernikahan maupun sunatan. Menurut penuturan salah satu Informan bapak Sangkot Nasution yang merupakan mantan salah satu anggota pemain group musik gambus menyatakan bahwa “Sepengetahuan saya selama saya menggeluti musik gambus selama 10 tahun, pemanggilan untuk penampilan sebuah resepsi acara tarif yang dikenakan pada saat itu (1984) sekitar Rp. 250.000,-. Kalau dilihat dari persaingan dengan pertunjukan hiburan lain khususnya musik, memang gambus ini amat jarang disenangi, hanya kalangan tertentu saja yang menyukainya, biasanya orang-orang yang berlatar belakang agama
Universitas Sumatera Utara
Islam yang kuat menyukai aliran musik ini. Pada awal-awalnya pembentukan group musik gambus ini hanya sekedar untuk melepaskan hobi yang sudah ada sejak belajar di pesantren. Namun usia group ini sayangnya tidak panjang, dikarenakan amat jarangnya pemanggilan group musik gambus untuk menghibur sebuah acara. Sedangkan kami hampir semua sudah berumah tangga, sehingga kami butuh pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga dan akhirnya satu persatu anggota group mengundurkan diri termasuk saya. Sekarang musik gambus ini dapat dikatakan sudah jarang terdengar apalagi didengar”. Pertunjukan musik gambus ini memang amat langka ditemukan pada saat sekarang ini, musik yang berlatar belakang dari negeri Arab ini hanya menjadi sebuah cerita belaka. Penampilan dari sebuah pertunjukan musik gambus memang kadang dapat dilihat dalam sebuah perayaan hari besar Islam namun yang betul-betul menyajikan kekhasan dari musik gambus (salah satunya alat musik) sudah tidak ada lagi. Dari alat musik saja, penampilan musik gambus pada saat sekarang ini hanya menggunakan alat musik yang amat sederhana sekali. Biasanya terdiri dari gitar, piano, dan biola.
B. Orkes Melayu Orkes-orkes Melayu ini sebenarnya telah berkembang pada tahun 1960-an yang tumbuh di wilayah Medan dan Padang. Orkes melayu ini adalah orkes populer modern yang terdiri dari gitar listrik, organ, suling lintang, gong kecil, kerincing, dan penyanyi pria maupun wanita. Pada awalnya orkes Melayu ini banyak membawakan lagu-lagu yang mencirikan Melayu tradisional, masih banyak memiliki ciri unsur dari semenanjung Melayu, lirik dan
Universitas Sumatera Utara
syairnya berupa pantun, namun pada tahun 1950-an seorang penyanyi asal Jakarta bernama Ellya Khadam mengembangkan suatu gaya nyanyian yang setia pada produk orkes Melayu, dan menciptakan suatu irama dan suara baru dengan instrument India, Arab, dan gendang Indonesia, suling bambu yang meminjam dari musik-musik dalam film India yang terkenal pada saat itu (1950). Ia memasukkan suatu dinamisme dan sensualitas unik kedalam musiknya, hal ini dapat dikatakan sebagai lagu dangdut yang pertama. Terjadinya perkembangan orkes Melayu ini semakin pesat di Indonesia seiring dengan perubahan aliran musik Melayu yang banyak dipengaruhi aliran musik dari luar. Sejak itu Ellya Khadam memperkenalkan kreasi musik orkes Melayu yang begitu disambut baik oleh pecinta musik, hingga munculnya Rhoma Irama yang mewujudkan orkes Melayu yang beraliran dangdut dan banyak dipengaruhi oleh rekaman musik film India. Popularitas dangdut yang dirintis Ellya Khadam dan seorang superstar Rhoma Irama telah mencapai puncaknya sejak tahun 1970-an, semakin besar mempertajam kepekaan para komponis pada musik rakyat. Sejak pertengahan tahun 1970-an adalah puncak perkembangan musik yang berlatar belakang orkes Melayu ini (dangdut).18 Dalam pertunjukan orkes Melayu sendiri lebih banyak disenangi jika membawakan lagu-lagu dangdut dibandingkan lagu-lagu lain khususnya lagu-lagu Melayu sendiri. Mengapa demikian? Karena banyak orang beranggapan bahwa ketika orkes melayu tampil dan membawakan lagu atau musik yang benar-benar mencirikan Melayu maka hanya orang-orang Melayu sajalah yang menyukai atau menikmatinya. Pertunjukan orkes Melayu dulunya amat disenangi sebelum adanya keyboard, tetapi ketika pergeseran itu terus terjadi orang-orang tidak lagi menyebutnya pertunjukan 18
Budi Suseno, Dangdut Musik Rakyat, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2005, hlm 42
Universitas Sumatera Utara
orkes Melayu melainkan pertunjukan sebuah group band. Hal ini dikarenakan penampilan-penampilan orkes Melayu tidak mencirikan semenanjung Melayu, baik pakaian, alat musik maupun lagu-lagu yang dibawakan semua mulai bergeser. Awalnya jika dilihat suatu pertunjukan orkes Melayu, maka khas Melayu akan tampak misalnya saja dari pakaian yang digunakan yang berwarna kuning lengkap dengan songketnya, disamping itu penyebab orkes-okes Melayu bergeser adalah karena masyarakat di kota Medan telah mengenal beberapa jenis musik lain, bukan saja musik dangdut tetapi aliran musik pop dan rock yang telah menyatu pada masyarakat kota Medan. Selain itu karena terlalu mahalnya tarif harga untuk memanggil orkes-orkes Melayu tersebut. Yang bisa dan sanggup untuk memanggilnya adalah masyarakat kelas atas, sehingga sesekali dalam tiap bulan masyarakat bisa menikmati pertunjukan orkes tersebut. Sampai-sampai pada saat itu (1970) para muda mudi rela menempuh jarak yang cukup jauh untuk melihat pertunjukan orkes-orkes Melayu. Hal ini kurang baik dirasakan oleh perkumpulan orkes Melayu, karena terlalu jarangnya mereka dipanggil untuk tampil, sehingga banyak para personil kumpulan orkes Melayu menggantung hidupnya dari pertunjukan ini, dengan kondisi seperti ini membuat mereka mau tidak mau harus rela meninggalkan pekerjaan mereka sebagai seniman musik, dengan terpaksa mereka mencari profesi lain demi mencukupi kebutuhan hidup. Kondisi ini mulai dirasakan pada pertengahan tahun 1980an. Dalam tahun-tahun ini sering terjadi pergantian personil dalam orkes-orkes musik, ini diakibatkan hidup di dunia musik tidak bisa diharapkan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Kemunduran pertunjukan orkes Melayu di kota Medan sebagai hiburan musik semakin tampak dirasakan pada akhir tahun 1980-an dengan munculnya alat musik
Universitas Sumatera Utara
keyboard yang tampil sebagai pertunjukan musik yang praktis dan begitu menghibur. Dapat dikatakan diera tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-an adalah puncak jayajayanya orkes Melayu. Namun dipertengahan tahun 1980-an hingga akhir adalah masa kemunduran dari orkes-orkes Melayu dan ada sebagian orkes-orkes Melayu sudah digantikan dengan group musik keyboard. Pergantian siklus membuat orkes-orkes musik Melayu Medan harus rela menempatkan musik keyboard diposisi paling atas, dengan begitu maka orkes-orkes musik Medan terjepit diantara dua pilihan yaitu terancam bubar dan apakah mereka harus tetap bertahan. Jawaban itu tentunya ditangan para pemimpin orkes-orkes musik baik orkes Melayu ataupun orkes-orkes musik padang pasir dan orkes musik lainnya. Nama “orkes Melayu” yang melekat pada setiap nama grup musik berusia lebih tua dari pada istilah “dangdut”. Sementara sejumlah sumber merujuk awal tahun 1970-an sebagai tahun munculnya istilah “dangdut”. Istilah “Orkes Melayu” sudah muncul sebelum kemerdekaan R.I., sekitar tahun 1940-an. Seorang tokoh yang dianggap berjasa dalam kemunculan istilah “Orkes Melayu” adalah Dr. A.K. Gani, aktivis Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Menilik keberhasilan film musik (keroncong) Terang Boelan (1938) menarik penonton pribumi dalam jumlah yang besar, Dr. A. K. Gani melihat peluang penggunaan bentuk-bentuk budaya populer sebagai media penumbuh dan penyebar semangat nasionalisme. Untuk dapat menjadi media penggerak semangat nasionalisme, bentuk-bentuk kesenian (budaya) pribumi yang disukai banyak orang harus ditempatkan setara, namun berbeda dari bentuk-bentuk kesenian asing yang mendominasi saat itu. Semangat nasionalisme kultural (cultural nationalism) semacam itulah yang membidani kelahiran istilah “Orkes Melayu” sebagai
Universitas Sumatera Utara
penyetara sekaligus pembeda dari “Orkes Barat” milik penguasa penjajah saat itu. Dengan membubuhkan istilah “orkes” yang dipinjam dari bahasa penguasa kolonial Belanda, para pengguna awal istilah “Orkes Melayu” seakan memproklamirkan bahwa musik-musik pribumi Hindia Belanda pantas didudukkan setara dengan musik-musik Eropa. Dalam pandangan mereka, keroncong dan musik irama Melayu yang populer di Hindia Belanda pada saat itu adalah bentuk orkes juga, sama seperti orkes simponi (Symphonic Orchestra), orkes gesek (String Orchestra), atau orkes kamar (Chamber Orchestra) dalam budaya Eropa. Klaim kesamaan itu kemungkinan besar terkait dengan kenyataan bahwa pada tahun 1940-an kelompok-kelompok musik keroncong maupun musik irama Melayu di kota-kota besar seperti Medan, Jakarta, dan Surabaya tidak hanya memakai alat musik lokal/pribumi, namun juga telah mengadopsi instrumen-instrumen musik dari Barat. Dengan meminjam istilah orkes, para pengguna awal istilah “Orkes Melayu” menyamakan, atau lebih tepatnya menyetarakan, status musik pribumi di hadapan musik Eropa. Jika penggunaan kata “orkes” dalam “Orkes Melayu” dapat dipandang sebagai penyetara, maka penggunaan kata “Melayu” dalam istilah tersebut lebih berfungsi sebagai pembeda dari bentuk orkes-orkes lain yang ada pada waktu itu. Perbedaan tersebut dibangun di atas perbedaan struktur musikal musik-musik yang berada di bawah istilah “Orkes Melayu” dengan struktur musik Eropa yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikut. Pada bagian ini, cukup dikemukakan bahwa istilah “Orkes Melayu” pada masa 1940-an mencakup pengertian musik yang populer dikalangan penduduk pribumi perkotaan waktu itu, yaitu Keroncong dan musik irama Melayu. Sebenarnya pada masa yang sama juga istilah “Orkes Harmonium” yang digunakan untuk menunjuk pada bentuk
Universitas Sumatera Utara
musik yang menggunakan harmonium (sejenis organ) sebagai instrument utamanya. Namun, dalam perkembangan lebih lanjut Orkes Harmonium tidak mampu bertahan hidup, sementara identitas musikal keroncong semakin mengental dan memisahkan diri dari Orkes Melayu dengan memakai nama diri Orkes Keroncong Asli, sehingga pengertian “Orkes Melayu” menjadi lebih terbatas sebagai nama jenis musik yang berirama Melayu. Persoalannya, apakah kelompok-kelompok musik bergelar “Orkes Melayu” selalu memainkan musik berirama Melayu? Dalam kenyataannya tidak demikian. “Penyanyi-penyanyi yang muncul itu tidak lagi menyanyikan lagu-lagu Melayu asli seperti Makan Sirih Berjauh Malam, atau lagu-lagu Melayu lama seperti Anak Tiung, atau pula lagu-lagu Melayu Deli seperti Pulau Puteri, tetapi mereka menyanyikan irama lagu-lagu Melayu bergaya Hindustan yang diciptakan oleh A. Kadir, Husein Bawafie, dan lain-lain”. 19 Hal ini menyiratkan bahwa sebelum pertengahan tahun 1960-an kelompok-kelompok Orkes Melayu memainkan lagu dan musik berirama Melayu, namun pada paruh kedua 1960-an terdapat pergeseran kecenderungan ke arah musik Hindustan. Sekarang, di awal abad ke-21 ini, kita bahkan sangat sulit menentukan ciri-ciri ke-Melayu-an dalam musik yang diperdengarkan kelompok-kelompok musik bergelar “Orkes Melayu” itu. Kita sekarang mengenal jenis musik Orkes Melayu dengan sebutan “dangdut.” Bagaimana dan mengapa pergeseran ini terjadi?. Penamaan “Orkes Melayu” yang terjadi pada tahun 1940-an tentunya merujuk pada suatu kualitas musikal tertentu yang terkait dengan pengertian Melayu sebagaimana dipakai orang pribumi Hindia-Belanda pada waktu itu. Musik Melayu pada masa itu merujuk pada satu jenis musik yang berkembang di pantai Sumatera Timur, khususnya di daerah Deli. Beberapa tahun silam juga dikenal nama Melayu-Deli untuk menyebut sejenis musik Orkes Melayu 19
Mona Lohando, Seni Dalam Masyarakat Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia 1983, hlm 140.
Universitas Sumatera Utara
oleh Rhoma Irama (sang raja dangdut) diakui sebagai bentuk awal musik dangdut. Oleh karenanya, pelacakan bentuk musik yang dimainkan oleh kelompok-kelompok “Orkes Melayu” selayaknya dimulai dari musik di daerah bekas Kesultanan Deli, dekat pusat kota Medan itu. Pada abad ke-17 daerah-daerah pantai Sumatra Utara dan Timur dihuni oleh orang Melayu, meskipun daerah pantai Sumatera Utara dan Timur itu adalah daerah perdagangan, daerah itu juga dihuni oleh orang Batak-Karo, Arab, dan Cina. Orang-orang Melayu yang tinggal di sepanjang pantai Sumatra Utara dan Timur mempunyai hubungan sosio-kultural dengan orang Melayu di semenanjung Malaya. Mereka memakai bahasa yang sama, memiliki legenda yang sama, dan bahkan para bangsawannya menjalin hubungan kerabat dan perkawinan. Tidak mengherankan bila di antara mereka juga terdapat keterkaitan budaya musikal. Kesultanan Deli memiliki hubungan dengan orang-orang Melayu di Penang, Malaysia Utara. Pada akhir abad ke-19 lagu-lagu dan lakon dari Wayang Parsi sangat digemari
penduduk
Penang,
termasuk
para
bangsawannya.
Bahkan
mereka
mengembangkan Wayang Parsi menjadi sejenis teater Melayu, yang di kemudian hari dikenal dengan nama Bangsawan. 20 Rupanya Bangsawan begitu populer di Penang, sehingga pada masa itu bermunculan grup-grup Bangsawan yang disponsori oleh hartawan maupun para aristokrat Penang. Maka dari itu dapat diperkirakan maraknya teater Bangsawan di Penang pada pergantian abad ke-19 dan 20 tersebut memberikan pengaruhnya pada kesenian orang Melayu di daerah pantai Sumatra Utara dan Timur. Rupanya popularitas jenis teater Melayu bernama Bangsawan ini di Indonesia mampu
20
Tengku Luckman Sinar, Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu, Medan : Perwira, 1990, hlm 2.
Universitas Sumatera Utara
bertahan cukup lama. Di tahun 1940-an lahirlah kelompok teater bernama Ratoe Asia di Padang. Kelompok ini seringkali mementaskan lakon-lakon Bangsawan serta menyajikan lagu dan musik Melayu. Salah seorang biduanitanya adalah Hasnah Thahar. Apa kaitan antara Bangsawan dan musik Melayu-Deli yang dikatakan Rhoma Irama sebagai pendahulu dangdut? Kaitannya terletak pada sifat campuran (mixed) yang menjadi ciri utama Bangsawan. Sifat campuran tersebut terdapat dalam unsur kisah, tari, kostum, maupun musiknya. Bangsawan mementaskan kisah-kisah lokal Malaysia maupun kisah-kisah dari Turki, Mesir, India, Cina, Jawa, serta Eropa. Sementara itu, pada bagian musiknya Bangsawan menggunakan alat musik Melayu (rebana), Amerika Latin (mandolin), India (tabla), yang dicampur dengan alat musik Barat, seperti piano, biola, dan saksopon. 21 Kemung, sejenis gong berukuran kecil, dan harmonium yang digunakan mengiringi lagu-lagu Melayu asli pada masa itu seringkali tidak lagi digunakan. Sifat campuran ini selaras dengan habitat tempat jenis teater ini hidup: daerah kota pesisirperdagangan semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, dan Kalimantan, yang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah dihuni oleh penduduk berlatar belakang kesukuan dan kebangsaan yang beraneka ragam. Musik campuran semacam itulah yang disebut sebagai Melayu-Deli, yang pada tahun 1940-an memperoleh gelar baru “Orkes Melayu” untuk membangkitkan semangat nasionalisme warga pribumi daerah perkotaan, dan yang empat dasawarsa kemudian dipandang sebagai cikal-bakal dangdut. Kaitan lebih spesifik dapat dijumpai pada keserupaan antara pola ritme musik yang dimainkan dalam Bangsawan dengan pola ritme musik dangdut. M. Soeharto mengidentifikasi tiga jenis pola ritmik yang sering digunakan dalam musik Bangsawan bergaya Melayu, yakni Asli, Joget, dan Inang. Di antara ketiga pola ritme tersebut ritme 21
Ibid, hlm 5
Universitas Sumatera Utara
inanglah yang berdekatan dengan pola ritme dangdut, yaitu dung, tak, dung, dung. Pendapat ini sejalan dengan pengamatan James D. Chopyak (1986: 123) yang menyatakan bahwa dangdut di Malaysia menggunakan pola irama Inang. Perhatikanlah bahwa pola ritme Inang di atas bersesuaian dengan pola ritme dangdut berikut ini yaitu dut, tak, tak tung, tak dang duuut (Simatupang, 2004). Kemiripan antara pola ritmik inang pada musik Melayu-Deli dan pola ritmik dangdut memberikan dukungan pembenaran terhadap perkiraan mengenai Melayu-Deli sebagai cikal bakal musik dangdut. Namun, dinamika perkembangan pada unsur musikal yang lain ternyata menunjukkan arah menjauh dari musik Melayu. Pada unsur melodi, misalnya, sejak paroh kedua tahun 1950-an dijumpai pergeseran gaya musikal Orkes Melayu yang condong ke arah India, dengan penyanyi tenarnya Ellya Khadam. Berawal dari tahap perkembangan ini Orkes Melayu cenderung tidak lagi berupa musik pengiring tari pergaulan antara pemuda bersarung sebatas paha, berpeci atau berteluk-belanga dengan pemudi berkebaya panjang semacam dalam tarian berpasangan yang teratur seperti Serampang Dua Belas. Pergeseran musik Melayu ke arah tiruan atas tarian ekspresif yang terdapat dalam film-film India adalah salah satu tontonan kesukaan Ellya Khadam. Besarnya pengaruh dari musik dan tari dalam film India terbukti dari larisnya lagu “Boneka India” yang dinyanyikan oleh Ellya Khadam (1950). 22 Akan tetapi, tetap saja kelompok musik seperti itu disebut “Orkes Melayu”. Sesudah jaman “Indianisasi”, di awal tahun 70-an setelah hubungan Indonesia dengan negara-negara kapitalis Barat terhambat dalam masa menjelang akhir pemerintahan Bung Karno, dan kemudian terbuka lagi setelah masa Orde Baru dicanangkan Soeharto pada tahun 1966, gelombang pengaruh besar melanda “Orkes 22
Dharmo Budi Suseno, Dangdut Musik Rakyat, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2005, hlm 28.
Universitas Sumatera Utara
Melayu” lagi. Kali ini pengaruh yang masuk berupa “elektrisasi” yang segera disusul oleh “industrialisasi”. Bintang pembaharu pada periode ini adalah Rhoma Irama, seorang penggemar musik pop-Barat yang memasukkan idiom-idiom musik pop-Barat ke dalam musik “Orkes Melayu”. Lewat tangan Rhoma yang mengagumi Richie Blackmore, gitaris kondang kelompok musik rock Deep Purplelah gitar elektrik digunakan secara lebih efektif dalam Orkes Melayu. Selain itu, irama musik Orkes Melayu yang dulunya mengalun statis cenderung menjadi lebih dinamis berkat pemanfaatan break secara efektif. 23 Meskipun bentuk musiknya telah berubah, namun gelar “Orkes Melayu” tetap dipakai Rhoma untuk menamai kelompoknya Orkes Melayu (O.M.) Soneta. Jadi, terlahir lah pada awal tahun 70-an musik “Orkes Melayu” yang “nge-rock”. Gaya O.M. Soneta yang “nge-rock” ini dengan cepat segera diikuti oleh kelompok-kelompok Orkes Melayu yang lain. Hal ini bukan hanya karena musik baru ini menarik minat penggemar irama Melayu di perkotaan, tetapi juga disebabkan oleh adanya dukungan oleh perkembangan pesat industri musik di Indonesia sejak masuknya teknologi rekam suara pita kaset dan cassette player menggantikan teknologi piringan hitam dan gramaphone. Akan tetapi, justru pada saat itu pula jenis musik yang berjuluk “Orkes Melayu” ini memperoleh cemoohan dari publik perkotaan penggemar musik pop atau rock Barat. “Orkes Melayu” dicemooh karena suara gendangnya monoton (dang duut) dan syairnya yang dianggap kekanak-kanakan. Dalam perkara cemoohan ini, Rhoma Irama dapat dipandang sebagai salah seorang tokoh yang berjasa besar memperjuangkan martabat Orkes Melayu. Ia memungut istilah ejekan itu (dangdut) dan mengangkatnya sebagai salah satu judul lagu yang syairnya berisi pesan “perlawanan” terhadap cercaan yang dilancarkan terhadap musik Melayu pada waktu itu. Langkah serupa juga dilakukan oleh Trio Bimbo, 23
Ibid, hlm 41.
Universitas Sumatera Utara
kelompok musik kaum terpelajar yang memberi simpati pada perjuangan jenis musik Melayu dewasa ini. Sejarah membuktikan bahwa dangdutlah yang menang dalam perseteruan itu. Sejak tahun 70-an itu lah nama Orkes Melayu menjadi gelar resmi, sedangkan nama modernnya adalah dangdut. Singkatan O.M. tetap dipajang di depan nama kelompok, seperti pada O.M. Latansa, dan penggunaannya persis sama dengan kelompok-kelompok Orkes Melayu jaman dulu, meskipun bentuk musiknya telah berubah.
2.4 Musik Melayu Pada Masa Kini Muncul, berkembang dan redupnya suatu kebudayaan sangat tergantung pada faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan sikap pendukung kebudayaan itu sendiri, sementara faktor eksternal berhubungan dengan penetrasi kebudayaan luar. Penetrasi kebudayaan luar merupakan konsekuensi logis dari pilihan untuk membuka relasi dengan kebudayaan lain. Namun, pengaruh dari penetrasi tersebut akan sangat tergantung pada pola respons pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Redup atau berkembangnya kebudayaan Melayu akan sangat tergantung pada orang Melayu itu sendiri, dalam mengembangkan kebudayaannya sendiri dan merespons penetrasi kebudayaan asing. Gambaran yang paling nyata saat ini adalah pengaruh negara-negara barat terhadap dunia Melayu, yang telah membawa implikasi-implikasi tersendiri terhadap kehidupan orang-orang Melayu. Saat ini, orang-orang Melayu menyadari bahwa mereka pernah berjaya di masa lalu. Berbagai peninggalan sejarah sebagai bukti kejayaan masa lalu tersebut masih bisa disaksikan hingga saat ini seperti istana maimun, masjid raya dan lain-lain. Ketika
Universitas Sumatera Utara
berkaca ke masa lalu dan membandingkannya dengan keadaan masa kini, orang-orang Melayu kemudian menyadari bahwa mereka sebenarnya, dalam tataran (tingkatan) tertentu, telah cukup jauh meninggalkan bahkan melupakan akar kebudayaannya; mereka telah menjadi kelompok marjinal, bahkan di negeri sendiri. Dari situ, kemudian muncul keinginan dan kesadaran baru untuk memperhatikan dan menghidupkan kembali kebudayaan Melayu tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Perhatian dan keinginan tersebut tidak hanya dilatar belakangi oleh nostalgia dan romantisme masa lalu, tapi juga disebabkan oleh adanya kesadaran dan pengetahuan tentang keagungan dan keluhuran budaya Melayu tersebut. Untuk itulah, aspek-aspek mengenai kebudayaan Melayu, seperti pandangan hidup, adat istiadat, bahasa dan sastra perlu diaktualisasikan kembali dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan bahwa eksistensi musik tradisional yang dewasa ini mulai terlupakan adalah sebuah fenomena yang tak bisa dipungkiri. Ada beberapa hal. Yang pertama, pengaruh agama. Kesan-kesan terhadap musik-musik tradisi itu selalu terkait dengan kepercayaan lama. Ada stigma yang buruk terhadap kesenian tradisional itu sendiri. Kedua, modernisasi. Ada kesan yang beranggapan bahwa musik tradisional itu kuno alias ketinggalan jaman. Faktor ini sangat kuat dampaknya. Yang ketiga adalah media yang sangat jarang menampilkan seni tradisional. Mengapa rasa musikal generasi muda saat ini sangat kebarat-baratan? Karena musik dari sanalah (Barat) yang sering mereka dengar dan tonton. Apa yang mereka dengar lewat media elektronik, dominasinya sangat tinggi. Musik yang datang dari barat (Pop bukan Klasik) menjadi sebuah musik yang lebih baik dari musik lain bagi mereka. Kita tahu teknologi juga sudah menjadi elemen terpenting di musik. Namun teknologi jangan kita musuhi. Tapi dirangkul. Artinya, kita harus punya
Universitas Sumatera Utara
strategi juga untuk memasukkan seni tradisi ini ke media. Dalam bentuk rekaman CD misalnya. Atau hal lainnya, termasuk penciptaan komposisi.24 Sebenarnya upaya itu sudah dilakukan. Semisal dengan penciptaan World Music, yang mengambil elemen-elemen tradisi. Di Barat, hal ini sudah banyak dilakukan. Juga di negara kita. Misalnya oleh Crishye yang berkolaborasi dengan pesinden Waljinah. Walaupun mungkin itu masih latah, namun setidaknya bisa menjadi peluang bagi pemusik-pemusik muda agar kembali ke tradisinya. Selain itu diperlukan juga kantongkantong budaya, yang juga menampilkan seni tradisi. Jadi yang datang bukan hanya seniman, tapi dari semua kalangan. Di Jawa hal ini sudah lama dilakukan dengan adanya Gedung Kesenian Jakarta (yang rutin menampilan pertunjukan musik klasik kontemporer dan tradisional), misalnya Teater Utan Kayu di Jakarta, Kedai Kebun di Yogyakarta yang juga sering dikunjungi oleh kalangan ekspatriat. Selain itu, masuk lewat jalur pendidikan. Bagaimana membuat paket-paket program, bagaimana pengajaran seni tradisi yang dikemas untuk sekolah-sekolah. Sistem pendidikan kita sendiri selama ini sebenarnya sudah salah. Persepsi bahwa seni musik tradisional adalah sebuah elemen terpenting untuk diajarkan di sekolah-sekolah, sering diabaikan. Setelah itu, mengadakan sosialisasi ke masyarakat. Pasalnya, saat ini seni tradisional masih selalu dikaitkan dengan adatistiadat. Sekarang, fenomena yang terjadi di masyarakat lebih memilih yang praktis dan murah. Misalnya dengan memesan sajian musik keyboard yang menghilangkan elemenelemen musik aslinya. Jika memang keyboard lebih penting dipakai karena alasan biaya, sebaiknya alat musik tradisional asli jangan dilupakan. Keyboard boleh saja disertakan, tetapi bukan untuk menghilangkan unsur musik yang ada. Melainkan untuk memperkaya 24
Artinya adalah instrumental atau vokal
Universitas Sumatera Utara
unsur musik tradisional yang telah ada itu. Persoalannya, jika senimannya tidak bisa hidup secara ekonomi maka dia akan meninggalkan musik tradisional itu sendiri. Makanya, kesenian pertunjukan tradisional, yang dulu memiliki fungsi sosial, media komunikasi, harus dibangkitkan kembali. Jadi musik tradisional tidak hanya berpaku pada adat saja. Di mana ada acara adat, baru di situ seniman tradisional berfungsi. Seandainya ada media yang rutin mempertunjukan musik tradisional ini di luar dari kebutuhan adat itu. Fenomena perkembangan alat musik yang terjadi pada saat sekarang adalah hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, dimana sebuah pagelaran musik tidak perlu mempergunakan banyak pemain musik serta banyak alat musik, namun diiringi dengan satu alat musik dapat menghasilkan suara dari alat musik yang lain. Alat musik itu disebut dengan keyboard yang amatlah sederhana dan murah harganya, pemain dari keyboard tersebut cukup satu orang sudah bisa mengoperasikan atau memainkan sebuah musik sesuai dengan kehendak dan selera masing-masing. Pada awalnya keyboard merupakan salah satu alat musik yang sering dimainkan dengan alat musik lainnya dalam pertunjukan-pertunjukan musik. Posisi alat musik keyboard tidak beda fungsinya dengan alat musik lainnya bahkan saling mendukung kekurangan satu sama lain. Berbeda pada saat sekarang, alat musik dewasa ini (keyboard) mampu tampil dalam pagelaran musik tidak dengan alat musik lain. Suara yang dikeluarkan oleh keyboard pun semakin mendekati hasil yang sempurna dari berbagai suara atau pun irama dari alat musik lain Keyboard pada saat sekarang mampu menarik perhatian masyarakat Indonesia. Kekaguman masyarakat terhadap keyboard membuatnya benar-benar diterima oleh
Universitas Sumatera Utara
masyarakat kita. Rasa kekaguman itu ditunjukkan oleh masyarakat dengan memilih keyboard sebagai pilihan yang paling utama dalam hal hiburan dan mengyampingkan hiburan-hiburan lainnya. Kini tiada perayaan yang dianggap penting diselenggarakan tanpa adanya iringan musik keyboard. Pada dasarnya ada dua istilah yang digunakan dalam hal menyebutkan alat musik serba bisa ini. Pertama, di daerah Sumatera Utara menyebutnya dengan istilah keyboard dan yang kedua di daerah-daerah lainnya yang ada di Indonesia disebut dengan istilah organ tunggal. Dua istilah ini sebenarnya mempunyai arti yang hampir sama tetapi juga berbeda. Organ tunggal yang hanya dimainkan oleh satu orang saja sedangkan istilah keyboard sendiri adalah nama merk dari organ tersebut, sehingga dari sinilah istilah keyboard yang lama kelamaan bergeser dengan menyebutnya kibot atau kibotan. Keyboard hadir ditengah-tengah masyarakat dan mempunyai pengaruh tersendiri sehingga masyarakat menaikkan gengsi bagi masyarakat. Apabila sebuah perayaan tanpa hadirnya musik keyboard baik dalam acara pernikahan, sunatan, ataupun perayaanperayaan lain yang dianggap belum lengkap. Ditambah lagi musik dangdut yang berbau sensualitas serta biduanita berparas cantik dan aduhai dengan goyangan lekuk tubuhnya hingga membuat para tamu atau para penonton yang hadir menghayal kedalam dunia neraka, yang mereka ciptakan sendiri. Bila ditinjau kembali, hadirnya keyboard ditengah masyarakat memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat sendiri. Hadirnya keyboard membius masyarakat dan melupakan yang lain. Sebelum berkembangnya keyboard banyak jenis hiburan-hiburan lain yang dapat dijumpai, termasuk hiburan-hiburan yang sifatnya budaya asli seperti wayang, ludruk, kuda kepang, nasyid, orkes Melayu, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
Hiburan-hiburan ini sekarang hanya tinggal kenangan saja dan pasti jarang sekali untuk dijumpai maupun kita temui kembali. Pergeseran ini dirasakan sangat nyata dan tak lain diakibatkan oleh kehadiran keyboard. Perlu dikaji kembali apa sebenarnya yang menyebabkan hiburan-hiburan ini ditinggalkan begitu saja dan benar-benar berpaling dengan keyboard. Kemudian apa kelebihan yang dimiliki oleh keyboard hingga membuat masyarakat seolah-olah terhipnotis dan melupakan budaya mereka sendiri.
Universitas Sumatera Utara