Kritik atas Kritik Adinegoro
Sekarang ini golongan yang hampir secara dasarnya Dr. Cipto dan Sutan Takdir Alisjahbana belum terkemuka, karena pujangga-pujangganya belum begitu menyadari dasar-dasarnya. Melainkan, masih dalam zaman mengkritik dan mencari jalan keluar ke lapangan yang amat lebat yang belum ada menara yang menunjukkan jalan dan tujuan. Namun, kita yakin pergeseran dalam pandangan itu baru bisa terjadi jika segala permasalahan itu telah menemukan sintesisnya (sebagaimana umunya yang telah terjadi pada dialektika, cat.peny.) Kelak akan tampak jelas perbedaan pendirian antara pandangan para ahli pendidik kita, yang satu atas dasar kemerdekaan yang menginginkan tertib damai, dan yang lain berdasar dinamika yang mementingkan kondisi perjuangan hidup, tidak mau lari kembali ke benteng masa lalu. “Terbang kembali ke zaman Majapahit”. Seperti kata Cipto. Kita memang tidak sepaham dengan kritik Sutan Takdir Alisjahbana yang mengatakan bahwa soal intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme itu bukan masalah masyarakat Indonesia, karena ini masalah yang universal. Ditemui di semua bangsa, di semua budaya, dahulu dan sekarang. Hanya saja kita jangan lupa bahwa penekanannya saja yang mesti dibedakan setiap kali mempertimbangkan masalah itu secara kebudayaan. Bahaya intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme itu memang ada dalam masyarakat kita, bukan cuma mimpi, hanya saja tidak sebesar di masyarakat Barat. Kita tidak heran dengan pendirian dan pemahaman pentolan-pentolan yang berbicara di Kongres Pendidikan Nasional itu, karena memang itu dasar filosofinya, hanya berbeda sedikit antara satu dengan lainnya. Antara Sutomo dengan Ki Hajar Perbedaannya hanya dalam tingkatannya, sedang dasar filosofinya tinggi dan khas sekalipun berpaling juga dari inti, membenarkan dunia dan menafikan dunia. Dalam batinnya tak membedakan antara rohani dan inti, tetapi inti itulah rohani, ibarat kulit telur dengan isinya menyatu. Dengan pembatasan filosofis lebih jelas kalau kita bilang bahwa dasar filosofis Tuan-tuan ialah “idealisme yang terkurung” tidak dalam posisi yang berlawanan. Memang mungkin begitu bila mengingat bahwa filosofi aliran Hindu umumnya meniadakan duniawi dan tujuan terakhirnya nirwana. Maka beraitan dengan ini kita sebutkan apa yang Dr. Cipto katakan: “Haluan itu ialah melahirkan diri dari kemauan zaman sekarang” vlucht uit het heden (Haluan itu bagai terbang ke masa lalu, cat.peny.) Sudah, memangnya barangkali begitu kalau mengingat, bahwa “hinduistische” filosofi ialah pada umumnya meniadakan duniawi dan tujuan yang paling terakhir ialah: nirwana. Maka berhubung dengan ini kita sebut apa yang Dr. Cipto bilang: Mereka bukan salah analisis atau salah mengemukakan masalah. Kalaupun ada salahnya ialah karena berlainan dasar filosofi antara Dr. Cipto (dalam Suara Umum) dan Sutan Takdir Alisjahbana (dalam Bintang Timur). Yang menimbulkan keheranan bukan lantaran “salahnya” itu, melainkan karena semua pembicara tersebut mencela intelektualisme padahal mereka sendiri berasal dari pendidikan intelektual. Bukan dari sekolah yang antiintelektualisme.
Kita sudah kemukakan bahwa menurut pendapat kita tidak betul jika masalah intelektualisme, individualisme, egoisme, materialisme bukan masalah masyarakat Indonesia. Malah kalau kita perhatikan dasar-dasar keagamaan, baik dari pihak Kristen atau Islam, materialisme itu diperangi juga, dilawan sebagai musuh dalam kemajuan keimanan manusia. Permusuhan terhadap sifat-sifat yang empat itu juga muncul dari agama Hindu. Sifat materialisme adalah sifat yang hanya mementingkan kemajuan kebendaan. Orang yang materialis tidak bisa diharap mau memperhatikan kemajuan sosial dan apa pun yang tidak mendatangkan keuntungan berupa uang atau benda, baginya tidak berharga. Demikian juga bangsa yang berdasarkan materialisme ibarat satu bangsa yang tidak mempunyai perasaan untuk kemajuan bidang lain kecuali “mata duitan”. Apakah intelektualisme bersarang dalam batinnya? Kalau mengikuti haluan itu pada keadaan seseorang, mestinya dia mempunyai otak dasar. Hanya melulu otak, tanpa perasaan kemanusiaan. Akibatnya, segala perbuatannya hanya dilakukan tanpa ada perasaan. Intelektualisme menghargai apa yang ada di pikiran saja. Ia tidak mewakili kepentingan perasaan. Inilah pendirian yang dalam bahasa Belanda disebut “intelektualisme dingin”. Meskipun manusia itu mempunyai “jantung hati” yang punya rasa gembira atau iba, tetapi perasaan itu tidak diperdulikan, hanya terpaku pada otak saja, pada keningnya yang lebar. Otak besar saja berbahaya bagi kita, sama dengan “perut besar” dan tabiat rakus, sebagaimana halnya materialisme. Individualisme yang berkawan karib sekali dengan egoisme ialah sekutu materialisme, karena tujuan hidupnya sendiri-sendiri bermusuhan dengan sosial. Kalau suatu bangsa meletakkan dasar pandangan hidup materialistis, kelak akan terjerumus ke lembah kapitalisme dan imperealisme, yang menggilas kaum lemah, dan memperbesar perbedaan kelas dalam masyarakat – yang sudah pasti selalu ada perbedaan kelas-kelas itu. Sebagai obat penawar, Tuan Sutan Takdir Alisjahbana memberi resep yang boleh jadi menyesatkan. Meski kita maklum apa yang dimaksudkan dengan: “Otak Indonesia harus diasah menyamai otak Barat, individu harus dihidupkan sehidup-hidupnya dan kepentingan diri harus disadarkan sesadar-sadarnya, serta bangsa Indonesia harus didorong memakai dan mengumpulkan harta dunia sebanyak mungkin,” tetapi anjuran penulis tersebut bisa menyesatkan orang banyak. Oleh karena itu, harus diperbaiki susunan langkah kritiknya. Kalau salah langkah, dapat terjerumus ke dalam lembah yang tidak diinginkan siapa pun. Batas-batas tujuannya sudah hilang dalam garis-garis yang digambarkannya itu. Sebab amat luas kaburnya. Penulis bahkan bisa lebih menyesatkan orang-orang yang dikritik. Mengapa harus tepat betul apa yang dimaksud? Di manakah titik temu antara kedua macam pandangan itu? Kalau kita anggap keduanya betul, bagaimana baiknya menurut pikiran kita agar orang tidak keliru terhadap dua pandangan yang tampaknya berseberangan itu? Hal itu perlu diperhatikan khusus. Uraian berikut bukan lagi untuk mengadu perbandingan dan kritik, melainkan untuk menunjukkan hal-hal yang positif sebagaimana dikehendaki oleh Sutan Takdir Alisjahbana sejak awal. Kita tidak akan mengatakan bahwa pandangan yang satu bersifat negatif dalam istilahnya. Namun, positif dalam
wujudnya. Ibarat pertentangan penjuru angin, timur dan barat serta dunia Timur dan dunia Barat. Dalam hal ini kita pakai istilah “Timur”, tidak semata-mata berarti Timur bermusuhan dengan Barat, melainkan ada makna lain. Ada perbedaan dan ada persamaan Barat dan Timur yang tidak perlu dipahami bersama. Dapat dijelaskan bahwa kita sama-sama sepaham dengan analisis kedua belah pihak yang bertentangan, meskipun salah satu mengatakan pihak lain salah analisis. Kalau perhatian tertuju pada ucapan anti saja, maka kita belum bisa mengatakan anti itu berarti negatif. Sebab, arti anti pada satu pendirian itu juga merupakan hasil pendirian yang positif. Umpamanya, seseorang disebut anti internasionalisme, karena dia pronasionalisme. Atau, orang menyebut dia anti-imperealisme, karena dia prokeadilan yang dapat diperoleh dengan cara aman. Anti materalisme karena proidealisme. Orang yang terlalu pro saja, kalau tidak mengenal anti berarti negatif juga, karena tidak akan tahu ada bahaya yang bisa mengancam pergerakannya. Orang pro-persatuan, umpamanya, juga harus tahu pendirian orang yang antipersatuan, agar pandangannya tidak berat sebelah dan mengetahui ranjauranjau di jalannya. Yang kita kehendaki ialah kepuasan dengan tidak berat sebelah dalam pemahaman kita. Apakah sebenarnya yang dimaksud oleh Tuan Sutan Takdir Alisjahbana sebagaimana tercantum dalam resep yang diberikan sebagai petunjuk bagi kita? Otak Timur mesti sama dengan otak Barat, kepentingan harus disetel ala Barat, gaya hidup harus diputar sama dengan kehidupan orang Barat. Dalam resep itu rasanya ada semacam kekeliruan, karena tidak dibedakan antara kultur dengan civilisatie (peradaban, cat.peny.), dua hal yang saling timbal balik, tetapi jelas berbeda, ibarat pohon kayu dengan kulitnya. Pohon itu memiliki nilai, tetapi kulitnya juga penting. Sutan Takdir Alisjahbana menghendaki kemajuan, sama seperti para pemrasaran yang dikritiknya, tetapi kemajuan yang dimaksudnya adalah peradaban bukan kebudayaan, “kulitnya” bukan “kayunya”. Ada bangsa yang hanya mempunyai civilisatie, tetapi tidak berkultur, ibarat satu manusia yang “berwajah cantik tetapi berhati busuk”. Sebaliknya, ada juga bangsa yang berbudaya tinggi, tetapi belum merata peradabannya, misalnya bangsa Tionghoa. Bangsa yang sudah memiliki keduanya misalnya bangsa Jepang, kebudayaan Timur dengan peradaban Barat! Budaya Timur tak dapat diubah menjadi budaya Barat, tetapi peradabannya bisa sama. Para pemimpin kita harus pandai membedakan antara budaya dan peradaban yang bisa dipertukarkan, “dapat dipindah-pindah” kata ahli filosofi Graf Keyserling dalam bukunya “Die Neue Entstehende Welt” (Dunia yang Baru Terwujud) Perbedaan kultur dengan peradaban ibarat manusia dengan pakiannya. Misalnya, bangsa Jepang sekarang. Ia tetap berkultur Timur, tetapi berperadaban Barat. Orang Jepang sudah mampu menyamakan kedudukannya dengan bangsa Eropa, karena peradaban Barat sudah dipindahkan ke Jepang, meski kulturnya masih tetap seperti dulu, ala Tiongkok.
Budaya ialah yang erat melekat pada jiwa setiap bangsa yang ditampakkan dalam karakternya, dalam wataknya yang tidak dapat diubah mengikuti barang tiruan. Namun, pengetahuannya, teknisnya, cara hidupnya, jelas sekali bisa berubah. Perhatikan saja bangsa kita sekarang sudah bisa makan memakai sendok, bisa mengemudikan motor, memakai pakaian mentereng, dan bisa menjalankan perusahaan-perusahaan besar, meskipun kita tetap tinggal dalam lingkungan budaya Timur. Kecerdasan Barat, kebutuhan hidup ala Barat, tetapi hati tetap Timur. Apa yang benar-benar berupa peradaban, contohnya, di bidang teknik. Kita belum tahu seberapa jauh kemajuan teknik mampu merasuk sampai ke sumsum bangsa kita. Boleh jadi pengaruhnya tidak akan terlalu sama seperti yang berlaku di Barat. Sebab reaksinya berlainan. Kalaupun kita sudah menjadi bangsa yang menyukai bidang teknik, tidak berarti menjadi seperti bangsa Jerman yang terkenal sebagai bangsa yang ahli teknologi. Teknik itu bisa terus berganti dan dapat dilihat dari bukti sehari-hari. Sepeda dan motor ialah bukti teknik yang sangat populer. Orang kita tidak heran melihat sepeda, bahkan sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Demikian juga dengan lampu listrik, gramofon, dan telepon, dengan mudah kita mampu menyesuaikan. Bukankah sudah banyak bangsa kita yang amat berhasil belajar di sekolah-sekolah dengan kurikulum teknik. Tidakkah sudah banyak montir kita yang ahli dalam urusan teknik dan mesin-mesin? Beberapa orang Barat yang ahli pertukangan dan telah memimpin tukang-tukang bangsa Indonesia, tercengang melihat mereka begitu cepat menguasai bidang teknik. Akan tetapi, jangan bermimpi kita bisa mencetak orang menjadi Kant kedua atau Goethe Indonesia, karena itu masuk di wilayah budaya yang spesifik Barat. Orang kita bisa menjadi ahli pikir, yang mungkin saja akan sama modernnya dengan Tagore dan Ki Hajar yang lebih dalam serta lebih tersusun filosofinya. Faktanya sampai saat ini pahlawan-pahlawan pikiran alias para filosofis bangsa kita berbeda dengan Barat. Tentu kemajuannya pun kelak tetap akan berbeda terus dari kemajuan jiwa dan pikiran Barat. Sementara kalau peradaban bisa sama dengan peradaban Barat. Ringkasnya, budaya tidak dapat berpindah tempat. Boleh dibilang Borobudur tidak bisa dihasilkan oleh Benua Barat. Sebaliknya, bangunanbangunan zaman purbakala yang terdapat di Yunani tidak bisa ditiru oleh bangsa kita. Kesenian dan filosofi tidak bisa disamakan dengan teknik, karena bukan termasuk golongan peradaban yang bisa berpindah-pindah. Dalam tiap jiwa dan wataknya tersimpan pembawaan-pembawaan yang spesifik. Di Eropa lain dengan di sini, dan lahir sesuai dengan hukum alamnya masing-masing. Ibarat pohon yang berbuah dan berbunga menurut sifatnya. Pohon rambutan tidak akan berbuah mangga dan sebaliknya. Anak itik tidak mungkin menjadi ayam, dan sebaliknya. Buah apel kalau ditanam di Indonesia bisa tumbuh, tetapi tidak bisa berbuah, karena hawa dan tanah di sini berbeda. Demikian juga budaya Barat, kalaupun kita tiru di sini tidak akan berbuah. Namun, secara teknis ada satu kondisi yang tidak berhubungan dengan jiwa kebangsaan yang dapat tumbuh
dan diminati orang di sini. Demikian juga hal-hal lain yang masuk wilayah peradaban. Kita membenarkan dalil-dalil Ki Hajar dan para ahli pikir lainnya dari bangsa kita yang bersuara filosofis di kongres pendidikan nasional yang baru berlalu, karena mereka membicarakan masalah budaya dan bahaya-bahaya yang dapat merusak budaya bangsa Indonesia, sedang Sutan Takdir Alisjahbana hanya mengemukakan peradaban. Di sinilah perselisihan terjadi, padahal perselisihan itu tidak bertentangan, tetapi berdampingan satu dengan yang lainnya. Budaya Timur tidak dapat diganti atau diubah menjadi budaya Barat, tetapi peradaban Barat dapat dipindahkan ke dunia Timur. Kalau orang berbicara masalah budaya, orang berselimut dalam satu kesadaran yang oleh orang Belanda dinamakan “enerlijke geestesgesteldheid, behoorende, tot een bapaalde cultuur-ideaal,” kondisi semangat batinnya sudah terpenuhi oleh budaya yang ideal. Orang Jawa dan daerah lain di Indonesia budayanya telah diwarnai oleh budaya Hindu zaman Majapahit yang menurut akal dianggap sebagai warisan budaya Majapahit, hingga Dr. Cipto bilang “de Majapaiter Ki Hajar”. Bagaimana bangkitnya budaya Indonesia di kemudian hari tentu berkaitan dengan kesadaran bangsa kita tentang keinsafan (pandangan, cat.peny.) hidupnya, kemerdekaan jiwanya. Itu menjadi makanan otak pahlawanpahlawan pikiran kita, khususnya falsafah budaya yang akan menentukan kemajuan budaya di zaman yang serba tak menentu ini. Akan kemajuan budaya di zaman yang serba tak menentu ini. Akan tetapi, satu hal yang sudah pasti adalah kita butuh peradaban ala Barat. Bidang pendidikan kita harus difokuskan pada apa yang masih kurang. Kemajuan bangsa Indonesia menjadi berat karena terlalu mengikuti budaya. Oleh karena itu, mulai sekarang kekurangankekurangan pada bidang itu mesti diperbaiki, agar terhindar dari kemajuan yang berat sebelah, yang tidak harmonis. Inilah garis besar jawaban atas maslaah yang terbentang di depan kita, kalau ditilik hanya pada sisi filosofisnya.