Kritik atas Rasionalisme Descartes Oleh : Binarga Guchany
I. Pendahuluan Rene Descartes (1596-1650) seorang saintis, filosof, intelektual Inggris pada awal Renaissance yang menjadi symbol kemenangan akal atas hati(iman). Statemen terkenalnya “Cogito ergo Sum” yang berarti “Saya ragu maka saya ada” telah menghentakkan atmosfir intelektual di Eropa waktu itu yang didominasi intuisi(iman) sebagai cara memperoleh kebenaran. Ahmad Tafsir dalam bukunya Filsafat Umum (Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra) menjelaskan bahwa sangat sulit bagi Descartes untuk meyakinkan tokoh-tokoh Gereja pada waktu itu bahwa dasar Filsafat haruslah Rasio (Akal) karena kuatya mereka berpegang pada credo ut intelligam dari Anselmus.Untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasi yang amat terkenal. Argumentasi itu tertuang di dalam metode cogito tersebut. Kuatnya pengaruh pelajararn matematika dan Hukum yang diterimanya di La Fleche and Poiters membekas sangat dalam kepada tokoh ini sehingga diapun ingin memperlakukan filsafat seperti matematika menyelesaikan problem-problemnya yaitu harus sampai pada suatu ketetapan yang pasti yang tak dapat digugat lagi. Dengan meragukan apapun yang belum mencapai ketetapan pasti sampai dia mendapat kesimpulan ada sesuatu yang tak dapat diragukan lagi bahwa “saya ragu “(cogito) dan inilah yang pasti. II. Metode Cogito Descartes Pertama kali Descartes meragukan benda-benda inderawi yang ada disekitar dirinya. Descartes meragukan meja, bangku, kucing bahkan tubuhnya sendiri. Keraguan itu menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi, halusisnasi, ilusi, dan juga pada pengalaman roh halus ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi(jaga). Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi dan kenyataan gaib. Tidak ada batas yang tegas antar mimpi dan jaga. Oleh karena itu, Descartes berkata,” Aku dapat meragukan bahwa aku duduk di sini dalam pakaian siap untuk pergi ke luar:,ya, aku dapat meragukan tu karena kadangkadang aku bermimpi persis seperti itu, padahal aku ada di tempat tidur, sedang bermimpi”. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Tatkala bermimpi, rasanya seperti bukan mimpi. Siapa yang dapat menjamin kejadian-kejadian waktu jaga sebagai kita alami adalah kejadian-kejadian yang sebenarnya, jadibukan mimpi?tidak ada perbedaan yang jelas antara mimpi dan jaga; demikian yang dimaksud Descartes. Tahap selanjutnya Descartes mulai mempertanyakan tiga entitas yaitu : gerak,jumlah dan besaran, apakah mereka ada?Descartes mengujinya. Kemudian ia pun meragukannya. Yang tiga macam itu adalah matematika. Matematika juga dapat salah, “Saya sering salah
menjumlah (angka),salah mengukur (Besaran), juga demikian pada gerak” demikian katanya. Jadi, ilmu pasti pun masih dapat saya ragukan. Ilmu pasti lebih pasti daripada benda, tetapi saya masih dapat meragukannya.Jadi, benda dan ilmu pasti diragukan. Tahap terakhir dari proses peraguan Descartes adalah meragukan kebenaran yang berasal dari Tuhan. Bagaimana kalau Tuhan sebagaimana agama mengajarkan adalah omnipotent berusaha dengan segala upaya untuk menipu saya?Apakah saya harus selalu menaati atau mempercayai sesuatu yang pada fakta sebenarnya salah? Kalau semua bisa diragukan lalu apa yang dapat dijadikan dsar bagi filsafatku?Aku ingin yang pasti, yang distinct hingga ia mendapatkan akhirnya sesuatu yang tidak diragukan lagi yaitu saya sedang ragu (cogito) dan inilah sebagai dasar eksistensinya. Aku yang sedang ragu itu disebabkan oleh aku berpikir .Kalau begtu, aku berpikir pasti ada dan benar. Jika aku berpikir ada, berarti aku ada sebab yang berpikir itu aku, jadi aku ada. III. Dualisme Descartes Prinsip ini mengatakan bahwa manusia terdiri dari dua substansi yang saling terpisah yaitu materi dan jiwa atau badan jasmaniah. Yang sama pada hewan dan manusia adalah tubuhnya sedang hewan tidak memiliki jiwa, tidak bebas tetapi tunduk terhadap hukumhukum alam. Pada manusia karena ia memiliki jiwa maka dia mempunyai kebebasan walaupun ia paling dungu sekalipun. Pandangan ini juga terdapat dalam ajaran etis Descartes. Dia menekankan pentingnya mengendalikan hasrat-hasrat dalam badan kita, sehingga jiwa semakin menguasai tingkah laku kita. Dengan cara itu manusia menjadi makhluk yang memiliki kebebasan spriritual. Hasrat ata nafsu dimengerti sebagai keadaan pasif dari jiwa. Ada enam pokok, yakni :cinta, kebencian, kekaguman, gairah, kegembiraan dan kesedihan. Jika manusia mampu mengendalikan keenam nafsu ini, dia akan bebas dan independen. Akan tetapi Descartes beranggapan bahwa otonomi manusia tidak pernah mutlak, sebab kebebasannya ditutun berdasrkan penyelenggaraan ilahi. IV. Kritik Kalau kita lihat sekilas tampak filsafat Descartes benar adanya. Bahwa kita harus meragukan apapun yang belum pasti kebenarannya tetapi masalahnya apakah pantas sebuah keraguan yang menjadi dasar dari bangunan ilmu atau pengetahuan kita?Pernyataan cogito ergo sum tidak memberikan apapun kepada kita dalam membangun system pengetahuan. Kita membutuhkan sesuatu yang swaobjektif (self evidence) yang menjadi dasar dari semua pengetahuan kita. Pernyataan “aku mengetahui sesuatu” pasti mempraanggapkan kenyataan bahwa ‘aku’ sebagai subyek yang mengetahui, sudah-dengan cara tertentu- mengenal diri itu sendiri. Dengan mempertimbangkan pernyataan introvertif yang mendasar ini, dan dengan sarana hukum-hukum dan prinsip-prinsip logika, penyelidikanmengenai hakikat hubungan aantara pengetahuan dan subjek yang mengetahui bisa menuntun kepada landasan intelek
manusia sendiri dimana kata mengetahui tidak lain berarti mengada. Dalam keadaan ontologis kesadaran manusia ini, dualisme hukum subjek-objek terkalahkan dan tenggelam dalam suatu kesatuan sederhana dari realitas diri yang tak lain adalah pengetahuan swaobjek. Dari kesatuan sederhana ini, sifat kesadaran swaobjek, pada gilirannya, bisa derivasikan. Dalam bahasa filsafat pencerahan kesadaran ini disebut sebagai”pengetahuan dengan kehadiran”(al-ilm-hudhuri). Contoh paling baik dari pengetahuan ini adalah pengetahuan yang nyata bagi subjek yang mengetahui secara performatif dan langsung tanpa perantaraan representasi mental atau simbolisme kebahasaan apa pun. Pengetahuan ini menyatakan dirinya melalui semua ungkapan manusia pada umumnya dan melalui penilaian diri sendir khususnya. Jadi, pernyataan seperti “aku berpikir” atau “aku berkata”, secara khusus menjadi sarana pernyataan pengetahuan ini. Subjek aktif dari penilaian-penilaian ini adalah “aku” performatif yang dibedakan dari “aku” metafisika, atau Diri, yang selama ini merupakan isu mendasar dalam setiap penyelidikan filosofis. Jika dalam pemahaman Aristotelian tentang intensionalitas ada pembenaran untuk membedakan dua jenis tindakan manusia, yakni “tindakan imanen” dan “tindakan transitif”, maka tampaknya tak ada yang menghalangi kita untuk mengambil garis yang sama dengan membedakan dua jenis objek yang sebanding yaitu “objek imanen” dan “objek transitif” Pembedaan ini tidak didasarkan pada penyamaan yang sewenang-wenang atas penuturan Aristotelian yang termahsyur mengenai dua tindakan yang berbeda tersebut dengan pembedaan sementara kami antara dua system objektivitas. Kami memahami secara prima facie, bahwa identifikasi yang tak layak seperti ini tidak bisa diterima, karena suatu tindakan, baik yang imanen maupun yang transitif, tidak akan pernah bisa diterapkan kepada objek-objek tindakan tersebut. Sekalipun demikian adalah pasti bahwa sutau tindakan imanen seperrti halnya pengetahuan kita, bisa dianalisis secara sangat logis menjadi subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Dengan demikian, anatomi objek yang diketahui pada gilirannya bisa dianalisis menjadi objek internal dan objek eksternal. Manakala analisis kita sampai pada tahap ini, kita boleh, tanpa keraguan sedikitpun, merasa berhak untuk mencirikan dengan sah objek internal sebagai objek imanen dan objek eksternal sebagai objek transitif. Dalam analisis tentang teori pengetahuan, istilah “subjek” berarti pikiran yang melaksanakan tindak pengetahuan melalui mengetahui sesuatu, sebagaimana halnya istilah “objek” mengacu kepada benda atau proposisi yang diketahui oleh subjek tersebut. Akan tetapi, karena dalam sebuah proposisi yang diketahui selalu ada sesuatu yang terlibat, baik yang khusus maupun yang universal, maka konsekuensinya adalah benar jika dikatakan bahwa objek pengetahuan selamanya adalah apa yang kita sebut hal yang diketahui . Dinyatakan juga bahwa karena hubungan yang disebut “mengetahui” terbentuk oleh pikiran sebagai subjek yang diassosiasikan dengan sesuatu sebagai objek, yang kedua-duanya terjalin bersama menjadi satu kompleks yang utuh, maka subjek dan objek juga mesti disebut bagian-bagian dari kesatuan pengetahuan. Istilah “subjek” dan “objek” adalah dua esesensialitas dari kesatuan pengetahuan.
Berkaitan dengan dualisme Dualisme Descartes, dapat dikatakan bahwa bagaimana dua substansi yang bertentangan dapat besatu didalam satu entitas?banyak kritik terhadap pandangan ini baik dari filosof barat maupun timur. Tetapi dari timur lebih memberikan jawaban yang memuaskan tentang dualisme jiwa dan tubuh. Mulla Shadra pernah mengatakan bahwa di alam semesta ini baik yang materi maupun immateri terjadi gerak substansial. Gerak perubahan substansi ini melingkar diawali dari Tuhan dan diakhiri pula dengan Tuhan dan manusia adalah bagian kecil dari gerak perubahan ini.
Tuhan Akal ke-1 G E R A K M E N A I K
Akal ke-1
Akal ke-2
Akal ke-2
Akal ke-10
Akal ke-10
Manusia
Manusia
Hewan
Hewan
Tumbuhan
Tumbuhan
Mineral
Mineral
G E R A K M E N U R U N
Materi pertama/potensi Pada gerak menaik manusia membawa sifat substansi-substansi sebelumnya yaitu mineral, tumbuhan dan Hewan dan semuaitu ada dalam suatu substansi dan tidak terpisah satu sama lain. Dari awal eksistensinya yaitu kemungkinan/potensi lahirnya suatu eksistensi dari rahim seorang Ibu akibat menerima sperma dari seorang Bapak manusia tumbuh menjadi materi yang eksist di dalam rahim seorang ibu. Di dalam rahim Ibu, materi manusia yang berupa janin ini tumbuh dan berkembang persis seperti tumbuhan yang hanya mampu tumbuh dan berkembang. Baru setelah janin ini lahir maka manusia menjadi hewan actual yang bukan hanya mampu tumbuh dan berkembang tetapi juga mampu bergerak kesana-kemari tetapi belum sempurna menjadi manusia karena akal yang dimilikinya belum sempurna. Setelah akalnya sempurna lah maka manusia menjadi manusia yang sebenarnya.
Setelah akalnya sempurna gerak dari manusia bukan hanya berhenti pada eksistensi kemanusiaannya, dia pun mampu mendekat kepada Tuhan melalui perjalanan-perjalanan melintasi alam-alam akal yang disebut alam malakut (alam-alam malaikat). Seorang manusia mampu mencapai kedekatan yang sedemikian dekat dengan Tuhan melebihi malaikat yang paling dekat dengan Tuhan sekalipun.. Perjalanan mendekati Tuhan ini banyak diceritakan dalam kisah-kisah mistik baik dari tradisi Kristen, Islam maupun agama-agama timur lainnya seperti Hindu, Budha dan konfusianism. Perjalanan menuju Tuhan ini adalah suatu kemestian yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, yang membedakannya hanya caranya; sukarela atau terpaksa? Manusia yang sempurna akalnya tentu akan dengan sukarela menyerahkan dirinya menuju Tuhan, mencapai zat yang tak terbatas yang essensinya adalah eksistensinya sekaligus. V. Kesimpulan Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. Metode cogito Descartes dapat digunakan pada tahap awal pencarian kebenaran, tetapi tempat keraguan bukanlah tempat yang nyaman dan abadi, kita harus mencari sesuatu yang tidak ada sedikitpun keraguan di dalamnya yaitu suatu proposisi yang terbukti dengan sendirinya (swaobjektif) 2. Manusia adalah suatu hasil evolusi yang panjang dari materi pertama yaitu suatu potensi kemudian menjadi mineral, tumbuhan, hewan sampai akhirnya menjadi manusia .Dan tidak hanya sampai disitu manusia dapat terus meningkatkan eksistensinya menjadi sesuatu yang sangat dekat dengan Tuhan sehingga dia menjadi refleksi Tuhan di muka bumi ini.
Critique on Descartes’s Rationalism by : Binarga Guchany I. Introduction Rene Descates (1596-1650) was a Scientist and Philosoper and Intelectualist from England who was a symbol of winning of Reason against Heart(belief). The famous statement of His was “Cogito ergo Sum” meant “I doubt therefore I am” had shocked thinking atmosphere of Europe on that time. Ahmad Tafsir in his book “Filsafat Umum , Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra” explains that it was too hard to Descartes for convincing The Church on that time that the base of philosophy must be Reason rather than Heart or belief cause of their strong believe in credo ut intelligam from Anselmus. To convince one that the base of philosophy must be reason he argued with famous known which was named the cogito method. After receiving a sound education in mathematics, classics and law at La Fleche and Poitiers, Descartes eambarked on a bried career in military service with Prince Maurice in Holland and Bavaria. Unsatisfied with scholastic philosophy and troubled by skepticism of the sort expounded by Montaigne, Descartes soon conceived a comprehensive plan for applying mathematical methods in order to achieve perfect certainty in human knowledge. During a twenty-year period of secluded life in Holland, he produced the body of work that secured his philosophical reputation. Descartes moved to Sweden in 1649, but did not survive extensively. II. The Cogito Method After years of work in private, Descartes finally published preliminary statement of his views on the Discourse on the method of Rightly Conducting the Reason (1637). Since mathematics has genuinely achieved the certainty for which human thinkers yearn, he argued, we rightly turn to mathematical reasoning as a model for progress in human knowledge more generally. Expressing perfect confidence in the capacity of human reason to achieve knowledge, Descartes proposed an intellectual process no less unsettling that the architectural destruction and rebuilding of an entire town. In order to be absolutely sure that we accept only what is genuinely certain, we must first deliberately renounce all of firmly held but questionable beliefs we have previously acquired by experience and education. First, Descartes noted that the testimony of the senses with respect to any particular judgment about the external world may turn out to be mistaken. Things are not always just as they seem at first glance (or at first hearing, etc) to be. But then, Descartes argues, it is prudent never wholly to trust in the truth of what we perceive. In ordinary life, of course, we adjust for mistaken perceptions by reference to correct perception. But since we can not be sure at first which cases are veridical and which are not, it is possible (if not always feasible) to doubt any particular bit of apparent sensory knowledge.
Second, Descartes raised a more systematic method for doubting the legitimacy of all sensory perception. Since my most vivid dreams are internally indistinguishable from waking experience, he argued, it is possible that every thing I now “perceive” to be part of the physical world outside me is in fact nothing more than a fanciful fabrication of my own imagination. On this supposition, it is possible to doubt that any physical thing really exist, that there is an external world at all. Severe as it is, this level of doubt is not utterly comprehensive, since the truth of mathematics and the contain of simple nature remain unaffected. Even if there is no material world (and thus, even in my dreams) two plus three makes five and red looks red to me. In order to doubt the veracity of such fundamental belief, I must extend the method of doubting even more hyperbolically. Finally, then, Descartes raises even more comprehensive doubts by inviting us to consider a radical hypothesis derived from one of our most treasured traditional belief. What if (as religion teaches) there is an omnipotent God, but that deity devotes its full attention to deceiving me?)The problem here is not merely that I might be force by God to believe what something which is in fact false. Descartes means to raise the far more devastating possibility that whenever I believe any thing, even if it has always been true up until now, a truly omnipotent deceiver could at that very moment choose to change the world show as to render my belief false. On this supposition, it seems possible to doubt the truth of absolutely anything I might come to believe. Although the hypothesis of a deceiving God best serves the logical structure of the meditations as the whole, Descartes offered two alternative versions of the hypothetical doubt for the benefit of those who might take offense at even a counter factual suggestion of impiety. It may seem more palatable to devout to consider the possibility that I systematically deceive myself or that there is some evil demand who perpetually tortures me with my own error. The point in each case is that is possible for every belief I entertain to be false. III. Descartes’s Dualism Among the physical objects I perceive are the organic bodies of animals, other human beings, and myself. So it is finally appropriate to consider human nature as whole : how am I, considered as a thinking thing, concerned with the organism I see in the mirror? What is the true relation between the mind and the body of any human being? according to Descartes, the two are utterly distinct. The sixth meditation contains to arguments in defense of Cartesian dualism : first, since the mind and the body can each be conceived clearly and distinctly a part from each other, it follows that God could cause either to exist independently of the other, and dissatisfies the traditional criteria for a metaphysical real distinction . Second, the essence of body as a geometrically defined region of space includes the possibility of its infinite divisibility, but the mind, the spite the variety of its many faculties and operation, must be
conceived as a single, unitary, indivisible being ; since incompatible properties can not inhere in any one substance, the mind and the body are perfectly distinct IV. The Critique If we see superficially Descartes’s rationalism it seem that this philosophy is in fact true, But if we go to the deeper reality, it will give us apparently inconsistent, contradiction and falsity. How can we rely our fundamental knowledge on doubting?We accept that we must doubt everything which the truth not reach certainty, but the place of doubting is not permanent residence we must reach to the certain statement that self evident which there is no doubt about it. The self evident proposition or statement is the fundamental of our knowledge what can derive our others knowledge. Mehdi Ha’iri Yazdi in his book “The principle of Epistemology in Islamic Philosophy , knowledge by presence” explained that the statement of “I know any thing” is surely presuppose that ‘the I’ who as the subject of knowing, yet-with any method- knows the self . By considering this basically introvert statement and through laws and principals of logic, the investigation concerning the essence of knowledge and subject of knowing will lead us to the fundamentality of Human knowledge where the word knowing is nothing but existing. In the human consciousness, the duality of subject and object will fall down in the simple unitary of reality of self which is not other than self evident knowledge. From this simple unitary, self evident consciousness can be derived. In the language of Enlightment philosophy this consciousness is called as knowledge by presence (al-ilm al Hudhuri). The most appropriate of this knowledge is the real knowledge to the subject who knows him/her self without any representation or any symbolical language. This knowledge states itself through human sayings generally and through judgment of self particularly. Thus the statement like “I think” or “I say”, particularly become an instrument to state this knowledge. The active subject of judgments is “The performer I” which is distinguished from “The metaphysical I” or self which is the fundamental issue in philosophy investigating. If in Aristotelian concerning intention that there are justification to distinguish the two of human action i.e. immanent action and transitive action, therefore there are no obstacles to us to similarly distinguishing two objects which are equal i.e. immanent object and transitive object. This distinction is not based on arbitrary similarity on Aristotelian’s known statement concerning two distinct action compared to our distinction on two system of objectivity. We understanding as prima facie, that the identification which is arbitrary can not be accepted cause of an action either immanent or transitive never be applied to the object of action. Though, it is surely that an immanent action like our knowledge can be analyzed logically as the knower subject and the known object. Thus, the anatomy of the known object will in turn can be analyzed as internal object and external object. Whenever our analysis come to this stage, we may without any objection rightly characterize internal object as immanent object and external object as transitive object.
Related to Duality of mind and body, it can be raised question how can two contradictory substances can be molten in one substance Human being? many critiques against this principle were proposed either from west or east. But to me from east can give more satisfied answer about this problem. Mulla Shadra (1571-1640), the most prominent figure in Islamic Philosophy and a founder of school of thought of Transcendent theosophy had proposed of unity of mind and body by his known philosophy Substantial motion. The peripatetics had held that substance only changes suddenly, from one substance to another from one instant to another, in generation and corruption( and therefore anly in the sublunar world), and that gradual motion is confined to the accidents (quantity,quality,place). They also held that the continuity of movement is something only in the mind, which strings together a potentially infinite series of infinitesimal changes-rather in the fashion of a film- to produce the illusion of movement, although time as an extension is true part of our experience. What gives rise to movement is an unchanging substrate, part of essence of which is that it is at an indefiite point in spate at some instant in time; in other words, movement is potential in it and is that through which it becomes actual. Mulla Shadra completely rejected this, on the grounds that the reality of this substance, its being, must be in motion, for the net result of the peripatetic view is merely a static conglomeration of spatio-temporal events. The movement from potentiality to actuality of a thing is in fact the abstract notion in the mind, while material being itself in a constant state of flux perpetually undergoing substantial change. Moreover, this substantial change is a property not only of sublunary elemental beings (those composed or earth, water, air and fire) but of celestial beings as well. Mulla Shadra likened the difference between these two understanding of movement to the difference between abstracted, derivative notion of existence which is reality itself. Furthermore, Mulla Shadra explain that all existent of the universe-save God- including world of intellect, or ideas, and matter are essentially after higher perfection and move in search of a goal and an end and will certainly not bring their attempt to an end unless they attain the absolute existential perfection,i.e., the Almighty God while passing various evolutionary levels before attaining him. The whole universe, therefore is goal seeking whose goal is attaining the Truth. Accrding to principality and gradation of existence, trans-substantial motion, etc and to the said principle, matter can move from the lowest level of existence toward the highest level of being and thus the arc and level of existential ascent is shaped. It seems that exposition of those preliminaries has prepared ground for expounding status of man and how he can attain position of perfect man. Thus the concept of perfect man can be thoroughly comprehended expounding certain arguments concerning man. Mulla Shadra believes that man consists of two parts of body and soul. Body is material existent which is unity with the soul and is used instrumentally by soul in the latter’s way towards the perfection.
Concerning the soul and its generation in the body, he holds that the former appears in the form of body and trough evolutional trans-substantial motion, gradually intensifies its existence and passes from potentiality to actuality by elevation from bodily situation to the vegetable, then to the animal, and finally to the intellectual human soul. In fact , that soul was an actual body and potential vegetable in womb then by growing in the womb became an actual vegetable and a potential animal, and later when it was born became an actual mind and a potential man, finally at maturity became an actual man.
God 1st Intellect A S C E N D
1st Intellect
2nd Intellect
nd
2 Intellect
10th Intellect
10st Intellect Man
Man
Animal
Animal
Vegetable
Vegetable
Mineral
Mineral
D E S C E N D
Prime matter/potentiality
The soul receives new potentials in any state of its journey. In the state of solid, it has the potentiality of preserving the new forms; in the state of vegetable it is endowed with potentials of being fed and grown; in the state of animal it has the potential of motion and numerous kinds of lust and then several external and internal senses such as memory and imagination; and finally in the state of human it is endowed with five complete internal senses such as common sense (which comprehend the forms),illusion (which comprehend particular concepts), imagination (which preserve the forms), recollector (which preserve concepts), and thinker ( which manages sensible and intellectual concepts).