Kritik atas Sekolah Bertaraf Internasional1 Oleh Edi Subkhan2
Sekolah Bertaraf Internasional di Mata Umum Ketika saya bertanya pada beberapa orang yang terlibat dalam praktik Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) itu sendiri, rata-rata menyatakan kebanggannya bahwa sekolah tempat mereka sudah berlabel internasional. Jadi, RSBI dan SBI dengan embel-embel “internasional” dalam dimaknai sebagai lebih prestise, kebanggaan, berkualitas, dan bergengsi dibandingkan sekolah-sekolah lain yang tidak berlabel “internasional.” Kustulasari (2009: 3) mencatat beberapa persepsi yang muncul bahwa istilah “bertaraf internasional” dipahami oleh guru, orangtua dan masyarakat luas berbeda antara satu dan lainnya, dan oleh karenanya kemudian timbul pro dan kontra terhadap program pemerintah tersebut. Para guru, siswa dan orangtua bangga dengan label “internasional” tersebut. Guru bangga bisa mengajar di sekolah internasional, siswa bangga bisa bersekolah di situ, dan orangtua juga bangga anak-anaknya mendapatkan pendidikan terbaik di situ. Lalu bagaimanakah definisi “internasional” tersebut di mata mereka? Termasuk apa beda antara RSBI dan SBI dengan sekolah-sekolah lain? Rata-rata menjawab bahwa perbedaannya terdapat pada: (1) fasilitas pembelajaran, misalnya tiap kelas terdapat LCD, tiap siswa memiliki notebook, fasilitas WiFi, laboratorium lengkap, ruangan ber-AC dll; (2) bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Inggris, terutama untuk matapelajaran eksakta, yakni fisika, matematika, biologi, kimia; (3) kurikulumnya diupayakan didesain untuk membekali siswa dengan materi yang berorientasi internasional, pada beberapa sekolah diimplementasikan kurikulum Cambridge, IB dikombinasikan dengan kurikulum nasional (KBK dan KTSP); (4) kualitas guru lebih unggul dengan kedisiplinan, kecakapan berbahasa Inggris, metode pembelajaran yang menyenangkan, dan sejenisnya (5) siswa, guru dan sekolah seringkali menang dalam ajang kompetisi akademik, missal mendapat medali emas Olimpiade internasional, sekolah mendapat sertifikasi ISO 9000:2001 dan sejenisnya. Ternyata kebanyakan pemahaman dan pemaknaan terhadap konsep “bertaraf internasional” merujuk pada fasilitas pembelajaran yang lengkap dan mewah, bahasa Inggris, kurikulum berorientasi “internasional,” kualitas guru, kualitas praktik pembelajaran, prestasi siswa, guru dan sekolah mendapat medali dan ISO. Dengan kata lain, fasilitas canggih seperti LCD, notebook, internet dan multimedia lainnya untuk penunjang praktik pembelajaran adalah penanda dan simbol bertaraf internasional; pembelajaran dengan pengantar bahasa Inggris adalah penanda dan simbol bahwa pembelajaran yang berlangsung tersebut bertaraf internasional; praktik pembelajaran kreatif, aktif, menyenangkan adalah penanda dan simbol bahwa pembelajaran tersebut telah bertaraf internasional; prestasi siswa menang Olimpiade Fisika, Matematika dan sejenisnya di Turki, dll adalah penanda dan simbol bahwa siswa dan sekolah tersebut telah bertaraf internasional; demikian juga ketika sekolah mendapat sertifikat ISO 9000:2001 dan sejenisnya, maka sekolah tersebut sedang dalam tahapan untuk menjadi bertaraf internasional.
1
Disampaikan dalam seminar pendidikan yang diselenggarakan oleh PPMI pada 25 April 2011 di Banjarmasin. Edi Subkhan, pegiat di Koalisi Pendidikan, Jakarta, peminat kajian pedagogi kritis (critical pedagogy). Dapat dihubungi via email pada:
[email protected], juga melalui weblog: pendidikankritis.wordpress.com dan pedagogikritis.wordpress.com. 2
1
Sekilas pandangan umum tersebut dapat diterima sebagai kewajaran, namun akhirnya saya menemukan kejanggalan dengan mempertanyakan: betulkan semua bentuk instrumen, metode dan capaian tersebut adalah simbol dan penanda bahwa sekolah tersebut telah bertaraf internasional? Hal apa yang menjadikan sesuatu—dalam hal ini adalah sekolah—dikatakan sebagai bertaraf internasional? Apakah makna dari “bertaraf internasional” dan “internasional” itu sendiri secara tepat? Kalau kita lihat beberapa hal yang oleh awam dikatakan sebagai simbol dan penanda sekolah tersebut menjadi bertaraf internasional, maka dapat dipertanyakan bahwa LCD, notebook, multimedia dan sejenisnya adalah produk dari negara tertentu, misalnya Jepang, Korea, Amerika dan lainnya. Teknologi penunjang praktik pembelajaran tersebut posisinya adalah sebagai media (medium), yakni perantara dari pesan dan materi yang diberikan pada siswa. Kalaupun media tersebut dari perspektif kritis dikatakan adalah pesan itu sendiri (ingat McLuhan, medium is message), maka pesannya yang lebih eksplisit adalah nilai-nilai kepraktisan, kecepatan, instant, visualitas, interaktifitas dan sejenisnya. Apakah nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai internasional ataukah lebih tepat disebut sebagai nilai-nilai budaya post-modern? Selanjutnya, bahasa Inggris adalah bahasa Internasional memang betul, dalam arti bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pengantar universal dalam komunikasi antarnegara, antarbangsa, antaretnis dalam skala global. Namun jika dilihat lebih detail dan kritis, bahasa Inggris sendiri juga banyak varian berupa dialek, gaya dan keunikan yang berbeda-beda. Ambil contoh adalah adanya British English, American English, Australian English dan lainnya, itu belum lagi ketika bahasa Inggris tersebut digunakan oleh penutur dari India, Singapura, Malaysia, Meksiko dan lainnya, terdapat dialek dan gaya yang berbeda satu sama lain. Dengan kata lain, walaupun bahasa Inggris relatif bersifat universal dari sisi tata bahasa dan kosakatanya, namun sejatinya memuat anasir nilai-nilai, kultur, pengetahuan dan ideologi yang tidak sama. American English jelas memuat dan membawa nilai-nilai, kultur, pengetahuan dan ideologi dominan dalam masyarakat Amerika, demikian juga dengan British English dan varian lainnya. Lalu bahasa Inggris mana yang diberikan dalam sekolah-sekolah yang dikatakan bertaraf internasional di Indonesia? Nilai-nilai, kultur, pengetahuan dan ideologi apa dan mana yang turut diberikan dalam praktik pembelajaran? Apakah Barat secara umum, Amerika, Inggris, urban, dan metropolitan? Di sini kemudian jadi bias, di mana “internasionalnya”? Faktor selanjutnya adalah kurikulum. Apakah model kurikulum Cambridge dan IB adalah model kurikulum internasional? Hal apa yang menjadikan keduanya disebut sebagai model kurikulum internasional? Apakah karena konsepnya, apa karena visi dan orientasinya, atau apa? Kalau kita merujuk pada website resmi Cambridge maka dapat dilihat bahwa desain praktik pendidikan dan kurikulum yang ditawarkan terdapat beberapa level, yaitu: (1) Cambridge Primary untuk anak usia 5 sampai 11 tahun; (2) Cambridge Secondary 1 untuk anak usia 11 sampai 14 tahun; (3) Cambridge Secondary 2 untuk anak usia 14 sampai 16 tahun; dan (4) Cambridge Advanced untuk anak usia 16 sampai 19 tahun. Pada tiap-tiap level pun ditawarkan beberapa program yang berbeda tujuan dan kurikulumnya. Secara sederhana, desain pendidikan dan kurikulum Cambridge tersebut, orientasinya memang ke arah internasional, namun rasanya tidak ada yang istimewa hingga menjadikan sistem dan kurikulum Cambridge tersebut harus dirujuk kalau ingin mengembangkan sekolah bertaraf internasional dengan siswa-siswa berwawasan dan berkemampuan internasional. Dengan kata lain, tidak ada keharusan untuk menjadi bertaraf internasional harus merujuk ke sistem dan kurikulum Cambridge. Selain itu bukankah dapat saja kita mendesain sistem dan 2
kurikulum pendidikan kita juga berorientasi internasional tanpa merujuk ke Cambridge. Dari sisi lain, sistem dan kurikulum Cambridge berada di bawah University of Cambridge di Inggris, di sinilah pelabelan internasional terhadap sistem dan kurikulum Cambridge pada dasarnya adalah klaim diri sebagai upaya untuk membangun legitimasi kualitas sebuah konsep, sistem dan kurikulum Cambridge. Sejauh penelusuran saya, tidak ada institusi lain yang menyatakan bahwa sistem dan kurikulum Cambridge tersebut “berkualitas internasional,” memang beberapa kampus di Inggris dan Amerika mempertimbangkan siswa-siswa lulusan dari sekolah yang menerapkan sistem dan kurikulum Cambridge, pertimbangan tersebut didasarkan pada kualitas sistem dan kurikulum Cambridge. Tapi, bukankah pertimbangan tersebut hanya dilakukan oleh beberapa kampus, tidak semua kampus di dunia, termasuk di Indonesia, artinya pertimbangan tersebut tidak dapat serta merta dikatakan sebagai pengakuan bahwa sistem dan kurikulum Cambridge adalah berkualitas internasional. Kalau University of Cambridge bisa mendesain konsep, sistem dan kurikulum yang menyatakan diri sebagai berkualitas internasional—sebagaimana terdapat dalam dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh institusi tersebut—bukankah semua kampus di dunia ini juga bisa saja membuat konsep sejenis dengan orientasi internasional yang juga berkualitas? Faktanya, ada banyak sistem pendidikan dan kurikulum selain model Cambridge yang dinyatakan sebagai berkualitas internasional, antara lain adalah International Baccalaureate (IB) yang dalam prakik RSBI dan SBI di Indonesia juga diadopsi sebagai nilai plus. Itu belum lagi ketika dipertanyakan, orientasi internasional tersebut tujuannya untuk apa? Efeknya bagi sekolah, siswa, guru, masyarakat, lingkungan sosial, struktur sosial apa? Termasuk mengkaji secara kritis apa yang dimaksud dengan orientasi internasional tersebut? Hal lain yang dijadikan ukuran berkualitas internasional adalah praktik pembelajaran yang kreatif, menyenangkan, dan inovatif. Dari korespondensi saya dengan seorang guru RSBI di sebuah kota di Jawa Tengah, ia menyatakan bahwa: Alhamdulilah anak lebih termotivasi, terbuka pandangannya bahwa dunia itu luas, maka mereka harus mengeksplore kemampuan masing-masing, anak-anak kami sudah tahu kalau sukses itu boleh di bidang apapun yang mereka minati, dengan kunci fokus dan bekerja sangat keras. Anak-anak kami sudah menjuarai olimpiade nasional maupun internasional, nggak cuma yang akademik, seni, motorik juga mereka berprestasi... (via facebook, 13/04/11) Pertanyaan saya, bukankah konsep dan praktik pendidikan seperti itu juga banyak digagas dan praktikan oleh banyak guru dan sekolah di Indonesia? Misalnya di SLTP Qaryah Thoyibah, Salatiga, Sanggar Akar, Jakarta, dan lainnya. Lalu nilai dan kualitas internasionalnya di mana? Pendanda dan smbol bertaraf internasional lain adalah menang Olimpiade internasional. Ketika Olimpiade internasional tersebut dinyatakan sebagai simbol dan penanda kualitas internasional, maka sebuah sekolah dapat dikatakan sebagai bertaraf internasional ketika segenap praktik pembelajarannya diarahkan untuk dapat menciptakan siswa-siswa yang mampu memenangi ajang-ajang kompetisi seperti itu. Pertanyaan saya, apakah praktik pendidikan tujuannya adalah untuk menang lomba dan kompetisi-kompetisi seperti itu? Coba kita lihat dari sisi lain, apa guna, manfaat dan kontribusi medali-medali Olimpiade tersebut bagi pendidikan di tanah air selain rasa bangga dan sekolah menjadi naik citra dan prestisenya di mata awam? 3
Katakanlah ketika yang menang kompetisi Olimpiade internasional tersebut mendapat medali emas, perak dan perunggu, kemudian mereka mendapatkan tawaran beasiswa ke kampus di dalam maupun luar negeri, bukankah hanya beberapa gelintir siswa saja yang dikatakan “berhasil” dalam desain pendidikan bertaraf internasional tersebut? (yakni dengan menjadi pemenang, bukan yang kalah kompetisi seperti sebagian besar siswa lainnya) Apakah keberhasilan beberapa siswa yang mewakili sekolah-sekolah tertentu tersebut betul-betul merepresentasikan kualitas pendidikan di sekolah tersebut atau tidak, karena biasanya mereka “yang terpilih” telah diseleksi dan kemudian dikarantina untuk mendapat “perlakuan khusus” secara intensif dengan tujuan untuk menang kompetisi tersebut. Sementara itu, obsesi banyak sekolah untuk mendapatkan sertifikasi ISO 9001:2000 sebagai batu loncatan untuk menjadi bertaraf internasional layak juga dipertanyakan mengenai orientasi dari sertifikasi tersebut. Bukankah ISO 9001:2000 adalah model penilaian korporasi yang berbasis pada dokumentasi dan ditujukan untuk kepuasan pelanggan? Jadi memang filosofinya berbeda, pendidikan—setidaknya menurut pandangan pedagogi kritis seperti Freire, Apple, McLaren, Giroux dan lainnya—tidak dapat direduksi sebagai sebuah praktik produksi tenaga kerja dengan melihat sekolah dan kampus sebagai korporasi, di mana orangtua, masyarakat dan dunia industri dianggap sebagai pelanggan atau konsumen. Konsepsi “Internasional” dalam Pendidikan Pada dasarnya pengertian “internasional” yang dirujuk untuk memberikan justifikasi terhadap kualitas pendidikan adalah ambigu. Dengan kata lain, tidak terdapat konsep yang jelas dan tepat untuk memahami konsep “internasional” tersebut disebabkan oleh perbedaan penafsiran yang dihasilkan oleh beberapa pihak. Kustulasari (2009: 2-3) dalam disertasinya menyatakan bahwa terdapat beberapa bahasan tentang “internasionalisme” dalam pendidikan, yakni yang diasosiasikan dengan pendidikan internasional, sekolah-sekolah internasional, internasionalisasi pendidikan, penelitian pendidikan dalam lingkup internasional, dan globalisasi dan pendidikan. Ia juga menyatakan bahwa konsep pendidikan internasional lebih banyak berkaitan dengan bidang kajian perbandingan dan pendidikan internasional (comparative and international education), yakni sebuah bidang kajian yang mengkaji perbandingan antarsistem pendidikan di berbagai negara dalam lingkup internasional (2009: 11). Namun, dengan merujuk pada Cambdridge dan Thompson (2004), Kustulasari (2009: 12) menyatakan bahwa sekarang istilah “internasional” tersebut merujuk pada ideologi pendidikan yang disebut sebagai “internasionalisme” (internationalism), yakni nalar pikir yang cenderung untuk internasionalisasi (go international) dalam pendidikan (international mindedness) yang ditawarkan oleh sekolah-sekolah internasional. Lebih lanjut, dilihat dari pengertian internasionalisme, maka dapat ditelisik bahwa praktik pendidikan yang terbawa oleh ideologi “internasionalisme” pendidikan tersebut akan menempatkan gambaran dunia internasional dan semua yang berbau internasional sebagai hal-hal baik yang harus diacu oleh sekolah dan sistem pendidikan secara umum. Oleh karenanya, pandangan internasionalisme pendidikan menganggap bahwa sistem dan praktis pendidikan harus ditujukan untuk menuju dunia internasional. Kembali pada bahasan sekolah dan pendidikan internasional di depan, Kustulasari (2009: 1314) dengan merujuk pada Hill’s (2006) mengklasifikasi sekolah internasional dalam empat kategori, yaitu: (1) sekolah internasional yang dibangun oleh pemerintah negara tertentu namun didirikan di negara lain, misalnya adalah American International dan sejenisnya, 4
tujuannya sebenarnya adalah untuk memperkuat nasionalisme dan kewargaan dari anak-anak warga negara tersebut di luar negeri; (2) sekolah nasional yang berada di negara tertentu namun dengan mengikuti program internasional, misalnya adalah sekolah-sekolah yang mengikuti IB; (3) sekolah internasional dengan program internasional; dan (4) sekolah internasional dengan program nasional, yakni memasukkan program-program dari pendidikan negara di tempat sekolah internasional tersebut berada. Namun, Hill’s— sebagaimana dikemukakan oleh Kustulasri—mengatakan bahwa yang perlu diingat adalah: klasifikasi tersebut tergangung dari perspektif negara tempat sekolah-sekolah yang dikatakan bertaraf internasional tersebut berada. Bagaimanakah dengan di Indonesia, apa yang dimaksud dengan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) menurut pemerintah yang telah menelorkan gagasan tersebut dan berupaya secara obsesif agar program tersebut berhasil? Beberapa pendapat masyarakat awam (termasuk orangtua, siswa, guru) di awal tulisan ini dapat dipahami sebagai gambaran awal yang menunjukkan pemahaman kebanyakan masyarakat terhadap program RSBI dan SBI ini, di sinilah perlu diklarifikasi dengan merujuk pada dokumen resmi dari pemerintah— terutama Kementerian Pendidikan Nasional (ketika RSBI dan SBI ini digagas masih bernama Departemen Pendidikan Nasional) untuk mendapat kejelasan apa maksud pemerintah tersebut. Menurut dokumen yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pada tahun 2007 sebagai panduan dalam pelaksanaan perintisan SBI, yaitu “Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah” dinyatakan bahwa SBI menjadi salah satu dari sekian banyak upaya di bidang pendidikan untuk mensejajarkan bangsa dan negara Indonesia dalam forum internasional. Oleh karena itu, semua pihak sudah selayaknya memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembangan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional (Depdiknas, 2007: 25). Jadi, motivasinya adalah: agar bangsa dan negara Indoenesia sejajar dengan bangsa dan negara lain di forum internasional. Motivasi SBI inilah yang banyak disebut dan dijadikan sebagai pembenar untuk melaksanakan program SBI. Motivasi tersebut juga terdapat dalam definisi SBI secara resmi sebagai berikut. Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional. (Depdiknas, 2007, p. 5) Merujuk pada definisi tersebut, maka SBI atau RSBI harus memenuhi seluruh standar pendidikan nasional sebagaimana terdapat dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bab IX tentang standar nasional pendidikan pasal 35 ayat (1) bahwa “Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala,” ayat (2) berbunyi “Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.” Kemudian baru sekolah tersebut mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota OECD atau negara lain yang memiliki keunggulan pendidikan di ranah internasional, caranya adalah dengan: (1) adaptasi, berupa penyesuaian unsur-unsur yang ada dalam SNP dengan 5
mengacu pada standar pendidikan salah satu negara OECD atau lainnya yang memiliki keunggulan pendidikan; dan (2) adopsi, yaitu penambahan unsur-unsur yang belum ada dalam SNP dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara OECD atau lainnya yang memiliki keunggulan pendidikan. Dari definisi tersebut juga dapat disimpulkan bahwa dalam keberadaan SBI dan RSBI adalah untuk mencitakan siswa-siswa yang mampu berbicara di forum internasional. Sebagaimana dinyatakan dalam buku pedoman SBI (2007: 7), daya saing di forum internasional (lihat definisi SBI di atas) memiliki makna bahwa siswa dan lulusan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional antara lain dapat: (a) melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun di luar negeri; (b) mengikuti sertifikasi bertaraf internasional yang diselenggarakan oleh salah satu negara OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; (c) meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga; dan (d) bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain. Jadi, upaya untuk dapat menjadi “bangsa yang memiliki daya saing di forum internasional” diwujudkan melalui pembibitan siswa-siswa yang mampu bersaing di forum internasional. Nah, keunggulan SBI ditunjukkan dengan pengakuan internasional terhadap proses dan hasil atau keluaran pendidikan yang berkualitas dan teruji dalam berbagai aspek. Pengakuan internasional ditandai dengan penggunaan standar pendidikan internasional dan dibuktikan dengan hasil sertifikasi berpredikat baik dari salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan (Depdiknas, 2007: 7) . Bentuk penjaminan mutu atau kualitas yang dilakukan oleh Kemdiknas adalah dengan menggunakan indikator-indikator target dan capaian sebagaimana terdapat dalam buku pedoman penyelenggaraan SBI tersebut. Untuk pendidikan misalnya, selain harus memenuhi SNP juga keberhasilannya di SBI ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan sebagai berikut: (1) Semua guru mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis TIK; (2) Guru mata pelajaran kelompok sains, matematika, dan inti kejuruan mampu mengampu pembelajaran berbahasa Inggris; (3) Minimal 10 persen guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A untuk SD/MI; (4) Minimal 20 persen guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A untuk SMP/MTs; dan (5) Minimal 30% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A untuk SMA/SMK/MA/MAK. Guru dalam proses pembelajaran sepanjang diperlukan dan sesuai dengan kebutuhannya, selain menggunakan bahasa Indonesia dan Inggris juga bisa menggunakan bahasa lainnya yang sering digunakan dalam forum internasional, seperti bahasa Perancis, Jerman, Spanyol, Jepang, Arab, dan China (Depediknas, 2007: 12). Kritik atas Sekolah Bertaraf Internasional Konsep dan praktik SBI di Indonesia bersumber dari Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yakni pada pasal 50 ayat (3), yakni, “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi sekolah yang bertaraf internasional.” Ketentuan itulah yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan periode 2005-2009, 2010-2014 dan seterusnya, termasuk dirujuk pada berbagai ketentuan perundangan lainnya. Sebagaimana disinggung sedikit di depan, pro 6
dan kontra terhadap program RSBI dan SBI di Indonesia terjadi kira-kira setahun setelah UU No. 20/2003 tersebut disahkan, yaitu pada tahun 2004. Dengan tanpa maksud untuk memandang sebelah mata argument yang dikemukakan oleh pemerintah dan pihak yang pro terhadap program SBI ini, maka di sini akan saya kemukakan beberapa argumen dalam bentuk kritik atas program SBI tersebut. Kritik ini dengan sendirinya juga akan menyinggung—atau tepatnya memukul balik (counter)—argumen dari pihak-pihak yang pro dengan SBI. Dengan demikian, dalam ulasan pendek ini diupayakan untuk menampilkan argument kontra SBI dengan tanpa meninggalkan argument pro SBI mana yang ditolak. Di sisi lain, kritik ini perlu sebagai upaya untuk memberikan kejernihan berpikir atas praksis pendidikan Indonesia yang menurut saya keruh dan karut-marut serta lebih banyak disetir oleh kepentingan ekonomi-politik asing beserta paham ideologis yang menyokongnya ketimbang mendasarkan pada realitas sosio-kultural dan kebutuhan dasar rakyat Indonesia. Mari kita awali kritik ini dari perspektif politik dan ideologi. Neo-kolonialisasi Pendidikan dan Inferioritas Pendidikan Analisis kritis terhadap motivasi gagasan dan praksis SBI sebenarnya dapat dilacak jejaknya pada argumen yang terdapat dalam dokumen pedoman penjaminan mutu SBI. Dari dokumen tersebut dapat diketahui bahwa SBI menjadi salah satu dari sekian banyak upaya di bidang pendidikan untuk mensejajarkan bangsa dan negara Indonesia dalam forum internasional (Depdiknas, 2007: 25). Apa yang diungkapkan dalam dokumen tersebut menyiratkan pemahaman awal bahwa pendidikan Indonesia belum sejajar dibandingkan dengan bangsa dan negara lain di forum internasional, oleh karenanya digagas sekolah yang “bertaraf internasional” agar Indonesia dapat berbicara dan sejajar di forum internasional. Simpulan tersebut agaknya diambil dengan mendasarkan pada beberapa pemeringkatan oleh beberapa lembaga yang dianggap memiliki legitimasi untuk memberikan penilaian dengan menggunakan standar “berkualitas internasional” seperti PISA dan TIMMS, termasuk dalam bentuk kompetisi internasional seperti lomba-lomba dan olimpiade akademik. Sayangnya pemerintah tidak menindaklanjutinya secara serius dengan mendasarkan pada analisis kritis peta ideologis yang berada di balik praksis pendidikan dalam konteks global, tidak juga mencoba untuk melihat kembali karakteristik dan kekayaan nilai-nilai, kultur, pengetahuan yang banyak tersebar pada konteks lokal Indonesia, pun pemerintah tidak juga melihat kebutuhan riil dan problem sosio-kultural masyarakat yang sekiranya dapat ditangani oleh praksis pendidikan. Sebaliknya pemerintah mengiyakan penilaian-penilaian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut, hingga pada akhirnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah mengupayakan arah pendidikan untuk dapat mencapai target-target penilaian PISA, TIMMS, menang olimpiade internasional dan sejenisnya. Arah tersebut dapat dipahami sebagai arah pendidikan untuk berorientasi internasional, agar diakui dan mampu bersaing di forum-forum internasional. Di sinilah RSBI dan SBI adalah formulasi gagasan yang dianggap akan dapat memenuhi ambisi diakui dunia internasional. Saya melihat fenomena tersebut—bermula dari rasa inferioritas yang agaknya dapat dilihat sebagai represi lembaga-lembaga yang dianggap memiliki legitimasi internasional—menjadi sebuah praktik neo-kolonialisasi pendidikan, yakni sebuah bentuk kolonialisasi dan penjajahan baru dalam bidang pendidikan. Bentuknya jelas, bahwa program dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah merunduk di bawah bayang-bayang arahan lembagalembaga asing. Pada kasus SBI jelas terlihat bahwa sekolah-sekolah tersebut didesain untuk menunduk di bawah sistem dan standar pendidikan salah satu negara anggota OECD atau 7
negara lain yang memiliki keunggulan dalam bidang pendidikan. Dengan kata lain, SBI adalah gambaran nyata bahwa sekolah-sekolah bertaraf internasional tersebut bersifat ambigu, di satu sisi menggunakan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia, namun diwajibkan juga untuk mengadaptasi dan/atau mengadopsi standar dan sistem negara lain (lihat lagi Dekdiknas, 2007: 5-6). Sampai di sini terlihat kembali bahwa konsep “internasional” yang diacu oleh SBI menjadi bias, karena faktanya yang diacu adalah negara tertentu yang masuk dalam OECD atau lainnya yang memiliki keunggulan pendidikan. Jelas kolonialisasi yang dilakukan tidak dalam bentuk fisik lagi, melainkan dalam bentuk kolonialisasi ide-ide, gagasan, ideologi, kultur, nilai-nilai, dan tentunya kolonialisasi ekonomi dan politik. Dengan mengacu pada salah satu negara OECD atau lainnya yang dianggap memiliki keunggulan dalam pendidikan, maka yang perlu dipertanyakan adalah—meminjam istilah yang terdapat dalam pedoman penjaminan mutu SBI (Depdiknas, 2007)—“unsur-unsur” apa dan manakah dari standar dan sistem pendidikan Amerika, Jepang, Kanada, Australia misalnya, yang akan diadopsi atau adaptasi dalam SBI? Bukankah “unsur-unsur” tersebut pada hakikatnya berangkat dari akar ideologis dan realitas sosio-kultural-ekonomi-politik negara bersangkutan yang kemudian diformulasikan dalam standar dan sistem pendidikan mereka sendiri? Artinya, dengan mengadopsi dan mengadaptasi “unsur-unsur” dari standar dan sistem pendidikan asing tersebut, maka SBI menjadi tiada beda dengan mengajarkan pengetahuan, nilai-nilai, kultur, ideologi negara asing yang diacu tersebut. Fakta di lapangan juga menunjukkan penggunaan kurikulum Cambridge dan IB. Di sinilah neo-kolonialisasi terjadi dilakukan oleh institusi-institusi “negara baru” sebagai pemilik rezim kebenaran (regime of truth), yakni institusi-institusi Cambridge dan IB, dalam pendidikan tinggi terdapat THE, QS, Webometric dan juga Shanghai Jiao Tong University (SJTU). Lembaga-lembaga itulah yang dianggap memiliki legitimasi untuk menilai suatu praktik pendidikan berkualitas “internasional” atau tidak, dan negara—termasuk sekolah dan kampus—yang ingin diakui secara internasional harus tunduk pada sistem penilaian mereka. Padahal jelas lembaga-lembaga tersebut tidak mewakili “dunia internasional” secara faktual dan konseptual, mereka mewakili sebuah ideologi atau cara pandang tertentu dalam menilai konsep dan praksis pendidikan. Neoliberalisasi Pendidikan Praktik lain yang mengikut di bawah prakik neo-kolonialisasi pendidikan adalah neoliberalisasi pendidikan. Hal tersebut ditunjukkan dengan rujukan SBI terutama pada negara-negara OECD. Kalau kita telusuri, maka dapat diketahui bahwa OECD yang berlokasi di Paris Perancis merupakan organisasi internasional untuk membantu pemerintahan negaranegara anggotanya menghadapi tantangan globalisasi ekonomi. Secara historis, Konvensi OECD pada awalnya ditandatangai hanya oleh beberapa negara pada tanggal 14 Desember 1960. Globalisasi ekonomi yang dimaksud tersebut tiada lain adalah mekanisme pasar bebas neoliberal yang dibukakan jalannya oleh gelombang globalisasi. Entah pemerintah sadar atau tidak, dengan menjadikan sistem dan standar pendidikan negara-negara OECD sebagai acuan yang bersifat imperatif-represif terhadap SBI, maka sejatinya yang terjadi adalah praktik pendidikan di Indonesia terutama yang diwujudkan melalui SBI sepakat dengan gerak langkah dan terobosan neoliberalisme dalam skala global. Meminjam logika pikir pada bahasan neo-kolonialisasi pendidikan, maka praktik neoliberalisasi pendidikan melalui SBI beroperasi pada dua ranah, yakni ranah gagasan dan 8
praksis. Pada ranah gagasan yang terjadi adalah internalisasi nilai-nilai dan ideologi neoliberal bahwa pendidikan adalah komoditas dagang sebagaimana sektor usaha profit lainnya. Kemudian dalam ranah praksisnya Dave Hill (2007: 205-206) menyatakannya sebagai salah satu dari rencana para kapitalis terhadap bidang pendidikan secara glonal: This is a plan for British, US, Australian, New Zealand, and, locally (e.g. in particular states in Latin America, for example) based Edubusinesses to profit from international privatising, franchising and marketing activities. It requires free trade between states, opening up markets in educational services, one of the prime intentions of the GATS. It is not just Edubusinesses that are involved–it is large multi-activity national and global capitalist companies (Mahoney et al, 2003). […] One aspect is that barriers to international trade, capitalist enterprise and the extraction of profits should be removed. This applies as much to trade in services such as education and health as it does to the extraction of oil or the control of water supply. Di sinilah layak kita menyebutnya sebagai “pasar bebas pendidikan” sebagai istilah lain dari neoliberalisasi pendidikan. Lebih lanjut, ketika SBI merujuk pada standar dan sistem pendidikan negara OECD, maka nilai-nilai, kultur, pengetahuan dan ideologi yang menyokong neoliberalisme yang diamini oleh negara-negara OECD juga turut diacu oleh SBI—secara konseptual. Sebut saja nilai-nilai yang diacu adalah kompetisi, individualisme, pragmatisme, tipikal individu yang diajarkan sebagai penanda sukses kehidupan adalah pekerja kantoran, hidup di kota, berkecukupan materi dan sejenisnya. Ironisnya, tanpa kita sadari dan tanpa harus terlebih dulu merujuk pada standar dan sistem pendidikan negaranegara OECD, ternyata mereka yang berkecimpung dalam pendidikan, siswa dan orangtua juga telah menganggap bahwa kompetisi adalah wajar, individualisme dan pragmatisme adalah wajar di era modern sekarang. Dari mana kira-kira pemahaman yang mengamini prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar kapitalisme-neoliberalisme itu datang? Dapat ditebak datang dari tata nilai masyarakat dominan kita yang memang tampak sudah berada pada wilayah kesadaran palsu (false consciousness) dengan menerima tata nilai, kultur dan ideologi neoliberal sebagai kewajaran (common sense). Komersialisasi Pendidikan dan Praktik Diskriminasi Dengan berbasis pada perspeksi bahwa SBI adalah berkualitas, prestise dan bergengsi, serta disokong oleh nalar pikir kapitalisme dan neoliberalisme, maka pada akhirnya yang terjadi adalah komersialisasi pendidikan dan praktik diskriminasi. Bentuknya adalah begitu mahalnya biaya yang harus ditanggung oleh siswa untuk dapat bersekolah di SBI dan RSBI. Dilihat dari regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah, Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) ini merupakan proyek prestisius karena dibiayai oleh pemeritnah pusat sebesar 50 persen, pemerintah provinsi 30 persen, dan oleh kabupaten/kota sebesar 20 persen. Depdiknas sendiri mengeluarkan dana yang cukup besar untuk obsesi SBI ini, untuk SMA dan SMK mendapatkan subsidi sebesar Rp. 400 juta sampai Rp. 500 juta, sedangkan untuk SMP adalah sekitar Rp. 300 juta (Indo Pos, 15/01/08). Kebijakan tersebut membuahkan kontroversi, karena bagaimana bisa sekolah yang sudah sangat mampu untuk mandiri justru mendapatkan dana subsidi lebih besar ketimbang sekolah-sekolah negeri atau swasta biasa, yang kondisinya memprihatinkan dan bahkan perlu segera diperbaiki sarana dan prasarananya. Pemihakan pemerintah pada sekolah yang sudah mapan dan bahkan diberi subsidi sangat besar ini adalah diskriminasi, karena syarat bagi sekolah yang berhak mendapatkan label “bertaraf internasional” adalah sekolah yang sudah dapat memenuhi SPN, maka sekolah tersebut sudah dapat dikatakan elit, hingga mestinya 9
tidak perlu dibantu begitu banyak. Pemihakan pemerintah pada SBI juga menunjukkan pemerintah lebih suka pada hal-hal yang prestise, kagum dengan segala yang berbau internasional, hingga mudah didikte oleh pihak asing. Diskriminasi juga terjadi dalam akses untuk masuk dalam SBI. Tidak semua anak dapat masuk SBI karena mahalnya biaya pendidikan di situ, walaupun sudah mendapat subsidi yang begitu besar. Bahkan dalam kebijakan pemerintah pun SBI mendapatkan kewenangan khusus untuk melakukan pungutan terhadap siswa dan orang tua siswa, hal yang tidak diperbolehkan dilakukan pada sekolah-sekolah selain SBI. Lebih dari itu, prestises SBI sebagai “yang bertaraf internasional” telah membuat banyak siswa dan orang tua tertarik untuk masuk di dalamnya. Hal ini berbahaya kalau semua potensi anak-anak cerdas, berpotensi tinggi, semuanya kemudian masuk dalam SBI yang tujuannya sekadar mendapat medali tingkat internasional atau bekerja di lembaga internasional. Bangsa Indonesia membutuhkan lebih dari manusia-manusia lulusan SBI. Bangsa Indonesia membutuhkan manusia-manusia Indonesia yang berkarakter, berbudaya, dan berani memihak kepada kepentingan warga masyarakat yang mendapatkan ketidakadilan dan diskriminasi, serta tidak tunduk pada asing. Korporatisasi Pendidikan Merujuk pada dokumen pedoman penjaminan mutu SBI yang dikeluarkan oleh Depdiknas (2007: 14), kualitas pengelolaan SBI dan RSBI dijamin selain dengan memenuhi standar pengelolaan yang merujuk pada standar nasional pendidikan (SNP), keberhasilannya juga ditandari dengan capain indikator kunci tambahan, salah satunya adalah meraih sertifikat ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya dan juga ISO 14000. Nah, sebagaimana dikemukakan sedikit di depan, bahwa ISO pada dasarnya adalah konsep penilaian dan pengelolaan korporasi, fokusnya adalah pada mekanisme dokumentasi yang baik dan kepuasan pelanggan. Oleh karenanya, ketika menggunakan ISO sebagai standar atau metode untuk menilai dan mengelola institusi pendidikan akan salah kaprah. Menganggap ISO sebagai konsep yang cocok untuk pendidikan, entah dengan dalih diadaptasikan, diadopsi, atau dikontekstualisasikan untuk dunia pendidikan adalah salah, apalagi menerapkannya secara masif dan menganggapnya sebagai indicator bawa institusi pendidikan tersebut berkualitas internasional. Dilihat dari perspektif manajemen pendidikan, maka korporatisasi pendidikan tersebut mewujud dalam bentuk diterapkannya new public managerialism di sekolah dan kampus. Dave Hill (2007: 206) menyatakan: Schools and universities are increasingly run in accordance with the principles of ‘new public managerialism’ (Mahoney & Hextall, 2000) based on a corporate managerialist model imported from the world of business. As well as the needs of Capital dictating the principal aims of education, the world of business also supplies the model of how it is to be provided and managed. Secara singkat new public managerialism adalah konsep manajemen korporasi yang berkembang dengan mendapat pengaruh dari kultur positivistik dan orientasi kapitalisme dalam mengelola sesuatu. Merujuk pada Paul Trowler (2003: 198) new public managerialism atau bisa disebut secara ringkas sebagai managerialism ditunjukkan antara lain dengan (1) strict financial management and devolved budgetary controls; (2) the efficient use of resources and the emphasis on productivity; dan (3) the extensive use of quantitative performance indicators. Dalam konteks Indonesia kita akan dapat melihat banyak contoh dari 10
praktik manajemen pendidikan yang didasarkan pada konsep new public managerialism. Apa yang salah dari new public managerialism dalam pendidikan? Selain karena basis filosofi dan ideologinya adalah korporasi, kapitalisme, dan positivistime, maka pada tataran praksis penilaian-penilaian dan standar capaian kuantitatif misalnya, tidak dapat betul-betul menunjukkan kualitas pendidikan. Penilaian berbasis performance (yang sering dialihbahasakan sebagai “kinerja”) misalnya, hanya akan sampai pada menilai tercapainya indikator-indikator tertentu saja, tidak sampai melihat pada kualitas capaian, terlebih lagi efek sosial, kultural, politik dan lainnya dari aktivitas tertentu. Mencerabut Akar Sosial dan Kultural Orientasi pendidikan ke arah ideologi “internasionalisme” pada dasarnya memang akan mengikis kesadaran kontekstual dalam praksis pendidikan. Berangkat dari pandangan pedagogi kritis dan posmodernisme kritis (lihat misalnya McLaren, 1995 & Giroux, 1997), maka konsep dan praksis mestinya berangkat dari realitas faktual lingkungan sekitar di mana praksis pendidikan tersebut akan dilaksanakan. Gagasan-gagasan ideal pendidikan yang kerap terperangkap dalam bentuk “esensialisasi” dan “transendelisasi” harus ditinggalkan dengan membenturkannya pada realitas kehidupan sehari-hari. Diskursus keadilan, anti-diskriminasi, kesetaraan, emansipasi, dan keadilan sosial harus dibumikan dalam konteks sosio-historis riil. Pendidikan bukan barang elite yang harus dipuja, melainkan adalah alat dan media untuk perubahan sosial, memecahkan masalah yang terjadi dalam realitas sosial. Oleh karenanya, hakikat pendidikan bukanlah bangga akan simbol-simbol, gelar-gelar kesarjanaan, labeling, sertifikat, ijazah, kebanggaan, prestise, gengsi dan sejenisnya, sebaliknya pendidikan hakikatnya adalah mengolah realitas, berjibaku dengan kondisi faktual masyarakat, memberikan pendidikan yang bermakna bagi kehidupan mereka. Jauh dari ideal tersebut, program SBI dengan acuan pada negara-negara OECD, fokus berlebih pada matapelajaran eksakta dan bahasa Inggris, telah menjauhkan praksis pedagogi di sekolah-sekolah tersebut dari realitas faktual masyarakat dan lingkungan sekitar. Anakanak dalam sebuah sekolah yang dirintis untuk menjadi SBI dengan membuka kelas RSBI misalnya, diseleksi dari seluruh siswa yang ada dalam sekolah tersebut, kemudian mereka ibarat dikarantina dipersiapkan untuk menjadi siswa-siswi yang mampu berbicara dan berdaya saing di forum-forum internasional. Mereka dipersiapkan untuk berperan dalam forum-forum internasional, tapi tidak dididik untuk dapat berperan dalam memecahkan masalah lingkungan sosial dan kultural mereka sendiri. Makna kebanggaan yang ditanamkan dalam benak kesadaran mereka adalah menang olimpiade internasional, menang kompetisi ilmiah, menemukan ini itu dan sejenisnya, bukan kebanggaan karena dapat member kontribusi bagi daerah dan masyarakat sekitar. Makna kesuksesan bagi mereka adalah ketika mendapat peringkat pertama, mengalahkan yang lain, akhirnya bisa masuk kuliah di kampus bergengsi, atau bahkan ke luar negeri, dan setelah lulus cita-citanya adalah menjadi orang kantoran yang bekerja untuk dirinya sendiri. Lalu apa yang harus dilakukan? Membangun Narasi Tandingan Berangkat dari Diskursus Post-kolonial Dalam hegemoni kapitalisme global yang membuat kesadaran kritis makin tumpul, dan menenggelamkan khalayak ramai pada kesadaran palsu janji-janji modernitas, kapitalisme, neoliberalisme dan sejenisnya, memang membuat seakan-akan tidak ada ruang lagi untuk melawan. Namun kalau kita telah menyadari betapa fenomena sosial, cultural, ekonomi, 11
politik dan lainnya sekarang membuahkan praktik ketidakadilan, diskriminasi, manipulasi dan sejenisnya, maka tiada hal lain yang harus dilakukan kecuali melawan. Berangkat dari perspektif post-kolonial sebagaimana diulas oleh McLaren (1995) bahwa yang harus dipahami dulu adalah: praktik sosial yang terjadi sekarang ini adalah sebuah narasi modernitas, yang di dalamnya juga implisit menunjukkan sebuah narasi neo-kolonialisme dan neo-imperialisme, oleh karenanya cara untuk melawannya pertama adalah dengan membangun sebuah narasi tandingan berangkat dari diskursus atau cara pandang postkolonial. Sebagai satu bentuk gerak melawan hegemoni dan dominasi pusat-pusat kekuasaan—dalam bentuk apapun, maka diskursus post-kolonial harus digerakkan dengan membangun ruangruang ekspresi dan kreasi bagi suara-suara dan entitas minoritas-marjinal untuk bersuara dan menunjukkan identitas dirinya. Kesadaran post-kolonial yang harus dibangun adalah: dalam bentuknya yang baru, kita sekarang dalam posisi di-kolonialisasi oleh kekuatan tertentu (pendidikan, kultur, ekonomi, politik dan lainnya), dengan demikian kita mesti melawan neokolonialisasi tersebut dengan tidak merunduk lagi di bawah dikte dan justifikasi kekuatankekuatan hegemonik dan dominan. Kalau di University of Cambridge bisa membuat kurikulum dengan mengklain diri sebagai “berkualitas internasional” maka sentralisasi kuasa yang berpotensi membangun imperium neo-kolonialisme tersebut harus dipecah, caranya adalah dengan membangun pusat-pusat legitimasi lainnya—dalam istilahnya Gramsci adalah counter hegemony. Demikian juga dengan keberadaan institusi lain yang mengklaim diri sebagai rezim pemilik kebenaran dalam pendidikan. Kiranya konsep kekuasaan (power) ala Foucault (dalam Paul Rabinow, 1994) berguna di sini untuk menggambarkan konsep kekuasaan yang harus dibangun untuk melawan neokolonialisme, yakni kekuasaan yang tidak terpusat pada satu sentral otoritas tertentu, melainkan tersebar (dispersed) dan datang dari mana-mana (come from everywhere). Dengan demikian, membangun narasi tandingan melawan neo-kolonialisasi pendidikan oleh OECD dan lainnya tersebut dapat dimulai dengan membangun narasi pendidikan baru yang tidak merunduk pada Barat, pada OECD, pada GATS, tidak masuk dalam jerat kompetisi world class university. Narasi pendidikan yang harus dibangun adalah pendidikan yang membebaskan dari jerat neo-kolonialisasi, yakni pendidikan emansipatoris berbasis pada gagasan dan gerakan pedagogi kritis, pendidikan yang berangkat dari realitas nyata sosial dan masyarakat Indonesia, yang mengolah dan mengoptimalkan diri siswa agar dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial sekitarnya, sebuah praksis pendidikan yang tidak terpana dan terjerat glamor “internasionalisme” yang abstrak dan ilusif, namun tegas berpijak pada sikap untuk melakukan perubahan sosial di negeri sendiri. [ ]
12