Mencari Makna Pendidikan Dasar Oleh Edi Subkhan* “Schools play a crucial, though far from mechanistic, role in reproducing the culture of positivism. While schools function so as to mediate the social, political, and economic tensions of the wider society, they do so in a complex and contradictory fashion. This is an essential point. School operate in accordance, either emplicitly or explicitly, with their established roles in society. But they do so in terms not entirely determined by the larger society” —Henry Giroux (1997: 27) Pendahuluan Mengapa mesti kembali mengkaji dan terus mengkaji pendidikan, terutama pendidikan dasar? Padahal dengan kondisi yang ada dan terus berupaya diperbaiki oleh pemerintah melalui kebijakannya, siswa-siswa lulusan pendidikan dasar yang meneruskan ke jenjang pendidikan menengah—dan kemudian jenjang pendidikan tinggi—tidak terdapat masalah yang timbul secara serius di masyarakat. Dengan kondisi pendidikan dasar sekarang juga sudah dapat mencetak siswa sekolah menengah dan mahasiswa yang berprestasi dan mampu menjadi penggerak perubahan sosial dan intelektual lebih baik. Dengan kata lain, realitas empiris menyatakan: sudah banyak intelektual, aktivis, professor, wirausahawan, politisi, negarawan, yang lahir, “walau” dengan kondisi pendidikan dasar seperti sekarang ini. Jika begitu, dapat pula diajukan argumen: dengan kondisi pendidikan dasar masa kolonial dan awal-awal kemerdekaan yang tentu tidak lebih baik dari kondisi sekarang, atau bahkan lebih memprihatinkan, ternyata juga dapat menghasilkan orang-orang hebat, lalu untuk apa pendidikan dasar perlu “diperbaiki”? Jawaban sederhananya adalah: (1) karena tiap waktu terjadi perubahan sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang menjadi bagian kehidupan dari siswa-siswa tersebut, hal itu mesti dibaca dan pahami ulang untuk kemudian mengambil sikap akan bagaimana menghadapinya; (2) karena terdapat perkembangan paradigma ilmu pengetahuan yang dianggal lebih relevan dan ideal dalam memandang manusia, anak, siswa yang dirasa lebih baik, lebih humanis, dan sesuai dengan fitrah kejadian kemanusiaan; dan (3) karena selalu ada harapan untuk membuat proses pembelajaran dan pendidikan lebih baik, termasuk hal-hal yang fundamental adalah tujuan, sistem, dan metode pendidikan itu sendiri lebih baik, dan tentunya adalah harapan untuk membangun tatanan masyarakat dan peradaban yang lebih baik. Di sinilah kemudian petanyaan yang patut diajukan adalah: apakah realita pendidikan dasar kita sudah sesuai dengan hakikat pendidikan itu sendiri? Dari pertanyaan ini akan muncul pertanyaan lanjutan, yakni apakah tujuan dari diadakannya pendidikan dasar? Pertanyaan kritis yang juga muncul sebagaimana diungkapkan oleh Freire (dalam Apple, Gandin, dan Hypolito, 2006: 234) adalah: “apa?”, “mengapa?”, “bagaimana?”, “untuk tujuan apa?”, “bagi siapa?” dan sejenisnya. Jawaban-jawaban yang muncul tentu meniscayakan mengkaji lebih dalam mengenai siapa dan apa pun yang terlibat dan terkait dengan pendidikan dasar, termasuk anak atau siswa, guru, lingkungan sekolah, masyarakat, dan lainnya. Beberapa Masalah Pertanyaan-pertanyaan fundamental dan kritis tersebut perlu diajukan dalam konteks pendidikan dasar sekarang karena praksis pendidikan yang terjadi di lapangan menunjukkan beberapa masalah yang dapat teridentifikasi. Di media massa kita sering melihat berbagai masalah berkaitan dengan pendidikan dasar, mulai dari hal teknis seperti sarana dan prasarana yang terbatas, kesadaran sekolah rendah di daerah-daerah luar jawa, dan lainnya. Lebih dalam lagi muncul juga masalah seperti adanya keluhan pelajaran terlalu banyak, berat, dan luas. Hal-hal tersebut jika diibaratkan sebagai fenomena gunung es, tentu akan lebih banyak masalah lagi yang 1
terdapat di balik hal-hal yang mengemuka di media tersebut. Karena sebenarnya hal-hal yang bermasalah dapat saja dianggap sebagai kelaziman atau hal yang biasa, karena telah terjadi naturalisasi dan ideologisasi, bahwa hal-hal yang bermasalah tersebut dilihat sebagai hal yang tidak bermasalah. Tentu saja untuk dapat melihat ideologisasi ini membutuhkan kajian yang lebih serius, dengan pendekatan kritik ideologi tentu akan lebih mudah melihat hal-hal tersebut. Masalah-masalah yang timbul secara empiris tersebut sebenarnya sudah cukup mengindikasikan terdapat problem pada level filosofis-ideologis dalam memandang tujuan pendidikan dasar, hakikat pendidikan dasar, hakikat anak/siswa usia pendidikan dasar, hakikat persekolahan, dan lainnya. Di sinilah pertanyaan fundamental mengenai “tujuan pendidikan dasar” harus diajukan kembali untuk membongkar akar masalah yang ada dalam praksis pendidikan dasar. Dengan demikian, di sini akan lebih banyak membahas pada dimensi filosofisideologis untuk melihat bahwa hal-hal yang “lazim” tersebut sebenarnya adalah hal-hal yang bermasalah, namun dianggap sebagai kewajaran. Namun kritik ideologis dalam tulisan ini tidak akan terlalu banyak dikaitkan dengan kebijakan pemerintah dalam pendidikan, namun lebih pada melihat kaitan antara pendidikan dasar dengan hakikat anak atau siswa yang hidup dalam sebuah lingkungan sosial dan budaya tertentu. Tujuan Pendidikan Dasar Hal paling fundamental yang perlu ditanyakan—sebagaimana disentil di atas—adalah apakah tujuan pendidikan dasar? Hal ini penting untuk dijawab karena hasil jawabannya akan menjadi rujukan dalam menilai: apakah praksis pendidikan dasar sekarang sudah sesuai dengan tujuannya yang “ideal” dan “relevan” atau tidak. Lebih jauh lagi tentu adalah mempertanyakan, apakah tujuan pendidikan dasar yang ada memang sudah sesuai dengan hakikat pendidikan dasar dalam konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik sekarang ini, juga dengan perkembangan paradigma ilmu pengetahuan terkini, dan cita-cita membangun peradaban maju. Sekarang mari kita lihat tujuan dari pendidikan dasar di Indonesia. Agaknya tidak terdapat dokumen resmi yang memuat hakikat pendidikan dasar secara khusus, termasuk dengan tujuannya, dan agenda-agenda reformasi substansial jangka panjang di Indonesia. Dokumen resmi yang dimaksud di sini adalah ketentuan resmi negara dalam menyelenggarakan pendidikan dasar secara substansial, komprehensif, dengan landasan filosofis dan ideologis yang kukuh. Jadi tidak sekadar dokumen kebijakan pendidikan dasar seperti Wajib Belajar Sembilan Tahun, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Pendidikan Gratis dan lainnya. Satu dokumen yang mungkin dapat dirujuk untuk mengetahui tujuan pendidikan dasar secara spesifik adalah Peraturan Pemerintah RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 26 ayat (1) menyatakan bahwa, “Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.” Namun sebenarnya ketentuan tersebut juga tidak dapat dikatakan sebagai tujuan pendidikan dasar, namun sekadar pada “standar kompetensi yang dituju oleh pendidikan dasar”. Selain itu tentu dokumen tentang tujuan pendidikan secara umum, sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 bahwa, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Sekarang mari kita telaah satu persatu dari teks yang setidaknya secara resmi memuat tujuan pendidikan dasar tersebut, konteks atau praksis pelaksanaannya, dan diskursus ideologis di baliknya. Penelaahan ini tentu sedikit banyak akan mengaitkan dengan konsepsi dan praksis 2
psikologi anak, lingkungan sosial-kultural mereka. Tanpa pembacaan kritis atas teks dan konteks tersebut, mustahil didapat hasil analisis yang mendalam dan fundamental atas tujuan pendidikan dasar dan kesesuaian dan/atau relevansinya dengan si anak/siswa itu sendiri dan dunia lingkungan sosial-kultural sekitarnya. Pembacaan kritis yang intertekstualitas dan kontekstual dengan pendekatan kritik ideologi di sini dilakukan dengan terlebih dulu menelaah teks, mengaitkannya dengan konteks sosial-kultural, dan kemudian dibongkar selubung ideologisnya. Kritik atas Teks, Praksis, dan Ideologi Berdasarkan pada teks tujuan pendidikan dasar tersebut, yakni “meletakkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut”, kira-kira dapat dikategorikan tiga domain utama tujuan pendidikan dasar dengan merujuk pada Benjamin Bloom (dalam Phopam, 2004), yaitu domain kognitif (kecerdasan, pengetahuan), afektif (kepribadian, akhlak mulia), dan psikomotorik (keterampilan untuk hidup mandiri). Pertanyaan berikutnya adalah: (1) apakah tujuan tersebut sudah sesuai dengan hakikat diri si anak/siswa yang hidup dalam lingkungan sosial-kultural tertentu; dan (2) apakah bentuk riil pelajaran dan pendekatannya yang diberikan kepada siswa untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk domain kognitif, yakni dalam upaya melandasi dan membentuk dasar pengetahuan dan kecerdasan anak, dalam kurikulum subject matter klasik diberikan dalam bentuk pelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung, atau 3R, yakni reading, writing, dan arithmetic’s). Namun jika kita melihat pada ranah praksis pembelajarannya, ternyata pelajaran membaca, menulis, dan berhitung yang diberikan terlalu berat untuk siswa usia pendidikan dasar, terutama untuk sekolah dasar (pendidikan dasar terdiri dari sekolah dasar dan sekolah menengah pertama). Bahkan ada banyak sekolah yang mensyaratkan anak-anak ketika masuk ke sekolah dasar sudah memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Dengan kata lain, terjadi pergeseran pemberian dasar pengetahuan tersebut, tidak lagi pada pendidikan dasar, melainkan pada masa pra-sekolah, yakni pada taman kanak-kanak (TK) atau bahkan playgroup. Pelajaran yang sarat muatan untuk sekolah dasar dapat dilihat dari masuknya bahasa Inggris sebagai mata pelajaran resmi. Tidak sekadar pengenalan, namun pada kelas-kelas 4, 5, dan 6 sudah begitu kompleks dengan bacaan-bacaan dan kosakata tinggi. Hal ini menjadi bermasalah karena pada level sekolah menengah pertama (sebagai bagian dari pendidikan dasar juga) kemudian menjadi makin “berat” pelajarannya, atau paling parah adalah terdapat pengulanganpengulangan materi. Hal yang sama kemudian terjadi juga pada sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Jika lebih dalam lagi dilihat dari materi yang diberikan di pendidikan dasar tersebut, sangat minim relevansinya dengan kehidupan anak-anak tersebut, dalam arti keterkaitan dengan kehidupan sosial-kultural sehari-hari mereka. Sungguh aneh dna ironis, bagi sanak/siswa di pedesaan, materi bacaan-bacaan yang diberikan bercerita tentang kota, kantor, pantai, dan budaya Barat. Sesuatu hal yang tidak berhubungan langsung dengan konteks kehidupan di mana si anak/siswa tersebut berada. Pertanyaannya misalnya adalah: untuk apa siswa/anak mesti mempelajari tentang dunia kota dan kantor serta pantai-pantai, ketika ternyata mereka hidup di daerah pedesaan dan pegunungan? Dengan demikian, maka sebenarnya dapat diduga bahwa pertimbangan masuknya pelajaran bahasa Inggris menjadi semakin awal di pendidikan dasar—bahkan juga di TK dan playgroup—tidak didasari oleh analisis kesesuain dengan usia anak/siswa dan relevansi dengan konteks sosial-kultural si siswa/anak tersebut. Namun agaknya lebih didasarkan pada obsesi untuk sekadar melek bahasa Inggris, mungkin juga sebuah ketakutan dan inferioritas kultural dalam bahasa. Argumen yang dikemukakan biasanya adalah: agar anak/siswa bisa berbahasa Inggris di era globalisasi ini, di mana kiblat perkembangan ilmu pengetahuan sekarang adalah di Barat— yang nota bene berbahasa Inggris—dan dengan menguasai bahasa Inggris diharapkan akan dapat 3
berkomunikasi dan membaca serta menulis dengan bahasa Inggris, sebagai sarana mengakses pengetahuan dari luar—termasuk dan terutama dari internet. Jika dilihat lebih jauh secara ideologis, maka agaknya materi pelajaran bahasa Inggris yang minim bersentuhan dengan realitas kehidupan si anak/siswa tersebut adalah dalam rangka mempersiapkan mereka untuk hidup dalam alam budaya modernitas, di mana dunia industri kapitalis dan tatanan sosial modernitas memang membutuhkan orang-orang yang memiliki pemahaman yang baik atas Barat dan modernitas (kota, kantor, pantai). Dengan demikian, sejak dini siswa-siswa di pendidikan dasar telah didoktrin dengan materi-materi dan pemahaman dunia modernis-kapitalis, sebuah dunia yang datang dari Barat dan untuk superioritas Barat. Mereka disiapkan untuk menjadi pelaku dan penguat tatanan modernitas-kapitalis. Inilah yang disebut oleh Apple (2004: 37-39), sebagaimana juga dikemukakan oleh Bowles dan Gintis, Bernstein, dan Bourdieu sebagai hegemoni dan reproduksi sosial. Dalam reproduksi sosial tersebut bahkan struktur ekonomi yang tidak adil pun direproduksi atau dikuatkan. Hal ini dapat dilihat di satu sisi ketika materi pelajaran tersebut mencerabut siswa/anak tersebut dari konteks sosial-kultural mereka sehari-hari. Anak/siswa tidak diberikan landasan dan pemahaman yang kuat akan identitas sosial-kulturalnya. Hal yang sama juga terjadi pada pelajaran yang lain, pelajaran membaca dan menulis pun lebih berat dan sarat materi-materi yang tampaknya tidak banyak bersinggungan dengan realitas keseharian siswa. Penguatan pada aktivitas membaca, menulis, dan berhitung terlepas dari konteks empiris siswa, hingga mereka diberikan materi pelajaran bahasa Indonesia, Inggris, dan matematika tidak dapat membantu mereka dalam memahami dunia anak seusia mereka yang hidup dalam lingkungan sosial-kultural tertentu. Hal inilah yang menjadikan sekolah dan lingkungan masyarakat terdapat jarak, sekolah menjadi sebuah dunia dan lingkungan tersendiri yang berbeda dari dunia dan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Siswa/anak tersebut seakan dibebani materi yang ditujukan untuk persiapan mereka menjadi orang dewasa, hingga materi-materinya pun tampak terlalu dini diberikan pada anak atau siswa seusia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Semuanya menjadi makin dini diberikan pada siswa, mata kuliah yang seyogyanya diberikan pada mahasiswa di perguruan tinggi ternyata diberikan pada tingkat sekolah mengenah atas, materi untuk sekolah menengah atas ternyata justru diberikan pada jenjang sekolah menengah pertama, dan bahkan sekolah dasar. Makin lama makin dini anak/siswa belajar mengenai dunia orang dewasa, sebuah dunia yang sebetulnya bukan dunia mereka. Secara psikis anak menjadi lebih rentan terkena depresi, stress, karena tuntutan mereka menjadi lebih banyak. Dalam praksis pendidikan dasar seperti itulah sekolah dimaknai sebagai institusi sosial yang mempersiapkan siswa/anak untuk menjadi warga masyarakat setelah mereka lulus. Dalam istilahnya Franklin Bobbit (dalam Kliebard, 2004: 38) bahwa pendidikan ditujukan untuk kehidupan orang dewasa. Kliebard dalam upaya memahami pendapat Bobbit tersebut menyatakan bahwa: “[…] much curriculum policy, such as the strong emphasis on curriculum differentiation with its basis in predicting the probable destination of children as to their adult lives, rests squarely on education as preparation. If education is for what lies ahead, then it becomes of utmost importance to state with reasonable accuracy what that future.” (Kliebard, 2004: 39) Pertanyaannya adalah: masyarakat seperti apa yang dituju atau warga seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat yang dicita-citakan tersebut? Di sinilah ideologisasi dan hegemoni berlangsung dalam institusi sekolah. Globalisasi, neo-liberalisme, dan kapitalisme sebagai sebuah narasi besar dunia tentu adalah salah satu—atau bahkan yang utama dan mengambil peran paling banyak—yang mengehegemoni dunia pendidikan persekolahan sekarang ini. Tujuannya adalah: melalui sekolah tersebut akan dapat dicetak warga masyarakat—yang terlebih dahulu ditundukkan 4
secara ideologis—dengan tujuan memperkuat tatanan masyarakat modernis-kapitalis (lihat Apple, 2004 dan Torres, 2009). Pada domain afektif (kepribadian dan akhlak mulia) persoalan klasik yang juga merupakan kritik terhadap pembelajaran agama, moral, Pancasila, dan kewarganegaraan di sekolah adalah: sekadar tekstual, dan justru cenderung mengasah kognitif, bukan afektif. Ketika kepribadian yang diinginkan seperti empati, simpati, toleransi, egaliter, kejujuran, keadilan, dan lainnya, ternyata hal itu sekadar menjadi perbincangan di kelas yang nanti penilaiannya adalah dengan test di atas kertas ujian akhir semester. Seakan masalah kepribadian dan akhlak mulia itu dapat direduksi sebagai sebuah perilaku yang tampak mata saja, dapat dipahami dan dinilai sebagai sesuatu yang material dan empiris belaka, hingga akhirnya dapat dinilai dan diukur dengan test atau ujian. Pun ketika dimaknai sebagai pemahaman dan keyakinan dalam ranah kognitif, maka ia dengan cukup dinilai melalui ujian tulis di atas kertas tersebut. Tidak dipahami bahwa domain/ranah afektif juga berdimensi spiritual dan mental. Padahal sebenarnya hal yang paling hakiki dari kepribadian dan akhlak mulia yang tampak adalah pemahaman dan keyakinan akan kejujuran, kebaikan, empati dan lainnya tersebut, dan hal itu tidak cukup dinilai melalui ujian kognitif, apalagi sekadar penampakan empiris. Kalau sekadar doktrin keagamaan tentu dapat saja menggunakan pendekatan indoktrinasi dengan hafalan surat dan ayat-ayat al-Quran, hadits, dan lainnya. Namun internalisasi nilai-nilai kepribadian dan akhlak mulia yang juga terdapat dalam ayat-ayat tersebut tentu tidak dapat dilihat dari hafalnya seorang siswa atas ayat-ayat tersebut, juga tidak sebatas dapat dilihat dari perilaku mereka ketika di sekolah saja, karena boleh jadi ia sekadar mencuri hati saja. Ketika tujuan utamanya adalah pembentukan kepribadian dan akhlak mulia yang tidak hanya bersumber dari doktrin keagamaan saja, maka agaknya akan lebih mudah terbangun ketika terdapat kultur dan keteladanan di sekolah. Kultur dan keteladanan inilah yang kurang di sekolah dasar dan menengah pertama. Hal itu wajar terjadi sebenarnya karena jarang terdapat kesadaran dan pemahaman bahwa kultur dan keteladanan—sebagai sebuah hidden curriculum—justru memiliki andil cukup besar dalam membentuk kepribadian siswa/anak ketimbang materi-materi tekstual (lihat Jackson dalam Apple, 2004: 78). Dengan penilaian atas “capaian” kepribadian dan akhlak mulia melalui test kognitif tersebut jelas bertentangan dengan tujuan untuk membentuk siswa/anak yang berkepribadian dan berakhlak mulia. Hal tersebut juga cukup wajar terjadi karena dalam praksis pendidikan dasar sekarang agaknya memang tidak sungguh-sungguh ditujukan untuk mencapai tujuan siswa yang berkepribadian dan berakhlak mulia tersebut, namun sekadar memenuhi tuntutan kurikulum yang ujung-ujungnya mesti dinilai secara objektif—di atas kertas. Sedangkan pada ranah psikomotorik, yakni pendidikan dasar bertujuan untuk “memberikan dasar keterampilan untuk hidup mandiri” agaknya juga cukup bermasalah secara konseptual dan praksisnya. Hal itu karena agaknya juga tidak relevan dan sesuai anak/siswa sekolah dasar dan menengah dituntut untuk hidup mandiri, walaupun dalam kondisi yang menuntut seorang siswa harus “mandiri” karena masalah ekonomi misalnya. Pertanyaannya adalah: mandiri seperti apakah yang dimaksud dalam teks tersebut? Anggapan bahwa “mandiri” tidak relevan diberikan pada anak usia pendidikan dasar—terutama sekolah dasar—dalam tulisan ini bukan berarti menafikan perlunya “mandiri” dalam hal dan konteks serta level tertentu, seperti siswa pada sekolah menengah atas dan perguruan tinggi misalnya. Ketidaksesuaian kemandirian dalam hal ini adalah ketika melihat usia perkembangan psikologis dan sosiologis si anak/siswa tersebut dalam lingkungan yang riil. Pada lingkungan sosial-kultural riil tempat anak/siswa tersebut lahir, tumbuh, bermain, dan besar yang dibutuhkan tentu adalah pemahaman tentang kebersamaan, bukan kemandirian. Kalau jawaban atas definisi kemandirian tersebut merupakan kemampuan untuk berbuat dan bersikap atas sesuatu secara mandiri, maka patut dipertanyakan lagi: apakah perbuatan yang mandiri tersebut dilandasi oleh sebuah kesadaran kontekstual, yakni kesadaran bahwa diri si 5
anak/siswa tersebut berada dalam lingkungan sosial-kultural masyarakat? Kalau kemandirian tersebut sekadar berdimensi teknis tentu tidak menjadi masalah, namun ketika kemandirian tersebut adalah dalam pengertian mengambil jarak dengan lingkungan sosial, ini yang bermasalah. Hal ini patut diwaspadai karena teks tersebut berbunyi “memberikan dasar keterampilan untuk hidup mandiri,” dengan kata “keterampilan” sebelum frase “hidup mandiri”, maka makna yang terkandung di dalam teks tersebut adalah “mandiri dalam bekerja”. Dan frase ini sangat bernuansa neoliberal. Ketika dibenturkan dengan realitas sosial dan tahap perkembangan anak usia sekolah dasar, tentu tujuan psikomotorik tersebut sangat tidak sesuai, karena anak usia sekolah dasar bukanlah usia kerja yang membutuhkan “keterampilan untuk hidup mandiri”. Sekali lagi dilihat dari sisi ideologis, frase “keterampilan untuk hidup mandiri” tersebut merujuk pada dunia kerja, lagi-lagi—sebagaimana di depan—anak/siswa sejak dini dipersiapkan untuk menjadi tenaga kerja dengan “keterampilan untuk hidup mandiri” tersebut. Jadi, kalau mendasarkan pada teks tersebut, orientasi dan fokus pendidikan dasar sudah bukan pada peletak dasar pengetahuan, atau pembangkit minat dan rasa ingin tahu siswa, melainkan adalah pendidikan untuk membekali keterampilan bekerja. Kembali ditekankan di sini bahwa frase “keterampilan untuk hidup mandiri” tersebut dengan sendirinya menunjukkan bahwa kata “kemandirian” adalah kemandirin bekerja karena dikuatkan dengan kata “keterampilan” sebelumnya. Dan “kemandirian” tersebut dalam penelusuran etimologis dan ideologis akan dekat dengan maksud kata “individualisme” dan “kompetisi”, sedangkan kata “keterampilan” adalah satu makna dengan “kompetensi”. Hal itu karena kemandirian merupakan satu bentuk kemampuan individu yang dalam dunia kerja sangat diperlukan, apalagi ketika bersaing atau berkompetisi dengan individu-individu lainnya dalam meraih sukses. Baik “kemandirian,” “individualism,” maupun “kompetisi” sama-sama menekankan pada individu, diri, dengan menjadikan yang lain sebagai pesaing atau kompetitor dalam menggapai satu tujuan. Secara ideologis, mekanisme dan nalar ini adalah nalar dalam tatanan masyarakat modernis-kapitalis, yakni di mana semua orang dianggap sebagai individu yang mesti mandiri dan saling berkompetisi untuk mendapatkan tujuan hidupnya dengan landasan filsafat liberalisme dan ideologi ekonomi-politik neoliberal. Hal ini senada dengan pernyataan Chua Beng Huat (2009) bahwa, “Competition is an essential process in capitalism, [and] a concept of the ‘individual’ is essential to the process of competition”. Kata “kompetensi” pun terang menunjukkan terminologi modernis dan dunia kerja, yakni sebagai kata yang dimaknai keterampilan atau kemampuan yang terukur dan dapat dilihat secara inderawi (observable, measurable). Kata “kompetensi” inilah juga yang mesti dikritik dari tujuan pendidikan dasar tersebut, yakni sebagaimana teks Peraturan Pemerintah RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 21 ayat (1) berbunyi “Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan kecerdasan…”. Sebagaimana dalam kurikulum yang sudah dianggap sebagai commonsense, yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (competencybased curriculum), “kompetensi” menjadi kata kunci dan fokus dalam kurikulum, demikian juga dalam Standar Pendidikan Nasional, termasuk dalam tujuan pendidikan dasar tersebut, tujuan dan capaian-capaiannya ditunjukkan dan diidentifikasi sebagai “kompetensi”. Sekali lagi, kompetensi sebenarnya merupakan istilah teknis dan ditujukan untuk menyebut hal-hal yang bersifat teknis. Dalam tujuan pendidikan dasar ranah kognitif, afektif, dan terutama psikomotorik tersebut jelas bahwa yang dimaksud dengan tujuan-tujuan tersebut adalah tujuan teknis ketika kata “kompetensi” mengawalinya. Tujuan teknis tersebut tentu tidak terlalu relevan dan sesuai dengan perkembangan anak usia pendidikan dasar yang sedianya tidak untuk menguasai kompetensi teknis dan praktis, melainkan lebih dekat pada upaya: (1) membuka minat, potensi diri, dan rasa ingin tahu; (2) melandasi kemampuan nalar kritis, kreatif, dan inovatif— tentu terlebih dulu didasari oleh kemampuan baca, tulis, dan hitung; (3) membentuk kepribadian dan karakter (termasuk akhlak mulia dan perilaku di dalamnya); (4) mengoptimalkan 6
pertumbuhan kognitif, afektif, dan psikomotorik; dan terutama adalah (5) menyadarkan dan memahamkan identitas dan posisi diri si anak/siswa dalam lingkungan sosial-kulturalnya sendiri. Dengan demikian, secara garis besar, walaupun tidak semua tujuan teknis dan praktis, atau tidak semuanya dapat dibuktikan secara jelas hegemoni dan ideologisasi tatanan moderniskapitalis-neoliberal dalam tujuan pendidikan dasar tersebut, namun yang terpenting adalah tercerabutnya siswa/anak dari konteks sosial-kulturalnya dan tidak dipahaminya anak dari perspektif si anak itu sendiri dengan menjadikannya sebagai subjek yang diakui adalah masalah besar! Jika ditelisik lebih lanjut tentu dapat saja kita akan temukan—misalnya—konflik ilmu pengetahuan dan kuasa dalam bentuk superioritas disiplin ilmu, marjinalisasi ilmu dan pemahaman dari khasanah budaya lokal, dan sejenisnya. Namun dalam tulisan ini lebih difokuskan pada apa “makna” di balik praksis pendidikan dasar—yang merujuk pada teks PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan—tersebut. Siswa/Anak sebagai Subjek yang Diakui Setelah melihat pada kritik ideologi di balik teks dan praksis pendidikan dasar, maka formulasi yang perlu diajukan di sini dititikberatkan pada subjek utama pendidikan dasar itu sendiri, yakni anak/siswa usia pendidikan dasar. Tidak dititikberatkan pada cita-cita ideal sebagai warga masyarakat dalam tatanan masyarakat modernis yang justru menggelincirkan tujuan pendidikan dasar—sebagaimana dibahas sebelumnya. Ketika pendidikan dan proses pembelajaran ditujukan untuk anak/siswa, maka subjek utamanya adalah anak/siswa itu sendiri, bukan guru, buku teks, fasilitas lainnya, ataupun lingkungan sekitarnya. Di sinilah pendidikan dan pembelajaran apapun itu—dalam hal ini adalah pendidikan dasar—mesti menjadikan anak/siswa sebagai subjek utama yang diakui dan dihargai. Dengan demikian tujuan pendidikan mesti melihat anak/siswa sebagai acuan utama, sekali lagi bukan cita-cita manusia dan masyarakat ideal apapun itu. Salah satu yang harus menjadi pertimbangan adalah perspektif si anak/siswa itu sendiri terhadap diri dan lingkungannya sendiri, ini adalah bentuk utama dalam pengakuan si anak/siswa sebagai subjek yang juga harus dihargai. Upaya “menghidupkan” kembali subjek ini, karena sebelumnya anak/siswa lebih banyak dilihat sebagai objek, tidak terutama mendasarkan pada semangat subjek dalam pengertian individu (individualisme) dalam semangat Pencerahan (Renaissance), melainkan dalam pengertian Marxian dan/atau post-Marxian, yakni subjek yang sadar, diakui, hingga memungkinkan untuk membuat perubahan sosial-kultural-politik-ekonomi (nantinya). Atau penggabungan “hati-hati” antara post-Modernisme dan diskursus kritis seperti dilakukan Giroux (1997). Bukan subjek individualis yang didorong melalui mekanisme kompetisi, persaingan, capaian target, kesuksesan, dan sejenisnya yang justru “subjek” individualis tersebut kehilangan otentisitas dirinya. Penghidupan subjek ini juga sebentuk perlawanan atas nuansa postModernisme yang seakan-akan “membunuh subjek” dengan anggapan tidak adanya kemungkinan subjek untuk bisa melawan modernitas (lebih lanjut mengenai pengertian subjek dalam postMarxisme dan post-Modernisme dapat dibaca pada Hawkes [2003], Goldstein [2006]). Dengan demikian tujuan dan materi pelajaran—yang ada dalam kurikulum—untuk mereka pertama mesti mendasarkan pada kesesuaian tahap perkembangan intelektual, psikologis, dan sosiologis si anak/siswa tersebut. Dan tahap perkembangan tersebut bukan perkembangan yang sama dan seragam, tapi beragam. Dengan demikian pendidikan dan pembelajaran yang diberikan tidak sarat materi, melainkan lebih “ringan” sesuai usia kehidupan anak-anak. Pendekatan pembelajaran mestinya juga lebih menyenangkan anak/siswa, baik secara kontekstual, dengan simulasi, atau problem solving dapat merangsang rasa ingin tahu si anak/siswa lebih lanjut. Bukan pembelajaran—sebagaimana dikemukakan sebelumnya—yang lepas dari konteks sosial, dengan terkooptasi dan fokus pada teks dan kurikulum resmi saja, hingga akhirnya gagal menumbuhkan rasa ingin tahu siswa. Pembelajaran yang dapat memupuk fondasi atau dasar nalar kritis, kreatif, dan inovasi anak/siswa agaknya bukanlah pembelajaran yang terpacu pada target-target 7
superfisial, formalitas, dan dangkal sebagaimana ditunjukkan dalam standar kompetensikompetensi pendidikan dasar tersebut. Namun pembelajaran yang lebih menekankan pada proses yang betul-betul konsentrasi pada pembentukan karakter, kepribadian; betul-betul memperhatikan dan membuka minat, rasa ingin tahu. Bagi anak/siswa di desa mislanya, materi membaca, menulis, dan berhitung misalnya, tidak perlu muluk-muluk dengan materi yang mengaitkan dengan dunia kerja, tentang perkotaan, tentang liburan, dan sejenisnya, ketika ternyata anak/siswa tersebut hidup dan besar di desa. Materi membaca, menulis, dan berhitung yang rumit-rumit pun akan kontraproduktif dengan masa perkembangan anak usia sekolah dasar tersebut. Materi pelajaran yang rumit, muluk-muluk, dan jauh dari kehidupan mereka sebagai anak-anak adalah sebentuk pemaksaan kehendak dan peningkaran atas fitrah mereka sebagai anak. Anak-anak dengan dunianya (childhood) adalah anak-anak itu sendiri, bukan replika orang dewasa dalam tubuh mungil mereka. Sebagaimana kata Piaget (dalam Smith, 2006: 71) bahwa pendidikan baginya bukan untuk membimbing anak menyerupai orang dewasa, melainkan untuk “menghasilkan pencipta”. Praksis pendidikan dasar yang berlangsung sekarang, agaknya lebih melihat anak/siswa dan dunianya dari perspektif orang dewasa, bukan melihat dari perspektif anak/siswa itu sendiri, pun tidak melihat anak/siswa sebagai sebuah keutuhan. Di sinilah, dalam pendekatan pendidikan kritis (critical pedagogy) seperti yang dilakukan Paulo Freire (dalam Apple et al, 2006: 237-238) misalnya, menjadikan subjek pendidikan—dalam hal ini adalah si anak/siswa tersebut—sebagai titik tolak atau awal proses pendidikan dimulai. Jadi, pengetahuan awal anak dan pemahaman mereka atas diri dan dunia mereka, menjadi bahan pertimbangan dan bahkan materi pelajaran untuk membuka pemahaman mereka pada hal-hal lain. Jika ditarik dalam konteks bahasan pendidikan dasar dalam tulisan ini, maka pendekatan yang lebih akomodatif pada berbagai jenis gaya belajar, potensi, dan minat anak/siswa agaknya merupakan keniscayaan yang tidak dapat diabaikan dalam perbaikan praksis pendidikan dasar. Dan hal tersebut, sebagaimana pendekatan yang lebih menekankan pada proses dan anak/siswa dalam pendidikan kritis memang membutuhkan sebuah kelonggaran dan kebebasan, atau katakanlah “kemerdekaan” dari target-target dan hasil berupa kompetensi teknis-praktis sebagaimana dalam PP No. 19/2005 pasal 26 ayat (1) tersebut. Inti dari upaya menjadikan anak/siswa sebagai subjek yang diakui dan dihargai dalam tujuan pendidikan dasar ini adalah: (1) memahami, memperlakukan, membelajarkan, dan mendidik anak/siswa pendidikan dasar sesuai dengan hakikat mereka sebagai anak/siswa secara utuh; dengan demikian juga harus (2) memperhatikan, membaca, mendengarkan, mempertimbangkan dan mengakomodasi pemahaman anak/siswa terhadap diri mereka dan dunia mereka sebagai titik tolak dan bahan pelajaran. Pelajaran dan pendidikan yang tidak sesuai atau relevan dengan anak/siswa dan dunianya adalah pendidikan yang tidak bermakna (meaningless), dan hal itu tentu sia-sia (mubazir). Membangun Identitas Diri dan Sosial-Kultural Dari fenomena tercerabutnya anak/siswa dari dunia sekitarnya, dari konteks lingkungan sosialkulturalnya karena kurikulum yang didominasi pengasahan ranah kognitif dan tidak memandang anak/siswa sebagai anak/siswa itu sendiri, maka formulasi pemecahan masalahnya adalah dengan membangun kesadaran identitas diri anak/siswa tersebut secara kontekstual. Di sinilah pembelajaran dan materi pelajaran yang diberikan kepada siswa harus selalu dikaitkan dengan realitas empiris atau konteks sosial-kultural di mana anak/siswa tersebut berada. Hal ini sesuai dengan kebutuhan masa perkembangan psikologis, sosial, dan intelektual si anak/siswa itu sendiri pada masa pendidikan dasar, yakni mereka membutuhkan penegasan mengenai identitas diri mereka sendiri: siapakah mereka? Berada di mana? Bersama siapa sajakah? Apakah kebudayaan mereka? Apakah nilai-nilai luhur kebudayaan mereka? Adakah kebudayaan yang lain? Bagaimana kondisi ekonomi mereka? Bagaimana lingkungan sosial-kultural mereka? 8
Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya akan menguatkan kesadaran si anak/siswa akan diri dan lingkungan kehidupannya. Dalam lingkup yang lebih personal di antaranya adalah: menyadari identitas diri si anak/siswa sebagai berjenis kelamin lakilaki atau perempuan, sebagai anak dari keluarga mampu secara ekonomi atau tidak, sebagai anak yang memiliki potensi kemampuan intelektual dalam dalam ranah seni, bahasa, matematika, olah raga atau lainnya. Kali pertama memang lebih relevan ketika dibangun kesadaran identitas secara personal ini, baru kemudian meluas bersinggungan dengan realitas sosial-kultural lingkungan sekitarnya. Membangun dan menguatkan kesadaran akan identitas diri dan sosial-kultural si anak/siswa tersebut sangat penting dalam tahap-tahap awal mereka belajar, sebelum mereka belajar hal lain yang tanpa kesadaran akan identitas diri dan sosial-kultural tersebut, maka si anak/siswa tersebut akan kehilangan identitas diri, jati diri, tujuan belajar, dan bahkan tujuan hidup. Ketika sudah pada kondisi nir-kesadaran itulah si anak/siswa akan mudah untuk diindoktrinasi dengan keyakinan ideologis atau kepentingan politis tertentu yang selalu bermain di balik teks kebijakan pendidikan dan terutama hidden curriculum di sekolah-sekolah. Dengan demikian, pembangunan dan penguatan kesadaran akan identitas diri dan sosial-kultural si anka/siswa ini adalah sebentuk pendidikan kritis, dengan tujuan utama membangun kesadaran kritis (critical consciousness). Kesadaran kritis ini diperlukan sebagai upaya untuk terus sadar terhadap berbagai upaya dominasi, hegemoni, dan ideologisasi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu sebagaimana dikemukakan di atas, yakni ideologisasi untuk menerima dan menguatkan tatanan masyarakat modernis-kapitalis-neoliberal. Jika kembali melihat pada praksis pendidikan dasar kita yang tidak banyak bersinggungan dengan lingkungan sekitar (kalaupun ada adalah sekadar formalitas dan sangat minim intensitasnya), juga tidak banyak membahas dan menginternalisasi tata nilai kearifan lokal lingkungan di mana sekolah tersebut berada, adalah indikasi upaya untuk melemahkan kesadaran akan identitas diri dan sosial-kultural anak/siswa dengan mencerabut mereka dari bahasan dan singgungan dengan realitas sosial-kultural dan kehidupan sehari-hari siswa. Hal tersebut dikuatkan dengan lebih banyak membahas tentang dunia antar berantah (kotakota gemerlap, keluarga ideal, kantor, jalan-jalan, liburan, pantai dan lainnya), penetrasi bahasa Inggris, dan materi yang sarat, rumit, dan berat. Materi dan bahasan yang dihadirkan untuk membangun kesadaran identitas—selain dengan menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan fundamental yang sebagian disampaikan di depan—adalah dengan membahas hal yang riil terjadi di lingkungan anak/siswa tersebut berada: (1) kalau di desa misalnya tentang harga-harga sayuran dan hasil pertanian yang naik, harga pupuk yang tinggi, upaya pembuatan pupuk organik, pasar tradisional, transportasi yang susah, aktivitas keagamaan dan adat, dan lainnya; (2) kalau di kota misalnya tentang masalah polusi, macet, banjir, mall, budaya urban, fashion, dan lainnya. Pendekatan yang lebih intens dalam membahas hal-hal yang riil dan empiris terjadi di sekitar sekolah tersebut dapat dilakukan antara lain dengan membaca dan menulis berkaitan dengan realitas tersebut, melakukan aktivitas sosial di masyarakat dan sejenisnya. Pendekatan pembelajarannya tentu lebih banyak yang membangun rasa ingin tahu, nalar kritis, kreativitas, dan inovasi anak/siswa, dimulai dari lingkungan sosialkulturalnya sendiri sampai pada hal-hal lain yang lebih kompleks nantinya. Mereka belajar membaca dan menulis tidak sekadar dalam rangka sebagai landasan dasar intelektual saja, melainkan juga berguna dalam kehidupan sosial-kultural si anak/siswa, tentunya dalam bentuk aktivitas membaca dan menulis yang sederhana seusia mereka. Dalam mengenal identitas sosial-kulturalnya, maka yang mesti dibaca adalah khasanah kearifan lokal, karya-karya sastra lokal, dan setelah itu nasional, bukan dan tidak terlebih dahulu karya-karya dunia. Hal ini diperlukan untuk menjadikan diri siswa memiliki kesadaran identitas sosial-kultural yang kuat. Baru setelah itu, dengan beragam pendekatan yang mampu menumbuhkan rasa ingin tahu dan minat, anak/siswa boleh membaca karya-karya kelas dunia. Aktivitas berhitung pun demikian, 9
janganlah anak/siswa dibebani dengan beragam macam dan teknis matematika—yang seringkali rumit dan tingkat pendidikan di atasnya–yang tidak berhubungan dengan realitas kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian, kurikulum dan materi yang diberikan betul-betul bermakna bagi anak/siswa. Di sisi lain, memberikan semua materi yang level lanjut terlalu dini juga akan menumpulakn rasa ingin tahu, ya karena sudah diberikan semuanya, lalu apa lagi? Selain mendasarkan pada paradigma pendidikan kritis yang selalu melibatkan diri dalam praksis politik dan kebudayaan, formula membangun kesadaran identitas diri dan lingkungan anak/siswa ini juga mendasarkan pada gagasan John Dewey dalam “My Pedagogic Creed” yang dikutip oleh Kliebard (2004: 39) bahwa pendidikan adalah, “[…] a process of living and not preparation for further living.” Hal itu karena realitas pendidikan—termasuk persekolahan— berada pada lingkungan sosial-kultural tertentu, dan baik si anak/siswa tidak dapat menunggu hingga lulus, baru setelah itu berbuat untuk diri dan lingkungannya. Sekolah bukan menara gading, bukan pula pabrik. Sekolah—termasuk semua komponen di dalamnya—mau tidak mau harus terlibat dalam kehidupan sosial-kultural di sekitarnya, dan itu artinya tidak menunda berpartisipasi dalam aktivis sosial-kultural masyarakat sekitar sekolah, karena perubahan dan masalah sosial yang ditimbulkannya tidak dapat ditunda—sampai si anak/siswa lulus. Setidaknya dua formulasi inilah (menjadikan anak/siswa sebagai subjek yang diakui dan membangun kesadaran identitas diri dan lingkungan sosia-kulturalnya) yang relatif relevan dan sesuai dengan dengan diri si anak/siswa itu sendiri yang hidup dalam lingkungan sosial-kultural tertentu. Dua formulasi ini diharapkan dapat menjadi koreksi atas ketidaktepatan, ketidakrelevanan, dan ketidaksesuaian tujuan dan praksis pendidikan dasar di Indonesia sekarang ini. Di samping itu juga diharapkan dapat menjadi counter discourse dan counter hegemony atas diskursus dan hegemoni modernitas-kapitalis-neoliberal dalam pendidikan. Upaya untuk mengganti ideologi yang beroperasi di balik kebijakan pendidikan, terutama standar pendidikan nasional di mana tujuan pendidikan dasar di Indonesia ditentukan dan tunjukkan dengan capaian dan target-target kompetensi memang tidak mudah. Hal itu karena tidak hanya soal mekanisme penggantian istilah, kata, kalimat, perubahan peraturan pemerintah, uji materiil, dan lainnya. Lebih dari itu ini adalah masalah ideologi yang tidak semua orang sadar dan mau memperbincangkannya secara serius. Pendidikan Dasar yang Bermakna Nah, terlepas dari bahasan “kritik ideologi” di depan, pendidikan yang mempertimbangkan diri anak/siswa sebagai subjek yang diakui seutuhnya dan juga membangun kesadaran akan identitas diri dan sosial-kulturalnya tersebut adalah pendidikan yang tidak saja humanis dan kontekstual, namun juga merupakan pendidikan dan pembelajaran yang bermakna (meaningful learning). Pendidikan yang bermakna dalam konteks pendidikan dasar pada tulisan ini adalah pendidikan yang betul-betul bermakna atau memberikan makna pada si anak/siswa. Jadi, kurikulum dan materi pelajaran yang diberikan tidak mubazir sebagai sesuatu yang mengawang-awang, melainkan betul-betul bermanfaat bagi si anak/siswa dalam masa perkembangan psikologis, sosiologis, dan intelektual mereka di lingkungan mereka sendiri. “Bermakna” bagi kehidupan keseharian si anak/siswa tersebut bukan berarti memberikan materi atau pelajaran yang sekadar teknis dan praktis saja, namun memberikan pelajaran yang sesuai dengan usia anak/siswa dan relevan dengan dengan lingkungan kehidupan mereka. Dengan demikian justru bukan kemampuan teknis dan praktis yang diberikan, melainkan kemampuan dasar yang lebih substansial untuk dapat mendorong rasa ingin tahu, membuka minat dan potensi, serta mengasah nalar kritis, kreativitas, dan inovasi anak/siswa. Hal-hal yang sederhana dan tidak rumit—dalam membaca, menulis, dan berhitung misalnya—tidak dapat diartikan sebagai hal-hal teknis dan praktis, karena hal yang sederhana tersebut diberikan pengertian secara substansial dan pendekatan yang mampu merangsang minat belajar lebih lanjut. Hal tersebut berbeda ketika materi atau pelajaran yang diberikan lebih bersifat teknis dan praktis belaka, maka tidak akan 10
mampu mendorong dan merangsang anak/siswa untuk berminat dan mencari lebih jauh lagi. Pelajaran teknis tersebut tidak akan membawa anak/siswa ke mana-mana, jadi ya terbatas pada teknik praktis tersebut saja. Dengan kata lain: menumpulkan hasrat ingin tahu lebih lanjut. Satu kemampuan yang mesti dimiliki dan diajarkan pada anak/siswa sejak dini dalam pembelajaran dan pendidikan bermakna adalah kemampuan untuk belajar bagaimana belajar (learning how to learn). Dengan kemampuan tersebut, juga bekal motivasi dan minat serta hasrat ingin tahu yang tinggi, maka anak/siswa tersebut ketika pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, atau berpindah pada konteks sosial-kultural yang berbeda, mereka akan mudah menyesuaikan diri dan belajar hal yang baru secara cepat. Hal tersebut tentu berbeda ketika misalnya si anak/siswa sebelumnya diberikan kemampuan teknis saja, maka ia akan kesulitan dan tidak dapat mengembangkan minatnya secara lebih luas. Pada akhirnya, kalau memang berniat untuk membenahi karut marut pendidikan dasar kita yang berada dalam hegemoni modernitas-kapitalis-neoliberal, maka semua perubahan orientasi yang terformulasikan dalam dua solusi utama di sini, yakni menjadikan siswa sebagai subjek yang diakui dan membangun kesadaran identitas diri dan sosial-kulturalnya, mesti dilakukan. Paling mendasar dan berat tentu adalah perubahan orientasi ideologis tujuan pendidikan dasar kita, yakni perubahan dari orientasi hasil, target, dengan ukuran dan penilaian yang jelas dalam bentuk kompetensi teknis dan praktis, menuju berorientasi pada proses, lebih substansial, sesuai dengan usia perkembangan psikologis, sosial, dan intelektual si anak/siswa, relevan dengan kebutuhan dan realitas kehidupan yang dialami si anak/siswa tersebut, dan bermakna. Pertanyaannya adalah: bagaimanakah memulainya ketika tidak hanya pemerrintah, tapi juga anak/siswa dan masyarakat sudah nyaman dengan kondisi pendidikan dasar sekarang dan menggagapnya tidak ada masalah? [] Referensi Apple, Michael W, Luís Armando Gandin, dan Álvaro Moreira Hypolito. 2006. “Paulo Freire, 1921—1997” dalam Joy A. Palmer, Fifty Modern Thinkers on Education: 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern. Terj. Farid Assifa. Yogyakarta: IRCiSoD. Apple, Michael W. 2004. Ideology and Curriculum, 3rd Edition. New York & London: RoutledgeFalmer. Giroux, Henry. 1997. Pedagogy and the Politics of Hope: Theory, Culture, and Schooling. Colorado, U.S.A.: Westview Press. Goldstein, Philip. 2005. Post-Marxist Theory: An Introduction. New York: State University of New York Press, 2005. Hawkes, David. 2003. Ideology. 2nd Edition. New York & London: Routledge. Huat, Chua Beng. 2009. Disrupting Liberalism in East Asia. Presentasi disampaikan dalam “The First International Graduate Student Conference in Indonesia” di Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM), 1—2 Desember. Yogyakarta: tidak diterbitkan. Kliebard, Herbert M. 2004. “The Rise of Scientific Curriculum-Making and its Aftermatch” dalam David J. Flinders dan Stephen J. Thornton (eds.), Curriculum Studies Readers, 2nd Edition. NewYork & London: RoutledgeFalmer. Phopam, W. James. 2004. “Objectives” dalam David J. Flinders dan Stephen J. Thornton (eds.), Curriculum Studies Readers, 2nd Edition. NewYork & London: RoutledgeFalmer. Smith, leslie. 2006. “Jean Piaget, 1896—1980” dalam dalam Joy A. Palmer, Fifty Modern Thinkers on Education: 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern. Terj. Farid Assifa. Yogyakarta: IRCiSoD. Torres, Carlos Alberto. 2009. Education and Neoliberal Globalization. New York & London: Routledge. 11