PEMETAAN PERSPEKTIF ‘SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL’ DAN KONSEPTUALISASI PENDIDIKAN BERMUTU UNTUK MASA DEPAN1 Tatang Suratno2
Abstrak Kebijakan tentang Sekolah Bertaraf Internasional dan pendidikan bermutu memerlukan perspektif yang tepat agar tidak menghasilkan disorientasi. Makalah ini mencoba mengkaji konsep SBI dari tiga perspektif dan memosisikan SBI sebagai ways of thinking. Selain itu diidentifikasi juga beberapa perubahan sosio-pendidikan dan relevansinya terhadap konseptualisasi pengajaran dan pendidikan untuk generasi masa depan. Analisis ini merubah secara radikal bentuk sekolah, kurikulum, peran guru dan peserta didik. Refleksi terhadap isu terkini dan prediksi masa depan disajikan untuk menstimulasi pemikiran bagaimana membentuk system pendidikan bermutu untuk generasi masa depan bangsa. Kata kunci: SBI, tren pendidikan/sekolah masa depan
A. Pendahuluan Pelaksanaan awal Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) menyisakan kebingungan dan disorientasi di kalangan pendidik dan masyarakat. Kenyataan ini dapat dijelaskan dari perspektif international education dan sosiologi pendidikan yang menjelaskan status dan arah pendidikan persekolahan kita di era global. Pembahasan ini dapat memandu kita untuk memosisikan bagaimana konteks dari SBI dan apa hakikat dari SBI dari pandangan ideologis-empiris.
1
Makalah disajikan dalam Seminar Internasional Membangun Pendidikan Berkualitas:’Mengembangkan Pendidikan Unggul dan Bertaraf Internasional’. PGSD Bumi Siliwangi, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Balai Pertemuan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung 25 Januari 2009. 2 Dosen Universitas Pendidikan Indonesia. Korespondensi:
[email protected] ts0108
1
Mengantisipasi
terhadap
disorientasi
tersebut,
diperlukan
upaya
mengkonseptualisasikan pendidikan/sekolah untuk generasi era paruh kedua abad 21. Upaya tersebut dapat diarahkan dengan cara mengidentifikasi perubahan sosial pendidikan
yang
terjadi
selama
ini
dan
bagaimana
keterkaitannya
untuk
mengkonseptualisasi pendidikan di masa depan. Analisis tersebut mendasari apa rasional dari pendidikan masa depan, perubahan apa saja dari segi peran guru, peserta didik dan kurikulum dan bagaimana mengelola masa transisi ini agar dapat mengarahkan situasi pendidikan kini ke masa depan. Mungkin sebagian besar dari pertanyaan yang diajukan belum tersedia jawabannya secara pasti. Namun demikian, pertanyaan-reflektif tersebut diperlukan untuk menstimulasi pemikiran tentang bagaimana menciptakan sistem pendidikan untuk generasi masa depan. Refleksi ini pada akhirnya kembali mempertanyakan relevansi dari konsep SBI dan bagaiamana membangun konsep, sistem dan aplikasi sekolah yang unggul untuk generasi penerus bangsa yang mengisi peradaban global.
B. Tiga Perspektif ’Internasional’: Memaknai SBI dan Implikasinya Globalisasi mendasari berkembangnya istilah internasional yang kini telah melekat pada berbagai aspek jasa dan produk. hotel internasional, rumah sakit internasionl dan kini sekolah internasional merupakan contoh yang terikat fatamorgana dari istilah tersebut. Tak heran bila dalam sistem pendidikan kita (lihat UU No. 20/2003 pasal 50 ayat 3; PP No. 19/2005 pasal 61 ayat 1) mensyaratkan pemerintah/pemda untuk mengembangkan suatu sekolah bertaraf internasional (SBI). Pada intinya, SBI memiliki karakteristik telah memenuhi standar nasional pendidikan (SNP), diperkaya melalui adaptasi maupun adopsi terhadap standar pendidikan negara anggota OECD maupun negara maju lainnya. Pada dasarnya, istilah ’bertaraf ’dari SBI itu sendiri sangat membingungkan. Apakah lebih dekat kepada istilah ’berstandar’ atau lebih ke istilah ’berwawasan’. Isu tersebut saya coba uraikan melalui pemahaman terhadap beberapa peristilahan dan implikasinya secara sosial (Suratno, 2008a; 2008b). Pertama, istilah sekolah internasional dimana sekolah jenis ini berlaku hanya untuk sekolah perwakilan negara tertentu. Contohnya adalah sekolah internasional Indonesia di Saudi Arabia maupun ts0108
2
sekolah resmi negara lain di Indonesia. Biasanya sekolah jenis ini menggunakan standar pendidikan negara masing-masing. Kedua, istilah sekolah berstandar internasional, yaitu sekolah yang menggunakan standar pendidikan dari badan tertentu, berlisensi dan dikenal secara internasional –misalnya Cambridge (CIE), International Baccalaurete (IB), Advance Placement (AP), dsb.. Contohnya adalah sekolah national plus yang kebanyakan menggunakan kurikulum IB. Ketiga, istilah sekolah berwawasan internasional, yaitu semua sekolah yang menjadikan internasionalisme/universalisme sebagai the way of thinking. Contohnya adalah semua sekolah dari negara manapun. Lantas dimana kedudukan sekolah bertaraf internasional? Pemahaman terhadap ketiga istilah tersebut perlu dimiliki baik oleh guru, pakar dan birokrat agar orientasi pendidikan sekolah kita tidak absurd. Sebagai contoh, dalam kunjungan ke sekolah yang ingin menjadi SBI, seorang guru pernah bertanya apa saja kriteria guru bertaraf internasional? Apakah ia layak sementara ia kurang begitu fasih berbahasa Inggris maupun menggunakan ICT? Pertanyaan mendasar dan dari situlah muncul guyonan SBI sebagai Sekolah Berbahasa Inggris atau Sekolah Berbasis ICT. Ketika saya coba memperhatikan cara guru tersebut mengajar, saya mengatakan bahwa ia sudah memiliki nilai dasar guru internasional karena memiliki intensi dan interaksi yang melibatkan siswa, suatu konsensus yang mendasari kualitas guru. Contoh lain adalah ketika berkunjung ke sekolah rintisan SBI dan pimpinan sekolah menyatakan bahwa kini beberapa ruangan sudah dilengkapi dengan AC, komputer dan LCD. Saya kira tidak hanya pimpinan sekolah tersebut, beberapa pejabat pendidikan pun seringkali memiliki konsepsi yang serupa ketika menjelaskan gambaran umum SBI. Sebuah pemahaman yang naif yang memunculkan istilah Sekolah Berfasilitas Istimewa. Memang, jika aspek penunjang tersebut tersedia merata tentunya menjadi harapan kita semua. Kebingunan tersebut semakin terlihat ketika sebagian besar SBI percontohan malah membeli lisensi standar pendidikan lembaga asing tertentu (Suratno 2008a; 2008b). Cukup besar memang untuk ukuran sekolah negeri. Pada awalnya, lembaga tersebut menyediakan guru khusus (baca: fasih berbahasa Inggris), tetapi kemudian sekolah mengembalikannya karena sebagian besar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya (mismatch). Bagaimana itu bisa terjadi? Selain itu, siswanya pun terikat untuk mengikuti sertifikasi yang dilakukan oleh lembaga tersebut, itu pun harus ts0108
3
membayar. Dalam hal ini, guru di SBI tersebut hanya mengajar untuk mempersiapkan mereka ujian sertifikasi. Esensi penilaian kelas yang dilakukan guru tidak bermakna lagi, mirip dengan kasus Ujian Nasional. Pelaksanaan SBI sejauh ini masih menarapkan model ’entry-exit’ di beberapa kelas bertaraf internasional (KBI) -untuk membedakannya dengan kelas reguler. Tetapi, saya melihat tidak ada perbedaan kualitas pengajaran diantara keduanya –hanya beda bahasa pengantar, itupun terbatas. Dalam perspektif sosiologi pendidikan, inilah yang mendasari terciptanya inequality dan inequity di dunia pendidikan (Suratno, 2008b). Selain mengikuti ujian sertifikasi, siswa SBI tetap harus mengejar standar isi nasional karena mereka pun harus ikut Ujian Nasional. Ini menjadikan beban belajar mereka menjadi lebih berat, walaupun memiliki fasilitas yang lebih. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa praktik SBI lebih dekat ke istilah sekolah berstandar internasional. Memang, lulusan SBI versi ini dapat melanjutkan kuliah ke luar negeri, tetapi seberapa banyak? Toh angkatan lama yang menggunakan standar nasional lama banyak yang bisa melanjutkan kuliah di luar negeri. Ini merupakan pertanda dimana kemandirian kita sebagai bangsa terhadap pembangunan pendidikan terancam. Dalam tataran ini, SBI bukanlah tiga guyonan SBI yang saya sebutkan sebelumnya. Ini lebih serius. Ketergantungan sekolah terhadap pihak asing menjadikan SBI menjadi medium dari School-Based Imperialism. Selain itu, dari perspektif sosiologi pendidikan, praktik SBI ini mengarah pada segmentasi layanan pendidikan (Suratno, 2008b). Beberapa SBI akhirnya memperoleh sumberdaya yang lebih, sementara kebanyakan sekolah lainnya tidak sampai memenuhi SNP sekalipun! Dimanakah nilai pemerataan dan keadilan yang menjadi ruh pendidikan internasional?
C. Sekolah Bertaraf Internasional: The Way of Thinking! Dalam suatu kesempatan, kolega saya dari Australia yang telah lama mengajar dan memimpin sekolah national plus di Jakarta menyatakan bahwa konsep dan praktik SBI dari pemerintah patut dipertanyakan. Dalam konteks sekolah national plus pun sebenarnya tidak menekankan pada aspek Bahasa Inggris, komputer dan hal lain yang ts0108
4
bersifat superfisial. Kolega lain dari New Zealand menyatakan bahwa sekolah-sekolah di Jepang memiliki kualitas terbaik di dunia, namun mereka tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar, bahkan mereka tidak menganggap mereka sebagai sekolah bertaraf internasional. Pada dasarnya, kedua kolega saya tersebut menekankan bahwa kualitas suatu sekolah didasarkan pada kualitas proses pengajaran dan pembelajarannya, ini menjadi konsensus internasional tentang sekolah. Kritik terhadap apa yang terjadi terhadap praktik SBI didasarkan pada prinsip pendidikan
internasional
(international
education).
Pada
dasarnya,
pendidikan
internasional merupakan ruh dari prinsip cara berpikir kita tentang pendidikan dan kehidupan. International education is the way of thinking (Hills, 2003 dalam Armunando, 2008). Sebagai contoh, jika kita merasa sakit akibat dicubit, maka hal yang sama akan dirasakan orang lain. Berdasarkan itu –ditambah pandangan dari UNESCO, maka pendidikan internasional mengedepankan nilai dan perspektif universal seperti kesatuan dalam keragaman, keadilan dan perdamaian, serta empati dan saling menghargai. Perspektif dan nilai-nilai tersebutlah yang mendasari hakikat pendidikan berwawasan internasional di sekolah. Saya lebih melihat SBI sebagai sekolah berwawasan internasional yang bertujuan menciptakan komunitas yang memiliki wawasan global yang berakar pada nilai-nilai lokal. Praktik SBI selama ini menjadikan sekolah dan peserta didik dihadapkan pada dua hal yang menjebak kreativitas: UN dan sertifikasi lembaga asing. Guru pada akhirnya menekankan pola drilling untuk memadatkan materi dari kedua kurikulum. Jika SBI sebagai the way of thingking yang dirujuk maka sekolah lebih memiliki ruang untuk mengembangkan pencapaian indikator kunci SBI -yakni standar nasional pendidikan. Hal ini lebih memudahkan fokus mereka dalam mengembangkan pendidikan berdasarkan nilai-nilai hakiki tersebut serta tidak disibukkan dengan urusan birokrasi baik dengan pemerintah maupun dengan badan yang mereka beli lisensinya. Selama ini, aktualisasi dari –misalnya- standar isi belum banyak dikembangkan. Melalui wawasan ini konsep adaptasi dan adopsi lebih terfasilitasi. Sekolah memiliki kemandirian, daripada harus terikat, sehingga sekolah dapat berkembang dan mengkaji standar kualitas dari negara maju yang umumnya justru lebih memberikan ruang kemandirian, pengembangan
ts0108
5
profesional guru dan peningkatan kualitas pengajaran dan pembelajaran (Suratno, 2008a; 2008b). Kiranya konsepsi dan praktik SBI perlu dipertimbangkan lagi dengan memandangnya sebagai the way of thinking (Helen, 2007). Disinilah kita dapat mengembangkan standar nilai dan norma internasionalisme yang dapat diberikan melalui sekolah. Kita sebaiknya memprioritaskan sebagian besar sekolah yang belum mencapai standar nasional pendidikan sehinga masyarakat memperoleh layanan pendidikan yang bermutu secara merata.
D. Beberapa Perubahan Besar: Peranan IPTEK Jika kita memandang SBI sebagai the way of thinking, maka terdapat beberapa hal berkenaan dengan pemaknaan terhadap beberapa perubahan besar baik di tingkat masyarakat maupun di tingkat peserta didik yang terjadi selama dasawarsa terakhir. Pemahaman terhadap perubahan tersebut mendasari refleksi kita terhadap praktik persekolahan selama ini serta stimulasi pemikiran mengenai sekolah seperti apa yang relevan untuk calon pemimpin di paruh kedua abad 21. Upaya ini sangat membantu memahami implikasi dan mengarahkan perubahan sebagai dasar konseptualisasi bentuk sekolah di masa kini dan masa depan. Era global ditandai dengan berbagai perubahan/tren di berbagai aspek kehidupan, Ini yang menjadikan satu-satunya ciri tetap dari era global adalah perubahan. Gejala dari perubahan tersebut dapat dilacak dari pertanyaan berikut: berapa banyak penemuan terutama di bidang teknologi selama dasa warsa terakhir? Bagaimana penemuanpenemuan tersebut telah mengubah hidup Anda? Sebagai contoh adalah fenomena telepon genggam (HP). Kita dapat menelusuri perubahan fungsional dari sekedar alat bertelepon hingga alat pengirim pesan (SMS) dan kini diperkaya dengan berbagai fungsi hiburan –musik, video, perekam, GPRS, dsb.. Fungsi terkini akan mengarah pada video calling yang memungkinkan interaksi tatap muka jarak jauh seperti video conference. Penemuan apa yang telah mengubah anda dalam kurun waktu 10 tahun terakhir? Perkembangan teknologi informasi telah mengubah gaya hidup fungsional masyarakat luas. Di awal perkembangannya, hanya beberapa orang saja yang mungkin ts0108
6
memiliki HP. Kini, sebagian besar masyarakat baik di kota maupun pelosok sudah memiliki HP. Fenomena yang sama akan terjadi pada internet yang mana kelak dapat menjadi sarana komunikasi antar wilayah. Penyebaran penemuan dan teknologi tersebut pada akhirnya sampai pada peserta didik. Teknologi informasi memfasilitasi masyarakat dunia untuk saling berkomunikasi dalam lingkup global. Gambaran perubahan tersebut menyiratkan beberapa tren di masa depan, diantaranya meliputi: 1) revolusi informasi dimana terjadi peningkatan pertumbuhan informasi dan komunikasi; 2) penemuan produk dan jasa inovatif yang terus up-date. 3) pasar global dan bahasa global; 4) penggunaan komputer dan internet semakin memasyarakat; 5) munculnya pengetahuan dan kompetensi baru; 6) melek teknologi menjadi keterampilan dasar; 7) tekanan hidup semakin tinggi sehingga diperkukan keseimbangan aspek emosional dan spiritual yang didasarkan pada tata nilai universal.
Gambar 1 Distribusi penggunaan waktu yang dilakukan siswa terhadap aktivitas tertentu
Implikasi dari tren tersebut dapat dilihat dari gejala awal yang ditunjukkan oleh anak usia sekolah berikut: (1) menghabiskan 10,000 jam untuk bermain ‘video games’; 2) menonton televisi selama 20,000 jam; 3) mengirim 200,000 email; 4) menghabiskan 10,000 jam memakai telepon genggam. Data tersebut belum termasuk perubahan terkini terkait penggunaan internet seperti jumlah waktu yang digunakan untuk blogging, ts0108
7
tagging, podcast, dsb.. Namun, mereka meluangkan kurang dari 5,000 jam untuk membaca Oblinger, 2004). Perubahan penggunaan waktu yang dilakukan anak usia sekolah tersebut secara tidak langsung telah mereduksi waktu fokus mereka di sekolah. Perubahan penggunaan waktu menjadi tantangan utama bagaimana menjaga fokus siswa selama berada di sekolah. Lebih lanjut, isu ini berkenaan dengan akankah eksistensi sekolah tergeser oleh aktivitas lain seperti disajikan oleh data tersebut. Selain itu, beberapa isu yang mengemuka diantaranya: 1) Bagaimana peran dan eksistensi guru?; 2) Bagaimana peran teknologi dan dampak perubahan yang dihasilkannya dapat dimanfaatkan oleh sekolah? 3) Apa yang dibutuhkan siswa dari sekolah? Kini kita menyadari bahwa peserta didik lebih mengerti tentang teknologi dibandingkan gurunya. Mereka lebih melek dalam hal penggunaan HP dan internet serta gadget lainnya. Kenyataan ini yang mendasari tantangan tentang bagaimana dan kemana teknologi akan membawa kita dalam sepuluh tahun ke depan? Bagaimana implikasinya terhadap sekolah?
— E. Transisi Menuju Pendidikan untuk Masa Depan: Profil Radikal Sekolah Pemahaman kita terhadap perubahan yang terjadi baik di masyarakat maupun peserta didik sangat membantu dalam merekonseptualisasi hakikat pendidikan dan sekolah. Hal ini menyangkut isu peran dan eksistensi sekolah, guru dan peserta didik. Pemetaan peran dan eksistensi tersebut didasarkan pada tantangan pendidikan terkini dan utama, yaitu ’Bagaimana menjadikan murid-murid di sekolah kita saat ini menjadi pemimpin babak kedua dari abad 21’. Tantangan tersebut berkenaan dengan ’Bagaimana kita dapat menyiapkan mereka untuk dunia dimasa depan, bukan dunia yang kita tinggal saat ini?’ Pertanyaan tersebut mendasari refleksi kita terhadap relevansi pendidikan sekolah saat ini. Apakah sekolah saat ini mampu untuk mempersiapkan peserta didik untuk hidup di masanya kelak? Pertanyaan ini dapat kita lihat dari beberapa praktik yang terjadi di sekolah. Secara umum, kurikulum dan penilaian yang dilakukan saat ini cenderung mempersiapkan siswa untuk menguasai konten mata pelajaran tertentu (Gambar 2)
ts0108
8
(Partnership for 21 Century Skills, 2007). Akibatnya, pendekatan drilling menjadi karakteristik dari cara pengajaran guru. Fenomena tersebut tidaklah berbeda dengan kondisi sekolah di abad 19 yang mana pada saat itu sedang terjadi eksplorasi terhadap pengetahuan-pengetahuan baru. Pendekatan tersebut bersifat one-size fits all, sama rata, dari perspektif mata pelajaran. Padahal, secara normal pendekatan tersebut relevan hanya dengan segelintir populasi peserta didik. Tidak semuanya akan menjadi saintis atau pakar ilmu tertentu. Persekolahan seperti itu kurang mempertimbangkan keragaman potensi dan kapasitas peserta didik (personalized learning).
Gambar 2. Karakteristik dari pendidikan sekolah di abad 19 dan 20
Pendekatan pendidikan sekolah di abad 19 dipandang kurang menghargai hak belajar serta otoritas belajar peserta didik. Hal ini yang menyebabkan relasi guru dan siswa bersifat kurang dialogis dan cenderung top-down. Guru dipandang menjadi satusatunya rujukan, dan perbedaan pendapat yang dimiliki siswa cenderung dipandang salah tanpa mempertimbangkan kondisi perkembangan peserta didik. Hal ini dapat dilihat dari maraknya pendapat tentang miskonsepsi yang dimiliki oleh peserta didik. Contoh tersebut hanyalah segelintir dari aspek persekolahan masa kini, belum dari aspek pengelolaan dan sistem pendidikan secara umum. Kenyataan tersebut menyiratkan perlunya kita mengkonseptualisasikan profil sekolah seperti apa yang relevan untuk peserta didik masa kini yang membekali mereka untuk hidup dan memimpin masa depan. Oleh karena itu, rasional yang diajukan Helen ts0108
9
(2007) untuk pendidikan yang sesuai untuk abad 21 adalah: “Untuk mendidik dan menghasilkan peserta didik yang kelak tidak sekedar menjadi penduduk dunia namun juga mencoba untuk menciptakan dunia masa depan yang cocok untuk semua penduduknya” Memperhatikan rasional pendidikan abad 21 maka diperlukan pemikiran tentang bagaimana sifat dari kurikulum sekolah, yaitu kurikulum yang menekankan pada nilainilai universal, keterampilan hidup (life skills) yang membekali kemandirian siswa sebagai pemimpin dirinya sendiri dan pemimpin masyarakat dan pengetahuan dan kreativitas untuk inovasi. Inilah kiranya yang akan memperkaya pendidikan di sekolah yang tidak hanya sebatas pada penguasaan konten, tetapi lebih kepada penguasaan bagaimana hidup dan menciptakan kehidupan yang lebih baik. Berdasarkan hal tersebut maka kemungkinan ciri dari pendidikan masa depan (Helen, 2007) adalah: 1) Berfokus pada pemupukan potensi unggul setiap anak; 2) Keseimbangan beragam kecerdasan (Kognitif, Emosi, dan Spiritual); 3). Mengajarkan Life Skills; 4) Sistem penilaiannya bersifat integratif yang menekankan pada kinerja dan hasil karya siswa, bukan sekedar tes; 5). Pembelajaran berbasis kehidupan nyata dan praktek di lapangan, penekanan pemecahan masalah ril, bukan drilling; 6). Guru lebih berperan sebagai motivator dan fasilitator agar anak mengembangkan minatnya masingmasing; 7) Pembelajaran didasarkan pada kemampuan, cara/gaya belajar, dan perkembangan psikologi anak masing-masing yang beragam (personalized learning). Integrasi dari pemetaan ciri pendidikan masa depan ini dapat dilihat pada Gambar 3. Identifikasi ciri pendidikan masa depan tersebut mengarah pada perubahan peran dalam proses pendidikan terutama peran guru, peran peserta didik dan peran materi yang diajarkan (Partnership for 21 Century Skills, 2007). Dari segi guru, guru tidak lagi memberikan informasi dalam bentuk ceramah, drilling, dan buku teks. Guru akan berperan sebagai fasilitator, tutor dan sekaligus pembelajar. Selain itu, di era pengetahuan ini guru bukanlah sumber utama pembelajaran. Makna guru sebagai pembelajara dapat dilihat dari tren teknologi informasi dan komunikasi dimana guru kelak akan berkecimpung di dalam lingkungan belajar digital. Permasalahannya adalah bagaimana guru mempelajari lingkungan baru tersebut dan bagaimana guru mengajarkan keterampilan teknologi kepada peserta didik. Aspek pendidikan apa yang perlu ts0108
10
ditekankan ditengah arus pemanfaatan TIK? Apa yang perlu dipelajari agar dapat mengajar dengan lebih bermakna di masa mendatang? Dari sisi siswa, terjadi beberapa perubahan peran. Siswa tidak perlu lagi menjadi pengingat fakta dan prinsip tapi akan berperan sebagai researcher (dalam arti belajar mengkaji/meneliti suatu hal), problem-solver, dan strategic maker. Melalui peran tersebut, peserta didik belajar mengkaji masalah secara komprehensif dengan mempertimbangkan konteks dari permasalahan tersebut: Learners will engage in problems that are contextdependent, complicated, messy, and reappear in diverse guises) (Helen, 2007). Sementara itu, perubahan materi yang dipelajari tidak lagi berbentuk informasi atau fakta dari suatu bidang studi. Namun demikian, penekanan ke depan, dimana kelimpahan informasi menjadi tantangan tersendiri, bersifat bagaimana peserta didik mempelajari saling keterkaitan informasi dengan situasi nyata, bagaimana mengelola informasi agar terbentuk argumentasi yang sahih dan bagaimana menelusuri informasi untuk menemukan inti permasalahan dan mendasari berpikir kreatif dan kritis. Dengan demikian, ke depan materi yang diajarkan tidak bersifat subjek tunggal, melainkan menekankanpada pendekatan multidisciplinary thinking dan kemampuan melihat dari beragam perspektif: Memorization and disconnected facts will be replaced by bigconcept thinking, systemic analysis, and model building (Helen, 2007). Berdasarkan perubahan peran dari guru, peserta didik dan materi, maka teridentifikasi kemungkinan karakteristik dari situasi pembelajaran di masa depan. Karakteristik tersebut meliputi: 1) Pengembangan keterampilan bertanya; 2) Evolusi pola pemikiran/perkembangan kognitif; 3) Pengayaan rasa ingin tahu (curiousity); 4) learning dan learner centered/pengembangan epistemic; 5) Pengembangan bakat dan kepribadian peserta didik. Selain itu, beberapa keterampilan hidup yang diperlukan meliputi: 1) Kepemimpinan; 2) Etika; 3) Akuntabilitas; 4) Kemampuan beradaptasi dan keterampilan interpersonal; 5) Produktifitas individu; 6) Tanggungjawab individu; 7) Keterampilan personal; 8) Arah/tujuan hidup pribadi; dan 9) Tanggungjawab social (Helen, 2007; Cock, 2008). Jika kita perhatikan, karakteristik dan keterampilan hidup yang teridentifikasi sepertinya cukup rumit. Namun demikian, kiranya hal tersebut tidak dapat dihindari lagi. Tugas kita sebagai pendidik adalah menjadikannya sebagai sesuatu yang sederhana dalam ts0108
11
arti mudah dikonseptualisasikan dan mudah diterapkan. Sebagai langkah awal, Gambar 3 (Partnership for 21th Century Skills, 2007) merangkum keseluruhan aspek dari karakteristik dan keterampilan hidup masa depan.
Gambar 3. Karakteristik dari kurikulum untuk pendidikan masa depan
Berdasarkan pemetaan karakteristik dari kurikulum untuk pendidikan masa depan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, penekanan pada materi bersifat terintegrasi yang mencakup: a) Global Awareness (Kesadaran global); b) Keterampilan dalam keuangan, ekonomi, bisnis dan kewirausahaan; c) Pemikiran, kesadaran dan perhatian terhadap kepentingan umum; d) Kesadaran akan kesehatan dan kesejahteraan. Kedua, penekanan dari keterampilan berpikir dan belajar mencakup: a) Berpikir kritis dan keterampilan mencari solusi; b) Kreatifitas dan keterampilan inovasi; c) Keterampilan komunikasi dan pengolahan informasi; d) Keterampilan untuk berkolaborasi; dan e) Pendidikan kontekstual dan analisis media/berita. Ketiga, keterampilan IT berkaitan dengan pemahaman akan teknologi informasi dan komunikasi adalah kemampuan untuk menggunakan teknologi dalam: a) Berpikir kritis-argumentatif; b) keterampilan networking; c) keterampilan menyajikan informasi dan media; dan d) keterampilan menyajikan diri (self marketing).
ts0108
12
Selain hal tersebut, aspek terpenting dari keterampilan yang diperlukan oleh generasi (keterampilan utama) mendatang meliputi: 1) Keterampilan Penelitian; 2) Keterampilan Komunikasi; 3) Keterampilan Berpikir; 4) Keterampilan Sosial; dan 5) Keterampilan Mengatur Diri Sendiri (Cock, 2008). Berdasarkan identifikasi dari kurikulum serta analisis apa yang diperlukan untuk generasi masa depan maka diharapkan dapat terbentuk disposisi dari peserta didik abad 21 (Kay, 2007). Pertama, pemikir yang kritis, yaitu memiliki ciri: 1) Seorang penyelesai masalah; 2) Seorang innovator; 3) Dapat berkomunikasi secara efektif; 4) Dapat berkolaborasi secara efektif; 5) Dapat mengarahkan diri sendiri; 6) Paham akan informasi dan media; 7) Paham dan sadar akan masalah global; 8) Memikirkan kepentingan umum; 9) Terampil dalam keuangan, ekonomi dan kewirausahaan. Profil pendidikan masa depan tersebut perlu diupayakan realisasinya sedari kini. Inilah kiranya tantangan dari kita semua sebagai pendidik untuk menjalani transisi tersebut. Beberapa hal yang dapat dilakukan diantaranya: 1) Mengubah lingkungan kelas menjadi tempat dimana murid-murid terpanggil untuk berpendapat, membuat pilihan, dan merefleksikan tindakan mereka. 2) Membawa pembelajaran keluar dari ruang kelas dalam arti lebih memberikan pengalaman nyata dan kontekstual; dan 3). Membangun budaya pelayanan dan aksi (lawannya adalah budaya kepentingan individu dan budaya ‘NATO –No Action-Talk Only/omdo’) (Helen, 2007). Inilah kiranya yang menjadi paradigma kita dalam mengajar kepada peserta didik kita.
F. Penutup Pada bagian ini saya tidak bermaksud untuk menyimpulkan dari apa yang telah dibahas. Hal ini dikarenakan masih terdapat beberapa hal yang bersifat penuh tanya, sesuatu yang terselubung namun berpotensi menjadi kenyataan. Oleh karena itu, pendekatan refleksi digunakan untuk menstimulasi kembali pemikiran untuk pendidikan bermutu di masa depan yang memuat nilai-nilai universal sebagai basis pemikiran internationalism dari pendidikan/sekolah.
ts0108
13
Fenomena SBI kiranya perlu dikaji ulang dan dengan merujuk pada pemaparan pendidikan untuk masa depan maka pertanyaannya adalah apakah konsep SBI sudah mengarah seperti itu. Jika memang mengarah seperti itu, apakah perlu diberi label SBI? Kedua, pemahaman tentang prediksi pendidikan di masa depan merubah secara radikal konteks dari pendidikan sekolah. Di masa depan, bagaimana kita mendidik anak-anak kita akan terbukti lebih penting daripada seberapa banyak kita mendidik mereka. Kita tidak dapat mengajari orang apapun juga; kita hanya dapat membantu dirinya untuk menemukannya sendiri. Ketiga, arus globalisasi bukan berarti kita melupakan konteks kelokalan kita sendiri. Ini relevan dengan diktum globalisasi: Think Globally, Act Locally. Hal ini berarti bagaimana kita menemukan konteks keunikan lokal dari pendidikan kita dan mengkajinya dengan perspektif global-universal. Pertanyaan tersebut kiranya dapat memandu kita untuk menemukan cara bagaimana membentuk sistem pendidikan bermutu untuk generasi bangsa ke depan.
Rujukan Armunando, W. 2008. Nilai-nilai Universal Pendidikan. Makalah disajikan dalam workshop tentang Sekolah Bertaraf Internasional. Sampoerna Foundation Teacher Institute, Februari 2008. Cock, K. 2008. National Plus Schools and SBI: A comparison. Makalah disajikan dalam workshop tentang Sekolah Bertaraf Internasional. Sampoerna Foundation Teacher Institute, Februari 2008. Helen. 2007. Pendidikan Internasional. Makalah disajikan pada Konferensi Guru Indonesia Sampoerna Foundation Teacher Institute-Provisi Education. J Partnership for 21th Skills. 2007. 21th Century Learning. Suratno, T. 2008a. SBI: Stimulasi Pemikiran. Makalah dipresentasikan dalam workshop tentang Sekolah Bertaraf Internasional. Sampoerna Foundation Teacher Institute, Februari 2008. Suratno, T. 2008b. SBI: School Based Imperialism?. Artikel diajukan kepada Redaksi Kompas. Februaru 2008.
ts0108
14