Inovasi dan Masa Depan Pendidikan Maisah Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin
Abstract: This article attempts to raise educational innovation as a liberation from underdevelopment and development of Islamic education in the future. The process of educational change in schools that desired future of not only learning activities between students and teacher. But how do students have the opportunity to translate and explain the real problems facing him. Here, education has a meaning as an attempt to free himself and others freed from the shackles of oppression and ignorance, so that education can really equip themselves to face real life. Keywords: Masa depan pendidikan, inovasi.
I. Pendahuluan Indikator kebesaran dan tingkat peradaban suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas sumber daya manusianya. Hal itu tidak akan bisa lepas dari tinggi rendahnya tingkat kualitas pendidikan, sehingga pengembangan pendidikan merupakan kebutuhan mutlak karena berpengaruh pada hidup dan kehidupan suatu bangsa. Semakin tinggi tingkat dan kualitas pendidikan seseorang berpengaruh pada semakin luas cerdas pola pikir, pola tindakan, pola lakunya termasuk tingkat peradabannya. Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
83
Maisah
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan nasional harus mampu menginovasi serta menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efektivitas manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
II. Inovasi Pendidikan Inovasi merupakan suatu ide baru yang dapat diaplikasikan dengan harapan dapat menghasilkan atau dapat memperbaiki sebuah produk, proses maupun jasa.1 Sementara Gibson mengartikan inovasi sebagai kekuatan dorongan yang ada dalam diri yang akan mengarahkan perilaku.2 Pimpinan organisasi atau lembaga pendidikan harus memiliki keterampilan, pengetahuan dan pelatihan dalam dua bidang yaitu 1 A. Van de van, Control Problems in the Management Innovation, lihat lebih lanjut dalam Todey Rabbins, Managing, (1994) 2 Dalam Suwanto, Perilaku Keorganisasian, (Yogyakarta: Universitas Atma
84
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Inovasi dan Masa Depan Pendidikan
diagnosis dan penerapan dalam rangka memahami perubahan. Pimpinan harus dapat mengidentifikasi masalah, menganalisis dan melakukan penerapan.3 Seorang inovator adalah orang yang aktif mencari ide-ide baru dan memiliki wawasan luas melalui jaringan kerja yang biasanya berada di luar sistem sosialnya, juga mampu mengatasi masalah yang terjadi dalam proses pelaksanaan ide-ide baru tersebut.4 Untuk itu, menuju pembaharuan dan perubahan dilakukan manusia dengan menyesuaikan strategi, tuntutan lingkungan serta banyak hal yang menjadi ciri dari perubahan itu sendiri dan tergantung pada waktuwaktu tertentu hal ini disebut keinovatifan. Ciri-ciri lain keinovatifan yakni: 1. Penghasilan gagasan; melakukan analisis atau sintesis terhadap informasi. 2. Mengusahakan atau mempelopori; mengenali, mengusulkan, mendorong dan menunjukkan suatu gagasan. 3. Kepemimpinan; merencanakan dan mengkoordinasikan beragam kegiatan. 4. Mengatur informasi; menunjukkan dan menyalurkan informasi tentang perubahan 5. Mensponsori; membimbing dan mengembangkan karyawan yang kurang berpengalaman. Menurut Drucker, ciri-ciri keinovatifan dapat diidentifikasi sebagai berikut:5 1. Susunan pembaharuan menganalisis peluang. 2. Pembaharuan adalah perpaduan antara konsepsi dan persepsi. 3. Pembaharuan itu efektif, sederhana dan dipusatkan pada sesuatu. Jaya, 1999), hal. 77. 3 Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard, Manajemen Perilaku Organisasi; Pendayagunaan Sumber Daya Manusia, terj. Agus Dharma, (Jakarta: Erlangga, 1986), hal. 316. 4 Noeng Muhajir, Identifikasi Faktor-Faktor Opinion Leader Inovatif bagi Pembangunan Masyarakat, (Yogyakarta: Rake Sarasih, 2002), hal. 17. 5 Peter F. Drucker, Innovation Entrepreneurship, terj. Rusydi Naib, (Jakarta: Erlangga, 1999), hal. 77. Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
85
Maisah
4. Pembaharuan yang efektif dimulai dari yang kecil. 5. Keberhasilan tujuan terletak pada kepemimpinan, dan selain itu ditambahkan adanya tiga kondisi yang diperlukan di dalam pembaharuan, yaitu: (a) pembaharuan adalah pekerjaan, (b) supaya berhasil para pembaharu harus bekerja keras, dan (c) pembaharuan berdampak pada ekonomi dan masyarakat. Dengan demikian yang dimaksud dengan keinovatifan adalah pembaharuan dalam hubungannya dengan penerimaan (pengadop sian), penciptaan (membuat), dan penerapan (melakukan tindakan pada hal-hal yang baru dengan indikator gagasan, layanan alat dan pengetahuan tentang pekerjaan setiap pegawai. Hamzah B. Uno menyebutkan ada sembilan inovasi pendidikan untuk peningkatan sumber daya manusia pada masa yang akan datang, yaitu:6 1. Pendidikan sebagai proses pembebasan Pendidikan kita masih terkesan sebagai pendidikan yang membelenggu. Pembelengguan ini bersumber dari ketidakjelasan visi dan misi pendidikan kita, juga adanya praktik sentralisasi dan uniformitas, serta sistem pendidikan dengan konsep sistem penyampaian atau pemberitaan. Di sini terjadi praktek pendidikan yang mengalir dari atas ke bawah (top-down), yang kurang memperhatikan faktor hak-hak anak secara demokratis dan kreatif, serta kurangnya pemberian kesempatan kepada mereka untuk melakukan rekayasa dalam aktivitas pendidikannya. Sistem pendidikan yang membelenggu ini pada gilirannya akan menghasilkan manusia yang penurut, tidak kreatif, bahkan memiliki ketergantungan tinggi. Hal tersebut akan membuat mereka menjadi beban sosial, tidak mandiri, bahkan tidak memiliki jati diri. Pendidikan demikian dapat dinyatakan sebagai sistem pendidikan tertutup, kurang memberikan kebebasan dan pengalaman kepada para pembelajar untuk berkreasi. 2. Pendidikan sebagai proses pencerdasan 6 Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan (Problem, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia), (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 9.
86
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Inovasi dan Masa Depan Pendidikan
Banyak pihak mengecam pendidikan kita yang dirasakan sebagai sebuah proses pembodohan. Hal ini tidak hanya terbatas di sekolah saja, tetapi juga terasa sekali dalam praktik kehidupan masyarakat. Yang menjadi masalah adalah mereka yang menjadi penyebab kebodohan ini tidak merasakan bahwa ia telah melakukan kebodohan kepada masyarakat. Pemutar balikan fakta yang dilegitimasi melalui lembaga-lembaga formal adalah contoh pembodohan masyarakat yang paling riil, pembodohan di sekolah terjadi dari praktik instruksional yang sama, yakni dengan interaksi verbal vertikal. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa sistem belajar di antara siswa, baik pada jurusan matematika, ilmu pengetahuan alam, bahasa, maupun sosial ternyata tidak berbeda. Padahal seharusnya dengan latar belakang jurusan tersebut di antara mereka memiliki sistem yang berbeda. 3. Pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak Di negara kita hak-hak anak terkesan dirampas. Hal ini disebabkan karena masyarakat menjadikan sekolah sebagai panggung pentas, bukan sebagai tempat latihan maupun laboratorium belajar. Pembelajar di sekolah diharapkan oleh orang tuanya memperoleh rangking atas, sehingga anak dikursuskan di luar sekolah. Anak diharuskan mendapat nilai yang baik. Mereka harus naik ke panggung pentas dengan nilai terbaik, tetapi tidak untuk belajar dengan baik. Oleh karena itu, sistem rangking di sekolah memacu masyarakat untuk memperoleh persepsi yang salah tentang pendidikan di sekolah. 4. Pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian Melihat munculnya berbagai tawuran di antara pembelajar sekarang ini merupakan bukti nyata bahwa pendidikan menghasilkan tindakan kekerasan. Mereka tidak memiliki pengalaman memecahkan konflik secara damai, secara kreatif. Namun sebaliknya setiap konflik dipecahkan dengan kekerasan. Hal ini merefleksikan pengalaman-pengalaman mereka sendiri, mulai dari kehidupan mereka di rumah, di sekolah, dan di masayarakat. Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
87
Maisah
Kemasan seni pertunjukan kita terkesan menonjolkan kekerasan dalam setiap cara penyelesaikan konflik, seperti dalam ketoprak, sinetron, dan lain-lain. Di dalam kehidupan keluarga, konflik suami istri, orang tua, anak, juga mengesankan kekerasan dalam cara penyelesainnya. Transaksi emosional di antara mereka sering diabaikan. Anak menjadi sasaran orang tua, terdenggar dalam praktik kehidupan sehari-hari. Di sekolah, konflik antara guru dengan siswa sering mencuat ke permukaan, yang mengambarkan kita tidak memperoleh pengalaman bagaimana setiap konflik itu dapat diselesaikan dengan damai. Kejujuran sering menjadi sumber kemarahan sehingga menipu lebih selamat dari pada jujur. Anak yang belum memahami suatu pelajaran, terlalu cepat untuk dinyatakan sebagai anak bodoh yang menjadi penyebab mereka kehilangan jati diri. Padahal, pendidikan adalah proses pemberdayaan, yang diharapkan mampu memberdayakan peserta didik menjadi manusia yang cerdas, manusia yang berilmu dan berpengetahuan, serta manusia terdidik. Pemberdayaan siswa, misalnya dilakukan melalui proses belajar, proses latihan, proses memperoleh pengalaman, atau melalui kegiatan lainnya. Melalui proses belajar mereka diharapkan memperoleh pengalaman memecahkan masalah, pengalaman etos kerja, dan ketuntasan bekarja dengan hasil yang baik. Melalui proses belajar, mereka juga diharapkan memperoleh pengalaman mengembangkan potensi mereka serta melakukan pekerjaan dengan baik, dan mampu bekerja sama dalam kemandirian. 5. Pendidikan anak berwawasan integratif Bahwa mata pelajaran masih terkesan terkotak-kotak, itulah kenyataan yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini. Kurikulum belum mampu menjadikan anak memiliki wawasan integratif. Tujuan pada setiap satuan pendidikan belum diperoleh mereka. Ia belum menjadi manusia terdidik yang berilmu dan berpengetahuan, yang sekaligus sebagai manusia beriman. Integritas dari keseluruhan itu seharusnya menjadikan pembe88
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Inovasi dan Masa Depan Pendidikan
lajar sebagai manusia yang utuh. Di mana pun, kapan pun ia dapat menampilkan diri sebagai sosok yang menampilkan satuan psikofisik, bukan sebagian-sebagian. Di mana pun, kapan pun, ia membawa kesatuan dari manusia terdidik, sebagai manusia berilmu dan berpengetahuan dari manusia terdidik, sebagai manusia berilmu dan berpengetahuan, serta sebagai manusia beragama. Ia tidak hanya anti terhadap orang lain yang bertindak kejahatan, tetapi walaupun ia memiliki kesempatan untuk itu, ia tidak akan berbuat kejahatan tersebut. 6. Pendidikan membangun watak persatuan Pendidikan belum mampu menghasilkan manusia yang mampu hidup dalam perbedaan. Setiap perbedaan dalam masyarakat dapat menjadi pemicu konflik, yang pemecahannya dilaksanakan dengan kekerasan. Mereka tidak memiliki pengalaman belajar dalam kelompok dengan partisipasi integratif, yang masing-masing dapat secara aktif memainkan perannya dalam kelompok itu. Mereka tidak pernah mengalami dan menghadapi perbedaan, juga belum pernah memahami cara menyikapi terjadinya perbedaan. Seberapa jauh perbedaan itu cukup disikapi dengan toleransi, dan seberapa jauh perbedaan itu perlu disikapi dengan diskusi, dan kapan batas diskusi diakhiri yang mana penyelesaiannya ditentukan oleh mereka sendiri. Mereka tidak memiliki pengalaman akan hal-hal tersebut. Oleh karena itu, belajar dengan perbedaan kelompok memiliki peranan penting. Pendekatan belajar sekarang dirasa masih didominasi dengan belajar kontesktual yang tidak mampu membangun kesadaran dan sikap, lebih-lebih tindakan. Pelajaran sejarah yang seharusnya mampu dimanfaatkan sebagai alat pendekatan mengenai karakteristik bangsa masih terlalu menjadi bahan hafalan. Pelajaran geografi yang seharusnya mampu membangun kesadaran untuk memahami karakteristik tanah air dan cinta tanah air, juga masih menjadi bahan hafalan. Dari proses belajar mapun bahan pelajaran belum mampu membangun sikap dan kesadaran persatuan. Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
89
Maisah
7. Pendidikan menghasilkan manusia demokratis Pendidikan kita masih terkesan otoriter, baik manajemen, interaksi, proses, kedudukan, maupun substansinya. Tidak mungkin kondisi demikian dapat menghasilkan manusia demokratis. Apabila kita semua menjadi pejabat, maka seakan-akan kita telah memiliki modal “benar” dalam segala hal; berhak mengoreksi, berhak memberikan petunjuk, berhak menyalahkan bawahan, dan seterusnya. Pengawasan melekat menjadikan atasan otoriter. Padahal justru informasi bawahan kebanyakan membawa kebenaran. Transaksi pendidikan kita masih satu arah dan vertikal, sumber informasi didominasi oleh para guru. Pembelajar jarang didudukkan sebagai sumber informasi alternatif sehingga menyebabkan tidak terjadinya interaksi horizontal. Pengalaman demokratis tidak pernah diperoleh pembelajar dalam hidup sehari-hari. Mereka hanya memahaminya secara tekstual. Dalam praktek, kedudukan substansi dan proses pembelajaran kita masih berorintasi vertikal, yakni dari atas ke bawah. Pengetahuan (tekstual) masih berpola pada guru-siswa, yang seharusnya guru dan pembelajar bersama-sama menghadapi persoalan pengetahuan yang konseptual bukan tekstual. Proses pembelajar masih didasarkan atas kerapian administrasi pendidikan dari pada fungsionalnya dalam praktik. Pada hal fungsionalnya, proses pembelajaran (instruksional) ini akan menghasilkan perolehan tujuan instruksional. Bagaimana cara yang dilakukan pembelajar dalam mencapai konsep keilmuan itulah selanjutnya yang akan mewarnai perolehan pendidikan. 8. Pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan Sikap otoriter dalam sistem pendidikan, membuat anak menjadi manusia yang patuh. Namun di sisi lain, sistem yang membelenggu itu pun akan berakibat anak menjadi pemberontak. Lalu yang disalahkan adalah budi pekerti. Anak tidak terangsang untuk peduli lingkungan, karena sumber pendidikan satu-satunya adalah teks. Pengalaman anak yang begitu beragam dan sangat 90
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Inovasi dan Masa Depan Pendidikan
berharga, jarang dimanfaatkan sebagai sumber belajar. Evaluasi hasil belajar juga sangat ditentukan oleh ukuran tekstual, bukan konseptual. Sehingga anak dijadikan sebagai korban kurikulum, bukan kurikulum untuk anak. Dapat dimaknai bahwa anak diarahkan pada tekstual sentris, yang menjauhkan diri mereka dari keadaan nyata di lingkungan. Inilah yang masih terjadi dalam sistem pendidikan kita. 9. Sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dalam pelaksanaannya kurang diperhatikan oleh pihak pemerintah, dan tidak dievaluasi sejauh mana pelaksanaan sistem pendidikan nasional itu tercapai. Maka dari itu, perlu adanya inovasi baik dalam bidang evaluasi maupun pengawasan. Berdasarkan uraian di atas, menurut penulis ada beberapa bentuk pendidikan kita saat ini yang perlu diinovasi, seperti berikut: 1. Standar proses pembelajaran, dalam hal ini guru benar-benar dituntut mampu untuk menerapkan metode dan strategi yang bervariasi terhadap siswa. 2. Standar kelulusan siswa, dalam hal ini pemerintah dapat membedakan standar kelulusan siswa yang belajar di pusat, propinsi dan kabupaten, karena taraf perkembangan anak tersebut sangat berbeda dan didukung oleh sarana dan prasarana yang berbeda pula. 3. Standar pembiayaan, pemerintah harus menyamaratakan antara pendidikan Negeri dan Swasta, baik yang berada di bawah lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional maupun di bawah Lingkungan Kementerian Agama. 4. Standar sarana dan prasarana pendidikan, pemerintah harus memberikan perhatian yang sama terhadap pendidikan Swasta. 5. Standar pengelolaan, dalam hal ini pihak pendidikan Swasta harus mampu bersaing dengan pendidikan Negeri, tinggalkan sifat kekeluargaan dalam rekruitmen guru sesuai dengan kebutuhan Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
91
Maisah
mata pelajaran.
III. Reformasi Pendidikan Menurut Hamzah B. Uno, sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokrasi sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air.7 Karena sistem birokrasi selalu menempatkan kekuasaan sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi yang “menggurita” sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah, bahkan terkesan semakin buruk dalam era desentralisasi ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang “dikendalikan”. Merekalah yang seharusnya paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam bentuk juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan objektif di masing-masing sekolah. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kekuasaan birokrasi persekolahan telah membuat sistem pendidikan kita tidak pernah terhenti dari keterpurukan. Kekuasaan birokrasi jugalah yang menjadi sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah yang membangun dan memilihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada sekolah tersebut. Pada waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang berkelanjutan, karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat yang senantiasa bertanggung jawab dalam pemiliharaan serta operasional pendidikan sehari-hari. 7 Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan (Problem, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia), hal. 83.
92
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Inovasi dan Masa Depan Pendidikan
Pada waktu itu, pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang mampu. Namun, keluarnya Inpres SDN No. 10/1973 menjadi titik awal dari keterpurukan sistem pendidikan, terutama sistem persekolahan di tanah air. Pemerintah telah mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik. Sejak itu, secara perlahan “rasa memiliki” dari masyarakat terhadap sekolah menjadi pudar bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya “bertanggung jawab”, mulai berubah menjadi hanya “berpartisipasi” terhadap pendidikan, selanjutnya masyarakat menjadi “asing” terhadap sekolah. Semua sumber daya pendidikan ditanggung oleh pemerintah dan seolah tidak ada alasan bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi apalagi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Menurut Tilaar, sejak era reformasi telah terjadi berbagai loncatan besar di dalam kehidupan bangsa Indonesia, antara lain seperti:8 1. Bidang politik, ekonomi, sosial, dan juga dalam bidang pendidikan terjadi perubahan-perubahan yang sangat besar. 2. Demokrasi berkembang dengan sangat cepat sampai seakan-akan menuju kepada demokrasi kebebasan. 3. Kesadaran akan hak asasi manusia bahkan menimbulkan kecurangan satu dengan yang lainnya. 4. Demokrasi telah menyadarkan pula akan identitas kelompok bahkan golongan sendiri sehingga nasionalisme tampaknya mulai meredup. 5. Lahirnya berbagai sekolah bertaraf internasional yang ternyata hanya diperuntukkan bagi kelompok yang berduit. 6. Pendidikan tinggi berebutan menjadi “world class university” yang pada hakikatnya menjauhkan pendidikan tinggi dari jangkauan anak-anak dari keluarga miskin. 7. Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, 8 Tilaar, Menggugat Manajemen Pendidikan Nasional, (Jakarta: Lembaga Manajemen UNJ, 2008), hal. 20.
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
93
Maisah
dimana pasal 13 UU tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial. 8. Perubahan pengelolaan pendidikan nasional yang bersifat sentralistik menjadi desentralistik, sebagaimana penjelasan berikut ini: a. Desentralisasi pendidikan Manajemen pendidikan yang telah diserahkan kepada otonomi daerah tentunya sangat menguntungkan bagi masyarakat. Dengan demikian pendidikan dapat disesuai kan dengan kebutuhan riil dari masyarakat yang tercermin di dalam penyusunan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan tingkat satuan pendidikan. Pelaksanaan KTSP sungguh-sungguh merupakan suatu loncatan yang sangat berarti baik dari segi ilmu pendidikan maupun dari segi politik dalam pertumbuhan demokrasi masyarakat Indonesia. Namun demikian penyusunan KTSP yang selanjutnya diatur melalui Keputusan Menteri, ternyata kurang diper siapkan pelaksanaannya di daerah. Begitu pula kurikulum yang seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan daerah ternyata sangat bersifat sentralistik dan intelektualistik. Pendidikan dasar yang seharusnya didasarkan dan terarah kebutuhan dan budaya daerah ternyata hanya mempunyai alokasi waktu sangat minim. Apalagi para pelaksana (guru, kepala sekolah) tidak dipersiapkan dalam penyusunan dan pelaksanaan KTSP tersebut. Selain itu, pelaksanaan ujian nasional yang sentralistik telah mematikan roh KTSP yang diarahkan kepada kebutuhan lokal. Salah satu unsur penting di dalam menjalankan suatu organisasi yaitu tentang pembiayaannya. Dengan adanya komitmen pemerintah mulai tahun 2009 untuk meng alokasikan dana APBN sekurang-kurangnya 20%, maka diharapkan akan terjadi loncatan-loncatan besar di dalam refomasi pendidikan nasional sampai ke daerah. Prioritas 94
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Inovasi dan Masa Depan Pendidikan
pokok pengalokasian dana tersebut selain dari perbaikan pendidikan dan kondisi sosial ekonomi profesi guru/dosen, juga diarahkan kepada perbaikan fasilitas belajar seperti gedung, buku-buku pelajaran, serta teknologi pendidikan. Dan tidak kalah penting yakni adanya perbaikan di dalam pelaksanaan evaluasi pendidikan yang lebih bermakna di dalam perkembangan peserta didik. b. Pendidikan swasta Pendidikan nasional mengakui pendidikan yang dibiayai oleh masayrakat (lembaga-lembaga pendidikan swasta) sebagai mitra pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan rakyat. Hingga saat ini antara lembaga pendidikan negeri dan swasta belum berada di dalam mitra kesetaraan. Seharusnya pendidikan swasta mempunyai status komplementer dari upaya pemerintah untuk memberikan pendidikan yang gratis untuk seluruh rakyat Indonesia. Sesuai dengan bunyi UUD serta UU, sistem pendidikan nasional masyarakat diberikan kesempatan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi kelompoknya sendiri di dalam struktur sistem pendidikan nasional. Sudah tentu manajemen pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat harus berdiri di atas kemampuannya sendiri. Meski demikian pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap sumbangan masyarakat dalam memberikan pendidikan yang bermutu terhadap kelompoknya. Sudah dapat dimengerti bahwa biaya untuk pendidikan swasta relatif akan lebih mahal, tetapi karena itu merupakan pilihan dari warga negara untuk memperoleh pendidikan yang khusus bagi anaknya maka hal tersebut merupakan tanggung jawab keluarga. Kewajiban pemerintah adalah untuk melindunginya sesuai dengan kemampuan pemerintah. Melihat gejala-gejala tersebut di atas sudah dapat digambarkan bagaimana manajemen pendidikan nasional dewasa ini. Keadaan semrawut di dalam manajemen pendidikan nasional dewasa ini perlu Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
95
Maisah
ditata kembali dan diarahkan sesuai dengan jiwa UUD 1945 yang pro kepentingan rakyat banyak.
IV. Pandangan Masa Depan Masyarakat Menurut Tilaar,9 masyarakat Indonesia saat ini sedang mengkaji sosok masa depan, tentunya dapat dilihat dari berbagai segi yaitu masayarakat industri dengan kemajuan teknologi serta ilmu pengetahuan, maupun nilai-nilai yang ingin diciptakan bagi kelanggenggan kehidupan masyarakat yang di cita-citakan yaitu nilai-nilai “Pancasila”. Dalam era pembangunan kita menyiapkan masayarakat agar dapat “survive” dalam masyarakat industri yang: 1. Mementingkan kualitas. 2. Sangat mengutamakan persaingan untuk mencapai kualitas yang semakin meningkat. 3. Sejalan dengan munculnya nilai untuk mencapai yang terbaik. 4. Kehidupan politik berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang lebih matang, kesatuan dalam keragaman budaya semakin meningkat. 5. Meningkatnya kualitas hidup yang lebih merata dengan terpenuhinya kebutuhan dasar. 6. Munculnya tata nilai baru seperti intelektualisme kreatif. V. Kesimpulan Proses perubahan pendidikan di sekolah yang dikehendaki masa depan bukan hanya aktivitas pembelajaran antara siswa dengan gurunya. Namun bagaimana siswa berkesempatan menerjemahkan dan menjelaskan problem-problem nyata yang sedang dihadapi dirinya. Di sinilah, pendidikan memiliki makna sebagai upaya membebaskan diri dan membebaskan yang lain dari penindasan dan belenggu kebodohan, sehingga pendidikan benar-benar dapat membekali diri dalam menghadapi kehidupan nyata. Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada 9
96
Tilaar, Menggugat Manajemen Pendidikan Nasional, hal. 78. Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Inovasi dan Masa Depan Pendidikan
masa yang akan datang adalah yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis. Profil profesi guru abad XXI adalah: (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang, (2) memiliki penguasaan ilmu yang kuat, (3) memiliki keterampilan untuk membangkitkan minat peserta didik kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, dan (4) mengembangkan profesi secara berkesinambungan.
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
97
Maisah
BIBLIOGRAFI A. Van de van, Control Problems in the Management Innovation, dalam Todey Rabbins, Managing, 1994. Donelly Jr., James H., James L. Gibson, dan John M. Ivancevich, Fundamentals of Management, Chicago: Richard D. Irwin, 1999. Drucker, Peter F., Innovation Entrepreneurship, terj. Rusydi Naib, Jakarta: Erlangga, 1999. Hersey, Paul dan Kenneth H. Blanchard, Manajemen Perilaku Organisasi; Pendayagunaan Sumber Daya Manusia, terj. Agus Dharma, Jakarta: Erlangga, 1986. Muhajir, Noeng, Identifikasi Faktor-Faktor Opinion Leader Inovatif bagi Pembangunan Masyarakat, Yokyakarta: Rake Sarasih, 2002. Suwanto, Perilaku Keorganisasian, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 1999. Tilaar, Kebijakan Pendidikan (Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Kebijakan Publik), Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Tilaar, Mengugat Manajemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Lembaga Manajemen UNJ, 2008. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Uno, Hamzah B., Profesi Kependidikan (Problem, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia), Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
98
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011