Al-‘Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
MENGGAGAS PENDIDIKAN MADRASAH DAN PERGURUAN TINGGI ISLAM MASA DEPAN Jalaludin Abstrak: Patut disadari bahwa pendidikan madrasah dan perguruan tinggi Islam di Indonesia yang saat ini masih tertinggal jauh dibandingkan dengan sekolah atau perguruan tinggi umum. Atas dasar kondisi itu, sudah semestinya para pemikir pendidikan dan instansi terkait menunjukkan perhatian lebih agar pendidikan yang ada di madrasah atau perguruan tinggi Islam dapat disejajarkan mutunya dengan lembaga-lembaga pendidikan umum, baik sistem pendidikan, kurikulum, siswa, tenaga pengajar, sarana prasarana, maupun lulusannya. Kata Kunci: Pendidikan Madrasah dan Perguruan Tinggi Agama Islam. A. Pendahuluan Pergulatan pendidikan Islam di Indonesia pada prinsipnya sudah berlangsung jauh hari sebelum Indonesia merdeka hingga sekarang. Hal ini dapat diamati dari tumbuh-kembangnya praktik-praktik pendidikan Islam yang dilaksanakan di bumi nusantara. Mengacu kepada struktur pendidikan Islam Indonesia, Mastuhu (2003) menyebutkan bahwa program dan praktik pendidikan yang dilaksanakan tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) jenis atau pola pendidikan, yaitu; 1) pendidikan pondok pesantren, 2) pendidikan madrasah, 3) pendidikan umum yang bercirikan Islam, 4) pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja. Keempat jenis pendidikan Islam tersebut pada dasarnya bermuara pada satu pemahaman bahwa pendidikan itu didirikan dan diselenggarakan atas dasar hasrat, motivasi dan semangat untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan. Akan tetapi pendidikan itu terkesan susah bersaing dengan lembaga-lembaga lain, terkecuali beberapa sisi. Salah satu program dan praktik pendidikan yang berlangsung sejak dulu hingga sekarang yang tampak konsisten adalah pendidikan madrasah yang terlihat lebih berkembang dari masa ke masa. Melihat hasil penelitian yang dilakukan Mahmud Yunus (1979) terlihat bahwa pendidikan Islam yang mula-mula menggunakan sistem pembelajaran di kelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis ialah sekolah adabiyah/madrasah adabiyah di Padang (Sumatera Barat) yang didirikan oleh 33
Jalaluddin, Menggagas …
Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Adabiyah ini hidup sebagai madrasah (sekolah agama) sampai tahun 1914, kemudian diubah menjadi HIS adabiyah pada tahun 1915, sekaligus merupakan HIS pertama di Sumatera Barat yang memasukkan pelajaran agama dalam kurikulum pembelajaran di dalamnya. Dalam perjalanannya, corak pendidikan tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiran-pemikiran kaum pembaharu dari Timur Tengah seperti Muhamad Abduh, ditambah lagi dengan adanya persentuhan dengan koleganya di Singapura, seperti Syekh Tahir Jalaluddin, yang sudah jauh hari merencanakan pendirian madrasah modern di Singapura sebagaimana dipublikasi dalam majalah al-Imam. Ditopang pula dengan keinginan kuat Abdullah Ahmad untuk mendirikan madrasah adabiyah yang juga tumbuh karena melihat tertib dan baiknya sistem persekolahan pemerintah masa itu di Padang (Maksum, 1999). Bersamaan dengan itu, masalah yang menyangkut Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) masih banyak ditemukan disana sini. Masalah sebenarnya tidak terlepas dari sejarah dan perkembangan pendidikan Islam itu sendiri. Dari pendekatan sejarah, dapat dikatakan bahwa pendidikan tinggi Islam merupakan lembaga pendidikan Islam yang lahir sebagai “anak bungsu” dari lembaga pendidikan Islam lainnya. Secara berjenjang, PTAI didirikan setelah adanya lembaga pendidikan Islam seperti madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs), dan madrasah aliyah (MA). Merujuk sejarah itu, terlihat bahwa PTAI dibangun atas dasar tujuan yang jelas oleh para pendirinya, meskipun dalam perkembangan selanjutnya institusi ini lebih banyak mengalami “sengsara” ketimbang “nikmat”. Bahkan pernah juga muncul gonjang-ganjing tentang perimbangan anggaran 14 IAIN yang setara dengan anggaran biaya sebuah fakultas di perguruan tinggi umum, walaupun tetap berkembang seiring perkembangan zaman. B. Madrasah dan Pendidikan Tinggi Islam: Perjalanan Sejarah Dalam catatan sejarah, kehadiran madrasah sebagai sebuah lembaga pendidikan terbilang “unik dan menarik”. Dikatakan demikian karena sisi kemandirian dan kedinamisan yang dimiliki lembaga ini sangat kuat jika dibanding dengan lembaga-lembaga pendidikan lain seperti sekolah. Sudah bukan rahasia umum bahwa pendirian madrasah di Indonesia pada umumnya merupakan hasil prakarsa dan partisipasi masyarakat Islam secara kolektif. Hal itu dapat dibuktikan dari sejumlah madrasah yang ada di Indonesia yang dikelola oleh masyarakat (swasta). Meskipun begitu, bukan berarti madrasah tidak memiliki kelemahan atau hambatan dalam pertumbuhannya. Dilihat dari faktor eksternal hambatan madarasah muncul dari kebijakan rezim penguasa masa itu yang kurang berpihak pada madrasah. Catatan sejarah menunjukkan, semenjak masa kolonial Belanda hingga akhir pemerintahan orde baru, madrasah selalu di-“nomorduakan”. Lebih 34
Al-‘Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
menyakitkan lagi, madrasah sering disebut sebagai sekolah liar oleh Belanda. Akibatnya, madrasah menghadapi sejumlah kesulitan dan semakin terisolasi dari arus modernisasi atau perkembangan zaman. Sejarah berkata lain, meskipun menemui banyak hambatan dan tantangan ternyata madrasah mampu keluar dan jadi “pemenang” dari belenggu dikotomi penjajahan itu. Hal itu, terlihat dari mulai bersemi dan berkembangnya madrasah pada awal abad ke 20 dengan berdirinya madrasah islamiyah yang menjalankan sistem pendidikan formal yang bermunculan di beberapa daerah di Indonesia, seperti madrasah yang bermunculan di Sumatera antara lain: madrasah adabiyah di Sumatera Barat yang dirikan oleh Syeik Abdullah Ahmad pada tahun 1909 M. Madrasah ini berubah menjadi HIS adabiyah pada tahun 1915 M. Pada tahun 1910 M didirikan Madrasah School di Batu Sangkar Sumatera Barat oleh Syeikh M. Taib Umar pada tahun 1918 M, juga Mahmud Yunus yang mendirikan Diniyah School sebagai lanjutan Madrasah School. Tidak ketinggalan pula pendirian madrasah di Pulau Jawa pada permulaan abad ke 20, bersamaan dengan didirikannya Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang oleh KH. Hasyim Asy'ari pada tahun 1899, kemudian diiringi pendirian madrasah formalnya pada tahun 1919 yang digagas oleh KH. Ilyas (mantan Menteri Agama RI) dengan sistem salafiyah yang memadukan pengetahuan agama dan pengetahuan umum (Zuhairini, 1997). Seiring perjalanan sejarah, pelaksanaan pendidikan madrasah berbeda tajam dengan sekolah umum, baik dalam perspektif kelanjutan studi ke perguruan tinggi maupun dalam persoalan lapangan kerja. Menyadari adanya sistem pendidikan nasional dan kebebasan memilih bidang studi lanjutan dan lapangan kerja yang diinginkan, maka diusahakan agar anak-anak madrasah memperoleh kesempatan yang sama untuk memasuki perguruan tinggi umum. Demikian pula sebaliknya, anak-anak dari jalur pendidikan umum memperoleh kesempatan yang sama pula untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi agama, semacam UIN, IAIN atau STAIN yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) antara menteri pendidikan dan kebudayaan dengan menteri agama (Mastuhu, 1999). Sementara berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) atau pendidikan tinggi Islam, berawal dari hasrat untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru di Sekolah Guru dan Hakim Agung (SGHA) dan tenaga dosen agama Islam di perguruan tinggi umum, maka Kementerian Agama mendirikan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) yang kemudian bernama IAIN (Institut Agama Islam Negeri). PTAIN didirikan di Yogyakarta pada bulan September 1951 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950, yang ditanda tangani presiden RI. Pada bulan Juni 1957 di Jakarta dibuka Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) oleh Kementerian Agama berdasarkan Penetapan Menteri Agama 35
Jalaluddin, Menggagas …
Nomor: 1 Tahun 1957. Tujuannya adalah untuk mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri, untuk menjadi guru agama pada sekolah lanjutan atas atau menjadi petugas di bidang pendidikan di lingkungan Kementerian Agama. Pada bulan Mei 1960 Kementerian Agama menggabungkan PTAIN dan ADIA menjadi IAIN al-Jami'ah al-Islamiyah al-Hukumiyah. Sehingga menjadi 14 perguruan tinggi IAIN, 6 perguruan tinggi UIN dan 31 STAIN di seluruh Indonesia. Tiap IAIN terdiri dari Fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyah, Syariah, Dakwah, Ushuluddin dan Adab dengan tiap-tiap fakultas terdiri dari beberapa jurusan atau progam studi. Sejalan dengan itu, Kemeterian Agama juga mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) setingkat dengan Sekolah Dasar (SD), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs) sederajat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) setingkat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA), Tujuannya antara lain untuk memberi bimbingan dan percontohan yang konkrit kepada masyarakat Islam tentang pengelolaan madrasah-madrasah swasta Islam yang jumlahnya sangat banyak. Pada madrasah-madrasah negeri itu diatur perbandingan antara pelajaran agama dan pelajaran umum (Zuhairini, 1998). Pandangan Azyumardi Azra (2000) bahwa kehadiran IAIN tidak terlepaskan dari cita-cita ummat Islam Indonesia untuk memajukan ajaranajaran Islam di Indonesia. Setelah mengalami masa penjajahan yang sangat panjang, ummat Islam Indonesia mengalami keterbelakangan dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan. Penuturan ummat Islam Indonesia dengan pendidikan dan kemajuan Barat memunculkan kaum “intelektual baru” yang sering juga disebut “cendikiawan sekuler”. Kehadiran kaum intelektual baru ini menurut Belanda, sebagian besar adalah hasil pendidikan Barat yang terlatih berpikir secara kritis. Hal ini terjadi karena dalam proses pendidikannya, mereka mengalami “brain washing” (cuci otak) dari hal-hal yang berbau Islam. Akibatnya, mereka menjadi terasing dan teralienasi dari ajaran-ajaran Islam dan masyarakat Islam itu sendiri. akhirnya, secara tidak langsung kondisi itu menjadi tantangan bagi pendidikan Tinggi Islam, dimana selama ini dianggap sebagai pendidikan yang hanya mengkaji ilmu pengetahuan agama. Karena itu, upaya yang harus dilakukan oleh para pemegang kebijakan pendidikan (Stakeholder) adalah bagaimana restrukturisasi pendidikan Islam sehingga mampu berkompetisi dengan pendidikan umum tanpa dikotomi lagi. C. Pendidikan Madrasah dan Pendidikan Tinggi Islam: Sebuah Sistem Sistem pendidikan agama Islam mengalami banyak perubahan sejalan dengan perubahan zaman dan pergeseran kekuasaan di Indonesia. Kejayaan Islam yang mengalami kemunduran sejak jatuhnya pemerintahan Andalusia, kini mulai bangkit kembali dengan munculnya gerakan pembaharuan Islam. Sejalan dengan itu, pemerintahan kolonial (Belanda) mulai mengenalkan sistem pendidikan formal yang lebih sistematis dan teratur yang mulai menarik 36
Al-‘Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
masyarakat muslim untuk memasukinya. Oleh karena itu, dengan diperkenalkannya sistem baru itu pendidikan Islam yang selama ini dilakukan di surau, langgar atau di masjid atau tempat-tempat lain semacamnya, dipandang sudah tidak memadai dan layak lagi, sehingga perlu segera diperbaharui dan disempurnakan pelaksanaannya. Karena itu, keinginan untuk membenahi, memperbaharui dan menyempurnakan sistem pendidikan Islam ini “paling tidak” dipengaruhi beberapa hal, antara lain: 1. Semakin banyaknya umat muslim Indonesia yang bisa menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan belajar agama Islam di sana. Hasilnya, setelah pulang ke tanah air timbullah keinginan untuk mempraktikkan cara-cara penyelenggaraan pendidikan pengajaran Islam seperti di Mekkah, dimana pada waktu itu Islam mulai bangkit kembali yang dipelopori oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho dan lain-lain. 2. Pengaruh sistem pendidikan Barat yang mempunyai program lebih terkoordinir dan sistematis yang ternyata telah berhasil mencetak manusia terampil dan terdidik yang semakin jauh dari ajaran Islam. Melalui masuknya pikiran-pikiran baru Islam ke Indonesia serta dalam usaha mengejar ketinggalan di bidang pendidikan dan pengajaran, maka orientasi pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia juga mengalami perubahan. Jika pada masa awal, tujuan pokok dari pendidikan Islam adalah agar anak dapat membaca Al-Qur'an dan mengetahui pokok-pokok ajaran Islam yang perlu dilaksanakan sehari-hari seperti shalat, puasa, zakat, dan lainlain, maka dengan pikiran-pikiran baru itu terjadi pergeseran orientasi di samping materi-materi pokok seperti tersebut diatas juga dipentingkan pemberian ilmu alat untuk mempelajari agama Islam, yaitu bahasa Arab. Dengan menguasai bahasa tersebut, orang akan dapat menggali ajaran-ajaran Islam dari sumber aslinya, sehingga dapat mengembangkan agama Islam dengan cara yang lebih baik dan bersaing. Guna mewujudkan keinginan itu, mulailah diadakan upaya sistematis untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada. Akhirnya, pendidikan Islam di surau, langgar, masjid atau tempat-tempat lain turut disempurnakan menjadi madrasah, pondok pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan yang berdasarkan keagamaan. Begitulah sistem pendidikan Islam klasikal mulai ditetapkan, bangku, meja, papan tulis mulai digunakan dalam melaksanakan pembelajaran. Misalnya, pendidikan di Surau Jembatan Besi di Padang Panjang (Sumatera Barat) diubah menjadi Madrasah Thawalib, yang lambat laun disempurnakan dengan pemakaian bangku, meja dan kurikulum yang telah diperbaiki, termasuk adanya uang (biaya) sekolah bagi anak-anak. Sekolah Diniyiah yang didirikan oleh Zainudin Labai juga merupakan perkembangan dari Surau Jembatan Besi. Dalam kesehariannya, sekolah ini telah menggunakan sistem 37
Jalaluddin, Menggagas …
ko-edukasi pada tahun 1915. Sistem ini ternyata mendapat tempat dan sambutan baik dari masyarakat, sehingga pada tahun 1922 berdirilah 15 sekolah semacam ini di Sumatera Barat. Demikian pula sekolah “tanpa nama” yang hadir di serambi rumah KH. Ahmad Dahlan di Kauman Yogyakarta, selanjutnya diubah menjadi Hooger Muhammadiyah School kemudian menjadi Kweekschool Islam dan akhirnya pada tahun 1932 diubah lagi menjadi Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah untuk putra, dan Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah untuk putri. Mengikuti sistem pendidikan yang baru, pembagian jenjang dan kelas juga mulai diadakan. Misalnya, di Sekolah Thawalib jenjang kelas dibagi menjadi kelas rendah, menengah, dan tinggi, yang dalam perkembangannya pembagian jenjang kelas ini diubah kembali menjadi 4 jenjang masing-masing satu tahun, sedang untuk kelas menengah dan tinggi dijadikan kelas 5, kelas 6 dan kelas 7. Zuhairini (1997) dalam tulisannya menyebutkan bahwa dalam perkembangannya sistem pendidikan madrasah ini dibedakan menjadi dua. Pertama, madrasah yang hanya memberikan pengajaran ilmu-ilmu agama disebut Madrasah Diniyyah. Kedua, madrasah yang disamping memberikan pengajaran ilmu-ilmu agama juga memberi pelajaran umum dengan klasifikasi tingkat dasar disebut madrasah ibtidaiyah (MI), tingkat menengah pertama disebut madrasah tsanawiyah (MTs), dan tingkat menengah atas disebut madrasah aliyah (MA). Sejalan dengan itu, Mastuhu (1999) mengatakan bahwa orientasi sistem pendidikan Islam di Indonesia dari awal munculnya hingga sekarang telah mengalami perubahan dan perkembangan secara terus-menerus. Pada awalnya orientasi pendidikan Islam lebih banyak berkonsentrasi pada urusan ukhrawiyyah semata, sehingga nyaris lepas dari urusan duniawiyyah. Satusatunya urusan mu'amalat yang paling banyak dibicarakan adalah hukum waris. Pemerintah kolonial saat itu tidak mau memasukkan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan Hindia Belanda karena dianggap terlalu jelek dan tidak memenuhi syarat sebagai suatu sistem pendidikan yang layak.Akibat dari orientasi yang demikian, maka warna dan model sistem pendidikan Islam Indonesia sangat didominasi oleh warna fiqh, tasawuf dan sebagainya. Orientasinya ke masa lampau dan terpaku ke “dunia sana”. Sedangkan “dunia kini” dianggap sebagai dunia mainan dan tempat lewat saja. Orientasi demikian terlebih disebabkan karena sumber teologi yang fatalistik dan tidak rasional. Meskipun demikian, harus pula diakui bahwa apa yang dilakukan itu hasilnya tidak seluruhnya negatif. Beda dulu beda sekarang, saat ini orientasi sistem pendidikan Islam di Indonesia tampak berubah dan mengalami pergeseran. Orientasinya telah berkembang ke wilayah yang lebih luas, dimana urusan dunia memperoleh porsi seimbang dengan urusan akhirat. Iptek, pemikiran, keterbukaan dan 38
Al-‘Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
antisipasi ke depan semakin menguat. Hal itu disebabkan oleh semakin berkembangnya pandangan teologi yang vitalistis dan rasional. Meskipun demikian, tidak pula dipungkiri jika masih terasa adanya dua orientasi yang berjalan secara beriringan tanpa bisa digandengkan, dimana orientasi sistem pendidikan Islam dengan sistem pendidikan nasional belum dapat diintegrasikan secara utuh dan tuntas. Secara filosofis dan akademis masih terasa adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Agama hanya dikaitkan dengan aspek rohani, seperti sering terdengar adanya istilah bahwa tokoh agama disebut dengan tokoh rohaniwan dan dipisahkan secara tajam dengan ilmuwan atau teknolog. Sisi lain, sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan di Negara-negara nasional, seperti pernyataan Hasan Langgulung (1989), baru bersifat melionarisme. Filsafat yang mendasari sistem pendidikan Islam hanya mengikuti atau disesuaikan dengan filsafat pendidikan nasional negara masingmasing. Akibatnya, perkembangan sistem pendidikan Islam tidak lepas dari dan selalu terombang-ambing oleh kebijakan pendidikan nasional negara setempat. Kondisi yang juga tak jauh berbeda dialami oleh sistem pendidikan Islam di Indonesia, tak terkecuali pendidikan tinggi agama Islam. Entah siapa yang mengomandoinya, setelah sekian lama “dipenjara” oleh kebijakan politik pendidikan kolonial Belanda yang diskriminatif, verbalistik, dan protektif, tampaknya para pemikir pendidikan Islam mulai mencari “peta” baru bagi pembentukan sistem pendidikan Islam. Untuk jenjang pendidikan dasar, terobosan baru ini lebih dikenal dengan sistem pendidikan madrasah dan sekolah Islam. Selanjutnya, untuk jenjang pendidikan tinggi, Menteri Agama (Kementerian Agama) membuat terobosan baru dengan menyelenggarakan pendidikan kedinasan, dimulai dari tingkat akademi (ADIA). Akademi kedinasan ini kemudian dikembangkan menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN), lalu berubah menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN), seterusnya melebur lagi menjadi universitas-universitas sebagai kekuatan penyeimbang yang mengadopsi sistem perguruan tinggi umum, yakni Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Islam Negeri (UIN). Sebagai institusi pendidikan tinggi agama Islam yang berstatus negeri, IAIN termasuk perguruan tinggi yang dianggap paling “awet” dan “lestari”. Sejak diresmikan, secara kuantitas, perkembangannya dimaksudkan dalam “program KB Lestari” (Kelembagaan Berencana Lestari). Sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan politik pendidikan yang semakin berkembang, Dirjen Kelembagaan Agama Islam Kementerian Agama RI tengah mengupayakan perubahan kurikulum untuk perguruan tinggi agama Islam (PTAI), terutama berkaitan dengan arah kurikulum yang mengawang-awang, tidak empiric dan realistis. Oleh karena itu perlu diadakan perombakan yang cukup siginifikan, yakni dengan mendesain kurikulum yang lebih tune in dengan atmosfir akademik ke-Idonesiaan. 39
Jalaluddin, Menggagas …
Banyaknya kritikan tentang kurikulum perguruan tinggi agama Islam (PTAI) yang dianggap tidak mampu menjawab permasalahan ummat Islam juga membuat tantangan bagi pemikir dan praktisi pendidikan, misalnya Prof. Dr. Azyumardi Azra. MA (mantan Rektor UIN Jakarta) yang menyatakan bahwa tidak begitu jelas alasan kenapa disiplin “ilmu agama” di perguruan tinggi agama Islam hanya mencakup delapan bidang kajian, seperti al-Qur'an, Hadist, Pemikiran dalam Islam, Fiqh dan Pranata Sosial, Sejarah dan Peradaban Islam, Bahasa dan Sastra Arab, Pendidikan Islam, Dakwah Islamiyah, dan Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam). Lagi pula, diantara kedelapan bidang itu terdapat bidang yang sulit dikategorisasikan sebagai sebuah disiplin atau sub disiplin ilmu, Misalnya, bidang “perkembangan modern di dunia Islam” lebih merupakan bagian kajian sejarah dan peradaban Islam daripada disiplin ilmu. Kenyataannya, pengembangan “ilmu-ilmu keislaman” merupakan kebutuhan sangat mendesak. Perkembangan dan dinamika ilmu pengetahuan, sains dan teknologi, dan persaingan lapangan kerja yang begitu cepat dalam beberapa dasawarsa terakhir mengharuskan PTAI untuk meresponnya. Hal itu, tidak hanya menjadi “garansi” untuk tetap survive, tetapi juga menjadi perguruan tinggi agama Islam yang diminati dan unggul. Karena itu, lanjut Azyumardi Azra, langkah awal yang perlu dilakukan adalah assesment dan evaluasi kritis terhadap wacana, paradigma, konsep dan praktik “ilmu-ilmu keislaman” yang berkembang dan mapan selama ini di lingkungan PTAI. Selanjutnya bisa dikembangkan wacana, konsep, paradigma, dan praksis baru “ilmu-ilmu keislaman yang relevan dan antisipatif untuk masa kini dan masa depan. Prof. Dr. Amin Abdullah, MA (mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga) menyatakan “Kurikulum IAIN/UIN perlu mendapat sentuhan reformasi dan rekonstruksi secara radikal. Dicontohkan: kurikulum fakultas ushuludin terutama berkaitan dengan pengajaran ilmu politik. “secara sekilas”, istilah politik hanya dikenal sepintas lalu lewat mata kuliah Aliran Modern dalam Islam (AMDI) atau Sejarah Pembaharuan Pemikiran Islam (SPSI). Pengenalan selintas lalu tersebut tidak bermaksud untuk memperdalam ilmu politik Islam, baik yang menyangkut sejarah, filsafat, teori, perbandingan sistem politik. Padahal mata kuliah politik sudah disediakan pada fakultas syari’ah dengan sebutan Jinayah dan Siyasah. Sementara itu, pandangan lebih jauh diutarakan Zaenal Abidin (2003) perlunya pilar-pilar utama dalam konsep pembelajaran yang secara aplikatif untuk dijadikan sebagai referensi utama dalam kerangka membangun sebuah model perguruan tinggi ideal yang berwawasan ke depan. Dalam kaitan ini perguruan tinggi hendaknya mampu mengantisipasi perubahan zaman, pada saat memasuki perubahan abad ke 21. Paling tidak terdapat beberapa prinsip-prinsip yang harus dikembangkan dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. 40
Al-‘Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
Atas dasar pemahaman itu, ada empat pilar identitas proses pembelajaran yang harus dikembangkan dalam sistem pendidikan tinggi, antara lain; Pertama, konsep pembelajaran learning to know. Pada tataran ini pembelajaran pada esensinya sesuai dengan aplikasi paradigmatis ilmu pengetahuan dalam proses pembelajaran di berbagai tingkat pendidikan. Kedua, penerapan learning to do. Dalam paradigma ini peserta didik (mahasiswa) di orientasikan untuk menghayati proses belajar dengan melakukan aktivitas \yang bermakna, dan berperan secara aktif dalam proses pembelajaran (active learning). Ketiga, konsep learning to be, dalam perspektif ini pendidikan atau proses pembelajaran dirancang dan diorientasikan bagi terjadinya proses pembelajaran yang memungkinkan lahirnya manusia terdidik yang mandiri. Keempat, penerapan konsep learning to live togethe. Dalam perspektif ini belajar diorientasikan bagi proses dimana peserta didik (mahasiswa) diharapkan memahami dan menghayati urgensi hubungan antar sesama manusia dalam hidup bersama antara manusia dan lingkungan. Pastinya, hal ini ada hubungannya dengan perubahan kurikulum perguruan tinggi agama Islam (PTAI), mungkin pendekatannya pada proses pembelajaran dan diharapkan menjadi salah satu solusi dalam pendidikan Islam, terutama pada pendidikan tinggi Islam di Indonesia, sehingga pada saatnya nanti mampu bersaing dengan perguruan-perguruan tinggi lain. D. Penutup Sebuah realitas yang tidak bisa dipungkiri oleh semua orang bahwa pendidikan yang ada di madrasah dan perguruan tinggi agama Islam masih jauh dari harapan dan belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat luas, khususnya ummat Islam Indonesia. Karena itu, perlu dilakukan iventarisasi khusus terhadap masalah utama dalam pendidikan Islam. Tidak terlepas pula terhadap masalah dan kelemahan dalam pendidikan Islam yang ada, di antaranya : 1) Masih kentalnya pengaruh sejarah awalnya kemuncuan pendidikan Islam di Indonesia terutama pada lembaga pendidikan, seperti pondok pesantren dan madrasah; 2) Adanya tekanan pemerintah kolonial Belanda terhadap keberadaan pendidikan Islam, sehingga sulit untuk berkembang secara cepat dan bergairah; 3) Dominasi materi pendidikan agama lebih menonjol dan padat dibanding dengan materi pendidikan pengetahuan umum; 4) masihnya maraknya dikotomi pendidikan tinggi Islam dengan pendidikan tinggi umum, sehingga sulit menyesuaikan diri secara kelembagaan; 5) Kurikulum yang masih sentralistik, sehingga tidak mampu mengedepankan kurikulum yang tune in sesuai kebutuhan masyarakat yang semakin dinamis dan berkembang.
Daftar Pustaka 41
Jalaluddin, Menggagas …
Azyumardi Azra. 2000. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Logos; Jakarta. Jurnal Inovasi Pendidikan Tinggi Agama Islam. 2003. Perta. Jakarta Mahmud Yunus. 1979. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Mutiara; Jakarta Mastuhu. 2003. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Logos; Jakarta. M. Imron Abdullah. 2003. Paradigma Pendidikan Perguruan Tinggi. Lektur STAIN Cirebon. Pupuh Fathurrahman. 2003. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren. Lektur STAIN Cirebon. Taqiyudin. 1998. Pendidikan Agama Luar Sekolah Teori dan Konsep. STAIN Press; Cirebon. Zainal Abidin. 2003. Rekonstruksi Format Perguruan Tinggi Islam. Lektur STAIN Cirebon. Zuhairini. 1997. Sejarah Pendidikan Islam. Bumi Aksara; Jakarta.
42
Al-‘Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
MENGELOLA KURIKULUM Kholid Musyaddad Abstrak Pendidikan dilihat secara sistemik, kesuksesan atau kegagalannya tidak ditentukan oleh satu aspek saja. Karenanya kesuksesan atau kegagalan pendidikan tidak bisa digantungkan hanya kepada guru, akan tetapi pengelolaan (manajemen) pendidikan secara umum juga ikut terlibat dalam menentukan kesuksesan itu, termasuk di dalamnya pengelolaan kurikulum, sebagai salah satu aspek pendidikan. Untuk itu dalam rangka menjamin keberhasilan kurikulum diperlukan pengelolaan yang tepat dan sistematis. Kata Kunci : Pengelolaan kurikulum A. Pendahuluan Bangsa bangsa di dunia, termasuk bangsa Indonesia kini memasuki milenium ketiga dengan sejumlah tantangan dan harapan. Tantangan kehidupan pada era ini muncul dari berbagai aspek. Salah satu aspeknya adalah pertumbuhan populasi manusia itu sendiri yang berimplikasi pada bertambahnya jumlah kebutuhan dasar seperti nutrisi (pangan), energi, sandang dan tempat tinggal. Bertambah besarnya kebutuhan dasar umat manusia akibat dari ledakan populasi manusia telah membawa problem tersendiri yang cukup krusial. Sementara ketersediaan sumber sumber daya alam yang semakin menipis juga menjadi masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Karena jika tidak, kesenjangan antara ledakan jumlah populasi dunia dengan ketersediaan sumber alam untuk pemenuhan kebutuhannya akan segera memunculkan masalah serius pada kehidupan umat manusia. Di sisi lain, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada milenium ini membawa harapan bagi umat manusia untuk dapat mengatasi problem problem kehidupan yang semakin kompleks. Dalam era global, manusia dihadapkan pada perubahan perubahan sistem, dan mekanisme kehidupan yang demikian kompleks dan tidak menentu. Bagi bangsa bangsa yang memiliki keunggulan pengetahuan dan sumber daya manusia, hal ini memberikan peluang yang semakin besar untuk dapat menguasai sumber sumber ekonomi dan penguasaan pasar. Namun bagi bangsa bangsa yang pengetahuan dan sumber daya manusianya masih rendah, justru membuka jalan bagi kebangkrutannya. Pembangunan bidang pendidikan merupakan bagian terpenting dari proses pengembangan sumber daya manusia dimana peningkatan kecakapan 43
Kholid Musyaddad, Mengelola …
dan kemampuan diyakini sebagai faktor pendukung upaya manusia dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian, dan sekaligus ikut menentukan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pendidikan juga merupakan investasi dalam pembangunan nasional. Dalam kerangka inilah pendidikan diperlukan dan dipandang sebagai kebutuhan dasar bagi manusia. Paradigma baru dalam pendidikan itu menghendaki lulusan program pendidikan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan memiliki kemampuan untuk bersaing di dunia internasional. Namun kondisi real pendidikan di Indonesia hingga saat ini nampaknya belum mampu merealisasikan cita cita tersebut. Pendidikan yang dilselenggarakan di setiap satuan pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pada tingkat perguruan tinggi seharusnya dapat membentuk pribadi peserta didik secara utuh. Namun pada kenyataannya, mutu pendidikan khususnya mutu out put pendidikan di Indonesia masih rendah bila dibandingkan dengan mutu out put pendidikan di negara lain baik di ASEAN, Asia, apalagi di tinggkat dunia. Banyak kritik terhadap peran pendidikan yang dijalankan tersebut, bahwa pendidikan di Indonesia dianggap telah gagal dalam membentuk generasi penerus, utamanya karena diindikasikan oleh perilaku, profil, serta produk pendidikan yang jauh dari sasaran pendidikan nasional selama ini. Pendidikan yang seharusnya melahirkan generasi bangsa dengan sejumlah kompetensi yang diperlukan, justru gagal dalam melakukan perannya dalam kehidupan nasional.1 Banyak pakar telah mengemukakan gagalnya bangsa Indonesia dalam membangun peradabannya. Kegagalan itu ditandai dengan tidak adanya perubahan budaya korupsi yang telah menjadi ciri khas bangsa ini, bahkan gerakan reformasi rakyat yang telah terjadi tidak mampu menghilangkan budaya korup tersebut. Indikator lain yang dikemukakan para ahli adalah bahwa Indonesia telah gagal dalam memberikan perlindungan hukum, gagal dalam memberikan keamanan dan kenyamanan kepada rakyatnya baik yang di dalam negeri maupun yang berada di Luar Negeri. Negara gagal dalam usaha mengangkat harkat dan martabat negara. Kesemua itu adalah akibat dari produk gagal pengelolaan dan proses pendidikan. 2 Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara
1
Tilaar, H.A.R., Prof., DR., M.Sc.Ed., 2004, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Rineka Cipta; Jakarta), Cet. Ke 2, ISBN 979-518-559-4, hal. 3. 2 H.E. Mulyasa, Prof. Dr. M.Pd., 2013, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya), hal. 3.
44
Al-‘Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang. Mengacu pada Human Development Index (HDI) yang dipublikasikan pada tanggal 14 Maret tahun 2013, yang merupakan acuan indikator pengukuran sumber daya manusia suatu bangsa, menunjukkan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih dalam level medium human development serta menempati urutan 121 dari 186 negara yang disurvey. Urutan ini jauh berada di bawah negara tetangga, Brunai Darussalam yang menempati urutan 30, dan di bawah Malaysia yang berada pada urutan 64. Ini mengindikasikan bahwa secara global sumber daya manusia Indonesia masih berada di bawah dan kalah bersaing dengan bangsa bangsa lain.3 Kegagalan pendidikan di Indonesia tersebut tidak bisa semata mata ditimpakan kepada guru di lapangan, sebagai pelaksana pendidikan dan pembelajaran di kelas, akan tetapi perlu ditelusuri juga hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pendidikan tersebut, seperti iklim politik, aspek kebijakan, manajemen, maupun operasional atau aktualisasi kebijakan dan konsep pendidikan di lapangan.4 Selain ditentukan oleh proses pembelajaran yang dilakukan guru di kelas, kualitas pendidikan juga bergantung pada aspek manajemen. Artinya, pendidikan dilihat secara sistemik, kesuksesan atau kegagalannya tidak ditentukan oleh satu aspek saja. Karenanya kesuksesan atau kegagalan pendidikan tidak bisa digantungkan kepada guru saja, akan tetapi pengelolaan pendidikan secara umum juga ikut terlibat dalam menentukan kesuksesan itu, termasuk di dalamnya pengelolaan kurikulum, sebagai salah aspek pendidikan. Untuk itu dalam rangka menjamin keberhasilan kurikulum diperlukan pengelolaan yang tepat dan sistematis. Pengelolaan atau manajemen kurikulum yang terkoordinasi dengan baik akan menunjang keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan. B. Pengelolaan Kurikulum Dalam pembahasan mengenai pengelolaan kurikulum di sini, akan dikemukakan bahwa pengelolaan dan kurikulum merupakan dua hal yang berbeda. Berbicara tentang pengelolaan adalah pembicaraan dalam ranah keilmuan manajemen. Sementara kurikulum adalah salah satu unsur atau komponen dalam sistem pendidikan, yakni termasuk dalam kategori alat (soft ware) untuk mencapai tujuan pendidikan.
3
Human Development Reports (HDR) United Nation Development Programme (UNDP), 2013, diakses tanggal 24 Nopember 2013. http://hdr.undp.org/en/statistics/ 4 Tilaar, H.A.R., Prof., DR., M.Sc.Ed., Op. Cit., hal. 2-3, 11-14, 69.
45
Kholid Musyaddad, Mengelola …
Oleh karena itu, pembahasan tentang pengelolaan kurikulum, selain mengacu pada konsep manajemen, juga mengacu pada pemahaman tentang konsep mengenai “apa” hakikat kurikulum dalam proses pendidikan. Sebelum masuk lebih jauh dalam diskusi tentang pengelolaan kurikulum, satu persatu akan dibahas terlebih dahulu pengertian “pengelolaan (manajemen)”, dan kemudian “kurikulum”. a. Pengelolaan/Manajemen Secara kebahasaan istilah manajemen berasal dari bahasa Inggris yaitu Management, yang secara derivatif berakar pada kata manage yang artinya mengatur atau mengelola. Secara istilah, dapat kita jumpai beberapa definisi: Mary Parker Follet, sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Wibisono, mengatakan bahwa manajemen adalah “the art of getting things done through poeple” (suatu seni untuk mendapatkan segala sesuatu yang dilakukan melalui orang lain).5 Melalui definisi ini secara sederhana istilah manajemen dapat dipahami sebagai suatu seni memanfaatkan orang lain dalam rangka mencapai tujuan. Dubrin mengartikan manajemen sebagai proses menggunakan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi melalui fungsi planning, dan decision making, organizing, leading, dan controlling.6 Sadili Samsudin mengutip pendapat G.R. Terry dalam Principless of Manajemen memberikan pengertian sebagai berikut : “Management is a distinct process consisting of planning, organizing, actuating, and controlling performed to determine and accomplish stated objectives by the use of human being and other resources”. “Manajemen adalah suatu proses yang nyata, yang terdiri dari tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengendalian yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lainnya”.7 Menurut Stoner dan Freeman manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin dan mengawasi pekerjaan anggota organisasi dan menggunakan semua sumber daya organisasi yang tersedia untuk mencapai tujuan organisasi yang dinyatakan dengan jelas.8
5
Wibisono, Prof. Dr., SE., M.Phil., 2006, Manajemen Perubahan, (RajaGrafindo; Jakarta), hal. 9. 6 Ibid, hal. 9 7 Sadili Samsudin, 2006, Manajemen Sumber Daya Manusia, hal. 18 8 Wibisono, Loc. Cit.
46
Al-‘Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
Sementara menurut Robbins dan coultar manajemen adalah suatu proses untuk membuat aktivitas organisasi terselesaikan secara efisien dan efektif dengan dana melalui orang lain.9 Abdurrahman Fathoni mendefinisikan manajemen sebagai proses kegiatan menggerakkan sekelompok orang dan menggerakkan segala fasilitas yang tersedia untuk mencapai tujuan tertentu.10 Adapun dalam terma bahasa Arab, istilah manajemen dipadankan dengan kata al-idarah. Dr. Abdul Wahhab sebagaimana dikutip oleh Ahmad ibnu Daud al-Muzjaji al-Asy’ari11 dalam bukunya yang berjudul Muqaddimah al-Idarah al-Islamiyah mendefinisikan manajemen sebagai:
"ﻋﻤﻠﻴﺔ إﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ ﻣﺴﺘﻤﺮة ﺗﻌﻤﻞ ﻋﻠﻰ اﺳﺘﻐﻼل اﳌﻮارد اﳌﺘﺎﺣﺔ اﺳﺘﻐﻼﻻ أﻣﺜﻞ ﻋﻦ "ﻃﺮﻳﻖ اﻟﺘﺨﻄﻴﻂ واﻟﺘﻨﻈﻴﻢ واﻟﻘﻴﺎدة واﻟﺮﻗﺎﺑﺔ ﻟﻠﻮﺻﻮل إﱃ ﻫﺪف ﳏﺪد Manajemen adalah aktivitas kelompok yang berkesinambungan dengan menggunakan sumberdaya, berupa tindakan perencanaan, pengorganisasian (pengaturan), memimpin dan mengawasi, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sementara DR. Al-Hawari menyatakan, juga dikutip oleh Ahmad ibnu Daud al-Muzjaji al-Asy’ari12 menyatakan bahwa manajemen adalah:
""ﺗﻨﻔﻴﺬ اﻷﻋﻤﺎل ﺑﻮاﺳﻄﺔ اﻵﺧﺮﻳﻦ ﻋﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﲣﻄﻴﻂ وﺗﻨﻈﻴﻢ وﺗﻮﺟﻴﻪ ورﻗﺎﺑﺔ ﳎﻬﻮدا ﻢ
Manajemen adalah pelaksanaan kegiatan melalui orang lain melalui proses perencanaan, pengorganisasian (pengaturan), pengarahan dan pengawasan (kontrol) terhadap pelaksananya. Selain itu ada dua istilah yang diberikan para ahli mengenai istilah manajemen yaitu sebagai seni yang merupakan kreativitas pribadi yang disertai suatu keterampilan dan ada pula yang memberikan definisi manajemen sebagai suatu ilmu yang merupakan kumpulan pengetahuan yang logis dan sistematis. Maka suatu organisasi untuk mencapai tujuannya tidak akan terlepas dari aktivitas manajemen. Manajemen menginginkan tujuan organisasi tercapai dengan efisien dan efektif. Manajemen dikatakan sebagai seni karena pencapaian tujuan yang ditetapkan adalah dengan menggunakan kegiatan orang lain. Manajemen
9
Ibid Abdurrahman Fathoni, H. Prof., DR., M.Si., 2006, Organisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia, (Reneka Cipta; jakarta), Cet. 1, hal. 3 11 Ahmad ibnu Daud al-Muzjaji al-Asy’ari, 2000, ﻣﻘﺪﻣﺔ اﻹدارة اﻹﺳﻼﻣﯿﺔ, (JeddahSaudi Arabia), Cet. 1., hal. 37-38 12 Ibid 10
47
Kholid Musyaddad, Mengelola …
dikatakan sebagai ilmu karena manajemen sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan berusaha secara sestematis untuk memahami mengapa dan bagaimana manusia bekerja sama untuk mancapai tujuan, kemudian menerangkan gejala-gejala, kejadian-kejadian, keadaan-keadaan dan memberikan penjelasan-penjelasan tentang itu.13 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen merupakan seni dalam usaha mengatur dan mengelola pekerjaan atau organisasi melalui orang lain dengan menggunakan semua sumber daya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan. Ada beberapa point yang dapat disarikan dari berbagai defenisi manajemen di atas yakni: 1. Manajemen merupakan suatu kegiatan (seni mengelola) 2. Kegiatan manajemen memiliki tujuan 3. Manajemen merupakan seni “memanfaatkan orang” 4. Manajemen merupakan seni menggunakan semua sumberdaya secara efektif dan efisien 5. Dalam manajemen, manusia adalah sebagai subyek dan sekaligus sebagai obyek 6. Dilihat dari perspektif proses, manajemen berfungsi sebagai kegiatan Planing (perencanaan), organizing (pengorganisasian), Staffing (menentukan orang-orang yang akan melakukan pekerjaan), leading (memimpin), actuating (pelaksanaan), dan controlling (kontrol/pengawasan dan evaluasi). Penjelasan masing kegiatan fungsional manajemen tersebut adalah sebagai berikut: 1) Planing adalah proses membuat perencanaan suatu pekerjaan atau kegiatan yang diawali dengan menentukan tujuan yang ingin dicapai (baik tujuan jangka panjang, menengah maupun tujuan jangka pendek), menentukan strategi menyeluruh untuk mencapai tujuan, seperti menentukan prioritas prioritas tindakan, mengembangkan hierarki dan tahapan komprehensif dari rencana, untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kegiatan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. 2) Organizing adalah merupakan tanggung jawab manajer atau pimpinan dalam mendesain struktur organisasi dan struktur atau mekanisme kerja, membagi dan menentukan jenis jenis pekerjaan, pengelompokan pekerjaan dan hirarki aktivitas kerja termasuk mekanisme pelaporan (siapa melaporkan pekerjaan kepada siapa)
13
Mohammad Ali, Prof. Dr. Dkk (penyunting), 2007, Ilmu dan aplikasi Pendidikan, (Bandung: Pedagogiana Press), ISBN : 978-979-16173-0-7., hal. 569.
48
Al-‘Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
3)
4)
5)
6)
14 15
dan kapan serta di mana keputusn dibuat. Pengorganisasian ini merupakan tindakan persiapan sebelum pekerjaan sebenarnya dilakukan. Staffing adalah pekerjaan manajer dalam hal merekrut, menempatkan dan menetapkan orang orang untuk melaksanakan pekerjaan dan menduduki jabatan tertentu dalam struktur organisasi dan struktur pekerjaan yang akan dilaksnakan. Leading atau memimpin adalah fungsi manajer untuk mengarahkan, membimbing, memotivasi pekerja, mengkoordinasikan orang untuk dapat menjalankan pekerjaan bersama yang lain agar pekerjaan dari berbagai macam kelompok dapat berjalan dalam satu kesatuan yang utuh demi tercapainya tujuan. Selain itu juga dalam leading terdapat tindakan menciptakan saluran saluran komunikasi yang efektif, menyelesaikan konflik konflik yang muncul sehingga tercipta satu kesatuan sistem yang utuh demi tercapainya tujuan organisasi atau pekerjaan yang dilaksanakan. Para ahli manajemen, seperti Dubrin misalnya menggunakan istilah leading ini untuk actuating. Actuating adalah kegiatan menjalankan suatu pekerjaan atau jalannya organisai. Dengan kata lain bahwa actuating adalah bentuk implementasi dari aapa yang sudah ditentukan dalam planning dan tindakan pengorganisasian sebelumnya. Menurut Wibisono perbedaan antara leading dan actuating sebenarnya lebih pada penekanan atau pada titik beratnya. Jika actuating menekankan pada bagaimana pekerjaan itu dilakukan, sedangkan leading menekankan pada bagaimana memimpin dan mengarahkan pelaksanaannya.14 Controlling merupakan aktivitas berupa pengawasan atau monitoring terhadap jalannya kegiatan atau organisasi untuk memastikan semua hal berjalan dengan semestinya. Kinerja aktual harus dibandingkan dengan tujuan yang ingin dicapai, semua jenis dan kelompok pekerjaan harus berjalan sesuai dengan yang sudah ditepkan dalan perencanaan dan pengorganisasian. Jika terdapat deviasi signifikan, dilakukan koreksi dan dikembalikan ke jalur yang tepat. Dalam tindakan kontrolling ini sekaligus terdapat tindakan pengukuran dan penilaian (evaluasi) terhadap jalannya pekerjaan, performa kerja pegawai dan terhadap hasil sementara yang telah dicapai, untuk kemudian diadakan perbaikan terhadap performa atau hasil yang belum maksimal (sesuai yang diinginkan).15
Wibisono, Op. Cit., hal 12 Wibisono, Op. Cit.. hal. 12-14
49
Kholid Musyaddad, Mengelola …
Berdasaran beberapa defenisi manajemen seperti yang disebutkan di atas, bahwa tindakan manajerial adalah tindakan pengelolaan dan pengaturan sebuah pekerjaan atau organisasi melalui orang lain dengan memanfaatkan semua sumberdaya yang ada demi mencapai tujuan, maka sumberdaya organisasi di sini memegang peran penting. Menurut Zonlu Senyucel “Resources, in its organizational context, is defined as ‘anything that could be thought of as a strength or weakness of a given firm’ including tangible and intangible assets”.16 Sumberdaya, dalam konteks organisasinya, didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat dianggap sebagai sebuah kekuatan ataupun kelemahan yang dimiliki, baik berupa aset aset yang nyata maupun yang tidak nyata (konkrit atau tidak konkrit). b. Kurikulum Tidak mudah untuk mendefinisikan kurikulum secara tepat dan dapat berlaku umum, karena dalam membuat definisi kurikulum tidak bisa terlepas dari pemahaman tentang hakikat pendidikan. Sementara pemahaman para ahli pendidikan tentang hakikat pendidikan berbeda beda bergantung pada filosofi yang dianut. Kaitan defenisi kurikulum dengan pendidikan ini disebabkan karena kurikulum adalah bagian dari masalah pendidikan. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kurikulum adalah sub-sistem dari sistem pendidikan yang terdiri dari: 1. Tujuan Tujuan merupakan batasan dari hal-hal yang hendak di capai. Baiknya tujuan yang ingin dicapai dalam satu usaha perlu dikonkritkan terlebih dahulu sebelum usaha tersebut dimulai, sebab tujuan mempunyai fungsi yang tertentu terhadap satu usaha. 2. Pendidik Pendidik adalah orang yang melaksanakan pendidikan, orang ini biasa di sebut guru atau dosen. Orang tersebut sebagai pihak yang mendidik dengan norma-norma, pihak yang turut membentuk anak, pihak yang memberikan anjuran, pihak yang terlibat dalam menghumanisasikan anak, memiliki berbagai macam pengetahuan dan kecakapan. 3. Peserta didik Sasaran dari pendidikan adalah peserta didik, peserta didik dapat dikatakan sebagai pihak yang dididik, dipimpin, diarahkan, dan diberi berbagai macam ilmu pengetahuan dan keterampilan oleh pendidik.
16
Zorlu Senyucel, 2009, Manajing The Human Resources in the 21th Century, (Zorlu Senyucel & Ventus Publishing ApS), ISBN 978-87-7681-468-7., hal. 15
50
Al-‘Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
Peserta didik juga bisa dikatakan sebagai pihak yang dihumanisasikan yang biasa di sebut pelajar atau mahasiswa. 4. Alat (hard ware dan soft ware) Alat pendidikan adalah sesuatu apa pun yang membantu terlaksananya proses belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuannya, baik berupa benda atau pun bukan berupa benda, seperti sarana dan prasarana, finansial, media pembelajaran, kurikulum dan sebagainya. 5. Manajemen Manajemen pendidikan adalah berkaitan dengan seni atau ilmu dalam mengelola proses pendidikan 6. Metode Metode adalah cara yang ditempuh pendidik dalam melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran. 7. Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang mempengaruhi individu,sesuatu itu mungkin berasal dari dalam(internal) atau dari luar(external) diri individu. Berdasarkan pemikiran sistemik, maka kurikulum adalah bagian dari atau salah satu unsur dalam sistem pendidikan yang perannya sangat besar dalam menentukan tercapainya tujuan pendidikan. Mengenai ini, Prof. Dr. Oemar Hamalik menyatakan bahwa “...kurikulum mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan.”17 Selanjutnya lebih jauh Oemar Hamalik menyatakan bahwa ada tiga peran penting kurikulum dalam pendidikan yakni: 1. Peran Konservative Salah satu tanggung jawab kurikulum adalah entrasmisikan dan menafsirkan warisan sosial pada generasi muda. Dengan demikian, sekolah sebagai suatu lembaga sosial yang bertugas untuk mempengaruhi dan membina tingkah laku generasi muda sesuai dengan budaya yang ada dalam masyarakatnya. Dengan peran kurikulum seperti ini, maka lembaga pendidikan atau sekolah menjadi salah semacam jembatan penghubung antara satu generasi dengan generasi berikutnya. 2. Peran Kritis atau evaluatif Manusia berada dalam dunia yang selalu berubah, oleh karenanya kebudayaan umat manusia juga tidak bersifat statis, akan tetapi mengalami perubahan perubahan, dengan segala muatan positif dan negatifnya.
17
Oemar Hamalik, Prof., Dr., H., 2008, dasar Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung; Rosdakarya), Cet. Ke dua, hal. 11
51
Kholid Musyaddad, Mengelola …
Berhadapan dengan muatan budaya yang bersifat positif dan negatif ini, maka proses pendidikan melakukan tindakan kritis, dengan memilah dan memilih konten budaya mana yang sebaiknya dan seharusnya termuat dalam kurikulum. Dengan demikian, kurikulum turut berpartisipasi dalam kontrol sosial memberikan penekanan pada unsur kritis. Bentuk bentuk nilai budaya yang tidak sesuai dengan cita cita kemanusiaan yang mulia, serta tidak sesuai dengan sifat proggresiv kehidupan alam dihilangkan. Dengan demikian kurikulum harus merupakan pilihan yang tepat atas dasar kriteria kebaikan universal dan proggresivitas. 3. Peran Kreatif Sifat perubahan alam yang tidak bisa dihindari berpengaruh besar pada kehidupan umat manusia. Problem problem kehidupan selalu muncul dengan bentuknya yang berubah dan semakin kompleks, seiring dengan perubahan zaman. Sadar atau tidak manusia dituntut untuk dapat mengatasi kompleksitas problem kehidupan yang terus berubah itu. Kurikulum dituntut untuk dapat menciptakan manusia manusia yang aktif dan kreatif untuk tetap bisa survive dalam kehidupannya. Berkaitan dengan ini, maka kurikulum berperan dalam menciptakan situasi dan kondisi konstruktif di mana siswa dapat menjadi aktif, kreatif, mandiri dan bertanggung jawab. Kurikulum harus dirancang dan dikelola agar dapat menciptakan situasi belajar yang kondusif untuk menciptakan manusia manusia yang dapat menjawab kebutuhan masa depan.18 Ketiga peran kurikulum ini harus dipahami oleh pimpinan lembaga pendidikan agar dapat mengelolanya dengan benar demi tercapainya tujuan pendidikan. c. Manajemen Kurikulum Dalam Undang Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional Kurikulum dikatakan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.19 Menurut Prof. Dr. S. Nasution, MA., “Lazimnya kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar
18
Ibid. hal. 12-13 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sikdiknas). Bandung: Fokusmedia,hlm. 4 19
52
Al-‘Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
mengajar di bawah bimbingan dan tanggungjawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya”.20 Menilik kurikulum sebagai sebuah rencana dalam kegiatan pendidikan, maka kurikulum memegang peran penting dalam sistem manajemen pendidikan, yang karenanya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kurikulum pengelolaan kurikulum ikut menentukan keberhasilan atau kegagalan proses pendidikan. Dilihat dari kacamata ilmu manajemen, kurikulum menempati fungsi perencanaan dari dari kegiatan manajerial pendidikan. Kurikulum sendiri, sebagai salah satu alat dalam sistem pendidikan sebagaimana disebutkan di atas, perlu dikelola atau dimanaje dengan baik agar proses pendidikan dapat berjalan ke arah tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen kurikulum adalah sebuah proses atau sistem pengelolaan kurikulum yang kooperatif, komprehensif, sistemik, dan sistematik untukmengacu ketercapaian tujuan kurikulum yang sudah dirumuskan.Proses manajemen kurikulum tidak lepas dari kerjasama sosial antara dua orangatau lebih secara formal dengan bantuan sumber daya yang mendukungnya.Pelaksanaanya dilakukan dengan metode kerja tertentu yang efektif dan efisiendari segi tenaga dan biaya, serta mengacu pada tujuan kurikulum yang sudahditentukan sebelumnya. Manajemen kurikulum adalah bagian dari studi kurikulum. Para ahli pendidikan pada umumnya telah mengenal bahwa kurikulum adalah suatu cabang dari disiplin ilmu pendidikan yang mempunyai ruang lingkup sangat luas. Studi ini tidak hanya membahas tentang dasar-dasarnya, tetapi juga mempelajari kurikulum secara keseluruhan yang dilaksanakan dalam pendidikan. Ruang lingkup manajemen kurikulum adalah sebagai berikut: (1) manajemen perencanaan, (2) manajemen pelaksanaan kurikulum, (3) supervisi pelaksanaan kurikulum, (4) pemantauan dan penilaian kurikulum, (5) perbaikan kurikulum, (6) desentralisasi dan sentralisasi pengembangan kurikulum. Sebuah kurikulum terdiri dari beberapa unsur komponen yang terangkai pada suatu sistem. Sistem kurikulum bergerak dalam siklus yang secara bertahap, bergilir, dan berkesinambungan. Oleh sebab itu, manajemen kurikulum juga harus memakai pendekatan sistem. Sistem kurikulum adalah suatu kesatuan yang didalamnya memuat beberapa unsur
20
S. Nasution, Prof. Dr. MA., Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta, Bumi Aksara), cet. Keempat, hal. 5
53
Kholid Musyaddad, Mengelola …
yang saling berhubungan dan bergantung dalam mengemban tugas untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Margaret Preedy, kegiatan pengelolaan kurikulum ini berkaitan dengan empat pertanyaan kunci, yakni, “siapa” (Guru dan siswa), “apa” (kurikulum), “mengapa” (tujuan yang ingin dicapai dan nilai nilai yang dianut), dan terakhir “di mana” (sekolah dan lingkungan belajar).21 Kajian mengenai pegelolaan kurikulum di masa lalu banyak cenderung hanya fokus pada pertanyaan tentang “apa”, sehingga fokus perhatian pengelolaan kurikulum berada pada batasan tentang sejumlah mata pelajaran yang disusun dalam jadual pembelajaran di sekolah, padahal seharusnya keempat pertanyaan kunci itu saling berkaitan dan merupakan sebuah kesatuan. Di sinilah peran penting kepemimpinan pendidikan, yakni peran integrativ dalam pengelolaan kurikulum.22 1. Manajemen Perencanaan Kurikulum Menurut Margaret Preedy, perencanaa kurikulum berada pada bingkai pencapaian nilai nilai dan tujuan pendidikan, atau secara spesifik mengacu pada tujuan yang ingin dicapai oleh tingkat/gradasi satuan pendidikan, dan prioritas prioritas tujuan yang disusun dalam konteks ekspektasi lokal dan nasional.23 Tugas utama kepemimpinan di bidang kurikulum memastikan bahwa kurikulum dikelola mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan, memastikan apa yang akan dilakukan guru di kelas dan apa yang akan dialami siswa dengan kurikulum yang telah disusun. Perencanaan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membina siswa ke arah perubahan tingkah laku yang diinginkan dan menilai sampai mana perubahan-perubahan yang telah terjadi pada siswa. Lima hal yang mempengaruhi perencanaan dan pembuat keputusan : Filosofis Konten/materi Manajemen pembelajaran Pelatihan guru Sistem pembelajaran. Perencanaan adalah suatu proses sosial yang kompleks dan menuntut berbagai jenis tingkat pembuatan keputusan. Sebagaimana pada umumnya rumusan model perencanaan harus berdasarkan asumsi-asumsi rasionalitas
21
Tony Bush & Les Bell (ed), 2002, The Principles and Practice of Educational Management, (London, SAGE Publication Inc.), Hal. 153 22 Ibid. 23 Ibid, hal. 154-155
54
Al-‘Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
dengan pemrosesan secara cermat. Proses ini dilaksanakan dengan pertimbangan sistematik tentang relevansi pengetahuan filosofis (isu-isu pengetahuan yang bermakna), sosiologis (argumen-argumen kecenderungan sosial), dan psikologi (dalam menentukan urutan materi pelajaran). Mengenai konten kurikulum ini, menurut Margaret Preedy ada sejumlah issue yang patut menjadi perhatian diantaranya: Keluasan, yakni bahwa kurikulum harus mencakup seluruh area pembelajaran. Keseimbangan, yakni bahwa kurikulum seluruh area pembelajaran harus mendapatkan perhatian yang seimbang. Proggressiv dan berkelanjutan, yakni bahwa kurikulum harus menciptakan situasi belajar yang koheren dan berkelanjutan dari tahun ketahun dan dalam setiap tingkatan pendidikan. Koheren, yakni bahwa antar materi atau antar mata pelajar yang beraneka ragam harus bersifat koheren (berhubungan dan terpadu sebagai satu kesatuan). Relevan, yakni bahwa kurikulum harus mampu memberikan kebutuhan kekinian, dan kebutuhan masa depan siswa. Pembedaan, yakni bahwa kurikulum disusun juga memperhatikan kebutuhan individual siswa yang berbeda beda didasarkan pada kecenderungan, dan kapabilitas siswa.24 Perencanaan kurikulum dijadikan sebagai pedoman yang berisi petunjuk tentang jenis dan sumber peserta yang diperlukan, media penyampaian, tindakan yang perlu dilakukan, sumber biaya, tenaga, sarana yang diperlukan, sistem kontrol, dan evaluasi untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan perencanaan akan memberikan motivasi pada pelaksanaan sistem pendidikan sehingga dapat mencapai hasil yang optimal. Kegiatan inti pada perencanaan adalah merumuskan isi kurikulum yang memuat seluruh materi dan kegiatan yang dalam bidang pengajaran, mata pelajaran, masalah-masalah, proyek-proyek yang perlu dikerjakan. 2. Manajemen Pengorganisasian dan Pelaksanaan Kurikulum Manajemen pengorganisasian dan pelaksanaan kurikulum adalah berkenaan dengan semua tindakan yang berhubungan dengan perincian dan pembagian semua tugas yang memungkinkan terlaksana. Organisasi kurikulum merupakan pola atau desain bahan kurikulum yang tujuannya untuk mempermudah siswa dalam mempelajari bahan pelajaran serta 24
Ibid, hal. 155
55
Kholid Musyaddad, Mengelola …
mempermudah siswa dalam melakukan kegiatan belajar sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif. Pengorganisasi kurikulum sangat terkait dengan pengaturan bahan pelajaran yang ada dalam kurikulum, sehingga dalam hal ini, ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengorganisasian kurikulum, di antaranya: Ruang lingkup dan urutan bahan pelajaran à dalam hal ini yang menjadi pertimbangan dalam penentuan materi pelajaran adalah adanya integrasi antara aspek masyarakat (yang mencakup nilai budaya dan sosial) dengan aspek siswa (yang mencakup minat, bakat dan kebutuhan). Dan dalam hal ini, bukan hanya materi pelajaran yang harus diperhatikan, tetapi bagaimana urutan bahan tersebut dapat disajikan secara sistematis dalam kurikulum. Kontinuitas kurikulum dalam hal ini yang perlu diperhatikan dalam pengorganisasian kurikulum adalah yang berkaitan dengan substansi bahan yang dipelajari siswa, agar jangan samapi terjadi pengulangan ataupun loncat-loncat yang tidak jelas tingkat kesukarannya. Keseimbangan bahan pelajaran à dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah kesesuaian bahan pelajaran dengan perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang terus terjadi. Oleh sebab itu dalam pengorganisasian kurikulum keseimbangan substansi isi kurikulum harus dilihat secara komprehensif untuk kepentingan siswa sebagai individu, tuntutan masyarakat, maupun kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka dalam penentuan bahan pelajaran, aspek estetika, intelektual, moral, sosial-emosional, personal, religius, seniaspirasi dan kinestetik, semuanya harus terakomodasi dalam isi kurikulum. Alokasi waktu dalam hal ini yang menjadi perhatian adalah alokasi waktu yang dibutukan dalam kurikulum harus sesuai dengan jumlah materi yang disediakan. Maka untuk itu, penyusunan kalender pendidikan untuk mengetahui secara pasti jumlah jam tatap muka masing-masing pelajaran merupakan hal yang terpenting sebelum menetapkan bahan pelajaran.25 Dalam manajemen, pelaksanaan kurikulum bertujuan supaya kurikulum dapat terlaksana dengan baik. Dalam hal ini manajemen bertugas menyediakan fasilitas material, personal dan kondisi-kondisi supaya kurikulm dapat terlaksana. Pelaksanaan kurikulum dibagi menjadi dua: 1. Pelaksanaan kurikulum tingkat sekolah, yang dalam hal ini langsung ditangani oleh kepala sekolah. Selain dia bertanggung jawab supaya kurikulum dapat terlaksana di sekolah, dia juga berkewajiban melakukan kegiatan-kegiatan yakni menyusun kalender akademik yang akan berlangsung disekolah dalam satu tahun, menyusun jadwal pelajaran
25
56
Rusman, 2009, Manajemen Kurikulum, (Jakarta: Rajawali Pers), hal. 3
Al-‘Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
dalam satu minggu, pengaturan tugas dan kewajiban guru, dan lain-lain yang berkaitan tentang usaha untuk pencapaian tujuan kurikulum. 2. Pelaksanaan kurikulum tingkat kelas, yang dalam hal ini dibagi dan ditugaskan langsung kepada para guru. Pembagian tugas ini meliputi: a. Kegiatan dalam bidang proses belajar mengajar. b. Pembinaan kegiatan ekstrakulikuler yang berada diluar ketentuan kurikulum sebagai penunjang tujuan sekolah. c. Kegiatan bimbingan belajar yang bertujuan untuk mengembangkan potensi yang berada dalam diri siswa dan membantu siswa dalam memecahkan masalah.26 Dalam manajemen kurikulum ditentukan oleh manusianya sebagai subyek. Orang orang yang memegang peran penting pada manajemen pelaksanaan kurikulum adalah: 1. Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Pembelajaran Kepala sekolah menempati posisi terdepan dalam mengelola kurikulum di sekolah. Kepala sekolah didorong untuk mencari cara agar mengembangkan apa yang sudah dilakukan guru di kelas dengan ide dari pengembang kurikulum pusat. Kepala sekolah membentuk gambaran mental apa yang harus dicapai siswa dan bagaimana pencapaiannya pada disiplin yang berbeda, termasuk bagaimana cara menilai penampilan siswa. Pejabat daerah meninjau ulang ekspektasi kinerja dan memberi saran untuk modifikasi sampai mereka puas bahwa kepala sekolah sudah jelas dalam memahami operasional tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya dalam pelatihan di tingkat yang lebih tinggi para guru dan karyawan dilatih berdasarkan jenjangnya, dan mereka mengembangkan rencana sepanjang tahun pada mata pelajaran yang berbeda-beda. Rencana-rencana tersebut dikritisi dan tiap guru mebuat rencana kelasnya masing-masing. Kepala sekolah dan guru memutuskan langkah-langkah yang akan diambil dalam menerjemahkan kurikulum pada tataran praktis. Setelah rencana diterapkan, kepala sekolah mendukung guru dalam melakukan eksperimen untuk menemukan cara baru dalam modifikasi kelas dan mengelompokkan guru agar bertemu secara teratur untuk membahas dan berbagi tentang strategi pembelajaran baru. Kepemimpinan yang fokus adalah ketika kepala-kepala sekolah bersama guru menganalisa kemajuan siswa berdasarkan tes dan patokan dan kemudian menentukan implikasi untuk pembelajaran.
26
Dadang Suhardan dkk, 2009, Manajemen Pendidikan, (Bandung; Alfabeta),
hal. 195
57
Kholid Musyaddad, Mengelola …
2. Kepala Sekolah dalam Kepemimpinan Bersama Kepala sekolah dan guru memiliki kebebasan untuk menyusun visi kurikulum mereka sendiri daripada hanya mencari cara mencapai tujuan yang disusun pihak lain. Para karyawan berfokus pada masalah di sekolah mereka. Salah satu pendekatannya adalah dengan berfokus pada budaya sekolah, termasuk keyakinan, nilai-nilai, tradisi, praktek, harapan, dan asumsi-asumsi. Cara yang baik untuk memulai mengembangkan visi kurikulum adalah dengan menetapkan pernyataan misi dan analisis kritis pada kurikulum yang sedang berjalan. Sangat baik untuk merumuskan etos dari sekolah, ciri khas, dan aspek-aspek unggulan dari sekolah. Guru dan kepala sekolah mengeksplor peraturan sekolah (kebijakan penilaian, penjadwalan, buku teks, pembelajaran keluar, dan yang lainnya). Biasanya tim ini yang menentukan kebijakan, menginterpretasikannya, dan menentukan konsekuensinya. Di bawah kepemimpinan bersama, peran kepala sekolah adalah untuk melepaskan kapasitas kreativitas dari tim tadi, bukan mengontrolnya. Salah satu tujuan dalam sesi perencanaan adalah semua harus berbagi pengetahuan, pengamatan, interpretasi, dan harus ada bukti dan kesepakatan tentang validitas dari pandangan yang bertentangan. Keputusan didasarkan pada konsensus rasional, bukan dari kepala sekolah atau guru-guru yang populer. Selama berdiskusi peserta tetap menjaga norma dan nilai dari sekolah. Peran guru dalam pengambilan keputusan kurikulum bukan hal yang baru. Gary Peltier menulis tentang program penyusunan kurikulum tahun 1922 menggunakan partisipasi guru. Hasilnya, para guru menjadi lebih tahu tentang tujuan pendidikan, lebih dapat menginterpretasikan program, dan lebih menerima metode-metode baru. Guru menjadi lebih menerima pandangan baru tentang mata pelajaran, dan lebih respon terhadap kebutuhan sosial dan siswa. 3. Kepala Departemen atau Wakil Kepala Sekolah dalam Manajemen Kurikulum Pada beberapa sekolah, kepala sekolah menetapkan kepala departemen atau wakil kepala sekolah untuk kepemimpinan kurikulum. Kepala departemen menyediakan struktur kurikulum, diskusi, dan pengambilan keputusan. Departemen kurikulum menangani isu-isu tentang hasil yang diharapkan, isi materi dan sekuensnya, kriteria untuk materi dan aktivitas baru, pendekatan pengajaran, pengawasan dalam implementasi, dan evaluasi. 3. Supervisi Pelaksanaan Kurikulum Supervisi atau pemantauan kurikulum adalah pengumpulan informasi berdasarkan data yang tepat, akurat, dan lengkap tentang pelaksanaan kurikulum dalam jangka waktu tertentu oleh pemantau ahli 58
Al-‘Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
untuk mengatasi permasalahan dalam kurikulum. Pelaksanaan kurikulum di dalam pendidikan harus dipantau untuk meningkatkan efektifitasnya. Pemantauan ini dilakukan supaya kurikulum tidak keluar dari jalur.27 Oleh sebab itu seorang yang ahli menyusun kurikulum harus memantau pelaksanaan kurikulum mulai dari perencanaan sampai mengevaluasinya. Secara garis besar pemantauan kurikulum bertujuan untuk mengumpulkan seluruh informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan dalam memecahkan masalah. Dalam tataran praktis, pemantauan kurikulum memuat beberapa aspek, yaitu sebagai berikut: 1. Peserta didik, dengan mengidentifikasi pada cara belajar, prestasi belajar, motivasi belajar, keaktifan, kreativitas, hambatan dan kesulitan yang diahadapi. 2. Tenaga pengajar, dengan memantau pada pelaksanaan tanggung jawab, kemampuan kepribadian, kemampuan kemasyarakatan, kemampuan profesional, dan loyalitas terhadap atasan. 3. Media pengajaran, dengan melihat pada jenis media yang digunakan, cara penggunaan media, pengadaan media, pemeliharaan dan perawatan media. 4. Prosedur penilaian: instrument yang dihadapi siswa, pelaksanaan penilaian, pelaporan hasil penilaian. 5. Jumlah lulusan: kategori, jenjang, jenis kelamin, kelompok usia, dan kualitas kemampuan lulusan.28 4. Penilaian Kurikulum Penilaian kurikulum atau evaluasi kurikulum merupakan bagian dari sistem manajemen. Evaluasi bertujuan untuk mengumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk penentuan keputusan mengenai kurikulum apakah akan direvisi atau diganti. Model evaluasi kurikulum secara garis besar digolongkan ke dalam empat rumpun model, yaitu : Measurement, evaluasi pada dasarnya adalah pengukur siswa untuk mengungkapkan perbedaan individual maupun kelompok. Congruence, evaluasi pada dasarnya merupakan pemeriksaan kesesuaian (congruence) antara tujuan pendidikan dan hasil belajar yang dicapai, untuk melihat sejauh mana perubahan hasil pendidikan telah terjadi.
27
Oemar Hamalik, 2009, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya), hal. 19. 28 Rahmat Raharjo, 2010, Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Magnum Pustaka), hal. 161
59
Kholid Musyaddad, Mengelola …
Illumination, evaluasi pada dasarnya merupakan studi mengenai pelaksanaan program, kebaikan-kebaikan dan kelemahan program, serta pengaruh program terhadap terhadap perkembangan hasil belajar. Educational System Evaluation, evaluasi pada dasarnya adalah perbandingan antara performance setiap dimensi program dan kriteria, yang akan berakhir dengan suatu deskripsi dan judgement. Model evaluasi kurikulum lain misalnya model pluralistik, model ini cenderung digunakan hanya ketika penelitian kurang menarik untuk alasan politis, biaya, dan kepraktisan. Model yang lebih baru ini terutama digunakan untuk kurikulum yang di luar kebiasaan, dan yang berhubungan dengan pendidikan estetis, proyek multikultural, dan sekolah alternatif. a. Model Stake Menurut Robert E. Stake, harus ada evaluasi awal untuk menentukan apa yang sebenarnya diinginkan oleh klien dan partisipan dari evaluasi program tersebut. Hal ini perlu diketahui untuk mendesain projek evaluasi. Penekanan utama dalam model Stake adalah deskripsi dan penilaian. Baginya, penilai harus melaporkan perbedaan orang melihat kurikulum. Karena itu, aktivitas prinsip dari penilai antara lain, mencari apa yang ingin diketahui orang, melakukan pengamatan, dan mengumpulkan penilaian beragam. Orang-orang yang bervariasi, mulai dari para ahli, jurnalis, psikologis, demikian juga guru dan murid diharapkan berpartisipasi dalam penilaian ini. b. Model Connoisseurship Elliot W. Eisner mengembangkan sebuah proses evaluasi yang dapat menangkap lebih dari yang didapat dari tes. Salah satu prosedurnya adalah mengkritisi pendidikan, dimana penilai mengajukan beberapa pertanyaan seperti: Apa yang sudah terjadi selama tahun ajaran di sekolah tersebut? Apa saja kegiatan-kegiatan kuncinya? Bagaimana kegiatan-kegiatan itu dilaksanakan? Bagaimana siswa dan guru berpartisipasi? Apa saja konsekuensinya? Bagaimana kegiatan itu dapat dikuatkan? Bagaimana kegiatan tersebut dapat membuat siswa belajar? Alat lain untuk menunjang program adalah film, rekaman video, foto, dan rekaman suara wawancara siswa dan guru. Connoisseurship berhubungan dengan: mencatat apa yang dikatakan dan yang tidak dikatakan, bagaimana hal tersebut dikatakan, nadanya, dan faktor lain yang mengindikasikan arti. Prosedur lain dari Eisner adalah menganalisis hasil produk siswa, termasuk mengkritisi untuk membantu penilai memahami apa yang sudah dicapai dan untuk mengungkapkan realitas dari kelas. Hal ini juga dikenal dengan penilaian autentik.
60
Al-‘Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
Pendekatan ini, meskipun informatif dan mudah diadaptasi pada kondisi lokal yang unik, namun bersifat subyektif dan berpotensi kontroversial. Bagaimanapun interaksi sosialdi antara pesertadalam menciptakanmaknadariapa yang dikumpulkanberkontribusi terhadap validitas penafsiran. 5. Perbaikan Kurikulum Kurikulum tidak bisa bersifat selalu statis, akan tetapi akan senantiasa berubah dan bersifat dinamis. Hal ini dikarenakan kurikulum itu sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan yang menuntutnya untuk melakukan penyesuaian supaya dapat memenuhi permintaan. Permintaan itu baik dikarenakan adanya kebutuhan dari siswa dan kebutuhan masyarakat yang selalu mengalami perkembangan dan pertumbuhan terus menerus. Perbaikan kurikulum intinya adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang dapat disoroti dari dua aspek, proses, dan produk. Kriteria proses menitikberatkan pada efisiensi pelaksanaan kurikulum dan sistem intruksional, sedangkan kualitas produk melihat pada tujuan pendidikan yang hendak dicapai dan output (kelulusan siswa). Berkaitan dengan prosedur perbaikan, seluruh komponen sumber daya manusiawi, seperti: administrator, pemilik sekolah, kepala sekolah, guru-guru, siswa, serta masyarakat sangat berperan besar. Tanggung jawab masing-masing harus dirumuskan secara jelas. Selain itu aspek evaluasi juga harus dikaji sejak awal perencanaan program perbaikan kurikulum. Dengan evaluasi yang tepat dan data informasi yang akurat akan sangat diperlukan dalam membuat keputusan kurikulum dan intruksional. Chamberlain telah merumuskan tindakan-tindakan yang dilakukan dalam perbaikan, yaitu: (1) mengidentifikasi masalah sebenarnya sebagai tuntutan untuk mengetahui tujuan, (2) mengumpulkan fakta atau informasi tambahan, (3) mengajukan kemungkinan pemecahan dengan keputusan yang optimal dan diharapkan, (4) memilih pemecahan sebagai percobaan, (5) merencanakan tindakan yang dikehendaki untuk melaksanakan penyelesaian, (6) melakukan solusi percobaan, (7) evaluasi. 6. Sentralisasi dan Desentralisasi Kurikulum Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. Sentralisasi banyak 61
Kholid Musyaddad, Mengelola …
digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama. Dalam era reformasi dewasa ini, diberlakukan kebijakan otonomi yang seluas-luasnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan distribusi kekuasaan secara vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah pusat ke daerah, termasuk kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan tampak masih menghadapi berbagai masalah. Masalah itu diantaranya tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan masalah kurang adanya koordinasi dan sinkronisasi. Indonesia sebagai negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara berkembang. Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, serba keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat relevansinya baik kehidupan anak dan lingkungannya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang memprihatinkan seperti : 1. Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan 2. Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan,evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran. 3. Keseragaman pola pembudayaan masyarakat 4. Melemahnya kebudayaan daerah 5. Kualitas manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas. Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, makaupaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memiliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat, menjadi sangat sulit untuk di wujudkan. Beberapa alasan yang mendasari perlunya desentralisasi : 1. Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara lebih luas. 2. Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi. 3. Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehingga dapat meningkatkan efisiensi. 4. Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal. 5. Mengakomodasi kepentingan poloitik. 62
Al-‘Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
6. Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif. Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada orang-orang pada level bawah (daerah). Kelebihan sistem ini adalah sebagian keputusan dan kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Namun kekurangan dari sistem ini adalah pada daerah khusus, euforia yang berlebihan dimana wewenang itu hanya menguntungkan pihak tertentu atau golongan serta dipergunakan untuk mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi. Sistem pendidikan yang sentralistik yang mematikan kemampuan berinovasi tentunya tidak sesuai dengan pengembangan suatu masyarakat demokrasi terbuka. Oleh sebab itu, desntralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan proses pendidikan kepada rakyat sebagai pemilik pendidikan itu sendiri. Rakyat harus berpartisipasi di dalam pembentukan social capital tersebut. Ikut sertanya rakyat di dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat demokrasi berarti pula rakyat ikut membina lahirnya social capital dari suatu bangsa. Dari beberapapengalaman di negara lain,kegagalan disentralisasi di akibatkan oleh beberapa hal : 1. Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desintralisasi ke memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa. 2. Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah. 3. Kemampuan keuangan daerah yang terbatas. 4. Sumber daya manusia yang belum memadai. 5. Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai. 6. Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang. 7. Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehiulangan otoritasnya. Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan disentralisasi yang tidak matang juga melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya : 1. Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah,antar sekolah antar individu warga masyarakat. 2. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu sebelumnya,sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolahuntuk melakukan pembaruan. 3. Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggarandi alokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru didistribusikan ke sekolah. 63
Kholid Musyaddad, Mengelola …
4. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif berpotensi akan menurunkan pendidikan. 5. Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahamisepenuhnya permasalahandan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan. 6. Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial. 7. Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah. Selain dampak negatif tentu saja desentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilan antara lain : 1. Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan. 2. Mampu membangun partisifasi masyarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar0benar dari oleh dan untuk masyarakat. C. Penutup Berdasarkan penjelasan yang telah penulis sampaikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa manejemen kurikulum merupakan sebuah proses atau sistem pengelolaan kurikulum secara kooperatif, komprehensif dan sistematik untuk mengacu ketercapaian tujuan kurikulum yang sudah dirumuskan. Dalam proses manajemen kurikulum tidak lepas dari kerjasama sosial antara dua orang atau lebih secara formal dengan bantuan sumber daya yang mendukungnya. Pelaksanaanya dilakukan dengan metode kerja tertentu yang efektif dan efisien dari segi tenaga dan biaya, serta mengacu pada tujuan kurikulum yang sudah ditentukan sebelumnya. Adapun fungsi dari manajemen kurikulum adalah untuk meningkatkanefisiensi pemanfaatan sumber daya kurikulum, meningkatkan keadilan dankesempatan bagi peserta didik untuk mencapai hasil yang maksimal melaluirangkaian kegiatan pendidikan yang dikelola secara integritas dalam mencapaitujuan, meningkatkan motivasi pada kinerja guru dan aktifitas siswa karenaadanya dukungan positif yang diciptakan dalam kegiatan pengelolaan kurikulum,serta meningkatkan pastisipasi masyarakat untuk membantu pengembangankurikulum, kurikulum yang dikelola secara profesional akan melibatkanmasyarakat dalam memberi masukan supaya dalam sumber belajar disesuaikandengan kebutuhan setempat.Ruang lingkup manajemen kurikulum adalah sebagai berikut:(1) manajemen perencanaan,(2) manajemen pelaksanaan kurikulum,(3) supervisi pelaksanaan kurikulum,(4) pemantauan dan penilaian kurikulum,(5) perbaikan kurikulum,(6) desentralisasi dan sentralisasi pengembangan kurikulum. 64
Al-‘Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
Daftar Pustaka Abdurrahman Fathoni, H. Prof., DR., M.Si., 2006, Organisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia, (Reneka Cipta; jakarta), Cet. 1 Ahmad ibnu Daud al-Muzjaji al-Asy’ari, 2000, ﻣﻘﺪﻣﺔ اﻹدارة اﻹﺳﻼﻣﯿﺔ, (Jeddah-Saudi Arabia), Cet. 1 Dadang Suhardan dkk, 2009, Manajemen Pendidikan, (Bandung; Alfabeta) H.E. Mulyasa, Prof. Dr. M.Pd., 2013, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya) Human Development Reports (HDR) United Nation Development Programme (UNDP), 2013, diakses tanggal 24 Nopember 2013. http://hdr.undp.org/en/statistics/ Mohammad Ali, Prof. Dr. Dkk (penyunting), 2007, Ilmu dan aplikasi Pendidikan, (Bandung: Pedagogiana Press), ISBN : 978-979-16173-0-7. Oemar Hamalik, Prof., Dr., H., 2008, dasar Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung; Rosdakarya), Cet. Ke 2, Oemar Hamalik, 2009, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya) Rahmat Raharjo, 2010, Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Magnum Pustaka) Rusman, 2009, Manajemen Kurikulum, (Jakarta: Rajawali Pers) S. Nasution, Prof. Dr. MA., Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta, Bumi Aksara), cet. 4 Tilaar, H.A.R., Prof., DR., M.Sc.Ed., 2004, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Rineka Cipta; Jakarta), Cet. Ke 2, ISBN 979-518-559-4. Tony Bush & Les Bell (ed), 2002, The Principles and Practice of Educational Management, (London, SAGE Publication Inc.) Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sikdiknas) Wibisono, Prof. Dr., SE., M.Phil., 2006, Manajemen Perubahan, (RajaGrafindo; Jakarta) Zorlu Senyucel, 2009, Manajing The Human Resources in the 21th Century, (Zorlu Senyucel & Ventus Publishing ApS), ISBN 978-87-7681468-7.
65