MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTREN Abdul Majid Wakil Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Sains Al Qur’an, Kandidat Doktor UIN Sunan Kalijaga Yokyakarta Abstrak Pada era globalisasi sekarang ini, kiranya diperlukan adanya format kelembagaan yang kokoh dari sisi ideology atau moral dan kuat dalam mengembangkan sains untuk kemajuan peradaban Islam. Format kelembagaan perguruan tinggi itu adalah “Perguruan Tinggi Pesantren”. Ada beberapa alasan dalam memformulasi perguruan tinggi pesantren itu: Pertama, jumlah peserta didik usia 13-24 tahun di pedesaan masih di bawah 30% (survey BPS tahun 2008). Jumlah lembaga pendidikan tinggi yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama belum cukup memadai. Kedua, keinginan generasi muda pedesaan untuk memperoleh pendidikan sampai ke tingkat perguruan tinggi semakin kuat. Namun kemampuan ekonominya untuk membayar sumbangan pembiayaan pendidikan sangat rendah. Sementara itu, pesantren dapat mengelola dana pembiayaan pendidikan yang sangat terbatas secara lebih efesien. Ketiga, dosen-dosen yang dibutuhkan dalam berbagai studi 5-10 tahun ke depan semakin mudah diperoleh, karena lulusan S.2 dan S.3 PTN/PTS dan PTAIN/STAIN/UIN semakin meningkat dan memerlukan pengembangan diri. Untuk kemanfaatan ilmunya pada masyarakat yang lebih memerlukan di pedesaan.
Kata Kunci: Perguruan Tinggi, Pesantren
Pendahuluan Pada tahun 2008 Indonesia telah memiliki 82 PTN dengan jumlah mahasiswa 825.876 dan 2.556 PTS dengan jumlah mahasiswa 1.757.311, di bawah administrasi Departemen Pendidikan Nasional1 Sementara dalam lingkungan Kementerian Agama mengelola 53 PTAIN, dengan rincian 6 UIN, 2 14 IAIN, dan 33 STAIN. 3 Jumlah mahasiswa di 53 PTAIN tersebut 174.225 mahasiswa. Dimana para alumninya telah mengembangkan PTAIS yang sekarang jumlahnya telah mencapai 652 perguruan tinggi yang sebagian besar tersebar diberbagai pesantren. Sampai tahun 2008 PTAIN-PTAIS telah mampu meluluskan tidak kurang dari 20.000 orang setiap tahunnya.4 Perguruan-perguruan tinggi tersebut di atas telah banyak memberikan andil, bagi pembangunan Sumber Daya Manusia Indonesia. Karena secara nasional, kepemimpinan dan pengelola negara atau pemerintahan mayoritas merupakan alumni perguruan tinggi nasional -baik negeri atau swasta-. Hanya sekitar 10% dari mereka yang lulusan luar negeri. Namun hanya kurang 10% lulusan luar negeri itu
Badan Pusat Statistik Nasional, Statistik Indonesia 2008. Hlm. 134. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Malang, UIN Sultan Alaudin Makasar, UIN Sunan Gunungjati Bandung, dan UIN yarif Kasim Pekanbaru 3 Prof.DR.H.Sutrisno,M.Ag., Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam -membentuk Insan kamil-, Yogyakarta : Fadilatama, 2011. Hlm. 89. 4 Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan 2007-2008, Departemen Agama RI, hlm. 129130. 1 2
Jurnal Kependidikan Al-Qalam No.IX | 23
Drs. H. Abdul Majid, M.Pd.
Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren
hampir semuanya terserap dan menduduki posisi-posisi penting di setiap departemen, BUMN, dan lembaga pemerintahan/ negara. Fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai sesuatu yang membanggakan, namun dalam praktek kerja sosial, mereka memiliki ‘sesuatu yang kurang’ dari lulusan perguruan tinggi tersebut. ‘Sesuatu yang kurang’ itu menurut DR. dr. Wajoetomo adalah sarjana atau ilmuwan yang dilahirkan dari perguruan tinggi nasional baru mencerminkan keberhasilan dari sisi ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi nasional belum mampu secara optimal, membekali sarjananya dari sisi yang lain, yaitu jiwa dan mental yang beriman dan bertakwa, sehingga alumninya belum menjadi sarjana yang “utuh” sebagaimana yang diharapkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional dalam UU. SPN Nomor. 20/2003, yakni “….manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”5 Karena minimnya sarjana yang “utuh” itulah, maka alumni perguruan tinggi (khusus) nasional dan (umum) luar negeri yang sekarang menjadi pengelola pemerintahan dan negara, menurut Prof. Sumitro Djoyohadikusumo telah mencapai 30% dari mereka mudah melakukan penyelewengan, kolusi dan korupsi. 6 Sehingga lebih 10 tahun dari era reformasi sekarang ini, tujuan pembangunan nasional, yakni mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, belum bisa terwujud. Sistemik memang, namun jika dirunut ketimpangan lulusan itu, salah satunya disebabkan sistem pendidikan nasional yang belum terintegratif. Pendidikan Tinggi Islam dalam realitas, baru bertujuan menghasilkan sarjana-sarjana di bidang “ilmuilmu pengetahuan agama Islam”. Meskipun jumlahnya sangat banyak, tetapi dalam peta perguruan di Indonesia kebanyakan menempati posisi pinggiran. 7 Sementara pendidikan tinggi secara nasional dalam peta perguruan tinggi di Asia apalagi di Dunia tidak atau belum mampu bersaing menempati prestasi yang menggembirakan. Mungkin salah satu sebab karena masih ada dikotomi pendidikan antara perguruan tinggi umum dan perguruan tinggi agama. Memang, sudah ada beberapa perguruan tinggi yang memberikan kurikulumnya secara integratif dengan menambah pendidikan -agama dan moral- secara khusus, misalnya Universitas-universitas Muhammadiyah, Universitas Islam Malang, Universitas Wahid Hasyim, UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo, dan juga beberapa perguruan tinggi negeri seperti pengembangan IAIN menjadi UIN. Semua itu, merupakan ikhtiar untuk meluluskan sarjana yang “utuh” tadi, yakni menguasai saintek dan kokoh memegang nilai-nilai agama dan moral. Upaya pemerintah itu bahkan sudah lebih konkrit, dimana sejak tahun 1990 memberikan kebijakan dan strategi pembangunan pendidikan nasional bersamasama, antara lain menjadikan madrasah sebagai bagian dari pendidikan nasional, 6 IAIN telah menjadi UIN dan 6 Universitas/Institut Negeri ‘Unggulan’ dibawah
5 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren -Pendidikan Alternatif Masa Depan-, Jakarta : Gema Insani Press, 1997, hlm. 13. 6 Ibid, hlm. 13. 7 Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan, Yogyakarta: Kota Kembang, 2008. Hlm: 80.
24 | Jurnal Kependidikan Al-Qalam.Vol.IX.TH.2013
Kementerian Pendidikan Nasional (UI, ITB, IPB, UGM, ITS, dan UNAIR) mendidik ribuan santri pilihan, yang sekarang ini menyelesaikan studinya dalam bidang sains dan teknologi.8 Meskipun demikian, langkah-langkah pemerintah itu belum cukup optimal, karena bangsa Indonesia kini menghadapi tantangan yang sangat berat, yaitu memberikan kesempatan pendidikan secepatnya kepada 60% generasi muda yang masih belum memperoleh haknya dalam pendidikan menengah dan tinggi. 60% generasi muda itu, kata Zamakhsyari Dhofier (usia antara 14 sampai 24 tahun) suatu jumlah yang sangat besar (sekitar 25 juta) dan hampir semuanya mereka tinggal di pedesaan. Padahal fasilitas pendidikan menengah dan tinggi di wilayah pedesaan baru tersedia 30%, dan lebih dari setengah dari itu disediakan oleh pesantren.9 Karenanya, meskipun pesantren dan perguruan tinggi adalah dua dimensi pendidikan yang berbeda, namun potensi dan kekuatan dua jenis lembaga pendidikan ini dapat dipadukan untuk masa depan kemajuan bangsa. Dimana pesantren dapat ditempatkan sebagai lembaga pendidikan tradisional dan universitas sebagai representasi lembaga pendidikan tinggi “super” modern. Jaringan keduanya akan terus menguat dan penguatan itu akan lebih cepat lagi, apabila kementerian pendidikan nasional dan kementerian agama memberikan bantuan pengembangan perguruan tinggi di lingkungan pesantren.10 Dan jika mungkin bahkan kedua kementerian tersebut secara simultan mendirikan “perguruan tinggi pesantren”. Yakni perguruan tinggi yang maju saintek dengan dosen yang memiliki standar kualifikasi, kompetensi dan professional, dilengkapi perpustakaan dan sarana prasarana, dilengkapi laboratorium untuk penelitian dan praktek sesuai disiplin ilmu yang dikembangkan. Sedangkan mahasiswa ditempatkan dalam asrama pesantren dibekali nilai-nilai agama, moral, etika, budaya adiluhung bangsa dalam kesehariannya untuk membentuk karakter building keIndonesiaan kepada mahasiswa Perguruan Tinggi IslamBagian ini menjelaskan permasalahan, latar-belakang permasalahan, studi literatur dan tujuan penelitian. Beberapa paragraf 8 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren -Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa-, Yogyakarta : Pesantren Nawesea Press, 2009, hlm. 153. 9 Ibid, hlm. 154. 10 Menurut Zamakhsyari Dhofier, penulis Tradisi Pesantren. 2009. Pengalaman membangun universitas di pesantren sangat mudah, murah, cepat dan tidak mudah mengalami kemunduran. Dalam sejarahnya sejumlah Kyai sejak awal kemerdekaan mengupayakan agar generasi muda pesantren giat belajar menguasai sains dan teknologi. K.H.A. Wahid Hasyim yang menjadi Menteri Agama antara tahun 1950 sampai tahun 1953 merealisasikan pembangunan universitas untuk memajukan ilmu pengetahuan warga pesantren. Meskipun tidak pernah mengikuti pendidikan modern di sekolah atau kuliah di perguruan tinggi yang didirikan oleh Belanda, ia adalah salah satu pendiri republik yang sangat berpengaruh dan aktif membangun lembagalembaga pendidikan modern. Ayahnya KH. Asy’ari (pendiri dan pemimpin Pesantren Tebuireng) berhasil mendidiknya sebagai tokoh dalam pentas pembangunan peradaban Indonesia modern. Dalam usia 31 tahun (Mei 1945) ia terpilih menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan ditunjuk sebagai anggota tim perumus Mukaddimah Undang-Undang Dasar 1945. Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia, rumusan tim 9 anggota PPKI itu terkenal dengan nama “The Jakarta Charter”. Pada bulan Januari 1950, ia diangkat menjadi Menteri Agama dan pada tahun 1951 mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) di Yogyakarta. Ia meresmikan berdirinya Universitas Islam Sumatera Utara pada tahun 1952 dan mengajak para santri belajar berbagai ilmu pengetahuan dengan tekun. Ditegaskannya bahwa kunci utama kemajuan adalah ilmu pengetahuan dan hanya dengan penguasaan ilmu pengetahuan manusia memperoleh kehidupan yang bahagia. Visinya membangun peradaban Indonesia modern dengan bertumpu kepada nilai-nilai Tradisi Pesantren.
Pusat Studi Kependidikan FITK UNSIQ | 25
Drs. H. Abdul Majid, M.Pd.
Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren
awal bagian pendahuluan menjelaskan permasalah-an dan latar-belakang permasalahan tersebut. Beberapa paragraf berikutnya menjelaskan studi literatur yang berisi perkembangan pengetahuan terkini (state of the art) yang secara langsung terkait dengan permasalahan yang diangkat. Paragraf terakhir dari bagian pendahuluan berisi deskripsi tujuan penelitian.
Metode Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kolaborasi library research and field research. Untuk penelitian kepustakaan digunakan pada waktu peneliti merumuskan konsep-konsep tentang perguruan tinggi dan dinamikanya, serta perkembangan pesantren dari yang salaf maupun khalaf. Sedangkan untuk penelitian lapangan dalam rangka mengkaji model-model perguruan tinggi yang memiliki pesantren atau boarding bagi para mahasiswanya. Bagaimana proses pendidikan berlangsung di ruang kuliah, di laboratorium, melakukan penelitian ilmiah, dan pembentukan karakter mahasiswa di dalam pesantren kampus. Namun demikian, jika metode penelitian di atas masih dirasa kurang, dalam analisis data peneliti akan mengembangkan metode penelitian dengan pendekatan triangulasi secara mendalam ataupun pendekatan interkoneksitas dengan memperhatikan aspek sosiologis, antropologis, historis, agama dan sains dari berbagai sisi perguruan tinggi pesantren, sebagaimana model pendekatan Geertz, Martin Van Buerneisen, Karel Amstrong, Zamakhsyari Dhofier, HM. Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkhan dan juga telah digunakan oleh para peneliti dalam studi agama, sosial, budaya dan sains.
Perguruan Tinggi Perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka. 11 Selanjutnya perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas. Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.12 Ada dua jenis pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia, yaitu : perguruan tinggi di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional yang terbagi 2 yaitu : perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Kedua, perguruan tinggi di bawah nauangan Kementerian Agama yaitu: perguruan tinggi agama negeri (STAIN/IAIN/UIN) dan perguruan tinggi agama swasta -baik Islam atau non-Islam-. Antara lain Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah, Sekolah Tinggi Teologi, Institut Agama Islam Sunan Giri, Institut Ilmu Al-Qur’an dan lain-lain.
11
Lihat, Pasal 19 UU. SPN Nomor 20 Tahun 2003 Undang-Undang RI, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung : Citra Umbara, 2010, hlm. 69-71. 12
26 | Jurnal Kependidikan Al-Qalam.Vol.IX.TH.2013
Sebagai perbandingan, di Australia, Jerman, Perancis, dan sejumlah negeri di Timur Tengah, tidak dikenal istilah perguruan tinggi negeri (PTN). Di negara-negara tersebut, semua perguruan tinggi sepenuhnya dibiayai oleh pemerintahnya masingmasing. Besarnya dana yang di terima oleh masing-masing PT didasarkan pada perhitungan proporsional dari banyaknya jumlah mahasiswa. Pengelolanya bukan pemerintah melainkan professional board yang menetapkan seluruh kebijakan PT, termasuk pengangkatan pimpinan universitas, fakultas, kepala jurusan, dan jabatanjabatan lain. Di USA sejak berdiri sampai berkembang menjadi negara super power mulai abad ke-20, hampir seluruh universitas adalah swasta. Pemerintah USA baru mendirikan PTN setelah terus menginginkan menjadi negara super power untuk memacu percepatan kemajuan sains dan teknologi, dengan menyediakan dana pengembangan sebesar-besarnya dalam pembangunan laboratorium sains dan teknologi.13 Demikian, di negara Islam seperti Mesir. Pembaharuan pendidikan di Mesir tidaklah terjadi dalam kevakuman kebudayaan dan peradaban masyarakatnya. Bermula dari pembaharuan Muhammad Ali Pasha ketika menjadi Gubernur Mesir (1220 H/1805 M 14 Dimana, Mesir ketika itu mempunyai system pendidikan tradisional yang berpusat pada Kuttab, masjid, madrasah dan Universitas Al-Azhar. Ali Pasha melihat bahwa pendidikan sangat perlu bagi kemajuan suatu negara. Tetapi bukan pendidikan yang bercorak tradisional. Sebaliknya hanya sekolah-sekolah modern seperti Baratlah yang dapat mengeluarkan tenaga-tenaga ahli dalam berbagai bidang pekerjaan 15 Karena itu, dia memperbaharui kurikulum pendidikan di Mesir untuk memajukan pendidikan yang ada. Baik pendidikan tingkat rendah, tingkat menengah maupun tingkat tinggi. Kurikulum tingkat tinggi diadakan tambahan isi kurikulumnya dengan matematika, dan sains lain sesuai jurusan masing-masing. Termasuk mata pelajaran bahasa global ketika itu, Arab, Inggris, Perancis, Italia, serta materi agama dijadikan sebagai salah satu materi kurikulum.16 Sementara itu, institusi perguruan tinggi di Indonesia bertujuan membantu pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia yang berkemampuan, berkarakter sekaligus berkepribadian. Lebih-lebih perguruan tinggi yang mengembangkan pendidikan keIslaman, akan terus berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pengamalan nilai-nilai dan moralitas keislaman yang terimplementasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Berikutnya, sebagai subsistem pendidikan nasional, perguruan tinggi Islam memberikan isi kurikulumnya dengan tambahan-tambahan ilmu keislaman (teologi dan moral). Perguruan tinggi Islam tersebut berupaya mentransformasikan nilai-nilai Islam yang ada dalam Al-Qur’an sebagai inspirasi kehidupan melalui pembacaan, pemaknaan, pemahaman dan pengamalan isi yang terkandung di dalamnya.
13 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren -Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa-, Yogyakarta : Pesantren Nawesea Press, 2009, hlm. 153. 14 Trevon Mostyn (ex.ed), at al., Cambridge Encyclopedia of the Moddle East and North Africa, (Cambridge, New York, New Rochelle, Melbourne, Sydney : Cambridge University Press, 1998, hlm. 78. 15 Abdul Mukti, Pembaharuan Lembaga Pendidikan di Mesir -studi tentang Sekolah-Sekolah Modern Muhammad Ali Pasha-, Bandung : Cita Pustaka Media Perintis, 2008, hlm. 76. 16 C.E Bosworth, The Encyclopedia of Islam, Volume I, V, E, J. Brill, 1986, hlm. 908.
Pusat Studi Kependidikan FITK UNSIQ | 27
Drs. H. Abdul Majid, M.Pd.
Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren
Dan sebagai sub-sistem pendidikan komtemporer, perguruan tinggi Islam harus dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan kehidupan kekinian dan yang akan datang. Lebih-lebih dalam suasana menguatnya hukum global dengan tabiat adanya perubahan serba cepat yang mensyaratkan mutu, kualitas, kecepatan dan kreatifitas. Lebih-lebih dalam proses reformasi dan penguatan pendidikan tinggi dengan paradigma dan wacana yang telah ditawarkan, nampaknya belum dapat memberikan solusi terhadap berbagai persoalan yang berkembang di masyarakat. Sebagaimana kita saksikan bahwa lembaga pendidikan tinggi (akademi/institut/universitas) sebagian besar masih berkutat pada masalah SDM, pembiayaan, sarana-prasarana, sebagai alasan klasik untuk pembenaran atas kurangnya kualitas lulusan dari hasil proses pendidikan yang dilakukan perguruan tinggi. Konsekuensi dari persoalan ini perguruan tinggi tidak punya waktu dan konsentrasi yang cukup untuk melakukan perubahan kearah manajemen yang lebih profesional, mandiri, transparan dan akuntabel. Apalagi dalam upaya yang serius untuk menelaah kurikulumnya, meningkatkan sumberdaya manusia, guna mewujudkan para alumni yang berkualitas dari sisi penguasaan saintek, dengan kekokohan agama moral. Bahkan banyak PTN/PTAIN dan PTS/PTAIS dalam proses pengelolaan dan pengembangannya telah terjebak pada masalah politik dan bisnis. Ini tidak berarti bahwa perguruan tinggi tidak boleh mengikuti dinamikan politik dan bisnis, tetapi keterlibatannya kalau bisa bukan dalam kerangka politik dan bisnis yang pragmatis, melainkan dalam kerangka politik kebangsaan dan kenegaraan serta penguatan moral, intelektual dan profesional. Sehingga dengan kerangka ini akan menaikkan bergaining serta daya saing pendidikan tinggi baik secara institusional, maupun personal terutama para alumninya.
Pesantren Menurut bahasa, pesantren diartikan sebagai sebuah kehidupan yang unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran lahiriahnya. Pesantren adalah sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya. Dalam kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan: rumah kediaman pengasuh (di daerah berbahasa Jawa disebut kiai, di daerah berbahasa Sunda disebut ajengan, dan di daerah berbahasa Madura disebut nun atau bendara, disingkat ra); sebuah surau atau masjid, tempat pengajaran diberikan (bahasa Arab madrasah, yang juga terlebih sering mengandung konotasi sekolah); dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren (santri, pengambilalihan dari bahasa Sansekerta dengan perubahan pengertian).17 Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang tumbuh sejak awal kedatangan Islam di Indonesia, yang dalam perjalanan sejarahnya telah menjadi obyek penelitian para sarjana yang mempelajari Islam di wilayah ini, yaitu sejak Brumund menulis sebuah buku tentang system pendidikan di Jawa pada tahun 1857. 18
17 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi -Esai-esai Pesantren-, Yogyakarta : LKiS, 2001. hlm. 3. 18 J.F.B. Brumund, “Het Volksondderwijs order de Javanen”, di kutip Zamakhsyari Dhofier,
Tradisi Pesantren -Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai Masa Depan Indonesia-, Jakarta : LP3ES, 2011, hlm. 38.
28 | Jurnal Kependidikan Al-Qalam.Vol.IX.TH.2013
Lembaga-lembaga pesantren itulah, yang paling menentukan watak keislaman kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam, sampai ke pelosok pedesaan. Dari lembaga pesantren ini pula, asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara. Hal ini sebagaimana dikatakan beberapa peneliti orientalis, semisal Van Den Berg, Hurgronje, Geertz. Mereka betul-betul menyadari bahwa pengaruh pesantren sangat kuat dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik dan keagamaan orang-orang pedesaan di Indonesia. Meskipun mereka baru mengerti sebagian kecil saja dari ciri-ciri pesantren dan menyentuh aspek kesederhanaan bangunan-bangunan dalam lingkungan pesantren, kesederhanaan cara hidup para santri kepada kyainya dan dalam beberapa hal, pelajaran dasar mengenai kitab-kitab klasik. Seperti halnya, pesantren menurut Raden Ahmad Djajadiningrat (1901-1917) lebih banyak menjelaskan tentang susahnya kehidupan pesantren. Ia sama sekali tidak mengungkapkan sisi positif kehidupan pesantren. Karena ia hanya tinggal sebentar di pesantren. Itupun pada saat usianya masih sangat muda dan belum memahami kekuatan tradisi pesantren. Sebagai catatan pula tentang pesantren menurut karya-karya Prof. Sartono Kartodirdjo yang dikatakannya lebih menekankan pada aspek-aspek politik kehidupan pesantren. Karena perhatiannya menyangkut tentang peranan politik pesantren dalam gerakan protes di pedesaan di Indonesia pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20.19 Sebagian pandangan di atas seolah-olah bisa dibenarkan, karena pesantren sebagaimana kita tahu adalah pranata (pendidikan) tradisional. Sebagaimana pranata sosial lainnya, pesantren juga sempat dicurigai sebagai sarang kejumudan, konservatisme. Ia menjadi penghalang besar bagi usaha-usaha pembangunan yang sering mengatasnamakan modernisasi. Celakanya, pandangan yang mempertentangkan pembangunan dengan kebudayaan sebagai kubu pelindung konservatisme diabsahkan kebenarannya oleh para ilmuwan sosial-budaya. Dimana watak ideologis pembangunan dan ilmu-ilmu sosial-budaya yang melingkupinya memang bersifat ethnosentris, diskriminatif dan memiliki jangkauan terbatas.20 Namun demikian, terdapat beberapa ilmuwan yang mencoba mengambil prakarsa untuk menemukan hubungan kreatif antara kebudayaan dan pembangunan. Dengan menggunakan asas-asas antropologis sebagai peralatan metodologisnya, mereka berpendapat bahwa kebudayaan tradisional (pesantren) dapat, dan harus, digunakan sebagai media/ alat bagi pembangunan bangsa. Lebih-lebih meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dengan membelajarkan 60% penduduk usia 14-25 tahun (25 juta) yang ada dan tinggal di pedesaan di sekitar pesantren. Perkembangan pesantren sebagaimana yang dilakukan oleh para Kyainya adalah mengayunkan langkahnya melaju ke Indonesia masa depan lebih cepat. Mereka melakukan perubahan dan menambah ilmu pengetahuan modern di lembaga-
19 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren –Studi Pandangan Hidup Kyai dan visinya mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta : LP3ES, 2011, hlm. 39. 20 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi -Esai-esai Pesantren-, Yogyakarta : LKiS, 2001, hlm. ix.
Pusat Studi Kependidikan FITK UNSIQ | 29
Drs. H. Abdul Majid, M.Pd.
Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren
lembaga pesantrennya sejak tahun 1998. Jumlah lembaga pesantren juga ditambah berlipat ganda, dari 7.536 pada tahun 1998 menjadi 21.521 pada tahun 2008. Penambahan berikutnya mencapai rata-rata 2.000 buah setiap tahunnya.21 Kyai-kyai pimpinan pesantren menyadari bahwa saatnya telah tiba, pesantren memadu modernitas pendidikan ke dalam pesantren untuk membangun Peradaban Indonesia Modern.
Perguruan Tinggi Pesantren Menurut Rahman adalah sangat strategis untuk menguarai benang kusut krisis pemikiran dalam Islam yang berdampak pada stagnasi dan kemunduran peradaban umat Islam itu melalui pendidikan (tinggi) Islam, yang darinya dapat diharapkan berbagai alternatif solusi atas problem-problem yang dihadapi umat manusia. Hal ini untuk tercapainya tujuan pendidikan tinggi Islam di Indonesia yang diorientasikan pada lahirnya sarjana (cendikiawan muslim) dengan memiliki tiga kemampuan menganalisis, melakukan inovasi, dan memimpin sesuai dengan tuntutan persoalan kemasyarakatan dan bidang keilmuan, maupun profesi yang ditekuninya.22 Kemudian untuk upaya yang lebih baik pada abad 21 ini, perguruan tinggi harus dapat mengantisipasi berbagai tuntutan yang berkembang, antara lain adalah; 1.
persaingan tenaga kerja global sebagai konsekuensi logis diberlakukannya perjanjian ASEAN-AFTA (mulai tahun 2002), WTO-GATT dan APEC (mulai tahun 2010).
2.
Mampu menyiapkan out put pendidikan yang berkompeten, tidak hanya dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan ketrampilan; melainkan juga penguasaan sikap dan semangat kerja, kemampuan berkomunikasi inter dan intrapersonal, kepemimpinan dan analisis persoalan serta dapat berkerja dalam berbagai lintas budaya, peradaban dan adat istiadat.
3.
Dapat menyelenggarakan program pendidikan yang lebih humanis untuk memberikan peluang yang lebih besar kepada masyarakat agar dapat memperoleh manfaat dari penyelenggaraan pendidikan, jaminan mutu pendidikan, kesiapan untuk menyelesaikan masalah dan pemenuhan tuntutan kebutuhan, namun dengan biaya yang relatif terjangkau.
4.
Penyempurnaan kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan program studi yang dapat menjaga keserasian antara program yang diselenggarakan dengan aspirasi stakeholders.
5.
Mampu mengakomodasi berbagai kepentingan termasuk kepentingan politik dengan adil dan proporsional, pemenuhan kebutuhan belajar sepanjang hayat,
21 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren –Pandangan Kyai mengenai Masa Depan Indonesia, hlm. 267. 22 H.A.R Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, Magelang : Tera Indonesia, 1998, hlm. 207.
30 | Jurnal Kependidikan Al-Qalam.Vol.IX.TH.2013
internasionalisasi pendidikan tinggi dalam arti reconvergent
phase
of
education.23 Perguruan Tinggi Islam (PTI) di Indonesia, meskipun jumlahnya relatif banyak (lebih dari 453 PT), 24 tetapi dalam peta perguruan tinggi di Indonesia yang terbaik dan terbesar masih didominasi oleh 6 PTN (UI, UGM, ITB, IPB, UNAIR, ITS). Meskipun 6 PTN inipun baru UI yang masuk 50 besar perguruan tinggi Asia. Lebih-lebih dalam kompetesi perguruan tinggi global, PTI hampir-hampir tidak muncul. Termasuk PTI yang ada di Mesir, Turki dan Timur Tengah. 100 besar perguruan tinggi di dunia masih dominasi Barat (non Islam). Permasalahan PTI yang utama adalah orientasinya yang terpengaruh dengan transfer of knowledge, sebatas yang terkait erat dengan masalah kerja dan perolehan gelar akademik, bukan untuk mengembangkan kemampuan manusia secara kaffah.25 Hal ini dikarenakan problem mendasar yang paling esensial menurut Zamroni antara lain adalah problem ideology.26 Lebih-lebih PTI sampai abad ke-20 masih terpengaruh dengan adanya dikotomi ilmu antara ilmu-ilmu agama (tradisional) dan ilmu-ilmu umum (modern). Dimana Perguruan Tinggi Islam, termasuk -Universitas Al-Azhar di Mesir- sejak berdiri abad ke-10 sampai pertengahan abad ke-20 M terbatas mengembangkan ilmu-ilmu keagamaan saja. Ilmu-ilmu yang dikembangkan selama lebih dari 9 abad itu terbatas pada ilmu-ilmu Ushulluddin, Adab, Dakwah, Syari’ah, dan Tarbiyah. Belum dikembangkan ilmu-ilmu alam (natural sciences), ilmu-ilmu social (social sciences), dan humaniora (humanity), sebagaimana yang dikembangkan pada perguruan tinggi-perguruan tinggi di Eropa, Amerika, dan di negara maju lain.27 Dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum ini, juga mempengaruhi perkembangan pendidikan (Islam) di Indonesia sampai pertengahan abad ke-20. Sehingga pendidikan Islam itu adalah pesantren, madrasah, dan PTI (PTAIN/STAIN/UIN), yang mengembangkan ilmu-ilmu keislaman. Sedangkan sekolah dan perguruan tinggi (umum) mengembangkan ilmu-ilmu alam, social, dan humaniora. Karena itulah, maka intelektual dan cendikiawan muslim di sepertiga akhir abad ke20 berikhtiar membongkar kejumudan tersebut. Karena paradigma ilmu pada Perguruan Tinggi Islam adalah: Pertama, ilmu itu secara keseluruhan telah terkandung dalam ajaran Islam. Perkembangan suatu ilmu senantiasa bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam. Kedua, Islam tidak mengenal dikotomi ilmu dan agama. Keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan dalam setiap posisi dan perannya. Kebenaran ilmu bersifat empiric dan relative. Ketiga, ilmu itu merupakan 23 TIM Perumus, Buku Panduan Universitas Sains Al-Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo, Wonosobo, UNSIQ Press, hlm. 9. 24 Prof. DR. H. Sutrisno, M.Ag., Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam – membentuk Insan Kamil yang Sukses dan Berkualitas-, Yogyakarta : Fadilatama, 2011, hlm. 41. 25 Makalah Djohar, Pendidikan Alternatif: Mencari Terobosan Baru dalam Kemandegan Pendidikan di Indonesia, dalam Seminar Pemikiran dan Metodologi Pendidikan, LP3 dan FAI UMY, tanggal 25 Februari 2002. Dikutip oleh Prof. Sutrisno. Ibid. 26 Zamroni, Sosok Ideal PendidikanTinggi Islam -dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial , Penyunting Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ, Yogyakarta : Aditya Media, 1997, hlm. 28. 27 Sutrisno Hadi, Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam, hlm. 91.
Pusat Studi Kependidikan FITK UNSIQ | 31
Drs. H. Abdul Majid, M.Pd.
Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren
hasil upaya dari manusia. Sejak awal inisiasi, pengembangan dan pengamalan ilmu sudah diniatkan untuk mengabdi kepada Sang Maha Pencipta.28 Sesuai dengan paradigma di atas, maka diperlukan adanya format kelembagaan yang kokoh dari sisi ideology atau moral dan kuat dalam mengembangkan sains untuk kemajuan peradaban Islam. Format kelembagaan perguruan tinggi itu adalah
“Perguruan Tinggi Pesantren”. Ada beberapa alasan dalam memformulasi perguruan tinggi pesantren itu : Pertama, jumlah peserta didik usia 13-24 tahun di pedesaan masih di bawah 30% (survey BPS tahun 2008). Jumlah lembaga pendidikan tinggi yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama belum cukup memadai. Kedua, keinginan generasi muda pedesaan untuk memperoleh pendidikan sampai ke tingkat perguruan tinggi semakin kuat. Namun kemampuan ekonominya untuk membayar sumbangan pembiayaan pendidikan sangat rendah. Sementara itu, pesantren dapat mengelola dana pembiayaan pendidikan yang sangat terbatas secara lebih efesien. Ketiga, dosen-dosen yang dibutuhkan dalam berbagai studi 510 tahun ke depan semakin mudah diperoleh, karena lulusan S.2 dan S.3 PTN/PTS dan PTAIN/STAIN/UIN semakin meningkat dan memerlukan pengembangan diri. Untuk kemanfaatan ilmunya pada masyarakat yang lebih memerlukan di pedesaan. Beberapa alasan di atas diperkuat dengan akar budaya dan tradisi pesantren yang dapat membentuk pribadi berkarakter disiplin, kerja keras, sikap saling percaya, ikhlas, jujur, dan bertanggung jawab. Dimana pribadi berkarakter itu, telah berabadabad dimiliki dan diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia, dan sekarang ini sudah sulit ditemukan.
Kesimpulan Perguruan Tinggi Islam (PTI) harus mampu melakukan pembaharuan untuk mengem-bangkan manusia “muslim” secara kaffah. PTI seharusnya mengembangkan tiga ranah yang dimiliki manusia yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotorik (pengetahuan, sikap dan perilaku) atau mengembangkan potensi indera, akal dan hati manusia secara maksimal. Lebih-lebih dalam globalisasi abad ke-21 yang menuntut adanya manusia-manusia yang berkualitas, baik fisik, intelektual, maupun moralnya. Untuk mengembangakan manusia yang memiliki seluruh aspek kehidupan secara integral, selaras, serasi, dan seimbang, PTI di Indonesia secara sadar harus berani mengkaji ulang visi, misi dan paradigma yang mendasarinya. Bangunan ilmu pengetahuan yang masih dikotomik antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu modern harus diubah menjadi pandangan baru yang lebih holistik, integral, dan kontemporer. Mengingat perguruan tinggi yang ada di Indonesia, termasuk PTI belum dapat menunjukkan bukti adanya kemajuan dari sarjana-sarjana yang dihasilkan, yakni; dengan penguasaan terhadap saintek dan memiliki kekuatan moral yang kokoh, dan untuk menjawab itu diperlukan terwujudnya “perguruan tinggi pesantren”. Yakni perguruan tinggi yang maju saintek dengan dosen yang memiliki standar kualifikasi,
28 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta : Logos-Wacana Ilmu, 1999, hlm. 209.
32 | Jurnal Kependidikan Al-Qalam.Vol.IX.TH.2013
kompetensi dan professional, dilengkapi perpustakaan dan sarana prasarana, dilengkapi laboratorium untuk penelitian dan praktek sesuai disiplin ilmu yang dikembangkan. Sedangkan mahasiswa ditempatkan dalam asrama pesantren dibekali nilai-nilai agama, moral, etika, budaya adiluhung bangsa dalam kesehariannya untuk membentuk karakter building keIndonesiaan kepada mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa.
DARTAR PUSTAKA Abdul Mukti., Pembaharuan Lembaga Pendidikan di Mesir -studi tentang SekolahSekolah Modern Muhammad Ali Pasha-, Bandung : Cita Pustaka Media Perintis, 2008, Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi -Esai-esai Pesantren-, Yogyakarta : LKiS, 2001, C.E Bosworth, The Encyclopedia of Islam, Volume I, V, E, J. Brill, 1986, H.A.R Tilaar, eberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, Magelang : Tera Indonesia, 1998, J.F.B. Brumund, “Het Volksondderwijs order de Javanen”, di kutip Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren -Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai Masa Depan Indonesia-, Jakarta : LP3ES, 2011, Makalah Djohar, Pendidikan Alternatif: Mencari Terobosan Baru dalam Kemandegan Pendidikan di Indonesia, dalam Seminar Pemikiran dan Metodologi Pendidikan, LP3 dan FAI UMY, tanggal 25 Februari 2002. Makalah Program Doktoral UIN Sunan Kalijaga, Mata Kuliah “Pendidikan Islam dalam Perspektif Sosial-Budaya”,Dosen Pengampu : Prof. DR. H. Abdul Munir Mulkhan. Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta : Logos-Wacana Ilmu, 1999, Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan 2007-2008, Departemen Agama RI, hlm. 129-130. Sutrisno Prof. DR. M.Ag, Pendidikan Islam yang Menghidupkan, Yogyakarta : Kota Kembang, 2008. Sutrisno, Prof. DR. H. M.Ag., Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam – membentuk Insan Kamil yang Sukses dan Berkualitas-, Yogyakarta : Fadilatama, 2011, TIM Perumus, Buku Panduan Universitas Sains Al-Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo, Wonosobo, UNSIQ Press Trevon Mostyn (ex.ed), at al., Cambridge Encyclopedia of the Moddle East and North Africa, (Cambridge, New York, New Rochelle, Melbourne, Sydney : Cambridge University Press, 1998
Pusat Studi Kependidikan FITK UNSIQ | 33
Drs. H. Abdul Majid, M.Pd.
Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren
Undang-Undang RI, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung : Citra Umbara, 2010 Wahjoetomo DR. dr., Perguruan Tinggi Pesantren -Pendidikan Alternatif Masa Depan-, Jakarta : Gema Insani Press, 1997 Zamakhsyari Dhofier, DR. MA, Tradisi Pesantren -Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa-, Yogyakarta : Pesantren Nawesea Press, 2009 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren –Studi Pandangan Hidup Kyai dan visinya mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta : LP3ES, 2011 Zamroni, Sosok Ideal PendidikanTinggi Islam -dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial , Penyunting Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ, Yogyakarta : Aditya Media, 1997
34 | Jurnal Kependidikan Al-Qalam.Vol.IX.TH.2013