AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
49
KURIKULUM MADRASAH ALIYAH MASA DEPAN (Analisis Politik Kebijakan) Oleh: Muhajir (Dosen Pascasarjana IAIN SMH Banten) ABSTRAK Pendidikan Islam yang identik dengan madrasah harus dapat memperbaharui kurikulum yang ada, agar madrasah senantiasa up date dengan perkembangan dan tidak ketinggalan zaman. Walaupun tetap harus mempertahankan nilai-nilai Islami, sebagai misi utama madrasah. Kurikulum Madrasah Aliyah tetap harus mempunyai konsep integrated artinya terpadu antara ilmu-ilmu ke-Islaman dan ilmu-ilmu kealaman. Konsep dikotomi ilmu pengetahuan harus dijauhi oleh Madrasah Aliyah, walaupun di Indonesia berlaku dikotomi ilmu penngetahuan. Madrasah harus mempunyai prinnsip integrated yang sejati, tidak terpengaruh dengan realitas dikotomik yang ada di Indonesia. Adanya tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Madrasah Aliyah akan berkembang menjadi modern dan Islami, sekaligus akan dapat mengantisipasi sekularisasi, kapitalisme dan materialisme. Kata Kunci: Kurikulum, Madrasah, Integrated, Islam, dan Dikotomi Pendahuluan Masuk zaman modern, kurikulum Madrasah Aliyah dituntut untuk mengadakan pembaharuan dalam upaya mempertahankan sisi politisnya. Berusaha mengintegrasikan ilmu pengetahuan dalam rangka menepis dikotomi ilmu menyusun keilmuan yang ideal untuk mewujudkan kekuatan politis serta memperhatikan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tulisan ini akan melihat bagaimana tuntutan kurikulum Madrasah Aliyah ke depan, setelah kurikulumnya sama dengan SMA, tetapi secara politis tetap mempertahankan ciri khas keIslamannya.
Volume 1 No. 2 (Juli-Desember) 2016
50
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
Tuntutan Pembaharuan Pendidikan Madrasah Aliyah: Upaya Mempertahankan sisi politis Beberapa tuntutan pembaharuan pendidikan Madrasaha Aliyah (MA) diantaranya; tuntutan pembaharuan manajemen pengelolaan MA, tuntutan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) guru, tuntutan perbaikan sarana prasarana dan tuntutan pembaharuan kurikulum MA. Masih ada tuntutan pembaharuan yang lain, tetapi penulis batasi hanya yang telah disebut. Madrasah Aliyah dituntut untuk meningkatkan manajemen pengelolaan, dimana secara historis untuk kasus Indonesia, sebenarnya institusi madrasah merupakan transformasi dari lembaga tradisional yang bernama pesantren.1 Tentunya secara manajemen, madrasah lebih modern dibanding pesantren. Cuma yang menjadi pertanyaan sudahkah institusi madrasah manajemennya melebihi manajemen sekolah pada umumnya atau minimal sama?. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu pengamatan secara mendalam. Karena sebagai salah satu ciri negatif yang melakat pada madrasah adalah mempunyai berbagai kelemahan manajemen, meskipun tidak seluruhnya harus dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Kelemahan menajemen ditunjukan oleh sifatnya yang tertutup dan tidak berorientasi keluar sehingga perkembangan madrasahpun menjadi lamban atau statis.2 Bagi madrasah yang masih di pelosok, juga 1
Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak bangsa: Visi, Misi, dan Aksi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 12. Indikasi munculnya madrasah dipicu oleh semangat pembaharuan Isla>m di Timur Tengah – disamping sebagai respons terhadap kebijakan pemerintah kolonial– adalah banyaknya madrasah yang kelahirannya dibidani oleh para lulusan pendidikan di Timur Tengah, seperti: Madrasah Adabiyah yang dirintis oleh Syekh Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908 M., kemudian berubah menjadi HIS Adabiyah pada tahun 1915 M, dan Madrasah Nurul Iman yang didirikan oleh Abdul Samad pada tahun 1913 di Jambi. 2 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKiS, 2008), 203. Julukan-julukan negatif yang diberikan kepada madrasah, terisolir dari arus modernisasi, berkonotasi kampungan (terbelakang), isi pendidikan cenderung berorientasi pada praktek-praktek ritual keagamaan dan kurang memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi, manajemennya bersifat tertutup dan lain-lain.
Muhajir
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
51
masih menerapkan manajemen figur. Ketika figur itu diterima masyarakat, maka madrasah tersebut berkembang dan banyak siswanya, tetapi ketika figur itu telah tiada, maka madrasah itu pun gulung tikar. Manajemen yang dilaksanakan di Madrasah Aliyah adalah manajemen pendidikan yang tentunya tidak jauh berbeda dengan manajemen pendidikan di sekolah pada umumnya. Menurut Gaffar, manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sistemik, dan komprehensip dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Manajemen pendidikan, lanjut Gaffar, juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah, maupun tujuan jangka panjang.3 Dengan demikian manajemen pendidikan di Madrasah Aliyah sangat komprehensip, dan memunculkan potensi untuk menjadi madrasah mandiri dengan Manajemen Berbasis Madrasah (MBM). Manajemen Berbasis Madrasah (MBM), yang memberikan kewenangan penuh kepada madrasah dan guru dalam mengatur pendidikan dan pengajaran, merencanakan, mengorganisasi, mengawasi mempertanggungjawabkan, mengatur serta memimpin sumber-sumber daya insani serta barang-barang untuk membantu pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan tujuan madrasah.4 Pendek kata manajemen MA, harus terus ditingkatkan kualitasnya dalam rangka mempertahankan sisi politis pergeseran kurikulum MA, karena Sahabat Ali Ibn Abi Thalib pernah berkata ”Kebenaran yang tidak diorganisir dengan baik maka akan dapat dikalahkan oleh Lihat, Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Nuansa, 2003), 198. 3 E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi (Bandung: Rosda, 2005), 19-20. 4 Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi, 20.
Volume 1 No. 2 (Juli-Desember) 2016
52
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
kebatilan yang diorganisir dengan baik”. Tentunya orang madrasah harus lebih dulu tahu perkataan ini sekaligus mengaplikasikannya. Tuntutan peningkatan kualitas SDM. Madrasah Aliyah dituntut untuk memperbaiki SDM guru, dikarenakan MA akan menghadapi era global yang penuh dengan persaingan baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan lain-lain. Dalam konteks ini, teringat kata-kata Sachiko Murata dan William Chitik, bahwa obat untuk mengatasi berbagai problem masyarakat –sebagai akibat globalisasi– seperti kelaparan, penyakit, penindasan, polusi dan berbagai penyakit sosial lainnya, adalah to return to God through religion.5 Sehingga ketika jawabannya madrasah adalah tepat, karena sesuai kurikulum 1994 madrasah adalah sekolah umum berciri khas Islam. Selanjutnya, Husni Rahim memberi gambaran visi madrasah dalam alam globalisasi, yaitu menjadi madrasah dalam ”sekolah plus” yang berkualitas, berkarakter dan mandiri. Madrasah plus, lanjut Husni, adalah madrasah yang menyiapkan anak didik mampu dalam sains dan teknologi, namun tetap dengan identitas ke-Islamannya. Ketika kurikulum MA terus dapat mengikuti perkembangan IPTEK dan diakui keunggulannya oleh pemerintah serta terus dapat mempertahankan ciri khas keIslamannya, maka secara politis umat Islam akan dapat bersaing dengan lulusan persekolahan. Saat ini –Husni tidak menyebutkan tahun berapa data ini di input– guru dalam kategori layak hanya 20%, sedangkan untuk kategori salah kamar (mis-match) 20%, dan sisanya 60% masih dalam kategori belum layak. Ini tantangan berat yang dihadapi dunia MA yang bermutu lebih rendah dibanding SMA.6 Menurut Husni dengan mutu guru MA yang rendah kualitas, akan berimplikasi terhadap rendahanya kualitas outcome 5
Lihat, Muhaimin, “Madrasah Menatap Peradaban Global”, makalah disajikan pada seminar di Madrasah Aliyah Negeri Sidoarjo, Sabtu 8 Maret 2003. 6 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Ciputat: Logos, 2001), 130.
Muhajir
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
53
MA,7 sehingga tidak dapat bersaing dengan kualitas lulusan SMA. Husni Rahim lebih lanjut melaporkan, bahwa saat ini yang menjadi beban kesulitan para murid madrasah adalah bidang studi rumpun Mafikibb (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggris) ditambah lagi kekurangan guru yang mumpuni dalam mata-mata pelajaran ini.8 Kebijakan seperti ini, lanjut Azyumardi, Nabi memberikan teladan, bahwa segala potensi yang ada di lingkungan kaum Muslimin –sekalipun potensi itu ada dipunyai non Muslim– dapat digunakan untuk peningkatan kualitas SDM Muslim.9 Merujuk usaha Rasulullah, betapa pentingnya peningkatan SDM, terlebih SDM itu untuk menjadi guru, karena guru akan mencetak SDMSDM lain yang lebih berkualitas dari pada dirinya. Tuntutan perbaikan sarana dan prasarana. Dibandingkan dengan sekolah, sarana prasarana madrasah jauh tertinggal. Karena secara historis madrasah tumbuh dari kekuatan masyarakat itu sendiri, bahkan pada masa klasik Islam, menurut George Makdisi, bahwa madrasah biasanya dibangun oleh individu atau komunitas Muslim berdasarkan tradisi wakaf,10 maka dana untuk membuat sarana prasarana dan operasional pendidikannya juga disesuaikan dengan kemampuan masyarakat.. Demikian pula, lanjut Husni, pemberian bantuan acapkali menimbulkan ketergantungan. 7
Demikian pula menurut Azyumardi seraya beranalog, menurutnya banyak ekonom yang berpendapat bahwa terdapat korelasi yang erat antara kualitas SDM –katakanlah pendidikan– dengan kemiskinan. Rendahnya kualitas SDM dapat merupakan penyebab kemiskinan –tegasnya dari segi materi– sebaliknya, kemiskinan adalah salah satu sebab utama rendahnya kualitas SDM. Dengan demikian, lanjut Azyumardi, antara rendahnya kualitas SDM dengan kemiskinan terdapat semacam “vicious cirle” –lingkaran setan, lihat Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 54. 8 Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 130. 9 Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 56. 10 JM. Muslimin, “Tradisi Ilmiah Dalam Masyarakat Islam: Sejarah Institusi dan Tantangan Perubahan”, dalam Kusmana dan JM. Muslimin (ed.), Paradigma Baru Pendidikan: Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: IIESP, 2008), 141.
Volume 1 No. 2 (Juli-Desember) 2016
54
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
Perbaikan dan pengembangan madrasah hanya dapat dilakukan selama ada bantuan. Akan tetapi sebaliknya, semua program pengembangan ikut berhenti bersamaan dengan dihentikannya pemberian bantuan.11 Pernyataan Husni Rahim dapat dianalisis, bahwa madrasah dapat survive dengan dana seadanya dari masyarakat. Hal seperti ini menimbulkan beberapa kasus, seperti: peralatan laboratorium yang tidak dapat didayagunakan disebabkan tidak ada tenaga pengelolanya, buku siswa yang menumpuk di kantor kepala madrasah; atau ruang belajar yang berubah fungsi menjadi sarana olahraga.12 Pernyataan Husni yang demikian, mengingatkan pada statement ”sarana prasarana yang tidak dibarengi dengan tenaga ahli mengakibatkan sarana itu tidak berfungsi, akhirnya mubadhir”. Tuntutan pembaharuan kurikulum MA. Menurut Abdul Munir Mulkhan, selama ini, umat Islam meyakini, ajaran Islam telah selesai disusun tuntas dalam ilmu agama sebagai panduan penyelesaian seluruh persoalan kehidupan duniawi. Sementara ilmuilmu umum (non agama) dipandang bertentangan dengan ilmu agama akan membuat kesengsaraan umat Islam. Namun, persoalan kehidupan duniawi yang terus berkembang, ternyata tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu-ilmu agama. Oleh karena itu, lanjut Munir, sejak madrasah dikembangkan bersamaan munculnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, kurikulum madrasah terus berubah dan diperbaharui. Awalnya kurikulum madrasah hanya terdiri dari ilmu agama. Bentuk madrasah dikenal dengan Madrasah Diniyah yang telah ada sejak abad-abad pertama sejarah Islam di Timur Tengah.13 Selanjutnya Munir menegaskan, bahwa ilmu umum baru meluas dipelajari di madrasah sejak tahun 11
Husni Rahim, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Logos, 2004), 115. 12 Husni, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, 116-117. 13 Abdul Munir Mulkhan, “Dilema Madrasah di Antara Dua Dunia”, dalam Jamaluddin (ed.), Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah (Ciputat: Logos, 2003), 3.
Muhajir
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
55
1945. Posisi ilmu umum dalam kurikulum madrasah terutama Madrasah Aliyah, terus menguat searah perkembangan kehidupan umat Islam dan masyarakat Indonesia. Dengan perkembangan kurikulum yang demikian, sehingga madrasah sekarang disebut sekolah umum berciri khas Islam.14 Sebagai penguat, Muhaimin memberi pernyataan, bahwa Madrasah Aliyah tidak seharusnya hanya menggarap persoalan-persoalan keagamaan, tetapi belajar matematika, Ilmu Pengetahuan Sosial, Sains dan Teknologi, Seni, Budaya, Ilmu Pengetahuan Alam, dan sebagainya, ternyata juga belajar Islam itu sendiri.15 Hal ini adalah tuntutan bagi MA, untuk terus memperbaharui kurikulumnya, sehingga lulusan MA akan trampil mengatasi persoalan hidup. Lulusan madrasah tidak hanya bisa menjadi tukang do’a, tetapi secara politis dapat bekerja di lapangan-lapangan kehidupan sosial lainnya, seperti halnya lulusan persekolahan.Dari sini mulai berkembang gagasan integrasi ilmu agama dan iptek yang selama ini dikelompokkan ke dalam ilmu umum atau sekuler. Muncul kemudian berbagai model Madrasah Aliyah terpadu yang mengintegrasikan ilmu umum dan agama ke dalam satuan kurikulum Madrasah Aliyah.16 Tuntutan Integrasi: Menepis Dikotomi Keilmuan yang Ideal dalam Rangka Mewujudkan Kekuatan Politis Bergesernya kurikulum Madrasah Aliyah tidak terlepas dari tuntutan integrasi ilmu. Karena di awal perkembangan madrasah di Indonesia –seperti telah disebut Munir– perbedaan antara kurikulum madrasah dengan sekolah cukup terasa. Para pembaharu pemikiran Islam Indonesia pun tidak tinggal diam menyikapi masalah ini. Kemudian muncul istilah Islamisasi ilmu pengetahuan. Berbicara 14
Lihat, Mulkhan, “Dilema Madrasah di Antara Dua Dunia”, dalam Jamaluddin (ed.), Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah, 4. 15 Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, 202. 16 Lihat, Mulkhan, “Dilema Madrasah di Antara Dua Dunia”, dalam Jamaluddin (ed.), Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah, 4.
Volume 1 No. 2 (Juli-Desember) 2016
56
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
Islamisasi ilmu pengetahuan, yang merupakan akar permasalahan yang terjadi pada pergeseran kurikulum MA, memunculkan tiga paradigma ilmu pengetahuan, yaitu paradigma17 sekuler,18 paradigma Islamisasi dan paradigma integrasi. Hal ini dalam rangka mewujudkan konsep keilmuan yang ideal dalam kurikulum MA. Karena dengan kurikulum yang ideal, lembaga madrasah akan mempunyai kekuatan secara politis. Paradigma sekuler. Di dunia Islam istilah sekuler pertama kali dipopulerkan oleh Zia Gokalp (1875-1924), sosiolog Turki. Istilah ini sering dipahami sebagai sesuatu yang irreligious (tidak agamis) bahkan anti religius. Dalam bahasa Indonesia kata ini mempunyai konotasi negatif. Sekuler diartikan dengan bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian, sehingga sekularisasi berarti membawa ke arah kecintaan kehidupan dunia, dan karena itu norma-normanya tidak perlu didasarkan pada agama.19 Dalam bahasa Arab, dapat dikaitkan dengan kata ‘alama>ni dari kata ‘alam (dunia) yang bermakna dunia diversuskan 17
Kata paradigma mempunyai arti model, pola atau contoh, lihat, John M. Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 143. Immanuel Kant menyebut paradigma sebagai skema konseptual, Marx menyebutnya dengan ideologi dan Wittgestein dengan cagar bahasa, lihat, Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika (Jakarta: Teraju, 2004), 11. Oleh karenanya paradigma dapat dimaknai sebagai sekumpulan asumsi-asumsi, konsep-konsep yang secara logis dianut bersama dan dapat mengarahkan cara berpikir, mengkaji dan meneliti. Lihat, Kusmana (ed.), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas Riset (Jakarta: UIN Press, 2006), 33. 18 Secara harfiyah, kata sekuler berasal dari bahasa latin, saeculum yang berarti masa, waktu atau generasi, lihat, Havey Cox, The Secular City (New York: The MacMillan Company, 1966), 2. Berbeda dengan Niyazi Berkes yang mengartikan kata saeculum dengan dunia masa kini, lihat Niyazi Berkes, The Development of Secularism in Turkey (Montreal: McGill University Press, 1964), 5. Kata saeculum sebenarnya salah satu dari dua kata latin yang berarti dunia. Karena masih ada kata lain yaitu mundus, yang menunjukan ruang, sementara saeculum menunjukan waktu. Saeculum sendiri lawan dari kata eternum yang berarti abadi, yang digunakan untuk alam yang kekal abadi, lihat, Naquib al-Attas, Islam and Secularism, terj. Karsijo Joyosumarno (Bandung: Pustaka, 1998), 18. 19 Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 797. Lihat juga, Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1984), 3061.
Muhajir
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
57
dengan yang selain dunia.20 Istilah tersebut digunakan dan diadopsi dari orang-orang Kristen Arab untuk mengekspresikan gagasan ini sebelum ia menarik perhatian kaum Muslimin. Pada masa modern istilah tersebut dibaca kembali menjadi ‘ilma>ni yang berarti ilmu pengetahuan atau sains yang dilawankan dengan religius yang oleh sarjana Muslim dianggap sebagai penafsiran yang keliru sebab dalam Islam dua kata tersebut tidak pernah dipertentangkan.21 Ilmu-ilmu sekuler, meminjam istilah Kuntowijoyo, merupakan produk bersama seluruh manusia, yang pada akhirnya merupakan diverensiasi dan pemisahan yang jelas antara ilmu umum dan agama serta klaim obyektifitas masing-masing.22 Berdasarkan uraian di atas, untuk kasus Indonesia, sebenarnya ilmu agama (‘ulu>m al-di>n) yang mayoritas menjadi content kurikulum dan diajarkan di madrasah pada awalnya, dan ilmu umum yang mayoritas menjadi muatan kurikulum dan diajarkan di sekolah, bukan hal baru, karena sejarah Islam telah menjelaskan jauh sebelumnya. Paradigma Islamisasi. Paradigma ini dalam pembahasan tentang epistemologi Islam secara garis besar dapat dibagi dua macam. Pertama, berkaitan dengan epistemologi Islam dalam versi filosof Muslim. Dalam kaitan ini maka penting untuk melihat perkembangan filsafat di dunia Islam demi mencari asal muasal dan orisinalitas berpikir mereka. Kedua, mencari epistemologi Islam yang secara spesifik berasal dari pandangan al-Qur’an dimana harus dibiarkan al-Qur’an bicara sendiri. Bagian pertama, yaitu epistemologi Islam dalam pandangan kaum filosof Muslim, terlebih dahulu harus benar-benar dipahami bahwa ilmu pengetahuan adalah ilmu yang tidak hanya membahas 20
Bernard Lewis, The Political Language of Islam, (Chicago, London: Chochago University Press, 1988), 4. 21 Lihat, Kusmana (ed.), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas Riset, 34. 22 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika, 54.
Volume 1 No. 2 (Juli-Desember) 2016
58
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
objek fisik, karena realitas mempunyai objek fisik dan non fisik sekaligus. Islam mengakui objek non fisik seperti Tuhan, malaikat, dan jiwa. Inilah yang paling membedakan dengan paradigma sekuler, karena mereka membatasi objek pengetahuan hanya pada objek-objek fisik sejauh bisa diindera.23 Dalam bahasa yang berbeda, Abdul Munir Mulkhan, menjelaskan bahwa dikotomi ilmu Islam dan ilmu umum secara ideologis dan teologis, dicairkan bukan dengan Islamisasi ilmu-ilmu umum tetapi melalui peletakan semua ilmu dalam sebuah sistem kebenaran dan metodologi. Suatu ilmu ditolak hanya jika ternyata ilmu salah. Sebaliknya, lanjut Munir, jika terbukti benar, bukan karena ada hubungan dengan sumber alQur’an dan Sunnah Nabi.24 Adapun bagian yang kedua, epistemologi al-Qur’an, pembahasan ini menurut Kuntowijoyo untuk mendapatkan pemahaman tentang pendekatan al-Qur’an, Kunto menamakannya dengan pendekatan sintetik analitik. Pada dasarnya, lanjut Kunto, kandungan al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian yaitu konsep, dan kisah-kisah dan amsa>l. Bagian pertama berisi seperangkat konsep tentang yang abstrak dan tidak abstrak dan bisa diamati. Konsep yang abstrak seperti Tuhan, malaikat, akhirat dan lain-lain. Sementara konsep yang tidak abstrak dan bisa diamati adalah fuqara>, masa>ki>n dan lain-lain. Semua konsep tersebut memiliki makna, dan di sinilah al-Qur’an bermaksud memberikan gambaran yang utuh tentang doktrin Islam. Sementara bagian yang kedua berisi kisah dan amsa>l, lebih merupakan ajakan al-Qur’an untuk merenungi kejadian-kejadian agar diperoleh hikmah. Di sinilah alQur’an memperkenalkan arche-type tentang kondisi universal. Bukan obyektif-empiris-nya yang ditonjolkan tapi ta’wil subyektif-
23
Lihat, Kusmana (ed.), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas Riset, 42. 24 Lihat, Mulkhan, “Dilema Madrasah di Antara Dua Dunia”, dalam Jamaluddin (ed.), Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah, 6.
Muhajir
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
59
normatif-nya.25 Bila dibandingkan menurut penulis antara epistemologi para filosof dengan al-Qur’an, berbeda metodologi. Epistemologi para filosof, menjelaskan sesuatu berawal dari fisik kemudian non fisik, dari empirik kemudian menghasilkan kesimpulan yang berimplikasi ke non fisik. Sementara al-Qur’an, menjelaskan sesuatu bermula dari abstrak ke tidak abstrak, untuk menggambarkan keduanya ini al-Qur’an memberi penguat (ta’kid) penjelasannya dengan kisah dan amsa>l. Paradigma integrasi.26 Dalam buku yang diedit Kusmana, integrasi keilmuan, dijelaskan tentang integrasi ilmu, yaitu cara pandang tertentu atau model pendekatan tertentu terhadap ilmu pengetahuan, yang bersifat menyatukan disebut paradigma integrasi ilmu integratif atau singkatnya paradigma ilmu integratif. Bisa juga disebut paradigma integrasi ilmu integralistik, yaitu pandangan yang melihat sesuatu ilmu sebagai bagian dari keseluruhan. Terakhir paradigma integrasi ilmu terbuka/dialogis, yaitu pandangan terhadap ilmu yang bersifat terbuka, siap untuk sharing atau mengapresiasi keberadaan lainnya.27 25
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika,
12. 26 Terdapat tiga jenis makna bila merujuk kata integrasi. Sebagai kata kerja to integrate yang berarti mengintegrasikan, menyatupadukan, menggabungkan, mempersatukan (dua hal atau lebih menjadi satu). Sebagai kata benda, integration, berarti integrasi, pengintegrasian, atau integrity berarti ketulusan hati, kejujuran dan keutuhan. Bila berkaitan dengan bilangan integrasi merujuk ke kata integer yang berarti bilangan bulat/utuh. Dari kata ini dijumpai kata integrationist yang bermakna penyokong paham integrasi, pemersatu. Sebagai kata sifat, kata ini merujuk pada kata integral yang bermakna hitungan integral, bulat, utuh yang perlu untuk melengkapi seperti dalam kalimat reading is integral part of the cours (membaca merupakan bagian pelengkap dari kursus itu). Bentuk kata sifat lainnya adalah integrated yang berarti yang digabungkan, yang terbuka untuk siapa saja seperti integrated school (sekolah terpadu) atau integrated society (masyarakat yang utuh, masyarakat tanpa perbedaan warna kulit). Lihat, John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 326. Bandingkan dengan, Hornby, Oxford Advenced Learner’ Dictionary (Oxford University Press, 1989), 651-652. 27 Lihat, Kusmana (ed.), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas Riset, 49.
Volume 1 No. 2 (Juli-Desember) 2016
60
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
Paradigma integrasi ilmu integratif. Adalah cara pandang ilmu yang menyatukan semua pengetahuan ke dalam satu kotak tertentu dengan mengasumsikan sumber pengetahuan dalam satu sumber tunggal (Tuhan), demikian Kusmana. Sementara sumbersumber lain, lanjut Kusmana, seperti indera, pikir dan intuisi dipandang sebagai sumber penunjang sumber inti. Gerakan Islamisasi ilmu sebenarnya dapat dikategorisasikan sebagai upaya mengintegrasikan ilmu ke dalam satu pohon ilmu pengetahuan integratif.28 Terkait dengan penjelasan di atas, sembari meminjam istilahnya Mulyadi Kertanegara, bahwa sebenarnya basis ilmu-ilmu agama dan umum berasal dari sumber yang sama, yaitu dari Tuhan, al-Haqq (Sang Kebenaran) the Ultimate Reality (Realitas Sejati). Mulyadi juga menjelaskan, bahwa tujuan ilmu adalah untuk mengetahui kebenaran apa adanya. Artinya, lanjut Mulyadi, ilmu bertugas mencari kebenaran sejati, sehingga dapat disimpulkan bahwa karena Tuhan adalah kebenaran sejati, tentunya merupakan sumber bagi kebenaran-kebenaran yang lain, termasuk kebenaran yang dihasilkan dari analisa ilmu-ilmu umum.29 Paradigma integrasi ilmu yang integralistik. Adalah melihat ilmu berintikan pada ilmu dari Tuhan seperti pada paradigma ilmu integratif, tetapi bedanya ada pada perlakuan hubungan ilmu-ilmu agama dan umum. Paradigma ilmu integratif melebur semua jenis ilmu ke dalam satu kotak dengan sumber utama Tuhan dan sumber-sumber ilmu lainnya sebagai penunjang, sementara dalam paradigma ilmu integralistik, memandang Tuhan sebagai sumber segala ilmu, dengan fungsi tidak untuk melebur
28
Lihat, Kusmana (ed.), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas Riset, 49. 29 Mulyadi Kertanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam (Jakarta: UIN Press, 2003), 38-39.
Muhajir
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
61
sumber-sumber lain tetapi untuk menunjukan bahwa sumber-sumber ilmu lainnya sebagai bagian dari sumber ilmu dari Tuhan.30 Terkait dengan integrasi ilmu yang integralistik, Kuntowijoyo menawarkan paradigma Islam yang mengintegralisasikan ilmu. Sebelumnya Kunto, mendiskusikan pengilmuan Islam. Istilah ini dipakai Kunto untuk menggantikan istilah Islamisasi ilmu, karena Islamisasi bersifat reaktif dan pengilmuan Islam bersifat proaktif.31 Hal itu mungkin dengan cara mengembalikan pengetahuan pada pusatnya yaitu Tauhid. Sementara kesatuan sejarah dapat dimaknai bahwa pengetahuan harus mengabdi pada pengetahuan dan umat.32 Dengan kata lain, lanjut Kunto, bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan adalah usaha mengembalikan ilmu pengetahuan kepada Tauhid atau konteks teks. Kunto menambahkan, bahwa yang perlu diislamisai bukan ilmu tetapi niat subyek.33 Kuntowijoyo mengakui bahwa wilayah produk pengetahuan kebenarannya didapat dari pengalaman. Karenanya, sumber pengetahuan terdiri dari agama dan manusia.34 Dengan demikian antara agama dan manusia menyatu, bila dianalogikan agama adalah ilmu agama seperti Tauhid, Fikih Tafsir, Hadis dan lain-lain, sementara Matematika, Fisika, Biologi, Kimia dan lain-lain adalah hasil pengalaman manusia, kedua klasifikasi besar ini harus menyatu (integralisasi). Dengan demikian semua ilmu yang menjadi content kurikulum Madrasah Aliyah, baik rumpun PAI (Sejarah Kebudayaan Islam, Tafsir, Hadis, Fikih, dan Tauhid), merupakan satu rumpun ilmu agama, kemudian Matematika, Biologi, Fisika, 30 Lihat, Kusmana (ed.), Integrasi Menuju Universitas Riset, 51. 31 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Vi. 32 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, 9. 33 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, 10. 34 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, 57-58.
Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Epistemologi, Metodologi dan Etika, Epistemologi, Metodologi dan Etika, Epistemologi, Metodologi dan Etika, Epistemologi, Metodologi dan Etika,
Volume 1 No. 2 (Juli-Desember) 2016
62
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
Kimia dan lain-lain merupakan hasil pencarian manusia, keduanya harus bermuara ke Islam. Hal ini merupakan kekuatan kurikulum MA ke depan. Paradigma integralisasi ilmu terbuka/dialogis. Dapat diartikan sebagai cara pandang terhadap ilmu yang terbuka dan menghormati keberadaan jenis-jenis ilmu yang ada secara proporsional dengan tidak meninggalkan sifat kritis. Terbuka artinya suatu ilmu atau sekumpulan ilmu dapat bersumber dari agama dan ilmu-ilmu sekuler yang diasumsikan dapat bertemu saling mengisi secara konstruktif.35 Tuntutan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Arus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dibendung, sampai-sampai Hodgson mengatakan, bahwa zaman sekarang lebih tepat disebut dengan ”zaman teknik” (technical age), karena pada kemunculan zaman itu, ada peran sentral teknikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang terkait dengan teknikalisme itu.36 Hal ini diperkuat Tilaar, menurutnya bahwa era abad 21 merupakan era ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa support ilmu pengetahuan dan teknologi suatu masyarakat akan tertinggal dari perubahan. Oleh sebab itu, negaranegara baik negara maju maupun negara berkembang memberikan perhatian yang tinggi terhadap pendidikan, khususnya pendidikan sains dan pengembangan teknologi.37 Mau tidak mau jelas berimplikasi terhadap umat Islam, yang menuntut dunia madrasah khususnya kurikulum MA harus menyesuikan dengan perkembangan zaman tersebut.
35
Lihat, Kusmana (ed.), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas Riset, 55. 36 Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas (Jakarta: Paramadina, 1998), 43. 37 Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: PT. Grasindo, 2002), 51.
Muhajir
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
63
Menarik untuk diamati bahwa pada tahun 1994/1995, The International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA), suatu organisasi internasional non profit yang berkedudukan di Belanda menyelenggarakan studi matematika dan sains38 secara bersamaan yang dinamakan The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS). TIMSS diulangi kembali pada tahun 1999 dan Indonesia menjadi salah satu dari 36 negara peserta. Hasil dari TIMSS ulangan ini menunjukan bahwa di dalam bidang IPA Indonesia berada pada urutan ke-32 dari 38 negara peserta. Yang menarik di dalam hasil tersebut ialah 5 terbaik dunia diduduki oleh Taiwan, Singapura, Hongaria, Jepang dan Korea Selatan. Dalam bidang Matematika Indonesia berada di urutan ke-34 dari 38 negara peserta. Kemudian, lima urutan terbaik dunia diduduki oleh Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Jepang dan Belgia.39 Menanggapi persoalan masih tertinggalnya Indonesia dalam prestasi IPA dan Matematika, Tilaar, memberikan kesimpulan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dapat berkembang apabila dasarnya ialah sains dan matematika mempunyai mutu tinggi.40 Menurut Baiquni, sains merupakan dua sejoli yang tidak terpisahkan; sains merupakan sumber teknologi dan teknologi merupakan aplikasi sains. Sains dapat diartikan sebagai: himpunan rasionalitas kolektif insani, yakni: himpunan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar. Sedangkan teknologi adalah sebagai himpunan pengetahuan terapan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains dalam kegiatan yang produktif ekonomis.41 Sebagai bahan 38
Lihat, Barry Buzan dan Gerald Segal, Anticipating the Future (t.k.: t.p., 1998), 139. 39 Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, 51. 40 Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, 52. 41 Lihat, Syaifuddin Sabda, Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtaq: Desain Pengembangan dan Implementasinya (Ciputat: Quantum Teaching, 2006),
Volume 1 No. 2 (Juli-Desember) 2016
64
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
perbandingan, Hodgson menyebutnya technicalized, yang berpadanan dengan industrialized, jadi yang dapat diterapkan pada perkembangan teknis bukan hanya dalam pabrik, tetapi juga dalam pertanian, administrasi, ilmu pengetahuan dan sebagainya.42 Nampaknya Hodgson lebih luas memberi tafsir teknik/teknologi, karena dapat diterapkan dalam scope lapangan keilmuan yang lebih luas. Seperti kita ketahui di dalam sejarah peradaban Barat Aufklarung atau abad pencerahan telah melepaskan diri dari dogmadogma agama pada waktu itu. Dengan berkembang pesatnya aliran rasionalisme maka kebudayaan Barat menganggap bahwa ilmu adalah bebas nilai atau ilmu terlepas dari agama.43 Budaya dikotomi Barat yang demikian jika diteruskan akan mewujudkan, manusiamanusia yang materialistik. Dengan demikian, lanjut sardar, ilmu tidak bebas nilai dan oleh sebab itu merupakan ibadah. Apabila ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan ibadah atau sebagian dari iman dan taqwa, maka dalam proses pendidikan tidak dapat dibedakan antara ilmu dan taqwa (imtaq).44 Memperhatikan konsep Sardar ini, maka sejatinya bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Islam adalah sesuatu yang tidak terpisah dari doktrin Islam artinya tidak terjadi dikotomi. Hal ini harus menjadi perhatian yang serius bagi kurikulum MA sekarang dan ke depan. 32. Sains sebagai ilmu pengetahuan manusia pada dasarnya merupakan natural science (Ilmu Pengetahuan Alam) seperti Biologi, Fisika, dan Kimia dan Social Science (Ilmu Pengetahuan Sosial) seperti Ilmu Sejarah, Ekonomi, Bahasa dan lain-lain. 42 Istilah technicalized, dapat digunakan untuk menandai beberapa sektor atau keseluruhan dari sebuah masyarakat, dimana unsur-unsur yang dominan berada pada tingkat organisasi sosial, dimana dalam kegiatan intelektual dan praktis, prosedur-prosedur teknik yang dispesialisasi dan dirasionalisasi secara kalkulatif membentuk suatu pola yang saling bergantung dan lebih unggul. Lihat, Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia Masa Klasik, Edisi Indonesia oleh Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Paramadina, 1999), 72. 43 Lihat, Ziauddin Sardar (ed.), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim (t.k.: t.p., 2000), 23-25. 44 Sardar (ed.), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, 23-25.
Muhajir
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
65
Seperti diungkapkan Sardar, bahwa kebebasan akal manusia akan mencari pintu-pintu lainnya agar arah perkembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan ditujukan kepada pengrusakan bahkan pembinaan keberadaan manusia di planet bumi ini, tetapi ditujukan pada kemakmuran, keamanan dan kemaslahatan umat manusia.45 Perlunya pengujian dan verivikasi atas ilmu pengetahuan yang kedua ini, menurut Kuhn (Filsuf dan Ilmuwan Barat) dan juga Sardar (Ilmuwan Muslim), keduanya menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnya tidak bebas nilai, ia amat ditentukan oleh paradigma penemu atau pengembang ilmu tersebut.46 Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) itulah yang berasal dari nalar/akal manusia dan dari alam, sementara yang kebenarannya mutlak berasal dari Tuhan itu yang disebut rumpun ilmu yang memanifestasikan iman dan taqwa (imtaq). Ketika sains modern berada dalam masyarakat yang Islami, maka fungsinya termodifikasi, sehingga dapat dipergunakan untuk kepentingan dan cita-cita Islam. Ketiga, kelompok yang percaya adanya sains Islam dan berusaha membangunnya untuk melahirkan sains yang benarbenar Islami (sains Islami) yang berangkat dari paradigma sains Islam.47 Sehingga, ketika konsep Sardar direalisasikan maka dapat digambarkan secara praktis pemaduan iptek dan imtaq dalam kurikulum MA, yaitu pertama, pemaduan iptek dan imtaq. Dimana kurikulum mata pelajaran iptek, seperti Biologi, Fisika, Kimia dan lain-lain dicoba direkayasa ulang dengan memasukan konsep, teori, nilai-nilai Islami ke dalamnya, baik dalam konsep tujuan, isi/materi, 45
Baca Sardar (ed.), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim. Lihat, S. Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolution (California: The University of Chicago Press, 1970), lihat pula Sardar, Jihad Intelektual, Merumuskan Paramiter-paramiter Sains Islam, AE Priyono (Pentj.), (Surabaya: Risalah Gusti, 1969), lihat pula Syaifuddin Sabda, Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtaq: Desain Pengembangan dan Implementasinya (Ciputat: Quantum Teaching, 2006), 37. 47 Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Paramiter-paramiter Sains Islam, 172-182. 46
Volume 1 No. 2 (Juli-Desember) 2016
66
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
proses maupun hasil yang diharapkan. Model pemaduannya dapat dilakukan baik dalam bentuk apologetik, Islamisasi sains, ataupun pembentukan sains Islami. Kedua, pemaduan imtaq dengan iptek. Yaitu kebalikan yang pertama, yaitu memadukan imtaq –mata pelajaran PAI– dengan iptek, baik dalam bentuk iptek yang terdapat dalam mata pelajaran umum, seperti Biologi, Fisika, Kimia, Sejarah, Ekonomi, dan lain-lain atau konsep dan teori iptek yang ada di luar mata pelajaran resmi tersebut. Dalam rangka pemaduan mata pelajaran PAI (materi imtaq) ini dengan iptek tersebut dapat dilakukan dengan cara: a) memadukan materi pelajran PAI dengan materi pelajaran iptek –IPA dan IPS – untuk saling mendukung guna perluasan wawasan pengetahuan siswa, dan b) memadukan materi pelajaran PAI dengan konsep/teori iptek di luar mata pelajaran iptek untuk memberi wawasan terhadap mata pelajaran PAI. Ketiga, pemaduan iptek dan imtaq secara timbal balik. Konsep kurikulum terpadu dan konsep keterpaduan iptek dan imtaq adalah bukan sekedar sebuah bentuk organisasi materi kurikulum atau pembelajaran, tetapi dimaksudkan sebagai sebuah konsep kurikulum yang memiliki maksud dan rancang bangun yang khusus sesuai dengan konsep kurikulum terpadu yang dikembangkan oleh berbagai pakar kurikulum seperti Beane, Kniep, Fogarty, Maurer dan lainlain.48 Menganalisis konsep ini maka, keterpaduan yang dimaksud adalah bersifat substansialis, bukan hanya sekedar simbolik, seperti yang selama ini direalisasikan oleh kurikulum MA pada umumnya. Sehingga menimbulkan lulusan (outcome) yang mandul, ilmu agamanya –imtaq– tidak matang, ilmu umumnya –iptek– juga demikian. Ketika telah terealisasi konsep integrasi kurikulum MA dengan muatan iptek dan imtaq, maka harus didukung oleh peningkatan dari segala hal –seperti telah dijelaskan– termasuk media pendidikan yang lebih modern dibanding sebelumnya, seperti 48 Sabda, Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtaq: Desain Pengembangan dan Implementasinya, 54-55.
Muhajir
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
67
radio, bioskop, televisi, OHP, LCD, berbagai macam surat kabar49 dan media-media pendidikan yang lebih canggih lainnya, dalam rangka peningkatan kualitas proses belajar mengajar. Tantangan Modernitas Apa yang baru saja disebut di atas, sebenarnya merupakan prinsip-prinsip modernitas, dimana menurut Tariq Ramadan, dalam The West and the Challenges of Modernity, prinsip-prinsip modernitas meliputi, rasionalitas, perubahan dan kemerdekaan.50 Jika kurikulum MA, ingin menyesuaikan dengan zaman yang sedang berkembang, maka harus memenuhi tuntutan modernitas51 ini, yakni kurikulum tersebut harus rasional, dimana pelajaran Mafikibb yang disebut Husni Rahim jangan menjadi momok madrasah, karena itu adalah rumpun mata-mata pelajaran yang bersifat rasional. Lucian W. Pye menggambarkan modernitas, adalah didasarkan pada kemajuan teknologi dan semangat memperoleh ilmu pengetahuan (sains), didasarkan pada pandangan hidup yang rasional, pendekatan sekuler untuk hubungan sosial, merasa keputusan sosial adalah urusan publik dan di atas semua itu, didasarkan pada realitas politik.52 Bila implikasi modernitas merambat ke berbagai lapangan kehidupan, seperti juga godaan kehidupan, seperti diungkapkan Ta>riq Ramad}a>n, bahwa Barat muncul dengan gambaran yang indah, dimana standar-standar pendidikan dan kemampuan yang 49
Hery Noer Aly dan Munzier S., Watak Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Insani, 2003), 227. 50 Tariq Ramadan, The West and the Challenges of Modernity (Menjadi Modern Bersama Islam: Islam Barat dan Tantangan Modernitas), edisi Indonesia (Jakarta: Teraju, 2003), 1. 51 Menurut Arnold Toynbee, bahwa modernitas telah mulai menjelang akhir abad ke-15 M, ketika orang Barat berterima kasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri atas keberhasilannya mengatasi Kristen abad pertengahan. Lihat, Arnold Toynbee, A Study of History, diringkas oleh D.D. Somervelle (Oxford: Oxford University Press, 1957), 148. 52 Lucian W. Pye, Aspect of Political Development (Boston: Litle Brown, 1965), 8.
Volume 1 No. 2 (Juli-Desember) 2016
68
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
menakjubkan, prestasi teknologi yang luar biasa, kepedulian atas hak-hak asasi seseorang, kehidupan sehari-hari yang sangat menyenangkan, berbagai aktivitas waktu luang yang sangat menyenangkan, berbagai aktifitas waktu luang yang terus berjalan tanpa henti, dan kebebasan dari nilai-nilai moralitas. Siapapun di dunia ketiga yang, walau sedikit, tidak tertarik oleh semua ini pastilah bukan manusia.53 Begitu indah gambaran modernitas, bila boleh penulis katakana laksana “surga dunia”. Sebenarnya, sambil meminjam istilahnya Arkoun, ada nilai-nilai modernitas yang bersifat netral, yaitu ilmu pengetahuan.54 Harus disikapi secara positif oleh madrasah, sebab modernitas yang oleh Malik Fadjar disebut identik dengan Barat,55 tidak selamanya negatif. Arkoun, membedakan modernitas “material”, modernitas “intelektual” dan modernitas “kultural”. Yang pertama berarti kemajuan yang terjadi pada bingkai luar dari wujud manusia, sedang yang kedua mencakup metode, alat analisis, dan yang ketiga adalah sikap intelektual yang memberi kemampuan untuk lebih memahami realitas.56 Yang pertama harus ditangkap oleh orang madrasah adalah modernitas intelektual, adapun modernitas material dan kultural disesuaikan dengan nilai-nilai religiusitas Islam. Sehingga modernitas yang berkembang di dunia Islam lewat perantara orang madrasah dapat berkembang sesuai konsep modernitas dalam Islam. Efek modernitas memang cukup terasa, sehingga cukup kelihatan penampilan seseorang ketika mensikapi modernitas hanya ikut-ikutan tanpa didasari oleh rasio dan filosofi yang mapan. Hal ini menjadi peringatan bagi ketiga agama samawi, Yahudi, Kristen dan Islam, sebab pernah terdengar ungkapan Hobbes dan Nietzche bahwa “modernitaslah yang terutama akan mengguncang agama 53
Tariq, The West and the Challenges of Modernity, 347. Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas (Jakarta: Paramadina, 1998), 44. 55 A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, 19. 56 Arkoun, Al-Isla>m, As}ala>h wa Muma>rasah, Khalil Ahmad (pent.), (t.k: t.p., 1986), 42. 54
Muhajir
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
69
agama besar”.57 Penulis akan lebih berkonsentrasi bagaimana sikap Islam terhadap modernitas. Sebab ilmu Islam diajarkan di MA, maka orang-orang MA harus menjadi pelopor modernitas yang sesungguhnya menurut Islam. Jelaslah sebagaimana teori kedua filosof tadi, bahwa modernisasi pasti akan mengguncang Islam. Terkait dengan modernitas ini, menarik mencermati sikap orang Islam terhadap arus modernitas, Edgar Morin, melaporkan, bahwa dalam waktu-waktu tertentu, dimulai dari kungkungan masa lalu , Eropa yang sekuler, dunia Islam sekali lagi menutup diri satu sama lain; penguatan Islam dalam perlawanannya terhadap Eropanisasi moral yang menghancurkan rakyat Muslim.58 Jelas menurut penulis, sebagaimana telah diungkapkan Arkoun sebelumnya, bahwa umat Islam harus menerima modernitas ilmu pengetahuan, dari sini kemudian umat Islam dapat menyesuaikan modernitas material dan kultural sesuai dengan norma-norma Islam, hal ini tidak berarti bahwa modernitas intelektual dikesampingkan dari nilai-nilai Islam.Sembari meminjam istilahnya Robert C. Wood, bahwa modernisasi –walaupun dalam bentuknya yang paling lahiriah, yakni usaha peningkatan kesejahteraan material– merupakan kelanjutan wajar dorongan naluri manusia sendiri untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik.59 Tetapi lagi-lagi, orang madrasah harus dapat mengimbangi antara faktor naluri manusia dengan nilai-nilai agama yang dipeluknya. Sedikit kita akan melihat perjalanan historis, modernisasi lembaga pendidikan Islam. Menurut Fazlur Rahman, dalam Islam and Modernity, perkembangan modernisasi berbeda antara satu daerah Islam dengan daerah lain. Ia menyebut empat faktor: (1) budaya daerah dalam menghadapi perluasan politik Eropa dan dominasi pemerintah dalam menghadapi otoritas kolonial Eropa, (2) 57
Tariq, The West and the Challenges of Modernity, 347. Edgar Morin, Power I’Erope (Paris: Gallimard, 1990), 40. 59 Robert C. Wood, “The Future of Modernizazion”, dalam Myron Weiner (ed.), Modernization, the Dinamics of Growth (Washington D. C.: Voice of America Forum Lecturers, 1968), 49. 58
Volume 1 No. 2 (Juli-Desember) 2016
70
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
watak organisasi ulama, atau kepemimpinan agama, dan watak hubungan mereka dengan institusi pemerintahan sebelum kolonial berkuasa, (3) negara membangun pendidikan Islam serta budayanya sebelum kolonial berkuasa, (4) watak kebijakan kolonial dalam mempertahankan kekuasaannya –seperti Inggris, Perancis dan Belanda.60 Negara kolonial jelas dalam menjajah negeri-negeri jajahannya tidak hanya berkeinginan material semata, tetapi bagaimana pula budaya modernitas mereka dapat diadopsi oleh masyarakat negeri jajahannya. Terkait dengan modernisasi lembaga pendidikan Islam,61 perubahan tersebut cukup jelas, seperti munculnya madrasah yang tadinya pesantren, ini adalah usaha modernisasi lembaga pendidikan Islam. Yang tentunya ide seperti ini berasal dari para sarjana Muslim yang memparoleh pendidikan Barat.. Demikian pula gerakan internal pembaharuan Islam, sudah barang tentu merupakan Malik Fadjar menguatkan hal ini, bahwa pada paro pertama abad ke-20 intervensi budaya dan politik Hindia Belanda, setidaknya mempengaruhi pembaharuan format madrasah variabel penting dalam pembentukan format madrasah. Malik mengidentifikasi hal tersebut, seperti meningkatnya kualitas Madrasah Diniyah, dan madrasah sudah mulai mengajarkan pelajaran umum.62 Kemudian Madrasah Wajib Belajar (MWB) yang mendominasi pelajaran umumnya. Kesimpulan 60
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago, London: The University of Chicago Press, 1984), 43. 61 Kerangka dasar yang berada di balik “modernism” Islam secara keseluruhan adalah bahwa “modernisasi” pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasyarat bagi kebangkitan kaum Muslimin di masa modern. Karena itu pemikiran dan kelembagaan Islam –termasuk pendidikan– haruslah dimodernisasi, sederhananya diperbaharui sesuai dengan kerangka “modernitas”; mempertahankan pemikiran kelembagaan Islam “tradisional” hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum Muslimin dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern. Lihat, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernitas Menuju Milenium Baru, 31. 62 A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, 24-25.
Muhajir
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
71
Munculnya SKB tiga menteri yang mengharuskan MA mengajarkan 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Disusul terbitnya Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989, yang memasukan MA sebagai sub sistem pendidikan nasional, yang secara politis madrasah harus menyesuaikan kurikulumnya dengan kurikulum SMA. Muncul kurikulum 1994, dimana Departemen Agama dengan menterinya Tarmizi Taher menetapkan MA adalah SMU berciri khas Islam. Datangnya era reformasi, munculnya masa otonomi daerah terbit UU Pendidikan No. 20 tahun 2003, dimana kurikulum MA sama persis dengan kurikulum SMU. Demikian pula munculnya KTSP, kurikulum MA juga sama persis dengan kurikulum SMA. Ini adalah bukti bahwa kurikulum MA harus mengikuti tuntutan-tuntutan modernitas, tetapi walaupun demikian kurikulum MA tetap mempertahankan ciri khas keIslamannya. Materi Madrasah Aliyah yang sudah perpaduan antara materi ilmu-ilmu Islam dan kealaman harus benar-benar memenuhi konsep integrated curriculum, yakni jangan hanya perpaduan materi kurikulumnya saja, tetapi benar-benar terintegrasi dengan seluruh mata pelajaran. Seperti mengajarkan matematika, nilai-nilai Islam harus masuk, demikian pula mata-mata pelajaran umum yang lain. Ketika alokasi waktu PAI sudah mulai menyempit, harus ada penciptaan suasana ke-Islaman baik di kelas (indoor) maupun di luar kelas (outdoor). Dilema madrasah yaitu harus mempertahankan nilai-nilai ke-Islaman dan juga tuntutan modernitas. Dua hal ini harus ada di madrasah, artinya harus mendukung modernitas dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga harus mengantisipasi efek negatif dari perkembangan modernitas tersebut. Daftar Bacaan Arif,
Mahmud. (2008). Yogyakarta: LKiS.
Pendidikan
Islam
Transformatif.
Volume 1 No. 2 (Juli-Desember) 2016
72
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
Abdul Munir Mulkhan, “Dilema Madrasah di Antara Dua Dunia”, dalam Jamaluddin (ed.). (2003). Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah. Ciputat: Logos. Aly, Hery Noer dan Munzier S. (2003). Watak Pendidikan Islam. Jakarta: Friska Agung Insani. Cox, Havey. (1966). The Secular City. New York: The MacMillan Company. Kuntowijoyo. (2004). Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika. Jakarta: Teraju. Kusmana (ed.). (2006). Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas Riset. Jakarta: UIN Press. Muhaimin. (2003). Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Nuansa. Mulyasa, E. (2005). Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Rosda. Putro, Suadi. (1998). Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas. Jakarta: Paramadina. Rahim, Husni. (2001). Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Ciputat: Logos. Rahim, Rahim. (2004). Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Logos. Ramadan, Tariq. (2003). The West and the Challenges of Modernity (Menjadi Modern Bersama Islam: Islam Barat dan Tantangan Modernitas), edisi Indonesia. Jakarta: Teraju. Rahman. Fazlur. (1984). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago, London: The University of Chicago Press. Sabda, Syaifuddin. (2006). Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtaq: Desain Pengembangan dan Implementasinya. Ciputat: Quantum Teaching. Sardar. (1969). Jihad Intelektual, Merumuskan Paramiter-paramiter Sains Islam, AE Priyono (Pentj.). Surabaya: Risalah Gusti.
Muhajir
AN-NIDHOM (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam)
73
Shaleh, Abdul Rachman. (2004). Madrasah dan Pendidikan Anak bangsa: Visi, Misi, dan Aksi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Tilaar. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo.
Volume 1 No. 2 (Juli-Desember) 2016