Mochammad Marjuki
ANALISIS PENDIDIKAN NASIONAL 25 TAHUN KE DEPAN DALAM KEBIJAKAN POLITIK PENDIDIKAN NASIONAL (Tinjauan Analisis SWOT) Mochammad Marjuki
STIT Muh. Kendal
[email protected] Abstrak: Pendidikan nasional, dengan segala idealisme yang dijabarkannya baik dalam UU Sisdiknas, program-program pemberdayaan, hingga dalam orasi-orasi ilmiah ternyata belum mampu mengangkat kualitas pendidikan nasional secara merata. Hal ini tentu saja bukan menjadi PR bagi segelintir penguasa semata namun juga menjadi tanggungjawab seluruh masyarakat Indonesia. Bagaimanapun, pendidikan menjadi satu komponen terpenting agar masyarakat Indonesia mampu menunjukkan taringnya dalam kancah percaturan global. Dalam ikhtiarnya memajukan pendidikan (sekaligus peradaban), bangsa Indonesia memerlukan kesadaran akan potensi, hambatan, peluang, serta ancaman yang dimiliki negara Indonesia dewasa ini. Kata Kunci: Pendidikan Nasional, Kebijakan Politik, Analisis SWOT. Pendahuluan Lingkungan eksternal mempunyai dampak yang sangat berarti pada sebuah lembaga pendidikan. Selama dekade terakhir abad keduapuluh, lembaga-lembaga ekonomi, masyarakat, struktur politik, dan bahkan gaya hidup perorangan dihadapkan pada perubahanperubahan baru. Perubahan dari masyarakat industri ke masyarakat informasi dan dari ekonomi dari yang berorientasi manufaktur ke arah orientasi jasa, telah menimbulkan dampak yang signifikan terhadap permintaan atas program baru pendidikan yang ditawarkan. Penulis adalah Dosen Tetap dan Wakil Ketua I Bidang Akademik STIT Muhammadiyah Kendal. Saat ini masih berstatus sebagai mahasiswa Program Doktor Studi Islam UIN Walisongo Semarang.
56 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Nasional 25 Tahun ke Depan
Fenomena yang selalu terjadi dalam dunia pendidikan di era global ialah selalu tertinggalnya perkembangan dunia pendidikan itu sendiri jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi, informasi, dan dunia bisnis yang mengiringinya. Upaya yang telah dilakukan baru sebatas menggunakan indikator-indikator ekonomis dan rugi-laba sebagaimana yang diterapkan dalam dunia bisnis. Oleh karena itu, membiayai dan membangun sektor pendidikan harus dijadikan sebagai upaya yang memiliki jiwa dan visi human investment yang hasilnya baru akan dapat diraih satu generasi berikutnya. Konsekuensi fenomena tersebut, diperlukan pembangunan sektor pendidikan yang memerlukan polytical will yang kuat, dan dukungan yang kondusif dari keluarga dan masyarakat. Tanpa adanya political will dan komitmen yang kuat dari bangsa untuk membangun sektor pendidikan, cepat atau lambat, kita sebagai bangsa akan termarjinalisasikan secara alami. Terlebih-lebih di era globalisasi seperti saat ini, tantangan pendidikan menjadi semakin tidak terbatas, dilihat dari masukan (inputs), keluaran (outputs), hasil (outcomes), manfaat (benefits), dan dampak (impacts). Jika hal ini terjadi, bangsa Indonesia akan semakin tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan. Tujuan akhir dari proses pendidikan di era global pada hakikatnya adalah menyediakan sumber daya insani yang memiliki daya saing internasional. Namun akankah kebijakan politik pendidikan nasional yang dilakukan pemerintah pada saat ini mampu memberikan perubahan besar bagi dunia pendidikan Indonesia 25 tahun yang akan datang? Untuk menjawab keadaan ini perlu dilakukan analisis yang lebih efektif. Penulis dalam hal ini mencoba memecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan analisis SWOT (Strenghs, Weaknesses, Opportunities, and Threats), untuk mengetahui sejauh mana perubahan pendidikan pada 25 tahun mendatang. Realita Pendidikan Nasional tinjauan Analisis SWOT Analisis SWOT telah menjadi salah satu alat yang berguna dalam dunia industri. Namun demikian tidak menutup kemungkinan untuk digunakan sebagai aplikasi alat bantu pembuatan keputusan dalam pengembangan pendidikan Nasional di masa depan. Dalam beberapa dekade, kebijakan politik pendidikan Nasional telah mengalami beberapa perubahan meski kualitas pendidikan nasional masih jauh dari harapan. Human Development Index (HDI) yang dipublikasikan Unit Nation Development Program (UNDP) melaporkan bahwa Indonesia berada pada rangking 108 tahun 1998,
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 57 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Mochammad Marjuki
rangking 109 tahun 1999, dan rangking 111 tahun 2004 dari 174 negara yang diteliti. Dan pada tahun 2005, peringkat pendidikan Indonesia masih di bawah Vietnam yang berada pada urutan yang ke 108.1 Untuk melihat masa depan pendidikan Nasional, Analisis SWOT ini kiranya mampu memberikan gambaran ke depan nasib bangsa ini, dengan memprediksi Kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman sistem pendidikan Nasional. 1. Realita Kekuatan (Strength) Pendidikan Nasional a. Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala asfek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mengesahkan Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 Pasal. Perubahan yang mendasar yang dicanangkan dalam UU Sisdiknas tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta mesyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik. b. Ideologi/Falsafah Pendidikan Nasional Pancasila Berdasarkan Pancasila, pendidikan seharusnya diselenggarakan dalam kondisi (1) berketuhanan, (2) berkebangsaan (nasionalistis), (3) berkemanusiaan (humanistis), (4) demokratis, dan (5) berkedilan. Berdasarkan Falsafah Pancasila, otonomi daerah bukan sekedar pengalihan kekuasaan pusat ke daerah, akan tetapi harus disikapi sebagai wujud dari tatanan kehidupan demokratik. Daerah memiliki kewajiban moral untuk memfasilitasi pendidikan baik untuk memenuhi tuntutan pendidikan yang berdampak global maupun yang berdampak terhadap kemajuan daerah itu, namun demikian tetap harus diwujudkan dalam tatanan kehidupan demokratik, fleksibel, dan kreatif. c. Otonomi Pendidikan atau Desentralisasi Pendidikan Seiring dengan semangat reformasi nasional dalam bidang politik, ekonomi, dan hukum, otonomi daerah melalui UU. No. 32 tahun 2004 telah membawa implikasi pada berubahnya setting pendidikan yang dahulu begitu sentralistik menjadi desentralistik. 1 Ali Muhdi, et al, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007), hlm. 47. Djohar, Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan, (Yogyakarta: Grafika Indah, 2006) hlm. 27
58 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Nasional 25 Tahun ke Depan
Diharapkan, desentralisasi pendidikan akan membawa angin perubahan karena proses pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan dan kompleksitas problem masing-masing daerah. d. Pendanaan Pendidikan Nasional Penyelenggaraan pendidikan bermutu memang membutuhkan dana. Namun dana bukan satu-satunya unsur yang menentukan keberhasilan usaha penyelenggaraan pendidikan bermutu. Hasil akan tergantung pada tiga kata kunci yaitu sistem, keahlian, dan moral pelaksananya. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekuensinya pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun (pasal 11 ayat 2). Itulah sebabnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar (wajar), minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, penerintah daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2). Dengan adanya desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, maka pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1). Bahkan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945 –” Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional ”– (pasal 46 ayat 2). Itulah sebabnya dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, harus dialokasikan minimal 20 % dari APBN pada sektor pendidikan, dan minimal 20 % dari APBD (pasal 49 ayat 1). Khusus gaji guru dan dosen yang diangkat pemerintah pusat dialokasikan dalam APBN (pasal 49 ayat 2). Suyanto. Dinamika Pendidikan Nasional dalam Percaturan Dunia Global, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2006), hlm. 34 Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran: Sistem Pendidikan Nasional Abad 21, (Yogyakarta, Safiria Insani press, 2004), hlm. 51
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 59 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Mochammad Marjuki
Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Dalam memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut maka pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Oleh karena itu maka pengelolaan pendidikan harus berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2). Pada tahun 2006 anggaran pendidikan dalam APBN mencapai Rp. 43, 2 triliun (8, 4%). Dalam RAPBN 2007, pendidikan dialokasikan sebesar Rp. 51, 3 triliun (10, 3%) dari belanja pemerintah pusat atau 9, 6% jika mengikuti definisi yang dipakai Mahkamah Konstitusi (MK) atau Undang-undang No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003. 2. Realita Kelemahan (Weakness) Pendidikan Nasional a. Pendidikan kita baru terbatas pada pemahaman pengetahuan tekstual Pendidikan Indonesia cenderung tekstualis dan mengadopsi hasil penelitian orang Barat tanpa upaya penelitian lebih lanjut serta menerapkan delivery sistem, yang menyikapi pendidikan hanya sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan. Cara menyikapi pengetahuan seperti ini yang akhirnya menjelma menjadi pendidikan dengan sistem ” suap ”. Artinya pendidikan Indonesia tidak jauh dari menyuapi anak-anak dengan pengetahuan, dan suapan yang diperoleh juga tidak akan menyamai volume ilmu yang berkembang. Kesenjangan antara perkembangan ilmu dengan jumlah suapan mengakibatkan timbulnya pembodohan terstruktur. Karenanya, orientasi pembelajaran tekstual harus diubah ke arah pendekatan faktual. Pembelajaran yang berorientasi tekstual hanya menghasilkan manusia-manusia penghapal dan hanya menghasilkan manusia-manusia penjiplak ilmu dan teknologi yang meniadakan kreatifitas. Pembelajaran yang bersifat faktual membimbing anak-anak terlatih bergaul dengan kenyataan lingkungan hidup mereka, dengan demikian mereka mampu mendeteksi masalah-masalah nyata, mampu mendeteksi kesenjangannya, mampu memecahkan solusinya, mampu Kompas. Anggaran Pendidikan (Wapres: Pemerintah dan DPR Langgar Konstitusi), tanggal 7 Juni 2006. Djohar. Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan,
Yogyakarta, Grafika Indah, 2006, hlm. 166-225
60 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Nasional 25 Tahun ke Depan
mendeteksi unsur-unsurnya, mampu menkonseptualisasikan makna dari kenyataan itu, dan dari sinilah maka mereka memperoleh kemampuan dan pengetahuan dari hasil kegiatannya sendiri. Perpustakaan berguna sebagai sumber referensi belajar, bukan menjadi sasaran belajar yang hanya akan berakibat terjadinya proses pembelajaran hafalan. Orientasi pembelajaran ini dapat dipikirkan oleh daerah yang bekerjasama dengan daerah lain atau negara lain yang dipandang sesuai dengan kebutuhan pendidikan di daerahnya, terutama berlaku bagi ilmu-ilmu global misalnya Matematika, IPA, dan Bahasa Asing. b. SDM atau Tenaga ahli masih rendah di tingkat nasional dan daerah Di saat warga dunia lain telah dan akan bermain di era global, Indonesia masih berkutat pada masalah ketaktersediaan pangan, disintegrasi hingga rendahnya kualitas kesehatan nasional. SDM negara masih jauh dari cukup untuk bersaing di era global yang berparadigmakan borderless world. Ditinjau dari tenaga kerja saja, banyak angkatan kerja tidak berpendidikan (53%). Yang berpendidikan dasar sebanyak 34%; berpendidikan menengah 11%, dan yang telah berpendidikan tinggi (universitas) hanya 2%.7 c. Kesiapan daerah baru merupakan kesiapan psikologis belum memiliki kesiapan teknis dan profesional. Saat ini pemerintah daerah memiliki euforia yang sangat tinggi, sehingga secara subyektif merasa sudah siap untuk mengelola pendidikan yang ada di daerahnya masing-masing tanpa melakukan refleksi dengan cara: mencermati kelemahan, kelebihan, dan peluang yang mungkin ada di daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, kesiapan daerah saat ini sebenarnya baru merupakan kesiapan psikologis. Sedangkan untuk kesiapan teknis dan profesional masih perlu dipertanyakan. d. Perspektif berpikir jangka pendek kepala daerah dan DPRD dalam paradigma pembangunan daerah dengan makna secara fisik semata. Perspektif berpikir jangka pendek akan selau membenarkan paradigma pembangunan daerah untuk kepentingan jangka pendek. Kalau ini pilihannya, pembangunan akan diberi makna secara fisik semata. Akibatnya banyak gapura, patung, jalan raya, gedung-gedung, tugu-tugu semboyan daerah yang mendapat prioritas utama untuk dibangun dengan mengorbankan pengembangan dan pembangunan aspek-aspek dan komponen penting pendidikan. Kalau hal ini terjadi, 7 Suyanto. Dinamika Pendidikan Nasional dalam Percaturan Dunia Global, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2006), hlm. 11-12
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 61 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Mochammad Marjuki
seorang kepala daerah tidak akan mampu menempatkan bidang pendidikan pada skala prioritas yang penting dalam proses pembangunan daerahnya.8 Dalam konteks otonomi, godaan semacam itu semakin kuat akibat semakin berkurangnya subsidi pemerintah pusat, dan semakin kuatnya daerah untuk memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi. Konsekuensinya, banyak daerah yang tergiur untuk membangun sarana fisik agar daerahnya menarik bagi investor asing. Menarik investor asing sebenarnya tidak cukup hanya disediakan sarana fisik saja, sebaliknya kualitas SDM perlu ditingkatkan secara signifikan agar investor yang ingin masuk mendapatkan jaminan akan tersedianya tenaga kerja yang memiliki keterampilan dan profesionalisme yang tinggi di daerah itu. Sayangnya, meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan tidak dapat dilakukan dengan model ”karbitan” jangka pendek. Upaya itu memerlukan waktu paling tidak 20 sampai 25 tahun atau berdurasi satu generasi. 3. Realita Peluang (Opportunity) Pendidikan Nasional a. Issue Pendidikan 1) School Bassed Management (Pendidikan Berbasis Sekolah) School Based Management digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sekolah memiliki kemerdekaan untuk menentukan kebijakan dalam hal pendidikan. 2)Broad Bassed Education (Pendidikan Berbasis Luas) Broad Based Education ini berorientasi pada pembekalan keterampilan untuk hidup atau bekerja (life skill). Dari keterangan ini, dan akibat adanya school based management memungkinkan sekolah mengartikan broad based education seperti yang dimaknakan UNESCO, yakni pendidikan yang berbasis luas yang mampu mengembangkan fisik anak, pikiran anak, mengembangkan hati anak, moral dan kepribadian secara utuh. Sedangkan menurut Indrajati Sidi (2002) pendidikan berbasis luas (BBE) adalah pendidikan yang memberikan bekal “learning how to learn” (belajar bagaimana cara belajar) dan “general life skill” (kecakapan hidup umum) tidak hanya memberikan teori tetapi juga mempraktikkannya untuk memecahkan problema kehidupan sehari-hari. 8 Djohar, Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan, (Yogyakarta: Grafika Indah, 2006), hlm. 90-91
62 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Nasional 25 Tahun ke Depan
3) Community Bassed Education (Pendidikan Berbasis Masyarakat) Salah satu pemahaman community based education adalah
suatu gagasan yang menempatkan orientasi penyelenggaraan pendidikan pada lingkungan kontekstual (ciri, kondisi, dan kebutuhan masyarakat) di mana lembaga pendidikan itu berada. Pemahaman ini juga sangat mungkin menimbulkan pemahaman yang berbeda pada tiap sekolah. Mungkin juga sekolah memaknakan pendidikan berbasis masyarakat itu tidak diartikan sebagai orientasi kebutuhan masyarakat atau orientasi eksternal atau sentrifugal, akan tetapi sebagai orientasi pembelajarannya yang menggunakan “sumber belajar” dari apa yang berkembang dominan di masyarakat, yang berarti orientasi internal atau sentripetal.9 Jadi dalam orientasi ini, apa yang dominan dalam masyarakat digunakan sekolah untuk sumber belajar siswa, sehingga anak-anak memahami konteks lokalnya masing-masing. Bukan sebaliknya orientasi siswa untuk masyarakat, melainkan masyarakat yang dominan untuk modal pengetahuan siswa. Masyarakat yang bergerak dinamis sangat sulit mengantisipasi pendidikan untuk masyarakat, karena pada hakikatnya pendidikan itu untuk masa datang. Oleh karena itu, apa yang berada di masyarakat saat ini hanya digunakan oleh siswa sebagai referensi pembelajaran saja. 4) Competency Based Curriculum (Kurikulum Berbasis Kompetensi) Kurikulum berbasis kompetensi dimaknakan sebagai kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh peserta didik bila is telah menamatkan suatu satuan jenjang pendidikan tertentu. Kurikulum berbasis kompetensi yang dimaksud sebagaimana yang dirumuskan oleh Anonim (2001) ialah ”Kompetensi ini terdiri dari kemampuan akademik, keterampilan hidup, pengembangan moral, pembentukan karakter yang kuat, kebiasaan hidup sehat, semangat bekerja sama, dan apresiasi estetika terhadap dunia sekitarnya. Dengan kata lain, kurikulum mengembangkan keharmonisan pemilikan logika, etika, estetika, dan kinestika.” b. Adanya Lembaga Pendampingan Adanya lembaga pendampingan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten atau kota sangat penting peranannya dalam memberikan pendampingan pendidikan kepada pemda, sehingga akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan di tingkat kabupaten atau kota dapat 9 Djohar. Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan, (Yogyakarta: Grafika Indah, 2006), hlm. 243-244
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 63 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Mochammad Marjuki
dipertanggungjawabkan. Lembaga pendampingan pendidikan di tingkat sekolah adalah komite sekolah yang pada dasarnya memiliki makna serupa dengan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu adanya lembaga pendampingan ini dapat digunakan sebagai peluang untuk memajukan pendidikan di Indonesia. c. Pelembagaan Penyelenggara pendidikan Banyaknya lembaga sekolah dapat dikatakan menjadi peluang besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi pembinaan terhadap adanya banyak sekolah ini kenyataannya belum mengarah kepada kedudukan sekolah sebagai peluang dalam membangun pendidikan bangsa kita. 4. Realita Ancaman/Tantangan Pendidikan Nasional a. Pemahaman yang salah dari masyarakat Pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang membutuhkan modal besar demi mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Karena mahalnya biaya pendidikan dan banyaknya alumni lembaga pendidikan yang akhirnya menjadi pengangguran, banyak masyarakat berasumsi bahwa sekolah tidak mampu memperbaiki tingkat perekonomian dalam waktu cepat, sehingga banyak yang memilih untuk langsung terjun ke dunia kerja. b. Pembaruan pendidikan yang berjalan di tempat Hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa banyak proyek pendidikan yang dimanfaatkan untuk keuntungan segelintir orang sehingga tidak berjalan sesuai dengan tujuan awal. c. Sistem pembaharuan yang tidak terarah Kesalahan yang terjadi pada butir di atas, mungkin juga disebabkan karena sistem pembaharuan pendidikan kita yang tidak terfokus kepada pemecahan masalah nyata. Sehingga proyek pendidikan yang dilaksanakan hanya sekedar proyek, tidak ingin memecahkan permasalahan pendidikan. d. Kesalahan di tingkat praksis pendidikan Di tingkat praksis, kita menghadapi kesalahan pendidikan yang besar, semisal: (1) pendidikan kita tidak pernah bergulat pada hal-hal yang sifatnya teoritis, sehingga anak-anak kita tidak mampu menghadapi realitas kemiskinan, kebodohan, persaingan dan lain sebagainya, (2) metode pembelajaran yang monoton dan hanya mengedepankan aspek kognisi, (3) penyelewengan dana pendidikan, (4) memburuknya citra guru karena berbagai tindak asusila yang terjadi dewasa ini, (5) ketidakseimbangan pendidikan dalam
64 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Nasional 25 Tahun ke Depan
mempengaruhi afeksi dan psikomotor siswa/peserta didik menjadikan pendidikan tidak mampu menghasilkan manusia yang mampu menginternalisasikan nilai-nilai luhur pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Simpulan Pendidikan sebagai instrumen utama proses kemanusiaan dan pemanusiaan terus disorot tajam oleh masyarakat. Bahkan, fenomena itu melahirkan pertanyaan apakah kita sudah menjadi manusia? Apakah pendidikan kita masih layak menjadi lini terdepan proses kemanusiaan dan pemanusiaan? Apakah sebagian manusia Indonesia yang dilihat dari jenjang pendidikan yang dicapai atau posisi yang diembannya, benar-benar mampu menampilkan keterpelajarannya? Arogansi kekuasaan, indeks pengembangan SDM (human development index) yang sangat rendah, krisis ekonomi, pelanggaran ketertiban umum, aksi memfitnah, main hakim sendiri, kerusuhan, perampokan, pecandu narkotika dan obat-obat terlarang, kekerasan, KKN dan prilaku buruk di sekitar kita sepertinya makin nyata. Untuk membuat gejala buruk itu tereduksi secara signifikan, penegakan hukum, pembangkitan rasa malu, perluasan wacana, penajaman curiosity dan penguatan ajaran agama menjadi sebuah keniscayaan, baik pada tataran birokrasi, jaringan partai politik, tokoh masyarakat, orang tua, pelaku bisnis, aparat keamanan, ilmuwan, maupun lembaga pendidikan. Disinilah agenda pendidikan perlu mendapatkan pelurusan kembali. Maka analisis SWOT diharapkan bisa menjadi barometer untuk mengadakan rekonstruksi agenda pendidikan. Artinya, bagaimana kita sadar akan potensi atau kekuatan yang dimiliki untuk mau mengoptimalkan penggunaannya dengan manajemen yang akurat, serta mampu menghalau hambatan-hambatan atau meminimalisir dengan menutup celah-celah, bahkan mau dan mampu mengambil peluang yang ada dan menempatkan peluang itu sebagai kekuatan bukan sebagai momok besar yang menakutkan, serta menjadikan ancaman atau tantangan sebagai peluang kedua dengan disikapi secara dewasa. Kesamaan pandangan dari seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, birokrasi, masyarakat, orang tua, bahkan lembaga pendidikan itu sendiri, bahwa pendidikan itu ; pertama, sebagai proses pemanusiaan, kedua, sebagai proses penanaman modal dalam bentuk manusia (human investment atau
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 65 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Mochammad Marjuki
capital investment in human form), dimana pendidikan merupakan
proses menyiapkan manusia untuk terjun di sektor produktif. Sehingga pendidikan nasional kedepan minimal bisa mencapai empat faktor strategis reformasi pendidikan. Pertama, akuntabilitas berbasis standar (standar based accountability), dimana penetapan standar keluaran harus jelas dan pengujian secara sistematik atas kemajuan siswa, berupa statemen kepercayaan dimana guru dan siswa akan didorong pada fokus usaha pembelajaran dan arah yang benar. Kedua, reformasi sekolah secara keseluruhan. Ketiga, strategi pasar (market strategies). Dimana pendidikan merupakan pranata sosial yang menawarkan jasa layanan yang bersifat intelektual, afeksi, psikomotorik, emosional, dan bahkan spiritual. Keempat, Keputusan partisipatif (shared decisionmaking), sebuah strategi sistematis yang berfokus pada pemberdayaan guru dan administrator di tingkat sekolah. Rasionalnya adalah, masyarakat mengetahui bahwa siswa-siswa terbaik mempunyai otonomi untuk mengkreasi dan mengimplementasikan programprogram secara responsif. Daftar Pustaka Djohar, Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan, Yogyakarta: Grafika Indah, 2006. Kompas. Anggaran Pendidikan (Wapres: Pemerintah dan DPR Langgar Konstitusi), tanggal 7 Juni 2006. Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran: Sistem Pendidikan Nasional Abad 21, Yogyakarta, Safiria Insani press, 2004. Muhdi, Ali, et al, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007. Suyanto. Dinamika Pendidikan Nasional dalam Percaturan Dunia Global, Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2006.
66 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 67 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015