Reformasi …
REFORMASI PENDIDIKAN DAN MASA DEPAN MASYARAKAT Dr. MAISAH, M.Pd.I Abstrak Reformasi adalah suatu proses untuk meningkatkan, perbaiki, mengubah pengetahuan, keterampilan dan sikap tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mencerdaskan kehidupan manusia melalui kegiatan bimbingan pengajaran dan pelatihan diantaranya ada sembilan perubahan pendidikan untuk meningkatkan sumber daya manusia. Proses ini menunjukan adanya aktivitas dalam bentuk tindakan aktif di mana terjadi intraksi dinamis dan dilakukan secara sadar dalam usaha mencapai tujuan yang diinginkan. Kata Kunci: Perbaikan Pendidikan A. Pendahuluan. Menurut Zainudin, (2008:1) pendidikan merukan suatu aspek yang mendasar dalam usaha mempersiapkan sumber daya manusia dalam menghadapi proses dan dinamika kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara ditengah-tengah pluralitas. Pendidikan merupakan suatu proses yang berkelanjutan, terusmenerus dan berlangsung seumur hidup (long life education) dalam rangka mewujudkan manusia dewasa, mandiri dan bertanggung jawab serta beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu, Indikator kebesaran dan tingkat peradaban suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas sumber daya manusianya. Hal itu tidak akan bisa lepas dari tinggi rendahnya tingkat kualitas pendidikan, sehingga pengembangan pendidikan merupakan kebutuhan mutlak karena berpengaruh pada hidup dan kehidupan suatu bangsa. Semakin tinggi tingkat dan kualitas pendidikan seseorang berpengaruh pada semakin luas cerdas pola pikir, pola tindakan, pola lakunya termasuk tingkat peradabannya. Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut 1
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan nasional harus mampu menginovasi serta menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efektivitas manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa, dan olahraga memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. B. Reformasi Pendidikan. Menurut Hamzah B. Uno, (2008: 83) Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokrasi sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air. Karena sistem birokrasi selalu menempatkan kekuasaan sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengembilan keputusan. Sekolahsekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi yang “Menggurita” sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah, bahkan terkesan semakin buruk dalam era desentralisasi ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang “dikkendalikan”. Merekalah yang seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan seharihari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam bentuk juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan objektif di masing-masing sekolah. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kekuasaan birokrasi persekolahan telah membuat sistem pendidikan kita tidak pernah terhenti dari keterpurukan. Kekuasaan birokrasi jugalah yang menjadi faktor sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah yang membangun dan memilihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru kepada 2
Reformasi …
pemerintah untuk diangkat pada sekolah tersebut. Pada waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang berkelanjutan, karena sekolah adalah sepenuhnya miliki masyarakat yang senantiasa bertanggung jawab dalam pemiliharaan serta operasional pendidikan sehari-hari. Pada waktu itu, pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang mampu. Namun, keluarnya Inpres SDN No. 10/1973 adalah titik awal dari keterpurukan sistem pendidikan, terutama sistem persekolahan di tanah air. Pemerintah telah mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik. Sejak itu, secara perlahan “rasa memiliki” dari masyarakat terhadap sekolah menjadi pudar bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya “bertanggung jawab”, mulai berubah menjadi hanya “berpartisipasi” terhadap pendidikan, selanjutnya masyarakat menjadi “asing” terhadap sekolah. Semua sumber daya pendidikan ditanggung oleh pemerintah dan seolah tidak ada alasan bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisifasi apalagi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Menurut Tilaar (2008:20) Sejak era reformasi, terjadi loncatanloncatan besar di dalam kehidupan bangsa Indonesia seperti: 1. Bidang politik, ekonomi, sosial, dan juga dalam bidang pendidikan terjadi perubahan-perubahan yang sangat besar. 2. Demokrasi berkembang dengan sangat cepat sampai seakanakan menuju kepada demokrasi kebebasan. 3. Kesadaran akan hak asasi manusia bahkan menimbulkan kecurangan satu dengan yang lainnya. 4. Demokrasi telah menyadarkan pula akan identitas kelompok bahkan golongan sendiri sehingga nasionalisme tampaknya mulai meredup. 5. Lahirnya berbagai sekolah bertaraf internasional yang ternyata hanya diperuntukkan bagi kelompok yang berduit. 6. Pendidikan tinggi berebutan menjadi “ world class university” yang pada hakikatnya menjauhkan pendidikan tinggi dari jangkaun anak-anak dari keluarga miskin. 7. Lahirnya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 13 UU tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial. 8. Perubahan pengelolaan pendidikan nasional yang bersifat sentralistik menjadi desntralistik, sebagaimana penjelasan berikut ini: 3
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
a. Desentralisasi pendidikan. Manajemen pendidikan yang telah diserahkan kepada otonomi daerah tentunya sangat menguntungkan bagi masyarakat. Dengan demikian pendidikan dapat di sesuaikan dengan kebutuhan riil dari masyarakat yang tercermin di dalam penyusunan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan tingkat satuan pendidikan. Pelaksanaan KTSP sungguh-sungguh merupakan suatu loncatan yang sangat berarti baik di lihat dari segi ilmu pendidikan maupun dari politik dalam pertumbuhan demokrasi dalam masyarakat Indonesia. Namun demikian penyusunan KTSP yang kemudian diatur melalui Keputusan Menteri ternyata kurang dipersiapkan pelaksanaannya di daerah. Demikian pula kurikulum yang seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan daerah ternyata sangat bersifat sentralistik dan intelektualistik. Pendidikan dasar yang seharusnya di dasarkan dan terarah kebutuhan daerah dan budaya daerah ternyata hanya mempunyai alokasi waktu sangat minim. Apalagi para pelaksana (guru, kepala sekolah) tidak persiapkan di dalam penyusunan dan pelaksanaan KTSP tersebut. Selain itu, pelaksanaan ujian nasional yang sentralistik telah mematikan roh KTSP yang diarahkan kepada kebutuhan lokal. Salah satu unsur penting di dalam menjalankan suatu organisasi adalah pembiayaannya. Dengan adanya komitmen pemerintah mulai tahun 2009 untuk mengalokasikan dana APBN sekurang-kurangnya 20% maka diharapkan akan terjadi loncatan-loncatan besar di dalam refomasi pendidikan nasional sampai ke daerah. Prioritas pokok pengalokasian dana tersebut selain dari perbaikan pendidikan kondisi sosial ekonomi profesi guru/dosen, juga diarahkan kepada perbaikan fasilitas belajar seperti gedung, buku-buku pelajaran, teknologi pendidikan. Dan tidak kurang pentingnya pula adanya perbaikan di dalam pelaksanaan evaluasi pendidikan yang lebih bermakna di dalam perkembangan peserta didik. b. Pendidikan Swasta. Pendidikan nasional mengakui pendidikan yang dibiyai oleh masayrakat (lembaga-lembaga pendidikan swasta) sebagai mitra pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan rakyat. Hingga saat ini antara lembaga pendidikan negeri dan swasta belum berada di dalam mitra kesetaraan. Seharusnya 4
Reformasi …
pendidikan swasta mempunyai status komplementer dari upaya pemerintah untuk memberikan pendidikan yang gratis untuk seluruh rakyat Indonesia. Sesuai dengan bunyi UUD serta UU sistem pendidikan nasional masyarakat diberikan kesempatan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi kelompoknya sendiri di dalam struktur sistem pendidikan nasional. Sudah tentu manajemen pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat harus berdiri di atas kemampuannya sendiri. Namun demikian pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap sumbangan masyarakat dalam memberikan pendidikan yang bermutu terhadap kelompoknya. Sudah dapat dimengerti biaya untuk pendidikan swasta relatif akan lebih mahal tetapi karena itu adalah pilihan dari warga negara untuk memperoleh pendidikan yang khusus bagi anaknya maka hal tersebut merupakan tanggung jawab keluarga. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindunginya sesuai dengan kemampuan pemerintah. Melihat pada gejala-gejala tersebut di atas sudah dapat digambarkan bagaimana manajemen pendidikan nasional dewasa ini. Keadaan semrawut di dalam manajemen pendidikan nasional dewasa ini perlu ditata kembali dan diarahkan sesuai dengan jiwa UUD 1945 yang pro kepentingan rakyat banyak. C. Pandangan Masa depan Masyarakat. Menurut Tilaar, (2008: 78) Masyarakat Indonesia saat ini sedang mengkaji sosok masa depan, tentunya dapat dilihat dari berbagai segi yaitu masayarakat industri dengan kemajuan teknologi serta ilmu pengetahuan, maupun nilai-nilai yang ingin diciptakan bagi kelanggenggan kehidupan masyarakat yang di cita-citakan yaitu nilai-nilai “Pancasila”. Dalam era pembangunan harus menyiapkan masayarakat agar dapat “survive” dalam masyarakat industri yang: 1. Mementingkan kualitas. 2. Sangat mengutamakan persaingan untuk mencapai kualitas yang semakin meningkat. 3. Sejalan dengan munculnya nilai untuk mencapai yang terbaik. 4. Kehidupan politik berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang lebih matang, kesatuan dalam keragaman budaya semakin meningkat. 5. Meningkatnya kualitas hidup yang lebih merata dengan terpenuhinya kebutuhan dasar. 6. Munculnya tata nilai baru seperti intelektualisme kreatif.
5
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
B. Pendidikan Yang Perlu di Inovasi Van de van (1994:471) mengemukakan bahwa inovasi merupakan suatu ide baru yang dapat diaplikasikan dengan harapan dapat menghasilkan atau dapat memperbaiki sebuah produk, proses maupun jasa. Menurut Hamzah B. Uno (2008:9) ada sembilan inovasi pendidikan untuk peningkatan sumber daya manusia pada masa yang akan datang yaitu: 1. Pendidikan Sebagai Proses pembebasan. Pendidikan kita masih terkesan sebagai pendidikan yang membelenggu. Pembelengguan ini bersumber dari ketidak jelasan visi dan misi pendidikan kita, juga adanya praktik sentralisasi dan uniformitas, serta sistem pendidikan dengan konsep sistem penyampaian atau pemberitaan. Di sini terjadi praktek pendidikan yang mengalir dari atas ke bawah (topdown), yang kurang memperhatikan faktor hak-hak anak secara demokratis dan kreatif, serta kurangnya pemberian kesempatan kepada mereka untuk melakukan rekayasa dalam aktivitas pendidikannya. Sistem pendidikan yang membelenggu ini pada gilirannya akan menghasilkan manusia yang penurut, tidak kreatif, bahkan memiliki ket ergantungan tinggi. Hal tersebut akan membuat mereka menjadi beban sosial, tidak mandiri, bahkan tidak memiliki jati diri. Pendidikan demikian dapat dinyatakan sebagai sistem pendidikan tertutup, kurang memberikan kebebasan dan pengalaman kepada para pembelajar untuk berkreasi. 2. Pendidikan Sebagai Proses Pencerdasan Banyak pihak mengecam pendidikan kita dirasakan sebagai sebuah proses pembodohan. Hal ini tidak hanya terbatas di sekolah saja, tetapi juga terasa sekali dalam praktik kehidupan masyarakat. Yang menjadi masalah adalah mereka yang menjadi penyebab kebodohan ini tidak merasakan bahwa ia telah melakukan kebodohan kepada masyarakat. Pemutarbalikan fakta yang dilegitimasi melalui lembaga-lembaga formal adalah contoh pembodohan masyarakat yang paling riil, pembodohan di sekolah terjadi dari praktik instruksional yang sama, yakni dengan interaksi verbal vertikal. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa sistem belajar di antara siswa, baik pada jurusan matematika, ilmu pengetahuan alam, bahasa, maupun sasional ternyata tidak berbeda. Padahal seharusnya dengan latar belakang jurusan tersebut di antara mereka memiliki sistem yang berbeda.
6
Reformasi …
3. Pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak. Di negara kita hak-hak anak terkesan dirampas. Hal ini disebabkan karena masyarakat menjadikan sekolah sebagai panggung pentas, bukan sebagai tempat latihan maupun laboratorium belajar. Pembelajar di sekolah diharapkan oleh orang tuanya memperoleh rangking atas, sehingga anak dikursuskan di luar sekolah. Anak di haruskan mendapat nilai yang baik. Mereka harus naik kepanggung pentas dengan nilai terbaik, tetapi tidak untuk belajar dengan baik. Oleh karena itu, sistem rangking di sekolah memacu masyarakat untuk memperoleh persepsi yang salah tentang pendidikan di sekolah. 4. Pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian. Melihat munculnya berbagai tawuran di antara pembelajar sekarang ini merupakan bukti nyata bahwa pendidikan menghasilkan tindakan kekerasan. Mereka tidak memiliki pengalaman memecahkan konflik secara damai, secara kreatif. Namun sebaliknya setiap konflik dipecahkan dengan kekarasan. Hal ini merefleksikan pengalaman-pengalaman mereka sendiri, mulai dari kehidupan mereka di rumah, di sekolah, dan di masayarakat. Kemasan seni pertunjukan kita terkesan menonjolkan kekerasan dalam setiap cara penyelesaikan konflik, seperti dalam ketoprak, sinetron, dan lain-lain. Di dalam kehidupan keluarga, konflik suami istri, orang tua, anak, juga mengesankan kekerasan dalam cara penyelesainnya. Transaksi emosional di antara mereka sering diabaikan. Anak menjadi sasaran orang tua, terdenggar dalam praktik kehidupan seharihari. Di sekolah, konflik antara guru dengan siswa sering mencuat kepermukaan, yang mengambarkan kita tidak memperoleh pengalaman bagaimana setiap konflik itu dapat diselesaikan dengan damai. Kejujuran sering menjadi sumber kemarahan sehingga menipu lebih selamat dari pada jujur. Anak yang belum memahami suatu pelajaran, terlalu cepat untuk dinyatakan sebagai anak bodoh yang menjadi penyebab mereka kehilangan jati diri. Padahal, pendidikan adalah proses pemberdayaan, yang diharapkan mampu memberdayakan peserta didik menjadi manusia yang cerdas, manusia yang berilmu dan berpengetahuan, serta manusia terdidik. Pemberdayaan siswa, misalnya dilakukan melalui proses belajar, proses latihan, proses memperoleh pengalaman, atau melalui kegiatan lainnya. Melalui proses belajar mereka diharapkan memperoleh pengalaman memecahkan masalah, pengalaman etos kerja, dan ketuntasan bekarja dengan hasil yang baik. Melalui proses belajar, mereka 7
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
juga diharapkan memperoleh pengalaman mengembangkan potensi mereka serta melakukan pekerjaan dengan baik, dan mampu bekerja sama dalam kemandirian. 5. Pendidikan Anak berwawasan Integratif. Bahwa mata pelajaran masih terkesan terkotak-kotak, itulah kenyataan yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini. Kurikulum belum mampu menjadikan anak memiliki wawasan integratif. Tujuan pada setiap satuan pendidikan belum diperoleh mereka. Ia belum menjadi manusia terdidik yang berilmu dan berpengetahuan, yang sekaligus sebagai manusia beriman. Integritas dari keseluruhan itu seharusnya menjadikan pembelajar sebagai manusia yang utuh. Di mana pun, kapan pun ia dapat menampilkan diri sebagai sosok yang menampilkan satuan psikofisik, bukan sebagian-sebagian. Di mana pun, kapan pun, ia membawa kesatuan dari manusia terdidik, sebagai manusia berilmu dan berpengetahuan dari manusia terdidik, sebagai manusia berilmu dan berpengetahuan, serta sebagai manusia beragama. Ia tidak hanya anti terhadap orang lain yang bertindak kejahatan, tetapi walaupun ia memiliki kesempatan untuk itu, ia tidak akan berbuat kejahatan tersebut. 6. Pendidikan membangun watak persatuan. Pendidikan belum mampu menghasilkan manusia yang mampu hidup dalam perbedaan. Setiap perbedaan dalam masyarakat dapat menjadi pemiju konflik, yang pemecahannya dilaksanakan dengan kekerasan. Mereka tidak memiliki pengalaman belajar dalam kelompok dengan partisifasi integratif, yang masing-masing dapat secara aktif memainkan perannya dalam kelompok itu. Mereka tidak pernah mengalami dan menghadapi perbedaan, juga belum pernah cara menyikapi terjadinya perbedaan itu. Seberapa jauh perbedaan itu cukup disikapi dengan toleransi, dan seberapa jauh perbedaan itu perlu disikapi dengan diskusi, dan kapan batas diskusi diakhiri yang penyelesaiannya ditentukan oleh mereka sendiri, mereka tidak memiliki pengalaman. Oleh karena itu, belajar dengan perbedaan kelompok memiliki peranan penting. Pendekatan belajar sekarang dirasa masih didominasi dengan belajar kontektual yang tidak mampu membangun kesadaran dan sikap, lebih-lebih tindakan. Pelajaran sejarah yang seharusnya mampu dimanfaatkan sebagai alat pendekatan mengenai karakteristik bangsa masih terlalu menjadi bahan hafalan. Pelajaran geografi yang seharusnya mampu membangun kesadaran untuk memahami karakteristik tanah air dan cinta tanah air, juga masih menjadi
8
Reformasi …
bahan hafalan. Dari proses belajar maupun bahan pelajaran belum mampu membangun sikap dan kesadaran persatuan. 7. Pendidikan menghasilkan manusia demokratis. Pendidikan kita masih terkesan otoriter, baik manajemen, interaksi, proses, kedudukan, maupun substansinya. Tidak mungkin kondisi demikian menghasilkan manusia demokratis. Apabila kita semua menjadi pejabat, maka seakan-akan kita telah memiliki modal”benar” dalam segala hal; berhak mengoreksi, berhak memberikan petenjuk, berhak menyalahkan bawahan, dan seterusnya. Pengawasan melekat menjadikan atasan otoriter. Padahal justru informasi bawahan kebanyakan membawa kebenaran. Transaksi pendidikan kita masih satu arah dan vertikal, sumber informasi didominasi oleh para guru. Pembelajar jarang didudukan sebagai sumber informasi alternatif sehingga menyebabkan tidak terjadinya interaksi harizontal. Pengalaman demokratis tidak pernah diperoleh pembelajar dalam hidup sehari-hari. Mereka hanya memahaminya secara tekstual. Dalam praktek, kedudukan substansi dan proses pembelajaran kita masih berorintasi vertikal, yakni dari atas ke bawah. Pengetahuan (tekstual)masih berpola pada guru-siswa, yang seharusnya guru dan pembelajar bersama-sama menghadapi persoalan pengetahuan yang konseptual bukan tekstual. Proses pembelajar masih didasarkan atas kerapian administrasi pendidikan dari pada fungsionalnya dalam praktik. Pada hal funsionalnya proses pembelajaran (instruksional) ini yang akan menghasilkan perolehan tujuan instruksional. Bagaimana cara yang dilakukan pembelajar dalam mencapai konsep keilmuan itulah selanjutnya yang akan mewarnai perolehan pendidikan. 8. Pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan. Sikap otoriter dalam sistem pendidikan, membuat anak menjadi manusia yang patuh. Namun disisi lain, sistem yang membelenggu itu pun akan berakibat anak menjadi pemberontak. Lalu yang disalahkan adalah budi pekerti. Anak tidak terangsang untuk peduli lingkungan, karena sumber pendidikan satu-satunya adalah teks. Pengalaman anak yang begitu beragam dan sangat berharga, jarang dimanfaatkan sebagai sumber belajar. Evaluasi hasil belajar juga sangat ditentukan oleh ukuran tekstual, bukan konseptual. Sehingga anak dijadikan sebagai korban kurikulum, bukan kurikulum untuk anak. Dapat dimaknai bahwa anak diarahkan pada tekstual sentris, yang menjauhkan diri mereka dari keadaan nyata di
9
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
lingkungan. Inilah yang masih terjadi dalam sistem pendidikan kita. 9. Sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan. Dalam pelaksanaannya kurang di perhatikan oleh pihak pemerintah, dan tidak di evaluasi sejauhmana pelaksanaan sistem pendidikan nasional itu tercdapai. Maka dari itu, perlu adanya inovasi baik dalam bidang evaluasi maupun pengawasan. Berdasarkan uraian di atas, menurut penulis ada beberapa bentuk pendidikan kita saat ini yang perlu di Inovasi seperti: 1. Standar proses pembelajaran, dalam hal ini guru benar-benar dituntut mampu untuk menerapkan metode dan strategi yang bervariasi terhadap siswa. 2. Standar Kelulusan siswa, dalam hal ini pemerintah dapat membedakan standar kelulusan siswa yang belajar di pusat, provinsi dan kabupaten, karena taraf perkembangan anak tersebut sangat berbeda dan didukung oleh sarana dan prasarana yang berbeda pula 3. Standar pembiayaan, pemerintah harus menyamaratakan antara pendidikan Negeri dan Swasta, baik yang berada di bawah lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional maupun di bawah Lingkungan Kementerian Agama. 4. Standar Sarana dan Prasarana pendidikan, pemerintah harus memberikan perhatian yang sama terhadap pendidikan Swasta. 5. Standar pengelolaan, dalam hal ini pihak pendidikan Swasta harus mampu bersaing dengan pendidikan Negeri, tinggalkan sifat kekuargaan dalam rekrutmen guru sesuai dengan kebutuhan mata pelajaran. Hersey (1986:316) pimpinan organisasi atau lembaga pendidikan harus memiliki keterampilan, pengetahuan dan pelatihan dalam dua bidang yaitu diagnosis dan penerapan dalam rangka memahami perubahan, pimpinan harus dapat mengidentifikasi masalah, menganalisis dan melakukan penerapan. Gibson dalam Suwanto (1999:77) mengartikan bahwa inovasi adalah kekuatan dorongan yang ada dalam diri akan mengarahkan prilaku. Menurut Muhajir (2002:17) seorang Inovator adalah orang yang aktif mencari ide-ide baru dan memiliki wawasan luas melalui jaringan kerja yang biasanya berada diluar sistem 10
Reformasi …
sosialnya, juga mampu mengatasi masalah yang terjadi dalam proses pelaksanaan ide-ide baru tersebut. Untuk itu, menuju pembaharuan dan perubahan dilakukan oleh manusia dengan menyesuaikan strategi, tuntutan lingkungan serta banyak hal yang menjadi ciri dari perubahan itu sendiri dan tergantung pada waktu-waktu tertentu hal ini disebut keinovatifan. Ciri-ciri lain keinovatifan adalah sebagai berikut: 1. Penghasilan gagasan; melakukan analisis atau sintesis terhadap informasi 2. Mengusahakan atau mempelopori; mengenali, mengusulkan, mendorong dan menunjukkan suatu gagasan 3. Kepemimpinan; merencanakan dan mengkoordinasikan beragam kegiatan 4. Mengatur informasi; menunjukkan dan menyalurkan informasi tentang perubahan 5. Menseponsori; membimbing dan mengembangkan karyawan yang kurang berpengalaman. Menurut Drucker ( 1999:77) ciri-ciri keinovatifan dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Susunan pembaharuan menganalisis peluang 2. Pembaharuan adalah perpaduan antara konsepsi dan persepsi 3. Pembaharuan itu efektif, sederhana dan dipusatkan pada sesuatu 4. Pembaharuan yang efektif dimulai dari yang kecil 5. Keberhasilan tujuan terletak pada kepemimpinan, dan selain itu ditambahkan adanya tiga kondisi yang diperlukan di dalam pembaharuan yaitu: a) pembaharuan adalah pekerjaan, b) supaya berhasil para pembaharu harus bekerja keras, c) pembaharuan berdampak pada ekonomi dan masyarakat. Dengan demikian yang dimaksud dengan keinovatifan adalah pembaharuan dalam hubungannya dengan penerimaan (pengadopsian), penciptaan (membuat) dan penerapan (melakukan tindakan pada hal-hal yang baru dengan indikator gagasan, layanan alat dan pengetahuan tentang pekerjaan setiap pegawai. E. Kesimpulan Pendidikan selalu mempunyai hubungan yang erat dengan upaya peningkatan wawasan dan pandangan, proses perubahan pendidikan yang dikehendaki masa depan masyarakat bukan hanya aktivitas pembelajaran antara siswa dengan gurunya. Namun 11
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
bagaimana siswa berksempatan menerjemahkan dan menjelaskan problem-problem nyata yang sedang dihadapi dirinya. Di sinilah, pendidikan memiliki makna sebagai upaya membebaskan diri dan membebaskan yang lain dari penindasan dan belenggu kebodohan, sehingga pendidikan benar-benar dapat membekali diri dalam menghadapi kehidupan nyata. Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada masa yang akan datang adalah manusia yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu
DAFTAR PUSTAKA Uno, Hamzah B. Profesi Kependidikan (Problem, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesai, Jakarta: Bumi Aksara. 2008. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen A. Van de van, Control Problems in the management Innovation dikutif langsung dalam buku manageing Todey Rabbins, 1994 Muhajir, Noeng, Identifikasi Factor-factor Opinion Leader Inovatif bagi pembangunan Masyarakat, Yokyakarta: Rake Sarasih, 2002. Peter F. Drucker, Innovation Enterepreneurship alih bahasa Rusydi Naib, Jakarta: Erlangga, 1999. Tilaar, Mengugat Manajemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Lembaga Manajemen UNJ, 2008. ___________, Kebijakan Pendidikan (Pengantar untuk memahami Kebijakan pendidikan dan Kebijakan sebggai Kebijakan Publik) Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Donelly Jr., James H., James L. Gibson, dan John M. Ivancevich, Fundamentals of management, Chicago: Richard D. Irwin, 1999. Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard, Manajemen Perilaku Organisasi; Pendaygunaan Sumber daya manusia, terjemahan agus Dharma, Jakarta: Erlangga, 1986. Suwanto, Prilaku keorganisasian, Yagyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 1999. Zainuddin, Reformasi Pendidikan, Yokyakarta, Pustaka pelajar, 2008.
12