1 REVIEW DAN REFLEKSI MODEL PENYULUHAN DAN INOVASI PENYULUHAN MASA DEPAN Prof. Dr. Sumardjo (
[email protected]) Ketua Perhimpunan Ahli Penyuluhan Pembangunan Indonesia (PAPPI) 1. Latar Belakang Review dan Refleksi Penyuluhan di Indonesia Setiap insan warga negara Indonesia mendambakan kehidupan yang layak dan bermartabat, setidaknya mampu memenuhi hak-hak dasar warga negara demi mewujudkan kesejahteraan sosial. Negara berkewajiban menyelenggarakan pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial secara terencana, terarah dan berkelanjutan. Atas dasar itu, UU No 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara diganti dengan UU No 11 Tahun 2009 Prof. Dr. Sumardjo, Ketua Umum PAPPI, tentang Kesejahteraan Sosial. Dengan demikian, Narasumber pada Seminar Nanional penyelenggaraan pelayanan untuk mewujudkan Review dan Refleksi Model Penyuluhan kesejahteraan sosial menjadi lebih dini dan lebih dan Inovasi Penyuluhan Masa Depan bersifat pencegahan, selain yang sifatnya penanganan masalah sosial yang sudah terjadi (Sumardjo, 2010). Dalam mukadimah UUD 1945 diamanatkan bahwa negara bertanggungjawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam UU No 11 Tahun 2009 pasal 1 telah diatur tentang bagaimana penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Dalam pasal yang sama dinyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk mengadakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila (Keputusan Menteri Sosial RI No 58/HUK/2008). Untuk mewujudkan usaha kesejahteraan sosial, maka salah satu kegiatan yang penting dan diperlukan adalah penyuluhan sosial, yang didukung oleh tenaga-tenaga penyuluh yang berkualitas dan professional. Penyuluh yang berpengetahuan, sikap dan ketrampilan tinggi serta berdedikasi sebagai seorang penyuluh social yang bisa merubah perilaku masyarakat untuk lebih mampu berperan serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial. Penyuluhan tidak terlepas dari upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara
2 bermartabat. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia meliputi: (1) Rehabilitasi sosial, dengan refungsionalisasi fungsi sosial warga masyarakat, (2) Jaminan sosial, sehingga terjaminnya upaya memenuhi kebutuhan dasar, (3) Pemberdayaan sosial, agar masyarakat berdaya memenuhi kebutuhan dasar, dan (4) Perlindungan sosial, yaitu mencegah dan menangani resiko guncangan dan kerentanan sosial. Semua pendekatan penyelenggaraan tersebut relevan dengan kegiatan penyuluhan, tetapi yang paling relevan dengan penyuluhan adalah pendekatan pemberdayaan sosial, karena pendekatan semacam itulah sesuai dengan prinsip dan filosofi penyuluhan. Asas Penyelenggaraan kesejahteraan sosial (UU No: 11 Tahun 2009 pasal 2) adalah kesetiakawanan, keadilan, kemanfaataan, keterpaduan, kemitraan, keterbukaan, akuntabilitas, partisipasi, profesionalitas, dan keberlanjutan. Hal ini banyak sejalan atau bahakan hampir seluruhnya sejalan dengan asas penyuluhan. Asas Penyuluhan (UU No 16 Tahun 2006 pasal 2) adalah demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerja sama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggunggugat . Kalau diperhatikan kata-kata yang dicetak tebal menunjukkan bahwa diantara asas keduanya banyak yang sejalan atau bahkan sama. Tujuan Penyelenggaraan kesejahteraan sosial (UU No: 11 Tahun 2009 pasal 3) adalah meningkatkan taraf kesejahteraan, mencapai kemandirian, meningkatkan ketahanan sosial, dan meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab sosial dunia usaha, serta kemampuan dan kepedulian masyarakat secara melembaga, meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Tujuan ini sejalan dengan tujuan penyuluhan dan arahnya menuju pembangunan berkelanjutan. Tujuan penulis ini adalah untuk (1) melakukan refleksi tentang implementasi penyuluhan di Indonesia, (2) menggali bagaimana rancangan mekanisme penguatan penyuluhan di masa depan?, dan (3) mencoba mengembangkan alternatif kebijakan dan strategi penyuluhan ke depan, khususnya terkait tantangan utama menghadapi masalah kedaulatan pangan. 2. Review dan Refleksi Penyuluhan di Indonesia 2.1 Review : penyuluhan dalam struktur masyarakat yang dominatif Sekilas refleksi, pada masa lalu penyuluhan ditempatkan sebagai alat untuk mencapai target-target sektoral, telah menempatkan manusia baik petani maupun penyuluh dalam posisi marginal. Dampak pendekatan semacam ini dapat dilihat bagaimana masyarakat terpedaya mengejar target-target pihak lain baik itu sektor terkait maupun pihak lain di hilir dalam sistem agribisnis. Petani dan masyarakat berada pada posisi yang paling lemah dalam meraih manfaat. Semua ini telah menjadi fakta, bahwa penyuluhan yang diposisikan sebagai alat mencapai target-target sektoral ternyata tidak memberdayakan masyarakat. Masyarakat tidak mampu membangun posisi tawar baik secara individual maupun secara kelompok maupun komunitas. Kondisi tersebut telah menyababkan masyarakat tidak berkesempatan belajar membangun kelembagaan lokal yang dapat mengikat dirinya dalam suatu himpunan yang dapat memperkuat posisi tawar dan meraih nilai tambah produk usahanya. Akibatnya terjadi dominasi terus menerus elite lokal, yang secara disadari atau tidak, menjadi ‘perpanjangan tangan’ pemodal kuat (kapitalis). Di sisi lain, kebijakan nasional dan daerah sangat mendukung struktur masyarakat sagribisnis yang asimetris tersebut. Asimetris dalam artian terjadi dominasi hilir yang memiliki kelebihan dalam wawasan, jaringan kerjasama bisnis dan hubungan dekat dengan penguasa. Kebijakan impor yang sarat dengan kepentingan pemodal kuat telah menyebabkan harga-harga produk lokal jatuh dan kalah bersaing. Hal ini terjadi pada kasus daging impor, buah impor, sayur impor yang jumlahnya ratus ribu ton per tahun yang telah menyebabkan tersisihnya produk lokal. Di sisi lain, mentalitas bernuansa ‘inlander’, bangga dengan produk impor dan kurang kurang percaya diri mengkonsumsi produk bangsa sendiri, yang tanpa disadari telah mewarnai perilaku konsumsi kebanyakan bangsa Indonesia telah
3 memperburuk sistem pasar lokal maupun nasional. Bagaimanapun kerja keras kelembagaan penyuluhan meningkatkan produktifitas masyarakat, apabila kemudian ketika produk masyarakat jatuh dan membuat masyarakat sebagai produsen merugi, maka motivasi kerja masyarakat pun melemah dan bahkan meninggalkan usaha produktifnya. Kebijakan impor yang tidak arif telah menjadi biang keladi
4 kehancuran semangat masyarakat untuk berkembang menjadi produktif. Supra struktur kelembagaan petani menghancurkan system pengembangan masyarakat dalam berbagai bentuknya. Bagaimana solusi atas kondisi dominatif yang terus berkembang di Indonesia ini? Pertama, rubah paradigm kebijakan nasional yang berpihak hanya pada kepentingan pelaku bisnis hilir (pedagang dan importer) yang terbukti menghancurkan sistem bisnis masyarakat dan segala bentuk upaya untuk membangkitkan keberdayaan masyarakat; Kedua, rubah paradigm penyuluhan hanya sebagai alat mencapai target-target produksi pihak di luar masyarakat, sebaliknya penyuluhan harus mampu menempatkan target-target produksi menjadi alat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui proses pemberdayaan. 2.2. Refleksi : penyelenggaraan penyuluhan partisipatif di Indonesia Mari coba berandai-andai dalam merubah kebijakan sistem pembangunan pertanian dan mari kita pikirkan apa yang akan terjadi. Menempatkan sektoral sebagai ‘panglima’ atau ‘tuan’ dan menempatkan penyuluhan sebagai alat hanya menghasilkan pemerdayaan (bukan pemberdayaan) masyarakat dan struktur yang birokratis dan dominasi sektoral terhadap sistem penyuluhan yang kemudian menjadi memerdayakan (bukan memberdayakan) masyarakat. Hasilnya masyarakat tidak berdaya dan penyuluhan menjadi dominatif dan mengulang ‘kejayaaan semu swasembada beras’ di masa lalu. Kejayaan semu, karena ternyata ketika target produksi tercapai namun masyarakat tidak sejahtera dan keberlanjutan swasembada tidak terjadi karena masyarakat memang tetap tidak berdaya. Kebanggaan apakah yang kita tonjolkan kalau dominasi terhadap masyarakat tetap merajalela dan ketidakberdayaan masyarakat tidak bergeming. Mari kita balik, bagaimana sekiranya kebijakan pengembangan kedaulatan pangan seperti melalui P2BN itu diserahkan kepada kelembagaan penyuluhan sebagai panglima dan sektoral sebagai pendukung atau alat untuk mencapai target P2BN, apa yang akan terjadi? Kemungkinannya, yang akan terjadi adalah berkembangnya sistem penyuluhan, yang secara leluasa akan lebih mampu mengembangkan sistem akses informasi aktual, inovasi, kreatifitas, uji local dan metoda—metoda penyuluhan yang efektif dan tepat guna dalam rangka memberdayakan masyarakat. Mari kita cermati, dengan sektoral sebagai panglima, penyuluh mau mengembangkan informasi dan inovasi terkendala dana, mau melakukan demplot dan uji local tidak ada sarana dan fasilitas, mau berkreasi mengembangkan teknik terkendala dana dan fasilitas. Berbagai kendala tersebut terjadi karena dana dipegang sektoral dan keputusan penggunaan dana tergantung sektoral yang sebenarnya kurang menguasai aspek perilaku dan pengembangan p[erilaku manusianya. Penyuluh memiliki kapasitas merubah aspek perilaku manusia, personel sektoral berkapasitas merubah aspek aspek sarana. Apalah artinya sarana apabila masyarakat tidak memahami, tidak tertarik dan tidak mampu mengaksesnya? Bukankah sarana dan fasilitas apa pun akan sia-sia bila tidak didasari dengan kesiapan manusia atau masyarakatnya untuk memanfaatkan?
5 Dalam kajian Sumardjo (1999), pada dasarnya sampai kesimpulan bahwa idealnya masyarakat yang berlatar belakang kehidupan sejarah bekas jajahan tumbuh dari “apatis” menjadi “berdaya” dan bermuara pada menjadi masyarakat yang “mandiri”. Demikian pula perkembangan perilaku individunya, juga mengarah pada perkebangan seperti itu. Dalam disertasinya Sumardjo mengukur kemandirian dari tiga perspektif, yaitu : “modern, efisien dan daya saing”. Modern artinya masyarakat itu mampu aktif beradaptasi terhadap perubahan sosial dan fisikal di lingkungannya dengan perilaku aktual yang sesuai dan selaras dengan kondisi aktual. Adaptasi dalam arti aktif mampu melakukan perubahan kapasitas untuk akses terhadap sumberdaya yang berguna bagi peningkatan kualitas kehidupan diri, keluarga dan masyarakatnya. Adaftif bukan dalam makna pasif dan evolutif menerima apa adanya dalam kondisi termarjinalkan karena ketidak berdayaan dan tergantung pada uluran tangan pihak lain. Pada masyarakat tertindas atau apatis maka kemodernan terjadi karena intervensi dominatif pihak dan ketergantungan pada pihak lain. Pada masyarakat berdaya, kemodernan terjadi karena pengaruh campurtangan (intervensi) pihak lain, namun tidak terjadi dominatif seperti pada masyarakat yang apatis. Kemudian pada masyarakat mandiri, kemodernan terjadi karena kuatnya inisiatif dan kreatifitas internal dan interaksinya dengan pihak lain terjadi secara kolegial dan egaliter. Efisien mengandung makna masyarakat mencapai tujuannya dengan melakukan upayaupaya atau dengan cara-cara yang tepat, sehingga mencapai hasil yang setinggi—tingginya dengan korbanan yang serendah-rendahnya. Pada masyarakat yang apatis efisiensi ini terjadi karena rekayasa pihak lain yang mendominasinya, sedangkan pada masyarakat yang berdaya, efisiensi tercapai atas upayanya sendiri, serta pada masyarakat mandiri efisiensi tersebut dicapai melalui insiasi diri dan perilaku antisipatif serta proaktif terhadap berbagai perubahan yang mungkin akan dihadapinya. Daya saing mengandung makna adanya nuansa mutu dan kemampuan memenuhi komitmen dan kebutuhan atau harapan pihak lain. Daya saing antara lain dicapai melalui langkah yang telah mempertimbangkan efisiensi. Daya saing dibedakan dengan efisiensi, karena daya saing ini mengandung nuansa kolegial, mutu dan berkelanjutan. Oleh karena itu, daya saing itu menghasilkan keberlanjutan karena mengangdung unsur kepercayaan (trust), interdependensi dan kompeten. Pada masyarakat yang apatis, hamper dikatakan tidak memiliki daya saing ini, kalaupun ada sangat rendah dan bahkan kurang berfikir kearah peningkatan daya saing. Pada masyarakat berdaya sudah menyadari adanya daya saing, namun tidak menmpatkannya sebagai kebutuhan penting, orientasi utamanya adalah keswadayaan. Pada masyarakat mandiri, daya saing menjadi sesuatu yang ditempatkan sangat penting dan utama, karena itu menjadi syarat utama untuk melakukan upaya-upaya berdaulat, bermartabat dan orientasi utamanya adalah swasembada dan bermitra sinergis. Penyuluhan idealnya mampu mengubah sasaran penyuluhan baik secara individu, kelompokm maupun masyarakat dari kondisi “apatis” ke kondisi “berdaya” dan bermuara pada kondisi “mandiri”. Penyuluhan harus mampu mengembangkan kapital manusia dan kapital sosial dalam mewujudkan kualitas hidup diri, keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan
6 penyuluhan yang perlu ditempuh dari yang semula dominative menjadi alat pihak lain yang merupakan penyimpangan pendekatan penyuluhan yang sesuai dengan filosofinya, bergeser kea rah pendekatan yang sifatnya persuasive dan selanjutnya pendekatan pengembangan kemitraan sinergis. Masyarakat mandiri hanya akan terwujud apabila masyarakat tersebut berdaya, dan sulit diwujudkan pada masyarakat yang apatis. Pendekatan penyuluhan yang top down menghasilkan perilaku sasaran penyuluhan yang apatis, sedangkan pendekatan yang persuasive akan efektif menghasilkan keberdayaan, serta kemandirian cenderung efektif diwujudkan melalui pendekatan penyuluhan yang partisipatif, konvergen dan kemitraan sinergis. Refleksi diatas diangkat dari pencermatan terhadap perkembangan penyuluhan yang terjadi di wilayah nusantara ini dalam kurun waktu 1908-2012 ini. Pada saat ini masih ada nuansa menempatkan penyuluhan menjadi alat instansi sektoral, setidaknya hal ini terbaca dalam suasana rapat koordinasi pimpinan kelembagaan penyuluhan yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 19 sampai tanggal 21 Februari 2012 kemarin. Artinya, masih belum mengarah pada penyuluhan yang saya pikirkan selama ini yang mengarah pada pengembangan kemandirian masyarakat sasaran penyuluhan. Para pimpinan baik di pusat maupun di daerah masih bernuansa ego sektoral, belum mampu melepaskan diri terhadap sistem dominatif dalam sistem pembangunan pertanian. Pada hal pendekatan semacam itu jelas-jelas menyebabkan apatisme masyarakat sasaran penyuluhan. 2.3. Penyuluhan dalam perspektif sejarah Sejarah menunjukkan bahwa kelembagaan penyuluhan telah memberikan kontribusi nyata dalam perubahan berencana yang terjadi dalam proses terkait revolusi hijau. Sejarah juga menunjukkan bahwa manusia khususnya rakyatlah yang seharusnya menjadi subyek sejarah. Manakala manusia atau rakyat hanya ditempatkan sebagai obyek sejarah maka rakyat menjadi tidak berdaya dan tidak bermartabat, karena tersubordinasi atau tertindas oleh kepentingan-kepentingan kapitalis yang mendominasi kekuasaan (Sumardjo, 2012). Secara paradigmatis, Sumardjo (2012) menggambarkan enam era perkembangan penyuluhan (pendidikan non formal) khusus di sektor pertanian di Bumi Nusantara ini, sebagai berikut : Pertama era 1908-1941 yaitu era Kebangkitan Bangsa, ditandai dengan penerapan politik etik, yang dikembangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang diduga diterapkan dalam rangka balas budi dan sebagai jawaban atas kritikan di kala itu sebagai negara penjajah. Kelembagaan penyuluhan dikembangkan secara mandiri tidak di bawah subordinasi dinas atau kelembagaan teknis. Di era ini dikembangkan program-program di sektor pertanian yang mengarah pada terjadinya voluntary change bagi rakyat khususnya di sektor pertanian (petani). Pada masa ini diterapkan pendidikan non formal (penyuluhan) melalui partisipasi rakyat yang digerakkan pemerintah melalui keterlibatan pangreh praja. Disadari atau tidak faktanya pada waktu itu tampaknya terjadi proses pendidikan massal pada rakyat berupa proses penyadaran, sehingga ketika ada upaya/ gerakan untuk meraih kemerdekaan mendapat respon yang meluas, antara lain karena telah terjadinya proses penyadaran itu. Pada era tersebut banyak
7 bermunculan tokoh kebangkitan bangsa, Sumpah Pemuda, kebangkitan pendidikan, dan sebagainya yang dipelopori oleh bangsa Indonesia sendiri. Beberapa tokoh muncul dan berperan penting bagi peradaban bangsa misalnya Budi Utomo dan Ki Hajar Dewantara dan banyak tokoh lainnya. Kedua,1942-1945 Masa Pendudukan Jepang. Pada masa itu Jepang dengan dalih sebagai saudara tua, menggerakkan rakyat di wilayah Nusantara ini untuk mengumpulkan perbekalan perang. Kelembagaan penyuluhan nyaris tidak berfungsi sebagai pembelajar masyarakat. Pengembangan sektor pertanian ditempuh dengan target-target dari atas dan cenderung ”memaksa” dalam rangka untuk memenuhi perbekalan perang melawan imperialisme yang menguasai wilayah Asia Timur dan Tenggara. Paradigma yang semula sifatnya perubahan sukarela (proses penyadaran) bergeser menjadi proses pemaksaan, sehingga rusaklah praktek penerapan prinsip-prinsip penyuluhan/ pendidikan non formal bagi petani pada masa itu. Penyuluhan dapat dikatakan mengalami masa terburuk sebagai media pengembangan pendidikan non formal menjadi media pemaksaan untuk kepentingan penjajah. Ke tiga, 1945-1969 era Pengaruh pasca pendudukan Jepang, yang ditandai dengan perang kemerdekaan, yang setelah kemerdekaan disusul perang dalam rangka pembebasan Irian Barat, kemudian terjadi perang saudara (pemberotakan-pemberontakan antara lain dikenal G30S PKI) secara meluas dan terjadi rawan pangan serius. Kelembagaan penyuluhan dikelola secara terpusat di Pusat dan di Daerah merupakan kelanjutan tangan Pusat. Dalam kondisi seperti itu, program-program pendidikan non formal (penyuluhan) untuk petani mengalami masa yang tidak jauh berbeda dengan masa pendudukan Jepang sebelumnya. Hanya pada masa ini pemerintah dikuasai oleh bangsa sendiri, namun paradigma penyuluhan walaupun diupayakan secara serius yang dikenal dengan Plan Kasimo, menjadi cikal bakal program penyuluhan pada era berikutnya yang dilaksanakan dalam masa pembangunan lima tahunan. Program-program penyuluhan di masa ini dapat dinilai belum cukup efektif karena kendala perang saudara yang meluas tadi. Ke empat, 1969-1998 era Pembangunan Jangka Panjang, yang terencana secara jelas dan terpusat di Pusat pemerintahan. Kelembagaan penyuluhan dikelola secara terpusat di Pusat dan di Daerah merupakan kelanjutan tangan Pusat masih seperti pada periode sebelumnya. Efektivitas program penyuluhan pada era ini ditandai dengan Swa Sembada Beras yang puncaknya dicapai pada tahun 1984 dan seterusnya. Berbagai penghargaan dunia (PBB) diterima bangsa Indonesia terkait dengan keberhasilan peningkatan produksi pangan. Indonesia yang di era sebelumnya mengalami rawan pangan serius hampir di seluruh pelosok tanah air, setelah beberapa tahun memasuki era ini menjadi surplus pangan. Paradigma penyuluhan yang terjadi topdown dan sentralistis, serta sangat terkendali secara terpusat (Era Program BIMAS, INMAS dan INSUS) dan dikelola secara sangat serius dengan komitmen yang sangat tinggi dari Pemerintah Pusat saat itu. Secara konseptual sebenarnya di lapangan seharusnya menerapkan prinsip-prinsip demokratis, dengan asas manfaat dan dengan pendekatan pendidikan non formal (penyuluhan pertanian), yang ditandai dengan adanya Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok dan Rencana Definitif Kelompok (RDK/ RDKK). Dalam prakteknya kecenderungan target produksi lebih menonjol, dan ada kecenderungan prinsip demokratis yang seharusnya diterapkan terdominasi oleh target-target produksi yang telah
8 ditetapkan dari atas. Akibatnya peningkatan produksi terjadi dan target program pemerintah tercapai namun tidak disertai oleh peningkatan kesejahteraan rakyat (petani) sebagai pelaku utama sektor pertanian. Sebenarnya di era ini mulai diperkenalkan program pendidikan non formal bagi petani yang benar-benar menerapkan filosofi dan prinsip-prinsip penyuluhan, yaitu Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). SLPHT ini benar-benar menerapkan prinsip partisipatif dan asas manfaat, dengan pendekatan yang demokratis, namun ada satu hal kelemahan dari program tersebut dari perspektif penyuluhan, yaitu adanya pemberian uang saku bagi petani sebagai dana kompenasasi transport bagi petani untuk mengikuti kegiatan-kegiatan rutin program tersebut. Hal terakhir ini menjadikan petani lalu mempertanyakan kenapa program penyuluhan selanjutnya tidak juga memberikan dana ‘uang saku’ serupa? Akibatnya sikap kesukarelaan dalam penyuluhan menjadi sedikit terkikis. Ke lima, 1998-2006 Reformasi dan Otonomi Daerah. Kelembagaan Penyuluhan menjadi sangat terpuruk dan bahkan “dicurigai” sebagai alat golongan politik tertentu. Era ini ditandai dengan rendahnya komitmen pemerintah di daerah terhadap program-program penyuluhan dan penyuluhan pertanian diserahkan kewenangannya ke Pemerintah Daerah. Beberapa pihak menyatakan penyuluhan pertanian berada pada titik terendah (titik nadir). Banyak penyuluh beralih fungsi ke jabatan struktural karena ketidakjelasan sikap pemerintah daerah terhadap penyuluhan. Kelembagaan penyuluhan antar daerah sangat beragam sejalan dengan lemahnya kesadaran masing-masing Pemerintah Daerah, dan bahkan sebagian terancam dibubarkan oleh wakil-wakil rakyat di DPRD yang kurang memahami esensi penyuluhan, namun kebanyakan petani merindukan kehadiran para penyuluh yang profesional. Jumlah tenaga penyuluh semakin berkurang karena pindah ke struktural maupun karena pensiun, sedangkan rekrutmen baru tidak memadai. Pada era ini disadari betapa netralitas seorang penyuluh terhadap keterlibatan dan kepentingan partai politik tertentu sangat diperlukan, termasuk kepentingan sepihak pemerintah saja. Keberpihakan penyuluh terhadap keadilan dan martabat petani (yang selama ini cenderung termarjinalkan) menjadi sesuatu yang dirindukan oleh petani dan pihak-pihak yang memiliki komitmen terhadap pengembangan sistem dan kelembagaan penyuluhan. Keenam, pasca tahun 2006, yaitu diharapkan menjadi Era Transformasi dan Kebangkitan Penyuluhan, yang ditandai dengan diundangkannya Undang-undang No 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Meski sudah setahun lebih diundangkan namun masih jauh dari efektif, diantgaranya disebabkan karena belum ada landasan hukum yang lebih operasional semacam Peraturan Pemerintah yang memayungi implementasi penyuluhan. Sebenarnya sudah sejak dua puluh tahun yang lalu (1987) pada kongres Perhimpunan Penyuluh Pertanian Indonesia (PERHIPTANI) di Subang telah ada konsep Undang-undang tentang Penyuluhan tersebut, namun baru tahun 2006 berhasil diundangkan. Ditetapkannya UU No 16 tahun 2006 tersebut menjadi angin segar dan mudah-mudahan tidak sekedar harapan, tetapi benar-benar suatu kenyataan yang mendatangkan kehidupan rakyat khususnya petani menjadi semakin cerdas, sejahtera dan bermartabat.
9 Setelah melalui proses politik penyuluhan yang berliku dan panjang tersebut, kini bangsa ini dihadapkan pada beberapa persepsi yang kurang tepat tentang penyuluhan. Hal ini terjadi akibat implementasi penyuluhan yang menyimpang dari filosofi dan prinsip-prinsip penyuluhan berikut. Filosofi penyuluhan yang dimaksud adalah “to help people to help themselves through educational means to improve their level of living” atau “membantu masyarakat dalam menolong diri sendiri (mandiri) dengan memaknai pendidikan (non formal) sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidupnya. Penyuluhan pada dasarnya adalah pendidikan non formal yang dilaksanakan melalui proses demokratis (dialogis) dan bertujuan merubah atau meningkatkan kompetensi melalui kualitas perilaku pada ranah kognitif, afektif dan psikomotorik atau konatif. Filosofi ini yang lain menyatakan pentingnya pengembangan kemandirian (kemampuan interdependent) atau individualitas (human capital) warga masyarakat, dan bukan individualistik, sebagai penggerak energi sosial budaya kreatif masyarakat (social capital) dan kehidupan berbangsa. Manusia ditempatkan sebagai sentral dan subyek pelaku sejarah bagi kehidupannya atau people centered development. Pendapat ini sejalan dengan Kelsey dan Hearne (1955) yang berbunyi “ Philosophy of extension is base on the importance of individual in the promotion of progress for rural people and for the nation”. Berkembangnya persepsi tentang penyuluhan yang kurang tepat dan kini persepsi keliru tersebut masih ada pada berbagai pihak dan menjadi kendala tersendiri dalam pengembangan konsep-konsep dalam penyuluhan dan implementasinya. Dikandung maksud untuk tidak mengulang kekeliruan di masa mendatang, berikut diungkapkan persepsi yang kurang tepat dan perlu diluruskan tersebut antara lain : Pertama, persepsi keliru bahwa penyuluhan diidentikkan dengan penerangan. Banyak pihak merasa sudah paripurna melakukan penyuluhan setelah memberikan informasi, misalnya dengan ceramah, pidato, dan penjelasan yang sifatnya komunikasi searah. Anggapan ini keliru, karena hanya menyentuh ranah kognitif, itupun belum tentu efektif. Kekeliruan lainnya menempatkan sasaran penyuluhan hanya sebagai obyek dan sehingga cenderung bersikap pasif bahkan apatis. Kedua, persepsi keliru bahwa penyuluhan diidentikan proses yang non dialogis. Anggapan keliru ini terjadi sejalan dengan muatan-muatan penyuluhan di masa lalu, yang sifatnya sering lebih mengutamakan pencapaian target-target pemerintah, di sektor pertanian misalnya pencapaian target produksi dan kurang memperhatikan kebutuhan petani (kesejahteraan). Akibatnya, sifat interaksi dan komunikasinya kemudian cenderung anjuran, intruksi dan bahkan pada tingkat teknis pemaksaan/ kewajiban untuk mengikuti anjuran-anjuran (instruktif) tersebut. Akibatnya petani menjadi terbiasa berperilaku tergantung pada “rekayasa” pemerintah atau pihak lain di luar petani, dan terjadi proses apatisasi pada petani. Prof Herman Suwardi (1987) proses yang terjadi dalam penyuluhan tergambar sebagai berikut, petani “dipaksa” menerapkan anjuran, maka “terpaksa” melaksanakan anjuran, selanjutnya menjadi “terbiasa” menunggu anjuran atau proses menuju ke sikap apatis. Ketiga, persepsi keliru bahwa penyuluhan diidentikkan sebagai proses perencanaan yang bersifat top down. Meskipun secara konseptual, misalnya di sektor pertanian, ada konsep Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) dan Rencana Definitif Kelompok (RDK) yang
10 seharusnya disusun oleh kelompok dengan fasilitasi penyuluh, namun faktanya banyak kasus dalam prakteknya petani/ kelompok kurang terlibat, karena perencanaan dikejar target waktu telah menyebabkan prosesnya menjadi kurang partisipatif, melainkan disusun oleh penyuluh sendiri atau diantara penyuluh dengan agen-agen perusahaan pensuplai input pertanian. Tidak sedikit, ditemukan kepentingan-kepentingan pihak-pihak non petani tersebut justru yang mewarnai perancanaan program penyuluhan semacam itu. Keempat, persepsi keliru bahwa penyuluhan diidentikkan sebagai proses indoktrinasi. Hal ini merupakan ekses dimana pernah ditemukan misalnya ketika terjadi serangan hama wereng atau hama lainnya, petani diwajibkan menanam padi benih unggul dan menggunakan obat-obat tertentu yang telah ditetapkan. Petani kurang memiliki keleluasaan untuk memutuskan penggunaan alternatif lainnya. Akibatnya, petani berpandangan bertani bahwa pestisida merupakan suatu keharusan untuk digunakan, tanpa menyadari ternyata penggunaan pestisida inilah yang justru memicu ledakan hama pertanian. Kelima, persepsi tentang penyuluhan diidentikkan dengan kendaraan politik penguasa. Hal ini terjadi karena adanya salah satu golongan politik yang mendominasi pemerintahan dan “memaksakan” seluruh elemen aparat pemerintahan, birokrasi dan juga penyuluhan, dimana penyuluh umumnya adalah pegawai negeri, terkooptasi kepentingan penguasa untuk memenangkan pemilu. Akibatnya, pasca golongan politik tersebut tidak lagi berkuasa, di kalangan legislatif ada keinginan untuk “melumpuhkan” kelembagaan penyuluhan ini. Pelajaran yang perlu dipetik ke depan, seyogyanya netralitas terhadap “politik praktis” dan “tercemar kepentingan sempit” kepartaian bagi kelembagaan penyuluhan harus tetap dijaga. Keenam, persepsi keliru bahwa penyuluhan diidentikkan dengan proses yang dogmatis. Hal ini merupakan ekses praktek-praktek dalam pembangunan pertanian yang berlaku mitos bahwa yang baru itu lebih baik, inovasi itu datangnya dari luar, sehingga kearifan lokal maupun indigenous knowledge terabaikan, dan terwarnai transfer knowledge dan transfer of teknology yang cenderung lebih mengunggulkan sesuatu yang bersumber dari luar. Faktanya yang benar tidak selalu demikian, terbukti dari akhir-akhir ini justru varietas lokal yang unggul kembali mengemuka sebagai suatu varitas yang lebih menguntungkan dan digemari oleh konsumen maupun petani produsen, misalnya padi Pandanwangi di Cianjur, Rojolele di Solo, Srikandi di Garut dan sebagainya. Ketujuh, persepsi keliru bahwa penyuluhan diidentikan dengan proses menggurui. Sebenarnya penyuluh yang memahami benar prinsip-prinsip penyuluhan cenderung tidak melakukan hal ini. Namun, karena penyuluhan itu ditempatkan sebagai instrumen untuk mencapai target-target di luar kebutuhan/ kepentingan petani maka berlakulah asumsi petani harus berubah seperti yang dikehendaki pihak luar tersebut. Hal ini juga merupakan ekses dari pemahaman yang keliru bahwa penyuluhan itu bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh pihak yang tidak menghayati asas, prinsip-prinsip dan metoda penyuluhan sekalipun. Akibatnya, penyuluh menjadi tidak dihargai karena tidak dilakukan oleh penyuluh yang kompeten dan profesional. Ke depan, agar tidak “mal praktek” penyuluh haruslah dilakukan oleh penyuluh yang kompeten dan memiliki sertifikat profesi yang dikembangkan oleh asosiasi profesi penyuluhan.
11 Kedelapan, persepsi keliru bahwa penyuluhan diidentikan dengan proses rekayasa sosial oleh pihak luar. Hal ini merupakan ekses dari pemahaman bahwa sasaran penyuluhan itu adalah obyek dan bukan subyek perencanaan, sehingga praktek-praktek pembangunan menjadi tidak partisipatif dan bertentangan dengan filosofi penyuluhan. Dalam penyuluhan memang dikenal konsep “rekayasa sosial”, tetapi sifat dan bentuknya partisipatif. Sasaran penyuluhan berperan sebagai subyek yang merekayasa diri dan kehidupan masyarakatnya secara mandiri. Mereka merancang visi, misi dan tujuan, serta cara-cara mencapainya (strategi dan program), melalui kerjasama di antara mereka sendiri, maupun dengan pihak luar atas prakarsa dari internal mereka sendiri. Kesembilan, persepsi keliru bahwa penyuluhan diidentikkan dengan proses yang hanya berorientasi target pemerintah. Perencana merasa tahu apa yang dibutuhkan rakyat, seolah yang dibutuhkan rakyat adalah mencapai target-target pemerintah saja. Target pembangunan memang perlu, tetapi target pembangunan semestinyalah yang dapat memenuhi kebutuhan rakyat dan sekaligus kebutuhan pemerintah. Persepsi yang keliru itu perlu diluruskan, fakta menunjukkan bahwa banyak ditemukan perencanaan yang ternyata tidak berhasil mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan, yaitu kurang terwujudnya kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, bila menerapkan prinsip-prinsip penyuluhan secara konsisten, maka rakyatlah yang seharusnya menjadi subyek pembangunan, namun faktanya justru secara sistematis rakyat termarjinalkan, sehingga menjadi tidak berdaya dan tidak mandiri. Akibatnya, rakyat menjadi ”kehilangan diri” mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang berdalih membela kepentingan rakyat, pada hal tidak sedikit sebenarnya si ”provokator” tersebut sekedar menjadikan rakyat sebagai alat untuk memenuhi ambisi dan kepentingannya sendiri. Uraian tersebut hanyalah sebagian contoh nyata, betapa telah terjadi penyimpangan dalam implementasi penyuluhan dan berdampak pada kondisi yang sebaliknya. Rakyat dengan penyuluhan yang tepat seharusnya menjadi mandiri, namun adanya penyimpangan terhadap filosofi penyuluhan yang terjadi menyebabkan rakyat menjadi tergantung, apatis dan labil. Hal ini diuraikan disini, sekedar untuk mengingatkan kita agar tidak perlu terulang kembali kesalahan di masa lalu, terutama setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006, tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Sebaliknya, memicu para pakar penyuluhan di lini manapun untuk mengembangkan penyuluhan pembangunan ini secara tepat agar benar-benar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan umat menjadi semakin bermartabat dan adil. Terjadinya persepsi yang kurang tepat tentang penyuluhan secara meluas, telah menyebabkan citra penyuluhan menjadi kurang diminati oleh masyarakat. Penyuluhan di masa lalu yang dalam implementasinya menyimpang dari filosofi penyuluhan, dinilai bertentangan dengan paradigma reformasi pembangunan. Akibatnya munculah apriori di kalangan masyarakat tertentu, khususnya para pihak yang bergerak dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang di masa lalu merasa termarginalkan dalam proses pembangunan, yaitu di era pembangunan yang bersifat top down. Walaupun tidak dapat dielakkan juga bahwa tidak sedikit kiprah LSM ini yang bernuansa kepentingan-kepentingan sempit dan bahkan kepentingan pihak luar yang seolah tampak membela martabat.
12
3. Mekanisme Penguatan dan Pengembangan Jaringan Kerjasama dalam Penyuluhan 3.1.
Pentingnya Peran Penyuluhan sebagai Pemadu Peran Kelembagaan dalam Sistem Agribisnis
Penyuluh pertanian yang tidak inovatif dan tidak berbasis pada potensi sumberdaya setempat, serta permasalahan dan kebutuhan riil masyarakat, dapat diibaratkan sebagai pasukan tempur yang tidak berbekal amunisi dan tidak menguasai medan tempurnya. Penyuluhan semacam ini tidak akan efektif dan tidak akan mampu mengembangkan partisipasi masyarakat di masa mendatang, karena tidak tepat guna dan tidak akan mampu memberikan manfaat yang dapat dirasakan bagi kehidupan masyarakat. Tantangan penyuluhan pertanian ke depan adalah bagaimana senantiasa mampu mengembangkan inovasi pertanian yang tepat guna, partisipatif dan berkelanjutan?. Tantangan semacam ini semakin sulit dijawab dengan sistem penyuluhan yang tersub-ordinasi oleh kepentingan sempit proyek-proyek dinas yang lebih berorientasi hanya pada pembelanjaan anggaran dibanding menjawab kebutuhan petani (Sumardjo, 2012). Tantangan tersebut sebenarnya dapat dijawab dengan terjadinya keterpaduan (interface) antara peran-peran: (1) lembaga penyuluhan, (2) lembaga penelitian atau pengembang Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (IPTEKS), (3) lembaga pendidikan dan pelatihan (perguruan tinggi, dan Diklat Pertanian), (4) Lembaga pengaturan (penentu kebijakan), dunia bisnis (swasta) dan ((5) lembaga pelayanan (Dinas dan instansi terkait), serta (6) kebutuhan petani dan usahatani. Secara sederhana keterpaduan tersebut digambarkan oleh Sumardjo (1999) sebagaimana disajikan pada Gambar 1. Keterpaduan tersebut setidaknya harus fokus mengarah pada terjadinya keterpaduan peran antar lembaga terkait dalam sistem agribisnis, yang mengarah pada potensi, permasalahan dan kebutuhan riil petani dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian. Dengan demikian yang diteliti oleh lembaga penelitian dan pengembangan (LITBANG) dan perguruan tinggi adalah permasalahan dan kebutuhan riil petani, kelompok tani dan komunitas petani. Materi penyuluhan merupakan inovasi yang dihasilkan oleh lembaga Litbang/ perguruan tinggi yang benar-benar tepat guna bagi upaya menjawab kebutuhan petani (Sumardjo, 2012).
L E M B A G A
KOMUNITAS PETANI KELOMPOK TANI
P E N G A T U R A N
LEMBAGA PELAYANAN
USAHATANI
LEMBAGA AGRIBISNIS SWASTA/LSM
PROBLEM & PROBLEM SOLVING ORIENTATION
L E M B A G A
P E N E L I T I A N
LEMBAGA PENDIDIKAN/ PENYULUHAN
13
Gambar 1 Keterpaduan Peran dalam Sistem Agribisnis (Sumardjo, 1999)
Produk dan jasa yang dihasilkan petani adalah produk atau jasa yang dibutuhkan oleh pasar dan sesuai selera dan harapan konsumennya, karena pihak swasta berperan menggali dan menyampaikan informasi pasar ke petani serta memasarkan produk atau jasa yang sesuai dengan selera dan kebutuhan masyarakat. Kebijakan pengaturan di bidang pertanian dalam arti luas kondusif bagi upaya pengembangan produktivitas pertanian secara optimal dan menghasilkan manfaat yang maksimal baik bagi pelaku utama (petani), pelaku usaha (swasta), maupun konsumen. Demikian juga peran lembaga pelayanan, yaitu Dinas terkait harus proaktif melayani kebutuhan pembangunan pertanian, sehingga tidak sampai terjadi kesenjangan pupuk, obat-obatan dan sarana produksi dan pemasaran lainnya. Interface yang dimaksud adalah keterpaduan dalam peran kelembagaan utama dan kelembagaan pendukung dalam sistem agribisnis. 3.2.
Cyber Extension Menjawab Tantangan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Interface antar lembaga pendukung sistem agribisnis dapat diwujudkan sepanjang ada komitmen pemerintah sebagai pihak yang berwenang untuk mengelola cyber extension yang senantiasa actual data dan informasinya, serta online sehingga setiap saat dapat diakses oleh stakeholders sistem agribisnis. Peran-peran lembaga pendukung dan pihak penenerima manfaat dalam sistem agribisnis menyampaikan informasi yang dimilikinya untuk berkontribusi dalam menggerakkan dan mendinamiskan sistem agribisnis, sehingga informasi senantiasa aktual. Secara skematis dapat di sajikan dalam Gambar 2. Level stakeholders (pemerintahan )
Portal pertanian global
Pusat
PORTAL PERTANIAN
Provinsi
Kabupaten
Pangkalan data terpadu
Stakeholders
Kecamatan LSM
Swasta
Petani yang berdaya
Desa
KERANGKA KONSEPTUAL PENGELOLAAN INFORMASI
Gambar 2 Pengelolaan Sistem Informasi dalam Cyber Extension (Sumardjo dan Mulyandari, 2011)
14
Pemerintah Indonesia
(Kementerian KOMINFO)
melalui pemenuhan Kewajiban
Pelayanan Universal/ Universal Service Obligation (KPU/USO) di sektor telekomunikasi telah membangun fasilitas pelayanan telekomunikasi dan informasi perdesaan. Fasilitas yang telah dan akan terus dibangun menuju terwujudnya akses dan layanan telepon di 31.824 desa pada Tahun 2009, internet di 4.218 kecamatan pada Tahun 2010, dan akses internet di 31.824 desa pada Tahun 2013 (BP3TI, 2010). KPU/USO merupakan peluang besar yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak atau kementerian untuk mendukung kepentyingannya mewujudkan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu mencerdaskan, mensejahterakan dan memberdayakan untuk hidup secara adil dan beradab, yaitu hidup sebagai bangsa yang mandiri dan bermartabat. Penelitian Sumardjo dan Mulyandari (2011) dalam pengembangan sayuran telah merumus bagaimana mekanisme sistem informasi cyber extension untuk pemberdayaan petani, dapat dilihat pada Gambar 3.
Pemerintah
Informasi/pengetahuan yang diakses melalui pemanfaatan cyber extension
Penyuluh/pendamping handal sebagai fasilitator, motivator, dan dinamisator
Inklusi
Proses eksternalisasi (Berbagi pengetahuan)
Informasi/ pengetahuan yang dibagikan
INPUT: Petani dengan tingkat kosmopolitan tinggi
Proses internalisasi (Knowledge retrieval) PROSES: 1. Meningkatkan interaksi dengan pihak luar sistem sosial yang akses CE 2. Mengembangkan access point 3. Meningkatkan persepsi positif petani terhadap keuntungan relatif CE 4. Meningkatkan kapasitas petani dalam pemanfaatan TI/CE
Pengetahuan organisasi/ kelembagaan komunikasi lokal
Proses obyektifikasi (penerimaan kolektif)
OUTPUT : Pemanfaatan CE meningkat yang dicirikan oleh meningkatnya akses informasi berbasis TI meningkatnya manfaat yang dirasakan, dan meningkatnya pengelolaan informasi berbasis TI secara interaktif
I
Swasta
OUTCOME: Keberdayaan petani sayuran meningkat
IMPACT : Kesejahteraan petani sayuran meningkat
Gambar 3 Pengelolaan Sistem Informasi dalam Cyber Extension pada Sayuran (Sumardjo dan Mulyandari, 2011)
15 Model pengelolaan cyber extension yang disusun atas dasar hasil penelitian Sumardjo dan Mulyandari tahun 2010-2011 yang juga telah dikaji sejak tahjun 2008-2009 tersebut dapat juga dijadikan model untuk komuditi lainnya, baik di sektor pertanian lainnya maupun di luar sektor pertanian. Pada tahun 2011 kedua peneliti mendapat kesempatan untuk meneliti internet perdesaan yang dikembangkan oleh Kementerian Kominfo, di 17 provinsi di Indonesia. Hasil penelitian ini memperkuat bahwa model tersebut dapat dikembangkan ke komodiiti lain dalam rangka pembangunan pertanian maupun perdesaan pada umumnya. Pada saat meneliti cyber extension untuk sayuran maupun untuk internet perdesaan, diperoleh gambaran yang semakin kuat tentang perlunya pengembangan media forum dan pendkungnya. Dalam disertasi Mulyandari yang juga dibimbing oleh Sumardjo (2011) berdasarkan hasil penelitiannya telah dirumuskan empat alternatif media forum dan pendukungnya, yaitu (1) Pemanfaatan cyber extension langsung oleh petani, dapat dilihat pada Gambar 4; (2) Pemanfaatan cyber extension melalui fasilitator access point, dapat dilihat pada Gambar 5; (3) Pemanfaatan cyber extension melalui mekanisme komunitas, dapat dilihat pada Gambar 6; serta (4) Pemanfaatan cyber extension melalui mekanisme Penyuluh atau Fasilitator, daspat dilihat pada Gambar 7. Keempat alternatif tersebut dapat digunakan sesuai dengan potensi sumberdaya informasi yang dapat diakses di masing-masing komunitas. Keempat model pemanfaatan cyber extension tersebut dirumuskan berdasarkan fakta aktual dengan mempertimbangkan bahwa tidak semua warga masyarakat akses ke sumberdaya IT, baik melalui internet komputer maupun melalui hand-phone. Pertimbangan lain, yang akses pun beragam dilihat dari kemampuannya mencerna informasi yang telah tersedia di dalam sistem cyber extension.
Mekanisme pemanfaatan cyber extension langsung oleh petani
Sumber informasi melalui
cyber extensio n
Petani dengan tingkat kosmopolitan dan kemampuan berbagi informasi yang tinggi
Petani lain melalui komunikasi interpersonal (tatap muka dan secara interaktif dengan sarana TI)
Media komunikasi lain:
- Pertemuan kelompok - Papan pengumuman - Forum media untuk berbagi informasi (kelembagaan lokal)
Petani lain yang tidak dapat langsung berinteraksi dengan petani maju atau tidak aktif dalam kelompok
Gambar 4. Pemanfaatan cyber extension langsung oleh petani (Mulyandari, 2011)
16
Pemanfaatan cyber extension melalui fasilitator access point Informasi spesifik lokasi tercetak dan elektronis (CD, pangkalan data)
Sumber informasi dalam
Dpwnload & repackaging
cyber extensio n
Fasilitator/ operator
telecenter
yang akses informasi secara online dan
Petani yang dapat akses ke telecenter serta memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam pemanfaatan teknologi informasi yang memadai
Petani lain melalui komunikasi interpersonal
Petani lain yang tidak dapat langsung berinteraksi dengan petani maju atau tidak aktif dalam kelompok
Forum diskusi (forum media) melalui kelembagaan lokal
offline
Gambar 5. Pemanfaatan cyber extension melalui fasilitator access point (Mulyandari, 2011)
Mekanisme pemanfaatan cyber extension melalui komunitas Pengembangan informasi - Bahan siaran radio komunitas - Bahan diskusi kelompok - Bahan praktek lapangan
Dpwnload & repackaging Sumber informasi dalam cyber
extension
Siaran radio komunitas Petani
Komunitas dalam kelembagaan komunikasi lokal yang dapat diakses oleh petani
Media komunikasi lain: - Pertemuan kelompok - Papan pengumuman - Forum media (kelembagaan komunikasi lokal)
Gambar 6. Pemanfaatan cyber extension melalui mekanisme komunitas (Mulyandari, 2011)
17
Mekanisme pemanfaatan cyber extension melalui penyuluh Pengembangan informasi - Bahan materi penyuluhan - Bahan diskusi kelompok - Bahan praktek lapangan
Jejaring sosial
Compact Disk
Pangkalan data Dpwnload & repackaging Sumber informasi dalam
cyber extensio n
Petani dengan kemampuan akses teknologi informasi Penyuluh/Fasilitator yang memiliki kapasitas dalam pengelolaan dan pemanfaatan teknologi informasi yang cukup
Media komunikasi lain: - Pertemuan kelompok - Komunitas (kelembagaan komunikasi lokal) - Demonstrasi atau praktek lapangan END
Gambar 7. Pemanfaatan Cyber Extension melalui Penyuluh atau Fasilitator (Mulyandari, 2011)
4. Alternatif Rancangan Kebijakan dan Strategi Pengembangan Penyuluhan 4.1.
Tantangan Pengembangan Penyuluhan di Indonesia Ke depan
Di Era globalisasi ini negara berkembang pada umumnya menghadapi jepitan tiga arah (tripple squeeze) yaitu dari atas desakan globalisasi ekonomi, dari samping desakan privatisasi, dan dari bawah desakan untuk otonomi daerah (Sumardjo, 2012). Ketiganya mempunyai sumber kekuatan yang sama yaitu neoliberalisme sebagai sumber penggerak dinamika perubahan sosial yang terjadi, Ketika itu terjadi, dinamika internal masyarakat dan pemerintah tidak siap menghadapi jepitan tersebut. Akibatnya, terjadi dominasi oleh pemilik modal terhadap para pelaku ekonomi lokal yang umumnya lebih lemah. Korbannya adalah para pelaku ekonomi tradisional yang paling tidak siap menghadapi dinamika perubahan sosial-ekonomi, budaya, politik maupun hukum yang terjadi. Keadaan semacam ini dapat menjadi lebih parah, manakala birokrasi pemerintahan terperangkap pada nuansa dominasi kepentingan kapitalis yang mendominasi keberpihakan elite pemerintah di berbagai level, birokrasi pemerintahan terhadap keputusan-keputusan penting pembangunan, menjadi parah karena “kewenangannya telah terbeli.” Di sini, pentingnya pemberdayaan masyarakat sehingga secara personal maupun sosial masyarakat mampu bermitra sinergis dan berkolaborasi dalam pengelolaan sumberdaya alam yang seimbang antara aspek bisnis, kesejahteraan komunitas dan kelestarian lingkungan. Ketiga
18 aspek ini kemudian dikenal dengan istilah Triple Bottom Line, yaitu profite, peole and planet (Elkington, 1994). Para penyuluh harus sepenuhnya menyadari hal ini, karena ketika birokrasi tersubordinasi kepentingan kapitalis yang bernuansa kasih sayang semu, maka proses penyadaran sajalah yang mampu membangkitkan keberdayaan dan penyuluhanlah yang mempunyai peluang terbesar untuk peran-peran pemberdayaan masyarakat tersebut. Baik itu penyuluh PNS, swadaya maupun swasta. Penyuluh PNS menghadapi dilemma besar karena di satu sisi berperan memberdayakan masyarakat namun disisi lain sangat tergantung pada komitmen pemerintah (birokrat) untuk mampu beroperasi secara memadai. Hanya komitmen pemimpin bangsa yang tegas dan kuat terhadap keberdayaan bangsa sajalah yang akan mampu menyelesaikan persoalan dilemma penyuluhan PNS ini. Penyuluh swasta terlihat dari peran para fasilitator pemberdaya masyarakat dalam implementasi CSR lebih leluasa untuk memberdayakan masyarakat dalam rangka mengembangkan harmoni kehidupan, dengan kemampuannya mengelola potensi konflik menjadi potensi sinergi dinamika pengembangan masyarakat. Di sisi lain, penyuluh swadaya seyogyanya dapat dikembangkan baik oleh penyuluh swasta maupun penyuluh PNS, sehingga terjadi sinergi kolaboratif dalam menjalankan perannya memberdayakan masyarakat secara bermartabat. Potret Masyarakat setidaknya merupakan produk empat dimensi yang saling berinteraksi antara : (1) Dinamika internal masyarakat, (2) Kebijakan pemerintah, (3) Warisan atau dimensi sejarah, dan (4) Intervensi asing. Peran Pengembangan sistem penyuluhan dan pembangunan perdesaan setidaknya dapat bertitik tolak dari kinerja interaksi ke empat dimensi tersebut. Penyuluhan terutama perlu mendalami bagaimana dinamika interaksi keempatnya dan dampaknya bagi upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan martabat manusia (human Capital) untuk mengembangkan dinamika internal masyarakat (social capital) menuju kemandirian, kesejateraan yang adil dan berkelanjutan (Sumardjo, 2012). Bangsa Indonesia menghadapi warisan sejarah panjang dibawah dominasi pemerintah penjajah yang diantaranya berdampak pada meluasnya apatisme, lemahnya percaya diri dan kemandirian masyarakat. Hal ini antara lain dapat dilihat dari kebanggaan sebagian besar masyarakat untuk mengkonsumsi produk-produk impor, bahkan ketika produk lokal lebih segar, seperti sayuran dan buah-buahan. Aparat menjadi alat untuk mencapai target-target proyek pemerintah yang berorientasi realisasi anggaran dibanding target yang lebih kualitatif. Tidak mudah merubah paradigm penyuluhan dari yang top down ke pendekatan yang lebih partisipatif, bahkan justru hal ini terjadi di kalangan aparat pemerintah, masih menempatkan masyarakat sebagai obyek dan bukan subyek, sehingga partisipasi dan keberdayaan sulit dibangkitkan secara meluas. Penyuluh-penyuluh muda lulusan pendidikan tinggi penyuluhan, kini sangat diharapkan dapat menjadi tumpuhan membangun keberdayaan, partisipasi masyarakat dan kemandirian masyarakat dengan sistem penyuluhan yang partisipatif. Hal ini sejalan dengan UU No 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Kini kita menghadapi tantangan perubahan yang serius, mengingat tidak sedikit penyuluh yang senior masih terpengaruh oleh nuansa paradigma lama yang telah lama diterapkan di era sebelum penerapan UU No 16 Tahun 2006, sedangkan penyuluh yang baru masih kurang mendapatkan bekal kompetensi profesi yang memadai sebagai penyuluh. Akibatnya penyuluh yang muda menjadi pekerja segala rupa, dibebani menangani segala rupa permasalahan di pedesaan, sehingga kurang fokus untuk memberdayaan petani melalui perubahan perilakunya, melalui proses pembelajaran secara aktif.
19 Paradigma lama penyuluhan menggunakan pendekatan yang bersifat top down, sentralistik dan dengan komunikasi searah, sehingga posisi petani menjadi komunikan (obyek pembangunan pertanian), dan penyuluh sebagai komunikator (subyek), serta menjadi alat untuk mencapai target-target “penguasa”. “Penguasa” identik dengan oknum pemerintah yang di era desentralosasi ini cenderung bias dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Penerapan paradigma lama penyuluhan seperti ini menghasilkan ketidak berdayaan petani, karena petani menjadi apatis, kurang inisiatif dan menunggu digerakkan oleh aparat, termasuk di dalamnya oleh penyuluh . Hal seperti ini perlu disikapi dengan pengembangan kurikulum pendidikan tinggi penyuluhan dan pelatihan penyuluhan bagi penyuluh-penyuluh yang termasuk generasi penerus ke depan yang bernuansa penyuluhan partisipatif, desentralistis, dan dialogis serta memberdayakan petani. 4.2.
Cyber Extension sebagai Strategi Menjawab Tantangan Ketahanan Pangan
Infratruktur telekomunikasi yang telah terbangun menjadi bermakna apabila dapat dimanfaat secara efektif oleh sector atau instansi terkait di dalam implementasi pembangunan keberdayaan bangsa dan mensejahterakan masyarakat secara adil dan berdaulat. Demikian pula dalam pengembangan ketahanan pangan, seyogyanya selain mengembangkan sarana dan prasarana telekomunikasi internal Kementerian Pertanian, juga dapat memanfaatkan sarana dan prasarana telekomunikasi yang telah dibangun oleh pihak lain. Pembangunan penyediaan infrastruktur telekomunikasi dan informatika perdesaan telah dilaksanakan oleh Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI, yang sebelumnya bernama Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan atau BTIP). Direktorat Jenderal Postel, pada tahun 2008 bekerja sama dengan perusahaan swasta. Sebagian besar penyediaan jasa akses telekomunikasi (WPUT) dan jasa layanan internet Kecamatan (PLIK) tersebut sudah selesai dilaksanakan. PLIK atau Pusat Layanan Internet Kecamatan adalah program pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) yang bertujuan untuk meningkatkan pola pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di bidang informasi dan komunikasi, meningkatkan sinergitas dan integrasi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di bidang informasi dan komunikasi. Setiap PLIK dilengkapi dengan 5 unit PC, 1 server, 1 Printer, Paket perangkat V-Sat, dan semua perlengkapan penunjang termasuk perlengkapan instalasi, meja, kursi dan papan nama. Beberapa kesenjangan kondisi masyarakat yang dapat digali dari hasil kajian Sumardjo dan Mulyandari (2011) juga merupakan dasar pertimbangan pentingnya dilakukan revitalisasi kelembagaan lokal untuk mendukung pemanfaatan internet perdesaan. Kesenjangan yang terjadi di antaranya adalah pada aspek: (1) Akses terhadap sumber daya teknologi informasi, (2) Pengetahuan dan keterampilan dalam aplikasi teknologi informasi, (3) Akses terhadap fasilitasi training dan pelatihan, (4) Akses terhadap sarana dan prasarana untuk akses teknologi informasi, dan (5) Akses terhadap kelembagaan untuk akses media online Kesenjangan kondisi masyarakat diharapkan dapat dieliminasi melalui proses berbagi informasi dan pengetahuan dengan aplikasi teknologi informasi. Kelompok pengguna internet yang memiliki akses terhadap sumber daya informasi berbasi teknologi informasi dapat memfasilitasi pengguna lain yang tidak memiliki kesempatan mengakses teknologi informasi melalui proses berbagi. Permasalahan perlu diatasi adalah menyangkut kesenjangan informasi, inovasi dan bagaimana mengembangkan strategi penyuluhan yang tepat dalam pengembangan ketahanan pangan nasional ini. Masalahnya adalah informasi dan inovasi teknologi yang dihasilkan oleh berbagai lembaga penelitian, Litbang, yang ada di setiap daerah (propinsi) dan perguruan tinggi maupun yang dihasilkan oleh praktisi di bidang pertanian tidak terakses dengan baik oleh para penyuluh maupun oleh kebanyakan para praktisi di bidang pertanian. Di sisi lain,
20 perkembangan sarana dan prasarana teknologi informasi terjadi peningkatan yang pesat dan berpotensi dapat diakses oleh para petani, khususnya generasi muda dan para penyuluh dengan sarana komunikasi yang relatif terjangkau. Berdasarkan berbagai penelitian dan pengamatan ditemukan beberapa permasalahan di sektor pertanian ini antara lain (Sumardjo, 2011 dalam Extensia): (1) lemahnya generasi muda untuk tertarik dalam bidang pertanian, (2) kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dengan pengembangan inovasi yang dilakukan oleh para peneliti, (3) kesenjangan antara inovasi hasil Litbang dan perguruan tinggi dengan aksesibilitas masyarakat pertanian, (4) kesenjangan antara kebijakan pembangunan pertanian dengan pemahaman masyarakat terhadap kebijakan tersebut, (5) kesenjangan antara informasi potensi sumberdaya dengan pihak yang berpotensi menjadi investor di sektor pertanian, dan (6) di era otonomi daerah tetapi terjadi lemahnya pemahaman dan komitmen pimpinan daerah terhadap pengembangan dan penyelenggaran penyuluhan. Menyadari berbagai permasalahan di sektor pertanian ini maka strategi penyuluhan ke depan kebijakan pembangunan pertanian perlu menaruh perhatian dan komitmen antara lain : (1) pengembangan minat generasi muda untuk tertarik dalam bidang pertanian dan penganekaragaman pangan lokal alternatif, (2) mengembangkan keterpaduan antara kebutuhan masyarakat dengan pengembangan inovasi yang dilakukan oleh para peneliti, khususnya diversifikasi pangan alternatif berbasis sumberdaya lokal (3) meningkatkan aksesibilitas masyarakat pertanian terhadap informasi dan inovasi, yang didukung oleh teknologi informasi dan peningkatan kompetensi penyuluh secara berkelanjutan yang didukung dengan komitmen insentif biaya penyelenggaraan penyuluhan yang memadai, (4) mendekatkan kebijakan pembangunan pertanian dengan pemahaman masyarakat yang didukung oleh pengembangan kelompok petani sebagai media komunikasi pembangunan dan media belajar, (5) mengurangi kesenjangan antara informasi potensi sumberdaya pertanian lokal dengan pihak yang berpotensi menjadi investor di sektor pertanian, melalui media komunikasi yang interaktif yang terjangkau oleh masyarakat, khususnya petani, maupun pihak terkait lainnya, dan (6) meningkatkan kesadaran, pemahaman dan komitmen pimpinan daerah terhadap pengembangan dan penyelenggaran penyuluhan. Substansi apa yang perlu dikembangkan atau perlu diadakan dalam media cyber extension yang dapat diakses oleh masyarakat dalam rangka pengembangan atau peningkatan ketahanan pangan masyarakat dan nasional? Informasi atau inovasi yang perlu dikembangkan dalam rangka ketahanan pangan nasional seyogyanya meliputi : (1) Potensi pengembangan produksi pangan padi dan non padi, melalui peningkatan diversifikasi produksi pangan di lahan yang kurang termanfaatkan secara optimal, (2) Potensi peningkatan alternatif konsumsi pangan alternatif di luar beras, melalui pengembangan diversifikasi konsumsi pangan lokal, maupun pangan yang potensial dikembangkan secara lokal, dan (3) potensi distribusi produk pangan lokal atau yang diproduksi secara lokal yang unggul ke wilayah lain, maupun ke internal wilayah yang bersangkutan. Jadi orientasinya bukan sekedar ketahanan pangan, namun lebih ke kedaulatan pangan. Produksi ini dapat meliputi : (1) potensi investasi perluasan lahan alternatif untuk ekstensifikasi padi, (2) potensi pengembangan produksi pangan alternatif atau diversifikasi pangan unggul lokal di luar padi, (3) potensi produksi produk pangan unggul yang dapat dikembangkan secara domestic, dan (4) intensifikasi produk pangan padi maupun non padi dan sebagainya. Demikian pula dalam hal diversifikasi konsumsi pangan, muatan yang perlu
21 dikembangkan dapat berupa : (1) keunggulan produk pangan alternatif di luar padi, (2) teknologi pengolahan produk pangan alternatif yang bermutu, (3) pentingnya produk pangan sehat, aman dan berimbang, (4) potensi investasi pengolahan dan potensi pasar produk pangan alternatif dan sebagainya. Kemudian juga informasi tentang distribusi pangan alternative di masyarakat, misalnya menyangkut : (1) informasi untuk para pedagang makanan jajanan tentang pentingnya memilih produk pangan alternatif sebagai produk yang sehat, (2) informasi tentang pentingnya pola makan yang sehat, aman dan berimbang, (3) informasi bagi pengguna makanan jajanan di sekolah-sekolah maupun di masyarakat dan sebagainya. Perubahan pola konsumsi pangan beras yang masih sangat tinggi ke pangan alternatif tidak hanya berupa himbauan atau gerakan yang terbatas, namun perlu ditindaklanjuti dengan dukungan informasi yang diperlukan untuk inovasi baik dalam pengembangan diversifikasi produksi pangan alternatif (support side), pengembangan diversifikasi konsumsi pangan (demand side), namun juga aspek distribusinya. Informasi tersebut setiap saat tersedia bagi masyarakat, yaitu melalui akses internet yang kemudian dikenal dengan akrab sebagai cyber extension.
22 Daftar Pustaka Elkington, John. 1994. Triple Bottom Line. It Consists of three Ps: profit, people and planet. Nov 2009. Diunduh 17 Januari 2012. Mulyandari Retno SH. 2011. Pemanfaatan Cyber Extension sebagai Media dalam Pemberdayaan Petani Sayuran. Disertasi Institut Pertanian Bogor. Sumardjo, Lukman M Baga, dan Retno SH Mulyandari. 2010. Cyber Extension: Peluang dan tantangan dalam Revitalisasi Penyuluhan. Bogor: IPB Press. Sumardjo dan Retno S Mulyandari, 2011. Pengembangan Sistem Informasi Untuk Meningkatkan Keberdayaan Petani Sayuran Dalam Proses Pengambilan Keputusan Usahatani. Kerjasama Badan Litbang Pertanian Kementan dengan Care IPB, melalui project KKP3T. Bogor. Sumardjo, 1999. Transformasi Penyuluhan Pertanian menuju Pengembangan Kemandirian Petani. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Sumardjo, 2010. Cyber Extension, Peluang dan Tantangan dalam Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. Penelitian Unggulan KKP3T di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB. Bogor. Sumardjo, 2010. Revitalisasi peran penyuluh sosial dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Makalah sebagai Kepala Pusat Kajian Resolusi Konflik dan Pemberdayaan, disampaikan pada Konggres I Penyuluh Sosial pembinaan pejabat fungsional penyuluh sosial, Jakarta 19-20 Mei 2010 Sumardjo. 2011. Strategi Penyuluhan Pertanian dalam Mendukung Program Diversifikasi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Jurnal Ekstensia. ISSN No. 0853-5922. Jakarta. Sumardjo, 2012. Peran Perguruan Tinggi Dalam Pengembangan Keilmuan Sosiologi Dan Penyuluhan Pertanian Yang Sesuai Dengan Kebutuhan Pembangunan. Seminar Nasional Perguruan Tinggi Pertanian di UNPAD, Bandung, 25-26 Januari 2012. . 2012. “Perspektif Penyuluhan dalam Pembangunan Pertanian” dalam Buku III Pemikiran Guru Besar IPB. Bogor.