Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah dalam Konteks Indonesia Ahmad Ali MD Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Abstract: Jargonization khilafah as the only constitutional system of government and Islam by any movements, such as Hizb ut-Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), and Front Pembela Islam (FPI), which must be upheld, even not only a national but a global level, seems utopian. In the review of history, Muhammad ‘Abid al-Jabiri said that a vacancy had occurred in the system of legislation khilafah, which appears in the three things, no specific method of determining which enacted in choosing khalifah; no limit to the term of khalifah, and no restrictions on the authority of khalifah. In essence, khilafah is not being rigid, but dynamic. In the context of Indonesia, a democracy, with a stand on the values of Pancasila as paradigmatic, is compatible with the Charter of Medina, containing the principles and teachings of Islam about the God, civility, and justice for all citizens. Keywords: Khilâfah, Indonesia, HTI, MMI, FPI.
I. Pendahuluan Pembahasan tentang tema khilâfah1 senantiasa menarik, terutama Khilâfah atau imâmah dalam mazhab Shî‘ah adalah salah satu rukun iman (usûl al-‘aqâ’id). Rukun imam dalam Shî‘ah Imâmîyah ada 5, yaitu al-tawhîd, al-nubuwwah, al-imâmah, al-‘adl, dan al-ma‘âd. Lihat Muhammad al-Husayn Âl-Kâshif al-Ghatâ’, Asl al-Shî‘ah wa-Usûluhâ, Cet. ke-4 (Beirut: Mu’assasat al-A ‘lamî li-al-Matbû‘ât, 1993), 64-79. 1
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
35
Ahmad Ali MD
ketika dikaitkan dengan konteks kekinian, khususnya konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saat ini dalam konteks perpolitikan di tanah air terdapat beragam gerakan seperti Hizb alTahrîr Indonesia (HTI),2 Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),3 dan Front Pembela Islam (FPI),4 yang berorientasi pada penegakan syariat HTI cabang dari Hizbut Tahrir yang bermarkas di Palestina. Organisasi gerakan Islamis ini bertujuan untuk menghidupkan kembali kekhilafahan, sebagai sebuah konsep politik yang diklaim didasarkan pada al-Qur’ân d an Sunnah Nabi, dan telah diwujudkan dalam sejarah kerajaan Islam yang panjang, sejak Nabi Muhammad sampai kejatuhan imperium ‘Uthmânî. Organisasi ini muncul di Indonesia pada tahun 1990-an, dan sangat aktif dalam mempropagandakan dan mensosialisasikan cita-citanya, dan menekan pemerintah untuk menerapkan Sharî‘ah (Syariat). HTI mengklaim bahwa sumber krisis Indonesia sekarang ini adalah tidak diterapkannya syariah dalam kehidupan Islam Indonesia. Lebih rinci mengenai HTI lihat Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 77-84. 3 MMI adalah organisasi dan jaringan gerakan Islamis yang mengorganisir kekuatan-kekuatan Islam pada tingkat nasional untuk memperjuangkan penegakan Syariat. Dalam kongresnya yang pertama di Yogyakarta pada Agustus 2002, organisasi ini membuat struktur organisasinya yang merefleksikan khazanah institusi politik Islam, seperti ahl al-hall wa-al-‘aqd (lembaga legislatif Islam) dan khilâfah. Dalam kongres tersebut dihasilkan struktur kepengurusan: Abu Bakar Ba’asyir sebagai ketua ahl al-hall wa-al-‘aqd, dan Irfan Suryahadi Awwas sebagai ketua Dewan eksekutif MMI. Mujani, Muslim Demokrat, 81. Tentang MMI lebih rinci lihat Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam: dari Indonesia Hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004), 77-81. 4 FPI adalah organisasi tertutup yang dibangun pada 17 Agustus 1998, dengan ketua umum Habib Muhammad Rizieq Syihab, dan berkembang subur pada era pemerintahan BJ. Habibie. FPI mendesak MPR untuk mengamandemen pasal 29 UUD 1945. Menurut ketua FPI, Muhammad Rizieq, di dunia ini hanya ada dua parti, yakni partai Allah dan partai setan: “partai Allah adalah parti yang menerapkan syariah, sementara partai setan sebaliknya”. Jika partai-partai di dalam MPR mengajukan amandemen itu, maka mereka menjadi partai Allah. “Jika tidak”, demikian kata Rizieq, “mereka adalah partai-partai setan. PDIP, PBB, PAN, PPP, dan Fraksi TNI/Polri adalah partai setan kalau mereka menolak syariah (masuk ke dalam UUD). (Jika demikian) umat Islam tidak perlu berpartisipasi dalam pemilu 2004”. Sumber Kompas, 3 Agustus 2002, dikutip dalam Mujani, Muslim Demokrat, 83. Lebih rinci tentang FPI 2
36
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
Islam secara total melalui sejumlah gerakan untuk membangun dan menegakkan sistem Khilâfah Islâmîyah atau Dawlah Islâmîyah.5 Hizbut Tahrîr/HTI mewajibkan seluruh kaum Muslimin berada dalam satu negara, dan satu khalîfah, tidak selainnya. Konsekuensinya mereka mengharamkan kaum Muslimin di dunia ini berada dalam lebih satu negara dan dipimpin lebih dari satu khalîfah.6 Gerakan ini mempunyai latar historis yang mengacu dan bertaklid pada model kekhilafahan awal Islam. Padahal sistem pemerintahan awal Islam ini, sebagaimana disangsikan Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî, masih berada dalam kekosongan perundang-undangan.7 Menarik dikaji apakah lihat Amal dan Panggabean, Politik Syariat Islam, 74-76. 5 Menurut HT/HTI, sistem pemerintahan/ketatanegaraan dalam Islam bukanlah kerajaan, bukan republik, bukan kekaisaran, dan bukan pula negara kesatuan/nation state. Singkatnya, sistem pemerintahan/ negara dalam Islam adalah sistem khilâfah. Lihat ‘Abd al-Qadîm Zallûm, Nizâm al-Hukm fî al-Islâm: Hâdhâ al-Kitâb al-Muwassa‘ wa-al-Munaqqah Mabnîy ‘alâ Kitâb Nizâm al-Hukm fî al-Islâm li-Mu’allifihi Taqîy al-Dîn alNabhânî, Cet. ke-6 (T.Tp.: min Manshûrât Hizb al-Tahrîr, 2002), 28-33. Bagi HT, demokrasi adalah sistem kafir, karena prinsip pokok dalam demokrasi adalah menjadikan perundang-undangan bagi manusia dan bukan bagi Allah Tuhan Semesta Alam. Ini secara jelas ditegaskan dalam buku yang dikeluarkan oleh HT. Hizb al-Tahrîr, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah (fî al-Hukm wa-al-Idârah) (Bogor: Pustaka Fikrul Mustanir, 2005), 16-17. HTI, menegaskan bahwa konsep negara-bangsa (nation-states) yang berkembang pada awal abad ke-20 tidaklah sesuai dengan cita-cita Islam. Islam tidak mengakui bentuk-bentuk primordial berdasarkan darah dan tempat kelahiran. HT menolak nasionalisme karena menurutnya tidak mempunyai nilai sama sekali dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai ganti alternatifnya, HT menawarkan ide Dawlah Islâmîyah atau Khilâfah Islâmîyah. Lebih lanjut tentang HTI, MMI, FPI, dan orientasi gerakannya, dapat dilihat dalam Jamhari dan Jajang Jahroni (peny.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: RajaGravindo Persada, 2004), dan Amal dan Panggabean, Politik Syariat Islam. 6 Hizb al-Tahrîr, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah, 37. 7 Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî (pemikir Muslim asal Maroko) menyatakan tesis bahwa khilâfah atau kekhalifahan (dalam teori politik Islam klasik —pen.) adalah kekosongan perundang-undangan. Tesisnya itu didasarkan pada analisa kritisnya terhadap sejarah terjadinya episode tragis dalam sejarah perpolitikan Islam, al-fitnah al-kubrá (kekacauan besar), yakni berbagai peristiwa di tahun-tahun terakhir pemerintahan ‘Uthmân Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
37
Ahmad Ali MD
sistem pemerintahan kekhilafahan awal Islam itu yang mereka promosikan masih relevan untuk saat ini, khususnya dalam konteks Indonesia? Pertanyaan serupa, haruskah negara-negara Islam dipimpin lagi oleh khalîfah, bukan presiden? Permasalahan di atas akan diurai dengan menggunakan pendekatan pemikiran politik Islam. Dalam hal ini, teori pemikiran politik Islam awal dan teori pemikiran politik Islam kontemporer menjadi signifikan.8 tersebut. Abdelwahab El-Affendi menyatakan bahwa episode tragis pada masa al-Khulafâ’ al-Râshidûn (632-661 M.) ini telah mencampakkan umat Islam ke dalam keporak-porandaan. Sesungguhnya sistem kekhalifahan hanyalah didasarkan pada pemerintahan dalam fungsi “pengganti Nabi”, tidak didesain untuk kepemimpinan kenabian. Umat Islam menjadi bingung bagaimana mengatasi keadaan tersebut. Namun umat juga tidak siap melihat khalifahnya dibunuh. Dampak kehilangan khalîfah menjadi ganda: pada satu sisi, khalîfah yang menjadi simbol pengawal kebenaran harus senantiasa dicari; namun pada sisi lain umat harus kehilangan pemimpin mereka karena pembunuhan. Pada intinya, dalam fase-fase realistis, teori politik Islam klasik menghadapi dan menciptakan segudang masalah. Berdasarkan praktek al-Khulafâ’ al-Râshidûn, teori politik Islam ini harus menghadapi realitas yang berbeda, yaitu negara kekuasaan. Sikapnya terhadap realitas ini diwarnai oleh dua perangkat aspirasi yang saling bertolak belakang. Pertama, di satu sisi dalam praktek politik ia harus tetap berpedoman pada contoh-contoh yang ditetapkan oleh Nabi Saw. dan para al-Khulafâ’ al-Râshidûn. Akan tetapi, kedua, di sisi lain menyadari penafsiran yang berbeda tentang apa yang bisa diimplementasikan dan dilakukan oleh model tersebut, dan yang kedua ini telah membawa konflik yang parah. Abdelwahab El-Affendi, “Who Need an Islamic State?” (Masyarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam), Cet. II (Yogyakarta: LKiS, 2001), 27, 35. Oleh karena itulah, dengan tegas al-Jâbirî mengatakan, “Sungguh apa yang telah terjadi itu merupakan ekspresi dari kekosongan perundang-undangan dalam sistem pemerintahan yang didirikan setelah Nabi Saw wafat…”. Di samping itu, juga menarik perhatian bahwa teori politik Islam klasik tidak membicarakan secara sistematis dan utuh tentang lembaga kekhalifahan sebagai sebuah institusi, daripada sekadar teori khilâfah, yakni teori (yang fokus orientasinya) tentang seseorang yang berkuasa. Lihat Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî, al-Dîn wa-al-Dawlah wa- al-Tatbîq al-Sharî‘ah (Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah), penerjemah Mujiburrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), 70, 73. 8 Dengan pendekatan ini akan diperoleh gambaran yang utuh tentang 38
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
II. Teori Pemikiran Politik Islam Secara singkat dapat ditegaskan bahwa dalam pemikiran politik Islam yang paling awal, yakni pada masa Nabi Muhammad saw., Madînah merupakan tempat yang dipilih Nabi untuk menetap setelah terzalimi di Makkah, di mana pada masa tahun pertama terdapat sedikit kontroversi mengenai siapa yang pantas mengendalikan kekuatan politik. Dalam teori maupun praktek, Nabi menempati suatu posisi yang unik sebagai pemimpin dan sumber spiritual undang-undang Ketuhanan, namun sekaligus juga pemimpin pemerintahan Islam yang pertama. Kerangka kerja konstitusional pemerintahan ini terungkap dalam dokumen yang terkenal dengan Mîthâq al-Madînah (Konstitusi Madînah/Piagam Madînah).9 Model teori khilâfah dan praktiknya, dan ‘ibrah bagi praktik sistem pemerintahan yang lebih maslahat. 9 Piagam Madînah adalah perjanjian tertulis antara Nabi dengan penduduk Madînah yang beragam background dan agamanya dalam kerangka membangun dan menjaga Negara Madînah. Piagam Madînah itulah yang kemudian mempersatukan negara Madînah, sehingga menjadi tempat terpeliharanya keragaman atau masyarakat majemuk (pluralis). Secara singkat, Piagam Madînah itu memuat dasar-dasar dan prinsipprinsip hidup bermasyarakat dan bernegara, yang berisi dua hal pokok. Pertama, umat Islam, baik imigran (Muhâjirûn) maupun penduduk pribumi (Ansâr), yang terdiri dari berbagai suku, adalah satu umat, satu komunitas (ummatan wâhidah), sehingga mereka harus bersatu. Kedua, sesama muslim dan hubungan antara komunitas Islam dan komunitas lain berdiri di atas lima prinsip: (1) bertetangga dengan baik; (2) satu sama lain saling membantu, termasuk dalam hal menghadapi musuh bersama; (3) membela mereka yang teraniaya; (4) satu sama lain saling menasihati dalam kebaikan; dan (5) saling menghormati agama masing-masing. Tentang Piagam Madînah lebih lanjut Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk (Jakarta: UI Press, 1995), dan Munawwir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Cet. II (Yogyakarta: UII Press, 1990), 10-15. Menurut al-Sayyid Muhammad Ma‘rûf al-Dawâlibî (w. 218 H.) dari Universitas Islam Internasional Paris, “yang paling menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madînah itu ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia”. Dikutip oleh Nurcholish Madjid, “Agama dan Negara dalam Islam: Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
39
Ahmad Ali MD
Piagam Madînah inilah yang menjadi warisan Nabi, meskipun sebelumnya telah ada praktek pengakuan yang disebut sebagai bay‘ah (baiat): dikenal dengan Bay‘ah Aqabah Pertama dan Bay‘ah Aqabah Kedua.10 Pada masa al-Khulafâ’ al-Râshidûn, terdapat prinsip-prinsip tentang wewenang politik dalam Islam. Prinsip pertama yang diucapkan Abû Bakr menyatakan, (a) orang-orang Arab hanya akan tunduk kepada suku Quraysh; dan (b) kewajiban mentaati pemerintah hanya sejauh dia mentaati Tuhan dan rasul-Nya. Implikasinya adalah keyakinan bahwa masyarakat merupakan penentu, apakah khalîfah benar-benar mengikuti perintah Tuhan dan Nabi. Ini berarti bahwa wewenang tertinggi ada pada masyarakat. Abû Bakr juga percaya bahwa dia mewakili otoritas Nabi. Ini mengimplikasikan bahwa meskipun otoritas secara teoritis berada pada masyarakat, wewenang politik tertinggi pada prakteknya tetap pada seseorang. Hal ini dipertegas oleh penolakan Abû Bakr terhadap saran dari Telaah atas Fiqh Siyâsî Sunnî”, dalam Budy Munawwar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), 590. Pendapat senada juga dikemukakan Muhammad Hamidullâh (l. 1908): “Konstitusi yang membawa hak istimewa ini tidak hanya merupakan konstitusi negara Islam pertama, tetapi juga merupakan konstitusi pertama di muka bumi yang diumumkan oleh sebuah negara. Dikutip oleh Ali Bulac, “The Medina Document”, dalam Charles Kurzman, ed., Liberal Islam: A Sourcebook (New York: Oxford University Press, 1998), 173. 10 al-Jâbirî, al-Dîn wa-al-Dawlah, 9. Konsep Bay‘ah (baiat) sangat erat dalam konsep perpolitikan Islam. Baiat adalah bentuk sumpah setia yang mempertalikan pemimpin dengan masyarakatnya. Pemberian mandat dapat terwujud dalam baiat. Menurut pendapat Ibn Taymîyah, bahwa khalîfah ‘Umar ibn al-Khattâb terpilih menjadi khalîfah bukan karena penunjukan khalîfah sebelumnya tetapi karena masyarakat memberikan mandat kepadanya yang terwujud dalam baiat. Ini menunjukkan bahwa restu masyarakat yang terungkap dalam baiat menjadi dasar bagi keabsahan pemerintahan Islam. Karena itu, baiat dilaksanakan dalam suasana kebebasan berpendapat dan kemungkinan adanya oposisi meskipun selalu terkait dengan Syariat, yang wajib dipatuhi pemerintah dan masyarakat, sebagai komitmen mentaati semua aturan dalam alQur’ân dan Sunnah. Lihat Ahmad Sukardja, “Fiqh Siyâsah, Bagian Ajaran”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), Jilid III, 210-211. 40
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
kalangan Anshâr tentang otoritas bersama antara dua pemimpin, satu dari Quraysh dan satu lagi dari Anshâr. Kemudian hari Abû Bakr menentukan jalan yang bijaksana untuk menunjuk seorang penerus (model wasiat) demi menghindari terulangnya keadaan yang membingungkan pasca wafatnya Nabi. Kemudian ‘Umar juga mengikuti cara yang sama. Namun begitu, satu persoalan baru muncul ketika ‘Uthmân nampak kehilangan kepercayaan dari masyarakat, tetapi ia menolak untuk turun tahta. ‘Uthmân mengklaim bahwa hak istimewa menjadi khalîfah tidak bisa diambil alih atau dilepaskan. Semua keputusan khusus ini kemudian dianggap sebagai teladan dengan makna normatif.11 Ketika teori tentang khalîfah mulai mengkristal pada periodeperiode kemudian, ia dibangun berdasarkan contoh-contoh awal ini. Menurut ‘Abd al-Wahhâb al-Affandî (seorang filosuf dan ilmuan politik kebangsaan Sudan),12 bahwa hakikat dari teori itu menegaskan bahwa pembentukan kekhalifahan merupakan mandat (merujuk generasi awal sebagai bukti langsung, al-Qur’ân dan “pasemon” Nabi sebagai bukti tidak langsung); ia harus mendudukkan seorang pemimpin (tidak bersifat kolektif, juga tidak bersifat ganda); individu ini harus terbaik, laki-laki muslim yang paling saleh dan berkompeten dari garis keturunan Quraysh; dia pun harus ditunjuk oleh para pemimpin masyarakat yang paling berpengaruh (ahl alhall wa-al-‘aqd);13 dan ia harus menjalankan syariat, tetapi tidak bisa diganti atau diboikot meskipun melakukan pelanggaran yang mencolok.14 El-Affendi, “Who Need an Islamic State?”, 30. El-Affendi, “Who Need an Islamic State?”, 31. 13 Makna ahl al-hall wa-al-‘aqd, secara lughawî (etimologi) adalah orang yang mempunyai wewenang untuk melepas dan mengikat, juga berarti Ahl al-ikhtiyâr (golongan yang berhak memilih). Di antara tugasnya adalah secara langsung memilih khalifah, imam, atau kepala negara. 14 Dalam politik Shî‘ah dan Sunnî sendiri misalnya terdapat 2 (dua) teori yang berbeda tentang khilâfah. Shî‘ah berkesimpulan bahwa hak kepemimpinan dalam kekuasaan rûhânîyah (keagamaan) dan siyâsîyah (politik) adalah di tangan Ahl al-Bayt. Menurut Dr. Manzûr al-Dîn Ahmad, teori Shî‘ah yang disebut imâm lebih dapat diterima karena berpijak pada 11 12
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
41
Ahmad Ali MD
Pengalaman pahit dari konflik intern yang menyebabkan kematian al-Khulafâ’ al-Râshidûn juga menyebabkan umat Islam menyadari kesia-siaan kekerasan. Dari sini muncul kompromi politik antara ‘Alî r.a. dan Mu‘âwîyah r.a. Namun semua kompromi itu kemudian dilanggar setelah pertumpahan darah dan kerusakan yang mengerikan yang menyebabkan sebagian besar para pemikir menentang penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan perselisihan politik. Mereka menggariskan syarat-syarat minimum untuk mengesahkan pemerintahan dan menekankan bahwa penguasa yang sah secara hukum tidak boleh dilawan dengan kekerasan, bahkanpun ketika perilaku seorang penguasa itu telah menyimpang.15 Terhadap pendirian yang salah ini segera muncul reaksi dari kelompokkelompok kecil yang dikenal sebagai Khawârij. 16 Ajaran mereka asas keberlangsungan petunjuk Ilahi melalui para imam ma‘sûm dan khilâfah pewarisan. Akan tetapi penulis berpendapat bahwa pendapat itu idealistis, namun kurang realistis. Sementara Sunnî tidak meyakini keberlangsungan wahyu Ilahi terhadap para imam ma‘sûm atau aturan kepewarisan khilâfah. Berdasarkan ini, menurut Sunnî, pada asasnya akad dan yang terkait dengannya memberikan hak kepada umat untuk memilih khalîfah dan menjadi tanggung jawab khalîfah melaksanakan hukumhukum Sharî‘ah dengan cara musyawarah bersama-sama dengan orangorang yang dipilih untuk mewakili mereka (ahl al-hall wa al-‘aqd; pada masa Rasul disebut ahl al-shûrá, dalam istilah al-Qur’ân disebut ûlî alamr). Jadi teori Sunnî juga berpijak pada ijmâ‘ umat. Lihat Manzûr al-Dîn Ahmad, “Islamic Political System in the Modern Age: Theory and Practice” (al-Nazarîyât al-Siyâsîyah al-Islâmîyah fî al-‘Asr al-Hadîth: al-Nazarîyah waal-Tatbîq), penerjemah ‘Abd al-Mu‘tî Amîn Qal‘ajî dan ‘Abd al-Jawwâd Khalf (Karachi: Saad Publications, t.t.), 36-37. 15 Pemberontakan bisa dianjurkan jika secara matematis mencapai kemenangan. Posisi ini menurut El-Affendi menghantarkan kepada lingkaran konsesi dan digunakan untuk mensahkan hampir semua jenis pemerintahan. El-Affendi, “Who Need an Islamic State?”, 31. 16 Khawârij adalah kelompok yang keluar dari ‘Alî ibn Abî Thâlib, sebagai respon terhadap perang yang terjadi antara imam ‘Alî dan Mu‘âwîyah. Maksud keluarnya itu adalah bukan keluar dari mentaati imam dari para imam kaum muslimin yang legal imâmahnya, tetapi keluar dari syariat dan para imam sebab mereka mengkafirkan para imam itu dan menghalalkan darah dan harta kaum muslimin. Singkatnya, menurut Abû al-Khayr, Khawârij adalah kelompok yang keluar dari ‘Alî ibn Abî Thâlib, dan karenanya keluar dari syariat dan para imam sebab 42
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
melarang kompromi dengan siapapun, dan semua orang yang menentang pandangan mereka harus diperangi secara total.17 Jadi ciri utama kepercayaan Khawârij dalam perilaku politik adalah hak mutlak tidak hanya untuk menantang, tetapi juga memberontak terhadap pemerintah yang berkuasa, jika terbukti bahwa tindakan atau karakternya tidak segaris dengan standar baku undang-undang pemerintah atau imam. Menurut standar ini, pemerintah atau imam haruslah seorang yang mempunyai integritas (kepribadian utuh) dan adil serta tidak mengabaikan ajaran-ajaran al-Qur’ân.18 Idealisme fanatik Khawârij tersebut segera mendorong konflik eksternal dan internal, karena di dalam diri mereka sendiri tidak ada kesepakatan mengenai isi perintah Tuhan yang memaksa mereka untuk berperang. Meskipun demikian, fenomena ini cukup mengejutkan, karena kebulatan tekat dan semangat kelompok ini menjadi legendaris.19 pengkafiran mereka terhadap para imam dan menghalalkan darah dan harta kaum muslimin berdasarkan nassh hadis Nabi s.a.w. Dinamakan Khawârij karena mereka keluar dari agama, atau dari jamaah atau dari ‘Alî r.a. Setidaknya ada 8 (delapan) sebutan Khawârij: 1) al-Khawârij; 2) al-Harûrîyah (karena mereka tinggal di desa Harûrâ’ pertama kali setelah peristiwanya); 3) Ahl al-Nahrawân (nama tempat dimaka mereka diperangi ‘Ali); 4) al-Shurâh (karena ucapan mereka “Kami beli diri kami dalam mentaati Allah, yakni Kami jual diri kami dengan surga”); 5) alMâriqah (sifat seperti lepasnya anak panah dari busurnya); 6) alMuhakkimah/al-Muhakkimîyah (karena kokoh pada ucapan “lâ hukm illâ li-llâh”); 7) al-Nawâsib (karena sangat keras permusuhannya terhadap ‘Alî); dan 8) al-Shakâkîyah. Tentang Khawârij lihat lebih lanjut dalam Hasan ‘Abd al-Hafîz ‘Abd al-Rahmân Abû al-Khayr, al-Mawsû‘ah alMufassalah fî al-Firaq wa-al-Adyân wa-al-Milal wa-al-Madhâhib wa-al-Harakât al-Qadîmah wa-al-Mu‘âsirah (Kairo: Dâr Ibn al-Jawzî, 2011), Juz I, 48-152. 17 El-Affendi, “Who Need an Islamic State?”, 31-32. 18 Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibn Taymîyah, 5. 19 Khawârij melakukan pemujaan yang berlebihan terhadap al-Qur’ân dan mengabaikan arti Sunnah/hadîth, sehingga mereka pun pada dasarnya bukan mengangkat masalah kekhalifahan atau imâmah, tetapi mengangkat persoalan pelaksanaan Sharî‘ah (Syariat) seperti yang digariskan al-Qur’ân. Siapapun yang mampu melaksanakan Syariat tersebut dianggap memenuhi syarat menjadi imam (pemimpin). Cara Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
43
Ahmad Ali MD
Kemudian di antara dua kutub defeatism (kelompok Mu‘âwîyah, yang kemudian dikenal sebagai Sunnî)20 dan fanatisme (kelompok Khawârij), muncul sejumlah posisi, dan yang paling terkemuka adalah Shî‘ah (partai ‘Alî).21 Pada awal kelahirannya, sikap Shî‘ah berpikir inilah yang menggiring mereka mengabaikan legalitas kekhalifahan yang semata berasal dari suku Quraysh, prinsip kunci dalam alur pemikiran Sunnî, yang dianggap mulia sepanjang sejarah negara Islam. Jadi, konsep Khawârij secara kaku dan keras menolak pemerintahan seperti itu serta menegaskan bahwa siapapun, bangsawan Arab maupun budak hina dari Ethiopia (Abissinia), lelaki atau perempuan, berhak memerintah umat Islam selama ia mampu menunjukkan kecakapan dan determinasinya melaksanakan ajaran-ajaran al-Qur’ân serinci mungkin. El-Affendi, “Who Need an Islamic State?”, 31-32, dan Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibn Taymiyah, 6. 20 Sunnî, sebutan untuk Ahl al-Sunnah, adalah orang-orang yang secara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad s.a.w., baik tuntunan lisan (qawl), perbuatan beliau (af‘âl) maupun persetujuannya (taqrîr), serta tradisi para sahabatnya yang mulia. Penjelasan tentang siapa-siapa yang dipandang termasuk dalam kelompok Sunnî, sebagaimana diakui M. Quraish Shihab, misalnya, ditemukan kesulitan. M. Quraish Shihab, Sunnah-Shî‘ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?: Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 57. Pengertian Sunnî juga dapat dipahami, dari surat Sâlim al-Bishrî (Shaykh al-Azhar), kepada ‘Abd al-Husayn Sharaf al-Dîn al-Mûsawî (tokoh Shî‘ah), yaitu golongan terbesar kaum Muslim yang mengikuti aliran Ash’arî dalam bidang akidah, dan empat mazhab (Mâlik, Shâfi‘î, Ahmad ibn Hanbal, dan Hanafî) dalam bidang Sharî‘ah (hukum). Kategori Ahl al-Sunnah disebutkan secara jelas oleh ‘Abd al-Qâhir ibn T{âhir ibn Muhammad (w. 429 H./ 1037 M.) —seorang usûlî, berkebangsaan Baghdad, al-Isfirâ‘înî alTamîmî— penulis kitab al-Farq Bayn al-Firaq. Menurutnya kelompok Sunnî adalah para pengikut al-Awzâ‘î, al-Thawrî, Ibn Abî Laylá, dan Ahl alZ{ahîr dalam bidang hukum. Para tokoh utamanya dalam bidang teologi adalah imam Abû al-Hasan al-Ash‘arî, al-Bâqillânî, meskipun ia tidak sepenuhnya setuju dengan semua pendapat al-Ash‘arî, imam al-Haramayn al-Juwaynî dan al-Ghazâlî, seorang yang berperan besar bagi penyebaran paham ini. Lihat ‘Abd al-Qâhir ibn T{âhir ibn Muhammad, al-Farq Bayn al-Firaq (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, t.t.), 19-20. 21 Asal kata Shî‘ah (bentuk nisbatnya: Shî‘î) adalah al-firqah min alnâs (kelompok manusia), baik untuk arti seorang, dua orang atau jamak, baik laki-laki maupun perempuan dengan lafad satu dan makna satu. Pada dasarnya Shî‘ah adalah istilah umum yang pengertiannya mencakup semua pendukung ‘Alî ibn Abî T{âlib r.a. dan Ahl baytihi 44
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
merupakan sikap politik yang mendukung ‘Alî sebagai pemimpin, bukan karena siapa dirinya, tetapi karena keberpihakan kelompok itu kepadanya. Dalam teori politik Shî‘ah, mereka menolak prinsip keturunan (regenerasi) dalam menjabati kedudukan politik. Akan tetapi, ternyata prinsip regenerasi ini tidak menyelesaikan masalah, karena Shî‘ah melakukan segala hal terhadap para penentangnya.22 (keturunannya), sehingga menjadi nama khusus. Al-Azharî, sebagaimana dikutip oleh Muhsin al-Amîn, mengatakan bahwa: “Makna Shî‘ah adalah kaum yang condong kepada ‘itrah nabi dan mencintai mereka”. Lihat alImâm al-Sayyîd Muhsin al-Amîn, A‘yân al-Shî‘ah, ed. al-Sayyid Hasan alAmîn (Beirut: Dâr al-Ta‘âruf li-al-Matbû‘ât, 1998), Juz I, 19. Para pengamat pelbagai kelompok dan pendapat menyebutkan beragam varian Shî‘ah. Shaykh Ahl al-Sunnah wa-al-Jamâ‘ah, al-Imâm Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl al-Ash‘arî (w. 330 H.), misalnya dalam kitabnya Maqâlât alIslâmîyîn, memklasifikasikan Shî‘ah kepada 3 (tiga) varian besar: 1) alGhâlîyah: kelompok yang mengkultuskan ‘Alî r.a. secara ekstrim; bahkan mempertuhankan dirinya atau menganggapnya sebagai nabî, terdiri atas 15 firqah; 2) al-Râfid}ah: kelompok yang mengklaim adanya teks dalil mengenai ‘Alî r.a. sebagai orang yang paling berhak atas kekhalifahan; di samping juga mereka berlepas diri dari para khalîfah sebelumnya dan para sahabat pada umumnya; mereka selain al-Kâmilîyah berjumlah 24 (dua puluh empat) sekte, dan disebut juga sebagai al-Imâmîyah; 3) alZaydîyah: para pengikut Zayd ibn ‘Alî ibn al-Husayn; mereka lebih mengutamakan ‘Alî r.a. daripada semua sahabat yang lain, tetapi tetap mengakui kekhalifahan Abû Bakr dan ‘Umar r.a. Secara khusus tentang sejarah Imâmîyah, Rafîd}ah, dan Ja‘farîyah lihat al-Amîn, A‘yân al-Shî‘ah, 27, 22-24. Lebih rinci tentang Shî‘ah lihat al-Imâm Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl al-Ash‘arî, Maqâlât al-Islâmîyîn wa-Ikhtilâf al-Musallîn, ed. Muhammad Muhy al-Dîn ‘Abd al-Hamîd (Kairo: Maktabat al-Nahd}ah al-Misrîyah, 1950), 65-155, Abû al-Khayr, al-Mawsû‘ah al-Mufassalah fî alFiraq, Juz I, 153, 156, dan Ahmad Ali MD, “Hadîth sebagai Hujjah Hukum dalam Perspektif Shî‘ah”, Refleksi: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Usûl al-Dîn. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. XIII, No. 2, 2012. 22 Paling kurang 3 (tiga) garis suksesi yang berbeda, bersaing demi kesetiaan kepada Shî‘ah. Bertahun-tahun Shî‘ah berkembang, dari hanya sebagai partai politik menjadi sekte yang berkembang, yang berbeda dari mainstream (arus utama) dalam wilayah hukum. Meskipun begitu, kesuksesan yang dicapai oleh negara yang diilhami oleh Shî‘ah, tidak membawa perbedaan dari praktik umum negara-kekuasaan yang didirikan oleh Mu‘âwîyah yang bersandar pada paksaan, pajak ilegal dan dispensasi korup dari dana publik. Jadi, satu masa (abad IV Hijriah), Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
45
Ahmad Ali MD
Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada masa al-Khulafâ’ al-Râshidûn, tidak terdapat satu pola yang baku mengenai cara pengangkatan khalîfah atau kepala negara. Pada masa ini hubungan khalîfah dengan rakyat adalah hubungan antara dua peserta dari suatu kesepakatan atau “kontrak sosial” yang memberikan kepada masing-masing hak dan kewajiban atas dasar timbal balik.23 Itulah dinamika yang terjadi pada masa khilâfah al-Khulafâ’ al-Râshidûn,24 menjadi ‘ibrah penting bagi perpolitikan kita. Dengan demikian, tiga paradigma (Sunnî, Shî‘ah, dan Khawârij) di atas berimplikasi pada pertentangan-pertentangan teologis yang melahirkan sekte-sekte. Karena perbedaan-perbedaan ini menyangkut masalah-masalah penting secara keagamaan, ketiga vaksi Islam ini mengembangkan versi-versi Islam yang berbeda dan membentuk fuqahâ’ yang berbeda pula. Pada masa awal Islam, ketiga vaksi tersebut, menurut Enayat, sebagaimana dijelaskan oleh M. Din Syamsuddin, telah memunculkan 3 (tiga) paradigma besar di atas dalam teori politik Islam. Dalam konteks ini, pemikiran politik Islam menjadi subordinan dan merupakan bagian dari teologi dan jurisprudensi Islam. Ketiadaan independensi pemikiran politik pada masa Islam pra-modern telah meniscayakan munculnya fakta bahwa masalahmasalah politik tidak dibicarakan secara terpisah dari pelbagai disiplin. Sebagai contoh, seperti hakikat negara, kualifikasi penguasa,
hampir seluruh dunia Islam berada di bawah pemerintahan Shî‘ah. Namun, negara-negara itu tidak berbeda dengan pesaingannya, negara Sunnî. Bahkan, beberapa di antaranya, lebih tidak adil dan jauh menyimpang dari cita-cita Islam, dibandingkan negara-negara tetangganya yang dekaden atau negara-negara sebelumnya. El-Affendi, “Who Need an Islamic State?”, 32-33. Memang seringkali Islam dijadikan sasaran ekstremisme/ penyimpangan dalam berbagai aspek, termasuk aspek politik. Lihat Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1994), 90 dst. 23 El-Affendi, “Who Need an Islamic State?”, 30-31. 24 Pada masa itu, terjadi pelbagai penyimpangan terhadap ajaran Islam dan terjadi pelbagai peperangan antar sesama Muslim, pemberontakan atau kudeta terhadap khalîfah yang sah, seperti peristiwa al-mihnah al-kubrá. 46
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
dan hak-hak rakyat adalah bagian dari risalah yang tak terpisahkan dalam jurisprudensi dan teologi Islam—semua terjalin dalam lingkup Sharî‘ah yang tak terbantah.25 Menurut Din Syamsuddin, pergumulan antara bahasan isu-isu politik dalam kerangka sains Islam, dengan perkembangan ide-ide dalam persoalan-persoalan sosio-kultural, ekonomi, dan politik membawa berbagai kecenderungan dalam pemikiran politik, yakni 1) kecenderungan juristik, 2) kecenderungan birokratis-administratif, dan 3) kecenderungan filosofis.26 Pada intinya, pemikiran politik Islam umumnya merupakan produk “perdebatan besar” antara pemikiran Sunnî, Shî‘ah dan Khawârij yang terfokus pada masalah religi politik tentang Imâmah dan Khilâfah (Kekhalifahan). Perdebatan itu melibatkan berbagai masalah seperti obligasi politik, syarat-syarat pemerintahan Islam, proses terwujudnya konstitusi dan pemberontakan terhadap kekuasaan yang ada. 27 Pemikiran politik ini berkecenderungan juris, karena digagas oleh para teologhukum/fiqh (fuqahâ’). Hal ini, karena fuqahâ’ kaum Sunnî cenderung mengaitkan institusi politik dengan institusi khalîfah: menurut mereka khalîfah sebagai institusi hakikatnya adalah simbol supremasi Sharî‘ah atau wahyu atas akal, atau dengan kata lain, agama atas politik (aldîn ‘alá al-dawlah).28 Peran pemikiran politik, dalam perspektif ini, bukanlah untuk membuat spekulasi normatif ataupun deduksi
Meskipun demikian, sejarah Islam pada era kekhalifahan diliputi berbagai isu politik, sehingga pada masa ini, perkembangan pemikiran Islam seperti teologi, jurisprudensi dan mistisisme pada tingkat tertentu, masuk ke dalam dimensi politik. M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik: Era Orde Baru (Jakarta: Logos, 2000), 93. 26 Syamsuddin, Islam dan Politik, 93. 27 Lihat Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibn Taymiyah (Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibn Taimiyah tentang Pemerintahan Islam) (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), 1, 5. 28 Hal ini menurut Gibb, sebagaimana dijelaskan Syamsuddin, merupakan respon atas kaum Shî‘ah dan kaum Khawârij, sebagai rival-rivalnya, yang argumen utamanya jelas adalah bahwa kaum Sunnî, dengan mendukung khalîfah yang palsu, telah menyimpang dari garis Islam yang benar, dan karenanya berdosa. Syamsuddin, Islam dan Politik, 94. 25
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
47
Ahmad Ali MD
empirik tetapi juga mengelaborasi wahyu atau Sharî‘ah, atau lebih tepatnya, mencari ajaran-ajaran dari Sharî‘ah untuk menjustivikasi situasi politik nyata dan untuk memberikan legitimasi politik. 29 Adapun kecenderungan administratif-birokratik masih relatif sama dengan kecenderungan teori politik jurisik, yakni memberikan justivikasi dan legitimasi atas tatanan politik yang ada, namun jelas dengan tipe eksposisi teoritis yang berbeda. Jika kecenderungan juristik berkepentingan dengan eksposisi legal dari teori pemerintahan yang secara logis diturunkan dari prinsip-prinsip Sharî‘ah, maka kecenderungan administratif-birokratik berkepentingan dengan eksposisi eksemplar dari administrasi pemerintahan yang diambil dari sejarah sebelumnya.30 Dengan demikian, stressing utama dalam kecenderungan administratif-birokratis adalah mengetahui kewajiban-kewajiban praktis dari penguasa dan menyediakan ajaran-ajaran moral untuk diterapkan dalam kehidupan politik. 31 Sementara kecenderungan filosofis ialah kecenderungan pemikiran politik yang didasarkan atas deduksi kontemplatif
dari
tujuan
akhir
hidup
manusia
untuk
mempertahankan hakikat dan peran yang ideal dari pemerintahan dalam mencapai tujuan tersebut. Tugas pemikiran politik dalam konteks ini bukan untuk menentukan nilai dan kebaikan realitasrealitas politik aktual, misalnya menelaah seberapa jauh realitas politik ini sesuai dengan prinsip-prinsip Sharî‘ah, melainkan memberikan standar kesempurnaan suatu sistem politik, mungkin Syamsuddin, Islam dan Politik, 94. Syamsuddin, Islam dan Politik, 104. 31 Ini menurut Limbton, sebagaimana dijelaskan Syamsuddin, sejalan bukan dengan teori-teori politik para fuqahâ’ yang didasarkan atas Sharî‘ah dan praktek masyarakat Muslim awal, tetapi dengan kewajibankewajiban moral politik biasa yang didasarkan atas tuntutan politik praktis. Pemikiran politik yang termasuk dalam kategori kecenderungan ini adalah teori “Cahaya Ilâhîyah” al-Ghazâlî sebagaimana yang ditulis dalam kitabnya Nasîhât al-Mulk. Lihat Syamsuddin, Islam dan Politik, 108. 32 Pemikiran politik yang berkecenderungan filosofis di antaranya teori “Masyarakat Utama” al-Fârâbî, dan “Negara Ideal-Spiritual”-nya Ikhwân al-Shafâ. Lihat Syamsuddin, Islam dan Politik, 105-107. Mengenai 29 30
48
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
lewat penafsiran alegoris atas Sharî‘ah.32 Dalam konteks pemikiran politik Islam kontemporer, pemikiran politik para pemikir politik Muslim kontemporer (secara singkat) ke dalam 3 (tiga) macam aliran.33 Pertama, aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama yang paripurna dalam arti lengkap dengan segala macam petunjuk bagi semua aspek kehidupan manusia, termasuk sistem pemerintahan, dengan merujuk kepada pola dan model politik masa al-Khulafâ’ al-Râshidûn. Aliran ini memahami Islam sebagai pandangan hidup menyeluruh, yang diungkapkan dalam Syariat. Bahkan ide ini telah ditafsirkan lebih jauh bahwa Islam merupakan “totalitas integral yang menawarkan solusi bagi semua persoalan kehidupan”.34 Menurut penulis, aliran ini dapat al-Farâbi dan Ikhwân al-Shafâ dan pemikiran politiknya di atas lihat dalam M. Saeed Sheikh, Islâmic Philosophy (London: The Octagon Press, 1992), 65-66, dan Syamsuddin, Islam dan Politik, 108-114. 33 Syamsuddin, Islam dan Politik, 205-210 dan 235-236. 34 Lihat Bahtiar Effendy, “Islâm and Democracy: in Search of a Viable Synthesis”, dalam Studia Islamika, Vol. 2, No. 4, 1995, 2. 35 Tentang paradigma integralistik ini berpijak pada pengelompokan paradigma tentang relasi antara agama dan negara, yang mencakup tiga tipe (model). Pertama, paradigma integralistik (unified paradigm), yaitu agama dan negara menyatu (integrated). Wilayah agama meliputi wilayah politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Karenanya, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar “kedaulatan ilahi” (dinive sovereignity), yakni kedaulatan yang berasal dan berada di “tangan Tuhan”. Dalam perspektif paradigma ini pemberlakuan dan penerapan Syariat (hukum Islam) sebagai hukum negara adalah keniscayaan. Kedua, paradigma simbiotik (symbiotic paradigm), yang memandang bahwa agama dan negara berhubungan secara simbolik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal-balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang; demikian pula negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moralspiritual. Dalam perspektif ini, penegakan negara merupakan tugas suci yang dituntut oleh agama sebagai salah satu perangkat taqarrub ilá Allâh. Jadi, Hukum Islam menduduki posisi sentral sebagai sumber legitimasi bagi realitas politik. Negara juga memiliki peranan besar untuk menegakkan hukum Islam dalam porsinya yang benar. Ketiga, paradigma sekularistik (secularistic paradigm), sebagai antitesis kedua paradigma di atas, Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
49
Ahmad Ali MD
dimasukkan ke dalam paradigma integralistik (unified paradigm).35 Masykuri Abdillah dan Din Syamsuddin menggolongkan aliran ini ke dalam aliran tradisionalis dengan paradigma tradisionalis/ formalistik (arus formalisme). Sejumlah pemikir teori politik Islam kontemporer yang termasuk dalam kategori ini adalah Muhammad Rashîd Rid}á (1865-1935) dan ‘Abd al-Kalâm Azad (1888-1958).36 Pendekatan ini juga digunakan oleh sejumlah pemikir politik Islam klasik, seperti al-Mâwardî (364-450/975-1059), al-Ghazâlî, dan Sa‘d al-Dîn al-Taftâzânî. Paradigma di atas juga dapat digolongkan sebagai paradigma Fundamentalis, sejumlah tokoh yang termasuk di dalamnya adalah Abû al-A‘lâ al-Mawdûdî dan Sayyid Qutb dengan al-Ikhwân-nya. Kedua, aliran yang berkeyakinan bahwa Islam adalah sama sekali sama dengan agama-agama yang lain, dan Nabi Muhammad adalah nabi biasa tanpa misi untuk mendirikan negara. Tokoh dalam hal ini adalah ‘Alî ‘Abd al-Razzîq sebagai juru bicaranya. Aliran ini dapat dikelompokkan ke dalam paradigma sekularistik (secularistic paradigm), atau meminjam istilah Din Syamsuddin dapat digolongkan ke dalam paradigma modernisme. Sedangkan yang ketiga, aliran yang pada satu sisi menolak anggapan bahwa Islam adalah segala-galanya, termasuk sistem politik, dan pada sisi lain tidak setuju dengan anggapan bahwa Islam adalah agama yang sama sekali sama dengan agama-agama yang lain, aliran yang percaya bahwa dalam Islam terdapat seperangkat prinsip dan tata nilai etika dan sebagai gantinya paradigma ini mengajukan pemisahan (disparitas) antara agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. Konsep aldunyâ–al-akhîrah, al-dîn-al-dawlah, dan umûr al-dunyâ-umûr al-dîn didikotomikan secara diametral. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak Islam dijadikan dasar (konstitusi) negara, atau minimal, menolak determinasi Islam pada bentuk negara tertentu. Singkatnya, Hukum Islam tidak dapat serta merta diterapkan dan diberlakukan dalam suatu wilayah politik tertentu, di samping tidak dapat dijadikan hukum positif, kecuali telah diterima sebagai hukum nasionalnya. Lihat Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2001), 22 dst. 36 Syamsuddin, Islam dan Politik, 117-128, dan M. Din Syamsuddin, “Islamic Political Thought and Cultural Revival in Modern Indonesia”, dalam Studia Islamika, Vol. 2, No. 4, 1995, 47. 50
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti yang ditemukan dalam al-Qur’ân, yang memiliki fleksibilitas dalam pelaksanaan dan penerapannya dengan memperhatikan perbedaan situasi dan kondisi antara satu zaman dengan zaman yang lain serta antara satu budaya dengan budaya yang lain.37 Aliran ini menurut penulis dapat disebut sebagai aliran substansialis dan menggunakan paradigma simbiotik (symbiotic paradigm).38 Di antara tokohnya adalah Muhammad Husayn Haykal, dan Muhammad ‘Abduh.
III. Khilâfah Tidaklah Baku Telah dikemukakan di muka bahwa tidak ada sistem kekhilafahan yang telah mengkristal secara sistematis dan utuh, dalam istilah alJâbirî sistem pemerintahan Islam masih mengalami kekosongan perundang-undangan. Menurut al-Jâbirî kekosongan ini tampak jelas bagi kita dalam 3 (tiga) masalah utama:39 1) tidak ada penentuan metode tertentu yang diundangkan dalam memilih khalîfah; 2) tidak ada batasan bagi masa jabatan “khalîfah”; dan 3) tidak ada pembatasan wewenang seorang “khalîfah”. Intinya tidak ada sistem pemerintahan yang disyariatkan oleh Islam; yang ada hanyalah sistem yang lahir bersamaan dengan perkembangan dakwah Islam di mana pada masa awalnya berpijak pada model seorang “komandan perang”. Inilah yang dibutuhkan dan yang dituntut oleh situasi saat ini. Ketika negara Arab Islam itu berkembang seiring dengan adanya berbagai penaklukan, harta rampasan dan penyebaran Islam, maka model seorang “komandan perang” itu tidak bisa lagi mengikuti perkembangan yang telah terjadi sehingga muncullah kekosongan perundang-undangan yang terungkap pada tiga hal di atas. Karena masalah Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 235-236. Inilah aliran model Islam substansialis yang lebih menekankan substansi daripada bentuk (format), nilai-nilai seperti keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan daripada simbol-simbol, yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan praktis demokrasi. Lihat misalnya El-Effendy, “Islam and Democracy”, 15. 38 Tentang arus substansialis lihat Syamsuddin, “Islamic Political Thought”, 47. 39 Syamsuddin, “Islamic Political Thought”, 73-79. 37
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
51
Ahmad Ali MD
ini tidak ditangani dengan penanganan damai dan berdasarkan hukum (fiqhîyah), maka yang bicara adalah pedang dan karena itulah kemudian “khilâfah berubah menjadi kerajaan”.40 Masalah lain yang menarik perhatian adalah teori politik Islam klasik tidak membicarakan secara sistematis dan utuh tentang lembaga kekhalifahan, sebagai sebuah institusi, daripada sekadar teori khalîfah, yakni teori yang fokus orientasinya tentang person, siapa yang berkuasa. Fuqahâ’—di bidang fiqh politik dalam pemikiran politik Islam klasik—tetap berpegang pada peristiwa di Thaqîfah Banî Sa‘îdah, dengan asumsi bahwa apa yang terjadi ketika itu serta keputusan yang diambil mereka merupakan peristiwa yang memiliki kekuatan hukum (legitimate) dalam Islam. Bagi mereka, peristiwa tersebut merupakan dasar bagi analogi (qiyâs), yang terdiri dari 3 (tiga) unsur utama:41 Unsur pertama adalah upaya membatasi seluruh persoalan kepada masalah “siapa yang akan menggantikan Nabi,” yakni kepada pemilihan seseorang yang akan menjadi pemimpin kaum Muslim. Akibatnya, teori khalîfah Sunnî tidak membicarakan negara sebagai sebuah institusi melainkan difokuskan pada orang yang akan dibaiat untuk memerintah berdasarkan Kitâbullâh dan Sunnah Rasul dalam jangka waktu tak terbatas. Unsur kedua dalam teori khalîfah Sunnî adalah kesatuan khalîfah dalam arti bahwa khalîfah harus satu orang untuk seluruh daerah Islam. Singkatnya, meskipun ada wakil-wakil khalîfah di daerah-daerah yang berkuasa atas nama dia, seperti para menteri dan gubernur, tetapi khalîfah kaum Muslim dalam pandangan teori fiqh tetaplah harus satu orang, tidak boleh mengakui keabsahan lebih dari seorang khalîfah. Ini tentu hanya terjadi dalam tataran teori fiqh, sedangkan dalam tataran realitas, daerah-daerah Islam telah menyaksikan berbagai negara dalam satu zaman dan saling bersaing, bahkan kadang-kadang berperang satu sama lain. Sungguhpun begitu, semuanya tetap merupakan negaranegara Islam. Adapun unsur ketiga, khalîfah—dalam pandangan Sunnî—harus berdasarkan “pilihan” bukan “teks” (prinsip ini dike40 41
52
Syamsuddin, “Islamic Political Thought”, 79-80. Syamsuddin, “Islamic Political Thought”, 66-68. Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
mukakan untuk menentang Shî‘ah). Intinya teori khilâfah versi Sunnî pada dasarnya merupakan legislasi bagi kenyataan yang tengah terjadi. Akibatnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara teoriteori fuqahâ’ mengenai masalah khilâfah dengan potret atau pelbagai potret dari realitas pemerintahan Islam.42 Ajaran-ajaran Islam tentang masalah kenegaraan ini hanya bersifat garis besar, sehingga terjadi variasi dan perbedaan pemikiran ulama, baik pada masa klasik maupun modern/kontemporer. Bahkan bila dibandingkan antara pemikiran klasik dengan pemikiran kontemporer perbedaan ini nampak lebih besar. Para pemikir politik Islam pada masa klasik dan pertengahan tidak mempersoalkan kedudukan negara dengan agama, apakah terintegrasi (paradigma integralistik) ataukah terpisah (paradigma sekuler dan/atau paradigma simbiosis-mutualisme), karena dalam kenyataannya sistem kekhilafahan mengintegrasikan agama dan negara. Perbedaan itu terdapat pada apakah pendirian negara itu wajib shar‘î atau wajib ‘aqlî, serta perbedaan tentang syarat-syarat kepala negara.43 Menurut Masykuri Abdillah,44 perbedaan konsep, di samping disebabkan oleh pandangan-pandangan individu para pemikir politik itu dalam memahami ajaran Islam, dipengaruhi oleh keterlibatan mereka dalam pemerintahan serta pengaruh asing, terutama peradaban Romawi Timur dan Persia serta filsafat Yunani.45 Dalam hubungannya dengan pemerintahan, mereka dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok: (a) mereka yang terlibat langsung dalam pemerintahan, seperti Ibn Abî Rabî‘, al-Mâwardî, dan Ibn Khaldûn (1332-1406); (b) mereka yang berada di luar kekuasaan, tetapi masih Syamsuddin, “Islamic Political Thought”, 68. Lihat Masykuri Abdillah, “Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah Perspektif Sejarah dan Demokrasi Modern”, dalam Tashwirul Afkar, edisi No. 7, Tahun 2000, 102. 44 Saat ini Guru Besar Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 45 Pengaruh asing ini misalnya tentang pendirian kas negara (bayt al-mâl) pada masa pemerintahan ‘Umar, yang diadopsi dari sistem Romawi Timur; dan pembentukan kementerian (wazîrah) pada masa Dinasti ‘Abbâsîyah, yang diadopsi dari sistem Persia. Abdillah, “Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam”, 102. 42 43
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
53
Ahmad Ali MD
sering berpartisipasi dalam bentuk kritik-kritik terhadap kekuasaan, seperti al-Ghazâlî (w. 1111) dan Ibn Taymîyah (1263-1328); dan (c) mereka yang terlepas dari konteks politik yang ada, sehingga lebih bersifat spekulatif, seperti al-Fârâbî. Meskipun demikian, mereka umumnya menjustivikasi praktek kenegaraan yang ada, termasuk tentang bentuk monarki, padahal praktek ini tidak terjadi pada periode al-Khulafâ’ al-Râshidûn—sebuah periode yang dinilai paling ideal dalam praktek kenegaraan dalam Islam. Hanya al-Mâwardî yang mencoba merumuskan pemikirannya dengan merujuk kepada praktek kenegaraan al-Khulafâ’ al-Râshidûn dengan masa Dinasti ‘Umayyah dan ‘Abbâsîyah, yakni teori pengangkatan kepala negara melalui dua cara, yaitu (a) pemilihan kepala negara oleh ahl al-hall wa-al-‘aqd, dan (b) penunjukan oleh kepala negara sebelumnya. Meskipun dalam prakteknya al-Mâwardî, yang ketika menulis buku al-Ahkâm al-Sult}ânîyah itu menjadi hakim agung (aqd}â al-qud}ât) pada masa khalîfah al-Qâdir Billâh (381-423 H/991-1031 M), mendukung cara kedua, sebuah sikap yang lazim ketika itu. Dalam hal pemikiran, meskipun pemikiran al-Fârâbî bersifat spekulatif yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani, pemikirannya tentang kebebasan dinilai sangat sesuai dengan gagasan demokrasi dan kebebasan yang menjadi ciri pemikiran politik abad pencerahan (Aufklaerung, abad ke-16-17), dan kini menjadi sistem yang dinilai paling manusiawi. Kalau pada masa klasik dan pertengahan tidak ada perdebatan tentang apakah umat Islam harus melakukan integrasi atau pemisahan antara agama (Islam) dan negara (al-dawlah), maka pada masa kontemporer pun terdapat perbedaan. Menurut Abdillah, perbedaan ini muncul terutama sejak adanya interaksi antara masyarakat Islam dengan Barat yang membawa sistem mereka bersamaan dengan penjajahan mereka atas sebagian besar negara-negara Muslim. Menurutnya, persepsi para pemikir atau tokoh Islam tentang hubungan Islam dengan negara ini dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok, sebagaimana telah disebutkan di atas: kelompok konservatif (yang meliputi kelompok tradisionalis, dan kelompok fundamentalis), kelompok 46
54
Abdillah, “Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam”, 103. Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
modernis, dan kelompok sekular.46 Meskipun terdapat perbedaan karakteristik tersebut, umumnya pemikiran politik Islam kontemporer ini merespon sistem politik Barat, seperti nasionalisme, sosialisme, liberalisme, dan demokrasi, serta prinsip-prinsip yang berkaitan dengannya, seperti persamaan, kebebasan, dan pluralisme. Respon ini terkadang menolak sepenuhnya, menerima sepenuhnya, atau menerima dengan melakukan penyesuaian (adjustment). Sebagai contoh, kelompok pertama (konservatif) menolak sistem politik Barat, kelompok kedua (modernis) menerima secara selektif atau dengan penyesuaian tertentu, sedangkan kelompok ketiga (sekular) menerima sepenuhnya.47 Karena kurangnya pemikiran inovatif ini, beberapa sarjana Muslim sendiri melihat adanya krisis pemikiran politik Islam pada masa kontemporer ini. Krisis ini dapat dilihat dari beberapa gejala, terutama sempitnya ruang gerak untuk melaksanakan Syariat Islam di sebagian besar negara Muslim; dan kecenderungan para elite politik untuk berpaling dari Syariat, dan sebaliknya meniru sistem Barat.48 Di samping itu, jika pemikiran klasik hampir sepenuhnya menjustivikasi sistem pemerintahan yang ada pada masanya, maka pemikiran politik kontemporer tidak banyak yang menjustivikasi praktek kenegaraan yang ada, kecuali jika pemerintahan itu dapat dikuasai oleh kelompok politik yang didukung oleh pemikir itu, misalnya pemikiran politik Hasan Turâbî di Sudan dan pemikiran Âyatullâh al-Khumaynî di Iran. Sebagian besar merupakan kritik atau bahkan oposisi terhadap praktek Tentang konsep demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta berbagai respons intelektual Muslim Indonesia misalnya lihat dalam Masykuri Abdillah, “Theological Responses to The Concepts of Democracy and Human Right: The Case of Contemporary Indonesian Muslim Intellectuals”, dalam Studia Islamika, Vol. 3, No. 1, 1996. 48 Pendapat di atas misalnya dikemukakan oleh ‘Abd al-Hamîd Mutawallî dalam bukunya, Azmat al-Fikr al-Siyâsî al-Islâmî fî ’Asr al-Hadîth (Krisis Pemikiran Politik Islam pada Masa Kontemporer), dikutip dalam Abdillah, Gagasan dan Tradisi, 103-104. 49 Dalam hal bentuk pemerintahan, misalnya, umumnya ulama atau intelektual Muslim tidak mendukung sistem monarki murni, karena sistem ini dinilai tidak sesuai dengan ide dasar Islam tentang kehidupan 47
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
55
Ahmad Ali MD
kenegaraan atau sistem politik.49 Dari pelacakan historis terhadap politik Islam klasik di atas, diperoleh ‘ibrah bahwa masyarakat Muslim haruslah menerima fakta tiadanya model negara Islam yang kongkret.50 Umat Islam harus menyadari dan mengakui bahwa negara Islam tradisional bisa dinyatakan “cacat” secara relatif. Ia cacat dalam hubungannya dengan cita-citanya sendiri, sebagaimana ditentukan oleh contoh negara yang diciptakan Nabi saw. dan berlangsung dalam waktu yang singkat setelahnya. Meskipun begitu, dilihat dari sudut lain, negara Islam terus menunjukkan kelebihan dibanding dengan masyarakat yang sangat mendukung persamaan (al-musâwah) dan keadilan (al-‘adl, al-‘adâlah), di samping sistem ini tidak terjadi pada masa al-Khulafâ’ al-Râshidûn. Sebagai perkecualian adalah pemikiran ulama dan sarjana Muslim di negara-negara Teluk, yang umumnya menjustivikasi praktik kenegaraan yang ada termasuk sistem monarki murni yang diikuti negara-negara di kawasan ini. Abdillah, Gagasan dan Tradisi, 104. 50 Dalam hal ini Azyumardi Azra mengatakan, “Harus diakui, kaum Muslim tidak memiliki model “negara Islam” yang jelas dan kongkret dalam sejarah”. Menurutnya, inilah yang menyebabkan umat Islam menghadapi kebingungan dan tidak ada konsensus tentang apa yang disebut sebagai negara Islam. Kebingunan ini disebabkan beberapa faktor: 1) Negara ideal Madînah (dipimpin Nabi dan empat al-Khulafâ’ alRâshidûn) tidak menawarkan rincian yang bisa mengilhami penerapannya di alam modern dan masa kontemporer; 2) praktek kekhalifahan yang belakangan, yakni periode ‘Umayyah dan ‘Abbâsîyah, hanya menyediakan kerangka sistem lembaga-lembaga politik, pajak, dsb.; 3) kegagalan secara penuh mendirikan negara Islam mengarah pada perumusan citacita ideal (hukum Islam dan teori politik), yang menggambarkan masyarakat utopia yang bersifat teoritis dan teridealisasi; dan 4) hubungan agama dan negara, selama beberapa abad menjadi subjek interpretasi. Karena model negara Islam yang spesifik dan mujma‘ alayh kurang tersedia maka kalangan aktivis, organisasi-organisasi, dan pemerintaha Islam kontemporer mengarahkan sendiri sejumlah isu penting yang dihadapi: ciri pemerintahan Islam, lembaga-lembaga politik, dan hubungan internasional yang diterapkan alam tataran politik global. Jika persoalan tersebut tidak terjawab secara memuaskan akibatnya negara Islam hanyalah ilusi atau sekedar retorika belaka. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), 22-23. 51 Ada beberapa hal yang penting dicatat. Perihal ketakutan warga 56
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
bentuk negara kontemporer lainnya.51 Meskipun demikian, ada yang kurang bahwa hanya formalisasi dan standardisasi—dan bukan susbtansialisasi kandungan—yang mempengaruhi bentuk teori khalîfah. Bahkan ketika diturunkan sebagai hukum, teori ini mengasumsikan kesempurnaan manusia (terutama penguasa yang secara wajar jauh menyimpang dari kesucian). Ini merupakan satu refleksi dari sikap Shî‘ah yang terpengaruh dengan teori khilâfah ini dari sumbernya, dan menggunakannya dalam polemik dengan arus utama (Sunnî). Shî‘ah menekankan bahwa Imâm (pemimpin), yang merupakan wakil Nabi, harus Mesir selama pendudukan singkat Napoleon, untuk mengetahui bagaimana praktek pemerintahan dalam perbandingan antara Mesir di bawah kekuasaan Mamluk yang diganggu Napoleon, dengan Mesir di bawah rejim Muhammad ‘Alî yang meneruskan Napoleon. Kedua bentuk ini dipandang sebagai dua dari rezim Muslim yang terburuk dalam sejarah. Juga penting dicatat perihal periode-periode kegelapan dan perampasan yang ditandai dengan kemajuan-kemajuan yang tidak bisa dinafikan, khususnya dalam wilayah institusionalisasi. Inilah waktu para penguasa memusatkan perhatian pada realitas kehidupan sebagaimana adanya dan menerima kelemahan sifat manusia. Mereka menahan diri dari mendesak masyarakat terlalu keras dan mereka lebih puas membuat undang-undang untuk rakyat ketimbang membuat aturan-aturan untuk “orang-orang suci”. Juga tentang standarisasi kitab al-Qur’ân pada masa ‘Uthmân dan revisinya pada masa al-Hajjâj ibn Yûsûf, dan pembuatan uang logam pertama, pengetatan peraturan wajib militer dalam tubuh Angkatan Darat, Arabisasi Diwân dan banyak lagi pembaruan-pembaruan serupa. Hal lain yang harus disadari bahwa bukan suatu kebetulan para teoritikus politik sebagian besar adalah pengikut al-Shâfi‘î, karena dialah yang menjadi pioner standardisasi teori hukum. Dia menekankan bahwa Sunnah Nabi yang otentik merupakan dasar hukum Islam daripada “Ijmâ‘“ masyarakat Islam yang berubah-ubah, bersifat regional dan bermacammacam. Karena keberubahan mengasumsikan bahwa manusia secara inheren sempurna dan cenderung ke arah kebaikan. Padahal, sebagaimana jika al-Qur’ân diteruskan secara lisan akan mengalami distorsi, atau paling kurang berbeda maknanya—tidak sebagainya seandainya ditulis, maka praktek-praktek dari beragam masyarakat mungkin dipengaruhi oleh banyak faktor yang tidak semuanya menguntungkan. Abdillah, Gagasan dan Tradisi, 39. 52 Al-‘Allâmah al-Hillî menulis: “Wujûb ‘Ismat al-Imâm…fî anna alimâm yajibu an-yakûna ma‘sûman”. Lanjutnya: “al-Imâmîyah berpendapat bahwa para imam itu seperti para Nabi, dalam hal wajib keterpeliharaan Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
57
Ahmad Ali MD
sepadan kealiman dan ma‘shûm-nya dengan Nabi, 52—meskipun beberapa kelompok Shî‘ah, khususnya Zaydîyah, setuju bahwa penguasa tidak perlu yang paling saleh dan ini diikuti oleh beberapa orang pemikir Sunnî. Sunnî sependapat bahwa penguasa harus orang Islam yang paling alim, tetapi bukan berarti ma‘shûm. Di sini, ketepatan dalam masalah kualitas seperti kasih sayang dan kebajikan sulit untuk diketahui secara obyektif. Sebagai tambahan, penekanan pada kesempurnaan khalîfah secara otomatis telah mengasumsikan lemahnya hak masyarakat untuk mengkritik, karena setiap orang secara definitif tentu kurang alim, kurang terpelajar, dan kurang bijaksana dibandingkan khalîfah. Akhirnya, nasib umat tergantung pada kedatangan seseorang yang akan mempersatukan—dalam kharisma personalnya—kesucian dan kekuasaan. Penantian kedatangan yang tidak mungkin ini mengalihkan pikiran umat Islam di dunia mitologi dan tindakan yang pasif. Berdasarkan deskripsi di atas menjadi jelas bahwa cacat utama dalam teori klasik adalah kenyataan bahwa teori tersebut berwatak idealistik dan pesimistik. Pada hakikatnya ia bersifat revolusioner, menetapkan patokan-patokan tertinggi dan mendorong umat Islam untuk mengarahkan realitas yang tidak sempurna kepada tolok ukur mereka dari seluruh keburukan dan perbuatan keji, sejak masa kecil hingga meninggal dunia, baik disengaja maupun lupa, karena mereka penjaga/pemelihara syara’, dan yang menegakkannya. Keadaan mereka dalam hal itu sebagaimana keadaan Nabi, dan karena sungguh hajat kepada imam itu adalah untuk supremasi hukum bagi orang yang terzalimi dari orang yang zalim, menghilangkan kerusakan, dan memutuskan berbagai fitnah, dan bahwa imam itu kasih sayang yang mencegah terhadap penguasa dari melampaui batas (sewenang-wenang), dan mengarahkan manusia kepada melakukan ketaatan, dan menjauhi apaapa yang diharamkan, menegakkan hudûd dan farâ’id}, menghukum orang-orang yang fasik, memberikan sanksi terhadap orang yang berhak mendapatkan ta‘zîr; maka seandainya kemaksiatan itu menimpanya (sang imam), dan muncul darinya, maka lenyaplah faidah-faidah ini, dan ia butuh kepada imam yang lain, dan demikianlah seterusnya (tasalsul).” Abû al-Qâsim Najm al-Dîn Ja‘far ibn al-Hasan (al-Muhaqqiq Al-Hillî), Sharâi‘ al-Islâm fî Masâ’il al-Halâl wa-al-Harâm, Editor ‘Abd al-Husayn Muhammad ‘Alî Baqâl (Qum: Intishârât Dâr al-Tafsîr, 1419), 164. 58
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
tersebut. Hanya saja, ia juga mengandung kepercayaan bahwa tolok ukur ini tidak bisa dicapai dan sia-sia untuk mengejarnya. Untuk keluar dari kebuntuan ini, penulis setuju dengan usulan El-Affendi bahwa teori tersebut perlu direvisi dengan merinci ideal-ideal yang melekat pada sejarah Islam dan norma-norma dalam bentuk yang lebih realistik dan kemudian menekankan realisasinya. Suatu dorongan moral yang menuntut sesuatu yang tidak mungkin merupakan dorongan ke arah immoralitas.53 Oleh karena itu, kita harus menjelaskan syarat-syarat moralitas Islam dalam politik dengan istilah-istilah yang praktis dan kemudian menolak alasan, ketika praktek tidak diukur menurut tuntutan-tuntutan tersebut. Dengan demikian, penulis sependapat dengan Abdillah, bahwa terlepas dari kontroversi tentang demokrasi di kalangan umat Islam di dunia hingga kini, jika dilakukan pengkajian terhadap praktek kehidupan kenegaraan pada masa-masa al-Khulafâ’ al-Râshidûn, maka tampak bahwa umat Islam sebenarnya menjadi inisiator dalam penyelenggaraan sistem politik yang sangat menghargai kekuasaan rakyat; yang jelas dalam sejarah Islam tidak pernah terjadi despotisme teokrasi dan monarki absolut, sebagaimana yang terjadi di dunia Eropa abad pertengahan.54 Untuk masa modern dewasa ini penerapan sistem khilâfah alKhulafâ’ al-Râshidûn secara apa adanya tidaklah mungkin dan tidaklah realistis. Hal itu karena mengingat kondisi masyarakat pada masa al-Khulafâ’ al-Râshidûn masih sangat sederhana dibandingkan masa kontemporer yang sangat komplek dewasa ini. Sungguhpun demikian, penerapan sistem khilâfah itu masih bisa dilakukan melalui perangkat ijtihâd (pemikiran baru). Tetapi rumusan sistem politik yang dapat merespon perkembangan yang ada lebih dahulu dilakukan oleh para intelektual Barat pada masa pencerahan, yang Abdillah, Gagasan dan Tradisi, 39-40. Hal itu karena betapapun juga para khalîfah dan para pembantunya itu masih dibatasi oleh hukum-hukum Allah yang menjadi hukum positif kekhalifahan, meskipun kadang-kadang terjadi penyimpangan dalam pelaksanan hukum ini. Abdillah, Gagasan dan Tradisi, 108. 53
54
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
59
Ahmad Ali MD
disebut sistem demokrasi.55 Sistem ini saat ini dinilai sebagai sistem yang paling menghargai kemanusiaan, sehingga diterima oleh hampir semua pemerintah di dunia, termasuk sebagian besar negaranegara Muslim. Meskipun di beberapa negara Muslim lainnya sistem demokrasi ini masih kontroversial, ulama dan intelektual Muslim di Indonesia sendiri melihat adanya kompatibilitas antara demokrasi Secara umum, demokrasi, sebagaimana dikatakan oleh Giovanni Sartori, Õmer Çaha, diterima oleh mahasiswa pemikiran politik sebagai sebuah model pemerintahan atau kekuasaan, hadir dan tersusun sebagai alternatif terhadap rezim-rezim yang zalim (despotic regimes) dan berlaku baik dalam masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Nilainilai demokrasi yang paling fundamental adalah hak-hak asasi manusia (human rights) dan kebebasan (liberties). Sebagai buktinya, demokrasi adalah rezim yang unik yang berusaha untuk menjamin hak-hak seluruh minoritas dan individu-individu berpijak pada dasar yang ada dalam aturan hukum (basis of the rule of law). Sistem demokrasi membutuhkan eksistensi kondisi-kondisi prosedural (formal) yang jelas untuk menjamin prinsip-prinsip fundamentalnya terpenuhi, yaitu hak-hak asasi dan kebebasan. Pemilu, pemerintahan konstitusional, kekuasaan mayoritas, akses media dan ekonomi pasar bebas, sistem multi partai, dan pemisahan antara kekuasaan seluruhnya ditujukan untuk melindungi hak-hak dasar dan kekebasan. Dalam masyarakat demokratis, relasi negara dan masyarakat dibangun atas dasar “kontrak” (perjanjian). Berdasarkan kontrak sosial itu demokrasi membatasi otonomi yang absolut dan tidak terbatas yang dimainkan oleh negara berdasarkan kehendak masyarakat (rakyat) dan prinsip aturan hukum. Dengan demikian demokrasi, secara umum adalah sistem politik yang membolehkan semua warganegara mempunyai kesempatan untuk mewujudkan aspirasinya. Dalam analisis terhadap pelbagai definisi demokrasi, Masykuri Abdillah berpendapat bahwa demokrasi mengandung beberapa unsur, yaitu kekuasaan mayoritas, suara rakyat, pemilihan yang bebas dan bertanggungjawab. Ini bermakna bahwa demokrasi dapat didefinisikan dengan lebih pragmatis daripada secara filosofis. Makna demokrasi yang pragmatis ialah terdapat demokrasi pelembagaan. Lihat Giovani Sartori, Parties and Party System (London: Cambridge University Press, 1987), 182, Õmer Çaha, “Islam and Democracy: a Theoritical Discussion on the Compatible of Islam and Democracy”, Alternatives: Turkish Journal of International Relations, Vol. 2, No. 3 & 4, Fall & Winter, 2003, 107, Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: respons intelektual muslim Indonesia terhadap konsep demokrasi (1966-1993) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 73. 55
60
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
dengan Islam. Dalam sejarah politik Indonesia misalnya, sistem demokrasi bahkan menjadi bagian dari aspirasi umat Islam sejak persiapan munculnya negara Indonesia ini pada tahun 1945. Dukungan tokoh Islam kepada sistem ini terjadi, karena di samping ia sesuai dengan nilai-nilai Islam tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara, juga secara politis umat Islam, yang merupakan mayoritas ini, akan mendapatkan keuntungan dengan sistem yang mengandung arti pemerintah mayoritas (majority rule) ini.56 Dengan demikian, Negara Indonesia pra-amandemen UUD 1945 secara konstitusional sangat terlihat mengakui sistem demokrasi ini, yang tercermin dengan adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat. Meskipun kemudian pascaamandemen tersebut terdapat beberapa perubahan, namun tidak jauh menyimpang dari sistem demokrasi. 57 Jadi, sistem demokrasi ini kini masih dalam proses, dan kelancarannya akan tergantung pada ketiga komponen dalam negara, yakni adanya kemauan politik dari negara (state), adanya komitmen yang kuat dari masyarakat politik (political society), dan adanya tuntutan dari masyarakat madani (sivil society) yang kuat dalam mewujudkan sistem demokrasi.58 Dari pembahasan di atas dapat menjadi jelas relevan tidaknya pengusungan teori khilâfah Islâmîyah, dan haruskah negara-negara Islam dipimpin lagi oleh khalîfah, bukan presiden, sebagaimana yang selalu digelorakan oleh HTI. Preferensi institusi khilâfah dibandingkan dengan institusi kepresidenan itu berangkat dari asumsi bahwa institusi khilâfah memiliki otoritas kelembagaan yang secara hukum mengikat (legal binding), karena khilâfah yang dibentuk dan dibakukan pada masa ideal Islam (the Islamic era par-excelllence) merupakan wujud dari sebuah tatanan politik yang ideal. Dengan memberlakukan Abdillah, Gagasan dan Tradisi, 108-109. Hal itu, karena peran MPR masih ada meski tidak lagi mengangkat presiden dan wakil presiden (wapres), sebab presiden dan wapres dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu (Pemilihan Umum). 58 Abdillah, Gagasan dan Tradisi, 109. 56 57
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
61
Ahmad Ali MD
kembali institusi khilâfah, kehidupan bernegara kaum Muslim di zaman modern ini akan berada di bawah payung kelembagaan politik Islam yang dipandang autentik. Dengan kata lain, institusi khilâfah harus diberlakukan kembali, karena institusi ini bukan sekadar perangkat-instrumental dalam sistem ketatanegaraan Islam, tetapi merupakan perangkat doktrinal untuk menjustivikasi keabsahan Negara (sebagai Dawlah Islâmîyah). Dilihat dari kerangka teori politik Islam klasik, HTI dengan pandangan tersebut, dapat dikatakan sebagai Khawârij modern. dalam konteks paradigma hubungan agama dan negara, HTI dapat dimaksukkan ke dalam paradigma integralistik—yang totalistik. Pandangan semacam HTI itu tidaklah mempunyai basis argumentasi yang kokoh. Sebab, pelbagai data historis menunjukkan bahwa khilâfah sebenarnya tidak termasuk bagian dari doktrin keagamaan, melainkan termasuk ke dalam institusi sosial. Sebagai institusi sosial konsep khilâfah selalu berubah secara dinamis, mengikuti dinamika sosial yang terjadi di sekitarnya. Khilâfah yang terbentuk dengan nuansa demokratis pada masa al-Khulafâ’ al-Râshidûn (632-661 M.), berubah menjadi autokratik-monarki (autocratic-monarchy) pada zaman dinasti-dinasti Islam pasca al-Khulafâ’ al-Râshidûn (661-1924 M.). Khilâfah juga bisa diungkapkan melalui beragam sebutan (nomenclature) untuk mengakomodir perubahan sosio-kultural yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu. Pemegang lembaga khilâfah di samping dapat bergelar khalîfah, juga tidak jarang menggunakan sebutan yang lain, mulai dari amîr al-mu’minîn, sultân, shâh, amîr al-umarâ’, shaykh, sharîf sampai khan. Perubahan sebutan ini menunjukkan bahwa khilâfah adalah institusi yang selalu berevolusi, mengikuti kodratnya sebagai institusi sosial. Beragam sebutan itu tidak muncul seketika, tetapi terbentuk dalam kronologi waktu yang berbeda. Semua penyandang bermacam gelar tersebut masing-masing berhak mengklaim sebagai khalîfah (penerus kekuasaan eksekutif Nabi Muhammad S.a.w. terhadap komunitas Muslim pasca wafatnya).59 Thoha Hamim, Islam & NU: di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer (Surabaya: Diantama, 2004), viii-ix, 4-5. 59
62
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
Dalam tradisi politik Sunnî, seperti telah dibahas, jabatan khalîfah harus diperoleh melalui proses pemilihan yang didasarkan pada persetujuan publik (social consensus) serta kemudian diikat dengan akad kontrak sosial (social contract). Dukungan publik serta kontrak sosial yang melegitimasi keabsahan seseorang untuk menjadi kepala negara (imâm) tersebut merupakan mekanisme demokratis yang aktualisasinya pada masa sekarang diselenggarakan melalui beragam institusi, mulai dari partai politik, pemilu sampai lembaga perwakilan rakyat. Dengan melihat filosofi institusi khilâfah yang seaspirasi dengan institusi-institusi modern tersebut, penulis setuju dengan pendapat Thaha Hamim60 yang menyatakan bahwa berbagai lembaga modern tersebut juga harus diterima sebagai penyelenggara yang sah dalam melakukan pemilihan seorang pemimpin di negara Islam. Dengan begitu, pemilihan seorang pemimpin (di negara Islam) yang diputuskan melalui institusi-institusi modern di atas, yang dalam konteks Indonesia diberikan kepadanya gelar presiden, menjadi legitimate secara hukum (Islam), sehingga legacy binding. Dari analisis demikian bisa disimpulkan bahwa preferensi terhadap institusi khilâfah dibandingkan dengan institusi kepresidenan merupakan pandangan yang tidak selaras dengan implementasi konsep khilâfah dalam tradisi politik Islam Sunnî.61 Lebih lanjut, dalam konteks kekinian paradigma integralistik yang menegaskan bahwa politik/negara merupakan tugas/kewajiban agama, perlu dikritisi lagi, sebab—seperti anggapan Sa‘îd Ashmawî—politik merupakan bagian dari tugas keagamaan, pada derajat tertentu memberikan kekebalan bagi para penguasa/ pemimpin, menjadikan semua pernyataan dan tindakan politiknya bersifat religius, sebagai ekspresi dari yang absolut dan tuntunan kebenaran keagamaan, dan karena itu bukan merupakan persoalan Doktor alumnus UCLA Amerika Serikat dan Mc Gill University, Canada, saat ini Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya. 61 Hamim, Islam & NU, ix, 5. 62 Muhammad Sa‘îd al-Ashmâwî, “Islam dan Demokrasi”, dalam Ulil Abshar-Abdalla (ed.), Islam & Barat: Demokrasi dalam Masyarakat Islam (Jakarta: Paramadina-FNS Indonesia, 2002), 8-9. 60
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
63
Ahmad Ali MD
yang layak didiskusikan, dikritik atau dilawan.62 Akibat yang tidak terelakkan dari keyakinan ini adalah bahwa akan selalu ada perang keagamaan antara berbagai faksi dan sekte yang berbeda, serta antara setiap bentuk pemerintahan dan lawan politiknya, karena masing-masing menganggap bahwa yang lain adalah bid‘ah dan melawan agama yang sejati.63 Dengan demikian, pada intinya gerakan atau upaya menegakkan khilâfah Islâmîyah dalam rangka untuk formalisasi Syariat Islam yang lebih menonjolkan simbol-simbol daripada nilai-nilai substantif/universal tidaklah relevan bagi perkembangan dan kemajuan Islam, kaum Muslimin, dan umat manusia. Tentu saja aliran/arus formalisme membahayakan bagi tatanan kehidupan yang majemuk seperti di Indonesia. Ia membahayakan tatanan keimanan yang hidup (dinamis) dan tatanan masyarakat yang hidup (bergerak dinamis). Membahayakan bukan karena bentuk-bentuk formalnya, namun lebih karena orientasi formalistiknya yang mengabaikan substansi ajaran Islam.64 Padahal untuk saat ini dan ke depan proyek Islam, khususnya proyek politik Islam, harus ditekankan pada prinsip-prinsip Islam dan tujuan Sharî‘ah (maqâshid al-Sharî‘ah)65 untuk memproduk sebuah model modern bagi kemajuan dan peradaban al-Ashmâwî, “Islam dan Demokrasi”, 9. Pernyataan seperti ini lihat Rahman, Islamic Methodology, 189. 65 Saat ini konsep/teori maqâsid al-Sharî‘ah lebih luas cakupannya bukan hanya al-kullîyah al-khamsah (Panca tujuan pokok Syariat: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, harta/property) sebagaimana yang dikemukakan al-Ghazâlî dan al-Shâtibî. Ia meliputi keadilan (al-‘adl/al‘adâlah), kesetaraan (al-musâwah), kebebasan (al-hurrîyah), hak-hak sosialkemasyarakatan, perekonomian, dan perpolitikan (al-huqûq al-ijtimâ‘îyyah, wa-al-iqtisâdîyah wa-al-siyâsîyah), semuanya masuk ke dalam maqâsid alSharî‘ah dalam tingkatan yang tinggi (maqâsid al-ulyá li-al-sharî‘ah). Perluasan ini dikemukakan oleh sejumlah intelektual Muslim seperti Shaykh Muhammad al-Ghazâlî, Dr. Muhammad Sirâj, Ustâdh Ahmad alKhamlayshî, Yûsûf al-Qarâd}âwî, dan Ustâdh Ismâ‘îl al-Hasanî. Lihat Jamâl al-Dîn ‘Atîyah, Nahwa Taf‘îl Maqâsid al-Sharî‘ah (Damaskus: Dâr alFikr dan al-Ma‘had al-‘Âlamî li-al-Fikr al-Islâmî, 2001), 98 dst. 66 Ini esensinya adalah proses historis yang dapat dicapai dengan pencerahan (enlightenment), partisipasi aktif dalam pelbagai persoalan 63 64
64
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
yang merefleksikan nilai-nilai universalnya.66 Untuk tujuan perdamaian dan kesejahteraan masyarakat dunia, konsep nation-states dengan model demokrasi seperti Indonesia, lebih cocok daripada konsep Khilâfah Islâmîyah. Karena pada dasarnya demokrasi negara kita adala Demokrasi Pancasila, yang sejatinya lebih selaras dengan model Piagam Madînah sebab menekankan nilai-nilai Ketuhanan, keadaban, kebersamaan, kemanusiaan dan keadilan bagi semua warga negara.67 Bahkan model membentuk tatanan internasional masa depan yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam, yang juga lebih berdasarkan pada komunitas kehidupan bersama yang secara ekslusif saling menguntungkan, daripada secara teritorial berdasarkan negara bangsa, sebagaimana diusulkan El-Affendi, perlu diapresiasi untuk pengkajian dan pengembangan pemikiran politik Islam lebih lanjut. Karena dengan demikian, asosiasi-asosiasi politik dalam konteks usulannya itu bisa memungkinkan para anggotanya untuk bergerak dalam ruang yang bebas, tanpa harus kehilangan hak-hak keanggotaannya.68
IV. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas diperoleh kesimpulan berikut: 1.
Dengan memperhatikan berbagai kecenderungan politik dan berbagai paradigma politik Islam, dalam konteks modern dan globalisasi saat ini, khususnya di negara Indonesia yang majemuk, sistem Khilâfah Islâmîyah yang didasarkan pada model alKhulafâ’ al-Râshidûn kurang tepat untuk dipromosikan kembali
dunia, inovasi dan akumulasi kemajuan-kemajuan dalam seluruh level kehidupan sosial. Lihat Walid Saif, “Human Rights and Islamic Revivalism”, dalam Tarik Mitri, Ed., Religion, Law and Society: a Cristian-Muslim Discussion (Geneva: WCC Publication, 1995), 123. 67 Tentang relevansi Piagam Madînah, termasuk Aswaja NU, dengan Pancasila, dapat dilihat dalam Ahmad Ali MD, “Aktualisasi Nilai-Nilai Aswaja NU dalam Mencegah Radikalisme Agama”, al-Dhikrá: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’ân dan al-Hadîth, Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Vo. 5. No. 9, 2011, 37-58. 68 Lihat lebih lanjut El-Affendi, “Who Need an Islamic State?”, 88-95. Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
65
Ahmad Ali MD
apalagi dengan cara-cara yang tidak demokratis dan manusiawi. Ini karena masih terdapat kekosongan sistem pemerintahan dan metode konstitusinya dalam model al-Khulafâ’ al-Râshidûn maupun masa sesudahnya. Pengusungan sistem Khilâfah Islâmîyah dengan ideologi Islam oleh pelbagai gerakan seperti HTI, MMI, dan FPI, dalam konteks nasionalisme, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, tidaklah relevan. Gerakan-gerakan yang mengusung sistem khilâfah secara rigid itu dapat dikategorikan sebagai bentuk Khawârij modern, yang berpegang pada doktrinnya “Lâ hukm illâ Allâh”. Sebab pada dasarnya konsep khilâfah sendiri tidak rigid seperti apa yang mereka inginkan, yakni model alKhulafâ’ al-Râshidûn, tetapi dinamis. Implikasi dari jargonisasi sistem khilâfah seperti itu justru membahayakan, karena mengarah dan mendorong terciptanya disintegrasi bangsa dan terpecah-belahnya NKRI. Bagi penulis, NKRI dengan Pancasila lebih selaras dengan model Piagam Madînah yang melindungi hak-hak pluralitas masyarakat. Di sinilah paradigma hubungan agama dan negara yang bersifat simbiosis-mutualistik relevan dijadikan pegangan. Untuk itu, Pancasilapun harus dijunjung secara tepat dengan pemaknaan kembali secara kontekstual dan makna yang lebih komprehensif, sebab Pancasila dapat menjadi jalan-tengah bagi pelbagai gerakan dan kelompok yang sangat majemuk dan beragam. 2.
Dengan demikian, negara-negara Islam tidak harus dipimpin oleh seorang khalîfah. Karena khilâfah dan pemimpinnya (khalîfah) tidaklah bersifat baku dan kaku, tetapi dalam berbagai bentuknya bisa berwujud demokrasi dengan presiden sebagai pemimpinnya, sebagaimana sistem pemerintahan Indonesia. Yang harus digarisbawahi dan yang terpenting adalah substansi atau tujuan Islam, yakni bagaimana keadilan, dan kesejahteraan sebagai perwujudan Islam Rahmatan li-al- ‘âlamîn dapat tercapai.
66
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
BIBLIOGRAFI Abdillah, Masykuri. “Theological Responses to The Concepts of Democracy and Human Right: The Case of Contemporary Indonesian Muslim Intellectuals”. Studia Islamika, Vol. 3, No. 1, 1996. Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna: respons intelektual muslim Indonesia terhadap konsep demokrasi (1966-1993). Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Abdillah, Masykuri. “Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah Perspektif Sejarah dan Demokrasi Modern”. Artikel dalam Tashwirul Afkar, edisi No. 7, 2000. Abû al-Khayr, Hasan ‘Abd al-Hafîz ‘Abd al-Rahmân. al-Mawsû‘ah al-Mufas}s}alah fî al-Firaq wa-al-Adyân wa-al-Milal wa-al-Madhâhib wa-al-Harakât al-Qadîmah wa-al-Mu‘âs}irah. Kairo: Dâr Ibn alJawzî, 2011. Ahmad, Manzûr al-Dîn. al-Nazarîyât al-Siyâsîyah al-Islâmiyyah fî al‘Ashr al-Hadîth: al-Nazârîyah wa-al-Tat}bîq. Judul Asli Islamic Political System in the Modern Age: Theory and Practice. Penerjemah ‘Abd al-Mu‘t}î Amîn Qal‘ajî dan ‘Abd al-Jawwâd Khalf. Karachi: Saad Publications, t.t. Ali MD, Ahmad. “Hadîth sebagai Hujjah Hukum dalam Perspektif Shî‘ah”. Refleksi: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Us}ûl al-Dîn. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. XIII, No. 2, 2012. Ali MD, Ahmad. “Aktualisasi Nilai-Nilai Aswaja NU dalam Mencegah Radikalisme Agama”, al-Dhikrá: Jurnal Studi Ilmu-ilmu alQur’ân dan al-Hadîth. Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Vo. 5. No. 9, 2011, 37-58. Amal, Taufik Adnan, dan Syamsu Rizal Panggabean Politik Syariat Islam: dari Indonesia Hingga Nigeria. Jakarta: Alvabet, 2004. al-Amîn, al-Imâm al-Sayyîd Muhsin. A‘yân al-Shî‘ah. al-Sayyid Hasan al-Amîn. Ed. Beirut: Dâr al-Ta‘âruf li-al-Mat}bû‘ât, 1998. al-Ash‘arî, al-Imâm Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl. Maqâlât al-Islâmîyîn wa-Ikhtilâf al-Mus}allîn. Editor Muhammad Muhy al-Dîn ‘Abd al-Hamîd. Kairo: Maktabat al-Nahd}ah al-Misrîyah, 1950. al-Ashmâwî, Muhammad Sa‘îd. “Islam dan Demokrasi”. Ulil AbsharInnovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
67
Ahmad Ali MD
Abdalla. Ed. Islam & Barat: Demokrasi dalam Masyarakat Islam. Jakarta: Paramadina-FNS Indonesia, 2002. ‘Atîyah, Jamâl al-Dîn. Nahwa Taf‘îl Maqâs}id al-Sharî‘ah. Damaskus, Dâr al-Fikr dan al-Ma‘had al-‘Âlamî li-al-Fikr al-Islâmî, 2001. Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996. El-Affendi, Abdelwahab. Masyarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam. Judul Asli Who Need an Islamic State?. Cet. II, Yogyakarta: LKiS, 2001. Çaha, Õmer. “Islam and Democracy: a Theoritical Discussion on the Compatible of Islam and Democracy”, Alternatives: Turkish Journal of International Relations, Vol. 2, No. 3 & 4, Fall & Winter, 2003. Effendy, Bahtiar. “Islam and Democracy: in Search of a Viable Synthesis”. Artikel dalam Studia Islamika, Vol. 2, No. 4, 1995. al-Ghatâ’, Muhammad al-Husayn Âl-Kâshif. Asl al-Shî‘ah wa-Ushûluhâ. Cet. ke-4. Beirut: Mu’assasat al-A ‘lamî li-al-Mat}bû‘ât, 1993. Hamim, Thoha. Islam & NU: di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer. Surabaya, Diantama, 2004. al-Hillî, Abû al-Qâsim Najm al-Dîn Ja‘far ibn al-Hasan al-Muhaqqiq. Sharâi‘ al-Islâm fî Masâ’il al-Halâl wa-al-Harâm, Editor ‘Abd alHusayn Muhammad ‘Alî Baqâl. Qum: Intishârât Dâr al-Tafsîr, 1419. Hizb al-Tahrîr. Ajhizat Dawlat al-Khilâfah (fî al-Hukm wa-al-Idârah). Bogor: Pustaka Fikrul Mustanir, 2005. Ibn Muhammad, Abd al-Qâhir ibn T{âhir. al-Farq Bayn al-Firaq. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, t.t. Ibn Taymîyah. Siyâsah Shar‘îyah: Etika Politik Islam. Judul Asli alSiyâsah al-Shar‘îyah fî Is}lâh al-Râ‘î wa-al-Râ‘îyah. Penerjemah Rafi’ Munawwar. Edisi Revisi. Surabaya: Risalah Gusti, 2005. al-Jâbirî, Muhammad ‘Âbid. Agama, Negara dan Penerapan Sharî‘ah. Judul Asli al-Dîn wa-al-Dawlah wa-al-Tathbîq al-Sharî‘ah. Penerjemah Mujiburrahman. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001. Jamhari, dan Jajang Jahroni. Peny. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: RajaGravindo Persada, 2004. Jindan, Khalid Ibrahim. Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibn Taimiyah tentang Pemerintahan Islam. Judul Asli The Islamic Theory of 68
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Kritik atas Jargonisasi Khilâfah
Government According to Ibn Taymîyah. Surabaya: Risalah Gusti, 1995. Kurzman, Charles. Ed. Liberal Islam: A Sourcebook. New York: Oxford University Press, 1998. Madjid, Nurcholish. “Agama dan Negara dalam Islam: Telaah atas Fiqh Siyâsî Sunnî”. Budy Munawwar-Rahman. Ed. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995. Mitri, Tarik. Ed. Religion, Law and Society: a Cristian-Muslim Discussion. Geneva, WCC Publication, 1995. Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Rahman, Fazlur. Islamic Methodology in History. Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1994. Sheikh, M. Saeed. Islâmic Philosophy. London: The Octagon Press, 1992. Shihab, M. Quraish. Sunnah-Shî‘ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?: Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: Lentera Hati, 2007. Sjadzali, Munawwir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Cet. ke-2. Yogyakarta: UII Press, 1990. Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk. Jakarta: UI Press, 1995. Sukardja, Ahmad. “Fiqh Siyâsah, Bagian Ajaran”. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Syamsuddin, M. Din. Islam dan Politik: Era Orde Baru. Jakarta: Logos, 2000. Syamsuddin, M. Din. “Islamic Political Thought and Cultural Revival in Modern Indonesia”. Artikel dalam Studia Islamika, Vol. 2, No. 4, 1995. Wahid, Marzuki dan Rumadi. Fiqh Mazhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2001. Zallûm, ‘Abd al-Qadîm. Nizâm al-Hukm fî al-Islâm: Hâdhâ al-Kitâb alMuwassa‘ wa-al-Munaqqah Mabnîy ‘alâ Kitâb Nizâm al-Hukm fî alIslâm li-Mu’allifihi Taqîy al-Dîn al-Nabhânî. Cet. ke-6. T.Tp.: min Manshûrât Hizb al-Tahrîr, 2002.
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
69