Pemilu Indonesia Dilihat dari Kacamata Sains Kompleksitas∗
Tiktik Dewi Sartika1 (
[email protected]) Dept. Computational Sociology - Bandung Fe Institute
1. Pendahuluan Mengamati proses perubahan sistem perpolitikan di Indonesia merupakan hal yang menarik. Betapa tidak, negeri beribu pulau dan beratus suku dan bahasa ini mencoba bersatu di bawah naungan satu sistem politik. Seharusnya perbedaan akan membawa banyak warna sistem politik dikarenakan kepentingan setiap wilayah adalah berbeda dan karakter masyarakatnyapun berbeda. Dari zaman orde lama, kemudian orde baru, hingga kemudian saat ini, kita telah sama-sama mengikuti dinamika kehidupan bangsa akibat berbagai kebijakan politik yang berbeda pada masing-masing zaman tersebut. Salah satu perubahan yang menarik untuk diamati adalah peristiwa Pemilu (Pemilihan Umum).
Gambar 1 Pemilihan Umum di Indonesia (foto: dok.TEMPO)
∗ 1
Merupakan Soft Paper yang disusun dalam rangka evaluasi dari paper-paper pemilu sebelumnya Asisten riset Dept. Computational Sociology Bandung Fe Institute
1
Pemilihan Umum yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali (tergantung kondisi kekuasaan saat itu) di Indonesia merupakan suatu event politik penting, di mana masyarakat Indonesia berkesempatan memilih pemimpinnya di pusat maupun di daerah. Sistem pemilu sendiri mengalami perubahan dari satu rezim kepemimpinan ke rezim lainnya. Misalnya pada era Soeharto, sistem pemilu adalah perwakilan. Jadi, publik memilih partai mana yang akan mewakili suara mereka tanpa mengetahui siapa calon pemimpin yang akan dipilih oleh partainya. Sedangkan pada kepemimpinan Megawati tahun 2004, pemilu memberlakukan sistem pemilihan langsung, artinya publik memilih langsung ‘orang’ yang akan menjadi pemimpin mereka. Saat-saat menentukan, yaitu saat penghitungan suara merupakan hal yang menjadi sorotan pada Pemilu, karena akan diketahui pemenang pemilu dari jumlah data perolehan para kandidat. Semua mengira tahap inilah yang paling penting. Namun, ada hal besar yang luput dari perhatian: apakah arti dari distribusi suara yang berbeda-beda pada tiap kandidat di berbagai tempat, partai yang bagaimana dipilih masyarakat terbanyak, bagaimana hubungannya dengan kondisi dan kultur masyarakat saat itu, mengapa berlaku hal yang demikian? Dari segi statistik, pemenang pemilu adalah kandidat dengan perolehan suara terbanyak. Akan tetapi yang lebih menarik adalah analisis hasil pemilu itu sendiri. Hal ini dikarenakan analisis ini akan menjadi acuan dari strategi pemenangan pemilu di masa yang akan datang. Oleh karena itu, bagi para politisi dan timnya, mencari alat analisis data hasil pemilu adalah sangat penting. Selama ini, seringkali data yang berupa angka-angka dalam jumlah yang banyak menjadi masalah tersendiri bagi suatu lembaga pengolah data, sehingga mengolah data hanya menjadi sebuah rutinitas yang diserahkan pada suatu program statistika. Analisis yang dilakukan berdasarkan variabel statistik seperti galat, deviasi, dan lain-lain. Di sana, data diperlakukan sebagai kumpulan angka-angka yang dirata-ratakan, dipersentasekan kemudian digambarkan dalam grafik dan umumnya diterjemahkan langsung sebagai gambaran (misalnya) opini publik saat itu. Hasilnya, seringkali analisis pengamat politik hampir tidak mengatakan banyak, dalam artian analisisnya menjadi sekadar tanggapan subyektif atas pie chart-pie chart hasil pemilu. Dengan alat analisis statistika biasa, kita tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh tentang suatu kondisi masyarakat. Hal ini dikarenakan data diolah dalam suatu model statistika yang sudah pakem, top-down, linier dan kaku. Ia tidak mempertimbangkan sisi lainnya, seperti bagaimana selera pemimpin masyarakat dilihat dari partai seperti apa dan nilai-nilai apa yang dipegang pemilih. Terlebih lagi kemampuan belajar si pemilih dari pengalaman-pengalaman rezim politik sebelumnya atau dari pengetahuan yang mereka miliki. Oleh karena itu penting kiranya diperkenalkan alat analisis alternatif seperti yang akan ditunjukkan dalam paper ini. Pada bagian pertama paper akan mengingatkan kembali fenomena menjamurnya voting pra-pemilu dan munculnya research center partai menjelang pemilu presiden. Pada bagian berikutnya, ditunjukkan perkembangan riset untuk mencari alat analisis yang lebih baik dari bidang ilmu sosial kompleksitas yang evolusioner. Selanjutnya diperkenalkan beberapa alat analisis yang telah dipakai untuk menganalisis data pemilu sebagai contoh penerapan sains kompleksitas dalam dunia sosio-politik.
2
Tentunya menjadi sangat menarik bahwa pendekatan inter-disipliner sains kompleksitas sosial ini selain berpotensi untuk digunakan sebagai alat untuk dapat menjelaskan beberapa fenomena menarik dari suatu hasil pengolahan data pemilu, juga dimungkinkan dapat menerawang kestabilan suatu sistem politik di masa yang akan datang.
2. Beberapa Fenomena Menarik Menjelang Pemilu Tonggak reformasi yang telah dipancang pasca presiden Soeharto memang membawa angin keterbukaan di berbagai bidang, salah satunya di bidang penelitian dan media. Kebebasan pers memungkinkan berbagai penelitian di berbagai bidang sensitif, seperti halnya politik dibuka kepada publik. Salah satunya terlihat sangat mencolok pada saat menjelang pemilihan umum 2004. Terdapat fenomena yang sangat menarik, yaitu banyaknya polling serta survei dan analisis polling pra-pemilu tentang siapa yang akan menjadi presiden terpilih. Tak kurang dari vokalnya lembaga seperti LSI (Lembaga Survei Indonesia), International Foundation for Election System, hingga media cetak seperti majalah Tempo dan stasiun televisi menggelar survei dengan metode yang berbeda-beda. Yang paling mutakhir (setidaknya menurut klaim mereka) adalah metoda quick count dan multistage random sampling LSI yang pada kenyataannya adalah metoda menghitung cepat hasil pemilu serta sampling survei pada daerah yang dipilih secara acak yang juga dilakukan oleh IFES. Hasilnya, kurang lebih sama: kandidat favorit versi responden survei adalah pasangan SBY-Kalla. Hasil survei berhenti hingga diketahuinya siapa kandidat pemenang. IFES dan TEMPO secara lebih transparan memperlihatkan metoda dan komposisi pertanyaan yang diberikan pada responden yakni dengan menyertakan beberapa pertanyaan periferal (disamping pertanyaan utama: siapa kandidat yang paling disukai), seperti partai dengan karakter apa yang disukai, program dan kebijakan mana yang paling diharapkan, dan lain-lain. Sehingga analisis yang diberikan baik oleh lembaga tersebut maupun pengamat politik dengan sumber data survei yang sama, kurang lebih sama dengan menceritakan kembali hasil penghitungan survei, kemudian ditambah dengan komposisi pertanyaan dalam survei tersebut.
3 Gambar 2
Tengoklah misalnya, seperti yang dikutip dalam majalah TEMPO edisi 20-26 September 2004: “Responden survei LSI menyebut pasangan SBY-Kalla sangat menonjol aspek kepribadian (kejujuran, kewibawaan dan perhatian) dibanding lawannya. SBY juga dianggap lebih superior untuk isu kemampuan, ketegasan, dan kecerdasan.” Padahal dalam hasil survei LSI yang ditampilkan baik di TEMPO ataupun di stasiun TV Metro, komponen-komponen seperti kepribadian, kecerdasan, perhatian, kemampuan, sama sekali tidak ditampilkan dalam parameter-parameter survei yang jelas. Coba simak tulisan artikel seorang pengamat politik berikut: “Belum lagi jika SBY-JK benar-benar berhasil menyusun kabinet ahli; tetap menjunjung tinggi amanah mayoritas rakyat yang memilihnya dan tetap tegak pada ideal-ideal reformasi; tetap menjaga bahkan kian menunjukkan kebebasan pers seperti anatara lain dijanjikannya; tetap mempertahankan kesantunan dalam kiprah dan kehidupan politik; dan tetap membuka diri bagi rakyat di sekelilingnya dan di seluruh tanah air-seperti yang dilakukannya pada hari-hari ini-maka kedudukannya sungguh-sungguh akan tangguh.” Artinya analisis kualitatif kurang lebih sama dengan hasil pengamat politk yang tidak melakukan riset semacam itu. Siapapun tahu bahwa kandidat yang memiliki karakter yang disebutkan sang pengamat politik tadi tentu akan memiliki kemungkinan menang yang tinggi. Tidak bisa dipungkiri bahwa politik memang sulit diterka arahnya. Ia seperti kotak hitam yang di dalamnya terdapat agen-agen politik yang saling berinteraksi dengan pola yang rumit. Tak jarang keluarannya di luar perkiraan. Sementara itu penting diingat bahwa setiap individu memiliki cara pikir dan strategi yang berbeda dengan latar belakang keluarga dari budaya yang berbeda-beda pula. Karena itu terlalu mudah untuk mengatakan kandidat A menang karena ia memiliki pemilih terbanyak atau karena parameter-parameter yang sulit untuk dibuktikan. Karena ada beberapa hal lain yang juga harus diperhitungkan, seperti partai yang mengusungnya, koalisi yang dibangun partai pengusung, bagaimana hubungan antar partai dengan platform yang berbeda, dan lain-lain. Singkatnya model-model survei juga harus mempertimbangkan sisi evolusioner dari setiap agen politik, baik itu kandidat presiden, atau orang-orang partai, dan partai itu sendiri dalam menghadapi perubahan move-move politik dan perubahan kondisi di sekelilingnya sehingga menghasilkan suatu pola baik itu kerjasama, konflik dan lain-lain yang tak bisa dijelaskan sekedar dari kebijakan si A ditambah kebijakan si B. Karena dalam sistem sosial, hubungan antara agen adalah tidak linier. Maka pendekatan untuk menganalisis sistem yang seperti ini juga seharusnya tidak linier. Lalu, adakah alat analisis yang bisa mendekati sistem kompleks yang adaptif terhadap perubahan seperti sistem sosial ini?
3. Dunia Mencari Alat Analisis Evolusioner untuk Sistem Politik
4
Tuntutan untuk mencari pendekatan yang lebih menyeluruh terhadap berbagai permasalahan sosial telah melahirkan sebuah temuan penting, Sains Kompleksitas. Suatu bidang interdisipliner yang memandang sistem sosial sebagai sistem yang kompleks, di mana interaksi individu di tingkatan mikro atau lokal akan membrojolkan pola-pola di tingkatan makro atau global dengan karakter yang berbeda dengan yang terdapat di level lokal. Fenomena-fenomena sosial, seperti naik-turunnya harga saham (Surya, dkk, 2004), persebaran penyakit flu-burung (Situngkir, 2004a), hingga memperkirakan distribusi suara saat pemilihan presiden didekati dengan prinsip fisika dan matematika. Berbagai fenomena sosial seperti yang disebutkan diatas dipelajari struktur dan aturan main yang berlaku, kemudian dikonstruksi model yang mewakili sistem tersebut. Model tersebut kemudian diuji dengan menggunakan simulasi komputasional. Hasil dari simulasi ini kemudian diverifikasi dan dianalisis. Dalam dunia politik, metode yang telah dipakai dalam melihat distribusi pemilih pemilu adalah Sznajd Model, modifikasi dari Voter Model yang digunakan oleh peneliti politik di Brasil dalam menganalisis hasil pemilu. Sznajd Model merupakan suatu alat analisis yang memodelkan bagaimana terbentuknya suatu konsensus yang bermula dari dua pilihan dengan aturan dua atau lebih agen dengan opini yang sama akan mempengaruhi tetangga atau teman terdekatnya (Stauffer, 2001 dan 2002). Pada kasus pemilu Brasil, Sznajd digunakan untuk meramal distribusi data pemilih. Dari simulasi yang dilakukan, ditunjukkan bahwa sebaran vote yang di-generate oleh komputer terhadap kandidat memiliki pola yang hampir sama dengan sebaran vote yang sebenarnya. Pada simulasi tersebut ditunjukkan bahwa para kandidat memperoleh distribusi pemilih dengan fraksi v dengan deviasi berbeda-beda sebesar 1/v, namun pada penilitian tersebut juga ditunjukkan bahwa Sznajd tidak dapat memprediksi perolehan vote dari kandidat tertentu (Stauffer, 2002).
5
Gambar 3 Hasil simulasi SM pemilu Brasil, pola pemilih terhadap kandidat pemilu + (simulasi) dan x (data pemilu sebenarnya) menunjukkan pola yang sama dengan kemiringan yang sama (Stauffer , 2001)
Dalam penelitian lain, Stauffer (2003) juga menggunakan Sznajd Model dalam melihat kestabilan jumlah koalisi partai di mana ditunjukkan dua kondisi berbeda pada pemerintah Jerman yang lebih stabil dengan koalisi sedikit partai dan India yang stabil dengan koalisi banyak partai. Bagaimana jika data pemilu Indonesia diolah dengan alat analisis yang berbasis sains kompleksitas? Pola-pola apa yang akan membrojol dan bagaimana kira-kira analisisnya? Dapatkah ia digunakan untuk data pemilu lainnya?
4. Pola-pola Menarik Pemilu 1999 dan 2004 di Indonesia Pemilu yang menarik untuk diamati di Indonesia adalah pemilu 1999, 2004, serta 1955. Karena pemilu tersebut melibatkan banyak partai dan banyak calon presiden. Sebagai negara yang masih berkembang dan mengaku mengusung prinsip-prinsip demokrasi, tentunya kita ingin tahu sudah seberapa jauh evolusi yang terjadi menuju Indonesia yang benar-benar demokratis. Tidak berlebihan kiranya bila pemilu dijadikan salah satu parameter awal untuk melihat hal tersebut. Pada tahun 1955, 1999, dan 2004, masyarakat Indonesia berada pada masa transisi pemerintahan dari rezim totalitarian menuju pada rezim yang lebih demokratis atau sebaliknya. Publik dihadapkan pada banyak pilihan. Artinya, pada saat tersebut mereka diberikan kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Masing-masing orang secara independen memilih partai yang akan memperjuangkan hak-haknya. Terkecuali, pada tahun 2004, di mana sistem perwakilan terhadap partai diganti menjadi pemilihan langsung calon legislatif dan eksekutif. Bila ditinjau dari kacamata sains kompleksitas, maka situasi tersebut dapat diterjemahkan sebagai fasa transisi dari fasa yang teratur (order), yakni rezim totalitarian, menjadi fasa yang tidak teratur (disorder) dari rezim yang anarkis. Di wilayah transisi tersebut, setiap individu memiliki kebebasan yang tinggi untuk menentukan arah tujuannya, sehingga output pilihan dari sistem sosial pada kondisi kritis (critical) seperti ini tidak dapat diramalkan. Yang menarik, adalah dari ketidak tentuan pilihan karena pengetahuan dan interaksi individu yang berbeda-beda tersebut, muncul pola-pola mengelompok, ada opini atau pilihan yang lebih dominan di banding pilihan lain. Ternyata, dalam kondisi masyarakat yang chaotik tersebut, masyarakat dilihat seolah-olah mengatur-diri sendiri dengan saling mengelompok atau membentuk koalisi-koalisi tertentu. Fenomena ini dalam sains kompleksitas disebut dengan istilah self-organized criticality. Dengan menggunakan statistika termodifikasi, yaitu mekanika statistik, informasi berupa data-data pilihan masyarakat tersebut diolah sedemikian rupa sehingga pola-pola distribusi pilihan masyarakat terhadap calon legislatif dan calon presiden dapat didekati secara komputasional. Bagaimana mungkin?
6
Sebagai lembaga riset yang mengusung prinsip interdisiplinaritas di bawah naungan sains kompleksitas, Bandung Fe Institute yang berbasis di Indonesia ini, melakukan pengembangan riset ke wilayah politik. Hal ini dikarenakan politik merupakan ruang yang cukup seksi untuk diamati, mengingat ketidakpastiannya dan melihat karakter baik di tingkatan mikro (individu) dan tingkatan makro (masyarakat) menunjukkan pola-pola yang sesuai dengan karakter sistem kompleks adaptif. Selama ini data-data yang memuat informasi politis belum diolah dengan alat yang benar-benar dapat mendekati karakter sistem sosial yang sebenarnya. Siapa menyangka bahwa politik Indonesia pasca rezim yang militeristik tidak benar-benar acak. Tengok saja bahwa di tengah pergantian sistem pemilu dari sedikit partai menjadi banyak sekali partai seperti di tahun 1999, di tengah kebebasan berserikat dan berkumpul, menentukan pilihan politik sendiri yang begitu besar, para pemilih Indonesia mengaturdirinya sendiri, bergabung dengan kelompok yang dipercayainya sehingga secara kolektif, terjadi pengumpulan partisan dengan pola distribusi yang serupa dengan yang terjadi di tahun 2004, di mana pada pemilu 2004 juga terjadi perubahan sistem pemilihan. Apakah ini berarti pemilu 1999 dan 2004 telah berlangsung secara adil dan demokratis? Berbicara mengenai analisis sistem sosial, umumnya kita telah terlampau pesimis dengan menyandarkan pada teori ilmu sosial belaka yang pada dasarnya bersifat teoretis dan kualitatif. Fenomena sosial melibatkan agen sosial yang memiliki karakter yang unik, dikarenakan ia memiliki kehendak. Akan tetapi kita juga sebetulnya dapat mempelajari hubungan pilihan individu dengan pola makro yang dihasilkannya. Dari segi kognisi, strategi seseorang dapat dilihat dari pilihan atau tindakannya. Bila suatu sistem sosial dapat dianggap sebagai kumpulan agen yang tersebar dalam suatu bidang catur di mana terdapat aturan tertentu yang membuat pilihan agen menjadi terbatas, maka polapola akibat perpindahan pilihan-pilihan agen akan menjadi hal yang menarik untuk diamati. Itulah kira-kira gambaran dari penelitian yang dilakukan dalam Situngkir (2004b). Dalam makalah tersebut Situngkir melakukan penelitian tentang bagaimana memahami pola makro masyarakat dilihat dari struktur mikro agen yang memiliki identitas tertentu dalam hubungan pertetanggaan yang dapat saling mempengaruhi. Pendekatan sistem pertetanggaan dalam kisi terbatas yang membrojolkan pengelompokan atau munculnya mayoritas ini dikenal dengan metode Automata Selular (CA). Dengan alat analisis ini, kita harus menyusun suatu model pertetanggaan dengan aturan tertentu sehingga dapat dilakukan simulasi komputasional untuk melihat pola-pola yang muncul. Sistem pertetanggaan juga menentukan kapan terjadinya pengelompokan, cepat terbentuk, atau harus berkali-kali iterasi baru terbentuk pengelompokan atau munculnya mayoritas. Jumlah tetangga (4, 6 atau 8) dan bentuk pertetanggaannya, serta sebaran individu mula-mula, sangat berpengaruh pada pola yang dihasilkan. Ini merupakan salah satu karakter sistem yang kompleks adaptif yakni sensitif pada kondisi awal. Dalam hasil simulasi yang dilakukan pada data pemilih (voter) pemilu tahun 1955, 1999, dan 2004 yang didekati dengan aturan pertetanggaan yang berbeda secara berturut-turut yaitu cara Von Neumann-Moore, Moore, dan sistem CA 2-tetangga, ternyata ketiga pemilu menunjukkan pengelompokan atau clustering yang memenuhi pola distribusi power-law (Situngkir, 2004) atau hukum pangkat padahal terjadi perubahan aturan pemilu pada tiap-tiap pemilu tersebut. Artinya terlihat karakter sistem yang kompleks adaptif di dalam kondisi 7
kritis, yaitu voter mengatur-diri dengan mengelompok sehingga terdapat beberapa partai yang jauh lebih dominan (jumlah voter-nya) dibandingkan dengan partai lainnya. Kita dapat mengatakan bahwa Indonesia saat ini berada pada masa transisi, yakni antara sistem politik yang totalitarian, yakni terdapat satu mayoritas, dan sistem yang anarkis di mana pilihan masyarakat terdistribusi secara merata. Di daerah transisi ini pada masa pemilu, voter (mikro) bebas memilih partai politik sehingga dihasilkan distribusi pilihan sedemikian sehingga di tingkatan makro (masyarakat) terdapat kestabilan sistem sosial. Karena itu dapat kita katakan bahwa pada fasa transisi ini telah ditunjukkan melalui penelitian ini bahwa ditinjau dari kompleksitas sistem sosial, pemilu 1955, 1999, dan 2004 telah berlangsung demokratis. Secara skematis, tahap penelitian menggunakan automata selular hingga diperoleh gambaran pola distribusi pemilih dapat digambarkan sebagai berikut:
Tahap 1, menentukan jenis pertetanggaan dari kiri ke kanan: Von Neumann, Moore, Moore diperluas 4 tetangga, Moore diperluas 12 tetangga. Disusun model matematis yang menggambarkan hubungan saling mempengaruhi pilihan pemilu pada tiap-tiap agen/kisi
Tahap 2, model dengan aturan diatas disimulasikan dengan komputer sehingga dilihat kondisi awal (kiri) dan setelah dilakukan beberapa kali iterasi (kanan). Terjadi pengelompokan dengan bergabungnya kisikisi yang berwarna sama
Tahap 3, dilakukan normalisasi data pemilih hasil simulasi terhadap partaipartai peserta pemilu dalam plot log-log. Pada gambar di bawah tahun ’55, ’99, ‘04 (kiri ke kanan) menggunakan tipe pertetanggaan berbeda memperlihatkan pola distribusi yang sama, yaitu mengelompok ke sebelah kanan secara signifikan.
8
Selain pola-pola yang menarik pada pemilih (voter), fenomena self-organizing (pengaturan diri) pada kondisi kritis juga terjadi pada partai-partai peserta pemilu. Perilaku partai menjelang pemilu dianalisis dengan menggunakan metode lain untuk melihat kedekatan (jarak) antara partai satu dengan partai yang lain. Dengan melihat pola pengelompokan partai ini dapat dijadikan gambaran peta politik partai di Indonesia. Seperti yang dilakukan Situngkir (2004c) pada data partai-partai pemilu tahun 1999 dan 2004. Pada intinya Situngkir mencoba mengkonstruksi model hierarkhis dari sistem kompleks (dalam hal ini partai-partai politik) di mana setiap elemen-elemennya (partai) memiliki jarak tertentu (dalam hal ini jarak Euclid). Salah satu metode yang dapat menggambarkan hubungan taksonomi partai ini adalah metode Algoritma Minimum Spanning Tree (MST) atau metode Jarak Pohon Terpendek. Penyusunan pohon taksnonomi partai ini menggunakan konsep Graph dengan aturan hanya satu path yang bisa menghubungkan satu titik (partai) dengan titik yang lain tanpa adanya siklik. Untuk membuat matriks jarak digunakan algoritma Kruskal dengan matriks hasil disebut sebagai ultrametric space. Dari hasil simulasi terhadap matriks dengan elemen terdiri dari partai-partai ini diperoleh struktur hubungan partai-partai dalam bentuk jarak partai. Menarik sekali bahwa pada pemilu 1999 yang jumlah partai peserta pemilu yang lebih banyak dibanding 2004 memperlihatkan pola kedekatan partai yang hampir sama. Hal ini dapat dilihat dalam gambar berikut: Ditunjukkan bahwa pada pemilu 1999 dan 2004 secara umum partai-partai dari berbagai latar belakang aliran politik dan nilai mengelompok menjadi empat kelompok besar yang bisa digolongkan sebagai partai beraliran nasionalis, tradisionalis, islam modernis, dan yang di luar ketiga aliran. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa meski terjadi perubahan sistem pemilihan pada tahun 1999 dan 2004, akan tetapi kecenderungan perilaku partai-partai politiknya menunjukkan pola yang sama, yakni distribusi jarak ultrametric space-nya memperlihatkan pola yang power-law. Hal ini dapat menjelaskan fenomena seperti koalisi partai-partai.
9
10
Dari proses pemilu, yang paling dinantikan biasanya adalah hasil pemilihan presiden alias siapakah presiden terpilih. Namun, bukan tidak mungkin bahwa kecenderungan calon pemilih, partai, dan kandidat presiden juga dapat diketahui sebelumnya. Bahkan, apakah pasangan kandidat presiden tertentu akan mengalami kestabilan pemerintahan pasca pemilu juga mungkin dapat diramalkan. Alat analisis lainnya adalah menggunakan memetika untuk melihat kestabilan partai politik dan kandidat presiden pada pemilu 2004. Pada prinsipnya memetika merupakan cara pandang terhadap sistem sosial sebagai hasil dari evolusi unit informasi kultural terkecil dalam individu (Dawkins, 1989). Kenyataannya adalah selama ini penerapan memetika dalam penelitian kultur belum banyak dilakukan karena sulitnya mengisolasi unit informasi kultural yang bersifat abstrak. Dalam sistem sosial, berbagai informasi yang dapat menyebar di masyarakat dapat diambil sebagai unit informasi kultural atau meme. Secara teoretis meme akan berevolusi dan berkompetisi dengan meme lainnya dalam memepool (analog dengan gen dalam genepool) sehingga pada saat tertentu akan diperoleh meme yang stabil (dicirikan dengan jumlah penganut meme yang dominan), yakni meme dengan fitness (kecocokan dengan lingkungan) yang tinggi (Sartika, 2004). Dalam kacamata memetika, sistem politik dapat dipandang sebagai sistem yang terdiri dari elemen-elemen kultural, misalnya, ideologi partai, tokoh partai, pilihan politik publik, latar belakang etnis pemilih, dan lain-lain. Dalam penelitian yang dilakukan Khanafiah dkk (2004) adalah melihat kestabilan evolusioner dari memepleks yang berhubungan dengan elemen pemilu: “Latar belakang ideologi partai” dan “Calon Presiden pilihan”.
11
Pada prinsipnya Khanafiah dkk menetapkan elemen penyusun memepleks “Latar belakang ideologi partai” dan “Calon Presiden pilihan” dan menentukan fitness atau kecocokan memepleks tersebut dari data yang sesuai. Kemudian memepleks “Latar belakang ideologi partai” dan “Calon Presiden pilihan” diterjemahkan sebagai proposisi logis “JIKA....MAKA....” yang bernilai “ya” atau “tidak” dari komponen penyusun memepleks tersebut, seperti “JIKA disuruh memilih MAKA saya lebih senang dengan partai yang tidak korup” dan lain-lain. Selanjutnya disusun model komputasinya dengan menggunakan prinsip algoritma genetika dengan pilihan roda acak (random wheel selection), sehingga model ini dapat disimulasikan terhadap data pemilu yang ada (dalam penelitian ini digunakan data yang sudah ada dari polling dan survei TEMPO dan IFES). Ketepatan hasil simulasi ini sangat bergantung pada seberapa banyak informasi yang menyusun memepleks. Dari simulasi yang dilakukan, ditunjukkan kestabilan meme tersebut terhadap populasi yang memegang meme tersebut dan diperoleh hasil yang menarik. Bahwa pada memepleks “partai pilihan saya” setelah iterasi 100 terlihat bahwa partai yang religius plus lainnya (0101) memperlihatkan kestabilan. Begitu juga pada partai dengan ideologi religius dan demokrat, menunjukkan kondisi yang stabil bahkan sejak 50 kali iterasi. Sedangkan simulasi yang dilakukan pada memepleks “presiden pilihan saya” terlihat lebih fluktuatif, namun setelah 150 iterasi hingga 250 iterasi ditunjukkan bahwa pasangan kandidat Amien Rais-dan lainnya atau Megawati-dan lainnya memiliki kestabilan yang tinggi. Hasil simulasi dapat dilihat dalam gambar berikut ini:
12
5. Penutup Dari uraian paper ini dapat dilihat bahwa memandang sistem sosial sebagai sistem yang kompleks adaptif akan memudahkan kita untuk memperoleh gambaran karakter dan kecenderungan dari sistem yang didekati. Dengan demikian sistem politik bukan lagi sistem yang benar-benar uncertain. Dan contoh-contoh di atas telah menunjukkannya. 6. Pengakuan Penulis mengucapkan terima kasih khususnya pada Hokky Situngkir yang selalu memberikan semangat dan ilmunya tanpa henti. Penulis juga berterima kasih kepada Surya Research Int’l yang memberikan dukungan finansial selama penulisan berlangsung. Bila ada kesalahan penulisan adalah tanggungjawab penulis. 7. Referensi Dawkins, Richard, (1989) The Selfish Gene http://www.rubinghscience.org/memetics/ dawkinsmemes.html, last update Dec. 1999
13
Encyclopaedia Brittanica edisi tahun 2003 Khanafiah, Deni., Situngkir, Hokky., Sartika, Tiktik Dewi (2004) STABIL EVOLUSIONER PARTAI POLITIK DI INDONESIA. Studi kasus: Menjelang PEMILU 2004. Working Paper Series WPH2004. Bandung Fe Institute, Bandung. Sartika, Tiktik Dewi, (2004) Tracing Cultural Evolution Through Memetics. Working Paper series. WPF2004. Bandung Fe Institute, Bandung. Situngkir, Hokky, (2004a) EPIDEMIOLOGY THROUGH CELLULAR AUTOMATA. Case of Study: Avian Influenza in Indonesia, Working Paper Series WPE2004. Bandung Fe Institute, Bandung. Situngkir, Hokky, (2004b) DEMOCRACY: Order Out of Chaos. Working Paper Series WPQ2004. Bandung Fe Institute, Bandung. Situngkir, Hokky, (2004c) The Political Robustness in Indonesia. Working Paper Series WPM2004. Bandung Fe Institute, Bandung. Surya, Yohanes., Situngkir, Hokky., Suroso, Rendra., Hariadi, Yun., (2004) Aplikasi Fisika dalam Analisis Keuangan: Mekanika Statistika Interaksi Agen, PT Bina Sumber Daya MIPA, Jakarta. Stauffer, Dietrich (2001), Monte Carlo simulations of Sznajd models. Journal of Artificial Societies and Social Simulation vol.5, no.1 http://www.soc.surrey.ac.uk/JASSS/5/1/4.html Stauffer, Dietrich (2002). Sociophysics Simulations. ArxiV:cond-mat/0210213v1 Stauffer, Dietrich (2003). How many different parties can join into one stable government? ArXiv: cond-mat/0307352v1 TEMPO edisi 5-11 Juli 2004. Rubrik Laporan Utama, judul artikel: Minggu Tenang yang Melelahkan. Halaman 30. TEMPO edisi 20-26 September 2004. Artikel: Prediksi Hasil Pemilihan Presiden Putaran Dua. Halaman 30. TEMPO edisi 27 September – 3 Oktober 2004. Artikel: Prospek Koalisi Kebangsaan. Penulis, Mochtar Pabottinggi. Halaman 37.
14