OBSERVASI KOMPLEKSITAS PEMILU Studi Kasus pemilihan umum Indonesia 2014 Ardian Maulana
Hokky Situngkir
[email protected] Departemen Sosiologi Komputasi Bandung Fe Institute
[email protected] Departemen Sosiologi Komputasi Bandung Fe Institute
Abstract General Election is an important and the biggest formal social events for the observation of social and political behaviors, opinion formation, and the emerged macro social dynamics from local interactions. This study reports our observation in the general election for legislative and presidential chairs in Indonesia in 2014. The analysis is delivered based on three sets of data, i.e. the online newsmedia for the social dynamics among the political elites, Twitter data as proxy to the public response on any political events, and of course the yielded statistical data of the tally. From the tally, we confirmed two important aspects in statistical inquiries due to the power law distribution and spatial correlations within election. In the other hand, from the online newsmedia, we construct a network representing the conflict map among political elites and celebrities in which we observe the dynamics of the political βtemperatureβ as the election went on. Later, we evaluate data from the social media Twitter to observe the relations between the conversations of the citizens with the occuring political events, while also identify the statistical aspects and the dynamics of the emerging conversational topics. We also demonstrate the emerging communities based on the citizens online conversations due to the attached political figures and candidates in the respective conversation network. Keywords: general election, Indonesia, politics, voting, political behavior, newsmedia, social media, statistics.
1
A. Pendahuluan Pemilu merupakan peristiwa politik yang penting untuk diamati. Bukan hanya karena pemilu merupakan mekanisme formal untuk memilih pemimpin dalam negara yang menganut sistem demokrasi. Tapi juga karena besarnya jumlah partisipan yang terlibat dalam prosesi ini. Pemilu dapat dikatakan sebagai salah fenomena sosial yang paling banyak dikaji dalam satu dekade terakhir [1]. Data pemilu menjadi sumber informasi yang menarik terkait dengan upaya untuk memahami lebih dalam perilaku politik individu, proses formasi opini sampai dengan pola-pola makro universal yang membrojol dari dinamika sosial di level mikro. Sejumlah kajian atas data-data pemilu telah menunjukan karakteristik kompleks dari hasil pemilu [1, 2, 3, 4, 5, 12]. Elaborasi sifat statistik data pemilu menunjukan adanya sifat skala dalam distribusi perolehan suara kandidat dalam pemilu yang multi-partai. Tidak hanya itu, sebaran spasial perolehan suara juga menunjukan adanya keterkaitan spasial dari sebaran perolehan suara [6]. Hadirnya berbagai keteraturan empiris tersebut tidak hanya berarti bahwa perilaku individual di level mikro jauh dari acak, tapi juga mengindikasikan adanya mekanisme universal yang melandasi kebrojolan pola-pola makro tersebut. Sejumlah studi kemudian menjadikan temuan-temuan tersebut sebagai acuan komparasi dan pengujian model-model mikro dinamika formasi opini [7, 8, 9]. Makalah ini melaporkan hasil observasi dinamika sosial politik dalam pemilu Legislatif dan pemilu Presiden Indonesia 2014. Pemilu Indonesia sendiri merupakan satu diantara sejumlah pemilu yang paling sering menarik perhatian dunia. Hal ini karena Indonesia menganut sistem pemilu langsung dengan jumlah pemilih yang sangat besar, di samping karakteristik sosiologis masyarakat Indonesia yang beragam dengan lanskap geografis kepulauan. Pemilu Indonesia sering dijadikan sebagai contoh bagaimana sistem demokrasi dapat berjalan baik dalam konteks masyarakat yang jamak. Pemilu Indonesia kali ini juga mnenjadi menarik karena banyak memunculkan hal baru dan mengejutkan dalam diskursus politik dan demokrasi di Indonesia, di antaranya kemenangan Joko Widodo dalam pemilu presiden dan partisipasi aktif masyarakat yang secara organis membangun kolaborasi dalam mendukung kandidat yang diusungnya. Hal ini tidak lepas dari peranan internet dan berbagai macam mode teknologi informasi. Oleh karena itu, observasi yang dilakukan juga menyertakan pengamatan atas dinamika politik yang terjadi di dunia maya, baik itu melalui media massa online maupun aktivitas warga di media sosial seperti Twitter. Makalah ini terbagi atas 3 bagian besar berdasarkan data yang dianalisis yaitu data perolehan suara, data pemberitaan media dan twitter.
B. Data dan Metodologi Kita melakukan observasi terhadap pemilu Indonesia 2014 melalui 3 medium utama, yaitu surat kabar online untuk mengamati dinamika politik di level elit, Twitter sebagai proksi untuk membaca respon publik atas berbagai peristiwa politik yang terjadi, dan hasil pemilu itu sendiri. Sementara itu kita juga menggunakan sumber data lainnya seperti hasil survei sebagai pelengkap sedemikian sehingga diperoleh
2
gambaran yang komprehensif atas dinamika politik jelang dan selama pemilu tersebut berlangsung. Secara umum observasi dilakukan selama kurang lebih 7 bulan sejak Januari sampai Juli 2014. Berikut ini adalah deskripsi 3 set data yang akan dikupas dalam laporan ini. Hasil pemilu. Pemilu legislatif Indonesia menggunakan sistem representasi proporsional yaitu jumlah kursi yang diperoleh oleh setiap partai proporsional terhadap jumlah suaranya. Dalam pemilu kali ini wilayah Indonesia dibagi menjadi 2453 daerah pemilihan (kabupaten/gabungan kabupaten) dimana 6608 kandidat yang tergabung dalam 12 partai nasional bertarung memperebutkan 560 kursi DPR RI. Setiap partai memajukan sejumlah calon di tiap daerah pemilihan untuk dipilih oleh rakyat. Kandidat yang terpilih adalah mereka yang mendapatkan suara terbanyak secara berurutan (open list system). Sementara pemilu presiden menggunakan sistem suara terbanyak tanpa ada pembagian wilayah daerah pemilihan. Pemilu presiden kali ini diikuti 2 kandidat presiden-wakil presiden, yaitu Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang diusung oleh koalisi 5 partai politik: PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), partai Nasdem (Nasionalis Demokrat), PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), partai Hanura (Hati Nurani Rakyat) dan PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan), berhadapan dengan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa yang diusung oleh koalisi partai politik Merah Putih, terdiri dari partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya), partai Golkar (Golongan Karya), PAN (Partai Amanat Nasional), PKS (Partai Keadilan Sejahtera), PBB (Partai Bulan Bintang). Set data hasil pemilu mengandung informasi jumlah suara kandidat i (vikp) dan jumlah kandidat Qkp dari partai p di daerah pemilihan k. Dari sini kita dapat mengekstrak informasi total suara partai p (Nkp) dan total pemilih yang berpartisipasi (Nk) di daerah pemilihan k. Sementara suara kandidat i dapat juga π£
direpresentasikan sebagai fraksi suara kandidat i ( πikp ). Untuk pemilu legislatif, daerah pemilihan k π
mengacu kepada satu atau lebih gabungan daerah administratif kabupaten. Sementara untuk pemilu presiden ,hal ini mengacu pada kabupaten. Setiap daerah pemilihan k dapat direpresentasikan sebagai vektor suara π£βπ yang tersusun atas suara partai-partai di daerah tersebut, π£βπ = (π£π1 , π£π2 , π£π3 , β¦ ), dengan π£ββ²π adalah fluktuasi suara partai-partai di daerah k terhadap daerah-daerah lainnya yang memiliki ukuran populasi pemilih yang sama (mk): 1 πΎ βββββββ π£β²π = π£ βββββ ββββββ π β πΎ βπ=1 π π
(1)
Berita online. Dinamika politik Indonesia khususnya yang terjadi di level elit politik diamati melalui media massa. Di sini kita menggunakan surat kabar online sebagai sumber informasi yang ideal karena kecepatan dan keakuratannya dalam melaporkan peristiwa yang sedang terjadi. Berdasarkan pemberitaan di media online kita kemudian mengkuantifikasi dinamika dan eskalasi konflik antar elit politik. Observasi dinamika pemilu di media massa online dilakukan dengan memanfaatkan perangkat analitik berita NPS (News-media Processing Suite) yang dibuat oleh Bandung Fe Institute [10, 11]. Secara singkat, NPS merupakan sistem analitik untuk pengumpulan artikel berita dari media online serta pemrosesan dan visualisasi elemen-elemen informatif di dalamnya (aktor, konsep, sentimen, isu). Dengan sistem ini kita 3
dapat mengamati dinamika isu yang muncul selama pemilu berlangsung sekaligus merepresentasikan elemen-elemen informasi di dalamnya sebagai jejaring relasi sentimen antar aktor-aktor politik. Untuk setiap artikel berita si dalam data set berita terkait pemilu memiliki atribut informasi: aid adalah aktor (politisi, pengamat, warga dll), ci adalah konsep yang menjadi obyek dari komentar seorang aktor (contoh: jokowi menjadi kandidat presiden, pdip berkoalisi dengan pkb), serta sentimen lic yang menunjukan preferensi aktor terhadap suatu konsep, dimana nilai lic berada di antara 1 (suka/ setuju dan -1 (tidak suka atau tidak setuju). Relasi antar dua aktor terbentuk keduanya mengomentari konsep yang sama. Untuk n aktor kita akan memperoleh jaringan relasi antar aktor G (A,E) dimana relasi antar aktor eij didefenisikan sebagai berikut:
πππ =
βπ πππ .πππ ββπ πππ 2 ββπ πππ 2
(2)
dimana eij = [-1,1], aktor ai memiliki relasi positif (βbertemanβ) dengan aktor aj jika nilai eij> 0, dan sebaliknya. Sosial media. Kita menggunakan Twitter untuk mengamati respon publik terhadap beragam isu yang berkembang selama pemilu berlangsung [23]. Percakapan warga di Twitter dikumpulkan menggunakan sejumlah kata kunci yang telah ditentukan (lihat appendiks). Dalam rentang waktu 5-24 Mei 2013 berhasil dikumpulkan 19590068 twit dan melibatkan 5754546 akun pengguna. Untuk setiap twit i yang dikirim oleh seorang pengguna mengandung informasi waktu ti (π‘π β π), aktor ai (ππ β π΄) sebagai representasi akun pengguna twitter, hashtag hi (βπ β π»), dan aktor aj yang tersebut dalam twit aktor ai tersebut. Percakapan antar aktor dapat berupa mention, retweet atau hanya sekedar twit status saja. Berdasarkan data set twit ini kita mengkonstruksi jaringan komunikasi antar aktor G(A,E) dimana relasi antar aktor eij merepresentasikan hubungan berarah antara aktor ai sebagai sumber pesan dengan aktor aj sebagai target dari pesan tersebut.
C. Analisis 1. Statistik Pemilu Distribusi perolehan suara. Pertama-tama kita memeriksa distribusi perolehan suara kandidat dalam pemilu legislatif Indonesia 2014. Gambar 1 menunjukan adanya sifat skala dalam distribusi ini dimana probabilitas kandidat mendapatkan fraksi suara sebesar π£ terdistribusi mengikuti hukum pangkat π(π£) ~ π£ βπ , dimana a β 1.9. Fenomena skala ini secara persisten muncul dalam 3 pemilu Indonesia sebelumnya [4, 5], juga di sejumlah negara yang melaksanakan pemilu dengan sistem representasi proporsional [2, 3, 12]. Hal ini tidak hanya menunjukan bahwa perilaku pemilih jauh dari random tapi juga mengindikasikan adanya mekanisme mikro yang secara umum melandasi kebrojolan pola-pola makro tersebut.
4
Gambar 1: Distribusi perolehan suara kandidat dalam pemilu Legislatif Indonesia 2014 mengikuti hukum pangkat dengan a=1.9.
Taksonomi parta-partai. Lebih jauh kita perlu melihat struktur topologis partai-partai terkait dengan kemiripan persebaran perolehan suaranya di daerah pemilihan. Dengan menggunakan nilai koefisien korelasi πππ sebagai indikator kemiripan sebaran suara antar dua partai kita dapat menghitung jarak antar partai dij yang berkompetisi di pemilu 2014, sebagai berikut [13]: πππ =
β©ππ ππ βͺββ©ππ βͺβ©ππ βͺ ββ©ππ2 ββ©ππ βͺ2 βͺβ©ππ2 ββ©ππ βͺ2 βͺ
πππ = β2(1 β πππ )
(3)
(4)
dimana Vi adalah perolehan suara partai i yang telah dinormalisasi terhadap perolehan suara tertinggi di daerah pemilihan (propinsi) dan πππ = [β1. .1]. Gambar 2 memvisualisasikan dengan jelas partai-partai yang saling berdekatan maupun berjauhan berdasarkan data perolehan suaranya di tiap wilayah. Secara umum ada perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan taksonomi partai-partai di pemilu sebelumnya [13]. Terlihat PDIP dan Golkar tidak menempati posisi yang sentral dalam jaringan seperti pada pemilu 2004, meskipun kedua partai tersebut tetap berada di posisi dua besar perolehan suara nasional. Sementara partai Demokrat yang ada di urutan ke empat perolehan suara nasional menjadi jangkar utama dalam taksonomi partai-partai. Hal ini mengindikasikan bahwa persebaran suara partai ini cukup merata di seluruh wilayah sedemikian sehingga memiliki kedekatan jarak dengan banyak partai lainnya. Sementara itu, PDIP dan Golkar cenderung sangat dominan di sejumlah wilayah yang menjadi basis pemilihnya. Secara visual kita dapat melihat kemunculan 3 kluster partai: pertama, kluster partai yang memiliki karakter nasionalis yang kuat yaitu PDIP, PKB, Golkar dan Gerindra; kedua, kluster PKS, PAN dan PPP yang merepresentasikan partai-partai Islam; ketiga, kluster partai-partai moderat dengan warna nasionalis dan
5
keislaman yang cukup berimbang yaitu Partai Demokrat, Nasdem, Hanura, PKPI dan PBB. Ada anomali pada posisi PBB yang justru tidak berada dalam kluster partai-partai islam.
Gambar 2: Taksonomi Partai
Jauhnya jarak antara kluster pertama dan kedua mengindikasikan perbedaan wilayah dimana partai-partai tersebut membentuk basis pemilih. Atau dengan kata lain menunjukan profil pemilih yang berbeda. Sementara Gerindra dan PKS yang menjadi hub dari kedekatan profil pemilih partai di masing-masing kluster. Hal ini sekaligus menjelaskan lonjakan perolehan suara Gerindra di pemilu kali ini. Juga posisi pemilih PKS yang dekat dengan pemilih PPP dan PAN. Diketahui bahwa berbeda dengan PKS yang tidak memiliki basis massa tradisional, PPP dan PAN adalah representasi politik dua organisasi sosial Islam terbesar di Indonesia yang secara ideologi keislaman berbeda. Aspek spasial hasil pemilu. Sifat hukum pangkat dalam distribusi perolehan suara secara jelas menunjukan bahwa hasil pemilu pada hakikatnya adalah respon kolektif dari seluruh elemen sistem atas berbagai hal yang terjadi selama pemilu berlangsung. Dalam hal ini ada interdependensi antar individu yang membuat preferensi politik seseorang tidak terisolasi dari preferensi orang -orang di sekitarnya. Simulasi telah banyak ditunjukan bagaimana interaksi dan efek pertetanggaan mendistorsi preferensi politik individu dan secara jelas bertanggung jawab atas kemunculan fenomena-fenomena politik dan keteraturan statistik di level makro [7, 8, 9].
6
Kita mengelaborasi kemungkinan adanya korelasi preferensi dari elemen sistem di level unit spasial, dalam hal ini adalah kabupaten,menggunakan fungsi korelasi berikut: πΆ(π) =
βππ βββββββ π£β²π . βββββββ π£β²π πΏ(πβπππ ) βππ πΏ(πβπππ )
(5)
Dimana πΏ(π β πππ ) adalah fungsi dirac untuk memilih pasangan wilayah yang berjarak r satu sama lain. Diketahui bahwa nilai C yang positif menunjukan fluktuasi perolehan suara antar wilayah saling berkorelasi satu sama lain. Sebaliknya jika C bernilai negatif. Sementara nilai C yang mendekati nol menunjukan vektor suara di tiap wilayah tersebut independen.
Gambar 3: a. Distribusi probabilitas dari nilai absolut vektor perolehan suara di setiap kabupaten. Inset: Distribusi probabilitas perolehan suara setiap partai ; b. Korelasi spasial C(r) dari fluktuasi perolehan suara untuk pemilu legislatif dan presiden. Nilai L untuk keduanya β 280-300 km. Inset: Plot log linear dari nilai C(r). Fluktuasi perolehan suara diperoleh dari perolehan suara di suatu kabupaten dikurangi nilai rata-rata perolehan suara daerah dengan ukuran yang sama.
Pada Gambar 3 kita menunjukkan adanya korelasi spasial perolehan suara antar wilayah dalam pemilu Legislatif dan pemilu Presiden Indonesia 2014. Dari gambar 3.a kita mengetahui bahwa distribusi nilai absolut vektor perolehan suara sangat jelas tidak bersifat Gaussian. Hal ini mengindikasikan bahwa perolehan suara antar wilayah tidak independen satu sama lain. Sementara Gambar 3.b menunjukan bentuk tipikal C(r) dimana nilai korelasi semakin kecil seiring dengan meningkatnya jarak geografis antar unit spasial. Hal yang sama juga telah dilaporkan sebelumnya untuk pemilu di sejumlah negara [6]. Terlihat bahwa pada jarak r < L, C(r) bernilai positif dengan penurunan nilainya dapat didekati oleh fungsi logaritmik, πΆ(π)~ ln π). Sementara untuk r > L, C(r) β 0. Nilai L sebagai panjang korelasi (correlation length), yaitu jarak dimana C(r) pertama kali bernilai negatif, berkisar antara 280-300 km, baik untuk pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Ini menunjukan bahwa secara spasial perolehan suara memiliki karakteristik long-range correlated. Hadirnya fenomena korelasi perolehan suara secara spasial mengindikasikan adanya tendensi dari wilayah-wilayah yang saling berdekatan untuk memiliki kemiripan profil suara. Lebih jauh kita akan mengkuantifikasi tendensi ini untuk setiap partai dengan menggunakan indeks Moran global, sebagai berikut [14]: 7
π Μ
Μ
βπ π π=1 βπ=1 π€ππ (π£π βπ)(π£π βπ ) π Μ
2 βπ π=1 βπ=1 π€ππ π=1(π£π βπ)
πΌπππππ = βπ πΜ
=
(6)
βπ π=1 π£π π
Dimana w adalah matriks pertetanggaan wilayah. Nilai I > 0, menunjukan adanya tendensi pengelompokan; I < 0, cenderung terdispersi; I= 0, acak. Signifikansi dari nilai indeks diketahui dari nilai z-score yang diperoleh dari perbandingan dengan nilai ekspektasinya. Nilai indeks ini dibandingkan dengan nilai ekspektasinya dan diinterpretasi dalam konteks perbandingan dengan kondisi random berdasarkan nilai z-score dan p-value [14]. Tabel 1 menunjukan indeks moran dan z-score dari setiap partai. Terlihat bahwa perolehan suara setiap partai memiliki tendensi mengelompok secara spasial. Di antara semuanya terlihat juga nilai Indeks moran Partai Gerindra yang paling kecil dan hampir mendekati nol. Hal ini mengindikasikan bahwa perolehan suara partai Gerindra, relatif terhadap partai lainnya, cenderung tidak mengelompok membentuk klusterkluster wilayah dengan perolehan suara yang relatif dominan terhadap rata-rata perolehan suara partai tersebut secara nasional. Tabel 1: Nilai korelasi spasial setiap partai dalam pemilu legslatif 2004
Party Nasdem PKB PKS PDIP PG Gerindra PD PAN PPP Hanura PBB PKPI Moran Index 0.14 0.26 0.14 0.27 0.29 0.08 0.23 0.14 0.15 0.12 0.29 0.19 z-score 9.44 15.96 9.34 16.42 17.58 6.40 14.57 11.09 9.26 7.76 22.23 17.79
Kluster wilayah dapat dipahami lebih jauh sebagai kelompok wilayah yang menjadi basis pendukung partai politik. Hal ini tentu saja sangat penting dalam konteks kompetisi elektoral karena wilayah-wilayah tersebut akan saling memperkuat dan berperan sebagai penyangga utama perolehan suara suatu partai. Secara historis kita mengetahui adanya wilayah yang menjadi basis pemilih tradisional partai-partai, misalnya PDIP mempunyai basis pendukung di pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, sementara wilayah timur Indonesia senantiasa menjadi lumbung suara Partai Golkar. Secara umum tren historis ini masih bertahan dalam pemilu 2014. Hal ini terlihat dari kartogram perolehan suara partai (gambar 4a) dimana PDIP mampu mempertahankan dominasinya di sebagian besar propinsi di Jawa yang padat penduduk, Bali, sebagian Kalimantan dan Sumatera. Sementara pesisir timur Kalimantan dan sebagian besar wilayah Indonesia Timur dimenangkan oleh partai Golkar.
8
Gambar 4: a. Kartogram perolehan suara partai politik dimana ukuran wilayah provinsi direskala berdasarkan jumlah pemilih, sementara pewarnaan berdasarkan wilayah yang dimenangkan oleh sebuah partai politik [17].; b. Peta kabupaten di Indonesia yang diwarnai berdasarkan nilai Gi* dari hasil perolehan suara partai. wilayah basis partai Terlihat daerah basis PDIP melingkupi sebagian besar Pulau Jawa (Jawa Tengah, sebagian Jawa Barat, sebagian Jawa Timur), Bali, sebagian Pulau Kalimantan (), Bali dan NTT sebagian provinsi Sumatera Utara.
Kita menggunakan statistik Getis-Ord Gi* [15] untuk mengevaluasi wilayah basis partai politik. Di sini apa yang disebut sebagai daerah basis tidak hanya ditentukan oleh perolehan suara partai di wilayah tersebut, tapi juga bergantung pada perolehan suara di wilayah sekitarnya. Artinya, daerah yang secara statistik signifikan sebagai basis adalah daerah dengan perolehan suara yang tinggi dan juga dikelilingi oleh wilayah lain dengan perolehan suara yang hampir sama. Μ
π βπ π=1 π€ππ π£π βπ βπ=1 π€ππ
πΊπβ = π
2 2 π [π βπ π=1 π€ππ β(βπ=1 π€ππ ) ]
(7)
β
πβ1
9
βπ π£ 2 π = β π=1 π β πΜ
2 π Seperti pada kalkulasi indeks moran, nilai G* juga diinterpretasi berdasarkan perbandingannya dengan kondisi random [14,15]. Gambar 4.b menunjukan daerah basis 4 partai politik dengan perolehan suara tertinggi di pemilu Legislatif 2014. Khusus untuk PDIP dan Partai Golkar, representasi visual tersebut mengkonfirmasi tren historis dimana pemilih tradisional kedua partai tersebut berada. Sementara Partai Demokrat yang notabene adalah partai penguasa hanya mampu membentuk basis pemilih wilayah sebagian wilayah Papua. Lebih jauh kita juga dapat mengelaborasi daerah basis untuk masing-masing kandidat presiden berdasarkan perolehan suara partai-partai yang tergabung dalam koalisi pengusung (lihat appendiks). Gambar 5.a menunjukan bagaimana formasi koalisi partai-partai dalam pemilu presiden 2014 seolah-olah membelah wilayah Indonesia menjadi 2 bagian, dimana pulau Jawa dan Kalimantan menjadi basis Joko Widodo sementara Pulau Sulawesi dan Sumatera menjadi wilayah kekuasaan Prabowo. Sementara dari hasil pemilu Presiden menunjukan bahwa Joko Widodo berhasil mempertahankan wilayah basisnya sembari memenangkan wilayah-wilayah lain yang menjadi daerah pertarungan (warna kuning pada gambar 5a) maupun sejumlah wilayah yang menjadi yang menjadi basis Prabowo. Prabowo sendiri berhasil memenangkan wilayah Barat pulau Jawa yang jumlah pemilihnya sangat besar (~20% suara nasional).
Gambar 5: a. peta kabupaten yang menjadi basis pemilih kandidat di pemilu Presiden 2014. Prakiraan perolehan suara kandidat diketahu dari perolehan suara partai pendukungnya dan hasil survei. Peta diwarnai dengan nilai z-score dari G* rasio perolehan suara Jokowi terhadap Prabowo. Semakin merah maka semakin tinggi intensitas pengelompokan wilayah pendukung Jokowi. Sebaliknya jika berwarna biru. ; b. wilayah dimana diketahui dari Peta perolehan suara di
2. Media Online 10
Volume berita. Dewasa ini surat kabar online telah menjadi salah satu sumber informasi utama selain televisi dan media cetak konvensional. Karakteristik dari media ini yang fokus pada penyajian informasi secara cepat, ringkas dan terkini menjadikan media ini sangat cocok dijadikan sebagai sumber data untuk pengamatan dinamika politik di level elit. Dinamika perpolitikan di Indonesia senantiasa menjadi obyek pemberitaan yang menarik. Hal ini tidak lepas dari ramainya konflik dan polemik antar elit politik [17, 18]. Dari gambar 6a terlihat volume berita tentang pemilu sendiri sudah mulai melonjak sejak awal Januari 2014, beberapa bulan sebelum pemilu Legislatif berlangsung. Sejumlah isu seperti gugatan sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi agar pemilu Legislatif dan Presiden dilaksanakan serentak serta isu yang terkait persiapan pemilu telah memanaskan situasi politik jelang pemilu. Namun jika dibandingkan dengan isu populer lainnya seperti isu korupsi [10], volume kumulatif isu pemilu baru (gambar 6c) mulai meningkat drastis di pertengahan bulan Maret beberapa saat sebelum kampanye pemilu Legislatif dimulai. Demikian pula jika kita membandingkan antara volume berita Joko Widodo dan Prabowo (gambar 6b dan 6d). Terlihat bahwa Joko Widodo sudah sejak awal telah ramai diberitakan oleh media. Hal ini tidak lepas dari sosoknya yang populer dan posisinya sebagai gubernur DKI Jakarta. Salah satu puncak pemberitaan adalah pada tanggal 14 Maret 2014 saat PDIP resmi mencalonkan Joko Widodo sebagai kandidat presiden. Sementara berita terkait Prabowo baru mengalami lonjakan drastis di pertengahan Mei pasca deklarasi resmi pencapresan. c
f
g
d e a
b
Gambar 6: a. Volume berita terkait pemilu yang dinormalisasi terhadap volume maksimum harian. Puncak-puncak data mengacu pada sejumlah peristiwa penting (a:MK kabulkan gugatan pemilu serentak; b: awal masa kampanye; c: pemilu Legislatif; d: deklarasi resmi kandidat presiden; e: pembukaan masa kampanye presiden; f: pemilu Presiden; g: pengumuman hasil pemilu presiden).; b. volume berita terkait Joko Widodo dan Prabowo; c. Volume Kumulatif berita tentang Pemilu dan Korupsi; d. volume kumulatif berita tentang Joko Widodo dan Prabowo
Puncak volume berita mengandung informasi tentang terjadinya suatu peristiwa penting. Seperti yang ditunjukan pada gambar 6a, puncak-puncak pada grafik volume berita bersesuaian dengan tanggal11
tanggal kejadian penting dalam proses pelaksanaan pemilu (appendiks). Dalam riset sebelumnya [10], volume berita menjadi salah satu indikator penting untuk deteksi dini suatu peristiwa via media massa online. Sementara dinamika wacana yang berkembang terefleksi melalui word cloud judul artikel media massa jelang dan selama proses pemilu berlangsung (Gambar 7). Secara umum terlihat adanya perbedaan kata yang dominan di setiap fase pelaksanaan pemilu. Hal ini tentu saja terkait dengan isu yang berkembang saat itu. Misalnya, jelang pemilu legislatif kata kunci seperti capres, PDIP, survei, caleg, dana, konvensi dominan, selama pemilu legislatif: kampanye, suara, pemilu; selama pilpres: koalisi, dukung, capres, cawapres, pilpres; pasca pilpres: kpu, pilpres, mk.
Gambar 7: Word Cloud judul berita selama pemilu berlangsung (searah jarum jam): Pra pemilu Legislatif, masa Pemilu Legislatif, pemilu presiden, pasca pemilu presiden.
Popularitas aktor. Media massa tidak hanya menjadi sumber informasi bagi publik, tetapi juga menjadi alat publikasi bagi partai dan aktor politik. Gambar 8 menunjukan partai-partai yang mendominasi pemberitaan media selama pemilu. Terlihat bahwa PDIP, PG, Gerindra dan PD mendapatkan porsi pemberitaan terbesar dibandingkan partai-partai lainnya, baik dari segi jumlah pemberitaan maupun jumlah aktor politik yang terlibat. Di luar itu terdapat PKS yang elit-elit politiknya sering menjadi sumber informasi bagi media. Sementara gambaran lebih detail terkait popularitas aktor politik di media dapat dilihat di gambar 9. Terlihat popularitas aktor yi mengikuti hukum zipf, π¦~1/π, dimana r adalah rangking aktor. Artinya, hanya terdapat sedikit aktor yang sangat dominan muncul hampir di setiap artikel berita sementara sebagian besar hanya muncul di satu atau 2 artikel saja. Gambar 9b menunjukan 10 besar aktor politik dengan 12
popularitas paling tinggi selama pemilu. Dari tabel tersebut kita mengetahui bahwa deretan aktor tersebut adalah para kandidat presiden, petinggi partai maupun institusi politik lainnya. Secara intuitif hal ini mengindikasikan adanya proporsonalitas antara posisi aktor dalam politik maupun dalam isu dengan popularitas aktor tersebut di media. Di satu sisi, semakin tinggi posisi aktor maka semakin representatif ia sebagai sumber informasi atau semakin rentan dirinya terlibat dalam polemik politik. Namun di sisi lain kemunculan βrising starβ juga sangat dimungkinkan, seperti yang terlihat pada fenomena kemunculan Joko Widodo di panggung politik nasional.
a.
b.
Gambar 8: a. Volume berita tentang partai politik; b. jumlah aktor (total aktor dan aktor anggota partai) yang muncul dalam pemberitaan terkait partai tertentu
π
Gambar 9: a. Distribusi popularitas aktor di media π~ , π = π; b. Tabel rangking 10 besar aktor paling populer. π
βTemperaturβ politik. Media sendiri memotret isu dan polemik di politik dalam bentuk perbedaan/kesamaan pandangan antar aktor terkait sebuah isu. Hal ini biasanya tercermin lewat komentar para aktor di media massa. Kita dapat merepresentasikan perbedaan pandangan antar aktor tersebut sebagai jaringan relasi sentimen antar aktor G (A,E). Dengan memanfaatkan prinsip keseimbangan sosial [19] kita kemudian mengukur level konflik dalam sistem CItriad sebagai berikut [10, 17, 18, 20], πΆπΌπ‘ππππ = 1 β
βπβ€πΌ ππ πππππππ βπΌ ππ‘ππ‘ππ
; πΆπΌ = [0,1]
(8)
dimana Tseimbang adalah triad aktor ijk dengan pola relasi seimbang: 13
ππππ = πππ . πππ . πππ > 0 Intensitas konflik di sini tidak hanya terkait dengan seberapa banyak perbedaan pandangan antar aktor terjadi tapi juga terkait dengan pola relasi konflik yang terbentuk. Pengukuran CI dilakukan pada level partai dimana aktor i mengacu kepada partai peserta pemilu 2014 dan relasi antar partai merupakan agregat relasi antar aktor politik yang berasal dari partai yang sama. Nilai CI yang semakin tinggi menunjukkan situasi politik yang sedang memanas oleh karena pola relasi konflik antar aktor yang tidak seimbang. Sebaliknya untuk nilai CI yang rendah. Dengan kata lain nilai CI menjadi semacam βtemperaturβ yang menunjukan βpanas atau dinginnyaβ suhu politik Indonesia.
Gambar 10: Dinamka suhu politik Indonesia selama pemilu berlangsung (Januari β Agustus 2014). Inset: Indeks konflik berdasarkan jumlah relasi negatif antar aktor. Keterangan: A: permulaan masa kampanye pemilu legislatif; B: pemilu legislatif; C: pengumuman hasil pemilu; D: deklarasi resmi kandidat presiden; E: permulaan masa kampanye presiden; F: pemilu presiden; G: pengumuman hasil pemilu
Sangat menarik untuk mengamati dinamika temperatur politik Indonesia (gambar 10) dan jejaring relasi sentimen antar partai politik selama pemilu 2014 berlangsung. Secara umum kita dapat menggambarkannya dalam 6 fase perubahan (3 fasa naik dan 3 fasa turun) dengan temperatur puncak pada tanggal 19 Mei 2014, yakni sehari sebelum deklarasi kandidat presiden-wakil presiden dilakukan: -
Fase I (naik): berbeda dengan pemilu 2009 [17], suhu perpolitikan di Indonesia jelang pemilu Legislatif mulai bergerak naik sejak awal Januari. Hal ini terkait dengan banyaknya isu hangat yang memicu polemik di kalangan elit politik partai (gambar 11a). Di antaranya adalah isu daftar pemilih tetap yang bermasalah dan kesiapan penyelenggaran pemilu secara umum, soal penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden secara serentak, soal pencalonan Joko Widodo sebagai calon presiden sampai
14
sejumlah isu korupsi yang menimpa beberapa petinggi partai politik. Dinamika politik ini mencapai puncaknya beberapa saat setelah masa kampanye pemilu legislatif dimulai. -
Fase II (turun): uniknya, temperatur politik bergerak turun justru selama masa kampanye berlangsung sampai dengan waktu pemilihan tanggal 9 april 2014. Hal ini mungkin terjadi karena, di satu sisi para elit politik fokus pada kampanye masing-masing, sementara di sisi lain ada upaya untuk menghindari konflik terbuka mengingat kentalnya sentimen negatif publik atas partai politik. Konsekuensinya, suhu politik cenderung dingin selama masa kampanye. Gambar 11 b menunjukan sentimen positif antar hampir semua partai politik.
a.
b.
d.
e.
c.
f.
Gambar 11: Jejaring relasi sentimen antar partai politik dalam rentang waktu tertentu selama pemilu berlangsung
-
Fase ke III (naik): pasca pemilu legislatif temperatur politik bergerak naik dan mencapai pucak tertingginya pada tanggal 19 mei 2014. Hal ini terkait dengan dinamika koalisi partai-partai dan kandidat presiden maupun wakil presiden yang sampai satu hari terakhir belum jelas terbentuk. Partai Golkar dan PPP yang secara internal terbelah ditunjukan pada gambar 11c. Juga mulai terlihat tendensi pembelahan menjadi dua kluster koalisi, antara PDIP, Nasdem, PKB, Hanura dan PKPI dengan koalisis Partai Demokrat, PKS, PG, Gerindra, PBB dan PAN
-
Fase ke IV (turun): seperti pada pemilu legislatif, temperatur politik kembali mendingin pasca proses kandidasi sampai kemudian naik lagi setelah debat antar kandidat yang pertama tanggal 10 Juni 2014. 15
-
Fase ke V (naik): berbeda dengan pemilu legislatif, temperatur politik terus memanas setelah debat pertama sampai dengan beberapa saat setelah waktu pemilihan. Internal masing-masing koalisi solid sementara relasi negatif terbentuk antar partai dalam koalisi yang berbeda (gambar 11e). Terlihat pula level konflik di internal beberapa partai membesar oleh karena perbedaan preferensi koalisi.
-
Fase ke VI (turun): situasi politik mengalami pendinginan sampai dengan pengumuman hasil pemilu oleh KPU. Namun setelah itu kembal menunjukan tren naik oleh karena adanya upaya membawa hasil tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Babak baru dinamika politik pun kembali dimulai.
Hal menarik lain yang terlihat pada gambar 11 adalah intensitas konflik internal politik. Hal ini diketahui dari relasi negatif aktor politik yang berasal dari partai yang sama. Secara umum terlihat bahwa partai Demokrat dan Golkar menjadi partai dengan intensitas konflik internal paling tinggi. Juga terlihat bahwa konflik internal ini berubah untuk rentang waktu yang berbeda. Konflik internal partai Demokrat terjadi pada pra pemilu legislatif, terkait dengan isu konvensi calon presiden dan sejumlah isu korupsi, dan saat pemilu Presiden terkait dengan perbedaan pilihan dukungan antar sesama kader demokrat terhadap. Perpecahan oleh karena perbedaan dukungan terhadap kandidat presiden juga menimpa partai Golkar. Hal ini berlangsung sejak pemilu legislatif berakhir sampai pasca pemilu presiden. Visual analitik. Eksplorasi visual pada jejaring sentimen antar aktor politik memberikan pemahaman lebih jauh atas dinamika konflik yang mewarnai perpolitikan Indonesia selama pemilu 2014. Di sini kita menunjukan snapshot peta konflik aktor pada tangggal 19 dan 20 mei 2014 saat suhu politik Indonesia berada pada titik maksimum (gambar). Relasi antar aktor politik ditunjukan dengan 3 warna, yaitu biru (sentimen positif), merah (sentimen negatif), netral (netral). Peta sentimen aktor ini dikonstruksi sedemikian rupa untuk menunjukan adanya kluster-kluster aktor. -
19 Mei 2014. Jelang batas akhir pendaftaran kandidat presiden peta politik suhu politik Indonesia berada pada titik maksimum (gambar 10). Peta politik aktor hampir terbelah dimana aktor-aktor politik berkumpul di sekitar 2 kandidat presiden, Prabowo (kuning) dan Jokowi (merah). Ketidakpastian dipicu oleh belum jelasnya calon wakil presiden kedua kandidat serta posisi partai Golkar dan Demokrat. Kandidat presiden dari Partai Golkar, Aburizal Bakrie, sampai saat itu masih berupaya maju sebagai calon alternatif atau menjadi calon wakil presiden dari kedua kandidat yang sudah pasti tersebut.
-
20 Mei 2014. Posisi dilematis partai Golkar dan Aburizal Bakrie (warna kuning) terlihat secara jelas dalam peta politik, yaitu berada di antara kutub-kutub koalisi yang hampir pasti terbentuk. Sementara itu partai Demokrat (kanan bawah) masih memainkan kartu politiknya dengan membentuk poros politik sendiri, yakni tidak berpihak pada salah satu kandidat presiden yang ada.
16
Gambar 12: Snapshot peta politik aktor jelang deklarasi resmi kandidat presiden Indonesia
17
3. Twitter Aspek statistik. Tidak terbantahkan lagi peran media sosial di balik berbagai peristiwa politik kontemporer [21,22]. Ramainya dunia sosial media Indonesia [30], dalam hal ini twitter, selama pemilu berlangsung , tergambar dalam grafik jumlah kumulatif twit yang diproduksi serta jumlah pengguna yang terlibat per hari (gambar 13). Dalam rentang waktu 5-24 Mei 2013 berhasil dikumpulkan 19590068 twit dan 5754546 akun pengguna. Dalam pemilu kali ini twitter adalah ruang publik dimana warga membicarakan berbagai peristiwa politik yang terjadi sekaligus mengekpsresikan preferensi politiknya. Dari gambar 13 terlihat lonjakan aktivitas percakapan maupun jumlah pengguna baru berkenaan dengan waktu-waktu penting dalam pemilu seperti, debat dan waktu pemilihan atau terjadinya peristiwa politik penting seperti deklarasi kandidat presiden. Secara keseluruhan jumlah pesan dan pengguna baru tertinggi terjadi pada saat pemilu presiden berlangsung.
i
e c b
a
h d
f g
Gambar 13: Volume twit dan jumlah akun baru yang terlibat pembicaraan terkait pemilu di Twitter. Keterangan: a. deklarasi Joko Widodo sebagai calon presiden; b: kampanye pileg; c:pemilu legislatif; d:deklarasi capres; e: debat kandidat; f:debat kandidat; g: debat kandidat; h:debat kandidat/akhir masa kampanye; i:pilpres
Kebrojolan wacana dominan dalam percakapan di ruang publlik dapat dilihat sebagai refleksi dari respon kolektif publik atas peristiwa terjadi [23]. Gambar 14 menunjukan adanya perbedaan wacana yang dominan selama pemilu legislatif dan pemilu presiden. Pada pemilu legislatif terlihat obrolan warga di twitter didominasi oleh konsep-konsep yang terkait dengan PKS, Joko Widodo dan Aburizal Bakrie, dalam bentuk positif maupun negatif. Hal ini dapat dikaitkan dengan banyaknya peristiwa politik yang terkait dengan konsep ini. Namun dapat juga dilihat sebagai tingginya aktivitas pendukung keduanya di media sosial. 18
Gambar 14: Word cloud dari hashtag yang digunakan selama pemilu legislatif (kiri) dan pemilu presiden (kanan).
Internet dan media sosial memang telah membuat informasi bukan lagi barang mahal. Suatu hal yang tentu saja sangat positif bagi perkembangan demokrasi. Namun di sisi lain informasi yang demikian melimpah melahirkan persoalan baru terkait dengan kemampuan kita untuk memproses informasi dengan baik [24]. Dalam konteks ini, pemilu di era media sosial dapat dilihat sebagai kompetisi antar ide/konsep atau yang populer disebut βmemeβ, untuk merebut tempat dominan dalam ruang publik [25]. Tabel 2 menunjukan sejumlah konsep yang populer di twitter selama pemilu. Sementara aspek statistik dari konsep-konsep tersebut ditunjukan di gambar 15. Terlihat adanya heterogenitas yang ekstrim baik dari segi kebertahanan suatu konsep di ruang publik maupun popularitasnya. Secara statistik keduanya mematuhi hukum pangkat. Dimana hanya sejumlah kecil konsep saja yang mampu meraih perhatian banyak pengguna dan atau mampu bertahan dalam rentang waktu yang lama. Sementara sebagian besar lainnya punah dalam waktu yang cepat. Tabel 2: Rangking popularitas hashtag selama pemilu Indonesia.
Tanda +/- menunjukan makna positif atau negatif suatu hashtag terhadap kandidat/partai
Hal ini mengindikasikan dua hal: pertama, kapasitas kognitif individu secara alamiah terbatas membuat kita tidak mungkin memberikan perhatian yang sama kepada semua konsep yang muncul, atau hanya fokus pada satu konsep tunggal saja. Sehingga secara kolektif perhatian publik berada di antara dua hal tersebut, yang secara statistik terepresentasikan dalam bentuk hukum pangkat. Kedua, sebagaimana karakteristik hukum pangkat pada perolehan suara yang ditunjukan sebelumnya, sifat hukum pangkat 19
pada tingkat kesuksesan konsep-konsep di sosial media mengindikasikan adanya interdependensi antar aktor di level mikro yang menentukan kebrojolan sifat tersebut. Artinya kesuksesan suatu konsep terkait erat dengan struktur relasi antar aktor pengguna sosial media.
π(π‘)~ππ‘ βπ ; π = 2.7
π¦~
1 π
Gambar 15: a distribusi meme life time dengan koefisien pangkat a =2.7. Meme life time adalah jumlah maksimum hari (secara berurutan) dimana sebuah hashtag bertahan di twitter.; b. zipf law pada rangking popularitas hashtag.
Jejaring konsep. Tentu saja ada banyak aspek eksternal yang mempengaruhi kesuksesan sebuah konsep di media sosial, seperti keterkaitannya dengan peristiwa nyata yang sedang terjadi, peran media sampai dengan aspek instrinsik dari konsep itu sendiri. Namun secara generik kebrojolan popularitas suatu konsep terkait erat dengan struktur jejaring sosial dimana konsep tersebut berdifusi dan kapasitas kognitif individu yang secara natural terbatas [25]. Gambaran lebih jauh terkait struktur dari wacana yang terbangun dari obrolan warga di Twitter terlihat di gambar 15. Jejaring hashtag D (C,E) pada gambar tersebut dikonstruksi dari sejumlah konsep ci di mana relasi antar konsep ecicj terbentuk manakala dua konsep tersebut pernah digunakan oleh seorang pengguna yang sama. Semakin tebal relasi antar 2 konsep berarti semakin banyak pengguna yang memakai kedua konsep tersebut secara bersamaan. Dari gambar 15 kita menyaksikan hadirnya sejumlah kluster konsep-konsep yang memiliki keterkaitan semantik satu sama lain. Paling tidak terdapat 4 kluster besar yaitu, kluster konsep yang terkait dengan Joko Widodo dan PDIP, kluster konsep Gerindra, kluster konsep PKS dan kluster konsep SBY, Partai Demokrat dan konvensi. Hal ini menunjukan adanya interdependensi antar konsep dalam membangun pemaknaan kolektif yang lebih luas dan lengkap terkait suatu hal. Lebih jauh hal tersebut juga merefleksikan kompetisi antar wacana untuk memenangkan perhatian publik. Sentralitas node konsep Jokowi dan PDIP yang tinggi tidak hanya menunjukan popularitas dari konsep ini tapi juga posisinya sebagai jangkar yang menghubungkan berbagai konsep yang berkompetisi merebut tempat dominan di ruang publik.
20
Gambar 16: Snapshot jejaring hashtag yang muncul dalam percakapan warga sebelum pemilu legislatif. Ukuran node dan label proporsonal terhadap jumlah relasi sebuah hashtag. Inset: Rangking sentralitas node yang diukur menggunakan algoritma sentralitas eigen [28]
Jejaring dan komunitas pengguna. Munculnya kluster-kluster node di level konsep terkait erat dengan struktur jejaring relasi terbentuk dari aktivitas percakapan antar pengguna. Dalam riset sebelumnya [23] telah ditunjukan adanya tendensi yang kuat dari para pengguna membentuk komunitas-komunitas percakapan terkait suatu topik tertentu dimana percakapan antar pengguna dalam komunitas yang sama lebih intensif di bandingkan antar komunitas. Identifikasi komunitas dalam jaringan pengguna twitter menggunakan model optimasi modularitas Louvain [29]. Metode ini melakukan proses partisi jejaring sambil melakukan proses optimasi nilai modularitas sampai ditemukan nilai yang paling maksimum. Nilai modularitas sendiri menunjukan seberapa besar perbedaan antara konektivitas node dalam komunitas dengan nilai ekspektasinya di graf acak, sebagai berikut: π
π
2
π = βππ=1 [ππ β (2ππ ) ]
(9)
dimana ei adalah jumlah relasi dalam komunitas i, di adalah total derajat simpul dalam komunitas i dan m adalah jumlah total relasi dalam jaringan. 21
Hadirnya komunitas-komunitas pengguna ditunjukan secara secara visual di gambar 17, dimana setiap node merepresentaskan komunitas pengguna sementara relasi antar node menunjukan agregat percakapan antar pengguna dari komunitas yang berbeda. Sementara warna node menunjukan seberapa dominan percakapan tentang salah satu kandidat terjadi di dalam komunitas tersebut (jokowi: merah; Prabowo: biru). Secara umum terlihat bahwa pengguna twitter terbelah dalam dua topik percakapan, dimana masingmasing tersusun atas sejumlah komunitas pengguna dengan topik percakapan yang cenderung homogen (semakin biru atau semakin merah). Sementara itu juga terbentuk komunitas percakapan yang relatif besar dengan topik percakapan yang hampir berimbang (node warna putih). Artinya, interaksi yang intensif antar pengguna dengan kecenderungan preferensi yang berbeda juga terjadi.
Gambar 17: Snapshot jejaring komunitas yang terbentuk dari interaksi antar pengguna twitter dalam pemilu presiden (19 Mei sampai 10 juni 2014). Komunitas pengguna ditemukan menggunakan model optimasi modularitas Louvain [29]. Node diwarnai berdasarkan indeks diversitas informasi π― = β βπ² π=π ππ π₯π¨π ππ [23].
Hadirnya komunitas pengguna berfungsi menopang kebertahanan suatu wacana dalam dinamika percakapan di ruang publik [26]. Untuk itu kita mengevaluasi jejaring pengguna yang membicarakan seorang kandidat dan mengidentifikasi jumlah komunitas yang terbentuk setiap hari. Gambar 18 menunjukan informasi komunitas percakapan yang terkait dengan sejumlah kandidat dalam pemilu Indonesia 2014. Topik Joko Widodo sudah mendominasi twittersphere bahkan sejak pemilu legislatif, baik dari segi jumlah maupun ukuran komunitas (jumlah pengguna yang tergabung) yang memperbincangkan topik tersebut. Hal ini berbeda jauh dibandingkan dengan kandidat lain. Tentu saja ada upaya dari masingmasing kandidat untuk meningkatkan popularitasnya di Twitter, misalnya membuka akun resmi kandidat atau meningkatkan intensitas liputan media seperti yang dilakukan oleh Aburizal Bakrie. Sementara pasca deklarasi pencapresan kita melihat adanya peningkatan drastis dari jumlah dan ukuran komunitas pengguna yang memperbincangkan Prabowo. Bukan hal yang mengejutkan mengingat hanya dua kandidat saja yang maju dalam pemilu presiden Indonesia. 22
Gambar 18: Rata-rata harian jumlah dan ukuran komunitas pengguna yang memperbincangkan sejumlah tokoh politik selama pemilu Indonesia berlangsung.
D. Kesimpulan Makalah ini melaporkan hasil observasi pemilu Indonesi 2014. Dari hasil analisis yang dilakukan pada 3 set data kita menunjukan adanya sejumlah keteraturan-keteraturan empiris baik pada hasil perolehan suara pemilu, dinamika konflik di level elit maupun pada respon kolektif publik atas berbagai peristiwa yang terjadi selama pemilu pemilu berlangsung. Ada dua aspek mendasar yang kita tunjukan dari data perolehan suara pemilu Indonesia. Pertama, kita kembali mengkonfirmasi sifat hukum pangkat pada distribusi perolehan suara kandidat sebagaimana yang ditemukan dalam 3 pemilu sebelumnya [4, 5]. Kedua, kita menunjukan adanya keteraturan spasial pada perolehan suara antar daerah pemilihan, dimana nilai korelasi spasialnya menurun secara logaritmik terhadap jarak antar wilayah. Kedua fenomena empiris tersebut persisten muncul dalam data hasil pemilu di berbagai negara [1, 2, 3, 4, 5, 6, 12], terlepas dari aspek-aspek detail terkait dengan karakteristik sosial ekonomi dan kultural pemilih. Karenanya kemunculan keteraturan yang universal pada data perolehan suara dan sebaran spasial hasil pemilu harus dijelaskan dalam konteks adanya set aturan umum yang melandasi interaksi antar individu di level mikro. Berdasarkan dua aspek di atas kita kemudian mengeksplorasi lebih jauh kemiripan profil perolehan suara antar partai dalam bentuk taksonomi antar partai dan juga tendensi wilayah untuk membentuk kluster wilayah. Dari taksonomi antar partai dapat diidentifikasi hadirnya kluster-kluster partai yang dengan profil
23
pemilih yang berdekatan. Sementara di level spasial kita mengkonfirmasi apa yang kita ketahui secara historis tentang wilayah-wilayah yang menjadi basis pemilih setiap partai. Analisa data media pemberitaan selama pemilu memberikan pemahaman lebih jauh atas dinamika politik di level elit politik. Secara khusus kita menunjukan bagaimana indeks keseimbangan relasi sentimen antar aktor politik dapat digunakan untuk membaca level konflik dan dinamikanya selama pemilu berlangsung. Berbeda dengan apa yang ditemukan dalam pemilu sebelumnya [17], dinamika konflik di level elit politik berlangsung dalam 6 fasa naik/turun dengan temperatur politik tertinggi terjadi pada tanggal 19 Mei 2014, yakni hari terakhir jelang batas waktu pengajuan kandidat calon presiden. Sementara itu, eksplorasi visual jejaring relasi sentimen antar aktor memberikan gambaran lebih detail peta politik di balik berbagai peristiwa yang terjadi. Bagaimana publik merespon dinamika politik selama pemilu dapat diketahui melalui percakapan warga di sosial media. Analisa atas data percakapan di twitter terkait pemilu Indonesia menunjukan lonjakan aktivitas pengguna terkait erat dengan berbagai peristiwa penting yang terjadi selama pemilu, diantaranya debat kandidat dan waktu pencoblosan. Demikian pula dengan dinamika wacana yang berkembang. Kompetisi antar konsep untuk menjadi yang dominan dalam kognitif kolektif publik memunculkan karakteristik hukum pangkat pada distribusi kesuksesan konsep-konsep tersebut, baik dari segi popularitas maupun lamanya konsep tersebut bertahan (meme life time). Hal ini menunjukan bahwa kesuksesan suatu konsep terkait erat dengan struktur relasi antar aktor pengguna sosial media. Sementara itu eksplorasi lebih jauh atas jejaring relasi antar konsep dan jejaring relasi antar aktor menunjukan adanya fenomena pengelompokan aktor dan konsep. Pengelompokan konsep menunjukan adanya interdependensi antar konsep dalam membangun pemaknaan kolektif yang lebih luas dan lengkap terkait suatu hal. Sementara munculnya komunitas-komunitas aktor menunjukan tendensi pengguna dengan preferensi yang sama untuk berkomunikasi secara intensif. Secara global kecenderungan tersebut membuat jejaring pengguna Twitter terfragmentasi dalam komunitas-komunitas yang secara internal homogen terkait dengan kandidat yang diperbincangkan.
24
Pengakuan Penulis berterima kasih pada rekan-rekan di Bandung Fe Institute atas dorongan dan bantuan pada penulisan makalah ini. Semua kesalahan merupakan tanggung jawab penulis.
Referensi 1. Fortunato, S. & Castellano, C. Physics peeks into the ballot box.Physics Today 65, 74β75 (2012) 2. Chatterjee, A., Mitrovic, M. & Fortunato, S.. Universality in voting behavior: an empirical analysis. Scientific Reports. Nature Publishing Group. (2013) 3. Araripe, L. E., Costa Filho, R. N., Herrmann, H. J. & Andrade, J. S. Plurality Voting: the Statistical Laws of Democracy in Brazil.Int. J. Mod. Phys. C 17, 1809β1813 (2006) 4. Situngkir,H. The Power-law Signature in Indonesian Legislative Election. arxiv: nlin.AO/0405002. 5. Maulana,A. & Situngkir,H. Power Law in Election.Journal of Social Complexity.Bandung Fe Institute (2012) 6. Borghesi,C., Raynal, J.C., Bouchaud,J.P.Election Turnout Statistics in Many Countries: Similarities, Differences, and a Diffusive Field Model for Decision-Making. PLoS ONE 7(5): e36289. doi:10.1371/journal.pone.0036289 (2012) 7. Situngkir,H & Surya,Y.Democracy : Order out of Chaos, Understanding Power Law in Indonesian Election. WPQ2004. Bandung Fe Institute (2004). 8. Gonzalez M.C., Sousa A.O., Herrmann H.J. Opinion Formation on a Deterministic Pseudo-fractal Network. Int. J. Mod. Phys. C 15(1): 45β47 (2004) 9. Maulana,A. Dinamika sentimen pemilih dalam Simulasi Voting berbasis Agen. WP-IX-2008.Bandung Fe Institute (2008) 10. Maulana,A. & Situngkir,H. Dynamics of the Corruption Eradication in Indonesia WP-1-2013. Bandung Fe Institute. (2013). 11. Laporan KPK 12. Morales-Matamoros.O., MartΓnez-Cruz.M.,Tejeida-Padilla.R. Mexican Voter Network as a Dynamic Complex System. ISSS (2006) 13. Situngkir,H & Surya,Y .The Political Robustness in Indonesia: Evaluation on hierarchical taxonomy of legislative election results 1999 & 2004. WP-M-2004.Bandung Fe Institute (2004) 14. Wong, D.W.S., Lee, J. Statistical Analysis of Geographic Information with ArcView GIS and ArcGIS. John Wiley & Sons: Hoboken, NJ, USA (2005) 15. Getis, A.,Ord, J.K. The analysis of spatial association by use of distance statistics. Geogr. Anal. 1992, 24, 189β206 (1992) 16. Situngkir, H.Peluang Untuk Studi Kartografi Politik Indonesia: Referensi Spasial Sistem Sosial Kompleks. Working Paper WPP 2007.Bandung Fe Institute. (2007)
25
17. Maulana, A., Khanafiah, D. The Dynamics of Political Partiesβ Coalition in Indonesia: The evaluation of political party elitesβ opinion. WP-7-2009. Bandung Fe Institute. (2009) 18. Maulana, A., Situngkir, H. Evaluasi Dinamika βSuhu Politikβ: Studi Kasus: Reshuffle Kabinet. Internal Report Bandung Fe Institute (2011) 19. Heider, F. Attitudes and Cognitive Organization. Journal of Psychology 21:107-112 (1946) 20. Khanafiah, D. & Situngkir, H. Social Balance Theory, Revisiting Heiderβs Balance Theory for Many Agents. BFI Working Paper Series WPN2004 (2004) 21. Morozov, E. Iran: Downside to the "Twitter Revolution".Dissent 56, 10β14 (2009). 22. Hendricks, J.A., and R.E. Denton. Communicator-in-Chief: How Barack Obama Used New Media Technology to Win the White House . Lanham: Lexington Book 2010 23. Pemilunya Para Idola: Dinamika Interaksi Pengguna Twitter pada kasus X-Factor Indonesia. WP-42013.Bandung Fe Institute 2013. 24. Simon, H. Designing organizations for an information-rich world. In Greenberger, M. (ed.) Computers, Communication, and the Public Interest, 37β52.The Johns Hopkins Press, Baltimore.1971 25. Weng ,L., Flammini,A., Vespignani.A., Menczer.F.Competition among memes in a world with limited attention.Nature. Scientifi Reports, 2 : 335,DOI: 10.1038/srep00335. 2012 26. Hammer,R.J., Moore,T.W., Finley,P.D., Glass., R.J.The Role of Community Structure in Opinion Cluster Formation.Complex Science:Volume 126, 2013, pp 127-139.2013 27. Aynaud,T., Fleury,E., Guillaume,J.L.,Wang,Q. Communities in Evolving Networks: Definitions, Detection, and Analysis Techniques. Dynamics On and Of Complex Networks, Volume 2 pp 159200.2013 28. Situngkir, H.Model Jaringan dalam Analisis Media: Peluang Eksploitasi Studi Kultural pada SIfat Skala Topologi Tekstualβ. WPQ-2007b.Bandung Fe Institute 2007 29. Blondel .,V.D., Guillaume,J.L., Lambiotte,R & Lefebvre,E. Fast unfolding of community hierarchies in large networks. J. Stat. Mech. 2008 30. Maulana, A., Situngkir, H.Some Inquiries to Spontaneous Opinions: A case with Twitter in Indonesia. WP-10-2010. Bandung Fe Institute 2010
26
Appendiks 1. Data Pemilu Tabel 3: jadwal pemilu dan sejumlah peristiwa penting
Tanggal 14 Maret 2014 16 Maret β 6 April 2014 9 April 2014 9 Mei 2014 20 Mei 2014 4 Juni 2014 - 4 Juli 2014 10 Juni 2014 16 Juni 2014 22 Juni 2014 29 Juni 2014 5 Juli 2014 9 Juli 2014 22 Juli 2014
Kegiatan PDIP resmi calonkan Joko Widodo sebagai kandidat presiden Masa Kampanye Pemilu Legislatif Pemungutan suara pemilu Legislatif Penetapan hasil pemilu legislatif Batas akhir pendaftaran calon presiden/deklarasi Masa kampanye pemilu presiden Debat kandidat I Debat kandidat II Debat kandidat III Debat kandidat IV Debat kandidat V Pemungutan suara pemilu presiden Pengumuman hasil pemilu presiden
2. Twitter Daftar kata kunci yang digunakan Pemilu legislatif: Jokowi, Joko widodo, jokowi_do2, Jokowi_ID, JokowiCentre, Megawati, megainstitute, ibu mega, Prabowo, Aburizal Bakrie, Abu rizal Bakrie, Abu rizal Bakri, Arb, #ical, prabowo08, ali maskur musa, ali masykur musa, alimasykurmusa, IndonesiaAMM, Adil Makmur Martabat, sahabat_am, Marzuki Alie, Marzuki Ali, MarzukiAli, IndonesiaBermartabat, Indonesia Unggul, marzukialie, MARI_SATU2014, MARZUKIMDENGAR, Pramono Edhie, PramonoEdhie, pramono edi, pramonoedi, pramono edhi, Pramonoedhi, Bergerak Maju Lanjutkan Pembangunan, edhiewibowo_55, Fan_PramonoEdhi, Irmangusman, Humas_IG, Irmangusman_IG, Hayono isman, hayonoisman2014, kesinambungan perubahan, Anies baswedan, Anis Baswedan, turun tangan, turuntangan, aniesbaswedan, Sinyo Sarundajang, Sinyo Harry Sarundajang, SHSarundajang, Sarundajang2014, Endriartono Sutarto, EndriartonoSutarto, endrisutarto, Gita Wirjawan, Gita Wiryawan, beraniLebihBaik, Gwirjawan, GWirjawan2014, DukungGW, Dino patti djalal, Dino pati jalal, dinopattidjalal, infodinodjalal, Indonesia 4521, nasionalismeunggul, RIpastibisa, Dahlan Iskan, DahlanIskanNote, iskan_dahlan, mediacenterDI, mahmud md, MahfudMD_Info, mohmahfudmd, Surya Paloh, Surya_Paloh, jusuf kalla, JusufKalla, Pak_JK, Anis matta, anismatta, Anis mata Pemilu presiden Jokowi, Joko widodo, jokowi_do2,jkw4p, jkwjk, jokowijk,jkw-jk, prabowo08,Prabowo, jusuf kalla,JusufKalla, Pak_JK, Hatta Rajasa, HattaRajasa, Prabowo-Hatta,prb hatta
27
3. NPS Snapshot peta politik pada masa kampanye pemilu presiden - 3 Juni 2014. Jelang pembukaan masa kampanye ditandai oleh suhu politik yang relatif lebih rendah. Eksplorasi visual pada peta politik menunjukan terjadinya fenomena mitosis pada jaringan sentimen aktor, yaitu antara kubu Joko Widodo dan Prabowo.
-
3 Juni - 16 juni 2014. Debat kandidat telah memunculkan cluster yang memberikan kritisisme pada berbagai konsep-konsep substansi pemerintahan di kalangan pengamat. Debat kandidat pula yang akhirnya memicu kentaranya sentimen negatif antara kandidat capres Jokowi dan Prabowo.
28
-
18 -27 2014: βpembauranβ cluster aktor-aktor politik terjadi dengan ketegangan sentimen antara tokoh-tokoh kunci di antara dua kubu.
-
27 juni -2 juli 2014: ke-solid-an aktor-aktor politik pendukung prabowo sangat tinggi ketika ada pengumuman dukungan Partai Demokrat terhadap kandidat capres Prabowo-Hatta.
29