SKRIPSI
PENYELENGGARAAN PEMILU DI INDONESIA STUDI KASUS PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2003 DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 10 TAHUN 2008
Disusun Oleh SUDAWIRRAHMI 030906002
DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSOAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK HALAMAN PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak: Nama NIM Departemen Judul
: : : :
Sudawirrahmi 030906002 Ilmu Politik Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia (Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008
Ketua Departemen
Drs. Heri Kusmanto, MA NIP. 196410061998031000
Dosen Pembimbing
Warjio, SS, MA NIP. 197408062006041003
Dosen Pembaca
Drs. Zakaria Thaher, M.SP NIP. 195801151986011000
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA NIP. 196207031987111001 Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
PERNYATAAN
JUDUL : Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia (Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Dari sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis, kecuali yang tertulis dalam naskah ini disebut dalam daftar pustaka.
Medan,
PENULIS
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
ABSTRAKSI
Regulasi dalam Pemilihan Umum merupakan salah satu faktor yang menentukan berhasil tidaknya pelaksanaan Pemilu tahun 2009. Pemilu yang sukses mengindikasikan bahwa pembangunan dalam suatu negara berhasil dilaksanakan dengan sukses pula. Ini berarti bahwa negara tersebut berhasil mengantisipasi perubahan dalam proses pengelolaan pembangunan, sekaligus mengoreksi kelemahan-kelemahan yang ada, dan sanggup membawa pembangunan pada sasaran dalam jangka waktu yang sudah ditetapkan. Di Indonesia, kesemuanya itu bertumpu pada 4 (empat) pilar, yaitu Dasar Negara Pancasila sebagai idiologi bangsa, Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Pelaksanaan pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan diselenggarakan pada setiap lima tahun sekali, serta dilaksanakan di seluruh wilayah NKRI sebagai satu kesatuan. Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Skripsi ini berjudul: Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia: Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 menyangkut masalah penetapan calon terpilih pasca keputusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008 pada tanggal 23 Desember 2008 yang berdasarkan suara terbanyak kemudian skripsi ini hanya membahas mengenai penentuan calon terpilih berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008 pada tanggal 23 Desember 2008 berdasarkan suara terbanyak beserta implikasinya. Tujuan dari penelitian ini adalah Menjelaskan elemen-elemen dan variabel-variabel dalam pemilu di Indonesia serta manfaat nya adalah Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pemahaman dan kemampuan berfikir secara akademis dan ilmiah dalam memandang pemilihan umum sebagai suatu elemen yang sangat penting dalam demokrasi dan sistem politik suatu negara.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN i
KATA PENGANTAR ABSTRAK
iii
DAFTAR ISI
iv viii
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN I.1.
Latar Belakang Masalah
1
I.2.
Perumusan Masalah
4
I.3.
Pembatasan Masalah
4
I.4.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
5
I.4.1. Tujuan Penelitian
5
I.4.2. Manfaat Penelitian
5
Kerangka Teori
6
I.5.1. Perbandingan
6
I.5.
a. Pendekatan Tradisional (Traditional Approach)
7
b. Pendekatan Perilaku (Behavioral Approach)
8
c. Pendekatan Pasca Behavioral I.5.2. Pemilihan Umum I.5.2.1.
Pengertian Pemilihan Umum
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
10 12 12
I.5.2.2.
I.5.2.3
Sistem Pemilihan Umum
13
a. Sistem Perwakilan Distrik
14
b. Sistem Perwakilan Proporsional
16
b.1. Sistem Proporsional Daftar Tertutup
18
b.2. Sistem Proporsional Daftar Terbuka
18
b.3. Sistem Proporsional Daftar Bebas
19
Fungsi Pemilihan Umum
19
a. Sebagai Sarana Legitimasi Politik
19
b. Fungsi Perwakilan Politik
20
c. Pemilihan Umum Sebagai Mekanisme Bagi Pergantian Elit atau Sirkulasi Elit Penguasa
20
d. Sebagai Sarana Pendidikan Politik Bagi Rakyat I.6.
I.7.
21
Definisi Konsep
21
I.6.1
Perbandingan
21
I.6.2
Pemilihan Umum
22
a. Pemilihan Umum Indonesia 2004
22
b. Pemilihan Umum Indonesia 2009
22
Metodologi Penelitian
22
I.7.1. Bentuk Penelitian
22
I.7.2
23
Teknik Pengumpulan Data
I.7.3. Teknik Analisis Data
23
I.7.4. Sistematika Penulisan
23
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
BAB II SEJARAH PEMILU DI INDONESIA II.1.
Pemilu 1955
25
II.2.
Pemilu 1971
31
II.3.
Pemilu 1977
34
II.4.
Pemilu 1982
35
II.5.
Pemilu 1987
36
II.6.
Pemilu 1992
37
II.7.
Pemilu 1997
38
II.8.
Pemilu 1999
39
II.9.
Pemilu 2004
46
BAB III PEMBAHASAN III.1. Regulasi Pemilihan Umum
54
III.2. Pemilu dan Perkembangannya
56
III.3. Penentuan Calon Terpilih dalam Pemilu 2009
61
III.4. Implikasi Penerapan Penentuan Calon Terpilih Melalui Suara Terbanyak
65
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN IV.1.
Kesimpulan
75
IV.2.
Saran
77
DAFTAR PUSTAKA
78
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmannirrahim… Puji dan syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT atas berkat dan rahmadnya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan baik, tidak lupa juga pada sang Idola Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan penulis dalam aktivitas kesehariannya. Dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini penulis berusaha semaksimal mungkin agar hasil yang diperoleh nantinya sesuai dengan apa yang diharapkan. Namun penulis menyadari skripsi ini masih jauh sempurna dari yang diharapkan dan masih banyak terdapat kekurangan, penulis mengharapkan masukan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis banyak mengucapkan Terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Chairudin P. Lubis, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Arif Nasution, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik USU. 3. Bapak Heri Kusmanto, MA, selaku Ketua Departemen Ilmu Politik FISIP USU. 4. Bapak Warjio, SS, selaku dosen Pembimbing, yang telah memberikan masukan berharga dan membimbing penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. 5. Bapak Drs. Zakaria Thaher, M.SP selaku Dosen Pembaca yang telah meluangkan waktu dan masukan yang berharga buat penulis.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
6. Ayahanda Syahrul Razi dan Ibunda Azizah tercinta yang telah memberikan dukungan moril maupun materil bagi penulis, mengajarkan makna kesabaran dalam segala hal, bersabar dalam setiap kesusahan baik selama perkuliahan hingga selesainya penelitian skripsi ini, terima kasih yang tak terhinga penulis ucapkan kepada Ayah dan Mama, I Love You…. 7. Dosen, staf Departemen Ilmu Politik, khususnya kak Uci dan bang Ibnu yang selalu berbaik hati membantu aku melengkapi berkas-berkas yang di perlukan , dan juga buat bang Rusdi yang baik banget membantu keperluan wat persiapan meja hijau, thank’s ya bang.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
BAB I Pendahuluan
I.1. Latar belakang masalah Pemilu adalah sebuah kegiatan yang sering disebut sebagai indikator demokrasi. Pemilu menjadi parameter dalam menilai demokrasi sebuah negara. Hal itu karena dalam pemilu masyarakat dapat memilih wakil-wakil mereka yang akan duduk di parlemen sebagai anggota legislatif atau pemimpin-pemimpin eksekutif. Pemilu yang berjalan lancar, damai dan transparan yang kemudian menghasilkan pemimpin yang terpilih oleh suara mayoritas menandakan bahwa negara tersebut adalah negara demokratis. Namun sebaliknya jika pemilu yang diadakan kemudian membawa negara kedalam kekacauan baik vertikal maupun horizontal, maka negara tersebut tidak dapat dikatakan sebuah negara yang demokratis. Meskipun harus diakui pemilu tidak dapat memuaskan semua pihak. Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya. Pemilu sebagai wadah regenerasi kepemimpinan juga bukanlah hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Indonesia telah mengadakan pemilu sejak tahun 1955 dan yang terakhir kali adalah tahun 2009 ini. Pemilihan umum di Indonesia diadakan lima tahun sekali sejalan dengan masa jabatan presiden. Indonesia menganut sistem multi partai sebagai sistem kepartaiannya. Oleh karena itu sejak tahun 1955 pemilu di Indonesia selalu diikut i oleh sedikitnya tiga partai politik. Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
Pada pemilu tahun 2004, sistem pemilihan umum Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Pada pemilu tahun 2004 para pemilih dapat memilih presiden dan wakil presiden secara langsung untuk pertama kalinya. Pada pemilu ini juga rakyat Indonesia dapat memilih anggota DPD (senat) yang juga untuk pertama kalinya. Sistem pemilihan umum yang dipakai dalam pemilihan umum tahun 2004 ini adalah sebuah terobosan baru dalam mengatur mekanisme bagaimana proses
pergantian
kepemimpinan
nasional
dilaksanakan.
Pelaksanaan
pemilihan umum tahun 2004 tertuang dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Pasal 1, tentang pemilihan umum Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota: ...adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Pada tanggal 3 Maret 2008, DPR-RI telah merampungkan pembahasan rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang akan digunakan sebagai aturan main yang baru pada penyelenggaraan Pemilihan Umum tahun 2009. Terdapat beberapa perubahan penting dalam kedua undang-undang tersebut. Point-point penting tersebut harus melalui proses perdebatan dan negosiasi yang alot sebelum akhirnya disetujui oleh semua fraksi di DPR, bahkan ada point yang harus diselesaikan dengan cara voting. Terdapat lima point penting yang menjadi bahan perdebatan alot di DPR, kelima point Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
tersebut adalah: pertama, mengenai penetapan jumlah/alokasi kursi di DPR RI. Jika pada UU No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada pasal 47 dinyatakan jumlah kursi DPR sebanyak 550 kursi, maka pada Undang-undang No. 10 tahun 2008
jumlah kursi yang
tersedia di DPR adalah sebanyak 560 kursi. Kedua, alokasi (jatah) kursi pada tiap daerah pemilihan. Pada UU No. 12/2003 besaran alokasi kursi pada tiap daerah pemilihan 3 – 12 kursi. Dalam Undang-undang Pemilu yang baru jumlah tersebut menjadi berkurang yakni 3 – 10 kursi untuk tiap daerah pemilihan. Ketiga, penentuan parliamentary threshold sebesar 2,5 persen. Parliamentary threshold adalah hal baru ada dalam Undang-undang ini. Penetapan parliamentary threshold ini membuat partai-partai kecil yang memperoleh kurang dari 2,5% suara sah secara nasional tidak berhak menduduki kursi di DPR RI. Keempat, penghitungan sisa suara. Penghitungan sisa suara dilakukan dengan cara melakukan pembagian jumlah sisa kursi kepada parpol yang memperoleh sekurangnya 50 persen BPP, dan jika masih ada kursi yang tersisa maka penghitungan dilakukan dengan seluruh sisa suara parpol dikumpulkan ke provinsi untuk menentukan BPP baru.
Kelima, penentuan calon terpilih. Pada saat Undang-undang ini disahkan penentuan calon terpilih yang tidak memenuhi 30 persen BPP masih sama dengan Undang-undang No. 12/2003 yaitu melalui nomor urut yang paling kecil. Namun, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
VI/2008 pada tanggal 23 Desember 2008 penentuan calon terpilih berubah menjadi berdasarkan suara terbanyak. Berdasarkan ketertarikan penulis terhadap Undang-Undang Pemilu yang baru ini dan ingin mengetahui implikasinya terhadap masyarakat, penulis mencoba mengangkat masalah ini kedalam penelitian yang berjudul: “Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia: Studi Kasus Perbandingan UndangUndang No. 12 Tahun 2003 dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 menyangkut masalah penetapan calon terpilih pasca keputusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008 pada tanggal 23 Desember 2008 yang berdasarkan suara terbanyak”.
I.2. Perumusan masalah Agar penelitian ini tetap terarah dan tidak kehilangan fokus, maka permasalahan ini harus dirumuskan secara jelas. Berdasarkan judul di atas maka pokok masalah pada penelitian ini adalah: “bagaimanakah perbandingan undang-undang pemilu No.12 tahun 2003 dengan undang-undang pemilu No.10 tahun 2008 dalam hal penetapan calon terpilih dan implikasinya terhadap penerapan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut”.
I.3. Pembatasan masalah Untuk menjaga agar penelitian ini tidak melebar dan kehilangan arah, maka penulis membuat pembatasan masalah penelitian sebagai berikut:
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
1. Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat perbandingan dua objek, yaitu Undang-Undang No.12 tahun 2003 dengan Undang-Undang No.10 tahun 2008. 2. Penelitian ini dibatasi hanya pada penentuan calon terpilih berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008 pada tanggal 23 Desember 2008 berdasarkan suara terbanyak. 3. Pemilihan Umum Indonesia yang dimaksud adalah Pemilihan Umum Anggota Legislatif (DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota). I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1. Tujuan Penelitian 1. Menjelaskan elemen-elemen dan variabel-variabel dalam pemilu di Indonesia 2. Merumuskan dan menjelaskan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam undang-undang No.12 tahun 2003 dan undang-undang No. 10 tahun 2008. I.4.2.Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pemahaman dan kemampuan berfikir secara akademis dan ilmiah dalam memandang pemilihan umum sebagai suatu elemen yang sangat penting dalam demokrasi dan sistem politik suatu negara. 2. Menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama di bidang politik, dan khususnya mengenai masalah pemilihan umum.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
3. Sebagai literatur yang baru bagi daftar bagi kepustakaan untuk yang tertarik dan konsentrasi dengan bidang dan permasalahan yang serupa.
I.5. Kerangka teori Dalam sebuah tulisan ilmiah kerangka teori adalah hal yang sangat penting, karena dalam kerangka teori tersebut akan dimuat teori-teori yang relevan dalam menjelaskan masalah yang sedang diteliti. Kemudian kerangka teori ini digunakan sebagai landasan teori atau dasar pemikiran dalam penelitian yang dilakukan. Karena itu adalah sangat penting bagi seorang peneliti untuk menyusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pemikiran yang akan menggambarkan dari sudut mana suatu masalah akan disoroti1. Teori merupakan seperangkat preposisi yang terintegrasi secara sintaksis (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis atau dengan lainnya dengan data dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati2. Berikut ini akan dikemukakan beberapa teori yang akan digunakan dalam penelitian ini: I.5.1. Perbandingan Pendekatan perbandingan dalam studi ilmu politik sudah setua ilmu politik itu sendiri. Selama berabad-abad telah banyak perbandingan sistem politik yang dilakukan oleh pada teoritisi dunia, termasuk membandingkan antara negara dan negara, monarki/oligarki dengan demokrasi, pemerintahan 1
H. Nawawi, Metode penelitian bidang sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995. Hal. 39-40 2 L. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002. Hal. 34-35. Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
konstitusional dengan tirani dan sebagainya 3. Definisi sederhana dari perbandingan
adalah
suatu
kegiatan
untuk
mengadakan
identifikasi
persamaan/perbedaan antara dua gejala tertentu atau lebih 4. Walaupun sederhana, akan tetapi dalam implementasi sebuah analisis ataupun studi perbandingan, definisi ini tetap menjadi acuan dalam perbandingan dua gejala tertentu atau lebih. Lebih lanjut Lijphart mengemukakan bahwa metode komparatif (Comparative Method) atau perbandingan lebih ditekankan kepada suatu metode penemuan hubungan empiris antara berbagai variabel, dan metode ini bukan merupakan metode pengukuran. Karena metode komparatif bukan merupakan metode pengukuran, maka metode komparatif melibatkan analisis kualitatif, bukan kuantitatif5. Dalam studi Perbandingan Politik terdapat tiga pendekatan yang dapat dilakukan, dan telah sering digunakan dalam telaah komparatif. Adapun ketiga pendekatan tersebut adalah: a. Pendekatan Tradisional (Traditional Approach). Secara historis pendekatan ini menghubungkan fakta dan nilai dalam studi politik perbandingan. Selama awal abad ke-20, meski demikian orientasinya bergeser pada studi institusi-institusi negara-negara individual. Secara intrinsik, pendekatan tradisional menjadi nonkomparatif, deskriptif, sempit dan statis. Pendekatan ini cenderung menggambarkan institusiinstitusi politik tanpa mencoba untuk memperbandingkannya, bukannya
3
M. Mas’oed, Perbandingan Sistem Politik, Gajah Mada University Press. Hal. 21. S. Soekanto, Perbandingan Hukum, Alumni, Bandung, 1979. Hal.10. 5 Ronald Chillcote, Teori Perbandingan Politik, Penelusuran Paradigma.,PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003. Hal. 30. 4
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
mengidentifikasi tipe-tipenya, misalnya institusi parlementer terhadap institusi presidensil 6.
b. Pendekatan Perilaku (Behavioral Approach). Pendekatan ini merupakan sebuah reaksi terhadap spekulasi teori yang memberikan uraian penjelasan, kesimpulan dan penilaian berdasarkan norma-norma atau aturan-aturan dan standar-standar kekuasaan maupun etnosentrisme, formalisme, dan deskripsi barat yang menjadi karakteristik pendekatan tradisional kontemporer 7. Sebuah laporan Asosiasi Ilmu Politik Amerika (American Political Science Association) tahun 1944 mengkritik bidang perbandingan Ilmu Politik sebagai bersifat sempit dalam melakukan analisis
deskriptif
menyangkut
institusi-institusi
luar
negeri
dan
memaksakan suatu campuran metoda dan disain untuk mencapai suatu ilmu rekayasa sosial “total”. Sebuah laporan lain dalam satu dekade berikutnya menyerukan suatu pendekatan empiris yang sistematis termasuk perluasan skema-skema yang bersifat klasifikasi, konseptualisasi pada beragam tingkat abstraksi, penyusunan hipotesis dan pengujian hipotesis melalui data empiris. Laporan-laporan ini menjadi basis pendekatan behavioral dalam studi politik yang mendampingi kebanyakan riset bidang perbandingan politik yang berkembang pesat selama tahun 1950-an dan 1960-an. Kecenderungan riset behavioral dalam politik telah menuju pada pembentukan model-model yang konsisten secara logika, dimana 6 7
Ibid, Hal. 78 Ibid.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
“kebenaran” diturunkan secara deduktif. Bayang-bayang kenyataan empiris menggerogoti teori murni model-model politik formal tertentu, dan kelompok behavioralis biasanya mencari beberapa campuran pengalaman dan teori, sambil berupaya memadukan studi politik dengan kecermatan disiplin ilmiah yang menjadi model dari metode-metode ilmu alam 8. Dalam upaya untuk membedakan antara penelaahan model-model behavioral dan tradisional, telah diidentifikasi adanya doktrin utama “kredo behavioral”. Doktrin-doktrin tersebut adalah: 1. Keteraturan atau keragaman perilaku politik, yang dapat diungkapkan dalam generalisasi atau teori. 2. Verifikasi atau pengujian validitas generalisasi atau teori tersebut. 3. Teknik-teknik pencarian atau interpretasi data. 4. Kuantifikasi dan pengukuran dalam rekaman data. 5. Nilai-nilai yang membedakan antara dalil-dalil yang berhubungan dengan evaluasi etis yang berkaitan dengan penjelasan empiris 6. Sistematisasi riset 7. Ilmu murni atau pencarian pemahaman dan penjelasan perilaku sebelum menggunakan pengetahuan sebagai solusi permasalahan sosial. 8. Integrasi riset politik dengan riset-riset ilmu sosial lainnya 9.
8 9
Ibid, Hal. 80. Ibid.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
c. Pendekatan Pasca Behavioral Pendekatan ini berorientasi ke masa depan menuju “relevansi” dan “tindakan”. Kredo pasca behavioral terdiri dari sejumlah doktrin, yaitu: 1. Substansi mendahului teknik, sehingga permasalahan sosial yang mendesak menjadi lebih penting daripada peralatan investigasi. 2. Behavioralisme sendiri secara ideologi bersifat konservatif dan terbatas pada abstraksi, bukannya kenyataan saat-saat krisis. 3. Ilmu tidak dapat bersifat netral ketika dilakukan evaluasi. Fakta tidak dapat dipisahkan dari nilai, dan alasan-alasan nilai harus dikaitkan dengan pengetahuan. 4. Kaum intelektual harus mengemban tanggung jawab masyarakat mereka, mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dalam peradaban, dan tidak semata-mata menjadi sekelompok teknisi yang terisolasi dan terlindungi dari isu-isu dan permasalahan yang mengcopy pekerjaan mereka. 5. Para intelektual harus menerapkan pengetahuan dan terlibat dalam pembentukan ulang masyarakat. 6. Para intelektual harus memasuki kancah perjuangan mutakhir dan berpartisipasi dalam politisasi institusi-institusi profesi dan akademis 10. Beberapa definisi tentang perbandingan seperti yang diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perbandingan adalah kegiatan yang
10
Ibid.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
bersifat mengidentifikasi persamaan/perbedaan antara dua objek atau lebih. Definisi sederhana dari perbandingan adalah suatu kegiatan untuk mengadakan identifikasi persamaan atau perbedaan antara dua gejala tertentu atau lebih. Agar proses perbandingan dalam penelitian ini bersifat sistematis, maka penulis merujuk pada konsepsi dari Samuel Beer, Adam Ulam serta Roy Macridis yang merumuskan tahapan-tahapan telaah komparatif
atau
tahapan-tahapan
perbandingan,
tahapan-tahapan
deskriptif, klasifikasi, penjelasan serta konfirmasinya meliputi, pertama, tahapan pengumpulan dan pemaparan deskripsi
fakta yang dilakukan
berdasarkan skema atau tata cara penggolongan (klasifikasi) tertentu. Tahapan kedua yaitu, berbagai kesamaan dan perbedaan dikenali dan dijelaskan. Tahapan ketiga yaitu, hipotesa-hipotesa sementara tentang saling keterkaitan dalam proses politiknya diformulasikan. Tahapan keempat yaitu, hipotesa-hipotesa tersebut diverifikasi (diuji dan diperiksa melalui observasi empiris atau pengamatan lapangan secara cermat). Sedangkan
tahapan
kelima
ialah
temuan-temuan
yang
didapat
dipertanggung jawabkan harus ditetapkan11.
11
Ibid. Hal. 21.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
I.5.2. Pemilihan Umum I.5.2.1 Pengertian Pemilihan Umum Di dalam studi politik, pemilihan umum dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas politik dimana pemilihan umum merupakan lembaga sekaligus juga praktis politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan. 12 Seperti yang telah dituliskan di atas bahwa di dalam negara demokrasi, maka pemilihan umum merupakan salah satu unsur yang sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh negara tersebut. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat. 13 Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat tersebut adalah dengan memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme yang dinamakan dengan pemilihan umum. Jadi pemilihan umum adalah satu cara untuk memilih wakil rakyat. 14 Sebagai suatu bentuk implementasi dari demokrasi, pemilihan umum selanjutnya berfungsi sebagai wadah yang menyaring calon-calon wakil rakyat ataupun pemimpin negara yang memang benar-benar memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk dapat mengatasnamakan rakyat. Selain daripada sebagai suatu wadah yang menyaring wakil rakyat ataupun pemimpin nasional, pemilihan umum juga terkait dengan prinsip negara hukum (Rechtstaat), karena melalui pemilihan umum rakyat dapat memilih wakilwakilnya yang berhak
menciptakan produk hukum dan melakukan
12
Syamsuddin Haris, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Sebuah Bunga Rampai. Yayasan Obor Indonesia dan PPW-LIPI, Jakarta. 1998. Hal. 7. 13 G. Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003. Hal. 1. 14 Mashudi, Pengertian-Pengertian Mendasar Tentang Kedudukan Hukum Pemilihan Umum di Indonesia Menurut UUD 1945, Mandar Maju, Bandung, 1993. Hal. 2. Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
pengawasan atau pelaksanaan
kehendak-kehendak rakyat yang digariskan
oleh wakil-wakil rakyat tersebut. Dengan adanya pemilihan umum, maka hak asasi rakyat dapat disalurkan, demikian juga halnya dengan hak untuk sama di depan hukum dan pemerintahan. 15 Pemilihan umum ternyata telah menjadi suatu jembatan dalam menentukan bagaimana pemerintahan dapat dibentuk secara demokratis. Rakyat menjadi penentu dalam memilih pemimpin maupun wakilnya yang kemudian akan mengarahkan perjalanan bangsa. Pemilihan umum menjadi seperti transmission of belt, sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat berubah menjadi kekuasaan negara yang kemudian menjelma dalam bentuk wewenang-wewenang pemerintah untuk memerintah dan mengatur rakyat. Dalam sistem politik, pemilihan umum bermakna sebagai saran penghubung antara
infrastruktur
politik
dengan
suprastruktur
politik,
sehingga
memungkinkan terciptanya pemerintahan dari oleh dan untuk rakyat. 16
I.5.2.2 Sistem Pemilihan Umum. Pada hakekatnya pemilu merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk dalam BadanBadan Perwakilan Rakyat guna menjalankan kedaulatan rakyat, maka dengan sendirinya terdapat berbagai sistem pemilihan umum. Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan
umum dengan berbagai
variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok yaitu: 1. Sistem Perwakilan Distrik/ single member constituencies 15
M. Mahfud, Didalam Buku Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999. Hal. 221-222. 16 Ronald Chilcotte, Op. cit. Hal. 23. Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
2. Sistem Perwakilan Proporsional.
a. Sistem Perwakilan Distrik Karakter utama dari sistem perwakilan distrik dimana wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan/daerah-daerah pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan di badan perwakilan rakyat yang dikehendaki. Misalnya anggota DPR ditentukan 500 orang maka wilayah negara dibagi dalam 500 distrik pemilihan/constituencies, sehingga setiap distrik pemilihan akan diwakili satu orang wakil, yang mengumpulkan suara mayoritas di distriknya, tidak perlu mayoritas mutlak, cukup mayoritas relatif. Pemilihan dilakukan sekali sejalan, karena suara-suara yang tidak terpilih dari suatu distrik pemilihan lain tidak dapat digabungkan dengan suara-suara yang tidak terpilih menjadi hilang. Ciri pokok sistem pemilihan distrik yang membedakan dengan sistem pemilihan proporsional adalah bahwa yang menjadi fokus pemilihan bukanlah organisasi politik/ tanda gambar partai, melainkan individu yang mewakili atau dicalonkan oleh parpol di suatu distrik. Orang yang dicalonkan biasanya orang distrik tersebut atau orang dari distrik lain, tetapi yang pasti orang tersebut dikenal secara baik oleh warga distrik yang bersangkutan. Dengan demikian hubungan antara para pemilih dengan calon sangat akrab/dekat, sebab logikanya para pemilih tentu akan memilih calon yang paling dikenal reputasinya dan kredibilitasnya. Karena calon yang dipilih biasanya warga distrik atau pernah cukup lama tinggal di distrik tersebut, maka ia akan dapat lebih mengetahui dan
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
akan memperjuangkan dengan sungguh-sungguh kepentingan, kebutuhan dan aspirasi dari distrik yang diwakilinya. Kebaikan yang lain karena dalam sistem distrik tidak ada penggabungan suara antar distrik pemilihan, maka sistem ini mempunyai kecenderungan untuk terjadinya penyederhanaan kepartaian. Hal ini dimungkinkan karena bagi partai politik yang kalah dalam suatu distrik akan memperhitungkan kekuatannya pada pemilu yang akan datang. Apabila jumlah suara dengan partai calon y6ang terpilih sangat jauh, maka partai politik tersebut terpaksa mencari penggabungan atau berkoalisi dengan partai lain yang relatif memiliki persamaan ideologi atau program, guna meraih kemenangan dalam distrik yang bersangkutan. Walaupun demikian, beberapa ilmuwan politik menyangsikan kecenderungan itu, karena banyaknya indikator yang menentukan penggabungan itu baik faktor UU, kepribadian partai, sosio budaya, serta kondisi dan kepentingan sosial, ekonomi, keagamaan maupun profesi. Disamping
kebaikan-kebaikan
diatas,
sistem
distrik
mengandung
keburukan antara lain, wakil-wakil yang terpilih memungkinkan hanya memperjuangkan aspirasi distriknya yang diwakilinya. Keburukan lain manakala kontestan pemilu cukup banyak, suara akan terpecah kedalam banyak partai politik, akibatnya kalau dihitung yang dinamakan suara mayoritas hakekatnya minoritas dari seluruh jumlah yang masuk. Disamping itu karena satu distrik satu wakil dan perhitungan suara secara mayoritas dengan tidak memungkinkan parpol yang besar tidak akan menguasai secara mayoritas pada Badan Perwakilan rakyat. Sistem distrik ini dapat berjalan dengan baik pada kondisi masyarakat yang telah mencapai tahap kedewasaan tertentu. Nazarudin menentukan dua tolak Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
ukur tentang tingkat kedewasaan masyarakat; pertama, tingkat rasionalitas menentukan kemampuan rakyat didalam menjalankan dan menjatuhkan pilihan terhadap berbagai calon yang saling bersaing di distrik mereka. Dengan tingkat rasionalitas yang tinggi, masyarakat dapat memilih diantara program-program partai yang ditawarkan oleh masing-masing calon. Kedua, ditentukan oleh tingkat kesadaran politik yang tinggi, dengan tingkat kesadaran politik yang tinggi akan dapat memilih ikatan-ikatan ideologis, melainkan karena program yang ditawarkan disamping kemampuan menilai perilaku partai yang diwakili oleh seorang calon.
b. Sistem Perwakilan Proporsional. Dalam sistem perwakilan proporsional tidak ada pembagian wilayah pemilihan, karena pemilihan bersifat nasional. Pembagian kursi di Badan Perwakilan Rakyat didasarkan pada jumlah presentase suara yang diperoleh masing-masing parpol. Dalam sistem perwakilan proporsional dikenal dengan dua sistem yakni, hare system dan list system. Dalam hare system atau single transferable vote pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan utama, kedua dan seterusnya dari distrik pemilihan yang bersangkutan. Jumlah imbangan suara yang diperlukan untuk pemilih ditentukan dan segera jumlah keutamaan pertama dipenuhi, dan apabila ada sisa suara, maka kelebihan ini dapat dipindahkan kepada calon berikutnya
dan
seterusnya.
Penggabungan
atau
pengalihan
suara
ini
memungkinkan parpol yang kecil mendapat kursi dibadan legislatif, yang semula mungkin tidak dapat imbangan suara yang ditentukan. Konsekuensi dari sistem ini Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
perhitungan suara agak berbelit-belit dan butuh kecermatan. Berbeda dengan lity system pemilih diminta memilih diantara daftar calon yang berisi sebanyak mungkin nama-nama wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilu Kebaikan dari sistem ini pertama, tidak ada suara yang terbuang karena perhitungan yang dilakukan secara nasional. Kedua sering dianggap lebih demokratis dibanding sistem distrik, karena partai minoritas pasti ada wakilnya dibadan legislatif. Ketiga, karena semua parpol memperoleh kursi dibadan legislatif yang tidak ditentukan secara distrik, maka sistem tersebut akan mewujudkan badan legislatif yang bersifat nasional. Disamping kebaikan diatas terdapat pula keburukan-keburukan yakni; pertama, perhitungan suara berbelit-belit karena digabungkan secara nasional maka dapat dipastikan akan membutuhkan biaya yang sangat besar. Kedua; karena yang dipilih bukan orang tapi tanda gambar parpol, akibatnya hubungan antara pemilih dengan yang dipilih tidak erat, boleh jadi aspirasi, kebutuhan dan kepentingan rakyat pemilih bukan urusannya tapi urusan parpol. Ketiga; kekuasaan parpol sangat besar, karena parpollah yang menentukan siap-siapa yang akan diajukan sebagai calon, akibatnya wakil-wakil yang duduk dilembaga legislatif bukan lagi wakil rakyat, tetapi tak lebih wakil parpol. Keeempat; sistem ini memiliki kecendrungan partai akan bertambah, hal ini mungkin karena partai minoritas pasti terwakili karena adanya penggabungan suara, disamping karena ambisi seseorang ingin duduk sebagai pimpinan parpol. Dr. Pipit R Kartawijaya, ketua KIPP eropa dan LSM Watch Indonesia dalam tulisan kontroversi sistem proporsional daftar tertutup, menyebut tiga sistem pemilihan didalam sistem pemilihan proporsional yaitu terdiri dari : Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
1. sistem proporsional daftar tertutup 2. sistem proporsional daftar terbuka dan 3. sistem proporsional daftar bebas.
b.1. Sistem Proporsional Daftar Tertutup. Dalam sistem ini, pemilih datang ke bilik suara dan kemudian memilih tanda gambar partai yang dianggap bisa memperjuangkan kepentingan pemilih. Partisipasi pemilih dalam menentukan wakilnya sangat rendah. Pemilih sama sekali tak pernah mengetahui sosok calon yang akan dipilihnya. b.2 Sistem Proporsional Daftar Terbuka Dalam sistem proporsional, lewat daftar terbuka pemilih yang memiliki satu suara dapat memilih satu nama dari sederat nama wakil rakyat yang ditawarkan parpol itu. Disebut pemilih bukan memilih orang dan bukan gambar partai. Disebut terbuka sebab sang pemilih bisa memilih salah satu caleg yang dijajakan secara transparan. Setiap pemilih akan memilih nama wakilnya di legislatif pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam sistem ini, partai politik tak lagi sepenuhnya berkuasa. Kertas suara yang akan dipilih dalam pemilu tidak hanya berisi nama dan gambar partai tetapi juga berisi nama calon anggota legislatif. Dengan sistem ini, seorang calon pada urutan nomor besar, bisa saja terpilih mengalahkan calon pada nomor urutan kecil. Ini akan terjadi jika pemilih tak hanya memilih tanda gambar partai, namun juga memilih nama caleg favoritnya, yang mungkin saja berada pada nomor-nomor besar.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
b.3. Sistem Proporsional Daftar Bebas. Sistem proporsional dengan daftar bebas, sang pemilih memiliki banyak suara, sehingga ia bisa royal memilih beberapa nama caleg. Bahkan lebih dari itu sang pemilih boleh memilih calon legislatif berbeda dari satu partai politik peserta pemilu. Dari ketiga sistem ini Indonesia menggunakan/ menganut sistem proporsional dengan stelsel daftar sejak pemilu 1971 sampai pemilu 1999. Sedangkan untuk pemilihan umum tahun 2004 Indonesia menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka (pasal 6 ayat 1 UU No 12 tahun 2003). Kemudian pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak (pasal 6 ayat 2 UU No 12 tahun 2003).
I.5.2.3 Fungsi Pemilihan Umum. Sebagai sebuah aktivitas politik, pemilihan umum pastinya memiliki fungsi-fungsi yang saling berkaitan atau interdependensi. Adapun fungsi-fungsi dari pemilihan umum itu sendiri adalah: a. Sebagai Sarana Legitimasi Politik Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dan sistem politik. Melalui pemilihan umum, keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilkannya. Dengan begitu, pemerintah berdasarkan hukum yang disepakati bersama tak hanya memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi siapapun yang melanggarnya. Menurut Ginsberg, Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
fungsi legitimasi politik ini merupakan konsekuensi logis dari pemilihan umum. Paling tidak ada tiga alasan kenapa pemilihan umum dapat menjadi suatu legitimasi politik bagi pemerintahan yang berkuasa. Pertama, melalui pemilihan umum, pemerintah sebenarnya bisa meyakinkan atau setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemilihan umum pemerintahan dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat atau warga negara. Dan ketiga, dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk mengadakan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan (coercion) untuk mempertahankan
legitimasinya.
Gramsci
(1971)
menunjukkan
bahwa
kesepakatan (Consent) yang diperoleh melalui hegemoni oleh penguasa ternyata lebih efektif dan bertahan lama sebagai sarana kontrol dan pelestarian legitimasi dari otoritasnya ketimbang penggunaan kekerasan dan dominasi. b. Fungsi Perwakilan Politik. Fungsi ini terutama menjadi kebutuhan rakyat, baik untuk mengevaluasi maupun mengontrol perilaku pemerintahan dan program serta kebijakan yang dihasilkannya. Pemilihan umum dalam kaitan ini merupakan mekanisme demokratis bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakil yang dapat dipercaya yang akan duduk dalam pemerintahan. c. Pemilihan Umum Sebagai Mekanisme Bagi Pergantian atau Sirkulasi Elit Penguasa. Keterkaitan pemilihan umum dengan sirkulasi elit didasarkan pada asumsi bahwa elit berasal dari dan bertugas mewakili masyarakat luas atau rakyat. Secara teoritis, hubungan pemilihan umum dengan sirkulasi elit dapat dijelaskan dengan melihat proses mobilitas kaum elit atau non elit yang menggunakan jalur Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
institusi politik, dan organisasi kemasyarakatan untuk menjadi anggota elit tingkat nasional, yakni sebagai anggota kabinet dan jabatan yang setara. Dalam kaitan itu, pemilihan umum merupakan saran dan jalur langsung untuk mencapai posisi elit penguasa. Dengan begitu maka melalui pemilihan umum diharapkan bisa berlangsung pergantian atau sirkulasi elit penguasa secara kompetitif dan demokratis. d. Sebagai Sarana Pendidikan Politik Bagi Rakyat Pemilihan umum merupakan salah satu bentuk pendidikan politik bagi rakyat yang bersifat langsung, terbuka dan massal, yang diharapkan bisa mencerdaskan pemahaman politik dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang demokrasi17.
I.6. Definisi Konsep Konsep adalah suatu istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok ataupun individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial 18. Berikut beberapa konsep beserta definisinya yang digunakan didalam penelitian ini yang berfungsi untuk memberikan batasan yang tepat terkait dengan fenomena yang akan diteliti: I.6. 1. Perbandingan Perbandingan adalah kegiatan pengidentifikasian persamaan/perbedaan antara dua objek atau lebih. Perbandingan yang dimaksudkan di sini adalah kegiatan pengidentifikasian persamaan/perbedaan antara undang-undang No. 17 18
Syamsuddin Haris. loc.cit. M. Singarimbun, Metodologi Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1995. Hal. 33.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
10 tahun 2003 dengan undang-undang 12 tahun 2008 dalam hal penetapan calon terpilih.
I. 6. 2. Pemilihan Umum Pemilihan umum adalah saran pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau Parlemen, Presiden dan Wakil Presiden secara berkala berdasarkan peraturan perundang-undangan. a. Pemilihan Umum Indonesia Tahun 2004 Pemilihan umum Indonesia tahun 2004 adalah pemilihan umum yang dilaksanakan pada tahun 2004 untuk memilih presiden dan wakil presiden serta memilih Dewan Perwakilan Rakyat. b. Pemilihan Umum Indonesia Tahun 2009 Pemilihan umum Indonesia tahun 2009 adalah pemilihan umum yang dilaksanakan pada tahun 2009 untuk memilih presiden dan wakil presiden serta memilih Dewan Perwakilan Rakyat.
I.7. Metodologi Penelitian I.7.1. Bentuk Penelitian Penelitian yang akan dilakukan ini menerapkan metode penelitian Komparatif yang bersifat membandingkan variabel yang lebih dari satu atau dalam waktu yang berbeda. Pembandingan yang dilakukan tersebut kemudian diikuti dengan pemberian interpretasi sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan dari pembandingan tersebut.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
I.7.2. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengumpulan data kepustakaan, dengan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin yang berkaitan dengan judul dan permasalahan penelitian dari berbagai literatur, seperti buku, situs internet, jurnal, laporan, artikel dan bentuk literatur lainnya yang terkait.
I.7.3. Teknik Analisis Data Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif, dimana teknik ini melakukan analisa atas masalah yang ada sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang akan diteliti dan kemudian dilakukan penarikan kesimpulan.
I.7.4. Sistematika Penulisan BAB I: Pendahuluan Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II: Pelaksanaan Pemilu di Indonesia Bab ini memberikan penjelasan mengenai pelaksanaan pemilu di Indonesia sejak pemilu tahun 1955 sampai dengan pemilu tahun 2009. Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
BAB III: Pembahasan Bab ini menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan antara undangundang No.12 tahun 2003 dengan Undang-undang No.10 tahun 2008 tentang penentuan calon terpilih serta implikasinya kepada masyarakat dan pengaruhnya terhadap proses demokrasi di Indonesia. BAB IV: Kesimpulan dan Saran Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran yang berhubungan dengan penelitian.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
BAB II SEJARAH PEMILU DI INDONESIA II.1. Pemilu 1955 Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut. Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab. Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih anggota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
Keterlambatan dan penyimpangan tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundangundangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan. Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal: 1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu; 2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi. Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi. Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi. Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
Tabel 1 Hasil pemilu 1955 No
Partai
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Partai Nasional Indonesia (PNI) Masyumi Nahdlatul Ulama (NU) Partai Komunis Indonesia (PKI) Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Partai Kristen Indonesia (Parkindo) Partai Katolik Partai Sosialis Indonesia (PSI) IPKI Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) Partai Rakyat Nasional (PRN) Partai Buruh Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) Partai Rakyat Indonesia (PRI) Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) Murba Baperki PIR Wongsonegoro Grinda Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia Persatuan Daya (PD) PIR Hazairin Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) AKUI Persatuan Rakyat Desa (PRD) Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) Angkatan Comunis Muda (Acoma) R.Soedjono Prawirisoedarso Lain-lain
Jumlah Suara 8.434.653 7.903.886 6.955.141 6.179.914 1.091.160 1.003.326 770.740 753.191 541.306 483.014 242.125 224.167 219.985 206.161 200.419 199.588 178.887 178.481 154.792 149.287 146.054 114.644 85.131 81.454 77.919 72.523 64.514 53.306 1.022.433
% 22,32 20,92 18,41 16,36 2,89 2,66 2,04 1,99 1,43 1,28 0,64 0,59 0,58 0,55 0,53 0,53 0,47 0,47 0,41 0,40 0,39 0,30 0,22 0,21 0,21 0,19 0,17 0,14 2,71
Jumlah Kursi 57 57 45 39 8 8 6 5 4 4 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 -
Sumber: http//www.id.wikipedia.org/pemilu_1955
Periode Demokrasi Terpimpin Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun berikutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II. Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree. Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden. Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemilihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR sejajar dengan presiden. Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pasca kudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.
II.2. Pemilu 1971 Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971. Sebagai pejabat presiden Soeharto tetap menggunakan MPRS dan DPRGR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama. Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno. UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun. Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu. Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma. Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan. Tahap Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar. Namun
demikian,
cara
pembagian
kursi
dalam
Pemilu
1971
menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini.
Tabel 2 Hasil Pemilu 1971 No.
Partai
1.
Partai Katolik
2.
Partai Syarikat Islam Indonesia
3.
Partai Nahdlatul Ulama
4.
Partai Muslimin Indonesia
5.
Golongan Karya
6.
Partai Kristen Indonesia
Jumlah Suara
Persentase
Jumlah Kursi
603.740
1,10
3
1.308.237
2,39
10
10.213.650
18,68
58
2.930.746
5,36
24
34.348.673
62,82
236
733.359
1,34
7
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
7.
Partai Musyawarah Rakyat Banyak
48.126
0,08
0
8.
Partai Nasional Indonesia
3.793.266
6,93
20
9.
Partai Islam PERTI
381.309
0,69
2
10.
IPKI
338.403
0,61
0
54.669.509
100
360
Jumlah
Sumber: data pemilu 1971 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI 1971.
II.3. Pemilu 1977 Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971. Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masyumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masyumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masyumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar. PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partaipartai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3 Hasil Pemilu 1977 No
Partai
Perolehan Suara
Perolehan Kursi
1
PPP
18.743.491
99
2
Golkar
39.750.096
232
3
PDI
5.504.757
29
63.998.344
360
Jumlah
Sumber: data pemilu 1977 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI 1977.
II. 4. Pemilu 1982 Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masingmasing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
Tabel 4 Hasil pemilu 1982 No
Partai
Perolehan Suara
Perolehan Kursi
1
PPP
20.871.880
94
2
Golkar
48.334.724
242
3
PDI
5.919.702
24
75.126.306
364
Jumlah
Sumber: data pemilu 1982 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI 1982.
II. 5. Pemilu 1987 Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini. Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
Tabel 5 Hasil Pemilu 1987 No
Partai
Perolehan Suara
Perolehan Kursi
1
PPP
13.701.428
61
2
Golkar
62.783.680
299
3
PDI
9.384.708
40
85.869.816
400
Jumlah
Sumber: data pemilu 1987 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI 1987.
II. 6. Pemilu 1992 Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya. PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka?bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara nasional. Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI. Tabel 6 Hasil Pemilu 1992 No
Partai
Perolehan Suara
Perolehan Kursi
1
PPP
16.624.647
62
2
Golkar
66.599.331
282
3
PDI
14.565.556
56
97.789.534
400
Jumlah
Sumber: data pemilu 1992 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI 1992.
II. 7. Pemilu 1997 Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya. PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992. Tabel 7 Hasil Pemilu 1997 No
Partai
Perolehan Suara
Perolehan Kursi
1
PPP
84.187.907
325
2
Golkar
25.340.028
89
3
PDI
3.463.225
14
112.991.150
425
Jumlah
Sumber: data pemilu 1997 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI 1997.
Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.
II. 8. Pemilu 1999 Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru. Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta). Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah
dijalankan
juga
oleh
pemerintahan
sebelum-nya.
Habibie
menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional. Meskipun
masa
persiapannya
tergolong
singkat,
pelaksanaan
pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara. Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut:
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu 1999. Tabel 8 Daftar Partai Yang Menolak Menandatangani Hasil Pemilu 1999 No Nama Partai 1 Partai Keadilan
No 15
Nama Partai PNU
2
PBI
16
PDI
3
Masyumi
17
PNI Supeni
4
Krisna
18
Partai KAMI
5
PKD
19
PAY
6
Partai MKGR
20
PIB
7
Partai SUNI
21
PNBI
8
PUDI
22
PBN
9
PKM
23
PND
10
PADI
24
PRD
11
PPI
25
PID
12
Murba
26
SPSI
13
PUMI
27
PSP
14
PARI
Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyarakat tanggal 26 Juli 1999. Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa. Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord. Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan. Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. 19 Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997. Selengkapnya hasil perhitungan pembagian kursi itu seperti terlihat dalam tabel di bawah.
Tabel 9 Hasil pemilu 1999 No
Partai
Jumlah Suara
%
Kursi
1
Partai Indonesia Baru
192.712
0,18%
0
2
Partai Kristen Nasional Indonesia
369.719
0,35%
0
3
Partai Nasional Indonesia
377.137
0,36%
0
4
Partai Aliansi Demokrat Indonesia
85.838
0,08%
0
5
Partai Kebangkitan Muslim Indonesia
289.489
0,27%
0
6
Partai Ummat Islam
269.309
0,25%
0
7
Partai Kebangkitan Ummat
300.064
0,28%
1
8
Partai Masyumi Baru
152.589
0,14%
0
9
Partai Persatuan Pembangunan
11.329.905
10,71%
58
10
Partai Syarikat Islam Indonesia
375.920
0,36%
1
11
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
35.689.073
33,74%
153
12
Partai Abul Yatama
213.979
0,20%
0
13
Partai Kebangsaan Merdeka
104.385
0,10%
0
14
Partai Demokrasi Kasih Bangsa
550.846
0,52%
5
15
Partai Amanat Nasional
7.528.956
7,12%
34
16
Partai Rakyat Demokratik
78.730
0,07%
0
19
http//www.kpu.go.id
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
17
Partai Syarikat Islam Indonesia 1905
152.820
0,14%
0
18
Partai Katolik Demokrat
216.675
0,20%
1
19
Partai Pilihan Rakyat
40.517
0,04%
0
20
Partai Rakyat Indonesia
54.790
0,05%
0
21
Partai Politik Islam Indonesia Masyumi
456.718
0,43%
1
22
Partai Bulan Bintang
2.049.708
1,94%
13
23
Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia
61.105
0,06%
0
24
Partai Keadilan
1.436.565
1,36%
7
25
Partai Nahdlatul Ummat
679.179
0,64%
5
26
PNI - Front Marhaenis
365.176
0,35%
1
27
PIPKI
328.654
0,31%
1
28
Partai Republik
328.564
0,31%
0
29
Partai Islam Demokrat
62.901
0,06%
0
30
Partai Nasional Indonesia - Massa Marhaen
345.629
0,33%
1
31
Partai Musyawarah Rakyat Banyak
62.006
0,06%
0
32
Partai Demokrasi Indonesia
345.720
0,33%
2
33
Partai Golongan Karya
23.741.749
22,44%
120
34
Partai Persatuan
655.052
0,62%
1
35
Partai Kebangkitan Bangsa
13.336.982
12,61%
51
36
Partai Uni Demokrasi Indonesia
140.980
0,13%
0
37
Partai Buruh Nasional
140.980
0,13%
0
38
PMKGR
204.204
0,19%
0
39
Partai Daulat Rakyat
427.854
0,40%
1
40
Partai Cinta Damai
168.087
0,16%
0
41
Partai Keadilan dan Persatuan
1.065.686
1,01%
4
42
Partai Solidaritas Pekerja
49.807
0,05%
0
43
Partai Nasional Bangsa Indonesia
149.136
0,14%
0
44
Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia
364.291
0,34%
1
45
Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia
180.167
0,17%
0
46
Partai Nasional Demokrat
96.984
0,09%
0
47
Partai Umat Muslimin Indonesia
49.839
0,05%
0
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
48
Partai Pekerja Indonesia
63.934
Jumlah
0,06%
0
105.786.661 100,00%
462
Sumber: http//www.kpu.go.id
II. 9. Pemilu 2004 Pemilihan umum ini dilaksanakan pada tanggal 5 april 2004 untuk memilih 550 anggota DPR RI, 128 anggota DPD beserta anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemilihan anggota DPR dilakukan dengan sistem proporsional terbuka dan diikuti oleh 24 partai politik. Dari 124.420.339 orang pemilih terdaftar, 124.420.339 orang (84,07%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 113.462.414 suara (91,19%) dinyatakan sah. Berikut perinciannya:
Tabel 10 Hasil Pemilu 2004 No
Partai
Suara
%
Kursi
1
Partai Nasional Indonesia Marhaenisme
923.159
0,81%
1
2
Partai Buruh Sosial Demokrat
636.397
0,56%
0
3
Partai Bulan Bintang
2.970.487
2,62%
11
4
Partai Merdeka
842.541
0,74%
0
5
Partai Persatuan Pembangunan
9.248.764
8,15%
58
6
Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan
1.313.654
1,16%
5
7
Partai Perhimpunan Indonesia Baru
672.952
0,59%
0
8
Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
1.230.455
1,08%
1
9
Partai Demokrat
8.455.225
7,45%
57
10
PKPI
1.424.240
1,26%
1
11
Partai Penegak Demokrasi Indonesia
855.811
0,75%
1
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
12
PPNUI
895.610
0,79%
0
13
Partai Amanat Nasional
7.303.324
6,44%
52
14
Partai Karya Peduli Bangsa
2.399.290
2,11%
2
15
Partai Kebangkitan Bangsa
11.989.564
10,57%
52
16
Partai Keadilan Sejahtera
8.325.020
7,34%
45
17
Partai Bintang Reformasi
2.764.998
2,44%
13
18
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
21.026.629
18,53%
109
19
Partai Damai Sejahtera
2.414.254
2,13%
12
20
Partai Golongan Karya
24.480.757
21,58%
128
21
Partai Patriot Pancasila
1.073.139
0,95%
0
22
Partai Sarikat Indonesia
679.296
0,60%
0
23
Partai Persatuan Daerah
657.916
0,58%
0
24
Partai Pelopor
878.932
0,77%
2
113.462.414
100
550
Jumlah
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
BAB III PEMBAHASAN
Dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dinyatakan bahwa untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia. 20 Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara yang berkedaulatan rakyat. Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (hasil amandemen ketiga) menyatakan bahwa ”kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”, yang oleh Pasal 22E ayat (6) ditegaskan bahwa perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui lembaga perwakilan rakyat, baik di tingkat nasional maupun daerah, dan lembaga perwakilan daerah, yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Perwujudan kedaulatan rakyat, dengan demikian, memerlukan suatu undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) anggota lembaga perwakilan rakyat dan daerah, guna terbentuknya lembaga permusyawaratan rakyat dan lembaga perwakilan rakyat dan daerah. Pemilu
20
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alinea ke 4 (empat)
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
sebagai
sarana
perwujudan
kedaulatan
rakyat
guna
menghasilkan
pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimaksudkan untuk terpilihnya anggota, dan terbentuknya, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui pemilu yang bersifat langsung, rakyat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Semua warga negara yang memenuhi persyaratan sebagai pemililih berhak mengikuti pemilu dan memberikan suaranya secara langsung. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna terjaminnya kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan. Sementara itu, pemilu perlu diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas yang dilaksanakan secara lebih berkualitas, sistematis, legitimate dan akuntabel dengan partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Setiap penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan dan/atau perlakuan yang tidak adil dari pihak manapun. Pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas agar lebih menjamin derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang lebih berkualitas, yang menjamin derajat kompetisi yang tinggi, sehat, partisipatif, serta mempunyai
derajat
keterwakilan
yang
tinggi
dan
mekanisme
pertanggungjawaban yang jelas, dipandang perlu untuk membentuk undangundang (UU) tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, sebagai penyempurnaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang-Undang yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang nomor 10 Tahun 2008. Pemilihan umum, yang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dalam sebuah negara republik demokrasi memiliki beberapa sistem, yaitu: 1. Sistem distrik, merupakan sistem pemilihan di mana negara terbagi dalam daerah-daerah bagian. Di dalam badan perwakilan rakyat, setiap distrik diwakili oleh seorang atau beberapa orang anggota yang jumlahnya sama dari semua distrik. Kelebihan dari sistem ini adalah, rakyat mengenal wakilnya dengan baik, begitu pun sebaliknya, dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara wakil dengan daerah yang diwakilinya. Sedangkan kekurangannya adalah, suara minoritas akan hilang karena hanya yang mendapat suara mayoritaslah yang akan mewakili daerahnya. 2. Sistem proporsional, merupakan sistem berdasarkan presentase pada kursi parlemen yang akan dibagikan kepada partai politik peserta pemilihan umum, dengan kata lain, partai politik akan memperoleh jumlah kursi sesuai dengan jumlah suara pemilih yang diperoleh di seluruh wilayah negara. Kebaikan sistem ini adalah, semua partai terwakili sehingga lebih demokratis. Selain itu, pada sistem ini, pemilihan juga dilaksanakan secara nasional, tidak dilakukan per daerah. Badan perwakilan benar-benar menjadi wadah aspirasi seluruh rakyat bagi negara yang menggunakan sistem ini. Namun, keburukannya adalah, pemimpin partai sangat menentukan siapa saja yang akan duduk di dalam parlemen untuk Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
mewakili partainya. Di samping itu, wakil daerah juga tidak mengenal daerah pemilihannya secara dekat. 3. Sistem gabungan, merupakan penggabungan dua sistem sebelumnya. Pada sistem ini, negara dibagi dalam beberapa daerah pemilihan, sisa suara yang bukan mayoritas tidak hilang begitu saja karena diperhitungkan dengan jumlah kursi yang akan dibagi. Secara umum, pemilu yang diselenggarakan pada masa Orde Baru dianggap oleh kebanyakan masyarakat tidak berlangsung secara demokratis. Berbagai strategi dihalalkan oleh sebuah partai yang berkuasa pada saat itu untuk terus memenangkan pemilu. Runtuhnya Orde Baru yang ditandai dengan turunnya Soeharto dari jabatan Presiden, memberikan angin segar di tengah masyarakat yang sedang haus akan pendidikan politik dan berhasrat untuk belajar berdemokrasi. Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama di Indonesia yang dianggap dunia internasional sebagai yang paling demokratis. Dengan menambahkan azas jujur dan adil (jurdil) di belakang langsung, umum, bebas, rahasia (luber), pemilu 1999 untuk pertama kalinya diselenggarakan oleh lembaga independen bernama KPU. Pelaksanaannya pun sangat terbuka di bawah pengawasan dari berbagai lembaga pengawas independen, baik lokal maupun asing. Perubahan positif juga terjadi pada susunan dan kedudukan lembaga legislatif dan eksekutif. Kini, Presiden tidak lagi menjadi mandataris MPR karena Presiden beserta wakilnya dipilih langsung oleh rakyat, sehingga peran lembaga legislatif hanya sebagai pengawas terhadap pelaksanaan pemerintahan. “Perwujudan demokrasi” sendiri diindikasikan antara lain oleh tegaknya prinsip-prinsip kebebasan, keterwakilan, akuntabilitas, dan keadilan sebagai satu Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
paket. Pemilu adalah sarana untuk menegakkan keempat prinsip ini sebagai satu paket. Pemilu yang demokratis, dengan demikian, pada akhirnya diindikasikan oleh seberapa jauh aturan, proses, dan hasil Pemilu itu bisa melayani keharusan tegaknya satu paket kebebasan, keterwakilan, akuntabilitas, dan keadilan. Dalam kerangka itu, ada tiga aspek yang mesti menjadi pusat perhatian dalam penilaian atau pemantauan atas pemilu: (a) hukum atau aturan pemilu (electoral law), (b) proses pemilu (electoral process), dan (c) hasil-hasil pemilu (electoral results). Pemilu-pemilu yang telah dilaksanakan di Indonesia memberikan pembelajaran penting mengenai seberapa jauh prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pemilu dan demokrasi tersebut sudah berhasil diwujudkan. Sebagai elemen sentral dalam proses rekrutmen politik modern, pemilu juga merupakan titik penyeimbang antara kebutuhan akan sirkulasi elit di satu sisi dengan keperluan adanya jaminan kesinambungan sistem di sisi yang lain. Selain itu, pemilu juga merupakan salah satu ukuran terpenting bagi derajat partisipasi politik pada suatu negara. Terwujudnya pemilu yang bebas biasanya merupakan indikator mulai bekerjanya kekuatan reformasi di negara yang sedang mengalami transisi. Indonesia termasuk negara yang telah mengalami transisi politik besarbesaran secara berulang. Demokrasi di negeri ini juga mengalami pasang surut yang cukup signifikan. Tak beda dengan kecenderungan umum di banyak negara, perubahan politik serta naik-turunnya kualitas demokrasi di negara ini juga berimplikasi pada penyelenggaraan pemilu. Keluhan-keluhan utama tentang kualitas demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru antara lain dialamatkan pada penyelenggaraan pemilu yang intimidatif dan penuh kecurangan. Sebaliknya, Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
kebanggaan pada era reformasi pun senantiasa direfleksikan pada kemampuan bangsa kita untuk menyelenggarakan pemilu multi-partai yang bebas, jujur dan adil semenjak tahun 1999. Meskipun demikian, pemilu di Indonesia tak selalu mudah dipahami oleh publik umumnya dan para pemilih khususnya. Regulasi yang senantiasa berubahrubah memberikan kontribusi sangat besar terhadap munculnya kebingungan akan sistem dan tata cara pemilu kita. III. 1. Regulasi Pemilihan Umum Regulasi dalam Pemilihan Umum merupakan salah satu faktor yang menentukan berhasil tidaknya pelaksanaan Pemilu tahun 2009. Pemilu yang sukses mengindikasikan bahwa pembangunan dalam suatu negara berhasil dilaksanakan dengan sukses pula. Ini berarti bahwa negara tersebut berhasil mengantisipasi perubahan dalam proses pengelolaan pembangunan, sekaligus mengoreksi
kelemahan-kelemahan
yang
ada, dan
sanggup
membawa
pembangunan pada sasaran dalam jangka waktu yang sudah ditetapkan. Di Indonesia, kesemuanya itu bertumpu pada 4 (empat) pilar, yaitu Dasar Negara Pancasila sebagai idiologi bangsa, Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Perubahan paradigma dan perilaku dalam penerapan regulasi pada Pemilu termasuk faktor esensial untuk mengatasi permasalahan-permasalahan, termasuk dalam pengelolaan konflik. Dalam hal ini, perubahan regulasi tidak hanya pada komitmen dan kebijakan politik yang lebih pro-aktif untuk menyelamatkan dan mencegah terjadinya konflik antar peserta Pemilu lebih jauh. Perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan juga merupakan aspek strategis untuk mengatasi Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
kondisi suatu bangsa dan negara. Selain karena kesalahan cara pandang dan perilaku manusia, keterpurukan suatu negara juga dapat disebabkan oleh kegagalan pemerintah, yang antara lain adalah: 1. kegagalan dalam memilih model pemerintahan; 2. kegagalan
pemerintah
dalam
memainkan
dalam
membangun
peran
sebagai penjaga
kepentingan bersama; 3. kegagalan
pemerintah
suatu
penyelenggaraan
pemerintah yang baik; dan 4. terjadinya penyimpangan dan penyelewengan terhadap berbagai ketentuan formal dibidang politik. Memperhatikan fakta-fakta tersebut, segenap komponen bangsa telah sepakat untuk mengatasi
penyimpangan perilaku dengan mengedepankan
supremasi hukum sebagai ujung tombak untuk mengatasi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), karena pemberantasan KKN dan penegakkan hukum merupakan salah satu syarat terciptanya pemerintahan yang baik (good governance). Untuk itu diperlukan adanya pemerintahan yang bersih (clean government). Dengan terbangunnya komitmen tersebut, regulasi dalam Pemilu 2009 diharapkan akan dapat diterapkan dan dipatuhi oleh seluruh komponen masyarakat secara bersama-sama sehingga akan berdampak pada tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Pelaksanaan pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan diselenggarakan pada setiap lima tahun sekali, serta Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
dilaksanakan di seluruh wilayah NKRI sebagai satu kesatuan. Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. III.2. Pemilu dan Perkembangannya Dalam pada itu, hakekat Pemilu sejak tahun 1955 sampai pascareformasi 1998 cenderung mengalami perubahan, terutama sejak adanya amandemen UUD 1945. Sebagai pelaksanaan UUD 1945 dan perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD, telah disahkan Undang-Undang 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD yang intinya mengatur tahapan Pemilu, peserta Pemilu, persyaratan Parpol peserta Pemilu, pemutakhiran data kependudukan, kampanye dan pemungutan suara. Selain itu, dalam Undang–Undang tersebut juga diatur mengenai peranan perempuan dalam Pemilu 2009 dengan diakomodirnya keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% pada kepengurusan parpol tingkat pusat dan setiap daftar balon paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Artinya, dalam setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan. Dalam rangka pembangunan politik dalam negeri dan sejak Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, berdasarkan pengalaman pelaksanaan dua kali Pemilu tersebut, pemerintah dan DPR-RI senantiasa melakukan perbaikan regulasi politik khususnya undang-undang Pemilu. Prinsip-prinsip umumnya adalah melakukan perbaikan kelemahan pasal-pasal tertentu dari undang-undang yang sudah ada; sinkronisasi seluruh undang-undang bidang politik; melanjutkan konsolidasi
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
demokrasi berdasarkan UUD 1945; dan memantapkan sistem pemerintahan presidensiil. Ada 5 (lima) Undang-Undang bidang politik yang telah disusun/ditata kembali. Undang-Undang tersebut adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan Rancangan UndangUndang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD masih sedang dalam proses pembahasan di tingkat Panja. Dari semua produk perundang-undangan bidang politik tersebut, satu hal yang harus kita pahami bahwa Pemilu dilaksanakan oleh Penyelenggara Pemilu yang selanjutnya disebut Komisi Pemilihan Umum. Dalam hubungan ini Pemerintah memberikan dukungan dan fasilitas, bukan masuk pada tatanan pelaksanaan teknis Pemilu. Semuanya bermuara pada ketahanan politik dalam negeri yang mencakup; a) Sistem dan Implementasi Politik; Kelembagaan Politik Pemerintahan; Kelembagaan Partai Politik; b) Budaya dan Pendidikan Politik; c) Fasilitasi Pemilihan Umum; d) Fasilitasi Pemilihan Presiden; e) Fasilitasi Pemilihan Kepala Daerah. Meskipun demikian, keberhasilan penyelenggaraan Pemilu secara nasional tetap menjadi tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini Presiden. Inilah, dasar pertimbangannya pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri mengupayakan terbentuknya Desk Pilkada dan Desk Pemilu sebagai
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
bentuk pengawalan atas tahapan Pemilu demi terciptanya Pemilu yang damai, tenteram dan tetap terjaganya persatuan dan kesatuan bangsa. Pemilu Tahun 2009 diikuti oleh semua Parpol yang memiliki kursi di DPR dan Parpol baru yang berstatus badan hukum dari Depkumham yang lolos verifikasi KPU, yang keseluruhannya berjumlah 44 Partai Politik, termasuk 6 Partai Politik Lokal di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Jumlah ini lebih besar bila dibandingkan dengan peserta Pemilu tahun 2004 yang berjumlah 24 Partai Politik. Pemilu Tahun 2009 akan diikuti oleh 38 (tiga puluh delapan) parpol peserta pemilu, yaitu (1) Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), (2) Partai Karya Peduli Bangsa, (3) Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia, (4) Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), (5) Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA), (6) Partai Barisan Nasional, (7) Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, (8) Partai Keadilan Sejahtera, (9) Partai Amanat Nasional, (10) Partai Perjuangan Indonesia Baru, (11) Partai Kedaulatan, (12) Partai Persatuan Daerah, (13) Partai Kebangkitan Bangsa, (14) Partai Pemuda Indonesia, (15) Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, (16) Partai Demokrasi Pembaruan, (17) Partai Karya Perjuangan, (18) Partai Matahari Bangsa, (19) Partai Penegak Demokrasi Indonesia, (20) Partai Demokrasi Kebangsaan, (21) Partai Republik Nusantara (RepublikaN), (22) Partai Pelopor, (23) Partai Golkar, (24) Partai Persatuan Pembangunan, (25) Partai Damai Sejahtera, (26) Partai Nasional Banteng Kerakyatan Indonesia, (27) Partai Bulan Bintang, (28) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, (29) Partai Bintang Reformasi, (30) Partai Patriot, (31) Partai Demokrat, (32) Partai Kasih Demokrasi Indonesia, (33) Partai Indonesia Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
Sejahtera, (34) Partai Kebangkitan Nasional Ulama, (35) Partai Merdeka, (36) Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, (37) Partai Sarikat Indonesia, dan (38) Partai Buruh. 21 Di samping itu ada 6 (enam) parpol lokal di NAD, yakni (1) Partai Aceh, (2) Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), (3) Partai Bersatu Aceh (PBA), (4) Partai Daulat Atjeh (PDA), (5) Partai Rakyat Aceh (PRA), (6) Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Partai lokal tersebut hanya dibentuk di Provinsi NAD yang akan memilih Anggota DPR A (Aceh). 22 Sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pemilu diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional ini mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilu mencakup seluruh wilayah negara kesatuan RI. Lembaga KPU ini menjalankan tugas secara berkesinambungan, dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri KPU dalam menyelenggarakan dan melaksanakan Pemilu bebas dari pengaruh pihak manapun. Selanjutnya dengan wilayah Indonesia yang begitu luas, jumlah penduduk yang besar dan menyebar ke seluruh nusantara serta memiliki kompleksitas permasalahan tertentu, penyelenggara pemilu dituntut untuk profesional, memiliki kredibilitas dan dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya sesuai dengan Pasal 121 UU 22/2007, bahwa untuk melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajibannya, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dapat bekerja sama dengan Pemerintah dan pemerintah daerah serta memperoleh bantuan dan fasilitas, baik dari pemerintah maupun dari 21 22
Sumber Komisi Pemilihan Umum Sumber Komisi Pemilihan Umum
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
pemerintah daerah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan kewajiban daerah sesuai Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang bunyinya pada point a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan, dan kerukunan nasional, serta keutuhan NKRI, dan mengembangkan kehidupan Demokrasi. Untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan Pemilu 2009, sebagai tindak lanjut dari UU tersebut, telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2009 tentang Bantuan Fasilitas Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2009. Bantuan dan fasilitas pemerintah daerah dimaksud mencakup pengaturan tentang penugasan personil dan penyediaan sarana ruangan. Dalam kaitan ini Departemen Dalam Negeri telah menerima surat Ketua KPU Nomor: 908/15/V/2008 tertanggal 12 Mei 2008 dan Surat KPU Nomor: 2486/15/VIII/2008 tertanggal 5 Agustus 2008 tentang Permohonan Bantuan dan Fasilitas Pemilu 2009. Berdasarkan permintaan tersebut maka Departemen Dalam Negeri memandang perlu adanya suatu koordinasi dengan seluruh jajaran Pemerintah Daerah untuk menginventarisir sekaligus mengkoordinasikan berbagai persiapan pemilu 2009 di masing-masing daerah. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi riil tentang berbagai persiapan dan bentuk bantuan maupun fasilitas yang diperlukan untuk lancarnya pemilu 2009. Semua ini adalah sejalan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 27 ayat (1) huruf d, bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai kewajiban melaksanakan kehidupan demokrasi.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
III.3. Penentuan Calon terpilih dalam Pemilu 2009 Pemilu 2009 kita dituntut untuk mendukung dan menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif guna suksesnya Pemilu dimaksud. Kondisi ini juga mengisyaratkan agar kita melakukan upaya-upaya persiapan pemilu 2009 secara konsepsional, terencana dan terprogram dengan tetap bersandar pada semangat konstitusi sehingga setiap langkah kebijakan kita tetap berjalan sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, dalam kebijakan umum pemerintah, pemerintah berkewajiban mendorong implementasi secara maksimal UU bidang Politik oleh Parpol, Masyarakat, KPU dan Bawaslu. Guna mendukung kelancaran proses penyelenggaraan Pemilu, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah akan membentuk
Desk
Pemilu.
Dengan demikian diharapkan Pemilu
dapat
dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas dan rahasia, jujur dan Mahkamah Konstitusi menganulir mekanisme penetapan calon anggota legislatif terpilih yang dianut UU No 10/2008 dan menggantinya dengan sistem suara terbanyak. Kedaulatan rakyat dipulihkan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 22 dan 24/PUU-VI/2008 hanya membatalkan pasal 214 UU Pemilu. Putusan itu tidak membatalkan pasal tentang affirmatif action terhadap perempuan. Pasal 55 ayat (2) UU Pemilu tetap berlaku dengan memberikan keistimewaan yang menempatkan perbandingan 3: 1 bagi bakal calon perempuan. Setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan. Namun putusan MK tentang suara terbanyak tidak membedakan keberlakuannya, baik bagi caleg perempuan maupun laki-laki. Keduanya memiliki dimensi yang Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
berbeda. Ketentuan affirmatif berlaku terbatas pada penetapan bakal caleg. Pasal 55 ayat (2) secara eksplisit menyebutkan bahwa ketentuan ini berlaku untuk “bakal caleg” dan bukan caleg terpilih. Kewajiban partai politiklah untuk memenuhi quota 30% keterwakilan perempuan. Sedangkan penetapan suara terbanyak adalah hak bagi pemilih untuk menentukan keterwakilannya di legislatif. Maka dengan keputusan MK ini, para caleg no 1 dalam DCT saat ini merupakan korban pertama yang paling keras menangis dan hanya bisa pasrah. Dengan demikian parpol yang terlanjur pasang harga untuk nomor ‘jadi’ pasti menuai protes para caleg ini. KPU pun langsung menjalankan keputusan MK ini. Sehingga tidak ada pilihan lain untuk para caleg no 1 tetap harus berjuang sama kerasnya dengan caleg lain untuk mendapatkan suara terbanyak. Inilah wajah demokrasi Indonesia sesungguhnya, di tahun 2009 rakyat mendapatkan wakilnya berdasarkan pilihan mereka, apakah mau pilih caleg perempuan atau laki-laki. Bandingkan dengan Pemilu 2004, mereka yang duduk di parlemen adalah semua yang mendapatkan ‘blessing’ dengan mendapat no. urut ‘1′. Dari sekitar 560 orang hanya 2 orang bisa tembus angka BPP. 23 Bahkan kalau KPU tetap bertahan dengan angka 30 % BPP sesuai dengan UU Pemilu no 10 tahun 2008, dengan simulasi data Pemilu 2004, hanya ada 13 orang anggota DPR lolos! Artinya rakyat tetap dapat kucing yang lain walau sudah memilih kucingnya sendiri dari karung yang sama. Keputusan MK adalah kemenangan bagi demokrasi. Suara rakyat yang menghendaki wakilnya yang meraih suara terbanyak duduk di parlemen dapat
23
kpu.go.id
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
diwujudkan putusan MK itu menjadi kontribusi penting bagi pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Fakta politik menunjukkan, orang baru sulit masuk ke lembaga legislatif karena nomor urut dikuasai orang itu-itu saja. Putusan MK itu menanggapi permohonan uji materi yang diajukan Mohammad Sholeh, Sutjipto, Septi Notariana, dan Jose Dima S. Sholeh adalah caleg dari PDI-P untuk DPRD Jawa Timur. Sutjipto dan Septi adalah caleg dari Partai Demokrat untuk DPR. Jose adalah warga negara biasa. MK hanya mengabulkan permohonan mereka yang terkait penentuan caleg terpilih. MK menyatakan, Pasal 214 bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat. Pasal 214 Huruf a-e menyatakan, ”Calon terpilih adalah calon yang mendapatkan suara di atas 30 persen bilangan pembagi pemilih, atau menempati nomor urut kecil jika tidak memperoleh 30 persen BPP, atau menempati nomor urut kecil jika memperoleh BPP.” Menurut MK, ketentuan Pasal 214 inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat dan bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat 1 UUD 1945. Penetapan caleg terpilih berdasarkan nomor urut adalah pelanggaran kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat tidak diindahkan dalam penetapan caleg. MK menilai kedaulatan rakyat dan keadilan akan terganggu. Jika ada dua caleg yang mendapatkan suara yang jauh berbeda ekstrem, terpaksa caleg yang mendapatkan suara terbanyak dikalahkan caleg yang mendapatkan suara kecil, tetapi nomor urut lebih kecil. MK juga menyatakan, memberi hak kepada caleg terpilih sesuai nomor urut sama artinya dengan memasung suara rakyat untuk memilih caleg sesuai pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian pasal 214 UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, mengubah sistem Pemilu legislatif dari sistem proporsional terbuka (Pasal 5 ayat 1 UU No 10 Tahun 2008) ke sistem distrik. Sistem pemilu untuk anggota DPR dan DPRD sekarang sama dengan sistem Pemilu untuk anggota DPD yang menggunakan sistem distrik (Pasal 5 ayat 2). Adapun bunyi Pasal 5 sebagai berikut: (1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. (2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini membatalkan penetapan anggota DPR dan DPRD melalui nomor urut menjadi suara terbanyak. Tetapi membatalkan Pasal 214 tanpa membatalkan Pasal 218 tentang Penggantian Calon Terpilih, tidak akan efektif terhadap calon-calon yang memiliki loyalitas pada partai, atau partai-partai yang mampu mengontrol seluruh calon anggota legislatifnya. Dalam ayat 1 Pasal 218 ini diatur tentang pengunduran diri calon terpilih. Calon dengan suara terbanyak tapi tidak di posisi nomor urut jadi, bisa dengan sukarela atau diminta partai untuk mengundurkan diri kemudian posisinya digantikan dengan calon yang lain. Pasal 218 berbunyi sebagai berikut: “(1) Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; c. tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota;
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
d. terbukti melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
III.4. Implikasi Penerapan Penentuan Calon Terpilih Melalui Suara Terbanyak Kalangan Partai Politik khawatir terjadi de-parpolisasi dengan keputusan Mahkamah tentang “Suara Terbanyak” ini. Kepatuhan para calon anggota legislatif terhadap partai politik akan runtuh, dan persaingan yang keras justru akan terjadi di antara calon di dalam partai sendiri. Dengan suara terbanyak, maka tingkat independensi anggota legislatif akan semakin kuat, sehingga tidak begitu saja tergantung pada kepemimpinan partai yang mencalonkannya sebagai anggota DPR/DPRD. Tingkat perpindahan dari satu fraksi ke fraksi lainnya di DPR atau DPRD akan semakin tinggi. Keputusan Mahkamah ini di sisi lain disambut baik oleh KPU, namun di sisi lain juga mematahkan Kebijakan Afirmatif (kebijakan khusus sementara) KPU tentang penempatan secara otomatis satu perempuan di antara tiga anggota legislatif terpilih di satu daerah pemilihan. Kebijakan Afirmatif semacam ini bertentangan dengan putusan Mahkamah tentang “Suara Terbanyak”. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini di bagian Pendapat Mahkamah nomor 3.19 yang menyatakan: “Pemohon harus dikabulkan, sehingga pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, namun hal tersebut tidak akan menimbulkan kekosongan hukum, walaupun tanpa revisi undang-undang maupun pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Putusan Mahkamah demikian bersifat self executing. Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta seluruh
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
jajarannya, berdasarkan kewenangan Pasal 213 UU 10/2008, dapat menetapkan calon terpilih berdasarkan Putusan Mahkamah dalam perkara ini”. 24 Keputusan Mahkamah seperti ini tidak lazim dan mungkin ilegal karena perubahan pasal-pasal atau perubahan seluruh undang-undang menurut UUD 1945 hanya bisa dilakukan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan melalui DPR. Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menggunakan sistem suara terbanyak dan tidak lagi menggunakan sistem nomor urut, maka seketika itu juga banyak caleg-caleg yang tadinya berada pada nomor urut yang tidak jelas alias tidak jadi menjadi ‘sumringah’. Muncul harapan baru bagi mereka untuk menjadi sosok seorang ‘anggota dewan’. Sistem suara terbanyak ini, membuat semua calon legislatif harus bekerja dan berkampanye kepada rakyat atau konstituen yang nantinya akan memilih calon legislatif itu sendiri. Mereka biasanya ‘mengumbar’ janji atau harapan yang dapat mengambil simpati dari para pemilih. Hal ini memaksa rakyat yang nantinya akan menjadi pemilih juga harus jeli dan cermat dalam memilih calon wakil rakyat yang nantinya akan membawa dan menyalurkan aspirasi mereka setelah para calon wakil rakyat tersebut menjadi anggota dewan atau anggota legislatif. Di samping itu, dengan adanya sistem suara terbanyak ini, sangat memungkinkan adanya perseteruan, perselisihan bahkan black campaign antara calon legislatif itu sendiri, baik dari satu partai politik atau pun lintas parpol. Hal ini terjadi, karena masing-masing caleg beranggapan dengan adanya sistem suara terbanyak ini mereka memiliki kesempatan atau peluang yang sama untuk menjadi seorang anggota dewan atau seorang wakil rakyat. 24
Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008 di bagian Pendapat Mahkamah nomor 3.19 Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
Tidak ada yang salah dalam putusan MK. Bahwa penetapan caleg terpilih berdasarkan nomor urut bertentangan dengan konstitusi. Setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Baik laki-laki, perempuan, pengurus partai politik, artis dan bahkan seorang pengangguran sekalipun. Mereka memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai anggota legislatif, jika rakyat menghendakinya. MK hanya mau mengatakan, bertarunglah secara terbuka dan adil untuk mengambil hati rakyat. Jangan kemudian menipu dengan terpilihnya caleg hanya karena bernomor urut kecil. Kembalikan kedaulatan kepada rakyat. Berikan hak mereka untuk menentukan yang terbaik. Rakyat tidak bodoh untuk memilih yang terbaik, walaupun dari yang terjelek. 25 Terlepas dari berbagai kontroversi, inkonsistensi, dan ambivalensi partaipartai politik dalam menyikapi sistem suara terbanyak sejak UU tersebut dibahas di DPR, keputusan MK patut diapresiasi sebagai bentuk penghormatan terhadap suara rakyat. Keputusan tersebut tak hanya memutus mata rantai oligarki pimpinan partai dalam penetapan calon anggota legislatif (caleg), tetapi juga mendorong para caleg untuk bekerja keras meraih dukungan dan simpati publik. Itu artinya pula, era berpangku tangan bagi pengurus partai yang umumnya berada di urutan teratas daftar caleg telah berakhir. Penetapan caleg melalui suara terbanyak melalui keputusan mahkamah konstitusi disambut lega semua pihak. Partai-partai yang selama ini ngotot memakai nomor urut mau tidak mau harus mengkalkulasi ulang target serta strateginya. Keputusan ini akan memberi dampak sangat besar terhadap struktur dan manajemen partai kedepannya. Partai yang selama ini bersandar pada figur ketua umumnya, pengkultusan individu, serta fanatisme buta tidak akan layak jual lagi. Tetapi partai yang dikelola dengan sistim serta manajemen administrasi 25
Pernyataan Mahfud MD pasca penetapan mekanisme caleg terpilih tanggal 28 Desember 2008
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
profesional akan lebih dominan dimasa-masa akan datang. Caleg pun tidak bisa lagi bertumpu pada ketokohan sang ketua semata. Namun harus bekerja lebih keras lagi membangun citra serta jaringannya sendiri. Salah satu kekurangan yang sangat mendasar pada sistem Pemilu 2004 adalah masih menggunakan sistem nomor urut untuk menentukan calon terpilih. Dalam UU No. 10 Tahun 2008 Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, penentuan terpilih calon anggota legislatif mengalami peningkatan apresiasi dari anggota legislatif bahwa calon terpilih berdasarkan 30% bilangan pembagi pemilih (BPP) dan nomor urut. Namun, ketentuan UU No. 10 Tahun 2008, Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e, oleh beberapa kalangan dianggap sebagai ketentuan yang malu-malu dalam memberikan mandat penuh kedaulatan pada rakyat. Sebab ketentuan ini masih menguntungkan elite partai yang hampir semua menempati nomor urut atas. Oleh karena itu, keputusan Mahkamah Konstitusi dengan membatalkan ketentuan 30% bilangan pembagi pemilih dan nomor urut menjadi suara terbanyak merupakan proses penyempurnaan sistem demokrasi di Indonesia. Pembatalan oleh Mahkamah Konstitusi tentang ketentuan calon terpilih sebagaimana tercantum pada UU No. 10 Tahun 2008 pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e tersebut didasarkan bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga saat ini ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. 26 Pembatalan ketentuan 30% BPP dan nomor urut menjadi suara terbanyak merupakan cerminan dari peningkatan kualitas sistem Pemilu Indonesia. Pada pemilu-pemilu sebelumnya muncul berbagai keluhan seperti istilah "memilih kucing dalam karung" karena masyarakat tidak mengetahui dan mengenali calon
26
Pikiran Rakyat, 26 Desember 2008
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
yang akan dipilih. Akibatnya, ketika muncul pengumuman calon terpilih timbul keheranan dan ketidakpuasan atas wakil mereka yang duduk di legislatif. Pemilu 2004 juga masih menjadi milik calon dengan nomor urut teratas (nomor milik elite partai) sehingga beberapa calon baik untuk DPRD kabupaten/kota, DPR provinsi maupun DPR RI yang memperoleh suara lebih besar dari nomor urut di atasnya tetapi tidak mencapai BPP tidak bisa menjadi wakil rakyat padahal ia adalah pilihan rakyat dengan perolehan suara terbanyak. Oleh karena itu, keputusan Mahkamah Konstitusi akan menjadi starting point yang sangat penting untuk menjawab kekurangan yang terjadi dalam sistem pemilu Indonesia selama ini. Beberapa hal penting tersebut di antaranya: Pertama, suara terbanyak meneguhkan kedaulatan di tangan rakyat. Suara terbanyak yang berasal dari rakyat merupakan esensi dalam sistem demokrasi. Dengan sistem ini, rakyat akan merasa aspirasinya terwakili dan kedaulatannya tersalurkan. Siapa pun calon yang memperoleh suara terbanyak adalah calon yang benar-benar pilihan rakyat sekaligus calon paling populis di tengah-tengah masyarakatnya. Sehingga kedaulatan di tangan rakyat (bukan di tangan elite partai) dan dijalankan menurut UU, menjadi kenyataan. Kedua, keuntungan bagi parpol dalam peningkatan perolehan suara. Dengan ditiadakannya sistem nomor urut menjadi suara terbanyak, dipastikan semua calon di nomor urut berapa pun mendapat peluang yang sama untuk menjadi wakil rakyat. Pengaruhnya, semua calon dari setiap parpol peserta pemilu pada suatu daerah pemilihan akan bekerja keras untuk memperoleh dukungan suara sebanyak-banyaknya. Maka, kesan nomor urut bawah sebagai nomor pelengkap dan tidak harus bekerja keras karena yang jadi pasti nomor urut atas Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
akan hilang. Pesimisme akan menjadi optimisme setiap calon. Optimisme calon akan berbuah kerja keras pada setiap calon yang pada akhirnya akan menjadi keuntungan parpol. Ketiga, mengurangi konflik internal partai. Penghapusan nomor urut menjadi tamparan bagi elite partai yang telah menempati nomor urut atas karena kekuasaannya. Setidaknya, kenyamanan dan optimisme yang begitu besar elite partai untuk menjadi wakil rakyat terganggu. Karena penentuan nomor urut sebagai calon pada awalnya adalah standar bisa tidaknya duduk sebagai wakil rakyat. Nomor urut bagus (di atas) akan menjadi peluang terbesarnya untuk menjadi wakil rakyat. Sehingga, perebutan nomor urut menjadi suasana yang panas di suatu parpol, khususnya di partai-partai yang memiliki anggota legislatif besar di Pemilu 2004 yang berujung pada konflik. Konflik tersebut misalnya ada kepengurusan ganda, anarkisme, jual beli nomor urut, bahkan terjadi anggota yang mengundurkan diri sebagai calon anggota legislatif salah satu parpol karena penempatan nomor urut. Dengan suara terbanyak, sedikit banyak mengurangi makna penting arti sebuah nomor urut. Siapa pun calon yang memperoleh suara terbanyak akan diakui calon lain bahwa ia yang berhak menjadi anggota legislatif, walaupun konflik masih ada ketika kampanye. Calon yang satu dengan calon yang lainnya di suatu daerah pemilihan tentu akan mengkampanyekan dirinya sendiri setelah itu baru partainya. Para calon akan membangun citra terbaik secara individu. Pemilu 2009 kita menyaksikan berbagai poster calon lebih semarak dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Poster-poster yang digunakan sebagai alat kampanye lebih
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
menonjolkan keunggulan-keunggulan individu dalam partai dibandingkan dengan visi dan misi partainya. Keempat, daerah berkesempatan diwakili calon yang berasal dari daerahnya. Selama ini, banyak anggota DPR yang tidak dikenal masyarakat di daerah pemilihannya. Masalahnya adalah calon tersebut berasal dari elite di partai yang tinggal di Jakarta atau bahkan "kenalan" elite partai yang pada pemilu sebelumnya menempati nomor urut jadi. Sehingga selama lima tahun berjalan pemerintahan rakyat memiliki kesulitan menyalurkan aspirasinya. Lebih celakanya lagi, anggota DPR dari pemilihan daerah tersebut tidak memiliki kesadaran tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat. Pada akhirnya menjadi anggota DPR adalah keuntungan pribadi dan mungkin partainya. Keunggulan suara terbanyak akan menjadi perbaikan sistem Pemilu 2009. Akan tetapi, akan sangat bergantung pada ketegasan, keberanian, dan keadilan penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum dan Panitia Pengawas Pemilu di semua tingkatan. Kedua lembaga ini secara UU merupakan lembaga yang memiliki mandat untuk melaksanakan rule of game seluruh proses pemilu. Kata kuncinya adalah bagaimana kedua lembaga ini mendorong upaya pelaksanaan pemilu yang bersih dan kualitas dengan program sosialisasi yang optimal. Akhirnya, kualitas Pemilu 2009 akan sangat bergantung pada sistem yang ditetapkannya. Sistem akan berjalan dengan baik seandainya pemegang mandat penegakan sistem mampu menjalankan amanahnya serta mendapat dukungan dari masyarakat. Sistem penetapan caleg terpilih sebenarnya hanya salah satu dari banyak faktor yang memengaruhi kualitas akuntabilitas wakil rakyat dan parlemen. Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
Sistem nomor urut bisa saja lebih baik apabila parpol-parpol peserta pemilu melakukan seleksi caleg secara transparan, partisipatif, dan demokratis. Artinya, urutan nama dalam daftar caleg disusun atas dasar kompetensi dan kualifikasi para caleg, bukan berdasarkan relasi personal caleg dengan pimpinan partai. Akan tetapi, dalam situasi di mana sebagian daftar caleg disusun atas dasar selera subyektif pimpinan partai, kedekatan personal, dan kontribusi dana para caleg, sistem suara terbanyak merupakan pilihan terbaik. Namun, masih ada beberapa faktor lain agar pilihan rakyat atas dasar suara terbanyak berkontribusi pada peningkatan akuntabilitas para wakil dan parlemen. Pertama, kualitas konstituen atau para pemilih. Pengetahuan konstituen tentang sosok para caleg turut menentukan kualitas hasil pilihan rakyat. Persoalannya, dalam era kebebasan pers dan informasi dewasa ini, terbuka peluang bagi para caleg yang memiliki dana besar untuk memanipulasi sosok dan profil ”asli” mereka. Maka, tidak mustahil jika sebagian yang terpilih adalah mereka yang belum tentu berpihak pada kepentingan rakyat. Kedua, kualitas para caleg. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses seleksi caleg sebagian besar parpol di Tanah Air masih buruk. Gabungan faktor popularitas (artis atau figur publik), kemampuan finansial, dan kedekatan personal/keluarga caleg dengan pengurus partai, masih mendominasi penentuan caleg. Ini tentu berdampak pada kualitas wakil meski terpilih melalui suara terbanyak. Ketiga, kualitas parpol peserta pemilu. Kecuali penetrasi masif tanda gambar, umbul-umbul, baliho, dan gambar diri para caleg yang mengepung seantero negeri dewasa ini, hampir-hampir tak pernah jelas, apa sesungguhnya Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
yang ditawarkan parpol-parpol untuk memperbaiki bangsa kita. Partai-partai hanya merayu rakyat untuk mendukungnya tanpa program politik genuine yang benar-benar menjanjikan perubahan nasib rakyat. Keempat, faktor teknis surat suara. Apabila 38 partai politik di setiap daerah pemilihan (3-10 kursi) mengajukan caleg untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam jumlah maksimal yang diperkenankan UU Pemilu (120 persen), maka setiap surat suara secara terpisah akan memuat 136-456 nama caleg. Belum termasuk caleg untuk lembaga DPD yang jumlahnya bervariasi di setiap provinsi. Itu artinya, pemilih harus mencontreng empat nama (masingmasing untuk DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) dari ratusan hingga lebih dari 1.000 nama caleg dalam surat suara. Ironisnya, pemilih hanya memiliki waktu beberapa menit di bilik suara untuk memutuskan pilihannya. Dalam kondisi seperti diuraikan, suara terbanyak sebagai mekanisme penetapan caleg terpilih sebenarnya baru ”seteguk air” di tengah rimba persoalan peningkatan kualitas akuntabilitas para wakil dan lembaga perwakilan. Agenda besar bangsa ini berikutnya adalah mencari terobosan agar mekanisme suara terbanyak berkorelasi positif bagi peningkatan kualitas para wakil terpilih dan parlemen. Itu artinya, sosialisasi pemilu secara intensif dan pendidikan pemilih secara benar diperlukan agar rakyat semakin cerdas dalam menentukan pilihan politiknya. Jika pemilih semakin cerdas, mekanisme suara terbanyak bisa menjadi momentum bagi rakyat untuk “mengadili” para wakil dan partai yang tidak bertanggung jawab. Setelah menunggu hampir lima tahun, inilah saatnya rakyat Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
bicara, memilih caleg dan atau partai yang dianggap lebih menjanjikan dibandingkan yang lain. Karena itu, mekanisme suara terbanyak yang diputuskan MK semestinya menjadi momentum bagi parpol-parpol untuk berubah, dari sekadar ajang merebut kursi menjadi wadah perjuangan untuk mengubah nasib rakyat. Juga, momentum bagi para wakil dan partai-partai untuk berkaca: apa saja yang telah mereka perbuat untuk memperbaiki kehidupan kolektif. Kalau para politisi dan partai tidak berubah, maka hampir tak ada kontribusi signifikan mekanisme suara terbanyak kecuali sekadar perbaikan prosedur demokrasi. Padahal, yang diperlukan negeri ini bukan hanya prosedur demokrasi, tetapi juga para wakil, parpol, dan parlemen yang lebih bertanggung jawab serta bekerja untuk rakyatnya.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN IV.1. Kesimpulan 1. Suara terbanyak meneguhkan kedaulatan di tangan rakyat. Suara terbanyak yang berasal dari rakyat merupakan esensi dalam sistem demokrasi. Dengan sistem ini, rakyat akan merasa aspirasinya terwakili dan kedaulatannya tersalurkan. Siapa pun calon yang memperoleh suara terbanyak adalah calon yang benar-benar pilhan rakyat sekaligus calon paling populis di tengah-tengah masyarakatnya. Sehingga kedaulatan di tangan rakyat (bukan di tangan elite partai) dan dijalankan menurut UU, menjadi kenyataan. 2. Dengan ditiadakannya sistem nomor urut menjadi suara terbanyak, dipastikan semua calon di nomor urut berapa pun mendapat peluang yang sama untuk menjadi wakil rakyat. Pengaruhnya, semua calon dari setiap parpol peserta pemilu pada suatu daerah pemilihan akan bekerja keras untuk memperoleh dukungan suara sebanyak-banyaknya. Maka, kesan nomor urut bawah sebagai nomor pelengkap dan tidak harus bekerja keras karena yang jadi pasti nomor urut atas akan hilang. Pesimisme akan menjadi optimisme setiap calon. Optimisme calon akan berbuah kerja keras pada setiap calon yang pada akhirnya akan menjadi keuntungan parpol. 3. Calon yang satu dengan calon yang lainnya di suatu daerah pemilihan tentu akan mengkampanyekan dirinya sendiri setelah itu baru partainya. Para calon akan membangun citra terbaik secara individu. Pemilu 2009 Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
kita menyaksikan berbagai poster calon lebih semarak dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Poster-poster yang digunakan sebagai alat kampanye lebih menonjolkan keunggulan-keunggulan individu dalam partai dibandingkan dengan visi dan misi partainya. 4. Putusan MK tentang mekanisme suara terbanyak setidaknya dapat memutus mata rantai oligarki pimpinan parpol dalam penentuan caleg. Meskipun tidak serta merta memberantas semuanya. Namun, kewenangan partai politik yang semula cukup besar dalam penentuan caleg terpilih, otomatis akan berkurang sebagai dampak dari putusan MK ini. Selain itu, putusan MK juga akan memotong satu mata rantai praktik jual beli nomor urut yang diduga kuat masih menjadi tradisi parpol di Indonesia. Untuk konteks jangka panjang, keputusan ini akan mendorong pergeseran kekuasaan penentuan caleg dari oligarki pimpinan parpol ke kedaulatan suara rakyat (pemilih). 5. Sistem pemilu dengan berdasarkan nomor urut hanya mementingkan kepentingan caleg yang memiliki kedekatan dengan pimpinan partai. Kondisi seperti ini menjadikan para wakil rakyat tercerabut dari basis pemilih (rakyat) dan hanya menjadi wakil partai, bukan wakil rakyat. Hubungan wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya dalam situasi seperti itu dalam istilah Gilbert Abcarian (1967) merupakan tipe partisan, yaitu seorang wakil rakyat bertindak hanya berdasarkan keinginan partainya. Setelah terpilih dalam pemilu, maka lepaslah hubungannya dengan para pemilih. Kualitas keterwakilan seperti ini tentunya sangat rendah. Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
6. Sistem suara terbanyak akan mendekatkan pemilih dengan wakil-wakilnya di parlemen. Penggunaan sistem suara terbanyak juga akan mendorong anggota legislatif terpilih untuk tetap terus bersinergi dengan kepentingan konstituen di Dapil yang diwakilinya. 7. Pemilu 2009 akan sangat bergantung pada sistem yang ditetapkannya. Sistem akan berjalan dengan baik seandainya pemegang mandat penegakan sistem mampu menjalankan amanahnya serta mendapat dukungan dari masyarakat. 8. Konsekuensi negatif dari suara terbanyak itu adalah kualitas anggota DPR yang bisa menurun karena masyarakat
lebih mempertimbangkan
ketokohannya IV.2. SARAN 1. Regulasi dari setiap aturan perundang- undangan kepemiluan perlu suatu kajian yang lebih dalam sebelum undang-undang tersebut diberlakukan 2. Rekrutmen para calon legislatif oleh partai politik perlu “saringan” yang lebih ketat supaya kualitas anggota DPR dapat dipertanggung jawabkan dan tidak hanya mempertimbangkan ketokohan saja. 3. Undang-undang Pemilu yang ada sebaiknya tidak hanya berlaku sekali 5 tahun supaya teruji kualitasnya dan bukan saja tawar menawar antar partai politik di Parlemen.
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang -
Undang-undang No 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum. Undang-undang No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum.
Buku-Buku Boleong, L.,2002. Metode Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Budiarjo, M..,1992. Dasar-dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Chillcote, R.,2003. Teori Perbandingan Politik, Penelusuran Paradigma. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Haris, S.,1998. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Sebuah Bunga Rampai. Yayasan Obor Indonesia dan PPW-LIPI, Jakarta. Mas’oed, M.,1978. Perbandingan Sistem Politik. Gajah Mada University Press. Mashudi.,1993. Pengertian-Pengertian Mendasar Tentang Kedudukan Hukum Pemilihan Umum di Indonesia Menurut UUD 1945. Mandar Maju, Bandung. Mahfud, M.,1999. Didalam Buku Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta. Nawawi, H.,1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Soekanto, S.,1979. Perbandingan Hukum, Alumni, Bandung. Sorensen, G.,2003. Demokrasi dan Demokratisasi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Singarimbun, M., Metodologi Penelitian Survey. LP3ES, Jakarta
Website: http://www.id.wikipedia.org/pemilu_di_indonesia http://www.id.wikipedia.org/pemilu_2004 Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.
http://www.id.wikipedia.org/pemilu_1999 http://www.kpu.go.id
Sudawirrahmi : Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-Undang NO. 12 Tahun 2003 Dengan Undang-Undang NO. 10 Tahun 2008, 2009.