Smithsonian/Folkways SF 40429 Musik Indonesia 13 Musik Berdawai dari Kalimantan MUSIK INDONESIA
Jika Indonesia dibentangkan ke Eropa, ia akan terpampang dari pantai Barat Irlandia hampir sampai ke Laut Caspia. Hanya ada tiga Negara di dunia (China, India, dan Amerika Serikat) yang mempunyai populasi lebih besar dari Indonesia, dan beberapa (encompass) keragaman masyarakat dan cara hidup yang lebih. Orang Indonesia terdiri dari 300 kelompok etnik lebih, menggunakan bahasa sebanyak itu, dan menempati kira-kira 3000 pulau (13,700 di antaranya di Archipelago. Hampir tiga perempat penduduknya tinggal di daerah pedesaan; sebaliknya, ibukotanya, Jakarta, merupakan satu dari kota besar di dunia, baik dalam wilayah maupun jumlah penduduknya. Sebagaian besar penduduk Indonesia (sekitar 90%) adalah Muslim, teapi juga terdapat sejumlah kaum Kristiani, Budha/Tao, Hindu, dan juga penganut animisme. Petani Jawa, pelayar Bugis, pedanda Bali (pendeta Hindu), ulama Aceh (guru agama Islam), birokrat Jakarta, penjual mi Jakarta, pedagang Minangkabau, pemilik toko China-Indonesia, Sultan Yogyakarta, suku nomaden Kalimantan, tentara, nelayan, pembuat batik, pegawai bank, dalang, shaman, peddlers, pedagang pasar, dokter gigi – ini semua adalah orang Indonesia, dan gambaran kita tentang Negara itu seharusnya meliputi kelompok itu semua. Musik Indonesia sama beragamnya dengan orangnya. Musik yang banyak di kenal di luar negeri adalah ensambel musik Jawa dan Bali yang biasanya disebut gamelan, yang terdiri dari gong dan instrument logam lainnya, tetapi gamelan hanya merupakan satu aspek (walaupun merupakan yang berkesan) dari keseluruhannya. Nyanyian solo dan kelompok serta musik instrumental solo (yang dimainkan dengan suling, terumpet, lut petik maupun gesek, siter, atau instrument bilah) dapat dijumpai di mana-mana, seperti halnya ensambel instrumen campuran dan ensambel yang didominasi oleh instrumen tunggal (umumnya suling, gendang, instrumen bilah, siter, dan gong). Banyak dari jenis musik ini dapat disebut tradisional, dalam arti bahwa tangga nada, idiom, dan repertoarnya tidak berasal dari musik Eropa/Amerika atau Timur Tengah (atau Negara asing lain). Walaupun demikian, beberapa dari jenis musik popular yang mencapai sukses secara komersial memang berasal dari sumber-sumber asing; tetapi karena jenis ini dinyanyikan dengan teks dalam bahasa Indonesia, disebarkan ke seluruh negeri melalui kaset dan mass media, dan avidly didengarkan oleh berjuta-juta orang Indonesia, mereka seharusnya disebut musik Indonesia, tanpa mempertimbangkan akar asingnya. Akhirnya, bersamaan dengan yang asli dan yang impor, ada banyak bentuk hibrida yang mencampur elemen tradisi dan asing dalam cara-cara yang menyenangkan dan tidak dapat diduga. Seri Musik Indonesia dari Smithsonian Folkways menyajikan keragaman yang luar biasa ini. Dalam memilih musik tersebut, kami memfokuskan pada jenis-jenis yang menarik perhatian khusus dan, bila mungkin, akan menyajikannya agak mendalam, dengan beberapa contoh untuk memberi contoh keluasan gaya dan repertoarnya. Kami juga memfokuskan pada musik yang tidak banyak diketahui di luar Indonesia (dan bahkan di dalam beberapa kasus tidak dikenal di dalam negeri), dan oleh karenanya kebanyakan hasil kerja kami bersifat pengenalan dan penjelajahan. Sejarah yang akurat dari jenis-jenis yang kami rekam tidak disediakan dan tidak akan disampaikan; studi tentang penyebarannya dan variasinya dari satu tempat ke tempat lain juga belum dilakukan. Jadi, presentasi kami dan komentarnya tidak bersifat final; namun mereka seharusnya dianggap sebagai foray awal ke dalam wilayah yang uncharted. INDONESIAN 2. MUSIK UNTUK ALAT BERDAWAI DARI KALIMANTAN [Catatan: Bagian pendahuluan ini merupakan gambaran informasi dari catatan sekilas Victor King (King 1993) mengenai iklim dan geografi. Klasifikasi mengenai kelompok-kelompok Dayak didasarkan atas King 1993, Rousseau 1990, dan Pascal Couderc ( wawancara pribadi, 1997). Untuk kutipankutipan, lihat “Referensi” di bawah].
Pulau Borneo Terbagi dua hampir sama besarnya oleh garis khatulistiwa, Borneo adalah pulau terbesar ke tiga di dunia. Luas wilayahnya sekitar 750.000 km2, saat ini terbagi ke dalam wilayah tiga negara: Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Fokus kami di sini, tentu saja, adalah wilayah Indonesia, namun sebelum itu marilah kita coba melihat pulau ini secara keseluruhan. Sebagai pendahuluan, tempat ini tidak mudah untuk dijelajahi: wilayah bagian dalamnya dipenuhi hutan lebat (walaupun mulai berkurang, sebagai akibat dari penebangan kayu yang terjadi beberapa dekade belakangan), dan sebagian besar dari daerah pesisir pantai adalah tanah rawa. Daerah hutan pedalaman cenderung berbukit , dengan wilayah tertinggi mengarah ke barat dan timur laut dari wilayah tengah pulau. Sungai-sungai yang jumlahnya banyak sering digunakan untuk transportasi, namun sewaktu-waktu bisa meluap/banjir, dan pada waktu-waktu lainnya sungai-sungai kecil bisa menjadi terlalu dangkal; di bagian hulu terdapat riam dan air terjun. Perjalanan lintas wilayah di daerah pedalaman berlangsung lambat dan sangat sukar, khususnya pada musim hujan. Walapun curah hujan sangat deras, kondisi tanah pada umumnya tidak subur; dapat digunakan untuk sistem ladang berpindah, namun kurang baik untuk sistem pertanian permanen maupun perkebunan komersial. Seperti dapat diduga, penduduk pulau Borneo cenderung tinggal dalam kelompok-kelompok yang berpencar (adanya beberapa konsentrasi pemukiman-pemukiman sepanjang sungai, dan dalam jumlah kecil tinggal di kota-kota besar dan kecil), dan kepadatan penduduknya secara keseluruhan rendah. Seluruh Borneo –di mana wilayah yang termasuk Indonesia hampir merupakan sepertiga luas negara – memiliki populasi yang kurang dari atau hampir sama dengan daerah “Jabotabek” (Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi), wilayah perkotaan padat yang mengelilingi dan termasuk ibukota Jakarta. Sarawak dan Sabah, dua dari tiga belas negara bagian Federasi Malaysia, berada pada sebagian besar dari seperempat bagian utara pulau tersebut. Dua negara bagian ini disebut Malaysia Timur (Malaysia Barat adalah Semenanjung Malaysia). Negara Brunei Darusalam yang kecil namun makmur, bentuknya seperti dua titik kecil yang keluar dari garis pesisir di sebelah timur Serawak. Sisa selebihnya dari Borneo termasuk wilayah Indonesia. Wilayah Indonesia, disebut Kalimantan, terbagi dalam empat propinsi: Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. ================= 8 Maret 07 jam 03:00 Orang Dayak Dalam menjelaskan masyarakat Borneo, biasanya dibedakan antara “Melayu” dan “Dayak”. “Dayak” dimaksudkan untuk menyebut masyarakat yang berkampung halaman di daerah pedalaman (walaupun mereka juga, tentu saja, telah berimigrasi ke kota-kota di daerah pesisir). Kecuali untuk sekelompok kecil populasi nomaden, Orang Dayak pedalaman biasanya memenuhi kebutuhan hidupnya melalui sistem ladang berpindah, berburu, menangkap ikan, mengumpulkan bahan-bahan makanan (meramu), dan menjual hasil-hasil hutan. Agama orang Dayak kemungkinan merupakan salah satu bentuk agama Kristen, atau agama yang sekarang disebut Kaharingan (yang secara administratif dianggap sebagai satu variasi dari agama Hindu), atau bentuk-bentuk kepercayaan animis, namun biasanya agama yang dianut bukan Islam, karena Islam lebih dianggap sebagai karakteristik orang Melayu. Seorang Dayak yang memeluk agama Islam selalu dikatakan telah menjadi (atau, dalam idiom lokal, “masuk” ) Melayu. Untuk menghindari resiko dari terlalu menyederhanakan sebuah gambaran yang kompleks, kita mungkin dapat membagi orang Dayak ke dalam lima kelompok: 1). Kelompok Kayan-Kenyah-Kajang-Modang, yang berkampung halaman di daerah pedalaman yang dikenal oleh para etnografer sebagai “Borneo Tengah”, dengan lokasi sebagian di Serawak dan sebagian di Kalimantan (di propinsi Kalimantan Barat dan Timur). Sejak tahun 1960'-an, banyak masyarakat yang pindah dari wilayah Borneo Tengah (yang masih menjadi bagian Indonesia) ke lokasi-lokasi di Kalimantan Timur dekat pesisir. Masyarakat Borneo Tengah ini umumnya menggunakan sistem tingkatan atau stratifikasi berdasarkan keturunan: setiap individu secara tradisional diklasifikasikan sebagai para bangsawan tinggi, bangsawan rendah, orang kebanyakan dan para budak. (Meski perbudakan telah dihapuskan, namun keturunan dari para budak masih menduduki posisi-posisi yang rendah dalam masyarakat ini). Orang Kayan dan Kenyah, masyarakat yang musiknya diperdengarkan dalam album ini (trek 1-3, 11-13), adalah kelompok-kelompok yang secara stratifikasi dianggap sebagai orang Borneo Tengah.
2) Orang Bidayuh, Iban, dan kelompok-kelompok lainnya yang (seperti orang Iban) berbicara bahasa “rumpun Melayu”. Masyarakat-masyarakat dalam kategori ini tidak memiliki sistem formal dari stratifikasi sosial formal. Orang Bidayuh dan sebagian orang Iban tinggal di sebelah barat Borneo Tengah (di Sarawak dan di lembah sungai Kapuas di Kalimantan Barat); orang Iban lainnya tinggal di sebelah utara Borneo Tengah, di Sarawak. (Orang Iban dan Bidayuh dikenal dalam literatur etnografi lama sebagai “Dayak Laut” dan “Dayak Darat”). Kelompok masyarakat yang berbahasa rumpun Melayu lainnya tinggal di Kalimantan Barat di sebelah selatan khatulistiwa. 3) Kelompok Barito, sebagian besar tinggal di Kalimantan Tengah (seperti yang anda ketahui, tidak sama dengan “Borneo Tengah”) dan juga di bagian wilayah pegunungan di sebelah Timur dari Kalimantan Barat, dan di Kalimantan Timur di sebelah selatan sungai Mahakam bagian tengah dan bawah. Masyarakat Barito secara linguistik berbeda dari orang-orang yang berbahasa Iban/Bidayuh/rumpun Melayu di sebelah barat, dan juga berbeda dari masyarakat di Borneo Tengah. Di lain pihak, struktur sosial masyarakat Barito secara garis besar mirip dengan struktur sosial masyarakat Iban. Banyak orang Dayak Barito di Kalimantan Tengah menganut agama Kaharingan. Orang Ngaju (trek 6-7) merupakan masyarakat yang dominan (menurut jumlahnya) dalam kelompok Barito; Orang Ot (atau Uut) Danum (trek 4-5) adalah kelompok Barito lainnya. 4) Kelompok-kelompok di belahan Timurlaut, tinggal di Sabah dan Kalimantan Timur dekat dengan perbatasan Sabah. Orang Kadazan atau Dusun merupakan yang paling terkenal dalam kategori ini. Bahasa dari kelompok-kelompok sebelah Timurlaut berhubungan dengan kelompokkelompok yang ada di selatan Filipina. 5) Pemburu dan peramu yang berpindah-pindah [nomaden], seperti orang Punan dan Penan. Sebagian besar tinggal jauh di pedalaman Borneo Tengah; sebagian lainnya tinggal dekat pesisir Kalimantan Timur. Disadari bahwa ada tekanan dari pemerintah terhadap kelompok-kelompok ini untuk membentuk pemukiman yang tetap. Orang Melayu Di Borneo, orang Melayu biasanya didefinisikan sebagai Muslim yang tinggal di sepanjang pesisir pantai dan sungai-sungai dan berbicara dalam beberapa dialek bahasa Melayu sebagai bahasa utama mereka. Orang Kutai dari Kalimantan Timur (trek 8-10) adalah kelompok Melayu yang termasuk dalam pengertian ini. Seperti yang dimaksudkan dengan istilah tersebut, Melayu Borneo meliputi area budaya Melayu yang besar di Asia Tenggara, di mana Islam, bahasa Melayu, dan karakteristik literatur, seni pertunjukan, organisasi politik, kegiatan-kegiatan upacara dan adat istiadat menyebar dalam masa sekurang-kurangnya dari abad empat belas hingga sembilan belas. Di Indonesia belahan barat, dan di dalam Malaysia moderen, “Melayu” menunjukkan satu kelompok etnik tertentu tetapi dapat juga diterapkan kepada anggota kelompok-kelompok etnik lainnya, yang mengambil ciri-ciri utama dari budaya Melayu, dan telah berbaur dengan kelompok Melayu. Sebagian besar Melayu Borneo telah berbaur. Sudah pasti beberapa di antaranya dapat menelusuri asal usul mereka ke etnik Melayu dari sebelah barat yang lebih jauh, tetapi banyak dari mereka berasal dari orang Dayak yang beralih ke agama Islam. Dalam penerapan yang paling longgar, “Melayu” dapat digunakan untuk setiap kelompok Muslim yang telah lama menetap di Kalimantan, terlepas dari etnisitas , bahasa atau adat istiadat mereka yang utama: sebagai contoh, orang Banjar (yang berbicara dialek Melayu) dan orang Bugis (yang tidak berbicara dialek Melayu) kedua-duanya kadang-kadang dideskripsikan sebagai orang Melayu. Namun demikian, kelompokkelompok Muslim yang telah datang ke Kalimantan dalam jumlah yang besar belakangan ini, seperti orang Jawa dan Madura, biasanya tidak dimasukkan ke dalam istilah tersebut. Kelompok-kelompok Lainnya Di samping orang Dayak dan Melayu, masyarakat dari banyak kelompok lainnya juga menetap di Borneo. Orang Jawa, Madura, dan Bali telah datang ke Kalimantan dalam jumlah yang besar, sebagai pendatang spontan maupun dibawah pendanaan dari program “transmigrasi” pemerintah Indonesia. Orang Bugis telah menetap di sebelah pesisir pantai timur, barat dan tenggara. Orang Sama (dikenal oleh orang luar sebagai Bajau atau Bajo, dan kadang-kadang dalam berbagai tulisan disebut sebagai “orang laut yang berpindah-pindah”) aslinya berasal dari belahan selatan Filipina; di Borneo mereka dijumpai terutama di pesisir Sabah dan Kalimantan Timur. Kelompok-kelompok orang Arab dan (khususnya di Borneo Malaysia) orang India ditemukan di kota-kota besar dan kecil. Khususnya di Kalimantan Barat dan Sarawak, banyak etnik China dan keturunan dari percampuran antara orang China dan kelompok-kelompok etnik lainnya. Perubahan ekonomi dan sosial
Borneo telah mengalami perubahan yang drastis pada paruh kedua abad dua puluh. Kemungkinan penyebab yang paling kuat dari perubahan ini adalah kontrol yang semakin besar terhadap tanah dan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah nasional di Jakarta dan Kuala Lumpur. Untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi nasional, baik Malaysia maupun Indonesia secara agresif mengeksploitasi sumber-sumber hutan dan potensi pertanian dari pulau ini, tanpa mempedulikan kemungkinan berbagai akibat yang dapat merusak lingkungannya yang rapuh; dan kedua negara ini telah melaksanakan program-program pemindahan dan proyek-proyek pertanian yang dirancang untuk merubah petani sistem ladang berpindah menjadi petani ladang tetap atau menjadi pekerja pada perkebunan-perkebunan komersial. Dalam pandangan banyak orang Dayak dan banyak ilmuwan tentang Borneo, akibat dari campur tangan dan eksploitasi seperti itu seringkali negatif, mengarah kepada penggundulan hutan yang drastis, dengan akibat degradasi lahan, erosi, polusi air, dan juga gangguan pola-pola sosial, ekonomi, dan pertanian yang telah mempertahankan keberadaan dan swadaya bagi kelompokkelompok orang Dayak selama ratusan tahun. Di lain pihak, integrasi ke dalam negara-negara modern telah membawa perbaikan dalam hal jalan dan transportasi, dalam komunikasi dan pendidikan, dalam perawatan kesehatan, dan dalam kesadaran serta hubungan dengan dunia yang lebih luas; dan telah menghilangkan dua dari momok masa lampau, perbudakan dan perang antar kampung. Berbagai sebab dan akibat dari perubahan di Borneo sepanjang abad yang lalu merupakan topik yang luas dan kompleks, sesuatu yang tidak mungkin kita bahas dengan memuaskan di sini. Untuk diskusi yang lebih rinci, dengan fokus utama pada kelompok-kelompok Dayak, lihat King 1993 atau Ave dan King 1986. Musik dan tari Ciri-ciri khusus dari musik Kalimantan, seperti yang ditampilkan dalam rekaman-rekaman kami, akan dibahas belakangan dalam tulisan ini. Namun, pertama-tama kami akan memberikan gambaran singkat mengenai situasi umum dari musik dan tari di Kalimantan. (Apa yang kami sampaikan kemungkinan juga berlaku untuk Malaysia Timur dan Brunei, tetapi kami belum melakukan penelitian untuk membuktikan hal ini). Seperti yang kami tulis , pada akhir abad duapuluh, banyak bentuk musik dan tari tradisional (dalam hal ini pengertian “tradisional” di sini seperti apa yang sudah dibahas lebih awal) masih relatif kuat dalam masyarakat pedalaman Dayak dan Melayu. Memang beberapa alat musik dan jenis dari pertunjukan yang dilaporkan dalam etnografi sebelumnya sudah jarang atau telah hilang sama sekali, khususnya bentuk-bentuk yang berhubungan dengan berbagai ritual dan adat istiadat yang telah ditinggalkan setelah perubahan agama atau di bawah tekanan dari pemerintah yang berwenang. Namun banyak yang tetap berlangsung di daerah pedalaman, khususnya dari jenis-jenis yang bersifat sekuler dan bentuk-bentuk yang berfungsi sebagai hiburan. Musik dan tari tradisional saat ini pada umumnya lebih menarik untuk usia setengah baya atau lebih, ketimbang untuk para remaja, yang lebih menyukai musik populer perkotaan yang mereka dengar dari kaset, radio dan TV; tetapi bagaimanapun juga bentuk-bentuk tradisional masih tetap hadir untuk kalangan anak muda dan untuk mereka yang memiliki kemauan untuk berpartisipasi ketika mereka semakin bertambah usia. Di pusat-pusat perkotaan situasinya agak berbeda, penduduk kota yang tertarik pada seniseni tradisional biasanya bergabung bersama untuk membentuk perkumpulan-perkumpulan pertunjukan semi-profesional, disebut sanggar. Anggotanya biasanya adalah orang-orang muda dari satu kelompok etnik yang sama. Mereka bisa membayar guru-guru yang berpengalaman dalam bentuk-bentuk tradisional; atau mereka mungkin melakukan sendiri adaptasi-adaptasi dari repertoarrepertoar tradisi dan kreasi baru yang sedikit banyak berdasarkan pada bentuk-bentuk tradisional. Apapun repertoarnya, satu karakteristik yang mendasar dari berbagai pertunjukan sanggar adalah bahwa ia dirancang sebagai hiburan untuk para penonton perkotaan. Penampilan mereka biasanya lebih teratur dibanding dengan sumber-sumber aslinya di pedalaman, dan pertunjukan-pertunjukan tersebut disesuaikan untuk memenuhi standar-standar estetika perkotaan dan lingkup perhatian perkotaan. Pertunjukan yang barangkali menghabiskan waktu satu atau dua jam atau sepanjang malam di kampung, dalam pertunjukan sanggar mungkin hanya makan waktu sepuluh menit. Etnomusikolog Indonesia Yan Sukanda, yang menulis mengenai sanggar di Kalimantan (Sukanda 1994), mengamati bahwa biasanya alasan utama orang-orang bergabung dalam sebuah sanggar adalah biasanya untuk “melestarikan” seni peninggalan nenek moyang mereka. Tetapi pada saat yang bersamaan, menurutnya, mereka cenderung merasa bahwa konteks tradisional dari berbagai ritual atau upacara di mana seni-seni ini pada mulanya ditampilkan sudah ketinggalan
zaman dan memalukan. Hal ini menjadikan sanggar membuang kandungan ritual atau spiritual dari sebuah karya dan menampilkannya dalam bentuk hiburan sekuler (atau lebih buruk lagi, dapat kami tambahkan, menjadi satu peniruan ritual). Bahkan pertunjukan yang pada mulanya adalah sekuler cenderung diperindah dan dikembangkan supaya tidak terlihat terlalu kasar. Sementara seseorang mungkin mempunyai sikap kritis terhadap kegiatan sebagian besar sanggar – jika jenis-jenis ritual dianggap memalukan, kenapa tidak menghindari seluruhnya daripada meremehkannya? Orang sebaiknya tidak langsung menghilangkannya. Bagaimanapun juga, seperti yang dikatakan Yan Sukanda, sanggar bermula dari satu sikap penghargaan terhadap seni-seni tradisional. Lagipula, di beberapa area pedesaan di Indonesia (sebagai contoh. Flores; lihat komentar kami dalam volume 8) – dan, jika belum, tanpa diragukan lagi segera muncul juga di Kalimantan – sanggar lebih merupakan kerjasama seni-seni pedesaan daripada sebuah perkumpulan perkotaan, berfungsi sebagai perantara untuk menampilkan seni-seni desa bagi turis dan orang luar. Sanggar mempunyai potensi untuk memainkan peranan yang penting tidak hanya dalam cara bagaimana seni dikemas, tetapi juga dalam membuat kesinambungan dari kepentingan orang lokal terhadap kesenian tersebut dan melatih para pemain dalam lingkup pertunjukannya.
KALIMANTAN DALAM SERI MUSIK INDONESIA Musik dari Kalimantan muncul dalam tiga album dari seri musik kami: vol. 13, 14, dan 17. Volume 13 difokuskan pada alat musik bersenar : album ini menampilkan lutpetik (dan beberapa alat musik yang digesek), dimainkan sendiri atau dengan ensambel. Volume 17 (muncul pada tahun 1998) menampilkan ensambel gong, ensambel bambu, dan nyanyian kelompok. Sebagian besar musik pada volume 13, dan semua pada volume 17, berasal dari kelompok-kelompok Dayak. Dalam beberapa kasus, musik dari kelompok etnik yang sama – tentu saja dalam masyarakat yang sama – muncul pada kedua album. Masyarakat Islam Kalimantan ditampilkan dalam tiga pilihan dari Kutai pada volume 13, dan juga pada volume 14, yang menampilkan musik gamelan dari Banjar (Kalimantan Selatan), bersama dengan jenis-jenis yang berhubungan dengan tempat-tempat lain di Indonesia. Kami telah memutuskan untuk mengelompokkan pilihan-pilihan dengan cara berikut ini – berdasarkan instrumen dan ensambel, dan bukan menggabungkan semua musik dari satu kelompok etnik dalam satu album – demi untuk kepentingan keterikatan/kesatuan musikal dalam satu album dan, dalam saat yang bersamaan, untuk kepentingan inheren yang diupayakan melalui perbandingan dari materi-materi musikal yang mirip yang melintasi batas geografis dan etnik. Pengorganisasian menurut kelompok etnik juga akan -- namun, kami yakin, tidak lagi begitu --karena yang kami hasilkan di sini adalah rekaman-rekaman suara, bukan sebuah catatan etnografis. (Kami, dengan tidak sengaja, mengikuti prinsip pengorganisasian yang sama terhadap Sulawesi dalam volume 15 dan 16, dan lagi-lagi kami berakhir pada , walaupun tidak kami rencanakan sebelumnya, pembagian antara musik Senar dan Tanpa Senar). Pendekatan kami terhadap musik Kalimantan tentu saja baru merupakan langkah awal: kami tidak bermaksud untuk menyatakannya sebagai bukan merupakan suguhan yang mendalam. Alatalat musik lainnya (suling, sebagai contoh, suling atau genggong (jew’s harp) dan jenis lainnya mestinya dapat ditonjolkan atau menjadi tambahan dari apa yang sudah kami pilihkan; dan berbagai jenis serta alat musik yang kami pilih bisa saja direkam di tempat lain selain tempat di mana kami merekamnya. Rekaman kami dimaksudkan untuk mengawali minat, bukan merupakan gambaran yang tetap. Album ini Album musik Senar kami menampilkan musik lut dari empat kelompok masyarakat Dayak dari pedalaman dan kelompok Muslim, atau Melayu pantai Timur. Sebagian besar kelompok Melayu di Kalimantan (dan di seluruh daerah di Indonesia) mempunyai jenis lut seperti yang terdengar di sini, biasanya disebut (seperti di sini) gambus atau (di Kalimantan Selatan) panting. Seperti halnya lut petik orang Dayak: walaupun alat ini banyak dijumpai di banyak tempat di pulau Kalimantan, alat tersebut saat ini muncul dan memiliki tempat yang utama dalam musik masyarakat yang bertingkat-tingkat di Borneo Tengah, dan dalam masyarakat Barito tertentu, seperti orang Ngaju dan kelompok lainnya yang memiliki hubungan erat dengan mereka. Dua kelompok Borneo Tengah, orang Kayan dan Kenyah, ditampilkan di sini, bersama dengan dua kelompok Barito, orang Ngaju dan Ot Danum. Contoh-contoh tua dari lut petik Dayak cenderung mempunyai dua atau tiga senar, satu untuk melodi dan satu atau dua lainnya untuk drone (dengungan, yakni nada yang dipertehankan lama atau
sering diulang sedangkan nada-nada lain disuarakan pada saat yang sama berganti-ganti). Modelmodel yang lebih baru bisa saja mempunyai senar tambahan. Leher dan badan alat musiknya diukir menyatu dari sebilah kayu. Lubang resonatornya dibiarkan terbuka pada satu sisi, pada sebagian budaya di bagian belakang [badan] alat musik, sedang di beberapa budaya lainnya di bagian depan; jika di sebelah depan atau di sisi alat yang dimainkan, maka bagian lubang yang terbuka ditutup dengan satu permukaan papan kayu yang berfungsi sebagi kotak suara. Jika sisi belakang dari lubang resonator yang dibiarkan terbuka menurut ukirannya [pahatannya], sisi ini dapat juga ditutup, walau hanya sebagian, dengan sebuah papan, untuk membuat bunyi lembut. Instrumen ini, dengan resonator yang memiliki sedikit cekungan, berlapis kayu, dasar yang rata ataupun terbuka. Ketipisan tutup kayu bagian bawah atau resonator yang terbuka dari alat musiknya, dengan sisi-sisi melingkar tetapi tidak diukir denganbegitu indah membentuk kurva seperti pada bentuk gitar atau biola, telah memunculkan perkembangan dalam organologi untuk istilah deskriptif “lut berbentuk perahu.” Banyak dari jenis lut ini (tetapi, tolong dicatat, tidak semua) mempunyai nama yang mirip di seluruh Borneo: orang Kenyah menyebutnya sampeq (juga dieja sampe’, sambe, sampeh, dan sebagainya); orang Kayan menyebutnya sape’ (sapeh); orang Ngaju menyebutnya kacapi; orang Ot Danum menyebutnya konyahpi’; orang Iban menyebut satu jenis dari lut mereka dengan sapi (tetapi mereka mempunyai satu jenis lagi, lut yang lebih tua disebut belikan). Nama-nama tersebut berkaitan dengan nama-nama yang mirip dan identik untuk jenis-jenis alat musik yang sejenis di daerah lain di Indonesia (contohnya: kacaping, kacapi, dan katapi di Sulawesi Selatan; hasapi dan kulcapi di Sumatera Utara) dan ditempat lainnya di Asia Tenggara (kudyapi di Filipina, chapei di Thailand dan Kamboja). Nama ini masih bisa dijumpai lebih jauh, di India kuno kacchapi vina, walaupun tidak jelas instrumen jenis apa yang memakai nama tersebut ; dan akhirnya, ia dijumpai di Jawa Barat, di mana kecapi sama sekali bukan sebuah alat musik sejenis lut, melainkan sebuah siter papan. Gambus, yang masih termasuk dalam jenis lut, bukan merupakan lut berbentuk perahu; dari bentuk resonatornya acapkali disebut menyerupai buah pir yang terbelah dua. Di Indonesia gambus memiliki asosiasi kuat dengan Islam, dan memang ada kemungkinan bahwa alat musik ini datang ke Indonesia dari Arab. Christian Poche, dalam New Grove Dictionary of Musical Instruments, mendeskripsikan sebuah lut dari Yaman , qanbuz, yang kemungkian adalah nenek moyang gambus. Bentuk Indonesianya biasanya mempunyai tujuh atau sembilan senar, satu resonator kayu, berbentuk bulat di bagian belakang dengan menggunakan sisi depan kulit, dan satu leher pendek dengan kupingan, diputar kebelakang dengan arah yang sejajar dengan permukaan dasar senar. Alat-alat musik tertentu yang terdengar dalam album ini akan dijelaskan lebih rinci di bawah ini, demikian juga dengan tangga nadanya. Yang berikutnya tangga nadanya meliputi pembagian lima dan tujuh nada dari satu oktaf dan pembagian empat nada dari interval lima. Dalam musik Kenyah, oktaf biasanya dibagi secara pentatonik, tetapi oktaf yang berbeda dapat memiliki pembagian yang berbeda, dengan demikian tangga nada keseluruhan dapat mengandung lebih dari lima nada. Struktur-struktur melodi yang terdengar di sini meliputi: satu atau dua motif pendek yang diulang dengan variasi-variasi kecil; motif-motif yang lebih banyak dan panjang dimainkan dengan susunan yang bebas dan bergantian dengan variasi-variasi yang lebih terbuka; dan melodi-melodi baku terdiri dari motif-motif kontras atau frase-frase yang dimainkan dalam susunan yang tidak dapat diubah dengan variasi yang terbatas. KAYAN MENDALAM Trek 1-3 berasal dari satu kelompok Kayan yang tinggal di sungai Mendalam di Kalimantan Barat di sebelah timur Putussibau. Satu cabang dari kelompok Kayan yang terkemuka dari Borneo Tengah, yang asal-usulnya dari daerah Apau Kayan (yakni, bagian yang lebih hulu sungai Kayan) di Kalimantan Timur dekat perbatasan dengan Sarawak, mereka mungkin bermigrasi ke Mendalam sekitar abad delapan belas. Mereka mengatakan bahwa mereka berasal dari kelompok masyarakat yang sama dengan Kayan di Apau Kayan dan ditempat lainnya, tetapi menganggap Kayan yang lebih murni [asli], karena mendapat paling sedikit pengaruh dari kelompok-kelompok penting lainnya dari daerah Apau Kayan, orang Kenyah. Antropolog Jerome Rousseau (1990) setuju bahwa Kayan Mendalam merupakan “masyarakat yang sama” dengan Kayan dari Balui, Baram, dan sungai Kayan serta Busang dari sungai Mahakam; dia memperkirakan bahwa jumlah keseluruhan penduduk dari semua kelompok-kelompok ini adalah 25.000 orang, termasuk 1.000 orang Kayan Mendalam. Victor King menulis bahwa, dibandingkan dengan Kenyah yang jauh lebih terpecah-pecah, berbagai kelompok Kayan relatif homogen dalam bahasa dan budayanya. Musik dan tari
Di tengah masyarakat Kayan Mendalam, musik dimainkan dalam dua konteks utama: untuk mengiringi tari sebagai bagian dari ibadat ritual atau sebagai rekreasi pada festival-festival komunal dan domestik (yang selalu dilakukan berkaitan dengan ritual-ritual); dan tanpa tarian, dalam bentuk yang informal dan akrab. Dalam konteks yang disebut terakhir, musik dapat berfungsi untuk menghibur pemain dan mungkin juga sejumlah kecil penonton, atau – seperti pada kasus nyanyian ratapan yang dibawakan setelah kehilangan – untuk mengekspresikan kesedihan para pemainnya. (Konteks ketiga, dalam ibadah gereja, tidak akan didiskusikan di sini). Dalam sebuah makalah tahun 1969, Joan Seeler mengamati bahwa tarian Kayan untuk ibadat ritual cenderung lebih sederhana, baik dalam bentuk tariannya maupun kostumnya, dibandingkan dengan tarian untuk rekreasi yang lebih spontan, dan lebih menampilkan kemampuan dan artistik individual. Terdapat juga perbedaan musikal, yang terbukti dalam tari-tarian yang dimainkan dengan iringan alat musik: untuk pertunjukan ritual, tari-tarian diiringi oleh sebuah ensambel dari beberapa gong dan gendang, sementara tari-tari untuk hiburan diiringi oleh satu atau dua instrumen melodis atau satu ensambel yang sangat kecil. (Tari-tarian tertentu, dalam konteks ritual maupun rekreasi, diiringi dengan kelompok nyanyian saja, tanpa alat-alat musik. Kami tidak dapat memberi komentar terhadap persamaan atau perbedaan-perbedaan dalam nyanyiannya). Iringan yang paling umum untuk tarian yang bersifat rekreasi adalah satu atau dua lut; dahulu dengan alat musik kaldii’ yang jarang ditemukan sekarang, sebuah organ mulut menyerupai alat musik khaen dari Laos dan Thailand juga umum ditemui. Dalam konteks rekreasi, penyanyi solo atau koor, atau keduanya, bisa bergabung dengan alat-alat musik. Tari-tarian rekreasi termasuk tarian baris berkelompok dan penampilan-penampilan solo. Solo pria, seperti yang ditulis Seeler, biasanya “satu gaya pantomim dari pejuang-tempur”; tarian ini biasanya ditampilkan dalam kostum prajurit yang tua. Sebagai hal yang kontras,”tarian solo wanita kelihatannya menggambarkan citra ideal keanggunan dan kecantikan wanita .” Walau tari-tarian ini diklasifikasikan sebagai rekreasional, suasananya selalu (untuk wanita) tenang dan bersifat mengarah ke dalam, atau (untuk pria) tegang dan berbahaya. Tari-tarian lain bisa jadi merupakan tarian komikal, parodi, atau mesum. Dalam masyarakat Kayan Mendalam (dan juga kelompok-kelompok Kayan lainnya ), tarian rekreasi dan musik instrumental untuk tarian (dengan atau tanpa tari) kelihatannya menjadi jenis-jenis pertunjukan yang merangsang sejumlah besar minat budaya maupun artistik. Jenis-jenis tersebut telah mengembangkan repertoar-repertoar yang luas, menawarkan cakupan yang luas untuk ekspresi pribadi, dan dengan demikian, menerima perhatian yang antusias dari para penonton dan pemain. Sebagai perbandingan, ensambel musik gong, yang berkaitan dengan ritual-ritual yang sekarang tidak disetujui oleh pemerintah dan orang-orang beragama Kristen, kelihatannya kurang menimbulkan energi atau komitmen dari orang Kayan. Mengenai alat-alat musiknya: ensambel gong meliputi gong-gong gantung dan satu perangkat gong yang lebih kecil (terdiri dari lima buah) yang diletakkan mendatar, bersama dengan satu gendang, dan , satu “slit drum” [kentongan] sebagai pilihan (lebih tepatnya, sebuah lonceng kayu tanpa anak genta [clapper].) Alat-alat musik yang dimainkan untuk tarian yang bersifat hiburan adalah jenis lutpetik (dalam dua variasi, didiskusikan di bawah) dan dulunya , juga organ mulut. Alatalat musik yang sama tersebut (atau, dulunya untuk organ mulut) adalah yang paling umum dalam penampilan pada acara informal, dimana mereka memainkan lagu yang sama dengan yang dipakai untuk tarian. Kadang-kadang penyanyi juga bergabung dengan mereka, seperti halnya dalam mengiringi tarian. Alat-alat musik lainnya dimainkan (biasanya solo) dalam penampilan informal adalah genggong, dua jenis suling (miring dan horisontal), beberapa bilahan kayu diletakkan di atas kaki pemain (leg xylophone), dan gitar standar. Suling hidung dulunya digunakan dalam kontekskonteks tersebut tetapi sekarang tidak dipakai lagi. Mengenai musik vokal, kami telah menjelaskan nyanyian solo dan koor untuk tari dan untuk lagu-lagu tarian yang dimainkan secara informal tanpa tarian. Sebagai tambahan, cerita-cerita panjang dalam bait (takna’) dinyanyikan (diceritakan, yang dalam kasus ini disebut lung), tanpa alat musik pengiring . Lut: sape’ Kayan dan sape’ Kenyah Dalam masyarakat Kayan Mendalam, lut berbentuk perahu yang dipetik disebut sape’. Dua variasi dimainkan: satu disebut sape’ Kayan, sape’ dari masyarakat Kayan, dan yang lainnya disebut sape’ Kenyah, sape’ dari masyarakat Kenyah. Sape’ Kayan, lebih lebar dari sape’ Kenyah, terlihat lebih mirip dengan sekop berleher pendek daripada perahu. Alat ini mempunyai dua senar dan tiga fret yang ajeg yang diukir berjejer pada leher alat musiknya. Satu senar dipakai untuk melodi, yang lainnya untuk drone. Bagian belakang dari sape’ Kayan terbuka, atau tertutup sebagian dengan
sebuah papan. Alat musik ini sangat jarang ditemui di luar kelompok masyarakat Kayan Mendalam. Apa yang disebut oleh orang Kayan Mendalam sebagai sape’ Kenyah memang merupakan karakteristik lut petik dari masyarakat Kenyah di Kalimantan Timur (mereka menyebutnya sampeq; huruf q di dalam ortografi Kenyah dan tanda petik dalam ortografi Kenyah mewakili bunyi yang sama, glottal stop – bunyi yang berhenti di tenggorokan). Alat tersebut kemungkinan mempunyai sekitar tiga sampai delapan senar, walaupun tiga atau empat senar merupakan jumlah senar yang umum untuk alat ini. Lagi-lagi, satu senar digunakan untuk melodi dan lainnya sebagai drone; di bawah senar melodi, diatas kotak suara dari alat musik (bukan di bagian lehernya), dari sepuluh sampai enam belas fret [grip] yang dapat dipindah-pindah dan dilekatkan di tempatnya dengan lilin. (Sebenarnya setiap lagu memerlukan pengaturan ulang posisi grip-grip ini, satu urusan yang memakan waktu). Lagi-lagi, bagian belakang dapat terbuka atau tertutup sebagian. Sape’ Kenyah sedikit lebih panjang dan relatif jauh lebih tipis dibanding sape’ Kayan. (Ingat bahwa ini adalah versi-versi Kayan dari alat musik Kenyah. Dalam masyarakat Kenyah, sampeq mempunyai keluasan lebar dan ketebalan seperti sape’ Kenyah orang Kayan namun jelas lebih panjang). Kayan Mendalam menganggap sape’ Kayan lebih tua dari sape’ Kenyah, dan ada bukti yang mendukung anggapan ini. Alat musik dari jenis ini dikenal dalam masyarakat Kenyah di masa lampau tetapi telah hampir punah; ia ternyata diasosiasikan baik dengan ritual saman maupun tarian rekreasional. (salah satu kabar gembira dalam etnomusikologi Borneo, kami harus menyampaikan kepada anda satu laporan oleh Virginia Gorlinski, yang telah menulis dengan sangat baik mengenai sape’/sampeq, bahwa dalam satu kelompok Kenyah di Serawak, alat musik yang oleh orang Kayan Mendalam disebut sape’ Kayan ternyata disebut sampeq Kenyah). Grip sape’ Kenyah yang bisa dipindah-pindah mungkin telah berkembang dari grip sape’ Kayan yang bergerigi [berlekuk-lekuk], atau mungkin telah ada jenis lainnya. Dalam banyak kasus , bentuk-bentuk awal dari sampeq atau sape’ Kenyah hanya memiliki dua senar, dengan grip-grip yang dapat dipindah berada di bawah salah satunya. Senar yang ketiga, tulis Gorlinski , tidak diterima secara meluas hingga akhir tahun 1920-an atau pertengahan 1930-an; senar yang keempat (dan selebihnya) pasti masih muncul belakangan. Masyarakat Kayan Mendalam tidak hanya menganggap sape ‘ Kayan sebagai alat musik yang kuno, mereka juga menganggap musiknya ketinggalan jaman. Tipung Jawe, penyanyi dan penari setengah baya yang baik sekali (trek 3; dan lihat foto di belakang) mengatakan bahwa dia tahu bagaimana menari untuk sape’ Kayan, tetapi tidak bisa menari untuk sape’ Kenyah; para musisi dan penari muda, sebaliknya, cenderung memilih sape’ Kenyah. Secara musikal, sape’ Kayan dan sape’ Kenyah mempunyai idiom-idiom yang berbeda: bandingkan trek 1 dengan trek 2 atau 3. Sape’ Kayan memainkan frase yang pendek berulangulang, dengan sedikit variasi, sementara sape’ Kenyah dimainkan dalam pasangan, dengan satu alat musik memainkan satu pola yang diulang-ulang sementara alat musik yang lainnya memainkan melodi yang lebih kompleks atau rangkaian motif-motif, dengan variasi-variasi yang lebih luas. Idiom ini, dan banyak pilihan dari repertoar, dikuasai oleh para musisi Kenyah, walau pemain-pemain sampeq Kenyah (seperti pada trek 11-13) kelihatannya lebih ahli. Akan tetapi, ada satu hal, di mana musik untuk sampeq dalam masyarakat Kenyah dan untuk sape’ Kenyah dalam masyarakat Kayan Mendalam sangat berbeda. Di Mendalam, para pemain dapat bernyanyi dengan sape’ Kenyah (trek 1) dan juga dengan sape’ Kayan (trek 3). Nyanyian dengan sape’ tidak pernah terjadi dalam masyarakat Kenyah – tidak, paling tidak, dalam kelompok-kelompok yang kami jumpai, atau kelompok-kelompok yang diteliti Gorlinski. Untuk kelompok-kelompok tersebut, musik vokal dan instrumental merupakan kategori-kategori yang berlawanan. Rekaman kami dari Kayan Mendalam menampilkan sepasang sape’ Kenyah bersama dengan seorang penyanyi pria (trek 1), tiga lagu tarian dimainkan pada sape’ Kayan (trek 2), dan satu lagu tarian sape’ Kayan lainnya, dengan nyanyian oleh seorang penyanyi tunggal wanita dan koor (trek 3). OT DANUM DAN NGAJU Masyarakat Ot Danum (begitu sebutan untuk mereka di berbagai tulisan; menurut antropolog Pascal Couderc, yang membimbing kami dalam rekaman-rekaman kami, istilah yang lebih mewakili adalah Uut Danum) adalah kelompok Dayak terbesar kedua di Kalimantan Tengah. Yang terbesar adalah Ngaju, yang menganggap diri mereka merupakan keturunan Ot Danum. Menurut para etnolog, kedua kelompok tersebut termasuk ke dalam kategori yang lebih besar dari Dayak Barito. Kedua bahasa mereka, walaupun berhubungan, namun tidak dapat saling dimengerti maknanya; tetapi, karena bahasa Ngaju adalah bahasa lingua franca untuk seluruh daerah, komunikasi antara kelompok menjadi mudah. Sebutan Ot Danum menggambarkan wilayah mereka: ot (atau uut) berarti “kepala air/hulu” dan danum berarti “sungai”; dan mereka tinggal terutama di daerah-daerah paling atas yang dapat
dilayari dari sungai-sungai mulai dari pegunungan Schwaner, wilayah yang memisahkan Kalimantan Tengah dan Barat. Sebagian besar masyarakat Ot Danum tinggal di Kalimantan Tengah, sementara sekitar tigabelas atau empatbelas ribu orang tinggal di sepanjang perbatasan di Kalimantan Barat, di bagian atas lembah sungai Melawi . Trek 4 dan 5 di sini berasal dari satu dari masyarakatmasyarakat Melawi bagianatas. Orang Ngaju (trek 6 dan 7) tinggal di sebelah selatan dari pegunungan, di daerah dataran rendah yang luas di antara sungai Barito di sebelah timur dan orang Sampit di bagian barat. Secara politis, jumlah, dan bahasa, orang Ngaju mendominasi Kalimantan Tengah. Kampung halaman tradisional mereka adalah sungai Kahayan, di mana terletak Palangkaraya, ibukota Kalimantan Tengah, Kami telah mengatakan sebelumnya bahwa di antara masyarakat Kayan Mendalam, musik yang membangkitkan perhatian terbesar dalam masyarakat kelihatannya adalah musik lut yang dimainkan untuk tarian rekreasi. Dalam masyarakat Ot Danum di daerah Melawi, ensambel yang lebih utama adalah gong. Upacara pemakaman, perkawinan, dan upacara ritual lainnya tidak lengkap tanpa musik ini dan tarian kelompok yang mengiringinya . Musik lut untuk rekreasi, sebaliknya, merupakan bentuk kecil dari hiburan, diigemari namun tidak secara khusus. Lut Ot Danum dimainkan oleh pria, bukan wanita. Banyak pria yang dapat memainkan satu atau dua lagu pada lutpetik atau gesek. Mereka memainkannya dengan santai, untuk hiburan pribadi dan orang-orang yang berada disekitarnya; tidak ada tarian yang serius dibawakan untuk musiknya. (Memang, karakteristik penampilan tarian solo dari Borneo Tengah tidak dijumpai dalam masyarakat Ot Danum dan Ngaju). Musik lut dapat dimainkan selama waktu-waktu sela dalam sebuah ritual yang panjang, tetapi ia tidak mempunyai fungsi ritual, kecuali untuk satu keadaan khusus. Dalam ritual saman, jika (seperti yang sering terjadi) seorang shaman kesurupan oleh roh dari daerah Mahakam atas, roh tersebut kemungkinan ingin menari dengan lagu Kinyah Uut. Karena, dengan memperkirakan untuk mendekati musik dari Borneo Tengah, Kinyah Uut harus dimainkan pada satu lut atau lebih – sementara apa yang khas disiapkan untuk ritual adalah ensambel gong – masyarakat mungkin harus mencari tempat yang tepat untuk menempatkan alat-alat musiknya. Orang Ot Danum dan Ngaju menggunakan alat-alat musik yang mirip dan mempunyai idiom musik yang sama . Untuk musik hiburan, para musisi Ot Danum dengan bebas meminjam lagu-lagu dari Ngaju, mempelajarinya dari pemain-pemain lain atau dari kaset ataupun radio. Para musisi yang terdengar di sini terlihat jelas ingin mengikuti salah satu jenis musik Ngaju, suatu bentuk puisi yang dinyanyikan (dengan iringan lut) yang disebut karungut: mereka mengatakan bahwa mereka mempunyai karungut di Melawi, namun mereka tidak punya bintangnya. Bintang dari karungut, mereka akui, adalah penyanyi Ngaju, Syaer Sua di Palangkaraya (trek 6). Bila orang Ot Danum menyanyikan karungut, mereka menggunakan bahasa Ngaju. Alat-alat musik yang paling umum dari musik rekreasi masyarakat Ot Danum dan Ngaju adalah lut petik (disebut konyahpi’ oleh orang Ot Danum dalam bahasa Melawi, dan dilaporkan disebut kanjapi oleh orang Ngaju, walaupun Syaer Sua menyebutnya kacapi), alat musik gesek dengan bagian muka bulat (rabap), dan suling vertical (ditiup dari ujung). Berbagai jenis lutpetik jauh lebih kecil daripada sape’ dan sampeq dari Borneo Tengah; alat musik ini mempunyai dua atau tiga senar dan tanpa grip. Tidak seperti lut orang Kayan dan Kenyah, alat-alat musik ini tertutup keseluruhan bagian belakangnya; bagian depan dari lubang resonatornya ditutup dengan sehelai papan. (Ini mungkin merupakan bentuk yang relatif baru: Pascal Couderc telah mengingatkan kami tentang laporan tahun 1905 oleh F. Grabowsky mengenai sebuah lut Ot Danum dengan dua senar dan terbuka di bagian belakang, kanyapi, dari daerah Kapuas-Murung). Rabap mempunyai dua senar. Alat-alat musik yang kami lihat di kampung masyarakat Ot Danum dibuat secara sederhana, tanpa dekorasi, sementara alat-alat musik Ngaju, kepunyaan seorang bintang dengan reputasi yang tetap dipertahankan, diukir dan dicat dengan menarik. Di samping karungut , musik lut hiburan pada masyarakat Ngaju kelihatannya memiliki kepentingan budaya yang sekunder, dibanding dengan musik gong untuk festival dan ritual. Akan tetapi, karungut menimbulkan ketertarikan, kemungkinan karena lut tersebut merupakan bentuk pertunjukan yang cocok (lebih pas daripada musik gong) untuk pertunjukan profesional dan rekaman kaset. Karungut adalah nama dari satu bentuk bait pantun, quatrain (bait dengan baris empat baris) dengan skema irama normatif pantun AAAA (tetapi dalam prakteknya terdapat banyak variasinya). Menurut Pascal Courdec, istilah ini didefinisikan dalam sebuah kamus tahun 1859 sebagai mantera saman; penggunaan yang sama juga dilaporkan dalam sebuah studi belakangan ini (KuhntSaptodewo 1993), yang menambahkan bahwa mantera tersebut tidak diiringi oleh alat musik. Satu perbedaan, ternyata fungsi non-ritual untuk karungut digambarkan dalam sebuah buku berbahasa
Indonesia pada sebuah literatur tentang Ngaju (Andianto, Mihing, dan Uan 1987), yang menyatakan bahwa karungut pada masa lampau dinyanyikan, tanpa iringan alat musik , dalam dua bentuk dongeng/cerita, yang satu disebut sansana yang menggambarkan pahlawan-pahlawan mitologi maupun legendaris, dan yang lainnya disebut karungut saja dan melibatkan figur-figur biasa, dan bukan mitologis. Sansana kadang-kadang masih dipertunjukkan saat ini, namun karungut yang berbentuk naratif tanpa iringan ternyata telah digantikan oleh bentuk yang memakai iringan seperti yang terdengar di sini. Kehadiran figur-figur mitologis dalam karungut yang kami rekam menunjukkan bahwa karungut modern kemungkinan telah mengambil beberapa cerita dari sansana juga. Kami tidak dapat memastikan kapan munculnya karungut sekuler dan profesional yang diiringi oleh alat-alat musik. Kaset-kaset komersil dari karungut yang memakai iringan telah ada sejak akhir tahun 1970-an, dan paling tidak empat puluh judul telah dijual di toko-toko kaset di Palangkaraya tahun 1995. Sebagian besar kaset-kaset ini dinyanyikan oleh Syaer Sua, menggunakan lirik-lirik dari komposisinya sendiri. Syaer Sua yang hampir memonopoli rekaman karungut menggambarkan keengganan para produser kaset lokal, bukan kekurangannya jumlah dari para penyanyi karungut. Bahkan sebetulnya ada banyak penyanyi, dan jenis ini sangat digemari. Tetapi Syaer Sua dikenal di mana-mana sebagai penyanyi yang paling top. Instrumentasi yang asli dari karungut adalah kacapi tunggal, tetapi, menurut Syaer Sua, penonton menganggap bahwa suaranya terlalu tipis. (Syaer Sua juga menganggap demikian). Saat ini karungut dimainkan dengan beragam alat musik: sedikitnya dua kacapi , yang dapat ditambahkan apakah itu rabap dan sebagai alat pilihan suling , atau gendang dengan tambahan pilihan gong (sebagai penanda, bukan melodi). Ensambel yang paling besar yang diketahui Syaer Sua adalah dua kacapi, rabap, gendang dan gong. (Di kaset kita juga bisa mendengar gitar dan kacapi dimainkan bersama). Penonton-penonton perkotaan menyukai tambahan gong dan gendang, tetapi orang-orang di desa acapkali menganggap itu terlalu bising. Ensambel yang terdiri dari dua kacapi dan rabap yang direkomendasikan oleh Syaer Sua untuk rekaman kami “tidak akan mengecewakan,” di kota maupun di desa. Dalam album ini kami menyajikan dua lagu instrumental yang dimainkan oleh orang Ot Danum dari Melawi (trek 4 dan 5), yang ketiga dimainkan oleh kelompok Syaer Sua di Palangkaraya (trek 7), dan cuplikan dari karungut yang beriringan , dinyanyikan oleh Syaer Sua (trek 6). KUTAI Dalam komentar kami untuk volume 11, kami menyarankan bahwa lebih tepat untuk menganggap wilayah kebudayaan Melayu sebagai daerah yang terdiri dari satu sektor “utama” dan satu lagi “perluasan.” Sektor utama adalah wilayah yang pada satu masa dipimpin oleh raja-raja atau sultan yang mengatasnamakan legitimasi hubungan, melalui kekerabatan atau penobatan, dengan kerajaan-kerajaan Melayu besar bersejarah dari Melaka dan Johor/Riau. Secara geografis, sektor utama meliputi Semenanjung Melayu, Patani di Thailand Selatan, sebagian besar pantai Timur Sumatera, Singapura dan Kepulauan Riau, dan sebagian dari pantai utara dan barat Borneo. Ke sebelah selatan dan timur dari sektor utama – sepanjang pesisir utara dari Jawa, dalam satu rangkaian kepulauan ke arah timur dari Lombok ke Timor, sepanjang pesisir Selatan dan timur Kalimantan, dan di kepulauan Maluku – terbentang sektor “perluasan.” Pengaruh kebudayaan Melayu dirasakan di sini, tetapi para penguasa adalah otonomi atau memiliki otoritas yang diturunkan dari kerajaan-kerajaan Sulawesi atau Maluku, tidak dari Melaka atau Johor ke bagian barat. Kesultanan Kutai, contohnya, terletak di sungai Mahakam bawah di Kalimantan Timur, mengadopsi elemen-elemen dari budaya Melayu tetapi tidak berarti lebih rendah terhadap dibandingkan kerajaankerajaan Melayu barat. Victor King (1993) menyatakan bahwa masyarakat sekarang menganggap orang Kutai atau Kutai Melayu sebagai keturunan orang Dayak yang masuk Islam. Satu pandangan berbeda diungkapkan oleh para penulis Kutai seperti Zailani Idris ([1977]), dan juga oleh musisi-musisi Kutai yang kami rekam, yang menyebutkan mereka adalah orang pesisir, hasil dari saling kawin antara etnik Melayu, Bugis, dan Banjar. Tidak diragukan bahwa masing-masing pernyataan adalah memang benar bagi beberapa orang Kutai. Tulisan-tulisan Sanskerta dari sekitar tahun 400 sesudah Masehi menyebutkan sebuah kerajaan Hindu di Kutai. Setelah penguasa-penguasanya beralih ke agama Islam, Kutai menjadi satu kesultanan yang akhirnya mengontrol perdagangan antara kelompok-kelompok Dayak dari sungai Mahakam bawah dan pasar-pasar orang luar. Diistana Sultan, paling tidak pada abad duapuluh, seni pertunjukan menyerupai sebagian besar bentuk-bentuk dari Jawa, dengan tari topeng dan gamelan gaya Jawa; pada tahun 1930-an istana juga terkenal dengan kelompok band jazz yang dipimpin oleh sang Sultan sendiri.
Dalam masyarakat umum di Kutai, bentuk penting dari musik dan tari sekuler – di samping musik populer nasional dangdut – adalah jenis yang dikenal dengan jepen di Kalimantan (zapin di Sumatera dan Riau). Walaupun jenis ini digunakan untuk hiburan dan secara eksplisit tidak memiliki kandungan religius, di seluruh wilayah kebudayaan Melayu ia diyakini berasal dari Timur Tengah dan dengan demikian membawa nuansa Islam. Anggapan tersebut membuat musik ini dapat diterima oleh para muslim yang kemungkinan memusuhi bentuk-bentuk seni sekuler. Musik untuk jepen/zapin biasanya dimainkan pada lut dengan permukaan kulit yang disebut gambus (telah dijelaskan sebelumnya), bersama dengan dua atau tiga gendang rangka kecil. Beberapa contoh dari musik zapin dari Indonesia Barat terdapat dalam volume 11 dari seri musik ini; di sini kami memberikan contoh-contoh yang dapat menjadi perbandingan dari Kutai. Dalam hal instrumentasi, bentuk tarian dasar, dan konteks pertunjukan, jepen di Kutai merupakan jenis yang sama dengan zapin di Indonesia bagian barat; tetapi di Kutai, ensambel musiknya mempunyai nama yang berbeda, tingkilan, dan telah mengembangkan repertoarnya sendiri dengan corak melodis yang berbeda yang tidak akan dianggap sama dengan yang terdapat di Sumatera dan Riau. Juga tidak mirip dengan corak-corak musik dari kelompok-kelompok Dayak yang terdengar di sini. Lagu-lagu Kutai menggunakan tujuh tangga nada; mereka dapat bergerak bebas dalam seluruh wilayah nada dalam satu frase; dan biasanya ada kontras yang menandai antar frase. Beberapa lagu Dayak di sini mempunyai wilayah gerak yang lebih terikat dan hanya terdapat sedikit kontras antar frase; yang lainnya, walaupun wilayah nadanya lebih luas, bergerak hanya secara perlahan-lahan dari satu wilayah nada ke wilayah yang lainnya. Tingkilan atau jepen (istilah-istilah ini secara fungsional dapat saling bertukar, walau yang satu mengacu pada musik dan yang lainnya pada tarian) dimainkan pada acara-acara perkawinan, sebelum menanam padi, dan untuk perayaan-perayaan kelahiran dan sunatan. Saat ini, untuk kemeriahan seperti ini, sebuah kelompok band atau ben – sebuah ensambel yang dibentuk berdasarkan rock band, idealnya dengan gitar, kibor, dan drum, memainkan dangdut dan lagu-lagu populer – lebih mempunyai gengsi, namun kelompok-kelompok tingkilan tetap ditanggap. Cuplikan-cuplikan dari tiga lagu jepen, dimainkan oleh kelompok tingkilan dari Tenggarong, terdengar pada trek 8-10. KENYAH LEPOQ TAU DAN KENYAH UMAQ JALAN Seperti orang Kayan, orang Kenyah merupakan masyarakat Borneo Tengah yang kampung halamannya semenjak pertengahan abad ke-19 adalah Apau Kayan (di bagian daerah atas dari sungai Kayan); sekitar seabad sebelumnya mereka tinggal di hulu Sungai Iwan, anak sungai Kayan. Dari pertengahan 1950-an hingga awal tahun 1970-an, orang Kenyah (dan juga orang Kayan) meninggalkan Apau Kayan dalam jumlah besar, bermigrasi terutama ke daerah bawah dari sungaisungai Kayan dan Mahakam di Kalimantan Timur dan ke Sarawak. Jerome Rousseau memperkirakan (1990) bahwa ada sekitar 40.000 orang Kenyah ( dilafalkan dengan schwa atau e netral dan bukan bunyi h) yang dapat menelusuri sejarah/asal-usul mereka ke Apau Kayan; mereka dibagi ke dalam sekitar 40 sub-kelompok, yang mempunyai banyak perbedaan dalam bahasa dan adat istiadat. Rekaman-rekaman kami ( 11-13) menampilkan musik dari dua sub kelompok, Lepoq Tau dan Umaq Jalan, tinggal dalam komunitas yang berdiam di Mahakam bawah setelah migrasi keluar dalam jumlah besar-besaran pada pertengahan abad. Dalam masyarakat Kenyah yang kami datangi, seperti juga dalam masyarakat Kayan Mendalam, musik instrumental yang diasosiasikan dengan tarian hiburan merupakan sentral dari kehidupan musik, jauh lebih sentral dibanding dengan musik-musik ritual yang jarang sekarang ini. Jenis penting lainnya adalah nyanyian kelompok tanpa iringan di berbagai festival dan kegiatan. Pada masa lalu, kelihatannya ensambel-ensambel gong sama pentingnya dalam beberapa kelompok orang Kenyah (termasuk Umaq Jalan): seorang penulis pada tahun 1904 mengamati bahwa alat-alat musik tersebut “dimainkan pada upacara-upacara dan festival-festival apapun .” Saat ini, setelah satu abad perubahan religi dan sosial, gong hampir tidak pernah hadir. (Untuk kutipan dan analisis dari pergeseran ini, lihat Gorlinski 1994). Berbagai komentar singkat mengenai tarian Kayan yang kami berikan sebelumnya (mengambil dari Joan Seeler) berlaku (lebih kurang) untuk Kenyah juga. Instrumen yang khas untuk pengiring tarian, atau untuk lagu-lagu tarian yang dimainkan tanpa tari, adalah sampeq. Ini adalah lut yang sama dengan yang disebut oleh orang Kayan Mendalam sebagai sape’ Kenyah, meskipun seperti yang kami tulis sebelumnya, alat-alat musik Kenyah yang kami lihat lebih panjang daripada alat-alat musik Kayan. Sampeq biasanya dimainkan berpasangan, tetapi lut bisa dimainkan solo,
atau tiga atau bahkan empat instrumen dimainkan secara bersama. Ada juga instrumentasi alternatif: genggong dalam duet; satu ensambel yang disebut jatung utang, menampilkan sebuah silofon dan alat-alat musik lainnya (sampeq, gitar atau gitar tiruan, bass tiruan satu senar); dan yang sekarang hampir punah, organ mulut (kedireq). Tidak seperti orang Kayan mendalam, orang Kenyah (atau paling tidak orang Kenyah di sini) secara tradisional tidak menggabungkan nyanyian dengan musik instrumental. Dalam satu makalah yang tidak diterbitkan, Gorlinski melaporkan bahwa pada masa lalu masyarakat Kenyah yang dipelajarinya menggunakan sampeq tidak hanya pada acara-acara tarian dan hiburan, tetapi juga untuk perlengkapan pacaran – para pemuda memainkannya untuk menarik hati para gadis dan untuk menyatakan pesan bahwa mereka tertarik; para gadis mengambil kesempatan untuk menari secara pribadi untuk pria yang sedang bermain; dan seterusnya. Kami tidak mendengar informasi penggunaan sape’ seperti ini dalam masyarakat Kayan Mendalam, namun sangat mungkin bahwa di sana, berbagai sisi romantis yang dimiliki lut juga digarap. Menurut para musisi Kenyah yang kami jumpai, permainan sampeq intinya sama di seluruh kebudayaan Kenyah. Kami diberi tahu bahwa lagu-lagu tertentu mungkin dapat ditandai dengan daerah-daerah atau sub-kelompok spesifik, tetapi tidak ada gaya spesifik regional yang terlihat. Anda tidak dapat mendengar satu rekaman sampeq dan mengidentifikasi kelompok atau daerah asal si pemain. Duet-duet sampeq masyarakat Lepoq Tau dan Umaq Jalan yang terdengar di sini menunjukkan satu pembagian dari tanggung jawab antara satu pemimpin melodi dan satu iringan yang lebih sederhana. Pada trek 11, sampeq iringan memainkan figur perulangan yang sederhana; dalam trek 12 dan 13, ia memainkan melodi-melodi yang agak rumit, tetapi hanya terbatas dalam wilayah nada bila dibandingkan dengan sampeq pemimpin, yang wilayah nadanya sampai satu setengah atau dua oktaf. Gaya ketiga dari permainan duet ini, yang tidak sempat kami rekam, terdengar pada trek 2 dari CD Musicaphon Gorlinski. Dalam gaya ini, kedua sampeq memiliki secara melodis peranan yang sejajar dan saling mengisi; ketika satu pemain beranjak ke wilayah nada tinggi yang lainnya ke bawah, dan sebaliknya. Secara umum, lagu-lagu Kenyah lebih kaya ornamen dan secara melodis maupun ritmis lebih bebas dan lebih bervariasi dibanding lagu-lagu Kayan Mendalam yang terdengar pada trek 1. Gorlinski mendapat infomasi bahwa “gaya permainan yang ahli, kaya ornamen” dari sampeq Kenyah baru berkembang sejak sekitar tahun 1940. Sebagai pengenalan beberapa aspek teknis dari permainan sampeq, lihat Gorlinski 1988. Referensi dan Rekaman-Rekaman Lain Para pendengar yang ingin mendapatkan syair-syair lagu (tanpa terjemahan) dari nyanyian-nyanyian yang terdengar di dalam rekaman ini (termasuk sembilan puluh tiga syair penuh karungut yang dicuplik di track 6), bersamaan dengan daftar bacaan yang lebih mendalam dari pada apa yang dapat kami berikan di sini, dapat memperolehnya dengan mengirimkan nama, alamat, sekaligus dengan cek $2.00 (untuk pos dan pengiriman), dapat dibayarkan ke Smithsonian Institution, kepada: Indonesian Texts 13, Smithsonian Folkways Recordings, Center for Folklife Programs & Cultural Studies, 955 L‟Enfant Plaza, Suite 2600, Smithsonian Institution MRC 914, Washington, DC 20560, USA. Syairsyair lagu juga dapat diperoleh di Smithsonian Folkways‟ website: www.si.edu/folkways/40451.htm TIDAK ADA DALAM VERSI BAHASA INGGRIS! Andianto, M. Rus; Mihing, Samuel; Uan, Sinar. Sastra Lisan Dayak Ngaju. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1987. Ave, Jan B., and Viktor T. King. Borneo: the people of the weeping forest: tradition and change in Borneo. Leiden: Rijkmuseum voor Volkenkunde, 1986. Gorlinski, Virginia K. “Some insight into the art of sape‟ playing.” Sarawak Museum Journal 39(60 n.s.):77-104, 1988. ______. “Pangpagaq: religious and social significance of traditional Kenyah music-dance form.” Sarawak Museum Journal 40(61 n.s.):279-301, 1989. TIDAK ADA DALAM VERSI BAHASA INGGRIS! ______. “Gongs among the Kenyah Uma‟ Jalan: past and present position on an instrumental tradition.” Yearbook for Traditional Music 26:81-99, 1994. Grabowsky, F. “Musikinstrumente der Dajaken Sudost-Borneos,” Globus 87(7), 1905. Idris, Zailani. Kutai: obyek perkembangan kesenian tradisionil di Kalimantan Timur. [N.p., 1977?] King, Victor T. The peoples of Borneo. Oxford: Blackwell, 1993. Kuhnt-Saptodewo, Sri. Zum Seelengeleit bei der Ngaju am Kahayan. Munchen: Akademischer Verlag, 1993. Rousseau, Jerome. Central Borneo: ethnic identity and social life in a stratified society. Oxford:
Clarendon Press, 1990. Seeler Joan, Joan. “ ”Some notes on traditional dances of Sarawak.” Sarawak Museum Journal 17(34/35 n.s.):163-201, 1969. Sellato, Bernard. Hornbill and dragon / Naga dan burung enggang: Kalimantan, Sarawak, Sabah, Brunei. Jakarta & Kuala Lumpur: Elf Aquitaine, 1989. Sukanda, Al. Yan. “Tradisi musikal dalam kebudayaan Dayak.” dalam: Kebudayaan Dayak: aktualisasi dan transformasi, ed. Paulus Florus et al., pp. 133-146 Jakarta: Grasindo, 1994. Recordings? LIHAT HALAMAN 15 VERSI BAHASA INGGRIS! KOMENTAR ATAS LAGU-LAGU Listeners …. LIHAT HALAMAN 15 VERSI BAHASA INGGRIS! KAYAN MENDALAM Para musisi berpangkalan di Desa Datah Diaan (nama lama: Umaa‟ Pagung), satu kelompok masyarakat di sungai Mendalam, sebelah timur Putussibau, di Kalimantan Barat. 1. Paron (cuplikan) Vokal (talimaa’): Dullah Uvat. : Sape’ Kenyah: Angalung (pemimpin; di sebelah kanan) dan Haraan Ajaang. Paron adalah musik tari, yang dapat ditambahkan oleh jenis nyanyian yang disebut talimaa’ . Biasanya dimainkan untuk seorang penari pria, atau dapat dimainkan seperti dalam kasus ini semata-mata untuk menyenangkan diri para musisi. Paron dikenal sebagai melodi Kenyah, dan namanya diberikan berdasarkan nama komposernya. Jika nyanyian ditambahkan, liriknya biasanya berhubungan dengan kisah penjelajahan Paron ke hutan untuk memburu burung-burung: mereka begitu indah dilihat dan didengar sehingga ia tidak sanggup untuk membunuh mereka, sehingga dia kembali pulang dengan tangan hampa namun bahagia dan kemudian menciptakan melodi ini. (Ada sedikit ketidaktetapan dalam hal ini: karena orang Kenyah biasanya tidak menyanyi dengan iringan alat musik, mengapa seorang pria Kenyah menciptakan lagu untuk dibawakan dengan sampeq? Gorlinski telah menyatakan kepada kami bahwa kemungkinan ini merupakan satu contoh dari apa yang dia sebut sebagai “diketahui tetapi tidak diungkapkan,” lirik-lirik atau cerita-cerita yang diasosiasikan banyak orang Kenyah sebagai melodi-melodi sampeq tetapi tidak umum dinyanyikan bersamaan dengan permainan alat musik). Dalam permainan ini, Dullah Uvat, seorang ahli penyanyi cerita (takna’), tidak menyanyikan cerita-cerita Paron melainkan menciptakan liriknya sendiri, mula-mula bernyanyi tentang membesarkan anak, dan mengenang masa mudanya, dan akhirnya meratapi teman-teman lamanya yang telah meninggal. Alat-alat musiknya di sini adalah sepasang sape’ Kenyah, masing-masing dengan empat senar. Ukuran-ukuran alat ini masing-masing: (a) panjang 118,5 cm, lebar 23,5 cm, tebal 9 cm, dan (b) panjang 114,5 cm, lebar 23,5 cm, tebal 9 cm. Melodi sape’ umumnya berkisar di dalam jangkauan interval sembilan mayor (misalnya dari C lewat C atas sampai ke D) di atas nada drone. Nada drone itu biasanya merupakan nada pusat untuk melodinya. Jika kami sebut nada drone dengan C, (mengikuti konvensi, seperti yang akan muncul dalam keseluruhan komentar-komentar berikut) nada-nada dari melodinya adalah, dalam urutan menaik, C E F G B C D, dengan nada E tinggi yang muncul dalam satu bagian yang singkat. Tangga nadanya dengan demikian adalah heksatonis dengan dua langkah setengah (misalnya E-F atau B-C).. Selalu terjadi dalam melodimelodi Kenyah di mana set-set nada yang berbeda dijumpai dalam oktaf-oktaf yang berbeda. Talimaa’ atau melodi vokal di sini hanya menggunakan empat nada; yaitu, dalam susunan menurun: G F E (dalam bentuk yang tidak stabil) dan C. Melodi sape’ terdiri dari beberapa motif yang mirip dengan beberapa variasi; masing-masing menekankan atau menghantar ke tingkat nada yang berbeda. Mereka tidak muncul untuk dimainkan dalam urutan yang tetap, juga tidak dikordinasikan dengan melodi vokal: penyanyi tidak menunggu motif spesifik dari sape’ sebelum memulai bait yang baru. 2. Tiga melodi tari Sape’ Kayan: Abo Igaang. Melodi (daak) untuk tarian solo, dimainkan pada sape’ Kayan dua senar, dengan grip berlekuk-lekuk. Terbuka di bagian belakang, instrumen yang terdengar dalam contoh ini mempunyai suara yang lebih kasar dibanding dengan instrumen dalam trek 3, di mana bagian belakang badan alatnya ditutupi sebagian dengan papan. Abo‟ Igaang memainkan rangkaian dari lima lagu tanpa berhenti. Dari susunannya, kami telah menyarikannya menjadi tiga lagu, dalam urutannya, Daak Kayang, Daak L’angiling, dan Daak Dale’ Pavitang, dan kami telah memperpendek yang pertama, dua nada yang kabur diulang-ulang dengan beberapa variasi yang sedikit berbeda, dengan empat
perulangan. Melodi-melodi lagunya menggunakan tangga-tangga nada yang terbatas (ditampilkan di sini dalam susunan menurun): dalam Daak Kayang, E dan C (jika C adalah nada drone); dalam Daak Langiling, G F E C; dalam Daak Dale’ Pavitang, G F E, dengan C muncul hanya sebagai drone, bukan dalam melodinya sendiri. Setiap melodi lagu terdiri dari satu atau dua motif-motif pendek, diulang secara spontan dengan variasi-varisi yang sedikit berbeda. 3. Lupaak Avun (cuplikan) Vokal: Tipung Jawe‟ (talimaa’) dengan koor wanita (saloi). Sape’ Kayan: Abo‟ Igaang. Melodi lagu lainnya untuk tarian solo, dimainkan dengan sape’ Kayan. Seorang penyanyi solo (talimaa’) dan satu koor (saloi) mengikuti. Sape’ yang digunkan di sini berukuran panjang 113 cm , lebar 35 cm, dan tinggi 8 cm, dan ditutup sebagian pada badan belakangnya. Tertutup di bagian belakang merupakan kebiasaan yang baru pada masyarakat Kayan Mendalam, dan Abo‟ Igaang mengatakan kepada kami bahwa dia lebih menyukai bunyi yang lebih kasar dari [sape’] yang terbuka di badan belakangnya. Judul lagu Lupaak Avun berarti “gelombang-gelombang kabut”. Vokal Tipung Jawe menceritakan makna dan fungsi tradisional tarian tersebut. Pada masa lampau, ketika orang Kayan tinggal di ketinggian untuk menjaga dari serangan dan bahaya, mereka dapat melihat dengan mudah kabut berkumpul, ini merupakan pertanda buruk, karena ini bisa berarti petir dan banjir. Untuk mencegah petir, para wanita akan menari Lupaak Avun, dengan gerakan mengayunkan bahu untuk membubarkan kabut. (Lihat foto di bagian belakang buklet CD). Melodi instrumental dan vokal sekali lagi terbatas hanya empat nada (menurun: G F E C) dalam jangkauan kwint. Melodinya mempunyai tiga frase yang saling berhubungan yang dimainkan dalam susunan yang tetap; frase pertama dan terakhir dapat dulang-dulang beberapa kali, tetapi frase yang di tengah dimainkan hanya sekali dalam satu siklus. Seperti dengan Paron (trek 1), vokalnya tidak terikat terhadap siklus melodi. OT DANUM Para musisi berpangkalan di Nanga Sangkai, satu masyarakat di bagian tengah sungai Ambalau, satu anak sungai kiri dari sungai Melawi, di Kalimantan Barat. 4. Tingang Kuai (cuplikan) Kenyahpi’: Herkulanus. Kasa’: Nilon. Permainan solo dari lut tiga senar (konnyahpi’), sementara pemain kedua memukul ketukan dasar pada sebuah botol (kasa’). Konyahpi’ Ot Danum tertutup secara menyeluruh di bagian belakang; dan tambahan kotak suara menutup resonator bagian depan. Alat musik yang terdengar di sini panjangnya 94 cm, lebar 13 cm, dan tinggi 7 cm. Tingang Kuai adalah nama satu ketua Penihing (= Aoheng) yang ikut serta dalam perang besar di Mahakam pada tahun 1885 melawan para penyerang suku Iban. Melodinya menggunakan empat nada: (menurun) G F Eb dan nada drone C. Terdiri dari dua frase yang berhubungan, yang satu menjawab frase lainnya, diulang dengan sedikit variasi; dalam contoh ini melodinya menirukan beberapa melodi tarian Kayan Mendalam dalam trek 2. 5. Tumbang Gaya’ Rabap: Dimun. Konyahpi’: Herkulanus dan B. Kolen. Kasa’: Nilon. Dua buah konyahpi; bersenar tiga, sebuah rabap (sejenis alat gesek dengan dua senar kawat), dan sebuah botol. Rabap panjangnya 62 cm, dan diameter resonatornya 15 cm. Menurut para musisinya, Tumbang gaya’ adalah nama dari sebuah kampung Ngaju, tetapi kami tidak dapat memastikan di mana lokasinya. Pemain rabap mempelajari melodinya dari seorang pria dari sungai Serawai. Melodi di sini menggunakan tangga nada pentatonik tanpa langkah setengah. Tangga nadanya (menurun) adalah: C (drone) D F G A. Dua buah konyahpi’ memainkan satu pola pendek berulang-ulang: rabap menggunakan pola ini sebagai kerangka dasar untuk mengembangkan variasinya. NGAJU Para pemusik, berpangkalan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, adalah anggota dari Sanggar Seni Budaya Bukit Raya, dipimpin oleh Syaer Sua.
6. Karungut Saritan Nampui Kambang (cuplikan) Vokal (karungut) dan kacapi kedua: Syaer Sua. Kacapi pemimpin: Dinal Lasri. Rabap: Mampung Lasri. Cuplikan ini menampilkan sebelas bait awal dari sembilan puluh tiga bait dari satu teks karungut yang diciptakan oleh penyanyinya pada bulan Desember 1979. (Untuk memperoleh masukan terhadap syairnya secara menyeluruh, lihat pada bagian “Referensi” sebelumnya. Ceritanya (saritan; dalam bahasa Indonesia cerita) mengenai seorang anak perempuan ningrat, Nampui Kambang, yang menikah dengan seoran pria muda yang tampan yang sebenarnya adalah sebuah mahluk dari dunia bawah (seekor ular naga, atau kemungkinan seekor buaya). Suaminya membawa ia ke dunia bawah dimana dia menjadi dewa yang pertolongannya dapat diminta dengan memberikan sesajian dan doa-doa. Alat musik yang dipakai di sini adalah dua buah kacapi dan sebuah rabap yang tidak biasa di mana resonatornya ditutup tidak dengan kayu atau kulit namun dengan sebuah lempengan kuningan yang tipis. Syaer Sua menggunakan lempengan kuningan ini pada alat musiknya setelah dia mendapat kesempatan untuk tour ke Eropa, ketika permukaan kulit yang asli menjadi terlalu dingin dan lembap. Rabap mempunyai dua senar. Kacapi melodi mempunyai dua senar, sementara kacapi kedua, kacapi pengiring mempunyai senar tiga. Melodi lagu dalam contoh ini menggunakan tangga nada pentatonik tanpa langkah setengah, tetapi tidak sama dengan yang dapat kita dengar pada trek 5; di sini tangga nadanya adalah (menaik) C d F G Bb, dengan wilayah nada berkisar dari Bb ke atas nada drone (C) ke G di bawahnya. Alat-alat musik mengulang melodi dasar dengan variasi-variasi; penyanyi -- di mana bagiannya, seperti juga pada seleksi Kayan Mendalam, bebas dari siklus instrumental -- menyanyikan melodi dengan frase-frase dengan kontras tinggi dan rendah. (Kontras ini tidak cocok dengan bagian yang dibawakan alat musiknya). Melodi vokalnya secara terus menerus bervariasi menyesuaikan dengan kebutuhan teksnya. 7. Cak-cakun. Suling: Syaer Sua. Kacapi pemimpin: Dina Lasri. Kacapi kedua: Effendi. Rabap: Mampung Lasri. Lagu instrumental yang popular dengan siklus melodi yang tetap yang panjangnya 24 ketukan (dihitung dalam tempo sedang). Di sini Syaer Sua menggantikannya dengan satu suling vertical (ditiup dari ujung), yang dimainkan dengan satu getaran, secara ritmis bebas yang tidak pernah kami jumpai pada musik Kalimantan lainnya. Tangga nadanya sama dengan tangga nada pada trek 6, tetapi melodinya hanya mencapai nada G di bawah nada drone, tidak sampai ke nada Bb. KUTAI Para musisi Tingkilan berpangkalan di Tenggarong, Kalimantan Timur. 8. Jauh Di Mata (cuplikan) Gambus: Sawiyah. Ketipung: Sidik dan Herman. Satu lagu jepen dimainkan oleh satu ensambel tingkilan yang kecil. Lagu ini biasanya dipasangkan dengan frase “namun dekat di hati.” Gambus ini mempunyai tujuh senar (tiga senar ganda dan satu senar tunggal untuk bas), dan, satu kekecualian, di sini dimainkan oleh seorang wanita. Dua gendang kecil, masing-masing dengan satu sisi, disebut dengan nama Jawa ketipung. Tangga nada dari melodinya adalah heptatonik: menurun) C D Eb F G Ab, dengan nada sekali-sekali nada Bb di bawah C. Tingkat melodi (tidak termasuk nada C dan G dalam oktaf yang lebih rendah, yang lebih berfungsi sebagai pengisi daripada sebagai bagian melodi) adalah dari Ab (atau nada antara Ab dan A natural) di bawah pusat nada © ke Ab di atasnya. Nada Eb dan Bb dilaras di luar norma musik Barat. Melodinya tetap, namun perubahan arah antara siklus-siklus melodinya dikembangkan menurut keinginan pemain. 9. Ayun Anak (cuplikan) Gambus: Herman. Ketipung: Sidik dan Nordin. Lagu jepen lainnya; gambus yang berbeda (masih tujuh senar) dan seorang pemain pria. Di sini nada pusat dari melodinya bergeser ke bawah satu langkah, kemudian kembali lagi ke atas. Sebagai akibatnya ada dua tangga nada (berikut ini dituliskan dengan susunan menurun): B C D E F G A, dengan nada C sebagai pusat nada, dan nada F G A Bb C, berpusat pada nada B. Melodinya
tetap. Judul lagunya berarti “mengayun anak”. 10. Pahampangan (cuplikan) Vokal: Abdurrahim. Gambus: Herman. Ketipung Zaman dan Nordin. Lagu jepen ketiga, kali ini dengan seorang penyanyi. Lagi, melodinya tetap, seperti hubungan penyanyi dengan iringan. Tangga nadanya pada dasarnya heptatonik (menurun: B C D E F G A, dengan nada C sebagai pusat nada), namun gambus menambahkan nada Bb diatas nada vokal tertinggi (A). Bait-bait yang dibawakan penyanyinya dalam bentuk pantun yang dikenal di seluruh area budaya Melayu. Ada bait-bait tradisional dari ratapan, di mana penyanyinya menampilkan dirinya sebagai anak yatim piatu, orang yang miskin, dan kekasih yang dikhianati. KENYAH LEPOQ TAU DAN KENYAH UMAQ JALAN 11. Sampeq Penihing Duet Sampeq: Lunda Luhat (pimpinan; di sebelah kiri) dan PeLimbu. Trek ini dan dua trek berikutnya menampilkan lagu-lagu tarian solo Kenyah yang dimainkan tidak untuk tari tetapi untuk hiburan seperti halnya musik. Penari akan memotong pemain-pemain sampeq segera setelah dia lelah -- tiga menit adalah panjang yang normal, lima menit termasuk panjang. Panjang yang delapan-sembilan menit, seperti dalam trek ini, terlalu lama untuk para penari, tetapi mereka memberi waktu kepada para musisi untuk mengambil ancang-ancang dan mempelajari secara mendalam lagu-lagu dan variasi-variasi mereka. Penihing adalah nama dari kelompok Dayak yang tinggal di Mahakam atas. Nama bagi sesama mereka adalah Aoheng. (Tingang Kuai, pemimpin yang namanya digunakan sebagai judul lagu dalam trek 4, adalah Penihing). Pemain-pemain sampeq di sini mengatakan bahwa lagunya berkaitan dengan misi perdamainan dari orang Kenyah Umaq Tau kepada Penihing. Lagunya sedih namun kuat, kami mendapat informasi bahwa lagu ini menguatkan semangat penarinya. Biasanya, untuk lagu ini pria yang menari, bukan wanita. Jika kita menganggap nada pusat dan nada drone adalah C pada wilayah tengah, melodinya menggunakan tangga nada pentatonik tanpa langkah setengah (menaik: C D E G A) di wilayah nada di atas C, dan satu tangga nada yang berbeda, dengan langkah setengah (menurun: C A G F E), dalam wilayah nada dibawahnya. Keberadaan langkah setengah adalah penting untuk menciptakan perasaan sedih dalam lagunya. Satu sampeq sudah pasti adalah pemimpin melodi: permainannya mencakup sepuluh nada dalam dua oktaf, sementara sampeq yang lainnya terbatas pada satu pola tiga nada yang diulang-ulang. Para musisi menyebut bagian pemimpinnya dengan sekudeq, dan bagian yang berulang-ulang dengan tajaq. Melodinya terdiri dari sejumlah motif yang bervariasi dan disusun secara spontan. Alat musik sekudeq panjangnya 133,5 cm, lebar 24 cm, dan tebal 12 cm. Tajaq panjangnya 128,5 cm, lebar 19 cm, dan tebal 10 cm. Kami merekam lagu ini dan trek 13 dari masyarakat Kenyah Lepoq Tau di kampung Tanjung Manis, juga dikenal sebagai Long Tesaq, di sungai Kelinjau, di utara Muara Ancalong, di lembah sungai Mahakam yang lebih rendah, di Kalimantan Timur. Lepoq Tau ini pada mulanya dari Long Uroq di Apau Kayan; mereka berimigrasi ke Long Uroq pada tahun 1971 dan mencapai Tanjung Manis pada tahun 1972. 12. Sampeq Urau Duet sampeq: Jusman (pemimpin; di sebelah kiri) dan PeLugin. Direkam pada waktu hujan malam hari pada masyarakat Kenyah Umaq Jalan di Gemar Baru, satu masyarakat di sungai Atan, juga di lembah Sungai Mahakam yang lebih bawah, Kalimantan Timur. Kelompok ini meninggalkan Long Ampung di Apau Kayan pada tahun 1968, dan setelah beberapa persinggahan mereka menetap di Gemar Baru pada tahun 1977. Para musisi Umaq Jalan tidak memberitahu kami latar belakang lagu ini, namun para musisi di Lepoq Tau di Tanjung Manis yang juga memainkan lagu ini, memberikan informasi kepada kami. Mereka mengatakan bahwa selama Perang Dunia Kedua, 750 orang Lepoq Tau dikirim oleh Jepang ke Urau di Irian Barat. Hanya satu orang yang selamat; dia kembali dan menciptakan lagu sedih ini. (Ini mungkin adalah versi orang Lepoq Tau dari sejarah lagu ini). Ahli linguistik James T. Collins membari tahu Gorlinski bahwa “Urau” kemungkinan adalah kepulauan Aru di sebelah barat pulau Irian. Di sini lagi-lagi melodinya mempunyai tangga nada yang berbeda, di atas dan di bawah nada drone dan nada pusat (C). Menurun dari nada pusat, tangga nadanya adalah C D E G A dan dengan demikian tanpa langkah setengah; menurun dari nada pusat, tangga nadanya adalah C B G F E C,
dengan dua langkah setengah. Melodinya terdiri dari dua bagian, satu dalam wilayah nada lebih tinggi dan satu lebih rendah; kedua bagiannya tetap dan bukan terdiri dari beberapa frase pendek yang diulang-ulang. (Jika kita hitung pola-pola iringan sederhana yang disebutkan di bawah ini menjadi hitungan dalam empat ketukan, kemudian frase yang lebih tinggi terdiri dari tujuh pembagian hitungan seperti itu dan frase lebih rendah berjumlah sebelas). Sebagian besar variasi-variasi melodi terjadi pada frase-frase yang lebih tinggi. Musisinya memainkan melodi pokok, yang melintasi keseluruhan wilayah nada, disebutkan oleh orang Umaq Jalan sebagai uyan ngadan,”membuat nama”. Bagian lainnya, yang hanya berkisar satu oktaf saja, membalas dengan oktaf yang lebih rendah bagian dari alat musik pemimpin, dikatakan melakukan indaq atau “mengiringi”. Jika pemimpinnya di oktaf lebih tinggi, iringannya memainkan variasi-variasi terhadap melodinya; namun ketika pemimpinnya ke oktaf lebih rendah, iringannya mengulang-ulang pola-pola empat ketukan yang sederhana. Hubungan ini mirip dengan saling membalas ganti-ganti wilayah nada seperti yang diuraikan sebelumnya (dan dapat didengar pada trek 2 di Musicaphon CD): ketika pemimpinnya naik, iringannya turun. Tetapi tidak persis sama, karena di sini iringan tetap rendah ketika pemimpinnya turun. Versi solo dari lagu ini (di mana frase kedua, melodi dalam register rendah diperlakukan seperti frase pendek yang diulang-ulang daripada sebagai melodi yang utuh) dapat didengar pada CD Gorlinski. 13. Sampeq Lepoq Duet Sampeq: Lunda Luhat (pemimpin di sebelah kiri) dan PeLimbu. Lagu yang terkenal dan umum bagi para musisi Lepoq Tau terdengar pada trek 11. Nada pusatnya terdapat di nada terbawah dari wilayah nadanya, tidak di tengah seperti pada trek 11 dan 12. Melodinya meliputi satu setengah oktaf, dan menggunakan tangga nada pentatonik yang sama tanpa langkah setengah (menaik: C D E G A) di kedua oktaf. Bagian sekunder (tajaq), yang memainkan variasi-variasi melodis daripada pola-pola perulangan yang sederhana, tetap dalam wilayah nada kelima pada bagian nada paling bawah dari tangga nadanya. Bagian pemimpin (sekudeq) memainkan variasi-variasi dari satu rangkaian motif. DATA REKAMAN DAN PERTUNJUKAN Direkam dengan menggunakan sebuah alat perekam Sony TCD-D10 Pro DAT recorder (di backed up dengan alat perekam Denon DTR-80P DAT) dan sebuah mixer Sonosax SX-PR (delapan masuk, dua keluar). Mikrofon: Sennheiser MKH-40s, Neumann KM-184s, dan Neumann KM-130s. Semua pertunjukan yang direkam di sini dipesan khusus demi kepentingan rekaman. Trek 1: Vokal: Dullah Uvat. Sape’ Kenyah: Angalung (pemimpin) dan Haraan Ajaang. Direkam di dalam ruangan di Dusun Long Lingeh Hatung. Desa Datah Diaan, Kompleks Tanjung Durian Kecamatan Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat, pada tanggal 17/18 September 1995. Para pemain tinggal di Long Lingeh dan di dekat daerah tersebut. Trek 2: Sape’Kayan: Abo „ Igaang. Direkam seperti pada trek 1, pada tanggal 14/15 Sepetember 1995. Kediaman para pemain: sama dengan trek 1. Trek 3: Vokal solo: Tipung Jawe‟. Koor wanita: Hasung Savaang, Song Nyaring, Hangin Ajaang, Ijot Lenik. Sape‟ Kayan: Abo‟ Igaang. Direkam seperti pada trek 1. Kediaman para pemain: sama dengan trek 1. Trek 4: Konyahpi‟: Herkulanus. Kasa‟: Nilon. Direkam di sebuah gereja di kampung Nanga Sangkai, Desa Kesange, Kec. Ambalau, Kab. Sintang, Prop. Kalimantan Barat, pada tanggal 22 Sepetember 1995. Para pemain tinggal di Ds. Kesange. Trek 5: Rabap: Dimun. Konyahpi‟: Herkulanus. B. Kolen. Kasa’: Nilon. Direkam seperti pada trek 4. Kediaman para pemain: seperti pada trek 4. Trek 6: Para anggota dari Sanggar Seni Budaya Bukit Raya, dipimpin oleh Syaer Sua. Vokal dan kacapi kedua: Syaer Sua. Kacapi pemimpin: Dinal Lasri. Rabap: Mampung Lasri. Direkam (menggunakan peralatan MSPI) di satu studio Radio Republik Indonesia di Kotamadya Palangkaraya, Prop. Kalimantan Tengah, pada tanggal 30 oktober 1995. Para pemain tinggal di Palangkaraya. Trek 7: Anggota-anggota dari Sanggar Seni Budaya Bukit Raya (seperti pada trek 6). Suling: Syaer
Sua. Kacapi pemimpin: Dinal Lasri. Kacapi kedua: Effendi. Rabap: Mampung Lasri. Direkam seperti pada trek 6. Kediaman para pemain: sama dengan trek 6. Trek 8: Gambus: Sawiyah. Ketipung: Sidik, Herman. Direkam di rumah pribadi di Kota Tenggarong, Kec. Tenggarong, Kab. Kutai, Prop. Kalimantan Timur, pada tanggal 21/22 Oktober 1995. Para pemain tinggal di Kota Tenggarong dan sekitarnya. Trek 9: Gambus: Herman. Ketipung: Sidik, Nordin. Direkam seperti pada trek 8. Kediaman para pemain sama dengan trek 8. Trek 10: Vokal: Abdurrahim. Gambus: Herman. Ketipung: Zaman, Nordin. Direkam seperti pada trek 8. Kediaman para pemain sama dengan trek 8. Trek 11: Sampeq: Lunda Luhat (pemimpin), PeLimbu. Direkam pada sebuah rumah di Dusun Tanjung Manis, Desa Long Tesaq, Kec. Muara Ancalong, Kab. Kutai, Prop. Kalimantan Timur, pada tanggal 19 Oktober 1995. Para pemain tinggal di Tanjung Manis. Trek 12: Sampeq: Jusman (pemimpin), PeLugin. Direkam di rumah pribadi di Desa Gemar Baru, Kec. Muara Ancalong, Kab. Kutai, Prop. Kalimantan Timur, pada tanggal 7 November 1995. Para pemain tinggal di Gemar Baru. Trek 13: sama dengan trek 11.
KREDIT Direkam, dikumpulkan dan dianotasi oleh Philip Yampolsky. Asisten rekaman: Asep Nata. Foto: Asep Nata. Foto sampul depan: Jusman, pemain sampeq utama yang dimainkan pada track 12 (kenyah) Foto-foto pada sampul belakang (searah jarum jam dari kiri atas): Dari kiri rabap, suling (dimainkan oleh Syaer Sua), kacapi (Ngaju); tarian Tipung Jawe‟ Lupaak Avun sementara Abo‟ Igaang mengiringinya dengan sape‟ Kayan di sebelah kanan (Kayan Mendalam); dan Sawiyah, pemain gambus Kutai (trek 8). TIDAK ADA DALAM VERSI BAHASA INGGRIS! Tim peneliti: Asep Nata, Philip Yampolsky. Bersama: Petrus Lassah, Susana Hiroh, Stephanie Morgan (Kayan Mendalam); Pascal Couderc (Ot Danum). Penghubung awal dengan para pemain: Petrus Lassah, Susana Hiroh, Stephanie Morgan (Kayan Mendalam); Pascal Couderc (Ot Danum); H. Zaelani Idris (Kutai, Kenyah). Pengolahan teknis (mastering) dikerjakan oleh Paul Blakemore di Paul Blakemore Audio, Santa Fe, NM. Produksi Smithsonian Folkways: Disupervisi oleh Anthony Seeger dan Amy Horowitz. Dikoordinasi oleh Mary Monseur dan Michael Maloney. Supervisi bunyi oleh Pete Reiniger Saran editorial oleh Peter Seitel Dirancang oleh Visual Dialogue, Boston, MA Saran pernyuntingan oleh Peter Seitel. Desain oleh Visual Dialogue, Boston, MA TIDAK ADA DALAM VERSI BAHASA INGGRIS!
UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih, seperti biasanya, kepada para pemain, untuk seni, kerjasama, dan kesabaran mereka. Kemudian, kami harus merekam rasa terima kasih kami pada Bernard Sellato dan Timothy Jessup, yang menolong kami dalam merumuskan pendekatan kami secara menyeluruh terhadap Kalimantan. Pangkalan kami yang pertama adalah Pontianak di mana kami belajar banyak dari staf institusi Riset dan Pengembangan Dayakologi, khususnya John Bamba yang tajam dan tidak sentimentil. Di Pontianak kami juga berhubungan dengan Kayan Oral Literature Project [Poyek Literatur Lisan Kayan], yang direkturnya adalah Stephanie Morgan, dan para stafnya yang hebat (khususnya Susana Hiroh dan Petrus Lassah) menolong kami merencanakan dan
melakukan rekaman. Dalam melalukan hal tersebut, mereka bahkan mempunyai pengaruh yang menentukan dari keseluruhan arah dari proyek kerja Kalimantan kami, karena kami menemukan jenisjenis di tempat-tempat lainnya dan topik-topik yang telah kami jumpai di Mendalam. Alasan lain untuk rasa terima kasih kami pada Bernard Sellato adalah bahwa dia mengenalkan kami kepada Pascal Couderc, antropolog Perancis yang mengkhususkan diri di Ot Danum, di daerah Melawi. Pascal mengundang kami mengunjugi kampung nya, dan ia menyiapkan rekaman ritual selama tiga hari. Tujuan dari upacara ritual tersebut adalah untuk menyegarkan kembali jiwa-jiwa manusia, dan anda mungkin memerlukannya juga, setelah lima minggu di Pontianak menunggu uang segera datang. Teman lainnya yang mengarahkan kami dengan benar adalah Rahayu Supanggah, yang membawa kami ke H. Zailani Idris di Tenggarong untuk mendapatkan pengarahan [orientasi] di Kalimantan Timur. Pak Jais, begitu biasanya ia dipanggil, ternyata megetahui setiap pemain di Kalimantan Timur, Dayak atau Melayu, dan mereka semua senang untuk menolong siapa saja yang dikirim olehnya. Setiap lokasi dalam rekaman kami di Kalimantan Timur disarankan oleh Zailani Idris kepada kami. Di Mendalam, kami berterima kasih kepada Tipung Jawe‟, tentu saja seorang yang memiliki kekayaan budaya yang hidup, yang mengarahkan kualitas dari pertunjukan-pertunjukan yang kami rekam, dan keluarga Petrus Lassah dan Susana Hiroh untuk keramahtamahan mereka. Di Palangkaraya, Sri Utami dari Museum Negeri menolong kami menemukan para seniman dan yang lainnya yang dapat memberikan informasi kepada kami. Di Tanjung Manis, kami berterima kasih kepada Ngang Bilung untuk keramahan dan bantuannya . Selama periode menulis, Virginia Gorlinski, Pascal Couderc, dan Stephanie Morgan menjawab banyak sekali pertanyaan-pertanyaan dan menyarankan penyempurnaan dari susunan kata-katanya. Kami berhutang budi kepada Pascal Couderc untuk ringkasan dari teks karungut Syaer Sua. Mary Francis dan L. Christopher Burns menolong dalam memilih lagu-lagunya. Center for Folklife Program dan Cultural Studies of the Smithsonian Institution, kantor Ford Foundation untuk Indonesia dan Piliphina, dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia yang memberikan dukungan institusional mereka yang baik, administratif, logistik, dan klerikal (ketatausahaan), Anthony Seeger dan Richard Kennedy (CFPCS), Jennifer Lindsay (Ford), dan Sal Murgiyanto (MSPI) memberikan petunjuk dan bantuan pribadi. Vidha Denis (Ford) dan Mary Monseur (CFPCS) tidak pernah melontarkan kata-kata yang melemahkan, kecuali dorongan-dorongan. Dalam proses pengolahan teknis [mastering], Paul Blakemore, membuat desain paket perlengkapan hasil rekaman pada tahun 1991 dan telah dengan yakin memberi saran dalam masalah-masalah perekaman yang dengan demikian dengan jitu memecahkan masalah-masalah teknis yang dilemparkan padanya. Pembaca awam dari kolom ini tahu bahwa rekaman-rekaman ini -- seri rekaman secara keseluruhan -- tidak akan terwujud tanpa dukungan intelektual dan dukungan emosional serta kerja keras dari Alan Finstein, Jennifer Lindsay, dan -- terlebih lagi -- Tinuk dan Arif Yampolsky, yang tinggal di rumah sementara PY asyik makan mangga (sibuk bekerja di lapangan).