LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA A
MENINGKATKAN KERJASAMA BILATERAL INDONESIAAUSTRALIA BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA GUNA MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN KEDUA NEGARA DALAM RANGKA KEMANDIRIAN KEDUA BANGSA
Oleh :
JOHN L. GOULD, BProfStud, MA BRIGJEN (Australia) NRP.326678
KERTAS KARYA PERORANGAN (TASKAP) PROGRAM PENDIDIKAN REGULER ANGKATAN XLVIII LEMHANNAS RI TAHUN 2012
i
KATA PENGANTAR Atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kekuatan dan kesehatan kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan
makalah
KERJASAMA
ini
BILATERAL
PERDAGANGAN KETAHANAN
Taskap
DAN
judul:
“MENINGKATKAN
INDONESIA-AUSTRALIA
LITBANG
PANGAN
dengan
KEDUA
AGRARIA
GUNA
NEGARA
BIDANG
MEMPERKUAT
DALAM
RANGKA
KEMANDIRIAN KEDUA BANGSA”. Makalah ini adalah salah satu persyaratan akademis bagi Peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XLVIII Tahun 2012 di Lemhannas RI.
Berkat dorongan, perhatian dan kesabaran dari Tutor
Taskap Mayor Jenderal (TNI) Endang Hairudin, ST, MM, serta masukan dari rekan-rekan peserta PPRA XLVIII, makalah ini dapat diselesaikan kuranglebih tepat pada waktunya. Saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu. Saya sangat menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, lagipula dirumuskan dalam jangka waktu yang terbatas oleh seorang peserta mancanegara, dan masih banyak hal yang memerlukan perbaikan untuk penyempurnaan. Oleh karena itu koreksi serta saran-saran konstruktif dari semua pihak akan selalu saya terima dengan sangat senang hati. Menyadari kekurangan-kekurangan tersebut, maka harapan besar saya adalah makalah ini akan dapat menjadi salah satu referensi tentang hubungan bilateral Indonesia dan Australia dan bagaimana cara untuk meningkatkan kerjasama kita supaya kinerjanya lebih baik dan, akibatnya, kemakmuran serta kemandirian kedua negara kita turut makin kuat.
Jakarta,
November 2012 Penulis
JOHN L. GOULD, BProfStud, MA BRIGJEN (Australia) NRP.326678
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
1.
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
JOHN L. GOULD
Pangkat :
BRIGJEN (Australia)
Jabatan :
Peserta Lemhannas RI PPRA XLVIII (No Urut 39)
Instansi :
Angkatan Darat Australia
Alamat :
Defence Section, Kedubes Australia di Jakarta Jl. H.R. Rasuna Said, Kav 15-16 Jakarta Selatan, 12940
Sebagai peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XLVIII tahun 2012 menyatakan dengan sebenarnya bahwa : a.
Kertas Karya Perorangan (Taskap) yang saya tulis adalah asli.
b.
Apabila ternyata sebagian tulisan Taskap ini terbukti tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia untuk dibatalkan.
2.
Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan
seperlunya.
Jakarta,
November 2012 Penulis
JOHN L. GOULD, BProfStud, MA BRIGJEN (Australia) NRP.326678
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................................
ii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
iii
BAB I.
BAB II.
BAB III.
PENDAHULUAN 1.
Umum ............................................................................
1
2.
Maksud dan Tujuan .......................................................
5
3.
Ruang Lingkup dan Tata Urut ........................................
6
4.
Metode dan Pendekatan ................................................
8
5.
Pengertian-pengertian ………........................................
8
LANDASAN PEMIKIRAN 6.
Umum ............................................................................
11
7.
Paradigma Nasional (Indonesia, Australia) ...................
11
8.
Peraturan Per-UU-an yang Terkait.................................
18
9.
Landasan Teori ..............................................................
24
10. Tinjauan Kepustakaan……………………...…..…………
26
KONDISI KERJASAMA BILATERAL BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA SAAT INI 11.
BAB IV.
Umum ...........................................................................
29
12. Implementasi Kerjasama Bilateral Bidang Perdagangan dan Litbang Agraria saat ini …………………..
32
13. Implikasi Kerjasama Bilateral Bidang Perdagangan dan Litbang Agraria Terhadap Ketahanan Pangan Dan Kemandirian Bangsa…….….............................................…..
37
14.
39
Permasalahan yang Dihadapi .......................................
PENGARUH PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS 15.
Umum ...........................................................................
46
16.
Perkembangan Lingkungan ..........................................
47
17.
Perkembangan Regional ..............................................
50
iv
BAB V.
18.
Perkembangan Nasional (Indonesia, Australia) ...........
53
19.
Peluang dan Kendala ...................................................
60
KONDISI KERJASAMA BILATERAL BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA YANG DIHARAPKAN 20.
BAB VI.
BAB VII.
Umum ...........................................................................
64
21. Kondisi Kerjasama Bilateral Bidang Perdagangan dan Litbang Agraria yang diharapkan ……………………..……….
66
22. Kontribusi Kerjasama Bilateral Bidang Perdagangan dan Litbang Agraria Terhadap Ketahanan Pangan dan Kemandirian Bangsa .............................................................
70
23. Indikator Keberhasilan Kerjasama Bilateral Bidang Perdagangan dan Litbang Agraria ……………………............
73
KONSEPSI PENINGKATAN KERJASAMA BILATERAL RI-AUS BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA AGAR MEMENUHI TARAF COMPREHENSIVE STRATEGIC PARTNERSHIP (CSP) 24.
Umum ...........................................................................
75
25.
Kebijakan ......................................................................
76
26.
Strategi .........................................................................
77
27.
Upaya ...........................................................................
81
PENUTUP 28.
Kesimpulan ...................................................................
93
29.
Saran ............................................................................
96
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
DP 1
DAFTAR LAMPIRAN : 1. Alur Pikir 2. Pola Pikir 3. Gambaran Ekonomi, Indonesia dan Australia (fact Sheets)
1
BAB I PENDAHULUAN
“And that message is very clear and simple: Australia and Indonesia have a great future together. We are not just neighbors, we are not just friends. We are strategic partners. We are equal stake-holders in a common future, with much to gain if we get this relationship right, and much to lose if we get it wrong.” (…) The prospects of Australia and Indonesia are indeed bright and exciting. But these impressive [economic] statistics need to be reflected in our Partnership. (… ) we need to do better to harness these economic benefits. We need to encourage our private sectors to do more business with one another. Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI Pidato kepada Parlemen Australia, 10 Mar 2010 [http://www.presidenri.go.id/index.php/eng/pidato/2010/03/10/1353.html, diakses 27 Agu 12]
"We want to work with Indonesia to help solve the pressures associated with food shortages in our region. In Australia, I have issued a fresh challenge: that with greater investment in our agriculture sector, we could be the food bowl for Asia. And I acknowledge that Indonesia has also announced an intention to boost its own food production to meet its own needs and also to export. Together, there is scope for Australia and Indonesia to form a mutually beneficial trading supply chain that can provide consumers in the region and around the world the access and choice they need. This means capacity-building in both countries. It means lifting the ability of Indonesia to produce its own food for its own people and to have it done by people producing that food and earning the incomes that go along with that. And that’s our commitment to Indonesia as a partner; as a friend." Craig Emerson MP, Australian Minister for Trade and Competitiveness Pidato kepada Jakarta Foreign Correspondents' Club, 22 Mar 2012 [http://trademinister.gov.au/speeches/2012/ce_sp_120322.html, diakses 8 Agu 12]
1.
Umum
Indonesia dan Australia merupakan negara tetangga yang unik, dengan sistem politik, ekonomi, agama, ideologi nasional, pengalaman sejarah serta identitas bangsa yang sangat berbeda, bahkan kadangkadang bertentangan, sehingga pernah dipantau “tidak ada dua negara tetangga di dunia ini yang lebih berbeda daripada Australia dan Indonesia”
2 oleh mantan Menlu Australia Gareth Evans. 1
Kendati agak berbeda,
sebagai negara-negara tetangga, tentu saja Indonesia dan Australia pantas berusaha agar menjalin kemudian menjaga sebuah hubungan yang konstruktif, terbuka, bersifat saling menolong, menghormati dan saling memahami kepentingan satu sama lain.
Kurang lebih deskripsi tersebut
cukup akurat tentang sifat hubungan kedua negara kita tingkat makro belakangan ini—yakni mendekati konsep Strategic Partners—walaupun sejarah mencatat antara cukup banyak interaksi yang positif tetap ada momen-momen tertentu juga dimana hubungan kita menghadapi tantangan tertentu (contohnya, krisis Timor Timur tahun 1999, kasus pelanggaran wilayah kedaulatan RI oleh pilot dan penumpang pesawat ringan di Merauke tahun 2008-092, kesulitan penanganan para imigran gelap / pencari suaka kasus Ocean Viking tahun 2009 3 , dan kasus Live Cattle 2011 dimana pemerintah Australia secara sepihak menghentikan pengeksporan sapi akibat lobi domestik anti kekejaman terhadap hewan). Syukurlah juga, para pemimpin politik di Indonesia dan Australia belakangan ini agak positif dan aktif terhadap perlunya peningkatan kualitas dan kuantitas hubungan bilateral kita—dalam semua bidang termasuk urusan kerjasama ekonomi, yang mencakup urusan Ketahanan Pangan. Ketahanan Pangan tersebut merupakan isu yang makin sentral dan penting bagi setiap bangsa dan negara, dan kini diakui kebanyakan pihak maupun organisasi internasional sebagai salah satu komponen kunci terhadap Ketahanan Nasional dan Human Security (selain keamananpertahanan umum, ketahanan energi dll). Lagipula dengan adanya krisis pangan dunia 'Price Shock' pada tahun 2006-08 di mana ongkos-ongkos komoditi pangan sedunia meloncat drastis akibat beberapa penyebab termasuk cuaca kering ekstrim dan kenaikan ongkos minyak4, maka tidak terherankan bahwa PBB (khususnya Food and Agriculture Organization-nya, FAO), Uni Eropa, Non-Aligned Movement (NAM), OECD, APEC, G20 serta 1
Dalam bahasa Inggeris, 'No two neighbours anywhere in the world are as comprehensively unalike as Australia and Indonesia'. Dalam Evans, G. dan Grant, B., Australia's Foreign Relations In the World of the 1990s, Melbourne University Press, 1991, hlm.184 2 Lihat artikel di Jakarta Globe, 'Merauke Five' back in Australia After Nine-month Legal Battle for Freedom, 24 Juni 2009 [http://www.thejakartaglobe.com/home/merauke-five-back-in-australiaafter-nine-month-legal-battle-for-freedom/314245, diakses 15 Okt 2012]. 3 http://en.wikipedia.org/wiki/MV_Oceanic_Viking [diakses 16 Okt 2012]. 4 http://en.wikipedia.org/wiki/2007–2008_world_food_price_crisis [diakses 15 Okt 2012].
3
kebanyakan lembaga internasional terdepan yang lain telah mengeluarkan pernyataan, kebijakan serta perhatian banyak terhadap urusan Ketahanan Pangan. Republik Indonesia sebagai negara agraria dan maritim dengan budaya pertanian yang mendalam serta iklim dan SDA yang melimpah sedang menyadari tantangan Ketahanan Pangan ini, dilihat dengan data resmi yang mencatat adanya 13% daripada jumlah bangsa yang tergolong 'sangat rawan pangan'5, dan dengan ketentuan prioritas tinggi yang Bapak Presiden sedang memberikan kepada tantangan Ketahanan Pangan dengan dicanangkannya sebagai Prioritas Pembangunan Nasional urut kelima
dalam
Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
Nasional
(RPJMN) 2009-2014. Perumusan kebijakan Indonesia terhadap Ketahanan Pangan menitik-beratkan pendekatan Swasembada Pangan kepada lima komoditas unggul sekaligus terwujudnya Kedaulatan Pangan agar Indonesia kelak serba mandiri dalam menentukan produksi, konsumsi serta kebijakan pangannya.
Dan rencana induknya akan pembangunan ekonomi yakni
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI) pula cukup mengalamatkan urusan peningkatan produksi serta distribusi pangan, terutama gagasan Food Estates. Australia juga tidak puas dengan keadaan Ketahanan Pangannya, namun Australia diakui sebagai salah satu negara pengekspor pangan terbesar di dunia (nomor enam di belakang Amerika Serikat, Brazil, China, Kanada,
dan
Argentina).
6
Akibatnya,
pemerintah
Australia
baru
7
mengeluarkan sebuah draf Buku Putih National Food Plan , yang bertujuan mengatur kembali hubungan antara pemerintah dan industri-industri makanan, menciptakan konteks segmen ekonomi pangan agar lebih berdaya saing di panggung dunia dan lebih berkelanjutan soal sumber daya tanah dan air.
Dan Australia juga terus berjuang dengan urusan
keterjangkauan, dimana masih ada satu dalam setiap delapan orang
5
Hermanto, Dr. Ir., ceramah kepada PPRA XVLIII, Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional, Jakarta, 28 Maret 2012 6 Lihat situs Reuters [http://in.reuters.com/article/2008/04/18/trade-wto-foodidINL1835607720080418, diakses 15 Okt 12] 7 Australian Department of Agriculture and Fisheries (DAFF), (2012), National Food Plan Green Paper, 2012 [http://www.daff.gov.au/nationalfoodplan/national-food-plan [diakses 30 Sep 12]
4
Australia yang tergolong miskin (pendapatan tahunan kurang dari $18,000) yang cenderung berarti gizi keluarga tersebut tidak seimbang dan optimal.8 Kemudian pantas ditanyakan, apakah kedua negara kita dapat saling membantu dalam urusan Ketahanan Pangan secara holistik, daripada bekerjasama bidang pangan melalui perdagangan yang berpedoman keuntungan belaka?
Presiden Yudhoyono dan Perdana Menteri Gillard
dalam pertemuan resminya pada Nopember 2011 telah bersetuju untuk sedini mungkin memulaikan negosiasi merumus sebuah Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-A CEPA),9 juga setuju untuk berusaha meningkatkan perdagangan bilateral di antara kedua negara agar mencapai nilai perdagangan sebanyak dolar Australia (AUD) $15 milyar sebelum tahun 2015 (dibandingkan dengan AUD$13,8 milyar pada tahun anggaran 2010-11). Dari segi kepentingan nasionalnya, Australia menilai ada ruang gerak dan peluang-peluang bagi para investor bisnis yang ingin menanamkan modal di Indonesia, agar meningkatkan tingat investasi dari AUD$5,3 milyar pada tahun 2010-11 menjadi lebih bermakna (mengingat pada 2010-11, Indonesia merupakan mitra dagang dengan Australia pada urutan ke-empat terbesar di konstelasi ASEAN; Singapore sebagai nomor satu!). Sekarang ada pengakuan dari Canberra bahwa hubungan ekonomi bilateral tidak sebagus bidang-bidang kerjasama lain, dan harus diperhatikan agar menjadi lebih kuat dan signifikan. Dari segi kepentingan nasional Indonesia, melalui kacamata Tannas, Indonesia ingin menciptakan "stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis serta kemampuan menciptakan kemandirian ekonomi nasional dengan daya saing tinggi dan mewujudkan kemakmuran rakyat yang adil dan merata".10 Hemat penulis, ada cukup banyak tumpang-tindih kepentingan di sini. Jika kita pandai, kerjasama yang baru/enhanced dapat memberikan sumbangsih besar terhadap kegiatan dan program bidang Pangan dan Ketahanan Pangan di kedua negara kita . Contoh-contoh yang praktis tidak 8
Laporan oleh Australian Council of Social Services (ACOSS), Okt 2012 [http://www.abc.net.au/news/2012-10-14/poverty-getting-worse/4312488, diakses 15 Okt 2012] 9 Situs internet Kemlu Australia [http://www.dfat.gov.au/geo/indonesia/indonesia_brief.html, diakses 17 Mei 2012] 10 Pokja BS Geostrategi dan Ketahanan Nasional (2012), naskah Modul 1-3 Konsepsi Ketahanan Nasional, Jakarta, 2012, hlm.55
5
terlalu sulit dibayangkan, misalnya, Australia agak unggul soal produksi gula, ternak hidup dan potong, bahkan beras pada skala luas dan modern. Betapa bagusnya apabila kerjasama Indonesia-Australia bidang agraria diatur agar memprioritaskan upaya-upaya dalam sektor tersebut, dengan tujuan
membantu
upaya
RI
menjadi
lebih
bagus
lagi
(bahkan
mandiri/swasembada) dalam penghasilan bahan-bahan pokok ini.
Dan
sebaliknya, agar Indonesia yang mahir dengan pertanian umbi-umbian misalnya membantu Australia mendiversifikasikan diet orang Australia agar menghindari masalah obesitas dan diabetes, atau membantu Australia mendirikan sektor pertanian buah-buahan tropis yang lebih menarik dan laris daripada buahan tropis terbatas yang ada di pasar Australia sekarang. Atau lebih berani lagi, bayangkan jika perusahan Indonesia mendirikan PT agraria di Australia dengan lahan luas untuk produksi kedelai secara skala besar dan modern-produktif (mengingat kedelai adalah jenis tanaman sub-tropis), lalu dikirim ke Indonesia untuk pengolahan secara murah dan sesuai selera bangsa. Kesimpulannya, potensi kerjasama tampaknya ada. Mencermati latar belakang tersebut, maka pokok permasalahan yang harus dicarikan upaya pemecahannya secara komprehensif integralistik adalah
:
"BAGAIMANA
INDONESIA-AUSTRALIA AGRARIA
GUNA
PENINGKATAN BIDANG
MEMPERKUAT
KERJASAMA
PERDAGANGAN KETAHANAN
BILATERAL
DAN
PANGAN
LITBANG KEDUA
NEGARA DALAM RANGKA KEMANDIRIAN KEDUA BANGSA?" 2.
Maksud dan Tujuan a.
Maksud.
Penulisan makalah ini adalah untuk memberikan
gambaran tentang dinamika kerjasama perdagangan dan litbang agraria saat ini di antara Indonesia dan Australia, kemudian potensinya akan peningkatan serta cara-cara agar potensi tersebut tercapai guna kepentingan Ketahanan Pangan kedua negara dalam rangka konsepsi strategic partners (mitra strategis) yang telah dicanangkan oleh kedua pemimpin bangsa.
6
b.
Tujuan.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan sumbangan
pemikiran kepada para pemimpin politik maupun kementerian/birokrasi di Indonesia dan Australia, agar dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam menentukan kebijakan pengembangan program kerjasama perdagangan dan litbang agraria, terutama dalam perundingan I-A CEPA kini dan ke depan. 3.
Ruang Lingkup dan Sistematika a.
Ruang Lingkup. Ruang lingkup penulisan Taskap ini dibatasi
pada permasalahan yang terkait dengan peningkatan kerjasama bilateral Indonesia-Australia bidang peradagangan dan litbang agraria (yakni tidak mencakup secara spesifik sektor perikanan, atau penanaman modal) guna memperkuat Ketahanan Pangan kedua negara dalam rangka Kemandirian kedua Bangsa, dengan sistematika sebagai berikut : b.
Sistematika. Penulisan makalah ini disusun dengan sistematika
sebagai berikut : 1)
BAB I : Pendahuluan. Merupakan bagian awal penulisan,
dalam bab ini diuraikan secara singkat tentang latar belakang permasalahan, maksud dan tujuan penulisan, ruang lingkup dan tata urut penulisan, metode dan pendekatan serta pengertianpengertian yang dianggap relevan dalam materi penulisan. 2)
BAB II : Landasan Pemikiran. Bab ini membahas dasar-
dasar pemikiran yang digunakan sebagai landasan dalam menyusun makalah dan digunakan sebagai instrumental input dalam
pemecahan
persoalan,
berupa
paradigma
nasional
Indonesia (yang meliputi Landasan ldiil Pancasila, Landasan UUD Negara RI 1945 dan amendemennya, Landasan Visional Wawasan
Nusantara,
Landasan
Konsepsional
Ketahanan
Nasional, dan Landasan Operasional peraturan perundangundangan yang terkait) maupun Australia (Landasan Idiil
7
Konstitusi Australia 1900 [diamandemen 1906, 1910, 1928, 1946, 1967
dan
1977],
dan
Landasan
Operasional
peraturan
perundang-undangan yang terkait), teori-teori yang relevan, lalu tinjauan pustaka. 3)
BAB III : Kondisi Perdagangan dan Kerjasama Litbang
Agraria Indonesia-Australia Saat Ini, merupakan bagian analisa pertama. Pada bab ini dibahas tentang kondisi perdagangan dan kerjasama litbang agraria bilateral Indonesia-Australia saat ini, dan implikasinya terhadap mewujudkan Ketahanan Pangan masing-masing negara, serta mengindentifikasikan permasalahan yang dihadapi (pokok-pokok persoalan). 4)
BAB IV : Perkembangan Lingkungan Strategis. Sebagai
bagian analisa kedua, bab ini diuraikan tentang perkembangan lingkungan
strategis
yang
mencakup
Lingkungan
Global,
Lingkungan Regional, dan Lingkungan Nasional (baik Indonesia maupun
Australia),
berikut
Peluang
dan
Kendala
yang
mempengaruhi bidang perdagangan dan kerjasama litbang agraria khususnya terhadap tercapainya Ketahanan Pangan di Indonesia dan Australia secara terpisah maupun kolektif. 5)
BAB V : Kondisi Perdagangan dan Kerjasama Litbang
Agraria Indonesia-Australia yang Diharapkan dan Indikator Keberhasilannya. Bab ini sebagai analisa ke-tiga, membahas tentang perdagangan dan kerjasama litbang agraria IndonesiaAustralia yang diharapkan, kontribusinya terhadap Ketahanan Pangan di kedua negara dalam rangka kemandirian kedua bangsa, serta indikator keberhasilan. 6)
BAB VI : Konsepsi Peningkatan dan Kerjasama Bilateral
Indonesia-Australia
Bidang
Perdagangan
dan
Litbang
Agraria agar memenuhi Taraf Comprehensive Strategic Partnership (CSP).
Pada Bab yang terbesar ini diuraikan
konsepsi mewujudkan peningkatan terhadap kerjasama bidang perdagangan dan litbang agraria antara Indonesia dan Australia menjadi sebuah program yang menyeluruh, berpandangan jauh
8
serta komplementatif guna mewujudkan Ketahanan Pangan dalam rangka Kemandirian Bangsa, yang berisikan kebijakan yang ditempuh, strategi-strategi yang diterapkan dan pelbagai upaya yang dilakukan secara terperinci dan preskriptif. 7)
BAB VII : Penutup.
Dalam Bab ini berisi tentang
kesimpulan dari keseluruhan pembahasan dan beberapa saran yang dikemukakan. 4.
Metode dan Pendekatan Dalam penulisan ini metode yang digunakan adalah deskriptif analitis,
yakni menyajikan data maupun informasi yang berkaitan dengan materi permasalahan,
sekaligus
analisis
yang
didasarkan
pada
tinjauan
kepustakaan (library research), internet, dan masukan lisan dari para pejabat bidang perdagangan dan litbang di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, serta sejauh mungkin menerapkan pendekatan komprehensif, integral dan holistik dengan menggunakan pisau analisis Ketahanan Nasional. 5.
Pengertian-pengertian Agar
menghindari
perbedaan
persepsi,
dalam
makalah
ini
dicantumkan beberapa pengertian sebagai berikut : a.
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.11
11
UU No.7 Tahun 1996 ttg Pangan, Pasal 1 ayat (1) dan PP No. 68 Tahun 2002 ttg Ketahanan Pangan, Pasal 1 ayat (2).
9
b.
Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.12 c.
Kemandirian Bangsa adalah keadaan dimana bangsa dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat atau bangsanya sendiri atau tidak tergantung pada bangsa lain, sehingga mampu menentukan tujuan dan cita-cita sendiri, mengelola sumber kekayaan alam (SKA) dan manusianya sendiri serta mampu menentukan kebijakan sendiri untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional. d.
Perdagangan
Internasional
adalah
perdagangan
yang
dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara, atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.13 e.
Litbang Agraria.
Penelitian dan Pembangunan (Litbang)
Agraria di taskap ini berarti kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak pemerintahan maupun swasta apakah oleh para ahli, teknisi ataupun praktisi yang merupakan perumusan teori, penelitian, pengujicobaan dll agar bidang pangan (food) dan agraria (non-food plant and other living matter) menjadi lebih produktif secara berkelanjutan, lebih sehat dan lebih aman. f.
Mitra Strategis (Strategic Partners). Sepengetahuan penulis,
belum ada definisi dari Strategic Partners yang baku.
Namun,
menurut pengamat politik asal Brazil, Antonio Lessa (2010)14, Mitra Strategis adalah hubungan politik dan ekonomi berprioritas tinggi yang saling mengisi dan didirikan atas kumpulan hasil dari hubungan 12
PP No.68 Tahun 2002 ttg Ketahanan Pangan, Pasal 1 ayat (1). Definisi dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_internasional [diakses 15 Okt 12] 14 Lessa, Antonio Carlos, (2010), Brazil’s strategic partnerships: an assessment of the Lula era (2003-2010), Jurnal Revista Brasileira de Política Internacional. No.53 (special edition), hlm.119 13
10
bilateral sebelumnya yang luas (“priority political and economic relations, reciprocally compensating, established on the basis of an accumulation of bilateral relations of a universal nature.") g.
Rencana Pangan Nasional (National Food Plan). Rencana
tersebut adalah rencana strategis dan holistik yang mewujudkan integrasi antara kebijakan-kebijakan terkait produksi, distribusi serta konsumsi pangan dan program-program aksi yang menghasilkan tiga dimensi itu, agar suatu negara (di sini Australia, tetapi juga bisa bermaksud Indonesia) bertahan sebagai pemasok pangan yang terhandalkan, berkelanjutan, produktif dan mempunyai daya tahan, di mana pangan yang dihasilkan tersebut bergizi, aman dan harganya terjangkau.
11
BAB II LANDASAN PEMIKIRAN
6.
Umum Penting di sini untuk membahas konteks teoretis pemikiran untuk
makalah ini serta mengerti acuan-acuan hukum dan regulasi nyata yang akan
mempengaruhi
konsepsi
nanti
atas
Comprehensive
Strategic
Partnership Indonesia-Australia bidang perdagangan dan litbang agraria, lagipula karena taskap ini membahas konteks di dua negara yang agak berbeda.
Kerjasama bilateral sangat bergantung pada aktor-aktor yang
mampu memahami dan berempati dengan konteks, kepentingan serta harapan pihak yang kedua itu. Jika situasi Indonesia dan Australia dilihat, pendekatan Ketahanan Pangan dan pendekatan ekonomi secara garis besar cukup berbeda satu sama lain, peranan pemerintahan urusan pangan, peranan
sektor-sektor
swasta,
bahkan
semangat
perdagangan dunia juga cukup berbeda.
terhadap
sistem
Maka sebelum kita dapat
membahas realita tentang keadaan saat ini (Bab III) kemudian memikirkan tentang perumusan potensial sebagai solusi menuju paradigma yang lebih baik (Bab VI), adalah sangat penting bahwa kita mengerti konteks landasan masing-masing negara agar mengerti pola pikir, batas hukum serta aspirasi kedua-duanya. Intisarinya, inilah suatu upaya untuk mengerti ‘batas ruang gerak’ bagi ekspansi kerjasama bilateral kita. 7.
Paradigma Nasional a.
Indonesia Falsafah
Pancasila
merupakan
landasan
idiil
dalam
penyelenggaraan sistem pemerintahan Republik Indonesia. Pancasila terdiri dari lima nilai luhur, di mana nilai-nilai tersebut dianggap sesuai national character dan urat-berakar dalam bangsa Indonesia sendiri hasil penggalian dan introspeksi yang panjang lebar oleh founding
12
fathers Indonesia modern dalam perumusan dasar negara menjelang dan setelah mencapai kemerdekaan. 15
Dalam penyelenggaraan
Negara, Pancasila memiliki peran sebagai dasar negara, sebagai ideologi nasional, serta sebagai falsafah pandangan hidup bangsa, sehingga digunakan sebagai landasan idiil dalam pelaksanaan pembangunan di segala bidang.
Implementasi nilai-nilai Pancasila
diyakini para pemimpin Indonesia dapat menggerakkan pemerintah dan masyarakat untuk mendukung program peningkatan produksi pangan nasional. Dengan menganut ide ’ekonomi kerakyatan’ sebagai perpanjangan dari sila ’keadilian sosial bagi seluruh bangsa Indonesia’ maka Pancasila menjadikan pendekatan sektor agraria Indonesia lebih berbasis kooperatif dan memihak ke BUMN daripada komersial / swasta masal (seperti Multi National Corporations [MNC] di negaranegara agraria lain).
Dan fokus Pancasila terhadap kesatuan dan
persatuan Indonesia sangat mewarnai dan mendorong ide-ide Ketahanan Pangan berbasis Swasembada Pangan dan Kemandirian Pangan, daripada Ketahanan Pangan berbasis pendekatan ekonomi keunggulan komparatif / pasar bebas (yakni menghasilkan komoditikomoditi yang unggul saja dan ekspor kelebihan produksi meraih devisa,
sekaligus
mengimpor
pangan
yang
lebih
Indonesia
1945
murah/gampang/mungkin diproduksi di luar negeri). Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
(UUD’45) merupakan landasan konstitusional bangsa dan negara Indonesia
dalam
menjalankan
kehidupan
nasionalnya.
UUD’45
merupakan hukum dasar tertulis, yang mengikat setiap warga dan aparatur negara Indonesia serta menjadi pedoman pokok dalam kehidupan nasional.
Pasal-pasal UUD’45 memberikan arahan lebih
terperinci tentang bagaimana melaksanakan Pancasila dan dijadikan acuan bagi berbagai aturan pelaksanaan dibawahnya.
Sebagai
sumber hukum tertinggi maka UUD’45 juga dijadikan acuan dalam pelaksanaan pemerintahan.
Dikaitkan dengan Ketahanan Pangan
maka tujuan keberadaan bangsa Indonesia sebagaimana tercantum 15
Heri Herdiawanto & Jumanta Hamdayama, (2010), Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwarganegara,, Erlannga, PT Erlannga, Jakarta, hlm.152
13
dalam preambule UUD’45 sangat erat kaitannya, spesifiknya dengan ketentuan hak untuk berkehidupan yang layak yang diamanatkan dalam Pasal 27 Ayat (2), bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. relevan
juga
adalah
Pasal
33
tentang
ide
Dan
‘ekonomi
kerakyatan/kekeluargaan’ dimana ditetapkan bahwa "cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara". 16
Jadi, dalam merumuskan
konsepsi peningkatan terhadap perdagangan dan litbang agraria bilateral Indonesia-Australia harus berdasarkan (atau paling, tidak bertentangan secara spesifik dengan) landasan konstitusional UUD’45 tersebut. Wawasan Nusantara (Wasantara) dijadikan landasan visional sekaligus
Wawasan
mempertimbangkan
Nasional pandangan
bangsa
Indonesia
dengan
geopolitik
Indonesia,
sejarah
perjuangan dan kondisi sosial budaya Indonesia. dirumuskan
sebagai
cara
pandang
bangsa
Wasantara
Indonesia
yang
berlandaskan Pancasila, tentang diri dan lingkungannya serta tanah airnya sebagai negara kepulauan dengan semua aspek kehidupannya yang beragam dan dinamis, dengan mengutamakan kesatuan wilayah Indonesia, sekaligus tetap berusaha untuk menghargai kebhinnekaan dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Wawasan Nasional Indonesia tersebut, seperti halnya
Wawasan Nasional di negara lain, bersifat khas, terutama disebabkan keciri-khasan geografi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Dan Wasantara dikembangkan di sini sebagai suatu "doktrin dasar nasional dalam penyelenggaraan negara, untuk mendorong (motivate),
merangsang
(drive),
dan
memedomani
(orientate)
penyelenggara negara dan masyarakat madani (civil society) untuk berinteraksi, dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia." 17
Dengan demikian, sudah pasti Wasantara relevan
terhadap strategi Ketahanan Pangan RI, khususnya upaya untuk 16 17
UUD’45, Pasal 33 Ayat (2). Pokja Geopolitik dan Nusantara, op.cit., hlm.15
14
meratakan keterjangkauan pangan di seluruh pelosok negara maupun menghandalkan keunggulan agraria di tempat tertentu secara sistematis demi manfaat semua bangsa di tempat yang lain. Ketahanan Nasional (Tannas) merupakan landasan konsepsional bangsa
Indonesia;
suatu
“dinamika
bangsa
(...)
mengandung
kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dalam menghadapi dan
mengatasi
segala
Tantangan/Ancaman/Hambatan/Gangguan
(TAHG) baik dari dalam negeri maupun luar, untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara, serta perjuangan mencapai tujuan nasional”.18 Pada hakekatnya, Tannas merupakan suatu
“konsepsi
di
dalam
pengaturan
dan
penyelenggaraan
kesejahteraan serta keamanan di dalam kehidupan nasional."
19
Metode umum dalam merumuskan Tannas memakai sistem per-gatraan meliputi unsur-unsur geografi, demografi, sumber kekayaan alam (SKA), ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan (Hankam).
Tannas itu yang paling melatar-belakangi
konsepsi Ketahanan Pangan pemerintah RI berbasis Swasembada Pangan dan Kedaulatan Pangan daripada pendekataan ekonomi liberal yang murni (yakni keseimbangan antara ekspor dan impor secara bebas dan terbuka). Secara kolektif, Pancasila, UUD’45, Wasantara dan Tannas merupakan Paradigma Nasional (ditambah dengan ide ‘Bhineka Tunggal Ika’ dan NKRI, menjadi ‘batu bangun’ Wasantara juga). Secara praktis, dampaknya Paradigma Nasional tersebut terhadap pendekatan para pemimpin nasional dan daerah terhadap kebijakan dan manajemen pangan ditafsirkan penulis seperti contoh-contoh ini : (1) Dalam aspek ketersediaan pangan, penerapan prinsip-prinsip Paradigma Nasional Indonesia barangkali berkembang seperti : bantuan pemerintah agar produksi domestik ditingkatkan berdasarkan kondisi potensi SDM dan SKA yang ada (tidak diserahkan saja kepada pasar bebas, yang cendurung menghindari penanaman modal besar 18
Pokja BS Geostrategi dan Ketahanan Nasional Lemhannas RI, naskah Modul 1-3, Konsepsi Ketahanan Nasional, Jakarta, 2012, hlm.11 19 Lemhannas RI, Kewiraan Untuk Mahasiswa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm.63
15
yang non-produktif untuk sekian tahun); pengadaan cadangan pangan akan dilaksanakan secara rajin dan seksama agar menghindari potensi ancaman kelaparan (demi melindungi segenap warga bangsa); pengimporan pangan yang arif dan menyeimbangi kepentingan suplai bagi komponen konsumen (yaitu makanan dengan harga terjangkau) dengan kepentingan petani (yaitu agar harga jual panen tidak dirongrong oleh impor yang sangat murah contohnya).
(2) Dalam
aspek keterjangkauan pangan : jaringan distribusi nasional dijamin oleh negara; perdagangan/pemasaran diawasi pemerintah agar kepentingan komersial tidak memanipulasikan harga makanan (seperti kelakuan cartel); dan dengan bantuan berbentuk subsidi atau hibah sembako bagi komponen bangsa yang betul-betul tidak mampu. (3) Dalam aspek konsumsi pangan : usaha keras pemerintah pusat dan pemda-pemda turut membantu jaminan mutu gizi serta kuantitas makanan seperti pembagian benih unggul, kerjasama bilateral dengan negara sahabat, kerjasama dengan LSM yang kompeten dan integritas tinggi seperti World Food Program (WFP) dan Food and Agriculture Organization (FAO); dengan adanya program-program serta sosialisasi untuk menganeka-ragamkan kembali pola makanan dan selera bangsa agar makanan tradisional diindahkan kembali daripada pergeseran pola makanan terus-menerus kepada nasi putih, mie dan makanan asing. Secara kesimpulan, esensi pendekatan Indonesia tersebut dimengerti di dunia luas sebagai suatu paradigma yang agak interventif/proteksionis, memihak langsung kepada para produsen (petani, peternak, nelayan) dengan menghandalkan subsidi-subsidi daripada bentuk investasi yang lain (infrastruktur makro atau litbang misalnya). b.
Australia Ideologi (sebagai landasan idiil) di Australia merupakan sesuatu
yang agak tersirat, dan sebenarnya tidak muncul secara formal dalam Undang-Undang Dasar Commonwealth of Australia tahun 1900 (sebagaimana diamandemen).
Walau demikian, falsafah praktis
16
Australia dimengerti sebagai Liberalisme. Dengan demikian, ‘Ideologi nasional’ Australia, pandangan filsafat, dan tradisi politik semua berdasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah prinsip utama dalam kehidupan bernegara, berpolitik dan bermasyarakat. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan terhadap hak-hak individu, khususnya dari pemerintah ataupun dari agama (namun, tidak berarti kebebasan tanpa batas sama sekali; tetap ada hukum positif). Liberalisme menghendaki adanya pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem hankam yang transparan dan serba dikontrol oleh pemimpin politik sipil, serta menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Lebih lanjut dan secara riil, ide ‘Liberalisme’ di Australia dihidupkan secara praktis dengan beberapa nilai dan kelakuan yang menyokong cara hidup berbangsa : menghormati kesetaraan nilai; kehormatan dan kebebasan individu; kebebasan berbicara dan berserikat; kebebasan beragama dan pemerintah sekuler (penduduk Australia juga bebas untuk tidak memeluk agama sama sekali); dukungan atas demokrasi parlementer dan negara hukum; kesetaraan di bawah hukum; kesetaraan pria dan wanita; kesetaraan kesempatan; kedamaian; semangat egalitarianisme yang mencakup toleransi, saling hormat-menghormati dan rasa kasih sayang kepada mereka yang sedang dalam kesulitan.20 Sistem politik Australia dibangun di atas tradisi demokrasi liberal. Berdasarkan nilai-nilai toleransi beragama, kebebasan berbicara dan berserikat, dan supremasi hukum, di mana lembaga-lembaga politik Australia
dan
praktik-praktik
beberapa
aspek
dari
model
pemerintahannya Inggeris
dan
mencerminkan Amerika
Utara.
Persemakmuran Australia didirikan pada tahun 1901 ketika bekas koloni Inggeris ini---kini enam negara bagian---sepakat untuk menjadi sebuah federasi. Australia demokratis
telah
Semenjak berdirinya negara federal tersebut, berhasil
yang
stabil
mempertahankan dan
tetap
sistem
tunduk
politik dalam
liberal Wadah
20
Lihat penjelasan yang lebih terperinci pada situs Kedutaan Besar Australia di Jakarta [http://www.indonesia.embassy.gov.au/jaktindonesian/australia.html, diakses 14 Okt 2012]
17
Persemakmuran. Kubu-kubu politik di Australia tidak banyak, dengan aliran konservatif (Liberals dan Nationals), aliran progresif (Labor dan Democrats), aliran pelestarian lingkungan hidup (Greens), serta para politikus independen. Australia
memiliki
undang-undang
dasar
tertulis
(sebagai
landasan konstitutional). UUD Australia 1901 merumuskan tanggung jawab pemerintah federal, yang mencakup hubungan luar negeri, perdagangan, pertahanan dan imigrasi.
Pemerintah-pemerintah
tingkat Negara Bagian serta Teritori bertanggungjawab atas semua urusan yang tidak diserahkankan kepada Persemakmuran, dan mereka juga mematuhi prinsip pemerintah yang bertanggungjawab. UUD Australia menjabarkan kekuasaan pemerintah dalam tiga bagian--legislatif, eksekutif dan yudikatif---tetapi menegaskan bahwa anggota eksekutif harus juga anggota legislatif (politikus yang dipilih oleh rakyat menjadi wakil umum dulu; bukan dipilih oleh Perdana Menteri dari bangsa luas).
Pada kenyataannya, parlemen mendelegasikan
wewenang penyusunan undang-undang yang luas kepada eksekutif.21 Australia tidak mencanangkan suatu landasan visional yang formal (seperti Ketahanan Nasional di Indonesia), melainkan semua pihak politik pada umumnya mempromosikan slogan 'a free, fair and prosperous nation'.
Kemakmuran tersebut (prosperity) sangat
tergantung pada sukses tidaknya ekonomi Australia dalam kegiatan perdagangan
global.
Australia
memiliki
salah
satu
sistem
perekonomian yang cukup kuat di panggung dunia walau jumlah penduduk hanya 23 juta jiwa, kompetitif, terbuka, sekaligus tidak tanpa tantangan. Australia menganut paham kapitalis liberal dalam sistem perekonomiannya.
Yang menjadi pendukung utama kemajuan
perekonomian Australia adalah Usaha Kecil Menengah (UKM) daripada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 22
Dalam segmen
agraria, petani kesatuan keluarga adalah tulang punggungnya, dengan 21
Ibid. Australia sadar akan betapa vitalnya keberadaan UKM ini. Tercatat terjadi peningkatan 58% jumlah tenaga kerja dalam jangka waktu 6 tahun terakhir dan 30% peningkatan hasil produksi Australia. Sebanyak 1,2 juta UKM di Australia mempekerjakan 3,3 juta orang, dan pertumbuhan jumlahnya UKM adalah 3,5% per tahun.
22
18
asosiasi dan kooperatif sebagai wadah untuk beberapa komoditas, dan MNC untuk komoditas tertentu yang lain. Kebijakan perdagangan Pemerintah Australia diarahkan kepada peningkatan
kegiatan
ekonomik
di
segmen
dimana
Australia
mempunyai competitive advantage (keunggulan relatif), penciptaan lapangan kerja, dan perolehan transaksi perdagangan yang adil bagi Australia di pasar internasional.
Hal tersebut dimaksudkan untuk
memperluas lapangan kerja, memperluas pilihan bagi konsumen, dan meningkatkan standar kehidupan yang lebih tinggi bagi seluruh masyarakat Australia. Secara
kesimpulan,
esensi
pendekatan
Australia
tersebut
dimengerti di dunia luas sebagai suatu paradigma yang agak noninterventif, tidak memihak kepada para produsen di atas kepentingan para konsumen, menghindari subsidi-subsidi dasar agar malah dapat menanamkan modal terhadap infrastruktur makro dan litbang, dan sanggup melihat Ketahanan Pangan lebih penting daripada konsep Swasembada dan Kedaulatan Pangan (yakni, tidak terlalu peka terhadap impor komoditas pangan, sepanjang tidak mengancam kesehatan sistem hayati melalui ancaman wabah hewan dan tanaman).
Secara terbuka, Pemerintah Australia mengumumkan
pengertian yang fundamental itu: The Australian Government believes a market-based policy approach remains the best way to help Australian food businesses take advantage of future opportunities. The open nature of the Australian economy encourages 23 businesses to be efficient, innovate and compete on world markets.
8.
Peraturan dan Perundangan yang Terkait a.
Indonesia. 1)
UU No.37 tahun 1999 ttg Hubungan Luar Negeri. Politik
Luar Negeri RI menganut prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional, dan dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif, dan antisipatif, tidak sekedar rutin dan reaktif, teguh dalam prinsip dan pendirian, serta rasional dan luwes 23
DAFF (2012), op.cit., hlm.4
19
dalam pendekatan.
Penting bagi subyek taskap ini, Menlu RI
mempunyai wewenang atas pembentukan/pengesahan Perjanjian Internasional (Pasal 13-15). 2)
UU No.32 tahun 1997 ttg Perdagangan Berjangka
Komoditi, memandang bahwa "dalam era globalisasi dan perdagangan bebas yang penuh persaingan, Perdagangan Berjangka Komoditi sebagai sarana pengelolaan risiko harga serta tempat pembentukan harga yang efektif dan transparan mempunyai
peranan
strategis
dalam
mewujudkan
sistem
24
perdagangan nasional yang efisien dan efektif." 3)
Rancangan UU Pengganti UU No.7 tahun 1996 ttg
Pangan, yang disahkan DPR RI tanggal 18 Okt 2012, mengamanatkan bahwa pangan harus senantiasa tersedia secara cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam. Harganya pun harus terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Untuk
mencapai semua itu, Indonesia harus mendorong produksi pangan secara mandiri dan mendiversifikasi jenis pangan lokal. Sistem pangan nasional harus bisa memberikan perlindungan bagi produsen maupun konsumen.
Kehadiran UU Pangan ini
sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia berkehendak mengatur kedaulatan, kemandirian, dan Ketahanan Pangan sendiri di atas pendekatan yang lain. 4)
PP No.68 tahun 2002 ttg Ketahanan Pangan menegaskan
bahwa pemenuhan kebutuhan pangan diutamakan dari produksi dalam
negeri.
Dengan
demikian,
pemerintah
berusaha
mengoptimalkan semua potensi yang ada di dalam negeri, termasuk sektor kehutanan untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional.
PP ini barangkali akan dirumus kembali sebagai
respons terhadap RUU Pangan baru. 5)
Peraturan Presiden No.83 tahun 2006 ttg Dewan
Ketahanan Pangan, mengurus fungsi dan tujuan pokok DKP 24
Preambule dari UU No.32 Tahun 1997, dari situs BPKP RI [www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/46/470.bpkp, diakses 16 Oct 2012]
20
tersebut, tanggung jawab pejabat/peserta, modalitas pekerjaan, dll. 6)
UU No.17 tahun 2007 ttg Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025.
Menurut dokumen
Bangnas induk ini, tujuan jangka panjang resmi RI tentang Ketahanan Pangan adalah:25 Sistem Ketahanan Pangan diarahkan untuk menjaga ketahanan dan kemandirian pangan nasional dengan mengembangkan kemampuan produksi dalam negeri yang didukung kelembagaan Ketahanan Pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup di tingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal.
7)
PP No.5 tahun 2010 ttg Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 20010-2014.
Dan lebih aktual
lagi, menurut RPJMN 20010-14 tujuan jangka menengah resmi tentang Ketahanan Pangan adalah: 26 Peningkatan Ketahanan Pangan dan lanjutan revitalisasi pertanian untuk mewujudkan kemandirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian, peningkatan pendapatan petani, serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam, peningkatan pertumbuhan PDB sektor pertanian terbesar 3,7% per tahun dan indeks nilai tukar petani sebesar 115-120 pada 2014.
Tujuan tersebut dijabarkan lebih lanjut menjadi paling tidak 30 program (usaha unik) sebagai manifestasi riil pekerjaan terhadap pencapaian tujuan tersebut. 8)
PP No.32 tahun 2011 ttg Masterplan Percepatan dan
Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, sekarang merupakan semacam 'turbo boost' terhadap pembangunan jangka waktu panjang dengan menitik-beratkan ekonomi pada sektor dan wilayah tertentu dimana penanganan pemerintah secara khusus dengan insentivisasi sekaligus menyederhanakan birokrasi / proses perizinan (yaitu de-bottlenecking) diperkirakan akan sangat berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan
sebagai
akibat,
memajukan
keadaan
pembangunan
25
Bappenas RI (2005), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-20025, Jakarta, hlm.58 26 Pokja Sismennas Lemhannas RI PPRA XLVIII Tahun 2012, Sismennas, Modul 4 Starbangnas 2010-2014, hlm.30 (versi online)
21
Indonesia secara keseluruhan.
Tujuan makro MP3EI soal 27
pangan dijelaskan sebagai berikut:
Dengan melihat dinamika global yang terjadi serta memperhatikan potensi dan peluang keunggulan geografi dan sumber daya yang ada di Indonesia, serta mempertimbangkan prinsip pembangunan yang berkelanjutan, dalam kerangka MP3EI, Indonesia perlu memposisikan dirinya sebagai basis Ketahanan Pangan dunia, pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan, dan sumber daya mineral serta pusat mobilitas logistik global.
Secara nyata terhadap bidang pangan, MP3EI memberikan perhatian langsung terhadap sektor 'pertanian' dan sektor 'kelautan' (merupakan dua sektor dari '8 Program Utama'). Kemudian, untuk komoditi-komoditi dan kegiatan spesifik yang terkait pangan ada: makanan/minuman, kakao, peternakan, pertanian/pangan, perikanan dan kelapa sawit (sebagai beberapa di antara '22 Kegiatan Ekonomi Utama') yang akan ditargetkan. Jika
sukses,
tentu
Ketahanan
Pangan
Indonesia
bagian
ketersediaan akan ditingkatkan dengan adanya MP3EI ini. Dan secara tidak langsung, upaya-upaya MP3EI lain berpotensial memantapkan
sistem-sistem
transportasi
nasional
(yakni
membantu efek distribusi buat pangan), serta meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia (yakni rakyat pada umumnya lebih makmur maka seharusnya lebih mampu membeli makanan yang cukup kualitas, kuantitas dan gizi). 9)
UU No.16 tahun 1992 ttg Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan, bertujuan untuk (1) mencegah masuknya hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan karantina dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia; (2) mencegah tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan karantina dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia; (3) mencegah keluarnya hama dan penyakit hewan karantina dari wilayah negara Republik Indonesia; dan (4) mencegah keluarnya hama dan penyakit ikan dari organisme 27
Presiden RI, PP No.32 Tahun 2011, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, Jakarta, 20 Mei 2011, lampiran, hlm.4
22
pengganggu tumbuhan tertentu dari wilayah negara Republik Indonesia apabila negara tujuan menghendakinya. 10) UU No.25 tahun 2007 ttg Penanaman Modal. Pemerintah menetapkan
kebijakan
dasar
penanaman
modal
untuk:
mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan mempercepat peningkatan penanaman modal. UU ini
mengatur
bagaimana
persyaratan,
batas-batas
dan
pewaspadaan terhadap modal asing per sektor, di mana beberapa sektor agak terbuka, sedangkan beberapa yang lain (termasuk agraria) tidak terlalu terbuka bagi pemodal asing. 11) UU 18/2009 ttg Peternakan dan Kesehatan Hewan; UU 18/2004 ttg Perkebunan; UU 13/2010 ttg Hortikultura; PP 18/2010 Usaha Budidaya Tanaman; semua merupakan undangundang teknis tentang sektor agraria tertentu, yang wajib dipertimbangkan
serta
dipatuhi
dalam
upaya-upaya
untuk
meningkatkan kerjasama bilateral bidang perdagangan dan litbang agraria kita. b.
Australia 1)
Buku Putih tentang Hublu dan Perdagangan Australia
(2003).28 Menjelaskan kepentingan dan Strategi Australia dalam Hubungan Luar Negeri serta perdagangan, dengan bagian hubungan bilateral dengan Indonesia pada Bab 5-nya. 2)
UU-UU Karantina dan Impor/Ekspor (Quarantine Act
1908, Export Control Act 1982, Imported Food Control Act 1992). Dinas Pemeriksaan dan Karantina Australia (Australian Quarantine and Inspection Service, AQIS) menangani ketiga UU tersebut dengan tujuan untuk melindungi status kesehatan manusia, hewan dan tanaman Australia dan untuk menjaga akses
28
http://homepage.ntu.edu.tw/~lbh/ref/Statandyearbook/others/32.pdf, diakses 14 Okt 2012.
23 komoditas ekspor agraria Australia ke pasar-pasar global.29 3)
Buku Hijau tentang Rencana Pangan Australia (National
Food Plan) (2012).30 Merupakan draf rencana strategis pangan pertama yang pernah diterbitkan oleh pemerintah nasional Australia, dengan fungsi untuk menerima umpan balik bangsa sebelum menerbitkan sebuah Buku Putih (sumber kebijakan tertinggi) pada tahun 2013 yang akan : (1) mengidentifikasikan lalu mencegah risiko terhadap Ketahanan Pangan Australia; (2) memberikan sumbangan terhadap urusan Ketahanan Pangan dunia; (3) menurunkan hambatan terhadap suplai makanan yang aman dan bergizi bagi bangsa Australia; (4) menjaga serta meningkatkan SKA yang merupakan landasan produksi pangan; (5) mendorong daya saingnya serta produktivitas sistem produksi dan distribusi pangan Australia, termasuk melalui litbang, sains dan inovasi; (6) mengurangi pagar-pagar perdagangan (trade barriers) yang dihadapi perusahan makanan/pangan dalam negeri maupun di luar negeri; dan (7) memberikan sumbangsih ekonomi, lowongan kerja serta kesehatan bermasyarakat di wilayah-wilayah pedesaan Australia. Penting bagi taskap ini, Bab 9 membicarakan ide-ide tentang kerjasama luar negeri, termasuk bidang perdagangan dan litbang, serta bantuan/hibah. 4)
Buku Putih ‘Australia in the Asia Century’ (2012),
mencanangkan
kehendak
pemerintah
Australia
untuk
meningkatkan kembali upaya-upaya bilateral dan multilateral dengan negara-negara Asia, sebagai respons terhadap semakin pentingnya Asia di panggung dunia secara hankam dan ekonomi. Sebagai langkah awal, pemerintah Australia akan melaksanakan perumusan strategi kerjasama bilateral ('country strategies') dengan lima negara yang dianggap paling penting: China, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan. Upaya-upaya yang mungkin termasuk : peningkatan terhadap jumlah diplomat serta konsulat 29 30
http://www.daff.gov.au/aqis/quarantine/legislation [diakses 14 Okt 2012] http://www.daff.gov.au/nationalfoodplan/national-food-plan
24
yang berada di kawasan Asia; peningkatan terhadap hubungan orang-kepada-orang; peningkatan terhadap kerjasama badan teknologi/sains dll.31 9.
Landasan Teori a.
Teori Ekonomik. Adam Smith (1723-1790) merupakan bapak
ilmu ekonomi modern yang terkenal dengan teori nilainya, yaitu teori yang menyelidiki faktor-faktor yang menentukan nilai atau harga suatu barang.32 Adam Smith melihat proses pertumbuhan ekonomi itu dari dua segi yaitu pertumbuhan output total (GNP) dan pertumbuhan penduduk.
Pembagian kerja merupakan titik permulaan dari teori
pembangunan ekonomi Smith yang meningkat daya produktifitas tenaga
kerja.
Smith
menghubungkan
kenaikan
itu
dengan
meningkatnya keterampilan pekerja, penghematan waktu dalam memproduksi barang, dan penemuan mesin yang sangat menghemat tenaga. b.
Teori Perdagangan. Menurut Darwanto,33 ada ide dasar David
Ricardo: Teori Comparative Advantage berdasarkan nilai tenaga kerja (teori labor value). Harga suatu barang ditentukan oleh jumlah waktu (jam kerja) yang diperlukan untuk memproduksinya.
Menurutnya,
perdagangan internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif antar negara.
Ricardo berpendapat bahwa keunggulan
komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya.
Adapun Teori cost comparative advantage (labor
efficiency): Negara memperoleh manfaat perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan ekspor barang yang diproduksi relatif lebih efesien.
Lalu, ada Model Perdagangan
31
http://asiancentury.dpmc.gov.au [diakses 11 Nop 2012] http://www.investopedia.com/articles/economics/08/adam-smitheconomics.asp#axzz2DcmA1M7O [diakses 29 Nop 2012] 33 Darwanto, M.Si. FE UNDIP, Teori Perdagangan Internasional, Absolute Advantage, [http://eprints.undip.ac.id/960/1/Present_AA-CA_Dar1.pdf, diakses 15 Okt 2012] 32
25 Hecksher-Ohlin34 , yang mencoba memberikan penjelasan mengenai penyebab
terjadinya
perbedaan
produktivitas
tersebut.
Teori
Hecksher-Ohlin menyatakan penyebab perbedaaan produktivitas karena adanya jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment
factors)
oleh
masing-masing
negara,
sehingga
selanjutnya menyebabkan terjadinya perbedaan harga barang yang dihasilkan. Oleh karena itu teori modern Hecksher-Ohlin ini dikenal sebagai ‘The Proportional Factor Theory'. Selanjutnya negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau murah dalam memproduksinya
akan
melakukan
spesialisasi
produksi
untuk
kemudian mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal dalam memproduksinya. c.
Teori
Diplomasi.
Diplomasi
adalah
seni
dan
praktek
bernegosiasi oleh seseorang/pihak/kelompok yang biasanya mewakili sebuah negara, mengurus urusan lintas-negara seperti budaya, ekonomi, perdagangan atau hankam. Biasanya, diplomasi dianggap sebagai cara memperoleh keuntungan dengan pendekatan yang halus, secara absolut ataupun secara 'saling mengisi' ('win-win'). Anehnya, diakui juga bahwa teori-teori diplomasi dan hubungan internasional sebenarnya kurang banyak atau baku (contoh, intisari dari esai terkenal Martin Wright pada tahun 1966 berjudul 'Mengapa tidak ada Teori International?' 35 ).
Walau demikian, menurut Stuart Murray
(Universitas Bond, Australia),36 ada tiga kategori besar dari dunia teori diplomasi: Tradisional; Berkembang (Nascent), dan Inovatif.
Para
Tradisionalis terfokus kepada kesentralan posisi negara dan instansi diplomasi formal sebagai subyek dan obyek daripada diplomasi. Sedangkan para pemegang teori Nascent lebih mengajukan ide bahwa 34
Darwanto, S.E., M.Si. FE UNDIP, Teori, Kritik dan Perbaikan, [http://eprints.undip.ac.id/789/1/Model_Perdagangan_HO_Darwanto.pdf, diakses 16 Oct 2012]) 35 Herbert Butterfield dan Martin Wright (1968), red., Diplomatic Investigations: Essays in the Theory of International Politics, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts 36 Stuart Murray (2006), tesis doktoral, Reordering diplomatic theory for the twenty-first century: A tripartite approach, [http://epublications.bond.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=1057&context=theses, diakses 8 Nop 2012]
26
peranan diplomasi formal (negara dan para diplomat resmi) tidak mutlak lagi malah aktor nir-negara (non-state) seperti LSM global dan regional, para pembisnis / penanam modal, dan multilateralisme (summits dll) lebih penting dalam menentukan arah hubungan internasional dewasa ini. Dan kategori pemikir Teori Inovatif adalah yang melihat peranan baik diplomat/instansi formal maupun aktor nonformal sebagai suatu kemitraan yang saling mengisi ('symbiosis'). 10. Tinjauan Kepustakaan.
Penulis tidak berhasil menemukan buku-
buku terbitan Indonesia tentang hubungan bilateral Indonesia-Australia, apalagi aspek-aspek kerjasama ekonomi, perdagangan dan litbang agraria. Ada satu buku yang terkenal tulisan jurnalis Ratih Hardjono (White Tribe of Asia: An Indonesia view of Australia, 1993, Hyland House Publishing, Victoria) tetapi buku tersebut lebih mengarah kepada urusan politik, budaya dan persepsi publik daripada kerjasama konkrit apalagi bidang ekonomi secara umum dan agraria secara spesifik.
Yang ditemukan adalah
beberapa buku tulisan penulis Australia, sebagaimana yang berikut : a.
Monfries, J. (red), (2006), Different Societies, Shared Futures:
Australia, Indonesia and the region, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapore. Buku ini adalah hasil dan kumpulan naskah dari seminar hubungan bilateral Indonesia-Australia yang diselenggarakan
oleh
Universitas
Nasional
Australia
(ANU)
di
Canberra pada September 2005. Bab IV-nya membahas tentang 'The Economic Partnership: Aid, Economics and Business', terdiri dari tiga naskah dengan sejumlah 40an halaman. Naskah Stephen Grenville paling relevan, dimana Grenville mengatakan bahwa hubungan ekonomi aktual kurang berarti ("Singapore dan Hong Kong lebih penting secara perdagangan bagi Australia"), tetapi potensi akan kerjasama penanaman modal serta bidang good governance sangat baik. Buku tersebut menarik, tetapi tidak membahas tentang potensi kerjasama bidang agraria (perdagangan atau litbang).
27
b.
Evans, G. dan Grant, B., (1991), Australia's Foreign Relations
In the World of the 1990s, Melbourne University Press. Buku ini terkenal di Australia karena ditulis oleh seorang Menlu Australia saat masih aktif dalam jabatannya (Gareth Evans, Menlu periode 1988-96). Karya ini membahas secara panjang-lebar dan komprehensif tentang posisi Australia di dunia, pola kelakuan diplomatiknya, warisan sejarahnya serta tantangan-tantangan ke depan. Tentang hubungan bilateral Indonesia-Australia, ada bagian hanya tujuh halaman yang secara spesifik membahas topik tersebut.
Namun tentang aspek
kerjasama ekonomi dan perdagangan, Evans dan Grant cukup tajam mengakui bahwa statusnya "belum dewasa", terhambat oleh kekurangpengertian akan keadaan serta peluang di masing-masing pasar domestik, namun dengan makin terbukanya Indonesia zaman 198090an terhadap liberalisasi perdagangan (di bawah WTO) maka makin klop pendekatan perdagangan dan investasi kedua negara kita tuturnya.37 Tetapi buku ini tidak memberikan fokus kepada urusan ini, apalagi memberikan suatu konsepsi akan pemecahan persoalan. c.
JSCFADT (1993), Australia's Relations with Indonesia, Dinas
Penerbitan Pemerintah Federal Australia, Canberra. Joint Standing Committee for Foreign Affairs, Defence and Trade (JSCFADT) Pemerintah Australia merupakan semacam komisi tetap di parlemen Australia (mirip dengan fungsi dan komposisi Komisi I DPR RI). Buku ini merupakan laporan resmi dari kerangkaian sidang mereka yang membahas keadaan hubungan bilateral Indonesia-Australia pada saat itu. Buku tersebut sangat luas dan tajam, dan selain mengumpulkan dan membahas banyak masukan tertulis dari sekian banyak stakeholders
di
mengeluarkan dipertimbangkan
Australia
(termasuk
rekomendasi-rekomendasi oleh
Pemerintah
KBRI
Canberra),
resmi
Australia
pada
yang waktu
juga wajib itu.
Pembahasan tentang keadaan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi muncul di Bab 8 (Perikanan), Bab 10 (Isu-Isu Sains, 37
Evans, G. dan Grant, B., (1991), Australia's Foreign Relations In the World of the 1990s, Melbourne University Press, hlm.189-90
28
Lingkungan Alam, Pendidikan dll), Bab 11 (SKA dan SD Energi), Bab 12 (Perdagangan Bilateral), Bab 13 (Investasi Bilateral), dan Bab 14 (Bantuan
Pembangunan).
Rekomendasi-rekomendasi
tentang
perdagangan dan investasi agak sempit, dan lebih mengarah kepada kepentingan informasi (pengertian/pemahaman) daripada sebuah peningkatan kerjasama ataupun langkah-langkah strategis (misalnya, Comprehensive Strategic Partnership).
29
BAB III KONDISI KERJASAMA BILATERAL BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA SAAT INI
'Food security is a growing challenge, with recent widespread flooding throughout our region devastating food crops. We recognised the role of our aid partnership in helping Indonesia to address food security concerns and agreed to implement a new $112 million agricultural initiative to improve the livelihoods of Indonesian farmers. We agreed to work together to enhance animal welfare outcomes and contribute to ensuring a sustainable trade for the live cattle industry. On the issue of palm oil, Indonesia encourages Australian industries to purchase and use sustainable palm oil from Indonesia.' Transcript, Joint Communiqué 1st Indonesia-Australia Annual Leaders' Meeting, Bali, 20 Nov 2011 [http://www.pm.gov.au/press-office/1st-indonesia-australia-annual-leaders-meetingjoint-communique, diakses 29 Sep 12]
11. Umum Kalau melihat keadaan saat ini soal Ketahanan Pangan, sebenarnya Indonesia baik pemerintah maupun masyarakat umum memberi banyak perhatian terhadap isu pangan. Sebagai negara berkembang (yang juga dinilai telah naik status menjadi negara 'lower-middle-income' atau 'pendapatan-menengah-bawah' menurut Bank Dunia
38
) maka sangat
dimaklumi bahwa Indonesia pernah mengalami kesulitan pangan dengan wujud kelaparan (contoh krisis beras di Jawa tahun 1972-73; Timor Timur akhir tahun 1970an; Irian Jaya tahun 1998 39 ), dan pernah merasakan beratnya ongkos pengimporan bahan makanan terhadap kelancaran ekonomi (contoh kurang lebih sepanjang tahun 1960an). Dengan demikian sangat dimaklumi bahwa para pemimpin Indonesia rajin mengawasi bidang pangan, apalagi dengan mengingat semangat kinerja yang melandasi sukses pemerintahan Suharto dengan mengembalikan Indonesia kepada status 'swasembada beras' pada tahun 1984 hasil kerja keras Orba sejak Repelita I canangan tahun 1969.
Manifestasi semangat penanganan
maupun pengawasan Ketahanan Pangan justru banyak, dan adanya 38
Sebagaimana dikutip oleh World Food Program (WFP) [http://www.wfp.org/countries/Indonesia, diakses 24 Mei 2012] 39 Situs internet Indonesian Timeline [http://www.gimonca.com/sejarah/sejarah10.shtml, diakses 24 Mei 2012]
30
kerangka dokumen pembangunan nasional yang sedemikian tebal justru merupakan bukti akan keseriusan para pemimpin Indonesia terhadap pangan dan Ketahanan Pangan. Menurut Badan Ketahanan Pangan RI, Permasalahan Pangan Nasional Indonesia saat ini meliputi sembilan isu/masalah sebagai berikut:40 (1) laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi (periode 2000-2010 = 1,49% per tahun) dengan jumlah penduduk yang besar; (2) jumlah penduduk rawan pangan masih relatif tinggi (±13% dari total penduduk); (3) ketergantungan konsumsi beras dalam pola konsumsi pangan yang masih tinggi (konsumsi beras 139,15 kg/kapita/th); (4) konversi lahan pertanian masih tinggi dan tidak terkendali; (5) kompetisi pemanfaatan dan degradasi sumber daya air semakin meningkat; (6) infrastruktur pertanian/pedesaan masih kurang memadai; (7) belum memadainya prasarana dan sarana transportasi, sehingga meningkatkan biaya distribusi/pemasaran pangan; (8) sebaran produksi pangan yang tidak menentu, baik antar waktu (panen raya dan paceklik) ataupun antar daerah (di Jawa surplus dan di Papua defisit); dan (9) beberapa daerah di Indonesia rawan bencana alam, yang menyulitkan bagi pengembangan Ketahanan Pangan yang berkelanjutan. Akibatnya, dan berdasarkan data dari Kementerian Pertanian (Kementan), diketahui bahwa produksi pangan Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Hal ini terlihat dari neraca perdagangan yang defisit 1.392.324.931kg pada bulan Juni 2011 misalnya.
Impor
dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dalam negeri terkait dengan pencapaian Ketahanan Pangan (pengimporan tersebut diakomadir dalam kebijakan resmi, dimana pangan boleh diimpor apabila pangan bagian pokok dan/atau bagian cadangan tidak mencukupi kebutuhan negara pada waktu tertentu). 41
Dan dari data World Food Program (WFP), dan
pemerintah RI sendiri, permasalahan Ketahanan Pangan diakui:42 Dari laporan Riskesdas, kurs manusia yang gizinya buruk (malnutrition) mencapai 18%. Lebih dari 36% adalah terbantut (stunted) ... dan dari data Indonesia Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) yang diluncurkan oleh Presiden pada Mei 2010, 87 juta WNI tergolong 'rawan pangan' (food insecure), 25 juta diantaranya tergolong 'sangat rawan pangan' (severely food insecure).
40
Hermanto, Dr. Ir., op.cit. Lihat PP RI No.68/2002 ttg Ketahanan Pangan, Pasal 3 (4) 42 http://www.wfp.org/countries/Indonesia/Overview [diakses 2 Juni 2012] 41
31
Maka status Ketahanan Pangan di Indonesia dapat dikatakan merupakan tantangan tingkat nasional, dimana cukup banyak dari jumlah penduduk terdampak secara negatif (‘rawan pangan’) terkait dengan isu kemiskinan, namun produksi pangan serta potensi akan kenaikan produksi tersebut juga besar, dan respons dari pemerintah pusat maupun daerahdaerah justru luas dan serius. Keadaan Ketahanan Pangan di Australia secara relatif lebih tangguh, walau tidak tanpa permasalahan juga.
Secara keseluruhan, Australia
menghasilkan lebih banyak komoditi pangan daripada yang dapat dikonsumsi, sehingga misalnya pada tahun 2011 nilai ekspor pangan dari Australia sebanyak AUD$27,1 milyar43 (namun pada saat yang sama, tetap mengimpor bahan makanan sebanyak AUD$10,6 milyar pada tahun itu akibat : beberapa sektor pangan yang tidak sesuai keadaan SKA di Australia, atau sesuai tetapi produksi dalam negeri terlalu mahal, atau berkat selera konsumen yang rela bayar mahal untuk makanan impor tertentu). Australia dianggap oleh FAO sebagai negara dengan Ketahanan Pangan yang tinggi, dan dalam banyak sektor pangan juga Swasembada. Kendati demikian, Australia mempunyai tantangan dalam produksi ke depan terkait kepekaan mutu dan gizi lahan/tanah (soil fragility, mengingat hanya 8% dari wilayah benua Australia dianggap subur untuk kegiatan pertanian), terkait kepekaan tingkat endapan / SKA air (benuanya merupakan benua terkering di dunia44 ), dan terkait aspirasi para petani/peternak yang makin melihat anaknya pindah ke sektor ekonomi yang lebih menentukan (mengingat juga bahwa petani/peternak di Australia terekspos penuh terhadap fluktuasi pasar bebas global, serta harus bersaing dengan impor tanpa banyak bantuan ataupun proteksi daripada pemerintah negara bagian maupun nasional). Lebih memprihatinkan lagi, kerawanan pangan terjadi di Australia walau produksi pangannya agak melimpah, terkait permasalahan di sekitar aspek keterjangkauan dan konsumsi.
Bagi kaum lanjut usia (lansia),
sebagian yang jumlahnya tidak kecil tergolong rawan gizi---hampir sepertiga
43 44
DAFF, (2012), op.cit, hlm.iii http://www.about-australia.com/facts/ [diakses 18 Okt 2012]
32 dari lansia yang pasien di panti jompo pada tahun 2008. 45 Bagi kaum aborijin situasi nutrisi cukup menghawatirkan, dimana tingkat kesakitan kronis, angka harapan hidup, serta tingkat pertumbuhan balita semua lebih buruk daripada kaum orang Australia non-aborijin (misalnya di komunitaskomunitas terpencil di Northern Territory pada tahun 2007, tercatat sebanyak 11% balita tergolong bantut, 14% berat badannya di bawah standar [underweight], dan 10% lagi tergolong berat badan yang sangat di bawah standar [wasted]) 46 .
Dan untuk penduduk secara umum, tingkat
kemiskinan umum sedang meningkat dengan akibat sebanyak 12,8% penduduk Australia tergolong miskin sesuai definisi kemiskinan di negaranegara maju (standar OECD, dimana seorang manusia dewasa meraih kurang dari AUS$358 per minggu; sebuah keluarga [dua orang tua, dua anak] meraih kurang dari AUS$752 per minggu).47 Maka status Ketahanan Pangan di Australia dapat dikatakan cukup tangguh, tetapi masih ada permasalahan di sekitar segmen penduduk tertentu dimana kemiskinan, keterpencilan (khususnya kaum aborijin) ataupun pola makanan menimbulkan kerawanan pangan / kerawanan gizi secara sempit.
Dengan adanya sistem bantuan sosial di Australia yang
cukup menyeluruh dan menerobos, dan dengan latar belakang dan kinerja produksi agraria yang stabil dan efektif maka boleh dikatakan bahwa pendekatan dan penanganan bidang Ketahanan Pangan pemerintahpemerintah Australia cukup baik, padahal 'pekerjaan rumah' tetap ada. 12. Kondisi
kerjasama
bilateral
Indonesia-Australia
bidang
perdagangan dan litbang agraria saat ini Indonesia dan Australia mempunyai kesibukan tertentu dalam perdagangan bilateral, namun pada tahun 2011 tercatat bahwa Indonesia hanya sampai urutan kesembilan terbesar sebagai tujuan ekspor bagi Australia, dan bagi Indonesia juga situasinya sama di mana Australia 45
Lihat artikel di harian The Australian, Elderly Patients are Malnourished or At Risk, 21 Mei 2008 [http://www.theaustralian.com.au/news/health-science/elderly-patients-are-malnourished/storye6frg8y6-1111116397757, diakses 18 Okt 2012] 46 Burns J, Thomson N (2008) Review of nutrition and growth among Indigenous peoples. [http://www.healthinfonet.ecu.edu.au/health-risks/nutrition/reviews/our-review, diakses 18 Okt 2012] 47 http://acoss.org.au/uploads/ACOSS%20Poverty%20Report%202012_Final.pdf [diakses 7 Nop 2012]
33 merupakan tujuan ekspornya yang urutan kesembilan pula.48 Nilai daripada perdagangan dua arah tersebut agak seimbang, dengan nilai ekspor dari Australia (ke Indonesia) sebesar AUD$5,397 milyar dan dari Indonesia (ke Australia) AUD$5,906 milyar pada tahun 2011. Macam komoditas terbesar adalah : dari Australia, gandum (AUD$1,117 milyar), bensin mentah (AUD$0,747 milyar), aluminium (AUD$0,341 milyar) dan katun (AUD$0,301 milyar); dan dari Indonesia, bensin mentah (AUD$2,544 milyar), barang baja/besi/aluminium (AUD$0,640 milyar), emas (AUD$0,419 milyar) dan bensin matang (AUD$0,216 milyar) (melihat data di Lampiran 3).
Maka
dalam perdagangan pangan hanya gandum yang merupakan komoditi pangan dalam delapan komoditi terbesar/terbanyak---sesuatu yang ironis mengingat identitas Indonesia sebagai negara agraria sekaligus negara maritim, dan Australia sebagai net food exporter. Menurut OECD (2012)49 kendati Australia merupakan pemasok terbesar dalam gandum, produk susu, sayuran dan ternak hidup, tetap saja blok Australia / New-Zealand merupakan blok pengekspor pangan/agraria yang menghasilkan seperlima daripada total impor pangan periode 2008-10 kepada Indonesia. Tetapi ini juga berarti AS sendiri dan Eropa secara kolektif tetap lebih menonjol sebagai sumber kalori dan gizi di Indonesia daripada Australia / NewZealand, padahal Australia relatif dekat, maka seharusnya mempunyai integrasi perdagangan yang canggih dan pas.
Dan mesti dipertanyakan
pula, mengingat pemerintah Australia suka mencanangkan mempunyai hubungan yang khusus dengan Indonesia.50 Dan sebaliknya, pengeksporan produksi agraria Indonesia ke Australia tidak memuaskan (tidak ada komoditas dalam empat teratas yang merupakan produksi agraria, dan hanya Harmonised System (HS) kategori 'kakao / minyak masak' yang muncul dalam HS kategori ke-25 terbesar produk ekspor pangan ke Australia dengan bahkan itu hanya bernilai USD$29,3 juta pada tahun 2007 48
http://www.dfat.gov.au/geo/fs/indo.pdf [diakses 17 Okt 2012] Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), (2012), OECD Review of Agricultural Policies: Indonesia, OECD Publishing, hlm.105 [http://dx.doi.org/10.1787/9789264179011-en, diakses 20 Okt 2012] 50 Misalnya, sering diumumkan oleh pejabat tinggi atau pemimpin politik di Australia bahwa “tidak ada negara yang lebih penting bagi Australia daripada Indonesia”. Ucapan sedemikian baru dikatakan mantan PM Australia Paul Keating dalam ‘Orasi Peringatan Keith Murdoch’ di Perpustakaan Induk, Negara Bagian Victoria, tanggal 14 Nop 2012 [http://news.blogs.slv.vic.gov.au/2012/11/15/the-2012-keith-murdoch-oration-delivered-by-thehonourable-paul-keating-former-prime-minister/, diakses 15 Nov 2012]. 49
34
atau 1.56% dari total nilai pengeksporan Indonesia ke Australia pada tahun itu 51 ).
Jika mengingat pentingnya sektor agraria bagi perekonomian
Indonesia di mana 15% dari PDB diraih dari pangan/agraria dan 38% dari kaum pekerja diserap oleh sektor ini pula, maka penyerapan ekspor pangan Indonesia oleh pasar-pasar di Australia pantas disesalkan.52 Mengapa perdagangan bidang pangan kita tidak lebih menonjol? Jika perekonomian di kedua negara kita kompetitif maka kenyataan itu akan masuk akal, padahal, cukup banyak pakar pernah mengatakan bahwa ekonomi Australia dan ekonomi Indonesia cukup bersifat saling berisi (complimentary). 53 Ataukah kenyataan ini merupakan sebagian daripada underperformance perdagangan bilateral kita secara keseluruhan, seperti AANZFTA - OVERVIEW
yang pernah dikomentari AANZFTA: a key new petinggi Kemendag RI dan Deplu Australia AANZFTA is the first Free Trade Agreement Australia has signed since (DFAT):
regional commitment to open markets
the onset of the global financial crisis demonstrates the Government’s commitment to providing a solid platform to support growth in Australia’s trade and investment with the region.
"pemerintah dari kedua negara kita mengakui bahwa perdagangan dua arah serta ASEAN and New adalah jauh di bawah potensinya dibandingkan misalnya koneksi penanaman modal Australia’s total two-way trade with ASEAN and New Zealand was Zealand are key valued at $97 billionmodal in 2009, accounting for just dengan under 20% of negara anggota tingkat perdagangan dan penanaman Australia trading partners Australia’s total trade with the world. 54 ASEAN yang lain" Australia’s two-way trade with ASEAN has grown by an annual average of over 10 per cent over the past five years
seperti kesan dari gambar ini: AANZFTA covers an area with a combined population of over 600 million, with an estimated GDP of $3.3 trillion.
Australia's Total Two Way Trade with ASEAN 2009
Thailand 25% A$19.2bn
Viet Nam 8% A$6bn Indonesia 15% A$11.3bn Brunei 1% A$0.9bn
Malaysia 17% A$13.3bn Singapore 30% A$23bn
Philippines 3% A$2.5bn
Note: Trade with the less developed countries of ASEAN (Burma, Cambodia and Laos) is negligible, amounting to around $164 million in 2009. Source: ABS Trade data on DFAT STARS database & ABS Regional Services series.
1 (sumber: www.dfat.gov.au/trade/fta/asean/aanzfta, diakses 9 Nop 2012)
Go to www.dfat.gov.au/trade/fta/asean/aanzfta for more information 51
DFAT dan Kemendag RI, (2008), op.cit., tabel 2.5, hlm.23 Namun, ekspor produksi kehutanan (kayu, kayu lapis, kertas, tisu, dan perabot rumah) dan karet berjalan juga. Tetapi pada umumnya, hasil agraria (pangan dan non-pangan) dari Indonesia ke Australia tidak signifikan menurut hemat penulis. 53 Misalnya, komentar yang muncul dari Centre for International Economics (CIE) dalam laporan Estimating the Impact of an Australia-Indonesia Trade and Investment Agreement, (2009). Bab IInya membahas pertanyaan itu, dan menyimpulkan : “… dari lima sistem ukuran tersebut maka Australia dan Indonesia mempunyai pola-pola produksi dan konsumsi yang complimentary satu sama lain.” [hlm.17] 54 DFAT dan Kemendag RI, (2008), Australia-Indonesia Free Trade Agreement Joint Feasibility Study, hlm.1 52
35
Dan mengapa Peristiwa penghentian peneksporan ternak hidup tahun 2011 (dikenal di Australia sebagai kasus Live Cattle) terjadi begitu seru, dimana pemerintah Australia secara sepihak melarang pengeksporan sapi hidup dari Australia kepada Indonesia secara mendadak selama satu bulan akibat ekspos kelakuan brutal saat sapi dipotong di beberapa rumah potong di Indonesia oleh media televisi ABC. Tertekan oleh opini publik yang sangat anti, pemerintahan Gillard tanpa konsultasi dengan Jakarta bertindak. Satu bulan kemudian pengeksporan dimulaikan kembali secara bertahap tetapi setelah perundingan dengan pejabat-pejabat Indonesia, bantuan teknis Australia serta regulasi baru dari Australia sebagai rejim pengawasan yang ketat. Respons lebih lanjut dari pemerintahan Yudhoyono adalah jatah sapi impor Australia dikurangi menjadi setengah, dan akan dikurangi lagi menjelang target Indonesia menjadi swasembada daging sapi pada tahun 2014. 55
Akibatnya, pasar ekspor yang semula bernilai AUD$300 juta
diseparuhkan, daging box impor turut dikurangi oleh Jakarta, ongkos daging sapi di Indonesia pra-Juni 2011 yang sekitar Rp55.000 per kg sekarang menjadi sekitar Rp90.000 per kg (dan lebih dari Rp100.000 pada bulan puasa lalu). 56 Peternak di Australia Utara sebagian kehilangan nafkah, pembisnis hilir Indonesia juga kehilangan keuntungan, dan banyak WNI mengalami penurunan protein dan gizi akibat daging sapi menjadi lebih mahal 80% lebih---sebuah kasus yang sungguh tidak mengindahkan status konon 'mitra' Australia dan Indonesia. Dalam bidang litbang agraria / bantuan teknis agraria, keterangan resmi dari Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) 57 adalah menarik.
Program ACIAR di Indonesia merupakan
program terbesar ACIAR di dunia, yang sendirinya mencerminkan suatu prioritas tinggi instansi pemerintahan Australia ini terhadap kerjasama 55
http://www.smh.com.au/environment/animals/farmers-worried-as-indonesia-plans-to-cut-beefimports-20111216-1ox74.html [diakses 10 Nov 2012] 56 http://www.beefcentral.com/p/news/article/2362 [diakses 10 Nop 2012] 57 Lihat situs http://aciar.gov.au. Berdiri sejak Juni 1982, ACIAR adalah suatu otorita pemerintahan yang beroperasi sebagai bagian dari Program Bantuan Australia di bawah kewenangan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan. ACIAR berperan dalam obyektif program bantuan ini untuk meningkatkan kepentingan nasional Australia melalui pengurangan tingkat kemiskinan dan pembangunan yang berkelanjutan dengan pendanaan penelitian dan pengembangan proyek-proyek pertanian yang dilaksanakan oleh peneliti-peneliti Australia dan negara-negara mitra.
36
agraria teknis dengan Indonesia di atas dengan negara-negara sahabat yang lain.58
Alasan ACIAR sangat aktif di Indonesia nampakya karena
Indonesia mempunyai letak dan bobot strategis bagi Australia, serta masalah kemiskinan di Indonesia merupakan prioritas yang disetujui bersama oleh kedua pemerintahan sebagai jalur gerak utama bagi kerjasama bilateral kita melalui The Australia-Indonesian Partnership (AIP, 2008-13).
Menurut informasi resmi, kegiatan ACIAR dengan para mitra
instansi Indonesia melaksanakan fokus geografis terhadap tantangantantangan di propinsi yang kurang makmur yang kebanyakannya berada di Indonesia bagian Timur. Kegiatan resit yang dilakukan dikatakan bersifat fleksibel, berkisah antara fokus terhadap produktivitas petani dan mutu penghasilannya, ataupun rantai suplai agar produksi komodoti nilai tinggi dapat dipasarkan dengan efisien dan efektif.
Strategi resit ACIAR di
Indonesia pada jangka waktu menengah terfokus pada : optimalisasi kebijakan agar agribisnis dapat lebih bersukses;
memperkuat produksi
hewan sapi / domba serta sistem biosecurity yang terkait; meningkatkan produktivitas
sistem
pertanaman;
meningkatkan
keuntungan
bagi
pembudidaya ikan skala kecil; optimalisasi pengelolaan perikanan; dan peningkatan pengelolaan kehutanan (produksi dan jasa).
Secara nyata,
kegiatan tersebut pada tahun 2010-11 menyentuh urusan : sektor padi di Aceh; lobster di Lombok, Kupang dan Bima; ikan susu di Jawa; mangga dan rambutan di NTB (ekspor ke Hong Kong, Singapura dan Kuala Lumpur); tauge/toge di Timor Barat; kopi di Sulawesi dan Flores; dan sektor sapi di NTB dan Jawa.59 Walau semua data ini cukup bagus, yang tidak muncul dibahas adalah berapa jauh kerjasama tersebut membantu keperluan agraria Indonesia secara holistik, apakah ada celah antara apa yang dimintai Indonesia dibandingkan apa yang disediakan/didanai Australia, bagaimana Transfer of Technology-nya (bagus tidak?, berkelanjutan tidak?). Dan penilaian dari pihak pemerintah Indonesia tidak ditemukan penulis,
58
ACIAR memiliki kantor di tujuh negara: China, India, Indonesia, PNG, Filipina, Thailand dan Vietnam, namun juga ada program di negara-negara tertentu di Afrika (Aljazair, Zimbabwe, Kenya, Ethiopia, Moroko, Tunis, Mesir dll) [http://aciar.gov.au/wherewework, diakses 18 Okt 2012] 59 Laporan Tahunan ACIAR 2010-11, bagian Indonesia, Timor Leste dan Filipina [http://aciar.gov.au/files/node/14074/indonesia_east_timor_and_the_philippines_pdf_53876.pdf, diakses 18 Okt 2012]
37
maka seolah-olah penilaian keefektifan pekerjaan ACIAR dilakukan oleh satu mitra saja (maka, kredibel tidak?). 13. Implikasi
kerjasama
bilateral
Indonesia-Australia
bidang
perdagangan dan litbang agraria terhadap Ketahanan Pangan, dan terhadap Kemandirian Bangsa Dengan pengertian dari atas tentang bagaimana keadaan kerjasama bilateral bidang perdagangan dan litbang agraria Indonesia-Australia saat in, khususnya pro dan kontra yang mewarnai realitanya, maka boleh diextrapolasi lebih lanjut apa efek terhadap Ketahanan Pangan di setiap negara dan kepada negara kita secara kolektif, kemudian bagaimana juga efek status Ketahanan Pangan tersebut terhadap keadaan Kemandirian Bangsa di Indonesia maupun Australia akibat kerjasama agrarianya. a.
Implikasi Kerjasama Bilateral Bidang Perdagangan dan
Litbang Agraria saat ini terhadap Ketahanan Pangan Dengan fakta bahwa kerjasama bilateral perdagangan agraria bilateral kita belum menjadi suatu proyek yang masal dan mengakui kepentingan
Ketahanan
Pangan
maka
penulis
menilai
bahwa
perdagangan tersebut hampir tidak membawa kontribusi terhadap situasi Ketahanan Pangan baik di Indonesia maupun di Australia. Di Indonesia, gandum diperoleh melalui impor dari beberapa negara, di mana Australia merupakan sumber dari 50-55% gandum impor, tetapi juga Indonesia mengimpor dari AS, Kanada, Rusia dll.60 Komoditas agraria yang lain dari Australia tidak menonjol sekali bagi Indonesia. Dan impor makanan dari Indonesia ke Australia juga tidak begitu berarti. Maka kontribusi kerjasama bilateral kita lebih terasakan oleh ekonomi secara luas (dimana paling sedikit Indonesia menjual produksi senilai USD$7 milyar lebih kepada Australia, dan Australia kepada Indonesia hampir sama nilainya). Dan namun ada kegiatan bersama antara ACIAR dan berapa instansi penelitian agraria di Indonesia, jika kesibukan tersebut hanya 60
http://www.agric.wa.gov.au/objtwr/imported_assets/content/fcp/cu2012_cato_larisa_ indonesian_wheat_market_presentations.pdf [diakses 9 Nop 2012]
38
memakan biaya kurang dari AUD$9 juta (sedangkan anggaran ODA mendekati AUD$500 juta) maka kegiatan penelitian bersama tersebut tidak mampu banyak menerobos di dunia agraria Indonesia yang begitu aneka-ragam serta menyibukkan 40an juta WNI secara langsung setiap hari (belum menghitung orang yang terlibat dengan sektor distribusi, pengolahan, pemasaran dan restauran-restauran). Pendek kata, kerjasama bilateral kita bidang agraria sekarang ini tidak banyak membantu Ketahanan Pangan di kedua negara. b.
Implikasi
Ketahanan
Pangan
yang
saat
ini
terhadap
Kemandirian Bangsa Di Indonesia, kerawanan pangan bagi kaum miskin berarti Indonesia tetap memilih untuk menerima dana hibah dari beberapa negara (termasuk Australia), dan tetap menerima bantuan teknis dari instansi bantuan pembangunan seperti ADB, FAO, dan Bank Dunia. Dan karena belum swasembada dalam beberapa bahan makanan yang pokok maupun yang sekunder maka Indonesia tetap mengimpor bahan makanan dari negara tetangga dan dari dunia lebih luas. Dinamika tersebut berarti Indonesia di tahun 2012 ini tetap dibantu oleh pihak asing, dan tetap ekspos terhadap pasar internasional dan 'minat baik' dari negara mengekspor tersebut.
Oleh karena itu,
Ketahanan Pangan di Indonesia yang belum optimal ini berarti kemandirian bangsa belum 100% bulat. Namun, hemat penulis adalah bahwa Indonesia tidak serba bergantung juga : banyak negara rela mengekspor komoditasnya (walau harga dan mutu barangkali kurang sesuai pasar dan selera Indonesia), dan Indonesia tidak harus bekerjasama dengan instansi bantuan teknis dari luar negeri---para pakar dan teknisi pangan/agraria di Indonesia sudah pandai juga. Bagi Australia, yang tidak menganut prinsip 'geopolitik bebas aktif' yakni non-blok, Kemandirian Bangsa kami telah lama tidak sempurna dan sebenarnya tidak pernah dituju. Asal Australia kompetitif di pasarpasar dunia dan mampu negosiasi di panggung dan forum-forum dunia dengan
bargaining
power
yang
cukup
maka
Australia
tidak
39
mempertanyakan keterikatan yang kami miliki secara eknomik dan juga dalam urusan hankam. 14. Permasalahan yang dihadapi Berdasarkan uraian di atas dapat diidentifikasi permasalahan yang dihadapi sebagai berikut : a.
Belum lengkapnya saling pengertian bidang agraria serta
pendekatan Ketahanan Pangan masing-masing. Sebagai negara tetangga dengan tradisi agraria yang panjang lebar di masing-masing negara, bukankah seharusnya para pemimpin politik, para pemimpin perhimpunan sektor agraria tertentu, para peneliti serta tokoh-tokoh petani/peternak/nelayan sangat saling familiar dengan situasi agraria serta pendekatan terhadap Ketahanan Pangan di kedua negara kita? Tetapi buktinya agak mengecewakan menurut penulis ini. Contohnya, keunggulan petani Australia sektor gula (Australia merupakan penghasil gula yang terbesar urutan ke-tiga di dunia, dengan 80% dari penghasilan ini diekspor 61 ) dan sektor padi/beras (petani beras Australia menghasilkan panen-per-areal yang terbanyak di dunia [10 ton per hectare], dan rata-rata menggunakan air irigasi yang 50% lebih sedikit daripada petani-petani lain di dunia62) tidak dimengerti di kalangan umum di Indonesia dan belum dibahas di lingkungan PPRAXLVIII misalnya. Di Australia, publik tidak mengerti konteks dan tantangan Indonesia soal makanan pokok daging sapi (kalau mengerti, mengapa over-reaksi opini publik saat liputan emosional tentang praktek-praktek di beberapa rumah potong hewan ditayangkan di media Australia?), dan kurang siap melihat kepentingan dan argumentasi pihak Indonesia terhadap keunggulan dan valid-nya CPO hasil unggulan Indonesia.
Kalau saling mengerti dan paham,
maka pernyataan DFAT dan Kemendag RI bahwa "sebuah FTA antara Australia dan Indonesia akan membawa manfaat bagi Australia (...) 61
Situs internet Cane Growers Association of Australia [http://www.canegrowers.com.au/, diakses 28 Mei 2012] 62 Situs internet Rice Growers Association of Australia [http://www.rga.org.au/about-rice.aspx, diakses 28 Mei 2012]
40 dan manfaat yang lebih besar lagi bagi Indonesia"63 seharusnya berarti bahwa basis sebuah FTA---yakni perdagangan bebas tarif maupun bentuk proteksionisme yang lain---seharusnya telah disepakati dan di tengah-tengah
pelaksanaannya
(daripada
tetap
diragukan
dan
dipertanyakan oleh pihak tertentu baik di Jakarta maupun di Canberra). Dan apabila stakeholders agraria di Australia betul-betul sadar akan lalu memikirkan potensi akan kerjasama agraria dengan Indonesia maka mengapa dalam 152 buah submisi tertulis kepada tim perumus Green Paper 'National Food Plan' yang dipasang di situs internet tim tersebut hanya tujuh yang menyinggung urusan pangan/agraria Indonesia dan bahkan kebanyakannya dari tujuh itu merupakan keluhan sempit tentang kasus moratorium Live cattle atau status sustainable tidaknya CPO penghasilan Indonesia.64 Tetapi realita hari ini masih mirip dengan masalah tahun 1990an sebagaimana diajukan Evans dan Grant (1991) tentang kegiatan komersial bilateral : ignorance in each country of conditions and opportunities in the other (...).
65
Dan sama halnya jika melihat penilaian dari Business Partnership Group (BPG)---perkumpulan pembisnis dan cendekiawan Indonesia dan Australia selaku narasumber kunci terhadap perundingan I-A CEPA---yang baru-baru ini mengatakan : But there is a lack of communication and systematic exchange of information on business opportunities. As a result, many businesses from one country have not pursued opportunities with the other. This lack of information, leading to poor understanding and market failure, is a major hindrance to the increase 66 of trade and investment cooperation.
b.
Belum ‘diproyekkan’ hubungan ekonomi secara strategis,
sektor agraria sebagai salah satu bagian terpenting. Hubungan ekonomi kedua negara kita (sebagaimana digarisbawahi dalam FTA Feasibility Study-nya) adalah jauh di bawah potensinya. Sedangkan kerjasama bidang hankam, pendidikan 63
DFAT dan Kemendag RI, (2008), Australia-Indonesia Free Trade Agreement Joint Feasibility Study, hlm.1 64 Lihat http://www.daff.gov.au/nationalfoodplan/process-to-develop/green-paper/submissionsreceived [diakses 14 Okt 2012] 65 Evans dan Grant (1991), op.cit., hlm.189 66 Business Partnership Group (2012), Interim Report on the BPG Consideration of the IndonesiaAustralia Comprehensive Economic Partnership Agreement, 24 Sep 2012 [http://www.dfat.gov.au/fta/iacepa/submissions/index.html, diakses 12 Okt 2012]
41
bahkan sosial-budaya jauh lebih tangguh dan terstruktur.
Tetapi
kegiatan ekonomi, yakni perdagangan dan penanaman modal dua arah, lebih jatuh kepada semangat kurangnya pihak swasta, dan tidak diindahkan oleh adanya sebuah 'payung' atau 'kerangka' yang teryakinkan bagi para pemainnya.
Malah, bantuan ekonomi teknis
atau kredit lebih merupakan respons ad hoc daripada sesuatu yang terus-menurus dan terhandalkan (contohnya, pinjaman lunak Australia kepada Indonesia di sekitar Krismon 1998, atau hibah dana rekonstruksi setelah malapetaka Tsunami Laut India 2004).
Dan
komitmen politik kedua negara kita tampaknya kurang berkomitmen yang sungguh-sungguh soal perjanjian, persetujuan atau kerangka kerjasama ekonomi, mengingat bahwa persetujuan formal bidang ekonomi yang pertama setelah enam dekade lebih perjalanan hubungan bilateral Indonesia-Australia muncul sebagai persetujuan Australia dan New Zealand dengan ASEAN daripada Australia dan Indonesia secara bilateral yaitu mitra langsung (FTA dibahas pada tahun 2007; hanya sekarang perundingan I-A CEPA akan dimulai). Maka masalah di sini sangat fundamental : dinamika ekonomi adalah
sangat
kritis
untuk
sukses
geopolitik
(ke
luar)
dan
menyejahterakan bangsa (ke dalam), padahal Australia sebagai 'jangkar' Oceania dengan ekonomi terbesar nomor ke-13di dunia, dan Indonesia sebagai negara berpopulasi nomor empat dan ekonomi terbesar nomor ke-16 67 , belum memprioritaskan sinergi ekonomi bersama, padahal cukup komplementatif. Daripada menangani urusan kerjasama ekonomi dengan potensialnya yang sekian besar, malah negara-negara kita lebih memprioritaskan persetujuan formal bidang hankam (tahun 1996 dan 2006), perpajakan (1992), ekstradisi (1995), perbatasan di Celah Timor (1991), tenaga nuklir (1997) dll---hal-hal yang dapat dianggap tingkat transaksional saja, bukan hal yang sesentral menghasilkan kemakmuran bersama.
67
http://databank.worldbank.org/databank/download/GDP.pdf [diakses 11 Nop 2012]
42
c.
Terlalu pekanya kegiatan kerjasama agraria (khususnya
impor/ekspor) terhadap dinamika pasar bebas dan terhadap kepentingan politik domestik. Secara jujur, agak mudah bagi kedua negara kita untuk berfikir negatif satu sama lain (beberapa contoh saja : kasus David Jenkins tahun 1986, Peristiwa Santa Cruz 1991, Timor Timur 1999, fenomena Pauline Hanson 1999-2003, Pemboman Kedubes Australia di Jakarta 2004, kasus 43 orang Papua 'pencari suaka' tahun 2006, kasus Shapelle
Corby
Kecendurungan mengingat
2004-05, ‘negative
perbedaan
peristiwa
thinking’
sejarah,
Live
tersebut
budaya,
Cattle tidak
2011....).
serba
kepercayaan
aneh
spiritual,
etnisitas, tingkat perkembangan dll di antara Australia dan Indonesia. Kecendurungan ini juga berarti kepentingan akan kerjasama dan penjagaan hubungan harmonis kita dapat dibajak untuk sementara oleh kasus, isu ataupun krisis yang mudah menjadi 'seru' di mata publik kita masing-masing. sektor-sektor
yang---menurut
Kalau aspek perdagangan/ekonomi, hemat
penulis---adalah
mudah
ditanggapi dengan 'kepala yang panas' atau kurang rasional adalah : makanan impor jika menjadi terlalu menonjol; adanya pemodal asing yang terlalu menonjol/sukses; dan (bagi orang Australia) kelakuan terhadap ternak hidup. Dari segi penanaman modal, ada semacam paradoks, dimana pada satu segi pemerintahan Yudhoyono agak sibuk menghimbau dari Jakarta dan saat berkunjung ke luar negeri agar dunia pemodal asing meningkatkan minat dan giatnya untuk menanamkan modal lebih banyak sesuai program Bangnas RI (terutama sesuai dengan MP3EI)68, tetapi dari segi lain keluhan dan rasa kekurang-nyamanan opini publik terus meningkat tentang isu investasi asing sehingga sering muncul kritikan (di kuliah Lemhannas pula) bahwa ‘SKA bangsa 68
Melihat kata-kata Bapak Presiden misalnya dalam pidato kepada Australia Indonesia Business Council di Darwin : " ... I encourage you to utilize Indonesia’s geography, demographics, stability, democracy, economic strengths, and competitive labor to your advantage. Make Indonesia your hub for production and innovation. Having plants, factories, and business centers in Indonesia will open bigger markets for your business." [http://www.aibc.com.au/index.php?option=com_content&view=article&id=51&Itemid=50, diakses 30 Sep 2012]
43
dikuasai asing’. (Australia juga rawan paradoks serupa, tetapi lebih terkait dengan semangat BUMN China belakangan ini untuk membeli lahan agraria atau pertambangan strategis di negara kangguru tersebut69.)
Pokoknya, apabila perusahaan ataupun pemodal asing
diajak berkemitraan berusaha di Indonesia dan mereka bertindak sesuai undang-undang RI yang sah maka tidak masuk akal dan tidak mengindahkan kepentingan pertumbuhan ekonomi Indonesia apabila kepekaan yang mengarah ke nasionalisme yang kuat tetapi kurang rasional tersebut tetap terdorong oleh para pembentuk opini publik, apalagi para pemimpin politik ataupun birokrat senior dari sektor perdagangan, pertanian dan lain sebagainya. Inti dari semua ini, tanpa mempunyai suatu grand design kerjasama ekonomi agar kedua bangsa mampu melihat 'gambar besar'-nya dan manfaat makro, isu ad hoc mampu direspon dengan tidak seimbang. Tanpa mengerti keseluruhan yang akan diancam oleh reaksi apabila reaksi itu menjadi kelebihan maka publik ataupun para politikus Australia dan publik atau politikus Indonesia pernah dan akan melangkah
secara
sepihak
dan
provokatif.
Hasilnya,
obyek
kemarahan tersebut menjadi terpukul (sebuah pertambangan atau sebuah sektor komoditas misalnya) tetapi juga business confidence di negara-negara kita juga terpukul sehingga ketidak-nyamanan secara lebih luas muncul. Ibarat 'tanpa kiblat, kita gampang kesasar'. d.
Kurang seriusnya kerjasama antara Instansi litbang masing-
masing. Kendati ada kegiatan ACIAR sebagaimana di sosialisasi di website-nya, realitanya adalah tenaga kerja ACIAR di Indonesia hanya puluhan orang dan anggaran ACIAR itu pada tahun anggaran 20112012 hanya sebesar AUD$8,11 juta (sedangkan 2009-10 sebanyak AUD$11,57 juta dan 2010-11 AUD$9,1470). Mengingat begitu besar 69
Lihat kasus Rio Tinto - Chinalco tahun 2008-09 [http://www.cb.cityu.edu.hk/research/apjae/document/17-3/07.pdf, diakses 1 Sep 2012] dan kasus Cubbie Station 2012 [http://www.theaustralian.com.au/national-affairs/asia-leads-the-charge-inaussie-land-grab/story-fn59niix-1226085921522, diakses 1 Sep 2012] 70 ACIAR (2011), Indonesia Strategy Paper 2011-12 [http://aciar.gov.au/country/Indonesia, diakses 12 Okt 2012]
44
dan luas segmen agraria Indonesia maka ACIAR dengan skala yang sekarang itu penulis berani mengatakan tidak cukup besar untuk menghasilkan perubahan / perbaikan yang berarti ataupun luas. Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian pada tahun 2010 mencapai 42,3 juta jiwa atau kira-kira 38% dari jumlah tenaga kerja Indonesia seluruhnya.71 Akan tetapi dengan jumlah tenaga kerja yang besar tersebut, ternyata sektor pertanian hanya mampu memberikan kontribusi PDB nasional sebesar 15%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat produktivitas tenaga kerja pertanian masih rendah yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan adopsi teknologi. 72 Betapa bagusnya apabila teknologi serta pengalaman petani/peternak di Australia (khususnya sektor beras, sapi dan gula) lebih tersedia bagi para peneliti, penyuluh dan petani/peternak di Indonesia. Sebaliknya, betapa bagusnya apabila pengetahuan peneliti dan petani Indonesia sektor buahan tropis dan umbi-umbian juga dapat diakses dan menjadi referensi bagi pemeran-pemeran agraria di Australia. Dan bagaimana koneksi LIPI dan asosiasi segmen pangan Indonesia dengan counterparts di Australia; apakah terjadi lebih mirip kerjasama satu arah daripada suatu kemitraan yang betul-betul saling mengisi?
Nampaknya kerjasama LIPI dengan instansi iptek di
Australia bersifat ad hoc dan tidak dipayungi sebuah persetujuan tingkat makro (contohnya, tahun ini dicanangkan kerjasama baru pertukaran beberapa peneliti dengan Universitas Queensland, dan kerjasama resit teknologi diversifikasi genetika pisang---kedua proyek baru ini tidak terikat kepada kebijakan kerjasama makro). Dan soal peneliti asing yang minta izin untuk melaksanakan resit di Indonesia, Australia tidak termasuk dalam negara yang teraktif, malah "Jumlah peneliti terbanyak berasal dari Amerika Serikat sebesar 28%, disusul Jepang 20%, Perancis 16%, Inggeris 11% dan Jerman 8%." 73
71
OECD, op.cit., hlm.19 Direktorat Pangan dan Pertanian, Profil Tenaga Kerja Pertanian Indonesia. Bappenas. 2006 73 Artikel di situs LIPI, 'Peneliti AS Dominasi Penelitian Asing di Indonesia', [http://www.lipi.go.id/www.cgi?berita&1323302870&&2011&&ina, diakses 10 Nop 2012] 72
45
Untuk
penelitian
agraria
secara
spesifik,
Kementan
RI
mempunyai Badan Litbang Pertanian, yang menurut keterangannya di website mereka menganut kerjasama luar negara secara aktif : Kerjasama luar negeri adalah suatu kesepakatan untuk melakukan kegiatan penelitian, perekayasaan, pengkajian, pengembangan dan alih teknologi dalam bidang pertanian antara UK/UPT Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dengan mitra kerjasama luar negeri. Kerjasama luar negeri meliputi kerja sama dengan lembaga penelitian asing, organisasi internasional, perguruan tinggi asing, swasta asing, dan LSM asing. Secara garis besar, kerjasama dapat dilakukan dalam skema bilateral, regional, dan multilateral. Prioritas kerjasama diberikan kepada kegiatan kerjasama penelitian dengan negara/lembaga dimana Indonesia telah memiliki payung kerja sama dengan negara/lembaga yang bersangkutan.74
Biarpun begitu, tidak ada informasi tentang kegiatan kerjasama luar negeri sejak tahun 2010.
Untuk tahun 2010 itu, hanya ada 27
program/kegiatan yang diantaranya 13 adalah dengan ACIAR dan dua adalah dengan CSIRO (yakni 55% kegiatan adalah dengan Australia). Untuk tahun 2009 tercatat 42 program/kegiatan yang diantaranya 24 adalah dengan ACIAR dan 2 adalah dengan CSIRO (yakni 62% kegiatan adalah dengan Australia). 75
Boleh disimpulkan bahwa
Australia cukup menonjol di bagian kerjasama iptek bidang agraria (dengan BLP) daripada bidang umum (LIPI).
Biar bagiamanapun
bagus itu, mengingat kecilnya anggaran tahunan ACIAR, dan rendahnya pendanaan litbang iptek agraria di Indonesia---menurut Bank Dunia, Indonesia menanamkan 0,27% dari nilai PDBnya; yang hampir sama dengan komitmen Laos (0,24%) dan jauh lebih rendah daripada Malaysia (1,92%) bahkan Filipina (0,46%)76---maka penulis berani mengatakan bahwa kerjasama litbang agraria belum cukup serius.
74
http://www.litbang.deptan.go.id/kerjasama/kln, diakses 9 Okt 2012 http://www.litbang.deptan.go.id/kerjasama/2009/bilateral_2009.pdf, diakses 9 Okt 2012. 76 OECD (2012), op.cit., hlm.169 75
46
BAB IV PENGARUH PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS
During the past 50 years, global food production has generally followed a positive growth trend, even on a per person basis. Between 1961 and 2008, world population grew by 117% while food production grew by 179%. Nevertheless, the number of chronically undernourished people has increased, not decreased. This is a clear reminder that ensuring an adequate food supply at the aggregate level, globally or nationally, does not guarantee that all people have enough to eat and that hunger will be eradicated. (...) Many people suffer chronic hunger because of inefficiencies and waste in distribution systems and inequality in food purchasing power owing to poverty. In some regions, food distribution systems are compromised by political instability, corruption and war. (...) As a consequence, approximately one billion people around the world suffer chronic hunger, with the Asia-Pacific region home to the largest number: 578 million. A further one billion worldwide, living on less than US$2 a day, are also categorised as food insecure. FAO (2009), Feeding the world, eradicating hunger, WSFS 2009/INF/2, FAO of the United Nations, Rome
15. Umum Dinamika lingkungan strategis di tingkat global, regional dan nasional membawa implikasi pro dan kontra, langsung dan tidak langsung terhadap pelaksanaan pembangunan nasional dan terhadap hubungan luar negeri kedua negera kita. mendukung
Dampak positif dapat membawa manfaat dalam
kepentingan
nasional,
sedangkan
dampak
negatif
menyebabkan terjadinya peningkatan potensi ancaman bagi kelangsungan hidup negara, ataupun semangat akan kerjasama bilateral. Perkembangan lingkungan strategis kini yang diwarnai dengan pergeseran kekuatan dunia dari bipolar kembali ke multipolar lagi membawa suatu situasi yang tidak menentu, dinamis, dan sulit diprediksi, sehingga secara tidak langsung akan cenderung memaksa semua negara lebih memikirkan stabilitas nasional serta mengamankan kepentingan nasionalnya.
77
Oleh sebab itu,
peningkatan kerjasama bilateral Indonesia-Australia bidang perdagangan dan litbang agraria harus mengakomadir perkembangan lingkungan 77
Budi Susilo Supandji. Naskah Lembaga, Perkembangan Lingkungan Strategis Tahun 2012, Lemhannas RI, hlm.5-6
47
strategis (tingkat global, regional dan nasional masing-masing negara kita), apalagi memperhatikan peluang dan kendala, dalam upaya kita untuk merumuskan kebijakan yang tepat. 16. Perkembangan Global Pertama-tama, penting diingat bahwa Ketahanan Pangan tidak lepas dari keadaan geopolitik dan ekonomi dunia. Kalau geopolitik secara makro, tahun 2012 Amerika Serikat (AS) masih menjadi satu-satunya negara adidaya di dunia ini, walaupun terjadi persaingan dan peningkatan pengaruh global dari China, sehingga kepentingan nasional AS masih cenderung dijadikan kepentingan global yang pada ekstrimnya dapat berkembang menjadi intervensi AS kepada negara-negara lain (termasuk Indonesia dan Australia). AS masih mempunyai keunggulan relatif dalam bidang teknologi, ekonomi dan kekuatan militernya.
Namun berubahnya perkembangan
ekonomi telah terasakan dengan mulainya kemunduran hegemoni AS sekaligus dengan (atau pemicu terhadap?) terjadinya kompetisi strategis dengan China.
Kemunduran hegemoni AS ditandai dengan terjadinya
stagnasi ekonomi akibat krisis kredit ('sub-prime crisis' kemudian krisis dengan perbankan investasi [Lehman Brothers, Merill Lynch dll]78) sekaligus ongkos-ongkos
berskala
raksasa
terkait
Perang
Irak
dan
Perang
Afghanistan. Krisis ekonomi global ini memberi peluang meningkatnya peran negara-negara kekuatan ekonomi baru seperti Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan (BRICS) dalam tatanan ekonomi global. Sesuai hasil kesepakatan BRICS Summit di New Delhi 29 Maret 2012, kelompok negaranegara ini sepakat untuk meningkatkan kerjasama blok ekonomi baru-nya, misalnya dengan membentuk Bank internasional baru sebagai semacam saingan bagi Bank Dunia. Australia maupun Indonesia menghadapi peluang dan hambatan dengan adanya blok economik baru ini. Kendati adanya krisis perekonomian di Eropa, tetap diprediksi tahun 2012 perekonomian global akan didorong oleh kemajuan perekonomian Asia, khususnya China dan India. Di kawasan Asia Tenggara, pertumbuhan ekonomi, akan berkisar 5,7-6,8%, dengan motor penggerak Indonesia, Vietnam dan Singapura. Hal ini karena aktivitas ekonomi di negara tersebut 78
http://en.wikipedia.org/wiki/2007–2012_global_financial_crisis [diakses 12 Okt 2012]
48
menunjukkan peningkatan pertumbuhan ekonomi secara perlahan dan tanpa banyak ekspos terhadap Zona Euro. Sekaligus banyak negara maju (High-income countries menurut bahasa Bank Dunia) masih belum sepenuhnya berhasil mengatasi kondisi krisis, sebagian karena masih merasakan akibat langkah-langkah yang drastis dari strategi pemulihan dan restrukturisasi sebelumnya, sebagaimana yang dialami negara-negara Eropa menyusul Krisis Hutang Negari (Sovereign Debt Crisis) di Yunani, lrlandia dan Portugal, lalu menular ke Italia dan Spanyol. Tetapi juga hampir semua negara dan blok multilateral terekspos terhadap tingginya harga minyak dunia belakangan ini yang sangat berpengaruh pada kestabilan perekonomian dunia (disekitar 90 dolar AS per barrel79, tidak jauh dari puncak harga minyak tahun 1980an, dan 2008-09 pada masa Global Financial Crisis, GFC). Fenomena Peak Oil (saat dunia bertemu titik dimana produksi BBM telah semaksimal mungkin, dan setelahnya produksi akan merosot secara terus-menurus), pertumbuhan jumlah manusia dan industri-industri, konflik di Timur Tengah, serta lambatnya penerapan sumber energi alternatif berarti kepekaan ekonomi dunia terhadap fluktuasi harga minyak akan semakin riil dan semakin mengancamkan. Semua ini penting justru karena Ketahanan Pangan adalah sangat terkait dengan kesehatan ekonomi tingkat nasional, regional maupun global. Menurut FAO (2012), kira-kira 870 juta manusia diprakirakan bergizi rendah dan buruk (undernourished in terms of dietary energy supply) dalam periode 2010-12.
Angka tersebut merupakan 12,5% daripada jumlah penduduk
dunia, atau satu orang dari setiap delapan orang. Kebanyakannya tinggal di negara berkembang---yaitu 852 juta---di mana adanya kekurang-gizian diprakirakan mencapai 14,9% penduduk.80
Pesan kunci dari FAO adalah
bahwa walau pertumbuhan ekonomik suatu negara (khususnya PDBnya) adalah salah satu faktor inti dalam upaya untuk menurunkan kerawanan pangan serta kekurangan gizi, pertumbuhan tersebut tidak serta merta menjamin
sukses
Ketahanan
Pangan
penduduk.
Malah,
sukses
pertumbuhan ekonomi harus menerobos kepada lapis masyarakat miskin, dengan kerangka kebijakan dan program yang tertarget dan sengaja, dan juga bahwa penanaman modal kepada sektor pertanian/peternakan di 79 80
http://www.oil-price.net [diakses 10 Nop 2012] FAO, (2012), The State of Food Insecurity in the World 2012, hlm.8
49
negara berkembang secara tepat dan efektif merupakan langkah strategis yang terbaik untuk menurunkan angka kerawanan pangan.81 Pada waktu yang sama, beberapa faktor global non-perekonomian muncul yang membawa dampak langsung terhadap produksi pangan. Di antaranya : (1) anomali cuaca meningkatkan bencana alam dan menyebabkan terganggunya produksi pangan; (2) pertumbuhan penduduk dunia yang tinggi (saat ini +7 milyar, dan 9,1 milyar tahun 2050) akan meningkatkan permintaan pangan sebesar 60% dari kondisi saat ini; dan (3) persaingan pemanfaatan lahan untuk food, feed, dan biofuel memperparah ketersediaan pangan. 82 Khususnya soal biofuel, Crude Palm Oil (CPO, minyak kelapa sawit---produksi unggulan Indonesia---terjebak kritikan dari beberapa negara maju (EU dan AS khususnya) yang menilai bahwa perkebunan sawit mengakibatkan kerusakan terhadap hutan primer dan sekunder yang nilai ekologi terlalu penting, dan sekaligus menambah masalah karbon dioxida / pemanasan global daripada mengatasinya sebagai bahan bakar alternatif.83 Sedangkan untuk perdagangan, sistem perdagangan dunia tetap kurang-lebih berkiblat kepada prinsip-prinsip 'perdagangan yang lebih bebas dan lebih adil' di bawah naungan World Trade Organization (WTO). 'Kurang-lebih' justru karena liberalisasi dan semangat meningkatkan kerjasama perdagangan internasional secara kolektif/multi-lateral sedang macet melihat Putaran Doha tidak lagi bergerak. 84
Bagi Australia dan
Indonesia, kemacetan tersebut tidak menguntungkan, khususnya karena 81
Ibid, hlm.4. "However, one lesson that we have learned from success stories coming from all developing regions is that investment in agriculture, more so than investment in other sectors, can generate economic growth that delivers large benefits to the poor, hungry and malnourished." 82 dari materi Paparan Staf Khusus Presiden Bidang Pangan dan Energi Jakarta, 11 Okt 2012 kepada PPRAXLVIII Lemhannas (dihadiri oleh pokja kecil, panitia Seminar). 83 Submisi tertulis oleh Mr Bart van der Wel kepada DAFF National Food Plan Green Paper [http://www.daff.gov.au/nationalfoodplan/process-to-develop/issues-paper/submissionsreceived/bart-van-der-wel, diakses 14 Oct 2012]. Kritkannya adalah: 'Some agricultural production is being dedicated to crops exclusively for biofuels. Whilst this may not be occurring in Australia largely, Australia’s demand for oil is contributing to this land use change overseas, for example, palm oil plantations in Indonesia and Malaysia to allow for fossil fuel substitution. This is leading to habitat degradation for endangered species overseas and to food price rises of staple crops in developing countries, such as maize in Mexico. Furthermore, several studies indicate that the production of biofuels consume more energy than is produced. Biofuels require inputs of nonrenewables such as phosphorus which are not recovered' 84 Putaran Doha mulai diperundingkan pada tahun 2001, dengan tujuan untuk menurunkan lebih jauh lagi tingkat tarif-tarif serta hambatan non-tarif lainnya, khususnya pada sektor agraria dan pempabrikan (manufacturing). Tetapi proteksionisme antara AS, EU dan negara berkembang (G33, yang kebetulan diketuai oleh Indonesia) muncul sebagai titik ketidak-sepahaman. Perundingan resmi gagal pada Juli 2008 saat AS dan India me-'walk out' dari perundingan, akibat kegagalan bertemu persetujuan atas regulasi pengimporan produk-produk agraria.
50
Australia dan Indonesia adalah negara pengekspor netto yang sendiri tidak terlalu proteksionis terhadap perdagangan (perbedaan yang ada akan didiskusikan pada sub-bab yang berikut). Indonesia sendiri walau sering terdengar bersemangat anti-liberalis sebenarnya merupakan salah satu anggota perdana di WTO dan sebelumnya merupakan pihak mitra ('contracting party') dengan GATT sejak 1950. 85 Dan bersama dengan Australia, Indonesia merupakan anggota perdana Cairns Group Countries (19 negara maju maupun berkembang berstatus pengekspor agraria yang sejak terbentuknya tahun 1986 berupaya untuk melawan proteksionisme agraria dari Eropa dan AS) yang aktif sekali dalam Putaran Uruguay tahun 1986-94. sebuah
Namun Indonesia sekarang lebih aktif dengan kelompok G33, perkumpulan
negara
berkembang
yang
didirikan
untuk
memperjuangkan hak dagang negara berkembang secara khusus, terutama proteksionisme tertarget bagi sektor agrarianya melalui pengecualian khusus dari WTO. Sebagaimana diajarkan di Lemhannas RI, "upaya yang dilakukan di WTO untuk terus menurus membuka pasar dunia memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian Indonesia",86 namun keuntungan tersebut tidak berarti bahwa tidak ada kontra juga, dan kepentingan Indonesia (sama dengan Australia) hanya akan diindahkan dengan sistem perdagangan dunia yang makin liberal (freer and fairer) apabila ekonomi nasional
mempunyai
daya
saing,
"agar
mampu
merebut
pasar
internasional".87 17. Perkembangan Regional Wilayah Asia dan khususnya Asia Tenggara (zona ASEAN) turut dinamis pula. Tren makro yang paling menonjol adalah integrasi, termasuk ekonomi-ekonomi negara anggotanya dengan bermajunya prinsip dan praktek 'perdagangan yang semakin bebas' yang dilihat dengan adanya perjanjian perdagangan formal baru antara lain: AFTA (ASEAN Free Trade Area), CAFTA (China, ASEAN Free Trade Agreement), dan nuansa dan arus dialog APEC (Asia Pacific Economic Cooperation). Puncak integrasi 85
OECD (2012), op.cit., hlm.189 Timotius D. Harsono, naskah ceramah kepada PPRAXVIII, Perdagangan Dunia (WTO) dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian Nasional dalam rangka Ketahanan Nasional, 22 Okt 2012, hlm.14 87 Ibid, hlm.12 86
51
tersebut akan tercapai saat ASEAN Economic Community (AEC) akan terwujud mulai pada tahun 2015, dengan visi yang sangat agung yakni "a single market and production base, a highly competitive economic region, a region of equitable economic development, and a region fully integrated into the global economy".88 Namun, nuansa liberalisasi perdagangan regional tersebut dapat juga bertentangan dengan pengertian ekonomi nasional di Indonesia (yang berbasis 'ekonomi kerakyatan') maka merupakan tren yang patut diwaspadai terkait dengan pertumbuhan ekonomi.89 Tetapi Indonesia sudah banyak pengalaman soal liberalisasi regional, mengingat AFTA sudah berdiri sejak tahun 1995 dengan pilar sentralnya penepatan tarif-tarif rendah (0, 2.5% or 5% pada komoditas yang memenuhi persyaratan tempat asal, namun ada pengecualian untuk komoditas tertentu yang dianggap sensitif atau sangat sensitif, yang bagi Indonesia, komoditas agraria tersebut termasuk bawang, cengkeh, gandum, terigu dan kedelai, sedangkan beras dan gula dicanangkan sangat sensitif 90 ).
Sebenarnya
ASEAN kini mempunyai lima perjanjian perdagangan bilateral berciri Free Trade Agreement atau yang serupa, dengan: China, Japan, India, Korea dan Australia - New Zealand.
Akibatnya, terlihat semacam transformasi
pendekatan perdagangan regional, sehingga ada opini yang muncul dari anggota ASEAN sendiri bahwa "perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara dalam bentuk AFTA, telah meningkatkan ekonomi beberapa negara ASEAN, yang telah siap merebut peluang yang ada.91 Dan lebih luas daripada ASEAN, di tingkat Asia Pasifik dengan konstelasi AsianPacific Economic Cooperation (APEC), Indonesia merupakan salah satu negara
yang
berperan
aktif
dalam
pembentukan
APEC
maupun
pengembangan kerjasamanya, termasuk ide-ide liberalisme perdagangan, mengingat Presiden Suharto sendiri bertindak selaku penyemangat dari hasil kunci pertemuan APEC tahun 1994 dengan ‘Tujuan-Tujuan Bogor’ (Bogor Goals) yaitu 'liberalisasi perdagangan dan investasi secara penuh 88
http://www.kemenperin.go.id/artikel/3227/Menperin-Menggelar-Diskusi-Informal-ASEANEconomic-Community-2015,-Rabu-(25), diakses 11 Okt 2012. Menurut Depmenperin RI (2010), "Konsep utama dari AEC adalah menciptakan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan kesatuan basis produksi dimana terjadi free flow atas barang, jasa, faktor produksi, investasi dan modal serta penghapusan tarif bagi perdagangan antar negara ASEAN yang kemudian diharapkan dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di antara negara-negara anggotanya melalui sejumlah kerjasama yang saling menguntungkan." [hwww.kemenperin.go.id%2Fdownload%2F2572%2FBuku-Perkembangan-Kerjasama-ASEAN-diSektor-Industri-(s.d-2011), diakses 11 Nop 2012] 89 Supandji (2012), op.cit., hlm.8 90 OECD, op.cit, h.176 91 Lemhannas RI, (2012), op.cit., hlm.29
52
pada tahun 2010 untuk ekonomi yang sudah maju, dan tahun 2020 untuk ekonomi berkembang'. Komitmen inilah---identik dengan kinerja Pak Harto-yang menurut Bappenas menjadi dasar dalam berbagai inisiatif untuk mendorong percepatan penghapusan tarif perdagangan maupun investasi antar anggota APEC.92 Perkembangan regional yang paling terkait topik taskap ini adalah terwujudnya ASEAN Australia - New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA) yang mulai berlaku pada 1 Jan 2010 (walau Indonesia sendiri salah satu negara yang bergabung lebih lambat saat mulai memenuhi persyaratan traktat tersebut pada 10 Jan 2012). Manfaat AANZFTA tidak dapat diperbandingkan dengan FTA bilateral sebab AANZFTA mencakup komitmen liberalisasi tarif regional yang dilengkapi dengan a Regional Rule of Origin yang memungkinkan dikembangkannya basis produksi regional sekawasan.
Menurut Kementerian Perindustrian RI (2010), salah satu
keuntungan untuk Indonesia dari AANZFTA tersebut adalah 98,10% ekspor RI ke Australia (USD2,6 milyar) dan 79,95% ekspor ke NZ (USD330 juta) menikmati bea masuk 0%, termasuk komoditas textil yang sebelumnya agak terhambat oleh proteksionisme.93 Kesimpulannya, liberalisasi perdagangan bermaju terus. Selain
kerjasama
mempengaruhi
suplai
perdagangan dan
umum
keterjangkauan
ini
(yang
pangan),
sebagian
ASEAN
juga
memperhatikan urusan Ketahanan Pangan secara langsung, misalnya dengan ASEAN Integrated Food Security (AIFS) Framework, dan Strategic Plan of Action on Food Security in ASEAN (SPA-FS) 2009-13. program
tersebut
menghandalkan
kepemimpinan
dari
para
Kedua menteri
pertanian, perikanan dan kehutanan seASEAN, serta berusaha untuk mengatur kerjasama dengan mitra dialog LSM dunia (WFP, FAO, UNDP Asian Development Bank [ADB], International Rice Research Institute [IRRI], dll) secara kolektif.
Strategi yang sedang diterapkan terdiri dari empat
komponen sebagai berikut:
92
http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik%20Luar%20Negeri/3)%20Keanggotaan%20Indon esia%20dalam%20Organisasi%20Internasional/5)%20APEC/APEC.pdf [diakses 8 Nop 12] 93 Kementerian Perindustrian RI (2012), Perkembangan Kerjasama ASEAN di Sektor Industri (s.d. 2011), hlm.27-28 [www.kemenperin.go.id, diakses 10 Nop 2012]
53
AIFS Framework and SPA-FS Component 1: Food Security Emergency/Shortage Relief Strategic Thrust 1: Strengthen Food Security Arrangements
Component 2: Sustainable Food Trade Development Strategic Thrust 2: Promote Conducive Food Market and Trade
ASEAN Integrated Food Security (AIFS) Component 3: Integrated Food Security Information System Strategic Thrust 3: Strengthen Integrated Food Security Information Systems
Component 4: Agri-Innovation Strategic Thrusts 4: Promote Sustainable Food Production Strategic Thrusts 5: Encourage Greater Investment in Food and Agro-based Industry Strategic Thrusts 6: Identify and Address Emerging Issues Related to Food Security 6
One Vision, One Identity, One Community
(sumber: http://aseanfoodsecurity.asean.org/wp-content/uploads/2011/08/suriyan-st1.pdf, diakses 10 Nop 2012)
Dan lebih spesifik lagi, ASEAN 'plus tiga' (Jepang, China, Korea Selatan) telah mendirikan program cadangan darurat beras (ASEAN plus Three Emergency Rice Resources, APTERR) tahun lalu yang bertujuan untuk menjamin bahwa sejumlah beras selalu disimpan di sepanjang kawasan sebagai stok darurat saat ASEAN atau anggotanya dilandai musibah dan penduduk terancam kelaparan / krisis pangan.94 Maka selain tren-tren integrasi perekonomian agar perdagangan semua bidang menjadi lebih bebas dan aktif, ASEAN juga mulai merespon terhadap tantangan-tantangan Ketahanan Pangan secara politik, bukan dengan pendekatan ekonomik belaka.
Walau Australia bukan anggota
ASEAN, kebanyakan kegiatan tersebut disetujui dan didorong oleh Australia, dan secara riil, tren-tren liberalisasi diikuti Australia melalui AANZFTA tentunya. Maka, dampak regionalisme tersebut akhirnya agak sama bagi Indonesia maupun Australia. 18. Perkembangan Nasional Diskusi di sini difokuskan kepada aspek yang paling relevan terhadap pangan---ekonomi, perdagangan, serta kebijakan (politik pangan)---daripada 94
http://www.apterr.org/index.php/how-apterr-works [diakses 9 Nov 2102]
54
keseluruhan delapan gatra (geo, demo, SKA, ideologi, pol, ekonom, sosbud, dan hankam), agar situasi di kedua negara kita yang paling berpengaruh terhadap keadaan Ketahanan Pangan sempat dibahas secara langsung (tanpa menjadi terlalu panjang). a.
Indonesia. Kondisi perekonomian nasional Indonesia secara umum makin
memuaskan, dengan Direktur Dana Moneter IMF memuji ekonomi Indonesia bersifat "kokoh dan menjanjikan", serta Bank Dunia mencatat “pertumbuhan pendapatan dalam kwartal pertama 2012 adalah 6,3%, (...) tingkat konsumsi tetap tinggi di kwartal pertama 2012, [namun] pertumbuhan investasi turun sedangkan ekspor menyumbang kontribusi negatif terhadap pertumbuhan”. 95
Lebih
penting lagi, ramalan terhadap potensi ekonomi Indonesia masa depan justru sangat positif, di mana dalam studi Citibank awal tahun ini diperkirakan PDB Indonesia pada tahun 2040 akan mencapai USD$8,27 trilyun sehingga memposisikan RI sebagai ekonomi terbesar nomor ke-empat di dunia (dari nomor ke16 sekarang ini).96 Ramalan McKinsey Global Institute juga senada (“nomor ke-tujuh pada tahun 2030”).97 Walau ramalan ekonomik juga bisa salah (misalnya, Indonesia sering dipuji sebagai 'harimau ekonomik Asia' sebelum krisis finansial kemudian melanda pada tahun 1997-98), namun ramalan tetap merupakan sumber prediksi yang patut dipertimbangkan dengan seksama. Di bagian perdagangan, Indonesia ikut serta dengan tren blok ASEAN tetap sendirinya kurang sibuk dengan urusan perjanjian ekonomik bilateral, jika melihat bahwa FTA Indonesia tidak sebanyak yang multilateral melalui ASEAN, barangkali menandai bahwa Indonesia sendiri tidak sesemangat me-liberal-kan perdagangan dibandingkan negara anggota ASEAN yang lain (atau secara kolektif). 95
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/07/120712_globalcrisis.shtml [diakses 10 Nop 12] 96 http://www.eastasiaforum.org/2012/07/08/indonesia-and-australia-the-great-power-next-door/ [diakses 29 Nop 2012] 97 McKinsey Global Institute, (MGI), (2012), The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s potential, hlm.1 [http://www.mckinsey.com/insights/mgi/research/asia/the_archipelago_economy, diakses 17 Nop 2012]
55
Walau Indonesia pernah melaksanakan perbincangan soal FTA bilateral dengan AS, EU dan Chile, hanya satu yang berhasil terwujud yakni Japan-Indonesia Economic Partnership Agreement (JIEPA) yang mulai diperundingkan tahun 2005 kemudian mulai berlaku 1 Juli 2008. 98
Seharusnya penulis tidak heran dengan realita tersebut,
mengingat prinsip geopolitik Indonesia menghandalkan ide 'bebas aktif' dan tidak mencari pengikatan (keterikatan?), sekaligus semangat mendambakan kedaulatan dan kemandirian turut tinggi di Nusantara ini, maka semangat kompromi serta kebergantungan yang mungkin tersurat ataupun tersirat dalam FTA adalah sesuatu yang diwaspadai para pemimpin dan pejabat Indonesia. Terkait Ketahanan Pangan, yang menonjol di Indonesia sekarang adalah : (1) peningkatan kebutuhan pangan akibat laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,49% per tahun hingga mencapai + 240 juta jiwa tahun 2011; (2) stagnasi pertumbuhan pangan pokok sejak pasca Orde Baru dengan indikasi relatif tidak ada penambahan dan rehabilitasi infrastruktur pertanian dan pedesaan seperti jaringan irigasi yang mengalami kerusakan 45% (menurut Indonesia Finance Today, 2011); (3) Implementasi kebijakan otonomi daerah pada beberapa daerah mendegradasi keberadaan lembaga pertanian dan terkikisnya struktur sosial masyarakat pertanian; dan (4) kurangnya perhatian terhadap keberadaan industri pertanian hampir di setiap daerah menyebabkan terpuruknya produktivitas sektor pangan sehingga secara agregat melemahkan Ketahanan Pangan nasional.99 Respon daripada pemerintahan Yudhoyono serius dan terpadu, sebagaimana dilihat pada Bab II terkait RPJPN, RPJMN dan MP3EI. Bagi Indonesia, sektor pertanian (dalam arti luas yang meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan, perikanan dan kehutanan) masih merupakan ruang kerja yang terbesar maka mempunyai makna secara politik. Sektor ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah cukup besar yakni 38%an.
Output dari sektor
98
OECD, op.cit., hlm.193. Materi paparan Staf Khusus Presiden, Bidang Pangan dan Energi, kepada Lemhannas PPRA XLVIII, tanggal 27 Mar 2012.
99
56
tersebut masih relatif kuat (walau ada keluhan umum tentang pengimporan komoditas pangan tertentu) khususnya untuk komoditas pangan yang difokuskan oleh Presiden dan Mentan; beras dan jagung tahun ini sudah hampir status 'swasembada' (produksi beras tahun 2011 mencapai 98% dari kebutuhan; jagung 90% 100 ).
Namun,
produksi kedelai, gula, dan daging sapi belum memadai dan pengimporan masih signifikan.
Respon dari pemerintah adalah
intesifikasi terhadap tujuan swasembada ini, seperti sebagaimana tertuang dalam progja Dirjen Tanaman Pangan : Pangan untuk Mencapai Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan. Program tersebut dilaksanakan melalui delapan kegiatan, yaitu (1) Pengelolaan produksi tanaman serealia; (2) Pengelolaan produksi tanaman aneka kacang dan umbi; (3) Pengelolaan sistem penyediaan benih tanaman pangan; (4) Penanganan pascapanen tanaman pangan; (5) Penguatan perlindungan tanaman pangan dari gangguan OPT dan DPI; (6) Pengembangan metode pengujian mutu benih dan penerapan sistem mutu laboratorium pengujian benih, (7) Pengembangan peramalan serangan organisme pengganggu tumbuhan, serta 8) Dukungan manajemen dan teknis 101 lainnya pada Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.
Sekaligus Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan mengerjakan Program Swasembada Daging Sapi 2014 (Blue Print for Beef self Sufficiency Program 2014) termasuk dengan modifikasi jatah impor dll hasil masalah yang muncul di sekitar penghentian ekspor dari Australia tahun kemarin.102 Jika disimpulkan, perkembangan Lingstra nasional Indonesia yang
terkait
Ketahanan
Pangan
(ekonomi,
pembangunan,
perdagangan dll) cendurung semakin ruwet, tetapi tanggapan dari pemerintah justru serius baik dalam perkataan maupun aksi, dan kebijakan formal baru saja diperbaruhi dengan sebuah RUU Pangan, yang menentukan bahwa kebijakan nasional adalah untuk memenuhi sejauh mungkin kebutuhan konsumsi seluruh rakyat dari produksi dalam negeri, karena secara politis Indonesia tidak ingin tergantung kepada negara lain. 100
Achmad Suryana (2012), materi paparan kepada Lemhannas PPRAXLVIII, Kewaspadaan Nasional dalam Mendukung Ketahanan Pangan, 29 Juni 2012 101 Dirjen Tanaman Pangan, Kementan RI (2011), Pedoman Pelaksanaan Program: Peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman pangan untuk mencapai swasembada dan swasembada berkelanjutan TA 2011, Jakarta, hlm.8 102 Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan RI (2012), materi paparan kepada Lemhannas PPRAXLVIII, Kebijakan Pemerintah di Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam rangka Ketahanan Pangan Nasional, 23 Jul 2012
57
b.
Australia. Perekonomian Australia belakangan ini juga agak solid, dan
merupakan salah-satu di antara hanya beberapa negara 'maju' dimana ekonomi tetap bertumbuh, dan dampak dari GFC 2008-09 dan krisis ekonomi Eropa 2011-12 tidak meninggalkan luka berat.
Data-data
makro adalah sebagaimana diperlihatkan pada Lampiran 3, dimana hal-hal yang menonjol adalah PDB sebesar USD$1,6 trilyun; hutang eksternal USD$1,169 trilyun (pemerintah hanya USD$143 milyar, yang lain hutang swasta dan individu). Inflasi sekarang agak rendah, 1,6%, padahal biasanya ditarget sehingga bergeser antara 2-3% saja. Walau skor kredit Australia adalah AAA (Standard & Poor, Fitch, dan Moody's) Resiko ekonomi Australia kini adalah pola defisit, dimana pengeluaran negera bertahun-tahun melebihi pendapatannya, walau hutang negara tidak dianggap ‘raksasa’ dibandingkan kebanyakan negara maju. PDB didominasi oleh sektor jasa yang merupakan 68%, dan pertambangan (langsung) sebesar 10% (dan tidak langsung, menjadi sebesar 19%). Ekspor agraria (pangan dan non-pangan) meraih hanya 12%, tetapi 15% daripada pekerja di Australia berkecimpungan dalam sektor makanan, apabila produksi, pemasaran, distribusi, restoran-restoran dll. Pada umumnya Australia, sebagai negara maju, sebagai negara pengekspor, dan dengan tradisi persekutuan dengan Inggeris lalu AS, memperhatikan dunia eksternal dan bertindak secara aktif dalam urusan regional dan global.
Salah satu fokus sejak 1990an dan yang
baru diberikan fokus kembali adalah peranan Australia di kawasan Asia Pasifik, khususnya ke depan dengan bangkitnya China dan India dan persaingan strategis AS-China, China-Jepang, dan China-India. Pemerintahan Gillard baru meluncurkan sebuah Buku Putih 'Australia in the Asia Century' (Australia di Abad Asia), dengan tebalnya 320 halaman, pada intinya ingin menciptakan sebuah 'disain agung' mengenai bagaimana Australia dapat bertindak, bergaul, dan mengatur diri agar mampu bersaing dan muncul kuat, stabil dan makmur pada tahun 2050 dan selanjutnya saat pusat kekuatan ekonomi dan
58
perdagangan dunia (dan mungkin militer pula) telah bergeser dari poros AS-Eropa menempatkan dirinya di kawasan Asia.103 Buku Putih ini merupakan sebuah rencana, dan menentukan 25 tujuan nasional khusus.
Salah satu isu yang dibahas adalah bagaimana keadaan
Ketahanan Pangan dunia, regional maupun nasional pada saat itu, khususnya dengan jumlah penduduk dunia mencapai 9 milyar jiwa lebih, luasnya lahan agraria menipis, iklim lebih panas dan air tawar lebih susah. Yang relevan untuk taskap ini adalah prioritas yang akan diberikan kepada lima hubungan bilateral secara spesifik: Australia dengan China, dengan India, dengan Jepang, South Korea, dan---tak kalah penting---dengan Indonesia. Bagi kepentingan argumentasi di taskap ini, dengan adanya komitmen politik melalui Buku Putih ini, ide fundamental
serta
upaya-upaya
terkait
'peningkatan
kerjasama
bilateral Indonesia-Australia bidang perdagangan dan litbang agraria' seharusnya
didorong
secara
prinsip,
dan
secara
pembagian
sumberdaya (sejauh sumberdaya tersebut dianggap terjangkaukan). Perkembangan yang kedua adalah Buku Hijau (yakni dokumen Rancangan pra Buku Putih) tentang National Food Plan, yang diluncurkan pada bulan Juli lalu. Dokumen ini kurang-lebih merupakan pikiran dan pendekatan Australia terhadap urusan Ketahanan Pangan. Motivasi di belakang Buku Putih yang turut tebal juga (284 halaman) ini adalah untuk menentukan suatu rencana holistik terhadap urusan pangan di Australia yang sampai saat ini tidak dipedomani oleh satu referensi induk, agar potensi Australia sebagai pemasok pangan terus tercapai (Australia sekarang adalah pengekspor pangan netto) secara berkelanjutan dan dengan empati dan kerjasama dengan dan dari negara-negara tetangga yang sekaligus merupakan pasar impor dan ekspor bagi Australia. Tujuan spesifiknya adalah : (1) Membantu daya saing dan pertumbuhan rantai penyuplaian pangan Australia termasuk melalui litbang iptek; (2) Menurunkan rintangan (barriers) yang dihadapi para produsen di dalam negeri maupun di luar negeri; (3) Membantu kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat perdaerahan; 103
http://asiancentury.dpmc.gov.au/white-paper/executive-summary [diakses 9 Nop 2012]
59
(4) Mengidentifikasikan serta meminimilisir resiko terhadap Ketahanan Pangan Australia; (5) Memelihara dan memperkuat SKA yang melandasi produksi pangan Australia; (6) Mengurangi rintangan bagi warga dalam memperoleh suplai makanan yang aman, bergizi, sesuai selera/budaya serta mengindahkan kepentingan kesehatan umum; dan (7) Turut membantu Ketahanan Pangan di dunia.104 Mengapa peduli dengan urusan Ketahanan Pangan bangsa yang lain? : Langkah-langkah untuk memantapkan Ketahanan Pangan dunia mendorong kestabilan sosial dan politik, dan menyongsong pertumbuhan ekonomik. Oleh karena itu, merupakan suatu kepentingan Australia untuk turut membantu 105 Ketahanan Pangan dunia.
Secara nyata, sekitar 7% daripada program bantuan kemanusiaan Australia (hampir AUD$300 juta pada 2009-10106) diarahkan kepada Ketahanan
Pangan,
termasuk
sebagian
yang
terarah
sebagai
kontribusi dana kepada instansi dunia seperti FAO, WFP dan Bank Dunia agar menghindari tumpang-tindih dan sebagai pengakuan akan keahlian instansi-instansi tersebut. Soal pendekatan Australia terhadap perdagangan, sejak 1980an kami
sudah
semakin
menolak
gagasan
proteksionisme
(yang
sebelumnya dijunjung tinggi sehingga banyak dari pasar-pasar domestik Australia tertutup). Peranan Australia dalam memproklamir Cairns Group dalam WTO sudah cukup dikenal.
Dan semangat
Australia untuk menghasilkan perjanjian perdagangan berdasarkan atas peraturan WTO tentang FTA cukup terbukti dengan adanya enam FTA Australia dengan negara mitra (New Zealand, Singapore, Thailand, AS, Chile dan ASEAN) serta delapan FTA bilateral maupun multilateral baru yang sedang diperundingkan (China, Jepang, Korea Selatan, India, Indonesia [I-A CEPA], Gulf Co-operation Council [GCC], Pacific Agreement on Closer Economic Relations [PACER], dan TransPacific Strategic Economic Partnership [TPP]).107 Jika disimpulkan, perkembangan nasional Australia yang terkait Ketahanan
Pangan
(ekonomi,
pembangunan,
perdagangan
104
DAFF (2012), op.cit, hlm.2 Ibid, hlm.9 106 Ibid, hlm.243 107 http://en.wikipedia.org/wiki/Economy_of_Australia [diakses 10 Nop 2012] 105
dll)
60
cendurung berpedomani prinsip ekonomi pasar bebas dan kemitraan dengan
negara
impor-ekspor
yang
lain,
dimana
keuntungan
merupakan penyemangat utama, tetapi bantuan terhadap negara yang rawan pangan juga dilaksanakan. Australia tidak menggaris-bawahi pentingnya kemandirian pangan atau kedaulatan pangan, mungkin juga karena hasil produksi sudah swasembada dalam beberapa makanan pokok, dan mungkin juga karena beberapa makanan yang laris dalam pola makanan warga Australia terlalu mahal dewasa ini apabila dihasilkan di Australia sendiri (sosis dari Jerman dan Itali misalnya), atau tidak sesuai iklim dan tanah Australia.108 19. Peluang dan Kendala. a.
Peluang Beberapa peluang terhadap kepentingan peningkatan kerjasama
bilateral bidang perdagangan dan litbang agraria muncul : 1)
Formulasi ‘Strategic Partners’.
Baik Presiden Yudhoyono
dan PM Gillard (dan sebelumnya, PM Rudd) pernah dan sering mengatakan bahwa Indonesia dan Australia adalah Strategic Partners.
Walau konsep tersebut tidak mempunyai suatu
pengertian yang baku dan universal (sebagaimana dibahas di Bab I), namun ide dan intisari dimaklumi oleh orang banyak, yakni, saling membantu dan saling mengerjakan dan fokus kepada kepentingan bersama yang induk, makro, berbobot. Dengan kenyataan bahwa hubungan ekonomi kedua negara kita under-performing maka kemauan politik daripada para pemimpin nasional merupakan peluang besar. 2)
Perundingan I-A CEPA.
Sebuah FTA biasanya hanya
dirumuskan sekali, maka dengan adanya perundingan tersebut saat ini pas pada waktu ekonomi-ekonomi kedua negara kita makin
kuat,
dan
pas
pada
waktunya
pula
108
Lihat laporan DAFF Australian Food Statistics 2010-11, tabel 6.1 sampai 6.7 [http://www.daff.gov.au/__data/assets/pdf_file/0015/2144103/aust-food-statistics-20111023july12.pdf, diakses 10 Nop 2012]
Australia
61
mencanangkan disain Australia in the Asia Century serta National Food Plan sekaligus adalah saat Indonesia mencanangkan MP3EI dan ide 'lumbung pangan' (food estates) maka adanya kesanggupan dan kehendak duduk dan berunding bersama dalam rangka I-A CEPA merupakan hal yang sangat pas terhadap kepentingan peningkatan kerjasama agraria. 3)
Letak Geografis.
kemudahan
dan
Indonesia dan Australia begitu dekat,
kemurahan
transit
dan
angkutan
harus
merupakan suatu keunggulan. 4)
Keklopan/Kesesuaian
(complementarity)
sektor
agraria.
Indonesia mempunyai lahan yang subur, iklim tropis, air hujan yang melimpah, dan banyak sekali tenaga kerja.
Australia
mempunyai iklim sub-tropis dan moderat, sedikit lahan yang kesuburan tinggi tetapi banyak yang cukup subur untuk peternakan dan tanaman serealia, ongkos buruh tinggi dan tenaga kerja yang terbatas. Indonesia memerlukan teknik-teknik mekanisasi
agar
lahan
menjadi
lebih
produktif;
Australia
mempunyai kemampuan tersebut. Australia memerlukan akses terhadap prasarana pengolahan yang mampu bersaing dengan ekonomi raksasa seperti China; Indonesia mempunyai itu. 5)
Bantuan Pembangungan Australia Meningkat. Pemerintah
Australia tetap mematuhi komitmennya dari tahun 2000 sesuai Millennium
Development
Goals
(MDGs)
PBB
untuk
menghibahkan 0,5% dari PDBnya kepada negara yang perlu bantuan pembangunan dan kemanusiaan.
109
Pada tahun
anggaran 2012-13, pemerintah Australia telah menyiapkan USD$5,2 milyar sebagai anggaran hibah/ODA. Seperti prioritas nasional Australia sejak tahun 2008, Indonesia akan menjadi mitra utama ODA itu. Betapa bagusnya apabila sebagian yang lebih besar daripada dana itu dimanfaatkan untuk urusan memajukan peningkatan kerjasama pangan bilateral kita. 109
http://www.theage.com.au/opinion/society-and-culture/too-much-hit-and-miss-in-piecemealapproach-to-foreign-aid-20100923-15or4.html [diakses, 12 Nop 2012]
62
b.
Kendala Kendala-kendala juga muncul, seperti ini: 1)
Proteksionisme vs Liberalisme. Jakarta memegang prinsip
Ketahanan
Pangan
melalui
Swasembada
dan
Kedaulatan
Pangan, yang intisari berarti Indonesia ingin berdiri sendiri soal produksi pangan, sekaligus tetap meraih keuntungan dari agriekspor. Sedangkan Canberra menjagokan keunggulan dinamika pasar bebas, kurang berprihatin terhadap ide impor makanan, dan ingin meraih akses yang sangat terbuka terhadap semua pasar, termasuk Indonesia. 'Perbedaan kiblat' ini harus dimanej dengan pandai. 2)
Economics / profit orientation.
Selama ini kerjasama
perdagangan selalu muncul berdasarkan atas perhitungan keuntungan secara absolut.
Dan pemerintah-pemerintah kita
hanya menanamkan dana yang secukupnya karena hanya ingin menfasilitasikan (bukan menyetir) kerjasama perdagangan. Jika sebuah
paradigma
baru
akan
diciptakan
maka
urusan
keuntungan (profit orientation) harus mundur menjadi salah satu isu bukan segala-galanya.
Pemerintah-pemerintah kita harus
juga siap mensubsidikan proyek-proyek agar pemeran swasta rela beresiko fiskal. Perubahan mindset ini tidak akan gampang. 3)
Politik Domestik. Baik Australia maupun Indonesia kadang-
kadang merasa tersinggung dengan sikap atau tindakan yang satu lain.
Opini publik sering menjadi peka, sehingga para
politikus terbawa moods tersebut dan merespon dengan kepala panas. Jika akan betul-betul menjadi Mitra Strategis maka kita harus sanggup lebih membantu, lebih rela berkorban, tunduk terhadap ide 'kepentingan bersama' padahal kepentingan luas seperti itu dapat juga menentang kepentingan unilateral salah satu pihak. Apakah rakyat Indonesia siap melihat pengimporan beras dan sapi dari Australia tanpa batas?
Apakah rakyat
Australia siap melihat puluhan ribu TKI datang ke Australia dan
63
membantu petani dengan tugas pertanian intensif, sekaligus diberikan bansos dari APBN Australia? Para pemimpin kita harus rajin dan tanpa lelah menjaga dan melobi agar enhanced cooperation dapat bermaju. 4)
Integritas Karantina.
Rejim Karantina (Sanitary and
Phytosanitary Standards, SPS) di Australia dianggap terlalu ketat oleh banyak pihak, sehingga dikritik sebagai bentuk Non-Tariff Barrier (NTB).
Sedangkan Australia menghandalkan rejim ketat
tersebut karena lingkungan hayati di Australia sangat relatif bebas banyak wabah dan penyakit yang sudah melanda negara yang lain.
Apabila perdagangan kita akan menjadi lebih bermakna
maka harus ada akomodasi terhadap isu SPS.
Belum tentu
standar-standar tersebut harus dibuang, malah bantuan teknis, sosialisasi/pendidikan, maupun alat-peralatan harus diberikan agar regulasi SPS lebih gampang dipenuhi, bahkan diperpanjang ke Indonesia agar Indonesia lebih unggul mengekspor ke semua negara (misalnya, Jepang dan AS juga ketat soal SPS).
64
BAB V KONDISI KERJASAMA BILATERAL BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA YANG DIHARAPKAN DAN INDIKATOR KEBERHASILANNYA
20. Umum Maka sudah makin jelas bahwa keadaan Ketahanan Pangan dunia cukup ruwet dan penuh tantangan, dan Ketahanan Pangan di Indonesia dan Australia turut terdampak oleh tantangan tingkat global, serta mempunyai dinamika sendiri terkait keadaan produktivitas sektor agraria nasional, keefektifan distribusi ke daerah-daerah terpencil, serta keadaan ekonomi rakyat secara umum di mana tingkat kemiskinan merupakan penyebab paling utama terhadap tingkat Ketahanan Pangan pada tingkat individu apabila di Indonesia ataupun Australia.
Dibahas pula tentang keadaan
kerjasama perdagangan dan litbang agraria sekarang ini antara kedua negara kita, di mana interaksi telah ada dan semakin meningkat, padahal pentingnya
perdagangan
tersebut
tidak
seimbang
(hanya
senilai
USD$14,8an milyar per tahun dan urutan status sebagai penyerap ekspor satu sama lain hanya meraih posisi ke-11 Australia bagi Indonesia dan ke-9 Indonesia bagi Australia110) dibandingkan bobot strategis bagian hubungan bilateral yang lain misalnya dimensi politik, pembangunan kemampuan / ODA, hankam, dan 'orang-ke-orang' ('people-to-people', P2P). Yang jelas ke depan dengan komitmen liberalisasi perdagangan dan penanaman modal yang tertuang dalam AANZFTA, dan yang akan berlanjut pula dengan berdirinya AEC pada tahun 2015, maka pasti ini momennya bagi Indonesia dan Australia untuk melangkah secara visioner dan berani, terinspirasi oleh visi MP3EI dan Buku Hijau National Food Plan, dan sejauh mungkin menyatukan upaya-upaya untuk memantapkan Ketahanan Pangan sehingga melebihi sekedar tujuan intern tersebut dan lebih hebat lagi berusaha mencoba menjadi pemasok makanan kepada region dan bagian 110
BPG (2012), op.cit., hlm.4
65
bagian dunia.
Think tank ternama McKinsey Global Institute telah
menganalisa potensi agraria Indonesia saja, dan menyimpulkan bahwa potensi Nusantara ini justru bagus sekali : Pada sektor agraria, jika Indonesia menerapkan tiga pendekatan---meningkatkan produktivitas penghasilan, menggeser produksi ke tanaman yang bernilai tinggi, dan mengurangi kehilangan produksi pasca-panen serta kehilangan sepanjang 'rantai nilai'---maka Indonesia dapat menjadi suatu pengekspor netto produksi agraria yang 111 raksasa, mampu memasok 130 juta ton kepada pasar internasional.
Dan lebih menyenangkan lagi, ramalan McKinsey menghitung bahwa ekonomi Indonesia dengan produksi tersebut (asal melaksanakan revitisasi melalui semua dari enam perubahan yang para pakar mereka sarankan) 46
akan amat sangat didorong, dengan pertumbuhan pendapatan dari USD$70 milyar pada 2010 menjadi $250 milyar tahun 2030, sama dengan pertumbuhan berkelanjutan sebesar 7%, sebagaimana digambarkan di sini : Exhibit 17
Indonesia could achieve unprecedented 7 percent per annum growth in real revenue from agriculture and fisheries
Fisheries Crops
Indonesia agricultural and fisheries real revenue1 $ billion, 2010 price
+7% p.a.
20
250
35 5 30
40
25
5
45 210
50
70 10
60 Revenue in 2010
Shift to Increase smallholder high-value yield crops2
Cultivate Increase Increase commercial low-carbon fisheries yield unused land production
Reduce food losses and waste
2030 optimised potential
Optimisation levers 1 Rounded to the nearest $5 billion. 2 Includes palm oil, fruits, and vegetables. SOURCE: Food and Agriculture Organization; International Institute for Applied Systems Analysis; Ministry of Agriculture; Ministry of Marine Affairs and Fisheries; Ministry of Forestry; McKinsey Global Institute analysis
(sumber: McKinsey Global Institute, (MGI), (2012), The Archipelago Economy: Unleashing Exhibit 18 Indonesia’s potential, hlm.46) Achieving higher revenues from agriculture and fisheries will require overcoming a series of barriers
Potential additional revenue by 2030 Pemerintah Australia juga antusiastis tentang potensi Australia untuk $ billion 1
50
menjadi pemasok pangan yang lebih45 produktif lagi---visi itu yang justru 35 20 menjadi inspirasi di belakang National Food Plan-nya. 5
25
Increase Shift to Cultivate Increase Reduce food secara Tetapi gagasan ini---Indonesia dan Increase Australia sendiri dan Key barriers
smallholder yields
high-value crops
commercial yield
low-carbon fisheries unused land production
losses and waste
bersama menjadi pemasok region dan dunia---hanya akan didorong bahkan Capital intensity Return on investment
Infrastructure/supply chain bottlenecks Capital availability 111
McKinsey Regulatory Globalsupport Institute (2012), The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia's potential, dicetak on-line [http://www.mckinsey.com/insights/mgi/research/asia/the_archipelago_economy, Technological readiness diakses 17 Nop 2012] Entrenched behaviour Agency issues Political feasibility Information failures 1 Rounded to the nearest $5 billion. SOURCE: Ministry of Agriculture; Ministry of Forestry; International Institute for Applied Systems Analysis; Food and Agriculture Organization; McKinsey Global Institute analysis
66
terwujud apabila keadaan kerjasama bilateral kita sempat dipermudah dan ditingkatkan. Secara abstrak, keadaan yang diharapkan diuraikan seperti yang berikut, dengan dibahas juga kontribusinya terhadap pencapaian Ketahanan Pangan dan Kemandirian Bangsa Indonesia maupun Australia, beserta indikator keberhasilannya. 21. Kondisi kerjasama bilateral bidang Agraria yang diharapkan a.
Saling
pengertian
bidang
agraria
serta
pendekatan
Ketahanan Pangan yang akurat, komplit dan berpandangan luas. Betapa bagusnya apabila para pemimpin politik kita, para peneliti agraria, asosiasi petani/peternak/pembudidaya/nelayan, para praktisi agraria, serta bangsa secara umum mempunyai suatu pengertian--umum sehingga spesifik---mengenai tradisi dan kegiatan agraria di setiap negara masing-masing, keunggulan dan kekurangan, serta bagaimana pola pikir serta pola kebijakan terhadap urusan Ketahanan Pangan. Lebih lanjut, dan mungkin mirip dengan keadaan di antara Australia dan Indonesia, atau Indonesia dengan Malaysia (mitra perdagangan dan agraria yang telah lama berinteraksi), betapa bergunanya apabila kaum pedagang dan pembisnis kedua negara kita begitu paham peluang dan tantangan bisnis agraria di masing-masing negara sehingga kerjasama usaha, pemodal dan distribusi menjadi sesuatu yang handal dan mudah. Jika terwujud pengertian sedemikian rupa maka hemat penulis adalah kapasitas untuk berempati satu sama lain akan turut terwujud, sehingga kepentingan kedua negara kita sebagai tetangga yang seharusnya saling membantu dan saling menjaga akan lebih diindahkan (daripada keadaan yang saat ini, di mana kekurangpahaman dan kurang kepedulian tetap eksis secara terlalu menonjol). b.
Kerjasama bidang agraria adalah Proyek G2G secara resmi,
dengan visi besar dan berani, agar mampu menciptakan 'CSP'. Kerjasama agraria kita sangat memerlukan sebuah kerangka sekaligus payung politik-diplomatik.
Tanpa kerangka tersebut, tidak
67
ada 'proyek' yang menyeluruh dan terpadu, malah ada kegiatankegiatan sempit dan ad hoc yang belum tentu klop satu sama lain. Alangkah strategisnya apabila kerjasama agraria kita diangkat dari status kegiatan komersial serta beberapa interaksi sempit dalam dunia
litbang
komplentatif.
menjadi
kegiatan
yang
berorientasi
geo-politik
Saat ini hanya Australia-Indonesian Partnership (AIP,
2008-13), yang merupakan sebuah proyek bilateral yang menyeluruhterpadu.
Dan walau (Official Development Assistance (ODA) itu
penting, bagi penulis adalah agak ironis bahwa AIP itu ada daripada proyek ekonomi yang seharusnya jauh lebih berguna dan membawa dampak positif kepada kedua negara kita (apalagi AIP barangkali diapresiasi oleh pemerintahan Yudhoyono tetapi tidak se'berguna' investasi dengan kemampuan strategis seperti industri atau pangan, menurut hemat penulis; ingatlah sejarah Indonesia di mana program hibah pernah ditafsirkan sebagai 'alat pengaruh' oleh dunia Barat maupun Soviet, dan respons Presiden Sukarno yang sangat terkenal, "Go to hell with your aid!"112). Maka yang diharapkan adalah sebuah perjanjian yang berbentuk FTA tetapi melebihi struktur perdagangan-investasi murni menjadi suatu komitmen bersama yang mampu merespon kepada kepentingan Ketahanan Pangan; bukan sesuatu yang terlalu komersial dan bukan pula sesuatu yang merupakan hibah (donor-recipient arrangement). Mengingat teori modern Hecksher-Ohlin ‘The Proportional Factor Theory', negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi untuk kemudian mengekspor barangnya.
Sebaliknya,
masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal dalam memproduksinya. Jika pendekatan H-O itu diterapkan maka beberapa sektor agraria kita tampaknya memiliki potensi menjadi kemitraan lintas-negara
(lintas-batas)
yang
betul-betul
berbeda
kebiasaan sekarang ini, contohnya : 112
http://www.gimonca.com/sejarah/sejarah09.shtml [diakses 16 Nop 2012]
dengan
68
1)
Kerjasama bidang Daging Hidup/potong.
Industri daging
sapi hidup memperkerjakan lebih dari 13.0000 WNA serta menyumbangkan AUD$1,8 milyar terhadap PDB Australia setiap tahun.113 Banyak penduduk di bagian utara Australia dinafkahi oleh industri tersebut, termasuk banyak orang aborijin yang sangat
perlu
lowongan
kerja.
Sedangkan
di
Indonesia
pemenuhan kebutuhan rakyat akan protein masih kurang cukup serta suplai hewan yang bermutu juga belum optimal. Dengan 'teknologi transfer' sains peternakan yang lebih bagus lagi maka potensi terhadap win-win di sini bagus sekali. 2)
Kerjasama bidang Beras. Industri beras di Australia berdiri
sejak tahun 1924 dan mampu dewasa ini menghasilkan sejuta ton beras per tahun. negara.
Beras Australia diekspor ke lebih dari 60
Petani beras Australia menghasilkan panen-per-areal
yang terproduktif di dunia (10 ton per hectare), dan rata-rata menggunakan air irigasi yang 50% lebih sedikit daripada petanipetani lain di dunia.114 Oleh karena air irigasi sulit diperoleh di Australia maka sektor agraria ini menjadi hebat dalam upaya litbang dan percobaan terhadap adaptasi jenis padi mencari yang terefisien soal kebutuhan air, serta dengan sistem dan disain irigasi yang paling mengirit air. Mengingat Indonesia belum stabil soal pengadaan beras yang cukup (bagian pokok serta bagian cadangan) maka potensi akan kerjasama di sini pasti bagus sekali, apalagi di bagian Indonesia NTT dan NTB di mana air irigasi dan hujan tidak banyak. 3)
Kerjasama bidang Gula.
Australia merupakan penghasil
gula yang terbesar urutan ketiga di dunia. 80% dari penghasilan ini diekspor, meraih pendapatan di sekitar AUD$1,5 - 2,5 milyar per tahun, padahal produsen adalah enam ribu keluarga petani
113
Situs internet Meat and Livestock Association of Australia [www.mla.com.au/About-the-redmeat-industry/Livestock-exports, diakses 28 Mei 2012] 114 Situs internet Rice Growers Association of Australia [http://www.rga.org.au/about-rice.aspx, diakses 28 Mei 2012]
69 saja.115 Mengingat Indonesia adalah net importer gula namun terletak di zona tropis dengan tingkat air hujan yang tinggi, maka pasti ada potensi kerjasama di sini agar Australia bisa membantu Indonesia menjadi swasembada gula. 4)
Kerjasama
bidang
Umbi-Umbian,
di
mana
Indonesia
mempunyai pengalaman yang dalam dengan menghasilkan dan memanfaatkan gizinya dari singkong, talas, kentang hitam, ubi, garut dll. Umbi-umbian semacam ini tidak ditanam di Australia. Mengingat sekarang ini diet Orang Australia adalah terlalu tinggi lemak, gula dan karbohidrat kompleks maka pasti ada kearifan lokal dari Indonesia yang mampu memperkenalkan umbi-umbian baru (yang sekaligus menarik dan sehat) ke pasar-pasar konsumen Australia. Walau ke-empat sektor ini hanya contoh saja, kerjasama kita sebaiknya berani untuk melangkah ke arah integrasi produksi komoditas tertentu, apabila keunggulan geografi, demografi dan iklim yang sebenarnya komplementatif di antara Indonesia dan Australia sempat dimanfaatkan dengan cerdas.
Kalau berani begitu, dengan
juga mengatur manajemen, pendanaan serta fleksibilitas yang tinggi maka perjanjian kerjasama bilateral bidang agraria kita akan bagus sekali. c.
Kerjasama
agraria
bilateral
dipayungi
secara
politik,
didorong oleh para pemimpin secara terbuka dan aktif, dan kasuskasus ditangani dengan arif, empati dan seksama . Daripada pengalaman dengan kasus Live Cattle (sebagaimana dibahas sebelumnya pada Bab III), keadaan yang diperlukan di sini adalah kedewasaan, semangat negosiasi, kesiapan untuk mengerti posisi pihak kedua, dan pengelolaan isu dengan terstruktur, transparan dan obyektif.
Yang terjadi disekitar Live Cattle, merupakan kasus
terburuk. Keadaan yang diharapkan justru yang sebaliknya, titik. 115
Situs internet Cane Growers Association of Australia [http://www.canegrowers.com.au/, diakses 28 Mei 2012]
70
d.
Kerjasama antara Instansi litbang bidang agraria menjadi
menyeluruh, sibuk, dan didorong oleh dana yang kuat. Jika Indonesia dan Australia menjadi mitra agraria yang kuat (Comprehensive Strategic Partners) maka harus ada dinamika yang sibuk dan agak terbuka antara pusat-pusat penelitian kedua negara kita.
Australia cukup berprestasi dengan litbang dan sains agraria
(horticultural science).
Rural Industries Research and Development
Corporation (RIRDC) dan Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) adalah dua instansi yang paling berperan dengan pengadaptasian pertanian dan peternakan Australia menjadi lebih produktif, lebih menghemat air dan pestasida, serta lebih peduli terhadap konservasi mutu tanahnya. Indonesia pasti tidak kalah soal keahlian sektor pertanian khususnya bidang sayuran dan buahan tropis (LIPI misalnya). Potensi akan kolaborasi dua-arah jelas ada, dan merupakan salah satu kunci terhadap peningkatan produktivitas, daya tahan wabah, kandungan gizi yang tinggi dll. Kerjasama litbang agraria
yang
diharapkan
adalah
kerjasama
yang
multi-arah,
terintergrasi secara ketat, didanai dengan memadai, dan di mana para peneliti sibuk bolak-balik di antara laboratorium, lapangan dan seminar di kedua negara kita sehingga begitu familiar dan membantu satu sama lain. 22. Kontribusi kerjasama bilateral bidang perdagangan dan litbang agraria yang diharapkan terhadap Ketahanan Pangan, dan terhadap Kemandirian Bangsa Intisari daripada ide 'kerjasama bilateral' adalah upaya-upaya bersama antara kedua negara kita yang akhirnya akan saling membantu dan saling mengisi, meraih suatu sinergi yang melebihi jumlah mentah dari bagianbagian inputs.
Tidak mengherankan juga bahwa kerjasama sedemikian
rupa seharusnya membawa dampak terhadap keadaan yang lebih strategis/makro lagi : bahwa kerjasama perdagangan dan litbang agraria seharusnya mengindahkan kepentingan Ketahanan Pangan, yang kemudian akan mengindahkan kepentingan Kemandirian Bangsa kita masing-masing.
71
a.
Implikasi
Peningkatan
Kerjasama
Bilateral
Bidang
Perdagangan dan Litbang Agraria terhadap Ketahanan Pangan Menyadari bahwa ketahanan pangan berdiri atas interaksi tiga komponen116 yakni (1) ketersediaan [produksi, cadangan, impor[, (2) keterjangkauan [distribusi, perdagangan/pemasaran, pengendalian harga, bantuan pangan, dan (3) konsumsi, [kualitas/kuantitas, penganeka-ragaman konsumsi, gizi), maka perdagangan bilateral Indonesia dan Australia mampu meningkatkan ketersediaan di masingmasing
negara
apabila
bahan
baku
atau
alat-peralatan
pertanian/peternakan/perikanan menjadi lebih mudah diperdagang, atau komoditas impor yang diperlukan menjadi lebih terjamin, murah, dan aneka-ragam. Dan kepentingan produksi akan lebih dibantu lagi apabila teknologi dan pengalaman agraria ditukar dan sempat masuk program-program penyuluhan, terutama dalam bidang di mana satu dari kedua negara kita mempunyai keunggulan tertentu (Australia dengan gula, Indonesia dengan penggilingan tepung terigu misalnya). Dalam komponen keterjangkauan, kerjasama dapat membantu urusan keefisienan dan keefektifan sistem-sistem distribusi apabila penukaran ilmu pengetahuan dianggap berguna, atau bantuan pembangunan (ODA)
dapat
meningkatkan
infrastruktur
jalan,
jembatan
dan
pelabuhan. Bantuan Pangan juga menjadi lebih mudah saat ada krisis jika pola makanan dan gizi lebih dimengerti melalui ekspos terhadap pasar domestik masing-masing, serta ekspos terhadap proses dan ruas-ruas pengimporan.
Urusan konsumsi dapat dibantu melalui
kerjasama contohnya apabila resit ditukar mengenai jenis-jenis tanaman yang lebih unggul (termasuk teknologi Genetic Modification, GM), teknik-teknik terkini pergudangan dan cold storage agar makanan bertahan lebih lama tanpa degradasi gizi maupun tingkat keamanan, dan secara tidak langsung dengan bantuan ekonomik dan pendekatan sistem bantuan sosial agar kemiskinan makin diatasi.
116
Hermanto (2012), op.cit.
72
b.
Implikasi Ketahanan Pangan terhadap Kemandirian Bangsa Hampir serta merta, semakin terpenuhi kebutuhan gizi dan energi
sebuah bangsa maka semakin stabil dan produktif bangsa itu, apalagi dengan menghindari krisis (dengan dampak sosial dan politik) dan menghindari pemborosan dana negara apabila kebutuhan gizi dan energi dipenuhi oleh pasar swasta tanpa intervensi signifikan dari negeri.
Tetapi perlu dimengerti di sini bahwa Ketahanan Pangan
dapat terwujud secara domestik murni dengan produksi yang surplus (swasembada, sampai 'swasembada plus'), didukung oleh sistemsistem keterjangkauan yang handal dan memadai, dan dengan daya beli bangsa yang turut mencukupi agar makanan yang aman, sehat dan cukup banyak mudah dibeli (kalau tidak dihasilkan sendiri) secara terus-menerus. Ketahanan Pangan juga dapat terwujud tanpa suplai domestik yang memadai apabila sumber pangan impor menjadi sumber yang handal dan terjamin, dan keterjangkauan pun dapat menjadi lebih bagus dengan masuknya bahan pangan impor yang lebih bergizi atau lebih murah atau lebih banyak. Ketahanan
Pangan
tidak
harus
berdasarkan
Pada dasarnya, atas
pendekatan
swasembada ('kemandirian pangan'), ataupun 'kedaulatan pangan' ; bangsa dapat mencapai status 'tahan pangan' padahal caranya tidak mandiri
malah
bergantung
pada
pasar
internasional
atau
interaksi/kerjasama/kemitraan dengan bangsa lain. Oleh karena itu, Ketahanan Pangan dapat membawa kontribusi terhadap kemandirian, tetapi dapat juga merongrong kemandirian, tergantung pada cara mana Ketahanan Pangan tersebut terwujud. Misalnya Brazil sudah swasembada pangan tetapi masih ada 66 juta warga yang rawan pangan, dan swasembada mereka tercapai dengan kerjasama/integrasi dengan pemodal asing. Singapura
sudah
bagus,
namun
Ketahanan Pangan di
Singapura
harus
mengimpor
mayoritas bahan makanannya maka bangsa tetap tergantung pada negara lain (walau Singapura pandai menciptakan persetujuan persediaan yang berjangka panjang dan strategis agar persediaan tersebut untuk komoditas penting stabil dan harganya tidak terlalu fluktuatif).
Bagi
Australia
dan
Indonesia,
kerjasama
bidang
73
perdagangan dan litbang agraria seharusnya berlandasan prinsip 'gotong royong', maka urusan kemandirian mau tidak mau akan dihambat secara kecil. Tetapi juga, ide kerjasama tersebut tidak serta merta menghasilkan kebergantungan, dan sepanjang monopolimonopoli tidak muncul dan sepanjang kerjasama melaksanakan Transfer of Technology (TOT) maka baik Australia maupun Indonesia tidak akan kehilangan kemandirian, malah seharusnya muncul lebih kuat secara ekonomi dan lebih sehat dan bergizi sebagai bangsa masing-masing. 23. Indikator keberhasilan Kerjasama Bilateral Bidang Perdagangan dan Litbang Agraria Semua sistem pengelolaan apabila ingin efektif harus mempunyai sistem pengukuran (metrics) terhadap progres dan---akhirnya---definisi sukses, supaya para pewewenang dan manajer dapat menilai kemudian meng-adjust settings sesuai kebutuhan dinamika dan sesuai kebebasan dan kebatasan sumberdaya yang dimiliki sistem tersebut. Untuk urusan peningkatan kerjasama bilateral Indonesia-Australia bidang perdagangan dan litbang agraria, indikator keberhasilan diuraikan sebagai berikut ini : a.
Pengertian
tentang
segmen
agraria
yang
akurat
dan
pandangan luas. 1)
Adanya pusat informasi (kantor dan cabang sebagaimana
diperlukan). 2)
Adanya program pertukaran pejabat/pakar/pelaku.
3)
Adanya forum information sharing.
4)
Adanya
empati
terhadap
pihak
kedua
perencanaan/dokumentasi/aksi pihak pertama. 5)
Adanya kemitraan antara asosiasi / perhimpunan.
dalam
74
b.
Kerjasama bidang agraria ‘diproyekkan’ Secara resmi—G2G,
S2S 1)
Adanya I-A CEPA.
2)
Adanya forum manajemen G2G yang efisien dan efektif.
3)
Adanya pendanaan dan alokasi SDM yang memadai.
4)
Adanya kemitraan resmi (yang didanai anggaran negara)
antara sektor agraria yang ditentukan, sebagai jago 'integrated value chain' (apakah daging sapi, beras, gula, kedelai dll) 5)
Adanya peningkatan terhadap banyaknya dan seringnya
penanaman modal. 6)
Adanya
simplifikasi
terhadap
regulasi,
proses,
dan
hambatan lain (rintangan berbentuk tarif, dan on-tarif) c.
Apabila pekanya kerjasama sempat dikurangi 1)
Adanya protap dan mekanisme untuk komunikasikan isu.
2)
Komunikasi isu terjadi G2G sebelum muncul di pers (sejauh
mungkin dan praktis). 3)
Para politikus bertindak dengan empati terhadap pentingnya
hubungan bilateral serta I-A CEPA. d.
Kerjasama antara Instansi litbang dipertingkat dan diperkuat 1)
Adanya program pertukaran peneliti sehingga ratusan orang
terlibat. 2)
Meningkatnya footprint ACIAR di Indonesia.
3)
Adanya perwakilan LIPI di Australia (kantor dan cabang).
4)
Adanya proyek penelitian tauladan yang dikerjakan secara
bersama.
75
BAB VI KONSEPSI PENINGKATAN KERJASAMA BILATERAL RI-AUS BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA AGAR MEMENUHI TARAF COMPREHENSIVE STRATEGIC PARTNERSHIP (CSP)
'In this historic first meeting, we recommitted to enhance our comprehensive strategic partnership across all spheres of activity. Our shared vision and challenge is to create two countries, deeply familiar with one another and working closely for our mutual good and that of our region. We call on all Indonesians and Australians to reach out to each other as neighbours and friends; to celebrate the differences in our cultures; to embrace the political freedoms and values we hold in common; and to realise the full potential of our joint partnership and shared future.' Transcript, Joint Communiqué 1st Indonesia-Australia Annual Leaders' Meeting, Bali, 20 Nov 2011 [http://www.pm.gov.au/press-office/1st-indonesia-australia-annual-leaders-meeting-jointcommunique, diakses 29 Sep 12]
24. Umum Presiden Yudhoyono dan PM Gillard telah berani menyatakan melalui kenyataan resmi (joint communiqué) hasil pertemuan tahunan pemimpin pemerintahan kedua negara kita tahun kemarin bahwa hubungan bilateral kita justru bertaraf 'kemitraan strategis menyeluruh' ('comprehensive strategic partnership', CSP). Melalui argumentasi dan pembahasan penulis pada bab-bab sebelumnya, diajukan bahwa hubungan ekonomi bilateral kita belum bertaraf 'CSP' itu, apalagi bagian perdagangan agraria dan kerjasama litbang agraria, malah hubungan bagian itu justru underperforming, terlalu bersifat transaksi (transactional) yang tidak melayani sebuah gambar besar, dan juga menderita dari kepekaan yakni mudah terbawa moods nasionalistis sempit atau kepentingan keuntungan belaka. Oleh karena itu, untuk mengisi celah antara retorika dan realita saat ini, diperlukan sebuah usaha yang sangat besar dan sengaja, yang juga harus seimbang di antara Jakarta dan Canberra, apabila suatu kemitraan bidang agraria yang betul-betul bertaraf 'strategis menyeluruh' akan terwujud. Sampai saat ini, yang mampu dijadikan contoh dalam usaha tersebut hanya
76 Australia Indonesia Partnership (AIP)117, yang merupakan suatu kemitraan bidang bantuan pembangunan (ODA) yang disetujui bersama oleh Jakarta dan Canberra selama periode 2008-13, agar bantuan pemerintah Australia menjadi sinkron dengan RPJMN 2009-14, serta mematuhi prinsip-prinsip terdepan para pakar ODA sedunia khususnya program PBB Millennium Development Goals (MDG). Oleh karena AIP tersebut mengandung : (1) kerjasama yang bersifat multi-sektoral, (2) menjunjung tinggi kebijakan nasional menurut Jakarta, (3) dikelolai secara bersama dengan semangat kemitraan; dan (4) didanai secara signifikan maka hanya AIP yang cukup berbobot untuk dijadikan semacam tauladan bagi kepentingan peningkatan terhadap kerjasama bidang agraria kita. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, untuk meningkatkan kerjasama bilateral Indonesia-Australia bidang perdagangan dan litbang agraria telah ditemukan beberapa pokok persoalan yang perlu diatasi dengan konsepsi di sini, diantaranya : (1) Belum lengkapnya saling pengertian bidang agraria serta pendekatan Ketahanan Pangan masingmasing; (2) Belum ‘diproyekkan’ hubungan ekonomi secara strategis, sektor agraria sebagai salah satu bagian terpenting; (3) Terlalu pekanya kegiatan kerjasama agraria (khususnya impor/ekspor) terhadap dinamika pasar bebas dan terhadap kepentingan politik domestik; dan (4) Kurang seriusnya kerjasama antara Instansi litbang masing-masing.
Maka peningkatan
kerjasama bilateral Indonesia-Australia bidang perdagangan dan litbang agraria
dilakukan
dengan
konsepsi
kebijakan,
strategi
dan
upaya
sebagaimana diuraikan berikut ini, untuk mengatasi ke-empat pokok persoalan tersebut.
25. Kebijakan Dihadapkan
dengan
berbagai
permasalahan
terkait
perlunya
ditingkatkan kerjasama Indonesia-Australia bidang perdagangan dan litbang agraria, dirumuskan kebijakan sebagai berikut :
117
http://www.ausaid.gov.au/Publications/Pages/Australia-Indonesia-Partnership-CountryStrategy-2008-13-english.aspx [diakses 17 Nop 2012]
77
"Peningkatan
kerjasama
bilateral
Indonesia-Australia
bidang
perdagangan dan litbang agraria, sehingga menjadi sebuah proyek masal dan komitmen yang mendalam". Rumusan kebijakan yang ditujukan untuk menjawab tantangan peningkatan kerjasama bilateral kita bidang perdagangan dan litbang agraria diharapkan
dapat
kesepahaman
digunakan
maksud,
cara
sebagai
pedoman
dan/atau
dalam
mencapai
sarana-prasarana
bagi
pengembangan strategi dan upaya yang akan dilaksanakan oleh para pemimpin politik, pejabat maupun tokoh sektor agraria kita.
Kebijakan
tersebut selanjutnya diuraikan ke dalam empat strategi dan dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai upaya yang harus ditempuh untuk merealisasikannya. 26. Strategi a.
Strategi 1 : Meningkatkan Saling Pengertian Strategi ini bertujuan untuk mengatasi masalah kekurang-
pahaman terhadap sistem-sistem agraria dan pangan di Indonesia dan di Australia, dengan mendirikan sumber-sumber pusat informasi yang aktual dan benar, mengiklankan kerjasama bilateral kita secara luas dan terus-menurus, dan dengan memperluas secara besar banyaknya individu (para ahli, mahasiswa, praktisi, peneliti dll) yang sempat berkunjung dan berkarya di lingkungan negara kedua sesuai dengan latar belakang dan sub-bidang ketertarikan mereka masing-masing. Ide sentralnya adalah knowledge is power (pengetahuan adalah kuasa), dan dengan akses yang mudah terhadap pengetahuan dan informasi yang bermutu, aktual, dan luas maka tentu kesadaran akan muncul tentang pro dan kontra sistem pangan dan Ketahanan Pangan di kedua negara, empati satu sama lain, lalu semangat untuk saling membantu akan turut muncul pula. Strategi tersebut juga mengakui bahwa fungsi penginformasian ini memerlukan penanaman dana dan waktu, dan walau dunia modern ini mempunyai aliran komunikasi yang sangat hebat, tetap saja informasi kita tidak akan masuk ke kesadaran bangsa maupun para pemeran agraria tanpa suatu usaha yang kuat
78
(alias, informasi harus didorong, tidak cukup di-stel secara pasif dengan harapan bahwa petani/peternak/nelayan/peneliti dll akan meluangkan waktu dan fokus untuk mencari dan mengambil informasi tersebut). Semboyannya: Information 'push', not information 'pull'. Dan karena strategi ini juga merupakan semacam kegiatan sosialisasi secara umum, maka penting strategi ini tidak dapat diabaikan, justru karena sosialisasi selalu sangat sentral terhadap sukses tidaknya program-program pemerintah dan instansi yang lain di mana saja dan kapan saja. b.
Strategi 2 : Mendirikan Perjanjian yang besar, berani, dan
menyeluruh Tujuan dari strategi ini adalah untuk merumus kemudian menyetujui sebuah perjanjian bilateral yang sebobot mungkin (paling tidak, sehingga mempunyai status hukum dan mengikat seperti FTA yang pada dasarnya berpedoman terhadap persyaratan WTO), agar kerjasama agraria kedua negara kita menjadi semacam proyek yang masal dan 'agung', dikenal, serta didambakan oleh kedua bangsa kita. Berangkat dari pendekatan 'kemitraan' yang telah diciptakan oleh AIP, maka proyek kerjasama agraria di sini, menurut hemat penulis, sebaiknya dipercayakan kepada proses perundingan I-A CEPA, mengingat I-A CEPA itu telah memiliki momentum dan restu secara politik, dan sebagai perpanjangan dari prinsip-prinsip perdagangan WTO (terjabar dengan paling aktual dalam AANZFTA) maka asalusulnya sudah kuat. Dan oleh karena I-A CEPA akan menerobos lebih jauh
daripada
kerangkaian
perdagangan
untuk
tiga
secara
kegiatan
eksklusif,
yakni
(1)
menjadi
sebuah
perdagangan,
(2)
penanaman modal, dan (3) kerjasama membangun kemampuan (capacity building), di mana sektor membangun kemampuan tersebut telah disetujui bersama dalam pra-perundingan tahun lalu menjadi agraria, pertambangan, jasa-jasa, serta perekonomian 'hijau'118. Maka I-A CEPA merupakan wahana yang pas bagi kepentingan 'proyek' kita. 118
BPG (2012), op.cit., hlm.3
79
Strategi ini juga menghimbau agar I-A CEPA berani untuk menentukan tujuan ke depan yang betul-betul mulia, seperti 'Indonesia dan Australia menjadi mitra perdagangan satu sama lain dalam urutan 'Top Three' pada tahun 2025', 'Australia dan Indonesia mencapai sistem litbang agraria terintegrasi penuh pada tahun 2030', ataupun 'Indonesia dan Australia menjadi blok penghasil dan pengekspor makanan nomor satu di Asia', kemudian memetakan perjalanannya supaya semacam plan of action / road map justru dihasilkan, menjadi pedoman yang riil dan berguna.
Jika tujuan-tujuan hanya tertulis
seperti 'meningkat', 'mengoptimalkan', atau 'memperluas' maka kita ibarat
menyiapkan
diri
untuk
menghasilkan
perkembangan-
perkembangan yang abstrak, taktis, dan tanpa sistem ukuran (metrics) yang tajam, maka tidak mungkin menjadi semacam penerobosan yang agung ataupun masal. Dan secara praktis, I-A CEPA harus mengidentifikasikan sektorsektor agraria tertentu yang akan dijadikan fokus khusus sebagai 'rantai nilai lintas batas' (apakah daging sapi, gandum, kedelai, gula, buah-buahan dll), berdasarkan atas perhitungan teori comparative advantage sehingga keunggulan di Indonesia dan keunggulan di Australia disinergikan (misalanya produksi di satu negara, pengolahan di negara kedua). c.
Strategi 3 : Mendirikan Sistem 'Pengelolaan Aktif' Strategi ini bertujuan untuk menjamin bahwa, apabila sebuah I-A
CEPA yang memuaskan sempat terwujud, nanti operasinya berjalan dengan sungguh-sungguh.
Diketahui secara umum cukup banyak
kasus di negara mana pun di mana rencana strategis dirumus dengan sangat bagus, tetapi penerapannya berjalan secara kurang rajin atau terlanda masalah karena kemampuan manajemen kurang memadai ataupun pendanaan tidak mencukupi.
Khususnya terhadap urusan
kepekaan hubungan bilateral Indonesia dan Australia, strategi ini harus mampu mendirikan sebuah arsitektur pengelolaan yang responsif dan terkoneksi secara baik dengan superstruktur politik dan kementerian terkait di kedua negara agar kepentingan pengambilan keputusan
80
('biltus' dalam bahasa militer) diindahkan. Seperti kasus Live cattle tahun 2011, jika struktur manajemen, komitmen politik, serta pengaliran informasi tidak bersifat real time, terbuka dan rajin maka dikhawatirkan penulis bahwa kepekaan akan terus mengakibatkan kerusakan terhadap kepentingan hubungan bilateral Indonesia dan Australia yang seharusnya senantiasa dijaga dengan baik dan arif, dan tidak mudah menjadi korban kepada kasus tertentu yang hanya bersifat 'taktis' atau friksi.
Pentingnya sistem pengelolaan baru ini
menjadi jelas apabila kita mengingat juga bahwa semakin sibuk dan luas sebuah hubungan bilateral maka pro dan kontranya turut semakin menonjol pula (lihat saja konektivitas Indonesia dan Malaysia dalam sekian banyak aspek, membawa banyak manfaat bagi kedua negara tetapi
sekaligus
tantangan-tantangan
sering
muncul
karena
kepentingan kedua negara terekspos satu sama lain setiap saat dan melalui sosok dua juta lebih manusia WNI yang tinggal di Malaysia atau WNM yang tinggal di Indonesia). d.
Strategi 4 : Mendirikan Litbang Agraria Gabungan berskala
besar Litbang
Agraria
demikian
penting
terhadap
kemajuan
produktivitas sektor pangan (seperti argumentasi World Bank [dalam McKinsey (2012)], bahwa "penanaman modal dalam R&D/litbang menghasilkan kurs keuntungan yang berkisah antara 43% dan 151%, sedangkan penanaman modal terhadap subsidi-subsidi bahan baku dasar kepada produsen secara individu seperti pupuk malah membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan agraria secara umum."119).
Dengan Indonesia hanya sekarang menanamkan dana
sebesar 0,27% dari PDB agrarianya terhadap litbang agraria domestik secara keseluruhan, dan dengan kerjasama instansi litbang Indonesia dan Australia hanya didanai kurang daripada AUD$9 juta per tahun (belum termasuk pendanaan dari Jakarta, yang tidak diketahui penulis) 119
Enrique Blanco Armas et al., (2012), Agriculture public spending and growth in Indonesia, World Bank policy research working paper number 5977, February 2012, dalam McKinsey, (2012), op.cit., hlm.47
81
maka strategi ini bertujuan untuk meningkatkan secara drastis ruang lingkup, kuantitas maupun kualitas kerjasama litbang agraria di antara para peneliti dan instansi terkait di kedua negara kita. Jika I-A CEPA mampu menciptakan sebuah paradigma baru dalam kerjasama bilateral agraria kita maka tentu salah satu tujuan yang seharusnya muncul adalah penyempurnaan rantai suplai terpadu, di mana hibridisasi, daya tahan hama, kesuburan jenis / sub-jenis tanaman pangan dll harus terus-menerus diteliti lalu pengetahuan baru yang
dihasilkan
harus
disuluhkan
petani/peternak/nelayan/pembudidaya
agar
kepada
para
produktivitasnya
meningkat terus. Tanpa kerjasama litbang ideal seperti itu maka I-A CEPA akan kurang optimal jika kegiatan litbang agraria kita tetap berdiri sendiri (khususnya bagi sektor yang mungkin akan disetujui untuk produksi dan pengolahan terpadu).
Dan sinergi tidak akan
tercapai apabila interaksi para peneliti Indonesia dan Australia tetap terjadi pada skala yang agak kecil seperti saat ini, di mana peneliti yang ikut program pertukaran hanya merupakan beberapa belasan orang per tahun. Maka strategi ini ingin melihat terwujudnya 'litbang agraria gabungan'---proyek-proyek dan resit bersama secara signifikan dan berkelanjutan---dan penukaran pengetahuan secara umum di mana saja keunggulan satu pihak dianggap berguna dan valid untuk pihak yang kedua. 27. Upaya Dalam rangka mengoperasionalkan kebijakan dan ke-empat strategi tersebut maka disusun upaya-upaya yang dapat dilaksanakan sebagai langkah konkrit, kebanyakannya bersifat teknis. Upaya-upaya yang diajukan adalah sebagai berikut : a.
Strategi 1 : Meningkatkan Saling Pengertian Strategi ini akan dijabarkan dengan upaya-upaya riil dan praktis
(dengan dijelaskan siapa pemeran [subyek]; apa materi, sektor atau isu sebagai target aksi [obyek]; dan apa metodenya yang mesti diterapkan) seperti ini :
82
1)
Kementan RI (melalui Dewan Ketahanan Pangan, DKP),
DAFF dan DFAT Australia mendirikan sebuah Pusat Informasi yang mempunyai kantor di Indonesia (Jakarta?) dan kantor di Australia (Sydney atau Canberra?), yang memiliki bentuk nyata maupun bentuk ('kehadiran') di internet, sebagai titik temuan semua informasi Indonesia dan Australia terkait pangan dan Ketahanan Pangan. 2)
Kementan RI dan DAFF Australia melaksanakan kampanye
informasi secara terus menurus tentang kemitraan bilateral kita, dipasarkan sebagai urusan Ketahanan Pangan bersama (bukan urusan keuntungan/rejeki belaka), dimana urusan impor-ekspor diberikan konteks dan keseimbangan sebagai salah satu aspek saja dari tujuan yang lebih penting lagi yakni urusan Ketahanan Pangan di kedua negara kita, serta urusan Ketahanan Pangan regional maupun global di mana kedua negara kita seharusnya maju sebagai pemasok pada komoditas pangan unggulan secara unilateral maupun bilateral di mana 'value added chains' sempat terwujud.
Branding harus laris, seperti 'Partnership Pangan
Indonesia Australia', atau Proyek 'Mitra Agraria Negara Tetangga akan
Pangan',
alias
'MANTAP'
Indonesia-Australia,
dan
kampanye informasi harus serba-arah, memanfaatkan media apa saja misalnya radio, televisi, brosur, iklan koran/majalah, seminar dll. 3)
Kementan RI, Kemendag RI, Kemenperin RI, Dirjen Bea
dan Cukai RI, kemudian AQIS dan DAFF dari Australia melaksanakan harmonisasi, penerjemahan serta sosialisasi tentang perundangan, regulasi dan standar-standar perihal pengimporan dan SPS komoditas agraria. Hasil dari harmonisasi dan penerjemahan tersebut disimpan/dipasang pada Pusat Informasi, agar semua pihak yang ingin mengikuti kemitraan agraria dengan kegiatan impor-ekspor merasa yakin tentang peraturan yang terkait.
83
4)
Kementan RI, Kemeniptek RI, dan Ditjen Imigrasi RI, serta
DAFF, Department of Immigration and Citizenship (DIAC), dan CSIRO/ACIAR Australia merumus dan menerapkan sebuah program
pertukaran
para
peneliti,
praktisi,
penyuluh
dan
pedagang bidang agraria kita yang besar, serba-arah, dan berbobot, mencontohkan aspek-aspek positif dari pengalaman Colombo Plan120 pada zaman 1950-60an, dan dengan target agar ribuan orang Indonesia (bukan puluhan seperti sekarang ini) bidang agraria terekspos kepada sistem-sistem agraria di Australia, maupun orang Australia terekspos kepada sistemsistem agraria di Indonesia. Dana yang diperlukan agar diperoleh dari
anggaran
ODA
(Australia),
dan
anggaran
pertanian
(Indonesia, sebagian dikonversi dari anggaran input subsidies yang agak kelebihan sekarang ini). 5)
Kementan RI dan Kemennakertrans RI, serta DAFF, DFAT
dan DIAC Australia merumus kemudian melaksanakan program 'pekerja tamu agraria' ('agricultural guest workers') 121 di mana petani/peternak WNI yang berminat bekerja di Australia diberikan izin dan bantuan untuk periode-periode tertentu (bukan imigrasi tetap) untuk ikut bekerja di sektor pertanian dan peternakan di Australia, khususnya sektor yang paling relevan bagi kepentingan swasembada Indonesia misalnya gula, daging sapi, beras, dan sayur-mayur.
Sepanjang Australia mempunyai kekurangan
tenaga
bidang
kerja
pertanian/peternakan,
dan
Indonesia
mempunyai kelebihan tenaga kerja, maka program guest workers tersebut sangat berpotensi untuk saling mengisi / saling membantu. 6)
Perhimpunan
dan
Asosiasi
agraria
sektoral
(sebagai
'infrastruktur pertanian') didorong oleh pemerintah masing-masing (plus dengan dana jika diperlukan) agar turut aktif dalam 120
http://www.colombo-plan.org/index.php/about-cps/history/, dan http://www.dfat.gov.au/publications/colombo_plan/index.html [diakses 17 Nov 2012] 121 Seperti yang diajukan sebagai ide 'overseas workers' dalam DAFF (2012) National Food Plan, op.cit., hlm.14
84
mempromosikan keterangan di forum-forum komunikasi sektor tentang keadaan dan fakta-fakta di sektor di negara kedua (sama seperti ide 'kota saudara' ['sister cities'] di dunia pariwisata dan perdagangan) semangat
agar
pengertian
bilateralisme
muncul
bilateral pada
ditingkatkan sektor-sektor
dan yang
ditentukan (melalui I-A CEPA) sebagai sektor proyek.
b.
Strategi 2 : Mendirikan Perjanjian yang besar, berani, dan
menyeluruh Strategi ini akan dijabarkan dengan upaya-upaya riil dan praktis (dan SOMnya) yang ini : 1)
Menkoekon RI, Mendag RI, Mentan RI, beserta MenDFAT
dan Mendag Australia merundingkan, lalu menyetujui sebuah I-A CEPA (perjanjian resmi bidang ekonomi, perdagangan dan pembangunan kemampuan) yang menyeluruh, berani dan berbobot,
mampu
menciptakan
percepatan
terhadap
penurunan/pencabutan tarif, melangkah lebih jauh daripada AANZFTA, dan menyebutkan target-target riil yang akan memaksakan pekerjaan yang keras dan sungguh-sungguh dari kedua bangsa kita komponen agraria. Aspek-aspek yang pantas diakomadir termasuk usulan dari BPG seperti: penghapusan secara segera atau cepat semua rintangan perdagangan (baik berbentuk tarif, non-tarif, jatah/kuota); liberalisasi terhadap perdagangan dan interaksi jasa-jasa; harmonisasi terhadap regulasi; penyederhanaan terhadap keluar-masuk orang; integrasi 'rantai produksi lintas batas'; pembangunan kemampuan (prosesproses, SDM dll); bantuan terhadap kemitraan antarUKM; pendirian kemitraan sektor-ke -sektor ('S2S') dll.122 2)
Perumus I-A CEPA tersebut (yakni Menkoekon RI, Mendag
RI, Mentan RI, beserta MenDFAT dan Mendag Australia) menentukan target-target strategis untuk kerjasama bilateral bidang perdagangan dan litbang agraria yang sangat besar 122
BPG (2012), op.cit., hlm.6-7
85
(biarpun realistis), mencontohkan kesuksesan gaya MDGs misalnya (1C "separuhkan banyaknya orang yang kelaparan di dunia sebelum tahun 2015", 2A "semua anak di dunia sempat ikut program sekolah dasar selama enam tahun"123). Agar perumus IA CEPA menentukan target-target yang inspiratif dan pas, misalnya 'Indonesia dan Australia menjadi mitra perdagangan satu sama lain dalam urutan 'Top Three' pada tahun 2025', dan/atau 'Australia dan Indonesia mencapai sistem litbang agraria terintegrasi penuh pada tahun 2030'. 3)
Kementan RI dan DAFF Australia melaksanakan kampanye
informasi
tentang
I-A
CEPA
tersebut
bagian
kerjasama
perdagangan dan litbang bidang agraria khususnya secara terusmenurus, dengan semacam branding yang sederhana dan 'nempel di otak' (misalnya, 'Partnership Pangan Indonesia Australia' atau Proyek 'Mitra Agraria Negara Tetangga akan Pangan', alias 'MANTAP' Indonesia-Australia). 4)
Kementan RI dan DAFF Australia ikut memantau kembali
secara rutin dan mendalam aspek agraria daripada I-A CEPA agar diperbaiki / diperbaruhi sesuai dengan pergeseran tren dan berdasarkan atas umpan balik yang aktual dan tajam, sehingga IA CEPA menjadi semacam dokumen berhidup (living document). 5)
Kemenkoekon
RI
dan
AusAID
Australia
agar
mempertimbangkan kembali, lalu meng-adjust ODA sehingga fokus digeser dari urusan kemiskinan dan pendidikan umum hampir secara eksklusif, kepada suatu keseimbangan yang mulai lebih memihak kepada urusan sektor-sektor agraria, pertamatama dengan ekspansifikasi ukuran, bobot dan sumberdaya ACIAR (khususnya dana). 6)
Di bawah naungan I-A CEPA, Kemendag RI dan Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia 124 , beserta 123
http://en.wikipedia.org/wiki/Millennium_Development_Goals [diakses 17 Nop 2012] BKPM adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia. Sebagai penghubung utama antara dunia usaha dan pemerintah, BKPM diberi mandat untuk mendorong investasi
124
86
Kemendag Australia membahas, merumus, lalu mendirikan paradigma baru penanaman modal bidang perdagangan dan litbang agraria sehingga diatur dengan lebih baik, transparan, dan dengan kejelasan hukum agar para pemodal tertarik kembali dengan paradigma baru peluang-peluang investasi. 7)
Di bawah naungan I-A CEPA, Kemendag dan Kemenperin
RI bersama Kemendag Australia bekerjasama dengan para pemodal dan para pakar sektor agraria tertentu agar mencari, lalu menfasilitasi didirikannya beberapa proyek 'rantai nilai lintas batas' ('cross-border value chains') untuk menjadi proyek tauladan akan seberapa jauh integrasi sektor agraria tertentu dapat diciptakan dengan tetap mengindahkan kepentingan kedua negara dan tanpa merongrong ide 'kemandirian pangan' di opini Jakarta ataupun di Canberra. Contoh sektor yang paling cocok diusahakan secara terintegrasi adalah daging sapi, kedelai, gula, dan/atau pembudidayaan ikan.
125
Dipedomani pula oleh
perhitungan comparative advantage, di mana pembagian tugastugas secara bilateral mencari letak keunggulan secara obyektif, dan kedua pihak kita merelakan diri untuk membagi tugas dan wewenang. 8)
Kemendag Ri dan Kementan RI, beserta DAFF dan Meat
and Livestock Association of Australia (MLA Australia) secara spesifik mendirikan hubungan antarsektor (S2S) daging sapi Indonesia-Australia, agar kerjasama dilaksanakan pada tingkat sektoral selain hanya berbasis G2G (walaupun pasif) dan B2B (yang bermotivasi keuntungan sebagai prioritas utama) saja seperti sekarang ini.
Dengan keikutsertaan para pakar sektor
perdagangan daging sapi maka kearifan lokal, pengalaman se langsung, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif. Setelah BKPM dikembalikan statusnya menjadi kementerian di tahun 2009 dan melapor langsung kepada Presiden Republik Indonesia, maka sasaran lembaga promosi investasi ini tidak hanya untuk meningkatkan jumlah investasi yang lebih besar dari dalam maupun luar negeri, namun juga untuk mendapatkan investasi bermutu yang dapat memperbaiki kesenjangan sosial dan mengurangi pengangguran. [http://www.bkpm.go.id/contents/general/2/tentang-kami, diakses 9 Okt 2012] 125 Ibid, hlm.45
87
sektor dan loyalitas berdasarkan kepentingan masa depan sektor daripada ‘rejeki tahun ini' dapat diperdayakan demi kepentingan bilateral kita. Pendanaan khusus akan diperlukan, yang dapat diambil untuk bagian awal dari dana AIP.
Lambat laun,
pendanaan untuk urusan hubungan S2S tersebut seharusnya dapat dipetik sebagai semacam pajak dari kesuksesan usaha bersama daging sapi kita. 9)
Kemendag
Ri,
Kementan
RI
dan
asosiasi/
perhimpunan/persatuan terkait sektor beras Indonesia (seperti Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia [PERPADI], Asosiasi Petani Padi Palawija Indonesia [AP3I], Asosiasi Petani Padi Organik Boyolali [APPOLI] dll), beserta DAFF dan Rice Growers Association of Australia (RGA Australia) secara spesifik mendirikan hubungan antarsektor (S2S) beras Indonesia-Australia, agar kerjasama dilaksanakan pada tingkat sektoral selain hanya berbasis G2G dan B2B saja seperti sekarang ini.
Prinsip-prinsipnya sama dengan hubungan S2S
Daging Sapi di atas. 10) Kemendag RI, Kementan RI, dan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), beserta DAFF dan Cane Growers Association
of
Australia
(CGA
Australia)
secara
spesifik
mendirikan hubungan antarsektor (S2S) gula tebu IndonesiaAustralia, agar kerjasama dilaksanakan pada tingkat sektoral selain hanya berbasis G2G dan B2B saja seperti sekarang ini. Prinsip-prinsipnya sama dengan hubungan S2S Daging Sapi dan beras di atas. 11) Badan Karantina Pertanian (BKP) di Kementan RI, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) di Kemenkes), dan Badan Standarisasi Nasional (BSN) Indonesia, beserta AQIS Australia dan badan Food Standards Australia New Zealand (FSANZ)126 melaksanakan harmonisasi rejim perizinan dan SPS 126
Australia dan New Zealand telah menyatukan sistem regulasi keamanan dan kemutuan makanan dan obat, maka badan yang bertanggung jawab atas fungsi tersebut merupakan sebuah
88
(termasuk bantuan teknis, penukaran pengalaman, pengadaan alat-peralatan
pengecekan)
agar
pengaliran
impor-ekspor
komoditas di antara Indonesia dan Australia menjadi selancar mungkin.
Dilaksanakan pula simplifikasi dan standardisasi
terhadap rejim labeling agar urusan hak cipta (intellectual property, IP) tidak dirongrong oleh regulasi yang kelebihan sekaligus melebihi standar yang ditentukan oleh WTO. 12) Kemendag RI, Kemenag RI, serta DAFF dan AQIS Australia mengatur pengertian sertifikasi halal yang universal, mudah dimengerti dan mudah diterapkan agar produsen tidak susah dan konsumen rasa nyaman dan yakin. 13) Kemendag, Kementan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, beserta DAFF dan DFAT Australia melaksanakan penilaian tentang potensi keikutsertaan pihak Australia dalam MP3EI bagian agraria, dan keikutsertaan pihak Indonesia dalam National Food Plan Australia.
c.
Strategi 3 : Mendirikan Sistem 'Pengelolaan Aktif' Strategi ini akan dijabarkan dengan upaya-upaya riil dan praktis (dan SOMnya) yang ini : 1)
Presiden RI dan Perdana Menteri Australia melaksanakan
fungsi sebagai pengarah dan pengawas tertinggi terhadap bentuk, tujuan-tujuan dan kinerja dari I-A CEPA.
Kedua
pemimpin kita dibantu dengan fungsi tersebut oleh IndonesiaAustralia Ministerial Forum (IAMF) yang sudah berdiri sejak tahun 1992 dimana pertemuan dilaksanakan dua tahun sekali, tetapi dengan mendirikan sebuah pokja / working group atau komisi baru yang khusus untuk memanej Comprehensive Strategic Partnership bidang agraria, yang akan bertemu paling sedikit setahun sekali. badan gabungan, yakni FSANZ. Lihat keterangan di situs http://www.foodstandards.gov.au/scienceandeducation/aboutfsanz/ [diakses 18 Nop 2012]
89
2)
IAMF membahas, merumus, lalu mendirikan kantor-kantor
perwakilan tetap I-A CEPA dengan footprint sebagaimana diperlukan
(paling
kemungkinaanya
tidak, sebagai
di
Jakarta
ekspansi
dan
di
kepada
Canberra, perwakilan
Austrade 127 di Jakarta, dan Kemendag di KBRI Canberra). Kantor perwakilan tetap tersebut berperan untuk melaksanakan sosialisasi,
memfasilitasikan
hubungan-hubungan,
mengawas/memantau implementasi I-A CEPA, menerima umpan balik dll. 3)
IAMF, Kementan dan Kemendag RI, beserta DAFF dan
DFAT Australia memantau kembali secara rutin dan mendalam aspek agraria daripada I-A CEPA agar diperbaiki / diperbaruhi sesuai dengan pergeseran tren dan berdasarkan atas umpan balik yang aktual dan tajam, sehingga I-A CEPA menjadi semacam dokumen berhidup (living document). Dalam kegiatan ini, opini dan umpan balik dari sektor dan pembisnis individu diterima secara terus-menurus, dan apabila kepekaan dapat diatasi dengan perubahan terhadap pasal-pasal dalam I-A CEPA maka amandemen diajukan secara ad hoc kepada keanggotaan IAMF untuk dipertimbangkan. 4)
Khususnya untuk masalah signifikan urusan pangan,
Ketahanan Pangan atau kerjasama litbang agraria, kantor-kantor ini bertindak sebagai titik fusion semua keterangan, pernyataan kepada pers, penasehat kepada pejabat dan pemimpin kedua belah pemerintah, dengan tujuan bahwa isu-isu yang muncul dapat ditangani dengan seksama, akurat, obyektif, secara bersama (bilateral, bukan unilateral) dan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip induk daripada I-A CEPA tersebut yakni kerjasama dan saling membantu. 127
Komisi Perdagangan Australia (Australian Trade Commission - Austrade) adalah lembaga Pemerintah Australia untuk membantu perusahaan-perusahaan Australia dalam memperoleh kesempatan berbisnis untuk produk dan jasanya di luar negeri sehingga mereka dapat menghemat waktu, biaya dan risiko dalam memilih, memasuki dan mengembangkan pasar internasional. [www.austrade.gov.au, diakses 10 Nop 2012]
90
5)
Masing-masing pemerintah berusaha untuk tidak terpicu
dinamika politik domestik, sejauh praktis, saat urusan pangan atau Ketahanan Pangan muncul di mana peranan ataupun kepentingan satu pihak dipertanyakan/dipermasalahkan pihak yang kedua. Komitmen tersebut agar diberikan bentuk dengan diadakan talking points tetap (yang bagus diulang kepada dunia pers apabila ada isu), dan dengan sebuah prosedur tetap (dalam bahasa
militer,
'protap')
mengenai
resolusi
konflik
atau
persengketaan agar semua politikus dan pejabat mengerti dan rasa nyaman bahwa dalam krisis atau isu, penanganannya mempunyai proses bersama, mempunyai ketransparanan serta kejelasan.
d.
Strategi 4 : Mendirikan Litbang Agraria Gabungan berskala
besar Strategi ini akan dijabarkan dengan upaya-upaya riil dan praktis (dan SOMnya) yang ini : 1)
Perumus I-A CEPA agar merumus bagian khusus untuk
urusan kerjasama perdagangan dan litbang bidang agraria, yang menempatkan urusan Ketahanan Pangan sebagai fitur selain hanya urusan pardagangan, di mana kerjasama litbang agraria diangkat menjadi sebuah line of cooperation yang bersifat 'pilar', bukan sekedar kegiatan kecil saja, dan tujuan dari kerjasama litbang kita termasuk 'peningkatan produktivitas (intensifikasi)', harmonisasi rejim SPS, dan kemungkinan integrasi produksi lintas-negara dimana produksi bahan baku kemudian pengolahan (hilirisasi) sempat dibagi antara kedua negara kita. 2)
Pemerintah
Australia
(melalui
Bendahera
Nasional
[Treasurer]) agar menyediakan dana yang sekian kali lipat yang diberikan sekarang ini demi kepentingan litbang gabungan Indonesia-Australia, dengan salah satu sumber pendanaan tersebut sebagai anggaran ODA yang telah ditunjukkan, sesuai dengan kehendak yang muncul dalam Buku Hijau National Food
91
Plan ("technology and expertise transfers to developing countries, and supporting agricultural and fisheries R&D and rural development"128 ) . 3)
Pemerintah Indonesia (melalui Menteri Keuangan, Panitia
Anggaran serta Sidang Paripurna DPR) meningkatkan anggaran terhadap urusan litbang agraria, paling sedikit pada bagianbagian tertentu dimana Indonesia dan Australia akan bersetuju untuk melaksanakan proyek bersama (apabila menjadi bidang daging sapi, gula, kedelai atau pembudidaya ikan misalnya) supaya semangat kerjasama dan kemitraan tercapai, daripada nuansa hibah satu arah saja. 4)
LIPI di Indonesia dan CSIRO di Australia agar membahas,
merumus, lalu mendirikan sebuah kemitraan iptek/litbang baru sebagai jabaran / anak dari I-A CEPA, yang khususnya bertujuan untuk membagikan ilmu dan pengalaman sebanyak mungkin tentang kemajuan sains pangan.
Kedua instansi tersebut
kemudian bertindak sebagai instansi induk terhadap instansi penelitian agraria teknis atau yang lebih kecil yang lain (misalnya Pusat Pengembangan Penyuluhan [Pusbangluh] Pertanian serta Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian [BPPSDMP], Sekolah Lapangan Pengelolaan tanaman Terpadu [SL-PTT] di Kementan RI, atau Badan Litbang Kelautan dan Perikanan [BLKP], di Kementerian Kelautan dan Perikanan RI; Rural Industries Research and Development Corporation [RIRDC] dan ACIAR di Australia misalnya). 5)
Perwakilan CSIRO, LIPI, dan instansi iptek/litbang yang lain
(sebagaimana ditunjukan oleh LIPI dan CSIRO) ikut serta dalam forum manajemen I-A CEPA Pokja Pangan secara penuh, memberikan laporan, umpan balik dan saran tentang progja iptek/litbang yang sedang dilaksanakan dan langkah-langkah ke depan. (Penting bahwa litbang tidak dianggap sebagai kegiatan murni yang diserahkan saja kepada para pesains, melainkan, 128
DAFF (2012), op.cit., hlm.239
92
terikat secara langsung kepada urusan manajemen strategis dan kegiatan komersial agar kegiatan iptek/litbang tetap relevan dan membantu.) 6)
LIPI dan CSIRO melaksanakan sebuah studi tentang
proyek-proyek litbang yang dapat diangkat menjadi proyek litbang gabungan sebagai langkah awal untuk menciptakan momentum terhadap kerjasama iptek/litbang 'paradigma baru'.
Proyek
litbang tersebut sebaiknya mendorong sektor agraria yang akan dijadikan 'rantai nilai lintas batas' ('cross-border value chains'). Termasuk dalam upaya ini, LIPI dan CSIRO agar menentukan proposal
akan
program
pertukaran
peneliti
dan
program
pendidikan yang sekian kali lipat lebih besar daripada realita sekarang ini, di mana diharapkan ratusan peneliti Indonesia maupun
Australia
sempat
bekerja
berjangka
waktu
lama
(berbulan-bulan sehingga bertahun-tahun) di instansi mitra masing-masing. pekerjaan
Untuk proyek gabungan yang didirikan, agar
dipikuli
bersama
dan
hak
cipta
yang
muncul
merupakan hak cipta bersama, Indonesia dan Australia. 7)
CSIRO,
LIPI,
dan
instansi
iptek/litbang
yang
lain
(sebagaimana ditunjukan oleh LIPI dan CSIRO) setelah memilih proyek-proyek
tertentu
sebagai
proyek
litbang
gabungan,
kemudian melaksanakan promosi dan branding khusus (dengan motif khusus, periklanan di media massal, periklanan di jurnal dan surat kabar pertanian dll) agar kesadaran masyarakat terwujud terhadap adanya kerjasama litbang agraria Indonesia-Australia. Dengan sengaja, proyek gabungan tersebut agar disosialisasi di Indonesia maupun Australia sebagai hasil bersama---proyek tauladan---bertujuan untuk meningkatkan kesadaran terhadap LIPI dan badan litbang agraria Indonesia yang lain di mata publik Australia,
dan
CSIRO/ACIAR
di
mata
publik
Indonesia
(contohnya, 'Susu Kedelai Ausindo', hasil kacang kedelai hibridisasi, di kemasan memakai logo gabungan LIPI/ACIAR).
93
BAB VII PENUTUP
28. Kesimpulan Berdasarkan
uraian
yang
telah
disampaikan
dalam
bab-bab
sebelumnya, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut : a.
Indonesia dan Australia merupakan negara tetangga yang telah
menjalankan hubungan praktis sejak 1947 dan resmi sejak saat dunia mengakui
kedaulatan
Hubungan
kita
Indonesia
diwarnai
oleh
pada interaksi
akhir dan
Desember kerjasama
1949. yang
membanggakan, maupun juga momen-momen friksi, antogonisme bahkan konflik.
Fakta tersebut sangat dimaklumi mengingat
perbedaan-perbedaan sosial, etnisitas, sejarah kedua negara kita. Walau dulu dianggap sangat berbeda, dengan globalisasi sekarang ini sudah membawa kita menjadi lebih dekat dengan banyak kepentingan bersama. Salah satunya adalah Ketahanan Pangan, di mana FAO mendata masih adanya 800 juta lebih manusia di dunia yang saat ini mengalami kelaparan dan efek buruk dari malnutrisi, Diprakirakan pula bahwa produktivitas agraria dunia harus meloncat secara besar apabila jumlah penduduk dunia pada tahun 2050 (yakni sekitar 9,1 milyar) akan mampu bertahan. b.
Indonesia maupun Australia tidak bebas dari masalah kerawanan
pangan juga, pada umumnya diakibatkan oleh kemiskinan tetapi juga dibuat lebih ruwet di Indonesia dengan kekurangan produksi bahan pokok tertentu.
Tetapi juga Indonesia dan Australia merupakan
penghasil agraria yang besar di panggung dunia, dan mampu meningkatkan produksi apabila kebijakan dan kinerjanya menjadi pas. Dalam rangka itu, Indonesia telah berusaha keras untuk mewujudkan keadaan Swasembada Pangan pada lima komoditas pokok (beras,
94
gula, kedelai, jagung, dan daging sapi), dan telah merumus sebuah rencana akselerasi pembangunan nasional dengan MP3EI, yang khususnya bertujuan meningkatkan konektivitas dan mendirikan Food Estates, serta meraih devisa lebih banyak melalui peningkatan ekspor komoditas unggulannya.
Pada saat yang sama, Australia baru
meluncurkan sebuah pra-kebijakan (Buku Hijau) National Food Plan dan kebijakan (Buku Putih) Australia in the Asian Century---keduaduanya membahas peranan Australia sebagai pemasok pangan, perlunya Australia untuk meningkatkan kemitraan dengan negara Asia, serta komitmen Australia untuk turut membantu Ketahanan Pangan global dengan kerjasama litbang/iptek, dengan menjuarakan hak negara produsen agraria dalam WTO, dengan hibah dana, dan dengan respons darurat saat krisis pangan muncul. c.
Secara bersama, Indonesia dan Australia mampu berdagang dan
bekerja secara lebih menonjol dan dengan lebih sukses.
Masalah
kekurangan performa interaksi perekonomian kita diakui, dan sedang lagi direspon dengan perundingan I-A CEPA: sebuah 'FTA plus' yang telah disetujui mesti mengatur perdagangan, penanaman modal, dan pembangunan kapasitas agar Indonesia dan Australia kelak muncul sebagai Comprehensive Strategic Partners (CSP) dalam bidang ekonomi.
Untuk itu, I-A CEPA harus mengatasi empat pokok
persoalan dalam kerjasama agraria kita sekarang ini: (1) kekurangan saling pengertian tentang sistem-sistem agraria serta pendekatan Ketahanan Pangan; (2) belum adanya perjanjian masal; (3) terlalu pekanya interaksi agraria terhadap kepentingan domestik sempit; dan (4)
belum seriusnya kerjasama bidang litbang (sebagai mesin
peningkatan produktivitas). d.
Nampaknya, masalah-masalah tersebut dapat diatasi asal
negara-negara
kita
berani
untuk
melangkah
secara
visioner,
menyiapkan personil dan dana, serta mengintegrasikan beberapa sektor agraria demi kepentingan kita secara kolektif (daripada kepentingan unilateral selalu).
Usaha yang diperlukan seharusnya
95
jangan dianggap kecil : semangat akan liberalisasi kita agak berbeda, pendapat
tentang
peranan
impor
juga
berbeda,
dan
posisi
petani/peternak di Indonesia sangat bermakna politik, sedangkan mentalitas
perekonomian
Australia
sudah
bergeser
kepada
kepentingan jasa-jasa, pertambangan dan pabrik daripada kaum petani. Indonesia menjuarakan pentingnya Swasembada Pangan dan kedaulatan
pangan,
sedangkan
Australia
hanya
menjuarakan
kesuksesan menghasilkan pangan macam/jenis saja yang unggul, dan membeli yang lain dari pasar dunia. e.
Tetapi kalau cukup berani, manfaat dan keuntungan yang kita
dapat meraih bersama justru besar, sebagaimana dianalisa oleh Indonesia-Australia Business Partner Group, dan oleh McKinsey Global Institute.
Adalah sinergitas di antara sistem agraria di
Indonesia dan Australia, yang dapat dimanfaatkan jika kita berani untuk menurunkan rintangan, kuota, dan regulasi karantina dan imigrasi. Selain meraih devisa, kerjasama yang ditingkatkan tersebut mampu meningkatkan Ketahanan Pangan di Indonesia dan di Australia, padahal (dan secara paradoks) kerjasama tersebut berarti semangat 'kemandirian' hilang secara kecil walaupun nyata. f.
Soal kemandirian itu, penulis berpendapat bahwa ada aspek
kemandirian unilateral, ada juga aspek yang merupakan kemandirian melalui kemitraan : semacam ide ‘dwi tunggal’. Jika para pemimpin kedua bangsa kita cukup berani dan bervisi agung dan jauh ke depan (sesuai ciri-ciri Kepemimpinan Visioner sebenarnya), maka kedua negara kita dapat melangkah menjadi lebih dekat, lebih saling mengisi, tanpa harus merasa menjadi ‘bergantung’.
Bagi penulis, ini malah
intisari dari ide luhur dan mulia : ‘gotong royong’. Mengapa gotong royong itu harus dimaklumi sebagai suatu fenomena yang berlaku di Indonesia saja dan hanya sampai ke perbatasan negara, tidak sebagai suatu idiil yang valid pula bagi hubungan bilateral. melangkah ke arah dan pemahaman seperti itu.
Marilah kita
96
29. Saran Dalam kesempatan ini kami menyampaikan sumbangsaran pemikiran terkait dengan peningkatan kerjasama bilateral Indonesia-Australia bidang perdagangan dan litbang agraria melalui kebijakan, strategi dan upaya sebagaimana telah disampaikan di atas, yakni sebagai berikut. a.
Dengan dicanangkannya kehendak Presiden Yudhoyono dan PM
Gillard untuk melihat terbentuknya sebuah hubungan bilateral yang berbobot sehingga dianggap Comprehensive Strategic Partners maka I-A CEPA harus besar, berani, dan dijunjung tinggi, dengan upaya sosialisasi yang kuat dan terus-menurus (ingat dengan proyek dambaan PM Mahathir di Malaysia, 'Vision 20-20'---kita perlu suatu branding yang se-powerful itu). b.
Dalam operasi I-A CEPA, dana harus ditingkatkan, mau tidak
mau. Kesibukan dan perluasan interaksi memerlukan dana sebagai semacam 'bahan bakar'. Dan karena skala tugas untuk meng-ekspos banyak peneliti, praktisi, pembisnis, penyuluh dsb agar memperoleh pengertian dan empati yang primer merupakan kunci dari semua upaya di sini maka dana tidak boleh kecil. Dan penting pula bahwa kontribusi dari kedua negara berusaha untuk maksimal---apakah kontribusi tersebut dalam aspek regulasi, komitmen dan giat politik, pertukaran iptek ataupun dana.
Telah lama ada semacam nuansa
'penghibah / penerima' (donor / recipient) dalam sebagian dari interaksi-interaksi bilateral kita. Ke depan, nuansa tersebut tidak sehat ataupun pantas lagi, baik dari Canberra maupun Jakarta. c.
Pengelolaan
kerjasama
agraria
kita
harus
menjadi
lebih
terstruktur, berempati, dan rutin. Tetapi juga, ini tidak berarti hubungan CSP bidang agraria harus kaku dan terlalu dikontrol dengan ketat (micromanagement).
Malah, tugas pemimpin dan pejabat adalah
untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang tetap, memberikan anggaran dan sumber daya yang memadai, kemudian 'minggir' supaya para pemain dapat menyibukkan diri dengan menjalankan kerjasama
97
dan kegiatan bisnisnya dengan energi dan drive yang justru merupakan keunggulan komponen swasta di seluruh dunia. Demikianlah penulisan naskah Taskap saya tentang PENINGKATAN KERJASAMA BILATERAL INDONESIA-AUSTRALIA BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA GUNA MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN KEDUA NEGARA DALAM RANGKA KEMANDIRIAN KEDUA BANGSA. Semoga dapat
dijadikan sumbang pikir untuk menghadapi tugas kita masing-masing dan secara bersama untuk memajukan kepentingan nasional kita masing-masing maupun bersama sebagai Comprehensive Strategic Partners, sekaligus ikut membantu memajukan kepentingan Ketahanan Pangan regional dan global di masa mendatang.
Jakarta,
November 2012 Penulis
JOHN L. GOULD, BProfStud, MA BRIGJEN (Australia) NRP.326678
Lampiran : 1.
Alur Pikir
2.
Pola Pikir
3.
Gambaran Ekonomi, Indonesia dan Australia (fact sheets)
DP - 1
DAFTAR PUSTAKA
Buku Burns J, Thomson N (2008) Review of nutrition and growth among Indigenous peoples. [http://www.healthinfonet.ecu.edu.au/healthrisks/nutrition/reviews/our-review, diakses 18 Okt 2012]
Edwards, P. dan Goldsworthy, D., (2003), The Century of Australian Engagement with Asia, Melbourne University Press (for the Department of Foreign Affairs and Trade (Australia) Evans, G. dan Grant, B., (1991), Australia's Foreign Relations In the World of the 1990s, Melbourne University Press Heri Herdiawanto & Jumanta Hamdayama, (2010) Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwarganegara, PT Erlannga, Jakarta Hill, H., (1996), The Indonesian Economy Since 1966: Southeast Asia’s Emerging Giant, Cambridge University Press, Cambridge (UK), 1996 Lemhannas RI, (1998), Kewiraan Untuk Mahasiswa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Monfries, J. (red), (2006), Different Societies, Shared Futures: Australia, Indonesia and the region, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapore
Naskah / Laporan Achmad Suryana (2012), materi paparan kepada Lemhannas PPRAXLVIII, Kewaspadaan Nasional dalam Mendukung Ketahanan Pangan, 29 Juni 2012 Australian Government, Department of Prime Minister and Cabinet, (2012), Australia in the Asian Century White Paper, Canberra [http://asiancentury.dpmc.gov.au/sites/default/files/white-paper/australia-in-the-asiancentury-white-paper.pdf, diakses 28 Okt 2012]
Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) (2011), Annual Operational Plan 2011-12: Indonesia [http://aciar.gov.au/files/node/13817/indonesia_pdf_19385.pdf, diakses 8 Okt 2012]
----------, (2011), Laporan Tahunan 2010-11 Bagian Indonesia, Timor Leste dan Filipina, Canberra Bappenas RI, (2005), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, Jakarta
DP - 2
----------, (2006), Direktorat Pangan dan Pertanian, Profil Tenaga Kerja Pertanian Indonesia, Jakarta Budi Susilo Supandji, (2012), Naskah Lembaga, Perkembangan Lingkungan Strategis Tahun 2012, Lemhannas RI Business Partnership Group (BPG), (2012), Interim Report on the BPG Consideration of the Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement, 24 Sep 2012 [http://www.aibc.com.au/images/Draft_Report.pdf]
Centre for International Economics (CIE), (2009), Estimating the Impact of an Australia-Indonesia Trade and Investment Agreement, Canberra [http://www.thecie.com.au/publication.asp?pID=197, diakses 30 Sep 2012]
Department of Agriculture, Fisheries and Forestry (DAFF) (2011), Australian Food Statistics 2010-11, tabel 6.1 sampai 6.7 [http://www.daff.gov.au/__data/assets/pdf_file/0015/2144103/aust-food-statistics2011-1023july12.pdf, diakses 10 Nop 2012]
----------, (2012), National Food Plan Green Paper, Canberra [http://www.daff.gov.au/nationalfoodplan/national-food-plan, diakses 30 Sep 2012]
Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI, (2008), Australia-Indonesia Free Trade Agreement Joint Feasibility Study [http://www.dfat.gov.au/fta/iacepa/ausindon_fta_jfs.pdf, diakses 18 Okt 2012]
Dirjen Tanaman Pangan, Kementan RI (2011), Pedoman Pelaksanaan Program: Peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman pangan untuk mencapai swasembada dan swasembada berkelanjutan TA 2011, Jakarta Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan RI (2012), materi paparan kepada Lemhannas PPRAXLVIII, Kebijakan Pemerintah di Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam rangka Ketahanan Pangan Nasional, 23 Jul 2012 Food and Agriculture Agency (FAO), (2012), The State of Food Insecurity in the World 2012 [http://www.fao.org/publications/sofi/en/, diakses 5 Okt 2012] Margarita Escaler dan Paul Teng, (2010), Can Asia Learn from Brazil’s Agricultural Success?, Centre for Non-Traditional Security Studies (NTS), Insight Okt 2010 [http://www.rsis.edu.sg/nts/html-newsletter/insight/NTSinsight-oct-1002.html diakses 10 Jul 2012]
McKinsey Global Institute, (MGI), (2012), The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s potential [http://www.mckinsey.com/insights/mgi/research/asia/the_archipelago_economy, diakses 17 Nop 2012]
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), (2012), OECD Review of Agricultural Policies: Indonesia, OECD Publishing
DP - 3
[http://dx.doi.org/10.1787/9789264179011-en, diakses 20 Okt 2012]
Oxfam, (2010), study kasus Fighting Hunger in Brazil: Much Achieved, More To Do, Juni 2010 [http://www.oxfam.org/sites/www.oxfam.org/files/cs-fightinghunger-brazil-090611-en.pdf, diakses 8 Jul 12]
Pokja BS Geostrategi dan Ketahanan Nasional Lemhannas RI (2012), naskah Modul 1-3, Konsepsi Ketahanan Nasional, Jakarta, 2012 Pokja BS Sismennas (2012), Sismennas, Naskah Modul 4, Starbangnas 2010-2014 (versi online) Stuart Murray, (2006), tesis doktoral, Reordering diplomatic theory for the twenty-first century: A tripartite approach, [http://epublications.bond.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=1057&context=theses, diakses 8 Nop 2012]
Timotius D. Harsono, (2012), naskah ceramah kepada PPRAXVIII, Perdagangan Dunia (WTO) dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian Nasional dalam rangka Ketahanan Nasional, 22 Okt 2012
Pidato The Hon Dr Craig Emerson MP, Australian Minister for Trade and Competitiveness, (2012), Australia and Indonesia: working together in the Asian Century, Address to the Jakarta Foreign Correspondents' Club, 22 March 2012 (http://trademinister.gov.au/speeches/2012/ce_sp_120322.html)
H.E. Presiden RI, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, (2010), speech to the Australia Joint Sitting of Parliament, 10 March 2010 [http://www.presidenri.go.id/index.php/eng/pidato/2010/03/10/1353.html, diakses 30 Sep 12]
Lain-lain Achmad Suryana, Direktor Jendral Badan Ketahanan Pangan RI, (2008), Sustainable Food Security Development in Indonesia: Policies and Its Implementation, presentasi kepada UN-ESCAP High-Level Regional Policy Dialogue, Bali, 9-10 Des 2008 (http://www.unescap.org/LDCCU/Meetings/HighLevel-RPD-food-fuel-crisis/PaperPresentations/C2-FoodSecurity/ASuryana-DOA-Indonesia-FoodSecurity.pdf, terakses 9 Jul 12)
Hermanto, Dr. Ir., (2012), ceramah kepada PPRA XVLIII, Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional, Jakarta, 28 Maret 2012 Lessa, Antonio Carlos, (2010), Brazil’s strategic partnerships: an assessment of the Lula era (2003-2010), Jurnal Revista Brasileira de Política Internacional, No.53 (special edition), hlm.115-131
DP - 4
Situs Internet Australian Agency for International Development (AusAID) [www.ausaid.gov.au]
Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) [http://aciar.gov.au/publication/AOP2012-12_Indo]
Australian Trade Commission (Austrade) [http://www.austrade.gov.au]
Department of Agriculture, Fisheries and Forestry (DAFF) [http://www.daff.gov.au]
Food and Agriculture Organisation (FAO) [http://www.fao.org/index_en.htm]
Kementerian Pertanian RI [www.deptan.go.id]
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [http://www.lipi.go.id]
Presiden Suslio Bambang Yudhoyono [http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2007/01/08/1454.html]
World Bank [http://www.worldbank.org]
World Food Program (WFP) [http://www.wfp.org/countries/indonesia]
ALUR PIKIR Judul : “MENINGKATKAN KERJASAMA BILATERAL INDONESIA-AUSTRALIA BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA GUNA MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN KEDUA NEGARA DALAM RANGKA KEMANDIRIAN KEDUA BANGSA”.
POKOK2 PERMASALAHAN 1. Belum lengkapnya saling pengertian bidang agraria serta pendekatan Ketahanan Pangan masing-masing.
KONDISI KERMA BILAT BID DAG & LITBANG AG SAAT INI (blm 'compr strat partnership')
2. Belum ‘diproyekkan’ hubungan ekonomi secara strategis, sektor agraria sebagai salah satu bagian terpenting. 3. Terlalu pekanya kegiatan kerjasama agraria (khususnya impor/ekspor) terhadap dinamika pasar bebas dan terhadap kepentingan politik domestik.
INSTRUMENTAL INPUT
KONSEPSI 'Comprehensive Strategic Partners' dlm Bidang Dag & Litbang Ag (S O M)
KONDISI KERMA BILAT BID DAG & LITBANG AG YG D'HARAP (jadi 'compr strat partnership')
K'TAHAN PANG RI & AUS LEBIH KUAT
ENVIRONMENTAL INPUT
LAMPIRAN 1
4. Kurang seriusnya kerjasama antara Instansi litbang masing-masing.
KKEEM MAAN ND DIIR RIIAAN N BBAAN SSAA NG G 222 M MAASSIIN NG G LLEEBBIIH H TTAAN NG GG GU UH H
POLA PIKIR Judul : “MENINGKATKAN KERJASAMA BILATERAL INDONESIA-AUSTRALIA BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA GUNA MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN KEDUA NEGARA DALAM RANGKA KEMANDIRIAN KEDUA BANGSA”.
KKEEM MAAN ND DIIR RIIAAN N BBAAN G S AA NG S 222 M MAASSIIN NG G LLEEBBIIH H TTAAN NG GG GU UH H
INSTRUMENTAL INPUT UUD RI dan AUS UU RI ttg Hublu, Dag, Tan Pang, Pertanian dll RPJPN, RPJMN, MP3EI AUS National Food Plan
KONDISI KERMA BILAT BID DAG & LITBANG AG SAAT INI (blm 'compr strat partnership')
SUBYEK
OBYEK
Pres RI dan PM AUS. Mendag RI dan AUS. Mentan RI dan AUS. Pimp Sektor Ag RI/AUS.
Deptan masing2. Asosiasi Sektor Ag. Para Pemodal masing2. Kaum Tani/Ternak masing2.
METODA Analisis, dik, negosiasi, pimp strat, disiplin pol, kerma litbang, pendanaan, sosialisasi.
KONDISI KERMA BILAT BID DAG & LITBANG AG YG D'HARAP (jadi 'compr strat partnership')
K'TAHAN PANG RI & AUS LEBIH KUAT
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELUANG & KENDALA
Global Regional (Asia-Pas) Bilateral (RI-AUS)
+Niat Politik (Mitra Strat) +IA-CEPA +Letak & complimentarities -Pengaruh pasar bebas -Cela SDM, infrastruktur dll -Pol domestik & dana
UMPAN BALIK
LAMPIRAN 2
LINGSTRA
LAMPIRAN 3
INDONESIA General information:
Fact Sheet
Fact sheets are updated biannually; June and December
Jakarta 1,905 thousand sq km Bahasa Indonesia 241.0 million (2011) A$1 = 9,950.54 Rupiah (Aug 2012)
Capital: Surface area: Official language: Population: Exchange rate:
Recent economic indicators:
2007 432.2 840.4 1,897 3,690 6.3 10,492 2.4 28.7 6.7
GDP (US$bn) (current prices): GDP PPP (Int'l $bn) (c): GDP per capita (US$): GDP per capita PPP (Int'l $) (c): Real GDP growth (% change yoy): Current account balance (US$m): Current account balance (% GDP): Goods & services exports (% GDP): Inflation (% change yoy): Australia's merchandise trade with Indonesia
Head of State and Head of Government: President HE Dr Susilo Bambang Yudhoyono
2008 510.3 910.7 2,209 3,942 6.0 126 0.0 28.9 9.8
2009 538.8 961.2 2,299 4,102 4.6 10,628 2.0 23.5 4.8
Real GDP growth
2010 708.4 1,034.4 2,981 4,353 6.2 5,144 0.7 23.6 5.1
2011 (a) 846.5 1,124.6 3,512 4,666 6.5 1,719 0.2 25.2 5.4
2012 (b) 894.9 1,212.0 3,660 4,958 6.0 -18,858 -2.1 28.2 4.4
Australia's merchandise exports to Indonesia
A$m
%
A$m
7,000
7
3,500
2006-07
6,000
6
3,000
2011-12
5
2,500
4
2,000
3
1,500
2,000
2
1,000
1,000
1
Imports
5,000 4,000 3,000
2006-07
Exports
2007-08
2008-09
2009-10
2010-11
2011-12
500
0 2007
2008
2009
2010
2011
2012
Primary
STM
ETM
Other
Australia's trade and investment relationship with Indonesia (d): Australian merchandise trade with Indonesia, 2011-12: Exports to Indonesia (A$m): Imports from Indonesia (A$m): Total trade (exports + imports) (A$m): Major Australian exports, 2011-12* (A$m): Wheat Crude petroleum Aluminium Cotton
Total share:
5,285 6,205 11,490
2.0% 2.6% 2.3%
Rank:
Growth (yoy):
11th 11th 13th
10.6% 7.9% 9.1%
Major Australian imports, 2011-12 (A$m): Crude petroleum Iron, steel, aluminium structures Gold Refined petroleum
1,148 523 334 282
2,371 669 649 238
*Includes A$607m of confidential items, mainly alumina and sugar, 11% of total exports.
Australia's trade in services with Indonesia, 2011-12: Exports of services to Indonesia (A$m): Imports of services from Indonesia (A$m):
Total share:
1,299 2,190
Major Australian service exports, 2011-12 (A$m): Education-related travel 607 Personal travel excl education 331 Australia's investment relationship with Indonesia, 2011 (e): Australia's investment in Indonesia (A$m): Indonesia's investment in Australia (A$m):
2.6% 3.6% Major Australian service imports, 2011-12 (A$m): Personal travel excl education 1,793 Transport 193 Total:
FDI:
5,405 454
3,654 np
Indonesia's global merchandise trade relationships: Indonesia's principal export destinations, 2011: 1 Japan 16.6% 2 China 11.3% 3 Singapore 9.1% 9 Australia 2.7%
Indonesia's principal import sources, 2011: 1 China 2 Singapore 3 Japan 9 Australia
14.8% 14.6% 11.0% 2.9%
Compiled by the Market Information and Research Section, DFAT, using the latest data from the ABS, the IMF and various international sources. (a) All recent data subject to revision; (b) IMF/EIU forecast; (c) PPP is purchasing power parity; (d) Total may not add due to rounding; (e) Stock, as at 31 December. Released annually by the ABS.
na Data not available.
np Data not published.
.. Data not meaningful.
AUSTRALIA General information: Capital: Surface area: Official language: Population: Exchange rate:
Fact sheets are updated biannually; June and December
Canberra 7,692 thousand sq km English 22.6 million (Mar 2012) A$1 = US$1.0468 (Aug 2012)
Recent economic indicators:
Head of State: HM Queen Elizabeth II, represented by the Governor-General HE Ms Quentin Bryce Head of Government: Prime Minister The Hon Ms Julia Gillard
2007 944.8 788.4 44,614 37,226 4.9 -58,690 -6.2 19.4 3.0
GDP (US$bn) (current prices): GDP PPP (Int'l $bn) (c): GDP per capita (US$): GDP per capita PPP (Int'l $) (c): Real GDP growth (% change yoy): Current account balance (US$m): Current account balance (% GDP): Goods & services exports (% GDP): Inflation (% change yoy): Australia's merchandise trade
2008 1,033.5 825.9 47,875 38,259 2.2 -44,848 -4.3 22.5 3.7
2009 976.0 844.5 44,508 38,510 1.5 -41,696 -4.3 19.9 2.1
A$m
5
Exports
240,000 Imports
160,000
2012 (b) 1,542.1 960.7 67,983 42,354 3.3 -62,969 -4.1 21.6 2.0
2006-07
200,000
4
200,000
2011 (a) 1,487.4 915.1 66,151 40,847 2.3 -33,105 -2.2 21.7 3.1
Australia's merchandise exports
%
280,000
2010 1,242.1 877.2 55,993 39,545 2.4 -35,263 -2.8 21.0 2.7
Real GDP growth
A$m
2011-12
150,000
3 100,000
120,000
2
80,000
50,000
1
40,000 2006-07
Fact Sheet
2007-08
2008-09
2009-10
2010-11
2011-12
0 2007
2008
2009
2010
2011
2012
Primary
STM
ETM
Other
Australia's trade and investment relationships (d): Major Australian exports, 2011-12 (A$m) (e): Iron ores & concentrates Coal Gold Natural gas Crude petroleum
Major Australian imports, 2011-12 (A$m) (e): Crude petroleum 20,919 Passenger motor vehicles 15,980 Refined petroleum 15,576 Telecom equipment & parts 8,723 Medicaments (incl veterinary) 8,541
62,729 47,914 15,813 11,960 11,176
Australian merchandise trade, 2011-12: Exports (A$m): Imports (A$m): Total trade (exports + imports) (A$m): Merchandise trade surplus (A$m):
264,175 239,668 503,843 24,508
Australia's main export destinations, 2011-12 (e): 1 China 29.1% 2 Japan 19.4% 3 Republic of Korea 8.3% 4 India 5.0% 5 United States 3.7% Australia's trade in services, 2011-12: Exports of services (A$m): Imports of services (A$m): Services trade deficit (A$m): Australia's investment links, as at 30 Jun 2012: Level of Australian investment abroad (A$m): Level of foreign investment in Australia (A$m):
Australia's main import sources, 2011-12 (e): 1 China 18.1% 2 United States (f) 12.8% 3 Japan 8.5% 4 Singapore 6.2% 5 Germany 4.7% 50,545 60,239 9,694 1,235,983 2,038,395
Compiled by the Market Information and Research Section, DFAT, using the latest data from the ABS, the IMF and various international sources. (a) All recent data subject to revision; (b) IMF/EIU forecast; [c] PPP is purchasing power parity; (d) Total may not add due to rounding; (e) Merchandise trade; (f) Based on unpublished ABS data and includes confidential aircraft imports.
na Data not available.
np Data not published.
.. Data not meaningful.